Ceritasilat Novel Online

Misteri Keempat Wajah Anastasia 5

Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd Bagian 5



"Kenalkah Anda pada Dokter Hariono, ayah Martin?" tanya Kosasih.

"Saya eh, tidak... tidak, saya tak pernah mengenalnya," kata Anastasia sedikit gugup.

"Apakah Anda mengetahui apa-apa yang bisa membantu polisi mengusut kasus pembunuhan ini.

"Wah, tentu saja tidak, Pak Kapten," senyum Anastasia.

"Saya sama sekali tidak tahu apa-apa."

"Kalau begitu kami juga tidak akan menahan Anda dan rombongan Madona lebih lama lagi," kata Kosasih sambil memberikan senyumnya yang paling manis. Dia terpikat

juga oleh perempuan cantik ini.

"Anda sekalian boleh meninggalkan tempat ini."

"Terima kasih, Pak Kapten," kata Anastasia yang lalu menggapai Siska yang berdiri tak jauh dari tempatnya

"Yuk, Sis, kita pulang!" kata Anastasia.

Siska dan kawan-kawannya mengangguk dan mereka meninggalkan tempat itu bersama-sama.

***

"MENURUT visum ternyata korban tidak mati di belakang kemudi mobilnya," kata Kosasih membaca laporan Dokter Leo.

"Dia sudah mati dalam posisi tersungkur sebelumnya. Mayatnya sudah kaku ketika dipindahkan ke belakang kemudi mobilnya. Itulah sebabnya letak tangannya dan cara tubuhnya melipat ke depan tidak cocok dengan posisi orang yang jatuh terkulai secara wajar di atas kemudinya.

"Ajal terjadi antara pukul delapan dan sebelas malam sebelum mayat ditemukan, penyebabnya adalah sebuah tusukan yang tepat mengenai jantungnya. Korban meninggal seketika.

"Leo berhasil menemukan kadar alkohol yang cukup tinggi dalam darahnya, berarti sebelum ajal menjelang, korban telah minum

cukup banyak minuman keras."

Kosasih menutup laporan itu dan mencopot kaca matanya, mengusap-usap pangkal hidungnya lalu berkata kepada sahabatnya yang duduk dengan santai di hadapannya.

"Bagaimana menurutmu?"

Gozali mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum menjawab,

"Yang terlibat berarti lebih dari satu orang."

"Ya, kau benar."

"Satu orang tak mungkin bisa mengangkat mayat itu sendiri untuk didudukkan di dalam mobil."

Kosasih mengangguk.

"Mengingat di mana mobil korban bersama mayatnya ditinggalkan, pasti ada mobil lain yang mengikuti Peugeot 505 itu. Kalau tidak bagaimana orang yang mengemudikan mobil Peugeot itu bisa kembali? Tak mungkin malam-malam mencari pengangkutan umum."

Gozali mengangguk, mengisap rokoknya lagi.

"Laporan dari Abbas Tobing masih belum masuk," kata Kosasih.

"Coba kutelepon, mungkin dia sudah bisa memberikan garis

besarnya."

Abbas Tobing dari Labkrim ternyata memang sedang mempersiapkan laporan tertulisnya mengenai kasus ini.

"Tidak banyak yang bisa membantumu kali ini, Kos," katanya.

"Pisau yang ditemukan di lantai mobil ternyata bersih dari sidik jari."

"Sudah kuduga akan begitu," gumam Kosasih kesal.

"Penjahat sekarang tambah pintar saja. Terlalu banyak menonton film dan belajar darinya. Bagaimana dengan mobilnya sendiri? Apakah kau berhasil mendapatkan sidik jari di sana?"

"Bagian luarnya sudah tidak memungkinkan, seluruh body mobil, termasuk tangkai pintu, pintu, dan jendelanya sudah penuh dengan sidik jari yang saling tumpang tindih. Tentunya itu berasal dari tangan orangorang yang mengerumuni mobil pada waktu jenazah ditemukan. Bagian dalamnya lebih bersih, kebanyakan adalah sidik jari korban sendiri. Yang lain-lain tidak jelas dan tampaknya sudah sidik yang lama karena banyak ditumpangi sidik korban di atasnya."

"Bagaimana dengan tangkai kemudi? Dokter Leo menarik kesimpulan bahwa

korban tidak dibunuh di dalam mobil. Posisi badannya tidak cocok dengan posisi yang wajar seandainya dia memang tersungkur di atas tangkai kemudi. Berarti pasti ada orang yang memindahkan mobil plus korban ke tempat di mana mobil itu akhirnya ditemukan."

"Tangkai setirternyata juga bersih dari sidikjari', Kos, sudah dilap bersih seluruhnya," kata Abbas Tobing.

"Buset! Bagaimana dengan tongkat persneling?"

"Sama! Tapi jangan berkecil hati. Seseorang ternyata lupa menghilangkan sidik jarinya dari satu tempat."

"Di mana?"

"Tombol lampu! Aku menemukan sidik ibu jari yang masih baru di sana yang bukan milik korban."

"Bagus! Paling tidak sekarang kita bisa melacaknya," kata Kosasih.

"Problemnya sedikit lebih rumit, Kos. Sidik ini tidak cocok dengan contoh-contoh sidik keluarganya yang kaukirimkan padaku."

"Semuanya tidak cocok?" kata Kosasih dengan kecewa.

"Semuanya."

"Oke, Bas, terima kasih kalau begitu. Kalau kau menemukan apa-apa lagi, tolong beritahukan aku!"

"Eh, tunggu! Masih ada satu hal, Kos. Mungkin ini berarti."

"Apa?"

"Sepatu korban pernah terkena darah cukup banyak. Aku menemukan darah kering menempel di pelipisnya, dan pada sol sepatu aku temukan secuil kertas yang melekat. Ternyata itu adalah sobekan dari bon restoran."

"Ya, ya?" Hati Kosasih berdebar lebih cepat sedikit. Harapannya yang tadi mengempis sekarang mengembang lagi biarpun cuma sedikit.

"Rupanya bon itu sudah ada di lantai di bawah kakinya ketika terjadi genangan darah yang membasahi lantai. Kertas itu melekat di sol sepatunya karena darah kental itu."

"Ya, ya, lalu apakah kau bisa membaca dari restoran mana bon itu berasal?" tanya Kosasih tidak sabar.

"Tunggu. tunggu," gelak Abbas Tobing.

"Aku bisa membaca cuma ujungnya saja. Rupanya bon itu berasal dari sebuah depot atau restoran yang namanya berakhiran den

gan huruf"MA'."

" 'MA'?" Pekerjaan ini tidak menjadi lebih mudah rupanya. Bayangkan, ini berarti dia harus keliling seluruh Surabaya untuk mendapatkan sebuah depot atau restoran yang namanya berakhiran dengan huruf "MA".

"Betul."

"Nggak ada tulisan apa-apa lagi yang bisa membantu?"

"Alamatnya yang tersisa pada sobekan kertas itu hanya tulisan "baya". Aku kira itu ekor kata "Surabaya". Tidak ada lainnya lagi."

"Paling tidak kami tidak usah mengejar sampai ke Sidoarjo atau Malang atau entah mana lagi," gerutu Kosasih.

Abbas Tobing terkekeh.

"Kau bisa membaca apa yang dipesannya, Bas?" tanya Kosasih selanjutnya.

"Mungkin dengan mengetahui jenis makanannya kami bisa mempermudah pengusutan."

"Tidak. Tapi aku bisa melihat harganya. Sembilan ribu lima ratus."

"Itu totalnya?"

"Seluruhnya. Pesanannya cuma satu macam itu saja."

"Mahal amat satu pesanan seharga sembilan ribu lima ratus! " kata Kosasih.

"Dari mana kau tahu itu bon pesanan untuk makanan dan minuman, Bas? Apa tidak mungkin bon belanja barang?"

"Di sudut kanan bawahnya tercetak 'Sudah termasuk pajak dan servis 1100" Aku kira tidak ada toko yang mengeluarkan bon seperti ini. Biasanya cuma golongan restoran saja yang pakai mengenakan servis segala."

"Benar juga," kata Kosasih.

"Baiklah, Bas, sebentar kami samperin untuk mengambil cuilan tersebut. Moga-moga bisa cepat kami temukan tempatnya."

"Kira-kira dia mati di sana, Kos?" tanya Abbas Tobing.

"Besar kemungkinan. Kalau tidak bon itu tak mungkin terkena darahnya."

Hubungan telepon diputuskan. Kosasih mengusap-usap kepalanya yang tidak gatal.

"Kau pernah tahu kelab malam yang bernama "Purnama'?" tanya Gozali yang dari tadi mengikuti pembicaraan sahabatnya dengan Labkrim.

"Purnama? Ya, ya, yang di ujung Jalan Panglima Sudirman itu, kan?"

"Persis."

"Lalu?"

"Aku kira bon itu berasal dari sana," kata Gozali tenang.

Mata Kosasih melebar. Heran. Kagum. Tidak percaya.

"Kok bisa begitu cepat kau membuat tebakan? Bonnya saja belum kita lihat."

"Aku cuma mempraktekkan teori deduksi, Kos," kata Gozali.

"Abbas mengatakan tempat itu namanya berakhir dengan huruf "MA". Kau mengatakan satu pesanan seharga sembilan ribu lima ratus itu sangat mahal. Dokter Leo mengatakan di dalam darah korban ditemukan kadar alkohol yang cukup berarti. Kalau ketiga unsur ini kita gabungkan, maka kita sampai pada kesimpulan bahwa sebelum ajalnya korban sempat minum minuman keras, yang dibelinya dengan harga cukup mahal dari suatu tempat yang namanya berakhir dengan huruf "MA". Oleh sebab golongan restoran atau depot tidak menjual dengan harga setinggi ini. satu-satunya alternatif yang tersisa adalah kelab malam atau hotel-hotel berbintang di mana harga makanan dan minuman biasanya dua kali lipat di luaran. Di sini kita tidak punya begitu banyak kelab malam atau hotel berbintang

yang namanya berakhir dengan hunif "MA", kecuali "Pumama" itu tadi yang termasuk salah satu kelab malam yang cukup populer disini."

"Kau memang cerdas, Goz!" senyum Kosasih.

"Aku sudah membayangkan kita harus gentayangan keluar-masuk depot dan restoran untuk mencocokkan cuilan bon yang ditemukan Abbas itu, eh, tiba-tiba tanpa beranjak dari kursimu kau sudah bisa memecahkan teka-teki ini."

"Mudah-mudahan saja tebakan itu betul," kata Gozali.

Pimpinan kelab malam Pumama, Frans Malingkas, menerima kedatangan kedua orang dari Polda Jatim itu dengan sikap sedikit jengkel. Untunglah pagi hari begini kelab malamnya sepi. Memang pada pagi hari yang masuk adalah karyawan karyawan bagian pembersihan dan dapur saja. Bagian pembersihan selain bertugas membersihkan tempat yang terpakai semalam juga dari waktu ke waktu membetulkan apa-apa yang mungkin

rusak. Mereka juga menyiapkan panggung dan peralatan lainnya macam lampu dan dekor untuk pertunjukan malam harinya. Sementara bagian pembersihan repot di depan, maka bagian dapur repot di belakang. Pagi hari mereka harus berbelanja, menentukan paket menu yang akan disajikan malam itu, mempersiapkan semua bahan yang dijadikan bentuk makanan yang terhias indah. Di kelab malam ini semua bahan masakan bukan hanya dibumbui dan dimasak begitu saja, tapi juga diukir, disusun, dibentuk yang menarik supaya para tamu merasa bahwa walaupun mereka harus membayar lebih mahal tetapi mereka mendapatkan masakan yang sudah disiapkan dengan artistik.

Frans Malingkas memandang tajam kepada kedua orang tamunya ini. Dia paling tidak suka berurusan dengan polisi yang menurut pengalamannya selalu suka mencari-cari kesalahan.

"Jadi, maksud kedatangan Bapak-bapak adalah?" tanya Frans Malingkas setelah menyilakan tamu tamunya duduk di salah satu meja yang sudah dibersihkan.

"Kami ingin melihat blanko bon-bon pesanan Anda." kata Kosasih.

"Bon-bon pesanan saya?",Alis Frans Malingkas yang hitam tebal semakin menyatu.

"Memangnya untuk apa? Anda bukan dari Kantor Pajak toh? Petugas yang biasanya kemari memeriksa buku buku kami saya kenal."

"Kami tidak ada urusannya dengan pajak Anda. Kami dari dinas kriminalitas. Kami sedang mengusut suatu kasus kejahatan," kata Kosasih mulai berkurang sabarnya.

"Oh, kasus kejahatan? Kasus apa itu, Pak? Di sini tidak pernah terjadi tindak kejahatan. Tamutamu saya adalah orang-orang baik semuanya,tidak pernah timbul keributan atau apa. Tempat saya ini tempat yang bersih, Pak. Kami tidak mengijinkan perjudian gelap atau perdagangan narkotika. Kami juga tidak mengizinkan pemuda pemuda brandal yang suka cari onar masuk kemari. Jadi saya tidak mengerti mengapa Anda mengaitkan suatu kasus kejahatan dengan tempat ini.

Sebelum Kosasih sempat menjawab, Gozali berkata,

"Kami belum mengatakan bahwa tempat ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang kami usut. Kami mendatangi beberapa tempat dan tempat Anda adalah salah satu

dari antaranya. Sekarang, sebelum kami menghabiskan waktu dengan berbantah di sini, sebaiknya Anda bekerja sama dengan kami. Apabila ternyata memang tidak ada alasan bagi kami untuk memperpanjang kunjungan kami di sini, kami akan segera mohon diri."

Untuk pertama kalinya Frans Malingkas berpaling kepada Gozali. Laki-laki yang kurus jangkung dengan mata yang tajam ini membuatnya merasa tidak enak, seakan-akan dia bisa membaca apa isi hatinya. Dia cepat-cepat mengalihkan padangannya kembali kepada kapten polisi yang berseragam itu. Kapten polisi ini walaupun tampaknya lebih garang, namun matanya tidak setajam lelaki temannya itu.

"Baiklah," kata Malingkas.

"Bon yang mana yang ingin Anda lihat?"

"Bon yang dipakai jika tamu Anda memesan makanan dan minuman."

Frans Malingkas menggapai salah seorang karyawannya dan berkata,

"Tolong ambilkan satu buku bon kemari!"

Tak berapa lamanya Kosasih dan Gozali sudah menekuri buku bon itu. Kosasih mengeluarkan cuilan kertas yang diperolehnya dari Abbas Tobing. Ternyata cocok! Kecuali keadaan cuilan kertas itu yang sudah kotor dan ternoda darah, dia tidak berbeda dengan buku bon yang dipegang di tangan Kosasih.

Kosasih segera mengubah sikapnya. Dari sedikit ragu-ragu tadi menjadi menuduh secara lebih tegas.

"Saudara Malingkas, saya kira ini sobekan dari bon Anda kalau begitu," katanya mengulurkan kertas kecil yang dekil itu.

Malingkas menerima kertas itu dan memperhatikannya. Dia mengangguk agak raguragu.

"Kelihatannya mirip, mengapa?"

"Kenalkah Anda dengan seorang yang bernama Dokter Hariono?" tanya Kosasih.

"Dokter Hariono? Dokter Hariono yang ahli kandungan itu?"

"Ya."

"Saya tahu reputasinya, dia punya nama, tapi saya tidak mengenalnya secara pribadi. Mengapa?"

"Anda tahu rupanya?"

Frans Malingkas tersenyum sinis.

"'Saya tak pernah mendapat kehormatan memakai jasanya, jadi saya tidak tahu

bagaimana rupanya. Saya hanya tahu namanya."

"Rupanya dia tahu Anda atau paling tidak-dia tahu tempat Anda ini!"

"Banyak orang yang tahu tempat ini. Plangnya besar terpancang di luar diterangi lampu warna warni. Setiap orang yang pernah lewat dijalan ini bisa membacanya."

"Apakah setiap malam Anda ada di sini?" tanya Gozali menyela.

"Ya," kata Malingkas berpaling padanya. Lagilagi dia dikonfrontasi oleh sepasang mata yang teramat tajam.

"Kecuali kalau saya sakit atau keluar kota tentunya."

"Akhir-akhir ini Anda tidak sakit maupun keluar kota, saya harap?" kata Gozali sambil tersenyum.

"Tidak."

"Apakah Anda mengenal semua tamu Anda yang masuk ke tempat ini?"

"Oh, hanya mereka yang sering kemari. Mengapa?"

"Apakah orang ini sering kemari?" tanya Gozali mengeluarkan sehelai foto Dokter Hariono dan menunjukkannya kepada lawan bicaranya.

Frans Malinakas melihat foto itu hanya

sekilas lalu menjawab,

"Tidak."

"Betul?" desak Gozali.

"Betul. Tamu-tamu saya banyak, saya tak mungkin mengenalnya satu per satu kalau mereka hanya sekali-sekali muncul di sini, Lagi pula saya tidak terlalu sering menghampiri meja tamu-tamu saya. Orang yang kemari umumnya mencari tempat yang bebas dari gangguan mata orang lain, termasuk yang punya niteclub juga."

"Bagaimana dengan karyawan-karyawan Anda?" tanya Gozali.

"Mungkin mereka punya daya ingat yang lebih baik. Bolehkah kami menanyai mereka yang melayani meja?"

"Oh, pagi hari begini yang ada cuma bagian dapur dan bagian pembersihan. Yang melayani meja baru nanti pukul enam masuk."

"Apakah mereka itu selalu orang-orang yang sama? Maksud saya, apakah Anda menukar shift mereka. misalnya minggu ini mereka melayani meja, minggu depan mereka masuk di bagian pembersihan?"

"Oh, tidak! Yang melayani meja ya selalu melayani meja. Mereka punya keahlian sendiri sendiri. Otomatis yang melayani

meja kalau disuruh memasak ya tidak bisa, demikian sebaliknya."

"Ah, jadi kalau begitu rupanya kami harus kembali nanti malam," kata Kosasih.

"Eh eh, saya harap... saya harap tidak, Pak," kata Frans Malingkas.

"Kalau tamu-tamu saya melihat kehadiran polisi di sini mereka mungkin akan menduga yang tidak-tidak terhadap tempat ini, atau mereka mungkin takut terlibat sehingga mereka tidak mau datang ke sini lagi."

"Oh, jangan khawatir. Khusus untuk Anda, Pak Kosasih nanti akan berpakaian preman. Kami tidak akan jauh berbeda dengan tamu-tamu Anda yang lain," senyum Gozali.

"Oh! Eh... kalau begitu, baiklah. Tapi sebelumnya, bolehkah saya ketahui kasus kejahatan apa yang sedang Anda usut ini?"

"Kasus pembunuhan."

Frans Malingkas tidak tampak terkejut.

Pukul sepuluh malam Kosasih berdua Gozali kembali ke kelab malam Purnama.

Di halaman parkir telah berjajar mobil-mobil dari pelbagai merek dan warna. Dua orang petugas Satpam sedang mondar-mandir tak jauh dari pintu masuk yang dihiasi oleh kerlap-kerlip lampu neon di atasnya.

Seorang jukir yang berseragam jingga menyandarkan dirinya di salah sebuah mobil, sambil mulutnya menggerogoti jagung bakar yang berasal dari seorang perempuan penjaja yang nongkrong di bawahnya.

Kosasih dan Gozali masuk tanpa kesulitan. Kedua orang Satpam itu hanya melirik saja sekilas dari ujung matanya dan setelah merasa yakin bahwa kedua tamunya itu tidak berpotongan anak-anak berandal yang suka bikin onar dan mencari gara-gara. mereka dibiarkan masuk tanpa diusik.

Di dalam musik mengalun dengan lembut. Seorang penyanyi dengan pakaian yang menyolok sedang membawakan sebuah lagu sentimental dari atas panggung. Sorot lampu warna-warni bergantian memberi rona pada suasana yang spesifik itu. Alunan band bermain cukup pas tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan. Untuk beberapa saat lamanya Kosasih dan Gozali harus menyesuaikan mata mereka melihat di tempat yang boleh

dikatakan hampir gelap ini kecuali untuk secuil penerangan kuat yang menyoroti panggung.

Seorang pelayan laki-laki dengan seragam putih, celana biru, dan dasi kupu menghampiri mereka.

"Meja untuk berapa orang, Pak?" tanyanya hormat.

"Oh, cuma berdua," kata Kosasih mengalihkan pandangannya dari penyanyi yang sedang meliukliuk di atas panggung.

"Mari, Pak, saya antar," kata pelayan itu.

Mereka diajak menuju ke salah satu pojok di mana sebuah meja dengan empat kursi telah ditata. Seperti meja-meja yang lain, Kosasih dan Gozali melihat bahwa meja ini pun pada tiga sisinya tertutup oleh sketsel dari rotan.

"Boleh. Pak, di sini?" tanya pelayan itu.

Kosasih memandang sekelilingnya. Dari sini dia dapat melihat panggung dengan jelas. Dia mengangguk.

"Pesan minuman dan makanan apa, Pak?" tanya pelayan itu lagi.

"Kami..."

"Minumnya sebentar lagi," kata Gozali mendahului sahabatnya.

"Kami ingin tanya

sedikit."

"Ya, Pak?"

"Kami ini baru pertama kalinya kemari. Ingin mencoba, karena kata teman kami tempat ini bagus sekali. Di sini apakah setiap waiter seperti Anda itu punya meja-meja khusus?"

"Oh, tidak, Pak. Kami melayani meja yang mana saja bisa."

"Hm, kalau begitu mungkin Anda kenal dengan teman saya ini?" tanya Gozali mengeluarkan foto Hariono.

Pelayan itu mengamatinya dan menggeleng.

"Kok tidak, Pak," katanya dengan nada minta maaf.

"Oh, tidak? Hm, kalau begitu mungkin yang melayaninya bukan Anda. Eh, omongomong nih, kami berdua mencari teman di sini," senyum Gozali penuh arti.

Pelayan itu menyeringai dan dengan ibu jarinya dia menunjuk ke suatu ruangan di mana bagian atasnya tertutup oleh sejenis kaca rayban yang gelap.

"Hostes ada di sana, Pak. Silakan Bapak memilih sendiri," katanya kepada Gozali.

Gozali berdiri mengikuti si pelayan. Ada

kirakira enam-tujuh gadis di dalam ruang itu, rata-rata masih berusia dua puluhan. Mereka mengenakan pakaian yang merangsang dengan dandanan lengkap.

"Bapak tinggal memilih yang mana. nanti saya sampaikan kepada Kasir," senyum si pelayan.

"Berapa saya harus bayar?" tanya Gozali.

"Minimal dua jam, Pak. Ini tarifnya," kata pelayan itu menyodorkan sebuah daftar yang dibukukan dengan indah.

"Saya belum pernah beginian," bisik Gozali tersipu.

"Saya juga belum kenal gadis-gadis itu. Kalau saya salah pilih, bagaimana? Apakah boleh ditukar?"
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ditukar bagaimana?" Si pelayan heran.

"Saya tidak mau berdansa, saya cuma ingin bercakap-cakap saja dengannya. Tapi saya ingin mendapatkan gadis yang bisa diajak bercakap yang sedikit serius. Karena itu saya ingin mencoba dulu barang sepuluh-lima belas menit. Kalau cocok, saya teruskan, kalau tidak, saya minta tukar gadis yang lain. Bagaimana?"

Wah, ini permintaan aneh, pikir si pelayan.

"Kalau begitu lebih baik tanya Kasir saja, Pak."

Mereka berdua menghampiri meja si kasir yang terletak tak jauh dari sana. Seorang laki-laki yang mengenakan jas lengkap berdiri di balik mesin cash register dan tersenyum kepada mereka.

Gozali menjelaskan maksudnya. Si kasir mengernyitkan dahinya beberapa saat lamanya. Ragu-ragu.

"Saya hanya ingin berbicara, kok, lain tidak," bisik Gozali.

"Anda tidak perlu takut," seringainya.

Kasir mengangguk-angguk tanda mengerti. Dari waktu ke waktu ada saja tamunya yang punya permintaan aneh. Toh dalam hal ini usahanya tidak merugi. Tamunya ini kan tetap akan membayar untuk dua jam, soal siapakah di antara gadis-gadis itu yang akan mendapatkan jatah dari uang sewa itu, tidak menjadi soal baginya.

"Baiklah, Pak," kata si kasir.

"Berhubung Bapak baru untuk pertama kalinya kemari, kami berikan servis promosi istimewa. Tapi supaya Bapak lebih cepat mendapatkan gadis yang Bapak kehendaki. barangkali saya bisa membantu memilihkan asal Bapak mau menyebutkan gadis yang bagaimana yang kira-kira memenuhi selera Bapak."

Gozali tersenyum, lalu berbisik lagi,

"Saya sedikit takhyul. Saya mencari gadis yang cerdas, yang pada malam Kamis Pahing tanggal dua puluh sembilan kemarin antara pukul delapan dan sebelas malam berada di sini."

Kali ini si kasir betul-betul mengangkat alisnya. Eh, orang ini keluaran rumah sakit jiwa atau pak dukun dari mana sih?

"Anda jangan kaget," bisik Gozali supaya tidak didengar si pelayan yang penuh rasa ingin lahu.

"Kata seorang peramal, kalau malam ini saya bisa mendapatkan gadis yang tepat itu, keberuntungan saya akan bertambah berlipat ganda:"

Wah, orang ini benar-benar miring, pikir si kasir. Tapi dia segera tersenyum dan menunjukkan muka manis.

"Gadis-gadis di sini dinas setiap malam, Pak. Mereka semuanya ada di sini setiap malam. Tapi kalau Bapak mencari gadisyang cerdas, barangkali saya boleh mengusulkan si Suzi."

Gozali mengangguk tanda setuju.

"Dengan catatan kalau saya merasa tidak cocok, boleh ditukar, ya, Pak?"

"Ya, ya," kata si kasir. Kepada pelayan

yang menunggu dia berkata,

"Tolong panggilkan Mbak Suzi!"

Gadis yang keluar dari ruangan berkaca itu ternyata adalah seorang perempuan dengan mata yang tajam dan bibir yang tipis. Gaun hitam yang ketat membungkus tubuhnya yang berkulit kuning langsat, sangat menggiurkan. Usianya ditaksir tak lebih dari dua puluh tiga tahun.

Suzi mengangguk kecil sambil tersenyum kepada Gozali. Setelah Gozali menyelesaikan pembayaran honor untuk sewa hostes, gadis itu mengikutinya kembali ke mejanya.

Kosasih agak terkejut melihat sahabatnya kembali membawa seorang gadis bahenol. Rencananya tadi tidak termasuk menyewa hostes segala! Dia berdiri dan menyilakan gadis itu duduk.

"Kos, ini Suzi,,, Gozali memperkenalkan.

"Dia dinas di sini pada tanggal dua puluh sembilan yang lalu. Betul, bukan?" Gozali berpaling pada gadis itu.

Susi mengangguk.

"Ya, saya dinas di sini setiap malam."

"Sudah lama Anda bekerja di sini?" tanya Kosasih.

"Oh, sudah, hampir dua tahun."

"Kalau begitu tentunya Anda sudah mengenal semua tamu yang kemari," senyum Gozali.

Suzi tersenyum. Sebuah lesung pipit yang manis menemani merekahnya bibirnya.

"Ah, nggak semua, hanya yang langganan Susi saja."

"Saya punya seorang teman yang sering kemari. Entah Suzi mengenalnya tidak," kata Gozali.

"Orangnya tinggi besar, rambutnya sudah agak menipis, tapi wajahnya keren. Usianya sekitar lima puluhan."

Suzi terkikik.

"Di sini ada tiga-empat lusin tamu yang bisa memenuhi deskripsi itu," katanya.

"Umumnya memang sekitar empat-lima puluhan, dengan rambut menipis dan tampang keren."

"Oh, ini, saya punya fotonya," kata Gozali merogoh saktinya.

"Ini orangnya." Foto tersebut ditunjukkannya kepada Suzi.

"Dik Suzi kenal nggak?"

Gadis itu memperhatikan foto tersebut beberapa saat lamanya, lalu katanya,

"Dia bukan langganan saya. Oom. Saya nggak pernah di-book oleh Bapak ini."

"Tapi masa kau tidak pernah melihatnya? Baru lima hari yang lalu dia datang."

Suzi menggeleng tegas.

"Saya tidak pernah melihatnya, Oom, mungkin yang lain."

"Mungkin," kata Gozali menyembunyikan rasa kecewanya.

"Oom datang dari mana?" tanya gadis itu.

"Dari Surabaya saja," kata Gozali tersenyum.

"Saya disuruh kemari oleh teman saya ini, katanya hostesnya di sini ramah-ramah, tidak sombong. Teman saya ini orangnya agak cerewet. Kalau dia memuji orang, wah, pasti memang baik pelayanannya! Sayang saya tidak tahu siapa nama gadis yang biasa melayaninya."

Suzi cemberut.

"Kalau begitu mengapa tidak dari tadi Oom bertanya terus terang siapa yang biasa melayani teman Oom ini. Kalau Oom memang menghendaki gadis yang sama, coba saya carikan," kata Suzi.

"Wah, terima kasih, Dik Suzi," kata Gozali.

"Saya harap Dik Suzi tidak berkecil hati. Bukannya saya tidak senang pada Adik, tapi..."

Gadis itu berdiri dan tersenyum manis.

"Nggak usah menjelaskan panjang lebar, Oom, saya cukup mengerti. Oom tunggu di

sini saja, saya pinjam fotonya dan akan saya tanyakan pada yang lain. Oke?"

"Oke," kata Gozali sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Goz," bisik Kosasih setelah gadis itu berlalu,

"Dari mana kau memperoleh gadis itu?"

"Kau pikir dari mana?" Gozali nyengir.

"Kau menyewa hostes, Goz?" Mata Kosasih terbelalak.

"Untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Kalau kita bertanya sebagai petugas polisi, sudah pasti semuanya akan bungkam."

"Hus! Lha itu uang siapa yang dibuat membayar nanti?"

"Jangan khawatir. Kalau perhitunganku tepat, kita tidak perlu membayar."

"Kalau salah?"

"Sedikit sekali kemungkinannya meleset."

"Goz, kita bisa nggak makan satu minggu kalau kau mulai main sewa-menyewa hostes," bisik Kosasih.

"Ssst!" Gozali menunjuk ke arah depannya.

"Serahkan padaku, pokoknya beres."

Seorang gadis berambut panjang yang mengenakan gaun mini mendekati mereka. Di keremangan ruangan itu gadis ini tampaknya menarik sekali. Perawakannya tinggi semampai, pinggangnya kecil, kakinya panjang. Dia berhenti di meja Kosasih dan Gozali.

"Nama saya Aisah," desahnya lembut,

"Mbak Suzi mengatakan Bapak-bapak mencari saya."

Gozali segera menarik kursi di sampingnya dan mengisyaratkan pada gadis itu supaya duduk.

"Dik Aisah yang biasanya melayani teman saya ini?" tanya Gozali ramah.

"Oom yang di foto itu, kan? Iya." Aisah meletakkan foto itu di atas meja.

"Wah, kalau begitu kami beruntung, nih! Tentunya kami akan mendapatkan pelayanan yang sama, bukan?"

"Pasti, Oom. Saya selalu berusaha memberikan pelayanan yang memuaskan," kerling Aisah.

Suaranya sedikit serak mendesah-desah. Hati Kosasih melompat beberapa kali.

"Kalau begitu coba katakan biasanya pelayanan apa saja yang Dik Aisah berikan kepada teman saya itu. Maklum, kami baru pertama kalinya menginjakkan kaki di sini, jadi banyak hal yang tidak kami ketahui.

Pokoknya kami minta yang sama deh dengan yang didapat teman kami itu."

Kosasih terperanjat mendengar kata-kata Gozali. Di bawah meja dia berusaha menendang kaki Gozali. tetapi setelah meraba ke kiri dan ke kanan dia tidak menemukannya. Takut malah nanti menyenggol kaki si hostes, dia menghentikan usahanya.

"Wah, susah dijelaskan, Pak," kikik Aisah.

"Biasanya ya kami bercakap-cakap, saya menemaninya makan, terkadang turun melantai sebentar begitu-begitu itu."

"Seringkah dia kemari?"

Gadis itu mengangguk.

"Kapan terakhir kalinya dia kemari?"

"Wah, saya tidak ingat, tapi biasanya kalau Sabtu dia pasti kemari."

"Sabtu kemarin tanggal satu dia kemari juga?" tanya Gozali.

"Seingat saya, ya."

"Sabtu kemarin?" Kosasih kaget. Sabtu kemarin Hariono sudah terbujur kaku di kamar mayat!

Menyadari kesalahannya, Aisah cepat-cepat meralat keterangannya.

"Oh, mungkin Sabtu kemarin tidak. Saya

bingung, maklum tamu saya kan banyak."

"Tapi Bapak ini memang langganan Dik Aisah, kan?" senyum Gozali menenangkan gadis itu.

"Oh, ya!"

"Dan hari Rabu yang lalu ketika dia kemari, yang menemaninya adalah Dik Aisah, kan?" desak Gozali.

"Eh... ya, ya. Saya yang menemaninya."

"Dik Aisah tahu siapa namanya?"

"Eh... biasanya tamu-tamu yang kemari tidak memakai namanya sendiri, Oom. Sama seperti kami. Kami juga tidak memakai nama sendiri," kata gadis itu tersenyum.

"Menurut teman saya hari Rabu yang lalu itu dia makan enak sekali di sini. Ingatkah Dik Aisah apa yang dipesannya supaya kami juga bisa memesan yang sama?"

"Oh eh...," Aisah membasahi bibirnya dengan lidahnya. Keraguannya semakin mencurigakan Gozali.

"Eh, makan sate, Oom."

Gozali sengaja mengujinya.

"Sate ayam?"

"Ya, ya, sate ayam. Sate ayam di sini enak sekali."

"Ah, nggak mungkin," kata Gozali.

"Teman saya itu alergi daging ayam, kok!"

"Oh!" Gadis itu semakin gugup. Matanya berkelebat dari Kosasih ke Gozali, lalu menunduk.

"Kalau begitu yang dipesannya adalah udang goreng, Pak. Udang goreng kami terkenal sekali."

"Ah, nggak mungkinjuga! Dia tidak suka segala jenis makanan hasil laut." Gozali menatapnya dengan tajam.

Gadis itu tampak terperangkap. Matanya berketip-ketip seperti seekor burung yang ingin lepas dari sangkarnya.

"Eh eh ," tapi dia tidak bisa berkata apa-apa lagi karena mata Gozali menatapnya terlalu tajam. Aisah akhirnya terpaksa menunduk.

"Dik," panggil Gozali.

"Anda tidak pernah kenal dengan teman saya ini, bukan?"

Gadis itu bungkam.

"Jawablah, saya tidak akan marah," kata Gozali seperti membujuk anak kecil.

Masih bungkam.

"Anda di suruh kemari oleh siapa? Mengapa Anda mau disuruh berbohong?" lanjut Gozali.

Baru gadis itu mengangkat matanya.

"Tadi sewaktu Mbak Suzi bertanya ke

pada kami Siapa yang mengenal oom yang di foto itu, kami memang tidak ada yang kenal. Tapi lalu saya disuruhnya menemui Bapak-bapak di sini dan disuruhnya mengaku kenal saja, kasihan kalau nanti tidak ada yang menemani, toh Oom sudah bayar."

GOzali mengangguk.

"Jadi di antara teman-teman Anda semuanya tidak ada yang mengenal teman saya ini?"

Aisah menggeleng.

"Tetapi pada malam Kamis tanggal dua puluh sembilan itu Anda dinas di sini, bukan?"

"Ya. Saya dinas setiap malam."

"Anda datang pukul berapa?"

"Pukul tujuh kami sudah siap di sini."

"Anda pulang pukul berapa?"

"Sampai tutupnya niteclub, pukul dua pagi."

"Apakah pada malam itu pernah terjadi keributan orang bertengkar misalnya?"

"Keributan? Ah, enggak! Di sini tidak pernah terjadi keributan, Oom. Saya sudah bekerja di sini sembilan bulan dan saya tidak pernah melihat ada keributan."

"Tidak ada tamu yang mabuk terus membuat huru-hara?"

"Enggak, Oom. Biasanya kalau mereka mabuk, ya terus tertidur begitu saja."

"Lalu kalau sudah tertidur, bagaimana?"

"Kami biarkan sampai waktu tutupnya tempat ini. Kalau pada waktu itu dia belum bangun sendiri, ya kami bangunkan dan kami suruh pulang."

"Kalau mereka tidak bisa pulang sendiri?"

"Selama ini belum pernah terjadi begitu, Oom. Jarang kok ada tamu yang mabuk, lebih jarang lagi sampai ada yang tidak bisa pulang sendiri."

"Jadi pada malam itu Dik Aisah tidak melihat apa-apa?"

"Lho atraksi tetap ada. Setiap malam ada atraksi."

"Maksud saya keributan," kata Gozali.

"Oh, tidak, Oom."

"Ada beberapa orang hostes di sini?"

"Uhm, seluruhnya kalau datang semua, nih ada dua puluh tujuh orang yang terdaftar. Tapi yang aktif datang setiap malam cuma sekitar tujuh sampai sepuluh orang. Yang lain-lain hanya malam Minggu. Belakangan ini bisnis sepi, Oom."

"Total ada berapa orang karyawan di

sini?" pancing Gozali. Rupanya gadis ini tidak merasa dirinya telah dijadikan sumber informasi. Setelah lewat rasa malunya karena ketahuan berbohong tadi, dia ingin bisa menyenangkan hati tamunya dengan memberikan semua keterangan yang mereka minta.

"Pelayannya ada enam orang, Oom, ditambah satu kasir, satu pelayan bar, satu supervisor. Yang lain-lain bekerja di belakang, di dapur, atau sopir, atau petugas Satpam."

"Yang mana .supervisor-nya?"

"Oh, Mas Oskar malam ini nggak masuk."

"Ke mana dia?"

"Tadi sih kemari, tapi sebentar terus pulang."

Seorang pelayan yang kebetulan lewat dan melihat meja ini masih kosong, mendekat.

"Mau pesan minuman, Pak?" tanyanya sambil tersenyum.

"Oh, kebetulan, Dik!" kata Gozali menggapai pelayan itu sekali.

"Coba lihat foto ini, apakah Anda kenal dengan teman saya ini?"

Pelayan itu mengernyitkan dahinya. Penerangan terlalu temaram baginya untuk bisa melihat dengan jelas. Diamat-amatinya foto itu. lalu dia berkata.

"Rasanya saya pernah melihat Bapak ini kemari."

"Betul? Bagus! Coba, duduk sini, Dik!" kata Gozali menunjuk kursi yang keempat yang masih kosong.

"Wah, waiter dilarang duduk bersama tamu, Pak," bisik pemuda itu yang ditaksir tak lebih dari dua puluh dua tahun usianya.

"Nanti dimarahi."

"Oh, begitu? Kalau begitu kita bicara begini saja, ya?" kata Gozali.

"Anda ingat kapan terakhir teman saya ini kemari?"

"Wah, enggak ingat, Pak. Tapi rasanya tidak lama berselang, kok. Kalau nggak salah, justru saya yang melayani mejanya."

"Hm. Ingatan Anda bagus sekali," puji Gozali.

"Bersama siapa dia kemari?" tanya Gozali selanjutnya.

"Kalau tidak salah bersama seorang perempuan, Pak."

"Oh? Bagaimana rupanya?"

"Wah, saya tidak ingat. Dia duduk membelakangi saya."

"Apakah pada waktu itu terjadi keributan di sini?"

"Keributan? Ah, enggak, Pak," kata si pelayan menggeleng. Tapi tiba-tiba dia berhenti.

"Anda ingat sesuatu?"

"Oh! Oh, ya, saya ingat sekarang. Temannya yang perempuan itu meninggalkannya sendiri. Mungkin mereka bertengkar."

Mata Gozali menyipit.

"Yang perempuan pergi?"

"Iya, Pak, seingat saya."

"Lalu teman saya ini?"

"Ditinggalkan di meja saja seorang diri."

"Bagaimana sikapnya ketika itu? Masih duduk dengan tegak?"
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelayan itu mengernyitkan dahinya. Tapi belum sempat dia menjawab tiba-tiba muncul sosok kelima di tengah-tengah mereka. Seorang laki-laki berkumis garang dengan potongan tinggi kekar berdiri di samping si pelayan.

"Ah, selamat malam, Pak Kapten!" kata orang itu. Lalu sambil berpaling kepada si pelayan, dia berkata dengan suara ketus,

"Mengapa kamu berbincang-bincang dengan tamu? Pekerjaanmu, adalah meLayani meja. Lihat, tamunya di sini belum dilayani kamu sudah nyerocos terus! Ayo, sana! Bawakan limun dua botol kemari!"

Tanpa diundang laki-laki ini menarik kursi yang masih kosong dan duduk.

"Saya tunggu-tunggu Anda tadi, tidak tahunya sudah duduk di sini," katanya sinis.

"Kami bermaksud menemui Anda setelah selesai mewawancarai karyawan-karyawan Anda," kata Kosasih.

"Oh, jadi diam-diam Anda mewawancarai karyawan-karyawan saya tanpa setahu saya," kata Frans Malingkas geram.

"Anda tidak punya hak menginterogasi siapa pun di sini. Kalau mereka dipanggil ke kantor polisi itu lain soal, tapi di sini sekarang Anda menyamar sebagai tamu, lalu memancing informasi dari karyawan saya yang tidak tahu siapa Anda! Ini namanya tidak etis, Pak Kapten!" kata Frans Malingkas. Lalu kepada Aisah dia berkata,

"Kamu kembali saja ke tempatmu! Dan jangan berkata apa-apa kepada yang lain. Mengerti?"

Aisah mengangguk ketakutan dan segera berdiri, namun Gozali menghalanginya dengan merentangkan tangannya.

"Anda tidak berhak menyuruhnya pergi, Saudara Malingkas," katanya sambil tersenyum mengejek.

"Kami punya hak dua jam atas waktu Aisah. Kami telah membayarnya untuk waktu dua jam ini. Selama dua

jam dia adalah hak kami dan kami boleh bertanya apa saja padanya di sini asalkan dia tidak kami culik."

Mata Frans Malingkas melotot. Kumisnya yang melintang dengan garang tampak semakin dominan.

"Mulai detik ini Anda tidak punya hak apa-apa atas karyawan saya yang mana pun. Ini uang Anda saya kembalikan," katanya merogoh sakunya dan mengeluarkan dua lembar uangpuluhan ribu.

"Kunjungan Anda berakhir sampai di sini!"

Gozali mengantungi uang itu dan berkata,

"Kalau begitu sekarang kami menginterogasi Anda dalam kapasitas kami sebagai petugas dari Polda Jatim. Anda kami mintai keterangan sebagai saksi dalam kasus kematian Dokter Hariono. Kos, tolong surat panggilannya sebagai saksi berikan padanya."

Di bawah sinar temaram itu wajah Frans Malingkas memucat melihat Kapten Polisi Kosasih mengeluarkan sehelai kertas yang terlipat dari dalam kemejanya.

"Ini merupakan surat resmi agar Anda memberikan keterangan yang lengkap kepada polisi!" kata Kosasih.

"Anda salah alamat! Saya tidak tahu apaapa! Saya bahkan tidak mengenal orang yang bernama Dokter Hariono itu sama sekali!" protes Frans Malingkas.

Mereka sekarang sudah pindah dari ruang niteclub yang suasananya hangat-hangat temaram ke ruang kerja Frans Malingkas yang dingin dan terang benderang di balik bar.

"Dokter Hariono jelas pernah datang kemari. Ketika dia ditemukan, dalam darahnya didapati kadar alkohol yang cukup tinggi. Juga di sol sepatunya melekat cuilan bon yang berasal dari kelab malam Anda ini.

"Kami mewawancarai pelayan Anda dan dia mengatakan pernah melihat korban kemari belum lama berselang. Sekarang, ceritakanlah apa yang sebenarnya telah terjadi di sini!" Kosasih berkata dengan nada yang lebih kasar dari biasanya.

"Sudah saya katakan. saya tidak tahu apaapa! Tidak ada orang yang meninggal di sini! Saya tidak tahu bagaimana bon saya bisa melekat di sol sepatunya, tapi kan mungkin saja bon itu melekat ke sol sepatunya tidak

berarti dia disini. Orang biasa menyobek bon yang sudah dibayarnya dan membuangnya di jalan. Mungkin saja setelah dia dari sini, keluar, membuang bonnya, melemparkan ke jalan, lalu entah bagaimana bonnya itu sempat terinjak kakinya sendiri dan melekat di sana."

"Bon itu melekat karena terkena darah, Saudara Malingkas," kata Kosasih.

"Darah korban sendiri !"

"Yang jelas pembunuhan itu tidak terjadi di sini ! Anda sudah menanyai hostes saya, sudah menanyai pelayan saya apakah mereka mengatakan di sini pernah terjadi kericuhan? Tidak, toh? Jadi saya tidak mengerti mengapa Anda mendesak saya terus hanya karena bon secuil itu yang tidak jelas asal-usulnya! Frans Malingkas tampak geram.

"Tapi korban pernah kemari," kata Kosasih tidak mau kalah.

"Kalau memang pernah kemari lalu mengapa? Itu tidak membuktikan apa-apa selama dia tidak mati di sini ! "

Kosasih memandang sahabatnya, minta bantuan. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi kepada pengusaha kelab malam ini.

"Kalau ANDA MEMANG tidak terlibat.

tentunya Anda tidak berkeberatan memberi kami contoh sidik jari Anda," kata Gozali sambil tersenyum.

"Saya lihat di atas meja Anda ada bantalan stempel yang sudah tersedia. Tinggal Anda membuat sidik jari Anda saja di atas kertas."

"Untuk apa?"

"Untuk menghemat waktu dan memudahkan Anda sendiri," kata Gozali.

"Kalau Anda menolak disini, kami bisa minta Anda datang ke kantor polisi besok untuk disidik di sana."

"Mau diapakan sidik jari saya?"

"Kami menemukan sidik jari yang belum diketahui pemiliknya di dalam mobil korban. Kalau Anda bukan orangnya, Anda tentunya tidak khawatir membuktikannya."

Frans Malingkas tersenyum.

"Oh, tentu saja tidak! Bisa Anda buktikan sendiri! Saya sama sekali tidak pernah mendekati mobil korban, apalagi sampai meninggalkan sidik jari di sana." Dengan demikian dia mengambil sehelai kertas putih bersih dari lacinya dan membubuhkan kesepuluh sidik jarinya di sana.

Gozali mengambil kaca pembesarnya dan berusaha membandingkannya dengan

fotokopi sidik jari yang diperolehnya dari Abbas Tobing. Memang tidak sama!

Dengan sedikit menyesal, Gozali berkata,

"Terima kasih, Saudara Malingkas. Mungkin Anda benar. Setelah dari tempat Anda, korban pergi ke tempat lain di mana dia terbunuh. Kami minta maaf telah menyusahkan Anda."

"Ah, tidak apa-apa!" senyum Malingkas penuh keramahan.

"Saya bisa mengerti bahwa polisi juga hanya menjalankan tugas."

"Kami permisi kalau begitu."

Di pintu luar mereka melihat kedua orang petugas Satpam yang sedang pasang mata. Karena dorongan hati, tiba-tiba Gozali berpaling pada mereka dan berkata,

"Kami dari Polda Jatim." Dia mengangguk kepada Kosasih supaya polisi itu menunjukkan tanda pengenalnya.

Kedua Satpam itu segera membuat sikap siap.

"Ya, Pak," kata mereka hormat.

"Kami sedang mencari orang ini" kata

Gozali menunjukkan foto Hariono. Kami tahu bahwa orang ini pernah kemari. Ingatkah Anda kapan Anda melihatnya?"

Kedua orang Satpam itu memperhatikan wajah di foto itu baik-baik, lalu yang seorang menyeletuk,

"Run, bukankah orang ini Bapak yang kemari dengan cewek yang bawa mobil sendiri itu?"

Temannya mengangguk sedikit ragu.

"Aku tidak ingat persis. Mungkin."

Satpam yang pertama berpaling kepada Kosasih dan Gozali.

"Rasanya mirip dengan tamu yang pernah kemari beberapa hari yang lalu," katanya.

"Bagus! kata Gozali.

"Kapan dia kemari?"

"Wah, harinya tidak ingat persis. Tapi saya ingat Bapak ini naik mobil Peugeot krem dan dia datang bersama seorang gadis cantik yang naik mobil sendiri."

Gozali menepuk-nepuk bahu si petugas Satpam ini.

"ingatan Anda bagus sekali. Memang betul mobilnya Peugeot warna krem. Apakah Anda selalu punya ingatan yang begitu bagus?"

"Wah, saya ini sudah membiasakan diri

mengingat tamu mana naik kendaraan apa dan diparkir di mana. Pernah kejadian mobil yang diparkir di sini ternyata dibawa lari pencuri dengan kunci palsu, sementara yang punya masih enak-enakan ada di dalam. Tahunya pada waktu dia keluar mobilnya hilang. Sejak saat itu saya lebih berhati-hati. Saya selalu mencoba mengingat mobil mana milik tamu yang mana supaya kalau ada orang yang mendekati atau masuk ke mobil yang bukan miliknya, saya bisa segera tahu dan menegurnya."

"Wah, Anda memang hebat. Coba, apakah Anda tahu kami tadi naik mobil apa?"

Si petugas Satpam itu menyeringai.

"Naik jip, Pak. Lha itu yang diparkir di sebelah sana," katanya menunjuk jip dinas Kosasih.

Mereka terbahak bersama.

"Pak Darmo," kata Gozali membaca nama orang itu yang tertera pada seragamnya,

"ingatkah Anda bagaimana rupa gadis yang datang bersamanya itu?"

"Oh, gadis itu tidak datang bersamanya, Pak," kata Darmo.

"Gadis itu datang sendiri, naik mobil sendiri. Mobilnya berwarna perak, Honda Accord, Pak. Cuma tibanya

berbarengan."

"Teruskan."

"Eh, Bapak ini terus menghampiri mobil si gadis, dan mereka masuk ke dalam bersama-sama."

"Anda bisa menggambarkan bagaimana kira-kira rupanya?"

"Wah, pokoknya wuuaayu, Pak! Potongannya yahud! Kayak bintang film, Pak!"

"Lalu Bapak itu keluarpukul berapa kalau Anda masih ingat?"

"Oh!" Si Satpam mengernyitkan dahinya.

"Seingat saya Bapak itu tidak pernah keluar... dah, maksud saya, dia tidak keluar sampai jam niteclub tutup."

"Pukul berapa tutupnya tempat ini?"

"Pukul dua, Pak, hari-hari biasa. Hari Sabtu atau hari libur lainnya sampai pukul empat pagi."

"Anda dinas sampai niteclub tutup?"

"Ya. Kami menunggu sampai semua karyawan sudah pulang, lalu Pak Frans juga pulang dan pintu ini ditutup."

"Jadi waktu Bapak ini kemari, sampai pukul dua dia masih belum pulang?"

"Mobilnya masih diparkir di sini."

"Bagaimana dengan teman perempuannya"!"

"Oh, gadis cantik itu sudah pulang duluan. Gadis itu tidak lama kok di dalam, mungkin tidak ada dua jam."

"Apakah Anda tidak melaporkan kepada majikan Anda bahwa di tempat parkir masih tersisa satu mobil?"

"Oh, Pak Frans sendiri juga belum pulang. Mobilnya juga masih ada."

"Oh, jadi PGA Frans juga belum pulang waktu itu?" kata Gozali manggut-manggut.

"Ya."

"Tapi Anda sudah pulang lebih dulu?"

"Ya."

"Lho, tadi katanya Anda biasanya menunggu sampai Pak Frans pulang dan mengunci pintu tempat ini."

"Iya, tapi saya ingat malam itu Pak Oskar keluar dan mengatakan kami boleh pulang dulu tidak usah menunggu Pak Frans. Jadi kami pulang."

Gozali bertukar pandangan dengan Kosasih. Kosasih membuat isyarat dengan kepalanya supaya mereka kembali lagi masuk ke dalam niteclub.

"Terima kasih, Pak Darmo," kata Gozali.

"Waduh, barang saya ada yang ketinggalan,"

katanya pura-pura merogoh sakunya. Lalu tanpa berpaling lagi kepada kedua orang Satpam itu dia segera masuk kembali diikuti oleh Kosasih.

Frans Malingkas sedang duduk di bar bercakap cakap dengan bartender-nya. Begitu mendengar suara Kosasih di balik punggungnya, dia terperanjat.

"Saudara Malingkas, saya kira Anda masih harus memberikan keterangan yang lebih jujur kepada kami."

Frans Malingkas sedikit lergagap.

"Keterangan apa lagi? Saya kira Anda sudah pergi! Tadi kan saya sudah memberikan keterangan lengkap."

"Kita bicara di sini atau di kamar Anda?" tanya Kosasih dengan suara keras.

Frans Malingkas turun dari kursi tingginya, lalu sambil menghela napas panjang dia mendahului kedua orang tamu yang tidak diundangnya ini berjalan ke kantornya.

"Apa lagi yang Anda kehendaki?" tanya Malingkas begitu mereka berada di dalam kantornya.

"Fakta yang sejujurnya," kata Kosasih.

"Mengapa pada malam tanggal dua puluh sembilan itu Anda menyuruh petugas Satpam Anda pulang lebih dulu sebelum Anda?"

Frans Malingkas mengernyitkan dahinya.

"Siapa yang berkata begitu?"

"Anda tidak perlu tahu siapa, yang penting kami mau tahu apa alasannya!"

"Oh! Jadi rupanya di luar Anda tadi tidak segera pulang tapi telah mewawancarai Satpam saya, ya!" Frans Malingkas menahan amarahnya.

"Betul atau salah?" dentum Kosasih. Kesabarannya telah habis menghadapi orang ini. Kalau tadi dia tak berani terlalu mendesak itu karena dia tidak punya alasan yang tepat untuk melibatkan si pengusaha niteclub ini, tapi sekarang, posisinya jauh lebih mantap.

"Saya kira tidak ada yang aneh dalam hal ini. Mereka sudah waktunya pulang. Saya masih mau memeriksa buku-buku saya, jadi saya suruh mereka pulang dulu."

"Tapi biasanya Anda tidak pernah berbuat demikian. Biasanya mereka selalu menunggu sampai Anda keluar. Lagi pula Anda bisa memeriksa buku Anda pagi harinya pada waktu tidak ada pengunjung di sini," kata Kosasih.

"Yah, taruh kata malam itu tiba-tiba saya ingin memeriksa buku-buku saya. Astaga,

masa saya tidak bisa berbuat sesuatu di luar kerutinan?Apa anehnya, sih, kalau kebetulan malam itu saya mau pulang lebih malam?"

"Mana orang yang bernama Oskar?" tanya Gozali tiba-tiba.

"Oskar?" Mata Malingkas menyipit.

"Mengapa?"

"Mana dia? Kami mau bicara sendiri dengannya."

"Oh, hari ini dia tidak masuk."

"Menurut hostes Anda tadi, dia masuk lalu pergi lagi."

"Oh, iya, dia masuk hanya untuk minta izin libur."

"Libur berapa lama?"

"Kurang tahu, kebetulan keluarganya ada yang sakit. Mendadak."

"Di mana rumahnya?"

"Wah, dia baru pindah ke rumah baru, entah di mana alamatnya. Dulu kontrak di dekat Jalan EmbOng Malang, tapi sekarang dia sudah beli rumah sendiri, tapi entah di mana."

"Bagaimana Anda bisa menghubunginya?"

"Tidak bisa. Saya tidak tahu alamatnya dan dia tidak punya telepon."

"Bagaimana seandainya Anda butuh memanggilnya?"

"Oh, saya bisa mengatasi kesibukan di sini sendiri selama dia tidak ada. Orang kan juga boleh punya kepentingan pribadi. Kalau ada keluarganya yang sakit, masa saya harus memaksanya kerja terus?"

"Apa yang Anda lakukan dengan mobil Dokter Hariono yang tertinggal di sini?" kata Gozali tiba-tiba membelokkan percakapan.

"Mobil Dokter Hariono? Mobil apa?"

"Pada waktu Anda menyuruh Satpam Anda pulang, apakah semua tamu Anda sudah pulang?"

"Tentu saja. Kami sudah tutup."

"Tapi mobil Dokter Hariono masih tertinggal di tempat parkir."

"Mana saya tahu!" Frans Malingkas melotot.

"Saya kan bukan tukang parkir."

"Pukul berapa Anda sendiri pulang malam itu?"

"Saya tidak ingat, mungkin pukul setengah tiga, mungkin pukul tiga. Sekitar jamjam itu."

"Pada waktu Anda keluar, apakah Anda melihat di tempat parkir Anda masih tertinggal satu mobil?"

"Saya tidak memperhatikan. Mungkin pada waktu itu sudah tidak ada."

"Aneh, kan? Mengapa mobil itu masih bisa tertinggal di sini jika pemiliknya sudah tidak ada?"

"Bisa saja dia pulang bersama teman-temannya dan mobilnya ditinggal di sini. Boleh jadi mobil itu baru diambil sopirnya keesokan harinya."

"Mobil itu tidak diambil sopirnya keesokan harinya. Dokter Hariono sendiri yang ditemukan berada di dalam mobilnya keesokan harinya mati'!"

"Dengarkan, Pak Kapten," kata Frans Malingkas geram.

"Saya tidak tahu apa-apa urusan matinya Dokter Hariono ini. Saya tidak mengenalnya, saya tidak punya alasan untuk terlibat dalam kematiannya. Kalaupun pada malam terakhirnya dia pernah mampir di nite-club saya, itu tidak membuktikan sayalah yang membunuhnya! Saya pikir mungkin dia bertemu teman-temannya di sini atau lebih tepatnya musuh-musuhnya! Mereka mengajaknya pergi, membunuhnya, lalu mereka kembali mengambil mobilnya dan memasukkan jenazah korban ke dalam mobilnya sendiri, lalu mereka meninggalkannya. Boleh jadi mereka juga sengaja menempelkan sobekan bon tempat ini di sol sepatunya untuk melibatkan tempat ini dan menghapus jejak mereka sendiri. Nah, sekarang mengapa Anda tidak melacak ke tempat lain saja dan tidak mengganggu saya di sini!"

"Dokter Hariono tidak mungkin meninggalkan tempat ini dengan orang lain. Petugas Satpam Anda sendiri berkata begitu. Dia adalah orang yang ingat siapa tamu-tamu Anda. Dia tidak melihat Dokter Hariono keluar sampai pulangnya!" kata Kosasih tidak mau kalah.

"Mengapa Anda lebih percaya kata-kata Satpam saya daripada saya? Dia juga bisa membuat kesalahan! Mungkin saja pada waktu Dokter Hariono keluar, dia sedang sibuk mengawasi tamu yang lain!"

"Dia adalah orang yang sangat bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia ingat tamu yang mana naik mobil apa. Dia yakin benar bahwa pemilik mobil Peugeot 505 warna krem itu tidak pernah keluar dari sini sampai dia pulang!"

"Anda hanya mendengar sepihak!" kata Frans Malingkas.

"Anda terlalu percaya pada Darmo. Mungkin dia telah berbohong pada

Anda!"

"Dia tidak punya alasan untuk berbohong. Anda punya!" tukas Kosasih.

"Saya punya? Alasan apa? Sampai sekarang kecuali sobekan bon tempat ini, Anda tidak punya satu buah pun bukti yang menunjukkan bahwa saya terlibat! Sidik jari saya saja tidak cocok dengan sidik yang Anda temukan!"

Gozali berdiri.

"Mungkin Anda benar, Saudara Malingkas. Mungkin kami salah alamat. Tapi ini tidak berarti kami akan menghentikan pengusutan. Dan apabila kami bisa menemukan motif pada diri Anda untuk melenyapkan Dokter Hariono ini, kami akan kembali lagi."

Tanpa pamit Gozali memutar badannya dan berjalan ke arah pintu. Kosasih segera mengikuti sahabatnya,

Frans Malingkas yang tidak mengharapkan pengunduran diri yang tiba-tiba ini hanya bisa memandang kepergian mereka dengan keheranan.

"Bagaimana menurut pendapatmu, Goz? Apakah dia bicara sejujurnya?" tanya Kosasih di dalam mobil.

"Yang jelas dia tidak suka kepada kita."

"Banyak orang tidak suka kepada polisi, tapi itu tidak berarti mereka berdosa."

"Bukti-bukti kita memang tidak kuat," kata Gozali.

"Semua penjelasannya masuk akal."

"Tapi tidak berarti benar," kata Kosasih.

"Tidak berarti salah juga," komentar Gozali.

"Instinct-mu mengatakan apa, Goz?"

"Ada dua alternatif. Kalau Dokter Hariono memang terbunuh di kelab malam itu, yang membunuhnya tentulah Frans Malingkas dan orang-orangnya. Hanya dialah yang bisa mengatur agar perbuatan jahat itu tidak menimbulkan kericuhan maupun panik di antara tamu dan karyawan-karyawannya. Kemudian setelah semuanya pulang, dia menyuruh petugas Satpamnya pulang juga, barulah mayat Hariono dibawa keluar, dimasukkan mobilnya, lalu dibawa kejalan yang sepi dan ditinggalkan di sana."

"Hm, sejak tadi sudah begitu dugaanku," kata Kosasih.

"Dan alternatif yang kedua?"

"Altematif'yang kedua adalah seperti yang diuraikan Malingkas tadi. Bahwa Hariono tidak terbunuh di Purnama. Hariono meninggalkan tempat itu bersama orang orang lain yang membunuhnya di tempat lain, lalu baru kemudian si pembunuh kembali ke kelab malam itu untuk mengambil mobilnya dan meninggalkan mayat itu di dalamnya."

"Tapi mengapa si pembunuh perlu mengambil mobilnya. Goz?" tanya Kosasih.

"Kan lebih mudah melemparkan mayat itu dijalan begitu saja."

Gozali menekur. Matanya tiba-tiba menyala.

"Kau benar, Kos!" katanya menepuk tangannya sendiri.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau si pembunuh bukan Frans Malingkas, dia tidak akan ambil pusing di mana mobil korban tertinggal! Hanya Malingkaslah yang punya alasan untuk

memindahkan mobil itu jauh-jauh dari kelab malamnya! Hanya dialah yang punya alasan untuk menghilangkan jejak bahwa Hariono pernah berada di kelab malamnya hari itu. Dan dia hampir berhasil seandainya Abbas Tobing tidak menemukan sobekan bon itu di sol sepatu korban! Dengan meninggalkan mobil itu di Jalan Raya Waru, siapa yang bisa

menduga bahwa malam itu korban pernah berada di Purnama!"

"Jadi di mana pun Hariono ini terbunuh entah di dalam niteclub Purnama atau di tempat lain, Frans Malingkas-lah pembunuhnya!" kata Kosasih juga antusias.

"Bangsat itu! Begitu kok tadi masih ngotot saja pura-pura tidak terlibat!"

"Sekarang kita sudah tahu siapa si pembunuh," kata Gozali.

"Tapi dengan asumsi kita saja, dia pasti akan lolos di pengadilan nanti. Kita harus mencari bukti-bukti yang lebih kuat."

"Ya, kita harus menjebaknya," kata Kosasih.

"Oskar!" kata Gozali.

"Mengapa dia?"

"Frans Malingkas menyuruh Satpamnya pulang lewat Oskar! Dia pasti tahu sesuatu!"

"Tapi di mana kita bisa mencarinya? Pasti Frans Malingkas telah menyuruhnya untuk tidak menampakkan diri di Purnama selama pengusutan kita."

"Ya, tapi Oskar tidak bisa bersembunyi selamanya. Kita jangan ganggu Malingkas lagi untuk beberapa hari. Biarlah dia menganggap kita telah melupakannya. Setelah

dia merasa aman, Oskar pasti kembali lagi ke sana. Pada waktu itu baru kita menangkapnya!"

****

PEMAKAMAN jenazah Dokter Hartono berjalan dengan teratur. Jandanya meneteskan airmata sebagaimana yang diharapkan orang dari para janda yang berbakti. Anaknya tampak murung dan menekurkan kepalanya sebagaimana diharapkan dari anak yang mencintai orang tuanya yang meninggal. Dokter Hariono ternyata mempunyai banyak teman. Yang mengantarkannya manusia berduyun-duyun. Ada yang bekas pasien, bekas kolega, bekas mahasiswa, ataupun bekas pacar, semua berlomba-lomba menampilkan diri untuk memberikan penghormatan terakhir kepada si mati. Kira-kira sambil titip agar mereka juga dipesankan tempat yang layak nanti jangan sampai kehabisan kursi yang empuk apabila giliran mereka sendiri tiba.

Sebagai tanda solidaritas, rombongan biro model Madona cabang Surabaya pun muncul lengkap. Kehadiran Anastasia di tengah-tengah peragawatinya yang cantik-cantik sungguh membuat suasana yang muram-mendung ini tampak sedikit lebih cerah. Para bapak yang kebetulan lewat di dekat mereka ada yang menarik perutnya ke dalam dan membusungkan dada agar tampak gagah. Pemuda-pemuda yang mahasiswa berkalikali melemparkan pandangan ke arah mereka, satu-satunya pemandangan yang indah di bukit gersang yang hanya dipenuhi nisan-insan ini.

"Puaskah kau sekarang?" terdengar suatu suara di balik punggungnya.

Anastasia berpaling. Sedikit terkejut.

"Oh, Yamin, kau!" katanya. Hari ini Anastasia mengenakan kaca mata hitam untuk menahan teriknya sinar matahari yang menyilaukan matanya.

Mereka menyingkir dari rombongan Madona, mencari pohon di mana mereka bisa bernaung di bawahnya.

Raut wajah Yamin tampak seriusdan agak kejam, pikir AnastaSia, seakan-akan dia punya dendam padaku.

"Cita-citamu tercapai, bukan? Puaskah kau sekarang?" ulangnya.

Untuk sesaat lamanya Anastasia tidak mengerti apa yang dikatakan laki-laki ini. Kemudian dia teringat akan pembicaraan mereka yang terakhir. Hatinya menjadi panas. Walaupun mereka pernah berbagi keintiman dan di dalam hatinya dia memang tertarik pada Yamin, namun hal ini tidak memberi laki-laki itu wewenang untuk mencelanya dengan kata-kata yang menusuk! Anastasia menjawab dengan ketus.

"Lagi apa kau di Surabaya? Kau seharusnya sedang bekerja dijakarta!" Toh aku masih majikanmu, pikir Anastasia.

Yamin Raharja menyeringai.

"Kau belum tahu, tapi sejak kemarin aku sudah bukan karyawanmu lagi. Aku telah mengirimkan surat permintaan berhentiku. Paling lambat juga besok sampai di mejamu."

"Apa?"Anastasia kaget. Yamin berhenti?

"Sekarang kita berdiri sama tinggi, Ana! Kau bukan bos-ku lagi!"

"Tapi mengapa? Mengapa kau keluar, Yamin?" tanya Anastasia. Kata-kata yang pedas tadi sudah terlupakan. Yang mengganggu pikirannya sekarang hanyalah fakta

bahwa Yamin telah meninggalkannya.

"Aku tidak bisa bekerja untuk orang yang tidak kusenangi," kata Yamin sinis.

"Terutama bila orang itu perempuan!"

"Lho! Aku... aku pikir di antara kita... aku pikir kita punya saling pengertian!" kata Anastasia terpukul.

"Aku berpikir begitu juga tadinya. Ternyata aku telah salah menilai orang."

"Karena... karena Martin?" tanya Anastasia dengan suara kecil.

"Oh, Martin urusan kecil. Aku tahu kau tidak mencintainya. Tidak, bukan karena Martin. Kekecewaanku terhadapmu adalah karena dia," kata Yamin menunjuk ke kerumunan orang banyak jenazah Hariono.

Anastasia menunduk.

"Sampai kini aku masih tidak bisa percaya kau bisa berbuat sekejam itu," kata Yamin.

"Aku selalu mengira kau adalah seorang perempuan yang bijaksana, yang telah banyak belajar dari kepahitan dan kesedihan, seorang perempuan yang berjiwa besar," kata Yamin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hari Selasa yang lalu ketika aku meninggalkan dirimu, aku mengira kau akhirnya sadar. Aku berharap kau sadar bahkan aku

meyakinkan diriku sendiri bahwa kau telah sadar. Rupanya aku keliru!

"Kemarin ketika aku mencoba meneleponmu, Siska mengatakan kau pergi melayat ayah Martin. Hatiku hancur ketika mendengar itu, Ana! Hancur!"

Anastasia mengangkat wajahnya. Pandangan heran bercampur gelisah.

"Tapi mengapa, Min? Mengapa?"

"Kau masih perlu tanya "mengapa"? Nah, aku harap sekarang kau puas. Orang yang kaudendami telah meninggal secara tragis pula. Suatu hari aku ingin tahu bagaimana kau berhasil melenyapkannya dengan begitu efektif!"

"Yamin!" panggil Anastasia.

"Aku tidak tahu apa-apa soal kematiannya! Aku tidak melenyapkannya seperti tudahanmu!"

Yamin Raharja menatap dalam ke mata perempuan yang berdiri di hadapannya tajam dan menyelidik. Pandangan menuduh yang sinis semula sedikit demi sedikit berubah menjadi pandangan ragu-ragu.

"Kau tidak melakukannya?"tanya Yamin.

"Tentu saja tidak! Kaukira aku manusia cap apa?" Mata Anastasia menyala-nyala.

Yamin Raharja tidak menjawab tapi

setelah memberi Anastasia suatu pandangan yang sulit dijabarkan artinya, dia berpaling dan meninggalkannya tanpa berkata apa-apa.

"Min!" panggil Anastasia.

Tapi laki-laki itu tidak berpaling. Dia bergerak di antara orang banyak dan mengambil jalan yang berlawanan dengan arah datangnya para pelayat yang masih belum habis.

Upacara pemakaman akan segera dimulai.

Kosasih dan Gozali mengikuti upacara pemakaman itu dari jauh. Bukan karena mereka menaruh begitu banyak simpati pada si mati maupun keluarganya maka mereka berada di sini pagi ini. Tetapi justru karena ingin melihat siapakah di antara teman dan kenalan si mati ini yang punya potensi mencelakakannya.

Terik matahari siang ini terasa menyengat kulit walaupun hari baru pukul sebelas. Di bawah topinya Kosasih sudah berkeringat. Ingin rasanya dia bisa meneduh di dalam

ruangan yang dingin dan sejuk. Yah, demi tugas, dia harus berkorban.

Orang-orang berkerumun, orang-orang ikut berdoa, orang-orang menabur bunga, orang orang mengucapkan belasungkawa kepada keluarga korban, mencium pipi, memeluk ringan, menjabat tangan. Lalu orangorang mulai bubaran, kembali ke tempat dari mana mereka tadi datang. Ada yang berkabung dengan tulus, tapi lebih banyak yang hanya basa-basi. Manusia adalah makhluk yang kompleks, punya berbagai pertimbangan. Apa yang menguntungkan, apa yang bisa meningkatkan statusnya, apa yang bisa menambah kesan baik dirinya, akan dilakukannya walaupun bertentangan dengan suara hati nuraninya sendiri.

Begitu banyak orang, bagaimana bisa memperhatikan? pikir Kosasih. Dia berpaling pada sahabatnya. Gozali tampak serius, matanya yang kecil tajam berjelilatan ke kiri dan ke kanan. Kosasih tersenyum di dalam hati. Sahabatnya yang satu ini memang istimewa. Dari sudut penampilan memang dia tak punya apa-apa yang bisa dibanggakan tapi aneh begitu banyak gadis yang menganggapnya menarik dari gadis-gadis

yang separuh usianya sampai janda-janda beranak remaja, dari perempuan-perempuan tuna susila sampai anak keluarga baik-baik. Tapi sampai sekarang Gozali selalu berhasil meloloskan diri dari jeratan ikatan yang serius. Sebagian besar waktunya dilewatkannya bersama Kosasih untuk membantunya melacak kasus-kasus kejahatan.

Di antara perempuan-perempuan yang berusaha menundukkan Gozali, Kosasih paling tertarik pada seorang janda yang beranak satu. Nyonya Citra Suhendar bisa menjadi pasangan yang baik bagi Gozali, pikir Kosasih. Humornya dan kehangatannya bisa mengisi hidup Gozali dengan kecerahan dan kegembiraan. Anaknya Beni juga sangat mengaguminya, sampai-sampai terkadang Kosasih merasa iri hati. Tetapi Gozali tenang tenang saja. Dia bergurau bersama, makan bersama, terkadang pergi bersama tapi tidak lebih dari itu. Dirinya tak beda dengan burung yang terbang bebas di udara, menukik untuk bertengger sebentar di dahan sebelum meneruskan perjalanannya dan mengepakkan kedua sayapnya lagi."

"Perkawinan itu bukan untukku, Kos," ( Baca: Misteri Gadis Tak Bernama)

begitu selalu kata Gozali.

"Aku sudah terbiasa hidup semau-gue. Kalau aku harus tunduk pada peraturan, aku bisa mati kaku. Lagl pula aku punya masalalu."

"Tapi Jeng Citra tidak mempedulikan masa lalumu. Dia menerima kau sebagaimana adanya, begitu pula anaknya, yang telah menjadikan dirimu pahlawannya. Kautunggu apa lagi? Tanpa susah kau bisa memiliki keluarga yang sudah jadi kan enak!"

"Kan lebih enak begini, Kos! Tanpa kawin pun aku bisa menikmati persahabatan mereka. Mengapa harus kawin?" gelak Gozali. Dan Kosasih hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sekarang mata Gozali sedang mengikuti langkah-langkah anggun seorang perempuan yang berkaca mata hitam yang berjalan bersama tigaempat orang gadis yang sama menariknya.

"Cantik, ya, Goz?" bisik Kosasih.

Tanpa menoleh Gozali menyeringai.

"Rupanya mata tuamu masih tahu barang cantik juga," katanya.

"Aneh!" komentar Kosasih sambil matanya juga mengikuti langkah-langkah panjang Anastasia. Angin mempermainkan belahan

gaun ketatnya sehingga betisnya yang halus mulus tampak sangat merangsang.

"Sama sekali tidak," kata Gozali.

"Banyak perempuan yang menyukai laki-laki yang lebih muda."

Kosasih terbelalak.

"Eh, kau kok bisa tahu apa yang aku pikirkan? Aku tidak bilang apa-apa kecuali "Aneh" begitu saja, tapi bagaimana kau bisa tahu apa yang aku 'aneh'kan?"

Gozali terbahak.

"Betul tidak jawabanku?"

"Betul! Makanya aku heran kau kok tahu!"

"Aku sudah berkumpul berapa tahun denganmu, Kos? Kalau aku tidak bisa menebak pikiranmu kan namanya aku tidak sehati denganmu!"

"Buset! Kalau begitu aku harus berhati-hati. Aku tidak bisa memaki kau dalam hati lagi," gerutu Kosasih.

Gozali terbahak lagi.

"Eh, kembali kepada janda cantik itu," kata Kosasih yang secara tidak sadar juga sudah mulai bergerak mengikuti jalur yang sama yang dilewati oleh rombongan Anastasia.

"Aku heran! Kan sayang orang seperti

itu merendahkan dirinya dengan memelihara seorang gigolo di rumahnya. padahal kapan saja dia bisa mendapatkan suami yang pantas untuk dirinya!"

"Perempuan yang cantik, sukses, dan kaya begitu sukar juga mencari suami, Kos," kata Gozali mengikuti langkah-langkah sahabatnya.

"Karena standarnya sendiri tinggi, dia dipaksa oleh keadaan untuk mencari pasangan yang punya standar tinggi juga. Laki-laki yang menjadi suaminya harus juga sukses, beruang, punya wibawa, dan kalau bisa tampan. Tidak begitu banyak lelaki yang bisa memenuhi persyaratan ini yang pada usia sebayanya masih bujang atau bebas untuk kawin lagi."

"Sejelek-jeleknya yang bisa diperolehnya kan masih lebih baik daripada pemuda ingusan itu," kata Kosasih.

"Sukses juga belum, tampangnya juga tidak terlalu cakep, kaya juga tidak."

"Sekarang dia kaya, Kos," kata Gozali.

"Setelah bapaknya meninggal, dialah pewaris harta bapaknya."

Entah karena suara atau nada atau cara Gozali mengatakannya, tapi kata-kata ini membuat Kosasih terkesiap. Kaya! Ya, pemuda ini

sekarang menjadi kaya! Harta adalah motif pembunuhan yang sampai kini masih menduduki tempat teratas! Mungkinkah pemuda ini...? Ah, tapi tidak mungkin! Untuk apa dia membunuh bapaknya? Toh dia tidak membutuhkan uang itu. Perempuan yang menjadi majikan dan kekasihnya sudah bisa mencukupi segala kebutuhannya.

"Hubungan non-formal dengan seorang pemuda bisa berakhir sewaktu-waktu, Kos. Lagi pula hubungan demikian membuat si pemuda tak punya hak apa-apa atas dirinya. Dia tetap Anastasia Castillo, punya identitas sendiri, bukan nyonya St Polan. Seorang suami merupakan hal yang lebih serius. Kalau suaminya tidak cukup keren baik status maupun tampangnya, bukankah dia akan malu sebab pada waktu itu dia harus menyandang nama laki-laki yang menjadi suaminya itu!"

"Apakah dia tidak lebih malu dikatakan tante girang?" kata Kosasih yang masih berpegang pada moral lama.

"Siapa tahu dia betul-betul sayang pada pemuda itu dan pemuda itu pun sayang padanya, Kos? Hanya karena mereka berbeda usia orang lalu mempunyai pandangan yang negatif. Seandainya janda ini sebaya

dengan si pemuda, paling paling orang cuma menuduh mereka kumpul kebo, tidak sampai muncul istilah tante girang dan gigolo segala macam. Kau kan tidak tahu apakah dia betul-betul membayar pemuda itu untuk menemaninya atau hubungan mereka berdasarkan suka sama suka," kata Gozali.

Kosasih terpaksa mengakui bahwa sahabatnya benar.

"Ya," katanya mengangguk.

"Mungkin pemuda itu mencintainya. Tidak sulit jatuh cinta pada makhluk secantik itu," aku Kosasih.

"Seandainya aku..." tetapi kalimat itu tidak pernah diteruskannya.

"Hati-hati, Kos, aku bisa menebak isi hatimu," senyum Gozali.

Kosasih menyeringai.

"Buset, kau! Asal jangan kausampaikan istriku saja."

Mereka berjalan hampir tiba di tempat di mana kendaraan-kendaraan diparkir. Rombongan Anastasia menuju ke dua mobil. Yang satu adalah mobil Honda Accord warna perak dan yang lain sebuah Chevy Luv dua kabin. Anastasia bersama tiga orang gadisnya masuk ke mobil yang perak sedangkan tiga laki-laki yang lain naik mobil Chevy

Luv itu.

Gozali berdiri terpaku di sana memandang sampai kedua mobil itu lenyap di tikungan.

"Waduh,begitu terpesona!"goda Kosasih. Tetapi ketika dia berpaling dan melihat tampang sahabatnya yang serius, dia tahu bahwa pandangan Gozali tadi lebih daripada sekadar pandangan kagum kepada seorang perempuan cantik saja.

"Ada apa, Go7?" tanya Kosasih.

"Kaulihat mobil itu?"

"Mobil yang mana?"

"Yang dikendarai janda itu."

"Honda Accord perak itu? Ya, kenapa?"

"Honda Accord perak."

"Aku tahu! itu merek mobil yang bagus, sayang kita tidak punya uang untuk memiliki mobil jenis itu. Lalu kenapa?" kata Kosasih jengkel.

"Gadis cantik yang datang bersama Hariono ke kelab malam itu juga naik Honda Aceord perak!"

"Gadis yang mana?"

"Kau tidak ingat? Kata si Satpam Darmo, kan Hariono datang bersama seorang gadis tapi si gadis bawa mobil sendiri!"

"Ah! Masa janda itu! Si Darmo itu mengatakan gadis cantik, kok. Dalam kamusku yang namanya "gadis" itu ya yang masih di bawah dua puluh lima tahun! Kalau tidak pasti dia sudah dianggap nyonya!"

"Dari jauh dalam kereruangan malam, janda itu bisa dianggap masih gadis dua puluh limaan!"

"Ah! Tapi lalu apa kerjanya di sana bersama Hariono?"

"itu yang harus kita selidiki."

"Ah! Itu terlalu kebetulan, Goz! Tidak mungkin janda ini! Dia adalah kekasih anak si Hariono ini untuk apa dia berkencan dengan bapaknya!"

"Mungkin dia tidak mengenalnya sebagai ayah, Martin. Mungkin dia bertemu dengan Dokter Hariono sebagai kliennya."

"Goz, pemuda itu tinggal di rumahnya! Kalau bapaknya pernah ke sana pasti dia tahu! Tidak mungkin janda itu bisa berkenalan dengan bapaknya tanpa setahu si Martin."

Gozali menekur.

"Kau ingat apa kata perempuan itu ketika kita tanyakan apakah dia kenal dengan Hariono. Dia mengatakan tidak kenal, bukan?" kata Kosasih.

"Ya, ya, mungkin kau benar," kata Gozali.

"Tapi tidak ada jeleknya kita bertanya padanya ke mana perginya dia pada malam tanggal dua puluh sembilan itu."

"Yuk, kita kembali ke markas. Mungkin ada laporan dari Adi yang kusuruh melacak pisau yang dipakai membunuh itu."

***

"Pak Kapten?"

Siang itu Kosasih menerima telepon dari seorang perempuan.

"Ya?"

"Saya Nyonya Hariono."

"Janda Dokter Hariono?" tanya Kosasih. Gozali segera duduk lebih tegak di kursinya. Mereka baru saja kembali dari makan siang setelah upacara pemakaman itu. Ternyata laporan dari Kopda Adi mengenai pisau pembunuhan belum ada. Kosasih menyelesaikan pekerjaan administrasinya sementara sahabatnya menghabiskan waktu sambil berpikir. Telepon ini adalah di luar dugaan mereka.

Gozali melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul tiga siang.

"Ya. Saya menemukan sebuah akte notaris di antara barang-barang almarhum suami saya. Bisakah Anda datang untuk melihat apakah akte ini masih berlaku? Menurut pengertian saya, uang puluhan juta terlibat di sini, Pak."

"Tentu," kata Kosasih.

"Apakah Nyonya sekarang bisa menerima kami?"

"Ya. Saya ada di tempat praktek Dokter Hariono."

"Di mana itu?" Kosasih mencatat alamatnya di atas secarik kertas.

"Kami segera berangkat."

Nyonya Hartono segera menyerahkan sebuah akte notaris yang bersampul kuning kepada Kosasih.

"Ini saya temukan di laci Bapak," katanya.

"Mungkin besar artinya."

"Di laci yang mana?"

Nyonya Hariono berjalan ke meja putih di sudut ruangan.

"Ini meja Bapak," katanya.

"Saya menemukannya di dalam salah satu lacinya yang terkunci."

"Kapan Anda menemukannya?"

"Lima menit sebelum saya menelepon Anda. Setelah upacara pemakaman itu selesai, saya pulang ke rumah. Di rumah saya rasakan begitu sepi. saya tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian Martin mengajak seorang kenalannya ke rumah. Mereka berbicara dengan berbisik-bisik seakan-akan takut terdengar saya. Saya tahu kenalannya itu seorang pengacara, karena itu saya memutuskan untuk keluar saja, daripada korban perasaan duduk di rumah. Saya kemari. Saya ambil kunci Bapak dan saya mencoba membuka laci-laci mejanya. Lalu saya menemukan ini."

"Apa lagi yang berhasil Anda temukan?"

"Hanya ini yang mungkin berarti. Yang lain-lain cuma rekening-rekening banknya, buku cek yang masih tersisa beberapa lembar, alat-alat tulisnya itu saja."

"Coba kami baca sebentar," kata Kosasih.

"Saya tidak begitu mengerti isinya. Tapi saya lihat bahwa Bapak punya andil dalam bisnis seseorang yang bernama Frans Malingkas. Bapak telah memberinya uang tiga puluh enamjuta. Saya ingin tahu apakah sekarang sebagai jandanya saya berhak menarik uang itu."

Alis Kosasih segera terangkat.

"Frans Malingkas?"

"Ya."

"Kenalkah Anda padanya?" sela Gozali.

"Tidak."

"Tidak pernah mendengar suami Anda menyebut namanya?"

"Bapak jarang membicarakan masalah pekerjaannya di rumah. Saya tidak begitu tahu siapa kenalan-kenalannya."

Kosasih segera memasang kaca matanya untuk membaca akte itu. Belum sampai separuh dia sudah memaki-maki dalam hati. Kurang ajar si Malingkas ini! Mau menipu polisi rupanya! Setelah selesai, diserahkannya akte itu kepada Gozali yang juga membacanya sambil membisu.

Sementara itu Kosasih bertanya kepada perempuan itu,

"Siapa saja yang tahu adanya akte itu?"

"Saya tidak tahu. Saya sendiri baru tahu sekarang."

"Nyonya Hariono, bolehkah akte ini kami pinjam?" kata Gozali setelah dia selesai membaca.

"Asal jangan dihilangkan saja, Pak," kata Nyonya Hartono.

"Apakah saya bisa menerima uang itu?"

"Itu yang akan kami usut."

Pukul sembilan lebih dua puluh kedua orang laki-laki ini masuk ke "freeclub Purnama tanpa kesulitan. Dalam pakaian preman tak ada yang mengenali identitas mereka yang sebenarnya.

"Aku kok tidak melihat si Satpam yang tempo hari," bisik Kosasih.

"Rupanya kedua-duanya sudah diganti."

"Jelas. Kaukira si Malingkas itu tidak segera memecat mereka setelah tahu mereka sudah memberikan keterangan yang membahayakan dirinya kepada kita," kata Gozali.

Kasihan mereka, Goz, menjadi korban garagara kita."

"Kalau Malingkas ternyata berdosa, mereka toh akan kehilangan pekerjaannya. Ni teclub ini kan akan tutup kalau yang punya masuk penjara."

Lampu merah hijau biru bergantian menerangi panggung di mana seorang gadis cantik tengah menari. Alunan musik yang panas cocok sekali mengiringi gerakan gadis yang lincah itu.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kosasih melihat pengunjung kira-kira memenuhi separuh ruangan. Mereka masih berdiri tak jauh di pintu masuk seakan-akan mencari tempat yang sesuai, padahal mereka sedang mengamati seluruh ruangan setiap sudut dan relungnya untuk melihat apakah si pemilik ada di sana.

Di belakang bar tampak si bartender sedang menyusun gelas seorang diri. Juga ada tiga orang waiter yang berkeliaran membawa pesanan dari dapur. Si kasir juga sedang sibuk menulis dan tidak memperhatikan mereka.

"Aku tidak melihat Malingkas," bisik Kosasih.

"Kita langsung menyerbu ke kamar kerjanya saja," kata Gozali,

"tanpa memberi mereka kesempatan untuk kabur."

Kosasih mengangguk. Kedua orang laki-laki itu berjalan dengan cepat di antara meja-meja yang tertutup sketsel langsung menuju ke bagian belakang bar di mana ada sebuah pintu. Tanpa berpaling ke kanan atau ke kiri, Kosasih menarik pintu itu terbuka dan masuk ke dalamnya. Gozali yang mengikut di belakangnya sempat mendengar Si bartender berteriak,

"Hei!"

Frans Malingkas yang didapati mereka sedang duduk di balik mejanya terperanjat. Begitu pula laki-laki tinggi tegap yang duduk di hadapannya.

Gozali menyepak pintu di balik punggungnya yang menutup dengan suara keras tepat di depan hidung si bartender yang bermaksud memburu masuk untuk mencegah tamu-tamu yang tak diundang ini. Namun gerakan Gozali berikutnya dengan mengunci pintu itu dari dalam menghalangi maksudnya.

"Apa ini!" bentak Frans Malingkas.

Laki-laki yang tegap itu segera berdiri dan berusaha mencekal lengan Kosasih.

"Saudara Malingkas suruh mundur algojo Anda ini kalau dia tidak ingin rompal giginya!" kata Kosasih dengan suara berdentum. Laki-laki tegap itu terperanjat, lalu melepaskan pegangannya.

"Lebih baik kau tinggalkan kami," kata Frans Malingkas kepada si pengawal.

"Ini adalah Kapten Polisi Kosasih dari Polda Jatim. Nanti saja kita lanjutkan pembicaraan .

Laki-laki tegap itu mengangguk dan mundur, namun dia dicegah oleh Gozali.

"Tunggu!" bentak Kosasih pada waktu yang bersamaan.

"Kami juga ingin menanyai Anda!"

"Dia tidak ada hubungannya dengan kasus ini," kata Malingkas menyela.

"Dia adalah teman saya, kebetulan saja ada di sini."

"Dia boleh pergi setelah kami selesai mewawancarainya." tegas Kosasih.

"Mewawancarai saya mengenai apa, Pak"?" tanya lelaki tegap itu.

"Mengenai pembunuhan yang terjadi di sini!"

Laki-laki itu segera memucat. Wajahnya langsung melayu. menjadi pucat kekuningan. Kosasih mengira dia akan segera pingsan, tapi ternyata dia hanya kembali meraih kursi yang tadi ditempatinya dan cepat-cepat meletakkan pantatnya.

Kosasih segera duduk di satu-satunya kursi yang tersisa di depan meja Malingkas, sedangkan Gozali berdiri dengan kaki terentang di muka pintu.

"Saya tidak mengerti Pak," kata Malingkas menguasai keadaan lagi.

"Saya kan sudah memberikan semua keterangan yang

Anda minta!"

"Hmph! Anda hanya memberikan serangkaian keterangan bohong kepada kami," kata Kosasih geram.

"Anda mengatakan tidak mengenal Dokter Hariono secara pribadi, tapi coba lihat ini!" Kosasih mengeluarkan akte notaris yang diperolehnya dari Nyonya Hariono tadi siang, diacungkannya akte tersebut, tetapi tidak diserahkannya kepada tuan rumahnya.

Frans Malingkas kaget. Mulutnya terbuka. Akte notaris itu bisa menggantungnya! Astaga! Bagaimana dia bisa lupa bahwa si dokter itu tentunya mempunyai satu akte turunan yang disimpannya?

Beberapa detik berlalu ketika Malingkas sadar bahwa ada tiga pasang mata yang sedang memandangnya lekat-lekat. Dengan perasaan panik Malingkas berusaha menenangkan hatinya dan mencari jawaban yang kira-kira masuk akal dan bisa diterima oleh kedua petugas ini. Tapi tak ada ilham yang jatuh dari langit untuk menyelamatkannya.

"Saudara Malingkas! Mengapa Anda berbohong kepada polisi?" tanya Kosasih.

"Anda bukan saja mengenal Dokter Hariono

ini. tetapi Anda malah telah meminjam uang padanya, Anda mengikat kongsi dengannya! Kendati begitu Anda masih berani mengaku Anda tak pernah mengenalnya! Hmph! Anda ambil uangnya, Anda bunuh dia, lalu mayatnya Anda tinggalkan di dalam mobilnya!"

"Tidak! Tidak! Saya tidak membunuhnya! Sungguh!" bantah Malingkas dengan mata lebar. Jantungnya berdetak keras seakan-akan dia baru saja berlari berpuluh-puluh kilometer.

"Saya tidak membunuhnya," katanya.

"Mungkin bukan tangan Anda sendiri yang melakukannya," kata Kosasih memandang kepada laki-laki yang duduk terhenyak di sisinya.

"Anda punya cukup banyak algojo untuk melakukan pekerjaan kotor itu bagi Anda. Mungkin dia!" Kosasih menunjuk tetangganya.

T-t-tidak, Pak. tidak!" kata laki-laki itu mengoyang-goyangkan kedua tangannya di depan wajahnya seperti sedang menari kipas. Dia hampir menangis.

"Siapa nama Anda?" tanya Kosasih kepadanya.

"Oskar, Pak. Oskar Lengkong."

"Ah, jadi akhirnya kami bertemu juga

dengan Anda!" senyum. Kosasih sinis.

"Lha kok lemas begitu?" ejeknya.

"Orangnya tinggi besar, dijadikan pengawal, tapi kok cengeng?"

Oskar Lengkong diam saja.

"Coba, kalau begitu, tolong jelaskan mengapa pada malam tanggal 29 Januari yang lalu Anda menyuruh kedua Satpam Anda pulang sebelum Saudara Malingkas ini pulang?" lanjut Kosasih.

Oskar menjilat bibirnya berkali-kali, matanya menunduk, jari-jari tangannya gemetar.

Setelah lewat beberapa detik dan ternyata Oskar Lengkong ini tidak bisa menjawab, Kosasih menambahi,

"Coba Anda buat cap sidik kesepuluhjari Anda di atas kertas!"

Lengkong memandang Kosasih dengan raguragu.

"Untuk apa, Pak?" tanyanya.

"Ayo!" kata Kosasih meraih bantalan stempel di atas meja Malingkas.

"Kami telah menemukan sidik jari asing di dalam mobil korban. Kami ingin melihat apakah sidik itu cocok dengan sidik jari Anda."

Wajah Oskar Lengkong menjadi semakin

pucat-sekarang mengarah ke warna hijau. Dia menggigit bibirnya.

"Cepat!" bentak Kosasih dengan kasar.

Frans Malingkas menyodorkan sehelai kertas putih tanpa berkata apa-apa. Oskar Lengkong melirik orang-orang yang mengelilinginya. Setelah merasa yakin bahwa tak satu pun dari mereka berniat menyelamatkannya, dengan tangan gemetar dia meletakkan jari-jarinya di atas bantal stempel lalu dibuatnya sidiknya di atas kertas yang putih bersih tadi.

Kosasih mengambil kertas itu lalu menyerahkannya kepada sahabatnya yang masih berdiri di dekat pintu. Tanpa suara Gozali mengeluarkan fotokopi sidik jari yang didapatnya dari Abbas Tobing, lalu dengan teliti dicocokkannya dengan sidik-sidik jari Oskar Lengkong.

Hening. Semua orang tegang. Akhirnya Gozali berkata,

"Tanpa peralatan pun saya bisa melihat persamaannya. Tak mustahil lagi sidik di dalam mobil korban adalah sidik Oskar Lengkong. Tapi jika Anda ingin kepastian, biarlah contoh ini kami kirimkan ke Labkrim."

"Nah, Saudara Lengkong, sekarang

bagaimana?" tanya Kosasih.

Oskar Lengkong tetap bungkam, hanya tangannya saja yang sekarang mengepal dan Kosasih dapat melihat bagaimana kencangnya kulit pada ruas ruas jarinya tertarik.

"Kalau memang terbukti ini sidik Anda, Anda menghadapi dakwaan sebagai pelaku pembunuhan atas diri Dokter Hariono. Anda akan kami tahan, kemudian disidangkan, dan dijebloskan ke dalam penjara sementara majikan Anda ini bebas," kata Kosasih menunjuk Malingkas.

"Apakah Anda masih mau melindunginya?"

Oskar Lengkong berpaling kepada Frans Malingkas. kebimbangan terbayang di matanya. Ketakutan juga.

"Saya... saya... saya tidak pernah membunuh orang, Pak," katanya.

"Bagaimana sidikjari Anda bisa berada di dalam mobil korban?" tanya Kosasih.

Oskar Lengkong bungkam lagi, tapi matanya memandang kepada majikannya minta belas kasihan. Ternyata laki-laki ini punya kepribadian yang rapuh. Yang gagah dan tegap hanya fisiknya, mentalnya tidak lebih dari mental seorang anak kecil yang lemah.

"Pak Kapten," kata Frans Malingkas pada akhirnya,

"saya kira sekarang saya terpaksa mengatakan yang sebenarnya kepada Anda."

"Seharusnya sudah sejak awal mula Anda mengaku," kata Kosasih sambil melotot.

"Memang saya kenal dengan Dokter Hariono. Sebetulnya bukannya saya yang tidak mau mengakuinya sebagai teman, tapi dia sendiri yang melarang rahasia ini diketahui oleh orang lain," kata Frans Malingkas berusaha membenarkan dirinya.

"Bahkan karyawan-karyawan di sini pun tidak ada yang tahu bahwa dia kenalan saya. Dia jarang kemari, dan kalau kemari juga hanya sebagai tamu biasa. Karena itulah saya tidak melihat perlunya saya membuka rahasia ini setelah dia meninggal ."

"Sekalian kalau bisa menghindari mengembalikan uangnya yang Anda utang kepada keluarganya," kata Kosasih sinis.

"Ini alasan yang paling penting, bukan?"

Wajah Frans Malingkas tidak berubah. Dia meneruskan ceritanya seakan-akan tadi tidak terpotong oleh kata-kata Kosasih.

"Malam itu Dokter Hariono kemari tapi saya tahunya baru kemudian! Menjelang niteclub akan ditutup, seperti biasanya Oskar memeriksa semua meja, barangkali ada barang tamu yang tertinggal atau ada tamu yang saking asyiknya sampai lupa waktu dan tidak sadar bahwa kami akan tutup. Ketika meronda inilah Oskar menemukan seorang laki-laki menelungkup di atas meja. Pada mula pertamanya Oskar mengira dia hanya tertidur karena mabuk. Tetapi ketika mau dibangunkan, Oskar melihat kemejanya berdarah dan orang itu sudah meninggal.

"Oskar memanggil saya.Untung pada saat itu semua hostes dan waiter sudah pulang sehingga niteclub sudah kosong. Saya segera mengenali identitas orang yang sudah mati ini. Saya suruh Oskar memberi tahu kedua petugas Satpam bahwa mereka boleh pulang. Setelah tidak ada orang lain lagi, kami putuskan untuk menyingkirkan jenazah Dokter Hariono ini. Saya tidak mau berurusan dengan polisi dan kalau niteclub ini sampai diberitakan di koran sebagai tempat terjadinya suatu pembunuhan, pasti bisnis saya hancur.

"Oskar dan saya membersihkan lantai dari noda darah. Lalu kami memeriksa isi saku Dokter Hariono. Kami menemukan kunci mobilnya. Saya menyuruh Oskar untuk

mengintip apakah jalan di luar sudah sepi, lalu Oskar dan saya menggotong jenazah itu keluar dan memasukkannya ke dalam mobilnya di tempat duduk sebelah kiri. Lalu Oskar yang mengemudikan mobil itu sedangkan saya mengikutinya di belakang dengan mobil saya sendiri. Setiba di Jalan Raya Waru, Oskar meninggalkan mobil, menggeser jenazah itu ke belakang tangkai pengemudi, lalu dia naik ke mobil saya dan kami pulang.

"Oskar sudah saya pesan supaya membersihkan semua sidik jarinya dari dalam mobil, tapi rupanya ada yang kelewatan."

"Hmph! Jadi sekarang Anda mengharapkan kami percaya dengan cerita khayal Anda ini?" tukas Kosasih.

"Saya berkata yang sebenarnya."

"Saya tidak punya kepercayaan lagi pada kata 'sebenarnya'dari Anda. Selama ini saya telah membuktikan bahwa Anda terlalu pintar berbohong."

"Saya berusaha melindungi tempat ini dari skandal, Pak. Pembunuhan merupakan publikasi yang jelek. Saya tidak ingin tempat ini terlibat."

"Apa saja yang Anda temukan bersama jenazah korban?" tanya Gozali menengahi.

"Tidak banyak. Saya menemukan kunci mobilnya di atas meja, dompetnya di sakti celananya beserta surat-surat keterangan identitasnya dan SIM-nya. Lain tidak."

"Uang?"

"Di dalam dompet saya lihat ada uang sekitar seratus ribuan. Saya tidak mengambilnya sepeser pun!"

Gozali mengangguk. Uang seratus dua puluh tiga ribu empat ratus lima puluh rupiah memang masih ada di dalam dompet yang mereka temukan.

"Selain itu ada apa lagi yang bisa menunjukkan apakah korban ke niteclub itu sendiri atau bersama orang lain?"

"Oh, ya! Di atas meja ada dua gelas kosong."

"Di mana gelas-gelas itu sekarang?"

"Oh, ya sudah dicuci dan dipakai lagi. Memangnya kenapa?"

"Dua gelas kosong menunjukkan korban tidak datang seorang diri. Seandainya Anda masih menyimpan gelas-gelas itu, kami bisa melacak siapa teman korban dari sidik jarinya yang tertinggal di gelas-gelas itu," kata Gozali.

"Saya tidak berpikir ke sana. Saya tinggalkan gelas gelas itu di meja dan keesokan paginya tentu sudah diambil oleh karyawan saya dan dicucinya."

"Apakah Anda pernah menanyakan hal ini kepada pelayan pelayan Anda?"

"Tidak. Saya tidak mau bertanya. Kalau mereka tidak melaporkan apa-apa, itu merupakan indikasi mereka tak tahu apa yang terjadi. Dengan menanyai mereka, saya malah hanya membangkitkan kecurigaan mereka saja."

"Sebaiknya sekarang Anda bertanya. Panggilkan pelayan yang malam itu melayani meja korban pelayan yang sama yang berbicara pada kami sebelum kami diganggu oleh kedatangan Anda kemarin."

"Panggilkan Trisno, Kar," kata Frans Malingkas.

Oskar Lengkong keluar dan kembali dengan seorang pelayan pemuda yang sama yang tempo hari bercakap-cakap dengan Kosasih.

Tapi ternyata sikap Trisno kali ini sudah berbeda. Dia tak lagi komunikatif. Setelah mendengarkan uraian singkat dari Kosasih mengenai ditemukannya Dokter Hariono terbunuh selagi menjadi tamu di kelab

malam ini, semua pertanyaan yang dilontarkan padanya dijawabnya dengan "Tidak tahu" atau "Tidak ingat.

"Anda telah menua cepat sekali dalam waktu dua puluh empat jam," sindir Gozali.

"Tiba tiba Anda menjadi pikun!"

Trisno bungkam. Dia sudah mendengar bagaimana kedua Satpam itu disingkirkan gara-gara "membocorkan rahasia jabatan". Tadinya dia tidak tahu apa masalahnya, tetapi sejak mengetahui bahwa ini adalah suatu kasus pembunuhan, dia tidak ingin berbuat sesuatu yang bisa merugikan majikannya yang akan mengakibatkan dirinya mengalami nasib yang sama seperti kedua Satpam itu. Mencari pekerjaan sekarang sulit, untuk apa harus menjadi pahlawan?

"Kemarin Anda mengatakan Anda ingat Bapak yang di foto ini, bahkan Anda mengatakan kalau tidak salah Anda sendiri yang melayaninya. Betul atau tidak?" dentum Kosasih.

Tnsno ingin mengatakan 'Tidak ingat' tapi tatapan mata Kosasih yang penuh amarah membuatnya keder.

"Y-y-ya," gagapnya.

"Jangan mencoba-coba berdusta atau

menolak memberikan keterangan. Anda bisa kami tahan sebagai saksi, Anda tahu! Sekarang. Bapak ini datang bersama seorang perempuan. Bagaimana ciri-ciri perempuan ini?"

"Eh... di sana gelap, Pak, perempuan itu duduk membelakangi saya. Saya tidak pernah melihat wajahnya."

"Anda tidak bisa menceritakan apa pun mengenai perempuan ini?"

Trisno menggeleng.

"Berapa kali Anda menghampiri meja mereka?"

"Eh... eh... empat kali, Pak, kalau saya tidak salah ingat."

"Empat kali dan Anda tidak bisa memberikan keterangan mengenai ciri-ciri perempuan itu!" bentak Kosasih.

Trisno mundur selangkah. Kaget.

"Untuk urusan apa saja Anda menghampiri meja itu sampai empat kali?" sela Gozali dengan suara yang lebih tenang.

"Eh... untuk mengantarkan pesanan mereka, Pak."

"Mereka pesan sampai empat kali? Begitu banyakkah makanan yang mereka pesan?"

"Eh... seingat saya mereka tidak memesan makanan, Pak. Mereka hanya memesan minuman."

"Sampai empat kali?"

"Ya kalau saya tidak salah ingat. Perempuan itu hanya memesan satu kali pada waktu mereka baru duduk, tapi Bapak itu memesan lagi tambahan sampai tiga kali."

"Selama Bapak itu memesan minuman, si perempuan diam saja?"

"Iya, Pak, gelasnya masih terisi."

"Kalau begitu mengapa di atas meja hanya ada dua gelas, Saudara Malingkas?" tanya Gozali kepada majikan Trisno.

"Seharusnya ada lima gelas!"

"Oh, gelas-gelas yang kosong saya angkat, Pak," kata Trisno sebelum majikannya memberikan jawaban.

"Setiap saya membawakan minuman baru, gelas yang lama yang sudah kosong, saya angkat."

"Pukul berapa Anda terakhir kalinya menghampiri meja itu?"

"Wah, saya tidak ingat, Pak. Saya tidak pernah melihat jam."

"Apakah sudah dekat waktu tutup niteclub atau masih lama tutupnya?" desak Gozali.

"Seingat saya masih lama, Pak."

"Dan Anda tidak kembali-kembali lagi ke meja itu?"

"Tidak, Pak, karena tidak ada yang memanggil."

"Jadi Anda tidak mengangkat gelas yang terakhir?"

"Tidak,"

"Apakah memang selalu demikian? Kalau tidak dipanggil Anda tidak memeriksa apakah tamu itu tidak membutuhkan tambahan pesanan?"

"Biasanya kalau saya melihat ada tamu yang pulang meninggalkan meja, baru mejanya saya datangi untuk saya bersihkan. Tamu-tamu kan tidak senang diintip waiter bolak-balik, Pak. Disangka nanti kami mau mencuri dengar pembicaraan mereka."

"Dan malam itu Anda tidak punya alasan untuk melongok meja Bapak ini lagi setelah mengantarkan pesanan yang terakhir?"

"Iya, Pak, karena saya juga tidak melihat dia meninggalkan meja."

"Apakah Anda tidak merasa heran kalau ada tamu yang tidak pulang?"

"Saya... saya tidak ingat khusus bahwa meja itu masih ada tamunya. Saya kan bukan hanya melayani meja itu saja, Pak. Terus terang malam itu saya tidak ingat untuk mengintip mengapa Bapak itu tidak meninggalkan meja."

"Menjelang tutupnya niteclub apakah bukan tugas Anda untuk memeriksa apakah semua meja sudah dibersihkan?" tanya Gozali.

"Tidak, Pak. Kami hanya membersihkan meja sebagai persiapan dipakai tamu berikutnya. Tapi kalau sudah waktunya pulang, kami tidak membersihkan meja lagi. Itu menjadi pekerjaan bagian pembersihan keesokan harinya. Mereka selain mengangkat peralatan makan-minum yang kotor, taplak meja yang kotor, sekalian membersihkan seluruh ruangan, Pak. Jadi memang biasanya kalau sudah pukul satu pagi, kami tidak lagi membersihkan meja. Kami hanya menghampiri tamunya apabila dipanggil."

"Dengan cara apa tamu memanggil Anda?"

"Oh, ada yang memakai isyarat tangan, ada yang memakai korek api yang diacungkan, ada yang memanggil 'Mas', atau "Dik", begitu."

Setelah yakin mereka memang tidak bisa mengorek apa-apa lagi dari pelayan ini, pemuda itu diizinkan kembali ke tempatnya.

"Nah, Saudara Malingkas, apa kata Anda sekarang?" tanya Kosasih.

"Saya benar-benar tidak membunuhnya, Pak. Pak Hariono sudah meninggal pada waktu saya datang."

"Mengapa Anda tidak berterus terang pada waktu itu dan memanggil polisi? Kalau memang bukan perbuatan Anda, polisi tentunya lebih mudah melacak pada saat itu ketika jejak si pembunuh masih panas daripada sekarang setelah lewat satu minggu!"

"Tapi saya benar tidak membunuhnya, Pak. Anda bisa tanya sendiri kepada Oskar. Dia yang melaporkan kepada saya bahwa ada orang yang meninggal di mejanya. Dia yang memberi tahu saya."

Kosasih berpaling kepada Oskar Lengkong.

"Jadi, kalau begitu, Anda-lah yang bertanggung jawab. Apakah Anda yang membunuhnya?"

Oskar Lengkong seperti tersengat aliran listrik.

"Tidak, Pak! Sungguh mati, tidak! Saya kenal saja pun tidak dengan Bapak itu!"

"Baiklah, sekarang kita bicarakan akte notaris ini," kata Kosasih menepuk-nepuk dadanya di mana akte notaris itu sudah bersarang kembali.

"Bagaimana status utang piutang ini?"

"Oh, semuanya sudah lama lunas, Pak," kata Frans Malingkas.

"Sudah lebih dari tujuh bulan yang lalu Dokter Hariono mengundurkan dirinya dari bisnis ini. Karena itu saya tadinya tidak menduga bahwa dia masih menyimpan akte notaris itu.

"Jadi pada saat meninggalnya, antara Dokter Hariono dengan Anda sudah tidak ada hubungan utang-piutang lagi?"

"Betul, Pak!"

"Menurut akte ini Dokter Hariono menyerahkan kepada Anda uang sejumlah tiga puluh enam juta sekitar tiga belas bulan yang lalu," kata Gozali menyela.

"Betul."

"Dan Anda mengatakan bahwa semuanya sudah Anda kembalikan kepadanya sekitar tujuh bulan yang lalu?"

"Persis."

"Anda bisa menunjukkan tanda terimanya?"

Wajah Frans Malingkas memucat.

"Eh... eh ada pasti ada," katanya tergagap,

"tapi tidak saya bawa sekarang."

"Kapan bisa Anda tunjukkan kami?"

"Eh... besok, besok. Besok saya antar ke tempat Anda."

"Mengapa besok? Suruh saja sekarang seseorang mengambilnya. Kami tunggu, toh Anda masih harus menjawab beberapa pertanyaan lagi," kata Kosasih.

"Wah, eh... saya lupa menyimpannya di mana, saya harus mencarinya dulu. Besok saja saya kirimkan kepada Anda."

"Mengapa Anda menerimanya sebagai kongsi?" tanya Gozali,

"Oh, karena saya memerlukan tambahan modal untuk merenovasi tempat ini. Tempat ini sudah tua, perabotannya harus diperbaiki, karpetnya harus diganti, tirainya sudah luntur, bentuk interiornya sudah tidak sesuai lagi. Jadi saya memerlukan tambahan modal."

"Mengapa Anda pergi ke Dokter Hariono?"

"Karena memang Dokter Hariono sering meminjamkan uangnya untuk jangka waktu yang tidak terbatas kepada pengusaha pengusaha yang membutuhkan."
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa tidak ke bank saja?"

"Urusan dengan bank terlalu berbelit. Mereka minta jaminan macam macam."

"Dokter Hariono tidak?"

"Tidak. Sebagai ganti jaminan dia mendapat pembagian hasil laba."

"Hm. Jadi tiga belas bulan yang lalu Anda membutuhkan tiga puluh enam juta. Anda tentunya tidak memiliki sendiri tiga puluh enam juta ini maka Anda meminjamnya dari orang lain. bukan?"

"Ya. Saya kekurangan modal."

"Kalau begitu tolong jelaskan dari mana Anda memperoleh uang itu setengah tahun kemudian sehingga Anda bisa melunasi utang Anda pada Hariono."

"Oh!" Mata Frans Malingkas berkelebat ke sudut-sudut ruangan mencari objek yang bisa dipandangnya asal saja bukan tatapan tajam mata Gozali.

"Saya tidak tahu bahwa bisnis niteclub itu begitu menguntungkan sehingga dalam waktu setengah tahun Anda bisa memperoleh uang tiga puluh enamjuta untuk dibayarkan kembali kepada kreditur Anda. Saya ingin tahu berapa yang Anda cantumkan dalam laporan pajak Anda," senyum Gozali.

"Oh,... eh, uang itu tentu saja bukan uang saya semuanya, Pak," kata Malingkas.

"Jadi uang siapa?"

"Saya meminjamnya dari salah seorang famili saya."

"Kalau begitu mengapa tidak sejak semula Anda meminjam dari famili ini saja daripada harus ke Dokter Hariono?"

"Eh... eh... waktu itu saya sedang terdesak sedangkan famili saya ini belum punya uang."

"Lalu tiba-tiba setengah tahun kemudian dia bisa punya uang sebanyak itu?" tanya Gozali.

"Uangnya tadi terikat dalam usaha lain. Tapi pada waktu saya menanyakannya lagi tujuh bulan yang lalu, kebetulan dia bisa membantu."

"Lalu Anda bayar kembali semua utang Anda pada Dokter Hariono'?"

"Ya."

Gozali menatap tajam wajah pria ini yang masih celingukan tak berani menentang pandangannya.

"Baiklah, saya terima penjelasan Anda kali ini," kata Gozali.

"Tapi kalau nanti terbukti Anda berbohong, keterangan Anda tadi merupakan tali gantungan Anda sendiri! Malam ini di hadapan saksi Anda telah

mengatakan bahwa Anda tidak punya lagi utang pada Dokter Hariono. Kalau ternyata ini tidak benar, itu merupakan motif istimewa bagi Anda untuk melenyapkan kreditur Anda!"

Gozali mengangguk kepada Kosasih sebagai tanda untuk meninggalkan tempat. Tapi di pintu dia berbalik dan berkata,

"Jangan mencoba melarikan diri, Saudara Malingkas. Kami pasti bisa mengejar Anda kembali. Dan pada waktu itu tidak ada ampun lagi bagi Anda!"

****

"KAU ini hanya mencari-cari alasan saja supaya bisa bertemu lagi dengan janda cantik itu," senyum Kosasih di pagi hari yang cerah ini.

Gozali yang duduk di belakang kemudi jip dinas Kosasih, tergelak.

"Habis! Untuk apa sih ke sana! Kita kan sudah yakin Frans Malingkas-lah yang melakukan pembunuhan itu. Aku heran mengapa kemarin dia tidak kita tahan saja, Sudah terang-terangan dia ngibulin kita berkali-kali!"

"Keterangannya mengenai utangnya pada Hariono sudah pasti juga cuma omong kosong."

"Itu pun pendapatku!"

"Utangnya pasti sampai sekarang belum lunas. Hanya saja dia memakai kesempatan

ini untuk membebaskan dirinya dari utang itu. Sayangnya dia tidak mengira kita bakal menanyakan dari mana dia memperoleh uang untuk melunasi utangnya itu! Seandainya dia tahu, pasti dia sudah menghubungi teman-temanya dan dia bisa menunjukkan bukti-bukti lengkap dengan tanda terimanya segala!"

"Aku sudah mengira begitu juga. Tapi mengapa kita masih membiarkannya lolos, Goz? Aku pikir tadinya indria keenammu mengatakan bahwa keterangannya benar, jadi aku diam saja. Kalau ternyata kau pun mempunyai kecurigaan yang sama, ya lebih baik sekarang Malingkas kita tahan saja."

"Aku masih belum puas dengan kasus ini. Masih ada hal yang belum terungkap."

"Kau minta apa lagi? Motif sudah ada yaitu uang tiga puluh enam juta ini, kesempatan ada. Hariono mati di tempat Mallngkas. Apa lagi yang membuatmu tidak puas?"

"Kita belum menemukan identitas perempuan yang berada di niteclub itu bersama Hariono."

"Kawanggap itu penting?"

Gozali mengangkat bahunya.

"Aku tidak tahu sebelum aku tahu siapa

perempuan itu."

"Kaukira dia adalahjanda kembang ini?" tanya Kosasih.

"Kita lihat sajalah nanti."

Jip berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat yang besar dan megah di Jalan Manyar Kertoarjo. Di halaman depan terpampang sebuah papan nama dengan tulisan yang artistik berbunyi "Madona" dan di bawahnya "Cabang Surabaya". Pintu halaman terbuka dan dua buah mobil tampak diparkir di sana sebuah Honda Accord perak yang berkilat ditimpa sinar matahari dan sebuah Chevrolet Luv kabin rangkap.

Mereka masuk ke dalam ruangan yang ditata dengan selera feminin. Seluruh dinding dan langit langit bangunan ini berwarna putih bersih, ruangannya harum dan didinginkan oleh AC.

"Selamat pagi, Pak. bisa saya bantu?" kata Siska yang duduk di meja di sudut ruangan itu. Dia mengenali kedua laki-laki ini sebagai orang-orang Polda Jatim yang tempo hari bertemu di kamar mayat.

"Ah, ya, kami mencari Nyonya Anastasia Castillo" kata Kosasih.

"Silakan tunggu, Pak," kata gadis itu membawa mereka duduk di sofa yang cmpuk.

"Bu Ana akan saya beri tahu." Dia menghilang ke dalam.

"Polisi yang tempo hari ketemu kita di rumah sakit itu datang, Bu Ana," kata Siska melaporkan.

"Apakah saya suruh mereka masuk atau Bu Ana menemui mereka di luar?"

"Polisi?" tanya Anastasia heran.

"Mengapa mereka kemari? Apakah bukan Martin yang mereka cari?"

"Katanya mau ketemu Bu Ana."

"Mengapa mencari aku?" kata Anastasia lebih kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba hatinya merasa nyeri. Rasa takut sudah menyelinap masuk.

"Apakah perlu saya tanya apa keperluannya?" tanya Siska.

"Kok rasanya kurang pantas kalau saya tanya."

"Sudah, antarkan mereka masuk kemari saja. Apakah Martin ada?"

Sejak kematian ayahnya Martin belum muncul di tempat ini lagi.

"Nggak ada, Bu."

"Ya, sudah, suruh mereka masuk, biar saya temui sendiri," kata Anastasia.

Siska keluar mengantarkan kedua orang

tamunya masuk ke ruang kerja Anastasia. Go7ali terpesona melihat apa yang ada di hadapannya. Baik si nyonya rumah yang tampak begitu anggun dan cantik maupun ruangan ini seluruhnya berwarna putih.

"Silakan duduk, Pak," kata Anastasia menunjuk seperangkat kursi tamu di depan mejanya.

"Apakah yang bisa saya bantu?"

"Selamat pagi, Nyonya!" sapa Kosasih.

"Kami terpaksa mengganggu Anda berhubung ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ajukan. Tentunya Anda tidak berkeberatan menjawabnya, kan?"

Anastasia mengangguk-otomatis.

"Selama saya bisa saja," katanya.

"Toh saya tidak tahu apa-apa tentang kematian ayah Martin." Dia menekankan bahwa orang yang mati itu hanya dikenalnya sebagai ayah karyawannya, bukan sebagai kenalannya sendiri.

"Anda sebelumnya tidak pernah berkenalan dengan almarhum?" tanya Gozali.

Anastasia mengangkat alisnya. Sepasang mata yang bening dan tajam menatapnya dengan blakblakan. Sinar matanya tidak mengandung nada jahat, namun mata itu amat tajam seolah-olah sanggup mendeteksi semua kebohongan dan kepalsuan. Dengan sedikit ragu-ragu Anastasia menjawab,

"Ah... belum, belum. Saya belum pernah mengenalnya secara pribadi."

Pada saat itu terdengar ketukan di pintu dan detik berikutnya kepala Martin muncul di ambang.

"Selamat pagi!" sapanya kepada semua.

"Oh, Martin! Kau baru datang?" tanya Anastasia gembira. Inilah pertama kalinya dia melihat Martin sejak terakhir bertemu di pemakaman.

"Ya. Semua urusan sudah selesai," kata pemuda itu.

"Siska mengatakan bahwa kau mencari aku?"

"Ya," senyum Anastasia.

"Bapak-bapak polisi ini mungkin mau tanya apa-apa padamu, Tin."

Martin mengangguk kepada Kosasih dan Gozali.

"Apakah sudah ditemukan siapa yang telah membunuh ayah saya?" tanya pemuda itu yang langsung duduk bersama mereka.

"Justru untuk maksud itulah kami kemari,"jelas Kosasih.

"Kami ingin menanyakan sesuatu kepada Nyonya Castillo."

"Kepada Mbak Ana? Mengapa?" tanya

Martin heran.

Gozali mencatat dalam benaknya bahwa pemuda itu membahasakan "Mbak' kepada majikannya.

"Kami sudah mengetahui di mana ayah Anda menemui ajalnya," kata Kosasih,

"dan..."

"Di mana?" putus Martin tertarik.

"Yang jelas tidak di dalam mobilnya," sela Gozali.

"Di niteclub Purnama," tambah Kosasih.

"Di niteclub Pumama? Lho, kok bisa di sana? Apakah tidak salah?" tanya Martin.

"Mengapa salah?"

"Kata polisi Bapak ditemukan di dalam mobilnya di Jalan Raya Waru, kok sekarang jadi niteclub?"

"Jenazahnya dipindahkan. Tidak terlalu sulit untuk memindahkan jenazah, bukan? Asal ada minimal dua orang saja."

"Jadi pembunuhannya terjadi di niteclub'?" tanya Anastasia dengan wajah yang lebih pucat dari semula.

"Ya. Terakhir kalinya dia diketahui hidup adalah ketika memesan minuman dari seorang pelayan. Dan itulah sebabnya mengapa kami kemari," kata Kosasih.

"Maksud Pak Kapten?" tanya Martin.

"Si pelayan mengatakan pada waktu itu Dokter Hariono bersama seorang perempuan. Begitu pula si Satpam yang melihat ayah Anda masuk ke "freeclub itu bersama seorang perempuan. Perempuan itu naik sedan Honda Accord warna perak sama dengan mobil yang kami lihat diparkir di depan."

Mulut Anastasra terbuka.

Martin berkata,

"Ah, gila! Jadi Anda mengira mobil Honda Accord yang di depan itu adalah mobil yang sama yang dipakai perempuan misterius itu? Ini kan lucu? Di Surabaya ada berapa ratus Honda Accord warna perak, kenapa mencari kemari?"

"Kami tidak mengatakan belum mengatakan-bahwa mobil itu mobil Nyonya Castillo. Kami baru akan bertanya apakah malam itu Nyonya Castillo keluar membawa mobilnya?" kata Kosasih.

Martin-lah yang lebih dulu menjawab sebelum Anastasia membuka mulutnya.

"Mbak Ana tidak ke mana-mana malam itu. Kami ada di rumah di sim, setelah makan kami malah main catur bersama di kamar."

Gozali menatap wajah Anastasia yang

tampak gelisah.

"Pukul berapa Anda di rumah, Nyonya Castillo?" tanyanya langsung.

"Eh... saya..."

"Sepanjang malam!" sahut Martin yang melihat kekasihnya tergagap.

"Bahkan sepanjang hari itu Mbak Ana tidak keluar."

"Apakah tidak mungkin Anda salah ingat?" tanya Gozali.

"Tentu saja tidak! Malam itu Mbak Ana malah mengatakan akan pergi ke Jakarta besoknya, jadi kami membicarakan beberapa masalah yang harus diselesaikan selama kepergiannya. Setelah itu kami makan malam bersama dan main catur sebentar, lalu kami tidur. Keesokan harinya Mbak Ana sudah bersiap-siap mau berangkat ke Jakarta ketika menerima telepon dari polisi bahwa ayah saya kecelakaan dan saya dipanggil ke rumah sakit."

Gozali memandang Anastasia yang membisu.

"Betul keterangan Saudara Martin ini, Nyonya Castillo?" tanyanya.

"Ya, ya."

"Saya heran mengapa Anda mencurigai Mbak Ana," kata Martin.

"Mbak Ana sama sekali tidak mengenal ayah saya, untuk apa menemuinya di niteclub segala!"

"Baiklah,kalau begitu kata Anda,Saudara Martin," kata Gozali mengangkat pantatnya dari kursi yang empuk.


Rumah Bercat Putih Painted House Karya Wiro Sableng 102 Bola Bola Iblis Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah

Cari Blog Ini