Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd Bagian 4
Aku harus dapat mencegahnya sebelum terlambat, kata Emi dalam hati. Tapi aku khawatir kali ini dia tak akan mendengarkan nasihatku. Rupanya dia sudah bertekad mengikuti impuls gilanya, dan sekarang keadaannya sudah tidak sama seperti tujuh belas tahun yang lalu. Waktu itu Runi menganggap aku jauh lebih matang dan bijaksana daripadanya. Tapi sekarang tidak lagi, sekarang bahkan pengetahuannya jauh lebih banyak daripadaaku, dia adalah seorang perempuan yang sukses sedangkan aku cuma seorang ibu rumah tangga. Ah, seandainya
saja Antonio masih hidup. Ya, Runi akan mendengarkah Antonio dia selalu menurut pada nasihat Antonio. Tapi sekarang aku tak dapat minta bantuan Antonio, Siapa yang masih didengarkannya?
Maya? Tidak, Maya terlalu lemah terhadapnya dan selain itu Runi menganggap dirinya lebih pandai dari Maya. Dia pasti juga tak akan mendengarkan nasihatnya. Lalu siapa? Seandainya saja ada laki-laki yang berani dalam hidupnya, paling tidak tentu Runi masih mau mendengarkan pendapatnya. Tapi kecuali si Martin pemuda ingusan itu yang sudah pasti tidak punya bobot, tak ada laki-laki lain yang di...
Eh, tunggu! pikir Emi. Bukankah Tahun Baru yang lalu Runi menolak merayakan bersama keluarganya? Waktu itu Runi mengatakan dia akan berlibur bersama Yamin. Yamm? Apakah ada sesuatu di antara mereka? Emi memutuskan untuk mencari tahu.
"KAPAN saya bisa bertemu dengan Anda?" tanya Dokter Hariono lewat telepon. Ini adalah hari kelima setelah pertemuan mereka yang pertama.
"Ah, Dokter Hariono," kata Anastasia dengan suaranya yang dibuat manis sekali.
"Apa kabar?"
"Baik-baik tentunya. Kita masih punya janji untuk bertemu, bukan?"
"Ah, masa! Saya tidak merasa memberikan janji," kata Anastasia setengah menggoda.
"Memangnya ada urusan penting apa?"
"Kan kita mau membicarakan urusan anak saya. Tempo hari karena tergesa-gesa pembicaraan kita kan tidak pernah selesai."
"Oh. begitu. Apakah sekarang Anda sudah berbicara dengan Martin?" tanya Anastasia purapura walaupun dia tahu sampai
sekarang pemuda itu tidak tahu sama sekali mengenai kedatangan bapaknya.
"Belum. Saya belum sempat bertemu dengannya. Apakah dia masih tinggal di rumah Anda?"
"Ya."
"Karena itu kita harus segera bertemu, Nyonya Castilla atau bolehkah saya memanggil Jeng Anastasia saja? Kok rasanya lebih akrab."
Anastasia hampir meledak mendengar kegenitan laki-laki itu, tapi dia mengontrol dirinya dengan menekan amarahnya.
"Mungkin hubungan kita belum akrab! itu bagi Anda untuk pantas memanggil saya dengan nama. Lagi pula melihat topik yang akan dibicarakan. mungkin kita justru tidak perlu akrab. Kita akan berhadapan sebagai lawan dan bukan kawan," kata Anastasia.
"Oh, tidak, tidak, Nyonya Castillo! Anda jangan salah sangka. Saya tidak bermaksud menjadi lawan Anda. Saya bermaksud menjadi kawan Anda. Itulah sebabnya saya senang sekali kalau Anda mau bertemu dengan saya. Kita bisa makan malam dan membicarakan masalah ini dengan lebih santai."
"Jadi Anda tidak bermaksud mencaci
saya atau memberikan kuliah tentang moral saya?" tanya Anastasia kembali mempermanis suaranya.
"Tidak, tidak! Sama sekali tidak, Nyonya Castillo. Saya juga manusia biasa, saya bisa mengerti posisi Anda yang kesepian. Mungkin kita bisa mencari jalan keluar yang tepat."
Anastasia dapat membayangkan bagaimana Hariono menyeringai di seberang sana sambil menyusun akal bulusnya. Hatinya gemas. Tapi Anastasia sekarang sudah pandai bersandiwara.
"Anda adalah satu-satunya orang yang saya jumpai yang menunjukkan simpati yang begini menyentuh," katanya menahan rasa mual.
"Yah, barangkali... barangkali kita bisa berteman."
"Saya tidak meragukan itu, Nyonya Castillo. Bagaimana kalau nanti malam Anda saya ajak makan malam bersama?"
Anastasia membuat kalkulasi mental. Alasan apa yang harus dikatakannya kepada Martin supaya malam ini dia bisa menemui Hariono tanpa sepengetahuan pemuda itu?
Martin selalu cemburu. Sulit baginya untuk bisa pergi ke mana pun tanpa diketahui
dan diikuti oleh pemuda itu. Satu-satunya tempat ke mana Martin tak pernah mengikutinya adalah rumah orang tuanya. Anastasia selalu tegas dalam melarangnya. Kedua orang tuanya tak mungkin mengerti hubungan mereka, begitu Jelasnya, karena itu Martin tak pernah diizinkannya ikut.
Anastasia berpikir. Ya, sudah lebih dari satu minggu dia belum sempat mampir ke rumah orang tuanya. Kalau sebentar malam dia ke sana, kiranya bukan hal yang patut menimbulkan kecurigaan.
"Baiklah, Pak Hariono, nanti malam saya ada waktu bertemu dengan Anda. Di mana?"
"Pukul delapan saya jemput ke rumah Anda?" tanya laki-laki itu.
"Oh, tidak. Ini kan bukan kencan, Anda tidak perlu menjemput saya. Anda tunggu saja di tempat."
"Hm, okelah kalau itu yang diinginkan. Mungkin ini juga pilihan yang baik karena dengan demikian saya tidak perlu bertemu dengan Martin di rumah Anda. Anda ingin makan apa?"
"Maksud pertemuan kita yang utama bukannya untuk makan, kan? Lagi pula saya hanya makan yang ringan-ringan pada malam hari."
"Oh, saya mengerti, Anda berdiet, kan? Cuma agar suasana tidak canggung, kan lebih enak kalau kita bisa omong-omong sambil menikmati hidangan? Bagaimana kalau kita bertemu di Purnama?"
"Purnama mana? Purnama Niteclub?" tanya Anastasia.
"Ya."
"Saya tidak membayangkan kita perlu ke niteclub segala, Pak Hariono."
"Oh, tapi udang gorengnya di sana enak sekali."
"Udang goreng banyak kolestrolnya, Pak."
"Sekali-sekali kan boleh."
"Baiklah, kalau begitu. Saya temui Anda pukul delapan di sana. Apakah jam sekian itu Anda sudah selesai praktek?"
"Oh, jadi Anda sudah mengetahui saya ini dokter?" senyum Hariono puas. Kalau perempuan ini bersusah-susah mencari info tentangnya berarti dia pasti punya minat.
Anastasia tertawa kering.
"Saya pasti mengecek dulu latar belakang lawan saya sebelum terjun ke medan."
"Wah, jangan sebut-sebut saya sebagai
lawan lagi! Saya ingin berteman kok."
"Kita lihat sajalah nanti."
Malam itu Hariono pulang puKul tujuh lalu segera mandi. Dia memberikan alasan kepada istrinya bahwa malam ini ada rapat penting di universitas.
Sambil memperhatikan suaminya berpakaian, Berta bertanya.
"Jadi, bagaimana dengan hasil pembicaraanmu dengan perempuan itu, Pak?"
"Aku kan sudah bilang, tempo hari aku tidak berhasil menemuinya. Dia keluar. Sampai sekarang aku masih belum punya kesempatan untuk mencarinya lagi. Buat apa kau tergesa-gesa? Urusan bertengkar begini harus dihadapi dengan kepala dingin," Hariono berbohong.
"Lalu apakah Bapak sudah bicara dengan Martin?"
"Kapan aku punya waktu bertemu dengannya? Sewaktu aku datang ke kantornya itu, dia tidak ada. Sampai sekarang aku belum sempat, dari pagi sampai siang aku di rumah sakit, sore masih harus praktek sampai malam."
"Kalau tidak disempatkan, ya tidak pernah sempat," komentar Berta.
"Memang setiap hari jadwal kegiatanmu begitu." Berta mendongkol. Membiarkan hubungan itu berlangsung lebih lama berarti mereka kalah wibawa dengan perempuan murahan itu! "Kalau memang kau tidak ada waktu, biar aku saja yang mencari perempuan itu," usulnya.
"Jangan!" Suara Hariono membentak lebih keras daripada yang dikiranya. Dia sendiri sampai kaget.
"Kalau dua orangpemmpuan bertemu, urusan pasti menjadi runyam. Aku malu kalau nanti terjadi baku-hantam."
"Ah, Bapak! Memangnya aku ini apa, masa main baku-hantam sama orang!" Berta semakin jengkel.
"Aku akan berkata secara baik-baik kepadanya supaya dia sadar dan mau melepaskan Martin. Itu saja!"
"Bicara pun ada seninya, bukan asal buka mulut, Bert sepertinya aku tidak mengenal watakmu saja! Sudahlah, kau jangan ikut-ikutan. Martin adalah anakku. Tanpa mengurusi masalah yang rawan ini saja dia sudah tidak cocok dengan kau. Aku tak ingin hubungan kalian menjadi semakin buruk. Kalau kau yang menegurnya atau menegur perempuan itu, dia pasti akan melawanmu."
"Alaa! Dasar anakmu yang tidak bisa diatur. Dari muda sudah liar! Aku tidak tahu bagaimana istrimu dulu mendidiknya. Kalau dia anakku, sudah lama dia kuberi pelajaran!"
"Jangan membawa-bawa nama mendiang istriku ke dalam diskusi ini. Kau tak pernah mengenalnya, kau tak berhak menilainya! Martin memang sangat dekat dengan Ibunya. Sudah kuduga sejak semula bahwa dia tidak akan bisa menerima kehadiran perempuan lain dalam rumah ini menggantikan kedudukan orang yang dicintainya. Di sanalah letak problemnya. Martin bukan anak yang liar. Dia tidak pernah liar sebelumnya. Hanya karena dia tidak cocok dengan dirimu saja maka dia meninggalkan rumah dan itu pun sudah atas persetujuanku!" ganti Hariono yang marah.
"Itu sikap yang salah. Dengan demikian secara tidak langsung kau menyetujui sikap permusuhannya terhadapku." Berta bisa menjadi perempuan yang bawel kalau dia mau.
Hartono menghela napas dalam. Istrinya ini mulai menjemukannya. Untuk apa dia harus menghabiskan energi di sini berbantah dengannya? Sekarang dia sadar betapa butanya dia enam tahun yang lalu memilih perempuan ini sebagai istrinya padahal ada begitu banyak perempuan cantik di luaryang bukan saja cantik, tapi juga mempunyai pembawaan yang anggun, sikap yang menimbulkan rasa hormat orang padanya, yang sukses, yang menarik seperti janda Antonio Castillo!
Sudahlah, buat apa kita bertengkar masalah ini. Pokoknya aku katakan padamu, urusan Martin ini jangan kaucampuri. Biar aku yang membereskan sendiri. Kau kalau bicara tidak kira-kira, tidak pakai strategi, main hantam saja, asal emosimu terpenuhi. Kau tidak melihat apa sebetulnya tujuan yang ingin kaucapai. Dalam hal ini tUJuannya kan supaya Martin sadar, bukan? Tapi kalau kau yang menanganinya dengan caramu, dia tidak akan menjadi sadar malah semakin melawan dan memberontak."
"Baiklah, kalau begitu. Aku tidak mau mengurusi anakmu lagi! Biar jadi gelandangan, jadi gigolo, jadi morfinis, terserah!
Uruslah sendiri!"
"Martin kan bukan gelandangan dan bukan morfinis! Kalau dia hidup bersama seorang perempuan yang lebih tua tidak berarti dia seorang gigolo juga. Siapa tahu dia memang jatuh hati'?"
"Jatuh hati kok pada orang yang lebih tua! Gadis sebayanya kan banyak yang cantik dan segar-segar."
"Kau tidak mengerti kejiwaan laki-laki. Usia itu tidak penting asalkan dia cantik. Dan perempuan ini memang cantik!" pUJi Hariono keterlepasan.
"Dari mana kau tahu? Katanya kau tidak bertemu dengannya?" tanya Berta curiga.
"Oh,... eh, di kantornya terpampang beberapa foto. Di antaranya ada foto perempuan itu ketika dia masih seorang model."
"Sudah! Pokoknya sekarang aku tidak mau ngurus! Aku nggak perlu tahu apa perempuan itu cantik atau tidak, aku tidak ingin dengar lagi! Dia anakmu, uruslah sendiri!"
"Eh, susah bener ngomong sama kau! Nggak pakai logika sama sekali, nggak ada luwes luwesnya sama sekali. Heran, dulu aku terkena aji asmara apa kok bisa kepincut kau!" gerutu Hariono.
"Oh, sekarang aku yang disalahkan pakai ajiaji segala untuk menjeratmu, begitu! Bapak menyesal kawin dengan aku, begitu? Tidak ingat dulunya Bapak yang mendesak supaya aku mau menjadi istrimu?"
Hariono terbaliak tapi ketawanya menyakitkan.
"Mungkin dulu itu sudah waktunya aku ganti lensa kaca mata pada waktu ketemu kau, Bert. Tapi kau juga banyak berubah. Dulu kau tidak suka mengomel. tidak ketus, tidak bawel seperti ini. Bahkan kau selalu mengatakan tidak akan menjadi ibu tiri yang kejam bagi anakku. Kau bilang karena kita sudah sama-sama tua dan tidak merencanakan punya anak sendiri lagi, maka Martin akan kawanggap anak kandungmu sendiri. Bukankah begitu gombalmu padaku enam tahun yang lalu?"
Istrinya yang berusia empat puluh satu tahun ini semakin naik darah.
"Memangnya sekarang kau menuduh aku mengejami Martin? Kapan aku mengejaminya? Pernahkah aku memukulnya atau apa? Justru anakmu sendiri yang tidak bisa menghargai aku sebagai ibunya! Keluar-masuk rumah apakah dia pernah pamit padaku? Tidak!
hentikan pembagian laba. Setahun yang lalu sewaktu kita sepakat untuk berkongsi, kan ada perjanjiannya! Setiap bulan Anda membagi keuntungan dengan saya sesuai dengan persentase modal yang kita tanamkan "
"Iya, itu kalau ada labanya, Pak! Lha kalau tidak ada labanya apanya yang mau dibagi!"
"Anda jangan lupa pada pasal lima belas yang menyebutkan bahwa bagian yang harus saya terima setiap bulan minimal setengah persen dari besarnya modal yang saya tanamkan. Ini berarti kalau karena satu dan lain hal, bagian laba untuk saya masih di bawah setengah persen dari jumlah modal, saya tetap berhak menerima setengah persen dari nilai modal saya. Setengah persen ini adalah semacam bunga jasa atas modal yang saya tanamkan. Bukankah begitu, Frans? Jadi sekarang kalau memang usaha itu tidak untung seperti kata Anda, dan bagian laba tidak mencapai setengah persen tadi, saya tetap harus menerima yang setengah persen ini per bulan. Selama empat bulan ini berarti Anda masih berutang empat kali setengah persen itu kepada saya!"
"Waduh, Pak Hariono! Bukan begitu pengertian saya tentang pasal lima belas!" kata Frans.
"Menurut saya, kalau ada pembagian laba, itu minimal setengah persen dari modal Anda. Kalau tidak ada laba. ya tidak ada yang dibayarkan!"
"Lho! Mana bisa! Coba Anda baca lagi pasal lima belas! Di sana jelas disebutkan bahwa bagian yang harus saya terima itu minimal setengah persen setiap bulan, bukan bagian laba! Jadi laba atau rugi, saya tetap berhak mendapatkan setengah persen setiap bulan! Itu adalah jaminan atas dipakainya modal saya. Lha kalau tidak, terus setiap bulan Anda mengatakan bisnis itu rugi-rugi terus, saya dapat apa?"
"Yah, sekarang begini saja, deh. Pak saya minta keringanan, deh! Keadaan keuangannya memang betul-betul tidak memungkinkan untuk memenuhi janji itu. Bagaimana kalau saya berutang dulu pada Pak Hartono, nanti kalau keadaan sudah membaik, kekurangannya yang ini saya rapel saja pembayarannya? Saya berjanji akan membayarnya, tapi tidak sekarang."
"Wah, saya tidak setuju dengan permainan begini, Frans! Ini namanya curang! Bayangkan, kalau uang saya itu saya masukkan bank,
setiap bulan saya dapat minimal satu setengah persen. Dengan menanamkannya dalam bisnis Anda, saya hanya mendapat setengah persen karena saya berharap kalau bisnis itu berkembang, kita bisa menikmati laba yang lumayan. Lha, tapi sekarang yang setengah persen ini saja tidak Anda penuhi! Lha kalau tahu beginijadinya, sejak dulu saya tidak mau berkongsi dengan Anda!"
"Lho, saya kan tidak mengatakan tidak mau membayar, Pak," suara dari seberang terdengar ngotot juga.
"Saya cuma minta kelonggaran waktu. Nanti kalau sudah ada uang, saya rapel. Kan namanya kongsi, Pak! Kongsi itu untungrugi sama-sama menanggung. Saya kan bukan cuma pinjam uang begitu saja pada Anda! Statusnya kongsi, jadi ya harus ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, Pak."
"Saya tidak setuju dengan rapel-rapelan ini," kata Hariono.
"Kalau Anda pinjam di bank, Anda harus memberikan jaminan macam-macam. Justru dalam kongsi dengan saya, Anda tidak perlu mengadakan segala macam jaminan. Tapi tentunya saya juga tidak semata-mata bisa memberikan uang begitu saja kepada Anda. itu uang bukan sedikit, apa jaminannya bagi saya bahwa Anda akan menjalankan bisnis itu sebaik-baiknya supaya untung? Bisa saja Anda putarkan uang itu untuk bisnis lain dan Anda biarkan bisnis niteclub itu merugi, karena kalau merugi Anda menganggap Anda tidak perlu memberi apa-apa kepada saya. Itulah sebabnya ada klausul tentang yang setengah persen itu. Itu untuk menjaga agar investasi saya lebih aman."
"Nah, kalau tidak ada uangnya apa yang mau dibuat membayar?" Suhu di seberang sudah naik tiga-empat derajat lagi.
"Kalau memang begitu, ya sudah, saya mengundurkan diri saja sebagai patnerAnda. Anda kembalikan seluruh kapital saya, dan Anda cari kongsi yang lain saja!"
Hening beberapa saat lamanya. Kemudian terdengar suara dari seberang lebih lunak,
"Waduh, Pak Hariono marah nih rupanya'. Sebaiknya kita tunda dulu deh pembicaraan kita. Kalau sambil emosi begini kita tidak bisa berpikir dengan tenang. Bagaimana kalau nanti malam kita bertemu di sini untuk membicarakan masalah ini baik-baik, Pak Hariono? Saya ini orangjujur lho, Pak. Bicara saya setulusnya. Saya bukannya mau
menipu Anda atau apa. Tapi keuangan di sini memang seret." Saya ingin mengajukan bukti buktinya. Bagaimana kalau nanti malam Pak Hariono kemari untuk melihat sendiri buku-buku saya supaya masalahnya menjadi jelas."
"Nanti malam memang kebetulan saya punya rencana ke sana, tapi bukan untuk bertemu Anda. Saya akan membawa tamu, dan Anda tahu kan bahwa saya tidak menghendaki siapa pun mengetahui bahwa saya punya andil dalam niteclub Anda."
"Oh, kalau begitu bagaimana kalau besok malam saja kita bertemu?" usul Frans.
"Hm, begini saja, Frans. Kalau nanti malam saya tidak usah mengantarkan tamu saya pulang, setelah acara saya selesai, saya akan ke kantorAnda dibelakang. Kalau saya tidak muncul, ya berarti saya tidak sempat. Dalam hal itu kita bisa bertemu besok malam. Oke?"
"Itu pun baik, Pak," kata temannya.
"Apakah perlu disediakan meja khusus bagi Anda untuk nanti malam?"
"Tidak usah, Frans, karena kami belum pasti akan ke sana. Tapi kalau kami ke sana saya selalu mencari meja yang di pojok."
"Baik, Pak Hariono."
"Frans!"
"Ya, Pak? Masih ada pesanan lagi?"
"Saya tetap pada pendirian tadi, lho! Anda bayar tunggakan Anda yang empat bulan ini atau saya tarik kembali seluruh kapital saya. Begitu kan perjanjian dalam akte notaris yang kita buat? Kelambatan pembayaran yang lebih dari dua bulan sudah memberi saya hak untuk mengundurkan diri. Ini sudah dua kali dua bulan! Saya tidak main-main lho!"
"Kan hal ini masih akan kita bicarakan lagi, Pak?"
"Saya sudah cukup sabar selama ini. Anda tidak bayar, juga tidak mengatakan apa-apa. Bukannya saya menuduh Anda ini curang atau apa, tapi saya ini orang dagang, Frans! Saya tidak mau menanamkan uang pada usaha yang tidak membuahkan hasil. Memangnya saya ini yayasan sosial?"
"Iya, saya mengerti. Pak. Memangnya siapa sih yang mau dagang rugi! Tapi sekarang ini keadaannya begini."
"Nah, itu! Kalau memang bisnis ini tidak bisa menguntungkan karena keadaan, lebih baik uang saya saya depositokan saja di bank,
saya bisa terima bunga sambil duduk-duduk ketimbang uang itu saya berikan Anda tapi tidak menghasilkan. Tadinya saya berharap keuntungan yang bisa saya terima itu lebih dari bunga bank yang satu setengah persen, tapi sekarang saya hitung-hitung malah rugi! Nah, kalau terus-menerus rugi, lebih baik tidak dilanjutkan, bukan?"
"Wah, tapi kalau uang sudah ditanamkan mana bisa dicabut sewaktu-waktu begitu, Pak!" Emosi mulai naik lagi.
"Masa kayak menanam jagung, tiga bulan dipanen! Kan harus diberi waktu dan kesempatan sampai kapital itu kembali."
"Nyatanya sang kapital tidak kembali malah ada gejala-gejala akan berkurang begini, kok! Kan saya berhak mundur! Di dalam perjanjian kita pun disebutkan demikian. Kalau memang Anda keberatan dengan persyaratan yang dulu saya ajukan, mengapa dulu-dulu Anda tidak berkata apa-apa sebelum uang itu saya berikan? Buat apa kita bikin perjanjian di depan notaris kalau tidak ditepati?"
"Kan pada waktu itu saya mengharapkan bisnis ini bisa maju pesat. Justru karena mengharapkan perkembangan itulah maka
saya merasa perlu untuk meredekorasi seluruh bangunan yang makan biaya puluhan juta ini! Seandainya saya tahu bisnis bakal sepi, tentunya renovasi itu akan saya tangguhkan dulu!"
"Okelah, saya mengerti mungkin ini bukan suatu kesengajaan Anda hanya salah perhitungan. Bisnis kelab malam ini adalah bidang Anda, Anda tentunya lebih mengerti daripada saya. Tapi saya juga tidak berniat menjadi yayasan sosial yang menyuntikkan modal ke bisnis-bisnis yang merugi. Saya cuma mau menanamkan uang dalam bisnis yang membawa untung!"
"Kalau saya tidak bisa mengembalikan uang Anda, bagaimana? Saya kan tidak bisa mencetak uang sendiri? Pikir dong, Pak Hariono, dari mana saya bisa menyulap uang kalau tidak ada? Kapital Anda sudah menjadi bagian dari bangunan, dekorasi, dan perabotan apakah bisa saya copoti lagi semuanya untuk saya kembalikan kepada Anda? Perabotan dan dekorasi itu mahal pada waktu kita membeli, tapi kalau mau dijual, harganya jatuh. Atau Pak Hariono mau saya bayar dengan lampu-lampu gantung, meja-kursi, dan sebagainya?"
Menurut perjanjian saya berhak menarik kapital saya kembali sewaktu-waktu apabila Anda tidak memenuhi kewajiban Anda dalam dua bulan. Kalau pada waktu kita membuat perjanjian itu Anda tidak mengemukakan keberatan Anda, maka saya terpaksa menarik kesimpulan bahwa Anda sudah merencanakan untuk mem-Jbil-acompli saya dalam keadaan memaksa. Tapi kali ini Anda sudah salah memilih patner! Saya tidak suka dikibuli orang atau di-[izil a compli. Saya bisa menuntut Anda!
"Seandainya pada waktu itu Anda mengemukakan keberatan Anda, persyaratan itu kan bisa kita runding lagi. Apakah karena sudah tidak ada orang lain yang mau memberi tambahan kapital pada Anda? Apakah karena Anda sudah menemui jalan buntu maka Anda terima saja segala persyaratan asal bisa mendapatkan uang? Itu namanya tidak jujur! Sekarang ini seakan-akan Anda bersikap masa-bodo, pokoknya kan uang saya sudah masuk ke bisnis Anda, Anda kira saya tidak bisa berbuat apa-apa! Tapi Anda keliru! Kalau dalam pertemuan kita yang akan datang ini Anda belum siap dengan pembayaran Anda yang sudah tertunggak empat bulan,
maka saya segera akan mengambil langkah untuk mengundurkan diri."
Hening lagi. Akhirnya Hariono yang berkata,
"Saya nasihatkan supaya Anda bersiap-siap menyediakan uang saya. Kalau tidak, jangan sesalkan saya mengambil langkah yang tidak Anda kehendaki!"
***
"Oh, kok tumben dua hari dalam minggu ini pukul tujuh sudah pulang!" kata Berta membukakan pintu bagi suaminya.
"Memangnya pasien cuma sedikit, Pak?"
"Ya," kata suaminya Singkat.
Berta bertanya-tanya dalam hati mengapa beberapa hari belakangan ini suaminya berubah menjadi begitu pendiam. Cuma "Ya" dan 'Tidak" kalau ditanya. Dia juga tidak mau bercakap-cakap, waktunya di rumah yang cuma singkat sekali itu kebanyakan dipakainya untuk melamun atau tidur.
Tanpa menunggu lebih lama Hariono bergegas masuk ke kamarnya. lalu langsung ke kamar mandi. Beberapa detik kemudian
istrinya sudah mendengar suara air yang dibuka.
Aneh, pikir perempuan itu. Datangdatang kok mandi padahal biasanya tidak! Bukankah setiap sore sebelum berangkat ke tempat prakteknya dia sudah mandi dulu?
Hariono keluar dengan tergesa-gesa sambil masih berbalut handuk. Dia segera mengobrak-abrik isi lemarinya dan mengeluarkan satu setel pakaian yang masih baru.
"Lho, mau ke mana, Pak?" tanya istrinya.
"Keluar."
"Ke mana?"
"Ada rapat."
"Kok rapat lagi? Senin kemarin dulu sudah rapat. Rapat soal apa?"
"Ah, mau tahu saja! Aku ceritakan toh kau tidak mengerti urusan dokter!"
Berta diam, mengawasi suaminya berpakaian. Ketika si suami mulai menyemprotkan minyak wangi ke sekujur badannya, Berta tak dapat menahan diri dari memberikan komentar,
"Mau rapat saja kok pakai minyak wangi satu liter!"
Suaminya tidak menjawab, melainkan meneruskan kesibukannya merapikan
dandanannya. Dengan hanya ucapan "Pergi, Bu," yang tidak terlalu jelas, dia sudah memburu keluar halaman, di mana mobilnya diparkir.
Dia melompat ke dalam mobil dan tanpa berpaling lagi mobil diundurkannya.
Berta mengawasi dari jendela. Tiba-tiba segera diputuskannya untuk menyusul suaminya. Pasti sudah ini bukan acara rapat! Pasti ini janjian dengan perempuan lain! Berta segera mengeluarkan mobil kecilnya sendiri dan mengejar ke mana kendaraan suaminya menghilang.
Seperti yang lalu, Hariono tidak menjemput Anastasia di rumahnya atas permintaan Anastasia. Mereka langsung bertemu di kelab malam "Purnama',
Anastasia tidak bicara terlalu banyak ketika tadi pagi Hariono meneleponnya. Dia hanya berkata setuju malam ini pukul delapan Hariono menunggunya di tempat yang sama.
Hariono memperkirakan kedatangannya dengan tepat. Begitu mobil Peugeot SOS-nya
berhenti di depan kelab malam, Anastasia pun tiba di belakangnya.
Hariono menghampiri mobil Anastasia dan membantunya membukakan pintu.
"Selamat malam, Jeng Ana," sapanya.
"Selamat malam."
"Saya gembira sekali malam ini Anda mau bertemu lagi dengan saya," kata Hariono.
Anastasia diam saja, wajahnya murung.
"Tempat ini memang tepat sekali buat kita," kata Hariono mendampingi perempuan cantik itu masuk,
"suasananya hangat, intim, pribadi, jauh dari mata-mata asing yang memandang sementara kita bisa beromong-omong secara santai."
Anastasia mengangguk.
Mereka mencari meja di pojok. Hariono menarikkan kursi bagi perempuan itu.
"Nah, malam ini Jeng Ana ingin makan apa?" tanyanya ketika seorang pelayan bergegas datang.
"Anda tidak berkeberatan, bukan, kalau kali ini saya tidak makan? Saya hanya ingin bicara," kata Anastasia.
Pelayan membetulkan letak sketsel rotan sehingga mereka seakan-akan terpisah dari dunia luar.
"Minum saja dulu kalau begitu," kata Hariono kepada si pelayan. Seperti biasanya Hariono memesan wiski soda dan Anastasia memilih segelas sari jeruk.
"Nah, Jeng Ana, apa kabarnya?" kata Hariono sambil tersenyum simpul.
"Jeng Ana bertambah cantik setiap kali kita bertemu."
Anastasia menelan ludahnya. Aku akan membenci diriku sendiri bilamana semua ini berakhir, pikirnya.
"saya telah memberi tahu Martin," kata Anastasia.
"Oh, ya? Lalu bagaimana reaksinya?"
"Terkejut."
Hariono mengangguk.
"Ya, anak muda. Anda kira-kira merupakan cintanya yang pertama."
"Cinta pertama membekas dalam," komentar Anastasia.
"Ya, untuk sementara. Tetapi janganlah Jeng Ana menjadi risau karenanya. Nanti dia akan sembuh juga, waktu akan mengobati lukanya."
"Saya harap demikian," Anastasia menghela napas panjang.
Hariono tersenyum. Perlahan tapi pasti dia meraih tangan Anastasia yang terletak di
atas meja. Anastasia membiarkan jari-jarinya diremas oleh laki-laki itu sambil menahan rasa mualnya.
"Jeng Ana." bisik Hariono lembut.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"kalau begitu saya boleh menarik kesimpulan bahwa jalan pendekatan bagi kita telah terbuka?"
Seharusnya aku menjawab "Ya) pikir Anastasia, tapi kata itu tak terucapkan. Sebaliknya dia berkata,
"Baik-baiklah Anda memperlakukannya. Perhatikan dia, berilah dia kasih sayang. Dia adalah seorang pemuda yang kesepian, yang bingung, yang tidak tahu ke mana harus berpaling. Dia menggandoli saya karena hanya sayalah satusatunya yang dirasakannya betul-betul menyayanginya."
"Tentu, tentu, Jeng Ana! Saya pasti akan memperhatikan Martin. Dia kan anak kandung saya!"
"Hanya karena Anda yang membuahkannya tidak selalu berarti Anda betul-betul menjadi bapaknya. Buktinya sudah sekian lamanya Anda menelantarkannya dan tidak bersikap seperti seorang bapak."
"itu karena kesibukan-kesibukan saya. Sebetulnya di dalam hati saya menyayanginya juga."
"Sayang yang hanya diucapkan di mulut tapi tidak diwujudkan dalam perbuatan, tidak ada harganya," kata Anastasia.
"Ya, ya," Hariono mengangguk.
"Sekarang saya sadar. Mungkin saya memang telah menelantarkannya, kurang memberinya perhatian. Tetapi sekarang dengan Anda di sisi saya, Anda tentunya akan selalu mengingatkan saya akan kewajiban saya, bukan?"
"Anda betul-betul menghendaki saya di sisi Anda?" tanya Anastasia sinis.
Wajah Hariono berseri-seri.
"Jeng Ana! Masa sampai sekarang Anda masih meragukan hati saya?"
Ya, Tuhan! gumam Anastasia. Aku benar-benar tidak dapat meneruskan sandiwara ini! Akujijik dan muak padanya! Aku bahkan ingin meludahi wajahnya!
"Moral Anda benar-benar istimewa," kata Anastasia dengan mata menyala-nyala.
Hariono tersentak.
"Apa, Jeng? Maksud Anda bagaimana?"
"Anda sama sekali tidak merasa canggung merebut perempuan bekas kekasih anak Anda sendiri! Anda menyuruh saya menjadi ibu tiri Martin? Saya yang pernah menjadi kekasihnya! Apakah itu wajar?"
"Tapi, Jeng Ana, saya tidak percaya Anda betul-betul mencintai Martin dengan sebenarnya. Tidak mungkin seorang perempuan seperti Anda bisa jatuh cinta pada pemuda ingusan macam anak saya! Jadi di mata saya hubungan Anda dengannya selama ini hanyalah didorong oleh naluri keibuan Anda yang merasa kasihan padanya dan ingin memberinya kasih sayang. Bagi saya itu tidak menjadikan Anda kekasihnya!"
"Saya tidur dengannya, Pak Hariono!" kata Anastasia tegas.
"Oh, ya, saya bisa mengerti itu," kata Hariono sambil tersenyum.
"Saya adalah orang yang berpandangan luas. Saya tidak mencemburui hubungan Anda dengan siapa pun sebelum Anda bertemu dengan saya."
"Saya tidak bicara masalah cemburu! Saya bicara masalah moral! Apakah Anda tidak merasa segan mempunyai istri yang pernah tidur dengan anak Anda sendiri?"
"Jeng Ana, seperti kata saya tempo hari, Martin akan saya kirim untuk sekolah di luar negeri. Dia tidak akan sering-sering bertemu dengan kita. Dalam waktu satu-dua tahun dia bahkan akan melupakan sama sekali bahwa dia pernah mengenal Anda selain sebagai
istri ayahnya!"
"Saya tidak bicara masalah perasaan Martin, saya bicara masalah perasaan Anda! Apakah Anda juga akan begitu mudah melupakan bahwa anak Anda sendiri pernah tidur dengan istri Anda?" kejar Anastasia.
"Itu adalah suatu kesalahan teknis saja, Jeng Ana. Saya yakin hubungan itu tidak didasari rasa cinta yang murni antara laki-laki dan perempuan. Saya yakin Anda melakukannya dalam kesepian Anda menyalurkan naluri keibuan Anda. dan Martin juga dalam kesepiannya mencari kasih sayang seorang ibu. Anda terlalu berbeda darinya untuk bisa benar-benar menganggapnya seorang pendamping."
"Kiranya setelah bertahun-tahun Anda telah menambah keahlian Anda dengan ilmu jiwa! Anda telah menganalisa kejiwaan saya dengan tepat."
"Jadi... jadi kalau begitu sudah tak ada lagi halangan bagi kita untuk melangkah bersama, bukan?" senyum Hariono.
"Anda benar-benar hebat, Pak Hariono." kata Anastasia.
"Anda tidak bedanya dengan hewan yang tidak mengenal mana bapak mana induk setelah menjadi dewasa. Hewan
itu kawin dengan siapa saja asal sejenis, tak peduli apakah itu induknya atau saudaranya atau anaknya sendiri!" Ya Tuhan, pikir Anastasia. Seharusnya aku tidak berkata demikian kepadanya! Bukankah aku ingin membalas dendam?
Wajah Hariono berubah sedikit. Matanya memandang tajam. Alisnya berkerut.
"Jeng Ana kok memakai kata-kata yang begitu pedas?" katanya
"Itu belum semuanya!" kata Anastasia.
"Apa yang akan saya katakan selanjutnya ini lebih pedas lagi!"
Mata Hariono menyipit, mulutnya mengatup membentuk satu garis lurus.
"Anda tentunya ingat seorang gadis yang bernama Seruni?" tanya Anastasia. Tiba-tiba dia merasa seakan kesurupan! Seakan-akan dia tidak bicara sendiri melainkan gadis lain yang berbicara lewat mulutnya gadis lain yang telah mati tujuh belas tahun yang lalu!
"Seruni? Seruni?" Hariono mencoba berpikir.
"Ya, rasanya saya pernah mengenal nama itu, tapi entah di mana. Mengapa?"
"Oh,jadi Anda telah melupakan gadis itu! Saya harap Anda belum melupakan perbuatan Anda terhadapnya!"
"Perbuatan apa? Siapa Seruni ini? Saya..." Tiba-tiba ingatan itu kembali dan wajah seorang gadis yang manis terbayang lagi di matanya.
"Oh! Seruni!" katanya.
"Ya, ya! Saya ingat sekarang siapa. Tapi itu sudah belasan tahun yang lalu. Apa hubungannya dengan pembicaraan kita malam ini?"
"Anda betul-betul sudah tidak ingat lagi?" ejek Anastasia.
"Pandanglah saya baik-baik dan katakan apakah saya tidak pantas menjadi bayangan gadis itu belasan tahun yang silam?"
"Anda?" Hariono melotot. Di bawah sinar lampu yang sangat temaram itu dia tidak dapat melihat dengan jelas.
"Ah, omong kosong!"
"Bukan omong kosong, Pak Hariono! Sayalah Seruni ! Seruni yang pernah mencintai Dokter Hariono dengan jiwa dan raganya belasan tahun yang lalu Seruni yang pernah mengandung benih Dokter Hariono di dalam rahimnya Seruni yang pernah dikhianati secara kejam oleh kekasihnya sendiri! Pandanglah saya dan lihatlah baik-baik!"
Dokter Hariono menganga. Mati pun rasanya dia tidak pernah membayangkan bahwa perempuan cantik yang digilainya ini
adalah Seruni salah seorang bekas pacarnya di masa lampau. Pacarnya ada begitu banyak dan Seruni hanyalah salah seorang dari antara sekian banyaknya perempuan yang pernah punya affair dengannya. Begitu affair itu selesai, Dokter Hariono sudah tidak akan membuang waktunya dengan mengingat-ingat mereka lagi. Begitu pula Seruni, kenangan tentangnya terkubur di antara setumpuk kenangan perempuan-perempuan lain yang pernah mampir di dalam hidupnya. Dan setelah lewat sekian belas tahun, bahkan wajah gadis itu pun sudah sama sekali lenyap dari ingatannya. Mungkinkah perempuan yang duduk di hadapannya sekarang ini benar-benar Seruni? Matanya memang tidak dapat melihat dengan jelas terhalang oleh tabir keremangan, tapi hati kecilnya mengatakan bahwa pernyataan perempuan ini bukanlah sekadar isapan jempol. Belum pernah dia mendengar kebencian seintens itu dalam suara seseorang!
"Seruni? Astaga! Tapi... tapi... nama Anda...?"
"Saya mengganti nama saya, mengganti hidup saya, mengganti kepribadian saya. Tujuh belas tahun yang lalu ketika Anda bisa
memperoleh saya dengan mudah,Anda telah mencampakkan saya begitu saja. Sekarang Anda merengek-rengek minta agar saya mau menjadi istri Anda! Tidakkah ini ironis sekali, Pak Hariono?"
"Tapi itu tidak mungkin!" kata Hariono ngotot, melawan suara hati kecilnya sendiri.
"Seruni... Seruni sama sekali tidak mirip Anda, atau lebih tepatnya Anda sama sekali tidak mirip Seruni!"
"Ah, sudah begitu mundurkah kiranya daya ingat Anda ataukah penglihatan Anda yang jauh berkurang?" ejek Anastasia lagi.
"Kedua-duanya tidak! Anda tidak mungkin Seruni! Anda... Anda lebih cantik, lebih tinggi, lebih putih!"
"Saya juga lebih tua, lebih matang, lebih berpengalaman, lebih bisa membawa diri, bukankah begitu, Pak Hariono? Tentu saja! Ketika terakhir kalinya Anda melihat Seruni dia adalah seorang gadis polos yang hancur hatinya. yang tidak tahu bagaimana mengontrol emosinya, bagaimana menjaga dirinya supaya tidak menjadi permainan laki-laki iseng! Seruni tidak tahu tentang bagaimana berbusana yang menonjolkan segi-segi positif lekuk-lekuk tubuhnya. tidak tahu
bagaimana duduk dengan kaki disilangkan supaya tampak seksi, tidak tahu bagaimana berjalan dengan kepala tegak agar tampak anggun! Ya, saya harus berterima kasih kepada Anda. Justru karena perbuatan Anda itulah hari ini saya menjadi saya yang Anda lihat sekarang dan bukan seorang istri yang kurang terawat dan kurang diperhatikan, yang menghabiskan waktunya hanya antara dapur dan tempat tidur saja melayani seorang suami yang tidak pernah setia kepadanya!"
"Tapi... tapi "
"Tapi, Pak Hariono, bagaimanapun Anda tidak mau mengakuinya, faktanya saya adalah Seruni! Seruni yang pernah Anda kenal dulu! Saya sekarang menjadi lebih langsing karena tahu mengatur makanan, saya juga tampak lebih cantik karena bisa merias diri, kulit saya menjadi lebih putih karena jarang terkena sinar matahari, serta sepatu bertumit dan kelangsingan tubuh menambah tinggi badan saya di mata Anda. Apakah saya sudah menjawab semua pertanyaan Anda?"
"Lalu... lalu kalau... kalau Anda memang betul Seruni, mengapa sekarang Anda tidak mau menjadi istri saya?" tanya Hariono.
Tertawa Anastasia seperti suara dentingan
lonceng-lonceng kecil merdu tapi menyakitkan!
"Apakah Anda pikir setelah apa yang Anda perbuat pada saya, saya masih menaruh simpati pada Anda? Seruni sudah mati, Pak Hariono! Seruni mati di atas meja operasi Anda ketika Anda merenggut nyawa janin yang tak berdosa dari rahimnya! Yang ada di hadapan Anda sekarang bukan lagi Seruni yang pernah mencintai Anda selangit, tapi Anastasia! Anastasia yang punya dendam yang dalam!" Ya Tuhan, aku bisa menakut-nakutinya masalah praktek abortus gelapnya! Tiba-tiba pikiran itu muncul di benak Anastasia.
"Dendam? Oh, jadi kalau begitu Anda sengaja mencari anak saya untuk menjerumuskannya?" kata Hariono.
"Martin? Oh tidak! Martin adalah suatu kebetulan. Martin adalah sesuatu yang terjadi di luar rencana. Bahkan menurut saya, Martin adalah karma!" Anastasia tersenyum, mempermainkan gelasnya.
"Karma?"
"Betul. Tujuh belas tahun yang lalu Anda telah merampas anak saya, sekarang saya yang merampas anak Anda walaupun masih jauh lebih jahat perbuatan Anda daripada
saya karena Anda telah membunuh anak saya sedangkan saya tidak membunuh Martin!"
Hariono mengernyitkan dahinya lebih dalam.
"Saya tadi bicara soal dendam, Pak Hariono. Yang saya maksudkan adalah pembalasan dendam," senyum Anastasia.
Keringat dingin mulai membutir besar-besar di dahi laki-laki itu. Tatapan mata perempuan yang duduk di hadapannya ini sangat tajam. Penerangan sangat minim dan dia tak dapat melihat seluruh wajah perempuan itu, namun kilatan sinar matanya masih sempat tertangkap oleh laki-laki itu.
"Saya akan menghancurkan Anda sama seperti ketika Anda menghancurkan saya tujuh belas tahun yang lalu!" kata Anastasia.
Hariono mencoba tertawa.
"Dan bagaimana Anda berharap bisa menghancurkan saya?" Sekarang sudah hilang segala minatnya untuk mempersunting perempuan ini. Apa yang dikehendakinya hanyalah agar pertemuan ini cepat berakhir dan dia boleh kembali ke istrinya yang menunggu di rumah.
"Saya bisa membongkar praktek gelap Anda yang menerima pekerjaan penggu
guran kandungan! Tujuh puluh persen dari pasien Anda adalah mereka yang minta digugurkan kandungannya tanpa alasan medis!"
"Anda bergurau!" kata Hariono. Sekarang dia benar-benar takut. Praktek abortus bisa membawanya berurusan dengan polisi!
"Terserah bagaimana Anda berpikir," senyum Anastasia.
"Mungkin saya memang cuma bergurau, mungkin juga tidak." Dia mengerling mengejek.
"Mungkin saya tidak akan berbuat apa-apa. mungkin juga sewaktu-waktu saya akan muncul di tempat praktek dan klinik Anda bersama beberapa petugas polisi. Mungkin saya tidak akan lapor, tapi mungkin juga besok dunia Anda ambruk. Silakan Anda menebaknya!" Anastasia bertambah tegang. Dia merasakan betapa nikmatnya melihat rasa panik merayap di mata Hariono.
"Mengapa kaulakukan ini, Seruni?" tanya Hariono dengan suara gemetar, seratus persen yakin sekarang bahwa memang dia berhadapan dengan Seruni, kekasih lamanya.
"Ah, akhirnya Anda percaya juga bahwa saya adalah Seruni!" senyum Anastasia.
"Ya, kau adalah Seruni," kata Hariono mengangguk.
"Tapi aku tidak mengerti
mengapa Seruni bisa berbuat demikian terhadapku!"
"Sudah aku katakan bahwa aku ingin menyiksa dirimu! Aku ingin membuatmu takut, membuatmu goyah. membuatmu bingung dan waswas menunggu tanpa ketentuan kapan jatuhnya pisau gilotin itu di atas kepalamu! Setiap hari kau tidak akan tahu apakah hari itu merupakan hari yang terakhir kau hidup bebas, apakah keesokan harinya kau masih bisa menikmati sinar matahari lagi, ataukah kau harus menghirup hawa pengap tembok penjara yang akan mengelilingimu!"
"Apakah keuntungannya hal ini bagimu?" tanya Hariono panik.
"Mengapa tidak kita bicarakan saja baik-baik. Aku bisa memberimu sebagian dari keuntunganku katakanlah untuk menebus dosaku padamu dulu. Aku bisa memberimu apa saja, aku mampu memberimu apa saja!"
Anastasia terbahak dan melemparkan kepalanya ke belakang.
"Syukurlah aku sekarang tidak membutuhkan hartamu, Hariono! Aku sendiri adalah perempuan yang kaya! Aku punya bisnis yang baik, aku tidak perlu menerima uang suap bungkammu!"
"Lalu apakah yang kaukehendaki dariku? Dulu aku tidak bisa menikahimu karena keadaan. Tetapi sekarang aku bisa memperbaiki kesalahanku ini. Dulu kau ingin menjadi istriku, bukan? Sekarang, marilah, masih tidak terlambat bagi kita untuk melewatkan sisa hidup kita sebagai suamiistri!"
"Sekarang aku tidak mau menjadi istrimu, Hariono! Tidak sekali-kali walaupun kau mencium jari kakiku seribu kali! Tujuh belas tahun lamanya aku telah belajar bahwa laki-laki lain ternyata mempunyai watak dan pembawaan yang jauh lebih luhur daripada dirimu. Tujuh belas tahun lamanya aku sadar bahwa kau tak lebih dari bangsa kutu busuk yang harus kubasmi! Aku merasa beruntung hari ini aku bukan istrimu istrimu yang malang di rumah, yang kaukhianati setiap saat!"
"Jadi kalau begitu apa yang kauminta, Seruni?" kata Hariono kehabisan akal.
"Nyawamu, Hariono," kata Anastasia tenang. Hatinya meledak dalam kegembiraan melihat bagaimana laki-laki yang duduk di hadapannya menjadi semakin panik dan ketakutan.
"Mak-maksudmu?" gagap Hariono.
Anastasia hanya tersenyum sinis dan penuh misteri.
Jantung Hariono serasa dibalut oleh es. Dingin dan membeku. Cepat-cepat dia melongokkan kepalanya dari balik sketsel rotan yang melindungi mereka dan pandangan orang lain, lalu memanggil seorang pelayan.
"Tambah wiski sodanya lagi!" katanya kepada pelayan yang berdasi itu.
Mereka menunggu dalam kebisuan sampai pelayan itu datang membawakan minumannya dan menerima pembayarannya.
"Minuman keras tak akan dapat menghilangkan rasa takutmu, Hariono," ejek Anastasia.
"Aku tidak takut!" sambut Hariono yang sudah merasa terpojok.
"Haram bagiku takut terhadap seorang perempuan!"
"Jangan terlalu takabur," senyum Anastasia.
"Aku bukan sembarang perempuan! Aku perempuan yang bisa mematikanmu!"
"Kau tidak akan bisa -kecuali jika kaubunuh aku secara fisik," kata Hariono.
"Dan itu pun kau tidak akan bisa karena aku lebih kuat daripada dirimu! Ha-ha!"Tapi gelaknya yang terdengar sumbang ini segera terhenti ketika dia melihat sinar dalam pandangan
mata Anastasia. Begitu dalam dan pekat tatapan matanya dan begitu jahat seakan-akan mengandung bisa yang mematikan.
Dan nyali Hariono benar-benar menjadi ciut.
***
XXIII Kamis. 30 Januari
"GOZ! Ayo berangkat!" kata Kosasih yang tibatiba muncul di ambang pintu rumah sahabatnya, Gozali.
"Mau ke mana?" kata Gozali laki-laki yang berperawakan jangkung kurus dengan postur tubuh agak bungkuk itu.
"Aku baru saja terima kabar bahwa di Jalan Raya Waru telah ditemukan sesosok jenazah di dalam mobil."
"Oh? Korban tabrak lari?"
"Rupanya bukan. Mobilnya diparkir di pinggir jalan, utuh."
"Ada berapa mayat di dalam?"
"Setahuku cuma satu. Jangan terlalu serakah dan haus darah pagi-pagi begini !" gelak Kosasih.
Gozali menyeringai
Tanpa banyak kelambatan mereka segera
berangkat menuju ke lokasi kejadian dengan jip dinas Kapten Polisi Kosasih. Mereka adalah dua figur dengan penampilan yang berbeda, namun orang-orang yang mengenal mereka dengan baik semuanya tahu bahwa mereka sejiwa.
Tak ada yang mengira bahwa kedua sahabat karib ini yang selalu ke mana-mana berduaan, pernah berdiri saling berhadapan sebagai musuh. Mereka pernah dibatasi oleh pagar pemisah di satu pihak berdiri Kosasih, petugas polisi yang kala itu baru berpangkat sersan tabah, tawakal, penuh dedikasi, loyal dalam mengemban tugasnya sebagai abdi negara dan masyarakat-sedangkan di pihak lain berdiri Gozali Simin si Cacing, pencuri ulung, sampah masyarakat, terbuang, terpidana!
Bahwa kemudian hubungan yang antagonistis itu bisa berubah menjadi hubungan yang bahkan lebih akrab daripada saudara kandung, tentunya punya riwayatnya sendiri. Namun tak banyak orang yang tahu tentang latar belakang pertemuan mereka ini, apalagi setelah lewat sekian lamanya!
Demikianlah masyarakat sudah terbiasa menerima di mana ada Kapten Polisi
Kosasih, tentu tak jauh dari sana ada Gozali, bayangannya.
"Bagaimana, Di?" tanya Kosasih kepada Kopda Adi yang sudah lebih dulu tiba di tempat itu bersama Koptu Sapulete.
"Rupanya mati karena pembunuhan, Pak," kata Adi.
"Kemejanya berdarah."
"Siapa yang menemukannya?"
"Bapak itu." kata Adi menunjuk seorang tua yang berkaca mata dan berdiri tak jauh dari mereka.
Kosasih menghampiri orang itu.
"Nama Bapak?"
"Hamid."
"Alamat?"
"Itu, Pak, rumah saya masuk lewat kampung ini," katanya menunjuk perkampungan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Bagaimana Pak Hamid menemukan jenazah ini?"
"Tadi pagi saya berangkat ke kantor, Pak. Seperti biasa saya berangkat dari rumah pukul enam. Saya harus naik bus dan saya tidak ingin terlambat. Sekarang saya sudah terlambat sekali, Pak, pasti nanti saya dimarahi atasan," kata Hamid dengan pandangan khawatir.
***
Datang seenaknya, pergi sesukanya, pulang hanya untuk makan dan tidur. Memangnya rumah ini hotel? Mbok sopan sedikit kek, ngomong yang baik, eh,
"Selamat pagi, Bu, saya berangkat ke sekolah", atau apa seperti anak-anak yang lain! Tapi anakmu sejak hari pertama aku menginjakkan kaki di rumah ini sudah menunjukkan sikap yang memusuhi aku, tidak menghargai aku."
"Tadinya aku mengira sikapnya itu tidak akan berlangsung lama, satu-dua minggu akan mencair juga sendiri. Eh, tidak tahunya tambah lama tambah nggak punya aturan! Bahkan akhirnya pulang pun tidak setiap hari!"
"Kan aku sudah bilang dia sangat dekat dengan mendiang ibunya," kata Hariono.
"Alaa, itu salahmu juga, Pak! Kau tidak mendidiknya supaya menghormati aku malah kaubiarkan saja sikapnya yang kurang ajar itu. Lihat saja sekarang apa jadinya! Bikin malu seluruh keluarga!"
"Kau malu?"
"Malu dong! Di mata orang luar bagaimanapun juga dia kan masih dianggap anakku walau tiri. Orang akan bilang aku yang tidak memperhatikannya sampai dia
berbuat begitu!"
"Ah, persetan omongan orang. Kalau kau masih mau menjadi istriku ya kauterima cara hidup begini. Kalau nggak bisa ya katakan terus terang. Aku tidak berkeberatan menceraikan kau."
Tersentak Berta mendengar kata-kata suaminya. Cerai? Tiba-tiba kok menyinggung masalah cerai? Amarah segera terbit di dalam hatinya. Semudah itukah seorang suami mengucapkan kata "cerai" untuk mengancam?
"Oh, jadi kau mau menceraikan aku?" tanyanya sinis.
"Aku bilang aku tidak berkeberatan kalau memang kau sendiri sudah tidak suka lagi menjadi bagian keluarga ini karena malu mempunyai anak tiri seperti Martin."
Berta sudah siap dengan berbagai makian, tapi tiba-tiba otaknya bekerja dan dia sadar bahwa pasti ada apa-apa di balik omongan tadi ! Perempuan lain! Ya, suaminya pasti punya simpanan perempuan lain! Itulah sebabnya maka dia tidak menyalahkan perbuatan anaknya! Kiranya dia sendiri pun berwatak yang sama! Pantas laki-laki membela sesama laki-lakinya terutama dalam hal menyeleweng!
O-ho! Jadi begitu pemainan laki-laki ini! Pada waktu membutuhkan, rayuannya selangit. Pada waktu dia punya pengganti, istrinya dicampakkan begitu saja seperti sepatu tua! Tunggu dulu! Tidak semudah itu mencampakkan istrinya yang satu ini!
"Oh, jadi sekarang kau mau menyingkirkan aku seperti barang tua begitu saja, ya? Melemparkan aku ke tong sampah begitu? Setelah kau menikmati diriku, sekarang mau kautukar dengan model yang lebih baru, begitu? Habis manis sepahnya dibuang, ya?"
"Menikmati? Habis manis?" Hariono terkekeh.
"Ber, kapan aku sempat menikmati manismu? Waktu kawin dengan aku saja kau sudah tua bangkotan, umunnu sudah tiga puluh lima perawan tua yang nggak laku, kok! Masa kau lupa? Kau membayangkan aku mendapat daun muda yang segar, begitu? Wah, wah! Terus terang saja, yang aku dapat sudah daun tua yang setengah kering! Untung aku mau mengawinimu, kalau tidak, mungkin sampai hari ini pun kau masih perawan tua!"
Meledak rasanya jantung Berta mendengar ejekan suaminya. Dengan mata menyala
dan tangan bergetar dia mendesis di antara giginya yang bergemeletuk,
"Jangan menghina aku! Asal kauingat saja, tidak semudah ini kau mau menceraikan aku! Aku bukan barang mainan laki-laki! Daripada aku malu dengan status janda cerai, lebih baik aku menyandang titel janda mati saja!"
"Janda mati ! Apa maksudmu?" tanya Hariono.
"Maksudmu, kau mau membunuhku?"
"Asal jangan memojokkan aku saja! Kau akan menyesalinya!"
****
"Seringkah Anda kemari?" tanya Anastasia di antara keremangan kelab malam yang masih sepi ini.
Hariono mengangguk.
"Terkadang. Tempat ini milik salah seorang teman saya."
Mereka duduk berhadapan, masing-masing menghadapi segelas minuman. Hariono memilih wiski-soda sedangkan Anastasia segelas juice buah.
"Anda mungkin tidak percaya ini merupakan pertama kalinya saya menjejakkan kaki saya di sebuah kelab malam sebagai tamu," senyum Anastasia.
"Ah, masa! Di Jakarta kelab malamnya bagusbagus dan atraksinya juga segar-segar."
"Mungkin bagi kaum pria, bagi saya tidak."
"Hm, apakah Anda masih sering bolak-balik Jakarta?"
"Tentu. Usaha saya yang utama di sana. Rumah saya yang sebenarnya juga di sana. Di sini saya hanya pekerja musiman."
"Dan di Jakarta... di sana Anda juga hidup seorang diri?" pancing Hariono.
Anastasia sengaja menjadi lebih genit.
"Dan mengapa Pak Hariono ingin tahu?" kerlingnya.
"Oh! Saya sekadar bertanya. Saya pikir, sayang, bukan, seorang seperti Anda menjanda terus tanpa pendamping selama bertahun-tahun."
"Saya ada Martin," kata Anastasia sengaja kembali ke pokok tujuan pertemuannya dengan ayah pemuda itu.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, ya, saya tahu. Tapi Martin sudah tentu bukan padanan yang sesuai, ya toh? Anda
membutuhkan seorang yang lebih... lebih berpengalaman," senyum Hariono.
"Iebih matang, lebih berwibawa, lebih menonjol... yah, seorang yang bisa menandingi keanggunan Anda, menyelami pikiran Anda yang cerdas. Martin sih cuma bocah ingusan. Dia belum punya semua kualifikasi ini. Dia masih memerlukan pengalaman hidup dua puluh tahun lagi untuk mencapai standar itu."
"Maksud Anda, seorang yang... yang seperti Anda?" senyum Anastasia penuh arti.
Dokter Hariono tidak membalas senyuman itu tetapi malah memandang lekat-lekat ke mata Anastasia dengan serius.
"Itu persis apa yang saya maksudkan. Apabila Anda bersedia, itu merupakan suatu kehormatan besarbagi saya," desisnya pelan.
Anastasia mengulum senyum yang penuh misteri. Tepat pada saat itu makanan yang mereka pesan tiba dan beberapa menit terpaksa berlalu sementara pelayan menata meja dan menyilakan mereka makan.
"Bonnya, Pak," kata si pelayan menyodorkan secarik kertas kepada Hariono.
Hariono merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa helai uang sepuluh ribu. Pelayan tersebut menerima pembayaran itu,
memasukkannya ke dalam sakunya, lalu merogoh sakunya sendiri dan menyerahkan uang kembaliannya kepada Hariono. Tabloid ini mengasyikkan bagi Anastasia. Biasanya tamu baru membayar pada saat aka pulang, tetapi di sini rupanya si pengusaha niteclub ini takut tamunya bisa meninggalkan tempat tanpa membayar sehingga mereka diwajibkan menyelesaikan dulu harga pesanan mereka sebelum pesanan itu disantap.
"Bagaimana?" tanya Dokter Hariono setelah si pelayan pergi dan tinggal mereka berdua lagi di dalam keremangan.
"Saya kan tidak punya ikatan, setiap waktu saya bisa membuat pilihan kalau mau," kata Anastasia.
"Tidak begitu halnya dengan Anda. Anda punya istri."
"Saya akan menceraikannya. Sebetulnya sudah beberapa tahun yang terakhir ini saya selalu merasa tertekan. Kami tidak cocok satu sama lain. Tidak ada gunanya melanjutkan hubungan itu."
Dalam hati Anastasia memaki-maki. Huh! Bahasa klise setiap laki-laki yang sudah punya istri kalau mereka mau merayu perempuan lain. Selalu mengatakan tidak cocok dengan istrinya. bahwa istrinya itu tak
kurang dari momok yang menggetirkan hidup mereka, yang tidak mengerti kebutuhan jiwa mereka, dan sebagainya, dan sebagainya. Anastasia sudah pernah mendengar banyak sekali alasan seperti ini dalam pelbagai ragamnya.
"Anda tidak percaya?" tanya Hariono melihat perempuan itu tidak memberikan reaksi.
Anastasia tersenyum sinis.
"Saya sudah punya cukup banyak pengalaman untuk tidak terkecoh janji klise laki-laki. Kaum Adam di mana-mana sama saja, selalu menyanyikan lagu yang itu-itu juga. mudah mengatakan akan menceraikan istrinya agar perempuan yang diincarnya itu mau memberikan segalanya. Tetapi setelah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, lagunya akan berubah lagi."
"0h, Anda tidak perlu meragukan saya!" protes Hariono.
"Saya betul-betul serius dengan tawaran saya ini. Saya melihat ada banyak persamaan antara kita Anda adalah perempuan yang intelek, yang anggun, yang sukses, yang tahu bagaimana menikmati hidup ini sama dengan saya. Kita bisa menjadi pasangan yang sangat ideal, kita bisa melewatkan masa depan yang sangat harmonis dan bahagia bersama-sama."
"Dan Martin?" singgung Anastasia.
"Martin? Oh, Martin ah, Martin bisa saya kirim untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Dia tak akan mengganggu kita."
Anastasia mengangguk.
"Bagus! Saya tidak menyangka Anda telah memikirkan semuanya bahkan sampai menyingkirkan anak Anda sendiri supaya tujuan Anda terlaksana!"
"Ah, mengirim Martin ke luar negeri itu kan demi kebaikannya juga. Jangan dikategorikan sama dengan menyingkirkan. Berapa anak muda yang ingin sekali sekolah di luar negeri tetapi orang tuanya tidak mampu membiayai? Dalam hal ini Martin kah jauh lebih beruntung daripada pemuda-pemuda itu."
Anastasia tertawa.
"Anda benar-benar serius, nih?"
"Setengah mati!" jawab Hariono.
"Terus terang saja sejak hari pertama saya bertemu dengan Anda saya sudah begitu terpikat. Saya tak bisa lagi tidur nyenyak, wajah Anda selalu terbayang di mata saya. Seumur hidup saya tak pernah merasa tersiksa oleh seorang
perempuan seperti ini. Saya kira saya betul-betul telah jatuh hati pada Anda."
Anastasia tertawa kecil.
"Laki-laki terlalu mudah menyatakan cinta, tapi pernyataan itu tak bisa dipercayai seratus persen. Umumnya hanya rayuan gombal saja untuk mencapai tujuannya. Atas nama cinta mereka menyembunyikan semua maksud jeleknya."
"Jeng Ana, mohon jangan bergurau. Anda benar-benar menyiksa saya dengan pembicaraan seperti ini. Saya ini benar-benar serius, saya tidak merayu gombal. Jadilah istri saya, Jeng Ana!"
Untuk beberapa saat Anastasia tidak menjawab. Dengan santai dia meneruskan makannya, menikmati apa yang terhidang di hadapannya.
"Jeng Ana!" panggil Dokter Hariono.
"Betul saya serius. Saya tidak main-main, Jeng Ana!"
Anastasia mengangguk, menyungging senyuman yang manis sekali.
"Saya baru mengenal Anda," katanya.
"Anda bisa melewatkan sisa hidup Anda untuk mengenal saya dengan lebih baik," kata Hariono.
"setelah Anda menjadi istri
saya."
"Saya tidak mau beli kucing dalam karung, Pak Hariono. Kalau saya mau beli kucing, saya harus tahu sebelumnya kucing apa yang saya tawar itu. Lagi pula sementara ini saya tidak mau menjadi istri siapa pun," kata Anastasia ringan.
"Hm, udang gorengnya memang enak, lho. Mengapa sejak tadi Anda tidak makan?" tanyanya.
"Selera makan saya sudah hilang."
Anastasia terkekeh dan meneruskan makannya, membuat Hariono semakin penasaran.
"Kalau karena Martin maka Anda menolak, saya akan bicara kepadanya malam ini juga," kata Hariono yang sudah sewot.
"Jangan," kata Anastasia tenang.
"Jangan? Jangan? Mengapa jangan?"
"Karena saya masih belum menyanggupi untuk melepaskannya," senyum Anastasia.
"Saya masih senang hidup bersama Martin."
"Tapi, Jeng Ana! Martin sudah pasti bukan pendamping yang sesuai bagi Anda!"
"Bukankah itu hak saya untuk menentukannya?" kata Anastasia.
"Saya kan lebih tahu apa yang cocok buat saya."
"Martin . Martin anak saya." kata Hariono.
"Dia harus menurut apa kata saya."
"Dia sudah akil balik, dia sudah keluar dari rumah Anda, dia sudah berpenghasilan sendiri, dia berhak menentukan hidupnya sendiri, berhak menentukan teman-temannya sendiri. Anda tak dapat lagi mendiktenya seperti terhadap seorang anak kecil. Paling-paling Anda cuma bisa tidak mengakuinya sebagai anak." Anastasia tersenyum lagi.
"Tapi Anda tak mungkin berbuat itu, bukan? Dia satu-satunya keturunan Anda."
"Memang tidak. Saya tidak bermaksud untuk tidak mengakuinya sebagai anak. Saya hanya ingin dia sadar. Anda bukan pasangan untuknya. Kita... kita berdua mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk bisa mencapai suatu keharmonisan dan kebahagiaan. Kita bisa membangun sesuatu yang baru."
"Belum tentu saya ingin membangun apa-apa bersama Anda," senyum Anastasia.
"Seperti kata saya tadi, saya belum begitu mengenal Anda."
"Iya, dan dengan Martin di sisi Anda, Anda tak akan pernah punya kesempatan atau minat untuk mengenal saya lebih baik."
Anastasia mengangkat bahunya.
"Saya cukup puas dengan Martin," senyumnya.
"Anda benar-benar harus mencicipi udang goreng ini, Pak Hariono! Memang betul-betul enak!" tambahnya.
"Jeng Ana," pinta Hariono.
"Saya..."
"Saya pikir penemuan kita malam ini kita akhiri sampai di sini saja. Besok dunia tidak kiamat, bukan? Nah, kalau Anda memang tidak mau makan apa-apa, saya mengucapkan selamat malam dan terima kasih untuk undangan makan ini." Anastasia berdiri.
"Kita... kita masih akan bertemu lagi, bukan? Anda masih mau bertemu dengan saya lagi, bukan?" kata Hariono tergagap.
"Mungkin," senyum Anastasia.
"Kalau undangan Anda cukup menarik."
"Baiklah, kalau begitu malam ini saya mengalah. Kapan Jeng Ana mau menemui saya lagi? Kapan Anda ada waktu?" kejar laki-laki itu.
"Anda boleh mencoba menelepon saya lusa," kata Anastasia menikmati permainannya.
"Oke, saya akan menelepon Anda lusa."
"Tapi ingat, jangan berkata apa-apa kepada Martin. Kalau tidak, saya tidak mau berbicara lagi dengan Anda!"
"Baik, baik, saya tidak akan mengatakan
apa apa kepadanya."
"Saya kan harus mempertimbangkan dengan saksama, mana yang lebih baik ayahnya atau anaknya!" goda Anastasia.
Dokter Hariono tersenyum dan mengedipkan matanya.
"Dalam hal itu Anda tidak perlu ragu. Saya jamin ayahnya jauh lebih memuaskan!"
Di luarnya Anastasia tersenyum, tetapi tanpa diketahui oleh Dokter Hariono. semua bulu romanya berdiri dan hatinya serasa mau meletus.
Bagaimana aku bisa mencintai serigala seperti ini dulu! pikir Anastasia mengherani dirinya sendiri.
****
"YAMIN! Mengapa kau berada di sini?"tanya Anastasia terkejut melihat laki-laki yang empunya nama itu sudah menunggunya di dalam kamar kerjanya hari Selasa pagi ketika dia baru kembali dari menyaksikan pengambilan gambar di sebuah pabrik.
Wajah Yamin tampak murung. Dia juga tampak lebih kurus daripada ketika terakhir kalinya bertemu dengan Anastasia.
"Apakah ada problem di Jakarta? Tidak ada yang memberi kabar bahwa kau akan kemari?" tanya Anastasia.
"Bukankah menurut jadwal seharusnya aku kemari hari ini?" tanya laki-laki itu dingin.
"iya, tapi kan sudah kubatalkan? Atau mungkin Maya yang lupa menyampaikan pesanku? Minggu ini kita tidak punya pesanan
yang berarti, jadi percuma kau datang."
"Maya sudah menyampaikan pesanmu, itu yang membuatku heran. Mengapa kau tidak bicara sendiri padaku? Aku merasa kau berusaha menghindari aku akhir-akhir ini. Dua kali aku mencoba menelepon kemari, tetapi kau selalu mengatakan waktu itu kau sedang menemui klien. Kalau memang betul kau sedang menemui klien, mengapa setelah klien itu pulang kau tidak menelepon aku kembali?"
"Oh, astaga! Aku lupa, Min! Maafkan, lho!" kata Anastasia mencoba mendinginkan hati lakilaki itu.
"Aku sudah bertambah tua, semakin pikun sekarang," senyumnya.
"Tapi kau datang ini kan bukan sekadar untuk memarahi aku toh?"
"Tidak. Bukan sekadar itu. Cuma aku merasa bahwa di sini pasti ada yang tidak beres!"
"Tidak beres? Apanya yang tidak beres? Semuanya beres, Min, seperti yang kaulihat sendiri sekarang."
"Temanmu Emi datang ke kantor kemarin."
"Oh, terus?"
"Dia mencari Maya."
"Terus?" Mata Anastasia bertambah besar.
"Maya memanggil aku."
Anastasia mengangguk. Maya memang mengetahui hubungannya dengan Yamin.
"Kami semua mengkhawatirkan dirimu. Kali ini kau telah bertindak terlalu gegabah!"
"Masalah apa?" tanya Anastasia walaupun di dalam hatinya dia tahu apa masalahnya.
"Hariono," kata Yamin. Lalu sambil membuang pandangannya dia melanjutkan,
"Dan pemuda ingusan itu."
Anastasia merasa bodoh, merasa rendah diri. Di sini, di hadapannya duduk seorang laki-laki yang pernah berbagi keintiman dengannya, yang bisa mengisi kehausan jiwanya, yang diharapkannya suatu saat bisa mendampingi hidupnya. Justru di hadapan laki-laki ini rahasianya yang memalukan harus terburai! Ah. mengapa Emi dan Maya melibatkan Yamin? Apa kiranya yang dipikirkan Yamin sekarang? Pasti dia memandang rendah aku, pikir Anastasia, menganggap aku tak lebih dari seorang tante girang yang haus seks!
"Min." kata Anastasia.
"Hariono adalah masa silamku yang harus kuselesaikan sendiri. Kalian tak perlu mengkhawatirkan diriku. Dan masalah Martin... hal itu adalah urusanku pribadi. Aku kira kalian pun tak seharusnya mencampurinya walaupun dengan maksud baik."
"Emi dan Maya adalah teman-temanmu yang terdekat. Demikian pula aku. Aku malah menyangka aku punya peranan yang lebih berarti dalam hidupmu sekarang daripada orang-orang yang lain. Ternyata kau tidak berterus terang padaku. Ternyata kawanggap aku tak punya hak untuk tahu, tak punya andil untuk kawajak berunding!" Wajah Yamin semakin muram.
"Aku sangat menghargai perhatian kalian, Min. Betul! Aku tahu kalian semua adalah temanteman yang dapat kuandalkan kapan saja. Tapi masalah ini harus kuselesaikan sendiri... pada waktunya."
"Permainan apa yang sekarang kaulakukan, Ana? Permainanmu terlalu keji! Kau mengadu domba antara seorang anak dengan ayahnya!"
"Itu sama sekali bukan rencanaku, Min. Tadinya aku tidak tahu bahwa Martin adalah anak Hariono!"
"Lalu apa yang akan kaubuat sekarang sekarang setelah kau tahu!"
"Sebenarnya sudah lama aku ingin memutuskan hubungan dengan Martin, Mm, kau boleh tanya pada Maya dan Emi bahkan sudah sejak sebelum aku akrab denganmu. Aku menyadari bahwa hubungan itu adalah suatu kesalahan tolol yang kubuat pada saat aku lemah. Aku sudah lama menyesalinya, hanya saja aku belum mendapatkan caranya untuk menyelesaikan masalah ini tanpa menyakiti dirinya. Martin adalah pemuda yang sangat sensitif. Dia merasa kurang diperhatikan oleh ayahnya satu-satunya orang tuanya yang masih hidup sekarang. Aku takut melukai dan membuat cacat mentalnya kalau aku bertindak drastis."
"Cepat atau lambat kau toh harus melakukannya, mengapa pula kautunda-tunda?" tanya Yamin tidak simpati.
"Aku kasihan padanya, Min. Dia adalah pemuda yang labil, tidak punya kepercayaan pada dirinya sendiri, merasa tidak bahagia dalam hidupnya. Dia hanya memiliki aku sekarang, aku tidak bisa menendangnya keluar begitu saja. Aku tidak ingin membuatnya menjadi gila atau cacat mental seumur hidup
karena aku."
"Orang yang putus cinta tidak harus gila."
"Aku tahu betapa sakitnya orang yang dihianati,orang yang ditinggalkan kekasihnya. Aku pernah merasakan penderitaan itu, Min, aku tidak ingin menyebabkan orang lain merasakan penderitaan yang sama."
"Akhirnya kau toh harus membuat suatu permulaan. Permulaan selalu menyakitkan. Tetapi kalau kau tidak mengambil langkah yang pertama. urusan ini tak akan pernah selesai."
"Ya, aku juga tahu suatu saat aku harus mengambil langkah yang pertama itu, hanya saja aku ingin mempersiapkan dirinya dulu agar pukulan itu tidak terasa terlalu berat pada saat dijatuhkan."
"Itu tidak benar.Semakin lama kau menundanya, semakin lama kau meninabobokkannya, semakin sakit terasa bila kauputuskan hubungan itu. Jangan menunda-nundanya lagi. Sebaiknya hari ini juga kau bersikap tegas padanya."
Anastasia menutup kedua belah matanya. Tapi kiranya suara tajam Yamin yang seperti menyayat-nyayat kalbunya belum berhenti sampai di sana. Detik berikutnya dia mendengar kelanjutannya.
"Lalu bagaimana dengan Hariono?"
"M-m-maksudmu?"
"Jangan temui dia lagi. Sudahilah hubungan dengannya juga."
Kali ini jiwa Anastasia memberontak.
"Tidak!" katanya sambil menggeleng.
"Tidak! Masalah Hariono tidak semudah itu! Aku berniat menghancurkannya! Aku tak akan berhenti sebelum hal itu tercapai. Ini adalah suatu kesempatan yang diberikan oleh takdir! Aku tak akan melewatkannya!"
"Dengarlah nasihatku, Ana," kata Yamin datar.
"Dendam yang lama itu harus kaulupakan. Kau sudah memperoleh ganti kebahagiaan menikmati hidup bersama mendiang suamimu. Kau sudah memperoleh kepuasan menjalankan bisnis yang sukses ini. Apakah imbalan itu masih tidak cukup?"
"Imbalan itu karena aku bekerja keras, Min! Karena Aku yang berperan, bukan karena jasa Hariono!"
"Semua itu kauperoleh karena kau pergi ke Jakarta setelah dikecewakan olehnya. Seandainya tidak, seandainya waktu itu kau dinikahinya, lalu menjadi istrinya yang kedua atau entah yang keberapa, besar kemungkinan hidupmu sekarang akan merana menunggui seorang suami yang tidak pernah setia padamu!
"Seharusnya kau berterima kasih kau ditinggalkannya, tidak dinikahinya! Lupakanlah dendammu, maafkan dia. Coretlah namanya dari buku ingatanmu sebagai orang yang tak pernah kaukenal. Dia tak lebih daripada seekor kutu busuk di dalam hidupmu. Dia memang pernah mencuri sebagian hatimu dan menghancurkannya, tapi orang lain telah datang untuk memulihkannya sehingga utuh dan sehat dan malah lebih berkembang. Mengapa sekarang kau harus merendahkan dirimu untuk berurusan dengan seekor kutu busuk yang tidak berarti?"
"Dia telah membunuh janin yang kukandung!"
"Lalu sekarang kan mau membunuhnya begitu?" tanya Yamin pedas.
"Aku tidak tahu! Aku belum tahu apa yang akan kubalaskan padanya! Tapi yang jelas sekarang aku berada di atas angin! Kesempatan ini tak akan kulewatkan! Kau tahu dia jatuh cinta padaku! Jatuh cinta padaku! Tujuh belas tahun yang lalu aku dilemparkannya ke tong sampah seperti gombal yang tak
berharga, tapi sekarang dia mengemis cinta di kakiku! Aku akan membalasnya kali ini. Aku akan membuatnya menderita. Aku harus membuatnya menderita seperti dulu aku menderita! Kalau tidak aku tak akan dapat memaafkan diriku! Aku akan menyesali diriku seumur hidup!"
"Kalau kaulakukan itu, aku akan menyesali dirimu seumurhidup! " kata Yamin tegas.
"Kau tidak mengerti, Min. Kau tak pernah disakiti hati! Aku dulu disakiti hati sampai serasa mau mati!"
"Jadi sekarang kau mau membalas menyakiti hatinya sampai dia mau mati juga?" Yamin berdiri dari kursinya.
"Iya! Begitu sukarkah bagimu untuk mengerti ini?"
"Aku kecewa padamu, Ana," kata Yamin tenang.
"Aku kira aku telah menemukan seorang perempuan yang ideal, seorang perempuan yang hampir sempurna. Ternyata kau adalah seorang yang penuh dengki. Kau tak pernah belajar bagaimana memaafkan orang. Kau sama jeleknya dengan Hariono!"Yamin membalikkan badannya, dengan dua langkah lebar dia keluar dari kamar kerja Anastasia dan menutup pintu di balik punggungnya
tanpa menoleh lagi satu kalipun.
Anastasia mengunci dirinya dalam kamar kerjanya dan menangis. Dia tidak tahu mengapa dia menangis, tapi air matanya mengalir seperti Bengawan Solo di musim hujan, deras dan tak terkendalikan. Sudah lama dia tidak menangis. Sejak mengantarkan Antonio ke tempat peristirahatannya yang terakhir dia tak pernah membiarkan dirinya menangis lagi sampai sekarang.
Setengah harian dia tidak keluar dari dalam kamar kerjanya. Dia berpikir dan merenung. Benarkah kata-kata Yamin? Benarkah dia dianggap merendahkan dirinya karena berurusan dengan bangsa kutu busuk seperti Hariono? Samar-samar melintas di otaknya ajaran agama yang pernah dipelajarinya,bahwa manusia tak dibenarkan membalas perbuatan jahat dengan perbuatan jahat, bahwa pembalasan itu urusan Tuhan. Tapi bagaimana kalau Tuhan tidak membalas? Bukankah di dunia ini ada begitu banyak orang yang kejam yang masih dibiarkan dan dipanjangkan umurnya berkeliaran sesukanya sambil merajalela membuat kekejaman-kekejaman yang baru? Di manakah Tuhan saat itu? Mengapa orang-orang jahat itu tidak diringkus saja supaya tidak menimbulkan korban lagi? Kan tidak adil namanya! Coba, selama tujuh belas tahun ini, penderitaan apa yang telah dirasakan oleh Hariono sebagai balasan perbuatan kejamnya terhadapku? pikir Anastasia. Dia tambah makmur, tambah kaya, tambah mata keranjang! Hidupnya tidak kekurangan apa-apa! Tuhan membiarkannya hidup terus dan yang lebih menyakitkannya adalah, Tuhan membiarkannya hidup dalam kenikmatan! Seandainya hari ini dia bertemu seorang Hariono yang kempot-perot, yang menderita seribu satu macam penyakit, yang compang-camping nah, barulah hatinya lega. Itu adil namanya! Tapi justru kutu busuk sebangsa Hariono ini diizinkan hidup terus dalam kemakmuran, sedangkan di pihak lain seorang laki-laki yang begitu baik seperti Antonio-yang begitu diperlukannya ditakdirkan harus mati muda karena penyakit kanker darah!
Tidak, pikir Anastasia. Aku tak dapat mempercayakan urusan pembalasan ini ke
pada Tuhan. Tuhan terlalu baik. Tuhan tidak akan membalaskan dendamku. Kalau aku ingin dendamku terbalas, aku harus melakukannya sendiri!
Lalu untuk apa dia menangis kalau hatinya sudah tetap? Setengah malu Anastasia sadar bahwa bukannya karena urusan pembalasan dendamnya ini dia menangis. Tidak, Hariono sudah tidak dapat menyakiti hatinya lagi tapi dia menangis karena dia takut kehilangan Yamin! Ketika laki-laki itu melangkah keluar dari kamarnya tadi, seakan-akan sebagian dari dirinya tercabik dan terbawa. Selama ini dia tak pernah mau mengakui bahwa dirinya sanggup mencintai lakilaki lain setelah Antonio. Tapi rupanya di luar kesadarannya benih cinta telah tumbuh di hatinya terhadap laki-laki yang tadi meninggalkannya. Yamin Raharja telah meninggalkannya dengan perasaan muak dan kecewa. Pucuk yang sempat bertunas tiba-tiba harus ditebang.
Baiklah, pikirnya. Aku kehilangan Yamin dan aku tidak menyalahkan sikapnya. Hidupku memang sudah terlalu banyak kemelut, terlalu ruwet. Aku sudah melangkah sejauh ini, aku tak dapat menghapuskan sejarah yang telah terjadi. Tapi Martin masih muda, dia tidak seharusnya terbenam lebih lama dalam ikatan yang semu ini. Sampai di sini memang Yamin benar. Martin harus segera meninggalkannya. Apalagi sekarang setelah dia punya niatan untuk menghancurkan bapaknya! Terlalu kejam kiranya apabila dia mengharapkan Martin menjadi penonton tindakan balas dendamnya atas Hariono! Tidak, aku tak dapat berbuat sekejam itu! Jadi lebih cepat Martin meninggalkannya lebih baik. Mulai sekarang yang berhadapan sebagai musuh adalah dia dan Hariono, Martin tak boleh diikutsertakan! Dan jalan yang terbaik untuk membuyarkan harapan pemuda itu adalah dengan membuatnya muak terhadap dirinya! Ya, dengan demikian Martin tak akan terlalu sakit hati, Martin tak akan enggan meninggalkannya karena yang ditinggalkan hanyalah seorang perempuan yang bejat moralnya.
"Mbak! Mbak Ana!" panggil Martin dari luar membuyarkan lamunan Anastasia. Anastasia melihat lonceng di dinding yang menunjukkan pukul lima. Kunci pintu dibukanya.
"Mbak, ada apa?" tanya Martin yang baru
tiba dan terperanjat mendapatkan wajah Anastasia yang berantakan.
"Masuklah, Tin. Aku ingin bicara denganmu," kata Anastasia menghenyakkan dirinya di kursi.
Martin menghampirinya dari sisi kanan dan meletakkan tangannya di atas bahu perempuan itu, tetapi Anastasia segera melepaskan pegangannya dan menunjuk ke kursi yang kosong di hadapan mejanya.
"Duduk, Tin, aku ingin bicara padamu," kata Anastasia sambil menutup kedua belah matanya yang lelah. Berat juga hatinya terpaksa harus menikam jantung pemuda ini yang sampai sekarang pun tidak curiga atas apa yang telah terjadi.
Martin duduk, lututnya tiba-tiba terasa goyah, tangannya menjadi dingin, dan dia seakan-akan merasa suatu bencana yang besar akan terjadi dan akan menyapu hidupnya.
"Tin, kau tahu bahwa aku sangat menyayangi dirimu, bukan?" mulai Anastasia berusaha memilih kata-katanya dengan hati-hati.
"Tapi kau jauh lebih muda daripadaku bahkan terlalu muda untuk bisa menghayati dampak hubungan kita ini dalam hidupmu.
"Dalam hal ini aku hanya menyalahkan diriku sendiri, Tin, lebih daripada aku menyalahkan kau. Aku sebagai orang yang jauh lebih tua dan yang sudah lebih banyak merasai asam-garam dunia, seharusnya bisa menghindari timbulnya kasus seperti hubungan kita ini. Tetapi dalam kelemahanku sesaat aku telah terbawa arus emosiku sendiri dan aku mengizinkan berkembangnya hubungan yang tidak sehat ini.
"Tin, aku tahu ini. merupakan suatu langkah yang berat bagimu,juga bagiku, tapi kita harus melihat realita betapapun jeleknya. Kesalahan ini harus kita perbaiki, Tin, dan kalau kita saling membantu, kita bisa meringankan beban masing masing.
"Hubungan kita adalah suatu tindakan yang amat salah, Tin. Kita telah melanggar norma norma kehidupan, norma-norma susila walaupun hati kita tulus dan kita tak punya rencana jahat satu terhadap yang lain. Namun hubungan ini tak boleh dibiarkan terus. Bantulah aku untuk mengakhirinya. Aku akan selalu sayang padamu, tapi tidak dengan cara ini. Kau pun boleh tetap menyayangiku, tetapi juga tidak sebagai kekasih. Marilah kita mengubah arah rasa sayang kita
menjadi ikatan yang lebih mulia-sebagai ikatan kakak dengan adik, atau bahkan ibu dengan anaknya toh sebetulnya aku cukup tua untuk menjadi ibumu yang benar. Dengan demikian kita bisa melewati masa ini dengan lebih mudah, kita bisa tetap akrab satu sama lain walaupun dalam hubungan yang jauh berbeda."
Martin memandang bengong kepada Anastasia, seakan-akan tidak mengerti semua yang baru saja dikatakan oleh perempuan ini. Tiba-tiba dunianya runtuh, tempatnya berpijak ambles, dia tidak tahu harus berkata apa, tak tahu harus berbuat apa kecuali mengharapkan bahwa semua ini cuma mimpi, bahwa kata-kata perempuan ini tidak pernah sungguh-sungguh terucapkan.
"Martin," kata Anastasia meraih tangan pemuda itu,
"aku terlalu tua untukmu. Mengertikah, kau? Dunia kita sangat berbeda. Kau seharusnya berkumpul dengan gadis-gadis sebayamu, duniamu adalah bersama mereka. Ada terlalu banyak hal yang sudah kulewati yang belum kawalami. Aku tak dapat membaginya bersamamu. Begitu pula ada banyak hal yang sedang kaulewati sekarang yang sudah lama kutinggalkan dan
kulupakan sehingga kau pun tak dapat membaginya denganku. Kita memang berasal dari generasi yang berlainan, Martin. Kembalilah ke generasimu sendiri. Itu yang paling baik untukmu."
Manin menggeleng gelengkan kepalanya.
"Tidak," katanya lirih.
"Aku tidak mau berpisah denganmu, Mbak. Aku mohon, janganlah aku disuruh pergi!"
"Martin, ini adalah demi kebaikanmu sendiri. Mengapa kau harus menggandoli seorang perempuan yang jauh lebih tua? Kau hanya akan menjumpai banyak kesulitan dalam hidupmu."
"Tidak. Apa pun yang terjadi, aku tak akan meninggalkanmu. Aku sangat mencintaimu," Martin bersikeras.
"Tapi kau tak boleh mencintaiku, Martin. Hubungan ini tak boleh kita teruskan."
"Mengapa tidak? Cinta tidak mengenal perbedaan usia!"
"Masalah kita bukan hanya perbedaan usia, Martin. Masalah kita lebih rumit lagi." Sekaranglah saatnya, pikir Anastasia. Setelah melewati shock-nya yang pertama, sekarang dia lebih siap untuk menerima shock berikutnya.
"Aku tidak mengerti!"
"Hubungan kita ini sudah bertentangan dengan norma susila, Martin."
"Hanya karena kita tidak memiliki surat nikah, kan? Hanya karena secarik kertas itu saja, kan? Kalau begitu mengapa kau tidak mau menikah saja denganku? Dengan demikian segalanya menjadi resmi dan terhormat!"
"Tidak segampang itu."
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa tidak? Kau janda, aku bujang, tak ada suatu pun yang menghalangi maksud baik kita kalau kita mau. Kita bisa membuat surat nikah kapan saja, kita sudah akil balik dan kita tidak memerlukan persetujuan siapa pun!"
"Tidak, Martin. Ada satu hal yang kau harus tahu. Hubungan kita ini sudah merupakan suatu incest."
"Incest'? Apa itu?" tanya Martin
"Incest adalah suatu hubungan seksual antara orang-orang yang dilarang baik oleh normanorma susila maupun agama misalnya hubungan seksual antara bapak dengan anak gadisnya, antara sesama saudara kandung, antara bapak dengan anak tirinya, dan
sejenisnya."
"Apa kaitannya dengan kita? Di antara kita tidak ada hubungan darah!" bantah Martin.
Anastasia menunduk. Sekaranglah saatnya!
"Begini,Tin, sebetulnya... sebetulnya aku bisa dikategorikan sama dengan posisi ibu tirimu."
Martin mengernyitkan dahinya.
"Aku tidak mengerti!"
"Ayahmu dan aku... dulu kami adalah kekasih."
"Bapak?" Martin melompat dari kursinya. Hatinya begitu terkejut seakan tersentuh aliran listrik tegangan tinggi.
Anastasia mengangguk.
"Ya, waktu itu kau masih kecil, masih sekitar lima-enam tahun."
"Mbak bohong! Mbak bohong! Aku tidak percaya!"
"Aku sendiri pun tidak pernah menyangkanya,Tin, kalau bukan ayahmu yang kemari mencari aku."
"Ayahku kemari?"
"Ayahmu sendiri kemari juga tanpa mengetahui bahwa perempuan yang sekarang berhubungan dengan anaknya adalah kekasihnya sendiri dulu. Bahkan ayahmu sudah tidak mengenali aku lagi."
"Kalau begitu pasti kau yang salah! Kekasihmu dulu pasti bukan ayahku!"
"Dengar, Martin. Belasan tahun yang lalu aku adalah salah seorang mahasiswa ayahmu. Aku jatuh hati padanya. Aku lalu menjadi salah seorang tenaga perawatnya di tempat prakteknya supaya kami bisa selalu bersama-sama. Kami menjalin hubungan yang akrab-seperti suamiistri. Tapi suatu saat aku dikecewakannya. Aku pergi ke Jakarta, meninggalkan studiku dan terjun ke bidang permodelan. Aku mengganti namaku, aku hidup belasan tahun di Jakarta dan kecuali kunjungan singkat ke rumah orang tuaku, aku tak pernah lagi tinggal di Surabaya. Lalu aku kembali kemari. Banyak tahun telah lewat di antara kepergian dan kepulanganku ke kota kelahiran ini, tetapi aku tak mungkin melupakan wajah ayahmu! Tidak, Martin, aku tidak salah mengenali orang! Ayahmu adalah Dokter Hariono, ahli kandungan kekasihku dulu!"
Martin menangis. Seperti seorang anak kecil yang terjatuh dari atas sepeda, dia
menangis tersedu-sedu.
"Tin," Anastasia mengusap-usap bahu pemuda itu,
"kau mengerti sekarang, bukan? Kita tak dapat meneruskan hubungan ini walaupun seandainya kita mau. Apalagi memang sejak semula ikatan ini tidak berimbang. Aku terlalu tua bagimu, hidupku juga penuh noda, penuh sejarah yang hitam. Karena itu tak ada untungnya bagimu berkumpul dengan aku."
"Selalu Bapak! Selalu Bapak!" sedan Martin.
"Dia selalu merampas apa yang terbaik dalam hidupku, merusak apa yang terindah bagiku! Dia membuat ibuku menderita karena affair-affair-nya di luar, dia memaksaku angkat kaki dari rumah dengan membawa pulang perempuan bawel itu, dan sekarang sekarang dia merebut satu-satunya orang yang kucintai! Aku selalu dirugikan olehnya! Aku selalu dirugikan!" Martin melolong.
"Martin," bisik Anastasia,
"kita tidak punya pilihan lain. Kita harus putus."
"Aku mencintaimu, Mbak! Aku mencintaimu! Mengapa kita harus putus?"
"Jangan mencintai aku terus, Martin. Itu haram sekarang!"
"Tapi aku tidak bisa tidak mencintaimu! Kau adalah segalanya bagiku, Mbak, selamanya. Bagaimana tiba-tiba begini kita harus putus?"
"Lihatlah aku, Martin," kata Anastasia tenang.
"Lihatlah aku!"
Pemuda itu mengangkat kepalanya. Air mata bercampur ingus berlepotan di seluruh wajahnya.
"Apa yang kaulihat di hadapanmu adalah seorang perempuan tua yang bobrok moralnya yang bekas kekasih gelap ayahmu yang ikut menghancurkan hati ibumu! Seharusnya kau membenci aku, Martin. Bencilah aku! Itu akan membuatmu lebih mudah untuk menerima keadaan ini. Bencilah aku, Martin!"
Dan Martin menangis terisak-isak di dada Anastasia.
****
"HALO, Frans!"
Suara di seberang terdengar jelas dan tajam.
"Aaah, Pak Hariono ini?"
"Ya. Saya sudah menelepon beberapa kali, Anda selalu tidak ada. Ke mana saja?"
"Kebetulan keluar, Pak. Memangnya ada perlu nih mencari saya?"
"Lho, masa Anda lupa? Sudah empat bulan ini saya tidak menerima pembagian keuntungan. Bagaimana Anda ini! Janji kita kan setiap bulan Anda mengirimi saya pembagian keuntungan. Lha kok tiba-tiba macet?"
Suara di seberang tertawa renyah.
"Waduh, masa Pak Hariono tidak tahu? Akhirakhir ini bisnis segala sepi! Usaha kita tak bedanya dengan usaha-usaha lain, Pak. Semuanya mengalami resesi. Kalau dulu se
tiap hari pengunjung selalu penuh, sekarang sepi, kalau terisi seperempat saja saya sudah senang. Penghasilan kita belakangan cuma cukup buat nutup ongkos saja, Pak. Nggak ada untungnya sedikit pun!"
"Ah, saya tidak percaya! Baru dua hari yang lalu saya mampir ke sana, pengunjung tetap ramai!"
"Lho, kapan Pak Hariono datang? Kok tidak mencari saya?"
"Oh, saya kebetulan sedang bersama tamu pada waktu itu."
"Oh, begitu. Tapi ini bicara sungguh-sungguh, Pak. Bisnis memang sepi. Cuma malam Minggu saja yang masih bisa kita andalkan, hari-hari lainnya seperti menghitung lalat!"
"Saya sih percaya kalau bisnis sekarang lebih sepi dari biasanya, tapi keadaan juga tidak seburuk yang Anda gambarkan. Dua malam yang lalu saya lihat separuh dari meja-meja itu terisi dan ketika saya pulang sekitar pukul sepuluh, tamu-tamu masih berdatangan."
"Mungkin kebetulan hari itu saja, Pak! Saya tidak bohong, nih. Memang bisnis sepi kok. Saya minta maaf deh, belum bisa mengirim apa-apa. Kalau dipaksakan usaha kita
akan bangkrut. Sekarang ini setiap rupiah kita butuhkan untuk modal operasi, Pak. Saya yakin Pak Hariono pasti mengerti. Apalagi Pak Hariono kan punya sumber penghasilan lain yang tidak pernah sepi. Praktek dokter itu paling enak lho, Pak! Justru waktu resesi begini tambah banyak orang yang stress tambah banyak penyakit yang timbul ke permukaan. Bisnis dokter panen!"
"Anda bicara ngawur saja! Saya kan ahli kandungan! Kalau interm'st dan neurolog sih memang iya, orang stress terus kena sakit liver, sakit maag, sakit saraf!"
"Tapi dengan adanya program KB ini bisnis Pak Hariono kan juga membubung! Malah untung, lho, Pak, usaha Anda ditunjang Pemerintah! Masyarakat semakin sadar bahwa pengendalian kelahiran itu perlu."
"Itu kan program Puskesmas dan Klinik KB," kata Hariono.
"Lho, yang datang ke Puskesmas segala itu kan cuma dari golongan ekonomi lemah. Yang berduit kan mencari dokter spesialis!"
"Lho, ini kok malah melantur membicarakan bidang praktek dokter, Frans? Yang menjadi topik sekarang kan soal niteclub Anda! Saya tidak setuju kalau Anda menil
"Jangan dipikirkan, nanti kami antar Anda sampai di kantor dan kami beri penjelasan majikan Anda," kata Kosasih.
"Lalu bagaimana?"
"Saya keluar dari kampung, terus berjalan lewat di sini, Pak. Sambil berjalan saya menunggu lewatnya bus. Mobil ini sudah ada di sini. Ketika melewatinya, eh, iseng-iseng kok saya melongok ke dalam mobil dan saya lihat tuan itu kok menelungkup di atas setir. Saya pikir, wah si sopir ini mungkin mengantuk dan daripada nanti nubruk di jalan, dia memilih untuk tidur sebentar dulu.
"Saya tidak memperhatikan lebih lanjut, saya bermaksud meneruskan perjalanan saya. Saya lewat di samping mobil tapi pada saat itu saya sempat melihat sebagian dari wajahnya. Matanya setengah terbuka dan duduk kepalanya kok aneh, pikir saya. Masa iya enak tidur begitu dengan dahi membentur setir sedangkan kedua tangannya menggantung begitu saja ke bawah. Jadi saya mulai curiga. Jangan-jangan orang ini bukannya tidur, tapi sedang sakit...
"Saya ketuk-ketuk daun jendelanya yang tertutup rapat. Lalu saya mulai berpikir, lha kalau semua jendelanya tertutup rapat,
bagaimana orang ini bisa bernapas-kan tidak ada udara yang masuk? Saya lebih yakin lagi bahwa orang ini tidak sekadar tidur saja. Apalagi setelah saya ketuk jendelanya keraskeras, dia tetap diam saja. Saya lalu mencari bantuan.
"Saya berlari ke rumah terdekat dan saya tanyakan apakah ada telepon di sana. Untungnya itu rumah kepala bank apa begitu, dan dia punya telepon. Saya minta diteleponkan ke polisi yang terdekat. Bapak itu menelepon ke kantor Polda, dan oleh Polda saya disuruh menunggu di sini sampai mereka datang."
"Terima kasih, Pak Hamid. Selama Anda menunggu di sini sampai polisi datang, tidak ada orang yang mendekati mobil ini?"
"Wah, banyak."
"Lalu ke mana mereka sekarang?"
"Saya suruh bubar, Pak," kata Kopda Adi.
"Ketika kami datang orang-orang itu pada mengerumuni mobil ini sampai saya tidak bisa melihat mobilnya sama sekali."
"Rumah sakit sudah dihubungi?"
"Sudah, Pak. Juga Labkrim."
"Bagus, sebentar lagi tentu mereka tiba."
"Pintunya masih terkunci, Pak, dan kunci mobil saya lihat ada tergantung di dalam,"
kata Kopda Adi.
"Biar nanti dibuka oleh orang-orang Labkrim. Mereka punya peralatannya."
"Sayangnya mobil ini tidak ditemukan lebih awal," kata Kopda Adi,
"sebelum banyak orang turun ke jalan. Labkrim nanti pasti kesulitan menyidiknya habis, orang satu kampung tadi bergerombol di sini semua. Mereka pasti telah meninggalkan sidik jari mereka di seluruh permukaan mobil ini."
"Tapi bagian dalam mobil kan bersih. Untung kuncinya ada di dalam sehingga penonton tidak bisa membuka pintu," kata kosasih.
Mereka menunggu sampai orang-orang Labkrim datang dan tak lama lagi disusul oleh ambulans.
"Lagi-lagi kau, Kos!" kata Dokter Leo yang turun dari ambulans.
"Tumben kau datang sendiri," seringai Kosasih. Dokter Leo sudah pernah bekerja sama dengannya beberapa kali dan mereka saling menghargai profesi masing-masing.
"Ah, kebetulan yang lain-lain lagi sibuk. Aku sudah firasat nih. Kalau sudah melihat kau, pasti ada orang yang mati! Kau kok seperti malaikatulmaut saja sih, Kos!"
Mereka terbahak.
"Bagaimana?"tanya Dokter Leo menunggu orang-orang Labkrim membuka pintu mobil.
"Biasa-biasa saja," kata Kosasih.
"Tiap hari mengejar saksi."
"Asal yang dikejar cantik saja, kau nggak perlu mengeluh," senyum Dokter Leo.
"Oh, kadang-kadang memang begitu. Tapi kalau sudah jelek, beratnya seratus kilo, ceriwisnya nggak ketulungan. rasanya aku ingin cepatcepat pensiun saja."
Pintu terbuka. Dokter Leo segera melongokkan kepalanya ke dalam. Dirabanya denyut nadi sosok yang tertelungkup itu untuk memastikan apakah memang benar-benar sudah mati atau cuma pingsan. Yang didapatinya adalah tangan yang dingin dan kaku.
"Sudah mati lama, nih, Kos. Mungkin sudah sejak kemarin malam," kata Dokter Leo.
"Persisnya'?"
"Paling sedikit sudah sepuluh jam yang lalu. Tapi kita akan tahu lebih banyak setelah diotopsi."
"Sebab kematian?"
"Lha ini lubang di dadanya. Melihat posisi lubang, luka sangat dekatjantung, boleh jadi malah kena jantung dan dia mati seketika."
"Pisau?"
"Lha itu masih ada di lantai mobil," kata Dokter Leo."
"Jangan disentuh. Pisau itu akan kami sidik," kata salah seorang petugas Labkrim.
Setelah jenazah dikeluarkan dan dibawa dalam ambulans, Kosasih berkata kepada orang-orang, Labkrim,
"Ambil sebanyak mungkin sidik di bagian dalam mobil, setelah itu bawalah mobil ke lab saja untuk diteliti lebih cermat."
"Ya, Pak."
"Pak Hamid sekarang boleh ikut kami," kata Kosasih kepada orang tua yang masih menunggu itu.
"Kami antarkan ke tempat kerja Anda sekalian memberikan penjelasan kepada majikan Anda."
"Oh, iya, Pak, iya!"
"Pak Hamid selalu berangkat pagi-pagi?" tanya Gozali untuk pertama kalinya ikut bicara.
"Iya, Pak. Tempat kerja saya kan jauh dari sini. Saya harus naik bus. Kalau tidak berangkat pagi. bus selalu penuh dan saya bisa terlambat sampai di kantor."
"Pulangnya pukul berapa?"
"Dari kantor ya pukul setengah lima, terkadang pukul lima begitu, tidak tentu. Sampai di rumah bisa pukul enam setengah tujuh-bahkan sampai jam tujuh kalau jalanan macet."
"Kemarin pulang pukul berapa?"
"Sampai di rumah pukul setengah tujuh, Pak."
"Sudah melihat mobil ini di sini, belum?"
"Kemarin? Kemarin tidak tahu, Pak. Kemarin waktu pulang jalanan masih ramai, saya tidak memperhatikan."
"Jadi pertama kalinya Anda melihat mobil itu adalah tadi pagi?"
"Betul. Pak."
"Mayat itu bernama Dokter Hariono," kata Kosasih membaca laporan Kopda Adi siang itu.
"Berusia lima puluh enam tahun, dan ini alamat rumahnya," katanya menyodorkan catatan kecil anak buahnya kepada Gozali.
"Keluarganya sudah diberi tahu?" tanya sahabatnya.
"Itu tugas kita sekarang."
kadang pukul lima begitu, tidak tentu. Sampai di rumah bisa pukul enam setengah tujuh bahkan sampai jam tujuh kalau jalanan macet."
"Kemarin pulang pukul berapa?"
"Sampai di rumah pukul setengah tujuh, Pak."
"Sudah melihat mobil ini di sini, belum?"
"Kemarin? Kemarin tidak tahu, Pak. Kemarin waktu pulang jalanan masih ramai, saya tidak memperhatikan."
"Jadi pertama kalinya Anda melihat mobil itu adalah tadi pagi?"
"Betul. Pak."
"Mayat itu bernama Dokter Hariono," kata Kosasih membaca laporan Kopda Adi siang itu.
"Berusia lima puluh enam tahun, dan ini alamat rumahnya," katanya menyodorkan catatan kecil anak buahnya kepada Gozali.
"Keluarganya sudah diberi tahu?" tanya sahabatnya.
"Itu tugas kita sekarang."
Mereka berangkat ke sebuah rumah yang cukup besar dan mewah didaerah Jalan Raya Gubeng. Halamannya luas, diperindah oleh pelbagai tanaman perdu.
Seorang pembantu rumah tangga keluar memenuhi bel mereka.
"Nyonya Dokter ada di rumah?" tanya Kosasih.
"Oh, ada, Tuan, silakan masuk," kata si pembantu yang segera bergegas ke belakang. Seragam Kosasih dengan tanda pangkat di bahunya membuatnya sedikit takut.
Tak lama kemudian keluarlah seorang perempuan yang berusia sekitar awal empat puluhan. Wajahnya polos tanpa make-up. Dia mengenakan sehelai daster panjang. Rambutnya tampak kusut, mungkin baru bangun tidur. Istri macam apa ini pada pukul sebelas begini masih kelihatan kapel, pikir Kosasih. Padahal suaminya semalam tidak pulang!
"Ya?" tanya perempuan itu.
"Ada perlu apa, Pak?"
"Kami dari Polda Jawa Timur, Bu. Kami ingin tahu kapan terakhir kalinya Anda melihat atau mendengar berita dari suami Anda."
Perempuan itu membuka mulutnya, matanya melebar.
"Lho! Ini ada apa toh, Pak?" tanyanya heran.
"Kami sedang mengusut suatu kasus dan kami ingin tahu kapan terakhir kalinya Anda bercakapcakap dengan suami Anda."
"Kok aneh banget pertanyaan Anda. Kapan seorang istri terakhir bertemu dengan suaminya? Tentu saja sebelum dia berangkat kerja tadi pagi!" jawab Berta Hariono.
"Tadi pagi?" tanya Kosasih.
"Tadi pagi pukul berapa?"
"Pukul... hm, pukul tujuhan begitu. Suami saya setiap hari berangkat pukul tujuh."
Pukul tujuh sempat melihat suaminya berangkat lha kok pukul sebelas masih belum mandi? pikir Kosasih. Kepada perempuan itu dia berkata,
"Jadi sampai pukul tujuh tadi pagi suami Anda masih di rumah?"
"Ya, tentu saja di rumah! Habis Anda kira di mana?" Berta balas menanya.
Kosasih berpaling pada Gozali. Pandangan bingung.
"Tolong berilah kami deskripsi tentang suami Anda," kata Gozali mengambil alih wawancara.
Berta Hariono berpaling padanya. Ini tentu reserse, pikirnya.
"Maksud Anda bagaimana?"
"Maksud kami bagaimana perawakannya, apakah gemuk, kurus, tinggi, pendek, berapa usianya, pada waktu meninggalkan rumah berpakaian apa, apakah dia naik mobil atau tidak, apakah berkaca mata, pokoknya keterangan lengkap yang bisa membantu kami mengenali suami Anda."
"Untuk apa? Saya benar-benar heran kok tibatiba polisi kemari mengajukan pertanyaan-pettanyaan yang aneh begini!"
"Begini, Bu, kami menemukan seseorang yang mungkin merupakan korban kecelakaan. Orang ini membawa surat-surat identitas dengan nama dan alamat suami Anda di sini. Kami ingin tahu apakah korban benar suami Anda, atau orang lain yang meminjam surat-suratnya."
"Oh!" Nyonya rumah tampak kaget.
"Jadi bagaimana, Bu Hariono, tolong jelaskan ciri-ciri suami Anda."
"Suami saya... suami saya berperawakan tinggi, berat badannya sedang, rambutnya agak tipis di bagian tengah, tidak berkaca mata kecuali bila sedang membaca. Dia mengemudikan mobil Peugeot 505 warna
krem."
"Dan kapan terakhir Ibu berbicara dengannya'?"
"Eh... eh... tadi pagi."
"Pukul tujuh?"
"Ya... ya, pukul tujuh."
Dari kegugupan perempuan itu Gozali tahu bahwa si nyonya rumah sedang berbohong.
"Kalau begitu korban ini bukan suami Anda," katanya.
"Kecelakaan itu terjadinya jauh lebih pagi dari pukul tujuh tadi."
Nyonya Hariono merasa terperangkap. Gozali berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh kapten polisi temannya.
"Kalau begitu, kami permisi, Bu," kata Kosasih mengangguk hormat.
Kedua laki-laki ini telah sampai di pintu depan ketika Nyonya Berta Hariono memanggil mereka.
"Tunggu, Pak! Siapa... siapa korban kecelakaan ini, dan apakah lukanya parah?" tanyanya.
"Kalau dia bukan suami Anda, tidak ada hubungannya dengan Anda, bukan?" jawab Gozali.
"Eh, mungkin... mungkin tadi saya salah
melihat jam. Mungkin bukan pukul tujuh pagi ketika suami saya meninggalkan rumah."
"Mungkin tadi pagi dia tidak berangkat dari rumah ini juga," kata Gozali.
"Mengapa tidak Nyonya ceritakan yang sebenarnya saja?"
Berta Hariono tampak sangat tidak tenang. Dia meremas-remas tangannya.
"Eh... eh, iya, suami saya semalam tidak pulang," katanya pada akhirnya.
"Mengapa tadi Anda pakai berbohong segala?" tanya Kosasih.
"Saya... saya tidak tahu apa maksud Anda menanyakannya. Sebagai istri... saya tidak ingin ketidakpulangannya semalam diketahui orang. Saya kan malu."
"Mengapa malu?"
"Kan... kan memberikan kesan yang jelek tentang suami saya kalau dia tidak tidur di rumah," kata si nyonya.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seringkah Dokter Hariono tidak pulang?"
"Belum pernah, biasanya biarpun malam datangnya dia pasti pulang."
"Tahukah Anda mengapa kemarin malam dia iidak pulang?"
"Saya tidak tahu."
"Apakah Anda berusaha mencarinya?"
"Saya tidak menyangka dia tidak pulang. Saya menunggunya sampai malam, bahkan sampai pagi. Ketika sudah pukul tujuh pagi dia masih belum pulang, saya baru masuk tidur. Saya baru dibangunkan ketika Bapak-bapak ini datang."
"Biasanya pukul berapa suami Anda pulang?"
"Tidak tentu, terkadang pukul sepuluh, terkadang sampai tengah malam, pukul satu atau pukul dua."
"Ke mana saja dia kalau sampai larut malam begitu?"
"Sehabis praktek biasanya Bapak kontrol di kliniknya dan memeriksa buku-buku administrasi klinik. Hal itu baru bisa dikerjakannya sehabis praktek."
"Bisakah Anda menebak mengapa hari ini dia tidak pulang?" tanya Gozali.
"Saya tidak tahu. Kemarin pukul tujuh malam dia pulang, lalu pergi lagi. Katanya rapat. Itulah terakhir kalinya saya melihatnya."
"Dia tidak mengatakan rapat di mana?"
"Tidak. Bapak jarang membicarakan urusannya di luar dengan saya."
"Dia tidak menelepon Anda?"
"Tidak."
"Anda juga tidak meneleponnya?"
"Saya tidak tahu harus meneleponnya di mana."
"Tidak Anda coba ke kliniknya?"
"Tidak. Suami saya tidak suka diganggu kalau sedang bekerja. Saya tidak pernah meneleponnya di klinik."
"Kira-kira apa dugaan Anda tentang ketidakpulangan suami Anda ini?" tanya Kosasih.
"Saya kira rapatnya mungkin berakhir larut malam, lalu dia terus ke klinik dan tadi pagi tidak sempat pulang sebelum berangkat ke tempat dinasnya di RSU."
"Baiklah, kalau begini sebaiknya Anda sekarang ikut kami," kata Kosasih.
"Ikut Anda? Melihat suami saya?"
"Ya."
"Parahkah lukanya, Pak?"
"Silakan Anda lihat saja sendiri nanti. Apakah masih ada anggota keluarga yang lain di rumah? Anak-anak?" tanya Kosasih.
"Tidak, Pak. Cuma saya dan suami saja yang tinggal di sini."
"Anda tidak punya anak?"
"Suami saya punya, tapi dia tidak tinggal bersama kami."
"Suami Anda? Maksudnya bagaimana?"
"Eh,... itu anaknya dari istrinya yang pertama, Pak. Istri pertamanya sudah meninggal."
"Oh, sudah berapa lama Anda menikah?"
"Enam tahun."
"Anaknya ini di mana?"
"Oh, eh Martin bekerja di biro model Madona, Pak."
"Baiklah, kita berangkat dulu. Nanti setelah Anda yakin korban memang suami Anda, Martin bisa diberi tahu juga. Berapa usianya?"
"Dua puluh tiga."
Mereka berangkat.
Ruang tunggu di dekat kamar bedah di mana Dokter Leo beserta stafnya sedang mempersiapkan otopsi atas jenazah Dokter Hariono dipenuhi oleh cukup banyak orang. Seluruh karyawan biro model Madona ada di sana termasuk Anastasia. Wajah mereka
menampakkan keprihatinan. Kematian telah datang menyentuh kehidupan salah seorang rekan mereka. Hal ini mengingatkan bahwa pada suatu saat kehidupan mereka sendiri pun akan tersentuh. Maut tidak pandang bulu, datangnya sewaktu-waktu, seenaknya. Tamu yang tak pernah diundang namun tak dapat ditolak.
Martin dan ibu tirinya masih berada di dalam bersama Kapten Kosasih, Gozali, dan tim Dokter Leo. Pedih rasanya hati Anastasia melihat keruntuhan mental yang tercermin dalam mata Martin ketika menerima telepon dari polisi tadi. Itulah sebabnya dia merasa perlu untuk mengantarkan Martin sendiri ke rumah sakit. Pada saat ini Martin betul-betul membutuhkan dukungannya setelah dia kehilangan satu-satunya orang tuanya yang masih sisa.
Karyawan-Karyawan Madona berbisik-bisik satu sama lain. Masing-masing membuat spekulasi atas apa yang telah terjadi. Memang setiap hari ada orang yang mati, tapi orang yang mati terbunuh adalah hal yang tidak terlalu lazim.
Mereka semuanya menunggu dengan gelisah. Entah apa yang diperbincangkan di
dalam. Rekan-rekan Martin yang ikut hadir sebagai tanda solidaritas mereka atas musibah yang menimpa salah seorang temannya, mulai merasa jemu.
"Kita berkabung berapa hari, Bu?" tanya Siska membuyarkan lamunan Anastasia.
"Apakah kantor perlu ditutup atau bagaimana?"
"Ah, nggak perlu sampai menutup kantor segala, Sis," kata Anastasia.
"Kita gantian saja yang pergi melayat."
"Serem ya, Bu, mati kok sampai dibunuh!" bisik Siska.
"Iya," kata Anastasia datar.
"Kasihan Martin, dia tentu merasa berdosa. Belum sempat rujuk dengan ayahnya sudah keduluan meninggal."
"Ya."
Anastasia tahu bahwa Siska tahu Martin tinggal di rumahnya. Sebetulnya semua karyawannya pun tahu hanya mereka masih tidak yakin bahwa Martin betul-betul telah menjadi kekasih Anastasia. Boleh jadi pemuda itu hanya sekadar kos di sana berhubung dia merasa tidak cocok tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Tak ada yang berani menanyakan hal ini kepada Anastasia mau
pun Martin, karena itu kesangsian itu tinggal tidak terjawab.
Tak lama kemudian Martin keluar. Di belakangnya mengikut si kapten polisi, lalu ibu tirinya, dan terakhir lelaki jangkung kurus yang tadi berada bersama kapten polisi itu.
"Yuk. pulang," kata Martin kepada Anastasia. Wajahnya kusam dan murung. Lebih murung daripada dua hari yang lalu setelah Anastasia memberitahukan rahasianya kepada anak muda itu.
"Sebaiknya kau pulang bersama ibu tirimu, Martin,"bisik Anastasia.
"Tidak baik dilihat orang kau tidak menemaninya."
"Tidak! Aku benci padanya!"
"Kalian sama-sama baru kehilangan orang yang terdekat, Martin. Mengapa kalian tidak bisa saling menghibur?" kata Anastasia. Dari sudut matanya dia melihat bahwa kapten polisi itu dan temannya yang jangkung masih bercakap-cakap dengan janda Hariono.
"Aku tidak merasa kehilangan," desis Martin.
"Dia tidak pernah menjadi ayah bagiku. Dia tak pernah hadir dalam hidupku. mana aku merasa kehilangan sesuatu yang tak pernah kumiliki?"
"Dia sudah meninggal, Martin," kata Anastasia.
"Maafkanlah dia."
Martin diam saja.
"Lagi pula kau sebaiknya pulang bersama ibu tirimu. Tidakkah kau merasa berkepentingan dengan harta yang ditinggalkan ayahmu?" kata Anastasia.
Mata Martin melebar, seperti baru bangun dari tidur.
"Kau betul," bisiknya.
"Aku tak akan membiarkan perempuan itu menguasai seluruh harta! Dia tak berhak atasnya! Itu hak ibuku almarhumah! Hakku!"
"Kalau begitu sebaiknya kaubicarakan dengan jelas bersamanya," bujuk Anastasia.
"Bicarakan baik-baik, jangan bertengkar"
"Tak perlu dibicarakan.," desis Martin berpaling pada ibu tirinya dengan pandang kebencian.
"Dia tidak akan mendapatkan sepeser pun dariku."
"Aku kira sebaiknya kau minta nasihat seorang pengacara dulu, Martin. Menurut hukum setiap istri itu berhak atas harta suaminya yang meninggal. Janganlah bertindak gegabah. Kalau kau berbuat sewenang-wenang terhadapnya, dia bisa ganti menuntutmu."
"Tidak semudah itu," bisik Martin,
"Tapi kau benar. Mbak. Aku harus mengamankan
barangbarang peninggalan orang tuaku dulu sebelum tangannya sempat meraih apa pun!"
Saat itu Nyonya Berta Hariono juga telah selesai berbicara dengan kedua petugas polisi dan berjalan menghampiri mereka.
"Ibu pulang dulu," katanya kepada Martin.
"Bagaimana dengan kau?"
"Saya juga pulang bersama," kata Martin. Kepada Anastasia dia berbisik,
"Aku duluan. Nanti kutelepon!"
Nyonya Hariono memandang satu kali pun tidak kepada Anastasia. Dia cepat-cepat bergegas meninggalkan mereka seakan-akan takut kejangkitan penyakit menular.
Anastasia sempat melihat bahwa mata perempuan itu kering.
"Anda masih kerabat dari keluarga Hariono?" Kosasih mendekat.
"Oh, bukan, kami rekan-rekan sekantor Martin,"kata Anastasia menunjuk karyawan karyawan yang lain.
"Dan Anda?"
"Saya... saya Nyonya Castillo, saya yang mempunyai biro model Madona. Martin adalah karyawan saya."
"Ooooh!" kata Kosasih mengangguk sinis.
Anastasia sangat tidak senang mendengar "Ooooh" itu. Apa maksud polisi ini? Pertanyaan yang sempat timbul di hatinya terjawab detik berikutnya ketika Kosasih melanjutkan bicaranya.
"Jadi Saudara Martin ini tinggal di rumah Anda toh?"
Anastasia mengangkat alisnya. Rupanya janda Hariono telah menceritakan hal itu kepada polisi ini.
"Ya," kata Anastasia mengangguk. Lebih baik berterus terang mengenai hal ini sekarang daripada polisi itu bertanya kepada yang lain. Toh hal begini tak dapat disimpan terus. Setiap orang senang mendengar berita skandal. Semakin kabar itu ditekan, semakin santer bunyinya.
"Martin tinggal di rumah saya. Dia merasa tidak cocok dengan ibu tirinya dan kebetulan di rumah saya masih ada kamar yang kosong. Rumah saya cukup besar. Karena itu saya tidak berkeberatan Martin tinggal bersama saya." kata Anastasia berharap suaranya bisa meyakinkan polisi ini.
"Dan sudah berapa lamanya Martin mondok di rumah Anda?" tanya Kosasih.
"Oh, sekitar lima bulan kurang lebih,"
sahut Anastasia.
"Menurut Nyonya Hariono, Saudara Martin sudah tiga tahun lebih tidak tinggal di rumah orang tuanya, tetapi di rumah Anda baru lima bulan?"
"Ya, sebelum dia tinggal di rumah saya dia tinggal di rumah teman-temannya."
"Bagaimana ceritanya sampai dia bisa pindah ke rumah Anda?"
"Oh, suatu kali dia pernah terluka oleh penodong. Saya khawatir di rumah teman-temannya tidak ada yang merawat, maka saya minta dia tinggal di rumah saya sementara. Ternyata setelah dia sembuh, Martin memilih untuk tetap tinggal bersama saya."
"Mengapa?"
"Saya kira dalam hatinya Martin merindukan kehangatan suasana suatu rumah tangga. Bersama teman-temannya yang semuanya bujang, mungkin suasana itu tidak ada di rumah kontrakan mereka. Di rumah saya dia bisa mengikuti suatu kehidupan rumah tangga yang normal. Kami makan malam bersama, nonton TV bersama, makan pagi bersama, persis seperti ketika ibu kandungnya masih hidup."
Dan mungkin juga tidur bersama, pikir Gozali memperhatikan perempuan cantik itu berbicara. Perempuan ini memang cantik sekali, cantik dan anggun, sulit untuk menebak usianya. Menilai wajah dan potongan tubuhnya, orang cenderung menilainya berusia sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun. Tapi dia sudah memiliki ketenangan dan rasa percaya diri yang umumnya baru dimiliki perempuan-perempuan di atas tiga puluh lima. Jadi usianya tentulah lebih tua dari penampilannya. Berapa? Tiga puluh dua? Tiga puluh lima? Empat puluh?
Malaikat Keadilan Rage Of Angels Karya Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama