Ceritasilat Novel Online

Misteri Keempat Wajah Anastasia 2

Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd Bagian 2



Anastasia memandang Antonio dengan keheranan.

"Aku tak tahu bahwa sikapku begitu kentara."

"Oh, mungkin tidak bagi orang lain. Kebetulan saja aku sering memperhatikan dirimu, jadi aku melihatnya. Aku yakin teman-temanmu yang lain tidak ada yang tahu," senyum Antonio menghilangkan rasa khawatirnya.

"Mengapa kau tidak pernah bertanya padaku apa yang telah menyebabkan aku aneh begitu?"

"Setiap orang berhak menyimpan rahasianya sendiri. Aku bukanlah orang yang ingin tahu rahasia orang lain. Aku pikir, kalau kau sendiri tidak pernah menceritakannya, itu berarti kau tidak suka membicarakannya dengan orang lain. Karena itu aku tidak mau

memaksamu."

"Kau sangat baik, Antonio," kata Anastasia.

"Aku telah membuatmu malu hari ini dan kau sama sekali tidak memarahi aku."

"Luapan tadi bukan sesuatu yang disengaja, Sasha. Itu sesuatu yang tak dapat kaukuasai. Tidak sepantasnya aku memarahimu untuk hal-hal yang di luar kemampuanmu untuk mencegahnya, kan?"

Anastasia diam lama. Akhirnya dia berkata,

"Sepanjang tahun selain Emi kau adalah temanku yang paling erat. Kaulah orangyang memperhatikan diriku, yang selalu memperlakukan aku dengan baik. Aku berutang banyak padamu. Aku yang salah, seharusnya aku menceritakan masa lampauku padamu. Kau berhak mengetahuinya."

"Kau tidak berutang apa-apa padaku, Sasha. Kau tidak perlu menceritakan apa-apa padaku mengenai masa lampaumu."

"Tidak, tidak... aku harus," kata Anastasia.

"Kalau kau mau menceritakan agar bebanmu bisa terasa lebih ringan, aku siap mendengarkan. Tapi kau tidak harus! Kau tak usah bercerita karena kau merasa wajib."

"Tidak, biarkan aku bercerita mumpung aku punya keberanian sekarang," kata Anastasia menarik napas panjang.

"Aku... aku bukanlah gadis yang polos dan murni seperti yang kaukira.

"Aku... aku adalah orang yang bodoh dan egois. Aku... aku jatuh cinta pada seorang lakilaki yang sudah beristri, tapi aku tak peduli. Aku menghendakinya. Aku cuma tahu aku mencintainya dan ingin terus bersamanya. Kami... kami berhubungan intim. Tadinya aku sudah puas dengan bertemu dengannya selama beberapa jam sehari. Tapi kemudian... kemudian aku ingin mengikatnya. Aku menuntut status darinya. Aku minta dia mengawiniku. Aku... aku bahkan membiarkan diriku hamil supaya dia harus mengawiniku. Ternyata dia tak pernah mencintai diriku. Baginya aku cuma sekadar selingan, dan dia sama sekali tidak punya niatan untuk kawin denganku. Aku telah berbuat kesalahan yang amat besar...." Anastasia mulai terisak.

Antonio membawanya ke dalam pelukannya dan dibiarkannya gadis itu menangis perlahanlahan, sampai akhirnya dia mau melaniutkan ceritanya sendiri.

"Kemudian... kemudian dia merenggut anakku! Dia seorang spesialis kandungan, dan dia berhasil membuang janin itu dengan membius aku... Aku berdosa... aku berdosa " isaknya semakin keras. Anastasia menangis lama sekali.

Antonio membuainya dalam pelukannya seperti membuai seorang anak kecil. Diusapusapnya kepala gadis itu, diciuminya pipinya yang basah, dan diusapnya air matanya yang mengalir.

"Semuanya itu sekarang sudah lewat, Sasha," bisiknya.

"Dia tidak dapat menyakiti hatimu lagi dan kau pun sudah sadar bahwa orang seperti itu tidak perlu kaupikirkan terus. Lupakanlah yang sudah lewat. Di depan masih ada jalan yang panjang, yang terbentang luas bagimu. Lupakanlah sakit hatimu dan jangan membiarkannya menggetirkan hidupmu. Kau memang telah kehilangan sebagian dari dirimu lewat pengalaman yang pahit itu, tapi di depan masih ada begitu banyak yang bisa kauraih sebagai gantinya. Jangan menggandoli trauma yang satu itu terus. Orang harus maju terus apa pun yang telah terjadi. Kalau kau melangkah maju. kenangan jelekmu semakin tertinggal jauh di beaakang, dia menjadi semakin kecil, semakin tidak berani, dan akhirnya tak tampak lagi di cakrawalamu yang baru. Sebaliknya kalau kau membiarkan dirimu statis dan terikat padanya terus, kenangan itu akan terus berada di sisimu, ukurannya tidak akan mengecil dan hidupmu terus akan terganggu olehnya."

"Ya ya, aku sudah berusaha melupakannya, cuma cuma dari waktu ke waktu bayangan itu muncul kembali," kata Anastasia.

"Itu lumrah sekarang, tapi perlahan-lahan bayangan itu akan memudar dan hilang kalau kauizinkan." Antonio masih membelai kepalanya.

"Mengapa kau begitu baik padaku, Tonio?" tanya Anastasia. Sepasang mata yang basah dan jernih menatap dalam ke mata laki-laki itu seakanakan dia dapat mencari jawabnya di satia.

"Aku sayang padamu, Sasha. Mungkin pada suatu hari nanti kau bisa menerima aku sebagai orang yang mencintai dirimu tidak sekarang aku tahu tapi suatu hari, siapa tahu? Aku tidak tergesa-gesa, aku tidak ingin mendesakmu, biarlah waktu yang menentukan."

"Kau... kau sayang padaku?" tanya Anastasia. Entah mengapa tiba-tiba hatinya merasa hangat hangat dan nyaman perasaan yang sudah begitu lama tak pernah lagi menyelinap ke dalam hatinya.

"Ya," kata Antonio memandangnya lekatlekat.

"Tapi kau tak perlu takut. Aku tidak akan memaksamu, tidak akan merayumu, bahkan aku tidak akan berusaha apa pun untuk menjatuhkan hatimu atau memperoleh simpatimu. Perasaanku adalah milikku sendiri, tidak akan kulimpahkan secara paksa padamu. Anggaplah aku tetap sebagai teman biasa saja, sama seperti yang kaulakukan selama ini."

"Kau amat baik, Antonio, kau betul-betul amat baik."

Antonio tersenyum.

"Kalau orang sudah setua aku sudah mempunyai pengalaman sebanyak aku, orang belajar untuk tidak membuat kesalahan yang sama dua kali. Dan percayalah. di masa mudaku, kesalahan yang aku buat tak terhitung banyaknya."

"Kau pernah berkeluarga, Antonio?" tanya Anastasia mulai melupakan dilemanya sendiri.

"Ya, aku pernah mempunyai istri, tapi kami sudah lama bercerai."

"Kau masih sering bertemu dengannya?"

"Yang terakhir adalah sepuluh tahun yang lalu ketika kami bercerai. Tapi setiap ulang tahunku dia masih mengirim ucapan selamat. Dia tinggal di Amsterdam dan sudah berkeluarga lagi."

"Oh, kau kawin dengan orang Belanda?"

"Dia sama seperti aku, anak blasteran," senyum Antonio.

"Dia adalah anak Eurasia keturunan Belanda dan Ambon."

"Berapa lama kau kawin?"

"Oh, sekitar lima tahun lebih sedikit. Dia adalah gadis yang cantik dan aku mengejar ngejarnya setengah mati. Aku berusaha meyakinkannya bahwa cinta itu bisa tumbuh setelah perkawinan, bahwa yang penting itu ada kemauan dan saling pengertian. Dia setuju untuk kawin karena dia pikir lebih selamat kawin dengan lakilaki yang mencintainya daripada mencintai lakilaki yang tidak mau mengawininya. Kami sama sama masih muda dan kami masih dibayangi mimpi-mimpi muluk."

"Akhirnya kalian tidak bahagia?"

"Akhirnya kami berpisah. Ternyata aku

telah salah menafsirkan emosi yang menggebu-gebu di pihakku tempo hari. Kami sebetulnya tidak siap untuk membentuk rumah tangga. Dan akhirnya impian itu buyar. Kami membutuhkan waktu lima tahun untuk menyadari kesalahan ini sebelum kami memutuskan untuk mengambil jalan kami sendiri."

"Apakah kau menyesal?"

"Menyesali apa?"

"Menyesali harus berpisah dengannya."

"Tidak. Perpisahan itu adalah keputusan yang paling baik yang pernah kami lakukan bersama. Setelah perpisahan itu aku bisa bernapas dengan lega dan aku kira dia pun begitu. Tidak, aku tidak menyesali perpisahan kami, tapi aku menyesali kebodohanku yang pertama, ngotot mau kawin dengannya.

"Mengapa kau tidak pernah kawin lagi, Antonio? Menduda selama sepuluh tahun adalah waktu yang lama."

"Yah, karena aku tidak pernah tertarik pada perempuan lain -sampai bertemu denganmu."

"Ah, masa! Di sekelilingmu ada begitu banyak gadis cantik, masa kau tidak tertarik.

"Dunia penuh dengan gadis cantik. lstriku dulu juga cantik. Itulah sebabnya aku menyangka aku mencintainya. Sebenarnya aku cuma kagum pada kecantikannya. Pribadinya tidak cocok untukku. Ternyata dalam suatu perkawinan dibutuhkan lebih banyak daripada sekadar mengagumi wajah patner hidupnya saja. Aku telah berbuat kesalahan itu satu kali, aku tak ingin mengulanginya lagi. Kalau kali ini aku mencintai seseorang, yang kucintai harus pribadinya sebagai seorang individu."

Anastasia tersenyum kemalu-maluan.

"Dan apakah aku begitu menarik sebagai seorang individu, Antonio? Dibandingkan dengan gadis-gadis yang lain, aku tidak lebih istimewa, bahkan aku... aku masih punya masa lalu. Seperti Maya atau Bebi atau Cici, mereka adalah gadisgadis yang baik, hidupnya bersih, tidak punya lembaran gelap yang terselip di kolong meja. Aku... aku... selain punya masa lalu juga punya kelainan jiwa seperti apa yang terjadi hari ini."

Antonio Castillo terbahak.

"Semua orang punya kelainan jiwa. Semua orang punya ciri khasnya sendiri."

"Tapi aku lain... aku lain. Terkadang aku pikir barangkali aku ini gila. Aku aku pernah hampir bunuh diri."

"Gila dan waras itu hanya dibedakan oleh sehelai rambut tipis, Sasha. Kalau dari waktu ke waktu kita meletus, itu bukan berarti kita ini gila. Itu cara alam untuk menetralisasi ketahanan mental kita. Seperti itu lho-mesin uap," senyum Antonio.

"Kalau uapnya sudah memenuhi seluruh ruang sehingga tekanan di dalam itu naik, maka secara otomatis klep pengamannya membuka untuk mengeluarkan sebagian dari uap itu supaya tidak terjadi ledakan hebat. Sudahlah, jangan kaurisaukan dirimu lagi. Kau pasti akan bisa melupakan masa lampaumu. Aku melihat kau punya kepribadian yang baik, kau punya ketekunan dan keuletan. Hanya saja kau masih muda dan belum memperoleh pegangan yang mantap. Itulah sebabnya terkadang kau terbawa emosi. Tapi jangan khawatir. Waktu dan usia akan mengisi kekurangan ini dan percayalah, pada akhirnya kau akan menjadi orang yang berhasil."

"Kau selalu membesarkan hatiku," senyum Anastasia.

"Kalau pada akhirnya aku terlalu bergantung padamu dan kau tidak bisa lolos lagi dariku, itu salahmu sendiri."

Laki-laki lain tentunya akan menjawab

bahwa itulah perkembangan yang ditunggu-tunggunya atau bahwa mereka akan merasa senang dijadikan tempat bersandarbegitulah perkiraan Anastasia. Tapi ternyata jawaban Antonio di luar dugaannya sama sekali.

"Kau tidak pernah akan total bergantung padaku seperti itu, Sasha. Pada dasarnya kau adalah perempuan yang mandiri dan aku akan berbuat sekuat tenagaku untuk mengembangkan sifat kemandirianmu ini. Di dunia janganlah bergantung pada orang lain. Milikilah kepercayaan kepada diri sendiri dan kau tidak pernah akan kecewa."

TAK banyak perubahan yang terjadi antara hubungan Antonio dengan Anastasia setelah pembicaraan mereka dari hati ke hati itusetiap hari semuanya masih sama mereka makan bersama, tertawa bersama, membicarakan bisnis bersama, menemui klien bersama. Antonio memegang teguh janjinya tidak mau mendesak Anastasia, dan terbukti tak satu kali pun dia menyinggung lagi tentang apa yang mereka bicarakan tempo hari.

"Antonio, tambah lama kau kok bertambah pucat sih kelihatannya," celetuk Anastasia pada suatu hari.

"Dan kau kelihatan lelah sekali."

"Tanda-tanda mengunduri tua, Sasha," gelak Antonio ceria.

"Tua bagaimana! Katanya laki-laki baru dikatakan betul-betul hidup pada usia empat puluh. Kau seharusnya berada pada kondisi

yang paling prima sekarang. Mengapa kau tidak berlibur beberapa hari? Kau betul-betul kelihatan capek!"

"Ya, mungkin itu usul yang baik. Di sini semua sudah bisa kaujalankan sendiri dengan lancar, bahkan dalam melayani tawar-menawar dengan klien kau lebih mahir," senyum bos-nya.

"Kontrak yang kita peroleh untuk minggu lalu itu seluruhnya hasil kerjamu. Aku sangat bangga akan perkembanganmu."

"Ah, itu cuma kebetulan. Tapi aku serius, nih, mengenai keadaanmu. Kau betul-betul kelihatan loyo. Kau harus istirahat."

"Baiklah. Kalau begitu besok aku tidur seharian di rumah dan semua urusan di sini aku serahkan padamu."

"Sebaiknya kau juga periksa ke dokter, Antonio," kata Anastasia khawatir.

"Kau pucat sekali."

"Ah, nggak apa-apa. Memang aku agak anemis."

"Kalau begitu harus banyak makan bayam dong, supaya tambah darah."

"Iya, nanti pembantuku di rumah aku minta masak bayam."

"Kau di rumah cuma tinggal bersama pembantu?" tanya Anastasia yang baru sadar bahwa dia tidak tahu banyak tentang kehidupan pribadi laki-laki ini.

"Iya, pembantu laki-laki," senyum Antonio.

"Kau tak perlu khawatir."

Tersipu sedikit, Anastasia menjawab,

"Apakah dia bisa masak?"

"Ala kadarnya. Tapi aku kan jarang di rumah,jadi aku tidak terlalu menderita karena keterbatasannya."

"Kalau sakit siapa yang merawatmu?"

"Syukur sampai sekarang aku belum pernah sakit seberat itu sampai membutuhkan perawatan orang. Tapi aku senang kau menunjukkan perhatian," tambahnya.

"Kalau begitu besok sepulang kerja aku ke rumahmu. Kubawakan masakan bayam, ya?"

"Nggak usah repot, Sasha. Kau terlalu lelah nanti, pulang kantor masih harus masak segala. Lagi pula nanti kau ditertawakan Emi."

"Emi nggak akan menertawakan dan aku tidak berkeberatan memasakkan untukmu sekali waktu."

"Kalau begitu ya terima kasih sebelumnya."

"Eh, kita sudah seakrab ini masa kau masih perlu bilang terima kasih segala, Tonio!" kata Anastasia.

"Apakah karena kita akrab lalu tak ada lagi rasa terima kasih di hati? Justru aku anggap kau lebih bisa menghargai terima kasihku daripada orang lain yang tidak bergaul akrab denganku."

"Kau betul, cuma maksudku biasanya orangyang sudah akrab itu sudah biasa saling melakukan sesuatu bagi yang lain. Ucapan terima kasih itu nggak perlu lagi dicetuskan."

"Kata-kata marah, umpatan, cacian, kata-kata yang menyakitkan, itu yang tidak perlu lagi dilontarkan di antara orang-orang yang akrab kendatipun ada salah satu pihak yang berbuat salah. Tapi kata-kata yang baik, yang membuat hati senang, mengapa tidak? Justru kita harus lebih sering menyatakan apresiasi kita."

"Oke, kalau begitu besok sore aku ke rumahmu."

"Pukul berapa kau kujemput?"

"Lho, kok dijemput! Kau seharusnya beristirahat! Aku bisa datang sendiri naik taksi, jangan menjemput!" Anastasia pura-pura marah.

"Nanti kau salah masuk rumah orang."

"Eh, katanya mau mendidik aku mandiri. Masa sekarang baru mencari rumahmu saja aku sudah nyasar!"

Keesokan harinya merupakan hari yang sibuk bagi Anastasia.Tiga orang klien datang padanya untuk minta pelayanan. Anastasia harus membuat jadwal yang betul-betul efektif sehingga para model bisa menyiapkan diri dengan baik. Selain itu dia menyempatkan diri juga melihat pengambilan gambar untuk sampul depan sebuah majalah wanita. Semakin lama Anastasia semakin mengerti juga tentang teknik pengambilan gambar tentang perpaduan sinar dan warna tentang sudutsudut artistik seraut wajah. Seorang gadis yang sebetulnya berparas biasa-biasa saja bisa disulap menjadi perempuan yang cantik lewat tata lampu dan pengambilan gambar dari sudut yang tepat. Dan sampai sekarang Anastasia tak habis-habisnya kagum dengan peralihan ini.

Antonio pernah berkata bahwa dirinya sangat berbakat dalam bidang pengelolaan biro model ini. seakan-akan dia memang

dilahirkan khusus untuk terjun ke bidang tersebut. Dia sendiri cukup cantik untuk menandingi peragawati mana pun, seleranya juga bagus sehingga dalam waktu singkat secara naluriah dia dapat menguasai segisegi artistik suatu objek foto, dan di atas itu otaknya cukup cerdas untuk cepat mengerti dan menguasai pengelolaan bisnis seperti ini.

Rekan-rekannya mulai sering mengandalkan pendapatnya. Usul-usulnya semakin didengarkan, keberatannya dipertimbangkan, dan memang sering terbukti bahwa apa yang dikatakannya itu betul. Maka setapak demi setapak naiklah fungsinya dari seorang gadis model profesional menjadi seorang pengelola biro model yang profesional.

Pukul lima seperempat Anastasia meninggalkan kantornya dan bergegas pulang. Tadi pagi dia sudah menitipkan pada pembantu Emi untuk membelikan bayam banyak-banyak. Sekarang dia harus pulang cepat-cepat agar tidak kemalaman membawakan masakan itu ke rumah Antonio.

Antonio sendiri yang menyambutnya di pintu ketika Anastasia turun dari taksi membawa rantangnya.

"Hei. apa kabar?" sapa Anastasia ceria.

"Baik. Aku tidur seharianpol," kata Antonio.

"Hari ini baru terasa betul-betul capek."

"Kalau begitu besok jangan ngantor dulu. Beristirahatlah dua-tiga hari sekaligus supaya ada manfaatnya," senyum Anastasia.

"Sudah lapar?"

"Mau langsung makan, nih? Nggak ngobrol dulu?" tanya Antonio.

"Mumpung masih panas," kata Anastasia meletakkan rantangnya di atas meja. Ternyata meja sudah ditata untuk makan dua orang.

"Biar kupanggilkan si Hasan supaya dia siapkan nasi dan minuman," kata Antonio.

"Aduh, nggak usah dah! Aku kan bukan tamu. Biar aku yang menyiapkan sendiri. Nggak enak ah rasanya dilayani orang laki walaupun dia pembantumu," kata Anastasia.

Antonio tertawa.

"Sesukamulah kalau begitu. Nasi memang sudah matang dan masih hangat di dalam rice cooker itu. Minuman silakan ambil sendiri di lemari es."

Mereka makan dengan santai sambil berbincang-bincang mengenai apa yang terjadi hari ini di kantor. Antonio menghabiskan semua masakan Anastasia.

"Aku tidak menyangka kau bisa makan

sebanyak ini. Biasanya di kantor makanmu sedikit," kata Anastasia

"Masakanmu enak."

"Ah, menghina! Aku nggak pandai memasak. Untuk menyiapkan ini pun kemarin semalam aku harus membuka buku resep Emi."

"Di lidahku masakanmu enak. Itu yang penting, kan? Aku selera makan kalau kau yang memasak," kata Antonio.

"Kalau begitu biar aku yang memasak setiap hari supaya kau selera terus dan menjadi gemuk," kata gadis itu.

"Asal nanti jangan menjadi bosan atau kapok saja!"

"Kalau kau mau, aku bisa menyediakan dua kompor elpiji di kantor supaya kau bisa masak. Kamar kerjaku kan sangat luas. Jika sebagian diberi sekat untuk dapur mini, masih cukup kok!"

"Eh, jadi aku harus merangkap koki sekalian?" gelak Anastasia.

Suasana di ruangan ini terasa hangat dan santai menyenangkan. Mereka duduk berhadapan disinari oleh lampu yang temaram. Sepi hanya mereka berdua di sini terpisah dari dunia luar sama sekali.

"Lho. kalau mau." kata Antonio.

"Boleh, asal kau menjadi gemuk saja. Aku ingin kau gemuk. Kau terlalu pucat dan kurus."

"Dari muda memang aku tak pernah gemuk, Sasha. Selamanya ya jangkung kurus begini."

"Iya, tapi tambah lama aku lihat wajahmu tambah pucat. Setahun yang lalu nggak sekurus ini kok."

"Mungkin anemiku sedikit lebih parah sekarang."

"Kau Sudah ke dokter?"

"Ah, nggak apa-apa. Aku tahu, pasti nanti dokter berkata aku terlalu lelah, butuh istirahat, harus makan banyak persis seperti nasihatmu. Buat apa aku ke sana untuk mendengarkan nasihat yang sama?"

"Mungkin dia bisa memberimu vitamin atau tonikum atau apa."

"Aku paling malas minum obat. Paling banter cuma dua kali, setelah itu obatnya entah aku tinggalkan di mana."

Anastasia tertawa.

"Omong-omong, apa sih kesibukanmu Sore hari setelah pulang dari kerja?" tanya gadis itu melihat seputar ruangan yang sepi

"Dulu sebelum ada kau, aku selalu membawa pulang pekerjaan administrasi. Sekarang sejak semuanya kau yang mengerjakan, aku menganggur. Ya kadang-kadang aku nonton TV kalau tidak malas, atau membaca, atau keluar mendatangi satu-dua temanku. Tapi yang lebih sering kukerjakan itu tidur," seringai Antonio.

"Capek."

"Katamu jarang makan di rumah? Berarti setiap hari kau pasti keluar mencari makan dong?"

"Maksudku, jarang makan masakan rumah. Si Hasan yang kusuruh keluar untuk membelikan. Lebih mudah baginya dan lebih enak juga bagiku."

"Kau nggak merasa kesepian hidup sendiri begini? Atau kau melewatkan waktumu juga dengan mengobrol bersama si Hasan?"

"Hasan biasanya sudah langsung tidur setelah aku makan, atau dia pamit pergi bersama temanlemannya. Jarang kami ngobrol lama-lama."

"Jadi nggak kesepian?"

"Akhirnya manusia harus belajar berteman dengan kesepian juga," kata Antonio.

"Kesepian bukan sesuatu yang menakutkan. Dalam kesepian justru manusia bisa mene

mukan dirinya sendiri. Kesepian itu akan menjadi teman kita kalau kita izinkan"

"Kau harus mengajarkan hal itu kepadaku," kata Anastasia.

"Walaupun aku tinggal di rumah Emi yang berpenghuni empat orang lagi di samping diriku, setiap malam aku merasa kesepian sekali. Aku merasa hampa, terombang-ambing, tidak tahu untuk apa aku hidup."

Mereka sekarang pindah duduk di kamar tamu sementara Hasan menutup meja.

"Perasaan itu tidak bisa diajarkan, Sasha. Perasaan itu timbul dengan sendirinya dari pengalaman. Bila pengalamanmu cukup dalam hal itu, perasaan itu datang dengan sendirinya," Antonio tersenyum.

"Mau mendengarkan musik? Aku punya beberapa kaset yang enak."

"Boleh, tapi biasanya aku terus mengantuk kalau mendengarkan musik, apalagi setelah makan," kata Anastasia.

"Mengantuk ya tidur, jangan ditahan. Semua panggilan alam sebaiknya dituruti, jangan dilawan. Naluri sering kali lebih benar daripada hasil pemikiran manusia."

"Masa aku tidur di sini?" gelak Anastasia.

"Nggak apa-apa, aku tak akan meng

ganggumu. Nanti kalau kantukmu sudah terpenuhi, kau kan bangun sendiri," kata Antonio menyetel musik.

Mereka duduk berdampingan di atas sofa yang panjang. Antonio di satu ujung bertelekan pada sandaran lengan sofa, Anastasia di ujung lainnya. Tidak ada yang bersuara hanya alunan musik yang lembut dan suara berat seorang penyanyi negro perempuan yang menyenai lamunan mereka.

Anastasia berpaling, dilihatnya mata Antonio terpejam, wajahnya tenang dan rileks. Garis-garis kelelahan tak tampak lagi. Apakah itu hanya karena sinar lampu yang lembut atau memang suara si penyanyi itu yang bisa menghilangkan ketegangan dari wajahnya? Anastasia mengawasi lama. Profil Antonio tak pernah tampak sebagus ini sebelumnya hidungnya mancung, warisan nenek moyangnya yang berdarah Eropa alisnya hitam tebal, melindungi sepasang mata yang tajam yang sekarang terpejam bibirnya adalah bibir yang sensitif, agak tebal di bagian bawah, bagian atasnya peka dan sensual dagunya tercukur licin, tapi karena pada dasarnya Antonio berbulu banyak, dagu itu berwarna kebiru-biruan, sama dengan bagian atas bi

birnya sangat jantan.

Anastasia mengamatinya lekat-lekat. Bahu Antonio ternyata lebih lebar dari yang disangkanya. Hanya saja karena dia berperawakan kurus maka tampaknya bahu itu kurang terisi. Seandainya lebih gemuk, tentunya dia sangat gagah karena dia sudah mempunyai rangka yang bagus bahu yang lebar dan kaki yang panjang, pikir Anastasia membuat penilaian secara profesional. Sejak dia terlibat juga dalam memilih peragawanperagawati untuk pengambilan gambar tertentu, dia pun terbiasa membuat penilaian atas fisik model-modelnya secara profesional. Sayang Antonio terlalu kurus. Mungkin karena tidak ada yang memperhatikan makanannya, pikir Anastasia. Kasihan dia, terlantar.

Memikir demikian hatinya terasa trenyuh. Antonio begitu baik, tapi tidak ada yang menghargai kebaikannya. Tidak ada yang menyambutnya dengan gembira kalau dia pulang, tidak ada yang merawatnya kalau dia sakit, tidak ada yang betul-betul mempedulikan apakah dia senang atau susah.

Lebih lanjut lagi Anastasia teringat akan katakata Antonio tempo hari bahwa dia

mencintainya! Cinta yang begitu tulus, cinta yang tidak menuntut petnbalasan, cinta yang tidak memaksakan apa-apa. Dia mencinta hanya sekadar untuk mencinta, tidak ada motifapa-apa di baliknya. Sekian lamanya telah lewat sejak dia mengutarakan isi hatinya kepada Anastasia, tapi selama ini sikapnya tetap tidak berubah. Dia tetap seperti seorang teman baik yang tidak menimbulkan perasaan tidak enak atau khawatir gadis itu setiap berada di sisinya.

Aku bisa bahagia dengan laki-laki seperti ini, pikir Anastasia. Matanya terasa panas. Aku bisa bahagia dengannya. Dia tidak terlalu menuntut apa yang mungkin tak dapat kuberikan. Bahkan aku rasa dia tidak akan menuntut apa-apa sama sekali. Itu lebih baik bagiku. Aku sudah jera tenggelam lagi dalam emosi yang menghanyutkan, yang meledak-ledak, yang melambung ke angkasa untuk jatuh hancur berkeping-keping. Tidak. Bersama Antonio aku bisa hidup dengan tenang. Kami akan saling memperhatikan, saling mementingkan, saling menyayangi. Mungkin di antara kami tak akan pernah ada emosi yang meledakledak, atau rasa cinta yang menyesakkan napas, tapi aku yakin

yang ada adalah rasa damai, damai dan aman, serta keyakinan bahwa masa depan kami akan berjalan dengan tertib, teratur, menurut rilnya. Semua ini lebih baik daripada cinta yang menuntut seluruh pengabdian jiwa.

Anastasia menggeser duduknya, mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung tangan Antonio yang kiri, yang terletak lemas di atas pangkuannya.

Antonio membuka matanya, tersenyum,

"Kau sudah mengantuk?" tanyanya lembut.

Anastasia menggeleng.

"Kau?" balasnya.

"Aku sedang menikmati alunan suara ini. Katakatanya sangat indah," kata Antonio.

"Cinta memang indah," kata Anastasia untuk pertama kalinya membuka topik pembicaraan ini.

"'Cinta yang tidak berkobar-kobar, cinta yang tidak menghanguskan, cinta yang mengalir tenang seperti air yang menyejukkan, cinta yang tidak menuntut, cinta yang kokoh... seperti... seperti cintamu padaku."

Antonio sedikit terkejut. Perkembangan yang di luar dugaannya. Dia memandang gadis itu dengan lebih saksama.

"Aku ingin tenggelam dalam cinta yang demikian, Antonio," bisik Anastasia.

Antonio meraih gadis itu ke dalam pelukannya persis seperti ketika dia histeris dulu dan mengusap-usap rambutnya. Anastasia membiarkan dirinya dibelai, merasakan hangatnya kasih sayang yang menyelinap ke dalam hatinya, menikmati rasa bahagia yang membungakan perasaannya. Dan dia yakin kali ini pilihannya tidaklah salah. Kali ini dia akan bahagia! Kali ini dia akan meraih bintang bersama lelakijangkung di sisinya ini.

Mereka tidak berkata apa-apa beberapa saat lamanya. Kata-kata tak diperlukan lagi jika dua hati telah menemukan bahasa yang lebih bagus daripada kata-kata. Anastasia menyandarkan kepalanya di dada Antonio yang memeluknya dengan penuh rasa sayang.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaset berhenti bersuara tapi untuk beberapa waktu lamanya baik Anastasia maupun Antonio seakan-akan tidak menyadari keheningan ini. Mereka tenggelam dalam dunianya sendiri, dunia yang sekarang mereka bagi bersama. Ketika lonceng besar di ujung ruang itu berdentang dua belas kali, mereka baru sadar.

"Sudah malam," bisik Antonio.

"Yuk, kuantarkan pulang."

"Malam ini aku tidak pulang, Antonio," kata Anastasia.

"Aku ingin tetap bersamamu di sini."

Antonio tersenyum.

"Aku pun ingin kau selamanya bersamaku. Tapi waktu kita masih banyak. Kalau malam ini kau tidak pulang, kasihan temanmu Emi, nanti dia khawatir kau diculik sopir taksi."

Anastasia harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Antonio memang benar. Emi pasti menunggunya. Kasihan. Sayang rumah Emi belum punya sambungan telepon.

"Ayo, aku antar pulang," kata Antonio sudah berdiri.

"Kau lelah, biar aku pulang dengan taksi saja."

"Taksi sudah sepi pada jam-jam ini. Dan aku tidak selelah itu, Sasha. Malam ini tiba-tiba aku merasa bersemangat sekali," senyumnya.

"Cinta adalah obat penghapus lelah yang paling mujarab, kau tahu?"

Mereka tertawa.

"Aku akan memberi tahu Emi bahwa sekarang aku telah menemukan pelabuhan untuk hatiku. Aku harus berterima kasih padanya. Dialah yang mempertemukan kita."

"Aku juga," kata Antonio.

"Bagaimana kalau dia dan suaminya kita undang makan bersama untuk merayakan kebahagiaan ini?"

"Mereka tentu senang."

"Ayo kalau begitu, kita berangkat sekarang," kata Antonio menghadiahkan sebuah ciuman di bibir gadis itu-ciuman pertama yang ringan dan halus.

Ya, Tuhan, aku mendapat kesempatan yang kedua, pikir Anastasia. Aku masih bisa berbahagia bersama laki-laki ini. Alangkah bersyukurnya! Alangkah berterima kasihnya aku! Dan kali ini aku tak akan membuat kesalahan! Kali ini hubungan kami akan kekal abadi sampai kami menjadi kaki-nini!

Tetapi Anastasia tidak tahu bahwa detik itu iuga kebahagiaanya sudah terancam!

"AKU akan kehilangan dirimu," kata Emi.

"Sudah tiga tahun lebih kita tinggal bersama-sama. Aku akan kesepian lagi begitu kau angkat kaki dari sini."

"Tapi aku kan nggak pergi jauh-jauh, Em. Aku akan sering mengunjungimu, aku berjanji," senyum Anastasia.

Hari ini dia tidak masuk bekerja. Emi yang sedang hamil anaknya yang kedua merasa kurang sehat sehingga Anastasia menemaninya di rumah. Sebetulnya bukan karena Emi tidak bisa bangun sendiri atau harus dilayani setiap saat maka Anastasia terpaksa tinggal di rumah, tetapi Anastasia sendirilah yang ingin melewatkan lebih banyak waktu lagi dengan sahabatnya ini mengingat saatnya tinggal di rumah Emi sudah cuma sisa beberapa minggu lagi. Anastasia dan Antonio merencanakan perkawinan dilangsungkan bulan depan setelah orang tua Anastasia mendapat tanggal yang tepat.

"Aku tidak mengira kau akan jatuh hati pada Antonio," kata Emi.

"Ketika aku membawamu ke Madona sama sekali tak pernah terbersit dalam pikiranku bahwa aku menjodohkan kalian. Malah sebetulnya aku berharap kau menjadi adik iparku, Run. Sayang kau tidak menaruh minat pada adik Mas Luth."

"Antonio adalah laki-laki yang sangat baik, Em. Kau sendiri pernah bilang begitu padaku."

"Iya, dia sangat baik, tapi... tapi apakah... apakah dia tidak terlalu tua untukmu, Run?"

"Antonio baru melewati ulang tahunnya yang keempat puluh tiga, Em. Kan masih muda!"

"Dan kau baru berusia dua puluh enam!" sahut temannya yang tidak terbiasa memanggilnya dengan nama barunya.

"Terus kenapa? Aku juga sudah cukup dewasa, kan?"

"Kau cenderung suka pada laki-laki yang lebih tua, ya?"

"Barangkali," senyum Anastasia.

"Aku tidak mempermasalahkan apakah dia lebih tua atau muda. Yang penting aku senang pribadinya."

"Pada usia segitu rasanya terlalu tua baginya untuk menjadi bapak. Apa nggak?" tanya Emi.

"Kau tentunya menghendaki anakanak meramaikan rumah tanggamu, bukan?"

Anastasia mengangguk.

"Tentu saja aku menginginkan anakanak. Kaukira Antonio sudah nggak sanggup melakukannya?" dia tergelak.

"Dia masih penuh vitalitas, lho!"

"Bukan tidak sanggup melakukannya," Emi terkikik juga,

"tapi coba bayangkan kalau pada usia empat puluh empat atau empat puluh lima nanti baru dia menggendong anaknya yang pertama. Anaknya umur lima belas dia sudah enam puluh lebih! Kan seperti kakeknya!"

"Nggak apa-apa, kan? Mungkin dengan punya anak yang masih kecil, proses menuanya juga lebih lamban. Pada usia enam puluh tahun dia masih seperti laki-laki yang berusia empat puluh lima!"

"Ay, mana ada!" kata Emi.

"Sekarang saja dia kelihatan lebih muda dari usianya. Antonio kan masih seperti orang umur tiga puluhan masih pakai jeans,

badannya masih ramping dan tegap, gayanya masih seperti anakanak muda. Siapa tahu berapa usia sebenarnya!"

"Iya, kalau potongannya sih memang tidak seperti oom-oom yang buncit perutnya," kata Emi.

"Namanya dia sendiri bekas peragawan juga, tentunya dia juga menjaga penampilannya. Tapi usianya kan nggak bisa dikurangi!"

"Yang penting kan jiwanya, Em! Kalau dia masih merasa seperti tiga puluhan, ya semangatnya masih tiga puluhan. Aku nggak khawatir," gelak Anastasia.

"Mungkin aku sendiri saja yang terlalu khawatir," kata Emi.

"Kau tahu, aku merasa bertanggung jawab lho karena aku yang memperkenalkan kalian. Kalau terjadi apaapa dalam perkawinan ini, kan aku juga berdosa, Run!"

"Kau sama sekali tidak berdosa, Em. Kau justru adalah malaikat yang telah membawa kebahagiaan dalam hidupku. Kalau tidak ada kau, mungkin hari ini aku sudah lama mati."

"Orang tuamu setuju dengan perkawinan ini, Run?" tanya Emi.

"Setuju. Bapak terutama sangat senang dengan Antonio. Katanya dia seorang laki-laki yang baik, pasti akan menjadi suami yang bertanggung jawab, bisa momong aku pula."

"Dia tinggal di rumahmu waktu ke Surabaya minggu lalu, atau menginap di hotel?"

"Nginap di rumahku, Em. Kan ada kamar kosong satu."

"Malam-malam kau tidak curi-curi ke kamarnya?" tanya Emi ngikik.

"Maunya sih begitu juga, tapi kamarnya dikunci dari dalam," kata Anastasia jenaka.

"Kata Antonio, takut nanti pembantuku yang nyelonong salah masuk kamar!"

Mereka terbahak.

"Lalu kapan nih tanggal penentuannya? Orang tuamu minta tanggal berapa?"

"Wah, itu! Ibu masih konsultasi sama sanak keluarga yang lain, mencari hari baik, katanya. Hari kan semuanya baik, tapi maklumlah orang kuno. Nanti kalau tidak dituruti katanya tidak berbakti, kualat, dan sebagainya. Ya aku turuti saja. Antonio juga tidak berkeberatan. Tanggal apa pun boleh, katanya."

"Di mana perkawinan ini akan dilangsungkan? Di Jakarta atau di Surabaya?" tanya Emi.

"Itu pun belum tahu. ibuku maunya di Surabaya. tapi Antonio dan aku sendiri lebih cenderung di sini saja. Kan di sini ini teman-temannya dan relasinya. Mungkin kami akan berkompromi, akadnya di Surabaya, pestanya di sini," kata Anastasia.

"Pakai pesta besar segala, Run?"

"Bukan pesta besar, ala kadarnya saja. Antonio menghendaki suatu acara yang bisa kami ingat seumur hidup."

"Lalu setelah kau menjadi Nyonya Anastasia Castillo, apakah kau masih akan terus bekerja?"

"Iya, dong! Aku senang sekali bidang pekerjaan ini. Lagi pula biar Antonio bisa beristirahat. Aku lihat dia tambah hari tambah pucat dan kurus. Kasihan, makannya nggak ada yang ngurus, tapi kalau nanti sudah menjadi suamiku akan aku pelihara betul-betul deh, supaya menjadi gemuk."

"Sudah kawajak dia ke dokter? Rasanya memang benar. Run. dia tampak kurus sekali."

"Dia nggak mau diajak ke dokter, katanya paling-paling dokter akan mengatakan hal yang sama lagi, bahwa dia kurang darah dan terlalu lelah. Katanya memang sudah lama

dia agak anemis. Makanannya juga kurang diperhatikan dan dia juga kurang istirahat. Apalagi sekarang, menghadapi hari perkawinan kami dia sibuk sekali, mana yang membetulkan rumah dan lainlain, sehingga selera makannya terus menurun."

"Kasihan juga. Kau harus baik-baik menjaganya, Run."

"Aku tahu. Aku juga ingin melihatnya sehat dan gemuk. Sebetulnya perawakannya gagah, lho, Em bahunya lebar, dadanya bidang,cuma dagingnya saja yangakhir-akhir ini menyusut. Aku bertekad dalam enam bulan aku harus bisa membuatnya bertambah gemuk walaupun aku harus memaksanya makan enam kali sehari untuk mengejar ketinggalannya."

"Kau sudah membuat persiapan apa saja, Run?" tanya Emi.

"Sudah beli perabotan baru atau apa?"

"Nggak. Perabotan di rumah Antonio sudah bagus-bagus. Aku senang seleranya mendekor rumahnya."

"Pengantin baru kan harus memakai barangbarang baru. Nggak enak kan kalau kau harus tidur di tempat tidur bekas istrinya dulu!"

"Istrinya nggak pernah tidur di rumah itu, lagi pula dia sudah cerai sepuluh tahun yang lalu. Seandainya betul istrinya pernah tidur di sana, kasur yang lama pun tentunya sudah diganti. Daripada membeli perabotan baru, aku lebih senang apabila dia mengembangkan Madona saja dengan uang itu...."

Bel pintu depan berdenting.

"Eh, ada tamu," kata Emi.

"Tolong lihatkan siapa, Run!"

Anastasia bergegas keluar. Ternyata yang datang adalah Cici, salah seorang model Madona.

"Ada apa, Ci?" tanyaAnastasia.

"Mencari aku atau Emi?"

Semua gadis model Madona sudah tahu bahwa dalam waktu dekat Anastasia akan menjadi istri bos mereka, tapi karena sikap ramah Anastasia tidak berubah, mereka juga masih memperlakukannya seperti dulu.

"An, Antonio pingsan! Kami sampai kalang kabut!"

"Pingsan?" Darah Anastasia mendesir naik ke kepalanya.

"Iya. Waktu ngomong-ngomong sama seorang klien tiba-tiba pingsan."

"Astaga! Lalu sekarang di mana?"

"Di bawa anak-anak ke rumah sakit. Aku disuruh menjemputmu kemari."

"Ya, ampun! Kalau begitu aku segera menyusul. Naik mobilmu saja. Kau tunggu, ya!" Anastasia berlarian dengan gugup ke dalam.

"Ada apa?" tanya Emi dari atas tempat tidurnya.

"Siapa yang datang?"

"Antonio pingsan! Sekarang ada di rumah sakit. Aku menyusul ke sana, Em!"

"Pingsan? Kenapa pingsan?"

"Nggak tahu!" Dan tanpa menunggu lama lagi Anastasia segera kabur.

bau antiseptik ruang tunggu rumah sakit ini sangat menusuk hidung. Anastasia berjalan mondar-mandir di ruang itu. rasa khawatir dan cemas memenuhi hatinya.

Dia belum bertemu dengan Antonio yang masih ditangani dokter-dokter. Untung dokter dokter di rumah sakit ini cekatan dan tidak membiarkan pasien tergeletak tak berdaya selama berjam-jam tanpa diperhatikan.

Tiga orang gadis model Madona juga

menunggu di sana. Para perawat rumah sakit ada yang berbisik-bisik. Rupanya laki-laki tampan itu punya koleksi empat istri habis yang menunggu dengan gelisah semuanya perempuan muda yang cantik. Anehnya kok mereka tidak saling mencakar, ya? Begitu cekikik beberapa orang perawat.

Anastasia merasa seakan-akan harus menunggu berabad-abad sebelum seorang dokter yang berkaca mata keluar.

"Mana keluarga Saudara Antonio Castillo?" tanyanya.

Anastasia segera menghampirinya.

"Saya tunanganya. Bagaimana dengan Antonio?" Suaranya penuh kecemasan.

"Dan yang lain-lain ini siapa?"

"Oh, kami karyawannya," kata Maya yang menghapuskan segala keraguan dan spekulasi para perawat.

Dokter itu mengangguk, lalu katanya kepada Anastasia,

"Nona boleh masuk, tapi sebentar saja. Pasren masih lemah. Jangan bertanya macam-macam, biarkan dia beristirahat."

"Dia sakit apa, Dok?" tanya Anastasia.

"Kami akan tahu lebih banyak setelah dia menjalani serangkaian tes. Untuk sementara dia harus tinggal di rumah sakit untuk observasi dulu."

Anastasia masuk dan mendapatkan Antonio terbaring dengan mata terpejam dan wajah pucat.

Anastasia mendekat dan mengecup perlahan bibir laki-laki itu. Antonio membuka matanya.

"Hei," bisik Anastasia,

"kau sudah baikan?"

Antonio tersenyum dan meraih tangannya.

"Dokter mengatakan kau tak boleh banyak bercakap. Biar aku saja yang omong, oke?" bisik Anastasia.

Antonio mengucapkan "Aku cinta padamu" dengan bibirnya tanpa bersuara.

"Akujuga cinta padamu," bisik Anastasia mengusap pipi laki-laki itu.

"Jangan khawatir aku akan merawatmu baik-baik. Apa pun sakitmu, kau akan segera sembuh."

Dokter tadi tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu.

"Nona harus memberikan kesempatan pada pasien untuk beristirahat sekarang," katanya.

"Besok Nona boleh datang lagi."

Anastasia mengangguk. Menempelkan

dua jari tangannya pada bibirnya sendiri lalu meletakkannya di atas bibir Antonio yang balas menciumnya. Bisiknya,

"Aku pergi dulu. Nanti sore aku akan kembali menengokmu. Kau beristirahatlah yang banyak, Sayang."

Antonio mengangguk dan meniupkan sebuah ciuman kepada gadis itu, laluAnastasia sudah digiring si dokter keluar.

Seminggu kemudian Antonio diperbolehkan pulang. Anastasia yang datang menjemputnya merasa gembira melihat warna mukanya lebih merah dan lebih sehat.

"Kau sudah kuat untuk berjalan sendiri?" tanyanya berkelakar.

"Kalau tidak, biar kugendong."

Antonio mencubit hidung gadis itu.

"Aku sudah sehat dan kuat sekarang, bahkan aku yang akan menggendongmu!"

Mereka terbahak.

Di dalam taksi Antonio berkata,

"Kau terpaksa akan kutinggalkan beberapa waktu lamanya."

"Oh, mengapa?" tanya Anastasia.

"Aku belum sempat menceritakan kepadamu sebelum aku sakit. Ada undangan untuk menghadiri eksposisi di Jepang."

",Hm dan kau akan pergi?"

"Iya, ini kesempatan bagus buat biro model kita. Kalau kita beruntung, kita akan terpilih untuk mewakili seorang perancang terkenal Jepang mempromosikan busana-busana ciptaannya di Jakarta. Itu suatu kontrak yang bernilai jutaan."

"Lalu aku?"

"Kau terpaksa harus menunggu rumah di sini. Madona kan tidak bisa dibiarkan kosong, apalagi sekarang bisnis kita terus ramai. Minggu depan jadwal pengambilan gambar juga padat. Kau ingat, kan, kita baru teken kontrak dengan majalah wanita itu untuk mengisi rubrik ,busananya."

"Betul, shooting-nya mulai minggu depan kalau tidak salah."

"Tidak salah," kata Antonio menyeringai.

"Sayang, aku tidak bisa ikut ke Jepang," kata Anastasia.

"Itu merupakan bulan madu yang indah."

"Kan masih ada kesempatan lain. Lagi pula kali ini aku pergi bukan untuk jalan

jalan. Aku akan sangat sibuk."

"Kau harus sembuh dulu, jangan terlalu lelah lagi," Anastasia mengingatkan.

"Tidak, Sasha. Aku akan menjaga diriku baikbaik. Sekarang aku ada kau yang harus kuperhitungkan, bukan?"

"Asal kau tidak lupa saja. Biasanya kau lupa kalau sudah antusias bekerja."

"Aku tidak akan lupa. Aku akan ingat kau setiap saat."

"Kapan kau berangkat?"

"Aku harap minggu depan, begitu paspor dan visaku selesai."

"Lalu berapa lamanya kau tinggal di sana?"

Antonio mengernyitkan dahinya.

"Aku belum tahu sekarang, paling sedikit duatiga minggu. Sayang kan jauh-jauh sampai ke sana tidak memanfaatkan semua kesempatan. Aku akan memberi kabar padamu kalau sudah tahu."

"Lho, jangan terlalu lama! Dua minggu lagi kan Tahun Baru, aku ingin merayakannya bersamamu. Lagi pula bagaimana dengan rencana perkawinan kita?"

Antonio memandang mata gadis itu dalamdalam.

"Kau tahu bahwa aku ingin sekali kawin denganmu lebih daripada apa pun yang ada di dunia ini, Sasha. Tapi kontrak ini adalah untuk masa depan kita. Kalau aku bisa memperolehnya, usaha kita akan semakin berkembang. Untuk itu kalau perlu kau tentunya tidak berkeberatan menunda hari perkawinan dulu. bukan?Apalagi sampai sekarang orang tuamu masih belum menemukan tanggal yang bisa disetujui semua pihak. Sambil menunggu, aku tak ingin melewatkan kesempatan ini."

Anastasia terdiam. Benar juga. Ibunya masih belum sepakat mengenai tanggal perkawinannya. Sementara menunggu kalau memang ada kesempatan mengembangkan usaha, mengapa tidak?

"Sasha, kau tidak berkecil hati kalau harus menunda hari perkawinan kita, bukan?" bisik Antonio.

Anastasia tersenyum.

"Seandainya aku tidak yakin kau begitu mencintai aku, aku pasti merasa curiga dengan tekadmu mau berangkat ke Jepang ini." kata gadis itu.

"Kau bukannya ingin melarikan diri dariku, toh?"

"Sasha! Aku tidak melarikan, diri darimu.

HAMPIR empat bulan lamanya Antonio menghilang ke Jepang. Anastasia merasa heran apa yang dikerjakannya begitu lama di sana. Surat-surat Antonio memang datang dengan teratur dan selalu beriSikan cerita yang menarik tapi itu tidak cukup! Eksposisi sudah lama berakhir. Antonio juga sudah memberi kabar bahwa kontrak yang diharapkannya ternyata dimenangkan oleh pengusaha dari Singapura yang mempunyai serangkaian toserba. Kalau begitu apa lagi yang membuatnya berlama-lama di sana? Antonio mengatakan bahwa dia memakai kesempatan itu untuk mengunjungi berbagai rumah mode di Jepang, mencari bahan untuk studi perbandingan sambil menghubungi perancang-perancang mode yang lain untuk menjalin kemungkinan kerja sama di Indonesia. Dan di dalam setiap suratnya Antonio

pasti memberikan ide-ide baru bagaimana Madona bisa melangkah lebih jauh.

Dan hari ini akhirnya Antonio akan kembali ke tanah air. Anastasia sudah sejak tadi merasa gelisah menantikan jam kedatangannya. Sekarang menunggu di lapangan udara Jakarta, Anastasia merasa bahwa saraf-sarafnya menegang.

Pesawat yang ditumpangi Antonio akhirnya mendarat juga dengan selamat. Disongsongnya calon suaminya dengan mesra. Antonio berwajah ceria, pipinya agak merah, rambutnya sedikit awut-awutan terkena angin tapi secara keseluruhan dia masih Antonio yang lama laki-laki yang dicintainya.

Selama kepergiannya Anastasia punya banyak waktu untuk merenung. Perpisahan ini membuatnya sadar bahwa laki-laki ini betul-betul dicintainya, lebih daripada yang disangkanya. Laki-laki ini telah berhaSil mengisi kekosongan hatinya, menyembuhkan Iuka-luka dan retak-retak jiwanya, dan mengembalikan kepribadiannya dan rasa percaya dirinya.

Antonio mendaratkan sebuah kecupan ringan di dahi AnastaSia.

"Kau cantik, Sasha," bisiknya.

"Dan aku

rindu Sekali padamu."

"Aku sudah mulai ragu-ragu apakah kau betulbetul masih ingat padaku," senyum Anastasia.

"Aku juga sangat merindukanmu. Aku bahkan sempat takut kehilangan dirimu." Anastasia memeluknya.

Mereka berjalan ke tempat parkir mobil.

"Kau sudah bisa mengemudikan mobil sendiri?" tanya Antonio heran. Biasanya Anastasia selalu naik taksi.

"Selama kau pergi aku harus mengerjakan sesuatu yang konstruktif supaya tidak gila memikirkanmu," kata gadis itu tertawa.

"Mobilmu ndak ada yang pakai, jadi aku pikir alangkah tololnya aku harus membayar taksi ke mana-mana padahal ada mobil yang menganggur. Jadi aku ikut kursus dan berhasil memperoleh SIM."

"Itu bagus. Semakin lama kau semakin mandiri. Aku senang."
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Laki-laki kan biasanya lebih senang istri yang manja, Antonio," kata Anastasia.

"Istri yang mengandalkan mereka dalam segala hal. Itu membuat mereka merasa besar dan berkuasa, toh?"

"Itu laki-laki yang egois. Aku menghendaki kau mandiri. Aku menghendaki kau tangguh dan mantap menjalani kehidupan ini sendiri. Jangan bergantung pada orang lain. Orang lain tak selamanya bisa mendampingi dirimu. Yang harus kawandalkan adalah dirimu sendiri. Kau harus menjadi perempuan yang serba bisa. Dengan demikian kau tidak akan pernah guncang karena kehilangan pegangan."

"Aku ada kau, aku tidak khawatir."

Anastasia memacu kendaraannya di jalan yang tidak begitu ramai, memamerkan kebolehannya mengemudikan mobil.

"Kau sudah cukup mahir," senyum Antonio.

"Sudah lulus menjadi sopir taksi."

Mereka tergelak.

Setiba dirumah Antonio, Anastasia membantunya menurunkan kopor, lalu mereka masuk.

"Aku sudah menyiapkan makanan untukmu," kata Anastasia yang selama empat bulan ini terbiasa keluar-masuk rumah Antonio seperti rumahnya sendiri. Hasan si pembantu Antonio pun sudah terbiasa melihatnya. Dengan cepat pemuda itu bisa menyesuaikan diri dengan perangai calon majikan barunya.

"Bagus! Aku pun sudah lapar!"

Sehabis makan mereka duduk-duduk di

ruang tamu. Seperti biasa Antonio menyetel tape recorder.

"Kau tidak lelah?" bisik Anastasia.

"Kalau lelah tidur saja dulu. Besok masih ada waktu untuk omong-omong."

"Di pesawat aku sudah tidur," kata Antonio.

"Aku ingin omong-omong denganmu, sudah lama nggak ketemu, kangen!"

Anastasia duduk merapat, membenamkan kepalanya di dada laki-laki itu seperti yang sering dilakukannya. Antonio membelai punggungnya.

"Ibu sudah menentukan tanggal," kata Anastasia.

"Hm, kapan?"

"Dua minggu lagi."

"Dua minggu lagi? Antonio sedikit terperanjat.

"Kok begitu mendesak?"

"Lho, kan sudah lama mereka mencari tanggal, Tonio. Sebetulnya mereka sudah membuat pilihan untuk bulan yang lalu, tapi kau belum pulang, karena itu bulan ini mereka memilih tanggal dua puluh satu."

"Di mana rencananya?"

"Akad di Surabaya, pestanya di sini."

"Pesta di Jakarta butuh perSIapan yang agak lama, Sasha. Dalam dua minggu mana selesai! Mencetak undangan saja makan waktu, belum mengirimnya dan lain-lain!"

"Kita nggak usah pesta besar, kan? Cuma di antara teman saja lho, pakai saja undangan yang biasa-biasa saja."

"Iya, tapi kita juga harus menyewa tempat. Kalau tidak jauh-jauh pesan tempat, kita nggak bakalan dapat."

"Ah, tempat ala kadarnya juga boleh, di restoran apa sajalah."

"Kau tidak ingin pakai upacara lengkap? Pakai pakaian pengantin?"

"Aku meniru Emi saja, uangnya biar untuk mengembangkan usaha kita."

Antonio tersenyum.

"Tapi aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin yang indah. Kita jangan tergesa-gesa. Kita buat peristiwa ini peristiwa yang terindah dalam hidup kita. Lama sedikit tak mengapa asal persiapannya matang, kan?"

"Lho, nanti Ibu harus memilih hari lagi," kata Anastasia.

"Kau tahu sendiri berapa lamanya Ibu memilih."

"Aku ingin perkawinan ini berkesan buat kita, sesuatu yang bisa kita ceritakan pada anak-cucu kita setengah abad lagi. Segalanya

harus bagus. Tertunda sedikit tidak apa asal bisa dilaksanakan dengan sempurna."

"Biayanya terlalu mahal, Tonio, dan kita tidak membutuhkan acara seperti itu. Yang penting kita saling mencintai, kita berjanji untuk mencintai seumur hidup."

"Kau tahu bahwa aku akan selalu mencintaimu, Sasha," bisik Antonio.

"Akujuga. Dan malam ini aku sudah bilang pada Emi aku tidak pulang. Malam ini aku akan menemanimu di sini."

Antonio mengangkat kedua alisnya.

"Oh? Kau mau memperkosaku?" kelakarnya.

"Barangkali," senyum Anastasia,

"kalau kau tidak memulainya dulu."

Dua bulan telah berlalu sejak Antonio kembali dari Jepang, namun perkawinan mereka masih belum dilangsungkan. Adaada saja hambatannya. Sementara menunggu ibu Anastasia mencari tanggal yang cocok lagi, Antonio malah sempat kembali lagi ke Jepang selama satu minggu dan baru tiba di Jakarta lima hari yang lalu. Anastasia merasa frustrasi. Antonio sendiri tampaknya tidak terlalu giat mengejar orang-orang yang diserahinya untuk mengatur acara tersebut. Selama di Jakarta dia lebih banyak membenamkan waktunya dengan urusan legal perusahaannya. Semua yang dahulu atas namanya, dihibahkan kepada Anastasia.

"Nanti sore kita harus mampir di kantor Pak Bono untuk menandatangani akte yang dibuatnya," kata Antonio mengingatkan Anastasia.

"Duh, ke sana lagi? Aku sudah bosan ke sana, Antonio. Kapan kita ada waktu untuk kita sendiri? Setiap hari waktu kita selalu habis untuk mengurus surat-surat itu."

"Habis prosedurnya memang demikian," senyum Antonio.

Anastasia cemberut.

"Aku heran mengapa kau perlu membuat suratsurat hibah itu! Kalau kita kawin, aku toh istrimu, dengan sendirinya aku ikut memiliki. Nggak perlu semuanya sekarang kauoperkan namaku."

"Itu hadiah perkawinanku untukmu, Sasha," kata Antonio.

"Perkawinan? Aku sekarang betul-betul

ragu kapan akhirnya kita betul-betul kawin. Masa tertunda terus! Bayangkan, kau memaksa aku untuk membuat gaun pengantin sendiri mencari tukang jahitnya dan memilih modelnya saja menghabiskan waktu begitu lama karena kau selalu merasa tidak cocok. Setelah gaun setengah jadi kau minta modelnya diganti. ditambah ini diberi itu makan waktu lagi! Begitu juga yang namanya undangan. Masa sampai sekarang kita masih belum mendapatkan percetakan yang cocok dengan seleramu? Kita kan cuma mencetakkan undangan, bukan membeli seluruh mesin cetaknya! Nanti aku keburu menjadi nenek-nenek sebelum kita betul-betul jadi kawin!"

Antonio terbahak.

"Aku tidak mengira kau begitu semangat menjadi istriku," katanya.

"Memangnya kau mau mengulur-ulur waktu sampai aku sudah umur enam puluh baru kawm?" Belakangan ini Anastasia merasa sangat tidak tenteram. Sejak kembalinya yang pertama kali dari Jepang, Antonio kadang-kadang bersikap sangat misterius. Sering-sering dia meninggalkan kantor dan menghilang selama beberapa jam tanpa

penjelasan. Juga sudah dua kali Anastasia melihat ada surat dari Jepang untuknya dari seorang perempuan yang bernama Setsuko Nagawa. Antonio mengatakan Setsuko adalah seorang perancang mode yang baru timbul dan dikenalnya tatkala dia berada di negara Sakura. Tapi Anastasia tak pernah ditunjuki isi surat-suratnya yang langsung dicabik-cabiknya setiap kali habis dibaca. Yang paling mencurigakan adalah keberangkatan Antonio yang terakhir ke Jepang selama satu minggu dengan alasan yang meragukan, yang terjadi setelah dia menerima surat dari Setsuko Nagawa ini pula!

Eh, hari ini tiba pula sepucuksurat express dari Setsuko padahal baru lima hariAntonio pulang dari sana! Kali ini Anastasia bertekad untuk mencari' tahu apa yang telah terjadi di antara calon suaminya dengan perempuan Jepang ini!

"Apa kata temanmu?" tanya Anastasia mengawas bagaimana Antonio mencabik-cabik surat Setsuko dan memasukkannya ke keranjang sampah.

"Oh, tidak apa-apa, biasa cerita tentang keluarganya di sana dan bisnisnya."

"Mengapa begitu cepat kaurobek-robek

suratnya?"

"Kalau tidak untuk apa? Masa mau disimpan!" senyum Antonio.

"Sebetulnya aku juga ingin membacanya"

"Alaa, isinya tidak menarik," kata Antonio.

"Kau sekarang aneh, Tonio. Tidak seperti biasanya kau merahasiakan sesuatu dariku." Anastasia semakin cemberut.

"Apakah kau punya affair dengan perempuan ini?"

Antonio terbaliak.

"Aku kira kau tidak bisa cemburu," godanya.

"Aku curiga terus terang saja. Habis, sejak kau ke Jepang rasanya kau selalu menunda-nunda perkaw inan kita. Kau tinggal di Jepang empat bulan, kembali baru dua bulan sudah berangkat lagi seminggu. Eh, baru lima hari di sim, sudah datang pula surat express dari Jepang. Apa-apaan sih pertukaran korespondensi ini?"

"Kau jangan mengira yang tidak-tidak, Sasha. Setsuko Nagawa adalah seorang perempuan yang baik."

"Berapa usianya?" tanya Anastasia membenci dirinya sendiri karena tak dapat mence

gah nalurinya bersikap seperti seorang istri pencemburu yang kurang pendidikan.

"Persisnya aku tidak tahu," kata Antonio menyeringai.

"Kalau melihat profesinya, dia tentu sudah berusia di atas tiga puluh tahun, tapi wajahnya masih kekanak-kanakan. Perawakannya kecil mungil dengan pandangan polos seorang anak sehingga orang bisa menganggapnya baru berusia dua puluh dua tahun."

Hati Anastasia bertambah panas.

"Kalau mencintai aku, jangan melanjutkan surat-menyurat dengan perempuan ini lagi," katanya dingin.

"Sasha," senyum Antonio.

"Kau tahu aku hanya mencintai dirimu seorang. Tapi aku senang melihatmu cemburu hari ini."

Anastasia memutuskan untuk mencari tahu siapakah sebenarnya Setsuko Nagawa ini, yang sudah berani mengacau hubungannya dengan Antonio.

Ketika Antonio beranjak dari mejanya, Anastasia mencuri amplop surat yang terbuang di keranjang sampah, lalu disembunyikannya. Dia akan menyurati perempuan Jepang ini! Dia akan menyuruhnya berhenti mengganggu calon suaminya!

balasan yang diterimanya dari Setsuko Nagawa ternyata sangat mengguncangkan jiwa Anastasia.

"Calon suami Anda sekali-kali bukanlah kekaSih saya," demikian tulis Sets uko.

"Saya adalah seorang dokter ahli dalam bidang saya yaitu menangani pasien-pasien yang sakit leukemia. Antonio Castillo dikirimkan kepada saya lewat Dokter Sarjono di Jakarta. Kasus Antonio cukup serius dan selama tiga bulan dia telah menjalani terapi di Jepang. Apabila dia tidak pernah menceritakan hubungannya dengan saya, itu bukan dikarenakan ada apa-apa di antara kami. itu semata-mata karena dia tidak ingin mencemaskan Anda.

"Saya benar-benar berharap dia dapat mengatasi penyakitnya. Dalam pemeriksaan yang terakhir di S ! saya melihat ada sedikit kemajuan tapi sedikit sekali. Kami telah melakukan yang maksimal baginya. Hanya waktu saja yang bisa menentukan berhasil tidaknya usaha kami...."

Runtuh dunia Anastasia! Leukemia! Kanker darah! Ya, Tuhan, sampai sekarang dia belum pernah mendengar ada pasien leukemia yang bisa disembuhkan! Pada akhirnya mereka harus menyerah juga kepada penyakitnya segalanya cuma soal waktu. Akan demikian jugakah Antonio?

Pertanyaan itu belum terjawab selama dia tidak tahu sampai sejauh mana penyakit itu telah menggerogoti tubuh kekasihnya. Tetapi menurut dokter Jepang ini kasusnya cukup serius. Cukup serius bagaimana?

Apakah yang akan diperbuatnya sekarang? Tetap berpura-pura seakan-akan dia tidak tahu mengenai hal ini sebagaimana yang disandiwarakan oleh Antonio? Ataukah sudah saatnya dia memaksa laki-laki ini untuk membagi rahasianya dengannya toh mereka akan menjadi suami-istri juga! Dia berhak tahu!

Segera pikiran Anastasia menjadi jelas. Itulah sebabnya sampai sekarang Antonio masih menunda-nunda perkawinan mereka! Dan semua penghibahan harta bendanya! Astaga! Jadi Antonio sudah tahu bahwa penyakitnya parah dan dia sudah bersiap-Siap untuk mati? Astaghfirullah!

Anastasia baru saja pulang dari makan malam di rumah Antonio ketika dia membaca Surat dari Setsuko. Sekarang walaupun sudah pukul sebelas malam dia ingin segera kembali lagi untuk menjumpai Antonio dan minta penjelasan.

"Aku tidak pulang, Em!" pamitnya kepada sahabatnya.

"Kau baru saja dari sana, apa yang terjadi?" tanya Emi mengkhawatirkan mimik tegang di wajah sahabatnya.

"Akan kuceritakan padamu nanti. Sekarang aku sendiri pun belum tahu jelas." Berkata demikian Anastasia segera bergegas keluar mencari taksi.

Antonio sangat terkejut melihat kekasihnya kembali lagi dengan wajah yang tegang dan panik.

"Sasha! Kau mengapa?" tanyanya cemas.

Anastasia membenamkan dirinya dalam pelukan laki-laki jangkung itu. Tangis yang sejak tadi ditahannya sekarang memburai.

"Sasha, Sasha," biSik Antonio,

"tenanglah. Katakan apa yang telah terjadi." Dengan lemah lembut Antonio membimbing gadis itu duduk.

"Sasha, apa yang terjadi padamu?"

Anastasia semakin ,dalam membenamkan kepalanya di dada Antonio. Tangisnya semakin menjadi. Bayangan akan kehilangan laki-laki yang sedemikian baiknya ini sungguh membuatnya panik.

"Antonio, mengapa kau tak pernah mengatakannya padaku," katanya di antara sedakan.

"Mengatakan apa, Sasha?"

"Bahwa kau sakit... sakit leukemia," gagap Anastasia.

Antonio terdiam untuk sementara tidak tahu harus berkata apa. Sejak Dokter Sarjono memberitahukan bahwa dia mengidap leukemia setengah tahun yang lalu, dia telah berusaha sebisa-bisanya agar gadis ini tidak mengetahui tentang penyakitnya. Dia heran dari mana tiba-tiba malam ini Anastasia bisa tahu!

"Apa yang menyebabkan kau berpikiraku punya sakit leukemia, Sasha?" tanya Antonio berusaha mengelak.

"Aku tidak cuma berpikir, Tonio, aku tahu! Ya, Tuhan, betapa aku harap hal itu tidak benar," gumamnya.

"Dari mana kau tahu?" biSik Antonio.

"Setsuko."

"Setsuko?" kali ini Antonio betul-betul terperanjat.

"Aku mengira aku mengira dia ingin merebutmu. Aku menyuratinya. Ternyata dia doktermu." Anastasia tidak mengindahkan lagi rasa malunya telah mencurigai kekasihnya. Yang penting sekarang mereka mencari jalan keluar dari dilema ini.

"Setsuko suka khawatir. Memang aku menderita kekurangan darah, tapi bukan sesuatu yang perlu kaucemaskan," bohong Antonio.

"Aku ingin sekali mempercayai kata-katamu itu ingin sekali tetapi benarkah demikian, Tonio-ataukah kau hanya membohongi diriku saja?"

"Kau telah cemas tanpa alasan, Sasha. Jangan menangis lagi. Lihat aku sehat-sehat, kan?"

Anastasia mengangkat matanya. Antonio tersenyum. Hati Anastasia menjadi bimbang.

Antonio mengecup bibirnya, membelainya, seperti seorang bapak yang menenangkan ketakutan anaknya.

"Aku ingin mengantarkan kau ke Dokter Sarjono besok," kata Anastasra.

"Aku ingin mendengar sendiri apa katanya."

"Dokter Sarjono?" tanya Antonio heran.

"Ya. Setsuko mengatakan Dokter Sarjono-lah yang mengirim kasusmu kepadanya. Dia pasti tahu sampai separah apa penyakitmu."

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak apaapa, Sasha. Jangan terlalu risau."

"Kau adalah segalanya bagiku, Tonio. Kalau kau sakit, aku harus tahu! Aku berhak tahu! Bukankah kita sepantasnya membagi suka dan duka?"

Wajah Antonio berubah sedikit. Dia memalingkan mukanya, melepaskan pelukan Anastasia, lalu berdiri membelakangi gadis itu menatap ke luar jendela. Di luar gelap pekat.

"Antonio!"

Tanpa berpaling Antonio berkata,

"Sasha, aku kira sebaiknya aku berterus terang padamu. Aku tak dapat melangsungkan perkawinan denganmu."

Hati Anastasia bagaikan berhenti berdetak.

"Sebaiknya kita juga tidak bertemu muka lagi. Aku... dalam waktu dekat ini aku akan meninggalkan Jakarta. Semuanya sudah siap. Aku akan berangkat minggu depan.

"Antonio!"

"Urusanku di sini sudah beres semuanya. Apa yang pernah menjadi milikku telah kuhibahkan padamu rumah ini, Madona, semuanya. Terimalah sebagai tanda tulus hatiku padamu. Aku menyesal harus membuatmu kecewa. Seandainya aku tahu lebih dini, aku tak akan berani mendekatimu. Sekarang ini adalahjalan keluar yang terbaik bagi kita. Aku tak dapat membiarkan kau menderita lebih lama."

"Antonio!" pekik Anastasia. Tangisnya meledak lagi tapi kali ini lelaki itu tak bergeming dari tempatnya berdiri.

"Mulai sekarang kau harus sanggup hidup mandiri, Sasha. Lupakanlah aku. Aku tak dapat mendampingimu lagi."

Malam semakin larut. Antonio mengeraskan hatinya untuk tidak menghampiri gadis yang menangis terkulai di kurSi. Tidak, mulai sekarang Anastasia harus belajar bergelut dengan dukanya sendiri. Dan lebih cepat dia terbiasa, lebih baik baginya. Waktunya untuk mendampingi gadis yang dicintainya ini toh tidak lama lagi. Percuma sekarang dia menghiburnya kalau dalam waktu beberapa bulan lagi dia tak akan dapat menolongnya lagi. Ya, Tuhan, mengapa harus begini jalan kehidupanku, pikir Antonio.

Anastasia akhirnya sadar bahwa Antonio tidak berniat mendekatinya lagi, bahwa lelaki itu menghendaki dia menolong dirinya sendiri. Pada saat itu Anastasia mengambil suatu ketetapan keputusan yang tak pernah disesalinya selama hidupnya.

"Antonio," katanya dengan suara yang lebih tenang.

"Pandanglah aku!"

Antonio masih membelakanginya.

"Antonio, pandanglah aku," pintanya.

Laki-laki itu akhirnya tak tahan juga hatinya lalu berpaling.

"Berapa lamanya waktu yang terSisa bagi kita?" tanya Anastasia. Pipinya masih basah, suaranya tersedak, namun matanya bersinar bening.

Antonio menghela napas panjang sebelum menjawabnya. Siapkah gadis ini mendengar vonis kematiannya?

"Beberapa bulan," katanya akhirnya.

"Enam, delapan, mungkin satu tahun, mungkin lebih cepat, aku sendiri pun tidak tahu."

"Lalu kau berniat melarikan diri dariku? Kau akan meninggalkan Jakarta? Meninggalkan aku begitu saja?"

"Menunggu datangnya ajat menjemput orang yang kaucintai tanpa dapat berbuat apa-apa itu bukan pekerjaan yang mudah, Sasha. Aku tidak ingin kau mengalami penderitaan itu. Kau sudah cukup menderita. Aku tak ingin menjadi sumber penderitaanmu selanjutnya."

"Kau sangat sayang padaku, Antonio. Kau selalu memikir untuk kebaikanku. Tapi dalam hal ini kau melupakan satu hal. Kau lupa bahwa akupun sayang padamu! Cintaku akan membuatku tabah mendampingimu. Kalau memang waktu yang tersisa bagi kita hanya sesingkat itu, adilkah jika kau memotongnya lebih pendek daripada yang sudah ditentukan oleh Tuhan?"

"Sasha, aku... aku tak dapat membiarkan dirimu menderita melihatku mati pelan-pelan. Karena itulah aku ingin pergi."

"Kau ingin pergi kemana, Tonio?"

Antonio tersenyum.

"Aku ingin melihat pulau-pulau lainnya di nusantara kita ini. Step pertama aku ingin ke daerah pantai di pulau Lombok. Di sana aku bisa menetap sementara bersama penduduk, makan ikan tangkapan, hidup sederhana. Setelah itu," Antonio mengangkat bahunya,

"entahlah. Mungkin aku akan mengembara ke tempat-tempat sepi yang lain."

"Kau akan meninggalkan semuanya ini?"

"Ya. Aku bisa pergi dengan hati yang tenteram, Sasha. Aku tahu kau mencintai diriku dan itu sudah cukup bagiku untuk bekal. Mengetahui bahwa kau mencintai diriku sudah meringankan penderitaanku. Aku tak perlu kehadiranmu secara fisik di sisi tempat tidurku. Aku ingin membebaskan kau dari duka yang tak perlu.

"Kalau aku pergi sekurang, kau boleh menganggapnya seperti suatu perjalanan biasa, misalnya suatu keberangkatan ke luar negeri untuk urusan bisnis. Perpisahan itu tidak kan terlalu berat bagimu. Kau masih melihatku segar-bugar, dengan kepala tegak melangkah masuk ke dalam pesawat dan melambaikan tangan padamu. Walaupun hatimu sedih tetapi itu masih jauh lebih ringan daripada kau harus melihatku sehari demi sehari menjadi semakin lemah, semakin tak berdaya, dan akhirnya mati terkulai."

"Tidak! Jangan merampas sisa waktu yang tinggal sedikit itu dariku pula, Antonio! Kalau kau ditentukan hanya bisa hidup satu tahun lagi. masa satu tahun itu harus kita nikmati bersama tak boleh kurang seharipun!"

"Tapi itu akan sangat menyiksamu, Sasha. Aku tak ingin menyiksamu."

"Tidak. Aku tak akan merasa tersiksa selama kita bersama-sama. lzinkanlah aku mendampingimu terus. Kau selalu mengajarku untuk mandiri, untuk tabah, untuk menjadi dewasa. Sekarang ini merupakan ujian bagiku. Bantulah aku melewati ujian ini! Aku takkan kuat melakukannya seorangdiri. Tapi dengan doronganmu, dengan semangatmu, dengan Cintamu, kau dapat membantu aku.

"Antonio, jangan hanya meninggalkan hartamu padaku. Harta tak dapat menjamin ketenangan hidupku kelak. Tinggalilah aku semangat dan mental yang kuat untuk menghadapi hari-hari yang gelap tanpa dirimu kelak. Tinggali aku kebijaksanaanmu, kehangatanmu, cinta kasihmu, yang akan membuatku tabah. Kalau memang waktu kita hanya sesingkat itu, kau harus memanfaatkan setiap detik napasmu untuk mempersiapkan aku, mengajar aku, menempa aku. Antonio, jangan tinggalkan diriku sekarang! Aku belum siap. Aku belum siap! Kewajibanmu belum selesai, aku masih membutuhkanmu. Jangan tinggalkan aku sekarang!"

Kali ini dengan penuh kelembutan Antonio meraih gadis itu ke dalam pelukannya. Diciumnya matanya yang basah, diusapnya keningnya yang berkeringat, dibisikkannya "Ssst" yang halus di telinganya. dan diucapkannya janji bahwa dia tak akan meninggalkannya sampai maut memisahkan mereka.

DAN maut memisahkan mereka sebelas bulan kemudian. Antonio Castillo menghembuskan napasnya yang terakhir dalam pelukan istrinya dua hari setelah ulang tahun Anastasia yang kedua puluh delapan.

Tiga bulan yang terakhir dari hidupnya, Antonio hanya tinggal tergolek di pembaringan terlalu lemah untuk berbuat apa pun. Anastasia menemaninya dengan cerita-cerita mengenai kegiatan Madona yang sudah sejak perkawinan mereka sepuluh bulan yang lalu seluruhnya dijalankan oleh AnastaSia sendiri.

Anastasia berusaha untuk tidak menunjukkan wajah yang sedih di hadapan suaminya. Segala nyeri di hatinya dipendamnya dalam-dalam. Dengan penuh kasih sayang sepasang suami-istri ini menunggu maut yang akan menjemput salah seorang dari mereka. Mereka mencoba untuk saling mengisi, saling mengobati luka masingmasing. Dan pada waktu tiba saatnya bagi mereka untuk mengucapkan kata-kata pemisahan, Antonio mengatupkan matanya dengan tenang, dengan keyakinan bahwa istrinya sudah cukup mandiri untuk bisa melewati pencobaan ini. Anastasia pun melepaskan kepergian suaminya dengan ikhlas, dengan keyakinan bahwa dirinya telah meringankan bebanAntonio dan telah membuatnya bisa mereguk sedikit kebahagiaan selama sisa-sisa harinya yang singkat.

Dan sekarang setelah semuanya berlalu setelah perjuangan yang terakhir yang tersisa hanya rumah ini dan isinya, Madona, dan sebuah batu nisan yang menghubungkannya dengan kenangannya akan Antonio. Pada usia genap dua puluh delapan tahun, Anastasia telah menjadi janda.

Tahun-tahun pertama hidup sebagai janda dilewatkannya dengan bekerja keras.Seluruh energinya, konsentrasinya, semangatnya, dicurahkannya ke dalam biro model yang sekarang menjadi miliknya sendiri. Kerja keras mengisi hari-harinya, membuatnya lupa akan penderitaannya, dan membantunya tidur lebih cepat di malam hari di tempat tidurnya yang besar dan kosong yang dulu pernah dihangatkannya bersama Antonio. Anastasia menyembunyikan dirinya dalam kepompong buatannya sendiri. Di luar dia adalah seorang perempuan cantik yang mandiri kepala dan pemilik sebuah biro model yang semakin terkenal di Jakarta seorang figur wanita karier yang sering tampil dalam forum-forum resmi. Tapi sebenarnya dia hanya seorang perempuan yang rapuh di dalam yang seperti seekor burung yang patah sebelah sayapnya, hanya mampu terbang miring-miring dalam kesakitan. Walaupun pada saat menjelang ajalnya dia berusaha meyakinkan Antonio bahwa dia akan sanggup menghadapi kaleidoskop hidup ini seorang diri sepeninggalnya, tapi pada kenyataannya dirinya remuk redam di dalam. Banyaklaki-laki yang berusaha mendekatinya -dari yang beritikad luhur sampai yang beritikad cabul dari yang bermaksud menyelamatkannya dari kehidupan yang gersang dan sepi sampai yang hanya bermaksud bisa menikmati tidur semalam dengannya. Tapi mereka semuanya harus kecewa. Janda Antonio Castillo tidak menggubris segala per

hatian mereka. Anastasia bersikap dingin dan korek, lugas dan supel. Kalau mereka mau berbicara masalah bisnis, masalah pelayanan yang diberikan oleh biro model Madona, dia menerima kedatangan mereka dengan formalitas seorang bankir dan kesopanan seorang biarawati. Kalau mereka sudah mulai berani menyerempet masalah-masalah yang berSifat pribadi, maka janda muda ini tak segan-segan mematikan langkah mereka pada gebrakan pertama. Dalam waktu yang Singkat Anastasia Castillo terkenal sebagai perempuan bisnis yang berkepala dingin dan berhati batu.

Perlahan tapi pasti Madona berkembang dengan mantap. Akhir dekade tujuh puluh sampai awal tahun-tahun delapan puluhan ditandai oleh melejitnya perekonomian di Indonesia. Dengan sendirinya semakin banyak pula perusahaan yang memakai jasa biro model untuk menyemarakkan pemasaran produk-produk mereka. Dan Anastasia Castillo tahu persis bagaimana caranya memanfaatkan perkembangan situasi.

Di samping biro modelnya yang sekarang sudah dipindahnya untuk menempati sebuah bangunan baru di Jalan Cikini bagian pusat

kota Anastasia menambah sebuah cabang bisnis baru sekolah keperagawatiannya sendiri yang lengkap dengan kursus senam dan fitness centernya. Bisnis senam dan fitness ini ternyata banyak dikeranjingi orang. Perempuan-perempuan yang bergabung di sana untuk membuang keringat dalam hatinya mengharapkan agar mereka juga memperoleh kesempatan diangkat menjadi salah satu gadis model Madona yang punya status sendiri, Uang masuk seperti air yang mengalir deras. Madona merupakan lambang mutu iklan yang terbaik, gadis model yang tercantik sistem senam dan peralatan yang paling mutakhir.

Dan nama Anastasia Castillo menjadi nama yang terkenal walaupun tak banyak orang yang mengenal wajahnya. Sejak kematian Antonio, Anastasia sendiri tak pernah lagi tampil sebagai gadis model, dan setelah usaha Madona semakin maju, dia mampu menggaji seorang manajer profesional untuk menjalankan kegiatan rutin Madona, yang bertugas menemui para klien, yang muncul untuk wawancara, dan sebagainya. Sedangkan Anastasia sendiri tinggal di kamar kerjanya di lantai tiga, terbenam di

antara kertas-kertas laporan maupun Sibuk merencanakan suatu aktivitas baru. Hanya staf-staf intinya saja yang berhubungan langsung dengannya.

Rumah bagus dan kesuksesan ternyata tidak dapat mengiSi kekosongan hatinya. Setelah bertahun-tahun mempertahankan citranya sebagai perempuan yang tabah dan mandiri, Anastasia akhirnya mendambakan juga kasihsayang. Hatinya merasa haus, haus akan simpati dan perhatian yang tulus, haus akan hubungan yang lebih berstfat pribadi, haus menjadi manusia biasa lagi dan bukan sekadar figur seorang ratu yang tinggal di menara gadingnya yang tinggi.

Anastasia memutuskan untuk kembali sementara waktu ke rumah orang tuanya, ke kota kelahirannya yang telah ditinggalkannya hampir empat belas tahun yang lalu. Urusan Madona diserahkannya kepada stafnya yangsekarang sudah pandai dan terampil menangani segala urusan. Anastasia ingin cuti panjang.

Maka pada suatu hari di bulan Mei tibalah Anastasia Castillo di Lapangan Udara Juan? da. Kali ini kedatangannya bukan hanya untuk kunjungan singkat yang selama ini selalu

dilakukannya, melainkan untuk tinggal lebih lama -sampai kapan -Anastasia sendiri pun tidak tahu.

BUKU KEDUA

1983-1986

MARTIN dan YASMIN

HARI-HARI pertama kepulangannya di rumah orang tuanya dilewatkannya dengan melepaskan rindu kepada ayah dan ibunya yang sama-sama sudah tua walaupun masih tegar dan sehat.

Di sini, di mana tidak ada yang mengenalnya sebagai Anastasia Castillo, dia dapat menjalani kehidupan yang lebih santai. Dia tak perlu selalu harus mengenakan pakaian yang rapi dan mengikuti mode. Dia bisa duduk dengan santai dalam daster pinjaman dari ibunya pada pukul sepuluh pagi sambil menikmati sepiring gado-gado yang dijajakan di muka rumahnya hal mana tak pernah dllakukannya di Jakarta karena gengsi. Di Surabaya ini pula dia bisa berbelanja ke supermarket atau ke toko dengan hanya mengenakan kaus dan jeans serta bersandal jepit tanpa takut akan kepergok kliennya atau
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak buahnya. Pokoknya hidup di Surabaya lebih rileks dan bebas baginya.

Hampirdua bulan lamanya dia menikmati kehidupan tanpa kegiatan seperti ini kecuali makan dan tidur, dan akhirnya dia merasa bosan. Anastasia sudah terbiasa selama bertahun-tahun selalu punya aktivitas. Dia tak dapat tinggal menganggur lama. Sekarang dia harus memutuskan, kembali ke Jakarta ke kehidupannya yang lama, atau mencari aktivitas baru di Surabaya? Rasanya dia maSih senang tinggal di rumah orang tuanya, senang menikmati dimanjakan ibunya lagi, senang merasa dirinya ada yang memperhatikan dan menyayangi-haruskah semuanya ini dia tinggalkan lagi untuk kembali ke kehidupan yang gersang dan dingin di Jakarta? Anastasia bukannya tidak melihat betapa besarnya potensi pasar di kota kedua teramai di Indonesia ini yang masih belum memiliki biro model yang profesional. Kalau begitu mengapa Madona tidak membuka cabang di sini? Dan setiap hari ide ini pun semakin mendesaknya.

Anastasia membicarakan hal ini dengan kedua orang tuanya. Sudah dapat diduga bahwa kedua orang tua itu merasa senang

sekali dan sangat menyetujui gagasan putrinya. Mereka tahu, apabila di Surabaya Anastasia tidak punya kesibukan, dalam waktu singkat dia akan kembali lagi ke Jakarta. Dengan membuka cabang Madona di sini, mereka tentu akan lebih sering bertemu dengan anak mereka bahkan pada tahap-tahap permulaan bangkitnya suatu usaha, tak mustahil Anastasia akan menungguinya sendiri di Surabaya.

Maka dengan restu kedua orang tuanya, mulailah Anastasia mengongkretkan idenya.

Pertama-tama Anastasia mencari tempat yang cocok dan dia berhasil mendapatkan sebuah rumah yang besar dan bertingkat di daerah Manyar Kertoarjo. Bangunan ini cocok sekali dijadikan tempat operasinya merangkap tempat tinggalnya. Sudah barang tentu dia tak ingin merepotkan kedua orang tuanya dengan jadwal keluar-masuknya yang tidak menentu kalau dia harus disibukkan dengan aktivitas mengelola sebuah biro model, karena itu Anastasia harus punya tempat tinggal sendiri.

Empat bulan lamanya dia sibuk mengatur izin dan mendekorasi bangunan tersebut. Setelah semuanya rampung, mulailah

dia mencari tenaga ahli. Dia mencari tenaga desainer foto yang berbakat, tukang potret yang ahli, gadis-gadis yang bisa dididiknya menjadi gadis model yang profeSional, dan semua kegiatan ini menimbulkan gairah hidupnya lagi.

Minggu-minggu berikutnya hari-harinya disibukkan. dengan upayanya mencari tenaga-tenaga cabang Madona yang baru, Dalam waktu yang relatif singkat, Anastasia berhasil mendapatkan karyawan inti yangdibutuhkannya. Dia berhaSil mendapatkan seorang desainer, seorang sekretaris, tiga orang gadis cantik calon model, seorang sopir, seorang tukang foto beserta pembantunya, di samping beberapa orang pembantu domestik yang bertugas membersihkan rumah dan halamannya yang lebar. Secara bergilir karyawan karyawannya dikirimnya ke Jakarta untuk dididik langsung oleh tenaga ahlinya di sana.

Pada permulaan bulan Februari 1984, papan nama Madona cabang Surabaya sudah terpancang dengan megahnya di depan dan dua-tiga orang yang main coba-coba untuk melihat dan' dekat organisasi apa yang berdiri di sana, dibuat sangat terkesan oleh profesionalismenya.

Kliennya yang pertama adalah sebuah pabrik sepatu yang terkenal. Mereka bermaksud mencetak kalender untuk tahun berikutnya dengan gambar sepatu-sepatu mereka yang diperagakan oleh gadis-gadis model yang cantik. Kontrak yang pertama ini dikerjakan Anastasia dengan sangat berhati-hati, bahkan dia khusus mendatangkan Yusuf tukang potretnya dari Jakarta untuk memimpin sendiri pengambilan gambar di sini di samping memberikan pengarahan onthe-spot bagi Sukardi camera man-nya di Surabaya. Dengan bekerja sama menangani suatu kontrak, Sukardi langsung mendapatkan petunjuk-petunjuk praktek yang bermanfaat, yang merupakan modal baginya untuk bisa mengatasi kontrak-kontrak berikutnya sendiri.

Sedikit demi sedikit biro model Madona cabang Surabaya berkembang semakin mantap. Klien klien yang pergi dengan puas karena mendapatkan pelayanan yang profesional, memberikan rekomendasi bagus bagi perusahaan ini dan reputasi Madona cabang Surabaya meluas dari mulut ke mulut. Dalam waktu satu tahun lebih sejak didirikannya, penghasilan Madona cabang Surabaya sudah

bisa mencapai empat puluh persen kakaknya di Jakarta suatu prestasi yang di luar dugaan Anastasia sendiri. Anastasia sekarang sibuk mondar-mandir Surabaya Jakarta setiap dua minggu.

Seperti halnya di Jakarta, di Surabaya pun Anastasia bekerja siang dan malam. Bekerja memberinya kepuasan tersendiri, lagi pula sudah terlalu lama dia menarik dirinya dari pergaulan sosial sehingga dia merasa lebih rileks hanya ditemani dirinya sendiri daripada harus berkumpul dengan orang-orang lain. Sebagaimana yang dikatakan Antonio dulu, akhirnya dia berhasil menjadikan kesepian itu temannya.

Hubungannya dengan karyawan-karyawannya cukup baik walaupun Anastasia selalu mempertahankan jarak. Di mata mereka dia adalah janda Antonio Castillo, perempuan karier yang punya status dari Jakarta. pengusaha sukses dan pemilik biro model Madona yang reputasinya sudah tersohor. Karyawan-karyawannya mengenalnya sebagai seorang pimpinan yang tegas dan profesional, seorang perempuan yang sepak terjangnya tak kalah dengan lelaki mana pun. Tak ada yang mengenalnya

sebagai seorang individu sebagai Anastasia yang bisa dirundung sepi dan dibebani duka, apalagi sebagai Seruni yang lahir dan dibesarkan di kota ini juga. Bagi kebanyakan orang di Surabaya, janda cantik ini merupakan suatu misteri.

Sama halnya seperti yang sering terjadi di Jakarta, beberapa orang klien dan relasinya di Surabaya mencoba untuk menjalin hubungan pribadi yang lebih akrab dengannya, tetapi usaha mereka sia-sia. Janda Antonio Castillo seakan mempunyai benteng pertahanan berlapis baja yang tak tertembuskan. Sikapnya yang anggun dan dingin membuat orang-orang yang berani coba-coba, mundur teratur begitu bertemu pandang dengan tatapan matanya yang tajam dan beku. Dan tinggallah janda cantik ini suatu misteri.

Suatu saat mereka mengadakan pengambilan gambardi salah satu pusat perbelanjaan kota. Langit sudah mendung sejak sore hari. tapi hujan belum turun. Pengambilan gambar ternyata berlangsung sampai pukul delapan malam. Rombongan foto model dan juru potretnya baru meninggalkan lokasi shooting pukul setengah sembilan. Hujan turun dengan tiba-tiba seperti dicurahkan dari langit yang terbuka.

Pukul sepuluh kurang seperempat Anastasia mendengar bel pintunya berdenting. Kedua orang pembantunya sudah tidur. Anastasia keluar sendiri untuk membukakan pintu. Pastilah rombongannya pulang.

Di ambang pintu ternyata hanya ada seorang pemuda Martin basah kuyup dan menggigil. Martin adalah asrsten Sukardi, juru potretnya.

"Martin!" kata Anastasia heran melihat pemuda itu basah kuyup.

"Mobilnya mogok, Bu," kata pemuda itu dengan gigi yang masih bergemeleluk.

"Ayo, masuk! Mogok di mana?"

"Di Jalan Kertajaya. Airnya tinggi,"

"Lalu? Mana yang lain?"

"Pak Sukardi dan Mbak-mbak semuanya sudah saya antarkan pulang duluan. Saya disuruh Pak Sukardi membawa pulang mobil bersama peralatannya. Waktu mogok dijalan Kertajaya tinggal saya sendiri."

Anastasia masuk dan kembali, dengan sehelai handuk kering yang diulurkannya kepada pemuda itu.

"Ini, keringkan dulu badanmu. Lalu di mana mobil itu sekarang?" Peralatan foto

yang mereka bawa semuanya berharga mahal.

"Itu ada di halaman sini. Saya carikan truk yang mau menariknya sampai ke sini. Saya takut meninggalkannya di jalan karena ada peralatan foto di dalamnya."

Hati Anastasia terkesan oleh pemuda ini. Paling tidak dia punya rasa tanggung jawab.

"Kalau begitu sekarang kau tukar baju dulu. Pakailah salah satu baju koleksi. Nanti kau masuk angin," kata Anastasia.

"Eh, tidak usah, Bu, biar saya pulang saja."

"Kau naik apa?"

"Naik motor, Bu."

"Masa kau mau pulang naik motor dalam hujan yang deras ini? Nanti motonnu juga mogok kalau jalannya masih banjir. Tunggu saja sampai hujannya reda. Kau bisa menelepon pulang untuk memberi tahu orang tuamu."

"Saya kos bersama teman-teman, kok, Bu, tidak di rumah orang tua," kata pemuda itu.

"Yah, sudah. Kalau begitu keringkan dulu badanmu kalau mau mandi ya Silakan, lalu setelah itu kau tukar baju, dan kau boleh tidur di Sini. Kan di kamar kerja saya ada sofa yang besar, itu bisa kaupakai sebagai tempat tidur. Saya akan mengambilkan selimut di dalam," senyum Anastasia.

"Y-y-ya, Bu," sahut Martin berusaha mengatasi gemeletuk giginya.

"Ayo, kalau begitujangan mengulur waktu. Saya siapkan minuman panas di meja. Setelah mandi minuman ini bisa menghangatkan badanmu."

Ketika Martin keluar dari kamar mandi mengenakan salah satu kemeja dan celana koleksi Madona, dia mendapatkan majikannya telah menantikannya di ruang tamu dengan minuman kakao susu panas.

"Minumlah, Martin," kata Anastasia.

"supaya kau tidak masuk angin," katanya menunjuk gelas besar yang berisi penuh dengan cairan coklat muda itu.

Pemuda itu memegang gelas besarnya dengan kedua belam tangan, merasakan bagaimana kehangatan gelas itu meresap ke tangannya. Diteguknya isinya dengan perasaan bersyukur.

"Pukul berapa tadi pengambilan gambar selesai?" tanya Anastasia.

"Pukul delapan, Bu."

"Lalu pukul berapa keluar dari toserba itu?"

"Sekitar setengah sembilan."

"Jadi persis waktu hujan?"

"Iya."

"Lalu?"

"Lalu Mbak-mbak itu minta diantarkan pulang."

"Sempat makan, nggak?"

"Belum, Bu. Kami pikir mau cepat-cepat pulang saja sehingga tidak berhenti makan di jalan."

"Jadi kau belum makan? Lho, kasihan!" kata Anastasia segera bangkit.

"Kalau begitu saya siapkan makanan ala kadarnya dan kau makan di sini!"

"Tidak usah, Bu, saya... saya tidak lapar. Ini sudah cukup," kata Martin menunjuk gelasnya yang kosong.

"Hus! Kau tunggu di sini biar saya yang menyiapkan sebentar!"

Sambil menunggu pemuda itu makan, Anastasia bertanya,

"Kau berasal dari mana, Tin?"

"Oh, dari Surabaya saja, Bu."

"Tadi kok katanya kau kos di sini."

"Betul, Bu. Saya tinggal bersama tiga orang teman saya yang mengontrak sebuah rumah kecil."

"Orang tuamu tinggal di mana?"

"Di Surabaya juga."

"Lho, kok aneh? Kan lebih enak tinggal di rumah orang tua, nggak usah keluar uang kos."

"Saya tidak membayar, kok, Bu. Temanteman saya yang mengeluarkan uang untuk mengontrak rumah itu. Saya cuma nebeng. Saya lebih senang tinggal bersama mereka karena lebih bebas."

"Orang tuamu tidak berkeberatan?"

"Ah, Bapak nggak peduli," kata Martin dengan wajah murung.

"Ibumu?"

"Ibu sudah meninggal. Yang ada sekarang adalah ibu tiri. Itulah sebabnya saya tidak betah di rumah."

"Kau tidak punya saudara?"

"Saya anak tunggal."

Anastasia mengangguk. Susah memang menjadi anak tunggal. Dia sendiri pun anak tunggal. Anastasia bisa mengerti mengapa pemuda ini merasa lebih senang tinggal bersama temantemannya daripada serumah dengan seorang ibu tiri.

"Kau masih sekolah, Tin? tanya Anastasia. Sekarang baru dia sadar bahwa dia tidak terlalu familier dengan kehidupan pribadi karyawan karyawannya.

"Tadinya. Sekarang tidak."

"Sekolah apa?"

"Kedokteran."

"Oh?" Kiranya pemuda ini merupakan bayangan dirinya sendiri di masa mudanya. Samasama anak tunggal, sama-sama jebolan fakultas kedokteran, sama-sama akhirnya terjun ke biro model Madona.

"Kalau begitu mengapa tidak diteruskan sekolahnya? Tentunya masa depan sebagai dokter lebih bagus daripada seorang juru potret."

"Saya bosan sekolah, Bu. Bidang ini lebih menarik. Foto memang hobi saya."

Anastasia tersenyum.

Pemuda itu selesai makan, tersenyum tersipu, dan mengucapkan terima kasih.

"Sekarang kau boleh tidur," kata Anastasia.

"Selamat malam."

"Selamat malam. Bu."

SUDAH beberapa minggu ini Anastasia selalu melihat ada rangkaian bunga mawar di atas meja kerjanya. Tadinya dia mengira sekretarisnya yang memesan, tetapi ternyata Siska tidak tahu apa-apa. Dia hanya meletakkannya di sana.

Kiriman bunga itu tidak bernama dan selalu tiba setiap hari Jumat. Yang mengantarkan adalah seorang laki-laki tanggung dengan sepeda. Ketika ditanya. dia tidak bisa memberikan jawaban karena dia hanyalah seorang pesuruh dan dia tidak tahu siapa yang telah memesan bunga itu.

Anastasia tak mengacuhkan kiriman bunga itu. Dia sudah terbiasa dihujani perhatian orang sejak menjadi gadis model sampai setelah dia menjanda. Anastasia tidak pernah menggubris demonstrasi perhatian semacam itu. Tetapi ketika kiriman bunga ini masih

tetap datang dengan setia setelah tiga bulan, mau tak mau Anastasia mulai berpikir. Siapa gerangan yang begitu mengaguminya yang begitu mengidolakannya sampai-sampai dengan tekun setiap minggu mengiriminya satu pot bunga mawar? Hal ini mengasyikkan pikirannya dan membuatnya geli sendiri. Bayangkan, seorang perempuan yang sudah menjelang empat puluh tahun seorang janda lagi masih mempunyai pengagum!

"Sis, siapa sih yang ngirim bunga itu setiap minggu?" tanyanya kepada Siska sekretarisnya pada suatu hari.

"Wah, saya nggak tahu, Bu Ana. Mungkin Bapak yang punya toko kaca mata itu, yang sering kemari," senyum Siska.

"Heran aku," kata Anastasia dengan geli,

"kok nggak bosen-bosennya! Sudah betapa minggu dia terus ngirimi kita kembang?"

"Wah, Sudah tiga bulan kira-kira, Bu," gelak Siska.

"Aku sih penasaran," kata Anastasia. Kalau aku tahu orangnya,akan aku suruhberhenti saja dari ketololannya membuang-buang uang begini."

"Bunga kan tidak terlalu mahal, Bu."

"Semurah-murahnya juga lima ribu rupiah, Sis. Kan masih banyak yang bisa dibelinya dengan uang lima ribu. Paling tidak bisa dibuat mengajak istrinya makan kenyang di restoran."

"Mungkin yang mengirim belum berkeluarga, Bu. Mungkin dia menaksir Ibu." Siska terkekeh.

"Yang menaksir aku paling tidak ya sudah harus berusia lima puluh. Lha kalau umur lima puluhan masih bujang kan rada mencurigakan, toh, Sis!"

Mereka terbahak bersama.

"Oh, ya, besok aku ke Jakarta lagi, Sis," kata Anastasia.

"Kalau ada yang penting selesaikan saja sekarang."

"Lama, Bu?"

"Yah. biasa dua-tiga minggu begitu. Sudah lama aku tidak kontrol di sana. Aku akan meneleponmu kalau ada yang penting."

"Minggu depan rasanya kita tidak punya kegiatan istimewa. Semua kontrak sudah ditangani."

"Kalau ada pesanan baru bisa kauserahkan Pak Ridwan, biardia yang merencanakan desainnya."

"Iya, Bu."

"Jadi kaujuga tidak begitu banyak pekerjaan selama kutinggalkan ini, kan?" senyum

Anastasia.

"Kalau begitu kau kuberi tugas khusus."

Siska mengangguk. Selama hampir satu tahun setengah dia bekerja pada perempuan ini dia sudah mengenal wataknya dengan baik.Majikannya adalah seorang yang humoris dan terbuka seorang yang menyenangkan dalam pergaulan, yang tak segan tertawa terbahak bersama karyawan-karyawannya yang tidak sombong dan yang dalam banyak hal masih berjiwa seperti gadis-gadis yang berusia dua puluhan.

"Tolong kauselidiki siapa yang mengirim bunga itu." bisik Anastasia.

"An, pak Dadang kena sakit liver," kata Maya yang sekarang menjadi sekretaris pribadinya di Madona Jakarta.

"Pak Hamdi terpaksa mencari tenaga pengganti sementara."

Hamdi adalah manajer yang diserahi tanggung jawab penuh untuk mengelola kegiatan rutin Madona di Jakarta. Bersama Maya merekalah motor penggerak Madona sejak Anastasia lebih banyak menghabiskan waktunya di cabang barunya di Surabaya.

"Kasihan Pak Dadang. Sekarang di mana?"

"Sudah di rumah, tapi harus istirahat total. Paling nggak tiga bulan, An. Tapi Pak Hamdi sudah mendapat seorang pengganti. Kau mau melihatnya?"

"Oke, nanti aku akan menjumpainya. Siapa namanya?"

"Yamin Yamin Raharja.Orangnyagagah, An. Dia lebih pantas menjadi peragawan."

Anastasia terbahak. Di antara dirinya dan Maya sama sekali tak ada tembok pemisah. Walaupun Maya sekarang adalah karyawannya, namun hubungan mereka lebih menyerupai saudara.

"Bagaimana dengan kontrak kosmetik Delima? Semuanya berjalan lancar?"

"Tinggal dua kali pengambilan gambar. Tidak ada problem khusus walaupun pemiliknya agak cerewet."

"Namanya klien mereka yang punya uang mereka berhak cerewet," senyum Anastasia.

"Lalu bagaimana peragaan busana perancang Sito Zainuri?"

"Besok lusa, kan?"

"Terkadang aku ingin bisa terjun ke

catwalk lagi, Ya," kata Anastasia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tahun-tahun yang menyenangkan, bukan, ketika kita kerjanya cuma melenggok di atas catwalk?"

"Mengapa tidak kaucoba lagi kalau begitu? Kau masih cantik dan potongan tubuhmu sama sekali tidak berubah selama bertahun-tahun ini. Lain dengan diriku. Aku sekarang sudah terlalu kurus dan kering. Nggak laku lagi sebagai foto model maupun peragawati. Kau masih saja seperti dulu. Terkadang aku ngiri melihatmu, pada usia hampirempat puluh begini masih mempunyai penampilan seorang gadis dua puluhan!"

"Ah, kamu mengada-ada saja, Maya! Mana aku laku sebagai peragawati! Gadis-gadis yang muda dan segar begitu banyak yang antre ingin menjadi peragawati. Lihat saja anak-anak di sini uh, cantik dan aksi-aksi! Kalau kubandingkan dengan diri kita dulu. mereka sekarang betul-betul profesional lho! Kita dulu kan takutdakut, masih punya rasa segan, takut dikatakan orang sikap kita terlalu menyolok, dan lain-lain. Mereka gadisgadis yang sekarang ini sama sekali tidak pusing sama omongan orang. Merek punya rasa kepercayaan yang besar pada diri sendiri. Aku benar benar kagum melihat mereka. Kita sekarang sudah nggak usah memberikan keberanian lagi pada mereka. Lain dengan Jaman kita dulu.

"Aku masih ingat, setiap aku naik ke catwalk kalau aku tidak melihat anggukan meyakinkan dari Antonio yang duduk di antara penonton, aku sudah grogi. Baru setelah aku melihat dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya, aku bisa melangkahkan kakiku dengan lebih ringan."

"Ya, Antonio dulu memang selalu menunggui kita," kenang Maya.

"Hm," Anastasia menghela napas panjang.

"Orang baik cepat mati. Kami begitu saling mencintai...."

Maya menepuk punggung tangan majikannya dengan penuh pengertian.

"Kau adalah perempuan yang tabah, An. Seandainya hal ini terjadi padaku. mungkin aku sudah gila."

"Aku sendiri pun sudah hampir gila setelah Antonio meninggal, Maya," kata Anastasia mengakui perasaan yang selama ini selalu dipendamnya.

"Karena itulah aku membenamkan diri dalam pekerjaan. Antonio terlalu sayang padaku. Dia pasti akan

bersedih seandainya dia bisa melihat bahwa aku menderita setelah ditinggalkannya. Aku tak ingin membuatnya merasa bersalah karena harus meninggalkan aku. Kepergiannya bukan kehendaknya sendiri, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Karena itu aku memaksakan diriku untuk bertahan baik selama sakitnya maupun setelah kematiannya. Aku ingin dia bisa pergi dengan lega, tanpa menyandang perasaan berdosa padaku di mana pun sekarang dia berada."

"Seandainya sekarang Antonio dapat melihatmu, pasti dia sangat bangga, An," kata Maya.

"Kau telah mengembangkan Madona menjadi suatu usaha yang besar dan terkenal."

"Ya, aku melakukannya untuk dirinya, agar kasih sayangnya tidak sia-Sia. Aku ingin mengabadikannya dengan jalan ini. Agar walaupun dia sudah tidak ada, namun namanya tetap hidup dan dikenal orang. Semua orang tahu bahwa Madona identik dengan Antonio Castillo."

"Sekarang Anastasia Castillo," ralat Maya.

"Kau yang telah berjasa membawa Madona ke jenjangnya sekarang."

"Tidak, Maya. Aku hanya janda Antonio

Castillo. Sebagai Anastasia aku tidak berdaya apaapa. Tetapi sebagai janda Antonio Castillo aku bertekad untuk terus mengembangkan usaha ini."

"Kau selalu berusaha untuk menyembunyikan dirimu, An."

Anastasia menghela napas panjang lagi.

"Aku lebih senang bersembunyi dalam kepompongku sendiri dengan kenanganku sendiri. Kau tahu bagaimana aku sekarang selalu mautinggal di latar belakang saja. Aku tak ingin berhubungan dengan Siapa pun."

"Itu membuat orang malah semakin penasaran ingin tahu bagaimana yang rupanya Anastasia Castillo ini. Semua orang tahu bahwa kau adalah bekas foto model dan peragawati. Mereka ingin bisa berkenalan denganmu."

"Aku sekarang sudah nenek-nenek, Maya. Bulan lalu usiaku genap tiga puluh sembilan. Aku sekarang sudah memasuki usia yang keempat puluh! Sudah nggak pantas lagi jadi tontonan orang!"

"Jangan mengingatkan aku, An," senyum Maya.

"Kau masih akan empat puluh. Sedangkan aku. aku sudah lewat! Umurku sudah empat puluh tiga!"

Mereka terbahak bersama.

"Kau tidak ingin bertemu si Yamin Raharja ini dulu? Nami saja kita ngobrol lagi," usul Maya mengingatkan tugas majikannya.

"Biar aku bicara dulu dengan Pak Hamdi. Nanti dia sakit hati kok dalang-datang aku belum bicara dengannya sudah bicara dengan karyawan baru."

"Aku panggilkan?"

"Ya. Kutunggu di sini."

"pak Hamdi, bagaimana operaSi minggu-minggu terakhir ini?" tanya Anastasia mengulurkan tangannya menyambut manajernya.

Di dalam kantornya yang luas dan indah di lantai tiga inilah Anastasia menerima stafstaf kepercayaannya untuk menerima laporan dan mendengarkan keluhan mereka.

"Semuanya lancar, Bu Ana. Hanya sayang, Pak Dadang tidak bisa bertugas dulu selama tiga bulan. Livernya membengkak."

"Kenapa sampai begitu?"

"Kata dokter karena kecapekan. itulah sebabnya sekarang dia harus beristirahat."

Anastasia mengangguk.

"Kita tanggung semua biaya pengobatannya, Pak Hamdi."

Hamdi mengiyakan.

"Saya sudah mencari gantinya juga, Bu Ana."

"Ya, saya dengar dari Maya Pak Hamdi sudah mendapatkan ganti."

"Cuma untuk sementara, kok, Bu Ana. Saudara Yamin ini sebetulnya punya bisnis percetakan sendiri. Berhubung akhir-akhir ini bisnisnya agak sepi dan kebetulan dia adalah teman baik Pak Dadang. dia bersedia menggantikan Pak Dadang sebagai desainer di sini selama sakitnya."

Anastasia mengernyitkan dahinya.

"Punya bisnis sendiri? Mengapa Pak Hamdi tidak mencari pengganti yang tidak punya bisnis sendiri saja? Biasanya orang yang punya bisnis sendiri kurang serius dan kurang loyal jika dia bekerja pada orang lain."

"Oh, Saudara Yamin ini lain. Bu Ana. Dia ternyata adalah seorang yang berjiwa seniman. Pekerjaannya bagus sekali, bahkan saya terpaksa mengatakan, lebih bagus

daripada pekerjaan Pak Dadang. Dia sangat memperhatikan detil, betulbetul seorang perfeksionis. Saya kira mungkin karena sifatnya inilah maka bisnisnya sendiri tidak bisa maju, Dia terlalu memperhatikan mutu, kurang bisa berpikiran secara komersial. Tapi bagi kita dia adalah aset yang bagus. Saya justru akan merasa sayang apabila suatu saat nanti Saudara Yamin ini ingin kembali ke profesinya semula."

"Memangnya perjanjian kerjanya bagaimana, Pak?" tanya Anastasia.

"Begini, Pak Dadang kan takut kehilangan posisinya di sini. Dia takut kalau harus libur lama, kita tidak bisa menunggunya dan mengambil tenaga baru. Jadi dia minta, bantuan pada Saudara Yamin ini yang temannya sendiri. Dia percaya bahwa nanti kalau dia sudah sehat dan bisa bekerja lagi seperti sedia kala, Saudara Yamin akan mengembalikan posisi itu padanya. Karena itu Pak Dadang memohon pada saya untuk menerima Saudara Yamin ini saja daripada saya mencari orang luar."

"Nanti kalau waktunya Pak Dadang sembuh dan Saudara Yamin ini nggak mau minggir, bagaimana?"

"Kalau begitu malah kita yang untung, Bu! Pekerjaan kita di sini cukup banyak untuk memakai dua orang desainer. Sayang kalau bakat seperti yang dimiliki Saudara Yamin tidak bisa kita manfaatkan."

"Sehebat itukah dia? Sayajadi penasaran ingin melihat hasil tangannya," senyum Anastasia.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini sudah saya bawakan empat buah desainnya. Yang dua masih belum sempurna, tapi yang dua ini sudah."

Hamdi mengeluarkan empat helai kertas yang memuat gambar-gambar desain yang memang bagus.

Anastasia mengangguk perlahan.

"Ya, dia memang jempol," katanya mengakui "Berapa honor yang Anda berikan padanya?"

"Sama dengan gaji Pak Dadang."

"Berapa sih umurnya sekarang?"

"Tiga puluh tiga tahun."

"Berapa orang tanggungan keluarganya?"

"'Tidak ada. Dia masih bujang dan sudah yatim piatu."

"Kita lihat saja perkembangannya kalau begitu. Jika dia memang bisa mempertahankan prestasinya seperti ini, saya kira Anda

boleh menambah gajinya." Hamdi tersenyum lebar.

"Mudah-mudahan dia akan tinggal lama bersama kita." katanya.

"Ini saudara Yamin Kanarja,Bu ," Kata Maya mengantarkan seorang laki-laki tegap masuk ke kamar kerja Anastasia di lantai yang paling atas ini. Di hadapan seorang karyawan baru, Maya terpaksa membahasakan Anastasia dengan "Bu", meskipun di antara mereka sendiri sudah terbiasa memanggil nama saja.

Anastasia mengulurkan tangannya sambil tersenyum.

"Silahkan duduk, Saudara Yamin."

Laki-laki itu duduk tanpa banyak formalitas. Dia paling benci formalitas. Karena itu ketika Maya memberitahukan padanya bahwa Anastasia yang baru datang dari Surabaya ingin bertemu dengannya, dia sudah merasa ogah-ogahan untuk mengikutinya ke lantai tiga.

Duduk berhadapan dengan Anastasia. Yamin Raharja merasa sedikit heran. Dia tidak menyangka bahwa majikannya perempuan yang memiliki biro model dan kursus senam Madona ini ternyata masih begitu muda! Dia tahu bahwa perempuan itu adalah bekas salah seorang peragawati Madona yang kawin dengan si pemilik yang asli,jadi dalam hatinya dia sudah menduga tentunya perempuan itu tidak terlalu jelek. Tetapi kalau yang muncul secantik dan semuda ini. betul-betul di luar dugaannya.

"Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda yang sudah mau bergabung dengan kami di sini mengambil alih pekerjaan Pak Dadang," kata Anastasia.

"Saya dengar dari Pak Hamdi, Anda sangat berbakat. Saya cenderung setuju dengan pendapatnya setelah melihat keempat desain Anda ini," kata Anastasia menunjuk kertas-kertas yang terpampang di atas mejanya.

Yamin Raharja hanya mengangguk. Dia berusaha menebak berapa sebetulnya usia perempuan ini. Dipandang sekilas (menatap bos terlalu lama kan bisa dikategorikan kurang ajar) dari jarak dua meter, tampaknya perempuan itu masih sekitar akhir dua puluhan. Tapi ini tentunya mustahil! Pendiri Madona yang orang Spanyol itu suami perempuan ini sudah meninggal lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Jadi berapa usia perempuan ini? Kalau melihat potongan tubuhnya dan kehalusan kulitnya, dia masih di bawah tiga puluh. Tapi kalau dinilai ketenangan dan sikapnya yang anggun, sudah pasti dia lebih dari tiga puluh lima tahun.

"Saudara Yamin kabarnya mempunyai usaha percetakan sendiri?" tanya Anastasia melanjutkan.

"Kalau ditinggal begini siapa yang mengelolanya?"

Yamin Raharja tersenyum.

"Bisnis percetakan akhir-akhir ini sepi. Bahan bahannya mahal, saingan banyak. Kalau hanya usaha kecil-kecilan, tidak bisa bersaing dengan usaha yang besar. Dengan meninggalkannya sekarang saya kira saya tidak kehilangan pesanan apa pun."

"Kalau Saudara Yamin ingin bekerja secara permanen di sini, kami gembira sekali menerima Anda. Saya lihat karya Anda betul-betul bagus."

"Saat ini saya hanya berfungsi sebagai pengganti Pak Dadang saja. Saya belum memikirkan ke arah bergabung dengan Madona secara permanen. Memang bidang ini menarik bagi saya, dan untuk sementara saya

tidak perlu memikirkan biaya bahan-bahan yang saya pakai. Tapi saya belum yakin saya ingin terjun ke bidang ini selamanya."

Anastasia mengangguk.

"Itu hanya suatu usul saja," katanya tersenyum.

"Asalkan Anda tahu bahwa pintu Madona selalu terbuka jika Anda ingin bergabung secara permanen."

"Terima kasih, Bu Ana," kata Yamin.

Anastasia mengangguk lalu berdiri, menandakan wawancara dengannya telah selesai

Yamin Raharja pun berdiri, mengangguk, lalu keluar.

Aku ingin mencoba perempuan ini, pikirnya. ini merupakan tantangan baru bagiku. Mungkin akhirnya aku akan tinggal di sini lebih lama daripada yang kurencanakan. Siapa tahu?

DI Jakarta setiap hari Anastasia bekerja seperti kesetanan. Dia datang pukul delapan, dan tinggal hingga pukul delapan malam. Kemudian dia pulang. makan, terus tidur.

Rumahnya kendati akhir-akhir ini sering ditinggalkannya terpelihara dengan baik. Selain dia tetap mempertahankan pembantu-pembantu terpercaya yang sudah ikut bertahun-tahun padanya, juga Maya secara rutin setiap minggu pasti mengontrol keadaan rumah itu di kala Anastasia ada di Surabaya.

Bagi AnastaSia rumah ini merupakan kenangan yang sangat berarti dari masa hidupnya bersama Antonio dan oleh karena itu jika dia berada di Jakarta, dia tak ke mana-mana selain ke kantornya dan selebihnya menikmati saat santainya di rumahnya sendiri.

Di rumah ini dia tak pernah merasa kesepian. Walaupun telah dua belas tahun lebih sejak Antonio meninggal. kehadirannya dalam rumah ini masih bisa dirasakan oleh Anastasia. Dalam setiap benda, setiap perabot, setiap ornamen yang terpasang di rumah ini, Anastasia menemukan sebagian dari diri Antonio. Keriangan hatinya, optimismenya, pengertiannya, kebijaksanaannya. Tak jarang Anastasia bisa berbicara pada bendabenda ini, seakan-akan mereka mengerti dan bisa menyampaikan kata-katanya pada Antonio. Karena itulah rumah ini adalah tempatnya untuk melepaskan ketegangan dari semua tuntutan dunia luar, tempatnya untuk mereguk kekuatan spiritual, tempatnya mencari ganti energi yang terbuang dan terampas oleh segala masalah yang harus dihadapinya, tempatnya untuk menyembuhkan luka-luka dirinya.

Anastasia sekarang merasa bersyukur dia tidak menjual rumah ini setelah kematian Antonio seperti yang dianjurkan teman-temannya. Teman temannya semua mengatakan sebaiknya dia tidak tinggal di tempat yang begitu penuh dengan kenangan karena hal itu akan menekan jiwanya. Ternyata malah sebaliknya. Kenangannya akan Antonio

sama sekali tidak menekan jiwanya. Mereka telah melewatkan masa yang indah walaupun singkat masa yang penuh dengan cinta kasih-masa yang tanpa penyesalan. Danjustru Anastasia memperoleh kekuatannya dari mengenang masa-masa itu. Bahwa setelah melewati pencobaan yang sedemikian dia masih bisa bertahan dengan kepala tegak, membuatnya yakin bahwa dirinya terbuat dari bahan yang lebih tahan uji daripada yang disangkanya. Dia bukanlah seorang perempuan lemah yang jatuh terkulai saat suaminya direnggut oleh maut. Tetapi dia telah membuktikan bahwa dia mampu memberikan cinta kasihnya dan kekuatannya untuk membekali kepergian suaminya dengan hati yang lapang. Bahkan boleh dikatakan, dia sendirilah yang telah mengantarkan Antonio sampai ke depan pintu gerbang maut sambil memberinya kepercayaan sepanjang menempuh perjalanan ke sana bahwa sepeninggalnya nanti dia tak akan hancur berantakan. Kekuatan dan ketabahannyalah yang sanggup membuat Antonio meninggalkan suatu senyuman dibibirnya kala dia menutup matanya.

Di Surabaya walaupun rumahnya tak kalah indah dan bahkan lebih besar, Anastasia tak pernah mendapatkan makanan spiritual seperti yang diperolehnya dari rumahnya di Jakarta. Karena itu apabila jiwanya sudah jenuh dan kesepian menggerogoti dirinya di sana, dia pasti teringat akan tempat pelariannya di Jakana dan dia kembali untuk beristirahat beberapa lamanya di sini.

Tiga minggu berlalu sebelum Anastasia memutuskan untuk pergi ke Surabaya lagi. Kalau segalanya berjalan lancar di Jakarta walaupun dirinya tak ada, itu semua dikarenakan di sini dia mempunyai staf-stafkepercayaan yang penuh loyalitas dan dedikasi. Lain halnya dengan keadaan cabangnya di Surabaya. Di sana dia belum mempunyai orang kepercayaan yang tangguh. Segalanya maSih tergantung pada dirinya. Karena itu walaupun dia ingin tinggal lebih lama di Jakarta, tanggungjawab dan tugas memanggilnya kembali ke kota kelahirannya.


Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua Wiro Sableng 102 Bola Bola Iblis

Cari Blog Ini