Ceritasilat Novel Online

Cinta Menyapa Dalam Badai 4

Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W Bagian 4



***

"Yos hilang, Ma!" tangis Anggun hari itu, sepulangnya dia berkunjung ke rumah mertuanya.

Ibu Anggun menerima putrinya dalam pelukannya. Membiarkan tangis Anggun pecah di bahunya. Dia harus mengumpulkan semangatnya dulu sebelum bertanya dengan bingungnya.

"Hilang bagaimana? Yos ke mana?"

"Rumahnya sudah kosong!"

"Kosong?" Bu Sofi berusaha mencerna kata itu dengan sulitnya.

"Kosong? Maksudmu... mertuamu juga tidak ada?"

"Tidak ada siapa-siapa di sana! Kata tetangga, pagipagi mereka sudah pergi!"

"Dan Mbok Neni? Pembantu tua itu?"

"Sudah seminggu dia pulang kampung! Aduh, Ma! Gimana nih? Ke mana Anggi mesti cari Yos?"

"Sabar, Anggi, sabar," Bu Sofi membelai-belai punggung anaknya dengan bingung.

"Barangkali mereka cuma pergi ke luar kota..."

'*Tapi saya punya firasat Ibu sengaja memisahkan saya dari Yos. Ma!"

"Masa sih dia sejahat itu"?"

"Dia ingin merawat Yos seorang diri! ingin memilikinya seutuhnya seperti dia memiliki Mas Rian dulu!"

"Tapi Rianto anaknya! Yos..." Mulut Bu Sofi terkatup dengan sendirinya.

"Anak saya! Dia tidak berhak membawanya!"

"Lebih baik kita tunggu dulu beberapa hari, Anggi. Tenang saja dulu. Mama tidak percaya Mbak Rully bisa sekejam itu. Memisahkan cucunya sendiri dari ibunya!"

"Tapi dia sakit, Ma! Dan dia benci sekali sama Anggi! Dia masih menyalahkan kematian anaknya pada saya!"

"Tapi Rianto sakit AIDS! Bukan salahmu dia meninggal. Dan kamu sudah menebus kesalahanmu! Sembilan bulan di penjara... apa itu belum cukup? Belum memuaskan hatinya juga?"

"Dia tidak mau saya mengambil Yos! Dia bahkan tidak ingin saya dekat-dekat cucunya! Dia gila, Ma! Sekarang dia melarikan anak saya! Dia merampas Yos! Saya harus melaporkannya ke poliSi!"

***

Tetapi polisi pun tidak mampu menemukan Yos. Penyelidikan mereka hanya mampu menyimpulkan, Yos dan neneknya melarikan diri ke Surabaya. Karena itu, Anggun nekat menyusul ke sana.

Tiap hari dia mencari anaknya. Ketika uangnya sudah menipis, dia mencoba mencari pekerjaan. Anggun tidak mau minta uang terus dari ayahnya, biarpun ibunya masih selalu mengirim uang.

Mula-mula Pak Santosa menempatkannya di bawah Widi Bahtiar, salah seorang perancang produksi biro iklannya. Dan mula mula tentu saja Widi gembira mendapat asisten yang bukan cuma cantik. tapi sekaligus terampil. Ide idenya cemerlang. Orisinal. Segar.

Tetapi dua bulan kemudian, dia mulai merasa kedudukannya terancam. Pak Santosa mulai mengendus kelebihan Anggun. Dan berniat menempatkannya di posisi yang lebih tinggi.

Tentu saja Widi tidak suka bekerja di bawah wanita. Dan dia percaya, separo rekan rekannya juga punya pendapat yang sama. Bedanya. ada yang terus terang seperti dia. Ada pula yang pura-pura abstain saja.

Lebih menyebalkan lagi, wanita cantik yang satu ini sulit sekali didekati. Jangankan bersedia diajak kencan, diajak makan bersama saja selalu menolak. Jadi buat apa cantik, kalau dia tidak pernah tampil sebagai wanita?

Sejak itu Widi selalu menyingkirkan ide ide Anggun. Sengaja menyisihkannya. Dia hanya ditugasi sebagai asisten. Disuruh-suruh ke sana kemari.

Celakanya, klien menolak rancangan iklannya. Dan Pak Santosa yang berhidung tajam. langsung menunjuk Anggun. Memberinya kesempatan yang lebih besar.

"Kau bebas memilih model dan fotografernya," kata Pak Santosa ketika dia memanggil Anggun ke kamar kerjanya.

"Keluarkan semua idemu. Kalau klienku setuju, kau langsung kujadikan perancang produksi."

Sesaat Anggun tertegun.

"Dan... Mas Widi?"

"Dia sudah kehabisan ide. Kalau sekali lagi ditolak klien, dia boleh siap-siap jadi asistenmu!"

"Tapi dia orang baru. Pak!" protes Widi marah ketika dia mendengar keputusan bosnya.

"Baru beberapa bulan bekerja di sini! Dan dia bukan orang periklanan!"

"Di perusahaanku, yang penting ide! Bukan ijazah! Bukan pengalaman!"

"Dia tidak bisa dibandingkan dengan saya, Pak! Saya sudah delapan tahun bekerja di sini, sembilan tahun di biro iklan lain!"

"Itulah," dengus Pak Santosa santai.

"Idemu sudah kering! kalau sekali lagi ditolak klien. kau boleh siapsiap jadi asisten Anggun! Daripada klienku pindah ke biro iklan lain!"

Dan terobosan Pak Santoso ternyata berhasil. Pak Suryopranoto, klien besar yang menjadi langganan mereka, sama skeptisnya ketika pertama kali melihat Anggun beraksi. Dia memang cantik. Matang. Enak

dilihat. Tapi bikin iklan? Nanti dulu! Apalagi Widi Bahtiar sudah memberi peringatan.

Hah! Pak Santosa terlalu berani, memberikan iklan semahal ini kepada orang baru!

Tetapi ketika iklan itu selesai, bukan cuma Pak Santosa yang menyukainya. Pak Suryopranoto juga. Meskipun dia masih mengkritik di sana-sini, pada prinsipnya dia setuju. Dia malah minta agar Anggun diberi kesempatan mengerjakan iklan-iklannya yang lain kalau iklannya yang satu ini berhasil.

"Kita berhaSil, Anggun!" cetus Rudi ketika dengan tergopoh-gopoh dia menyampaikan kabar itu pada Anggun.

Sekilas Rudi melihat wajah yang manis itu berpijar. Tapi hanya sebentar. Sesudah itu dia sudah kembali ke sikapnya yang lama. Tenang. Datar. Nyaris dingin.

"Terima kasih," katanya tanpa emosi berlebihan.

"Tanpa kerja samamu, saya tidak akan berhasil."

"Boleh merayakan keberhasilan kita ini nanti malam?"

"Kenapa harus nanti malam?"

"Maksudmu, kita pergi makan siang sekarang?"

"Saya sudah bawa bekal."

"Lupakan bekalmu. Hari ini saja. Kita makan di luar."

"Maaf, saya sibuk."

"Nanti malam juga sibuk?" Anggun tidak langsung menjawab. Dia menatap rudi sekejap.

"Saya tidak bisa," katanya pendek. Tawar.

"Anggun," desah Rudi setelah menghela napas pan

jang.

"Kenapa kamu begini tertutup? Kamu tahu ngga. sih. teman-teman selalu ngomongin kamu?" Anggun hanya mengangkat bahu. Wajahnya muram.

"Kamu takut pergi dengan saya?"

"Saya cuma tidak mau."

"Kenapa? Tidak ada yang larang, kan? Kamu janda, saya jejaka."

"Tolong tinggalkan saya," dengus Anggun dingin.

"Saya sedang ingin sendiri."

"Sampai kapan? Apa kamu sedang berkabung?"

"Saya tidak ingin menjawab pertanyaanmu, Rud. Tolong, demi persahabatan kita, pergilah!"

Rudi memandang wanita itu sambil menggelenggelengkan kepalanya.

"Kamu aneh, Anggun," keluhnya sambil memutar tubuhnya.

"Entah misteri apa yang kamu sembunyikan."

Kedukaan yang sangat pahit. desah Anggun dalam hati. Bukan misteri! Mula mula aku kehilangan kekasih. Lalu suami. Dan kini anak. Satu satunya yang masih tertinggal dalam hidupku.

Tak terasa air mata menggenangi matanya. Dia merasa dadanya sakit. Amat sakit. Dan dia hampir terlambat menyembunyikan air matanya. Sarjono masuk begitu saja ke ruangannya.

"Dipanggil Pak Santosa." katanya sambil mengawasi Anggun dengan cermat.

"Kenapa? Ribut sama Rudi?"

"Ah. nggak apa-apa," sahut Anggun sambil mendatarkan suaranya. Dia tidak mau seorang pun melihat air matanya. Dia tidak sudi dikasihani.

Tetapi... aduh. Sarjono bukannya pergi, malah duduk di depannya.

"Ada apa?" desaknya penasaran.

"Ada kesulitan?"

Ah, laki-laki, pikir Anggun gemas. Mengapa mereka ingin sekali membantu wanita biarpun bantuannya tidak dibutuhkan?

"Nggak ada apa-apa," Anggun mengangkat mukanya dan menatap Sarjono dengan tatapan kosong.

"Pak Santosa memanggil saya?"

"Tapi dia masih ada tamu. Kita bisa ngobrol dulu."

"Ngobrol apa'?"

"Kenapa kamu nggak pernah ngobrol !"

"Apa yang diobrolkan?"

"Kamu tidak punya bahan obrolan? Pacarmu? Anakmu?"

"Saya tidak ingin membicarakannya.," desis Anggun dingin.

"Kenapa?"

"Kenapa? Karena saya tidak punya pacar."

"Tapi kamu punya anak, kan? Di mana anakmu?"

Tidak tahu, keluh Anggun pahit dalam hati. Seandainya aku tahu!

Hampir tiap malam ditanyakannya pada Yudha. Pada Rianto. Tapi mereka tidak pernah memberitahu. Mereka tidak pernah muncul! Justm pada saat Anggun sangat membutuhkan pertolongan mereka!

Di mana Yos? Di mana dia? Ke mana neneknya membawanya?

Hari hari pertama kehilangan Yos. Anggun hampir gila. Semua benda di rumah ayahnya mengingatkannya pada Yos. Cukup lama Yos tinggal di rumah itu ber

sama ibunya sebelum Anggun masuk penjara. Dan semua itu meninggalkan bekas yang tak mudah hilang dari mata dan hati Anggun.

Kamar tidurnya. Ranjangnya. Barang-barangnya. Mainannya. Fotonya. Semuanya masih di sana.

Ibu Anggun tidak mengubah suatu apa pun. Biarpun selama Anggun dalam penjara, Yos tinggal bersama ibu Rianto. Semuanya masih di sana. Semuanya masih tetap seperti dulu. Kecuali... Yos. Dia sudah tidak berada di sana lagi.

Dan kalau dulu Anggun tahu pasti di mana anaknya berada, sekarang dia tidak tahu apa-apa. Dia tidak tahu di mana Yos tinggal. Seperti apa rumahnya. Sekolahnya. Gurunya. Teman-temannya. Dia bahkan tidak tahu anaknya sakit atau sehat!

Tiap hari Anggun keluyuran mencari anaknya. Tingkahnya sudah seperti wanita yang tidak waras. Untung dia memiliki seorang ibu yang sangat bijaksana.

Bu Sofi tidak pernah meninggalkan anaknya sekejap pun dalam duka. Dia selalu mendampingi putrinya dengan tegar. Membantu. Menghibur. Menabahkan. Tanpa kehadiran ibunya. barangkali Anggun sudah putus asa. Mungkin juga sudah gila. Bahkan mungkin sudah tewas dihajar sebuah mobil yang seperti sengaja menabraknya.

Mobil itu tiba-tiba saja muncul dari kelok jalan. Meluncur cepat ke arah Anggun yang sedang melangkah seperti orang linglung.

Anggun tidak melihat mobil itu. Dia tidak merasakan bahaya yang sedang mengintai. Pikirannya sedang tertuju pada Yos.

Ibunyalah yang mencium mara bahaya yang tibatiba menghadang di depan mata. Refleks lengannya terulur menyambar tangan putrinya. Dan mobil itu lewat bagai meteor hanya beberapa senti dari tubuh Anggun.

"Lihat nomor polisinya?" geram suaminya penasaran ketika ibu Anggun menceritakan kejadian itu di rumah.

"Boro-boro nomor polisinya, merek mobilnya saja saya nggak tahu!" keluh Bu Sofi lemas. Belum hilang kagetnya.

"Mobilnya besar, warnanya biru..."

"Tidak lapor polisi?"

"Ada polisi di sana. Tapi dia cuma menyuruh Anggun lebih hati-hati. Jangan jalan terlalu ke tengah..."

Wiradhana Prambudi, S.H. meninju telapak tangannya dengan geram.

"Coba aku ada di sana!" desisnya gemas.

Tetapi Anggun sendiri seperti tidak mengacuhkan malapetaka yang hampir merenggut nyawanya. Dia sedang memandangi foto anaknya dengan air mata berlinang.

Di mana kamu, Yos, bisiknya lirih. Ke mana Nenek membawamu?

Yos masih terlalu kecil untuk mengingat alamat rumahnya. Nomor teleponnya. Seandainya pun dia ingat, dia tidak tahu harus menambahkan kode area untuk Jakarta.

Barangkali juga neneknya sengaja tidak memasang telepon. Siapa tahu? Bukankah Bu Rully sengaja ingin menyembunyikan diri?

Jadi bagaimana Yos bisa menghubungi ibunya sekalipun dia ingin bertemu Mama?

***

Lambat-lambat Bu Rully membuka pintu kamarnya. Dan melongok ke dalam.

Kamar sudah setengah gelap. Lampu sudah dipadamkan. Hanya cahaya dari luar menerobos: masuk melalui jendela yang tirainya belum ditutup.

Samar-samar dia melihat Yos berbaring meringkuk di tempat tidur. Napasnya turun-naik dengan teratur. Dengkurnya pelan dan rata.

Mengendap endap Bu Rully masuk ke kamar. Menutup pintu dengan hati-hati. Dan melangkah menghampiri tempat tidur.

Sekali lagi ditatapnya Yos yang sedang tidur lelap. Alangkah tenang parasnya kalau sedang tidur begini. Hilang semua bekas bekas kebandelannya.

Dan kalau sedang tidak nakal, Yos sering mengingatkannya pada Rianto. Kerinduan yang mendesak di dada ingin ditumpahkannya dengan memeluk Yos. Memanjakannya. Seperti dulu dia memeluk dan memanjakan si Thole.

Tapi Yos memang bukan Rianto. Dia lain. Berbeda. Dia tidak suka dipeluk-peluk. Lebih-lebih setelah usianya makin bertambah. Kalaupun sekali sekali dia tidak menolak untuk dipeluk, itu hanya karena dia tidak ingin menyinggung perasaan neneknya. Dan begitu ada kesempatan, dia akan buru buru kabur meloloskan diri.

Ah, sering Bu Rully menghela napas berat. Sering dia membayangkan, seandainya Rianto-lah yang dipeluknya... seandainya dia masih dapat memeluk dan memanjakan ai Thole....

O, Thole! Thole! Mengapa begitu cepat kamu pergi? Kenangan manis yang kamu tinggalkan tak mungkin terlupakan sampai kapan pun!

Kapan kita baru dapat berkumpul kembali? Kapan Ibu baru dapat memelukmu lagi?

Hati-hati Bu Rully merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ketika tidak sengaja tangannya menyentuh lengan Yos, dia jadi kaget sendiri. Khawatir membangunkan Yos.

Tetapi Yos tidak terjaga. Bergerak saja tidak. Dengkurnya terdengar rata dan teratur seperti semula.

Ah, pikir Bu Rully ketika dia sudah berbaring di sisi cucunya. Alangkah sepinya hidup ini kalau tidak ada Yos... kalau dia tidak punya siapa siapa lagi untuk diurus...

Itu sebabnya biarpun Yos bukan main nakalnya, Bu Rully masih tetap ingin memilikinya.... Padahal ibu anak itu telah kembali .

Bu Rully tidak mau mengembalikan Yos. Biarpun kepada ibu kandungnya sendiri.

Dia masih ingat sekali. Hari itu tiba tiba saja Anggun tegak di depan pintu rumahnya.

"Kau sudah bebas?" gumamnya kaku.

"Sudah setahun?"

"Sembilan bulan," sahut Anggun lirih.

"Saya mendapat remisi."

"Lalu mau apa lagi kau kemari?"

"Saya ingin menjemput Yos."

"Dia belum pulang sekolah," sahut Bu Rully dingin.

"Dan kau sudah memberikan Yos kepadaku sebagai pengganti bi Thole!"

"Saya tidak menyerahkan Yos, Bu," sanggah Anggun

bingung.

"Saya hanya menitipkannya kepada Ibu selama saya tidak ada."

"Dan sekarang kau mau mengambilnya kembali?" geram Bu Rully judes.

"Kenapa kita tidak bisa mengasuhnya bersamasama, Bu?"

"Sampai kapan? Sampai kau menemukan pengganti si Thole dan membawa Yos pergi?"

"Tapi Yos anak saya, Bu!" desah Anggun gemas.

"Salahkah kalau saya menginginkannya hidup bersama saya?"

"Biarkan Yos tinggal di sini beberapa hari," dengus Bu Rully datar.

"Seenaknya saja kau tiba-tiba datang mengambilnya!"

Tapi hampir tiap hari Anggun ingin menemui Yos. Makin lama makin sulit mencari alasan untuk memisahkan mereka. Bu Rully malah khawatir suatu hari nanti Anggun tidak mau lagi berpisah dengan anaknya. Dia juga takut Yos akan memilih ikut ibunya daripada tinggal bersama neneknya.

Kalau itu sampai terjadi, punahlah semua semangat hidupnya. Lebih baik dia mati saja. Buat apa hidup, kalau tidak tahu lagi harus hidup untuk apa? Kalau tidak tahu harus masak untuk siapa. Tidak tahu lagi untuk apa harus bangun setiap pagi. Hidupnya akan terasa sangat kosong dan sia-sia!

Memang kejam memisahkan Yos dari ibunya. Bu Rully dapat membayangkan bagaimana rasanya kehilangan anak. Tetapi... bukankah gara-gara Anggun juga dia kehilangan Rianto?

Karena itu Bu Rully harus berpikir cepat dan bertindak gesit. Dia memang tidak keburu menjual rumah. Tetapi Rianto mewariskan deposito yang cukup untuk memulai hidup baru di kota lain. Kota yang jauh dari Jakarta. Dan cukup ramai seperti Surabaya.

Di kota sebesar ini tidak mudah mencari seseorang. Apalagi kalau dia bisa mengubah identitasnya. Yang sulit cuma menyuruh Yos membiasakan diri dengan nama baru....

**

Begitu sampai di rumah saja, Anggun sudah menyesal. Dia terlalu terburu-buru. Terlalu terbawa emosi. Meninggalkan pekerjaannya bukan tindakan yang bijaksana. Tidak mudah mencari kerja. Apalagi yang dapat menyisakan waktu luang yang cukup untuk mencari Yos.

Harman Santosa memang menyebalkan. Tetapi itu hanya karena egonya sebagai laki-laki terlukai. Jika Anggun lebih bijaksana, seharusnya semua ini tidak usah terjadi. Dia tidak usah memusuhi putra bosnya. Yang hasilnya pasti sebuah kekalahan.

Sekarang sudah terlambat. Ternyata yang menderita bukan hanya Anggun. Timnya juga. Rudi Akmal ikut dikucilkan. Tak ada lagi jatah untuknya. Padahal dia fotografer muda yang andal. Masa depannya cerah. Kalau saja dia diberi kesempatan.

Tetapi karena dia dianggap terlalu dekat dengan

Anggun, dia ikut disingkirkan Harman. Dan yang menyokong tindakannya bukan hanya Sarjono si bunglon. Tapi juga Widi Bahtiar yang memang merasa kedudukannya terancam.

Reni, gadis remaja yang punya impian menjadi gadis model, juga terpaksa ikut-ikutan tersingkir. Widi tidak mau memakainya karena dia teman Anggun.

Ketika Anggun memperoleh laporan itu dari Rudi, dia merasa menyesal.

"Bukan salahmu," hibur Rudi lunak.

"Harman memang sengaja menyudutkanmu. Dia bilang kamu terlalu sombong."

"Barangkali dia benar," gumam Anggun lesu.

"Kamu cuma tidak mau melayaninya. itu hakmu. Biarpun dia bosmu, dia tidak berhak memaksamu untuk menyukainya. Apalagi memaksa kencan."

"Dia cuma ingin menaklukkan saya."

"Karena itu dia menekanmu."

"Dan kalian ikut jadi korban." Rudi menghela napas panjang.

"Kita bisa cari pekerjaan di tempat lain."

"Kita?" Anggun mengangkat wajahnya menatap Rudi. Rudi membalas tatapan wanita itu sambil tersenyum pahit.

"Ya. Kita. Sekarang kita sama-sama pengangguran, kan?"

"Tapi kamu tidak patut ikut dihukum untuk kesalahan saya."

"Saya tidak menyesal kok."

"Saya yang menyesal. Kamu fotografer berbakat. Masa depanmu cukup cerah."

"Kalau begitu. saya bisa menggapai masa depan saya di tempat lain."

"Biro Iklan Swarga cukup besar dan bonafide. Di sana peluangmu lebih besar."

"Kecuali bahwa saya sudah tidak dipakai lagi!"

"Semua gara gara saya. Kalau saya kembali dan minta maaf pada Harman..."

"Tidak!" potong Rudi keras.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat mereka saling tatap sebelum Anggun mengalihkan tatapannya ke tempat lain. Dia tidak ingin membalas tatapan Rudi lebih lama lagi. Dia kenal sekali arti tatapan semacam itu. Dan sudah lama tidak ada pria yang menatapnya seperti itu... Anggun tidak mau melihatnya lagi! Tidak!

"Saya yakin dia akan memberi kita kesempatan .sekali lagi..."

"Tidak!" geram Rudi tegas.

"Saya tidak rela dia menghina kamu!"

"Dia hanya ingin menunjukkan superioritasnya. Saya hanya perlu sedikit mengalah..."

"Bukan cuma itu! Dia naksir kamu, Anggun. Dia ingin mengajakmu kencan. Tapi kamu selalu menolak didekati!"

"Kalau hanya sebatas makan siang..."

"Tidak, Anggun! Jangan!" Rudi mendekatkan tubuhnya dengan marah.

"Saya tidak rela kamu melakukannya untuk saya!"

Sesaat mereka saling tatap. Sebelum Anggun menyadari betapa dekatnya mereka berdiri. Ketika dia bergerak menjauh. Rudi meraih lengannya. Dan menariknya ke dalam pelukannya.

Sekejap tubuh Anggun membeku dalam pelukan laki-laki itu. Sekejap dia merasa kehilangan kesadaran. Sensasi yang aneh itu. sensasi yang suatu waktu dulu pernah menjadi miliknya, hangat. nyaman, dalam pelukan seorang pria, kembali menyergapnya.

Kerinduan yang lama memekik pedih tak tersalurkan seperti menemukan tempat pelampiasan. Anggun hanya dapat memejamkan matanya sesaat ketika lengan-lengan Rudi yang kuat menekan punggungnya. Menyalurkan kehangatan yang hanya mampu diberikan oleh seorang laki-laki.

Lalu wajah Rianto seperti melintas di depan matanya. Senyumnya yang sabar... tatapannya yang lembut... dan sekonyong-konyong wajah itu lenyap! Berganti dengan tatapan Yudha yang tajam memiliki.... Tatapan yang menguasai seluruh relung di hatinya, sekujur pori di tubuhnya....

Dan Anggun seperti disentakkan oleh Sebuah kesadaran yang menyakitkan. Dia mendorong tubuh Rudi dengan kasar. Melepaskan dirinya dengan kemarahan yang menggelegak.

"Jangan," pintanya, merasa muak kepada dirinya sendiri.

"Jangan lakukan itu lagi!"

Rudi terjajar selangkah mundur. Mengawasi Anggun antara kecewa dan bingung. Dia sempat merasakan sambutan Anggun, walau hanya sekejap. Tetapi mengapa dia tiba-tiba menolak dengan marah?

"Maafkan saya," gumamnya lirih.

"Saya tidak ingin kurang ajar, Anggun. Saya hanya terdorong emosi. Sudah lama saya menginginkannya.... Saya hanya tak pernah menyadarinya... sampai tadi.... Maafkan kelancangan saya...."

"Pergi," pinta Anggun sambil membelakangi Rudi. menyembunyikan air matanya.

"Saya tidak akan pergi sebelum yakin kamu tidak apa-apa."

"tinggalkan saya," pinta Anggun sekali lagi. Kaku. Dingin.

Sesaat Rudi tampak ragu. Diawasinya punggung Anggun dengan bimbang. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi. dia memutar tubuhnya dan berlalu.

Anggun menjatuhkan tubuhnya ke kursi ketika mendengar suara pintu tertutup di belakang tubuhnya. Dan dia menangis.

Mengapa hidupnya begitu hampa? Mula-mula dia kehilangan Yudha. kekasih yang sangat dicintainya. Lalu kehilangan Rianto, suaminya yang teramat baik dan menyayanginya. Dia kehilangan mereka dengan amat tragis. Sampai dia tak ingin lagi ada laki-laki dalam hidupnya.

Sudah cukup lama dia hidup dalam kesepian. Mengira tak ada tempat lagi bagi seorang pria di hatinya. Lalu sekonyong-konyong muncul laki laki muda yang simpatik ini. Rudi Akmal. Teman seprofesinya. Yang mula mula hanya dianggapnya seorang teman. Yang dikiranya tak akan mampu menggoyahkan gua pertapaannya.

Ternyata hanya dengan sekali peluk saja. pertahanannya hampir runtuh. Ternyata dia masih merindukan pelukan seorang pria. Kehangatannya. Kasih sayangnya....

Kasih sayang'? Bagaimana mungkin mengharapkan kasih sayang dari seorang lelaki yang tidak pernah dicintainya? Dia tidak pernah mencintai Rudi! Tak ada

lagi cinta yang tersisa. Semuanya sudah ditumpahkannya pada Yudha dan Rianto! Semuanya telah dihanyutkan badai yang menggulung layar hidupnya!

Pelukan Rudi hanya mengingatkannya pada pelukan dua orang lelaki yang pernah dicintainya... pelukan yang membangkitkan nostalgia yang pedih!

Sekarang satu-satunya tujuan hidupnya hanyalah mencari Yos. Dan bekerja! Kalau tidak mau gila karena terus-menerus dihantui ketakutan dan kecemasan karena kehilangan anaknya... dia harus bekerja! Harus ada kegiatan lain untuk mengisi waktu.

***

Harman sedang terlibat pembicaraan dengan seorang kliennya ketika dia melihat Anggun. Tetapi dia purapura tidak melihat. Dan melanjutkan pembicaraannya tanpa mengacuhkan wanita itu. Bahkan sesudah kliennya pergi. dia tidak menghampiri Anggun. Dia malah masuk ke kamar kerjanya.

Sarjono lah yang masuk ke kamar kerjanya menyampaikan permintaan Anggun untuk bertemu.

"Soal apa?" tanya Harman dingin.

"Katanya ingin bicara."

"Saya Sibuk," sahut Harman angkuh.

"Ada janji makan siang dengan klien. Suruh tunggu saja."

Ketika Anggun mendengar alasan penolakan Harman. dia tahu Harman sengaja ingin menginjakinjak harga dirinya. Karena itu dia tidak mendesak. Dia menunggu dengan sabar sampai dipanggil. Bahkan ketika panggilan itu baru datang tiga jam kemudian, Anggun tidak memperlihatkan kemarahannya.

Dia masuk ke kamar kerja Harman dengan sabar. Dengan air muka yang sengaja dikosongkan. Dan tatapan mata yang hampa tanpa emosi.

"Selamat siang, Pak," sapanya wajar. Datar.

"Siang." sahut Harman sambil meluruskan punggungnya.

"Silakan duduk. Ada yang perlu dibicarakan?"

Anggun duduk di depan meja tulis Harman. Dibalasnya tatapan angkuh pria itu dengan tenang.

"Saya ingin minta maaf."

Senyum bermain di bibir laki-laki itu. Senyum kemenangan. Matanya memancarkan sorot yang penuh kepuasan.

Diambilnya bungkusan rokoknya. Diambilnya sebatang rokok. Disodorkannya kepada Anggun.

"Rokok?"

Anggun menggeleng.

"Terima kasih. Tidak merokok."

Harman tertawa lebar.

"Oh, ya, saya lupa," katanya sambil menyulut rokoknya.

"Anda tidak suka asap rokok. Tapi ini kamar kerja saya. Tidak perlu minta izin untuk merokok, kan?"

Anggun membalas tatapan laki-laki itu dengan tenang.

"Tidak ada yang bisa melarang Bapak merokok di perusahaan Bapak. kan?"

Harman mengembuskan asap rokoknya sambil tersenyum.

"Hari ini Anda berubah sekali," katanya separo mengejek.

"Ada yang dapat saya bantu barangkali?"

"Kalau masih diizinkan," kata Anggun sambil menekan perasaannya,

"saya ingin menarik kembali permintaan saya untuk mengundurkan diri."

Senyum Harman melebar. Ditatapnya Anggun se nikmat dia mengisap rokoknya.

"Ada syaratnya," katanya puas.

Dan Anggun tidak usah menunggu terlalu lama untuk mendengar kelanjutannya.

"Temani saya makan malam."

***

Anggun tidak ingin berhias. Tidak ingin mengenakan baju bagus. Tidak ingin mempercantik diri. Tetapi dia tidak mau tampil dalam pakaian kerja kalau diundang oleh bosnya makan malam. Rasanya jadi kurang percaya diri.

Tetapi dia sudah tidak menyimpan sepotong gaun pun. Semuanya sudah dihancurkannya. Dia tidak ingin lagi menampilkan kewanitaannya. Tidak ingin lagi ada pria yang tertarik padanya!

Dan seperti memahami keadaan Anggun, Harman mengirimkan sebuah gaun ke alamatnya. Tidak mewah. Tetapi anggun dan feminin.

"Jika Anda tidak mau menerima pemberian dari saya, kenakanlah gaun ini sekali saja nanti malam. lalu kembalikan." tulis Harman di kotak pembungkus gaun itu.

Anggun tidak mungkin menolak permintaan yang begitu simpatik. Apalagi kalau permintaan itu datang dari bosnya.

Dan setelah sekian lama tidak mengenakan gaun, apalagi yang sebagus ini, terasa ada yang ganjil di

dalam sini. Segurat perasaan aneh entah apa namanya. menyelinap ke sudut hatinya.

Lama ditatapnya dirinya dalam cermin. Dan dia hampir tidak mengenali dirinya lagi. Tubuhnya terlihat lebih kurus. Wajahnya juga jauh lebih tua. Gurat-gurat penderitaan menghiasi wajahnya yang kosong, Hampa tanpa emosi. Tatapan matanya membeku dalam dinginnya belantara sunyi hatinya.

Rambutnya begitu pendek. Gersang tanpa model.

Tetapi bagaimanapun berubahnya penampilannya, Anggun masih menyisakan kecantikannya. Kecantikan yang dibalut sejuta misteri. ltukah justru yang menjadi kunci daya tariknya? Daya tarik yang memancing gairah Harman Santosa? Atau... cuma kesombongannya? Yang menyinggung harga diri Harman dan merangsang egonya untuk menaklukkan perempuan yang satu ini?

Dia begitu terpesona ketika melihat Anggun muncul dalam gaunnya. Dan Harman tidak berusaha menutupi kekagumannya.

Anggun sendiri tidak banyak bicara. pelit berkomentar, sekalipun seperti dugaannya. Harman membawanya ke restoran eksklusif di sebuah hotel internasional. Seolah olah ingin menunjukkan, walaupun sebenarnya tidak perlu, citranya sebagai seorang pria dari kalangan atas.

Tetapi jika dia ingin memikat Anggun dengan cara seperti itu, dia keliru.

Anggun tidak peduli ke mana dia dibawa. Seperti apa kemewahan yang disajikan di hadapannya. Diikutinya saja apa keinginan bosnya. Pikirannya sama sekali tidak bersama Harman.

Ketika duduk berdua menikmati makan malam, ingatan Anggun malah melayang kepada Rianto. Kepada makan malam semacam ini.

Anggun seperti dapat membayangkan kembali betapa berseri-serinya wajah Rianto. Betapa lahapnya makannya. Betapa besarnya cinta yang terpancar dari matanya yang lembut dan selalu tersenyum itu.

Dia juga terkenang kepada makan malam mereka yang terakhir... ketika Rianto mengajukan perceraian. Saat itu dia sudah tampak sakit. Wajahnya pucat dan tua. Tubuhnya jauh lebih kurus....

Ah, seandainya saja Anggun tahu! Seandainya saja dia tahu Rianto sakit! Dan seandainya dia tahu ajal suaminya sudah di depan mata!

Tetapi Anggun bukan menemani Rianto pada saatsaat terakhirnya. Dia malah pergi dengan marah! Dan penyesalan itulah yang membuat kesedihannya bertambah.

Perasaan bersalah! O, betapa beratnya beban perasaan itu! Bahkan lebih berat dari kesedihan yang dirasakannya karena ditinggal mati suaminya.

Tak terasa air mata menggenangi mata Anggun. Ketika menyadari matanya terasa panas, dia berusaha menyembunyikannya. Tetapi Harman keburu melihatnya. Dan melihat air mata itu, tiba-tiba saja Harman sadar, dia telah jatuh cinta pada wanita ini.

***

Ketika mengantarkan Anggun pulang dengan mobilnya. tidak seperti sebelumnya, Harman tidak banyak bicara. Dan Anggun yang sedang terbenam dalam kenangannya sendiri, sama sekali tidak menyadari perubahan itu. Dia bahkan bersikap masa bodoh. Dianggapnya kencan ini sebagai sekadar hukuman. Tidak lebih.

Dan ketika hukuman itu hampir berakhir, ketika mobil Harman berhenti di depan rumah kontrakannya, Anggun langsung membuka pintu mobil.

"Terima kasih, Pak," katanya datar. Formal.

"Selamat malam."

Anggun bergerak turun dengan cepat. tetapi Harman lebih cepat lagi meraih lengannya. Merengkuhnya dengan kasar ke pelukannya.

Sesaat Anggun terkesiap. Tubuhnya mengejang dalam pelukan laki-laki itu. Lalu kesadaran memicu kemarahannya. Dia meronta. Berusaha melepaskan diri.

Dia bukan pelacur. Hukumannya hanya sampai menemani makan malam. Tidak lebih!

Tetapi Harman bukan Rudi. Dia pria yang penuh percaya diri. Tangguh. Angkuh. Pantang ditolak wanita. Bukannya melepaskan pelukannya, dia malah mengetatkan dekapannya.

"Lepaskan saya!" desis Anggun marah.

"Bapak tidak berhak..."

"Siapa pikirmu dirimu?" geram Harman gemas.

"Kamu menggoda semua lelaki dengan kecantikan dan kemisteriusanmu, lalu mencampakkan mereka begitu saja! Kalau kamu pikir saya sama dengan mereka, kamu keliru!"

Harman menyentakkan tubuh Anggun dengan kasar lebih dekat lagi ke tubuhnya. Dan merapatkan bibirnya untuk mencium wanita itu. Tetapi Anggun memalingkan wajahnya dengan segera.

"Jangan!" desahnya terengah. masih mencoba melepaskan diri.

"Bapak akan menyesal!"

"Menyesal?" Harman meregangkan pelukannya dan menatap wanita itu antara gusar dan sinis.

"Karena akan datang seorang pria yang akan menghajar saya sampai babak belur?"

"Karena saya pengidap HIV positif!"

Kalau terkejut, sekarang Harman benar-benar terkejut. Dia melepaskan pelukannya, seolah-olah tubuh Anggun seongok batu bara yang panas menyengat. Matanya bersorot kaget, meskipun tidak tampak takut.

Dan Anggun merasa lega. Sekaligus cemas. Dia lolos dari paksaan bosnya. Tapi besok pagi, dia pasti dipecat. Siapa yang tidak takut ketularan IIIV? Siapa yang mau punya pegawai yang AIDS?

Berapa persen orang yang dapat membedakan antara pengidap HIV positif dan AIDS? Dan berapa banyak majikan yang mengerti, karyawannya tidak semudah itu menularkan AIDS di tempat kerja? Bahwa mereka tidak perlu dipecat dan dijauhi hanya karena mengidap HIV positif"?

"Anggun!" Sikap Harman berubah I80 derajat.

"Kamu serius? Kamu bukan cuma menakut-nakuti saya?"

"Almarhum suami saya mengidap AIDS, Pak..."

"Persetan! Jangan panggil Bapak lagi! Kamu sudah periksa darah?"

Tentu saja sudah. Tapi itu setahun yang lalu. Dan saat itu tes HIV-nya memang negatif. Dokter menyuruhnya mengulang pemeriksaan tiga bulan lagi. Dan sampai sekarang, Anggun belum pernah melakukannya.... Untuk apa? Dia lebih sibuk mencari anaknya. Dan kalau Yos tidak ditemukan, apa pedulinya HIVnya positif atau negatif?

"Terima kasih untuk makan malamnya." Anggun merapikan bajunya sesaat sebelum bergerak turun dari mobil.

"Besok pagi baju ini saya kembalikan. Selamat malam Pak."

Lalu tanpa menoleh lagi, ditinggalkannya Harman yang masih tertegun di dalam mobilnya.

***

Anggun menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Dia merasa letih. Lemah. Lesu.

Besok semua temannya sudah tahu. Besok semua karyawan Biro Iklan Swarga sudah mendengar. Dan besok, Pak Santosa pasti memanggilnya. Dia majikan yang baik. Mungkin Anggun akan diberi pesangon beberapa bulan gaji. Tapi untuk apa uang? Kalau cuma uang persoalannya, dia bisa minta kiriman dari ibunya. Meskipun kalau tidak terpaksa, tidak pernah dilakukannya.

Yang penting baginya kini hanya pekerjaan. Supaya dia bisa melanjutkan hidup di kota ini sambil mencari Yos. Yang lebih penting lagi, supaya dia masih punya semangat untuk eksis. Bukan terbenam perlahan-lahan dalam lumpur keputusasaan. Bukan menjadi sinting karena kehilangan anaknya!

Dan besok, semuanya itu akan lenyap. Pekerjaannya juga bakal direnggut. Dia harus mencari pekerjaan lain. Atau justru menumpahkan konsentrasinya untuk mencari Yos. Sudah terlalu lama dia kehilangan anaknya!

Sudah bosan dia memasang iklan. Sudah letih dia bertanya-tanya ke seluruh pelosok kota. Tapi Yos tak pernah ditemukan. Benarkah dia dilarikan neneknya ke kota ini? Atau... mereka sudah pindah lagi ke kota lain? Yang lebih jauh... lebih tak terengkuh.

***

"Yos nggak betah di sini!" geram Yos marah sambil membanting-banting kakinya.

"Yos mau pulang!"

"Pulang ke mana?" Bu Rully mencubit lengan cucunya dengan kesal.

"Di sini rumah kita, Yan!"

"Bukan! Rumah Yos di Jakarta! Yos mau ke rumah Mama!"

"Kamu nggak punya mama!" Bu Rully membeliak gusar.

"Dan namamu bukan Yos! Kamu Yanuar! Awas kalau berani membantah lagi!"

"Nggak! Yos nggak mau dipanggil Yan! Yos udah bilang Bu Ati..."

"Bilang apa?" belalak Bu Rully kaget.

"Yos mau pulang ke Jakarta, mau ketemu Mama!"

Sesaat Bu Rully terdiam. Ketika memasukkan Yos ke sekolah itu, dia memang sudah mengatakan, ibu Yos .namanya yang baru. Yanuar Prihatin sedang menjalani hukuman di penjara. Ayahnya sudah meninggal. Untuk memberi lingkungan baru yang lebih baik bagi perkembangan jiwa Yos, dia dipindahkan kemari. Dan sekolah kecil itu memang tidak bertanya banyak. Bagi kepala sekolahnya, ada murid baru saja sudah lumayan.

Tetapi gurunya yang satu ini. Bu Ati. agak berbeda. Dia sangat memperhatikan murid muridnya. Dan Yos terlalu cerewet untuk didiamkan.

Sudah beberapa kali Bu Ati memanggil Bu Rully. Menceritakan kenakalan Yos yang menurut penilaiannya kurang wajar. Tas temannya disulut api. Buku teman yang lain dibuang ke WC. Yang terakhir. dia malah membubuhi makanan teman sebangkunya dengan kecoak.

Bu Ati juga terlalu banyak bertanya. Makin lama pertanyaannya makin menjurus. Makin menyudutkan. Makin sulit dijawab.

"Nenek bohong!" sambung Yos gemas, sebelum Bu Rully sempat bertanya lagi.

"Mama udah keluar penjara! Kenapa bilang sama Bu Ati mama Yos di penjara?"

Memucat wajah Bu Rully. Ini benar-benar genting. Kalau guru yang sok tahu itu...

Malam itu juga Bu Rully mengemasi barangnya. Dia harus membawa Yos secepatnya pindah dari Surabaya. Mungkin untuk sementara mereka bisa tinggal di Madiun. Almarhum kakek Rianto punya sebuah rumah tua di sana. Hanya keponakannya yang bisu tinggal di rumah itu. Dan membohongi keponakannya yang menderita retardasi mental itu tentu tidak sesulit membohongi Bu Ati.

Keesokan harinya, Bu Rully langsung menemui pemilik rumah kontrakannya. Dia ingin memutuskan kontrak karena harus segera meninggalkan Surabaya.

"Saya ada urusan penting, jadi harus buru-buru. Barang-barang sementara saya titipkan di sini."

'Tidak apa, Bu," kata pemilik rumah itu.

"Kontrak masih setengah tahun lagi. Ibu boleh kembali kapan saja Ibu mau."

Lalu Bu Rully pergi membeli dua karcis kereta api untuk besok. Dan menjemput Yos.

"Yanuar?" Bu Ati mengerutkan dahinya ketika Bu Rully menanyakan cucunya.

"Hari ini dia tidak masuk, Bu ."

Memucat paras Bu Rully. Tidak masuk? Tapi tadi pagi...

"Tadi pagi saya yang mengantarkannya kemari!"

"Tapi Yanuar tidak ada di kelas sejak pagi, Bu ."

Kedua lutut Bu Rully terasa lemas. Matanya bersorot cemas. Bingung.

"Sudah berapa kali saya katakan, Yan punya masalah yang harus kita selesaikan, Bu," keluh Bu Ati sama bingungnya.

"Kemarin dia ribut mau ke Jakarta mencari ibunya. Dia bilang, Mama sudah keluar dari penjara..."

"Ngaco!" sergah Bu Rully gemetar.

"Ibunya dipenjara karena membunuh orang! Ayahnya sudah meninggal! Dia tidak punya siapa-siapa lagi kecuali saya. neneknya!"

**

Anggun benar-benar heran. Tak ada seorang pun yang menanyakan penyakitnya. Ketika dia masuk pagi itu,

Sarjono malah menyodorkan setumpuk foto yang tempo hari ditolaknya.

"Mas Harman minta diajukan dalam meeting besok." katanya sewajar biasa.

"Hari ini kamu masih punya kesempatan retake kalau mau. Tuh si Rudi sama Reni sudah pada nunggu di studio."

Anggun melongo bingung. Bukankah foto-foto ini sudah ditolak Harman? Apakah... karena makan malam mereka tadi malam? Dan... Harman tidak memecatnya? Malah tidak menceritakan soal penyakitnya?

"Iklan yang ini kan sudah diberikan ke Mas Widi?" tanya Anggun separo tidak percaya.

"Itu makanya si Widi lagi ngamuk." sahut Sarjono sesantai biasa.

"Seenaknya saja Mas Harman mainin orang."

Masih seperti berjalan dalam mimpi, Anggun melangkah ke studio. Dan dia berpapasan dengan Widi Bahtiar yang wajahnya merah seperti udang goreng.

Begitu melihat Anggun, matanya langsung bersorot marah.

"enak makan malamnya?" sindirnya sinis.

"Hasilnya langsung kelihatan, ya?"

Anggun menghentikan langkahnya. Dan menatap laki-laki itu dengan sungguh sungguh.

"Mas Widi," katanya datar.

"Boleh tanya?"

"Tanya apa? Kenapa tanya aku? Tanya tuh majikan mudamu! Siapa tahu nanti malam diajak makan malam lagi! Biar semua pesanan diborong ke sana semua!"

"Iklan kasur itu sudah selesai?"

"Apa pedulimu'? Ordernya kan sudah buat kamu!"

"Bagaimana kalau saya minta Pak Harman untuk

mempresentasikan kedua iklan kita kepada klien? Biar klien yang memutuskan."

Sekejap Widi Bahtiar menatap Anggun dengan tegang. Ketika matanya berpapasan dengan mata yang dingin itu, dia membaca tantangan di dalamnya. Dan amarahnya tambah meluap.

"Oh, jadi sekarang kamu bisa mengatur bosmu. ya?"

"Bukan mengatur, cuma mengusulkan."

"Dan kamu pikir bos bakal memilih iklanku? Sayang aku bukan perempuan! Yang bisa diajak makan malam!"
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang akan memilih klien. bukan bos. Dan saya pikir itu cukup fair."

"Terserah kalau itu maumu," sahut Harman datar ketika Anggun mengajukan usul itu.

"Toh Widi juga sudah kepalang melakukan pengambilan gambar."

"Terima kasih," kata Anggun sambil memutar tubuhnya. Sesaat sebelum meninggalkan kamar kerja Harman, dia berhenti melangkah. Dan menoleh sekali lagi.

Ketika merasa Anggun sedang menatapnya, Harman mengangkat wajahnya. Dan sesaat mereka saling tatap.

"Terima kasih karena masih memberi saya kesempatan," ujar Anggun perlahan.

"Dan terima kasih... karena tidak membuka... rahasia saya...."

Ketika Anggun membuka pintu, Sarjono yang sedang mengulurkan tangannya untuk membuka pintu yang sama. sekejap tertegun. Dia memerlukan memalingkan kepalanya untuk mengawasi Anggun sebelum menoleh ke arah Harman. Dan memutuskan untuk melangkah masuk.

"Dia punya rahasia apa sih?" desak Sarjono penasaran.

"Baru makan malam sekali saja Mas Har sudah mampu mengorek rahasianya? Bukan main!"

"Mana proposal iklan layanan masyarakat tentang AIDS itu, Jon?" sahut Harman tanpa memedulikan pertanyaan Sarjono.

"Bawa ke sini, saya lihat lagi."

"Kemarin katanya nggak berminat!"

"Bawa ke sini."

Sesaat Sarjono mengawasi majikan mudanya. Mengapa hari ini putra majikannya ini tampak begitu berubah? Begitu besarkah dampak yang ditimbulkan oleh hanya sekali makan malam? Bukan main si Anggun! Pantas saja si Widi sudah belingsatan macam senut kena semprot obat pembasmi serangga! Sekali makan malam lagi, dia bisa tidak kebagian jatah!

***

Rudi Akmal menyambut kedatangan Anggun dengan dingin. Lebih dingin lagi tatapannya ketika Anggun mengatakan foto foto rancangan iklan mereka akan dipresentaSIkan besok, bersama-sama karya Widi Bahtiar.

Hanya Reni yang bersorak gembira.

"Saya yakin kita bakal berhasil, Mbak!" katanya mantap.

"Saya sudah ngintip produk mereka! Bukannya sombong sih, tapi feeling saya sih, Mbak, pasti kita yang terpilih!"

"Saya ingin melakukan beberapa pengambilan lagi, Rud," kata Anggun sambil membuka mapnya.

"Mungkin bisa kita coba mengombinasikan produk kita dengan usul Pak Harman..."

Rudi berpaling dengan marah.

"Bukannya kamu yang bilang itu selera rendah?" geramnya sengit.

"Bahwa calon pembeli akan melihat gadisnya, bukan kasurnya?"

"Maksud saya, kita tidak perlu mengambil semua usulnya "

"Saya tidak bisa!" Rudi meletakkan kameranya dengan kasar ke atas meja. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia meninggalkan studio.

Reni melongo bingung.

"Lho kok gitu?" gumamnya heran.

"Mas Rudi kenapa sih, Mbak?"

"Stres pekerjaan," sahut Anggun tenang.

"Dia terlalu tegang. Perlu santai sejenak."

"Hai," sapa Anggun lunak ketika menemukan Rudi sedang duduk minum bir di kafe dekat studio.

Rudi tidak menjawab. Dia malah meneguk habis birnya. Meletakkan gelas kosongnya dengan kasar di atas meja. Dan menyapu sisa busa bir di bibirnya dengan punggung tangannya.

Anggun duduk dengan santai di kursi di depan Rudi. Dia tahu mengapa laki-laki itu marah. Dan dia tidak menyalahkannya.

"Ketika karya kita ditolak." kata Anggun tenang,

"saya baru sadar, siapa diri saya. Saya terlalu somhong..."

"Justru itu yang membedakan dirimu dari yang lain, Anggun!" potong Rudi bernafsu sekali. Matanya menatap Anggun dengan marah.

"Itu yang membuat kamu berbeda! Yang membuat saya menyukai dan mengagumimu!"

"Tapi saya bukan apa-apa." sambung Anggun sabar.

"Tanpa Biro Iklan Swarga, tanpa kamu, tanpa model yang hebat. saya tidak berarti apa-apa."

"Tapi bukan berarti kamu harus menjual diri pada Harman!"

"Kami hanya pergi makan."

"Semua orang mellhat betapa berubahnya dia pagi ini! Dan bukan cuma dia! Kamu juga!"

"Maksudmu, kami tidak boleh berdamai? Saling menghargai pendapat yang lain?"

"Pasti bukan itu alasannya!"

"Alasan apa?"

"Alasan dia memilih kita! Menyingkirkan Widi!"

"Dia hanya ingin memberi kita kesempatan. Seharusnya kita berterima kasih."

"Dan menerima undangan makan malam lagi?"

Anggun menghela napas panjang.

"Rud," suara Anggun selembut tatapannya. Belum pernah Rudi ditatap Anggun seperti ini. Belum pernah! "Saya mengerti mengapa kamu marah..."

"Anggun," Harman muncul begitu saja di depan meja mereka.

Kafe itu memang sudah lama menjadi tempat mangkal karyawan Biro Iklan Swarga. Tetapi kalau yang muncul di sana Harman Santosa, pasti bukan hal yang biasa. Sejak bekerja di sana, baru dua kali dia muncul di tempat ini.

"Ada orang yang saya ingin kamu temui," sambung

Harman tanpa mengacuhkan Rudi sedikit pun.

"Bisa ikut saya?"

"Sekarang?"

"Kapan lagi? Kamu tidak sedang makan, kan? Saya malah tidak melihat minumanmu."

"Ke mana Pak Sarjono?" sindir Rudi tanpa menyimpan kejengkelannya.

Sekarang Harman menoleh ke arah Rudi. Tatapannya dingin.

"Kenapa saya harus tahu di mana dia'?"

"'Tidak ada orang lain yang bisa disuruh memanggil Anggun?"

"Saya memang ingin memanggilnya sendiri. Keberatan?"

Ada tantangan yang cukup panas dalam suara Harman. Anggun harus buru-buru berdiri untuk mencegah pertikaian itu berlanjut.

"Duluan, Rud." katanya sambil mendahului Harman melangkah keluar kafe.

Tanpa menoleh lagi. Harman mengikutinya. Meninggalkan Rudi menyimpan kemarahannya di dalam hati.

"Kamu boleh pilih fotografer yang kamu suka." kata Harman setelah pertemuan mereka dengan klien baru itu selesai.

"Untuk modelnya, saya sudah punya calon."

"Saya menginginkan Rudi," sahut Anggun mantap.

"Oke," Harman mengangkat bahu.

"Nggak ada masalah."

"Minta gadis model itu datang ke studio besok. Saya harus melakukan beberapa tes."

"Oke. Ada yang lain?"

"Boleh permisi?"

Harman menatap Anggun dengan tajam sebelum membuka mulutnya lagi.

"Kembali ke kafe sebelah?"

"Kalau saya sudah tidak diperlukan lagi di sini."

"Oke. Dengan satu syarat."

"Syarat?"

"Temani saya makan malam."

Sekarang Anggun menatap Harman dengan heran. Harman membalas tatapannya dengan tenang.

"Makan malam lagi?" gumam Anggun ragu.

"Kenapa? Tiap malam kita harus makan, kan?"

Sesaat Anggun tidak mampu membuka mulutnya. Laki-laki ini masih berani mengundangnya makan malam? Ah... benar-benar nekat! Tidak takutkah dia...

"Jangan khawatir," senyum bermain di bibir Harman.

"Rahasiamu aman di tangan saya."

"Tidak takut pergi bersama saya?"

"Apa yang harus ditakuti? Sekarang katakan saja jam berapa saya boleh menjemputmu!"

***

Jadi tidak semua orang takut ketularan AIDS, pikir Anggun dalam perjalanan pulang.

Dia sedang berada dalam sebuah taksi, yang tengah berhenti di depan lampu lalu lintas. Seorang waria menghampiri taksinya dan mulai menyanyi dengan suaranya yang bagai periuk pecah.

"Minta gadis model itu datang ke studio besok. Saya harus melakukan beberapa tes."

"Oke. Ada yang lain?"

"Boleh permisi?"

Harman menatap Anggun dengan tajam sebelum membuka mulutnya lagi.

"Kembali ke kafe sebelah?"

"Kalau saya sudah tidak diperlukan lagi di sini."

"Oke. Dengan satu syarat."

"Syarat?"

"Temani saya makan malam."

Sekarang Anggun menatap Harman dengan heran. Harman membalas tatapannya dengan tenang.

"Makan malam lagi?" gumam Anggun ragu.

"Kenapa? Tiap malam kita harus makan, kan?"

Sesaat Anggun tidak mampu membuka mulutnya. Laki-laki ini masih berani mengundangnya makan malam? Ah... benar-benar nekat! Tidak takutkah dia...

"Jangan khawatir," senyum bermain di bibir Harman.

"Rahasiamu aman di tangan saya."

"Tidak takut pergi bersama saya?"

"Apa yang harus ditakuti? Sekarang katakan saja jam berapa saya boleh menjemputmu!"

***

Jadi tidak semua orang takut ketularan AIDS, pikir Anggun dalam perjalanan pulang.

Dia sedang berada dalam sebuah taksi, yang tengah berhenti di depan lampu lalu lintas. Seorang waria menghampiri taksinya dan mulai menyanyi dengan suaranya yang bagai periuk pecah.

Atau... cuma Harman yang tidak takut? Lelaki yang satu ini memang berbeda. Rasa percaya dirinya terlalu besar.

Anggun membuka kaca jendela taksinya. Dan menyodorkan selembar ribuan kepada waria itu.

"Terima kasih, Mbak," katanya dengan suaranya yang serak-serak basah. Lalu dengan gayanya yang khas, manja manja genit, dia memberi hormat dan melenggang pergi untuk menghampiri mobil lain.

"Berhenti di depan saja, Pak," pinta Anggun tibatiba.

"Saya turun di sini saja."

Bergegas Anggun turun di depan gang. Banyak anak kecil sedang bermain bola di sana. Siapa tahu ada di antara mereka yang mengenal Yos.

Tetapi sampai pegal Anggun memperlihatkan foto anaknya, tidak ada seorang pun dari mereka yang pernah melihat Yos. Mereka lebih tertarik untuk melanjutkan permainan bolanya.

Dan ketika sedang mengawasi anak anak yang tengah bermain sambil bersorak sorai dengan gembiranya itu, mata Anggun menjadi berkaca-kaca.

Di mana Yos? Apakah dia juga sedang bermain bola dengan teman temannya?

**

Yos benar-benar takut. Hari sudah gelap. Perutnya lapar. Matanya pedih dilihat kantuk. Tapi tidak seorang pun tahu di mana rumah Nenek.

Dia sudah jera. Tidak berani lagi bermimpi ingin ke Jakarta mencari Mama. Sekarang yang diinginkannya cuma pulang. Pulang ke rumah. Ingin buru-buru mengisi perutnya. Dan menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Kalau boleh, tidak usah mandi lagi. Aduh... capeknya! Kaki ini rasanya hampir patah. Dan bukan kakinya saja. Pinggangnya juga.

Entah sudah berapa lama dia berjalan. Mencari stasiun kereta api. Mencari kereta yang dulu membawanya kemari dari Jakarta.

Ketika akhirnya dia berhasil menemukan stasiun, keretanya sudah berangkat. Dia harus menunggu sampai besok. Tetapi... di mana dia harus menunggu? Di sini...?

Yos menoleh ke sana kemari. Tidak ada seorang pun yang dikenalnya. Tidak ada yang peduli.

Tiba-tiba saja dia merasa ingin pulang. Pulang ke rumah Nenek. Di sana ada makanan. Ada tempat tidur.... Tetapi mencari rumah Nenek tidak semudah mencari stasiun kereta api....

Seorang pengemis tua lewat di depannya. Tetapi dia cuma melirik sekilas. Tidak bertanya apa-apa.

Demikian pula pengemis yang kedua. Pengemis wanita yang menggendong anak. Dia lebih sibuk me

nyuapi anaknya daripada memperhatikan Yos yang sedang tegak kebingungan di luar stasiun.

Karena tidak tahu harus ke mana, akhirnya Yos hanya mengikuti nalurinya, melangkah terseok-seok membuntuti pengemis wanita itu.

Merasa diikuti, wanita itu menoleh.

"Mau opo kowe mbuntuti aku?" bentaknya judes.

Kaget dan takut, Yos hanya mampu memandanginya. Tidak mampu membuka mulut.

"Sana, pergi!" Sambil membelalakkan matanya, digebahnya Yos agar menjauh.

Yos lari ketakutan ke balik tempat sampah. Lututnya gemetar. Mengapa perempuan itu galak sekali? Dan mengapa dia merasa takut"?

Nenek juga galak. Sering marah-marah. Tapi Yos tidak pernah merasa takut.

Nah, kenapa sekarang dia jadi begini penakut? Apakah karena dia berada di dunia lain, bukan dunia yang

dikenalnya?

Untung perempuan galak itu tidak mengejarnya terus. Dia turun ke jalan. Mendekati sebuah mobil yang sedang berhenti di depan lampu lalu lintas yang

menyala merah. Diulurkannya tangannya meminta uang.

Pengemudi mobil itu membuka kaca jendela mobilnya. Dan mengulurkan sekeping uang.

Aku juga bisa, pikir Yos Sambil bangkit berdiri. Lumayan buat beli pisang goreng..-.

Uang jajannya sudah dihabiskannya buat makan siang tadi. Sekarang perutnya sudah lapar lagi.

Dibetulkannya letak ransel yang melekat di punggungnya. Lalu berlari-lari dia menghampiri mobil itu.

Tetapi kali ini kaca jendelanya tidak diturunkan. Jendela itu tidak terbuka lagi. Tidak ada tangan yang terulur ke luar. Tidak ada uang yang diberikan. Yos melongo kecewa. Dan mobil ini mendadak melaju cepat. Meninggalkan segumpal debu dan kekecewaan buat Yos.

Ada tawa mengikik yang ganjil di belakangnya. Mula mula Yos ingin kabur ketakutan. Mengira ada kuntilanak seperti yang sering diceritakan Nenek kalau dia nakal tidak mau tidur.

Tapi yang muncul di belakangnya bukan setan. Bukan jin. Melainkan makhluk aneh yang punya penampilan segar tawanya. Yos terbengong bengong melihatnya sampai lupa menggerakkan kakinya untuk lari.

"Bukan begitu caranya minta duit!" Suaranya juga ternyata seaneh penampilannya. Yos tidak tahu suara siapa yang lebih mirip. Bu Ati, gurunya. Atau Pak Dono, kepala sekolahnya.

Makhluk ganjil itu tubuhnya tinggi kurus seperti tiang listrik, bedaknya tebal seperti tembok, sementara

bibirnya merah sekali-melangkah menghampiri mobil lain yang baru saja berhenti.

Lalu dia mulai melenggak-lenggokkan tubuhnya sambil memainkan rebana di tangannya. Dan astaga, dia mulai menyanyi dengan suaranya yang mirip kaleng rombeng!

Yos ingin memejamkan matanya. Ingin menutup telinganya. Tapi belum sempat dia melakukannya, dilihatnya kaca mobil itu terbuka.

Seorang pria menjulurkan tangannya ke luar jendela. Tapi dia bukan mengulurkan uang. Dia mencolek pinggang makhluk aneh itu sambil tertawa-tawa. Membuat Yos ternganga heran.

Yang lebih membuatnya terkesiap, mobil itu langsung tancap gas. Meninggalkan korbannya menyumpah-nyumpah sambil mengacungkan tinju.

"Ada sih yang kayak begitu," katanya sambil menoleh begitu teringat kembali kepada Yos yang maSIh melongo bingung di belakangnya.

"Tapi yang baik juga banyak kok! Lihat saja nanti."

Dan yang baik itu baru muncul pada mobil yang ketiga. Entah karena menyukai suaranya yang serakserak basah, entah karena takut, pengemudi mobil itu langsung membuka kaca jendelanya sedikit. Dan melemparkan sekeping uang lima ratusan. Padahal nyanyiannya belum selesai.

"Lumayan!" Waria itu menyeringai ke arah Yos Sambil memperlihatkan uang logamnya. Disimpannya uang itu di balik gaunnya yang panjangnya hanya sampai setengah paha. Sementara bagian atas gaun itu nyaris terbuka, memperlihatkan seluruh bahunya yang

bidang, tulang selangkanya yang kekar, dan jakunnya yang menonjol.

"Ngapain anak sekolah nyasar kemari?" tanyanya sambil duduk di pinggir trotoar.

"Minggat?"

Takut-takut Yos menghampirinya dari belakang. Ketika waria itu mengangkat tangannya untuk melambai menyuruhnya mendekat, Yos malah melompat mundur ketakutan.

"Sini, duduk sini! Nggak usah takut! Kayak yang mau diperkosa aja!"

Tapi Yos tetap tidak berani mendekat. Dia hanya tegak memandang dari belakang. Bersiap-siap untuk kabur

"Nggak mau dekat ya sudah!" gerutu orang aneh itu dengan gaya seaneh suara dan penampilannya. Lalu dia batuk-batuk sebentar. Dan membuang dahaknya dengan seenak perutnya.

Tentu saja Yos sudah pernah melihat banci. Tapi belum pernah dalam jarak sedekat ini. Dan banci yang satu ini memang agak istimewa. Bukannya mengusir Yos pergi, dia malah mengajaknya makan kacang rebus yang baru dibelinya.

Mula-mula Yos tetap menjaga jarak. Dia tidak mau duduk di dekat waria itu. Dia berdiri saja sambil makan kacang. Dan tampaknya si banci juga tidak keberatan. Dia tidak peduli Yos duduk atau berdiri. Dia terus saja mengunyah kacang rebusnya dengan santai.

Kalau ada mobil berhenti di lampu merah. dia bangkit. Melenggak-lenggokkan tubuhnya. Dan mulai menyanyi. Tidak peduli orang menyukai suaranya atau malah sakit kuping.

Dan aneh. Hampir setengah malaman mengawasi tingkah Si banci, Yos mulai bersimpati padanya. Dia ikut gembira kalau Bing, demikian waria ini menyebut dirinya, mendapat uang.

Yos mulai ikut tertawa kalau Bing memperlihatkan uang logam yang baru diperolehnya sambil menarinari. Sebaliknya Yos ikut sedih kalau misi Bing gagal. Apalagi kalau ada orang yang menghinanya. Mempermainkannya. Rasanya Yos ingin menimpuki mobil orang itu.

Seperti orang yang terakhir itu. Mobilnya bagus. Baru. Ketika dia membuka kaca mobilnya, bukan cuma Bing yang menaruh harap. Yos juga.

Dan ketika pria di balik kemudi itu melambaikan tangannya mengisyaratkan agar Bing mendekat, harapan Yos tumbuh lebih besar lagi. Dia sampai menahan napas ketika mengawasi Bing yang melekat di badan mobil itu, membungkuk rendah ke jendela sambil memamerkan senyumnya yang paling komersial.

Tapi yang diterima Bing bukan selembar uang kertas. Melainkan remasan kurang ajar di dadanya yang membuat dia memekik antara kaget dan marah.

Lalu diiringi derai tawa seisi mobil, mobil bagus itu meluncur pergi meninggalkan Bing menyumpahnyumpah dengan sengitnya.

Tidak sadar Yos ikut berteriak marah. Refleks tangannya meraih sebutir batu dan melemparkannya ke mobil itu.

Merasa sebutir benda keras menghantam badan mobilnya, mobil itu langsung menepi. Pengemudinya bersama tiga orang temannya berhamburan turun dengan ganas.

Mencium gelagat Jelek, Bing segera memutar tubuhnya. Mengambil langkah seribu. Tetapi dia tidak kabur seorang diri. Dia meraih Yos. Dan membawanya serta.

Bing membawa Yos berlari ke dalam sebuah gang kecil yang gelap. Menyelusup ke belakang perumahan kumuh. Meniti bantaran sungai yang licin yang beberapa kali membuat Yos jatuh-bangun.

"Lari!" teriak Bing memberi semangat.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau mereka tahu kau yang nimpuk, matilah kau!"

Karena takut, Yos terpaksa menahan sakitnya dan memaksa kakinya yang sudah letih untuk terus berlari mengikuti Bing. Mereka baru berhenti berlari ketika tiba di depan sebuah gubuk yang gelap.

Bing menjatuhkan dirinya di depan gubuk itu sambil terbatuk-batuk. Yos ikut ambruk di sebelahnya tanpa permisi lagi.

"Kapok nggak?" ejek Bing dengan napas terengahengah.

"Siapa suruh minggat dari rumah!"

Tapi Yos tidak menjawab. Dia malah sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Dia sudah tidak mampu bergerak karena lelahnya.

Sesaat Bing mengawasi bocah yang tersungkur tak bergerak-gerak itu. Lalu sambil menghela napas dia membuka pintu pondoknya. Dan menggendong Yos ke dalam.

**

Bu Sofi hampir tidak memercayai matanya sendiri. Dia seperti melihat hantu di siang bolong. Dan hantu

itu bicara! Ah, bukan bicara. Dia bertanya. Mendesak. Menuduh.

"Di mana Yos? Dia di sini, kan? Saya harus melihatnya!"

Sesaat Bu Sofi tidak mampu menjawab. Dia bahkan tidak mampu membuka mulutnya. Menggerakkan lidahnya.

Kemunculan Bu Rully yang begini tiba-tiba membuatnya syok. Sampai dia tidak sempat memperhatikan bagaimana pucatnya wajahnya. Bagaimana merahnya matanya. Dan... rambutnya! Rambut yang sudah menjadi dua kali lebih putih itu kusut masai. Seperti sudah dua hari tidak mencium sisir.

"Di mana Yos?" desaknya lagi, separo membentak. Suaranya gemetar. Bukan memendam amarah. Tapi

meredam kegetiran. Ah, bukan kegetiran. Barangkali lebih tepat kecemasan. Atau... malah ketakutan?

"Saya tidak tahu," sahut Bu Sofi sama khawatirnya. Perutnya tiba tiba saja terasa sakit. Ah. bukan perutnya. Lebih tepat di sini. di ulu hatinya. Kalau tidak terjadi sesuatu yang hebat pada Yos, mustahil neneknya datang kemari! Dalam keadaan seperti ini pula! "Bukankah dia bersama Mbak?"

***

BERGEGAS Harman turun dari mobilnya. Setengah berlari dia menuju ke Unit Gawat Darurat.

Ayahnya baru saja menelepon. Anggun luka parah. Bahunya tertebas pisau penjahat yang merampas tasnya. Karena perdarahannya cukup banyak, dia masih diobservasi di ruang gawat darurat setelah lukanya dijahit.

Ketika Harman tiba di samping tempat tidurnya. Anggun membuka matanya. Dan untuk sesaat, mereka saling tatap. Hanya sesaat. Karena di detik lain, tatapan Harman sudah turun ke bahu Anggun yang terbalut. Dan kemarahannya langsung berkobar.

"Mereka tidak berhasil menangkap penjahat itu?" geramnya menahan marah. Tinjunya terkepal rapat. Begitu kuatnya sampai buku-buku jarinya memutih. O, kalau saja bajingan itu kini berada di hadapannya..

Anggun menggeleng lemah. Wajahnya begitu pucat sampai bibirnya terlihat ikut memutih.

Tak sadar tangan Harman terulur menyentuh lengannya.

"Sakit?" bisiknya lirih.

Anggun berusaha menggeleng walaupun dia tahu matanya tak dapat berdusta. Sakitnya memang agak berkurang selama obat pemati rasa dan penghilang sakitnya masih bekerja. Tetapi ketika perlahan-lahan khasiat itu mulai memudar, rasa nyerinya kembali berdenyut.

"Kenapa kamu ke sana?" tanya Harman antara marah dan heran.

"Kamu kan tahu kalau malam tempat itu rawan! Apa yang kamu cari di sana?"

Anggun tidak menjawab. Dia hanya melenguh getir sambil memalingkan wajahnya. Cuma dia yang tahu apa yang dicarinya di tempat itu. Sama seperti malammalam sebelumnya. Dia mencari anaknya.

"Kamu bisa minta aku mengantarmu, kalau memang kamu harus ke sana!"

Sekali lagi Anggun tidak menjawab. Dan kali ini Harman tidak sabar lagi. Ditariknya lengan Anggun. Dipaksanya wanita itu berpaling kepadanya.

"Dengar, Anggun. Kali ini kamu masih beruntung. Tapi lain kali kamu mungkin tidak akan seberuntung ini! Tempat itu sangat berbahaya buat perempuan, apalagi yang secantik kamu!"

"Pergilah," pinta Anggun lemah.

"Saya memanggil Pak Santosa karena tidak punya uang untuk membayar biaya perawatan. Tas saya hilang..."

"Aku bisa membayar biaya perawatanmu!" potong Harman kesal.

"Kalau begitu, bayarlah. Dan tinggalkan saya. Saya ingin istirahat."

"Kamu masih tetap perempuan paling sombong yang pernah kukenal!" dengus Harman gusar.

"Padahal hampir saja tubuhmu jadi sate! Apa sih sebenarnya yang kamu cari di tempat semacam itu?"

Anggun memejamkan matanya. Dan bayangan peristiwa yang menakutkan itu terlukis lagi di depan matanya.

Tibatiba saja lelaki bertubuh tinggi tegap itu muncul di hadapannya. Mengayunkan pisau tanpa berkata apa-apa lagi. Untung Anggun masih sempat mengelak sehingga ujung pisau itu hanya melukai bahunya. Dan untung lewat seorang polisi di sana ketika tubuh Anggun sudah terhantar tak berdaya di tanah.

Mendengar teriakan polisi itu, penjahat yang sudah mengayunkan pisaunya itu membatalkan niatnya. Dia hanya buru-buru membungkuk merenggut tas Anggun.

Reileks Anggun mencengkeram lengan pria itu untuk mempertahankan tasnya, meskipun darah telah meleleh membasahi tangannya. Kukunya sempat melukai lengan si penjahat. Tetapi dia tidak mampu merebut tasnya kembali.

Penjahat itu merenggut tas Anggun dengan kasar. Lalu dia melompat meninggalkan korbannya hanya sesaat sebelum polisi muda itu tiba di sana.

Anggun tidak sempat melihat wajahnya. Segalanya berlangsung terlalu cepat. Dan di sana terlalu gelap. Dia hanya sempat mencium bau yang agak aneh. Ah, bukan aneh. Hanya tidak biasa... bau apa? Rempah

rempah? Cengkeh? Lalu dia merasakan sakit yang luar biasa menikam bahunya.

***

"Kamu lelaki apa perempuan sih?" tanya Yos tanpa dapat menyembunyikan rasa ingin tahunya.

Dia sedang mengawasi Bing menyipat alisnya. Memolesi bibirnya dengan gincu. Dan membedaki wajahnya. Kelihatannya dia sudah begitu ahli. Tangannya bekerja dengan lincah. Walaupun hasilnya, tentu saja ini menurut Yos, jauh dari sempurna. Mukanya bukan tambah bagus, tapi malah makin kelihatan aneh. Lain dengan Mama... Mama makin cantik kalau dandan....

Dan ingat Mama membuat hati Yos makin sedih. Di mana Mama? Di mana Nenek? Kenapa Nenek tidak mencarinya?

"Aku banci," sahut Bing apa adanya. Tanpa rasa malu. Apalagi rendah diri.

"Tau," tukas Yos polos.

"Tapi banci itu sebetulnya lelaki apa perempuan sih?"

"Maunya kaulah," dengus Bing seenaknya.

"Terserah kau mau bilang apa."

Yos mengawasi Bing yang sedang bercermin di depan sepotong cermin yang sudah retak. Cermin yang disandarkannya begitu saja di atas sebuah peti bekas buah.

Gaunnya yang pendek dan ketat memetakan postur tubuh yang aneh. Tentu saja aneh di mata Yos. Dia tidak tahu di mana yang salah. Apanya yang keliru. Pokoknya dia merasa ada yang tidak klop.

Bahu Bing yang terbuka itu rasanya terlalu lebar.

Dan dadanya mengapa ada dua bukit yang menyembul di sana? Kalau dia lelaki... dari mana asalnya bukit itu? Tapi kalau dia perempuan... mengapa cara buang air kecil mereka sama?

Tadi pagi mereka buang air kecil sama-sama di sungai. Dengan penuh perhatian Yos mengamat-amati teman barunya. Yang diamati sama sekali tidak tahu. Atau dia bukan tidak tahu. Tidak peduli.

Bing memang begitu. Dia selalu bermasa bodoh. Tidak peduli pendapat orang lain. Tingkahnya seenak perutnya sendiri. Bicaranya juga semaunya. Tapi hatinya sebenarnya baik. Dia jarang marah Kecuali kalau dikurangajari. Dia mengizinkan Yos tinggal di gubuknya. Dia rela membagi makanannya. Dan yang lebih mengagumkan lagi, dia mau mengantar Yos ke rumah neneknya.

Dia tidak marah walaupun sudah setengah harian mereka kesasar ke mana-mana karena Yos tidak tahu persis di mana rumahnya.

"Besok lagilah kita cari rokum nenekmu," katanya ketika mereka sedang melepas lelah sambil menyedot minuman dingin dalam kantong plastik.

"Sekarang aku harus cari duit dulu. Kalau tidak, nanti malam kita nggak bisa makan yauw!"

Lalu dimulailah petualangan Yos di jalan raya. Dia mengikuti Bing mengamen. Minta uang pada pengemudi mobil yang berhenti di lampu merah.

Memang jarang yang memberi. Tapi dari hasil yang sedikit itu. Bing rela membaginya dengan Yos. Dia tidak keberatan membagi setengah bungkus nasinya pada seorang anak yang baru semalam dikenalnya.

Dia juga tidak keberatan membawa Yos pulang ke gubuknya. Rela membagi tikarnya yang sempit itu untuk ditiduri berdua dengan Yos.

"Kau nggak ngompol lagi, kan?" katanya separo bergurau sebelum tidur.

"Tidurmu nggak ngorok? Nggak lasak? Awas, kudepak kau ke luar kalau nendang pantatku!"

"Mas besok anterin lagi cari Nenek, ya?" gumam Yos lesu. Dia sudah lelah. Sudah pengap. Seluruh badannya terasa sakit. Dia ingin buru-buru balik ke rumah Nenek. Baru sekarang dia menyadari, betapa nikmatnya tidur di kasur. Betapa enaknya makanan buatan Nenek. Dan betapa nyaman rumah mereka!

"Jangan panggil Mas!" Bing membelalak jengkel.

"Abis musti panggil apa dong? Mbak?"

"Panggil saja Bing! Brengsek kau!" Bing menjitak kepala Yos. tapi tentu saja hanya bercanda.

"Pantas saja kau diusir nenekmu!"

"Nenek nggak ngusir!"

"Jadi kau yang minggat? Rasain! Sekarang kau pasti kapok, kan?"

"Yos mau cari Mama."

"Mama?" Naik alis Bing. Ditatapnya bocah yang berbaring lesu di sampingnya itu.

"Memangnya kau masih punya mama?"

"Semua orang juga punya mama!"

"Lantas kenapa tinggal sama Nenek?"

"Kata Nenek, Mama di penjara."

"Ayahmu?"

"Mati."

"Kenapa mamamu dipenjara?"

"Kata Nenek, Mama bunuh orang."

Sekarang Bing tidak mampu bertanya lagi. Tidak

disangkanya bocah nakal ini punya kisah hidup yang begitu pahit! Tidak ada bedanya dengan kisah hidupnya sendiri....

"Bing punya mama?"

"Katamu semua orang punya mama!"

"Papa?"

"Ngapain sih nanya terus?"

"Kenapa Bing jadi banci?"

"Kepengen aja."

"Kepengen dandan kayak perempuan?"

"Aku memang merasa perempuan kok."

"Tapi kenapa Bing beda dari Mama? Nggak kayak Nenek?"

"Karena mereka bukan banci," sahut Bing seenaknya. Dibaringkannya tubuhnya di samping Yos. Setelah batuk-batuk sebentar, dipejamkannya matanya.

"Sekarang Jangan banyak ngomong lagi! Tidur! Besok kita cari lagi rumah nenekmu! Kalau nggak ketemu juga, kubawa kau ke polisi."

***

Bu Sofi benar benar bingung. Sudah berkali kali dia menelepon ke rumah kontrakan anaknya. Tetapi tidak ada yang mengangkat telepon. Telepon genggamnya pun dimatikan.

Menyesal juga dia tidak menanyakan nomor telepon tempat kerja Anggun. Sekarang dia tidak tahu di mana anaknya. Padahal ada hal sangat penting yang harus disampaikannya.

Bu Rully sudah kembali. Dan Yos hilang! Kabur dari rumah. Katanya ingin mencari Mama.

Duh, di mana anak sekecil dia hendak mencari ibunya? Di kota sebesar Jakarta! Yos pasti kesasar. Dan sekarang, entah di mana dia berada!

Yos pasti terlunta-lunta di Ibukota, pikir Bu Sofi dengan air mata berlinang. Mengapa nasib sekejam itu padanya?

Prambudi begitu jengkelnya ketika istrinya memberitahukan apa yang terjadi. Dia sudah langsung ingin memperkarakan Bu Rully.

"Semua gara-gara mertua Anggi yang sinting itu! Dia sengaja ingin membalas dendam! Dia masih menyalahkan kematian anaknya pada Anggun! Seharusnya dia dituntut karena menculik Yos!"

Untung saja Bu Sofi masih mampu menenangkannya.

"Bu Rully tidak menculik. Yos memang dititipkan Anggi padanya."

"Sudah kautanyakan alasannya membawa lari Yos?" geram Prambudi sengit.

"itu sama saja dengan menculik! Membawa pergi anak orang dengan diam-diam! Tanpa sepengetahuan orangtuanya!"

"Sudahlah, dia juga menyesal kok..."

"Bohong! Kalau ada kesempatan. dia pasti melakukannya lagi!"

"Dia hanya tidak ingin kehilangan Yos. Sudah beberapa bulan anak itu menemaninya. Memberi semangat hidupnya. Tanpa Yos, dia sudah tidak ingin hidup lagi..."

"itu namanya egois! Dia tidak memikirkan Anggun? Membayangkan bagaimana dia hampir gila kehilangan anaknya?"

"Katanya, Anggun sendiri yang memberikan Yos kepadanya sebagai pengganti Rianto..."

"Memangnya boneka? Enak saja cari pengganti semaunya!"

"Tapi Anggun memang menitipkan Yos "

"Cuma nitip! Selama dia tidak ada! Karena takut Anggun mengambil anaknya kembali. dia bawa Yos kabur! Egois! Harusnya kutuntut perempuan itu!"

"Sudahlah, daripada ribut-ribut. kan lebih baik kita cari Yos dulu!"

"Sudah hubungi Anggun?"

"Nggak tahu dia ada di mana!"

***

"Terima kasih," gumam Anggun lemah ketika Harman membantunya duduk di sofa ruang tamu rumah kontrakannya.

Mereka baru pulang dari rumah sakit. Dokter tidak mengizinkan Anggun langsung pulang tadi malam karena perdarahan yang cukup banyak. Dia harus diobservasi satu malam.

Siang itu Harman menjemputnya di rumah sakit. Menyelesaikan seluruh biaya pengobatan. Dan mengantarkan Anggun pulang.

"Kamu yakin tidak perlu orang untuk membantumu?" tanya Harman ragu.

"Aku bisa meminjamkan pembantu..."

"Tidak usah," potong Anggun tegas.

"Dengan sebelah tangan saya masih mampu mengurus diri sendiri."

Harman tersenyum pahit.

"Masih tetap perempuan paling sombong yang pernah kukenal."

"Percayalah, pisau tidak mampu mengubah saya."

"Kuharap juga tidak mengubah kreativitasmu. SWarga sangat membutuhkanmu. Ordermu sudah bertumpuk."

"Jangan khawatir. Dokter cuma kasih cuti lima hari, kan?"

"Jangan kerja dulu. Kamu harus banyak istirahat. kata dokter. Lukamu cukup parah. Besok kujemput untuk kontrol."

"Saya bisa naik taksi."

"Jangan kelewatan. Aku masih bisa marah."

"Saya tidak mau merepotkan..."

"Kamu memang sudah merepotkan. Sekarang istirahatlah. Besok kujemput jam sembilan. Kalau kamu sudah pergi waktu bosmu datang, kamu dipecat. Cukup jelas?"

Anggun belum sempat menjawab ketika telepon berdering. Refleks dia bangkit sambil mengulurkan tangannya meraih telepon. Dan dia mengaduh kesakitan.

Ketika dia sedang menebah bahunya yang sakit. Harman memeluknya dan membawanya duduk kembali. Telepon masih terus berdering. Tetapi Harman tetap tidak mau melepaskan pelukannya.

"Sekarang kamu yakin masih membutuhkanku?" bisiknya lembut.

Anggun ingin mendorong tubuh laki-laki itu. Tetapi dia tidak mampu. Bukan hanya lengannya yang tidak kuat. Hatinya pun tidak mengizinkan. Dan untuk beberapa saat dia membiarkan Harman memeluknya. Menyalurkan kehangatan yang telah berabad-abad tak pernah dirasakannya lagi.

Hatinya yang beku meleleh seperti salju yang dijerang panasnya matahari. Tubuhnya bergetar menahan perasaan. Dan dering telepon seperti menghilang bersama sejuta ton kedukaan yang sarat membebani jiwanya.

Ketukan di pintu menyentakkan kesadarannya. Seseorang tengah berdiri di luar pintu rumahnya. Dan dia berada dalam pelukan seorang laki-laki asing... bukan Yudha... bukan Rianto... bukan!

"Tolong... bukakan pintu," pintanya lemah, setelah sia sia berusaha melepaskan diri. Dan setelah sia sia menunggu Harman melepaskan pelukannya.

Harman menatap langsung ke mata yang indah itu. Mata yang redup menyembunyikan kedukaan, suram menyimpan sebongkah misteri.

"Akhirnya kamu minta tolong juga," katanya sambil tersenyum pahit.

"Tolong juga lepaskan... pelukanmu," pinta Anggun lirih.

"Dan tolong, berikan telepon itu...."

"Tiga permintaan tolong dalam satu menit!" Harman tertawa lebar. Sekujur parasnya berbinar dalam kebahagiaan. Telah dirasakannya sambutan wanita itu. Memang tidak bergelora. Tapi cukup hangat. Paling tidak dia telah berhasil menjungktrbalikkan pendapat yang mengatakan betapa dingin dan misteriusnya perempuan yang satu ini!

Ternyata dia cuma perempuan biasa. Yang terdiri atas darah dan daging. Yang tidak mampu mengurung terus emosinya di balik jeruji dingin penjara hatinya!

Harman melepaskan pelukannya. Tetapi ketika dia hendak meraih telepon. deringnya sudah keburu berhenti. Sambil mengangkat bahu, dia melangkah ke pintu dan langsung membukanya.

Rudi Akmal sudah melangkah dua tindak meninggalkan pintu. Ketika mendengar bunyi pintu terbuka, dia berbalik. Dan wajahnya berubah ketika melihat Harman muncul di ambang pintu.

"Saya ingin melihat Anggun," kata Rudi kaku setelah terdiam sesaat.

Harman tidak menjawab. Dia hanya melebarkan pintu dan menepi sedikit. Sejenak mereka saling tatap dengan tajam sebelum Rudi melangkah maju dan melewati tubuh Harman.

Ketika melihat sikap Anggun yang sedang duduk bersandar di sofa, Rudi sudah dapat merasakan apa yang telah terjadi. Lebih-lebih ketika melihat rona merah yang merambah di pipi Anggun yang pucat, Dan dia merasa muak. Semua kata-kata simpati yang telah dirancangnya mendadak sirna entah ke mana. Dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

"Duduk, Rud." cetus Anggun, tidak seperti biasa, agak salah tingkah. Seperti seorang anak yang baru saja melakukan kesalahan.

"Tidak usah," dengus Rudi menahan marah.

"Saya cuma ingin melihat keadaanmu. Saya baru dengar dari Pak Santosa apa yang terjadi."

Rudi menoleh ke pintu. Harman sedang bersandar ke bingkai pintu sambil berpangku tangan. Dan melihat cara Harman menatapnya, Rudi merasa makin muak. Itu bukan lagi tatapan seorang atasan. Itu tatapan seorang pemenang! Tatapan seorang pria yang

ingin mewartakan pada seluruh dunia, dia telah berhasil menaklukkan wanita idamannya!

"Saya pulang dulu," sergah Rudi, entah kepada siapa.

"Selamat siang."

"Terima kaSih, Rud."

Terima kasih, pikir Rud kesal. Untuk apa? Aku tidak melakukan apa-apa untukmu! Tidak keburu!

Dia melewati Harman tanpa menoleh lagi. Dan mendengar pintu berdentam di balik tubuhnya.

"Sebaiknya kamu juga pulang," kata Anggun letih ketika Harman menghampirinya.

"Saya ingin tidur."

"Kenapa kamu begitu merasa bersalah?" desis Hannan kesal.

"Dia bukan pacarmu, kan?"

"Saya tidak merasa bersalah kepadanya," sahut Anggun getir.

"Saya merasa bersalah kepada lelaki yang memiliki saya...."

"Tapi suamimu telah meninggal! Dia tidak berhak memonopoli hidupmu terus! Kamu berhak mencari penggantinya!"

"Tidak sekarang," Anggun memejamkan matanya dengan sedih.

"Saya belum siap..."

"Karena kamu belum tahu mengidap AIDS atau tidak?" dengus Harman sengit.

"Nah, kenapa tidak minta dokter memeriksa darahmu?"

Karena aku tidak ingin tahu, jerit Anggun dalam hati. Karena aku tidak ingin menggeser tempat dua orang pria yang paling kucintai! Karena aku belum rela ada seseorang yang akan menggantikan tempat mereka! Kubuat AIDS sebagai perisai untuk menolak setiap pria yang mencoba mengusir mereka dari hati

***

'KAU yakin itu nama sekolahmu'!" desak Bing separo putus asa.

"Kalau begitu kita bisa ke sana. Alamat rumahmu pasti mereka catat."
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah setengah harian mereka berputar-putar mencari alamat rumah nenek Yos. Tapi rumah itu tetap belum ditemukan. Yos sudah lelah. Bosan. Jengkel. Untung Bing cukup sabar. Dia masih rajin bertanyatanya ke sana kemari, walaupun dia lebih sering dilecehkan daripada diberi petunjuk.

"Kenapa sih kamu nggak mau pakai celana saja?" Karena kesal dan letih, Yos jadi sering marah-marah. Dan karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan amarahnya, Bing-lah yang jadi sasaran.

"Supaya orang nggak ngeledekin kita terus!"

"Sudah kujual semua," sahut Bing seenaknya.

"Buat beli rok."

"Kamu nggak bisa ke sekolah pakai pakaian begini!"

"Memangnya kenapa? Aku kan nggak telanjang!"

"Malu!" sergah Yos menahan tangis saking jengkelnya.

"Anak-anak nanti pada ngatain!"

"Cuek aja," dengus Bing santai.

"Yang penting rumah nenekmu ketemu!"

Yos benar. Ketika mereka menemukan lokasi sekolahnya, anak-anak persis bubar sekolah. Dan melihat Bing, mereka langsung berkerumun mencemoohkannya.

"Bencong! Bencong!" teriak mereka sambil tertawa.

Yos tak dapat menahan marahnya lagi. Ditariknya anak yang paling dekat. Dijotosnya mukanya sekuat tenaga. Anak itu memekik kesakitan dan jatuh tunggang langgang.

Belum puas melampiaskan kemarahannya, Yos menyeret seorang anak lain dan meninju rahangnya. Ketika seorang anak yang tubuhnya satu setengah kali besar tubuh Yos merenggut kemejanya, dengan sigap Bing menendang pantatnya.

Melihat anak itu jatuh tersungkur, Bing tertawa geli. Dia mengulurkan tangannya dan menepuk tangan Yos. Lalu bersama sama mereka menghajar anak-anak yang mencemoohkan Bing. Dan bersama-sama dibawa ke polsek.

Polisi yang menangani mereka tidak ada bedanya dengan anak-anak itu, kecuali dia memakai seragam dan umurnya lebih tua. Dia melecehkan Bing. Tidak memercayai keterangannya. Dan menuduhnya membuat kerusuhan. Bing diancam akan dipenjarakan, dan

setelah diperingatkan dengan beberapa kali pukulan, dia dibebaskan.

Yos yang sedang duduk mencangkung lutut di kaki lima di depan polsek, langsung bangkit begitu melihat Bing keluar. Dan melihat wajah temannya yang memar, dia hampir menangis saking marahnya.

Bing tidak bersalah! Dia hanya ingin membantunya. Mengapa justru dia yang dihukum? Dia hanya ingin membela diri. Dia yang diejek, dicemooh, dihina!

Begitu melihat paras Yos, Bing dapat menerka perasaan sahabat kecilnya. Dibelainya rambut Yos sambil tersenyum kecut.

"Nggak apa," katanya pahit.

"Sudah biasa kok dapat perlakuan begini."

"Karena kamu banci?"

Bing cuma tertawa pahit. Tawanya terdengar amat menyakitkan di telinga Yos. Dia tambah tidak mengerti, mengapa dunia ini begitu tidak adil terhadap orang yang sebaik Bing?

"Masih ingin cari rumah nenekmu?"

"Kamu belum kapok?" dengus Yos sambil menatap Bing dengan heran.

"Sudah kepalang. Masih berani masuk ke sekolahmu?"

***

Mula-mula penjaga pintu pun tidak memberi izin mereka masuk. Setelah Yos memaksa masuk, bahkan gurunya tidak memandang sebelah mata pada Bing. Dia mendengarkan penuturan Bing dengan skeptis.

Untung saat itu Bu Ati masuk. Dan melihat Yos, matanya langsung bercahaya.

"Yanuar!" serunya gembira.

"Astaga! Dari mana saja kamu?"

Belum pernah Yos begitu gembira melihat seorang guru seperti melihat Bu Ati saat itu. Tak tertahankan lagi dia lari memeluk kaki gurunya.

Bu Ati merangkul muridnya sambil melayangkan pandangannya pada Bing yang masih duduk di depan meja tulis Pak Abu.

"Anda yang mengantar Yan?" katanya tanpa nada melecehkan. apalagi merendahkan.

Mendengar nada suara Bu Ati, bukan hanya Bing yang berterima kasih. Yos juga. Dan dia merangkul Bu Ati lebih erat lagi, seolah-olah takut kehilangan satu-satunya manusia di rimba penuh satwa ganas.

"Iya. Bu." sahut Bing sopan.

"Dia cari rumah neneknya. Tapi nggak ketemu."

"Saya akan mengantar Yan ke sana," kata Bu Ati lega.

"Sudah dua kali neneknya datang."

"Kamu ikut ya, Bing?" pinta Yos separo merengek.

"Lha iya! Kau bilang nenekmu pintar masak!" Bing memalingkan wajahnya kepada Pak Abu. Lalu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit, katanya manis,

"Selamat siang, Pak."

Sialan, maki Pak Abu dalam hati sambil memendam kejengkelannya. Dikedipi banci! Apa dikiranya aku suka!

tapi Ketika Yos sampai ke rumah neneknya, Nenek sudah tidak ada. Rumahnya terkunci rapat. Sia-sia Bu Ati bertanya ke sana kemari. Para tetangga tidak tahu ke mana Bu Rully pergi.

"Dia orangnya tertutup," gerutu salah seorang tetangganya.

"Hampir tidak pernah keluar kecuali menjemput cucunya. Dan cucunya itu ajubilah nakalnya! Lebih baik tidak main sama dia daripada anak kita bonyok!"

Yos benar-benar jengkel. Putus asa. Sekalinya rumah Nenek ketemu, Nenek tidak ada! Dan dia tidak bisa masuk! Tidak bisa makan enak dan tidur di kasur empuk!

"Ke mana kira-kira nenekmu pergi, Yan?" tanya Bu Ati bingung.

"Nggak tau!" sahut Yos kesal.

"Nenek nggak pernah pergi ke mana-mana!"

"Ada saudaramu yang lain di sini?"

Yos menggeleng dengan wajah muram.

"Dan Mas ini..." Bu Ati menoleh ke arah Bing. Sesudah membuka mulut dia baru sadar sudah kelepasan memanggil.

"Jangan panggil Mas," pinta Bing datar.

"Panggil saja Bing."

"Maaf," tukas Bu Ati menyesal.

"Bukan maksud saya..."

"Nggak apa," Bing tersenyum pahit.

"Mesin sama bodi saya memang nggak pas! Salah pasang!"

"Bing bisa membawa Yan pulang untuk satu-dua malam?"

"Pulang ke mana?"

"Ke rumah Bing, ke mana lagi? Yan tidak dapat dibiarkan sendirian, kan?"

"Tapi saya tidak punya rumah, Bu," sahut Bing polos, seadanya.

"Saya cuma punya gubuk di pinggir kali."

"Kalau begitu..." Bu Ati menoleh dengan bingung ke arah Yos.

"Kamu harus dititipkan..."

"Nggak mau!" protes Yos sengit. Dititipkan! Enak saja. Memangnya barang! "Yos mau ikut Bing saja."

"Tapi..." Bu Ati berpaling lagi ke arah Bing dengan resah.

Bing tidak menanggapi. Dia hanya mengangkat bahu. Tentu saja dia tidak keberatan dititipi Yos. Bu Ati-lah pasti yang keberatan!

"Bagaimana kalau kamu tinggal bersama salah seorang tetanggamu. Yan?" tanya Bu Ati setelah tidak tahu lagi ke mana harus menoleh, ke mana harus minta pendapat.

"Siapa tahu nanti malam nenekmu pulang..."

"Nggak mau!"

"Kamu mau ikut ke rumah Ibu? Atau ke rumah Pak Dono?"

"Nggak mau!"

"Tapi kamu tidak bisa tinggal sendirian! Kamu masih kecil!"

"Yos ikut Bing! Dia udah gede!"

Bing tidak berkata apa-apa. Dia cuma tersenyum pahit.

"Tapi Bing tidak punya rumah. Kamu bakal merepotkan dia..."

"Nggak! Yos nggak ngerepotin kan, Bing?" Yos berpaling dan menatap Bing dengan sungguh sungguh.

Bing membalas tatapan mata sahabat kecilnya. Dan terpaksa menggeleng melihat sedihnya tatapan mata Yos. Habis dia mesti bagaimana lagi?

"Sekarang begini saja." Bu Ati menghela napas berat.

"Kamu tunggu di sini sebentar. aku akan tanya Pak RT, barangkali dia tahu ke mana nenekmu pergi dan di mana Ibu bisa menitipkanmu."

Tetapi ketika Bu Ati kembali ke depan rumah nenek Yos. tidak ada seorang pun di sana. Yos sudah lenyap. Bing juga sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya.

Tentu saja Bu Ati tidak tahu, Yos paling takut bertemu Pak RT. Minggu lalu, dia baru saja menghajar anak Pak RT sampai babak belur.

***

"Anggun?" Suara Bu Sofi meninggi begitu mendengar suara anaknya di telepon.

"Aduh, ke mana saja kamu? Mertuamu datang, Yos hilang!"

Anggun jatuh terduduk di kursi. Dia merasa kakinya sangat lemas. Yos hilang? Hilang bagaimana?

"Kata mertuamu, Yos kabur dari rumah. Dia ingin mencarimu!"

Untuk beberapa saat Anggun tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Lidahnya membeku. Rahangnya mengejang. Yos hilang!

Ya Tuhan... Yos hilang! Tapi... bukankah Yos memang sudah lama hilang? Bedanya, kini benar-benar tidak ada yang tahu di mana dia! Neneknya juga tidak tahu! Dan Anggun benar-benar syok.

Selama ini dia memang kehilangan Yos. Tapi dia

masih dapat menghibur diri, ada neneknya yang akan melindungi dan mengurus Yos.

Sekarang Yos kabur meninggalkan neneknya. Siapa yang akan melindungi dan mengurusnya? Sekarang Yos benar-benar sendirian di luar sana!

Air mata Anggun langsung runtuh tak tertahankan lagi. Mengapa begini malang nasibnya? Belum selesai jugakah hukumannya?

Bertubi-tubi kemalangan menimpa dirinya. Padahal apa sebenarnya dosanya? Meninggalkan Rianto? Mencelakakan Yudha? Tapi bukankah dia telah menebus dosanya di penjara? Mengapa hukumannya belum habis juga?

Malam itu juga Anggun berangkat ke Jakarta. Dia harus menemui mertuanya. Dia harus mengorek semua keterangan tentang Yos.

Apa yang terjadi sampai dia kabur dari rumah. Benarkah dia pergi untuk mencari ibunya?

Kalau benar demikian, di mana dia sekarang? Di mana Yos?

Penyesalan yang lahir di hati Anggun sejak Yos dibawa kabur oleh neneknya kini semakin bertambah. Sekarang dia baru benar benar merasakan artinya kehilangan.

Ketika Yudha dan Rianto meninggal, Anggun begitu sedihnya dibebani rasa bersalah sampai dia mengabaikan Yos. Dia lupa, bukan hanya dia yang dirundung duka.

Yos juga sedih. Dia kehilangan ayahnya. Dan ketika ibunya masuk penjara, sekaligus dia kehilangan ibunya. Dan itu terlalu berat bagi anak sekecil Yos!

Tapi saat itu Anggun masih terlalu sibuk dengan

dirinya sendiri. Masih sibuk menangisi kematian Yudha dan Rianto. Masih sibuk membayar utangnya pada kedua laki-laki yang mencintainya. Dia melupakan Yos. Lupa bahwa anaknya juga membutuhkan dirinya.

Ketika Yos menghilang bersama neneknya. Anggun baru sadar, Yos-lah kini yang terpenting dalam hidupnya. Bukan Yudha. Bukan Rianto. Mereka telah meninggal. Mereka tidak memerlukannya lagi. Tapi Yos masih hidup. Dia masih membutuhkan ibunya!

Kini ketika Yos kabur dari rumah neneknya untuk mencari ibunya, rasa bersalah Anggun semakin memuncak. Kali ini rasa bersalah terhadap anak kandungnya sendiri!

Ternyata di balik sikap dingin yang diperlihatkan Yos, dia masih tetap memilih ibunya. Dia nekat meninggalkan neneknya untuk mencari Anggun! Dan kini tidak seorang pun tahu di mana dia berada!

"Mengapa Ibu sejahat ini pada saya?" geram Anggun antara marah dan sedih ketika dia diantarkan ibunya menemui ibu mertuanya di rumahnya yang lama, rumah yang meninggalkan kenangan yang begitu pahit bagi Anggun.

Melihat keadaan Anggun, ibunya memang berkeras mengantarkannya walaupun Anggun ingin pergi sendiri. Dan walaupun sebenarnya lambung Bu Sofi sudah terasa pedih sejak kedatangan Bu Rully.

"Memangnya apa yang kulakukan?" Bu Rully masih tetap sedingin biasa. Walaupun kini dia tidak berani membalas tatapan Anggun. Pasti untuk menyembunyikan perasaan bersalahnya.

"Dia kabur karena ingin mencarimu!"

"Yos hilang karena Ibu ingin menyingkirkannya dari saya!"

"Kau yang memberikannya padaku!" sergah Bu Rully judes.

"Katamu untuk pengganti Rianto! Nah, kenapa kaujilat ludahmu sendiri?"

"Yos anak saya, Bu!"

"Dan dia cucuku!"

"Kenapa Ibu sekejam itu menyingkirkan cucu Ibu dari ibunya sendiri?"

"Karena kau ingin mengambilnya kembali!"

"Saya hanya ingin berada di dekat Yos! Di dekat anak saya! Salahkah saya, Bu?"

"Sudahlah," Bu Sofi mencoba melerai sambil menghela napas panjang "Lebih baik kita pusatkan perhatian pada hilangnya Yos. Ke mana kita harus mencarinya? Dia sudah di Jakarta atau masih di Surabaya?"

***

"Kau tahu nggak, salah salah aku bisa digebuki polisi lagi," keluh Bing ketika dia sedang melarikan diri bersama Yos.

"Dikiranya aku yang menculikmu!"

"Anterin Yos ke Jakarta, Bing," rengek Yos separo menangis.

"Yos pengen ketemu Mama!"

"Jangankan rumah mamamu, rumah nenekmu saja kau tidak tahu! Jangan mimpi, Yos! Jakarta lebih besar lagi dari Surabaya! Bagaimana kita bisa menemukan rumah ibumu? Namanya saja kamu nggak tahu!"

"Namanya Anggun," sahut Yos segera.

"Nah, di Jakarta pasti ada sejuta perempuan yang bernama Anggun!"

"Kalau Bing nggak mau nganterin, biarin Yos pergi sendiri!"

"Mendingan kubawa kau kembali ke gurumu!"

"Nggak mau! Bu Ati cuma mau nitipin Yos di rumah Pak RT!"

"Rumah Pak RT pasti masih lebih enak dari gubukku!"

"Tapi Pak RT-nya galak!"

"Pasti kau yang bandel! Makanya kau takut! Iya, kan?"

"Pokoknya Yos nggak mau ke sana!"

"Dan kau nggak bisa juga ke Jakarta! Kau bisa raib nggak ketahuan juntrungannya di Ibukota!"

"Biarin! Daripada di rumah Pak RT!"

"Eh, bandel ni anak! Kecil kecil sudah pintar membantah!"

Akhirnya malam itu terpaksa Bing membawa Yos ke pondoknya. Ke mana lagi? Dia tidak punya tempat lain untuk Yos. Padahal anak itu sudah terlalu letih. Jangan-jangan dia bisa sakit.

Karena lelahnya, Yos sudah langsung tidur lelap. Padahal perutnya sangat lapar karena belum makan. Dan Bing tidak tega mengusirnya meskipun malam itu temannya datang untuk menginap.

"Jadi sekarang kau main juga sama bocah?" gerutu Dasman, pacar Bing yang sudah enam bulan mengencaninya.

"Kau mau masuk bui, ya?"

"Bukan begitu. Bang. Anak ini cuma numpang, dia kabur dari rumah."

Dasman mengawasi Yos yang sedang tidur lelap itu dengan tajam.

"Anak orang kaya'?"

Membaca nada suara Dasman, cepat-cepat Bing menimpali.

"Bukan. Yatim-piatu. Tinggal sama neneknya."

"Neneknya kaya?"

"Tinggal di rumah kontrakan. Tadi siang kita ke sana. Rumahnya kecil."

"Kalau tadi siang kau ke sana, kenapa kaubawa lagi dia ke sim?" Amarah Dasman langsung meledak.

"Kau kan tahu malam ini aku mau datang?"

Yos yang sedang tidur nyenyak langsung bergerak begitu mendengar kerasnya suara Dasman. Tapi kantuk yang tak dapat ditahan membawanya terlelap kembali. Matanya hanya terbuka sedikit untuk kemudian kembali terpejam rapat.

"Neneknya lagi nggak ada di rumah. Bang. Kasihan dia sendirian. Besok saya antar lagi ke sana."

"Persetan! Memangnya kau sudah kebanyakan duit, pakai nampung anak Orang segala? Besok suruh dia pergi! Atau sekalian kukerjain dia!"

"Iya, Bang, pasti. Lagian malam ini badan saya rada kurang enak. Besok saja Abang kemari lagi, ...-."

***

HARMANI sangat marah ketika tidak menemukan Anggun di rumahnya. Rumah itu terkunci. Dan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana Anggun pergi.

Dia lebih marah lagi ketika tahu Anggun tidak datang ke rumah sakit untuk kontrol. Tapi kemarahannya yang ini lebih banyak dibumbui perasaan khawatir.

Ke mana Anggun pergi? Mengapa dia menghilang begitu saja? Apa gara-gara kejadian kemarin? Atau gara-gala... Rudi Akmal?

"Kau tahu ke mana Anggun?" tanya Harman kasar begitu dia bertemu dengan Rudi di studio.

"Memangnya ke mana dia?" Rudi balas bertanya dengan heran.

"Rumahnya kosong." geram Harman sengit.

"Padahal hari ini dia harus kontrol ke rumah sakit!"

Sesaat Rudi mengawasi Harman dengan curiga.

Lalu kemarahannya pun meledak. Dia sudah lupa dengan siapa dia berhadapan.

"Apa yang kaulakukan padanya?" bentak Rudi gusar.

Dari terkejut, Harman menjadi marah. Beraninya cacing ini! Siapa dikiranya dirinya? Dan punya hak apa dia atas Anggun?

Tanpa ba-bi-bu lagi, Harman melayangkan tinjunya ke rahang Rudi. Tidak menyangka mendapat serangan begitu tiba-tiba, Rudi terpukul telak. Tubuhnya terjajar ke belakang. Jatuh tunggang langgang menabrak kameranya.

Suasana serentak menjadi kacau. Reni menjerit-jerit ketakutan. Sementara penata lampu berusaha menahan Rudi yang sudah bangkit dengan ganas menerjang Harman.

Perkelahian tak terhindarkan lagi. Tanpa seorang pun tahu apa sebenarnya yang terjadi. Mereka hanya menduga kedua pria itu berkelahi karena memperebutkan Anggun.

"Kau dipecat!" geram Harman ketika mereka sudah berhasil dipisahkan.

"Jangan injak Swarga lagi!"

"Kalau terjadi apa-apa dengan Anggun, kubunuh kau!" geram Rudi sama sengitnya.

"Surabaya bukan Jerman! Anggun tidak sama dengan gadis-gadismu yang bisa kaupermainkan seenaknya!"

***

"Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Pak Santosa marah. Dia memanggil Harman ke kamar kerjanya ketika mendengar peristiwa perkelahian itu.

"Bikin

malu saja! Berkelahi dengan karyawan gara-gara cewek!"
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harman tidak menjawab. Dia memang tidak merasa perlu menceritakan urusannya kepada ayahnya. Dia kan bukan anak kecil lagi!

"Ke mana Anggun? Kawapakan dia?"

Sekali lagi Harman membisu. Dia hanya menyapu darah yang masih meleleh dari sudut mulutnya dengan punggung tangannya.

Dia sendiri tidak tahu ke mana dan mengapa Anggun pergi. Bagaimana dia dapat menjawab pertanyaan ayahnya?

"Dan jangan sembarangan memecat pegawai! Kalau kau berkelahi dengan Rudi. kau tetap tidak berhak memecat pegawai ayahmu!"

"Saya tidak bisa bekerja sama lagi dengan dia," dengus Harman sengit.

"Jika dia tidak keluar. saya yang pergi!"

"Kusekolahkan kau sampai ke luar negeri supaya jadi profesional sejati! Masa gara-gara perempuan saja kautinggalkan pekerjaanmu?"

"Ini soal prinsip, bukan cuma soal perempuan!"

"Prinsip apa? Prinsipmu menaklukkan semua perempuan yang lewat?"

Siangmalam Anggun mencari Yos. Bergantian ayahibunya menemaninya. Bu Rully juga tidak tinggal diam. Seorang diri dia menelusuri jalan demi jalan, gang demi gang, untuk mencari cucunya.

Jauh di dalam hati, sebenarnya dia juga menyesal.

Kalau tidak dilarikannya anak itu, mungkin Yos masih bersama mereka. Kalau tidak dipaksanya Yos menukar identitasnya, mungkin dia tidak akan kabur.

Yos cuma ingin dekat dengan ibunya. Mengapa dilarangnya anak itu berjumpa dengan ibunya sendiri?

Hampir setiap malam bayangan Rianto datang menghantuinya. Tatapan Rianto yang begitu sedih memang tidak menyalahkannya. Tidak! Rianto memang tidak pernah menyalahkan ibunya. Dia anak baik! Terlalu baik!

Tetapi melihat sorot matanya yang sedih itu, Bu Rully malah merasa lebih tersiksa lagi. Dia merasa bersalah walaupun Rianto tidak menyalahkannya.

"Maafkan ibumu, Thole," bisiknya setiap malam, kalau bayangan Rianto ntenyambanginya.

"Ibu yang salah. Ibu cuma tidak ingin kehilangan dia... ibu ingin Yos menggantikan tempatmu "

Lalu Bu Rully akan menangis tersedu-sedu. Ingat anaknya. Ingat cucunya.

"Di mana kamu, Yos?" rintihnya antara cemas dan sedih.

"Tega kamu tinggalkan Nenek!"

***

Sebenarnya Bing tidak ingin membawa Yos ke Jakarta. Dia tahu bakal percuma saja. Mereka tidak akan menemukan rumah Yos. Kalau rumah neneknya yang baru ditinggalkannya saja dia tidak ingat, apalagi rumah ibunya yang sudah lama tidak dilihatnya.

Bukan desakan Yos yang membuat Bing mengikuti keinginan anak itu. Tetapi Dasman. Dasmanlah yang membuatnya pergi.

Bing tahu sekali siapa Dasman. Kuli bangunan yang sudah dua bulan nganggur. Dan dia kenal sekali sifat pacarnya. Kalau terdesak, Dasman suka nekat.

Dia bisa menculik Yos. Bisa memeras neneknya. Dan kalau keinginannya tidak tercapai. Dasman bisa berbuat lebih jahat lagi. Dia bisa memerkosa Yos seperti ancamannya.

Sebenarnya sudah lama Bing ingin mencari pengganti Dasman. Dan menyudahi hubungannya dengan lelaki kekar itu. Tetapi dia takut.

Dasman sudah menganggapnya pacarnya. Miliknya. Jadi Bing tidak bisa menyuruhnya pergi begitu saja. Apalagi mencari penggantinya.

Sekarang dia punya alasan yang lebih kuat untuk meninggalkan Dasman. Meskipun itu berarti meninggalkan pondoknya. Meninggalkan lahan yang menghidupinya. Meninggalkan Surabaya.

"Bersiap-siaplah untuk menderita," katanya kepada Yos.

"Jakarta lebih kejam dari Surabaya. Kata orang. malah lebih kejam dari ibu tiri!"

Bing memang sudah tidak punya pilihan lain. Tadi pagi mereka mampir ke rumah nenek Yos. Tapi rumah itu tetap terkunci. Kosong. Entah ke mana neneknya si Yos! Masa tua-tua masih ngelayap terus! Atau... dia sedang mencari Yos?

"Bing pernah ke Jakarta?" tanya Yos lesu.

Bing tidak langsung menjawab. Dia menghela napas panjang. Tatapannya menerawang jauh, seperti mengenang masa lalunya.

"Aku berasal dari sana," dengusnya pahit.

"Dan paling tidak ingin kembali ke sana!"

Sejak kecil Bing sudah merasa dirinya berbeda. Dia lebih suka bermain boneka daripada main layangan. Menyisiri rambut boneka lebih menyenangkan daripada berebut bola dengan teman-temannya.

Ketika meningkat remaja, dia suka mencuri-curi mengenakan gaun ibunya. Memupuri wajahnya dengan bedak. Dan memoles bibirnya dengan gincu.

Ketika suatu hari ayahnya memergokinya, dia dihajar habis-habisan. Ibunya yang juga mencemaskan kelainannya, tidak mampu menolong. Bagi keluarga sederhana seperti mereka, psikolog, psikiater, dan sebagainya cuma ada dalam nasihat kepala sekolah, yang sudah berkali-kali menganjurkan Bing agar berkonsultasi.

Bukan mencari pertolongan para ahli jiwa, Bing malah kabur dari rumah setelah tidak tahan lagi menerima pukulan dan tendangan ayahnya. Mula-mula dia ingin mencari nafkah dengan menjadi penata rambut. Tetapi karena tidak punya keahlian apa-apa. akhirnya dia cuma jadi pengamen jalanan.

"Cita-citaku punya salon sendiri," Bing berceloteh ketika mereka melewati sebuah salon kecantikan di salah satu jalan kecil di Ibukota.

"Nggak usah besar, tapi milikku sendiri. Aku mau belajar gunting rambut."

Yos yang sudah kehausan dan kelaparan. cuma melongok sekilas ke ruangan sempit di dalam salon itu melalui pintu yang terbuka. Seorang wanita muda sedang menggunting rambut seorang gadis.

"Apa enaknya kerja begituan," gerutu Yos lesu.

"Enakan jadi koki."

"Koki?"

"Bisa makan sepuasnya. Kita makan yuk. Bing?"

"Astaga! Sudah lapar lagi?"

"Setengah mati!"

"Tapi uang kita cuma cukup buat beli dua potong pisang goreng!"

"Bing nggak punya rumah?"

"Rumah? Di Jakarta"? Kaukira aku orang kaya?"

"Papa-mama Bing nggak punya rumah?"

Tentu saja mereka punya rumah. Biarpun kecil dan sederhana. Tapi itulah tempat terakhir di dunia yang ingin dikunjungi Bing!

"Kita bisa makan di sana, kan?" rengek Yos lesu.

"Kita juga bisa numpang tidur, baru cari rumah mama Yos lagi...."

Bing mengawasi teman kecilnya dengan iba.

"Capek?"

Yos cuma mengangguk lesu. Matanya menatap Bing dengan sayu.

"Kau nggak ingat alamat rumah ibumu?"

Sekali lagi Yos menggeleng. Lemah. Putus asa.

"Kalau begitu kita ke kantor polisi saja, ya?"

"Biar Bing digebukin lagi?"

"Ya nggak dong. Kita kan nggak berantem kayak dulu. Siapa tahu nenekmu sudah lapor..."

"Nggak mau. Percuma saja. Mendingan kita cari sendiri rumah Mama. Rumahnya gede, catnya putih, pagarnya biru, di pinggir jalan. Ada pohon cemaranya..."

"Di Jakarta ada ribuan rumah kayak gitu!" potong

Bing gemas,

"Kalau kau nggak bisa ingat nama jalannya, percuma aja!"

"Tapi Yos udah capek. Bing! Lapar! Pusing! Yos mau makan!"

***

BOGA PRATAMA meninju meja tulisnya dengan gemas.

"Dulu katamu ini pekerjaan gampang," geramnya sengit.

"Pekerjaan sepele! Kaularang Ayah membayar yang sudah profesional. Kau bilang, berapa susahnya sih menyingkirkan seorang wanita? Sekarang? Mana buktinya? Sudah dua kali kau gagal!"

Pria tegap yang duduk di hadapannya tidak menjawab. Matanya yang dingin. mata kejam tak berperasaan, menukik tajam ke sebuah foto yang terpampang dalam pigura yang terletak di atas meja tulis Boga Pratama.


Pembalesan Seri Oey Eng Si Burung Pendekar Mabuk 045 Pertarungan Tanpa Rare Beast Edgar And Ellen Karya

Cari Blog Ini