Ceritasilat Novel Online

Sepasang Remaja 2

Sepasang Remaja Karya V Lestari Bagian 2



"Begini, Ma. Di

sini ada anak lesbian yang mau merayu Riri. Hii... ngeri

deh, Ma."

Meremang tengkuk Merry. Lesbian?

"Besok kujemput kau, Ri. Besok!"

Jauh di ujung sana Riri bersorak.

87

V

BEGITU mobil bergerak keluar dari halaman LPAN

Wanita Tangerang, Merry berkata,

"Ingat ya akan

janjimu, Ri. Kau sudah bukan anak kecil lagi sekarang."

"Ya, Ma."

"Kapan mau mulai ke salon? Kau boleh lihatlihat

dulu. Atau belajar sama Mbak Inge."

"Besok aja ya, Ma. Sekarang Riri mau beresin kamar

dulu."

"Bagus kalau begitu."

Senang hati Merry. Semula ia sudah khawatir kalau
kalau dibohongi.

"Jangan kecewakan Mama lagi ya, Ri. Anak Mama

kan cuma kau sendiri."

"Percaya deh, Ma. Riri akan buktikan nanti. Tapi Riri

boleh berteman dong ya?"

"Dengan siapa?" tanya Merry dengan kening berkerut.

"Dengan siapa aja yang Riri sukai. Tapi pasti bukan

yang brengsek. Bukan teman yang duludulu. Riri akan

menjauh dari mereka. Riri nggak mau lagi ke jalan

Sabang."

"'Jangan-jangan yang nggak brengsek itu cuma di

matamu saja. Buat Mama lain lagi."

88

"Ah, Mama. Sekarang Riri sudah bisa menilai. Lagi

pula Riri kan perlu teman sebaya. Masa bergaulnya sama

ibu-ibu melulu. Percaya deh, Ma."

"Buktikan saja dulu, Ri."

Riri melirik ibunya. Mama masih seperti dulu,

pikirnya. Coba kalau lebih hangat sedikit. Tapi ia tidak

ingin kecewa.

"Papa nggak pernah nengokin Riri," katanya mem
belokkan percakapan.

"Ah, sudahlah. Kan masih ada Mama."

"Apa Papa tahu Riri ada di mana?"

"Tahu. Mama kan tanya dulu sewaktu akan

memasukkanmu ke sana."

"Aneh ya. Kok sama Riri nggak bilang apa-apa. N gak

pernah ngomong apa-apa. Kayaknya Riri nggak ada deh."

"Dia sakit hati padamu."

"Oh ya? Kenapa, Ma?"

"Kau pernah main-main sama seorang temannya.

Dia tak bisa memaafkan. Dia menganggap kau telah

menjatuhkan harga diri dan martabatnya."

Riri tersentak. Dia sungguh-sungguh kaget. Perasaan
nya tertusuk. Sedih sekali. Tapi wajah ibunya tetap beku.

Menoleh pun tidak. Sangat terasa bahwa masalah itu

peka. Tapi sudah terlanjur keluar.

Kesedihan Riri tambah lama tambah besar. Meng
gumpal lalu menggunung. Kemudian berubah bentuk

89

jadi amarah. Dia ingin berontak dan meledakkannya.

Tapi ada kesadaran. Dia takut, ibunya akan membelokkan

mobil lalu memasukkannya kembali ke sana. Entah

berapa lama lagi ia akan ditaruh di sana. Tentu sampai

ibunya puas.

Beberapa kali ditelannya air matanya.

"Riri akan minta maaf kepada Papa," katanya patau.

"Buat apa?" tanya Merry dingin.

"Buat hati Papa yang sakit."

"Hem."

"Riri juga minta maaf sama Mama."

Barulah wajah Merry melunak.

"Sudahlah. Yang

penting itu bukan maaf. Tapi benar-benar penyesalan.

Selanjutnya jangan bandel lagi."

Riri teringat akan Abi. Itu menahan keinginannya

untuk menanggapi kata-kata ibunya.

***

Riri heran sendiri. Setelah berada di rumah ia merasa

pandangan dan wawasannya tentang situasi sekitarnya

jadi berubah daripada sebelumnya. Lebih serius. Lebih

memperhatikan. Ada hal-hal yang dulu tak pernah

terlihat kini malah menggugah perasaan. Sepertinya dia

mengenakan kaca mata baru hingga dunia sekitarnya

tampak lain.

90

Tapi dengan demikian dia mulai mempunyai beban.

Sesuatu yang dulu baginya bukan masalah kini terasa

memberatkan, menyedihkan, dan membuat stres. Tapi

dia juga tak bisa cuek lagi. Ada tantangan untuk me
nyelesaikan.

Selama beberapa hari ia memasang mata dan telinga,

menunggui kepulangan Pak Adam, ayahnya. Ia tahu,

bertanya kepada ibunya akan percuma saja.

Ia tahu, ayahnya tak lagi tidur sekamar dengan ibu
nya. Kini ayahnya menempati kamar khusus, baik

untuk tidur maupun untuk bekerja. Sebagai akuntan di

sebuah perusahaan swasta sesekali ia membawa pulang

pekerjaannya ke rumah. Kamar itu selalu dikuncinya

bila dia tidak ada. Dan kalau ada di rumah pun ia

menghabiskan waktunya di dalam kamar itu, kecuali

untuk ke kamar mandi dan makan. Bila dia keluar berarti

keluar rumah dan pulangnya entah kapan.

Hal-hal semacam itu diketahui Riri dari Bi Marni,

pembantu rumah tangga. Selanjutnya kepada Bi Marni

itu pula ia berpesan agar memberi tahu bila ayahnya

pulang dan sedang berada di kamar.

Tapi hari-hari berlalu. Pak Adam belum juga muncul.

Sebaliknya, Merry menghabiskan hari-hari sisanya di

rumah. Ia rajin mengajari Riri teori tentang perawatan

kecantikan. Dan Riri menerimanya dengan serius pula.

Dorongannya adalah Abi. Kalau ibunya sudah yakin akan

91

dirinya pasti dia akan diperbolehkan berteman dengan

Abi. Sesuatu yang kini menjadi penting. Dulu dia tidak

peduli apakah ibunya akan menyukai temannya atau

tidak, apalagi memberi izin berteman. Tapi bukan cuma

dorongan itu saja yang jadi sebab. Dia senang, ibunya

selalu di rumah dan tak lagi punya pacar. Dia juga senang

karena ibunya kini memberi perhatian penuh kepadanya.

Sesekali dia jengkel kalau perhatian itu terasa berlebihan

kalau ibunya sedang kumat cerewetnya. Tapi kejengkelan

itu sirna bila terpikir bahwa dengan berbuat demikian

ibunya jadi mengorbankan kesenangannya sendiri.

Sering kali Riri ingin memancing ibunya, kenapa tak

berpacaran lagi. Sesekali ada juga telepon dari beberapa

gigolo yang pernah memacari ibunya. Tapi Merry

selalu menjawab dengan ketus. Riri tidak tahu apa yang

dipercakapkan, tapi ia yakin mereka mau mengajak

kencan. Habis apa lagi? Tentunya mereka sedang mem
butuhkan uang lalu cari objekan. Tapi ia tak berani

bertanya meskipun ingin.

Setiap kali ia melewati pintu kamar ayahnya yang

terkunci ia teringat akan ayahnya. Ia sampai tak lagi bisa

membayangkan rupa ayahnya itu. Sudah bertambah

tuakah? Dan seperti apa?

Akhirnya, pertemuan itu terjadi juga.

Hari itu Sabtu. Seperti biasanya Riri pergi pagipagi

bersama ibunya menuju salon. Lalu pulangnya nanti pun

92

begitu pula. Tapi hari itu ia merasa tubuhnya kurang

enak. Pusing bila berdiri lamalama. Padahal kerja di

salon hampir selalu dilakukan dengan berdiri. Jadi Merry

menyuruhnya pulang saja ke rumah. Semula ia akan

diantarkan, tapi ia merasa sanggup pulang sendiri.

"Non, ada...," bisik Bi Marni begitu Riri pulang.

Tangannya menunjuk ke arah kamar ayahnya.

Begitu saja perasaan tak enak itu lenyap. Ia jadi segar

tapi juga berdebar-debar. Apalagi ketika berdiri di muka

pintu kamar ayahnya. Ragu-ragu ia mengetuk. Mula
mula pelan kemudian lebih keras.

"Siapa?"

Riri hampir melompat saking kaget. Keras benar suara

ayahnya. Kentara tidak senang.

"Ini Riri, Pa," katanya dengan suara gemetar.

"Mau apa?" Kasar.

Riri bingung.

"Mau... mau ngomong, Pa."

"Ngomong apa sih?" Lebih kasar lagi.

"Ngomong ngomong..."

Riri kehilangan kemampuan bicaranya.

"Orang lagi banyak kerjaan. Mengganggu saja." Lalu

ada gerutuan panjang.

"Nggak jadi deh, Pa. Nanti aja. Maaf, Pa," kata Riri

putus asa.

Tapi baru saja ia akan membalikkan badan, pintu

terbuka. Sosok ayahnya berdiri tegar di depannya.

93

Wajahnya tak sedap dipandang. Riri merasa dirinya

menciut.

"Ada apa?"

Sesaat Riri tak bisa bicara. Dia cuma memandang

dengan gugup. Inikah ayahnya? Wajahnya memang tak

asing. Masih seperti dulu. Cuma tambah tua. Tapi pan
dang matanya lain. Asing.
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Riri berkejap-kejap. Mulutnya membuka

menutup tapi tak keluar suara.

"Tadi katanya mau ngomong. Nah, ngomonglah,"

kata Pak Adam tak sabar. Pandangnya ganas menghunjam.

Setelah bersusah payah mengatasi kegugupannya, Riri

bisa juga bersuara.

"Pa... Riri minta... minta maaf!"

Belum lagi hilang gaung suaranya Riri sudah mem
balikkan tubuh lalu berlari menuju kamarnya sendiri. Ia

terus masuk tanpa menoleh ke belakangnya lagi. Pintu

ditutup lalu dia melompat ke atas ranjang. Di situ dia

menangis dengan sedih. Setelah emosinya reda ia duduk

lalu memandang ke arah pintu. Ia berharap pintu

diketuk, terbuka lalu ayahnya muncul di situ. Tapi tak

ada ketukan. Pintu tak terbuka dan tak muncul siapa
siapa. Sepi. Dia tetap sendiri.

Beberapa saat kemudian ia mendengar suara pintu

dibuka lalu ditutup. Cepat ia melompat bangun. Pintu

ia kuakkan sedikit. Dari situ ia bisa melihat ke arah pintu

kamar ayahnya. Letaknya sama-sama dalam satu lorong

memanjang.

94

Ia melihat ayahnya mengunci pintu. Sebelah tangan
nya menjinjing tas. Kemudian ia berbalik tapi tak segera

melangkah. Ia diam mematung seolah berpikir.

Riri berdebar. Apakah ayahnya sedang menimbang
nimbang untuk menemuinya? Alangkah lamanya ia

berdiri di situ. Jangan-jangan sudah menjadi patung.

Tapi betapa kecewanya Riri. Harapannya tak terkabul.

Ayahnya melangkah ke arah yang berlawanan. Menoleh

ke arah kamarnya pun tidak. Sudah jelas ke mana

tujuannya. Dia mau pergi.

Perasaan tak puas bergelombang dalam diri Riri.

Haruskah ia membiarkan saja semua itu? Pasrah karena

tak ada jalan lain? Ia toh belum menerima jawaban!

"Papa! Papa!" ia berteriak.

Tapi sosok yang di depan malah semakin jauh.

Riri berlari mengejar. Ayahnya sudah masuk mobil

yang ternyata diparkir di halaman luas sebuah restoran

seberang rumah. Sebuah mobil yang belum pernah

ia lihat sebelumnya. Pantas tak bisa dikenali. Tak bisa

diketahui kapan pemiliknya ada di rumah atau tidak.

Mobilnya sudah berganti.

Riri berdiri di tepi jalan, tertegun memandang ke

seberang.

"Papa!" serunya lagi. Volume suaranya sudah optimal.

Tak bisa lebih keras lagi.

Tapi di sana mesin mobil pun menderu. Kemudian

bergerak. Pengendaranya cuma menoleh untuk melihat

95

apakah mobilnya tidak menyentuh apa-apa. Kemudian

ia meluncur lurus, melaju pergi.

Pandang Riri membara. Giginya digertakkan.

Sebuah taksi mendekat. Pengemudinya melirik. Dan

dia memberi ide kepada Riri. Tanpa pikir panjang lagi

Riri melambaikan tangannya. Taksi berhenti. Riri masuk.

"Ikuti mobil itu, Pak."

"Yang mana?"

"Itu yang merah tua. Cepat!"

Taksi pun meluncur. Pengemudinya senang. Dia

ingat akan Film-film yang pernah ditontonnya. Sepanjang

kariernya ia belum pernah disuruh menguntit mobil

orang lain. Mudah-mudahan cukup jauh jarak yang

ditempuh. Sejauh mungkin.

Sementara itu Riri baru menyadari untuk memeriksa

isi sakunya. Untung ia tidak terbiasa membawa dompet.

Uangnya ia masukkan saja ke dalam saku celana

panjangnya. Dan jumlahnya pun biasanya tidak banyak.

Secukupnya saja, baik untuk ongkos jalan maupun jajan.

Ternyata tinggal lima ribuan. Lumayan, daripada cuma

dua tiga ribu. Ia tinggal berharap bahwa ayahnya tidak

menempuh jarak yang jauh.

Penguntitan berjalan dengan lancar. Sesekali taksi

yang ia tumpangi berada persis di belakang mobil

ayahnya. Itu lebih baik daripada kehilangan jejak. Toh

ayahnya tidak akan menaruh curiga bahwa ia memiliki

96

keberanian untuk menguntit. Tapi berkali-kali dengan

cemas pandangnya tertuju ke arah meteran taksi. Seribu.

Dua ribu. Tiga ribu. Aduh, kok belum juga mencapai

tujuan. Jangan-jangan ayahnya sengaja membawanya

berputar-putar karena tahu ia mengejar?

Untunglah di sebuah jalan yang tenang mobil

ayahnya melambat lalu memberi tanda akan berbelok ke

pekarangan sebuah rumah.

"Stop!" seru Riri.

Uangnya masih berlebih sedikit. Cukup untuk ongkos

pulang naik bis. Tentang hal itu tak perlu lagi dicemaskan.

Perhatian dan pikirannya lebih tertuju ke sekitarnya.

Dia berada di suatu wilayah yang tidak dikenalnya.

Jalan yang ada di depannya tak seberapa lebar, hingga

ia bisa melihat ke seberangnya dengan jelas. Sedang di

sekitarnya ada orang berjualan dan ada juga orang-orang

berdiri menunggu kendaraan. Rupanya di situ tempat

lalu lalang mikrolet. Dengan demikian kehadirannya di

situ tak mencolok. Dia leluasa memandang ke seberang.

Mobil ayahnya memasuki pekarangan sebuah rumah

sederhana. Di depannya ada teras dengan beberapa kursi

dan meja rotan.

Klakson berbunyi dua kali. Pintu rumah terbuka.

Seorang wanita yang kelihatannya masih muda keluar

dengan menggendong seorang anak perempuan kecil

yang usianya sekitar tiga tahun. Wajah perempuan itu

97

cukup manis. Dia tersenyum sambil bergegas mendekat

ke mobil.

Kemudian terlihat Pak Adam berjalan sambil me
rangkul pundak perempuan tadi. Mesra sekali. Wajah

Pak Adam tak kepalang cerahnya. Tawanya lebar.

Sesekali dia bercanda dengan anak dalam gendongan

perempuan di sebelahnya. Sedang rangkulan di pundak

tak dilepaskannya. Dalam sikap seperti itulah mereka

berjalan ke teras.

Lalu Pak Adam mengambil alih anak kecil itu ke dalam

gendongannya dan dibawanya duduk. Anak itu tertawa

dengan nyaringnya hingga suaranya terdengar oleh Riri.

Dalam pangkuan Adam mereka berdua bercanda dengan

asyiknya sementara perempuan tadi masuk ke dalam.

Tak lama kemudian perempuan itu keluar lagi dengan

membawa gelas berisi minuman. Adam mengambilnya

tapi anak dalam pangkuan menunjuk-nunjuk gelas itu.

Adam menyodorkannya ke mulut si anak yang segera

meminumnya dengan sikap rakus. Setelah si anak

selesai baru Adam minum. Perempuan di sebelahnya

memandangi sambil tertawa.

Riri terpaku di tempatnya. Matanya menjadi basah.

Tapi dia terus memandang. Itulah gambaran keluarga

yang rukun dan harmonis, bisiknya dalam hati. Sesuatu

yang tak ada di rumahnya.

Tapi tunggu. Bukankah dulu, lama berselang, dia pun

pernah mengalami hal yang sama? Ketika itu dia adalah si

98

anak perempuan kecil yang kini berada dalam pangkuan

ayahnya. Dan ibunya adalah perempuan yang kini duduk

berdampingan dengan ayahnya. Gambarannya sama.

Tapi kenapa semua itu hilang? Perjalanan waktu telah

mengubah semuanya. Dan ayahnya telah memilih untuk

membangun kembali yang baru daripada memperbaiki

yang sudah ada.

Riri merasa sakit bukan cuma badannya tapi juga

hatinya. Namun ia menguatkan perasaannya. Ia harus

melihat. Terus melihat sampai tak ada lagi yang bisa

terlihat. Padahal semakin melihat rasanya semakin sakit.

Ada kepuasan yang diperolehnya dari rasa sakit itu. Suatu

cara untuk menghukum dirinya sendiri untuk hal-hal

yang telah diperbuatnya di masa lalu. Ayahnya tidak mau

memaafkan.

Akhirnya orang-orang yang dipandanginya itu masuk

ke dalam rumah. Lenyap di balik pintu. Riri sadar harus

pulang. Tapi ketika ia tiba di rumah ia sukar mengingat

bagaimana caranya ia pulang.

***

Merry pulang terlambat sore itu. Hari Sabtu biasanya

merupakan hari sibuk. Ia capek tapi begitu pulang segera

menerima laporan dari Bi Marni. Non Riri lari mengejar

Bapak tadi. Perginya lama dan pulang-pulang kayak

99

orang linglung. Lalu masuk kamar tak keluar-keluar.

Dengan kaget tapi geram Merry menuju kamar

anaknya. Terpikir, Riri berbohong mengatakan kurang

sehat padahal punya rencana lain. Mengejar Adam? Apa

maunya? Ia khawatir sesuatu terjadi di belakangnya tanpa

setahunya. Sesuatu yang merugikan dirinya. Padahal Riri

adalah anaknya. Miliknya. Dialah yang telah bersusah

payah mengurus Riri. Bukan Adam.

Tapi kekhawatiran itu segera lenyap begitu ia melihat

keadaan Riri. Badan Riri panas. Mukanya sampai merah

dan matanya kuyu.

"Kau benar sakit, Ri," keluh Merry, menyesali prasang
kanya sendiri.

"Mama panggil Dokter Widya ya?"

"Ma, kalau anak itu sudah besar nanti mungkinkah dia

pun akan jadi kayak Riri?" tanya Riri tanpa menghiraukan

pertanyaan ibunya.

"Apa?"
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Merry bingung. Dikiranya Riri sedang meracau.

"Kalau masih kecil sih manis, ya Ma? Habis dia nggak

bisa ngebantah, belum punya keinginan sendiri. Lebih

gampang diutusnya, ya? Coba kalau udah gede nanti.

Ya, kalau udah segede Riri. Baru tahu rasa deh," Riri

mengoceh.

"Ngomong apa sih, Ri? Diam-diam aja. Minum ya?

Mau apa? Teh? Air jeruk?"

Riri menggeleng. Lalu dia muntah.

100

Merry berteriak memanggil Bi Marni. Suasana men
jadi sibuk. Sudah lama tak ada yang sakit di rumah itu.

Setelah Dokter Widya dipanggil dan obat dibeli serta

Riri terbaring dengan kompres es di kepalanya, barulah

Meriy terduduk kelelahan di sisi tempat tidur. Di situ ia

memandangi putrinya dengan perasaan gundah. Sudah

lama ia tidak mengurusi orang sakit. Lebih-lebih Riri.

Dulu kalau Riri sakit ia selalu merasa terancam. Baginya

sakit merupakan ancaman kehilangan. Tapi ketika itu

seberapa pun cemasnya, ada Adam di sampingnya.

Sekarang tidak ada. Dia sendirian. Padahal dia sudah

bertekad untuk menjadikan Riri sebagai teman hidupnya,

pendampingnya di sisa usianya. Juga nanti andaikata Riri

berkeluarga.

"Mama, Papa punya dua wajah!" kata Riri.

"Ya, Ri," sahut Merry walaupun tak mengerti.

"Di sini gelap. Di sana terang."

"Ya."

Merry tidak mengerti. Tapi ia sadar tak ada gunanya

bertanya sekarang. Bagaimanapun cemasnya ia harus

sabar menunggu.

Tapi kecemasan juga yang mendorongnya untuk

bertanya.

"Apakah Riri ingin ditemani Papa? Ingin ketemu dia?

Nanti Mama hubungi dia di kantornya."

"Nggak, Ma!"

101

Jawaban Riri keluar cepat. Suatu pertanda bahwa dia

tidak meracau. Tapi Merry tidak berani bertanya lebih

banyak. Kecemasannya cukuplah yang itu dulu.

Selama tiga hari Merry menutup salonnya. Ia

menggunakan waktunya untuk menemani Riri di rumah.

Sementara Adam juga tak pernah muncul lagi.

Setelah tiga hari itu Riri kembali segar.

"Besok buka ya, Ma. Riri udah sehat kok."

"Betul?"

"Ya, betul. Terima kasih, Ma. Untung aja Riri sakitnya

di rumah, nggak di Lembaga sono."

"Ah, jangan ngomong begitu. Mama jadi sedih. Jadi

nyesel. Tapi gimana ya, Ri. Kayaknya kamu jadi lebih

baik setelah dari sana."

"Nggak usah nyesel, Ma. Memang ada hasilnya kok.

Di sana nggak enak. Serem. Tapi Riri benci di rumah.

Keluyuran juga bosan. Habis mau ke mana?"

"Kamu nggak dendam sama Mama, Ri?"

"Nggak. Cuma kesal."

"Sekarang masih kesal?"

"Nggak kok. Soalnya Mama juga kesal sama Riri. Jadi

sama-sama."

"Balas-balasan gitu, ya?"

Mereka tertawa.

"Tapi Mama sekarang sudah lebih baik," kata Riri

terus terang.

102

"Biarpun masih bawel."

"Ah, kalau itu sih udah dari sononya."

Mereka tertawa lagi. Hangat.

"Jadi sekarang Mama boleh tanya dong, ya," kata

Meriy beberapa saat kemudian.

"Tanya apa, Ma? Kok pakai minta izin dulu sih."

"Begini. Di hari pertama kau sakit kau mengoceh

tentang Papa. Mama nggak ngerti. Apa itu ada

hubungannya dengan perbuatanmu mengejar Papa? Itu

menurut Bi Marni."

"Jadi Bi Marni itu mata-mata?"

"Hus. Ayolah. Ocehanmu itu tentu ada hubungannya."

"Kalau diceritain entar Mama marah. Mama akan

melabrak Papa. Perang lagi."

"Mau perang gimana? Perang sama siapa? Yang mau

diajak perang orangnya nggak pernah nongol kok."

"Jadi Mama nggak marah nanti?"

"Kenapa mesti marah? Mama sudah tahu kok."

"Kalau sudah tahu kok tanya?"

"Hei, jangan bergurau dong, Ri," kata Merry kesal.

Tapi ia tak bisa marah. Kebiasaan Riri yang seperti itu

menandakan bahwa dia memang sudah sehat.

Lalu Riri menceritakan pengalamannya.

"Nah, itu ceritanya, Ma. Papa sudah punya keluarga

baru."

Merry termangu.

103

"Mama sedih?"

"Ya."

"Mama sakit hati?"

Merry diam.

"Riri heran. Kalau sudah begitu, kenapa Papa tidak

minta cerai saja? Buat apa dia pasang dua wajah? Buat apa

dia bolak-balik ke sana dan ke sini?"

"Dia ke sini hanya untuk memperlihatkan bahwa

haknya sebagai kepala keluarga masih ada."

"Tadi Mama bilang sudah tahu. Jadi, memang sudah

tahu?"

"Kira-kira begitu. Dia tidak berterus terang. Tapi

pernah dia minta Mama agar mengizinkannya kawin lagi.

Untuk mengambil istri kedua harus ada persetujuan dari

istri pertama."

"Lantas Mama mengizinkan?"

"Tidak!"

Riri kaget oleh suara lantang ibunya.

"Kalau diizinkan keenakan dia dong," kata Merry lagi.

"Jadi Papa tidak minta cerai?"

"Tidak."

"Mama juga nggak?"

"Ngga."

"Kalau begitu nggak konsekuen dong. Lebih
lebih Papa. Kalau dia kelihatan begitu bahagia bersama

keluarga barunya kenapa dia tidak memeliharanya secara

104

utuh? Biar resmi gitu. Dan Mama juga. Buat apa hidup

kayak begini? Makan hati namanya," kata Riri dengan

bernafsu.

"Lebih baik begini daripada menjadi janda, Ri. Dan

Papa juga punya perhitungan sendiri. Ada masalah harta

misalnya. Atau tunjangan biaya. Atau lainnya lagi. Kau

tidak mengerti sih, Ri. Perkawinan dan perceraian itu

sesungguhnya perhitungan untung-rugi."

Riri memang tidak mengerti.

105

VI

ABI dijemput ibunya. Senang hatinya tak kepalang.

Akhirnya dia menghirup udara bebas. Satusatunya yang

menyedihkan perasaannya adalah perpisahannya dengan

Pak Agus.

"Bapak sudah seperti ayah bagi saya, Pak," kata Abi

saat akan berpisah.

"Siapa tahu suatu ketika kau akan memperoleh

seorang ayah sungguhan, Bi," kata Pak Agus dengan nada

bergurau.

Dan Abi memang menganggap kata-kata itu sebagai

gurawan belaka. Ia tak ingin memikirkannya. Baginya,

kemungkinan itu merupakan sesuatu yang abstrak.

Apalagi ada hal lain yang jauh lebih menggembirakan.

Sesuatu yang kongkret dan bisa dinikmati. Kebebasan.

Tapi setelah berada di samping ibunya kembali ia

merasakan ibunya agak lain. Entah disebabkan nalurinya

terlalu tajam atau dia cuma mengada-ada. Dandanan

ibunya memang tetap seronok, tak ubah penampilannya

dalam pertemuan mereka terakhir sebelumnya. Tapi ada

yang lain. Sepertinya ibunya lebih lincah. Tak jelas juga

bagaimana persisnya. Apakah kelincahan itu bisa disebut

juga sebagai kegenitan? Misalnya yang terdapat pada

1 06

E-Booh by syquqy_arr

lirikan mata, goyangan pinggul, dan bunyi tawa? Abi

merasa tidak enak. Dia tidak suka hal-hal itu terdapat pada

ibunya. Apalagi kalau hal-hal itu mengundang perhatian

lelaki. Memang di luar terdapat banyak perempuan genit

dan centil, termasuk mereka yang tak sadar akan usianya,

tapi hendaknya ibunya tidak seperti itu.

"Kau senang, Bi?"

"Tentu saja, Ma. Abi sangat ingin melihat rumah kita

yang baru."

"Kamarmu sudah Mama siapkan. Kau boleh mengatur

lagi sendiri sesuai seleramu. Mungkin mau ditempeli

poster bintang film," kata Tina tertawa.

Abi merasakan kegembiraan ibunya. Ketika ia melirik

terlihat olehnya pandang mata yang berbinar-binar.

Sesungguhnya begitu ataukah karena pengaruh make-up?

Tapi tawa ibunya banyak sekali. Wajahnya cerah seperti

keadaan cuaca saat itu. Abi tersentuh. Ibunya sangat

gembira karena kehadirannya. Dan itu membuat hal-hal

yang mengganggu tadi tak terasa lagi. Kegembiraannya

kembali sepenuhnya. Seharusnya dialah yang paling

gembira. Ada hidup baru di depan.
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bi Inem sudah memasak khusus buatmu, Bi."

"Wah..."

Abi tak bisa berkata-kata saking senangnya. Pandang
nya beradu sebentar dengan pandang ibunya. Rias

muka ibunya yang dianggapnya terlalu menor itu tidak

107

lagi mengganggu perasaan. Lama-lama juga jadi biasa,

pikirnya.

"Kita akan menjalani hidup baru, Bi."

"Ya, Ma."

"Ada banyak hal yang harus kita bicarakan nanti.

Orang hidup harus punya rencana, Bi."

"Ya, Ma."

Tina melirik. Tampaknya Abi jauh lebih tenang dan

patuh daripada dulu. Ada kedewasaan di wajah bocahnya.

Tak tampak lagi kenakalan dan keagresifannya di masa

lalu. Ya, yang dulu itu tentu lain. Dulu Abi kecil. Sekarang

besar. Sungguh-sungguh besar. Bila keburukan yang dulu

masih juga ada, maka akibatnya pasti akan berlebihan

sekali. Tina ngeri sebentar. Dia membayangkan hal
hal yang sudah lalu dalam diri Abi yang sekarang. Tapi

kengerian itu memang cuma sebentar. Ia yakin Abi sudah

berubah. Dan keyakinan itu meredakan kegelisahannya.

Segala sesuatu akan berakhir dengan baik. Toh ia merasa

tegang.

Sementara itu Abi teringat kepada Riri. Sudah keluar
kah dia? Lalu dikenangnya kembali percakapan mereka

dalam perjumpaan terakhir. Lantas teringat bahwa ibu

Riri dengan ibunya adalah kenalan baik.

"Mama tahu Riri, anaknya Tante Merry yang punya

salon kecantikan?" tanya Abi.

Tina keheranan.

"Emangnya kau kenal dia? Di mana

kenalnya?"

108

Abi menceritakan perkenalannya dengan Riri.

"Barangkali Mama tahu, apakah dia sudah keluar atau

belum?"

"Kayaknya sih sudah. Soalnya Mama melihatnya ber
sama ibunya waktu pesta..."

Tina berhenti bicara dengan mendadak. Hampir dia

kelepasan bicara dengan menyebutkan pesta pernikahan
nya dengan Johan. Dia sampai terkejut sendiri.

Tapi Abi tidak menyadari hal itu. Juga tidak heran

akan kalimat ibunya yang tidak selesai. Dia sudah terlalu

senang dengan informasi bahwa Riri sudah keluar. Jadi

mereka berdua sama-sama sudah bebas.

"Abi ingin bersahabat dengan dia, Ma."

"Sahabat?" Tina mengerutkan kening.

"Tahukah kau,

dia itu siapa?"

"Tahu. Dia bekas perek."

Tina tertegun. Terbayang kembali saat resepsi per
nikahannya tempo hari. Riri datang bersama Merry.

Mereka menyalaminya. Sama seperti para tamu

yang lain. Tapi khusus dalam diri Riri ada sesuatu

yang sukar dilupakannya. Gadis itu membangkitkan

antipatinya. Berbeda dengan tamu lain, dia tidak

tersenyum. Sebaliknya, wajahnya masam. Dan matanya

menampakkan kebencian. Aneh betul. Bahkan sesudah

dia bersama ibunya duduk tetap saja pandang seperti

itu yang diperlihatkannya. Tina sampai tak berani

109

memandang ke arah mereka. Ditenangkannya pikirannya

dengan menganggap gadis itu kurang waras. Anggapan

yang baginya sendiri terasa kurang masuk akal. Tapi dia

toh perlu ketenteraman di hari besarnya itu.

"Oh. Jadi dia berterus terang padamu? Nggak malu,

"

ya.

"Abi menghargai kejujurannya. Dan Abi pun tidak

malu mengakui apa sebab Abi masuk ke tempat itu."

Kembali Tina tertegun. Ia tak ingin mengingat

kembali.

"Mestinya jangan..."

"Nggak apa-apa, Ma. Tapi yang penting kami merasa

cocok. Kami ingin bersahabat. Jangan salah paham, Ma."

"Dia gadis yang binal, Bi. Ibunya juga begitu."

"Abi sendiri apa, Ma?"

Tina terdiam.

"Mama cuma khawatir dia akan menularkan

kebinalannya itu kepadamu. Cewek semacam itu kan

pintar merayu, Bi. Kau harus hati-hati."

"Dia sendiri tidak takut bergaul dengan seorang

pembunuh, Ma."

"Abi!" jerit Tina.

Abi terkejut lalu memperhatikan wajah ibunya.

Cuma sebentar. Cepat ia berpaling ke sisi yang lain.

Kegembiraannya terasa berkurang.

"Jangan ngomong seperti itu lagi, Bi!"

110

"Nggak, Ma. Maaf."

Diam sebentar. Suasana hening yang tak me
nyenangkan.

Tina yang mulai dulu bicara.

"Jadi si Riri itu bercerita

padamu tentang pertemuannya denganku sewaktu akan

mengunjungimu tempo hari?"

"Ya. Karena itulah Abi jadi tahu bahwa Mama

mengenalnya. Juga ibunya."

"Apa lagi yang ia ceritakan tentang Mama?" tanya

Tina curiga.

"Apa lagi, ya? Rasanya cuma itu."

Mungkin memang cuma itu, pikir Tina. Buktinya

Abi memang tidak tahu tentang pernikahannya. Saat ia

bertemu dengan Merry bersama Riri, ia tidak bercerita

tentang rencana pernikahan itu. Tapi ia hampir pasti

bahwa Merry sudah punya dugaan. Ia tahu betul, salon

milik Merry adalah sarang kasak-kusuk para ibu. Di

sanalah sumber beredarnya berbagai info tentang skandal

dan gosip dari sesama mereka sendiri.

Tina membayangkan lagi pandang benci Riri

kepadanya.

"Mama nggak ngerti apanya sih yang menarik dari

Riri bagimu, Bi?" ia bertanya.

"Dia jujur dan bercerita apa adanya."

"Mana mungkin kau bisa tahu dia jujur kalau belum

mengenal yang sebenarnya?"

111

"Dia tidak segan menceritakan yang jelek tentang

dirinya. Biasanya orang kan suka menyembunyikan yang

jelek dan menonjolkan yang bagus."

"Tapi sikap seperti itu juga nggak baik."

"Menurut Mama, orang harus bisa menyimpan

rahasia?"

Mendadak Abi merasakan bahwa omongannya itu

tidak patut diucapkan. Wajah ibunya menjadi merah.

Dia pura-pura tidak melihat.

Semakin mendekati tujuan Tina merasa semakin

tegang. Johan memang tak ada di rumah pada saat

itu. Sengaja. Tapi justru pada saat itulah dia harus

memberitahukan. Jangan sampai keduluan orang lain,

begitu pesan Johan kepadanya. Dan dia selalu menghargai

dan mematuhi apa kata Johan.

Jadi sejak kemarin-kemarin dia sudah memikirkan

bagaimana cara yang paling baik untuk melakukan

pendekatan kepada Abi. Cara ngomongnya bagaimana

dan kata-katanya apa saja. Tapi dia merasa kesulitan.

Sesungguhnya, saat yang tepat itu kapan?

Saat itu pun dia kembali berpikir. Tiba-tiba dia

menemukan sesuatu. Sebelum diberi kejutan Abi harus

disenangkan hatinya dulu. Dia akan memberi imbalan

walaupun terasa kurang berkenan di hatinya.

"Bi, kalau kau mau bersahabat sama si Riri Mama

nggak keberatan kok. Bersahabatlah yang baik. Kau kan

sudah dewasa. Jadi, pikiranmu mestinya lebih panjang."

112

"Terima kasih, Ma."

"Kapan-kapan kau juga boleh mengajaknya main ke

rumah."

"Ya. Terima kasih, Ma," kata Abi senang.

Tina melirik. Kegembiraan yang terlihat di wajah Abi

membuat dia kurang senang.

***

Cukup lama Abi berdiri memandangi.

"Gimana? Bagus nggak?" tanya Tina.

"Ada lotengnya, Ma?"

"Ya. Semua kamar tidur di atas. Kamarmu menghadap

ke jalan. Itu jendelanya," Tina menunjuk.

Abi tak memberi komentar. Dia masih saja me
mandang seakan belum puas. Tina merasa tidak enak.

Apakah Abi teringat akan masa lalu seperti dia sendiri

juga? Ia segera menarik tangan Abi.

Di depan tangga kembali Abi tertegun.

"Tangganya tinggi, Ma," katanya.

"Nanti Mama ganti. Maksud Mama memang mau

mengganti, tapi belum sempat," ia berbohong. Bukankah

keinginan semacam itu sudah dibatalkannya sendiri? Ia

tak menyangka bahwa Abi akan berpikir seperti itu pula.

la menyesali dirinya sendiri. Seharusnya ia menggantinya

sebelum Abi pulang.

113

Sesaat Abi menatap ibunya. Mendadak Tina merasa

tubuhnya dingin. Sungguh tidak enak. Apa sesungguhnya
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ada dalam benak Abi?

"Nggak apa-apa deh, Ma. Biar saja. Nggak usah

diganti. Nanti jadi repot."

"Ah, masa iya repot. Besok Mama bisa panggil

tukang."

"Sudahlah, Ma. Nggak usah diganti aja. Biarlah

begitu. Kan nggak apa-apa."

Suara Abi kedengaran jengkel. Sepertinya ia

menganggap itu masalah sepele yang dibesatbesarkan.

Tina tak mengerti. Lantas apa sebenarnya yang dipikir

Abi saat memandangi tangga itu? Tapi ia tak berani

menanyakan.

"Mama kira kau tidak suka..."

Belum selesai ucapan Tina karena Abi sudah men
dahului naik ke atas. Tina memandang sebentar lalu

pelan-pelan ia menyusul.

Di loteng Abi memandang dulu berkeliling sebelum

memastikan yang mana kamarnya. Lalu ia menuju ke

sana. Begitu membuka pintu ia segera melihat foto dirinya

di dinding. Ia mengerutkan kening tanda tak suka.

Setelah meletakkan tasnya di atas meja ia ke jendela.

Daun jendela terpentang lebar. Bagian tengahnya

betterali besi dengan motif bunga. Ia berdiri di situ

merasakan hembusan angin. Matanya terpejam sebentar.

114

Kebahagiaan serasa mengisi seluruh sel tubuhnya.

Akhirnya aku berada di rumah sendiri. Bebas dan

merdeka, pikirnya gembira.

Dari jendela ia bisa melihat ke jalan di bawahnya.

Siapa yang berdiri di sana bisa dikenalinya dengan jelas. Ia

membayangkan Riri ada di situ. Riri sedang melambaikan

tangan. Ah, kapan itu bisa terjadi.

Di ambang pintu yang terbuka berdiri Tina.

"Kau suka, Bi?"

"Ya, Ma. Kamarnya menyenangkan. Abi berterima

kasih diberi kamar yang ini."

"Kamar lain juga berjendela tapi menghadap ke arah

lain."

"Tapi Abi suka yang ini."

"Syukurlah. Kau belum mau turun? Membereskan

barang kan bisa belakangan. Kau belum melihat bagian

lain dari rumah ini."

"Sebentar, Ma. Abi masih betah di sini."

Tina tersenyum.

"Jadi pilihan Mama tidak mengecewakan, bukan?"

"Nggak. Mama pinter," kata Abi sambil berharap ibu
nya cepat meninggalkannya. Ia ingin sendiri. Ada yang

ingin direnungkannya.

"Belum lapar, Bi?"

"Belum, Ma."

"Baiklah kalau begitu. Mama turun dulu."

115

Tina pergi. Abi menarik napas lega. Akhirnya.

Ia berjalan mengitari ruang kamarnya. Sesaat di
pandanginya foto-fotonya.

"Huh, jeleknya," ia meng
geram pelan. Foto-foto itu mengingatkan ia akan masa

lalu. Masa yang sama sekali tidak menyenangkan. Tapi

ia belum ingin menurunkan foto-foto itu. Tidak di hari

pertama. Ia toh harus menghargai niat baik ibunya.

Beberapa saat kemudian ia merasa bosan. Lalu me
mutuskan untuk turun.

Berjejer dengan kamarnya terdapat dua kamar lain.

Ia yakin kamar di sebelahnya pasti milik ibunya. Iseng
iseng ia membukanya. Ternyata kosong. Jendelanya rapat

tertutup. Jelas tak direncanakan untuk ditempati. la

menutup pintunya kembali tanpa melangkah masuk ke

dalamnya.

Abi tertegun sebentar. Kenapa ibunya tak ingin ber
dekatan dengannya? Segera rasa heran itu dibuangnya.

Tentu ibunya merasa lebih senang di kamar yang satunya

lagi karena letaknya dianggap sesuai. Sama seperti

dirinya sendiri yang bila disuruh memilih pasti tak

mau mengambil yang di tengah itu. Ibunya sudah bisa

menduga bahwa ia akan cocok dengan kamarnya yang

sekarang.

Beberapa langkah dari kamar ibunya terletak tangga.

Sebelum turun ia menoleh, memandang ke arah pintu

kamar. Tentu tak ada salahnya membuka pintu itu dan

melongok ke dalam. Ia toh cuma ingin melihat-lihat.

116

Mula-mula ia mengetuk pelan kalau-kalau ibunya

berada di dalam. Setelah menunggu sebentar tanpa

mendengar jawaban ia membukanya lalu masuk. Itu

memang kamar ibunya. Tapi ia segera berdiri mematung

dengan kejutan di wajahnya setelah pandangnya ber
keliling.

Ranjangnya merupakan double bed dengan bantal

guling serba dua buah. Sedang di kapstok tergantung

piama lelaki dan kemeja lelaki. Dan yang pasti itu

bukanlah miliknya. Ada laki-laki lain....

Setelah kejutan mereda timbul kegeraman dan

kesedihan. Dia mundur dan membuka pintu dengan

satu keinginan, yaitu keluar secepat mungkin. Kamar itu

membuatnya muak.

Abi berhadapan dengan Tina.

"Kau sudah tahu, Bi?" tanya Tina cemas.

Abi diam. Di matanya ada nyala api.

"Mestinya Mama memberi tahu kamu dari dulu
dulu. Tapi Mama khawatir kau akan menentang. Ya,

Mama sudah menikah kira-kira sebulan yang lalu. Maaf,

Bi. Mama terlambat memberitahumu."

Abi belum juga berbicara. Cuma matanya saja

mencerminkan perasaan hatinya.

"Kau tidak keberatan, bukan? Mama yakin, kau pasti

cocok dengan dia. Seorang ayah untukmu, Bi. Kau perlu

ayah, bukan?"

117

"Tidak! Saya tidak perlu ayah! Saya tidak ingin punya

ayah!" seru Abi lantang.

"Tenang dulu, Bi. Tenang. Dia tidak akan seperti

ayahmu yang dulu. Pasti, Bi. Dia sudah berjanji akan

menyayangimu. Kita akan jadi keluarga yang kompak.

Percayalah, Bi."

"Tidaaaak!"

Abi menggebrak meja di sebelahnya. Keras bunyinya.

Tina mundur selangkah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Bi. Mama mohon

Kau belum mengenalnya dengan baik, bukan?"

"Siapa dia?"

"Kau sudah tahu tapi belum kenal. Oom Johan."

"Oh, dia? Tapi kenapa dia?"

"Dia baik, Bi. Kalau dia nggak baik masa Mama mau."

"Kenapa Mama harus kawin? Bukankah sudah ada

Abi?"

Tiba-tiba Tina merasa kurang senang. Hak apa yang

dimiliki anak ini hingga mau memonopolinya?

"Dia dan kau kan lain, Bi. Jelas lain. Mama men
cintainya, tahu?"

Terasa sendiri oleh Tina bahwa nada bicaranya agak

kasar. Tapi sudah telanjur.

Muka Abi memerah. Kedua tangannya dikepalkan.

Dia seperti gunung api yang mau meledak.

"Kalau begitu Mama tidak mencintai Abi?"

Susah-payah Tina berusaha menyabarkan suaranya.

118

Dia sadar tak boleh menghadapi Abi dengan emosi juga.

Tapi sulit karena dia sendiri pun tengah emosi. Bagaimana

mungkin anak ini punya anggapan seperti itu hingga dia

tak boleh mencintai orang lain selain dirinya sendiri?

"Mama tetap mencintai Abi. Tapi Mama juga

mencintai dia. Itu lain, Bi. Abi adalah anak. Sedang dia

suami. Jangan samakan."

"Mama sudah mengkhianati Abi!"

"Apa? Kau tidak punya hak melarang. Mau kawin lagi

atau tidak itu sepenuhnya hak Mama! Siapa sih kamu

ini? Seharusnya kau berterima kasih karena telah kuambil

sebagai anak, kuurus, dan kupelihara, kuberi hak sebagai

anak kandung. Padahal kau sudah menyusahkan,

menyiksaku lahir batin. Tahu? Ingat? Sekarang begini

balasanmu?"

Nah, sudah keluar semuanya. Tak bisa lagi ditarik

kembali. Kemarahan sudah menguasai Tina hingga dia

tidak peduli lagi apa yang keluar dari mulutnya.

Wajah Abi sudah merah padam. Ekspresinya seperti

orang kesakitan.

"Lantas buat apa pengorbanan Abi masuk penjara?

Bukan Abi yang membunuh Papa! Bukan Abi yang

merusak meja tulisnya! Bukan Abi! Bukaaaan!" teriaknya.

Lalu dia terisak sambil berlari ke kamarnya sendiri.

Di sana Abi mengunci pintunya. Ketika, berbalik ia

melihat foto-foto di dinding. Dengan beringas ia menarik

119

lalu membantingnya satu-satu ke lantai sampai hancur

semua.

Tina ditinggalkan dengan mulut ternganga. Ketika

terkatup lagi ia menggagap,

"Apa... katamu... tadi, Bi?"

Suaranya pelan dan patau. Tapi Abi sudah tak ada lagi di

depannya.

Tina tidak mengejar. Ia berdiri saja hampir tak

bergerak. Wajahnya memucat di balik pulasan make-up.

Mau tak mau ia terkenang kembali ke masa lalu. Ia tak

ingin tapi serasa dipaksa.

Ketika itu ruang kerja Karim kacau-balau. Meja
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tulisnya porak-poranda. Hancur berantakan. Dan Abi

dituduh jadi penyebab. Karim mengayunkan tongkat,

menghajar Abi habis-habisan. Tapi Abi tidak menyangkal

tuduhan itu. Tina sendiri memang tidak melihat

kejadiannya dari awal. Tapi ada saksi yang melihat dan

mendengar, Bi lnem, yang kemudian menceritakannya

kepada Tina. Ya, Abi tidak menyangkal.

Kemudian peristiwa fatal itu. Karim mati. Dan Abi

mengaku secara spontan. Ah, sosok yang bagaimanakah

sebenarnya Abi itu? Tina tak bisa menemukan jawaban.

Tapi dia memang tidak memerlukannya.

Di bawah tangga Bi Inem berdiri dengan badan

gemetar. Oh Tuhan, neraka akan mulai lagi!

Sementara itu di depan pintu juga berdiri sosok yang

lain. Johan yang ragu-ragu maju-mundur tak berani

120

masuk. Suara-suara keras mengingatkannya bagaikan

tanda bahaya. Maka dia hanya berdiri saja menunggu.

Diam dan mendengarkan.

***

Tina mengetuk pintu kamar Abi.

Tak lama kemudian Abi membukanya. Mereka ber
hadapan.

"Bi, maafkan Mama. Mama salah. Tadi Mama emosi.

Ya, Mama sudah salah dari permulaan. Mestinya Mama

bilang jauh-jauh hari."

"Abi juga minta maaf. Abi memang tidak punya hak

untuk melarang."

Kata-kata itu diucapkan dengan dingin. Tina kecewa.

Dia pun sudah mengulurkan tangan ingin memeluk Abi,

tapi Abi cuma menyalami.

"Yuk, kita makan?"

Abi menurut. Perutnya memang sudah lapar. Betapa
pun sedih dan jengkelnya, perut tetap harus diisi.

Lalu ia berhadapan dengan Johan. Keduanya saling

menatap dengan canggung. Sadar bahwa mereka se
sungguhnya tidak saling menyukai. Setidaknya pada saat

itu.

Johan mengulurkan tangannya lebih dulu.

"Apa kabar,

Bi?" katanya.

121

"Baik, Oom."

Itu saja. Lalu mereka makan bersama. Percakapan

yang terjadi terasa dipaksakan. Diada-adakan.

Selesai makan Abi berdiri.

"Abi mau beresin barang

dulu," katanya, tak jelas kepada siapa. Lalu tanpa me
nunggu jawaban ia pergi.

Mereka yang tertinggal saling berpandangan.

"Belum apa-apa dia sudah tidak suka padaku," gerutu

Johan.

"Sabarlah. Ini kan baru permulaan."

"Aku jadi tidak yakin lagi. Lihat matanya? Dia me
mandangku dengan benci."

"Sabar sajalah. Kita kan sudah menduga bahwa hal

semacam ini bisa terjadi."

"Ya. Tapi aku takut melihat matanya. Aku juga takut

melihat badannya. Kalah aku..."

"Ah, emangnya kau mau berantem sama dia?" kata

Tina jengkel.

"Aku punya firasat..."

"Sudahlah. Kau kan belum berusaha."

"Bagaimana aku bisa berusaha kalau aku takut."

"Kau tidak perlu takut!" seru Tina kesal.

Johan terkejut.

"Oh maaf, Tin. Kau sayang padanya,

bukan?"

Tina memandang tajam.

"Kau iri? Ah, kalian berdua

kok sama saja sih. Saling mengiri," keluhnya.

122

Johan tak memberi komentar. Dan itu membuatTina

merasa gundah. Dia serasa berada di tengah, diperebutkan

oleh dua orang yang tak ingin saling membagi.

Tina mengawasi Johan diam-diam, mencoba me
nemukan jawaban dari kata-katanya tadi. Tapi Johan

terus saja makan dengan asyik. Makannya lama, sedikit
sedikit dan kelihatan sungguh-sungguh menikmati.

Makan buru-buru itu tidak sehat, begitu prinsipnya. Dan

dari sikapnya yang demikian itu Tina sukar memperoleh

apa yang diinginkannya. Bahkan dia jadi ragu apakah

Johan mendengar omongannya atau tidak.

Wajah Johan cukup tampan dan kelihatan jauh lebih

muda daripada usianya yang tigapuluhan. Sekilas dia

lebih mirip seorang mahasiswa yang masih belum serius

menghadapi masalah kehidupan. Hal itulah yang kadang
kadang membuat Tina merasa kurang nyaman. Memiliki

pacar anak muda tentu berbeda daripada memiliki suami

anak muda. Fungsi dan arti keduanya saja sudah lain.

Ada rasa iri melihat kemudaan Johan. Sesuatu yang tak

dimilikinya lagi. Dan itu pun membuatnya semakin takut

memeriksa wajahnya di cermin. Sudah bertambahkah

kerut-kerut di situ? Tapi pada saat lain segala kerisawan itu

akan sirna manakala Johan membisikkan kata-kata cinta

kepadanya. Pada saat itulah ia merasakan kebanggaan

tiada tara. Dan juga kebahagiaan.

"Apa sih yang dimaksud Abi dengan katakatanya yang

paling belakang itu?" tanya Johan kemudian.

123

"Yang mana?"

"Itu waktu kalian bertengkar di atas." Tina diam

sebentar.

"Kau mendengarnya juga? Coba katakan yang mana."

"Dia bilang, bukan dia yang membunuh bapaknya.

Bukan dia yang merusak meja tulis."

"Oh itu. Aku juga tidak tahu. Dia... dia aneh sekali.

Tapi aku tidak berani menanyakan."

"Kenapa tidak berani?" desak Johan.

"Aku... aku takut," jawab Tina sambil menunduk.

Tiba-tiba Johan tertawa.

"Nah, kau sendiri juga takut,

bukan?" katanya geli.

Tina mengangkat muka. Dia kurang senang.

"Tidak

patut kau bilang begitu."

"Iya deh. Maaf. Tapi menurut aku, kalau kau memang

merasa dia aneh suruh dia ke dokter dong. Eh, ahli jiwa

maksudku. Periksa ininya," kata Johan sambil menunjuk

dahinya.

Tina termangu.

Johan memandang khawatir.

"Jangan marah lho, Tin.

Itu cuma sekadar saran."

"Aku tidak marah. Saranmu baik. Mungkin sebaiknya

kusuruh dia ke Dokter Waluyo. Tapi, bagaimana kalau

dia tidak mau?

"Dia pasti mau. Dia patuh padamu."

"Apa iya?"

124

"Logikanya begitu. Sekarang ada aku yang dianggapnya

sebagai saingan. Tentu dia akan berbaik-baik supaya kau

tetap sayang padanya," kata Johan sambil terus makan.

Tapi setelah lama tak mendengar komentar dari Tina ia

mengangkat mukanya. Ia melihat Tina tengah termangu.

Pandangnya entah ke mana. Johan tidak mengerti. Tiba
tiba selera makannya lenyap.

Setelah makan Johan pergi lagi. Dia masih harus

meneruskan pekerjaannya. Hari itu Tina memutuskan

tidak pergi ke toko karena akan menemani Abi di rumah.

Setelah lama menunggu Abi tidak juga turun dari

loteng Tina naik untuk mencarinya. Mungkin ia tertidur

kecapekan, pikirnya. Karena itu ia mengetuk pelan-pelan.

Segera terdengar jawaban.

"Masuk, Ma."

Tina membuka pintu dan dinding yang kosong segera

tertatap olehnya. Dia tahu tapi tak ingin menanyakan.

Kamar itu sudah bersih dari bekasbekas amukan.

Abi masih belum selesai dengan kerjanya membereskan

barang-barangnya. Dia berlama-lama karena sebentar
sebentar ada saja barangnya yang diamat-amati lebih

dulu sebelum dimasukkan lemari. Sebagian barang itu

merupakan barang bawaannya dari LPAN, sebagian lagi

barangnya yang dulu ia tinggalkan. Sebagian barang itu

membangkitkan kenangan lama. Dan ia menikmati saat
saat itu.

125

"Perlu bantuan, Bi?" tanya Tina.

"Nggak, Ma. Hampir beres kok."

"Mau tidur?"

"Nggak biasa tidur siang, Ma," jawab Abi tanpa

mengalihkan mata dari pekerjaannya.

"Nggak ingin menelepon si Riri?"

Barulah Abi menoleh. Kejutan menyenangkan tam
pak di wajahnya.

"Oh, mau, Ma. Apa Mama punya nomornya?"

"Punya."

"Boleh ya, Ma?"

"Tentu saja boleh. Dia kan temanmu."

"Kalau begitu Abi beresin ini dulu," kata Abi

bersemangat. Lalu cepat-cepat ia meneruskan kerjanya.

Berbeda daripada tadi.

Tina memandangi sambil duduk di tempat tidur.

"Bi, kau suka ngomongin Mama kepada Riri?" ia

bertanya.
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Abi tertegun sebentar sebelum menjawab.

"Maksud

Mama?"

"Apa kau suka ngomong jelek tentang Mama?" Tina

memperbaiki pertanyaannya.

"Nggak, Ma. Abi cuma menceritakan bahwa Abi

seorang anak angkat yang dulu bengalnya luar biasa."

"Tapi kau bilang-bilang tentang..."

"Oh itu? Ya. Soalnya, tentu ada sebabnya kenapa Abi

126

sampai dimasukin ke situ. Abi cuma bilang bahwa Abi

adalah pembunuh ayah sendiri. Itu aja kok."

Tina tak bertanya lagi. Ia teringat bagaimana Riri

memandangnya dengan benci. Sesuatu yang tak bisa

dipahaminya sampai kemudian terpikir akan ke
mungkinan Abi mengatakan sesuatu tentang dirinya

kepada Riri.

Abi bahkan bersikap seakan ibunya tak ada di situ.

Sesekali dia bersiul. Kentara kegembiraannya muncul

kembali. Dan dia seperti melupakan kemarahannya

barusan, pikir Tina.

Tak berapa lama kemudian Abi sudah terlibat

pembicaraan dengan Riri. Kegembiraan tampak jelas di

wajahnya. Sesekali dia tertawa riang. Bicaranya segan di
akhiri.

Tina memperhatikan diam-diam. Lalu dia merasa

pedih.

127

VII

RIRI harus berjuang dulu sebelum mendapat izin bergaul

dengan Abi. Ibunya terkejut ketika mengetahui siapa

anak muda yang mau diakrabi putrinya.

"Tapi dia sudah sadar, Ma."

"Mama dengar dan baca suatu teori yang mengatakan

bahwa seseorang yang sudah pernah membunuh cen
derung untuk mengulangi perbuatannya," kata Merry.

"Ah, Mama. Kalau namanya cuma teori itu berarti tak

selalu benar."

"Tak selalu itu berarti mungkin, bukan?"

"Orang baik-baik, kelihatan suci dan alim juga tahu
tahu bisa membunuh secara sadis. Itu gimana, Ma?

Menurut Riri, justru orang yang sadar itu lebih hati-hati.

Pernahkah Mama dengar ungkapan bahwa orang yang

pernah berdosa itu adalah orang yang dewasa?"

"Kamu pinter ngomong."

"Jadi, boleh ya, Ma?"

"Hem."

"Ah, Mama."

"Kok kamu malah memilih teman orang seperti itu

sih, Ri?"

"Lebih baik dia daripada orang yang pura-pura alim

128

tapi gombal. Di luar domba tapi di dalam serigala."

"Ri, Mama memang cerewet. Tapi ini kan untuk

kebaikanmu juga. Kecerewetan berarti perhatian. Coba

kalau Mama nggak peduli dan masa bodoh, kan artinya

nggak sayang. Memang betul katamu tadi. Orang yang

sudah pernah salah jalan akan hati-hati. Kayak Mama

juga begitu. Tapi kadang-kadang ada juga orang yang

nggak pernah belajar."

"Apa Riri orang yang kayak gitu, Ma? Kan Mama

udah lihat sendiri. Riri sudah berusaha."

"Ya ya, memang betul. Mama senang. Justru kamu

lebih bisa ngomong berisi daripada Mama. Kita sudah

sama-sama berusaha. Cuma Papa Ah, sudahlah. Yang

itu nggak usah diomongin. Tapi gimana ya, Ri. Mama

masih saja merasa ngeri. Takut kalau-kalau terulang."

Riri terharu. Satu hal yang paling mengesankan

untuknya adalah ibunya tak pernah mengungkitungkit

perbuatannya di masa lalu. Kata perek tak pernah

lagi disinggung ibunya. Sedang dia sendiri juga tak

menyinggung perbuatan ibunya dulu. Mereka sepakat

tanpa janji. Itulah yang terutama mengakrabkan mereka

berdua. Sesuatu yang seharusnya memang datang dari

dua belah pihak. Tentu ada yang kurang. Itu adalah tokoh

ayah dan suami. Keduanya sama merasakan kekurangan

itu. Tapi justru hal itu menambah keakraban.

"Riri yakin, dia anak yang baik, Ma. Kalau nggak baik

129

masa iya dia bisa mempengaruhi orang supaya jadi baik.

Betul nggak, Ma?"

"Emangnya dia mempengaruhi siapa?"

"Riri."

Merry memandang heran.

"Nggak ngerti ah," katanya

kemudian.

"Begini, Ma. Riri bisa berubah sampai jadi kayak gini

adalah karena dia. Dulu waktu Riri masih di LP dialah

yang kasih semangat supaya Riri cepat keluar. Kalau

mau cepat keluar berusahalah jadi baik, katanya. Dia

juga ternyata begitu. Buktinya dia diberi keringanan.

Dia juga pesan dan minta pada Riri. Jangan jadi perek

lagi, katanya. Tapi tentu aja Riri sendiri nggak semata
mata patuh. Emang Riri udah bosen kok. Cuma aja Riri

nggak tahu mau jadi apa. Habis semangat udah putus.

Dialah yang ngembaliin semangat Riri. Jadinya Riri

seneng punya teman kayak dia. Pokoknya dia itu nggak

kayak teman Riri yang lain deh. Belum pernah ketemu

yang kayak gitu. Tau kenapa. Anehnya lagi, Ma. Dia

bilang, semangatnya tumbuh karena Riri. Lucu kan tuh.

Kayaknya yang seperti ini udah diatur dari sononya deh.

Oleh Tuhan tentu aja. Coba Mama pikir," cerita Riri

panjang lebar, berusaha meyakinkan ibunya.

Merry memandang wajah putrinya yang memerah

karena semangatnya. Manis dan penuh harapan. Pe
nampilan yang murni. Sama sekali tak ada kesan bahwa

130

dia adalah seorang gadis yang telah matang sebelum

waktunya. Memang sayang. Sungguh sayang. Mata Merry

jadi berkaca-kaca. Bagaimana mungkin dia mematahkan

harapan dan optimisme yang begitu membara?

"Ya ya, baiklah, Ri. Mama senang kalau kau dapat

teman yang baik. Undang saja ke sini. Mama juga

kepingin kenalan. Eh, kenal sih sudah tentunya. Tapi

belum mendalam. Tentunya kurang pantas kalau cewek

mendatangi cowok, ya?"

Riri tersenyum. Ia memeluk ibunya.

"Ya. Nggak pantes memang, Ma. Tapi kata Abi ibunya

juga mengundang Riri datang ke sana kapan-kapan."

"Oh ya. Boleh saja. Tapi ngomong-ngomong, apa

kata Abi tentang ibunya yang kawin lagi?"

Riri tersenyum geli sekarang. Ibunya sudah kembali

mirip ibu-ibu yang lain, para langganan salon mereka.

"XX/ah, belum sampai ke sana, Ma. Habis di telepon

sih. Dan Tante Tina tentunya ikut pasang kuping."

"Nanti cerita ya, Ri."

"Ya. Pasti, Ma."

Tapi dalam hati Riri berkata lain. Bagaimanapun

sayangnya dia pada ibunya dia takkan mengobral cerita

tentang Abi. Apalagi kalau cerita itu memang akan

diobralkan, diedarkan ke sana ke sini oleh mulut usil para

ibu. Memang dia sudah maklum, gosip merupakan salah

satu daya tarik salon mereka. Apalagi kalau sumbernya

131

adalah si pemilik sendiri. Pada suatu ketika hal itu pernah

diakui sendiri oleh ibunya. Tapi tentang Abi? Oh, tidak.

***

Perjumpaan mereka berdua berlangsung mengesankan.

Agak malu-malu pada mulanya. Pertemuan kali ini

berbeda dibanding dulu. Rasanya lain. Dulu diawasi

dan dibatasi secara ketat. Sekarang tidak. Tapi kebebasan

ini juga membuat canggung. Bahkan Riri yang sudah

berpengalaman bergaul dengan lawan jenisnya merasa

kikuk. Rasanya dia sudah kembali menjad gadis yang

masih hijau.

Sore itu Merry membebaskan Riri dari kerja di salon.

Tapi dia sendiri pergi, sengaja memberi kebebasan.

Namun diam-diam ia berpesan pada Bi Marni agar

tidak meninggalkan kedua remaja itu berdua saja. Tak

perlu diawasi. Jauh-jauh saja. Tapi jangan ditinggal tidur.

Apalagi ditinggal keluar rumah.

Mereka bercerita banyak tentang masing-masing. Dan

topik utamanya adalah tentang tokoh ayah. Ayah masing
masing. Ada kesamaan dari pengalaman mereka. Kedua

ayah sama-sama sedang menjadi duri dalam daging.

Riri bercerita tentang pengalamannya mengejar

ayahnya.

"Dia nggak mau maafin aku. Benci sekali. Tapi aku

132

kepingin sekali dimaafin. Heran. Sebegitu dendamnyakah

dia padaku? Padahal yang mestinya dendam adalah aku.

Dia duluan yang suka nyeleweng. Lalu semua ikut
ikutan. Mama dan aku."

Abi mengangguk-angguk. Ia tak bisa memberi komen
tar tentang ayah Riri karena tak punya pengalaman

dengan ayahnya sendiri. Segalanya lain.

"Tapi kau hebat mau minta maaf," katanya kagum.

Riri tersipu tapi senang.

Lalu Abi bercerita tentang ketidaksukaannya pada

Johan.

"Biar diusahain kayak gimana juga tetap aja aku nggak

suka. Terasa betul bahwa dia cuma purapura untuk cari

muka sama Mama. Baik-baik dan manis-manis padaku

padahal dalam hati lain. Sebel bener. Masih mendingan
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

almarhum Papa. Dia nggak suka padaku terang-terangan."

"Apa kau nggak suka dia karena dia telah... telah

merebut cinta ibumu?"

Abi tertegun. Apa betul begitu?

"Rasanya sih nggak," sahutnya kemudian.

"Aku curiga

padanya."

Riri kaget.

"Kenapa?"

"Kenapa dia mau kawin sama Mama? Kan sudah jelas

Mama jauh lebih tua?"

"Lho, kata orang cinta itu nggak pandang usia."

"Omong kosong. Apa iya begitu? Oh ya, ada yang

lain. Aku benci karena Mama nggak ngomong apa-apa

133

sebelumnya. Tahu-tahu aku melihat ada baju lelaki di

kamarnya. Aku sudah kaget duluan. Bayangin. Masa aku

nggak dikasih tahu. Mereka pasti sekongkol."

"Kau marah waktu itu?"

"Ya. Aku marah sampai aku lupa. Bener-bener lupa.

Otakku rasanya pecah."

Riri memandang ngeri. Marah sampai otak pecah itu

bagaimana?

"Lantas?"

"Aku diam saja di kamar sampai otakku utuh lagi."

Itu saja yang diceritakan Abi. Riri harus puas dengan

jawaban itu. Abi tak berani menceritakan semuanya. Tentu

dia masih ingat kejadian itu. Apa yang dilakukannya. Apa

yang dikatakannya. Tapi dia tak boleh menceritakan. Dia

harus berhati-hati. Memang tidak menyenangkan. Tapi

harus.

"Jadi hubunganmu dengan ayahmu dingindingin

aja?"

"Ya. Eh, jangan sebut dia ayahku. Sebut aja OomJohan.

Bahkan Mama pernah menyuruhku agar memanggilnya

Papa. Bayangin. Menggelikan betul. Kan nggak pantes.

Aku acuh aja. Mama juga nggak berani maksa. Aku

nggak bisa menghargai dia, Ri. Kalau dia mau mendekat

aku jauh-jauh aja. Aku nggak ngerti kenapa Mama mau

kawin sama dia."

"Aku juga nggak ngerti," cetus Riri spontan.

134

Abi memandang heran.

"Emangnya kau kenal dia?"

Riri tertegun sebentar. Sesaat dia menyesali mulutnya

yang lancang. Tentu saja dia kenal Oom Johan. Tapi

dia tak ingin menceritakan. Terlalu memalukan untuk

diungkapkan. Dulu mungkin tidak apa-apa. Tapi

sekarang lain. Mengenangnya saja dia malu.

"Oh ya. Tentu saja aku pernah melihatnya waktu dia

bersanding dengan ibumu. Aku pergi ke pesta mereka

dengan Mama."

Abi mengangguk dengan perasaan sebal. Terbayang

kedua orang itu bersanding sementara dia... Cepat

ditekannya gejolak itu. Karena itu ia tak menyadari

bahwa jawaban Riri sebenarnya kurang tepat. Kalau Riri

cuma melihatnya sekali itu saja bagaimana mungkin dia

bisa menilai hingga ikut-ikutan tidak mengerti seperti

dirinya?

Riri juga sibuk dengan pikirannya sendiri. Sebelumnya

dia tidak tahu dengan siapa Tante Tina akan menikah

waktu itu. Ketika memasuki ruang pesta ia kaget melihat

Oom Johan, ya Johan yang itu, berada di samping Tante

Tina. Mau mundur tak mungkin lagi. Ia tak mungkin bisa

menjelaskannya pada ibunya. Jadi dengan was-was ia ikut

beriringan dengan orang-orang lain untuk menyalami

kedua mempelai. Tapi kemudian ia lega. Oom Johan

tidak kelihatan mengenalinya, malah memperhatikan

pun tidak.

135

Walaupun lega, toh ia merasa terpukul. Sedih

sekali. Untuk kesekian kalinya ia didera oleh masa lalu.

Dan kembali diingatkan bahwa apa yang dialaminya

sekarang sering kali tak bisa lepas dari apa yang pernah

diperbuatnya dulu.

"Aku mau minta pendapatmu, Ri," kataAbi kemudian.

Mata Riri membesar. Dia senang dimintai pendapat.

"Begini, Ri. Ibuku memintaku agar mau ke Dokter

Waluyo. Dia psikiater. Katanya, dulu dia pernah

ngobatin aku untuk kebengalanku. Sekarang aku disuruh

konsultasi aja. Mungkin aku punya problem, kata Mama.

Aku pikir-pikir, sebaiknya aku setuju apa nggak ya?"

"Apa menurutmu kamu punya problem?"

"Kayaknya sih problemku cuma sebel sama Oom

Johan itu."

"Nah, tentu yang itu pula yang dimaksud ibumu. Dia

ingin kau menerima Oom Johan dengan senang."

"Ya. Aku memang pernah mengatakan, buat apa

Mama kawin, kan ada aku. jadi Mama pikir aku ngelarang

dia kawin."

"Sesungguhnya apa bener begitu?"

"Nggak. Aku terlalu kaget sih waktu itu. Semuanya

begitu mendadak. Aku nggak siap. Lama-lama sih aku

menerima juga meskipun sama Oom Johan tetap sebel.

Nah, gimana menurut pendapatmu?"

Riri berpikir sebentar.

136

"Aku pikir, nggak ada salahnya kau setuju. Toh dokter

itu nggak bisa maksa kamu. Cuma konsultasi aja, kan?

Aku bilang, enak bisa tukar pikiran."

"Memangnya kamu pernah?"

"Ya. Aku pernah dibawa ibuku ke psikolog dulu.

Sayang psikolognya kurang simpatik. Cuma aku merasa

enak aja bisa ngomong mencurahkan semuanya sementara

dia serius mendengarkan. Selain diwawancara aku dites

macam-macam. Disuruh menjawab pertanyaan aneh
aneh. Disuruh ngegambar. Katanya untuk mengetahui

watak dan kepribadianku."

"Lantas hasilnya?" tanya Abi tertarik.

"Aku nggak dikasih tahu. Cuma sama Mama aja dia

bilang."

"Wah, nggak adil."

"Ya, memang. Tapi aku juga masa bodoh. Yang perlu

tahu itu kan ibuku."

"Jadi menurut pendapatmu, sebaiknya aku ke Dokter

saja?" tegas Abi.

"Ya. Apakah kau pergi dengan ibumu?"

"Tentu saja tidak. Emangnya aku anak kecil?"

"Kalau begitu, kapan-kapan aku boleh ikut? Eh,

maksudku bukan ikut nguping pembicaraanmu. Aku

tunggu di luar."

"Tentu saja boleh. Aku senang bisa sama-sama kau.

N anti aku kabarin."

137

Riri tertawa girang. Sambil mengobrol ia memutar

kaset lagu-lagu rock kegemarannya untuk diperdengarkan

kepada Abi. Kalau ada lagu yang asyik mereka diam,

duduk santai sambil berpandangan dengan wajah penuh

senyum. Mereka tak berusaha mendekat. Memang tak

ada keinginan untuk itu. Jadi ketika Bi Marni mengintip

dia boleh merasa lega.

Ketika Merry pulang mereka masih asyik ber
cengkerama.

Abi tersipu, merasa diingatkan. Dia sudah kelamaan

di situ.

"Nggak apa-apa. Yuk kita makan dulu," ajak Merry.

Selesai makan Merry mewawancarai Abi. Riri duduk

dengan tegang, mengkhawatirkan pertanyaan-pertanyaan

ibunya. Tapi ia bersyukur, ibunya tak mengajukan hal-hal

yang peka.

Setelah Abi pulang Riri mencium ibunya sebagai

tanda terima kasih.

"Mama baiiiik sekali."

Merry tertawa.

"Kalau ngobrolnya sebegitu lamanya

pastilah obrolan kalian luar biasa banyaknya. Nah,

katanya mau cerita."

"Cerita apa, Ma?" Riri pura-pura.

"Ala, pakai tanya lagi. Kan kamu udah janji lho.

Itu soal hubungan Abi dengan Johan. Ada konflik apa

nggak?" tanya Merry dengan bernafsu.

138

"Kata Abi sih nggak ada apa-apa. Biasa-biasa aja.

Mula-mula dia kaget. Habis nggak dikasih tahu sih. Tapi

lama kelamaan dia cuek saja. Nggak ada problem."

"Apa iya begitu?" tanya Merry kecewa.

"Kalau dia sendiri yang ngomong tentunya bener."

"Lantas kalian ngomongin apa saja sampai sebanyak

itu?"

"Kami cerita tentang pengalaman di LP dulu. Lalu

tentang masa depan. Itu yang paling banyak."

"Masa depan? Wah, bagus dong."

"Dia mau sekolah STM. Masuknya nanti, tahun

ajaran baru. Riri juga mau ah SMA aja ya, Ma? Dan di

waktu senggang Riri belajar di salon. Lama-lama seneng

juga dengerin ocehan ibuibu."

"Hus. Kalau yang begitu sih tak usah dipelajari," tegur

Merry. Tapi dia senang mendengar ucapan Riri.

"Ma, nanti boleh dong Abi sering-sering ke sini? Dan

sesekali mengajak Riri jalan-jalan?"

Merry segera mengiyakan.

***

"Benar nggak kataku? Dia patuh padamu," kata Johan

kepada Tina.

Ketika itu mereka dalam perjalanan menuju toko
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

milik Tina. Menjelang Lebaran kesibukan berdagang jadi

139

meningkat. Johan lebih banyak membantu Tina daripada

menekuni pekerjaannya sendiri. Itu juga atas permintaan

Tina yang merasa kewalahan mengurus sendiri.

"Patuh gimana?"

"Dia nurut saja disuruh ke dokter."

"Oh itu. Ya, Abi sudah tambah baik sekarang," kata

Tina senang. Dia senang bila dikatakan bahwa Abi patuh

padanya.

"Kausuruh dia pergi sendiri?" tanya Johan.

"Iya dong. Tapi sebelumnya aku sudah mengadakan

perjanjian dulu dengan Dokter Waluyo. Aku perlu bicara

dengannya sebelum dia ketemu Abi. Pokoknya aku mau

memintanya untuk menasihati Abi."

"Supaya apa?"

"Supaya dia mau menerimamu tentu saja."

Johan memandang Tina sebentar. Ada rasa kurang

percaya di wajahnya.

"Betul begitu?"

"Tentu saja betul. Habis kaupikir apa?"

"Ah, nggak. Kukira ada yang lain."

Kini Tina menatap curiga.

"Lainnya apa?" ia

mendesak.

"Sudahlah, nggak apa-apa," kata Johan tak enak.

"Kasih tahu saja. Aku nggak marah kok. Jangan

biarkan aku menduga yang bukan-bukan."

Nada suara Tina merupakan peringatan bagi Johan.

"Ah, aku cuma mengira-ngira saja, Tin. Aku kira, kau

menganggap Abi belum rela menerima perkawinanmu,

140

bukan semata-mata dengan aku. Kau takut sikap Abi

akan berubah karenanya. Padahal nggak perlu begitu,

kan? Biar saja. Dia kan sudah dewasa."

Wajah Tina berubah. Pandangnya tampak dingin.

Ketika Johan melirik dan melihatnya seperti itu ia buru
buru berpaling dan menyesali omongannya.

"Tentu saja kau ngomong begitu karena kau tidak

suka padanya." kata Tina dengan nada emosional.

"Hei, tadi kau janji nggak akan marah. Ingat?

Kaudesak aku untuk ngomong, tapi setelah kupatuhi

ternyata kau marah juga."

"Ya deh, nggak lagi."

"Tapi kau masih cemberut. Lihatlah ke kaca."

Tina tak ingin tapi matanya tertuju juga ke sana. Ia

kaget. Bila cemberut ia akan kelihatan tua. Make-up tak

bisa menutup. Betapa menjengkelkan harus mengubah

ekspresi bila rasa hati tak sesuai. Tapi ia tak ingin kelihatan

tua. Jadi ia tersenyum dengan perasaan sebal.

"Nah begitu baru cakep," puji Johan mengambil hati.

Tapi pujian itu bagi Tina terasa gombal. Menggelikan

rasanya bila dia yang sudah setua itu masih dipuji dan

disanjung seperti anak kecil. Sungguh tidak pas. Hampir

saja ia cemberut lagi kalau saja matanya tidak tertuju ke

kaca sialan itu. Kaca yang tak bisa diajak kompromi.

Johan melirik. Dalam hati ia membatin, tidak akan

membicarakan soal Abi lagi. Sebodo amat. Anak kandung

141

bukan. Anak angkat sendiri juga bukan. Yang jelas dia

tak mau makan hati karena anak itu. Kenapa harus cari

penyakit bila penyakit itu sebenarnya bisa dihindarkan?

Sebenarnya Tina masih ingin membicarakan Abi.

Sejak beberapa hari belakangan ini Abi selalu pergi di sore

hari dan kembali malam-malam. Bahkan sekali pulangnya

agak larut. Dia mengatakan dari rumah Riri. Tak punya

teman lain selain Riri. Dan setelah ia mengeceknya

sendiri kepada Meriy, ternyata Merry membenarkan.

Bahkan Merry juga tak keberatan.

"Dia anak yang baik, Tin," puji Merry.

"Kau nggak

usah mengkhawatirkan dia."

Tapi Tina tidak menyukai pujian itu. Dasar ibu dan

anak perek, ia memaki dalam hati. Apa yang mereka

lakukan terhadap Abi hingga anak itu bagai terpikat

dan berulang-ulang ngendon di sana tanpa bosan? la

membayangkan hal-hal yang seram, yang sesungguhnya

tak masuk akalnya sendiri. Tapi hal itu membuat ia

semakin geram. Toh ia tidak berani menegur Abi. Apalagi

melarangnya.

Pada saat itu ia justru sedang berusaha menarik

kembali Abi kepadanya dengan berbaik-baik dan

membuat hatinya senang. Nalurinya mengatakan bahwa

Abi menjadi lebih jauh dan kian jauh darinya setelah ia

mengawini Johan. Bila ia melarang Abi bergaul dengan

Riri, pasti hubungan mereka akan semakin renggang saja.

142

Padahal larangan itu belum tentu akan dipatuhi Abi.

la sadar, semestinya apa yang dilakukan Abi itu dapat

memberi keleluasaan lebih besar baginya bersama Johan.

Perhatian Abi dapat teralih, demikian pula keinginan

untuk memonopoli dirinya seperti persangkaannya dulu.

Tapi kenyataannya ia justru tak ingin begitu.

***

Malamnya, setelah menutup toko dan pulang ke

rumah, lagi-lagi Tina tidak menjumpai Abi di rumah.

"Abi ke rumah Riri," kata Bi Inem kepadanya.

"Ya," sahutnya seakan acuh saja. Tapi dalam hati ia

jengkel.

Di depan Johan ia menyembunyikan kejengkelan

itu. Ia tak ingin mendengar komentar yang dapat me
nambah kejengkelannya. Sedang Johan pun sengaja tak

memasalahkan Abi. Ia lebih suka Abi tak di rumah.

Walaupun mereka jarang bercakap-cakap dan masing
masing menjaga jarak, tapi kehadiran Abi lebih sering

membuat Johan kehilangan perasaan nyaman. Tubuh

besar Abi terlalu kentara untuk tidak terlihat. Juga

terlalu perkasa untuk tidak membangkitkan rasa kecil di

hatinya. Dengan tinggi lebih dari seratus delapan puluh

senti dan berat sekitar delapan puluh kilo Abi memang

jauh melebihi dirinya.

143

Sekali waktu mereka berpapasan di tangga. Johan mau

naik sedang Abi mau turun. Waktu itu keduanya berada

di anak tangga sebelah atas. Ternyata untuk bisa lewat

leluasa tanpa bersinggungan, Abi harus menyisih dulu

memberi jalan. Saat itulah tiba-tiba saja timbul kengerian

di hati Johan. Kalau Abi mau ia bisa melemparnya ke

bawah. Entah kenapa perasaan itu timbul begitu saja.

Ia merasa bagaikan seorang pengecut yang ketakutan

sebelum bertanding. Mungkin juga ia terlalu mengada
ada didorong oleh antipatinya kepada Abi. Ataukah

ia teringat akan kemalangan yang menimpa Karim di

tangga rumahnya?

Karena itu, saat tak ada Abi Johan memanfaatkan

keleluasaannya berada di rumah. Ia tak ingin buru-buru

naik ke loteng, karena di sana hanya ada kamar-kamar.

Jadi ia menikmati korannya di ruang duduk. Mumpung

Abi tak ada.

Tapi Tina naik ke atas, tidak masuk ke kamarnya sen
diri melainkan terus menuju kamar Abi. Ia yakin pintunya

tak dikunci. Memang benar. Ia bisa membukanya dengan

mudah. Lalu ia menyalakan lampu.

Baru sekali itu ia masuk kamar Abi saat penghuninya

tak ada. Padahal apa yang ingin dicarinya ia tidak tahu.

la cuma ingin melihat-lihat, ingin menemukan sesuatu,

ingin mencari kesimpulan. Tentang apa? Ia sendiri tidak

tahu pasti.

144

Begitu lampu menyala terang matanya langsung

bertatapan dengan poster besar di dinding. Mencolok dan

berwarna. Rambo yang gagah perkasa dengan matanya

yang tajam memukau sedang memandang kepadanya.

Rambo sudah menggantikan foto-foto Abi yang entah

dibuang ke mana karena tak pernah dimasalahkan lagi.

Jelas, Rambo lebih menarik untuk dipandangi. Tina

tersenyum sendiri. Ia juga suka akan keperkasaan Rambo.

Tapi ketika mendekat ke tempat tidur Abi senyumnya

lenyap. Di atas meja di sisi tempat tidur berdiri sebuah

foto ukuran besar dalam bingkai yang indah. Wajah

seorang gadis rupawan yang sedang tersenyum dengan

manisnya. Riri!

Tina terduduk di tepi tempat tidur karena lelah

berdiri. Dia tetap saja memandangi foto itu. Mata

Riri menatapnya dengan pandang yang kocak. Lama
lama tatapan itu seperti ejekan. Tina menggeram lalu

mengulurkan tangan. Tapi setelah mencengkeramnya

sebentar ia serasa luluh. Buruburu dilepaskannya lagi.

Ah, apa pula yang mau dilakukannya?

145

VIII

DOKTER WALUYO memandang anak muda di depan
nya dengan tatapan yang ramah. Pertumbuhan fisik yang

bagus, pikirnya.

"Apa kabar, Bi?"

"Baik, Dok. Tapi saya sebenarnya tidak punya problem,

eh, tidak merasa punya. Ibu saya yang menyuruh saya ke

sini," kata Abi malu-malu.

Dokter Waluyo mengenang pembicaraannya dengan

Tina dan permintaan Tina agar ia tidak memberi tahu

Abi perihal pembicaraan itu.

"Biasanya orang yang menyuruh ke dokter itu punya

tujuan baik. Demikian pula tentunya ibu Anda. Dan

kadang-kadang kita sendiri merasa tidak punya problem,
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi orang lain malah lebih tahu. Sebabnya kita selalu

berhubungan dengan orang-orang lain."

"Ya, Dok. Tapi saya punya perkiraan kenapa ibu saya

menyuruh saya ke sini. Itu mengenai perkawinannya."

Lalu Abi bercerita. Tapi di tengah ceritanya ia tertegun

sebentar. Ada yang ia lompati.

"Nah, itulah kisahnya, Dok. Tentu ibu saya mengira

saya masih membencinya karena dia kawin lagi. Memang

saya tidak suka pada suaminya, tapi saya tidak membenci

146

ibu saya. Mana mungkin saya membenci ibu saya,

Dok. Dia sudah melepas budi pada saya. Memang pada

mulanya saya jengkel karena saya merasa... ya kok saya

nggak dikasih tahu dulu sebelumnya. Untung saja saya

sudah punya teman, Dok." Lalu Abi tersipu.

"Oh, teman? Ceritakanlah tentang dia."

Abi tak malu-malu lagi bercerita. Tiba-tiba dia merasa

enak. Dia seperti berhadapan dengan Pak Agus. Seorang

ayah.

"Ceritakanlah pula tentang pengalaman Anda yang

lain di LP. Yang mengesankan tentunya."

Abi bercerita lagi. Yang menyakitkan dan menyedihkan.

Yang menyenangkan dan membahagiakan. Tanpa sadar,

yang paling banyak diceritakannya adalah mengenai Pak

Agus dan Riri. Matanya berbinar-binar ketika berbicara.

Dokter Waluyo mengangguk-angguk dengan segala

simpati terungkap di wajahnya. Memang dia dibayar

untuk mendengarkan. Tapi simpati lebih-lebih empati

tercurah dengan sendirinya.

"Bagaimana tentang masa yang lebih silam lagi,

Bi. Ambillah yang berkesan bagimu dan tak mudah

terlupakan. Memang ada beberapa yang sudah saya

ketahui, tapi tak ada salahnya diceritakan lagi untuk

menyegarkan ingatan saya."

Abi kembali bicara, tapi ternyata tak selancar semula.

Sampai akhirnya dia mogok.

147

"Saya tak bisa, Dok. Saya tak sanggup."

"Kenapa?"

"Berat rasanya. Menyedihkan sekali. Di dalam sini," ia

menunjuk dadanya.

"Seperti ada yang menekan jantung

saya. Saya merasakan sekali bagaimana detak-detak

jantung saya jadi kacau. Berat."

"Ya. Kita berhenti dulu. Saya ada usul. Bagaimana

kalau saya melanjutkan wawancara dengan hipnotis?

Dengan cara itu Anda akan menjawab pertanyaan tanpa

emosi."

Abi berpikir sebentar. Lalu ia mengangguk.

"Baik, Dok. Saya mau."

Abi naik ke atas dipan lalu merebahkan dirinya sesantai

mungkin. Kemudian Dokter Waluyo mengeluarkan

bandulan yang terikat rantai halus. Bandul itu ia goyang
goyangkan.

"Tataplah ini, Bi. Sementara saya menghitung. Bila

kau terlena kau hanya akan mendengar pertanyaan saya

saja. Jawablah dengan benar."

Pada hitungan ketujuh mata Abi mulai berat lalu

menutup. Otot-ototnya mengendur, pernapasannya

teratur, tak ubahnya orang tidur. Tapi ia bisa mendengar

suara Dokter Waluyo dengan jelas dan ia menjawab tanpa

beban. Bahkan ketika disuruh bercerita tentang peristiwa

khusus yang dialaminya ia pun bercerita dengan lancar.

Tak ada kegugupan, tak ada keberatan.

148

Tapi ketika cerita Abi sudah mengalir lancar, giliran

Dokter Waluyo tertegun dan terheran-heran. Dia sangat

takjub.

Setelah selesai Dokter Waluyo menjentikkan jari
jarinya.

"Bangunlah, Bi. Tak ada beban di hatimu karena telah

menjawab pertanyaan-pertanyaanku."

Abi memang tak merasakan beban. Tapi ketika ia

pulang dan merenungkan kembali pertemuannya dengan

Dokter Waluyo ia mulai berpikir. Satu hal diingatnya

dengan jelas. Ia sudah dihipnotis dan menjawab

pertanyaan dalam keadaan itu. Nah, dengan cara itu

tidak mungkinkah apa yang ingin disembunyikan jadi

terungkap? Padahal ia belum merasakan manfaat apa-apa

dari tindakan itu. Ia jadi waswas dan cemas.

Pada kunjungan berikutnya ia mengemukakan hal itu

dan menyatakan penyesalannya juga.

"Tak usah menyesal, Bi. Tak usah menyesal."

"Tapi Dokter sudah tahu. Dokter telah memancing

saya. Apa jadinya nanti?" Abi hampir panik.

"Ya. Saya sudah tahu. Tapi tidak akan terjadi apa-apa

seperti yang kaucemaskan. Rahasiamu adalah rahasiaku."

"Tapi..."

"Tenanglah. Saya seorang dokter, Bi. Ada sumpah

yang harus saya taati. Dan percayalah. Saya tidak ber
maksud memancing. Tujuannya bukan itu. Saya hanya

149

ingin membantu dengan cara yang sebaik dan seefektif

mungkin. Saya tidak tahu bahwa ada rahasia yang mau

kausimpan. Setiap orang bebas menolak kalau dia tidak

mau."

"Kalau saja saya tahu dari mulanya bahwa akan terjadi

begitu, pasti saya tidak mau," kata Abi jengkel.

"Sudahlah, Bi. Hal itu sudah terjadi. Saya ingin

membantu. Mungkin bertitik tolak dari hal itu saya bisa

berbuat sesuatu. Barangkali saya bisa menolongmu supaya

kau bisa lebih mampu menentukan sikap. Bagaimana,

Bi?" tanya Dokter Waluyo.

"Mau, Dok," jawab Abi pasrah. Mungkin dokter ini

benar walau ia sendiri belum yakin.

Lantas mereka berbincang-bincang tentang berbagai

hal. Dokter Waluyo menghabiskan sisa waktu dengan

mengajak Abi berdiskusi untuk memancing komentar

dan pendapat Abi.

"Dalam wawancara tempo hari, saat kau dihipnotis,

kau mengatakan bahwa beberapa di antara pengalaman

mengesankan yang pahit adalah ganja dan seks. Nah,

tidak keberatan membicarakannya lebih banyak?"

"Tidak, Dok," jawab Abi tanpa ragu-ragu.

"Yang itu

tidak seberapa berat dibanding yang satunya. Itu yang..."

Abi tak bisa meneruskan kata-katanya.

"Ya, ya. Saya mengerti. Tak usah kausebut. Baiklah

kita mulai tentang pengalamanmu dengan ganja. Kapan

kau mulai kenal benda itu?"

150

"Ketika keluyuran di terminal Bogor. Di situ saya

mulai mencoba. Waktu masih sekolah di SMP saya juga

sudah tahu tapi cuma melihat teman-teman saja. Belum

berani mencoba. Mereka mengajak tapi saya tidak mau."

"Kenapa tidak mau? Karena sudah tahu akibatnya?"

"Bukan karena itu, Dok. Bukan cuma saya saja yang

tahu akibatnya, tapi teman-teman juga. Kami sudah

diberi penerangan tentang bahaya narkotik di sekolah.

Tapi mereka acuh. Kayaknya semakin diperingatkan,

tantangannya jadi semakin besar. Sensasi, kata mereka.

Saya memang bergaul dengan mereka. Kami satu geng.

Tapi pada dasarnya saya tidak suka mereka, karena

merasa sering dimanfaatkan. Ya, badan saya yang gede

ini. Jadi saya tidak merasa menyatu. Tapi saya juga tidak

punya teman lain. Mereka membujuk saya supaya ikutan

fly, tapi caranya membujuk itu membuat saya marah.

Rupanya mereka anggap saya ini badannya saja yang

gede tapi otaknya kecil. Itu membuat saya semakin keras

hati tidak mau. Mereka tidak berani memaksa karena

kekuatan badan saya ini tentunya. Saya merasa terhina

jadi saya keluar. Akibatnya saya nggak punya teman. Saya

memang orang yang susah bergaul. Susah akrab sama

orang lain."

"Lantas di terminal Bogor?"

"Saya kabur dari rumah karena merasa terhina, Dok.

Saya dikatai anak bandit. Jadi biarlah jadi bandit sekalian.

151

Bukankah bandit itu kasar, suka minum, suka obat bius,

suka main perempuan, dan segala yang kasar-kasar? Jadi

saya ikut saja. Tapi nyatanya saya juga nggak merasa jadi

bandit. Saya tetap lain. Saya merasa diperlakukan seperti

anak kecil, dipermainkan, dan dijadikan badut. Ganja

cuma membantu membuat saya melupakan kesedihan.

Pada waktufly saya tidak sedih lagi. Tapi kalau lagi sadar

saya juga sedih kenapa saya begitu. Putus asa. Hidup

ini buat apa. Lebih baik hancur saja. Rusak saja. Tapi

nyatanya saya juga takut. Itu sebabnya saya cuma berhenti

di ganja. Nggak mau coba yang lain, yang lebih serem lagi

seperti obat bius, morfin, apalagi heroin. Saya sudah lihat

sih yang pakai itu. Kok begitu. Kok jadi hina dan seperti

budak. Diapain juga mau. Padahal saya kepingin hancur

tapi caranya nggak gitu. Saya kepingin hancur, kepingin

habis, tapi masih punya harga diri."

"Dengan seks juga begitu tentunya, cuma ikut-ikutan

saja."

"Betul, Dok. Kalau diingat lagi saya malu."

"Saya mengerti. Hidup ini banyak tantangannya,

bukan? Tapi tidak semua orang bisa mengalami.

Kemungkinan yang tidak mengalami itu malah merasa

kosong dan hijau. Seperti saya misalnya. Mendengar

ceritamu itu saya merasa iri. Masa kecil saya nggak ada

apa-apanya. Luruslurus saja. Bersih. Hampir nggak ada

tantangannya. Lain dengan kau. Saya jadi kepingin

152
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu juga. Tapi saya ngeri. Bagaimana kalau saya nggak

bisa keluar dari situ dengan selamat seperti kau?"

Abi tersipu.

"Tapi punya masa lalu itu kan nggak

enak, Dok. Dibawa-bawa terus. Orang lihat kita sekarang

selalu menghubungkan sama yang dulu."

"Ya. Memang betul. Tapi itu kan tantangan juga, Bi.

Menantang untuk diatasi. Merangsang otakmu untuk

berpikir mencari jalan keluar. Itu adalah dorongan untuk

menjadi kreatif."

Abi mengangguk dengan bersemangat. Dia menyukai

diskusi iru. Kesannya tak seperti digurui atau dikuliahi.

Sayang waktunya teramat singkat.

"Kau boleh datang kapan saja kau mau, Bi. Tapi

nggak usah bayar, lho. Asal kau beri kabar saja dulu, lewat

telepon misalnya, supaya saya bisa mengatur waktunya.

Soalnya saya juga belajar darimu."

Abi memandang heran. Ia tak percaya.

"Iya, benar kok," Dokter Waluyo menegaskan.

"Dalam dirimu saya melihat zaman yang sekarang ini.

Kalau tak saya ikuti, saya ketinggalan."

Abi menyalami Dokter Waluyo dengan haru. Dia

sudah menemukan Pak Agus yang kedua. Ah benar,

sesungguhnya dia tak memerlukan seorang ayah di rumah

bila dia bisa menemukan yang baik di luar rumah!

""Kapan-kapan ajaklah temanmu Riri itu. Saya ingin

kenalan," kata Dokter Waluyo.

153

"Sekarang juga ada, Dok. Dia menunggu di luar."

"Menunggu satu jam?"

"Dia bawa buku, Dok. Habis, dia mau sendiri kok."

Dokter Waluyo melihat arlojinya.

"Kenapa tak kawajak dia masuk sekarang? Sekalian

saja kita berkenalan."

Riri sangat gembira ketika disalami Dokter Waluyo.

Mereka berbincang santai sebentar. Dan ketika mereka

berdua melangkah keluar mereka merasa mendapat

tambahan seorang teman. Tapi tentu bukan sembarang

teman.

"Kau benar," kata Riri.

"Dia pantas jadi tokoh ayah.

Ayah kita berdua!"

***

Setelah waktu yang dijadwalkan Dokter Waluyo bagi

Abi dinyatakan sudah habis, maka ganti Tina-lah yang

datang. Dia ingin tahu hasilnya.

"Putra Anda tidak membenci Anda, Bu. Dia juga

bisa menerima perkawinan Anda. Sesungguhnya, kata
kata yang tercetus seakan dia melarang Anda kawin itu

disebabkan karena dia kaget melihat kenyataan adanya

laki-laki lain di rumah. Masalahnya, dia tidak diberi

tahu. Kalau diberi tahu dulu mungkin akan lain. Dia

pikir, Anda sudah mengkhianatinya karena sebelumnya

154

dia selalu membayangkan Anda sendirian dan kesepian

di rumah," Dokter Waluyo menjelaskan.

"Kalau memang dia sudah bisa menerima, kok saya

merasa dia semakin jauh saja. Dia tak akrab lagi. Tak

seperti dulu lagi. Dulu dia manja pada saya."

"Sekarang pun dia tetap sayang pada Anda."

"Oh, dia bilang begitu?"

"Ya."

"Tapi kok rasanya tak seperti dulu." Tina raguragu.

"Tentu saja. Dia sudah hampir dewasa, Bu. Sepatutnya

Anda juga memperlakukannya setara orang dewasa.

Apalagi dia sudah mempunyai teman wanita."

"Oh, dia cerita juga, Dok? Saya khawatir mereka

berdua "

"Lho, apa yang mesti dikhawatirkan? Itu sehat kok.

Justru kurang sehat kalau anak lelaki terlalu akrab dengan

ibunya. Bisa Oedipus Complex, lho."

"Bukan itu maksud saya, Dok. Tapi temannya itu

perek, eh bekas perek. Jadi pengalaman seksnya tentu

banyak dan liar. Saya takut dia menggoda Abi dan

membuatnya lupa daratan."

"Tapi Abi juga sudah punya pengalaman."

"Saya tahu. Tapi Abi kan lelaki, Dok. Itu lumrah saja."

Dokter Waluyo tersenyum. Ia tak ingin membantah

pendapat seperti itu. Bisa panjang.

"Saya sudah menasihati Abi, Bu. Dia serius meng
hadapi masa depannya. Itu baik sekali kan, Bu?"

155

"Bagaimana dengan temannya itu, Dok? Tidakkah

ada efek buruknya nanti? Bagaimanapun seriusnya dia,

kalau digoda terus runtuh juga."

"Maksud Ibu dengan runtuh itu apa?"

"Nanti bisa seperti dulu."

"Sebaiknya jangan berprasangka dulu, Bu. Saya lihat

dia cukup punya kendali diri. Dan temannya itu pun

tidak seperti dulu lagi. Dulu perek tapi sekarang tidak."

"Apakah Dokter sudah mengenalnya?" tanya Tina

curiga.

"Saya dikenalkan. Abi membawanya ke sini."

"Oh," keluh Tina kesal.

"Bagaimana pandangannya tentang suami saya, Dok?"

tanya Tina kemudian.

"Dia mengaku terus terang, bahwa dia tidak menyukai

suami Ibu. Soal itu bisa dimaklumi, Bu. Mungkin

membutuhkan waktu dan juga usaha dari suami Ibu

sendiri. Dia punya pengalaman pahit dengan almarhum

suami Ibu yang pertama."

"Apakah tidak menyukai itu bisa disamakan dengan

benci?"

"Saya kira tidak."

"Dia tidak mengatakan benci?"

"Tidak. Benci itu memang sesuatu yang ekstrem."

"Saya tidak mengerti. Padahal suami saya sudah

berusaha dan berbaik-baik. Tidakkah dokter me
156

nasihatinya agar mau menyukai suami saya? Setidaknya

agar dia mau berusaha juga."

Dokter Waluyo menggelengkan kepala.

"Wah, sulit

itu. Menasihari seseorang agar menyukai orang tertentu

jelas susah. Tapi saya sudah menganjurkan agar bersikap

positif. Itu saja."

"Dia tidak memerlukan psikoterapi?"

"Saya kira tidak. Tapi dia senang betul berdiskusi

dengan saya. Kiranya itu juga suatu terapi. Anak Ibu itu

kreatif lho. Terutama dalam memenuhi kebutuhannya

akan sesuatu yang tak ia miliki."

"Kreatif bagaimana, Dok? Saya tidak mengerti."

"Dia bisa mencari sendiri ayahnya. Dan dia mujur

bisa menemukan yang cocok dan sesuai. Kalau tidak,

kemungkinan Abi tak akan jadi seperti sekarang ini. Pada

diri ayahnya itulah ia bercermin, bagaimana dan ke mana

ia melangkah."

"Ayahnya? Siapa dia?" tanya Tina heran.

"Pak Agus dari LPAN itu. Tentu Abi sendiri tidak

mengatakan bahwa Pak Agus itu adalah ayahnya, tapi

dia menganggapnya sebagai ayahnya. Secara diam-diam

tanpa diketahui yang bersangkutan. Sudah saya katakan

dia memang beruntung karena berhasil menemukan

sosok ayah betulan dalam diri orang yang diakrabinya.

Ada orang yang tidak beruntung karena cuma bisa

menciptakan tokoh ayah dalam khayalannya saja. Ayah

khayalan bisa saja terlalu ideal hingga tak mungkin bisa

157

dijadikan panutan."

Tina termangu. Ia baru pernah mendengar yang

seperti itu. Ia tak bisa membayangkan seorang ayah

bagi Abi tanpa menyertakan dirinya juga. Ayah bagi Abi

mestinya adalah suami bagi dirinya. Ya, mestinya begitu.

Bukan orang lain yang dicomot begitu saja. Kemungkinan

seperti yang dikatakan Dokter Waluyo itu membuat dia

ingin marah.

"Saya sudah mencarikan ayah untuknya. Kenapa dia

harus mencari juga?" gerutunya.

Dokter Waluyo sadar, Tina memahaminya secara lain.

"Maksud saya, Bu "

"Ya ya, saya mengerti, Dok. Saya mengerti maksud

Anda," potong Tina buru-buru, tak ingin diberi

penjelasan lagi. Memang bukan itu yang ia butuhkan.

Kemudian dengan perasaan tak puas Tina pulang.

"Siapa sih yang sebenarnya punya problem? Ibunya

atau anaknya?" gerutu Dokter Waluyo sendirian.

***

Suatu siang Riri pulang ke rumah mengambilkan

barang ibunya yang kelupaan dibawa sementara ibunya

masih sibuk di salon. Ia berpapasan dengan ayahnya

dalam posisi berhadapan muka. Ayahnya keluar, dia

masuk.

158

Tak bisa lain mereka bertatapan. Keduanya diam.

Bibir Adam bergerak, bibir Riri begitu pula. Tapi sama
sama tak bersuara. Siapa yang bicara duluan? Tak ada.

Akhirnya Riri cuma mengangguk, menundukkan

mata dan muka ke bawah lalu menyisih untuk memberi

jalan. Tapi Adam masih berdiri. Riri berdebar. Toh ia tak

mau bicara duluan. Takut salah omong.

Adam memandang putrinya dari atas ke bawah.

Tatapannya kritis. Seperti menilai. Riri menyadari hal

itu. Ia tidak senang. Jadi ia meneruskan langkahnya tanpa

mengatakan apa-apa.
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, tunggu!" seru Adam.

Riri berhenti lalu berbalik tanpa memandang wajah

ayahnya.

"Kenapa tak menegur?" tanya Adam dengan suara

yang menyatakan kekesalannya.

"Takut."

"Emangnya aku setan?"

"Bukan."

"Kamu sudah lupa aku ini ayahmu?"

"Nggak."

"Lantas kenapa nggak menegur?"

"Takut."

Adam mendesis. Sudah terpikir untuk pergi saja

rneninggalkan anaknya yang bandel itu. Tapi nyatanya

dia masih saja di situ.

159

"Kenapa takut?"

"Takut nggak dianggap anak lagi. Soalnya, Papa sudah

punya yang lain!" cetus Riri berapiapi. Begitu mendadak

keberanian itu timbul. Dia bicara dengan kepala tengadah

dan tatapan langsung.

Adam melotot marah, tapi juga kaget. Pasti hasutan

Merry. Di mana-mana anak lebih mudah dihasut ibunya.

Dia gemas. Tapi sikap Riri yang tegar menantang itu

membuat dia terpukau. Anaknyakah ini?

"Sok tahu kamu ya! Ibumu yang bilang?"

"Riri lihat dengan mata kepala sendiri!"

Adam tertegun. Susah-payah dia berusaha mengen
dalikan emosinya.

"Mau apa kau lihat-lihat? Disuruh ibumu?"

"Nggak ada yang suruh. Riri sendiri yang mengejar

Papa."

"Mengejar?" Adam mengerutkan kening.

"Mau apa

kau mengejar aku?"

"Riri cuma mau minta maaf!"

Adam teringat lagi. Lalu bingung. Tak tahu lagi ia

bagaimana perasaannya sekarang. Tapi ketika melihat

sikap Riri yang bicara sambil menengadahkan kepala

dengan bibir mencuat ke depan kemarahannya muncul

lagi. lngin benar ia memuntir bibir yang mengejek itu.

"Kau mau minta maaf untuk perbuatanmu yang

jalang itu?" bentaknya. Dengan membentak ia merasa

wibawanya lebih besar.

160

Tapi ia heran, bentakan itu tidak membuat Riri

kelihatan takut. Sebaliknya, Riri malah tambah nekat.

Penyakitnya yang lama kambuh.

"Papa duluan!" serunya.

"Kurang ajar! Kau tidak berhak ngomong begitu!

Tahu?" bentak Adam dengan napas sesak.

"Dulu waktu Riri masih kecil, Papa baik. Sama

seperti kepada anak Papa yang baru itu. Tapi sesudah

Riri besar Papa nyeleweng. Papa mengkhianati Mama

dan Riri. Papa tinggalin kita untuk senang-senang sama

perempuan lain. Nanti, kalau anak Papa yang baru juga

besar apa akan dibegitukan pula oleh Papa? Mungkin

nggak, karena Papa sudah keburu tua!" Riri nyerocos

dengan berani. Kemarahan membuat ia nekat. Rasa takut

entah ke mana.

Habis sudah daya tahan Adam. Ia melompat lalu

mengayunkan tangannya. Plak! Mulut Riri kena tampar.

Begitu kerasnya hingga ia terhuyung ke belakang sampai

membentur dinding. Mulut dan hidungnya berdarah.

Ia merasa terlalu sakit hingga tak bisa mengaduh. Cuma

air matanya saja yang mengalir. Tapi walaupun begitu

matanya masih tetap menyala-nyala dengan garang.

Adam memandang sebentar, kaget oleh perbuatannya

sendiri. Dan kaget melihat tatapan Riri. Heran dan takjub

juga. Anaknyakah ini? Lalu dia berbalik dan melangkah

pergi.

161

Hari itu juga Adam dan Merry sepakat untuk bercerai.

Retak sudah terlalu banyak hingga tak bisa ditambal lagi.

Tapi tanda mata telah ditinggalkan Riri untuk ayahnya.

Ucapan Riri yang terakhir akan selalu kembali dalam

kenangannya manakala ia tengah menimang anaknya

yang lain.

162

IX

PADA suatu hari Minggu Merry bersama Riri dan Abi

berekreasi ke Taman Impian Jaya Ancol. Pertama kalinya

mereka berekreasi bertiga. Dan bagi masing-masing pun

sudah lama sekali tak melakukan hal itu.

Mereka menonton apa saja yang bisa ditonton.

Lumba-lumba, singa laut, pesut, dan sebagainya. Lalu

piknik di tengah taman, makan makanan yang dibawa

diseling obrolan apa saja asal bukan masalah yang peka.

Masing-masing sudah tahu apa saja yang sebaiknya

dibicarakan dan apa saja yang sebaiknya disimpan.

Mulut Riri masih agak membengkak bekas tamparan

ayahnya. Tapi yang penting baginya adalah ia bisa makan

dan ngomong tanpa menderita. Penampilan tak begitu

penting, karena nanti toh pulih lagi, begitu pendapatnya.

Kemudian mereka menyusuri pantai mencari tempat

lowong untuk parkir. Bila terlalu berjubel tentu tidak

menyenangkan. Setelah ketemu mereka menggelar

tikar di bawah pohon kelapa lalu berangin-angin sambil

memandangi laut lepas.

Suatu saat Abi terpaksa meninggalkan yang lain untuk

mencari kamar kecil. Agak jauh ia pergi.

"Senang juga ada Abi," kata Merry.

163

Riri tertawa. Sekarang ibunya sudah yakin akan Abi.

Ia bangga.

"Tapi Tina sudah lama sekali tidak nongol di salon.

Heran. Padahal paling tidak dua minggu sekali ia

pasti datang. Masa iya sesudah punya suami ia malah

melalaikan perawatan kecantikannya," kata Merry sambil

mengais-ngais pasir dengan tangannya.

"Biarin aja Ma. Mungkin dia sibuk cari duit," sahut

Riri acuh. Dia sendiri lebih suka tidak ketemu Tina.

"Mungkin aku perlu menelepon dia kapankapan.

Sekadar beramah-ramah."

"Ala, buat apa sih, Ma?"

"Eh, nggak boleh begitu, Ri. Dia kan langganan. Kita

harus ramah pada mereka biarpun dalam hati tidak suka.

Dalam bisnis orang harus munafik."

Riri diam saja.

Pada saat itu dua orang pria muda bercelana pendek

tanpa baju datang mendekat.

"Tante Merry!" seru salah seorang.

Merry menengok dan mengenali Herman. Ia me
ngomel dalam hati.

"Apa kabar?" tanya Herman.

"Baik," sahut Merry dingin.

Riri melotot. Ia tahu betul siapa Herman. Tapi Herman

tidak mau melihat kepadanya. Ia mendekati Merry. Lalu

duduk begitu saja di atas pasir karena tak ada tempat lagi

164

di atas tikar. Duduknya bersisian dengan Merry. Sedang

anak muda satunya lagi menegur Riri tanpa memperoleh

sahutan, hingga terpaksa ia berdiri saja dengan canggung.

"Ngapain sih kau?" tanya Merry ketus.

"Lagi makan angin."

"Pergilah cari tempat yang lain saja."

"Emangnya nggak boleh di sini, Tante?"

"Nggak!"

"Kok marah sih, Tante? Jangan gitu dong. Masa iya

sih Tante sudah melupakan saya?"

Merry memalingkan muka dengan rupa muak.

"Saya sudah lama ingin menghubungi Tante, tapi lupa

nomor teleponnya. Eh kebetulan amat ketemu di sini.

Saya sudah kangen...."

"Pergi!"

Bentakan menggelegar itu keluar dari mulut Riri.

"Lho, kok kamu yang ngusir sih? Galak bener...."

"Kami nggak suka kehadiran kalian. Jadi kalian boleh

minggat."

"Ibumu nggak ngomong begitu. Memangnya kau

juru bicara?"

"Pergilah," kata Merry dengan kesal. Tapi ia tidak bisa

membentak Herman atau bicara kasar. Hubungannya

dengan Herman di masa lalu merupakan kelemahannya.

Herman malah semakin berani. Ia memegang lengan

Merry. Tapi Merry menyentakkan tangannya.

165

"Hei, kalau nggak pergi entar gua teriakin," ancam

Riri.

Anak muda satunya memberi tanda kepada Herman

agar pergi, tapi Herman masih penasaran.

"Coba saja

kalau berani," tantangnya kepada Riri.

"Pergi!" seru Riri.

Abi datang berlari-lari. Setibanya di tempat itu ia

segera memasang kuda-kuda dan melontarkan pandang

galak bergantian kepada kedua anak muda itu.

"Tidak dengar disuruh pergi?" bentak Abi galak.

Sikap Abi itu membuat terpesona kedua wanita.

Mereka belum pernah melihat penampilan Abi yang

demikian.

Kedua anak muda juga memperhatikan Abi, mencoba

menilai kekuatannya. Badan Abi yang besar, gayanya

yang mirip ahli silat, semuanya kelihatan meyakinkan.
Sepasang Remaja Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Herman merasa keder tapi ia belum puas. Ia marah

karena diusir.

"Cek cek cek! jadi Tante sudah punya pengganti saya?

Pantesan sombong. Lebih muda dan lebih gedeee lagi.

Ah, masih kecil begitu kok. Kayaknya di bawah umur,

ya?" ejek Herman sambil bersiap lari.

"Sialan lu!" teriak Riri.

Sedang wajah Merry memerah dan memucat

bergantian. Dari mulutnya tak keluar suara. Ia marah tapi

tak berdaya.

166

Abi melompat untuk mengejar Herman yang lari

bersama kawannya. Kaki Abi yang lebih panjang mem
buat ia mampu menyusul. Sebelah kakinya mengait

kaki Herman yang kemudian terjungkal dan selanjutnya

tertelungkup di atas pasir. Kawannya cepat mendekat

untuk membangunkan. Tapi Abi menghadang. Si kawan

cepat menjauh walau tak ingin meninggalkan Herman. Ia

hanya berdiri saja dengan sikap siaga.

"Ayo bangun kamu, Bangsat!" seru Abi.

Herman bangun pelan-pelan. Mukanya penuh pasir.

Tapi tak terpikir untuk membersihkan. Matanya tertuju

geram kepada Abi. Sengaja ia melambatkan gerakannya.

Lalu dengan tiba-tiba ia menyeruduk perut Abi.

Tapi Abi sudah siap. Ia berkelit sambil mengayuhkan

tangannya. Herman tersungkur kembali seperti tadi.

Kini kepalanya penuh pasir. Ia mengaduh. Lehernya

serasa patah dan telinganya mendengar nyanyian. Ia tak

bisa segera bangun. Dipeganginya kepala dan lehernya

bergantian sambil merintih. Kawannya mendekat lagi

tapi Abi menghentakkan kaki. Ia tertegun tak berani

melangkah lagi. Ia berdiri saja dengan bingung.

"Kau harus minta maaf kepada Tante Merry. Kau

telah menghinanya secara keterlaluan. Ayo!" kata Abi.

Herman tetap duduk.

"Ayo bangun! Minta maaf sana!"

Herman tak bergerak. Kepalanya dipeganginya

dengan kedua tangan.

167

Abi mencengkeram lengan Herman lalu menariknya.

Sekali sentak Herman sudah berdiri.

"Lapor polisi, Din! Lapor polisi!" seru Herman kepada

kawannya.

Ngeri juga perasaan Abi mendengar kata polisi. Tapi

ia sudah terlanjur. Ia pun benci betul kepada Herman.

"Hei, lapor sana!" tantangnya.

"Yang salah siapa? Aku

nggak apa-apakan dia kok. Aku cuma menyuruhnya

minta maaf."

Kawan Herman tetap terpaku bingung.

Abi menyeret Herman yang berusaha bertahan. Tapi

ternyata dia kalah kuat. Ia terpaksa berjalan kalau tak

ingin diseret.

Merry dan Riri sudah menyusul.

"Sudahlah, Bi. Biar saja dia pergi," kata Merry lesu.

"Dia boleh pergi asal sudah minta maaf, Tante."

Herman membisu.

"Kau tahu siapa Abi? Dia adalah kawanku! Tahu?"

kata Riri.

"Ngomong sembarangan!"

"Ayo minta maaf!" Abi melotot. Cengkeramannya

diketatkan. Herman mengaduh. Lalu menggumam,

"Ma... maaf, Tante."

"Lebih keras!"

"Maaf, Tante!" kata Herman tanpa memandang pada

Merry.

Abi melepaskan pegangannya. Herman menepis
nepis dan menggosok-gosok lengannya seakan baru saja

168

kena kotoran. Kemudian mendengus lalu ngeloyor pergi.

Kawannya mengiringi.

Bertiga mereka memandangi. Lalu memutuskan

untuk pulang. Suasana sudah menjadi rusak.

"Terima kasih, Bi," kata Meriy.

"Ya. Terima kasih Bi," Riri menimpali.

Abi tersipu.

"Dia keterlaluan."

"Kau pintar berkelahi ya, Bi."

"Ah, nggak kok, Tante."

Tapi Abi bangga. Lebih-lebih setelah merasakan geng
gaman tangan Riri. Sentuhan itu jauh lebih bermakna

daripada kata-kata.

Merry juga bangga dengan caranya sendiri. Dia

khusus menelepon Tina di tokonya.

"Kau sudah lama tak datang, Tin. Sibuk?"

"Ya. Maklum, menjelang Lebaran, kan?"

"Biar sibuk seharusnya kau tak boleh melalaikan

perawatan kecantikanmu lho!"

"Iya. Sebenarnya aku juga ingin potong rambut."

"Nah, datang dong ke sini!"

"Secepatnya deh, Mer."

"Sesibuk-sibuknya kan sekarang sudah ada Johan."

"Ya memang. Tapi "

"Oh ya, Tin. Si Abi hebat sekali deh. Aku kagum dan

berterima kasih sekali padanya."

Di sana diam sebentar. Baru kemudian terdengar

suara yang berat,

"Memangnya kenapa dia?"

169

"Dia sudah membela kami sekeluarga. Begini

ceritanya. Waktu hari Minggu yang lalu kami piknik ke

Ancol. Di sana kami mendapat gangguan dari dua lelaki

iseng. Kurang ajar betul deh. Tapi Abi menghajar mereka

sampai takluk. Bahkan dia bisa memaksa mereka minta

maaf padaku. Wah, kau harus bangga sama dia, Tin!"

cerita Merry dengan bersemangat.

Di sana kembali diam.

"Halo?" panggil Merry.

"Ya. Dia memang hebat. Tapi kita harus hatihati juga.

Aku tak ingin dia sampai berurusan dengan polisi lagi.

Bagaimana kalau yang dihajar itu melapor polisi?"

Semangat Merry jadi hilang. Dia diam.

"Halo?" panggil Tina.

"Ya?" balas Merry lesu.

"Sebaiknya kau jangan memuji-muji dia dalam soal

seperti itu. Salah-salah nanti dia jadi gemar berkelahi."

"Nggak deh. Lain kali nggak," jawab Merry sambil

berkata dalam hati, bahwa lain kali dia tak akan bilang
bilang lagi. Tak perlu bercerita kepada Tina.

"Oh ya, Mer, anakku itu kok betah betul sih di

rumahmu. Apa kau tidak keberatan?"

"Tentu saja tidak. Kenapa aku harus keberatan? Dia

baik-baik saja kok. Riri cocok sama dia. Mereka saling

memberi semangat belajar."

"Oh, begitu ya? Tapi kau juga harus bisa mengawasi

lho. Jangan dilepas begitu saja. Anakmu kan perempuan.

170

Yang rugi selalu perempuan. Apalagi mereka remaja yang

pikirannya pendek."

Wajah Merry jadi masam. Sial, pikirnya.

"Betul nggak begitu, Mer?"

"Ya betul. Betul sekali. Ngomong-ngomong, gimana

kalau kapan-kapan kita piknik bersama? Ajaklah Johan."

"Wah, entar ada gangguan lagi. Repot."

Muka Merry jadi merah. Ia merasa tersindir. Dan

menyesal setengah mati kenapa ia sampai menelepon

Tina. Nanti kubalas kau, katanya dalam hati.

***

Pembicaraan telepon itu membuat Tina sangat

jengkel. Lama-lama Abi jadi milik Riri dan ibunya, pikir
nya gemas.

Tapi ia sadar tidak bisa melarang Abi tanpa risiko. Dia

harus melakukan sesuatu.

"Bi, Mama pikir tidak adil kalau setiap kali kau yang

main ke rumah Riri. Ajaklah dia ke sini juga. Dia belum


Pengemis Binal 14 Prahara Di Kuil Saloka Si Tolol 1 Warisan Berdarah Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam

Cari Blog Ini