Sepasang Remaja Karya V Lestari Bagian 3
pernah kemari, bukan?" katanya, ketika suatu kali Abi
baru pulang dari rumah Riri.
"Sudah Abi ajak, tapi dia mengatakan malu."
"Tapi itu tidak adil. Artinya dia tidak menghargai
Mama dong," kata Tina dengan nada kesal.
Abi memperhatikan wajah ibunya sebentar. Tentu
171
dia masih ingat kata-kata Dokter Waluyo. Jangan sampai
ibumu merasa tersingkir karena Riri.
"Baiklah, Ma. Nanti Abi bujuk dia."
"Ah, jadi mesti dibujuk?" seru Tina tambah kesal.
"Apa dia takut sama aku?"
"Bukan begitu, Ma. Dia malu."
"Hem," geram Tina. Dalam hati ia berpikir, apakah
anak seperti Riri masih punya rasa malu?
Diam-diam Abi jadi ngeri. Apa sebenarnya yang akan
dilakukan ibunya bila Riri sudah berhadapan dengannya?
Berbincang-bincang dengan baik ataukah ? Ia tahu Riri
merasa malu karena masa lalunya. Dan karenanya ia pun
tak ingin Riri dipermalukan.
Sebenarnya Abi memang belum pernah mengajak
Riri secara serius. Dia tidak berani karena ibunya belum
mengatakan apa-apa waktu itu. Nanti dikatai lancang.
Tapi sekarang tentu lain lagi.
Betapa herannya ketika Riri segera menyatakan
kesediaannya. Tanpa pikir-pikir dulu atau meng
khawatirkan ini-itu.
"Aku mau saja, Bi. Biarpun aku kurang suka tapi aku
nggak takut. Tapi ada syaratnya."
"Apa itu?"
"Pilih saat di mana Oom Johan tak ada di rumah."
"Kenapa?"
"Aku nggak mau dikerubuti berdua. Satu saja udah
repot, apalagi berdua."
172
Abi tertawa.
"Itu sih gampang, Ri. Kalau ibuku di
rumah dia tentu di toko. Dan begitu sebaliknya. Ya, kita
pilih saja saat toko buka. Malam Minggu?"
Mereka sepakat. Demikian pula Tina.
Pada saat yang sudah ditentukan itu mereka
berkumpul. Semua bersikap kaku dan canggung. Suasana
terasa dipaksakan. Tidak ada yang bersikap spontan.
Abi tegang menunggu dan mendengarkan ucapan ibu
nya kalau-kalau menusuk perasaan Riri. Tapi ia juga
merasakan hal yang sama bila menunggu jawaban Riri.
Jangan sampai Riri ngomong ceplas-ceplos seenaknya.
Ternyata Riri hati-hati. Suatu sikap yang menegangkan
dirinya sendiri. Sungguh menekan perasaan. Sedangkan
Tina bagai burung elang, siap menyambar bila me
nemukan kelemahan. Tapi ia terpaksa kecewa karena
yang dicari itu belum ditemukan.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada telepon untuk
Tina. Setelah berbicara sebentar ia kembali menemui Abi
dan Riri.
"Wah, Mama harus ke toko sebentar," katanya. Lalu
dengan jengkel ia melihat adanya kelegaan di wajah Riri.
Bahkan juga Abi. Jadi mereka senang ia pergi?
"Tapi Mama akan kembali lagi," sambungnya cepat
cepat dan ia senang melihat kekecewaan di wajah mereka
berdua.
Setelah Tina pergi, keduanya sama menarik napas
panjang. Lalu tertawa. Cepat Abi meletakkan telunjuk
173
di mulutnya. Jangan sampai perasaan yang sama mereka
rasakan saat itu sampai diucapkan oleh Riri. Ia juga
menunjuk ke belakang.
Riri mengangguk. Ia mengerti. Di belakang ada
Bi Inem yang siapa tahu disuruh menguping untuk
kemudian menyampaikan lagi apa yang didengarnya.
Sama saja seperti di rumahnya juga ada Bi Marni.
"Habis kita ngapain sekarang?" tanya Riri.
"Nonton video? Aku ada Film bagus. Yang main
Chuck Norris."
"Wah, mau! Aku senang tendangannya," kata Riri
bersemangat.
"Ya. Aku juga. Biar nonton berulang kali juga aku
nggak bosan."
Tak berapa lama kemudian mereka sudah tenggelam
dalam keasyikan. Sesekali terlontar seruan dan komentar
dari mulut masing-masing. Walaupun menonton mereka
tetap komunikatif. Dalam sekejap terlupakan bahwa
sebentar lagi mereka akan kembali mengalami saat-saat
yang kurang menyenangkap.
Akhirnya terdengar suara mobil masuk pekarangan.
Mereka berpandangan, saling mengingatkan.
"Dimatikan?" tanya Riri.
"Jangan. Biar Mama lihat bahwa kita sedang
menonton, bukan berbuat " Abi menghentikan ucapan
nya karena tiba-tiba merasa ada yang salah.
174
"Berbuat apa?"
"Nggak. Aku salah ngomong."
Riri cuma tersenyum mengerti.
"Suaranya dipelankan aja, Ri. Mama paling nggak
suka keras-keras."
Setelah semua persiapan itu beres, mereka duduk
kembali dengan sopan. Tapi Abi kemudian berdiri.
"Mau ke mana? Menyambut?" tanya Riri.
"Nggak. Aku kepingin ke belakang. Tunggu ya.
Nggak lama."
"Bukannya dari tadi," gerutu Riri, merasa kurang enak
menyambut kedatangan Tina sendiri saja. Ia berharap
Abi cepat kembali.
Riri duduk lebih tegak. Biar tidak disangka kurang
sopan atau malas. Matanya tetap tertuju ke televisi.
Terlalu menegangkan untuk dilewatkan. Baru setelah ia
merasa ada sosok tubuh berdiri diam di ambang pintu
ia menoleh. Seruan tertahan terlompat dari mulutnya. Ia
kaget. Di sana berdiri Johan!
Serta-merta Riri menjadi gugup. Terlalu mendadak.
Ia tidak siap.
Johan tersenyum.
"Aku ingat sekarang!" serunya.
"Kau adalah Erika! Jadi panggilanmu Riri? Ah, jadi inilah
Riri teman si Abi itu. Nggak sangka bahwa ini adalah
Erika yang hangat dan lincah itu. Hai, apa kabar? Masih
ingat saat kita bersama dulu? Ah, masa lupa sih."
175
Johan mendekat dan tanpa permisi duduk di sebelah
Riri. Begitu saja tangannya melingkari pundak Riri.
Dengan wajah pucat Riri menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba ia kehilangan kegalakannya. Alangkah lamanya
Abi.
"Lho, kok diam saja sih? Malu sama Oom? Dulu kau
begitu agresif. Ingat? Atau sekarang malu-malu kucing?
Eh, masih suka mangkal di Jalan Sabang?"
Riri menggelengkan kepalanya lagi. Tiba-tiba saja ia
menyadari apa sebab ibunya tak memberi reaksi keras
kepada Herman sewaktu diganggu di Ancol tempo hari.
Keadaan yang dialaminya sekarang sama. Dia tidak punya
kekuatan karena rasa salah dan malu.
Riri menahan tangisnya. Wajahnya memelas. Tapi
Johan tidak kenal iba. Sebelah tangannya tetap merangkul
sedang jarinya digunakannya untuk mengelus pipi
Riri. Wajahnya semakin dekat. Matanya seperti orang
kelaparan. Kebeliaan wajah Riri tentu kontras dibanding
wajah Tina.
Riri menghentakkan tubuhnya ke belakang. Akibatnya
ia jatuh ke lantai. Johan tertawa. Ia merasa hal itu
bagaikan permainan yang mengasyikkan. Ia melupakan
situasi. Sungguh-sungguh lupa. Di matanya Riri adalah
makanan lezat sementara dia tengah kelaparan. Dan
hanya mereka berdua di situ. Ia menubruk Riri.
Tapi detik berikutnya Johan serasa diterkam binatang
buas. Ada teriakan menggelegar. Lalu bajunya dijambak
176
dan ditarik dengan sentakan yang kuat. Sekali sentak
tubuhnya ikut. Tubuhnya pun berdiri tanpa kehendak
sendiri. Dan begitu menjejakkan kaki dagunya kena
tinju yang keras sekali hingga dia terdorong ke belakang,
menimpa kursi sebelum jatuh ke lantai. Di depan matanya
beribu bintang bertaburan. Barulah ketika bintang
bintang itu lenyap ia melihat sosok besar menjulang di
atasnya. Abi.
Pandang Abi menyorotkan kemarahan yang amat
sangat. Johan sampai bergidik melihatnya. Ia takut. Ia pun
menyesal. Tadi ia lupa. Sungguhsungguh lupa. Ia sudah
terlanjur mengenal Riri seperti yang dulu dikenalnya.
Erika yang begitu gampang didapat.
Mulut Johan berdarah. Jangan-jangan ada giginya
yang rontok. Kepalanya pun sakit sekali. Mungkin juga
gegar otak. Ia memang bukan tandingan Abi. Karena itu
ia tak boleh melawan kalau tak ingin hancur. Dengan
menahan sakit di luar dan di dalam ia mengangkat kedua
tangannya. Tanda menyerah dan mengalah. Jangan pukul
lagi.
"Maaf, Oom khilaf tadi, Bi," kata Johan sambil
meringis. Sakit betul mulutnya. Dan rasanya ada gigi
yang goyah.
Sementara itu Riri sudah duduk kembali di kursi. Ia
menangis pelan sambil menutup muka dengan kedua
tangannya. Abi duduk di sebelahnya lalu merangkulnya
177
dan menariknya ke dadanya. Isak Riri semakin keras.
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pelukan ia mendapat kebebasan untuk melepaskan
semua yang terpendam.
Johan bangkit pelan-pelan setelah mengeringkan
mulutnya dengan sapu tangan. Ia berdiri dengan
canggung. Dipandanginya kedua remaja yang tengah ber
pelukan itu dengan perasaan tak keruan. Ia marah pada
mereka tapi juga marah pada dirinya sendiri. Alangkah
bodohnya. Haruskah ia minta maaf lagi? Tapi mereka
tidak mempedulikan dia.
Akhirnya Johan melangkah pelan-pelan ke luar pintu.
Tak lama kemudian deru mobil terdengar. Makin lama
makin jauh lalu lenyap.
Di balik tirai Bi Inem berdiri sambil mengurut
dadanya yang sesak. Ia baru melepaskan tirai itu setelah
deru mobil Johan tak kedengaran lagi. Tapi ia masih
berdiri di situ, menunggu dan mendengarkan.
"Mau pulang, Ri?"
Riri masih sesenggukan. Tapi ia mengangguk.
"Tunggulah dulu sebentar lagi. Kalau kau sudah
nggak nangis lagi."
"Nanti... Ibumu keburu pulang."
"Biar saja."
Ucapan itu membuat Riri kembali mendekapkan
kepalanya ke dada Abi. Ya, ia rela dimarahi untuk pelukan
yang nilainya mahal itu. Itulah pelukan kasih sayang.
Bukan nafsu.
178
Setelah tangisnya mereda suaranya pun kian mantap.
"Terima kasih, Bi. Aku bersyukur kau nggak merasa
jijik padaku."
"jijik? Kenapa aku mesti merasa jijik? Bukan kau, tapi
si Johan itulah!"
"Mestinya dia nggak begitu. Kenapa dia nggak pura
pura saja? Dia bisa pura-pura nggak mengenal aku. Dulu
waktu aku menyalaminya saat dia bersanding dengan
Tante Tina, dia nggak kelihatan mengenali aku. Kukira
dia sudah lupa sama aku. Mungkin tadi aku kentara
kaget waktu melihat dia muncul. Apalagi kelihatannya
dia sudah cukup lama memperhatikan aku."
"Orang itu memang nggak bener. Naluriku bener
kalau gitu. Dia brengsek. Heran ibuku nggak bisa
melihat."
"Ibumu tidak bisa memaafkan aku."
"Lho? Bukan kau yang salah, kan? Dia duluan."
"Itu bukan soal. Pokoknya aku sudah bersalah. Papaku
aja nggak mau memaafkan aku."
"Pada suatu saat dia akan memaafkan kamu."
"Entahlah. Pendeknya, yang mau menerimaku cuma
kau. Ya, untung ada kau."
"Aku juga merasa beruntung ada kau!"
Riri tertawa di balik air matanya.
"Tadi kau lama sekali di belakang," kata Riri.
"Aku mengintip di situ tadi," Abi menunjuk tirai.
179
"Sekarang ada Bi Inem sedang mengintip di sana.
Mengintip kita."
"Ngapain kau ngintip?" gerutu Riri.
"Bukannya cepat
keluar."
"Aku heran lihat kau diam saja. Kau bisa men
dorongnya atau menamparnya, kan? Paling tidak kau bisa
membentaknya seperti yang telah kaulakukan terhadap si
Herman tempo hari itu."
"Aku ingin tapi nggak bisa. Aku merasa lemah karena
ingat perbuatanku dulu. Aku malu, Bi. Malu."
"Sudahlah."
"Padahal di masa depan bukan nggak mungkin bisa
ada kejadian serupa lagi."
"Kan ada aku yang melindungimu."
"Terima kasih, Bi. Tapi kan nggak mungkin kau bisa
di sampingku terus. Ah, apakah orang seperti aku nggak
punya harga diri lagi, Bi?"
"Masih dong. Buktinya aku menghargai kamu."
"Tapi kau lain. Papa saja memandang rendah padaku.
Seakan aku manusia hina."
"Biar sajalah. Yang penting kau sendiri nggak merasa
dirimu hina."
"Kalau malu?"
"Oh, itu boleh. Kalau nggak, entar kau jadi manusia
nggak tahu malu."
Riri tertawa lagi.
180
"Nah, udah bisa ketawa. Hilang sedihnya?"
"Ya, sebagian. Ah, kau kok bisa kebapakan kayak gini
sih, Bi? Aku seperti punya bapak lagi deh."
Tanpa setahu Riri, mata Abi berkaca-kaca.
"Bi, kita akan tetap bersahabat sampai mati, ya?"
"Ya."
"Biarpun kau sudah punya pacar dan nanti punya
istri? Usahakan supaya mereka nggak cemburu padaku."
"Gimana kalau kau juga punya pacar dan kemudian
punya suami? Aku pasti dibunuhnya!"
"Ah, aku nggak akan punya pacar, apalagi suami."
"Kenapa?"
"Buat apa? Pengalaman sudah ngajarin aku. Rupanya
lelaki itu kayak gini. Lihat Papa. Lihat oom-oom itu.
Khianat semua. Brengsek."
"Ah, ngomong apa sih kau? Emangnya aku bukan
lelaki?"
"Eh iya. Sori. Kamu kecualian. Tapi memang masih
ada sebab yang lain. Nggak ada yang akan mau sama aku.
Bekas perek. Bekas macemmacem. Lelaki itu kan maunya
sama cewek yang suci murni, putih bersih. Tapi macem
aku? Mereka maunya main-main aja. Jadi aku mesti tahu
diri. Sebelum ditolak orang aku mundur duluan. Itu
paling aman, kan?"
"Tapi aku mau kok, Ri."
"Mau apa?" Riri kaget.
181
"Mau itu yang kamu bilang tadi."
"Yang mana sih? Aku ngomong banyak sekali sampai
lupa."
"Ala pura-pura. Nih aku kasih tahu."
Abi menarik kepala Riri, menjauh dari dadanya. Lalu
dia menunduk. Riri setengah menengadah. Bibir mereka
semakin dekat. Pelukan semakin erat.
Prang! Keduanya terlonjak kaget. Kepala menjauh,
pelukan pun lepas. Baru kemudian mereka menyadari
bahwa bunyi prang itu disebabkan oleh tutup panci yang
jatuh di ruang sebelah dalam. Atau sengaja dijatuhkan?
"Bi Inem," bisik Abi.
"Mandor kita," Riri menimpali.
Kecewa? Tidak. Mereka tertawa geli.
"Seneng juga ada yang jagain," kata Riri.
"Supaya kita nggak kejeblos?"
"Iya dong."
"Emangnya kita anak kecil yang matanya nggak
dipakai? Otaknya nggak jalan?"
"Di mata mereka sih begitu. Kita ini anak kecil yang
badannya gede. Eh, apa kamu sendiri nggak seneng
dijagain?"
"Jelas nggak dong."
"Tapi ada untungnya lho."
"Apa untungnya?"
Riri bersandar manja ke pundak Abi.
"Untungnya dia
bisa jadi saksi."
182
Abi termangu sebentar. Ia mengerti maksud Riri.
"Tapi aku yakin Oom Johan nggak berani mengadu
sama Mama. Kalau dia ngadu malah ketahuan belangnya."
"Habis mukanya itu mau disembunyiin di mana?
Mulutnya jadi dower gitu. Apalagi kalau copot giginya
yang depan. Masa nggak kelihatan. Tante Tina pasti
nanya."
"Dia bisa berbohong."
"Tapi Bi Inem..."
"Oh iya. Biar dia aku beresin." Abi lalu mengeraskan
suaranya,
"Bi! Bi Inem! Ke sini, Bi!"
Belum lagi mulut Abi menutup, Bi Inem sudah
muncul. Pertanda dia masih berada di posnya semula.
Dia berdiri dengan wajah cemas.
"Nggak usah takut, Bi. Supaya aman sebaiknya Bibi
jangan ngadu sama Mama. Pokoknya Bibi nggak usah
ngomong apa-apa. Kalau Bibi ngomong bisa gawat lho.
Bisa perang."
"Tapi Tuan Johan kan ngomong juga nanti. Pasti saya
ikut ditanya."
"Nggak. Pasti Tuan Johan nggak bakalan ngadu."
"Kalau dia ngadu juga?"
"Yah, baru deh Bibi ngomong. Tapi ngomongnya
jangan dilebih-lebihin ya."
"Iya."
Abi merogoh saku lalu mengeluarkan uang seribu
rupiah.
"Nih, buat Bibi."
183
Bi Inem malu-malu.
"Ih, kok dikasih duit sih."
"Bibi kan udah capek jagain kita."
Bi Inem tersipu. Tapi diterimanya juga uang itu.
Setelah Bi lnem pergi, mereka saling pandang lalu
tertawa.
"Aku pulang aja, Bi. Udah malem. Entar dimarahin
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mama lagi. Udah jatuh ketimpa kelapa, eh, tangga."
"Ya betul. Kasihan kau."
Tapi baru saja mereka berdiri telepon di ruang dalam
berbunyi. Abi bergegas ke sana. Telepon itu dari ibunya.
"Bi, tadi Oom Johan ke sana ya?"
"Iya, kenapa, Ma?"
"Sekarang masih di sana nggak?"
"Nggak, Ma. Udah pergi dari tadi."
"Sudah lama?"
"Ada kira-kira sejam."
"Lho, kok belum sampai di sini, ya."
"Memangnya dia mau ngapain ke rumah, Ma?"
"Katanya sih ada barang yang mau diambil. Dan dia
bilang nggak akan lama. Eh, tahunya belum muncul
sampai sekarang. Kalau gitu Mama nggak kembali lagi,
ya, Bi. Tanggung sih. Nanti aja kita kumpul-kumpul lagi,
"
ya.
"Ya, Ma. Riri juga udah mau pulang."
Setelah meletakkan telepon Abi mengerutkan
keningnya tanda berpikir keras. Semula terlintas
184
prasangka buruk. Jangan-jangan Johan memang disuruh
ibunya datang untuk mempertemukannya dengan Riri.
Sengaja untuk mempermalukan Riri di depannya. Tapi
kemungkinan itu memang meragukan. Kalau benar
begitu tentunya ibunya mengetahui hubungan Johan
dengan Riri dulu. Dari mana dia tahu kalau bukan dari
Johan sendiri? Tapi mungkinkah Johan mau menceritakan
hal itu kepada istrinya sendiri, meskipun terjadi di masa
sebelum perkawinan mereka?
Esok harinya, prasangka itu hapus sama sekali dari
pikiran Abi. Bi Inem membisikkan,
"Bibi dikasih duit
juga sama Tuan Johan. Sama-sama seribu!"
***
"Aku dipukul orang!" cerita Johan kepada Tina.
"Siapa?" Tina kaget.
"Anak muda yang suka mabuk-mabukan itu, anggota
geng pemeras. Dia minta uang aku nggak kasih."
"Mestinya kauberi saja."
"Kalau diberi nanti kebiasaan."
Johan terus-terusan meringis. Sakit benar. Tiga gigi
depannya goyah. Sungguh mengerikan kalau sampai
harus tanggal. Belum lagi sakit di seluruh rahangnya.
Bicara sakit, apalagi makan. Dasar si Abi sialan.
Dan si perek laknat. Tunggu sajalah pembalasanku.
185
Membayangkan pembalasan di saat kesakitan jadi
hiburan yang meringankan.
Tapi sesungguhnya dalam kenyataan yang ia hadapi
ia merasa takut kepada Abi. Seseorang yang pernah
membunuh bukankah akan tega hati untuk me
ngulangnya lagi? Ia sudah berusaha menghindari Abi,
tapi karena serumah mau tak mau sesekali pertemuan
terjadi juga. Memang tak ada tegur sapa. Masing-masing
bermasam muka. Tapi pandang toh bertemu juga. Ia
melihat pandang Abi. Penuh dendam dan kebencian!
Johan mencoba memahami dirinya sendiri. Dia tidak
berhasil mendekati Abi. Malah sebaliknyalah yang terjadi.
Dia sudah melakukan kebodohan. Suatu kebodohan
yang semestinya tidak ia lakukan. Tapi sebenarnya hal
itu pun tidak patut disebut sebagai kebodohan andaikata
posisinya berbeda. Ya, andaikata ia masih seperti dulu,
bebas merdeka tanpa ikatan yang disebut perkawinan
itu. Suatu kebodohan yang menghasilkan kebodohan
lainnya. Menyesal? Ya!
Memang ada yang ia cari dari perkawinan itu. Tiap
orang hampir pasti memiliki tujuan tertentu dari suatu
perkawinan. Dia tak terkecuali.
Dulu ia tertarik kepada Tina karena kemanisan dan
kelembutannya. Juga keibuannya yang paling menonjol.
Hal itu terasa benar dari dirinya. Tina punya begitu banyak
hingga ia menjanjikan kenyamanan, ketenteraman, dan
186
kepuasan kepada orang yang ia sayangi. Itulah kesan
pertama Johan. Dia akan mendapat seorang istri dan ibu
sekaligus. Usia bukan persoalan lagi. Bukankah sebelum
itu dia sudah puas menikmati kemudaan dan kebeliaan
wanita, seperti Riri misalnya? Jadi di samping Tina ia
ingin pensiun! Di samping hidup enak tanpa kerja keras
ia akan kenyang dengan perhatian dan kasih sayang.
Bahkan si Abi tak sempat ia perhitungkan.
Tapi apa kenyataannya? Toh ia harus bekerja keras
juga di toko milik Tina, ikut pusing dan capek. Lalu
kehilangan kenyamanan di rumah karena kehadiran Abi.
Kini yang memenuhi pikiran Johan adalah perceraian,
karena baginya perceraian adalah kebebasan!
187
X
NYONYA DEBRA memasuki Salon Merry dengan
langkah tergesa-gesa.
"Kok buru-buru amat sih, Tante?" tegur Riri.
"Ada Mama?"
"Ada di belakang. Nggak lama kok. Sebentar lagi juga
keluar. Ngapain, Tante? Potong rambut? Keriting? Mari
saya keramasin dulu," Riri menawari dengan manisnya.
Ia sudah belajar banyak tentang cara-cara mengambil hati
langganan.
"Oh nggak, Ri. Tante nggak mau diapa-apain hari
ini. Tante cuma mau ketemu Mama," kata Debra dengan
wajah tak sabar.
Riri memperhatikan sikap Debra yang gelisah.
Wajahnya kelihatan tegang. Mestinya ada sesuatu, pikir
Riri. Ia tahu betul, Nyonya Debra sering kali jadi sumber
berbagai berita. Tiba-tiba ia jadi ikut kepanasan. Lama
lama berada di situ memang jadi ketularan. Mungkin tak
ada hiburan lain.
Merry keluar.
"Hai, Deb, apa kabar?"
Pertanyaan Merry seperti itu adalah biasa bila ia
bertemu dengan Debra.
188
"Wah, ada kabar hangat, Mer! Atau kau sudah
dengar?" tanya Debra curiga.
Merry tertawa. Yang demikian itu pun merupakan
kekhasan Debra. Tentu saja ia tidak bisa mengatakan
sudah dengar atau belum karena tidak tahu apa kabar
yang mau disampaikan itu. Tapi ia juga sudah tahu
perangai Debra. Kabar yang disebut hangar itu tak hangat
lagi bila sudah diketahui sebelumnya. Dan akan hilang
pula kepuasan Debra.
"Belum," jawabnya pasti.
"Sungguh?"
"Iya. Memang belum. Ayolah ceritakan. Kita duduk
dulu. Masa cerita sambil berdiri."
"Nggak usah. Aku nggak bisa lama-lama. Kalau
duduk bisa lupa berdiri katanya. Aku pun cuma sekalian
mampir kok. Begini. Sudah dengar tentang Johan? ltu
lho suami Tina yang muda itu."
Riri memasang kupingnya baik-baik. Untung saja tak
banyak kesibukan hari itu.
Merry melirik putrinya sebentar. Selama ini Riri tak
pernah memberinya cerita perihal Tina. Kalau ditanya
selalu mengatakan tak ada apa-apa, tak tahu apa-apa. Tapi
mungkin juga Abi tak pernah bercerita hal-hal seperti itu.
Siapa pula yang mau menceritakan berita buruk perihal
keluarga sendiri.
Sekarang cerita yang akan disampaikan Debra tentu
saja membuatnya sangat tertarik.
189
"Wah, kalau tentang itu aku sungguh-sungguh belum
tahu," katanya dengan keingintahuan yang berlebihan.
Debra jadi girang dan tambah semangat.
"Si Johan itu sudah berani main gila sekarang. Padahal
kawin belum lama. Masih pengantin baru, kan? Bosan
kali, ya? Hi hi hi. Maklum..."
"Eh, yang lengkap dong ceritanya. Main gila sama
siapa dan di mana, Deb?" tanya Merry sambil melirik
Riri lagi. Dia sedang mengatur gulungan rambut yang
berserakan. Kelihatannya acuh saja.
Padahal Riri baru saja menarik napas lega. Rupanya
cerita tentang Johan itu sesuatu yang lain daripada yang
ia khawatirkan semula. Tapi cerita itu pun jadi menarik
sekarang karena ia memperoleh bahan untuk diceritakan
nanti kepada Abi.
"Begini. Kenal si Dona nggak? Rasanya sih dia bukan
langganan sini. Tapi aku kenal baik. Dia itu janda cerai
tanpa anak. Orangnya memang binal. Nah, sama dia
itulah si Johan ada main. Si Dona cerita sendiri padaku.
Wah, seru deh, Mer! Mau dengar nggak?"
"Jelas mau dong!"
"Katanya, si Johan itu sering cerita tentang istrinya
si Tina. Menghinanya kebangetan deh. Katanya, si Tina
sudah tak ada apa-apanya lagi yang menarik. Kempes,
peot, dan kedodoran. Coba kaupikir. Keterlaluan nggak
tuh."
190
Kejengkelan Merry kepada Tina serasa terlampiaskan
mendengar cerita itu. Dia punya bahan untuk membalas
sekarang. Bagaimana perasaan Tina bila mendengar cerita
itu? Tapi sebagai wanita ia marah.
"Kurang ajar si Johan itu! Dasar lelaki brengsek, buaya
darat! Kalau memang begitu kenapa dulunya dia mau
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama Tina dong?" seru Merry.
"Betul. Lelaki memang begitu. Kalau sudah bosan
mulai ngomongjahat. Busuk. Betul-betul serigala berbulu
domba," Debra menimpali.
"Eh, sejak kapan dia main sama si Dona itu?" tanya
Meriy.
"Belum lama kok. Paling juga baru seminggu."
"Baru seminggu tapi bacotnya sudah gede."
"Kasihan si Tina, ya? Makanya buat apa sih kawin.
Padahal dia nggak kawin juga bisa cari duit."
"Ya. Kawin cuma cari kesulitan."
"Apalagi sama yang muda. Mungkin dikiranya dia
itu kecakepan banget hingga digilai pria muda. Padahal
lelaki itu kan ada maunya, ada yang dia cari. Tentu
ngomongnya sih cinta. Apaan sih cinta itu?"
Riri pergi. Dia sudah merasa cukup. Ceritanya cuma
sedikit, yang banyak adalah komentarnya.
"Eh, jangan bilang-bilang sama si Tina lho, Mer.
Kasihan."
"Nggak dong. Memangnya aku gila," sahut Merry.
Tapi ia berpikir lain. Kalau bukan dia, selalu ada
191
orang lain yang akan menyampaikan. Lagi pula, sudah
seharusnyalah orang menyadari kenyataan, sepahit apa
pun. Bahkan lebih cepat lebih baik. Sebelum terlambat.
***
Abi sudah mendengar cerita itu dari Riri. Ia marah
tapi juga bingung. Haruskah ia menyampaikannya
kepada ibunya? Ia kasihan.
Ibunya mencintai Johan. Hal itu diyakini Abi. Tapi
pengkhianatan seperti itu tidak dapat ditolerir. Ibunya
harus menyadari orang macam apakah Johan itu. Seorang
pengkhianat yang ngomong busuk tentang istrinya
sendiri tidak sepatutnya dibiarkan enak-enakan.
Kemudian ia mengambil keputusan.
Setelah mencari-cari kesempatan akhirnya ia berhasil
juga berhadapan dengan Johan saat Tina tidak ada di
rumah.
"Oom, saya mau bicara."
Johan bersikap siaga.
"Oh ya? Silakan."
"Ada orang menceritakan penyelewengan Oom
dengan perempuan lain. Lalu Oom bicara jelek tentang
Mama. Kenapa Oom harus berbuat begitu? Mendingan
Oom cerai saja," kata Abi dengan nada emosional.
Tapi Johan kelihatan tenang.
"Yang ngomong begitu pasti perempuan, bukan? ltu
192
cuma isu, Bi. Jangan percaya. Mulut mereka itu berbisa.
Orang ngomong putih dibilang hitam. Bahkan orang
yang nggak ngomong sama sekali dibilang ngomong.
Tujuannya kan mengadu domba. Kalau orang lain
berantakan mereka senang."
"Oom pintar berdalih. Saya sudah tahu mental
Oom. Apa yang Oom perbuat terhadap Riri sudah
membuktikan kebobrokan mental Oom."
"Jangan bicara tentang mental orang lain bila kau
sendiri kayak gitu. Lihatlah cermin! Siapa sih kau?"
Muka Abi jadi merah.
"Buat apa saya bicara tentang diri saya kalau yang jadi
masalah adalah diri Oom? Sekarang ini saya nggak punya
masalah!"
"Oh ya? Tapi apa yang telah kauperbuat padaku?
Lupa? Nih, bekasnya masih ada," Johan menunjuk
mulutnya.
""Memang-mentang kau berbadan besar. Tak
ada respeknya sama orang yang lebih tua."
"Tapi Oom keterlaluan."
"Itu kuakui. Aku memang khilaf. Tapi, di mana sih
ada orang yang tak pernah khilaf? Habis si Riri itu dulu...
Ah, sudahlah, entar kau marah lagi. Padahal apa yang
kukatakan itu merupakan kebenaran. Nah, kembali ke
masalah tadi. Bukankah kau bisa saja menyadarkan aku
dengan kata-kata? Kau tegur saja aku. Pasti aku sadar.
Tapi kau main pukul saja. Mentang-mentang..."
193
Abi terdiam.
"Katakan saja, bahwa sebenarnya kau membenciku,
bukan?" Johan melanjutkan. Ia mendapat hati karena Abi
diam saja.
"Ya. Sejak semula kau tidak mau menerimaku.
Kau tidak rela ibumu kawin. Kau ingin memonopoli dia.
Padahal aku sudah berusaha untuk menerimamu. Tapi
kau tidak mau. Kau sombong."
"Saya curiga. Kenapa Oom mau kawin sama Mama?"
Johan tertawa seakan pertanyaan itu menggelikan.
la menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau benar-benar
belum dewasa, Bi. Coba tanya saja sama dirimu sendiri.
Kenapa kau mau sama Riri padahal dia perek, eh, bekas
perek?"
"Jangan ngomong seperti itu, Oom!"
"Kau sendiri ngomong tak keruan tentang aku. Tapi
aku tidak melarang."
"Sebaiknya kita jangan menyimpang, Oom. Betulkah
Oom sudah menyeleweng?"
Kembali Johan tertawa. Tawanya sinis.
"Siapa sih kamu berani bertanya seperti itu? Nyeleweng
atau tidak itu adalah urusan pribadiku."
"Tidak bisa! Saya punya kepentingan juga, Oom. Saya
ingin melindungi Mama!"
"Oh ya?" tegas Johan sambil memandang tajam pada
Abi. Lalu ia berkata lambat-lambat,
"Jadi kau selalu ingin
melindungi ibumu? Juga dulu?"
194
Abi tertegun. Ia berpikir dulu, berusaha memahami
kata-kata Johan itu. Mulanya terniat untuk bertanya, tapi
kemudian dibatalkannya.
"Ah, jangan menyimpang, Oom. Pokoknya saya
tidak ingin Oom menyakiti hati Mama. Daripada Oom
nyeleweng terus-terusan lebih baik Oom cerai saja."
"Enak saja anak ingusan menyuruh orang tuanya cerai.
Itu adalah urusanku dengan ibumu. Bukan urusanmu!"
"Saya akan menceritakannya pada Mama."
"Silakan. Apa yang kaudengar itu bukan suatu ke
pastian, bukan? Semata-mata cuma gosip. Kusarankan
agar kau mencari dulu buktinya. Jangan sembarangan
menuduh. Tahukah kau bahwa aku pun bisa membalas
bila diperlakukan seenaknya? Aku bisa saja menceritakan
pada siapa pun tentang hubunganku dengan Riri dulu.
Entah kepada ibunya atau kepada para langganan
salonnya!"
Abi melompat dari duduknya. Tinjunya mengepal.
Johan pun ikut melompat dan bersiapsiap.
"Kalau kau berani memukul lagi, kuadukan kau pada
polisi!" ancamnya.
Wajah Abi merah padam. Ia sampai menggigil
menahan amarahnya.
Johan merasa ngeri tapi ia bersikap menunggu.
Ancamannya ternyata ampuh. Abi terduduk kembali
dengan lesu. Diam-diam Johan tersenyum. Tapi ketika
195
ia menatap mata Abi ia bergidik. Mata itu seakan mau
menelannya hidup-hidup!
Dalam keadaan begitu mereka sama-sama tidak me
nyadari bahwa di muka pintu ada seseorang yang semula
berniat masuk rumah tapi kemudian tak jadi. Dia hanya
berdiri saja di sana diam-diam lalu pergi diam-diam pula.
Tina!
***
Malam itu Abi gelisah di tempat tidurnya. Bermacam
pikiran menghantui pikirannya. Setiap kali teringat akan
Johan ia menggertakkan gigi. Darahnya serasa mendidih.
Lalu pandangnya tertuju pada foto Riri di meja.
la meraihnya kemudian memandanginya lamalama.
Dia manis sekali, pikir Abi dengan perasaan sejuk saat
mengenang kembali saat-saat indah mereka berdua. Tapi
tiba-tiba di samping gambar Riri muncul bayang-bayang
Johan yang tersenyum mengejek. Pada suatu ketika Riri
pernah kumiliki! Demikian ejekan Johan.
"Riri... Riri...," keluh Abi. Dia toh tak bisa marah
kepada Riri. Tapi Johan itulah yang bangsat dan laknat.
Ia mengusap-usap foto itu.
Lalu dengan tiba-tiba ia terkejut lalu terduduk dengan
tegak setelah menyisihkan foto Riri. Ia menoleh ke arah
pintu. Perasaannya mengatakan, pintu dibuka orang tadi
196
karena terasa ada angin yang berembus masuk dari arah
sana. Tapi yang dilihatnya sekarang pintu tetap tertutup.
Mungkinkah ia salah?
Ia tetap duduk dan memandang ke arah pintu dengan
tegang. Lalu pelan-pelan ia berdiri.
***
Di kamarnya Johan juga gelisah. Tapi gerakan-gerakan
tubuhnya ia jaga supaya tidak sampai mengganggu Tina
di sebelahnya. Tina sudah tidur.
Johan sendiri tak bisa tidur secepat Tina. Biasanya
setelah bermesraan dengan Tina ia bisa segera terlelap,
jauh lebih dulu daripada Tina. Tapi kali ini lain. Mungkin
hal itu disebabkan karena apa yang dilakukannya bersama
Tina tadi hanyalah kepura-puraan belaka. Bukan semata
mata untuk memenuhi hasrat saja tapi lebih dimaksudkan
untuk menutupi kegelisahannya.
la memandangi wajah Tina. Dalam cahaya yang
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
remang-remang, wajah Tina kelihatan cantik. Sama sekali
tak kelihatan kesan-kesan menua di situ. Tapi akan lain
halnya bila lampu dinyalakan terang.
Lama-lama perutnya terasa lapar. Dan rasa lapar itu
semakin lama semakin menggigit. Ia tahu takkan bisa
tidur kalau perutnya tak diisi dulu. Tapi ia juga segan
turun ke dapur walaupun tahu di sana pasti masih ada
197
makanan sisa. Akhirnya perutnya juga yang menang.
Dengan malas ia bangkit. Dipandangnya lagiTina yang
tidurnya begitu nyenyak. Apakah sebaiknya minta makan
saja pada Tina? Tentu lebih enak begitu daripada harus
mengambil sendiri. Tina pasti akan melayaninya dengan
senang hati. Tapi ada rasa segan untuk membangunkan.
Mungkin karena ada perasaan bersalah.
Ia berdehem lalu batuk-batuk. Tapi Tina tetap,
tidak bergerak. Terpaksa Johan turun dari tempat tidur.
Sebelum membuka pintu ia menoleh lagi. Tak ada
gerakan tubuh Tina.
Penerangan di lorong depan kamarnya suram sekali.
Lampunya harus diganti, pikirnya. Tidak enak gelap
seperti itu. Apalagi ia pun jarang keluar malam-malam.
Baru berjalan beberapa langkah ia berhenti dengan
mendadak. Ia seperti mendengar bunyi pintu dibuka.
Ia menengok ke belakangnya tapi tak ada pintu yang
terbuka. Ia pun memandang tajam dan lama ke arah
pintu kamar Abi. Di sana juga rapat tertutup.
Beberapa saat lamanya ia berdiri tanpa bergerak.
Setelah yakin memang tak ada gerakan apaapa ia berjalan
lagi. Sebelum menuruni tangga kembali ia mendengar
bunyi. Kali ini ia membalikkan tubuh dengan cepat.
Tapi tetap tak ada apaapa. Ia memaki dalam hati. Tak
urung bulu romanya berdiri juga. Ah, kenapa pula aku
ini, pikirnya mencoba menenangkan perasaan.
198
Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu yang membuatnya
tegang. Ia harus waspada. Maka sebelum menuruni
tangga ia membungkuk dulu untuk memeriksa. Matanya
dibelalakkannya supaya bisa melihat lebih jelas dalam
keremangan. Jangan sampai ada benda berbahaya di
anak tangga. Siapa tahu ada sepatu roda lagi di situ,
siap menerima injakan kakinya. Tentu saja ia tidak mau
menerima nasib seperti si Karim yang matanya lamur itu.
Ketika ia sedang membungkuk dengan mata nyalang
itu tiba-tiba ada benda yang keras sekali menimpa
kepalanya. Sekali, dua kali. Sebegitu kerasnya hingga
terdengar bunyi krak krak, pertanda retaknya tempurung
kepala. Ia tak sempat berteriak tapi tangannya secara
refleks meraih dan mencengkeram kisi-kisi tangga ketika
tubuhnya terguling. Tapi sepakan yang keras berhasil
melepaskan cengkeraman itu. Lalu tubuhnya terguling
guling ke bawah. Akhirnya diam.
***
Di kamarnya, Bi Inem juga susah tidur. Sejak ribut
ribut itu terjadi, ia sering merasa aneh di rumah itu.
Rumah baru yang dirasanya tidak memberi ketenteraman.
Apalagi penghuninya.
Dan tangga itu.
Semestinyalah bila Ibu Tina mengganti tangga itu
199
seperti yang pernah dikatakannya ketika harihari pertama
menempati rumah itu. Kok akhirnya tak jadi diganti.
Rupanya Bu Tina sudah melupakan peristiwa mengerikan
dulu itu.
Tapi Bi Inem masih ingat betul. Dan justru sekarang
setelah suasana mulai diganggu keributan ia kerap kali
membayangkannya lagi. Dulu pun kejadiannya begitu.
Setelah ribut-ribut selama berhari-hari terjadilah
peristiwa itu. Entah kenapa ia jadi menghubungkan
yang dulu dengan yang sekarang. Ia takut. Ia tak ingin
memikirkan, apalagi membayangkan. Tapi pikiran itu
terkadang muncul sendiri. Perasaan itu datang sendiri.
Begitu saja tanpa diundang.
Saat itu pun malam hari seperti sekarang. Ia susah
tidur. Berkali-kali ia bolak-balik dan gantiganti posisi
tapi tetap saja rasanya tak enak. Belakangan ia baru
sadar bahwa perasaan tak enak itu datang dari dalam
dirinya sendiri. Ia serasa menunggu sesuatu, berjaga-jaga
terhadap sesuatu. Sepertinya kalau ada kilat menyambar
atau geledek menggelegar secara tiba-tiba, ia takkan kaget
lagi.
Akhirnya memang ada bunyi yang kedengaran tak
biasa. Tapi bukan suara geledek. Juga tak terlalu keras.
Ada sesuatu menggelinding dari ketinggian. Lalu sepi
sesaat.
Ia takut. Tapi ia lebih takut lagi bertahan di kamarnya.
Bagaimana kalau ada apa-apa sementara ia terkurung
200
sendirian? Kebakaran misalnya? Maka ia cepat-cepat
keluar. Lalu ia menjerit.
Di bawah tangga, mepet ke dinding dengan kepala
tertekuk, terletak tubuh Pak Karim. Diam tak bergerak.
Di dekatnya berdiri Abi. Sedang di atas tangga berdiri
Bu Tina dengan mulut ditutupi tangan. Di tengah
tengah tangga terletak sebuah sepatu roda dalam keadaan
terbalik. Sedang sepatu satunya lagi terletak dekat kaki
Pak Karim. Juga dalam keadaan terbalik.
Sebelum menjerit Bi Inem sempat melihat bagaimana
kedua orang itu, ibu dan anak, saling menatap dalam
diam. Seperti terpesona tanpa bergerak. Barulah ketika
ia menjerit keduanya tampak terkejut dan menyadari
situasi.
ltu peristiwa yang sudah lalu. Sesuatu yang mestinya
dilupakan dan dikubur saja, demikian pendapat Bi lnem.
Tapi nyatanya terpikir lagi. Ia merinding. Amit-amit
jabang bayi. Jangan sampai...
Tiba-tiba ada suara gaduh. Gedebak-gedebuk. Ia ter
kejut dan memekik. Setelah kebingungan beberapa saat
lamanya ia mengumpulkan keberaniannya lalu lari keluar
menuju arah suara yang tadi didengarnya.
Pada mulanya ia tak bisa bersuara. Ia terpaku. la
serasa bermimpi. Atau dia telah kembali ke masa lalu.
Mengherankan. Peristiwa yang barusan dikenangnya
seperti terulang kembali walaupun tak sama persis.
201
Di bawah tangga tergeletak tubuh Tuan Johan. Diam
tak bergerak. Di dekatnya berdiri Abi. Dan di atas tangga
berdiri Bu Tina dengan mulut ditutupi tangan. Tapi tak
ada sepatu roda.
Ibu dan anak itu sedang bertatapan. Satu di atas, satu
di bawah. Bi Inem tak mengerti. Ia takut. Ia menjerit
sekuat-kuatnya. Abi tersentak. Tina juga. Tetangga pun
bangun.
Pak Abdul tetangga sebelah rumah datang paling
dulu. Abi yang membukakan pintu untuknya. Lampu
dinyalakan terang. Baru semua kelihatan jelas.
Johan sudah tak bergerak lagi. Kepalanya berdarah.
"Jangan sentuh apa-apa! Jangan pegang apaapa!" Pak
Abdul memberi instruksi.
"Dan panggil polisi!"
Ketika akhirnya polisi datang, Abi menghampiri
mereka lalu menyodorkan kedua tangannya.
"Sayalah
yang membunuhnya, Pak!"
Orang-orang geger. Tina menangis tersedu-sedu.
202
XI
RIRI pingsan dalam pelukan ibunya. Setelah sadar ia
berlari ke luar lalu dikejar Merry. Sebelum mencapai
pintu ia berhasil ditangkap. Meriy memeluknya kuat
kuat tapi kewalahan. Riri meronta-ronta. Terpaksa Bi
Marni ikut membantu.
"Tenang, Ri. Tenanglah. Katakan dulu, kau mau ke
mana?"
"Biar Riri ditahan sama-sama Abi. Riri juga mau
menyerahkan diri ke polisi karena Riri ikut bersalah.
Lepasin Riri, Ma! Lepasin!" seru Riri diiringi tangisan
yang sedih.
Merry ikut sedih.
"Tenang dulu, Ri. Tenang. Bukan begitu caranya.
Ngomong dulu, ya? Kasih tahu Mama. Kenapa?"
Riri berhasil ditenangkan. Tapi Merry harus me
nunggu dulu sampai isak tangisnya mereda.
"Pasti Abi ngamuk karena cerita Riri, Ma."
"Cerita apa?"
"Tentang Oom Johan yang nyeleweng itu. Oh, Riri
memang salah. Mestinya Riri nggak usah cerita."
Merry tertegun. Sebegitu sayangnyakah Abi kepada
ibunya? Ia tak mengerti. Tapi ia tak mengatakan apa-apa.
203
E-Booh by syauqy_arr
Ia sibuk membelai-belai kepala Riri. Waktu Riri kecil cara
itulah yang ia gunakan untuk menghiburnya bila sedang
sedih. Dan selalu berhasil meredakan.
"Coba kalau Riri nggak cerita pasti dia nggak berbuat
begitu, ya, Ma. Tapi Riri udah pesan supaya dia jaga
emosi. Dan jangan berbuat yang nggak-nggak. Riri pesan
betul-betul deh, Ma."
"Lantas?"
"Dia bilang iya."
"Dia kelihatan marah atau kaget?"
"Iya. Tapi sesudah Riri hibur, kelihatannya sih dia jadi
biasa lagi."
"Kalau begitu, kau nggak usah merasa bersalah dong,
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ri."
"Nggak bisa dong, Ma! Pasti Riri yang salah. Mestinya
Riri ikut ditahan." Meledak lagi tangis Riri.
Merry kebingungan.
"Tapi... tapi... Mama rasa bukan begitu caranya, Ri.
Mana mungkin polisi mau menahanmu begitu saja?"
katanya setelah Riri tak menangis lagi.
Riri termangu. Setelah emosinya reda ia bisa menerima
pendapat ibunya. Tapi sesungguhnya ia tidak rela.
"Bagaimana mungkin Abi bisa begitu ya, Ma?"
"Iya. Mama juga nggak ngerti. Nggak percaya
rasanya."
"Ah, jadi Mama nggak percaya? Riri juga nggak!" seru
Riri.
204
Spontanitas Riri membuat Merry tertegun.
"Dia sudah berjanji pada Riri, Ma. Janjinya sungguh
sungguh, bahwa dia nggak akan berbuat macem-macem.
Riri percaya. Riri lega. Eh, tahutahu..."
Merry tak bisa memberi komentar. Ia takut ucapannya
dapat memancing reaksi tak terduga.
"Tapi Riri mesti ke polisi, Ma. Riri mesti menjelaskan."
Kali ini Merry tak bisa menolak. Kata-kata itu
diucapkan Riri dengan mantap. Andaikata tak diizinkan
ia pasti akan pergi juga.
"Nanti Mama antar."
"Riri juga mau menengok Abi. Riri mesti bicara sama
dia."
Tapi di kantor polisi tempat Abi ditahan mereka tak
diizinkan bertemu. Abi belum boleh dijenguk. Namun
keterangan Riri diterima dengan senang hati.
"Kebetulan," kata Kapten Polisi Baharudin dengan
senyum lebar.
"Cerita yang lengkap ya, Ri."
Tahu-tahu Riri merasa dirinya dibimbing untuk
menceritakan hal lain yang sebetulnya tak ingin ia
ceritakan, yaitu pemukulan terhadap Johan oleh Abi
ketika Abi mau membelanya. Tiba-tiba saja ia menyadari
bahwa cerita semacam itu bisa memberatkan Abi.
"Tapi itu berarti bahwa dia orang yang baik, suka
membela dan melindungi. Bukan begitu, Pak?"
Baharudin manggut-manggut saja.
205
Sementara itu Bi lnem juga menceritakan pe
ngalamannya malam itu. Bahkan ditambah pula dengan
kenangannya akan peristiwa hampir sama yang terjadi
hampir empat tahun yang lalu.
Hal itu pun jadi bahan pemikiran Baharudin. Ia
memeriksa berkas kasus itu. Di situ terdapat pengakuan
Abi bahwa ia sengaja meletakkan sepatu roda di anak
tangga. Dan kesimpulan kematian Karim disebabkan
karena ia menginjak sepatu roda itu hingga menggelinding
ke bawah tangga lalu membentur dinding. Benturan
itulah yang mengakibatkan kematian. Dia pun mengalami
retak di kepala. Sebegitu kuatnyakah benturan itu? Tak
mungkinkah ia dipukul lebih dulu sebelum terguling?
Tapi ketika itu hal itu tak menjadi pertanyaan karena
posisi tubuh Karim saat ditemukan mepet ke dinding
dengan kepala bersandar dan leher patah. Suatu posisi
yang bisa juga diartikan bahwa Karim telah mengalami
dorongan yang dahsyat dari atas ke bawah seakan
meluncur dari ketinggian yang licin. Padahal sudah jelas
dia hanya terguling-guling ditangga.
Namun ketika itu tak diadakan pengusutan lebih jauh.
Pengakuan Abi diterima karena disimpulkan memang
bisa diterima.
Kasus yang sekarang jelas berbeda. Tubuh Johan tidak
mepet ke dinding. Kepalanya tidak terbentur dinding.
Pengakuan Abi pun berbeda. Ia memukul dulu sebelum
207
mendorong Johan ke bawah. Tapi yang mengganjal
adalah caranya memukul itu. Betulkah dengan tangan
kosong? Abi berkeras mengatakan ya.
Sementara dari Tina tak banyak bisa diperoleh
keterangan. Ia cuma menceritakan, bahwa ketika itu
ia sedang tidur nyenyak sekali hingga tidak tahu kalau
Johan keluar dari kamar. Baru setelah mendengar suara
gaduh ia keluar. Tapi ia melihat Johan sudah terkapar di
bawah. Dan Abi berada di sisinya. Itu saja.
"Begitu mudahnya dia mengaku," gumam Baharudin.
"Padahal tak ada saksi yang melihat."
Lebih-lebih dalam kasus yang pertama sebenarnya
Abi bisa tutup mulut tanpa perlu mengkhawatirkan
bahwa dirinya akan dicurigai. Meskipun sepatu roda di
tangga itu memang miliknya, tapi ia bisa saja mengatakan
bahwa itu hanyalah kelalaian semata-mata dan bukan
kesengajaan. Siapa suruh Karim tak hati-hati. Ya, kenapa
dia main injak saja? Apakah dia tak punya mata ataukah
saat itu sedang mati lampu? Tapi hal itu tak disebutkan.
Pengakuan Abi terlalu mudah keluar dan terlalu
mudah pula diterima.
***
Sebenarnya kurang enak perasaan Merry, tapi dia
toh datang juga mengunjungi Tina di rumahnya untuk
208
menyatakan belasungkawa. Ada rasa bersalah karena
sebelumnya dia telah menyampaikan info perihal
penyelewengan Johan. Kepuasan yang dialaminya saat
itu kini berubah menjadi sesal. Pembalasan yang diterima
Tina sepertinya terlalu banyak. Sama sekali tak sepadan.
Merry pergi sendiri setelah menitipkan pesanpesan
kepada Riri di salon. Tapi ia tak menceritakan ke mana
tujuannya.
Tina menerimanya dengan sikap yang kurang ramah.
Tapi Meriy mencoba memaklumi. Mana ada orang
yang bisa bergembira dalam keadaan seperti itu. Baru
kemudian ia memahami sebabnya.
"Anakmu itu keterlaluan, Mer."
"Siapa? Riri?"
"Ya. Siapa lagi kalau bukan dia? Dia pasti ikut
mendengar gosip di salonmu lalu menyampaikannya
kepada Abi. Kenapa Abi mesti dikasih tahu? Mestinya dia
kan tahu bagaimana sifat si Abi itu hingga tidak perlu
usil. Ya, gara-gara dialah anakku jadi seperti ini."
Wajah Merry memerah karena malu.
"Sebenarnya dia tidak bermaksud buruk, Tin. Dia
cuma ingin memberi tahu bagaimana mental si Johan
itu," ia berusaha membela Riri.
"Huh, begitu ya? Tapi bukan itu saja. Masih ada
lainnya. Aku lihat dengan mata kepala sendiri bagaimana
Johan dan Abi bertengkar meributkan si Riri."
209
Merry ternganga.
"Apa maksudmu?" ia bertanya
bodoh.
Tina tertawa sinis.
"Nggak tahu rupanya, ya? Nggak kenal anak sendiri
rupanya. Si Riri dengan Johan pernah berhubungan
dulu. Pernah main-main, maksudku. Tentunya waktu
si Riri masih jadi perek. Nah, Abi marah karena hal
itu. Dia pernah memukul Johan karenanya. Lalu Johan
mengancam akan menyebarluaskan soal hubungannya
dengan Riri dulu itu. Jadi, anakmu itulah yang bikin
garagara!"
Merry menjadi marah.
"Kau jangan menyalahkan anakku sendiri saja dong.
Kau sendiri gimana? Kau tak pernah memperhatikan
anakmu lagi. Kamilah yang menerima dia di saat dia
gundah dan kesal. Kami menerimanya sebagai keluarga
sendiri. Dia senang di rumah kami dan bersama kami.
Kenapa begitu? Karena dia tidak senang di rumah ini!
Dia tidak senang bersamamu!"
Tak kepalang marah Tina.
"Aku juga tak suka anakku berteman dengan perek!"
Merry melotot. Keduanya berhadapan seakan mau
saling terkam. Akhirnya Merry berdiri.
"Kau tak berhak
melarang. Itu terserah pada mereka berdua! Bisakah kau
melarang?" ia mengejek sebelum berlalu.
Tina ditinggalkannya dalam kemarahan. Tapi Merry
210
sendiri juga kurang senang kepada Riri. Kenapa anak itu
tak mau bercerita?
Setibanya di salon ia berusaha menahan diri. Di situ
bukan tempatnya untuk mengutarakan perasaannya.
Nanti bisa geger. Maka ia menunggu sampai tiba saatnya
pulang ke rumah.
"Ri, aku dari Tante Tina tadi."
"Lalu?"
"Dia cerita padaku bahwa kau punya hubungan
dengan Johan dulu. Kok kau tak pernah bilang?"
Riri kaget.
"Itu kan masa lalu, Ma. Sudah lewat."
"Tapi kenapa dengan Johan. Kenapa justru dia."
"Waktu itu Riri kan nggak tahu bahwa dia adalah
Johan yang sekarang," sahut Riri dengan sedih. Selama
ini dia bangga dan bahagia bahwa ibunya tak pernah
mengungkit-ungkit masa lalunya. Apalagi menyesalkan.
Tapi ternyata ibunya masih menyimpan sesal. Padahal
masalahnya mungkin cuma karena nama dan orang
tertentu.
"Kau nggak pilih-pilih sih. Kau sembarangan saja,"
gerutu Merry.
"Ah, Mama. Sebenarnya Mama menerima Riri apa
nggak sih?"
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia menghina kita. Dia menghina Mama," keluh
Merry tanpa menjawab pertanyaan Riri.
211
Riri memandang ibunya. Tapi ibunya tak membalas
pandang itu. Mukanya cemberut. Pandangnya entah ke
mana. Kejengkelan jelas tampak di situ.
Pelan-pelan Riri berjalan ke pintu lalu membukanya.
Sebelum keluar ia menoleh. Dilihatnya ibunya tak
mengacuhkan dirinya. Ia pergi dengan sedih.
Beberapa saat kemudian barulah Merry terkejut
menyadari Riri sudah tak ada lagi di sampingnya.
"Riri! Riri!" panggilnya.
Tapi yang dipanggil tidak muncul.
"Ri!" teriak Merry lebih keras.
"Non Riri nggak ada di dalam, Bu. Di kamarnya juga
nggak ada. Mungkin keluar," sahut Bi Marni.
"Ah, keluar?" Merry kaget. Dia tak menyadari
kepergian Riri. Dia sudah menyakiti hatinya. Ah, dia
menyesal.
Merry berlari keluar rumah.
"Riri! Riri!" serunya. Tapi di sana pun tak ada Riri.
Padahal hari sudah gelap. Dia harus menyusul dan
mencari Riri. Tapi ke mana?
***
Riri mengetuk pintu rumah Tina. Bi Inem yang
membukakan.
"Ada Tante, Bi?"
212
Bi lnem memandang heran. Wajah Riri begitu kusut
dan kuyu. Matanya merah. Mungkin sedih karena Abi
nya ditahan. Tapi, kenapa mesti datang kemari? Dia tahu
betul majikannya tidak menyukai Riri. Tapi tentu saja tak
mungkin ia mengatakannya terus terang.
"Nggak ada, Non. Tadi pergi ke toko. Mungkin
sebentar lagi juga pulang."
Bi Inem berharap Riri tak mau menunggu. Tapi
ternyata tidak.
"Saya tunggu deh, Bi."
"Iya. Duduk aja, Non."
Pandang Riri tertuju ke arah tangga. Lalu menengadah ke atas. Dari sanalah Johan menggelinding setelah
dipukul. Ah, Abi.
Bi lnem mengikuti pandang Riri. Dan ia menjadi
takut dengan tiba-tiba. Sudah cukup sering ia merasa
takut. Apalagi kalau ditinggal sendirian seperti itu. Tapi
ia lebih heran lagi kepada majikannya. Sendirian tidur di
loteng. Pemberani betul. Padahal ia berharap akan diajak
mengungsi lagi seperti dulu.
"Entar saya ambilin minum, Non."
Riri tidak menyahut. Matanya masih tertuju ke atas.
Dia belum pernah melihat-lihat loteng itu. Tentu saja.
Ia baru dua kali ke situ berikut kunjungannya sekarang.
Tiba-tiba timbul rasa ingin tahu. Di mana Abi meletakkan
fotonya?
213
Ketika Bi Inem kembali membawa gelas berisi
minuman ia tertegun. Riri sudah tak ada di sana. Dengan
cemas ia menatap ke atas.
"Bi! Bi! Bi Inem!"
Bi Inem memandang lagi ke atas. Riri nongol di sana.
"Kok Non di situ sih?"
"Bi, yang mana kamarnya Abi?"
"Non, jangan ke situ. Entar Bu Tina keburu pulang."
"Nggak apa-apa, Bi. Sebentar aja kok. Bibi ke sini aja
yuk?"
Terpaksa Bi Inem menaiki tangga. Ia harus menemani
daripada membiarkan Riri sendirian. Ia perlu tahu apa
yang akan dilakukan Riri.
"Memangnya Non mau ngapain sih?"
"Saya cuma mau lihat foto saya di kamar Abi. Ayo,
Bibi temenin."
Bi Inem ragu-ragu.
"Kemarin ada polisi yang meriksa rumah, Non.
Semuanya diperiksa, dikorek-korek sampai ke dapur dan
kebun. Nggak tahu nyari apa."
"Kamar juga?"
"Iya. Semuanya. Termasuk kamar Bibi."
"Nyari apa sih?"
"Nggak tahu."
"Tanya dong supaya bisa dibantu."
"Ih, Bibi takut. Boro-boro nanya. Ngeliat tampangnya
aja udah serem. Apalagi yang kumisnya kayak sikat."
214
"Ayo, sekarang kita ke kamar Abi. Mumpung Tante
belum pulang."
"Tapi jangan ngacak-ngacak ya, Non."
"Nggak, Bi. Sumpah."
Kamar Abi tidak dikunci. Rapi.
"Bibi yang rapiin," Bi Inem mengakui.
"Bukan Tante?"
"Bukan. Saban hari juga Bibi yang rapiin kok."
Riri memandang ke sekelilingnya. Rambo sedang memandang kepadanya. Tak ada yang menarik kecuali meja
kecil di sisi tempat tidur. Ia tersenyum senang. Fotonya
ada di sana.
Riri mengambilnya lalu duduk di tempat tidur. Bi
lnem memandangi.
"Nih potret saya, Bi."
"He-eh, cakep, ya. Kayak orangnya," puji Bi lnem.
"Ah, Bibi bisa aja." Toh Riri tertawa senang.
"Tahu nggak, Non? Saban pagi kalau Bibi beresin
kamar, potret itu adanya di tempat tidur. Bibi kembaliin
di meja, tapi besok paginya lagi-lagi pindah ke tempat
tidur."
Pipi Riri jadi merah. Cepat-cepat ia berkata,
"Bisa
jalan sendiri kali, ya Bi."
Bi Inem tertawa. Sesaat ia melupakan kekhawatirannya
barusan. Senang juga punya teman bicara. Kalau ada Bu
Tina pun belum tentu ia diajak ngobrol.
215
"Tempo hari potret itu berantakan, Non. Tuh waktu
malemnya Abi dibawa polisi, besok paginya Bibi lihat
potret ini udah berantakan di tempat tidur. Bibi coba
coba aja rapiin sendiri. Eh, bisa juga. Rapi kan, Non?"
"Berantakan gimana, Bi?" tanya Riri heran.
"Potretnya dikeluarin dari bingkainya."
"Kenapa gitu ya, Bi?"
"Nggak tahu deh. Mungkin abis dicoret-coret."
Riri kaget.
"Dicoret-coret?" tanyanya sambil meneliti
potret itu. Tak ada coretan.
"Di belakangnya, Non. Ada tulisannya," Bi lnem
memperbaiki.
Dengan bernafsu Riri membongkar bingkai potret
itu. Tangannya sampai gemetar. Ini pasti tulisan Abi
sebelum dia...
Ia melihat beberapa baris kalimat. Sebuah puisi?
Kita sepasang remaja
Sama-sama pernah terbuang
Adakah masa depan?
Mereka bilang ada
Mereka bilang kita harus baik
Hanya orang baik punya masa depan
Aku ingin jadi orang baik
Kamu juga
Untuk masa depan kita berdua, Ri!
216
Riri membacanya berulang-ulang. Matanya menjadi
basah. Lalu ia mendekap potret itu ke dadanya. Baru
kemudian ia menoleh kepada Bi Inem yang memandangi
dengan terharu.
"Bi, potret ini saya bawa pulang aja, ya? Nanti kalau
Abi kembali, baru saya kembaliin."
"Coret-coret itu surat buat Non?" Bi Inem ingin tahu.
"Ya. Rupanya dia menulisnya malam itu sebelum
kejadian. Lalu nggak keburu dirapiin lagi. Tapi..."
Riri tertegun. Baris demi baris puisi Abi itu muncul
di dalam pikirannya. Dia sudah hafal. Lalu berhenti pada
baris tertentu. Ada yang janggal. Ada yang tidak cocok.
Bi lnem memandang cemas. Tiba-tiba Riri diam
termangu seperti kena sihir. Ia mengikuti arah pandang
nya. Lalu ia memekik kaget. Di ambang pintu yang terbuka
berdiri Tina. Mata Tina memancarkan kemarahan.
Riri melompat berdiri. Bi Inem mundur untuk
berlindung dekat lemari.
"Ngapain kau di sini?" tanya Tina sambil melangkah
masuk.
"Saya mencari foto ini," Riri menunjukkan potretnya.
"Ada pesan Abi untuk saya."
"Pesan apa?"
Wajah Tina memperlihatkan kecurigaan. Tangannya
terulur untuk meminta foto itu. Tapi Riri cepat menarik
kembali fotonya.
217
"Aku mau lihat," kata Tina.
"Pesannya untuk saya. Bukan buat Tante. Nggak ada
apa-apa untuk Tante."
"Kasih tahu."
"Nggak."
"Biarpun itu fotomu, tapi sudah jadi milik Abi. Dan
semua barang yang ada di sini tidak boleh dibawa keluar.
Itu pesan polisi."
"Biarin. Pokoknya pesan Abi ini untuk saya."
Tina melotot. Kemarahannya tampak mengerikan.
Bi Inem gemetar melihatnya. Tak pernah ia melihat majikannya semarah itu. Tapi Riri bersikap tegar. Bahkan
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menantang.
"Nanti kulaporkan pada polisi," ancam Tina.
"Laporin aja. Memang ini mau saya kasih polisi, kok."
Tina kaget.
"Memangnya apa sih itu? Sebagai ibu Abi
aku berhak tahu."
"Kenapa sih Tante begitu ingin tahu?"
"Tentu saja. Aku kan ibunya."
"Nanti saja tanya sama polisi."
"Kau belum cukup menghancurkan Abi rupanya!"
seru Tina geram.
Riri menjadi marah.
"Saya justru mau membela dia!"
serunya.
"Membela? Apa bisa? Huh, sok pinter aja kamu!" ejek
Tina.
218
Riri merasa ditantang. Dia akan membuktikan.
"Pesan ini bisa membuktikan bahwa Abi nggak salah.
Bukan dia yang membunuh Oom Johan!"
Tina tertegun. Ketika ia bicara lagi suaranya berubah.
Ada respek di dalamnya. Wajahnya tak lagi menampakkan
kemarahan.
"Apa iya, Ri? Apa memang bisa? Ah, kalau saja kau
memang bisa," keluh Tina. Ia memegang kepalanya
seakan sedang pusing lalu duduk di tepi tempat tidur.
Bi Inem terlupakan. Dia sengaja diam-diam supaya
tidak disuruh pergi.
Perubahan sikap Tina mengubah Riri juga.
"Saya harap aja bisa, Tante. Mestinya polisi itu pinter.
Tentu mereka harus tanggap dong."
"TapiTante nggak ngerti bagaimana pesan yang ditulis
Abi bisa membuktikan bahwa dia tidak salah. Siapa saja
bisa nulis semau dia."
"Kata Bi Inem, ia menemukan potret ini terlepas
dari bingkainya pagi hari ketika akan membereskan
kamar. Malamnya adalah kejadian itu. Abi nggak sempat
membereskan karena sebelum kejadian itu ia sedang
menulisi potret saya, lalu ia keburu dibawa polisi.
Tulisannya itu jelas menggambarkan tekadnya untuk jadi
orang baik. Jadi nggak mungkin kalau sesudah menulis
itu ia membunuh orang."
Tina mengerutkan keningnya.
219
"Coba kulihat," katanya sambil mengulurkan tangan.
Riri menyodorkan potret itu. Tapi menyesal
kemudian.
Tina membacanya sekilas saja lalu dengan tenang ia
menyobeknya!
Riri memekik sambil menerjang. Tina menghindar. la
menjauh tapi tangannya tak berhenti bekerja menyobek
nyobek potret itu.
Riri menubruk lalu mengganduli tubuh Tina dan
tangannya menjangkau untuk merebut potretnya. Tapi
benda itu sudah hancur berkepingkeping bertaburan di
lantai.
Riri melepaskan pegangannya lalu terduduk di lantai
meraupi kepingan-kepingan itu. Perasaannya hancur
luluh sehancur potretnya. Ia menangis tersedu-sedu.
Bi Inem merasa iba. Ia mendekat dan berjongkok
untuk membantu memunguti. Tapi bentakan Tina
membatalkan niatnya.
"Jangan, Bi!"
Bi Inem tertegun. Ia berdiri saja. Tina mengibaskan
tangannya sebagai isyarat menyuruh Bi Inem keluar.
Dengan patuh ia keluar tapi menunggu di depan pintu.
Ada perasaan tak tega meninggalkan Riri.
"Kenapa Tante berbuat begitu. Tante jahat sekali!"
seru Riri putus asa. Di tangannya tak terkumpul semua
kepingan potretnya. Sebagian berada di bawah injakan
sepatu Tina.
220
"Pakailah otakmu. Mungkin saja Abi sengaja menulis
begitu untuk mengecoh orang," kata Tina tenang.
"Jadi Tante lebih suka kalau Abi jadi pembunuh?
Tante percaya dia membunuh?"
"Dia sudah pernah berbuat, bukan?" kata Tina men
cemooh.
Pelan-pelan Riri berdiri. Beberapa keping berjatuhan
dari tangannya tapi tak ia hiraukan. Ia menatap Tina
dengan aneh. Sepertinya ia melihat seseorang yang lain,
yang tidak dikenalnya.
"Saya percaya dia nggak berbuat. Inilah buktinya,"
Riri mengacungkan genggaman tangannya.
"Dan kalau
dia nggak berbuat, pasti orang lainlah yang berbuat.
Orang itu akan berusaha menghancurkan buktinya."
Tina tertawa.
Amarah Riri tak bisa dibendung. Ia melompat
menyerang Tina, lalu memukul dan menjambak. Tina
menjerit-jerit kewalahan. Kepingan potret berhamburan
dari tangan Riri tapi tak ia pedulikan. Ia terus saja
mengamuk bagai kesetanan.
Tina berteriak minta tolong. Bi Inem berlari masuk
lalu berusaha memisahkan.
"Non, jangan, Non. Non..."
Saat itu seseorang berlari-lari menaiki tangga. Merry.
"Riri!" teriaknya.
Suara ibunya menyadarkan Riri. Ia menubruk lalu
memeluk ibunya.
221
"Mama, dia... dialah yang... berbuat! Dia orangnya,
Ma!"
Merry menarik Riri.
"Ayo pulang!"
"Foto Riri, Ma. Foto Riri "
Merry menyeret Riri.
222
XII
ESOK paginya Riri menghadap Baharudin. Ia men
ceritakan pengalamannya semalam di rumah Tina. Tak
ketinggalan kesimpulan dan dugaannya.
"Ada saksinya, Pak. Bi Inem."
Baharudin manggut-manggut. Ia mencoba menilai
gadis di depannya. Cerdik, spontan, dan emosional.
Tampang cuek tapi bisa tanggap juga.
"Ya. Nanti saya cek ceritamu itu."
"Adakah kemungkinan dugaan saya itu benar, Pak?"
Baharudin tersenyum saja.
Riri sadar, pertanyaannya itu takkan dijawab.
"Apakah cerita saya itu tidak cukup untuk menangkap
Tante Tina, Pak?" ia bertanya.
"Tidak."
"Jadi Bapak membenarkan tuduhannya bahwa Abi
mungkin mau mengecoh saja dengan tulisannya itu?"
"Saya tidak membenarkan, tapi kemungkinan
memang ada."
"Tapi saya yakin Abi sungguh serius waktu menulis
nya. Tulisan itu ditujukan untuk saya. Dia tidak akan
mengecoh saya. Lagi pula buat apa dia perlu mengecoh
orang kalau ternyata dia mengaku? Ya, buat apa coba?
223
Mengecoh dan menipu itu kan mainan orang yang nggak
mau ngaku!"
Baharudin tersenyum. Dia menyukai gadis ini. Pernah
jadi perek? Ah, sayang.
"Kapan sih saya boleh bertemu dengan Abi, Pak? Saya
perlu bicara dengan dia dan saya ingin melihatnya. Dia
kan nggak... nggak disiksa, ya, Pak?"
"Tentu saja tidak."
Riri tersipu.
"Biasanya tahanan suka digebukin, Pak.
Ya, itu kata orang. Kenapa sih? Barangkali mesti sedia
karung pasir."
Baharudin cuma tertawa. Ia tak mau memberi komen
tar.
"Tapi kapan saya boleh ketemu Abi, Pak?"
"Nanti. Ada saatnya dong."
"Kapan?"
"'Tak lama lagi."
"Kalau Tante Tina boleh menjenguk?"
"Boleh."
"Sering?"
"Tiap hari."
"Bagaimana sikap Abi kepada ibunya itu?"
"Biasa-biasa saja."
"Heran ya. Kok bisa begitu," Riri menggarukgaruk
kepalanya. Ia lupa bahwa ia telah menanyai seorang
perwira polisi.
"Maka itu saya perlu ketemu dia. Saya
224
perlu menyampaikan apa pendapat dan kesimpulan saya,
terutama setelah membaca puisinya. Saya ingin melihat
reaksinya. Saya ingin tahu apa yang akan dikatakannya.
Saya perlu tahu. Saya mau tanya, gimana dengan masa
depan yang dia janjikan itu kalau dia kayak begini."
Baharudin menyodorkan kertas dengan bolpen.
"Tulislah puisi yang dibuat Abi itu. Masih ingat?"
"Oh, tentu saja, Pak. Saya hafal," jawab Riri ber
semangat.
Ia menulis tanpa berpikir-pikir lagi. Tak ada sepatah
kata pun yang terlupakan. Setelah selesai disodorkannya
kembali pada Baharudin.
"Sayang Bi Inem nggak bisa ditanyain dalam hal
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. Dia pasti nggak baca. Entah bisa baca atau nggak.
Kalaupun dibacanya mana mungkin dia masih ingat,"
kata Riri sementara Baharudin membaca tulisannya.
"Puisi yang indah bagi saya," puji Baharudin.
Riri ikut bangga.
"Padahal dia nggak pernah nulis puisi-puisian
sebelumnya."
"Ya. Katanya, orang yang sedang penuh gejolak bisa
tiba-tiba menjadi penyair. Misalnya saja orang yang jatuh
cinta."
Muka Riri memerah.
"Tapi puisi ini bukan tentang
cinta, Pak. Kami berdua memang sering memasalahkan
masa depan. Mungkin gejolaknya dalam hal yang lain,
Pak."
225
"Punya perkiraan gejolak apa itu?"
"Mungkin kemarahannya pada Oom Johan, Pak.
Sorenya mereka bertengkar, antara lain tentang saya.
Soalnya saya dan Oom Johan pernah ah, itu masa lalu
saya. Abi benci kepadanya karena Oom Johan pernah
menghina saya."
"Dari mana kau tahu bahwa mereka sorenya ber
tengkar? Bukankah kalian tidak bertemu sampai sekarang
ini?"
"Dari Tante Tina, Pak. Dia bilang, dia mendengar
sendiri tentang hal itu. Nguping rupanya. Eh, kenapa
Bapak nggak tanya sama Abi saja tentang apa yang
mereka ributkan itu?"
Sesudah bertanya itu Riri menjadi malu. Tentunya
ia tak pantas bertanya begitu. Tapi Baharudin tidak ter
singgung. Ia tersenyum saja.
"Oh ya, sebelum lupa aku mau menyampaikan pesan
seseorang yang katanya ingin sekali ketemu kau, Ri."
"Abi?" tanya Riri spontan dan girang.
Baharudin menggelengkan kepala. Riri tersipu. la
terlalu kentara memperlihatkan perasaannya. Sesuatu
yang belum juga bisa diatasinya meskipun ia sudah tahu
itu kurang baik.
"Dokter Waluyo."
***
226
"Dok ingin ketemu saya tentang persoalan Abi,
bukan?" tebak Riri begitu berhadapan dengan Dokter
Waluyo.
"Betul sekali, Ri. Saya ingin tahu tentang dia. Oh
ya, ceritanya sudah saya dengar dari polisi. Saya punya
hubungan baik dengan mereka karena sering kali diminta
jadi saksi ahli. Tapi saya belum dengar ceritamu. Kau
pasti punya cerita yang khusus."
Tekanan suara Dokter Waluyo membuat Riri merasa
dirinya istimewa. Dia bangga akan hal itu.
"Memang ada, Dok. Tapi kelihatannya nggak ada
orang yang mau percaya. Polisi nggak, ibu saya juga
nggak. Mereka serius, mereka manggutmanggut, tapi
cuma itu aja. Cuma manggutmanggut doang buat
apa? Padahal saya pikir, cerita dan penemuan saya itu
luar biasa. Mestinya mereka loncat dan cepat-cepat
menangkap orangnya," keluh Riri. Tapi dia senang
bisa bicara begitu kepada Dokter Waluyo. Bagaimana
mungkin dia melupakan bahwa sesungguhnya masih ada
orang yang mau memberi perhatian?
"Siapa orangnya, Ri?"
"Tante Tina," kata Riri lambat-lambat sambil
memperhatikan reaksi Dokter Waluyo.
Tapi Dokter Waluyo tidak kelihatan kaget atau heran.
Biasa saja. Itu menjengkelkan Riri. Jangan jangan Dokter
227
Waluyo sama saja dengan yang lain. Tapi ternyata dialah
yang kaget kemudian.
"Saya juga punya perkiraan yang sama, Ri!"
Riri melompat dari duduknya dan bersorak girang.
Dokter Waluyo tersenyum membiarkan Riri
melampiaskan kegembiraannya.
"Kalau begitu, ayo kita ke polisi sekarang, Dok.
Mereka pasti percaya kalau yang ngomong orang ahli,"
ajak Riri.
"Sabar, Ri. Sabar dulu. Tenang. Caranya nggak segampang itu. Kita harus mencari jalan dulu."
Riri terduduk dengan rupa heran.
"Jalan apa, Dok?"
"Ah, kau tak ingin tahu kenapa saya sampai punya
perkiraan yang sama denganmu? Mestinya kau tahu
dulu."
Riri tersipu. Dia terlalu girang.
"Ya. Saya, lupa Dok," katanya mengakui.
"Sebaiknya kita berbincang-bincang dulu. Kau
bercerita. Saya juga. Lalu kita bertukar pikiran. Ini
penting sebelum kita melangkah lebih jauh."
Riri merasa takjub. Dia diajak bertukar pikiran? Tentu
saja dia antusias sekali. Maka ia menceritakan semuanya.
Paling akhir ia mengeluarkan selembar kertas bertuliskan
puisi Abi. Itu sudah ia sediakan dari rumah supaya
gampang kalau ditanyakan.
"Bagus sekali, Ri. Kesimpulanmu juga. Wah, meng
228
hadapi persoalan begini membuat otak kita jadi diasah,
ya?"
Riri membenarkan dengan senang.
"Sekarang giliran saya. Kita bertukar cerita, ya? Terus
terang tentang kasus yang sekarang ini saya tidak tahu
banyak, karena cuma mendengar dari pihak lain. Ya,
terutama dari Riri barusan. Tapi tentang yang pertama,
kasus kematian pak Karim, saya cukup tahu. Dan tentu
saja juga mengenai pribadi Abi. Saya sudah mengikuti
perkembangannya sejak kecil."
Riri mendengarkan dengan respek. Ia menunggu
dengan sabar ketika Dokter Waluyo menghentikan
pembicaraan dan memandangnya sebentar.
Sambil menatap wajah Riri yang penuh konsentrasi
itu, pikiran Dokter Waluyo melayang sejenak. Terutama
kepada wawancara dan diskusi yang dilakukannya
bersama Abi. Lebih-lebih saat Abi berada dalam keadaan
dihipnotis. Itu yang paling penting karena merupakan
ungkapan kebenaran. Sesuatu yang takkan diutarakan
Abi bila ia berada dalam keadaan sadar. Dan kalaupun
diutarakan mungkin hanya sebagian atau caranya tidak
terus terang. Padahal itu merupakan beban berat baginya
bila ia menyimpannya terus. Tapi ia merasa harus
menanggungnya seberapa pun beratnya. Beban itu adalah
bayarannya atas budi yang pernah ia terima!
"Bukan saya yang meletakkan sepatu roda itu di tangga.
Bukan saya penyebab jatuhnya Papa. Ketika saya ke situ
229
dia sudah terkapar di lantai. Saya tidak tahu bagaimana
jatuhnya."
"Kalau memang bukan, kenapa kau spontan mengaku
sebelum ditanya apa-apa?"
"Di rumah cuma ada tiga orang selain Papa. Saya,
Mama, dan Bi' Inem. Pasti Bi Inem nggak punya
kepentingan. jadi kalau bukan saya, siapa lagi?"
"Mungkin saja itu suatu kecelakaan. Ayahmu
terpeleset sendiri."
"Tapi siapa yang meletakkan sepatu roda itu? Di situ
bukan tempatnya. Padahal sepatu itu milik saya."
"Jadi kau percaya ayahmu terguling lalu meninggal
karena menginjak sepatu roda itu?"
"Tidak. Waktu kecil sayajuga pernah terguling dari atas
tangga yang sama lalu membentur dinding yang samajuga.
Tapi saya nggak mati. Kepala saya benjol gede tapi nggak
retak."
"Tapi itu tidak kaukatakan pada polisi."
"Tentu saja nggak. Buat apa saya ngaku jika itu saya
ceritakan.
"
Itulah pengakuan Abi dari bawah sadarnya. Me
ngesankan tapi mengejutkan. Toh itu belum cukup.
Masih ada yang lainnya.
"Bukan saya yang menghancurkan barang barang Papa
di atas meja tulisnya. Saya sudah bilang .bukan saya, tapi
nggak dipercaya."
230
"Punya perkiraan siapa yang berbuat?"
".Ya Kalau bukan saya, siapa lagi? "
Toh Abi tidak menyebutkan terus terang siapa
orangnya. Memang peka untuknya. Karena itu Dokter
Waluyo juga menghindari hal yang sama.
"Kenapa dia berbuat begitu?"
'Mungkin dia benci sama Papa."
"Bagaimana perasaanmu waktu disalahkan?"
"Saya sedih dan kecewa sekali. Karena itu saya lari."
"Tapi kau toh mau diajak pulang kemudian."
".Ya Saya sudah bosan dan capek di luar. Nggak ada
kasih sayang. Di rumah ada. Lagi pula saya dicari dan
disuruh pulang, berarti saya masih disayang "
Hal-hal semacam itu dulu tak pernah diutarakan Abi
sewaktu Dokter Waluyo memberinya terapi, setelah dia
ditemukan kembali dari pelariannya. Dia tak pernah
menyatakan kekecewaannya bahwa dia telah disalahkan
untuk sesuatu yang bukan dilakukan olehnya.
"Pernahkah kau menceritakan tentang dua peristiwa
itu kepada orang lain?"
"Tidak Saya hanya pernah keceplosan bicara sekali. Itu
adalah waktu saya baru pulang dari LI? Saya bertengkar
dengan Mama. Saya penasaran sekali. Tapi kemudian saya
menyesal.
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"
Tapi Dokter Waluyo menyadari betul, pengakuan
itu merupakan sesuatu yang suci bagi Abi. Dia takkan
231
mengatakannya bila berada dalam keadaan sadar. Dia
kaget setelah tahu bahwa rahasianya itu jadi milik
Dokter Waluyo juga. Baru dia lega setelah dijamin bahwa
rahasianya itu akan disimpan dengan baik.
Karena itu, tentu Dokter Waluyo tak mungkin
menceritakannya pada orang lain, bahkan juga kepada
polisi, tanpa kehilangan kepercayaan dan respek. Tak
peduli tujuannya adalah untuk menyelamatkan Abi
sendiri.
Jadi Dokter Waluyo tak mungkin pula mencerita
kannya pada Riri. Tapi dia pun tak mungkin membiarkan
saja Abi menanggung dosa orang lain. Dia harus
menggunakan cara lain. Riri adalah sarananya yang
paling tepat. Tak ada orang lain selain Riri.
"Setiap anak membutuhkan kasih sayang. Abi juga.
Dia memperolehnya dari ibunya. Tapi tidak dari ayahnya.
Tapi masa kecilnya sangat menyusahkan. Toh ibunya
mengurusnya dengan baik. Bahkan mengorbankan
hidup perkawinannya. Hal itu lebih disadari Abi
setelah tahu bahwa dirinya bukan anak kandung. Ia
merasa berutang budi kepada ibunya. Dan ibunya
memanfaatkan. Mungkin pada mulanya Bu Tina tidak
tahu seberapa banyak perasaan berutang budi dalam diri
Abi. Dia baru menyadarinya ketika secara spontan Abi
mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya itu. Abi
ingin melindunginya! Dia tahu dan yakin hingga tidak
jera mengulanginya lagi."
232
"Kalau dia menyayangi Abi, kenapa dia membiarkan
Abi berkorban untuknya?" tanya Riri tak mengerti.
"Dia menyayangi Abi tapi menuntut imbalan."
Riri mendesis gemas.
"Tapi, apa sebenarnya yang menyebabkan Dok percaya bahwa Abi tidak bersalah?" tanya Riri.
Nah, pertanyaan itu membuktikan bahwa Riri tidak
terkecoh oleh keterangannya yang panjang, pikir Dokter
Waluyo. Untung ia sudah siap. Masih ada hal yang bisa
dikemukakannya walaupun sebenarnya tidak kuat untuk
dijadikan bukti ketidaksalahan Abi.
"Ketika Abi berada dalam terapi, saya menghubungi
ayahnya, Pak Karim itu. Supaya berhasil tentu saja saya
juga membutuhkan dukungan kedua orang tua, bukan
salah satu saja. Apalagi si ayah ini sudah jelas merupakan
biang keladi. Mulanya sulit, tapi lama-lama saya bisa
juga mendekati. Sampai suatu saat saya melihat Pak
Karim mulai berubah. Sikapnya terhadap Abi lebih baik.
Hal itu diakui juga oleh Abi. Dia senang karenanya.
Itu juga salah satu sebab kenapa dia bisa meninggalkan
kebiasaannya mengisap ganja. Sampai-sampai saya yakin
bahwa hubungan keduanya bisa lebih baik dan bisa akrab
pada suatu saat. Tapi ternyata berantakan. Pak Karim
keburu meninggal. Saya hampir-hampir tak percaya akan
kasus itu. Apa iya bisa begitu? Tapi dia ngaku kok. Kalau
ditanya apa sebabnya, dia bilang benci. Cuma itu saja.
233
Padahal saya tahu, kebencian pada ayahnya sudah tak ada
lagi. Selanjutnya dia diam seribu basa. Itu yang tak masuk
akal."
"Jadi itu membuat Dok yakin bahwa dia nggak
bersalah?"
"Ya."
"Lantas kenapa Dok juga punya perkiraan bahwa
Tante Tina-lah pelakunya?"
"Di rumah itu tak ada orang lain yang bisa dicurigai."
"Apa Dok nggak bilang soal keyakinan itu kepada
polisi?"
"Keyakinan saja tidak cukup."
"Dan Abi nggak dibujuk supaya terus terang?"
"Sudah, tapi tak berhasil."
"Lantas pada kasus yang sekarang ini, kenapa Dok
punya perkiraan sama juga?"
"Ingatan akan kasus yang pertama masih kuat sekali.
Kepercayaan saya waktu itu mendorong saya untuk
percaya lagi. Dia sudah dimanfaatkan. Tapi kepercayaan
saya itu tentu bukan tanpa alasan. Saya rasa saya sudah
mengenal pribadinya cukup baik. Ibunyalah yang punya
problem. Bukan dia."
Riri memandang penuh respek pada Dokter Waluyo.
"Oh, saya juga ingin punya kepercayaan seteguh
itu. Padahal cuma soal keyakinan saja, ya. Sebenarnya
penemuan saya lebih mantap," kata Riri berbangga
sambil menunjuk puisi Abi.
234
"Memang betul. Jadi kita sama-sama punya keyakinan
yang sama."
"Apakah Dok sudah bertemu dengan Abi? Kalau
ketemu Dok mesti membujuknya."
"Oh, sudah. Tapi sama seperti dulu dia nggak bisa
dibujuk. Keras kepala."
"Apakah dia baik-baik, Dok?"
"Baik."
"Nggak disiksa?"
"Nggak."
"Ah, saya ingin ketemu dia tapi nggak boleh."
"Jangan kecewa dulu. Nanti juga boleh."
"Ah, nanti terlambat dong. Nanti dia keburu di
hukum. Aduh, bukankah nanti dia akan dimasukkan LP
dewasa? Kasihan Abi," kata Riri sedih.
"Sekarang bukan waktunya untuk bersedih, Ri.
Simpan tenaga. Mari kita kerja sama untuk mengeluarkan
Abi. Mau, Ri?"
"Mau, Dok! Apakah kita akan menjebol tahanan?"
Dokter Waluyo tertawa.
"Wah, kalau gitu sih kita bukannya mengeluarkan Abi
tapi menemani Abi."
Riri ikut tertawa melupakan kerisawannya.
"Apakah tenaga saya bisa dipakai, Dok?"
"Bukan cuma bisa tapi perlu, Ri. Hanya kau yang
bisa."
235
"Oh ya?" Riri membelalakkan mata.
"Gimana cara
nya, Dok?"
"Tapi kau mau, kan?"
"Ah, kan tadi udah bilang mau," kata Riri tak sabar.
"Ayo dong katakan, caranya gimana, Dok?"
"Sederhana tapi susah. Kau harus bertarung dengan
Bu Tina."
Riri terbelalak lagi.
"Kalau cuma begitu sih saya pasti
menang, Dok," katanya mengenang pergumulannya
dengan Tina tempo hari. Bukankah Tina tak berdaya
dibuatnya?
"Tapi masa caranya begitu, Dok."
"Iya. Memang ngga begitu. Yang saya maksudkan
bukan berantem secara fisik. Kau harus bertarung me
lawan Bu Tina memperebutkan Abi!"
Riri tertegun sebentar. Kemudian ia bersorak. Semangatnya membubung.
"Saya mengerti, Dok! Oh, tak sabar lagi rasanya saya
menunggu Kapan, Dok?"
"Sabar. Kau harus punya persiapan yang matang lebih
dulu. Tidak gampang mempengaruhi Abi, Ri. Saya sudah
membuktikan hal itu. Dia menaruh respek pada saya tapi
dia tidak mau mematuhi saya. Mari kita pikir dan atur
bersama."
Riri jadi serius juga. Ia sadar betul, apa arti dan akibat
pertarungan itu. Kalah atau menang bukan cuma punya
arti bagi Abi seorang saja, tapi juga bagi dirinya sendiri!
236
XIII
REKONSTRUKSI mulai dilakukan sekitar jam delapan
malam.
Riri dengan ibunya datang bersama Dokter Waluyo
untuk ikut menyaksikan. Mereka mendapat tempat yang
enak karena diberi prioritas oleh petugas.
Tina melotot melihat mereka tapi tak bisa mengusir.
Orang-orang tak dikenal saja sudah berjejal ingin ikut
menyaksikan. Kalau saja tak diamankan petugas pasti
rumah itu bisa jebol.
Seorang polisi berperan sebagai Johan. Dia berdiri
di puncak tangga. Tina masuk ke kamarnya. Abi pun
menuju kamarnya di ujung lorong dengan ditemani
seorang polisi.
Setelah aba-aba tanda mulai dibunyikan, Abi berjalan
keluar dari kamarnya dengan langkah pelan-pelan.
Gayanya seperti orang mau menangkap ayam. Tubuhnya
yang tinggi besar itu membungkuk. Di antara penonton
ada yang mengatakan,
"Maling ayam!" lalu orang-orang
tertawa. Rupanya biarpun penerangan suram, penonton
yang nyeletuk itu masih bisa melihat adegannya.
Petugas pemeran Johan bersiap akan menuruni
tangga. Dalam posisi seperti itu, Abi mendatangi dari
sebelah kirinya sesuai dengan letak kamarnya yang berada
di ujung lorong sebelah kiri si petugas. Sedang kamar
Tina berada beberapa langkah di belakangnya.
Dalam jarak beberapa meter Abi menyergap. la
mengayunkan tangannya di atas kepala si petugas. Tentu
saja tidak sampai kena. Lalu si petugas menuruni tangga
sambil mengetuk-ngetukkan kakinya dengan keras,
sengaja membuat gaduh seakan sedang jatuh terguling.
Setibanya di bawah tangga ia merebahkan dirinya dengan
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
posisi seperti ketika Johan ditemukan tempo hari.
Kemudian Abi turun dan berdiri di sebelahnya. Tina
juga keluar dari kamarnya dan tetap berdiri di atas. Tak
lama kemudian muncul Bi Inem dari kamarnya yang
terletak di ruang bawah.
Maka adegan dinyatakan selesai. Penonton disuruh
bubaran. Mereka bubar dengan segan. Tapi Riri dan
ibunya beserta Dokter Waluyo tetap tinggal.
Petugas yang memerankan Johan tadi terlibat pem
bicaraan dengan Baharudin. Mereka bicara pelan. Lalu
Baharudin menyuruh Abi mengulang adegan saat ia
berindap-indap mendekati. Tapi kali ini Baharudin
sendiri yang berdiri di depan tangga dengan posisi akan
turun.
Setelah adegan itu selesai, lampu dinyalakan terang.
Abi disuruh beristirahat. Ia duduk di samping Tina.
Barulah pada saat itu Abi melihat Riri. Tadi di samping
238
penerangannya suram orang yang hadir pun terlampau
berjejal. Ia sendiri membutuhkan konsentrasi hingga
tidak mungkin bisa mengenali siapa-siapa yang hadir.
Abi kaget melihat Riri. Mulutnya bergerak seperti
hendak bicara tapi tak jadi. Ia tersenyum tapi kaku.
Riri mengangkat tangannya sedikit.
"Hai!" katanya
dengan senyumnya yang biasa.
Abi cuma memandang. Riri juga. Mereka saling memandang saja seakan tak ada orang lain. Akhirnya Abi
menundukkan mata dan kepalanya.
Di sebelahnya, Tina menyadari adanya pandang
memandang itu. Ia mengulurkan tangan lalu memegang
tangan Abi, seakan takut Abi diambil orang.
Tiba-tiba Riri melompat bangun, menyambar kursi
lalu meletakkannya di sebelah Abi. Di situ ia duduk.
Sikapnya tenang seakan perbuatan seperti itu sangat
wajar. Ia pun tidak memandang kepada Tina.
Tina kaget. Ia menarik tangan Abi lalu meletakkannya
di atas pangkuannya. Sikapnya siaga. Abi hanya tertegun.
"Bi, kau baik-baik saja?" tanya Riri dengan suara
pelan. Kepalanya didekatkan.
Tina menggeser duduknya lebih merapat kepada Abi.
"Baik. Dan kau?" sahut Abi dengan wajah kaku. la
malu.
"Aku baik tapi kau tidak," kata Riri agak ketus, tapi
masih perlahan.
239
"Maafkan aku."
"Hem. Maaf buat apa?"
Tiba-tiba Riri tidak tahan. Lebih-lebih setelah ia
melihat pandang sinis Tina kepadanya. Ia menyisihkan
semua ajaran Dokter Waluyo. Katakatanya mengalir
sendiri di luar rencana. Ia memang sudah melupakannya.
"Aku nggak percaya kau berbuat begitu, Bi! Tidak
mungkin!" serunya lantang.
Semua orang menoleh. Abi juga kaget. Tak terkecuali
Dokter Waluyo. Wah, apa hasilnya permufakatan
mereka tempo hari? Ia mengeluh dalam hati. Apa yang
dikatakan Riri itu sama saja dengan apa yang pernah
dikatakannya sendiri kepada Abi. Hasilnya tak ada. Yang
bisa menyentuh Abi bukanlah soal percaya atau tidak.
Juga bukan soal utang budinya kepada Tina. Itu sudah
dijelaskannya kepada Riri. Tapi ternyata itu pula yang
dikemukakan Riri.
Belum sempat Abi bereaksi, Riri sudah melanjutkan,
"Tidak seharusnya kau menanggung dosa Tante! Jangan
mau, Bi! Jangan mau!"
Tina melotot.
"Tutup mulutmu, Perek!" serunya.
"Jangan menuduh orang sembarangan, ya! "
"Emang Tante pembunuhnya! Ngaku aja! Kenapa
mesti Abi yang nanggung?"
Tina melompat berdiri.
"Tangkap dia, Pak!" serunya
kepada seorang polisi sambil menunjuk Riri.
"Dia sudah
memfitnah saya! Dia juga pernah menganiaya saya!"
240
Tapi tak ada yang bergerak. Semuanya bagai terpukau
menyaksikan sandiwara yang penuh ekspresi. Sementara
Abi yang ada di tengah kedua wanita itu nyaris terlupakan.
Tapi Dokter Waluyo bisa melihat bagaimana wajahnya
mengeras. Sepertinya ada kebulatan tekad di situ. Ia diam
saja seperti tidak terlibat.
Dokter Waluyo menggeleng-gelengkan kepala. Lebih
lebih setelah melihat Riri berdiri juga. Kedua wanita itu
berhadapan. Wah, kini mereka bertarung bener-beneran,
keluhnya bingung.
Riri mencibirkan bibirnya. Kelihatannya lucu. Sangat
berbeda dibanding Tina yang dalam kemarahan tampak
mengerikan.
"Kalau Tante sayang Abi, kenapa tega membiarkan dia
menanggung dosa Tante? Dia kan masih muda. Kasihan
dong, Tante!"
"Diam! Pergi kau! Pergi dari kehidupan kami! Lihat,
Abi juga nggak peduli sama kamu!"
Riri melirik kepada Abi. Ia melihat wajah seperti
patung. Kaku dan beku. Ia kaget lalu sepenuhnya sadar.
Ya Tuhan, apa yang sudah diperbuatnya? Ia sudah berlaku
tolol. Tak berani ia memandang wajah Dokter Waluyo di
sebelah sana.
Kebingungan Riri berdiri saja tanpa kata-kata. la
hampir melupakan apa saja yang telah diajarkan Dokter
Waluyo kepadanya. Emosi telah menghanyutkan
semuanya. Ah, tidak semuanya.
241
Sementara itu Tina tersenyum penuh kemenangan. la
berkacak pinggang. Suatu sikap yang tanpa disadarinya
telah menimbulkan antipati pada para penontonnya.
Riri juga tersenyum. Senyumnya yang paling manis.
Tina memandang curiga. Tapi Riri tak mempedulikannya.
la berdiri berhadapan dengan Abi.
"Bi, ada yang ingin kusampaikan padamu. Dengarkan
baik-baik, ya. Kita sepasang remaja. Sama-sama pernah
terbuang Adakah masa depan? Mereka bilang ada. Mereka
hilang kita harus baik. Hanya orang baik punya masa
depan. Aku ingin jadi orang baik. Kamujuga. Untuk masa
depan kita berdua, Bi!"
Keras dan lantang suara Riri. Kata demi kata terucap
jelas.
Abi mengangkat mukanya. Ia menatap Riri. Wajahnya
yang beku menjadi sendu.
"Kau membacanya?" ia bertanya.
"Ya. Sayang sekali potret itu sudah robek. Hancur."
Abi membelalakkan matanya.
"Siapa yang meng
hancurkan?" ia bertanya dengan nada marah.
Tina duduk pelan-pelan.
Riri melirik Tina sebentar saja. Tapi ia tidak menyebut
nama.
"Sudahlah. Nanti kuberikan gantinya. Untung aku
sudah hafal puisimu, Bi. Bagus sekali, ya. Terima kasih,"
kata Riri lembut.
242
"Maafkan aku."
"Aku ingin jadi orang baik. Kamu juga, bukan, Bi?
Untuk masa depan kita?"
Wajah Abi menampakkan kebimbangan. Ragu-ragu
ia menoleh pada ibunya.
"Jangan dengarkan dia, Bi!" seru Tina.
"Jangan
dengarkan! Dia bukan apa-apamu. Tapi aku adalah
ibumu, orang yang telah merawat dan mengasuhmu sejak
kecil. Tak peduli kau begitu menyiksa dan merongrong.
Ayahmu membencimu. Tak ada yang menyukaimu.
Cuma aku yang sayang. Cuma aku yang peduli. Kau tak
ingat semua itu?"
Abi memutar tubuhnya. Kini dia berhadapan dengan
ibunya.
Riri yang masih berdiri melayangkan pandang kepada
Dokter Waluyo yang memberi tanda dengan ang
gukan kepala pelan. Riri duduk dan menutup mulut
nya. Dia sadar seperti juga orangorang lain di situ,
bahwa masalahnya sekarang adalah antara Abi dan
ibunya. Sesuatu yang tersembunyi kini mulai terangkat
ke permukaan. Mereka, para penonton, harus diam tak
bergerak bila tak ingin kehilangan momen berharga.
"Sebetulnya Papa sudah nggak membenci Abi lagi
sampai saat isi meja tulisnya dihancurkan orang. Apakah
Mama sengaja supaya dia membenci Abi lagi? Dulu Abi
nggak mikir ke situ. Dan sebelum Papa mati hubungan
243
Abi dengannya juga sudah mulai baik. Kita sebetulnya
bisa rukun bertiga. Seperti orang lain. Sebetulnya Mama
nggak perlu melenyapkannya. Dulu Abi pikir Mama
nggak tahu. Barangkali Mama kira Papa masih membenci
Abi. Jadi Mama berbuat begitu untuk melindungi Abi.
Tapi sekarang "
Wajah Tina menjadi pucat.
"Ngomong apa sih kau? Ngaco "
"Lalu Oom Johan lagi. Mama kan nggak perlu
membunuhnya?"
"Kamu sudah dipengaruhi si Perek! Apa kau mau
memihak dia dan melawan ibumu sendiri? Jangan, Bi.
Jangan..."
"Maafkan Abi, Ma. Sekarang Abi ingin punya masa
depan."
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tina memekik histeris. Ia menubruk Abi lalu memukulinya. Abi tak menghindar. Ia cuma melindungi
mukanya dengan kedua tangan.
Semua orang tersentak. Mereka berdua segera
dipisahkan. Tina dibawa ke ruang lain. Dia menangis dan
meronta-ronta sambil memanggil manggil Abi.
Abi memandangi dengan kepedihan di matanya.
Wajahnya kuyu. Kentara punya beban berat.
Mestinya itu suatu kemenangan. Tapi Riri sadar,
bukan saatnya untuk bersorak. Sebaliknya ia sangat
terharu. Ia meraih lengan Abi.
244
"Maafkan aku juga, Bi. Aku kasar sekali tadi, ya."
Abi mengangkat mukanya menatap Riri. Meskipun
lelah dia tampak lega. Juga senyumnya. Tak ada yang
dipaksakan.
"Kau dikatai perek."
"Nggak apa-apa. Itu kan dulu. Bukan sekarang."
"Ya. Dulu dan sekarang memang lain. Entah nanti."
"Jelas lain juga dong."
Mereka tertawa.
"Masih sedih?" tanya Riri.
"Masih. Aku sedih dan kasihan untuk Mama. Tapi
di sini rasanya sudah nggak berat lagi." Abi menunjuk
dadanya.
Mereka kembali saling memandang serasa tak puas
puas. Tahu-tahu mereka menyadari tak ada orang lain
sekeliling mereka. Sebagian pergi ke luar dan sebagian
lagi masuk ke dalam, ke ruang di mana Tina dibawa.
Bahkan Dokter Waluyo dan Merry juga sudah pergi
entah ke mana.
"Lho, kok aku nggak dijaga lagi?" kata Abi heran.
Riri tertawa.
"Kan masih ada aku. Aku yang jaga!"
Abi tertawa juga. Lalu dengan tiba-tiba ia menarik
Riri.
***
245
Setelah emosinya reda, Tina bersikap dingin.
"Anda tidak bisa membuktikan tuduhan itu, Pak,"
katanya kepada Baharudin.
"Akan kami buktikan nanti. Ada sidik jari pada batang
besi yang kami temukan, Bu."
Tina kaget. Ia diam.
"Sama sekali tidak meyakinkan sandiwara yang dibuat
Abi itu, Bu," kata Baharudin lagi.
"Dia berlakon seenaknya
tadi. Dengan badan tinggi besar lalu jalan berindap-indap
kayak maling dari ujung lorong menuju sasaran yang
posisinya menyamping, bukan membelakangi, adalah
menggelikan sekali. Biarpun penerangan kecil, masih
kelihatan jelas dari sudut mata. Kecuali kalau mata itu
sudah tidak bisa melihat. Jelas dia mengada-ada saja. Tak
mungkin ada orang yang mau dipukul begitu saja tanpa
melawan. Dan kalau terjadi pergumulan pasti akan lain
ceritanya. Tapi lain lagi halnya bila korban didekati dari
belakangnya dan dari jarak yang dekat, yaitu dari kamar
Anda!"
Tina diam. Ia sudah kehilangan gairah untuk berbicara.
"Mestinya Ibu bangga bisa punya anak angkat seperti
itu. Anak kandung saja belum tentu. Dia membela
Ibu benar-benar. Bayangkan. Hampir tiga tahun di
LP dilakoninya untuk Ibu. Berterima kasihlah, Bu.
Sayangnya Ibu tidak tahu batas!"
246
"Sudahlah. Jangan banyak bicara, Pak. Bawalah saya."
Tina sudah menyerah.
Sementara itu di luar rumah terjadi percakapan antara
Dokter Waluyo dengan Merry.
"Bila batang besi yang jadi alat pembunuh beserta sidik
jari Tina itu sudah ditemukan sejak kemarin-kemarin
dan rekonstruksi tadi terasa ganjil, kenapa Tina masih
saja dibiarkan berlagak?" tanya Merry tak mengerti.
"Pasti akan lebih memuaskan bila Tina mengakui
sendiri perbuatannya tanpa paksaan. Tapi yang tak kalah
penting juga adalah mereka mau memberi kesempatan
kepada Abi untuk menemukan dirinya sendiri."
"Emangnya belum ketemu?" Merry keheranan.
"Maksud saya, dia bisa mengatasi pengaruh negatif
ibunya."
"Oh, begitu. Bilang dong dari tadi."
Mereka melangkah masuk. Tapi tertegun kemudian.
Sepasang remaja yang dicari sedang duduk berdampingan.
Mesra dengan kata, senyum, dan pandang yang manis.
TAMAT
Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Tanah Warisan Karya Sh Mintardja Rare Beast Edgar And Ellen Karya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama