Ceritasilat Novel Online

Sepotong Hati Tua 2

Sepotong Hati Tua Karya Marga T Bagian 2



_ Lancang betul dia!
-Aku yang memaksa. Aku bilang, kalau dia tidak mau ambil, aku nanti naik sendiri ke atas. Dia takut

-Dari mana engkau tahu tentang gambar itu? Tentu si icah,juga?!

Apakah engkau marah? _ tanya Budi sedikit merayu, kalau begitu marahlah padaku. jangan pada Icah

Oh, aku tidak marah-kata Lisa menyembunyikan kejengkelannya, aku cuma heran, untuk apa engkau mau tahu semuanya?

Karena aku cinta padamu! Diobral betul kata-kata itu! Aku tidak bohong. Lisa. Sungguh!

kata Budi menekankan telapak tangannya ke dada. Lisa tidak mengatakan apa-apa. Diisapnya kembali rokoknya dan dibiarkannya Budi memeluknya.

Lisa, kata Budi sejenak kemudian, aku ingin tahu tentang orang itu. Aku ingin tahu semuanya tentang engkau. Tentang engkau dan dia, seandainya engkau tidak keberatan

Mengapa aku harus keberatan? tanya Lisa yang mulai merasa ringan kepala.

-Kalau begitu, ceritalah
Apa yang dapat diceritakan?! Orang itu salah satu pengarang pujaanku. Sudah, Titik

Cuma itu? _Budi kedengaran kecewa, cuma karena itu engkau memasang gambarnya di kamar?

-Ya -angguk Lisa sambil mengisap.

Kalau begitu apa kata Icah tentang kedatangannya yang sering dan kepergiannya yang tiba-tiba?! tuntut Budi menatapnya.

-Ya, aku kan cuma satu di antara sekian banyak penggemarnya?! Mungkin dia sudah bosan berteman denganku, lalu pergi pada penggemar lain!
Lisa menunduk dan tersenyum sedih.

Cintakah dia padamu?!Lisa menggeleng, masih menunduk. Cintakah engkau padanya? Lisa menggeleng lalu tertawa. Andaikatapun aku mencintainya, apa artinya, bila dia sendiri tidak mencintai aku?!

-Oh, mungkin saja. Dengan tipu muslihat dan bujuk rayu, kadang -kadang seorang gadis dapat memperoleh pria yang dicintainya

Aku tidak mau melakukannya! kata Lisa! dengan sedikit terhina.

-Tapi betulkah engkau tidak mencintainya?-Lisa mengangguk pada sandalnya sambil berkata dalam hati: ya, sandal, engkau betul sudah perlu diapkir. Aku mengangguk bukan karena Tomi.

Kalau engkau tidak mencintai orang lain, tentu engkau dapat mencintai aku, bukan?!

_ Sabar, sabarLisa tertawa.

Budi menggaruk-garuk kepala dan tertawa juga.

Ah, maaf, maaf. Tentu saja aku harus sabar. Aku akan sabar, Lisa
Lisa mengelak dari belaian Budi dan meletakkan rokoknya.

Kenapa?

Kepalaku mulai terasa ringan. Aku sedikit mengantuk

_ Itu karena aku bubuhi sedikit ganja -kata Budi biasa saja.

_Apa?-seru Lisa kaget sekali.

_ Tidak apa-apa --geleng Budi meremehkan -cuma sedikit sekali. Takkan mengakibatkan sesuatu. Ayo isap lagi

Lisa menolak. Dia ingin tidur saja.

,_ Oke. Engkau tidak biasa. Tidurlah. Besok

pagi aku jamin engkau akan segar lagi. Ada untungnya kalau mengantuk! Engkau takkan memandangi gambar pujaanmu itu sebelum tidur. Ingatlah aku saja, Manis!

Lisa tidak mengacuhkan ocehan itu dan terus ke tangga loteng. Budi juga segera tidur di kamar bawah.

Lisa mengunjungi tuan yunus setiap hari. pada hari kedua, cuma pagi. Tapi pada hari ketiga, pagi dan sore. Begitu juga pada hari keempat. Dia mulai merasa makin tertarik akan perhatian dan kelemah lembutan si Tua padanya. Dia diperlakukan seperti dia satu-satunya wanita cantik di dunia si Tua. Lisa belum pernah bertemu dengan laki-laki seperti itu. Budi yang bilang aku-cinta -padamu tiga kali sehari pun, masih kalah perhatiannya. Kadang-kadang dia masih memperhatikan dan mendahulukan dirinya sendiri. Tapi kakek tua itu betul-betul menaruh perhatian padanya. Dia ingat baju-baju

apa yang dikenakannya kemarin-kemarinnya. Dia ingat pertanyaan-pertanyaannya yang belum terjawab. Kadang-kadang hari sudah terlalu sore dan dingin. Pertanyaannya belum sempat dijawab. Tapi kakek sudah menyuruhnya pulang, memaksanya pulang -sebab dia betah di situ _ karena takut dia masuk angin. Esok pagipagi, si Tua pasti akan mulai dengan menyebut pertanyaan kemarin.

Bila pikunnya timbul, dia akan menjadi gelisah sekali. Dia ingat ada yang belum dijawab, tapi tidak ingat tentang apa itu. Bila Lisa juga tidak ingat dan memintanya supaya melupakannya saja, maka dia akan mengeluh mengesah: beginilah kalau sudah tua, pelupa dan sebagainya, dan sebagainya, sampai dia ingat kembali atau tidak ingat sama sekali lalu membiarkan dirinya lambat laun mengikuti pembicaraan dan pertanyaan Lisa yang baru.

Lisa banyak sekali bertanya. Dia ingin tahu sejelas-jelasnya tentang ibunya dan kakek itu. Dia terharu sekali mendengar kisah cinta mereka. Perlahan-lahan dia mulai menempatkan dirinya di tempat ibunya. Dia merasa bahagia. Dicintai betuLbetul oleh seorang pria. Pria itu kini sudah menjadi kakek. Tapi baginya, pria itu tidak menjadi tua. Karena cintanya tidak menjadi tua. Baginya, pria itu adalah si kakek dan si kakek adalah pria itu. Dia ingin sekali pria semacam itu muncul dalam hidupnya. Dan pria itu adalah si kakek tua. Pria itu mencintainya.

Bila dia mati, dia akan dikenang dan ditangisi seumur hidupnya.

Dibandingkan dengan Budi yang kasardengan kekasaran orang muda dan tidak sabar,kakek yang sabar dan lembut itu lebih menarik hatinya. Berkali-kali dikatakannya dalam hati, bila dia tengah duduk di samping tempat tidur si kakek: kalau saat ini dia meminta aku menjadi isterinya, pasti aku mau! Cuma saja, bayangan Tomi suka mengganggu. Kalau tidak ada Tomi, pikirnya. Tapi nyatanya di dunia ada Tomi dan dia tidak tahu di mana orang itu berada. Dia masih tidak dapat melupakannya.

Budi tahu perkembangan hubungan Lisa dan tetangga tua itu. Mula-mula dia memang khawatir, namun kemudian malah dianjurkannya Lisa mendekati si Tua. Budi sudah mengatur rencana dalam otaknya yang cemerlang. Lisa akan menikah dengan orang tua yang pasti kaya itu -sedikitnya, dia punya villa yang kemudian dapat dijual-dan nanti setelah si Tua mati, Lisa akan menikah dengan dia. Dan dia akan mendapat harta dua kali lipat. Aha. Menjadi kaya lebih cepat. Orang sepikun itu pasti sudah takkan lama umurnya, pikirnya. Dia sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan si kakek masih akan hidup bertahun-tahun lagi. Lisa tentu saja tidak tahu semua akal Budi. Dia cuma merasa berterima kasih, sebab Budi tidak marah bila dia terlalu lama di sebelah. Kadang-kadang Budi ikut ke sana, tapi kakek itu tampak kurang menyukai

pemuda itu. Biasanya Budi duduk-duduk saja di teras sendirian atau sebentar sebentar Lisa keluar menemaninya.

Budi sudah hampir dua minggu di situ. Pernah dia kembali ke kota dua hari, untuk melapor pada kantornya. Tanpa ditanya oleh Lisa, dia bilang, dia tergesa-gesa balik sebab khawatir Lisa disambar oleh si kakek. Padahal dalam hati diharapkannya itu akan terjadi.

-Tidak lama lagi tugasku di sini akan selesai. Aku khawatir sekali meninggalkan engkau sendiri dengan si Pikun itu!

Jangan katakan dia si Pikun, Di. Itu tidak betul kata Lisa kurang senang.

O ya?! -nada Budi mencemooh walaupun tertawa.

Setidak-tidaknya dia ingat baju-baju yang aku pakai kemarin-kemarinnya tukas Lisa membela.

-Uwaa ha.. ha.. ha... -Budi tergelakgelak, -cuma itu kiranya taktik si Tua -ccciit, kau mau bilang. jangan katakan dia si Tua?! Hu.. hu... umur berapa dia?! -ha ha...ha... cuma itu kiranya taktiknya untuk memikatmu! Dalam bidang lain, tentunya dia sudah tidak berdaya, bukan?!

Lisa menjadi sengitbukan main. Dia tahu, takkan mungkin mencintai Budi. Perangainya terlalu kasar untuknya. Andaipun tidak ada Tomi, dia tidak mungkin menerima Budi. Apalagi ini: cinta Tomi masih membayang. Dan muncul pula

Tuan Yunus yang menimbulkan rasa kasihan serta simpatik.

Bilakah engkau akan kembali ke kota? -tanya Lisa dan melihat keheranan Budi, lekas-lekas disambungnya, bukan aku mengusir, lho. Aku cuma bertanya. Mungkin kamarmu diperlukan untuk keponakanku

-Ah, rupanya aku sudah terlalu lama di sini, ya! Biarkan keponakanmu datang. Aku bisa tidur di kamar lain!

Merah muka Lisa. Di situ cuma ada dua kamar. Kamar lain adalah kamarnya. Budi merasa keterlaluan juga dan segera minta maaf.

Tapi engkau toh harus membiasakan diri dengan kehadiranku Lis. Bukankah engkau menerima cintaku?! -sikap Budi kembali sopan serta memikat. Lisa menunduk menghindari tatapannya dan tersenyum.

-Kasihan tetanggaku yang kesepian itu, bila aku terlalu cepat menikah -sahutnya mengelak dan Budi tertawa setuju. dengan otak penuh akal.

Pagi itu Lisa menyurun icah menyampaikan pada Tuan Yunus, dia tidak dapat datang, sebab akan belanja ke pasar dan berenang. Sore atau siang dia pasti datang. Lisa biasa belanja sendiri untuk dapur, seminggu sekali.

Tuan Yunus duduk di jendela dengan majalah-majalah yang ditinggalkan Lisa untuknya. Keadaannya sudah lumayan. Napasnya tidak menyesak cuma sendi-sendinya masih ngilu kadang-kadang. Rematiknya tentu kambuh lagi. Tetapi tidak begitu membuatnya menderita sebab ingatan dan perhatiannya lebih banyak terpusat pada Lisa. Sebuah cinta baru. Lisa adalah Neli dan Neli adalah Lisa. Baginya keduanya adalah satu, seperti juga dahulu mereka adalah satu. Kadang-kadang dia begitu cemburu pada Budi yang bebas bergerak ke mana pun tanpa peduli udara, tanpa peduli waktu. Dia tampak begitu sehat, gagah, tampan, lincah.... aaah dan dia mempunyai begitu banyak waktu untuk menemani Lisa. Memikat hatinya, merayunya dan kemudian memilikinya seperti tuan dokter itu memiliki Neli.

Hadi Yunus menatap ke luar jendela tanpa melihat sesuatu pun. Majalah-majalah dibiarkannya tergolek di pangkuannya. Dia melihat Neli dalam relung matanya. Perempuan itu tengah memetik bunga mawarnya. Hari masih pagi. Lisa kecil masih memakai piyama dan mantel. Hadi membuka pintu pelan-pelan, namun Neli mendengarnya juga dan menoleh.

-Halo, Nel. Pagi begini sudah mencuri tegurnya tersenyum.

Neli tampak menjadi malu. Mawar yang ingin dipetiknya terlepas.

Oh, saya kira.... engkau ijinkan saya memetiknya setiap saat -katanya tersipu.

Hadi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku piyama dan berjalan ke halaman. Didekatinya Neli. Ketika Lisa tidak melihat, cepat-cepat dielusnya pipinya. Perempuan itu tidak mengelak, tapi kemudian menjauh setengah langkah.

--Tentu. Tentu. Semua milikku adalah milikmu!

Neli menjadi merah padam mendengar nada suara Hadi yang tidak biasa. Hadi lebih mendekat. Neli membungkuk, memetik mawar yang tadi lepas.

Apakah engkau sudah memikirkan kata-kataku semalam?!didengarnya suara Hadi tepat di telinganya dan napasnya yang hangat menyapu pipi.

Neli meluruskan kembali punggungnya tanpa menjawab Hadi.

Lisa, pergi ke dalam dan tukar bajumu! -perintah ibunya yang segera diturut.

Melihat mereka cuma berdua, Hadi tiba-tiba memeluk Neli dan memberinya kecupan pada bibirnya yang hangat. Neli terkejut serta mencoba melepaskan diri.

-Jangan melepaskan diri, Manis. Aku cinta padamu

-Nanti dilihat orang, Di. Lepaskan aku!-bisik Neli yang tidak lagi berdaya.

Nanti malam setelah Lisa tidur. Oke?! -bisik Hadi di telinga sambil mempererat pelukan.

Neli tidak menjawab. Napasnya mulai terengah-engah sebab kerasnya pelukan Hadi.

Aku tidak dapat bernapas... -keluhnya dan Hadi segera melepasnya.

Nanti malam, aku akan disini kira-kira pukul sembilan! -kata Hadi seakan itu perintah lalu pergi meninggalkannya.

Kakek Yunus tersenyum dalam lamunannya. Malam itu, Neli diubahnya menjadi seorang wanita baru. Wanita sempurna yang baru menemukan dirinya sendiri dan membebaskannya dari segala ikatan serta belenggu yang selama ini melilit jiwanya. Neli menangis dalam pelukan Hadi. Dia telah menemukan laki-laki yang dicintainya. Hadi mengulangi bujukannya supaya Neli bercerai dan menikah dengannya. Neli merasa keberatan meninggalkan Lisa sedang suaminya tidak mengijinkan anak itu dibawa. Pada saat itulah Hadi mengusulkan agar anak itu ditinggal saja untuk sementara. Kelak dia pasti akan mencari ibunya.

Engkau tidak boleh membiarkan dirimu menderita lebih lama lagi, Sayang. Itu sama sekali bodoh dan tidak berguna. Tinggalkan dia. Datanglah padaku! bisik Hadi sambil me

meluk dan merayunya. Neli menjawab dengan sebuah kecupan pada pipi Hadi.

Si kakek masih tetap tersenyum ketika Hasan masuk dengan segelas susu dan sepiring roti. Dia menggeleng. Diletakkannya baki dengan sedikit keras supaya tuannya terjaga. Kakek Yunus memang tersadar dengan sedikit kaget lalu mengomel.

-Aku tidak mau makan! -katanya marah, -sebab engkau telah mengejutkan aku dan membubarkan semua kenanganku!

Tidak baik terlalu banyak melamun, Tuan. Nanti kepala jadi tidak beres! -kata Hasan, masih memegangi gelas susu di hadapan tuannya.

-Apa?! Kaubilang aku sinting?

Tidak, Tuan. Minumlah susu ini, Tuan. Kalau tidak, nanti Tuan Tomi marah bila dia datang

Aku tidak takut pada Tomi! bentak si Tua, -apa yang dapat dilakukannya padaku? Dia tidak peduli apa yang aku lakukan, bukan begitu?

-Tentu saja, peduli sahut Hasan, mengambil piring ruti, -dia kan selalu menjenguk Tuan kalau sempat?!

-Tapi mengapa dia sudah lama tidak datang?! Pasti dia tengah berkasih-kasihan dengan perempuan baru untuk ilham karangannya! Sudah tidak mau menjadi dokter, kerjanya cuma galang-gulung dengan segala makhluk berambut panjang. Kawin, tidak mau. Andaikan dia mencari gadis macam Lisa, tentu takkan berantakan hidupnya!

Si kakek tampak penasaran dan Hasan mencoba menyabarkannya. Nama Lisa memberinya ilham.

-Susunya diminum, Tuan. Juga telur dan roti. Kalau tidak, Non Lisa tentu marah!

Kalau tidak kauberitahukan, mana dia tahu?!-selidik si Tua dengan leher dimajukan dan kening berkerut. -Engkau selalu banyak mulut, ha?!

Kalau Tuan tidak mau makan, terpaksa, saya mengadu. Sebab Non Lisa yang minta laporan!

Oh?!-seru si Tua terperanjat,-apakah dia begitu menaruh perhatian padaku?

Tentu! -sahut Hasan berdusta dan air muka tuannya mendadak jadi bercahaya.

Mari susu itu!-katanya tersenyum pada diri sendiri.-Mengapa engkau tidak pernah mengatakan, bahwa Lisa selalu menanyakan keadaan diriku?

Hasan memberikan gelas susu dan si kakek meneguknya seperempat bagian.

_ Sebab saya rasa itu tidak penting untuk Tuan ketahui sahut Hasan meneruskan dustanya.

Tentu saja itu penting!!! seru Tuan Yunus setengah menggelegar. Diletakkannya gelas susu di bandul jendela

dan Hasan cepat-cepat memindahkannya ke tempat aman.

Mari rotiku! Nanti bila Lisa tanya-tanya, katakan bahwa aku banyak makan dan segera akan menjadi kuat seperti biasa! Engkau toh katakan bahwa aku biasanya kuat? Tidak penyakitan?!

Tentu, Tuan -sahut Hasan mengangguk sambil menyerahkan piring roti.

Awas kalau kau mengatakan hal-hal yang tidak bagus tentang aku! Aku pecat kau!

-Tentu saja, tidak. Pernahkah Tuan mendengar saya mengomel tentang Tuan?tanya Hasan dan ketika si Tua sia-sia membalik otaknya mencari jawab, Hasan tolong menjawabkan. -tidak pernah, bukan? Tuan boleh mempercayai saya. Sudah saya katakan, Tuan sangat murah budi. Pada para pembantu seperti saya, Tuan selalu boros dengan hadiah, apalagi pada Non, kata saya pada Non Lisa. Dan Non kelihatan gembira sekali. Dia juga selalu murah hati pada pembantunya, si Icah

Aaah -kata si Tua sambil mengunyah, -kau baik-baik sama si Icah itu, San. Dia tentu tahu banyak tentang Lisa. Nanti kaulaporkan padaku. Kau harus tahu, apakah pemuda itu betul-betul mencintai Lisa atau tidak

Oh, biarpun dia cinta, takkan ada gunanya. Mana bisa menang melawan Tuan. Kata Icah mereka suka bertengkar. Soalnya anak-anak muda kan panas dan kasar. Non mana suka. Tuan kan sabar serta banyak pengalaman dengan wanita.

Husss! Jangan ulang itu sekali lagi. Awas kalau Lisa sampai tahu masa laluku!ancam si Tua dengan air muka tetap cerah, karena senang mendengar pujian Hasan.

Pagi itu sarapan licin tandas dan tanpa malu-malu. minta dilaporkan pada Lisa.! Hasan mengiakan dengan sungguh-sungguh lalu lekas-lekas menghilang ke belakang, meninggalkan si kakek kembali ke alam lalu.

Mereka pergi bertiga dengan Lisa, Ke dekat Cibodas. Neli memakai celana panjang hitam. Hadi membentangkan tikar di bawah pohon dan membantu Neli mengeluarkan makanan dari keranjang. Lisa berlari-lari dengan gembira mengejar capung. Selesai makan, Lisa tertidur. Dan Neli kembali ke pelukannya. Betapa bahagia kekasihnya itu bersamanya. Namun ketika mereka kembali.... mobil tuan dokter sudah menanti di luar villa. Neli menjadi pucat dan

tergesa-gesa turun dari mobil, sebelum mereka tiba di muka villanya. Dia berjalan kaki sambil menuntun Lisa. Tanpa sepatah pun sempat diucapkannya pada Hadi. Dia tampak ketakutan. Tuan dokter memang ahli mencari tempattempat sensitif untuk sasaran tamparannya. Hadi tidak segera menjalankan mobil. Dia tertegun di belakang setir. Diawasinya perempuan yang dicintainya itu dengan macam-macam perasaan. Tapi satu yang jelas: keinginannya membunuh saingannya saat itu juga. Keinginan itu begitu keras, sehingga malam itu dia tidak dapat tidur memikirkannya. Dia menyesal, sorenya tidak berani dilaksanakannya niatnya: Mengapa tidak aku bunuh saja bajingan itu! Mengapa tidak aku bunuh saja dokter terhormat itu! Dengan begitu, Neli mungkin masih hidup saat ini.

Tuan Yunus mengepalkan tinjunya dengan sengit sekali. Bibirnya terkatup erat. Giginya terdengar berkeretukan. Saat itu Lisa masuk tanpa diketahuinya. Gadis itu membawa sepiring jeruk. Wajahnya manis dengan senyuman riang.

Pak, ah. -dia tertegun melihat sikap Si Tua,

Bapak kenapa?

Oooh... Lisa?! keluh si kakek setengah kaget, menoleh pada Lisa.

lni saya bawakan jeruk kata Lisa tertawa, bapak tidak sakit?!

Laki-laki itu senang melihat pandangan Lisa yang menyelidik. Ah, dia memang menaruh

perhatian luar biasa padaku, pikirnya bersukacita. Dan dia mirip betul dengan ibunya.

-Tidak. Aku tidak apa-apa, Lisa. Jeruk ini untukku?-tanyanya mengalihkan perhatian.

Ya. Ini jeruk Garut, Pak. Mari saya kupaskan

Dengan hati melonjak-lonjak, laki-laki tua itu memperhatikan jari-jari lentik sang dara mengupas jeruk.

Hm, harum -katanya seakan baru sekali itu kenal jeruk. Dan tiba-tiba dia ingat, dulu Neli suka juga mengupaskan jeruk serta rambutan untuknya. Air matanya berlinang-linang.

Mengapa Bapak menangis?-tanya Lisa ketika menyerahkan jeruk yang sudah dikupasnya.

-Aku ingat ibumu, Lisa. Tidak pernah dapat aku lupakan!

Lisa tergetar mendengar suara yang sedih itu. Ah, bilakah aku dicintai seperti ibuku?

Lebih cantikkah ibu saya dari saya, Pak? -Laki-laki tua itu menatapnya dengan tersenyum. Sebilah jeruk menyelip di antara ibu jari dan telunjuknya.

Engkau sama cantik dengan dia, Lisa. Ketika ibumu masih hidup, dia persis sama dengan engkau sekarang

Tapi mengapa Tomi tidak dapat mencintainya seperti Tuan Yunus mencintai ibunya?!

_Apa yang menyebabkan Bapak tidak dapat melupakan Mama?

_Banyak hal, Lisa. Kelembutannya. Kepolosannya. Kekerasan hatinya. Ketidakberdayaannya. Dan lain-lain

"Dan lain-lain" itu yang tidak ada pada saya tukas Lisa seakan pada diri sendiri.

Mengapa engkau bilang begitu?

Kalau betul saya secantik Mama, mengapa tidak ada orang yang mencintai saya seperti Bapak mencintai Mama? -keluh Lisa teringat Tomi.

_Aaah, Lisa... Lisa, mengapa engkau bilang begitu?! Aku toh mencintai engkau?! Tidak tahukah engkau, Lisa?! Aku mencintai engkau seperti aku dulu mencintai ibumu!

-Sungguh?!

-Sungguh! -angguk si Tua.

Tanpa sadar, Lisa tertawa gembira lalu memeluk leher laki-laki itu. Dengan dada turun naik Hadi Yunus mengucapkan permintaannya.

Bolehkah aku mencium pipimu?!

Aaah, begitu lembutnya suara itu. Dan lembutnya ciumnya, pikir Lisa. Lain sekali dengan Budi yang kasar dan selalu menuntut. Laki-laki tua itu juga bisa menuntut. Dia mengecupnya untuk kedua kali. Tapi tuntutannya tetap lembut. Wajah Lisa merah dan senyumnya makin hangat.

Bila anakku datang nanti, aku akan pesan sebuah kalung untukmu-kata Tuan Yunus,seperti yang dulu hampir aku belikan untuk ibumu

Lisa tertawa. Bukan karena kalung itu, tapi

kini sudah betul-betul secantik ibumu.

***

TOMI duduk membaca majalah "Sinta" dengan asyik. Tungkai kanannya tertumpang di atas tungkai kiri. Kedua sikunya bertumpu pada lengan kursi dan mukanya tertutup sama sekali dengan gambar poster muka belakang dari sampul. Bibinya memperhatikannya sejenak lalu diamdiam kembali lagi ke belakang menyediakan makanan.

Tomi tidak biasa mempunyai waktu untuk membaca-baca begitu, tapi kali ini harus. Dia ingin tahu apa saja yang ditulis wartawati "Sinta" tentang dirinya. Menurut pengalamannya, dia selalu mesti naik pitam sehabis membaca wawancara tentang dirinya, sebab wartawan-wartawan itu seenaknya saja mencipta pertanyaan yang tidak pernah diajukan lalu menulis jawab yang tidak pernah didengarnya. Setiap kali membaca wawancara, Tomi pasti menemukan sesuatu pendapat yang ditulis sebagai pendapatnya, tapi yang tidak pernah diucapkannya. Dia pernah hampir meninju seorang wartawan yang menu

lis bahwa dia perlu melalap anak gadis sebelum memulai karangan baru. Lain kali lagi dikatakan bahwa dia memutuskan pertunangan lalu gadis itu mencoba bunuh diri. Tomi jadi termangu dan bertanya pada bibinya, kalau-kalau dia ingat, kapan pertunangan yang disebut-sebut itu terjadi. Dia bahkan belum pernah mendengar nama gadis tersebut.

Bibinya sudah paham kelancangan wartawan-wartawan dalam mengusik hidup pribadi seseorang demi kelarisan jualannya, karena itu dengan berdiam diri ditunggunya reaksi Tomi. Sejauh itu belum terdengar suara apa-apa dari ruang tengah, di mana Tomi duduk membaca. Tapi sebentar lagi....

Makin lama Tomi membaca, makin sesak terasa napasnya. Dadanya turun naik dengan cepat. Sebelah tangannya sudah terkepal. Bibirnya terkatup seerat-eratnya sehingga sekubik milimeter pun tidak masuk udara. Pada kalimat terakhir, dilemparnya majalah itu ke lantai. Huruf besar-besar kembali menerpa matanya dari bawah, membuatnya pening.

"Pengarang muda yang digemari tante-tante kaya, akan menikah dengan gadisjutawan".

Sambil bertopang dagu diawasinya kalimat itu tanpa pikiran apa-apa. Hatinya panas dan dongkol. Dia dijadikan bulan-bulanan untuk menambah isi kantong orang lain. Dia setuju dan senang bila orang lain bertambah, kaya serta makin makmur, tapi jangan dengan cara kotor! Memutarba

likkan kisah hidup orang seenak perut sendiri. Perlahan-lahan pikiran Tomi bekerja lagi. Dia ingat wartawan "Sinta" yang gemuk pendek itu. Wajahnya ramah memang, sebab penuh maksud. Bersama dia, ikut tukang potret yang biasa membujuk bintang-bintang film, penyanyi maupun nobody, untuk berpose aneh-aneh. Pembicaraan berjalan menyenangkan sehingga Tomi mulai berpikir, tidak semua wartawan suka sensasi. Tapi nyatanya?! Kisah cinta yang tidak pernah disinggung-singgung, makan tiga kolom. Malah dijadikanjudul murahan. Dia merasa terhina. Bukan saja karena dirinya dipermainkan, tapi juga karena manusia sudah begitu mau merendahkan diri, berlaku licik, semata-mata untuk tetap hidup. Dia berpikir-pikir sudah berapa kali dia di wawancara. Mungkin lima atau enam kali. Permintaan banyak. Tapi kalau tidak terlalu memaksa, dia tidak menerimanya. Kadang-kadang dia menyesal telah terjun ke lapangan hidup seperti itu. Namun setiap kali mau mundur, selalu ada ilham baru yang perlu dicetuskan, selalu ada kisah manusia yang perlu ditulis. Dan kini dia tahu, dia tidak dapat mundur lagi. Pasir apung sudah naik melebihi mata kakinya. Dia sudah menjadi milik masyarakat. Milik ratusan gadis dan wanita. Wawancara adalah salah satu tanda balas jasanya pada mereka. Tapi, demi Allah, dia bukan pelalap gadis maupun tante-tante. Dia tidak menjual dirinya semurah itu. Demi kehormatan manusia, oh, jangan putar balikkan fakta atau mencipta yang

tidak-tidak. Tomi menghela napas.

Pada saat itu telepon berdering. Tomi tidak peduli. Dibiarkannya benda itu menjerit-jerit beberapa lamanya, sampai bibinya masuk dan mengambilnya.

Untukmu

Tomi mengulurkan lengan kanannya dan tanpa "halo", didengarkannya suara di situ. Asing. Seorang gadis muda, mungkin. Dia tidak heran. Sejak seorang wartawan berhasil mencatat nomor teleponnya dan mengumumkannya di majalah, telepon tidak pernah berhenti berdering. Bila dia ingin ketenangan, kabel dicabutnya.

Oh, Tomi didengarnya suara yang setengah mengisak itu, betulkah apa yang ditulis "Sinta?" Engkau akan menikah? Tidak dapatkah itu dibatalkan? Aku cinta sekali padamu. Cinta sekali. Oh, Tomi, tapi aku tidak jutawan. Kaya pun tidak. Aku menelepon dari tempat umum. Di rumah tidak ada. Jadi aku tidak dapat setiap hari meneleponmu. Tomi, engkau tidak akan menikah, bukan? Engkau harus terus menulis, Tom. Jangan menikah. lsterimu, pasti takkan mengijinkan engkau mengarang lagi. Tomi?! Tomi?! Apakah engkau mendengarkan?!
-Tentu, Sayang

Oooh, Tooomiii... seru seru suara di telepon setengah melengking. aku ingin bertemu denganmu...

Katakan di mana tempatnya, Manis
Tomi sudah biasa dengan permintaan serupa

itu. Sudah puluhan gadis menelepon ingin bertemu dengannya.

Oh, Tomi, malam nanti di sekolahku ada pesta perpisahan. Aku aku... taruhan, aku akan membawamu ke sana...

-Pukul berapa aku harus menjemputmu? --tanya Tomi memotong, tidak merasa perlu mendengarkan alasan si manis, toh intinya sama: ingin bertemu.

-Pukul delapan kira-kira, Tom. Tapi jangan di rumahku. Dekat bioskop "Menteng" ya?!

-Oke

Tomi meletakkan telepon itu dengan lesu. Perutnya sudah lapar. Dia lupa menanyakan nama gadis itu, tapi masa bodoh! Dia sekarang lapar. Itu yang penting. Hal lain boleh tunggu.

-Dari siapa? tanya bibinya dan Tomi cuma menggeleng. Bibinya mengerti tanda itu. Seorang penggemar lagi.

Mereka makan berdua. Walaupun kekesalannya pada "Sinta" belum hilang, nafsu makan tidak terpengaruh. Itu sifatnya sejak kecil. Biar dimarahi, biar terluka, dia makan terus. Karena itu tubuhnya atletis dan dia tidak pernah menyimpan dendam. Amarahnya pada "Sinta" juga takkan kekal.

Majalah sinting itu bilang apa, Tom? tanya bibinya.

Tomi cuma menggeleng sambil menyobek paha ayam dengan giginya. Bibinya mengerti juga. Ada kalimat-kalimat yang tidak disukainya.

Karena itu, sudahlah. Jangan menerima mereka. Apa gunanya wawancara itu! Cuma bikin nama terkenal?! Untuk apa terkenal? Yang penting, hatimu tentram dan bahagia. Sekarang ini bibi lihat, tiap kali pegang majalah, engkau jadi gelisah. Sebab di situ tertulis yang tidaktidak tentang dirimu. Apa gunanya itu? !

-Ah, tidak mengapa. Bibi tahu, bila saya bersedia diwawancara oleh "Sinta" atau majalah lain, berarti saya sudah siap untuk memutuskan hubungan dengan mereka. Biarkan mereka ngoceh. Biarkan mereka laku. Setelah itu saya bilang selamat tinggal. Naskah-naskah saya tidak akan saya kirim lagi ke sana

Laa, kalau begitu lama-lama akan habis tempat engkau menerbitkan ceritamu!

-Tentu saja, tidak. Masih banyak koran dan majalah yang belum mewawancarai saya Tomi tersenyum lalu seperti biasa memuji masakan bibinya.

Mereka makan tanpa bercakap-cakap untuk beberapa saat.

Bi, apakah menurut Bibi. saya ini sombong? tanya Tomi tiba-tiba.

Hei, kok tanya begitu?! Kenapa?

Ketika saya membaca "Sinta," saya mendapat kesan, Tomi Yunus adalah orang yang sombong sekali. Semua kalimat-kalimat yang diucapkannya, bernada congkak. Saya berpikir-pikir, betulkah itu semua kalimat saya? Mengapa saya, tidak merasa mengucapkannya seperti

itu'!

Tomi menggeleng-geleng dan mengangkat bahu. Bibinya tersenyum.

-Menurut Bibi, engkau sama sekali tidak sombong. Tentu saja penulis artikel itu dapat mengubah kalimat-kalimat yang kauucapkan sehingga engkau terjelma menjadi pribadi sombong. Sudahlah, Tom. Jangan hiraukan hal-hal begitu

Tomi mengangguk. Ketika makan selesai, disekanya bibirnya dengan serbet. Dia bangkit dan menghampiri kalender. Diperhatikannya dengan seksama tanda silang yang dibuatnya dengan pinsil merah.

Minggu nanti saya akan menengok Papa -katanya menjangkau tusuk gigi, Bibi mau ikut?

Lain kali, Tom. Minggu ini Bibi mau ke rumah Lana. Anaknya mau dicukur
Lana adalah anak bibinya nomor dua, sepupu Tomi. Bibinya merupakan satu-satunya saudara ayah Tomi. Ketika Lana berusia sepuluh tahun, ayahnya meninggal. Mereka kemudian tinggal bersama di rumah Tomi. Tomi sangat menyukai Lana yang pendiam dan halus. Tidak seperti kakaknya, Rina, yang selalu lari ke sana ke mari. Ketika duduk di SMP, Tomi bilang dia akan menikah dengan Lana kelak. Sayang Lana jatuh cinta pada orang lain. Tapi untung juga, sebab mereka toh takkan boleh menikah.
Sepotong Hati Tua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tomi selalu merasa perlu memeriksa mobil bila ada rencana dengan seorang gadis. Siang itu pun terpaksa dikorbankannya waktu istirahatnya. Dia pergi ke garasi. Diperhatikannya bagian luar mobilnya untuk melihat lecet-lecet atau luka-luka yang mungkin ada. Dibelainya mobil hijaunya yang nomor polisinya sudah dicetak dalam salah satu majalah. Kadang-kadang timbul niatnya untuk menjual dan menggantinya dengan mobil lain. Namun setelah dirasanya tak ada gunanya. Nopol baru itu pun pasti akan diketahui umum juga dan mobilnya tetap akan ditempeli carikan carikan kertas berisi cium atau cinta dari seorang gadis yang tidak dikenalnya.

Tutup depan dibukanya. Dengan penuh perhatian Tomi membungkuk ke muka, seakan-akan dia membungkuk di atas buaian. Setiap bagian mesin diperiksanya. Jangan dibilang lagi rem dan gas. Juga isi bensin. Pantang baginya mengisi bensin, ketika di sisinya duduk seorang dara. Menurut perasaannya sendiri, itu kurang hormat. Wanita tidak boleh dibiarkan menunggu, apalagi

sambil menghirup uap bensin yang memabukkan.

Ketika dia selesai, masih ada waktu beberapa jam untuk tidur. Tomi pergi ke kamarnya. Di ruang tengah didapatinya pembantu sedang membelalak menatap gambarnya dalam "Sinta", dengan sebelah lengan mengepit tangkai sapu serta lap.

Hei,-tegur Tomi,-menyapu atau membaca, Nyonya?!

Pembantu tersipu-sipu tapi tidak lupa memuji ketampanan tuannya.

Huh dengus Tomi, genit juga kau, kiranya!!

Pukul delapan kurang seperempat, Tomi sudah tiba di dekat bioskop "Menteng". Dia tidak tahu di mana gadis itu akan menanti. Setelah berpikir-pikir, diparkirnya mobilnya melintang. Dia keluar dan duduk di bangku tukang es. Dipesannya sebotol limun. Lalu diperhatikannya jalanan. Tidak banyak mobil yang warnanya hijau seperti miliknya. Pasti menarik perhatian. Bila gadis itu memang betul mencintainya seperti yang dikatakannya, tentu dia apal pula nopolnya.

Tomi minum setengah melamun. Beberapa tahun yang lalu, dia masih menjadi mahasiswa seperti pemuda-pemuda lain. Bakat terpendamnya belum muncul. Dia adalah mahasiswa yang aktif, walaupun untuk bidang anatomi selalu mendapat angka kurang, sehingga cita-cita ayahnya untuk

menjadikannya dokter, tidak berhasil.

Waktu itu ada pesta mahasiswa. Tomi mendapat tugas menjemput seorang gadis di asrama. Gadis yang cantik yang telah menawan hatinya. Namun gadis itu kemudian ditinggalkannya, sebab dia tidak ingin membuatnya menderita. Dalam dua tahun. namanya sudah dikenal umum. Dan dalam dua tahun dia berangsur-angsur menjadi publik. Dia takkan mungkin dimiliki hanya oleh seorang gadis. Dia milik semua. Kadang-kadang dia merasa bangga. Tapi kadang-kadang dia merasa sedih, seperti waktu diputuskannya akan meninggalkan gadis yang dicintainya. Tidak ada gunanya memperdalam cintanya bila dia tidak dapat menikah dengan gadis itu. Dia tidak dapat. Bagaimana perasaan isteri, bila setiap hari telepon berdering terus dengan permintaan-permintaan mau bertemu di tempat anu dan anu. Dan semuanya pasti cantik-cantik, sebab yang tidak cantik mungkin segan atau main mengajukan diri. Bagaimanapun, selama ini gadis cantik saja yang ditemuinya.

Barangkali seumur hidup dia akan tetap sendirian. Memberi perhatian pada seribu gadis. Sampai gadis-gadis itu satu per satu menjadi dewasa, menemukan pujaan hati yang sebenarnya, meninggalkan serta melupakannya. Pada saat itu, bila saat itu tiba, di mana kiranya gadis yang dicintainya itu?! Di mana kiranya gadis asrama yang baik hati kelihatannya itu?! Tomi tidak pernah menanyakan alamatnya. Pikirnya, toh percu

ma. Tapi sering kali dia menyesal. Suatu ketika, dirasanya tidak tertahan lagi dia ingin menemui gadis itu kembali. Diteleponnya asrama. Gadis itu sudah tidak ada di sana. Dicarinya kabar di kampus melalui teman-teman. Gadis itu sudah berhenti kuliah.

Sekarang sudah berjalan tahun kedua. Tomi, masih belum dapat melupakan Lisa.

-Boleh aku tahu namamu? tanyanya di pintu asrama, aku cuma mendapat nomor kamarmu Lisa sahut gadis itu tersenyum manis.

Kadang-kadang Tomi ingin menjerit, berteriak, ingin pergi meninggalkan semua, yang mengungkungnya: manusia-manusia, norma-norma, juga raganya sendiri. Sebab raga itu menghalanginya mencari Lisa. Kadang-kadang dia merasa sesak dan jenuh, sehingga cuma dengan susah payah dapat ditahannya keinginannya untuk menjerit-jerit ke seluruh penjuru bumi.

Matanya yang tajam menangkap seorang gadis bergaun hitam dengan bintik-bintik putih tengah berdiri ragu-ragu di samping mobilnya sambil sesekali melihat berkeliling. Bangku tempat Tomi duduk sedikit terlindung dari jalan oleh sebuah tenda soto kambing, sehingga gadis itu tidak melihatnya. Lagipula, mungkin dia takkan berpikir untuk mencari Tomi di situ. Tomi Yunus?! Oh, mungkin dia tengah minum-minum, di restoran "Luki". Di pinggir jalan?! Tidak mungkin!

Tomi tersenyum dalam hati. Diambilnya uang

dari dompet, dan dibayarnya minumnya. Gadis itu sudah dilihatnya dengan cukup teliti. Gadis cantik yang sebenarnya agak pemalu serta alim, itu kesannya yang pertama. Mungkin taruhan itu membuatnya jadi nekad. Entah apa yang dipertaruhkan.

Tomi berjalan cepat-cepat ke arah mobil dan gadis bergaun hitam. Tukang es menggeleng-geleng. Jaman sekarang -katanya pada seorang langganan, --bertemu pacar, pake janji di tengah jalan!

Tomi tiba di belakang gadis itu. Dia tidak ingin mengejutkan orang, jadi diketuk-ketuknya hidung mobilnya. Gadis itu menoleh dan serentak menjadi pucat. Tomi tersenyum, pura-pura tidak melihat bahwa bibir gadis itu sudah menggeletar.

Halo, sapanya seenak mungkin, aku minta maaf, lho. Lupa menanyakan namamu!

Mendengar bahwa Tomi yang aduhai itu minta maaf padanya, gadis itu kembali tenang sedikit, walaupun belum tenang sama sekali.

Apakah di telepon kau katakan namanu? Rosy, bukan?

Bukan!! berhasil dibuatnya tertawa. Kasihan. Sebenarnya anak itu pemalu. Hanya karena nekad. .

Namaku Peni dan diulurnya tangannya, kita belum bersalaman

Tomi membukakan pintu mobil. Gadis itu masuk. Dia berjalan ke sisi lain dan masuk ke belakang stir.

Sekarang ke mana kita? Peni-tanyanya dengan nada intim, yang sudah biasa diobralnya pada gadis gadis yang ingin menemuinya.

Betulkah engkau ada waktu? gadis itu tiba-tiba kembali senewen.

Tentu saja. Bukankah aku sekarang ada di sini? Kalau tidak sempat, masakan aku datang?!

Tidakkah engkau tengah sibuk membuat cerita baru? gadis itu mengerutkan kening, cemas kalau-kalau Tomi betul tidak ada waktu.

_ Ah, itu dapat menunggu. Tidak penting. Yang utama sekarang: mengantar engkau ke pesta. Ayo, jangan mengerutkan kening. Nanti engkau cepat tua!

Gadis itu kembali berhasil dibuatnya tertawa. Tomi menstater mobil dan pelan-pelan menjalankannya.

_ Di mana letak sekolahmu?

_ Se... sebenarnya.... pesta ini bukan di sekolah-kata Peni terbata-bata, -Oh, ini memang pesta perpisahan kelas tiga, tapi bukan di.... sekolah

Di rumah temanmu?!tanya Tomi penuh pengertian..

Yaa. Di jalan Durian

Oke Tomi membelok dan seakan-akan tidak bertulang, Peni terjatuh ke tengah menimpa lengan Tomi. Dengan terkejut gadis itu lekas-lekas memperbaiki diri. Tomi pura-pura tidak ada apa-apa.

Aku rasa baru pertama kali ini engkau menelepon, bukan?-tanya, Tomi ketika lalu lintas lengang.

_ Ya. Kalau tidak terpaksa, aku tidak mau mengganggumu

-Aw! pekik Tomi, -tentu saja engkau tidak mengganggu. Sama sekali tidak. Aku senang menerima teleponmu

Apakah. engkau betul kesepian seperti yang dikatakan di majalah-majalah?!

-Ya, betul -Tomi mengangguk.

Engkau tidak perlu kesepian lagi sekarang. Teman-temanku dan aku bersedia selalu menjadi temanmu dan menyertai engkau ke mana pun

Gadis itu sudah betul-betul tenang kembali. Malah kini suaranya menjadi bersemangat. Tomi menyentuh lengan gadis itu dan dia tahu, pasti itu akan diceritakan Peni pada teman-temannya.

"Dia menyentuhku!"

Kalian baik sekali. Tapi engkau belum tahu, Peni. Orang dapat juga merasa kesepian di tengah-tengah orang banyak!

-Ah, kok begitu?!-tanya Peni heran.

Engkau belum mengalami itu. Kelas berapakah engkau? SMP?!

SMP tiga

Masih lama. Masih lama sebelum engkau mengalaminya. Mudah-mudahan tidak _

Peni terdiam. Mereka membisu beberapa saat. Gadis itu ingin sekali tahu, betulkah Tomi menemani tante-tante kaya di villa-villa mere

ka, tapi dia tidak berani bertanya, Dia lebih ingin tahu, betulkah Tomi akan segera menikah. Setelah meraba-raba kancing bajunya sepuluh kali, akhirnya Peni membuka mulut juga.

Tomi, benarkah engkau akan segera menikah dengan gadis yang disebut-sebut "Sinta"?-Peni memandangi wajah Tomi dengan rupa cemas.

ho-Tomi tertawa,-apakah engkau juga mempercayai semua omong kosong semacam itu? Nama gadis itu pun baru aku dengar!

Peni menghela napas lega. Bagaimana aku akan menikah, keluh Tomi dalam hati yang baru sekali jumpa saja, merasa keberatan. Bagaimana pula sikap isteri terhadap ratusan, Peni?!

Ke kanan! tegur Peni pelan.

Tomi tersentak dari lamunan.

Oh, maaf

Peni senang sekali. Tomi yang aduhai itu sudah dua kali minta maaf padaku!

Mereka tiba di tempat pesta. Tomi melihat sebuah rumah tua yang besar. Pintu yang tinggi dan rapat, tidak memungkinkan orang melihat ke dalam. Di luar sepi-sepi saja. Tidak ada mobil, tidak ada motor.

Di mana kendaraan harus diparkir?tanyanya pada Peni.

Di pinggir sini pun boleh. Kami semua cuma punya motor-Peni tertawa, sudah rileks dan manis, maklumlah, ini pesta anak-anak SMP. Dan kami juga bukan golongan kayaraya

Oho, kaya miskin bagiku sama saja, Peni. Mengapa engkau jadi permasalahkan itu?!Tomi tertawa menenangkan kekhawatiran gadis itu.

Diparkirnya mobil. Sebelum dia sempat membuka pintu, Peni sudah lari ke luar dan menekan bel pagar. Tomi mengunci mobil lalu ikut ke pintu. Seorang pembantu laki-laki membukanya. Tomi segera melihat beberapa motor diparkir berderet di halaman yang cukup luas. Pintu rumah terbuka. Ruang tamu dan ruang dalam tampak terang benderang.

Seperti model-model kuno, rumah itu mempunyai beberapa anak tangga sepanjang beranda depan yang cukup luas. Tinggi rumah juga lebih dari tiga meter. Pintu dan jendela masih berwarna hijau seperti pintu dan jendela kuno lainnya. Tapi lantai yang indah berbunga-bunga, tampak licin berkilat.

Peni menyambar tangannya lalu setengah menarik membawanya ke pintu. Di situ mereka tidak segera masuk. Peni berdiri diam dan menoleh ke kiri ke kanan. Tomi melihat kira-kira lima belas perempuan. Laki-laki lebih sedikit.

Dia heran mengapa mereka berdiri di ambang pintu, namun dia tidak bertanya. Dibiarkannya Peni memperlakukannya sesuka hati. Bagaimanapun, gadis itu dan gadis-gadis lainnya dalam ruangan itu, adalah penggemar-penggemarnya. Tanpa mereka, dia bukan apa-apa.

Seseorang tahu-tahu melihat mereka lalu melambai. Anak lain menoleh.

Hai! Tomiiiii!!!! teriak seseorang, dari sebuah sudut.

Tomi menoleh, tertawa dan melambaikan tangan. Peni masih belum bergerak.

Tomi, Tomi, Tomi..... seru seorang gadis bergaun merah, lari menghampiri mereka. Lalu anak-anak lain berlari juga. Mereka dikerumuni seisi ruangan, juga anak-anak seakan mereka ingin melihat tontonan.

Tomi tersenyum, tertawa, menjabat setiap tangan. Seorang gadis tiba-tiba memeluknya dari samping lalu mengecup pipinya. Tomi tersenyum dan dengan sopan membalas cium itu. Anak-anak meledak bertepuk tangan.

Mima mendapat tugas menciummu bisik Peni menerangkan. Juga taruhan?! tanya Tomi tertawa.

Ayo, biarkan Tomi duduk dan minum. Masakan kalian menahannya di pintu?!-terdengar suara dari belakang anak-anak yang segera bubar ke tepi.

Seorang nyonya muda yang cukup menarik, tersenyum pada Tomi dan maju sambil mengulurkan tangannya. Tomi menjabatnya dengan hangat.

Sudah lama sekali tante ingin bertemu denganmu. Baru malam ini terkabul. Anak tante juga sangat menyukai cerita-ceritamu

_ Terima kasih banyak kata Tomimembungkukkan punggung.

Nyonya rumah sangat terkesan dengan sikap Tomi yang sopan. Segera digandengnya tamu kehormatan itu ke dalam ruangan, sehingga seorang gadis segera protes.

Mam! ini kan pesta kami?! Masakan orang tua ikut-ikut?!

Sang ibu tidak menjadi malu karenanya.

_ Habis! Kalian tidak tahu caranya melayani tamu! -dia tertawa manis, tapi diturutnya juga kehendak anaknya. Lengan Tomi dilepasnya lalu dipersilakannya duduk.

Maaf, terpaksa tante tinggal. Rupanya tante sudah terlalu tua untuk pesta-pesta begini!

Tomi ingin memprotes pernyataan itu, tapi seseorang sudah menyorongkan segelas minuman. Dia tidak sempat lagi bicara apa-apa. Nyonya rumah sudah masuk ke dalam. Anak gadisnya segera duduk di samping Tomi, mencoba meng

gantikan ibunya. Pemuda itu tersenyum dalam hati. Menurut dugaannya, nyonya tadi kesepian. Bila dia melepas nalurinya, pasti wanita itu akan lari ke dalam pelukannya. Dan putrinya: seorang gadis manis yang ingin mulai menjelajahi hidup. Bila menjentikkan jarinya, aaah..!

Musik terus berputar. Mereka mulai melantai. Seseorang mengalungkan lengannya ke leher Tomi, sehinga pengarang itu tidak jadi mengajak nona rumah turun.

-Tomi..... bisik orang di belakangnya dan Tomi mencium bau rokok.

Dalam hati dia menghela napas. Selalu pesta-pesta serupa itu. Kalau lebih ganas malah dengan minum serta ganja. Dan dia harus hadir. Sebab mereka menuntutnya. Tanpa mereka, dia tidak dapat menjadi seperti dia sekarang. Lisa pernah bertanya mengapa dia tidak menulis sesuatu yang serius, jangan cuma cerita-cerita remaja. Tapi dia belum ingin menulis kisah-kisah serius. Kelak, bila dia sudah tua, mungkin dia akan memenuhi permintaan Lisa. Bila dia sudah ditinggalkan oleh semua gadis-gadis yang ada di situ, bila mereka sudah sibuk dengan botol susu dan suami, mungkin saat itu irama jiwanya akan berubah.

Lampu-lampu dikurangi. Suasana menjadi intim dan hangat. Seorang gadis menawarkannya kue-kue di atas baki besar.

Terima kasih -kata Tomi, mengambil beberapa potong.

Lengan di lehernya sudah lepas dan pemiliknya berpindah duduk di sebelahnya, ketika nona rumah turun dengan seorang laki-laki muda berkaca mata.

Tomi keluh gadis itu lalu memeluk lengan atasnya. Agak sulit bagi Tomi untuk membawa kue itu ke mulutnya, namun dibiarkannya pelukan itu.

Halo, sayang, siapa namamu?!

Ah, apa gunanya disebut. Engkau toh akan segera melupakannya lagi! rajuk gadis itu.

-Mana mungkin. Mari kita coba!

Aku dipanggil Ika dan aku ingin sekali menjadi teman karibmu!

Oke, kita akan menjadi teman karib! Aku senang denganmu, lka

_Ah, bohong! Mana bisa Ika berarti bagimu!

Sungguh, Ika. Tanpa engkau, aku bukan apa apa

-Ooh! keluh Ika, -betapa bahagianya gadis yang menjadi pacarmu. Siapakah dia, Tomi?! Kata Peni,

"Sinta" bohong. Engkau tidak akan menikah. Betul?!

Tentu saja betul

Siapakah pacarmu, Tomi?!Ika kini memindahkan lengannya ke leher dan Tomi leluasa makan.

Aku tidak mempunyai pacar

Bohong!

Betul! Bila aku mempunyai pacar, tidakkah engkau akan kecewa?

Tentu saja!

Nah, itu! -Tomi tertawa, di samping itu tidak ada yang mau denganku. Hidupku terlalu rumit dan Sulit

Sungguh tidak ada yang mau?!

Ya. -Tidak ada yang akan tahan

Aku tahan! -kata gadis itu ke telinga Tomi,-aku bersedia menjadi pacarmu!

-Sungguh?! Tidak menangis, bila aku mendapat undangan pesta semacam ini dan mesti pergi dengan gadis lain?!

lka menjadi muram. Tomi membelai dagunya dan tersenyum.

Jangan sedih, Ika. Bagimu, pasti datang seseorang yang akan menjadi milik tunggal. Jangan pilih orang seperti aku. Aku ini milik masyarakat. Milik publik

Tomi memeluk Ika dan gadis itu membenamkan muka ke dadanya. Nona rumah selesai melantai lalu menghampiri mereka dan berkata, bahwa lka tidak mempunyai hak untuk memonopoli Tomi. Anak-anak lain setuju dengan pendapat itu.

Ah, Rita keluh lka sambil melepas pelukan Tomi.

Tom, mari kita turun! -seru Rita. Tomi mengangguk.

Setelah ini, giliranmu! katanya menepuk bahu Ika.

Rita memeluknya erat-erat, sehingga Tomi berdebar-debar juga. Tapi dia cukup tahu diri untuk tidak memberikan alasan bagi orang untuk mengutuk atau memakinya. Dia tidak pernah membiarkan dirinya terperangkap dalam pesta-pesta serupa itu. Dia cuma merasa sedih dan hampa. Di mana Lisa, pikirnya. Oh, Tuhan, di mana gadis itu?! Aku ingin memeluknya saat ini! Mengapa justru dalam kerumunan gadis-gadis cantik, aku selalu teringat pada Lisa.

Hari Minggu nanti kita ke Puncak, yo ajak Rita, kita dapat pergi Sabtu dan pulang Senin

Sayang sekali aku mau menengok ayahku di luar kota

Aah, bohong! Sungguh! -kata Tomi serius, biar aku disambar geledek kalau bohong!

Rita terpaksa percaya juga, walaupun wajahnya menjadi muram. Ketika musik berhenti, dia masih tidak mau melepas pelukannya. Tomi melekatkan pipinya pada pipi Rita dan berbisik, bahwa kini giliran lka.

Ketika tiba di rumah pukul sebelas malam, bibinya

sudah tidur. Tapi di atas meja telepon didapatinya secarik kertas catatan dari bibinya.

"Tadi Susi menelepon. Engkau diminta menghubunginya malam ini juga".

Tomi duduk di samping telepon dan menumpangkan tungkai kanannya ke lutut kiri. Perlahan-lahan diangkatnya gagang telepon lalu diputarnya nomor Susi yang sudah diapalnya. Dia sudah lelah dan ingin tidur sebenarnya, tapi Susi itu pemilik toko buku yang pandai sekali melariskan cerita-ceritanya di kalangan nyonya-nyonya yang sama-sama kesepian seperti dia. Pernah sekali Susi mengaku: aku katakan pada para langganan bahwa Tomi Yunus pernah tidur bersamaku dan mereka segera memborong buku-bukumu sambil tentu saja menanyakan bagaimana rasanya pengalamanku yang hebat itu!!

Telepon di seberang sana berdering dan diangkat segera. Mungkin Susi sejak tadi duduk di situ. Kasihan.

Halo --betul itu suaranya.

Hei, halo, Susi. Maaf betul, aku tidak ada ketika engkau menelepon _

Kata bibimu, engkau pergi ke pesta? nada Susi sedikit cemburu, walaupun Tomi sudah bilang sejak permulaan, dia tidak akan membawa pacar ataupun teman intimnya ke tempat umum. Itu akan membuat publik kecewa dan marah. Kecuali kalau isteri. Tapi dia toh takkan beristeri.

-Ya. Pesta anak-anak SMP. Apa kabarmu sekarang?!

Suamiku sedang ke daerah empat hari. Entah betul entah tidak. Aku takkan heran kalau dia bermukim di rumah isteri muda! Tapi aku tak peduli. Yang penting, kita berdua. Tomi. datanglah malam ini. Dapatkah?

Tomi sudah lelah dan sedikit pening. Tapi dia tidak tahu bagaimana menolak wanita.

-Ah, Tomi, engkau pasti dapat! -suara Susi begitu kesepian serta minta dikasihani.

Tomi melihat arloji. Sebelas sepuluh menit. Dia tidak berdaya menolak permintaan jasa itu.

Tentu saja, Sus. Aku selalu ada waktu untukmu. Aku datang setengah jam lagi. Tapi aku tidak bermalam, Oke?! Kalau tidak lebih dulu diajukan syarat itu, pasti Susi akan merengek memintanya nginap. Tomi tidak pernah mau.

_Aku tunggu lalu Susi memberinya cium dalam telepon.

Tomi membuka lemari es. Diambilnya segelas susu dingin. Kemudian dia pergi ke garasi dan membuka pintu mobil pelan-pelan, tidak ingin membangunkan bibinya. Tapi pembantu laki-lakinya ternyata belum tidur. Ketika lampu mobil dinyalakannya. dilihatnya Murha sudah membuka pintu depan.

Jangan tunggu aku pulang, Ha serunya,

pintu pagar jangan dikunci!

Di tengah jalan Tomi menggeleng-gelengkan kepala. Huh! Begini akibatnya kalau isteri kesepian. Suami nyeleweng. Isteri juga: Satu-satu. Tapi dia tahu seorang nyonya lain yang suaminya

setia. Nyonya itu banyak pacarnya. Yah! Kalau suami setia, isteri tidak. Kalau isteri setia, suami yang tidak. Rupanya kalau sama-sama setia, tidak menggairahkan.

Rumah Susi yang cukup mewah itu sudah gelap. Tapi sebuah lampu merah kecil masih bernyala di ruang muka dan Susi sudah menanti di beranda. Ketika Tomi menginjakkan kakinya di situ, nyonya muda itu memeluk dan menciumnya dengan hangat. Parfumnya terasa amat keras, sehingga Tomi pening sejenak.

_ Terlalu keras parfum ini katanya dan Susi tertawa pelan sambil menariknya ke dalam.

-Anak-anak sudah tidur?

Tentu saja. Jangan takut terganggu!

Tomi tidak pernah terganggu oleh anak-anak. Dia malah lebih menyukai mereka kadang-kadang daripada anak-anak yang menamakan diri dewasa.

Susi menawarkan rokok. Mereka duduk berdampingan di sofa, sama-sama merokok. Pintu kamar tidur terbuka lebar. Tomi melihat tempat tidur yang luas dan rapi. Nyonya. katanya dalam tempat tidur itu milik suamimu, bukan miliku!

Tomi tiba di rumah Kembali pukul dua pagi dan langsung tidur. Esoknya, pukul satu siang dia baru bangun. Bibinya tidak mengganggunya. Sudah biasa. Kalau Tomi pulang malam dia tahu itu dari Murha pasti dia bangun siang.

Dengan mata sedikit pedih dan merah, dia duduk makan siang bersama bibinya. Setelah itu dia kembali ke kamar dan meneruskan ketikan cerita yang tengah digarapnya.

Ketika dia baru menambah naskahnya dengan enam helai ketik lagi, bibinya mengetuk pintu kamar. Tomi melihat arloji. Pukul lima sore.

Saya tidak mau teh sore ini, Bi serunya tanpa bergerak.

Ini ada berita tentang kau!-seru bibinya kembali.

Ah, apa lagi ini keluhnya-dalam hati, namun bangkit juga dan keluar.

Bibinya menyerahkan sehelai koran. Tomi mula-mula tidak begitu mengerti apa yang dibacanya. Bibinya menunjuk namanya yang dicetak dengan tinta hitam. Tomi mengerutkan kening. Betulkah itu gambar Susi?! Wanita dengan baju tidur berantakan, mulut ternganga dan kepala pecah? Tapi potret kecil di sudut, memang pasfoto dari Susi. Dan mengapa dikatakan aku tersangkut paut?!

Tomi kembali ke atas. membaca Judul berita

halaman pertama itu.

"Tomi Yunus diduga bertanggung jawab atas kematian seorang nyonya muda." Masyaallah! Bibi!! Tomi tersadar.

Apa-apaan lagi ini, Bi?! Sudahkah Bibi membacanya?! tanya Tomi tercengang.

Ya, sudah angguk bibinya yang kini telah menjatuhkan diri ke dalam kursi, khawatir pingsan sendiri, tadi malam engkau ke sana?

-Ya, pukul dua saya sudah di rumah lagi

Wanita itu mati kira-kira pukul dua pukul tiga

Tapi kan tidak mungkin saya yang membunuhnya? Tomi membaca

"Tomi Yunus diduga bertanggung jawab.... maksud mereka, saya yang.... yang.... melakukannya?!

Tomi bertanya-tanya macam anak kecil. Bibinya mengangguk. Macam anak kecil, dia bertanya lagi, seakan-akan belum mengerti dan bibinya kembali mengangguk.

Susi dibunuh dengan batang besi untuk membuka dongkrak mobil kata bibinya seolah-olah Tomi belum membaca berita itu. Dan memang Tomi perlu penjelasan sebab dia tidak mengerti apa yang dibacanya. Dia mengangguk saja mendengar bibinya bicara. Pikirannya lumpuh. Bibinya yang menggerakkannya kembali.

Bagaimana rupa dongkrakmu? tanyanya dan Tomi membelalak.

Aaah! Dongkrak saya tidak memakai besi. Bibi kan tahu yang kecil itu. Model baru. Cuma digerakkan dengan sekrup biasa!

Tomi memandang bibinya, dengan pikiran mulai bekerja. Dia tahu, dia tidak membunuh Susi. Tapi untuk membersihkan diri, perlu bukti. Polisi tidak mau serta tidak bisa percaya omongan tok. Perlu benda nyata sebagai bukti. Dan dongkrak itu...

Saya akan menelepon polisi! -katanya tiba-tiba bersemangat, saya tahu saya tidak bersalah! Heran mereka belum juga datang ke mari, padahal berita sudah masuk ke koran

Bibi juga heran. Mungkin mereka segan -Mereka memang segan. Tomi menelepon, disambut oleh Kepala polisi rayon.

Ah, Tomi, saya sangat menyukai cerita-ceritamu kata Pak polisi seakan minta maaf, saya tahu ini sangat menjengkelkan bagimu, tapi kami mempunyai tugas....

_ Apakah Bapak akan datang ke mari atau saya ke sana? tanya Tomi memotong, tidak mempunyai waktu untuk basa-basi dan sanjung puji. Dia tidak bisa menerima tuduhan atas dirinya dan ingin membersihkannya secepatnya. Dalam dua puluh empat jam, kalau mungkin.

Ah, tenang saja, Tomi. Kami akan datang ke sana menjemputmu. Saya tahu, engkau pasti tidak bersalah, tapi dalam hukum engkau termasuk orang-orang yang dicurigai. Saya sungguh merasa tidak enak hati....

Kalau begitu, mengapa saya belum-belum juga dijemput?

Begini, Tomi. Kami berusaha menyelidiki dan memeriksa orang-orang lainnya dulu. Siapa tahu, di antara mereka sudah terdapat orang yang bersalah, jadi kami tidak perlu mengganggumu

Dan Bapak belum menemukan orang itu! -tukas Toni sedikit panas.

Belum sahut Bapak polisi itu dengan nada yang mengherankan sabarnya, Jangan takut. Bila engkau memang tidak bersalah, pasti engkau akan dibebaskan. Kami cuma ingin mendengar keteranganmu mengenai kedatanganmu ke sana tadi malam

Ya, Tomi memang ingin menanyakan hal itu. Dari mana koran dan polisi mengetahui kedatangannya tadi malam ke tempat Susi?!

Dari mana Bapak tahu itu?tanyanya tanpa nada ingin tahu.
Sepotong Hati Tua Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aha... ha ha hidung polisi tajam, Tomi-Bapak polisi tertawa dan Tomi, tidak ingin memaksa. Dia akan mencari tahu dengan caranya sendiri atau mungkin dari salah satu wartawan.

Polisi datang setengah jam kemudian. seisi rumah ditanyai, tapi tidak ada yang tahu, pukul berapa Tomi pulang. Tomi memang mengaku pulang pukul dua kurang seperempat. Dia berpendapat, sama sekali tidak perlu berdusta, sebab dia toh bersih. Tapi dengan pengakuan itu, dia justru menjadi salah seorang tertuduh.

Salah seorang? -tanya Tomi, -yang lain siapa?

Suami korban jawab polisi.

Suaminya? Bukankah dia tengah ke daerah?

_Rupanya pulang mendadak pagi itu, antara pukul tiga pukul empat. Tidak ada yang tahu pasti, kapan. Laki-laki itu bilang, pukul empat kurang. Pembantu bilang, ayam belum berkokok, jadi belum pukul empat. Ia tidak melihat tuannya masuk. Baru terjaga setelah tuannya membasuh tangan serta kaki di kamar mandi. Dia keluar kamar dan melihat koper kecil tuannya sudah ada di kamar makan. Juga suara mobil tidak didengarnya -Polisi memandang Tomi, dan dengan wajah meminta maaf, mengatakan ingin melihat mobil serta perkakas-perkakasnya dan semua baju yang dipakainya tadi malam.

Polisi mendengus ketika memeriksa kemeja. Bau parfum Susi yang keras masih melekat di situ. Tapi dia tidak memberi komentar apa-apa.

Walaupun dia sering kali tampak segan serta tidak leluasa, jelas tugas itu menyenangkan bagi polisi setengah tua itu. Dia akan dapat bercerita: aku pernah ke rumah Tomi Yunus untuk memeriksanya dalam tuduhan kematian Nyonya Susi! Tomi memberi kebebasan sepenuhnya pada para petugas untuk melakukan penyelidikan di rumahnya. Dia sendiri diangkut ke kantor untuk diperiksa dan menandatangani surat keterangan mengenai tindakannya semalam. Bibi sudah khawitir dia akan ditahan. Tapi ternyata dia diperbolehkan pulang, dengan pesan jangan keluar daerah dan siap dipanggil setiap saat. Dongkrak Tomi yang Model baru itu agaknya tidak dapat membebaskannya dengan mudah. Sebab menurut perhitungan polisi, dongkrak semacam itu pun dapat pula menimbulkan pecah kepala yang sama. Batang besi itu cuma teori belaka. Diduga dongkrak, sebab di sekitar luka terdapat bercak tipis olie mobil. Dan dongkrak Tomi tentu saja mengandung olie yang sama. Juga ada tanda-tanda bahwa benda itu baru saja dicuci. Menurut Tomi dia mencucinya beberapa hari yang lalu, sebab terkena kotoran anjing yang masih basah, ketika dia membongkar ban di jalan. Polisi ingin tahu. kapan itu. tapi Tomi tidak ingat.

****

KETIKA Budi pulang ke kota selama dua hari, sebenarnya dia berjumpa dengan Dian, tapi pada Lisa tidak dikatakannya apa-apa. Dian adalah teman mereka di kelas dua. Kelas tiga, Dian masih sekelas dengan Budi dan menjadi pacarnya. Lisa, yang semula pacar Budi mendapat ganti yang baru.

Hubungan Dian dengan Budi diteruskan sampai di luar sekolah, setelah mereka tamat SMA. Budi berharap betul dapat menjadi menantu direktur, bank yang kaya itu. Mereka pacaran dengan hangat. Rumah Dian yang besar itu selalu kosong pada akhir pekan sebab orang tua serta adik-adiknya ke Puncak. Walaupun pembantu tua di rumah dipesan ibu untuk mengawasi Dian, mereka selalu berhasil bermesraan di kamar Dian tanpa diketahui olehnya. Caranya mudah: Budi pura-pura pulang dan Dian membanting pintu tertutup. Pembantu akan bertanya, apakah tamu sudah pulang. Dian tentu akan bilang, sudah. Lampu-lampu dimatikan. Dengan lega, bibi tua

itu masuk ke kamarnya melepaskan penarnya seharian, dan tentu saja segera tertidur. Diam-diam, Budi masuk lagi. Dia cuma bersembunyi di balik pohon mangga yang gelap di halaman.

Semua berjalan lancar selama dua tahun. Kemudian, tiba-tiba saja bank swasta itu pailit dan ayah Dian kehilangan tambang emasnya. Betul, mereka tidak menjadi miskin, namun Budi tidak tertarik dengan orang-orang yang cuma setengah kaya. Dian ditinggalkannya, walaupun gadis itu telah menyerahkan hati dan cintanya padanya.

sore itu, ketika tengan menaiki tangga proyek Senen, tiba-tiba saja mereka bertubrukan. Budi meminta maaf. Perempuan yang ditubruknya menoleh dan.... mereka tertegun sejenak. Dian yang lebih dulu membuka mulut.

_Budi! serunya.

Halo, Dian sambut Budi biasa, tidak dingin, tidak hangat.

Dian agaknya merasakan nada itu, sebab digigit bibirnya sejenak. Namun setelah itu, dia

kembali tersenyum, menyatakan kegembiraannya atas pertemuan yang tidak terduga itu. Mereka mendaki tangga bersama. Dian banyak membuka percakapan. Budi lebih berdiam diri. cuma menjawab saja. Kadang-kadang malah, jawabnya cuma berupa senyum atau gelak berderai.

Kita makan bakmi, yo ajak Dian, aku lapar! -Dian tertawa sedikit malu.

Aku sering betul merasa lapar, sehingga terpaksa makan terus. Akibatnya, timbanganku deh

Budi tertawa. Diikutinya Dian naik ke atas mencari restoran yang menjual bakmi enak. Mereka duduk berhadap-hadapan. Selama menanti, masing-masing saling mempelajari keadaan yang lain. Budi memang melihat Dian lebih gemuk. Tapi itu justru lebih membuatnya menarik. Make-up berat yang dahulu biasa dipolesnya di atas mukanya, kini telah diganti dengan taburan bedak yang halus serta sedikit lipstik. Matanya tidak diberi hiasan. Sedang alisnya memang sudah hitam dan indah.

Engkau lebih menarik tanpa make-up kata Budi tiba-tiba tanpa berpikir lagi, kemudian menyesali diri sendiri. Apa maksudmu memuji dia, keledai! katanya dalam hati.

Dian tersenyum manis dan mengucapkan terima kasih atas pujian Budi dilihatnya masih tetap seperti Budi yang dicintainya dulu. Mungkin sedikit lebih gagah, lebih berotot, lebih rapi dan lebih yakin pada dirinya. Dia tidak begitu banyak ngoceh seperti dulu. Wajahnya masih tetap riang. Apakah dia sudah mencapai kedudukan yang dimimpikannya?! Dian tidak tahu pasti apa kehendak Budi, tapi dia ingat Budi selalu bilang, ingin menjadi kaya dengan cepat lalu pensiun.

Dian ingin menanyakan semua itu, tapi segan sebab Budi sendiri tidak tampak ingin tahu tentang keadaannya. Mi yang dipesan datang. Mereka makan tanpa bicara. Sesekali Dian menCuri pandang, ingin sekali membuka mulut tapi selalu membatalkannya. Budi memandangi terus mangkuknya, seakan-akan, takut ada kacoa termakan olehnya. Setelah mi-nya habis, barulah laki-laki itu bersuara.

-Sore betul engkau belanja ke mari, Dian?

Oh, aku memang bekerja di dekat sini
Engkau bekerja?! tanya Budi heran, tidak menyangka ayah Dian sebangkrut itu.

--Ya. Habis daripada melamun saja di rumah

Dian tertawa.

Budi meringis. Dia khawatir sekali perempuan itu akan mengungkit-ungkit masa lalu mereka, tapi ternyata Dian tidak menyinggungnya.

Mari main ke rumahku, Bud undang Dian setengah meminta, ketika mereka tengah minum airjeruk asli.

Budi tidak segera menjawab. Kejam rasanya menolak mentah-mentah orang yang pernah mencintai aku dan siapa tahu, masih mencintaiku, katanya dalam hati. Tapi berhadapan kembali

dengan keluarga Dian, malu aku rasanya. Tidak mungkin itu dapat aku tahan. Seakan-akan mengetahui pikiran Budi, Dian sudah menyambung,

Aku tinggal sendiri di apartemen -
Oh?!

Yah! Panjang ceritanya, Bud. Ibuku meninggal empat lalu yang lalu. Dua tahun kemudian, ayahku pulih kembali keuangannya lalu menikah lagi. Aku tidak cocok dengan ibu tiri, jadi aku pindah. Adik-adikku tetap tinggal bersama Ayah

Jadi ayah Dian sudah menjadi jutawan lagi! Pikiran itu melintas sejenak, tapi bayangan Lisa mengusirnya pergi. Bagaimanapun, Dian adalah bagian dari masa lalu. Lisa adalah masa kini.

Mereka selesai makan. Turun bersama, tidak berjauhan, juga tidak bergandengan.

Main ke rumahku, yo undang Dian sekali lagi, lebih meminta.

Budi menatapnya sekilas. Mata perempuan itu jernih seperti aliran mata air yang menggenang. Demi semua pelukan-pelukannya pada masa lalu, aku tidak dapat begitu saja melupakannya, pikir Budi. Demi semua kecupan-kecupan yang pernah diberikannya, alangkah kejam untuk menolak permintaannya yang begitu sederhana. Dan demi, kecupan-kecupan yang pernah aku curi, aku ingin mengecupnya lagi.

Oke! katanya dan alangkah bahagia kelihatannya Dian.

Mereka naik helicak, duduk, tanpa bersentuhan. juga tidak berjauhan. Dian tidak berusaha memegang tangannya seperti kebiasaannya dulu. Kaca buram helicak memberi keleluasaan untuk orang mencuri apa yang ingin dicurinya. Budi melihat kemungkinan itu. tapi dengan tegas dikatakannya pada diri sendiri, Dian adalah masa lalu yang sudah pergi bagaikan asap. Masa lalu adalah bayangan. Cuma orang pandir yang hidup dalam masa lalu. Lisa adalah masa kini yang cerah dan nyata.

Selama di helicak itu cuma sekali mereka bicara. Dian menanyakan apa kerja Budi sekarang. Pertanyaan itu justru menimbulkan benci, sebab Budi jadi menduga bahwa Dian masih mencintai dan mengharapkannya. Itu pertanyaan yang biasa diajukan perempuan-perempuan yang merasa tidak lama lagi akan menerima lamaran dari orang yang ditanyanya. Budi tidak ingin dicintai serta diharapkan oleh angin kemarin. Maka dikatakannya, dia menganggur.

Mungkin ayahku dapat menolong kata Dian sungguh-sungguh, maukah engkau datang padanya?!

Wah, wah, ini makin jelas saja, seru laki-laki itu dalam hati. Mau disuruhnya aku menghadap bapaknya, supaya terjerat erat kedua kakiku. Tidak, Dian. Masa lalu adalah masa lalu. Aku tidak dapat kembali.

Ah, kerja apakah yang dapat aku lakukan untuk ayahmu? katanya -pura-pura mengeluh, _engkau sudah tahu, aku tidak dapat duduk diam-diam di belakang meja tulis. Kalau ada obyek catutan, nah aku lebih tertarik!

Dian terdiam dengan sedikit kecewa. Masih juga Budi yang dulu. Ingin kaya mendadak. Atau kaya tanpa bersusah payah. Kekayaan seperti itu akan cepat pada lenyapnya, Bud! Itu pernah dikatakannya dulu. Budi tidak mau mengerti. Apalagi sekarang. Bila dikatakannya juga, pasti Budi lebih tidak mau mengerti lagi. Jadi dia membisu. Budi tersenyum puas melihat wajah Dian yang kecewa. Sedikitnya, takkan dikhayalkannya aku menjadi suaminya.

Helicak disuruh stop oleh Dian dengan melambaikan tangannya ke luar. Budi membiarkan perempuan itu membayar, untuk memberi kesan bahwa dia betul-betul penganggur.

Rumah Dian di tingkat satu. Pintu diketuknya tiga kali. Budi mengerutkan kening.

Katamu, engkau tinggal sendiri!

Dian tersenyum, Sebelum dia menjawab, pintu sudah terbuka.

Mama... Mama .Mama. seorang anak laki-laki menyerbu Dian dengan pelukannya yang kecil dan bulat. Di belakangnya, berdiri seorang pembantu tua, tersenyum melihat keriangan bocah itu.

Dian mencium anak itu pada kedua pipinya, kemudian ditolehnya Budi.

Nah, Kiki, beri salam pada Oom Budi kata Dian mengangkat tangan kanan anaknya.

Bukan papa Kiki?! -tanyanya menengadah dengan suara kecewa, Ayo, jangan rewel. Mana salammu?!

Anak itu menuruti perintah ibunya lalu lekas-lekas menarik kembali tangannya dari genggaman Budi dan lari ke dalam. Dian menyilakan tamunya masuk. Dikuncinya pintu. Pembantu tua itu tampak tengah menyediakan teh di atas meja kecil.

Beginilah tempatku -seru Dian tertawa, sambil melepas sepatu dan meletakkan tas di atas meja, kecil, ya?! Tapi bagi kami bertiga, cukup

Bertiga?! Jadi ke mana suaminya?! "Sudah berceraikah dia atau... atau.... laki-laki itu tidak berani meneruskan pikirannya. Dian adalah masa lalu, katanya dalam hati berulang-ulang, hampir tiap menit sekali. Walaupun begitu, hatinya tidak menjadi tenang. Dia ingat pertanyaan Kiki. Anak itu mencari ayahnya. Mengapa?!

Kiki muncul di ambang pintu, agaknya ingin menghampiri ibunya. Tapi pembantu dengan cepat menarik tangannya dan membawanya ke belakang.

Budi tidak berani lama-lama di situ, khawatir akan keluar juga semua pertanyaan yang ingin diketahuinya jawabnya. Mereka minum teh setengah tergesa-gesa. Dian tidak lagi tenang dan penuh gelak seperti di tempat ini. Dia seakan-akan gelisah serta tidak tahu lagi apa yang ingin dipercakapkannya. Ketika Budi minta diri, jelas terlihat kecewanya.

Tidakkah engkau mau makan di sini? Lain kali aku datang lagi sahut Budi

Sungguh?!

Sungguh!

-Ah, sungguhmu itu tidak pernah sungguh, keluh Dian, dulu pun... tidak disambungnya kata-katanya dan Budi lekas-lekas berlalu.

Setiba di luar rumah, Budi merasa diri amat pengecut. Aku tidak berani bertanya apa-apa tentang Kiki keluhnya pelan sambil menggeleng. Sedikit pun tidak. Umur pun tidak. Apalagi, di mana ayahnya. Ini yang sangat ingin aku ketahui, Tapi lebih baik tidak. Lebih baik aku berdiam diri saja. Dan alamat Dian harus lekas-lekas aku lupakan. Namun pikiran itu tidak menentramkan hatinya. Mereka saling bertentangan. Apaartinya hidup, kalau harus memikirkan dan mengurus semua peristiwa yang remeh dan sepele. Di mana lagi waktu untuk bersenang dan bersuka?! Budi setuju pikirannya yang jempol dan penuh logika. Tapi hatinya yang lemah menentangnya. Apa artinya menjadi laki-laki menghindari tanggung jawab! Ah, belum tentu itu tanggung jawabku! Cuma, kalau ya?! Mengapa Dian begitu antusias mengajakku ke rumah? Mengapa?! Betulkah di sisi Dian terletak tanggung jawabku?! Tanggung jawab lima tahun yang lalu?! Aaah, persetan!!! Kalaupun ya, persetan!! Masa bodoh! Aku tidak peduli! Apakah hidupku harus dirusak oleh sentimen bodoh serupa itu?! Lisa menanti dan dia adalah masa depanku. Dian serta sekalian embel-embelnya adalah lubang kubur, tanpa cahaya, tanpa hari baru.

Budi lega sebentar dengan logikanya yang bukan logika itu. Dia berjalan sampai di jalan raya. Sengaja tidak mau naik bemo, supaya dapat berlambat-lambat tiba di rumah sambil menenangkan pikiran.

Lampu-lampu jalan sudah terpasang semua. Langit sudah gelap. Beberapa kios di pinggir jalan Pemuda sudah memasang lampu petromaks. Mereka berjualan sampai pukul sembilan. Beberapa bemo susul-menyusul mengajaknya untuk naik. Budi cuma menggeleng. Dia berjalan di pinggir dekat pagar-pagar rumah, kadang-kadang menunduk, kadang-kadang mengangkat muka, tapi tanpa melihat sesuatu. Terkejut dia ketika klakson berdengung tepat di mukanya. Kiranya dia tengah berlalai-lalai pada jalan masuk ke rumah orang. Dipercepatnya langkahnya. Masih sempat terlihat olehnya pintu pagar yang dibuka oleh seorang wanita muda. kira-kira segemuk Dian. Dan.... di sebelahnya menari-nari seorang anak laki-laki, juga kira-kira sebesar Kiki. Anak itu tidak henti-hentinya bernyanyi: Papa pulang.... Papa pulang. . Aaah, betapa merdu suara kedengarannya. Hatiku memang brengsek. Brengsek, brengsek! Masakan adegan seperti itu aja sudah membuat aku berdebar-debar?! Masakan nyanyian bocah tanpa nada aku

anggap merdu!

Seperti dikejar setan, Budi mempercepat jalannya. Papa pulang.... Papa pulang.... suara lantang itu masih juga masuk ke telinganya. Ah, alangkah enaknya orang tuli. Dia tidak usah mendengar apa yang tidak mau didengarnya.

Ketika dia tiba di bawah lampu neon dan suara anak itu sudah lenyap, tiba-tiba didapatinya dirinya terengah-engah serta mandi keringat. Dia tidak biasa mandi keringat pada malam hari. Apalagi di langit tidak ada awan, udara tidak panas.

Helicak yang tengah lewat lekas-lekas distopnya. Sebenarnya ke rumahnya tidak jauh lagi. Tapi dia naik juga tanpa menawar. Begitu dihenyakkannya tubuhnya, ditariknya napas panjang-panjang dan disekanya keringatnya.

Ketika sudah agak tenang, pikiran mengenai Dian muncul kembali. Adakah maksud tertentu ketika dia menanyakan apa kerjaku sekarang?! Apakah dia berniat minta tunjangan?! Seandainya dia berniat begitu, aah, tidak demikian gampang. Membuktikan bahwa itu adalah tanggung jawabku.?! Kalau Dian belum berubah, maka dapat dipastikan, dia lebih suka berdiam diri daripada berpayah-payah membuktikan ini itu. Dia tidak suka keributan. Itu memang terpuji. Tapi seandainya seandainya saja, anak itu betul... anakku, tanggung jawabku...dan Dian minta tunjangan atau bahkan menuntut perkawinan sah.... aaah, untung tadi aku katakan sedang menganggur! Budi menyeka kembali keringat yang mengalir. Setan! Apa-apaan ini berkeringat macam orang habis lari sepuluh kilometer. Masakan urusan perempuan membuat aku bingung?! Bah! Semoga Semua perempuan-perempuan yang selalu menuntut ini dan itu, masuk neraka semua!!

Tapi mungkin juga Dian tidak berniat menuntut apa-apa. Ayahnya toh sudah kaya kembali dan dia sendiri mempunyai pekerjaan. Mungkin juga niat itu batal setelah mendengar aku tidak bekerja. Atau memang niat itu tidak pernah ada, sebab Kiki bukan tanggung jawabku. Namun seandainya... seandainya... tukang helicak ini kurang ajar, betul! Jalan secepat kemauannya, sehingga belum apa-apa, mereka sudah tiba. Terpaksa pikirannya distop dan dia turun. Budi tidak ingin ibunya melihat dia termenung lalu mencoba mengorek apa yang ada dalam pikirannya. Ibunya itu, aduhai pintar dalam hal demikian. Mungkin itulah sebabnya, ayahnya tidak pernah berani main mata dengan perempuan lain, walaupun dia tahu betul, ada salah seorang keluarga ibunya yang menaruh hati pada ayahnya. Semua isi hati ayahnya bagaikan gambar hidup, setiap saat ibunya ingin melihatnya.

Budi masuk ke halaman rumah dengan sikap gagah dan riang. Dia sengaja namun sejenak kemudian dihentikannya. Tolol, kutuknya. Ibu tentu akan mau tahu, mengapa aku seriang itu. Lebih baik diam saja.

Makanlah dulu kata ibunya ketika dia

sudah duduk di dalam, baru mandi. Yang lain sudah makan

Untunglah. Dia makan sendiri tanpa diawasi orang. Jadi tidak ada yang tahu, dia makan sedikit dan tidak ada yang tanya. kenapa.

****

Tomi tiba di Villa ayannya baru sore. Dia sengaja tidak membawa koran maupun majalah, untuk mencegah ayahnya mengetahui persoalannya. Tapi ternyata orang tua itu sudah mendengarnya dari radio.

Betulkah engkau membunuh perempuan cantik, Tom? tanya ayahnya hampir-hampir dengan nada bergurau, perempuan cantik yang begitu jarang didapat?! Akan makin berkurang saja jumlah mereka! -dan si Tua itu terkekeh.

Apakah Papa percaya saya telah membunuhnya?! -Tomi balik tanya.

Tuan Yunus memandang anaknya dengan serius namun penuh sayang; lalu menggeleng.

Tidak gelengnya, -papa tidak percaya engkau telah melakukannya!

-Dan saya memang tidak melakukan apa

apa! Tomi menegaskan dengan setengah berteriak, sambil memeluk kedua lengannya.

Tidak berbuat apa-apa?! --kali ini ayahnya tersenyum, dengan seorang perempuan cantik, engkau tidak berbuat apa-apa?! Haruskah papa mempercayai juga dosa ini?

Papa! tegur Tomi, dengan muka sedikit merah dan ayahnya kembali tergelak-gelak.

Terhibur hati Tomi melihat ayahnya riang seperti itu. Semula hatinya berat dan kesal. Walaupun tahu dia tidak bersalah, namun dia tahu juga, sulit membuktikan ketidakbersalahannya. Sebab dia memang mengunjungi Susi malam itu. Juga, dia pasti akan sering diminta mondar-mandir ke kantor polisi dan ini lebih menjengkelkan lagi. Waktunya akan habis terbuang percuma. Naskah yang sedang dikerjakannya mungkin akan masuk keranjang sampah, sebab dia tidak dapat bekerja setengah jalan. Ilham yang terputus, akan putus selamanya.

Tom, tiba-tiba ayahnya berkata pelan sambil memajukan mukanya, aku sudah bertemu Neli!
Neli?! Tomi memandang orang tua itu dengan sedikit bingung. Tentu saja dia kenal siapa Neli, walaupun belum pernah melihat orang maupun gambarnya. Sejak dia masih di SMA, ayahnya gemar mendongeng tentang cinta abadinya itu. Bagaimana akhirnya ayahnya merana karena dia toh sudah mati! Kening Tomi berkerut, Ayahnya tersenyum melihat sikap anaknya.

Aku tahu, engkau pikir, Neli toh sudah meninggal?! Ya, ya, dia sudah mati memang. Tapi dia hidup lagi di dalam anaknya!

Ayahnya kelihatan segar dan penuh semangat.

_Anaknya?!

Ya, ya, anaknya! laki-laki tua itu makin bersemangat. Kemudian setengah malu-malu, dia berkata pelan, kau pikir aku sudah terlalu tua untuk menikah lagi. Tom?!
Astaga" Menikah?! Betul-betul sudah tua ayahnya. Sudah berbalik muda lagi.

Oh tentu saja, tidak sahutnya cepat-cepat menekan gelaknya, tiada seorang pun yang akan bilang, Papa terlalu tua. Tapi.... apakah anak itu .. anaknya Neli itu.... anu sudah setuju?!

Belum. Belum aku tanyakan. Rasanya. dia takkan menolak. Dia begitu penuh perhatian padaku. Dia sayang padaku

Tomi mengangguk-angguk tanpa komentar. Hari mulai gelap dan bertambah dingin. Hasan sudah menyalakan lampu serta menutup jendeIa-jendela.

Dia baru saja pulang dari sini. Kalau engkau dapat melihatnya. Pasti engkau setuju. Wajahnya cantik, tingkah lakunya halus, suaranya lembut

Apakah akan saya panggil lagi ke mari, Tuan? tanya Hasan memotong.

Diam. kau! sembur si Tua, -apa-apaan ikut-ikut omong?!

Hasan melirik Tomi ketika majikan tuanya tidak melihat dan mengedipkan sebelah matanya.

_Pendeknya sambung Tuan Yunus pada anaknya, engkau sulit menemukan orang seperti itu jaman sekarang ini, di mana gadis-gadis berlomba adu kuat dengan laki-laki dalam segala hal. Dia mirip sekali dengan ibunya, sehingga bila aku bersamanya, aku selalu merasa bersama dengan Neli. Engkau pasti setuju, Tomi

Yang akan kawin siapa? pikir Tomi hampir tertawa, namun mengangguk dengan hormat.

Hasan datang lagi mengganggu, menyatakan orang yang baru datang perlu mandi dan makan dulu. Tuan Yunus seakan-akan terkejut, baru ingat dia bahwa Tomi belum lagi membuka sepatunya sejak tadi.

Ah, maafkan aku. Tom. Engkau pasti sudah lapar. Aku lupa. Pergilah ke kamarmu. Tapi... anu bagaimana dengan urusanmu itu?!

Aaah! --kata Tomi melambaikan tangan sambil bangkit, Papa tidak usah memikirkan hal itu. Semuanya akan beres.Yang bersalah pasti akan tertangkap!

Semoga! -gumam si Tua pelan, penuh permikiran dan pengalaman.

Ketika Tomi sudah melangkahi ambang pintu, tiba-tiba ayahnya berseru, Besok jangan ke mana-mana. Bila dia datang, aku akan perkenalkan kalian!

Seakan-akan yang mau kawin ini, aku kata Tomi di belakang, pada Hasan.

Ah, makin menjadi-jadi saja, Neng. Tuan sampai kambuh lagi dan baru sembuh ketika gadis itu datang

_ Oh _

Tomi tidak tahu bahwa gadis itu telah menyelamatkan ayahnya. Menurut cerita Hasan, penyakit ashma itu hampir-hampir membunuh ayahnya, bila gadis itu tidak segera datang. Dan Hasan juga tidak lupa mengatakan, bahwa ashma itu timbul karena gadis itu tidak juga muncul membalas kunjungan ayahnya.

Gawat, pikir Tomi. Dia harus baik-baik dengan gadis itu supaya jantung hati ayahnya tidak lari. Sebab tampaknya, ayahnya tidak dapat hidup tanpa si dia.

Betulkah gadis itu cantik?! tanya Tomi sambil berjalan ke kamar mandi.

Oh, begini! -sahut Hasan memperlihatkan jempolnya, muda dan cakep!

Tomi sudah terlalu sering berjumpa dengan gadis-gadis cantik, dia tidak dapat lagi membayangkan bagaimana kira-kira rupa pujaan ayahnya itu.

Pokoknya -katanya tertawa, aku tidak akan menyaingi Papa, San! Tapi lain kali, kalau ada serangan lagi, engkau tidak boleh lupa mengirim surat lewat suburban!

Ya, Neng. Itu pun sudah hampir saya lakukan, tapi ternyata Tuan jadi agak lumayan setelah gadis sebelah. datang. Dan esoknya malah sudah hampir sembuh. Jadi saya pikir, untuk apa mengagetkan orang lain

Gadis sebelah, pikirnya sambil meraih gayung mandi. Calon ibu tiriku. Entah berapa umurnya! Dan Tomi kembali ingin tertawa. Persoalannya sendiri hampir terlupakan.

Dia berjumpa dengan gadis sebelah, keesokan harinya. Tomi tertidur sampai siang. Peristiwa Susi membuatnya penat dan lelah dan kurang tidur. Kisah ayahnya dengan calon ibu tirinya, telah begitu menyita perhatiannya, sehingga untuk sejenak dia lupa akan Susi dan rasa penat itu kembali timbul, melelapkannya ke alam mimpi terus-menerus.

Ketika ayahnya memanggilnya, da masih sedikit terlena. Disangkanya dia tengah inimpi. Ketika panggilan itu berkumandang untuk kedua kali, Tomi menggosok-gosok matanya yang masih tertutup. Baru ketika panggilan itu bergema lagi, kali ini untuk ketiga dan keempat kali, Tomi membuka matanya dan melihat arloji. Setengah sebelas. Dia menggeliat, melemaskan urat-urat yang kaku di seluruh tubuhnya.

Hasan membuka pintu pelan-pelan mau mengintai. Tomi memandangnya tanpa bergerak.

Sudah datang! --bisiknya dan Tomi lebih membaca bibirnya daripada mendengar suaranya.

Huh! "keluh Tomi, apakah aku perlu mandi dulu sebelum menjumpai calon, ibuku?!

Cepat! Tuan sudah tidak sabar! desak Hasan, mendekati tempat tidur untuk membereskannya.

Ya, ya, Tomi tahu, ayahnya cepat hilang sabar. Dia membuka piyama dan mengenakan celananya kemarin. Di sisirnya rambutnya lalu dihapusnya minyak di wajahnya dengan sapu tangan.

Toooomiiiii....! gelegar dari luar.

-Nah, itu kata Hasan berbisik.

Tomi memasukkan kedua kakinya ke dalam sandal jepang lalu menyeret mereka ke luar. Ayahnya sedang duduk di ruang tengah. Toni tidak tahu, siapakah di antara mereka yang lebih terkejut: gadis itu atau dia. Yang pasti, ayahnya tidak mengetahui adanya arus listrik yang, menjalar pulang balik dalam sekejap itu. Dia asyik melambaikan tangannya menyuruh Tomi supaya berjalan lebih cepat. Ketika Tomi masih tiga meter dari mereka, ayahnya sudah memeluk Lisa dan berkata, -Tom, ini dia Lisa yang kemarin aku ceritakan -dan tangan Lisa disorongkan oleh ayahnya ke arah Tomi.

Gadis itu menjadi sedikit pucat. Tangannya

dingin. Tomi menyambuti salam itu dengan biasa, tertawa gembira.

Senang berkenalan dengan.... Tomi terhenti, memandang ayahnya. Dia tidak tahu, panggilan apa yang diijinkan oleh ayahnya.

Aaah, seru ayahnya, tertawa riang, mengibaskan tangan, kalian toh sama-sama muda, panggil saja dia Lisa. Anggap dia seperti temanmu, Tom. Dan engkau boleh memanggil anakku, Tomi saja, Lisa

Aaah! Betapa lembutnya suara ayahnya menyebut nama itu. Tomi cepat mengangguk untuk menyudahi perkenalan yang mendebarkan Itu.

Senang berkenalan dengan engkau, Lisa katanya dan hatinya tiba-tiba terasa nyeri.

Ayahnya menarik kembali tangan Lisa. Gadis itu tidak berkata apa-apa.

Duduklah di situ kata ayahnya setengah memerintah,kita harus membiasakan diri untuk berkumpul. Tidak baik bila orang tua dan anak selalu menjauhkan diri

Tomi begitu terpukau oleh penemuan yang tak terduga itu, sehingga seakan-akan dia lersihir, dia menuruti perintah ayahnya dan duduk di kursi di seberang Lisa serta ayahnya. Gadis itu duduk di pinggir sofa, agak jauh dari Tuan Yunus, tapi lengan tuan rumah melingkari bahunya. Tomi sebentar menunduk, memperhatikan jari-jari tangannya. Sepi rasa hatinya. Didapatinya kulitnya sudah ditumbuhi bintik-bintik coklat, dan urat

urat menyembul keluar. Aku sudah mulai dalam perjalanan menjadi tua. Aku akan menjadi seperti Ayah. Tapi tidak akan persis sama. Aku tidak akan persis seperti Ayah. Tidak mungkin. Ayah mendapat dia. Aku tidak mendapat apa-apa. Mungkin di sana-sini aku telah dan masih akan menemukan cinta-cinta sepintas lalu, tapi aku tahu takkan ada yang menetap. Sebab aku tidak ingin mereka menetap. Tidak ada tempat lagi bagi mereka untuk menetap. Tomi tiba-tiba melihat hidupnya yang panjang, sunyi dan menjemukan. Hidup yang akan datang. Di lantai yang licin dan dingin itu sekonyong-konyong muncul bayangan sel penjara. Betapa bahagia bila aku betul-betul telah membunuh Susi. Aku akan dapat masuk ke situ.... ah, bila aku tidak berusaha membuktikan diri tidak bersalah, masih ada harapan.... orangorang belum yakin aku tidak bersalah.... bila aku mengaku... sel penjara lebih lumayan daripada hidup tanpa

Lisa menggerakkan kakinya. Tomi yang tengah asyik merenung sambil memandangi lantai di mana kaki gadis itu terletak, ikut-ikut tersentak. Diangkatnya wajahnya, Gadis itu tengah memperhatikan sulaman di atas bantal. Ayahnya tengah memutar-mutar sender radio, mencari musik yang menyenangkan hatinya.

Tomi mengembalikan perhatiannya pada Lisa. Gadis itu mengenakan gaun payung dari katun putih dengan bunga biru muda. Rambutnya diikatnya dengan seuntai pita merah. Pipinya yang tidak dibedaki kelihatan merah jambu dan bibirnya merah pucat. Seakan-akan merasa dia tengah ditatap, Lisa melepaskan bantal itu dan menoleh pada ayahnya. Tomi ingin sekali gadis itu memandangnya, tapi harapan itu tidak terkabul. Lisa tidak mau memandang ke arahnya.

Kemarin ada radio amatir yang bagus, Pak -kata Lisa untuk pertama kali sejak tadi. Aaah, merdunya suaranya. Memang lembut. Terlalu banyak meladeni penggemar-penggemarnya yang beraneka ragam, membuat Tomi lupa kelembutan suara Lisa. Dia ingat, suaranya itu yang membuatnya mula-mula tertarik, ketika: -Bolehkah saya mengetahui namamu? Saya cuma mendapat nomor kamarmu

Ya, yang kemarin itu. Gelombang berapa, ya? Aku, lupa! -Tuan Yunus menggeleng, dengan sengit, sebab lupa.

Tomi bangkit. Semata-mata untuk menyibukkan diri, didekatinya radio itu dan ditawarkannya jasanya untuk mencarikan musik yang bagus. Lisa tengah memandang ke luar jendela dan sekonyong-konyong mendapat ilham ingin memetik bunga untuk meja makan.

Boleh ya, Pak?! tanyanya dan tidak luput dari pendengaran Tomi, nada intim yang sedikit manja. Dia menghela napas dalam hati.

Bulan yang dirindukan sepanjang jaman, ternyata sudah mengalami gerhana abadi. Betapa mengiris hati. Suara Teti Kadi mengalun sedih.

Ya, ini kata ayahnya dan Tomi tidak menjadi heran. Orang yang berbalik muda tentu saja menyukai segalanya yang serba muda. Tomi bangkit dari berlutut di samping radio itu. sementara Lisa yang sudah mendapat ijin, segera berlari mencari pisau.

Ah, lebih baik saya mandi dulu -kata Tomi tidak pada siapa-siapa, tapi seakan-akan itu ditujukan padanya, Tuan Yunus menjawab, memberi ijin dan dengan begitu, kumpul-kumpul antara orang tua dengan anak bubar.

Tidak lama setelah dia selesai mandi, tiba waktu makan siang. Lisa ingin pulang, tapi ditahan oleh Tuan Yunus. Mereka makan bertiga. Tuan rumah gembira sekali dan banyak bicara. Lisa tidak lagi pucat. Dia sudah mau ikut omong-omong. Juga Tomi. menyambut setiap kalimat dengan penuh perhatian. Dia malah sudah langsung bicara sekali dua kali dengan Lisa. Tuan Yunus makin bertambah gembira. Cita-citanya agaknya akan terlaksana dengan lebih mudah. Anaknya ternyata menyukai Lisa, tapi masih cukup menaruh honnat untuk tidak menganggapnya sebagai teman sepermainan. Dan Lisa juga tidak mempunyai bakat untuk menjadi genit atau main mata dengan anaknya.

Saya dengar, engkau telah menyelamatkan Papa kata Tomi, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih

Ah. tidak usah -sahut Lisa dengan muka merah, saya tidak berbuat apa-apa yang istimewa

Siapa bilang?! -seru Tuan Yunus, kalau tidak karena Lisa, Tom. papa mungkin entah sudah bagaimana. Itu serangan yang terhebat selama tiga tahun terakhir. Papa rasanya sudah putus harapan. Tapi waktu Lisa datang, papa mula-mula mengira itu ibunya dan papa merasa senang sekali. Pikir papa, papa akan mati, sebab sudah dijemput olehnya. Napas sesak seketika hilang. Papa merasa sehat. Papa pikir, itu memang biasanya perasaan orang yang hampir ajal, tidak tahunya papa memang betul-betul sembuh. Sembuh. Karena Lisa dan Tuan Yunus mengakhiri kalimatnya dengan pandangan sayang ke arah gadis itu yang tersipu-sipu mengunyah makanannya.

Ya, untung ada engkau. Lisa ..kata Tomi, memberi tekanan pada nama itu,

Saya terlalu sibuk di kota, sehingga kadang-kadang tidak dapat datang dengan teratur

Betulkah apa yang disiarkan oleh radio? tanya Lisa memandangnya tepat pada kedua matanya, untuk pertama kali.

Yah! --Tomi mengangkat bahu, tergantung bagaimana putusan pengadilan nanti! Sekarang ini saya belum tahu, apakah saya bersalah atau tidak!

_ Ah,jangan bilang begitu! Engkau tahu dan Papa tahu, engkau tidak bersalah. Karena itu engkau pasti bebas

Tomi mengangkat bahu.

Ya, saya kira pun, engkau memang tidak dicurigai. Kalau engkau tertuduh betul-betul, pasti engkau ditahan dan tidak boleh ke mana-mana

Saya sebenarnya juga dalam tahanan. Tahanan kota. Dengan dispensasi mengunjungi Ayah setiap minggu lalu pada ayahnya disambungnya, -karena itu Papa, mungkin lebih baik Papa pindah dulu ke kota. Siapa tahu. saya nanti dilarang ke mari

Aw! -ayahnya menjerit kecil, untuk apa pindah? Aku toh tidak kena bencana apa-apa di sini?!

Ya, seandainya saja kita misalkan, Papa terkena serangan lagi....

Aaah, jangan khawatir tidak keruan! Itu membuat kita cepat tua, tahu. Tenang-tenang saja kau di kota. Urus perkaramu sampai beres. Aku di sini aman sentosa bersama Lisa. Dia juga dapat menyetir mobil, jadi tidak ada yang perlu dicemaskan

Ya, saya akan tinggal di sini menemani ayahmu kata Lisa pelan dan Tomi merasa sedikit pusing. Matanya gelap sejenak. Tapi dengan cepat dikuasainya perasaannya dan senyumnya terkembang.

Kalau begitu, saya serahkan ayah saya ke tanganmu

Tuan Yunus tergelak-gelak, merasa kalimat anaknya cocok sekali dengan hatinya. Lalu dia mulai menerangkan pada Lisa, siapa Tomi sea

kan-akan belum semua perempuan muda mengenal nama pengarang tampan yang tidak pernah menolak cinta itu. Lisa cuma mengangguk-angguk dengan sopan, tanpa menunjukkan perhatian yang khusus. Tomi makin merasa tersudut dan sendirian. Dulu, dia hampir yakin gadis itu mencintainya. Karena perempuan itu komandan. Dia berulang tahun dan ingin tanda tanganku!

Ha, ha.... apakah dia tidak minta cium? ! Budi tergelak-gelak.

***

Bapaknya yang meminta supaya aku mencium anaknya

Apa?!terlontar reaksi kaget Lisa.

Ya, anaknya masih malu-malu untuk memintanya sendiri! tukas Tomi lalu melirik Lisa dan menambahkan, habis, baru sepuluh tahun, sih!

Apakah anak sepuluh tahun sudah diperbolehkan membaca roman? tanya Lisa untuk menghilangkan malunya diperolok Tomi.


Pasukan Mau Tahu 11 Misteri Di Holly Anne Of Green Gables 3 Anne Of Island Girl Talk 10 Jatuh Cinta

Cari Blog Ini