Ceritasilat Novel Online

Segurat Bianglala Pantai Sengigi 3

Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W Bagian 3



"Ah, Ayah nggak usah tahu deh!" sahut Asri dingin.

"Urus aja Asih!"

Sesaat ayah Asri tertegun. Tidak menyangka

mendapat jawaban sedingin itu dari anaknya. Dia

ingin mendekatkan diri dengan Asri. Menyambung

kembali hubungan yang telah belasan tahun terputus.

Meraih kembali tahun-tahun yang telah hilang dalam

hidup mereka.

Tetapi benang putus itu agaknya tak dapat dipintal

kembali. Hati Asri yang berlubang tak mampu ditambal hanya dengan pertemuan sesaat ini.

Anaknya terasa begitu jauh. Di kutub lain dari sisi

dunia yang berbeda. Tak mungkin diraihnya lagi.

Tentu saja Asri melihat kesedihan ayahnya. Kekecewaannya. Sakit hatinya. Tapi salah siapa? Ayah

yang pergi meninggalkan mereka. Ayah yang menciptakan keadaan yang tidak menyenangkan ini!

Asri ingin memasabodohkan kesedihan ayahnya.

Dia pantas menerima hukuman atas perbuatannya.

Tapi... mengapa hati Asri tak pernah tenang? Tak pernah merasa lega? Apa sebenarnya yang diinginkannya?

166

Ketika Asri tahu ayahnya masih hidup, dia dibakar keinginan yang berkobar-kobar untuk menemui

ayahnya. Melihat seperti apa figur ayah yang didambakannya sejak kecil. Tokoh yang menjadi pusat

mimpi-mimpi masa anak-anaknya.

Tetapi begitu mimpi itu menjadi kenyataan... begitu bayangan itu menjelma menjadi daging... Asri

baru menyadari, seorang ayah bukanlah sekadar seorang laki-laki yang telah menitipkan benihnya di rahim ibunya.

Seorang ayah, seharusnya memiliki benang merah yang mempertautkan hati mereka. Antara dia dan

ayahnya, mestinya ada seutas benang kasih yang

menjalin perasaan kebersamaan. Perasaan saling

memiliki. Dan benang itu yang tak pernah terentang

di antara mereka. Sampai saat ini.

Laki-laki ini mungkin secara hukum memang

ayahnya. Tapi kenyataannya, dia cuma ayah Asih.

Bagi Asri, lelaki ini orang lain. Bukan ayahnya.

167

BAB XVI

UNTUNG saja ayah Asri bawa pick-up. Yang diundang Asri seorang, yang ikut satu RT. Untung juga

pick-up itu sudah terlatih membawa kelapa, dari

perkebunan milik ayah Asri ke pasar. Jadi tidak begitu kaget waktu dibebani muatan sebanyak itu.

Karena mereka ramai-ramai ikut ke rumah ayah

Asri, dengan sendirinya duel motor GustaV-Tomi terpaksa ditunda. Rupanya duel tanpa penonton kurang

asyik. Apalagi kalau pialanya ikut lenyap.

Lestari mengancam akan bunuh diri terjun dari

pucuk pohon kelapa kalau duel itu jadi dilanjutkan.

Padahal memanjat pohon kelapa saja dia belum tentu

sanggup.

Akhirnya mereka semua diboyong ke Gili. Meskipun kaget, ayah Asri tidak dapat menolak. Bagaimana menolak permintaan pertama anak yang hilang?

Apalagi anaknya yang tidak hilang pun tampaknya

setuju sekali mengangkut pemudapemuda itu ke rumah mereka.

Entah dari mana datangnya pemuda sebanyak ini.

Seperti sedang studi tur saja. Macam-macam pula

modelnya. Ada bule yang pakai anting-anting sebelah. Ada Melayu yang rambutnya panjang dibuntut

kuda.

Kalau mereka sudah bicara, ayah Asri lebih pusing lagi. Ada bahasa prokem. Bahasa Indonesia dialek Betawi. Bahasa Inggris asal bunyi. Bahasa

Jerman. Pokoknya, gado-gadolah. Dan herannya,

mereka kelihatannya saling mengerti. Aneh, kan?

Tapi itulah kawula muda. Justru karena aneh mereka

jadi menarik.

Perjalanan dari Senggigi ke Bangsal tidak semulus yang mereka harapkan. Entah karena bannya yang

memang sudah tua, entah karena pick up-nya yang

ingin memprotes muatannya yang terlalu penuh, di

tengah jalan, ban belakang mobil itu meletus... dor!

Anak-anak muda yang sedang bertepuk tangan

sambil menyanyikan Pacarku Ada Lima itu memekik

kaget ketika terdengar suara letusan, pas ketika mereka sedang mengalunkan meletus cowok bule. Dan

mobil sempoyongan seperti sapi mabuk jahe.

"Kirain kamu yang-buang angin, Ndung," gurau

Asri sambil menunggu uluran tangan Segara yang sudah siaga membantu mereka turun dari pick-up.

Sementara di sudut lain, Lestari malah kebingungan tangan siapa yang harus dipegangnya. Akhirnya

dia mengulurkan kedua belah tangannya. Satu untuk

Gustav. Satu untuk Tomi.

Untung saja kedua pemuda itu melangkah searah.

169

Nah, pikir saja kalau yang satu jalan ke utara yang

lain ke selatan....

Sambil duduk di bawah pohon di pinggir jalan,

Asri dan Lindung mengawasi ayah Asri yang sedang

mengganti ban bersama Segara dan Norman.

Sementara Volker masih sibuk menjepretkan

kameranya ke sana kemari. Entah apa yang dipotretnya. Deretan pohon kelapa dan bentangan sawah memang sudah bukan merupakan pemandangan istimewa lagi bagi Asri dan teman-temannya sebangsa dan

setanah air. Tapi bagi Volker, panorama alam tropis

seperti itu amat langka ditemui dan patut diabadikan.

"Nggak cembokur. As?" goda Lindung sambil

menyeringai ke arah Asri.

"Dia dekat-dekat doi lu

tuh!"

Dengan gemas Asri menatap saudara kembarnya

yang sedang asyik mengobrol bersama Segara dan

Norman.

"Dasar perek!" gerutunya gemas.

"Ngapain sih

dia mejeng di situ kayak dongkrak?"

"Hati-hati lu, As!" ejek Lindung lagi.

"Doski kan

kece! Seleranya sama, lagi! Ludes deh cowokcowok

koleksi lu diborong!"

"Biar! Sekalian cuci gudang!"

"Huuu, belagak cuek ni yee?!"

***

170

"Masa kamu nggak bisa nganggur barang sebentar aja sih, Tari?" gerutu Tomi ketika Gustav permisi

untuk mencari tempat tersembunyi. Biasa. Panggilan

alam.

"Baru ditinggal beberapa hari aja kamu udah

cari ban serep?!"

"Sori deh, Tom." Lestari menghela napas berat

dengan perasaan serba salah.

"Aku khilaf. Dia menggoda banget sih. Udah keren, gallant, lagi."

"Aku nggak mau disaingi!" sergah Tomi marah.

Cemburu. Gadisnya memuji pemuda lain? Kurang

asem! "Kamu mesti pilih! Aku, atau dia. Nggak

boleh main dobel!"

"Aku nggak bisa ngomongnya, Tom!"

"Biar aku yang ngomong!"

"Kamu bukan ngomong. Berantem!"

"Kalau udah nggak ada cara lain?"

"Aku nggak tahu mesti ngomong apa!"

"Bilang kamu pacarku!"

"Dia nggak peduli! Pacar Tommy Page kek, dia

cuek aja!"

"Kalau dia nggak punya aturan permainan begitu,

enaknya congornya diamplas aja!"

"Kalau kamu berantem, aku bunuh diri!" Nah, lu.

Kalau cewek sudah mengultimatum begitu, semangat juang Tomi langsung kendor.

"Aku kecewa berat sama kamu, Tari. Tadinya

kukira kamu cewek yang paling setia!"

171

Lestari tidak menjawab. Dia hanya memalingkan wajahnya. Ketika Tomi tahu gadis itu sedang

menangis, luluhlah kemarahannya. Diraihnya tangan

Lestari. Digenggamnya dengan lembut.

"Udah deh, yang udah lewat, jangan dipikirin

lagi. Yang penting. kamu bilang sama dia. Kalau mau

main-main, cari cewek lain. Yang masih kosong!"

***

Ayah Asri mempunyai sebuah pendek di Bangsal. Halaman belakangnya cukup luas. Penuh dengan

tumpukan kelapa. Barangkali kalau disusun, tumpukan kelapa itu akan menjadi candi yang paling tinggi

di Lombok.

Ayah Asri mengajak teman-teman anaknya makan

dulu di pondoknya sebelum melanjutkan perjalanan

ke Pulau Gili Air dengan perahu motornya. Tentu

saja mereka tidak menolak.

"Bagaimana, As?" ayahnya mendekati Asri yang

sedang mengawasi pantai sambil menggigit sepotong

ayam goreng.

"Senang tinggal di sini?"

"Nggak," sahut Asri terus terang.

"Asri lebih suka

tinggal di Jakarta. Sama Ibu."

"Tapi mau kan sekali-sekali kamu menengok

Ayah di sini? Kalau liburan misalnya?"

Asri menggelengkan kepalanya dengan murung.

172

"Nggak boleh sama Ibu."

Dengan gontai Asri melangkah keluar. Ayahnya

mengikuti dari belakang.

"Ibumu sakit hati pada Ayah," keluh ayahnya sedih.

"Kalianlah yang jadi korban."

Sekarang Asri menoleh ke arah ayahnya. Dan menatapnya dengan dingin.

"Kenapa Ayah begitu jahat sama Ibu?"

Saat itu cuma mereka berdua yang berada di situ.

Asih dan teman-teman Asri masih sibuk berebut

ayam di meja makan. Ributnya bukan main. Kalau

masih punya sayap, ayam-ayam itu pasti sudah kabur

ke kolong meja. Sayang, sayap mereka sudah bersarang di perut Lindung.

Ayah Asri membalas tatapan anaknya dengan

perasaan bersalah. Suatu waktu dulu, istrinya pernah

menatap seperti itu pula. Tapi mengapa tatapan anaknya lebih melukai hatinya?

Tatapan Asri begitu penuh kemarahan. Penuh

tuduhan. Tapi sekaligus menyiratkan kesedihan.

Perasaan terlukai dan terlupakan yang seharusnya tidak pernah dirasakan oleh putrinya yang begini cantik, lincah, dan memikat!

"Ayah!" seru Asih dari belakang. Matanya menatap ayahnya dan saudara kembarnya dengan tatapan

yang sangat Asri kenal. Tatapan yang penuh rasa iri.

"Ayo, makan!"

173

Tanpa menunggu jawaban ayahnya, dengan

demonstratif sekali Asih merangkul pinggang ayahnya dan membawanya masuk. Ayah masih mencoba

memutar kepalanya ke arah Asri. Tapi Asih tidak

memberinya kesempatan untuk mengajak saudara

kembarnya.

Sikap Asih yang begitu bebas dan manja kepada

ayahnya menimbulkan nyeri di hati Asri. Lelaki ini

ayahnya juga, bukan? Mengapa dia tidak dapat bermanja-manja kepadanya? Mengapa rasanya mereka

terpisah begitu jauh?

Tapi aku punya Ibu, Asri mencoba menghibur dirinya sendiri. Dia tidak! Dia tidak pernah merasakan
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasih sayang Ibu. Dia malah belum pernah melihatnya! Tidak inginkah dia melihat Ibu?

"Ah, buat apa?" cetus Asih dingin ketika Lindung

mengajukan pertanyaan yang sama.

"Ibu juga tidak

pernah mau melihatku!"

"Hei, gombal!" sela Asri, tersinggung mendengar

judesnya cara Asih bicara. Yang dibicarakan itu kan

ibu mereka! Ibunya! "Tahu kenapa Ibu nggak mau

lihat kamu?!"

"Tidak perlu tanya, kan?" balas Asih ketus.

"Tidak kepingin tahu kok!"

"Ibu nggak kepingin lihat tampang ayahmu!"

Sekarang, Asih yang meledak.

"Punya hak apa kamu bicara begitu?!"

174

"Ayahmu nggak pernah cerita kenapa pisah sama

ibuku?"

"Kalian berdua ini pasti lahir di bawah pengaruh

planet Mars!" keluh Lindung jengkel.

"Sama-sama

pemberang! Dengar nih, mbahmu mau bicara. Kalian tuh anak kembar. Ibu Asri ibumu juga, Asih. Dan

ayah Asih, ayahmu juga, Asri! Jadi ngapain baku

semprot ludah begini?"

"Mulutnya nggak pernah disekolahin!"

"Kamu kira cuma di Jakarta ada sekolahan? Sombong!"

"Nih, mbahmu mau ngomong lagi!" potong Lindung sebelum mereka saling damprat lagi.

"Asri jauhjauh kemari mau lihat bapaknya. Nah, kamu, Asih,

apa nggak kepingin tahu kayak apa sih tampangnya

ibumu? Model anak tahun berapa sih kamu ini? En,

kamu Asri, jauh-jauh datang kemari cari bokap, udah

ketemu kenapa malah keki? Tahu pasal berapa KUHP

yang kamu langgar?!"

"Dia ngeledek nyokap gue, Ndung!"

"Dia cuma nggak tahu persoalannya, As. Barangkali ayahmu nggak pernah buka kartu sama dia!"

"Come on, girls!" teriak Volker dari pantai. Dia

tegak di sisi sebuah perahu motor. Lestari, Gustav,

dan Tomi sudah berada di atas perahu itu.

"Duluan deh, Ndung!" cetus Asri spontan.

"Aku

sih belakangan aja."

175

"Bilang aja kamu nungguin siapa!" sindir Lindung sambil mencibir.

"Lindung seru Volker lagi.

"Cabut!"

"Oke, oke!" balas Lindung sambil berlari-lari

meninggalkan Asri dan Asih.

"Ogut coming

soon,Volker

***

Ketika bertemu dengan Segara. Asri tahu, Norman akan segera menjadi mantan pacarnya. Akan

digudangkan, menurut istilah Lindung. Menyusul

mantan pacar-pacarnya yang lain.

Tetapi ketika Asri menyadari dia sudah jatuh cinta

pada Segara, dia merasa takut. Dan seperti binatang

terjerat, dia berusaha melepaskan diri.

Kedatangan Norman malah membantunya agar

tidak terlalu rapat dengan Segara. Dan terpuruk makin dalam. Supaya kalau terpaksa berpisah, Asri tidak

merasa terlalu sedih. Bukankah hidup ini menyenangkan kalau kita belum mengenal cinta?

Itu petuah Ibu. Dan Ibu sudah banyak makan garam beryodium. Petuahnya pasti tidak terlalu jauh

meleset.

Tapi kedatangan Asih mengubah segalanya. Begitu muncul, dia langsung merampok perhatian Norman dan Segara. Asri merasa tersisih. Dan egonya

terlukai.

176

Mula-mula dia mengira hanya karena popularitasnya yang tercabut. Tetapi ketika melihat Segara

asyik mengobrol dengan Asih di buritan perahu, Asri

merasa aneh.

Tiba-tiba saja dia menyadari, perasaan tidak enak

yang berkecamuk di hatinya ini bukan lagi sekadar

ego yang terlukai. Ini perasaan yang lebih dalam.

Lebih menyakitkan... ini cemburu.

Untuk pertama kalinya Asri mengalami perasaan

yang amat menyakitkan itu. Dan untuk pertama kalinya pula dia dapat merasakan penderitaan ibunya.

Perasaan seperti inilah yang diderita Ibu ketika

ditinggalkan Ayah! Cemburu. Itu berarti gabungan

perasaan yang sangat menyiksa. Sedih. Kecewa.

Sakit hati. Dan Asri jadi bertambah tidak menyukai

ayahnya!

177

BAB XVII

PULAU-PULAU Gili memang menjanjikan masa

depan pariwisata yang cerah. Pantainya yang berpasir putih. Lautnya yang membiru bening. Dan coral

birunya yang menurut Segara teramat cantik, membangkitkan keinginan anak-anak muda itu untuk melihatnya sendiri.

Penduduk Pulau Gili Air, yang hanya ratusan jurnlahnya, tampaknya mulai memilih pariwisata sebagai

sumber penghasilan kedua setelah profesi utama

mereka sebagai nelayan. Losmen dan bungalo bergaya bangunan tradisional Sasak berserakan di sepanjang pantai. Salah satunya milik ayah Asri.

"Bagaimana, As?" tanya ayahnya, tidak sabar

menunggu komentar putrinya.

"Kamu suka tempat

ini?"

"Suka," sahut Asri polos.

"Tapi kesannya berantakan. Coba kalau bungalo-bungalo ini ditata apik,

nggak asal bangun aja, kan lebih enak dilihat mata."

"Kamu kritis sekali!" puji ayahnya sambil

tersenyum lebar.

"Di luar sana mestinya ada panggung untuk menyajikan kesenian tradisional. Di sepanjang pantai

178

dibangun gubuk-gubuk beratap rumbia yang memamerkan produk-produk lokal yang khas..."

"Udah, udah!" potong Lindung separuh bergurau.

"Mentang-mentang dipuji, jadi sok ngatur! Emangnya kamu dari Dinas Pariwisata!"

"Ngasih usul doang kan nggak dosa!"

"Idemu bagus, As," puji ayahnya kagum.

"Seharusnya kamu tinggal di sini bersama Ayah."

"Jangan, Pak!" gurau Lindung sambil tertawa.

"Bisa habis tuh wisman bule dikerjain!"

Dia menunjuk belasan wisatawan asing yang sedang asyik berjemur di pantai. Tubuh mereka yang

putih tampak kemerah-merahan bermandikan sinar

matahari.

"Kalau kalian berminat, Asih bisa mengantarkan

kalian ke Gili Trawangan. Nanti malam ada pertunjukan tari di sana. Mau, kan, Asih?"

"Boleh saja, kalau pada mau," sahut Asih acuh tak

acuh. Masih kesal karena ayahnya memuji saudara

kembarnya terus. Mentang-mentang anak baru! Perhatian Ayah tumplek blek padanya!

"Mau dong!" cetus Lestari spontan.

"Sekalian cari

Pak Muluk di sana."

"Bukan sekalian berperahu di bawah bulan purnama?" sindir Lindung.

"Kok kamu masih ingat Pak

Muluk sih, padahal lagi repot dikeroyok dua begini?"

"Ngaco aja kamu, Ndung!" damprat Lestari

179

panas.

"Udah kosong lagi perutmu? Kayak aki aja,

ngadat kalau kelamaan nggak diisi!"

"Wah, kalau itu sih always! Di mana saja, kapan

saja, makan apa saja..."

"Tetap Lindung si perut gentong!" sambung Asri

sambil menyeringai.

"Pak, di sini ada yang menyewakan peralatan

snorkeling?" tanya Norman, tidak sabar melihat air

laut yang demikian biru mengundang.

"Tentu. Asih akan mengantarkan kalian ke sana."

Lho, kok aku yang mendadak jadi seksi repot,

gerutu Asih dalam hati. Siapa yang mengangkatku

jadi guide?

"Mau ya, Sih?" bujuk Norman melihat wajah gadis yang mirip Asri itu berubah masam.

"Mau dong?"

"Nah, doi lu mulai merayu cewek kece, As!" goda

Lindung geli.

"Tahan kagak jantung lu?"

***

Suara kendang yang bertalu-talu sekan-akan memanggil para turis untuk berkumpul di sana. Irama

gamelan yang mengingatkan Asri pada gamelan Bali

itu terasa akrab di telinganya. Nadanya mengalun

sendu mengisi kesunyian malam. Dentangnya seperti

berbaur mesra dengan debur ombak di pantai.

Penabuh kendang dan gamelan bersimpuh ber

180

jajar di sisi panggung. Sementara penonton yang

lumayan jumlahnya tersebar di sisi lain.

Semakin malam, acara semakin meriah. Bahkan

ketika Tari Gandrung dimulai, suasana hangat yang

meningkahi penari, mulai menulari penonton.

Penari wanita yang cantik itu mula-mula hanya

melenggang-lenggok. Menari lemah gemulai diiringi

irama gamelan. Kemudian gerakan-gerakannya menjadi lebih sensual. Akhirnya dia mengajak salah seorang penonton untuk menemaninya menari.

Tanpa ragu-ragu, begitu diminta, laki-laki kulit

putih yang diundang menari itu langsung bangkit.

Dengan bersemangat dia menggoyang-goyangkan

badannya mencoba mengiringi irama gamelan yang

sudah bercampur dengan tawa penonton.

"Suka?" bisik Segara ketika melihat Asri tertawa

terpingkal-pingkal melihat gaya si bule mengikuti

gerakan-gerakan partnernya.

Asri menoleh. Dan baru menyadari, betapa

dekatnya mereka duduk. Dan baru menyadari pula,

teman-temannya sudah tidak berada di dekatnya.

"Mana yang lain?"

"Tuh Volker di sana! Asyik motret."

"Yang lain?"

"Nggak tahu. Tadi saya lihat Norman dan Asih

menyelinap pergi. Gustav, Tomi, dan Tari malah sudah lenyap dari peredaran sejak tadi."

181

"Lindung?"

"Saya malah tidak tahu dia ikut kemari atau tidak."

"Kalau begitu kita harus cari dia."

Segara tersenyum.

"Masih merasa menjadi bu lurah?"

"Lindung suka aneh-aneh. Mendingan kita cari

sebelum bikin susah."

Asri langsung bangkit. Segara mengikutinya.

"Saya mengagumi rasa tanggung jawabmu, As," cetusnya tanpa nada memuji yang berlebihan. Dan itu
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru kelebihan Segara. Dia dapat memuji tanpa kesan menyanjung.

Suaranya begitu polos. Begitu sederhana. Begitu

seadanya. Tapi justru itu yang membuat Asri semakin

tertarik kepadanya.

"Saya sering dipuji," sahut Asri terus terang.

"Tapi belum pernah merasa malu."

"Karena pujiannya? Atau karena saya yang

memujimu?" tanya Segara sambil melangkah di

sampingnya.

Mereka menelusuri pantai dengan santai. Membiarkan angin malam menerpa rambut dan kulit mereka. Hangat. Lembut. Segar.

"Dua-duanya." Asri menoleh dan tersenyum manis.

Bergetar hati Segara melihat senyum itu. Rasanya

182

dia sudah kehilangan kemampuannya untuk balas

tersenyum. Sekujur tubuhnya seperti sudah terbelenggu emosi. Tak mampu melepaskan diri untuk

bersikap wajar lagi.

"Kapan kamu pulang, As?" tanya Segara setelah

terdiam beberapa saat. Dia melontarkan pertanyaan

itu sambil menunduk. Suaranya dalam dan berat.

"Mungkin satu-dua hari lagi."

"Mengapa tidak tinggal di sini saja bersama ayahmu?"

"Tidak mungkin. Ayah dan Ibu sudah bercerai."

"Ayahmu sudah menikah lagi?"

"Nggak tahu."

"Mengapa tidak kamu tanyakan?"

"Buat apa?"

"Kelihatannya kamu tidak menyukainya."

"Ayah jauh dari figur bapak yang selama ini saya

bayangkan."

"Bagaimana figur ayah menurut pendapatmu?

Tua, bungkuk, beruban? Bukan salah ayahmu kalau

sampai kini dia masih tetap muda dan ganteng!"

"Ketika melihat Ayah, saya baru dapat merasakan

penderitaan Ibu. Dan saya semakin tidak menyukainya."

"Barangkali ayahmu punya alasan untuk menjauhi ibumu."

"Apa pun alasannya, Ayah tidak berhak meninggalkan kami begitu saja!"

183

"Mumpung di sini, gunakanlah waktumu untuk

memahami alasan ayahmu, As. Jangan malah dipakai

untuk memusuhinya."

"Kamu laki-laki, Segara! Tidak bisa mengerti

perasaan perempuan!"

"Tapi saya bisa memahami perasaanmu, As," gumam Segara lembut. Amat lembut. Sampai berdebar

hati Asri mendengarnya. Kapan pernah didengarnya

pemuda ini berkata demikian lembut padanya?

Segara meraih tangan Asri. Memaksanya berhenti melangkah. Sesaat mereka saling tatap di bawah

cahaya bulan yang suram.

"Walaupun kita belum lama berkenalan, kamu

seperti bukan orang lain lagi bagi saya...."

Asri tersenyum tipis. Sebenarnya untuk menutupi keresahannya. Menyembunyikan rasa takut yang

mulai lagi menjalari hatinya.

"Begini caramu merayu

turis?"

Segara tersentak. Seperti mendadak disengat aliran listrik. Wajahnya berubah. Dilepaskannya tangan

Asri. Ditatapnya gadis itu dengan tatapan terluka.

"Kamu anggap ini cuma rayuan?" desisnya kecewa.

"Tentu saja tidak!" Buru-buru Asri mengubah

sikapnya. Kaget juga dia melihat perubahan sikap

Segara. Ternyata pemuda itu lebih serius daripada

yang diduganya semula! "Kalau benar ini rayuan,

184

kamu punya cara yang berbeda untuk merayu

Tetapi kelakar Asri tidak dapat menolong memperbaiki suasana yang sudah telanjur rusak.

"Berbeda dari cara pemuda Jakarta merayumu?"

tanya Segara dingin.

"Karena saya cuma pemuda

gunung?"

Lho, kok marah, keluh Asri antara terkejut dan

bingung.

"Mari saya antarkan kamu pulang," kata Segara

mantap. Sikapnya telah kembali tegar. Kesedihan

telah lenyap dari suaranya. Kekecewaan pun sudah

pupus dari matanya. Tapi Asri merasa, Segara telah

berubah. Dan dia benar-benar menyesal!

***

"Kenapa kamu menjauhi saya?" tanya Gustav kecewa. Tentu saja dalam bahasa Inggris. Bahasa lndonesianya masih semrawut.

"Saya tidak ingin mempermainkanmu...," balas

Lestari sedih.

"Tapi..."

"Pemuda itu?" potong Gustav kesal.

"Karena

dia?!"

"Dia pacar saya, Gustav...."

"Nach und...?"

"Saya harus memilih.

"

"Kamu mencintai saya! Mengapa memilih dia?"

185

"Saya memang mencintaimu. Tapi setelah Tomi

datang, saya sadar, saya masih mencintainya...."

"Saya tidak percaya! Kamu cuma ragu karena dia

sudah lama jadi pacarmu! Dan saya orang asing!"

"Barangkali itu memang sifat saya, Gustav. Saya

sangat takut pada sesuatu yang tidak pasti...."

"Kamu belum dewasa! Saya kecewa!"

"Maafkan saya, Gustav " gumam Lestari lirih.

"Maafkan saya karena telah mengecewakanmu.

Maukah kamu tetap menjadi teman saya?"

"Masih bolehkah saya mengharapkan lebih? Saya

punya banyak teman gadis. Tapi tidak ada yang seperti kamu.

" Gustav memegang tangan Lestari dengan lembut. Dan menatap langsung ke dalam matanya. Mata yang biru itu demikian menawan. Demikian

hangat. Penuh berlumur cinta kasih.

"Ich liebe dick,"

bisiknya lembut. Mesra. Lestari memejamkan matanya dengan sedih. Tidak tega membalas tatapan yang

demikian sungguh-sungguh. Ada yang nyeri di dalam sini ketika mata mereka saling tatap dengan sorot putus asa. Pemuda ini benar-benar mencintainya!

Benarkah dia hanya menganggap Gustav sebagai

teman? Benarkah masih Tomi, hanya Tomi, yang berada dalam hatinya? Kalau benar demikian, mengapa

hatinya terasa sakit, amat sakit?

***

186

"Hei, Pretty Woman!" sapa Lindung, lincah seperti biasa.

"Dari mana?"

Tetapi Lestari seperti tidak mendengar panggilannya. Dia lewat di depannya tanpa menoleh. Langsung

menuju ke kamarnya.

Belum hilang kekesalannya karena tidak diladeni,

Asri lewat.

"Halo, Bionic Woman! Pulang kandang?"

Dan sekali lagi Lindung tidak digubris. Tanpa

mengacuhkan Lindung, Asri melangkah ke kamarnya tanpa menoleh.

"Edan," gerutu Lindung jengkel.

"Baru semalam

di Gili, kenapa mendadak ketularan penyakit budek

semua?!"

Dengan penasaran dia menerobos masuk ke kamar mereka. Dan melihat Lestari sedang membenahi

ranselnya.

"Mau ke mana malam-malam begini, Tari?" sergah Lindung bingung.

"Kawin lari?"

"Besok aku mau pulang ke Jakarta aja," sahut Tari

hampir menangis.

Untuk pertama kalinya Asri tidak menjawab. Dia

seperti sedang melamun. Wajahnya muram seperti

langit mendung.

"Nggak usah buru-buru," Lindung menjatuhkan

dirinya di kasur sambil menghela napas panjang.

"Tadi Volker bilang, besok mereka kembali ke Seng

187

gigi. Ambil barang-barang. Dan berangkat ke Lembar. Dari Lembar, mereka naik ferry ke Padangbai.

Langsung ke Denpasar. Dan pulang ke Jerman."

"Kita juga pulang aja deh," sambung Asri lesu.

"Toh aku udah ketemu Ayah. Mau ngapain lagi di

sini?"

"Kalian ini gimana sih?" gerutu Lindung jengkel.

"Siapa sih yang janji sama si Ina? Belum ketemu Pak

Muluk kalian udah pada mau cabut?"

"Lindung betul juga, Tari," Asri menghela napas

panjang.

"Janji mana boleh diutang sih?! Kita mesti

beresin dulu Mission Impossible kita

***

Tetapi Gustav tetap pada rencananya semula.

Bahkan keindahan taman bawah laut Gili dengan

blue coral-nya yang termasuk satu di antara yang

paling cantik di dunia, tak mampu lagi menahannya.

Dia memutuskan untuk segera meninggalkan Gili.

Pagi-pagi dia pamit pada teman-temannya di

bungalo ayah Asri di Gili Air. Dan langsung kembali

ke Senggigi.

"Jangan pergi dulu sebelum kami datang," pinta

Asri sungguh-sungguh.

"Kita bikin malam perpisahan di Senggigi. Malam yang paling berkesan untuk

mengenang kebersamaan kita di Lombok."

188

"Jangan emosi gitu ah, As!" komentar Lindung.

Mencoba bergurau untuk menutupi keharuan.

"Ntar

kering nih air mata!"

Lestari tidak muncul. Sia-sia Gustav menunggunya untuk mengucapkan selamat berpisah.

Lestari tidak tahan melihat Gustav pergi. Tidak

mampu membendung air matanya dalam perpisahan

itu.

Tomi tahu mengapa Lestari tidak muncul. Tapi

dia tidak mampu berkata apa-apa. Hatinya memang

jengkel. Tapi mau apa lagi?

Hubungan Lestari dan Gustav ternyata benarbenar sudah melebihi hubungan persahabatan biasa!

Dan tampaknya, Lestari tidak mampu lagi membendungnya.

189

BAB XVIII

"AYAH udah punya istri lagi?" tanya Asri tiba-tiba.

Ayah Asri terkejut mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu. Dia terdiam sesaat sebelum

menjawab.

"Belum."
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke mana wanita itu?"

"Meninggal."

"Kenapa Ayah nggak balik ke Jakarta?"

"Ibumu tak mungkin mau menerima Ayah kembali."

"Tahu dari mana? Ayah kan belum pernah coba!"

"Dosa Ayah terlalu besar, As...."

"Karena itu Ayah ngumpet di sini? Lupa masih

punya anak satu lagi?"

"Ayah tidak pernah lupa kepadamu! Bagaimanapun buruknya hubungan orangtuamu, cinta orangtua

kepada anak-anaknya tidak pernah berubah!"

"Mana buktinya? Mana? Kalau Asri nggak cari

Ayah, pernah Ayah berusaha cari Asri? Nggak, kan?"

"Kamu tidak mengerti, As...."

"Tentu saja tidak! Ayah nggak pernah kasih pengertian!"

190

"Kadang-kadang kita ingin melakukan sesuatu

yang tak dapat kita lakukan!"

"Apa misalnya?" desak Asri penasaran.

"Minta maaf pada ibumu. Dan mengajaknya berdamai kembali

"Udah pernah coba?"

"Ayah sudah tiga kali menulis surat."

"Nggak pernah dibalas?"

"Tidak satu pun."

"Ibu pasti sakit hati."

"Ibu sering cerita tentang Ayah?"

"Nggak pernah! Ibu bilang, Ayah udah mati!"

Ayah Asri tampak amat terpukul sampai tidak

mampu mengucapkan sepatah kata pun.

"Asri bukan hanya dibesarkan tanpa kehadiran

Ayah," sambung Asri lirih.

"Bahkan membayangkannya saja pun Asri nggak mampu! Yang kayak apa

sih ayah Asri? Benar nggak sih Asri punya ayah?"

"Maafkan Ayah, Nak," desah ayah Asri terharu.

"Selama ini Ayah kira ibumulah yang paling menderita karena perbuatan Ayah. Ternyata Ayah keliru.

Kamu lebih menderita lagi dalam ketidaktahuanmu."

***

"Kenapa kamu selalu menyakiti hati ayahku?"

sergah Asih judes.

"Sejak kamu datang, Ayah selalu

murung!"

191

"Terang dong! Begitu melihatku, dia kayak bercermin sama dosanya sendiri!"

"Kupikir sudah cukup kamu menyiksanya. Kapan

kamu pulang?"

"Datang nggak diundang, pergi nggak diusir,"

balas Asri seenaknya.

"Pulau ini bukan kamu punya. Ayahmu ayahku juga. Apa hakmu menyuruhku

pulang?"

"Aku tidak tega melihat Ayah sedih terus!"

"Salah siapa?"

"Yang sudah lewat buat apa diungkit-ungkit lagi?

Ayah-Ibu sudah lama berpisah. Buat apa kamu datang

mengorek luka lama?"

"Ngorek-ngorek luka sih urusan perawat! Aku

cuma datang mau lihat kayak apa sih bapakku?! Nggak kayak kamu! Kayak apa modelnya perempuan

yang beranakin juga nggak kepingin tahu!"

"Buat apa mencari ibu yang tidak mau melihatku?"

"Ibu nggak bisa melihatmu! Bukan nggak kepingin!"

"Kenapa?"

"Karena saban lihat Ayah, Ibu keki! Jadi Ibu nggak bisa lihat kamu kalau kamu masih ngumpet terus

di belakang Ayah!"

Untuk pertama kalinya Asih terdiam. Matanya

menerawang jauh. Seperti merenung.

192

"Ibu cantik?" tanyanya perlahan-lahan.

"Terang dong! Nggak lihat nih fotokopinya?"

"Baik?"

"Yang terbaik di dunia!"

"Ibu tidak pernah memikirkanku?"

"Mana aku tahu? Aku malah nggak tahu kamu

ada! Kalau ketemu di kuburan, pasti kukira kamu

hantu!"

"Kenapa Ibu memilihmu?"

"Tanya sendiri kalau ketemu!"

Sekarang Asih menoleh. Dan menatap saudara

kembarnya. Ketika melihat cara saudaranya menatapnya, tiba-tiba saja Asri kehilangan sebagian kebenciannya.

Mata Asih sudah kehilangan kegarangannya.

Mata itu kini bersorot sendu. Bilah-bilah kerinduan

tersirat di sana.

"Kamu pikir." gumamnya ragu,

"aku bisa menemui Ibu?"

"Lho, kenapa enggak? Ibu masih bermukim di

planet bumi kok!"

"Ibu mau menemuiku?"

"Kamu kan nggak punya salah apa-apa!"

"Kamu pikir Ibu senang melihatku?"

"Siapa sih yang nggak senang lihat anak sendiri?

Biar jelek kamu kan tetap anaknya! Telmi banget sih

kamu. Lulus SD nggak?"

193

"Jangan menghina! Aku sudah lulus SMP!"

"Terus bantuin Ayah metik kelapa? Pantas mirip

Hanoman!"

"Tahu apa yang kubenci pada dirimu?"

"Pasti karena aku lebih cakep!"

"Kamu sombong!"

"Biar! Sombong kadang-kadang perlu kok!"

"Tapi sombongmu kelewatan! Apa sih yang kamu

banggakan?"

"Sombongnya cuma sama orang-orang yang nggak pernah nganggap diriku ada! Kayak kamu!"

"Tapi aku tidak tahu kamu pernah ada!"

"Itulah makanya kubilang kamu telmi! Kalau aku

nggak pernah nongol di depanmu, sampai ubanan

pun kamu nggak bakal tahu punya saudara kembar!"

"Bagaimana aku tahu? Ayah tidak pernah cerita!"

"Ibu juga enggak! Tapi aku bisa nemuin kamu!

Apa lagi namanya kalau bukan hebat?"

"Kamu selalu sombong seperti ini?"

"Emang dari sononya!"

"Aku tidak suka padamu sejak pertama kali bertemu. Tahu kenapa?"

"Nggak kepingin tahu."

"Kamu sok!"

"Siapa bilang aku suka kamu?"

"Nah, berantem lagi, kan?" sela Lindung yang

baru tiba membawa sebungkus kacang goreng.

"Wak

194

tu di dalam perut dulu, kapling kalian kan bersebelahan! Berebut makanan terus, ya?"

"Iya! Misalnya kacang!" Dengan gesit Asri menyambar bungkusan kacang dari tangan Lindung. Dan

tanpa membuang waktu, menjejalkan segenggam kacang ke dalam mulutnya.

"Kamu memang jagonya

cari makan, Ndung!"

"Habis apa lagi dong yang kucari? Cowok laris

sudah habis!"

"Wisman dari mana yang kasih kamu kacang,

Ndung? Dikiranya kamu pelarian dari Sangeh, ya?"

gurau Norman yang baru tiba di dekat mereka.

"Kita

ngeceng cari angin yuk, As!"

"As yang mana nih?" goda Lindung sambil menyambar balik kacangnya.

"Angin di sini udah banyak! Mau cari di mana lagi sih?"

"Sana deh cari angin laut!" balas Asri sambil buru-buru menyingkir.

"Aku sih cari angin gunung aja!"

"Udah, Man! Ambil yang ada aja deh!" Lindung melenggang pergi sambil melahap kacangnya.

"Ntar keburu kehabisan! Masuk angin lu, kalau perut

kosong!"

"Sori!" Norman menyeringai masam begitu melihat perubahan air muka Asih. Wah, dia pasti kesal dianggap sisa! "Sohib-sohib kita adatnya emang tengill

Udah deh, cuekin aja!"

"Aku muak melihatnya!"

195

"Siapa?" tanya Norman kaget.

"Temanmu itu! Siapa lagi!"

"Lindung?"

"Asri!"

"Lho, dia kan saudaramu!"

"Sombongnya selangit!"

"Oh, dia sih emang begitu! Jangan kaget deh. Tapi

dia cewek paling menarik yang pernah kukenal!"

"Pacarmu?"

"Mantan!" Norman tertawa pahit.

"Sudah lama kenal dia?"

"Lama juga sih."

"Pernah lihat ibunya?"

"Ibumu?" Norman mengerutkan dahi.

"Sering."

"Bisa ceritakan tentang dia?"

"Di sini?"

"Di mana lagi?"

"Gimana kalau sambil jalan-jalan? Biar aku nggak dikira dalang nyasar!"

***

"Kenapa Ayah meninggalkan Ibu?" Untuk pertama kalinya Asih berani menanyakannya.

Ayahnya menoleh dengan terkejut. Tidak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu dari Asih.

"Salah Ayah," sahutnya pendek. Kering.

196

"Karena perempuan itu? Adik Ibu?"

Ayah tidak menjawab. Tapi Asih mendesak terus.

"Karena dia lebih cantik?"

"Karena dia lebih penuh pengertian!" cetus Ayah

seperti menumpahkan unek-unek yang telah belasan

tahun membebani dirinya.

"Saat itu Ayah tidak punya

pekerjaan...."

"Jadi Ibu yang kerja?"

"Karena ibumu yang mencari uang, Ibu tak pernah menghargai Ayah."

"Ayah tinggal di rumah setiap hari bersama adik

Ibu?"

"Bukan itu penyebabnya, Asih! Tidak seperti dugaanmu. Kami tidak sekotor itu!"

"Ayah enak-enakan di rumah pacaran dengan

perempuan itu, sementara Ibu bekerja keras mencari

uang? Itu yang Ayah sebut tidak kotor?!"

"Adik ibumu perempuan yang baik, Asih. Meskipun tidak berpendidikan. Dialah yang selalu melayani Ayah kalau ibumu tidak ada. Dia yang senantiasa menghibur kalau Ayah sedang frustrasi karena
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak punya pekerjaan. Dia yang selalu menabahkan

hati Ayah kalau Ayah putus asa dicerca dan dihina istri "

"Dan perempuan yang baik itu meninggalkan

Ayah begitu saja setelah berhasil merebut Ayah dari

tangan Ibu?"

197

"Dia tidak meninggalkan Ayah!" Lelaki itu menatap anaknya dengan marah.

"Dia meninggal sakit

kolera! Tahu kenapa Ayah tidak menikah lagi? Setiap

kali teringat kepadanya, Ayah menyesal. Kalau Ayah

tidak membawanya kemari, mungkin dia masih hidup

198

BAB XIX

SIANG itu, Asri mengerahkan teman-temannya untuk mencari Pak Muluk di Gili Trawangan.

"Pulau ini kan nggak besar, As," cerita Lindung

ketika mereka sedang istirahat makan siang.

"Tadi

malam waktu kalian pada asyik nonton tari-tarian,

aku ajak Norman dan Asih cari Pak Muluk. Tapi udah

sejam kami muter-muter, boro-boro Pak Muluk, hantunya aja nggak nongol!"

"Gimana kamu tahu yang kayak apa hantunya Pak

Muluk? Kamu kan belum pernah lihat tampangnya!"

"Kurang-lebih sih aku hapal deh! Paman Waliki

kan pernah kasih lihat lukisan yang di dinding cottage-nya."

"Lho, itu lukisan Pak Muluk? Bukan satwa langka

yang mesti dilindungi?"

"Sadis kamu, As!"

"Heran, tampang kayak kuda nil begitu kok digandrungi cewek-cewek kece, ya?"

"Bukan tampangnya yang komersil! Duitnya yang

bikin dia ngetop!"

"Jangan-jangan kalau ketemu dia, kamu bakal

jadi calonnya tahun depan, Ndung!"

199

"Idih, amit-amit!"

Selesai makan siang, mereka kembali mencari

Pak Muluk. Jelas saja penduduk pulau yang cuma

beberapa ratus orang itu keheran-heranan melihat begitu banyak anak muda mencari Pak Muluk.

Penjaga bungalonya, yang sudah empat kali ditanya oleh remaja yang berbeda, langsung curiga.

Jangan-jangan remaja-remaja Ibukota ini mau bikin

onar....

"Kami cuma ingin menyampaikan kabar gembira,

Pak," kata Asri, mantap seperti biasa.

"Berita gembira apa?" tanya penjaga bungalo itu

dengan curiga.

"Kami akan sampaikan sendiri kepada Pak Muluk, Pak. Langsung. Tanpa perantara."

"Pak Muluk belum pulang."

"Oke aja. Kami tunggu di sini."

Terpaksa penjaga bungalo itu terus bersiaga di depan bangunan majikannya. Anak-anak muda itu memang tidak mau menyingkir dari sana. Tetapi mereka

tidak berbuat apa-apa kecuali duduk-duduk ngobrol

sambil makan kacang goreng.

Akhirnya tokoh yang ditunggu-tunggu itu muncul

juga. Turun dari perahu motor sambil menggandeng

seorang gadis cantik.

Begitu cantiknya gadis itu sampai Norman bersiul memuji. Sebaliknya, Lindung menggerutu dengan

gemas.

200

"Kemana sih matanya? Huu, cakep-cakep buta!

Mau aja sama kakek-kakek yang hampir jadi fosil!"

Penjaga bungalo Pak Muluk sudah menghambur

memberi laporan begitu kaki majikannya menjejak di

pasir. Dan Pak Muluk memandang anak-anak muda

itu dengan curiga. Tetapi tanpa rasa takut sedikit pun.

Matanya bersorot penuh wibawa. Mata seorang penguasa.

"Kabar gembira apa?" Suaranya semantap langkahnya. Sedingin tatapannya. Walaupun tua, jelek,

beruban, profilnya menampilkan raut keras seorang

pengusaha tahan bantingan. Gurat-gurat kegigihan di

parasnya mengesankan seorang pejuang yang pantang menyerah. Tidak kenal takut. Dan tidak tahu

malu.

Dalam dunia bisnis yang keras, rintangan sesulit

apa pun sudah pernah dihadapinya. Saingan yang

seperti apa pun liciknya, bukan barang baru untuknya. Rongrongan yang betapapun kejamnya, tak mampu menghalanginya.

Apa artinya menghadapi anak-anak muda yang

masih mentah ini? Mereka cuma kroco! Cari duit saja

belum mampu! Cuma jual lagak dengan duit bapaknya! Hm, apa yang perlu ditakuti?

"Kami ingin bicara, Pak," kali ini Segara yang

membuka mulut.

Sementara yang lain masih terpesona mengagumi figur Pak Muluk. Dia memang bandot tua. Tapi

pasti bandot yang paling menarik. Dalam dirinya,

kekuasaan, wibawa, dan kekayaan menyatu dengan

kokohnya. Menampilkan daya tarik yang kuat. Terutama bagi gadis-gadis miskin pengalaman dan kasih

sayang.

"Kalau minta sumbangan, di kantor saja," katanya

tegas. Khas pengusaha kaya. Semua yang datang pasti minta uang. Minta apa lagi? Anakanak muda begini

sering kok datang ke kantornya. Minta sumbangan

untuk inilah, itulah. Bosan! "Di sini saya tidak mau

diganggu."

Dengan langkah-langkah pasti, dia membimbing

tangan pacarnya melewati anak-anak muda itu tanpa

menoleh lagi.

"Pak!" panggil Lindung gemas. Kesabarannya habis.

"Tadinya kami ingin bicara dengan Bapak sendiri. Tapi karena Bapak tidak mau menerima kami, terpaksa kami bicara di sini saja!"

"Jangan salahkan kami kalau berita ini terpaksa

disiarkan dalam Dunia Dalam Berita, Pak!" sambung Norman keras. Dia memang tidak bisa bicara

perlahan.

Pak Muluk berhenti melangkah. Dan menoleh

dengan angkuh.

"Singkat saja," katanya dingin.

"Dua menit."

"Satu menit!" sambar Norman gesit. Kebiasaan.

Apa-apa mesti ditawar.

"Menit kalian yang pertama hampir lewat."

"Oke!" Lindung menelan ludah dengan terburuburu. Untung tidak tersedak.

"Anak Bapak sudah lahir! Nah, berapa detik?"

Waktu yang satu menit itu pasti sudah lewat. Tapi

Pak Muluk belum meninggalkan mereka. Wajahnya

merah padam.

"Apa artinya ini?" geramnya sengit.

"Artinya Bapak sudah jadi bapak!"

"Saya punya enam orang anak!"

"Sekarang tujuh!"

"Jangan main-main!"

"Ina, mantan sekretaris pribadi Bapak, sudah

melahirkan di Senggigi...."

"Anak Bapak yang bungsu perempuan. Kalau betul itu yang bungsu!"

Wajah Pak Muluk memucat. Tetapi wajah gadis di

sampingnya, lebih pucat lagi.

"Mbak Ina melahirkan?" desisnya tak percaya.

"Mbak kenal Ina?" desak Lindung heran.

"Kok

tega-teganya sih..."

Belum habis Lindung bicara, perempuan itu sudah mengempaskan tangan Pak Muluk. Dan menghambur ke dalam bungalo.

"Susi!" seru Pak Muluk serba salah.

Tetapi Susi sudah menghilang ke dalam bungalo.

Sekarang Pak Muluk menoleh ke arah remajaremaja

itu dengan geram.

"Kalian merusak segalanya!"

"Bapak yang merusak gadis-gadis!" bantah Lindung sengit.

"Awas, kalian akan menerima akibat perbuatan

kalian!"

"Lho, kok malah marah?" potong Norman gemas.

"Mestinya Bapak berterima kasih pada kami! Jauhjauh kami datang untuk mengabarkan anak Bapak

sudah lahir!"

"Saya tidak perlu bantuan kalian!"

"Tapi Ina perlu bantuan kami! Untuk mencari di

mana bapak anaknya!"

"Kalian bikin malu saya!"

"Perbuatan Bapak memang memalukan!"

"Kalian akan menyesal!"

"Seharusnya Bapak yang menyesal!"

"Nus! Usir anak-anak muda ini! Saya tidak mau

melihat mereka lagi!"

"Kami juga tidak mau melihat Bapak lagi! Kecuali di museum!"

***

Volker dan Gustav menepati janji. Ketika Asri dan

teman-temannya sampai di Senggigi, mereka masih

menunggu di sana.

Ina dan bayinya juga masih menunggu di cottage.

204

Tadinya dia ingin menunggu terus di sana sampai

Pak Muluk datang, tapi Asri mengubah niatnya.

"Ngapain kamu nungguin pria bergilir kayak arisan begitu? Orang narik arisan aja masih narik sebulan sekali. Kamu? Bisa-bisa sewindu nggak ditengok!"

"Mendingan kamu pulang ke Jakarta," sambung

Lindung.

"Cari kerjaan halal. Urus bayimu sendiri."

"Kalau aku jadi kamu, mendingan nggak kawin

daripada punya suami ledeng bocor kayak begitu!"

"Bener kata Asri, In," Lindung nimbrung seperti

biasa.

"Daripada kamu jadi barang simpanan kakek

mesum begitu, mendingan juga kamu belajar hidup

mandiri!"

"Daripada kamu jadi barang rongsokan?! Atau

dikoleksi terus sampai bulukan? Sayang kan umurmu?"

"Siapa tahu di Jakarta kamu ketemu Richard Gere

dan jadi Pretty Woman? Nggak peduli kamu udah

second hand, dia tetap mau menerima kamu seperti

apa adanya!"

"Ya seperti apa adanya dong! Kalau jadi kodok,

masa ada yang mau sih!"

***

Malam itu adalah malam terakhir di Senggigi.

Malarn terakhir pula bagi Asri dan kawan-kawannya

di Lombok.

Esok, Asri bersama Lestari, Lindung, Norman,

dan Tomi kembali ke Jakarta. Ina sudah memutuskan untuk mengikuti petuah teman-teman barunya.

Kembali ke Jakarta. Tanpa menunggu Pak Muluk

lagi. Sementara Segara kembali ke Mataram untuk

melanjutkan kuliahnya. Dia memang hanya pemandu

wisata paruh waktu membantu usaha ayahnya.

Asih dan ayahnya akan kembali ke Gili Air

setelah mengantarkan Asri dan teman-temannya ke
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelabuhan Udara Selaparang. Sementara itu, Volker

dan Gustav menuju ke Lembar. Dari sana mereka

akan naik ferry menyeberang ke Padangbai di Bali.

"Akhirnya habis juga masa liburan kita di Lombok ya, As!" Lain dari biasanya, malam ini Lindung

tampak terharu. Baik makannya, maupun bicaranya

tidak sebanyak biasa.

"Jadi emosi juga nih!"

Teman-temannya yang memang sudah kalut diaduk emosi yang mengharu-biru, tidak mampu membalas komentarnya. Mereka makan dengan diam.

Gustav dan Lestari malah udah hampir tidak mampu

menelan makanan mereka. Padahal untuk acara perpisahan itu, Paman Waliki sudah mengerahkan seluruh

kemampuan memasaknya.

Selesai makan malam, mereka berkumpul di sekitar api unggun yang dinyalakan di tepi pantai di de

pan cottage. Suasana malam itu. rasanya lebih sepi

daripada biasa. Binatang malam pun seperti membisu.

Angin juga tampaknya tidak mau berembus. Api

berkobar gagah. Lidahnya menjilat-jilat dengan perkasa. Terayun ke sana kemari dengan anggunnya.

Laut pun seperti membisu. Satu-dua kali ombak

kecil memecah di pantai yang tetap setia menunggu.

Sementara langit menghitam gelap. Bahkan bulan tak

mau menampakkan diri, laksana memahami perasaan

para remaja yang akan segera berpisah itu.

Lestari tidak dapat menahan air matanya ketika

Volker memimpin teman-temannya menyanyikan

Auld Lang Sma. Tidak sadar tangan mereka langsung

saling bergandengan dengan teman di samping masing-masing.

Bukan kebetulan jika teman di samping Lestari

adalah Gustav dan Tomi. Mereka memang masih menempel terus seperti lintah. Tetapi tampaknya malam

ini Tomi agak longgar menjaga pacarnya.

Dia membiarkan tangan kanan Lestari digenggam

Gustav. Sementara tangan kiri gadis itu berada dalam

genggamannya.

Ketika lagu belum berakhir, Lestari sudah menghambur menjauhkan diri, Gustav langsung mengejarnya. Refleks Tomi sudah berbalik hendak ikut

mengejar Lestari. Tetapi Lindung yang berdiri di

samping kirinya keburu mencegah.

"Biar deh, Tom," bisiknya perlahan tapi tegas.

"Cuma tinggal malam ini mereka bersama. Kasih

kesempatan dong."

Tomi masih menoleh-noleh dengan bimbang ke

arah Lestari. Tapi Asri keburu menyambar tangan

kanannya. Dan Tomi terpaksa menyerah. Tak dapat

meninggalkan lingkaran.

***

"Tari!" panggil Gustav sambil mengejar gadis itu.

Tetapi Tari berlari terus menembus kegelapan malam. Gustav harus mempercepat langkahnya supaya dapat menyambar tangan gadis itu. Dan

meraihnya ke dalam pelukannya.

"Maafkan saya, Gustav..." desah Tari getir di tengah-tengah isaknya.

Dan memang tidak perlu lagi kata-kata. Hati mereka sendiri telah berbicara.

Dari kejauhan, lapat-lapat terdengar suara teman teman mereka, mengalun mengisi kesunyian malam.

"Sayonara, sayonara, sampai berjumpa pula...."

***

"Atmvviedersehen, Volker!" Lindung menjabat

208

tangan temannya dengan terharu.

"Kirimin ogut potret-potretnya, ya. Nanti dikirimin resep sate!"

"Till we meet again, Lindung!" sahut Volker sambil menggenggam tangan Lindung erat-erat. Seolah-olah tidak ingin melepaskannya lagi. Dari semua

gadis yang ada di sana, memang dengan Lindung-lah

dia merasa paling berat berpisah.

"Next year, we will

come back!"

"!,

"Jumpa di Jakarta sambung Gustav dengan bahasa Indonesia yang sekaku senyumnya.

Cari penyakit, keluh Lindung dalam hati. Mendingan jangan cari gara-gara deh! Di Jakarta gengnya

si Tomi banyak. Bisa jadi kerupuk lu!

Kemudian Volker dan Gustav menyalami temanteman mereka yang lain. Merekalah yang paling dulu

meninggalkan Senggigi pagi itu menuju ke Lembar.

Ketika mobil yang membawa mereka meninggalkan halaman cottage, Lestari tak dapat menahan air

matanya lagi. Dia tidak mampu membalas lambaian

tangan Gustav. Melihat pemuda itu untuk terakhir kalinya, Lestari merasa hatinya tercabik. Sebagian dari

cabikan itu, ikut bersama Gustav.

Jauh di belakang sana, Tomi mengawasi pacarnya dengan murung. Saingan beratnya memang telah

pergi. Tetapi Tomi tidak yakin dia masih memiliki

Lestari seutuhnya.

***

"Selamat tinggal, Segara." Asri menjabat tangan pemuda itu sambil mencoba tersenyum. Berat

rasanya berpisah dengan teman. Lebih-lebih yang

mempunyai tempat istimewa di hatinya seperti

pemuda yang satu ini.

"Selamat jalan," sahut Segara tenang. Tidak tampak kesedihan di wajahnya yang bersih. Dia berusaha

keras menindas perasaannya.

"Sampai ketemu lagi," sambung Asri walaupun

dia tidak yakin mereka dapat bertemu lagi.

Segara tersenyum. Melepaskan tangan Asri dengan mantap. Seolah-olah dia cuma berpisah dengan

salah seorang temannya. Tanpa menoleh lagi, dia

menjabat tangan Lindung, yang tegak di samping

Asri.

"Senang berkenalan denganmu," katanya formal.

Begitu resminya suaranya sampai Lindung merasa

muak.

Tentu saja dia sudah mencium perubahan sikap

kedua temannya. Dan Lindung tahu apa sebabnya.

"Alaaa, jangan sok formal ah!" cetusnya, polos

seperti biasa. Di antara teman-temannya, memang

cuma dia yang sedang tidak bersandiwara. Kalau

kamu sedih kehilangan Asri, ngaku ajalah! Biar

dosamu nggak berat!"

210

Senyum Segara melebar. Tetapi tetap tawar. Hambar. Palsu.

"Tentu saja saya sedih kehilangan teman-teman,"

katanya datar.

"Tapi perpisahan memang akhir dari

suatu pertemuan, kan?"

"Duh, sok nyeni lu ah!" Lindung memukul tangan

Segara dengan gemas.

"Lagak lu kayak penyair salah

kamar!"

Asri tidak mau memperlihatkan perasaannya. Kalau Segara dapat berpura-pura acuh tak acuh, mengapa dia tidak?

"Jangan digodain terus, Ndung!" sergahnya purapura tidak ada apa-apa. Tidak ada hati yang terluka karena perpisahan.

"Ntar dia lupa rumahnya di

Mataram!"

Terhadap ayah dan saudara kembarnya pun Asri

enggan memperlihatkan emosinya. Dia tidak mau

memeluk Asih. Apalagi ayahnya.

Dia ingin perpisahan ini lewat begitu saja. Di hatinya memang tidak ada perasaan apa-apa, bukan?

Laki-laki itu memang ayahnya. Dia yang menanam

benih di rahim ibunya. Tapi lebih daripada itu? Siapa

dia?

Asri tidak mengenalnya! Seseorang yang sama

sekali asing baginya! Orang lain!

Mati-matian Asri menanamkan keyakinan itu di

hatinya. Ayahnya bukan ayahnya. Laki-laki itu orang

211

lain. Asri sudah merasa puas bisa melihat wajahnya.

Sekarang dia tahu bagaimana membayangkan

ayahnya. Tapi lebih daripada itu? Tidak! Asri tidak

mengharapkan apa-apa lagi dari ayahnya. Tidak keberadaannya. Namanya. Hartanya. Kasih sayangnya....

Tetapi sesaat sebelum meninggalkan Selaparang,

sebuah kejutan menerpanya. Asih tidak pulang bersama ayahnya. Dia malah ikut rombongan yang ke

Jakarta.

"Surprise?" Asih tersenyum sinis melihat mata

saudaranya terbuka lebar.

Senang rasanya melihat sorot kebingungan yang

melumuri mata Asri. Hm, belum pernah dia melihat

Asri menatapnya seperti itu! Biasanya matanya selalu menatap congkak dan serba tahu. Mata orang pintar yang sok!

"Kamu mau ke mana?"

"Ke mana lagi? Ikut kamu!"

"Ke Jakarta?"

"Punya rumah lain?" balas Asih angkuh, meniru

gaya Asri.

"Ngapain ikut aku?"

"Melihat Ibu. Itu hakku juga, kan? Sama seperti

hakmu mencari Ayah!"

Sekarang Asri menoleh dengan heran ke arah

ayahnya. Tepat pada saat Ayah sedang menatapnya.

212

Sejenak mereka saling pandang.

Saat itulah Asri melihat mata ayahnya berkacakaca. Dan tak sadar, setitik keharuan menyelinap ke

hatinya.

BAB XX

"MENGAPA kamu ubah model rambutmu, As?" tanya ibu Asri heran.

Dia baru pulang kerja. Dan mendapatkan anaknya

sedang menghangatkan makanan di dapur.

"Bosan," sahut Asih tanpa menoleh. Mati-matian

dia menahan dirinya agar tidak menoleh. Melihat

seperti apa ibunya....

"Kapan pulang?"

"Tadi siang. Jam dua."

"Kangen sama masakan Ibu?" Dengan perasaan

heran yang tak dapat diterangkan ibu Asri meletakkan tasnya. Mengapa tampaknya ada yang berubah

dalam diri anak perempuannya? Ada sesuatu yang

lain... yang berbeda.... Tapi... apa? "Nggak kangen

sama Ibu?"

"Kangen dong."

Sekarang Asih berbalik. Dadanya berdebar-debar.

Tangannya gemetar. Ditatapnya ibunya dengan berbagai perasaan.

Ibu sedang membuka sepatunya. Tidak memandang ke arahnya.

"Kok lama sekali sih nggak pulang-pulang? Ibu

sudah kuatir..."

214

Sekarang ibu Asri mengangkat wajahnya. Dan

menatap anaknya. Sekejap dua pasang mata saling

tatap. Dan sama-sama tercenung.

Asih hampir tidak dapat menahan air matanya.

Tidak disangka-sangka hari ini dia dapat melihat

ibunya! Ibu masih begitu cantik. Ramping. Rapi.

Penampilannya tidak bercela. Mengapa Ayah tega

meninggalkannya?

Karena Ibu terlalu dominan di rumah? Sehingga

Ayah terpaksa mencari seorang perempuan lain...

perempuan yang lebih dapat memahami, melayani,

dan menghargai dirinya?

Ibu tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dahinya berkerut. Matanya terbuka lebar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Lebih keras.

Bibirnya bergetar. Tetapi tidak ada suara yang keluar dari celah-celah bibir itu.

Di hadapannya tegak seorang gadis. Sama tingginya dengan Asri. Sama rampingnya. Sama cantiknya. Sama pula cara menatapnya. Tapi dia pasti bukan

Asri!

Dia boleh memakai pakaian Asri. Boleh meniru

gayanya. Boleh mempunyai raut wajah yang sama.

Tapi seorang ibu dapat mengenali anaknya, sekalipun

dengan mata terpejam!

Gadis ini berbeda biarpun penampilannya sangat

mirip Asri Dia bukan Asri. Bukan anaknya! Bu...

bukan...?

Dan jantungnya berdegup lebih keras lagi ketika

pikiran itu melintas di benaknya Mungkinkah".

Tapi... mana mungkin! Mustahil!

Dan sesosok tubuh lain muncul dari balik pintu

dapur. Sosok yang dikenalnya. Yang dirindukannya.

"Asri....?!" desah Ibu gemetar. Cetusan itu lebih

mirip protes daripada tanya. Dan di dalam mata ibunya, Asri melihat sesuatu yang lain....

"Kenapa Ibu nggak pernah cerita Asri punya

saudara kembar?" gugat Asri tajam.

Sesudah melontarkan pertanyaan sepedas itu,

Asri baru menyesal. Mengapa menggugat setajam

itu pada Ibu? Ibu sedang shock! Kejutan ini terlalu

tiba-tiba baginya....

Tetapi Ibu tidak mempedulikannya lagi. Ibu

langsung menoleh kembali kepada Asih. Dan air

mata meleleh deras ke pipinya.

"Asih...," bisiknya, sarat oleh keharuan.

Asri tidak tahu siapa yang lebih dulu memeluk.

Dia hanya melihat mereka saling rangkul dengan air

mata berlinang.

***

"Maafkan Ibu, Nak...," bisik Ibu lembut. Mereka duduk bersama di sofa. Begitu banyak hal yang

216

hendak diceritakan. Begitu banyak pertanyaan yang

menyesakkan dada.

"Bukannya Ibu tidak sayang

padamu...." Ketika mengucapkan kata-kata itu, air

mata meleleh lagi dari mata ibu Asri.

"Ayah sudah menceritakan semuanya," gumam

Asih murung.

"Asih tidak menyalahkan Ibu. Tapi

Ayah juga punya alasan mengapa meninggalkan Ibu.

Dan Ayah sudah menyesal...."

"Tentu," sela Asri kesal.

"Nah, nanti malam, sebelum bobok, kamu punya waktu buat ceritain alasan

itu!"

"Sudahlah," desah Ibu sambil mengekang keharuannya.

"Hari ini Ibu bahagia sekali bisa bertemu

denganmu, Asih. Ibu tidak mau mendengar apa-apa

lagi...."

Ibu tidak melebih-lebihkan alasannya. Suasana

hatinya memang sedang mencapai puncak kegembiraan dan keharuan. Tidak disangka-sangka hari ini

dia dapat bertemu dengan putri kembarnya yang satu

lagi! Yang sudah lima belas tahun tidak dilihatnya....

Oh, sungguh seperti mimpi! Hampir tak dapat

dipercaya!

Rasanya air mata tidak mau berhenti meleleh ke

pipinya. Kerongkongannya basah disekat keharuan.

Tangisnya langsung pecah setiap kali dia membuka

mulutnya.

Peristiwa lima belas tahun yang lalu seperti film

yang kembali berputar di depan matanya....

Tidak ada firasat apa-apa. Mereka memang sering

bertengkar sejak anak-anak lahir. Mempunyai suami penganggur memang tidak mudah. Apalagi kalau

mereka punya dua orang anak kembar! Anak-anak

yang harus diberi makan. Diberi pakaian. Diberi obat

kalau sakit.

Tetapi kabur dengan adik sendiri? Benar-benar

menjijikkan! Adik yang dipungutnya dengan tulus.

Dalam kesempitannya sendiri, dia masih rela memberi adiknya tumpangan.

Dan tiba-tiba... Suatu hari... Dia tidak menemukan mereka lagi.... Mereka menghilang begitu saja....

Kalau tidak ingat pada anak-anaknya yang masih

kecil-kecil, mau rasanya ibu Asri membunuh diri.

Sakit hati. Dan malu pada tetangga. Suaminya lari

dengan adiknya sendiri!

Ayah Asri baru muncul kembali sebulan kemudian. Dan Ibu tidak dapat memaafkannya lagi. Pengkhianatan itu terlampau menjijikkan untuk dimaafkan.

Mereka bercerai. Dan terpaksa membagi anak-anak

mereka.

Ibu Asri tidak sanggup mengurus dua orang anak

sekaligus. Biasanya kalau dia pergi kerja, adiknyalah

yang mengurus anak-anak.

"Bagaimana Ibu bisa memilih Asri, bukan saya?"

Pertanyaan Asih begitu tandas. Tidak kasar. Tidak

218

kurang ajar. Tapi cukup tajam. Dan... tepat.

Asih memang berhak menanyakannya. Mengapa

Ibu tidak memilihnya?

Sesaat Ibu tidak mampu menjawab. Mengapa dia

memilih Asri?

Ingatannya kembali kepada hari itu. Hari perpisahan. Kedua anak kembar itu tidur bersebelahan di

ranjang mereka. Dan Ibu hampir tak mampu memilih. Tapi toh dia menggendong Asri. Dan membiarkan mantan suaminya meraih Asih. Mengapa?

Air matanya berlinang ketika sambil menggendong Asri dia melihat lelaki itu menggendong Asih

pergi. Tangisnya pecah tatkala Asih merontaronta dalam gendongan ayahnya.

Seperti punya firasat, takkan melihat ibunya lagi,

Asih tiba-tiba terjaga. Dan menangis. Menggapai-gapai minta digendong ibunya.

Refleks ibu Asri meletakkan anaknya. Dan memburu Asih. Merebutnya dari gendongan mantan suaminya. Dan memeluknya sambil menangis.

Diciuminya Asih sepuas-puasnya. Dan dia baru

teringat lagi pada anaknya yang seorang lagi ketika

tangis Asri melengking. Asri yang masih tidur, jatuh

dari kursi. Mulutnya berdarah.

"Karena kamu keluar lebih dulu," sahut ibu

Asri terbata-bata. Menyadari anak-anaknya masih menunggu jawabannya.

"Ibu yakin kamu lebih

kuat... kamu jarang sakit. Tidak rewel. Dan tidak pernah merepotkan...."

Asri mengerling ke atas dengan jengkel. Dia yakin, bukan itu alasan Ibu! Huh, Ibu pasti bohong!

Tapi dusta atau bukan, Asih begitu terhibur mendengar jawaban Ibu. Jawaban yang telah lama ditunggunya. Sejak pertanyaan itu mengusik hatinya.

Mengapa Ibu memilih saudara kembarnya? Mengapa

Ibu pilih kasih? Tidak sayangkah Ibu padanya?

***

"Ibu tidak mau membicarakannya, Asih," sahut

ibu Asri tegas sambil melayani anak-anaknya makan.

Dia merasa rikuh harus membicarakan perkawinannya. Sungguhpun anak-anaknya telah remaja.

"Jika Ibu tidak mau membicarakannya. sampai kapan

Ibu baru dapat memaafkan Ayah?"

"Ibu tidak mungkin memaafkannya."

"Tapi..."

"Udah deh!" potong Asri ketus.

"Ibu kan udah bilang, nggak ada grasi buat Ayah! Mau apa lagi?"

"Tapi Ayah punya alasan kuat! Ibu telah menghina Ayah. Menyepelekan suami. Mentang-mentang

Ayah tidak punya pekerjaan...."

"Ah, itu sih cuma alasan!" sambar Asri judes.

"Cowok kan emang pintar cari alasan! Di depan ee

220

wek lain, dia pasti bilang, bini gue kurang pengertianlah, kurang ginilah, kurang gitulah... gombal!"

"Asri!" tegur ibunya dengan perasaan tidak enak.

Bagaimanapun bencinya dia kepada mantan suaminya, pria itu tetap ayah anak-anaknya. Tidak pantas Asri berkata demikian tentang ayahnya sendiri.

"Emang betul kan, Bu?" gumam Asri dengan mulut penuh nasi.

"Ayah tidak mungkir," Asih berkeras membela

ayahnya.

"Ayah ngaku salah. Tapi Ibu juga salah!

Mengapa Ibu tidak mau juga memaafkan Ayah? Kalau Ibu dan Ayah akur, saya dan Asri tidak usah berpisah!"

"Kamu boleh datang ke sini kapan saja kamu

mau," sahut Ibu sambil menghela napas.

"Biarpun

Ayah-Ibu telah bercerai, kamu tetap anak Ibu!"

"Boleh datang bersama Ayah?"

Ibu Asri tidak menjawab. Hatinya belum dapat

memaafkan laki-laki itu. Walaupun sakitnya telah

berkurang, dia belum dapat menerima kehadiran

mantan suaminya di rumah ini. Tapi... bagaimana

menolak permintaan anak yang telah lima belas tahun tidak dilihatnya?

***

Tentu saja Ibu marah. Asri telah membohonginya mentah-mentah. Tapi kemarahan Ibu cepat surut,

setelah mendengar alasan putrinya. Dan setelah menemukan anaknya yang seorang lagi. Kalau Asri tidak

nekat mencari ayahnya, sampai kapan dia baru dapat

bertemu kembali dengan Asih?

Di Jakarta, hubungan kedua anak kembar itu cepat

sekali jadi akrab. Asri gemar sekali membawa Asih

ke mana-mana. Memperkenalkan seluruh pelosok Jakarta. Dari yang paling membanggakan sampai yang

paling memalukan.

Asri getol sekali mengelabui teman-temannya.

Disuruhnya Asih mengenakan pakaiannya. Memotong rambutnya. Meniru gayanya. Dan mengaku jadi

dirinya.

Kalau teman-temannya terkecoh, mereka tertawa

gembira. Dan menyiapkan penyamaran baru. Untuk

mengelabui teman yang lain lagi. Kalau perlu, penyamaran berikutnya untuk mengecoh bekas guru favorit Asri di SMA.

Asri seolah-olah sudah menemukan kembali

hidupnya yang semula. Dia telah kembali ke dalam

lingkungannya. Rumahnya. Keluarganya. Temantemannya. Fansnya. Dunia remajanya.

Baru seminggu kemudian dia merasa ada sesuatu

yang berbeda. Dia merasa ada sesuatu yang hilang.

Fansnya masih tetap menggebu-gebu mengejarnya. Danu yang potongan rambutnya ala Tommy

222

Page. Robby yang punya Mercy bekas KTT biarpun

bumpernya sudah penyok. Badil yang wartawan majalah remaja dan sudah beberapa kali memintanya

jadi cover girl majalahnya.

Pendeknya, komplet deh. Mereka siap jadi pengawal tetapnya. Yang baru, yang lama, semua tinggal

pilih. Tekan tombol. Sreet! Beres. Tercipta seorang

pacar baru.

Tapi... mengapa Asri belum merasa sreg juga?

Rasanya ada yang belum pas. Dia belum ingin mengisi tempat kosong di hatinya dengan seorang cowok

baru.... Atau... tempat itu memang belum kosong?

Masih ada yang bercokol di sana....

"Melamun lagi?" tegur Asih begitu masuk ke kamar.

"Tahu kenapa aku segan membagi kamarku sama

kamu?"

"Tahu. Kamu tidak bisa melamunkan Segara terus!"

"Kok tahu sih?"

"Gampang saja. Tampangmu mudah ditebak!"

"Kenapa ya, aku selalu ingat dia? Apa aku diguna-guna?"
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang pasti, dia juga lagi ingat kamu!"

"Kamu punya pacar?"

"Belum."

"Nggak naksir sama si Norman?"

"Dia kan pacarmu"

"Mantan. Sekarang lagi kosong. Ambil aja deh,

buat kamu!"

"Ah, aku takut. Dia agak liar!"

"Huu, norak! Kuper! Kuno! Out of date! Expired!"

"Apanya?"

"Seleramu!"

"Ah, dia memang bukan pemuda idolaku. Liar!

Aku lebih suka yang jinak, lembut, alim "

"Cowok model begitu yang sekarang lagi ngetrend, tahu nggak? Dia bukan liar. Tapi agresif! Dinamis! Bergairah muda, energik, berani...."

"Itu iklan minuman atau vitamin?"

"Iklan cowok masa kini! Ngepop dan ngetop!"

"Tapi kenapa kamu malah memilih Segara?

Bosan? Back to sixties?"

Asri menghela napas panjang.

"Soal yang satu ini aku nggak bisa jawab! BSSD

aja deh. Di luar logika sih. Nggak cocok sama kaidah

ilmu fisika, melenceng dari dalil matematika!"

"Aku tahu," potong Asih tegas.

"Jawabannya

simpel saja. Kamu sedang jatuh cinta! Dan itu yang

membuat semua rumusmu tentang cowok jadi amburadul!"

224

BAB XXI

AYAH Asih langsung datang ke Jakarta begitu menerima telegram dari anaknya. Soalnya Asih bilang,

dia dapat kecelakaan.

Tentu saja dia tidak berdusta. Asih memang terpeleset ketika mengejar bis. Soalnya bus meluncur

di lajur khusus di jalur cepat. Dan Asih menunggu di

halte di tepi jalur lambat.

Begitu bus yang ditunggunya lewat di jalur cepat,

terbirit-birit dia menyeberang. Sebuah mobil yang

meluncur cepat di jalur lambat hampir menyenggolnya. Asih melompat mundur. Dan tergelincir. Tubuhnya tersuruk ke aspal. Lututnya luka. Nah, itu

kecelakaan, kan? Apa namanya kalau bukan?

"Kamu tidak apa-apa, Asih?" Ayah sudah

langsung memberondong dengan pertanyaan begitu

tiba di rumah. Sampai lupa menanyakan di mana ibu

mereka.

"Cuma lecet sedikit." Asih menunjukkan lututnya

yang sudah dilumuri obat merah.

"Tidak ada tulang yang patah?" Ayah segera berjongkok di depannya. Dan memeriksa kaki Asih.

Pencet sana. Pijat sini. Lagaknya persis dokter. Pa

225

dahal kalau betul ada tulang yang patah, belum tentu

Ayah tahu.

"Ah, masa terbentur sedikit saja patah? Memangnya terbuat dari kaca?"

"Syukurlah kalau begitu." Ayah menghela napas

lega. Dia bangkit. Dan baru melihat Asri.

"Apa kabar, Asri?" sapanya lembut.

"Oke-oke aja," sahut Asri pendek.

"Di mana ibumu?"

"Belum pulang kerja."

"Masih tetap seperti dulu." Ayah tersenyum pahit.

"Selalu pulang larut."

"Ibu kan mesti cari duit," cetus Asri ketus.

"Duit

kan nggak datang sendiri kalau nggak dicari! Masih

ngumpet di kantong konglomerat!"

Ayah agak tertegun mendengar pedasnya suara

Asri. Tetapi dia diam saja. Asih-lah yang tidak dapat

menahan diri.

"Kenapa kamu judes sekali pada Ayah?" bentaknya galak.

"Nah, baru datang aja udah main kritik!"

"Maafkan Ayah, Asri," buru-buru Ayah menyela

sebelum Asih sempat menyahut.

"Ayah memang tidak berhak lagi mengkritik ibumu."

Syukur kalau tahu diri, gerutu Asri dalam hati.

Datang-datang udah mau ngatur!

"Duduk dulu, Yah," pinta Asih sambil menyeret

226

saudara kembarnya ke belakang.

"Asih ambil minuman dulu, ya."

"Ngapain sih nyeret-nyeret?" belalak Asri kesal.

"Aku kan nggak punya utang!"

"Kamu mau mengakurkan Ayah dan Ibu, kan?"

balas Asih sama jengkelnya.

"Nah, kenapa begitu judes sama Ayah?"

"Tahu deh. Rasanya kalau lihat Ayah, bawaannya

keseeel aja!"

"Kalau kamu saja masih kesal, apalagi Ibu!"

***

Bukan main terkejutnya ibu Asri ketika melihat

mantan suaminya sudah duduk menunggu di ruang

tamu. Wajahnya langsung memucat seperti melihat

hantu.

Ayah sudah berdiri menyambut. Tetapi tidak

mampu membuka mulutnya. Sesaat mereka hanya

saling pandang. Ibulah yang lebih dulu membuang

muka.

"Siapa yang mengundangmu kemari?" tanyanya

dingin.

Dilemparkannya tas tangannya dengan kesal ke

atas meja. Dilewatinya mantan suaminya tanpa menoleh lagi.

"Saya," sahut Asih tegas.

Ibu menoleh ke arah Asih. Dan memandangnya

dengan jengkel.

"Kamu tidak berhak..."

"Jangan salahkan Asih," potong Ayah sedih.

"Aku

sendiri ingin kemari juga. Melihatmu dan anakanak."

Ibu tidak menjawab. Dengan langkah-langkah

gusar ditinggalkannya mereka. Dibantingnya pintu

kamar dengan kasar.

Dan Asri tahu sedang apa Ibu di kamar sekarang.

Karena itu sambil menghela napas, dia menyusul

ibunya.

"Kalau Ibu nggak bisa maafin Ayah, kenapa mesti

nangis?" tanyanya perlahan.

Ibu tidak menjawab. Hanya isaknya yang mengisi

kesunyian.

Dan melihat ibunya menangis, Asri merasa

menyesal. Dia menyesal telah merencanakan pertemuan ini.

Mengapa harus memaksa Ibu? Ibu sudah cukup

menderita! Lima belas tahun dia menanggung malu

dan sakit hati.

Kalau sekarang Ayah yang menderita, itu memang hukuman yang setimpal untuknya! Mengapa

harus membelanya?

"Adik Ibu telah meninggal," kata Asih ketika

membujuk Asri merancang pertemuan orangtua mer

228

eka.

"Ayah telah menyesal. Mengapa Ayah harus dihukum seumur hidup?"

Tetapi sekarang Asri insaf, bukan mereka yang

berhak menentukan kapan hukuman Ayah berakhir!

"Kalau Ibu nggak mau lihat Ayah lagi, biar Asri

usir aja. Tapi jangan nangis dong! Asri paling alergi

lihat Ibu nangis!"

Tetapi ketika Asri keluar untuk mengusir ayahnya, kedua orang itu sudah tidak ada.

***

Tiga hari tiga malam ibu Asri menyesali sikapnya. Dia bukan hanya merasa bersalah kepada mantan suaminya. Dia merasa berdosa kepada Asih.

Mereka pergi begitu saja. Asih malah tidak membawa ranselnya. Dan mereka pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa.

Siang-malam ibu Asri merenungi sikapnya. Dewasakah tindakannya? Benarkah memperlakukan

mantan suaminya seperti itu? Kalau benar, mengapa

dia tidak merasa puas?

Kesalahan laki-laki itu memang amat besar. Tapi

dia telah minta maaf. Telah menyesali tindakannya.

Dia datang mengajak berdamai. Demi anak-anak

mereka. Milik mereka bersama. Milik yang tak dapat

terbagi.

Mengapa dia begitu keras kepala? Tidak mau

memaafkannya? Sekarang dia kehilangan lagi anak

yang baru saja ditemukannya! Padahal selama seminggu Asih di sini, ibu Asri merasa amat bahagia!

Sampai lenyap rasanya penderitaannya selama lima

belas tahun!

Sekarang Asih pergi begitu saja. Pasti dia pergi

dengan membawa sakit hati dan kekecewaan. Padahal apa salah anak itu? Dia tidak bersalah!

Lima belas tahun yang lalu, ibu Asri tidak memilihnya. Padahal dia berhak untuk merawat kedua

anaknya. Seandainya dia sanggup. Saat itu Asih terpaksa menyingkir. Walaupun dia tidak mau berpisah

dengan ibunya.

Sekarang, dia harus menyingkir lagi. Karena

ibunya belum mau juga memaafkan ayahnya!

***

"As," cetus Ibu pada malam yang keempat.

Asri yang sedang membaca majalah mengangkat mukanya dengan heran. Tidak menyangka Ibu

mengajaknya bicara lebih dulu. Sudah tiga hari tiga

malam Ibu diam saja. Seperti mendadak terjangkit penyakit kaku lidah. Asri-lah yang terus menerus

mengajak bicara. Hanya supaya rumah mereka tidak

sepi seperti rumah hantu.

230

Tentu saja Asri tahu mengapa Ibu tiba-tiba jadi

bisu tapi tak tuli. Ibu kehilangan Asih. Sejak Asih

datang, Ibu kelihatan bahagia sekali. Ibu jadi lincah

dan periang seperti berumur delapan belas tahun lagi.

Ibu pasti menyesal Asih meninggalkannya tanpa

pamit. Pasti anak itu tidak mau balik kemari lagi.

Kepalanya sama kerasnya dengan kepala Asri.

"Ibu mau ngopi? Asri bikinin kopi susu. ya?"

"Kamu tahu rumah Asih?" tanya Ibu seperti tidak

mendengar pertanyaan Asri. Nah, sekarang Ibu pasti

kena penyakit tuli tapi tak bisu!

Asri menatap ibunya dengan bengong.

"Rumah Ayah maksud Ibu?"

BAB XXII

ASRI kembali ke Lombok. Kali ini bersama ibunya.

Ketika menginjakkan kakinya kembali di pulau itu, kenangan dari perjalanannya yang pertama

menyergap kembali ingatannya. Perjalanan bersama

trionya yang penuh petualangan. Penuh ketidakpastian. Tapi penuh keceriaan.

Rasanya Asri ingin sekali ke Pantai Senggigi. Melihat Waikiki Cottage yang menyimpan sejuta kenangan. Menemui Paman Waliki. Yang curang tapi baik
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati.

Masih bekerja di sanakah dia? Atau sudah diPllK?

Kabarnya Pak Muluk sudah tahu pasukan anakanak muda yang berinvasi ke bungalonya di Gili

Trawangan sempat menggalang kekuatan di cottage-nya di Senggigi. Dia pasti amat marah.

Pak Muluk tidak peduli, anak-anak muda itulah

yang telah menolong kelahiran anaknya. Menurut

Ina, yang terus berhubungan dengan Asri, Susi sudah

memutuskan hubungan.

Tetapi Pak Muluk tetap tidak mau kembali kepada

Ina. Dia memilih bertualang ke daerah baru. Memilih

232

lahan yang belum pernah diinjak daripada kembali ke

kebun yang sudah tidak hijau lagi rumputnya.

Ketika melihat Gunung Rinjani yang menjulang

di kejauhan sana. ingatan Asri juga melayang pada

hari-harinya yang sulit tapi amat berkesan di bukit

itu.

Terbayang di depan matanya postur seorang

pemuda yang tegap. Bertelanjang dada dengan ikat

pinggang kain tenun berwarna merah. Wajahnya

bersih dan polos. Tatapan matanya tenang menyejukkan. Dan segurat kepedihan menyayat hati Asri.

"Jawabannya simpel saja," terngiang kembali di

telinganya suara Asih.

"Kamu sedang jatuh cinta!

Dan itu yang membuat semua rumusmu tentang cowok jadi amburadul!"

Tentu saja Asri tahu. Asih benar. Dia memang

sedang jatuh cinta. Dia hanya takut mengakuinya.

Karena takut menderita seperti Ibu!

Bukankah cinta selalu datang bersama penderitaan? Berbahagialah orang yang tidak pernah jatuh

cinta!

***

Hanya Asih yang berada di Gili Air. Ayahnya sedang pergi ke Ampenan. Dan Asih menyambut kedatangan mereka dengan dingin.

"Nggak tahu aturan!" semprot Asri sengit.

"Cabut nggak bilang-bilang!"

"Sama!" balas Asih pedas.

"Kamu juga tidak tahu

aturan! Ayah datang jauh-jauh disepelekan!"

"Maafkan Ibu, Asih," sela Ibu sebelum kedua putrinya bertengkar lagi.

"Ibu yang salah. Belum dapat

menguasai emosi. Semua terjadi begitu tibatiba..."

"Bukan cuma Ibu yang kaget. Kami juga sempat

shock waktu Asri tiba-tiba muncul. Tapi kami terima

dia dengan tangan terbuka!"

"Ibu menyesal, Nak. Ibu sangat kehilangan

kamu...."

"Cuma buat Asih Ibu kemari?"

"Buat apa lagi?" damprat Asri mengkal.

"Kirain

Ibu mau diving di sini?!"

"Kalau begitu tidak usah tunggu Ayah. Ibu kan

sudah ketemu Asih. Apa lagi yang Ibu cari di sini?"

"Eh, jaga tu mulut!" bentak Asri gusar.

"Sadar nggak sih, kamu lagi ngomong sama Ibu yang netesin

kamu?! Kalau nggak ada Ibu, sampai sekarang kamu

masih tetap jadi telor!"

"Tidak ada yang minta dilahirkan!" bantah Asih

dingin.

"Tapi kamu udah kepalang jadi orok! Kalau nggak diberanakin, kamu jadi dedemit!"

Asih sudah hendak balas mendamprat saudaranya. Tetapi tiba-tiba dia melihat air mata yang meng

234

genangi mata ibunya. Dan makian yang sudah siap

dipasarkan terpaksa ditarik kembali dari peredaran.

Ibu sudah membalikkan badannya untuk menyembunyikan air matanya. Tetapi sesosok tubuh menghalangi jalannya.

Ketika dia mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata laki-laki itu. Mata yang suatu waktu dulu pernah amat dikasihinya. Sekaligus dibencinya.... Mata itu yang kini tengah menatapnya dengan

penuh keharuan....

Melihat kedua orangtuanya saling tatap tanpa

mengucapkan sepatah kata pun. Asri langsung menepuk bahu saudaranya. Sengaja agak terlalu keras

sampai Asih hampir balas memukul.

"Yuk, cabut! Mereka masih punya banyak surat

utang yang mesti diberesin!"

Tanpa membantah, dan tanpa balas memukul,

Asih mengikuti saudara kembarnya.

***

"Terima kasih mau datang kemari," gumam ayah

Asih perlahan.

"Demi anak-anak," sahut ibu Asri kaku.

"Aku telah menemukan Asih. Dan tidak mau kehilangan dia

lagi."

"Kau yang memberikannya padaku."

"Itu kesalahanku yang kedua."

"Boleh tahu yang pertama?"

"Melahirkan mereka sebelum waktunya."

"Masih kausesali sampai sekarang?"

"Tidak lagi. Semua sudah lewat."

"Dan mereka telah tumbuh menjadi anak-anak

yang luar biasa."

Ibu Asri menggeleng tawar.

"Aku ingin mereka menjadi gadis biasa saja.

Supaya dapat menikmati kebahagiaan."

"Kawanggap mereka tidak bahagia?"

"Asih tidak berani pacaran. Asri tidak henti-hentinya gonta-ganti pacar."

"Kawanggap itu kesalahan kita?"

"Kita contoh yang buruk bagi mereka."

"Kita masih bisa memperbaiki diri."

"Karena itu aku kemari."

"Artinya kau mau memaafkanku?"

"Mungkin aku bisa memaafkanmu. Tapi tak bisa

melupakan perbuatanmu."

"Mungkin kita tidak dapat rujuk kembali. Kesalahanku terlalu besar. Tapi demi anak-anak, maukah

kaulupakan dendammu padaku dan berdamai kembali?"

***

236

Lama Asih mengawasi ibunya dari belakang. Ibu

sedang duduk seorang diri di tepi pantai. Menekuri

panorama laut yang indah tapi penuh misteri.

Dari kejauhan, irama gamelan mengalun membuai sukma. Sementara ombak bergemuruh menjilati

pantai. Angin yang malam ini bertiup agak kencang,

membuat titik-titik lampu perahu nelayan di kejauhan bergoyang-goyang di kegelapan malam.

Sejak tadi Asih ingin menghampiri ibunya. Minta

maaf. Karena telah berkata demikian kasar pada Ibu.

Tapi dia tidak punya kesempatan. Sekarang ketika

kesempatan itu datang, mulutnya malah seperti tidak

mau terbuka.

Akhirnya Asih hanya duduk tepekur di samping

ibunya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi Ibu tampaknya mengerti. Ibu dapat merasakan apa

yang hendak dikatakannya. Dan Ibu tidak menunggu

sampai Asih menguraikan permintaan maafnya.

Ibu meraih tangan Asih. Dan menggenggamnya

dengan hangat. Lambat-lambat Asih menyandarkan

kepalanya ke bahu ibunya.

Ketika melihat mereka, Asri tidak jadi menemui

ibunya. Dia merasa harus memberi kesempatan pada

saudaranya. Asri kembali ke kamar. Dan menunggu

ibunya sambil berbaring di tempat tidur.

Saat itu radio sedang mengalunkan I Saw You

Standing There. Dan nostalgia malam di lereng Rinjani kembali menyengat hatinya.

Tiba-tiba saja Asri seperti dapat merasakan kembali dinginnya udara malam itu. Begitu dinginnya

sampai dia menggigil kedinginan. Padahal malam ini

dia berada dalam kamar yang hangat di tepi pantai.

Begitu kuat ilusi itu menghipnotis dirinya, sampai

Asri seolah-olah merasa dia kembali berada di Rinjani. Lindung dan Volker sedang berdansa di dekat api.

Dan dia menarik tangan Segara... mengajaknya

ikut bergoyang mengikuti irama lagu.

Asri seakan-akan dapat merasakan tangan pemuda itu... tangan yang kuat berotot, dengan telapak tangan yang kasar, tangan seorang pekerja keras, seorang petualang, penantang alam....

Tak terasa kaki Asri mulai bergoyang mengikuti irama musik. Ketika lagu berakhir, Asri tergolek

lemas di tempat tidur. Tertelentang menatap ke langit-langit kamarnya.

Ada bintang di sana. Begitu dekat. Begitu cerah.

Langit yang menudungi kepalanya seperti tersenyum

ramah.

Tetapi bintang yang paling cerah berada di dekatnya. Tertelungkup di sampingnya. Bertelekan kedua

sikunya. Terengah-engah kecapekan. Tapi tetap riang

berseri.

"Capek?" Asri seperti mendengar suaranya sendiri. Tidak sadar bibirnya ikut bergerak.

"Lebih capek

dari mendaki gunung?"

238

Tak terasa Asri menggigil sedikit. Bukan karena

dingin. Bukan! Tubuhnya terasa gerah. Hatinya hangat. Dia menggigil menahan perasaannya... menahan

rindu yang menggigit sukma....

Benarkah ini perasaan rindu"? Begitu pedih, tapi

sekaligus nikmat.... Begitu pahit tapi nyaman?

Ada tangan yang membelai wajahnya dengan

lembut. Suaranya halus menyapa telinga.

"Kedinginan?" Tanpa menunggu jawaban, Ibu menarik selimut. Dan menyelubungkannya ke tubuh Asri.

Asri diam saja. Wajahnya menyiratkan emosi

yang aneh. Yang belum pernah dilihat Ibu.

Ketika Ibu melihat Asri tidak ingin melanjutkan

pembicaraan. dipadamkannya lampu. Dan dia berbaring diam-diam di sampingnya.

Lama mereka saling berdiam diri sebelum Asri

memecahkan kesunyian. Dirabanya tangan ibunya

dalam kegelapan.

"Boleh Asri tanya, Bu? Jangan jawab kalau Ibu

nggak mau."

"Tentang ayahmu?" Suara Ibu datar. Tapi tidak

lagi mengandung kemarahan. Sudah berlalukah badai dendam yang memorak-porandakan hidupnya"?

"Kalau dulu Ibu nggak cuekin Ayah, mungkin nggak sih Ayah tetap setia sampai titik darah penghabisan?"

Lama ibu Asri berpikir sebelum menyahut. Bahkan Asri sudah mengira ibunya tidak mau menjawab.

"Sebenarnya ayahmu bukan lelaki yang tidak

setia, As," sahut Ibu perlahan.

"Dia hanya terlalu

lemah."

"Nggak tahan godaan maksud Ibu?"

"Sekarang Ibu tahu, adik Ibu tidak menggoda.

Mereka hanya terjebak dalam perasaan saling membutuhkan. Dan Ibulah yang menciptakan keadaan

itu."

Dalam gelap, Asri merasa ibunya menggenggam

tangannya. Dan meremasnya dengan lembut.

"Jangan berkaca pada pengalaman Ibu yang pahit, As.

Banyak pasangan yang hidup damai sampai akhir hayat mereka. Kalau orangtuamu telah salah menanamkan hakikat cinta padamu, jangan sampai kamu takut

bercinta. Anak yang takut jatuh, tak pernah dapat berjalan sendiri."

"Ibu bilang, cinta identik dengan penderitaan,
Segurat Bianglala Di Pantai Sengigi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan? Hidup ini enak sampai cinta itu nongol!"

"Maafkan Ibu, Nak!" desis ibu Asri dengan

perasaan bersalah.

"Kalau Ibu telah menuntunmu ke

pintu yang salah!"

"Ibu betul kok! Sebelum jatuh cinta, Asri nggak

pernah merasa sakit!"

"Tapi sakit pun merupakan bagian dari cinta,

Nak."

"Karena kadang-kadang menyakitkan cinta itu

240

malah terasa indah?" potong Asri gesit.

"Asri udah

pernah dengar, Bu! Itu sih kata-kata orang yang masochisl"

"Ibu menyesal telah memberi gambaran yang

salah padamu tentang cinta, As. Jika Ibu telah keliru memasuki sebuah pintu, bukan berarti kamu tidak

boleh memasuki pintu yang kamu pilih sendiri!"

"Pintu ke alam cinta maksud Ibu, kan?"

"Sekarang Ibu baru menyadari, cinta adalah

anugerah Tuhan yang terindah. Kepahitan hidup Ibu

bukan karena cinta, tapi karena kesalahan kita sendiri."

"Ibu masih mencintai Ayah?"

"Yang ada di antara kami sekarang cuma kamu

dan Asih. Ibarat pohon, kami telah mati. Kalianlah,

buah dari pohon cinta itu."

"Ibu nggak mau rujuk sama Ayah?"

"Kami hanya berdamai. Bukan rujuk. Kamu boleh

menemui ayahmu kapan saja kamu mau. Dan Asih

boleh tinggal bersama kita jika dia suka."

"Tapi Ayah-Ibu tetap berpisah?"

"Kami telah berada di jalan masing-masing, As."

***

Untuk pertama kalinya pagi itu, Asri melihat

ayahnya sebagai seorang manusia yang utuh. Yang

punya kelemahan. Tapi juga punya kelebihan.

Manusia yang harus dikasihani karena kesalahannya. Bukan monster yang harus dibenci seumur

hidup.

Dan ketika kebencian hilang dari hatinya, figur

kebapakan Ayah tiba-tiba terasa menjadi lebih menonjol.

Ayah menjadi lebih terbuka. Lebih santai. Seolah-olah beban berat yang selama ini menekan

emosinya tersingkir sudah. Dan dia dapat menjelmakan dirinya dalam penampilan yang lebih utuh.

Sebaliknya, pandangan Asri tentang pria pun mulai mengalami metamorfosa. Obsesi yang menakutkan tentang cinta mulai memudar.

Fatamorgana yang bertahun-tahun secara tak

sadar ditanamkan ibunya kini punah sudah. Kepercayaan terhadap cinta yang murni mulai merebak.

Kepercayaan yang membangkitkan setitik keberanian dan harapan....

"Mau ikut Ayah ke Mataram?" tanya Ayah pagi

itu selesai sarapan.

"Emang ada apaan di sana?"

"Ayah tahu rumah Segara. Waktu pulang dari Selaparang dulu, dia kan ikut mobil Ayah."

Sesaat Asri tertegun. Bayangan pemuda itu melintas sekilas di depan matanya. Menemui Segara! Mengapa tidak? Mumpung di Lombok.... Tapi... ah. Ini

242

bukan soal mumpung-mumpungan lagi. Asri memang benar-benar merindukannya... ingin berjumpa!

"Kalau tidak mau ke rumah Segara, Asri bisa melihat-lihat museum di Ampenan. Kalau urusan Ayah

di Mataram sudah beres..."

"Ibu gimana?" potong Asri tanpa sempat menarik

napas lagi. Takut Ayah mengubah tawarannya yang

pertama. Museum! Buset! Mana bisa dibandingkan

dengan Segara!

"Ibu ikut aku ke Senggigi," sela Asih gesit.

"Ibu minta diantarkan ke makam adiknya."

"Ayah!" cetus Asri tiba-tiba.

Ayahnya menoleh.

"Apa di sini udah umum cewek mampir ke rumah

cowok?"

Ayah tertawa geli mendengar pertanyaan anaknya

yang demikian berani dan polos.

"Kalau cuma mampir, apa salahnya? Kan ada

Ayah."

"Di Jakarta sih udah biasa cewek nyerang duluan.

Boro-boro nyerang, yang nyerobot juga banyak! Tapi

di sini? Nanti Asri dikira grepe sama ortunya!"

"Jadi bagaimana maumu? Kamu tunggu di sini,

Ayah yang mampir ke rumah Segara? Supaya kamu

tidak disebut... apa katamu tadi?"

"Grepe!" potong Asih cepat.

"Ya, grepe," sambung Ayah walaupun dia tidak

mengerti artinya.

"Ayah yang ajak Segara kemari?"

Asri mengulum senyumnya. Dan menatap ayahnya dengan tatapan yang tak mungkin lagi dilupakan

oleh ayahnya.

Untuk mendapatkan tatapan seperti itu dari putrinya. rasanya dia mau melakukan apa saja. Jangankan

cuma mampir ke rumah seorang pemuda. Menculiknya juga dia sanggup!

"Ayah mau dong bantuin Asri?" Sepanjang jalan,

cuma kata-kata yang diucapkan Asri dengan lembut

dan manja itu yang terngiang di telinga ayah Asri.

***

Ayah Asri tidak ingat lagi apa keperluannya hari

itu ke Mataram. Dia buru-buru singgah ke rumah Segara.

Ketika pemuda itu tidak ada di rumah, dengan sabar dia duduk menunggu. Demi anak perempuannya... seribu tahun pun dia rela menanti!

"Asri di Gili?" Segara mengerutkan dahinya ketika begitu menjejakkan kakinya di rumah, ayah Asri

sudah mewartakan berita itu. Berita yang lebih bombastis daripada pemboman kota Baghdad.

"Bersama ibunya," sambung ayah Asri, agak cemas melihat reaksi pemuda itu. Lho, ini sih bukan

reaksi gembira pemuda yang mendengar pacarn

244

ya datang! Air mukanya pahit seperti orang ditagih

utang! "Kamu mau ikut ke Gili?"

"Maaf, Pak. Saya sibuk...."

Ayah Asri sampai menajamkan pendengarannya.

Tidak percaya pada telinganya sendiri. Apa katanya?


Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing The Demigod Files Buku Pendamping Percy Tiada Yang Abadi N0th1ng Lasts Forever

Cari Blog Ini