Ceritasilat Novel Online

Karmila 3

Karmila Karya Marga T Bagian 3



"Jangan menghina! Lihat dua-tiga tahun lagi! Aku tanggung istrimu akan tergesa-gesa mencari aku bila bocahmu anget-anget!"

"Mil, pasienmu berapa?" tanya Roy, ingin membalas dendam. Kalau pasiennya sedikit, tentu Karmila akan malu.

Karmila memandangnya tertawa. Mau membalas dendam kau, Bangsat!

"Yah! Sepuluh dua puluh gitulah! Cukup bual belanja dapur." sahutnya seenak perut.

"Aaah! Perempuan tidak masuk hitungan," kata Killer.

"Praktek cuma dua kali dalam seminggu. Macam apa itu. Lebih baik tidak masuk efka. Oper kursinya buat laki-laki."

"Ah, kau selalu meremehkan wanita," seru Retno sengit. Retno satu-satunya wanita di situ yang setingkat tuanya dengan The Killer.

"Dok, jangan bilang begitu. Anak-anak U kan perempuan tiga-tiganya? Mau dijadikan apa? Penari hula-hula?" tanya Mariani sengit sebab ibunya juga dokter.

"itu perkara nanti." jawab yang ditanya sambil berpeluk tangan.

"Mereka mengatakan, saya sentimen mengeluarkan Killer," kata Boss yang tiba-tiba masuk.

Semua mata memandang si penguji. The Best

Killer sepanjang segala abad tersenyum tenang-tenang.

"Ayolah," katanya seraya mengangkat lengannya ke mata,

"sudah hampir setengah tiga, mek."

"Ei, bagus jam itu. Dari luar?"

"Hadiah dari istri. Gitu dong! Cari istri yang bisa menghasilkan uang juga."

"Huh, sedih! Istriku cuma bisa menghasilkan bayi montok melulu."

Karmila dan Mariani serentak tertawa.

Mariani yang paling subur. Dalam lima tahun dia sudah berekor tiga. Yang terkecil baru delapan bulan, sekarang calon adiknya sudah memproklamirkan diri.

"Seperti Mariani ini," kata Karmila menepuk perut temannya.

"Iya! Suamiku bilang, kalau wanita-wanita lndonesia semuanya seperti aku, pasti dokter-dokter kandungan seluruh dunia akan berduyun-duyun hijrah kemari! !"

Semua tertawa.

"Makanlah sesuatu. Lyndiol, atau apa kek!"

"Terima kasih! Emoh aku. Tahu tahu aku sudah dapat kanker."

"Duh, sok lebih tahu dari pabrik yang bikin!"

"Ayo, mau pulang, tidak?" tanya Boss sambil menjinjing echolac-nya.

"Oke."

"Siapa mau ikut saya?" teriak Big Boss.

"Tapi bayar lho! Sepuluh rupiah buat bensin ambulans."

"Naik ambulans?!" tanya Alatas.

"Iya. Kaukira naik apa? Malah tempo-tempo mesti beli bensin sendiri sebab jatahnya kelupaan diambil oleh sopir."

"Kau ikut ambulans?" tanya Mariani pada Karmila.

"Aku sudah pesan sopir tadi pagi. Kau tidak dijemput?"

Mariani menggeleng.

"Suamiku ke Bandung. Pabriknya kebocoran. Hujan deras."

"Hmm. Tegel basah harganya kurang dari separuh harga biasa, kan?"

"Tahu. Kenapa?"

"Fani ribut minta dibuatkan kandang anjing."

"Setan! Tegel bagus itu, tahu. Biarpun basah, masih terlalu mahal buat anjing. Sorry, buat anakmu, tadi katamu? Sejak kapan dia bertingkah laku macam anjing? Meniru Papa atau Mama?" Karmila pura-pura marah. Kalah juga melawan Mariani. Mau mengecoh jadi terkecoh.

"Tahu diri dikit, An. Mau menumpang atau tidak?"

"Mau. Antar sampai rumah, ya?"

Karmila membelalak. Mariani tersenyum

menang.

"Aku mau ke toko membeli susu."

"Tidak keberatan. Aku juga mau beli susu."

"Bayar ongkos bensin, ah," kata Karmila seraya berjalan ke mobilnya.

"Pir, sudah beli bensin?" teriak Mariani.

"Sudah, Dok," sahut sopir, tersenyum.

"Masuk!" perintah Karmila, pura-pura marah. Mariani masuk sambil tersenyum.

Mobil berhenti di muka rumah. Sopir membunyikan klakson tiga kali. Terdengar salak anjing.

"Memang lebih baik piara anjing," gumam Mariani.

"Oh, saya kan bukan penjaga pintu!"

Salak anjing bertambah ramai. Sekarang terdengar teriakan Fani. Pintu dibuka. Mobil meluncur sampai ke pintu dalam.

"Salam, antar Nyonya ke rumahnya," kata Karmila.

"Baik."

"Sudah makan?"

"Sudah, Nyonya."

"Ayo, Gendut. Sampai besok!" kata Karmila sambil keluar.

Mariani menjulurkan lidahnya dengan geram. Fani berlari mendekat.

"Daaag. Fani."

"Daag. Tante."

Fani segera memeluk ibunya dan menciumnya.

"I love you, Mama."

"I love you, Fani." Karmila mencium kedua belah pipinya.

Fani melompat-lompat sambil menyeret tas ibunya.

"Tasia, Tasia, Mama pulang," seru Fani dengan suara menggeledek.

"Huss!" omel si Minah.

"Baru saja dia tidur!"

"Ah, Minah tahu apa. Kalau Mama pulang, Tasia selalu bangun. Nanti tidur lagi."

Memang betul. Dari sebelah kamarnya, Karmila sudah mendengar nyanyian Anastasia. Ung... ung... ung... macam lebah mendengung.

"Keluarlah sebentar. Mama mau tukar baju," katanya pada Fani.

Fani masuk ke kamarnya. Karmila mengambil dasternya dari belakang pintu lalu mencuci tangannya bersih-bersih. Dia tak pernah mendukung bayinya dengan pakaian rumah sakit. Di kamar sebelah dengungan lebah itu sudah bertambah ramai. Ccpat-cepat diketingkannya lengannya, lalu masuk ke kamar Fani dan adiknya.

"Engkau sama sekali tidak tidur, Anak nakal," seru Karmila, melihat putrinya tengah duduk berpelukan dengan bonekanya. Diangkatnya anak itu. Tasia mencium ibunya.

"I love you, Mama," kata Fani sambil mencubit adiknya.

"I love you, Tasia." Cup, cup.

"Nah, sekarang Mama ingin tahu, kenapa kalian belum juga tidur?"

"Kenapa Mama pulang terlambat?" balas tanya Fani.

"Oh, di sana ada ujian. Jadi Mama terlambat. Kan susu untukmu sudah habis?! Mama ke toko dulu. Sekarang tidur. Oke?"

Fani mengangguk.

"Jempol. Mama mau makan. Tidurlah sendiri. Jangan naik ke atas ranjang Tasia. Ya? ! "

Fani segera melompat ke atas tempat tidurnya.

"Elit! Tuan Kecil, cuci kaki dulu. Dan mana sandalmu? Dimakan anjing? Kalau begitu, dia harus dibuang."

"Jangan. Caesar tidak apa-apa. Sandal Fani di sini." Dan meluncurlah dia lalu masuk ke bawah ranjang. Karmila mendukung bayinya sebentar, lalu membaringkannya kembali.

"Engkau juga mesti tidur, Nona." Diletakkannya boneka bayi itu dalam pelukan anaknya. Boneka itu hadiah dari ibu Feisal, sama besarnya dengan Tasia sendiri, yang sudah sembilan belas bulan. Karmila tersenyum senang melihat "Tasia dengan manis mengatupkan matanya dan tidur tanpa rewel.

"Mama, putar boks," bisik Fani, meraih tangan ibunya.

Karmila menghentikan langkahnya lalu kembali ke meja Tasia. Di situ terletak boks musik. Juga hadiah dari ibu Feisal. Sebenarnya untuk Tasia, tapi dimonopoli oleh kakaknya. Karmila membukanya lalu meletakkannya di samping bantal Fani.

"Terima kasih, Mama," katanya.

"Terima kasih, Mama," kata Fani lalu menutupkan matanya erat-erat supaya memberi kesan bahwa dia anak baik seperti adiknya yang segera jatuh tertidur.

Karmila melangkah ke luar di atas tumitnya. Makanan sudah menanti nyonya sejak pukul satu. Jadi semuanya harus dihangatkan kembali.

"Bibi sudah makan?" tanya Karmila pada perempuan setengah umur yang tengah menghangatkan sayur. Bibi Emi tinggal di situ sejak kelahiran Anastasia, untuk menjaga anak-anak. Dia berumur empat puluhan. Tidak bersuami lagi. Tidak beranak. Kakeknya dan nenek dari ibu Karmila bersaudara kandung.

"Bibi sudah makan tadi," sahut yang ditanya.

"Bibi tunggu sampai jam dua."

"Ooh." Karmila tertawa.

"Mereka mengadakan ujian. Jam dua lewat baru selesai. Anak-anak tidak rewel?"

"Tidak. Fani mau menelepon tadi. Bibi bilang, 'Apa kau tahu nomornya?" Dia bilang,

"Ada di dalam buku besar." Dan disuruhnya Bibi mencari. Bibi bilang mungkin ibumu sudah di jalan. Dia berpikir-pikir sebentar, lalu tidak jadi menelepon." Bibi Emi tertawa menirukan lagak Fani. Karmila turut tertawa.

"Sayur apa itu. Bi? Sudahlah tidak usah dihangatkan. Saya suka juga sayur dingin."

Bibi merangkap koki itu, ikut duduk di meja dan menyorongkan hidangan-hidangan ke hadapan Karmila.

"Sedikit amat makanmu?"

"Hm... tadi kami sudah makan-makan di sana," sahut Karmila, tertawa.

"Sudah berapa hari Bibi perhatikan makanmu sedikit. Tadi pagi Feisal mengatakan hal yang sama. Disuruhnya Bibi memasak sedikit enak!"

"Sedikit enak?!" seru Karmila.

"Kunyuk dia! Masakan Bibi selalu enak. Kalau bininya yang masak, belum tentu lagi rasanya. Bukan begitu, Bi?"

"Ah, kau juga pandai masak, Mil. Bibi tahu itu."

"Tapi, anu... apakah kau kurang enak badan?" Bibi Emi memajukan kepalanya ke muka dengan dahi berkerut.

"Oho... tidak sama sekali. Saya sehat. Apakah saya tampak pucat?"

"Entahlah. Bibi melihatmu setiap hari. Rasanya tak ada beda." Bibi Emi menggelengkan kepalanya, mencoba memperhatikan kemenakannya.

"0 ya," katanya menepuk kepalanya yang beruban,

"hampir lupa Bibi. Tadi ibu Feisal datang, mengantarkan tape ketan."

Karmila mengangguk-angguk.

"Minah," serunya ke arah dapur,

"bagaimana kau ini! Kupas pepaya masih pahit! Lain kali tebal sedikit ya."

Minah muncul di ambang pintu dapur. tersenyum malu-malu, dan mengangguk sepuluh kali. Karmila bangkit dan Minah dengan segera membereskan meja.

"Aku mau tidur sebentar, Bi," kata Karmila lalu masuk lagi ke dalam.

Di ambang pintu yang menghubungkan kamarnya dengan kamar anak anak, dia berhenti dan mendengarkan sebentar suara napas anak-anaknya. Suarasuara itu halus, hangat, mesra, dan merdu bagi telinganya. Ditolehnya ke belakang. Weker menunjukkan setengah empat. Dibaringkannya tubuhnya yang lelah bukan main. Untunglah hari ini giliran Astuti praktek di depan. Karmila memilih hari Kamis dan Selasa.

"He... he..." katanya, menarik napas panjang beberapa kali. Pernah dibacanya entah di mana, tentang cara-cara istirahat yang terbaik. Badan berbaring lurus, kedua lengan di samping, dan pusatkan pikiran pada keadaan ingin istirahat. Dalam beberapa detik dia sudah terlena.

Pukul setengah lima kurang lima, Astuti muncul. Dia setahun lebih muda dari Karmila. Wajahnya putih dan bulat. Matanya besar. Astuti selalu tersenyum. meskipun ujian tidak lulus. Gadis-gadis lain tentu akan menjadi sedih setengah mati kalau disuruh kembali tiga bulan lagi. Tapi Astuti dengan tenang tidak kembali. Dia kawin dulu. Setelah itu baru dia melapor mau her ujian. Sekarang anaknya sudah tiga. Laki laki. Yang tertua duduk sekelas dengan Fani di taman kanak-kanak.

Begitu masuk ke rumah, dia segera menuju ke kamar makan. Dibukanya tasnya, lalu mulai memandang mukanya dalam cermin yang dibawanya.

"Mana Nyonya. Minah?"

"Baru saja pulang. Sekarang tidur."

"Tidur? Oh, aku lupa membawa sisir. Di mana sisir nyonyamu?"

"Di kamarnya. Akan saya ambil?"

"Oh! Tidak usah. Tidak usah," kata Astuti dengan suara yang cukup untuk membangunkan setan tidur.

"Nyonyamu sedang tidur, bukan?" katanya lagi hampir menjerit.

"Jangan ganggu dia!"

"Tapi engkau sudah menggangguku dengan suaramu!" kata Karmila tenang-tenang.

Astuti menoleh ke belakang. Dia tertawa melihat Karmila bersandar ke dinding dengan mata mengantuk. Di tangannya tergenggam sebuah sisir biru.

"Oh, terima kasih," seru Astuti lalu bangkit dan mengambil sisir itu dari tangannya.

"Kalau Tasia terbangun, kau dukung dia sampai berhenti tangisnya!" ancam Karmila.

"Kenapa dia mesti menangis? Anak-anakku tidak pernah menangis kalau bangun."

"Sebab aku akan mencubitnya supaya menangis. Dan engkau harus mendukungnya sampai dia stop. Pasien pasien itu boleh disuruh ke seberang, pindah ke Dokter Singgih!"

"Oho... oho... dengar, Minah! Nyonyamu marah. Mengapa tidak kaubuatkan kopi?" seru Astuti sambil menyisir.

"Aku heran, mengapa engkau makin lama makin genit?!" tanya nyonya rumah tanpa mengacuhkan olok-olok temannya. Dilipatnya tangannya dan dimiringkannya kepalanya, memandangi Astuti dari belakang.

"Ketika belum kawin, engkau amat sederhana. Kurus dan lincah. Tapi kini! Astaga. Begitu montok. Gendut. Genit. Rambut berganti model beberapa bulan sekali. Lumayan kalau bertambah cantik!!!"

"Hm, apa pedulimu? Pokoknya suamiku suka.

Persetan orang lain! !"

Astuti tertawa.

"Eh, pergilah tidur kembali Oh! Hallo, Fani! Tante bikin ribut, ya?!"

Fani tersenyum lalu menghampiri ibunya.

"Sudah bangun?" tegur ibunya sambil mengusap usap kepalanya.

"Tasia masih tidur?"

Fani mengangguk.

"Nah! Barulah tampangku representatif sekarang. Ayo, aku mau ke depan. Pasien sudah banyak!"

Astuti mencubit pipi Fani sambil berjalan ke kamar praktek. Karmila menjatuhkan diri ke atas sofa. Lonceng berdentang lima kali.

"Jam lima, Main."

"Hmmm..." gumam Karmila menahan ngantuk.

"Ambillah handukmu. Kita mandi."

Fani berlari ke belakang mengambil handuknya.

"Sudah, Mam," teriaknya.

Karmila cepat-cepat bangkit.

"Jangan berteriak, Fan. Tasia masih tidur."

Dimandikannya Fani sampai berkilat dari ujung rambut hingga ke rumit.

"Tadi di sekolah belajar apa?"

"Ibu tadi bercerita, Mam."

"Cerita apa?"

"Namanya Fani lupa. Itu, Mam, pangeran yang

jadi batu. Mama tahu?"

"Apakah itu bukan Burung Emas, namanya?"

"Iya. Betul," sem Fani melompat-lompat.

"Jangan terlalu keras lompalmu. Lihat baju Mama basah."

Fani menoleh. Betul. Baju itu sudah setengahnya basah.

"Engkau tidak bernyanyi, tadi?" tanya ibunya, pura-pura tidak mengacuhkan sikapnya.

"O ya. Tadi nyanyi ini," serunya bertepuk tangan, lalu mulai bernyanyi.

Karmila tersenyum sambil mengeringkannya dengan handuk. Diselubungkannya handuk itu ke badan anaknya lalu ditepuknya bahunya.

"Oke, sekarang pakailah bajumu. Sisir sendiri, ya?"

Fani mengangguk lalu berjalan ke kamarnya. Ibunya segera mengambil handuk dan mandi.

Selesai berhias, ditengoknya Tasia. Ung... ung... katanya pada bonekanya. Karmila menepuk-nepuk pipinya. Dibaliknya anak itu.

"Hebat anak Mama. Engkau tidak basah, Manis." Anak itu memandang ibunya dengan matanya

yang bulat hitam lalu menggerakkan kepalanya serta tertawa. Diangkatnya anak itu.

"Kita mandi, yo."

Tasia melingkarkan tangannya yang gemuk itu ke leher ibunya. Tertawanya makin cerah, mencium ibunya begitu harum. Tiba-tiba terdengar suara mobil. Tasia mengangkat kepalanya dan menoleh ke jendela. matanya terbuka lebar.

"Macam si Caesar, kau." seru ibunya tertawa.

"Oke. Mau lihat Papa dulu."

Dibawanya anak itu ke jendela dan Tasia segera mengulurkan lehernya ke luar jendela yang dibuka ibunya. Jendela itu membuka ke dalam garasi. Melihat mobil putih ayahnya, Anastasia menghentak-hentakkan kakinya pada jendela lebih-Iebih ketika dilihatnya kakaknya keluar dari mobil itu bersama ayahnya. Fani selalu menyetop mobil itu sebelum masuk ke pekarangan, lalu masuk ke dalamnya dan berkata pada adiknya bahwa dia baru pulang dari kantor, sangat lelah, dan minta kopi.

Fani segera berlari mendapatkan adiknya.

"Ei... ei... mengapa baru bangun? Sayang tidak naik mobil."

"Tasia mandi dulu, Kak. Nanti kita naik mobil biar Fani jadi sopir."

"Huh, Fani baru pulang dari kantor. Cape." Feisal tertawa dari belakang dan menangkap kepala Fani dalam telapak tangannya.

"Rupanya engkau sudah kerja terlalu keras, ya? Bagaimana kalau kita beli es krim?" Dan melihat cahaya mata Fani yang bersinar-sinar, segera disambungnya,

"Sayang Papa baru pulang dari kantor. Cape." Tanpa menoleh pada Fani yang tercengang, Feisal memberikan tasnya pada Karmila lalu merampas Tasia dari pelukan ibunya.

'"Mmm mmm bau susu belum mandi
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Digelitiknya perutnya dan anak itu terkekeh-kekeh kegelian.

"Hei, mau dibawa ke mana?! Belum mandi," teriak ibunya.

Cepat-cepat ditutupnya jendela lalu pergi ke belakang. Feisal mendudukkan Tasia di atas meja makan dan bersama Fani digodanya gadis cilik itu sampai terkekeh-kekeh kehabisan suara.

"Ayo! Mandi dulu! Lihat kakakmu sudah rapi."

Disambarnya Tasia yang asyik tertawa.

"Nanti kita beli es krim, Papa," bisik Fani.

"Oke. Ambilkan sandal Papa."

"Yuhuuuuiiii " Dia terbang mengambil sandal lalu meletakkannya di hadapan ayahnya.

"Tadi Ibu cerita tentang Burung Emas. Bagus sekali. Tapi belum tamat. Papa tahu cerita itu?"

Feisal memandang anaknya lalu menggaruk-garuk kepala. Setiap dongeng biasanya selalu terdiri dari putri, pangeran, dan orang jahat yang

selalu kalah.

"Oh, bukankah itu mengenai pangeran. Dia berhenti sebentar dan Fani secepat kilat menyambung,

"Betul... pangerannya kemudian jadi batu karena disihir nenek tua...." Bersemangat betul anak itu menggambarkan dongengnya. Hasil didikan ibunya yang terlalu suka dongeng-dongeng.

"Pangeran sulung dan pangeran menengah semuanya jadi batu. Raja sakit keras. Akhirnya pangeran bungsu yang pergi mencari mata air ajaib. Baru sampai di situ, Papa. Sambung, dong. Kan Papa tahu ceritanya!"

Mampus aku, pikir Feisal. Sejak kapan aku hapal dongeng-dongeng sahibul hikayat itu?

"Ei, dongeng itu, kecuali di sekolah, biasanya diceritakan pada malam hari. Dan cuma anak-anak manis yang boleh mendengarnya. Harus sudah minum habis susunya, sudah gosok gigi, sudah cuci kaki. Dan setelah dongeng itu selesai, tidur! Jadi kau mesti tunggu sampai nanti malam. Kan kita mau beli es krim. Nanti Mama akan menyambung cerita ibu gurumu."

Saat itu Tasia yang cantik masuk didukung ibunya. Fani segera berdiri.

"Ayo, kita naik mobil!" Dikeluarkannya mobilnya dari sudut kamar makan. Dengan lagak seorang sopir, Fani duduk di belakang kemudi, kedua tangannya bertumpu di atas setir.

"Ayo, cepat sedikit, Nyonya Besar," katanya, meniru kebiasaan ayahnya kalau menantikan ibunya di mobil. Tasia didudukkan ibunya di belakang.

"Pegang di sini. Nah, selesai, Pir."

"Nyonya mau ke mana?" tanya sopir, menoleh ke belakang.

Tasia menunjuk-nunjuk ke depan dengan jari telunjuknya.

"Oh, ke Pasar Baru. Boleh." Mobil melaju ke ruang depan.

"Hati-hati, jangan kautabrak meja."

Feisal sudah hendak menyambar koran di atas meja, tapi Karmiila lebih gesit.

"Mandi dulu!"

"Sudah kau sediakan handuk dan bajuku, bukan?" tanyanya menyeringai.

Karmila pura-pura tidak mendengar.

"Mil, sudah waktunya Tasia makan," kala Bibi Emi seraya menyorongkan piring berisi nasi.

Karmila mengangkat kepalanya dari koran.

"Oh, sudah jam enam? Kasihan anak orang. Pantas sejak tadi sebentar-sebentar dia memandang kemari. Rupanya lapar." Karmila tertawa.

"Pir, mampir dulu kemari. Nona Tasia mau makan."

Sopir menurut. Tiap kali membelok ke meja

makan, penumpangnya membuka mulut dan sopir melambatkan mobilnya.

Feisal mandi bukan main cepatnya. Sering kali ia dicurigai istrinya, jangan-jangan tidak pakai sabun.

"Sudah?" tanya istrinya.

"Pakai sabun, tidak?"

"Tidak!" sahutnya meraih koran.

"Sabunnya aku makan. Enak. Asin." Lalu dia duduk di meja di hadapan Karmila.

Karmila membelalak ke arahnya. tapi percuma saja. Feisal tidak mau melihatnya. Koran lebih penting dari istri!

"Aa... aa.. . aaaa..." teriak Tasia.

Karmila cepat-cepat memasukkan sesendok nasi dan sopir segera melarikan kendaraannya.

"Tadi aku pulang terlambat." kata Karmila sambil mengaduk-aduk isi piring.

"Rupanya Fani khawatir juga. Dia sibuk mau menelepon ke rumah sakit... hei, kau dengarkan aku tidak???!!"

"Mmmm..." gumam yang ditanya tanpa melepaskan pandangannya dari koran.

Dengan mendongkol Karmila menghentikan bicaranya.

Feisal tiba-tiba sadar.

"Mmm... iya ya kau pulang terlambat tidak apa-apa, kan?! Pokoknya tidak kesasar ke planit atau satelit. Lantas kaubilang Fani kenapa?"

Karmila memandangnya setengah geli, setengah

dongkoL

"Warta berita tidak diulang. Kalau pendengaranmu kurang baik, ikut aku besok ke rumah sakit. Gratis!"

"Huh! Siapa bilang aku tuli?! Aku ingat sekarang!! Kaubilang, Fani khawatir lalu dia sibuk menelepon engkau. Lantas ayo, besok habis bulan, sekarang tidak boleh marah!"

"Iya. Fani mencoba mau menelepon," sambung Bibi Emi yang mendengar sedikit pembicaraan mereka, lalu ikut duduk di situ.

"Aa... aa... aaaaaa."

"Hap!" kata Karmila, tertawa.

Tasia dengan pipinya yang gembung berusaha susah payah, tertawa.

"Bibi bilang, apa kau tahu nomor telepon ibumu? Dia bilang, tidak tahu. Lalu disuruhnya Bibi mencari dalam buku tebal. Buku tebal mana, tanya Bibi. Dia naik ke atas meja lalu mengambil buku telepon. Bibi bilang, di rumah sakit ada lima nomor telepon. Yang mana nomor ibumu? Dia memandang Bibi lalu katanya tiba tiba, telepon Papa! Bibi bilang, kenapa? Papa di kantor sibuk, tidak dapat diganggu. Dan kenapa mesti telepon Papa? Bibi bilang, mungkin sekarang ibumu sudah jalan. Bukankah dia dijemput Salam dan Salam juga belum datang? Dia berpikirpikir. Rupanya termakan juga

alasan Bibi. Akhirnya dia diam lalu duduk menanti bersama Caesar." Bibi Emi tertawa senang.

"Anak itu cerdik, lho," kata Bibi.

"Seperti ibunya," kata Feisal sambil membalik korannya.

"Apa? Ayahnya lebih cerdik!"

"Buktinya?"

"Buktinya?" ejek Karmila.

"Kau sudah menjerat aku, bukan?"

"Menjerat? Menjerat engkau? Siapa yang sanggup?! Kau sendiri yang menyukai aku. Betul. kan Bi?" kata Feisal, tertawa.

"Bicaramu seperti setan," gumam istrinya sambil menyembunyikan senyumnya dengan lekaslekas menunduk, menyuapi Nona Tasia.

"Kalian tidak akan berhenti bertengkar, bukan?" tanya Bibi Emi.

"Oh, bukan bertengkar. Ini latihan menjawab serangan dengan cepat dan tepat. Siapa tahu kelak saya jadi ketua DPR? Tentu perlu keahlian menangkis serangan-serangan. Setuju tidak, Mil?"

"Aku lebih setuju kalau engkau jadi presiden!"

"Nanti kau cemburu. Aku tentu akan dilirik oleh setiap gadis-gadis cantik seluruh jagat. Habis! Presiden sih! Cuma kalah setingkat dari raja."

"Tidak mengapa. Aku juga tentu akan banyak dilamar orang."

"Kau? Siapa yang suka?"

"Apa? Kaukira tidak ada yang suka?"

"Entahlah," kata Feisal dengan rupa sedih.

"Aku sendiri ragu-ragu kalau disuruh menaksir perempuan yang sudah beranak dua!"

"Hati-hati, Sal! Jangan pandang enteng! Tahutahu aku sudah direbut orang! !"

"Mil, piringinu sudah kosong. Tasia menunggu," kata Bibi Emi dengan halus.

"Oh. Masih mau? Tidak? Tidak, ya," kata Karmila, melihat Tasia menggeleng.

"Minah."

"Ya, Nyonya."

Karmila memberikan piring kosong itu.

"Boleh sediakan makan sekarang, ya. Tasia, sini dulu. Minum."

Bibi Emi bangkit mau membuat saus.

"Nah," kata Feisal menghampiri Tasia,

"Iap dulu mulutmu. Begitu. Ayo, panggil Caesar. Panggil... Caesar... Caesar "

"Esa... Esa "

"Caesar!!" kata Fani memperbaiki.

Ketika Karmila mengintai dari kamar makan, dilihatnya bapak dan anak-anak itu tengah duduk di lantai mengelilingi Caesar. Tasia geli sekali kalau disuruh membelai-belai Caesar, tapi setiap kali dia selalu ingin mengulanginya.

"Hi hiii hiiii " selorohnya terdengar sampai ke belakang.

"Ayo haaaa ..." seru ayahnya, mendorong dia ke depan.

"Hiiiiiiii Tasia melompat balik ke pelukan Feisal sebab Caesar mengangkat kepalanya dan menoleh.

"Jangan takut. Pegang di sini... ini... telinganya," kata Fani mengajari.

Tasia mundur-maju tertawa-tawa.

"Ah, anak perempuan! Penakut! Anak perempuan penakut, ya Papa?!"

"Siapa yang mengatakan anak perempuan penakut?" kata ibunya dari belakang.

Fani memandang ibunya lalu ayahnya lalu tersenyum. Karmila mengikuti pandangnya lalu melirik Feisal dengan garang. Feisal tersenyum pura-pura tidak bersalah.

"Ayo, kita makan. Tasia... tidak... Tasia tidak makan. Sudah tadi, bukan?"

Anak itu menggeleng.

"Apa?" teriak ibunya, tertawa.

"Siapa yang makan tadi itu? Siapa yang makan ayam, tadi? Bukan Tasia? Bukan? Nah. Tasia, kan?! Jadi sekarang Tasia diam di sini, main dengan Caesar. Minah ...! Min, temani Tasia

"Ya, Nyonya," sahut Minah, tergesa-gesa melap

tangannya ke sareng.

"Awas, jangan kau gendong. Biarkan dia main sendiri. Awasi saja,jangan sampai makan apa-apa."

"Ya, Nonya."

"Ayo, Fani! Lapar tidak?! Ini sih ayahnya!! Aku jewer dua-duanya!"

"Oh, baiklah. Ayo, Fani. Nanti dijewer kau!" kata ayahnya.

"Kita mesti makan."

"Tidak mesti. Tapi kalau lapar, ada undangan makan."

Tasia bengong mengawasi mereka pergi. Minah menarik tangannya dan memangkunya.

"Kita main di sini. Yang lain mau makan."

"Mama..." katanya mengulurkan kedua lengannya.

"Huss... husss sini, Caesar, main kemari. Tasia mau main."

Caesar mendekat lalu menjilati kaki Tasia. Anak itu menolak tapi Caesar terus juga menjilatinya. Tasia kegelian dan akhirnya tertawa. Kalau nona kecil itu tertawa, matanya mengecil menyerupai bulan sabit. Bagian bawah matanya menggembung dan bola matanya jernih bersinar-sinar. Hidungnya yang kecil dan mancung itu berkerut di tengah-tengah.

"Aaaauuu... hiii... hiiii... hiiii ..." seru Tasia sambil mengulurkan lengannya dan menariknya cepat-cepat kembali.

Caesar mendekatinya lalu mengulurkan lidahnya.

"Iiiihh... hiii hiiii hiiii ..."

Tasia mengangkatangkat kakinya tapi Caesar berkeras mau menjilatnya.

Di meja makan, Fani duduk dengan gelisah. Mau rasanya diangkat piringnya, lalu terbang ke depan.

"Fani suka wortel ini, bukan?" tanya ibunya.

Sebenarnya dia kurang suka. Dipandangnya ibunya sejenak. Tiba-tiba dilihatnya ayahnya mengambil sendok sayur dari tangan ibunya lalu menyendok wortel itu banyak-banyak.

"Suka?" tanya ayahnya.

Fani mengangguk, lalu tersenyum memandang ibunya. Karmila menyepak Feisal di bawah meja.

"Uuuk! Caesar!" seru Feisal sambil melihat ke bawah.

"Jangan main di bawah meja!" Fani tertawa geli.

"Papa salah. Caesar ada di dalam," katanya.

"Oh, ya?"

Karmila cuma menggertakkan gerahamnya. Selesai makan, Fani pergi dengan ayahnya membeli es krim. Tasia menangis mau ikut. Ibunya mendukung dan membujuknya.

"Bye-bye, Tasia," seru Fani, menyebabkan adiknya makin keras menangis. Feisal tidak keberatan dia ikut, tapi ibunya segan pergi.

"Sayang, sayang, Fani beli es krim. Tidak lama. Tasia suka kan es krim? Ayo, kita main boneka. Sudah, sudah. Sayang air matanya," kata ibunya setengah tertawa.

Aneh bin ajaib. Begitu mobil hilang dari pandangan, Tasia pun menghentikan tangisnya.

Lucu anak itu. Tidak pernah menangis lama-lama.

Karmila mengeluarkan boneka berkepang dua. Diajaknya Tasia menidurkan anaknya. Tapi anak itu tidak mau tidur.

"Oh, dia sakit perut," kata Karmila.

"Uh... akit," kala Tasia, mengangguk.

"Mari Mama periksa," Karmila mengetuk-ngetuk perut anak Tasia.

"Aduh! Banyak cacingnya! Coba perutmu, banyak cacing, tidak?"

Tasia tertawa kegelian, perutnya dipukul pukul ibunya. Lonceng berdentang sekali. Setengah delapan.

"Tidak kausuruh Astuti makan?" tanya Bibi Emi yang tengah memperbaiki bajunya.

"Ya. Boleh juga," sahut Karmila.

"Min Minah

"Ya, Nyonya."

"Katakan pada nyonya di depan, supaya makan dulu. Lihat apakah pasiennya masih banyak?"

Minah mengangguk. Dia pergi ke pavilyun. Sebentar kemudian sudah kembali.

"Berapa?"

"Kira-kira lima orang lagi. Nya."

"Sediakanlah makanan. Hangatkan lagi."

"Aduh!" seru Karmila ketika Tasia memukulmemukul perutnya.

Tasia tertawa senang.

"Lihat! Anakmu terjepit!"

Tasia terkejut lalu cepat-cepat mengangkat anaknya.

"'Bagaimana sayang anak?" tanya Bibi Emi. Tasia segera mendukung anaknya dan menepuk-nepuknya

"Oh, begitu."

Karmila bangkit lalu menghidupkan televisi.

"Acara apa?" tanya Bibi Emi.

"Entahlah. Saya belum baca koran. Ooh, rupanya dunia wanita."

"Hei."

"Karmila menoleh."

"Hei," serunya melihat Astuti,

"makanlah dulu. Masih banyak pasien?"

"Beberapa. Hallo, Tasia. Engkau ini cantik betul, sih."

"Lihat dong siapa ibunya?" kata Karmila sambil mengecilkan suara TV.

"Apakah ayahmu Australia? Kok putih betul?"

Astuti mendekat. Tasia tidak mau digendong.

"Bajumu bau obat. Mana dia mau. Makanlah dulu."

Karmila mendukung anaknya. Tasia membungkukkan badannya, mau mengambil popi yang tertinggal di sofa. Karmila mengambilkannya, lalu mengiringkan Astuti ke belakang.

"Aku rasa, kalau aku mulai lebih siang, tentu sudah selesai sebelum jam delapan. Dan aku akan dapat makan di rumah," kata Astuti sambil menyendok nasi.

"Apa-apaan?! Haramkah makan di sini?" tanya nyonya rumah. duduk menemani sambil makan agar-agar.

"Bukan begitu. Duh, marah. Maksudku, kasihan Bambang. Selalu mesti makan sendiri."

Tasia minta agar-agar. Anaknya juga mau agaragar. Tidak boleh.

"Boneka tidak makan agar-agar, Sisi. Engkau boleh."

"Ke mana Fani?"

"Beli es krim ke Blok M."

"Sisakan aku segelas."

"Tidak takut gemuk?"

"Alaa... tidak gemuk pun, kalau suami mau menyeleweng, kan bisa apa?"

"Tadi mereka ujian."

"Hm... lulus semua?"

"Enam puluh persen."

Hebat juga."

"Ya. Cuma satu yang tidak lulus."

"Berapa orang semua?"
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tiga."

"Buset. Aku kira sepuluh. Tidak lulus satu!"

"Yang tidak lulus itu ngamuk-ngamuk. Big Boss bilang,

"Coba pikir, apakah orang semacam itu pantas dijadikan dokter?"

"

"Ya, tapi ujian itu cuma moment-opname. Apakah dia pandai?"

"Justru itu yang dikatakan si mahasiswa! Dia merasa sehari-hari pandai. Itu betul. Tapi dia mau meremehkan kewibawaan penguji. Apalagi The Killer. Mana terima diperlakukan begitu? Dibilang, penilaiannya tidak berharga sebab cuma moment opname."

"Oh, Killer?! Ah, nyerah deh kalau dapat Killer sih. Kenapa dia dikeluarkan lagi? Kan katanya mau diberi tugas kerja di Malaysia?"

"Entahlah. Aduh! Sisil Lihat anakmu penuh agar-agar! Mama kan sudah bilang, dia tidak boleh diberi agar!"

Tasia memandang ibunya, lalu tersenyum. Karmila menggeleng-geleng. Dia tidak bisa marah kalau Tasia sudah tersenyum seperti itu.

"Bagaimana kau membuat saus ini'?"

"Itu dibuat Bibi Emi. Biasa saja. Pakai kecap Inggris sedikit," katanya sambil melap mulut Popi dengan serbet makan.

"Mau coba?"

"Boleh juga."

"Kapan-kapan aku tuliskan resepnya."

"0 ya, pasien-pasien apa yang keluar?"

"Tadi? Darah, jantung, dan ginjal. Ginjal ini yang membawa maut."

"Besok apa?"

"Besok tidak ada. Lusa. Kirakira bmnehitis, bronehop-neumonie, atau sakit kuning, atau kwushiarkor."

Di luar terdengar suara mobil. Tasia segera bergerak mau turun dari pangkuan ibunya.

"Pergilah sendiri ke depan," kata ibunya.

Tasia segera berjalan ke depan. Popi ditinggalnya di meja makan.

"Hai!!" seru Fani, mau mengagetkan adiknya.

Cepat-cepat dia keluar dari mobil lalu menangkap Tasia yang tampak terkejut sedikit.

"Kita makan es," kata ayahnya sambil bersiul-siul.

Tasia menolak ajakan Fani. Ditunggunya ayahnya, lalu dipegangnya lengan yang membawa termos itu.

"Dingin," kata Feisal sambil menempelkan termos itu ke pipi anaknya.

"Hiiiii..." seru nona kecil itu, meringkik kedinginan.

"Wah, kebetulan, Tut. Kau boleh makan dua porsi sebab Mila tidak suka es krim!"

"Sejak kapan kau berpendapat begitu?"

"Alaa... dulu waktu pacaran, diajak makan es krim tidak mau!"

"Sejak kapan kita pernah berpacaran Karmila stop sebab tiba-tiba dilihatnya Fani memandangnya. Hati-hati kalau ada telinga anak kecil, itulah yang selalu dikatakan ibunya.

"Mil, ambilkan gelas," kata Feisal.

"Engkau lebih dekat ke lemari. Ambillah sendiri

Feisal bangkit.

"Ambilkan aku juga."

"Kau diperbudak di sini," kata Astuti, tertawa.

"He-eh... tapi biarlah. Sebentar lagi aku akan ke Singapura " Diletakkannya gelas-gelas es itu di meja.

Fani dengan tidak sabar menanti ibunya membuka termos dan menyendok es yang sedap itu. Tasia tahu juga, bahwa es krim itu amat enak.

"Lalu apa hubungannya dengan ini?" tanya istrinya sambil mengisi gelas Fani.

"Engkau di sana tidak diperbudak. bukan?" tanya Astuti.

"Oho... di sana aku dijadikan raja. Gadis-gadis!!" Feisal menjentikkan jari-jarinya sehingga berbunyi nyaring.

Tasia menanti dengan sabar. Matanya terbuka lebar dan tangannya mengacungkan gelas plastiknya.

"Kasihan anak orang," seru Tante Astuti.

Karmila menoleh lalu mengambil gelas anaknya.

"Ingat! Popi tidak boleh makan es krim, ya."

Tasia mengangguk, lalu turun dari kursi dan menghampiri kakaknya di ruang tengah. Feisal segera meneruskan bualannya sampai Karmila betul-betul mendongkol.

"Dengarlah!" desisnya.

"Aku pun dapat berbuat serupa asal mau. Tunggu tanggal mainnya. Engkau punya bidadari?! Aku punya lover!"

"Aheem!" kata Feisal tanpa komentar.

Karmila menelan es nya tanpa berkata apa-apa lagi.

Setelah anak-anak tidur, Karmila membongkar isi lemari bukunya. Feisal masuk ke kamar setelah membaca koran sampai ke huruf huruf terakhir.

"Cari apa?" tanyanya melihat istrinya duduk di lantai.

"Tadi Fani minta aku menyambung cerita gurunya di sekolah. Aku sudah lupa bagaimana lanjutannya. Rasanya aku pernah menyimpan buku dongeng itu di sini."

"Carilah besok."

"Aku janjikan dia besok. Pulang dari rumah sakit tak ada waktu. Sore-sore, praktek. Ayo, bantulah aku."

Feisal tertawa lalu duduk di tempat tidur.

"Bagaimana? Macam apa bukunya, aku tidak tahu." Diambilnya cowboy-nya dari atas meja lalu berbaring meneruskan baca.

"Kalau ke sana, belikan aku dongeng-dongeng Grimm and Grimm Christian Andersen. Dan apa saja. Semua fabel-fabel. Mana sih buku itu?"

Seluruh isi lemari sudah keluar. Ketika dia hampir nyerah, baru buku itu kelihatan.

"He-eh... ini dia." Dikebut-kebutnya debu yang menempel di buku itu.

Feisal menoleh.

"Biarlah Minah membereskannya besok."

Betul juga, pikir Karmila lalu bangkit. Dicarinya dulu dongeng yang dikehendaki anaknya, lalu diletakkannya di atas meja. Besok siang sepulangnya dari rumah sakit, akan dibacanya cepat-cepat. Diambilnya jurnal yang dipinjamkan Boss beberapa hari yang lalu.

"Minggir dikit. Beri aku tempat. Aku juga mau baca."

Feisal menggeser ke pinggir.

"Mengapa tidak kauhabiskan pocket-book itu?"

"Ini mesti dikembalikan besok. Yang lain harus baca juga."

"Hm ya... Sal, Mariani pesan sikat listrik yang kecil. Belikan juga untuk Fani dan Sisi."

"Untuk ibunya?"

"Untukku? Oh. kau baik amat. Carikan aku pocket-book yang seru-seru."

"Yang itu-itu?"

"Ah pikiranmu kotor!"

"Lho! Kotor bagaimana? Kau sendiri yang kotor. Aku cuma bilang, yang itu-itu!!" Feisal tertawa.

"Bagus cowboy itu?" tanya Karmila,

"Lumayan. Tidak sebagus When days mra green. Tapi lebih menarik daripada buku-buku yang kaubaca."

Karmila lekas-lekas membuka jurnalnya. Dia tidak mau berbantahan lagi. Matanya sudah mulai mengantuk. Jangan-jangan tidak habis dibacanya delapan halaman yang sisa itu. Dibelalakkannya matanya senyalang mungkin. Tapi ngantuk tidak bisa ditahan-tahan. Banyak kalimat-kalimat yang di ulang-ulangnya tanpa masuk ke otak. Pada halaman keenam, dia menyerah. Jurnal itu terlepas lalu jatuh ke lantai. Feisal menoleh. Karmila sudah mengatupkan matanya, menyusup ke dekatnya.

"Selesai?"

"Ngantuk," jawabnya singkat tanpa membuka mata.

Feisal memeluknya lalu meneruskan bacanya, beberapa halaman lagi.

"Sal," terdengar suara Karmila yang menelungkup

"Hm."

"Betulkah engkau jadi raja di sana?" Suaranya tidak begitu jelas sebab mukanya menekan kasur.

"Raja apa?" tanya Feisal, lalu tiba-tiba dia tertawa.

Dipereratnya pelukannya.

"Jangan khawatir," katanya menepuk-nepuk punggung istrinya.

"I'm yours, all yours."

"Kata orang di sana amat bebas."

Karmila melepaskan diri dari lengan Feisal lalu membalik. Dibukanya matanya sedikit.

"Bebas apa?"

Feisal memandangnya. Buku di tangannya tertutup.

"Kalau kukatakan, aku tidak pernah mengunjungi night club mereka, tentu engkau tidak percaya. Tapi aku tidak pernah berbuat apa-apa. Engkau percaya, bukan? Aku tidak pernah minum. Tapi aku senang menyaksikan show mereka."

"Show telanjang?" tanya Karmila agak ngeri.

"Engkau tidak ingin aku menjadi munafik, bukan? Dengarlah. Mil. Jangan bikin kepalamu pusing tidak keruan. Engkau harus percaya padaku. Segalanya beres. Tentu saja, kalau engkau tidak menyukai tugas-tugasku di sana, engkau tahu kepada siapa harus mengadu. Ayahku pasti akan menyuruh aku diam di sini. Dan aku tidak akan membantah."

Feisal menanti sejenak. Karmila diam saja.

"Engkau percaya padaku, bukan?"

Karmila memandangnya dengan mata setengah ngantuk. Tiba tiba dia tersenyum.

"Sudah tentu." Dimasukkan lengannya ke bawah leher suaminya dan dipukul-pukulnya pipinya.

"Aku percaya."

Pukul lima pagi, Tasia sudah bangun. Mula-mula dia cuma bercakap-cakap dengan Mali, bonekanya yang terbesar, yang selalu menemaninya tidur. Fani masih nyenyak. Tasia rupanya bosan juga, cuma ditemani Moli. Dicobanya menarik perhatian kakaknya. Sia-sia. Akhirnya dia menjadi kesal.

"Mama... mama " teriaknya setengah menangis.

Karmila terkejut, lalu pelan-pelan diangkatnya lengan Feisal dari sampingnya. Sebenarnya dia sudah bangun. Didengarkannya ocehan-ocehan anaknya. Dia masih malas turun. Diperhatikannya

Feisal. Dia tidur begitu tenang. Kelihatan murni seperti kanak-kanak. Tiba-tiba diingatnya jurnal yang belum dihabiskannya tadi malam. Diambilnya dari lantai lalu mulai membaca, dengan lampu kecil di samping tempat tidurnya. Dia tidak mau menyalakan lampu sebab Feisal pasti akan terjaga. Ketika dia baru membaca sehalaman lebih, didengarnya Tasia memanggilnya.

Karmila bangkit perlahan-lahan lalu berjinjit-jinjit ke dalam kamar anak-anak. Dilihatnya Fani masih terlelap. Tapi nona kecil yang rewel itu tengah asyik menyepak-nyepak udara.

"Sst... Fani masih tidur," bisik Karmila.

"Sisi mau apa bangun pagi-pagi? Semua masih tidur. Meli juga masih tidur. Tidurlah kembali, ya."

Tasia mengulurkan kedua lengannya. Karmila menggigitnya.

"Hiii... hiiii ...."

"Sst... Tasia kakakmu nanti bangun."

"Mama ini...."

Karmila menarik napas. inilah konsekuensi jadi ibu. Tidur pun tidak bisa sepuas hati. Diangkatnya anak itu dan dibawanya ke belakang. Minah sedang memasak air. Bibi Emi belum bangun.

"Lihatlah Minah baru memasak air. Belum bisa mimi."

Tasia mengeluarkan suara menggumam untuk

menyatakan kecewanya.

"Min, air termos sudah kaubuang?"

"Belum, Nyonya."

"Nah, baiklah. Mama bikin susu, ya."

Tasia berdiri di atas kursi mengawasi ibunya membuatkannya susu.

"Oke, Sisi minum ini, Mama mau mandi, ya." Tasia duduk di atas kursinya yang tinggi, menghadapi segelas susu. Diam-diam Karmila pergi mandi. Fani masih tidur, tentu saja. Anak itu baru bangun pukul enam. Tasia memang selalu bikin repot. Pukul lima sudah gentayangan dari ruang depan ke dapur, bolak-balik. Menurut. Minah, dulu Fani begitu juga. Karmila tidak dapat membayangkan bagaimana si Pemalas Feisal itu dapat bangun pukul lima mengiringi Fani ke luar ke dalam dan membuatkannya susu. Tapi dia tidak berani bertanya apa-apa dan Feisal juga tidak pernah menceritakan bagaimana hidupnya dulu berdua dengan Fani. Mungkin suatu hari kelak, bila mereka sudah tua. semua itu akan diketahuinya.

Dengan berselubung handuk, Karmila berhenti sebentar di kursi anaknya.

"Enak?"

"Nak. . ." kata Sisi, tersenyum.

ibunya tertawa lalu pergi ke kamar.

"Min, nak ..." kata Tasia pada Minah yang

datang melihat kalau-kalau susu itu tumpah

tanpa menimbulkan suara. Dari kaca dilihatnya Feisal masih tidur. Rambutnya terurai sembarangan ke dahinya, menyebabkan dia tampak seperti mahasiswa baru yang masih belum tahu apa-apa.

Diambilnya sisir. Sambil menyistr. diperhatikannya sebentar-sebentar orang yang tidur di belakangnya. Feisal sekarang malas. Tidak mau bangun sebelum tepat pukul enam atau lewat. Itu pun sudah disertai ancaman mau disiram air dingin. Dan hari Minggu, sepulangnya mengantarkan mereka ke gereja, dia tidur kembali serta mempersilakan istri dan anak-anaknya naik beca pulang. Karmiila kadangkadang bermimpi tentang suatu waktu di mana Feisal akan ikut duduk bersama mereka dan tidak tidur melulu sepanjang Minggu pagi. Feisal tidak menentang agama istrinya, Oh, mereka menikah di gereja. Feisal sama sekali tidak keberatan. Anak-anaknya semua dipermandikan. Mendapat pendidikan seperti istrinya. Oke. Fani pergi sekolah yang dulu dikunjungi ibunya. Boleh. Beres. Tapi Feisal tidak pernah mengatakan ada minat untuk memeluk agama apa

pun. Jarang-jarang, memang dia ikut juga berlutut. Pada hari Natal dan Paskah. Tapi Karmila tahu, itu bukan karena dia ada minat. Alasannya adalah, dia takut istrinya dilarikan orang sepulangnya dari misa malam.

Karmila menyikat rambutnya sampai berkilat. Diberinya minyak sedikit, sebab menurut temannya yang membuka kapsalon. rambut yang disasak harus diberi minyak tiap hari supaya tidak menjadi rusak. Dia tersenyum dalam hati, teringat ketika kawannya itu menanyakan apakah rambut mempunyai pembuluh darah dan dia setengah mati tidak tahu jawabnya. Seingatnya rambut tidak pernah berdarah, tapi dia tidak pasti. Kalau tidak mempunyai pembuluh darah, rambut dapat makan dari mana? Pulang-pulang, di bongkarnya buku-bukunya. Karmila tersenyum. Vera sekarang sudah jauh di luar negeri, mengikuti suami. Suaminya adalah sahabat karib Edo. Dan bagaimana mereka berdua selalu merasa bersyukur mendapat calon suami yang mempunyai pendidikan dan back-ground yang sama dengan mereka.

Tapi.... Sesuatu bergerak di dalam kaca. Feisal membuka matanya.

"Kenapa tersenyum sendiri?"

Feisal memang baik. Namun itu belum cukup. Yang diinginkannya adalah laki-laki yang dapat

mengajarkan anak-anaknya bernyanyi dari Jubilate. Bukan cuma ayah yang tahu memperbaiki kereta api yang rusak. Feisal bukan Islam. Dia tidak pernah berpuasa. Tidak ikut Lebaran. Tidak ikut apa-apa. Natal itu dirayakan oleh seluruh dunia. Jadi Feisal tersangkut, tanpa mengandung arti banyak baginya.

"Berbaliklah. Jangan perhatikan aku dandan."

"Hm, kenapa? Aku senang melihat engkau bersolek. Aku tidak pernah mendapat kesempatan serupa itu. Tidak ada saudara perempuan. Dan boleh dibilang tidak ada Ibu."

"O ya, omong-omong tentang Ibu, aku baru ingat. Kemarin dia datang membawakan kita tape."

"Kita? Mana mungkin. Dia membawakan itu sudah tentu karena ingat akan anaknya. Untuk apa engkau dibawakan apa-apa?"

"Tape itu banyak. Mustahil habis olehmu sendiri. Sudah tentu karena dia ingat menantunya maka dibawakannya sebanyak itu. Siapa bilang dia tidak ingat aku? Kau tahu, ayahmu begitu cinta padaku."

"Oh! Aku baru tahu. Untung engkau bersedia mengaku sebelum kupaksa. Jadi, ayah Tasia itu adalah "

Karmila menyadari kesalahannya setelah terlambat.

"Pikiranmu selalu kotor," katanya dengan marah. Dipandangnya kaca di hadapannya. Feisal

menyeringai.

"Hatihati jangan sampai Ibu tahu. Aku sih tidak akan mengadu. Tapi..."

"Engkau engkau seru Karmila sesak napas,

"engkau jahat sekali. Dia bangkit tergesagesa menghampiri tempat tidur, di tangannya tergenggam erat erat sikat kawatnya.

Tapi begitu dia melangkah, handuknya terlepas. Dengan merah padam, diangkatnya handuk konyol itu dari lantai. Ketika dia berdiri, didapatinya Feisal siap memeluknya dari belakang.

"Lepaskan aku!" bisiknya dengan sengit, takut kalau-kalau Fani terbangun.

Feisal tidak mau melepaskan pelukannya. Dan handuk itu terkapar di bawah, terinjak-injak. Karmila memberontak dan menamparnya.

"Tidak malukah engkau, Setan! Bermain-main dengan istri muda bapakmu!"

"Forgive me. Forgive me," bisik Feisal dan disusutnya air mata istrinya dengan tangannya.

"Aku cuma main-main. Sungguh-sungguh. Aku memang gila. Tapi engkau toh biasanya tidak marah? Engkau toh tidak marah, bukan?"

Karmila menangis di dadanya. Oh, bagaimana dapat kukatakan bahwa aku menangis bukan karena itu? Bahwa itu adalah lelucon sepele yang konyol? Bahwa aku tiba-tiba saja teringat kepadanya? Tibatiba saja? Bahwa aku tiba-tiba membayangkan dia di situ? Dan bukan Feisal. Ketika dikatakannya bahwa ayah Tasia adalah oh, mengapa aku masih selalu tiba-tiba saja teringat padanya?

Gerendel pintu penghubung dengan kamar anakanak tiba-tiba berputar. Secepat kilat Karmila membungkuk dan menyelubungi dirinya dengan handuk, lalu tergesa-gesa menyambar dasternya. Pintu terbuka dan Fani berdiri di situ. Ketika dilihatnya ibunya, dia tersenyum lalu berlari memeluknya.

"Selamat pagi," serunya dan diCiumnya ibunya.

"I love you, Mama."

"! love you, Fani." Cup, cup.

"I love you, Papa."

Feisal membaur-baurkan rambut anaknya dan Fani berlari ke luar. Sudah tentu untuk mencari adiknya dan mengatakan hal yang sama. Itu kebiasaan Fani yang diajarkan oleh ayahnya. Masih ingat Karmiila, ketika dia bangun pada pagi pertama setelah pernikahannya dan mendapati anaknya berdiri di samping tempat tidurnya, siap dengan,

"I loveyou, Mama."

"Sal, jangan beri contoh jelek pada anak-anak. Ayo, pergi mandi."

"Kemejaku... kemejaku "

Karmila pergi ke lemari.

"Kemarin kaupakai yang putih. Hari ini biru, ya? Celanamu yang kemarin masih bersih? Kalau mau ganti, pakailah yang abu-abu ini." Diletakkannya kemeja dan celana Feisal di atas tempat tidur.

"Nah, pergilah mandi. Ini sudah siap, Tuan."

"Aku lebih suka pakai blue jean," gumam Feisal pada diri sendiri, tapi itu sudah tentu mustahil. Cuma pada hari-hari libur, dia dapat memakai celana-celana cowboy itu.

"Papa... Papa ..." Tasia berjalan macam kapal oleng menghampiri ayahnya. Feisal membungkuk dan mengembangkan lengannya.

"Huk!" Tasia tertawa lebar, masuk ke dalam pelukan ayahnya.

"I love you I Iove you my sweet mysweet

Tasia melekatkan pipinya ke muka ayahnya lalu caranya menyatakan "! love you".

"Sudah mimi?"

"Dah."

"Enak?"

"Nak."

"Sudah mandi?"

"Dah."

Feisal menciumnya.

"Ah, belum nih. Tasia masih bau susu. Be mandi, ya."

Nona kecil itu mengangguk malu.

"Nah, Papa mandi dulu ya. Nanti Tasia."

Selesai bersolek, Karmila memandikan Tasia dan Fani. Setelah itu baru digantinya dasternya.
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Fani, cepat sedikit. Nanti terlambat. Min, lihatlah ke depan. Salam sudah datang?"

"Oh, dia sedang minum kopi," sahut Minah dengan malu.

Karmila tersenyum. Rupanya ada main antara Minah dan Salam. Tapi Bibi Emi memang sudah mengizinkan Minah untuk memberi Salam kopi dan makanan lain yang ada.

"Fani, kau mau selai atau coklat? Fani... Fani kau mau bawa roti?"

"Ya," teriaknya dari ruang depan dengan mulut penuh.

"Selai atau coklat?"

"Coklat."

Bibi Emi yang baru selesai mandi. duduk di meja makan dengan sebuah notes dan pensil.

"Mama..." seru Tasia dari belakang.

Karmila menoleh. Tasia memandang ibunya dan memperlihatkan kedua tapak tangannya yang penuh mentega dan coklat.

"Ampun, Sisi."

Diseretnya anak itu ke wastafel.

"Rotinya sudah habis?"

"Bis!" kata Tasia, mengangguk.

"Betul?"

Tasia mengangguk.

"Tunggu... tunggu... lihat di kaca... hiiii... mukamu penuh coklat" Hii seperti Caesar... belangbelang

Tasia tertawa melihat rupanya.

"Sudah." Diturunkannya anak itu dan dipukulnya pantatnya.

***

"Mau masak apa hari ini?" tanya Bibi Emi sambil mencoret-coret dalam buku.

Karmila tersenyum memandangnya lalu melirik Feisal.

"Tanyalah pada kunyuk itu! Makanan apa yang menurut dia sedikit lebih enak?"

Feisal yang tengah mengaduk-aduk kopinya, terkejut setengah mati. Dipandangnya Karmila dan Bibi Emi berganti-ganti. Bibi mengedipkan matanya.

"Semur, bagaimana? Bosan? Udang balado? Kepiting?"

"Eh, bicaralah. Engkau toh boss-nya. Aku cuma sekretaris merangkap luar dalam."

"All-in," kata Feisal, tertawa.

"Peduli apa namanya. Katakan mau makan apa," desak istrinya,

"Fani cepat jam tujuh kurang sepuluh...."

Fani berlari-lari.

"Minumlah susu itu. Ini air dan rotimu," kata ibunya seraya membetulkan letak dasinya. Sementara itu Feisal menggeleng-geleng dan Bibi Emi cuma tersenyum.

"Hampir jam tujuh," katanya memandang lonceng dapur, lalu bangkit ke dalam membunyikan radio.

"Bye, Oma bye, Papa

Karmila mengantarkan anaknya ke mobil. Tasia mau ikut. Kasihan. Selalu mau ikut naik mobil.

"Nanti nanti kita jalan-jalan. ya."

"Bye, Mama Tasia, bye-bye "

"Ayo, Sisi... bye-bye, Fani ..."

Tasia melambaikan tangannya dengan sedih. Tidak boleh ikut.

Pukul delapan Karmila dan Feisal berangkat dari rumah. Kadang-kadang Tasia menangis. Kadang kadang tidak.

Pagi-pagi telepon berdering.

"Sal, tuli kau. Telepon."

"Kalau kau yang ambil, kenapa sih?"

"Nanti dunia kiamat."

Nyaris diganyangnya sasak rambut istrinya.

"Ya, hallo oh, Ibu... apa? Tapenya belum dimakan. Orang di rumah lupa memberi tahu ...." Feisal tertawa menyakitkan telinga Karmila.

"Tasia..." panggil ayahnya, tapi itu tidak perlu.

Tasia sudah berdiri di situ, menanti dengan sabar. Dia tahu setiap pagi, Oma Mira selalu meneleponnya dan nanti siang, Oma Alia.

Feisal memberikan telepon itu pada anaknya dan dipegangnya gagangnya. Tasia selalu merasa lucu mendengar suara dalam telepon.

"Hallo, Tasia," terdengar teriak neneknya. Tasia mengangguk.

"Dah." Kelihatan dia mengangguk sambil tertawa lucu.

"Dah," katanya lagi.

Terakhir sekali dia mengangguk dan bilang,

"Uh." Itu biasanya jawaban untuk permintaan neneknya supaya dia jangan menangis kalau ibu dan ayahnya pergi.

"Sal," kata Karmila dengan manis,

"coba katakan, yang disebut "orang rumah' itu apa sih?"

Feisal tersenyum mengangkat bahu tanpa menjawab. Dibaliknya koran pagi yang tadi tengah dibacanya.

"Hati-hati! Kalau kau dapat menjadi raja, maka aku juga mau pergi ke tempat di mana aku dapat menjadi ratu dan bukan cuma "orang rumah"!" kata Karmila sambil bangkit.

Feisal tertawa dalam hati. Sudah tentu Karmila tidak serius. Sebab dia terlalu suka bergurau. Tapi... apakah kadang-kadang senda-gurau itu pun tidak

akan menjadi kenyataan?

Bibi Emi keluar dari depan menjinjing rantang.

"Masak apa, Bi?" tanya Feisal, tertawa.

"Kata Mila, Bibi boleh mengulang menu dua bulan yang lalu. Kau mau apa?"

"Apa saja. Apa saja yang diinginkan olehnya."

"Bagus. Itu bagus," kata Bibi Emi, mengangguk.

"Tasia... Oma ke pasar dulu, ya. Jangan menangis kalau Mama pergi!"

Tasia mengangguk. Dia menepati janji itu.

***

KARMILA baru saja membaringkan diri ketika Fani masuk terengah-engah.

"Mama Mama Bonie putus telinganya," serunya.

"Oh, Tuhan! Berarti tidak tidur siang ini."

Karmila menoleh dan melihat Bonie dengan telinga kirinya dalam tangan Fani.

"Oh!" serunya pura-pura kaget betul.

"Ini adalah suatu kecelakaan yang hebat. Apakah darahnya banyak keluar? Tentu banyak, bukan?!"

Fani mengangguk. Karmila bangkit dengan cepat.

"Mari! Cepat! Ini mesti disambung segera sebelum darahnya habis."

Mereka pergi ke kamar buku. Di situ terdapat buku-buku Feisal dan Karmila. Di sudut terdapat lemari kecil tempat Karmila meletakkan alat alat operasi untuk menolong Bonie atau Popi atau Moli yang sering kali mengalami kecelakaan.

"Baringkan dia di sana," perintah Karmila dengan suara tergesa-gesa.

Fani menjadi orang penting. Dia amat gemar permainan serupa ini. Diperhatikannya ibunya memasukkan kunci. Lemari itu selalu terkunci, tentu saja. Alat-alat operasi cuma boleh dipegang oleh dokter.

Fani tahu. ibunya dokter. Cuma kadang-kadang. ayahnya diminta bantuannya oleh Mama dan dia boleh mengambil alat-alat di situ.

Ibunya mengeluarkan alat suntik dari plastik. Dimasukkannya obat dari botol kecil. Karmila selalu menjaga supaya botol bekas penisilin itu selalu terisi air yang diambilnya dari wastafel di kamar itu.

"Suntik dulu ya, Bonie," kata ibunya dan Fani memegang beruangnya kuat-kuat. Kemudian kepala Bonie ditutup dengan kain putih yang bersih.

"Benang coklat, ya?" tanya ibunya.

Dalam lemari itu terdapat benang kuning untuk Moli dan benang coklat muda untuk Popi. Untuk Bonie, coklat tua dan hitam.

Fani memperhatikan ibunya dengan cermat. Hati-hati sekali, Mama mulai melekatkan telinga yang putus itu dan menjahitnya. Sebentar-sebentar Fani disuruh melap darah yang keluar. Bonie memang nakal. Dulu. telinga kanan. Sekarang, telinga kiri. Kedua kakinya bergantian pernah patah.

Rupanya Bonie merasa sakit juga. Tiba-tiba dia bergerak.

"Ei... sebentar lagi. Nanti jelek rupamu tanpa telinga... Ayo... sedikit lagi.... Fani, pegang dia kuatkuat." Karmila menjahit lagi. Diam-diam dimasukkannya tangan kirinya di bawah kain penutup lalu diputarnya per di punggung Bonie. Bonie bersuara merengek-rengek.

"Eh kok menangis? Mau suntik lagi? Sebentar lagi sebentar lagi

Fani tertawa gelak-gelak.

"Husss... diam... nanti dokter marah ."

Fani menunggu sampai ibunya memintanya menghentikan tangis Bonie.

"Ayo... Fan, nakal betul temanmu ini. Suruhlah dia berhenti."

Fani menepuk-nepuk Bonie lalu memutar kembali pernya dan Bonie diam. Itulah permainan yang amat digemari keduanya. Mama selalu menjahit dengan rapi dan Bonie akan menjadi sehat kembali. Fani menjatuhkan diri di kursi sambil terus memperhatikan jarum ibunya. Dia juga ingin pandai menjahit seperti itu. Nanti, kalau sudah besar dan dia belajar cukup rajin, kata Mama, dia dapat menjadi dokter.

"Gunting."

Fani cepat-cepat menyambar gunting dan memberikan gagangnya pada ibunya.

"Nah, sekarang kita membalutnya," kata Karmila, menarik napas lega.

Akhirnya Bonie mendapat kembali telinganya seperti semula. Lain kali mesti lebih hati-hati. katanya pada Bonie.

"Kalau putus lagi, wah!"

Karmila memberikan gulungan pembalut pada Fani dan menyuruhnya membalut temannya. Dengan bangga Fani segera menjalankan perintah dokter.

"Oke, selesai, bukan?" Karmila tidak menepuknepuk pasiennya, akan tetapi memberikan kesempatan itu pada Fani.

"Boleh digendong, Mama? Atau mesti tidur?"

"Coba..."

Mama meletakkan tangannya di atas dahi Bonie.

"Oh, tidak begitu panas. Kalau dia mau digendong, boleh saja. Tapi jam dua, yang menggendong mesti tidur. Oke?"

Fani mengangguk cukup puas.

"Terima kasih," kata Karmila.

"Terima kasih, Mama," serunya lalu terbang keluar.

Karmila membereskan alat-alatnya. Menambahkan isi botol obat suntiknya. Lalu kembali ke kamar. Diputarnya lagu-lagu kesayangannya. Sambil berbaring didengarnya anak-anaknya bermain di ruang tengah. Dan Maria Elena-nya Nat King

Cole membuatnya mengantuk. Pikirannya setengah sadar melayang membayangkan sesuatu yang takkan mungkin pernah dialaminya lagi. Tidak! Aku tidak mau memikirkan hal itu, pikirnya sengit. Tapi tidak! Aku hanya akan memikirkan Feisal saja. Karmila tersenyum. Sedang apa dia sekarang? Singapura penuh night club. Meskipun dia bilang, dia menumpang di rumah pamannya yang alim itu, tapi... ah, dia sendiri sudah mengaku, dia gemar melihat show-show telanjang. Kamiila sama sekali tidak khawatir. Dia cukup tahu, Feisal tidak berdusta. Karmila membiarkan pikirannya melayang terbuai lagu-lagu merdu. Dia tahu, dalam lima menit pasti dia akan tertidur dan pukul empat bangun untuk praktek.

Hm, life is good, pikirnya. Dipejamkannya matanya. Lima menit yang ditunggu itu belum berlalu. Fani masuk perlahan-lahan. Dilihatnya ibunya sudah merapatkan matanya.

"Mama," bisiknya ragu-ragu.

"Ada apa? Bonie lagi?" tanya ibunya tanpa membuka mata,

"Mama, ada tamu."

"Uh! Siapa?!" Karmila membuka matanya sedikit.

"Kaukatakan, Mama sedang tidur?"

Fani mengangguk.

"Tamu itu mau menunggu Mama bangun."

"Siapa? Siapa dia?" tuntut ibunya "Oom... Oom Edo."

Edo berdiri di muka rumah Karmila. sebagai seorang arsitek yang mahir, diperhatikannya rumah itu. Cukup lumayan, gumamnya. Tentu saja dia tidak akan membuat pintu garasi serupa itu. Mobilnya di Perth selalu masuk sampai ke beranda di belakang, di muka kolam renang. Dan bagian samping rumahnya mempunyai pintu yang istimewa. Halaman muka rumahnya empat kali seluas rumah di hadapannya. Penuh mawar. Di halaman belakang, orang dapat berkemah dan itu biasa dilakukannya pada malammalam musim semi. Teman-temannya datang dan mereka memanggang daging. Semua itu direncanakan dengan amat teliti. Semua itu untuk bidadarinya, untuk malaikatnya, untuk Helen. Semua itu untuk pengantinnya yang tidak pernah muncul. Dibukanya pintu halaman. Hm, bukan begini membuat pintu yang baik.

Edo tahu, itu pekerjaan tukang besi biasa. Pintu rumahnya di sana membuka secara otomatis bila kita menginjak perrnya. Itu supaya, kalau Helen pulang berbelanja sendirian, penuh dengan kan

tung-kantung makanan, dia tidak perlu meletakkan dulu bungkusannya lalu membuka pintu. Di pinggir pintu terdapat pesawat kecil yang menyampaikan gambargambar ke dapur, bila ada orang berdiri di muka pintu. Itu untuk memudahkan Helen melihat siapa yang membunyikan bel.

Edo memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, lalu berjalan ke pintu kaca. Ditekannya bel. Bukan begini. Seharusnya dipasang pesawat penerima dan di dapur dipasang TV kecil. Tentu saja itu mahal. Mahal sekali. Tapi apakah yang cukup mahal sehingga tidak dapat diberikannya bagi Helen'? Cintanya. Hidupnya. Hari depannya. Pintu terbuka. Seorang anak laki-laki menggendong beruangnya yang terbalut. Edo mengeluarkan tangan kanannya.

"Hallo..." Ditelannya liurnya dengan susah payah lalu cepat-cepat disambungnya,

"Fani..."

Fani membalas senyumnya dan mengulurkan juga tangannya. Edo menjabatnya erat-erat. Bukan begitu, seharusnya engkau kupeluk dan aku akan mengayunkan engkau dan beruangmu itu tinggitinggi ke langit dan engkau akan memanggilku, Papa. Bukankah begitu rencana dulu-dulu.

"Mama ada?"

Fani mengangguk.

"Tidur. Oom sakit?"

Tiba-tiba Edo tertawa.

"Sakit? Oh, Fani Oom sudah lama sakit...."

"Tapi... Oom harus tunggu sampai jam setengah lima."

"Kenapa?"

Fani menunjuk ke arah pavilyun. Di situ terpancang papan praktek ibunya.

"Setengah lima. Ya, setengah lima. Oke, Oom mau tunggu. Boleh duduk?"

Fani membuka pintu lebih lebar dan membiarkan Edo duduk di ruang tamu. Tanpa berkata apaapa, dia masuk ke dalam, ke kamar ibunya. Edo mengetukkan jari-jarinya ke meja dan memandang berkeliling. Dia mengangguk-angguk. Selera nyonya rumah boleh dipuji. Itu tentu lukisan Rachmat Saleh. Dia pernah melihatnya dalam pameran di Melbourne tahun lalu. Cat dinding krem itu boleh juga. Sudah tentu rumahnya di sana memakai wall-paper. Dan tidak ada kamar tidur di ruang bawah. Semua di atas. Dengan permadani merah menutupi anakanak tangga spiral. Ah, rencana yang begitu susah payah diatur setiap hari. Dia menghemat setengah mati. Rokok, no. Minum, no. Foya-foya. no. Dan kemewahan itu akhirnya tiada gunanya!

Edo mencoba menengok ke ruang dalam. Tapi pintu yang setengah tertutup itu tidak banyak menolongnya. Diketuk-ketuknya meja dengan jari

jarinya.

Apakah rumah ini mempunyai bar? Bar di bawah tanah? Mungkin tidak. Rumah-rumah di Jakarta biasanya tidak mempunyai ruang bawah tanah. Untuk apa. Tidak ada musim dingin. Tidak perlu menimbun makanan. Kalau ada yang menimbun. tentu dengan maksud lain. Well, well, di sinilah aku. Edo menjulurkan kakinya. Disandarkannya kepalanya ke belakang dan dipejamkannya matanya. My God, untuk apa aku kemari? Tangannya terkatup seperti pendeta. Untuk apa? Kesempatanku sudah bilang. My angel is not mine any longer. Oh, God! Untuk apa?

Serasa dia duduk di situ berjam-jam lamanya sebelum didengarnya langkah-langkah kecil dan halus yang dikenalnya. Dikenalnya, masih dengan baik. Bagaimanakah rupanya sekarang? Apakah matanya masih bercahaya? Apakah lehernya sudah berlipat? Apakah dia masih selangsing dulu? Oh, mengapa aku kemari? Edo menggigit bibirnya. Langkah-langkah itu sudah bilang. Dibukanya matanya. Karmila berdiri diam di ambang pintu. Dia mengganti dasternya dengan baju biru muda. Apakah itu mempunyai arti. pikir Edo sesaat dengan ganas. Apakah dia ingat bahwa itu adalah warna kegemaranku.

"Ed..."

Karmila melangkah setapak.

"Oh, Helen! !"

Edo bangkit dan menyerbunya. Karmila mencoba tersenyum. Tapi sebaliknya, air matanya berlinanglinang. Serasa sudah berabad abad lamanya tak ada orang yang memanggilnya Helen. Di dunia ini cuma Edo yang memanggilnya dengan nama pemandiannya. Suaminya sendiri bahkan belum pernah menanyakan siapa Santa pelindungnya.

Setetes air mata yang hangat menimpa bahu Edo.

"Bidadariku! engkau tidak menangis, bukan?"

Edo memegang bahunya dengan lembut dan memandangnya. Dipeluknya kembali pengantinnya yang hilang itu, rapi Karmila dengan tergesa gesa melepaskan diri. Dia tahu, Fani berdiri di belakangnya.

"Dudukiah."

Edo duduk tanpa melepaskan pandangnya.

"Engkau masih tetap seperti dulu, Hel." Karmila tersenyum.

"Rasanya sudah berabad-abad, bukan?"

"Ya, rasanya sudah berabad-abad."

"Apakah... well... apakah semuanya beres denganmu? Ah, kau tahu, bukan? Aku belum pindah ke flat. Aku masih belum mau menjual rumahku. Aku masih

"Ed," Karmila mengangkat kepalanya dan memandang Edo.

"Mengapa kau kemari?"

Edo tersenyum lalu membungkuk ke depan .

"Well, itulah yang jadi pemikiranku sejak tadi. Setelah aku melihatmu, aku tahu jawabnya. Apakah engkau mau tahu juga?"

"Tidak mengapa. Aku tidak usah tahu." Karmila menggeleng pelan. Oh, God! Dia ada di situ tapi dia tidak ada di situ. My angel. Oh, Lord! My angel.

"Fani," katanya, menoleh.

"sudah jam dua lewat. Tidurlah. Ajak Sisi."

Edo mengerutkan dahinya.

"Engkau mempunyai satu lagi?"

Karmila tersenyum.

"Dan engkau tidak mau memperkenalkannya padaku? Siapa tahu kelak dia akan menjadi anakku juga?!" Edo menantangnya dengan senyumnya yang tampan. Karmila menjadi pucat atau apakah itu hanya penglihatan Edo belaka?!

"Ed, jangan bilang begitu," bisiknya hampir tidak terdengar.

"Fani," serunya,

"bawa Tasia kemari."

"Ya, Mama."

Tasia muncul memeluk bola merahnya.

"Ini Anastasia. Sisi, beri salam pada Oom Edo. Ayo, mana tangan kananmu? Hello, Oom."

Tasia tertawa dan mengulurkan tangannya. Edo menarik tangannya dan memeluknya.

"Oh, sorry,

" katanya, melihat wajah Kannila.

"Aku memang terlalu suka pada anak-anak."

Edo tersenyum senyum pada Anastasia.

"Mata ayahnya," gumam Edo sambil melirik Karmila.

"Ya."

"Hidung ayahnya."

"Ya."

"Bibir ayahnya."

"Mungkin."
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang kauwariskan padanya?"

"Darahku."

"Nah, sekarang kalian pergi tidur. Awas, kalau belum tidur waktu Mama masuk. Fani, suruh Minah membawa teh atau... mau kopi, Ed?"

"Ya, kopi. Itu lebih baik."

"Kopi. Fan. Dan susu untuk Mama."

"Ya, Mam." Ditariknya adiknya ke dalam dan sebentar kemudian rumah itu sudah menjadi sunyi.

Karmila merasa lega sekarang, tanpa diawasi anak-anaknya. Dipandangnya Edo. Barulah kini dilihatnya bahwa Edo sudah berubah. Wajahnya tampak lebih tua. Badannya jauh lebih kurus dari bayangannya semula. Malah dilihatnya ada rambut rambut putih di pelipis kanannya.

"Kurus amat, Ed'?"

"Aku jatuh sakit."

"Oh, sakit apa?"

Sebelum pertanyaan itu habis terucapkan, Karmila segera menyadari kekeliruannya. Pertanyaan itu tidak perlu diucapkan. Dia semestinya tahu, Edo sakit apa. Dan rupanya Edo berpendapat serupa, sebab dia cuma menggeleng dan tidak berkata apa-apa.

"Ed, aku takkan minta maaf sebab aku tahu. engkau takkan pernah memaafkan aku. Engkau barangkali betul dalam suratmu dulu itu. Aku cuma menuruti sebuah impuls. Sampai kini aku masih suka memikirkannya. Betulkah itu hanya sebuah impuls? Engkau tahu, aku selalu suka pada anak-anak. Aku selalu terharu melihat anak-anak terbaring sakit tidak berdaya. Anak-anak yang direnggutkan kebahagiaannya dan kebebasannya berlari-lari. Aku selalu menyukai anak-anak. apalagi anakku sendiri. Kadang-kadang aku berpikir, apakah tidak mungkin Feisal mengetahui kelemahan ini dan mempergunakannya untuk keuntungannya sendiri?"

"Oh, come on, engkau bicara apa sekarang ini? Engkau toh tidak mau mengatakan bahwa engkau menyesal atas keputusanmu?"

Saat itu Minah masuk dengan segelas kopi dan segelas susu. Bibi Emi menambahkan sepiring kue sus ke atas talam itu.

Karmila mengambil gelas susunya dan menyilakan Edo minum. Tapi Edo terus memandangnya tanpa berkedip. Karmila mendekatkan gelas ke bibirnya, tapi tiba-tiba berubah pikirannya. Dipegangnya gelas panas itu dan ditatapnya Edo.

"Engkau menghendaki jawaban, bukan?" katanya seakan pada diri sendiri.

"Well, aku tidak menyesal, bila itu yang ingin kauketahui!"

Air mata Karmila berlinang. Setetes jatuh.

"Sudah tentu aku banyak memikirkan engkau. Seperti sekarang ini waktu Feisal pergi ke Singapura atau bahkan waktu aku berbaring di sampingnya mendengarkan napasnya yang teratur." Karmila memandangjauh ke depan, melewati jendela, seakan-akan dia bicara pada diri sendiri.

"Aku juga banyak membayangkan semua yang indah-indah yang kita telah rencanakan bersama. Hingga kini aku masih tidak percaya, bahwa menjadi istrimu adalah mustahil. Aku belum juga mengerti mengapa Tuhan menghendaki hal ini terjadi padaku. Ed," katanya dengan suara tertahan sambil memandang Edo,

"mengapa semua ini terjadi begini? Mengapa? Ke mana semua impian kita?

"Kadang kadang aku ingin bebas terbang. Dan persetan semua etika moral ciptaan manusia. Kadang-kadang aku memberikan diriku kebebasan untuk membayangkan kebahagiaan kita bersama. Tapi itu cuma bisa berlangsung beberapa menit.

Segera juga anak-anakku menarikku kembali ke dalam realita. Percayalah, engkau tidak menderita sendirian. Ed, kita tidak berdaya apa-apa. Oh, Edo aku banyak memikirkan engkau."

Karmila terisak-isak. Edo menghampiri dan duduk di sebelahnya.

"Sorry, Hel, aku seharusnya tidak mendesakmu. It's all right, Honey. Angel. ilir all right." Edo menggenggam kedua tangannya erat-erat. Karmila merasa lega dapat menangis dan mengeluarkan segala yang tertimbun dalam hatinya, yang takkan dapat dikeluarkannya dihadapan orang lain.

"Angel, Helen, everythingfs all right. My angel... my poor angel...."

"Dengan lahirnya Tasia..."

"Sst... speak no more....

"

"Tidak! Aku ingin katakan semua. Edo Karmila melepaskan diri dari lingkaran peluk Edo yang hangat.

"Edo, jembatanku sudah kubakar!"

Karmila mencoba menahan air matanya jatuh lebih banyak. Edo memperhatikannya dari samping.

"My dearest unge/...," bisik Edo sambil membelaibelai rambutnya dan menyusul air matanya dengan sapu tangannya.

Karmila menggeleng keras-keras.

"Aku bukan Helen yang dulu

"You 'I! always be the same Helen forever:.

"

Karmila menyusut hidungnya. Dilihatnya arloji nya. Pukul empat!

"Ed," katanya, tersenyum,

"sudah jam empat. Engkau toh tidak mau aku menerima pasien pasienku dengan mata bengkak dan rambut kusut?"

"Kau katakan Feisal tidak di rumah?"

"Tidak. Aku tidak mau engkau menantikan aku di sini!"

"I'rnt would prefer to have me dismirsecl when we have so much to tell each other? Listen? Dont be snobbish! Be yourself jbr once! Don '! pretend that you have forgotten me, because you haven 'r! And that hub of yours. that devil... that lion is not home, is he?! So non why can '! we have a little talk? I'm not ft)/Jlnng him of his precious jade and do not intend to, except...

"

Perlahan-lahan Karmila berjalan ke pintu dan membukanya.

"Ed, datanglah lain kali. Pasien-pasienku menanti.

Edo tiba-tiba tertawa.

"Oh sure thing." I'll come back this evening. Nightelub. Dance. Honey, angel... ! '" neturn... I 'II return before you have time to think! " Dikecupnya pipi Karmila dengan cepat lalu meloloskan diri lewat pintu besi yang dibuat sembarangan itu.

Karmila menutup pintu lalu bersandar di situ sambil memejamkan mata. Dia merasa luar biasa lelah. Napasnya sesak. Kepalanya berputar-putar.

Tibalah saatnya mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hakim sudah datang dan tiada seorang pun yang dapat membantunya. Suara becak menyadarkan dia. Pasiennya! Dia bergegas menghabiskan susunya Ialu setengah berlari masuk ke kamar. Sebelum ada orang melihatnya. Karmila sudah selamat masuk ke kamar mandi. Dibasuhnya mukanya yang merah. Untunglah, pikirnya dengan lega, anak-anak belum bangun. Tanpa membiarkan dirinya berpikir apaapa, dia cepat-cepat menyiapkan diri sebab waktu tinggal sedikit.

"Dia tidak meminum kopinya?" tanya Bibi Erni penuh ingin tahu.

Karmila menggeleng, sambil membedaki pipin

ya.

"Tidak ada waktu. Bibi, tolong mandikan anakanak. Jangan biarkan mereka makan sus itu terlalu banyak, nanti tidak mau makan nasi."

Bibi Emi membantunya mengancingkan baju kerjanya dan Kamiila dengan cepat pergi ke pavrlyun. Dua puluh pasien sore itu. Tidak ada yang aneh. Penyakit-penyakit biasa-kurang darah, pusing-pusing, sakit kantung nasi, bisul, onani, sakit waktu haid, luka kena paku.

Selama tiga jam lebih Dokter Karmila berpose sebagai seorang dokter yang baik. Banyak senyum. Ramah. Penuh pengertian. Tidak pernah menyalahkan pasien. Selalu mencoba membenarkan diagnosa yang dibuat pasien, meskipun dalam kartu ditulisnya hal yang lain. Dokter Karmila merupakan seorang dokter yang baik, nyonya rumah yang cemerlang, dan ibu yang tercinta. Hidupnya bahagia. Tidak mempunyai problem. Pokoknya begitulah, kira kira gambaran pasien-pasien atas dirinya. Karena itu kepercayaan yang diberikan padanya cukup besar.

Tiba-tiba didengarnya pintu diketuk.

"Maafkan saya sebentar," katanya mengangguk pada nyonya di hadapannya yang datang untuk suntikan DPT bagi bayinya. Dibukanya pintu.

"Mam, ada telepon," bisik Fani.

"Oh, sebentar Mama datang."

Diberinya bayi itu suntikannya yang kedua, lalu dimintanya pasien berikut supaya menanti sebentar. Cepat-cepat dia pergi ke dalam.

"Hallo, Mil," terdengar suara nyonya dari seberang,

"ada ini/'n nicht mau ketemu. Bisa ditolong sekarang, ndak? Dia mau ke Surabaya dengan kereta senja. Apa jij bisa tolong buatkan resep untuk Iyndiol?"

"Lyndiol? Sudah married, belum?" tanya Kamtila. tertawa.

"Sudah dong. Apa jij pikir ik sudah gila membiarkan dia makan gituan? Nah, bagaimana, ik suruh dia ke sana sekarang?"

"Boleh."

"Mmm... anunya?"

"Gratis. Atau... satu pot petis, boleh Juga. Surabaya kan dekat deengan Sidoardjo??!"

"Beres! !"

Karmila menuliskan resep itu dan memberikannya pada Bibi Emi.

"Tolong berikan pada keponakan Nyonya Sosro,

Karmila tersenyum mennat gadis muaa Itu. Ada sesuatu yang menggelieahkan dirinya. Mukanya yang manis itu tampak pucat. Dia memandang sekilas pada Karmila lalu menunduk. Ibunya memegangi lengannya, seakan-akan setiap saat dia akan jatuh.

"Silakan duduk."

"Terima kasih, Dokter," sahut si ibu lalu tergesa-gesa menyuruh anaknya duduk.

"Ada kesulitan apa?" tanya Karmila, tersenyum menenangkan.

Karmila memang cantik dan manis. Senyumnya itulah yang telah membawa banyak orang kepadanya dan mereka yang pernah datang, menganjurkan sahabat kenalan serta handai taulan untuk mengunjungi Dokter Karmila bila ada kesulitan. Sering kali mereka datang bukan karena sakit. Misalnya keluhannya itu sakit pinggang. Akan tetapi setelah diperiksa dan ditanyai, jelaslah bahwa itu hanya merupakan pemberontakan terhadap suami yang kurang mau tahu kerja istrinya yang berat sehariharian, sedangkan dia asyik mengadu buntut Nalo tanpa pernah menang.

Sudah tentu Kannila telah melatih dirinya untuk menjadi pribadi yang lain di dalam kamar prakteknya. Dia bukanlah seorang wanita muda yang kehilangan impian di tengah musim seminya, dia bukanlah seorang ibu yang terlalu menyibukkan diri dengan kebahagiaan anak-anaknya, dia bukanlah seorang istri yang terkoyak antara kesetiaan dan cinta. Akan tetapi dia adalah seorang wanita muda, kepada siapa orang dapat datang dengan seribu satu penyakit dan kesulitan dan berharap akan diringankan penderitaannya. Sekarang ibu yang nervous itu memandang Dokter Karmila dengan mata membelalak. Disentuhnya anaknya tanpa menoleh lalu dia memberondong, keluar kata-katanya seperti petasan.

"Ini Lili, anak saya. Saya tidak tahu men

gapa dia sampai begini, Dokter. Akan tetapi, tolonglah dia, Dokter. Tolonglah, Dokter," ibunya setengah meratap menyatakan kesusahan-entah macam apa-dan mukanya berkerut-kerut seakan menahan rasa sakit.

Tentu saja, seorang dokter di dalam kamar prakteknya itu sudah dianggap manusia yang beruntung karena dia dokter dan karena dia disangka, diduga, dianggap, diharap, tidak mempunyai kesulitan apaapa dalam hidupnya. Uang? Dokter banyak uang. Kesehatan? Dokter selalu sehat. Kehormatan? Dokter jalan di depan. Meskipun raja, membuka bajunya di hadapan dokter dan menuruti segala perintahnya. Itu legenda yang dibikin publik mengenai dokter-dokter yang masyhur maupun yang tidak. Pandangan yang amat salah.

Dokter, dengan kedudukannya menjadi orang yang menanggung beban lebih berat dari orangorang lain. Dia mendengar begitu banyak rahasia kehidupan manusia yang tidak dapat diceritakannya pada siapa pun, bahkan tidak juga kepada buku hariannya yang bisu. Setiap saat dari hidupnya, dia harus selalu siap untuk menghadapi kesusahan orang-orang lain. Dan memang cuma kesusahan-kesusahan saja yang dibawa orang kepadanya. Orang yang menang lotre atau mau mengumumkan pertunangannya atau baru mendapat anak atau baru lulus ujian, tentu tidak akan mengetuk pintunya. Tapi orang yang jadi sinting lantaran kalah taruhan atau mandul atau tidak lulus-lulus ujian sehingga jadi gila atau miskin dan karenanya semua anak-anaknya jatuh sakit kekurangan makan, mereka itulah yang datang membungkuk-bungkuk mohon pertolongan. Yang kaya, dengan membanggakan dompet-sanggup-bayar-berapa-saja. Yang miskin, dengan muka pucat takut dihardik, sebab tidak mampu bayar.

Sampai akhir hidupnya sendiri, seorang dokter harus selalu menyaksikan bagaimana akhir hidup orang-orang lain, bagaimana kepiluan sanak keluarga yang ditinggalkan, dan bagaimana dia akan selalu berharap, mengapa tidak ada sesuatu yang dapat kuperbuat yang lebih baik dari ini, tanpa berpikir bahwa semua kehidupan harus berakhir.

Dokter adalah manusia yang banyak kesepian. Dia tahu rahasia hidup seperti penyair-penyair, akan tetapi tidak begitu beruntung seperti mereka yang dapat menuangkannya pada sajak-sajaknya yang masih akan dibaca orang seribu tahun kemudian. Dokter mempunyai sama banyak isi hati seperti setiap pengarang mana pun, akan tetapi dia harus bungkam seumur hidup.

Sering kali Karmila bermimpi bahwa dia tidak mempunyai ruang putih di pavilyun itu, bahwa orang tidak memandangnya dengan sikap lain daripada sikap yang dilemparkan terhadap wanita biasa. Sering kali dia iri terhadap wanita-wanita yang Cukup puas dengan ijazah es-em-pe saja dan Cukup puas dengan seorang suami yang kasar dan pemalas.

Kadang-kadang dia berharap bahwa dia bukan seorang dokter. Dokter tidak imun terhadap kesusahan dan penderitaan, persis sama seperti manusia mana pun di dunia ini. Di samping itu dia masih dibebani kesusahan-kesusahan orang lain yang mesti didengarkannya dengan penuh simpatik dan mencoba menyelesaikannya, seperti kalau itu kesusahannya sendiri.

Dengan tenang dan simpatik, Karmila memandang wanita di hadapannya. Karena latihan pendidikannya, dia tidak dapat luput untuk segera menaksir umurnya. Kira-kira epmat puluh lebih. Dan gadis itu, sekitar dua puluh satu-dua puluh tiga.

"Jangan khawatir. Sudah tentu saya akan menolong Nyonya berdua. Sekarang ceritakanlah apa kesusahan Nyonya."

Wanita itu meremas-remas sapu tangannya dan sebentar-sebentar menoleh pada anaknya yang duduk dengan tenang. Matanya berkedip-kedip. Mungkin waktu kecil, nyonya itu terlalu banyak dikekang oleh orang tuanya.

"Dokter," katanya dengan napas setengah sesak,

"oh, Dokter, saya malu mengatakan ini semua. Saya

tidak tahu dari mana harus mulai. Suami saya sudah lepas tangan dan menyerahkan semuanya pada saya. Oh, Dokter, tolonglah saya. Saya sungguh malu saya... anak saya... ini anak perempuan saya satu-satunya... kalau anak laki-laki, saya tidak peduli... oh, Dokter. Lili anak bungsu. Kami memberikan segala yang diingininya, tapi untuk kawin sembarangan, kami keberatan. Dan sekarang... begini ini Dokter, saya percaya Dokter akan sanggup menolong saya."

Karmiila sudah tahu persoalannya.

"Berapa bulan?" tanyanya tanpa mengubah air mukanya. pada Lili.

"Dua," sahut yang ditanya lalu menunduk dia. Karmila mengangguk.

"Baiklah. Saya akan bertanyatanya sedikit kalau Nyonya tidak keberatan."

"Oh, sama sekali tidak, Dokter. Sama sekali tidak."

"Lili masih sekolah?"

"Tidak. Dia cuma tamat es-em-pe. Dan sejak dua tahun yang lalu dia tinggal di rumah. Memasak. Sedangkan saya dan suami saya menjaga toko di pasar."

"Ya, ya. Apakah Nyonya setiap hari sibuk di toko?"

"Sejak dulu saya memang menjaga toko cita kami. Lumayan sibuknya. Toko kami tidak terlalu

besar," sahut wanita itu dengan berseri-seri.

"Apakah anak-anak biasa ditinggal sendirian di rumah?"

"Ya. Semua keperluan mereka diurus dengan beres oleh pembantu saya yang sudah lama bekerja. Sejak saya kawin."

"Baiklah. Dan bagaimana asal mula kejadian ini?"

"Begini, Dokter." Wanita itu memperbaiki duduknya.

"Lili, rupanya tanpa setahu saya atau ayahnya, telah berkenalan dengan pemuda yang tidak keruan hidupnya

Lili menunduk tanpa berkata apa-apa. Kasihan Karmila melihatnya, akan tetapi tidak begitu anggapan ibunya.

"Pemuda ini," sambungnya dengan tergesa-gesa,

"sudah begitu berani mau melamar anak saya. Padahal...ce... ce ce dia tidak mempunyai pekerjaan apa-apa. Eh, rupanya makin dilarang makin berani.... Sekarang, Dokter, tolonglah anak saya. Bagaimanapun dia tidak boleh mengandung anak jahanam itu! !"

"Ibu..." bisik Lili sambil memandang ibunya, kemudian membatalkan apa yang mungkin mau diucapkannya.

"Nyonya, apakah Nyonya sudah pikir matang matang rencana ini? Apakah Nyonya insyaf bahaya-bahaya dari pengguguran semacam ini? Apakah Nyonya mengerti, bahwa Nyonya tengah merencanakan suatu pembunuhan? Nyonya sanggup bertanggung jawab atas perbuatan ini? Ini suatu dosa, katakanlah, bagi orang yang beragama. Dan saya yakin, Nyonya pasti keberatan kalau dikatakan tidak beragama. Sebab itu berarti berurusan dengan polisi untuk membuktikan bahwa Nyonya bukan pc-ka-i." Karmila mencoba tersenyum dan lekaslekas meneruskan bicaranya ketika dilihatnya gerak bibir tamunya.

"Terus terang saja, saya tidak berani menanggung dosa serupa itu."

"Jadi Dokter tidak mau menolong?" tanya wanita itu dengan iba.

"Jangan salah paham, Nyonya. Saya selalu bersedia menolong akan tetapi tidak dengan cara serupa itu. Bertentangan dengan agama saya." Karmila tersenyum kembali.

"Tapi semua dosanya saya yang tanggung, Dokter. Ini untuk kebaikan anak saya sendiri. Pasti Tuhan akan mengerti dan mengampuni saya. Kalau tidak diampuni juga. saya rela menerima semua akibatnya demi anak perempuan saya. Anak perempuan satu-satunya ini. Tolonglah, Dokter!!" Wanita itu sudah setengah meratap sekarang, namun Karmila tidak menjadi bingung, sebab hal-hal semacam ini Sudah terlalu sering dialaminya

"Dengarlah. Nyonya yang baik. Pikirkanlah betul-betul, apakah itu memang untuk kebaikan Lili? Apakah Lili sudah setuju untuk menggugurkan bayinya? Dan pemuda itu?"

"Oh, jangan sebut-sebut pemuda itu, Dokter. Saya benci sekali mengingatnya. Berhari-hari saya dibikinnya tidak bisa tidur. Dia pikir dengan membuat anak saya begini, mereka lalu dapat izin kawin? Oh, selama saya masih hidup ..."

"Ya, saya mengerti," kata Karmila memotong kisah tamunya,

"akan tetapi saya menyesal sekali, sangat menyesal. Pikirkanlah dulu baik-baik. Coba cari jalan lain yang tidak membahayakan jiwa anak Nyonya. Nyonya mengerti, abortus itu membawa akibat yang kurang baik bagi Lili bila kelak dia sungguh-sungguh melahirkan.

Nah, ini! Nyonya tua itu agak ngerijuga di sini. Diremas-remasnya sapu tangannya dengan gelisah.

"Saya rasa, kita harus meminta pendapat Lili juga. Karena dia sudah dua puluh dua tahun, Nyonya tidak dapat bertindak sendiri. Nyonya dapat dituntut bila melakukan operasi tanpa kehendak anak ini."

"Lili? Kau menuntut aku?"

"Ibu..." kata Lili, memegangi lengan ibunya.

"Lili, apakah engkau masih mau berpikir-pikir dulu? Engkau bisa kembali setiap saat, asal jangan

untuk itu."

Lili memandang mata yang indah dari dokternya. Lambat-lambat dia mengangguk.

"Oke, kalau begitu. Apakah saya akan memberimu obat? Engkau tampak pucat?"

Si ibu kebingungan melihat anaknya tampak berurusan sendiri dengan dokter. Tapi Kamila sudah menuliskan resep untuknya.

"Datanglah kembali bila engkau merasa pusingpusing atau bila obat ini sudah habis. Saya anjurkan supaya engkau pergi pada dokter kandungan. Dia akan merawatmu dengan baik sekali. Mempunyai bayi bukanlah sesuatu yang menakutkan atau menggelisahkan. Sebaliknya, engkau harus merasa terberkati, sebab Tuhan mempercayakan engkau untuk mengasuh seorang anak. Tidak setiap wanita mendapat anugerah ini, bukan?"

Lili mengulurkan tangannya menyambut resepnya dan Karmila menepuk-nepuk tangannya dengan hangat. Tamatlah di situ riwayat si nyonya sebagai pemegang peran ibu. Karmila yakin, Lili akan memberontak terhadap keinginan ibunya.

Ketika pasien terakhir sudah menutup pintunya, Karmila menghempaskan diri di atas kursi. Oh. kini bolehlah dia kembali menjadi Karmila yang biasa. Betapa lelah rasanya. Tapi tidak apa. Dia senang dapat meredakan penderitaan orang-orang itu dan

memberi mereka keyakinannya kembali.

Dibereskannya kartu-kartunya dan dikuncinya lacinya. Entah mengapa, segan rasanya membereskan uang yang didapatnya sore itu. Biarlah ditinggalkannya di laei. Besok pagi...

Dibukanya lab-jasnya lalu digantungnya di sebelah lab-jas Astuti. Dimatikannya lampu dan perlahanlahan dia keluar. Didengarnya suara anakanak ribut bermain-main. Asyik betul dan betapa gembira kedengarannya. Kamila tersenyum. Anakanak membuat hidup terasa cerah. It 's good to have children" Tapi janganlah diucapkannya kalimat semacam itu pada Feisal, sebab pasti dia dengan gembira akan hilang,

"Satu lagi, ya Mil?!"

Oh, Feisal juga keranjingan anak-anak. Sayang dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya melahirkan. Kalau setiap kali satu lagi, tentu lama-lama bisa menjadi sepuluh. Karmila tersenyum dalam hati. Tentu si Keras Kepala itu sekarang sedang... oh baru pukul delapan mungkin show telanjang itu belum mulai. Karmila berjalan seenaknya, pelan-pelan, sepanjang lorong yang menghubungkan pavilyun dengan rumahnya. Digantinya sepatunya dengan sandal jepit, lalu ditukarnya bajunya dengan daster. Sambil menutup pintu kamarnya, dia betteriak memanggil anak-anaknya.

"Mama..."

"Mama. . ."

Tasia memegang tangan kirinya dan Fani menarik tangan kanan. its good to have children, pikirnya kembali. Dia diseret ke ruang tengah.

"Hello, Angel...."

Karmila tertegun. Mengapa tadi tidak diperhatikannya suara Edo di antara jeritan anak-anak? Untuk sesaat Karmila tidak tahu harus berbuat apa. Edo memakai kemeja batik. Lengannya yang kuat berotot itu diletakkannya di atas sandaran kursi dan dengan amat tenangnya dia tersenyum memandang nyonya rumah.

Oh, Tuhan, mengapa dia begitu tenang? Sedangkan aku, tidak? Mengapa dia datang lagi? Mau apa? Mengapa?

"Mama, ayo main orang buta," kata Fani menarik-narik lengan ibunya.

"Mama..." seru si Tasia.

Karmila memandang mereka. Tiba-tiba dia kembali ke realita dan tersenyum.

"Mama, lapar kan? Mama boleh makan dulu, Nona dan Tuan? Boleh? Nah, kita main nanti. Sekarang kalian berdua boleh menggambar. Siapa yang paling bagus, dapat hadiah. Oke?"

Sudah tentu anak-anak itu girang setengah mati mau mendapat hadiah. Berlari Fani ke kamarnya mengambil buku gambar, diikuti adiknya.

Kamila menjatuhkan diri dengan lesu di atas kursi.

"Well, mau apa, Ed?"

"Nam that?? no way to greet your shall ! .sa); your guy? " kata Edo dengan tenang.

"Ed, engkau sedang bicara dengan wanita lndonesia, bukan dengan gadisgadis Australia. Terlalu banyak minum?!"

"You know damn well, I never drink!"

Anak-anak datang kembali dengan buku-buku dan pensil berwarna mereka.

"Fani, menggambarlah di kamar buku. Sisi juga, ya?" kata Kamila dengan lembut.

"Sudah makan, Ed? Aku kelaparan."

"Belum."

"Nah, sebentar, ya. Aku ke dapur dulu." Karmila bangkit, namun Edo dengan cepat menangkap lengannya.

"We'lI go right now! Gonna cejebrme this reunian. My angel, my Helen ....the night will be ours.

"

Edo menarik Karmila ke dadanya sehingga Karmila hilang keseimbangannya, tapi tidak kepalanya. Dengan tegas dia melepaskan diri.

"Sony, Ed. Kalau engkau mau berbahasa Perth, mengapa tidak menyewa guide yang omong inglis? Lebih menyenangkan, tahu. Lagi pula, aku pusing

kepala kalau diajak omong-omong bahasamu itu! Berapa tahun kau di sana? Enam tahun? Atau delapan? Nah, bagaimana? Kita teruskan reuni ini atau... tetap mau sewa guide?"

Edo tertawa gelak-gelak. Untuk sesaat, pikir Karmila dengan luka tusuk dalam hatinya, dia kembali menjadi Edo yang dulu, Edo yang diantarkannya ke Kemayoran pukul dua pagi, Edo yang galium. Tertawanya masih seperti dulu. Ada sesuatu yang mendebarkan jantungnya, dan Karmila tidak tahu, itu apa.

"Baiklah. Baiklah. No Perth, ch? Oke. Only Jakarta?! Tapi, kita akan keluar. bukan?" katanya mendekatkan diri kembali pada nyonya rumah yang sudah mundur beberapa langkah.

"Malam ini adalah milik kita, bukan?"

"Aku tidak keluar malam," kata Karmila sambil menggeleng dan menahan Edo dengan kedua tangan terentang.

"Oh, come on! Jangan seperti gadis puber! .jakarta harus dilihat dan dikagumi juga pada malam hari, bukan? Justru malam hari dia menjadi cantik, sebab relaks dan cerah. Aku tahu beberapa tempat

"Tidak, Ed. Aku tidak mau meninggalkan anakanak. Aku janjikan Fani untuk menyambung dongengnya." Kamila tersenyum malu melihat kerut di

dahi Edo.

"Mungkin kedengarannya sinting, tetapi aku selalu menepati janjiku pada anak-anak."

"Kita makan saja sekarang. Oke, Ed?" katanya membujuk.

"Baiklah. Baiklah," kata Edo menyerah.

"Dongeng dulu.

"Tidurkan anak-anak. Setelah itu kita pergi. Janji?"

Karmila ingin sekali masuk seketika ke dalam tanah, tapi lantai di bawahnya tidak mau membuka dan tiada jalan lain kecuali mengangguk.

Cepat-cepat dia masuk ke dalam dan membantu menyediakan makanan, yang biasanya merupakan tugas Minah sendirian. Bibi Emi memandangnya dengan mata dikecilkan, tapi Karmila pura-pura tidak mengerti apa maksudnya.

"Masih ada sayur lain, Min? Sini! Berikan saya mangkuk itu. Biar saya yang menyendoknya. Panci yang mana?"

"Yang merah, Nyonya."

"Engkau tidak mau menemani dia di dalam?" tanya Bibi dari belakangnya.

Karmila mendengus. Bibi memandangi bahunya dan tiba-tiba menepuknya.

"Engkau toh tidak takut terhadapnya, Mil?"
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karmila membalik dengan cepat dan menatap bibinya. Mangkuk di tangannya bergetar.

"Tentu saja tidak. Mengapa saya harus takut, Bi?

Saya cukup sadar."

"Itu bagus. Jagalah dirimu. Semuanya beres, bukan?"

Kamila membalik dan menyendok sayur. Dia tidak tahu, apakah semuanya beres.

Edo lebih banyak menelan Karmila dengan pandangannya daripada menikmati masakan Bibi Emi yang sedap-sedap. Kamiila tidak berani menatapnya. Dia merasa kikuk, seolah-olah itu bukan rumahnya sendiri.

Untunglah Bibi Emi mengintai dari ruang tengah. Melihat sikap kemenakannya itu, dia jadi kasihan.

"Ayo, dicoba semua, Edo," kata Bibi Emi dengan ramah dan duduk di meja makan sambil mengedipkan matanya pada Karmila ketika Edo tidak melihat.

"Terima kasih, Bi. Saya akan coba semua," sahut Edo sambil mencoba meraba-raba dengan kakinya, di mana kaki nyonya rumah.

Karmila merasa kakinya tersentuh. Secepat kilat ditariknya, tapi dia tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Cukup senang hatinya melihat kecerdikan bibinya.

"Ayo, Ed," katanya menjadi berani,

"coba dendengnya. Di sana mana ada dendeng seperti ini? Bibi Emi yang membuatnya."

Dengan sopan Edo mengambil sepotong, meski

pun minatnya untuk makan sama sekali tidak ada.

"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Bibi Emi.

"Masak sendiri?"

"Oh, kadang-kadang ada teman saya yang datang dan memasak untuk beberapa hari."

Kamila tersenyum sedang Bibi Emi berlagak kaget.

"Ah, di sana kan biasa begitu. Asal gadis itu menyukai seorang pemuda, segala hal mau dilakukannya. Jangan kata cuma memasak," seru Karmila.

Edo menyepaknya. Tulang kering Karmila kena tapi dengan tabah ditahannya rasa sakitnya. Edo merah padam mukanya. Bibi Emi tertawa.

"Ah, ada-ada saja kau! Apakah di sana engkau tinggal di flat?"

"Saya membeli sebuah rumah... anu maksud saya... saya membeli sebidang tanah di luar kota dan membangun rumah di situ."

"O ya, Bibi ingat. Engkau kan arsitek? Sudah tentu kaurencanakan sendiri rumahmu?"

"Berdua dengan Helen!" sahut Edo menyapu Karmila dengan pandangnya.

"Ya... ya... itu hebat sekali," kata Bibi Emi cepat-cepat menengahi, melihat Karmila kehilangan senyumnya.

"Itu hebat sekali!"

Edo memandang malaikatnya dengan dingin. Tentu aku ingat, pikir Kamila. Suatu waktu, jauh

jauh di belakang, waktu di mana dia selalu menantikan surat-surat Edo dan selalu khawatir kalau-kalau seorang gadis bermata biru, berambut pirang tengah menggodanya. Waktu di mana Edo selalu mengirimkannya gambar blueprint dari rumahnya. Semua disesuaikan dengan selera dan daya khayal Karmila. Semua disesuaikan dengan diriku, pikir Karmila. Betapa ingin dia melihat rumah itu!

"Ya," kata Bibi Emi perlahan-lahan,

"di dunia ini tidak semuanya berjalan beres dan licin seperti rel kereta. Kadang-kadang kita harus menyerah saja tanpa menanyakan Tuhan berbelit-belit, mengapa kita begini, mengapa tidak begitu. Lihatlah Bibi! Bibl dulu nomor wahid. Pacar paling banyak. Kata orang paling cantik. Kawin paling dulu. Tapi sekarang?! Paling kesepian."

"Huss..." sela Karmiila,

"Bibi tidak boleh bilang begitu. Di sini Bibi tidak kesepian, bukan? Dengan dua anak-anak yang nakal-nakal... masih juga kesepian?"

Bibi Emi tertawa.

"Tentu saja tidak. Tapi maksud Bibi, Bibi kesepian sebab tidak mempunyai anak. Dan pamanmu sudah tiada. Bibi amat sombong dulu. Selalu merasa paling cantik dan paling banyak membuat laki-laki melirik. Oh, kalian tertawa, itu betul. Saudara Bibi yang tertua, Bibi Jeanne, Mil, selalu Bibi cemooh.

Ternyata dia yang paling bahagia. Anaknya lima. Semua sudah menjadi orang. Bibi sendiri yang tidak bahagia. Tidak pernah melahirkan."

"Ah, bukan Bibi seorang yang begitu," kata Karmila.

"Betul. Kakak ibu Karmila juga tidak beranak," katanya pada Edo.

"Bibi juga bukan menyesali nasib. Tapi Bibi cuma ingin mengatakan, tidak semuanya di dunia ini berjalan menurut kehendak kita dan jangan menjadi sombong kalau engkau kebetulan berada di atas."

Bibi Emi melihat Edo meletakkan sendoknya.

"Tambah lagi," katanya menyorongkan tempat nasi.

"Terima kasih. Sudah cukup."

"Engkau seperti Mila saja. Makan sedikit. Sampai-sampai suaminya meminta Bibi memasak yang sedikit enak!"

Karmila mencoba menarik perhatian bibinya dan menyuruhnya berhenti, tapi sudah terlambat. Bibi Emi terus bicara, namun tak seorang pun yang mengikuti tertawanya. Karmila lekas-lekas melap bibirnya lalu bangkit.

"Pepayamu!" kata Bibi dengan tegas. Bibi Emi tidak akan membiarkan Karmila pergi dari meja sebelum menghabiskan pepayanya. Karmila melambaikan tangannya.

"Suruh Minah membawanya ke dalam." Tanpa

menanti Edo, dia masuk.

"Bagaimana?" tanyanya menengok anak-anaknya di kamar buku.

Tasia berdiri di atas kursi dan memperlihatkan karyanya.

"Gambar apa ini, Sisi?"

Tasia juga tidak tahu itu gambar apa.

"O, bagus ya." Fani juga segera memperlihatkan bukunya.

"Apakah ini gambar yang kaupelajari di sekolah? Mataharimu bagus. Apakah ini sudah selesai?"

"Belum," sahut Fani, mengambil kembali gambarnya.

"Dan kelinci Mama yang manis? Sudah selesai menggambar?"

"Lum," kata Tasia, menggeleng. Kamiila memeluknya dan meletakkan kepalanya di atas dadanya.

"Kelinci Mama yang manis..," gumamnya.

Ketika dia masuk ke ruang tengah, Edo tampak tengah melamun sendiri. Di atas meja di sudut, terletak sepiring pepaya. Entah di mana Bibi Emi.

Karmila bukan tidak memperhatikan, bahwa Edo duduk di dalam kursi Feisal.

"Mau nonton TV?"

"Alaa... acaranya loyo."

"Tentu saja ini bukan Perth. Di sini TV tidak memutar acara dua puluh lima tahun ke atas. Masih

lumayan ada TV. Daripada tidak sama sekali. Engkau tidak tahu, anak-anak senang sekali kalau ada film kartun. Peter Pan. White Snow... Cinde..."

"Ya, ya... kid-stirJ?! Mainan anak-anak!"

Tanpa mempedulikan Edo, Karmila memutar juga Tanya.

"Channel berapa kesukaanmu!" ejek Edo. Karmila berdiri bercekak pinggang.

"Jangan menghina! Engkau tahu. di sini cuma ada satu channel. Dan supaya engkau jangan bertanya nanti, aku beritahu juga. di sini mereka cuma siaran dari jam enam sampai jam dua belas malam. Tidak all day-all High!!! Jelas?!"

Setelah mengatur volume suara menurut kehendaknya, dia duduk di sudut dan mulai menelan pepayanya satu-satu. Edo sebentar-sebentar konsultasi dengan jam tangannya. Karmila pura-pura tidak tahu. Jam di mukanya menunjukkan pukul Sembilan lewat sepuluh. Biasanya anak-anak sudah dihalau ke kamar tidur pukul sembilan. Tapi kali ini dengan sengaja Karmila membiarkan anak-anaknya menggambar supaya dia tidak usah pergi ke luar.

Karmila asyik sendiri makan pepaya. Edo sudah mulai membuka-buka surat kabar.

"Jam berapa mereka tidur?" tanya Edo tiba-tiba.

"Sebentar lagi," sabut Karmila tanpa melepaskan matanya dari TV, meskipun dia tidak tahu apa

yang dilihatnya.

Dengan rupa mendongkol. Edo membaca koran nya. Karmila meletakkan piring pepayanya. Dia tidak enak hati melihat Edo berdiam diri begitu. Akan tetapi sungguh-sungguh dia tidak mau pergi ke mana pun. Payah nanti menjawab pertanyaanpertanyaan Fani: Mama pergi ke mana? Kenapa pergi dengan Oom Edo? Mama pulang jam berapa? Di sana ada apa?


Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Wiro Sableng 005 Neraka Lembah Tengkorak Wiro Sableng 005 Neraka Lembah Tengkorak

Cari Blog Ini