Ceritasilat Novel Online

Durhaka 3

Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Bagian 3

120

pertjaja dengan membuka bengkel, dapat aku melewatkan

hari2 mendatang. .

"Apakah kau dapat membuat pedang jang tadjam itu?"

Uinja Tjiauw Kiang, jang hatinya sangat tertarik. "Djikalau

kau bisa, baiklah kau bikin banjak-banjak, lantas kau djual,

tentu lakunja bukan main, tentu kau bakal lekas dapat

mengumpulkan banjak uang!"

Djie Kang terperandjat sampai dia berdjingkrak.

"Tidak bisa!" katanja. "Aku tidak bisa membuat pedang

sematjam itu!" Ia berhenti sebentar, lalu ia tertawa dan

kata pula : "Tak dapat sembarang orang membuat pedang

tadjam sematjam itu! Sekalipun guruku, seumurnja dia

baru membuat itu satu batang!"

Tidak lama maka pulanglah Siauw Sek Tauw. Tjiauw

Kiang lantas tanja apa sadja jang dibeli.

"Arak dan hio wangi," sahut si Batu Ketjil. "Entah buat

apa looya dengan semua barang itu. . ."

Malam itu tak nampak In Tiong Hiap berlatih silat, begitu

djuga besoknja. Ia nampak tidak gembira, ia seperti tawar

sudah terhadap ilmu silat.

Sebaliknja dengan Siauw Sek Tauw, dia terus beladjar

dengan radjin bersama-sama Tjie Eng dan Tjiauw Kiang,

dia madju pesat, hingga beberapa kali dia dapat menjerang

mereka itu walaupun mereka bertubuh lebih tinggi dan

tenaganja lebih besar. Melihat demikian, Djie Kang

pertjaja, kelak botjah ini bakal djadi liehay. Katanja diflalam

hati : "Hanja barang siapa terus hidup didalam dunia Kang

Ouw, seumurnja dia tak dapat bakal madju . . Maka ia

lantas mengambil keputusan, jaitu kalau nanti sakit hati NieDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

121

Keng Giauw sudah selesai dibalaskan, dari uang tiga ribu

tail perak itu, separuh ia mau pakai mengamal guna

menolong orang2 melarat, tua dan lemah serta orang2

buta buat mengamal untuk gurunja dan jang lainnja buat

membantu Siauw Sek Tauw beladjar surat, untuk

membangun rumah tangga. Buat ia sendiri, ia merasa

tjukup hanja dengan beberapa puluh tail perak, buat

membangun bengkelnja, sebab selandjutnja ia dapat

mengandalkan hasil bengkelnja itu. Ia bersedia hidup ketjil,

asal djangan sampai kedinginan dan kelaparan. Hanja

tentang tjita2nja ini ia tak beritahukan si Batu Ketjil.

Siauw Sek Tauw radjin. Djarang dia keluar rumah. Ada

sadja jang dikerdiakan, guna membantu Nie Toa. Maka

dialah orang jang paling bunjak bergerak dirumab itu.

Sebaliknja dengan In Tiong Hiap jang djadi semakin malas,

jang selalu nampak berduka.

Sering Siauw Sek Tauw pergi keruang utara, buat

mengintai In Tiong Hiap. Satu kali dia lari kekamar barat,

menemui Lie Djie Kang, wadjahnja gelisah. Katan ja

dengan lantas : "Pek Ma Looya menjinpkan medja abu

dikamarnja dan selalu ia memasang hio wangi. Jang ia

hormati jalah itu dua potong gelang kumala jang sudah

rusak. Entah apa maksudnja itu. . . Mungkinkah otak looya

telah tergerak?"

Djie Kang berpikir.

"Tak mungkin," katanja menggojang kepala. "Menurut

aku sebabnja mesti begini: Looya gagah perkasa, dia

djudjur, dia mengutamakan keadilan dan kehormatan, dia

tentu menjesal atas kematian ketjewa dari Lauw Beng

Liong ditangan puteranja, tak peduli Beng Liong itu

musuhnja. Meski Lauw Beng Liong telah membinasakanDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

122

putera sulungnja, dia tetap menghormati musuhnja itu.

Tidak demikian sepak terdjangnja puteranja jang nomor

dua ini, jang berkelahi setjara tjurang. Rupanja Looya

menjesal maka ia menghormati arwahnja Lauw Beng Liong

itu"

Berkata begitu, Djie Kang menghela napas.

"Pek Ma Looya laki-laki sedjati, tapi puteranja buruk,"

katanja pula. "Selama dua hari ini hatiku terus tidak

tenang, aku kuatir Bong Hiap gagal, djangan-djangan

setibanja dia diHoa Im, bukan dia menuntut balas, hanja

dia melakukan hal-hal jang memalukan. Lihat sadja

perbuatannja terhadap Hek Bian Kwie, bukan dia

menangkap, dia hanja membunuh! Bukankah itu berarti

menentang perintah ajahnja? Terang dia selalu membawa

adatnja sendiri! Apakah orang sematjam dia dapat

membuat orang lain berhati tenteram?"

"Kita lihat sadja," kata Siauw Sek Tauw. "Masih ada

tempo beberapa hari baginja untuk pulang. Selelah dia

pulang, baru kita akan ketahui pasti bagaimana sepak

terdjangnja lebih djauh. Andai kata dia pergi untuk pelesir,

apa pun sadja tak dapat dia lakukan! Kalau itu sampai

terdjadi, tak apalah, masih ada aku. Aku sudah beladjar

silat, mustahil tidak sanggup membereskan d iwa si-haksoe

tua-bangka itu?"

Djie Keng menggeleng kepalanja berulang-ulang.

"Itulah bukan pekerdjaan mudah," katanja.

Mereka berhenti bitjara. Keduanja bersabar.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

123

Lewat beberapa hari, Bong Hiap tetap belum pulang.

Selama itu, dua kali telah turun hudjan, maka hawa udara

tambah dingin.

In Tiong Hiap baik hati. Ia memberikan badju kapas

pada masing-masing Lie Djie Kang dan Siauw Sek Tauw.

Mungkin itulah badju almarhum puteranja jang pertama.

"Heran Bong Hiap!" katanja, menjesal dan mendongkol.

"Kenapa dia masih belum pulang djuga?"

Hati Djie Kang tidak enak sendirinja.

"Kalau terdjadi sesuatu atas siauwya, semua itu salahku

. . . ." katanja didalam hati.

Lewat lagi beberapa hari, selagi turun hudjan rintik2,

Djie Kang dan Siauw Sek Tauw berdiam didalam kamarnja.

Mereka tidak bergembira. Djusteru itu, mereka dikagetkan

suara ketukan jang keras. Sek Tauw lompat, untuk pergi

membuka pintu tanpa menghiraukan hudjan.

Itulah Tio Tay Tjun jang pulang, jang pakaiannja kujup,

sambil menuntun kudanja, dia bertindak masuk.

"Kenapa kau pulang sendirian sadja?" tanja Siauw Sek

Tauw. "Mana djie siauwya?" Tay Tjun menggeleng kepala.

"Dia tidak pulang," sahutnja ringkas. "Kau kuntji pintu!"

Siauw Sek Tauw heran. Aneh romannja Tay Tjun.

Sambil mengikat kudanja, kemudian Tay Tjun tanja:

"Apa siorang she Lie masih ada?"

Siauw Sek Tauw menundjuk kerumah kiri.

Dengan tindakan tjepat, Tay Tjun pergi kekamar jang

ditundjuk itu. Segera ia menemukan Djie Kang. Dia iniDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

124

sebaliknja, jang setelah melihat orang datang, mendahului

memberi hormat sambil menjapa: "Banjak tjapai! Apakah

djie-siauwya masih di tengah d jalan?"

Tay Tjun mengawasi, ia tidak mendjawab pertanjaan itu

hanja berkata dengan sungguh sungguh: "Lekas kau turun

gunung dan lari pergi!"

Bukan main herannja Djte Kang, sampai dia melengak.

"Ada apakah?"' tanjanja. "Kenapakah?"

"Segera Ong Bong Hiap bakal pulang!" sahut Tay Tjun.

"Setibanja dia disini, pasti dia tak akan memberi ampun

padamu!"

Kakinja Djie Kang gemetar, mukanja mendjadi putjat. Ia

mendjublak sadja.

Akun terapi Siauw Sek Tauw, jang berdiri dibelakang Tay

Tjun, mengepal tangannja.

"Kenapakah?" tanjanja, sengit. Ia heran dan

mendongkol. "Bukankah djie-siauwya pergi karena titahnja

looya nntuk mewakilkan Lie Toako membalaskan sakit hati

Nu Thay Po jang setia kepada negara? Mungkinkah dia

telah tidak lakukan perintah ajahnia itu? Kenapa dia pulang

dan berniat membunuh Lie Toako?"

Tay Tjun djuga memperlihatkan wadjah penasaran.

"Kenapakah?" dia balik menanja. "Ia tidak melakukan

tugasnja untuk membereskan urusanmu! Bahkan ajahnja

sendiri, ia tidak perdulikan lagi! Sekarang ini ia tjuma kenal

harta, pedang, kuda djempolan dan paras elok! Hendak

aku menemui suhu! Kamu sendiri, lekas kamu menjingkir!

Lekas kamu berkemas, lantas kamu pergi."DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

125

Begitu berkala, ia bertindak kearah dalam kearah ruang

utara.

Siauw Sek Tauw penasaran, ingin ia ketahui duduknia

hal, maka ia lari menjusul Tay Tjun, untuk mendengar

laporannja kepada Pek Ma Kie Hiap. Djie Kang sebaliknia

sangat berduka dan pepat pikiranja, hingga ia memukuli

dadanja.

In Tiong Hiap telah mendengar suara berisik diluar itu,

ia menduga djelek. Segera sesampainja Tay Tjun

didepannja, ia mendahului menegur: "Kenapa Bong Hiap

tteak pulang bersama. Apakah dia telah melakukan

tugasnja?"

Tay Tjun bingung, ia berduka.

"Menjesal suhu, aku tidak berdaja membudjuk dan

menasehati djie-siauwya," katanja. "Selama kami turun

gunung, sikap djie-siawya biasa sadja. dia suku bitjarra dan

tertawa, hanja setelah sampai ditepi sungai, habis dia

membunuh Hek Bian Kwie, mendadak tabiatnja berubah.

Inilah disebabkan dia telah mendapatkan pedang mustika

itu. Sambil menunggang kuda, dia mendjadi temberang,

selama ditengah d jalan, suka dia mentjari gata-gara.

Tjiauw Kiang kewalahan, dia diperlakukan sebagai budak,

berulangkali dia ditjambuki. Lalu aku dipaksa turut ia pergi

ke Tjiangtjiu, dimana djie-siauwya telah membinasakan

Lauw Beng Liong. Tiba diketjamatan Peng-liok ia paksa

menjuruh aku pulang . . ."

"Bitjara terus!" In Tiong Hiap menjela. "Lekas!"

"Oleh karena suhu telah memesan mesti menemani djie
siauwya, aku terpaksa menurut padanja," si murid

bertjerita lebih djauh. "Begitulah kami tiba di Hoa Im. TelahDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

126

aku pikir, bertempur dengan Lauw Beng Liong, sudah

selajaknja djiesiauwya berlaku terang-terangan, sebagai

seorang gagah-perkasa, sebaliknja terhadap keluarga
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjong, kita dapat lakukan pelbagai daja. Tjong Haksu

adalah seorang manusia busuk dan banjak pahlawannja.

Lagi pula Hoa Im kota besar, disana kita mesti bekerdja

tjepat, kalau tertangkap, kita harus mengganti djiwa"

"Lekas! Lekas!" In Tiong Hiap mendesak.

"Djie-siauwya telah bertindak putar balik. Setibanja di

Hoa Im, siang hari bolong, ia lantas menjateroni gedungnja

Tjong Haksu di Djalan Tjonggoan Tay. Lantas sadia ia

menghundjuk kepandaiannja. Dengan pedangnja, ia

membabat kutung pelbagai matjam sendjata lawan,

sampai Sam-siauwya dan Biauw Hiong Tjay djeri, semuania

menjembunjikan diri didalam gedung. Ada orang polisi jang

datang tetapi mereka djuga tidak berdaja. Kebetulan itu

waktu ada anggauta keluarga wanita dari Tjong Haksu jang

pulang habis berkundjung kepada sanaknja. Karena

kekatjauan didepan rumah, nona itu lompat turun dari

kereta dan terus lari kedalam. Kebetulan siauwya melihat

wanita itu, tiba-tiba menghentikan tindakan

permusuhannja, terus ia mentjari tahu bagaimana keadaan

wanita itu, masih nona merdeka atau tunangan orang.

Kelakuan siauwya dilihat Samsiauwya. rupanja dia

menduga Siauwya gemar paras elok, lantas ia keluar,

untuk menemui dengan hormat dan merendah, buat

mengadjak bitjara. Sebagai kesudahan dari itu, siauwya

masuk kedalam gedung dengan sikapnja sebagai seorang

sahabat"

Mendengar sampai disitu, In Tiong Hiap menendang

kursi didepannja hingga kursi itu terpental terbalik-balik.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

127

Tay Tjun terkedjut akan tetapi dia meneruskan

keterangannja: "Semasuknja Siauwya, sampai dua hari ia

belum keluar lagi. Pada hari ke tiga, aku djadi berkuatir,

maka aku menunggu sampai malam, lalu setjara

bersembunji aku menjelundup masuk ke ualam gedung

Tjong Haksu. Dengan lantas aku menjaksikan hal jang

membuat aku kaget. Di sana siauwya tidak kurang suatu

apa, bahkan ia tengah duduk bersama-sama sam-siauwya

dan Biauw Hiong Tjay, dengan gembira mereka minum

arak dan memasang omong di dalam taman bunga.

Beberapa orang wanita menemani mereka, di antaranja

ada si tjaniik-manis jang kemarin ini dilihat di depan

gedung. Kemudian aku mendapat tahu nona itu bernama

Lee Tiap, tadinja dia seorang budak, lantaran dia tjantik

dan bisa bekerdja, oleh Tjong Haksu dia lantas diakui

sebagai anak-angkat, maka para budak lainnja memanggil

dia Kian Siotjia, artinja nona anak-pungut. Tjong Haksu

menggunakan anak-pungutnja itu untuk melibat siauwya.

Sekarang siauwya dipanggil Kian-kouwya, artinja baba

mantu. Bukan siauwya membunuh Tjong Haksu, sebaliknja

ia mendjadi seperti pahlawan. Aku berdiam di atas genting,

aku kesalahan memperdengarkan suara, siauwya

mendapat tahu, lartas ia lompat naik ke atas genting dan

menawan aku. Siukur aku keburu berteriak menjerukan

namaku, kalau tidak, bisa-bisa aku mati ditikam siauwya.

Lantas aku dihadjar siauwya, setelah mana, aku diusir

pergi, dititahkan membawa surat untuk suhu"

In Tiong Hiap gusar sekali.

"Mana suratnja?" tanjanja dengan bengis.

Tay Tjun merogo sakunja.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

128

"Setelah mendjadi baba mantu, siauwya lanias bekerdja

untuk Tjong Haksu." ia meneruskan tjeritanja. "Pertama
lama ia menjateroni bengkelnja Oey Loo Sit, jang ia labrak.

Kemudian ja menjateroni Kwee Kee Tun di mana ia hampir

membinasakan anak-isteri almarhum Kwee Hay Peng.

Selandjutnja setiap hari siauwya berpelesiran bersama

samsiauwya dan Biauw Hiong Tjay, berpakaian mewah dan

bersantap lezat, selalu menenggak arak wangi. Ia memakai

uang bagaikan air jang mengalir deras. Sekarang ini

siauwya sangat terkenal akan pedang dan kuda putihnja.

Ia tetap tinggal di gedung Tjong Haksu dengan ditemani si

nona. Ketika siauwya menjuruh aku pulang, ia memesan

untuk menawan Lie Djie Kang, untuk ditahan sampai ia

pulang. Mungkin ia akan pulang satu bulan lagi. Katanja ia

hendak membinasakan sendiri pada Djie Kang. . ."

Bukan main gusarnja In Tiong Hap.

"Anak durhaka! Anak tjelaka!" dampratnja. Lantas ia

pergi keluar diri ruang dalam, untuk membeber suratnja

Bong Hiap, untuk dibatja. Selagi membeber itu tangannja

bergemetar.

Beginilah anak itu menulis pada ajalinja:

"Ajah jang tertjinta!

Dengan ini aku hendak beritahukan bahwa keluarga kita

tidak bermusuhan dengan keluarga Tjong, oleh karena itu,

kenapa kita biarkan diri kita dipermainkan Lie Djie Kang,

jang memutar balikkan kedudukan persoalan? Hampir aku

melakukan perbuatan jang tidak pantas. Sjukur Tjong

Haksu baik budi.

Ajah tahu, Haksu sangat menghormati aah, jang ia pudji

tinggi, sedang aku, ia pudji untuk kegagahan danDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

129

kepintaranku. Dengan lantas Lee Tiap anak-pungutnja,

untuk mendjadi isteriku. Inilah djodoh jang bagus sekali,

kalau ajah sudah mengetahui, tentu ajah bakal djadi

sangat girang.

Sekarang ini aku mendapat tahu bahwa Lie Djie Kang itu

salah seorang buaja darat, sedangkan Kwee Hay Peng

asulnja seorang pendjahat kaum Kang Ouw. Semua dusta

belaka ketika mereka bilang hendak membalaskan sakit

hatmja Nie Thay Po. Mereka berbuat begitu sebab mereka

bersakit hati karena gagal hendak memeras keluarga

Tjong.

Tentang pedang mestika Lie Djie Kang djuga

mendusta. Pedang itu bukan buatan gurunja. Gurunja jalah

seorang buta! Bagaimana seorang buta dapat membuat

pedang, apapula pedang mustika? Kerena itu, Lie Djie Kang

mesti disingkirkan, kalau tidak dia dapat melakukan

kedjahatan lain. Tapi aku perlu mendengar keterangannja,

maka itu, tolong ajah bekuk dan tahan padanja sampai aku

pulang. Harap didjaga supaja dia djangan buron. Aku akan

pulang pada achir bulan ini, untuk menjambut ajah, buat

kita tinggal berkumpul di kota Hoa In. Ajah sudah lama

hidup merantau, sekarang ajah hidup menjepi, inilah tidak

selajaknja. Seharusnja ajah hidup senang dan merdeka di

kota besar dan ramai. Lauw Beng Liong sudah disingkirkan,

tak ada lagi jang diberati ajah.

Ajah, Tjong Haksu mengirim hormatnja pada ajah.

Begitu djuga Sam-siauwya.

Biauw Hiong Tjay pun mengagumi ajah dan sekalian

mengirim hormat djuga.

Demikian ajah,DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

130

Hormat dari anakmu, Bong Hiap."

In Tiong Hiap berd jingkrak habis membatja surat itu,

terus ia robek-robek dan melemparkan ke lantai.

Sementara itu Lie Djie Kang telah datang pada tuan

rumahnja di depan siapa ia berlutut sambil menangis,

sampai ia tak menghiraukan hudjan jang lebat.

In Tiong Hiap pimpin bangun pemuda itu, buat diadjak

masuk ke dalam. Ia menghela napas dan kata: "Inilah

kekeliruanku. Aku tidak sangka bahwa anak itu telah

mendurhaka! Karena ia telah menjeleweng dan menantang

aku, ia tak akan dapat ampun lagi! Akupun akan pergi

sendiri, guna membuktikan djandjiku tigapuluh tahun jang

lampau itu. Ja, sekarang djuga aku berangkat!"

"Looya, aku turut!" kata Siauw Sek Tauw sambil

mengangkat kepala dan berdiri tegak.

Tapi Tio Tay Tjun mentjegah.

"Suhu!" katanja. "Djangan suhu turun gunung!"

Guru itu menatap mendelik kepada muridnja.

"Kenapakah?" tanjanja.

"Sebenarnja aku tidak berani mengatakannja akan

tetapi terpaksa," sahut murid itu. "Suhu, hampir sadja aku

tidak dapat pulang! Bukannja djie-siauwya jang mengedjar

aku hanja putrinja Lauw Beng Liong, jaitu nona Lauw Kie

Go. Nona itu sudah sampai di ketjamatan Peng-liok. Dia

hendak menuntut balas untuk ajahnja!"

In Tiong Hiap terkedjut.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

131

"Bagus, inilah kebetulan!" katanja. "Memangnja aku

telah berniat pregi menemui dia, untuk mendjelaskan

perbuatan busuk dari Bong Hiap terhadap ajahnja, bahwa

perbuatan itu bukanlah maksudku. Hendak aku mengadjak

dia mentjari anakku, agar dia dapat melakukan

pembalasannja. Selekasnja dia berhasil mentjari balas

untuk ajahnja itu, aku akan pergi ke kuburan ajahnja di

depan mana aku akan membunuh diri, supaja arwah

ajahnja dan dia sendiri ketahui aku laki-laki sedjati atau

bukan!"

Djie Kang berlutut di depan djago itu.

"Djangan, looya!" katanja. Ia menangis.

"Ja, djangan, suhu!" Tjiauw Kiang turut bitjara." Putri

Lauw Beng Liong itu tidak dapat dipandang ringan! Dialah

jang dipanggil Kim-Kiong Giok-Kiam Lau Kie Go!"

In Tiong Hiap tertawa dingin.

"Aku akan tak sepandangan seperti dia!" katanja. "Kalau

nanti aku mati, arwahku akan pergi mentjari arwahnja

Lauw Beng Liong, lebih dahulu aku akan menghaturkan

maaf, sesudah itu, baru aku mengadjak dia mengadu silat

kami akan mengadu kepandaian kami diruang pendopo

Giam Lo Tian!"

Begitu berkata, djago ini memutar tubuh, untuk masuk

kedalam.

Tidak ada orang jang berani menjusul masuk, mereka

djadi berdiri diam saling mengawasi, semuanja bingung tak

berdaja.

Tidak lama, muntjullah djago tua itu. Dia sudah

berdandan dan menggendol sebuah pauwhok atauDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

132

buntalan, tangannja mentjekal pedang, kepalanja ditutup

dengan topi rumput jang lebar.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjiauw Kiang dan Tio Tay Tjun berdua madju

menghampiri gurunja.

"Bagaimana, suhu?" tanja mereka. "Apakah benar2

suhu mau berangkat sekarang djuga?"

"Djikalau aku tidak berangkat, habis aku mau apa?" balik

tanja guru itu mendongkol. Lalu dia memandang Djie Kang,

sambil memberi hormat, dia kata : "Saudara Lie, aku minta

sukalah kau menanti dirumahku ini sampai aku pulang lagi

beberapa hari." Lalu, tanpa menanti djawaban, dia

bertindak lebar menudju keluar.

Tjie Eng dari luar datang masuk untuk mentjegah. Dari

dalam Tay Tjun bersama Tjiauw Kiang dan Nie Toa

menjusul, guna membantu meng-halang2-i. Mereka

membudjuk, sampai mereka memegang tangan guru

mereka itu.

"Tidak!" kata siguru gusar, dan tangannja bekerdja.

Tjiauw Kiang bersama Tay Tjun dan Tjie Eng kena

tertindju hingga mereka terpelanting roboh, sedang Nie

Toa kena didupak hingga terdjungkal.

Guru itu terus pergi keluar, menghampiri kudanja, untuk

membuka tambatannja. Siauw Sek Tauw lari kepintu

pekarangan untuk mementang pintu itu.

In Tiong Hiap lompat naik keatas kudanja, jang ia terus

petjut, untuk dilarikan keluar. Maka kaburlah ia. Didalam

tempo pendek, ia sudah tak nampak pula, ketjuali masih

terdengar derap kudanja, makin lama makin samar, lalu

lenjap . . .DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

133

Tay Tjun jang paling dulu merajap bangun, tak peduli

tangannja kotor dengan tanah lumpur, lari kekudanja,

membuka tambatannja, terus lompat kepunggung

binatang itu, untuk melarikannja dan menjusul gurunja.

Tjie Eng bersama Tjiauw Kiang dan Nie Toa berbangkit

dengan hati mereka mentjelos. Tak tahu mereka harus

berbuat apa.

Siauw Sek Tauw sebaliknja bergirang luar biasa. Dia

bersorak dan berkata : "Dengan kepergiannja looya ini, dia

tentu akan berhasil membereskan urusannja Lie Toako!"

Djie Kang sebaliknja sangat pepat hati. Ia kembali

kekamar barat. Selagi berdjalan, selagi hudjan belum

berhenti, mendadak ia merasa matanja gelap dan

kepalapusing, tiba2 sadja ia muntah darah, hingga

merahlah tanah dan lumpur didepannja 1

Siauw Sek Tauw kaget, ia lari untuk mempepajang.

"Kau kenapa, toako?" tanja dia.

Djie Kang tidak dapat mendjawab. melainkan tubuhnja

ter-hujung2. Kalau ia tidak dipegang kawannja, tentulah ia

sudah roboh. Dengan tindakan sangat berat, ia masuk

kekamarnja.

"Pertjuma kau bergusar tidak keruan," Siauw Sek Tauw

membudjuk. "Sekarang ini kau harus menjabarkan diri

untuk menantikan kembalinja Pek Ma Looya. Sampai itu

waktu baru djelaslah segala apa."

Ketika itu mendadak terdengar njanjiannja Tjiauw

Kiang, jang suaranja keras sekali. Itulah njanjian jang

umum untuk tempat tersebut. Karna sangat berduka, ia

melegakan hati dengan bernjanji.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

134

Pikiran Tjiauw Kiang berubah dengan tjepat. Tanpa sang

guru, ia mendjadi merdeka. Begitulah ia bernjanji, guna

menjenangkan diri. Bahkan ia kata: "Nie Toako, bukannja

aku meremehkan persoalan ! Bukannja aku ngatjo-belo!

Dengan kepergiannja ini, pasti suhu tidak bakal

mendapatkan hal jang memberuntungi dia! Tjoba pikir,

suhu dipanggil Pek Ma Looya akan tetapi sekarang ia

menunggang kuda bulu hitam! Bukankah itu alamat

buruk?"

Djie Kang didalam kamarnja terkedjut mendengar

tafsirannja orang she Tjiauw itu. la lantas mendjadi

berkuatir. Maka bertambahlah kedukaannja.

Tidak lama, sang sore mulai datang.

Tjie Eng masuk kekamar si orang she Lie, untuk

menghibur dan memberi nasihat, supaja dia besok pagi

lekas berangkat pergi. Iapun menasehati Siauw Sek Tauw

lurut menjingkirkan diri. Tak dapat mereka menanti sampai

tibanja Ong Bong Hiap, itulah berbahaja, katanja.

"Tjie Toako, kau baik sekali, terima kasih!" berkala Djie

Kang. "Akan tetapi, tidak dapat aku pergi, tidak peduli

djiesiauwya hendak membunuh aku. Djikalau aku mau

pergi, mesti aku menunggu dulu kembalinja Pek Ma Looya!

Tak senang aku kalau karena urusanku, Pek Ma Looya ajah

dan anak mendjadi bentrok! Disamping itu, biar bagaimana

djuga, aku mesti dapat pulang pedang mustikaku itu! Tak

seharusnja pedang itu djatuh ketangan manusia jg. tak

punja rasa prikemanusiaan!"

Tjie Eng djudjur, mendengar itu, ia tidak puas. Maka ia

kata : "Kau tidak mengerti ilmu silat sama sekali, pedang

itu untukmu berlebihan! Djikalau kau berkeras hendakDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

135

menantikan Pek Ma Looya, supaja kau mendapatkan

pulang pedangmu itu, ja, apa boleh buat, aku tidak berdaja

menolongmu! Baiklah aku djelaskan padamu, kalau nanti

Ong Bong Hiap pulang, terhadapmu tidak ada minatnja

jang baik! Tidak nanti dia mau pertjaja apabila kau berkata

bahwa kau tidak mampu membikin pedang sematjam itu!

Dia djusteru takut kau membuat lagi pedang demikian dan

pedang itu nanti djatuh ditangan orang lain. Djikalau ilu

sampai terdjadi, dia akan merasa ketjewa dan menjesal,

sebab pedangnja mendjadi tidak ada harganja. ..."

Djie Kang djeri, hingga ia berdiam sadja.

Tjie Eng lantas ngelojor keluar sedang Tjiauw Kiang

tidak bernjanji lagi. Diluar udara gelap, angin bertiup santer

mendatangkan hudjan besar. Halilintar jang samber
menjamber, selalu diiringi suara guntur. Hudjan djauh

terlebih hebat daripada malam itu waktu siguru buta

hendak membunuh muridnja itu.

Siauw Sek Tauw mendekati telinga orang.

"Sebenarnja pedangmu itu buatanmu sendiri atau

bukan?" tanjanja berbisik.

"Ah, saudara ketjil!" sahut Djie Kang menghela napas:

"Kau pikir sadja! Kalau pedang itu buatanku sendiri, kalau

sampai hilang, buat apa aku bergelisah begini rupa?

Bukankah mudah untukku membuatnja pula?"

Siauw Sek Tauw berdiam. Itulah benar. Tapi lewat

sedjenak, dia tanja : "Mustahil kau tidak dapat mentjoba?

Ketika gurumu membuat pedangnja, apakah kau tidak

mentjuri lihat untuk mempeladjarinja?"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

136

"Selagi membuatnja, dia tidak mengidjinkan orang lain

melihatnja," sahut Djie Kang. "Legi pula, tak dapat orang

mempeladjari itu dengan hanja satu atau dua kali lihat

sadja!"

Siauw Sek Tauw pertjaja alasan itu, maka ia berdiam,

hatinja mendjadi tidak tenteram. Ia merasa bahwa iapun

mendjadi tidak aman. Toh ia meng-harap2 pulangnja In

Tiong Hiap. Kalau djago itu berhasil mendapatkan pedang

mustika, lewatlah antjaman bahaja, ia ichlas apabila mesti

terbinasa . . .

Malam itu terus Djie Kang berkuatir, tetap hatinja

bergelisah. Habis muntah darah, ia merasa hatinja njeri.

Maka itu, besoknja, ia djatuh sakit. Hudjan masih belum

berhenti.

Siauw Sek Tauw berkuatir, ia pindjam uang dari Nie Toa,

dengan memakai tudung dan mantel rumput, ia pergi turun

gunung untuk membeli obat. Begitu pulang, ia tanja :

"Siapa jang memberitahukan hal siauwya bakal

pulang kepada nona dirimba pohon heng itu? Barusan aku

melihat nona itu. Dia berdandan rapih dan perlente sekali,

dengan tangan memegang pajung, dia berdiri didepan

pintu rumahnja, matanja mengawasi sadja djauh kedepan.

Rupa-rupanja dia sedang menantikan pulangnja

djiesiauwya."

Tjiauw Kiang tertawa.

"Di Hoa Im, djie-siauwya telah mendjadi hoe-ma !"

katanja. "Disana ada jang djauh terlebih tjantik dan

berharta, mana dia menjukai orang sematjam dia itu? Dia

mirip dengan buah heng jang sudah busuk! Sekalipun aku,DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

137

aku tak menjukai dia ! Paling benar, Siauw Sek Tauw,

kaulah jang menikah dengannja!"

Si Batu Ketjil memonjongkan mulutnja.

"Siapa jang menghendaki wanita?" katanja. "Bukankah

dia seperti mentjari mati sendiri? Lihat sadja bukti dalam

dirinja djie-siauwya! Kalau dia tak roboh kedalam Bie Djin

Kee keluarga Tjong, mustahil looya mendjadi begini

gusar?"

* Hoe-ma jalah menantu radja.

Siauw Sek Tauw masih muda tetapi dapat dia menjebul

tentang "Bie Djin Kee," jaitu akal-muslihat menggunakan

pengaruh ketjantikan wanita guna merobohkan hati

seorang pria.

Habis berkata begitu, botjah ini lantas pergi bekerdja,

untuk mematangi godokan air djahe buat Lie Djie Kang,

jang sekalian disuruh minum obat pulung guna mengobati

muntahnja itu. Telaten sekali ia merawat pemuda itu.

Djie Kang merasa sangat bersjukur. Ia melihat,

meskipun masih ketjil, Siauw Sek Tauw bertubuh sehat dan

tjetdas, dia pula mengerti sedikit ilmu silat. Ia pikir, kalau

ia sampai mati, botjah itu dapat mewakilkan ia mengurus

tugasnja itu. Sek Tauw masih polos, dia belum mengenal

asmara, tak mungkin dia kena dipengaruhi paras elok.

Maka itu, timbullah harapannja.

Tiga hari Djie Kang dapat beristirahat, selama itu,

hudjanpun telah berhenti turun. Ia merasa sakitnja

berkurang banjak. Demikian hari itu tengah hari dapat

ia bersantap bareng bersama Siauw Sek Tauw, Tjie Eng,

Tjiauw Kiang dan Nie Toa. Tengah mereka bersantap, tiba2DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

138

mereka dikedjutkan suara keras dari arah luar: "Lekas

"Itulah suaranja djie-siauwya! " kata Tjie Eng dengan

kaget.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mukanja Djie Kang mendjadi putjat sekali, hatinja

memukul.

"Heran!" berseru Siauw Sek Tauw sambil berdjingkrak

bangun. "Kenapa Looya belum pulang dan dia

mendahuluinja? Nanti aku tanja padanja "

Tjie Eng menolak tubuh orang.

"Buat apa kau pergi menanja dia?" katanja. "Apakah kau

mau tjari mampus? Lekas kau adjak saudara Djie Kang

pergi bersembunji!"

Tjiauw Kiang sebaliknja bergirang. Kata dia: "Tentulah

djie-siauwya membawa pekerjaan untukku! Dia tentu

datang untuk menjambut aku!" Lantas dia berseru,

memberi tahu, bahwa tuan rumah tidak ada dirumah!

Sementara itu orang di luar itu, jang minta dibukai pintu,

sudah tidak sabaran. Dia lompat naik keatas tembok,

dengan djalan itu dia lompat masuk kedalam. Dia benar2

Djie-siauwya Ong Bong Hiap. Jang menarik perhatian jalah

pakaiannja mentereng dan mewah, terbuat dari sutera,

sedangkan ikat pinggangnja berwarna mentereng, pada

mana djuga tergantung sebatang pedang pedang Pek Kong

Kiam.

Djie Kang mengenali baik pedang mustika itu, jang

terikat dengan pita sutera merah dan sarungnja sarung

kulit ikan tjutjut jang berlapis emas. Melihat pedang itu,

semaugatnja mendjadi terbangun, hingga ia lupa kepada

antjaman bahaja. Ia berlompat bangun, untuk lariDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

139

menghampiri tuan rumah jang muda itu, sambil ia berkata

njaring: "Djie-siauwya! Aku Lie Djie Kang hendak bitjara

dengan siauwja"

Ong Bong Hiap tidak perdulikan pandai besi itu. Setelah

masuk kedalam, dia lari kepintu pekarangan untuk

membukanja maka dari luar masuklah seorang, jang bukan

lain daripada Ok-Bong Biauw Hiong Tjay si Ular naga

Djahat !

Mengenali tukang pukul Keluarga Tjong, darah Djie

Kang mendjadi mendidih.

"Biauw Hiong Tjay!" bentaknja: "Kau berani

datang kemari? Apakah kau kenal aku?"

Biauw Hiong Tjay menoleh, ia melirik pada pemuda itu,

ia menjeringai. la bertindak terus, tangannja menuntun

dua ekor kuda. Jang seekor jalah si kuda putih dari In Tiong

Hiap hanja sekarang, kuda itu telah menukar pelana

dengan jang baru dan indah sekali. Kuda jang lain, kuda

Hiong Tjay sendiri, digantungi tombaknja jang pandjang

dan beruntje hitam. Itulah tombak "Ok Bong" atau

"Ularnaga Hitam" jang memberi gelarannja. Ia loloskan

tombak itu, untuk terus dipakai mengantjam orang dan

membentaknja.

"Tahan dulu!" mentjegah Bong Hiap.

Tjiauw Kiang madju menghampiri.

"Siauwya!" tegurnja tertawa, "tahukah siauwya bahwa

looya telah turun gunung mentjari siauwya? Tay Tjun turut

bersama"

"Tadinja aku tidak tahu, aku baru ketahui sesudah baru

sadja bertemu Nona Hoa dibawah pohon heng itu," sahutDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

140

Bong Hiap. "Sekarang aku mendapat tahu, bahwa semua

ini jalah gara2nja orang she Lie ini, keluarga kami jang

tidak mempunjai urusan, mendjadi mempunjai urusan!"

"Tetapi djiesiauwya!" berkata Djie Kang: "Tahukah

engkau bahwa urusan ini disebabkan pada tigapuluh tabun

jang lalu waktu ajahmu telah memberikan djandjinja

kepada Kwee Hay Peng, Bukankah kamu ajah dan anak,

semuanja orang-orang gagah kaum Kang Ouw?"

Mendadak Bong Hiap menghunus pedangnja.

"Lagi satu kali kau mengutjapkan itu, aku akan bunuh

padamu!" teriaknia, matanja melotot. "Aku tidak pertjaja

tubuhmu terlebih kuat daripada besi atau kuningan!

Benarkah kau tidak tahu takut? Kau menjebut-njebut Kwee

Hay Peng! Telah aku pergi kerumahnja. Ternjata anak dia

itu mirip dengan kantung nasi! Hanja anak perempuannja,

jang boleh djuga, sajang dia masih terlalu ketjil!"

Lie Djie Kang mendongkol hingga tubuhnja menggigil.

"Ah!" serunja: "Kenapakah kau . . . . kau tertarik pula

oleh Nona Siauw Hosn? Sungguh kaulah si rakus paras

elok! Kau membikin runtuh nama In Tiong Hiap!"

Dimaki begitu, Bong Hiap djusteru tertawa.

"Orang she Lie!" katanja: "Sekarang hanja terbuka dua

djalan untuk kau pilih ! Jang satu jaitu djalan hidup. Telah

aku mentjari keterangan djelas. Kakak seperguruanmu,

jalah Oey Loo Sit, dan Tjoei Koay Tjoei, telah omong

padaku, katanja pedang mustika ini dibikin oleh gurumu

dengan dibantu kau, karena itu pasti sekali kau dapat

membuatnja!"

Djie Kang kaget, lantas dia menggeleng kepalanja.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

141

Bong Hiap mengawasi dergan sinar mata bengis. la

tertawa dan berkata dengan njaring: "Asal kau

mengangguk, kau bersedia untuk membuat beberapa buah

lagi, tjukupp kau membuatnja tak sebagus ini ! Itu artinja

kau hidup, kau bakal mendapat banjak uang!"

Djie Kang menggeleng kepala pula.

"Tak dapat!" katanja membandel. "Djangan kata aku

memangnja tidak sanggup membuatnja, taruh kata aku

sanggup, tidak nanti aku membuatnja untuk orang

sematjam kau! Orang busuk, lekas kembalikan pedang itu

padaku!"

Dalam murkanja Djie Kang madju, berniat merampas.

Bong Hiap mengangkat pedangnja.

"Oh! Kau benar2 mau tjari mampus?" b nlaknja.

"Djikalau aku bunuh kau maka pedangku ini bakal tiada

lawannja lagi" Ketika itu, Biauw Hiong Tjay jang galak

mendadak telah menikam Djie Kang.

Tjie Eng berada disamping mereka, ia melihat gelagat

buruk, ia telah menjiapkan goloknja, maka itu, waktu Djie

Kang ditikam, ia segera menangkis tombak si Ularnaga

djahat.

Bong Hiap djuga gusar, ia menggeraki tangannja jang

mentjekal pedang, atau dari belakang ia, Siauw Sek Tauw

mendjambret memegang lengannja.

Botjah itu berlontjat sambil berteriak : "Djangar,

siauwya! Djangan!"

"Ooo, Siauw Sek Tauw!" kata sipemuda koseu ."Kau

berani"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

142

Siauw Sek Tauw memotong kata2 orang "Lie Toako,

lekas lari! Larilah! Asal kau selamat, sakit hati Nie Thay-Po

tak sukar untuk dilampiaskan!"

Nie Toa djuga tidak senang terhadap Hiong Tjay, ia

membantu Tjie Eng mendesak, djagonja Tjong Haksoe

hingga dia mepet ketembok.

Tjiauw Kiang menjaksikan semua itu, ia mendjadi serba

salah. Dengan terpaksa, ia mengundurkan diri untuk tidak

mentjampuri pertengkaran.

Siauw Sek Tauw ketjil tetapi renaganja besar terus

memegang tangan kanan Bong Hiap hingga pemuda itu

gagal dengan serangannja.

Lie Djie Kang mengerti bahaja, ia sadar, tidak ajal lagi,

ia lari keluar, terus turun gunung.

Siauw Sek Tauw pun ber-seru2: "Lie Toako, lekas lekas!

Lekas lari " Tapi ia tidak memegang tangan orang buat se
lama2nja, selekasnja orang sudah pergi djauh, ia pun turut

mengangkat kaki!

Bong Hiap gusar, sambil membawa pedangnja, ia

mengedjar.

Dengan lekas Djie Kang sudah melewati rumah dimana

adu pohon heng di mana tinggal sinona jang nampak

tjentil, nona mana mendengar suara berisik, maka dia

lantus muntjul diluar pagar pekarangannja, bahkan dia

menghadang Siauw Sek Tauw, jang tiba didepannja.

Botjuh itu mendonikol, ia memapaki si nona dengan

tindju.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

143

"Aduh!" nona itu berteriak, tubuhnja terus roboh

terguling.

Ketika Bong Hiap tiba, ia lantas membangunkan nona

itu.

Siauw Sek Tauw lari terus sekuat-kuatnja, ia berhasil

menjandak Djie Kang, tangan siapa ia lantas tarik, sedang

mulutnja bersuara: "Lekas! Hajo lekas" la menarik tanpa

menghiraukan orang dapat lari keras atau tidak.

Keduanja lari turun gunung, lalu mengikuti djalan

umum, kabur selandjutnja kearah timur. Mereka masih

sadja lari meski sudah melewati sebuah rumah berhala tua

serta sebuah bio rusak.

"Ada apa?" achirnja mereka ditegur beberapa orang

jang berlalu lintas. "Kamu kenapa?"

"Ada pendjahat mengedjar kami!" sahut Siauw Sek

Tauw jang tjerdik. "Kalau kamu menemui mereka dan

mereka menanja tentang kami, kamu bilang sadja tidak

tahu!" Ia menarik Djie Kang, buat kabur terus.

(Bersambung)DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

144

DURHAKA

Jilid : 03

Dituturkan Oleh : Boe Beng Tjoe

//facebook.com/groups/Kolektorebook/

__________________________________

"Bruk!" mendadak Djie Kang roboh saking lelahnja!

Siauw Sek Tauw kaget, ia lekas membangunkannja

untuk mengadjak lari pula. Ia pun takut, maka ia menoleh

kebelakang. Ia mendjadi sangat kaget.

"Tjelaka!" serunia. "Dia menunggang kuda, dia

mengedjar kita!"

Djie Kang merajap bangun, dengan menguatkan hati

dan tenaga, ia ikut lari. Ketika itu, mereka tiba didjalan jang

kedua sisinja merupakan ladang gandum dan padi, dimana

pohonnja bergojang tertiup angin. Dibelakang mereka,

derap kuda Bong Hiap mulai terdengar.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

145
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mari!" berseru Siauw Sek Tauw, jang menarik tangan

kawannja, buat diadjak lari keladang gandum, untuk

menjelusup diantara pohon2 gandum itu, buat

menjembunjikan diri, hingga tubuh mereka lenjap

bagaikan ditelan. Keduanja mendjatuhkan diri rebah

mendekam tanpa berkutik. Tapi mereka memasang telinga

dan mata, untuk mendengarkan derap kuda dan

mengintai.

Ong Bong Hiap datang dengan tjepat. Itu ternjata dari

suara kaki kudanja, jang terdengar semakin tegas. Tak

lama, terlihatlah tubuhnja jang berdiri tegak dialas kuda

putihnja, romannja gagah dan keren. Dia mentjekal

pedang mustikanja jang terhunus.

"Djangan takut," Siauw Sek Tauw berbisik pada

kawannja, jang takut bukan main. "Tapi kita tidak dapat

berdiam lama disini. Setelah lewat, dia segera akan

kembali. Kalau dia tidak melihat kita disebelah depan, dia

mesti tjuriga. Dia tierdik."

Djie Kang berdiam, napasnja masih memburu.

"Biarpun aku dapat lolos tetapi hatiku tidak puas,"

katanja kemudian. "Aku ingin dapat menemui In Tiong

Hiap. .

"Menurut aku sekarang ini kau tidak boleh mengharap

banjak dari dia," kata Siauw Sek Tau. "Didalam perdjalanan

ini, ajah dan anak itu tidak bertemu satu dengan lain,

mungkin disebabkan siajah menukar kuda bulu hitam. Ia

benar gagah dan djudjur, tetapi ia menghadapi anaknja

sendiri, tak peduli anak itu durhaka. Mungkinkah benar ia

akan membunuh anaknja? Dapatkah ia membalaskan sakitDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

146

hati Nie Thay Po? Aku pikir baiklah kita menjingkir dari sini,

untuk berdaja bagaimana baiknja nanti ..."

Djie Kang mengangguk. Sebenarnja ia putus asa.

"Asal kau beserta aku, saudara, hatiku tenang," katanja.

Ia pertjaja botjah ini, jang tadi terbukti mau membantu dan

menolongnja sungguh2.

Habis berkata, pandai besi ini berbangkit. Paling dulu, ia

meraba pinggangnja. Dengan lega hati, ia mendapat

kenjataan uangnja tidak lenjap.

"Mari!" mengadjak Siauw Sek Tauw.

Mereka tidak terus keluar dari ladang gandum,

sebaliknja, mereka njelusup lebih djauh ketempat jang

lebih lebat. Mereka mengambil lain arah, supaja Bong Hiap

apabila dia mentjari kembali tak dapat menemukannja.

Mereka tak menghiraukan gangguannja daun atau

tjabang2 gandum jang tadjam, hingga lengan mereka ter
baret2 luka. Dengan tanah Siauw Sek Tauw memborehkan

lukanja itu. Iapun membuka badjunja, jang ia dapat dari

Pek Ma Looya, sebab badju itu membuat ia gagah.

Djie Kang mengikuti si botjah jang menuntunnja.

Sesudah sekian lama, baru mereka muntjul dari dalam

ladang. Siauw Sek Tauw mendapat kenjataan bahwa

mereka berdua berada didjalan besar jang sama, hanja

gunung Ong Ok San, jang berada disebelah belakang

mereka, sudah terpisah djauh. Berada didjalan umum, hati

si pandai besi masih berdebaran.

"Djangan takut," Siauw Sek Tauw menghibur. "Sekarang

ini tentunja Ong Bong Hiap sudah pulang kegunungnja.

Kita djalan per-lahan2 sadja."DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

147

Djie Kang menghela napas.

"Sjukur Tjie Eng dan Mie Toa menolong," kata ia

bersjukur. "Mereka telah menghalangi Biauw Hiong Tjay,

kalau tidak, habislah kita ..."

"Merekalah murid2nja Pek Ma Looya," kata Siauw Sek

Tauw, "merekapun tahu kau diperlakukan baik oleh Looya,

karena itu, bagaimana mereka dapat membiarkan sadja

kau dibunuh manusia djahat itu? Sendirian sadja aku

berani melawan dia! Dahulu hatiku ketjil, setelah naik

gunung dimana Looya sering bitjara banjak padaku dan

mempeladjari aku silat, hatiku mendjadi berani. Aku tidak

djeri sekalipun terhadap Tjam Liong Tjongsu!"

Mereka berdjalan terus. Tudjuan mereka jalah arah

utara. Selewatnja dua lie, mereka memasuki djalan jang

mulai sempit dan banjak tikungannja. Disitu tidak ada

orang lain. Tanahpun basah. Kemudian mereka mendengar

keritjiknja air. Itulah sebuah solokan, atau kali ketjil, jang

airnja djernih dan dalamnja tjuma lima atau enam kaki,

sehingga tampak dasarnja dan terlihat didasar itu batu2

hidjau. Dikedua tepian tumbuh banjak pohon, jaitu pohon

yang-liu jang tjabang2 dan daunnja merojot turun keair,

bagus dipandangnja. Di situ terdengar suara burung2 dan

tonggeret serta tertampak kawanan tjetjapung dan kupu2

beterbangan.

Ada sebuah djembatan ketjil, jang menghubungi kedua

tepian, maka diatas itu Djie Kang berdua berdjalan, untuk

melintasinja, Siauw Sek Tauw gembira sekali, hingga ia

lompat berd jingkrak, sampai kawannja kuatir ia nanti

terdjeblos djatuh.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

148

"Kau lihat, saudara, bagaimana indah tempat ini!" kata

si botjah. "Mirip dengan gambar lukisan! Tempo aku masih

magang, pernah aku disuruh pergi kerumah seorang

hartawan, dirumah itu aku melihat banjak lukisan seperti

ini, antaranja lukisan para nelajan tukang kaju, petani dan

peladjar, semua itu tak ada jang seindah ini . . ."

Djie Kang lagi memikir lain, ia tidak perhatikan kata2

kawannja itu.

Lewat dari djembatan, mereka menudju terus keutara.

Djalanan masih basah tetapi tikungau sudah berkurang.

Baru mereka djalan kira setengah lie, mendadak Djie Kang

merandak, wadjahnja menggambarkan ketakutan.

"Lihat disana !" katanja, suaranja tidak tegas.

"Bukankah itu seorang jang menunggang kuda putih?"

Siauw Sek Tauw memandang kearah jang ditundjuk itu.

Iapun mendjadi kaget.

"Benar!" sahutnja. "Dialah Ong Bong Hiap. jang lagi

berdjalan pulang! Lihat pedangnja jang berkeredepan! O,

anak tjelaka !"

"Bagaimana sekarang?" Djie Kang tanja, bingung.

"Djangan takut," kata Siauw Sek Tauw. "Mari kita

kembali ! Didjembatan sana, akan aku lajani dia! Biar dia

pandai silat dan menggunakan pedang, akan tetapi

disungai Hong Hoo, aku telah mempeladjari ilmu

berenang!"

"Tetapi, adik, Kau masih terlalu ketjil..." kata Djie Kang

berkuatir.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

149

"Tidak apa, djangan takut!" kata botjah itu. jang njalinja

besar. "Mari!"

Mereka lantas balik. Dengan lekas mereka sampai pula

didjembatan tadi.

Djie Kang letih sekali, napasnja memburu pula.

"Saudara, kau bersembunji disini," kata Siauw Sek

Tauw, jang mengadjak kawannja ketepian utara, dibalik

sebuah pohon yangliu jang besar. Disitu, dikiri kanan dan

belakang, penuh dengan pohon yangliu jang lebat, hingga

sulit untuk orang melihat mereka.

"Kaupun bersembunji disini, adik," kata sipandai besi.

"Tidak!" kata Siauw Sek Tauw. "Aku tidak mau

bersembunji, aku djusteru mau menempur dia! Tanpa

melawan, tidak dapat kita menjingkir dari sini. Asal Biauw

Hiong Tjay menjusul kemari, tjelakalah kita . . . Kau

lihat sebentar, selagi aku melajani dia, kau lari keutara

sana, selewatnja bukit, kau lari kebarat, untuk pergi

keketjamatan Kiok-yauw. Dikota itu kau tjari Gang Kwee

Seng dimana tinggal Tjin Loo situkang warung arak. Nona

mantunja, jang bernama Hie Koh, mendjadi kakak
misanku. Maka disana kau boleh sebut namaku, Siauw Sek

Tauw dari keluarga Tan. Kau boleh sebut djuga pamanku

sebagai sisetan pendjudi, tentu mereka kenal dan mereka

suka menerima padamu, sedikitnja untuk beberapa hari.

Atau kalau mereka menampik, kau tjari lain pondokan

sadja, tetapi setiap hari kau mesti mundar-mandir didepan

warung araknja, sampai nanti aku datang menjusulmu.

Sampai itu waktu barulah kita akan berdaja pula."

Terpaksa, Djie Kang menerima baik pikiran sahabat ini,

sahabat baru jang telah mendjadi sahabat karib, jang miripDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

150

sandara-angkat. Ia sampai mengeluarkan air mata karena

perasaan bersjukur, dan terharu sekali.

"Hanja, adik," katanja, "bagaimana kalau sampai

terdjadi sesuatu atas dirimu?"

"Tidak apa, kau djangan kuatir," kata Siauw Sek Tauw.

"Kau tunggu aku sampai sepuluh hari, selewatnja itu,

apabila aku tetap tidak dalang, nah, kau berdajalah sendiri.

Tak dapatkah kau pergi sendirian ke kota radja?"

Djie Kang berdiam. Itulah benar.

Ketika itu, penunggang kuda putih tadi sudah

mendatangi semakin dekat. Siauw Sek Tauw meninggalkan

kawannja, ia lari kedjembatan. Ia mendjatuhkan diri, untuk

mendekam, hingga lagaknja mirip seekor kera.

Selagi penunggang kuda mendekati djembatan, hati Djie

Kang memukul. Hatinja tegang sekali. Ia kuatir untuk si

Batu Ketjil, jang njalinja demikian besar. Dari tempat

sembunjinja, ia terus memasang mata. Ia bisa melihat

dengan leluasa.

Segera djuga penunggang kuda putih itu sudah sampai

dimuka djembatan. Dia benar Ong Bong Hiap, putera In

Tiong Hiap. Diapun telah melihat dan mengenali si Batu

Ketjil. Dia mendjadi gusar. Dia lompat turun dari kudanja,

untuk menghampirinja.

"He, Siauw Sek Tauw, botjah tjilik, apakah kau tjari

mampus?" tegurnja sengit. "Lekas katakan padaku,

kemana larinja Lie Djie Kang!"

"Aku djusteru mau tanja kau!" Siauw Sek Tauw

menjahut: " Apakah benar2 kau hendak membunuhnja?DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

151

Kau harus ketahui, kalau nanti Pek Ma Looya pulang,

hendak aku tuturkan semua peristiwa ini "

"Hm, machluk tjilik!" kata Bong Hiap sambil tertawa
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tawar. "Kau berani menentang aku? Djikalau aku hendak

membunuh kau, dapat aku lakukan dengan mudah seperti

aku menjembelih seekor ajam sadja!"

Siauw Sek Tauw berbangkit berdiri, dia mengangkat

kepala dan dadanja. Dia menepuk2 dadanja jang

digelembungkan itu.

"Aku tidak pertjaja!" katanja gagah. "Aku tidak pertjaja

kau berani membunuh aku! Tjam Liong Tjongsoe, kaulah

manusia tjelaka, manusia hina-dina! Tuan ketjilmu tidak

takut padamu!"

Bukan kepalang gusarnja Bong Hiap. Ia lantas

menuntun kudanja dengan tangan kirinja, dengan tangan

kanannja, ia mentjekal keras pedangnja. Lantas ia mendaki

djembatan ketjil itu.

Siauw Sek Tauw mundur dengan perlahan-lahan.

"Kau tidak tahu diri!" katanja mengedjek. "Di Hoa Im,

kau telah membikin malu keluargamu! Disana orang

menggunakan anak angkatnja, membikin kau terdjebak,

hingga kau membuat ajahmu mendongkol! Sekarang

disini, dengan pedang mustikamu, kau menggertak aku!

Tidak tahu malu!"

"Anak tjelaka!" Bong Hiaplmendamprat dalam murkanja

jang sangat. Ia madju terus, wadjahnja bengis. Mendadak

ia madju sambil menusuk.

Siauw Sek Tauw tidak menangkis atau berkelit, ia hanja

terdjun kekali, untuk terus selulup kedasar sungai, gunaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

152

mengambil beberapa bidji batu. Karena itu, kakinja djadi

muntjul dipermukaan air.

Bong Hiap berdjongkok, ia menikam kaki orang itu.

Siauw Sek Tauw tahu bahwa ia akan ditusuk, maka

setelah memegang batu, ia lantas menarik kakinja, untuk

timbul dimuka air, dan terus menimpuk djago muda itu.

Bong Hiap kaget, ia merasa sakit. Sebuah batu

mengenai mukanja, sebab serangan itu diluar dugaannja.

Seranganpun datang dari djarak dekat dan sangat pesat.

Ia sampai mesti mengusap-usap mukanja.

Habis menimpuk, Siauw Sek Tauw berenang ketepi,

untuk naik kedarat, dan lari kedjembatan, untuk mengusir

kuda putih.

Binatang itu kaget, dia berdjingkrak. Bong Hiappun

kaget. Ia memegang tali les maka tali itu kena tertarik,

hingga sendirinja, ia tertarik pula. Ia bertahan, toh

tubuhnja terhujung.

Siauw Sek Takw berani sekali, dia lompat sambil

menindju punggung orang.

Bong Hiap mentjoba berkelit, untuk menangkis, tetapi

tnbuhnja telah kena dibentur, sehingga ia terhujung djuga.

Ketika ia mendjambret botjah itu, sibotjah menariknja

lantas ketjemplung kedalam kali.

Suara air mendjubjar njaring dan airpun muntjrat tinggi.

Didalam air Siauw Sek Tauw lantas bekerdja.

Bong Hiap tidak mau melepaskan pedangnja, hal itu

menjulitkan perlawanannja. Ia pun gelagapan, karena air

lantas menjerang matanja dan masuk kedalam mulutnja.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

153

Pedangnja tidak dapat digunakan. Ia dipegang pada

kepalanja, untuk dilelapkan. Tapi ia djuga bisa berenang,

ia dapat mengangkat kepalanja, keluar dari permukaan air.

Si Batu Ketjil berkutat terus, tapi ia tidak melupakan

kawannja. Satu kali selagi ia keluar dari dalam air lantas ia

berseru: "Lie Toako, lekas pergi! Lekas pergi!"

Djie Kang terperandjat. Baru sekarang ia sadar. Tadinja

ia mengintai terus, hatinja gontjang keras. Ia

menguatirkan keselamatan kawan tjilik jang gagah berani

itu. Karena sangat terpaksa, ia keluar dari tempat

sembunjinja untuk lari pergi. Ia lari kentara, sedang kuda

putih kabur keselatan. ia tidak dapat lari tjepat, sering2 ia

menoleh kebelakang, untuk melihat Siauw Sek Tauw.

"Mana dapat dia melawan Bong Hiap ?" pikitnja,

bingung. "Kalau diamati, apa artinja hidupku seorang diri?

Aku mesti merasa malu sendiri!"

Toh ia lari terus, makin lama makin djauh. Beberapa kali

ia menghela napas, menjesalkan diri sendiri. Karena alpa,

ia membikin dirinja terdjebak, hingga pedangnja lenjap. Ia

sangat takut pedang itu djatuh ditangan orang djahai,

sebab itu berarti dosanja.

"Kalau begini," katanja, "aku mesti membuat pedang

lain, guna melawan pedang Pek Kong Kiam itu. Untuk itu,

perlu aku hidup terus. Aku mesti mnnebus dosa. Aku mesti

membuat pedang, guna mewudjudkan pembalasan sakit

hati itu! Kalau tidak sia-sialah pesan guruku"

Memikir demikian, Djie Kang djadi dapat semangat,

maka sekuat tenaga ia lari terus, ia menudju langsung

keutara, sampai belasan lie. Achirnja, ia tiba dikaki gunung

Hoo San dimana ada sebuah tempat jang ramai, IaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

154

mampir, untuk paling dahulu menangsal perut. Ia lapar dan

dahaga, ia letih bukan main. Dengan beristirahat dan

sesudah dahar, per-lahan2 pulih kembali tenaganja. Habis

bersantap, ia mentjari rumah penginapan. Maka pada

malam itu dapat ia beristirahat. Besoknja pagi2, ia sudah

bangun dan pergi keluar, untuk djalan mundar-mandir

didjalan besar. Sampai setengah hari ia putar-kajun, ia

tidak melihat Siauw Sek Tauw.

"Mungkirkah dia tak lolos?" pikirnja. Maka ia djadi

berkuatir dan berduka.

Kebetulan waktu itu ada seiombongan saudagar jang

hendak melewati gunung untuk pergi kebarat, Djie Kang

ikut dibelakang mereka itu, hingga ia dapat melewati d

jalan gunung Hoo San jang bet-liku2 itu. Disepandjang

djalan, ia me-nanja2, hingga tahulah ia, bahwa kalau ia

djalan terus, ia akan sampai diketjamatan Kiok-yauw. Ia

berdjalan terus tanpa menjewa kereta. Sekarang ia

memusatkan pikiran pada gurunja, pada saat guru itu

mcmbuat pedang. Ia hendak membikin pedang mustika,

maka ia mesti ingat baik2 tjara kerdja gurunja itu, sehingga

sering ia mengotjeh seorang diri : "Ukuran dapur mesti

sebegini besarnja dan mulutnja sebesar itu. . ." ia

memetakan dengan kedua tangannja. Iapun memungut

batu, untuk dipakai memukul seperti djuga ia lagi

menggunakan martil. Pikirnja : "Aku mesti gunai tenaga

sebesar ini. . . ."

"Biarlah, Ong Bong Hiap!" kemudian dia ngelamun

terlebih djauh. "Biarlah kau memilik pedang Pek Kong Kiam

itu! Aku akan membuatnja sepasang jang lain, aiau

mungkin sepaluh buah, jah, seratus buah, untukDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

155

menentangmu! Dapatkah kau membela terus sihaksoe tua

djahat itu? Tidak! Tidak!"

Pada waktu demikian, mata pandai besi mengeluarkan

sinar bertjahaja!

Malam itu Djie Kang singgah disebuah dusun, jang

bernama dusun Po In Sie. Ia senang dengan nama dusun

itu. "Po In" berarti "membalas budi." Memang tjita2nja

untuk membalas budi gurunja. Ditempat perginapan, iapun

berkenalan dengan seorang tetamu, seorang sioetjay,

tamu itu ditenpat mondoknja tidak melupakan kitabnja,

dia membatjanja diluar kepala per-lahan2.

"Mungkin dia mau pergi kekota radja untuk turut dalam

udjian ilmu surat," pikirnja. "Baik aku minta

perlolongannja, buat menuliskan surat, buat menitipkan

surat itu djuga padanja. Ia mau memesan ringkas sadja,

julah : "Hay Pang dari Hay Kauw sudah menutup mara

semua, karena itu aku harap Hay Auw djangan melupakan

djandji dahulu hari itu." Akan tetapi, waktu ia bitjara

dengan sioetjay, ia ketjele. Orang bukan mau pergi ke

Pakkhia hanja ke Thaygoan, untuk menempuh udjian

kiediin.

"Sajung," katanja didalam hati. Karena nja, mereka djadi

bitjara sadja mengenai lain hal.

Sioetjay itu mengira sahabat ini gemar ilmu surat, tetapi

karena miskinnja dia mendjadi tidak memperoleh

kesempatan untuk beladjar, maka ia lantas mengandjurkan

orang bersabar dan beladjar dengan perlahan2 sadja.

Tadi Djie Kang mendengar sisioetjay me-njebut2 "Tjie

Tian" dan "Tjeng Song" jang berarti "Kilat merah" "dan Es

hidjau" ia tidak mengerti itu, maka ia tanju kenalannja ini.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

156

"Itulah namanja dua buah pedang didjaman dahulu

kala," menerangkan sisioetjay.

"0, begitu," kata pandai besi ini. ia lantas ingat suatu

apa. Tidak ajal lagi, ia minta sahabatnja itu tolong

menulissannja pada sehelai kertas.

"Untuk apakah itu?" tanja sisioetjay heran.

"O, tidak, tidak buat apa?," Djie Kang menggos. "Aku

tjuma senang mendengar nama jang bagus itu."

Sioetjay itu menuliskan, atas nama Djie Kang

mengutjapkan terima kasih Ketika ia masuk kekamarnja, ia

menjin pan baik2 tjatatan itu, ditjampur dengan tjeknja.

Besoknja pagi, Djie Kang melandjutkan perdjalanannja

kebarat. Dekat sore hari, ia tiba di Kiok-yauw. Mudah sadja

untuknja mentjari Gang Kwee Seng didalam kota, itulah

sebuah gang disebuah d jalan besar. Disitu pula tjuma

terdapat beberapa buah warung, jang lainnja rumah

tinggal semua, ia menghampiri sebuah warung arak, jang

sudah menurunkan mereknja. Disitu orang tengah

menjalakan api.

"Mungkin Siauw Sek Tauw tidak ada disini. . ." pikirnja

ragu2. "Apa aku mesti bilang apabila aku menemui

sanaknja ini ?" Ia lantas mengambil Keputusan. Ia

bertindak masuk, buat ber-pura2 mendjadi seorang tamu.

Ia melihat tidak ada tamu lainnja, sedangkan kursi dan

medja sudah tua.

Seorang njonja muda mendjaga warung itu.

"Dia tentulah Hie Koh, kakaknja Siauw Sek Tauw," pikir

Djie Kang. Ia mengangguk hormat pada njonja itu.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

157

"Tuan mau minum arak ?" sinjonja tanja ramah.

"Benar," sahut sipandai besi mengargguk. "Aku Sekalian

hendak menanjakan satu orang, jaitu Siauw Sek Tauw. Dia
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjuruh aku dayang lebih dahulu disini untuk

menantikannja. . ."

Meski ia berkata begitu, Djie Kang tidak berani

mengharap orang sudah berada didalam warung arak itu.

Sinjonja sebaliknja, mendengar disebutnja nama Siauw

Sek Tauw, lantas mengawasi ia setelah mana, dia menoleh

kedalam, untuk mendengarkan suaranja: "Siauw Sek

Tauw, mari! Ada orang mentjarimu."

Hanja dalam sedetik itu, Djie Kang mengalami ber
djenis2 perasaan. Ia heran, ia girang, iapun bersangsi.

"Benarkah Siauw Sek Tauw sudah sampai terlebih

dahulu? ..." pikirnja. Maka ia pun mengawasi ke dalam.

Bagian dalam warung itu remang remang. Segera

terdengar tindakan kaki jang berat tetapi tjepat, lantas

tertampak muntjulnja satu orang. Benar2 dialah Siauw Sek

Tauw, si botjah. Dia puan telah melihat tetamunja.

"Lie Toako!" dia berseru sambil berlompat, berlari

keluar. Dia menjamber tangan orang, untuk dipegang

dengan keras. "O, toako!" Tapi dia tertawa, karena dia

girang sekali.

Sebaliknja dengan Djie Kang. Pandai besi ini

mengutjurkan air mata, karena sangat terharunja. Toh ia

pun girang. Siauw Sek Tauw tidak kurang suatu apa, lebih2

tubuhnja terlihat tegas sekali, sebab dia tidak mengenakan

badju. Djangan kata luka, letjetpun tidak.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

158

"Hai, adik!" katanja, gembira: "Bagaimana kau dapat

sampai terlebih dahulu?"

"Itulah disebabkan karena di sepandjang djaian," sahut

Siauw Sek Tauw, "apabila aku lagi gembira, aku lari se
keras2nja, atau aku membontjeng setjara diam-diam di

belakang kereta orang . . . Eh, toako," dia menambahkan

dengan suara perlahan2 kau masih mempunjai uang atau

tidak?"

Djie Kang mengangguk.

"Ada, masih banjak," sahutnja terusterang.

Mendadak Siauw Sek Tauw berkala dengan keras:

"Toako, mari kau berikan aku uang! Hendak aku membeli

daging dan lainnja, supaja kau dapat mendjamu tamu? Kau

mesti undang sekalian semua sanakku!" Djusteru itu dari

dalam muntjul dua orarg, pria dan wanita, jang usianja

sudah enampuluh lebih masing2. Mereka itu mengawasi

tamunja.

Siauw Sek Tauw segera saling mengenalkan. Mereka

ilulah mertuanja si njonja muda.

Djie Kang merogo sakunja, mengeluarkan uang

beberapa tahil, jang ia serahkan pada Siauw Sek Tauw,

botjah itu lantas lari keluar, untuk pergi berbelandja.

"Djangan beli banjak2!" kata kedua orang tua itu. "Kami

sudah dahar ..."

"Djangan sungkan, loo tia dan loo-ma," berkata Siauw

Sek Tauw. "Lie Toakoku ini datang dari tempat djauh dan

aku pun harus menggunakan uangnja untuk mejambut

padanja, hanja sebentar, kalau daging datang, aku mohonDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

159

kakakku bertjapai sedikit untuk mematangkannja, supaja

kami dapat bersantap!"

"Boleh, boleh!" berkata si orang tua. "Nah, Lie Toako,

silahkan duduk! Mau minum arak dulu, sekalian kau

beristirahat!"

Djie Kang berlaku hormat, ia mendjura.

"Terima kasih, loope," katanja. "Aku dengan Siauw Sek

Tauw ada bagaikan saudara kandung, maka itu aku datang

kemari dengan niat bersama dia mengusahakan sesuatu.

Mungkin kami bakal mengganggu lerbih djauh kepada

loope."

Orang iua itu tertawa.

"Tidak apa!" katanja. "Selandjutnja baiklah kita

memandang diri kita sebagai sesama orang sekeluarga."

Selagi Siauw Sek Tauw pergi, si empe menjuruh

menantunja menjuguhkan arak serta dua piring lauk

pauknja sebagai temannja minuman keras itu.

Djie Kang mengutjapkan terima kasih. Ia tidak minum

arak, hendak ia menantikan dulu Siauw Sek Tauw. Ia lantas

merasa tak leluasa sendirinja karena tuan dan njonja

rumah, berikut si njonja muda, berlaku sangat manis

kepadanja.

Tidak lama, Siauw Sek Tauw sudah kembali. Selain

daging, ia membeli ketjap, minjak, bawang, peijay dan

bumbu lainnja, jang semuanja diserahkan pada kakak

misannja dengan permintaan tolong agar si kakak

mematangkannja.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

160

Hie Koh gembira, seorang diri ia bekerdja didapur,

sedang empe Tjin dan isterinja kembali kedalam. Dengan

begitu, Djie Kang djadi duduk berdua sadja dengan Sek

Tauw, sambil berbitjara, mereka minum arak perlahan
lahan. Mereka djuga bitjara dengan perlahan sekali.

"Ketika aku datang kemari, hampir aku gagal," kau? si

botjah. "Inilah disebabkan soal uang, soal harta! Kau tahu,

Tjin Loo dan isterinja berpura pura tidak mengenali aku,

sedang kakakku berlaku dingin sekali. Dia kata aku mirip

pamanku, kalau aku sudah meludaskan harta dimedja djudi

tentu aku habis membuat onar. Aku berkata bahwa aku

menantikan sahabat, mereka tidak pertjaja. Iparku tidak

ada di rumah, dia lagi berdagang di luar. Aku hendak

membantu mengurus warung araknja ini, mereka pun

berkeberatan. Maka itu, selama dua hari, untuk makanku,

aku mesti mentjari sendiri diluaran, aku membantu

membersihkan kereta atau meroskam kuda, tak pernah

aku dahar nasi mereka. Disini aku melainkan menumpang

bermalam. Tapi sekarang, kau lihat sendiri, dengan

datangmu, sikap mereka lantas berubah, bahkan aku, aku

diperlakukan manis. Inilah pengaruh uang! Tidakkah itu

menjebalkan?"

Djie Kang menghela napas.

"Sekarang, adikku, tjoba kau tjeritakan, bagaimana kau

dapat meloloskan diri?" dia tanja. "Bagaimana dengan

Bong Hiap?"

Lantas tampak Siauw Sek Tauw penasaran sekali.

"Bitjara dari hal ilmu berenang, aku menang unggul!"

katanja sengit. ?Hanja dalam hal ilmu silat dan tenaga, aku

kalah d jauh. Aku hendak merampas Pek Kong Kiam, tetapiDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

161

gagal. Dia memegangnja keras sekali. Selagi kita berkutat

terus, aku melihat Biauw Hiong Tjay mendatangi, terpaksa

aku meninggalkannja kabur. Aku lari dengan berenang

terus mengikuti aliran air."

"Sajang!" kata Djie Kang. "Bagaimana kau rasa, apakah

mungkin mereka dapat menjusul kita datang kemari?"

Siauw Sek Tauw menggeleng kepala.

"Tidak nanti!" sahutnja."Mereka tahu kau mau ke

Pakkhia, itu berarti kau mesti menudju ketimur, siapa tahu,

kita djusteru berada diarah barat ini. Ini pula merupakan

sebuah ketjamatan ketjil, tak nanti mereka mentjari kita

kesini. Maka aku pikir, sebaiknja kita beristirahat disini

beberapa hari sambil memikirkan daja upaja."

"Aku telah memikirkan sesuatu, aku melainkan

membutuhkan bantuanmu, adik."

"Apakah itu, toako? Tak usah toako menjebutkannja,

pasti aku bersedia membantumu!"

Berkata begitu, si Batu Ketjil mengangkat kepalanja.

Djie Kang berdiam, ia menenggak araknja.

Sebentar lagi, Hie Koh muntjul membawa barang

makanannja. Siauw Sek Tauw lantas memisahkan sedikit,

bersama araknja, ia bawa kedalam untuk disuguhkan

kepada Empe Tjin dan isterinja. Untuk kakaknja, ia minta

si kakak mngambil sendiri. Habis itu, baru ia be dahar

berdua Djie Kang.

Sekarang Siauw Sek Tauw mendapat kenjataan warung

arak itu sepi. Pantas iparnja pergi mentjari pekerdjaan lain.

Selama ia berada be sama Djie Kang tjuma seorang nonaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

162

datang membeli arak dua tahil dan dua orang duduk

minum sambil pasang emong, minumnjapun sedikit.

Pantas Empe Tjin murung sekali.

Besok paginja, Djie Kang bitjara dengan Empe Tiin. Ia

kata hendak menjewa rumah belakaag si empe, untuk

membuka bengkel besi. Ia menawarkan harga sewa jang

baik hingga si empe lantas menerimanja dengan senang.

Dia kata, djangan kata rumahnja dibuat bengkel, buat apa

lainnja pun terserah pada sipenjewa.

Djie Kang lartas mengeluarkan uang dan minta Siauw

Sek Tauw jang pergi belandja, membeli martil, sapit, besi

landasan, tahang air, besi hantjuran, kaju, arang batu

dan lainnja keperluan bengkel besi.

Dua hari sudah Siauw Sek Tauw bekerdja diluaran, ia

telah kenal banjak orang, maka itu, selama tiga hari, ia

dapat membeli segala barang jang dibutuhkan Djie Kang.

Kemudian ia diminta membeli tanah, pasir dan batu bara

untuk membuat dapur.

Djie Kang bekerdja keras, Lima kali sesudah ia merubah

dapurnja, ia baru dapat membuat tempat pembakaran jang

sama seperti pembakaran Gouw Bok Ya mendiang gurunja,

begitu pan hongkoeinja, jaitu alat tiupnja. Maka itu, pada

saat lain, ia sudah mulai menjalakan api.

Siauw Sek Tauw jang mendapat tugas membuat api

mendjadi marong, bagaimana api harus dimainkan

mendjadi besar, ketjil dan sedang.

Setelah itu, Djie Kang mulai membakar besi dan

badjanja, untuk dibikin lembek. Sesudah hawa api panas,

pintu ditutup pula rapat-rapat, maka mereka berduaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

163

bermandikan keringat. Djie Kang sudah biasa, akan tetapi

matanja masih mengeluarkan air.

Ketika ia mulai, diam-diam Djie Kang berdoa, memudji

kepada arwah gurunja:

"Suhu, Kwee Soe-siok dan Nie Thay Peng jang setia,

inilah Lie Djie Kang, murid dan keponakanmu! Para

malaikat jang sedang lewat, harap kamu djuga

mengetahuinja! Mengingat kesetiaanku, aku mohon supaja
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibantu agar berhasil membuat pedang mustika! Aku

membuat pedang bukan untuk maksud djahat, hanja guna

menentang pedang Pek Kong Kiam, agar pedang Pek Kong

Kiam itu tidak sampai digunakan untuk maksud djahat dan

kedji! Hem. aku membuat sepasang pedang jang selama
lamanja nanti membela keadilan daa perikemanusiaan!"

Seperti gurunja dulu hari, Djie Kang mula2 membuat

besi mendjadi sebatang tongkat. Ia membakar, ia memalu,

ia merendam dan membakar dan memalu pula, demikian

tak hentinja, saling ganti berganti. Maka djuga, setiap kali

ia memalu, suaranja berisik sekali. Selain sepasang pedang

ia djuga sekalian membikin sebuah golok ketjil dan pendek,

pandjangnja tidak sampai lima dim. Ia memalu, membakar

dan mentjelup sama seperti gerak gerik gurunja. Ia

menelad benar-benar. Ia pun senang melihat Siauw Sek

Tauw membantunja sungguh sungguh. Botjah itu tjerdas

dan lekas mengerti.

Dua batang besi itu serta sebilah golok ketjil rampung

dalam tempo lima malam. Ketika ditjoba, golok ketjil itu

tadjam luar biasa, dapat dipakai menabas putung besi besi

potongan. Bukan main girangnja si botjah, hingga ia

berdjingkrakan.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

164

"Kan simpanlah baik-baik," pesan Djie Kang. "Djangan

kau sembarang pertundjukkan ini dimuka orang banjak."

Djie Kang sendiri djuga girang bukan buatan. Tahulah ia

bahwa ia bakal berhasil membuat sepasang pedangnja,

jang ia sudah terapkan akan beri nama Tjie Tian dan Tjeng

Song, atau lengkapnja Tjie Tian Kiam dan Tjeng Song

Kiam. Sekarang ia msrubah tjara kerdjanja. Untuk

membuat pedang ia bekerdja pada waktu malam. Pada

waktu siang, ia membikin gunting dan golok biasa, jang ia

suruh Siauw Sek Tauw mendjualnja atau ia kirim diwarung

arak. Didalam tempo pendek, gunting dan goloknja djadi

terkenal, lantas banjak pembeli datang sendiri

kebengkelnja. Melihat banjaknja orang, ia mendjadi djeri

sendirinja. Bukankah ia lagi menjembunjikan diri? Lekas ia

merubah pembuatan gunting dan goloknjn itu. Sekarang

buatannja mendjadi djelek, sampai ada pembeli jang

membajarnja pulang.

"Kenapa buatanmu makin lama makin buruk?" demikian

orang menegur.

Djie Kang diam sadja. Diam diam ia bergirang.

Selama itu, dua sahabat ini hidup dengan tjara hemat

sekali. Kadang-kadang sadja mereka membeli daging dan

membagi sebagian pada Empe Tjin. Siauw Sek Tauw diam
diam suka membelikan pupur dan yantjie buat Hie Koh.

Uang sewa rumah sebaliknja tak pernah diabaikan.

Keluarga Tjin itu berkesan baik terhadap mereka,

Maka tidak ada jang menggerutu karena Djie Kang

bekerdja malam hingga berisiklah suara hongkoei dan

tingtong nya. Setiap sore, pintu sudah ditutup rapat-rapatDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

165

dan api diketjilkan, sebaliknja dari djendela sering terlihat

letikan2 api.

Tanpa diketahui siapa djuga, ketjuali mereka sendiri

berdua, Djie Kang sudah membikin kedua buah pedangnja,

jang sudah mulai berbentuk pedang, sehingga selandjutnja

tinggal mengetuk pinggirannja sadja untuk dibikin

mendjadi tadjam dan halus. Dengan tekun ia membakar,

mengetuk dan merendam dan mengetuk pula, merendam

lagi, mengulanginja membakar. Demikian seterusnja. Ia

sabar dan ber-hati2.

Sang tempo berdjalan lekas, dua bulan sudah lewat

seperti tanpa terasa.

Dekat tanggal limabelas bulan delapan, Djie Kang sudah

membikin pedangnja rampung sembilanpuluh bagian.

Maka satu hari sebelum itu, ia kata pada Siauw Sek Tauw:

"Kita harus beristirahat dua hari. Habis hari raja, baru kita

bekerdja pula."

Siauw Sek Tauw menurut sadja.

Kedua pedang jang belum rampung itu disimpan dengan

dimasukkan kedalam dapur, serta api dapurpun

dipadamkan. Untuk tidak menganggur, sibotjah

menggosok gunting dan golok jang belum laku, jang ia

djual satu hari sebelum hari raja Tiong Tjiu.

Hari itu ramai sekali. Banjak orang jang merdjual daging

dan buah dan lainnja. Karena itu, Siauw Sek Tauw memikir

waktu pulang, ia mau belandja, membeli buah-buahan dan

kuwe untuk sebagian bagikan kepada Empe Tjin supaja

tuan rumah itu girang. Hie Koh pun harus dibikin senang,

sebab suaminja tidak pulang tetapi dia harus dapat djuga

makan kuwe. Hanja hari itu tidak ada orang jang mau beliDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

166

gunting atau golok, ia tidak putus asa, ia putar-kajun terus,

tiap2 kali ia menawarkan gunting dan goloknja itu. Sampai

sang magrib tiba, ia masih belum pulang2 golok atau

guntingnja belum laku djuga.

"Gunting! Gunting!" ia berteriakan. "Golok! Hajo, siapa

mau beli gunting dan golok murah?" lapan mengetuk

gunting dan goloknja, membikin suaranja njaring. Dengan

djenaka, ia djalan berdjingkrakan, hnja sekarang ia

berdjalan menudju pulang.

"Siauw Sek Tauw! Siauw Sek Tauw !" tiba2 terdengar

suara memanggil dari arah belakang. Ketika itu, Siauw Sek

Tauw belum sampai di Gang Kwee Seng. Suara iturada

dalam dan seperti dikenal. Dengan tiba-tiba ia berhenti

bertindak, lalu menoleh kebelukang. Ia melihat seorang

jang bertubuh tinggi dan besar menjingkit kesampng

tembok dimana keadaan ada gelap. Ia heran kali.

"Siapa ?" ia tanja. "Siapa memanggil aku?" Iapun

berdjalan untuk menghampiri orang itu. Waktu ia sudah

datang dekat, ia medjadi terperandjat.

"Oh. Pek Ma " serunja tertahan.

Orang itu segera berkata : "Djangan bersuara keras!

Djangan kau menangis!" Dia menoleh kckiri dan kanan,

untuk melibat ada siapa di-dekat2 mereka.

Siauw Sek Tauw berdiam, akan tetapi ia lantas memberi

hormat.

"Kenapa Looya berada disini?" tanjanja tetap heran.

"Aku baru sadja sampai," sahut orang itu, jalah In Tiong

Hiap alau Pek Ma Looya. "Kau tinggal bersama siapa?"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

167

"Aku tinggal bersama Lie Djie Kang, Looya. . . "

"Apakah tempat itu sepi?" In Tiong Hiap tanja pula.

Siauw Sek Tauw mengangguk.

"Sepi djuga," sahutnja. "Kami tinggal di rumah Empe

Tjin, hanja di ruangan lain. Tuan rumah itu pernah

sanakku."

"Djikalau aku pergi ke rumahmu itu untuk menumpang

satu malam, apakah sanakmu itu dapat menutup

mulutnja?"

Siauw Sek Tauw berdiam. Ia heran sekali. Tak mengarti

ia maksud djago ini. Kenapa orang djadi bersikap demikian

rupa, seperti orang jang ketakutan atau sangat berhati

hati.

"Dapat dia menutup mulut," katanja. "Hanja tolong

Looya berikan aku sedikit uang guna aku membeli kuwe

tiongtjiu, untuk menjumpai mulutnja. Aku tanggung

mulutnja akan tertutup rapat sekali."

In Tiong Hiap merogo kesakunja, mengeluarkan

sepotong perak. Ketika itu tangannja menjentuh goloknja

hingga sendjata itu bersuara njaring.

Siauw Sek Tauw menjambuti uang itu.

"Rumahku didalam Gang Kwee Seng itu," katanja sambil

menundjuk. "Silahkan Looya menanti disana, aku lekas

akan menjusul. Rumah itu jalah sebuah warung arak."

"Aku mengerti," kata In Tiong Hiap. "Aku akan pergi

kesana dan menunggu kau, asal kau lekas sedikit."DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

168

Botjah itu mengangguk. Lantas ia mengawasi djago tua

itu pergi kearah Gang Kwee Seng.

"Heran!" pikir botjah ini.

Sang waktu lewat terus. Sang sore telah tiba. Si Puteri

Malampun mulai muntjul.

Lekas2 Siauw Sek Tauw pergi kewarung terdekat, jang

sedang mulai ditutup. Ia membeli dua kati tiongtjioe-phia.

Setelah membajar dan menerima uang kembaliannja,

lekas2 ia berdjalan pulang. Baru dua tindak ia memasuki

gang, atau ia mendengar derap kuda dibelakangnja. Ia

lantas berpaling.

Itulah dua orang penunggang kuda, jang berdjalan

didjalan besar, melewati muka gang, menudju terus ke

utara.

Siauw Sek Tauw melihat dua orang itu, terutama jang

disebelah belakang : Seorang wanita. Ia heran, wanita itu

dapat naik atas punggung seekor kuda jang tinggi dan

besar sekali. Karenanja, ia lari kemuka gang, untuk melihat

lebih tegas. Ketika itu, kedua penunggang kuda itu masih

belum lewat djauh. Dari siwanita hanja teriihat kundainja

jang besar.

"Ah, biarlah," pikirnja. Maka ia berdjaian pulang. Ia tidak

kenal siwanita atau temannja, ia tidak mempunjai sangkut

paut denjan mereka itu. Ia sekarang heran dan girang.

Heran sebab bertemu In Tiong Hiap inilah diluar

dugaannja. Ia girang untuk pertemuan itu sendiri. Apa jang

ia bisa duga jalah mungkin Pek Ma Looya sudah berkelahi

dan telah membunuh orang, karena itu dia hendak

menjingkir dari tangan alat2 negara. Kapan ia ingat Lie Djie

Kang serta pedang jang lagi dibikin, ia berkuatir.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

169

Bagaimana kalau Pek Ma Looya mampir pada mereka dan

rumah mereka digerebeg ? Pasti gagal pekerdjaannja Djie

Kang membuat pedang mustika. Dilain pihak, kebetulan

sekali tibanja djago tua itu, sebab sekalian sadja pedang

mustika dapat diserahkan padanja, guna dipakai

menentang Pek Kong Kiam. Dengan begitu, In Tiong Hiap

bakal berhasil membalaskan sakit hatinja Nie Thay-Po.

Siauw Sok Tauw berdjalan dengan tjepat.

"Siauw Sek Tauw!" tiba2 ia mendengar panggilan,

sekarang dari arah depannja. "Kau sudah kembali?"
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itulah suaranja In Tiong Hiap.

Girang Siauw Sek Tauw, ia mempertjepat langkahnja.

"Pek Ma Looya!" katanja.

"Sst, djangan bitjara keras!" berkata djago tua itu.

Sibotjah heran. Ia lantas melihat kesekitarnja. Didalam

gang itu tidak ada lain orang ketjuali mereka berdua.

Lekas2 ia datang dekat.

"Looya datang darimana ?" tanjanja perlahan. Ia

dongak, untuk mengawasi wadjah djago tua itu.

Paras In Tiong Hiap putjat, kumisnja kusut.

"Hm! Hm!" ia mendengarkan suaranja tidak lebih. Ia

mengulur sebelah tangannja, memegang tangan botjah

didepannja.

Kembali Siauw Sek Tauw heran. Ia merasakan tangan

looya itu gemetar, ia mengawasi. Sekarang ia melihat

lengan kiri orang terluka, badjunja berdarah. Ia kaget,DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

170

herannja bertambah, ia tidak berani menanja, maka ia

terus mengawasi sadja.

"Mari, looya!" kaianja sedjenak kemudian. Ia menuntun

djago tua itu Ke rumah Empe Tjin.

"Inikah rumahmu?" tanja Pek Ma KieHiap.

"Ja," sahut sibotjah. Pintu sudah dikuntji, dari dalam tak

nampak sinar api. Tapi ia mendekati djendela, ia mengulur

sebelah tangannja. Disitu ada udjung Dalang pintu, maka

dengan palangnja ditarik, pintu lantas terbuka.

"Mari masuk, Looya!" katanja.

In Tiong Hiap tidak melihat orang. Dari djendela, sinar

rembulan masuk kedalam.

"Kau kuntji pintu!" katanja, sedang ia sendiri menarik

medja, untuk dipakai menggandjal.

Siauw Sek Tauw mengadjak d jago itu kebelakang,

kekamarnja sendiri. Dije Kang ada didalam kamar, jang

apinja terang.

"Lie Toako, mari keluar!" si botjah memanggil, ia

menolak pintu, untuk melongok dengan separuh tubuhnja.

"Pek Ma Looya datang!"

Baru sekarang Sek Tauw bertindak masuk. Paling dulu

ia meletakkan gunting dan goloknja, sidang kuwenja terus

dibawa kekamar Emnpe Tjin. Ia kembali dengan lekas. Ia

melihat In Tiong Hiap lagi berdiri mengawasi dapur dan

lainnja, sedang Lie Djie Kang berdiri dengan hormat

dipinggiran. Rupanja mereka itu belum sempat bitjara satu

dengan lain.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

171

"Silahkan duduk, Looya!" Siauw Sek Tauw

mempersilahkan.,

In Tiong Hiap mengangguk, ia tidak lantas duduk, hanja

ia mengawasi sipandai besi.

"Aku tidak sangka kaulah seorang laki2 sedjati!" kata ia

selang sesaat. "Kau menerima pesan, kau mentjoba

melakukannja dengan seksama, kau berani dan ulet, tak

takut kepada kesukaran dan antjaman bahaja. Sungguh,

kau membuatnja aku malu sendiri . . . Dahulu hari aku telah

menerima baik permintaannja Kim Tjie Taypeng Sim Kioe,

akan tetapi selama tiga puluh tahun, aku membiarkan

sadja, sampai sekarang ini djusteru anakku telah

menjeleweng, dia djusteru pergi membantu musuh! Ah ..."

Ia membanting kaki. "Tak ada muka untukku hidup lebih

lam pula didalam dunia ini! Sekarang ada seorang musuh,

hendak membunuh aku, itulah bagus sekali. Tjuma aku

masih belum mewudjudkan djandjiku, kalau aku mati tak

puas hatiku . . ."

Siauw Sek Tauw terkedjut, ia bertambah heran.

"Ada perkara apakah, Looya?" tanjanja.

Djago tua itu tertiwa likat, ia tidak mendjawab. Ia lantas

berduduk, dari pinggangnja, ia mengeluarkan sebuah

golok pendek ia terus menjodorkannja.

"Tolong kau gosok biar tadjaai!" katanja pada si botjah.

"Makin lekas makin baik!"

Siauw Se Tauw menjambuti, tangannja gemetar.

"Looya," katanja, tidak lantjar, "apakah Looya bertemu

musuh? Siapakah jang berani menentang Looya?"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

172

Djago tua itu mengangguk. Ia merabakanja.

"Tidak apa, perkara ketjil," katanja. Ia mentjoba

bertenjum. "Kebetulan sadja aku lewat disini, bukannja

maksudku buat menjingkir atau menjembunjikan diri" Ia

berdiam sebentar, lalu menambahkan dengan gembira:

"Bukankah ini warung arak? Apakah araknja masih

ada?"

"Ada, ada," sahut Siauw Sek Tauw lekas. "Arak disini

jalah arak Hon-tjioe, rasanja tak dapat ditjela."

"Tolong kau ambilkan satu potji. Aku mau minum arak.

Aku rasakan hawa dingin sekali. Haha!" ia tertawa. "Aku

Ong Kong Pik, pernah merantau selama empatpuluh tahun,

siapa sargka sekarang, hatiku mendjadi ketjil . . . Lekas

ambilkan arak, hendak aku minum, buat membesarkan

hati!"

Siauw Sek Tauw heran. Aneh kelakuan djago tua ini,

Djie Kang pun terus berdiam sadja sedjak tadi.

Dengan lekas sibotjah pergi mengambil arak.

"Looya," kata Djie Kang kemudian, "sedjak hari itu aku

menerima budi kebaikan looya"

In Tiong Hiap mengulapkan tangan, maka pandai besi

itu berhenti bitjara. Ia mengawasi. Tak kurang herannja.

Karena djago tua itu berdiam sadja, ia berkata pula : "Aku

datang kemari karena sangat menjesal. Lantaran alpa, aku

membikin pedang guruku lenjap. Sjukur selama aku turut

sehoe, pernah aku beladjar membuat pedang, maka itu

sekarang, aku lagi mentjoba membikin dua buah, jang

sudah hampir selesai"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

173

"Tjukup!" kata In Tiong Hiap, jang mengulapkan tangan.

"Aku telah duga, kau tentu dapat membuat pedang. Aku

bersjukur jang kau menghargai aku, sehingga kau suka

omong terus terang padaku."

Djie Kang ingin menundjukkan pedangnja.

"Tunggu!" kata sidjago tua sambil mentjegah, lalu ia

pergi kedjendela buat melihat keluar. Setelah kembali ia

kata perlahan : "Kau mau apa? Apakah kau mau

mengambil pedangmu jang belum rampung itu buat

ditundjukkan pakaku? Tak usah! Taruhkata kau serahkan

pedang padaku, sekarang tak dapat aku membalaskan

sakit hati Nie Thay-Po. Kau tahu, sekarang ini djiwaku

sendiri sukar diluputkan dari bahaja. . . "

Djie Kang mengawasi.

"Looya" akupun menduga Looya sedang didesak orang,"

kata ia. "Djusteru itu. hendak aku mengeluarkan

pedangku, buat looya pilih satu diantaranja. Malam ini

djuga hendak kurampungkan pedang-itu, supaja besok

pagi dapat Looya bawa, untuk digunakan melawan

musuh!"

In Tiong Hiap menggeleng kepala. Ia toh bersenjum.

"Tidak ada gunanja!" katanja. "Kalau aku mau pergi ke

Hoa Im buat mentjari anakku jang durhaka itu, atau aku

pergi mentjari Tjong Haksoe, baru pedangmu itu dapat aku

pindjam pakai. Hanja sekarang."

Tiba2 terdengar suara pintu berbunji.

In Tiong Hiap lantas berbangkit, untuk berpaling

kepintu, atau ia melihat Siauw Sek Tauw kembali dengan

potji dan tjawan arak. Ia berduduk pala, untukDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

174

melandjutkan kata2nja: "Aku meninggalkan rumah,

turun dari Ong Ok San, maksudku ialah i untuk mentjari

anakku, guna menghukum padanja. Anakku itu sudah

menjeleweng, selain menentang aku, dia djuga membuat

aku malu sekali. Diluar sangkaku, ditengah djalan, aku

bertemu dengan Lauw Kie Go, puteri Lauw Beng Liong. Dia

bersama SinKoen Tiat-Pang Ngo Hoa Kiat, murid Beng

Liong. Dapat aku melawan dua orang itu, apa pula Ngo Hoa

Kiat, jang masih hidjau. Akan tetapi tak dapat aku melajani

mereka, Lebih2 Nona Kie Go. Ajah dia terbinasa ditangan

anakku. Dalam hal itu, kesalahan ada dipihakku. Buat

melajani sadja, tanganku rasanja lemas. Aku sudah tua,

mana pantas aku melajani seorang gadis muda belia? Apa

kata orang banjak nanti? Aku bermusuh dengan ajahnja,

sekarang ajahnja sudah mati, mana dapat aku melukai dia

djuga, atau membinasakannja? Itulah bukan perbuatan

satu enghiong, itu perbuatan pengetjut! Lagi pula aku

menjajangi nona itu. Dia telah mewariskan kepandaian

ajahnja, terutama ilmu menggunakan panah. Tio Tay Tjoen

telah kena dipanahnja sampai Tay Tjoen djatuh terdjung

kal kesolokau. Aku sendiri. . . tiba2 ia menepuk lengan

kirinja : "Lihat, lenganku djuga kena dilukai empat batang

anak panahnja, semua anak panah mana aku tjabut dan

buang ditengah belukar! Tak dapat ia memanah lain

anggota tubuhku. Kau lihat walaupun sudah terluka, masih

dapat kugerakkan lenganku ini. . . . Ja, aku bilang terus

terang, lebih suka aku mengalah dan menjingkir dari dia,

atau aku berikan kepalaku kepadanja, dari pada aku

menempur dia!"

Ketika itu Siauw Sek Tauw sudah menuang arak

kedalam tjangkir, dia mengangsurkannja sambil

mempersilahkan orang meninumnja.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

175

In Tiong Hiap menjambuti, ia terus menghirup itu.

"Looya," kata sibotjah, "ketika tadi aku membeli

tiongtjioe-phia, aku melihat dua orang peunggang kuda,

jang satu pria, jang lainnja wanita. . ."

Mmdadak In Tiong Hiap membuka mata nja lebar2.

"Benarkah?" ia tanja.

Siauw Sek Tanw mengangguk. Ia berkata pula : "Aku

tidak melihat tegas pada mereka itu. Aku melihatnja

sesudah mereka lewat. Hanja jang wanita aku melihat

kundainja besar. . . ."

"Itulah dia, Lauw Kie Go!" kata ln Tiong Hiap. "Aku tidak

sangka dia dapat menjusul sampai disini! Hahaha!"

Mendadak ia berhenti tertawa, berganti dengan wadjah

gusar. Ia mengangguk dan kata pua: "Aku baru sadja

kena dipanah hingga aku mengundurkan diri kesini.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menunggang kuda, pantas mereka dapat lekas

tiba, hanja mereka toh terlambat, mereka tak berhasil

menjandak aku. Itu pula tandanja bahwa mereka belum

tjukup liehay."

Siauw Sek Tauw tidak senang, dia panas hatinja.

"Looya!" berkata dia : "Baik Looya djangan pedulikan

mereka itu! Kalau Looya tidak sudi melajani mereka, baik

aku"

"Tak dapat aku melajani nona itu!" ln Tiong Hiap

menjela. "Kalau nanti aku pulang kelain dunia, mana ada

mukaku untuk menemui ajahnja, musuhku itu ?"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

176

"Tapi aku lain. Looya! Hendak aku tjari dia! Tentu

sekarang mereka berada disalah sebuah penginapan. Aku

mempunjai golok mustika untuk meiawannja"

"Sudahlah!" Ia Tioug Hiap memotong. "Lekas kau gosok

golokku! Kau botjah tjilik, mengapa kau tidak memikir

untuk melakukan sesuatu jang terhormat."

Siauw Sek Tauw tunduk, ia berduka dan mendongkol,

hampir ia mewek. Terus ia menggosok golok djago tua itu.

Ia memikir menjerahkan goloknja ssndii tetapi golok itu

terlalu ketjil dan pendek buat In Tiong Hiap. Orangpun

tentu tak sudi menerimanja.

In Tiong Hiap sudah menenggak pula setjangkir arak.

"Lauw Kie Go telah menjusul aku, tidak dapat aku

menjingkir lebih djauh dari dirinja," katanja kemudian.

"Kalau tidak, akan terlihat bagaimana aku djeri

terhadapnja. Mendiang ajahuja, ditanah baka, tentu akan

menertawakan aku"

"Aku pikir, Looya," kala Djie Kang, "baik Looya berdiam

beberapa hari bersama kami disini. Perlu Looya merawat

dulu luka dilenganmu, supaja mendjadi sembuh. Aku

pertjaja nona itu tidak akan berhasil mentjari Looya. Looya

pula perlu bekerdja terus buat kebaikan umum. Didalam

dunia ini ada banjak peristiwa2 jang tak adil dan tak

pantas."

Djago tua itu menjeringai, agaknja dia berduka.

"Apakah jang bisa kubikin? Sampaipun anak sendiri,

tidak sanggup aku mengekangnja. . ." Ia minum pula satu

tjangkir. Kelihatan arak dapat membantu meringankan

hatinja jang tertindih.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

177

"Looya, aku sangat membutuhkan bantuanmu," berkata

Djie Kang, jang airmatanja meleleh keluar. "Disana masih

ada sakit hati Nie Thay-Po dan Kwee Hay Peng serta

penasarannja Gouw Bok Ya, guruku. Tjuma Kie Hay Auw

dan Looya sendiri jang dapat membalaskannja. Entah

bagaimana dengan oiang she Kie itu, sebab aku masih

belum sampai dikota radja. Taruh kata aku dapat sampai

disana, belum tentu aku berhasil mentjarinja. Dengan

Looya lain. Kami di sini bertemu dengan Looya, maka itu,

aku minta, sukalah Looya jang membereskan sakit hati

itu."

Ong Kong Pek menghela napas.

"Aku malu kepada diriku sendiri, aku menjesal," katanja

berduka. "Aku telah menjia-njiakan djandjiku sendiri, aku

telah melalaikan tugasku. Tjelakanja, anakku-pun telah

mendurhaka, sehingga dia membikin hatiku sangat tawar

dan menjesal sekali. Sekalipun aku mati, hatiku tidak

tenang." Ia menghela napas pula. Lalu ia menghampiri

Siauw Sek Tauw.

"Mari!" ia meminta goloknja, terus ia mengosoknja

sendiri, beberapa kali. "Tjukup!" katanja pula, atas mana

golok itu diselipkan dipinggangnja. Ia memberi hormat

pada Djie Kang seraja berkata: "Sampai bertemu pula!

Selama aku masih hidup, satu kali mesti aku pergi ke Hoa

Im!" ia lantas bertindak keluar.

Djie Karg dan Siauw S k Tauw bingung mereka

menjusul, akan tetapi tubuh mereka dihalangi tangan jang

kuat djago tua itu, jang terus berdongak akan melihat

Puteri Malam. Ia tertawa dingin dan kata: "Lauw Kie Go

telah datang, bagaimana dapat aku tidak menemui nja?

Bagaimana aku dapat membiarkannja untuk mentjari akuDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

178

disini?" "DjikaJau pasti kau mau pergi, Looya, hendak aku

turut!" kata Siauw Sek Tauw.

"Lebih baik Looya djangan pergi!" kata Djie Kang,

bingung.

Akan tetapi In Tiong Hiap sudah lompat naik keatas

genting dirnana ia lenjap dalam seketika.

Siauw Sek Tauw lari kedalam, buat mengambil goloknja,

lantas ia lari keluar pula, ia menabrak Djie Kang hingga si

pandai besi hampir terguling.

"Adik, benarkah kau mau pergi membantu?" Djie Kang

tanja.

"Bagaimana aku dapat membiarkan Pek Ma Looya

mendapat tjelaka?" sahut si Botjah.

"Kau tunggu aku, adik, aku turut!" kata Djie Kang

achirnja.

"Djangan pergi, toako!" Siauw Sek Tauw mentjegah.

"Tak gunanja kau turut kami! Aku pun tidak dapat

melindungi kau!" Ia membuka pintu dan keluar. Masih ia

kata: "Toako, lekas kuntji pintu!" Lantas ia kabur kedjalan

besar.

Dengan napas memburu, Siauw Sek Tauw memasuki

sebuah rumah penginapan. Ia melihat tuan rumah serta

beberapa pegawainja lagi duduk berpesta. Pemilik itu

manis budi, sembari tertawa, ia kata: "Eh, botjah, mari!

Mari duduk minum bersama kami!" Siauw Sek Tauw tidak

menampik atau menerima, tak sempat ia menghaturkan

terima kasih. Ia hanja menanja: "Aku numpang tanja

apakah kamu kedatangan seorang nona jang menunggang

kuda bersama seorang prija?"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

179

Seorang djongos tertawa.

"Kau lutju!" katanja. "Dihari raja begini mana ada

tetamu sekalipun sepotong?" Siauw Sek Tauw tidak

melajani bergurau, lantas ia lari keluar pula ia pergi

kesebuah hotel lainnja. Pintu sudah dikuntji, ia mengetuk.

Lama ia mengetuk-ngetuk, pintu hotel tetap tidak ada jang

membuka.

Djusteru itu diseberangnja ada sebuah hotel lain lagi dan

disana kebetulan ada suara berisik, datangnja dari dalam

hotel, maka ia lari menghampiri, terus masuk kedalam.

Kalau hotel lainnja sepi, hotel ini ramai. Diluar pun ada dua

ekor kuda tengah ditambat dan binatang itu lagi meringkik.

"Sudah, sudah, djangan berkeiahi!" terdenggr suara

seorang djongos. "Hebat kalau sampai ada jang terluka

atau terbinasa!"

Segera Siauw Sek Tauw melihat dua orang tengah

bertempur. Itulah In Tiong Hiap seria seorang lain. Mereka

sama sama menggunai golok. Meskipun goloknja In Tiong

Hiap pendek dan lengannja terluka, dia nampak garang,

dia dapat mendesak lawannja, jang bukan lain dari pada

Ngo Hoa Kiat jang bergelar "Sin-Koen Tiat-Pang," atau si

"Kepalan Sakti Toja Besi." Ialah soe-heng, kakak

seperguruan, dari Lauw Kie Go. Mungkin karena ia tidak

menggunai tojanja, ia terpaksa main mundur.

"Soeheng, mundur!" tiba tiba terdengar seruan dari

ruang dalam. Itulah suaranja seorang wanita, ialah nona

Lauw. Menjusul itu lantas terdengar suara menjambarnja

anak panah.

Menjusul itu pula terlihat Pek Ma Looya roboh.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

180

Ngo Hoa Kiat madju pula, untuk membatjok lawannja.

"Djangan bunuh Pek Ma Looya!" teriak satu orang.

Itulah Siauw Sak Tauw, jang berlompat madju sambil

menangkis.

Ngo Hoa Kiat mendjadi kaget. Luar biasa kesudahannja

bentroknja kedua sendjata. Goloknja sendiri golok

besar,golok panghadangnja golok ketjil sekali, tetapi

goloknja kena terpapas! Saking heran, ia lompat mundur.

Ketika itu Nona Lauw muntjul. Ia telah menjiapkan

panahnja, dengan mata bersinar bengis, ia mengintjar

kepada Siauw Sek Tauw. Ia gusar sekali terhadap

penghadang ini, maka ia hendak memanahnja.

In Tiong Hiap menahan njerinja, ia lompat bangun.

Segera ia melintang didepan Siauw Sek Tauw, untuk

melindungi tubuh botjah itu.

"Lauw Kie Go, tahan!" kata ia njaring. "Kau djangan

panah dia! Kalau kau mau memanah, panahlah aku! Aku

berani datang kemari, itulah bukti bahwa aku tidak takut

mati! Barusan djuga, kalau bukan Hoa Kiat jang menjerang

terlebih dahulu, tidak nanti aku melajani dia! Botjah ini

tidak bermusuhan denganmu, djangan kau panah dia!

Bukankah kau tjuma menghendaki djiwaku? Inilah

kebetulan! Memangnia aku berniat pergi kedunia baka,

guna menjusul arwah ajahmu! Baiklah, kau lihat sekarang

kau lihat, In Tiong Hiap laki-laki sedjati atau bukan!"

Menutup kata-katanja itu, djago tua ini menggunai

goloknja menikam lehernja sendiri.

Akan tetapi Siauw Sek Tauw jang berada dibelakangnja,

dia lantas menggunakan kedua tangannja, merangkul danDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

181

memegang keras tangan si djago tua, mentjegahnja

membunuh diri. Sambil menangis, dia djuga berkata:

"Djangan, Looya, djangan !."

In Tiong Hiap gusar.

"Djangan kau tjampur urusanku!" bentaknja. Dengan

satu tendangan, ia bikin tubuh si botjah terpental.

Akan tetapi, satu orang lain, lantas menggantikan Siauw

Sek Tauw mentjegahnja. Orang ini terus berlutut

didepannja, untuk berkata sambil menangis: "Looya,

djangan kau berpikiran pendek! Sakit hati Nie Thay Po dan


Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan

Cari Blog Ini