Ceritasilat Novel Online

Misteri Keempat Wajah Anastasia 3

Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd Bagian 3



Senin pagi ketika dia baru turun dan Kamartidurnya di loteng, Siska sudah menyambutnya. Memang bagian bawah rumahnya ini dipakai sebagai kantor sedangkan bagian atas adalah tempat tinggalnya.

"Selamat pagi, Bu Ana!" kata Siska.

"Pagi, Sis! Aku baru tiba kemarin malam dengan pesawat terakhir. Pagi ini bangun kesiangan, ya," senyum Anastasia.

"Masih pagi, kok. Belum ada tamu."

"Gimana apakah selama kutinggalkan ada problem? Kau nggak pernah menelepon jadi aku anggap semuanya beres."

"Beres kok. Cuma ada dua pesanan baru dan sudah dikerjakan Pak Ridwan."

"Sepi, ya? Ekonomi lagi sulit, sih, Sis. Orang semua pada sangat berhati-hati mengeluarkan uangnya. Lain dengan tahun-tahun awal delapan puluhan. Wah pada waktu itu semua pengusaha punya uang berkelimpahan sehingga biro jasa macam kita begini bisa maju pesat. Waktu itu Madona Jakarta bisa terima lebih dari sepuluh pesanan dalam sehari!"

"iya, kira-kira resesi masih akan terasa dampaknya satu-dua tahun lagi, ya. Bu. Moga-moga saja kita terus bisa berkembang."

"Kita harus fleksibel kalau mau hidup. Aku lihat di Jakarta pun pemasukan dari

bidang jasa modelling menurun juga. Tapi untung di sana ada cabang senam dan fitness. Ini yang maju pesat. Sekarang kelas-kelas di sana ditambah sampai pukul delapan malam! Apalagi setelah dibuka kursus keluwesan malam hari sekali. Banyak gadis yang bekerja siang harinya yang sekarang bisa ikut kursus malam."

"Mungkin di sini juga bisa kita terapkan yang sama, Bu?" tanya Siska.

"Kursus senam dan fitnes memang sedang digemari orang. Apalagi Madona sudah punya nama, pasti bisa merebut pasaran."

"Ya, aku juga sudah berpikirke sana, cuma kita tidak boleh gegabah. Mencari pelatih yang ahli di Jakarta dan di sini berbeda. Biarlah kita pelanpelan mengembangkan dulu apa yang sudah ada sekarang. Kalau sekaligus mau menangani terlalu banyak segi, malah berantakan," kata Anastasia.

"Eh, bagaimana, Sis, apakah kau sudah berhasil mendapatkan informasi mengenai identitas orang yang suka mengirim bunga itu? Aku lihat hari ini sudah nggak ada bunga lagi."

"Oh. ya!" Siska lalu mengecilkan suaranya.

"Sudah ketahuan, Bu," bisiknya.

"Jadi, siapa?"

"Si Martin!"

"Martin? Martin kita?" tanya Anastasia kaget.

"Iya," Siska mengangguk.

"Tapi dia nggak mau mengaku sewaktu saya tanya."

"Kau tahu dari mana?"

"Saya suruh si anak yang tiap minggu mengantarkan bunga itu untuk membawa saya ke majikannya. Ternyata mereka punya kios kecil di pasar kembang Kayun. Tadinya si majikan juga nggak mau mengaku tetapi setelah saya marah marah dia baru menunjukkan bon-bon tagihannya kepada saya. Saya lihat nama Martin yang tercantum di sana."

"Ah, bukan Martin kita barangkali," kata Anastasia.

"Untuk apa dia mengirimi aku bunga tanpa nama setiap minggu? Kalau pakai nama mungkin maksudnya mau membaiki aku supaya gajinya naik, tapi kalau tanpa nama kan tidak menguntungkan baginya!"

"Mungkin... mungkin dia menaruh simpati pada Bu Ana," bisik Siska serius.

"Martin orangnya kan pendiam sekali. Siapa tahu dia diam-diam memendam cinta. Cuma sewaktu saya tanya, dia tidak mau mengaku. Tapi saya yakin pasti dia. Buktinya begitu Bu Ana ke Jakarta, kiriman bunga itu berhenti."

Anastasia tergelak.

"Ah, imaginasimu melantur-lantur rupanya, Sis! Coba nanti aku yang menanyainya. Aku yakin pasti ada kesalahan di sini. Di mana Martin sekarang?"

"Pergi bersama Pak Sukardi melihat lokasi pengambilan gambar untuk besok."

"Kalau nanti dia datang, katakan bahwa aku ingin bertemu dengannya."

***

Ternyata sampai lewat pukul empat sore Pak Sukardi dan Martin masih belum kembali.

Karyawan-karyawan yang lain pulang, begitujuga Siska. Anastasia tinggal seorang diri di kantornya meneliti laporan pengeluaran minggu minggu yang lalu ketika dia berada di Jakarta.

Tiba-tiba Anastasia mendengar ketukan di pintunya.

"Ya."

Seraut wajah muda muncul di ambang pintu.

"Bu Ana!"

"Oh, Martin. Kamu baru datang?"

"Ya. Di atas meja saya ada nota dari Mbak Siska bahwa Bu Ana mencari saya."

"Ya, silakan duduk," kata Anastasia tersenyum kepada pemuda ini. Sedikit nervus, pikir Anastasia, mungkin takut aku marahi.

"Bagaimana keadaan lokasi tempat shooting besok? Semuanya beres?"

"Menurut Pak Sukardi mungkin akan mengalami sedikit hambatan, Bu. Di sana ada terlalu banyak pohon sehingga kurang leluasa menempatkan peralatan kita. Tapi setelah mencari-cari tadi kami sudah menemukan tempat yang bisa dipakai."

"Hm," senyum Anastasia.

"Selama tiga minggu ini apakah ada kesulitan pengambilan gambar?"

"Tidak, Bu. Semuanya lancar."

"Bagus. Sekarang aku ingin bertanya mengenai hal lain kepadamu. Kau tahu kan, tempo hari setiap minggu ada kiriman satu pot bunga mawar untukku?"

Martin mau mengangguk tetapi raguragu. Dia duduk sedikit gelisah di kursinya

"Tahukah kau siapa pengirimnya?" tanya Anastasia.

"Mengapa Bu Ana bertanya kepada saya?" balas Martin sedikit memucat.

"Menurut Siska, nama orang yang mengirim bunga itu Martin. Kecuali kau, aku tidak mengenal orang lain yang bernama Martin. Itulah sebabnya aku ingin tahu jawaban yang benar, apakah memang kau orangnya," senyum Anastasia.

Manin bungkam, menunduk.

"Kalau memang iya, katakanlah. Aku tidak marah. Malah aku pikir itu perbuatan yang manis sekali walaupun sebenarnya tidak perlu." Suara Anastasia tetap ramah, tetap lembut.

Akhirnya Martin mengangkat kepalanya. Matanya menatap majikannya dengan jernih.

"Ya" katanya.

"Saya yang mengirimnya."

Anastasia masih tersenyum, namun bukan senyuman yang mengejek.

"Mengapa sewaktu kau ditanyai Siska kau bilang tidak?"

"Saya anggap itu bukan urusannya. Bunga itu untuk Bu Ana, bukan untuk Mbak Siska," kata Martin defensif.

"Mengapa, Martin? Mengapa kau perlu membuang-buang uangmu untuk mengirimi aku bunga?" tanya Anastasia dengan sabar.

Martin menunduk lagi sambil menggumam suara apa.

"Sayang kan uangmu kauhambur-hamburkan untuk itu. Tentunya kau bisa memanfaatkan uangmu untuk keperluanmu sendiri. Pemuda seusia dirimu tentunya juga punya banyak kebutuhan yang lain." Anastasia tersenyum.

"Kau tahu, Martin, kau tidak perlu berbuat sesuatu yang di luar kewajaran untuk mendapatkan nilai bagus dariku. Selama kau bekerja dengan baik dan loyal, itu sudah cukup bagiku. Nilaimu sudah bagus di mataku. Dan seandainya kau merasa gajimu kurang, katakanlah terus terang padaku. Aku bisa mempertimbangkannya lagi tanpa kau perlu merintis jalan dengan mengirimi aku bunga."

Martin menengadahkan kepalanya. Anastasia melihat ada pandangan terluka di matanya.

"Tapi itu sama sekali bukan maksud saya Bu!" katanya dengan napas memburu.

"Saya bukannya mau minta dinaikkan gaji saya atau apa!"

"Kalau begitu untuk apa, Tin? Aku tidak mengerti," kata Anastasia.

Dengan gelisah Martin meremas-remas kedua tangannya sendiri. Anastasia menantikan dengan sabar. Akhirnya baru dia tergagap,

"Bu Ana... Bu Ana tidak marah kalau... kalau saya bilang terus terang?"

"Tentu saja tidak. Aku lebih suka orang yang berterus terang."

Martin mengangguk.

"Ya, Bu Ana baik sekali... baik sekali."

Anastasia masih diam. Itu bukanjawaban yang dimintanya.

"Saya... saya sangat meng... mengagumi Bu Ana," kata Martin.

"Bu Ana sangat... sangat cantik, dan pandai, dan... dan sangat baik."

"Kau jangan membuat kepalaku membengkak, lho, Tin," gelak Anastasia.

"Meskipun aku senang sekali mendengar pujianmu, tapi kalau terlalu banyak sekaligus aku bisa keblinger."

Gelak Anastasia membuat suasana menjadi Iebih santai. Ketegangan Martin berkurang.

"Tapi semua yang saya katakan itu benar, Bu! Saya bicara yang sesungguhnya!" kata Martin ngotot.

"Mungkin kau merasa demikian karena aku kebetulan majikanmu. Orang biasanya

sulit menerima seorang bos perempuan. Jadi karena aku kebetulan bosmu, kau menganggap aku ini hebat. Padahal sebenarnya tidak, kok. Aku cuma seorang perempuan biasa, hanya secara kebetulan aku punya keberuntungan bisa mewarisi usaha seperti ini dari suamiku almarhum."

"Tidak. Bu Ana terlalu merendah, namun itu memang sudah watak Bu Ana yang tidak sombong," kata Martin semakin berani mengutarakan pendapatnya.

"Bu Ana benar-benar seorang perempuan yang istimewa."

"Kau umur berapa sekarang, Tin?" tanya Anastasia sambil tersenyum.

"Dua puluh tiga."

"Apa rencanamu untuk masa depan?"

Wajah Martin menjadi murung.

"Saya tidak tahu."

"Kau harus mulai menyusun rencanamu sekarang, Tin. Setiap orang harus punya rencana. Kalau semuanya diserahkan kepada waktu saja, ya kita tidak akan pernah menjadi orang sukses. Kita harus membuat rencana, kemudian kita bekerja keras untuk bisa mewujudkan rencana kita itu."

"Saya sendiri belum tahu, Bu, apa yang

bisa saya kerjakan."

"Seharusnya kau melanjutkan sekolahmu. Profesi dokter adalah profesi yang bagus."

"Rasanya tidak mungkin, Bu. Saya sudah jenuh mengikuti kegiatan sekolah."

"Apakah kau senang dengan bidang pekerjaanmu sekarang?"

"Ya. Saya senang sekali. Terutama karena saya dapat bertemu dengan Bu Ana di sini."

Anastasia tersenyum. Banyak sudah laki-laki yang menyatakan jatuh hati padanya, tapi belum pernah dari seorang pemuda yang pantas menjadi anaknya.

"Lalu kau ingin menjadi fotografer profesional?"

"Saya tidak tahu. Saya hanya tahu sekarang saya suka bekerja di sini dan ingin bekerja terus di sini karena saya bisa bertemu dengan Bu Ana."

"Lho, kau harus punya alasan yang lebih kongkret dalam memilih suatu bidang keahlian, Martin. Kau bekerja di sini karena kau ingin menekuni bidang pemotretan dengan tujuan kelak menjadi fotografer yang profesional, begitu! Bukannya kau asal saja mengerjakan apa pun karena kau bisa bertemu dengan aku di sini."

"Habis Bu Ana menanyakan rencana saya. Saya tidak punya rencana. Sementara saya sudah sangat puas bisa bekerja di sini. Itu saja."

"Martin," kata Anastasia lembut.

Martin mengangkat kepalanya dan membalas tatapan Anastasia.

"Kau jatuh hati padaku?" tanya Anastasia serius.

Sejenak lamanya Martin tidak menjawab, tetapi kemudian dia mengangguk.

"Lihatlah aku baik-baik, Tin," kata Anastasia.

"Aku ini sudahtua. Aku pantas menjadi ibumu. Aku sangat tersentuh oleh perhatianmu, tapi aku harus mengingatkan bahwa perhatian ini tidak pada tempatnya."

Martin diam saja.

"Kau seharusnya mencari pacar gadis yang sebaya dengan dirimu."

"Saya tahu bahwa saya tidak sepadan dengan Bu Ana," kata Manin.

"Saya tidak mempunyai status yang sama."

"Aku tidak bicara masalah status,Martin," kataAnastasia,

"tapi masalah usia! Kau salah menafsirkan perasaanmu sendiri. Mungkin karena kau merasa kehilangan kasih sayang seorang ibu, jadi kau secara tidak sadar telah menggantungkan hatimu padaku."

"Tidak. Saya tidak menganggap Bu Ana seperti seorang ibu atau substitusi ibu saya. Saya... saya benar-benar mencintai Bu Ana. Seandainya saya seorang yang kaya, saya berani melamar Bu Ana dan memberikan nancah kepada Bu Ana sebagaimana layaknya. Sayangnya saya tidak punya kemampuan. Saya tidak bisa memberikan apaapa. Karena itu saya hanya berani mencintai dari jauh saja, dan seminggu sekali mengirim bunga."

"Martin, kau sudah terlena mimpimu sendiri yang tidak masuk akal. Tahukah kau berapa usiaku?"

"Usia tidak penting. Mungkin Bu Ana baru tiga puluh tahun, mungkin juga sudah lima puluh tahun, saya tidak peduli. Cinta tidak memandang usia."

"Kau tidak takut diolok-olok orang?"

"Persetan dengan orang lain."

Anastasia menggumam kepada dirinya sendiri,

"Begitulah Sifat orang muda. Cinta buta. Apa saja diterjang, menyesalnya baru kemudian."

"Saya tidak menyesal," kata Maitin.

"Martin, dengarlah! Aku juga pernah

muda, pernah seperti dirimu. Aku juga pernah mencintai atau aku mengira aku mencintai seorang laki-laki yang lebih tua. Ternyata pengalaman itu hanya membawa penyesalan saja kepadaku. Seandainya aku tidak bertemu dengan suamiku almarhum, mungkin aku sudah gila akibat cinta butaku itu."

"Bu Ana pernah dikecewakan orang?" tanya Martin tidak percaya.

Anastasia mengangguk.

"Ya. Tapi itu sebagian karena kesalahanku sendiri juga. Martin. Aku memberikan cintaku tanpa pertimbangan."

"Berarti laki-laki itu tidak tahu menghargai mutiara yang murni," kata Martin.

Anastasia tersenyum

"Pada waktu itu aku cuma seorang gadis tolol, Martin, bukan seorang perempuan yang sukses seperti sekarang. Laki-laki itu sama sekali tidak berhadapan dengan sebutir mutiara. Aku cuma salah satu dari antara sederetan gadis-gadis yang antre minta perhatiannya."

"Sekarang dia pasti akan menyesal seandainya dia melihat Bu Ana."

"Aku kira tidak, Martin," senyum Anastasia.

"Dimata orang lain aku tidak sehebat yang kaulihat. Aku cuma seorang perempuan setengah baya yang kebetulan punya usaha yang sukses. Itu saja."

"Saya dengar sudah lama suami Bu Ana meninggal. Mengapa Bu Ana tidak kawin lagi?"

"Wah, aku lebih senang hidup sendiri begini. Lebih bebas mau ke mana saja bisa. Lagi pula sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengan orang yang bisa menandingi kebaikan suamiku almarhum, jadi aku tidak pernah tertarik pada laki-laki lain."

Martin menghela napas panjang.

"Seandainya saya kaya, seandainya saya bisa memberi penghidupan yang layak kepada Bu Ana, seandainya saya bisa memikul seluruh tanggung jawab..."

"Seandainya kau sehebat itu pada usiamu ini, Martin," senyum Anastasia,

"kau juga tak akan memandang sebelah mata pada seorang perempuan setengah baya seperti aku." Anastasia tertawa.

"Pasti pada waktu itu kau akan menjadi rebutan gadis-gadis cantik di mana pun sehingga orang tua macam aku ini sama sekali sudah tak akan masuk dalam bukumu."

"Tidak! Pada waktu itu Bu Ana akan saya

boyong ke tempat tinggal yang indah di puncak bukit dan Bu Ana tidak usah bekerja apa pun selain menikmati panorama indah setiap hari."

"Sementara kau berkelebat di tengah-tengah puluhan gadis cantik lainnya di kota. begitu?" gelak Anastasia.

"Tidak, Bu! Saya tak akan menyia-nyiakan waktu sedetik pun yang tidak akan saya lewatkan di sisi Bu Ana."

"Lalu bagaimana kita bisa hidup kalau tidak ada yang bekerja? Memangnya sudah kenyang makan angin saja?" Anastasia masih tertawa.

"Lho, ceritanya tadi kan saya ini kaya, Bu! Nggak usah bekerja."

"Kaya pun kalau tidak bekerja lama-lama habis juga dimakan setiap hari."

Martin akhirnya harus tertawa juga. Ketegangan dan kegugupannya lenyap.

"Berangan-angan dan bermimpi sekali waktu itu menyenangkan, Martin. Itu hanya suatu intermeso saja," kata Anastasia,

"yang membantu melepaskan ketegangan dari kehidupan kita. Tapi akhirnya kita harus kembali juga kepada kenyataan dan hari ini."

"Ya," kata Martin.

"Oleh sebab itu, aku nasihatkan agar kaulupakan saja fantasimu itu dan carilah gadis yang sebaya untuk menjadi pacarmu."

"Tidak, Bu. Izinkan saya tetap mencintai Bu Ana. Saya tidak akan mengganggu Bu Ana atau berbuat sesuatu yang menimbulkan kejengkelan Bu Ana. Bahkan saya tak akan mengirim bunga lagi jika hal itu menimbulkan rasa tidak suka Bu Ana. Hanya biarkan saya tetap bisa bekerja di sini"

Anastasia tersenyum. Anak muda! Yah, orang muda memang keras kepala dan pantang mundur untuk sementara waktu. Nanti dia akan bosan juga sendiri dan sadar dari kebodohannya.

"Tentu saja kau tetap boleh bekerja di sini, Martin," kata majikannya.

"Kau adalah karyawan yang baik."

Martin mengangguk hormat lalu mengundurkan diri.

"MANA Pak Jati?" tanya Anastasia kepada Siska.

"Aku mau ke bank." Pak Jati adalah sopirnya.

"Hari ini kok belum muncul, Bu," kata Siska.

"Oh, sakit barangkali. Kemarin sudah kelihatan lesu."

"Biar saya yang mengantar saja, Bu." sela Martin segera berdiri dari belakang mejanya.

"Hari ini Pak Sukardi ndak membutuhkan saya."

"Ah, nggak usah. Aku bisa mengemudikan mobil sendiri," kata Anastasia.

"Nanti susah mencari tempat parkir, Bu. Pagi hari begini tempat parkir selalu penuh. Biar saya antar saja supaya Bu Ana tak usah susah-susah mencari tempat parkir."

"Oke kalau begitu. yuk!"

Ternyata persis sewaktu mereka tiba ada

kendaraan yang keluar sehingga Martin bisa memanfaatkan tempat lowong itu dan tidak perlu mencari tempat parkir yang jauh.

Hari ini Anastasia ke bank untuk menyetorkan beberapa helai cek pembayaran dari klien-kliennya sekaligus menarik uang tunai untuk membayar karyawan-karyawannya. Hari ini adalah hari yang terakhir dalam bulan Agustus. Biasanya tugas ini adalah pekerjaan Siska, namun karena Anastasia ingin menemui kepala bagian kreditnya untuk membicarakan kemungkinan mengambil kredit guna memperluas usahanya, maka Anastasia pergi sendiri.

Pembicaraan mereka yang singkat tapi padat berlangsung cukup menyenangkan. Pihak bank ternyata tidak berkeberatan memberinya kredit sebesar tiga puluh juta rupiah setelah Anastasia melengkapi semua dokumen penunjangnya. Pukul sebelas dia sudah selesai dan kembali ke mobilnya. Martin pun sudah siap di sisi mobil.

"Ke mana lagi, Bu?"

"Pulang, Tin. Panas-panas begini rasanya aku sudah hampir meleleh."

Martin membawa kendaraan kembali menuju daerah Gubeng. Siang ini jalanan

macet. Mereka baru bisa bernapas lega setelah melewati Gubeng Kertajaya. Memasuki Jalan Manyar Kertoaijo jalan menjadi jauh lebih sepi. Umumnya di sini hanya rumah-rumah tempat tinggal yang berukuran besar-besar sehingga tidak ada kesibukan mobil yang keluar-masuk seperti di daerah pertokoan.

Tiba-tiba mobil Honda Accord perak Anastasia dipotong tajam oleh tiga sepeda motor. Untung Martin segera menginjak pedal rem karena detik berikutnya ketiga sepeda motor itu ternyata menghadang jalannya.

"Mana uang!" bentak seorang dari keenam laki-laki yang bersepeda motor itu. Dia mengenakan helm penuh yang menutup seluruh wajahnya, Sementara itu empat orang temannya sudah mengerubung, dua di sisi Anastasia dan dua di sisi Martin. Seorang tinggal di atas sepeda motornya.

"Cepat! Mana uang!"

"Di sini tidak ada uang! kata Martin.

"Bohong! Nyonya ini mengambil uang dari bank. Cepat!" Penodong itu mengacungkan pisaunya. Temannya membuka pintu mobil Anastasia yang tidak terkunci. Dengan pisau terhunus yang diarahkan ke leher Anastasia, penodong itu merampas tasnya dari pangkuannya. Secepat kilat dia kabur dan membonceng temannya yang menunggu dengan mesin yang tidak dimatikan.

Keempat temannya yang lain berbuat serupa. Tetapi detik itu juga Martin sempat membuka pintunya dan melompat keluar. Dia mengejar salah seorang penodong yang lari paling belakang. Martin berhasil menariknya dan mereka jatuh bersama bergulingan di atas aspal. Martin membuka klep helmnya dan sempat melihat wajah si penodong ini sebelum laki-laki itu mengeluarkan pisaunya. Dalam pergumulan itu Martin terluka dibagian pangkal paha dan lambungnya. Kemeja dan celananya dibasahi oleh darah. Satu tusukan di tangan Martin membuatnya melepaskan lawannya dan penodong itu pun kabur membonceng teman yang sudah menunggu.

Anastasia yang menyusul keluar dari mobil segera memapah Martin yang berlumuran darah.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita kejar mereka!" kata Martin terengah engah.

"Tidak, Tin! Tidak! Kau terluka. Biarkan saja!"

"Saya tidak apa-apa, kita kejar mereka!"

Martin bersikeras, mengira yang terluka hanya tangannya.

"Mereka berenam, Tin. Luka-Iukamu banyak mengeluarkan darah, kau harus segera ke rumah sakit."

Martin baru sadar bahwa kemejanya yang putih sebagian sudah berwarna merah kecoklatan.

"Kau jangan nyetir. Biar aku saja!" teriak Anastasia.

Martin menurut dan duduk di tempat penumpang. Anastasia melarikan mobil secepat mungkin ke rumah sakit.

Untunglah luka-luka Martin tidak mengenai bagian yang vital, hanya berupa irisan pada dagingnya saja. Setelah mengalami jahitan beberapa sentimeter di lambung, paha, dan tangannya, Martin diperbolehkan pulang.

"Kau libur dulu, Tin. Sementara nggak usah ke kantor sampai semua lukamu sembuh," kata Anastasia.

"Sekarang kau kuantarkan pulang ke rumah orang tuamu, ya?"

"Tidak, Bu. Kalau ayah saya tahu, dia pasti marah-marah."

"Biar aku yang menjelaskan padanya nanti. Dia tidak sepantasnya marah kali ini. Kau sudah berbuat berani sekali. Kau berusaha menyelamatkan uang kantor. Itu perbuatan yang terpuji. Kau tidak salah."

"Ah, ayah saya orangnya tidak mau mengerti. Memang di antara kami tidak ada saling pengertian."

"Jadi kau tidak mau memberi tahu orang tuamu?"

"Tidak."

"Lalu kau mau pulang ke rumah teman-temanmu?"

"Ya. Paling tidak di sana tak ada yang mengomeli aku."

"Tapi siapa yang merawatmu? Kata dokter tadi paling sedikit satu minggu kau tidak boleh bergerak supayajahitannya cepat merapat. Teman-temanmu ini kan bekerja semua, kalau mereka tidak ada di rumah, kau makan apa?"

"Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa makan biskuit."

"Ah, mana boleh! Kau sudah kehilangan banyak darah. Itu harus diganti. Sudah, begini saja. Kau tinggal di rumahku. Di lantai atas ada satu kamar kosong yang bisa kaupakai. Di sana kau tidak akan terganggu anak-anak lain, dan pembantuku bisa menyediakan

makan minummu. Ya, itu yang paling baik. Kau sudah berkorban menolongku, sekarang biar aku yang merawatmu."

"Saya... saya tinggal di rumah Bu Ana?" tanya Martin tidak percaya.

"Ya. Tapi kau tidak usah bekerja. Kau tiduran saja di kamar."

"Nanti saya merepotkan, Bu," kata pemuda itu, namun wajahnya yang pucat tiba-tiba tampak cerah.

"Tidak apa-apa, tidak merepotkan. Asal kau lekas sembuh saja."

Maka masuklah Martin ke dalam rumah Anastasia dan lambat laun ke dalam hatinya juga.

Pagi hari di kala karyawan yang lain sibuk dengan tugas masing-masing. Martin memang merasa terkucil di kamarnya di lantai atas. Sesekali ada temannya yang menjenguknya, tetapi sebagian besar dari waktunya harus dilewatkannya dengan membaca. Siang hari sejak Martin tinggal di rumahnya, Anastasia mengajak Siska dan karyawan karyawan yang kebetulan tidak dinas luar untuk makan siang beramai-ramai di dalam kamar Martin, supaya pemuda itu tidak merasa kesepian sepanjang hari terkurung di dalam seorang diri. Sebenarnya dokter mengatakan bahwa istirahatnya cukup satu minggu saja, tetapi berhubung Anastasia merasa bersalah, maka dia cenderung memanjakan Martin yang dianggapnya telah berkorban demi membela kepentingannya.

Sementara itu berkat kesigapan polisi para penodong akhirnya tertangkap dan sebagian besar dari uang Anastasia pun dikembalikan. Hal ini dimungkinkan karena Martin bisa memberikan deskripsi yang jelas mengenai ciri-ciri kendaraan dan wajah salah seorang penodong.

Sore hari setelah kantor tutup dan semua karyawan yang lain pulang, tinggallah Anastasia bersama Martin. Mereka mengobrol dari barat ke timur dan masing-masing merasa menemukan teman yang bisa diajak berbagi rasa. Anastasia yang sudah sekian lamanya hidup gersang dan sepi menemukan sahabat untuk membagi jam-jam lowongnya. Di pihak lain Martin yang sedang kasmaran merasa seperti pungguk yang tiba-tiba kejatuhan

bulan.

Dua minggu berlalu dengan cepat. Jahitan pada luka-luka Martin pun sudah dibuka. Kecuali bekas merah yang sedikit menonjol di kulitnya tak ada lagi tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa di tiga tempat di badannya ini pernah terjadi goresan.

"Aku senang kau sembuh," kata Anastasia sepulang dari mengantarkan Martin periksa ke dokter.

"Aku tidak," kata pemuda itu yang dalam waktu dua minggu ini telah menjadi sedemikian akrabnya dengan majikannya sehingga dia tak lagi memanggil "Bu Ana" tetapi "Mbak Ana".

"Kok aneh? Sembuh kok nggak senang? Sekarang kau bebas lagi mau pergi ke mana pun, tak usah tinggal di kamar sepanjang hari seperti seorang tawanan," gelak Anastasia.

"Apakah itu berarti aku tak boleh lagi tinggal di rumah Mbak Ana?" tanya Martin.

"Lho, kau tidak ingin kembali ke rumah temantemanmu? Kan lebih enak berkumpul dengan mereka daripada tinggal di rumah sepi ini bersama seorang nenek-nenek."

"Mbak lupa bahwa nenek-nenek yang dikatakan Mbak ini adalah orang yang

kucintai," kata Martin yang belakangan ini semakin berani menunjukkan perasaannya. Bahkan sudah beberapa kali dia memegang tangan Anastasia.

"Martin," bisik Anastasia,

"jangan membicarakan masalah tolol itu lagi, ah! Nggak pantas didengar orang."

"Tapi aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Aku tidak berbohong."

"Martin!"

Mereka berdiri dekat sekali, berhadap-hadapan, didalam kamar kerja Anastasia. Martin satu kepala lebih tinggi seorang pemuda yang berperawakan kekar, gagah. Anastasia merasakan napas mudanya mendengus dan di luar kemauannya dia merasa ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya. Dia merasa seakan tulang punggungnya tiba-tiba menjadi rapuh dan tangan serta kakinya membeku. Anastasia cepat-cepat berpaling, membelakangi pemuda yang sedang emosional itu, tetapi secepat itu dia berpaling secepat itu pula Martin meraihnya ke dalam pelukannya.

Anastasia berusaha memberontak, mendorong pemuda itu, tetapi usahanya malah membuat dirinya didekap semakin erat.

Martin mencium pelipisnya, wajahnya, telinganya, matanya, pipinya, dan akhirnya Anastasia berhenti melawan. Ketika bibir Martin menyentuh bibirnya dengan segala pasrah dia membiarkan dirinya hanyut dalam kehangatan itu.

ANASTASIA terjaga ketika weker di atas tempat tidurnya berdering halus. Secara otomatis tangannya meraih weker itu dan memijat sebuah tombol. Itu mematikan deringnya.

Anastasia membuka selimut halus yang menutupi tubuhnya dan bersiap-siap bangkit dari tempat tidur ketika dari belakang sebuah lengan yang kuat mendekapnya dan menahannya bangkit.

"Kau sudah bangun?" bisik Anastasia.

"Hari masih pagi, tidurlah kembali."

"Wekermu bunyi. Mengapa kau sudah bangUn?" tanya teman tidurnya dengan mata terbuka sebelah.

"Kan aku harus berangkat ke Jakarta pagi ini. Masa lupa?"

"Aku paling benci hari-hari kau di Jakarta. Aku kehilangan," kata laki-laki itu tak

mau melepaskan pelukannya.

"Urungkan saja rencanamu."

"Aku tahu, tapi aku masih punya bisnis di sana. Aku tidak dapat meninggalkannya terlalu lama. Sudah sebulan lebih aku tak ke Jakarta."

"Tutup saja bisnis di sana," kata laki-laki itu.

"Hus, Martin! Bisnis itu sumber nafkahku."

"Kalau begitu aku ikut."

"Tidak," kata Anastasia tegas. Tidak! Jakarta adalah tempatnya bersama Antonio. Tak seorang pun bisa menggantikan tempatnya.

"Mengapa tidak? Mengapa kau tidak mengizinkan aku ikut?"

"Martin, kalau aku di Jakarta, aku bakal disibukkan oleh banyak urusan. Aku tak akan punya waktu untukmu. Lagi pula di sini kau punya banyak tugas. Kau masih harus membantu Pak Sukardi. Kalau kau pergi, siapa yang membantunya?"

"Tapi aku begitu kehilangan kalau kau tak ada," kata Martin dengan suara anak kecilnya.

"Mengapa kau tidak pergi mengunjungi temantemanmu selama aku pergi? Tentunya kau juga merindukan mereka setelah sekian lamanya kau tidak tinggal di rumah mereka."

"Teman-temanku tak ada yang dapat menggantikan tempatmu," kata Martin.

"Aku tak akan pergi lama, kok, Tin," kata Anastasia berusaha membujuk pemuda itu. Setiap kali dia ke Jakarta selalu timbul adegan seperti ini.

"Kapan kau kembali?"

"Begitu urusan selesai."

"Kapan itu? Dua hari? Lima hari? Dua minggu?"

Anastasia dapat melihat sinar cemburu di mata pemuda itu.

"Secepatnya. Aku sekarang tidak tahu karena aku tidak tahu urusan apa saja yang menunggu di sana."

"Kau selalu pergi sendiri. Kau selalu meninggalkan aku!" Martin merajuk.

Dalam hatinya Anastasia merasa gemas. Akhirakhir ini dia mulai berpikir secara serius apakah langkahnya menerima cinta pemuda ini suatu kesalahan? Yah, mungkin suatu kesalahan! Tambah lama tambah dirasakannya bagaimana pemuda itu mau mengekang semua kegiatannya.

"Tin, aku harus pergi. Aku ingin bersiap-siap sekarang. Aku harus naik pesawat pertama kalau tidak mau terlambat menghadiri rapat."

***

"Gimana nih kabarmu, An?" tanya Maya yang menjemputnya.

"Baik-baik saja?"

"Yah, baik," kata Anastasia yang menarik napas panjang di luar kesadarannya.

"Lho, mengapa? Ada yang merisaukan?"

"Aku memang ingin bicara denganmu, Maya, ingin bertukar pikiran. Di Surabaya tidak ada orang yang bisa kuajak bertukar pikiran. Mereka itu kalau bukannya terlaIu tua seperti orang tuaku, ya terlalu muda seperti karyawan-kaiyawanku. Aku sulit membahas suatu masalah yang serius dengan mereka."

"Kenapa? Apakah ada banyak problem dengan Madona Surabaya?"

"Oh, bukan. Bukan dengan Madona, tapi dengan Anastasia!"

"Kenapa dirimu, An?"

"Nantilah kita bicara setelah rapat selesai. Aku ingin berunding bertiga dengan kau dan Emi."

Mereka tiba di kantor sekitar sepuluh menit sebelum rapat yang dijadwalkan dimulai. Rapat ini hanya dihadiri oleh staf-staf inti dan tujannya adalah untuk membicarakan anggaran mereka untuk tahun kerja berikutnya.

Tahun 1986 di hadapan mereka merupakan tahun yang penuh tanda tanya. Resesi rupanya dapat diperkirakan masih akan berkuasa uang tentunya akan bertambah seret beberapa spekulaSi akan terjadinya suatu devaluasi atau pemotongan uang patut dipertimbangkan.keadaan moneter dunia masih rawan, demikian pula moneter dalam negeri harga minyak mentah terus merosot secara mengkhawatirkan kuota penjualan juga tak tampak ada perbaikan. Dengan latar belakangkeadaan seperti ini rasanya sulituntuk mempertahankan prestasi mereka seperti tahun-tahun yang lalu.

Anastasia mendengarkan pendapat pendapat staf intinya nasihat-nasihat yang mereka lontarkan usul-usul yang mereka ajukan dan dia harus membuat keputusannya dengan pikiran yang paling logis dan kritis. Dia harus menentukan langkah-langkah apa yang akan mereka pakai sebagai pedoman kerja menghadapi resesi ini supaya perusahaan tetap bertahan. Program program baru apa yang kiranya bisa mereka adakan supaya ada diversifikasi dalam bisnis mereka sehingga apabila ada salah satu sektor yang kendor, ada sektor lainnya yang bisa mengangkat. Anastasia juga harus mencari sistem penghematan apa yang bisa mereka terapkan untuk menekan biaya karena siapa yang bisa memastikan bahwa dalam tahun yang mendatang itu mereka masih bisa menikmati keuntungan?

Di tengah-tengah staf intinya yang dikepalai oleh Hamdi manajernya Anastasia memeras otaknya habis-habisan. Saingan-saingan mereka sekarang semakin banyak. Setelah banyak orang menyakSikan bagaimana kesuksesan Madona, merekajuga meniru membuka bisnis serupa. Tentu saja perusahaan-perusahaan ini harus bersaing dengan memberikan tarif pelayanan yang jauh lebih rendah. Walaupun orang-orang yang masih mementingkan mutu dan profeSionalisme tetap kembali ke Madona, tetapi dengan lebih ketatnya keadaan keuangan pada umumnya, tak mustahil kalau ada dari

antara langganannya yang juga menerapkan sistem penghematan, terpaksa beralih ke perusahaan-perusahaan yang menawarkan tarif yang lebih murah. Dalam dua bulan yang terakhir ini mereka telah kehilangan beberapa kontrak, yang paling berani adalah kontrak dari sebuah majalah wanita yang telah mengalihkan pilihan mereka kepada biro model yang lain yang lebih murah. Kendatipun dalam hal mutu biro model itu jelas tak dapat menandingi Madona, tetapi dalam keadaan resesi ini mutu adalah faktor kedua. Faktor utamanya justru adalah harga!

Begitulah gambaran yang disajikan oleh Hamdi.

"Kita sekarang harus mengikuti keadaan pasar. Kita tak mungkin bertahan terus kalau kita mau sombong sendiri. Setiap hari langganan kita semakin berkurang. Kalau kita tetap memasang tarif seperti sekarang, dalam waktu setengah tahun saja semua langganan kita akan habis, mereka akan beralih ke perusahaan lain yang lebih murah."

"Ya, tapi biaya operaSional kita memang tinggi," kata Maya yang membawahi juga bagian pembukuannya.

"Kalau kita mengurangi tarif, kita kan rugi!"

"Karena itu kita harus mau menurunkan biaya operasional kita!"

"Bagaimana enaknya?" sela Anastasia. Beberapa usul timbul. Dari langkah mengurangi honor para peragawan dan peragawati sampai memakai produk-produk yang lebih murah.

"Kalau kita mengurangi honor mereka, kita tak lagi punya pegangan atas gadis-gadis kita," kata Anastasia.

"Kalau mereka merasa bahwa di Madona mereka dibayar sekian dan di perusahaan lain juga sama sekian, mereka tak akan mau mengeksklusifkan diri untuk kita. Saya kira ini malah membahayakan posisi kita. Sekarang Madona mempunyai kelebihan karena semua gadis model yang top bergabung dengan kita. Perusahaan-perusahaan lain hanya bisa memakai mereka yang tidak kita terima, yang kita apkir. Tapi kalau kita menurunkan honor, kita tak lagi bisa mengikat gadis-gadis model yang top ini. Akibatnya mereka nanti bekerja pada siapa saja termasuk pada saingan kita-dan kita malah susah dua kali."

Perdebatan berjalan panjang dan sulit. Semua orang yang berkumpul di sini punya dedikasi dan loyalitas yang tak tercela pada

Madona. Hanya saja setiap orang mempunyai konsep yang berbeda mengenai apa kebijaksanaan yang terbaik bagi Madona. Mereka terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang menghendaki Madona menurunkan mutu dan tarif untuk bisa bersaing dengan demikian mengharap mereka bisa mempertahankan jumlah kliennya, dan kelompok yang menghendaki Madona tetap berpegang pada mutu walaupun harus memikul risiko kehilangan sebagian dari klien mereka. Kedua teori ini masing-masing punya titik kuat dan titik lemah, kedua-duanya mengandung bahaya kegagalan.

Setelah mereka berembuk selama dua hari, akhirnya diputuskan untuk mengambil jalan tengah. Mereka akan menerapkan teori penghematan selama itu tidak mempengaruhi mutu pekerjaan atau honor para gadis model, tetapi tetap akan memakai barang-barang berkualitas tinggi untuk mengerjakan kontrak-kontrak mereka. Penghematan ini menuntut pengorbanan justru dari dalam. Kalau sampai sekarang semua bahan bakar kendaraan para pimpinan di Madona menjadi tanggungan perusahaan, maka untuk tahun yang akan datang ini mereka harus

bayar sendiri. Begitu pula dengan biaya pengobatan yang untuk tahun mendatang terpaksa dipotong menjadi hanya penggantian sebesar empat puluh persen. Kalau selama ini untuk makan siang semua karyawan dipesankan dari usaha catering yang punya nama beken di Jakarta, mulai tahun anggaran baru nanti akan dialihkan ke usaha catering rumahan yang tentunya jauh lebih murah, dan sebagainya dan sebagainya.

Setelah rapat bubar, Anastasia kembali ke kamar kerjanya dengan kelelahan orang yang habis berlari lima puluh kilometer. Dia menghempaskan dirinya diatas kursinya dan duduk dengan lemas dan lunglai. Hari sudah pukul enam sore.

Anastasia tidak tahu sudah berapa lamanya dia duduk setengah terlena itu ketika tiba-tiba pintunya diketuk orang. Dan sebelum dia sadar sepenuhnya, Yamin Raharja sudah berdiri dihadapannya.

"Oh, Saudara Yamin! Belum pulang?" tanya Anastasta terkejut.

"Anda juga belum. pulang."

Anastasia tersenyum.

"Saya masih melepas bilur-bilur setelah bertempur seru tadi," katanya berkelakar'.

"Rasanya capek setengah mati, seperti habis berlari semalam suntuk."

"Iya, saya harus salut pada kebijaksanaan Anda selama rapat berlangsung. Tak mengherankan mengapa Madona bisa semaju ini. Ternyata perempuan yang memotorinya adalah seorang yang betul-betul istimewa!"

"Ah, Saudara Yamin Percaya kepada segala macam pujian itu merupakan awal dari kejatuhan seseorang lho!" gurau Anastasia.

Yamin Raharja tersenyum. Sebuah lesung pipit yang memanjang menampilkan diri di pipi kanannya.

"Bagaimana kalau kita melepaskan ketegangan sambil mengisi perut?" tanyanya.

"Sudah pukul tujuh sekarang."

Anastasia melihat arlojinya.

"Oh, astaga! Saya sampai tidak tahu waktu. Yang lain-lain sudah pulang?"

"Sudah sejak tadi. Yang terakhir Jeng Maya. Setelah dia menunggu Anda tidak keluar-keluar, akhirnya dia pulang juga."

"Mengapa Anda tertinggal?" kata Anastasia sambil memberSihkan mejanya.

"Saya memang sengaja menunggu Anda. Setelah saya tunggu-tunggu Anda tidak turun juga, saya memutuskan untuk menjemput

Anda."

"Terima kasih, lho. Kalau tidak, mungkin semalam suntuk saya ketiduran di sini," senyum Anastasia.

Mereka keluar bersama-sama.

"Naik mobil saya saja, ya?" kata Yamin.

"Nggak lucu kan kalau kita berbuntut-buntutan?"

"Lho, ini mau ke mana? Anda tidak pulang?"

"Kan tadi saya mengajak makan."

"Oh! Lalu bagaimana saya pulangnya nanti?" Di Jakarta Anastasia tidak memakai sopir pribadi. Dia lebih senang mengemudikan mobilnya sendiri.

"Nanti saya antarkan. Dan besok saya yang menjemput."

Anastasia terbahak.

"Kalau Anda bukan karyawan saya dan saya tidak setua ini, saya sudah akan terlanjur menarik kesimpulan Anda mau mendekati saya. Tetapi karena saya tahu siapa Anda, saya mengerti Anda hanya menawarkan jasa baik saja supaya malam ini saya tidak tidur dengan perut kosong."

Yamin Raharja pun tertawa, walau tak sespontan Anastasia.

"Jangan terlalu yakin pada pendapat Anda sendiri," katanya.

"Mungkin saya tidak hanya ingin menawarkan jasa baik mengantarkan Anda makan malam ini."

"Saya tidak bisa membayangkan Anda punya alasan yang lain," kata Anastasia tergelak.

"Anda pikir saya tidak tertarik pada perempuan yang cantik?"

"Oh, ya! Semua laki-laki tertarik pada perempuan cantik. Apa hubungannya itu dengan ajakan Anda?"

"Anda adalah perempuan yang sangat cantik atau apakah sudah begitu lama tak ada lagi pria yang memuji kecantikan Anda sampai Anda lupa?"

Lagi-lagi Anastasia terbahak.

"Mungkin Anda perlu kaca mata, Saudara Yamin! Pujian Anda tiba terlambat lima belas tahun!"

"Saya kira tidak. Kecantikan Anda tidak sama dengan kecantikan seorang gadis yang berusia dua puluh tahun. Kecantikan Anda Sekarang adalah kecantikan seorang perempuan yang matang yang tahu apa yang dikehendakinya-dan yang sudah melewati pengalaman hidup yang penuh seni. Kecantikan begini lebih menarik dlbandingkan kecantikan seorang gadis dua puluhan yang hanya tahu memamerkan giginya sedangkan kepalanya kosong."

"Dari mana Anda belajar memuji?" tanya Anastasia.

"Saya kira ibu saya yang sudah tujuh puluh tahun pun akan jatuh hati jika Anda memujinya demikian. Saya harus ekstra berhatihati, kalau tidak bisa-bisa saya terkecoh."

Yamin menghentikan mobilnya di halaman Le Bistro.

"Lho, bukankah kita harus melancarkan kampanye penghematan?" tegur Anastasra enggan turun.

"Jangan khawatir. Saya yang mentraktir malam ini," senyum Yamin.

"Kampanye itu berlaku bagi semua personel Madona termasuk Anda."

"Madona tidak punya suara atas uang pribadi saya," seringai Yamin.

"Yuk!"

Setengah terpaksa Anastasia mengikuti Yamin turun. Dia merasa serba salah. Sebagai majikan seharusnya dia tidak mengizinkan karyawannya menghamburkan uangnya untuk mentraktirnya makan apalagi di tempat yang mahal seperti ini! Tetapi sebagai perempuan dia harus menghormati pria yang mengajaknya dan itu berarti dia tidak boleh mengusulkan supaya dia saja yang membayar atau mereka membayar sendiri-sendiri.

Namun sikap segan dan kikuk Anastasia tidak berlangsung lama. Kesantaian Yamin Raharja dan pembicaraan menarik yang disodorkannya membuatnya lupa bahwa laki-lakiitu adalah karyawannya atau bahwa uang yang dipakainya untuk membayar makanan mereka adalah sebagian dari gajinya yang diterimanya setiap bulan dari Madona.

Selesai makan, Yamin mengajaknya berputarputar.

"Nggak kemalaman, nih? Besok kita masih harus bekerja lho," protes Anastasia.

"Hasil rapat malam ini kan harus diperinci dalam anggaran untuk setiap departemen."

"Kau boleh tidur agak siangan. Bos kan biasa kalau baru muncul di kantor pukul sepuluh. Aku sih sudah biasa tidur malam," kata Yamin yang sekarang sudah lebih akrab ber"kau" dan "aku' kepada Anastasia.

"Dalam sejarah hidupku nggak pernah lho aku muncul di kantor pukul sepuluh! Itu mental yangjelek. Justru kita yang pimpinan

harus menunjukkan disiplin yang baik kepada karyawan yang lain."

"Apakah kau selalu begitu ketat mempraktekkan disiplin atas dirimu sendiri? Kau perlu belajar rileks. Manusia itu harus manusiawi dan manusiawi itu berarti bisa berbuat kesalahan, boleh malas sewaktu-waktu, boleh sekali-sekali menjerit, boleh maki-maki. Orang yang selalu mengekang diri itu seperti tali yang ditarik kencangkencang suatu saat putus."

"Dan kau manusiawi?" senyum Anastasia.

"Oh, sangat!" gelak Yamin.

"Aku punya berbagai kelemahan yang tidak malu untuk kuakui."

"Aku heran. Kok laki-laki yang manusiawi seperti kau ini sampai sekarang masih bujangan," kekeh Anastasia.

"Justru karena aku manusiawi itu! Aku ini sangat cerewet," sahut Yamin.

"Aku mencari perempuan yang sempurna."

"Apa ada perempuan yang sempurna itu? Bagaimana rupanya perempuan yang sempurna?"

"Sampai sekarang belum kujumpai, tetapi kau sudah mendekati."

Lagi-lagi Anastasia terkekeh. Terhadap Yamin dia bisa menganggap semua ocehannya hanyalah gurawan saja. Yamin begitu humoris. Lagi pula dia adalah laki-laki yang punya banyak pengalaman. Menjelang usianya yangketiga puluh empat ini tentunya dia sudah ahli bergaul dengan perempuan. Anastasia tak perlu lagi berhati-hati seperti apabila menghadapi Martin yang terlalu serius dan peka itu.

"Betul, seandainya kau bisa belajar lebih rileks sedikit, lebih terbuka sedikit, kau sudah bisa kugolongkan perempuan yang sempurna. Kau pandai, kau cantik, pengetahuanmu luas, pribadimu baik, kau tahu menentukan prioritas, kau bisa membuat keputusan yang rasional, jalan pikiranmu logis, kau orang yang giat ini semua adalah kelebihanmu. Sayangnya kau kurang manusiawi memperlakukan dirimu sendiri."

"Hei, memangnya kalau aku tidak manusiawi lalu kaukira aku ini apa?" kata AnastaSIa purapura garang.

"Aku pikir kira-kira kau ingin menjadi bidadari. Maunya kau itu terbang tinggi berada di atas kami kau tidak terlibat dengan urusan keduniawian kami kau berada di atas

kelemahan emosi manusia kau menjauh kau hidup di menara gadinginu yang dingin itu-dan sekali waktu kau menampakkan diri kepada manusia-manusia yang malang ini untuk menolong kami keluar dari kesulitan kami."

Anastasia terbahak sampai mengeluarkan air mata.

"Mengapa kau bisa punya penilaian yang aneh begitu atas diriku?" tanyanya.

"Lho, memang sikapmu begitu. Kau membuat dirimu seolah-olah bidadari dari kayangan yang tidak punya problem yang dingin yang efiSien-yang bijaksana yang merasa iba melihat kami manusia-manusia tolol ini terbelit problem yang kami timbulkan sendiri. Dan karena kau maha pengasih seperti Dewi Bulan, dan waktu ke waktu kau muncul untuk menolong kami, lalu kau menghilang lagi ke kayangan untuk beberapa waktu lamanya sampai lain kali kau melihat sudah waktunya lagi menolong manusia-manusia bodoh ini yang tidak pernah mau belajar mengatasi problemnya sendiri."

"Itu tidak fair, Min!" kata Anastasia di antara tawanya yang terpingkal.

"Aku sama sekali tidak begitu. Aku sendiri juga punya banyak problem. Kalian saja yang tidak tahu!"

"Kalau begitu mengapa kau tidak membagi problemmu dengan kami? Mungkin kami bisa membantu."

"Aku nggak mau membebani orang lain dengan masalah-masalah pribadiku. Orang harus belajar menyelesaikan problemnya sendiri. Aku berusaha bisa menyelesaikan problemku sendiri. Dan aku akan merasa sangat bangga kalau aku berhasil."

"Apakah kau tidak merasa bahwa bahumu itu terlalu kecil untuk memikul semuanya sendiri? Setiap orang membutuhkan support, An! Kau selalu berusaha menyembunyikan kesulitanmu. Di luar kau tampak tenang, anggun, berjalan dengan kepala tegak, melempar senyuman ke kanan dan ke kiri, seakan-akan kalau ada gempa bumi pun kau tidak akan terpeleset jatuh. Itu kan tidak wajar. Semua orang punya problem. Mengapa kau tidak berlaku wajar saja dan mengakui bahwa kau pun sama dengan orang-orang yang lain? Untuk apa kaupasang topeng menutupi emosimu yang sebenarnya padahal mungkin di dalam hati kau sedang bersedih? Setengah tahun sudah aku mengenalmu,tapi tak pernah

sekali pun aku melihat kau tidak tersenyum. Tidak tahunya tadi aku menemukan kau berantakan sendiri di menara gadinginu di lantai tiga itu."

"Jadi kau sudah berhasil menembus topengku. Lalu?" senyum Anastasia.

Yamin menyeringai.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku merasa lebih lega. Tadinya aku mengira kau betul-betul perempuan robot yang tidak punya perasaan."

Mereka terbahak.

"Kau tahu, Min, aku bersyukur sampai sekarang kau masih tetap bergabung dengan kami walaupun Pak Dadang sudah dinas lagi. Kau betul-betul besar artinya bagi Madona. Aku mendukung pendapatmu bahwa kita harus mempertahankan mutu. Aku tak terlalu mengkhawatirkan cabang senam dan fitness kita, tapi cabang biro model ini sekarang sudah ada pada titik yang rawan. Karena itu aku setuju mutulah yang harus kita sajikan. Itulah satu-satunya senjata kita, yang membuat Madona lain daripada biro-biro model yang lain. Itu yang membuat kita spesifik. Kalau ciri khas ini sudah kita korbankan demi komerSialisme, kita akan hancur. Dalam waktu singkat kita akan terlibat perang

harga. Yang satu menurunkan tarif, kita terpaksa ikut turun, lalu mereka menurunkan tarif lagi untuk bersaing dengan kita, dan kita terpaksa turun lebih banyak tidak ada habis-habisnya.

"Aku percaya, dengan tetap mempertahankan mutu, publik masih mengenal bahwa pekerjaan Madona tentunya sangat berbeda dengan pekerjaan biro-biro model yang lain sehingga kita tak perlu terlibat perang harga. Biar saja mereka memasang tarif yang lebih murah, kita bebas menentukan tarif kita sendiri karena kualitas kita tak ada tandingannya."

"Pak Hamdi terlalu khawatir. Kita kan baru kehilangan empat orang langganan yang beralih ke biro yang lebih murah."

"Biarkan langganan-langganan itu pergi. Mereka bebas menentukan pilihannya. Tapi mereka pasti bisa membedakan hasil karya Madona dengan hasil perusahaan lain. Dan apabila mutu yang mereka peroleh tidak memuaskan, mereka pasti akan kembali kepada kita."

"Pak Hamdi mengatakan aku kurang berpikiran komerSial, kurang sadar uang, terlalu perfeksionis, terlalu teliti sehingga biaya

terlalu tinggi. Mereka menghendaki aku bisa menurunkan standar sedikit, bekerja dengan bahan-bahan yang lebih murah, lebih toleran terhadap kesalahan dan lain-lain supaya dengan demikian kita bisa menghemat biaya."

"Aku tak dapat menyalahkan Pak Hamdi, Min. Dia berkembang bersama Madona. Dia pernah mengalami tahun-tahun permulaan ketika Madona baru berusaha melebarkan sayapnya. Tentu saja dia sangat cost-conscious. Dia melihat ada banyak pemborosan hanya karena kita ingin menyajikan presentasi yang sempurna terutama dalam membuat dekorasi sebagai latar belakang pengambilan gambar. Apabila sinarnya kurang kontras atau ada sudut yang lebih gelap sedikit, kita akan mengulanginya. Menurut Pak Hamdi dalam keadaan Situasi ekonomi seperti sekarang, itu merupakan pemborosan yang menambah tinggi biaya Madona. Karena itu dia minta padamu untuk lebih toleran terhadap kekurangan-kekurangan kecil yang tidak mempengaruhi suatu presentasi secara keseluruhan."

"Apakah itu harus kulakukan?"

"Aku kira itu belum perlu sekarang. Posisi kita hari ini tidak sejelek itu, dan kalau

bisa kita harus mempertahankan agar posisi kita tidak pernah jatuh sampai kita perlu berkompromi dengan kesalahan. Madona harus identik dengan mutu paling tidak sekarang. Kita awasi perkembangan keadaan dalam dua tiga bulan ini, Min. Seandainya waktu itu memang terpaksa, kita masih belum terlambat untuk mengubah kompas."

"Itulah sebabnya aku berkata kau adalah seorang perempuan yang istimewa," kata Yamin.

"Kau tidak keder menghadapi tantangan, Dan kau punya prinsip. Aku senang sekali bekerja padamu."

"Kau juga banyak membantuku, Min. Kontribusimu besar sekali bagi Madona. Pekerjaanmu betul-betul kelas satu. Itulah sebabnya aku tidak berkeberatan mempunyai desainer seorang yang perfeksionis."

"Terima kasih."

"Mungkin sekali waktu kau perlu juga datang ke cabang Madona di Surabaya. Ridwan yang mengerjakan desain di sana memang sudah cukup berbakat, tapi dia kurang pengalaman dan kurang berani mencoba yang baru. Ide-idenya terkadang terlalu konvenSional dan itu-itu saja. Tentunya dia bisa menarik manfaat yang banyak dengan

petunjuk-petunjukmu."

"oke, aku siap."

"Bagaimana kalau kau berangkat minggu ini?"

"Kapan kau kembali ke Surabaya?" tanya Yamin.

"Mungkin masih agak lama aku di Jakarta kali ini."

"Kalau begitu nanti saja aku berangkat, bersama-sama denganmu atau sewaktu kau di sana. Dengan demikian aku bisa sambil menyelam minum air," seringai Yamin.

"Maksudmu?" senyum Anastasia.

"Sebetulnya sudah agak lama aku ingin mengenal pribadimu secara lebih akrab, tapi setiap kali kau ke Jakarta kau hanya tinggal beberapa hari dan kau selalu mengeram di kamar kerjamu di lantai tiga itu. Aku tak pernah punya kesempatan untuk mendekatimu. Itulah sebabnya tadi aku beranikan diri ke atas. Aku pikir kalau aku tidak mengambil langkah, aku tak akan pernah berhasil mengenalmu lebih baik."

"Iya, akhir-akhir ini memang aku tak bisa tinggal lama di Jakarta, maklumlah cabang yang baru di Surabaya tak bisa kutinggalkan terlalu lama. Di sana aku belum mempunyai

staf inti."

"Tapi kali ini kau bisa, mengapa?"

"Karena aku punya sedikit problema yang ingin kupecahkan."

"Di sini?"

"Bukan, di sana."

"Lho, kok aneh. Problemnya di sana kok malah mau dipecahkan di sini? Apakah itu namanya bukan melarikan diri dari problem?"

"Aku ingin waktu. Aku ingin bisa berpikir dengan tenang. Aku ingin bisa berembuk dengan sahabat-sahabatku di sini. Di sana aku tidak punya teman."

"Aku siap membantu kalau dibutuhkan," kata Yamin.

"Terima kasih, Min, aku akan ingat tawaranmu ini. Tapi sementara biarlah aku tidak merepotkan dirimu dulu. Kau sudah cukup banyak membantuku. Aku tak ingin menambah bebanmu dengan problem-problem pribadiku."

"Dengan kata lain problemmu bukan urusanku, begitu, kan?" kata Yamin tanpa rasa tersinggung.

"Aku tak akan memakai kata-kata sekasar itu," senyum Anastasia,

"tapi intinya kira-kira begitulah."

"Oke, Bos! Aku mengerti. Sekarang kau akan kuantarkan pulang."



"kau tahu, em, aku dalam kesulitan." kata Anastasia yang mengunjungi Emi di rumahnya.

Sudah lebih dari delapan tahun Emi tak lagi aktif sebagai gadis model Madona, namun hubungan antara kedua sahabat ini tak pernah putus.

Sekarang Emi telah menjadi seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra-putri yang menginjak remaja. Pola kehidupannya tentulah sangat berbeda dengan pola kehidupan Anastasia. Pusat perhatian Emi adalah keluarganya, sedangkan bagi Anastasia, Madona-lah seluruh hidupnya.

"Kesulitan apa?" tanya Emi meneguk kopinya.

Mereka duduk dengan santai di ruang tamunya yang indah dan mewah. Memang dalam waktu sepuluh tahun yang terakhir ini suami Emi sudah berhasil menjadi pengusaha yang sukses. Dia tak lagi bekerja di pabrik tekstil, namun sudah berwiraswasta sendiri.

"Aku terlibat affair dengan seorang pemuda ingusan. Namanya Martin."

Emi mengangkat alisnya, lalu tersenyum.

"Ingusan seberapa? Kau selalu menganggap dirimu tua!"

"Ingusan benar-benar, Em! Usianya baru dua puluh tiga tahun!"

"Dua puluh tiga tahun? Astaga. itu namanya masih bayi, Run! Kok bisa begitu bagaimana ceritanya?"

"Dia salah seorang karyawanku, Em. Seorang pemuda yang terkucil. Berasal dari rumah tangga yang tidak harmonis. Ibunya meninggal dan ayahnya kawin lagi. Dia tak cocok dengan kedua orang tuanya sekarang. Dia putus sekolah sama seperti aku dulu, dan bekerja sebagai asisten juru fotoku di Surabaya."

"Seleramu memang aneh-aneh, Run! Kalau bukan laki-laki yang jauh lebih tua, sekarang kau main-main dengan pemuda yang pantas menjadi anakmu!" Emi mengernyitkan dahinya.

"Aku sudah menduga, kau pasti akan menyalahkan aku."

"Sudah barang tentu ini salahmu! Kau yang mencari gara-gara main asmara dengan pemuda seusia itu."

"Aku tahu. Aku pun sebenarnya tak ingin menjalin hubungan asmara dengannya. Sebetulnya sudah lama dia menyatakan kagum padaku. Aku anggap itu penyakit remaja saja. Seharusnya pada waktu itu aku mengambil langkah yang tegas. Tapi aku kira, ah, tidak apa-apa itu cuma penyakit semusim, sebentarjuga demamnya hilang. Aku merasa cukup bijaksana untuk bisa mengendalikan keadaan. Lagi pula di dalam hati sebenarnya aku merasa senang juga pada usiaku yang empat puluh ini masih ada pemuda dua puluh tiga tahun yang menggandrungi aku. Aku pikir, wah, kalau begitu aku juga belum terlalujelek!"

"Kau memang nggak jelek. Tapi kan tak perlu main-main api begitu untuk membuktikannya!" omel Emi.

"Ya itu, Em! Aku pikir mana aku bisa terbawa perasaan tertarik padanya. Tapi ternyata pada suatu saat aku menjadi lemah juga. Dia begitu serius begitu sungguh-sungguh... dan sudah begitu lama aku hidup dalam kesepian-aku... aku akhirnya tergetar juga."

"Setelah kematian Antonio ada berpuluh-puluh laki-laki yang berusaha mendekatimu laki-laki yang pantas menjadi suamimu yang sebaya denganmu dan yang punya itikad baik. Kau yang menolak mereka. Kau mengatakan kau hanya mau hidup dengan keriangan Antonio. Kalau kau berubah pikiran setelah menjanda bertahun-tahun, seharusnya kau jujur pada dirimu sendiri, jujur mengakuinya. Antonio tak pernah melarang kau kawin lagi, bahkan dia tak pernah menghendaki kau menjanda seumur hidup. Dia pernah berkata padaku bahwa setelah kematiannya dia ingin aku mempertemukan kau dengan laki-laki lain yang bisa menjadi pendamping hidup yang baik untuk mu, bahwa kau membutuhkan kasih sayang yang tak lagi dapat diberikannya, dan justru kau sendirilah yang menghukum dirimu untuk menjalani kehidupan seorang janda yang gersang seperti ini.

"Run, sudah merupakan naluri yang wajar bagi perempuan membutuhkan laki-laki. Setiap orang membutuhkan kasih sayang. Kalau pada suatu saat kau menyadari bahwa bayang-bayang Antonio kurang kongkret untuk menyertai hidupmu, seharusnya kau

membuka kesempatan lagi bagi laki-laki lain untuk masuk ke dalam hidupmu. Tapi ya jangan sembarang orang! Pilihlah calon yang sesuai, calon yang bisa kaubanggakan, calon yang membuat hidupmu semakin bahagia, bukan malah menambah problem seperti ini!"

"Nasi sudah menjadi bubur, Em. Karena itu aku mau minta bantuanmu sekarang."

"Bagaimana aku bisa membantumu?"

"Carikan jalan bagaimana supaya aku bisa putus darinya. Akhir-akhir ini aku semakin khawatir dan menyesal. Dia sangat posesif. Dia sangat takut kehilangan aku. Aku tak boleh ke mana-mana, bahkan untuk ke Jakarta saja setiap kali aku harus bertengkar dengannya. Dia selalu mau ikut, selalu mau menguasai aku sampaisampai aku nggak bisa bernapas!"

"Jelas dia takut kehilangan dirimu. Baginya kau adalah dewi dari kayangan cantik, sukses, terkenal, kaya! Dia tahu dia tak akan dapat menandingi dirimu. Karena itu kau digandolinya."

Tiba tiba Anastasia terbahak, membuat sahabatnya terheran-heran.

"Apanya yang lucu?" tanya Emi bengong.

"Bicaramu itu lho! Baru kemarin aku mendengar orang lain menyebutaku bersikap seperti dewi dari kayangan, kok hari ini aku mendengar hal yang sama dari kau!" gelak Anastasia.

"Siapa yang mengatakan itu?" tanya Emi tersenyum.

"Yamin."

"Siapa dia?"

"itu lho, yang tempo hari menggantikan Pak Dadang sewaktu dia sakit."

"Katanya itu hanya pengganti sementara?" Emi mengingat-ingat.

"Ya, tadinya memang begitu rencananya. Ternyata Madona sangat puas dengan pekerjaannya dan dia pun bersedia tetap bekerja untukku."

"Dan dia mengatakan kau seperti dewi kayangan?"

"Iya, katanya aku seperti Dewi Bulan yang turun sekali waktu untuk menolong manusia manusia yang sedang dalam kesulitan," kekeh Anastasia.

"Ceritanya bagaimana kok sampai keluar Dewi Bulan segala?"

"Lain kali deh aku ceritakan padamu. Sekarang tolong pikirkan urusan Martin ini

"Bicaramu itu lho! Baru kemarin aku mendengar-orang lain menyebut aku bersikap seperti dewi dari kayangan, kok hari ini aku mendengar hal yang sama dari kau!" gelak Anastasia.

"Siapa yang mengatakan itu?" tanya Emi tersenyum.

"Yamin."

"Siapa dia?"

"itu lho, yang tempo hari menggantikan Pak Dadang sewaktu dia sakit."

"Katanya itu hanya pengganti sementara?" Emi mengingat-ingat.

"Ya, tadinya memang begitu rencananya. Ternyata Madona sangat puas dengan pekerjaannya dan dia pun bersedia tetap bekerja untukku."

"Dan dia mengatakan kau seperti dewi kayangan?"

"Iya, katanya aku seperti Dewi Bulan yang turun sekali waktu untuk menolong manusia manusia yang sedang dalam kesulttan," kekeh Anastasia.

"Ceritanya bagaimana kok sampai keluar Dewi Bulan segala?"

"Lain kali deh aku ceritakan padamu. Sekarang tolong pikirkan urusan Martin ini

"Bicaramu itu lho! Baru kemarin aku mendengar oran g lain menyebutaku bersikap seperti dewi dari kayangan, kok hari ini aku mendengar hal yang sama dari kau!" gelak Anastasia.

"Siapa yang mengatakan itu?" tanya Emi tersenyum.

"Yamin."

"Siapa dia?"

"itu lho, yang tempo hari menggantikan Pak Dadang sewaktu dia sakit."

"Katanya itu hanya pengganti sementara?" Emi mengingat-ingat.

"Ya, tadinya memang begitu rencananya. Ternyata Madona sangat puas dengan pekerjaannya dan dia pun bersedia tetap bekerja untukku."

"Dan dia mengatakan kau seperti dewi kayangan?"

"Iya, katanya aku seperti Dewi Bulan yang turun sekali waktu untuk menolong manusia manusia yang sedang dalam kesulitan," kekeh Anastasia.

"Ceritanya bagaimana kok sampai keluar Dewi Bulan segala?"

"Lain kali deh aku ceritakan padamu. Sekarang tolong pikirkan urusan Martin ini

dulu!"

Emi mengernyitkan dahinya dan menatap dalam-dalam ke mata Anastasia.

"Apakah karena Yamin ini sekarang kau mau minta bebas dari Martin?" tanyanya berspekulasi.

"Hus! Kau ini melantur saja, Em! Yamin cuma karyawanku!"

"Martin juga karyawanmu. Kalau kau bisajatuh hati pada Martin. berapa sulitnya kaujuga jatuh hati pada Yamin apalagi dia sudah memujimu seperti Dewi Bulan!"

"Ah, gila, kau! Tidak ada apa-apa kok di antara Yamin dan aku."

Emi mengangkat bahunya, lalu kembali ke topik semula.

"Sudah berapa lamanya sih si Martin ini berhubungan denganmu?"

"Sekitar tiga bulanan ini, Em."

"Kau bertemu dengannya di mana?"

"Dia tinggal di rumahku."

"Di rumahmu? Ya bodohmu sendiri!" kata Emi tajam. Lalu apa kata karyawan-karyawanmu yang lain?"

"Aku harap mereka tidak ada yang tahu. Aku selalu menyuruh Martin keluar pagi-pagi sehingga bisa masuk bersama karyawan karyawan yang lain. Kalau dia masih belum pulang ketika yang lain-lain pulang, itu sih tidak mencurigakan karena Martin selalu punya alasan untuk mengerjakan sesuatu menjelang jam-jam pulang itu."

"Pembantu-pembantumu tidak ada yang bicara?"

"Aku harap tidak. Kedua pembantuku baik baik, dan mereka tahu aku tak suka mereka bicara dengan orang luar."

"Aku kira langkah yang pertama adalah mengeluarkan Martin dari rumahmu. Katakan terus terang padanya bahwa hubungan kalian ini suatu kesalahan dan harus diakhiri," usul Emi.

"Tapi ia pemuda yang sangat peka. Emosinya sangat rapuh, orangnya mudah tersinggung. Aku takut nanti dia bunuh diri. Sudah dua kali dia berkata bahwa seandainya dia kehilangan diriku dia akan memilih mati saja,"

"itu cuma sejenis pemerasan mental." kata Emi.

"Orang yang suka mengancam biasanya cuma menggertak. Dia tak akan bunuh diri."

"Tapi kalau terjadi sungguh kan aku akan menyesal seumur hidupku, Em!"

"Kalau kau tidak memutuskan hubungan ini, kaukira kau tak akan menyesal seumur hidupmu juga? Ingat, hal ini akan merusak citramu! Orangorang akan berpikir kau ini seorang tante girang yang haus seks sampai perlu memelihara seorang pemuda di rumahnya! Jelek kan kalau sampai merosot ke sana reputasimu? Jangan dikata lagi kemungkinan dampak ini atas bisnismu. Kau bisa kehilangan langganan kalau mereka memandang rendah moralmu."

Anastasia menutup kedua belah matanya.

"Jadi bagaimana, Em? Aku betul-betul bingung nih!"

"Aku pun tidak tahu, Run," kata Emi.

"Biarlah kubantu memikirkan hal ini. Kalau aku sudah mendapatjalan keluarnya, kita bicarakan lagi. Lebih baik kita pikir dengan tenang dan masak-masak. Kalau masih bingung begini kita cenderung mengambil keputusan yang salah."

"Aku bahkan berpikir untuk mengirim Pak Hamdi saja ke Surabaya untuk sementara dan aku tinggal di sini, tapi itu bukan jalan keluar yang baik karena setiap saat dia bisa saja menyusulku kemari," kata Anastasia.

"Ah! Betapa bodohnya aku membuat kesalahan seperti ini pada usiaku sekarang!"

"Sebenarnya apa sih yang diinginkannya darimu, Run?" tanya Emi.

"Kalau dia hanya menghendaki uangmu saja, apakah tidak lebih mudah memberinya beberapa ratus ribu sebagai pesangon lalu kauucapkan selamat tinggal?"

"Dia bukannya mengejar uangku, Em! Dia bahkan minta aku menutup Madona di sini supaya aku tidak pergijauh darinya. Dia ingin bisa bersamaku setiap saat. Pikirannya sungguh tidak masuk akal."

"Bagaimana sih mulanya kau bisa mau menerimanya di dalam rumahmu?" tanya Emi Jengkel.

"Tadinya aku berpikir begini, Em kami saling membutuhkan. Dia membutuhkan seorang ibu untuk mengurusnya, dan aku membutuhkan sepasang bahu tempat bersandar. Jadi aku pikir, yah, sudahlah selama dia masih membutuhkan aku, apa salahnya kami saling mengisi. Justru aku yang sadar bahwa hubungan ini tak mungkin berjalan lama suatu saat dia akan sadar bahwa aku cuma seorang perempuan tua dan dia pasti ingin mengakhirinya. Aku bahkan sudah mempersiapkan mentalku bahwa apabila saat itu

tiba aku akan melepasnya dengan rela tanpa penyesalan.

"Aku memperhitungkan bahwa hubungan kami ini tidak akan terlalu rumit karena aku tidak akan menahannya kapan saja dia siap melangkahkan kaki keluar dari rumahku. Aku sudah bertekad tidak akan membiarkan emosiku terlalu terbawa sehingga nanti aku tak rela melepaskannya. Itu kesalahan banyak perempuan tua yang punya affair dengan laki-laki yang lebih muda. Tapi aku tidak pernah membayangkan dia yang ingin mengikatku badan dan jiwa! Sekarang ini masalahnya bukan seorang perempuan yang lebih tua yang menggandoli kekasihnya yang lebih muda, tapi seorang pemuda yang ingin mengontrol seluruh jiwa dan ragaku! Dia begitu besar rasa cemburunya, begitu posesif, begitu menuntut, sampai aku takut dibuatnya! Seandainya dia bersikap wajar-wajar saja maksudku ya sebagai kekasih tetapi yang tidak menuntut setiap detik dari hidupku aku tidak berkeberatan memomongnya sampai dia bosan sendiri. Tapi rupanya aku sudah salah hitung. Setelah tiga setengah bulan tinggal di rumahku dia tidak menunjukkan tanda-tanda bosan sama sekali, malah semakin posesif! Siapa saja dicemburuinya!"

"Hati-hati, lho! Kalau dia terlalu cemburu dia bisa membunuhmu!" kata Emi.

Anastasia tertawa kering.

"Sejelek itu sifatnya juga tidak. Dia betul-betul mencintaiku dan aku percaya dia tidak akan menyakiti diriku. Dia sangat loyal dan penuh dedikasi,sampai-sampai aku merasa sungkan dibuatnya. Dia melayani diriku seperti seorang budak. kau tahu, Em! Kalau malam dia yang harus menyisiri rambutku, melepaskan pakaianku, menyelimuti aku. Pagi-pagi bangun dia yang membawakan sari jerukku, memandikan aku, membuatkan roti panggangku, dan setelah aku makan baru dia keluar dari rumah. Berkalikali aku katakan padanya bahwa aku belum invalid, dan aku tidak membutuhkan seorang pembantu, dan aku tidak suka dilayani seperti itu tapi dia berkata bahwa hal itu memberinya kepuasan. Dia senang memperlakukan aku seperti seorang putri raja, katanya."

"Wow! Cinta yang demikian itu menakutkan juga lho, Run! Itu berarti dia tak lagi mengizinkan kau punya individualitas sendiri. Kau adalah seratus persen hak miliknya. Memang kau disayang dan dirawat dengan

baik, tapi jangan sekali-kali kau berani berpikiran mau meloloskan diri darinya! Itulah sebabnya dia takut kau berhubungan dengan orang lain. Dia begitu khawatir akan adanya kemungkinan kau akan meninggalkannya."

"Jangan tambah menakut-nakuti aku, dong, Em! Mbok carikan jalan keluar bagaimana supaya aku bisa memutuskan hubungan ini dengannya tanpa mengguncangkannya dari keseimbangannya."

ANASTASIA memaksakan dirinya untuk tinggal lebih lama di Jakarta kali ini. Setiap hari Martin meneleponnya, menanyakan kapan dia akan kembali. Dengan berbagai alasan Anastasia menunda waktu. Sekarang ini menjelang akhir tahun saat di mana kegiatan memang lebih ramai. Banyak pengusaha memakai kesempatan ini untuk meningkatkan minat pembeli, karena itu bisnis promosi pun juga lebih laku. Perancang-perancang terkenal bergantian menyelenggarakan peragaan busana koleksi tahun berikutnya, produsen produsen kosmestik melancarkan kampanye melemparkan produk baru ke pasaran, majalah majalah wanita menambah jumlah halamannya khusus untuk iklan model-model busana. Dengan semua kegiatan ekstra ini Madona harus bekerja siang dan malam untuk menangani semua pesanan ini

dengan memuaskan. Kehadirannya sangat dibutuhkan di sini. Begitu kilah Anastasia yang memang sebagian mengandung kebenaran juga hanya saja dalam keadaan resesi begini sebetulnya mereka tidak sedemikian sibuknya seperti yang digambarkannya kepada Martin.

Dan bagaimana dengan cabang Madona di Surabaya? tanya Martin.

Anastasia menjawab bahwa umumnya pengusaha-pengusaha besar berkantor pusat di Jakarta dan keputusan biasanya diambil dari kantor pusat. Lagi pula jumlah kliennya jauh lebih banyak di Jakarta. Sementara Surabaya bisa diserahkannya dulu kepada Ridwan. Kalaupun ada pesanan besar, mereka dapat menghubunginya di Jakarta per telepon. Pokoknya Anastasia tidak dapat pulang ke Surabaya sampai mungkin setelah pergantian tahun.

Martin marah. Masa akhir tahun tidak dilewatkan bersama? Masa akhir tahun mereka harus berpisah! Bukankah sekarang mereka sudah menjadi kekasih? Mana ada kekasih yang tidak merayakan malam Tahun Baru bersama!

lni memberikan kesempatan kepada Anastasia untuk menjawab bahwa akhir tahun ini dia ingin merayakannya sendiri bersama Antonio. Martin harus ingat bahwa bagaimanapun juga dia tetap janda Antonio. Sejak menjadi istrinya sampai menjadi jandanya setiap akhir tahun dia ingin menyendiri bersama Antonio. Kalau Martin tidak bisa menerima hal ini, lebih baik hubungan mereka berakhir sampai di sini saja, Antonio punya hak yang lebih besar atasnya. Antonio sudah menjadi bagian dari hidupnya sebelum dia mengenal Martin. Permintaan Martin untuk menyusulnya ke Jakarta ditolak dengan tegas. Di Jakarta dia tinggal di rumah Antonio dan laki-laki lain tak diizinkannya menginjakkan kakinya di sana. Martin harus bisa menghormati almarhum suaminya! Rumah itu adalah tempat yang istimewa bagi mereka berdua hanya mereka berdua. Orang ketiga tak punya tempat di sana!

Mendengar ancaman Anastasia, Martin mundur walaupun dengan menggerutu. Toh ini berarti hanya mengalah kepada orang mati asalkan bukan kepada pria lain yang masih hidup dan bernapas saja!

Anastasia bernapas lega. Untuk sementara dia dapat menjauhkan dirinya dari

pemuda itu. Dia malah menasihatkan agar Martin pulang ke rumah orang tuanya saja untuk merayakan malam Tahun Baru bersama mereka. Mungkin ini bisa memperbaiki hubungan mereka. Martin menyatakan akan pikir-pikir dulu.

Demikianlah maka Anastasia tinggal di Jakarta memperkuat timnya menghadapi kegiatan akhir tahun. Untuk sementara waktu problemnya mengenai Martin terlupakan. Sepanjang hari Anastasia mengkonsentrasikan pikirannya pada bisnisnya dan pada malam hari dia menikmati kesendiriannya bersama kenangannya di tengah tengah barang-barang milik mereka.

Selama di Jakarta ini sudah dua kali Yamin mengajaknya keluar. Yang pertama adalah pada saat awal kedatangannya, dan yang kedua sebetulnya masih berkaitan dengan dinas.

Mereka baru saja kembali dari menemui seorang klien baru dan Yamin mengusulkan untuk tidak segera pulang tetapi pergi berjalanjalan.

Seperti pada pertama kalinya, Anastasia menikmati bergaul dengan Yamin. Orangnya yang berpikiran kritis dan humoris itu

bisa menarik perhatiannya, dan membuat percakapan mereka tidak membosankan. Berbicara dengan seorang yang intelek merupakan suatu selingan segar dari hal-hal rutin yang membuat orang jenuh.

"Kau tidak mengambil cuti, Min?" tanya Anastasia ketika mereka sedang menikmati es teler di sebuah depot.

"Uh, pekerjaan bertumpuk begini mana bisa libur. Aku punya tanggung jawab, kan!"

"Tinggal dua hari lagi Tahun Baru. Kalau kau mau mengambil cuti beberapa hari, aku tidak keberatan. Setelah acara tutup tahun biasanya kegiatan menurun drastis."

"Kau sendiri bagaimana?"

"Mungkin aku juga akan berlibur barang duatiga hari."

"Rencananya mau ke mana?"

"Belum tahu. Tapi kemungkinan besar di rumah saja. Aku senang duduk-duduk di rumah. Lagi pula bepergian sendiri juga nggak menyenangkan."

"Bagaimana kalau kita berlibur bersama? Ke Pulau Seribu atau ke Bali?" usul Yamin.

Anastasia tergelak.

"Aku nggak suka tempat-tempat yang ramai. Lagi pula orang bisa salah tafsir kalau melihat kita berlibur berduaan. Nanti dikira kau ini anak asuhnya seorang tante girang."

"Sabodo pikiran orang! Yang penting kan pikiran kita sendiri," kata Yamin.

"Lagi pula kau tidak bertampang tante girang kok. Kau masih seperti gadis berusia dua puluh tahun, pantas menjadi pacarku."

"Iya, bagi yang melihat dari kapal terbang," kekeh Anastasia.

"Lha wong aku sudah neneknenek begini, lho, Min, kok masih disamakan dengan gadis! Atau mungkin kau tidak tahu berapa umurku yang sebenarnya?"

"Aku tahu persis berapa umurmu. Kau lahir tahun empat enam. Kau pertama menjadi model tahun tujuh puluh. Sampai tahu tUJuh puluh tiga kau adalah foto model dan peragawati yang ngetop. Lalu kau menikah dan setelah itu dunia model kehilangan dirimu, kau tak pernah tampil lagi sebagai model, melainkan kau beralih menjadi business woman. Tahun tujuh empat suamimu meninggal dan kau menjanda terus sampai sekarang. Aku tahu banyak kok tentang dirimu."

"Oh, dari mana?"

"Dari berbagai sumber. Aku bisa mengorek banyak keterangan kalau aku mau."

"Lalu untuk apa semua informasi ini?" tanya Anastasia geli.

"Seorang pria harus tahu siapa perempuan yang dicintainya, bukan?" kata Yamin tanpa emosi seperti mengatakan "Hari ini langit mendung begitu saja.

Senyuman yang tadi menghiasi bibir Anastasia serentak membeku.

"Apa... apa kaubilang?" kata Anastasia hampir tersedak.

Yamin terbahak.

"Kau terkejut? Masa setenang ini pembawaanmu, sesukses ini. baru mendengar ada pria yang mencintai dirimu sudah terkejut?" ejeknya.

"Min, kau gila! Kau tidak tahu apa yang kaukatakan!"

"Kenapa aku gila? Mencintai seseorang itu tidak gila, itu hal yang wajar."
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi aku ini kan lebih tua darimu. Dan lagi aku ini janda! Buat apa kau mencintai aku-kan ada banyak gadis yang cantik dan muda-muda di sekelilinginu. Lihatlah gadis-gadis model kita, semuanya cantik dan segar-segar, lha kok berpaling padaku!"

"Aku kan pernah bilang, kau ini perempuan yang paling mendekati idealku. Kau pandai, sukses, cantik, penuh humor, dan baik. Aku paling membenci perempuan yang bodoh yang kepalanya kosong dan cuma bisa menggoyangkan pantatnya saja untuk menarik perhatian lakilaki."

Anastasia tertawa.

"Dulu pun aku menggoyangkan pantat juga di atas catwalk, Min. Sekarang saja karena sudah tua dan tidak laku lagi, maka aku tidak punya kesempatan."

"Perempuan cerdas yang juga bisa menggoyangkan pantat justru yang istimewa. Makanya aku senang padamu."

"Aduh, Min, sudah! Kau jangan menambah banyak problemku lagi," kata Anastasia yang teringat kasus Martin.

"Aku tidak menjadi problem untukmu. Aku nggak minta apa-apa kok."

"Aku ini malah susah kalau dicintai orang, Min."

Yamin tersenyum.

"Itulah harga yang harus kaubayar sebagai perempuan cantik yang sukses. Setiap laki-lakiyang berjumpa denganmu ingin bisa memiliki dirimu. Kalau kau tak pandai-pandai membawa diri, mereka yang untung dan

kau yang rugi."

"Jadi ini ceritanya kau juga mau coba-coba menarik keuntungan dariku, begitu toh?" tanya Anastasia.

"Itu terserah penilaianmu sendiri. Kalau sudah setua ini kau maSih tidak bisa membedakan itikad orang, ya salahmu sendiri."

"Tahulah. Min! Kepalaku pusing!"

Tapi akhirnya Anastasia berangkat juga ikut Yamin ke Puncak pada hari pertama pergantian tahun. Mereka memilih Puncak karena di sana sepi dan jauh dari keramaian. Yamin mengatakan bahwa dia mendapat pinjaman sebuah bungalo milik temannya dan di sana mereka melewatkan empat hari yang sangat berarti.

Bersama Yamin, Anastasia mendapatkan bentuk hubungan yang lain lagi. Kalau Antonio memperlakukannya sepenuhnya seperti seorang kekaSih, dan Martin memperlakukannya seperti boneka mainannya, maka Yamin memperlakukannya seperti seorang sahabat. Yamin tidak selalu berada di dekat

nya. Setiap pagi dia bangun lebih dulu, lalu pergi untuk berolahraga lari sementara Anastasia masih lelap tertidur.

Jika bersama Antonio, Anastasia yang selalu melayaninya makan pagi dan bersama Martin seballknya, maka Yamin sekali-kali tidak terikat pada ritus makan pagi ini. Dia makan kapan dia merasa lapar sekembalinya dari lari paginya. Dia akan makan sendiri, tanpa mempedulikan apakah Anastasia saat itu sudah bangun atau belum. Dia tidak minta dilayani di meja makan, tetapi juga tak pernah terpikirkan olehnya untuk melayani Anastasia.

Bersama Yamin, Anastasia bisa bebas mengikuti irama hidupnya sendiri. Kalau Antonio selalu menunggunya untuk bersama-sama masuk ke kamar tidur dan Martin dengan setengah paksa menggendongnya masuk sehabis makan malam, maka Yamin hanya mengucapkan selamat malam saja kalau dia sendiri sudah siap untuk naik ke tempat tidur. AnastaSia bisa ditinggalkannya sendiri di dekat tungku perapian apabila itu yang masih ingin dinikmatinya.

Pendek kata Yamin tidak menuntut untuk melakukan sesuatu bersama-sama. Siapa

yang merasa lapar. silakan makan dulu tak ada keharusan menunggu patnernya atau memaksa patnernya ikut makan. Begitujuga siapa yang merasa sudah mengantuk, Silakan tidur dulu, yang masih mau membaca atau duduk-duduk ya silakan. Kepentingan individu dihargainya.

Empat hari hidup bersama Yamin ini membuat Anastasia sadar bahwa dua orang mungkin juga hidup bersama dalam keharmonisan tanpa mengorbankan kepribadian masing-masing. Ini merupakan suatu penemuan baru baginya. Antonio selalu ingin melindunginya, sedangkan Martin selalu berusaha menguasainya. Hanya Yamin yang tidak mengotak-atik kepribadiannya. Bukannya Yamin tidak memperlakukannya dengan mesra mereka Juga melewatkan saat-saat yang manis seperti berjalan-jalan di antara pepohonan tinggi di petang hari sewaktu embun masih tipis-tipis menyelimuti latar belakang pegunungan, atau berpelukan dalam kebisuan menikmati hangatnya tubuh masing-masing di atas kasur yang nyaman, atau duduk dengan santai di depan perapian melihat indahnya lidah-lidah api menjilat kayu kering yang mereka masukkan tetapi

segala sesuatu yang mereka perbuat bersama tidak mengandung unsur paksaan sama sekali. Hal itu hanya terjadi apabila secara spontan kedua belah pihak menghendakinya seakan-akan mereka sadar bahwa mereka adalah dua individu yang terpisah, yang masing-masing punya hak atas hidupnya sendiri. Respons yang mereka berikan adalah keinginan murni dan hati mereka sendiri tanpa didasari oleh rasa wajib berbuat demikian karena satu dan lain alasan.

Dan Anastasia menemukan ketenangan batinnya ketenangan batin yang selama ini tak pernah dikenalnya. Bersama Antonio dia tak pernah berpikir untuk mempunyai keinginan sendiri karena dia selalu ingin bisa menyenangkan lakilaki itu yang tak akan bisa lama mendampinginya. Bersama Martin dia tidak bisa punya keinginan lain karena Martin menganggapnya total hak miliknya. Tapi bersama Yamin, Anastasia merasa bisa berdiri sama tinggi bahwa mereka mempunyai status yang sama. Dia tidak perlu berkorban apa-apa untuk laki-laki itu dan Yamin pun tak pernah menekannya untuk mengikuti kehendaknya. Sehingga apa pun yang diperbuat Anastasia, respons apa pun yang diberikannya, semuanya terbit dari dalam dirinya sendiri. Bersama Yamin mereka seumpama kamerad seperjalanan, samasama tidak menuntut, sama-sama tidak mengharapkan pengorbanan apa-apa dari temannya. sama-sama tidak punya hak atas kemauan yang lain mereka bebas hidup menurut kehendak mereka sendiri sambil menikmati keakraban suatu persahabatan yang meringankan kaki mereka selama menempuh perjalanan itu.

Pada pagi hari yang kelima ketika mereka bersiap-Siap untuk berkemas, Yamin berkata.

"Liburan telah selesai, kita harus kembali lagi pada kenyataan, Yang."

"Ya, sayang cuma sesingkat ini waktunya, ya, Min?" sahut Anastasia.

"Kau tidak menyesal pergi bersamaku kali ini?"

"Sama sekali tidak. Bahkan aku merasa sayang liburan ini begitu cepat berakhirnya."

"Mungkin lain kali kalau ada kesempatan lagi kita bisa berlibur lebih panjang," senyum Yamin.

Anastasia tersenyum. Yamin mengatakan "mungkin" sama sekali tidak mengandung unsur yang mengikat.

"Ya, barang dua minggu begitu, ya?"

jawabnya.

"Seumur hidup pun aku tak berkeberatan," seringai Yamin.

Anastasia mengangguk. Sebersit senyuman membayang di bibirnya.

"Mungkin," katanya menirukan Yamin.

"Mungkin suatu hari aku bisa mengambil keputusan itu."

Yamin mengangkat bahunya suatu kebiasaan yang membuatnya tampak mbois. Sebuah senyuman yang lucu menghiasi wajahnya.

"Beritahu aku kapan kau telah sempat membuat keputusan itu. Kalau pada saat itu tawaranku belum berubah, kita bisa memulai suatu kehidupan yang baru."

"Dan kalau saat itu kau sudah berubah?"

"Ya nggak jadi dong!"

"Kau bilang cinta padaku," goda Anastasia.

"Cinta bukan satu-satunya faktor yang menentukan dalam hidupku."

"Aku tahu, kau laki-laki yang sangat logis dan praktis."

"Tidak ada satu faktor pun bagiku yang punya peranan paling dominan. Semua porsinya seimbang. Baik itu logika, cinta, atau

lain-lain."

"Sekarang aku masih harus membereskan banyak hal, Min," kata Anastasia.

"Aku mengerti. Kau bebas mengambil langkah apa saja. Suatu proyek itu baru sukses apabila kedua belah pihak yang bersepakat melakukannya punya pendapat dan tujuan yang sama. Kalau kau mau, aku mau kau siap, aku siap.kau bisa, aku bisa nah, kita terjun bersama. Jika hanya salah satu pihak saja yang siap atau mau, proyek itu kebanyakan gagal. Dan aku bukan orang yang memulai sesuatu untuk gagal."

"Ya, kau benar. Segala sesuatu yang tidak dipaksakan itu jauh lebih menyenangkan."



"PAK, kau harus bicara pada anakmu. Badung ya badung, tapi ya jangan keterlaluan! Kalau begini namanya bikin malu nama orang tua! Masa sekarang dia jadi piaraan seorang tante girang!" Berta mengomeli suaminya.

Suaminya yang baru tiba di rumah dan sedang mencopot sepatunya terperanjat.

"Apa, Bert? Kau bilang apa?"

"Aku cerita tentang anakmu itu lho-si Martin! Kan ya keterlaluan toh, Pak, kalau tingkahnya begitu sekarang! Masa dia mau dijadikan piaraan tante girang!"

"Kau ini ngoceh apa toh, Bert? Siapa yang bilang Martin jadi piaraan tante girang?"

"Siapa bilang bagaimana! Temantemannya sendiri yang bilang!"

"Teman-temannya siapa?"

"Itu, anak-anak yang tinggal di Jalan Kartini."

"Kapan kau bertemu dengan mereka?"

"Tadi sore aku ke sana. Kita kan sudah lama nggak bertemu dengan Martin. Tadi sore kebetulan dari supermarket aku lewat di sana.Aku pikir biar aku mampir sebentar dan membaginya sedikit jajan yang kubeli. Nanti dikira karena aku ibu tirinya lalu aku tidak memperhatikan. Biarpun dia tidak tinggal bersama kita tapi kan ya masih anakmu, Pak, jadi secara hukum ya anakku juga...."

"Terus apa yang terjadi?" putus suaminya.

"Terus sewaktu aku mampir, anak-anak di sana memberitahukan bahwa Martin sudah lima bulan tidak tinggal di sana lagi. Martin sekarang tinggal di rumah majikannya yang sudah menjadi kekasihnya itu!"

Mata suami Berta melotot lebar.

"Dari mana teman-temannya ini tahu bahwa majikan Martin itu kekasihnya? Mungkin untuk memudahkan pekerjaannya saja maka dia tinggal di sana."

"Alaa, kau kok nggak mau percaya! Teman temannya bilang sekarang Martin punya pacar, ya majikannya sendiri itu si

tante girang!"

"Mengapa tante girang? Apakah karena dia perempuan dia tidak boleh menjadi majikan?"

"Perempuan itu paling sedikit kan sudah tiga puluh! Kalau belum tiga puluh mana bisa punya bisnis sendiri. Makanya, dari dulu aku sudah bilang,jangan ijinkan anakmu tinggal di luar rumah. Sekali keluardari rumah susah dikontrol lagi. Masa sekolahnya ditinggalkan begitu saja untuk menjadi tukang potret! Masuknya ke fakultas saja dulu begitu susah, menghabiskan biaya berapa -lha kok baru tiga tahun terus dropout hanya untuk menjadi tukang potret! Apa masa depannya sebagai tukang potret? Sekarang tambah susah lagi kalau dia sudah menjadi piaraan perempuan itu! Kan malu!"

"Martin memang sudah tidak mau sekolah lagi, kan juga tidak bisa dipaksa. Aku pikir daripada dia luntang-lantung setiap hari, kan tidak ada salahnya dia bekerja mendalami suatu profesi," kata si suami.

"Tapi kalau sudah seperti ini bagaimana? Malu besar kita kalau ketahuan orang anakmu jadi gigolo ! Lha wong bapaknya orang terpandang kok anaknya sampai jadi gigolo! Apa tidak malu kita kalau ada omongan begitu di luar?" Berta mencibirkan bibirnya.

Topik anak suaminya memang selalu menjadi sumber pertengkaran di antara mereka. Di mata Berta, Martin adalah seorang anak yang kurang tahu aturan Berta selalu mengatakan bahwa ibu kandung Martin tidak tahu bagaimana mengajar anaknya yang betul kurang pendidikan, kurang sadar akan kewajiban dan kedudukannya sebagai anak. Sebaliknya Martin menganggap ibu tirinya terlalu suka menguasai, suka turut campur, suka mengatur dan gila hormat. Mereka tak pernah cocok. Karena itu ayahnya merasa lega ketika Martin mengatakan dia ingin kos di luar saja beisama teman-temannya. Tetapi mana dia tahu keadaan akan berkembang menjadi begini setelah si anak berada di luar pengawasannya?

"Coba aku tanyai dia," kata si ayah.

"Ya percuma saja!" istrinya berkata ketus.

"Mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudah pasti Martin akan menyangkal."

"Lha apa yang harus kulakukan kalau begitu?"

"Temui perempuan itu! Katakan padanya

kalau dia tidak segera memutuskan hubungan dengan Martin, kau akan mengadukannya ke polisi atas tuduhan perzinahan. Perempuan itu punya bisnis biro model, pasti dia takut malu juga!"

"Kau pikir itu jalan yang terbaik?"

"Ya. Ancamlah perempuan itu. Mengancam Martin tidak akan mempan karena kita tidak punya senjata. Perempuan itu lain. Dia pasti memikirkan reputasinya."

"Bagaimana kalau apa yang kauduga itu salah? Bagaimana kalau malah dia yang balik menuduhku memfitnah? Aku kan tidak punya bukti."

"Martin tinggal di rumahnya, apakah itu bukan cukup bukti? Apa implikasinya bagi seorang perempuan yang sudah janda begitu menahan seorang pemuda untuk tinggal di rumahnya? Apakah untuk keperluan membantunya merajut! Hah!"

"Baiklah," kata suaminya mengalah.

"Besok kutemui perempuan itu. Siapa namanya dan di mana alamatnya?"

"Nama biro modelnya Madona. Namanya Anastasia Castillo."

"Orang apa dia?" tanya suaminya heran.

"Aku dengar mendiang suaminya masih

berdarah Spanyol,entah dia sendiri. Mungkin sama."



"Saya ingin bertemu dengan Nyonya Anastasra Castillo," kata seorang laki-laki yang berperawakan tinggi kepada Siska.

"Oh, Silakan duduk, Pak. Saya sekretarisnya. Apakah saya boleh tahu untuk urusan apa?"

"Ini menyangkut sedikit urusan pribadi," senyum laki-laki itu mengagumi ruang di mana dia diterima. Ruang ini bagus, tertata dengan artistik dan menarik.

"Bapak sudah punya janji?"

"Oh, tidak."

"Ibu Ana hanya menerima tamu yang sudah punya janji."

"Oh?" Laki-laki itu mengangkat matanya dengan sinis. Lalu dia tersenyum dan Siska dapat melihat sisa-sisa ketampanan wajahnya dua-tiga puluh tahun yang lalu.

"Saya ingin memakai jasa biro ini. tapi proyek yang saya kerjakan begitu rahasianya sehingga saya harus sangat berhati-hati. Saya hanya berani membicarakannya langsung dengan pimpinan biro model ini. Kalau saya tidak bisa bertemu dengan Nyonya Anastasia Castillo sendiri, maka saya akan mencari biro yang lain saja," kata lakilaki itu tegas.

Mata Siska menyipit. Sekarang bisnis lagi sepi, calon klien harus dilayani dengan baik. Dia berkata,

"Baiklah, pesan Bapak akan saya sampaikan kepada Bu Ana. Bapak tunggu di sini dulu. Boleh saya ketahui nama Bapak?"

Laki-laki itu tersenyum lagi.

"Itu pun maSih rahasia. Saingan saya terlalu banyak."

Siska mengangguk. Kalau orang ini mau bersikap misterius, ya apa boleh buat! Dia masuk ke kamar kerja Anastasia untuk melaporkan kedatangan tamu yang aneh ini.

"Mungkin dia pengusaha besar, Sis," kata AnastaSia,

"atau barangkali cuma mau minta sumbangan," sambungnya tergelak.

"'Suruhlah dia masuk. Kalau dia tidak sebonafid gayanya, aku selalu bisa mengusirnya keluar."

Siska kembali untuk memberitahukan bahwa majikannya bersedia menerima tamunya ini.

Laki-laki itu mengangguk lalu mengikuti gadis itu ke kamar kerja Anastasia.

Anastasia hanya mengangkat matanya dari apa yang sedang dikerjakannya ketika Siska mengantarkan tamu itu masuk.

"Selamat pagi, Nyonya Castillo," kata laki-laki itu mengulurkan tangannya.

"Saya senang Anda mau menerima kedatangan saya tanpa janji."

Seketika itu jantung Anastasia berhenti berdetak! Matanya melotot seperti melihat setan saja-dan benarlah memang setan dari masa lampaunya tiba-tiba muncul lagi.

Walaupun usia dan lemak telah menambah ketambunan pada laki-laki tamunya itu, namun ketuaan tidak dapat menyamarkan identitasnya. Tujuh belas tahu yang lalu lakilaki ini lenyap dari hidupnya lenyap dengan meninggalkan luka yang dalam. Tujuh belas tahun Anastasia tak pernah membayangkan akan bertemu muka lagi dengannya! Tujuh belas tahun dia berusaha melupakan laki-laki ini dan akhirnya berhaSil. Mengapa hari ini momok itu tiba-tiba muncul lagi di depan

matanya, menghapus tahun-tahun yang telah lewat di antara mereka, seakan-akan baru kemarin dia terakhir melihat laki-laki ini?

"Nama saya Hariono," kata laki-laki itu menarik kembali tangannya yang tak pernah mendapatkan sambutan dari Anastasia.

"Barangkali Anda sudah tahu maksud kedatangan saya kemari?"

Beberapa detik lamanya Anastasia terpukau oleh masa lalunya sendiri, kemudian dia menyadari bahwa laki-laki ini tidak mengenali dirinya! Tentu saja dia tidak kenal lagi padaku, pikir Anastasia, Dia telah melewati perjalanan hidup yang panjang dari seorang gadis polos yang bernama Seruni untuk mencapai tangga statusnya hari ini sebagai perempuan karier yang sukses dan janda Antonio Castillo!

Anastasia tersenyum, merasa yakin akan dirinya sendiri. Sebaris gigi yang putih cemerlang tampak sangat menarik.

"Ah, maafkan saya, Pak Hariono. Tapi saya tidak tahu maksud kedatangan Anda kemari."

Sesaat lamanya Hariono pun tercekat hatinya melihat perempuan yang cantik ini. Pantas anaknya jatuh hati, pikirnya.

Siapa yang tidak akan terkesima melihat perempuan ini? Dia bukan saja cantik, tapi juga tampak anggun dan tenang. Kulitnya halus dan bercahaya dan dia hampir sama sekali tidak melihat garis-garis ketuaan padanya. Perempuan cantik ini bisa berumur antara dua puluh lima sampai lima puluh lima tahun tapi siapa yang memusingkan hal itu? Dia tampaknya masih di bawah tiga puluh, tak ada kerut-kerut baik di ujung mata maupun di dahi dan lehernya. Matanya jernih dan menarik, rambutnya hitam tebal. disisir miring ke satu arah yang membuatnya tampak sangat feminin. Potongan tubuhnya tak kalah dengan kontestan ratu kecantikan dunia mana pun! Buset! pikir Hariono dalam hati. Aku juga mau punya kekaSih seperti ini! Bahkan disuruh mengawininya pun mau! Kalau perempuan ini mau menjadi istrinya, detik ini juga dia akan mengaku takluk. Istrinya yang cerewet di rumah akan segera diceraikannya tanpa pikir dua kali! Terkesima oleh kecantikan lawannya, Hariono luntur amarahnya. Dia berkata,

"Saya harap saya tidak mengganggu pekerjaan Anda karena saya datang tanpa membuat perjanjian sebelumnya."

Anastasia tersenyum lagi.

Aduh, manisnya! maki Hariono dalam hati.

"Saya bisa membuat perkecualian untuk hal-hal yang penting," kata Anastasia.

"Silakan duduk, Pak Hariono."

Hariono menarik kursi di hadapan meja tulis Anastasia lalu duduk. Matanya masih mengagumi perempuan itu dari atas sampai ke bawah menelusuri lekuk-lekuk tubuhnya dengan penuh selera.

"Jadi, apa yang dapat saya kerjakan untuk Anda?" tanya Anastasia.

Kau boleh mengizinkan aku tidur denganmu sekarang, Manis, bisik Hariono di dalam hatinya. Tetapi kepada Anastasia dia berkata,

"Sebetulnya saya datang kemari karena anak saya."

Anastasia mengangkat alisnya, masih menunggu.

"Martin," lanjut Hariono.

"Martin?"

Untuk kedua kalinya sejak laki-laki itu masuk ke kamar kerjanya, Anastasia tersentak. Martin? Martin itu anaknya? Anak Hariono! Astaghfirullah!

Anastasia berusaha menekan emosinya. Dia harus mencari tahu dulu apa yang dikehendaki Hariono.

"Ya. Saya ayahnya." senyum Hariono.

Perlahan Anastasia mengangguk, menenangkan debaran jantungnya.

"Ya? Dan maksud Anda?" tanyanya. Suaranya ternyata terdengar jauh lebih tenang daripada yang diduganya.

"Begini, Nyonya Castillo. Saya tahu anak saya sekarang tinggal di sini. Saya... saya pikir lebih baik dia pulang ke rumah saya saja."

Anastasia mengangguk.

"Mengapa Anda tidak langsung bicara saja kepadanya?" tanya Anastasia.

"Wah, eh... saya belum bertemu dengannya."

"Apakah Martin tahu rencana kedatangan Anda kemari?"

"Tidak."

Dalam hati Anastasia bersyukur karena pagi ini Martin sedang tugas dengan Pak Sukardi dan tak diharapkan kembali sebelum petang nanti.

"Semuanya tentu terserah pada Martin, bukan?" balas Anastasia.

"Dia sudah

dewasa. Seharusnya dia bebas menentukan pilihannya sendiri."

"Ya,saya percaya bahwa kehadiran Martin di sini tentunya tidak berlatar belakang yang jelekjelek, tapi Anda tahu bagaimana mulut orang," senyum Hariono.

"Masyarakat kita masih terlalu suka usil dan gosip dan dan, yah dengan tidurnya Martin di sini ada banyak gunjingan yang tak diinginkan. Anda tentunya tidak ingin nama baik Anda ternoda karena hal ini, bukan? Demikian pula saya. Karena itu saya pikir lebih baik Martin tidak tinggal di sini lebih lama lagi. Selain itu merugikan reputaSi Anda, juga reputasi keluarga saya."

Hati Anastasia bergejolak. Tiba-tiba terngiang kembali di telinganya apa yang pernah didengarnya tujuh belas tahun yang lalu! "...carilah kesempatan untuk membalaskan sakit hatimu padamu... apakah kau akan membiarkan laki-laki pembunuh anakmu ini lolos begitu saja. ...kan harus membalaskan sakit hatinya! ...suatu saat dia harus bertekuk lutut di hadapanmu, minta ampun dan mengemis hidupnya dari tanganmu! "

Yah, Tuhan, dan sekarang kesempatan itu tiba! Hari ini kesempatan itu tercipta! Dia tidak perlu mencari laki-laki ini, bahkan sebenarnya dia sudah melupakannya tapi ternyata nasib tidak menghendaki lakilaki ini lenyap begitu saja dari hidupnya. Nasib mempertemukan mereka kembali! Dan ironinya kali ini penemuan itu lewat anaknya! Lewat anak yang dijadikan alasan oleh ayahnya untuk merenggut janinnya tujuh belas tahun yang lalu! Tujuh belas tahun yang lalu tanpa daya dia telah mengalami janinnya dirampas secara paksa oleh lakilaki ini, sekarang tujuh belas tahun kemudian dia yang berhasil merenggut anak laki-laki itu darinya!

"Pak Hariono." kata Anastasia dengan suaranya yang paling halus dan merayu.

"Saya cuma tinggal seorang diri di rumah besar ini di samping para pembantu. Martin merupakan pendamping saya yang dapat mengisi kekosongan hidup saya."

"Saya heran," kata Hariono.

"Mengapa perempuan yang secantik ini tidak menikah lagi setelah suami Anda meninggal."

Anastasia mengangkat bahunya. Selama bertahun-tahun berkecimpung di dunia foto model dan keperagawatian, sedikit banyak

dia menguasai Juga teknik dasar akting.

"Mencari suami bukan hal yang mudah, Pak Hariono. Seorang suami harus bisa menyesuaikan diri dengan pola hidup saya sebagai seorang perempuan karier harus mau membagi waktunya dengan pekerjaan saya, harus bisa menerima dinomorduakan oleh bisnis saya. Mana ada suami yang mau menerima kenyataan itu?"

"Mungkin Anda tidak sungguh-sungguh mencari. Mungkin saja ada laki-laki yang bisa menerima persyaratan itu tadi."

"Hmph!" senyum Anastasia.

"Saya tak bisa menikah dengan sembarang laki-laki begitu saja. Saya menginginkan seorang lakilaki yang kuat, yang punya kepribadian, yang keras tulang punggungnya, bukan macam sepotong karet yang mudah dibengkokkan." Anastasia memandang Hariono dengan serius.

"Martin lain. Martin masih muda. Saya bisa menerima kelemahan pada diri orang yang masih muda. Kalau Martin belum punya tulang punggung yang keras, saya tidak kecewa. Karena itulah, saya senang sekali Martin mau menemani saya di sini."

Hariono menghela napas. Seandainya dia tidak dibatasi oleh tata cara kesopanan

dan kelaziman, ingin rasanya sekarang dia mengajukan dirinya sendiri sebagai calon tunggal. Bukankah ini akan membereskan masalah yang ada? Anaknya tak usah lagi menjadi gigolo perempuan ini. perempuan ini juga akan mendapatkan seorang suami yang sepadan, dan dia sendiri bisa memperoleh istri yang cantik dan dapat dibanggakannya. Sekarang bagaimana caranya dia bisa membuat perempuan ini sadar bahwa di sini ada seorang calon suami ideal seorang laki-laki yang kuat, yang pantas dihormati, yang punya status, yang terpandang, yang intelek, punya titel sarjana, bahkan punya nafkah yang lebih dari cukup. Minta apa lagi? Dia pasti bisa memberikan kebebasan kepada perempuan ini untuk bergerak terus di bidang usahanya sendiri karena dia sendiri juga punya praktek yang ramai. Jadi klop! Masing-masing punya karier, punya kesibukan sendiri, sehingga tak ada pihak yang akan merasa dirugikan jika patner hidupnya tidak bisa mencurahkan seratus persen dari waktu dan perhatiannya kepada dirinya. Mereka bisa bertemu cuma malam hari, di atas tempat tidur yang lebar dan nyaman dan pertemuan begini akan jauh

lebih mengasyikkan dan dihargai daripada suami-istri yang berkumpul berjam-jam setiap hari sampai masing-masmg merasa bosan dan biasa.

Hariono berpikir, dia harus mencari kesempatan untuk mendekati perempuan ini lebih baik. Kasus anaknya bisa dibuatnya menjadi alasan. Kalau sekarang masalah ini beres dan anaknya ikut pulang bersamanya, berarti dia tidak punya alasan untuk bertemu dengan perempuan ini lagi. Jadi lebih baik kasus anaknya ini dibiarkan mengambang dulu.Biar Martin menikmati beberapa malam lagi bersama perempuan ini asalkan pada akhirnya bapaknya yang akan memboyong pulang si piala!

"Nyonya Castillo," kata Hariono melirik arlojinya.

"Pagi ini saya masih ada urusan sehingga saya tidak bisa tinggal lama. Saya harap kita punya waktu untuk membicarakan hal ini lagi lain kali. Anda tidak berkeberatan, bukan, kalau lain kali saya menghubungi Anda lagi?"

"Oh, tentu saja tidak, Pak Hariono," senyum Anastasia ramah.

"Saya selalu menerima tamutamu saya dengan hati yang lapang."

"Barangkali sebaiknya Anda tidak mengatakan kepada Martin dulu mengenai pembicaraan kita hari ini," kata Dokter Hariono.

"Saya ingin bicara sendiri padanya sebelum Anda."

"Baik. Saya tidak akan berkata apa-apa padanya sekarang."

Dokter Hariono berdiri, mengulurkan tangannya yang kali ini disambut oleh Anastasia.

"Kalau begitu nanti saya hubungi Anda lagi. Mungkin lain kali kita bisa berbincang bincang di tempat lain yang lebih santai, tidak di sini," kata Hariono memandang sekeliling ruang kerja itu.

"Oh! Dan memangnya kenapa dengan kantor saya?"

"Kantor Anda sangat bagus, selera Anda pun tinggi," puji Hariono.

"Cuma di sini terlalu formal, bukan? Mungkin lebih santai dan lebih enak kalau kita bisa berbincang bincang sambil menikmati hidangan dan mendengarkan musik."

Dalam hatinya Anastasia terbahak, Hmph! Masih saja seperti dulu, kau! Sayangnya sekarang aku sudah cerdik! Aku tahu semua gelagatmu yang mau merayu perempuan!

Tapi kali ini kau yang akan masuk kejeratku! Kau! Dan inilah saat pembalasan!
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

****

"Em, mati pun kau tak akan menyangka .siapa yang aku jumpai kemarin,

" begitu bunyi surat Kilat Khusus yang diterima oleh Emi dari sahabatnya, Anastasia

"Orang yang sudah berbilang tahun tak pernah kujumpai. bahkan tak pernah kuingat lagi sejak belasan tahun yang terakhir. tibatiba muncul lagi di dalam hidupku! Dan, Em, tahukah kau apa yang kupikir? Kupikir saatnya sekarang telah tiba!

"Kau tentunya akan bertanya-tanya. saat apa yang telah tiba, bukan? Mungkin kau menganggap aku sudah sinting atau terlalu tegang dengan pekerjaanku. Padahal yang aku maksudkan di sini justru adalah buah pikiranmu '

"Iya. buah pikiranmu, Em! Aku kira kau tentunya sudah lupa. Setelah bertahun

tahun lewat dan hal ini tak pernah dibicarakan lagi, tentunya kau tak mungkin ingat. Berlainan dengan aku. Walaupun selama empat belas tahun yang terakhir ini aku sendiri pun tak pernah memikirkannya, namun kata-katamu itu sudah terekam di dalam benakku dan pada saatnya yang tepat seperti sekarang ini. katakata itu terngiang kembali.

"Singkatnya, Em, aku bertemu kembali dengan Hariono! Dokter Hariono-laki laki yang telah menghancurkan masa mudaku. Dan ironisnya, Em aku kira kau pasti tak akan percaya-dia adalah ayah Martin!

"Bisakah kaubayangkan itu? Dia justru adalah ayah Martin! tujuh belas tahunyang lalu ketika dia menolak kawin denganku dia memakai Martin sebagai alasan! Anaknya Martin inilah yang dijadikan alasannya untuk merenggut janin halus yang kukandung. Ternyata sekarang keadaan berbalik. Sekarang aku yang berhasil merenggut anaknya darinya! Bukankah ini merupakan suratan tangan. Em. Anaknya justru jatuh hati padaku perempuan yang telah disia-siakan ayahnya tujuh belas tahun yang lalu!

"Dan yang lebih memuakkan lagi, ternyata dia tidak mengenali aku lagi. Tentu saja, gadis yang dikenalnya dulu yang bernama Seruni adalah seorang anak yang polos dan sederhana. mungkin tidak mirip dengan janda genit Anastasia yang dilihatnya kemarin, aku sengaja bersikap ekstra genit padanya, Emi. yang terpoles dan berpengalaman menghadapi segala bujuk rayu laki laki hidung belang.

"Dia datang menemui aku sebetulnya dengan tujuan untuk minta aku memutuskan hubungan dengan anaknya. Seandainya dia bukan Hariono. aku malah akan bersyukur dan minta tolong padanya untuk menyadarkan anaknya. Kau tahu sendiri sudah beberapa lama ini aku berusaha mencari jalan keluar untuk memutuskan hubungan ini. Kalau bukannya Martin begitu peka dan aku takut sikap yang drastis akan melukai dan membuat cacat jiwanya seumur hidup, aku sudah pasti akan bersikap lebih tegas. Tetapi rupanya nasib telah merajut skenario yang lebih istimewa kali ini. Justru anak bekas kekasihku yang kudendam ditakdirkan menjadi pemuda yang gandrung padaku!

"Hartono datang dengan sikap yang garang. Tetapi setelah beberapa menit bercakap-cakap denganku, sikapnya berubah.Aku dapat melihat sinar kekaguman di matanya, dan dari alur pembicaraannya aku tahu bahwa dia tertarik padaku dan mungkin di dalam pikirannya yang kotor itu sedang membayangkan bagaimana caranya bisa mendekati aku. Memuakkan, bukan, Em! Ternyata Hariono masih saja tidak berubah dan doyan mengejar-ngejar perempuan cantik.

"Em, tentunya kau lupa pada nasihatmu sendiri yang kauberikan padaku tujuh belas tahun yang lalu. Kau berkata bahwa aku harus bisa membalas dendamku pada orang yang telah merenggut janin dari dalam rahimku secara paksa. Aku sendiri pun sudah lama lupa, tapi begitu aku berhadapan dengannya lagi, seakan-akan masa tujuh belas tahun itu tak pernah ada. dan kata-katamu itu menantangku. Kiranya Tuhan itu adil. Aku diberi kesempatan untuk mengadakan pembalasan juga! Aku tidak mencarinya, tapi justru dia yang datang mengantarkan nyawa! Bukankah ini yang namanya takdir?

"Sebelum dia pergi dia mengatakan akan menghubungi aku lagi untuk membicarakan masalah Martin lebih lanjut. Dia mengatakan lebih baik kalau kami omong omong dalam suasana yang santai, misalnya sambil menikmati makanan dan mendengarkan musik bersama! Hmph! Serigala berbulu domba! Lagilagi anaknya yang dijadikan alasan kali ini untuk bisa mengajakku kencan! Betapa bodohnya dia kalau dia tidak mengira aku sudah tahu segala akal bulusnya! Kasihan Martin punya bapak seperti itu.

"Tapi aku bisa mengimbangi permainannya, Em! Sekarang inilah kesempatan bagiku untuk membalas sakit hatiku. Sekarang ini aku akan membayar kembali apa yang telah diperbuatnya padaku tujuh belas tahun yang lalu plus bunganya!

"Aku tahu apa yang bakal kaukatakan. Orang sebaik kau tentunya akan menasihati agar aku melupakan ide gilaku ini dan menjauhi Hariono saja. Tapi tidak. Em! Kali ini akan kulakukan apa yang ingin kulakukan selama bertahun-tahun yaitu melihatnya menderita! Melihatnya hancur:

sebagaimana dia pernah menghancurkan diriku.

"Sudah tentu aku akan menerima umpan yang dipasangnya. Aku akan mau diajaknya makan bersama, ataupun nonton bersama, bahkan untuk berdansa bersama! Kemudian setelah aku berhasil membuatnya bertekuk lutut di hadapanku. aku akan memaksanya mengemis hidupnya dari tanganku!

"Em, laki laki semacam Hariouo sebetulnya tak pantas dibiarkan hidup. Ilmu pengetahuan yang dimilikinya tidak dipakainya untuk melayani kemanusiaan, tidak dipakainya untuk memperbaiki kepribadiannya. Dia justru adalah orang yang berkepribadian rendah dan memalukan."

"Em, dengan perkembangan yang baru ini mungkin untuk sementara aku belum sempat ke Jakarta dulu seperti yang kurencanakan. Aku akan memberimu kabar lagi mengenai kelanjutan kasus yang menarik ini. yang pasti aku akan membalas sakit hatiku .Hanya saja aku masih kasihan pada Martin .Malang baginya mempunyai ayah seperti ini. Sekarang aku dapat mengerti mengapa wataknya begitu labil

dan dia begitu perasa

"Em, jangan khawatirkan diriku. Kali ini aku tahu betul apa yang akan kukerjakan. Hariono bukan lagi berhadapan dengan Seruni yang polos dan bodoh. Kali ini dia harus memperhitungkan Anastasia yang juga bisa berbuat selicin dan sekejam dirinya! "

Emi melipat surat ini dan menghela napas dalam. Dia menyesali nasihat yang pernah diberikannya kepada sahabatnya untuk mempertahankan semangat hidupnya. Mengapa Runi tidak mau melupakan kisah lama itu saja? Mengapa dia masih mengingat persoalan balas dendam ini? Toh seharusnya dia bersyukur tak dikawin oleh lakilaki itu. Dia telah mendapatkan kebahagiaan yang jauh lebih melimpah bersama Antonio. Mengapa dia tidak mencoret saja nama Hariono dari daftar utang-piutangnya? Pada akhirnya dia sendiri yang akan merugi kalau dia bersikeras tetap ingin menghancurkan lakilaki ini. Orang yang sengaja memasang jerat untuk menghancurkan orang lain tak dapat tidak dirinya juga akan mengalami kerusakan

mental. Dan Emi tidak menghendaki sahabatnya mengalami kehancuran mental untuk yang kedua kalinya gara-gara laki-laki yang sama.

Emi duduk sambil menopang kepalanya di meja. Dia harus berbuat sesuatu untuk mencegah sahabatnya melakukan sesuatu yang tolol. Selama bergaul bertahun-tahun dia tahu bahwa Seruni adalah seorang yang sangat impulsif. Kalau tibatiba timbul ide untuk berbuat sesuatu, dia tidak akan berpikir panjang lagi. Apa yang kira-kira sedang direncanakannya sekarang? tebak Emi penuh rasa khawatir.


Animorphs 54 Awal Beginning Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo

Cari Blog Ini