Ceritasilat Novel Online

Durhaka 4

Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Bagian 4

Kwee Hay Peng masih belum terbalaskan, tak dapat kau

mengorbankan djiwamu setjara begini ! . . ."

Lauw Kie Go berdiri mendjublak. Ia mendjadi heran

untuk apa jang ia dengar dan saksikan itu.

In Tiong Hiap sangat mendongkol, tak dapat ia

mengatakan sesuatu, tubuhnja roboh terkulai.

Siauw Sek Tauw lompat madju, untuK.

membangunkannja, maka tubuh djago tua itu mendjadi

separuh duduk dan separuh rebah.

Orang jang lainnja itu, ialah Djie Kang jang telah

datang menjusul sudah lantas menghampiri nona Lauw.

Ia memberi hormat sambil mengangguk kepada nona itu,

djuga kepada Ngo Hoa Kiat, jg tertjengang seperti si nona.

Ia kata: "Nona dan tuan, aku mohon sukalah kamu

menaruh belas-kasihan, djangan kamu membunuh Pek Ma

Looya "

"Kau siapa?" bentak Hoa Kiat mendongkol.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

182

"Sabar, tuan," kata Djie Kang. "Kau, nona, djanganlah

kau memanah dulu! Hendak kami membawa Pek Ma Looya

kedalam, untuk dia beristirahat, nanti aku memberikan

keterangan kepada kamu, supaja duduknja hal mendjadi

djelas."

"Baik!" kata si nona, masih sengit, sedang dengan mata

bengis, ia mengawasi In Tiong Hiap. "Biarlah dia hidup lagi

sesaat! Dia toh tak akan dapat kabur!"

Bsrkara begitu, sinona lantas memutar tubuh, buat

masuk kedalam kamarnja.

Djie Kang berbangkit, lanias ia membantu Siauw Ssk

Tauw menggolong Pek Ma Kie-Hiap masuk kedalam.

Mereka dibantu oleh beberapa djongos. Setelah itu, ia

lantas pergi mentjari Lauw Kie Go, jang lagi menantikan

didalam kamarnja. Tanpa ragu2, ia memberikan

keterangannja, ia mulai hendak mewudjudkan pesan

gurunja, untuk mentjari Kie Hay Auw dan In Tiong Hiap,

supaja mereka itu dapat membalaskan sakit hati Nie Thay
Po. Ia kala, ia menjesal bahwa ditengah djalan ia tertipu

dan ditjelakai orang djahat, selain uangnja dirampas

pedangnjapun dibawa pergi, bahwa ia terutama memberati

pedang itu. Karena ia ditolong oleh Siauw Sek Tauw, ia

djadi turut botjah itu menemui In Tiong Hiap.

"Sajang," katanja pula, "karena Pek Ma Kie Hiap

menugaskan puteranja, Ong Bong Hiap, urusan mendjadi

katjau. Anak itu menjeleweng, dia bukannja membunuh

Tjong Haksu, dia bahkan menikah dengan gadisnja haksu

itu, bahkan paling tjelaka, dia membunuh ajahmu, nona"

Sipandai besi itu bertjeritera dengan perlahan dan

sabar. Mulanja Kie Go sudah tak sabaran, atau achirnja, iaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

183

mendjadi sangat ketarik hati, sebab erang membuka tabir

rahasia kebinasaan ajahnja. Djadi ajahnja itu bukan mati

ditangan In Tiong Hiap hanja oleh Ong Bong Hiap.

Mendadak sadja ia menangis ter-sedu2.

Lauw Kie Go berusia duapuluh-dua tahun, ia

mengundaikan rambutnja. Rupanja inilah buat mentjegah

orang menggodai atau mengganggunja ditengah djalan.

Untuk mentjapai maksudnja mentjari balas, tak ingin ia

terhalang oleh urusan tetek bengek. Ia pula mengenakan

pakaian berkabung dan kundainja ditusuk dengan tusuk

kundai putih dan diselipkan sepotong tjita putih pula. Ia

bertubuh djangkung dan langsing, wadjahnja tjukup

tjantik. Karena ia menangis sedih, ia tak lagi nampak

sebengis tadi. Sekarang ia ketahui duduknja hal.

"Ada dimana Ong Bong Hiap sekarang?" tanjanja

kemudian.

"Entahlah, di Ong Ok San atau di Hoa Im," sahut Lie Djie

Kang. "Digunung itu, jang mendjadi kampung halamannja,

ia kenal seorang nona jang mendjadi patjarnja, maka ada

kemungkinan nona itu tak mau melepaskan dia pergi, akan

tetapi di Hoa Im, dia telah menikah dengan gadisnja Tjong

Haksu. Ini sebabnja maka aku bilang, dia mungkin ada di

Hoa Im "

Kie Go menjusut air matanja, ia mengangguk.

"Baiklah!" kalanja sabar. "Ketika ajahku terbinasa

didalam hotel di Tjingtjiu, aku tidak tahu siapa

pembunuhnja, aku menduga kepada In Tiong Hiap, karena

itu aku pegat dia dipenjeberangan Hong Leng, dimana aku

panah padanja. Lalu aku menjusul sampai disini. Tadipun

dia jang menjateroni kami disini. Karena urusan telah djadiDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

184

djelas, baik, aku takkan musuhkan dia terlebih djauh. Tapi

anaknja, Ong Bong Hiap, dia tak bakal dapat ampun!"

"Kalau begitu, su-moay!" kata Ngo Hoa Kiat, jang

mendampingi adik seperguruan itu, "mari kita berangkat

sekarang djuga! Kita pergi ke Ong Ok San mentjari Ong

Bong Hiap! Kalau dia tidak ada disana, baru kita susul dia

di Hoa Im!"

Lauw Kie Go setudju.

"Mari!" kata dia jang segera bersiap. "Tunggu sebentar,

nona," kata Djie Kang. "Sebenarnja tidak selajaknja aku

memberitahukan kamu hal dimana beradanja Ong Bong

Hiap, akan tetapi karena urusan mendjadi ruwet begini

rupa, aku terpaksa bitjara djuga. Sekarang aku ingin beri

tahukan kau satu hal, nona, begitu djuga kau, tuan. Ong

Bong Hiap liehay, dia tidak dapat dipandang ringan, sudah

begitu, dia sekarang bersendjatakan pedang Pek Kong

Kiam jang tadjam luar biasa. Tak tjukup dia dilawan hanja

dengan panah . . ."

Kie Go dan Hoa Kiat mengawasi. Mereka heran.

Djie Kang berhenti bitjara dengan tiba2, ia mergawasi si

nona dengan mata berlinang linang. Nampaknja sangat

sulit buat ia meneruskan kara2nja. Tapi achirnja, ia berkata

d juga : "Aku lihat kamulah orang2 gagah sedjati, maka itu

aku pertjaja, disamping kamu dapat mengurus urusan

kamu pribadi, mungkin kamu djuga dapat bekerdja guna

orang banjak. Untuk orang lain, kumaksudkan. Kamu telah

mendengar perihal kedjahatan Tjong Haksu, sudah begitu,

sekarang dia mengumbar anaknja berbuat gila2an,

mentjelakai orang banjak, karena itu, ada baiknja apabila

kamu dapat menjingkirkan dia. Itu bukan berarti kamu

tjuma membalaskan sakit hati Nio Thay Po dan Kwee HayDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

185

Peng. Djikalau kamu setudju, nona dan tuan, aku minta

sukalah kamu menunda keberangkatanmu sekarang, buat

menunda sampai besok pagi, nanti aku membuatkan kamu

sebatang pedang mustika dengan mana kamu dapat

melawan pedang Pek Kong Kiam itu! Dengan membawa

pedang mustika, kalau kamu bertemu dengan Ong Bong

Hiap, pasti kau tidak usah kuatirkan apa djuga!"

Kie Go tidak memperhatikan pedang mustika, tidak

demikian dengan Hoa Kiat. Dia baru sadja mengenal golok

tadjam luar biasa dari Siauw Sek Tauw, sehingga dia djadi

ingin sekali memiliki sendjata liebay sematjam itu.

"Benakah kau dapat membuat pedang mustika?"

demikian dia tanja.

Djie Kang mengangguk.

"Golok mustika jang ketjil dari Siauw Sik Tauw itu

buatanku!" sahutnja.

Hoa Kiat sudah lantas berbitjara perlahan dengan adik

seperguruannja. Nona itu tiap2 kali menepas air matanja,

tetapi pada achirnja, ia mengangguk, menjatakan

setudjunja. Ia kata ia mau mentjari dulu pada Bong Hiap,

baru ia mau urus sakit hati Nie Keng Giauw dan Kwee Hay

Peng.

Djie Kang girang, hingga semangatnja djadi terbangun.

Ia lantas lari balik pada Siauw Sek Tauw.

Ketika itu si Batu Ketjil tengah melajani In Tiong Hiap,

jang sudah sadar dari semaputnja. Sesudah lengan kirinja

terpanah, sekarang terpanah djuga lengan itu bagian

atasnja. Ia gusar, bukan terh-dap Nona Lauw, hanja

terhadap puteranja, jang mendjadi biang gara2.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

186

Djie Kang hendak mengadjak Siauw Sek Tauw pulang,

akan tetapi, melihat keadaannja In Tiong Hiap, ia mendjadi

berdiam. Ia sangsi. Siauw Sek Tauw sebaliknja merasa

tidak aman bagi sidjago tua, kalau djago itu tetap berdiam

didalam hotel, maka ingin ia mengadjak pindah kerumah

Empe Tjin.

Sesudah dibudjuk, Pek Ma Kie Hiap suka pindah ke Gang

Kwee Seng, tetapi didalem sengitnja, ia kata : "Aku tidak

mati maka suatu waktu, mesti aku pergi ke Hoa Im

mentjari anak tjelaka itu! Terhadap Nona Lauw, aku tidak

bersakit hati. Sesudah membalaskan sakit hati Nie Thay Po,

guna memenuhi djandji terhadap Kwee Hay Peng, akan

kukutungi batang leherku, buat diserahkan pada Nona

Lauw itu, sedangkan arwahku, setelah pergi ke neraka,

akan pergi memjari Lauw Beng Liong, buat kita mengadu

pedang pula. "

Setibanja dirumah, sesudah mempernahkan In Tiong

Hiap, Djie Kang menarik Siauw Sek Tauw kedapur, buat

mulai bekerdja, terutama untuk segera menjalakan api,

dan membikin dapur mereka marong. Dalam tempo jang

tjepat, mereka sudah membakar besi, mengetuk dan

merendamnja. Siauw Sek Tauw tetap mendjaga apinja

dengan Djie Kang terus meniliknja, untuk mengendalikan

api itu. Suara tangtingtong berisik sekali. Selama itu,

djikalau tidak sangat perlu, Djie Kang tidak bitjara. Ia

bekerdja dengan sangat tekun. Hongkui selalu menggebus

mengeluarkan anginnja membikin arang batu terus

membara.

Siauw Sek Tauw letih dan ngantuk, napasnja memburu.

Djie Kang tidak kurang lelahnja, dia sampai ter-bungkuk2.

Diapun ingin sekali tidur.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

187

Achir-achirnja, setelah sang fadjar ntuntjul, rampung

sudah kedua pedang itu Tjie Tian dan Tjeng Song. Karena

itu, karena hongkui tidak digunakan pula, dapurpun mulai

padam sendirinja.

"Nah, toako, mari kita beristirahat!" kata Siauw Sek

Tauw. "Sekarang tak usah kita ter-gesa2 lagi. Pek Ma

Looya lagi sakit, tidak dapat dia segera membantu kila

mentjari musuh."
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus tjoba dulu pedang kita ini, adik," kata si

loako. "Hanja kau batjok aku!"

Djie Kang memegang dan mengangkat martilnja.

Siauw Sek Tauw mendjemput Tjie Tian Kiam. Ia rada

bersangsi tetapi ia membatjok. Mendadak sadja, ia

mendjadi girang. Pedang itu membikin martil terpapas

terbelah. Lantas ia mentioba Tjeng Song. Kesudahannja

sama berhasilnja.

Djie Kang memeriksa bagian tadjamnja kedua pedang,

tidak ada jang gompal, dari itu, ia girang sampai ia lompat

bcrdjingkrak dan tertawa berkakak. Tiba-tiba ia berhenti

tertawa lantas menangis, malah terus ia muntah darah!

Siauw Sek Tauw kaget, lekas-lekas dia menolong toako

itu.

"Kau kenapa, toako?" lanjanja heran.

Si pandai besi tidak dapat lantas mendjawab, napasnja

terus memburu.

Tepat waktu itu, di luar terdengar ringkik kuda disusul

dengan gedoran pada pintu, disusul pula dengan

pertanjaan keras: "Apakah Lie Djie Kang tinggal di sini ?"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

188

Siauw Sek Tauw melengak.

"Siapakah itu?" tanjanja. "Perlu apa pada waktu begini

orang datang mentjari?"

Djie Kang sudah lantas menjembunjikan Tjie Tian ke

dalam liang dapur, sedarg Tjeng Song ia ijekal. Sama

lekasnja, ia menghadap ke luar dan memberikan

djawabannia : "Benar! Ngo Hapsu, silahkan masuk!"

Lalu ia menolak tubuhnja si Batu Ketjil, buat menjuruhnja

membuka pintu.

Belum lagi Siauw Sek Tauv bekerdia atau orang sudah

lompat melewati tembjk pekarangan. Dia benar Sin Kun

Tiat Pang Ngo Hoa Kiat. Di luar terdengar ringkiknja dua

ekor kuda, itulah tanda bahwa Lauw Kie Go turut datang

bersama.

"Pedang itu sudah rampung dibikin atau belum?" Hoe

Kiat tanja. "Kami akan berangkat sekaiang djuga!"

Djie Kang berlari lari keluar.

"Sudah, sudah!" sahutnja. Ia mengangsurkan Tjeng

Song Kiam. "Inilah dia pedangnja! Tolong hiapsu

menjerahkannja kepada Nona Lauw! Aku mohon dengan

sangat, tolonglah balaskan sakit hati Nio Thay Po dan Kwee

Han Peng?"

"Aku tahu, tak usah kau memesan lagi " berkata Hoa

Kiat, jang menjambuli pedang mustika itu, jang ia lantas

periksa, kemudian ia menarik toja besija jang mirip rujung,

untuk dtbentrokki satu psda lain. Kesudahannja ia

mrlengak saking kagum. Tojanja itu putus seketika. Maka

achirnja, ia mendjadi sangat girang.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

189

"Nah, sampai ketemu pula!" katanja seraja ia lompat

pergi melebati tembok pekarangan, hingga di lain saat,

terdengarlah derap kuda mereka jang dilarikan ketas.

Djie Karng menjender pada pintu, napasnja memburu.

Siauw Sek Tauw tidak mengerti.

"Toako,"katanja, "susah-susah kita membuat pedang,

kenapa kita berikan pada mereka? Ada hubungan apakah

di antara mereka dan kita"

"Memang tadinja tidak ada hubungan tetapi sekarang

mereka telah berdjandji akan bekerdja untuk kita," sahut

si pandai besi "Kita tidak dapat menanti Pek Ma Looya atau

Kie Hay Auw jang djauh di kota radja, sedang urusan kita

penting sekali, ada baiknja kita rrinta bantuan mereka"

"Dapatkah mereka itu dipertjaja?" tanja pula Siauw Sek

Tauw. "Dapatkah mereka diandalkan?"

"Dapat!" sahui Djie Kang, mengangguk. "Lihat sadja

buktinja tadi malam. Mereka bermusuh dengan Pek Ma

Looya, setelah mendengar keterangan kita, amarah

mereka lamas mendjadi reda, kontan mereka tidak

memusuhkan Looya lagi, melainkan mau tjari Ong Bong

Hiap sadja. Teranglah mereka bangsa jang dapat

membedakan keadilan. Aku pertjaja mereka bakal

melakukan baik-baik permintaan kita."

"Kenapa tadinja toako tidak mau berdamai dulu

denganku?" tanja Siauw Sek Tauw jang masih bersangsi.

"Aku kuatir kau kena diakali! Aku lihat Ngo Hoa Kiat mirip

Hek Bian Kwe, sedangkan Kie Go seorang wanita, tak dapat

dia dipertjaja habis. Mereka pula biasa menggunakan toja

dan panah, mana dapat mereka memakai pedang? Benar-DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

190

benar aku kuatir pedarg itu nanti terdjatuh pula ditangan

Bong hiap! Toako, kau sangat djujur, aku kuatir kau

tertipu!"

Djie Kang berdiam, hatinja tergontjang.

"Tidak apa," kataja kemudian, menenangkan diri. "Aku

toh masih mempunjai sebuah jang lain? Kita tunggu

sembuhnja Pek Ma Looya, lalu pedang kita itu kita

serahkan padanja, biar Pek Ma Looya jang mewakilkan kita

menuntut balas."

Siauw Sek Tauw masih bersangsi, ia tetap berkuatir.

"Toako, berapa banjak pedang mutika dapat kau bikin?"

katanja. "Kalau kau bikin satu, kau menghadiahkan satu,

bukankah itu berarti, makin banjak, makin banjak sadja

kau membuatnja? Aku kuatir, achir-achirnja sakit hati Nie

Thay Po dan Kwee Hay Pe ng tak dapat terbalas. . ."

Djie Kang mendjublak terus, nampak ia menjesal. Baru

ia sadar sesudah mendengar suara tarikan napas dari

dalam.

"Looya tentu telah mendusin." katanja sambil menarik

tangan kawannja. "Mari kita lihat! Hal ini tak dapat kita

beritahukan padanja. . ."

Siauw Sek Tauw menurut, keduanja lari masuk.

Tiba-tiba di dalam, Siauw Sek Tauw kena indjak darah

muntahnja Djie Kang, hatinja pilu, ia ingat pula pedang

jang diberikan kepada Kie Go, kembali ia berduka, hingga

alisnja berkerut rapat.

Djie Kang berbisik pada kawannja itu : " Seperti tadi aku

bilang, aku tidak dapat menantikan sembuhnja Pek MaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

191

Looya. Kau lihat sadja, dia lerluka parah, Diapun tidak

boleh tahu apa jang kita lakukan kalau dia tahu, mungkin

dia paksa berangkat sekarang djuga, Kalau dia berangkat,

ada kemungkinan roboh dan mati ditehgah djalan. Bong

Hiap itu putranja sendiri, benarkah dia tega membunuhnja

meski si putra telah berbuat salah besar? Sekarang ini,

kedudukan Tjong Haksu djuga mendjadi kuat sekali.

Disamping Piauw Hiong Tjay, disana ada Ong Bong Hiap!

Itulah sebabnja Kempa aku lantjarg menaruh kepertjajaan

atas diri Nona Lauw Kie Go, Meski kita tidak kenal dia, aku

pertjaja dialah wanita sedjati. Kau tahu, aku djuga tidak

tahu kapan aku bakal mati, karenanja, tidak dapat aku

main ajal-ajalan. Kau tahu, aku sudah melanggar

sumpahku terhadap guruku"

Mendadak ia berhenti, ia menangis terisak, tubuhnja

menggigil.

Siauw Sek Tauw bingung.

"Ada lagi jung kukuatirkan," kata Djie Kang pula. "Itulah

keselamatan keluarga Kwee. Aku kualir terdjadi sesuatu

pada keluarga itu. Njonja Kwee sudah tua dan anak
anaknja semua lemah. Aku takut Ong Bong Hiap nanti

pergi mengganggu mereka. Bukankah Tio Tay Tjun pergi

mengatakan bahwa Bong Hiap pernah pernah ke rumah

keluarga itu? Dengan djandjinja Lauw Kie Go, hatiku tjuma

lega sedikit. Meski demikian, adik, ketjurigaan kaupun

beralasan. . . O, adik, aku bingung sekali. Bagaimana

kesudahannja nanti? Adik, baik begini sadja: Kau

mengerti silat, bukan? Baiklah kau pergi sendiri menjusul

Nona Lauw! Kau bawa pedang Tjie Tian ini! Untuk

perdjalananmu, akan kuberi kau uang. Kau dapat membeli

kuda untuk menjusul!"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

192

Siauw Sek Tauw mengangguk.

"Buatku, toako tak perlu menggunakan Tjie Tian Kiam!"

katanja. "Tjukup untuku menggunakan golokku jang ketjil

ini! BaiKlah, toako, aku akan berangkat sekarang djuga!

Aku pergi untuk bekerdja sendiri, tak perlu bantuan orang!

Akan kubalaskan sakit hati Nie Thay Po dan Kwee Hay

Peng! Dengan kepergianku ini, sekalian aku mentjari

pengalaman. Toako djangan kuatir, aku akan waspada dan

hati-hati supaja tidak gagal. Hanja . . Pek Ma Looya lagi

sakit dan toako sendiri muntah-muntah darah, bagaimana

hatiku akan tenang pergi djauh? . . ."

"Djangan kuatir, djangan kau pikirkan kami." kata Djie

Kang. "Luka Looya luka terpanah, djiwanja tidak terantjam

bahaja. Aku djuga dapat menanti sampai kau pulang. Disini

aku dapat tinggal tenteram, dan sanakmu ini telah aku

kenal baik."

Siauw Sek Tauw mengangguk.

"Tentang sanakku ini, asal kuulurkan uang, mereka tak

usah dikuatirkan lagi," katanja. "Baik toako, sekarang

djuga berangkat, aku tidak mau berpamitan dari siapa

djuga!"

"Baik, adik!" kata Djie Kang, jang lantas memberikan

sedjumlah uang perak ssrta dua lembar tjek.

Siauw Sek Tauw pergi mengambil goloknja, dengan itu

ia ngelojor keluar.

Dongan terbungkuk bungkuk, Djie Kang mengantarkan

sampai diluar, dimuka djalan besar.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

193

Siauw Sek Tauw mengawasi warung arak itu, lalu ia

menghadapi Djie Kang dan kata: "Toako, baik-baiklah kau

rawat diri!"

Djie Kang mengutjurkan air mata, ia terharu sekali.

Itulah namanja sahabat sedjati.

Siauw Sek Tauw berlalu dengan kepala diangkat.

Tjuatja sudah terang ketika ia sampai didjalan besar, ia

pergi kesebuah rumah penginapan jang ia kenal, lantas

mengeluarkan dua tahil perak, untuk menjewa seekor kuda

tunggang dengan mana ia melakukan perdjalanannja. ia

tidak berkata dengan djelas mau pergi kekota radja katanja

ia hendak mendjenguk sahabatnja di ketjamatan lain. Ia
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak biasa menunggang kuda tetapi tubuhnja lintjah,

dapat ia berduduk terus diatas punggung kuda sewaan itu.

Dengan tjepat ia meninggalkan Kiok-yauw. Matahari pagi

membuatnja segar. Tudjuannja ialah Selatan.

Hari itu dilalui sedjauh dua ratus lie lebih, malamnja

Siauw Sek Tauw singgah di Kay tjioe. Ia merasa puas.

Malam itu ia dapat tidur dengan njenjak, rnpanja ini

disebabkan karena siang harinja ia letih habis menunggang

kuda demikian djauh dan lama. Pada lain harinja, ia

berangkat pagi-pagi. Kembali ia melarikan kudanja keras
keras. Ia telah mulai mendjadi biasa. Ia mengambil djalan

besar. Menuruti hatinja, ingin ia segera tiba di Hoa Im.

Kira2 tengah hari, tibalah botjah ini dipenjeberangan

Hong Leng, hingga ia melihat air sungai Hong Hoo jang

kuning bergulung gulung. Disana sini tampak lajar-lajar

perahu. Pada waktu hendak ia menuntun kudanja naik

keatas perahu eretan jang besar, untuk menjeberangi

sungai, tiba-tiba telinganja mendengar: "Eh, eh, apakahDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

194

itu bukaunja Siauw Sek Tauw?" ia heran. Itulah suara

seorang wanita. Lantas ia mendengar suaranja seorang

prija: "Ja, dialah Siauw Sek Tauw! Eh, Siauw Sek Tauw,

kenapa kau ada disini?"

Dipenjeberangan itu ada empat buah perahu eretan.

Ada banjak orang jang hendak pergi ketempat lain,

mungkin enam atau tudjuh puluh orang. Mereka itupun,

ada jang membawa barang, ada jang menuntun kuda.

Bahkan ada segerombolan babi jang akan diseberangkan!

Ketika Siauw Sek Tauw menoleh kearali suara orang itu,

ia melihat seorang jang lagi menggapai kearahnja. Itulah

sipria jang barusan menjebat namanja. Dia bukan lain

daripada Ngo Hoa Kiat, suhengnja Nona Lauw Kie Go.

Disamping dia ada sinona, orang jang pertama

menjebutnja. ia lantas menuntun kudanja, menghampiri

mereka itu.

"Ah, kamu berdjalan lebih perlahan daripada aku!"

katanja.

"Ja." sahut Hoa Kiat. "Mari, mari kita menjeberang

bersama!"

Siauw Sek Tauw mengangguk.

Tidak lama, sampailah mereka ditepi lain. Tanpa banjak

omong, mereka berdjalan bersama. Mereka sama2

menunggang kuda. Mereka sekarang berada diwilajah

Tong Kwan perbatasan antara kedua propinsi Siamsay dan

Hoolam. Selagi melewati kota terusan itu, mereka tidak

mendapat kesulitan dari serdadu2 pendjaga pintu kota

jang memeriksa setiap orang jang mundar-mandir disitu.

Dari kota barat, mereka dapat melihat gunung Hoa SanDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

195

jang tinggi dan hidjau. Disebelah barat itu jalah djalan

besar untuk Kwan-tiong.

Angin musim rontok ber-tiup2. Ditengah djalan itu,

kuda-kereta berlalu-lintas tak putusnja.

"Sebenarnja kami berniat pergi dahulu ke Ong Ok San,"

Ngo Hoa Kiat berkata, memetjah kesunjian, sesudah lama

mereka sama2 bungkam. Ialah seorang usia pertengahan

dan mukanja hitam, wadjahnja gagah. "Di Tjiangtjiu kami

bertemu beberapa piauwsu diantara siapa ada jang

bertjerita bahwa pada suatu bulan jang lalu ada berita dari

Hoa Im bahwa Ong Bong Hiap sudah kembali kerumah

mertuanja, dan bahwa dia berani omong terus-terang

bahwa dialah orang jang menggunakan akal membunuh

guruku . . . "

"Buat apa mentjeritakan itu ?" menegur Lauw Kie Go

jang duduk diatas kuda disamping mereka. Suara sinona

kaku dan wadjahnja keren.

Hoa Kiat tinggal diam, sedang Siauw Sek Tauw tidak

menjahut. Maka bersama-sama, mereka memetjut kuda

mereka laju keras. Nona Lauw kabur paling depan.

"Siauw Sek Tauw, dapat aku menerka kedatangan kau

ini," kata Hoa Kiat ditengah djalan. Mereka ditinggalkan

sinona, merela merendengkan kuda mereka. "Tentulah tak

tenang hati Djie Kang setelah dia memberikan pedang

kepada kami, dia lantas menjuruh kau menjusul. Tapi kau

djangan kuatir. Kami bangsa laki2! Satu kali kami

menerima tugas, kami akan lakukan itu dengan baik! Kami

bukan sembarang orang Kang Ouw jang tidak menghargai

nama baiknja. Untuk kami, soalnja jalah soal waktu sadja,

tjepat atau lambat. Kaupun baik ketahui, sekarang kamiDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

196

sudah mendengar djelas tentang siapa Tjong Haksu itu,

jang bernama Kiat. Dialah hartawan busuk, sedang

puteranja jang ke-tiga, tidak kurang djahatnja. Anak itu

mendjadi okpa, djago djahat, jang dibantu oleh Biauw

Hiong Tjay jang kedjam. Maka itu, walaupun Lie Djie Kang

tidak minta bantuan kami, kami sendiri ingin menjingkirkan

mereka, guna menolong orang banjak dari gangguan

mereka! Djuga aku ingin beritahukan kau, sesampainja di

Hoa Im, kami akan menunda urusan pribadi kami, kami

hendak terlebih dahulu turun tangan menghabiskan djiwa

sihaksu durdjana itu, begitu pula sam-siauwya! Selesai itu,

baru kami hendak tjari Ong Bong Hiap, buat membalaskan

sakit hati ajah atau guru kami ..."

Kim-Kiong Giok-Kiaw jang djalan didepan itu menoleh

pula, ia menegur lagi : "Ah, buat apa omong sadja?

Lekaslah!"

Hoa Kiat menurut, ia melarikan kudanja, hingga Siauw

Sek Tauw mesti mengikutinja.

"Siauw Sek Tauw, kaulah seorang botjah tak dapat

ditjela," kata Hoa Kiat sambil djalan. "Kau mengarti silat,

bukan? Bagus, kau djadinja dapat meiihat tindakan kami

nanti. Baik kau ketahui djuga, kami tidak kenal Nie Thay Po

dan Kwee Hay Peng, mungkin kau djuga belum pernah

melihat mereka, tetapi mereka tentulah orang2 baik jang

telah ditjelakai manusia djahat, oleh karena itu kami

sebagai orang2 Kang Ouw sedjati, menganggap adalah

tugas kami untuk menjingkirkan manusia djahat itu!" Siauw

Sek Tauw berdiam, ia hanja mengangguk.

Mereka djalan terus, djalan terus. Tak mau mereka

berhenti. Hoa Kiat bitjara pula dengan Siauw Sek Tauw. Kie

Go sebaliknja, dia djalan terus tanpa menoleh kebelakang.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

197

Angin Barat bertiup keras, hampir saputangan jang

dipakai melibat kundai sinona beterbangan.

Terus sadja mereka berlari-lari ditengah djalan. Maka

achirnja, sebelum mata hari selam diufuk Barat, mereka

telah tiba diterapat tudjuan. Mereka berhenti di Pak Kwan,

kota sebelah utara. Disini mereka turun dari kuda,

kemudian mereka tuntun untuk pergi ketempat penjewaan

kuda dan kereta, diantara siapa, ada jang Hoa Kiat kenal.

"Kami hendak pergi mendjenguk sanak didalam kota,

tak leluasa untuk membawa-bawa kuda," kata orang she

Ngo itu, "maka itu, kami ingin menitipkannja disini untuk

satu atau dua hari."

Permintaan itu diterima, apa pula Hoa Kiat lantas

membajar uang sewanja sekalian beaja rawatan dan

makanan kuda itu.

Siauw Sek Tauw tidak membilang apa2 tetapi ia dapat

menerka kenapa Hoa Kiat menitipkan kuda diluar kota.

Inilah persiagaan andaikata mereka mesti kabur. Dengan

membawa-bawa kuda, sulit buat lolos dari pintu kota.

Tanpa kuda, mereka bisa melompati tembok.

Tiba di Hoa Im, sikap Kie Go mendjadi tenang, ia

nampak seperti nona2 jang lainnja sedangkan selama

ditengah djalan, ia berwadjah gagah, wadjahnja tegang.

Barang bawaannja, jaitu buntalan, panah dan pedang

Tjeng Song Kiam, ia bungkus mendjadi dua, ia minta Siauw

Sek Tauw jang memikulnja. Karena itu, botjah itu merasa

berabe.

Semasuknja kedalam kota, tak djauh dari tembok,

mereka lantas mendapatkan rumah penginapan. Mereka

minta dua buah kamar, satu buat sinona, satu lagi buatDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

198

kedua pria kawannja. Hal ini menjenangkan hati Siauw Sek

Tauw. Kalau tidak, malu ia tinggal dalam sebuah kamar

dengan seorang wanita.

Diam2 hati Siauw Sek Tauw tegang. Belum pernah ia

membunuh orang tetapi sekarang ia hendak merampas

djiwa Tjong Haksoe. Kalau bisa, sekalian ia hendik

membinasakan djuga sam-siauwya. Tak djeri ia andaikata

mesti berhadapan dengan Ong Bong Hiap. Golok

mustikanja membuat njalinja besar.

Habis beristirahat sebentar, bertiga mereka keluar dari

hotel. Nampaknja mereka mau pesiar. Djalannja pun ajal

dan tenang. Kie Go dan Hoa Kiat mirip sepasang suami

isteri. Siaw Sek Tauw bagaikan katjung atau keponakan

mereka itu. Untuk mendjadi anak, ia tidak surup.

Seperti tanpa sangadja, mereka menudju ke djalan

Tjonggoan. Disini roman Kie Go mendadak mendjadi

tegang. Itulah sebab hatinja berdebaran. Hati Siauw Sek

Tauw turut gontjang djuga. Bukankah mereka lelah berada

didepan gedung musuh?

Begitu lekas mereka sampai didepan rumah Tjong

Haksoe, lantas ketiganja mendjadi heran, hingga mereka

mengawasi gedung dengan tertjengang. Gedung itu

memakai merek "Tjin Soe Kip-Tee," artinja keluarga

lulusan tjinsoe, tetapi merek itu ditutup dengan kertas

putih. Waktu mereka melihat para pegawai, jang keluar
masuk, heran mereka bertambah, sebab semua pegawai

itu pada mengenakan pakaian berkabung putih.

Selain penglihatan aneh itu, djuga ada pendengaran

jang sama anehnja, jaitu suara tetabuhan jang

mendengung dari dalam gedung. Itulah tetabuhan pat-imDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

199

atau musik, pertanda dari perkabungan. Ada lagi satu

penglihatan lain, jalah didepan pintu bertumpuk abu

kertas.

Kemudian terlihat datangnja serombongan pegawai,

masing-masing membawa rumah rumahan, atau lebih

benar "gudang emas dan gudang perak," "gunung emas

dan gunung perak," ada sepasang anak-anakan kertas Kim
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ToDg dan Giok Lie, ada perahu dari kertas, djembatan dari

kertas dan lainnja, semua terbuat dari kertas.

Selagi rombongan itu lewat, beberapa budjang lain,

dengan tjambuk ditangan, mengusir orang-orang jang

berdiri berkumpul didjalanan untuk menjaksikan leiotan

"gudang dan gunung emas" itu. Mereka pun membentak
bentak: "Pergi! Pergi!"

Hampir Siauw Sek Tauw tertjambuk, karena ia pun

mendjadi salah seorang penonton. Karena itu, Lauw Kie Go

lekas-lekas mengundurkan diri. Ngo Hoa Kiat djuga

mundur, akan tetapi sambil mentjari keterangan. Heran dia

dan dia ingin mengetahui siapa jang mati didalam gedung

haksoe itu.

Mereka djalan keselatan.

"Siapakah jang mati?" tanja Siauw Sek Tauw sambil

mendekati si orang she Ngo.

"Apakah kau tidak dengar apa katanja orang tadi?" Hoa

Kiat balik bertanja. "Jang mati ialah Tjong Haksoe sendiri!

Tua bangka itu mati sedjak belasan hari jang lalu, lalu

setiap tudjuh hari, dia disembahjangi dengan pembakaran

segala gudang dan gunung emas dan perak itu dan lainnja.

Sampai temponja hari Tjit Tjit, jaitu tudjuh kali tudjuhDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

200

mendjadi empatpuluh sembilan hari, baru djenazahnja

akan dikubur."

Siauw Sek Tauw tertjengang. Aneh Tjong Haksoe mati!

Kenapakah? Dia mati tua atau mati sakit?.

"Sekarang, apalagi jang hendak dibalaskan?" kata Hoa

Kiat pada kawan itu. "Orang sudah mampus!"

Mereka djaian terus Kie Go djalan didepan. Mereka

masih menudju keselatan.

Siauw Sek Tauw berdiri mendjublak, hatinja tidak

keruan rasa, lantas hatinja mendjadi tawar, hingga

semangatnja turut kendor. Sekian lama ia berdiam sadja.

Didepannja ada sebuah rumah makan dengan merek Tjong

Goan Kie, banjak tetamu rumah makan itu, tanpa terasa,

ia berdjalan kesitu, masuk kedalam, bahkan terus naik

kelauwteng. Sekarang ia dapat kenjataan, bahwa orang

jang berkumpul bukan untuk makan dan minum, hanja

lebih banjak jang akan menonton gedungnja Tjong Haksoe

itu. Dari atas lauwteng ini, leluasa orang memandang

kegedung.

"Lihat!" berkata satu orang. "Lihat gunung emas, perak

dan lainnja itu, hari ini djauh terlebih banjak dari pada hari

jang pertama! Beruntunglah dia jang mati, jang dapat

membakar demikian banjak gunung emas itu, di acherat,

dia tentu mendapat tempat jang enak!"

"Kita sebaliknja tidak dapat berbuat begitu," kata

seorang lain. "Hidup kita melarat, kalau kita mati dan

dibakari semua benda itu, achirnja tjelakalah roh kita!

Tentulah roh-roh diachirat, roh-roh jang penasaran, bakal

datang saling merebutnja! Kita toh tidak mempunjai

redjeki! Dialah lain, dia dari keluarga lulusan TjinsoeDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

201

hidupnja sebagai menteri, sudah pulang kekampung

halamannja, dia mendjadi haksoe pensiunan, dia tetap

berharta, pengaruhnja tetap besar! Hidup dia kaja-raja,

banjak isteri dan gundiknja, banjak anak dan tjutjunja,

banjak djuga budak budaknja, maka kalau dia pulang ke

acherat, Giam Lo Ong djuga bakal menjambutnja dengan

hormat, tjukup dia djalan mutar dipintu kota iblis Kwie

Boen Kwan, lantas dia djalan terus ke sorga! Bagi kita,

bagian kita ialah neraka tempat mendjalankan siksaan!"

Tak tertarik Siauw Sek Tauw mendengar gurau itu, ia

lantas mentjari medja dan kursi dimana ia bisa duduk.

Tidak ada djongos jang melajani dia sebab djongos
djongos djuga pada pergi ke djendela, untuk melongok

keluar, turut menonton.

Ia duduk diam, pikirannja bekerdja. Iapun berduka.

Menurut Hoa Kiat, mereka itu berdua djadi tidak mau

melakukan tugas2nja seperti diminta Lie Djie Kang.

Alasannja ialah sebab Tjong Haksoe sudah mati sendiri.

Dengan begitu, maka Kie Go djadi mendapatkan pedang

mustika setjara tjuma-tjuma! Bukankah nona itu mendjadi

menipunja?.

"Rupa-rupanja benar Tjong Haksoe beruntung, tak

selajaknja dia mati terbunuh." pikir botjah ini pula. Maka ia

djadi semakin masgul, menjesalnja bukan main. Ia

bagaikan kehilangan sesuatu.

Berpikir lebih djauh, ia ingat pada sam-siauwya, putera

nomor tiga dari Tjong Haksoe itu! Disana djuga masih ada

Ong Bong Hiap, putra menjeleweng dari In Tiong Hiap!

Dapatkah mereka itu dibiarkan sadja? Sim-siauwya ialah

musuh Kwee Hay Peng. Disana pula masih ada Ok Bong

Biauw Hiong Tjay si djahat.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

202

Ketika Siauw Sek Tauw memikir Ong Bong Hiap, tiba
tiba ia mendengar seorang dimuka djendela lauwteng

berkata-kata njaring: "Lihat! Lihat! Itulah Ong Bong Hiap!

Sungguh dia tampan!" Ia mendjadi tertarik hati, lantas ia

berbangku untuk pergi kedjendela, buat melongok

kebawah.

Disana, didjalan besar Ong Bong Hiap tengah datang.

Dia menunggang kuda putihnja jang djempolan itu,

kudanja In Tiong Hiap, ajahnja. Dia mengenakan pakaian

putih, jaitu pakaian berkabung, tetapi pakaiannja indah,

sedang mukanja putih bagaikan diberi pupur. Dia lagi

berkabung, tetapi dia tetap menjoreng Pek Hong Kiam,

pedang tjahaja Putih itu, sedang tangannja mentjekal

tjambuk. Melihat wadjahnja, ketjuali pakaiannja itu, dia tak

mirip seperti sedang kehilangan mertuanja. Sebaliknja, dia

nampak gembira. Rupanja dia baru habis ngelentjer entah

dari mana.

Tjam Liong Tjongsoe djuga tidak lantas pulang

kegedung. Dia terus mengintil seorang wanita. Ja, dia

mengedjar, sebab wanita itu berlari-lari disebelah

depannja. Karena menunggang kuda, lekas sekali dia dapat

menjandak. Dengan tjambuknja, dia menjamber kundainja

nona itu.

"Hai, orang perempuan djuga datang kemari turut

menonton!" kata pemuda itu dengan tjeriwis. "Bagaimana

kalau kau Hiong dengan Tjong Haksoe? Bukankah itu

berarti tjelaka? Hajo kau lekas pulang!"

Ia masih mengikuti. Lalu ia tanja: "Eh, kau tinggal

dimana?"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

203

Menjaksikan kedjadian itu, diantara orang banjak jang

lagi menonton, ada jang tertawa, ada jang menghela

napas, ada djuga jang mendongkol. Itulah perbuatan

tjeriwis jang kurang adjar.

"Wanita itu tidak berpendidikan," kata seorang dengan

rasa menjesal. "Apa perlunja ia datang menonton?

Bukankah ia mentjari malu sendiri? Siapakah tidak kenal

Ong Bong Hiat? Kalau dia melihat paras eloc, mana dia sudi

melepaskannja?"

Bukan main mendelunja Siauw Sek Tauw, hampir dia

lompat turun dari atas lauwteng, guna menghadjar putera

In Tiong Hiap itu. Dia melihat wanita itu bukan lain dari

pada Nona Lauw Kie Go! Aneh dianja nona Lauw. Ia telah

dipermainkan tetapi ia tidak kurang senang atau gusar, ia

tjuma menjingkir dari gangguan dengan pertjepat

tindakannja. Ia tidak mentjoba membalas sakit hati Nie

Thay Po dengan menggunakan panahnja memanah musuh

itu.

Di sana djuga ada Ngo Hoat Kiat, nampak dia tidak

senang hati, akan tetapi dia pun diam sadja, ketika lewat

didepan gedung Tjong Haksoe, dia tunduk. Dia djalan

menudju ke utara.

Diantara suara tertawa jang ramai, nampak Ong Bong

Hiap gembira sekali, dia puas bukan main.

Sementara itu Biauw Hiong Tjay bersama sedjumlah

budjang tengah mengiringi seorang dengan pakaian

berkabung djuga.

Orang itu bermuka putjat, tetapi matanja dibuka lebar
lebar. Melihat dari pakaiannja, dialah putera dari orang

jang kematian, jaitu putera Tjong Haksoe. Memang dialahDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

204

sam-siauwya. Hanja orang tidak perhatikan padanja, sebab

orang umumnja tertarik oleh lagaknja Bong Hiap.

Selagi menonton, Siauw Sek Tauw menoleh dengan

tiba2. Ia mendengar suara orang menghela napas. Ia

lantas melihat seorang tua, jang lagi bertindak perlahan

kemedjanja. Orang tua itu mempunjai kumis dan djanggut

pandjang, jang semua telah mer.djadi uban. Dia bertubuh

kurus dan kulit mukanja kisutan. Dilihat dari wadjahnja,

sedikitnja dia mesti sudah berumur tudjuhpuluh tahun.

Badjunja jang pandjang membuat ia miiip seorang guru

sekolah. Kembali kemedjanja, orang tua itu menghirup

araknja perlahan-lahan.

"Ha, mereka itu orang matjam apa?" kata dia seorang

diri. "Adakah itu matjam keluarga orang berpangkat besar?

Menurut penglihatanku, mereka djusteru semua anak

tjelaka! Ja, anak2 tjelaka jang bergaul dengan segala buaja

darat."

Selagi si orang tua berkata begitu, seseorang jang

duduk didekatnja menolak tubuhnja. Sjukur ia tidak

terkusruk karenanja. Benar ia kurus tetapi nampak

tubuhnja masih kekar.

"Djangan banjak omong!" kata orang jang menolak tadi,

jang ternjata bermaksud baik. Melihat wadjahnja, diapun

tidak bersikap galak sebaliknja, dia sabar sekali.

Orang tua itu bagaikan sadar. Katanja: "Aku tjuma

bitjara sadja, tidak ada maksud lain. Sekarang ini

toasiauwya dan djiesiauwya dari keluarga Tjong berada

ditempat lain, mereka lagi memangku pangkatnja, mereka

belum sempat pulang. Dan samsiauwya ini, berwadjah

tanpa tjela, hanja dia keliru bersikap. Dia lagi berkabung,DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

205

tak selajaknja muntjul djmuka umum . . . Baiklah, aku tidak

akan mengatakan apa apa lagi"

Orang jang menolak tubuh orang itu berkata: "Sudah,
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau djangan bitjara lagi! Ingatlah, usiamu sudah landjut

sekali, baik kau jangan usilan!"

Orang tua itu terdiam. Ia tunduk, tidak menghiraukan

orang bitjara sambil membuka mata lebar-lebar. Lalu ia

minum araknja.

Orang jang menolak itupun terus berdiam, dia pergi

menonton kedjendela.

Siauw Sek Tauw masgul, ia mendongkol. Ia tidak dapat

turun dari lauwteng. Didjalan besar ada Ong Bong Hiap dan

Biauw Hiong Tjay, kalau ia turun dan terlihat mereka ia

bakal dikenali. Kalau sampai ia terlihat mereka, tentu bakal

terdjadi perkelahian, atau tjelakanja, ia bakal kena dihadjar

mereka itu. Tak sanggup ia melawan mereka. Terpaksa ia

menelad sikap Lauw Kie Go, untuk berdiam sadja. Lantas

ia memanggil djongos, buat minta nasi dan arak. Didalam

hati, ia kata: "Ong Bong Hiap, Biauw Hiong Tjay, Sam
siauwya! Djangan kamu senang dan merasa puas.

Tunggulah sampai sebentar malam pada waktu mana kita

nanti bertemu muka! Hendak aku mentjoba golok

mustikaku!"

Botjah ini tidak suka minum arak tetapi aa toh

menenggak satu tjawan. Ia dahar banjak, meski daharnja

perlahan-lahan. Ini lah siasatnja, guna mengulur waktu. Ia

tidak mau turun dulu, ia menanti tibanja sang magrib.

Didjalan besar, didepan gedung Tjong Haksoe,

keramaian berdjalan terus, hanja dengan lewatnja sang

waktu, lama2 mulai sirap djuga. Iiulah bukti bahwa semuaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

206

gunung-gunungan emas dan lainnju telah selesai dibakar

didjadikan abu.

Sama sekali Siauw Sek Tauw tidak mau turun menonton,

ia hanja memperhatikan para tetamu diatas lauwteng itu,

jang satu demi satu turun untuk pergi pulang. Bahkan

siorang tua jang ubanan, jang tadi ngotjeh sendirian,

lenjap tak ketahuan entah kemana.

"Aneh orang tua itu," pikir Siauw Sek Tauw kemudian.

Ia benjuriga akan tetapi tidak dapat menerka sesuatu.

Masih botjah ini duduk sadja, sampai djongos djalan

mundar-mandir dengan tiap kali melirik kepadanja, sampai

achirnja, dia habis sabar dan berkata padanja:

"Bagaimana, tuan muda? Sekarang sudah tiba saatnja buat

tuan pulang! Kami djuga hendak menutup pintu dan

bebenah. Harap tuan datang pula besok hari!"

Dengan terpaksa Siauw Sek Tauw menurut, ia

melakukan pembajaran, tak kurang sepeser djuga,

sehingga sidjongos merasa tak enak hati sendirmju. Dia

mengantarkan tetamunja sampai dibawah lauwleng.

Tetamu itu sebaliknja mengelojor pergi tanpa menoleh

pula.

Lewat didepan gedung Tjong Haksu, Siauw Sek Tauw

melihat segalanja serba sepi. Tjuma masih ada beberapa

buah kereta kuda lagi menanti. Lentera besar jang putih,

tergantung dengan lilinnja dinjalakan. Tumpukan abu

kertas meningkat semakin tinggi.

Pada langit jang gelap, nampak bintang2 berkelak-kelik.

Angin Barat bersilir membuat muka terasa dingin.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

207

Dengan kepala jang dirasakan sedikit pening, Siauw Sek

Tauw berdjalan mengikuti djalan besar menudju kesel tan,

terus kebarat, lalu belok ketimur dan kembali. Itu artinja ia

djalan mundar-mandir. Didjalan besarpun tak nampak

orang lain.

"Inilah Hoa Im, inilah kampung halaman Lie Djie Kang!"

pikirnja. "Inilah tempat dimana Gouw Bok Ya sipandai besi

tua dan buta membuat pedang mustikanja, dimana dia

menggantung diri sehingga mati, karena dia hendak

menunaikan tugas membalaskan sakit hati saudara tuanja.

Ini pula tempat dimana Kwee Hay Peng terbinasa didjalan

Tjonggoan Kay! Ah, gara2 sam-siauwya semua, entah

berapa banjak orang jang mereka telah bikin tjelaka. Djuga

Ong Bong Hiap, setahu berapa banjak wanita jang dia telah

ganggu! Disinilah Ok-Bong Biauw Hiong Tjay mendjagoi.

Baiklah, segala djahanam. Biarpun sitayhaksu sudah

mampus, aku mesti melakukan tugasku, malam ini hendak

kutjoba golokku."

Siauw Sek Tauw masih djalan mundar+mandir, sampai

sang malam djadi semakin gelap, hingga djalan umum

sangat sepi. Tak ada seorangpun jang masih gentajangan

disitu. Beberapa buah kereta jang tadi berada didepan

gedung haksu djuga sudah sepi. Dengan gelap pelangnja

sang malam, api beberapa lentera mendjadi semakin

terang. Tiga orang budjang, atau tjinteng, mendjaga

didepan pintu gedung.

Sekarang Siauw Sek Tauw pergi kebelakang gedung.

Disitu ada sebuah gang jang gelap. Melihat tembok jang

tinggi, botjah ini bingung. Lantas ia mentjoba berlompat,

untuk naik keatasnja. Sia-sia belaka. Tiga kali ia mentjoba,DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

208

tiga2 kalinja ia gagal. Ia mengerti silat tetapi belum pandai

ilmu mengentengkan tubuh.

"Ha, kenapa kepandaianku begini tjetek?" katanja

didalam hati. Dari bingung, ia mendjadi bergelisah sendiri

nja. "Tanpa masuk kedalam, apa jang dapat kubikin?

Bukankah ketjewa aku menerima pesan Lie Toako?"

Pertjuma Siauw Sek Tauw melihat sekelilingnja. Disitu

tidak ada tangga atau batu besar, jang bisa dipakai sebagai

landasan. Tengah ia bingung tidak keruan, tiba , dengan

samar2, ia melihat dua orang lari mendatangi kedalam

gang ketjil itu. Ia menduga tjinteng keluarga Tjong, maka

dengan segera ia mentjekal goloknja, bersiap untuk

menjambut.

Tiba2 terdengar salah seorang menjapa : "Siauw Sek

Tauw disana? Apakah kau tidak dapat naik tembok ? Mari

aku bantu padamu!"

Lega hatinja sibotjah. Ia mengenali suara Ngo Hoa Kiat.

Orangpun sudah lantas datang dekat.

"Ja, aku," sahutnja.

Ngo Hoa Kiat lantas bekerdja. Ia mentjekal pinggang

orang, untuk diangkat, untuk diapungkan keatas. Siauw

Sek Tauw tau meringankan tubuh, untuk turut melesat.

Maka segera dia sampai diatas tembok. Hoa Kiat lantas

menjusul.

Orang jang ke-dua, jaitu Nona Lauw Kie Go, sudah

mendahului lompat naik ketemboK itu.

"Siauw Sek Tauw, kau tahu atau tidak, tadi siang kami

diperhina oleh Ong Bong Hiap!" kata Hoa Kiat perlahan

pada si botjah. "Bong Hiap telah permainkan Lauw Su-DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

209

moay. Perbuatan itu membuat kami mendendam, maka

sakit hati ini mesti dilampiaskan mendjadi bersusun tindih.

Malam ini kita rampas djiwanja manusia busuk itu! Kau

ingat, Siauw Sek Tauw, kalau dapat kau membantu kami,

kau bantu, kalau tidak, lekas kau menjingkir! Tak dapat kau

perlambat hingga kau nanti djadi mempersulit kami!"

Botjah itu mengangguk.

"Diangan kuatir!" katanja. "Kamu melakukan tugas

kamu, aku akan melakukan tugasku ! Kita djangan saling

mempersulit!"

"Bagus!" kata Hoa Kiat.

Bersama-sama, mereka lompat turun ke pekarangan

dalam. Untuk lompat turun, Siauw Sek Tauw pandai.

Pekarangan itu termasuk bagian taman bunga. Daun

rontok disitu bertumpuk-tumpuk. Rupanja sudah beberapa

hari budjang kebun repot membantu urusan perkabungan.

Sjukur suara daun-daun tidak mendatangkan halangan.

Bertiga mereka madju ke arah depan. Di muka gedung

dibikin terop lebar dan tinggi di mana terdapat api terang
benderang. Itulah tempat para pendeta mendjalankan

upatjara sembahjang. Disitupun terdengar suara

tetabuannja.

"Ah, kita datang terlalu siang," kata Hoa Kiat.

"Masa ini kesiangan?" kata Siauw Sek Tauw. "Bukankah

sekarang sudah dekat djam tiga? Kita sudah datang, peduli

apa! Tak dapat kita bekerdja setjara diam-diam, Kita

berterang-terangan. Apakah kamu tidak membawa Tjeng

Song Kiam?"

Lauw Kie Go berdjalan dimuka. dia menoleh.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

210

"Kamu bitjara apa sadja?" dia menegur. "Hati-hati, nanti

orang dengar suara kamu!"

Siauw Sek Tauw menggeleng kepala.

"Tak nanti ada jang dengar," katanja. "Disini tidak ada

manusia lainnja!"

Bersama-sama mereka madju terus.

Sekonjong-konjong, dari atas genting terdengar suara

tertawa ter-bahak2.

"Ooo, kamu sudah datang! kamu sudah datang!"

demikian kata-kata sambutan itu jang di usul dengan suara

tertawa lebar. "Bagus! Bagus! Sudah lama aku berdiam di

sini menantikan kamu! Anak jang manis, aku tahu kau

memang bakal datang kemari.. Mari, mari, ingin aku

mendengar suramu jang merdu"

Siauw Sek Tauw bertiga terkedjut. Inilah mereka tidak

sangka. Lekas-lekas mereka mendekam. Tjuma Lauw Kie

Go, jang lompat ke belakang gunung-gunungan untuk

menjembunjikan diri sambil mengintai.

Suara di atas genting itu terdengar pula. Dia bitjara

sambil berdiri. Keras suaranja. Katanja: "Memang aku

sudah tahu sedjak siang tadi, kamu datang kemari tentu

ada maksudnja, bahwa kamu tentu akan datang ke sini!"

Siauw Sek Tauw mengenali suara Ong Bong Hiap. ia

mendjadi bertambah kaget.

"Sungguh dia liehay luar biasa," pikirnja. "Tapi sudah

terlandJur, tidak ada djalan lain, aku mesti madju terus!"

Ia kaget tetapi berani. Lantas ia bergerak bangun untuk

berlompat madju.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

211

Djustru pada saat itu terdengar tiga kali suara desingnja

anak-anak panah, itulah Lauw Kie Go, jang habis sabar,

jang telah menuruti hawa amarahnja sudah lantas

memanah Bong Hiap. Hanja si nona gagal.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha, Lauw Kie Go!" berseru Bong Hiap "Wah, adikku!

Memanng telah kuduga, kau tentu bakal mentjari aku, kau

benar-benar datang! Bukankah kau datang kemari untuk

kita menikah? Memang aku lagi kekurangan seorang isteri

muda. . . Kau tjantik melebihi Lee Tiap"

Berkata begitu. Bong Hiap lompat turun dari genting,

untuk menghampiri. Selagi berlompat pedangnja berkilau
an.

"Mari, mari kau keluar dari tempat sembunjimu!"

katanja pula. "Kita djangan beritahukan orang lain tentang

pertemuan kita ini. Di sana ada sebuah paseban, mari kita

pergi kesana. Disana dapat kita pasang omong dengan

asjik"

Kie Go memanah pula, tiga kali beruntun.

Bong Hiap liehay, dengan mengulur tangannja, dia

tangkap dua-dua anak panah itu. Dia tertawa riang,

sembari tertawa, dia bertindak kebelakang gunung
gunungan. Dia kata: "Kau djangan menggunakan panah!

Buat apakah itu ? Usiamu muda, usiaku muda djuga"

Kie Go mendongkol bukan main, sebagai gantinja

panah, ia menghunus Tjeng Song Kiam. Ia lompat keluar

dari tempat sembunjinja sambil berkata: "Djahanam,

musuhku kau mesti mengganti djiwa ajahku!" Terus ia

menikam.

Bong Hiap tidak menangkis, ia berkelit kesamping.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

212

"Buat apakah kau raenjebut-njebut urusan itu?" katanja.

"Bukankah kita sahabat-sahabat turun-temurun?. .

Kie Go tidak meladeni, ia menikam pula.

Kali ini Bong Hiap menangkis, lantas da terkedjut. Kedua

sendjata berontak keras, suaranja njaring. Inilah diluar

dugaannja, sebab dia menjangka pedang lawan mesti

terbabat kutung. Mau tidak mau dia mundur.

"0, o!" katanja: "Kau djuga mempunjai pedang mustika?

Dari mana kau dapat itu?"

Kie Go pun terkedjut. Ia mendapatkan bukti dari

liehaynja pedang lawan.

"Lauw Kie Go," kata pula Bong Hiap, "benar-benarkah

kau hendak mengadu diiwa? Aku. . ." Ia tertawa, lantas ia

meneruskan: "Benar-benar, paling segan aku menempur

bangsa wanita. . . aku tidak tega hati. . ." Ia berhenti

setengah djalan. Dibelakangnja, ia mendengar desingan

angin atau sambaran golok. Ia memutar tubuh,

menjampok dengan pedangnja.

Itulah Ngo Hoa Kiat jang menjerang, tetapi serangannja

dapat digagalkan.

"Kau machluk apa?" bentak Bong Hiap gusar.

Kie Go menjerang pula, maka sipemuda mesti

menangkis lagi. Tempo Hoa Kiat pun madju, ia djadi

dikepung berdua. Hoa Kiat berlaku tjerdik, tak mau ia

mengadu sendjata, sebab ia tahu, pedangnja bisa terpapas

kutung pedang lawan.

Ketika itu, Siauw Sek Tauw pun madju.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

213

"Bong Hiap, letakkan pedangmu!" dia berseru seraja

dengan goloknja dia menjerang. Dengan sendjata

ditangan, apapula itu golok mustika, berani dia melawan

djago muda itu.

Bong Hiap melajani tiga orang lawan. Ia heran atas

keberaniannja Siauw Sek Tauw. Katanja dengan rasa

mendongkol : "O, Siauw Sek Tauw! Kau djuga berni datang

kemari? Sungguh njalimu besar!"

Siauw Sek Tauw tidak mendjawab, ia hanja menjerang.

Kie Go pun merangsak, Hoa Kiat turut bersama. Ia hanja

mentjari kesempatan, sebab mesti waspada dan gesit luar

biasa.

Tjam Liong Tjongsu liehay, dikepung bertiga, dia dapat

membela diri. Pek Kong Kiam berkeredepan disekitar

tubuhnja. Diapun tabah sekali. Dapat dia tertawa.

"Kie Go, Sudahlah!" katanja. "Siauw Sek Tauw, kaupun

iparku!"

Bctjah itu mendongkol, ia mendamprat.

Pertempuran itu mendatangkan suara berisik, terdengar

kedepan dan kedalam gedung. Para pendeta sudah lantas

berhenti membatja doa atau menabuh alat-alat

tetabuhannja. Sebagai gantinja, terdengar suara

gembreng jang ramai dan terlihat d juga obor-obor jang

terang, jang datang dari taman. Biauw Hiong Tjay tampak

sebagai kepala rombongan, lengannja mentjekal

tombaknja jang pandjang. ia didampingi Tjui Houw Tjie Tjit

si Harimau Mabuk. Rombongan itu terdiri dari tjinteng,

tukang-tukang pukul dan para pegawai lainnja keluarga

Tjong, semuanja membekal pelbagai matjam sendjata.

Selagi datang, mereka berteriak-teriak: "Tangkap!DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

214

Tangkap! Lekas tangkap!" Djumlah mereka itu tak kurang

daripada tigapuluh orang.

Ngo Hoa Kiat mendjadi djeri.

"Su-moay, mari kita raenjingkir !" Ia mengadjalc.

Kie Go masih gusar, tak sudi dia angkat kaki.

Bong Hiap tertawa, katanja: "Ja, lekas pergi, lekas pergi

! Pergi kau pulang ke pondokmu! Buat apa kau berbuat

begini ? Kita toh tidak bermusuhan" Kemudian dia

mengulapkan tangan, mentjegah madjunja Hiong Tjay

semua. Katanja pada mereka itu : "Djangan madju! Inilah

sahabat-sahabatku. Mereka datang untuk melakukan

pertandingan persahabatan. Kamu djangan tjampur!"

Diantara sinar obor, Bong Hiap terlihat tampan dan

gagah, tidak ada wadjah gusar, sebaliknja, dia bersenjum

manis. Malam ini dia mengenakan pakaian serba hidjau

jang indah.

Kie Go mendelik pada pemuda itu, lantas ia mengadjak

Hoa Kiat mundur ketembok untuk lompat naik keatas dan

menjingkirkan diri. Ia telah merasa pertjuma untuk

melawan terus.

Biauw Hiong Tjay penasaran.

"Baba mantu, kenapa kau lepaskan mereka?" ia tanja

Bong Hiap. "Itulah terlalu bagus bagi mereka!"

Ketika itu muntjul sam-siauwya bersama Touw Bun

Keng, iparnja. Mereka pada mengenakan pakaian

berkabung. Sam-siauw'a gusar sekali, sambil mem
banting2 kaki, ia damprat orang2nja : "Kamu semuaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

215

bangsa tak berguna! Kenapa kawanan manusia djahat itu

diloloskan?"

Hiong Tjay tidak mau dipersalahkanKatanja :

"Diantara mereka ada seorang nona, baba mantu

melarang kami turun tangan ..."

Mendengar djawaban itu, sam-siauwya melengak.

"Meski begitu, diapun harus dibekuk " katanja

kemudian. "Dia membikin kaget semua orang, terutama

arwah ajahku! Hajo, kamu tjari mereka, kamu bekuk

semuanja!"

Pemuda ini tidak berani menegur Bong Hiap. Dia turut

pergi mentjari. Dia menjangka orang djahat belum

melintasi tembok pekarangan, hanja masih bersembunji

didalam taman. Seorang diri dia pergi kegunung
gunungan.

Siauw Sek Tauw turut mengundurkan diri, akan tetapi

tidak turut lompat naik ketembok, ia hanja pergi sembunji

dibelakang gunung buatan itu. Maka giranglah ia ketika

tiba2 melihat sam-siauwya lagi datang. Ia lantas menanti,

goloknja ditjekal keras sekali.

Sam-siauwya berdjalan terus. Ia mentjari kebelakang

gunung. Ia lewat ditempat dimana Siauw Sek Tauw lagi

bersembunji. Ia tidak melihat botjah itu, orang sebaliknja

bersiap sedia. Begitu ia lewat, begitu Siauw Sek Tauw

muntjul, untuk menikam punggungnja.

"Aduh!" teriak pemuda busuk itu, jang lantas roboh.

Biauw Hiong Tjay dan beberapa kawannja mendengar

teriakan kongtju mereka, mereka mendjadi kaget, ketikaDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

216

melihat Siauw Sek Tauw, mereka mendjadi gusar sekali,

lantas mereka madju meluruk.

Berbareng dengan itu, terdengarlah suara hiruk-pikuk

dari depan gedung. Disana para tjinleng dan pegawai bcr
teriak2 : "Api Api ! Tolong ! Tolong !" Menjusul itu,

berisikpula djeritan minta tolong dari orang2 wanita dari

dalam gedung dimana orang pada lari kalang kabut.

Rombongan pendeta djuga berlari2 setjara katjau.

Segera tampak terop ber-kobar2, apinja naik tinggi.

Entah siapa jang sudah membakar itu. Dengan ditiup

angin, api menjambak kelain arah.

Dalam kebingungan semua orang mendekati api untuk

memadamkannja.

Selagi kekatjauan itu berlangsung, Lauw Kie Go tengah

duduk didalam kamarnja dirumah penginapan. Ia

memeriksa pedang mustikanja, jang udjungnja gompal

sedikit. Dari sini ia djadi mengetahui Iiehaynja pedang

musuh. Tanpa Tjeng Song Kiam, terang tak dapat ia

melawan musuh. Melihat gompalnja pedang, ia merasa

sajang. Karena ini, ia menjesal berbareng penararan. Ia

penasaran karena gagal membinasakan musuh jang

tangguh itu.

" Musuh tjelaka! Musuh tjelaku." katanja dalam hati.

Bersama sinona ada djuga Mo Hoa Kiat dan Siauw Sek

Tauw, hanja mereka berdiam di kamar mereka sendiri.

Siauw Sek Tauw dapat meloloskan diri selagi orang katjau.

Kegagalan itu membuat mereka bertiga tak berani

muntjul besok paginja. Mereka mengeram diri didalam

kamar. Mereka kuatir nanti ada orang dari keluarga TjongDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

217

atau hamba negara jang mentjari dan menggrebegnja.

Kalau mereka disergap, hendak mereka lawan mati2an.

Dihotel itu ramai orang membitjarakan kebakaran

digedung haksoe itu.

"Pasti itu perbuatan orang djahat. Telah turut terbakar

enam atau tudjuh kamar. Beberapa budak perempuan

telah terlukakan. . . . Nona Lee Tiap, istrinja Ong Bong

Hiap, terbakar djuga mukanja. Jang mati jalah

samsiauwya, tapi dia bukan mati terbakar, hanja tertikam
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang djahat. Katanja datang djuga pendjahat wanita. . .

Sungguh mereka itu berani! Adakah ini soal pembalasan

sakit hati? Mungkinkah ini ada hubungannja dengan

kematian Kwee Hay Peng baru2 ini? Mungkinkah mereka

itu datang karena adjakannja Lie Djie Kang? "

Demikian orang berbitjara satu sama lain. Siauw Sek

Tauw dapat dengar itu, puas djuga hatinja. Ia telah

membinasakan sikongtjoe djahat, maka terbalas sudah

sakit hati Nie Thay-Po dan Kwee Hay Peng. Hanja disana

ada Ong Bong Hiap, jang lagaknja mengetjawakan.

"Perkara hebat sekali, tetapi sibaba mantu Ong Bong

Hiap nampak tidak bingung atau gelisah," ada lagi tetamu

jang berkata. "Bahkan tadi ada jang melihat dia pergi

kerestoran Tjong Goan Kie untuk duduk minum arak! ....

Adalah Biauw Hiong Tjay jang sekarang lagi kelajapan

mentjari si orang djahat. . . . Tentu sadja, pendjahat telah

kabur djauh! Kemana mereka itu mau ditjari? Rumah

keluarga Tjong terdiri dari seratus kamar lebih, jang

terbakar tjuma beberapa kamar, itulah tidak berarti.

Sekarang upatjara sembahjang dilandjutkan, sama

besarnja seperti hari2 jang lalu. Inilah tidak heran. . . Selain

orang mesti mengurus terus djenazah sihaksoe tua,DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

218

sekarang ditambah pula dengan djenazah puteranja, situan

muda, maka djuga gudang dan gunung emas perak dan

lainnja, mesti ditambah, dibakar lebih banjak pula"

"ltulah jang dinamakan pembalasan," terdengar suara

seorang djongos. "Tak dapat kalau orang main gunakan

pengaruh pangkat dan uang untuk menghina dan menjiksa

orang lain . . ."

Siauw Sek Tauw dengar semua itu. Ia berdiam didalam

kamarnja, tak dapat tidur.

Ngo Hoa Kiat tak tenang nati, sampaipun waktu djongos

muntjul dengan barang hidangan, ia terkedjut sendirinja.

Pula ia memikirkan Kie Go. Entah apa jang dilakukan sinona

didalam kamarnja.

Biar bagaimana hari itu lewat dengan tenang. Tak

terdjadi sesuatu ketjuali kegemparan hal keluarga Tjong

kedatangan pendjahat dan gedungnja terbakar.

Akan tetapi, kapan sangmilam tiba, maka didalam

kamarnja Lauw Kie Go terdengar suara berisik. Mulanja

terdengar suara wanita berseru kaget, lalu itu disusul

dengan tertawa riang gembira.

"Kau tahu, malam ini sengadja aku datang padamu!"

demikian satu suara terang dan tegas, suaranja seorang

prija. "Aku datang untuk menikah denganmu! Kau tahu,

sedjak siang tadi, bukannja aku tidak tahu kamu berdiam

dirumah penginapan ini, hanja sengadja aku tidak datang

jang lantaran aku merasa tidak leluasa. Sekarang apa jang

hendak bilang. Km lihat, bagaimana baik aku berlaku

terhadapmu? ..."

Itulah suara Ong Bong Hiap.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

219

Lalu terdengar suara Lauw Kie Gie: "Djahanam! "

"Aku bukannja djahanam aku hanja berlaku manis

padamu . . . ." kata Bong Hiap sambil tertawa.

Menjusul itu terdengarlah suara bentrokan sendjata,

dari dalam kamar si nona, berpindah keruang luar, ruang

tengah.

Siauw Sek Tauw kaget, lantas dia menjamber goloknja,

dengan membawa itu ia lompat keluar dari kamarnja.

Tapi Ngo Hoa Kiat berlompat untuk mentjegah.

"Tahan!" tjegahnja. "Kita lihat dulu!"

Tapi bersama-sama, mereka keluar dari kamar.

Pertempuran masih berlangsung. Kie Go menjerang,

Bong Hiap tjuma menangkis.

"Kau hendak membalas sakit hati ajahmu? Djangan!"

kata Bong Hiap. "Akulah jang mentjegah mereka itu

mentjari dan menangkap kau. Bukankah samsiuwya sudah

mati? Karena itu, marilah kita menikah."

"Djahanam!" mentjatji Kie Go.

"Bang Hiap main gila!" kata Siauw Sek Tauw. "Dia pun

harus dibunuh! Dialah anak durhaka, anak murtad dari Pek

Ma Looya!" Ia lantas lari untuk menjusul.

Bong Hiap main mundur, dia terdesak sampai diluar.

Dari situ dia lari, si nona mengedjarnja.

Siauw Sek Tauw turut mengedjar d uga. Ia tak sesabar

Hoa Kiat.

Ketika itu, fadjar lagi datang, langit tak terlalu gelap.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

220

Bong Hiap lari sampai di Tjonggoan Kay. Kie Go

mengedjar terus. Dibelakang mereka, Siauw Sek Tauw

tetap mengintil.

"Aku sengadja tidak mau menggerebek kau, sekarang

kau mengedjar aku sampai disini!" kata Bong Hiap achirnja.

Dia berhenti berlari, maka dia lantar ditjandak Kie Go.

Sinona segera menikam.

Siauw Sek Tauw, jang pun menjandak, turut menjerang.

Bong Hiap lantas dikepung dua orang. Mereka ini

berlaku bengis. Mereka tidak ragu-ragu sebab sendjata

mereka semua sendjata mustika.

Putera In Tiong Hiap tidak kalah, hanja dia repot djuga.

Maklum dia dikerubuti berdua. Dia mesti berlaku waspada

dan gesit.

Pertempuran berat sebelah tetapi seru.

Tengah mereka bertarung, mendadak ada orang lompat

turun dari atas rumah Tjong Haksoe. Dia bersendjatakan

pedang jang mengkilat putih. Diapun sudah lantas berseru

bengis: "Anak durhaka!"

Siauw Sek Tauw heran bukan main. Itulah Ong Kong

Pek alias ln Tiong Hiap, si d jago tua dari Ong Ok San.

Ketika ia berangkat dari Kiok-yauw, ajah Bong Hiap itu lagi

rebah karena luka-luka pada lengannja. Kenapa sekarang

dia mendadak berada di Hoa Im ini? Dia pula mentjekal

Tjie Tian Kiam, pedang Lie Djie Kang.

Bong Hiap dan Kie Go pun terperandjat.

In Tiong Hiap madju terus, begitu datang dekat, dia

menjerang puteranja!DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

221

"Ajah!" seru Bong Hiap sambil menangkis dengan Pek

Kong Kiam.

Kedua pidang beradu keras, akan tetapi dasar mustika,

keduanja tidak ada jang rusak.

Kie Go heran tetapi iapun melandjutkan menjerang. Ia

menikam dari kiri.

Bong Hiap melihat serangan itu, dia menangkis.

"Anak durhaka, mesti aku bunuh kau!" teriak In Tiong

Hiap. "Djikalau aku tidak dapat membunuhmu, aku

sumpah tidak mau djadi manusia!"

Dalam murkanja, djago tua ini lupa segala apa, sehingga

ia berkata menuruti hawa amarahnja. Kembali ia menikam

dengan bengis.

Bong Hiap menangkis, lantas dia lompat kesamping.

"Ajah!" serunja. "Ajah, kau diperdajakan! Wanita ini

bernama Lauw Kie Go! Dialah anak Lauw Beng Liong

musuh kita!"

Djusteru dia berkata begitu Bong Hiap dibatjok Kie Go.

Sinona berkata sambil menangis: "Kau telah membunuh

ajahkul Sekarang kau djuga menghina aku! Kau ... kau

djahat!"

Bong Hiap menangkis pedang si nona. Dia tertawa.

"Habis, kau mau apa?" tanjanja. Sekalipun didepan

ajahnja, dia tidak takut. Dia melihat tangan ajahnja terluka

dan luka itu menjebabkan si ajah tak segagah biasanja.

"Paling benar kau menurut aku, menikah padaku"DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

222

Hati Kong Pek mendjadi panas. Puteranja benar2 sangat

kurang adjar. Maka ia menjerang dengan hebat sekali.

Dengan saling susul ia menggunakan pelbagai matjam tipu

silatnja, seperti "Ular djahat menerkam djantung," atau

"Unggas galak mementang sajap."

Bong Hiap terdesak, ia lompat mundur, ia memutar

lubuhnja untuk lari.

"Kedjar! Kedjar!" Siauw Sek Tauw berseru berulang
ulang. Dan ia mengedjar.

Kie Go djuga lari mengubar. Berdua bersama si botjah,

ia menjusul Kong Pek, si djago tua, jang tanpa banjak

suara sudah lompat menjusul puteranja.

Bong Hiap kabur kearah utara, karena ia tertjardak ia

kabur sambil sering-sering memutar tubuh, guna

menangkis serangan ajahnja. Tjara lari ini menghambat

padanja.

"Ajah, aku akan tidak kenal kau " katanja saking

terdesak.

"Kau telah merusak nama baikku!" sarg ajah berseru.

"Kenapa tadinja ajah tidak menikahkan aku " kata anak

itu. Dia lari pula.

Kie Go dapat menjandak, ia lompat dengan pesat sambil

menikam punggung musuhnja.

"Ganti djiwa ajahku!" teriaknja menangis.

Udjung Tjeng Song Kiam menikam punggung tetapi

Bong Hiap dnpat menghalaunja.

"Lebih baik kau menikah denganku " kata dia.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

223

Kong Pek madju pula, ia menikam lagi. Ia benar2

terhalang luka dilengannja. Nampak tegas bahwa

tenaganja telah berkurang, hingga ia mendjadi kurang

gesit. Ia hanja menang latihan dan pengalaman.

Kie Go djuga menjerang. Maka kedua pedang, Tjie Tian

dan Tjeng Song, menikam dengan berbareng.

Bong Hiap repot melajant kedua pedang itu, tak peduli

pedangnja adalah pedang mustika, ia mesti awas terhadap

ajahnja. sedangkan si nona djuga tidak dapat dipandang

terlalu ringan.

"Bunuh! Bunuh dia!" Siauw Sek Tauw berteriak teriak.

Boijah ini dapat menjandak, dengan berani ia madju

menjerang.

Bong Hiap menangkis serangan ajahnja dan sinona, oleh

karena serangan sangar hebat, ia menangkis tidak kurang

hebatnja.

"Trang!" demikian suatu suara terdengar njaring luar
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasa. Tiga buah pedang bentrok satu dengan lain. Hanja

kali ini, suara njaring itu disusul dengan suara membeletek

dan berkontrang.

Ketiga-tiganja mendjadi kaget dan tertjengang. Ketiga

pedang Pek Kong Kiam, Tjie Tian Kiam, dan Tjeng Song

Kiam patah dengan berbareng. Itulah suara

membeleteknja. Patahan itu djatuh ketanah dengan

menerbitkan suara berkontrang.

Kie Go kaget sehingga ia mendjerit, terus lompat

mundur.

Bong Hiap terkedjut, ia hendak angkat kaki.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

224

Kong Pek terperandjat tetapi dia tabah dan sadar. Dia

melihat Siauw Sek Tauw disampingnja, dia rampas golok

itu, terus berlompat menjerang pula anaknja.

Bong Hiap kaget, ia lari, akan tetapi terlambat. Ajahnja

telah tiba dan membatjoknja. Dalam kagetnja, ia

menangkis dengan tangan kirinja. Atau segera ia mendjerit

keras. Lengannja telah terbatjok kutung sebatas pundak.

ia terhujung tapi masih dapat lari terus. Kebetulan didckat

mereka ada sebuah rumah, ia lompat naik keatas genting,

untuk lenjap didalam kegelapan.

Kong Pek telah menggunakan seluruh tenaganja, tidak

dapat ia menjusul lebih djauh. Dari pada mengedjar, ia

djusteru berdiri dengan napas tersengal-sengal, lalu

tubuhnja terhujung, terus ia roboh.

Diatas tanah menggeletak enam buah potongan pedang

buntung. Disitu menggeletak sebuah golok ketjil, dalam

tjekalannja si djago tua.

Siauw Sek Tauw kaget, ia bersedih melihat potongan

potongan pedang itu. Ia lantas memungutinja,

dikumpulkan mendjadi satu, Ia pun mengambil goloknja

dari tangan si djago tua.

In Tiong Hiap tidak pingsan, ia hanja sangat letih. Masih

napasnja memburu keras.

Kie Go djuga menangis. Dengan terlukanja Bong Hiap,

hatinja lega, tetapi ia tetap bersusah hati. Ia tak puas

sepenuhnja.

Tidak lama datanglah Ngo Hoa Kiat, jang telah

menjusul. Dia ketinggalan djauh, karena itu dia baru tiba.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

225

Melihat kutungan tangan dan darah berlumuran, tahulah

apa jang sudah terdjadi.

"Mari!" katanja, mengadjak Kie Go dan Siauw Sek Tauw.

Bersama-sama, mereka memimpin bangun In Tiong

Hiap. Djago tua itu djadi sangat lesu, karena hatinja

terluka. Ia ketjewa mengingat sepak terdjang anaknja jang

durhaka itu.

Sjukur ketika itu djalan umum masih sepi.

Dengan susah pajah In Tiong Hiap dapat dibawa ke

hotelnja Kie Go. Hoa Kiat lantas menjuruh seorang djongos

pergi mentjari sebuah kereta. Ia mengerti keadaan. Bahaja

masih mengantjam mereka. Mereka mesti lekas

mengangkat kaki.

Hoa Kiat membajar sewa kamar, dengan tjepat ia pergi

dengan berombongan.

Kie Go naik kereta. Ia mendjaga Kong Pek seperti ia

merawat ajahnja. Tak lagi ia menganggap orang tua itu

sebagai musuh besarnja. Sekarang ia telah ketahui

duduknja perkara. Sidjahat ialah Bong Hiap jang

menjeleweng itu, karena dia kena diasut Tjong Haksoe dan

djatuh dibawah rajuannja Lee Tiap.

Mereka keluar dari Pak Kwan. Disini Kie Go pergi kehotel

dimana mereka menitipkan kuda mereka, untuk

mengambilnja dan dibawa pergi. Dengan begitu, Hoa Kiat

dan Siauw Sek Tauw dapat mengikuti kereta sambil

menunggang kuda. Mereka meninggalkan Hoa Im dengin

niat langsung ketimur. Akan tetapi In Tiong Hiap minta

mereka pergi dulu ke Lie Kwan, kota selatan. Djago tua ini

hendak mampir kerumah Kwee Hay Pena, sahabatnja itu.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

226

Ong Kong Pek tengah beristirahat dirumahnja Empe Tjin

di Kiok-yauw ketika itu tidak melihat lagi Siauw Sek Tauw,

atas pertanjaannja, Lie Djie Kang tidak berani mendusta, si

pandai besi memberitahukan hal jang sebenarnja, jaitu

bahwa botjah itu sudah pergi ke Hoa Im. Sebagai orang

jang tjerdas, ia mengerti. Ia dapat menerka apa jang akan

terdjadi di Hoa Im. Ia djuga malu kalau untuk urusannja

saudara, orang lain jang mesti turun tangan. Demikianlah,

tanpa dapat ditjegah Djie Kang, ia berangkat menjusul. Ia

tidak menghiraukan jang lengannja masih belum sembuh

seluruhnja. Ia pergi dengan menunggang kuda, dengan

memindjam The Tian Kiam dari si pandai besi. Djie Kang

suka memberikan pedang itu sebab dia insjaf, tanpa

pedang mustika, djago tua ini tidak akan berbuat banjak.

Musuh liehay dan Bong Hiap memiliki Pek Kong Kiam.

Karena ia mengaburkan kudanja, ia tiba dengan tjepat di

Hoa Im. Lebih dulu ia pergi kerumah Hay Peng, baru sore

hari nja ia memasuki kota, langsung kegedungnja Tjong

Haksoe. Inilah sebabnja ia segera dapat membantu Kie Go

dan Siauw Sek Tauw mengepung anaknja. Kuda putihnja

tidak dapat ditjari, kuda itu mati waktu terbit bahaja api.

Ketika rombongan ini tiba di Kwee Kee Toen, Siauw Sek

Tauw jang tahu rumah Hay Peng dan mengenal seluruh

anggauta keluarganja, menjadi heran. Selain njonja djanda

Kwee Hay Peng, Kwee Kie Kho, Kwee Siauw Hoen dan

njonja Kwee muda, jaitu isteri Kie Kho, serta budjang
budjang disana tambah seorang prija tua jang telah

ubanan, jang mukanja perok dan kisut. Ia heran sebab ia

ingat orang tua itu ialah si orang tua jang tingkahnja aneh

jang ia temukan dirumah makan selagi mereka menonton

"keramaian" digedung Tjong Haksoe.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

227

In Tiong Hiap pun he-an, akan tetapi ia kenal orang tua

itu. Dialah Kie Hay Auw dari Pakhia, kota radja. Dialah jang

Djie Kang atau Siauw Sek Tauw tahu hanja sebagai

pendjaga kuburan Nie Thay Po.

Semasa mudanja, bersama-sama Kwee Hay Peng dan

Gouw Hay Kauw, dialah tangan kanan Nie Keng Giauw.

Merekalah bertiga jang berdjanji untuk sama-sama

membalaskan sakit hati Nie Thay Po. Hanja karena banjak

sebab, djandji mereka itu belum djuga dapat diwudjudkan,

sampai kedjadian Hay Peng mati dikerojok dan Hay Kauw

mati buta dan djengkel. Selang tigapuluh tahun lebih.

Mendadak sadja dia ingat kepada djandjinja, maka dia

berangkat ke Hoa Im. Dialah jang setjara diam-diam

membunuh Tjong Haksoe, lalu malam itu, selagi Bong Hiap

dikepung, dia membakar terop sembahjang, sesudah

mana, dia mendahului kabur pulang ke Kwee Kee Toen.

Tengah orang berkumpul, Oey Loo Sit muntjul dengan

tiba tiba, wadjahnjia gelisah. Dia mimbawa berita bahwa

peristiwa digedung Tjong Haksoe itu menerbitkan

kegemparan besar, karena Tjong Lee Tiap tidak mau

mengerti, Biauw Hiong Tjay dan Tjie Tjit lantas bertindak.

Katanja mereka itu mau pergi mengadu pada pembesar

negeri supaja pembesar negeri turun tangan menangkap si

orang djahat. Pihak Tjong itu menganggap peristiwa ada

hubungannja dengan kematian Kwee Hay Peng.

"Djikalau begitu, kita perlu angkat kaki sekarang djuga!"

kata Kie Hay Auw. "Paling benar kita pergi ke Shoasay, ke

Kiokyauw pada Lie Djie Kang."

Pikiran ini mendapat persetudjuan. Oey Loo Sit pun suka

ikut, sebab ia berpikir akan bekerdja sama terus dengan

Djie Kang.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

228

"Mari kita berangkat!" Siauw Sek Tauw kata, Botjah ini

ingin lekas-lekas menemui Djie Kang, jang kesehatannja ia

kuatirkan.

Benar-benar semua orang itu tidak berajal lagi. Karena

djumlah mereka besar, mereka menjewa beberapa buah

kereta. Uang dan barang barang berharga dibawa semua.

Semua budjang ditinggalkan untuk merawat rumah, hanja

mereka dipesan bagaimana harus mendjawab andaikata

pembesar negeri datang melakukan pemeriksaan.

Kie Hay Auw memisahkan diri ditengah d jalan. Tugasnja

sudah selesai, maka ia hendak kembali kekota raija, guna

terus mendjadi tukang pendjaga kuburan.

In Tiong Hiap berduka dan menjesal lukanja kambuh, ia

mendjadi lemah di tengah djalan. Gontjangan kereta pun

membuatnja menderita. Ia telah memikirkan nasib anak
anaknja, terutama nasibnja sendiri. Dalam usia landjut, ia

tidak punja anak lagi. Bong Hiap tidak dapat diharaplagi, ia

pertjaja anak durhaka itu mati dalam perantauan

disebabkan lukanja jang parah itu. Benar sekarang Kie Go

dan Hoa Kiat merawatnja baik sekali, toh kedukaan dan

kemenjesalannja tidak dapat dilenjapkan. Ia pula

menjesalkan kematiannja Beng Liong. Maka ia malu

sendirinja terhadap Kie Go. Ia bersjukur kepada si nona,

berbareng merasa tidak enak hati, batinnja tidak tenang.

Pada suatu hari diterngah djalan, djago tua dari Ong Ok

San itu menghembuskan napasnja jang terachir, sehinga

membuat semua orang berduka. Ditengah djalan orang

tidak bisa berbuat banjak, maka djenazahnja diurus

dengan tjara sangat sederhana. Karena ia menutup mata,

djenazahnja hendak dibawa pulang ke Ong Ok San. Maka

kebetulan sekali, pada lain harinja, mereka bertemuDURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

229

dengan Tjie Eng dan Tjiauw Kiang, jang lagi membuat

perdjalanan untuk menjusul gurunja itu.

Meninggalnja In Tiong Hiap pada saat mereka baru

keluar dari kota Tong Kwan dan baru habis menjeberang

dipenjeberangan Hong Leng. Kedua murid itu berduka

sangat. Mereka tidak bisa berbuat lain daripada merjambut

djenazah itu, buat segera dibawa pulang kegunungnja buat

di kubur sebagaimana lajaknja.

Siauw Sek Tauw jang mengepalai rombongan pulang ke

Kiok-yauw. Iapun bergembira. Kesudahan itu sangat hebat

baginja, terutama karena ia sangat menghargai dan

menjajangi In Tiong Hiap jang ia pudja. Sjukur belakangan

ia terhibur djuga. Inilah sebabnja mengapa ia tertarik pada

Nona Kwee Siauw Hun, jang tjantik dan berlaku baik sekali
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanja, hingga kemudian mereka berdua mengikat

djandji buat hidup ber-sama membangun rumahtangga.

Sementara itu, selama ditengah djalan itu, diantara

Lauw Kie Go dan Ngo Hoa Kiat dua saudara seperguruan

itu-telab terdapat kata sepakat untuk djuga hidup bersama,

untuk merangkap djodoh mereka.

Achirinja tibalah mereka ditempai tujuan. Bukan main

berdukanja Lie Djie Kang waktu ia mendengar kesudahan

peristiwa di Hoa Im dan ditengah djalan itu.Ia hanja

merasa lega sebab urusan selesai dan dapat bertemu pula

dengan Siauw Sek Tauw jang tidak kurang suatu apa.

Rumah Empe Tjin mendjadi ramai sebab lantas

menampung orang banjak orang. Sjukur jenazah In Tiong

Hiap sudah dibawa pulang ke Ong Ok San. Sedangkan Kie

Go, bersama Hoa Kiat, kemudian pulang kerumahnja.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

230

Oey Loo Sit lantas bekerdja bersama Djie Kang. Ia lega

hati karena saudara seperguruannja itu masih mempunjai

tjukup banjak sisa warisannja mendiang Gouw Bok Ya.

Ketika Ngo Hoa Kiat minta diri, ia mengatakan kepada

Siauw Sek Tauw bahwa satu waktu ia berniat pergi pula ks

Hoa Im guna mentjari Biauw Hiong Tjay dan Tjie Tjit untuk

membinasakan dua manusia djahat itu. Akan tetapi

kemudian ternjata, tak usah ia mewudjudkan djandjinja

itu. Hiong Tjay dan Tjie Tjit telah menerima gandjarannja.

Putera-putera sulung dan nomor dua dari Tjong Haksu

pulang terlambat. Mereka pulang karena diwartakan

perihal kematian ajah dan saudara mereka. Tentu sadja

mereka penasaran, maka mereka lantas mengumpul

semua pegawai ajahnja, untuk mendengar keterangan

mereKa. Dari ibu mereka dan dari Lee Tiap, mereka telah

mendengar banjak. Kesimpulan mereka jalah

kedjahatannja Bong Hiap digara-garakan Hiong Tjay dan

Tjie Tjit. Malah segera diketahui, bahwa kedua pahlawan

itu djuga asalnja orang2 djahat. Tidak menunggu waktu

lagi, dua orang itu diserahkan pada pembesar negeri, jang

belakangan telah menghukum mati pada mereka.

Tinggallah Lee Tiap, jang sedih menjesali nasibnja jang

buruk, sebab suaminja, jaitu Bong Hiap, tidak pernah

kembali.

Djuga sinona di Ong Ok San, jang dojan buah heng,

mesti menderita, sebab diapun kehilangan Bong Hiap,

kekasihnja itu.

Empe Tjin dan sekeluarga hidup senang, karena mereka

terus ada jang tampung.DURHAKA - KOLEKTOR E-BOOK

231

Rumahnja telah diperbesar, semua tetamu dapat tempat

tinggal jang lumajan. Mereka semua telah merupakan

beberapa keluarga.

Siauw Hun hidup rukun dengan Siauw Sek Tauw, ia turut

si Batu Ketjil beladjar silat.

T A M A T


Pendekar Slebor 23 Cincin Berlumur Darah Pedang Dewa Naga Sastra Bun Liong Sian Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa

Cari Blog Ini