Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius Bagian 1
Teriakan Kakatua Putih
iJOHAN FABRICIUS
ii
Johan Fabricius
TERIAKAN
KAKATUA PUTIH
Pemberontakan Patimura di Maluku
Diterjemahkan
oleh
H.B. JassinHak Cipta Bahasa Indonesia pada Djambatan
Anggota IKAPI
Jakarta 1980
Judul Asli : De schreeuw van de Witte Kakatoe
Pengarang Asli : Johan Fabricius
Penerbit Asli : Ultgeverij Leopold b.v. ? Den Hag
Penterjemah : H.B. Jassin
Rencana sampul : Nana Ruslana
Buku ini diterbitkan atas kerjasama
dengan Pemerintah Kerjaan Belanda
Percetakan P.T. Karya Nusantara - BandungJOHAN FABRICIUS
iv
Peta Piguratif dari pulau-pulau Amboina, Ana, Honimoa dan Nusa LautTeriakan Kakatua Putih
v
"Anak-anak! Biarkan anak-anak itu hidup!" jerit
ibuku. Seekor burung menggelepar-gelepar liar,
suaranya menusuk udara penuh ketakutan: bayangan
putih berlatar hitamnya malam yang membentang
meliputi siang itu. Apakah burung kakatua kami juga
harus menjadi korban karena rasa benci para
pemberontak terhadap kami?Teriakan Kakatua Putih
1
Aneh, semua ini aku kenali kembali! Maksudku
bukan pohon-pohon nyiur itu, pohon-pohon pisang,
pohon-pohon itu sudah sering aku lihat dalam
perjalanan ke mari: mula-mula di kepulauan
Kaapverdia, di mana kami mengambil persediaan air
dan makanan, sayur-mayur dan buah-buahan yang
segar; kemudian juga ketika kami meneruskan
perjalanan menyusur pantai Sumatra dan tentu saja
di pulau Jawa, sementara aku menunggu kapal yang
akan berangkat lagi ke Ambon. Dari sana aku
selanjutnya dapat menyeberang ke Saparua dengan
perahu orombai. Apa yang di sini terutama aku rasa
akrab bunyinya ? sesudah lebih setengah abad
lamanya! ? ialah bunyi bahasa yang dahulu aku
tangkap sebagai anak kecil berusia lima tahun waktu
aku bermain-main dengan anak-anak pelayan kami
bangsa bumiputera. Masih terngiang-ngiang di
telingaku lagu yang dinyanyikan Hanna untuk
menidurkan aku; sesekali aku mempergoki diriku
bahwa lagu itu aku senandungkan. Kadang-kadang
aku membayangkan wajahnya dalam mata batinku,
tapi aku hanya melihat bintik gelap yang kabur. Yang
masih dapat aku rasakan ialah tangannya bila
mengusap kepalaku untuk mengusir nyamuk.JOHAN FABRICIUS
2
Yang juga segera aku kenali kembali ialah
nyanyian berirama orang-orang di atas orembai;
mereka sedang memanggil angin; atau memanggil
angin yang akan mengembangkan layar, sehingga
mereka tidak usah memakai dayung dan dapat
meluruskan badan di bawah naungan layar,
berserah diri kepada kenikmatan istirahat dan dunia
gembira ria sekitar mereka. Aku masih ingat karena
sebagai anak kecil aku sesekali boleh mengikuti ayah
apabila ia mengadakan perjalanan inspeksi yang
singkat ke salah satu pulau sekitar : Mulana atau
Nusa Laut, petualangan yang menggairahkan dan
menyenangkan bagi seorang anak kecil. Ya. lalu
bunyi tajam rombongan burung parkit yang terbang
lewat seperti lidah api yang hijau, itu juga masih aku
kenali, dan paruh-paruh lengkung yang sibuk
mengerip ranting-ranting, buah-buah berkulit. Tapi,
aku kira, terutama bau harum pulau ini dan laut
sekitarnya. Bau harum yang tidak pernah lagi aku
hirup di tempat lain dan yang di sini menyambutku
dengan gembira, memberikan perasaan seolah-olah
aku pulang ke rumah. Suatu perasaan aman, apa pun
yang terjadi.
Sebenarnya sesudah isteriku meninggal dunia
baru timbul keinginan dalam diriku untuk dalam
hidupku ini sekali lagi kembali ke pulau di mana aku
pernah bermain-main semasa kecil dan di mana hal
itu telah terjadi. Dengan bantuan tetanggaku
Lamberts, seorang kapten tentara Hindia pensiunan.
aku belajar bahasa Melayu sedikit. Kata-kata dan
ungkapan-ungkapan kucatat dalam buku tulis,
sehingga dalam perjalanan yang jauh ke Hindia akuTeriakan Kakatua Putih
3
masih bisa mencari jalan juga tanpa bantuannya.
Akibatnya ialah bahwa sekarang aku sama sekali
tidak begitu tergantung lagi kepada orang lain.
Untuk menghayati kembali sebaik-baiknya
masa yang sudah lama silam, aku naik kapal barang
"mengitari Tanjung Harapan" ? sama seperti dulu
waktu aku sebagai anak yatim dikirim kepada
keluargaku di negeri Belanda ? bukan dengan
membeli tiket untuk naik kapal raksasa yang
digerakkan dengan mesin uap mengambil jalan
singkat melalui Terusan Suez. Barangkali aku akan
melalui Terusan Suez juga dalam perjalanan pulang,
sebab aku ingin melihat dengan mata kepala sendiri
hasil ciptaan De Lesseps yang hebat itu! Dalam
waktu enam minggu dari Nieuwediep ke Batavia !
Pertimbangan lain untuk pilihanku ialah bahwa
aku lebih suka tidak bertemu dengan begitu banyak
penumpang: orang masih ingat kepada drama di
Saparun dan betapa sering nanti aku akan
mendengar orang berkata penuh belas kasihan:
"Itulah orang yang ketika masih kecil dapat lolos
dari pembunuhan di pulau Maluku ? dan ialah satu
satunya anak kecil! Masih kelihatan di mata
kanannya bekas tetakan kelewang... umurnya lima
tahun baru waktu itu!" Di kapal "Koningin Sophic"
aku duduk di meja makan hanya bersama Terborg.
kapten kapal dan Yansen, jurumudi; kalau mereka
bicara tentang Hindia Timur, selalu ceritanya
tentang ekspedisi Aceh yang berakhir menyedihkan,
yang beritanya merembes ke negeri Belanda tidak
lama sebelum kami berangkat. Mereka tidak habis
pikir mengapa serdadu-serdadu Belanda tidakJOHAN FABRICIUS
4
menghabisi saja kawanan perompak Aceh itu tanpa
banyak cingcong; sebaiknya cepat-cepat saja dikirim
lagi ekspedisi ke sana untuk menghajar bajingan
bajingan itu. Tapi biasanya mereka tidak bicara
waktu makan, kecuali untuk mengucapkan doa
terima kasih dan mohon berkat dari Tuhan atas
makanan yang disajikan. Berkat yang memang
diperlukan, sebab juru masak, yang pasti bukan
kepala juru masak Perancis, sedikit sekali
mengadakan pergantian menu dalam makanan
sehari-hari.
Apakah keinginan itu, keinginan yang pada
akhirnya tidak tertahankan untuk menengok sekali
lagi Saparua sebelum aku mati ? Aku kira keinginan
itu timbul karena perasaan bahwa hidupku tidak
akan lengkap apabila aku tidak kembali ke
asalmulanya.
Aku ingin berkenalan dengan orang-orang yang
mengelilingi aku sewaktu aku masih kecil, aku
mempunyai kenang-kenangan yang menyenangkan
kepada mereka itu, sekiranya tidak terjadi peristiwa
yang mengerikan itu...
Apakah yang sebenarnya terjadi di benteng
Duurstede yang sekarang ini begitu tenang terletak
di teluk, terlelap di bawah matahari khatulistiwa
yang membakar? Orang-orang yang membunuh
orang tuaku, adikku laki-laki dan adikku perempuan
? apakah mereka itu manusia binatang
sebagaimana yang selalu diceritakan orang
kepadaku? Tapi bagaimana Hanna yang
bersenandung sampai aku tertidur dan mengusir
nyamuk yang hendak menggigit mukaku?Teriakan Kakatua Putih
5
Bagaimana kedua orang perempuan Maluku, yang
membawa aku dari benteng ke pondoknya. yang
membasuh luka-lukaku dan merawatku, memelihara
dan melindungiku ?
Di Ambon aku diterima oleh Gubernur sebagai
tamu istimewa; semua orang berusaha untuk
menyenangkan hatiku. Segera kedatanganku
diberitahukan kepada Residen Saparua, tuan
Doornbos, yang menawarkan pavilyunnya untuk
kupergunakan sampai kapan saja. Hotel tidak ada di
seluruh pulau (yang namanya sebenamva Honimoa,
tapi biasa disebut Saparua seperti nama "ibukota"
nya). Untunglah aku tidak sampai mengganggu tuan
rumah dan nyonya rumah. Buat orang yang tinggal
lama menumpang, di negeri Hindia orang
menemukan pemecahan yang tepat : si penumpang
mengatur rumah tangganya sendiri. Untuk waktu
beberapa bulan yang aku rencanakan, aku
mengambil pelayan-pelayan sendiri. Seorang
jurumasak. Miriam. Kepadanya setiap pagi kuberi
uang untuk belanja ke pasar. Adiknya, yang masih
anak-anak, bekerja sebagai pelayan yang sudah
dewasa. Dia membenahi tempat tidurku, mencuci
pakaian dan menyeterika baju semuanya
dilakukannya dengan penuh kesungguhan. Kadang
kadang aku memperhatikannya diam-diam. Kalau
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia mempergoki aku, suatu senyuman mencerahkan
wajahnya yang manis, senyuman orang yang tahu
dirinya kena pergoki, dan dia bertambah manis
kelihatannya Suami Miriam, memakai nama yang
indah dari Al Kitab, yakni Yonathan. Ialah yang
membersihkan segala sesuatu dan ialah yangJOHAN FABRICIUS
6
melayani kami makan, kalau masih ada yang perlu
pelayanannya, sesudah ia meletakkan di depanku
sepiring nasi yang panas dengan lauk pauk dan
sambal. Dan yang paling penting aku tak boleh lupa:
la mengisi bak mandi dengan tertib setiap pagi
dengan air dingin yang alangkah segar dari sumur.
Sebagai kawan serumah di rumahku ada pula seekor
kakatua ? burung yang banyak terdapat di daerah
ini. Yonathan mengambilnya sewaktu masih kecil
dari sarangnya dan mengajarinya bicara: "kakatu".
slamat pagi, tuan !" dan beberapa patah lagi ucapan
selamat. "Ada ujan! Ada ujan!" teriaknya kalau hujan
turun. Dia indah sekali apabila menundukkan kepala
ke depan minta dielus tengkuknya dan sementara
itu mengembangkan jambulnya yang kuning lembut
dari dalam.
Petang hari aku minum teh dengan keluarga
Doornbos. di pekarangan depan di bawah pohon
cemara yang tinggi. Di situ sejuk. Nyonya Doornbos,
saya boleh menyebut namanya Eveline, dengan
gugup memberi isyarat jangan, jangan, apabila
kedua anaknya yang berusia enam dan tujuh tahun,
meminta kepadaku untuk menceriterakan tentang
pembunuhan itu; mereka telah mendengar hal-hal
yang mengerikan tentang itu dari sersan di benteng.
"Diam kamu ! Tuan tidak ingat apa-apa lagi tentang
itu!" ? "Ya. tapi sersan itu mengatakan ...!" ?
"Cukup!" perintah ayah mereka dan mereka pun
diam. Si kecil Suzi. yang berusia tiga tahun,
memandang dengan mata terbuka lebar kepada
yang satu, kemudian kepada yang lain.Teriakan Kakatua Putih
7
Eveline tidak merasa bahagia di dunia Timur
ini. Dia tidak dapat membiasakan diri dengan udara
panas, dia takut ular di bawah tempat tidur dan
serangga berbahaya dan lebih-lebih dia takut
kepada bangsa berkulit hitam ini, dia tidak dapat
atau hampir tidak dapat mempergunakan bahasa
mereka itu. Dia heran mengapa aku kembali lagi ke
mari. "Kau kan benci orang-orang itu ?" katanya. Ya.
mungkin memang aneh, tapi aku tidak merasa benci,
hanya keinginan yang dalam untuk mengerti. Dan
alam khatulistiwa yang begitu menakutkan baginya,
justru memberiku perasaan tenang sekali dan
kesenangan badaniah bagiku.
Apa yang nampaknya sangat merisaukan bagi
Eveline ialah persamaan yang sungguh menyolok
antara keluarganya dan keluarga orang tuaku
dahulu, mereka juga mempunyai dua orang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan dan sama
pula seperti pada ibuku tempo hari ? seorang anak
keempat yang akan lahir. Berkali-kali dia
mengatakan kepadaku bahwa dia senang sekali
dengan kedatanganku : tambah seorang lagi laki-laki
kulit putih di pulau yang hanya dihuni orang-orang
kulit hitam yang tidak dia percaya. Apabila suaminya
beberapa hari turne, aku harus tidur di kamar tamu
gedung utama, supaya aku mendengarnya bila
berteriak minta tolong malam hari.
Tuan Residen ? aku menyebutnya dengan
jabatannya ? kesal dengan segala kekuatirannya.
Sama sekali tidak ada alasan. katanya kepadaku:
kekuasaan Belanda di Maluku sudah pulih sama
sekali dan ia cukup mengendalikan orang-orangnya.JOHAN FABRICIUS
8
Aku mengenal "orang-orangnya" itu : Yob, opas
polisi bangsa Maluku, yang biasa disebut "opas",
yang segera mengambil sikap memberi hormat
dengan tangannya kaku ke topi rumput berpinggir
lebar, pada satu sisinya terlipat perkasa, apabila
"tuan Residen" pagi-pagi setengah tujuh, tampil di
serambi muka, dicukur klimis, habis mandi dan
memakai seragam putih diseterika licin, siap
memulai tugas sehari-hari : keluar memeriksa
bangunan air yang bobol, memeriksa jembatan yang
runtuh waktu banjir, menyelidiki keluhan-keluhan
mengenai pungutan pajak, menertibkan kepala desa
yang tidak melakukan kewajibannya.
Aku sendiri kadang-kadang mencarikan
persamaan antara dirinya dan ayahku Agaknya
ayahku pun sikapnya otoriter dan tidak disenangi
oleh penduduk karena sikapnya yang keras, jarak
yang diadakannya antara dirinya sebagai pejabat
tinggi pemerintah Belanda dan rakyat dan ibuku
tidak tahan dengan iklim khatulistiwa dan menulis
surat-surat penuh kerinduan kepada keluarganya di
negeri Belanda; aku pernah melihat sepucuk surut
seperti itu.
Tentu saja persamaan-persamaan itu kebetulan
sekali, tapi semuanya itu menambah suasana
kegaiban. Apakah aku bermimpi, kadang-kadang aku
bertanya.
Sebulan sesudah tiba di pulau itu, aku belum
juga pergi ke benteng. "Datanglah, tidak ada apa-apa
lagi, tuan tentu tahu." kata Riemers. seorang sersan
yang mengepalai benteng itu berlima seorang kopral
Ambon dan kira-kira dua belas orang prajurit JawaTeriakan Kakatua Putih
9
? seperti dulu juga. "Kalau tuan tidak berani
sendiri, saya akan temani."
Mengapa tak berani ? Aku tidak percaya hantu.
Tapi aku terus menunda-nunda kepergianku ke
benteng itu.
Aku mengembara di pulau itu dan telah
berkenalan dengan raja-raja beberapa
perkampungan di pantai selatan: raja Tiou dan Siri
Sori Serani, raja Porto dan raja kampung
tetangganya. Haria. Kebanyakannya mereka itu
berusia kira-kira enam puluh tahun, seusia
denganku. Jadi dulu itu mereka masih anak-anak
seperti aku dan hanya mengetahui cerita orang saja;
meskipun demikian aku melihat dalam cara mereka
menegurku semacam perasaan bersalah yang
terpendam. Perasaan bersalah tentang apa yang
telah terjadi di dalam benteng, bukan tentang
pemberontakan itu sendiri: pemberontakan itu
dalam hatinya mereka anggap masih bisa
dibenarkan. Juga dengan orang-orang kaya aku
pernah berbicara; mereka itu ialah orang-orang
bangsawan di pulau itu. Mereka itu sikapnya lebih
angkuh, kadang-kadang bahkan dingin terhadap
diriku : menghadapi seorang yang lebih tua di antara
mereka aku pada mulanya bertanya-tanya apakah ia
juga salah seorang yang menyerbu benteng.
Kemudian aku mengetahui bahwa persangkaanku
itu keliru.
Mereka tidak akan mulai sendiri bercerita;
apabila aku menanyakan kepada mereka apa yang
masih mereka ingat, maka mereka mula-mula
tertawa, seperti yang dilakukan oleh semua orangJOHAN FABRICIUS
10
Timur apabila orang membicarakan sesuatu yang
kurang menyenangkan, sesuatu yang melibatkan
dirinya atau yang hanya mereka alami dari
kejauhan. "Ya. tuan, hebat juga pemberontakan itu
Matulesia itu. yang banyak pengikutnya... Thomas
Matulesia namanya... orang itu gila! Dan ia juga
membuat orang lain gila! la membacakan Alkitab,
katanya orang Belandalah yang dimaksud dengan
orang fasik dalam mazmur 17. merekalah yang
harus dilawan dengan senjata. Kemudian, sesudah
semuanya telah terjadi dan kami takut pembalasan
dendam oleh Kompeni, yang pasti akan datang,
barulah kami lihat betapa gila orang itu! Kami orang
kaya dianggap sepi, hanya ialah yang boleh
memerintah! Ia menabalkan dirinya jadi Raja
Honimoa dan Nusa Laut., Ambon, Seram dan lain
lain dan membentuk rumah tangga istana! Seperti
raja di raja! Dan siapa atau apa ia sebenarnya ?
Seorang rakyat biasa, yang bisa baca dan tulis
sedikit! ?Biarlah datang orang-orang Belanda itu,?
katanya sesumbar, ?mereka tidak bisa melawan aku !
Aku akan usir mereka kembali ke laut, supaya ikan
hiu melalap daging babi putih itu ! Selama dunia
terkembang, tidak seorang pun orang Belanda
menjejak kembali Honimoa!?
Orang-orang kaya itu tertawa, karena ramalan
kurang ajar itu tidak terbukti : nyatanya sekarang
ada lagi orang Belanda di Honimoa. Seram, Ambon
dan di mana-mana! ha-ha!
Suara mereka bernada menghina kepada orang
yang buat sementara merebut kekuasaan dan
kedudukan itu orang kecil yang hendak mengangkatTeriakan Kakatua Putih
11
dirinya di atas kaum bangsawan tua di pulau itu.
Tuan tidak tahu betapa kurang ajarnya ia. Setelah ia
ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung, ia
berseru, ketika lehernya sudah dijerat ?Selamat
tinggal, tuan-tuan!? Orang-orang Belanda itu
melongo : betapa mungkin orang yang di tiang
gantungan masih mengucapkan selamat tinggal
kepada mereka di bumi ini?
"Dapatkah anda menceriterakan... bagaimana
sebenarnya asal mulanya pemberontakan itu?"
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanyaku.
Mereka saling memandang. "Mulainya di Porto."
kata yang tertua di antara mereka, Yosef Lutupema.
yang sebelumnya juga sudah bicara. "Tidak,
sebenarnya sudah lebih dulu, tetapi di Porto barulah
ayah tuan terlibat. Kepadanya diberitakan bahwa
orembai, perahu yang selalu mengambil pos dari
Ambon dan berlabuh di Porto, habis dirampok dan
dibakar. Ia lalu menaiki kudanya dan berangkat ke
Porto. Ia berpikir: kalau aku memperlihatkan diri,
semua orang akan menyadari bahwa tiap
perlawanan terhadap Kompeni, akan sia-sia. Ia
memang berani, tuan Residen itu, tapi tidak
bijaksana. Seorang laki-laki dari Saparua, Matheus
Suhuka, telah mengatakan kepadanya bahwa ada
keonaran di pulau itu dan bahwa ada makar untuk
membunuh tuan Residen bersama-sama dengan
raja-raja yang diketahui sering datang berkunjung
ke rumahnya. Tapi ayah tuan tidak percaya kata
kata Matheus Suhuka itu dan disuruhnya orang itu
didera dengan rotan setelah mendengar dari orang
lain bahwa ia hanya menyebarkan fitnah saja.JOHAN FABRICIUS
12
Memang tuan Residen suka sekali menghukum
orang dengan deraan rotan ! Matheus Suhuka lalu
tergabung dengan pemberontak.
Di pintu gerbang Porto tuan Residen dihadang
oleh gerombolan bersenjata dan diseret dari atas
kuda; orang-orang waktu itu sudah begitu geram,
sehingga mendera kudanya dengan tongkat sampai
mati. Tuan Residen sendiri berhasil menyelamatkan
diri ke rumah raja Porto. Dari sana ia mengirim
surat ke benteng : perintah supaya sersan segera
datang membebaskannya dengan membawa
soldadu-soldadunya. ?Semua di sini sedang
berontak,? tulisnya.
Beberapa orang sipil bersenjata dari Saparua
juga tergabung dengan sersan dan pasukannya, tapi
ketika mereka mendengar tembakan-tembakan,
mereka cepat-cepat berbalik ke belakang. Seorang
soldadu suku Jawa lengannya hancur.
Di Porto mereka berunding apa yang harus
dilakukan dengan tuan Residen, yang dalam pada itu
diserahkan oleh raja yang ketakutan kepada rakyat.
Apabila Residen dibunuh, maka yang akan
disalahkan hanya Porto dan kampung tetangga
Haria. padahal seluruh pulau turut serta dalam
komplotan. Karena tidak ada yang mengetahui
penyelesaian yang lebih baik, akhirnya ia diserahkan
kepada pimpinan benteng, meskipun banyak
sebenarnya yang tidak setuju, Tuan Residen
kemudian mengirim pesan yang mendesak ke
Ambon minta bantuan, tapi bantuan itu terlambat,
sebab malam itu juga orang mengepung benteng di
mana sebelumnya sudah mencari perlindunganTeriakan Kakatua Putih
13
isteri Residen dengan anak-anaknya serta pelayan
pelayan dan beberapa orang sipil dari Saparua, yang
tetap setia kepada Kompeni, bersama keluarganya
pula. Dari segala pelosok mengalir rakyat
bersenjata; hanya ketakutan kepada meriam
meriam di benteng yang membuat mereka belum
berani melakukan serangan.
Malam hari, Antonius Rhebok, seorang laki-laki
dari Siri-Sori Slam, meminta supaya dibolehkan
bertemu dengan Residen untuk menyampaikan
pengaduan penduduk Islam dari kampungnya. yang
ingin menggantikan raja Nasrani dengan raja
beragama Islam. Ini tentu saja hanya alasan yang
dicari-cari, tentu tuan maklum, sebab waktu itu yang
menjadi masalah lain sama sekali. Ini suatu muslihat
supaya tuan Residen berpikir bahwa keadaan sama
sekali tidak begitu gawat seperti yang disangkanya,
sehingga ia melepaskan pikiran tentang adanya
pemberontakan. Tuan Residen masuk perangkap, la
gembira bahwa orang minta bicara dengannya dan
tidak melakukan kekerasan. Ia mengatakan akan
mengabulkan keinginan Siri-Sori Slam dan
bersalaman dengan Antonius Rhebok. tidak mengira
betapa bencinya orang itu kepadanya, setelah
pernah mendapat hukuman deraan dengan rotan
karena kesalahan kecil.
Tuan Residen menyerahkan kepadanya sepucuk
surat yang isinya menyenangkan bagi penduduk
Siri-Sori Slam. Surat itu oleh Antonius Rhebok
dipakukan pada tiang di tengah pasar, sehingga
semua orang dapat melihat dan memperolok
olokkan isinya. Dalam pada itu rakyat terusJOHAN FABRICIUS
14
mengalir; sekitar benteng telah berkumpul beribu
ribu orang; tifa cakalele dibunyikan, mereka menari
nari gembira dan menyanyikan lagu-lagu
peperangan lama.
Sorak soiai gegap gempita ketika keesokan
harinya tuan Residen menyuruh kibarkan bendera
putih. Tapi itu bukan tanda menyerah, seperti yang
disangka orang mula-mula, hanya suatu seruan
untuk berunding secara damai. Tapi orang tidak
mau tahu tentang perundingan seperti itu; sebagai
jawaban mereka memukul tifa lagi dan meniup kulit
kerang. Waktu itulah orang mulai berpikir untuk
mencari orang yang akan memimpin
pemberontakan. Sementara rakyat membawakan
tangga-tangga bambu untuk mendobrak tembok
tembok sekitar benteng, di belakang ramah Residen
diadakan musyawarah tetua-tetua. Mula-mula orang
tidak dapat menentukan pilihannya, sampai raja
Tuhaha menyebut nama Thomas Matulesia. yang
selama pemerintahan interim Inggeris bertugas
sebagai sersan mayor pada milisi Bumiputera dan
karena itu mempunyai pengetahuan tentang
penggunaan senjata api : lagi pula ia terkenal
sebagai anggota yang setia dari Gereja Protestan
Kalvinis. Ia menyatakan diri bersedia memimpin
pemberontakan dengan syarat bahwa perintahnya
akan diturut tanpa perlawanan dan kepadanya
diberikan pangkat Kapten Pulau. Orang menerima
syaratnya itu. Rakyat mematuhinya secara mutlak.
Segera ia membuat suatu rencana untuk
menaklukkan benteng.Teriakan Kakatua Putih
15
Tuan Residen menyadari juga suasana panas di
luar benteng; meskipun ia telah mengibarkan
bendera putih, suasana tidak mereda. Akhirnya ia
memutuskan untuk tampil sendiri di atas tembok
pelindung dan mengibar-ngibarkan saputangan
putih sebagai isyarat bahwa ia hendak berunding.
Tapi Matulesia mengarahkan senapannya ke
arahnya dan peluru yang pertama mengenai
sasarannya; tuan Residen kena pahanya dan jatuh
terlentang. Soldadu-soldudu Jawa kemudian
bingung dan melompati tembok ; kaki mereka patah
tiba di tanah; mereka memohon supaya jangan
dibunuh. Tapi para penyerbu menghabisi mereka
tanpa ampun dan menyandarkan tangga-tangga ke
tembok; tiba di atas mereka membunuh setiap orang
yang mereka temukan dengan kelewang. Hanya
beberapa orang yang bersembunyi di dalem benteng
berhasil melarikan diri, tapi kemudian mereka
terkejar juga dan mati dibunuh. Demikian juga nasib
jurutulis Residen suku Jawa yang bernama Ornek.
yang mencoba menyelamatkan diri dengan perahu
dan sudah agak jauh di tengah laut."
Aku kuatir bahwa orang tua Latuperisa itu juga
akan menceritakan sampai kepada yang kecil
kecilnya tentung kematian orang tuaku dan adik
adikku dan aku mengalihkan pandangan sebelum ia
bicara. Tapi rupanya ia cukup mempunyai rasa yang
halus, la berdiam diri. Orang-orang kaya yang lain
mendengarkan dengan asyik seperti mendengarkan
dongeng lama yang mereka ingin supaya diceritakan
kembali. Mereka menengadah dan memandangku,JOHAN FABRICIUS
16
dalam mata mereka kulihat bauran rasa kasihan dan
ejekan diam-diam.
Sesudah percakapan demikian, sampai larut
malam, sukar untuk tidur. Udara juga panas dan
melelahkan, di musim pancaroba ini. Di luar
kelambuku nyamuk mendengung, gelisah mencium
bau tubuhku yang berkeringat, yang tidak tercapai
oleh mereka. Bayangan-bayangan muncul dalam
kegelapan: kami lari keluar dari rumah dengan Ibu ...
Dinee, pelayan yang kami bawa dari negeri Belanda,
menggendong adikku. "Nyonya, mereka kan tidak
akan mengapa-apakan kita, orang-orang hitam itu?"
? "Tidak, di dalam benteng kita aman." Hanna
memegangku dan adikku laki-laki. Kami berjalan
naik tangga menuju benteng; adikku terengah-engah
tiap melangkah "Tunggu, aku tidak bisa begitu
cepat..." Aku tiba-tiba kehilangan kuda mainanku,
yang setiap malam tidur di sampingku di atas bantal;
warnanya kelabu marmar, matanya sawomatang
mengkilap hangat. "Aku mau kembali! Aku lupa
kudaku! Aku mau mengambil kudaku!" ? "Tidak, itu
tidak bisa, kau harus ikut sekarang. Nanti kudamu
akan kembali... kalau tidak, akan kubelikan yang lain
? "Aku tidak mau yang lain, aku mau kudaku
sendiri" ? Ayo, mari. Cepat, Cepat." Bayangan lain:
udara dingin dan hujan. Tanggul penuh genangan air
hitam Orang-orang bertubuh besar memakai jas
tebal, dengan muka mengerikan mengancam aku.
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Muka-muka putih dingin dekat sekali, bibirnya
diruncingkan ke arahku. "Mengapa lari ? Kau takut
kepada kami ? Aku tantemu dan ini ommu"Teriakan Kakatua Putih
17
Sebuah kelas penuh anak-anak; aku harus
duduk tegak lurus dalam bangku kayu. "Hei, kau
siapa? Dari mana kau datang? Apakah benar orang
telah membunuh ayah dan ibumu ? Kau ada waktu
itu ? Kau melihatnya sendiri ?" Pak guru : Jangan
ganggu ia anak-anak : ia belum biasa." Tapi mereka
tidak membiarkan aku; aku suatu benda yang
menarik untuk dilihat, mereka melongo
memandangku seperti melihat binatang asing yang
lepas dari kandangnya. Ada beberapa anak laki-laki
yang ingin bersahabat denganku, tapi aku tidak
percaya, aku tidak percaya siapa-siapa. Aku hanya
percaya dua orang perempuan berkulit hitam yang
pernah mengasuhku di sana ... di mana mereka?
Mengapa aku tidak boleh tinggal dengan mereka ... ?
Dan sekarang aku telah kembali dan tidak dapat
tidur. Bunyi-bunyi mencurigakan : kaki-kaki tiada
beralas menyelinap, nyelinap mendekat, bisik-bisik
... apakah hanya khayalku ? Tiba-tiba kudengar lagi
suara ibuku yang menjerit memohon: "Anak-anak !
Jangan diambil nyawa anak-anakku !" Bunyi redup
kelewang-kelewang ditetakkan ke dalam daging
hidup. Aku melompat dari tempat tidurku; seluruh
tubuhku gemetar seperti demam, aku meraba-raba
jalan ke luar. Menuju ke laut sana ! Di pohon-pohon
sekitar rumah Residen jangkrik mengerik-ngerik
keras dan menusuk telinga, dalam bayangan di
bawahnya kunang-kunang terbang membawa
cahaya seperti roh-roh mengembara; dari hutan
dengan jalan setapak di tengahnya, kedengaran
teriakan burung malam. Aku berjalan terus cepat
cepat, supaya lekas sampai di pantai : di sana segalaJOHAN FABRICIUS
18
ketakutan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak ada,
tanggal dari diriku.
Sekitarku menjadi lapang dan terbuka,
sekarang aku dapat melibat sejauh mata
memandang. Sungguh dahsyat : kesunyian itu. Yang
kedengaran hanya desir-desir ombak memecah di
pantai, keriok-kerisik kerang yang terbawa olehnya.
Suara menghibur laut sendiri, suara paling tua di
alam semesta. Cahaya di perahu nelayan yang sepi,
jauh di sana di atas air disinari bintang-bintang. Aku
memandangnya dan lambat laun kurasakan
ketenangan meliputi diriku; aku berdamai lagi
dengan nasibku dan dengan manusia.
Apakah manusia baik ? Apakah manusia jahat ?
Dan aku sendiri ? Siapakah aku ?
Segera sesudah aku tiba di Saparua, aku
bertanya kepada orang di mana adanya kedua orang
perempuan yang telah menyelamatkan jiwaku itu.
Aku tidak kenal nama mereka, tapi raja kampung
Nasrani Siri-Sori Serani, yang berbatasan dengan
kampung Islam Siri-Sori Slam, menceritakan
kepadaku bahwa salah seorang dari mereka telah
kawin dan sekarang menjanda, tinggal pada
keluarganya di Tuhaha. Namanya raja itu pun sudah
lupa. Yang seorang lagi, demikian menurut
perkiraannya, telah pindah ke pulau berdekatan.
"Sebenarnya dia melarikan diri" demikian menurut
ingatannya kemudian.
"Melarikan diri?"
"Tidak lama sesudah pemberontakan itu, orang
tidak suka apabila seorang perempuan berhubungan
dengan laki-laki kulit putih." Raja itu tersenyum ?Teriakan Kakatua Putih
19
seolah-olah minta pengertian sekiranya aku merasa
tersinggung. "Saya kira dia berhubungan dengan
sersan kepala benteng, sesudah soldadu-soldadu
Kompeni berangkat ... bukan sersan sekarang ini.
Semua itu sudah begitu lama silam ..."
Tuhaha letaknya di ujung sekali Timurlaut
pulau; aku belum lagi memutuskan untuk
melakukan perjalanan yang agak jauh itu. Barangkali
juga aku enggan oleh kekuatiran akan apa yang akan
terjadi : air mata dan kesentimentilan. Kedua
perempuan itu sekarang mestinya sudah berusia
hampir delapan puluh tahun.
Tapi pada suatu hari Yonathan membawa
berita. "Tuan, ada seorang perempuan tua di
pekarangan. Katanya dia kenal tuan dari dulu."
Pertemuan yang aneh. Aku tidak tahu bagaimana
harus bersikap dan dia sendiri nampaknya bingung.
"Nyo Jan." gumamnya sambil menengadah terharu
kepadaku dari jongkoknya. Ya. dia masih ingat betul.
Aku persilahkan dia masuk dan kusuruh Yonathan
membawa minuman. Dia tidak mau duduk di kursi
dan menjongkok lagi di sampingku. Dia tidak bicara
kepadaku, tapi menoleh ke belakang, menyapa
seorang anak kecil berusia kira-kira empat belas
tahun yang datang bersamanya. "Tuan inilah Sinyo
Belanda dari benteng dahulu. Kau masih ingat? Dia
anak Tuan Residen. Ibumu pernah bercerita
kepadamu, bukan?" Anak itu mengangguk, matanya
terbuka lebar memandang kepadaku.
Aku berkata, aku senang sekali dia datang
mengunjungiku. "Begitu jauh dari Tuhaha ! Masih
bisa jalan kaki begitu jauh ?" Dia tidak mengertiJOHAN FABRICIUS
20
perkataanku, atau mungkin dalam kegugupannya
kata-kataku tidak masuk ke dalam benaknya. Anak
itu menunjuk ke arah kuda kecil sawomatang yang
sedang merumput di pekarangan rumah Residen.
Aku mengerti: perempuan tua itu didudukkunnya di
atas kuda dan ia sendiri berjalan di sampingnya.
"Siapa namamu?" tanyaku. "Aku tidak ingat lagi
namamu." Anak laki-laki itu menjawab untuknya.
"Namanya Ana."
"Ana. Dan kau cucunya?"
"Ya, tuan. Dia nenek saya. Bukan, dia moyang
saya." Perempuan itu menundukkan kepalanya dan
mengelus-elus kakiku dengan tangannya yang kurus
dan berurat. Rambutnya tipis, nampak batok
kepalanya berbintik-bintik merah. Selama itu
cucunya tetap berdiri di bawah tangga ke serambi
muka Setelah aku menegornya, ia dengan ragu-ragu
masuk ke dalam dan duduk menjongkok di samping
neneknya.
Kami bertiga tiada mengeluarkan sepatah kata;
aku mencari-cari apa yang dapat aku katakan
Yonathan membawakan kami beberapa gelas air
jeruk. Diletakkannya di atas meja, kemudian ia tegak
berdiri, tertarik oleh apa yang sedang berlangsung
di depan matanya.
"Coba tanyakan bagaimana dia tahu aku ada di
pulau ini lagi." kataku kepadanya. Permintaanku itu
dilaksanakannya: si anak menyampaikannya kepada
neneknya. Apakah dia mengerti pertanyaanku ? Dia
mulai berbicara dengan cucunya, mula-mula hampir
tidak kedengaran, lambat laun tambah jelas.Teriakan Kakatua Putih
21
"la sudah jadi tuan besar sekarang. Tapi dulu ia
kecil Namanya Jan." Dia merenung lurus ke depan ;
seolah-olah dia bicara tentang orang lain, yang jauh
di sana. "Nyo Jan. Kemudian ia berangkat ke pulau
Jawa."
"Dan dari Jawa ke negeri Belanda." aku
menyambung perkataannya. "Dan sekarang aku
kembali, karena ingin melihat Saparua sekali lagi."
Ragu-ragu dia menengadah lagi kepadaku.
"Negeri Belanda." ulangnya, dengan nada seolah
olah negeri Belanda tidak ada dalam kenyataan,
hanya sebagai impian di belakang kakilangit.
"Kalian tidak minum," kataku. "Kalian haus
tentu. Yonathan berikan gelasnya kepadanya." Tapi
perempuan itu tidak memperhatikannya. Sehingga
Yonathan memberikan gelasnya itu kepada cucunya,
yang segera menghirupnya habis.
"Kalian waktu itu berdua. Apakah temanmu
juga masih hidup?" tanyaku. Si cucu bertukar
pandang dengan perempuan ilu. "Dia tidak tahu
pasti, tuan."
"Apakah dia tidak di pulau ini lagi ?"
Perempuan tua itu menggelengkan kepala.
"Pergi ? Ke mana ?"
Tiada jawaban.
"Tidak tahu"
"Ke Kailolo," kata si cucu.
"Kailolo ... di mana itu?"
"Di pulau Oma." kata Yonathan menjelaskan "Di
sebelah barat Honimpa."
"Siapa namanya?" aku bertanya kepada si cucu.JOHAN FABRICIUS
22
"Magdalena," kata perempuan itu dan berdiam
lagi.
"Kalianlah yang menyelamatkan jiwaku."
Dia menjadi bingung dengan perkataanku itu ;
mulutnya yang tiada bergigi mengulum senyum ; dia
tak tahu bagaimana harus bersikap dan
mengalihkan pandangan. Sesudah hening sejenak
cucunya berkata: "Dia mau berangkat lagi. Dia
malu... dia mau pulang."
"Katakan sekali lagi kepadanya bahwa aku
senang sekali dia masih ingat kepadaku dan bahwa
dia melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan
itu untuk mengunjungiku di sini." kataku. "Katakan
juga kepadanya bahwa aku akan segera berkunjung
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke Tuhaha... dan aku minta nanti dia bercerita
tentang tempo dulu."
"Ya. tuan." Anak itu menyangga perempuan itu
pada ketiaknya dan menolongnya berdiri.
"Aku segera akan datang ke rumahmu. Ana,"
kataku pula kepadanya. Aku melihat betapa terharu
dia karena aku buat pertama kali menyebutnya pada
namanya. "Lihatlah kupingnya." katanya kepada
cucunya. "Lukanya tidak pernah sembuh betul Di
kepalanya juga ada luka besar, tapi ditumbuhi
rambut. Sekarang ia sudah tua dan beruban, seperti
aku."
Dengan dipapah cucunya dia berjalan selangkah
demi selangkah ke arah pekarangan; aku menyangga
lengannya sebelah lagi yang merupakan tulang
berbalut kulit. Aku juga hendak menolongnya naik
kuda, tapi cucunya telah mengangkatnya ? betapa
ringannya dia ? dan mendudukkannya di punggungTeriakan Kakatua Putih
23
kuda. Ketika kuda itu hendak merumput lagi, si cucu
dengan kasar menarik kekang ke atas. Setelah duduk
menyamping di atas pelana, perempuan tua itu
memandang ke bawah kepadaku. "Aku akan lekas
datang. Ana." aku berjanji sekali lagi, tiba-tiba
merasa kuatir kalau-kalau aku datang terlambat.
Apakah dia mengerti? Air matanya berlinang
membasahi pipinya yang keriput. Tiba-tiba ia
memberanikan diri dan meletakkan tangannya
diatas kupingku yang cacat.
"Ya. memang ialah ini" katanya kepada cucunya.
"Memang ia Nyo Jan."
Cucunya menuntun kuda pergi.
Aku memandangi mereka sampai menghilang di
belakang pepohonan di depan pekarangan.
Setelah aku bertemu Ana rasanya Honimoa tiba
tiba menjadi lebih akrab dari sebelumnya. Ketika
menceritakan pertemuan tiba-tiba itu waktu minum
the, Eveline berkata : "Ya. kau harus ke sana, cepat
cepatlah. Pieter mau meminjamkan kudanya selama
sehari. Kalau kau berangkat pagi-pagi sekali,
sebelum malam hari sudah bisa kembali. ?
Bukankah begitu. Pieter, kau bisa pinjamkan Liza
untuk sehari, bukan?"
"Aku tiba-tiba bisa saja harus pergi ke sesuatu
tempat" suaminya membantah. Begitulah ia selalu :
tidak pernah segera mengabulkan sesuatu
permintaan, ia harus berpikir dulu sampai habis
sebelum memberi izin. "Besok pasti tidak bisa, sebab
di Siri-Sori Slam timbul lagi kesukaran-kesukaran
karena mesjid baru itu yang belum juga selesai-JOHAN FABRICIUS
24
selesai karena tidak ada uang; mereka minta
Pemerintah menyumbang sisa pembiayaannya"
"Bagaimana lusa?"
"Kalau tidak ada sesuatu halangan lain"
Memang tidak ada sesuatu halangan melintang
dan aku memulai perjalanan ke Tuhaha. Liza adalah
kuda Sumba yang muda dan kuat, biasa turun naik di
daerah pegunungan. Aku menghirup udara
khatulistiwa yang bebas. Menikmati pemandangan
belukar dan tumbuh-tumbuhan yang rimbun. Sulur
sulur sebesar lengan, yang melintang di atas jalan
seperti tali-temali layar panggung sandiwara.
Burung kasturi menggelepar-gelepar meleler,
teriakannya tajam menusuk udara, mengikuti
perjalananku. sampai mereka kembali terbang ke
dunia berpenghuni, di mana pasti banyak
pengalaman menunggu. Kemudian melalui padang
alang-alang yang luas, tanah pedalaman tiada
berpenghuni, ditimpa matahari terik membakar.
Cepat berturut-turut dua aliran sungai setengah
penuh yang harua aku seberangi, lutut-lutut
kuangkat tinggi-tinggi supaya kaki jangan basah
kebon cengkih yang terbengkalai, pertanda dekat di
situ ada perkampungan. Di sini lebih meresap lagi
wanginya pulau, yang sesudah setengah abad masih
selalu kuingat.
Ana rupanya tinggal pada seorang anaknya
perempuan. Di dalam lingkungannya sendiri yang
lebih akrab baginya, dia merasa dirinya aman dan
dia tiba-tiba lebih banyak bicara "Itulah orangnya,"
katanya kepada anaknya. "Sekarang ia sudah jadi
tuan besar, lihat saja. Siapa yang menyangka dulu?Teriakan Kakatua Putih
25
Ketika ia terbaring berlumuran darah. Aku harus
menariknya dari bawah tubuh ibunya : perempuun
itu masih mencoba melindungi anak-anaknya
dengan dirinya terhadap algojo-algojonya. Cepat
beri minum tuan Jan, Maria. Tuan Jan pasti suka
minum kopi sesudah perjalanan sejauh itu. Atau
barangkali lebih suka setrup asam ?" dia bertanya
kepadaku. "Waktu kecil kau suka sekali."
"Kopi, kalau ada, Ana."
"Kopi. Kaudengar itu. Maria? Tuan Jan mau
kopi!"
Anaknya, yang sudah berusia enam puluh
tahun, sudah sibuk menjerang air di atas tungku.
"Mana anak yang kau bawa tempo hari?" aku
bertanya.
"Markus keluar bekerja dengan ayahnya," kata
anaknya Si Ana tua sekarang hanya ingat masa dulu
saja; segalanya jelas terpampang di depan mata
batinnya. "Mula-mula aku mengira ia juga akan mati,
seperti adiknya laki-laki dan adiknya perempuan
...seperti binatang buas orang-orang itu mengamuk
... tapi ketika aku periksa lebih teliti, kulihat bahwa
anak itu masih bergerak. Aku angkat lalu kugendong
ke rumah; aku sendiri juga berlumuran darah:
semua yang melihat kami menyangka bahwa aku
juga kena hajar. Di rumah aku basuh luka-lukanya;
ibuku membantuku, waktu itu dia masih hidup. Ya,
dan aku bersumpah tidak akun memberikannya
kepada siapa-siapa. Aku punya anak Belanda."
kataku; aku punya anak rambut pirang, berkulit
putih, ia anakku dan aku mencintainya. Kau begitu
manis kau memandang aku dengan mata anak-JOHAN FABRICIUS
26
anakmu yang biru dengan pandangan terima kasih,
begitu jernih seperti air laut, seperti birunya langit ...
Ya. tapi orang-orang berbisik-bisik: "Ana
menyimpan anak Tuan Residen di rumahnya, dan
Matulesia mendengarnya dan aku harus
membawamu kepadanya. "Aku tidak mau
menyerahkannya, aku tidak mau menyerahkannya."
kataku berulang-ulang Mereka semua berkumpul di
lapangan besar di depan benteng: Matulesia dan
beratus-ratus orang lain, pengikut-pengikutnya.
"Apa yang harus kita lakukan dengan anak ini?"
tanya Matulesia sambil memandang berkeliling. "la
harus mati!" teriak mereka semua. "Tapi ia hanya
anak kecil!" teriakku. "Itu bukan soal! Ia anak
Belanda dan nanti besar!" teriak mereka lagi.
Matulesia sendiri belum dapat memutuskan. la
memandangku; dalam mataku mungkin ia melihat
bahwa aku akan memberikan perlawanan dahsyat
apabila anak itu disakiti ..."
"Ibu kira Matulesia takut kepada ibu ?" tanya
anaknya. "Ya. ya. ia menjadi takut oleh sorot
mataku"
"Takut kepada seorang wanita, bu? Ia, yang
memimpin pemberontakan dan menyuruh bunuh
sekian banyak orang?" Maria mengerdipkan
matanya ke arahku, percaya bahwa aku mau
memaafkan perempuan tua yang dalam khayalannya
sendiri lambat laun menjadi pahlawan besar dalam
suatu drama yang terjadi sudah lama silam.
"Ya. ia takut kepadaku" kata Ana dengan
khidmat. "Tapi tentu saja ia tidak m,au
memperlihatkannya; tidak boleh ada orang yangTeriakan Kakatua Putih
27
tahu. Ia berkata: Tuhan Yesus telah menentukan
anak ini harus hidup. Kita tidak boleh melawan ke
hendak Nya."
"Tapi kemudian anak itu harus ibu serahkan
juga, bukan?"
"Ya. tapi itu lain soalnya. Keluarganya
memintanya. Kita tidak boleh menolak: keluarganya
berhak. ? Tapi sekarang ia kembali kepadaku!"
katanya dengan suara kemenangan
Sebagaimana dia menceriterakannya, seolah
olah dia sendirilah yang telah menyelamatkan
jiwaku dan supaya jangan merusak perasaan
bangganya, aku tidak bertanya lagi tentang
temannya. Tapi aku diam-diam berniat untuk sekali
waktu juga mengunjungi Magdalena yang dianggap
jahat di pulau Omasana.
Tentu saja aku harus berjanji akan kembali lagi
di Tuhaha dalam waktu tidak terlalu lama. Ketika
aku berangkat semuanya mengucapkan selamat
jalan dan untuk "Nyonya Residen" mereka nitip
kuwe-kuwe masakan sendiri. Eveline tidak
menghargainya : semua jajanan orang kampung itu
keliwatan manis, tapi anak-anak menyerbunya.
"Anda telah menceritakan bagaimana asal
mulanya pemberontakan itu" kataku kepada Yosef
Latuperisa. "tapi apakah pemberontakan itu hanya
ditujukan kepada ayah saya? Saya tahu diantara
rakyat banyak yang benci kepada Kompeni.
Mengapa kebencian itu tidak pernah meledak
sebelumnya ?"
"Sebabnya karena di sini pernah orang Inggeris
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggantikan orang Belanda beberapa waktu,JOHAN FABRICIUS
28
tuan," kata orang kaya yang tua itu. "Orang-orang
kami sudah terbiasa dengan aturan-aturan Kompeni
: bahwa kami hanya boleh menanam cengkih dan
pala di tanah yang ditunjuk oleh Kompeni dan
bahwa kami tidak boleh menjual rempah-rempah
kepada orang Inggeris kalau ada kapal Inggeris
kebetulan singgah di teluk. Godaan besar sekali
untuk melanggar uturun-aturan itu, karena kami
bisa mendapat harga yang lebih tinggi dari harga
yang ditentukan oleh Kompeni. Tapi kami
mengetahui bahwa barangsiapa yang melanggar
peraturan, kebonnya akan dibinasakan dan boleh
bersyukur apabila jiwa sendiri selamat. Pernahkah
tuan mendengar tentang "perjalanan hongi". Itulah
tindakan-tindakan pembalasan Kompeni yang
mengerikan. Kami mengetahui bahwa kami sama
sekali tidak dapat melawan Belanda; kami
menganggap mereka bangsa yang paling kuat di
seluruh dunia; bahwa Raja mereka adalah raja yang
paling berkuasa dari segala raja-raja. Bukankah
orang Belanda telah mengalahkan orang Portugis
yang dahulu menjadi raja diraja di sini ? Bukankah
mereka telah menyapu bersih lautan dari kapal
kapal Inggeris? Tapi kemudian terjadi apa yang
tidak tersangka-sangka orang Inggeris datang
kembali dan pada gilirannya menaklukkan orang
Belanda.
Ia menatapku, menunggu keteranganku tentang
kejadian yang menjadi teka-teki baginya itu
Bagaimana aku harus menerangkannya ? Apa yang
ia dan orang-orang kaya sekitarku tahu tentang
tirani Napoleon alas Eropa dan tentang pencaplokanTeriakan Kakatua Putih
29
negeri kami oleh Perancis? Tentang perang mati
matian bertahun-tahun oleh Napoleon melawan
Inggeris, yang memanfaatkan ketidakmampuan
Perancis ? jadi, ketidak mampuan kami ? di lautan
dengan bercokol di negeri Hindia yang tidak
dilindungi ?
"Bendera Belanda diturunkan dan bendera
Inggeris dikibarkan," kata orang tua itu meneruskan.
"Kami hampir-hampir tidak percaya. Saya tahu,
kemudian mereka memang kembali juga, orang
orang Belanda itu dan ketika itu bendera Inggeris
diturunkan lagi. Tapi keadaan tidak seperti dulu lagi.
Apabila kami berjalan melewati rumah Residen dan
memandang ke atas di pekarangan, maka kami
selalu berpikir bahwa di tiang depan pekarangan itu
belum lama berselang berkibar bendera Inggeris.
Dahulu kami tidak pernah membayangkan bahwa
kami akan melihat bendera lain dari bendera
Belanda di situ."
Mereka semua mengangguk. Yosef Latuperisa
telah mengungkapkan dengan kata-kata apa yang
sesungguhnya mereka rasakan.
"Masih ada satu lagi perbedaan," ia
menjelaskan. "Di bawah orang Inggeris kehidupan
jauh lebih mudah bagi rakyat dari di bawah
Kompeni. Orang Inggeris tidak menegor apabila
orang-orang kami tidak begitu mengindahkan
peratuan-peraturan dan undang-undang yang telah
ditentukan oleh Kompeni ..."
"Memang tidak perlu," terlontar dari mulutku
dan sekaligus aku berpikir mengapa aku masih
harus membela Kepentingan Belanda, sedang akuJOHAN FABRICIUS
30
mengetahui bahwa mereka tidak adil. Orang Inggeris
tidak berniat untuk tetap tinggal di sini"
"Ya, baiklah." kata salah seorang orang kaya.
"Tapi orang-orang kami mendapat untung. Dan tuan
tahu, apabila orang beruntung dalam sesuatu
keadaan, orang tidak berpikir lebih jauh lagi. Tapi
orang Belanda kembali dan memberlakukan lagi
undang-undang dan peraturan-peraturan lama
dengan kekerasan yang sama. Orang-orang kami
melihat perbedaan itu, mereka mulai kesal dan
berpikir hendak mengadakan perlawanan. Mereka
telah menyaksikan bahwa kekuasaan Kompeni tidak
begitu teguh seperti yang mereka sangka.
Pada suatu hari kapal Phoenix, salah satu kapal
perang Belanda yang kecil, masuk teluk Saparua dan
melabuhkan jangkar di depan benteng. Aku
mendengar dari Residen, bahwa Kooistra, kapten
kapal perang itu, sebagai kadet muda di kapal
perang ?Admiraal Evertszen? tidak lama sebelum
pemberontakan menghadiri kembalinya pembesar
pembesar Belanda di Maluku. Aku kaget sebentar.
"Admiraal Evertszen" .. bukankah itu kapal yang
membawaku sebagai anak kecil dan orang tuaku
dari Jawa ke Ambon? Aku musih lupa-lupa ingat
beberapa orang laki-laki yang membapaiku dan
adikku ... kami tidak boleh bersandar pada pagar
kapal atau mencoba memanjat temberang. Malam
hari kami berbaring dalam kamar kami bersama
mendengarkan musik, yang dimainkan di atas dek ...
mendengarkan suara-suara orang tertawa keras.
Karena ingin mengetahui lebih banyak tentang
perjalanan itu dan terutama tentang orang tuaku,Teriakan Kakatua Putih
31
aku minta diantar dengan perahu ke kapal perang
itu. Kooistra yang waktu itu sudah berumur tujuh
puluh tahun tapi masih kuat, menuangkan segelas
bir bagiku dan kemudian juga bagi dirinya sendiri.
"Ayah anda tidak begitu saya ingat lagi. Muda
sekali, itu cuma yang saya ingat, sebenarnya masih
terlalu muda untuk jadi residen, tapi waktu itu harus
mulai dari permulaan sekali. Ibu anda seorang yang
baik hati, dan cantik pula, demikian anggapan kami,
kadet-kadet; sayang kami tidak banyak melihatnya
karena selalu mabuk laut. Ada seorang gadis pelayan
dari Brabant ... juga dibunuh kemudian, tentu anda
tahu, dialah yang menjaga adik perempuan anda
sehari-harian di geladak belakang, tapi anda dan
adik anda yang laki-laki selalu berkejar-kejaran di
mana-mana di atas geladak. Masih terbayang semua
itu dalam ingatan saya; hidup kalian bahagia
"Dua orang Komisaris, siapa pula nama mereka
itu...mereka dua orang ... Middelkoop dan Engelhard,
saya ingat lagi, mereka itulah yang akan mengambil
alih pemerintahan di Ambon dari Gubernur Inggeris.
Mereka datang dengan pengiring yang banyak,
terdiri dan pegawai-pegawai rendahan dan
segerobak pelayan. Salah seorang, yang gemuk saya
kira, membawa gamelan dari Jawa, yang seorang lagi
serombongan hamba sahaya yang dapat memainkan
lagu-lagu dansa; apabila laut tenang, setiap malam
kami berdansa. Anggur dan sampanye melimpah
limpah, sehingga seringkali meluap-luap
kegembiraan di geladak kapal. Siang hari yang laki
laki bermain kartu, sedang yang perempuan asyik
dengan pekerjaan tangan dan kongko-kongko.JOHAN FABRICIUS
32
Kami merupakan satu eskader kecil dengan
?Maria Reigersbergen? dan ?Nassau?. Tuan Engelhard
isterinya seorang perempuan Jawa. Demi
kepentingannya kami terpaksa ketika mengitari
Sulawesi Selatan, mampir di Bulukumba, karena
persediaan sirihnya habis. Itu satu bencana, sebab
dia tidak bisa tanpa sirih. Dia harus makan sirih.
Jadi, kami turun dengan perahu kapten ke darat
untuk mencari daun sirih, daun yang perlu untuk
membungkus tembakaunya. Pernah anda
mencobanyasugi sirih seperti itu ? Cobalah, seluruh
mulut anda terbakar rasanya.
Bagaimana tugas pemerintah itu dijalankan di
Ambon, saya hanya tahu dari cerita-cerita orang.
Kami sebagai kadet muda tidak, ikut campur Mister
Martin. Gubernur Inggeris itu. pastilah gembira
bahwa ia boleh pulang ke Inggeris bagaimana pun
juga agaknya ia tidak nampak bersedih hati;
semuanya mengucapkan "good luck to you" dan
mereka pun membuka botol sampanye.
Orang tua anda lalu segera berangkat dengan
perahu ke Saparua Dalam pada itu kami di Ambon
segera mengatur kembali segala sesuatu : keadaan
harus dipulihkan seperti dahulu. Tapi ya, orang tidak
mau lagi menerima begitu saja. Ada lagi satu hal;
orang Inggeris membayar dengan uang pon dan
sovereign1 dan shilling yang kuat, kita datang
dengan uang kertas. Tentu saja kita segera sesudah
kesengsaraan jaman Napoleon tidak punya uang
sama sekali, tapi orang Maluku apa urusannya
1) Sovereign ? Pon emasTeriakan Kakatua Putih
33
dengan itu? Kita membayar dengan kertas, tapi kita
sendiri minta bayaran dengan mata uang keras
kalau mereka membeli apa-apa dari kita, dan untuk
segala macam keperluan mereka harus datang ke
gudang Gubememen, sebab mereka tidak bisa
membelinya di tempat lain. Siapa yang tidak akan
kesal?
Komisaris-komisaris Pemerintah yang baru
diangkat itu pada permulaan jabatannya sudah
mendapat peringatan-peringatan bahwa akan
timbul keonaran di pulau-puiau. Tapi apa kata
pepatah ? ?Mereka yang hendak dibinasakan oleh
dewa-dewa, mereka itu dibutakan matanya.? Raja
salah satu perkampungan di Honimoa ini khusus
datang ke Ambon untuk menceriterakan bahwa
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaan di pulau itu tidak beres, la tidak berani
datang menceriterakannya kepada ayah anda,
karena ia tidak mau dibantai dengan seluruh
keluarganya oleh pembuat makar. Lagipula ada
seorang Saparua yang menyampaikan berita seperti
itu kepada ayah anda, sebagai terima kasih diberi
hadiah deraan rotan untuk itu. Raja ini pun di
Ambon sama nasibnya. Middelkoop menganggapnya
sebagai penyebar fitnah dan memasukkannya ke
dalam terungku.
Jika dipikir-pikir kemudian, kita mau tertawa
melihat ketenangan batin pejabat-pejabat
pemerintah Belanda yang pertama di Maluku ini.
Ambillah misalnya Residen di pulau Oma, siapa pula
namanya? Uytenbroek, o ya, tidak kurang dari tiga
orang dari berbagai perkampungan yang datang
memberinya peringatan bakal meletusnyaJOHAN FABRICIUS
34
pemberontakan, lapi apa yang dilakukannya? Ia
minta seorang raja yang "terpercaya melakukan
penyelidikan Sang raja, yang bekerjasama dengan
komplotan, tentu saja berkata: "Semuanya isapan
jempol, tuan Residen Lalu tuan Residen mengirim
ketiga orang itu ke Ambon untuk pemeriksaan lebih
lanjut. Middelkoop memasukkan mereka dalam satu
penjara dengan raja dari Honimoa itu, Raja itu
mendapat teman; berempat lebih enak dari seorang
diri ? Mari, minum satu gelas lagi. Sances !"
Aku mendengarkan ceritanya setengah percaya
Haruskah demikian kejadiannya di dunia ini ?
Apakah nasib mempermainkan kita? Permainan
yang kejam menurut logika sederhana. yang pada
saat sedang berjalan tidak kita sadari dan baru
kemudian, apabila bencana sudah terjadi, baru kita
kenali maknanya. humor yang dingin dari Sang
Dalang Agung, yang menarik-narik tali di mana kita
menggelepar-gelepar tidak berdaya.
"Apa yang dilakukan Pemerintah di Ambon,
selelah diketahui di sana apa yang terjadi di
Saparua?" tanyaku.
"Apa yang dilakukan Pemerintah di Ambon ...
mereka kehilangan akal. Mereka kaget setengah
mati. Kapal kami ?Evertszen? mula-mula
diperintahkan untuk segera berangkat ke Saparua.
tapi baru saja kami hendak memasang layar, datang
perintah pembatalan: tetap berlabuh di tempat,
meriam-meriam siap tembak, jika perlu
memberikan bantuan kepada Ambon. Sebab di sana
pun mulai bergolak. ? Ayahmu juga ada di sana,Teriakan Kakatua Putih
35
Coops," katanya kepada Letnan-laut, yang masuk ke
dalam kamar dan duduk bersama kami.
Sang Letnan mengangkat gelasnya, yang
diambilnya dari dalam lemari. "Ayahku tidak ada
waktu itu: ia sedang berlayar dengan Reigersbergen
kc Ternate, untuk menurunkan Gubernur baru
Maluku Utara di sana."
"Memang. Orang sedang menunggu kembalinya
?Reigersbergen? ? yang akan merebut kembali
benteng Saparua dan membuat perhitungan dengan
Matulesia dan kawan-kawannya. Dan penduduk sipil
Ambon dalam pada itu dibentuk barisan sukarela
sejumlah kira-kira dua ribu orang; separoh
daripadanya dapat dipersenjatai dengan senapan,
yang selebihnya hanya mendapat tombak. Mereka
berlatih di tanah lapang di muka benteng Viktoria:
dua kelompok melakukan perang-perangan. Seluruh
penduduk preman keluar untuk melihat siapa yang
menang. Orang Cina bertaruh. Senapan-senapan
tidak berisi, tapi orang yang bersenjatakan tombak
jadi berbahaya: mereka bisa saja melontarkan
tombak kepada komandan-komandannya. termasuk
panglimanya, yakni sekretaris kotapraja yang baru
diangkat. Untuk mengambil hati raja-raja di pulau
itu untuk kepentingan kita, Middelkoop
mengerahkan putera-putera mereka dan menyuruh
mereka belajar menggunakan meriam di dalam
benteng: mereka senang dengan pekerjaan itu. Dari
penduduk bangsa Benggali ? mereka adu juga ? ia
membentuk pasukan polisi, yang harus mencari
pembuat keonaran di seluruh pulau. Dalam pada ituJOHAN FABRICIUS
36
?Reigersbergen? masuk lagi ... Kaulah meneruskan
ceritaku, Coops."
"Kalau terpaksa. Ceritanya tidak enak.
"Reigersbergen" lalu menuju ke Saparua bersama
armada kecil orembai ? kira-kira sepuluh buah,
semuanya dipersenjatai dengan meriam-meriam
kecil dan kuno ? dan melakukan pendaratan yang
berakhir dengun menyedihkan. Seorang mayor
pasukan perintis, Beeces yang mengatakan bahwa ia
mengenal daerah itu, memegang pimpinan ... ia tidak
pulang. Dari kira-kira dua ratus orang, yang
diturunkan ke darat, hanya tiga belas orang yang
berhasil menyelamatkan jiwanya."
"Apakah ayahmu salah seorang dari yang tiga
belas itu?"
"Tidak, ia sedang dinas di "Reigersbergen", jauh
dari situ, sebab kapal perang itu tidak dapat
mendekat karena laut tohor; dengan demikian ia
malahan tidak melihat bagaimana orang-orang kami
habis dibunuhi di pantai. Cerita tentang calon opsir
Van "t Hooft, berumur empat belas tahun, anda
boleh percaya boleh tidak, kepadanya dipercayakan
membawa panji-panji, anda sudah dengar cerita itu ?
Anak itu melilitkan panji-panji itu pada tubuhnya
dan melompat ke laut; karena ia pandai sekali
berenang, ia dapat mendahului orang-orang yang
memburunya. Sesudah kira-kira sejam ia merasa
terganggu juga dalam gerak-geriknya oleh bendera
merah putih biru itu ? lalu apa yang dilakukannya ?
Dibungkusnya kedua pestolnya dengan bendera itu,
lalu dibenamkannya bungkusan itu ke dasar laut. Ia
membuat pula semacam tanda pada empat tempatTeriakan Kakatua Putih
37
di kedua tepi teluk, supaya dapat menemukan
kembali tempat itu kemudian. Sesudah itu ia
berenang lagi, terkejar olehnya seorang matros,
yang juga selamat dari pembantaian itu. Mereka
bersumpah saling setia sampai mati: sama-sama
selamat atau sama-sama kelelep. Apabila yang satu
hendak menyerah, maka yang lain memberinya
semangat. Ketika hiu yang pertama mulai melingkar
sekitar mereka, tiba-tiba mereka berhasil meraih
perahu yang sedang hanyut dan menemui di
dalamnya mayat salah seorang opsir mereka:
Letnan-laut Munter. Beberapa jam lagi mendayung,
maka sampai lagi ke kapal "Reigersbergen". Munter
yang sudah tewas sebelum menjejakkan kaki ke
darat, berkat jasa kedua orang itu masih
mendapatkan penghormatan terakhir sebagai
pelaut. Dan alangkah baiknya kalau panji-panji di
dasar laut teluk itu ditemukan pula!"
"Peristiwa itu terjadi di pantai dekat Way Asil,
antara Tiouw dan Paperu," demikian cerita orang
orang kaya itu kepadaku. Mereka berusaha untuk
tidak menyinggung perasaanku, tapi mereka tidak
dapat menyembunyikan perasaan senang mereka
karena nasib buruk yang menimpa Kompeni waktu
itu. Hal itu bisa dilihat pada sinar di sudut-sudut
mata mereka, kedengaran dalam getaran suara
mereka. "Ya, kasihan Mayor Beeces itu, sebaiknya ia
jangan melakukan pendaratan itu. Penasehatnya
ialah raja Siri-Sori Serani, Yohanes Kirauly, yang
diam-diam pergi ke Ambon untuk menyampaikan
rencana-rencana pemberontak kepada Gubernur!
Tapi Matulesia lebih cerdik dari sang Mayor dan rajaJOHAN FABRICIUS
38
bersama-sama. Dihalaunya perempuan dan anak
anak ke sebelah timur benteng. Orang Belanda
mengira bahwa gerombolan manusia itu ialah
tentaranya yang dikumpulkan; sebenarnya ia telah
memerintahkan kira-kira seribu orang bersenjata
untuk menghadang di kebon kelapa dekat Way Asil,
di tepi pantai. Dan ketika Mayor mengira bahwa ia
dapat mendarat dengan pasukan soldadunya di
tempat itu tanpa perlawanan, ia disambut dengan
hujan peluru. Mereka tidak takut, orang-orang
Belanda itu, itu harus diakui. Dengan panji-panji
berkibar dan genderang berdetar mereka berbaris
menyusur pantai menuju benteng. Mereka tidak
perlu lagi menengok ke kebon kelapa; di sana tidak
ada orang lagi ? orang-orang kami memang lebih
cepat larinya dan orang Belanda yang sepatunya
berat-berat. Lagipula Matulesia. yang tahu benar
tipu daya peperangan, menyuruh pasang perangkap
kaki dan menggali lubang perangkap di mana-mana
di dalam pasir, dengan bambu-bambu tajam
mencuat di dalamnya. Dari setiap semak-semak
soldadu-soldodu ditembaki lagi dan di pantai tentu
saja tidak ada tempat berlindung, sehingga mereka
rebah berpuluh-puluh sekaligus! Akhirnya orang
orang Matulesia memancing pertempuran terbuka.
Orang Belanda memasang bayonet pada senapan,
mereka girang bahwa mereka akhirnya dapat
melihat musuhnya dan menyerang. Sampai dua kali
mereka dipukul mundur dengan meninggalkan
banyak orang mati. Pasukan depan, atau sisanya,
masih mencoba sekali lagi menyerang, tapi ketika itu
tukang terompet memberikan tanda untuk mundur.Teriakan Kakatua Putih
39
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kompeni kalah! Orang-orang kami bersorak-sorai
karena gembiranya dengan kemenangan itu: "hoi!
hoi!"
Pihak Belanda lari kucar kacir : mereka
melemparkan barang, barang mereka dan membuka
sepatunya, dengan harapan akan mencapai perahu
dengan selamat. Tapi mereka begitu lalai dan
meninggalkannya tanpa penjagaan ! Apakah mereka
tidak tahu adanya arus di teluk ? Perahu-perahu itu
sudah hanyut! Beberapa masih mereka coba
mengejarnya, tapi kebanyakan mereka tidak bisa
berenang. Mereka berjalan di air sampai ke leher
dan menjadi sasaran empuk bagi orang-orang kami,
yang sudah biasa berenang semenjak kecil,
menyelam dan menombak ikan. Sekarang mereka
menombak Belanda." Dan orang-orang Alifuru dari
gunung di Seram, yang bergabung dalam
pemberontakan itu, mengayau kepala menurut
kebiasaan mereka, untuk dapat membanggakannya
nanti bila pulang di kampung. Armada Kompeni
berlayar kembali ke Ambon dan di Saparua sini, di
seluruh pulau Honimoa dan di pulau-pulau sekitar,
kemenangan dirayakan dengan pesta pora berhari
hari lamanya."
Yosef Latuperisa menceritakan apa yang telah
diceritakan kepadaku oleh orang-orang kaya
bersama-sama. "Ya, demikianlah yang terjadi.
Matulesia pahlawan besar waktu itu. Perempuan
perempuan mencium kakinya dan dalam pidatonya
kepada rakyat ia mengatakan bahwa sekarang ia
lebih berkuasa dari Raja Belanda, Meskipun Raja
Belanda datang dengan seluruh tentaranya, ia,JOHAN FABRICIUS
40
Matulesia, penguasa kepulauan Maluku, akan
mengusir kembali tentara itu ke laut dengan kepala
berlumuran darah, seperti yang dilakukannya di
Way Asil.
Dalam pada itu ia mengirimkan utusan ke
pulau-pulau lain ? memang cerdik ia ? untuk
membangkitkan semangat orang-orang di sana
supaya datang memperkuat tentaranya. Bukankah
Kompeni juga musuh kalian?" tanyanya. Berpuluh
puluh perahu datang dari segala penjuru : raja
Toinatihu dari pegunungan Seram, membawa lebih
dari seribu pejuangnya yang sangat ditakuti, di
antaranya kedua puteranya.
Untuk mencegah Matulesia mendapat bantuan
mesiu, peluru dan senapan dari luar. Gubernur di
Ambon memerintahkan untuk menjaga pantai
pantai dengan orembui patroli yang dipersenjatai
dengan meriam, tapi Kapitan Agung Kepulauan
Maluku hanya mentertawakannya : bagaimanapun
juga pada malam-malam tiada berbulan ia
mendapatkan apa yang diperlukannya. Lautan luas
dan orang Belanda tidak dapat berada di mana
mana sekaligus!
Tuan maunya menyaksikannya. Ia tinggal di
rumah Residen; di sana ia duduk dengan seragam
dilipat-dan-rumbai-rumbai-emas kepunyaan Mayor
Beeces dan dengan pedangnya di sisi. Di pekarangan
depan, di mana sekarang kuda Residen sedang
merumput, waktu itu setiap pagi dilakukan
penggantian jaga kehormatan bersenjata; siang
malam ditempatkan di situ pos jaga dan menjelang
matahari terbenam dengan dihadiri oleh pemimpinTeriakan Kakatua Putih
41
besar itu sendiri bendera Saparua diturunkan
dengan khidmat
Di atas meja disediakan piring sendok untuk
makan menurut cara orang kulit putih dan
pelayannya banyak. Tuan akan tertawa kalau saya
ceritakan bahwa di antara pegawai istananya juga
ada dua orang Belanda tawanan, yang jiwanya
selamat karena mengaku bukan orang Belanda.
"Kami orang Fris!" teriak mereka ketika Matulesia
hendak memberikan perintah untuk memancung
kepala mereka. Tidak ada orang di pulau yang
mengetahui bahwa orang Fris juga orang Belanda ?
baru kemudian kami mengetahuinya!
Sebagai nyonya rumah ia mengambil nyai
kepala pelabuhan orang Inggeris di Ambon dahulu,
Elisabeth Gassier; perempuan itu diberinya gelar
Puteri Pulau Saparua dan orang harus
menghormatinya sesuai dengan kedudukannya.
Ia mengepalai iring-iringan panjang pasukan
berkuda mengunjungi berbagai perkampungan, atau
ia masuk perkampungan dengan dipikul di atas
tandu, diiringi bunyi gong dan suling, sambil
membagi-bagikan wang tembaga yang
ditemukannya dibenteng kepada orang-orang
miskin. Seolah-olah ada pesta setiap hari di
Honimoa; orang menyanyi, tertawa dan berkelakar
antara sesama dan tidak terpikir bahwa pesta itu
mungkin sekali waktu akan berakhir dengan air
mata. Di gereja kami harus mendoa hari Minggu
untuk keselamatan pelindung kami yang berkuasa;
pendeta-pendeta kami mendoakan berkat atasJOHAN FABRICIUS
42
dirinya dan memohonkan ampun Tuhan Yesus bagi
semua orang Kristen yang baik di pulau.
Ia dipuja, tapi juga ditakuti, Matulesia itu. la
pecat raja-raja tua yang disayangi rakyatnya dan
menggantikan mereka dengan raja-raja baru,
pilihannya sendiri. Ialah yang menentukan hidup
dan mati kami semua.
Sesudah jadi penguasa Honimoa, ia juga hendak
membuktikan kekuasaannya atas laut sekitarnya
dengan mengadakan pameran kekuatan armada
orembai di teluk, masing-masing berawak seratus
orang atau lebih; mereka mendayung begitu cepat
mengikuti bunyi tifa yang mendebarkan hati,
sehingga perahu-perahu yang besar dan berat itu
seperti ikan terbang meluncur di permukaan laut.
Pada saat-saat demikian setiap orang di Saparua
merasa yakin bahwa tidak ada kekuasaan di bumi ini
yang dapat melawannya dan bahwa orang Belanda
tidak akan pernah menjejakkan kakinya lagi di pulau
itu. Tapi mereka dalam pada itu tiada berdiam diri,
orang Belanda itu."
Orang tua itu berhenti bicara. Setelah ragu-ragu
sebentar ia mulai bicara tentang sesuatu yang lain:
"Lama tubuh-tubuh orang Belanda itu dibiarkan saja
di pantai Way Asil. Setelah diambili segala yang
berharga padanya, orang tidak menengoknya lagi.
Tapi apabila angin berhembus dari Selatan, seluruh
pulau bau mayat yang memuakkan, yang membuat
orang sakit dan bahkan menghilangkan nafsu makan
dan minum. Pada akhirnya harus dilakukan sesuatu
dan Matulesia memerintahkan kepada orang-orang
Nusa Laut untuk menguburkan mayat-mayat itu,Teriakan Kakatua Putih
43
sebagai hukuman karena mereka tidak
memperlihatkan diri waktu orang Belanda
mendarat."
Yosef Latuperisa berbicara dengan suara redup:
nampak ia takut mengingat orang-orang mati di Way
Asil itu. Pantai itu. aku tahu, sesudah setengah abad
masih dihindari orang; apabila malam hari banyak
orang yang tidak berani lewat di tempat itu, sebab
roh orang Belanda yang dipancung dan dirampok
habis-habisan masih gentayangan di situ; sebelum
orang menyadarinya sudah ada yang menclok di
bahu dan ikut ke rumah, di mana roh itu
menimbulkan bencana, membalas dendam kepada
anak isteri orang yang diikutinya. Apabila angin
malam meraung-raung di puncak kelapa Way Asil,
maka kedengaran samar-samar kata-kata Belanda,
erangan dan keluh kesah, kutuk dan caci maki
soldadu rendahan.
Pada suatu malam terang bulan aku pergi ke
sana... biar orang tahu bahwa aku tidak takut kepada
roh-roh yang gentayangan itu, roh-roh bangsaku
sendiri. Mereka itu telah datang menuntut balas atas
pembunuhan terhadap orang tuaku dan adik-adikku
dan telah tewas untuk itu, karena itu aku merasa ada
ikatan dengan mereka. Aku merasa malam itu dekat
dengan mereka, meskipun tulang belulang mereka
sudah hancur oleh gigitan garam laut, atau dimakan
oleh ketam, yang membuat jalan-jalan bulat sampai
jauh dalam pasir. Banyak sekali ketam itu; jalannya
ganjil menyamping-nyamping apabila mereka lari
bertemperasan melihat kedatanganku. Jika akuJOHAN FABRICIUS
44
sendiri terkapar mati di sini, tentulah mereka
menyerangku dalam jumlah ribuan.
Entah bagaimana aku justru tertarik untuk
mendatangi pantai di bagian ini, Pasir berkilau
menyilaukan mata apabila matahari menyinarinya;
tidak ada sesuatu yang mengingatkan bahwa di sini
pernah terjadi tragedi; hanya dalam bayanganku aku
melihat orang-orang dengan seragam Belanda kuno
melompat dari perahu dan berjalan mengharungi
ombak menghempas, menyongsong tembakan
senapan yang menyambut mereka dari kebun kelapa
di belakangku. Apabila seseorang jatuh tersungkur
dengan teriakan tercekik, kulihat air menjadi merah
warnanya.
Tapi betapa sering sudah laut membasuh pantai
ini semenjak kejadian itu, menghilangkan segala
bekas. Banyak sekali kerang yang istimewa bentuk
dan warnanya; benda-benda kecil mengkilap ciptaan
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alam; di rumah aku membuat koleksi kecil.
Yonathan membantu aku dengan nama-namanya
yang dipakai oleh orang pribumi. Sementara ia
memperhatikan kerang itu tanpa minat, ia bertanya
dengan nada kurang setuju, mengapa aku selalu
pergi ke pantai Way Asil: orang sudah bertanya
tanya di pulau.
"Mengapa aku tidak akan melakukannya,
Yonathan?"
"Tidak baik, tuan."
"Mengapa tidak baik ?"
"Tuan tahu sendiri."
"Maksudmu karena roh-roh yang penuh
dendam ? Aku tidak pernah diganggu. Kau?"Teriakan Kakatua Putih
45
"Saya pernah melihat sesuatu yang aneh,"
katanya sambil tertawa mengangkat bahu, karena ia
merasa aku tidak akan percaya kepadanya.
"Apa yang kaulihat. Yonathan?"
Suaranya tidak pasti. "Saya pernah melihat di
sini seorang Belanda muncul di tengah ombak."
"Apakah itu bukan aku? Aku kadang-kadang
berenang disini."
Tidak, tuan, waktu itu tuan belum datang di
pulau ini. Saya dengan jelas melihat muka orang
putih; ia memandang saya dan kemudian
menghilang lagi di tengah buihnya ombak. Orang
Belanda itu meneriakkan sesuatu yang tidak dapat
saya tangkap.
Aku berpikir itu mungkin sapi laut yang
berenang di teluk ini. "Barangkali kau melihat ikan
duyung yang kau sangka manusia. Yonathan:
teriaknya memang seperti teriakan suara manusia."
Ia menggelengkan kepala; "bukan duyung, tapi
salah seorang soldadu Kompeni yang mati, soldadu
Kompeni.
Soldadu itu rupanya kelupaan kepalanya
dipancung." kataku. Tapi Yonathan tidak dapat
menghargai lelucon yang pahit itu. Ia melengos dan
diam.
Di pulau orang sudah tahu; anak kecil yang
dulu, yang kini kembali ke Saparua sebagai orang
tua. tidak takut kepada pantai Way Asil yang dihuni
roh-roh.
Kadang-kadang aku ajak kedua anak laki-laki
Residen, yang menolongku mencari kerang yang
orang takut memungutnya di tempat ini. MerekaJOHAN FABRICIUS
46
merasa dirinya pahlawan muda kulit putih di tengah
bangsa bodoh yang percaya kepada tahyul itu:
mereka berani! Aku menjadi teladan mereka yang
cemerlang. Aku satu-satunya orang yang lolos dalam
pembunuhan menyedihkan di dalam benteng; itu
saja sudah membuat aku jadi tokoh yang
mempesona bagi mereka, sudah sepantasnya
mereka hormati.
Kami bertiga mandi di pantai yang terkutuk itu;
anak-anak sudah pandai berenang; aku mengajari
mereka menyelam dengan melompat dari atas
bangkai perahu yang mencuat ke atas, bangkai
orembai yang terbenam. Dalam latihan berenang
seperti itu, Rob, yang paling tua, merenggut
sekeping mata wang perak dari dasar laut; ia datang
kepadaku dengan gembira: "Lihat, om Jan, apa ini?"
dan kukenali di atas muka mata wang itu yang telah
licin bergesek dengan pasir garis pinggir profil laki
laki yang bermahkotakan rangkaian daun palem dan
di muka lain: m.... ur d. Fra. c. ?Empereur de France !"
uku berseru. "Mata wang dari zaman Napoleon."
Mereka tidak tahu apa-apa tentang kaisar Perancis
yang agung itu dan dalam perjalanan pulang aku
bercerita tentang "kopral Korsika yang kecil itu",
yang dengan kehebatannya sebagai militer
merambah jalan ke kursi kerajaan Perancis, sambil
menghancurkan negeri-negeri sekitar menjadi
puing-puing berasap. Dan itu menjadi permulaan
pelajaran-pelajaran yang selanjutnya aku berikan
untuk menunjang usaha-usaha Eveline yang belum
begitu berhasil ke arah itu.Teriakan Kakatua Putih
47
"Aku tidak sekejap pun dapat mengarahkan
perhatian mereka pada pelajaran: keluhnya. "Begitu
mereka melihat kau. merekapun lari."
"Sejarah yang hidup lebih menarik bagi anak
anak dari berhitung. Eveline."
"A
pa saja yang kau ceritakan, mereka diam
mendengarkan !"
Dia tidak begitu setuju aku membawa anak
anaknya berenang dan mandi-mandi di tempat yang
berbahaya pula, "di pantai yang menurut kata orang
berbahaya".
"Mengapa pantai itu berbahaya?" tanya Residen.
"Pasukan-pasukan kita melakukan pendaratan
justru di Way Asil karena laut di situ dangkal."
"O..tapi kami juga berani di tempat yang dalam!"
seru Rob. Eveline dengan sedih menggeleng-geleng
kepala. "Ya, dengan om Jan banyak yang kalian
berani lakukan; aku tahu!"
Om Jan. Di dalam keluarga itu aku telah
merebut tempatku sendiri, seolah-olah aku salah
seorang anggota keluarga. Keadaan seperti ini
sebenarnya belum pernah aku alami. Anak-anakku
waktu masih kecil, terutama takut kepada ibunya,
yang mengendalikan mereka dengan keras; aku
sebagai ayah agaknya dianggnp terlalu penurut,
terlalu lunak. Juga di kantor ? aku hampir tiga
puluh tahun bekerja di kantor Keuangan ? selalu
aku dilewati oleh teman sejawat yang lebih
beruntung, barang kali juga lebih berambisi,
sehingga isteriku kesal sekali. Tapi di sini, dalam
"keluargaku yang kedua", aku telah merebut
kedudukan yang istimewa.JOHAN FABRICIUS
48
Eveline makin lama makin banyak menuntut
waktuku. Seringkah iu merasa diabaikan oleh
suaminya, yang waktunya sama sekali disita oleh
tugasnya sebagai orang Pemerintah dan hampir
hampir tidak punya perhatian untuk dirinya dan
bahkan untuk anak-anaknya. Dia ingin supaya aku
jangan membuang-buang waktu dengan berbicara
panjang lebar dengan raja-raja dan orang kaya, tapi
sehari-harian berbicara dengannya. Dia ingin tahu
segalanya tentang diriku, tentang keadaan
keluargaku, tentang anakku perempuan yang belum
kawin, Bertha, yang mengurusku sesudah isteriku
meninggal. Isteriku! Aneh ? saat ini aku hanya
dengan susah payah dapat membayangkan rupanya.
Tapi aku mendengar suaranya, mendesak dengan
lembut. Supaya aku mempertahankan diri, jangan
membiarkan diriku dilanda. Dia ingin melindungiku,
Hermin. dia tahu kelemahanku, dia ingin kebaikan
bagiku. Tapi aku adalah aku, dia tidak dapat
merobahku, tidak dapat menguatkan hatiku
terhadap dunia di mana aku kesasar. Karena itu dia
hanya meletihkan aku dengan desakan-desakannya
supaya aku bersikap lebih kuat dari sifatku
sesungguhnya dan aku menutup diri terhadapnya.
"Jan, aku mengatakan sesuatu. Kau tidak dengar ?"
? "Aku dengar, Hermin." ? "Mengapa kau tidak
menjawab?" ? "Karena ... apa yang kaukatakan
tadi?"
Ketika dia meninggal, aku dapat melepaskan
diri dari desakan yang dipaksakan dari luar itu. Tapi
ada pula Bertha yang tinggal di rumah kami dan
yang menganggap kewajibannya untuk mengambilTeriakan Kakatua Putih
49
alih tugas ibunya, Bertha yang juga bermaksud baik
denganku, lapi juga tidak bisa menolongku.
Kepada Eveline aku hanya mengatakan bahwa
hidupku dalam perkawinan baik, tenang dan bahwa
aku pun beruntung dengan adanya Bertha. Ya,
Eveline juga berpendapat demikian. Jika datang
surat dari Bertha, maka aku harus menceritakan apa
isinya. Dia dapat membayangkan betapa tidak
sabarnya anakku menunggu aku pulang. Sudah
berapa lama aku meninggalkan negeri Belanda?
Eveline membolehkan aku tinggal di rumahnya,
makin lama makin baik malah, tapi dia sungguh
heran mengapa aku tidak bosan-bosan dengan pulau
ini dan penduduknya yang sengsara.
"Aku merasa orang-orang di sini ramah sekali,
Eveline."
"Aneh kau mengatakan itu ! Justru kau ! Mereka
menyebut dirinya orang Kristen ! Hm, Kristen yang
baik. Mereka pembunuh! Kalau ada orang bisa
bicara tentang pembunuhan, maka kaulah itu!"
"Apakah kau punya gambaran. Eveline manis,
betapa pandainya orang Kristen kulit putih
membunuh, dari masa ke masa? Ingat saja masa
silam kita di Maluku ini. Ibu-ibu menyuruh tidur
anak-anaknya, sesudah dua ratus tahun, masih
dengan nama Vlamingh. De Vlamingh van
Oudshoorn, demikian nama-nya. pastilah salah
seorang Gubernur yang bertangan besi. Tahukah kau
bahwa seluruh penduduk kepulauan Banda boleh
dikatakan habis dibunuh oleh pemerintah kita.
Pemerintah Kristen di bawah Jan Pieterszoon Coen,JOHAN FABRICIUS
50
sehingga perlu di datangkan penduduk baru dari
Jawa?"
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak, dia tidak banyak tahu tentang itu.
Lagipula semua itu terjadi di waktu yang sudah lama
silam. Sekarang kita hidup dalam masa yang lain.
"Mudah-mudahan pendapatmu itu benar,
Evcline. Dan mengenai agama Kristen orang Maluku
yang kau kecam itu, cobalah pula kau selidiki
sejarahnya. Agama Kristen dipaksakan kepada
mereka. Mula-mula oleh orang Portugis : waktu itu
mereka harus memuja Ibunda Maria dan Orang
orang Suci. Sesudah itu datang mazhab Kulvin
bangsa kita, dengan pedang dan Alkitab di tangan,
mereka menghancurkan patung-patung keramat dan
mengancam orang-orang Maluku yang malang itu
dengan neraka dan siksaan apabila mereka terus
memuja patung-patung Roma itu. Kalau dipikirkan
semua itu, sungguh mengharukan bagaimana
setianya mereka menganut kepercayaan baru yang
didesakkan orang dari luar. Bukankah kau setiap
Minggu pergi ke gereja ? Tidakkah kaulihat wajah
wajah yang khusyuk itu ?"
"Aku tak percaya. Aku pergi ke gereja mereka
karana tidak ada pilihan lain. Khotbah pendeta
Maluku itu aku tidak mengerti sepatah kata pun,"
"Pelajarilah bahasanya."
Dia menarik nafas panjang.
Aku dengan mudah meminta orang-orang tua di
Saparua menceritakan pendaratan mayor Beeces
yang gagal, tapi ternyata sukar bagiku menyuruh
mereka bercerita tentang ekspedisi Belanda yang
berhasil, ekspedisi yang dilancarkan sesudahTeriakan Kakatua Putih
51
bencana di Way Asil. Mereka berbicara dengan kata
kata yang samar tentang perlawanan Matulesia dan
orang-orangnya, perlawanan yang sia-sia. Tapi ?
mereka menambahkan ? Kompeni juga kehilangan
beberapa orang opsir, antara lain pemimpin
pasukan Belanda, Mayor Meijer. Mereka dengan
getir bercerita tentang kekejaman tidak terkendali
orang-orang Alifuru dari Ternate dan Tidore yang
diminta menolong Belanda, dan membunuh anak
anak dan perempuan. Dan kalian bagaimana? Aku
ingin bertanya ? apakah mereka lupa sama sekali
siapa yang mereka hadapi waktu mereka mengeluh
tentang pembunuhan atas perempuan dan anak
anak yang tidak berdosa? Tapi aku tidak berkata
apa-apa, sebab timbul pikiran aneh dalam benakku:
apakah mereka menganggap aku sebagai salah
seorang dari mereka? Karena aku, barangkali lebih
kejam diperlakukan dalam tragedi itu dari siapapun
juga di antara mereka? Mereka menyebut suatu
nama yang aku dengar untuk pertama kali: Kristina
Martha, itulah agaknya anak puteri yang cantik dari
raja tua perkampungan Abubu di Nusa Laut: Paolus
Triago. Pada akhirnya dialah yang menjadi jiwa
pemberontakan. Apabila orang-orang laki-laki putus
asa dan hendak menyerahkan diri, maka dialah yang
membangkitkan perlawanan dengan kata-katanya
yang bersemangat dan dia sendiri memberi teladan.
Ketika dia akhirnya diseret keluar dari rumah yang
sedang terbakar kena tembakan, dia masih
memegang tombak di tangannya. Bahkan orang
Belanda pun terkesan olehnya dan tidak
membunuhnya, sedangkan ayahnya yangJOHAN FABRICIUS
52
sebenarnya sudah terlalu tua untuk mengangkat
tombak atau parang, dijatuhi hukuman mati oleh
mereka, meskipun anaknya memohon supaya
ayahnya diizinkan menikmati sisa hidupnya yang
tidak akan lama lagi. Sesudah ayahnya dihukum
mati, dia dibawa ke kapal perang, di mana dia tidak
lama kemudian meninggal karena bersedih hati ...
Kemudian aku mengetahui bahwa setiap orang di
pulau mengenal nama Kristina Martha dan bicara
tentang dirinya dengan penghargaan. Aku mulai
membuat gambaran tentang perempuan yang
agaknya sangat cantik ini dan aku sekali-kali
membayangkannya diam-diam dalam mata batinku.
Ketika aku menanyakan kepada Letnan-Laut
Coops tentang dirinya, seingatnya orang
mengatakan bahwa dia waktu itu diperlakukan di
kapal ?Reigersbergen? lebih sebagai tamu dari
sebagai tawanan, tapi dia duduk saja dengan
murung di sudut tanpa sepatah kata, dia tidak mau
makan, minum, pun dia tidak merawat dirinya,
sehingga terasa semacam keindahan aneh,
keindahan liar meliputi dirinya seperti keindahan
binatang dikurung yang tidak punya suara untuk
menyatakan kesedihannya dan lebih suka mati saja.
Memang dia kemudian mati merana. Dan seolah
olah orang-orang di ?Reigersbergen? merasa malu
atas kcmatiannya itu, merekapun membuang
mayatnya pada malam hari dengan diam-diam ke
dalam laut.
Aku berlayar pada suatu hari dengan perahu
kecil ke Nusa Laut untuk melihat pulau dan
kampung di mana dia bermain-main sewaktu kecil.Teriakan Kakatua Putih
53
Perjalanan itu singkat saja. Anak-anak tentu saja
ingin serta, tapi Residen tidak mengizinkan dan
boleh jadi juga ia tidak boleh disalahkan sama sekali
dalam hal itu, sebab di Nusa Laut aku disambut agak
dingin : orang belum mengenalku di sana. Aku mau
apa di sana? Mengapa aku dengan segala paksa
hendak melihat tempat di mana raja Paulus Triago
ditembak mati oleh soldadu-soldadu Kompeni?
"Di sana ia ditembak, tuan. Seorang tua tiada
berdaya, yang sama sekali tidak berguna untuk
pemberontakan. Ia tidak akan pernah turut serta,
sekiranya anak puterinya tidak menyuruhnya."
"Anak puterinya?" tanyaku. Aku kira aku hanya
hendak mendengar namanya sekali lagi.
Tapi tidak ada yang menyebutnya. Apakah aku.
seorang Belanda, tidak cukup berharga untuk
mendengarnya?
"Ia, anak puterinya. Dia pun dibunuh, dibunuh
oleh soldadu-soldadu itu."
"Dibunuh ?"
"Mereka membiarkan dia mati kelaparan."
"Aku dengar dia menolak semua makanan dan
meninggal karena dukacita."
"Itu menurut kata orang Belunda. Jadi, tuan
tahu tentang dirinya ?"
Lalu aku katakan siapa aku dan mereka
memandang aku dengan pandangan lain : pun di
Nusa Laut rupanya sudah sampai berita tentang
kembalinya anak satu-satunya yang tidak terbunuh
? sekarang ia sudah jadi orang tua ? satu-satunya
anak Residen Saparua yang tidak terbunuh bersama
orang tuanya dan saudara-saudaranya.JOHAN FABRICIUS
54
"Aku mendengar ceritanya dari opsir-opsir laut
Belanda," kataku. "Di kapal tempat orang
membawanya, semua orang mengaguminya dan
bukan hanya karena dia cantik sekali. Siapa nama
puteri itu?"
"Kristina Martha, tuan."
"Kristina Martha, ya, sekarang aku ingat lagi."
Kristina Martha.
Kebanyakan perempuan di kepulauan ini
sebagai wanita Kristen tunduk kepada suaminya,
tapi sekali-sekali ada juga sepasang mata yang hitam
berkilau memandang kita tanpa ketakutan, hampir
hampir menantang. Ada yang cantik-cantik; yang
warna kulitnya sawomatang muda. yang kulitnya
licin, yang sikapnya gagah, langkahnya memegas
seperti binatang yang lahir dalam kebebasan.
Kristina hidup di antara laki laki yang memancung
dengan sekali tetak kepala musuh yang luka atau
tewas dan kemudian menjunjung tinggi-tinggi
gumpalan darah dengan sorak kemenangan. Apakah
dia di tengah pejuang-pejuang yang kejam itu, tetap
perawan ? Seorang Jeanne d Arc Maluku, tidak dapat
didekati dalam pengabdiannya yang sempurna
terhadap kepentingan yang suci ? Atau : bersama
sama dengan sesamanya pejuang, berpesta pora
dalam gelimang darah, menyerahkan tubuhnya
sebagai hadiah atas keberanian yang diperlihatkan?
Sudah beberapa waktu aku merasa hubunganku
dengan Residen menjadi dingin. Sampai sekian jauh
ia mendengarkan aku dengan senyum orang atasan,
apabila aku menceritakan percakapan
percakapanku dengan orang-orang kaya, tapi padaTeriakan Kakatua Putih
55
suatu hari ia merasa perlu memberiku peringatan:
"Apakah anda cukup menyadari bahwa anda
seorang kulit putih, seorang Belanda dan sebagai
orang Belanda juga mempunyai kewajiban untuk
menjunjung tinggi kekuasaan kita di sini?"
"Apakah saya merugikan kekuasaan itu. tuan
Residen?"
"Merugikan ... merugikan ... Saya mau menerima
bahwa anda tidak akan mengatakan sesuatu yang
buruk tentang Pemerintah. Memang tidak ada alasan
untuk itu, sebab keadaan mereka baik di bawah
Pemerintah itu dan mereka pun tahu. Sesudah
insiden yang menyedihkan itu dan beberapa
keonaran kemudian, mereka bersikap loyal.
Soldadu-soldadu yang terutama kita dapat dari
Ambon, merupakan pasukan pribumi kita yang
paling baik. Mereka sudah membuktikannya
sewaktu perang Diponegoro dan sekarang juga
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam peperangan melawan pembuat keonaran di
Aceh. Tapi meskipun demikian kita harus menjaga
jarak dengan orang-orang pribumi ini, kita jangan
terlalu akrab dengan mereka. Boleh jadi anda
tertawa mendengar apa yang akan saya katakan ini:
sebagai orang kulit putih kita mempunyai semacam
lingkaran cahaya di kepala kita. Kita ini bagi mereka
merupakan teka-teki yang tidak dapat diselami,
mereka terpesona melihat keajaiban-keajaiban yang
kita ciptakan dengan alat-alat tehnik modern kita.
Meriam, mesim uap, kapal yang menurut kabar yang
mereka dengar, bisa berjalan tanpa layar. Kalau kita
turun menyatukan diri dengan mereka, kalau kita
memperlihatkan bahwa kita juga hanya manusiaJOHAN FABRICIUS
56
biasa seperti mereka, maka rasa hormat mereka
terhadap kita akan hilang. Dan rasa hormat itu kita
perlukan, itulah penunjang kita yang besar. Pada
suatu ketika rasa hormat itu bisa menyelamatkan
kita. Jangan lupa bahwa kita hanya berjumlah sedikit
di tengah mereka yang beribu-ribu dan ditambah
lagi beribu-ribu jumlahnya."
Aku teringat kepada ayahku, yang percaya
kepada rasa hormat orang terhadap dirinya sebagai
orang kulit putih dan sebagai Residen, ketika ia
pergi ke Porto dan Haria untuk memadamkan
pemberontakan, dengan penampilan dirinya
semata-mata. Apa kata Yosef Latuperisa? "Memang
ia berani, ayah tuan, tapi tidak bijaksana". Aku sadar
betapa perasaan Residen Doornbos ini. Penguasaan
bahasa Melayunya masih kurang untuk mengurus
sesuatu tanpa juru bahasa, misalnya apabila ia
memarahi raja-raja yang mencari keuntungan untuk
diri sendiri, mendamaikan pertikaian antara
beberapa perkampungan. mengadili dengan
perantaraan seorang ahli adat atau Quran, yang
tahu beberapa patah kata Belanda. Malam hari ia
belajar bahasa Melayu, diganggu oleh nyamuk yang
mendengung sekitar lampu. Ia mempunyai seorang
klerek Jawa, yang bicara bahasa Belanda dan juga
menulisnya sedikit-sedikit Aku kira ia akan lebih
merasa berbahagia sebagai walikota sebuah kota
praja kecil di Holland-Utara. tempat asalnya. Dunia
Timur ini baginya terlalu sukar rasanya, masalah
masalah terlalu berat, terlalu pelik. Ia sendiri
mengatakannya : kekuasaan yang dipaksakan itu
harus dipertahankan sekuat tenaga dan saya tidakTeriakan Kakatua Putih
57
boleh mendobrak lingkaran cahaya yang berharga di
sekitar kepala kita yang penuh dosa ini.
Untuk menenteramkan hatinya, mengenai
pengaruhku yang mungkin tidak baik atas
penduduk, terkeluar dari mulutku bahwa aku
lambat laun mulai berpikir untuk pulang ke negeri
Belanda. Alangkah senangnya kalau ada kapal dari
Ambon yang menuju Betawi atau Surabaya ...
Ia terkejut mendengar perkataanku itu,
mengapa buru-buru? Katanya, ia dan isterinya sama
sekali tidak menginginkan supaya aku "pergi. Anak
anak pasti akan kehilangan aku, terutama anak-anak
laki-laki tentu saja, tapi juga si kecil Suzi, yang setiap
malam naik ke pangkuanku untuk mendengarkan
lagi cerita Si Topi Merah dan serigala jahat.
Rupanya ia menyampaikan kepada Eveline
bahwa aku bermaksud akan meninggalkan pulau
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Berita itu
menyedihkan bagi Eveline; dalam kesepiannya dia
lambat laun lelah menganggapku sebagai pembantu
dan pelindung. Memang, ia pun tahu bahwa aku
lambat laun menjadi bosan ... tapi mengapa belum
selang lama aku memastikan yang sebaliknya
kepadanya ?
Kekecewaannya membuat dia mudah marah
marah. Memang dia sudah lama kehilangan
keseimbangan, karena saat ia bersalin tambah
mendekat; dua bulan lagi sampailah waktunya. Dan
di seluruh pulau tidak ada dokter atau bidan kulit
putih yang akan dapat menolongnya.
"Siapakah itu yang kausebut-sebut tempo hari
Waktu berbicara dengan Yonathan?" tanyanya.JOHAN FABRICIUS
58
"Aku kebetulan mendengarnya. Kristina Maria,
betulkah pendengaranku?"
"Kristina Martha," aku membetulkan.
"Apakah itu seorang gadis yang kau temukan di
sini?" Kristina Martha. Lucu juga. Aku memutuskan
untuk membangunkannya dari mimpinya. "Sukar
menemukannya, Eveline. Kristina Martha hidup
setengah abad yang lalu"
Dia mengangkat bahu dengan enggan. "Ya, ya.
Apa pula peduliku.."
Apakah dia cemburu ? Aku pantas jadi
kakeknya! dan cemburu pada Kristina Martha pula!
Tapi barangkali tiap wanita menjadi saingan bagi
semua sauduranya perempuan, sekalipun
saudaranya itu telah lebih dulu masuk kubur;
barangkali seorang perempuan bertentangan
dengan segala akal sehat menuntut setiap laki-laki
yang dia cintai bagi dirinya sendiri saja, meskipun
simpatinya hanya sambil lalu. Aku tidak pedulikan
akal Eveline yang tidak sehat dan dengan
bersemangat kuceritakan kepadanya fenomena yang
menjadi pusat bayangan batinku : seorang gadis
muda yang mendorong ayahnya yang tua bangka ke
medan pertempuran dan dengan tombak di tangan
berjuang bahu membahu dengan laki-laki, di
antaranya pengayau-pengayau Alifuru. Seorang
gadis yang demikian cantiknya sehingga sahabat dan
musuh biarpun sudah lewat setengah abad, masih
mengaguminya.
"Aku sungguh mengira kau jatuh cinta padanya"
ejek Eveline.Teriakan Kakatua Putih
59
Aku tertawa. "Aku mengakui bahwa aku sedang
mencarinya di antara gadis-gadis di pulau ini."
Kadang-kadang aku berpikir : "Seperti inilah dia
mestinya. Barangkali beginilah rupanya."
"Jadi kau masih melirik gadis-gadis" dia
memastikan.
"Itulah penyakit orang tua-tua, Eveline.
Maafkanlah aku." Tapi dia tidak memaafkannya. Dia
mulai memandang aku dengan curiga. Kadang
kadang seakan-akan Suzi pun dia tidak mau
percayakan kepada satir tua yang berbahaya seperti
aku ini. "Ayo Suzi. Om Jan mau membaca; jangan
ganggu ia lagi."
"Siapa bilang aku mau membaca ? Aku sudah
berjanji kepada Suzi untuk menceritakan dongeng
Markis dari Karabas Kau ingat, Suzi ? Cerita tentang
kucing bersepatu, yang membikin tuannya menjadi
kaya. Tuannya, yaitu seorang pemilik gilingan yang
miskin"
"Lain kali saja. Suzi harus tidur sekarang. Sudah,
jangan merengek juga kau, sudah malam dan itu
Rachel sudah datang untuk memandikanmu dan
membawamu ke tempat tidur"
"Mengapa kau begitu keras terhadap kami,
Eveline?" tanyaku setelah Suzi ditarik sambil
menangis.
"Anak itu perlu tidur; di negeri ini harus bangun
pagi-pagi. Sebenarnya bagaimana kau mendidik
anak-anakmu?"
"Bukan aku yang mendidiknya, tapi isteriku.*
"Nah, di sini, akulah yang mendidik."JOHAN FABRICIUS
60
Beberapa hari kemudian adik perempuan
tukang masak tidak masuk pada waktu yang biasa.
"Mana Rebekka?" tanyaku kepada Yonathan.
"Hari ini dia tidak enak badan, tuan. Tapi tidak
apa; saya akan membenahi tempat tidur tuan dan
Miriam bisa mencuci dan menyeterika pakaian
tuan."
Jika demikian mestinya aku sekali-kali tidak
perlu menerima gadis itu bekerja di rumahku,
pikirku.
"Apakah sudah kau katakan kepada Nyonya
Residen bahwa Rebekka sakit?" tanyaku.
"Barangkali dia punya obat."
"Ya, nyonya sudah tahu, tuan."
Sesudah beberapa hari gadis itu belum masuk
juga. "Apakah Rebekka masih sakit, Yonathan?"
"Ya, tuan."
"Apa sakitnya? Apakah gawat? Biar aku datang
melihatnya sendiri."
Yonathan nampak bimbang. "Dia tidak di sini
lagi, tuan. Miriam menyuruh dia pergi ke rumah
neneknya di Siri-Sori Serani."
"Bagaimana ? Padahal dia sakit!"
"Dia ... tidak begitu sakit lagi, tuan."
Ini sungguh menarik. "Baiklah. Kalau begitu
tentu dia akan segera masuk lagi untuk bekerja di
sini. Kapan?" Sekarang ia tidak bisa mengelak lagi.
"Dia tidak bisa bekerja di sini lagi. tuan. Dia
membantu neneknya ... neneknya sudah tua,"
"Mengapa baru disampaikan kepadaku
sekarang, secara kebetulan? Kamu tidak
menceritakan apa-apa tentang itu."Teriakan Kakatua Putih
61
Yonathan memandang ke bawah, ke jari-jari
kakinya yang tidak beralas, penuh lumpur.
"Coba katakan terus terang, Yonathan, apakah
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyonya Residen mengatakan bahwa Rebekka tidak
diperlukan lagi di sini?"
"Saya tidak tahu, tuan ... barangkali sebaiknya
tuan sendiri menanyakannya kepada Nyonya ..."
Dan akupun melakukan itu. Eveline
memandangku dengan menantang. "Ya, aku
menyuruhnya pergi."
"Kau menyuruhnya pergi? Dia bekerja padaku."
"Ya, tapi aku rasa lebih baik begitu. Kau begitu
aneh belakangan ini."
"Terima kasih atas perhatianmu, Eveline,"
kataku, tambil dengan susah payah menguasai
diriku, "tapi aku lebih tuka tidak berada di bawah
perwalian siapa-siapa. Aku berterima kasih
kepadamu dan suamimu atas kebaikan kalian
menerimaku sebagai tamu, selamu beberapa minggu
dan beberapa bulan ini, tapi dalam keadaan ini aku
lebih suka diam di bawah atapku sendiri."
"Silakan. Bolehkah aku bertanya di mana kau
mengharap akan mendapat atap sendiri seperti itu"
Dia merasa yakin bahwa aku tidak akan berhasil
mencarinya.
"Jangan kuatir, aku akan menemukannya. Kalau
perlu aku akan tidur di bawah langit terbuka."
"Kau kan tidak akan tinggal di gubuk pribumi?"
"Mengapa tidak"
"Sebab sebagai orang kulit putih kau tidak bisa
melakukan itu. Pieter sekali-kali tidak akan
mengizinkannya."JOHAN FABRICIUS
62
"O, apakah suamimu juga sudah menjadi
majikanku ?"
Aku pergi ke pavilyunku dan segera mulai
mengumpulkan barang-barangku yang tidak
seberapa. Eveline tinggal di serambi belakang
dengan perasaan tak puas. Kemudian dia datang
melihatku dengan muka tak bahagia, tepat ketika
aku meninggalkan pekarangan.
"Ke mana kau pergi. Tolol!" ia berseru di
belakangku.
Aku tidak menjawab. Nanti aku akan kabarkan
di mana aku berteduh. Harapanku tertuju kepada
Yosef Latuperisa yang tua. Dan ia tidak
mengecewakan aku.
Gubug nelayan di pinggir pantai. Mengapa
tidak? Ada atap di atas kepalaku dan keperluanku
tidak banyak. Orang tua yang tinggal di situ, bisa saja
pindah ke rumah anaknya, selama aku di sana, kata
Yosef. "Kasih saja seberapa tuan mau. tentu ia akan
gembira."
Ia sendiri membawaku ke tempat itu. Nelayan
itu menyerahkan gubuknya dengan senang hati.
Sejak isterinya meninggal. tidak lama sebelumnya, ia
memang sudah bermaksud untuk tinggal dengan
puteranya dan menantunya perempuan, sebab tidak
ada lagi yang akan memasak untuknya. Alat-alat
dapurnya boleh aku pakai, ia tidak memerlukannya
lagi. Dan apa yang kuberikan kepadanya, agaknya
melebihi segala harapannya; berkali-kali ia
mengucapkan terima kasih.
"Aku tidak akan tinggal lama," kataku.
"Tuan boleh tinggal sesuka tuan saja"Teriakan Kakatua Putih
63
"Selama gubuk itu masih berdiri" tambah Yosef.
sebab gubuk itu tidak begitu kuat lagi kelihatannya.
Apakah hanya bayanganku, atau apakah ia
diam-diam merasa senang dengan pertikaianku
dengan "Nyonya Residen", yang tentu saja sudah
diketahuinya melalui "kabar angin", berita yang
ditebarkan oleh angin dan beredar dalam waktu
singkat di seluruh pulau ?
Menjelang malam Yonathan datang melapor. Ia
tidak menyembunyikan kekagetannya melihat
penginapanku yang baru dan menawarkan jasa
jasanya lagi. Isterinya pun ingin menanak untukku
lagi. Aku berpikir mengapa aku tidak akan
menerima mereka kembali? Dahulu pun aku sendiri
yang menerimanya, di luar campur tangan Eveline.
Miriam sudah berdiri di luar menunggu hasil
perundingan kami; dia dengan gembira masuk
setelah mendengar kabar baik dan segera
membereskan serta mengatur dapur, yang lebih
sederhana dari dapurnya di pavilyun rumah
Residen. Tapi dapur yang seperti ini dia sudah biasa
sejak kecil. Dia membawa alat-alat dapur sendiri
sedikit, poci dan panci yang ditemukannya di sini
semua dikeluarkannya tanpa merasa perlu untuk
menelitinya. Buang semua barang rombengan itu. Di
pasar dia akan membeli piring-piring dan gelas. Di
Saparua ada toko di mana dia akan membeli pisau
garpu yang perlu untuk orang Belanda, yang tidak
bisa makan dengan tangan. Juga sapu lidi untuk
menyapu segala segi sudut pondok. Di dalam sebuah
toko bisa dibeli seprei, sarung bantal dan guling. Aku
berikan wang kepadanya dan bersama Yonathan diaJOHAN FABRICIUS
64
pergi belanja. Sejam kemudian mereka sudah
kembali dengan barang-barang yang aku perlukan
untuk malam pertama itu dan Miriam menjerang air
untuk memasak nasi. Demikianlah pondokku segera
enak untuk didiami; kukenakan celana tidur dan
baju cina. Yang kurang hanya sebuah kursi malas
seperti di pavilyun yang aku tinggalkan, untuk
tiduran dan memandang dengan lega ke laut lepas.
Kursi malas seperti itu harus segera aku suruh beli
besok; aku pernah melihat toko perabot Cina yang
menjualnya.
Di pinggir pantai ini malam hari lebih dingin
dari di belakang rumah Residen dan karena ada
angin laut tidak ada nyamuk, sehingga aku bisa tidur
tanpa kelambu. Aku belum pernah sebelumnya tidur
di atas balai-balai. Aku harus membiasakan diri
dulu, tapi bunyi hempasan ombak yang senada dan
terutama perasaan memperoleh kebebasan kembali,
membuat aku tidur nyenyak malam itu. Tidak
adanya kamar mandi keesokan harinya tidak
menjadi keberatan, karena keluar dari pondokku
aku segera bisa mandi di laut.
Sampai sejauh itu Miriam masih berusaha untuk
sebagai selingan makanan nasi setiap hari, sekali
sekali menyugukan pula makanan Belanda; atau apa
yang dianggapnya sebagai makanan Belanda, itu
terjadi atas petunjuk Eveline. Tapi sekarang dia
tidak mendapat petunjuk lagi dan kepandaiannya
memasak makanan Belanda dalam waktu singkat
pasti akan hilang lagi. Bagiku tidak apa. Nasi goreng
waktu sarapan. baiklah.Teriakan Kakatua Putih
65
Pagi pertama aku melakukan apa yang sudah
lama hendak aku lakukan: menulis surat panjang
kepada anakku. Mula-mula aku akan memberitakan
bahwa aku baik-baik saja dan tidak merasa pusing
pusing selama aku tinggal di sini. Barangkali ini
tidak tepat seperti yang sebenarnya, tapi aku tidak
mau dia susah memikirkanku. Dalam semua surat
suratnya yang dikirimkan kepadaku bersama uang,
dia dengan kuatir menanyakan kesehatanku. Aku
juga menulis bahwa aku bermaksud untuk pulang,
aku akan memperhatikan kapal yang masuk kota
Ambon. Malahan barangkali ada kapal yang mampir
di Saparua ? jadi aku tidak perlu melakukan
perjalanan ke Ambon. Aku menyajikan cerita yang
agak humoristis mengenai pondokku yang baru aku
diami, tanpa mengatakan mengapa aku tidak tinggal
lagi di pavilyun di belakang rumah Residen.
Karena sekarang benteng hanya beberapa ratus
meter jauhnya, pagi-pagi aku mendengar terompet
untuk membangunkan orang dan ketika bendera
Belanda dinaikkan; kulihat isteri-isteri soldadu suku
Jawa keluar pintu gerbang dan turun tangga yang
panjang ke tanah lapang depan untuk belanja di
pasar; beberapa orang membawa anaknya yang
paling kecil ? kalau anaknya itu laki-laki, pastilah ia
kemudian akan memperkuat barisan tentara
kolonial kita; anak-anak yang lebih tua bermain di
pantai atau perang-perangan di tanah lapang di
depan benteng sambil berteriak-teriak, memberi
komando bersiap! dan berseru hura. Kulihat
nelayan-nelayan membawa jaring dan bersama
sama mendorong perahu ke laut yang menggolak.JOHAN FABRICIUS
66
Mereka mengangguk ke arahku dan aku
melambaikan tangan mengucapkan selamat
menangkap ikan. Kulihat bahwa orang-orang
menjadi lebih akrab denganku setelah aku tinggal
lebih dekat dengan mereka dan di dalam pondok
yang demikian sederhana pula. Pedagang-pedagang
perempuan yang pergi ke pasar tertawa mendengar
lelucon-leluconku.
Yonathan menceritakan kepadaku bahwa ia
telah mengirimkan adik isterinya kepada neneknya
di Siri-Sori Serani atas perintah Nyonya Residen.
Tapi sekarang ia tidak perlu lagi mendengarkan
perintah-perintah seperti itu dan jika aku mau, ia
akan memanggil Rebekka untuk bekerja lagi padaku.
Aku tertawa. Tapi Yonathan. apa lagi yang harus
dikerjakannya di sini ? Kamu berdua kan sudah
cukup.
Mukanya menjadi muram. Sungguh sayang,
katanya dan Miriam juga tentu merasa sayang.
"Tapi Nyonya Residen akan senang."
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yonathan tidak tertawa mendengar kelakarku;
barangkali juga ia tidak bermaksud untuk
berkelakar.
Kemudian Miriam juga datang untuk
membicarakan adiknya. Rebekka susah sekali
hatinya ketika Yonathan menyuruhnya pulang,
katanya. Dia ingin sekali kembali kepadaku. Dia mau
bekerja dengan separoh gaji dahulu.
"Begini Miriam. Tentu kau sendiri yang ingin
supaya dia dekat denganmu. Suruhlah Rebekka
bekerja di tempat lain di mana dia bisa mendapat
gaji penuh."Teriakan Kakatua Putih
67
"Di mana, tuan ?"
"Bagaimana aku tahu?" Barangkali di rumah
Nyonya Residen ?"
Aku mendapat jawaban yang sudah bisa aku
perkirakan sebelumnya. "Dia tidak mau di sana,"
kata Miriam dengan nada berontak dalam suaranya.
Dengan menarik nafas panjang dia pergi. Aku tidak
tahu bagaimana tiba-tiba timbul pikiran padaku
bahwa din dan suaminya tidak akan keberatan jika
aku sungguh-sungguh mempergunakan jasa-jasa
gadis itu seperti yang dimaksud oleh Eveline ...
Aku melakukan perjalanan-perjalanan panjang
menyusur pantai dan sekali-sekali juga masuk agak
jauh ke pedalaman, meskipun aku merasa bahwa
jantungku tidak kuat untuk mendaki; kadang
kadang aku tidak bernafas lagi dan berhenti
sebentar untuk menenangkan kembali jantungku
yang keras berdebar-debar. Tapi perjalanan
perjalanan itu memuaskan sekali bagiku; di mana
mana orang mengenaliku; sering aku diminta
mampir oleh seorang kepala desa dan diberi air
jeruk atau air kelapa muda. Aku mendengar pula
cerita-cerita tentang Matulesia; bagaimana ia
akhirnya, setelah letih diburu-buru, keluar dari
tempat persembunyiannya yang terakhir dan
menyerahkan diri tanpa melakukan perlawanan
kepada soldadu-sohtadu Kompeni, bersama-sama
dengan beberapa orang kepercayaan yang masih
tinggal. Aku mendengar tentang pelaksanaan
hukuman besar-besaran di pulau Oma : dalam salah
sebuah perkampungan di sana anak-anak dan
perempuan dikurung dalam gereja setempat dan diJOHAN FABRICIUS
68
antara beberapa ratus tawanan ditunjuk dua belas
orang yang dianggap paling besar kesalahannya dan
dijatuhi hukuman tembak. Di antaranya juga ada
beberapa orang guru agama. Mereka mengutip
mazmur 17 untuk membenarkan pemberontakan:
"Dengarkanlah Tuhun, perkara yang benar,
perhatikanlah seruanku. Sembunyikanlah aku dalam
naungan sayapmu terhadap orang-orang fasik yang
hendak membinasakan daku, terhadap musuh
nyawaku yang mengepung daku."
Mereka telah berani mengatakan kepada rakyat,
bahwa yang dimaksud dengan orang fasik itu ialah
orang Belanda. Anak-anak dan wanita-wanita yang
malang itu berpikir, pastilah semua laki-laki akan
ditembak mati; sambil meratap mereka keluar,
ketika kepada mereka dikatakan bahwa mereka
akan melihat bagaimana Kompeni membuat
perhitungan dengan pengkhianat. Mereka harus
menyaksikan bagaimana kedua belaas orang
terhukum itu, dengan pergelangan tangannya diikat
ke belakang, ditembak mati dan jika masih bergerak
gerak, dihabisi dengan bayonet. Dengan putus asa
perempuan-perempuan orang yang malang itu
memohon supaya paling tidak boleh membawa
mayat suami-suami mereka untuk dikuburkan.
Lalu orang-orang Alifuru itu! Seorang
perempuan tua renta masih ingat bagaimana
mereka itu datang dengan kora-kora menyeberangi
laut. Diatas sayap kiri kanan perahu yang panjang
duduk pendayung-pendnyung yang dengan segenap
tenaga menarik dayungnya di dalam air, sehingga air
berhamburan seperti hujan lebat menerpa mukanyaTeriakan Kakatua Putih
69
yang galak dan kepalanya yang berhiaskan bulu
burung. Di atas geladak beberapa orang Alifuru
seperti kerasukan menarikan tari perang mengikuti
bunyi gong, seruling dan tifa; di buritan, diikat
dengan rambut yang panjang, bergelantungan
kepala-kepala orang yang dikayau dahulu, mengerut
dan hitam terbakar kena matahari dan angin. Dan di
bawah geladak kapal menunggu kira-kira seratus
iblis dari neraka itu, tidak sabar menanti saat
Kompeni memberi tanda bermulanya pesta
Pembunuhan Besar-besaran itu.
Dendam yang tak kunjung padam masih
kedengaran dalam suara orang-orang yang
menceritakan kekejaman-kekejaman itu kepadaku.
Dan selalu aku heran bahwa mereka sama sekali
lupa, bahwa aku pun seorang Belanda, bahwa
mereka tidak meminta pertanggungan jawabku atas
segala penderitaan yang diakibatkan oleh orang
orang sebangsaku. Mereka malahan cenderung
untuk menganggap tuntutan balas atas
pemberontakan dan atas pembunuhan di benteng
itu sebagai sesuatu yang dapat dipahami. Tapi
dendam lama tidak hilang dan Matulesia tetap
pahlawan mereka.
Dan sering sekali disebut-sebut nama Kristina
Martha. Selalu dia dilukiskan sebagai gadis yang
dipuja-puja, yang kecantikannya luar biasa, hampir
hampir suatu tokoh legendaris
Tidak berapa lama kemudian kedua anak
Residen mengunjungiku; memang sudah kusangka.
"Apakah ibumu tahu kalian datang ke mari?"JOHAN FABRICIUS
70
tanyaku. Mereka mengangkat bahu. "Kami tidak
mengatakan apa-apa di rumah."
"Apakah dia melarang kalian?"
"Tidak. Mengapa?" mereka bertanya, pura-pura
heran. "Om Jan ikut mandi-mandi, om ?"
"Dengarkan. Aku tidak akan menyuruh kalian
pergi, tapi di rumah kalian juga tidak boleh
merahasiakan bahwa kalian datang ke mari."
Mereka berjanji, tidak begitu bersemangat
kulihat. Tapi karena mereka sejak itu setiap hari
datang, rupanya mereka telah mendapat
persetujuan dari Eveline. Atau apukah Eveline tidak
berhasil melawan semangat muda mereka dan
kegigihannya?
Aku pergi dengan mereka menangkap ikan di
teluk. Itu tidak ada bahayanya, sebab perahu
bersayap seperti itu ? yang kupinjam dari salah
seorang nelayan ? tidak akan terbalik. Lagipula
mereka pandai sekali berenang, kedua anak itu. Di
sini banyak sekali ikan, sehingga kami dalam waktu
singkat cukup banyak menangkapnya dan kami
membakarnya di pantai, di atas tungku yang cepat
cepat kami buat. Pesta besar ! Miriam membawakan
nasi dan sambal. Beberapa anak Maluku melihat
kami segan-segan dari jauh, tapi sesudah aku
panggil merekapun datang menikmati ikan bakar
kami. Dari mereka anak-anak belajar membuat
panah dengan busurnya dari bambu untuk berburu
tupai. Itu tidak mudah. Binatang berwarna kelabu
itu cepat seperti air dan lari menyelinap di puncak
kelapa berdaun rimbun. Berburu burung agaknya
lebih mudah, tapi aku melarang mereka, setelahTeriakan Kakatua Putih
71
seorang anak Maluku menembak jatuh seekor
burung kasturi dan pemburu-pemburu cilik itu
diserang oleh sejumlah besar kawanan burung itu;
burung-burung kecil hijau itu berteriak terbang
menggelepar-gelepar mengelilingi kepala mereka
dan mencoba mematuk mereka dengan paruhnya
yang tajam.
Aku melarang Rob bergulat dengan teman
temannya anak Maluku. Sebab tidak adil, aku
menerangkan kepadanya: kulitnya yang putih dan
kenyataan bahwa ia anak Residen pula, membuat
anak-anak itu tidak akan berani mengalahkannya.
Aku merasa perlu untuk mengatakannya
kepadanya, sebab aku sudah melihat bahwa ia dan
juga adiknya Heince. merasa dirinya lebih unggul,
disebabkan karena mereka itu tergolong bangsa
kulit putih yang berkuasa. Di tiap lapangan lain
mereka kalah dengan anak-anak Maluku itu. yang
berlari lebih kencang, melempar lebih jauh,
memanjat pohon kelapa secepat kera dan dapat
menggunakan panah dan busur seperti pemburu
yang dewasa.
Pada suatu pagi sebuah dokar berhenti di
belakang pondokku ? kereta tuan Residen ? dan
Eveline turun dari dalamnya. Agak sukar karena
kandungannya sudah besar; aku berlari untuk
menolongnya. Dia melambaikan sepucuk surat,
rupanya sebagai alasan kedatanganya.
"Aku girang melihat kau lagi, Eveline."
"Girang mendapat surat dari anakmu,
maksudmu ? Apakah kau masih marah ? Sebaiknya
kita berdamai lagi, kata Pieter. Ia juga merasa tidakJOHAN FABRICIUS
72
pantas kau di sini tinggal dalam pondok seperti
nelayan pribumi di tepi pantai. Apakah kau belum
bosan ?"
Sementara aku membuka surat untuk
Teriakan Kakatua Putih Karya Johan Fabricius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membacanya sekilas, dia pergi memeriksa dapur.
Miriam berdiri setengah membalik di dekat tungku,
dan memberi hormat dengan keramahan seorang
sahaya: "Tabe, Nyonya besar."
"Selamat pagi, koki. Kau tentu sudah ingin
kembali ke dapur pavilyun lagi, bukan?"
"O. di sini juga baik. Nyonya."
"Barangkali dia malahan lebih suka keadaan
begini," kata Eveline kepadaku. "Orang-orang ini
cepat sekali puas dan memang dia tidak pernah
biasa dengan keadaan lain, sebelum dia datang di
Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama