Ceritasilat Novel Online

Selaput Pagar Ayu 2

Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto Bagian 2



menjinjing tas koper yang berisi pakaian keluar dari kamar.- 105
"Eeeit, tunggu! Biar aku yang membawa koper itu,"

kata Gunawan begitu melihat Rosalina keluar dari kamar

menjinjing koper.

"Jadi berangkat malam ini juga, Lin?" tanya Maryani.

"Ya, Bi."

Rosalina meletakkan koper itu dan langsung

memeluk Maryani.

"Bi, saya pergi," pamit Rosalina sedih.

"Berbahagialah hidupmu, Lin. Bibi akan selalu

berdoa untukmu."

Darusman yang hendak melepaskan kepergian

sepasang mempelai itu nampak sedih dan terharu, maka

didekatinya Rosalina sambil berkata : "Seperti apa yang

telah paman katakan padamu, maksud paman bukan

mengusirmu. Tapi kelangsungan hidup keluarga kami. Dan

kau tentunya tidak menginginkan paman dipecat dari

pekerjaan oleh ayah Gunawan, gara-gara pernikahanmu ini

bukan?" kata Darusman dengan perasaan pedih.

"Saya mengerti, Paman," sahut Rosalina mulai

terisak.

Gunawan merasa harus mengucapkan sesuatu pada

Darusman, maka dia menengahi pembicaraan itu.

"Saya sangat berterima kasih atas kesediaan Paman

dan Bibi menikahkan kami, walaupun orang tua saya tidak- 106
merestui. Rupanya pernikahan kami sudah digariskan oleh

Tuhan harus begini. Tapi saya dan Rosalina tidak pernah

merasa menyesal. Dan sepulangnya kami dari berbulan

madu ke Puncak, akan segera menempati rumah kontrakan

yang sederhana."

Maryani yang menangis berpesan pada Gunawan.

"Dik Gun, Bibi pasrahkan Rosalina kepadamu. Cintai

dan sayangilah dia yang hidupnya sebatang kara."

"Tentu, Bi. Saya akan mencintai dan menyayanginya

dengan segenap jiwa raga."

Darusman menepuk-nepuk pundak Gunawan, lalu

mengajak berjabatan tangan.

"Selamat berbulan madu dan hati-hati di perjalanan.

Biasanya kalau hujan begini, jalanan ke Puncak sangat

licin," pesan Darusman.

"Saya juga berharap sampai di tempat tujuan dengan

selamat. Paman."

Sebelum Rosalina pergi, Darusman memeluknya.

Pelukan itu dirasakan Rosalina sebagaimana pelukan

seorang ayah pada anaknya yang dikasihi.

"Semoga hidupmu di samping Gunawan akan

bahagia sampai hari tua, Lina."

"Terima kasih. Paman."

Hujan yang turun dari langit semakin deras.- 107
Namun bagi sepasang pengantin baru ini bukan suatu

penghalang, melainkan suatu suasana yang romantis dan

amat berkesan. Dengan menggunakan payung, Gunawan

dan Rosalina menyusuri gang sempit yang becek. Di sana
sini air tergenang, sehingga langkah mereka nampak hati
hati. Sementara Darusman dan Maryani mengantar mereka

sampai di mobil yang berhenti di mulut gang.

Perpisahan itu amat menyedihkan, sebab baik

Darusman ataupun Maryani sangat mengasihi Rosalina.

Sama halnya dengan Rosalina, ketika meninggalkan dua

orang yang sudah dianggapnya pengganti ayah dan ibunya.

Setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Lambaian tangan

dua orang yang berlindung di bawah payung ditimpa hujan,

adalah sembilu yang menggores hatinya.

Mobil yang dikemudikan Gunawan telah jauh

meninggalkan kota Jakarta, namun jalan yang dilalui masih

ditimpa hujan deras. Agaknya hujan yang turun cukup

merata sampai sejauh ini. Gunawan memandang Rosalina

sambil mengendarai mobil.

"Hapuslah air matamu. Sayang! Lain waktu kita

masih bisa bertemu dengan mereka. Dan tersenyumlah

untuk menyambut malam pertama kita," ujar Gunawan

senyum-senyum.

Rosalina menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.

Sesungging senyum manis menghiasi bibirnya. Senyum- 108
yang sangat dikagumi oleh Gunawan. Dan lelaki itu jadi

gemas ingin menciumnya.

Mobil Gunawan menapak jalanan aspal yang

menanjak dan berbelok-belok. Kabut tebal berarak bagai

merintangi perjalanan mereka menuju ke Puncak. Kendati

demikian, sepasang pengantin baru ini saling bertukar

pandang dan senyuman.

"Hati-hati, Mas! Jalan di depan tertutup kabut tebal,"

kata Rosalina agak cemas.

"Tenang, Sayang! Mas Gun juga tidak ingin malam

pertama kita ditimpa malapetaka," balas Gunawan sembari

meremas pundak istrinya. Gemas-gemas sayang.

Namun dari arah yang berlawanan, sebuah mobil truk

meluncur kencang menuruni jalan yang berbelok-belok itu.

Sang sopir yang usianya sudah agak tua nampak cemas dan

panik mengemudikan mobilnya. Ketika kakinya menginjak

rem ternyata remnya blong! Dengan panik, dia mengendali

kan stirnya agar tetap stabil jalan mobilnya. Keringat dingin

keluar dari seluruh pori-pori tubuhnya. Hanya melalui cara

mengoper persnelingnya, dia dapat mengurangi kecepatan.

Dan itu pun telah dilakukannya, namun lari mobilnya tetap

kencang menuruni jalanan itu.

Sementara itu Gunawan tetap tersenyum sambil

bercanda kecil dengan Rosalina. Di suatu belokan,

mendadak dari arah depan, sebuah truk nyelonong kencang.

Gunawan terkejut dan panik! Sorot lampu truk itu sangat- 109
menyilaukan pandangan matanya. Sedangkan Rosalina

sudah menjerit karena dilihatnya mobil truk itu akan

menubruk mobil yang mereka tumpangi. Dengan gerakan

reflek Gunawan membanting stir ke kiri untuk menghindari

tubrukan. Memang tubrukan tak mungkin bisa dihindari,

kalau Gunawan tak membanting stir. Tapi celakanya, mobil

yang dikemudikannya, jadi melesat keluar dari jalur jalanan.

Begitu kencangnya, karena dia bukan menginjak rem tapi

pedal gas. Semua itu akibat dari kepanikannya!

Dalam detik detik yang kritis itu Rosalina sempat

berpeganan kuat-kuat pada sandaran tempat duduk.

Teriakannya yang nyaring memecah kesunyian malam. Lalu

dibarengi suara mobil menabrak pohon besar di tepi jalan

begitu dahsyatnya. Percikan api dan pecahan kaca sangat

mengerikan.

Tapi semua kejadian itu berlangsung sekejap.

Keadaan jadi kembali sunyi. Sepasang pengantin baru

tergeletar di dalam mobil dengan darah bercucuran. Yang

paling mengerikan keadaan Gunawan. Dia terjepit mesin

mobil yang menjuruk ke belakang, menyebabkan kedua

kakinya patah dan tulangnya remuk.

Mobil-mobil yang kebetulan lewat di situ jadi

berhenti. Penumpangnya segera menolong dua orang korban

kecelakaan yang tak sadarkan diri.

Rosalina dengan mudah dikelurkan dari dalam mobil,

sedangkan Gunawan yang terjepit mesin mobil tidak bisa- 110
langsung ditolong. Untuk menolong Gunawan harus

membongkar mesin dan merusak jok tempat duduknya.

Dengan pertolongan para sopir, akhirnya mesin mobil bisa

dibongkar dan Gunawan dikeluarkan dari mobil. Buru-buru

dua orang korban kecelakaan itu dibawa ke rumah sakit

terdekat. Dan di antara penolongnya satu pun tak ada yang

tahu, kalau yang mengalami kecelakaan adalah pengantin

baru. Dan malam pertama yang diimpikan oleh sepasang

pengantin itu, cuma puing-puing kehancuran akibat

malapetaka yang menimpa.

***

Hawa sejuk dan segar menyusup masuk ke dalam

kamar yang dihuni Rosalina. Aroma bunga ikut embunan

angin, menambah nyaman suasana kamar itu. Kamar rumah

sakit yang serba putih dan bersih. Namun hawa sejuk yang

nyaman itu belum dapat dinikmati Rosalina karena ia masih

tergolek di atas tempat tidur. Sejak semalam sampai pagi ini,

Rosalina belum sadarkan diri. Tangannya dibalut perban

akibat benturan keras dan banyak mengalami pendarahan.

Sesaat kemudian dokter memasuki kamar itu

didampingi seorang suster. Tubuh yang tergolek di atas

tempat tidur itu diperiksa dengan teliti.- 111
"Denyut jantungnya sudah kembali normal" kata

dokter itu.

"Tapi herannya masih, belum siuman. Dok."

"Tak lama lagi dia akan siuman, Suster jaga saja dia

baik-baik!" pesan dokter itu. "Saya mau memeriksa

suaminya."

"Baik, Dok."

Dokter itu segera berlalu. Suster yang menjaga,

membetulkan selimut yang menutupi tubuh Rosalina.

Tangan suster itu menyentuh kulit lengan pasiennya,

sehingga Rosalina sadar dari siuman. Tubuh yang terbaring

itu mulai bergerak dan kelopak matanya terbuka pelan
pelan. Suster itu mengembuskan napas lega.

Mata Rosalina memandang langit-langit kamar yang

putih bersih. Aroma bunga diisap dalam-dalam. Tampak

tatapan matanya hampa dan kosong.

"Di mana aku..." desahnya.

"Tenang, Nyonya! Anda ada di kamar rumah sakit,"

balas suster itu lunak.

Rosalina menoleh. Memandang suster yang berdiri di

sampingnya, lalu ia berusaha mengingat kejadian yang

dialami semalam. Ketika bayangan peristiwa mengerikan itu

terlintas dalam benaknya, ia langsung memejamkan mata

rapat-rapat. Ingin rasanya ia berteriak, namun cepat ia- 112
mengendalikan emosinya. Yang tertinggal hanya napas

yang terengah-engah. Peluh dingin membasahi mukanya.

"Di mana suami saya. Suster?"

"Di kamar operasi."

Rosalina tersentak, la menggerakkan tangannya

hendak bangkit, namun rasa nyeri dan ngilu menyerang, la

merintih kesakitan. Ingin mengetahui kenapa tangannya

sakit ketika digerakkan. Begitu dibuka selimutnya, ia

langsung berteriak.
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ooooh, tanganku!"

Suster itu berusaha menenangkan diri Rosalina.

Dipegangnya kedua bahu Rosalina sambil berkata:

"Tenang, Nyonya! Tangan Anda hanya sedikit

mengalami retak tulang. Nyonya tak perlu takut, sebab akan

sembuh seperti semula," tutur suster.

Rosalina menghela napas lega.

"Saya boleh melihat keadaan suami saya, Suster?"

suara Rosalina bernada memohon.

"Kondisi tubuh Nyonya masih lemah. Sebaiknya

Nyonya istirahat dulu."

Suster itu mengambil air teh dari termos.

"Minum dulu, supaya tenang, Nyonya!" kata suster

sambil memberikan minuman.- 113
Setelah minum, Rosalina memang merasa agak

tenang. Suster itu menyiapkan santapan pagi.

"Nyonya santapan pagi dulu, ya?"

Rosalina menggelengkan kepala, "Kalau Nyonya

tidak mau makan, kondisi tubuh Nyonya akan tetap lemah.

Sedangkan Nyonya harus minum obat," desak suster sambil

menyendokkan nasi dan diulurkan ke mulut pasiennya.

Rosalina terpaksa menuruti perintah suster itu, walau

selera makannya tidak ada sama sekali. Hanya sedikit

santapan pagi itu dimakannya, "Sudah... sudah. Suster. Saya

sudah kenyang," elak Rosalina.

Suster menarik napas panjang sambil meletakkan

piring di atas meja. Kemudian mengambil minuman dan

obat yang siap diminum Rosalina.

Apa yang diperintahkan suster itu, tak bisa ditolak

Rosalina. Obat-obat itu diminumnya.

"Nah, sekarang Nyonya istirahat! Saya harus merawat

pasien-pasien lainnya," kata suster itu.

Dia melangkah meninggalkan Rosalina.

"Suster, tunggu!" cegah Rosalina.

Suster itu menghentikan langkahnya yang baru

sampai di pintu. Lantas dia membalikkan badan ke arah

Rosalina.

"Ada apa. Nyonya?"- 114
"Di manakah kamar operasi itu. Suster?"

"Lorong pertama lurus dan belok kanan. Di ujung

belokan itu ada gedung, dan di situlah kamar operasi."

"Terima kasih. Suster."

Suster itu membalikkan badannya lagi dan melangkah

pergi.

Rosalina jadi merenung. Operasi? Mas Gun harus

dioperasi? Kalau begitu dia mengalami luka-luka parah.

Apanya yang dioperasi? Pertanyaan yang beruntun di

benaknya, membuat perasaannya tambah cemas dan gelisah.

Timbul niatnya untuk menjenguk suaminya.

Dengan nekat Rosalina turun dari tempat it tidur, la

tidak memperdulikan lagi rasa sakit di tangannya. Tidak

memperdulikan lagi kondisi tubuhnya yang masih lemah, ia

melangkah sempoyongan meninggalkan kamar itu.

Kebetulan suster-suster yang dinas sedang berada di kamar

pasien. Hal itu merupakan kesempatan yang baik bagi

Rosalina untuk menuju ke kamar operasi.

Ketika langkahnya menyusuri lorong rumah sakit,

dilihatnya beberapa pasien berbaring di atas kereta dorong

keluar dari kamar operasi. Barangkali dia suamiku. Atau

yang itu, dan Rosalina menebak-nebak dari kejauhan. Salah

seorang suster tampak mendorong kereta yang berisi pasien

menuju ke arah Rosalina. Dengan berlagak seorang pasien

yang sehat, Rosalina sambil berjalan memperhatikan pasien- 115
yang tertelentang di atas kereta dorong. Dan manakala

matanya berpandangan dengan mata suster, ia tersenyum

tenang. Walau sebenarnya, kedua lutut kakinya goyah

menopang tubuh. Matanya masih berkunang-kunang.

Langkah Rosalina berhenti di depan pintu kamar

operasi. Setiap pasien yang keluar dari kamar operasi dan

berbaring di kereta dorong, selalu diamatinya. Namun

dirasanya kondisi tubuhnya sendiri kian lemah, la

menghenyakkan pantat di sebuah bangku panjang. Mencoba

untuk tetap bertahan dan berusaha memerangi kecemasan

dan kegelisahan yang meletup-letup dalam dada.

Tiba-tiba Rosalina terkejut. Seorang pasien lelaki

yang terbaring di atas kereta dorong, adalah suaminya, ia

bergegas bangkit dan menghampiri suster yang akan

mendorong kereta itu.

"Suster, apa yang telah terjadi peda suami saya?"

tanya Rosalina gemetar. Pandangannya berpindah dari

suster ke wajah suaminya, la menghela napas lega karena

dilihatnya wajah suaminya tidak mengalami luka-luka,

hanya pucat bagaikan kapas. Bibirnya biru seperti

keracunan.

Sebelum suster itu menjawab, perhatiannya tertuju

pada suara-suara ribut suster dan dokter, mengenai seorang

pasien yang kabur dari kamarnya. Salah seorang suster yang

berjalan menuju ke kamar operasi menunjuk pada Rosalina.

"Itu orangnya!" teriak suster itu.- 116
Rosalina kaget dan pucat wajahnya. Dua orang suster

langsung merengkuh tangan Rosalina dan menariknya.

"Nyonya harus kembali ke kamar!" perintah salah

seorang suster.

"Tunggu. Tunggu! Saya ingin melihat keadaan suami

saya!" ronta Rosalina.

"Tenang saja, suami Nyonya tidak apa-apa."

"Tapi saya ingin tahu," suara Rosalina ngotot.

Kedua suster itu tidak ambil perduli terus menarik

Rosalina menuju ke kamarnya. Sementara Rosalina tetap

meronta-ronta. Pasien-pasien lain yang kebetulan melihat

kejadian itu mengira Rosalina punya penyakit gila.

Setelah sampai di kamar, Rosalina dijaga kedua suster

itu. Ia jadi merasa kesal, kenapa tak diijinkan melihat

keadaan suaminya? Apa sebenarnya yang telah terjadi?

"Suster, tolonglah Anda berterus terang pada saya.

Apa yang telah terjadi pada diri suami saya?" desak

Rosalina tak sabar.

"Tidak apa-apa. Nyonya. Kalau keadaan suami

Nyonya sudah sadar. Nyonya boleh menjenguknya.

Sekarang istirahat saja dulu."

Rosalina mendesah karena kesal, ia setengah

bermalas-malasan berbaring di atas tempat tidur. Baru saja- 117
ia berbaring, seorang dokter masuk ke kamarnya sambil

membawa suntikan.

"Nyonya mesti disuntik. Coba tengkurapkan tubuh
nya," perintah dokter itu.

Tanpa menyahut Rosalina menuruti perintah dokter.

Sesaat terasa bagai ada semut yang menggigit pahanya,

ketika jarum suntikan itu menusuk kulitnya.

"Sudah. Beristirahatlah dengan tenang," kata dokter

sambil tersenyum.

Rosalina membalikkan badan. Membetulkan roknya

yang tersingkap. Sedang dokter itu meninggalkan

kamarnya. Perlahan-lahan reaksi suntikan itu mulai

menjalar ke dalam tubuhnya. Pikirannya jadi tenang dan

sekujur tubuh dirasa kian lemah. Kelopak matanya terasa

berat untuk terbuka seperti biasa. Rasa mengantuk datang

menyerangnya. Dan perkembangan selanjutnya tak

diketahuinya lagi. Ia tertidur dengan pulas karena pengaruh

obat suntikan yang diberikan dokter itu.

***

Keesokan harinya, Rosalina sudah tampak segar.

Kondisi badannya telah pulih seperti biasanya. Hanya ada

sisa-sisa rasa nyeri di tulang tangannya sebelah kiri. Suster

yang rutin merawatnya tak pernah pergi dari kamar itu.- 118
"Apakah keluarga saya sudah diberi tahu. Suster?"

tanya Rosalina.

"Sudah."

"Siapa yang memberitahu?"

"Dari pihak kepolisian."

Elahan napas Rosalina terasa sendat.

"Apakah saya sudah diijinkan melihat keadaan suami

saya?"

"Tunggu izin dari dokter."

"Kenapa saya tidak diperbolehkan melihatnya?

Kenapa saya tidak boleh tahu apa yang telah terjadi pada diri

suami saya? Kenapa, Suster?!" suaranya meratap lantang.

Isak tangisnya memecah keheningan ruangan itu.

"Tenang, Nyonya!" suster itu nampak bingung.

"Bagaimana saya bisa tenang, Suster? Kalau saya

tidak diijinkan melihat keadaan suami saya," kata Rosalina

sambil menangis terisak.

Suster yang menjaga Rosalina hanya tertunduk, la

dapat merasakan apa yang sedang bergejolak dalam dada

nyonya muda itu. Dan ia mengangkat wajahnya ketika

mendengar suara langkah-langkah menuju ke pintu.

"Linaaaa!" teriakan seorang perempuan yang masuk

ke kamar itu. Ternyata perempuan itu adalah Maryani yang- 119
datang bersama suaminya. Rosalina menyambut kedatangan

Maryani dengan pelukan. Kedua perempuan itu berpelukan

sambil menangis. Sedang Darusman cuma bisa memandang

Rosalina dengari mata berkaca-kaca.

"Bibiiiii, kenapa hal ini harus terjadi?" ratap Rosalina

memilukan.

"Tabahkanlah hatimu, Lin! Bagaimana keadaan

suamimu?"

"Dokter dan suster-suster di sini kejaaaam! Saya tak

diijinkan melihat Mas Gun."

"Kenapa begitu, Suster?" tanya Darusman ikut

penasaran.

"Belum ada izin dari dokter yang merawatnya."

Darusman tercenung sesaat. Dia berpikir sembari

menerka-nerka, barangkali luka yang diderita Sunawan

sangat parah. Belum habis dia menerka akibat yang diderita

Gunawan, seorang dokter memasuki kamar Rosalina.

"Selamat siang. Dokter," sapa Darusman.

"Selamat siang. Bapak masih keluarga Nyonya

Rosalina?" tanya dokter.

"Betul, Dok."

Dokter itu tersenyum ramah, lalu berbicara dengan

Rosalina. "Nyonya Rosalina dipersilakan menjenguk
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suaminya."- 120
Segala bentuk kekesalan, kejengkelan di dalam dada

Rosalina jadi buyar, ia buru-buru berjalan menuju ke kamar

suaminya bersama Dokter. Darusman dan Maryani tidak

mau ketinggalan. Ketika sampai di kamar yang dituju, hati

Rosalina amat sedih melihat siaminya terbaring di atas

tempat tidur, selimut putih menutupi tubuhnya sampai batas

dada. Tapi manakala ia melihat senyum di bibir suaminya ia

jadi merasa sedikit lega. Dan ia membalas senyum itu

dengan mata basah dan dada terasa sesak bergegas Rosalina

menghampiri suaminya. Digenggamnya tangan suaminya

erat-erat sambil menangis terisak isak. Lalu tangan

suaminya itu diciumnya berkali-kali.

"Apa yang telah terjadi pada dirimu. Mas?"

Gunawan tersenyum dengan kedua mata berkaca
kaca.

"Kau lihat tubuhku dak apa-apa bukan? Cuma luka
luka kecil pada bagian lengan. Mungkin kena pecahan kaca

mobil."

Rosalina merasa girang dan terbebas dari kecemasan,

la tersenyum tambah lebar.

"Syukurlah, Mas. Dokter dan suster-suster di sini

membikin cemas perasaanku saja!"

"Kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa. Aku kira Mas Gun menderita

luka-luka berat. Jadi Mas Gun tidak apa-apa kan?"- 121
"Cuma tubuhku terasa letih sekali." Darusman dan

Maryani menghela napas lega. Dokter dan dua orang suster

masih berdiri di kamar itu sambil mengawasi pasiennya.

Tampaknya masih ada yang harus ditunggu.

Darusman jadi merenung, kenapa dokter dan dua

orang suster itu masih berdiri di sini? Pasti ada sesuatu yang

ticiak beres. Perasaan gelisah dan cemas bergejolak di dalam

dadanya. Segera dihampirinya Gunawan yang tengah

memegangi tangan Rosalina.

"Gunawan, kau benar-benar tidak apa-apa?" tegur

Darusman.

"Oh Paman." Gunawan nampak gugup karena sejak

tadi tak menghiraukan adanya Darusman. Dia terlalu asyik

melepaskan rasa sayang pada istrinya. "Saya tidak apa-apa.

Tubun saya masih normal dan utuh."

"Kalau benar begitu, bersyukurlah."

"Bibi mana. Paman?" sambil bertanya mata Gunawan

mencari Maryani.

"Itu," sahut Darusman menunjuk istrinya.

Gunawan melempar senyum pada Bibi Maryani

seraya menggerakkan kakinya. Tapi ia terhenyak ketika

merasakan kedua kakinya tiba-tiba jadi ringan. Dicobanya

sekali lagi untuk digerakkan tetap saja ringan. Dan rasa ngilu

menyerang tulangnya.

"Ooooh!" rintih Gunawan menahan kesakitan.- 122
"Apa yang sakit. Mas?" tanya Rosalina gusar.

"Kakiku terasa ngilu, tapi ringan."

Dipegangnya tangan Rosalina erat-erat, seolah-olah

ia mencari kekuatan dari tangan istrinya itu. Dan dibukanya

selimut yang menutupi pada bagian kaki. Begitu selimut itu

terbuka, nampaklah suatu pemandangan yang mengerikan.

Rosalina menjerit dengan kedua telapak tangan mengejang

di depan mulutnya, begitu melihat kedua kaki Gunawan

telah dipotong setinggi lutut. Sepasang kaki itu buntung.

"Ya, Allah..." keluh Darusman sambil menutupi

muka dengan telapak tangannya.

Dan pada saat yang menegangkan tapi menyedihkan

itu, Gunawan hampir-hampir tak percaya dengan apa yang

dilihatnya.

"Di mana kedua kakiku?! Di mana kedua kakiku?!"

teriak Gunawan seperti kehilangan akal. Sepasang matanya

jadi liar memandang dokter, lalu berpindah pada dua orang

suster terus berpindah pada Darusman, Maryani dani

terakhir pada istrinya. Semua bisu. Dan Rosalina hanya bisa

menangis pilu menghisapi kenyataan itu.

Dokter dan dua orang suster itu menghampiri

Gunawan untuk menjaga hal yang tidak diinginkan.

Mungkin Gunawan nekat bunuh diri atau mengamuk.

Dengan sekuat tenaga Gunawan bangkit untuk duduk

dan menatap kedua kakinya yang buntung. Ia terkejut dan- 123
langsung jatuh pingsan Dokter dan dua orang suster segera

bertindak memberikan pertolongan. Sedangkan Rosalina

memeluk Darusman sambil menangis pilu. Suasana di

kamar itu jadi berubah memilukan. Suara tangis dua

perempuan yang menyayangi Gunawan yaitu: Rosalina dan

Maryani teramat menyayat

"Kenapa hal ini harus terjadi. Paman?" ratap Rosalina

tersedu-sedu.

"Tabahkanlah hatimu, Lina! Rupanya takdir

menghendaki begini," sahut Darusman dengan suara parau.

Lalu dibimbingnya Rosalina meninggalkan kamar itu.

Rosalina berganti memeluk Maryani. Sama-sama menangis

sedih.

"Bibliii, Mas Gun telah kehilangan kedua kakinya,"

ratap Rosalina sedih sekali.

"Jangan berkecil hati, Lina! Tabahkanlah -hatimu."

Maryani membimbing Rosalina menuju kamarnya.

Sementara Darusman menunggu dokter yang sedang

memeriksa Gunawan. Setelah dokter itu selesai memeriksa

Gunawan, Darusman menghampirinya.

"Bisa saya bicara dengan Dokter?"

"Soal Gunawan? Mari!"

Dokter itu mengajak Darusman berbicara di kantor.

Di ruangan yang sepi dan tenang itu dokter mempersilakan- 124
Darusman duduk. Keduanya duduk di kursi yang hanya

dibatasi sebuah meja.

"Sepasang kaki saudara Gunawan memang harus

dipotong, sebab tulang kakinya telah remuk menjadi satu

dengan daging. Rupanya waktu terjadi kecelakaan, sepasang

kakinya terjepit beban berat. Memang, kalau sepintas kita

lihat keadaan fisik Gunawan baik. Tapi sebenarnya tulang

punggungnya juga retak," kata dokter menjelaskan.

"Lantas ada akibat lain yang dideritanya, Dok?"

"Jelas ada. Gunawan tidak normal sebagaimana laki
laki lainnya."

"Maksud Dokter?"

"Dia telah impoten sepanjang hidupnya"

"Ya Allah..." keluh Darusman sedih sekali. Betapa

malangnya hidup lelaki itu.

"Sudah berapa lama perkawinan mereka?"

"Mereka masih pengantin baru, Dokter. Malapetaka

itu terjadi pada saat mereka hendak berbulan madu ke

Puncak."

"Kasihan. Nyonya Rosalina akan menghadapi

kenyataan yang teramat pahit. Keadaan suaminya tak dapat

ditolong lagi untuk bisa menjadi normal kembali. Tentunya

sebagai seorang wanita, seorang istri, nafkah batin

merupakan faktor penting bagi hidup dan kebahagiaannya.- 125
Semoga saja, keadaan suaminya dapat diterimanya dengan

rela dan tetap setia."

Darusman jadi iba, haru dan sedih memikirkan

kelangsungan hidup rumah tangga Rosalina dengan

Gunawan. Kabut tebal telah siap menutupi kebahagiaannya.

***- 126
BAB V

Perlahan-lahan Rosalina bangkit. Bangkit dari tempat

tidur yang baru dibelinya tadi pagi. Dari baru tadi pagi pula

ia menempati rumah kontrakan, setelah diijinkan oleh dokter

pulang dari rumah sakit. Sebuah rumah yang sederhana,

berdinding setengah tembok dan papan. Sedangkan

perabotan lainnya masih belum dibeli, sehingga keadaan

rumah itu nampak lengang. Kosong. Namun bukan berarti

Rosalina tidak mampu membeli, karena harus

dipertimbangkan semua kebutuhan untuk membayar biaya

perawatan dan pengobatan suaminya.

Dapat dibayangkan goncangan batinnya menghadapi

kenyataan. Kenyataan yang terlampau pahit dan serasa

menghancurkan mahligai impian. Semua harapan bahagia- 127
jadi sirna terhempas kenyataan itu. Kenyataan yang

dialaminya sekarang. Kendati ia harus tabah menanggung

musibah ini. Ia harus memperlihatkan kepada Gunawan,

bahwa ia tabah dan setia. Tak lain agar suaminya pun tabah

untuk menerima kenyataan.

Rosalina turun dari tempat tidur dan menghampiri

meja. Lantas duduk di kursi sambil. Ia memandang rantang

yang berisi makanan di depannya. Rantang makanan itu

pemberian bibinya. Dan dengan tangan gemetar ia membuka

rantang itu untuk kemudian menyantap isinya. Rasanya

begitu canggung makan sendiri di dalam rumah yang sepi

ini. Ia hampir tak dapat menelan nasi. Pikirannya selalu

tercurahkan pada keadaan yang dialami suaminya. Cacat.

Suamiku telah cacat seumur hidupnya, keluh Rosalina

dengan setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Alangkah

pahit kenyataan yang akan ditempuhnya, dan hal itu tentu

tidak terlepas dari hidup rumah tangganya. Harapan dan

cita-cita yang telah mereka idam-idamkan akan kelam.

Menyedihkan.

Habis makan Rosalina kembali berbaring di atas

tempat tidur. Di atas tempat tidur ia gelisah membanting
banting tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Kegelisahan itu

memang beralasan, sebab waktu yang bergeser rasanya

lamban sekali, ia ingin bisa secepatnya membesuk

Gunawan. Ingin mengetahui perkembangan kesehatannya.

Jam besuk pukul enam sore. Tapi pukul empat sore

Rosalina sudah siap untuk berangkat, la duduk dengan- 128
gelisah menunggu kedatangan Paman Darusman dan

bibinya. Rasanya ia sudah tak sabar lagi menunggu, dan

tidak ingin terlambat datang. Lebih baik menunggu di depan

pintu gerbang rumah sakit sampai pintunya dibuka.

Suara ketukan pintu sampai ke telinganya. Bergegas

ia berlari menuju ke ruang tamu. Dibukanya pintu rumah

dengan tak sabar.

"Kau sudah siap, Lin?" sapa Maryani. Darusman

berdiri di sebelahnya.

"Sudah, Bi. Mana adik-adik kok tidak diajak? tanya
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rosalina.

"Bibi titipkan pada tetangga sebelah. Kalau diajak

bisa berabe."

"Kita berangkat sekarang, Bi."

Tanpa singgah dulu, Darusman dan Maryani menuruti

Rosalina. Mereka naik taksi menuju ke rumah sakit.

"Paman tidak memberitahu kejadian ini pada orang

tua Mas Gun?" tanya Rosalina gelisah.

"Belum. Seharusnya kedua orang tua Gunawan

diberitahu, tapi paman takut suamimu marah. Sebaiknya

berunding dulu dengan suamimu, apakah hal ini perlu

diberitahu orang tuanya," balas Darusman.

Rosalina menarik napas dalam-dalam.- 129
"Sebaiknya memang tidak perlu," kata Rosalina

berat.

"Ya. Karena bisa memperkeruh keadaan. Bisa-bisa

malah pamanmu dipecat dari pekerjaannya oleh ayah

Gunawan. Dia kan tidak tahu, kalau Gunawan menikah

denganmu, Lin," sahut Maryani dengan perasaan cemas.

Dan Rosalina menarik napas berat lagi. la merasa

telah membebani hati pamannya. Pun rasa cemas pasti

dialami oleh lelaki setengah baya itu. Dia tak bisa terlepas

dari rasa takut bila dipecat dari pekerjaannya. Oh, Tuhan.

Kenapa kejadian ini semakin terasa berat dan menyulitkan?

Suamiku, Ia telah cacat, tapi tambah tak menentu jalan

hidupku, karena melibatkan paman dan bibi. Kalau

seandainya hidup rumah tangga kami bisa bahagia, apa yang

dicita-citakan Mas Gun bisa terlaksana, barangkali kami

tidak terlalu menanggung malu pada orang tuanya. Namun

kenyataannya kini, oooh teramat menyedihkan. Mereka

pasti akan menertawakan. Mencemoohkan, sebagai

ganjaran buat kenekatan Gunawan.

Kecamuk di dalam dada membuat Rosalina nyaris

menitikkan air mata.

Mobil taksi yang mereka tumpangi telah sampai di

halaman parkir rumah sakit. Rosalina yang nampak tak

sabar lagi itu, melangkah cepat menuju ke pintu gerbang.

Pintu gerbang rumah sakit masih tutup, dan ia menghela

napas panjang.- 130
Darusman dan Maryani tahu apa yang tengah

dirasakan keponakannya itu. Mereka berdiri menunggu di

dekat pintu gerbang.

"Kasihan Gunawan," gumam Darusman.

Rosalina menoleh dan memandang pamannya dengan

kedua mata berkaca-kaca.

"Paman jadi ingin membantu keadaannya supaya

nampak kembali normal," ujar Darusman yang raut

wajahnya sedih.

"Dengan cara apa. Paman?"

"la harus mengenakan sepasang kaki palsu. Tapi

harga sepasang kaki palsu itu tidak murah. Ini yang sedang

paman pikirkan untuk memperoleh uang bisa membelinya."

"Paman tidak perlu bingung, sebab kami masih punya

uang simpanan. Juga barang-barang perhiasan yang nilainya

besar," sahut Rosalina.

Darusman jadi termangu, demikian juga Maryani.

"Dari mana kau mendapatkannya?"

"Menurut Mas Gun, uang dan perhiasan itu dari

mamanya. Sebenarnya untuk bekal hidup kami. Paman."

"Kita bicarakan nanti sama Gunawan, apakah dia

setuju dan mau menggunakan sepasang kaki palsu."- 131
Seorang suster membuka pintu gerbang. Jam besuk

telah tiba. Dan para keluarga pasien yang sudah sejak tadi

menunggu dipersilakan masuk oleh suster. Berbondong
bondong para tamu masuk ke rumah sakit, termasuk

Rosalina bersama paman dan bibinya.

Bergegas Rosalina mendapatkan suaminya yang

terbaring lemah di atas tempat tidur. Lelaki itu nampak putus

asa, hanya melempar senyum lemah ketika melihat istrinya

datang. Sepasang matanya berkaca-kaca. Rosalina langsung

menubruk tubuh suaminya sambil menggenggam jari

tangannya yang lemah itu. Tangisnya tak dapat dibendung

lagi.

"Aku telah jadi laki-laki invalid, Lina, Aku telah

kehilangan kedua kakiku, dan tidak pantas lagi menjadi

suamimu." ratap Gunawan memilukan. Air matanya

menetes pelan jatuh di pipi.

"Mas Gun, jangan berkata begitu," sahut I Rosalina

terisak-isak sambil memegangi erat-erat i tangan suaminya.

"Kenapa aku tidak mati saja, daripada hidup cacat

sepanjang usiaku."

Rosalina menggigit bibirnya kuat-kuat, hanya hatinya

yang meratap. Sementara Darusman dan Maryani tertunduk

diam. Air mata menitik perlahan jatuh di pipi. Sangat sedih

dan terharu menyaksikan kemalangan Gunawan.- 132
"Apa pun yang terjadi pada dirimu, Lina tak akan

meninggalkanmu, Lina akan tetap setia. Mas," ujar Rosalina

sembari membelai rambut suaminya.

Gunawan memeluk tubuh istrinya erat-erat. Air

matanya bercucuran walau tidak terdengar isaknya.

"Mas Gun mencintai Lina, bukan?"

"Sangat mencintaimu. Sangat mencintaimu," suara

Gunawan tulus dan nampak takut kehilangan istrinya

tercinta.

"Mas Gun harus tabah menghadapi kenyataan. Jangan

putus asa."

Gunawan melepaskan pelukannya dan menatap

wajah istrinya.

"Dengan keadaan cacat begini, apa yang bisa

kulakukan untukmu?"

"Tak berlebihan yang kuminta, hanya rela menerima

kenyataan. Masih banyak jalan bila masih ada kemauan.

Mas Gun mengerti?" kata Rosalina lembut.

Gunawan mengangguk pasrah.

"Paman mempunyai rencana yang baik untukmu."

"Rencana apa?"

Gunawan menoleh ke arah Darusman dan Maryani.

Pandangan dari mata Gunawan seolah-olah mengharapkan- 133
Darusman mendekatinya. Dan Darusman tahu itu. Dia

mendekati Gunawan, menghenyakkan pantat di kursi

Maryani melakukan hal yang sama, ikut duduk di sebelah

suaminya.

"Katakanlah rencana itu. Paman," pinta Gunawan.

"Sebelumnya paman minta maaf, barangkali Dik

Gunawan tersinggung. Maksud paman begini, sebagai usul

kalau kau setuju. Paman mempunyai seorang teman yang

kakinya cacat, tapi masih nampak normal. Rupanya dia

memakai sepasang kaki palsu."

"Maksud paman mengusulkan saya memakai

sepasang kaki palsu?"

"Begitulah."

"Tapi kedua kaki saya telah lumpuh. Apa artinya buat

saya?"

"Aku rasa banyak sekali manfaatnya. Percayalah,"

kata Darusman manatap. Gunawan tercenung sejenak, lalu

memandang bola mata istrinya. Seolah-olah minta pendapat.

"Itu saran yang baik. Mas," kata Rosalina

meyakinkan suaminya.

"Jadi, kau setuju?"

Rosalina menganggukkan kepala.

"Kalau kau setuju, aku juga setuju," balas Gunawan

berusaha tersenyum meskipun hatinya pedih.- 134
"Dan nanti aku akan mengajarimu berjalan pelan
pelan."

Gunawan memeluk lagi tubuh istrinya. Perasaan

bahagia menjalar di hatinya. Darusman dan Maryani

menjadi tersenyum lega.

***

Maryani menginap semalaman di rumah kontrakan

Rosalina bersama Lusi. Dia tak sampai hati membiarkan

Rosalina tidur seorang diri di rumah itu. Namun ketika pagi

harinya ia bangun, jadi heran melihat Rosalina sedang

berdandan mengenakan pakaian seragam sekolah.

"Kau mau ke mana, Lin?" tegurnya.

"Ke sekolah. Hari ini seluruh murid kelas tiga

menerima ijasah."

"Apakah teman-temanmu sudah tahu kalau kau

menikah?"

"Saya rasa belum."

"Syukurlah," desah Maryani lega.

"Bibi mau menunggu di sini?"

"Kalau begitu bibi pulang saja. Nanti sore balik ke

mari dan kita besuk Gunawan."- 135
"Iya, Bi. Kasihan Didit dan Tirta di rumah tidak ada

yang ngurus."

Rosalina menyisir rambutnya tanpa menghadapi

cermin, la masih belum memikirkan hal yang dianggap

sepele itu.

"Kau masih nampak seperti perawan saja, Lin," puji

Maryani sembari tersenyum.

"Ah, Bibi ini ada-ada saja. Yuk, kita jalan," ajak

Rosalina.

Maryani menggandeng anaknya keluar dari rumah

yang disusul Rosalina. Pintu rumah dikunci Rosalina, lalu

mereka berjalan menuju ke halte bis kota. Rosalina berpisah

dengan bibinya dan Lusi, karena arah tujuannya berbeda.

Dengan naik bis kota Rosalina menuju ke sekolah.

Rasa pengap menyergap dirinya lantaran penumpangnya

berjubel, la berdiri sambil berpegangan besi di atap bis kota.

Sementara mata para lelaki tak henti-hentinya mengawasi.

Melemparkan pandangan yang bermakna mengagumi

kecantikannya. Rosalina jadi kikuk dan risi bilamana tanpa

disengaja pandangannya bentrok dengan para lelaki itu. la

jadi menilik keadaannya sekarang sudah menjadi istri orang.

Perasaannya dijalari kesedihan. Sedih ingat suaminya yang

telah cacat.

Entah berapa saat ia merenungi nasibnya. Kemudian

ia tersentak manakala sang kondektur meneriakkan nama- 136
tempat yang menjadi tujuannya. Bergegas ia menuju ke

pintu depan, dan melompat turun setelah bis itu berhenti.

Langkahnya yang gemulai menyusuri jalan di bawah
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerindangan pohon.

Gedung sekolah menjulang tinggi. Rosalina

memandang gedung itu dengan perasaan hampa. Sementara

kepedihan mulai merejah hatinya. Seorang gadis berlari-lari

menyusulnya dari belakang.

"Linaaa!" teriak gadis itu. Rosalina menoleh ke

belakang. Ternyata gadis itu adalah Ida, dan ia

menghentikan langkahnya. Lantas ia melangkah berbareng

dengan Ida.

"Tak kelihatan selama ini, ke mana sih?" tanya Ida.

Napasnya terengah-engah.

"Pulang ke Semarang," sahut Rosalina berdusta.

"Kenapa tak memberitahu?"

"Mendadak sih pulangnya."

"Pak Kandar nanyain kamu terus. Kamu kan ketua

kelas, dan ketua penyelenggara acara tamasya."

"Semuanya kan sudah beres. Mestinya tidak perlu

menggantungkan aku. Apa lagi sih masalahnya?"

"Ya soal susunan acara tamasya. Mereka banyak usul

yang macam-macam."- 137
Langkah mereka sampai di pintu gerbang sekolah.

Pandangan Rosalina tertumbuk pada Anton yang, sedang

duduk termenung di ruang pengumuman.

"Anton! Ngapain melamun!" tegur Rosalina.

Anton menoleh. Wajahnya jadi berseri-seri begitu

melihat Rosalina.

"Lina, ke mana saja kamu?" balas Anton sembari

bangkit. Dia menghampiri Rosalina yang berjalan bersama

Ida.

"Pulang ke Semarang."

"Lin, dia belakangan ini sering melamun," bisik Ida

pada Rosalina.

"Mikirin pacarnya barangkali."

Anton berjalan di sisi Rosalina.

"Kita jadi tamasya kan?" tanya Anton.

"Kenapa tidak?" balas Rosalina.

Anton menghela napas lega. Dan ketika Rosalina

memasuki kelas, semua murid mengerubunginya. Mereka

mendesak pada Rosalina mengenai kepastian tamasya itu.

"Pokoknya rencana kita tetap. Hari Minggu kita

berkumpul di sini," kate Rosalina tegas.

"Lalu soal kendaraannya bagaimana?"- 138
"Pak Kandar menyanggupinya. Beres kan?"

"Lebih baik kamu menghadap Pak Kandar sekarang."

"Jangan kuatir! Nanti aku bicara sama Pak Kandar

sambil menerima ijasah. Atau sekarang saja saja mengambil

ijasah itu," ajak Rosalina.

"Okey!" serempak semua murid di kelas itu setuju.

Berbondong-bondong mereka menuju ke kantor.

Detik itu perasaan Rosalina sangat gembira. Suasana

keakraban dan kegembiraan ini telah di ambang senja bagi

hidup Rosalina. Masa remajanya yang penuh ceria telah

ditinggalkannya belum lama ini. la telah menjadi istri

Gunawan. Istri Gunawan, istri seorang yang cacat. Oh

alangkah menyedihkan.

Rosalina yang pertama kali masuk ruang kantor, la

mengangguk hormat pada guru-guru, terus menghadap Pak

Kandar.

"Selamat pagi. Pak."

"Pagi. Wah, wah. tidak pernah absen ya?"

"Maaf, Pak. Mendadak saya harus ke Semarang. Ada

famili yang sakit," kata Rosalina berdusta. Terpaksa ia

lakukan hal itu, walau hati kecilnya mengutuk. Padahal dulu

ia pantang berdusta.

"Bagaimana dengan rencanamu itu, heh?"- 139
"Tidak ada kesulitan apa-apa. Pak. Minggu ini kami

telah siap berangkat. Tinggal sekarang masalah kendaraan

yang dulu Pak Kandar janjikan."

Pak Kandar tertawa.

"Beres, beres."

"Syukur. Saya jadi lega. Pak."

"Mau mengambil ijasah?"

"Tentu dong. Pak," senyum manis menghiasi

bibirnya.

Pak Kandar membuka laci meja dan menaruh

setumpuk ijasah di atas meja. Dicarinya ijasah Rosalina di

antara ijasah murid-murid lainnya.

"Kamu mau meneruskan ke mana?" tanya Pak

Kandar sembari mencari ijasah Rosalina.

"Belum tahu. Pak."

"Lho kok belum tahu?"

"Semua kan tergantung biaya. Pak."

Pak Kandar manggut-manggut. Dia menemukan

ijasah yang dicari, lalu menyerahkan pada Rosalina.

Selembar ijasah dan rapot.

"Terima kasih. Pak."- 140
Pak Kandar mengulurkan telapak tangannya.

Mengajak Rosalina bersalaman. Dan Rosalina menjabat

tangan Pak Kandar.

"Selamat. Setelah keluar dari sekolah jni, jangan

lupakan Pak Kandar ya?" kata Pak Kandar tersenyum genit.

"Tentu, Pak."

Rosalina bergegas meninggalkan kantor. Murid
murid lainnya saling berebut masuk kantor untuk

mengambil ijasah. Keadaan yang ribut dan gaduh itu

membuat Pak Kandar marah. Akhirnya semua murid kelas

tiga diperintahkan masuk kelas. Ijasahnya akan segera

dibagikan menurut nomer absen.

Para murid masuk ke dalam kelas sambil menggerutu.

Setelah semua duduk di bangku, wali kelas masuk dan

membagikan ijasah itu. Yang sudah menerima ijasah

diperkenankan pulang.

Pada saat bubaran kelas, Rosalina menarik lengan Ida.

"Ikut aku sebentar!" ajak Rosalina.

"Ke mana?"

"Pokoknya ikut."

Rosalina menarik Ida ke belakang gedung sekolah.

Mereka duduk di bawah pohon beringin yang rindang.

Suasana di situ sepi sekali. Sedang Anton cuma mengamati

dari kejauhan. Duduk di tempat parkir sepeda.- 141
"Ada apa sih, nampak serius banget?" tanya Ida yang

jadi penasaran. Tidak seperti biasa Rosalina berbuat seperti

ini. Itulah yang membuat Ida jadi heran.

"Ada yang ingin kukatakan padamu, tapi aku minta

jangan kau ceritakan kepada siapapun."

"Jadi sifatnya rahasia nih?" Ida senyum-senyum.

Senyum Ida dianggap Rosalina mengejek.

"Jangan kayak kera mabok terasi ah! Aku serius."

"Iya, deh. Dilarang tersenyum ya?"

Rosalina tambah kesal. Bibirnya terkatup rapat,

enggan untuk bicara. Melihat perubahan sikap Rosalina,

buru-buru Ida memegangi lengan sahabatnya itu. Dia tak

ingin bergurau. Serius.

"Katakan persoalan apa? Kau dalam kesulitan?"

Rosalina mengangguk.

"Perlu bantuanku?"

Rosalina menggeleng.

"Keadaanku sudah banyak mengalami perubahan.

Bukan lagi Rosalina yang dulu. Barangkali kau akan terkejut

kalau mengetahui keadaanku tidak sendiri lagi," gumam

Rosalina.

"Aku tidak mengerti maksudmu?"- 142
"Seminggu yang lalu aku telah melangsungkan

pernikahan."

Ida memang terkejut mendengar penjelasan itu.

"Dengan siapa?"

"Teman sekantor pamanku. Kami melangsungkan

pernikahan secara mendadak dan sengaja tidak mengundang

siapapun."

"Kau hamil duluan?"

"Tidak. Karena persoalan keluarga kami terpaksa

menikah secepatnya. Maka untuk itu, dalam acara tamasya

aku tidak bisa ikut. Aturlah sebaik mungkin supaya bisa

berjalan dengan lancar."

Kedua kelopak mata Rosalina dirasa hangat, ia Dan

ketika Ida memandangnya, ada air tipis yang mengambang

di kelopak matanya, "Kau sedih, apakah perkawinanmu

tidak bahagia?"

"Aku tak bisa menceritakan padamu. Cuma aku mulai

menyadari, bahwa masa remajaku telah berakhir. Aku harus

menjalani hidup sebagai istri yang sebenarnya belum siap.

Tapi, aku telah berjanji untuk menjadi seorang istri. yang

baik dan setia," pada akhir ucapan itu suara Rosalina parau.

Setitik air mata menggelinding jatuh di pipi.

"Lina, Lina. Tak kusangka secepat itu akhiri, masa

remajamu. Padahal kau mempunyai potensi yang baik. Kau

bintang kelas di sekolah ini. Alangkah sayangnya, bila- 143
otakmu yang cemerlang akan beku karena problem rumah

tangga. Akan terkurung dengan pekerjaan rutin sebagai ibu

rumah tangga. Lebih-lebih kalau suamimu tak mengijinkan

kau kuliah lagi," kata Ida mendesah.

"Semuanya sudah terjadi. Hidupku cuma ibarat biduk

yang terombang-ambing di tengah samudera luas. Mudah
mudahan taufan dan badai tidak menyerangku. Hanya

sebagian yang kuceritakan padamu, tapi kumohon jangan

ceritakan pada siapapun."

Ida mengangguk. Rosalina mengusap air matanya,

lalu berdiri lesu. Ida mengikutinya dan mereka

meninggalkan tempat itu. Pulang ke rumahnya masing
masing.

***

Suasana baru mulai dirasakan Rosalina sejak

suaminya pulang dari rumah sakit, ia dengan tekun dan

penuh kasih sayang mengurus suaminya yang setiap hari

cuma duduk di kursi roda. Dapat diibaratkan menjadi

perawat khusus, sebab waktunya tersita untuk suaminya.

Setiap pagi bangun tidur ia harus menggendong suaminya

dari atas tempat tidur pindah ke kursi roda. Setelah itu

memandikannya dengan handuk yang dibasahi air hangat.

Menggantikan pakaian dan menyediakan makanan. Obat- 144
dan vitamin secara rutin diberikan, supaya kondisi tubuh
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suaminya sehat dan kuat.

Maryani sering berkunjung. Malah kini lebih sering,

karena tak sampai hati membiarkan Rosalina terlalu capek

mengurus suaminya. Dengan sering hadirnya Maryani,

sedikit banyak membantu kesusahan Rosalina. Dan dengan

adik-idiknya ia dapat bercanda, bisa tertawa, sehingga

meringankan segala tekanan yang mengimpit batinnya.

Kadang-kadang Rosalina merasa beban hidupnya

terlampau berat dan melelahkan. Kalau sudah begitu ia pura
pura pergi ke dapur dan menangislah di situ seorang diri.

Meratapi nasibnya yang makin menyedihkan. Dan segala

macam kesedihan itu tak pernah diperlihatkan pada

suaminya. Ditelannya sendiri. Dirasakannya sendiri.

Terlihat dari sikapnya yang selalu tersenyum ceria di depan

suaminya, tapi di balik kenyataan hatinya tersayat pilu.

Timbul keriangan Rosalina ketika melihat suaminya

sehat kembali. Fisiknya segar bugar, mentalnya pun baik, ia

sudah mulai berlatih jalan mengenakan sepasang kaki palsu

dengan dibantu sepasang tongkkat. Walau nampak belum

mampu melangkah, tapi Gunawan memiliki semangat yang

menggebu-gebu. Dan keinginan Rosalina yang timbul

karena desakan ekonomi, sebab uang simpanannya sudah

menipis. Maka ia memberanikan diri untuk mengutarakan

keinginannya itu.- 145
"Mas, persediaan uang kita sudah menipis." kata

Rosalina yang duduk di dekat kursi roda suaminya.

Gunawan menarik napas berat, la tahu kalau uang dan

perhiasan yang dibekali ibunya telah habis. Semua itu

digunakan untuk membayar perawatannya selama tinggal di

rumah sakit. Untuk membeli kursi roda dan kebutuhan

makan setiap harinya. Ingat kemuliaan hati ibunya, tergerak

hatinya untuk minta bantuan,. Namun tiba-tiba suara hatinya

berontak. Minta bantuan? Sungguh memalukan! Orang

tuamu pasti akan mengejekmu. Mencemooh. Dan

menertawakanmu, lebih-lebih ayahmu. Kau sudah berani

menentang kehendak mereka, berarti kau harus punya harga

diri. Apalagi keadaanmu sekarang cacat. Ayahmu pasti akan

mencemooh: Inilah ganjaran buat keberanianmu terhadap

orang tua. Tidak mau menurut nasehat orang tua. Seorang

anak yang pengecut! Membuat malu orang tua. Maka sudah

selayaknya kalau kau jadi seperti ini sekarang.

"Ah!" tanpa sadar Gunawan mengibaskan tangan

dengan jengkel berusaha menyirnakan impitan di dalam

dada. Menyirnakan emosinya. Tapi hal itu membuat

Rosalina kaget dan heran.

"Ada apa, Mas?"

"Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa," sahut Gunawan

gugup.

"Tapi Lina melihat Mas Gun tegang."- 146
"Lupakan saja! Barangkali aku terlalu banyak

berpikir," kata Gunawan berdusta. Dia berusaha tenang dan

tersenyum pada istrinya.

"Makanya aku ingin meringankan beban pikiranmu

itu. Mas. Mungkin Mas Gun menyadari, bahwa hidup kita

tidak mungkin berdiam diri tanpa usaha. Sedangkan

persediaan uang kita sudah menipis."

"Lantas apa yang dapat kita lakukan?"

"Aku ingin bekerja. Mas."

Gunawan tersentak. Menatap istrinya dengan

termangu.

"Kau ingin bekerja? Tidak!"

Rosalina memegangi tangan suaminya.

"Kenapa, Mas?"

"Tidak! Tidak kuijinkan kau bekerja!" kata Gunawan

sambil menepiskan muka. Enggan bersitatap dengan mata

istrinya, sebab di matanya ada genangan air tipis.

Perasaannya tersayat pedih.

"Mas, jangan mempunyai prasangka yang bukan
bukan! Aku punya keinginan bekerja untuk kelangsungan

hidup kita. Kita tidak boleh menggantungkan nasib dari

uluran tangan orang lain."

Gunawan memukul sandaran lengan kursi roda.

Kecewa dan menyesal!- 147
"Apa gunanya aku hidup tanpa bisa berbuat apa-apa?

Mengapa dokter dan suster itu tidak membiarkan aku mati

saja?! Kenapa aku terus dibiarkan hidup hanya terpaku di

kursi roda ini?! Dan nasibku hanya tergantung pada orang

lain?! Tak mampu membahagiakan istriku," ratap Gunawan

dengan suara protes, keras tapi tertahan. Dan tangisnya

tersedu-sedu.

Rosalina memeluk tubuh suaminya sambil menangis,

ia tidak bermaksud melukai hati suaminya, ia bermaksud

baik untuk kelangsungan hidup rumah tangganya, sebab

tanpa bekerja dari mana memperoleh uang. Sedang uang

sangat dibutuhkan untuk menyambung hidup. Untuk makan,

membeli obat dan vitamin yang dibutuhkan suaminya.

"Mas, jangan menyesali diri. Kita harus menerima

kenyataan dengan tabah dan tawakal. Sebagai seorang istri,

aku berkewajiban membantumu. Membantu dengan segala

kemampuan yang ada," tutur Rosalina mengharap

pengertian suaminya.

Gunawan nampaknya mulai sadar. Sadar akan dirinya

yang tidak sepatutnya berkehendak menuruti hatinya. Dia

tak punya kekuatan lagi untuk berbuat apa-apa. Tidak

mampu bekerja seperti semula, lantas apa yang harus

dipertahankan? Titel-nyakah? Sungguhpun dia bersikeras

dengan titel bisa mencari pekerjaan, tapi tidak semudah

yang dibayangkan. Jarang sekali ada perusahaan yang begitu

mudah mau menerima karyawan dengan keadaan tubuh

yang cacat. Yang normal saja dan punya titel, cari pekerjaan- 148
susah. Banyak orang ber-titel jadi pengangguran. Kerjanya

setiap hari masuk dan keluar perusahaan cari pekerjaan.

Akhirnya Gunawan menyadari segala kekurangan

pada dirinya. Dibelainya rambut Rosalina penuh kasih

sayang.

"Lina, aku mengijinkan kau bekerja. Di mana kau

mau bekerja, Sayang?" suara Gunawan lembut.

"Belum tahu. Mas. Aku mau mencari pekerjaan yang

pantas untukku."

"Pergilah besok mencari pekerjaan. Aku doakan

semoga cepat berhasil."

Belaian kasih sayang tangan suaminya bagai

menyalakan pijar-pijar kewanitaan. Rosalina jadi rindu

kehangatan yang dulu pernah diberikan dari suaminya.

Apalagi ketika ciuman bibir suaminya melumat lembut

bibirnya. Membangkitkan gairah napsunya yang terpendam,

dan bulu-bulu kulitnya terasa merinding.

"Mas," desah Rosalina bermakna ajakan.

Gunawan tahu desahan istrinya, maka dia

mengangguk. Rosalina segera mendorong kursi roda

menuju ke kamar. Tubuh suaminya digendong dan

ditidurkan di atas pembaringan. Satu demi satu pakaian

ditanggalkan, dan Gunawan mulai aktif mencumbu.

Mencium, meremas, memilin dan membakar gairah napsu

Rosalina. Saat itu segala tekanan batin serta kejenuhan- 149
menghadapi hidup yang dialami Rosalina lenyap, la merasa

amat bahagia dan terbuai-buai di awang-awang. Laksana

cacing menggelinjang-gelinjang kepanasan. Panas yang

dibakar letup-letupan berahi, sehingga pori-pori di sekujur

tubuhnya menguak lebar. Mengeluarkan peluh dan sari
sarinya napsu.

Rosalina menanti klimaks, ia menanti suatu peristiwa

yang amat berkesan bakal terjadi. Sesuatu yang akan terukir

sepanjang hidupnya. Namun setiap mendekati klimaks, apa

yang dinantikannya tertunda-tunda, ia tak sempat lagi

menghitung, sebab sudah terbuai di awang-awang.

Sementara Gunawan terus berusaha memerangi kenyataan.

Dia nampak belum yakin dengan apa yang dialaminya.

Belum yakin, belum yakin.

Terus berusaha, berusaha, tapi tak jua mampu, lambat

laun kehangatan semakin menipis, dan laki-laki itu terkulai

lemas di sisi istrinya, Rosalina mengeluh. Desah napasnya

terengah-engah menanti kelanjutannya. Namun Gunawan,

terkulai lemas di sisinya nampak kecewa, tak mampu.

"Mas," desah Rosalina.

Gunawan tak ada reaksi. Diam. Matanya yang

memandang langit-langit kamar menitikkan luruh butiran

air bening.

"Kenapa kau menangis. Mas?" tanya Rosalina sambil

mengusap-usap dada suaminya yang ditumbuhi bulu-bulu.- 150
"Aku tak mampu..." gumam Gunawan penuh

penyesalan.

"Barangkali kesehatanmu belum pulih," kata

Rosalina agak kecewa.

Gunawan mengangguk berat. Rosalina menyambar

selimut dan ditutupkan di tubuhnya yang bugil.

"Sebaiknya kita tidur dulu. Mas." Rosalina

memejamkan matanya.

Gunawan memandang istrinya dengan sorot mata

sedih. Alangkah menyedihkan bila keadaanku tidak normal.

Dan alangkah menderitanya batin istriku, bila aku tak

mampu memberi nafkah batinnya. Benarkah aku impoten?

Ah, dokter tidak pernah mengatakan aku impoten.

Barangkali kesehatanku belum pulih benar, pikir Gunawan

di dalam hati.

Dan begitu Gunawan mengamati wajah istrinya,

kedua mata yang sarat bulu lentik itu sudah terpejam rapat
rapat. Hidungnya yang mancung mengembuskan napas

teratur. Bibirnya yang halus senantiasa basah terkatup dalam

diam. Dia sudah tertidur pulas. Kasihan, keluh Gunawan

yang kian sedih.

***- 151
Rosalina baru lima menit berbaring di atas tempat

tidur. Kakinya yang pegal karena dibawa berjalan jauh,

masuk dan keluar kantor mencari pekerjaan, mulai

berangsur-angsur hilang. Dengus napasnya yang terengah
engah kembali normal. Alangkah penat. Alangkah capek.

Tapi hasil yang diperoleh selalu cuma rasa kecewa. Sudah

beberapa hari ia mencari pekerjaan dengan tak mengenal

rasa menyerah atau putus asa. Kalau ia menjumpai tulisan

"Tidak ada lowongan" yang terpampang di pintu kantor, ia
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpaksa tersenyum pahit. Pahit bukan berarti lantas putus

asa. Dan kalau diperkenankan menghadap pimpinan

perusahaan, segala canda dan rayuan selalu dianggapi secara

wajar. Tapi bila mesti bersedia untuk diajak berkencan,

perasaan takut melanda dirinya. Untuk bekerja haruskah

melalui cara begitu? Bersedia untuk berkencan dengan

pimpinan, lantas menuruti apa permintaannya, baru setelah

itu diterima? Alangkah murah harga diri seorang wanita.

Lebih berharga suatu pekerjaan. Terlampau pahit kenyataan

itu, keluh Rosalina.

Gunawan menggelindingkan kursi roda memasuki

kamar itu. Rosalina menoleh ke arah suaminya yang duduk

di kursi roda. Terus bangkit.

"Sudah berhasil dapat pekerjaan?" tanya Gunawan.

Rosalina menggelengkan kepala lesu. Gunawan

menarik napas panjang.

"Apakah kau mau bekerja selain di kantor?"- 152
"Apa pun aku mau asalkan pantas aku tak akan

menolak."

"Di salon kecantikan misalnya?"

"Aku rasa itu cocok."

"Kebetulan, aku punya teman pemilik salah satu salon

kecantikan. Teman baik lagi. Kalau, kau mau, besok

datanglah ke sana, aku buatkan surat pengantar."

Di bibir Rosalina mengambang senyum cerah. Jari
jari tangannya mengelus-elus tangan Gunawan. Dibalas oleh

Gunawan dengan elusan pula.

"Tentu, Mas. Dan kau lebih tenang kalau aku bekerja

di salon kecantikan itu. Bukan begitu, Mas?"

Gunawan tersenyum. Matanya menatap sayu bola

mata Rosalina. Perlahan-lahan dia mendekatkan wajahnya.

Dekat sekali dengan wajah lonjong yang bibirnya telah

menanti. Terkuak bagai kelopak bunga yang, menanti

kecupan, sang kumbang. Ketika bibir Gunawan menyentuh,

kedua matanya terpejam. Ciuman itu cuma sesaat.

"Kau masih nampak letih. Istirahat dulu." saran

Gunawan penuh perhatian. Jari tangannya membelai rambut

Rosalina. Membenahi jurai-jurai rambut yang menutupi

kening.

"Tapi tanggung jawabku masih belum selesai,"

gumam Rosalina.- 153
Laki-laki itu mengerti apa yang dimaksudkan istrinya.

Setiap sore, setiap ia pulang dari mencari pekerjaan harus

memandikan suaminya.

"Pakai air dingin atau hangat, Mas?"

"Yang dingin, saja, Lin. Hawa yang gerah begini

lebih cocok yang dingin."

"Di luar langit mendung, jadi hawanya gerah.

Nampaknya sih mau turun hujan," Rosalina berjalan menuju

ke kamar mandi.

"Kasihan dia. Sudah berhari-hari mencari pekerjaan

tidak berhasil. Sepanjang pagi, sore dan malam masih

mengurusku. Seandainya keadaanku tidak seperti ini, tak

kuijinkan dia bersusah payah mencari pekerjaan. Tak

kuijinkan dia dikungkung oleh pekerjaan rutin yang

melelahkan sebagai ibu rumah tangga. Aku cari seorang

pembantu rumah untuk membereskan semua pekerjaan. Dan

aku ingin kalau pulang dari pekerjaan istriku menyambut

dengan berpakaian rapi, tersenyum manis. Senyum yang

akan menghilangkan kelelahan," itu yang terlintas dalam

angan-angan Gunawan. Angan-angan yang kini cuma

tinggal khayalan. Tiada berdaya. Hidupnya malah berubah

menggantungkan diri pada orang lain. Alangkah pahit.

Rosalina mendekati suaminya sambil membawa

ember, sabun dan handuk. Lalu ia dengan penuh kasih

sayang memandikan suaminya.- 154
"Apa gunanya hidup bagiku, kalau selamanya hanya

terpaku di kursi roda dan menyusahkanmu?" suara

Gunawan penuh kecewa.

Sambil membasahi tubuh suaminya, Rosalina

berkata:

"Mas Gun selalu berpikir pendek. Hidup adalah

serentetan nasib dan perjuangan. Sebenarnya orang seperti

Mas Gun masih bisa melakukan sesuatu untuk dirinya dan

orang lain. Kecemerlangan otak tidak boleh dibekukan

hanya karena lumpuh. Ilmu yang telah diperoleh hingga

menyandang titel akan sia-sia. Padahal masih banyak jalan

untuk mempergunakan ilmu itu."

"Ah," Gunawan mendecap gusar. Seolah-olah

Rosalina semakin menyudutkan keadaan dirinya. "Kau bisa

mengemukakan pendapat begitu, harus bisa memberi

petunjuk padaku. Ayo katakan dengan cara apa?"

"Jangan emosi dulu. Mas! Emosi akan selalu

membuat pikiran manusia jadi pendek. Aku cuma mau

menyampaikan pendapat, dan kalau diterima. Ilmu yang

diperoleh Mas Gun mungkin bisa berguna bagi masyarakat,

kalau misalnya Mas Gun mau menulis tentang bidangnya,

untuk kemudian dijual kepada penerbit. Tulisan itu

diterbitkan menjadi buku ilmu pengetahuan," tutur

Rosalina.

Gunawan jadi tercenung. Pintar juga idenya. Kenapa

aku sebodoh ini? Bukankah dengan tulisan itu bisa- 155
memperoleh honor? Dan dengan begitu akan membantu

kelangsungan hidup rumah tangga kami.

"Lina, Lina," gumamnya halus sekali. "Pendapatmu

memang patut dipuji. Tidak heran kalau kau menjadi

bintang kelas."

"Jadi pendapatku diterima?"

"Kau memang istri yang baik. Istri yang bagai pelita

menerangi jalan hidupku. Mampu memberikan semangat

padaku yang nyaris putus Jasa. Tentu saja pendapatmu

kuterima dengan hati gembira."

Meledak perasaan gembira di dalam dada Rosalina.

Ledakan itu nyaris membuat denyut Jantungnya berhenti, la

langsung memeluk suami.

"Cuma..."ucapan Gunawan terhenti.

Rosalina melepaskan pelukan dan menatap suaminya.

"Cuma kenapa, Mas?"

"Aku tidak punya mesin tik."

Elahan napas Rosalina terdengar berat. Merenung

sesaat. Dan ia berusaha untuk tersenyum. Seolah-olah tetap

memberikan semangat pada suaminya.

"Jangan resah, Mas. Kalau cuma mesin tik, aku bisa

minta bantuan paman. Mungkin pinjam, syukur bisa

dibelikan."- 156
"Kita sudah terlalu merepotkan paman," desah

Gunawan.

"Tenang saja, Mas. Pokoknya aku akan berusaha

menyediakan mesin tik itu. Okey?"

Gunawan mengangguk. Saling bertukar senyum

dengan istrinya. Istri yang sangat setia memandikan

tubuhnya terpaku di kursi roda. Sedang Rosalina kalau

menggosok badan suaminya timbul rasa gairah. Bulu-bulu

halus di kulitnya merinding. Dan dadanya yang kini tambah

besar, gempal, tidak seperti buah mangga tapi seperti buah

pepaya menjadi kencang. Napasnya terengah-engah.

Segenap naluri kewanitaannya menjerit, minta sesuatu

pemberian yang selama ini tertunda-tunda. Terputus-putus.

Bara yang masih menyala dalam dirinya masih belum

mampu dipadamkan. Lebih-lebih ketika ia harus membantu

suaminya membuka celana, darahnya semakin panas

menyusuri tubuh. Langsung ia mendekap tubuh suaminya.

Dibalas oleh Gunawan dengan ciuman dan remasan.

"Bantu aku ke tempat tidur, Lina," pinta Gunawan.

Rosalina mendorong kursi roda sampai dekat tempat

tidur. Lalu Gunawan berpegangan pada bahu Rosalina untuk

menghenyakkan pantat di kasur. Setelah itu mereka

bergumul. Pakaian Rosalina jatuh satu demi satu ke lantai.

Desah napas bagai sedang berlari jauh, tersendat-sendat,

tersengal, disertai rintihan.- 157
Hujan mulai, turun di luar rumah. Air yang

dicurahkan dari langit membasahi bumi. Tubuh sepasang

suami istri ini juga basah. Bukan basah air hujan, tapi basah

keringat. Kendati klimaks yang senantiasa diharapkan

Rosalina tak jua tercapai. Selalu patah di tengah jalan. Dan

berulang kali ia kecewa. Sementara letupan gairahnya

tertimbun nyaris tak terkendali.

Gunawan terkulai lagi. Selalu saja dia terkulai dengan

rasa penyesalan, ia mulai sadar, bahwa fungsi kejantanannya

tak bisa bekerja lagi. Aku impoten? Tak salah lagi aku

impoten, jerit hatinya.

Dan jerit hati Rosalina lain lagi. la selalu kecewa

setiap tuntutan kewanitaannya tak terapai. Menjadikan

wanita itu gelisah bercampur kesal.

Membolak-balikkan badan ke kiri dan kanan.

"Kamu sama saja menyiksa aku. Mas," kata Rosalina

uring uringan..

Tak ada jawaban dari Gunawan. Lelaki itu

memandang langit-langit kamar. Matanya berkaca-kaca

Perasaannya pedih dari hancur.

"Kamu kenapa sih, Mas?"

"Kesehatanku belum sembuh benar," gumamnya

lemah.- 158
"Aaaah," keluh Rosalina membalikkan badan,

membelakangi suaminya. Lantas disambarnya selimut

dengan kesal. Tubuh yang indah itu kini terbungkus selimut.

***

"Jadi Nyonya istrinya Gunawan?" tanya seorang

wanita yang usianya dua puluh tujuh tahun. Sebaya dengan

usianya Gunawan. Dia adalah pemilik salon kecantikan itu.

Rosalina mengangguk. Kulitnya terasa segar karena

di ruangan itu ada AC. Ruangan direktris. Semuanya serba

mewah dan teratur rapi.

"Saya merasa heran dan belum percaya kalau

Gunawan sampai menyuruh istrinya bekerja di salon ini,"

kata wanita itu sambil memandang surat pengantar dari

Gunawan.

"Nona... eh, Nyonya," sahut Rosalina gugup.

"Panggil saja namaku Lili."

"Begini Kak Lili, semua ini adalah kemauan saya

untuk bekerja. Keadaan Mas Gunawan sekarang sudah tidak
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti dulu."

"Maksud Anda bagaimana?"- 159
"Mas Gunawan telah lumpuh karena tabrakan mobil,"

suara Rosalina jadi parau. Tapi bukan berarti ia minta belas

kasihan.

"Ya, Tuhan," desah Lili ikut sedih. "Padahal dulu

kami teman akrab di universitas, meskipun jurusan kami

berbeda. Dia mengambil jurusan arsitektur sedang saya di

ekonomi. Sungguh kabar yang menyedihkan sekali."

Rosalina hanya tertunduk diam.

"Lantas mengenai orang tuanya masih seperti dulu?

Atau sekarang usahanya jatuh?"

"Masih tetap maju."

"Aneh, kenapa Anda tidak membantu kerja di

perusahaan ayahnya?"

"Terlalu panjang kalau saya ceritakan. Yang jelas

perkawinan kami tidak direstui."

Lili manggut-manggut.

"Maaf, saya tidak bermaksud ingin tahu persoalan

rumah tangga Anda. Tapi orang secantik Anda, apakah

selayaknya bekerja di salon kecantikan. Lagi pula gajinya

tidak seberapa."

"Saya sudah beruntung kalau Kak Lili menerima saya

bekerja di sini."

Lili tersenyum.- 160
"Saya juga senang kalau Anda mau bekerja di sini.

Kebetulan saya membutuhkan tenaga di bagian kasir. Dan

menurut pengamatan saya. Anda sangat cocok menangani
nya. Okey?"

"Dengan senang hati, Kak Lili."

Rosalina berdiri dari tempat duduk. Bibirnya merekah

senyum gembira. Wajahnya berseri-seri. Lantas ia

menyodorkan telapak tangannya dan dibalas oleh Lili.

Kedua tangan itu berjabatan.

"Terima kasih. Kak."

"Sama-sama. Tolong sampaikan salam saya pada

suamimu."

Rosalina mengangguk, la berlalu dari ruangan itu.

Dengan senyum menghiasi bibir, diperhatikannya

kesibukan para capster melayani tamu-tamunya. Besok ia

akan menjadi salah satu capster merangkap kasir. Ah,

alangkah menyenangkan. Kesepian dan kehampaan

hidupnya akan terisi. Bekerja bisa sambil mencari hiburan.

Rosalina mengayunkan langkah menuju ke halte.

Sengatan sinar matahari membuat kulitnya kurang nyaman,

sebab baru keluar dari ruang AC. Tapi itu tak lama, sudah

kembali biasa lagi. Ketika melintasi halaman parkir, banyak

pria yang menggodanya, la nampak tenang, tak acuh. Terus

berjalan sampar ke halte, la berdiri menunggu bis yang

lewat.- 161
Sebaiknya langsung ke rumah, paman. Ya, ke rumah

paman untuk membicarakan soal kebutuhan suaminya.

Kebutuhan mesin tik. Barangkali dia bisa membantunya.

Pikir Rosalina yang pandangannya tertumbuk pada

beberapa muda-mudi yang berseragam sekolah. Ah, mereka

pasti seriang waktu dulu aku masih sekolah. Banyak teman,

bisa bercanda, bebas dan betapa indahnya masa remaja.

Masa di bangku SMA. Dan sekarang, oh, hidupku penuh

dengan problem, tersaruk-saruk dalam nasib yang tak

menentu.

Patutkah aku meratapi nasib? Sungguh tak patut

meratapi nasib yang tergelincir dalam nestapa. Lelaki yang

menjadi suaminya adalah pilihan hatinya, bukan dijodohkan

orang tua. Perkawinannya juga bukan paksaan. Maka apa

pun yang telah terjadi harus diterima dengan hati tabah.

Harus tabah dan tawakal. Lalu ia naik bis kota jurusan

Banteng.

Di halte dekat mulut gang tempat kediaman

pamannya ia turun. Mengayuhkan langkah menyusuri gang

sempit sampai ke sebuah rumah sederhana. Dan di rumah

itulah ia melangsungkan pernikahan dengan suaminya.

Langkahnya terhenti di halaman, mengawasi adik-adiknya

yang sedang bermain.

"Kak Lina datang. Kak Lina datang," teriak Didit

girang.- 162
"Mana oleh-olehnya. Kak?" tegur Tirta yang bergayut

di lengan Rosalina.

"Kapan-kapan kakak bawakan, tapi tidak sekarang

ya?"

Tirta dan Didit mendesah kecewa. "Yaaaah, jangan

bohong lho."

"Beres," Rosalina mencium kedua pipi adiknya. Lalu

melangkah masuk ke rumah. Maryani muncul di ruang

tengah karena mendengar ribut-ribut.

"Ooo, Lina. Dari rumah?" sapa Maryani.

"Sehabis pulang cari pekerjaan, Bi."

"Sudah diterima?"

Rosalina meletakkan pantatnya di kursi, Maryani juga.

"Sudah."

"Di mana?"

"Di salon kecantikan."

"Syukurlah. Bibi ikut senang," kata Maryani sambil

menghela napas lega.

"Paman belum pulang?" Rosalina bangkit, lalu

menuangkan minuman teh ke dalam gelas.

"Sebentar lagi. Bagaimana kesehatan suamimu?"- 163
Rosalina meneguk minuman teh. Tenggorokannya

yang kering terasa segar. Air teh segelas penuh itu habis dan

berpindah ke perutnya. Gelas yang kosong diletakkan di atas

meja.

"Mas Gun sehat-sehat saja. Dan karena dia saya ingin

ketemu paman."

"Soal apa?"

"Mesin tik. Dia mau pinjam mesin tik paman."

"Ooco, cuma itu. Bilang saja sama paman. Oh ya,

kemarin Ida teman sekolahmu kemari. Dia ingin ketemu

kau."

"Bibi beritahu alamat rumahku?"

Maryani menggeleng. Rosalina mengembuskan

napas lega.

"Dia cuma menyampaikan undangan malam

perpisahan di sekolahmu. Kau mau datang7"

Pemberitahuan itu malah menyayat hati Rosalina.

Betapa tidak, karena malam perpisahan yang

diselenggarakan sekolahnya sangat meriah. Para murid

saling mencurahkan suka dan dukanya pada detik

perpisahan. Begitupun para guru dan murid. Bagi para murid

yang lulus dengan muluk-muluk ingin melanjutkan ke

universitas. Ke akademi. Pokoknya segudang cita-cita.

Sedangkan engkau Rosalina? Apa cita-citamu? Sekarang

apa cita-citamu? Padahal dulu kau bercita-cita ingin jadi- 164
dokter. Kau telah mampu mengejar nilai ujianmu dengan

gemilang. Otakmu cemerlang. Tapi akhirnya kau cuma jadi

seorang capster kecantikan. Cita-citamu kandas hapya

karena dikecohkkan cinta. Dilumpuhkan oleh cinta.

Diperbudak cinta!

"Ah!"desah Rosalina jengkel. Emosi.

"Lina, kenapa kau?" tegur Maryani heran.

"Tidak apa-apa" sahut Rosalina gugup.

Sorak-sorak Didit, Tirta dan Lusi di luar rumah

terdengar keras. Perhatian Rosalina beralih ke sana. la tahu

dari sorak-sorak mereka, yang datang pasti Pamars

Darusman Dan laki-laki setengah baya itu benar muncul di

ruang tengah. Sejenak memandang Rosalina.

"Sudah lama, Lin?" tegur Darusman.

"Lumayan."

"Keadaan suamimu, bagaimana?"

"Baik-baik."

Darusman menghenyakkan pantat di kursi.

Melepaskan sepatunya. Maryani menghampiri sambil

menyodorkan secangkir teh. Dan Darusman meminumnya

beberapa teguk.

"Aku dengar dari bibi, kau sedang mencari pekerjaan

ya?"- 165
"Sudah diterima kok. Paman."

"Di kantor mana?"

"Di kantor mana?" pertanyaan pamannya terasa

menusuk relung hatinya.

"Tidak di kantor, tapi di salon kecantikan."

"Yah, apa yang mau dikata. Mencari pekerjaan susah

sekarang. Maka tempuhlah apa yang bisa kau jalani, sebab

nasib orang siapa tahu. Dan demi kelangsungan hidup

rumah tanggamu."

"Gunawan mau meminjam mesin tik. Pak," sela

Maryani.

"Benar Lina? Untuk apa?"

"Mas Gun mau mengarang buku ilmu pengetahuan

yang menyangkut bidangnya."

"Ide yang bagus. Hasil tulisannya itu, kalau dijual

pada penerbit bisa mendapat imbalan besar. Aku gembira

mendengarnya. Bawaiah mesin tik paman yang ada di

kamar," kata Darusman antusias.

Maryani jadi ikut gembira. Rosalina mengambil

mesin tik di kamar.

"Makan siang dulu ya, Pak."

"Aku memang sudah lapar. Suruh Rosalina makan

sama-sama."- 166
Rosalina menjinjing mesin tik keluar dari kamar.

Wajahnya berseri-seri.

"Saya mau terus pulang. Paman," pamit Rosalina.

"Ayo makan dulu, baru pulang," ajak Maryani.

"Terima kasih, Bi. Kasihan Mas Gun di rumah

sendirian. Kapan-kapan saya akan kemari lagi."

"Salamku buat Gunawan," kata Darusman.

Rosalina mengangguk, la mengayunkan langkah

pergi. Segumpal perasaan gembira ada dalam dada. la

merasa telah berhasil membawa apa yang pernah dijanjikan

pada suaminya. Dan suaminya pasti akan senang.

***

Semua yang direncanakan berjalan mulus. Rosalina

sudah mulai masuk bekerja, sedangkan Gunawan mulai
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menulis karangan yang menyangkut bidangnya. Suasana

baru makin terasa bagi sepasang suami-istri ini. Terlepas

dari kungkungan kepuius-asaan. Masing-masing bisa

mengembangkan pribadi untuk menciptakan keharmonisan.

Membuang kebosanan.

Merambatnya hari demi hari semakin dirasa

menyenangkan buat Rosalina. Suasana dan pergaulannya di

salon, mampu mengurangi kejenuhan. Kebosanan.- 167
Kesedihan dan segala macam yang berkaitan dengan

nasibnya dan keadaan rumah tangganya, la bisa bercanda

dengan teman sekerja, atau barangkali dengan langganan,

sehingga wajahnya selalu berseri-seri. Kadang-kadang

kalau ada pembeli yang murah hati, uang kembalian

diberikan padanya. Lumayan juga bisa untuk tambahan

kebutuhan dapur. Bisa membelikan oleh-oleh atau rokok

buat suaminya.

Namun kegembiraannya jadi lenyap setelah ia berada

di dalam rumah. Dengan kondisi tubuh, yang capek sehabis

kerja, ia harus memandikan suaminya. Menyediakan makan

dan keperluan lainnya, ia memang tidak pernah mengeluh,

tetap menunjukkan kesetiaannya. Cuma ada satu yang

menyebabkan ia amat kecewa terhadap suaminya. Setelah

menderita lumpuh Gunawan tak mampu memenuhi tuntutan

batin dan impiannya. Setiap malam suaminya hanya

membakar gairah napsunya, membakar sampai ibarat cacing

kepanasan, tapi selalu tak pernah terselesaikan. Rasa kecewa

semakin menumpuk.

Dan rasa kecewa itu bisa terlupakah, bila Rosalina

sibuk bekerja. Teman-temannya tidak mengetahui apa yang

terjadi di balik senyumnya. Di balik keceriaannya. Bahkan

mereka menganggap Rosalina masih sendiri. Masih gadis

remaja.

Maka pada saat istirahat makan siang, mereka

ngobrol berempat di ruang makan, ia cuma sebagai

pendengar bila teman-temannya berbincang-bincang.- 168
"Mina, bagaimana sih rasanya malam pertama?"

tanya Era.

"Takut-takut asyiiik!" sahut Mina senyum-senyum.

"Ngapain kamu tanya begitu?"

"Pacarku ngajak cepat kawin."

"Kawin atau nikah?"

Mina dan Tati tertawa. Rosalina cuma senyum
senyum. Obrolan yang menarik, pikir Rosalina. la nampak

santai, tapi serius mendengarkan.

"Iya deh, nikah. Soalnya kau kan sudah punya suami

tentunya lebih tahu, Enak nggak sih punya suami?"

"Wah pertanyaan itu usah dijawab dengan pasti.

Tergantung pasangan masing-masing. Cuma, bagiku ada

kenangan yang tak mudah terlupakan. Kenangan malam

pertama."

"Kenangan apa tuh?"

"Pertama aku malu-malu, takut. Tapi suamiku

memang orangnya sabar. Untuk memancing keberanianku,

dia bercerita tentang kisah-kisah yang ada sangkut-pautnya

dengan malam pertama. Apa yang akan dialami oleh

pengantin wanita. Dan bagaimana seorang istri dinyatakan

masih perawan? Dasarnya aku memang bego, maklum

asalnya dari desa. Lantas dia memberitahu secara mendetail.

Lama-lama aku terangsang juga. Memang malu, memang

takut, tapi kubiarkan dia membuka pakaian satu-satu.- 169
Mencumbuku dengan lembut mesra, pokoknya mengasyik
kan deh. Kau tahu, sekujur badanku mendadak jadi demam,

gemetar."

Era dan Tati cekikikan. Senang dia. Rosalina yang

sedang mengunyah nasi juga senang.

"Terus dia mengajariku dengan cara-cara yang

kuanggap aneh. Maklum, asalnya dari desa. Aku menurut

saja, tapi kedua mataku terpejam. Malu bertatapan pandang.

Walau mata terpejam, dikit-dikit tetap melirik, ingin tahu

juga apa yang dilakukan suamiku. Aku jadi kaget dan

membelalakkan mata lebar-lebar, sebab tubuhku bagaikan

disentak-sentakkan. Sesuai dengan anjurannya, kedua

tanganku berpegangan kuat-kuat di besi tempat tidur. Dan

ketika suaraku merintih kesakitan, sentakan itu jadi berhenti.

Sekali lagi dia menasehati aku. Aku diam. Sentakan
sentakan mulai lagi. Dan selanjutnya aku memekik tertahan

disertai rintihan, sebab sakitnya minta ampun. Kuremas

rambut suamiku kuat-kuat, seolah-olah aku mencari

kekuatan untuk menahan rasa sakit. Kucakar dada suamiku.

Pokoknya membalas rasa sakit itu. Maklum, orang desa.

Lalu aku menangis. Anehnya suamiku malah tersenyum

bangga. Bangga melihat ada percikan darah. Dia memujiku,

menyanjungku. Ternyata kesucian seorang istri menjadi

kebanggaan seorang suami. Dia bahagia karena istrinya

masih perawan," cerita Mirna yang disertai perasaan bangga

pula.- 170
Bulu-bulu halus di seluruh tubuh Rosalina jadi

merinding. Denyut jantungnya tak teratur lagi. Membuka

kenyataan dalam dirinya yang tak pernah mengalami hal itu.

Sejak perkawinannya dengan Gunawan hal itu tidak pernah

terjadi. Selalu tertunda, tak pernah tercapai dan akhirnya

kecewa. Gunawan terkulai lemas di sisinya. Alangkah getir

kenyataan itu.

"Ah, aku jadi ngeri," kata Era dengan kedua bahu

bergidik.

"Eee, tunggu dulu! Ceritaku belum habis. Ngeri sih

boleh, tapi lama-lama bisa jadi nagih. Lancar. Enggak sakit

lagi kayak yang pertama. Ibarat motor businya tokcer."

"Itu kan kamu? Kalau aku lain dong. Aku bukan

seperti kamu yang gila seks."

"Bukan begitu masalahnya. Dengar Era. Aku rasa

setiap wanita mempunyai banyak persamaan. Apabila dia

pernah sekali merasakan hal itu akan ketagihan. Makanya

bagimu, atau yang lain, sebelum kamu menikah pertahankan

tirai malam pertama itu. Wanita yang kehilangan kesucian,

hidupnya selalu bimbang. Mudah goyah. Kesucian adalah

harga diri dan kehormatan seorang wanita."

"Kalau kau bagaimana?" tanya Era kepada Rosalina.

Pertanyaan itu membuat Rosalina terengah. Gagap.

"Aku... aku biasa saja," suaranya tak bersemangat.- 171
"Kau nampaknya dingin terhadap laki-laki. Patah

hati?"

"Mungkin.""

"Atau belum menemukan pilihan hati?"

"Mungkin."

"Jawabnya kok mungkin melulu."

"Ya, serba mungkin."

"Wah, barangkali busimu sowak. Tidak tokcer."

Era, Mirna dan Tati tertawa. Selesai makan mereka

kembali pada tugasnya masing-masing. Sibuk melayani

pembeli.

Kenangan malam pertama. Kenangan yang tak mudah

terlupakan. Tapi kenangan malam pertamaku bagaimana?

Bagaimana? Tak mudah terlupakan? Indah? Oh, tak tahu

bagaimana indahnya, seperti kebanyakan cerita pengantin

baru.

Rosalina kecewa. Kecewa lantaran suaminya tak

pernah memenuhi harapannya. Mampu membakar gairah,

tapi tak mampu menyelesaikannya dengan baik. Jadi

kenapa? Apa sebabnya? Rosalina mendesah. Desahnya

mengantar ingatan pada seorang dokter. Dokter yang dulu

merawat suaminya di rumah sakit. Ya, dokter itu pasti

mengetahui sebab kelemahannya.- 172
Terdorong rasa kecewa, di sore itu Rosalina pergi ke

rumah sakit. Ia tidak langsung pulang ke rumah. Naik bis

kota yang berjejal-jejal penumpang. Pada sore begini bis

kota selalu penuh, tapi ia selalu mendapat kemurahan hati

penumpang. Kemurahan memberikan tempat duduk

untuknya. Kebanyakan kaum pria yang bermurah hati, sebab

menaruh simpati. Juga mengharap balasan simpati. Cuma

Rosalina membalas dengan seulas senyum terima kasih.

Tidak lebih.

Pintu gerbang rumah sakit terbuka, ketika Rosalina

sampai. Tepat dengan waktunya jam besuk sore. la langsung

mencari dokter yang dulu merawat suaminya. Setiap

dilaluinya kamar pasien, sekilas pandangannya mencari
cari. Tak kelihatan dokter itu. Apakah sore ini dokter yang

dicarinya tidak berdinas? Rosalina tersentak, ia nyaris

menubruk seorang suster yang berpapasan.

"Maaf," kata Rosalina. Dan ia tersenyum melihat

suster itu. Suster itu membalas tersenyum. Rosalina

mengenalinya. Suster itu yang dulu merawat suaminya.

"Selamat sore, Sus. Apakah Dokter Harto berdinas

sore ini?"

Suster itu tersenyum lagi. Sorot matanya tak lupa

pada Rosalina.

"Ada. Nyonya ingin bertemu?"

"Ya."- 173
"Mari saya antarkan." Suster itu mengayunkan

langkah yang sejenak terhenti. Rosalina membarengi

langkah suster itu. Berjalan berdampingan menuju kamar

laboratorium.

"Bagaimana keadaan suami Nyonya?"

"Sehat-sehat saja."

Langkah mereka berdetak-detak, berderit di lantai

rumah sakit. Terdengar memenuhi lorong, rumah sakit yang

sepi. Sebentar telah sampai di pintu kamar laboratorium.

"Nyonya tunggu di sini sebentar! Saya panggilkan

Dokter Harto," kata suster.

Rosalina mengangguk, la berdiri menunggu di luar

pintu kamar laboratorium. Pandangan matanya diedarkan ke

lorong rumah sakit. Beberapa dokter dan suster nampak

sibuk berjalan mondar-mandir. Bagai menyentuh perasaan

pedih. Perasaan kecewa. Cita-citanya menjadi dokter telah

kandas.

"Selamat sore. Nyonya," suara itu terdengar ramah ke

telinga Rosalina.

Rosalina menoleh. Dokter Harto sudah berdiri di

sebelahnya.

"Selamat sore, Dokter," balasnya gugup.

"Ada yang bisa saya bantu?"
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitulah, Dok. Soal suami saya."- 174
"Ya, ya. Mari kita berbincang-bincang di kamar

periksa," ajak dokter itu.

Rosalina mengangguk. Mereka berbareng melangkah

menuju ruang periksa.

"Silakan duduk," kata dr. Harto mempersilakan

Rosalina.

Rosalina meletakkan pantat di kursi dan duduk

berhadapan dengan dokter. Cuma dibatasi sebuah meja yang

melintang di depan.

"Kenapa dengan suami Nyonya?" tanya dokter.

Rosalina tertunduk malu. Matanya mengerjap
ngerjap. Elahan napas panjang terdengar. Dokter itu mulai

dapat membaca raut wajah tamunya.

"Tiaak usah malu-malu, katakan saia," desak dokter.

"Suami saya... suami saya," ucapan Rosalina terhjnti.

Sorot matanya tersipu-sipu. Dokter tersenyum.

"Teruskan saja!"

"Dia tak pernah bisa melakukan kewajibannya

sebagai seorang suami, Dok. Maksud saya. sebagaimana

seorang suami yang normal." kata Rosalina dengan kedua

pipi merah jambu. Tertunduk malu. Tak berani menatap bola

mata dokter itu.

Dokter Harto tersenyum.- 175
"Tak perlu dijelakan saya tahu. Begini Nyonya, saya

minta Nyonya tetap tabah menerima kenyataan. Rupanya

takdir sudah menghendaki demikian. Sebenarnya suami

nyonya menderita impoten."

"Impoten?"

"Ya. Akibat kecelakaan yang dialaminya, telah

merusak fungsi kejantanannya. Sepanjang hidupnya tak

mampu memenuhi tuntutan batin Nyonya."

Tersayat hati Rosalina. Bibirnya gemetar. Tak

mampu mengucapkan kata-kata. Dan air tipis mengambang

di kelopak matanya.

"Terima kasih. Dokter." Rosalina bangkit.

Membalikkan badan, terus melangkah lesu meninggalkan

ruangan itu. Jelaslah kini, tidak hanya penderitaan yang

merejah. Kehampaan, kesepian dan siksaan batin akan

menjadi teman yang setia.

Dokter Harto memandang berlalunya wanita itu.

Sampai menghilang di luar pintu. Dia turut terharu dengan

nasib yang dialami Rosalina. Nyonya muda yang telah

menipis kebauagiaannya Kasihan. Sampai kapan nyonya

muda yang cantik itu akan bertahan? Bertahan mengarungi

hidup berumah tangga

***- 176
BAB VI

Musim di bumi pertiwi cuma ada dua. Musim

kemarau dan musim hujan. Tapi kurun waktu dua tahun

berselang, musim kemarau kali ini gersang. Pepohonan

banyak meluruhkan daun-daun dan rantingnya yang kering.

Matahari kota Jakarta terik membakar bumi. Tubuh-tubuh

manusia yang bersimbah keringat, gosong ditimpa

sengatannya, aspal yang panas memanggang sepatu, adalah

rangkaian kehidupan kota metropolitan.

Sore itu pun masih terasa sisa teriksanya sang

mentari. Tukang parkir sibuk mengatur kendaraan yang

keluar masuk halaman supermarket. Meniup pluit yang

membikin telinga bising. Gesit dan lincah memberikan aba-- 177
aba. Seolah-olah menguasai halaman parkir, mengatur

mobil yang berhenti di situ. Tapi kewalahan juga, ketika

sebuah mobil sedan putih berhenti. Pengemudinya seorang

pemuda tampan menjembulkan kepalanya di pintu.

"Di mana mobilku diparkir?!" teriak pemuda itu.

"Tunggu! Tunggu! Itu ada mobil yang mau keluar,"

balas petugas parkir yang sedang sibuk. Lalu memberikan

aba-aba pada mobil yang bergerak mundur. Mobil yang

bergerak meninggalkan tempat parkir.

Dan pemuda yang bernama Handrian mengunyah

permen karet di mulutnya. Mengawasi petugas parkir yang

sibuk memberikan aba-aba. Menyetop mobil lain yang

hendak melintas. Dia lebih memprioritaskan mobil yang

diberikan aba-aba untuk terlebih dahulu meluncur. Dan

wajah petugas parkir itu tersenyum, setelah menerima

selembar uang ratusan rupiah.

"Masuk!" teriak petugas itu pada Handrian.

Mobil sedan putih itu bergerak maju dan berhenti di

tempat yang telah kosong. Handrian bergegas turun sambil

mengempaskan pintu mobil. Lincah dan ceria.sikap

pembawaannya. Sesuai dengan pakaian yang dikenakan

seorang playboy intelek. Ayunan langkahnya yang gesit

menapak masuk supermarket. Matanya yang bersorot

lembut mengedarkan pandang. Ada yang sedang dicari.

Sesuatu. Ya, sesuatu yang tak pernah dilewatkan untuk

menggoda setiap gadis cantik. Adakah yang cantik dan- 178
mempesona? pikir Handrian sambil mengayunku, langkah.

Menyusuri lantai yang di kiri dan kanan berdiri rak-rak.

Rak-rak yang sarat makanan dalam kaleng.

Dan ketika pandangannya tertumbuk pada seorang

gadis, nah, itu dia kelinci buruanku Cantik juga. Ayunan

langkahnya mendekati gadis itu. Sikapnya tenang dan

santai. Tak acuh dengan orang lain di sekitarnya.

"Bisa saya bantu?" tegur Handrian. senyum-senyum.

Tubuhnya bergerak-gerak mengiikuti alunan musik yang

menghiasi ruang supermarket. Santai saja.

Gadis itu menoleh. Terheran juga melihat sikap

pemuda itu. Sinting barangkali, pikirnya. Tapi wajahnya

tampan, simpatik dan idola para gadis.

"Pekerjaan ringan, tak perlu bantuan," sahut gadis itu.

"Yang ringan pun boleh."

Gadis itu senyum-senyum. Mengambil nutella,

mentega dan roti. Lalu ditaruh di kereta dorong kecil yang

telah banyak barang belanjaannya.

"Atau mendorong kereta itu, boleh?" desak Handrian.

"Tidak membutuhkan pelayan khusus!" kata gadis

itu. Matanya mendelik.

"Okey, okey, terima kasih atas pelototan mata Anda

yang indah itu," kata Handrian bercanda. Lalu dia- 179
melangkah pergi sambil menggerak-gerakkan tubuhnya

mengikuti alunan musik.

Gadis itu termangu memandang Handrian.

Pantat pemuda itu bergoyang-goyang.

"Sinting!" gerutu gadis itu. Handrian membalikkan

badan, melambai-lambaikan tangannya pada gadis itu.

Namun gadis itu cepat membuang muka.

"Sinting, benar-benar sinting," pikirnya. Lebih

sinting lagi, ketika dilihatnya Handrian menggoda gadis

lainnya, padahal Handrian tidak, sinting, tapi hanya iseng.

Meski sering kena maki dan pelototan mata para ftgadis,

belum juga kapok. Malah tambah senang, Handrian tak

menghiraukan pancaran mata orang-orang di sekitarnya.

Tubuhnya yang bergerak-gerak lincah, tangannya

mengambil lima kaleng minuman Green Sand. Sementara

gadis-gadis yang tadi digodanya mengawasi terus. Sekali

lagi Handrian melempar senyum pada mereka. Sedang

mereka saling menggerutu: Sinting, senewen, kurang waras

dan lain-lain sebagainya.

Lebih, sinting lagi, ketika Handrian berjalan ke luar

dari supermarket. Dia melihat ada seorang gadis berparas

cantik. Gadis itu berjalan hampir dekat, tapi Handrian pura
pura tidak sengaja menubruknya. Gadis itu kaget. Tubuh

mereka berbenturan, nyaris bibirnya bersentuhan. Bau

harum sempat terisap hidung Handrian. Aaah, wanginya

parfum itu.- 180
"Jalannya meleng!" bentak gadis itu.

Handrian tersenyum kalem. Sorot matanya sayu dan

menggetarkan perasaan.

"Maaf, saya tidak sengaja. Nona tidak marah kan?

Nona mau memaafkan saya bukan?" kata Handrian lembut.

Gadis itu membalas senyum Handrian. Dari sorot

matanya tampak ia terkesima memandangi ketampanan dan

kelembutan pemuda itu. Menggetarkan perasaannya. Dan

gadis itu mengangguki sambil tersenyum manis.

"Terima kasih. Lain kali bisa kita ulangi lagi ya?"

Senyum manis gadis itu mendadak hilang. Malah

cemberut. Sialan. Dikira aku ini barang tubrukan, gerutunya.

"Kau sinting ya?!" maki gadis itu dengan mata

mendelik.

"Tenang jangan marah! Dan niih, cuuup!" Handrian

menempelkan jari tangan ke bibirnya sebagai isyarat

kecupan. Dan dia buru-buru kabur, sebelum dimaki gadis

itu. Menuju ke mobilnya yang diparkir tidak jauh dari halte

bis kota.

Dengan bersiul-siul kecil dibukanya pintu mobil. Tapi

ketika dia baru menaikkan sebelah kakinya ke dalam mobil,

masih sempat melemparkan pandang ke arah halte. Di

bawah halte itu oordiri seorang gadis berambut panjang.

Tubuhnya ramping, indah. Handrian tersenyum. Timbul

liatnya untuk menggoda gadis itu. Maka buru-buru- 181
dilemparkan tas plastik yang berisi Green Sand ke dalam jok

mobil. Dia menutup kembali pintu mobil, lalu mengayunkan

langkah mendekati halte itu.

Matahari sore mengintip di balik awan. Mengutip

seraut wajah yang teduh bagaikan Dewi Sri yang

menyimpan kelembutan dan pesona dalam gemuruhnya

kota Jakarta. Dia laksana bunga melati yang harum di

tengah-tengah bunga imitasi, cantik, anggun dan indah.

Sebenarnya siapakah ia?

Seraut wajah yang lonjong dan bola matanya bening.

Kelopaknya ditumbuhi bulu mata yang lentik. Hidungnya

mancung. Bibirnya basah senantiasa. Cemerlang ditimpa

matahari sore. Dia adalah Rosalina. Wanita yang telah

melintasi waktu dua tahun berselang. Tabah menjalani

bantingan-bantingan hidupnya yang getir. Kurun waktu dua

tahun telah mengubah dirinya jadi dewasa dan matang.

Handrian mendekati Rosalina. Kesempatan yang

baik. Tak ada orang lain yang berada di sekitarnya. Dengan

leluasa Handrian memandang dari betis terus merambat ke

atas. Indah. Indah tidak ada celanya. Tapi yang diamatinya

nampak diam saja. Pandangan gadis itu lurus ke depan, Dan
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Handrian pun berdehem. Sekali gadis itu tidak menoleh.

Maka sekali lagi dia berdehem. Entah mengapa untuk kali

ini ada perasaan minder untuk menghadapi gadis ini. Tetap

belum menoleh. Handrian jadi semakin penasaran. Dia

nekat juga menegurnya.- 182
"Sendirian saja, Sus?"

Rosalina menoleh sekejap. Handrian tak menyia
nyiakan untuk menikmati seraut wajah gadis itu. Dia jadi

termangu. Oh, cantiknya. Oh, anggunnya. Laksana bidadari

yang turun dari kayangan di sore hari di antara pelangi.

"Baru pulang kuliah?"

Rosalina menggeleng palan.

"Barangkali tunggu jemputan?"

Rosalina menggeleng lagi. Bis kota berhenti

menurunkan penumpang, lalu meluncur lagi.

"Mau saya antar sampai ke rumah?"

Tak ada reaksi Rosalina.

"Nona tidak perlu mencurigai saya orang jahat. Saya

orangnya baik-baik kok. Mau saya antar pulang? Pokoknya

di jamin aman sampai di tempat," ujar Handrian dengan

sikap santai. Suaranya pun lembut, seperti kala dia merayu

pacarnya.

Dan Rosalina memintaskan pandangan ke wajah

pemuda itu. Bentrok pandangan mereka. Rosalina cepat

tertunduk, ada desir di denyut jantungnya. Dan Handrian

tersenyum kalem dangan matanya yang nakal singgah di

dada Rosalina.

Hm, tonjolan itu menyerupai sebuah gunung yang

ditutupi oleh bius biru muda. Mata Handrian turun lagi. Rok- 183
gadis itu biru tua, panjang melebihi lutut. Pinggangnya

sangat ramping. Dan betisnya, ah, mulus. Bentuk betis dan

tubuh.

"Betis itu," pandangan Handrian naik lagi, sudah

dapat dibayangkan olehnya. Tubuh yang menyimpan

kenikmatan di dalamnya.

"Untuk lebih siiipnya kita kenalan dulu," ajak

Handrian santai. Lagaknya tenang tapi romantis.

Menyodorkan telapak. tangan sambil senyum-senyum

Rosalina menatap Handrian. Meneliti kejujuran

pemuda yang berdiri di sebelahnya. Bukan apa-pa. Soalnya

mata pemuda itu sesayu mata Roger Moore yang senantiasa

menggetarkan. Nakal.

Tapi juga meresap di hati. Ah, mata itu, mata jang

romantis. Mata yang suka menggoda hati wanita. Dan

Rosalina buru-buru membuang muka.

"Masih ragu-ragu berkenalan dengan saya?"

Tak ada sahutan dari Rosalina. Bibirnya terlipat di

kulum senyuman. Sedang matanya mengerjap-ngerjap sayu.

la nampak ragu-ragu untuk menyambut uluran telapak

tangan pemuda itu. Selamanya ia berpikir bahwa pria-pria

yang diberi keramahan akan tambah macam-macam.

Lebih baik diam saja. Diamnya Rosalina tid terpancar

kesombongan. Keangkuhan. Da. sebuajl bis kota berhenti.

Keneknya berteriak-teriak Rosalina mengalihkan perhatian- 184
ke arah kondektur, la lalu mengayunkan langkah. Han drian

gusar.

"Eeee... tung... tugggu! Kita belum berkenalan!"

teriak Handrian.

Rosalina terus naik ke dalam bis kota. Bis meluncur

pergi; Handrian mendesah kesal.

"Sialan, kelinci buritanku jadi terlepas," gerutunya

sembari bersejingkat melangkah. Batu kerikil ditendangnya,

Kesal. Dan langkahnya terus terayun menghampiri mobil.

Monika berparas cantik. Kecantikan yang selalu

dipoles oleh bedak wangi. Matanya nampak selalu indah

karena memakai eye-shadow. Bulu matanya palsu. Seperti

halnya alisnya yang bagus karena diukir pensil. Bibirnya

yang cemerlang antaran dipoles lipstik. Kecantikan yang

bukan alami. Tapi sangat menarik dan patut dipuji. Sesuai

dengan profesinya sebagai sekretaris. Jari-jari tangannya

yang kukunya diberi kutek warna merah membuka map. Dia

meneliti kertas memo dan catatan lainnya di dalam map itu.

Tidak ada yang tercecer. Lalu bola matanya Memandang

beberapa karyawan yang sudah hadir di ruangan itu. Semua

karyawan sudah lengkap. Tinggal menunggu kehadiran

pimpinannya.

Suara detak dan derit sepatu terdengar cepat. Ayunan

langkah itu sudah dikenal betul oleh Monika. Juga karyawan

lainnya yang sedang menunggu. Ayunan langkah

pimpinannya. Gesit dan lincah. Dan seraut wajah Handrian- 185
muncul. Pakaiannya necis, mengenakan jas dan berdasi.

Dasi yang tak pernah diatur rapi. Kendor melingkar di kerah

kemeja. Mode anak muda, Gaya seorang playboy tetap

melekat di setiap penampilannya. Santai, tenang dan

romantis. Tapi seluruh karyawan kagum dengan

kecemerlangan otaknya. Sifatnya sangat bijaksana.

Semua karyawan yang hadir di ruangan itu segera

berdiri dan serempak mengucapkan : "Selamat pagi. Pak."

"Selamat pagi," balas Handrian senyum! senyum

tenang. Lalu dia duduk di kursi pimpinan Ada terpancar

kewibawaannya.

"Rapat bisa dimulai?" tanya Handrian Melirik sekilas

pada Monika.

"Bisa, Pak," sahut Monika sembari melempari

senyum.

Handrian berdehem, seperti biasanya menghadapi

kelinci buruannya.

"Perlu Saudara-saudara ketahui, perusahaan kita akan

membuka cabang di Semarang. Tujuannya untuk

memperluas jaringan relasi. Sementara ini kita cukup

kewalahan memenuhi permintaan relasi kita di daerah
daerah. Tanpa dibukanya cabang di Semarang, pengawasan

dan manajemennya akan semrawut tak karuan. Apalagi

perusahaan kita segera melaksanakan pekerjaan proyek- 186
instalasi listrik masuk desa," tutur Handrian begitu lancar

dan mencerminkan sikap seorang pimpinan yang jenius.

"Saya boleh bertanya, Pak?" seorang karyawan pria

mengacungkan jari tangan.

"Silakan."

"Cabang perusahaan di Semarang sCatnya sementara

atau permanen, Pak? Maksud saya hanya untuk selama

pengerjaan proyek sampai selesai."

"Kantor cabang di Semarang bersifat permanen.

Bukan selama pengerjaan proyek saja. arena fungsi kantor

dan pimpinan cabang harus kreatif mencari tender. Di

samping melayani relasi yang membutuhkan barang-barang

leveransir dari perusahaan kita."

Kelima karyawan pria yang duduk di belakang eja itu

manggut-manggut.

"Dan sebagai pimpinan cabang akan kami igkat Nona

Monika. Pengangkatan ini berdasarkan hasil kerjanya yang

telah dicapai. Nona Monika gesit, kreatif dan lihay untuk

memperoleh tender. Kami kira Saudara-saudara juga tahu

itu. Patut kiranya kita semua memuji keberhasilan Nona

Monika. Pandai mengambil hati relasi kita," kata Handrian

sembari melirik Monika.

Wajah Monika yang cantik sedikit tersipu, tapi juga

berseri-seri.- 187
"Bagaimana Monika? Apakah Anda bersedia menjadi

pimpinan cabang?"

"Dengan senang hati bersedia. Pak."

"Baik. Dan mulai besok saya tugaskan Saudara Hadi

untuk memasang iklan di surat-surat kabar, untuk mencari

sekretaris baru, sebagai penggantinya Monika."

"Baik, Pak." Hadi mengangguk.

"Ada yang perlu ditanyakan lagi?"

Semua karyawan menggelengkan kepaia.

Hening.

"Kalau begitu rapat saya tutup."

Satu demi satu karyawan pria bangkit dari tempat

duduknya. Disertai anggukan kepala kearah Handrian,

mereka berjalan pergi. Kini di dalam ruangan itu hanya

tinggal Handrian dan sekretarisnya. Keduanya saling

bertatapan lembut. Saling bertukar senyum penuh arti.

Lantas Handrian berpindah tempat duduk di samping gadis

itu.

"Nika," suara Handrian lembut. Tangannya meremas

tangan Monika. Remasan yang hangat.

"Ya?" balas Monika dengan suara merdu Kedua

matanya mengerjap-ngerjap sayu.- 188
"Setelah tutup jam kantor, kita pergi ya?" ajak

Handrian. Sepasang mata yang sayu, bibir yang merekah

terpoles lipstik merah mengambang senyum manis. Mata

dan bibir yang tak pernah menolak, ajakan pria tampan ini.

Dan anggukan kepalanya yang pelan, senantiasa menuruti

setiap kemauan direkturnya.

Dan sore itu Handrian membawa Monika pergi ke

pantai. Jika dia sudah membawa seorang gadis ke pantai,

urusannya hanya beromantis-romantisan. Sedang Monika

sudah tahu apa yang dimaui pria ini. Pria yang satu ini sangat

memanjakan dirinya. Acapkali membawa dirinya ke cotage

di pinggir pantai itu. Dan gadis itu tak pernah menolak.

"Dan aku pun bukan orang yang suci," pikir Monika.

"Tak perlu munafik. Masa laluku sudah terlampau getir

untuk terus diratapi. Masih terlalu muda untuk menyerah

pada nasib!"

Agaknya terlampau berlebihan tekad Monika.

Memang berlebihan. Untuk menduduki jabatan yang lebih

baik, dia tak pernah menolak kemauan direkturnya.

Kegetiran, penderitaan di masa lalunya begitu kuat

mendorong niat. Niat bisa hidup senang, mendapatkan

kedudukan yang terhormat. Semua itu getaran hatinya yang

telah luka. Luka disakiti seorang kasih.

Alangkah kejamnya pria yang bernama Usman. Pria

itu telah mengingkari janjinya. Setelah merenggut kesucian

diriku, dia meninggalkan keping hati yang penuh cinta ini.- 189
Dan begitu jamnya pria itu. Dia menikah dengan seorang

anak orang kaya. Maka sekarang tak ada istilah cinta dalam

hidupku. Kedudukan dan hartalah yang kucari. Pria, bagiku

cuma kebutuhan biologis semata. Kalau apa yang diurapkan

telah tercapai, akan kubalas setiap laki-laki. Sampai dia
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertekuk lutut di hadapanku.

"Monika," panggil Handrian lembut. Mesra.

Monika tersentak. Lamunannya buyar.

"Ya?" suaranya gugup.

"Apa yang tengah kau lamunkan?"

Monika memandang pria yang berjalan disisinya.

Masih tersisa pada sorot bela matani rasa ambisi, kebencian

dan balas dendam. Tapi setelah bertatapan dengan sorot

mata Handria segalanya jadi lunak. Sayu dan romantis.

"Semoga Pak Han akan dapat penggari sekretaris baru

yang melebihi Monika. Lebih cantik, rajin dan patuh.

Servisenya memuaskan. Bukankah begitu, Pak?" suara

Monika manja. Menyandarkan kepala di bahu Handrian.

Pria itu tersenyum memandang Monika Tangannya

memeluk bahu gadis itu dengan hangat dan mesra.

"Semua yang pernah kita jalin teramat inda Indah

sekali. Sampai kadang-kadang aku berpikir hubungan kita

telah melampaui persahabatan. Bahkan sudah seperti suami
istri. Tapi anehnya di antara kita tak pernah mempersoalkan

cinta," kata Handrian meremas-remas bahu gadis itu.- 190
"Soalnya kita bisa saling mengerti. Saling

membutuhkan. Barangkali keadaan seperti kita akan pernah

ada rasa saling disakiti. Saya rasa hubungan seperti kita

lebih kekal."

"Kau memang selalu benar. Aku selalu kagu padamu.

Sudah sepatutnya kalau pimpinan cabang kulimpahkan

padamu. Olah dengan segala kemampuanmu, agar cabang

perusahaan yang kau tangani bisa maju. Segala fasilitas

telah kuberikan sebaik-baiknya."

Langkah mereka terhenti. Monika menatap Handrian

dengan mata sayu. Mata yang selalu berbinar-binar

kehangatan. Siap mengantar ke tempat peraduan. Dan sorot

mata seperti itu sering ditemukan oleh Handrian. Maka

dengan lembut pria itu membisikkan sesuatu di telinga
lanya. Dan sebagai balasan, gadis itu tersenyum.

Senyumnya manis sekali. Senyum yang tak pernah menolak.

Ombak mengempas ke pesisir pantai. Di senja indah

yang disambut malam itu, dua insan memasuki sebuah

cotage. Handrian tersenyum lega. Dia mengunci pintu,

lantas beriring dengan Monika masuk ke dalam kamar.

Handrian melempar diri ke atas tempat tidur empuk Tempat

tidur yang memakai per. Monika membukakan sepatunya.

Handrian menatap rambutnya yang halus ikal mayang. Dia

amat senang dengan pelayanan gadis itu.

"Perpisahan tanpa kenangan yang indah bagai sayur

tanpa garam," kata Monika setelah membuka sepatu- 191
Handrian. Lalu dia membuka sepatunya sendiri dan

berbaring di sebelah pria itu.

"Ya. Besok kau akan berangkat ke Semarang,

Rasanya sukar untuk mencari pendamping seperti kamu.

Manis."

Handrian memeluk tubuh Monika. Monika membalas

pelukannya. Lantas dia mengulum bibir gadis itu.

Entah berapa lama. Lidah Monika terpilin-pilin dalam

mulut Handrian. Desah napas mereka memburu, seperti deru

ombak yang saling ber kejaran. Rintihan dan keluhan manja

membaka berahi yang panas. Entah berapa lama. Terjangan

terjangan itu menggoyang-goyangkan tempat tidur yang

memakai per. Dua insan yang menyatu bagai terombang
ambing di atas perahu. Perahu yang diayunkan ombak besar.

Dan entah berapa lama. Saat-saat menggelora telah berlalu.

Monika terpulas. Pria yang disisinya juga terpulas.

Keletihan.

***

Meja itu kosong. Meja yang biasa dipergunakan

Monika. Sekretaris yang berparas cantik itu telah pindah

tugas ke Semarang. Suasana di dalam kamar direktur jadi

hampa. Kurang semarak. Ibarat bunga yang mekar dan

wangi itulah Monika. Sebagai penghias ruangan dan- 192
kenyamanan, kegairahan. Sudah dua hari suasana ruangan

itu tampak murung. Dan direktur muda yang biasanya

tersenyum, dalam keletihan bisa menikmati paras Monika

yang cantik, penuh gairah, tapi kini jadi ikut murung.

Murung lantaran kesepian mengetuk dinding hatinya.

Kesepian? Benarkah aku kesepian? Alangkah lucu

kalau diketahui orang, bila seorang playboy tapi kesepian,

pikirnya. Kalau cuma butuh teman untuk berkencan, tak

menemui kesulitan. Tinggal putar nomor telepon. Wida,

Lisa, Nuning atau yang lainnya. Pokoknya, segudang

koleksi ceweknya. Amboi, tidak sombong lho. Pokoknya

siip. Ditanggung tidak mengecewakan orang yang melihat

cewek pasangannya. Handrian senyum-senyum sambil

membaca iklan perusahaannya yang di surat kabar. Dan

sejak dua hari ini dia tidak jenuh-jenuhnya membaca iklan

itu, sebab akan hadir pengganti Monika. Dia akan mencari

cewek yang bisa mengalahkan kecantikan Monika. uiii,

dahsyat!

Pintu diketuk dari luar.

"Masuk!"seru Handrian.

Karjo seorang laki-laki setengah baya masuk. Dia di

bagian personalia.

"Ada calon sekretaris yang mau melamar pekerjaan.

Pak."

"Cepat, suruh masuk!"- 193
Karjo mengangguk, lalu berjalan ke luar. Handrian

memandang ke arah pintu dengan perasaan tak sabar. Tak

sabar ingin segera melihat pelamar yang akan menggantikan

Monika. Dan pintu ruangan itu terbuka, seorang gadis

berparas cantik masuk. Gadis itu mengangguk, senyumnya

aduhai manisnya. Handrian segera bangkit, mempersilakan

gadis itu duduk di degannya.

"Silakan duduk," sapa Handrian ramah.

Gadis itu meletakkan pantatnya di kursi.

Menyilangkan kakinya, sehingga pahanya yang putih mulus

bagai menantang. Sikapnya santai tapi mengundang gairah

pria. Dan menimbulkan pijar-pijar di jantung Handrian jadi

menggelepar, sekaligus riak menyumbat di tenggorokan.

Handrian berdehem, supaya riak yang menyumbat

turun ke perut. Penampilannya kalau di depan gadis pasti

santai, kalem, tenang dan gayanya seperti playboy.

"Sudah pernah bekerja?" tanya Handrian mengawali

interviu.

"Sudah, Pak!"

"Sebagai apa?"

"Sekretaris, Pak."

"Sudah berapa lama pengalaman Anda sebagai

sekretaris?"

"Dua tahun."- 194
"Di perusahaan apa?"

"Kontraktor."

"Kenapa berhenti?"

Gadis itu tersenyum. Matanya mengerjap-ngerjap

centil.

"Perusahaannya bangkrut."

"Oo, begitu."

"Akibat resesi semua tender dihentikan. Jadi

perusahaan itu gulung tikar."

"Oo, begitu."

"Padahal dulunya maju. Tak mau kalah bersaing."

"Oo, begitu." Sambil menyahut perhatian Handrian

tertuju pada paha gadis itu. Hampir tanpa berkedip.

"Heem! Heem!" gadis itu terbatuk kecil.

Handrian sadar apa yang diperbuatnya. Lalu dia

memandang gadis itu sembari senyum-senyum. Tenang

saja, seolah-olah penampilan gadis itu datang untuk

memamerkan pahanya. Jadi buat Handrian merupakan

pemandangan yang tak boleh diabaikan.

"Namamu?" tanya Handrian. Dia membasahi bibir

dengan lidahnya.- 195
"Nita," sahutnya. Gadis itu meniru Handrian vang

membasahi bibir dengan lidahnya. Seperti benar-benar

menantang.

Amboi, gadis ini tahu tehnik pancingan murahan

begitu. Pasti sudah berpengalaman untuk memikat pria yang

disukai. Handrian tersenyum. Gadis itu tersenyum. Boleh

juga untuk teman berkencan, tapi tidak tepat untuk

mengganti kedudukan Monika.

"Okey, Nita. Lamaran Anda akan saya

pertimbangkan dulu. Tunggu saja sampai menerima

panggilan," kata Handrian lunak.

Nita bangkit dari tempat duduknya.

"Permisi, terima kasih Pak," Nita mengayunkan

langkah. Pinggulnya yang menyerupai gitar bergoyang
goyang. Seperti bandul jam.

Handrian menarik napas panjang. Memandang

pinggul Nita yang bergoyang-goyang. Sehingga goyang
goyang itu, entah disengaja atau tidak, sekali lagi telah

menimbulkan pijar-pijar yang membuat jantungnya

menggelepar.

Belum lama Handrian menyandarkan kepalanya di

sandaran kursi, pintu ruangan terbuka lagi. Muncul di

ambang pintu seorang gadis berwajah manis. Senyumnya

juga manis.

"Selamat siang. Pak," sapa gadis itu lembut.- 196
Pantat Handrian bagai disundut rokok. Dia spontan

berdiri. Amboi, lain dari yang tadi. Wajahnya manis.

Senyumnya manis. Dan kulitnya kuning langsap. Senyum

Handrian menyambut dengan ramah, tapi romantis.

"Silakan duduk. Nona."

Gadis itu melangkah lunak mendekati kursi.

Menghenyakkan pantat perlahan dan sopan. Handrian juga

menghenyakkan pantat. Memperhatikan setiap gerakan

gadis yang duduk di depannya. Kalem, bersahaja dan

menarik.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Handrian.

Sikap gadis ini masih nampak malu-malu. Justru yang

begini disukai Handrian. Tidak merangsang, tapi membuat

penasaran. Senyumnya, oh senyuman yang malu-malu. Dan

bola matanya yang bening itu, oh sangat indahnya. Malu
malu memandang.

"Saya melamar ingin menjadi sekretaris perusahaan
Selaput Pagar Ayu Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bapak," suaranya kalem. Seperti penampilannya.

Direktur muda itu tersenyum. Senyum seorang play
boy yang akan mendapat kelinci buruannya. Mata gadis itu

mengerjap, bibirnya tersungging senyum. Matanya indah,

tapi malu-malu memandang. Membuat Handrian gemas.

"Sudah pernah bekerja di perusahaan lain?" tanya

Handrian.

"Belum."- 197
"Jadi belum ada pengalaman?"

Gadis itu mengangguk. Senyumnya selalu menghiasi bibir.

"Namamu?"

"Fonny."

"Lulusan?"

"Akademi sekretaris."

Handrian manggut-manggut. Jawabnya jujur.

Sikapnya lugu. Barangkali gadis seperti ini patut untuk

dijadikan sekretaris. Ibarat anak domba mudah diasuh dan

digarap. Digarap? Ah, dia masih terlampau lugu untuk

digarap. Bukankah yang lugu itu malah mengasyikkan?

Malu-malu, tapi menggemaskan. Dasar otak selalu ngeres

kalau melihat jidat licin. Pikiran kotor pun menguasainya.

"Sudah menikah?"

Gadis itu menggeleng. Pertanyaan itu membuat kedua

pipinya merah jambu. Tersipu malu.

"Baik Mulai besok Anda bisa bekerja di sini dengan

masa percobaan tiga bulan."

Wajah Fonny berseri-seri.

"Terima kasih. Pak."

Fonny bangkit lalu memohon diri.

"Jangan lupa, besok langsung masuk kerja ya?"- 198
"Ya, Pak."

Fonny mengayunkan langkah. "Dan jangan lupa

membawa surat lamarannya."

Langkahnya terhenti di dekat pintu. Menoleh ke arah

Handrian.

"Sudah saya serahkan pada bagian personalia. Pak,"

kata Fonny.

"Okey, okey, sampai ketemu besok."

Fonny meneruskan langkahnya dan menghilang di

luar pintu ruangan. Sementara Handrian garuk-garuk

dagunya yang tak gatal. Besok aku tidak kesepian lagi. Ada

seorang sekretaris baru yang sangat manis, dan suasana

ruangan itu jadi romantis, pikir Handrian menggebu-gebu.

***

Bau wewangian memenuhi dalam mobil. Dan hawa

sejuk AC terasa nyaman. Langit masih menyisakan warna

merah di bagian barat. Panorama sore yang indah. Handrian

yang tengah mengemudikan mobilnya meresapi suasana itu.

Seolah-olah dia tidak memperdulikan kesibukan mobil yang

berlalu-lalang. Tak memperdulikan jalanan di sore seperti

ini macet. Yang penting hatinya berbunga kegembiraan.- 199
Kegembiraan yang disebabkan Fonny. Gadis itu akan

menjadi sekretarisnya.

Belum habis dia memikirkan Fonny, ada kejutan lain

yang mewarnai sore itu. Handrian terpana melihat seorang

gadis berdiri di halte. Dan ah, itu dia. Tapi pakaiannya sudah

berubah, tidak biru muda dengan biru tua. Tapi kuning

gading. Kontras dengan suasana sore yang indah ini.

Handrian menghentikan mobilnya di depan gadis itu.

Dikeluarkannva kepalanya melalui jendela mobil.

"Hallo, kita ketemu lagi. Mau pulang? Ayo saya

antar," sapa Handrian ramah.

Sekejap pandangan mreka bertemu. Mata Rosalma

seperti tersibak. Barangkali ia rrorasa kenal. Tap? masih

ragu-ragu. Belum pasti. Dan untuk menutupi keraguannya ia

tersenyum. Senyum ramah yang selalu menghiasi bibirnya.

"Terima kasih," sahutnya.

Handrian termangu sejenak. Dalam keter
manguannya, dia mencoba membandingkan wajah gadis itu

dengan Fonny. Ternyata wajah gadis ini jauh lebih cantik.

Anggun. Teduh dan mempesona. Tergerak hatinya untuk

menggarap gadis itu. Lalu dia turun dari mobil dengan

kalem Mengempaskan pintu mobil. Mengayunkan langkah

mendekati gadis itu.

"Selamat sore," sapanya. Dan jantungnya

menggelepar, sebab gadis itu membalas tatapannya. Sejuta- 200
pesona terbias dari sorot mata itu. Bagai telaga bening yang

menyimpan sejuta keindahan.

"Sore," balas Rosalina. Bibirnya yang merah alami

terkuak, bagai kelopak bunga mawar. Pada sore yang cerah,

bibir merah alami itu kian cemerlang. Menyimpan kekuatan

magnet yang mengetarkan.

"Kita pernah bertemu kemarin di sini. Bagaimana

kalau perkenalan kita dilanjutkan?" suara Handrian santai.

Seperti tengah membujuk pacarnya.

Rosalina melirik sekejap. Tak ada ekspresi apa-apa di

wajah gadis itu. Tetap teduh, anggun dan bibirnya

menyimpan senyum samar.

"Sungguh, saya ingin berkenalan. Hati saya akan

gembira sekali kalau Nona sudi berkenalan dengan saya.

Saya berjanji akan menjadi teman yang baik, teman yang

setia dalam keadaan apa pun," tutur Handrian lembut. Gaya

penampilannya santai dan memikat. Gaya playboy intelek.

Rosalina memandang Handrian. la meneliti wajah

pria muda itu. Lalu pakaiannya yang necis. Dasi yang

melingkar di kerah kemeja yang kendor. Tidak rapi cara

memakainya, tapi enak dipandang. Juga tidak terlihat

kampungan. Instingnya menilai, bahwa sorot mata pria itu

jujur. Namun ia masih nampak bimbang.- 201
"Mau kan? Kalau Nona menolak, sungguh saya akan

kecewa. Sebab saya punya niat baik. Niat ingin menjadi

teman yang baik pula."

Bibir gadis itu tersenyum! Perasaannya seperti

digelitik. Geli. Sebab cara mengajak berkenalan kayak anak

kecil. Tapi perasaan Rosalina merasa senang. Lalu ia

mengangguk.

Buru-buru Handrian mengulurkan tangannya. Seperti


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung 02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S

Cari Blog Ini