Ceritasilat Novel Online

Misteri Keempat Wajah Anastasia 7

Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd Bagian 7



"Kalau begitu kita berutang banyak padanya, Maya. Mungkin aku perlu berterima kasih secara pribadi padanya. Tolong nanti buatkan surat resmi dan aku akan menandatanganinya sebagai ucapan terima kasih Madona yang sebesar-besarnya. Sebutkan bahwa aku baru mengetahui hal ini sekarang. Aku minta tolong padamu untuk menyampaikan surat itu padanya kalau aku sudah kembali ke Surabaya."

"Sebetulnya mengapa sih dia meninggalkan organisasi kita? Tadinya aku kira dia akan tinggal secara permanen di Madona, bahkan aku mengharap kalian bisa menjadi pasangan yang serasi."

"Hidupku sudah terlalu ruwet baginya, Maya. Kami sama-sama salah menilai yang lain," kata Anastasia menghela napas panjang.

"Kami samasama kurang terbuka satu sama lain, menyembunyikan perasaan kami,

pikiran kami, sehingga yang lain itu mengambil kesimpulan yang salah."

"Kalau memang begitu mengapa hal ini tidak dibicarakan saja secara terbuka? Mengapa harus mempertahankan pendapat yang salah?"

"Karena setiap orang itu punya gengsi," kata Anastasia.

"Hanya orang bodoh yangpunya gengsi," kata Maya.

"Orang yang bijaksana bisa menerima realita."

"Lalu maksudmu sekarang aku harus bertekuk lutut menyembahnya supaya dia mau kembali begitu?" tanya Anastasia.

"Aku kira itu perumpamaan yang terlalu ekstrem. Cukup kau minta maaf saja bahwa kau telah salah menilai pribadinya. Aku kira jika kau mau mengulurkan tangan yang pertama, dia akan mengubah keputusannya juga."

"Dia juga sudah salah menilaiku, Maya, tidakkah dia pun harus minta maafpadaku?" tanya Anastasia.

"Tentu saja, tapi itu baru akan terjadi setelah dia tahu bahwa dia telah berbuat kesalahan. Sekarang dia belum tahu. Sampai detik ini dia masih punya pendapat yang salah tentang dirimu, Kau sudah tahu bahwa kau telah salah menilainya, jadi apa salahnya kalau kau yang pertama minta maaf?"

"Tidak semudah itu," kata Anastasia.

"Di atas semua praduga jeleknya tentang aku, dia juga mengira akulah yang telah membunuh Hariono."

"Okelah, kalau begitu jelaskan padanya bahwa bukan kau yang membunuh Hariono."

"Sementara polisi masih mengusut perkara ini. Bagaimana kalau polisi bisa membuktikan aku yang membunuh Hariono? Bukankah Yamin malah akan menertawakan aku dan menuduh aku munafik, atau mau mengibulinya? Tidak, Maya. Sebaiknya kita lupakan saja Yamin. Madona harus bisa berdiri tanpa Yamin, seperti dulu sebelum Yamin terjun ke organisasi kita. Dan kaulah orang yang kuserahi tugas ini, Maya!"

"Kau memberikan sebebas-bebasnya kuasa bagiku untuk bertindak atas namamu untuk mewakilimu dalam segala hal untuk mengambil keputusan yang mengikat dirimu?" tanya Maya.

"Ya. Sore ini juga harus kita selesaikan semua dokumen resminya. bermeterai cukup. Coba kautelepon notaris kita, suruh dia bersiap-siap menerima kedatangan kita sore ini."

"Kau tidak akan menyesali keputusan apa pun yang kubuat atas namamu?" tanya Maya serius." Aku serahkan seluruh bisnis ini kepadamu, Maya. Kau telah menjadi sahabatku selama tujuh belas tahun. Kita telah mengarungi gelombang hidup ini bersama-sama jatuh bangun bersamasama. Aku percaya sepenuhnya padamu."

"Baiklah, kalau begitu," kata Maya tiba-tiba tampak lebih tegas dan kokoh.

"Aku akan berusaha menjalankan semuanya dengan baik demi kebaikan bisnis kita, dan demi kebaikanmu juga."

Anastasia menepuk-nepuk bahu Maya lalu memeluknya dan menciumnya.

"Kuserahkan Madona ke dalam tanganmu, Maya. Semoga namanya tetap jaya," bisik Anastasia di antara linangan air mata.

***

MOBIL polisi yang dikhawatirkannya bercokol di halaman rumahnya ternyata hanyalah perkiraan yang tak beralasan. Anastasia mendapatkan keadaan rumahnya tenang dan sepi. Tak ada polisi yang menjaga atau tempelan kertas apa pun pada dinding rumahnya yang melarangnya masuk atau apa. Dari tadi di dalam pesawat Anastasia telah membayangkan yang paling jelek-bahwa begitu dia turun di depan rumahnya dia akan segera disergap oleh dua petugas polisi dan diborgol tangannya lalu dibawa pergi ke kantor polisi.

Pembantunya yang bergegas membukakan pintu menerimanya dengan senyuman lebar. Sedikitpun tak tampak rasa panik maupun khawatir di matanya.

"Eh, Nyonya! Kok tidak bilang kalau pulang hari ini!" kata Mbok Ni.

"Tidak ada yang mencari saya, Mbok?" tanya Anastasia.

"Sore hari tidak ada, Nya. Kalau pagi Jeng Siska yang menerima tamu,"

"Rumah sepi?" tanya Anastasia. Maksudnya ingin tahu apakah Martin sudah kembali bercokol di rumahnya atau tidak. Selama beberapa hari dia di Jakarta, dia sama sekali tidak mendengar berita dari pemuda itu.

"Sepi, Nya, tidak ada orang di rumah kecuali saya dan Rum." Rum adalah pembantunya yang lain.

Anastasia naik ke kamarnya di loteng. Semuanya rapi. Dia membuka lemari dan hal pertama yang dilihatnya adalah pakaian Martin yang sudah lenyap semua.

"Den Martin sudah memindahkan semua pakaiannya, Mbok?" tanya Anastasia seakan-akan dia sudah tahu bahwa Martin akan melakukannya.

"Sudah, Nya. Kemarin dulu Den Martin kemari, lalu semua barangnya dibawa."

"He-ehm,"kata Anastasia."'Memang saya yang minta, kok, Mbok. Sewaktu membawa barang-barangnya itu Den Martin bilang apa sama Mbok?" tanya majikannya ingin tahu.

"Tidak bilang apa-apa, Nya. Den Martin tidak bicara sama sekali. Dia membawa kopor besar, terus semua barangnya dimasukkan kopor dan dibawa ke mobilnya. Mau saya bantu, tapi Den Martin menolak."

"Jeng Siska tidak meninggalkan pesan buat saya?" tanya Anastasia.

"Mungkin karena tidak tahu Nyonya pulang hari ini," kata Mbok Ni.

"Tapi kalau ditinggalkan, biasanya kan diatas meja kerja Nyonya. Coba saya lihatnya," kata Mbok Ni.

"Tidak usah, Mbok, nanti akan saya lihat sendiri. Sekarang tolong siapkan makan malam saja seadanya telur goreng atau apa saja."

"Baik, Nya."

Anastasia membaringkan dirinya di atas tempat tidurnya yang besar. Terasa nyaman dan sejuk.Dilihatnya arlojinya hampir pukul enam sore. Tadi dia naik pesawat pukul empat dari Jakarta, tiba di Bandar Juanda pukul lima lebih, lalu dengan taksi dia ke rumah.

Makan malam terdiri atas menu yang sangat sederhana. Maklum Mbok Ni tidak menyediakan bahan khusus untuk majikannya hari ini. Lagi pula Anastasia memang tak bernafsu makan malam ini. Begitu banyak yang memberati pikirannya, begitu banyak yang masih harus dihadapinya besok dan mungkin dalam hari-hari mendatang. Semuanya tampak begitu kelabu, tak ada yang menentu. Pada usianya yang menjelang empat puluh tahun ini ternyata dia masih belum berhasil mencapai kehidupan yang tenang dan tenteram.

Alangkah bedanya dengan Emi, pikir Anastasia. Mereka sebaya, bahkan dulu sekelas. Kemudian masing-masing menempuh jalannya sendiri. Emi kawin dan berkeluarga, hidupnya tenang dengan hanya riak-riak kecil yang mewarnai hariharinya suaminya baik, anak-anaknya baik, ekonominya baiksemuanya tenang dan wajar. Mungkin Emi tidsk pernah mengalami kebahagiaan yang memuncak, yang meluap-Iuap, yang membawanya melambung tinggi tapi Emi juga tak pernah mengalami tragedi yang mencampakkannya sampai ke dasar bumi.

Hidup Anastasia sangat berlainan. Satu saat dia serasa di puncak yang tertinggi, bahkan berhasil meraih matahari. Tapi detik berikutnya dia terhempas ke dasar laut yang terdalam hancur berkeping.

Anastasia mencoba membayangkan apa yang akan terjadi dengan Madona seandainya dia benar-benar terhalang untuk melanjutkan memimpin perusahaan itu. Dari balik jeruji besi pasti dia tidak bisa diharapkan berbuat banyak. Maya dan Hamdi harus sanggup menjalankan pekerjaan mereka sendiri. Sepanjang malam kemarin dan tadi pagi dia berunding dengan kedua asisten terpercayanya ini untuk membahas kebijaksanaan apa saja yang patut mereka ambil. Bersama mereka membincangkan metode dan patokan kerja, menentukan wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Dan setelah semuanya ini dikukuhkan dengan surat-surat resmi yang diperlukan, Anastasia meninggalkan mereka untuk memenuhi panggilan polisi di Surabaya.

Di kamarnya di atas suasana terasa sunyi. Mbok Ni sudah lama tidur, begitu pula si Rum. Pukul delapan Anastasia memutuskan untuk turun ke bawah dan membenahi kamar kerjanya. Siapa tahu setelah besok dia tak akan lagi punya kesempatan untuk membersihkan mejanya lagi.

Anastasia mengeluarkan isi lacinya, memilih dan memilah di antara dokumen yang ada, yang mana yang harus dikirimkannya kepada Maya dan Hamdi untuk ditangani

dari Jakarta, yang mana yang bisa diserahkannya kepada Siska untuk diarsip. Kalaudia sampai ditahan polisi, pasti cabang yang di Surabaya ini tak dapat diteruskan. Selain tak ada orang yang memimpinnya, juga seluruh kota nanti akan tahu bahwa pemilik biro model Madona terlibat kasus pembunuhan. Sedikit saja gosip atau skandal yang tersiar, semua orang akan menganggapnya seperti penyakit menular yang harus dijauhi.

Anastasia masih sibuk menyortir surat-surat di sana ketika didengarnya bel pintu depannya berbunyi.

Aneh! Siapa yang malam-malam kemari? Jangan-jangan polisi sudah tidak sabar menunggu sampai besok pagi dan datang untuk menahannya sekarang!

Tanpa bertanya lebih dulu atau mengintip dan lubang pintu, dibukanya daun pintu lebar-lebar. Tapi apa yang dilihatnya ternyata membuatnya tetperanjat.

"Yamin!" katanya kaget. Laki-laki ini adalah orang yang terakhir yang diharapkannya.

"Boleh aku masuk?" tanya Yamin Raharja serius.

Anastasia menepi, terpaku bagaikan arca pualam di sisi pintu. Yamin masuk lalu tanpa dipersilakan, dia duduk.

Seperti setengah terhipnotis, Anastasia menutup pintu lalu menyalakan lampu kamar duduknya yang sudah dimatikan. Kemudian dia pun duduk di hadapan laki-laki itu.

Yamin menyerahkan sebuah amplop kepadanya.

Dengan tangan dingin Anastasia menyobek amplop tipis itu dan mengeluarkan secarik kertas kecil dari dalamnya. Di atas kertas itu hanya ada sebaris kalimat dalam tulisan tangan Maya.

"Ini adalah keputusan pertama yang kubuat atas namamu," begitu bunyi kalimat itu.

"Mungkin aku sudah terlalu tergesa-gesa menghakimimu, Ana, aku minta maaf."

Anastasia memandangnya dengan tolol, tidak tahu harus berkata apa.

"Maya telah menceritakan semuanya padaku. Diajuga mengatakan bahwa besok kau harus menghadap ke kantor polisi."

Anastasia mengangguk.

"Ya," katanya akhirnya menemukan suaranya kembali.

"Dan bahwa kau telah menyerahkan pengoperasian Madona kepadanya dan Hamdi."

"Ya."

"Kau tak perlu khawatir, aku akan membantu sedapatku."

"Oh, betul? Terima kasih kalau begitu, Min," kata Anastasia.

"Aku juga baru tahu kemarin bahwa sebenarnya kaulah orang yang telah banyak berjasa mengembangkan Madona akhirakhir ini. Aku benar-benar bersyukur kalau kau mau membantu Madona lagi."

"Aku juga sudah menerima suratmu dari Maya," kata Yamin.

"Aku telah salah menilaimu. Bagaimana aku bisa lupa bahwa kau terlalu mencintai Madona. Aku seharusnya ingat apa arti Madona bagimu."

"Ini berarti masalah yang mengganjal hatiku berkurang satu," kata Anastasia.

"Setidak-tidaknya Madona tak akan ikut hancur bersamaku."

"Begitu pesimiskah kau menghadapi panggilan besok?" tanya Yamin serius.

"Semua bukti yang dipunyai polisi tentunya memberatkan aku, Min."

"Apa kau tahu betul bukti apa saja yang dipunyai polisi?"

"Ya tidak, tidak dengan pasti. Tapi aku bisa menebak."

"Aku kira polisi tidak segegabah itu, menangkap orang yang tidak bersalah."

"Kau sekarang yakin aku tidak bersalah, Min?"

Yamin Raharja mengangguk.

"Mengapa tiba-tiba pikiranmu berubah? Dua minggu yang lalu kau begitu yakin bahwa akulah yang telah membunuh Hariono."

"Kata-kata Maya membuatku sadar."

"Apa kata Maya?"

"Bahwa Madona adalah seluruh hidupmu, kebanggaanmu, kebahagiaanmu. bahwa kau mampu menanggung sedih kehilangan apa pun, kceuali Madona."

"Dan itu membuatmu yakin aku tidak membunuh Hariono?" tanya Anastasia heran.

"Seorang ibu tidak akan berbuat sesuatu yang mengandung risiko bisa memisahkannya dari anaknya yang dicintainya. Madona adalah seperti anakmu, yang kawasuh dan kaupelihara dengan kasih sayang. Secara sadar kau tak akan berbuat sesuatu yang akan mengakibatkan kau dipisahkan darinya."

"Dan secara tidak sadar?" tanya Anastasia tenang.

"Kau tidak pernah berbuat sesuatu secara tidak sadar, Ana-tidak selama aku mengenalmu. Daya kontrolmu cukup kuat untuk menahanmu dari melakukannya pada saat yang terakhir. Kau adalah seorang perempuan yang punya perhitungan. Kalaupun kau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan permainan, kau melakukannya dengan sadar dan dengan perhitungan, Dan kau tak akan sengaja tega menghancurkan Madona."

**

KAMAR kerja Kosasih sudah diatur sedemikian rupa sehingga muat dua deretan kursi yang dijajal-di hadapan mejanya. Pukul sembilan kurang lima Anastasia muncul diantarkan oleh Yamin Raharja. Mereka merupakan pendatang yang pertama.

"Selamat pagi, Nyonya Castillo," kata Kapten Polisi Kosasih mengulurkan tangannya. Buset! pikirnya dalam hati, perempuan ini memang cantik! "Silakan duduk," sambungnya. Yamin Raharja hanya memperoleh sebuah anggukan tak acuh.

Anastasia tampak sedikit gugup. Ini merupakan kunjungannya yang pertama ke kantor polisi. Jadi rupanya di sinilah penjahat-penjahat ditangani, pikirnya.

"Kapan Nyonya kembali dari Jakarta?" tanya Kosasih tersenyum manis.

Ah, kalau polisi ini seramah ini, rupanya keadaan tidak seburuk yang kusangka, pikir Anastasia.

"Oh, kemarin, Pak," katanya.

Kosasih mengangguk.

"Saya pikir pagi ini mungkin Anda tidak ikut hadir kalau masih ada di Jakarta. Menurut sekretaris Anda, Anda baru saja berangkat. Biasanya kalau di Jakarta sampai berminggu minggu."

"Biasanya memang begitu, Pak. Kita mengirit ongkos, kan, kalau bolak balik sebentar sebentar kan mahal!" kata Anastasia.

"Tapi omong omong nih, Pak, seumpama saya tidak hadir apakah tidak malah menimbulkan banyak kesulitan?"

"Ya, tentu saja. Karena itu kami sangat menghargai kesadaran Anda sebagai warga negara untuk menunaikan kewajiban sosial Anda," kata Kosasih tersenyum lebar.

Pada saat yang bersamaan tamu-tamu yang lain mulai berdatangan. Martin yang menoleh pun tidak kepada Anastasia, Nyonya Berta Hariono, Nyonya Siregar, Frans Malingkas bersama Oskar Lengkong, Darmo, Dokter Made, dan terakhir Gozali yang menutup pintu di belakangnya. Setelah semua orang duduk, masuk lagi dua orang anak buah Kosasih yang bertugas membuat catatan selama pembicaraan berlangsung.

"Anda semua tentunya tahu untuk tujuan apa kita berkumpul di sini pagi ini," kata Kosasih membuka acara.

"Tak lain dalam rangka mengungkapkan rahasia pembunuhan Dokter Hariono.

"Seperti yang Anda ketahui, Dokter Hariono adalah seorang ahli kandungan yang ternama dan sudah punya pengalaman yang patut dikagumi dalam bidangnya, Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa seorang warga yang begitu terkemuka dan terpandang, bisa mati secara misterius di tangan seorang kriminal?" Kosasih memandang wajah wajah yang mengitari mejanya.

Tidak ada yang tampak mencurigakan. Kosasih melanjutkan,

"Bukti bukti yang berhasil dikumpulkan polisi mengenai kasus ini adalah sebagai berikut tolong Anda dengarkan yang cermat dan kalau saya salah dan Anda mengetahui fakta yang sebenarnya, mohon segera mem betulkan.

"Bahwa korban meninggal antara pukul delapan dan pukul sebelas malam pada tanggal dua puluh sembilan Januari. Bahwa korban meninggal karena tusukan pisau yang mengenai tepatjantungnya tak lama setelah korban meneguk cukup banyak minuman beralkohol. Di perut korban pada waktu ajalnya tidak terdapat sisa makanan lain. Dengan demikian dokter pengadilan berani menarik kesimpulan bahwa korban meninggal paling sedikit enamjam setelah makanan yang terakhir masuk ke dalam perutnya.

"Bahwa korban mati pada saat itu juga, bahkan mungkin tanpa sempat menyadari apa yang telah terjadi. Lebih lanjut dokter pengadilan juga telah menemukan bukti-bukti yang mendukung kecurigaannya bahwa korban tidak mati di dalam mobilnya di mana jenazahnya ditemukan, melainkan sebelumnya sudah mati di tempat lain. Polisi berhasil menemukan bahwa korban menemui ajalnya di kelab malam Purnama."

Kosasih berhenti dan berpaling kepada Gozali yang duduk di sudut kamar.

"Sekarang Pak Gozali yang akan mengadakan penganalisaan satu per satu keterangan yang pernah Anda berikan kepada kami. Silakan, Pak Gozali."

Gozali berdiri, bertopang sebelah tangan pada jendela di sampingnya, lalu mulai.

"Tadi Anda telah mendengar siapa Dokter Hariono ini, tetapi mungkin di antara Anda ada yang belum tahu sampai di mana rumitnya kehidupan dokter terutama ini.

"Ternyata dokter yang tersohor ini punya kegiatan juga di luar bidang medis. Saudara Malingkas, Dokter Hariono ternyata adalah patner Anda dalam mengelola kelab malam Purnama, bukan?"

Pertanyaan ini datangnya begitu tiba-tiba sehingga Frans Malingkas terperanjat.

"Saya... saya... Dokter Hariono adalah... eh, saya meminjam uang dari Dokter Hariono," gagap Malingkas.

"Bagus, jadi Anda mengaku meminjam uang darinya. Dalam pemeriksaan sebelum ini, Anda mengatakan bahwa Anda telah mengembalikan seluruh pinjaman Anda kepadanya. Betulkah keterangan Anda ini atau barangkali sekarang Anda ingin mengubahnya?" tanya Gozali sinis. Ini menutup semua jalan bagi Frans Malingkas untuk mundur. Mengakui sekarang bahwa keterangannya salah akan memberikan kesan bahwa dia telah berbohong kepada polisi. Dan orang tidak berbohong kepada polisi tanpa alasan

yang berbobot!

"Itu betul," katanya singkat.

"Jadi Anda sudah mengembalikan uang itu. Kapan?"

"Bulan Juni yang lalu."

"Bagaimana Anda mengembalikannya?"

"Maksud Anda?"

"Apakah dengan cek, atau tunai, atau bagaimana," kata Gozali sabar.

"Eh.." Malingkas menundukkan kepalanya dan berpikir, mencoba mengingat kembali apa yang pernah dikatakannya kepada orang jangkung ini.

"Dengan dengan uang tunai kalau tidak salah," katanya pada akhirnya. Dia memutuskan untuk memilih uang tunai karena uang tunai tidak bisa dilacak, pikirnya.

"Seluruh pinjaman?"

"Ya."

"Seluruh tiga puluh enam juta dalam uang tunai?" tanya Gozali sinis.

Malingkas sempat tergagap sebelum dia menjawab,

"Ya."

"Kan banyak sekali?"

"Ya."

"Seandainya itu uang denominasi sepuluh ribu, berarti Anda membawa sebanyak tiga puluh enam bendel. Kan repot sekali?" senyum Gozali.

"Ya, ya, tiga puluh enam bendel."

"Mengapa tidak dibayar dengan cek saja, kanjauh lebih mudah dan lebih ringan?"

"Oh... eh... karena... karena Pak Hariono yang menghendaki uang tunai," kata Malingkas.

"Pak Hariono kan punya rekening bank, mengapa dia menghendaki uang tunai? Seandainya dia tidak percaya kepada Anda, Anda bisa menunjukkan bukti setoran kepadanya, bukan?"

"Saya tidak tahu mengapa Pak Hariono menghendaki uang tunai."

"Lalu dari mana Anda mendapatkan uang tunai sebanyak itu?"

"Dari... eh, dari famili saya. Saya dipinjami tanpa bunga."

"Mengapa sedari semula Anda tidak pinjam saja kepada famili ini kalau kondisinya lebih menguntungkan? Menurut kontrak Anda dengan Saudara Hariono, Anda harus memberinya bagian dari keuntungan. Kalau di sini ada yang mau meminjami tanpa beban apa-apa, kan lebih logis kalau Anda memilih yang syaratnya lebih ringan ini!"

"Oh, pada waktu saya butuh famili saya belum punya uang. Saya terpaksa meminjam dari Pak Hariono."

"Lalu dalam bentuk apa famili Anda ini memberi Anda tiga puluh enam juta itu?"

"Dalam eh "

"Saya tidak percaya dia memberikan dalam bentuk tunai juga," potong Gozali.

Frans Malingkas tampak gelisah tidak bisa bersuara.

"Tentunya Anda mendapat cek darinya, bukan?"

"Ya, jawabnya berat.

"Bagus! Cek dari bank mana?"

"Oh, bukan cuma sehelai cek. Ada beberapa. Famili saya seorang pedagang dan cekcek itu adalah pembayaran orang kepadanya. Saya tidak ingat cek bank mana saja."

"Dan setelah menerima tiga puluh enam juta itu dari Anda, uang itu diapakan oleh Dokter Hariono?"

"Saya tidak tahu."

"Apakah ditaruh di bawah bantalnya, Bu Hariono?" tanya Gozali beralih kepada Berta Hariono.

"Tentu saja tidak! Saya tidak pernah melihat ada uang sebanyak itu di rumah."

"Anda tahu di mana Pak Dokter menyimpan uangnya?" tanya Gozali.

"Di rumah cuma ada satu tempat, yaitu di laci lemari."

"Dan berapa maksimum uang yang pernah ada di sana?"

"Tidak pernah lebih dari dua juta. Biasanya sepulang dari praktek suami saya membawa uang dan memasukkannya ke laci itu. Kalau sudah ada dua juta, saya setorkan ke bank."

"Anda tidak pernah melihat ada uang sampai tiga puluh enam juta di rumah?"

"Pasti tidak!"

"Bagaimana Saudara Malingkas? Ke mana uang sebanyak itu?" tanya Gozali lagi.

"Mana saya tahu!" sahut Malingkas.

"Mungkin sudah langsung dimasukkan rekening banknya tanpa dibawa pulang."

"Bagus! itu memang hal yang paling logis, bukan? Nah, itulah sebabnya itu merupakan hal pertama yang kami cek. Tetapi nyatanya setelah kami mendatangi semua

bank di mana Dokter Hariono mempunyai rekening atau deposito, kami tidak menemukan setoran sebesar tiga puluh enam juta.".

"Mungkin dibelikan sesuatu." kata Frans

Malingkas.

"Atau mungkin dimasukkan terpisah ke dalam beberapa rekeningnya."

"Saudara Malingkas, ketika Dokter Hariono menarik uang tiga puluh enam juta ini dari rekeningnya, dia menariknya dari satu rekening saja .Kami telah menemukan dokumen transaksi tersebut. Tidak ada alasan baginya ketika menerima uang itu kembali, uang itu dimasukkan dalam rekening-rekening yang berbeda. Tapi bagaimanapun juga, sekitar waktu dia seharusnya menerima uang tiga puluh enamjuta dari Anda ini, di dalam semua rekening banknya, termasuk semua surat depositonya, tidak pernah ada setoran yang jumlahnya tiga puluh enam juta rupiah!"

"Mungkin uang itu dipinjamkan kepada orang lain," kata Frans Malingkas.

"Kalau sewaktu dia meminjamkan uang itu kepada Anda dia cukup berhati-hati untuk membuat suatu akte notaris, tentunya dia akan berbuat yang samajika dia meminjamkan uang itu kepada orang lain. Kami tidak menemukan akte notaris yang lain kecuali yang dibuatnya bersama Anda.

"Suami saya adalah orang yang teliti. Semua dicatatnya terutama jika itu berhubungan dengan uang. Saya yakin dia tidak pernah menerima uang sebesar tiga puluh enam juta dalam bentuk tunai dari siapa pun," kata Berta Hariono.

"Dia tidak menghamburkannya untuk membeli apa-apa, Nyonya Hariono?" tanya Gozali.

"Tidak. Sudah lama kami tidak membeli apaapa yang berarti. Kami tidak membeli perabotan baru, atau peralatan baru, atau perhiasan baru, atau mobil baru. Suami saya adalah orang yang sangat teliti dengan pemasukan dan pengeluaran uangnya. Dia menyimpan semua bon pembelian, bahkan yang sudah berusia sepuluh tahun lebih pun masih disimpannya dengan rapi!"

"Bagaimana Saudara Malingkas?" tanya Gozali kembali kepada laki-laki itu sengaja mempermainkannya.

"Jangan bertanya kepada saya! Saya mana tahu uang itu dikemanakan!"

"Justru Anda tahu persis!" kata Gozali tajam. '"Anda tahu bahwa uang itu masih ada pada Anda sekarang dan tidak pernah Anda kembalikan!"

"Anda tidak bisa membuktikan hal ini," kata Frans Malingkas.

"Mungkin sekarang tidak," senyum Gozali.
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi saya menasihatkan kepada ahli waris Dokter Hariono untuk mengusut ke mana lenyapnya uang tiga puluh enam juta ini. Tentunya mereka tidak akan membiarkan uang sebanyak ini menguap begitu saja, bukan?" Gozali memandang kepada Nyonya Hariono dan Martin.

Kedua orang yang ditanya itu mengangguk antusias.

"Sebagai tambahan bahan untuk pemikiran Anda dalam menyusun pembelaan Anda nanti," lanjut Gozali kepada Malingkas,

"Nyonya Siregar yang menjadi kepala perawat praktek Dokter Hariono dapat memberikan kesaksian bahwa sejak bulan yang lalu Dokter Hariono sering menelepon Anda. Bahkan yang terakhir adalah pada hari korban menemui ajalnya! Seandainya urusan utang piutang ini sudah selesai, tidak ada alasan bagi Dokter Hariono untuk bolak-balik mencari Anda, bukan? Nyonya Siregar justru bisa menyaksikan bahwa Dokter Hariono menagih pembagian keuntungannya dari Anda. dan bahkan sempat marah-marah karena Anda tidak memenuhi janji

"Nah, atas dasar ini saya kira pengadilan mana pun akan memberatkan Anda," senyum Gozali.

Frans Malingkas memandang penuh kemarahan dan dendam kepada laki-laki jangkung yang berwajah monyet ini, tapi dia tidak bisa berkata apa-apa.

"Marilah kita kembali kepada kasus kematian ini," ujar Gozali dengan cepat mengalihkan topik.

"Tadi baru kita kupas satu sisi dari kehidupan pribadi Dokter Hariono. Masih ada sisi lainnya yang mungkin tidak diketahui oleh kebanyakan orang."

Hati Anastasia berhenti berdetak sejenak. Sekarang tibalah saatnya, pikirnya. Dirinya akan dituduh sebagai pembunuh dokter ahli kandungan itu.

"Dokter Hariono ternyata mempunyai hobi yang jelek, yaitu suka mencari petualangan di luar rumah. Menurut Nyonya Siregar yang sudah bekerja padanya selama dua puluh tahun, sepanjang kariernya selalu ada perempuan lain di dalam hidupnya di samping istrinya yang sah. Nyonya Hariono yang pertama mungkin juga mati ngenas oleh ulah suaminya ini, sedangkan Nyonya Hariono yang sekarang juga rupanya mulai cemburu.

"Nyonya Hariono," tanya Gozali kepada perempuan yang tiba-tiba memucat itu.

"Untuk apa Anda membuntuti suami Anda ke kelab malam Purnama pada tanggal dua puluh sembilan yang lalu?"

Berta Hariono hanya bisa menganga sementara beberapa pasang mata berpaling padanya.

"Bagaimana... bagaimana Anda tahu?" akhirnya perempuan itu berhasil bersuara kembali.

"Itu tidak penting. Yang penting kami ingin tahu mengapa Anda berbuat itu?"

"Saya... saya... Bapak pulang lebih pagi dari biasanya malam itu, Kemudian dia pergi lagi setelah marah-marah pada saya. Saya heran karena sikapnya selama beberapa hari sangat berubah. Saya menduga dia... dia punya perempuan lain. Begitu dia pergi, saya melompat juga ke dalam mobil saya dan saya menguntitnya. Saya melihat dia berhenti di depan kelab malam Purnama. Dia berkencan dengan seorang perempuan."

"Siapa?"

"Entah, saya tidak bisa melihatnya dengan jelas karena saya melihat dari seberang jalan."

"Lalu apa yang Anda perbuat?"

"Saya... saya menunggu di dalam mobil. Saya... saya tidak tahu harus berbuat apa. Setelah dia tidak keluar-keluar, saya saya terus pulang."

"Anda terus pulang?" tegas Gozali.

"Ya."

"Anda tidak masuk ke dalam kelab malam untuk menyusulnya?"

"T-t-t-tidak," gagap Nyonya Hariono.

"Ada yang melihat Anda masuk ke dalam kelab malam!"

"Tidak! Tidak! Saya tidak pernah masuk, saya pulang!"

"Pukul berapa Anda pulang?"

"Saya saya tidak tahu, saya tidak melihat jam."

"Anda berbohong, Nyonya Hariono," kata Gozali santai.

"Anda masuk ke dalam kelab malam itu, Anda temui suami Anda bersama seorang perempuan, Anda naik pitam, lalu Anda menusuknya," tuduh Gozali.

"Tidak! itu tidak benar! Saya tidak pernah menusuknya! Saya tidak berbuat apa-apa!" kata Nyonya Hariono.

Martin menganga. Beberapa detik kemudian dia baru pulih dari kagetnya dan berkata,

"Jadi benar! Kau yang membunuh Bapak!"

Telunjuknya menuding ibu tirinya. Matanya menyala tanpa ampun.

"Tidak! Tidak, Tin! Aku tidak membunuh bapakmu!" bela Nyonya Hariono.

"Tapi Nyonya masuk ke dalam kelab malam itu, bukan?" desak Gozali.

"Tidak! Tidak!" Nyonya Hariono sekarang panik.

"Kau menghendaki hartanya, lalu kaubunuh Bapak!" tukas Martin.

"Tidak! Tidak!" Nyonya Hariono menggigit bibirnya.

"Saudara Darmo di sini bisa menyaksikan bahwa Anda masuk ke dalam kelab malam itu, Nyonya Hariono," kata Gozali.

Berta Hariono memandang nanar kepada Darmo. Siapa orang ini? Dia tidak pernah mengenalnya! Bagaimana dia bisa tahu dirinya pernah masuk ke dalam kelab malam?

"Saudara Darmo adalah petugas Satpam kelab malam Purnama," kata Gozali,

"atau tepatnya bekas petugas Satpam di sana. Dia melihat Anda kembali, turun dari mobil, lalu masuk ke kelab malam itu."

"Tapi tapi saya tidak membunuh suami saya!" kata Nyonya Hariono.

"Apa yang Anda perbuat kalau begitu setelah Anda berada di dalam?"

"Saya... saya... saya berusaha mencari suami saya di antara para tamu. Di dalam gelap. Saya tidak melihatnya! Saya tidak menemukannya!"

Gozali mengangkat bahunya seakan-akan protes Nyonya Hariono itu hal kecil saja. Dia beralih ke Anastasia.

"Sekarang saya tiba pada topik yang lebih rumit," senyumnya.

"Nyonya Anastasia Castillo, Anda adalah majikan Saudara Martin ini-anak Dokter Hariono?"

"Ya," kata Anastasia.

"Apakah Anda pernah kenal dengan Dokter Hariono sebelumnya?"

Anastasia berusaha menangkap mata Martin untuk mengetahui apakah pemuda itu telah membocorkan rahasianya, tapi Martin melihat lurus ke depan, sama sekali tidak berpaling padanya.

"Ya," kata Anastasia pada akhirnya. Jelas Martin sudah tidak mendukungnya lagi, percuma dia berbohong sekarang. Daripada dibuat malu seandainya polisi ini bisa membuktikan kebohongannya, lebih baik mengaku terus terang saja.

Di luar dugaannya Gozali tersenyum.

"Pada malam tanggal dua puluh sembilan yang lalu Anda pergi ke kelab malam itu untuk menjumpai korban?"

"Ya."

"Pukul berapa Anda tiba?"

Anastasia bersyukur Gozali tidak menanyainya mengapa dia berbohong pada wawancara sebelumnya.

"Pukul delapan tepat."

"Dan pukul berapa Anda meninggalkan niteclub?"

"Pukul sembilan lebih... mungkin lebih dua puluh saya tidak ingat betul."

"Anda pulang sendiri tanpa Dokter Hariono?"

"Ya.."

"Naik kendaraan Anda sendiri?"

"Ya."

"Honda Accord perak?"

"Ya."

"Mengapa Anda tidak datang bersama-sama dengan Dokter Hariono? Tidakkah normal bagi seorang perempuan untuk dijemput laki-laki yang berkencan dengannya?"

"Saya tidak berkencan dengan Dokter Hariono," kata Anastasia anggun.

"Saya menemuinya karena urusan penting."

"Urusan apa?"

"Martin."

Gozali mengangguk, tapi tidak menyelidik aspek ini lebih lanjut.

"Mengapa tadinya Anda berbohong kepada polisi?" tanya Gozali.

"Mengapa pada saat itu Anda mengaku tidak keluar rumah malam tersebut?"

Anastasia berpaling lagi kepada Martin. Kebetulan pemuda itu sedang mengawasinya. Mata mereka bertemu pandang, dan Anastasia melihat pandangan jijik dan benci dalam sinar mata pemuda itu.

"Saya... saya hanyalah seorang perempuan yang normal, Pak," kata Anastasia.

"Saya takut dikaitkan dengan kematian Hariono. Kalau saya mengaku saya pernah berada bersamanya pada malam dia terbunuh, apakah polisi tidak akan segera menarik kesimpulan sayalah pembunuhnya?"

"Bukankah Anda bertengkar dengan korban malam itu?"

"Kami mempunyai perbedaan pendapat, tapi kami tidak berteriak-teriak atau saling mencakar."

"Anda bertengkar mulut dengannya, maksud saya."

"Ya, boleh dinamakan demikian."

"Anda membencinya?"

"Mungkin," kata Anastasia.

"Saya pernah sangat membencinya. Saya bahkan mengira saya masih membencinya sampai dia mati. Tetapi sekarang saya tidak tahu lagi apakah memang betul saya masih membencinya."

"Kematiannya melegakan Anda, kan?"

"Itu yang mulai membuat saya ragu-ragu terhadap rasa benci itu. Saya sendiri agak heran mengapa saya tidak merasa apa-apa dari kematiannya ini saya tidak merasa lebih senang, juga tidak merasa lebih susah seakan-akan kematiannya tidak berarti sama sekali."

"Anda tidak merasa bahwa dendam lama Anda sekarang terbalas?"

"Saya hanya menyimpulkan bahwa kematiannya yang secara tidak wajar ini merupakan hukuman atas perbuatan kejamnya dulu."

"Apakah Anda menginginkan kematiannya?" tanya Gozali menikmati tanya-jawab ini yang menyegarkan semangatnya.

Anastasia menatap tajam ke mata Gozali. Di sana dia hanya mendapatkan dua bola mata yang bening tidak mengandung tuduhan tidak memancarkan sinar menghukum hanya sekadar ingin tahu saja.

"Beberapa saat sebelum kematiannya saya memang menginginkan kematiannya."

"Apakah Anda begitu menginginkan kematiannya sampai Anda benar-benar membunuhnya?"

Anastasia menggeleng.

"Saya memang berniat menghancurkannya membuatnya menderita sebagaimana saya menderita karenanya tujuh belas tahun yang lalu. Tetapi kemudian saya sadar bahwa semua itu tidak ada gunanya. Dia tidak berarti apa-apa lagi bagi saya."

"Anda meninggalkannya dalam keadaan hidup?"

"Ya. Saya telah membuatnya takut. Itu sudah cukup."

"Anda urung membalas dendam?" tanya Gozali.

"Saya urung membalas dendam. Saya memutuskan tidak perlu menambah dosa dalam hidup saya karena seorang laki-laki yang tidak berharga."

"Kau memang pintar bicara," sela Martin di luar dugaan orang-orang yang lain.

"Kaukira dengan mengakui kebencianmu

ini polisi bisa terkecoh oleh kesan yang ingin kautanamkan bahwa kau adalah seorang yang juj ur?"

Anastasia tidak menjawab olokan Martin ini.

"Tadi Anda mengatakan bahwa Anda menemui korban untuk urusan yang menyangkut diri' Saudara Martin. Tolong jelaskan!" kata Gozali.

"Apakah itu perlu?"

"Dalam mengusut suatu kasus pembunuhan, tak ada satu aspek pun yang boleh dilewatkan tanpa pengusutan," kata Kosasih yang sejak tadi tidak bersuara.

"Dokter Hariono menghendaki saya putus hubungan dengan anaknya."

"Dan tanggapan Anda?"

"Positif. Saya memang sudah lama menghendaki agar Martin pulang ke rumah orang tuanya."

"Kalau begitu apa yang Anda pertengkarkan?"

"Oh, itu antara Dokter Hariono dan saya pribadi tidak menyangkut Martin."

"Anda pernah mengenalnya dengan baik belasan tahun yang lalu?" tanya Gozali.

"Ya."

"Dia mengenal Anda sebagai Seruni?"

"Ya." Rupanya Martin telah menceritakan semuanya kepada polisi, pikir Anastasia sampai ke namanya yang asli!

"Seruni?" kata Nyonya Siregar tersentak.

"Seruni!"

"Ya, Suster Marie, saya adalah Seruni," senyum Anastasia.

"Apakah Sus sudah tidak mengenali saya lagi?"

"Ah, tidak mungkin!" kata Nyonya Siregar.

"Anda tidak mungkin Seruni!"

"Betul saya Seruni, Suster Marie. Saya minta maaf tadi tidak menyapa Anda. Seandainya polisi tidak mengetahui identitas saya yang asli, saya pun tidak akan mengatakannya. Tapi saya betulbetul Seruni."

"Astaghfirullah!"

"Jadi Anda adalah Seruni, bekas kekasih Dokter Hariono belasan tahun yang lalu?" tanya Gozali.

"Ya."

"Anda telah disakiti hati olehnya?"

"Ya."

"Anda memendam dendam padanya?"

"Ya pada mulanya. Tapi tahun-tahun belakangan ini saya sudah melupakannya."

"Tapi tiba-tiba dia muncul lagi dalam hidup Anda, dan kali ini sebagai ayah Saudara Martin," kata Gozali.

"Dan saya kira itu pasti membangkitkan kenangan lama Anda tentangnya, dan mungkin juga dendam yang lama, bukan?"

"Ya, memang."

"Jadi," kata Gozali menghela napas panjang,

"pada malam itu Dokter Hariono dikelilingi oleh orang-orang yang semuanya punya motif untuk membunuhnya.

"Ada Saudara Frans Malingkas yang ingin melepaskan dirinya dari beban utang sebesar tiga puluh enam juta.

"Ada Nyonya Hariono yang mungkin tidak rela suaminya bermain cinta dengan perempuan lain.

"Ada Nyonya Castillo-yang menyimpan dendam lama dan kebencian terhadap laki-laki yang pernah mengkhianatinya itu.

"Semua orang ini malam itu berada dalam radius dekat dengan korban. Semua orang ini punya kesempatan untuk menancapkan pisau itu pada jantung Dokter Hariono!

"Jadi kecuali punya motif, mereka juga mempunyai kesempatan. Tapi seperti pengakuan mereka yang Anda dengar sekarang," lanjut Gozfali,

"tak seorang pun dari mereka

mengaku bertanggungjawab atas kejahatan itu.

"Saudara Frans Malingkas yang mempunyai tempat di mana tindak kejahatan itu dilakukan, mengatakan bahwa mereka telah menemukan korban dalam keadaan tidak bernyawa pada waktu kelab malam itu siap untuk ditutup pukul dua pagi.

"Nyonya Hariono mengatakan bahwa walaupun dia sempat masuk, namun dia tidak berhasil menemukan suaminya.

"Sedangkan Nyonya Castillo mengatakan bahwa dendamnya tiba-tiba lenyap dan dia meninggalkan tempat itu begitu saja."

Gozali berhenti bercerita. Dipakainya kesempatan itu untuk mengawasi pendengar-pendengarnya. Mereka umumnya semua mendengarkan dengan mulut menganga kecuali ketiga orang yang sekarang menjadi tersangka kejahatan itu. Frans Malingkas tampak berwajah murung, merunduk sambil mungkin menyesali sikapnya. Nyonya Hariono duduk dengan gelisah, mata menatap ke bawah sementara kedua tangannya disembunyikannya di balik tasnya. Hanya Anastasia yang duduk dengan anggun dan tenang, seakan boneka porselen yang tidak hidup.

Diam-diam Yamin mencari tangan Anastasia dan meremasnya. Gerakan ini tak luput dari mata jeli Gozali.

"Marilah sekarang kita beralih ke alat pembunuhan pisau yang mencabik nyawa Dokter Hariono," lanjut Gozali.

"Setelah polisi melacak dari mana datangnya pisau yang dipakai dalam kasus pembunuhan ini, polisi berhasil menemukan toko yang menjualnya. Kiranya pisau ini masih baru karena kode harganya masih melekat pada bagian hulu baja pisau itu dan dari sinilah polisi berhasil mencari sumbernya. Pisau ini ternyata berasal dari sebuah toko yang menjual alat-alat olahraga yang berjarak hanya empat toko dari kelab malam Purnama!

"Polisi kemudian memeriksa semua bon penjualan dan menemukan bahwa pada pukul 20.53 pada tanggal dua puluh sembilan yang lalu, toko tersebut pernah menjual pisau sejenis."

"Kalau begitu kan mudah, tinggal menunjuk saja siapa pembelinya!" kata Frans Malingkas.

"Itu yang sulit karena karyawan toko tersebut tidak ingat lagi siapa yang membeli pisau ini," kata Gozali.

"Terpaksa kami harus meneliti kembali satu per satu alibi orangorang yang terlibat. Siapa yang punya kesempatan membeli pisau tersebut!" Lagi-lagi Gozali melihat sekeliling untuk menilai tanggapan pendengar-pendengarnya.

"Kecuali ketiga orang tersangka yang tadi sudah sama-sama menyatakan bahwa mereka tidak membunuh Dokter Hariono, tampaknya orang-orang lain yang mengenal Dokter Hariono dan dekat dengannya, semua mempunyai alibi.

"Misalnya Nyonya Siregar ini, pada waktu itu dia sedang berkumpul dengan keluarganya di rumah. Polisi telah mengecek kebenaran keterangannya ini.

"Kemudian Dokter Muda Made, yang adalah asisten Dokter Hariono di kliniknya -pada waktu itu sedang pergi bersama istrinya.

"Begitu juga personel klinik dan tempat praktek Dokter Hariono, yang semuanya tampak bisa memberikan alibi yang bisa dipercaya.

"Sehingga polisi mengalami jalan buntu. Itulah sebabnya hari ini Anda semuanya dikumpulkan di sini untuk membantu polisi

menyelesaikan pengusutan kasus ini."

Gozali mengakhiri narasinya dan memberikan anggukan kecil kepada anak buah Kosasih yang duduk di samping pimu. Petugas itu keluar lalu tak lama kemudian kembali dengan dua orang lagi.

"Saudara Willy," kata Gozali menunjuk si laki-laki yang masuk duluan,

"dan Saudari Yami. Mereka adalah karyawan-karyawan toko alat-alat olahraga yang menjual pisau yang fatal itu." Gozali berpaling kepada kedua pendatang baru ini dan berkata,

"Tolong Anda perhatikan apakah di antara hadirin ada orang yang Anda pernah lihat sebelumnya."

Yang bernama Willy itu mengangguk dan berkata,

"Saya kenal Bapak ini," katanya menunjuk Darmo.

"Dan Bapak ini juga," berpaling pada Oskar Lengkong.

"Aaah!" kata Gozali puas.

"Tapi saya tidak pernah membeli pisau di sana, Pak!" protes Oskar Lengkong panik.

"Betul saya tidak pernah membeli pisau!"

"Tapi Anda dikenal," senyum Gozali.

"Eh... begini, Pak," sela Willy,

"saya mengenal Bapak-bapak ini karena sering melihat

mereka masuk-keluar di niteclub Purnama."

"Dan yang membeli pisau itu bukan salah satu dari Bapak-bapak ini?"

"Saya kira bukan, Pak," kata Willy.

"Anda mengenal yang lain?"

"Saya mengenal Pak Malingkas," kata Willy.

"Dia pernah membeli senapan berburu di toko kami."

"Ohhh! Jadi Anda suka berburu, Saudara Malingkas?" tanya Gozali.

"Tega juga membunuh kalau begitu, walaupun yang diburu adalah hewan!"

Frans Malingkas tidak menjawab, hanya melotot saja.

"Ada yang lain?" tanya Gozali kembali kepada Willy,
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gozali melihat bahwa beberapa kali pandangan Willy sempat berhenti pada Anastasia yang duduk dengan anggun dan dingin di kursinya.

"Eh... eh... Jeng ini pernah saya lihat," kata Willy.

"Oh? Kapan?"

"Wah, saya tidak ingat, tapi saya ingat pernah melihatnya masuk ke niteclub. Kalau tidak salah Jeng ini naik mobil berwarna perak."

Yamin berbisik kepada Anastasia,

"Rupanya mobilmu terlalu menyolok dan harus segera diganti kalau kau mau gentayangan keluar-masuk niteclub untuk membunuh dokter dokter!"

Anastasia tersenyum. Hatinya merasa lebih tenteram sekarang. Polisi ternyata tidak hanya mencurigainya. Masih ada orang orang lain yangjuga dicurigai.

"Tapi Jeng ini tidak membeli pisau?" tanya Gozali.

"Oh, tidak.. Jeng ini tidak pernah menginjakkan kakinya masuk toko kami."

"Pak!" tanpa diduga tiba-tiba Yanti menyeletuk.

"Ya?" tanya Gozali.

"Rasa-rasanya saya ingat sesuatu."

"Bagus, apa itu?"

"Pisau ini kan yang dijual pada pukul 20.53? Itu sudah menjelang waktu tutupnya toko kami. Saya ingat transaksi itu kalau begitu!"

"Anda ingat siapa yang membelinya?" tanya Kosasih antusias.

"Eh, lebih tepatnya saya ingat tangan si pembeli!" kata Yanti.

"Maksud Anda?"

"Saya kan duduk di meja kasir, Pak, di belakang cash register. Di depan cash regirter ini dibuatkan sebuah penghalang dari anyaman kawat yang cukup rapat. Di bagian bawahnya ada sebuah lubang tempat pembeli menyodorkan bon dan pembayarannya dan tempat saya menyodorkan uang kembalian dan barang yang sudah dibeli. Seandainya barang itu besar, pintu loket ini bisa saya buka.

"Saya ingat sewaktu transaksi penjualan pisau ini terjadi, dan si pembeli menyodorkan uangnya, saya tidak memperhatikannya sama sekali. Saya sedang sibuk mengakhiri hari kerja saya. Jadi saya terima saja uangnya dan segera saya masukkan bonnya ke dalam cash register. Saya membungkus pisau-pisau itu..."

"Pisau-pisau, Nona Yanti?" tegas Gozali.

"Ya, Pak. Pisaunya ada dua. Pisau-pisau ini merupakan bagian dari peralatan untuk berburu dan berkemah. Mata pisaunya terdapat pada kedua sisi. Yang satu mempunyai sarung yang terbuat dari kulit, sedangkan yang lain tidak. Yang bersarung itu ukurannya juga lebih besar."

"Kedua pisau tersebut dibeli oleh orang

yang sama'!"

"Ya, Pak."

"Lalu bagaimana?"

"Pada waktu saya akan membungkus pisaupisau itu, si pembeli mengatakan agar tidak usah dibungkus. Jadi saya sodorkan barang belanjaannya lewat lubang loket. Pada saat itu saya melihat bahwa jari-jari tangannya panjang-panjang tapi kukunya pendek sekali. Pendek sekali, Pak, mungkin cuma ada setengah sentimeter. Saya tidak pernah melihat kuku sependek itu. Pada waktu itu bulu roma saya berdiri... saya merasa geli melihat kukunya."

Yamin tergelak, tetapi melihat keseriusan yang tercermin pada wajah hadirin yang lain, dia segera menutup mulutnya.

"Jadi siapakah si pembeli ini?" tanya Gozali yang melihat banyak di antara tamunya serentak memperhatikan kuku tangannya masing-masing.

"Eh... saya... saya tidak sempat melihat wajahnya. Waktu itu saya terpukau memandang tangannya dan sebelum saya sempat memperhatikan wajahnya, si pembeli sudah mengambil barangnya dan bergegas pergi. Saya hanya sempat melihat bagian belakang

kepalanya."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki."

Kosasih berkata dengan suara datar,

"Saya minta semua yang laki-laki yang hadir di sini menunjukkan tangan mereka supaya Nona Yanti bisa melihatnya. Silakan, Nona Yanti."

Gadis ini berjalan dari satu orang ke orang yang lain, dimulai dari Yamin, ke Darmo, ke Oskar Lengkong, dan berhenti di depan Dokter Made yang tetap duduk dengan sikap melipat tangannya.

"Dokter Made, tolong tunjukkan tangan Anda," kata Kosasih.

"Tidak!" protes dokter itu.

"Ini pemeriksaan model apa! Menangkap pembunuh harus berdasarkan bukti, tidak seperti tukang ramal pakai melihat tangan segala! Buktikan dulu bahwa pembeli pisau itulah yang melakukan pembunuhan. Toko tersebut tentunya bukan cuma punya satu pisau itu. Tentunya dia punya beberapa yang sejenis. Buktikan dulu bahwa pisau yang dibeli malam itu yang dipakai membunuh Dokter Hariono! Siapa saja bisa membeli pisau di sana. Apakah itu membuat mereka semua menjadi pembunuh

dokter ahli kandungan itu?"

"Dokter Made,"kata Gozali dengan suaranya yang datar dan pandangan matanya yang dingin.

"Bukankah akhir-akhir ini hubungan Anda dengan Dokter Hariono memburuk? Bukankah Anda sering bertengkar dengan korban mengenai tuntutan pembagian keuntungan kliniknya? Dan bukankah dua hari sebelum kematiannya Dokter Hariono pernah mengatakan akan memecat Anda?"

Lelaki itu terdiam dan mengernyitkan dahinya. Lalu katanya,

"Tentunya yang menceritakan semua ini adalah Nyonya Siregar, bukan? Terima kasih, Nyonya Siregar," Made mengangguk sinis kepada perempuan setengah baya itu.

"Sejak dulu Anda tidak menyukai saya. Anda selalu berusaha menjelek jelekkan saya di hadapan Dokter Hariono. Kali ini Anda ingin menanamkan benih kecurigaan di hati polisi dengan mengatakan bahwa hubungan saya dengan Dokter Hariono buruk.

"Ya, memang saya bertengkar beberapa kali dengan Dokter Hariono. Saya menganggapnya tidakfair menggaji saya seperti karyawan bulanan padahal saya bekerja sama lamanya dengan dia melayani pasien-pasien di kliniknya. Adalah wajar kalau saya menuntut bagian dari honor pasien yang diterimanya.

"Betul saya bertengkar dengannya, tapi saya tidak membunuhnya!"

"Tapi tak dapat disangkal bahwa Anda pun punya kesempatan untuk membunuhnya malam itu, bukan?" kata Gozali.

"Malam itu Anda beserta istri Anda makan di rumah makan Selera yang ternyata letaknya sangat strategis. Rumah makan ini pintu belakangnya ternyata membuka ke Jalan Panglima Sudirman persis di sebelah gang yang berdekatan dengan kelab malam Purnama. Kami telah mengecek ke sana dan mendapatkan keterangan dari pelayan yang mengenali Anda, bahwa Anda pernah meninggalkan meja cukup lama dengan alasan buang hajat di belakang. Apakah Anda benar-benar masuk ke teilet atau Anda menyelinap keluar sebentar lewat pintu belakang, tidak ada yang tahu. Tidak ada halangan bagi Anda untuk menyeberang, membeli pisau, lalu masuk ke kelab malam Purnama dan membunuh Dokter Hariono. Anda adalah seorang dokter, Anda tahu betul di mana letak titik yang paling fatal yang mengakibatkan kematian

tanpa memberikan kesempatan kepada korban untuk berteriak. Setelah itu Anda kembali lagi ke meja Anda dan meneruskan makan dengan santai bersama istri Anda tanpa dicurigai siapa pun."

Dokter Made ngakak.

"Itu kan cerita dari film James Bond! Mana ada semuanya begitu kebetulan!"

"Menurut si pelayan, Anda meninggalkan meja cukup lama."

"Iya, saya sakit perut! Saya benar-benar masuk ke WC dan tidak keluyuran membunuh orang di kelab malam! Lagi pula saya tidak tahu Dokter Hariono ada di niteclub Purnama! Saya sudah dua hari tidak bertemu dengannya, ingat?"

"Kalau begitu mengapa Anda tidak mau menunjukkan tangan Anda?" cibir Kosasih.

"Karena menurut saya ini bukan prosedur yang seharusnya. Polisi sebetulnya harus menyelidiki setiap saksi dengan betul, tidak dikumpulkan begini lalu diintimidasi dan dikonfrontasikan satu sama lain! Memangnya kami semua ini dikumpulkan untuk apa? Untuk ditakut-takuti supaya ada yang mau mengaku? Kalau memang sampai sekarang polisi tidak punya bukti cukup untuk menuduh orang, ya cari dulu dong bukti itu!"

"Polisi sudah punya bukti cukup," kata Kosasih.

"Siapa orang yang kukunya pendek, itulah yang kami cari!" Dengan berkata demikian Kosasih mendekati kursi Dokter Made dengan dua langkah lalu dengan satu gerakan yang cepat dia merenggut tangan dokter itu yang terlipat.

Ternyata kukunya normal!

Frans Malingkas berkata,

"Saya kira Dokter Made benar. Ini benar-benar melanggar prosedur. Kami kan tidak semuanya terdakwa! Mengapa kami diperlakukan seolah olah kami semuanya pelaku kejahatan! Kami cuma saksi-saksi. Saya pun menolak prosedur pemeriksaan seperti ini," katanya sambil melipat kedua tangannya.

Martin berdiri dan berkata,

"Saya kira Dokter Made benar. Kita sudah membuang-buang waktu di sini. Saya mau ke belakang sebentar, di mana kamar kecilnya?"

Kosasih mengangguk kepada seorang anak buahnya yang berada di sisi paling dekat pintu.

"Tolong antarkan Saudara Martin ke kamar kecil!"

"Tidak usah," kata Martin,

"cukup tunjukkan saja belok kiri atau kanan."

"Biar saya antarkan, Pak," kata petugas polisi itu mengiringi Martin keluar.

Mereka menunggu sambil membisu. Yanti sudah duduk kembali di kursinya. Bunyi kipas angin tua yang berputar di langit-Iangit seperti bunyi dengung kumbang. Kosasih memakai kesempatan itu untuk membaca catatan yang dibuat anak buahnya. Gozali seperti biasanya melamun. Para saksi yang lain duduk dengan gelisah, terutama Anastasia yang sejak pemeriksaan yang terakhir ini menjadi sangat tidak tenang.

Waktu berlalu cukup lama, Martin belum juga kembali. Baru selewat setengah jam petugas polisi itu kembali bersama Martin. Kosasih mengangkat alisnya dan bertanya kepada anak buahnya,

"WC-nya pindah ke Lamongan?"

"Anu, Pak, Saudara Martin minta izin

mengambil rokoknya di mobil. Saya antar sampai ke tempat parkir."

Kosasih mengangguk dan mengisyaratkan pada Martin supaya duduk lagi. Kali ini di luar dugaan Anastasia, pemuda itu duduk di kursi kosong disampingnya, kursi si petugas polisi yang mengantarkannya itu.

"Nah, sekarang marilah kita lanjutkan lagi," kata Kosasih.

"Jadi, Nona Yanti, tadi Anda sudah melihat beberapa tangan di sini. Sekarang yang belum silakan Anda teliti."

Yanti berdiri dan menghampiri Martin yangpaling dekat dengan kursinya. Tapi dengan satu gerakan kilat pemuda itu mencabut sesuatu yang berkilat dari balik kemejanya di bagian lambung dan ditusukkannya ke lambung Anastasia yang duduk tanpa curiga di sampingnya.

Pekikan perempuan itu yang melengking tinggi disertai gerakan kedua orang anak buah Kosasih meringkus Martin, mengejutkan hadirin lainnya didalam ruang itu. Detik berikutnya kekacawan pecah di kamar kerja Kapten Kosasih yang ributnya sama dengan Dasar malam.

***

YAMlN mengawasi cairan infus menurun perlahanlahan. Dari posisinya di kaki tempat tidur sempit inventaris rumah sakit, dia melihat bagaimana Anastasia terbaring tanpa menyadari kehadirannya.

Hari telah malam, nyamuk-nyamuk mulai berdatangan, mencari mangsa yang bisa diisap darahnya. Beberapa kali Yamin sempat menepuk beberapa nyamuk tetapi batalyon binatang malam ini tidak berkurang kekuatannya. Mati satu datang sepuluh dan semuanya mendengung dengung seakan-akan mengejek manusia yang walaupun lebih besar dan perkasa, tetap tak dapat menyelamatkan dirinya dari' serangan mereka.

Anastasia terbaring dengan wajah pucat pasi. Kedua matanya terkatup rapat. Keadaannya sebenarnya tidak terlalu parah. Tusukan Martin tidak mengenai organ yang

vital. Tusukan itu sempat melenceng karena kesigapan anak buah Kosasih yang segera meringkus tangan Martin begitu melihat kilatan benda tajam. Dokter berpendapat bahwa Anastasia tak perlu dimasukkan UGD setelah lukanya ditutup. Dia memang kehilangan darah, tapi tidak sampai tingkat yang perlu dicemaskan. Keadaannya tidak terlalu kritis.

Anastasia beruntung mendapatkan perawatan kilat. Lima menit setelah peristiwa itu dia sudah berada di dalam mobil polisi yang dilarikan dengan sirene meraung-mung menguak jalan ke rumah sakit. Tidak, secara fisik keadaannya tidak mengkhawatirkan, hanya mungkin dia mengalami shock mental, begitu kata dokter.

Yamin memandang wajah Anastasia yang cantik. Pada usia empat puluh tahun masih tak tampak kerut-kerut yang berarti. Kulitnya bersih, tak tampak bercak-bercak cokelat yang sering merupakan tanda-tanda ketuaan. Benar-benar dalam kondisi yang terawat baik, pikir Yamin, seperti sedang menilai mobil bekas saja.

Hmph! Yamin mencibir sendiri,tersenyum sinis pada dirinya. Aneh! Selama tiga puluh

empat tahun dari hidupnya ini dia mengira dia selalu bisa merencanakan segala sesuatu dengan baik. Dia adalah seorang perfeksionis, yang selalu mencari yang paling sempurna. Itulah sebabnya dia tidak pernah menemukan perempuan yang cukup memenuhi standarnya untuk bisa membuatnya terpikat. Yang muda dan cantik terlalu polos dan bloon, yang tua terlalu cerewet dan mau pinter sendiri. Alhasil dia tetap membujang.

Setelah memilih sekian lamanya dan mengapkir sekian banyaknya gadis yang pernah mampir dalam hidupnya, akhirnya apa yang didapatnya? Yamin terpaksa tersenyum geli. Apa yang didapatnya adalah seorang perempuan yang sudah separuh baya, yang malah enam tahun lebih tua dari dirinya, yang dulu pernah menjadi kekasih gelap seorang dokter hidung belang, yang sekarang berstatus janda, dan terakhir pernah menjalin asmara dengan seorang anak muda yang nyaris membunuhnya hari ini! Jadi inilah perempuan idamannya yang telah ditunggunya selama tiga puluh empat tahun! Dan Yamin harus terbahak sendiri. Apa kata teman-temannya nanti seandainya mereka tahu? Dia yang selalu mencela gadisgadis yang disodorkan padanya akhirnya mendapatkan janda STW! Aduh!

Anastasia bergerak sedikit, mengerang, lalu membuka matanya.

"Hei," bisik Yamin sambil tersenyum,

"enak tidurnya?"

Anastasia memejamkan matanya lagi lalu berkata,

"Sakit sekali."

"Mungkin obat penahan nyerinya telah kelewat waktu. Dokter mengatakan kalau kau terjaga, kau boleh menelannya lagi." Yamin mengambilkan obat-obatan yang terletak di atas meja kecil di sisi tempat tidurnya.

"Jam berapa ini?"

Yamin melirik arlojinya.

"Hampir setengah delapan. Kau sudah lapar?"

"Tidak," kata Anastasia menyeringai menahan sakit.

"Aku kesakitan."

"Hanya satu dua hari saja. Lukamu tidak dalam, tidak ada organ yang terkena, kau masih untung."

"Falsafah orang kita," kata Anastasia,

"sudah celaka masih bisa bilang untung." Diminumnya obat-obatan yang diberikan Yamin kepadanya dengan patuh.

"Kau menunggui aku sejak tadi?" tanyanya.

Yamin mengangguk.

"Bodohlah orang yang tidak menjaga hartanya baik-baik," katanya.

Anastasia tersenyum lemah.

"Pulanglah, Min. Kau sudah menunggu sepanjang sore. Aku mau tidur, kau tak usah menjaga."

"Tidurlah," bisik Yamin mengecup bibir perempuan itu.

"Selamat bermimpi yang indah.

****

Ketika Anastasia terjaga lagi dia melihat matahari bersinar dengan cerah. Pipa infus yang semalam menempel di pergelangan tangannya sudah dilepas. Rasa nyeri di lambungnya tidak sehebat kemarin.

Anastasia berpaling dan melihat Yamin duduk di kursi rotan di seberang tempat tidurnya.Tampaknya dia sedang tidur. Melihat pakaiannya yang kusut dan bayang-bayang hitam di dagunya, tahulah Anastasia bahwa Yamin rupanya tidak pulang semalam. Hatinya merasa terharu.

Anastasia merasa perutnya lapar, tapi dia tak ingin membangunkan Yamin. Dengan perasaan aman dan damai dia memejamkan matanya lagi menunggu sampai nanti Yamin terbangun atau ada suster yang menjenguknya.

Anastasia hanya tidur-tidur ayam, karena itu ketika dia merasa sentuhan halus di pipinya, dibukanya matanya. Wajah Yamin yang tersenyum memandang balik padanya.

"Selamat pagi, Yang!" kata Yamin.

"Masih sakit?"

"Tidak sehebat kemarin," kata Anastasia.

"Kau tidak capek?"

"Syukur .kau sudah tidak sakit," kata laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan Anastasia.

"Aku panggilkan suster, ya? Tadi sewaktu masih subuh ada seorang suster yang datang dan mau memandikan kau, tapi aku melihat kau tidur begitu pulas, aku menyuruhnya supaya tidak mengganggumu saja."

Kali ini suster datang dengan wajah cemberut. Jam memandikan pasien sudah lama berlalu. Itu sebenarnya pekerjaan suster yang shift malam, sebelum mereka pulang. Sebentar lagi justru dokter-dokter akan berdatangan, meronda pasien-pasien, dan itu adalah tugas suster shift pagi.

Dengan sikap segan dan jengkel suster ini membawa masuk satu baskom air hangat dan waslap. Baskom itu diletakkannya di atas kursi dengan sedikit kasar. Airnya tumpah sedikit. Melihat pelayanan yang demikian, Yamin panas hatinya.

"Suster, apakah ada larangan tertentu dalam memandikan pasien ini maksud saya apakah perban itu harus diganti sekarang atau tidak boleh basah, atau bagaimana?" tanyanya.

"Perban tidak usah diganti," kata suster itu ketus.

"Cuma tidak boleh basah. Saya sudah tahu tugas saya," tambahnya seolah-olah tersinggung dianggap tidak becus memandikan pasien.

"Kalau begitu biar saya sajalah yang memandikan pasien sendiri," kata Yamin dengan sigap mengambil sabun dari lemari pasien. Kemarin dia sendirilah yang menyiapkan semua keperluan Anastasia, dari pakaian tidur, sikat gigi, sampai bedaknya yang didapatnya dari Mbok Ni.

Agak keheranan suster itu mendengar kata-kata Yamin.

"Biar keluarganya pun juga tidak boleh memandikan. Itu tanggung jawab suster."

"Kalau Anda menyadari bahwa itu tanggung jawab Anda. ya jangan melaksanakannya dengan hati berat. Saya tidak suka melihat Anda meletakkan baskom air itu secara kasar dan memberikan perawatan dengan wajah masam. Saya tidak berkeberatan memandikan pasien sendiri kalau Suster enggan," kata Yamin.

Suster itu merah padam wajahnya. Dengan sedikit rasa takut dia berkata,

"Saya tidak bermaksud kasar. Biar saya yang memandikan. Silakan Tuan tunggu di luar."

Yamin mengangguk dan berkata,

"Tolong beri tahu saya kalau sudah selesai.

Anastasia sudah dimandikan dan diberi makan. Dia merasa kekuatannya sudah pulih enam puluh persen. Lambungnya masih terasa nyeri, tapi sudah tidak seberapa terutama

setelah dia menelan obat penahan rasa sakit yang diberikan dokter kepadanya.

Terbaring sambil ditunjang bantal yang tinggi, Anastasia berkata kepada Yamin,

"Kau sebaiknya pulang, Min, beristirahat."

"Aku sudah tidur kok."

"Tapi kau belum makan, kan?"

"Oh, sudah. Tadi pagi-pagi sewaktu subuh aku sudah keluar mencari makan, sebelum kau bangun."

"Di mana mencari makanan sepagi itu?"

"Di depan rumah sakit banyak warung. Sopirsopir bemo kan harus makan sebelum mereka turun ke jalan."

"Sekarang pulang sajalah!"

"Nanti, kalau kau sudah tidur lagi."

"Aku mungkin lama nggak tidur-tidur lagi, Min. Aku sudah tidur belasan jam. Kau yang harus tidur, harus mandi, ganti pakaian, bercukur," senyum Anastasia.

"Kau juga tidak berbedak atau bersolek. Aku tidak berkeberatan," kata Yamin.

"Di mataku kau masih secantik biasanya dan aku berharap di matamu aku juga masih segagah biasanya walaupun tidak mandi dan bercukur."

Anastasia terpaksa menahan tawanya. Lambungnya tetap sakit jika tergetar.

"Kau tadi galak bener terhadap si perawat," kata Anastasia.

"Dia sampai ketakutan dan minta maaf padaku."

"Habis! Aku jengkel melihat sikapnya yang sok kuasa begitu, kayaknya kita di sini tidak bayar saja!"

"Hus! Kau harus maklum kalau gaji mereka kecil."

"Urusan gaji kecil atau besar itu urusan mereka dengan pimpinan rumah sakit ini, bukan urusan pasien! Pasien kan tidak tinggal di sini gratis! PaSien harus mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya. Mereka di sini justru karena membutuhkan pelayanan dan perlakuan yang baik. Kan ini tugas kemanusiaan!"

"Lha iya, Min, tapi mereka sendiri kan manusiajuga. Mereka selalu dituntut memberikan pelayanan yang terbaik, tapi keringat mereka kurang mendapatkan penghargaan yang sepantasnya. Wajar, kan, kalau mereka juga merasa jengkel dan malas?"

"Itulah! Sebelum mereka turun ke lapangan kan mereka sudah seharusnya tahu bahwa menjadi perawat rumah sakit apalagi rumah sakit umum-gajinya kecil sekali. Profesi ini menuntut pengabdian yang tinggi. Lha kalau mereka tidak bersedia dan merasa keberatan, mengapa terjun di sini? Cari saja profesi lainnya yang bisa memberikan gaji lebih besar!"

"Mungkin mereka tidak punya kesempatan memilih bidang yang lain, Min. Mereka masuk menjadi suster karena terpaksa tekanan ekonomi, bukan karena panggilan hati nurani untuk mengemban tugas kemanusiaan."

"Akhirnya pasien yang menjadi korban! Sudah dikenakan tarif tinggi, tapi diperlakukan kayak orang nggak bayar!" gerutu Yamin.

"Sudahlah, tidak semua perawat begitu. Lagi pula tidak ada jeleknya kalau pasien secara pribadi memberikan penghargaan juga kepada mereka."

"Iya kalau pasiennya orang mampu! Tapi bayangkan kalau pasien adalah orang tidak mampu. Sudah menderita, harus mengeluarkan uang untuk bayar dokter dan rumah sakit, masih diperas lagi untuk "membeli" si perawat! Kalau para perawat itu hanya mau memberikan pelayanan baik kepada orang yang memberinya persen, orang yang tidak mampu kan dijadikan bulan-bulanan!"

"Jadi sekarang kau mau maju untuk merekrut seluruh perawat di sini?" senyum Anastasia.

"Paling tidak yang satu tadi tidak berani macam-macam lagi," kekeh Yamin.

"Eh, Min, aku mau minta tolong," kata Anastasia.

"Tentu. Segala titah Paduka, hamba laksanakan."

"Tolong kabari si Maya bahwa kasus kematian Hariono sudah beres. Aku tidak ditahan oleh polisi. Dia tentunya sudah sangat khawatir."

"Itu sudah kukerjakan kemarin selagi kau tertidur" kata Yamin. Maya titip salam semoga kau cepat sembuh."

"Aku beruntung punya teman-teman yang baik," kata Anastasia,

"seperti kau."

"Aku kira statusku lebih daripada sekadar teman!" kata Yamin sedikit heran,

"Ah, Min! Kau bisa mendapatkan gadis yang lebih baik seribu kali daripada diriku. Hidupku penuh noda. Jangan menghabiskan waktumu dengan aku. Masa depanmu masih bagus."

"Masa depanku adalah kau, Ana," kata Yamin serius. Matanya yang hitam dan tenang itu sangat menyejukkan.

"Aku dengan segala kekuranganku'?" senyum Anastasia.

"Dan kekuranganku," senyum Yamin.

"Bukankah dulu kau mengimpikan seorang perempuan yang sempurna?"

Yamin terbahak.

"Itu juga yang baru saja melintas dibenakku. Ternyata dengan segala kekuranganmu kau masih yang paling sempurna bagiku."

"Kau akan menyesal."

"Tidak. Aku sangat mencintaimu."

"Kalau begitu mengapa kau memusuhi aku sampai meninggalkan Madona segala?" tanya Anastasia.

"Justru karena aku mencintaimu itu. Di luar kemauanku aku jatuh cinta padamu.Pada saat aku mengira kaulah yang membunuh Hariono, aku sangat kecewa. Aku mengira kau adalah perempuan yang kejam dan busuk hatinya. Aku mencoba untuk membencimu dan aku berhasil. Aku kemudian merasa sangat benci padamu. Tapi akhirnya aku sadar bahwa aku bukan membenci orangnya-bukan! Aku membenci keadaan yang telah tidak memungkinkan aku tetap mencintaimu. Frustrasi menghadapi kenyataan ini aku pikir lebih baik aku tidak bertemu lagi dengan dirimu untuk mengurangi deritaku sendiri."

"Mengapa kau kembali?"
Misteri Keempat Wajah Anastasia Karya S Mara Gd di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena aku sadar kau tidak mungkin membunuh Haiiono."

"Seandainya kau tetap mengira aku pembunuh Hariono, kau tak akan kembali?"

Yamin menghela napas panjang.

"Hanya Tuhan yang tahu betapa seringnya aku tidak dapat tidur di malam hari karena mengekang keinginanku untuk berada di sisimu lagi. Entah sudah berapa ratus kali aku memutuskan untuk kembali padamu tanpa mempedulikan apakah kau seorang pembunuh atau bukan. Dorongan untuk terbang ke sisimu begitu kuat dan aku ber perang dengan jiwaku sendiri. Aku hampir memutuskan untuk berangkat kemari ketika Maya datang mencariku dan menceritakan posisimu. Tanpa berpikir panjang lagi aku segera berangkat. Cerita Maya membulatkan hatiku. Tapi tapi seandainya aku tidak bertemu dengan Maya pun, aku kira akhirnya aku akan kembali padamu. Aku sudah hampir hampir tak tahan menjauhkan diri darimu

ketika Maya muncul."

"Kau seorang perfeksionis, Min. Setelah kau sadar nanti, kau akan menyesali keputusanmu. Aku telah menghancurkan Martin, aku tidak ingin menghancurkan dirimu juga. Lebih baik kita berpisah sekarang daripada kelak."

"Orang buta tidak akan kehilangan tongkatnya dua kali, Ana! Aku sudah pernah kehilangan tongkatku satu kali, itu sudah merupakan pelajaran bagiku. Aku tak mau membuang kesempatan kedua ini begitu saja."

"Orang buta yang sudah celek matanya tidak membutuhkan tongkatnya lagi, Min," kata Anastasia lembut.

"Tapi tidak berarti dia harus membuangnya juga, Ana. Tongkat itu mengandung kenangan yang indah baginya, yang pernah berjasa selama dia buta."

"Aku mau hanya menjadi kenangan yang indah bagimu, Min, tapi tidak menjadi realita yang berdiri di sisimu setiap hari."

"Tidak, Ana! Aku mohon kau mau menjadi istriku, yang mengisi hatiku, yang men dampingi jalanku. Kau bukan cuma sebatang tongkat, tapi kau adalah mataku yang baru! Tanpa dirimu aku akan menjadi buta lagi!"

"Min...."

"Aku serius,Ana.Aku tak pernah seserius ini terhadap perempuan mana pun. Jadilah istriku!"

"Aku... aku harus berpikir dulu, Min. Sebelum aku melangkah kali ini aku harus yakin bahwa langkahku nanti tidak membawa penyesalan bagimu dan bagiku."

"Ana!"

"Berilah aku waktu untuk berpikir."

"Ana!"

"Berilah aku waktu, Min. Aku tidak dapat menjanjikan apa apa."

"Kau tidak mencintai aku?" tanya Yamin gelisah.

"Cinta saja tidak selamanya menjamin kebahagiaan, Min. Ada banyak tantangan dalam hidup yang tidak bisa diselesaikan dengan sekadar perasaan cinta. Aku sudah empat puluh, aku harus bisa membuat keputusan yang bisa aku penanggungjawabkan. Aku tak boleh lagi main cobacoba atau asal nubruk. Kalau aku menjadi istrimu, aku harus yakin bahwa kau tak akan menyesali langkah itu selanjutnya. Berilah aku waktu untuk mencari keyakinan itu."

***

DENGAN didampingi oleh Yamin, Anastasia yang sudah sembuh mendatangi markas polisi untuk menemui Kapten Polisi Kosasih. Kebetulan pagi ini baik Kosasih maupun Gozali berada di tempat sedang mempelajari dokumen kasus kejahatan yang lain. Kedatangan seorang perempuan cantik merupakan diversifikasi yang menggembirakan, selingan sedap dari kerutinan yang membosankan.

"Ah, Nyonya Anastasia Castillo, apa kabar!" sambut kapten polisi ini mengulurkan tangannya.

"Silakan duduk, silakan duduk!"

Yamin hanya mendapat uluran tangan saja.

Seperti kebiasaannya, Gozali segera mengangkat pantatnya untuk memberikan tempatnya kepada dua tamu ini. Dia berdiri saja di sisijendela.

"Anda sudah sembuh dan berseri-seri saya lihat," komentar Kapten Kosasih.

Anastasia tersenyum lalu berkata,

"Kami sengaja datang dengan maksud ingin menanyakan kelanjutan kasus Dokter Hariono itu, Pak. Kami ingin tahu persis bagaimana terjadinya pembunuhan itu."

"Oh, boleh, boleh. Berkasnya sudah diserahkan ke kejaksaan tinggal disidangkan saja," kata Kosasih.

"Tapi saya bisa memberikan keterangan kepada Anda, toh Anda adalah salah satu pihak yang terlibat.Apalagi Saudara Martin telah mengakui kesalahannya sehingga kami tahu lebih jelas apa yang terjadi."

"Martin sekarang ditahan?" tanya Anastasia.

"Ya."

"Saya sangat berterima kasih atas ketelitian pelacakan polisi. Saya pikir, wah, semua petunjuk sudah mengarah kepada saya, sudah tak mungkin saya lolos lagi," kata Anastasia.

"Saya pikir saya sudah pasti akan ditahan."

Kosasih tersenyum.

"Sejak semula saya pribadi tidak percaya bahwa Anda bisa melakukan pembunuhan yang kejam ini," katanya melirik Gozali.

Kali ini intuisinya lebih tepat daripada sahabatnya! "Anda adalah seorang yang sukses, yang punya nama, punya status-apa perlunya membunuh seorang kekasih lama yang sudah tidak berarti apa-apa lagi bagi Anda itu?"

"Bagaimana polisi mula-mula mencurigai Martin?" tanya Anastasia.

Kosasih berpaling kepada Gozali.

"Lha ini pahlawannya," katanya tersenyum.

"Pak Gozali inilah yang pertama-tama mencurigai pemuda itu."

"Ah, itu bukan jasa saya," kata Gozali mengelak.

"Semuanya adalah hasil pengusutan rutin polisi. Dalam setiap kasus kejahatan polisi selalu memeriksa siapa di antara orang-orang yang punya hubungan dengan korban yang tidak mempunyai alibi. Semua keterangan yang masuk tentunya diperiksa lagi oleh polisi. Mereka yang alibinya terbukti benar, segera dicoret dari daftar nama tersangka. Mereka yang tidak mempunyai alibi mendapatkan perhatian yang lebih istimewa.

"Dalam kasus ini polisi telah kecurian langkah. Ketika kami melihat mobil Honda Accord warna perak milik Anda, kami mulai

bertanya-tanya apakah itu adalah mobil yang sama yang dilihat oleh Saudara Darmo yang bertugas sebagai Satpam malam itu. Saudara Darmo mengingat bahwa perempuan cantik yang masuk ke kelab malam itu bersama korban naik mobil yang demikian. Tetapi setelah kami tanyakan, Saudara Martin mengatakan bahwa malam itu Anda tidak keluar.

"Nah, begitu ternyata memang Andalah perempuan yang diceritakan Saudara Darmo ini, kami langsung menyibukkan diri mengecek latar belakang Anda, hubungan Anda dengan korban, apa motif Anda untuk membunuhnya, dan lain lain. Semakin banyak yang kami gali, semakin dalam kami tenggelam dalam riwayat Anda dan korban. Di samping itu kami juga menemukan beberapa tersangka lainnya Saudara Frans Malingkas, istri Dokter Hariono, dan Dokter Made. Semua kesibukan ini membuat kami lupa bahwa kalau ternyata alibi Anda itu palsu, maka Martin sendiri pun tida punya alibi!

"Martin mengatakan malam itu dia ada bersama Anda di rumah. Kalau ternyata sebenarnya Anda tidak ada di rumah, berarti tidak ada orang lain yang bisa memastikan Martin benar-benar ada di rumah malam

itu!"

"Saya tidak pernah menduganya," kata Anastasia,

"sampai saat terakhir ketika pegawai toko itu menyinggung soal kuku jari orang yang membeli pisau itu. Baru pada waktu itu saya sadar bahwa Martin lah orang yang membeli pisau itu."

"Dan Anda diam saja!" kata Kosasih menghela napas.

"Saya tidak ingin mencelakakannya, Pak Kapten. Hariono toh sudah meninggal. Seumur hidupnya dia adalah orang yang egois. Martin telah banyak menderita."

"Jadi Anda membenarkan dia membunuh ayahnya?" tanya Kosasih.

"Tidak. Saya tidak membenarkan tindakannya. Tapi saya bisa mengerti mengapa itu terjadi. Semuanya adalah akibat kurangnya perhatian ayahnya kepada anaknya sendiri. Saya merasa kasihan padanya kalau dia harus meringkuk di penjara setelah semua penderitaan yang pernah dialaminya itu."

"Dan akibatnya Anda juga nyaris menjadi korban," kata Gozali.

"Martin sudah tidak beres kejiwaannya, Nyonya Castillo. Seandainya dia tidak ketahuan membunuh ayahnya, dan dia bebas hidup seperti orang orang yang lain, pada suatu saat dia akan membunuh orang yang lain lagi jika orang itu menjengkelkan hatinya."

"Yah, jadi rupanya malam itu dia membuntuti saya." kata Anastasia.

"Ya, dia mencemburui Anda. Dia tidak percaya bahwa malam itu Anda pergi ke rumah orang tua Anda seperti alasan yang Anda berikan kepadanya. Dia membuntuti Anda dengan sepeda motornya, dan dia melihat Anda masuk ke niteclub itu bersama ayahnya. Dia mengira Anda akan menjalin lagi hubungan yang telah terputus tujuh belas tahun itu dan dia sakit hati.

"Dia masuk ke dalam, duduk di meja di sebelah meja Anda, dan mendengarkan dari balik sketsel rotan itu bagaimana ayahnya berusaha merayu Anda, dan hatinya mendidih.

"Jadi Martin mengira saya mau kembali kepada ayahnya?" tanya Anastasia.

"Ya. Dan itu membuatnya mata gelap, Dia mengira Anda memutuskan hubungan dengannya karena mau kembali kepada ayahnya."

"Seandainya dia mendengarkan seluruh pembicaraan kami, dia pasti tahu bahwa saya

menolak ajakan Hariono, bahkan saya bertengkar dengannya!"

"Ya, tapi dia tidak mendengarkan terus. Di keluar dan merenung. Akhirnya karena tidak dapat mengekang rasa amarahnya lagi. dia pergi membeli pisau itu. Dia membeli dua bilah pisau" yang satu besar dan satu kecil dengan pikiran seandainya satu tusukan gagal mencabut nyawa ayahnya, dia masih punya cadangan pisau yang kedua."

"Rupanya pisau yang kedua itulah yang dipakai Martin untuk menusuk Nyonya Castillo," kata Yamin.

"Ya," Kosasih mengangguk.

"Sebenarnya ketika dia permisi untuk ke belakang, dia bermaksud melarikan diri. Sayang ada petugas polisi yang mengantarkannya sehingga dia tidak bisa lolos. Dia mencoba sekali lagi dengan mengatakan mau mengambil rokok di mobilnya. Tetapi lagi-lagi anak buah saya tidak mengizinkannya pergi sendiri. Saudara Martin tidak berhasil kabur, maka akhirnya dia memutuskan untuk mati bersama sama saja dengan Nyonya Castillo.

"Bilah pisau yang lebih kecil yang belum dipakainya ada di dalam mobilnya. Pisau itu disembunyikannya di dalam kemejanya dan dia kembali kemari mencari kesempatan untuk menusuk Nyonya Castillo."

"Aku tidak menyangka dia dapat berbuat begitu," kata Anastasia kepada Yamin.

"Dia sudah nekat. Dia pikir kali ini dia tidak mungkin meloloskan diri dari hukuman lagi, dan daripada membiarkan Anda diambil orang lain, lebih baik diajak mati bersama-sama," Kosasih yang memberikan keterangan.

Anastasia bergidik.

"Martin benar benar telah kehilangan akal sehatnya."

"'Yang aneh bagaimana dia tidak bertemu dengan ibu tirinya yang juga ada di sana," kata Yamin.

"Itu memang suatu kebetulan. Martin menguntit Nyonya Castillo naik sepeda motornya. Nyonya Hariono menguntit suaminya naik mobil. Martin memarkir sepeda motornya sekitar seratus meter dari kelab malam Purnama, di tempat penitipan khusus sepeda motor. Ibu tirinya memarkir mobilnya di seberang kelab malam Purnama. Martin tidak tahu bahwa Nyonya Hariono malam itu menguntit suaminya. Tentu saja dia tidak memperhatikan mobil-mobil yang diparkir

di seberang kelab malam. Nyonya Hariono sendiri yang sedang bingung dan jengkel, juga tidak berharap ketemu Martin di sana, apalagi pemuda itu mengenakan helmnya sehingga susah dikenali orang."

"Iya, tapi Nyonya Hariono kan pernah turun dari mobil dan masuk ke kelab malam, Martin juga. Bagaimana mereka berdua tidak sisipan di pintu. Mustahil Martin mengenakan helmnya sampai di dalam kelab malam!" bantah Yamin.

"Itu juga menjadi bahan penyelidikan kami, tapi akhirnya polisi berhasil menyimpulkan kejadian itu begini:

"Nyonya Hariono tiba lebih dulu dan duduk di dalam mobilnya. Martin yang menguntit Nyonya Castillo terpaksa harus putar karena tempat penitipan khusus untuk sepeda motor sudah dilewatinya sedangkan jalan itu adalah jalan satu arah. Nyonya Hariono hanya duduk di dalam mobilnya sekitar sepuluh menit lamanya kemudian dia pergi. Sedangkan Martin membutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit untuk memutar ke Jalan Basuki Rahmat, membelok lewat Jalan Pemuda kembali ke Jalan Panglima Sudirman, memarkir kendaraannya dan berjalan kira-kita seratus meter ke pintu kelab malam Purnama. Pada waktu Martin masuk ke kelab malam Purnama untuk pertama kalinya, Nyonya Hariono sudah tidak ada.

"Setelah Martin mendengar bagaimana ayahnya mencoba merayu Nyonya Castillo, hatinya menjadi panas. Dia memutuskan untuk membunuh orang tuanya itu dengan harapan dapat menyelamatkan hubungannya dengan Nyonya Castillo..."

"Sayang dia tidak duduk lebih lama," potong Anastasia.

"Seandainya dia mencuri dengar pembicaraan kami lebih lama lagi, dia akan tahu bahwa saya sekali-kali tidak bermaksud menerima usul ayahnya untuk kawin. Bahkan dia akan mendengar bagaimana saya mencoba mengancam akan membongkar praktek abortus gelap Dokter Hariono."

"Nah, Martin keluar," kata Kosasih melanjutkan ceritanya,

"dia membeli pisau dan bermaksud menunggu sampai ayahnya keluar. Rencananya adalah untuk menguntit ayahnya dalam perjalanan pulang dan membunuhnya di jalan yang gelap. Martin berdiri di tempat yang gelap sambil mengawasi pintu kelab malam Purnama. Ternyata dia melihat

Nyonya Castillo keluar sendiri dan meninggalkan tempat itu, sedangkan ayahnya tidak. Martin memutuskan untuk mengintip mengapa ayahnya tidak keluar. Dia mendapatkan orang tua itu masih meneguk minumannya yang terakhir. Dihampirinya meja ayahnya dan bahkan dia sempat mendesak ayahnya untuk mengakui pertemuannya di sana dengan Nyonya Castillo. Penyangkalan ayahnya bahwa dia tidak akan mengawini Nyonya Castillo semakin membuat Martin jengkel. Dia mengira ayahnya sengaja membohonginya karena tadi telinganya sendiri mendengar bagaimana ayahnya mencoba merayu Nyonya Castillo.

"Melihat tempat duduk mereka yang boleh dibilang sama sekali terlindung di balik sketsel rotan, Martin memutuskan untuk menghabisi nyawa ayahnya di sana saja. Tanpa dicurigai dia mengirimkan satu tikaman ke jantung ayahnya. Kemudian Martin keluar dari kelab malam itu, mengambil sepeda motornya, lalu pulang ke rumah. Di rumah Nyonya Castillo tidak ada yang tahu bahwa dia pernah pergi karena pada saat itu Nyonya Castillo belum datang sedangkan para pembantu sudah tidur.

"Tak lama setelah Martin meninggalkan tempat itulah maka ibu tirinya kembali lagi. Kali ini Nyonya Hariono yang mengenali mobil suaminya masih diparkir di depan halaman kelab malam, masuk. Tapi karena di dalam gelap dan hatinya sendiri bimbang tidak tahu apa yang akan diperbuatnya nanti seandainya dia betul-betul harus konfrontasi dengan suaminya, dia hanya mencari suaminya setengah hati, karena itu dia tidak melihatnya. Dengan perasaan sedikit malu dan sedikit lega, Nyonya Hariono keluar lagi dan terbirit-birit pulang. Seperti kebanyakan istri lainnya, Nyonya Hariono tidak tahu bagaimana dia harus menghadapi masalah penyelewengan suaminya ini. Dia bimbang membuat keputusan apakah lebih baik pura-pura tidak tahu dan membiarkan affair ini nanti mati dengan sendirinya, atau dia memulai serangan ofensif yang mungkin bisa mengakibatkan suaminya tidak segan untuk menceraikannya. Pada saat terakhir nyalinya menjadi ciut dan dia mengurungkan niatnya untuk membuka kedok suaminya malam itu."

"Seandainya dia menemui suaminya, dia akan mendapatkannya sudah meninggal,"

tambah Gozali.

"Ya, ketika menjelang kelab malam itu akan ditutup, Saudara Oskar Lengkong menemukan jenazah Dokter Hariono. Panik, dia melaporkan penemuannya kepada majikannya. Berdua mereka memindahkan jenazah ke dalam mobilnya setelah semua karyawan kelab malam itu pulang. Kemudian mobil dan jenazah ditinggalkan di Jalan Raya Waru. Frans Malingkas sudah tentu tidak ingin terlibat kematian ini. terutama karena dia masih mempunyai utang tigapuluh enam juta. Dia melihat ini merupakan kesempatan baginya untuk membersihkan dirinya dari keterlibatan pembunuhan sekalian kewajiban membayar utangnya. Malang baginya ketika mereka memindahkan jenazah itu mereka tidak melihat bagaimana bon minuman kelab malamnya telah melekat di sol sepatu korban terkena darahnya sendiri. Dalam proses pemindahan itu bon tersebut sempat sobek dan hanya tinggal sepotong. Tapi inilah yang menyebabkan polisi bisa menghubungkan kelab malam itu dengan pembunuhan ini."

"Saya tidak pernah menyangka pelaku pembunuhan itu adalah Martin," kata Yamin.

"Begitu pula kami," kata Kosasih.

"Anak yang tidak cocok dengan orang tuanya dan meninggalkan rumah itu adalah hal yang lumrah di zaman ini. Tapi yang sampai berakhir dengan pembunuhan sangat jarang terjadi."

"Seandainya Martin tidak melaporkan bahwa malam itu sebenarnya saya berada bersama Dokter Hariono, apakah polisi tahu?" tanya Anastasia.

"Polisi sudah tahu bahwa perempuan yang bersama dengan korban adalah Anda," kata Kosasih.

"itulah sebabnya kami mengecek riwayat Anda. Dan saking banyaknya kejutan yang kami jumpai dari hasil pelacakan ini, kami sampai lupa bahwa kalau Anda tidak punya alibi. maka Martin pun tidak punya alibi. Tetapi Saudara Martin tiba-tiba muncul sendiri di markas polisi dan mencabut keterangannya. itu yang membuat kami teringat padanya."

"Barang siapa yang menggali lubang untuk orang lain," kata Yamin,

"terkubur sendiri di dalamnya."

"Dalam kegetolannya untuk membalas sakit hatinya kepada Nyonya Castillo, Saudara Martin lupa akan keselamatannya

sendiri," komentar Kosasih.

"Dia tidak menduga bahwa dia pun mungkin dicurigai polisi," sela Gozali.

"Sebagai anak kandung korban dan pihak yang kesusahan, dia mengira polisi pasti bersimpati padanya. Apalagi tidak ada yang tahu bahwa malam itu dia pernah keluar. Ketika dia tiba di rumah sehabis membunuh ayahnya, Nyonya Castillo ternyata masih belum datang." Gozali berpaling kepada Anastasia.

"Ke mana Anda malam itu setelah meninggalkan Dokter Hariono?"

"Oh, saya berputar-putar dengan mobil. Saya ingin menyendiri untuk berpikir. Saya ingin mempertimbangkan apakah saya akhirnya jadi merendahkan kepribadian saya untuk membalas dendam."

"Maksud Anda?"

"Belasan tahun yang lalu ketika saya masih menjadi salah seorang perawat di tempat praktek Dokter Hariono, saya tahu bahwa Dokter Hariono ini tidak segan melaksanakan abortus gelap. Memang ada satu-dua pasien yang harus digugurkan kandungannya karena alasan medis, tapi sebagian besar adalah gadis-gadis yang terlanjur hamil tanpa suami. Saya punya dugaan keras bahwa praktek ini tetap dilanjutkannya hingga sekarang. Karena itulah ketika kami bertengkar di dalam niteclub saya mengancam akan melaporkannya."

"Dan bagaimana reaksinya mendengar ancaman Anda ini?"

"Dia panik, dia ingin menyogok saya supaya saya tidak melakukannya pertama dengan uang, kemudian dengan menawarkan perkawinan yang semuanya saya tolak mentah-mentah.

"Saya meninggalkan nireclub itu dengan perasaan puas telah berhasil membuatnya takut. Satusatunya hal yang ditakutinya adalah kehilangan status dan reputasinya.

"Saya melihatnya panik walaupun kepanikan itu berusaha ditutupinya dengan minuman keras. Setelah merasa yakin bahwa saya telah membuatnya ketakutan, saya tinggalkan dia merenung sendiri di meja. Saya pulang.

"Tapi di dalam mobil saya mulai berpikir lagi, apakah memang perlu saya melaporkannya? Perlukah saya menyaksikan kehancurannya untuk memuaskan hati saya? Sakit hati saya toh sebetulnya sudah lenyap sekian lamanya, dan saya sudah mendapatkan kebahagiaan baru. Untuk apa saya masih berhati sedengki itu? Saya bimbang. Nasihat-nasihat teman-teman saya mengiang di telinga. Hariono adalah orang yang rendah pribadinya walaupun dia sukses dan kaya, tapi sebagai manusia dia tidak ada harganya. Buat apa saya mengorbankan martabat saya sendiri sekadar untuk membalas dendam padanya?

"Itulah yang saya pertimbangkan di dalam mobil. Saya putar-putar sendiri supaya saya bisa berpikir dengan pikiran jernih. Saya ingin bisa membuat keputusan yang tidak akan saya sesali kelak. Memang takdir telah memberi saya suatu kesempatan untuk membalas dendam dan Jika kesempatan ini saya lewatkan, mungkin saya tidak akan mendapat kesempatan yang sama lagi sampai akhir hayat. Akan menyesalkah saya pada suatu hari jika saya melewatkan kesempatan ini sekarang? Jadi di dalam kepala saya ada dua tuntutan yang saling bertentangan. Dan saya membutuhkan waktu hampir dua jam untuk membuat keputusan yang terakhir."

"Apa keputusan Anda akhirnya?" tanya Gozali tersenyum.

"Saya akhirnya memutuskan bahwa selama ini Tuhan telah memberi saya cukup

banyak berkat yang berkelimpahan dan saya tidak perlu merendahkan martabat saya sendiri dengan menjadi seorang Yudas."

"Siapa Yudas?" tanya Kosasih.

"Oh, seorang yang telah menjual sahabatnya untuk tiga puluh keping uang perak," senyum Gozali.

"Kau tidak pernah mendengar ceritanya?"

"Aku tidak punya waktu untuk membaca novel-novel picisan," kata Kosasih.

"itu bukan novel picisan," kata Gozali.

"Suatu saat nanti aku akan menceritakannya kepadamu. Kisahnya cukup terkenal dan merupakan suatu pelajaran yang baik."

Kosasih mengangkat bahunya dan kembali ke pokok pembicaraan.

"Nah, jadi apa rencana Anda sekarang?" tanyanya kepada Anastasia.

Anastasia tersenyum, manis sekali.

"Saya belum punya rencana kongkret apa apa. Saya baru saja keluar dari rumah sakit. Yang pertama-tama harus saya benahi adalah bisnis saya dulu yang sudah saya tinggalkan dan telantarkan selama ini. Dengan beresnya semua urusan, saya bisa memberikan konsentrasi penuh kepada kemajuannya."

"Anda akan kembali ke Jakarta?" tanya

Kosasih dan Gozali tersenyum menangkap nada setengah kecewa dalam suara sahabatnya.

"Saya akan bolak-balik seperti sedia kala," senyum Anastasia.

"Tapi mungkin waktu saya akan lebih banyak saya lewatkan di sini. Di Jakarta saya sudah mempunyai staf inti yang bisa saya percaya. Dan dengan bantuan Saudara Yamin ini," katanya melirik laki-laki yang duduk di sampingnya,

"saya tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa."

"Seorang perempuan yang hebat," kata Kosasih setelah tamu-tamunya berlalu.

"Cantik,inteligen,menarik,etis,dan matang. Laki-laki yang mendapatkannya sangat beruntung."

"Dua laki-laki yang pernah dekat dengannya sudah meninggal, Kos, sedangkan yang seorang ditahan," komentar Gozali.

"Aku sih tidak ngiri kepada patnernya yang berikut."

"Maksudmu yang keempat juga akan mengalami nasib tragis seperti tiga yang lain?" tanya Kosasih serius.

Gozali menyeringai dan mengangkat bahunya.

"Kaukira si Yamin ini yang akan menjadi kandidat keempat?" tanya Kosasih.

"Barangkali," senyum sahabatnya.

"Mana aku tahu! Memangnya aku dukun? Pokoknya aku tidak ngiri padanya."

"Ah, biasanya nasib jelek itu hanya datang dalam runtun tiga, Goz. Yang pertama sial, kedua sial, ketiga sial, nah, yang keempat sudah pasti tidak sial lagi. Biasanya malah yang keempat ini yang beruntung mendapatkan segala-galanya."

"Begitu pengalamanmu?" goda Gozali.

"Iya. Kalau sudah satu, dua. tiga. terus berhenti, Goz. Yang keempat sudah tidak terpengaruh lagi."

"Kalau begitu kau perlu ngiri pada Yamin Raharja," gelak Gozali.

"Ah. brengsek!"

Tamat


Rahasia Chimneys Secret Of Chimneys Pukulan Hitam Hek Tjiang Karya S D Liong Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda

Cari Blog Ini