Ceritasilat Novel Online

Segurat Bianglala Pantai Sengigi 2

Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W Bagian 2



"Biarpun kakimu belum patah?"

"Kalau nggak pernah kemari, aku pasti nggak pernah punya pengalaman kayak begini!"

"Dan nggak pernah lihat pemandangan yang begini indah!"

"Di tempat kayak begini, kita baru merasa diri

kita kecil dibandingin kemegahan alam ya, As?"

"Wah, baru sehari aja kamu udah jadi seniman

kaget, Ndung!"

"Mestinya si Tari tuh yang jadi penyair dadakan!

Lihat aja, asyik banget mereka berpacu dalam dusta!"

"Hus! Sinis banget sih? Dosa kamu, Ndung!"

"Yang dosa kan si Tari! Baru ketemu Arnold Suaraseger aja, langsung lupa sama macan Kebayoran-nya!"

"Ah, siapa tahu dia cuma lagi praktekin teknikteknik pacaran yang paling canggih! Hasil alih teknologi dari Jerman. Supaya nggak lupa sampai di

Jakarta nanti!"

86

"Kamu sendiri udah punya izin praktek, As?"

"Nggak ada pasiennya, Ndung."

"Ah, masa? Rasanya udah ada yang ambil nomor!"

"Yang ini gayanya lain, Ndung. Perlu pendekatan

dari sisi yang berbeda!"

"Gokil lu ah! Padahal gue tahu si Norman udah

lama nguber-nguber elu!"

"Gue malah nggak suka kalau diuber-uber kayak

orang punya utang!"

"Sakit kali lu. Cewek kan biasanya seneng kalau

diuber-uber!"

"Ya kalau diuber-uber terus tapi nggak pernah ditangkap kan pegel nunggunya!"

"Kita berangkat lagi?" tanya Segara yang baru

datang bersama Volker mencari tempat pelepasan.

"Tunggu dulu ah. Aku juga mau nyebar pupuk

dulu."

"Ikutan dong, As. Biar bodiku enteng dikit!"

"Ikutan ke mana?"

"Nyanyi!"

"Beware of the snake!" Volker menyeringai jenaka.

"Ular?!" pekik Lindung ngeri.

"Kawal dong, Segara!" pinta Asri manja-manja

menggemaskan.

"Duh, emang maunya!" sindir Lindung.

87

"Mari saya antar."

Wah, malah kebetulan! Rupanya cowok di mana

saja sama gayanya! Mula-mula melindungi. Lamalama menggerogoti! Kalau yang digerogoti mau.

"Jangan ke tempat yang banyak ularnya, ya."

Mana dia tahu? Memangnya dia dewa ular?

"Jangan kuatir. Tidak semua ular beracun."

"Wah, kalau udah digigit baru tahu beracun, keburu game dong!"

"Kamu punya ilmu, Segara?"

"Ilmu apa?"

"Nggak mempan gigitan ular."

"Oh, saya tidak kebal!"

"Tapi kalau kerjamu nyelusup-nyelusup hutan begini, mesti kebal dong!"

"Saya tidak punya kesaktian apa-apa."

"Tapi kamu kuat."

"Alah bisa karena biasa."

"Wah, kamu pasti bintang pelajar! Di mana sekolahmu?"

"Saya cuma bisa baca tulis."

"Sekali lagi merendah begitu, kucubit lenganmu!"

Tetapi Segara cuma tersenyum.

"Pergilah ke balik semak-semak sana. Saya tunggu di sini. Panggil saja kalau ada apa-apa. Ingat,jangan masuk terlalu dalam."

"Balikkan badanmu," pinta Lindung curiga.

88

Cowok di mana-mana sama saja, kan? Biar yang

tampangnya alim sekalipun! Kalau ada kesempatan,

pasti mencuri lihat!

Dengan patuh Segara memutar tubuhnya. Membelakangi mereka.

***

Sambil nongkrong berdua di balik semak-semak,

Lindung dan Asri mengawasi punggung Segara dari

kejauhan. Punggung terbuka dengan sehelai kain

tenun merah membelit pinggang. .. amboi, gagahnya!

"Bodi model begini langka di antara cowok-cowok simpanan kita ya, Ndung."

"Tapi orangnya lugu banget, As. Aku takut dia

bunuh diri nelan kangkung sebaskom kalau jadi pacarmu!"

"Emang kayak apa jahatnya sih aku, Ndung?"

"Jahat sih nggak. Rusak!"

"Yang ini lain, Ndung. Pasti awet. Sudah kualitas

ekspor, harga grosir, lagi!"

"Belum tentu. Aku kasihan sama doski."

"Cabut yuk, Ndung!"

"Ntar dulu ah! Belum lunas!"

"Duluan, ya?"

"Duile, nggak boleh nganggur!"

"Sudah?" tanya Segara tanpa berani menoleh.

"Lindung belum?"

89

"Lho, kok kamu tahu sih aku yang datang?" cetus

Asri heran bercampur kagum.

"Oh, cuma menebak!"

"Punya indera keenam, ya?"

"Ah, kebiasaan saja."

"Cium baunya?"

"Membedakan langkah kakinya."

"Hebat kamu, Cing!"

"Biasa saja kalau lama hidup di sini."

"Ayo, cabut!" suara Lindung sudah menggelegar

membelah hutan.

"Beres, Ndung?"

"Siip!"

"Nggak ada yang ketinggalan?"

"Banyak tuh di belakang!"

"Hoooiii...!!!" teriak seseorang di atas pohon di

depan mereka.

Asri dan Lindung sama-sama menengok ke atas

dengan terkejut. Dan melihat Volker sedang menggelantung di atas pohon seperti Tarzan kehabisan

makanan.

"Nah, gokil deh dia lantaran kesepian!" gerutu

Lindung sambil melambai-lambaikan tangannya.

"Guten Tag! Bist du verriickt?"

"Makanya jangan kelamaan ditinggal, Ndung,"

tersenyum Asri.

"Ntar dia lupa di mana Jerman! Kalau nyasar ke Bosnia kan kasihan!"

90

"Calon sarjana teknik mesin dari Stuttgart," Segara menimpali dengan suara lunak.

"Tapi gemar bertualang. Dan tidak sombong."

"Nah, rekomendasi bagus tuh, Ndung!"

"Bah! Yang elu nggak mau disodor-sodorin ke

gue! Sori, bukan tipe gue! Nyempit-nyempitin tas

aja!"

"Bukan tipe gue juga, Ndung."

"Ah, elu mah pemakan segala! Apa juga doyan!

Nggak ada pantangan."

"Nice view

teriak Volker dari atas pohon.

"Join

me

"Ogah!" Lindung balas berteriak dari bawah.

"Gue masih waras!"

"Di sini bagus!" Volker berseru pula. Kali ini dalam bahasa Indonesia.

"Segara, mau bantu saya naik ke atas?" tanya Asri

tiba-tiba.

"Baik." Tanpa berpikir lagi, Segara membungkuk

di dekat batang pohon.

"Silakan naik ke atas punggung saya."

"Sini, Ndung," cetus Asri gembira.

"Bantuin

dong."

"Kenapa mesti ambil jalan ini, As," sergah Lindung sambil pura-pura menghela napas berat.

"Kalau

mau sehidup semati, cari dong kuburan yang lebih

enak! Tuh, Laut Jawa belum dikapling!"

91

Dengan bantuan Segara dari bawah dan Volker

dari atas, akhirnya Asri berhasil memanjat pohon

yang cukup tinggi itu. Dia duduk berjuntai dengan

santai di atas dahan. Memandang jauh ke sekeliling.

Volker benar. Pemandangan ke jurang-jurang

yang menganga lebar di sekeliling mereka benarbenar menakjubkan!

"Gadis yang berani," gumam Segara kagum. Tanpa melepaskan tatapannya dari Asri.

"Jangan kuatir," balas Lindung sambil menyeringai lebar.

"Kamu nggak bertepuk sebelah kaki kok.

Asal kuat aja jantungmu!"

"Dia senang bikin kejutan?"

"Dia nggak pernah serius!"

"Pacarnya banyak?"

"Dari Sabang sampai Merauke!"

"Semuanya tidak tahan lama?"

"Tahan sembilan bulan sepuluh hari aja, pasti

udah masuk Guinness Book OfRecords!"

92

BAB IX

SORE hari mereka tiba di tempat yang cocok untuk

berkemah. Segara segera memancangkan tiang untuk

mendirikan tenda.

"Gadis-gadis tidur di dalam tenda ini," katanya kepada rombongannya.

"Saya berjaga di

luar."

"Saya menemanimu," sambung Gustav cepat.

"Dalam kantong tidur ini."

"Good guy!" sindirAsri.

"Biar aja," sambar Lindung lega.

"Sekalian

berjaga, kan? Siapa tahu ada ular keluyuran."

"Atau leak ngeceng!" Lestari tersenyum lega.

Senang karena Gustav begitu memikirkan keselamatannya. Dia siap berjaga di luar kemahnya.

Apa lagi yang perlu ditakuti?

"Saya akan mencari kayu bakar untuk api unggun," kata Segara.

"Ada yang bisa menyiapkan

makanan?"

"Saya ikut kamu!" sergah Asri gesit.

93

"Saya di sini saja menunggui nasi," sambung
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lindung tidak kalah gesitnya.

Lestari tidak usah ditanya. Dia sudah menyingkir bersama Gustav.

Panorama di sana memang sangat indah. Cocok sekali bagi dua sejoli yang sedang mabuk

kepayang. Sambil merangkul bahu Lestari, Gustav membawanya menjauhi kemah.

"Volker!" perintah Asri kepada temannya

yang satu lagi.

"Stay here with Lindung, please!"

"Don ? worry! I 'll take good care other!"

"Take rice aja deh! Hungry nih!"

"Kapan kita berangkat?" Asri menirukan

lagak Segara.

"Tidak lelah?" tanya Segara ragu-ragu. Dia

berbekal sebilah kapak dan seutas tali yang diselipkan di ikat pinggangnya.

"Nggak terasa apa-apa!"

Tetapi ketika merasakan bagaimana buasnya

rimba yang dimasukinya, mau tak mau Asri kelabakan juga. Semak-semak yang rimbun, tajam

menusuki kulit. Tanah yang licin berlumut, naik

turun tak beraturan. Sementara akar-akar pohon

94

yang menjalar dengan kurang ajarnya ke sana

kemari laksana ular melata, menyulitkan langkahnya.

Beberapa kali kakinya tersandung dan dia

terhuyung hampir jatuh. Segara tidak langsung

menolongnya, seperti pemuda lain yang mencari

kesempatan dalam kesempitan. Dia hanya bersiaga. Siap untuk membantu. Tetapi tidak bertindak.

Sebaliknya, Asri juga tidak memperlihatkan tanda-tanda ingin ditolong. Sebaliknya dari

memperlihatkan kelemahannya, dia malah berjuang keras menapaki medan yang asing baginya

dengan tabah dan berani.

Segara begitu mengaguminya. Gadis ini memang luar biasa. Gadis yang telah menarik perhatiannya sejak pertama kali bersua. Bukan hanya staminanya saja yang prima. Keberanian dan

tekadnya pun luar biasa.

Lihat saja bagaimana bersemangatnya dia

mengumpulkan dan mengikat kayu yang telah

dipotong oleh Segara. Dia baru berhenti sesaat

ketika serpihan kayu melukai jarinya. Dan Sega

95

ra langsung menghentikan kerjanya.

"Kenapa?" sergahnya sambil cepat-cepat

menghampiri.

"Ah, nggak apa-apa." Asri buru-buru

menyembunyikan tangannya yang luka.

"Cuma

lecet dikit."

"Coba saya lihat." Tanpa permisi lagi Segara langsung meraih tangan Asri dan memeriksa

jarinya.

"Ada serpihan kayu dalam dagingmu.

Saya harus mengeluarkannya."

Dia mengajak Asri duduk. Dan tanpa menghiraukan protes Asri, berusaha keras mengorek

keluar serpihan kayu itu.

Secercah perasaan aneh menyelinap ke hati

Asri. Dia sering duduk berdekatan dengan seorang pemuda. Tangannya sering digenggam.

Bahkan dibelai. Tapi mengapa kini terasa berbeda?

Asri merasa dadanya berdebar-debar. Persis

ketika pertama kali seorang pemuda memegang

tangannya. Siapa nama pemuda itu? Di mana?

Kapan?

Rudi. Bayangan pemuda ganteng itu me

96

menuhi benaknya. Di depan sekolah. Ketika

pemuda itu membantunya naik ke boncengan

motornya. Saat itu jantungnya memukul keras

sekali. Dag-dig-dug. Dag-dig-dug. Dan irama

seperti itu yang sekarang sedang menggedor jantungnya pula....

Sesudah berhasil mengeluarkan serpihan

kayu itu, Segara memetik beberapa helai daun.

Melumatkannya dengan batu. Dan menempelkan sedikit bubur hijau itu ke luka di jari Asri.

"Pengobatan tradisional," katanya mantap.

"Tapi hasilnya tidak mengecewakan."

"Mega-moga jari saya nggak membusuk dan

perlu diamputasi," gurau Asri.

"Sudah mulai gelap," kata Segara sambil

membantu Asri berdiri.

"Sebaiknya kita kembali."

Asri membungkuk untuk meraih kayu yang

masih berserakan di tanah. Tetapi Segara mendahului mengambilnya. Sekali lagi tangan mereka

bersentuhan. Kali ini, mata mereka bertemu dalam bentrokan diam-diam yang menggetarkan.

Mereka sama-sama tersipu. Dan sama-sama

97

tertegun. Sesaat mereka laksana terbius oleh pesona yang membelenggu sukma.

Segara sering bergaul dengan gadis-gadis.

Tapi belum pernah jatuh cinta. Belum pernah

dia merasa dorongan yang begini kuat mengaliri lenganlengannya. Dia demikian rindu hendak

mendekap gadis itu.

Dadanya terbakar hangus. Hatinya menggelegak bagai magma dalam kawah gunung berapi. Dia harus buru-buru memunguti kayu-kayu

itu untuk memadamkan keinginan yang berkobar-kobar di dadanya.

Asri sudah sering terpikat pada seorang

pemuda. Yang model apa pun bukan barang baru

lagi baginya. Tetapi mengapa yang satu ini begitu tampak berbeda?

Ketika tangan Segara menyentuh kulitnya,

tatkala matanya menangkap tatapan Segara yang

demikian mengundang, Asri hampir terjebak

mengimbau dekapan lengan-lengan yang kuat

itu merengkuh tubuhnya.

Lalu dia melihat Segara buru-buru menghin

dar. Parasnya masih memerah ketika dia berge

98

gas memunguti kayu. Dan Asri merasa lemas.

Ada perasaan kosong yang sekonyong-konyong

menyergap.

"Mari kita kembali ke kemah," gumam Segara tanpa berani menoleh.

***

Menyaksikan panorama pada saat matahari terbenam dari lereng Gunung Rinjani sungguh momen

yang tak terlupakan. Kemegahan alam seperti ingin memamerkan diri pada saat-saat terakhir Batara

Surya meninggalkan mayapada.

Cahaya kuning kemerahan laksana menyirami

langit yang menudungi sepotong lengkung bumi.

Tatkala bola api yang merah membara itu perlahan-lahan bergulir di bibir cakrawala, kegelapan bagai

tirai hitam yang lambat laun menutup.

Selama beberapa saat, keenam anak muda itu

tertegun dibius keindahan yang mereka saksikan.

Bahkan Volker seperti hendak menghabiskan semua

persediaan film yang dibawanya untuk merekam dan

mengabadikan panorama alam yang demikian mempesona.

"Sisakan untuk besok." Segara tersenyum tipis.

"Pemandangan waktu fajar tak kalah indahnya."

"Ada pemandangan yang lebih indah lagi di atas

sana?" sela Lindung.

99

"Jika cuaca cerah, di bibir kawah, kita dapat melihat Gunung Agung di Bali. Bahkan Pulau Sumbawa

membentang di sebelah timur."

"Kita bisa sampai di sana besok?" tanya Volker

dalam bahasa Inggris.

"Tergantung kondisi anggota rombongan," sahut

Segara dengan bahasa Inggris yang tidak memalukan

pengucapan maupun tata bahasanya.

"Jika kita berangkat pagi-pagi, mungkin sebelum tengah hari kita

sudah sampai di sana."

"Berapa jauh, Segara?" desak Lindung cemas.

"Melihat prestasi kita hari ini, saya perkirakan

sekitar tiga-empat jam," Segara tersenyum lunak.

"Enteng!" cetus Asri congkak.

"Kita pasti sampai

di sana. On time!"

Segara tidak menyahut. Tapi air mukanya memperlihatkan keraguan.

***

Makin malam, hawa makin dingin. Segara

buruburu menambah kayu di api unggunnya. Dan

menyuruh teman-temannya berkerubung selimut.

Dia sendiri sudah mengenakan jaket.

"Untung tidak hujan," katanya sambil menaruh

sepotong kayu lagi ke dalam api.

"Kemari semua,

dekat api. Supaya hangat."

100

"Tahu cara yang paling sip supaya hangat?" cetus

Lindung tiba-tiba.

"Jojing!"

Tanpa ragu-ragu dia menarik Volker bangun.

Volker langsung melempar selimutnya dengan gembira. Diiringi I Saw You Standing There yang mengalun dari radio kaset mininya. mereka bergoyang-goyang dengan bersemangat.

"Ayo, As! Jojing!" seru Lindung.

"Tunggu apa

lagi? Jangan bengong aja di situ! Keburu jadi batu

lu!"

Tanpa disuruh dua kali, Asri segera bangkit. Menyambar tangan Segara. Mengajaknya bergoyang.

Separuh terpaksa, Segara mengikuti Asri.

"Saya nggak bisa...," keluhnya malu.

"Kelihatannya dia mokal, As ! " Lindung tersenyum

geli.

"Ayo deh, sama gue dulu! Pemanasan!"

Tapi dengan siapa pun, Segara tetap tidak tertolong. Gerakannya kaku. Tidak luwes. Goyangnya

tersendat-sendat. Menimbulkan gelak tawa temantemannya.

Tetapi karena dipaksa, dia tetap bergoyang terus.

Meskipun tanpa aturan. Dan tidak mengikuti irama.

Mereka baru berhenti ketika Segara menjatuhkan

diri di tanah.

"WO!" desahnya terengah-engah.

"Saya menyerah!"

Asri duduk di sampingnya.

10J

"Lebih capek dari naik gunung?" godanya sambil

tersenyum manis.

"Rasanya jantung ini hampir putus Segara menebah dadanya yang kembang-kempis. Tetapi jelas

sekali dia gembira. Barangkali pengalaman baru

baginya. Tapi baru atau lama, pasti pengalaman yang

menyenangkan!

Asri membaringkan tubuhnya di tanah. Menatap

bintang-bintang yang bertaburan di langit. Begitu

dekat. Begitu cerah. Mereka seolah-olah tersenyum

kepadanya.

Tubuhnya terasa gerah. Hatinya hangat. Dia memang menggigil sedikit. Tapi bukan karena dingin.

Bukan! Dia menggigil karena menahan perasaannya....

Pemuda itu berada demikian dekat dengan dirinya. Pesonanya memancar dengan kuatnya. Memacu
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jantung Asri berdetak menyimpang dari irama yang

seharusnya....

Mengapa daya tariknya demikian kuat? Pikir Asri

bingung. Dia memang ganteng. Kuat. Jantan. Tapi

dia cuma seorang pemuda desa! Dia tidak modis.

Jauh dari trendi. Bukan tipe yang biasa Asri temui di

Jakarta. Apakah karena itu dia jadi amat memikat?

"Cepat pakai selimutmu," kata Segara sambil bangkit hendak mengambil selimut.

"Nanti kedinginan."

"Jangan sekarang!" cegah Asri.

"Mesinku masih

panas!"

102

"Sebentar lagi kamu bakal menggigil kedinginan.

Lekas seka keringatmu. Dan pakai selimut."

Terpaksa Asri mematuhinya. Karena kali ini tampaknya Segara tidak mau dibantah. Mula-mula Asri

merasa tidak enak juga. Dia tidak suka diatur. Apalagi oleh orang yang dibayarnya.

Tetapi lama-kelamaan, secercah perasaan nyaman

menjalari hatinya. Dan dia merasa ganjil. Kapan dia

pernah merasa senang diperintah oleh seseorang? Biasanya, dialah yang memberi perintah!

"Kamu selalu penuh perhatian begini pada gadis

yang kamu antar kemari?" tanya Asri sambil berkerubung selimut.

Segara menatapnya sesaat sebelum menjawab

tegas,

"Tidak." Karena tidak ada gadis yang seperti

kamu!

***

Kekuatiran Segara ternyata beralasan. Cuaca

malam itu sangat dingin. Dan makin malam, makin

bertambah dingin pula.

Rasanya sia-sia saja jaket dan selimut yang mereka dekap erat-erat. Api unggun juga tak mampu mengusir rasa dingin yang kian menggigit.

Lestari-lah yang pertama-tama ambruk. Kepalanya pusing. Tangan-kakinya kesemutan, bahkan nyaris

103

mati rasa. Malam itu saja dia sudah kehilangan nafsu makan. Tak dapat menyantap bekal yang mereka

bawa.

"Rasanya besok kita harus turun," kata Segara

murung, melihat keadaan Lestari.

"Kami masih kuat naik sedikit lagi," berkeras

Asri.

"Tidak usah ke puncak. Kita kan nggak mau

nancepin bendera. Tapi melihat kawah Rinjani dan

Danau Segara Anak, masa nggak bisa? Kepalang kan

udah sampai sini?"

"Danau Segara Anak terletak lebih dari dua ribu

meter di atas permukaan laut. Memang ada tangga

untuk turun ke sana. Tapi kita masih harus menempuh lima-enam jam lagi dari sisi kepundan."

"Kalau malam ini kami bisa tidur nyenyak, pasti besok pagi sudah sehat kembali," bantah Asri penasaran.

"Katamu, dari sini ke atas tinggal tigaempat

jam lagi. Artinya kalau kita berangkat pagipagi, besok tengah hari kita sudah bisa mulai turun ke Segara

Anak."

"Tidak segampang itu. Besok jalan yang kita lalui

lebih sulit. Lebih terjal dan licin. Oksigen pun makin

ke atas makin berkurang. Rasanya teman-temanmu

tidak kuat mendaki lagi."

"Apaan sih Segara Anak?" potong Lindung jemu.

"Kan cuma danau doang. Paling-paling kayak Telaga

Warna, As!"

104

"Segara Anak sebenarnya danau yang muncul

di dalam kawah bekas letusan gunung berapi Rinjani. Lebarnya kira-kira tiga ribu meter. Dalamnya

mencapai dua ribu lima ratus meter. Pemandangan

di sana memang sangat mengagumkan. Lebih-lebih

pada saat cuaca cerah. Air danau yang kehijauhijawan

mungkin akibat bias pohon-pohon cemara yang

tumbuh di sekelilingnya, tampak tenang menggoda.

Dilatarbelakangi oleh bukit karang yang terjal dan

kokoh... rasanya tak ada kata-kata yang tepat untuk

melukiskan keindahan alam di sana."

"Suatu saat aku pasti ke sana," janji Asri mantap.

Tetapi di sisi lain, Lindung yang sedang menggigil kedinginan berkerubung selimut, sudah mengomel

dengan gemas,

"Sialan, kenapa aku bisa berada di sini?"

Di dalam kemah, Lestari tergolek lemah di balik

selimut. Wajahnya pucat. Seluruh tubuhnya menggeletar kedinginan. Bibirnya yang membiru sudah tak

sempat menggerutu lagi.

Memang salahnya sendiri. Dia pulang terlambat.

Terlalu hanyut terbawa emosi. Akibatnya dia terlambat makan. Mungkin masuk angin.

Bukannya berdiang di dekat api untuk mengusir

hawa dingin. Dia malah pergi menjauh bersama Gustav.

Pengalamannya saat itu memang tidak terlupakan.

105

Rasanya tidak mungkin lagi ditukar dengan apa pun.

Bahkan keadaannya saat ini pun tidak cukup untuk

membayar penyesalannya seandainya dia tidak mengalami momen-momen yang begitu indah.

Ternyata Gustav sangat romantis. Dan ternyata,

cinta tidak mengenal bahasa. Tidak mengenal perbedaan budaya dan warna kulit.

Gustav lebih berani menyatakan perasaannya.

Lebih terbuka dibandingkan Tomi. Dan suasana di

sana sangat menunjang.

Alam yang indah, suasana yang sepi, jauh dari rumah, dengan mudah membangkitkan nuansa romantis yang membius jiwa remaja mereka.

Ketika Gustav menciumnya, Lestari tidak merasakan apa-apa kecuali kebahagiaan. Bahkan rasa dingin seperti menyingkir sekejap. Kehangatan ciuman

itu menjalar dari bibir ke hatinya. Membakar jiwanya. Dan membiaskan kehangatan ke seluruh pembuluh darah di tubuhnya.

Tetapi ketika mereka kembali ke perkemahan, Lestari mulai merasa tidak enak. Badannya lemas. Perutnya mual. Kepalanya pusing. Dan napsu makannya hilang.

Sia-sia Lindung dan Gustav memaksanya makan.

Lestari diserang oleh rasa dingin yang luar biasa

sampai jari-jarinya seperti kehilangan rasa.

Dia memilih masuk ke tenda. Berbaring di balik

106

selimut. Tetapi di sini pun keadaannya tidak menjadi

lebih baik.

Dia malah ingat Tomi. Dan segurat perasaan bersalah menoreh hatinya.

Sudah hampir dua tahun mereka pacaran. Semua

temannya rasanya sudah tahu, dia pacar Tomi. Biarpun belum disahkan dengan surat, tidak ada lagi

yang berani mengajaknya pergi berdua. Sepertinya,

Lestari sudah milik Tomi.

Tomi juga demikian. Dia tidak akan mengajak

gadis lain kalau Tari tidak ikut. Dan malam Minggu, dosa rasanya kalau tidak apel ke rumah Lestari.

Hujan atau angin, pusing atau mules, dia pasti hadir

di sana.

Nah, mengapa sekarang Tari begitu mudah

melupakannya? Gustav baru dikenalnya beberapa

hari. Mengapa pemuda itu sudah mampu menjeratnya sampai demikian lengket?

Ah, Lestari merasa berdosa kepada Tomi! Sudah

diberikannya bibirnya kepada Gustav. Padahal Tomi

baru pernah mengecup pipinya dua kali!

Lestari memang bukan Asri. Dia alim dan setia.

Penyelewengannya dengan Gustav membuatnya

merasa mengkhianati Tomi. Dan perasaan bersalah

yang menyiksa itu tambah melemahkan staminanya.

Esok paginya, dia bukan hanya tidak bisa makan.

Dia malah tidak bisa bangun. Padahal Segara sudah

107

membangunkan mereka pada saat matahari terbit.

"Jangan lewatkan pemandangan alam yang sangat

mempesona pada waktu fajar," katanya kepada anggota rombongannya.

Asri sudah langsung keluar. Lindung meskipun

masih berkerubung selimut, ikut merayap keluar dari

tendanya. Di luar, Volker sudah repot dengan kameranya.

',,

"Bagus cetusnya berulang-ulang dalam bahasa

Indonesia. Sementara Gustav sudah buru-buru menghampiri Lindung begitu melihat gadis itu merayap ke

luar.

"Selamat pagi," sapanya dalam bahasa Indonesia.

"Tari bangun?"

"Belum," sahut Lindung, juga dalam bahasa lndo

nesia.

"Sakit!"

108

BAB X

AKHIRNYA Asri menyerah. Dia menyadari, Lestari

benar-benar sakit. Tidak mungkin meneruskan perjalanan.

Asri memang belum berbicara langsung dengan

Lestari. Tetapi Lindung sudah membuat laporan

lengkap sebelum Asri sempat bertanya.

"Kalau kita naik pagi ini, besok pagi kita baru bisa

turun," kata Segara, mantap seperti biasa.

"Artinya

nanti malam, kita masih harus bermalam di tempat

yang lebih dingin lagi. Rasanya Tari bakal ambruk,

As."

"Oke, kita turun," sahut Asri sama tegasnya.

Gustav sudah lebih dulu menyatakan tekadnya.

Dia akan tetap membawa Lestari turun. Biar yang

lain tidak ikut sekalipun. Dia malah sudah bersedia

menggendong Lestari kalau perlu.

"Kalau Tari turun, kita juga turun," potong Lindung mantap.

"One for ALL and ALL for one."

Segara langsung membongkar tenda. Mengemasi

barang-barang mereka. Dan menyuruh rombongannya sarapan lebih dulu.

Gustav mencoba menyuapi Lestari. Tetapi Tari

109

tetap tidak bisa makan, sekalipun Gustav meminjamkan mulutnya. Dia hanya dapat menelan air.

,

"Gimana bisa jalan,, keluh Lindung cemas.

"Makan aja nggak bisa!"

"Gendong," sahut Gustav seperti mengerti kecemasan Lindung.

"Oh, nggak usah!" sanggah Lestari lemah.

"Aku

masih kuat jalan!"

"Saya akan memapahmu," tukas Gustav dalam

bahasa Inggris.

"Jangan kuatir."

"Barang-barangmu biar saya yang bawa," sela

Volker.

"Kamu dan Segara memapah Lestari."

"Makanan dan sebagian air kita buang," usul Asri.

"Supaya aku bisa membantu bawa barang. Jalan

menurun kan tidak begitu berat."

"Tapi lebih berbahaya," sanggah Segara.

"Jangan

membawa beban terlalu banyak. Tapi air jangan dibuang. Jika nanti siang cuaca panas dan kita kurang
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minum, kita bisa pingsan."

"Jadi bagaimana maumu? Kamu yang mau bawa

semuanya?"

"Tinggalkan saja yang tidak penting di sini. Saya

akan kembali mengambilnya sesudah mengantar kalian ke losmen."

"Top guy!" cetus Lindung sambil menghela napas.

Dia melirik Asri. Dan merasa heran karena kali ini

si pemimpin cerewet tidak membantah.

110

***

Mereka sampai di losmen kembali menjelang

magrib. Perjalanan membawa orang sakit ternyata

tidak mudah. Biarpun jalan terus menurun. Mereka

harus sering berhenti untuk beristirahat.

Ayah Segara langsung menyediakan makanan dan

minuman hangat untuk tamu-tamunya. Dan ketika

sedang menghirup secangkir teh panas, Lindung bersyukur dia masih hidup. Dia sudah jera. Tidak mau

naik gunung lagi.

"One for ALL and ALL for one tidak berlaku untuk mendaki gunung," katanya pada Asri, yang tampaknya belum kapok.

"Kalau kamu mau nemenin Segara manjat tujuh puncak dunia sekalipun, aku WO."

"Kalau pergi sama dia lagi, masa bawa kamu sih,

Ndung?" gurau Asri, yang paling segar di antara

mereka bertiga.

"Tiga kan kelewat banyak!" Belum

pernah mereka makan selahap itu. Sungguhpun yang

dihidangkan ayah Segara hanya nasi putih yang masih berkepul-kepul asapnya dan ikan bakar.

Bahkan si bawel Lindung kali ini tidak mengomel,

ikan lagi, ikan lagi....

Sayang Lestari tetap belum dapat makan. Dia hanya menelan dua suap nasi. Itu pun dibujuk Gustav.

Lindung langsung mengantarnya ke kamar. Tentu

saja dia buru-buru balik lagi ke ruang makan. Dan

111

memindahkan ikan bakar di piring Lestari ke piringnya sendiri.

***

Ketika Asri masuk ke kamar, Lindung sedang

melumuri dada dan punggung Lestari dengan minyak angin. Lestari duduk separuh membungkuk di

tempat tidur. Terus-menerus bertahak mengeluarkan

angin dari perutnya.

Melihat keadaan temannya. rasa kesal Asri

langsung lenyap. Dia mengambil sekeping uang

logam. Dan meraih botol minyak angin dari tangan

Lindung.

"Minggir, Ndung," katanya sambil mendesak

Lindung ke samping.

"Kukeroki ya, Tari?"

Lindung buru-buru menggeser duduknya dan

menimpali,

"Iya dong, biar anginnya keluar semua. Kamu

pasti kualat sama Mbah Rinjani sampai kemasukan

angin jahat begini!"

"Bukan, dia telat makan!" potong Asri sambil

duduk di belakang Lestari.

"Atau kebanyakan cuap-cuap mengumbar janji!

Jadi anginnya ikut masuk ke perut!"

Lestari diam saja. Tetapi ketika merasakan jarijemari Asri di kulitnya, setitik keharuan menyelinap

ke sanubarinya.

112

"Trims berat, ya," katanya selesai Asri melumuri

tubuhnya dengan minyak.

"Damai di bumi," Lindung menghela napas lega.

Ketika Asri kembali ke kamar setelah mencuci

tangan, Lestari telah berbaring di tempat tidur. Lindung sedang menyelimutinya.

Tatkala Asri masuk, dia menoleh. Dan mata mereka bertemu dalam tatapan yang sama-sama penuh

penyesalan.

"Sori ya, As," bisik Lestari lemah.

"Sama-sama deh," sahut Asri sambil memeluk sahabatnya.

Entah karena pelukan itu, entah karena kerokan

di punggung dan di sisi perutnya, Lestari merasa

separuh penyakitnya telah menyingkir.

***

Pagi-pagi Gustav sudah muncul di kamar mereka

membawa semangkuk bubur ayam. Tentu saja buat

Tari. Buat siapa lagi. Dia melayani Lestari makan

dengan cermat sekali sampai Tari demikian terharu

merasakan perhatiannya.

"Dia emang cocok buat kamu, Tari," cetus Lindung setelah Gustav meninggalkan kamar mereka.

"Dia anak sulung. Sifatnya selalu ingin mengayomi.

Kamu bungsu. Perempuan satu-satunya pula. Man

113

ja. Selalu kepingin dilayani. Nah, pas, kan? Emang

jodoh dari sananya, kali!"

"Tapi aku merasa berdosa sama Tomi, Ndung!"

"Ah, cuek aja! Siapa suruh dia nggak mau ikut!

Kamu kan udah bilang mau kemari."

"Dia kan nggak tahu kenapa aku ngotot ke sini!"

"Makanya dia keki sama kamu, kan?"

"Kami sempat ribut berat waktu itu."

"Nah, salahnya sendiri! Tahu doi kece, dilepas

ngeluyur sendirian! Nyesel deh dua belas turunan!"

"Tapi aku tetap merasa bersalah, Ndung. Kami

kan udah dua tahun pacaran. Masa begitu ketemu cowok lain, aku langsung pindah jalur? Berkhianat tuh

namanya!"

"Bukan berkhianat," sela Asri tegas.

"Kamu cuma

nyobain yang lain! Selama ini kamu kan cuma tahu

Tomi. Kamu lupa, di luar masih beredar banyak cowok cakep!"

"Tapi Tenri cowokku, As! Apa namanya pacaran

kalau saban lihat cowok cakep aku minggat?"

"Kan aku udah bilang, pacaran itu kayak milih

baju. Kalau kamu nggak pernah cobain yang lain,

mana kamu tahu baju yang paling pas?"

"Nah, dengerin tuh pakar gonta-ganti pacar!"

Lindung menyeringai masam.

"Untung aja di Jakarta

cuma ada satu cewek model kamu, As. Ada dua aja,

meluap deh Ciliwung sama limbah cintamu!"

114

"Mendingan gonta-ganti pacar kan daripada nanti

gonta-ganti suami? Ngurus suratnya aja repot! Sekarang kan belum ada BPKB-nya. Mumpung masih

bisa pindah tangan sehari dua kali!"

"Makanya kamu dicap piala bergilir, As!"

"Ah, dia cuma belum ketemu yang pas aja!"

"Siapa bilang? Nggak lihat top guy yang bantu

bawa kamu turun kemarin?"

"Penampilannya sih oke. Tapi cowok gunung

kayak gitu, mana cocok sama si kuda liar kita ini?"

"Eh, lihat aja nanti! Kalau udah ketemu slahnya,

nggak usah yang keren, nggak perlu yang trendi, Asri

lain lho! Takluk dan tunduk kayak kodak buduk!"

"Iya, tapi berapa lama? Sampai dia ketemu baju

yang lebih modis lagi? Jangan lupa, model selalu

berubah! Kalau kamu ganti pacar kayak ganti baju,

kamu bisa jadi perek, As!"

"Cuek aja," sahut Asri acuh tak acuh.

"Pacaran

kan sementara. Suami seumur hidup. Kalau nggak

kritis dari sekarang, kapan lagi? Aku ogah kayak

nyokap. Belum lama kawin udah ditinggal kabur!"

"Katanya ayahmu kabur waktu umurmu tiga tahun!"

"Ya tiga tahun kan belum lama? Ibarat mobil, belum perlu turun mesin! Tahu kenapa? Ayah cinta pertama. Ibu nggak sempat milih-milih lagi."

"Ortuku juga cinta pertama," potong Lestari penasaran.

"Kok awet?"

115

',,

"Kebetulan aja pas! Atau... belum

"Sialan! .Jangan nyumpahin dong. Aku kan nggak

mau jadi anak produk broken home!"

"Menurut pendapatku, bagaimanapun cocoknya

suami-istri, pasti ada aja yang cerai," komentar Lindung, meskipun tidak ada yang minta pendapatnya.

"Kita emang mesti ekstra hati-hati milih pacar. Tapi

aku nggak setuju kalau bongkarpasang terus kayak

si Asri! Sampai kapan dia mau merekayasa cowok?"

"Yang paling aman jantungmu ya, Ndung. Kamu

nggak pernah pacaran. Akibatnya nggak pernah patah hati. .Jangan-jangan kamu lines, kali!"

"Cowok aja nggak ada yang mau, apalagi cewek!"

Lindung menyeringai pahit.

"Diobral juga belum ada

yang nawar!"

"Buka kartu nih, Ndung, kamu juga naksir Tomi,

ya?"

"Yang bener aja, As! Emangnya dia buta? Ada cewek gemerlapan macam Tari masih melirik bangku

cadangan?"

"Sebetulnya dia kan sohibmu. Kamu yang ngenalin dia sama Tari. Eh, tahu-tahu dibajak!"

"Nggak apa-apa, As. Belum ada hak ciptanya

kok! Yang udah ada hak ciptanya aja masih sering

dibajak!"

"Aduh, Ndung! Kamu ngomong apa sih? Aku jadi

nggak enak nih!" protes Tari penasaran.

116

"Kalem aja, Tari. Kamu kan udah kasih komisi."

"Apaan komisinya?" sela Asri ingin tahu.

"Bando."

"Buset! Apa nggak sadis tuh? Teman ditukar bando?"

"Daripada kamu?"

"Aku nggak pernah kasih bonus kok sama mantan-mantanku!"

"Tahu nggak sih kamu, si Danu dan si Robi berantem gara-gara kamu?"

"Sebodo amat! Nggak ada yang minta aku jadi

wasit kok!"

"Tapi kamu pialanya!"

"Enak aja! Berani bayar berapa?"

"Mereka kan berantem berebut nganterin kamu ke

pesta perpisahan sekolah. Eh, tahu-tahu kamu milih

si Norman! Apa nggak sadis tuh? Mereka kecewa berat sampai hampir terjun dari kantor kepala sekolah!"

"Kantor kepala sekolah kan dilantai dasar, gombal!"

"Kalau di lantai dua, mereka nggak mau terjun!

Takut jadi hantu gentayangan!"

"Itu bukan dongeng, As," Lestari cepat-cepat

menimpali.

"Aku dengar juga versi si Danu. Dia keki

berat kamu milih si Norman."

"Ah, cuek aja! Kenapa cuma cowok aja yang
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

boleh milih? Cewek juga punya hak pilih, kan? Ini

zaman emansipasi, Cing!"

117

"Untung aja kamu nggak minta emansipasi waktu

Segara dan Gustav ngangkut Tari kemarin!"

"Eh, aku juga kuat gendong Tari! Sepatunya doang sih

118

BAB Xl

ASRI gelisah sekali ketika sampai waktu makan

siang, Segara belum muncul juga. Dia sedang kembali ke tempat camping mereka untuk mengambil barang-barang yang ditinggalkan di sana.

Sebelum berangkat tadi, mereka sempat ngobrol.

Dan Segara sudah berjanji akan kembali sebelum

Asri meninggalkan losmen.

"Tumben kamu kelimpungan kayak monyet alergi, As," sindir Lindung.

"Biasanya kan kamu yang

paling kalem!"

"Sebentar lagi kita udah mesti cabut, N dung.

Ntar limousine kita keburu gone with the wind!"

"Dan kamu masih nungguin Robin Hood-mu?"

"Dia udah janji mau pulang buru-buru."

"Biasanya kamu selalu cuek! Apa ini pertanda

kamu udah nemu baju yang pas?"

"Pantas aja dia nggak kayak orang desa, Ndung.

Dia anak sekolahan sih. Rumahnya di Mataram. Di

sini cuma kalau libur."

"Wah, buka-bukaan ni yee?"

"Ternyata dia cuma part time guide, Ndung."

"Ya, asal jangan part time lover aja!"

1 19

"Dia tahu tentang si Norman, As?" potong Lestari.

"Buat apa dia tahu?"

"Kamu nggak bilang?"

"Bilang apa?"

"Kamu udah punya pacar!"

"Buat apa?"

"Nggak merasa salah?"

"Otakmu pasti salah tempat!"

"Bukan otakku! Nuraniku yang terusik!"

"Rasain! Suka godain kucing kawin sih!"

"Apa hubungan nuraniku sama kucing kawin?"

"Kenapa tanya aku? Itu silsilah keluargamu,

kan?!"

"Makin lama otakmu makin atrofi, As! Mudahmudahan aja kali ini kamu serius, Segara yang enggak! Biar kamu ngerasain juga patah hati. Belum

pernah, kan? Nah, cobain deh sekali-sekali!"

"Jahatnya! "

"Biar kamu lebih manusiawi!"

"Emang orang yang belum pernah patah hati bukan manusia?"

"Yang terang, yang spesialis tukang matahin hati

orang seperti kamu yang bukan manusia!"

"Lho, hati siapa yang pernah kupatahin?"

"Masih nanya lagi! Tuh, di gudang sekolahan,

korbanmu bertumpuk-tumpuk! "

"Ah, itu sih bola bekas!"

120

***

"Tari, kamu lihat si Asri?" tanya Lindung setelah

pusing mencari-cari sang pemimpin.

"Kok dari tadi

nggak kelihatan?"

"Paling-paling lagi bikin opera sabun dulu," sahut

Lestari seenaknya.

"Opera sabun? Apa lakonnya?"

"Perpisahan di lereng Rinjani."

"Emang Segara udah datang?"

"Udah dari tadi."

"Kasihan ya tu anak. Sekalinya serius, cuma tiga

hari!"

"Hukum karma, kali!"

"Eh, kok masih pada di sini?" cetus Asri yang

baru muncul dari pintu luar.

"Ayo, cabut!"

"Cabut gigimu! Enak aja. Kan mesti bayar dulu.

Emangnya losmen ini punya mertuamu?!"

"Kok kamu nggak kelihatan stress berat sih, As?"

Lindung melongo heran.

"Kirain matamu udah bengkak!"

"Kenapa bengkak? Nggak ada tawon, nggak ada

semut?"

"Perpisahannya nggak pakai acara nangis?"

"Pokoknya kejutan berat deh!" Asri tersenyum

lebar.

"Ayo, Tari, bayar dong! Tunggu apa lagi sih!"

"Tunggu diskon khusus!"

12J

***

Ayah Segara tidak dapat menerima kartu kredit.

Terpaksa Lestari membayar kontan.

"Percuma berat-berat gue bawa ni kartu," gerutunya jengkel.

"Nyempit-nyempitin tas gue aja!"

"Mendingan lu gantung aja deh di dada buat

nangkal angin jahat!" gurau Lindung sambil menggendong ranselnya mengikuti Asri keluar.

Sementara Lestari melenggang di belakangnya.

Soalnya ranselnya sudah ada yang membawakan.

Siapa lagi kalau bukan Gustav. Itu memang gunanya cowok, kan? Kalau lagi pacaran, mereka memang

makhluk yang paling baik di dunia, selain ayam tentu

saja.

Gustav sudah menunggu dengan setia di halaman

losmen. Begitu Tari muncul, dia langsung menghampiri. Persis ayam dibawakan beras. Bedanya dia tidak

mematuk. Cuma menyapa. Mesra. Dan cuma Tari

yang mendengar. Makanya cuma dia yang tersenyum.

Mesra juga.

Lindung tidak keburu senyum. Soalnya dia sedang melongo heran.

"Naik gunung lagi?" sapanya heran bercampur

curiga pada Segara yang sudah siap tinggal landas.

"Turun," Asri yang menyahut. Gesit.

"Ngapain?"

122

"Biasa. Nunjukin jalan."

"Nunjuk-nunjuk jalan siapa?"

"Jalan kita dong! Telmi lu ah!"

Kalau Lindung bengong, kali ini benar-benar

karena bingung.

"Bapaknya kasih exit permit? Impossible!"

"Sekarang nggak perlu lagi exit permit! Keluar

dari rumah sendiri kan nggak perlu minta izin! Tapi

mesti bayar fiskal!"

"Ngaco lu ah! Kepala gue jadi mules!"

"Lu apain babenya sampai dia begitu lembek, As?

Tadi gue nawar lima ribu aja nggak dikasih!"

"Babenya sih bukan bagian gue, Tari! Udah hampirjadi sejarah!"

"Ini kali gratis, kan, As?" potong Lestari kuatir.

"Saya memang barus pulang ke Mataram," sela

Segara santai.

"Kebetulan Asri ngajak ke Pantai

Senggigi dulu."

Sekarang, baik Lindung maupun Lestari samasarna menoleh ke arah Asri dengan kagum.

"Bukan main lu, As!" bisik Lindung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sekalian ajak deh ke

"19

Jakarta! Tanggung

***

"Ke Jakarta sih nggak dulu deh, Ndung," kata

123

Asri santai ketika mereka sudah sampai kembali di

Pantai Senggigi.

"Dia kan cuma jatah di Lombok."

"Bukannya kamu yang bilang ini kali mau serius?"

"Tiap kali juga serius."

"Jadi yang ini juga termasuk korbanmu yang berikutnya, As?"

"Lho, aku kan bukan carnivor!"

"Kamu lebih kejam dari binatang buas!"

"Karena aku harus pulang ke Jakarta?"

"Karena kamu tega ngecewain dia! Jahat kamu!"

"Habis mau gimana lagi? Masa mesti kukantongi

dia ke Jakarta?" Asri tertawa geli.

"Aku kan belum

mau kawin, Ndung! Nggak ingat petuah Bu Arum,

menikah terlalu muda merusak keturunan!"

"Ah, itu kan cuma alasanmu buat mendepak Segara!"

"Emangnya bola!"

"Dia bukan Norman, As! Bukan Rudi. Bukan Rivai. Bukan Danu. Bukan Robi. Bukan..."

"Lagi absensi kelas, Ndung?" sela Tari yang baru

masuk ke kamar mereka.

"Absensi korbannya Asri," sahut Lindung ketus.

"Calon korban berikutnya, Segara."

"Ah, kalau calon korban masa dibawa kemari?

Nggak lihat kayak apa lengketnya mereka di jalan

tadi? Lem tikusjuga kalah!"

124

"Tapi Asri bilang, Segara cuma jatah di Lombok!

Sadis nggak?"

"Soalnya aku belum mau serius sama satu cowok

aja."

"Takut ditinggal kayak ibumu?"

"Nggak semua cowok kayak ayahmu, As! Yang

setia kayak ayahku juga banyak!"

"Tapi kalau nggak cakep kayak ayahmu kurang

sip, Tari."

"Tahu isi doaku, As?"

"Boleh tahu?"

"Moga-moga kamu jatuh cinta setengah hidup

sama cowok yang jeleeek sekali!"

"Ih, sadis!"

"Biar tahu rasa!"

125

BAB Xll

SEBAGAI orang Lombok, pemandu Wisata pula,

Segara punya banyak kenalan di Senggigi. Dengan

sepeda sewaan Volker, dia mengajak Asri mencari

teman-temannya. Menyebarkan info tentang ayah

Asri. Dan memperlihatkan fotonya.
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan kuatir, As," hibur Segara ketika tidak

seorang pun yang mengenal orang yang mereka cari.

"Kalau mereka dapat info tentang ayahmu, mereka

janji akan menemui kita di cottage."

"Percuma! Nggak ada yang tahu tempat itu kecuali leak yang lagi ngeceng!"

"Sudah saya jelaskan lokasinya. Jangan terlalu

pesimis."

Pak Muluk memang sudah berangkat ke Gili bersama pacarnya. Dan Paman Waliki sudah menempelkan kembali papan Waikiki Cottage di pohon di

depan pondoknya.

Tetapi Asri tetap pesimis. Menurut pendapatnya, cuma kelelawar yang kebetulan lewat yang bisa

membaca tulisan itu. Itu pun kalau kelelawarnya tidak buta huruf. Dan tidak lupa bawa kacamata.

"Kita pasti dapat menemukan ayahmu, As," hibur

Segara mantap.

"Saya janji."

126

"Janji pramuka apa janji pemuda, nih?"

"Apa bedanya?"

"Di Jakarta sih sama aja. Macet!"

"Apa?"

"Jalanannya."

"Ngomong sama dia emang mabok!" potong

Lestari sambil tersenyum masam melihat Segara

mengerutkan dahi. Bingung barangkali.

"Jangan

diladeni deh. Pikirannya udah nggak bisa jalan lurus

lagi. Serobot sana, sikat sini. Melompatlompat kayak

orang sakit saraf!"

Lindung yang baru keluar dari dalam cottage

langsung menimpali,

"Makanya jangan keseringan dekat-dekat dia, Segara! Ntar ketularan, nggak sampai tu turis-turis di

puncak Rinjani!"

Segara cuma tersenyum. Terus terang dia memang kadang-kadang bingung melayani gadis yang

satu ini. Tetapi dia tetap menyukainya. Rasanya tambah ganjil adatnya, tambah menarik juga dia!

"Bagaimana kalau besok pagi kita ke Batu

Bolong?"

"Ngapain?"

"Cari ayahmu."

"Siapa tadi yang janji pasti bisa menemukan

ayahku?"

"Saya."

127

"Nah, janji mana boleh diutang sih? Kenapa mesti

tunggu besok?"

***

Asri tidak tahu Segara sungguh-sungguh ingin

mencari ayahnya atau cuma ingin mengajaknya berjalan-jalan. Atau... kedua-duanya?

Bersepeda ke Batu Bolong tidak mudah. Dan

cukup jauh. Tapi amat berkesan. Bahkan hujan yang

mulai turun ketika mereka masih di perjalanan tidak

mengurangi kenikmatan perjalanan itu.

Mereka mengobrol terus sepanjang jalan. Segara memperlihatkan rumah-rumah tradisional Sasak

yang mereka lewati. Dan akhirnya, mereka sampai

juga di Batu Bolong.

"Lihat batu karang berlubang besar yang di dekatnya ada pura Hindu itu?"

"Ya," sahut Asri sambil bersin.

"Dari sanalah tempat ini memperoleh nama Batu

Bolong!"

"Boleh tanya?" tanya Asri sambil bersin sekali

lagi.

"Apa saja," sahut Segara bersemangat, seperti

profesor yang mendapat pertanyaan dari mahasiswinya tentang bahan kuliahnya.

"Kamu tidak mengajak turis-turis yang kamu

bawa berteduh kalau hujan?"

128

"Kamu takut basah?"

"Saya kan nggak waterproof!"

Dan ketika sedang berlari-lari menuntun sepeda

mencari tempat berteduh, ketika sedang duduk berimpit, berlindung di bawah bentangan jaket Segara,

sebuah perasaan aneh menjalari hati Asri.

Perasaan yang belum pernah menyentuh nuraninya selama ini. . .. Inikah cinta?

Dia sering jatuh hati pada seorang pemuda tampan. Yang tidak terlalu ganteng pun, asal gaya, pasti

tidak dilewatkannya. Tapi perasaan seperti ini belum

pernah dirasakannya! Dan tiba-tiba saja Asri merasa

takut....

Segara pun seperti merasakan gelora emosi yang

sama. Dia belum pernah jatuh cinta. Dia tidak tahu

bagaimana rasanya. Tetapi ketika cinta itu datang,

dia sudah mengenalnya biarpun belum pernah merasakannya.

Ketika hujan sudah berhenti, digenggamnya tangan Asri. Dibawanya gadis itu keluar dari persembunyian mereka. Dan dia tidak mau melepaskan tangan gadis itu lagi biarpun dia harus mengayuh sepeda

dengan hanya sebelah tangan memegang kemudi.

Langit telah cerah kembali tatkala mereka sampai

di Senggigi. Segurat bianglala terlukis di angkasa.

Warna-warninya tampak demikian indah dilatarbelakangi oleh sepotong langit biru, seakan melukiskan

129

dengan puitis pelangi kasih yang tengah merona di

hati kedua remaja itu.

***

Sambil makan pun Segara masih bertanya-tanya

ke pemilik warung. Sementara Asri duduk menunggu

seorang diri di mejanya. Dan dua orang pemuda yang

kebetulan lewat menyapanya dengan kaget.

"Asri! Kamu di sini?!"

Cuma ada seorang temannya yang punya suara

sekeras itu. Biarpun orang sekampung sedang tidur,

dia tidak peduli.

Asri mengangkat wajahnya. Dan dugaannya memang tidak meleset.

"Astaga! Ngapain pada kemari? Udah nggak ada

makanan di Jakarta?!"

"Ngapain lagi?" Norman langsung duduk di dekat

Asri tanpa diundang.

"Cari kamu!"

"Mana Tari, As?" serobot Tomi tidak sabar.

Celaka dua belas, pikir Asri. Bisa pecah perang

nih! Gimana kasih tahu Tari Tomi ada di sini? Kirim

teleks suruh dia ngumpet di kolong tempat tidur?

Segara agak heran ketika melihat Asri sedang

mengobrol dengan dua orang pemuda. Dari dandanannya saja sudah jelas bukan orang sini. Tapi dia

diam saja sampai Asri melihatnya dan memanggilnya.

130

"Kenalin, teman-teman sekampung. Yang rambutnya dikuncir ini Norman. Yang keriting tuh Tomi."

"Segara." Sambil menyodorkan tangan Segara

menyebutkan namanya.

"Selamat datang di Lombok."

"Ah, kayak guide aja lagak lu

gurau Norman

yang biasanya ceplas-ceplos. Dia langsung tertawa

keras, seolah-olah cuma dia sendiri yang punya telinga.

"Itu memang pekerjaan saya."

"Betul?" Norman terbelalak heran.

"Si Asri udah

nyanggup sewa guide? Aje gile lu, As! Lagak lu kayak anak konglomerat aja!"

"Boleh dong sekali-sekali. Tapi ngomongngomong mulut lu disetel tuh! Kecilin volumenya!"

"Pada ke mana Tari dan Lindung, As?" desak

Tomi curiga.

"Punya guide sendiri-sendiri?"

"Rasain! Doi kece lu lepas jalan sendiri!"

"Makanya gue ngebut kemari!"

"Wah, udah telat seminggu!"

"Serius, As! Bener Tari punya cowok orang sini?"

"Orang sini! Orang luar angkasa! Matanya biru

rambutnya kuning!"

"Kok cepet banget?" Norman menyipitkan matanya.

"Kalian lagi cuci gudang, ya?"

"Ajak aku ke sana, As!" pinta Tomi bernafsu.

"Ogah ah! Ntar aku dicap agen dobel!"

131

"Dia masih tidur sama kamu, kan?"

"Otak lu ngeres, Tom!"

"Kalau begitu kubuntuti kamu sampai ke tempat

tidur!"

"Pipimu belum pernah kena tempeleng?"

"Aku cuma ingin ketemu Tari!"

"Lebih baik kamu pulang aja."

"Mana rasa setia kawanmu, As?"

"Mana kawanku yang setia itu? Pinjam duit aja

nggak boleh!"

"Mana aku tahu kalian serius!"

"Aku juga nyesel, As," sela Norman sungguh-sungguh.

"Kalau roda sejarah bisa diputar kembali..."

"Kamu pasti pasang buntut terus! Udah tahu nomor yang bakal keluar, kan?"

"Saya bayar makanan dulu, As." Segara sengaja

menyingkir. Bukan kepalanya saja yang pusing mendengar ocehan mereka. Perasaannya pun tidak enak.

Pemuda yang rambutnya panjang diekor kuda

itu tidak terlalu tampan. Tetapi tubuhnya besar.

Dandanannya modis. Trendi. Penampilannya up to

date. Perilakunya mencerminkan cowok masa kini.

Komersil. Kasar. Pantang menyerah. Kalau perlu,

bandel dan kurang ajar sedikit. Yang penting gaya.

Lain dari yang sama.

Tetapi bukan hanya itu yang membuat perasaan

132

Segara tidak nyaman. Dia mengendus hubungan

yang lebih dalam daripada sekadar teman antara

pemuda itu dan Asri.

Ya, memang bodoh mengharapkan gadis yang begitu menarik seperti Asri belum mempunyai pacar.

Memangnya semua pemuda Jakarta buta?

Yang lebih membingungkan lagi, sikap Asri tampak meragukan. Dia tidak begitu lengket dengan

Norman. Tetapi pada Segara pun sikapnya tidak semanja seperti ketika Norman belum muncul.

Tentu saja Segara tidak tahu, bukan Norman penyebabnya. Asri sedang berperang dengan

perasaannya sendiri.

Dia menyukai Segara. Tetapi semakin dia merasa

menyukai pemuda itu, dia semakin resah.

"Jangan pacaran dulu," itu petuah ibunya tiga kali

sehari.

"Belajar saja yang giat. Hidup ini menyenangkan kalau kamu belum mengenal cinta!"

Wah, itu tentu pengalaman pribadi Ibu. Cinta

membuat hidupnya merana. Tapi bukankah cinta itu

menjadi indah justru karena kadang-kadang dia terasa menyakitkan? Uh, masochis, ya?

133

BAB XIII

TERNYATA yang bingung bukan cuma Asri. Ketika mereka sampai di cottage, ternyata Paman Waliki
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga sedang kebingungan.

Seorang wanita yang sedang hamil tua baru saja

tiba di cottage itu. Dia mencari Pak Muluk.

"Pak Muluk sudah berangkat ke Gili," sahut

Paman Waliki bingung.

"Ibu siapa? Kenapa datang

kemari sendirian malam-malam begini?"

"Pak Waliki lupa ya sama saya?" Perempuan itu

balas bertanya dengan sedih.

Paman Waliki mengawasi perempuan itu lebih

cermat lagi. Wah, rasanya bukan lupa. Memang benar-benar tidak kenal!

"Apa saya kenal Ibu?" gumam Paman Waliki

ragu-ragu.

"Saya Ina, Pak. Tahun lalu, Pak Muluk membawa

saya bermalam di sini...."

Astaga. Paman Waliki mengurut dada. Bagaimana dia bisa ingat? Lha tiap kemari Pak Muluk tidak

pernah dua kali membawa gadis yang sama!

Semuanya muda-muda. Cantik-cantik. Genit-genit. Sulit dibedakan!

134

"Silakan masuk dulu, Bu." Paman Waliki cepatcepat mengubah sikapnya.

"Taksinya jangan disuruh

pergi dulu ya, Bu. Cari taksi di sini malam malam begini kan susah."

"Rasanya malam ini saya sudah tidak kuat ke mana-mana lagi, Pak. Saya mau bermalam di sini saja."

"Tapi rasanya Pak Muluk tidak mampir ke sini

lagi, Bu. Dari Gili langsung ke Selaparang untuk terbang ke Jakarta."

"Malam ini saya belum bisa berpikir, Pak. Biar

saya menginap di sini sambil beristirahat."

Terpaksa dengan mengkal Paman Waliki mencabut papannya. Dan mengusir tiga orang turis Italia

yang hendak menyewa cottage-nya.

"Dasar sial!" gerutunya sambil menyiapkan kamar.

"Sudah tidak terpakai masih nongol juga! Tidak

tahu diri!"

Dan ternyata kesialannya berbuntut panjang. Dua

jam kemudian, perempuan itu sakit perut. Dan mulesnya ternyata bukan sembarang mules. Bukan panggilan alam karena terlalu banyak makan cabe.

"Jangan-jangan saya mau beranak, Pak!" keluh

ina panik sambil memegangi perutnya. Wajahnya sudah lusuh seperti kertas kumal.

"Hah?!" Paman Waliki terbelalak bingung.

"Mau

beranak kenapa ke sini?"

"Dokter bilang masih dua minggu lagi! Karena

135

itu saya kemari mencari Pak Muluk Ini anaknya,

Pak!"

Masa bodoh amat anak siapa! Tapi jangan melahirkan di sini! Di mana mencari dukun beranak

malam-malam begini?

"Tari!" teriak Paman Waliki panik ketika kelahiran itu tampaknya tidak dapat dihindari lagi.

"Tari!"

Lestari yang sedang duduk bersanding di pantai,

menikmati semilirnya angin laut, dengan siapa lagi

kalau bukan dengan Gustav, bangkit dengan kesal.

"Jangan teriak-teriak dong, Paman!" geramnya

mengkal.

"Tari belum tuli!"

"Tari," desis Paman terengah-engah.

"Perempuan

itu mau beranak!"

***

"Ndung! Bangun, Ndung!" Tari mengguncangguncang tubuh temannya yang sudah melingkar seperti ular di tempat tidur.

"Ada yang mau beranak!"

"Masa cepat amat sih, Tari? Elu kapan buntingnya?"

"Bukan gue! Gokil lu, ah!"

"Kalau bukan elu, ngapain gue dibangunin?

Emangnya gue dukun beranak? Sejak kapan alih profesi?" Lindung sudah menjatuhkan dirinya kembali

ke tempat tidur. Tetapi Lestari menarik lengannya

dengan segera.

136

"Simpanan Pak Muluk datang, Ndung! Dia mau

beranak!"

"Di sini?" Lindung melongo heran.

"Di mana lagi?!"

"Dia udah linglung, kali! Di sini bisa bikin anak,

tapi nggak terima ngeluarin anak!"

"Cepetan dong!"

"Lho, aku bisa apa?! Ngeliat orang beranak aja

belum pernah!"

"Paman mau cari dukun beranak. Kita disuruh

nungguin tu perempuan!"

"Kenapa sih dia cari penyakit? .jauh-jauh numpang beranak di sini? Pada ke mana tu dukun beranak

di Jakarta? Seminar di hotel berbintang lima?"

***

Di luar, Gustav juga sedang ribut memberitahu

Volker yang baru datang.

"Ada perempuan mau beranak!" katanya gugup.

"Kenapa kamu yang ribut?" tanya Volker heran.

"Di dunia tiap detik ada bayi lahir!"

Saat itu Lindung dan Lestari menghambur keluar

dari pondok Paman Waliki, hendak menuju ke cottage Ina. Tepat saat itu pula, Asri tiba bersama rombongannya.

"Tari! Tebak nih siapa yang datang!" teriak Asri

137

dari boncengan sepeda Segara.

Melihat Tomi, Lestari seperti melihat hantu

yang tiba-tiba muncul dari dalam laut. Refleks dia

langsung memutar tubuhnya untuk masuk kembali.

Bersembunyi di bawah tempat tidur. Tetapi Lindung

dengan gesit menangkap lengannya.

"Eit! Mau ke mana? Aku nggak mau nungguin

orang beranak sendirian!"

"Tari!" sapa Tomi sambil melompat turun dari

boncengan sepeda Norman.

"Hai!" balas Tari terpaksa.

"Asri menjemput kalian ke Jakarta?"

Dengan tatapan jengkel dia melirik Asri. Jahat lu,

demikian mata itu mengumpat. Pengkhianat!

"Bukan aku...," protes Asri segera.

"Reuninya ditunda dulu!" buru-buru Lindung menengahi.

"Ada perempuan mau beranak!"

***

Paman Waliki belum pulang juga. Rupanya jauh

juga menjemput sang peraji. Apalagi dengan sepeda.

Lebih sulit lagi kalau yang diboncengi sudah nenek-nenek. Dan celakanya, orang-orang di kampung

itu sudah tahu Paman Waliki belum punya istri. Nah,

siapa yang mau melahirkan?

"Kenapa datang-datang ada perempuan menump

138

ang beranak di rumahmu malam-malam begini?"

tanya dukun beranak itu curiga.

Aku juga nggak tahu! Paman Waliki mengumpat-umpat dalam hati. Kalau nggak perlu, masa

sih malam-malam begini aku ngajak nenek-nenek

bersepeda ke pantai? Memangnya aku sakit?! Edan.

Di cottage, keadaan lebih tidak terkendali lagi. Di

sana sekarang ada delapan orang remaja. Tetapi tidak

ada yang pernah menolong persalinan. Termasuk Segara.

Padahal Lindung sangat mengharapkannya.

Dikiranya dia Superman yang serba bisa. Tapi begitu mendengar ada perempuan mau melahirkan, paras

top guy itu langsung memueat.

"Masa sih kamu nggak pernah nolong orang beranak?" desak Lindung penasaran.

"Kalau ada turis

yang minta tolong..."

"Perempuan bunting kan nggak naik gunung, Ndung!" potong Asri. Mencoba membela Segara yang

sudah pucat.

"Ya, siapa tahu dia pernah nolong kambing beranak!"

"Maaf, saya tidak bisa...." Tanpa berkata apaapa

lagi, Segara langsung menyingkir. Asri membuntutinya dengan penasaran.

"Ada apa?" tanyanya heran.

"Kalau kamu emang

nggak bisa, cuekin aja si Lindung."

139

"Saya pernah menunggui Ibu melahirkan Adik "

Suara Segara demikian tertekan. Kepalanya tertunduk dalam. Belum pernah Asri melihatnya dalam

keadaan seperti itu.

"Dan adikmu meninggal?" gumam Asri perlahan.

Disentuhnya lengan pemuda itu untuk menyatakan

simpati.

Segara menggelengkan kepala sambil mengatupkan rahangnya menahan perasaan.

"Adik saya selamat," desisnya dengan bibir saling

bertaut.

"Ibu yang meninggal...."

Tak sadar Asri mengetatkan genggamannya di

lengan pemuda itu. Segara berbalik. Menghadap ke

arahnya. Ketika genggaman Asri terlepas dengan

sendirinya, Segara meraih tangan Asri. Dan meremasnya dengan lembut.

"Maafkan saya, As. Saya benar-benar tidak dapat

membantumu kali ini...."

"Jangan kuatir." Asri balas meremas tangan Segara.

"Saya dapat mengatasinya."

***

Terpaksa Asri dan kedua temannya menunggu di

dalam kamar. Tanpa tahu harus melakukan apa. Kecuali menjerang air. Dan mondar-mandir sambil mendengarkan simfoni erangan bercampur makian dalam

nada dasar .

140

"Kalau kamu beranak nanti, kamu juga makimaki

suamimu kayak begitu, Tari," bisik Lindung kepada

temannya yang sama-sama duduk di lantai di sudut

ruangan.

"Wah, kalau lihat begini sih, nggak kepingin beranak, Ndung! Aduh, perutku jadi ikut-ikutan mules

nih! Aku buang limbah dulu, ya!"

"Eit! Jangan kabur!" cegah Lindung gesit.

"Aku

paling takut kuntilanak!"

"Kan ada Asri!"

"Nggak solider kamu!"

"Aku sakit perut!"

Tanpa dapat ditahan lagi, Lestari menghambur ke

WC. Tinggal Asri dan Lindung, tegang dan bising di

dalam kamar.

"Diam dong, jangan ngomel terus!" gerutu Asri,

ikut senewen karena tegang.

"Ini kan salahmu sendiri. Kenapa marah-marah sama orang lain?"

"Bajingan itu ayah anak ini!" teriak Ina histeris.

"Dia nggak mau tanggung jawab!"

"Kamu yang dumdum! Kena aja dikibulin kakekkakek lansia!"
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ina menangis tersedu-sedu. Sebentar-sebentar

dia berteriak-teriak kesakitan. Suaranya membahana

sampai ke luar. Membuat pemuda-pemuda yang sedang berkumpul di depan cottage itu jadi ikut sakit

perut.

141

"Stop! Stop!" bentak Asri kewalahan.

"Kamu

nggak malu teriak-teriak begitu? Kamu kan masih

waras! Dan bukan anak kecil lagi! Berapa sih umurmu?"

"Sembilan belas," isak perempuan itu sesenggukan.

"Kalau saja aku nggak bodoh..."

"Kamu masih bisa ngeceng di Blok M!" sambung

Lindung segera.

"Masih bisa milih cowok yang trendi...."

"Belum karatan dan bebas dempul!"

"Tapi itulah! Kamu dumdum! Mau aja dikerjain

tua bangka gombal, tengil, tengik..."

"Dan lain-lain," sambung Lindung sambil menghela napas panjang.

"Kalau diomelin terus, kapan beranaknya, As?!"

"Biarin."

"Ntar bayinya ngumpet terus. Takut sama kamu!

Belum sekolah aja udah ketemu ibu guru galak!"

"Kalau dia keburu nongol, kita yang takut!"

"Tolong!" rintih Ina kesakitan. Dia mengedan.

Mengerang. Dan mengedan lagi. Wajahnya bersimbah peluh. Kerut menahan sakit.

"Aduh, As! Aku mesti ngapain nih?" Lindung

menghambur kebingungan ke dekat temannya. Peluh

di wajahnya hampir sama banyaknya dengan peluh

di wajah Ina.

"Pegangin kakinya aja deh," desis Asri sama bingungnya.

"Mana Tari?"

142

Lindung melompat ke depan pintu WC. Dan

menggedor sekuat-kuatnya.

"Keluar cepetan, Tari!" teriaknya panik.

"Bayinya

hampir nongol tuh!"

"Aku bisa apa?" keluh Tari gugup. Terbungkukbungkuk Tari keluar dari WC. Lindung langsung

menyeretnya ke dekat Asri.

"Pegangin kakinya," perintah Asri sok tahu. Padahal dia juga tidak tahu apa-apa.

"Tuh, lihat! Kepalanya udah keluar!"

Tapi Lestari malah memejamkan matanya.

Kepalanya pusing.

"Ke mana sih Paman? keluhnya

separuh menggerutu.

"Ayo, dikit lagi!" Asri menahan napas.

"Ngeden

lagi! Hampir! Hup! Dikit lagi! Ya, dikit lagi! Terus!"

"Sialan," keluh Lindung dengan perut mules.

"Dia malah bersorak-sorak kayak lagi nonton bola!"

"Perutku mules lagi, Ndung." desah Tari ketakutan.

"Diam-diam aja di situ!" bentak Lindung sama

gugupnya.

"Bukan cuma kamu sendiri kok yang

mules!"

"Lagi! Lagi! Lagi!"Asri terus memberi semangat

di tengah-tengah erangan Ina.

"Ngeden lagi! Hup!

Nah, kepalanya keluar, Ndung!" pekiknya tiba-tiba.

"Mesti diapain nih?"

"Jangan tanya aku!" balas Lindung sama paniknya.

143

Kelabakan Asri menangkap kepala bayi yang sudah keluar itu.

"Pegang badannya, As!" jerit Lindung antara

ngeri danjijik.

"Ntarjatuh!"

Sesudah kepalanya lahir. badan memang mengikuti dengan mudah. Rasanya tanpa diapa-apakan

pun, seluruh tubuh bayi itu meluncur sendiri dengan

mulus ke tangan Asri.

Dan untuk pertama kalinya, Asri merasakan

sensasi yang tidak terlupakan itu. Takut. Gembira.

Tegang. Lega. Ketika benda yang licin itu, hangat

dan lembut melekat di tangannya, bergerak menandakan kehidupan....

"Udah lahir!" jeritan Asri-lah yang pertama kali

melengking, bukan bayi itu. Pekikan kemenangan.

"Tuh, Paman Waliki datang!" teriak Lindung

lega, seperti melihat dewa turun dari kayangan untuk memberinya pil melangsingkan badan dalam dua

puluh hari.

Tetapi Lestari sudah keburu jatuh pingsan. Tidak

tahan melihat darah begitu dia membuka matanya.

144

BAB XIV

KETIKA peraji yang dibawa Paman Waliki sedang

sibuk membersihkan bayi itu---setelah dipotong tali

pusatnya, anak-anak muda itu sedang sibuk menggotong Lestari ke cottage sebelah.

Hampir terjadi perkelahian ketika Gustav dan

Tomi, sama-sama merasa berhak menggendong

Tari. Untung Lindung cukup sigap melerai dengan

langsung memberikan kartu kuning.

"Eh, jangan berantem di sini !" suaranya menggelegar sampai kaki bayi yang sedang dilap itu tersentak

dua-duanya ke atas.

"Ayo, angkat ramai-ramai! Gustav di kepala, Tomi yang datang belakangan, kakinya! Cepat! Jangan ribut. Ini perintah!"

Tomi yang sudah membuka mulut untuk membantah, membatalkan niatnya ketika mendengar Ina

mengerang lagi.

"Keluar semua!" perintah Asri tegas.

"Dia mau

beranak lagi!"

"Bayi lagi, As?" bisik, Lindung ngeri.

"Satu nggak cukup?"

"Ari-ari!"

Tergesa-gesa Lindung memimpin teman-teman

145

nya keluar. Sementara Asri tinggal di dalam kamar

menemani Ina.

Lestari digotong ke cottage sebelah. Dan diletakkan di tempat tidur.

Bergegas Tomi membasahi handuk. Sementara

Gustav tergesa-gesa mengambil air minum. Volker

membuka jendela. Sementara Norman yang tidak

tahu harus berbuat apa hanya memegangi selimut.

Suasana di kamar itu langsung sibuk seperti di

ruang gawat darurat. Lestari masih terkapar dengan

mata terpejam rapat dan wajah pucat.

Tetapi belum sempat handuk melekat di dahi dan

gelas menempel di bibir, Lestari sudah siuman. Dia

langsung membuka matanya begitu Lindung berbisik,

"Danger, Tari! Ada Tomi!"

Mata Tari berkeliaran dengan takutnya antara

Gustav dan Tomi. Ketika melihat kedua pemuda itu

berada di dekatnya, buru-buru Lestari menutup kembali matanya dengan panik.

"Elu teler beneran apa cuma kolokan sih, Tari?"

gerutu Lindung pura-pura kesal. Padahal sebenarnya

dia lega sekali.

Tomi bergegas membantu Lestari duduk. Sementara Gustav menyodorkan air minum. Tomi hendak

merebut gelas itu. Tapi Gustav menyingkirkan tangannya dengan kasar.

146

"Ngapain sih ni bule ikut ribut di sini, Ndung?"

dumal Tomi kurang senang. Merasa kaplingnya digusur orang.

"Eh, itu haknya! Ini kan kamar dia!"

"Tapi lagaknya kayak dia yang punya Tari aja!"

"Nah, kenapa nggak tanya dia punya sertifikat apa

nggak?"

"Kamu nggak setia kawan, Ndung! Harusnya kan

kamu jagain Tari!"

"Eh, berani bayar berapa? Enak aja ngomong!

Kapan gue jadi satpamnya Tari?"

"Aku mesti bicara, Ndung!"

"Nggak usah permisi! Mulut juga mulut lu sendiri! Nggak nyewa, kan?"

"Aku perlu penjelasan, Ndung."

"Ya, besok dong! Dari Tari. Kalau dia udah bisa

ngomong! Emangnya gue PR-nya?"

"Lagi?" tanya Gustav lembut.

Tari menggeleng lemah sambil mendorong gelas

berisi air itu. Sebenarnya dia sudah tidak apa-apa.

Cuma lemas sedikit. Tetapi dalam keadaan seperti

ini, dia tidak punya pilihan lain.

Lebih baik berpura-pura sakit supaya Tomi tidak

marah-marah. Lihat saja bagaimana asamnya tampangnya!

"Ayo. kita mudik. Tari!" ajak Lindung letih.

"Kamu bisa jalan sendiri atau mesti digendong

147

lagi? Udah, mendingan ngegelinding sendiri deh.

Daripada cari perkara lagi!"

Tetapi ketika Tari bergerak bangun, Gustav menahannya.

"Tidur sini," katanya dalam bahasa Indonesia

yang kaku.

"Sialan ni bule," gerutu Tomi sengit.

"Main

pegang aja!"

Dia sudah bergerak maju. Tapi Lindung keburu

melerai.

"Bukan barang antik! Nggak bakal pecah deh."

Setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Lestari, Gustav minta agar Lindung menemani

Lestari tidur di sini. Dia langsung mengemasi barang-barangnya, tanpa memandang sebelah mata pun

pada Tomi.

"Sleep well, Sweety," bisik Gustav mesra, seolah-olah cuma mereka berdua yang berada di sana.

Sesaat sebelum meninggalkan kamarnya, dia sempat berpaling pada Lindung mengucapkan selamat

malam.

"Dia mau tidur di mana?" tanya Lindung heran

kepada Tari.

"Katanya dia mau mengajak Volker tidur di pondok Paman Waliki."

"Wah, mudah-mudahan Asri nggak kemalaman

pulang ke kamar kita!" Lindung tertawa geli.

"Bisa

148

bisa dia jadi anak perawan di sarang penyamun

"Mendingan?" tanya Tomi tawar ketika Lestari

menoleh ke arahnya. Saat itu tinggal mereka bertiga

yang masih berada di dalam kamar itu.

"Udah nggak apa-apa," sahut Lestari lemah. Pura-pura separuh sakit. Mukanya dikerut-kerutkan

supaya Tomi menaruh iba. Dan tidak marah.

"Kamu
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nginap di mana?"

"Belum punya tempat. Aku baru sampai di Senggigi waktu ketemu Asri di warung."

"Ngapain kamu kemari?"

"Nyusul kamu! Ngapain lagi?"

Lestari menghela napas. Dadanya terasa sesak.

"Siapa sih cowok bule itu?" desak Tomi penasaran.

"Punya hubungan apa sama kamu?"

"Udah, jawabannya besok aja!" Sekali lagi Lindung melerai. Kali ini dia langsung mengacungkan

kartu merah.

"Sana, keluar deh. Tari sakit. Mau istirahat!"

"Pamanmu nggak keberatan kalau aku numpang

di sini, Tari?"

"Aku yang keberatan!" protes Lindung.

"Aku bisa tidur di lantai."

"Aku yang nggak bisa tidur!"

"Suer, gue nggak ngorok, Ndung!"

"Nggak ada tawar-menawar! Cabut!"

"Tapi dia mesti tidur di mana, Ndung?" bantah

149

Lestari bingung.

"Udah malam begini...."

"Biar aku yang ngomong sama Paman Waliki! Malam ini dia mesti rela pondoknya dikaplingkapling! Ada lima gembel yang nggak punya tempat

neduh!"

Tentu saja Paman Waliki hendak protes. Kamar

di pondoknya cuma satu. Sekarang saja dia sudah tidur di bangku panjang di kamar depan. Tambah lima

orang lagi, dia mesti meringkuk di mana?

Tetapi malam ini dia sudah kehabisan napas untuk memprotes. Apalagi unjuk rasa. Dia masih harus mengantarkan peraji itu pulang. Rasanya sudah

malas membantah.

"Atur sajalah," katanya pendek.

Saat itulah Lindung melihat Asri. Melangkah lunglai ke pondok. Kelihatannya dia sudah letih sekali.

Matanya tinggal lima watt cahayanya.

Lindung sudah kenal sekali adat temannya kalau

sudah mengantuk begitu. Biasanya, begitu masuk kamar, dia akan langsung menukar bajunya. Dan ambruk di tempat tidur. Tidak akan terjaga lagi sampai

pagi sekalipun ada gempa bumi.

Asri tidak akan merasa bukan Lestari dan Lindung yang berada di kamarnya. Lebih-lebih kalau

kamar sudah gelap.... Wah, dia pasti jadi bahan tontonan yang menarik....

"As!" teriak Lindung sambil tancap gas. Buru

150

buru menyusul temannya.

"Jangan masuk ke Situ!

Mau mati?"

"Jangan bercanda, Ndung! Gue mau tidur nih!"

"Masuk ke situ bukannya tidur, As! Ditidurin!"

"Otak lu ngeres!"

"Eh, air susu dibalas air comberan!"

Tanpa menghiraukan larangan Lindung, Asri melangkah masuk ke dalam pondok. Dan matanya terbelalak kaget ketika melihat pondok itu sudah berubah

menjadi asrama tunawisma. Ada yang lagi mengipas-ngipas sambil bertelanjang dada. Ada yang sedang

terkapar di lantai seperti kena tembak. Adajuga yang

sudah meringkuk di sudut sambil mendengkur.

"Gue kan udah kasih warning, salah kamar!" sorak Lindung dari luar.

151

BAB XV

MERAWAT bayi ternyata tidak mudah. Tapi

menyenangkan. Ketiga gadis itu segera terlibat dalam kesibukan yang tak terbayangkan sebelumnya.

Sebuah pengalaman baru.

Kalau proses kelahiran semalam cukup menegangkan bagi mereka, proses memandikan, menukar baju, dan menggendong makhluk kecil itu ternyata amat mengesankan.

"Sayang dia belum bisa ngerumpi ya, As," gumam Lindung yang juga sudah mulai jatuh hati pada

pendatang baru itu.

Bayi perempuan itu begitu lucu. Begitu mungil.

Begitu menggemaskan.

Tentu saja Asri-lah yang paling repot. Setelah

membantu kelahirannya, Asri merasa mempunyai

ikatan batin dengan insan mungil ini. Rasanya tiba-tiba saja dia menjadi penanggung jawab kelangsungan

hidupnya. Apalagi Asri memang tidak punya adik.

Sementara Lestari, yang sebenarnya sangat

menyukai anak-anak, terhambat proses pendekatannya berhubung problemnya yang makin rumit.

Gustav tidak mau mengerti siapa Tomi. Menurut

152

pendapatnya, selama Lestari menyukainya, apa

pedulinya pada orang lain? Tomi toh bukan suami

Lestari. Biar suami sekalipun, kalau Lestari sudah

memilihnya, mengapa tidak? Tentu saja itu pendapat

Gustav.

Pendapat Tomi lain lagi. Biarpun Lestari belum

resmi menjadi istrinya, gadis itu sudah resmi menjadi pacarnya. Nah, punya hak apa bule itu mengaduk-aduk kapling orang? Ketemu di jalan lantas

tancap papan hak milik?

Sebenarnya, semuanya tergantung Tari. Kalau

saja dia bisa bersikap tegas, perselisihan itu tidak

perlu berlarut-larut. Perkelahian memang tidak terjadi. Tapi persaingan berlangsung panas. Sejak sarapan

pagi kedua pemuda itu sudah bersaing keras. Berebut

melayani Lestari. Berlomba duduk di dekatnya.

Lindung yang sudah booking tempat di sebelah

Tari, soalnya makanannya pagi ini pasti berlebih

banyak, terpaksa menyerahkan kaplingnya dengan

sukarela. Daripada Gustav baku lempar piring dengan Tomi.

Norman lain lagi. Tomi terpaksa menggusurnya

supaya dia bisa duduk di dekat Lestari. Sambil mengomel, Norman memindahkan piringnya. Padahal

tempatnya amat strategis. Dekat bakul nasi.

Pagi ini memang nafsu makan Lestari merosot

sampai ke titik nadir. Tapi Gustav dan Tomi tidak

153

mau mengerti. Gustav sudah menyendokkan sesendok penuh nasi ke piring Lestari. Tomi tidak mau kalah. Memindahkan separuh isi piring lauk di depannya. Ke mana lagi kalau bukan ke piring pacarnya.

Terang saja Lindung kesal. Jatahnya jadi ikut terbawa. Dimakan tidak. Konyol, kan?

Akhirnya dibantunya saja Lestari menghabiskan

isi piringnya. Mula-mula dicomotnya dua potong

ayam goreng. Kemudian dipindahtangankannya sepotong telur dadar yang baru saja diletakkan Tomi di

piring Tari.

"Daripada kadaluwarsa." Lindung menyeringai

kecut.

"Lebih baik dibudidayakan di perutku, kan?"

Sesudah pertandingan di meja makan selesai,

pesta olahraga pindah ke pantai. Gustav menantang

Tomi bersicepat menceburkan diri ke laut. Tentu saja

Tomi tidak menolak.

Membayangkan Lestari sedang melambai-lambaikan tangannya di tengah laut, Tomi mengerahkan

segenap tenaga dalamnya untuk berlomba memecahkan rekor lari seratus meter.

Begitu tubuh mereka digulung ombak, Tomi dan

Gustav kembali bertanding. Kali ini adu cepat berenang dalam gaya bebas.

Ketika mereka kembali mencapai pantai, Norman

dan Volker telah menyediakan sepeda masingmasing.

Dalam keadaan basah kuyup, kedua pemuda itu ngebut sepanjang pantai.

154

Sayang triaton itu tidak mencapai garisfinish. Ban

depan sepeda Tomi menubruk sepeda Gustav. Dan

mereka sama-sama terjungkal di pasir.

Gustav bangkit dengan marah. Sebaliknya Tomi

sudah siap menerjang. Perkelahian pasti terjadi jika

teman-teman mereka tidak buru-buru melerai.

"Mendingan elu gelantungan di pohon itu, Tari."

Lindung menggeleng-gelengkan kepalanya sambil

menghela napas.

"Siapa yang paling dulu naik, dapat

hak pakai sepuluh tahun!"

"Jangan becanda, Ndung!" geram Lestari gemas.

Rasanya kepalanya sudah pusing tujuh kuadrat keliling.

"Mereka mau berantem tuh! Gimana dong?"

"Gampang," sambar Asri santai.

"Gue tahu cara

yang paling ampuh!"

Tanpa membuang waktu lagi, Asri mendorong

Lestari sekuat-kuatnya. Tidak menyangka mendapat

serangan yang begitu tiba-tiba, tubuh Lestari terhuyung bagai diterpa angin puyuh. Dia memekik

kaget. Dan tubuhnya tercebur masuk ke air.

Gustav dan Tomi yang masih ingin saling menerjang walaupun sudah dipegangi teman-temannya,

menoleh dengan terkejut. Ketika melihat Lestari terjungkal ke laut, bergegas mereka menghambur untuk

menolongnya.

"Sip, kan?" Asri melirik Lindung sambil

tersenyum.

"Cara paling ampuh mencegah perang!"

155

"Tapi sadis!" gerutu Lindung.

"Kalau Tari hanyut,

bukan mencegah perang namanya! Pembunuhan!"

"Nggak mungkin! Orang jatuhnya cuma di pinggir! Paling-paling sandalnya yang hanyut!"

Sekali lagi Lestari digotong-gotong ke cottage.

Padahal dia tidak apa-apa. Tetapi sekali lagi dia terpaksa pura-pura ada apa-apa. Supaya kedua pemuda

itu melupakan perkelahian mereka.

Tetapi sekali lagi Lestari keliru. Untuk sementara,

selagi merawatnya, Gustav dan Tomi memang tidak

berkelahi. Tapi bukan berarti mereka sudah melupakan persaingan mereka.

Untung saja mereka tidak punya pistol. Dan untung juga keduanya tidak pandai bermain anggar. Kalau tidak, pasti mereka dikirim ke Pelatnas.

Akhirnya mereka sama-sama menyewa sepeda

motor. Dan berjanji akan bertemu di atas bukit pukul

satu malam. Pertandingan kali ini rasanya bakal fatal.

Untung Volker keburu membocorkan ide gila itu

pada Lindung. Dan Lindung langsung mewartaberitakannya kepada teman-temannya. Tentu saja Lestari

yang paling panik. Bisa-bisa dia jadi janda sebelum

menikah.

"Semua salahmu!" tuding Asri.

"Kamu yang plinplan!"

"Mana aku tahu Tomi bakal nongol?"

"Mendingan kamu buka dadamu, Tari. Kasih lihat

156

siapa sih yang sebetulnya ada di dalam sana

"Iya, daripada ada yang mudik ke akhirat! Dan

nambahin perbendaharaan leak di sini! Yang transmigrasi dari Bali aja udah banyak!"

"Tapi yang bule kan masih langka, Ndung! Yang

satu ini imigran dari Jerman! Barang impor, lho!"

"Kapan sih kalian bisa serius?!" bentak Lestari

kesal.

"Nggak tahu ya, aku lagi bingung?!"

"Tapi bingungmu menular, Tari! Dan bisa jadi wabah kalau tidak keburu diberantas!"

"Tapi aku mesti pilih yang mana? Dua-duanya

aku suka!"

"Hanya ada satu jawaban yang benar, Tari! Lingkari jawaban yang paling tepat!"

"Biar deh aku pilih Tomi aja. Sama Gustav kan

udah match point. Sebentar lagi dia mesti pulang ke

kampungnya."

"Nggakfair dong!" bantah Asri tegas.

"Kamu pacaran apa main badminton?"

"Tapi aku setuju pilihanmu, Tari," sela Lindung
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa ditanya.

"Kamu kan udah dua tahun kenal

Tomi. Boroknya udah kamu hapal. Tapi Gustav?

Baru seminggu. Kalau korengnya baru ketahuan sesudah Tomi di-DO, nyesel kagak?"

"Justru karena yang baru seminggu udah bisa

bikin yang dua tahun guncang, artinya andilnya si

Gustav di hati Tari lebih dari lima puluh satu persen!"

157

"Ah, itu kan cuma faktor bosan!" Lindung tidak

mau kalah. Membuat Lestari tambah bingung.

"Ada

yang baru, barang impor lagi, pasti yang lama kelihatan kuno! Pacaran kan bukan kayak beli sepatu,

Tari!"

"Tapi sepatu aja boleh ditukar, apalagi pacar!"

bantah Asri sama ngototnya.

"Barang yang udah dibeli nggak boleh dikembalikan tanpa perjanjian lebih dulu, kan?"

"Lha, kata siapa si Tari udah dijual?"

"Ngaco! Ngaco!" teriak Lestari antara panik dan

jengkel.

"Kalian bikin aku tambah sinting!"

***

Siang yang tegang itu tambah kisruh dengan munculnya orang yang ditunggu-tunggu. Ayah Asri!

Dan dia tidak datang sendirian. Dia ditemani anak

perempuannya yang seorang lagi... saudara kembar

Asri! Astaga. Lindung saja kaget. Apalagi yang lain.

"Lu punya duplikat, As?" cetusnya nyaring seperti biasa.

"Kok nggak pernah bilang-bilang sih?"

"Asri!" Lelaki yang baru datang itu langsung

mengenali anaknya begitu Asri muncul. Tanpa dapat

menahan emosinya, dia menghampiri Asri untuk memeluknya.

Tetapi Asri mundur dengan segera. Dia memang

158

ingin melihat ayahnya. Tetapi sesudah melihat laki-laki yang katanya ayahnya itu, dia malah merasa

asing.

Asri sering melihat ayah Lestari. Melihat kehangatan hubungan mereka. Dia sering merasa iri. Ingin

mengalami kehangatan seperti itu pula. Ingin punya

seorang ayah.

Tetapi bukan seperti lelaki ini! Benar-benar jauh

dari gambarannya semula tentang seorang ayah!

Jangankan merasa rindu. Merasa terharu. Tersentuh.

Asri malah merasa ganjil....

Lelaki itu belum tua. Umurnya barangkali belum

ada empat puluh tahun. Penampilannya malah lebih

muda daripada ibu Asri. Dan dia ganteng. Lebih ganteng daripada bayangan Asri tentang ayahnya.

Rasanya foto yang dibawanya malah lebih jelek.

Di foto, muka ayahnya kurus dan polos seperti anak

sekolah. Tetapi di depannya kini, tegak seorang laki-laki dewasa yang bukan hanya tampan, tapi sekaligus matang dan menarik!

Dan ada sebutir kerikil lagi yang membuat Asri

tersandung. Di sisinya tegak seorang gadis manis.

Gadis yang belum pernah dilihatnya. Tidak dikenalnya. Tapi wajahnya persis seperti kalau ia melihat

mukanya sendiri di dalam cermin....

"Wah, kita punya fotokopi si Asri!" cetus Norman

yang memang selalu ceplas-ceplos.

"Lu milih yang

mana, Segara?"

159

Gadis di sebelah ayah Asri itu meliriknya dengan jengkel. Tapi Norman malah tersenyum lebar.

Senyum khas. Senyum paten yang sering dijengkeli

gadis-gadis sopan. Tapi sekaligus digandrungi.

"Hai!" sapanya spontan. Cerah.

"Saya Norman."

Nggak ada yang nanya, gerutu gadis itu dalam

hati.

"Apa kabar, Asri?" sapa ayahnya serba salah.

"Ibumu baik?"

"Kenapa baru tanya sekarang?"

Nah, keluar deh judesnya si Asri, gerutu Lindung

dalam hati. Jauh-jauh dicari. Udah ketemu kok galak

amat!

"Ibumu tidak mengizinkan Ayah menemuimu,"

sahut ayah Asri setelah tertegun sesaat. Tidak menyangka mendapat jawaban sekasar itu dari anaknya.

"Ayah gembira bisa melihatmu lagi. Kamu sudah besar dan cantik...."

Klise, dumal Asri dalam hati.

"Ini saudaramu, Asih." Sambil menoleh ke arah

putrinya yang satu lagi, katanya lunak,

"Ayo, Asih.

Beri salam saudaramu. Katanya kamu ingin sekali

melihatnya."

"Sudah lihat," sahut Asih dingin.

Wah, sama adatnya, gerutu Lindung dalam hati.

Untung aja nggak serumah! Bisa habis piring selemari!

160

***

Sejak semula, Asri tidak menyukai saudara kembarnya. Gadis itu punya penampilan yang sama.

Muka yang mirip. Sifatnya pun tidak jauh berbeda.

Dia dengan cepat menarik perhatian teman temannya. Termasuk Segara dan Norman. Popularitasnya

sebagai tokoh sentral langsung anjlok. Gara-gara

pendatang baru yang tidak diundang itu!

Ada lagi yang tidak kalah menjengkelkannya. Dia

tampak begitu manja pada ayahnya. Dan Ayah kelihatan sekali sangat menyayanginya.

Lihat saja. Dia minta apa, pasti dituruti. Dia mau

ikut Norman berenang, oke. Mau ikut Volker naik

sepeda, silakan.

Kalau Ibu sih, belum tentu! Pergi dengan pemuda pemuda tidak dikenal? Wah, nanti dulu! Mesti disensus dulu satu per satu. Anak siapa. Sekolah di mana.

Mau ke mana. Pulang jam berapa. Komplet.

Asih pasti lebih bebas. Dan melihat mobil mereka,

Asri yakin. lebih kaya! Memang cuma pick-up. Bukan sedan mewah. Tapi Ibu? Bajaj saja tidak punya!

"Lu ngiri ya, As?" Lindung yang paling mengerti

perasaan sahabatnya, langsung menembak ke sasaran.

"Kok judes banget sama kembaran lu? Ngiri

sama bokapnya apa boilnya?"

"Besok cabut yuk, Ndung!"

161

"Ke mana?"

"Mudik!"

"Lho, kok ngambek? Jauh-jauh dicari, udah ketemu ditinggal begitu aja?"

"Iya kan udah ketemu! Mau ngapain lagi?"

"Nggak kangen?"

"Kayak ketemu orang lain!"

"Belon aja. Kamu perlu waktu lebih lama, As."

"Nggak mau ketemu lagi."

"Idih, jangan gitu dong! Tuh, dicari Paman Waliki! Katanya dia udah bosan ngobrol sama ayahmu.

Sekarang, giliran kamu

***

"Mau ikut Ayah ke rumah, As?" ajak ayahnya

lembut.

"Ikut, ya? Ayah sudah pindah ke Gili Air.

Kebetulan saja waktu ke sini ada teman yang menyampaikan pesanmu."

Asri sudah membuka mulutnya untuk menolak,

tapi Lindung keburu menyenggol rusuknya.

"Sekalian cari Pak Muluk, yuk? Bilang anaknya

udah lahir. Hitung-hitung nolongin si Ina!"

Antara ketiga gadis remaja dengan ibu muda yang

malang itu memang sudah terjalin hubungan yang

lebih erat. Mereka sebaya. Dan mereka iba pada nasib jelek Ina.

162

Tadi pagi mereka sempat mengobrol lama. Dan

Ina sudah menceritakan bagaimana cara Pak Muluk

menjeratnya. Pokoknya segala tipu daya Pak Muluk,

dari ABC-nya sampai XYZ-nya, komplet diceritakan.

Mula-mula Ina diberi pekerjaan di kantornya.

Kerjanya ringan. Gajinya besar. Itu saja sebenarnya

sudah aneh, kan? Menyalahi hukum ekonomi. Tapi

Ina tidak curiga.

Dasar bego, gerutu Lindung dalam hati.

Hampir tiap hari Ina dipuja-puji Bos. Disanjungsanjung hasil kerjanya. Kepandaiannya. Kecantikannya.

Bukan itu saja. Bos sangat memperhatikannya.

Dia selalu dibawa ke mana-mana. Tentu saja ke tempat yang bagus-bagus. Bukan ke dapur. Ke pasar. Itu

sih kerjaan koki.

Mula-mula ina cuma dibawa untuk satu-dua jam.

Lama-lama satu-dua malam. Akhirnya satudua minggu. Sesudah itu, bos menghilang hampir satu tahun.

Sepertinya, dia sudah tahu sudah ada calon penggantinya di perut Ina.

Pak Muluk memang terus-menerus mengirim gajinya, walaupun Ina sudah tidak bekerja lagi. Ina memang sudah tidak pernah muncul lagi di kantor sejak

hamil.

Dia baru mencari Pak Muluk ketika dokter men

163

gatakan dua minggu lagi dia akan melahirkan. Tetapi

Pak Muluk seperti lenyap tanpa bekas. Di kantor tidak ada. Di rumah pun raib.

Takut anaknya keburu lahir tanpa ditunggui bapaknya, Ina menyusul ke Senggigi. Mengikuti informasi yang dibocorkan salah seorang bekas teman

sekantornya. Ternyata, Pak Muluk sedang berwisata

dengan pacarnya yang baru!

***

"Ceritakan tentang sekolahmu, As," pinta ayahnya setelah ditinggalkan berdua saja dengan Asri.

"Apa yang mesti diceritakan?"

"Kamu sudah lulus SMA?"

"He-eh."

"Mau melanjutkan ke mana?"

"Nggak tahu."

"Tidak punya cita-cita?"

"Tidak punya duit."

"Ayah akan membantumu."

"Kok baru sekarang?"

"Ayah tidak tahu apa-apa tentang keadaan kalian."

"Ya, nggak mau nyari tahu sih!"

"Ibumu tidak menginginkan kita berhubungan

lagi, Asri."

"Kok Ibu melulu yang disalahin? Ayah yang kabur

164

"Ayah memang mengaku salah. Tapi ibumu tidak

mau memaafkan."

"Gara-gara Ayah, Ibu menderita!"

"Ayah menyesal, As. Ibumu sudah menikah lagi?"

"Boro-boro menikah! Pacaran aja ogah! Baru sekarang Ibu akrab lagi sama cowok. Teman sekantornya.

"Kelihatannya kamu tidak menyukainya."

"Terang dong! Ibu jadi kurang perhatian. Sering

murung tanpa sebab."

"Tapi Ibu juga butuh teman untuk dirinya sendiri,

As...."

"Lho, kok tahu?" sindir Asri separuh mengejek.

"Kalau Ayah tahu, kenapa Ibu ditinggal begitu

lama?"
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di antara kami ada problem yang tak dapat

diselesaikan."

"Gara-gara ulah Ayah, Ibu jadi sinis terhadap cinta! Alergi sama cowok! Baru sekarang aja ada cowok

yang mulai berani mampir ke rumah! Duludulu?

Kucing jantan aja nggak pernah mampir!"

"Mungkin Ibu merasa kamu sudah besar. Sudah

tidak begitu memerlukan perhatiannya lagi."

"Siapa bilang? Sampai kapan juga nggak ada

orang yang butuh perhatian yang cuma separuh!"

"Untuk gadis seumurmu, perhatian bukan hanya

datang dari orangtua. Tapi dari pemuda-pemuda seumurmu juga...."

165

"Ibu melarang Asri pacaran! Katanya, hidup ini

menyenangkan kalau Kita belum mengenal cinta!"

"Tapi kamu menyukai kedua pemuda ganteng itu,

kan? Yang mana pacarmu? Pemuda Lombok yang

gagah itu? Atau... anak Jakarta yang cakepnya selangit?"


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Setan Harpa Karya Khu Lung

Cari Blog Ini