Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Bagian 2
tidur.
Djie Kang membawa teromol uang, habis menutup pintu
kamar gurunja. ia pergi mentjari dan memungut pedang
Pek Kong Kiam, baru ia masuk kekamarnja. Lebih dahulu
ia menguntji pintu, jang ia gandjal dengan bangkunja jang
rusak bekas tertabas pedang mustika tadi, kemudian ia
membesarkan api lilin, untuk memeriksa pedang itu,
"Sungguh pedang jang bagus!" katanja didalam hati,
sampai ia tak ingin melepaskan sendjata itu ia sangat
tertarik dan kagum serta menjajanginja.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
61
Kemudian ia membuka teromol uang. Ia mendapatkan
djumlah jang disebutkan gurunja. Ketjuali uang kontan tiga
bungkus, jang selebihnja berupa tjek dari bank Eng Tay. Ia
menghela napas. Ia mengagumi gurunja. Pantas guru itu
kikir, kiranja dia menjiksa diri, supaja dapat mengumpulkan
uang dari hasil keringat-dakinja. Oleh karena ini, ia pikir,
taruhkata ia tidak bersumpah kepada gurunja itu, mesti ia
wudjudkan djandjinja.
Lama Djie Kang berpikir, baru ia mendusin. Hudjan
sudah berhenti, angin telah tidak bertiup lagi, maka pagi
itu tjuatjanja tjerah. Ketika itu Bok Ya masih belum bangun,
sebagaimana dia tak nampak diluar seperti biasanja.
Waktu Djie Kang sedang membersihkan pekarangan
dalam, jang tergenang air, ia mendengar pintu diketuk
ketika ia membukai, itu Koay Tjui jang pulang,
punggungnja menggendol empat rentjeng uang. Dengan
air muka berseri, dia kata: "Kau lihat! Inilah
kemenanganku satu malam! Sebentar malam hendak aku
mengundang tetamu, karena itu, djangan kau pergi
kebengkel dulu! Sekarang aku mau pergi memotong
daging!"
Djie Kang mengiakan. Ia memang tidak inau kebengkel.
Habis bersantap pagi, ia ingin segera ke Kwee Kee Tun,
akan melihat anaknia Hay Peng. Kalau botjah itu dapat
bekerdja, dia bakal serahkan uang dan pedang untuk pergi
kekotaradja ment jari Kie Hay Auw; kalau tidak, apa boleh
buat, ia hendak pergi sendiri. Tak ingin ia menggagalkan
pesan gurunja.
"Kau lekas matangi nasi!" ia menjuruh.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
62
Selama menantikan Koay Tjui masak nasi, Djie Kang
pergi kekamar gurunja Guru itu masih belum d juga
bangun tidur. Ketika dia dipanggil-panggil dan pintu
kamarnja diketuk, dia diam sadja. Pintu ditolak, tetapi tak
dapat karena dikuntji dari dalam.
"Suhu! Suhu!" Djie Kang memanggil pula. Kalau tadi ia
bitjara perlahan, sekarang keras-keras sekali: "Suhu sudah
bangun atau belum?"
Perian jaan dan ketukan pada pintu, tetap tidak
membawa hasil.
Dari heean, simurid mendjadi tjuriga. Ia lantas
mengintai disela pintu. Ketika ia sudah melihat, ia kaget
bukan main, sampai ia mendjerit. Tanpa sangsi pula, ia
menendang pintu, untuk mendobraknja, hingga daun pintu
terbuka menggabruk. Ia nerobos kedalam, guna menolongi
gurunja.
Gouw Loosu telah menggantung diri, Ia memantek paku
besar ditembok jang tinggi, disitu ia mengikat udjung
dadung, untuk udjung jang lainnja dipakai mendjirat
lehernja sendiri; guna membikin tubuhnja tergantung.
Sebuah kursi, jang ia pakai sebagai indjakan, ia tendang
terguling. Ia tergantung dengan lidahnja terulur keluai,
lidah itu mengeluarkan darah. Ketika itu, tubuhnja sudah
kaku dan dingin. Sebab sudah lama ia mati.
Djie Kang menangis, men-djerit2 dan sesambatan,
sampai suaranja hampir habis, hingga hampir ia pingsan.
Koay Tjui kaget mendengar teriakan dan tangisannja itu,
dia lari menghampiri. Dia pun kaget, hingga dia mendjerit
tertahan.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
63
Lantas dia lari keluar, untuk berteriak-teriak minta
tolong, hingga ada sedjumlah tetangganja, prija dan
wanita, jang datang sambil ber-lari2.
Semua tetangga itu kaget dan heran. Aneh sibuta bisa
memantek paku demikian besar dan tinggi. Diantaranja,
ada djuga jang heran melihat almari besi dan demikian
banjak perabot pandai besi berikut dapurnja.
"Sudah, sudah, djangan menangis," begitu ada jang
membudjuk Djie Kang.
Ada juga jang berpikir : "Ada kebaikan nja apa guru ini
terhadap muridnja maka muridnja menangis begini sedih?
Dia tua dan buta, dia memang selajaknja mati"
Orang ini tidak tahu bahwa kematian si pandai besi ada
lakonnja jang pandjang.
Achir2nja Djie Kang berhenti menangis, Ia menjusut
kering air matanja. Lalu, dibantu Koay Tjui dan beberapa
tetangga, ia menuiunkan majat gurunja, untuk terus
dirawat. Ia perintah Koay Tjui pergi kebengkel, memanggil
Loo Sit dan tiga murid lainnja, buat membantu ia. Ia
mengurus djenazah Bok Ya dengan baik, disembajangi
sambil mengundang pendeta djuga. Pada mengubur, ia
membuat kuburan jang rapi, dikubur djadi pasangan
dengan marhuin isterinja. Ia menjuruh orang membuat
batu nisan dengan ukiran.
Selesai penguburan, Djie Kang mengatur warisan
gurunja. Koay Tjui tidak punja pekerdjaan, dia
diberhentikan dengan diberi uang. Rumah itu tidak ada
jang berani beli atau sewa, maka pintunja lantas ditutup
dan dikuntji. Sawah dan kebunnja sipandai besi lantas
disewakan. Ia pulang ke bengkel, jang selandjutnjaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
64
diserahkan pada Loo Sit, untuk diurus sebagaimana
lajaknja. Tapi ia tidak lama berdiam dibengkel, dengan
sesuatu alasan, ia mminggalkannja. Sebenarnja ia pergi ke
Kwee Kee Tun sambil membawa pedang dan uangnja.
Pedang itu ia bikinkan sarung dari besi, sedang teromolnja,
ia buatkan kuntjinja.
Ketika itu sudah selesai penguburan djenazah Kwee Hay
Peng, maka Djie Kang hanja bertemu dengan puteranja.
Putera Hay Peng bernama Kie Kho, ia kurus dan
berpenjakitan, dengan meninggalnja ajahnja, ia djadi
semakin lemah, maka itu, Djie Kang tidak dapat
mengandalkan padanja. Dari budjang2nja, tiga orang,
djuga tidak ada jang dapat dipilih untuk diberi tugas berat
itu. Budak pertama tua, usianja sudah enam puluh lebih.
Jang kedua, kakinja pintjang, orangnja rada tolol. Jang
ketiga jalah seorang botjah umur lima belas tahun, pula dia
anak desa jang tolol. Maka itu, ia mesti pergi sendiri ke
kota radja. Karena ini, kepada Kie Kho ia tidak tuturkan hal
pesan Bok Ya. Pada Njonja Kwee, jang ia ketemukan, ia
kala: "Aku datang kemari untuk pamitan. Suhu sudah
meninggal dunia, tak ingin aku berusaha lebih lama Jagi
ditempat ini."
"Djadi kau ingin berusaha dilain tempat?" kata si njonja.
"Kemana kau berniat pergi? Apakah tjukup uangmu ?"
Djie Kang bersangsi sebentar, baru ia mendjawab : "Aku
pikir pergi kekota radja. Tentang uang, suhu meninggalkan
tjukup buat beajaku." Ia bersedih, hampir ia mengutjur air
mata.
Selama itu, Nona Kwee hadir bersama dengan mata jang
tjeli, ia mengawasi si orang she Lie.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
65
Karena tidak ada jang dibitjarakan lagi Djie Kang
memberi hormat, terus ia mengundurkan diri. Ia berdjalan
dengan perlahan. Ketika ia sampai dipekarangan, lagi
mendekati pintu, mendadak ia mendengar panggilan ber
ulang2 "Orang she Lie ! Orang she Lie !" Ia lantas menoleh,
Ia mengenali Nona Kwee.
"Ada apa, nona?" tanjanja. Ia berhenti dan menantikan.
"Kau mau pergi kekota radja, bukan ?" kata nona itu.
"Aku minta kau melakukan sesuatu. Sesampainja disana,
kau pergi ke Sam Lie Tiam dimana kau tjari May Auw, kau
suruh dia lekas membalaskan sakit hatinja Nie TayPo serta
sakit hati ajahku !"
Djie Kang terkedjut, mukanjapun putjat. Ia lantas
menggojang-gojang tangannja.
"0, o, nona !" katanja. "Urusan apakah itu ? Tapi ....
"
Sinona memotong, suaranja dalam : "Lain orang tidak
tahu apa-apa, tetapi aku mengetahui semuanja ! Selama
Hay Loosu datang kepada ajahku dan main tjatur, tiap-tiap
kali mereka berbitjara dengan suara perlahan, mereka
selalu menjingkir dari orang lain tetapi tidak dari aku.
Mereka senantiasa bitjara hendak membunuh situa bangka
she Tjong itu, katanja guna membalaskan sakit hatinja Nie
Tay Po ! Jang mendjemukan jalah Kie Hay Auw dan In
Tiong Hiap berdua, mereka itu tidak djuga datang sehingga
balas sakit hati tak dapat dilakukan! Sudah begitu, malang
ajahku dan Hay Loosu, keduanja telah membuang djiwanja
setjara ketjewa ?"
Air mata sitona lantas mengutjur turun. Ia terisak
sebentar, lantas ia membanting kaki.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
66
"Kau mesti mentjari Kie Hay Auw!" katanja.
"Sabar, nona," kata Diie Kang, la mentjekal tangan
orang, la bitjara dengan perlahan. "Aku. . . aku pergi ke
Pakkhia d juga buat. . ." la melihat kiri dan kanan. Segera
ia menambakan: "Aku pergi ke Pakkhia sekalian buat
memenuhi pesan guruku, buat meminta bantuannja Kie
Hay Auw. . ."
Nona itu mengangguk. Sekarang ia bitjara perlahan.
"Mengundang Kie Hay Auw sadja belum tjukup,"
katanja. "Kau mesti terus pergi keketjamatan Hoo-tjin buat
mentjari keterangan perihal In Tiong Hiap. Dia liehay
melebihi orang lain, dia pandai lompat tinggi dan lari di atas
genting."
"Baik, baik akan kutjari dia," kata Djie Kang. "Aku akan
lekas pergi dan lekas pulang, mungkin di-dalam bulan ke
delapan, mereka akan sudah datang ke mari. . . Hanja,
nona, inilah berbahaja, kalau keluarga Tjong mendapat
tahu kepergianku ini. ."
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Djangan takut!" kata sinona. Dia menjusut matanja
seraja menggeleng kepala. "Sekalipun ibu dan kakakku,
aku tidak memberitahukan "
Djie Kang mengawasi nona itu, jang mengenakan
pakaian berkabung. la kagum sekail. Rambut hitam nona
itu didjalin mendjadi kuntjir, jang diikat dengan sepotong
tjita putih, dia berwadjah tjerdik dan bitjaranja rapi, tak
mirip dengan nona umur dua belas tahun. Senang ia
melihatnja, hingga ia pikir alangkah baiknja kalau nona itu
turut ia ke Pakkhiaj sajang dialah seorang wanita kalau dia
laki-laki, dia dapat membantunja. Sebagai nona, ibunja
djuga tentu takkan melepaskan dia pergi jauh.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
67
"Nona," katanja "kau berdiam dirunah, nantikan aku.
Apakah namamu? Nama kakakmu aku sudah tahu, jaitu Kie
Kho. Perlu aku ketahui namamu supaja aku bisa
mendjawab andaikata Kie Hay Auw menanjakannja."
"Nama ketjilku Siauw Heng," sahut nora itu. "Ajahku
be^um sempat memberi nama jang benar "
Djie Kang mengangguk. "Nah, nona, aku berangkat
sekarang !" kata ia, jang terus memleri hormat, lalu
memutar tubuh, buat terus berdjalan keluar. Ia berduka
sekali, pikirannja sepat. Itu waktu, bunga lilac sudah pada
rontok, hawa udara mengkedus, awan mendung.
Karena keramaian di Hoa San telah berachir, djalanan
mendjadi sepi.
Djie Kang menudju ke Lam-Kwan. Belum ia sampai
dibengkelnja, mendadak ia mendengar suara kuda
dilarikan keras dibelakangnja. Lekas-lekas ia minggir.
Hampir ia kena diterdjang. Ketika ia berpaling, ia melihat
enam atau tudjuh penunggang kuda, pelananja semua
baru, penunggangnja beroman galak, sebagaimana
lagaknja pun galak. Mungkin mereka itu pikir, mereka
menubruk orang sampai mati djuga tidak ada perkaranja.
Salah seorarg penunggang kuda itu mengenakan
tudung rumput jang basar istimewa dan anjamannja halus.
Dialah Samsiauw-ya, dari keluarga Tjong, karena ia
ditakuti, dia didjuluki Sam Thay-swee, si Datuk. Jang
satunja lagi ialah ipamja, Touw Bung Keng. Jang djalan
paling belakang jakni Ok-Bong Biauw Hiong Tjay, si
pahlawan kosen, jang usianja lebih kurang tigapuluh
tahun, mukanja merah dan bengis sekali, sedangkanDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
68
pakaiannja mentereng seperti pakaian madjikannja.
Rupanja rombongan ini habis pulang memburu.
Djie Kang bentji berbareng djeri. Tak mau ia mengawasi
mereka itu. Ketika ia tiba dibengkel, Loo Sit lagi duduk di
kursi jarg diduduki guru mereka, badju dan tjelananja baru,
dengan kipas besar ditangan, dia mirip sipemilik bengkel,
la tidak menggubris kawan itu. Sekarang ia tidak
memikirkan pula urusan bengkel. Ia rnasuk kedalam untuk
berbenah. Maka besok paginja, dengan menjamar sebagai
seorang pedagang keijil, ia mulai dengan perdjalanannja
menudju ke-kota ladja. Buntalannja dipikul dengan
sebatang tongkat kaju loh, jang ia pengang pada sebelah
udjungnja. Teromol uangnja dibungkus rapi, demikian
djuga pedang Pek Kong Kiam. Ia memakai sepasang
sepatu rumput, la berlaku waspada. Selagi djalan, ia selalu
ikut rombongan. Tak sudi ia banjak omong dengan siapa
djuga. Pada waktu singgah, selamanja ia singgah sebelum
magrib. Ia tidak mau tidur bergumulan dengan banjak
orang, ia lebih suka mengorbankan uang, untuk menjewa
kamar untuk satu orang, jang ia galang dengan kursi.
Dalam tempo dua hari, tibalah Djie Kang di Tong Kwan.
Disitu, disungai Hong Hoo, ada penjeberangan Hong Leng.
Untuk pergi ke Hootjin, buat mentjari In Tiong Hiap, perlu
orang menjeberang disitu,?penjeberangart guna pergi ke
propinsi Shoasay. Tapi ia menudju langsung ke Pakkhia. Ia
belum tahu siapa sebenarnja In Tione Hiap, ia
menjangsikan orang suka membantu atau bekerdja
sungguh-sungguh. Ia anggap paling benar ia mentjari Kie
Hay Auw dulu. Ia pertjaja Hay Auw itu laki-laki sedjati, pasti
tidak gagal kalau uang dan pedang di serahkan padanja.
Maka menudjulah ia terus ketimur.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
69
Inilah perdjalanan pertama dari Djie Kang, ia belum
berpengalaman. Pada achir bulan keempat, tjuatja biasa
terang dan mendung bergantian. Diwaktu mendung,
hudjan besar bisa turun setjara tiba-tiba. Untuk Hoolam
Barat, jang tinggi dan tanahnja kuning, pada waktu kering,
debu tebal tiga kaki bisa dimengerti, kalau pada waktu
hudjan, djalan besar berlumpur sepandjang beberapa ratus
lie. Dari iiu, Djie Kang mesti menderita. Ia tidak membekal
sepatu, kalau sepatu nja rusak, mesti ia membeli gantinja.
Pakaiannja pun mendjadi dekil bekas keringat dan air
hudjan, bekas kena debu dan terdjemur panas matahari.
Sengadja ia berlaku pelit, badjunja petjah sedikit, ia
biarkan sadja. Djarang sekali ia membuka buntalannja,
jang sewaktu tidur ia pakai sebagai bantal. Karena kantung
jang mendjadi bungkusan teromol petjah sedikit, udjung
teromol mendjadi tampak diantara petjahan itu. Kalau ia
tengah memikul, pikulannja,djuga berat sebelah.
Pada suatu sore Djie Keng tiba di Sian tjiu. Paginja,
selagi ia bebenah, ia mendengar suara seorang berkata
kata keras dipekarangan dalam: "Ada orang jang mau pergi
ke Shoasay atau tidak? Ada jang mau menjeberang sungai
atau tidak? Siapa jang mau pergi ke Titlee, dia djuga mesti
menjeberang d sini ! Kalau ada, mari kita berangkat
bersama-sama, supaja kita bisa irit beaja sewa perahu dan
ongkos bermalam !"
Mendengar itu, Djie Kang merasa tjot jok, akan tetapi ia
tidak lantas menjahut, hanja ketika djongos masuk
kekamarnja, ia tanja: "Untuk pergi ke Pakkhia, apa benar
orang mesti menjeberang sungai HongHoo disini?"
Djongos itu mengangguk.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
70
"Apakah tuan belum tahu djalan disini ?" tanjanja.
"Djangan kata untuk pergi kekota radja, ke Thaygoan
djuga mesti menjeberang disini. Orang mesti menjeberang
kepelabuan Mauw Tjin, lalu menudju ke Utara. Kalau tidak,
orang itu akan djalan lebih djaih dan lebih lama serta
djalanannja djuga kurang aman. Siapa menudju lempang
ketimur, bila dia tidak pergi ke Lokyang tentu ke Kayhong."
"Tadi orang itu berteriakan sadja, dia mau apa?" Djis
Kang tanja. Ia pertjepat berkemasnja.
"Mereka itu dua orang pedagang, karena ssdikitnja
orang-orang pergi ke Pakkhia, mereka mau mentjari
kawan. Begitulah biasanja orang jang berlaku hati-hati
dalam perdjalanan," sahut sidjongos.
"Dapatkah aku berdjalan bersama-sama mereka itu?"
tanja Djie Kang.
"Dapat, tuan. Itulah baik sekali," kata pelajan itu.
Djie Kang melongok keluar. Ia melihat seorang saudagar
jang masih muda lagi berbitjara dengan seorang pedagaDg
jang kerdjanja berat, sebab dia membawa segerobak
semangka, jang mau dibawa ke Peng yang. Sambil
menggojang2 tangan, si saudagar muda kata: "Tak dapat
kami berdjalan bersama kau. Setelah menjeberang,
mungkin kita naik kereta atau djalan kaki. Kau mendorong
kereta semangka, mana bisa kau djalan bersama kami?"
Pedagang semangka itu ngelojor pergi sambil
mendumal: "Memang aku membawa semangka, tetapi
dengan berdjalan bersamaku, membawa kebaikan bagimu,
tanggung kau tidak mati haus!"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
71
Djongos masih dalam kamarnja, Djie Kang tidak berani
meninggalkannja, maka dari muka pintu, ia berkata
njaring: "Saudara, mari berdjalan bersamaku! Aku duga
hendak menjeberang!"
Saudagar muda itu menoleh.
"Kau mau pergi kemana?" tanjanja.
"Ke-kota radja," sahut Djie Kang terus terang.
"Begitu djauh!" kata saudagar itu tertawa. " Apakah
banjak barang bawaanmu?"
"Tidak banjak, tjuma satu pikulan, jang pun dapat aku
gendol sadja!"
"Berapakah djumlah tuan?"
"Aku sendirian. Kalau aku dengan banjak kawan, tak
perlu aku mentjari kawan." "Kerdjaanmu, tuan?" saudagar
itu tanja pula. Ia lantas menghampiri dan bertindak masuk
kekamar orang, sehingga ia dapat lihat buntalan Djie Kang
diatas pembaringan.
"Aku pandai besi," sahut Djie Kang. "Terutama aku
membuat pisau dan gunting. Aku mau pergi kekota radja
kepada seorang saudara seperguruanku. Dia baru
membuka bengkel, dia menulis surat padaku minta aku
datang untuk membantu padanja." "Bagus! Pakkhia begitu
besar, berusaha disana tentulah kamu akan berhasil! Pada
tahun jang lampau pada bulan delapan, aku berada disana,
tinggal di Tju-po-sie. Disana banjak jang kenal aku."
Djie Kang minta tanja nama orang. "Namaku jang
rendah Beng Po Tjay," sahut si saudagar merendah.
"Sedjak masih muda, aku biasa turut pamanku berdagangDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
72
sambil merantau. Setiap kali pergi ke Pakkhia, aku selalu
tinggal di Tju-po-sie, maka dapatlah kau duga apa
pekerdjaanku. Atau kau tanja pelajan ini, asal aku lewat
disini, tentu aku singgah dipenginapan ini. Bukan baru satu
tahun sadja aku mundar-mandir disini."
"Itulah benar," sahut si djongo .
Djie Kang lantas memberitahukan she dan namanja.
Kemudian ia tanja sekarang si saudagar mau pergi
kemana.
"Baru sadja aku habis menjerahkan barang di Tong
Kwan. Aku menjeberang disini untuk pulang. Rumahku
didusun Hoasee di ketjamatan Kho-peng, perdjalanan lima
atau enam hari dari sini. Sebenarnja sudah biasa aku d
jalan disini, dengan mata ditutup djuga dapat aku
berdjalan pulang. Hanja diluaran biasa terdjadi segala
apaapa, hendak aku berlaku hati-hati. Paling baik kalau kita
berdjalan berombongan, sedangkan untuk menjewa
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perahu atau kereta, atau mondok, kita bisa lebih ringan."
Ia tertawa, lantas ia menambahkan: "Nah, Tuan Lie,
bukankah kita sudah akur akan djalan bersama? Sekarang
djuga dapat kita berangkat. Hanja aku rasa, kalau kita
dapat kawan pembesar negeri, itulah terlebih baik lagi!"
Berkata begitu, ia mengundurkan diri. Kembali ia
menjerukan beberapa kali, untuk mentjari tambahan
kawan seperdjalanan.
Ketika itu, djongos pun mengundurkan diri.
Djie Kang berpikir : "Dengan berdjalan bersama
saudagar barang permata ini, boleh aku melegakan hati. .
. ." Maka ia lantas bersiap sedia.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
73
Tak lama Beng Po Tjay sudah muntjul pula, sambil
tertawa, ia kata : "Aku sudah mentjari sekian lama, tak
dapat aku kawan baru, mungkin tahun ini tahun subur,
orang lebih suka berdiam dirumah untuk benjotjok tanam"
Djie Kang pun pikir : "Berdjalan bertigapun sudah
tjukup, itulah djauh terlebih baik dari pada aku berdjalan
seorang diri." Tapi ia masih tanja : "Bagaimana sekarang,
apakah kau masih imu mentjari kawan lain ?"
"Sudahlah, tak usah !" Po Tjay djawab sambil
menggeleng kepala. "Kalau orang jang tidak dapat
dipertjaja, mau ikutpun aku tolak mari kita berangkat
sekarang. Selewatnja sungai jalah djalan besar umum."
Ia lantas mengundurkan diri, buat mengambil
barangnja. Tak lama, sudah terdengar pula suaranja:
"Tuan Lie, sudah siap? Mari kita berangkat !"
{B e r s a m b u n g)DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
74
DURHAKA
Jilid : 02
Dituturkan Oleh : Boe Beng Tjoe
//facebook.com/groups/Kolektorebook/
__________________________________
Djie Kang menjahut, lantas ia keluar bersama dua buah
bungkusannja. Lebih dahulu ia bikin perhitungan dengan
djongos. la melihat Po Tjay menggendol hanja sebuah
bungkusan ketjil, disamping ada pamannja, jang berusia
limapuluh lebih, rambut dan djanggutnja sudah hampir
ubanan, tungannja mentjekal sebatang tongkat kasar. Po
Tjay memperkenalkan dia dengan pamannja itu. Iapun
kata : "Tuan Lie, barang bawaanmu tidak ringan, mari aku
bantu !" Ia tertawa.
"Tak usah, terima kasih !" Djie Kang tjepat menolak.
"Bagi kami tukang besi, tenagaku masih tjukup untuk
barangku ini."DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
75
Po Tjay tertawa pula.
Lantas bertiga mereka berangkat, menudju keutara. Tak
lama, tibalah mereka ditepi sungai, tempat penjeberangan.
Disitu ada tiga atau empat buah perahu eretan jang besar.
Maka selain orang, djuga kuda dan kereta atau keledaipun
dapat diseberangkan. Banjak orang jang mau
menjeberang, tetapi Po Tjay hanja dapat seorang kawan.
Hanja sebentar, tibalah mereka diseberang.
Penjeberangan disini bagian utara sungai dinamakan
Mauw Tjin Touw, termasuk wilajah propinsi Shoasay.
Tempat itu ramai. Po Tjay menjewa sebuah kereta, maka
Djie Kang naik bersama sipaman. Po Tjay sendiri berdjalan
kaki. Arah mereka jalah timur. Dengan lekas mereka sudah
berada didjalan jang makin lama makin sepi, karena
djarangnja orang2 jang berlalu lintas. Mereka jang banjak
tadi mengambil lain tudjuan. Djalan ini tjukup lebar, tetapi
tidak menembus ke-kota2 besar. Dikanan jalah sungai
Hong Hoo jang airnja bergelombang dan dikirinja
pegunungan Tiong Tiauw San. Hawa udara waktu itu
panas. Disawah, pohon gandum pada tunduk. Angin jang
meniup keras, membikin pasir kuning beterbangan
kekereta.
Empe Beng duduk melenggut didalam keretanja. Po
Tjay djalan belum djauh, iapun naik kekereta. Lantas ia
berbitjara dengan Djie Kang. Tukang kereta, jang
hidungnja merah, turut pasang omong. Kata mereka,
djalanan jang mereka ambil sebenarnja bukan djalanan
jang terlalu bagus. Masih mending pada musim semi atau
musim panas, kalau pada musim dingin, kadang-kadang
ada pendjahat jang menantikan mangsa ditengah djalan.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
76
Sebaliknja, pendjahat2 dari Hong Hoo tak pernah
mengganas didarat.
Tak enak hati Djie Kang mendengar omongan iiu.
"Djangan kuaiir !" kata Po Tjay tertawa. "Aku kenal baik
djalanan ini ! Taruh kata ada orang djahat, paling djuga
mereka mengambil barang-barang kasar.
Djie Kang merasa makin tak enak hati. Sjukur kedua
bungkusannja berasa disisinja.
Sambil bitjara, Po Tjay menolak bungkusan selimutnja
Djie Kang, lagaknja dia mau duduk lebih leluasa. Dia
terkedjut, airmukanja berubah, akan tetapi dia berdiam
sadja.
Lewat sekian lama, saudagar mas intan ini menoleh,
akan memandang kawannja. Ia bersenjum, lalu berkata :
"Tuan Lie kau berdjalan seorang diri, kau temu ada
pegangan. Kau mengerti silat, bukan?" Didalam hati, Djie
Kang terkedjut. Lantas ia ingat, ditengah djalan, tidak
dapat ia omong dari hal jang benar. Maka ia memikir buat
sedikit mengepul, supaja orang tidiak memandang ringan
padanja.
"Mengerti djuga sedikit," sahutnja. "Laginja sebagai
pandai besi, kedua tangan kami ada djuga tenaganja dan
hati kami besar. Pula barang kami barang rosokan,
Sedangkan isi teromolku jalah segala alat pekerdjaanku,
orang djahat pastilah tak nenginginkannja."
Po Tjay tertawa gembira.
"Tuan Lie!" katanja, "dengan berkawan bersama kau,
kami seperti djuga dapat mengundang seorang piauwsoe!"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
77
Sikusirpun menoleh kebelakang, melirik kepada siorang
she Lie.
Sampai sore, baru kereta berhenti, untuk bermalam
disebuah hotel ketjil disebuah dusun jang terpisahnja djauh
sekali dari kota ketjamatan. Djie Kang minta kamar untuk
diri sendiri. Inilah karena ia mesti menedjaga baik-baik
uang dan pedangnja. Begitu masuk kedalam kamar, ia
terus menguntjinja. Bahkan ia lantas membuka teromolnja.
Tiga bungkus uang perak masing2 dari seratus tahil, ia
taruh tetap didalam teromol itu, tetapi tjeknja seharga tiga
ribu tahil, ia sembunjikan dipinggang tjelananja. Ia
memeriksanja, supaja orang tak sampai dapat melihat.
Kalau terdjadi sesuatu, tidak nanti uangnja ludas semua.
Kemudian ia memikirkan kedua kawan seperdjalanan itu,
sipaman dan keponakannja. Ia tidak menjangsikan mereka
itu. Maka achirnja ia menenangkan hati. Pikirnja, tjukup
asal ia waspada.
Begitulah besoknja, mereka tetap berdjalan bersama.
Hari ini, berdua Po Tjay dan Djie Kang bitjara banjak
dengan asjik sekali. Djie Kang mendapatkan orang luas
pengetahuan dan pengalamannja, sampai ia lupa akan
kewaspadaannja, tak ada ketjurigaan lagi. Demikian, ketika
sang sore tiba dan mereka singgah, lantaran hotel padat
dan kamar habis, bertiga mereka mengambil satu kamar.
Hati sipandai besi tenang. Malam itu panas, iapun tak usah
memakai selimut, sehingga ia tak perlu membuka
buntalannja. Buntalan itu, berikut pedangnja, didjadikan
bantal kepala, sedang teromolnja jang terisi uang, ia
letakkan disisirnja, seperti tidak memikirkannja. la
sengadja berbuat demikian agar orang tidak tjurigainja.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
78
Pada lain harinja, perdjalanan dilandjutkan. Hanja kali
ini, Po Tjay menjewa sebuah kereta keledai lainnja.
Segera Djie Kang mentjurigai situkang kereta keledai itu.
Orang bertubuh kate dan dampak, kedua tangannja kasar,
kedua kepal annja mirip repasang martil.
"Kalau sampai mesti berkelahi, aku bukanlah tandingan
dia," pikirnja.
Pula aneh tukang kereta itu. Dia mendumal bahwa
sewaannja terlalu murah, sedang pada waktu dahar tengah
hari, dia minta uang makannja dibajar. Dengau dibantu
uang makan, baru dia nampak tenang, suka dia melarikan
keledainja.
Perdjalanan dilandjutkan dengan meninggalkan djalan
besar, selagi mendekati tepi sungai Hong Hoo hari mulai
magrib. Ditempat itu tak tampak lain orang seorang pun
tidak. Djuga tidak ada rumah penduduk.
"Inilah berbahaja," pikir Djie Kang. Lantas ia kata :
"Pada saat ini, kenapa kita masih berdjalan terus sadja?
Mari lekas mentjari pondokan!"
Situkang kereta keledai berpaling, dia mendjawab : "Apa
kau bilang? Mentjari pondokan? Pergilah kau tjari sendiri!
Untuk sampai didusun Thay-swee-tin, sedikitnja mesti
sesudah djam dua! Perdjalanan ke Kwie-ong-toen djuga
masih ada limapuluh lie lebih, maka tak dapat kita ter
buru2! Siapa menjuruh kamu ingin melakukan perdjalanan
tjepat2?"
"Aku tidak menjuruh kau tjepat2!" Djie Kang
membantah. "Hari mulai gelap, habis bagaimana?" Ia
merasa tidak enak hati.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
79
Nama-nama tempat jang disebutkan baru sadjapun tak
sedap didengarnja : Thay-swee tin berarti dusunnja
sidatuk, Kwie-ong-toen jaitu desanja siradja iblis.
Ketika Po Tjay menolak dengan diam2 pada tubuh Djie
Kang. Itulah isjarat untuk djangan melajani situkang kereta
berbitjara. Tentu sekali, hatinja mendjadi tidak tenang
sekali.
Tukang kereta sudah lantas mengendorkan djalan
keretanja. Po Tjay mengadjaknja bitjara dengan manis,
akan tetapi dia tidak menghiraukannja. Sebaliknja, dia
menundjukkan roman muram pada mukanja jang hitam.
Maka wadjahnja itu lebih tak menjenangkan dari pada air
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sungai Hong Hoo jang bergelombang seram itu.
Sang langit lantas djuga mendjadi gelap, hingga dilangit
tampak beberapa butir bintang jang berkelak-kelik. Muka
situkang kereta, jang berada disebelah depan, lantas tak
tampak tegas lagi, sehingga tak terlihat dia bersenjum atau
menjeringai.
Si orang tua she Beng sebaliknja bisa membawa diri.
Suasana tak menjenangkan tetapi dia dapat membuka
mulutnja buat bernjanji. Mungkin dia menjanji karena
takutnja, sebab suaranja sungguh tidak merdu, balikan
sedih dan menusuk hati, ketika keponakannja mentjegah
ia mendjadi gusar.
Kereta menggelinding terus, langit semakin gelap.
Tiba-tiba Po Tjay berubah sikapnja.
"Menudju keselatan!" katanja kepada si tukang kereta.
"Mau apa?" tanja situkang kereta. "Disana itu sungai!
Apakah kita mau bermalam ditengah sungai?"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
80
"Tak dapat aku mendengar kau lagi!" kata Po Tjay.
"Apakah kulit matamu tidak terbalik? Apakah kau tidak
pernah mentjari tahu siapa2 jang duduk diatas keretamu
ini? Lekas serahkan tjambuk padaku! Kau buta, djikalau
kau berani memikir jang tidak2 terhadap kami! Kau mesti
ketahui kami paman dan keponakan, kami telah melalui
djalan disini tak kurang dari seratus kali! Apakah kau kira
kami tidak melihatnja ? Apakah kau hendak main gila ?"
Djie Kang melihat suasana buruk, diam2 memegang
gagang pedangnja, siap sedia untuk menghunusnja.
Tukang kereta itu menjerahkan les kereta kepada Po
Tjay, ia terus lompat turun dari keretanja.
"Dia mau memanggil kawannja!" kata Po Tjay. "Mari kita
lekas pergi! Tak djauh diselatan sana ada rumahnja
seorang sanakku, kita pergi kesana, setibanja, kita tak usah
kuatirkan apa-apa lagi!"
Berkata begitu, orang she Beng ini menggentak les
keledainja seraja ia mentjambuk hingga keledai itu
terkedjut lantas berlarilari keras, sehingga berisik djuga
suara menggelindinginja roda-roda kereta.
Entah telah berapa djauh kereta berlari, lalu tiba-tiba ia
berhenti. Po Tjay lompat turun dari kereta, disusul okh Djie
Kang. Ketika Djie Kang melihat sekelilingan, ia
terperandjat. Mereka berada disebuah kampung sepi
dimana tjuma ada sebuah rumah bambu dengan tembok
tanah liat. Suara andjingpun tak terdengar.
Po Tjay menghampiri rumah itu, untuk mengetuk
ngetuk pintunja dengan keras.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
81
Hanja sebentar sadja, dari dalam rumah muntjul
seorang bertubuh kate dan ketjil, jang sebelah tangannja
membawa pelita dengan apinja berkelak-kelik,
dibelakangnja mengikuti seorang lain jang berupa seperti
bajangan besar. Sikate dan ketjil itu seorang botjah umur
kira2 lima belas tahun, tubuhnja telandjang sebab dia
hanja mengenakan sepotong tjelana pendek. Bajangan
jang besar itu jalah seorang dengan kedua belah pipi dan
dadanja penuh berewok dan bulu, sebab iapun tidak
memakai badju, hingga tampak dua buah lengannja jang
besar dan kasar.
Begitu melihat orang itu, Po Tjay berkata njaring: "Kami
bertemu dengan tukang kereta jang djahat! Hampir sadja
kami. . ."
"Sudah, masuklah!" sahut siorang bertubuh besar itu
menjela. Lalu ia memutar tubuhnja, untuk mendahului
masuk.
Po Tjay membantu pamannja turun dari kereta, sedang
kepada Djie Kang ia kala: "Masuklah! Ini rumah sanakku.
Di-sini kau djangan kuatirkan apa djuga!"
Hati Djie Kang gontjang. Tak puas ia dengan rumah ini.
Ia pertjaja sihitam bukannja manusia baik-baik. Ia merasa
bahwa ia seperti mengantarkan diri ketempat berbahaja.
Aneh pula sipaman. Setelah turun dari kereta, lenjap
wadjah lojonja. Dengan menundjuk dengan tongkatnja
jang besar, ia kata padanja: "Masuklah! Takut apa? Kita
sudah sampai disini, ini sama sadja dengan rumah kami !"
"Ah, kau ngatjo, paman!" Menegur Po Tjay. Ia
mendekati Djie Kang dan berkata manis: "Djangan tjuriga,DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
82
tuan! Kalau terdjadi sesuatu disini, aku akan mengganti
semua!"
Djie Kang seperti lupa pada teromol uangnja, ia lebih
perlu memeluk buntaiannja, hatinja ter-gontjang keras,
dalam kuatirnja jang sangat, tiba-tiba muntjul hawa
amarahnja. Maka mendadak ia berseru: "Kamu semuanja
penipu! Apakah kamu kira aku tidak tahu?"
Pamannja Po Tjay mengangkat tongkatnja.
"Djikalau kau sudah tahu, kau mau apa?" tanjanja
menantang. "Di-sini, meski kau berteriak-teriak laksaan
kali, tidak nanti ada orang jang mempedulikan kau!"
Sementara itu sibotjah jang memegang pelita, setjara
diam-diam, menggojang-gojang-kan tangannja pada Djie
Kang. Ia merasa sangat gelisah, sampai tubuhnja
menggigil
"Tuan Lie, pertjajalah padaku," berkata Po Tjay.
"Mustahil aku akan mentjelakai kau? Tjukup asal kau suka
masuk ke-dalam di-mana kita bisa bitjara dengan baik"
Djie Kang berpikir, mendadak ia menghela napas.
"Tak apa aku masuk ke-dalam," katanja kemudian. "Kau
boleh ambil uangku, asal djiwaku diberi ampun"
Baru sadja ia berkata begitu, mendadak Djie Kang
merasa njeri dan dingin pada batang lehernja bagian
belakang. Di-luar tahunja, di belakangnja ada orang jang
menghadjarnja dengan goJok, serta menganiajanja.
Menjusul itu, orang telah menjambar, merampas buntalan
dari tangannja, sambil berkata bengis: "Serahkan
bungkusanmu itu padaku, atau djiwamu tak bakal dapat
ampun!"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
83
Alangkah kagetnja Djie Kang ketika ia kenal suara sikusir
tadi. Sementara itu ia memegang keras buntalannja, jang
tak kena terampas. Ia pun ingat baik-baik, pedang Pek
Kong Kiam tak dapat terdjatuh di-tangan orang djahat.
Maka ia tidak mau menjerah, lantas ia lompat untuk
nerobos lari.
Didepan, si-orang tua melintangkan tongkatnja, sedang
di-belakang, sikurus mengantjam dengan goloknja. Dalam
keadaan seperti itu, Djie Kang mendjadi nekad. Mendadak
sadja ia memegang gagang pedangnja, untuk menariknja
keluar, bahkan segera ia mendahului membatjok.
"Haha-haha!" sikurus tertawa dingin. "Kau berani
menggunakan sendjatamu ? Hm! Aku pertjaja, ilmu silatmu
tentu tidak berarti! Benarkah kau hendak mengadu djiwa?
Bukankah mudah untukmu buat mentjari mampus?"
Sambil berkata begitu, kusir ini menangkis batjokan
kepadanja. Atau mendadak dia terkedjut sekali, sampai dia
tertjengang!
Ketika kedua sendjata beradu, goloknja si kusir kutung
seketika!
Njalinja Djie Kang mendjadi besar setjara tiba-tiba.
"Siapa jang berani datang dekat?" bentak nja.
Kawanan pendjahat itu ketakutan, semua lantas lari
kedalam, hingga ruang mendjadi gelap, sebab disitu tidak
ada pelita atau lampu, sedangkan diluar lebih gelap lagi.
"Kalau begini, perlu aku lekas menjingkir," pikir Djie
Kang, jg. ingat akan bahaja jang mengantjamnja. Lantas
ia mengangkat kaki. Karena ia tahu di arah selatan adalah
sungai Hong Hoo, ia menudju ke utara. Di sini ia mendapatDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
84
bantuan tjahaja Pak Tauw Tjhee, jaitu bintang Utara.
Sembari berdjalan setjepat mungkin, di dalam hati ia
berkata: "Mohon para malaikat dan Sang Buddha
melindungi hambanja sehingga lolos dari antjaman
malapetaka ini! Semoga arwah Kwee Soesiok dan guruku
membantu pada keponakan dan muridnja ini!" Djalanan
tidak raia dan tidak kelihatan Djie Kang belari-lari dengan
limbung. Beberapa kali ia terguling djatuh, tiga kali ia
merajap bangun dan kabur terus. Entah sudah barapa
djauh ia berlari-lari. Tengah ia nienjingkir terus, mendadak
ia merasakan hadjaran keras pada punggungnja. Bagaikan
majat tubuhnja roboh! Hanja satu kali ia mendjerit keras,
lantas tak sadarkan diri lagi. Tak tahu berapa lama ia
pingsan, ketika mendusin, ia merasakan seluruh tubuhnja
njeri terutama punggungnja, lebih daripada waktu
lengannja dimartil gurunja. Sebelum ia sadar betul, ia
merasa ada orang menjeret tubuhnja, jg. menjenretnja
bagaikan kereta, la kaget, iapun merasa njeri sekali. Tiba
tiba ia merintih, lalu mendjerit: "Lekas lepaskan aku!
Apakah kamu mau terus menjeret-njeret aku? Aku belum
mati! . . . Oh, kamu kejam sekali! Aduh! Aduh!"
Djie Kang ingin menangis. Tubuhnja njeri, hatinja sakit.
Ia menginsafi bahaja jang mengantjam dirinja. Ia menduga
bahwa ia sudah djatuh dalam tangan orang-orang djahat.
Ia benar-benar takut. Hampir ia minta dibunuh sadja dari
pada disiksa. Atas teriakannja itu, ia merasakan tak diseret
lebih djauh sebelum ia bisa melihat atau membuka
mulutnja, ia merasa ada orang mendekati nja, berdjongkok
di sisinja. Segera ia mendengar suara ini: "Djangan bikin
banjak berisik! Aku hendak membawa kau menjingkir, ke
tempat di mana kau dapat beristirahat, untuk nanti kau
menjingkir lebih djauh. Djikalau kau menanti sampai hariDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
85
sudah djadi terang dan Hek Bin Kwie beramai datang,
apabila mereka melihatmu belum mati, kau bisa dihadjar
pula dengan batu lebih besar, sehingga habislah, lakon
hidupmu!"
Djie Kang heran. Suara orang itu tegas sekali dan
tangannja jang dipakai merabanja, tidak besar dan kasar.
Lekas dia ingat kepada sibotjah jang memegang pelita tadi.
"Arak. . ." katanja. "Oh, adik, lekas kau tolong aku. . . "
"Dapatkah kau berdjalan?" tanja orang itu. "Didepan
sana ada sebuah rimba, kau dapat bersembunji di sana
sambil beristirahat. . ."
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Djie Kang kuatkan hatinja.
"Dapat, aku dapat berdjalan!" katanja. Ia menggertak
gigi, untuk merajap baungun. Akan tetapi punggungnja
sangat sakit, tak sanggup ia berdiri tegak, maka achlrnja ia
dibantu sibotjah, bahkan dengan berpegangan pada botjah
itu, baru ia bisa bertindak djalan pelahan lahan.
Sjukur botjah itu bertenaga besar. Sambil digelendoti, ia
berdjalan. Dengan banjak susah, tibalah mereka di dalam
rimba. Di sini Dje Kang lantas duduk di tanah, untuk
beristirahat karena lelah dan njeri, ia merebahkan diri.
Sibotjah duduk di sampingnja.
"Di-sini djuga kita tidak dapat berdiam lama-lama," kata
botjah itu, napasnja memburu. "Kalau mereka datang
mentjari, mereka akan mentjari ke-mari. Itulah berbahaja
djuga bagiku!"
"Mereka itu djahat sekali!" kata Djie Kang seng11. "Beng
Po Tjay telah menipu aku sedjak hari pertama aku kenal
dengannja. Dia nampak sepeiti pedagang, siapa tahuDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
86
dialah sibiang pendjahat! Dia menipu aku, seorang miskin,
bukankah perbuatannja itu tidak berharga? Kenapa mereka
tidak mau turun tangan djusteru terhadap saudagar atau
rombongan saudagar jang kaja-raja?"
"Kau diarah karena kau membawa-bawa teromolmu
jang berat itu," kata si botjah.
"Kau kurang hati-hati, kau membuat mereka dapat
melihatnja. Memang Beng Po Tjay dan st tua bangka
mendjadi tukang pantjing atau pemimjuk. Sebenarnja
mereka bukan paman dan keponakan. Adalah situkang
kereta keledai, jang dipanggil Siauw Giam si Lengan Besi,
mendjadi keponakannja Hek Bian Kwie. Tjoba mereka tidak
dapat melihat pedangmu, pastilah mereka sudah turun
tangan siang-siang dan tak akan menanti mengundang
Hek Bian Kwie, si Hantu Muka Hitam."
"Hek Bian Kwie itu apakah si berewok dan jang dadanja
berbulu?"
"Benar. Dialah nelajan asli, meski dia mengerti sedikit
silat, selama belakangan ini, dia tak pernah berbuat djahat.
Bukannja ia tidak mau melakukannja tetapi karena takut.
Ada seorang jang menguasai dirinja."
"Siapakah orang itu?" tanja Djie Kang heran.
"Ialah seorang d jaro kenamaan dari Shoasay. Kita tidak
tahu she dan namanja, lantaran ia biasa keluar dengan
menunggang seekor kuda putih, kita umumnja m
njebutnja Pek Ma Kie Hiap, si Pendekar kuda Putih, atau
Pek Ma Looya. Ia mempunjai dua orang putera. Putera
sulungnja, jg. dipanggil Touw Liong Tjiangkoen, sudah dua
atau tiga tahun pergi merantau, dia belum pernah pulang,
katanja dia telah dibunuh orang dalam perantauan! KarenaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
87
orang kuatir ia berduka, maka tidak ada orang jg. berani
memberitahukan kepadanja. Puteranja jang kedua
dipanggil Tjam Liong Tjong, orangnja tjerdas, sekarang ia
tinggal bersama ajahnja digunung Ong Ok San. Pek Ma
Looya gemar beramal dan menolong sesamanja. Aku
sendiri asal Pengyang, she Tun, dan nama ketji1nja Siauw
Sek Tauw, si Batu Ketjil. Sedjak aku masih ketjil sekali, ajah
dan ibuku telah meninggal dunia"
Djie Kang menghela napas.
"Nasibmu sama dengan nasibku, saudara," katanja
berduka. "Aku djuga telah mendjadi jatim piatu semendjak
masih ketjil."
"Aku mempunjai seorang pamtm, jg. tak punja guna,"
kata Siauw Sok Tauw pula. "Dia kirim aku sebagai orang
magang pada sebuah perusahaan sulam. Tak tahan aku
dengan pekerdjaan itu. Sudah madjikanku galak, dua anak
perempuannja pun bengis. Mereka suka menganiaja diriku
dan tidak memberikan aku makanan. Pamanku malas,
sering datang padaku meminta uang, karena itu, pernah
dia ribut dan berkelahi dengan madjikanku. Tiap kali
datang, aku tentu dianiaja madjikanku. Pada suatu malam
pada bulan kedua belas, selagi hawa udara dingin,
pamanku datang kepadaku. Ketika itu saldju tengah turun
setjaru besar-besaran dan langit gelap. Dia habis kalah
berdjudi, sampai badjunja pun didjual. Dia datang dengan
tubuh telandjang. Hampir dia mati kedinginan. Dia
nongkrong di depan tempat kerdjaku dan menangis. Aku
djadi merasa kasihan. Biar bagaimana, dialah pamanku.
Aku tjuri badju kapas jang sudah rombeng kepunjaan
madjikanku, dan kuberikanpada paman. Apa latjur ,
perbuatanku kepergok, lantas aku dianiaja, bahkan keduaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
88
anak perempaannja menusuki tubuhku dengan djarum
sulam . . ."
"Oh, demikian kedjam!" berseru Djie Kang, sampai ia
lupa punggungnja jang njeri.
"Benar," sahut si botjah. "Maka djuga ada pepatah ?Jang
paling kedjam adalah hati wanita,? itulah benar. Habis
dianiaja, aku diusir, maka sedjak itu, aku terpaksa hidup
sebagai pengemis. Sjukur, belum ada sepuluh hari, aku
bertemu dengan Pek Ma Looya. Dengan menunggang
kuda, dia nampak gagah sekali. Dia kasihan padaku, lantas
dia bawa aku kerumahnja Hek Bian Kwie ini, untuk
membantu menangkap ikan. Dia pun sering datang
padaku, buat mengadjarku ilmu silat. Hek Bian Kwie bukan
manusia baik-baik tetapi dia djeri pada Pek Ma Looya, tak
berani dia berlaku buruk padaku. Dua tahun aku tinggal
bersama Hek Bian Kwis. Sedikit peladjaran silat jang
kuperoleh dan setiap ada kesempatan aku suka berlatih,
aku mengerti djuga "
"Kau baik, saudara," kata Djie Karg. Dia rebah duanah
sambil merintih. "Aku kagum padamu. Karena pamanmu,
kau djadi bernasib buruk. Kalau tidak ada kau, tentu aku
telah terbinasa. Aku tahu, orang menghadjar aku ditempat
djauh dari rumah Hek Bian Kwie, supaja kapan aku mati,
mereka bebas. Tapi aku . . ." mendadak dia berseru: "aku
akan membuat pengaduan, buat mendakwa mereka itu!"
"Dapat kau minta bantuannja pembesar negeri, dapat
djuga kau pergi kepada Pek Ma Looya," kata Siaw Sek
Tauw. " Aku menolong kau karena aku merasa perbuatan
mereka itu djahat sekali sudah merampas uang orang,
mereka pun menghadjar dengan batu besar, supaja kau
mati! Mungkin harimau pun tidak sekedjam mereka itu!DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
89
Aku datang padamu selagi mereka itu membagi harta
karun. Sjukur aku merasakan dadamu berdenjut, maka aku
seret kau, untuk dibawa menjingkir. Dengan perbuatanku
ini, kalau aku dihadapkan pada pembesar negeri, aku
bukan kontjo pendjahat, sedangkan kalau aku ditanja Pak
Ma Looya, aku dapat mendjawab. Pandeknja, aku tidak
membantu mereka melakukan kedjahatan!"
Djie Kang menghela napas. Hawa-amarahnja reda
sendirinja.
"Tak dapat aku pergi mengadu pada pembesar negeri,"
pikirnja kemudian. Maka ia kata pada si botjah: "Saudara,
aku minta kau menolong aku tidak kepalang tanggung. Hek
Bian Kwie telah merampas uangku, biarlah, aku djuga tidak
mau mendakwa dia, tetapi pedangku, itulah sangat penting
untukku. Tanpa pedang itu, tak dapat aku hidup lebih lama
pula. Maka djuga saudara, tolong kau pergi pada Hek Bian
Kwie, biar bagaimana, kau mintalah pedangku itu. Katakan
padanja, asal pedangku dikembalikan, bukan sadja
perkaranja aku tidak bakal tarik pandjang, bahkan
sebaliknja, aku akan bersjukur padanja akan kubalas
budinja. Pedang bukan milikku hanja kepunjaan lain orang,
jang minta aku bawa kekota radja"
Botjah itu menggelengkan kepala.
"Tak sanggup aku melakukan itu," sahutnja. "Aku telah
pergi diluar tahunja, kalau aku kembali, pasti mereka bakal
membunuh aku. Lagi pula, apabila mereka ketahui kau
masih hidup, pasti mereka tidak akan mau mengerti djuga,
nistjaja mereka akan tjari pula padamu! Kau tahu apa jg.
Hek Bian Kwie lakukan waktu ia mendapatkan pedangmu?
Sampai uang tampasan tak dihiraukan lagi! Dengan
pedang itu dia ubrak-abrik segala kapak dan alat besiDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
90
lainnja, semua dia batjoki hingga hantjur, bukan main
girangnja, sehingga dia sangat terkebur! Dia kata,
sekarang dia tak takuti siapa djuga, bahkan dia tak djeri
lagi terhadap Pek Ma Looya! Dia kata dengan
mengandalkan pedang itu, dia bakal membuat harta
besar!"
Djie Kang kaget sekali, lantas ia mendjadi sangat
berduka, sehingga ia membanting-banting kaki.
"Ah, bagaimana sekarang?" katanja dengan mewek.
"Teranglah pedang itu telah terdjatuh dalam tangan
manusia djahat! Sungguh aku malu terhadap guruku" Ia
begitu berduka, mendadak ia roboh tak sadarkan diri.
Siauw Sek Tauw kaget, sehingga repotlah dia untuk
menjadarkan.
Lama Djie Kang tak ingat diri, waktu meridusin, ia lantas
menangis sedih seperti anak ketjil, dari berteriakan, ia
sesambatan.
"Djangan menangis, saudara!" kata Siauw Sek Tauw,
sambil menutup mulut orang. "Diwaktu begini, mungkin
Hek Bian Kwie lagi mentjari kita, kalau dia mendengat
suaramu, segera kita bakal kena ditawan dan ditjelakai
dia!"
Djie Kang berhenti menangis. Ia takut. Tapi tetap ia
bingung dan bergelisah, ia berduka.
"Saudara, pergilah kau menjingkir," katanja sesaat
kemudian. "Aku sendiri hendak mentjari Hek Bian Kwie!
Karena pedangku lenjap, tak sudi aku hidup lebih lama pula
dalam dunia ini"
Siauw Sek Tauw tidak pergi, bahkan dia membudjuk.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
91
"Begini sadja, saudara," katanja: "Mari aku antar kau
kepada Pek Ma Looya di Ong Ok San untuk memohon
pertolongannja, supaja pedangmu bisa dirampas pulang.
Ketjuali ini, tidak ada djalan lain lagi"
Sebenarnja Djie Kang tidak berdaja, maka achirnja ia
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menurut.
Sek Tauw menolong pandai besi itu. Ia membiarkan
orang berpegangan padanja, sehingga ia sukar berdjalan.
Kaki Djie Kangpun terasa berat diangkatnja.
Lama mereka berdjalan, ketika langit mulai terang, baru
mereka sampai disebuah desa ketjil. Hanja sekarang ini,
walaupun ia letih, Djie Kang dapat dituntun. Untuk
beristirahat, mereka mentjari sebuah pondokan ketjil dan
buruk. Disitu ada penumpaugnja, tudjuh atau delapan
orang jang mirip pengemis.
Segera Djie Kang merebahkan diri dialas sebuah
pembaringan, mukanja putjat sekali. Punggungnja tidak
terhadjar berdarah tetapi njerinja bukan main, hingga ia
kuatir punggungnja patah. Baru sekarang ia berani
merintih.
"Apakah jang telah terdjadi?" tanja tuan rumah serta
djuga beberapa tetamu lain jang melihat keadaan
tetamunja jang baru serta mendengar rintihannja. "Apakah
tuan sakit?"
"Bukan sakit, hanja ia telah bertemu orang djahat dan
telah mendjadi korbannja," sabut Siauw Sek Tauw
memberi keterangan.
"Kalau begitu, perlu pembegalan itu segera dilaporkan
pada pembesar negeri!" kata tuan rumah.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
92
Djie Kang menegojangkan tangannja, sambil
menggeleng kepala dan merintih, ia kata: "Djangan,
dilaporkan djuga tidak akan ada faedahnja. Sjukur kalau si
pendjahat kena ditangkap, kalau tidak, dia bakal djadi
mendendam hati . . ." Hal jang sebeuarnja jalah, taruhkata
Hek Bian Kwie tertawan, tanpa pedangnja, takkan berguna
untuknja. Katanja didalam hati: "Jang kuinginkan jalah
pedang mustika itu . . . Tanpa pedang itu maka sakit
hatinja Nie Thay Po, penasarannja Kwee Hay Peng dan
djenh-pajah guruku akan sia-sia belaka . . . Bagaimana
dapat kudjelaskan semua ini pada orang luar?"
Diam-diam Djie Kang bersjukur kepada Siauw Sek Tauw.
Tidak disangka, boijah itu berhati baik dan besar njalinja.
Pula, didalam usia baru limabelas tahun, dia telah bertubuh
besar seperti pemuda umumnja. Dia bermata besar,
berhidung mantjung. Dialah seorang anak jang tampan.
Tjoba dia berpakaian bagus, tidak telandjang kaki, setiap
pemudi tentu akan tergiur terhadapnja. Dia tidak tidur satu
malam tetapi dia tetap segar, sehingga tak perlu duduk
untuk istirahat.
"Adik, mari duduk!" kata Djie Kang seraja menepuk
nepuk tepi pembaringan.
"Kaulah jang beristirahat, kakak," kata si botjah sambil
menggeleng kepala. "Aku bahkan mau pergi untuk mentjari
kerdjaan, buat mendapatkan sedikit uang untuk kita
bersantap." Habis berkata, ia memutar tubuhnja dan pergi.
Sia-sia Djie Kang memanggil, ia berdjalan terus.
Disitu ada orang2 lain, tak dapat Djie Kang
memberitahukan bahwa ia masih punja uang tigaribu tahil
perak. Itulah berbahaja. Terpaksa ia berdiam, untuk
beristirahat.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
93
Siauw Sek Tauw kembali selewatnja tengah hari,
badjunja kotor, tangannja berlepotan tanah dan kepalanja
bermandikan keringat. Inilah sebab ia bekerdja mendjadi
pembantu tukang batu sehingga ia mendapat upah
beberapa boen, jang mana ia pakai buat membeli kuwe
untuk Djie Kang.
Bukan main terharunja si orang she Lie, ia makan kuwe
itu dengan air mata berlinang-linang.
Duduk tidak lama, Siauw Sek Tauw pergi pula, untuk
bekerdja lagi. Djie Kang membiarkan orang pergi meski
hatinja tak tega. Dengan melawan rasa njerinja, ia pergi
kekakus. Disini dimana tidak ada orang lain, ia periksa
surat2 berharganja, di antaran ja ada beberapa lembar tjek
seharga sepuluh tahil perak masing-masing.
"Inilah djumlah tjukup ketjil," pikirnja, "kalau aku
gunakan ini, orang tentu tidak akan mentjuiigai aku." Maka
ia mengeluarkan selembar, jang lainnja ia simpan pula
dengan rapi. Terus ia pergi kemedja pengurus, buat minta
tolong tjek itu ditukarkan dengan uang kontan.
Tjek dari Eng Tay Hoat berlaku dibeberapa propinsi di
Utara, melihat itu, pemilik hotel lantas memberikan uang
sembilan tahil perak serta beberapa rentjeng uang ketjil.
Kemudian Djie Kang minta diberikan sebuah kamar lain,
buat ia tinggal sendiri.
Siauw Sek Tauw kembali diwaktu magrib. Ia heran
melihat kawannja pindah kamar.
"Eh, Lie Toako, mengapa kau tukar kamar?" tanjanja.
Djie Kang bersenjum.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
94
"Adik, kau djangan djadi kuli lagi," katanja. "Sekarang
kau beristirahatlah dulu."
Siauw Sek Tauw heran.
"Kau belum tahu, adik," kata Djie Kang, "uangku jang
dirampas Hek Bian Kwie itu, jang disimpan didalam teromol
tjuma bertijumlah tiga ratus tahil lebih, disebelah itu, aku
masih mempunjai uang lainnja, masih ..."
Siauw Sek Tauw heran, hingga ia mendeloug.
"Toako, kau sebenarnja kerdja apa?" tanja dia.
"Djangan sangsikan aku, adik," kata njie Kang perlahan.
"Sebenarnja aku seorang tukang besi tetapi sekarang aku
lagi mendjalankan tugas untuk seorang lain, untuk itu, aku
diberikan pedang jang hilang itu serta sedjumlah uang"
"Urusan apakah itu, toako? Dapatkah toako
memberitahukan padaku?" tanja pula si botjah.
"Itulah urusan besar jang terdjadinja pada tigapuluh
tahun jang lampau," sahut Djie Kang. "Entah sampai kapan
urusan itu bakal dapat diurus beres. Sekarang, adik, kau
beristirahatlah dulu, lewat beberapa hari, setelah aku
sembuh, akan kuberi keterangan padamu."
Siauw Sek Tauw mengangguk.
"Baiklah," sahutnja. "Sekarang baik-baik toako
beristirahat."
Maka berdua mereka djadi menumpang terus
dipondokan itu.
Tempat tersebut bernama Pek Bok Kio, terpisahnja dari
tempat kedjadian kira2 empatpuluh lie, termasuk dalamDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
95
ketjamatan Hoan-kiok. Gunung Ong Ok San berada di
timurlaut-nja, nampak dari pekarangan depan pondokan
itu.
Siauw Sek Tauw mengharap-harap Djie Kang lekas
sembuh, supaja ia dapat mengantarkannja kegunung itu,
guna mentjari Pek Ma Kie Hiap, si "orang gagah jang
menunggang kuda putih." Ia tidak bekerdja lagi, sebab Djie
Kang telah memperlihatkan uangnja. Ia djuga djarang
muntjul didjalan besar, kuatir nanti dapat di lihat Hek Bian
Kwie.
Lewat dua hari, njeri Djie Kang sembuh banjak. Ia
menukarkan lagi dua lembar tjek seharga sepuluh tahil
masing masing. Ia sudah pikir buat berangkat, maka ia
menggunakan uang buat membeli pakaian, untuk Siauw
Sek Tauw dan dirinja sendiri.
Siauw Sek Tauw biasa berpakaian tjelana sadja, maka
tak merdeka ia mengenakan badju dan sepatu berikut kaos
kakinja. Hawa udarapun panas. Ketika mereka naik kereta,
didalam kereta djuga hawa mengkedus. Tak tahan botjah
itu, ia turun dari kereta untuk berdjalan kaki. Sekarang ia
diganggu angin dan debu dan teriknja matahari sedang ia
tidak memakai tudung atau pajung.
Satu hari mereka berdjalan, baru sampai dikaki gunung.
Ketika itu sudah mulai magrib, tjuatja mulai guram dan
burung2 sudah pulang kesarangnja masing2. Dari
belakang gunung tampak asap mengepul naik.
Turun dari kereta, dua orarg ini sahabat-sahabat baru
jang dengan tjepat mendjadi sahabat2 kekal lantas mulai
mendaki. Tidak ada orang lain disitu, Djie Kang merasakan
tempat terlalu tenang. Karena ini ia mau pertjaja Pek MaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
96
Kie Hiap benar seorang gagah jang luar biasa, atau tak
nanti dia tinggal digunung jang sepi ini. Iapun merasa
hatinja lega. Ia mengharap lekas menemukan orang gagah
itu, guna menuturkan segala apa, buat menunaikan
tugasnja.
Siauw Sek Tauw djalan disebelah depan.
"Pada musim rontok tahun jang lalu, pernah aku ikut
orang datang kemari, maka aku tidak lupa djalanan disini,"
katanja. Benar2 ia djalan tanpa ragu2, melintasi sebuah
solokan dan djembatan batu, sampai didepan sebuah
rumah berundak tiga, jang terkurung pagar bambu dan
didalam pekeiangannja tertanam sebuah pohon lieng jang
berbuah besar dan merah2.
"Sungguh sebuah tempat jang indah!" Djie Kang
memudji. "Adakah ini rumah Pek Ma Looya?"
"Bukan," sahut Siauw Sek Tauw sambil menggeleng
kepala. "Rumah Pek Ma Looya djauh terlebih besar. Kita
masih harus mendaki lagi."
Mereka berdjalan terus. Tiba dipagar, dari dalam
terdengar tertawanja dua orang prija dan wanita.
Sebaliknja, orang didalam itu djuga mendapat dengar
suara orang diluar, maka keduanja lantas melongok.
"Itulah putera nomor dua dari Pek Ma Kie Hiap," Siauw
Sek Tauw membisiki Djie Kang, setelah mana, ia
menghampiri prija itu untuk memberi hormat sambil
menjapa : "Djie-siauwya, baik?"
Djie Kang lantas melihat seorang muda jang bertubuh
djangkung, tegap dan tampan, sedangkan disisinja berdiri
seorang nona umur enam atau tudjuh-belas tahun, jangDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
97
rambutnja didjalin mendjadi sebuah kuntjir, jang
wadjahnja tjantik.
"Mau apa kau datang kemari ?" tanja anak muda itu.
"Aku datang mengantarkan tuan muda ini, jang hendak
bertemu dengan looya buat satu urusan penting," sahut
Sek Tauw tjepat.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Djie Kang lantas memberi hormat.
Pemuda itu tidak menghiraukan tamunja, ia bergurau
pula dengan si nona, jang ia petikkan buah heng, buat si
nona makan.
Siauw Sek Tauw menarik tangan Djie Kang buat diadjak
berdjalan terus. Di belakang mereka, mereka dengar pula
tertawanja si-muda-mudi. Atas itu, si katjung memesan
kawannja : "Kalau sebentar kita bertemu Pek Ma Looya,
djangan kita sebutsebut tentang kelakuan puteranja ini.
Kalau dia mendapat tahu, looya pasti bakai mendjadi gusar
sekali."
"Looya gagah sedjati, kenapa puteranja itu tjeriwis?"
tanja Djie Kang heran.
"Itulah sebab Pek Ma Looya belum mau menikahkan
puteranja. la kuatir, dengan menikah, sang putera nanti
mengabaikan ilmu silatnja. Aku djuga heran kenapa diluar
tahu ajahnja, anak itu gemar main perempuan . . ." Ia
berhenti sebentar, waktu ia menambah sesuatu ia nampak
djengah: "Aku ... aku tak menggemari wanita, bahkan aku
membentjinja. Sebab selama aku bekerdja magang, dua
puterinja madjikanku, dua2-nja mirip siluman, mereka
galak sekali, mereka suka memaki . dan menganiaja ..."DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
98
Djie Kang membiarkan orang bitjara, ia tidak menentang
atau mengiakan. Ia tidak memikir suai djodoh, ia hanja
ingin segera menemui Pek Ma Kie Hiap.
Tidak lama, tibalah mereka disebuah lembah di mana
terlihat tudjuh atau delapan buah rumah, jang terkurung
tembok. Siauw Sek Tauw menghampiri pintu pekarangan,
jang terbuat dari kaju tjemara jang tua dan tebal sehingga
tak usah ditjat lagi, dengan kedua gelang pintunja jang
berat2. Ia lantas mengetuk daun pintu, sehingga suaranja
berkumandang didalam lembah.
"Siapa?" tanja suara orang dari dalam sesudah lewat
sekian lamanja.
"Aku!." sahut Siauw Sek Tauw. "Aku Siauw Sek Tauw
dari tepi sungai Hong Too."
Pintu lantas dibuka, maka diambang pintu itu terlihat
seorang jang tubuhnja kekar.
"Haha, kau, Siauw Sek Tauw!" tegurnja tertawa. "Mau
apa kau datang kemari?" Ia djuga meng-usap kepala
orang.
"Apakah Pek Ma Looya ada dirumah?" tanja sibotjah,
dengan wadjah sungguh2. "Tolong, Nie Toako, tolong
kabarkan kedatanganku bersama tuan Lie ini."
Nie Toa, jang dipanggil toako itu, mengawasi Djie Kang.
"Mari masuk!" mengadjak ia. Kemudian setelah dua
orang itu berada didalam, ia menguntji pula pintu
pekarangan itu, lalu ia memimpinnja melewati sebuah
tanah lapang dengan tanah berpasir rata. Itulah lapangan
peranti beladjar silat.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
99
Rumah itu, pintu dan djendelanja, semuanja sederhana.
Disebelah barat, pada para , tertambat empat ekor kuda
pilihan, sebab semuanja tinggi besar dan keren, terutama
jang seekor bulunja putih mulus.
Mungkin itulah kuda jang membikin tuan rumahnja
mendapat sebutan Pek Ma Looya atau Pek Ma Kie-Hiap itu.
"Pek Ma" jaitu kuda putih, "looya" luan, dan Kie-Hiap orang
gagah luar biasa.
Djusteru itu, Pek Ma Looya pun muntjul. Ia mengenakan
pakaian seperti orang gunung, mukanja pandjang dan
kurus, djanggutnja putih, akan tetapi matanja besar dan
sinarnja berpengaruh. Sama sekali ia tidak mirip "tuan
besar," iahanja sederhana.
"Ada apa kamu datang kemari?" tanja ia sesudah
mengawasi Djie Kang.
Pandai besi ini membungkuk, buat memberi hormat,
kaku gerakannja sebab sakit punggungnja, jang belum
sembuh seanteronja. Untuk berdiri pula dengan tegak,
iapun bergerak lambat.
"Apakah dia terluka?" tanja Pek Ma Looya.
"Ja," sahut Siauw Sek Tauw tjepat. "Dia terluka dan
masih belum sembuh. Dia ditjelakai Hek Bian Kwie jang
merampas uang dan pedangnja. Dia dihadjar
dipunggungnja dengan sebuah batu besar. .." Terus ia
memberi keterangan lebih djauh seperti dituturkan Djie
Kang.
Parasnja Pek Ma Looya muram mendengar perbuatan
Hek Bian Kwie itu, akan tetapi mendengar halnja pedang,
ia mengawasi tadjam si orang she Lie.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
100
"Kamu masuk kedalam!" katanja sebelum ia menanja
lebih djauh.
Siauw Sek Tauw menurut, ia mengadjak Djie Kang
bertindak masuk. Djie Kang berlaku hormat. Ia melihat
sebuah ruang dengan perabotannja jang sederhana sekali.
Tjuma medja dan beberapa buah kursi. Diatas medja ada
beberapa djilid buku. Pada tembok tergantung sebuah
pedang.
"Kau kerdja apa?" tanja Pek Ma Looya setelah ia duduk.
"Pandai besi," sahut Djie Kang, jang menerangkan hal
dirinja.
"Apakah pedang itu buatanmu sendiri?" "Bukan, buatan
guruku. Tapi sekarang guruku sudah meninggal dunia."
"Kau asal mana dan dari mana kau datang?" Djie Kang
menjebut asalnja orang Hoa Im dan datang dari Hoa lm
djuga.
Djawaban itu membuat tuan rumah terkedjut dan lantas
memikir sesuatu.
"Dengan susah pajah barulah guruku berhasil membuat
pedang itu," Djie Kang kata pula. "Ketika ia mau menutup
mata, ia pesan aku untuk mengantarkan pedangnja itu
kepada seorang sahabat karibnja dikota radja. Aku
menjesal karena alpa, ditengah djalan aku telah ditjelakai
Hek Bian Kwie." "Tunggu dulu!" Pek Ma Looya menjela.
"Kau orang Hoa Im, tahukah kau bahwa disana ada
seorang jang disebut Kim Tjie Tay-Peng Sim Hay Peng?"
"Aku tahu, aku mengenalnja," sahut Djie Kang
mergangguk. "Dia tinggal di Kwee Kee Tun, kemudian diaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
101
merobah shenja mendjadi she Kwee. Dia biasa dipanggil
Kwee Soeya, hanja sekarang dia telah menutup mata. . . ."
Pek Ma Looya menghela napas.
"Dikota Hoa Im djuga ada seorang bekas tayhaksu"
"Ja, ja. Dialah Tjong tayhaksu di djalan Tjongoan Kay.
Kwee Suya djusteru terbinasa dirumahnja tayhaksu itu.
Dalam bulan empat jang baru lalu, karena suatu urusan,
Kwee Suya menjatroni rumah orang she Tjong ilu, disana
dia ditikam mati Biauw Hiong Tjay, pahlawannja keluarga
itu"
Mendadak Pek Ma Looya berdjingkrak bangun,
wadjahnja muram. Lantas ia membanting kaki.
Siauw Sek Tauw kaget. Ia berpaling pada sahabatnja.
D ie Kang pun terkedjut, hingga dia mengawasi. Tuan
rumah melihat kelain arah.
"Apakah simachluk tua tayhaksu she Tjong itu masih
hidup?" tanja Pek Ma Looya.
"Dia masih hidup! Adalah Kwee Hay Peng dan guruku,
jang telah pada meninggal dunia. Tinggal In Tiong Hiap
jang tidak menepati djandji"
Pek Ta Looya memutar mukanja.
"Bagaimana kauketahui halnja In Tiong Hiap?" tanjanja.
Ia nampak heran, sikapnja keren. Tanpa menanti
djawaian, ia mengulapkan tangan, menjuruh Siauw Sek
Tiauw mengundurkan diri.
Djie Kang heran, tubuhnja bergemetar.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
102
"Adakah looya ketahui dimana adanja In Tiong Hiap
sekarang ini?" ia tanja.
Pek Ma Kie Hiap menepuk dadanja,
"Akulah In Tiong Hiap!" sahutnja.
Mendadak sadja Lie Djie Kang mendjatuh kan diri
berlutut didepan tuan rumah itu.
"0, tayhiap. . katanja, "aku minta tayhiap tolong tjari
Hek Bian Kwie, buat merampas pulang pedangku itu dari
tangannja supaja tayhiap dapat membalaskan sakit-hatinja
Nie Thay-Po dan Kwee Hay Peng." Pek Ma Looya menghela
napas. Ia mengangkat bangun tubuh orang.
"Kalau kau tidak datang, hampir aku melupakan
peristiwa tigapuluh tahun dulu itu," katanja dengan
masgul, tanda dari kemenjesalannja. Kwee Hay Peng jang
kau sebutkan itu, sedjak dahulu hari dia berada di Shoasy,
dialah sahabatku. Mengenai permusuhan Nie Thay Po
dengan Keluarga Tjong, diapun telah mentjeritakannja
dengan djelas, bahkan dia telah minta aku menggunakan
kepandaianku pergi membunuh tayhaksu djahat itu. Aku
telah menerima baik permintaannja itu, akusudah
memberikan djandjiku. Hanja ketika itu, mendiang istriku
masih hidup, pada saat ia hendak melahirkan puteraku
jang bernama Keng Hiap, jang peruntungannja buruk. . ."
Menjebut nama anaknja, anak jang sulung, wadjah sidjago
muram, ia berduka sekali.
"Karena itu, tidak dapat aku lantas pergi ke Hoa Im."
katanja menjambung. "Lewat hampir setengah tahun,
masih djuga aku belum dapat pergi, kali ini sebab aku
mendapat halangan. Aku telah kedatangan musuhku jang
bernama Lauw Beng Liong, jg. disebut Tee It TiauwDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
103
Hoohan, jaitu orang kosen nomor satu. Ketika itu Kami
sama2 muda. Dia datang kekampungku, dia membuka
mulut besar, lalu atas andjuran kawan-kawanku, aku
menempur dia. Aku pertjaja betul kepandaianku
menggunakan pedang dan ilmu ringan tubuhku. Diluar
dugaanku Lauw Beng Liong benar2 liehay, sepuluh kali aku
lawan dia, sepuluh kali djuga aku kena dikalahkan. Karena
ini aku mendjadi malu. Tak suka aku disebut orang gagah,
malu aku dipangil In Tiong Hiap, aku djuga tak ada muka
tinggal lebih lama dikampung asalku, maka aku lantas
pindah kesini."
"Pantaslah sampai sebegitu djauh, tidak ada orang jang
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar lagi hal looya."
"Ja, selama limabelas tahun pertama, hampir tak pernah
aku turun gunung. Ketika itu, isrtriku menutup mata. Aku
jang merawat dan mendidik kedua anakku, setiap waktu
aku adjarkan pada mereka ilmu silat. Kemudian aku pergi
tjari Lauw Beng Liong, untuk menempur pula padanja.
Kami bertemu digunung Siong San, Hoolam. Tiga kali kami
bertanding, kesudahannja, dua kali aku kalah dan satu kali
seri. Ketjuali kami berdua, tidak ada orang Kang Ouw jang
ketahui peristiwa itu. Kesudahannja pertempuran jang
terachir itu membuat aku insaf bahwa kekalahanku
disebabkan kurang sempurnanja ilmu pedangku. Lantas
aku suka pesiar sambil menunggang kuda putihku, untuk
mentj i ahli silat jang liehay. Siapa sadja aku dengar pandai
ilmu pedang, tentu aku kundjungi, untuk beladjar
daripadanja. Lihat, sekarang aku sudah ubanan tetapi aku
masih belum mau menjerah tua, tetap aku masih melatih
diri. Kedua anakku itu jalah jg. sulung bernama Keng Hiap,
gelar Touw Liong Tjiangkun, djenderal pembunuh naga,
dan jang bungsu Bong Hiap, terdjuluk Tjam Liong Tjongsu,DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
104
orang gagah pembunuh naga. Ilmu silat mereka sudah tak
ada tjelaannja. Hanja anak sulungku itu, sedjak dua tahun
jang lalu dia pergi merantau, sampai sekarang dia belum
pulang dan tidak ada kabar-beritanja. Katanja dia mau
pergi menijari Lauw Beng Liong. Dia pergi diluar tahuku.
Orang mendustai aku bahwa dia sudah menikah dan tidak
mau pulang lagi. Sebenarnja... " mendadak suara djago tua
ini mendjadi parau, dia membanting kaki : "aku tahu dia
lelah terbinasa ditangannja Lauw Beng Liong. Tapi itulah
tidak apa "
Lie Djie Kang heran hingga ia melengak. Tapi ia lekas
berkata : "Kalau tidak ada kabar-tjeritanja tentang putera
sulung itu, itu belum tentu berarti bahwa ia mendapat
tjelaka diluar ..."
Pek Ma Looya menghela napas, ia menjambung : "Kau
lihat, urusanku sendiri begitu rupa, bagaimana aku sempat
mengingat djandjiku dahulu hari itu? Sjukur kau datang,
kalau tidak, tentu aku bakal melupakannja untuk se
lama2nja. Baiklah! Sekarang akan aku kesampingkan
urusan pribadiku. Kau tahu, kabarnja Lauw Beng Liong
masih melatih diri, dia lebih tekun daripuda aku, sedang
pula, dia telah mengundang banjak orang pandai lainnja.
Karena dia lakut nanti disateroni pula olehku. Mengenai
perkaranja Kwee Hay Peng, itulah mudah. Bangsat tua she
Tjong itu tak lebih tak kurang segala andjing-babi, kalau
aku mengirim Bong Hiap, anakku jang bungsu, sudah
cukup buat aku membuatkan pembalasan!"
"Tetapi, looya," kata Djie Kang sebagai peringatan.
"pahlawannja keluarga itu liehay luar biasa. Dialah jang
dipanggil Ok Bong Biauw Hiong Tjay . . . "DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
105
"Djangan kuatir, dia sebenarnja seorang tak mempunjai
nama!"
Berkata begitu, In Tiong Hiap memanggil: "Mana
orang?"
Dari luar datang suara djawaban, lantas muntjul dua
orang, jalah Nie Toa bersama Siauw Sek Tauw. Atas itu,
Pek Ma Looya kata pada pegawainja itu : "Pergi kau panggil
djie-siauwya ber-sama2 Tjie Eng, Tjiauw Kiang dan Tio Tay
Tjun!" Nie Toa menjahut "Ja," lantas ia mengundurkan diri.
Sambil menantikan, In Tiong Hiap masuk kedalam,
maka Siauw Sek Tauw dapat kesempatan untuk bitjara
dengan Lie Djie Kang. Separuh berbisik ia lanja bagaimana
kesudahannja pertemuan itu.
"Sebenarnja sudah lama aku mendengar nama besar
dari Pek Ma Looya," sahut Djie Kang, "sedang buat
urusanku ini, andaikata aku dapat bertemu dengannja, aku
terus pergi ke Pakkhia atau tidak, bukannja soal lagi ..."
Botjah itu mendjadi heran.
"Sebetulnja bagaimanakah duduknja perkara?" tanjanja.
"Sabar, adik," kata Djie Kang. "Tunggu sampai aku
sudah mempunjai tempo terluang nanti kuberi pendjelasan
kepadamu. Hanja barusan Looya tidak menjebut-njebut
halnja pedang mustika, ia tjuma menjuruh memanggil djie
siaowya dan lainnja. Memang tak apa djie-siauwya
bekerdja tanpa pedang, tetapi aku kuatirkan pedang itu
sendiri, jaitu kalau lama-lama dia berada ditangan orang
djahat, dia nanti digunakan untuk maksud djahat, hal itu
akan membikin aku malu terhadap arwah guruku"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
106
Karena berduka sangat, alisnja pandai besi itu
mengkerut rapat.
Segera terdengar suara banjak tindakan kaki, waktu
Siauw Sek Tauw menoleh, ia melihat muntjul tiga orang,
jang semuanja ia kenal, sebab mereka itu murid-murid Pek
Ma Looya; jang dua tinggal bersama di rumah ini, jang
satunja berdiam di rumah belakang gunung.
In Tiong Hiap djuga sudah lantas keluar lagi, tangannja
mentjekal tiga buah bungkusan jang nampak berat.
"Mana djie-siauwya?" tanjanja paling dahulu.
Nie Toa jang mendjawab, hanja dia bitjara tidak lunljar.
"Djis-siauwya. . . ia. . . ia. . ." katanja. Atau ia disela.
"Dia masih apa?" tanja In Tiong Hiap bengis, "Tjie Eng,
gusur dia kemari!"
"Ja, suhu," sahut satu diantara tiga murid itu, jang
mukanja hitam, jang terus sadja mengundurkan diri. Tapi
baru sadja keluar, atau dari luar sudah terdeugar suara:
"Ajah, aku di sini! Aku tengah berlatih di atas gunung! Ada
urusan apa ajah memanggil aku?" Menjusul ilu, masuklah
si djie-siauwya, tuan muda jang nomor dua, atau Ong Bong
Hiap gelar Tjam Liong Tjongsu.
Djie Kang mengawasi, ia melihat gerak-gerik orang.
"Sajang!" katanja didalam hati. "Pemuda sematjam ini
mana bisa bekerdja besar? Dia rupanja masih ingat buah
heng dan si nona manis itu. . ."
Pek Ma Looya lantas bitjara pada putranja itu. Mulanja
ia menjebut djandjinja pada Kwee Hay Peng tigapuluhDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
107
tahun dulu, djandji untuk membantu membalaskan sakit
hatinja Nie Keng Giauw jang difitnah Tjong Haksu.
Siauw Sek Touw hadir bersama, heran ia mend.ngar
keterangan In Tiong Hiap itu.
Kemudian si ajah menundjuk Lie Djie Kang, untuk
melandjutkan kata-katanja: "Inilah tuan Lie Djie Kang dari
Hoa Im. Ia seorang budiman dan bernjali besar, meskipun
ia tidak mengerti silat. Ia lebih keras hati daripada kamu!"
Tjie Eng bertiga berkata berbareng: "Asal suhu
perintahkan, kami akan kerdjakan! Rela kami
mengorbankan djiwa kami!" Sikap merekapun gagah.
"Inilah bukan pekerdjaan sukar," kata sang guru, "Aku
djuga bukan hendak menjuruh kamu pergi mentjari Lauw
Beng Liong!"
"Mentjari siapapun boleh!" kata Bong Hiap lantang.
"Telah aku pahamkan peladjaran silatku sehingga
sempurna tetapi ajah jang selalu tidak mengindjinkan aku
turun gunung!'?
Ajah itu tertawa dingim
"Baik!" katanja, keras, "Sekarang kuberi idjinku! Kau
dengar perintahku! Sekarang kamu siap, tak dapat kamu
berlambat lagi, besok kamu semua sudah harus
beranekat!"
"Sekarangpun dapat ajah!" kata si anak siap sedia,
sikapnja gagah berlebihkan, "Berangkat malam lebih
mudah dari pada terangkat siang!"
"Kalau begitu, terserah padamu!" berk:ta si ajah. "Kamu
pergi dengan membekai uang setjukup ja, di tengah djalanDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
108
tidak dapat kamu mengambil barang orang lain meski
tjuma sepotong! Kamu djuga tidak boleh mengandalkan
kepandaian kamu bertiga kamu djadi bertindak sewenang
wenang! Aku larang kamu kerdjakan apa djuga ketjuali dua
perintahku! Terutama kamu djangan sampai kamu
menggangu sama orang Kang Ouw!"
"Baik, ajah!" berdjandji siputera. Ditangannja, ia masih
mengepal sebuah heng jang merah menor. Ia agak tak
sabaran. "Apakah dua perintah ajah itu?"
"Per-tama kamu berempat pergi dulu ketepi sungai,"
berkata siajah. "Disana kamu tjari dan bekuk Hek Bian
Kwie, lalu Tjie Eng menggusurnja kemari! Hendak aku
menghukum dia!"
Bong Hiap mengangguk.
"Pekerdjaan mudah!" katanja.
Pek Ma Kie Hiap menjerahkan satu bungkusan besar
pada anaknjn, satu bungkusan lagi diberikan pada Tjie
Eng. Bungkusan jang ke-tiga diangsurkan kepada Tio Tay
Tjun, orang jang usianja paling tua diantara mereka
berempat, jang pun kelihatan paling tjerdas.
"Tjie Eng pulang lebih dahulu," kata pula In Tiong Hiap.
"Kau, Bong Hiap, setelah mendapatkan pedang, bersama
sama Tjiauw Kiang dan Tio Tay Tjun, kau terus berangkat
ke Hoa Im. Disana, didalam segala hal, kau bersama
Tjiauw Kiang mendengar kata2nja Tay Tjun. Bong Hiap,
kau turun tangan apabila waktu nja telah tiba. Ketjuali
sihaksu djahat she Tiong itu serta Biauw Hiong Tjay, aku
larang kau membunuh lain orang siapa djuga! Ingat, inilah
bukan kepergian untuk bertanding silat, karena itu, kau
harus menggunakan ilmu ringan tubuhmu, supaja kamuDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
109
dapat bekerdja dengan ijepat. Kamu harus bekerdja rapih
sekali, setelah selesai, kamu mesti pulang menemukan aku
dengan membawa sekalian pedang mustika itu!"
Bong Hiap mendengar perintah ajahnja itu. ia
mengangguk tetapi tidak berwadjah tegang. Ia masih
menganggap itulah perkara ketjil jang tak sesuai untuk ia
jang melakukannja. Dengan tjepat ia memutar tubuh untuk
mengundurkan diri.
Selagi djago muda itu bertindak, serupa barang djatuh
dari tubuhnja. Tidak ada orang jang melihat itu ketjuali
Siauw Sek Tauw, siapa dengan diam2 mengindjak,
menutupi dengan kakinja.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tjie Eng bertiga ikut keluar, kemudian disusul oleh tuan
rumah, jang masih berkata dengan suara njaring kepada
puteranja : "Kau tunggangilah kuda putihku!"
Mendengar suara itu, bukan main gembiranja Bong
Hiap. Dalam sedetik sadja, dia mendjadi sangat
bersemangat Dia keluar dengan tindakan ijepat.
Diluar, telah siap kuda untuk mereka, jang tengah diberi
makan.
"Sekarang sudah sore, boleh kita tak usah berangkat
sekarang djuga," kata Lie Djie Kang.
"Kita djangan pedulikan mereka," Siauw Sek Tauw
berbisik. "Mereka semua bangsa keras adat, begitu mereka
berkata, begitu mereka bekerdja!" Berkata begitu, ia
membungkuk, buat mendjemput barang jang ia indjak itu,
untuk dilihat.
Kiranja itulah sebuah kantung mungil dari sutera jang
tersulam bunga indah, pula baunja harum.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
110
"Lekas kembalikan padanja," kata Djie Kang, la
maksudkan Bong Hiap. "Tentulah nona patjarnja jang
membuat dan menghaturkan kepadanja!"
"Tak dapat barang ini diserahkan padanja sekarang
djuga," kata Siauw Sek Tauw. "Kalau ajahnja mendapat
lihat, ajah itu bisa djadi gusar, itulah berbahaja!"
Lie Djie Kang menghela napas, ia merasa tidak tenang.
Ia melihat Bong Hiap berempat telah menjediakan
bungkusan dan sendjatanja, karena kuda mereka sudah
siap, mereka lantas memberi hormat pada ajah atau guru
mereka, untuk meminta diri untuk berangkat, ia tidak
tenang hati sebab segera mendapat kenjataan sidjago
muda bersifat gemar paras elok, lagaknja sebagai seorang
berandal. Ia sangsi apakah dia nanti akan berhasil. Maka
diam2 ia mendoa, agar pedangnja dapat dirampas pulang,
supaja ia sendiri jang membawanja kekotaradja.
Io Tiong Hiap sudah lantas kembali kedalam.
Mereka mengikutinja.
"Sekarang kamu pergi ke rumah barat itu, untuk
bersantap dan beristirahat," kata tuan rumah itu. "Dalam
tempo setengah bulan, mereka itu pasti akan sudah
pulang kembali. Kamu tunggulah dengan sabar"
Siauw Sek Tauw lantas menarik tangannja Djie Kang,
jang terus tidak berani banjak omong pula. Nie Toa pun
lantas mengadjak mereka ke kamar jg. disebutkan itu.
Sek Touw mendjadi bersemangat. Katanja: "Sajang
usiaku masih sangat muda sehingga Pek Ma Looya tak
melihat mata padaku! Djikalau tidak, pastilah aku telah
menunggang kuda turut-serta dengan mereka itu!"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
111
"Botjah tjilik. kau djangan memikir untuk merdiadi orang
besar!" berkata Nie Toa. "Kalau nanti kau tinggal di sini,
tak usah aku jang menjapu pula di rumah ini!" Ia menoleh
kepada Djie Kang, meneruskan: "Tuan Lie, kau
beritirahatlah! Sebentar barang hidangan akan sudah
matang dan akan segera disadjikan. Djuga djangan kau
kuatir. Kepandaian djie-siauwya tidak dibawah kepandaian
ajahnja. Apa jang dikuatirkan jalah uang bekalannja tidak
tjukup banjak, karena di tengah djalan, ada kemungkinan
dia. . Ia berhenti dengan tiba-tiba, baru kemudian
menambahkan bagaikan orang mendumal: "Usia siauwya
sudah duapuluh tahun, dia masih djuga belum dinikahkan,
dia masih diharuskan beladjar silat terus, sedangkan
sebenarnja. . . sebenarnja. . . " Ah!" Dan ia ngelojor pergi.
Siauw Sek Tauw mengeluarkan kantung jg. ia pungut
tadi, jang menjiarkan bau harum. Ia bawa itu ke hidungnja,
ia menjedotnja dengan rasa puas sekali.
Ketika mereka bersantap, selain Sek Tauw dan Djie
Kang ada Nie Toa serta seorang budjang lain, maka itu,
mereka dahar berempat djuga. Habis bersantap, rembulan
sudah keluar. Selagi suasana sunji, angin bertiup halus.
Hawa udara dingin.
Dalam rumah itu, pelbagai kamar nampak gelap ketjuali
ruang utara, dari mana kadang-kadang terdengar suara
kaki dibanting. Siauw Sek Tauw melongok dari djendela,
untuk melihat, kemudian ia menarik Djie Kang. Dengan
begitu, berdua mereka melihat bersama.
Di dalam pekarangan dalam, di antara sinar lampu,
seorang tengah bersilat dengan pedang, sendjata mana
berkilauan, sedangkan gerakannja semakin lama niendjadi
semakin tjepat. Tubuh orang itu gesit sekali, tangan danDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
112
kakinja bergerak tak hentinja, bahkan ada kalanja tubuhnja
mentjelat tinggi, naik ke pajon rumah. Satu kali dia lompat
naik sekian lama, entah kemana dia pergi, setelah turun
pula, dia langsung mauk ke dalam kamarnja.
Djie Kang berpikir, terus ia merebahkan diri dan tidur.
Besoknja, ia mendusin pagipagi sekali. Segera ia melihat In
Tiong Hiap lagi berlatih dengan pedangnja. Ia tidak lahu
kebiasaan tuan rumahnja, jang umumnja setelah tidur
tengah hari, tubuhnja djadi sehat sekali, terus dia radjin
berlatih, sedangkan kalau dia keluar rumah, tentu pergi
dengan kuda putihnja.
Selandjutnja, senang Djie Kang merawat lukanja di
rumah In Tiong Hiap. la tidak kesepian. Kadang-kadang ia
melihat Siauw Sek Tauw djuga berlatih silat, bertangan
kosong dan dengan bersendjata pedang. Walaupun
demikian, tak pernah ia melupakan Bong Hiap, hingga
sering ia berchajal melihat mereka itu lagi menudju ke
barat dengan pedangnja berkilauan.
Lima hari telah lewat, lalu tampak Tjie Eng pulang
seorang diri. In Tiong Hiap lagi berlatih silat, lantas ia
menghantikannja.
"Bagaimana?" tegurnja lebih dahulu.
"Mana Hek Bian Kwie? Apakah dia tidak kena
ditangkap?"
"Bukan begitu, suhu," sahut sang murid. "Begitu djie
siauwya bertemu dengan Hek Bian Kwie, lantas ia menabas
dengan pedangnja, maka matilah dia itu, hingga tak usah
kami menawannja lagi!"
"Dan pedangnja?"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
113
"Pedang didapatkan djie-siauwya. la girang bukan main,
dengan pedang itu ia menabas kutung pedangnja sendiri,
lalu dengan membawa itu, ia kabur ke barat. Tay Tjoen
berdua Tjiauw Kiang turut bersama. Aku pulang untuk
memberi laporan."
In Tiong Hiap mengangguk, ia nampak girang.
Djie Kang dari depan djendela mendengar pembitjaraan
itu, hatinja lega separuh. Tidak sadja Hek Bian Kwie telah
terbinasakan, pedangnjapun tidak terdjatuh kedalam
tangan orang djahat. Sekarang ia mengharap dan mendoa
supaja Bong Hiap berhasil membinasakan Tjong Haksu dan
Biauw Hiong Tjay.
Sementara itu, lukanja Djie Kang sembuh dengan tjepat.
Pada suatu hari ia minta Siauw Sek Tauw mengadjaknja
pergi djalan-djalan kegunung.
"Aku tidak mau," kata botjah itu. "Aku tidak berani"
"Eh, kenapakah kau?"
Djie Kang heran.
"Kemarin dulu aku pergi keluar, niatku memungut buah
heng jang tua dan telah rontok untuk aku makan. Buah itu
lezat sekali. Apa mau disana aku bertemu dengan si anak
perempuan jang binal. Ia pegat aku dan tanja kenapa djie
siauwya belum pulang djuga. Aku kata, djie-siauwya pergi
kebarat, mana bisa ia tjepat-tjepat pulang. Tiba-tiba dia
mendjadi tidak senang, dua kali dia menggaplok aku, lalu
dia menangis, sambil menangis dia mentjatji aku. Dia kata
aku lelah membikin tjelaka padanja! Katanja, kalau aku
tidak datang, djie-siauwya tiduk nanti bepergian, dan
dengan bepergian, mungkin djie-siauwya tidak pulang lagiDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
114
seperti toa siauwya, kakaknja, jang mati dikampung orang,
hingga dia akan tersia-sia . . ."
"Heran, ada wanita demikian tidak tahu malu!" kata Djie
Kang. "Apa kau tidak terangkan padanja bahwa djie
siauwya pergi atas perintah njahnja untuk melakukan
tugas sebagai seorang gagah perkasa? Mana dapat
pemuda demikian gagah mesti terlibat oleh seorang nona
jang tak tahu malu?"
"Aku tidak berani melajani seorang wanita. aku
melepaskan diri dan lari meninggalkannja . . . ."
Djusteru itu terdengar suaranja In Tiong Hiap. jang
tertawa: "Siauw Sek Tauw, mari! Mari aku adjari kau
ilmu ringan tubuh, supaju kau bisa lompat naik keatas
genteng."
"Ja, suhu" sahut Siauw Sek Tauw girang sekali, la
tinggalkan kawannja, ia lari keluar sambil berlompatan.
Benar benar In Tiong Hiap sangat gembira.
Lagi lima hari, pulanglah Tjiauw Kiang seorang diri,
muka dan tubuhnja keringatan kudanja mengorong. Baru
ia tauja Nie Toa, apakah gurunja ada -lirumah atau tidak,
atau sang guru sudah muntjul diambang pintu dan
mendahului menegurnja: "Eh, kenapa kau pulang sendirian
sadja?"
Tjiauw Kiang letih tetapi dia lantas tertawa.
"Aku pulang buat menjampaikan warta jang
menggirangkan, suhu!" katanja. "Djiesiauwya telah
berhasil membunuh Lauw Beng Liong, karena mana
dendam suhu selama tiga puluh tahun, sekarang habislah
sudah!"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
115
Ketika itu, Djie Kang dan Siauw Sek Tauw pun keluar.
Mereka melihat In Tiong Hiap menerima warta itu dengan
heran dan ragu-ragu.
"Kau bitjara lebih djelas!" katanja pada muridnja itu.
Tjiauw Kiang tetap gembira sekali.
"Setelah kami menemui Hek Bian Kwie ditepi sungai dan
membinasakannja, siauwya girang sekali, dengan memiliki
pedang mustika, ia nampak djadi semakin gagah, Kami
lantas melandjutkan perdjalanan kami. Tiba diketjamatan
Peng-liok, kebetulan kami mendengar orang bitjara halnja
Lauw Beng Liong, jang baru sadja lewat dalam
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perdjalanannya keutara. Atas itu, siauwya kata pada kami
: ?Kita ketemu musuh besar, mana dapat dia dikasi lewat
begitu sadja? Baik kita bereskan dulu urusan pribadi kita,
baru urusan lain orang!? Tay Tjun bersangsi, aku
sebaliknja. Achirnja Tay Tjun turut djuga. Kita pergi ke
Tjiangtjiu, menjusul musuh itu "
"Djadi kamu bertemu Lauw Beng Liong di Tjiangtjiu?"
tanja In Tiong Hiap. "Bagaimana djalannja pertempuran ?
Sampai berapa djuruskah baru ada keputusannja?"
Tjiauw Kiang tertawa.
"Ttulah bukannja pertempuran!" sahutnja. "Sampai tiga
djuruspun tidak! Sungguh siauwya tjerdas dan gagah!
Lauw Beng Liong diketemukan didalam kota, dia tak
dipandang mata. Beng Liong djuga tekebur sekali, rupanja
dia merasa bahwa dia telah mempunjai andalan kuat!
Sudah dia sendiri bersahabat dengan pembesar negeri,
djuga anak perempuannja telah bertunangan dengan
putranja brigadir-djenderal dari kota Gan Bun Kwan. Selagi
lewat dikota Tjiangtjiu itu, dia didjamu sahabat2 danDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
116
pembesar setempat, maka itu sampai malam, dia pulang
dengan keadaan sinting. Dia menumpang didalam sebuah
rumah penginapan. Siauwya sudah siap sedia, siang2 ia
sembunji didalam kamar, dikolong pembaringan. Begitu
Beng Liong bertindak masuk, ia lompat keluar dan
menikam. Beng Liong kaget, dia berkelit dan menghunus
pedangnja, untuk membalas menjerang. Siauwya
menangkis seraja meneruskan menabas. Pedang lawan
kuiung seketika, tubuhnja terbatjok. maka robohlah dia!
Tjoba suhu mendapat lihat kesebatan siauwya! Bukankah
djulukan siauwya Tjam Liong Tjongsu? Surup sekali
gajanja waktu itu ! Lauw Beng Licng mendjadi djago jang
dimalui selama tigapuluh tahun tetapi dengan tjara
demikian sadja lakonnja tamat!"
Berkata begitu, murid ini berdjingkrak saking
gembiranja. Selelah itu dari sakunja ia mengeluarkan
rosokan sebuah gelang kumala. la berkata pula:
"Siauwya kuatir suhu tidak pertjaja, ia sekalian
mengambil gelang kumala ini jang biasa dipakai dilengan
Beng Liong, ia suruh aku membawa pulang untuk
ditundjukkan kepada suhu."
In Tiong Hiap menjambuti gelang itu. Ia mengenali
gelang musuhnja. Maka ia djadi mengenangkan kedjadian2
jang telah lampau. Beng Liong seorang djago, karena dia
liehay dalam ilmu pedangnja, jang belum pernah
menemukan lawan. Memang gelang itu biasa dipakai
dilengan kirinja. Sekarang, musuh itu sudah tidak ada lagi
didalam dunia. Tapi ia tidak mendjadi gembira. Dimatanja,
perbuatan anaknja bukan perbuatan laki-laki sedjati.
"Suhu menguatirkan ilmu silat siauwya belum
sempurna, sekarang terbukti kekuatiran itu tidak padaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
117
tempatnja," Tjiauw Kiang kata. "Sekarang terbukti
kegagahannja! Begitu ia turun gunung begitu ia dapat
menjingkirkan musuh besar suhu sedjak tigapuluh tahun
jang lalu."
"Membunuh orang setjara demikian, siapapun dapat
melakukannja!" kata sang guru.
Tjiauw Kiang melengak.
In Tiong Hiap menghela napas.
"Buat membantu orang lain menjingkirkan orang djahat,
segala daja dapat dipakai," katanja, "Tidaklah demikian
mengenai Lauw Beng Liong. Melawan Beng Liong, aku
menggunakan kaki-tangan dan sendjata tadjam, semua itu
dengan djalan jang lazim. Tetapi Bong Hiap lain,
perbuatannja itu sangat mengetjewakan!"
Tjiauw Kiang melengak pula. Inilah ia tidak sangka.
In Tiong Hiap berdjalan mundar-mandir sambil
menggendong tangan.
"Biar bagaimana, soehoe," kata simurid kemudian,
"sekarang soehoe tidak mempunjai lawan lagi, hingga
selandjutnja, Pek Ma Looya mendjadi orang Kang Ouw
nomor satu, sedangkan siauwya pasti akan terkenal
sebagai pemuda jang gagah perkasa."
Tapi siguru gusar.
"Pergilah kau!" bentaknja.
Kembali Tjiauw Kiang melengak, lalu ia memutar tubuh,
buat mangangkat kaki. Ia benar2 tidak mengarti.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
118
In Tiong Hiap mengawasi gelang ditangannja, ia
menghela napas ber-ulang2. Terang ia menjesal dan
bersusah hati atas kematian musuh itu.
Siauw Sek Tauw berkumpul bersama Lie Djie Kang
didalam kamarnja. Ia kata pada kawannja bahwa
perbuatannja Ong Bong Hiap tidak dapat dipudji, Untuk
merebut nama untuk ajah, tak dapat seorang anak berbuat
demikian. Membokong terutama musuh sedang sinting
tidaklah tepat.
Djie Kang bungkam mengenai perbuatan Bong Hiap itu.
Ia hanja pikir, kalau orang dapat membunuh Lauw Beng
Liong, orang tentu berhasil mentjari Tjong Haksoe, guna
membunuh musuh Nie Keng Giauw. Inilah ia bnfap batui.
Maka diam2 hatinja girang.
Sore itu habis Siauw Sek Tauw bersantap, dia dipanggil
In Tiong Hiap dan diberikan uang, diperintahkan turun
untuk berbelandja. Dia menurut, lantas dia pergi.
Djie Kang berada sendirian didalam kamarnja, tetapi
segera ia didatangi Tjiauw Kiang. Dia ini menjesal dan
berduka. Tiga hari dia mengaburkan kudanja, buat pulang
kerumah, guna menjampaikan kabar berita jang dia rasa
pasti bakai menggirangkan gurunja, siapa tahu, dia
djusteru ketjele. Maka dia djadi penasaran dan
menggerutu.
"Looya aneh." kaianja. "Anaknja membalaskan sakit
hatnija, bukan dia girang, sebaliknja tak senang hati! Tjoba
bila tidak ada djasa sianak, seumur hidupnnja tak nanti dia
dapat melampiaskan sakit hatinja itu! Djangan kata Lauw
Beng Liong sendiri, anak perempuannja djuga tidak dapat
dibuat permainan. Aku pertjaja, urusan sakit hati itu akanDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
119
pandjang lakonnja, mereka kedua pihak tentu akan terus
menerus saling mendendam dan saling membalas. Kau
tahu, gadisnja Beng Liong, jang bernama Lauw Kie Go,
mempunjai gelaran Kim-Kiong Giok-Kiam, jaitu Busur Emas
Pedang Kumala. Tidakkah nama dan gelaran itu bagus?
Mustahil sinona akan membiarkan kebinasaan ajahnja itu?
Apakah selandjutnja looya bakal dapat tinggal dengan
aman digunung ini?"
"Siapa tahu kalau nona itu djeri akan nama besar Pek
Ma Looya?" kata Djie Kang.
"Tak mungkin! Ajah gagah, anak tentu perkasa! Beng
Liong tidak mempunjai anak lelaki, mesti anak
psrempuannja jang membalas untuknja, apapula anaknja
itu gagah. Mungkin siauwya tidak sanggup melawannja.
Hanja, kalau pemuda bertemu dengan pemudi, mungkin
mereka tidak sampai mengadu djiwa. . . Siauwya tampan,
dia romantis. Ditengah djalan djuga, kalau dia tidak melihat
seorang tjantik, sudah dari siang2 kami pulang dari Hoa
Im. . . Siauwya tjerdas, mengenai antjaman dari pihak
puterinja Beng Liong itu, mungkin dia ada dajanja. Nama
In Tiong Hiap, gelar Pek Ma Looya, sangat kesohor, tetapi
nama dan gelar itu tidak dapat melawan usia landjut; sepak
terdjangnja sekarang membual orang menjesal"
Benar2 murid ini merdjadi berduka, lenjap
kegembiraannja. Maka ia kata pada Djie Kang, ingin ia
pergi kelain tempat, buat berusaha, supaja ia tak usah
tinggal lebih lama digunung ini.
"Aku djuga." berkata Djie Kang, vaku hendak
menantikan kembalinja siauwya dari Hoa Im, hendak aku
mentjari sebuah tempat lain dimana aku dapat membuat
sebuah bengkel untuk membikin gunting dan golok. AkuDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK
Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama