Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bunga 1

Pendekar Bunga Karya Chin Yung Bagian 1

CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

1 Book - Kolektor E

Terdaftar No. Pol. : 040 / BIN / LEKS / 73

CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

2 Book - Kolektor E

PENDEKAR BUNGA

Oleh : CHIN YUNG

Penerbit : MAYA Jakarta

Sumber Pustaka : Aditya Indra Jaya

JILID 1

SENJA sudah tiba. Sinar matahari yang hijau bercampur kuning menyilaukan mata.

Pohon-pohon tampak terhembus angin sore, tampak indah memenuhi jalan yang menuju kekota

Pay-hoa-kwan yang kurang lebih tepisah lima lie dari daerah tersebut.

Serombongan orang yang berkuda, tampak telah melaratkan kuda tunggangan mereka.

Rombongan itu terdiri dari enam orangan lelaki yang berpakaian singset.

Tampaknya mereka tengah memburu waktu.

Dari sepasang alis dari mereka yang telah mengkerut dalam-dalam, terpancar sikap gelisah

dari keenam lelaki ini. Tampaknya ada sesuatu yang harus diselesaikan.

Debu juga telah mengepul tinggi.

Dilihat dari cara berpakaian keenarn orang itu, dengan masing-masing pinggang

tergantung pedang, memperlihatkan bahwa mereka adalah enam orang ahli silat yang tampaknya

memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Kuda yang mereka tunggangi itu juga merupakan kuda pilihan. Bertubuh tinggi besar dan

juga tampaknya dapat berlari kuat sekali. Dilihat dari potongannya, kuda ini tentunya binatang

tunggangannya dari Mongolia.

Tetapi, ketika keenam orang itu tengah melarikan kudanya dengan cepat, tahu-tahu di

sebuah persimpangan jalan, telah melompat sesosok tubuh menghadang jalan majunya

rombongan tersebut.

Malah telah terdengar suara orang membentak dengan suara yang keras, juga sangat bengis

:

"Berhenti....!!" kedua tangan orang itu digerakkan dengan gerakan yang berulang kali.

Serangkum angin serangan yang kuat bukan main telah meluncur dari kedua telapak tangannya.

Dan aneh!

Rombongan keenam orang itu, tampaknya terkejut sekali, karena kuda tunggangan mereka

seperti menubruk dinding, sehingga kuda-kuda itu tidak bisa maju lebih lanjut dan telah

meringkik keras dengan sepasang kaki mukanya diangkat tinggi-tinggi.

Keenam orang penunggang kuda itu mementang mata mereka lebar-lebar.

Mereka melihat jelas sekali, orang yang menghadang mereka seorang laki-laki berusia

diantara empat puluh tahun, wajahnya tidak memperlihatkan perasaan apapun juga.

Dan yang mengejutkan sekali hati keenam orang penumpang kuda ini, mereka melihat

sorot mata orang yang menghadang itu sangat tajam bukan main. Orang itu memakai baju warna

hijau, dengan celana warna kuning. Dan biarpun usianya tampak agak tinggi, namun dia tidak

memelihara kumis dan janggut.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

3 Book - Kolektor E

Salah seorang penunggang kuda itu telah memajukan binatang tunggangannya lebih dekat

pada orang itu, lalu membentaknya : "Mengapa kau menghalangi perjalanan kami?"

Orang yang menghadang itu telah tertawa dingin.

"Serahkan seluruh barang-barang kalian!" katanya dengan suara yang dingin.

"Hmmm.....!" mendengus penunggang kuda itu dengan murka. "Rupanya kau seorang

pembegal!?"

Dan dia telah melompat turun dari kuda tunggangannya itu. Dengan cepat tangannya telah

merabah gagang pedangnya. Maksudnya akan mencabut keluar pedangnya.

Namun bersamaan dengan itu, penghadang itu telah menggerakkan tangannya.

"Mampuslah kau!" bentaknya dengan suara yang dingin sekali.

Dari telapak tangan penghadang itu telah meluncur keluar serangkum angin yang kuat

bukan main, mendesir kuat, dan seketika itu juga tubuh orang yang baru turun dari binatang

tunggangannya itu terpental keras, dengan mengeluarkan suara jeritan yang menyayatkan hati.

Tubuhnya segera menggeletak ditanah. Tempat tinggal jiwa orang itu sudah kosong.

Jiwanya sudah siang-siang melayang meninggalkan badannya.

Bukan main!

Sekali menggerakkan tangannya, orang yang menghadang ini telah dapat membinasakan

lawannya. Malah dia tidak memberikan kesempatan pada penunggang kuda itu untuk mencabut

keluar pedangnya, telah dihajarnya binasa.

Kelima orang penunggang kuda lainnya jadi kaget sekali, wajah mereka telah berobah

pucat.

Bersamaan dengan itu, mereka tersadar dengan kemurkaan yang sangat. Karena mereka

telah melihatnya kawan mereka telah tidak bernyawa.

Dengan serentak kelima orang penunggaug kuda itu telah melompat turun. Salah seorang

dari mereka telah memeriksa keadaan kawan mereka.

Wajahnya segera memperlihatkan kemarahan bukan main, karena dia memperoleh

kenyataan sahabatnya itu telah meninggal dengan wajah yang hitam keungu-unguan. Itulah suatu

kematian yang sangat mengerikan sekali.

Dengan penuh kemurkaan, dia telah mencabut keluar pedangnya.

Penjahat biadab, tangaumu terlalu telengas sekali!" teriaknya kalap.

Dia juga bukan hanya berteriak begitu saja, karena dengan cepat telah menjejak tanah,

tubuhnya dengan cepat meluncur akan melancarkan serangan dengan tikaman pedangnya.

Keempat kawannya juga telah mencabut senjata mereka dan mengurung penghadang

mereka.

Tetapi lelaki yang menghadang rombongan ini telah tertawa dingin.

"Hemmmm....... kalian ingin mampus juga rupanya!" katanya dengan suara mengejek.

Dan membarengi dengan itu, dia telah memandang datangnya tikaman dari lawannya yang

seorang itu.

Ketika mata pedang hampir tiba, dengan cepat orang ini menggerakkan tangannya.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

4 Book - Kolektor E

Dengan gerakan yang sukar diikuti oleh pandangan mata, penghadang itu telah berhasil

menyentil pedang lawannya, sehingga terdengar suara ?trinnggggg......!? yang nyaring bukan

main.

Dengan sendirinya, hal ini telah membuat orang itu terkejut lagi, sebab dia merasakan

pedangnya yang kena disentil itu telah terpental dan hampir terlepas dari cekalannya, karena

telapak tangannya dirasakannya pedih bukan main.

Dia telah melompat mundur dengan wajah yang pucat.

Tetapi orang yang menghadang rombongan tersebut rupanya tidak mau memberikan

kesempatan sama sekali, dia telah menggerakkan kedua tangannya.

"Beeerrrr......!" angin yang kuat bukan main telah meluncur kearah orang itu.

Tidak ampun lagi, tubuh orang itu kejengkang, rubuh terkulai dan diam tidak bergerak.

Terhenti juga napasnya. Dan dia telah berhenti menjadi manusia, karena nyawanya telah

melayang meninggalkan raganya.

Sisa keempat kawannya bukan main terkejutnya, mereka telah melihat dengaa mata kepala

sendiri betapa kedua kawannya telah dibuat tidak berdaya begitu mudah oleh penghadang

mereka. Malah kedua orang itu telah dapat dibinasakan hanya dengan diserang mempergunakan

tenaga dalam dan menyerang dari jarak jauh.

Hal ini memperlihatkan bahwa tenaga dalam yang dimiliki orang itu bukan main hebatnya.

"Si..... siapa kau?" bentak salah seorang dari keempat penunggang kuda itu, suaranya agak

tergetar, karena amarah bercampur juga perasaan jeri.

Orang yang menghadang rombongan itu telah tertawa dingin.

"Hemmm...... kalian pernah mendengar nama Giok Bian Gin Kiam (Si Pedang Perak

bermuka Kumala)....?" bertanya orang itu dengan suara yang dingin. "Itulah aku.......!"

"Hah?!" keempat orang itu telah jadi terkejut bukan main.

Semangat mereka seperti juga meninggalkan raga mereka, kedua lutut mereka tampak

tergetar. Tampaknya mereka lemas hampir tidak bisa berdiri.

Giok Bian Gin Kiam merupakan seorang iblis yang sangat tangguh sekali.

Boleh di bilang, selama ini Giok Bian Gin Kiam Siauw Cu Lung tidak pernah menemui

tandingan. Dia malang melintang dengan segala angkara murka yang dimilikinya. Setiap orang

yang tidak disenanginya, pasti akan dibunuhnya.

Dan keempat orang penunggang kuda ini tadi telah melihatnya, bahwa nama besar dari si

iblis Giok Bian Gin Kiam Siauw Cu Lung ini memang bukan nama kosong belaka, sebab kedua

kawan mereka tadi dengan begitu mudah telah kena dirubuhkan oleh si iblis.

Melihat keempat orang itu seperti bengong dengan muka yang pucat dan memperlihatkan

sikap yang jeri, Giok Bian Gin Kiam telah tertawa mengejek.

"Apakah kalian masih tidak mau cepat-cepat meninggalkan barang kalian....?" tegurnya

dengan suara yang bengis.

Sepasang alis dari keempat orang ini jadi bergerak berdiri, mereka setidak-tidaknya

memiliki nama yang tidak kecil didalam rimba persilatan.

Walaupun hati mereka jeri, tetapi disebabkan sakit hati melihat kedua kawan mereka yang

telah terbinasa dengan cara yang begitu mengerikan, tentu saja membuat mereka jadi murka

tidak kepalang. Dan mereka jadi berbalik nekad.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

5 Book - Kolektor E

"Baiklah Giok Bian Gin Kiam, walaupun kami harus mati ditanganmu, tetapi kau juga

harus mampus ditangan kami!!" teriak salah seorang dari keempat penunggang kuda itu.

Dan dia bukan hanya membentak begitu sebab dengan cepat sekali dia telah menjejakkan

kakinya.

Tubuhnya bagaikan terbang telah melesat ditengah udara, dan membarengi mana dia telah

menggerakkan pedang ditangannya.

Gerakan yang dilakukannya itu sangat cepat sekali, sebab pedangnya segera juga

mengancam akan menikam dada dari Giok Bian Gin Kiam.

Gerakan mana sesungguhnya merupakan gerakan untuk mengadu jiwa dengan pihak

lawan, maka sangat berbahaya sekali.

Tetapi Giok Bian Gin Kiam Siauw Cu Lung sangat tenang sekali.

Dia memandangi saja betapa pedang yang tengah meluncur menyambar kearahnya itu.

Dan ketika mata pedang hanya terpisah beberapa dim saja, dengan gerakan yang cepat dia

telah mementang mulutnya, dan memiringkan kepalanya, tahu-tahu dia telah menggigit pedang

itu.

Gigitannya keras bukan main.

Pedang itu sampai tidak bisa bergerak lagi.

Dan membarengi mana, dia telah menggerakkan kedua telapak tangannya.

"Weeeerrrrr.....!"

Serangkum angin serangan yang hebat sekali, bagaikan runtuhnya gunung, telah

menyambar dada dari penyerangnya.

"Bledakkkkk!"

Dada orang itu telah kena disambar oleh tenaga serangan Giok Bian Gin Kiam.

Seketika itu juga tubuh orang yang melancarkan serangan dengan mempergunakan pedang

itu, telah terpental keras sekali.

Seketika itu pula tubuhnya telah terlambung dan pedangnya tetap tergigit oleh Giok Bian

Gin Kiam. Waktu tubuh orang itu terjungkal keras terbanting ditanah, maka batang lehernya

telah patah, dadanya telah melesak dan juga mukanya telah hitam legam.

Napasnya telah terhentikan ketika tubuhnya tadi masih melayang di udara.

Ketika kawannya mengeluarkan suara jeritan kalap dan mereka telah melompat menerjang

kearah Giok Bian Gin Kiam dengan serangan pedang mereka.

Dari tiga jurusan mereka telah mengepung Giok Bian Gin Kiam, tetapi mereka tidak

berdaya sama sekali. Belum lagi satu jurus, belum lagi pedang mereka itu dapat meluncur

mendekati tubuh Giok Bian Gin Kiam, dengan cepat sekali Siauw Cu Lung telah menggerakkan

sepasang tangannya, seketika itu juga sekitar tubuhnya seperti dikurung oleh serangkum angin

yang sangat kuat sekali.

Dan kejadian yang hebat telah terjadi lagi pada saat itu.

Terdengar suara jeritan yang menyayatkan dari ketiga orang yang bersenjata pedang itu.

Dan tubuh mereka tampak telah terpental, lalu menggeletak tidak bergerak lagi. Diam

kaku.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

6 Book - Kolektor E

Karena merekapun telah menyusul ketiga kawan mereka lainnya, yang telah terlebih

dahulu telah pergi keakherat itu.

Giok Bian Gin Kiam memperdengarkan suara dengusan, kemudian dia berjongkok. Satu

persatu mayat-mayat itu diperiksainya dengan teliti.

Seluruh pauwhok (buntalan) dari keenam orang itu telah dibukai.

Tetapi tidak ada satu barangpun yang diambilnya, uang atau permata tidak

diperhatikannya.

Giok Bian Gin Kiam seperti juga tengah mencari sesuatu dan mukanya jadi murung waktu
Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah memeriksa keenam mayat itu dan tidak menemui barang yang diinginkannya itu.....!

Dia berdiam sejenak ditempat itu, berdiri mematung dengan wajah yang muram.

Matanya memancarkan sinar aneh, dan waktu dia mengeluarkan suara siulan yang panjang,

kedua kakinya telah menjejak tanah, tubuhnya mencelat cepat sekali, didalam waktu sekejap

mata saja, di telah lenyap dari pandangan mata.

Yang tertinggal ditempat itu hanyalah keenam sosok mayat yang menggeletak tidak

bernapas lagi.... hanya kesunyian belaka yang terdapat ditempat itu.....

Menjelang sore harinya, keenam sosok tubuh itu masih menggeletak diam ditempat

semula, karena sejak tadi tidak ada juga orang yang lewat ditempat tersebut. Dan diwaktu malam

akan tiba itu, tiba-tiba salah satu dari keenam mayat itu telah bergerak perlahan, disusul oleh

suara erangannya, seperti rintih kesakitan bukan main.

Dia telah membuka sepasang matanya, dan melihat kelima sosok mayat lainnya.

Mukanya tampak meringis, dan hilang harapannya, karena dia segera menyadarinya bahwa

kelima kawannya telah terbinasa ditangan Giok Bian Gin Kiam.

Dan secara kebetulan saja, tadi dia cuma pingsan, walaupun lukanya terlalu hebat, dengan

dada yang melesak dan tulang-tulang dada yang telah patah, namun disebabkan tenaga

lwekangnya yang tinggi sekali, dengan sendirinya dia belum menghembuskan napasnya....!

Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaga yang masih terdapat pada dirinya dan dengan

menahan perasaan sakit yang bukan main, orang ini telah berusaha untuk merangkak bangun.

Tetapi sepasang lututnya telah gemetaran keras sekali. Dia tidak berdaya untuk berdiri.

Karena luka yang dideritanya itu sangat berat sekali.

Dengan pandangan mata nanar, dia memandang sekitar tempat itu.

Sunyi sekali, tidak terlihat sebuah rumah pendudukpun juga.

Dan tampak keenam kuda tunggangan mereka masih berada ditempat itu.

Walaupun keenam binatang tunggangan itu berdiri agak jauh, tetapi hal itu bisa membantu

banyak pada diri orang yang satu ini.

Dia telah bersiul, walaupun siulannya itu serak dan sumbang, namun telah menyebabkan

salah seekor dari keenam kuda itu menghampirinya.

Orang yang sedang dalam keadaan sekarat ini telah mengulurkan tangannya.

Dia mencekal tali pelana yang terjuntai, dia menghentaknya.

Dengan meminjam tenaga gentakannya itu, maka dia bisa berdiri.

Dengan bersusah payah, akhirnya dia berusaha untuk dapat menunggangi kudanya.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

7 Book - Kolektor E

Kuda tersebut seperti juga mengerti maksud majikannya yang tengah terluka parah itu.

Binatang tunggangan itu telah menekuk kedua kaki depannya, sehingga tubuhnya agak

merendah.

Dan akhirnya orang itu telah berhasil menaiki kuda tunggangannya. Dia menggemblok

dipunggung kuda itu tanpa memiliki tenaga pula.

"Pulang...... Sie-ma!" bisiknya pada kuda itu, yang memang merupakan kuda

tunggangannya.

Binatang tersebut mengerti perkataan majikannya.

Dengan cepat dia telah berlari.

Tanpa dikendalikan oleh orang yang menggemblok dipunggungnya, kuda itu mengetahui

kearah mana dia harus berlari. Sedangkan orang yang menungganginya itu, telah jatuh pingsan

tidak sadarkan diri. Hanya tubuhnya saja yang menggemblok diatas kuda tunggangannya itu.

Dan binatang tunggangan itu telah berlari kearah jurusan barat, kearah kota Pay-hoa-kwan.

Sedangkan orang yang berada dipunggung kuda itu, sudah tidak mengetahui, kearah mana

kuda tunggangannya ini berlari.......

*

* *

KETIKA orang yang dadanya terluka berat nan melesak dengan tulang-tulang iganya dan

dadanya yang telah berantakan patah itu membuka matanya, pandangan matanya itu kabur

sekali, dia tidak bisa melihat jelas.

"A.... air.... air....." dia mengeluh dengan suara yang tersendat.

"Papa (ayah)....!" terdengar seruan seorang anak lelaki kecil.

Lelaki yang tengah terluka parah itu mengenali, itulah suara anak tunggalnya. Song-jie

(anak Song). Juga samar-samar lelaki itu mendengar isak tangis dari seorang wanita. Lelaki ini

menyadarinya, bahwa dia telah terbaring dirumahnya dibawa pulang oleh kuda tunggangannya

yang jinak itu. Dan yang sedang menangis itu tentu isterinya, Hwie Lan.

Dirasakan bibirnya dingin sekali, beberapa tetes air membasahi bibirnya.

"Lokung (suami)...... kau tidak boleh terlalu banyak minurn air dulu, keadaanmu sangat...

sangat menguatirkan sekali.......!!" suara seorang wanita didengarnya, dan itu memang suara

isterinya.

Setelah ada beberapa tetes air yang membasahi bibirnya, semangat lelaki ini seperti juga

terbangun.

"Lan-moy (adik Lan)... apakah ada orang lain diruangan ini?" tanyanya dengan suara yang

gemetar saking menahan perasaan sakit pada dadanya.

"Ti... tidak...!" menyahuti Hwie Lan. "Hanya aku dan Song-jie saja...!"

"Aku... aku harap nanti Song-jie setelah dewasa dapat membalas sakit hatiku ini...!" kata

orang itu dengan suara gemetar.

"Siapa yang telah mencelakaimu, Lokung?" tanya Hwie Lan dengan suara terisak diantara

tangisnya.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

8 Book - Kolektor E

"Giok... Giok Bian Gin... Kiam...!" menyahuti si suami. "Dan... dan... dia memiliki

kepandaian yang sangat tinggi sekali... nanti kalan Song-jie telah dewasa, kau harus

menceritakan padanya siapa musuh besarnya...!"

Hwie Lan mengangguk mengiyakan di antara isak dan tangisnya itu.

"Dan... dan..." berpesan si suami pula. Tetapi baru berkata sampai di situ, napasnya sudah

naik sampai dilehernya, sehingga untuk sejenak dia kegelapan tidak bisa bernapas.

"Lokung! Lokung!" sesambatan wanita itu.

"Papa! Papa!!" teriak si Song-jie dengan suara tersendat tangisnya. Dialah seorang anak

lelaki yang mungil baru berusia enam tahun. Tetapi melihat penderitaan ayahnya itu, dia jadi

begitu berduka.

Sesaat kemudian, lelaki yang terluka parah itu telah dapat bernapas kembali. Lalu katanya

dengan suara terputus-putus. "Barang itu.... barang itu terdapat didalam jahitan pelana kudaku.....

Harap kau simpan pelana itu.... dan nanti setelah Song-jie dewasa, kau berikan pelana itu agar

dia memeriksanya...!!"

Dan berkata sampai disitu, bibir lelaki tersebut telah bergerak-gerak perlahan, kata-katanya

yang selanjutnya sudah tidak terdengar.

Dan ketika bibirnya itu berhenti bergerak-gerak, napasnya juga berhenti pula.

Terdengar suara jerit dan tangis menyayatkan hati dari isterinya.

Begitu juga si Song-jie itu jadi menangis terisak-isak.

Tetapi lelaki tersebut telah menghembuskan napasnya yang penghabisan.

Sesungguhnya, lelaki ini she Ma dan bernama Wie An. Gelarnya It Kun Kiehiap (Pendekar

Pukulan Tunggal). Namanya sangat harum sekali didalam rimba persilatan. Cuma saja, sebagai

orang yang berhati welas asih, biarpun dia telah mempunyai seorang isteri dan putra tunggal

yang diberi nama Eng Song, nyatanya dia masih suka berkelana untuk melakukan kebajikan

membela yang lemah.

Dengan tidak terduga, dia telah mendengar suatu kabar rahasia, bahwa disebelah utara dari

pintu barat ibukota, tersimpan suatu pusaka yang sangat langka didalam rimba persilatan. Maka

bersama-sama dengan lima orang saudara seperguruannya, dia telah melakukan penyelidikan

selama dua bulan. Ternyata dia telah berhasil menemui benda pusaka itu. Namun siapa sangka,

dalam perjalanan pulang, justeru mereka telah dihadang oleh Giok Bian Gin Kiam, dan berhasil

dibinasakan kelima saudara seperguruannya, dan juga telah membuat dia terluka parah, sampai

akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir juga setelah meninggalkan pesan terakhirnya

pada sang isteri.

Dengan ucapan sederhana, dibantu oleh beberapa orang tetangga, jenasah dari pendekar

she Ma itu telah dikubur dan pelana kuda yang disebut menyimpan benda ?pusaka? itu, telah

disimpan baik-baik oleh Hwie Lan.

Hari demi hari telah lewat.

Untuk melewati penghidupan dan biaya sehari-hari maka Hwie Lan telah bekerja sebagai

penjahit pakaian, dan menerima cucian juga.

Dia bermaksud akan membesarkaa Song-jie, agar kelak setelah dewasa, dia baru akan

menceritakan seluruh peristiwa yang telah menimpah ayahnya itu.

Song-jie juga merupakan seorang anak yang patuh terhadap kata-kata orang tua. Dia sangat

rajin sekali membantui ibunya. Setiap paginya Song-jie yang telah menimbakan air untuk

mencuci baju orang. Siangnya, Song-jie telah berusaha bekerja sebagai tukang angon kambing,

untuk mencari tambahan uang nafkah mereka ibu dan anak.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

9 Book - Kolektor E

Hwie Lan yang melihat sikap Song-jie yang demikian baik, sering jadi menitikan air mata.

Karena dia selalu teringat suaminya sang telah meninggal itu jika melthat Song-jie. Kedukaan

yang datangnya sangat hebat itu dan dari hari kehari telah memakan hati perempuan itu. Sampai

akhirnya setahun kemudian Hwie Lan juga telah meninggal dunia disebabkan hatinya meleres.

Tetapi sebelum meninggal, sang ibunya telah berpesan pada Ma Eng Song, bahwa kalau Eng

Song sudah dewasa, harus memeriksa pelana kuda mendiang ayahnya itu. Dan Hwie Lan

meninggalkan pesan juga, agar pelana itu disimpan baik-baik. Juga disebutkan oleh ibu Eng

Song ini, bahwa orang yang telah membunuh Ma Wie An, ayah Eng Song, adalah Giok Bian Gin

Kiam. Nama pembunuh itu tidak diketahui oleh Hwie Lan, karena suaminya juga tidak

menyebutnya, hanya mengatakan gelaran pembunuhnya itu.

Sambil menangis terisak-isak Eng Soag telah mendengarkan semua pesan terakhir ibunya.

Dan air matanya tambah banyak saja mengalir keluar waktu ibunya ini telah menghembuskan

napas yang terakhir.

Bagitulah, dengan dibantu oleh para tetangga, jenasah ibunya telah dikubur.

Eng Songpun menjadi anak yatim piatu, hidupnya jadi tidak terurus.

Untuk bertahan hidup terus, dia mencari makan dengan bekerja pada Bie Wanggwe

(hartawan she Bie) dengan mengangon kambing-kambingnya setiap hari. Upah yang diterimanya

sangat kecil sekali.

Tetapi karena Song-jie memang masih terlalu kecil, maka dia tidak tahu pekerjaan apa lagi

yang bisa dilakukannya, karena dia belum memiliki tenaga yang berarti.

Hari demi hari lewat lagi, tanpa terasa sudah tiga bulan.

Selama itu, tubuh Eng Song jadi kurus kering sekali, karena selain dia makan kurang, lagi

pula sering disiksa oleh majikannya.

Pertama kali dia bekerja, memang majikannya memperlakukan dia baik sekali.

Namun hari demi hari lewat begitu pula perobahan terjadi pada majikannya itu.

Hartawan kaya raya Bie Seng Kian ternyata merupakan seorang hartawan yang bengis

sekali.

Kalau memang Eng Song terlambat pulang mengangon kambingnya itu, pasti dia akan

dipecut beberapa kali membuat kulit punggungnya terkadang jadi terluka berat.

Juga disamping itu, kalau sampai ada kambing yang hilang, tentu Song-jie akan disiksa

sampai setengah mati. Terkadang saking hebat siksaan yang diterima oleh Eng Song, membuat

dia tidak bisa bangun dari pembaringannya.

Tetapi majikannya itu ternyata memang seorang yang sangat kejam.

Kalau sampai siang hari dia tidak juga melihat Eng Song keluar dari kamarnya yang kecil

dan bau apek dekat kandang kambing, maka majikannya itu akam mendatanginya, dan

menyeretnya keluar dari kamar itu.

"Kau kira aku memberi kau makan dan gaji untuk tidur seperti seekor babi begitu, heh?"

selalu majikannya membentak dan memaki kasar.

Eng Song tidak berdaya menghadapi kebengisan majikannya ini.

Hanya secara diam-diam dia sering menitikkan air mata. Dengan menahan rasa sakit pada

sekujur tubuhnya, Eng Song harus juga mengangon kambing itu. Sinar matahari yang terik tentu

saja menimbulkan perasaan tidak enak dan menyiksa pada luka-lukanya karena siksaan kemarin

malam.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

10

Kolektor E-Book

Tetapi karena dia memang seorang yatim yang sudah tidak ada orang untuk di mintai

perlindungannya, dia jadi tidak berdaya. Segala penderitaan ditelan begitu saja.

Seperti pagi itu, tampak Eng Song telah pergi mengangon kambing-kambing milik

hartawan kaya raya Bie Seng Kian yang kejam dan begis itu.

Pada mukanya tampak tanda-tanda biru kehitam-hitaman, mungkin semalam dia telah kena

dihajar dan disiksa oleh majikannya pula.

Dia mengangon kambing-kambingnya itu ketanah lapangan rumput yang terletak begitu

berjauhan dengan pintu kota.

Di sebuah batu gunung yang terdapat ditempat itu, Eng Song duduk termenung.

Dia telah membiarkan kambing-kambing itu memakan rerumputan, dan pikiran si bocah

jadi menerawang.

Sekarang dia telah berusia tujuh tahun. Sudah setahun lebih ayahnya meninggal. Dan

ibunya meninggal baru beberapa bulan yang lalu.
Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun penderitaan hidup yang diterimanya bukan main menyiksa dirinya.

Harta miliknya yang masih menjadi punyanya, hanyalah pelana kuda peninggalan ayahnya.

Sedangkan rumah dan barang-barang ayahnya, telah dikuasai Bie Seng Kian, dengan alasan

kalau nanti Eng Song sudah besar, tentu akan diberikan kembali rumah dan barang warisan itu.

Tetapi sesungguhnya Bie Seng Kian hanyalah mendustai si bocah. Sesungguhnya hartawan

kaya raya itu sangat tamak sekali dan menginginkan rumah dari si bocah.

Penduduk disekitar tempat itu sebetulnya sangat gusar dan juga jengkel sekali melihat Eng

Song diperlakukan tidak baik oleh Bie Seng Kian, namun para penduduk tidak berdaya apa-apa,

sebagai seorang hartawan yang kaya raya Bie Seng Kian memiliki tukang pukul yang sangat

banyak dan galak sekali.

Pagi ini, Eng Song duduk termenung mengawasi gumpalan-gumpalan awan yang

bertebaran bebas. Dan gumpalan-gumpalan awan itu selalu berobah-robah bentuknya. Terkadang

seperti naga bergulung, terkadang bagaikan seekor burung bangau, serigala dan bentuk lainnya

lagi.

Tetapi hati Eng Song tidak tertarik melihat semua itu, karena dia tengah diliputi kedukaan

yang sangat.

Dan Eng Song merasakan, jika saja dia masih memiliki kedua orang tuanya, tentunya dia

tidak akan menderita demikian, tidak akan menerima siksaan dari Bie Seng Kian.

Setidak-tidaknya ayahnya sebagai seorang pendekar yang memiliki kepandaian yang

sangat tinggi, pasti tidak akan membiarkan anaknya itu diperlakukan demikian.

Tetapi sekarang.... ayahnya telah meninggal dunia dan tidak bisa mendampinginya.

Begitu pula ibunya....!

Dan Eng Song jadi menangis berduka sekali menyesali nasibnya.

Air matanya mengucur deras sekali. Dia menangis terisak-isak di batu yang didudukinya.

"Hemmm.... bagus ya.... aku menggajimu bukan untuk menangis begitu!" tiba-tiba Eng

Song dikejutkan oleh suara bentakan yang garang sekali. "Pantas saja kambing-kambingku telah

banyak yang hilang.... tidak tahunya kau tidak pernah memperhatikannya."

Dan baru saja Eng Song mau menoleh walaupun dia telah mengenali suara siapa itu,

namun dengan tidak terduga, punggungnya kena didupak sesuatu keras sekali, sakit bukan main

dirasakan olehnya, malah tubuhnya telah tersungkur kedepan ngusruk ketanah.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

11

Kolektor E-Book

"Bangun!!" suara membentak terdengar lebih keras dan bengis.

Dengan kesakitan yang sangat pada punggungnya yang seperti ingin patah, Eng Song telah

merangkak berdiri.

Dia melihatnya. Bie Seng Kian Wanggwe (hartawan Bie Seng Kian) dan dua orang tukang

pukulnya tengah menatap kearahnya dengan garang.

"Hemmm... sekarang telah terbuka kedokmu!" kata Bie Seng Kian Wanggwe dengan suara

yang bengis. "Dengan apa kau ingin mengganti kambing-kambing yang hilang, heh? Kalau kau

terus menerus begitu, tentunya aku yang akan menderita rugi tidak hentinya...!!"

Eng Song tidak berdaya, dia hanya menundukan kepalanya saja.

Hatinya sakit bukan main, dia jadi sangat membenci bukan main hartawan kaya raya yang

bengis ini. Air matanya menitik turun membasahi pipinya.

Melihat ini Bie Wanggwe telah tertawa dingin.

Dia melirik kearah salah seorang tukang pukulnya yang berdiri disebelah kiri. Tukang

kepruk itu seorang yang bertubuh tinggi besar dan memiliki muka yang garang.

Melihat isyarat dari majikannya, dia telah melangkah lebar menghampiri Eng Song.

Karena tukang kepruk ini sudah mengetahui apa yang diinginkan oleh majikannya.

Dengan kasar tahu-tahu dia telah menyambak rambut Eng Song, dan tahu-tahu dia telah

mendorong kebawahnya, sehingga kepala Eng Song tertunduk.

Dan dikaka itu, tukang kepruk dari hartawan Bie Seng Kian ini telah mengangkat kaki

kanannya, dengan sendirinya muka Eng Song jadi menghajar telak sekali lutut orang yang

menyiksanya itu.

Kontan darah muncrat keluar dari hidung Eng Song.

Rasa sakit yang bukan main juga telah membuat kepalanya jadi pusing sekali, dengan mata

yang nanar.

Tetapi Eng Song tidak menjerit kesakitan, dia berdiam diri saja.

Karena bocah ini menyadari, menjerit-jerit kesakitan juga percuma.

Karena orang-orang yang ada dihadapannya ini semuanya manusia-manusia yang berhati

serigala.

Dengan sendirinya, Eng Song hanya berdiam diri, hanya matanya mengawasi kearah Bie

Seng Kian dengan sorot mata membenci sekali.

"Hihihihi......!" tertawa Bie Seng Kian dengan suara yang menakutkan. "Rupanya kau

masih memiliki sikap untuk melawan, heh?"

Dan dia telah mengangkat tangannya, mengisyaratkan tukang pukulnya itu.

Dengan tertawa menyeramkan, tukang pukulnya Bie Seng Kian telah mencengkeram baju

Eng Song.

Diangkatnya tubuh si bocah, kemudian dia telah melemparkannya ketengah udara.

Seketika itu juga tubuh Eng Song melayang ditengah-tengah udara dan terbanting keras

ditanah.

Rasa sakit yang bukan main telah meliputi tubuhnya, dia menggigit bibirnya menahan rasa

sakit yang bukan main.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

12

Kolektor E-Book

"Hemmmm........ kali ini sikap menantangmu aku ampuni!" kata Bie Seng Kian dengan

suara vang dingin sekali. "Tetapi aku sudah tidak mau melihat tampangmu itu lagi. Kau harus

segera angkat kaki dari tempat ini! Kalau dilain saat nanti aku melihat tampangmu itu masih

berkeliaran disekitar kota ini, hemmmm, disaat itu tentu jiwamu itu akan kukirim menemui Giam

Lo Ong! Nih tiga tail....... pergilah kau!!"

Itulah merupakan suatu pengusiran.

Segalanya memang telah direncanakaa oleh hartawan kaya dan jahat ini.

Dia memang telah mengatur rencananya demikian rupa.

Untuk menyerakai dan memiliki harta dan rumah keluarga Ma itu.

Dengan selalu mencari-cati kesalahan pada diri Ma Eng Song, berarti dia mempunyai

kesempatan untuk mengusir si bocah dari kota ini.

Dan dengan cara begitu, rumah dan harta benda peninggalan Mu Eng Song yang memang

cukup banyak, tentunya jatuh di tangan hartawan yang jahat ini.

Eng Song merangkak bangun.

Dia mengawasi uang yang tiga tail mengkeletak ditanah.

"Heh! Kau tidak mau mengambil uang itu? Kau pura-pura menjadi manusia yang tidak

doyan uang?" tegur hartawan kaya raya itu dengan suara yang bengis.

Karena dia menyangka bahwa Eng Song tentunya akan rewel menanyakan persoalan

rumahnya.

Tetapi saat itu, Eng Song telah memandang dingin padanya.

"Kalau memang Loya (tuan besar) mau, maka Loya boleh mengambil uang itu kembali,

karena aku tidak memerlukannya! Aku hanya mohon agar Loya mengijinkan aku mengambil

satu barangku saja...!"

Muka si hartawan jadi berobah merah padam, tanpaknya dia murka.

Tetapi ditahannya perasaan gusarnya itu, dia mengawasi tajam.

"Coba kau katakan, barang apa yang ingin kau minta itu?" tanya si hartawan she Bie ini

dengan suara yang bengis.

"Aku hanyn meminta agar Loya mengijinkan aku membawa pelana kuda dikamarku

itu....!" kata Eng Song.

Muka si hartawan kaya raya itu jadi berobah cerah.

"Hemmmm, pelana kuda yang telah butut itu?" tegur hartawan kaya itu dengan senyum

liciknya. "Baik! Baik! Aku ijinkan! Tetapi ingat, untuk selanjutnya, dan sampai kapanpun juga,

aku tidak mau melihat tampangmu lagi! Mengerti?"

Eng Song mengangguk.

"Aku akan pergi kesuatu tempat yang sangat jauh Loya...... dan tidak akan kembali

ketempat ini!"

"Bagus!!" berseru hartawan kaya raya itu. "Nah, cepat kau pergi ambil pelana kudamu

yang telah butut itu! Tetapi awas, kau jangan coba-coba ingin mencari barangku, walaupun

hanya satu potong."

Namun Eng Song sudah tidak mau banyak rewel, dia telah mengangguk saja, walaupun

hatinya mendongkol bukan main mendengar perkataan hartawan itu.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

13

Kolektor E-Book

Dengan menahan sakit pada muka dan tubuhnya akibat siksaan yang diterimanya, Eng

Song telah cepat-cepat kembali kekamarnya.

Dia telah mengambil pelana kuda warisan ayahnya.

Sedangkan hartawan she Bie itu juga bersama kedua tukang kepruknya telah mengikuti

dibelakangnya, mereka juga telah meninggalkan lapangan rumput itu.

Karena mereka takut kalau-kalau nanti Eng Song akan mengambil sepotong dua potong

barang milik hartawan kaya raya ini.

Dengan hanya membawa pelana kuda bekas itu, Eng Song telah meninggalkan kota itu.

Sedangkan uang yang tiga tail pemberian dari Bie Wanggwe tidak diambilnya.

? ? ooo O ooo ? ?

????????? 1 ?????????

DENGAN HATI penuh kedukaan Eng Song telah melakukan perjalanan meninggalkan

kota itu, karena dia anggap terlepasnya dia dari tangan Bie Seng Kian Wanggwe itu memang

jauh lebih baik.

Sebab dirinya tentu tidak akan menderita lagi disiksa terus menerus oleh hartawan kaya

raya tetapi bengis dan licik itu.

Menjelang sore hari, maka Eng Song telah tiba diluar kota Pay-hoa-kwan, sejauh dua

puluh lie. Tetapi waktu itu dia tidak melihat ada sebuah rumah disekitar tempat tersebut.

Keadaan sunyi sekali.

Si bocah memandang sekelilingnya, dia melihat ditepi jalan terdapat rerumputan yang agak

tebal. Maka bocah ini telah menghampiri tempat itu. Direbahkan tubuhnya yang penat bukan

main, didalam waktu yang sangat singkat, dia telah tertidur pulas.

Lapar yang dirasakan pada perutnya tidak diacuhkan, karena si bocah memang telah

kenyang terlalu menderita sekali dalam usianya yang masih muda.

Angin malam yang membuat Eng Song jadi menggigil kedinginan, memaksa di tengah

malam itu dia jadi terbangun dari tidurnya.

Keadaan disekitar tempat tersebut sangat sepi dan gelap sekali.

Sebagai seorang bocah cilik seperti Eng Song, jelas dia jadi takut dan ngeri.

Tetapi akhirnya dia nekad.

"Akhhhhh, paling tidak aku hanya dimakan binatang buas!" pikirnya. "Itu lebih baik kalau

dibandingkan dengan jatuhnya ditangan manusia berhati serigala seperti hartawan she Bie yang

jahat itu!!"

Dan dia merebahkan lagi tubuhnya, dia memejamkan matanya. Pelana kuda peninggalan

mendiang ayahnya dipergunakan untuk bantal kepalanya.

Tetapi hawa udara yang dingin menusuk tulang dimalam hari dalam keadaan udara terbuka

itu, membuat Eng Song tidak bisa tidur dengan baik.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

14

Kolektor E-Book

Berulang kali dia dikejutkan oleh suara yang membuat dia sering terbangun dan duduk.

Tetapi selama itu Eng Song tidak melihat makluk apapun juga disekitar dirinya.

Mungkin juga suara-suara yang sering didengarnya itu adalah suara binatang buas yang

berada dalam hutan yang memang tidak jauh letaknya dari tempat itu.

Karena beberapa kali dia memaksakan dirinya untuk tidur, dan selalu gagal, maka akhirnya

Eng Song telah duduk saja dibatu itu.

Dia duduk termenung mengingat akan nasibnya yang sangat buruk.

Coba kalau dia masih mempunyai ayah dan ibu, tentu tidak ada orang yang berani

menghina dirinya. Dan pedih sekali hatinya teringat akan hal itu.

"Namun aku harus berusaha untuk menjadi manusia yang kuat dan tangguh, aku harus

berusaha mencari seorang guru yang pandai, guna membalas sakit hati ayahku!! Nanti kalau aku

sudah dewasa, aku akan mencari musuh besar ayah...!!" pikiraya dengan semangat yang

menyala-nyala.

Dan pikiran serupa itu telah membuat Eng Song jadi berani untuk menerima kesengsaraan

yang bagaimanapun juga.

Maka dia telah menghela napas berulang kali.

Tetapi dikala dalam kesunyian seperti itu, tiba-tiba Eng Song dikejutkan oleh suara orang

yang menegurnya dengan lembut : "Apa yang kau pikirkan nak....?"

Eng Song saking kagetnya sampai melompat berdiri dan membalikkan tubuhnya.

Dia melihatnya seorang lelaki tua dengan jenggot yang panjang dan telah memutih itu,

tengah berdiri dengan senyuman yang ramah padanya.

Eng Song jadi gugup sekali, dia bertanya tergagap : "Si... siapa paman?"
Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang tua itu telah tersenyum.

"Aku seorang pengelana yang tidak menentu tempat tinggalku...!" katanya. "Dan kau

nak...... mengapa didalam kegelapan malam seperti ini kau keluyuran? Apakah kau sedang

dimarahi orang tuamu, sehingga ngambul dan melarikan diri? Itu bukan sifat yang baik.....!

Pulanglah kembali kerumah orang tuamu, kau tidak tahu keadaan diluar sangat berbahaya

sekali..... banyak orang jahat, dan juga binatang buas! Dimana rumahmu, biar kakek yang akan

mengantarkan kau pulang....!"

Mendengar perkataan si kakek yang begitu lembut dan halus, dan juga mengandung kasih

sayang, hati Eng Song jadi terharu sekali.

Sejak kematian kedua orang tuanya, kakek inilah pertama kali yang memberikan kasih

sayang dengan sikapnya yang begitu ramah.

Sedangkan hari-hari sebelumnya, Eng Song selalu memperoleh perlakuan yang kasar dan

siksaan-siksaan yang sangat kejam dari Bie Seng Kian Wanggwe dan orang-orangnya.

Tanpa terasa air matanya mengucur deras dan dia hanya bisa menundukkan kepalanya

tanpa dapat menjawab.

Kakek tua itu yang melihat si bocah menangis begitu, jadi terkejut.

"Ihhhh..... mengapa kau menangis nak? Ada suatu kesulitan?" sabar sekali suaranya.

Hati Eng Song jadi tambah berduka dan sedih saja, tangisnya semakin keras.

Si kakek tua telah menghela napas, dia menghampiri, dan mengelus rambut si bocah.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

15

Kolektor E-Book

"Anak..... hentikanlah tangismu, jangan membuat kakek jadi ikut sedih........!" katanya

sabar. "Nanti kalau kakek sudah bersedih hati dan ikut menangis, kau tidak mungkin

menghentikan tangis kakek yang akan panjang selama dua hari dua malam!"

Mendengar perkataan orang tua yang sabar itu, Eng Song jadi kaget dan agak lucu.

"Pa...... paman kalau menangis selalu dua hari dua malam" tanyanya sambil menyusut air

matanya.

Orang tua itu telah tersenyum sabar sambil mengangguk.

"Benar nak...... aku selalu akan menangis dua hari dua malam.... maka dari itu, kau jangan

menangis, nanti kakek bisa ikut-ikutan bersedih...!!" kata si kakek tua itu. "Nah, kau

ceritakanlah, kesulitan apa yang tengah kau hadapi, mungkin juga kakek bisa menolongnya....!"

Memperoleh sikap yang begitu menyayang dan penuh kasih, maka hati Eng Song jadi

menyukai orang tua ini.

Dia menceritakan semua pengalamannya dan keadaan dirinya yang sebenarnya.

Mendengar itu wajah si kakek jadi berobah muram.

"Hemmmmm.... manusia seperti Bie Wanggwe benar-benar bukan manusia, tetapi serigala

yang berkedok menusia! Bayangkan saja, seorang anak yatim piatu yang tengah kesusahan,

malah harta miliknya telah diserakahi begitu....!" dan dia menghela napas berulang kali. Tetapi

kemudian dia menyambungi kata-katanya lagi : "Biarlah nak.... harta di dunia ini tidak ada

gunanya... yang terpenting adalah hati kita yang kaya akan kasih dan sayang sesama manusia...!"

Eng Song mengangguk sambil mengucapkan terima kasih atas kata-kata si kakek tua itu.

"Ya paman... aku juga tidak menyesali rumah dan barang-barang mendiang ayahku itu

jatuh ditangan hartawan jahat itu, tetapi yang membuat aku suka bersedih, mengapa didalam usia

sekecil ini aku harus menghadapi percobaan hidup yang sangat berat?"

Mendengar perkataan Eng Song, kakek tua itu telah tersenyum.

"Bukannya percobaan hidup yang terlalu kejam, tetapi keadaan dilingkunganmu! Lagi pula

setiap manusia yang menerima percobaan hidup dengan nasib yang buruk, malah lebih baik,

karena jiwa dan pikirannya telah tergembleng, sehingga suatu saat dia memperoleh kebahagiaan

didalam dunia ini dia tidak lupa pada sesamanya yang masih dalam keadaan sengsara dan

menderita...!"

Kakek itu sesungguhnya telah mengeluarkan kata-kata Kongfucu, tetapi disebabkan dia

melihat yang diajak bicara itu hanyalah seorang bocah, maka kata-kata itu telah diperingan

olehnya, agar dimengerti oleh Eng Song.

Namun tidak di sangka-sangka Eng Song telah berkata.

"Kata-kata paman itu adalah Kongfucu dari kitab May Fung, bukan?" kata Eng Song

kemudian. Dan bunyi dari kata-kata itu selengkapnya demikian....!" dan Eng Song telah

menghafalnya diluar kepala.

Tentu saja kakek tua itu jadi terkejut.

Dia sampai melengak seperti orang kesima.

Namun akhirnya dia tertawa.

"Hebat kau anak!" katanya dengan girang. "Di dalam usia sekecil ini kau ternyata telah

dapat menghafal kata-kata berat seperti itu!"

Hati Eng Song girang memperoleh pujian dari si kakek tua tersebut.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

16

Kolektor E-Book

"Mendiang ibu yang telah mengajariku!" kata Eng Song kemudian.

"Oh...! Kalau kakek boleh tahu, siapakah mendiang ayahmu itu?"

"Ma Wie An...! menjelaskan Eng Song.

Kakek tua itu telah mengeluarkan suara seruan tertahan. "Ma Wie An yang bergelar It Kun

Kiehiap?" tanyanya dengan suara mengandung perasaan terkejut.

Eng Song yang melihat sikap kakek tua itu, jadi terkejut pula.

Tetapi dia telah mengangguk.

"Be..., benar paman.... apakah ada sesuatu yang tidak beres?!" tanya Eng Song.

Kakek tua itu telah menghela napas panjang, wajahnya jadi murung.

"Aku tidak menyangka sama sekali, bahwa It Kun Kiehiap bisa mati muda begitu di

celakai orang! Siapakah yang telah mencelakainya."

"Giok Bian Gin Kiam!" menjelaskan Eng Song. Gelaran orang yang membunuh ayahnya

itu memang selalu diingat benar oleh Eng Song.

"Hemmmm..... iblis itu memang memiliki tangan yang telengas sekali.... didalam rimba

persilatan, entah sudah berapa banyak korban-korbannya yang berjatuhan."

Dan berulang kali dia menghela napas.

Eng Song mengawasi si kakek tua itu, sampai akhirnya dengan wajah berduka, kakek tua

itu telah berkata : "Anak... sesungguhnya mendiang ayahmu itu merupakan seorang pendekar

yang sangat baik sekali! Lima tahun yang lalu, kakek pernah menerima pertolongannya!

Walaupun pertolongan itu kecil, namun sampai mati aku akan mengingatnya! Waktu lima tahun

yang lalu itu, disuatu malam hujan salju, aku tengah dikejar-kejar oleh musuhku yang tangguh
tangguh dan memiliki kepandaian yang tinggi sekali... karena dikeroyok, akhirnya aku bisa

dirubuhkan dan terluka parah. Namun ayahmu itu dengan mati-matian telah turun tangan muncul

menolongi aku dari orang-orang itu. Dengan segala daya dia telah menolongi aku dari kematian

dan menghindarkan diri dari musuh-musuhku itu! Kalau memang kau tidak mencela, aku mau

mengajakmu untuk berkelana bersama-sama denganku! Hemmmm, biar bagaimana budi ayahmu

itu akan selalu kukenang dan kau akan kuperlakukan sebaik mungkin, agar kelak kau bisa

memiliki kepandaian yang tinggi!"

Eng Song yang tadi mendengar kisah mengenai mendiang ayahnya jadi tertarik sekali.

"Lalu paman....... apakah ayah berhasil merubuhkan musuh-musuhmu itu?" tanya Eng

Song tertarik benar.

Kakek tua itu tersenyum ramah.

"Aku bukannya bicara sombong, aku saja telah dapat dilukai mereka, bagaimana aayhmu

bisa merubuhkan mereka? Kepandaianku jauh berada diatas kepandaian mendiang ayahmu!

Tetapi dengan penuh keberanian ayahmu itu telah membawa aku meloloskan diri dengan

berbagai aksi. Dan setelah bisa mengasoh berapa hari merawat luka-lukaku, aku sembuh dan aku

kemudian telah menyatroni musuh-musuhku itu, membasmi mereka.....!!"

"Oh....!" Eng Song kaget sekali, karena segera dia dapat menduga bahwa orang tua

dihadapannya ini ternyata seorang yang memiliki kepandain sangat tinggi sekali.

"Kau mau bukan untuk ikut bersamaku?" tanya kakek tua itu dengan suara yang ramah.

"Dan aku juga akan mengajarimu ilmu silat kelas tinggi....!"

Eng Song girang bukan main, cepat-cepat dia telah berlutut memberi hormat sambil

menganggukkan kepalanya.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

17

Kolektor E-Book

"Terima kasih atas perhatian paman..... entah bagaimana aku bisa membalas budi kebaikan

kau orang tua!!" kata si bocah terharu.

Kakek tua itu telah tersenyum sabar.

"Bangunlah anak...... menyesal sekali aku tidak bisa mengambil kau sebagai muridku,

karena aku pernah bersumpah tidak akan menerima seorang muridpun! Tetapi biarpun begitu,

walaupun kita tidak terikat oleh hubungan murid dan guru, aku berjanji akan menurunkan

seluruh ilmuku!!"

Eng Song mengucapkan terima kasihnya sekali lagi pada si kakek.

Kemudian mereka sama-sama meninggalkan tempat itu.

Sesungguhnya, kakek tua itu merupakan seorang tokoh rimba persilatan yang sangat tinggi

kepandaiannya. Dia merupakan seorang jago yang sukar diukur kepunsuannya. Hanya beberapa

orang saja, dan dapat dihitung oleh jari, yang bisa menandingi kepandaiannya.

Begitulah, Eng Song telah ikut kemana saja kakek tua yang sesungguhnya bernama Thio

Sun Kie dan bergelar Bu Eng Hiap (pendekar tanpa bayangan).

Orang menggelari kakek tua itu dengan gelaran Bu Eng Hiap, karena kakek ini memiliki

Gin-kang, ilmu meringankan tubuh, yang bukan main tinggi dan sempurnanya.

Sehingga kalau dia berlari, jangankan orang bisa melihat dirinya, sedangkan untuk melihat

warna bajunya saja tidak dapat.

Hal itu disebabkan larinya yang melebihi kecepatan angin.

Dengan sendirinya, didalam rimba persilatan jarang sekali dia mempunyai tandingan.

Dari kampung kekampung dari kota yang satu kekota lainnya, kakek tua itu telah mengajak

Eng Song untuk berkelana.

Dan setiap ada waktu yang senggang, jika mereka sampai ditempat yang sunyi, tentu

mereka akan beristirahat. Sambil menghilangkan letihnya itu, Thio Sun Kie telah menurunkan

kepandaiannya.

Dia telah mengajari Eng Song jurus demi jurus dengan hati-hati dan sabar sekali.

Dan yang membuat Thio Sun Kie girang bukan main, dia melihat Eng Song memiliki

kecerdasan yang bukan main.

Setiap jurus yang dipelajari padanya, tidak perlu memakan waktu terlalu lama.

Dengan mudah Eng Song dapat menangkap pelajaran itu dan dapat menguasainya.

Thio Sun Kie jadi tambah bersemangat untuk mendidik Eng Song.

Karena dia melihat bahwa bocah ini memiliki kesempatan untuk menjadi seorang pendekar

yang memilili kepandaian tinggi kelaknya.

Dan juga Thio Sun Kie telah mulai menurunkan ilmu mempergunakan senjata pada Eng

Song.

Seluruh pelajaran yang diturunkan oleh Thio Sun Kie, telah dilahap dengan cepat oleh Eng

Song.

Di dalam tempo tiga bulan saja, kepandaian Eng Song sudah lumayan.

Baru untuk menghadapi anak sebaya dia atau juga orang yang memiliki kepandaian

tanggung-tanggung, tentu tidak akan sanggup menghadapi dan melayani Eng Song.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

18

Kolektor E-Book

Pagi itu, mereka, Thio Sun Kie dan Eng Song, tiba dimulut kota Sung-kwan-kwan.

Kota ini merupakan kota yang tidak begitu besar, namun sangat ramai dan penduduk kota

ini sangat padat.

Thio Siun Kie mengajak Eng Song untuk singgah diwarung arak yang terdapat dimulut

kota ini.

Si kakek tua she Thio itu telah memesan beberapa kati air teh, dia juga memesan sarapan

pagi.

Pelayan mengantarkan barang pesanan mereka dengan cepat.

Eng Song melihat para tamu yang berdatangan diwarung arak ini sangat ramai sekali.

Dari pakaian para pengunjung warung arak itu, Eng Song juga bisa melihatnya, bahwa

mereka terdiri dari berbagai golongan.

Ada yang berpakaian sebagai pelajar, sebagai busu (guru silat), piauwsu (pengiring barang

piauw, sama seperti sekarang ini exspedisi). Mereka semuanya tengah asyik menikmati makanan

mereka.

Sedangkan Thio Sun Kie juga telah menikmati makanannya bersama dengan Eng Song.

Tetapi, ketika mereka tengah menikmati santapan mereka itu, tahu-tahu Thio Sun Kie telah

menyentuh kaki Eng Song dengan ujung kakinya.

"Ada sesuatu yang akan terjadi di ruangan ini!" bisiknya dengan suara yang perlahan

sekali.

Eng Song jadi heran.

Dia melirik kesekelilingnya.

Si bocah tidak melihat sesuatu apapun juga, karena semua tamu tengah menikmati

makanannya.

Namun baru saja Eng Song mau bertanya pada kakek she Thio itu, tiba-tiba terdengar

suara orang berteriak : "Bangsat! Siapa yang telah mengambil buntalanku?!"
Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara teriakan itu sangat keras sekali, rupanya orang yang berteriak itu tengah murka

bukan main.

Malah Eng Song mendengar suara meja telah digebrak keras sekali.

Eng Song meliriknya.

Dia melihat tamu yang menduduki meja terpisah enam meja darinya, seorang lelaki

berewok dengan muka yang kasar dan tubuh yang tinggi besar, telah menggeprak meja dengan

penuh kegusaran.

Wajahnya juga merah padam, memperlihatkan bahwa lelaki itu tengah diamuk oleh

perasaan penasaran sekali. Bola matanya telah mencilak-cilak memandang sekelilingnya.

"Jangan memandangi dia!" Thio Sun Kie memperingati.

Eng Song tersadar dengan cepat.

Dia telah menundukkan kepalanya lagi dan meneruskan makannya.

Saat itu, orang yang mukanya berewok dan bengis itu, telah berdiri dari duduknya.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

19

Kolektor E-Book

Matanya mengawasi mendelik pada seorang pemuda yang berpakaian serba putih sebagai

seorang siucai (pelajar), yang tengah menikmati makannya dua meja dari meja orang bermuka

kasar itu.

"Hei!" bentak orang berewok itu sambil menggebrak meja pemuda pelajar itu.

"Branggggg.....!" mangkok sayur dari pemuda pelajar itu jadi terbalik.

Dan pemuda pelajar yang tampan, paling tidak berusia diantara tiga puluh tahun, telah

mengangkat kepalanya. Dia menatap dingin.

"Mengapa kau tidak hujan tidak angin mengamuk-ngamuk begitu rupa?" tegurnya tidak

senang. Sepasang alisnya juga telah mengkerut dalam-dalam.

Tetapi orang yang berewok dan memiliki wajah yang bengis itu telah tertawa dingin.

"Hemmmmm..... kau masih mau pura-pura?" bentaknya dengan suara sengit. "Kau mau

kembalikan atau tidak buntalanku?!"

Muka pemuda yang tampan itu jadi berobah seketika, karena tampaknya dia gusar sekali.

"Hei kerbau hitam liar, kau jangan sembarangan menuduh orang tanpa bukti! Hati-hati

dengan mulutmu itu, bisa-bisa nanti ku tampar sampai copot gigimu!" kata sipemuda pelajar itu

dengan suara yang nadanya keras, karena diapun tampaknya jadi gusar sekali.

Mata orang yang berewok itu, telah merah memancarkan sorot kemurkaan yang sangat.

Mendengar dirinya disebut sebagai kerbau hitam liar, tentu saja dia jadi murka.

Dengan mengeluarkan suara bentakan yang keras, tahu-tahu tangan kanannya telah

bergerak akan menempiling muka pelajar muda itu.

Tetapi si pelajar muda itu tetap duduk tenang-tenang ditempatnya.

Dia tidak berkisar sedikitpun dari kursinya itu, malah dia tak memperlihatkan sikap jeri

sedikitpun juga.

Diawasinya tangan si berewok yang tengah menyambar kearah mukanya.

Waktu tangan lelaki berewok itu akan tiba, maka dengan cepat dia mengangkat tangan

kanannya.

Tahu-tahu tangan dari lelaki berewok itu telah kena dicekalnya.

Tetapi lelaki pelajar yang tampan itu bukan hanya khusus mencekal saja.

Sebab dengan cepat dia telah menarik tangan lelaki berewok itu.

Dengan sendirinya tubuh lelaki berewok yang mukanya mengerikan itu, telah doyong

kedepan tertarik oleh kekuatan tenaga pelajar itu.

Dan mempergunakan kesempatan disaat tubuh lelaki berewok itu doyong kedepan, dengan

cepat Siucai itu menekuk tangannya itu.

Telak sekali sikutnya telah menghajar mulut dari lelaki berewok tersebut.

"Tukkkkk!!"

"Aduhhhh!!"

Suara jeritan dari lelaki berewok itu keras sekali, karena dia merasa kesakitan yang bukan

main pada mulutnya yang kena dihajar telak sikut pelajar itu.

Malah darah segera mengucur keluar, karena dua giginya seketika itu telah rontok.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

20

Kolektor E-Book

Dan setelah menyikut begitu. malah pemuda pelajar tersebut tidak menghabiskan sampai

disitu saja, dia malah telah mendorong tangan lelaki berewok tersebut.

Tanpa bisa ditahan lagi, tubuh lelaki berewok itu telah terdorong kebelakang, dia

kejengkang dan rubuh terguling diatas lantai.

Keributan yang terjadi ini tentu saja mengejutkan tamu-tamu lainnya.

Mereka segera berhamburan keluar dari ruangan warung arak.

Hanya beberapa orang saja diantara tamu-tamu itu yang memiliki keberanian cukup besar

yang masih tetap berdiam didalam ruangan warung arak itu, untuk ikut menyaksikan keramaian

yang tentunya akan terjadi.

Dengan penuh kemurkaan, dan muka yang merah padam, sampai muka lelaki berewok itu

yang memangnya telah hitam, bertambah hitam saja. Matanya juga memancarkan sinar yang

menakutkan bukan main.

"Bangsat...!" teriaknya dengan penuh kekalapan melihat darah dari mulutnya itu, dimana

giginya rontok dua. "Kau mau main-main dengan tuan besarmu, heh?"

Dan sambil membentak begitu, dia telah melompat dengan kalap.

Lompatan itu merupakan terjangan yang mengandung kekuatan yang bukan main.

Dia menerjang dengan sepasang tangan yang telah diulurkan untuk mencengkeram leher

pemuda pelajar itu. Mungkin juga maksudnya ingin mencekiknya.

Tetapi Siucai itu telah mengeluarkan suara tertawa mengejek.

"Hemmm...!" ejeknya. "Kau benar-benar manusia tidak tahu diri!"

Dan sambil berkata begitu, dia telah mengambil sumpit diatas mejanya.

Tahu-tahu sumpit itu telah diayunkan ke muka orang berewok itu.

Tentu saja lelaki berewok itu jadi terkejut sekali.

Tubuhnya tengah nyelonong untuk mencekik begitu, kalau dia meneruskan, tentu dia bisa

berbahaya bukan main, karena ujung sumpit itu telah mengincar matanya.

Saking kagetnya lelaki berewok telah mengeluarkan suara seruan tertahan.

Mati-matian dia berusaha menahan langkah kakinya, dan malah dia jadi gagal untuk

mencekik Siucai itu, melainkan dia telah merobah jurusan dan arah dari kedua tangannya, dia

menyampok sumpit itu.

"Takkkk!"

Sumpit telah kena dihajarnya telak sekali.

Namun bukannya sumpit itu yang terlepas dari cekalan tangan si pelajar, malah lelaki

dengan muka berewok itu yang telah mengeluarkan suara jeritan yang sangat keras dan

melompat mundur. Tangan kirinya memegangi dan mengusap-usap tangan kanannya.

Karena dia merasa kesakitan bukan main pada tangan kanannya itu.

Rupanya, Siucai itu dengan gerakan yang manis telah menggerakkan sumpitnya waktu dia

melihat orang berewok itu merobah cara menyerangnya dan membatalkan untuk mencekiknya.

Maka Siucai itu juga telah menghantam pergelangan tangan kanan dari lelaki berewok itu.

Keras sekali ketukannya itu.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

21

Kolektor E-Book

Walaupun sesungguhnya sumpit itu terbuat dari kayu belaka, namun ditangan Siucai itu,

sumpit tersebut jadi sangat kuat bukan main, mungkin melebihi kekuatan baja. Karena pemuda

pelajar itu telah mengerahkan dan menyalurkan tenaga Lwe-kangnya pada sumpit itu.

Dengan muka yang sebentar berobah pucat dan sebentar berobah merah padam, lelaki yang

mukanya berewok itu telah membentak gusar :

"Siapa kau sesungguhnya bocah?!" suaranya bengis bukan main.

Pelajar itu tetap duduk tenang-tenang di tempat duduknya.

"Hemmmm, selera makanku telah terganggu oleh serudukan gila dari kerbau hitam liar!"

mengumam pemuda pelajar itu dengan dingin, dia tidak mengacuhkan lelaki yang mukanya

berewokan itu.

Tentu saja lelaki yang mukanya hitam dan berewok itu tambah gusar.

Dengan kalap dia telah mencabut golok yang tergantung dipinggangnya.

"Sreeengggg!" golok itu telah dicabut keluar dari serangkanya.

"Bangsat!" bentaknya dengan suara yang bengis sekali. "Kau harus mampus bocah!

Sebutkanlah namamu, agar kau tidak mampus tanpa nama!"

"Manusia kasar seperti kau ini mana pantas mendengar namaku?" tanya si pemuda dengan

suara mengejek.

Perkataan terakhir dari pemuda pelajar itu benar-benar telah membuat lelaki yang mukanya

hitam dan berewok itu, jadi murka bukan main.

Dia telah mengeluarkan serangan penuh kemarahan, golok ditangannya telah menyambar

akan membacok kepala dari pelajar itu.

Eng Song yang telah menyaksikan jalannya pertempuran itu jadi terperanjat bukan main.

"Paman Thio... celaka orang itu!" serunya dengan suara tertahan.

Tetapi Thio Sun Kie tersenyum tenang sekali, tidak terlihat perasaan gugup padanya.

"Bukan pelajar itu yang akan menerima pil pahit, tetapi orang yang mukanya hitam

berewok itu yang akan celaka!" kata Thio Sun Kie dengan suara yang sabar.

Eng Song telah mementang matanya lebar-lebar mengawasi dengan hati tidak tenang.

Dilihatnya golok dari orang bermuka hitam itu telah meluncur cepat sekali.

Sedangkan pelajar berpakaian serba putih itu sama sekali tidak melakukan gerakan untuk

berusaha mengelakan diri.

Dia tetap duduk tenang-tenang dikursinya. Hanya matanya yang mengawasi tajam sekali

atas golok si lelaki bermuka hitam berewok itu dengan sorot yang luar biasa sekali. Disaat mana

golok menyambar dengan cepat dan telah dekat sekali.

Di saat itulah, tahu-tahu pemuda pelajar ini telah mengulurkan tangan kirinya.

Jari telunjuk dan jari tengahnya terentangkan.

Tahu-tahu dia telah menjepit golok lawannya itu.

Anehnya, golok itu terhenti ditengah jalan, dijepit oleh jari tangan tanpa bisa tergerakkan

kembali.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

22

Kolektor E-Book

JILID 2

LUAR biasa cara menjepit dari Siucai itu, karena dia dapat menjepit menyambarnya golok

itu dengan kedua jari tangannya.

Dengan sendirinya hal ini membuat lelaki bermuka hitam itu terperanjat sekali.

Dan belum lagi hilang rasa kagetnya itu, si pelajar berbaju putih itu telah menggerakkan

tangan kanannya.

Lengan jubah pelajar itu telah mengibas dengan gerakan yang kuat sekali.

"Weeerrrrr.....!"

Serangkum angin yang kuat bukan main telah menerjang kedada lelaki yang berewok

mukanya itu.

"Adehhhhh!"

Terdengar lelaki berewok itu telah mengeluarkan suara jerit tertahan.

Dan tampak tubuhnya telah terpental keras sekali.

Malah celakanya, punggungnya itu telah menghajar dinding ruangan itu.

Keras sekali benturan yang terjadi itu, karena benturan tersebut merupakan benturan yang

didorong oleh kekuatan tenaga kebut dari lengan jubah pelajar itu.

Mau tidak mau, satu kali lagi, lelaki bermuka hitam itu telah mengeluarkan suara

mengaduh, karena dia kesakitan sekali.

Tubuhnya telah ambruk dilantai, meloso tanpa dapat segera bangkit berdiri.

Goloknya tetap tertinggal dijepitan jari telunjuk dari pelajar yang cakap itu.

Dengan adanya peristiwa seperti itu, dimana pelajar itu dapat menjepit dan merebut golok

lawannya dengan hanya menjepit begitu, menunjukkan bahwa tenaga lwekang (tenaga dalam)

dari pemuda pelajar ini sangat tinggi sekali.

Eng Song yang melihat peristiwa ini, jadi kagum bukan main pada pemuda, pelajar itu.

Setidak-tidaknya pelajar itu telah memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa.

Karena dia tanpa menggerakkan tubuhnya atau mingser dari duduknya, telah dapat

melayani serangan-serangan dari lelaki berewok tersebut.

Malahan telah berhasil untuk merubuhkan lawannya itu.

Tampak lelaki berewok bermuka hitam itu telah merangkak bangun.

Dari mulutnya terdengar suara keluhan perlahan, rupanya dia masih merasa kesakitan yang

bukan main pada punggungnya.

Dan juga pandangan matanya masih gelap berputar-putar karena pusing.

Bantingan yang dialaminya tadi, rupanya sangat berpengaruh sekali pada hatinya.

Saat itu, pemuda pelajar berpakaian serba putih itu telah berkata dengan suara yang dingin.

"Hemmmm...... dengan hanya memiliki secuil kepandaian yang tidak berarti seperti itu

ingin berbuat galak dan bengis diluaran! Kalau memang aku tidak sedang tanggung menikmati

makananku ini, batang lehermu telah kupotes copot!!"CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

23

Kolektor E-Book
Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan setelah berkata begitu, tahu-tahu tangannya yang menjepit golok lawannya dengan

mempergunakan kedua jari tangannya itu telah bergerak.

"Ceeeepppp!"

Mata golok itu telah menancap tepat sekali dilantai dekat kaki lelaki berewok itu.

"Ambillah golokmu itu! Sekali lagi kau coba-coba berlaku kasar dan garang seperti tadi,

hemmmm, hemmmm, tentunya Giam Lo Ong (raja Akherat) tidak akan menolak pula jika

jiwamu itu kutitipkan padanya.............!!"

Setelah berkata begitu, pemuda pelajar tersebut seperti tidak mau melayani lawannya lagi.

Dia telah meneruskan makannya.

Sedangkan lelaki yang mukanya berewokan itu, yang telah kehilangan dua gigi depannya

itu, sehingga tampaknya lucu bagaikan kakek-kakek tua, telah terdiri dengan muka yang merah

padam.

Dia sangat murka dan kalap.

Tetapi dia menyadarinya bahwa dia tidak akan berdaya menghadapi pemuda pelajar yang

tampan itu.

Maka dia telah mengambil goloknya yang menancap tidak jauh dari kakinya itu dengan

tangan yang agak menggigil menahan amarah yang sangat.

"Baiklah!" katanya kemudian dengan suara gemetar marah sekali. "Kali ini aku mengakui

aku tidak bisa berbuat apa-apa padamu.... tetapi nanti...... kau tahu sendiri saja!"

"Oh......!" si pemuda pelajar telah menoleh sambil mendelik. "Kau mengancam segala,

heh? Mau kupotes batang lehermu?!"

Mendengar itu, dengan perasaan jeri, lelaki yang mukanya hitam itu, telah memutar

tubuhnya, dia telah melarikan diri. Menghilang dari ruangan rumah arak itu.

Si pemuda berpakaian baju pelajar warna putih itu telah tersenyum sendirinya. Dia telah

meneruskan makannya. Kemudian dari kolong meja dia mengeluarkan sebuah bungkusan dikala

dia sudah selesai dengan makannya itu.

Diperiksanya buntalan dan tampak sepasang alisnya telah mengkerut.

Dia seperti sedang mencari sesuatu.

Dan akhirnya dia telah membungkus kembali buntalan itu, karena rupanya tidak tercari

juga sesuatu yang diinginkan olehnya. Dia membiarkan saja buntalan itu diatas meja.

Dengan wajah yang muram, dia telah memanggil seorang pelayan.

Dia membayar harga makannya, kemudian dia telah berlalu.

Thio Sun Kie telah memberi isyarat kepada Eng Song.

"Mari kita kuntit... pemuda pelajar itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi, lagi pula

sikapnya sangat aneh sekali, seperti dia tengah mencari-cari sesuatu! Tadi memang dia yang

telah mengambil buntalan milik dari orang yang mukanya hitam berewok itu......!"

Eng Song mengiyakan, dan setelah membayar harga makanannya, Thio Sun Kie mengajak

Eng Song keluar dari warung arak itu.

Mereka masih sempat melihat dari kejauhan pemuda pelajar yang berpakaian serba putih

itu.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

24

Kolektor E-Book

Thio Sun Kie dan Eng Song segera menguntitnya. Tetapi beberapa kali Thio Sun Kie

memperingatkan Eng Song, agar jangan terlalu dekat menguntit pemuda pelajar itu.

Sebab kalau sampai pemuda itu mengetahui dirinya dikuntit, tentu timbul urusan yang

tidak diinginkan.

Saat itu, si pemuda pelajar berpakaian serba putih itu telah menuju kepintu kota sebelah

barat, dia telah keluar dari pintu kota.

Thio Sun Kie jadi tambah penasaran, dia telah mengajak Eng Song untuk menguntit terus

dari jarak yang cukup jauh.

Biar bagaimana, sebagai seorang rimba persilatnn yang telah memiliki pengalaman sangat

banyak, maka Thio Sun Kie melihatnya ada sesuatu keanehan pada diri pemuda pelajar berbaju

putih itu.

Mereka menguntit terus sampai diluar kota.

Tetapi ketika sampai disebuah tikungan dekat lembing gunung, dikaki gunung Po-han-san,

tahu-tahu pemuda itu telah lenyap dari pandangan mereka.

"Dia telah mengetahui kita menguntit!" kata Thio Sun Kie sambil senyum.

Tetapi biarpun telah menduga pemuda berbaju putih itu telah mengetahui mereka

menguntit, tetap saja Thio Sun Kie mengajak Eng Song untuk maju terus.

Ketika sampai disimpangan itu, sesosok bayangan putih telah melompat keluar.

"Mau apa kalian mengikuti aku terus menerus, heh?" bentak sosok tubuh itu.

Ternyata sosok tubuh putih itu tidak lain dari si pemuda pelajar yang berpakaian serba

putih.

Thio Sun Kie telah senyum.

"Kongcu (pemuda), kami kebetulaa mengambil jalan yang sama dengan kau......!" kata

Thio Sun Kie cepat. "Sama sekali kami tidak bermaksud menguntitmu, karena tidak ada gunanya

buat kami! Bukankah diantara kita tidak saling kenal?"

Tetapi wajah pemuda pelajar itu dingin sekali.

Matanya juga memancarkan sorot yang sangat tajam bukan main.

"Hemmmm.....!" dia mendengus. "Alasan apa saja boleh kalian katakan seribu kali, tetapi

aku telah melihat, sejak tadi kalian berdua memang menguntit diriku! Katakan yang sebenarnya,

apa maksudmu! Aku tidak main hajar, karena aku melihat disamping usiamu telah lanjut, juga

kawan jalanmu itu seorang bocah cilik! Tetapi jangan coba-coba untuk mempermainkan Pek Ie

Siucai (pelajar berbaju putih).... karena aku tidak akan segan-segan untuk mengirim kau ke

neraka....!!"

Thio Sun Kie tetap dengan sikapnya yang sangat tenang sekali.

"Mengapa harus berkata-kata keras seperti itu, kongcu?" katanya dengan suara yang tawar.

"Sudah Lohu (aku si orang tua) mengatakan, bahwa kami tidak bermaksud menguntitmu! Tetapi

kalau memang kau mengatakan kami menguntitmu! Tetapi kalau memang kau mengatakan kami

menguntitmu, ya terserah!!"

Muka pelajar itu jadi berobah hebat.

Dia jadi gusar bukan main.

"Hemmm, jadi kata-katamu itu sama saja dengan tantangan buatku, bukan tegurnya.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

25

Kolektor E-Book

Thio Sun Kie telah mengangkat bahunya.

"Terserah kau saja....!"

"Hmm.... baiklah! Aku mau lihat, cecunguk macam apa sih kau!!" kata si pelajar berbaju

putih itu dengan suara yang dingin.

Thio Sun Kie telah memerintahkan agar Eng Song menyingkir kepinggir.

Kemudian dia berdiri tenang menghadapi pemuda berbaju putih itu.

Saat itu Siucai itu telah mengeluarkan suara dengusan dingin, kemudian dia menggerakkan

tangan kanannya.

"Berrrrrrr......!"

Serangkum angin serangan yang kuat sekali telah menyambar datang.

Dan dia melancarkan serangan dengan mempergunakan ilmu bagian dari tenaga dalamnya.

Tetapi Thio Sun Kie tetap berdiri tenang ditempatnya tanpa bergerak sedikit pun juga.

Tentu saja si pelajar berbaju putih itu telah terkejut bukan main.

Karena dia tadinya menyangka kakek tua dihadapannya ini pasti akan terburu-buru

mengelakkan serangannya.

Tetapi siapa sangka, kakek tua yang sudah lanjut usianya itu malah berdiri tenang-tenang

ditempatnya tanpa bergerak, dan tidak terlihat gerakan untuk mengelakkan diri sama sekali.

"Heh? Apakah si tua bangka ini mencari mampus?" berpikir pelajar itu, Pek Ie Siucai,

dengan terkejut dan bercampur heran.

Tetapi biarpun begitu, si pelajar berbaju putih ini tidak berusaha mengurangi tenaga

serangannya atau menarik pulang tenaganya.

Dia meneruskan serangannya tanpa mengurangi tenaga menghantamnya.

"Bukkkkkk!!" tubuh si kakek tua she Thio itu telah kena dihajar telak sekali.

Tetapi begitu kepalan tangan si pelajar berbaju putih seperti menghajar lempengan baja.

Sedikitpun juga tubuh Thio Sun Kie tidak bergeming akibat pukulan itu.

Malahan, si kakek telah menerima serangan si pelajar dengan bibir tersenyum.

Pek Ie Siucai jadi mengeluarkan suara teriakan kaget dan heran.

Cepat-cepat dia menarik pulang kepalan tangannya dan melompat mundur.

Sepasaug matanya telah dipentang lebar-lebar mengawasi si kakek tua dihadapannya.

"Siapa kau sesungguhnya?" bentak pemuda pelajar itu dengan suara yang bengis.

Thio Sua Kie telah senyum.

"Apakah setelah menyerang hebat begitu, baru melancarkan pertanyaan? Kalau aku ini

seoraag yang lemah, niscaya akan mati dulu, baru menyahuti pertanyaanmu menjelaskan

namaku! Bukankah itu yang disebut celaka?!"

Muka si pelajar jadi berobah merah padam waktu mendengar kata-kata Thio Sun Kie yang

seperti juga menyindir.

Dan dia tidak berani meremehkan kakek tua ini lagi.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

26

Kolektor E-Book

Walaupun kemarahan bergolak di hatinya, namun dia tidak berani memandang enteng pada

kakek tua ini.

Tadi waktu kepalan tangannya menghantam telak sekali dada dari kakek tua itu, justeru dia

merasakan kepalan tangannya itu sakit luar biasa.

Karena dia menghajar dengan keras, dan yang dihajarnya itu dada si kakek tua Thio Sun

Kie keras bagaikan baja saja.

Dengan cara begitu, dia menderita kesakitan yang bukan main.

Namun, sikap angkuhnya tetap saja merajai hatinya, dia tidak mau bertanya lagi,

melainkan telah mengempos semangat dan tenaga dalamnya.

Dia telah menyalurkan delapan bagian dari tenaga dalamnya.

Disusul oleh suara bentakannya yang keras sekali, tahu-tahu kepalan tangan dari pelajar

berbaju putih ini telah meluncur cepat.

"Wuttttt.....!!"

Seketika itu juga angin serangan yang menerjang kearah si kakek tua Thio Sun Kie

menerjang kuat sekali.

Tetapi Thio Sun Kie tetap berdiri tenang-tenang ditempatnya.

Tetapi Pek Ie Siucai sudah tidak mau memperdulikan sikap si kakek tua Thio Sua Kie.

Di dalam hatinya dia yakin, biar bagaimana tangguhnya daya tahan si kakek tua namun

dengan di serang mempergunakan delapan bagian dari tenaga dalamnya, dengan sendirinya

kakek tua itu pasti akan rubuh.

Kepalan tangannya itu telah meluncur cepat sekali.

"Bukkkk!"

Kembali kepalan tangan Pek Ie Siucai telah menghantam dada Thio Sun Kie.

Eng Song yang melihat peristiwa ini jadi memandang dengan hati yang tegang.

Si bocah melihat betapa Pek Ie Siucai selalu melancarkan serangan dengan kekuatan yang

bukan main.

Karena dia saja yang berdiri di pinggir jalan dalam jarak pisah yang cukup jauh, masih bisa

merasakan samberan angin serangan itu.

Maka, dia sangat menguatirkan sekali keselamatan si kakek she Thio.

Karena Thio Sun Kie tampaknya adem ayem saja, tenang-tenang dan tidak berusaha

menangkis.

Malah serangan yang berikutnya ini tidak ditangkisnya.

Hanya diterima oleh dadanya lagi!

"Bukkkkkkk!!"

Lebih keras suara itu.

Tetapi begitu kepalan tangan si pemuda pelajar menghantam dada Thio Sun Kie, dia jadi

terperanjat sampai mengeluarkan seruan kaget pula.

Karena yang dihajarnya tidak keras seperti yang semula, tidak seperti baja.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

27

Kolektor E-Book

Malahan sebaliknya, lunak bagaikan kapas!

Tentu saja tenaga serangannya yang kuat bukan main itu seperti amblas tidak ada artinya

sama sekali.

Pelajar ini jadi mengeluh.

Sebagai seorang yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dengan sendirinya, dia

menyadarinya bahwa lawannya ternyata seorang yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

Maka dari itu, dia tidak berani memandang remeh lagi Thio Sun Kie.

Cepat-cepat dia menarik pulang kepalan tangannya itu.

Namun hatinya jadi terkesiap.

Karena kepalan tangannya itu seperti juga menempel pada dada Thio Sun Kie.

Dia telah berusaha menariknya, tetapi tetap tidak bisa, malah dia merasakan seperti ada

semacam hawa panas yang mengaliri tangannya.

Kembali Pek Ie Siucai jadi terkejut.
Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengeluh dalam hatinya.

Didalam saat-saat seperti ini, biar bagaimana Pek Ie Siucai adalah seorang yang memiliki

kepandaian tinggi, maka dia tidak mau manda diam saja.

Dengan penuh kemurkaan, dia telah menyalurkan tenaga dalamnya pada tangan kirinya.

Dan dia menghantam lagi.

"Bukkkkk!"

Dan terulang pula, kepalan tangan kirinya tetap melekat pada dada si kakek tua Thio Sun

Kie.

Waktu dia mau menariknya pula, tetap tidak bisa.

Dengan sendirinya, kedua tangannya itu jadi tetap melekat di dada Thio Sun Kie, bagaikan

juga kedua tangannya itu telah kena terborgol dan membuat dia tidak berdaya.

Tentu saja pelajar berpakaian putih itu jadi murka bukan main.

Saking murkanya, tububnya sampai gemetaran dan merasakan dadanya seakan-akan mau

meledak......!

? ? ooo O ooo ? ?

????????? 2 ?????????

ENG SONG yang pengetahuannya untuk ilmu silat masih cetek, jadi heran melihat

peristiwa seperti ini.

Eng Song tidak habis mengerti, mengapa si pelajar berpakaian serba putih itu tidak mau

menarik pulang kepalan-kepalan tangannya itu, dibiarkan menempel pada dada Thio Sun Kie.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

28

Kolektor E-Book

"Apakah mereka tengah mengadu kekuatan tenaga lwekang?" berpikir Eng Song di dalam

hati.

Saat itu, Eng Song juga telah melihatnya, betapa tubuh Pek Ie Siucai telah gemetaran.

Thio Sun Kie telah mendengus dengan suara tertawa dinginnya.

"Hemmm... keluarkan seluruh tenagamu!" katanya dengan suara yang tawar.

Muka Pek Ie Siucai sebentar-sebentar berobah. Merah, pucat lalu merah padam lagi.

Dan dia telah berusaha memusatkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.

Dia menyalurkan pada kepalan tangannya itu, namun tetap saja tenaga dalamnya itu seperti

amblas kedasar lautan tanpa batas.

Tentu saja hal ini membuat dia tercekat hatinya, dia sampai mengucurkan keringat dingin.

Lebih-lebih dia merasakan, tenaga dalam dan murninya itu tanpa dikerahkan, juga telah

menerobos keluar dari kedua kepalan tangannya.

Bagaikan tersedot saja kedalam dada Thio Sun Kie.

Bukan main terperanjatnya pemuda pelajar berbaju putih.

Dia mengeluh didalam hatinya.

Dan juga menyesali kecerobohannya mengapa dia sampai berlaku begitu serampangan

tidak berhati-hati sama sekali terhadap kakek tua ini.

Tadinya dia menyangka bahwa kakek tua ini hanyalah seorang kakek yang keras hati dan

merupakan orang tua yang biasa saja.

Maka tadi dia telah memperlihatkan kegarangannya.

Numun kenyataannya, dia telah terjebak begitu rupa, malah kelihatannya kakek tua she

Thio ini memiliki kepandaian yang bukan main.

Hatinya jadi mencelos waktu dia merasakan dada dari kakek tua Thio Sun Kie bergerak
gerak turun naik, seperti juga gelombang laut.

Dan dia merasakan kepalan tangannya itu sebentar panas dan sebentar lagi dingin.

Hal ini, tentu saja mengagetkannya.

Karena sebagai seorang yang memiliki kepandaian yang tinggi, Pek Ie Siucai

menyadarinya apa artinya semua itu.

Dia sampai mengeluarkan seruan tertahan dan mati-matian dia menarik kedua tangannya.

Tetap saja kedua kepalan tangannya itu telah melekat di dada si kakek tua Thio Sun Kie.

Pek Ie Siucai menyadarinya bahwa gerakan yang turun naik dari dada Thio Sun Kie

merupakan bahaya yang sangat besar baginya.

Kalau sampai gelombang dada dari Thio Sun Kie semakin cepat turun naiknya, berarti si

pelajar ini lebih mendekati keajal.

Namun, rupanya Thio Sun Kie tidak bermaksud jahat padanya. Dia tidak mau kalau

sampai pelajar itu kena dicelakai olehnya.

Kalau sampai dadanya itu bergelombang terus, dan semakin lama semakin cepat, tentunya

tenaga murni dari pelajar berbaju putih itu tidak akan terbendung dan akan terbinasa dengan

kehabisan tenaga murninya.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

29

Kolektor E-Book

Maka, tanpa membuang waktu lagi, Thio Sun Kie telah mengeluarkan suara dengusan.

Tahu-tahu dia telah membentaknya.

"Pergilah kau....!"

Dan pelajar berbaju putih itu merasakan betapa kedua kepalan tangannya itu telah terlepas

dari lekatan dada si kakek she Thio itu.

Seketika itu juga tubuhnya jadi terpental kejengkang kebelakang.

Tetapi disebabkan Pek Ie Siucai memang memiliki kepandaian yang tinggi dan ginkang

yang sempurna, dengan sendirinya dia tidak sampai terpental.

Melainkan tubuhnya terhuyung-huyung saja, dan ketika dia mengerahkan tenaga dalamnya

pada kedua kakinya, maka dia sudah bisa berdiri lagi.

Tetapi saat itu wajah si pelajar berbaju putih itu telah berobah pucat.

Dia merapatkan sepasang tangannya, menjurah pada Thio Sun Kie.

"Maafkan aku yang muda, yang memiliki mata tapi tak bisa melihat megahnya gunung

Thian-san...!" kata si pelajar itu. "Kalau hakseng (murid) boleh tahu, siapakah Locianpwe

sebenarnya? Dan apa gelaran locianpwe yang harum?"

Thio Sun Kie telah tertawa tawar.

"Aku orang she Thio paling tidak senang terlalu banyak peradatan. Aku sudah gembira

kalau peristiwa tadi bisa kau jadikan sebagai pelajaran buatmu, dilain saat janganlah berlaku

berangasan! Bukankah kalau bertemu dengan iblis yang berhati kejam, sekarang ini kau sudah

menggeletak ditanah tanpa bernyawa lagi?!"

Mendengar teguran dari Thio Sun Kie, pemuda pelajar itu telah menghela napas.

"Ya! Ya! Memang hakseng terlalu ceroboh!" kata pelajar berbaju putih itu mengakui

kesalahannya.

Melihat pelajar itu mau mengakui kesalahannya, perasaan mendongkol dari Thio Sun Kie

lenyap banyak.

"Baiklah! Kau pergilah!" katanya kemudian dengan suara yang berobah jadi sabar.

"Tetapi... bolehkah aku mengetahui nama Locianpwe yang harum?" tanya pelajar itu

dengan sikap yang menghormat sekali. Hal ini disebabkan dia telah mengetahui bahwa orang tua

yang tengah dihadapinya ini memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

"Aku she Thio dan bernama Sun Kie.....!" menjelaskan kakek tua she Thio itu.

"Hah?"

Muka pelajar itu jadi tambah pucat.

"Kenapa?" tanya Thio Sun Kie tidak acuh.

Sedangkan pelajar itu telah cepat-cepat membungkukkan tubuhnya memberi hormat lagi.

"Maaf! Maaf! Sungguh aku berani mati membentur gunung Thian-san!!" katanya berulang

kali.

Dan kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, dia telah membalikkan tubuh dengan wajah

yang sangat pucat dan berlalu cepat sekali meninggalkan tempat itu.

Eng Song yang melihat sikap Pek Ie Siucai jadi heran sekali.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

30

Kolektor E-Book

"Mengapa dia telah berkata begitu dan terburu-buru berlalu dari tempat paman Thio?"

tanya Eng Song terheran-heran.

Thio Sun Kie telah tersenyum, sikapnya telah kembali menjadi sabar.

Entah mengapa, dia menyukai Eng Song dan sangat menyayanginya.

Malah sambil mengusap-usap kepala si bocah dia telah berkata : "Pek Ie Siucai sebetulnya

bukan sebangsa manusia baik-baik, dia seorang pemetik bunga yang sering mengganggu anak

isteri orang. Tentu saja dia ketakutan begitu, karena sebagai seorang Jai hwa-cat, dia ngeri

bertemu denganku, karena aku memang terkenal sebagai seorang yang paling membenci

kejahatan seperti membenci musuh buyutan...!"

"Pantas.......!" Eng Song telah mengangguk-anggukan kepalanya.

Bocah ini baru mengerti, mengapa Pek Ie Siucai telah pergi terburu-buru begitu.

"Mari kita juga berlalu!!" kata Thio Sun Kie mengajak Eng Song untuk berlalu dari tempat

itu.

Eng Song dan kakek tua she Thio itupun segera meninggalkan tempat itu.

Mereka telah melanjutkan perjalanan mereka.

Thio Sun Kie memang merupakan seorang tokoh rimba persilatan yang sangat terkenal

sekali!

Sesungguhnya, sudah sepuluh tahun yang lalu Thio Sun Kie hidup mengasingkan diri

dipegunungan Thian San dan sudah tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan.

Selama sepuluh tahun ini, Thio Sun Kie telah hidup tenang.

Karena pendekar tua she Thio ini memang bermaksud melewati hari tuanya dengan tenang

tanpa gangguan sesuatu apapun juga.

Namun dengan tidak terduga, pada suatu hari, telah datang padanya sepucuk surat dari

seorang sahabatnya, yaitu Bin An Sienie, seorang niekouw dari Gobie Pay.

Niekouw itu adalah sahabat baiknya, dan dia memang selalu berhubungan dengan Bin An

Sienie.

Surat yang dikirim melalui seekor burung dara itu ternyata menjelaskan bahwa Bin An

Sienie sedang dalam kesulitan dan ingin meminta bantuan dari Thio Sun Kie.

Maka Niekouw yang menjadi ciangbunjin (ketua) dari Gobie-pay itu telah mengundang

Thio Sun Kie untuk berkunjung ke Gobie-pay :

"Di dalam bulan Sie-gwe capgo (tanggal limabelas dibulan empat),

bencana yang mengancam Gobie-pay akan segera meledak, maka kalau

memang sahabatku tidak keberatan, dapat kau berkunjung untuk main
main ke Gobie-pay...!"

begitu bunyi akhir dari surat Bin An Sienie.

Dengan sendirinya, mau tidak mau akhirnya Thio Sun Kie harus turun gunung lagi.

Karena yang meminta bantuan dan pertolongannya itu adalah sahabatnya seperti Bin An

Sienie, mau tidak mau dia malu hati untuk menolaknya.

Terlebih iagi memang Bin An Sienie mengatakan bahwa Gobie-pay tengah mengalami

ancaman bencana yang sangat hebat sekali, mau tidak mau memang Thio Sua Kie harus tahu

juga dan kalau perlu turun tangan membantuinya.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

31

Kolektor E-Book

Setahu Thio Sun Kie, Bin An Sienie sendiri memang memiliki kepandaian yang tinggi

bukan main. Mungkin tidak berada dibawah kepandaian yang dimiliki oleh Thio Sun Kie.

Namun disebabkan bencana yang akan timbul di Gobie Pay itu terlalu hebat, dengan sendirinya,

mau tidak mau Thio Sun Kie sangat dibutuhkan sekali.

Itulah mengapa akhirnya Thio Sun Kie telah turun gunung dari tempat pengasingan

dirinya.

Namun dengan tidak terduga-duga, ditengah perjalanan, dia telah bertemu dengan Eng

Song.

Dia menyukai bocah itu, apa lagi memang dia mendengar riwayat si bocah, timbul

perasaan kasihannya. Dan juga dia segera mengetahui bahwa orang tua dari Ma Eng Song ini

adalah pendekar It Kun Kiehiap yang pernah memberikan pertolongannya ketika dia sedang

terluka parah... budi itu tidak bisa dilupakan olehnya.

Maka Eng Song telah diambilnya sebagai kawan ciliknya. Disamping itu dia juga telah

menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya pada bocah ini.

Tetapi berhubung telah ada sumpah pada dirinya, bahwa Thio Sun Kie tidak akan

mengambil murid, dengan sendirinya dia tidak bisa mengadakan hubungan antara guru dan

murid pada Eng Song. Dan mereka hanya merupakan dua orang yang bersahabat. Persahabatan

mereka cukup aneh, karena yang seorang sangat tua usianya, dan yang seorang bocah cilik yang

baru berusia tujuh tahun lebih...! Maka mereka lebih cocok seperti seorang kakek dan seorang

cucunya.....

Dari tempat dimana mereka sekarang berada untuk mencapai Gobie-san merupakan

perjalanan yang cukup jauh, mungkin juga memakan waktu perjalanan selama satu bulan.

Saat sekarang baru cap-jie sah-gwe (bulan tiga tanggal dua belas), jadi cukuplah waktu

buat mereka melakukan perjalanan kesana.

Sedangkan Eng Song sendiri tidak mengetahui kemana dia akan diajak.

Karena Thio Sun Kie tidak mengatakan kemana mereka tuju.

Perjalanan selanjutnya mereka tidak menemui rintangan apa-apa.

Karena lima hari menjelang Cap-go pada bulan Sie-gwe itu, mereka telah tiba di kaki

gunung Gobie-san.

Gunung Gobie-san merupakan gunung yang tidak begitu tinggi.
Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun digunung ini terdapat banyak sekali tebing dan jurang yang sangat dalam dan

berbahaya.

Hari sudah mendekati malam waktu mereka sampai dikaki gunung itu.

"Kita besok pagi saja bertamu pada Ciangbunjin Gobie-pay...!" kata Thio Sun Kie. Malam

ini biarlah kita bermalam dihutan atau dirumah penduduk."

Sambil berkata begitu, Thio Sun Kie telah mengawasi keadaan sekelilingnya.

Selama sepuluh tahun lebih dia tidak menginjak tempat ini, tetapi pemandangan yang ada

dipegunungan Gobie-san itu, memang tetap indah.

Tidak ada perobahan apapun yang terjadi. Masih tetap yang dulu juga.

Eng Song sendiri melihat betapa pemandangan yang terdapat dipegunungan Gobie-san ini

memang sangat indah sekali. Pohon-pohon Yangliu tampak tumbuh subur memenuhi sepanjang

gunung yang berliku itu.

Dan juga, dibawahnya tampak banyak sekali pohon-pohon bunga bermacam warna.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

32

Kolektor E-Book

Air sungai yang mengalir jernih itu hening sekali, dasar sungai terlihat jelas, dan batu-batu

kerikil didalam sungai juga tampak.

"Betapa indahnya tempat ini, paman Thio!" kata Eng Song.

Thio Sun Kie tersenyum ramah.

"Ya.... tetapi dipuncak ini terdapat masih banyak tempat-tempat yang jauh lebih indah dari

sekitar daerah ini!!" katanya.

Maka dari itu, Eng Song serasa ingin cepat-cepat untuk sampai dipuncak gunung itu.

Dia ingin melihat pemandangan yang jauh lebih indah dari apa yang telah dilihatnya ini.

Disaat itulah, tiba-tiba wajah Thio Sun Kie telah berubah dan telah mengulurkan

tangannya.

Dia menyambar lengan Eng Song.

Ditariknya si bocah untuk bersembunyi dibalik pohon-pohon bunga yang rimbun.

"Ada orang...!" bisik Thio Sun Kie.

Eng Song telah mementang matanya lebar-lebar.

Dia tidak melihat seorang manusiapun juga.

Malah seekor binatang saja juga tidak terlihat.

Tetapi karena memang percaya bahwa paman Thionya ini memiliki kepandaian yang

tinggi dan pendengaran yang sangat tajam, maka dia berdiam diri saja. Menanti.

Dan benar saja.... dari tempat yang gelap telah melesat sesosok bayangan.

Gerakan bayangan itu sangat cepat sekali.

Dan diantara berkelebatnya bayangan itu, terdengar angin mendesir perlahan.

Seperti juga bayangan orang itu hantu belaka.

Eng Song sampai mementang sepasang matanya.

Tetapi disebabkan hari memang hampir malam dan keadaan disekitar tempat itu gelap

sekali, Eng Song tidak berhasil melihat jelas.

Dia hanya melihat sosok bayangan itu telah melompat-lompat2 dari batu yang satu ke batu

gunung yang lainnya.

Gerakannya begitu ringan, sehingga di dalam sekejap mata saja, dia telah lenyap dari

pandangan mata Eng Song dan Thii Sun Kie.

Tetapi Thio Sun Kie jadi menaruh kecurigaan terhadap bayangan itu.

Dia telah menyambar pinggaag Eng Song.

Dengan rnengempit si bocah dipinggangnya, Thio Sun Kie telah melesat cepat sekali

menuju ketempat mana sosok bayangan tadi menghilang.

Dan gerakan yang dilakukaa oleh Thio Sun Kie sangat cepat sekali.

Dia bergerak bagaikan terbang belaka Eng Song yang berada dalam kempitan hanya

merasakan betapa angin berseliwiran dipinggir telinganya dan wajahnya.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

33

Kolektor E-Book

Karena keadaan sangat gelap, dengan sendirinya pula Eng Song tidak bisa melihat tempat

apa yang mereka lalui.

Disaat itu, bagaikan terbang Thio Sun Kie telah mencelat dari batu gunung yang satu

kebatu gunung yang lainnya.

Gerakannya begitu cepat dan gesit sekali, didalam waktu sekejap mata saja, orang she Thio

itu telah berlari sampai belasan lie.

Dan akhirnya dia herhasil mengejar sosok bayangan yang tadi.

Dia melihatnya bahwa sosok bayangan itu terus berlari menuju kepuncak gunung Gobie
san.

Dia mengejarnya terus.

Cuma saja, biar bagaimana Thio Sua Kie telah berlaku hati-hati sekali.

Dia tidak mau kalau sampai orang didepannya mengetahui dirinya dikuntit.

Tidak lama kemudian, Thio Sun Kie melihat didepannya terhampar mulut hutan yang

cukup lebat.

Sosok bayangan hitam itu telah mencelat masuk kedalam hutan.

Dan telah lenyap....

Thio Sun Kie cepat-cepat telah mengejarnya karena dia tidak mau kehilangan jejak dari

buruannya.

Tetapi didalam hutan itu penuh oleh ranting-ranting dan daun kering. Kalau sampai,

terpijak tentunya akan menimbulkan suara yang mencurigai orang buruannya.

Maka dengan cepat Thio Sun Kie telah menjejakan kakinya, tubuhnya mecelat keatas

sebatang cabang pohon.

Kemudian dari cabang pohon itu dia telah mencelat lagi, tubuhnya telah mencelat lagi,

tubuhnya telah melompat pula kecabang pohon yang lainnya, gerakannya sangat gesit dan

ringan.

Dengan sendirinya, dia bisa mengejar terus sosok bayangan hitam yang telah berlari-lari

terus menerobos hutan itu.

Sambil menguntit begitu, Thio Sun Kie juga telah memperhatikan keadaan orang

buruannya.

Dia melihatnya bahwa orang itu memakai baju singset warna hitam.

Dan gerakannya juga biarpun tidak terlalu hebat, cukup gesit.

Lagi pula dipungggung orang itu tergemblok sebatang pedang panjang.

Sosok bayangan itu terus juga berlari-lari dengan cepat sekali.

Sedikitpun juga dia tidak menyadari bahwa dirinya tengah dikuntit.

Dan akhirnya dia telah menerobos sampai ditengah-tengah hutan itu.

Ternyata ditengah hutan ini terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas.

Thio Sun Kie berhenti melompat dicabang pohon terakhir dekat lapangan rumput itu.

Berkat daun-daun pohon yang lebat, dia bisa bersembunyi tanpa ada orang yang

mengetahui.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

34

Kolektor E-Book

Ternyata dilapangan rumput itu telah berkumpul banyak sekali orang.

Tetapi karena tidak dinyalakan penerangan, maka keadaan sangat gelap sekali.

Thio Sun Kie jadi tidak bisa melihat satu persatu dari wajah orang-orang itu.

Dia hanya memperhatikan, betapa kedatangan sosok bayangan yang dikuntitnya tadi, telah

disambut oleh seseorang.

Tampak mereka kasak-kusuk dengan sepasang tangan digerak-gerakkan, dan terkadang
kadang ditunjuk-tunjuknya keatas, maka Thio Sun Kie menduga mereka tengah membicarakan

sesuatu yang penting.

Walaupun juntlah yang berkumpul dilapangan rumput ini cukup banyak, meliputi tiga

puluh orang lebih, namun tidak ada suara yang terdengar.

Karena diantara mereka tidak ada yang membuka suara.

Dengan keadaan seperti itu, sekitar lapangan rumput ini jadi sunyi sekali.

Dan orang yang tadi dikuntit oleh Thio Sun Kie telah diajak ketengah lapangan rumput itu.

Dia telah berbicara dengan beberapa orang lainnya.

Lalu dari orang-orang yang ramai itu, telah muncul seseorang.

Thio Sun Kie telah meletakkan Eng Song disebelahnya, agar si bocah juga menginjak

cabang itu.

"Jangan menerbitkan suara!" bisik Thio Sun Kie. "Sedikit saja kau menimbulkan suara,

bisa menarik perhatian orang-orang itu......!!"

Dan sambil berkata begitu, Thio Sun Kie juga telah memperhatikan keadaan mata angin.

Karena biarpun angin berhembus tanpa keruan itu, tentunya kalau sampai mata angin

justeru mengarah pada rombongan orang dilapangan rumput itu, berarti suara yang bagaimana

kecilpun dapat didengar oleh mereka.

Tetapi keadaan mata angin ternyata berhembus kearah si kakek tua she Thio dan Eng

Song.

Dengan sendirinya Thio Sun Kie agak tenang hatinya, sebab kalau sampai Eng Song

mengeluarkan juga suara yang kecil, tentunya tidak ada artinya apa-apa.

Saat itu, orang yang telah keluar dari rombongan orang banyak itu telah angkat suara :

"Sahabat-sahabat sekalian....!" katanya dengan suara yang cukup nyaring. "Terima kasih

atas kesediaan kalian untuk datang berkumpul disini!"

Dan setelah berkata begitu, orang ini telah merangkapkan sepasang tangannya.

Dia telah memberi hormat pada empat penjuru, pada orang-?orang yang berkumpul di situ.

Thio Sun Kie telah melihatnya, orang itu berusia diantara empat puluh tahun, wajahnya

lancip dengan sepasang kumis tipis dan panjang, bagaikan kumis tikus.

"Seperti sahabat-sahabat ketahui, Siauw-te (aku yang muda) Ong Peng Hin, mempunyai

ganjalan yang sangat mendalam dengan ciangbunjin dari Gobie-pay ini... yaitu Bin An Sienie.

Pendeta wanita itu telah membinasakan, ayah, kakak dan ibuku. Tiga nyawa telah melayang

ditangannya! Maka dari itu, sakit hati ini tidak bisa dilenyapkan begitu saja! Mau tidak mau aku

harus membalas dan menuntut balas atas kematian dari orang-orang yang kucintai itu.........!" dan

orang ini telah berhenti sejenak bicara, dia menyapu sekitar tempat itu dengan sorot mata yang

tajam. Rupanya dia ingin mengetahui reaksi dari orang-orang itu.CHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

35

Kolektor E-Book

Sepi sekali.

Semuanya mendengarkan dengan baik-baik.

Dan orang itu, yang tadi menyebut namanya Ong Peng Hin, telah berkata lagi dengan suara

yang cukup nyaring :

"Maka dari itu, Siauw-te telah memberanikan diri untuk mengundang sahabat-sahabat,

sebab hanyalah pada sahabat belaka aku bisa meminta perlindungan! Kepandaian Ciangbunjin

Gobie Pay itu memang harus kita akui, sangat tinggi, maka Siauw-te tidak mungkin dapat

menandinginya! Itulah sebabnya, mau tidak mau memang Sianw-te harus meminta pertolongan

dan batuan sahabat-sahabat dengan menyebar surat undangan! Ternyata sahabat-sahabat telah

mau memberi muka padaku dan telah memenuhi undangan itu dan semuanya telah berkumpul

disini! Inilah suatu rejeki yang maha besar! Aku telah merencanakan, dimalaman Cap-go Sie
gwe ini untuk menyerbu kuil Gobie Pay itu, guna mengambil nyawa Bin An Sienie. Karena

sepuluh tahun yang lalu, diharian itu pula ayah, ibu dan kakak kandungku telah dibinasakan

olehnya.....!"

Dan waktu berkata sampai disitu, orang yang mengatakan dirinya bernama Ong Peng Hin,

telah mengucurkan air mata. Dia menangis.

Dengan sendirinya, hal ini malah telah menarik rasa simpati dari kawan-kawannya.

"Hemmm, memang niekouw tua itu terkadang keterlaluan sekali...... dia sering mendesak

orang untuk binasa! Aku bersumpah akan membantumu sekuat tenaga!" berseru seorang tua

yang berjanggut panjang dengan suara yang bersemangat sekali.

"Ohhh, tentunya Locianpwe yang bergelar Sin Wan Kiehiap (pendekar Kera Sakti),

bukan?" tanya Ong Peng Hin sambil menjurah. "Dan tentunya Locianpwe dari Kun Lun Pay?"

Orang itu telah mengangguk.

"Terima kasih atas kesediaan dan uluran tangan Locianpwe." kata Ong Peng Hin.

Dan ketika ada beberapa orang lainnya yang dengan bersemangat berjanji akan

membantunya juga, maka Ong Peng Hin juga telah mengucapkan terima kasihnya.

Di saat itulah, Thio Sun Kie jadi terkejut sekali.

Karena dia telah melihatnya, bahwa orang-orang yang berkumpul dilapangan rumput ini

ternyata bukan sebangsa kurcaci.

Melainkan jago-jago rimba persilatan yang memiliki nama besar dengan kepandaian yang

tinggi.

Dengan sendirinya, kalau dilihat demikian, orang yang menamakan dirinya Ong Peng Hin

itu, sengaja ingin membeli jago-jago itu, untuk diadu dengan pihak Gobie-pay, dengan

memberikan perlakuan yang manis.

Dengan gusar Thio Sun Kie mengawasi terus.

Sedangkan Eng Song yang tidak mengerti urusannya, telah berdiam diri saja.

Saat itu, Ong Peng Hin telah melanjutkan perkataannya :

"Aku yakin berkat bantuan-bantuan dari Locianpwe-locianpwe dan sahabat-sahabat

lainnya, tentu aku akan bisa menuntut balas! Namun disamping itu, Siauw-te telah memperoleh

kabar mengenai sesuatu benda pusaka yang berada ditangan Bin An Siannie!!"
Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benda pusaka?" tanya salah seorang dengan suara mengandung keheranan yang sangat.

"Ya!" mengangguk Ong Peng Hin. "Sebuah benda pusaka, yang tentunya di kenal juga

oleh para sahabat...! Benda pusaka itu adalah sebuah benda pusaka dirimba persilatan dan setiapCHIN YUNG

PENDEKAR BUNGA

36

Kolektor E-Book

orang pasti akan berusaha untuk memilikinya..... karena itu, siapa yang dapat memiliki benda

pasaka itu, niscaya akan memperjago dirinya beberapa kali lipat!!"

"Kalau memang boleh tahu, aku si tua bangka ingin mengetahui benda apakah itu, Ong

hengtai (saudara Ong)....?!" tanya seseorang.

"Benda pusaka itu adalah Pedang Bunga." menyahuti Ong Peng Hin.

"Hah?!"

Seketika itu juga terdengar seruan-seruan kaget dari orang-orang yang berkumpul

dilapangan rumput itu.

Tampaknya mereka semuanya terkejut bukan main.

Dan seketika itu juga terdengar diantara mereka telah kasak-kusuk membicara dan perihal

benda pusaka yang bernama Pedang Bunga itu.

Thio Sun Kie sendiri jadi terkejut sekali.

Dia berpikir keras.

Memang Ong Peng Hin bicara tidak jelas bahwa Pedang Bunga adalah pedang pusaka.

Sebab pedang itu sebetulnya pernah menjadi milik dari kaisar kerajaan Tong, yaitu Lie Sie

Bin, yang kemudian telah dihadiahkan kepada Sie Jin Kwie.

Tetapi entah mengapa, didalam pertempuran di Korea, pedang itu telah hilang, lenyap

tidak keruan paran.

Dan akhirnya, pedang itu telah muncul kembali didaratan Tionggoan.

Dan terjatuh ditangan Ciangbunjin Siauw Lim Sie.

Namun hanya berlangsung beberapa tahun saja, karena seketika itu juga timbul pergolakan

yang hebat bukan main dan orang-orang rimba persilatan telah berusaha sekuat tenaganya untuk

dapat memiliki benda pusaka itu.

Maka dengan berbagai jalan mereka telah berusaha mencuri beuda pusaka tersebut.

Entah mengapa, akhirnya Pedang Bunga itu lenyap dari tempat penyimpanan barang
barang pusaka di kuil Siauw Lim Sie.

Padahal kuil Siauw Lim Sie merupakan tempat yang sukar sekali untuk dimasuki orang

asing.

Sebab didalam kuil ini memang terdapat banyak sekali hweshio-hweshio yang memiliki

kepandaian yang sangat tinggi bukan main.

Namun, entah bagaimana caranya, ada seorang pencuri yang berhasil mengambil Pedang

Bunga itu.

Dan akhirnya, didalam rimba persilatan tersebar kabar Pedang Bunga itu telah berada

ditangan Siu Sang Thay. seorang jago dari Thay-kek-kun, dan dia telah menjagoi rimba

persilatan, malang melintang tanpa tanding, karena mengandalkan kehebatan pedang pusaka


Animorphs 18 Petualangan Di Planet Leera Girls Of Riyadh Karya Rajaa Alsanea Dewi Ular 78 Dewi Maksiat

Cari Blog Ini