Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd Bagian 6
"Kami akan melacak ke tempat lain. Seperti kata Anda di Surabaya memang ada ratusan mobil Honda Accord perak."
Gozali membuka pintu kamar kerja Anastasia dan melangkah keluar. Tapi di ambang pintu dia sengaja berpaling dan menyaksikan bagaimana Martin meletakkan tangannya di bahu Anastasia seakan-akan siap melindunginya dari segala serangan.
"Sudah kubilang, mustahil janda ini yang berada bersama korban di niteclub," kata Kosasih.
"Dia punya alibi yang kuat. Ternyata dari anak korban sendiri!"
"Aku kira pemuda itu berbohong," kata Gozali tenang.
"Mengapa?" Kosasih menyeringai.
"Hanya karena keterangan yang diberikannya berlainan dengan harapanmu, kawanggap dia
yang berbohong. Mungkin firasatmu yang tidak tepat sekali ini."
"Sikap perempuan itu terlalu gelisah ketika berbicara dengan kita tadi. Wajahnya pucat."
"Mungkin saja dia merasa segan karena harus mengutarakan bahwa malam itu dia berada bersama pemuda ini. Mungkin dia malu kepada kita, takut dicap tante girang atau apa."
"Aku tetap curiga pasti ada apa-apanya," kata Gozali.
"Goz, yang memberinya alibi justru anak korban sendiri! Tak mungkin anaknya sendiri mau melindungi seorang pembunuh yang menghabisi nyawa ayahnya, kan!"
"Pemuda itu sedang jatuh cinta. Orang yang jatuh cinta rela berbuat apa saja untuk menolong kekasihnya. Apalagi hubungan antara pemuda itu dengan ayahnya tidak terlalu erat."
"Perempuan itu tidak mengenal Hariono sama sekali, apa motifnya membunuh laki-laki itu?" kata Kosasih.
"Sudahlah, aku tetap berpendapat si Frans Malingkas ini yang bertanggung jawab. Kalau kita lacak lebih lanjut, pasti kita bisa membuktikan bahwa utang itu masih belum terbayar. Mungkin dokter itu ke sana untuk membicarakan masalah utangnya, mereka bertengkar lalu Malingkas menusuknya, kemudian mayatnya ditinggalkan dimeja begitusaja.Mungkin memang benar ketika si Oskar menemukan jenazah dokter itu dia sudah mati, tapi matinya karena sudah lebih dulu dibunuh oleh Malingkas."
"itu suatu kemungkinan, Kos. Aku tidak mengatakan perempuan ini yang membunuhnya. Tapi aku punya firasat bahwa perempuan ini yang berada bersama Hariono di kelab malam itu."
"Aku tidak melihat alasannya mengapa perempuan ini perlu menemui dokter itu di sana. Dia sudah berpacaran dengan anaknya, kok, masa masih perlu menggaet bapaknya lagi!"
"Kita tidak tahu," kata Gozali.
"Cuma aku merasa curiga dengan sikapnya yang gelisah tadi."
"Sebaiknya kita mencari sumber-sumber baru, Goz," usul Kosasih.
"Kita bicara dengan personel dokter itu di kliniknya, dan kita juga bisa melacak pembayaran utangnya dari Malingkas."
***
Pukul tiga siang Anastasia masuk Ke kamarnya diikuti oleh Martin. Kegiatan kantor masih berjalan sebagaimana biasanya, tetapi tak ada dari antara karyawan-karyawannya yang lain yang berani usil mencampuri urusan majikan mereka.
"Tidak, Martin! Aku tidak ingin kau ikut ke Jakarta," kata Anastasia sambil mulai memasukkan beberapa botol krem kosmetik ke dalam tasnya.
"Kau tahu sendiri kehadiranmu dibutuhkan di sini. Polisi masih belum selesai menyelidiki kasus kematian ayahmu. Kau harus berada di sini untuk membantu mereka."
"Kalau begitu kaupun jangan pergi! Aku tidak melihat kepentingan apa yang begitu mendesak sehingga kau harus pergi sekarang." kata Martin.
"Toh di Jakarta semuanya sudah bisa ditangani oleh mereka sendiri. Lagi pula... lagi pula aku sangat merindukanmu. Sudah satu minggu aku tidak tidur di sini. Mulai malam ini aku ingin tidur di sini lagi bersamamu."
Anastasia membelalak.
"Martin! Hubungan kita ini harus berakhir! Harus! "Bukankah sudah kujelaskan padamu bahwa hal ini tidak bermanfaat baik bagi kita berdua? Anggaplah aku ibumu. aku cukup tua untuk menjadi ibumu. Jangan berpikiran yang bukan-bukan lagi!"
"'Tidak! Aku tidak setuju! Sekarang semuanya telah berubah. Tidak ada alasan lagi mengapa kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Bahkan sekarang aku bisa antarkan perkawinan padamu. Aku akan mewarisi harta Bapak, kau tak perlu lagi bekerja, tak perlu lagi mengusahakan biro model ini. Kita bisa mengucilkan diri ke gunung atau apa, aku punya uang cukup untuk menghidupi seorang istri."
Anastasia berdiri dari sikap membungkuknya tadi karena sedang memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas.
"Martin," katanya lembut.
"Tidak ada yang berubah. Pendirianku tidak berubah. Kita tak boleh melanjutkan hubungan ini. Kembalilah kau pada pergaulan yang sehat, dengan anak-anak sebayamu. Untuk apa kau menggandoli aku! Dengarlah, Martin, nasihatku ini demi kebaikan dirimu. Hidupmu masih panjang. Sekarang kau tiba-tiba menjadi pemuda yang kaya, punya banyak uang. Kau harus pandai-pandai belajar memutarkan uang itu agar bisa bertambah dan menjamin seumur hidupmu. Pakailah pikiranmu untuk memikirkan hal-hal yang bermanfaat dan pada saatnya nanti kau akan mendapatkan gadis yang cocok bagi dirimu."
Tiba-tiba secara kasar Martin menghampiri Anastasia dan mencengkeram bahunya.
"Aku tak mau lagi mendengar obrolan begini! Sejak semula sudah kukatakan bahwa aku menganggap hubungan kita ini hal yang serius, bukan cuma kembang semusim! Kalau dulu aku tak punya kemampuan untuk menikahimu, sekarang ini lain! Aku mencintaimu, Ana, tak peduli betapa usiamu. Aku mencintaimu dan aku ingin kau menjadi istriku."
"Martin! Kau menyakiti aku!"bentak Anastasia.
Pemuda itu terkejut dan segera melepaskan cekalannya.
"Oh, maaf, Mbak, maaf! Aku tak bermaksud menyakitimu. Sungguh! Tapi aku menjadi emosi setiap kali kau mengatakan bahwa
kita harus putus. Aku tak akan bisa hidup tanpa dirimu. Jadilah istriku!"
"Aku kira kau sudah sadar ketika aku menceritakan padamu bahwa aku ini bekas kekasih ayahmu. Mengapa sekarang kau bersikap demikian lagi?"
"Aku sudah berusaha. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku sudah berusaha menghilangkan perasaanku terhadapmu. Tapi aku tidak bisa, Mbak. Aku tidak bisa! Dan sekarang dengan meninggalnya Bapak, hal itu tak perlu kita singgung lagi. Pada waktu kau menjadi kekasih Bapak, aku tidak tahu itu bagian hidupmu yang lain, tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Yang penting adalah sekarang, dan sekarang adalah kita! Aku tak peduli kau pernah menjadi kekasih siapa itu sudah lampau. Yang berarti hanyalah bahwa sekarang kau adalah kekasihku!"
"Martin, itu hal yang haram! Kita manusia, kita bukan binatang yang tidak mengenal akhlak. Seandainya dari dulu aku tahu kau adalah anak Hariono, aku tak akan mengizinkan hal ini terjadi!"
"Tapi Bapak sudah meninggal! Mengapa masih dipersoalkan?" kata Martin mengiba.
"Mati atau hidup, faktanya tak akan berubah, Martin," kata Anastasia.
"Dia pernah menjadi kekasihku. Walaupun sekarang dia mati, aku tidak bisa menghapus tiga tahun dari hidupku yang kulewatkan bersamanya!"
Martin berpaling dan meninju dinding. menangis.
"Bapak keparat! Bapak keparat!... huhuhu dari dulu cuma bisa merusak hidupku... huhuhu selama hidup selalu membuat aku menderita, sekarang mati pun tetap membuat aku menderita! Kapan aku bisa bebas dari beban ini? Kapan? Kapan? huhuhu... Aku benci padamu! Aku benci padamu! Seharusnya aku tak boleh lahir, mengapa aku dilahirkan hanya untuk menjadi korban perbuatanmu saja? Apa kesala hanku sehingga harus menerima hukuman ini? Apa kesalahanku? Bapak, kau kejam! Kau kejam! Kau..."
Anastasia meninggalkan kamarnya tanpa suara. Di lantai dasar Siska bersiap siap pulang sedangkan karyawan-karyawannya yang lain sudah tak tampak lagi batang hidungnya.
Setengah jam kemudian ketika Martin sadar bahwa dia hanya seorang diri di dalam kamar, dia mendapatkan Anastasia sudah
pergi. Dia hanya sendiri di rumah besar itu
***
PELACAKAN mengalami kemajuan selama beberapa hari yang terakhir.
Di antara hasil mereka yang menggembirakan adalah kesuksesan mereka mengkonfirm kecurigaan polisi bahwa Frans Malingkas belum pernah mengembalikan uang pinjamannya kepada Dokter Hariono. Baik dalam rekening rekening bank dokter itu, maupun surat surat deposito yang mereka temukan, mereka tidak melihat adanya pemasukan sebesartiga puluh enamjuta selama setengah tahun yang terakhir. Yang mereka temukan justru saat ketika uang itu dikeluarkan dari rekening bank sang dokter yang terjadi pada hari yang sama akte notarisnya dibuat.
Hal lain yang berhasil mereka ungkapkan adalah bahwa dokter ahli kandungan ini
merupakan seorang yang mata keranjang , suka pada paras cantik dan di dalam hidupnya dari waktu ke waktu dia selalu mempunyai kekasih gelap. Begitulah kisah perawatnya, Nyonya Siregar, yang sudah ikut bekerja padanya selama lebih dari dua puluh tahun.
"Dari mana Anda tahu?" tanya Kosasih.
"Tentu saja," kata Nyonya Siregar dengan logat khas Batak-nya.
"Ada yang sampai berani muncul ke tempat prakteknya, Pak, ada yang setiap hari menelepon. Saya selalu tahu. Pak Dokter toh harus minta kerja sama saya untuk memperlancar hubungan hubungan gelapnya itu. Sering kali prakteknya sudah tutup sejak sore hari, tetapi saya harus menunggu di sini seperti biasa, menjaga kemungkinan jika sewaktu waktu istrinya menelepon. Kepada istrinya saya harus menga takan bahwa Pak Dokter sedang sibuk sekali dan nanti akan saya suruh telepon kembali."
"Lalu apakah Pak Dokter menelepon kembali?" tanya Kosasih yang menjadi tertarik dengan seribu-satu tipu daya laki laki menghadapi istrinya.
"Ya."
"Tentunya Pak Dokter tidak berpacaran
di tempat prakteknya, toh?" tanya Kosasih heran.
"Oh, tidak. Tetapi dia selalu menelepon saya untuk menanyakan apakah ada pesan dari istrinya."
"Tahukah Anda ke mana Pak Dokter pada saat-saat itu?"
"Tidak."
"Apakah istrinya memang sering menelepon?"
"Bu Dokter yang pertama lebih sering, Bu Dokter yang sekarang jarang sekali."
"Kenalkah Anda secara pribadi dengan istriistri Pak Dokter?"
"Oh, ya! Bu Dokter yang pertama orangnya ramah, terkadang suka mengundang saya ke rumah, terkadang muncul di tempat praktek mungkin untuk mengecek suaminya," senyum Nyonya Siregar.
"Tapi dia tidak pernah berhasil menangkap basah Pak Dokter," tambahnya.
"Dan istrinya yang sekarang?"
"Oh, saya cuma pernah melihatnya satu kali, yaitu pada waktu resepsi perkawinan mereka. Bu Dokter yang sekarang ini tidak begitu akrab dengan kami."
"Sejak kapan Pak Dokter ini sudah punya pacar-pacar gelap di luar?" tanya Gozali.
"Apakah sudah sejak istri pertamanya?"
"Iya," bisik Nyonya Siregar.
"Pak Dokter itu telalu punya pacar. sejak saya bekerja di sini memang sudah pembawaannya begitu."
"istri-istrinya tahu?"
"Istrinya yang pertama? Ya, saya kira dia tahu. Dia sering bertanya pada saya, Itulah sebabnya dia suka menelepon atau tiba-tiba muncul di tempat praktek."
"Dan istrinya yang sekarang?"
"Wah. yang sekarang saya tidak tahu, habis, dia tidak pernah berbicara dengan kami."
"Ada berapa orang pacar yang pernah dimiliki Pak Dokter?" tanya Kosasih ingin tahu.
"Ah, nggak terhitung, Pak! Selama dua puluh tahun ini paling sedikit ada dua puluh orang!"
"Jadi berganti-ganti begitu?"
"Iya. Ada yang cuma berjalan dua-tiga bulan, ada yang lebih lama sampai satu tahun. Yang paling lama ya affair-nya dengan salah seorang mahasiswanya sendiri yang pernah menjadi perawatnya juga. Itu berjalan hampir tiga tahun. Kalau tidak salah saya masih punya foto gadis itu. Bapak mau lihat?"
"Boleh," senyum Kosasih.
Nyonya Siregar bergegas masuk dan kembali dengan sebuah album.
"Foto ini diambil ketika rekan-rekan perawat merayakan hari ulang tahun saya. Tahun sembilan belas enam puluh enam. Nah, ini saya, ini Hettie, rekan perawat yang lain, dan ini Seruni, pacar Pak Dokter. Yang membuat foto ini adalah Pak Dokter sendiri."
Tiga wajah polos memandang mereka dengan pandangan yang tidak berdosa. Tiga gadis yang sekarang tentunya sudah menjadi ibu-ibu semua.
"Umur berapa gadis ini pada waktu itu, Bu?" tanya Gozali memperhatikan foto tersebut.
"Oh, saya tidak tahu pasti. Waktu itu dia baru bergabung dengan kami, baru dua bulanan, tapi dia sudah mahasiswa. Paling sedikit ya ada sembilan belas atau dua puluh tahun."
"Lalu putusnya bagaimana?"
"Entah, tiba-tiba gadis ini tidak pernah muncul di tempat praktek Pak Dokter lagi. Tahu-tahu menghilang begitu saja. Menurut Pak Dokter dia sudah tidak berminat lagi dengan bidang kedokteran."
"Anda masih punya foto pacar-pacarnya yang lain?"
"Wah, tidak. Saya kebetulan punya foto si Seruni ini karena kami bekerja di tempat yang sama," senyum Nyonya Siregar.
"Tapi pacar Dokter Hariono memang cantik-cantik kok semuanya. Pak Dokter sendiri kan orangnya juga gagah."
Kosasih menebak mungkin perempuan ini dulu pun mengharapkan bisa mendapatkan perhatian Dokter Hariono. Bukankah dia sendiri pun bekerja padanya sejak masa gadisnya?
"Bagaimana reaksi istri-istrinya terhadap penyakit suaminya ini?" tanya Kosasih.
"Bu Dokter yang pertama orangnya sakitsakitan, senewen begitu. Saya kira pasti karena menderita tekanan jiwa akibat hobi suaminya. Mungkin itulah sebabnya dia mati muda."
"Bagaimana matinya?"
"Bu Dokter mengidap penyakit lambung kronis."
"Dan suaminya tidak bisa menyembuhkan?" tanya Kosasih.
"Saya kira istrinya sendiri yang sudah apatis, tidak bersemangat lagi untuk hidup. Setelah kematiannya Pak Dokter baru tahu
bahwa obat obatan yang seharusnya diminum masih utuh semuanya. Pada waktu serangannya yang terakhir dan dia dilarikan ke rumah sakit, ternyata sakitnya sudah parah, tidak tertolong lagi."
"Kapan istrinya ini meninggal?"
"Oh, sekitar... ada kalau sepuluh tahun yang lalu."
"Pada waktu itu Dokter Hariono punya pacar?"
Nyonya Siregar menekur.
"Hm, saya ingat begitu. Kalau tidak salah justru pada waktu itu sedang gencar-gencarnya Pak Dokter merayu semang janda sampai-sampai dia tidak memperhatikan kesehatan istrinya yang semakin memburuk."
"Setelah istrinya meninggal mengapa Pak Dokter tidak menikah dengan j anda itu saja?"
"Saya tidak tahu. Yang jelas Pak Dokter cepat bosan. Dia suka berganti-ganti perempuan. Dengan janda itu pun tidak berlangsung lama affair-nya. Mereka putus setelah beberapa bulan."
"Bu Dokter yang sekarang dulujuga pernah menjadi pacar gelapnya?"
"Oh, saya kira tidak. Bu Dokter ini adalah adik temannya dan kawinnya juga karena dijodohkan. Bahkan sebelum mereka kawin, Bu Dokter ini cuma bertemu beberapa kali dengan Pak Dokter."
"Mengapa Pak Dokter tidak memilih istri dari antara pacar-pacarnya saja?"
"Umumnya pacar-pacarnya itu adalah istri-istri orang atau janda-janda. Satu-dua ada yang masih gadis. Tapi semuanya dianggapnya tidak pantas menjadi istrinya. Pak Dokter ingin mempertahankan statusnya dengan mengambil seorang istri dari keluarga baikbaik yang sebelumnya tidak pernah digosipkan orang beipacaran dengannya. Kalau nanti di luar rumah dia masih pacaran lagi, itu urusan belakang, selama yang menjadi istri resminya harus perempuan yang cocok dengan status dan usianya."
"Apakah Pak Dokter sekarang juga punya pacar?" tanya Gozali.
"Kira-kira tiga bulan yang lalu dia baru putus dengan pacarnya yang terakhir, seorang perempuan piaraan orang. Tapi beberapa minggu menjelang kematiannya rupanya Pak Dokter sedang merintis hubungan dengan perempuan lain-siapa, saya belum tahu."
"Dari mana Anda tahu dia sedang merintis
hubungan?" tanya Gozali.
"Oh, setelah berkumpul sekian puluh tahun dengannya, saya bisa membaca gelagatnya," senyum Nyonya Siregar.
"Akhir-akhir ini dia banyak senyum, banyak bergurau, hatinya gembira sekali, juga lebih memperhatikan pakaiannya, lebih sering menyisir rambutnya, lebih banyak memakai minyak wangi yah, pokoknya sudah saya tengeri, setiap dia punya mangsa baru, dia pasti bersikap seperti remaja yang mabuk cinta."
"Apakah kegemarannya ini tidak membuatnya punya banyak musuh?"
"Ah, tidak. Dokter Hariono tidak punya musuh, kecuali mungkin satu orang."
Telinga Gozali berdiri.
"Siapa?"
"Saya tidak tahu siapa, tapi saya tahu nomor teleponnya dan bahwa namanya adalah Pak Frans."
Gozali duduk lebih maju lagi ke depan.
"Mengapa Dokter Hariono bermusuhan dengan Pak Frans ini?"
"Jelasnya saya tidak tahu. Saya kira karena uang. Dokter Hariono akhir-akhir ini sudah beberapa kali menyuruh saya menelepon Pak Frans, tapi rupanya orang itu selalu mengelak. Pak Dokter marah-marah kalau tidak bisa berbicara dengannya. Tapi yang terakhir Pak Dokter sempat berbicara sendiri dan saya dengar dia minta uangnya dikembalikan atau apa."
Kosasih dan Gozali saling bertukar pandangan.
"Eh, kecuali dengan Pak Frans ini, apakah tidak pernah ada laki-laki atau suami yang cemburu pada Pak Dokter?" tanya Kosasih.
"Setahu saya tidak ada. Pilihan Pak Dokter selalu jenis perempuan yang bisa bebas menjalin hubungan dengannya. Kalaupun dia istri orang, tentunya Pak Dokter memilih yang suaminya sedang dinas di luar kota. Pokoknya Pak Dokter cukup berhati-hati."
"Bagaimana dengan karyawan-karyawannya sendiri?" tanya Gozali.
"Apakah ada yang tidak menyenanginya, atau merasa tidak puas terhadapnya?"
"Sampai perlu membunuhnya?" tanya Nyonya Siregar.
"Tentu saja tidak! Namanya orang bekerja dan berkumpul bersama setiap hari, pertengkaran sih pasti pernah terjadi, tapi tidak mungkin sampai ada yang ingin membunuhnya."
"Siapa yang pernah bertengkar dengannya?" tanya Gozali.
"Kalau Anda tidak bertanya, saya sih juga tidak mau bercerita nanti dikira mau mempersulit teman. Tapi dua hari sebelum kematiannya, Pak Dokter bertengkar dengan Dokter Muda Made, bahkan sampai mengeluarkan kata-kata akan memecatnya!"
"Siapa Dokter Muda Made ini?"
"Oh, dia asisten Dokter Hariono. Sejak dua tahun yang lalu, Dokter Hariono merasa perlu memakai asisten untuk gantian bertugas di kliniknya."
"Mengapa mereka bertengkar?"
"Dokter Made merasa bahwa seharusnya dia mendapat komisi atau bagian dari honor yang dibayarkan pasien yang ikut ditanganinya dan bukan cuma mendapat gaji saja seperti perawat perawat."
"Lalu?"
"Pak Dokter tidak sependapat."
"Mereka bertengkar?"
"Ya."
"Dan akhirnya Dokter Made dipecat?"
"Pak Dokter sewaktu mengatakan begitu sedang emosi. Kalau pada waktu emosi, Pak Dokter memang suka keterusan bicara, tapi saya kira dia tidak benar-benar bermaksud
memecat Dokter Made."
"Kesudahannya?"
"Itu terjadi dua hari sebelum kematiannya, jadi pada hari Senin. Hari Selasanya Pak Made tidak masuk karena memang itu harinya libur. Tapi Rabu paginya Pak Made juga tidak masuk. Kami mengira dia masih ngambek. Tidak tahunya hari Kamis kami menerima kabar tentang kematian Dokter Hariono."
"Sekarang di mana kami bisa menemui Dokter Made?"
"Dokter Made sekarang yang meneruskan klinik Dokter Hariono. Klinik itu kan masih ada pasien-pasiennya, tidak bisa ditinggalkan begitu Saja. Hanya prakteknya saja yang tutup untuk sementara, tapi sebelum pasien yang terakhir meninggalkan klinik, Dokter Made-lah yang bertanggung jawab di sana."
Dokter Made baru pulang dari dinas di RSU ketika Kosasih dan Gozali tiba di rumahnya. Mereka beruntung mendapatkan dokter ini sebelum dia berangkat ke klinik
Dokter Hariono.
Seorang laki-laki yang berperawakan gemuk besar dengan cambang lebat, berusia sekitar tiga puluhan, menerima kedatangan mereka dengan sikap yang tidak begitu ramah.
"Saya tidak tahu apa-apa mengenai kematian Dokter Hariono. Maafkan, saya tidak bisa membantu Anda," kata Dokter Made.
"Anda bisa menceritakan di mana Anda berada pada waktu pembunuhan itu terjadi," kata Kosasih.
"Saya tidak tahu kapan pembunuhan itu terjadi," jawab Dokter Made meloloskan diri dari jebakan.
"Antara pukul delapan dan sebelas malam tanggal dua puluh sembilan yang lalu."
"Oh, Anda boleh bertanya kepada istri saya kalau begitu," katanya. Lalu dia mengangkat suaranya dan memanggil istrinya,
"Ma!"
Seorang perempuan muda berkaca mata keluar dan memandang kehadiran kedua orang dari Polda ini dengan keheranan.
"Ada apa, Pa?" tanyanya kepada suamin
"Bapak-bapak dari kepolisian ini ingin
tahu pada tanggal dua puluh sembilan kemarin antara pukul delapan dan sebelas aku ada di mana," jawab suaminya.
"Tanggal dua puluh sembilan? Hari Rabu?"
"Ya."
"Kita kan pergi makan di Restoran Selera," kata istrinya bengong.
"Masa Papa lupa? Itu kan hari perkawinan kita!"
"Pukul berapa Anda berangkat?" tanya Kosasih.
"Oh, kami keluar pukul tujuh malam setelah menidurkan anak kami," kata Nyonya Made.
"Pukul berapa Anda pulang?"
"Wah, malam! Soalnya sehabis makan kami nonton di Mitra." Nyonya Made bertambah heran.
"Memangnya ada apa toh, Pa?"
"Kami hanya mengecek saja," senyum Kosasih.
"Terima kasih, Bu."
Dengan anggukan kecil kepada Dokter Made, mereka meninggalkan rumahnya.
"Mengapa tidak kautanyakan masalah pertengkarannya?" tanya Kosasih kepada sahabatnya.
"Untuk apa?"
"Untuk apa? Lho itu kan motif!"
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lha untuk apa kita korek motifnya kalau dia tidak punya kesempatan untuk melakukan kejahatan tersebut."
"Maksudmu?"
"Aku yakin tadi istrinya tidak bohong. Malam itu dia benar-benar keluar bersama istrinya."
"Jadi?"
"Mustahil dia bisa membunuh orang kalau antara pukul tujuh sampai pukul sebelas dia berada bersama istrinya."
"Perempuan itu tidak bohong untuk melindungi suaminya?" tanya Kosasih.
"Jawabannya terlalu spontan dan polos. Dia tidak tampak ragu-ragu. Aku yakin dia berkata yang sesungguhnya."
"Oke, tapi untuk meyakinkan diriku, aku akan menyuruh Adi dan Sapulete untuk mengecek dengan Restoran Selera apakah benar malam itu mereka makan di sana."
***
Sudah dua hari lamanya Anastasia berkurung diri di rumahnya di Jakarta tanpa
menginjakkan kakinya keluar pintu. Dia menolak berhubungan dengan siapa pun, bahkan dengan Maya yang mencoba berkali-kali untuk meneleponnya. Pembantunya selalu memberikan jawaban,
"Nyonya sedang tidur."Akhirnya Anastasia memberikan jawaban lewat pembantunya bahwa dia masih ingin menyendiri dan nanti akan menghubungi kantor. kalau sudah merasa siap mental untuk berbuat itu.
Di dalam rumah yang besar ini seakan-akan semua problemnya di luar lenyap. Anastasia kembali ke masa yang pernah dilewatkannya bersama Antonio. Foto Antonio yang terpampang di dinding kamar tidurnya seakan-akan menjadi hidup kembali dan untuk kesekian kalinya Anastasia merasa scolah-olah tatapan lembut laki-laki itu memberinya ketabahan.
"Antonio, apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamnya kepada potret itu.
"Ternyata setelah kautinggalkan, aku tak pandai mengurusi diriku sendiri, bukan? Aku terlibat dalam nilai yang haram dan Sekarang aku dicurigai membunuh laki-laki bangsat itu pula! Oh, Tonio! Seandainya kau masih ada, pasti tak begini jalan hidupku."
Tetapi keajaiban tak pernah terjadi dan foto itu tinggal foto yang dingin walaupun sudah diusapusapnya dengan kasih sayang berkali-kali.
Namun jiwanya terasa terlipur dan kepanikannya mereda setiap dia tidurdi ranjangnya yang besar di sini, di mana potret suaminya menatapnya dari dinding dan seakan-akan menjaganya. Aneh, bahwa cinta itu bisa tinggal hidup begitu lama di hatinya walaupun Antonio sudah meninggal bertahun-tahun. Sampai sekarang dia tetap merasa bagaimana cinta suaminya mengalir di dalam darahnya dan menghangatkan hatinya yang ketakutan. Dan senyuman di potret itu seakanakan berkata bahwa dia tak perlu panik dan gelisah, bahwa segala sesuatu akan beres dengan sendirinya pada akhirnya. Waktu nanti yang akan menjawab semua pertanyaannya.
Pada hari yang ketiga Anastasia merasa cukup kuat untuk menghadapi dunia realita dan memutuskan untuk berangkat ke kantor.
"Tolong kirim Pak Musa untuk menjemputku, Maya," katanya kepada Maya yang merasa lega mendengar suaranya lagi,
"Kau sudah sembuh, An?" tanya Maya yang telah mengkhawatirkannya selama dua
hari ini.
"Sudah, sudah. Aku bukannya sakit, cuma ingin menyendiri di sini. Aku rindu pada Antonio."
"Antonio sudah lama meninggal, An," kata Maya lembut.
"Kau harus menerima hidup tanpa kehadirannya."
"Aku tahu, dan selama ini aku sudah berhasil hidup mandiri, bukan? Tapi dari waktu ke waktu aku masih merindukan masa-masa aku bersamanya, aku ingin mengenangnya lagi."
"Baiklah, aku segera kirim mobil," kata sekretaris dan sahabatnya ini.
Setengah jam kemudian ketika klakson mobil terdengar di luar pagar rumahnya, Anastasia segera menyambar tasnya dan berpesan kepada pembantunya,
"Tidak usah dibukakan pintu, Bik, saya segera berangkat."
Maya adalah orang yang pertama yang menyambut kedatangannya di depan pintu. Untuk sejenak lamanya kedua perempuan itu berpelukan di sini batasan antara majikan dan karyawan sudah pudar oleh lamanya persahabatan yang tumbuh di antara mereka.
"Kau tampak jauh lebih kurus, An," kata Maya membimbing Anastasia masuk ke dalam.
"Terlalu tegang akhir-akhir ini?"
"Aku seperti dikejar setan dalam mimpi buruk, Maya! Minggu-minggu terakhir ini rasanya seperti hidup di neraka!"
"Mengapa begitu? Apakah ada banyak problem dengan cabang di Surabaya?" tanya Maya yang belum mendengar tentang kematian Hariono.
"Yuk, ke kamarku. Kita bercerita di sana saja," kata Anastasia.
Mereka menaiki anak tangga. Ruang kerja Anastasia berada di lantai tiga.
"Ada berita buruk dari Madona Jakarta, An," kata Maya,
"cuma kami tidak ingin memberitahukan sebelum ada kepastian. Kami masih mencoba menghubunginya agar dia mau ganti pikiran."
"Yamin, kan?"
"Kau sudah tahu? Dari mana kau tahu?" tanya Maya.
"Dia sendiri yang menemui aku di Surabaya. Dia keluar dari Madona, kan?" tanya Anastasia.
"Iya. Begitu tiba-tiba. tanpa penjelasan. Kami tidak mengerti apa masalahnya. Di sini dia tidak bertengkar dengan siapa-siapa. Kami heran pada suatu hari menerima surat darinya bahwa dia telah mengundurkan diri. Aku sudah berkali-kali mencoba menghubunginya, tapi dia tak pernah di rumah, atau mungkin dia memang menghindari aku."
"Percuma, dia tidak akan kembali," kata Anastasia.
"Memangnya kalian bertengkar? Setelah Emi menunjukkan suratmu kepadaku dan kepada Yamin, dia memutuskan untuk ke Surabaya menemui dirimu. Setelah itu kami tidak mendengar beritanya lagi sampai menerima surat pengunduran dirinya itu."
"Ya, justru karena surat itu," kata Anastasia.
"Masalahnya?"
Mereka tiba di lantai tiga dan untuk sementara percakapan mereka terhenti sampai mereka sudah duduk di dalam ruang kerja yang ditata dengan asri dan indah ini.
"Masalahnya? Masalahnya banyak, menumpuk sedikit-sedikit akhirnya menjadi bukit," kata Anastasia.
"Mungkin ide mengajaknya berunding soal suratmu itu bukan ide yang baik," kata Maya menyesal.
"Aku mengira karena kau dan dia sudah begitu dekat,aku pikir dia dapat
memberi nasihat padamu. Emi dan aku tak pernah bermaksud membuat hubungan kalian menjadi putus gara-gara surat itu, An!"
"Jangan risaukan hal itu. Aku sama sekali tidak menyalahkan dirimu ataupun Emi. Kalian berdua adalah teman-temanku yang terdekat, aku tahu kalian bermaksud baik dan aku tidak menyesali perbuatan kalian. Cepat atau lambat akhirnya Yamin pun akan tahu mengenai Martin dan Hariono. Kalau aku merencanakan apa-apa yang serius dengannya, aku sendiri pun akan menceritakan tentang peranan kedua orang itu dalam hidupku."
"Apakah Yamin cemburu kepada Martin dan Hariono?"
"Cemburu sih ada, tapi bukan itu pokok masalahnya. Yang menjadi titik tolak pertengkaran kami adalah dia tidak menyetujui tindakanku untuk membalas dendam kepada Hariono."
"Itu aku tahu," kata Maya.
"Memang dia ke Surabaya dengan maksud untuk mencegahmu berbuat apa-apa yang bisa merugikan dirimu sendiri."
"Hah! Dia tidak mengerti bagaimana rasanya disakiti hati itu! Kalian tidak mengerti! Mudah saja bagi kalian untuk bicara soal maaf dan melupakan, kalian tidak pernah mengalaminya!" kata Anastasia dengan mata bersinar.
"Jadi Yamin marah padamu dan kalian bertengkar?" tanya Maya ikut merasa bersalah.
"Dia ingin aku melupakan riwayatku bersama Hariono. Dia ingin aku menguburnya saja. Dia mengatakan aku telah mengecewakannya karena telah punya pikiran untuk balas dendam itu. Dia bahkan menyalahkan aku!" Anastasia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku yang dinilainya tidak berjiwa besar!"
Maya diam. Baru setelah beberapa saat lamanya dia berkata,
"Tapi sebenarnya kalau kaupikir dengan tenang, An, apa sih gunanya kau membalas dendam itu? Soal itu toh sudah lama lewat sekian belas tahun lamanya dan kau telah berhasil keluar dari derita itu dengan sukses. Seperti kata Emi, kau seharusnya bersyukur hari ini kau adalah Anastasia, bukan Nyonya Dokter Hariono! Jadi untuk apa lagi sebenarnya kau harus membalas dendam?"
"Hmph! Dia kan keenakan kalau aku tidak membalasnya! Dia masih punya utang nyawa padaku!"
"Utang yang begituan mbok dianggap sudah lunas saja, toh, An! Daripada kau cuma menambah dosa. Apa sih untungnya kalau kau berhasil membalasnya? Bisnismu juga tidak akan bertambah maju toh sekarang sudah begini sukses, kau juga tidak akan menjadi lebih muda sepuluh tahun namanya usia tidak bisa disetel mundur,juga tidak bisa bertambah cantik, atau bertambah panjang umur, atau bertambah kaya. Jadi apa keuntungannya untukmu?"
"Puas! Aku puas bisa membalas."
"Jadi mau kawapakan si Hariono? Mau kauperkosa dia?" Maya tersenyum menggoda sahabatnya.
"Wah, tambah kebeneran untuknya. Mau kawapakan, An? Masa mau kaubunuh!"
Anastasia tidak menjawab tetapi berpaling keluar jendela. Di bawah tampak orang berlalu lalang dalam kesibukan masing-masing. Kendaraan hiruk-pikuk memadati jalanjalan. Hanya ruangnya ini yang sepi.
"An!" kata Maya lebih serius setelah sadar bahwa sahabatnya tidak menganggap kata-katanya lucu.
"Jangan berpikiran bodoh! Jangan membuang semua yang telah kaucapai ini hanya untuk menurutkan emosi bodohmu," kata Maya memperingatkan.
"Semuanya sudah terlambat sekarang," kata Anastasia.
Maya merasakan betapa hatinya tiba-tiba menciut, seperti tersentuh jari-jari sedingin cs. Bulu romanya seakan berdiri.
"Maksudmu?"
"Hariono sudah mati."
Untuk beberapa saat lamanya Maya tak dapat berkata-kata. Dan tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"'Bagaimana matinya?" tanyanya setelah dia berhasil kembali ke realita.
"Satu tusukan pisau tepat di jantungnya," desis Anastasia. Kembali dia berpaling ke jendela, tidak sempat melihat sinar ngeri di mata sekretaris dan sahabatnya.
"Itu yang membuat Yamin tak mau lagi berhubungan dengan diriku," tambah Anastasia.
"Yamin tidak suka dengan perempuan yang berjiwa pembunuh!"
***
LAGI-LAGI Gozali mengajak Kosasih mendatangi rumah dan tempat usaha Anastasia.
"Kau ini betul-betul gila, Goz. Kalau sudah punya obsesi, nggak bisa dibelokkan!"
"Di mataku foto gadis yang bernama Seruni itu mirip dengan janda Castillo ini."
"Iya, semua perempuan ya mirip, hidungnya satu, matanya dua, mulutnya satu. Kalau ada yang punya hidung dua dan mata lima, itu yang baru istimewa!"
Gozali terbahak.
"Aku serius, nih. Aku memang melihat ada persamaannya. Bentuk tulang pipinya, dahinya, dagunya, semuanya sama."
"Namanya saja sudah lain. Gadis itu bernama Seruni, lagi pula hitungan usianya tidak cocok. Gadis itu ketika difoto pada tahun 1966 sudah mahasiswa, paling tidak berusia sembilan belas atau dua puluh tahun. Kalau begitu sekarang usianya paling tidak sudah empat puluh!"
"Lalu?" tanya Gozali tenang.
"Janda ini mana ada empat puluh tahun! Aku taksir usianya belum ada tiga puluh lima, kelihatannya masih sekitar tiga puluh tahun!"
"Kos, sudah berapa lamanya biro model ini berdiri?"
"Tidak lama, baru satu-dua tahun belakangan ini. Mengapa?"
"Itu di sini, tapi di Jakarta?"
"Entah, aku tidak tahu."
"Itulah sebabnya maka kita kemari mencari infomtasi," kata Gozali.
Mereka memasuki halaman bangunan megah itu yang lantai bawahnya berfungsi sebagai kantor biro model Madona.
"Oh, Pak Kapten," kata Siska yang terkejut tiba-tiba melihat dua orang laki-laki ini berdiri di depan mejanya.
"Bu Ana ada?" tanya Kosasih.
"Wah, kebetulan ada di Jakarta, Pak."
"Oh? Kapan kembalinya?"
"Belum ada kabar, Pak, tergantung kesibukan di sana. Terkadang cuma dua minggu,
terkadang sampai sebulan."
"Lalu di sini ada yang menangani?"
"Ada, Pak. Urusan administrasi saya, urusan pengambilan gambar dan desain ada bagiannya sendiri. Kalau memang kami tidak bisa memberikan keputusan di sini, kami bisa menelepon Bu Ana di Jakarta," senyum Siska.
Kosasih bertukar pandang dengan sahabatnya seakan-akan bertanya bagaimana kelanjutannya sekarang. Gozali meneruskan percakapannya dengan gadis itu.
"Kelihatannya sepi di sini, hanya Anda sendiri yang ada. Ke mana lain-lainnya?"
"Oh, lagi dinas luar, Pak," senyum Siska.
"Memang sehari-hari cuma saya yang duduk di kantor."
"Anda sekarang sibuk?"
"Oh, tidak, Pak," senyum Siska.
"Kalau begitu Anda bisa membuang sedikit waktu untuk mengobrol dengan kami mewakili Bu Ana?" senyum Gozali.
"Asal saya bisa saja, Pak," senyum Siska.
"Sudah berapa lamanya perusahaan Madona ini berdiri?"
"Oh, baru dua tahun. Pak," kata Siska.
"Maksud saya yang di Jakarta."
"Oh, sudah lama sekali, Pak, sejak tahun 1967."
"Selama itu? Sejak kapan dipimpin oleh Bu Ana?"
"Oh, Bu Ana memimpin baru setelah Kematian suaminya, Pak Antonio Castillo."
"Dan itu tahun berapa?"
"Wah, saya tidak tahu persis, Pak, sekitar tahun tujuh puluhan, awal tahun tujuh puluhan, Pak."
"Awal tahun tujuh puluhan?" Kosasih kaget. Umur berapa kalau begitu perempuan itu?
"Seingat saya begitu, Pak. Menurut surat-surat izin kami, tahun tujuh tiga atau tujuh empat nama pemilik perusahaan sudah Bu Ana sendiri."
"Itu foto Bu Ana?" tanya Gozali menunjuk foto seorang gadis cantik yang menempel di salah satu dinding.
Siska tersenyum.
"Ya, itu semasa Bu Ana masih foto model, sebelum menikah dengan mendiang suaminya."
"Setelah menikah dia tidak menjadi foto model lagi?"
"Saya dengar begitu ceritanya."
"Dan sudah berapa lamanya dia tidak menjadi foto model lagi?" tanya Kosasih.
"Wah, saya tidak tahu, tentunya sebelum tahun tujuh tiga-tujuh empat."
"Dia tidak banyak berubah," komentar Kosasih memandangi foto itu.
"Saya bisa berkata bahwa dia tidak berubah sama sekali. Foto ini seakan-akan baru dibuat kemarin dan bukan belasan tahun yang lalu."
"Ya. Bu Ana memang cantik," kata Siska.
"Bolehkah kami minta fotonya satu?" tanya Gozali.
"Anda tentunya menyimpan fotonya untuk keperluan dinas, bukan?"
"Oh, ya, saya menyimpan beberapa pasfoto untuk mengatur izin atau memperbarui suratsurat penting," kata Siska membuka laci mejanya.
"Saya kira Bu Ana tentunya tidak berkeberatan apabila saya memberikan satu fotonya kepada Anda."
"Sudah lamakah Anda bekerja di sini?" lanjut Gozali.
"Sejak berdirinya, cabang Madona ini."
"Dan Saudara Martin?"
"Kami masuk pada waktu yang hampir bersamaan."
"Sudah lamakah Martin tinggal di sini?"
"Kira-kira setengah tahunan, Pak."
"Selama dia tinggal di sini, ayahnya tak pernah kemari mencarinya?"
"Setahu saya tidak, Pak."
"Pernah menelepon?"
"Tidak juga, Pak. Martin dan ayahnya tidak begitu akrab. Itulah sebabnya dia keluar dari rumah."
Gozali menekur. Lalu dia merogoh sakunya dan menunjukkan sehelai foto.
"Apakah orang ini pernah kemari?" tanyanya.
Siska memperhatikan foto itu lalu mengangguk.
"Oh, ya, Bapak ini pernah kemari."
Mata Gozali bersinar.
"Kapan?"
"Kapan ya? Kira-kira... waduh, lupa, Pak, tapi tidak terlalu lama kok."
"Berapa kali dia kemari?"
"Seingat saya cuma satu kali itu saja."
"Apa katanya pada waktu dia kemari sekali itu?" kejar Gozali.
"Oh, dia mengatakan ingin bertemu dengan Bu Ana."
"Namanya?"
"Nah, itu yang antik," kata Siska tersenyum.
"Bapak ini tidak mau menyebut
kan namanya. Katanya dia ingin memakai jasa biro ini tapi harus rahasia sekali sebab saingannya banyak."
"Lalu bagaimana?"
"Bu Ana yang menemuinya."
"Orang ini adalah Dokter Hariono!" kata Gozali.
"Dokter Hariono? Ayah Martin?" tanya Siska kaget.
Gozali mengangguk.
"Lho! Tapi dia... tapi..."
"Saya heran mengapa Anda tidak mengenalnya sebagai ayah Martin," kata Kosasih curiga.
"Bukankah Anda datang ke rumah sakit pada waktu itu dan juga ke pemakamannya?"
"Ya, tapi saya tidak pernah melihat wajahnya."
"Anda tidak melihat wajahnya? Mengapa?"
"Karena saya merasa ngeri, apalagi matinya karena terbunuh. Saya tidak melihat wajahnya. Pada waktu yang lain-lain melihat, saya tinggal di belakang saja."
"Jadi Anda tidak tahu laki-laki ini ayah Martin," kata Gozali menegaskan.
"Sama sekali tidak."
"Bu Ana juga tidak pernah mengatakan kepada Anda bahwa yang datang itu ayah Martin?"
"Tidak. Bu Ana tidak pernah menyinggung tamu itu lagi."
"Bagaimanakah sikapnya ketika kemari itu?" tanya Gozali.
"Biasa saja, Pak, seperti tamu-tamu yang lain."
"Tidak emosi? Tidak marah-marah?"
"Tidak."
"Dan sikapnya pada waktu meninggalkan tempat ini?"
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Juga ramah. Dia mengucapkan selamat pagi dan terima kasih kepada saya."
"Omong-omong nih, tahukah Anda Bu Ana ini aslinya orang mana?" tanya Gozali.
"Lho, Bu Ana ini aslinya Surabaya, Pak. Rumah orang tuanya masih di sini!"
"Oh, masa! Saya kira dia dari Jakarta?" tanya Kosasih.
"Oh, dia lama tinggal di Jakarta sejak tahun enam sembilan, tapi sebetulnya dia asli dari Surabaya."
"Anda tahu alamat rumah orang tuanya?"
Siska mengangguk.
****
Rumah mungil tapi bagus di Jalan Citarum itu ternyata adalah rumah keluarga Hanafi. Kosasih mengetuk pintu kayu yang terpoles indah itu. Seorang perempuan tua tampak bergegas keluar dari dalam lalu melongok lewat jendela. Tidak mengenali identitas tamunya dan melihat seragam Kosasih dia ragu-ragu membuka pintu. Dari jendela dia bertanya,
"Mencari siapa, Pak?"
"Kami dari Polda Jatim, Bu. Betul di sini rumah orang tua Nyonya Anastasia Castillo?" tanya Kosasih.
"Ana... siapa?" tanya perempuan itu.
"Anastasia Castillo, yang membuka biro model Madona itu," kata Kosasih tidak yakin. Kalau anaknya sendiri kan pasti mengenal nama itu!
"Oh, si Runi, toh! Ya, ya, saya ibunya. Memangnya ada apa, Pak?" tanya perempuan itu. Sadar bahwa yang berdiri di hadapannya ini polisi, perempuan itu menjadi khawatir. Pasti ada apa-apa yang telah terjadi dengan anaknya.
"Apakah Runi kecelakaan?" tanyanya bingung.
"Runi?" tanya Kosasih keheranan.
"Anastasia Castillo, Bu, bukan Runi."
"Ya, ya, Anastasia," tiru perempuan itu.
"Itu nama yang dipilihkan suaminya. Tapi namanya sendiri adalah Seruni. Jadi ada apa, Pak?"
Kosasih hampir-hampir tak percaya. Nama gadis pacar Hariono berbilang tahun yang lalu adalah Seruni. Perempuan itu ternyata juga bernama Seruni! Jangan-jangan firasat GOzali memang benar!
"Bolehkah kami masuk, Bu?" tanya Kosasih tegang.
Perempuan itu cepat-cepat membukakan pintu.
"Silakah, Pak, silakan."
Tanpa basa-basi mereka masuk dan duduk.
"Jadi bagaimana, Pak?" tanya perempuan yang berusia sekitar tujuh puluh tahun ini.
"Apakah Runi mengalami kecelakaan?"
"Oh, tidak, tidak," kata Kosasih cepat-cepat menenangkan nyonya rumahnya.
"Kami sedang mengusut suatu kasus dan kebetulan Nyonya Anastasia Castillo tidak ada di rumah, karena itu kami pikir lebih baik bertanya kemari, barangkali Ibu bisa membantu," kata Kosasih selanjutnya.
"Apa yang mau ditanyakan, Pak?"
"Tentang salah seorang teman anak Ibu," sela Gozali yang melihat sahabatnya gelagapan tak tahu kelanjutannya.
"Oh, siapa?"
"Dokter Hariono."
"Dokter Hariono siapa, ya?" tanya perempuan tua itu.
"Kalau tidak salah, anak Ibu pernah bekerja di tempat praktek Dokter Hariono sekitar tujuhdelapan belas tahun yang lalu."
Ibu tua itu mengernyitkan dahinya, mencoba mengingat-ingat. Lalu tiba tiba dia menarik tangannya menutupi mulutnya.
"Oh, iya! Dokter... dokter spesialis perempuan itu kan? Iya, Runi dulu pernah magang di sana sebentar Mengapa?"
"Anak Ibu dulu sekolah kedokteran?" tanya Gozali.
"Iya, Runi sudah sampai tingkat tiga waktu itu," katanya mengenang kembali riwayat lama.
"Tapi tidak diteruskan?"
"Dia terus pindah ke Jakana itu, ikut temannya si Emi. Temannya ini dulu foto model, jadi akhirnya Runi terpengaruh ikut terjun ke sana juga."
"Berapa lamanya anak ibu bekerja pada Dokter Hariono?"
"Oh, tidak lama, kok. Sekitar dua atau tiga tahun."
"Kami sudah melihat rumah anak Ibu yang besar di Manyar, mengapa Ibu tidak tinggal bersamanya saja di sana?" tanya Gozali sambil tersenyum.
"Ah, tidak. Di sana kan banyak kesibukan. Saya sudah tua, tidak suka suara bising dan orang banyak keluar-masuk. Lebih baik tinggal di sini, tenang."
"Kalau begitu anak Ibu yang sering kemari?"
"Oh, ya. Kalaudia ada di Surabaya, dua-tiga hari sekali mampir atau setidak-tidaknya menelepon."
"Apakah dia pernah menyebutkan nama Dokter Hariono ini kepada Ibu akhir-akhir ini?"
"Dokter Hariono? Ah, itu kan sudah lama dulu. Barangkali Runi sendiri sudah lupa siapa Dokter Hariono ini," kata si perempuan tua.
"Sebenarnya berapa sih umur anak Ibu ini?" tanya Kosasih penasaran.
"Runi? Oh, Runi hampir empat puluh.
Lahirnya tahun empat enam. kok!"
"Empat puluh!Astaga!"Kosasih tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya. Istrinya di rumahjuga sekitar itu, lha kok penampilannya berbeda langit dengan bumi? "Kok masih seperti gadis dua tujuh-dua delapan begitu, Bu?" tanyanya kagum.
"Iya, Ibu sendiri juga tidak mengerti. Runi memang awet muda, kok. malah kalau pergi bersama Ibu terkadang disangka orang cucu Ibu!" senyum orang tua itu bangga.
"Kapan dia terakhir kemari, Bu?"
"Hm, kapan ya? Empat hari yang lalu kalau tidak salah, sebelum dia berangkat ke Jakarta."
"Ibu sendiri tidak mengenal Dokter Hariono ini?" tanya Gozali.
"Oh, saya pernah dikenalkan Runi, tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kalau sekarang bertemu di jalan ya Ibu sudah lupa padanya. Memangnya mengapa Dokter Hariono ini kok ditanyakan terus, Pak?"
"Oh, dia baru saja menemui ajalnya," kata Gozali.
Dan keterkejutan yang melompat dari mata perempuan tua itu memang tidak dibuat-buat.
***
"Goz, kasus ini tambah lama tambah edan perkembangannya," kata Kapten Polisi Kosasih.
"Bayangkan! Perempuan itu ternyata bekas kekasih si dokter! Aku betul-betul tidak mengira! Seandainya bukan ibunya sendiri yang melengkapi keterangan Nyonya Siregar, aku pasti tidak akan percaya. Yang membuatku bertambah heran adalah usia perempuan itu, yang ternyata sudah empat puluh!"
"Kenapa harus heran, sih, Kos?"
"Habis, istriku di rumah itu umurnya belum empat puluh tiga, lha kok kelihatannya jauh lebih tua!"
"Kecantikan adalah karier perempuan itu, Kos. Sehari-harian dia bergelut dengan kecantikan, otomatis dia mahir dalam soal mempercantik dirinya dan menjaga penampilannya."
"Jadi apa yang harus kita perbuat sekarang? Dengan perkembangan baru ini, perempuan itu pantas juga masuk nominasi tersangka! Kalau perempuan ini terbukti
bekas kekasih si dokter, tahukah dia bahwa pemuda pacarnya itu adalah anak si dokter ini? Dan tahukah si dokter bahwa pacar anaknya justru adalah bekas kekasihnya sendiri dulu? Dokter Hariono sudah pernah datang ke kantornya, pernah bertemu muka dengannya, berarti baik si dokter maupun si janda ini tahu identitas masing-masing. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana reaksi mereka terhadap kenyataan itu?"
"Pertanyaan yang bagus, Kos," kata Gozali.
"Jangan pertanyaannya yang kaunilai. Jawabnya itu lho yang penting."
"Jawabnya aku sendiri pun tidak tahu," cengir Gozali.
"Jadi sekarang kita punya dua tersangka, GOZ. Satu adalah si Malingkas dengan motif uang. satu adalah perempuan ini yang malam itu berada di niteclub bersama korban, dengan motif... motif apa, Goz? Cemburu? Sakit hati? Apa?"
"Apa yang akan kaulakukan seandainya kau tahu anakmu berpacaran dengan perempuan bekas kekasihmu?" tanya Gozali.
"Aku patahkan batang lehernya," kata Kosasih.
"Batang leher siapa?"
"Perempuan itu!"
"Mengapa perempuan itu yang kausalahkan, mengapa bukan anakmu sendiri?"
"Pertama karena dia anakku dan tidak ada bapak yang mau membunuh anaknya secara sadar. Yang kedua, perempuan itu lebih bersalah karena dia lebih tua dan berpengalaman. Dia seharusnya tidak menjebak anak muda ke dalam pelukannya!"
"Oke, jadi aku kira-kira punya bayangan bagaimana sikap mental Hariono terhadap janda Castillo ini. Tetapi kalau begitu mengapa mereka berada di kelab malam itu bersama-sama? Hariono sudah pernah datang ke kantornya, dan sikapnya ketika di sana tidak mirip dengan sikap orang yang ingin mematahkan batang leher lawannya. Malah setelah pertemuan itu, dia bertemu lagi dengan perempuan itu di kelab malam. Bagaimana analisamu mengenai ini?" tanya Go7ali
"Mengapa kau bertanya padaku. Ahli analisa kan kau!" kata Kosasih.
"Karena aku belum pernah menjadi bapak, jadi sulit bagiku untuk membayangkan bagaimana reaksi Hariono dalam hal ini."
"Aku sendiri pun bingung," gerutu
Kosasih.
"Sebetulnya kira-kira berapa persen kesempatannya dialah yang menyudahi nyawa Hariono?"
"Dibandingkan Malingkas?" tanya Gozali.
"Hm, fiftyfifty aku kira. Mereka sama-sama berada di lokasi kejahatan pada saat yang menentukan. Mereka sama-sama punya motif."
"Apa kira-kira motif perempuan itu, Goz?"
"Yang pasti mereka telah bertengkar. Kalau tidak, perempuan itu tidak akan meninggalkan pendampingnya di meja sementara dia pulang sendiri. Layaknya orang yang pergi bersama-sama tentunya pulang bersama-sama juga. walaupun masing-masing naik kendaraan sendiri. Ada dua kemungkinan mengapa perempuan itu meninggalkan korban. Yang pertama karena dialah yang telah menusuk korban jadi dia tahu korban tak akan pernah bangkit dari tempat duduknya. Yang kedua, dia jengkel dengan korban dan korban ditinggalkan."
"Aku cenderung memilih alternatif yang kedua, Goz. Aku lebih condong memilih Malingkas sebagai pelaku pembunuhan.
Bayangkan, mana ada seorang perempuan seberani itu menusuk seorang laki-laki di tengah-tengah orang banyak walaupun tempat duduk mereka dibatasi oleh tiga buah rona." Lha seumpama dokter ini berteriak, kan seluruh tamu akan datang meringkusnya. Aku kira seorang perempuan tidak akan berani mengambil risiko sebesar itu."
"Kau lupa satu hal, Kos."
"Apa?"
"Janda cantik ini pernah sekolah kedokteran sampai tingkat tiga."
"Lalu?"
"Dia tahu persis di mana tempat yang tepat untuk ditusuk satu kali yang segera mematikan tanpa memberi korban kesempatan untuk berteriak."
Mereka berdiam diri sejenak, masing-masing memeras otak untuk mencoba memecahkan tekateki kehidupan ini atau lebih tepatnya teka-teki kematian ini.
"Tapi... tapi... apa alasan janda ini untuk membunuh bekas kekasihnya?" tanya Kosasih.
"Aku tidak tahu. Yang jelas dia telah berbohong mengenai kebersamaannya dengan
dokter ini di niteclub, begitu juga mengenai kenal tidaknya dia dengan korban. Mengapa dia berbohong?"
"Ya, hal itu memang bisa menimbulkan kecurigaan."
"Kalau memang tidak ada apa-apa, mengapa dia tidak mau mengakui bahwa dia sebenarnya kenal dengan dokter itu? Dan bahwa dialah yang ada bersama dokter itu di niteclub Purnama."
"Sebaiknya kita mencari si satpam itu lagi. Kita pastikan dulu apakah memang perempuan yang dilihatnya masuk ke kelab malam itu bersama sama korban benar-benar janda ini. Untuk apa kita memecahkan otak berpikir yang sukar-sukar sebelum ada kepastian janda inilah yang dilihatnya bersama dokter itu," kata Kosasih.
"Ya, itu langkah kita selanjutnya. Sekarang kita sudah memiliki foto janda ini, kita bisa menunjukkannya kepada si Satpam."
***
"Dari mana bapak memperoleh alamat saya?" tanya Darmo heran menerima kedua orang petugas negara itu di rumahnya yang sempit di gang yang sempit pula. Suaranya sama sekali tidak mengandung keramahan, bahkan Gozali dapat melihat bagaimana dahinya berkerut melihat kedatangan mereka.
"Oh, kami mendapatkannya dari Pak Malingkas," kata Kosasih.
"Hmph! Ada apa lagi maka Bapak mencari saya?" tanyanya jengkel.
"Anda tidak bekerja lagi di kelab malam Purnama?" sela Gozali.
"Ya, saya sudah berhenti."
"Mengapa?"
"Lho! Masa Bapak tidak tahu mengapa! Justru karena bekas majikan saya menuduh saya bicara terlalu banyak pada Bapak! Saya dikatakan telah membocorkan rahasia jabatan!"
"Oh, jadi Anda dikeluarkan?"
"Saya disuruh mengundurkan diri."
"Anda mau?"
"Habis, kalau majikan sudah tidak lagi suka kepada kita, masa kita tetap mau bertebal muka bekerja terus di sana! Lebih baik angkat kaki. Cari makan kan bukan hanya di sana!"
"Jadi Anda keluar atas persetujuan bersama?" tegas Gozali.
"Ya."
"Dapat pesangon?"
"Tentu saja, kalau tidak saya tidak mau keluar."
"Pesangonnya sesuai dengan harapan Anda?"
"saya minta tiga bulan gaji."
"Diberi berapa?"
"Ya tiga bulan."
"Jadi sudah sesuai dengan kehendak Anda, toh?"
"Ya."
"Apakah Anda merasa dirugikan oleh kami?"
"Ya. Kalau bukan karena memberikan keterangan kepada Bapak, kan saya tidak dikeluarkan. Bapak juga sih, setelah mendapat keterangan dari saya terus ditanyakan pada majikan. Seharusnya Bapak tidak bertanya kepada majikan!"
"Temanmu juga dikeluarkan?" tanya Gozali mengabaikan komentar Darmo.
"Dia masih untung, cuma ditukar dengan Satpam dari bioskop Asri yang majikannya adalah teman Pak Malingkas."
"Mengapa Anda tidak ditukarkan sekali?"
"Karena saya dianggap berbuat kesalahan besar. Sayalah yang memberikan keterangan kepada Bapak. Teman saya itu cuma disalahkan tidak mau lapor pada majikan ketika mengetahui kelancangan saya. Itulah sebabnya dia masih dimaafkan, sedangkan saya tidak."
"Sudah lama Anda bekerja di sana?"
"Kurang lebih satu tahun."
"Sebelumnya bekerja di mana?"
"Di gudang orang."
"Sekarang apa rencana Anda?"
"Mencari pekerjaan lagi."
"Sudah dapat?"
"Belum. Pekerjaan sekarang kan susah didapat."
"Baik. Kami akan membantu Anda. Kami punya beberapa teman yang mungkin bisa memakai Anda. Kami akan menanyakan," kata Gozali.
"Betul, Pak?" tanya Darmo. Sinar matanya menjadi sedikit lebih ramah.
"Ya. Nanti Anda akan kami kabari."
"Sungguh, nih, Pak?" Tanggapan Darmo sekarang lebih positif.
Gozali mengangguk.
"Sekarang bantu saya dulu," kata Gozali.
Dia menyodorkan foto seorang perempuan.
"Coba lihat foto ini, kenalkah Anda pada gadis di foto ini?"
Darmo memperhatikan foto itu dan tanpa raguragu berkata,
"Ini gadis itu, Pak!"
"Gadis yang mana?" Jantung Gozali berdetak lebih cepat sedikit.
"Yang... yang saya ceritakan itu! Yang cantik itu, yang naik mobil Honda Accord perak itu!"
"Anda yakin?"
"Yakin, Pak! Ini orangnya!" Foto itu adalah foto Anastasia!
"Terima kasih, Saudara Darmo. Kalau begitu kami minta diri dulu," kata Gozali memasukkan foto itu kembali ke sakunya.
"Apakah Bapak benar-benar akan mencarikan pekerjaan buat saya?" tanyanya penuh harap.
"Saya akan menanyakan untuk Anda, saya akan berusaha, tapi saya tidak bisa berjanji. Pokoknya begitu ada kabar baik saya akan memberi tahu."
Di dalam mobil Kosasih menyodok iga sahabatnya.
"Kau serius, Goz? Kasihan lho dia
menunggu kalau kau cuma sekadar janji untuk membesarkan hatinya."
"Aku tidak pernah berjanji yang tak niat kutepati, Kos," kata Gozali serius.
"Ya, tapi mencari pekerjaan sekarang sukar, lho, Goz. Di mana kau mau mencarikan lowongan untuknya?"
"Kita kan punya beberapa kenalan pengusaha. Mungkin mereka bisa membantu. Aku teringat Kamaludin. Bukankah sekarang usahanya berkembang ke real estate? Mungkin di proyek barunya dia membutuhkan tenaga Satpam."
***
ANASTASIA, Emi, dan Maya sedang berkumpul di kamar kerja Anastasia di tingkat tiga gedung di mana nama Madona terpancang dengan huruthuruf besar di atasnya. Ketiga sahabat ini telah melewatkan banyak pengalaman bersama yang pahit maupun yang manis-dan mereka sudah seperti saudara sendiri. Bertiga mereka merupakan kombinasi yang unik, yang mempunyai latar belakang yang lain dan jalan hidup yang sangat berbeda. Tapi ikatan persahabatan mereka telah membuat mereka sehati.
Emi yang sekarang sudah benar-benar mempunyai penampilan seorang ibu-ibu, secara pribadi mempunyai kehidupan yang paling tenang. Anakanaknya sudah remaja, suaminya sudah menjadi pengusaha sukses namun semua ini tidak menghapus rasa solidaritasnya terhadap kedua orang sahabatnya yang lain.
Maya adalah satu-satunya dari tiga serangkai ini yang belum pernah menikah. Maya benar-benar seorang perempuan karier, seluruh jam bangunnya tersita untuk memajukan usaha Madona yang sudah dianggapnya seperti miliknya sendiri. Maya masih tetap mempunyai potongan tubuh seorang peragawati karena sedari dulu dia selalu kurus. Hanya saja ketegangan dan keseriusan sikapnya selama bertahun-tahun telah meninggalkan garisgaris usia pada wajahnya yang pernah cantik dulu. Sekarang kalau orang melihat Maya, orang segera dapat menarik kesimpulan bahwa dia pastilah seorang perawan tua yang telah ketinggalan sepur. Pada usianya yang empat puluh tiga ini Maya sudah tidak mempunyai daya tarik lagi bagi lawan jenisnya.
Anastasia yang berstatus janda adalah yang tercantik di antara mereka. Kedua sahabatnya sampai sekarang pun tak bisa mengerti bagaimana Anastasia yang telah mengalami begitu banyak kemelut dalam hidupnya, bisa tetap bertahan segar dan cantik. Dilihat selayang pandang dia tak ubahnya seperti
gadis yang masih di bawah usia tiga puluh tahun. Hanya di bawah sinar lampu yang kuat saja orang bisa melihat guratan-guratan halus yang mulai meninggalkan bekasnya di kulitnya itu. Kalaupun memang Anastasia yang hidupnya paling rumit, paling besar pasang-surutnya, tapi justru dialah yang tetap paling optimis. Dengan pandangan mata seorang anak kecil yang penuh harap dan rasa ingin tahu, dia melihat kehidupan ini dengan minat. Kesedihan dan tragedi yang pernah menyentuh hatinya terpendam jauh di dalam sehingga di permukaannya dia tampak sebagai seorang perempuan cantik yang hidupnya dipenuhi dengan kesenangan, yang tak pernah merasakan kepahitan. Hanya sedikit orang yang tahu bagaimana sebenarnya hidup Anastasia ini-boleh dikata hanya kedua orang sahabatnya ini saja!
"Bagaimana rencanamu sekarang, Run?" tanya Emi.
"Aku kira sebaiknya kau kembali saja kemari paling tidak untuk sementara waktu. Tutup sajalah cabangmu di Surabaya itu. Di sini toh kau sudah mempunyai bisnis yang maju, tanpa cabang yang di Surabaya pun kau tetap mempunyai penghasilan yang bagus."
"Itu namanya melarikan diri, Em," kata Anastasia.
"Aku tak suka dikatakan orang pengecut."
"Orang yang pandai harus tahu kapan menarik langkah untuk mundur, dan kapan menyerang, atau bertahan. Jangan menjadi Don Quixote yang mau menjadi pahlawan konyol! Lihat situasi, dong!" Emi ngotot.
"Aku kausuruh mengundurkan diri dari apa?" tanya Anastasia.
"Dari semua problemmu di sana!"
"Hariono sudah mati," kata Anastasia tenang.
Jantung Emi berdesir halus. Sampai sekarang pun dia belum berani bertanya apakah sahabatnya ini yang bertanggung jawab atas kematian lakilaki itu. Bukannya dia takut Anastasia akan marah atau tidak memberinya jawaban, tapi justru dia takut mendengar jawaban yang mungkin diperolehnya. Apa nanti yang harus diperbuatnya seandainya sahabatnya ini mengatakan dialah yang menghabisi nyawa laki-laki itu?
"Itu justru salah satu problemmu. An!" sela Maya.
"Maksudmu?"
"Kau tidak takut nanti polisi mencarimu?"
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka sudah mencariku. Mereka mengatakan melihat mobilku diparkir di niteclub Purnama di mana Hariono terbunuh pada hari dia terbunuh. Tapi Martin telah memberiku alibi. Martin mengatakan malam itu dia terus ada bersamaku, bahwa kami melewatkan malam itu dengan bermain catur. Aku aman. Mereka toh tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa mobil Honda perak yang mereka dengar berada di sana itu betul-betul milikku! Di Surabaya kan ada ratusan mobil seperti itu. Lagi pula mereka tidak tahu hubunganku dengan Hariono. Setahu mereka aku tidak punya motif membunuhnya!" Anastasia berusaha meyakinkan dirinya sendiri dengan alasan ini, lebih daripada kedua orang sahabatnya yang sekarang duduk mendengarkan keterangannya.
"Bagaimana kalau mereka berhasil mengorek riwayat lamamu bersama Hariono'?" tanya Emi khawatir.
"Mana mungkin, Em! itu sudah terjadi belasan tahun yang lalu! SedangHariono sendiri saja sudah tidak mengenali diriku, apalagi orang lain! Siapa yang tahu siapa aku sebenarnya?" Logis, kan? bisik Anastasia dalam hati.
"Tidak, mereka tak akan tahu siapa aku
dan apa hubunganku dengan Hariono!"
"Demi kebaikanmu aku benar-benar berharap mereka tidak akan pernah tahu riwayat lamamu," kata Emi.
"Lalu bagaimana dengan Martin?" sela Maya.
"Dengan memberimu alibi berani kau selamanya berutang budi padanya. Kau selamanya berada di bawah kekuasaannya!"
"Ya, itu satu-satunya yang aku khawatirkan," gumam Anastasia.
"Martin sekarang menjadi problem bagiku. Aku sudah berusaha memberinya pengertian, tapi rupanya dia tidak mau mengerti."
"Nah, itu susahnya, An!" kata Maya.
"Kan tidak enak kalau seumur hidup kau harus bertekuk lutut padanya gara-gara dia memberimu alibi palsu!"
"Lalu apa yang harus kuperbuat'? Apakah kau lebih senang kalau aku mengaku kepada polisi bahwa akulah perempuan yang bersama dengan Hariono di niteclub itu supaya mereka menjebloskan aku ke dalam penjara?" kata Anastasia.
"Aku sudah berusaha memberi kuliah pada Martin bahwa aku ini bukan jodohnya. Aku ini sudah berusaha! Tapi dia bersikeras terus mau meneruskan hubungan ini. Itulah sebabnya sekarang aku
kemari, sekadar menjauhkan diri darinya."
"Tapi ini tidak bisa berlangsung terus, An! Suatu waktu dia pasti akan menyusulmu kemari'!" Maya sewot.
"Terus bagaimana? Aku tidak bisa datang ke polisi untuk mengaku, bukan?"
"Lalu apa rencanamu sekarang?" tanya Emi.
"Menunggu sampai dia sadar."
"Kalau dia tidak sadar terus, bagaimana?"
Anastasia menghela napas panjang. Matanya menerawang jauh.
"Aku tidak tahu," katanya lirih.
"Apa pun lebih baik daripada meringkuk di penjara."
Emi memejamkan matanya. Astaghfirullah! Kalau begitu benar Runi yang membunuh Hariono!
"Dapat kah kau hidup dengan kepalsuan, An?" tanya Maya.
"Apakah batinmu tidak lebih menderita harus terus bersandiwara dengan Martin lebih menderita daripada jika kau duduk di penjara? Lagi pula belum tentu Martin akan melaporkan kau pada polisi. Dia tidak bisa menyalahkan kau karena pernah menjadi kekasih bapaknya! Itu memang sudah suratan tanganmu! Suratan tangannya! Mengapa dia harus jatuh cinta pada bekas kekasih ayahnya sendiri."
"Bantulah aku untuk menyadarkannya, Maya," kata Anastasia.
"Carikan kata-kata yang tepat supaya dia mau mendengarkan permintaanku."
"Aku kira satu-satunya jalan adalah bersikap tegas terhadapnya. Kau tidak tahu bahwa dia bermaksud melaporkan dirimu pada polisi. Itu kan cuma dugaan. Barangkali dia tak akan sampai hati mencelakakan dirimu. Katamu dia sangat mencintaimu. Mungkin cintanya itu bisa membuatnya mundur dan mengambil langkah yang akan merugikan dirimu," kata Maya.
"Apakah dia pernah mengancammu, Run?" tanya Emi.
Anastasia menggeleng.
"Tidak. Dia tidak pernah menyinggung masalah alibi itu lagi."
"Kalau begitu dia tidak punya niatan untuk memakai hal itu sebagai alatnya. Kita saja yang kelewat khawatir." kata Maya.
Tapi ternyata kesimpulan ini tidak benar, dan pembuktiannya diawali dengan kedatangan Martin pagi itu di Madona Jakarta.
Ini merupakan mimpi buruk bagi Anastasia. Martin yang merasa kesepian ditinggalkan di Surabaya, menyusulnya dengan maksud untuk mengklaim kembali apa yang dianggapnya haknya. Sia-sia Anastasia menjelaskan bahwa dia masih punya banyak pekerjaan di Jakarta, bahwa dia tidak ada waktu untuknya. Anastasia dihadapkan pada dua alternatif selama di Jakarta mereka tinggal bersama atau dia harus pulang ke Surabaya. Pokoknya Martin tidak mau menerima gagasan Anastasia untuk berpisah temporer apalagi permanen! Anastasia adalah jiwanya, hidupnya, seluruh eksistensinya bagaimana mungkin dia melepaskan perempuan itu pergi?
Anastasia mengerahkan seluruh kemampuannya dengan memohon, menjelaskan, marah, kasar, halus untuk menyadarkan pemuda itu bahwa hubungan mereka telah berakhir, bahwa semua itu merupakan kenangan yang indah tapi bukan realita yang bisa dilanjutkan. Tapi semuanya sia-sia. Baru kali inilah dia melihat Martin mempunyai kehendak sekukuh ini. Martin yang tadinya dianggap pemuda yang kurang stabil jiwanya, ternyata mempunyai pendirian yang keras seperti batu karang. Segala alasan yang dikemukakan Anastasia ditolaknya. Yang masuk buku perhitungannya hanya rasa cintanya dan rasa ingin memilikinya terhadap perempuan yang jauh lebih ini.
Walaupun dengan bantuan kedua orang sahabatnya yang ikut memberikan pengertian kepada Martin, Anastasia tidak berhasil mencapai sasarannya. Bergantian Emi dan Maya memberikan pendapat mereka Emi secara keibuan, Maya secara logika tapi mereka seperti membentur dinding yang tebal saja. Martin tidak bergeming.
"Pokoknya saya mencintai Mbak Ana," katanya teguh.
"Masa lalunya tidak menjadi soal. Apakah dia dulu kekasih Bapak atau murid Bapak, atau pembantu Bapak, semuanya tidak relevan. Yang penting adalah .sekarang. Dan sekarang dia bukan apa-apa Bapak. Dia adalah kekaSihku!"
Sampai malam mereka berdebat di kamar kerja Anastasia. Anastasia bingung. Hal ini toh tidak dapat dilanjutkan semalam suntuk. Emi punya keluarga, dia harus pulang. Maya
juga harus pulang. Begitu pula dirinya. Perbantahan ini harus diakhiri. Tapi Martin masih belum rela membebaskan dirinya.
Akhirnya Anastasia terpaksa membuat keputusan.
"Baiklah, Martin, kita lanjutkan pembicaraan ini besok. Sekarang sudah malam, kita semua harus pulang. Kami sudah seharian di sini, sejak pagi. Baik Emi, Maya, dan aku semuanya ingin mandi dan beristirahat. Kita bertemu saja besok di sini lagi."
"Kau pulang ke hotel bersama aku, atau aku yang ikut ke rumahmu," kata Martin teguh.
Anastasia melihat bahwa dia tak mungkin meloloskan dirinya dari Martin malam ini. Akhirnya dia berkata,
"Baiklah. aku ikut kau ke hotel."
Di dalam kamarnya di hotel, Martin melepaskan rasa rindunya kepada Anastasia. Dipeluknya perempuan itu, diciuminya
sepuas-puasnya. Anastasia hanya diam saja bagaikan patung. Kepasifannya akhirnya menghentikan curahan emosi pemuda itu. Dengan pandangan terluka di matanya, Martin bertanya,
"Mengapa kau diam saja, Mbak?"
"Kau tahu mengapa, Martin. Aku sudah berusaha menjelaskannya kepadamu beribu kali, bahkan sepanjang Siang dan sore ini tapi kau tidak mau mengerti. Untuk apa kau bertanya lagi sekarang?"
"Mbak, yang tidak mau mengerti itu kau! Aku tetap tidak melihat mengapa kita harus putus. Kita pernah begitu berbahagia bersama-sama, mengapa kauizinkan riwayat yang lama menghancurkan semuanya? Sebelum kau tahu siapa ayahku, kau pernah mencintai aku. Anggaplah kau tidak mengetahui siapa ayahku!"
"Aku tidak bisa, Martin. Aku tidak mau menipu dirimu."
"Apa maksudmu dengan menipu, Mbak?" tanya Martin.
"Aku tidak mencintaimu," kata Anastasia memandang dalam-dalam ke mata pemuda itu.
"Aku tak pernah mencintaimu, Martin. Tidakkah kau mengerti?"
Martin seperti terkena swing Muhammad Ali. Dia mundur terhuyung beberapa langkah. Selama ini tak pernah satu kali pun Anastasia mengatakan hal ini.
Anastasia melihat bahwa umpannya termakan, segera melanjutkan,
"Aku hanya kasihan padamu dulu. Aku pikir kau terlalu kesepian, kau membutuhkan seorang teman. Aku pun kesepian, jadi aku pikir kita bisa saling mengisi untuk sementara sampai kau sadar bahwa aku bukanlah jodohmu yang sesungguhnya. Aku tak pernah mengharapkan hubungan kita itu sesuatu yang permanen, Martin. Kita tidak cocok satu sama lain. Cuma sementara hidup kita masih sama-sama kosong, aku setuju untuk membiarkan kau tinggal bersamaku. Aku hanya kasihan padamu, Martin. Tapi bahkan rasa kasihan itu pun hilang sekarang. Ternyata kau tidak membutuhkan kasihanku. Kau cukup mampu mengurus hidupmu sendiri. Dulu aku mengira kau seperti seekor anak burung yang belum bisa terbang sudah terjatuh dari sarangmu. Aku memungutmu dan memberimu kasih sayang. Tapi kau sekarang sudah besar, kau sudah punya sayap yang kuat, kau sudah bisa terbang sendiri, aku
tak khawatir lagi melepasmu mencari jalan hidupmu sendiri."
"Tidak! itu tidak benar!"sela Martin."Kau mengatakan itu hanya karena kau merasa berdosa berhubungan denganku akibat masa lalumu bersama Bapak. Aku tidak percaya! Kau pernah mencintaiku! Kau mencintaiku! Tidak benar apa yang kaukatakan!"
"Aku tidak mencintaimu, Martin," tegas Anastasia.
"Bahkan dengan tingkahmu seperti ini, kau membuatku membencimu! Kau mau memaksakan kehendakmu. Cinta tak pernah dapat dipaksakan, Martin! Janganlah memojokkan aku. Jangan membuat kesabaranku hilang. Kau telah mengubah apa yang pernah ada di antara kita menjadi sesuatu yang menjengkelkan. Tadinya aku berharap kita tetap bisa berteman baik-bersaudara tetapi sikapmu yang begini tak memungkinkan hal itu lagi. Satu-satunya jalan yang tinggal sekarang adalah putus total. Aku tak ingin bertemu lagi denganmu, Martin!"
"Begitu kejamkah kiranya seorang perempuan yang berparas cantik itu?" kata Martin dengan mata menyala-nyala.
"Kaukuasai hati seorang laki-laki, lalu setelah kau bosan dengannya, kaucampakkan begitu
saja? Kaulemparkan seakan sampah yang tak berguna?"
Anastasia bergidik juga dalam hati melihat amarah Martin. Matanya merah, ludahnya nyemprot ke mana-mana, tangannya bergetar.
"Aku tidak pernah ingin menguasai hatimu, Martin!" kata Anastasia.
"Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa aku bukan jodohmu. Aku terlalu tua untukmu. Kau yang memaksa! Kau yang mau terjun sendiri! Kau yang menginginkan hubungan ini!"
"Setengah tahun yang lalu tiga bulan yang lalu tak ada halangan dalam hubungan kita, bukan? Kita bisa hidup harmonis seperti pasangan yang lain. Mengapa tiba-tiba sekarang kau mengatakan kau tidak mencintai aku? Kau mengatakan sikapku menimbulkan kebencianmu? Mengapa tiba-tiba aku menjadi monster di matamu?" bentak Martin.
"Hubungan kita ini cuma kembang semusim,Martin. mimpi semalam tidak lebih dari itu! Dari dulu tak pernah kurencanakan lebih daripada itu!" Anastasia melunakkan suaranya.
"Sampai pada suatu saat kau sendiri sadar bahwa aku bukan perempuan untukmu."
"Okelah, kalau begitu! Itu berarti selama aku tidak berpikir kau bukan perempuan untukku, berarti kau bersedia meneruskan hubungan ini. Anggap sajalah sampai sekarang aku tidak sadar! Memang sesungguhnya aku tidak pernah menganggap bahwa kau bukan perempuan untukku!" balas Martin.
"Tapi sekarang kita tidak bisa meneruskan hubungan itu lagi, Martin-sadar atau tidak sadar! Kau adalah anak Hariono!" kata Anastasia.
"Apakah karena aku anak ayahku yang telah mengecewakan dirimu dulu, maka kan sekarang membenciku? Kau mau membalaskan sakit hatimu padaku?"
"Tidak, Martin! Aku tidak bermaksud membalas apa-apa padamu. Aku tidak membencimu karena identitasmu. Identitasmu hanya menyebabkan aku tidak bisa meneruskan hubungan ini denganmu. Tapi kalaupun aku sampai membencimu, itu dikarenakan .sikapmu! Sikapmu yang tidak mau mengerti ini! Aku ingin putus baik-baik denganmu. Bukan salah siapa siapa kita harus putus. Bukan salah siapa-siapa kalau kau ternyata adalah anak bekas kekasihku dulu. Tapi kita harus putus. Harus! Cobalah kau mau mengerti, Martin! Masa kau tidak merasa berdosa tidur dengan perempuan yang pernah berbagi ranjang dengan ayahmu!"
"Itu cuma alasan!" kata Martin geram.
"Sebenarnya bukan itu sebabnya kau sekarang menuntut harus putus! Sudah satu-dua bulan terakhir ini aku merasakan ada perubahan dalam dirimu. Kau ingin menjauh dariku-sebelum kau tahu bahwa aku adalah anak ayahku. Setiap kali kau ke Jakarta, kau berlama-lama di sini. Pasti ini karena kau telah mendapatkan laki-laki lain-laki-laki yang kawanggap lebih baik daripada aku.
"Kau memang perempuan yang tidak bisa dipercaya! Kau mengatakan ayahku yang berkhianat padamu, padahal yang sebenarnya kaulah yang lari meninggalkannya! Kau yang pergi tanpa pamit ke Jakarta, bukan? Seharusnya aku percaya pada kata_kata Bapak, tetapi pada waktu itu aku lebih mempercayai dirimu! Aku mengira kaulah perempuan bidadari tanpa noda seorang perempuan yang berhati mulia, yangtelah disiasiakan ayahku. Ternyata kau cuma seorang pembohong! Bapak yang betul! Dia mengatakan kaulah yang telah memutuskan hubungan secara sepihak dengannya. Dan sekarang sejarah itu akan
kauulangi lagi pada diriku! Kau memang perempuan busuk!"
"Itu tidak benar, Martin! Aku pernah sangat mencintai ayahmu, tapi dia telah merenggut janinku benih yang ditanamnya sendiri! Aku ingin menjadi istrinya, tapi dia yang telah menolakku. Itulah sebabnya aku ke Jakarta. Ayahmu telah mengingkari kami berdua-aku dan anaknya!"
"Kau bohong! Tadinya aku memang percaya pada ceritamu, tapi sekarang tidak lagi! Kau berbohong! Pasti kau pergi ke Jakarta itu karena kau terpikat laki-laki yang lain! Dan sekarang kaubunuh ayahku! Ya, kau telah membunuh ayahku untuk menutupi masa lalumu!"
"Martin!"
"Ke mana kau malam itu, coba?" kata Martin berang.
"Polisi telah melihat mobilmu diparkir di depan niteclub di mana ayahku terbunuh. Aku telah berbohong kepada mereka dengan mengatakan bahwa malam itu kita bersama-sama. Aku berbohong karena aku mencintaimu! Tapi malam itu sebenarnya kau berada di niteclub itu bersama Bapak! Kau yang telah membunuhnya!"
"Martin! Aku tidak pernah membunuh
ayahmu!"
"Hmph! Kau selalu bohong! Aku tidak pernah bertanya padamu apa yang kaulakukan di sana malam itu walaupun dalam hatiku aku punya kecurigaan. Kau juga tidak pernah menyinggungnya! Di hadapan polisi aku memberimu alibi, aku berusaha melindungimu bahkan aku bersedia melupakan kecurigaanku. Aku tidak mau tahu apa yang terjadi malam itu. Aku pikir kalaupun seandainya memang kau yang membunuh ayahku, itu sudah risikonya, itu pembalasannya telah mengkhianati dirimu. Aku bahkan tidak menyalahkan tindakanmu! Tapi apa balasanmu sekarang? Setelah kau merasa posisimu aman, kau mau mencampakkan aku!
"Jangan kaukira aku buta,Ana! Pada waktu pemakaman ayahku, kau berbisik-bisik lama dengan seorang laki-laki. Siapa dia? Kekasihmu yang baru? Komplotmu yang kawajak membunuh ayahku? Ya, pasti dia kekasih barumu. Aku melihat dari kejauhan bagaimana seriusnya kau bercakap dengannya. Itukah sebabnya setelah kematian ayahku kau mengusirku dari rumah? Kau menyuruhku pulang ke rumah orang tuaku dengan alasan mengamankan harta, padahal
tujuan sebenarnya adalah kau ingin memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan kekasih barumu itu!"
"Kau jangan melantur, Martin!" kata Anastasia. Keringat dingin terbit di seluruh pori-pori kulitnya.
"Kau tahu bahwa aku tidak punya kekasih baru."
"Aku punya mata,Ana! Aku lihat laki-laki itu di tempat pemakaman. Kau berkasak-kusuk dengannya di bawah pohon, memisahkan diri dari yang lain-lain. Kalau tidak ada apaapa, mengapa harus bicara sembunyi-sembunyi? Kemudian dia pergi dan aku melihat kau mengikuti kepergiannya dengan matamu persis seorang yang melepas kekasihnya pergi dengan kerinduan!"
"Jadi sekarang bagaimana maumu, Martin?" kata Anastasia lelah berdebat. Perang ini sudah berjalan terlalu lama, tenaganya sudah terkuras. Sekarang dia tidak peduli lagi apa yang akan terjadi.
"Semuanya terserah padamu," kata Martin merendahkan suaranya.
"Kau kawin denganku, atau..."
"Atau?" tantang Anastasia sudah bisa menebak arah pembicaraan pemuda itu.
"Atau aku mencabut keterangan yang kuberikan kepada polisi tempo hari."
Untuk beberapa saat lamanya Anastasia memandang Martin seakan-akan tidak percaya. Tetapi kekerasan yang tercermin di mata laki laki itu dan keteguhan pendiriannya yang tampak dari bibirnya yang dikatupkannya rapat-rapat meyakinkan perempuan itu bahwa dia tidak punya alternatif lain.
Kemudian Anastasia menghela napas panjang.
***
"Pak Kamaludin, di sini Gozali!"
"Oh, Pak Gozali, apa kabar?"
"Saya mau tanya, nih, apakah Anda masih membutuhkan tambahan tenaga?" Gozali langsung terjun ke pokok masalahnya.
"Tenaga apa?"
"Apa sajalah, asal ada yang lowong."
"Sekarang ini yang lowong cuma tenaga penjaga malam, Pak. Saya sedang mengerjakan pembangunan suatu kompleks perumahan dan saya membutuhkan seorang penjaga yang baik supaya material bangunan saya tidak banyak hilang kalau malam."
"Wah, kebetulan sekali kalau begitu, Pak Kamaludin! Saya punya kenalan yang biasa bertugas sebagai Satpam di sebuah niteclub. Mungkin Anda bisa mencobanya."
"Kalau atas rekomendasi Pak Gozali tentunya saya senang sekali menerimanya," kata Kamaludin.
"Saya bukannya memberikan rekomendasi," kata Gozali,
"saya cuma mau mengenalkan. Sebaiknya Pak Kamaludin bertemu sendiri dengan orangnya dan bisa membuat keputusan setelah bercakap-cakap dengannya."
"Memangnya mengapa orang ini mencari pekerjaan, Pak?" tanya Kamaludin.
"Dia dipecat majikannya karena dituduh telah memberikan terlalu banyak informasi kepada polisi. Saya merasa bertanggung jawab atas kehilangan pekerjaannya ini dan saya berusaha mengenalkannya kepada orang-orang yang mungkin membutuhkan tenaga."
"Baiklah, kalau begitu. Kapan dia bisa datang menemui saya?" tanya Kamaludin.
"Oh, hari ini pun saya bisa mengantarkan Saudara Darmo ini ke kantor Anda," senyum Gozali.
"Nah, saya narap Anda tidak mengecewakan Pak Kamaludin," kata Kosasih kepada Darmo di dalam mobil. Mereka baru saja kembali dari kantor Kamaludin. Setelah berbincang-bincang, pemilik usaha real-estate ini memutuskan untuk mencoba Darmo sebagai tenaga penjaga malam di lokaSi real estate-nya yang baru.
"Saya akan bekerja dengan baik, Pak," kata Darmo penuh rasa terima kasih.
"Apalagi Pak Gozali yang memasukkan saya di sana. Kan malu kalau sampai saya mengecewakannya."
"Sekarang kami masih ada sedikit urusan," kata Kosasih.
"Kebetulan kami lewat di daerah ini, Anda tentunya tidak keberatan kalau kami mengerjakan hal ini dan kita berhenti sebentar."
"Oh, tentu, Pak, tentu. Saya tunggu di mobil saja," kata Damio. Hilang sudah segala rasa antipatinya. Dia merasa gembira sekali telah diberi pekerjaan. Jarang ada polisi yang begitu memperhatikan pihak yang telah mereka rugikan.
Mobil berhenti di depan rumah Dokter Hariono,
"Kami tidak lama, kok," kata Kosasih yang sudah segera melompat turun.
"Iya, Pak, saya tunggu," kata Darmo.
Pembantu rumah yang membukakan pintu untuk mereka menyilakan mereka masuk. Tak lama kemudian Nyonya Berta Hariono keluar, Kali ini berpakaian rapi.
"Ya, Pak?" tanyanya.
"Apakah sudah ada berita mengenai si pembunuh?"
"Kami ingin bertanya apakah rencana Anda sekarang dengan praktek dan klinik mendiang suami Anda," kata Gozali.
"Oh," kata Nyonya Hariono ragu-ragu.
"Saya sendiri tidak tahu. Masalah itu belum diputuskan. Barangkali Anda sebaiknya bertanya kepada Martin, tentunya dia lebih tahu."
"Di manakah Martin sekarang?"
"Entahlah, sudah beberapa hari ini dia tidak pulang. Mungkin di rumah perempuan itu lagi."
"Bagaimana dengan hubungan kerja Dokter Made?" tanya Gozali.
"Apakah dia Demah membicarakan hal ini dengan Anda?"
"Ya, Dokter Made memang pernah membicarakan hal itu, tapi saya tidak bisa memutuskan. Saya tidak tahu apa-apa urusan klinik segala," kata Berta Hariono.
"Saya suruh dia bicara dengan Martin."
"Bagaimana kemauan Dokter Made?" tanya Gozali.
"Maksud Dokter Made, klinik itujangan ditutup, tapi diteruskan saja. Dia yang akan meneruskannya atas dasar separuh-separuh. Katanya dia yang akan bekerja di sana dengan fasilitas yang sudah ada, kami tidak usah menggajinya, tapi dia berhak menerima setengah dari semua penerimaan klinik dan praktek. Katanya tahun ini dia sudah mendapat izin untuk membuka prakteknya sendiri, namun peralatan kan mahal. Jadi daripada dia harus menyediakan semuanya sendiri, lebih baik dia memakai tempat suami saya."
"Apakah Dokter Made pernah menceritakan pertengkarannya yang terakhir dengan suami Anda?" tanya Kosasih.
"Pertengkaran? Saya tidak tahu kalau di antara mereka terjadi pertengkaran," kata si nyonya rumah.
"Di antara mereka terjadi pertengkaran dua hari sebelum meninggalnya suami Anda," kata Kosasih.
"Oh!"
"Kami punya kecurigaan bahwa dia mungkin terlibat dalam pembunuhan ini," kata Kosasih selanjutnya."Alibinya untuk malam tersebut tidak kuat."
"Oh!"
"Tadinya kami mengira alibinya kuat, tetapi setelah dicek ulang, banyak lubangnya. Karena itu kalau kami tahu bahwa dia mungkin menghendaki klinik suami Anda, itu merupakan suatu motif pembunuhan yang baik," Kosasih menjelaskan.
"Saya tidak tahu apa-apa mengenai hubungan kerjanya dengan suami saya," kata Nyonya Hariono.
"Baiklah, kalau begitu, kami permisi."
Di dalam mobil Kosasih bertanya,
"Menunggu lama, Saudara Darmo?"
"Oh, tidak, Pak," kata Darmo sambil tersenyum. Menunggu lama pun tidak apa apa, polisi polisi ini sudah mencarikan pekerjaan untuknya. Dia merasa berterima kasih.
"Ke mana kita sekarang"?" tanya Gozali.
"Kita pulangkan dulu Saudara Darmo lalu kita kembali ke markas. Aku mau mengecek
hasil pengusutan anak-anak tentang pisau yang dipakai membunuh itu."
Tak ada yang bersuara untuk beberapa saat lamanya. Gozali mencurahkan perhatiannya kepada lalu lintas sedangkan Kosasih sibuk menyeka keringatnya.
Tiba-tiba Darmo menyeletuk,
"Nyonya itu tadi siapa, Pak?"
"Nyonya yang mana?" tanya Kosasih.
"Yang tadi Bapak ke rumahnya."
"Mengapa?" Gozali ikut berpaling.
"Rasanya saya pernah melihatnya."
"Oh? Di mana?"
"Dia pernah datang ke nite'club."
"Oh, ya? Kapan?"
"Pada malam yang sama terjadinya pembunuhan itu."
Gozali terperanjat. Kosasih segera berhenti menyeka keringatnya.
"Dengan siapa?" tanya Gozali.
"Seorang diri. Itulah sebabnya saya mengingatnya. Dia tidak berpotongan seperti cewek-cewek yang biasa nongol ke niteclub seorang diri."
Mata Gozali menyala-nyala. Ketegangannya mulai meningkat.
"Pukul berapa kira-kira dia datang?" tanya Gozali.
"Berapa lamanya dia di dalam dan bagaimana ceritanya?"
"Perempuan itu naik mobil Charade merah. Dia parkir dua kali di seberang niteclub. Tadinya saya tidak memperhatikan, tetapi pada saat dia turun lalu masuk ke niteclub, saya merasa yakin bahwa mobil itu sudah parkir di sana beberapa saat lamanya yah, kira-kira ada kalau seperempat jam begitu. Dan seingat saya sebelum itu kirakira satu jam sebelumnya, mobil itu sudah pernah parkir di sana!"
"Jadi menurut Anda mobil itu pernah datang dua kali'?" tanya Gozali.
"Ya, seingat saya begitu. Pada waktu itu tempat parkir di seberang tidak begitu penuh, hanya ada tiga mobil. Rasanya saya melihat mobil Charade merah itu pernah parkir di sana, kemudian dia pergi, lalu kira-kira sejam kemudian dia kembali dan parkir di sana lagi."
"Apa yang membuat Anda menarik kesimpulan bahwa mobil itu adalah mobil yang sama? Apakah tidak mungkin itu dua mobil yang sama Charadenya dan sama merahnya?" tanya Kosasih.
"Saya tidak berani bersumpah bahwa itu
mobil yang sama, saya tidak memperhatikan nomor polisinya. Saya menarik kesimpulan begitu karena penumpang mobil itu sama-sama tidak turun segera setelah memarkir mobilnya seperti layaknya semua orang," kata Darmo.
"Biasanya orang setelah memarkir mobil kan langsung turun. Tapi pertama kalinya saya melihat mobil Charade merah itu, saya tidak melihat ada yang turun dari dalamnya. Setelah kira-kira parkir di sana sepuluh menit, mobil itu pergi. Kedua kalinya saya melihat sebuah mobil Charade merah yang parkir di tempat yang sama, juga tidak ada yang turun sampai kira-kira seperempat jam kemudian. Jadi saya mengambil kesimpulan kedua mobil itu adalah mobil yang sama dan pertama kalinya si pengemudi tiba dia ragu ragu untuk turun, lalu dia pergi. Kemudian dia kembali lagi untuk kedua kalinya dan baru pada waktu itu dia jadi turun."
"Sekarang ingat baik-baik." kata Gozali menghentikan mobil di tepijalan lalu mematikan mesinnya.
"Ingatlah baik-baik, apakah kedatangan perempuan ini sebelum atau sesudah dokter itu tiba?"
"Oh, setelahnya, Pak. Dokter itu sudah masuk."
"Berapa lama perempuan itu berada di dalam niteclub?"
"Hm, saya tidak tahu persis, tapi tidak lama, kok. Mungkin lima sampai sepuluh menit."
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pada waktu itu dokter ini masih di dalam?" tanya Gozali.
"Ya."
"Dan gadis yang bersama dokter itu juga masih di dalam?"
"Oh, tidak," kata Darmo.
"Pertama kalinya mobil Charade merah itu datang, itu tidak seberapa lama setelah kedatangan dokter tersebut bersama si gadis yang naik Honda perak. Tapi kedua kalinya mobil Charade itu kembali dan perempuan tadi itu turun, gadis ber-Honda Accord perak itu baru saja pergi."
"Anda tidak salah ingat?"
"Tidak. Saya punya daya ingat istimewa, saya tidak pernah melupakan seraut wajah atau kendaraan yang pernah saya lihat" kata Darmo bangga.
Gozali merenung, lalu tanpa berkata apaapa lagi dia menghidupkan mesin mobilnya dan berkata,
"Terima kasih, Saudara Darmo. Sekarang kami akan mengantarkan Anda pulang dulu."
****
Duduk di balik mejanya Kosasih memanggil Kopda Adi dan Koptu Sapulete untuk memberikan laporan mengenai tugas pelacakan pisau yang diserahkan kepada mereka.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Kosasih.
"Kami sudah berhasil menemukan toko yang menjual pisau itu, Pak."
"Itu bukan pekerjaan yang sulit," komentar Kosasih.
"Pada pisau kan masih menempel harganya. Kau tinggal mencari toko mana yang menggunakan kode abjad yang sama. Di mana akhirnya kalian temukan toko itu?"
"Toko itu adalah toko yang menjual alatalat sport yang letaknya hanya berjarak beberapa puluh meter dari niteclub Purnama, Pak," kata Koptu Sapulete.
"Lalu?"
"Kami memeriksa bon-bon penjualan mereka dan kami menemukan bahwa pada tanggal dua puluh sembilan-hari terjadinya pembunuhan itu toko itu pernah menjual pisau sejenis."
"Siapa yang membelinya?"
"Nah, itu yang sulit, Pak. Di dalam bon penjualan tidak tercantum nama si pembeli dan baik si pelayan toko maupun si pemilik tidak bisa mengingat lagi siapa yang membelinya."
"Kapan transaksi jual-beli ini terjadi? Pagi, sore, atau malam harinya?"
"Pada bon itu tercantum cap ca sh register pukul 20.53 sedikit waktu sebelum toko itu tutup."
"Tapi tidak ada yang ingat siapa yang membeli," tegas Kosasih jengkel.
"Tidak."
"Bahkan apakah pembeli itu laki-laki atau perempuan juga tidak ada yang ingat?" sela Gozali.
"Betul, Pak."
Kosasih bertukar pandang dengan Gozali. Ini tidak membantu penyelidikan mereka.
"Ada satu hal lagi, Pak," kata Koptu Sapulete.
"Pisau ini ada temannya, dia tidak dibeli sendiri. Pada bon penjualan tercantum dua buah pisau dari tipe yang berlainan. Yang satu kodenya K33, yaitu pisau yang sama dengan yang dipakai membunuh, dan yang lain berkode SSL. Yang terakhir ini adalah
jenis pisau yang lebih kecil dan lebih ringan."
"Itu dalam satu bon?" tanya Kosasih.
"iya, Pak."
"Berarti dibeli oleh orang yang sama?"
"Iya, Pak."
"Mengapa orang membutuhkan dua pisau untuk melaksanakan niat jahatnya?" tanya Kosasih kepada Gozali.
"Kalau kita sudah bisa menemukan si pembeli, kita boleh bertanya padanya," senyum Gozali.
Kedua anak buah Kosasih diizinkan untuk mundur.
"Paling tidak kita tahu bahwa pembunuhan ini sudah direncanakan sebelumnya," kata Kosasih kepada sahabatnya.
"Juga kita tahu bahwa yang membeli pisau itu bukan Frans Malingkas ataupun kaki tangannya, si Oskar Lengkong," kata Gozali.
"Lho, dari mana kau bisa memastikan itu! Si penjual tidak ingat siapa pembelinya, kok!"
"Justru itu! Si penjual tidak ingat karena si pembeli adalah orang yang belum pernah dikenalnya! Mustahil setelah bertetangga sekian lamanya dengan niteclub Purnama mereka tidak mengenal orang orang niteclub
itu-paling tidak mereka pasti mengenal wajah Frans Malingkas dan Oskar Lengkong!"
"Mungkin Malingkas menyuruh anak buahnya yang lain, mungkin salah satu pelayannya atau apa. Belum tentu pegawai toko itu kenal satu per satu semua karyawan Purnama," bantah Kosasih.
"Malingkas tak mungkin menyerahkan tugas serawan itu kepada seorang pelayan biasa selama dia bisa menyuruh Oskar Lengkong, orang kepercayaannya."
"Hm," gumam Kosasih.
"Mungkin kau benar. Kalau begitu siapa?"
Gozali berkata sambil mematikan puntung rokoknya,
"Itu yang harus kita cari."
****
"AKU tidak menyangka Martin akan membiarkan aku berjalan keluar begitu saja dari kamar hotelnya, Em," kata Anastasia duduk di ruang tamu rumah sahabatnya.
"Aku pikir, wah, setiap detik dia akan mengejarku dan menyeretku secara paksa kembali masuk. Tapi ternyata aku mencapai pintu dengan selamat, lalu keluar dari hotel juga dengan selamat, dan aku baru bisa bernapas dengan lega setelah aku duduk di dalam mobil dan keluar dari halaman parkir hotel!"
"Barangkali pada akhirnya dia sadar juga bahwa tidak ada gunanya lagi memaksamu kawin dengannya," kata Emi.
"Aku harap dia benar-benar sadar."
"Aku harap begitu juga, aku kasihan padanya. Aku harap dia segera mendapatkan gadis yang sesuai supaya hatinya terhibur,"
kata Anastasia.
"Martin begitu perasa, begitu peka, begitu bimbang, dia memang membutuhkan seseorang di sisinya untuk menambah keberaniannya."
"Sudah! Jangan mengasihaninya terus. Dia sudah dewasa, harus bisa bersikap dewasa. Orang yang dewasa berarti bisa menerima yang pahit maupun yang manis dalam hidup ini."
"Ya, ya, persis! Martin memang belum dewasa!"
"Dia cuma seorang anak tunggal yang manja. Mungkin waktu kecilnya tidak pernah dipukul sehingga besarnya dia selalu berharap semua orang harus menuruti kehendaknya," kata Emi yang cukup keras mendidik anak-anaknya sendiri.
"Aku tak dapat terlalu menyalahkan dia, Em. Masa kecilnya tidak menyenangkan. Ayahnya jarang di rumah, tidak pernah bersikap sebagai suami dan bapak yang mengayomi dan memberi perhatian. Sejak kecil Martin tahu bahwa ibunya selalu sakit hati melihat ulah ayahnya yang tidak pernah setia. Kalau si ibu kemudian mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatiannya kepada si anak dan memanjakannya, itu
adalah perkembangan yang wajar. Mereka seolah-olah cuma berdua yang harus berdiri menghadapi dunia luar yang kejam dan menyakitkan.
"Ibu Martin adalah seorang perempuan yang neurosis-akibat tidak bisa membuat pilihan yang tegas menghadapi sikap suaminya yang don-juan. Martin sedari kecil selalu merasa bahwa dia telah dirugikan sehingga setelah dewasa dia berusaha memaksakan setiap kehendaknya. Di tidak mau rugi lagi." Anastasia menghela napas panjang. Dia bisa mengerti kejiwaan Martin tapi itu tetap tidak mengubah faktanya bahwa hubungannya dengan pemuda itu adalah sesuatu yang haram incest yang tidak bisa diteruskan.
"Itulah, menjadi orang tua tidak mudah. Setiap keputusan mereka, setiap langkah mereka, membawa dampak pada anak-anaknya," kata Emi.
"Kebencian, iri hati, mudah tersinggung, pemarah, semua itu sifat yang ditumbuhkan dan dipupuk dari bagaimana si anak ini melewatkan masa kecilnya. Banyak orang mengira, ah, anak kecil saja kan belum tahu apa-apa, belum punya perasaan. Tapi itu tidak benar. Anak kecil itu punya perasaan! Bahkan jauh lebih peka daripada
yang disangka orang dewasa! Dan perasaan seorang anak itu membekas dan membentuk wataknya!"
"Ironis sekali, kan justru aku yang pernah punya andil mengganggu ketenteraman rumah tangganya, sekarang aku harus memetik akibatnya dari psikologi Martin," kata Anastasia.
"Pada waktu itu anak atau istri Hariono sama sekali tidak kupikirkan. Nama mereka saja pun aku tak pernah tahu atau bertanya," Anastasia tersenyum sendu.
"Tak pernah terbayangkan olehku bahwa mereka ini menderita karena hubungan kami, atau bahwa ada seorang anak kecil yang bernama Martin yang merindukan ayahnya yang selalu pulang malam karena menghabiskan waktunya bersamaku. Yah, aku punya andil telah merenggut tiga tahun dari hidup Martin dengan memisahkannya dari ayahnya, dan rupanya hukum karma inilah yang membawa Martin masuk dalam hidupku lagi. Dia telah kehilangan kasih sayang ayahnya selama tiga tahun gara-gara aku, sekarang takdir menentukan aku harus membayar kembali utangku kepadanya."
"Orang hidup memang sering berbuat kesalahan." kata Emi.
"Karena kita tidak bisa
melihat masa depan, tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi sekian tahun lagi, tidak punya bola kristal yang membantu kita meramal, kita hanya asal jalan begitu saja. Sewaktu kita muda, kita impulsif'dan pendek pikiran. Kita hanya mau menuruti kehendak hati sendiri, peduli setan dengan orang lain atau akibatnya.
"Sering kali orang tua kita juga tidak bisa memberikan pengarahan yang benar. Kita ini melupakan produk psikologis mereka. Kau pun merupakan produk psikologis orang tuamu, sebagaimana halnya Martin. Penjelasan yang kurang mengenai seks, pendekatan yang kurang mengenai hubungan antar-manusia, kecanggungan antara anak terhadap orang tua, kurangnya demonstrasi kasih sayang dalam keluarga semuanya ini mengarahkan kau untuk mencari perhatian di luar rumah, mencari pengakuan atas eksistensimu, mencari kasih sayang yang kaukira bisa diberikan oleh Hariono.
"Seandainya dalam rumah tanggamu hubungan dengan kedua orang tuamu lebih terbuka, lebih hangat, lebih santai, mungkin kau tidak akan punya jiwa petualang untuk mencoba-coba mencari pengalaman di luar.
Kalau sampai kau bisa berhubungan selama kurang lebih tiga tahun dengan Hariono tanpa setahu orang tuamu, itu menunjukkan bahwa orang tuamu kurang peka terhadap perkembangan kejiwaan anak mereka. Lha wong satu rumah setiap hari bertemu muka kok nggak tahu anaknya sedang kasmaran! Kan aneh! Si Adelia, anakku yang remaja, itu saja kalau mulai tertarik pada seorang eowok, aku langsung tahu kok walaupun dia berusaha menyembunyikannya," kata Emi.
"Ya, orang tua kita kan lain dengan orang tua zaman sekarang, Em," kata Anastasia "Aku lihat kau bisa bergaul erat dengan anak-anakmu macam teman sebaya saja. Ibu dan ayahku kan tidak begitu! Anak-anak tidak boleh kurang ajar, harus tahu tempatnya sendiri, harus menjaga jarak yang dianggap dasar pendidikan yang baik."
"Manusia itu aneh, lho, Run," kata Emi.
"Sejak kecil kita dididik untuk menjaga jarak, untuk bersikap munafik. untuk tidak menunjukkan perasaan kita yang sebenarnya. Kalau kita sampai berani pamer emosi, hal itu dianggap sebagai suatu kelemahan. Semua perasaan kita, kita biasakan untuk dipendam. Kalau sayang dipendam, benci
dipendam, marah-dipendam, susah-dipendam, semua dipendam! Demi gengsi katanya!" gelak Emi.
"Orang tua walaupun sayang sama anaknya, pantang menciumnya atau memeluknya apabila anak itu sudah besar. Si orang tua merasa malu dan dia menanamkan juga perasaan malu pada si anak. Begitu berlangsung terus sampai anak itu besar dan terjun ke masyarakat. Kalau kita punya ganjalan sakit hati pada seseorang, kita malu mengutarakannya dipendam saja, tapi menggerundel di belakang. Kalau ada yang sedih, juga malu untuk menangis apalagi anak laki-laki, sejak kecil sudah dididik bahwa kaumnya tidak boleh menangis, itu cengeng. Lha wong menangis itu cara alamiah untuk menyalurkan perasaan kok dilarang! Semua kepalsuan ini sebetulnya untuk apa? Mengapa kita harus bersikap munafik? Hati susah tapi bibir diharuskan tersenyum. Lagi jengkel, tapi tetap harus bersikap ramah. Kita cinta, tidak kita tunjukkan, disimpan saja di hati. Tapi kita mengharap orang lain mengerti apa isi hati kita! Lha memangnya orang lain itu tukang ramal semua! Kalau kita sendiri yang enggan menunjukkan perasaan kita, malah disimpan-simpan, disamar-samarkan, bagaimana kita bisa mengharapkan orang lain mengerti!
"Jadi kalau dari kecil kita dididik dengan pola berpikir yang membingungkan ini, sampai dewasa kita menjadi orang yang bingung. Kita menjadi orang yang sulit mengetengahkan kemauan kita kepada orang lain. Mental kita sakit, kejiwaan kita tidak stabil.Akibatnya kita nubruk-nubruk nggak keruan. Seperti kau kau membabi buta merangkul Hariono yang kauharapkan bisa mengerti isi hatimuseperti Martin, dia membabi buta merangkulmu dengan harapan kau bisa mengerti isi hatinya. Dan penyakit masyarakat ini akan terus berkembang demikian turun-temurun selama para orang tua tidak mengubah cara berpikir mereka."
"Mudah-mudahan Martin menemukan ekuilibriumnya kembali. Kasihan dia, bukan salahnya menjadi orang yang demikian," kata Anastasia.
"Ya, untung kau bertemu dengan Antonio. Untung kau masih bisa disembuhkan dan menjadi manusia yang utuh kembali, Run. Kau tidak tahu sebetulnya pada waktu itu aku sudah mengira kau akan cacat mental seumur hidup. Kalau tidak menjadi manusia yang menutup diri macam perawan tua yang membenci sekelilingnya karena merasa tertinggal, ya bisa menjadi orang yang tidak bermoral, menggaet lelaki siapa saja untuk melampiaskan dendammu pada Hariono. Untung kau bertemu dengan Antonio!"
"Ya, untung ada Antonio," kata Anastasia.
"Semoga Martin pun menemukan seorang Antonio baginya."
***
ANASTASIA sedang sibuk membicarakan masalah beberapa keluhan langganannya dengan Maya ketika dia menerima telepon dari Siska yang mengatakan bahwa dia menerima panggilan untuk menghadap di kantor polisi hari Senin yang akan datang karena akan dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus kematian Hariono.
"Minta keterangan apa lagi," kata Anastasia kesal. Tiga hari ini telah dilewatkannya dengan tenang tanpa gangguan dari Martin atau siapa pun. Bahkan dia sudah mulai melupakan bahwa problem itu pernah ada.
Selama tiga hari ini Anastasia berusaha membereskan masalah-masalah yang timbul akibat perginya Yamin. Klien-klien yang sudah terbiasa dengan gaya desain Yamin merasa kurang cocok dengan pekerjaan Pak
Dadang yang tentu saja tidak bisa diharapkan meniru gaya Yamin. Keluhan-keluhan mengalir masuk. Berbagai permintaan yang semuanya bernada minta desain baru harus ditangani. Ini telah membuat pusing Anastasia.
Tetapi di samping problem yang mengganggu kelancaran operasional Madona, ada perkembangan yang menggembirakan. Ternyata sekolah senam dan fitnes yang baru dibuka itu mendapatkan animo yang besar. Kelas-kelas yang ada sekarang sudah terisi penuh. Madona memerlukan kelas-kelas baru apabila mereka ingin menerima semua pendaftar. Anastasia dihadapkan pada pilihan apakah harus memindahkan kelas-kelas ini khusus ke bangunan lain yang tersendiri dan memisahkannya dari usaha biro modelnya sekarang berhubung dengan terbatasnya ruangan, atau seluruh organisasinya harus pindah ke bangunan yang lebih besar. Sekarang mereka sudah menyewa tiga lantai dari suatu bangunan yang cukup besar. Kontrak ini masih tinggal satu tahun lagi.
Untuk mengakomodasi semua pendaftar baru yang belum kebagian tempat, paling tidak Madona harus menambah enam kelas
lagi yang berarti satu lantai tersendiri dipakai dari pagi hingga malam. Bijaksanakah pada masa resesi ini untuk membuat investasi sebesar itu? Di pihak lain kalau dibiarkan terus-menerus Madona tidak dapat menampung jumlah pendaftar yang berdatangan, akhirnya mereka akan beralih ke sekolah senam dan fitness yang lain, yang banyak timbul seperti jamur di musim hujan setelah yang lain lain ini melihat kesuksesan Madona.
Keputusan yang tidak mudah bagi Anastasia. lnvestasi demikian berarti uang puluhan juta. Madona selama ini sudah terkenal sebagai tempat yang mewah. Perlengkapan ruangannya harus mewah dan indah tidak kalah dengan hall center yang ada di hotel-hotel berbintang lima. Madona adalah lambang status dan Anastasia ingin mempertahankan keekslusifannya itu. Sekolah senam dan fitness banyak bertumbuhan di Jakarta, tapi tak ada yang menyamai Madona. Itulah sebabnya Madona masih merupakan daya tarik terbesar bagi peminat-peminat senam dan ftness. Hanya saja, bijaksanakah sekarang untuk mengembangkannya lebih daripada yang ada? Apakah itu tidak serakah namanya? Ataukah ini suatu kesempatan
yang tidak boleh disia-siakan kalau mereka tidak mau para penggemarnya beralih ke sekolah-sekolah lain?
Sebenarnya Anastasia membutuhkan pandangan dan nasihat Yamin yang selama ini dirasanya memang praktis dan objektif. Tapi Yamin tak lagi ada di sisinya. Sekarang, belum lagi semua masalah ini harus dipecahkannya, kembali dia dirongrong oleh polisi!
"Rupanya kau tidak bisa mengelak, An. Kalau sudah dipanggil polisi ya terpaksa datang," kata Maya.
"Yah! Kayaknya kita ini nggak punya pekerjaan lain kecuali mondar-mandir ke kantor polisi saja," gerutu Anastasia.
"Mungkin ini yang terakhir," kata Maya.
"Atau karena mereka belum berhasil mendapatkan keterangan lebih lanjut, mereka perlu memanggil kau lagi."
"Sialan! Gara-gara mobil itu," kata Anastasia.
"Seharusnya malam itu aku naik taksi atau bajaj atau apa saja, dan tidak membawa mobilku sendiri."
Maya sebetulnya ingin bertanya, sebenarnya apakah memang kau yang membunuh Hariono, An? Tapi dia tak sampai hati. Kepada Anastasia dia berkata,
"Mungkin Martin menarik kembali pernyataannya kepada polisi bahwa malam itu kau ada di rumah bersamanya."
Sejenak Anastasia tampak terkesiap, lalu termenung.
"Ya... ya. mungkin dia tega berbuat itu," katanya akhirnya.
"Dia sudah menyindir akan berbuat itu kalau aku tak mau kawin dengannya. Aku mengira itu hanya gertak sambal usahanya yang terakhir untuk menahanku pergi. Tapi... tapi siapa tahu? Siapa tahu dia akhirnya betul-betul melaksanakan gertakannya itu karena sudah benci padaku?"
"Kalau memang betul Martin mencabut pernyataannya, apa yang akan kauperbuat, An?" tanya Maya.
"Aku... aku... aku tidak tahu. Kalau memang Martin menarik kembali alibiku, aku mati kutu. Polisi akan bisa memastikan aku ada di niteclub itu bersama Hariono."
"Tapi dengan membuktikan bahwa kau berada di sana saja tidak dapat membuktikan kaulah yang membunuhnya, kan, An?" tanya Maya.
"Kan tidak ada yang melihatmu menikamkan pisau itu ke Hariono!"
Mata Anastasia membelalak.
"Tentu saja tidak! Lagi pula aku tidak menikamnya! Tapi kalau satu kali polisi bisa membuktikan aku berada di sana, mereka bisa membuktikan aku telah berbohong dan ditambah dengan kisah lamaku bersama Hariono, mereka pasti akan menuduh aku yang membunuhnya!"
"Jadi... jadi bukan kau yang menikam Hariono?" baru sekarang terluncur keluar dari mulut Maya pertanyaan yang telah mengganggunya selama berhari-hari.
"Maya!" Kau saja meragukan keteranganku, apalagi polisi! Memang akulah orang yang paling cocok untuk membunuhnya, dan aku sudah membunuhnya di dalam mimpiku beribu kali. Sayang secara realita aku tidak dapat melakukannya. Aku ternyata tidak setegar yang kusangka."
Maya bertanya dalam hati, benarkah kau tidak tegar, Ana? Aku kira kau adalah perempuan yang bermental baja. Aku kira setelah semua pengalamanmu, setelah apa yang pernah kaujalani, kau adalah perempuan yang super tegar! Aku kira kau mampu melakukan pembunuhan itu kalau kau mau, Ana!
"Jadi apa yang akan kaulakukan sekarang. An?"
"Aku terpaksa harus kembali."
"Kalau betul kau dituduh dan ditahan?"
"Aku pasrah. Paling tidak Hariono sudah mati, aku puas." Betulkah? pikir Anastasia dalam hati. Betulkah aku puas dan gembira karena Hariono sudah mati? Apakah kematiannya ini benar-benar memberikan kebahagiaan kepadaku? Kalau aku harus berkata sejujurnya, sebetulnya aku tidak merasa apa-apa. Aku tidak merasa lebih bahagia, seakan-akan kematiannya sama sekali tidak menyentuh hidupku, tidak berarti apa-apa agi bagiku Hariono tidak menjadi soal lagi bagiku mati maupun hidup.
"Lalu bagaimana dengan Madona?" tanya Maya membuyarkan lamunan Anastasia.
Seketika Anastasia terjaga. Ya, Madona! Madona adalah hidupnya. Madona berarti baginya!
"Kau betul, Ya! Madona tidak boleh hancur karena aku masuk penjara. Kau..."
"Tapi kau kan tidak akan masuk penjara, Ana!" bantah Maya.
"Kalau kau tidak bersalah, mengapa kau harus masuk penjara?"
"Kita tidak tahu bukti apa saja yang dipunyai polisi. Seandainya mereka bisa membuktikan aku yang bersalah, dan aku yang membunuh Hariono...."
"Kita harus mencari pengacara yang tangguh! Sebaiknya sebelum kau berangkat ke Surabaya kau berunding dulu dengan seorang pengacara. Lebih baik lagi kalau dia pergi bersamamu."
"Pengacara itu urusan belakang. Lagi pula kita sekarang tidak tahu apa yang akan dilakukan polisi. Kalau tiba-tiba aku muncul di dampingi seorang pengacara, itu malah akan membuat mereka curiga. Urusan pengacara bisa kita atur nanti kalau aku sudah duduk di sel. Urusan Madona lebih penting," kata Anastasia tegas.
"Maksudmu?"
"Kalau terjadi apa-apa padaku, Maya apakah aku ditahan, diadili, atau dihukum, aku ingin kau tetap menjalankan Madona bersama Pak Hamdi. Paling tidak Madona pusat di Jakarta tidak boleh hancur. Mungkin cabang yang di Surabaya terpaksa ditutup karena aku tidak punya wakil yang tangguh di sana, tapi Madona pusat aku serahkan padamu."
"An! Itu mustahil! Aku tidak sanggup menangani semuanya sendiri! "
"Kau tidak seorang diri, ada Hamdi."
"Kau tahu sendiri bagaimana Pak Hamdi
itu. Dia selalu menunggu keputusan darimu. Dia adalah seorang pelaksana yang baik, seorang pengontrol, tapi dia tidak bisa membuat keputusan sendiri. Dalam keadaan mendesak, dia tidak cukup berani untuk mengambil risiko, dan tidak cukup brilian untuk mengubah kebijaksanaan jika keadaan mendiktekan suatu perubahan."
"Kalau begitu kau yang harus melakukannya. Kau yang mewakili suaraku. Selama ini ternyata perusahaan bisa berjalan dengan lancar, terutama bulan-bulan terakhir ini di mana aku tak begitu punya waktu untuk terjun menanganinya sendiri."
"An, terus terang saja selama kau tidak ada di sini, Yamin sangat punya peranan, dalam membantu organisasi kita. Setiap kali Pak Hamdi mengelak untuk mengambil keputusan, Yamin yang memberikan pandangan nya kepadaku dan aku yang membuat keputusan atas petunjuk dan pengarahan Yamin. Tapi sekarang dengan tidak adanya dia, aku khawatir aku tidak bisa melakukannya sendiri dan aku hanya akan membuat keputusan yang salah!"
"Aku tidak pernah tahu bahwa Yamin begitu terlibat urusan manajemen bisnis
kita," kata Anastasia.
"Aku kira dia hanya membuat desain saja seorang seniman yang hanya mencurahkan perhatiannya kepada karyanya."
"Kau kurang mengenalnya, kalau begitu, An, tegur Maya.
"Yamin adalah seorang yang punya pandangan praktis, objektif, dan kritis. Dia tidak emosional, dia bisa melihat suatu situasi dan menilainya dengan tepat. Jangan dikira hanya karena dia menekuni desain, dia tidak tahu masalah manajemen. Dia tahu betul. Dia sangat membantu perkembangan Madona, An!"
"Kau begitu menghargainya?" tanya Anastasia heran.
"Iya, kalau bukan karena ada dia, wah, kita tidak semaju ini, An! Mana kau sibuk terus di Surabaya. Kami di sini kan tidak bisa meneleponmu untuk minta pendapat dan saran dan keputusan untuk setiap masalah. Kecuali membantuku menyelesaikan pemecahan masalah rutin, juga atas idenya-lah kita membuka kelas-kelas fitness, yang melengkapi fasilitas kita dengan sauna, yang membantu memilih tenaga-tenaga pelatih yang bersyarat. Kaukira semuanya itu hasil tangan Hamdi dan aku? Kau salah, An! Hamdi tinggal akur saja dan aku tinggal melaksanakan apa yang sudah direncanakan Yamin. Sedangkan kau hanya tinggal mendengarkan pengajuan yang final dan membubuhkan tanda tangan saja. Yang kerja memang aku dan Hamdi, tapi yang merencanakan semuanya Yamin."
Harian Vampir 03 Penghianatan Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama