Ceritasilat Novel Online

Karmila 4

Karmila Karya Marga T Bagian 4



Diangkatnya kedua kakinya ke atas sofa. Dia diam merenung tak tentu arah. Pukul sembilan lewat dua puluh, dipanggilnya anak-anak. Berlarian mereka kepadanya. Tasia minta dipangku dan Fani duduk di sebelahnya. Karmila memeriksa pekerjaan mereka.

"Wah, kalian berdua harus mendapat hadiah. Gambar-gambar ini semuanya bagus. Apakah Sisi mau hadiah?"

Tentu! Tasia mengangguk dengan hikmat.

"Fani juga mau hadiah?"

"Ya, Mam."

"Wah! Tapi bolehlah. Sebab gambar kalian berdua bagus-bagus. Marilah." Dan pada Edo yang tidak mempedulikannya, dikatakannya,

"Maaf, sebentar ya."

Karmila menggiring buntut-buntutnya ke kamarnya. Dari dalam lemari dikeluarkannya dua batang

coklat. Diberikannya pada anak-anak itu masinginasing satu. Tasia sudah mau merobek kertasnya.

"Nah, ingat! Sudah gosok gigi?!" tegur Karmila dengan lembut.

Tasia tersenyum malu sambil menggenggam coklatnya.

"Simpanlah di lacimu masing-masing. Untuk besok."

Fani sudah membalik mau ke kamarnya, tiba-tiba dia berhenti.

"Mama, Bonie belum sikat gigi!"

"Oh," Kamila menelan napasnya cepat-cepat,

"kalau begitu harus dibangunkan lagi. Sudah tidur?"

Tidak gampang menuruti permintaan anakanak. Kadang-kadang Kamila amat lelah dan ingin segera tidur. Tapi anak-anak berkeras mau menggosok dulu gigi boneka-boneka mereka. Memang hal itu menyenangkan mereka dan membuat anakanak itu tidak takut gosok gigi.

Karmila mengikuti anak-anak.ke kamar mereka. Bonie memang sudah tidur, tapi dia cepat bangun. Fani mengeluarkan sebuah sikat kecil dan Karmila membawanya ke wastafel di situ. Menyikat gigi Bonie tidak sukar sebab mulutnya selalu terbuka. Tapi Popi tidak pernah memperlihatkan giginya. Mulutnya selalu tersenyum. tidak pernah terbuka. Boneka kapuk itu rupanya sudah mempunyai gigi

pepsodent, jadi tidak perlu disikat. Sebagai gantinya, Popi boleh disisir rambutnya dan dikepang dua. Moli masih bayi. Tentu saja dia tidak mempunyai rambut panjang. Malah giginya pun baru dua.

"Nah, Bonie sudah selesai. Mana Moli?"

Tasia mengacungkan bonekanya. Karmila menyikatnya dan Tasia naik ke atas kursi, memperhatikan Moli dari dalam kaca.

"Begini menyikatnya. Sisi. Dari atas ke bawah. Di sebelah sini, dari bawah ke atas."

Karena boneka tidak minum, maka dia tidak perlu berkumur. Boleh gosok gigi tanpa air.

"Dah, dah," kata Tasia sambil mendukung kembali bonekanya.

Lalu Karmila membawa mereka ke kamar mandi.

Kemudian turut dengan mereka berdoa di samping tempat tidur Fani. Sisi tidak mau berdoa di samping tempat tidurnya sendiri. Dia mau di sebelah Fani.

Setelah itu, masing-masing naik ke atas tempat tidur dan Karmila menarik kursi lalu mulai mendongeng. Fani ingat betul janji ibunya dan menuntutnya sebelum ibunya sempat mengelak. Karmila duduk di antara tempat tidur mereka yang cuma terpisah oleh sebuah meja kecil. Burung Emas itu sudah dibaca dan dihapalnya dua kali. Jadi sekarang dengan

lancar dapat dilanjutkannya dongeng ibu guru Fani, yang bercerita cuma seminggu sekali. Sebelum cerita tamat, anak-anak tampak sudah mulai merammelek. Kamila menghentikan kisahnya.

"Putar boks," bisik Fani.

Karmila membuka boks musik itu dan meletakkannya di atas meja Fani, di antara ranjang mereka. Diciumnya Fani.

"I loveyou, Mama."

"! love you, Fani."

"I Ioveyou, Sisi."

Tasia mencoba tersenyum. tapi tidak berhasil. Matanya sudah erat mengatup. Karmila menyelimutinya dan berdiri beberapa detik memandangnya. Lalu lampu dimatikan dan ditutupnya pintu.

"Aku kira engkau juga tidur!" kata Edo dengan sarkastik.

Karmila tersenyum melirik jam. Sepuluh kurang seperempat. Bel pintu berbunyi. Karmila membuka pintu kaca. Dia tahu siapa yang datang.

"Masuklah. Malam amat."

"Ada siapa?"

Sebelum Kamila menjawab, Edo sudah ada di situ.

"Hei, Tinus! Ada apa?"

"Oh, Edo! Tidak ada apa-apa. Aku biasa tidur di sini kalau Kak Feisal pergi."

"i see" seru Edo bersiul,

"Bukan kakakmu yang meneleponmu'? Atau memang suatu penjagaan saja?"

Tinus tertawa. Karmila tiba-tiba asyik dengan gerendel pintu yang tidak apa-apa.

"Apakah memang dia itu pencemburu?"

"Dia siapa?"

"Tim! dei ii...."

"Edo," tegur Karmila dengan halus.

"Maaf. Pahlawan, deh. Pahlawan kalau begitu. Pahlawan kakakmu itu suka cemburu?" Tinus tertawa tanpa komentar.

"Kau tidak bawa buku?"

"Tidak, Kak. Baru tadi siang tentamen. Aku mau baca cowboy saja."

"Oh, carilah di dalam kamarku. Ada satu yang baru. Kalau tidak salah, ada di atas meja Feisal."

"Sekarang kau di mana?" tanya Edo.

"Tingkat satu kedokteran."

"Sebenarnya dia mau masuk teknik, tapi tidak diterima," kata Karmila.

Tinus tertawa lalu cepat-cepat masuk ke dalam. Edo menjatuhkan diri ke atas sofa panjang, di mana juga duduk nyonya rumah.

"Kalau dia masih mau teknik, aku dapat mengusahakan dia masuk di universitasku."

"Alaa... dari mana uangnya? Kaupikir sekolah di

luar negeri tidak mahal?"

"Uang kuliah, beres. Asal dia mau. Uang saku tidak seberapa. Pcmondokan diurus oleh senat. Tidak mahal. Tahun kedua dia dapat meminta beasiswa.

"Aku rasa, dia takkan mau."

"'Kenapa?"

Karmiila tertawa.

"Dia sudah jatuh hati pada teman sekuliahnya!"

"Rasanya kita tidak bisa pergi malam ini, bukan?" tanya Edo.

"Tanpa meruntuhkan kewibawaan adikmu sebagai penjaga. Aku tidak mau bermusuhan dengan dia. Bagaimana kalau kita main serabble? "

Tanpa menjawab, Karmila bangkit lalu membuka lemari kecil dari meja di sudut. Dari situ dikeluarkannya sebuah kotak.

"Masih yang dulu?" tanya Edo dengan nada senang.

Kamiila mengangguk.

"Masih pemberianmu yang dulu."

Dibukanya karton bergambar kotak-kotak dengan tanda-tanda tertentu, lalu diaturnya papan untuk meletakkan huruf-huruf yang akan dimainkan. Huruf-huruf itu tertulis di atas papan tipis berukuran dua kali dua sentimeter. Setiap pemain mengambil satu huruf dan siapa yang mendapat huruf terdepan dalam urutan abjad, boleh memulai permainan.

Setiap huruf mempunyai nilai-nilai tertentu. Dari huruf-huruf itu pemain membentuk kata-kata Inggris dan jumlah angka yang didapat tergantung dari kata yang terbentuk dan letak kata itu. Bila terletak di atas kotak dengan tulisan: kata dikalikan dua atau huruf dikalikan dua, maka angka-angka pada kata atau hurufitu dikalikan.

"Siap?" tanya Edo sambil melipat korannya lalu pindah duduk ke hadapan Karmila.

Kamiila mengambil sebuah huruf. Dibukanya. N. Edo mengambil juga sebuah dan sambil tertawa memperlihatkan, B.

Permainan ini paling sedikit memakan waktu sejam lebih. Tergantung dari banyaknya perbenda haraan kata-kata Inggris dari pemain.

"Di Perth, aku pernah menyelesaikan ini dalam empat puluh menit."

"Ce... ce ce "

"Ya, sebenarnya yang terutama mengakhiri permainan itu adalah Louise!"

Karmila mengangkat kepalanya.

"Siapa?"

Inilah pertama kali seumur hidupnya mendengar Edo menyebut nama seorang wanita lain.

"Louise! Mahasiswi Sastra Indonesia."

"Diakah yang suka memasak untukmu?" Kannila memberikan tamunya pandangan ingin tahu.

"Betul." sahut Edo dengan nada ringan sambil

menutupjalan Karmila untuk mendapat angka" kata dikalikan tiga".

"Ah! Kaututup jalanku," keluh Karmila, sebenarnya untuk menutupi sesuatu perasaan tidak enak yang mendebur-debur dalam dadanya.

"Suatu ketika, engkau harus menceritakan lebih banyak tentang hidupmu di sana. Engkau belum pernah melakukan hal itu."

"Aha... masih berhargakah cerita semacam itu bagimu?"

"Kenapa? Aku selalu senang mendengarkan pengalaman orang lain!"

"Ada banyak pengalamanku yang pasti tidak akan sedap bagi telingamu. Lagi pula hm apakah aku ini cuma "orang lain' bagimu? Well, kupikir, aku takkan begitu menyukai pendapat serupa itu!"

"Tentu saja engkau lebih dari orang lain, Ed.

Engkau lebih mirip dengan seorang kakak, yang tidak pernah kumiliki. Kalau hidupku ini dapat diulang dari sejak seorang bayi dicubit pahanya supaya menangis ..."

"Now:" now..." kata Edo, cepat-cepat sambil menepuk-nepuk tangan yang terletak di atas meja itu,

Karmila menggeleng, seakan-akan baru sadar dari mimpi, lalu tersenyum pelan-pelan. Matanya tampak begitu sedih, Edo hampir-hampir tidak sanggup memandangnya tanpa menariknya ke dalam pelukannya. Helen yang malang! Helen yang amat malang! Edo masih ingat dengan jelas, belapa lembutnya Helen. Dan kini, dia berbuat seakan-akan masa lampaunya itu hanyalah sebuah mimpi buruk yang harus dilupakan dan dikubur. Helen. Helen. Engkau takkan berhasil! Edo memandangnya dengan pilu. Sanggupkah engkau melupakan masa lampau itu? Masa lampau yang sama sekali bukan merupakan bayangan setan akan tetapi malah penuh dengan bunyi nahri para seratin. Helen, My dearest"

Karmila menjentik lengannya.

"Giliranmu!"

"O, ya."

"Mau kopi susu?" tanya nyonya rumah tiba-tiba.

"Boleh juga," sahut Edo tanpa mengangkat kepalanya dari meja.

Karmila bangkit.

"Aku ke dapur dulu. Awas jangan curang, ya!"

Minah sudah tidur. Tapi dalam termos selalu tersedia air panas sebab kadang-kadang Tasia ingin minum susu tengah-tengah malam. Karmila membuat kopi susu untuk Edo dan coklat susu untuknya sendiri. Di kaleng masih terdapat sebungkus biskuit asin. Dibawanya semua keluar. Dia berjalan pelan-pelan. Di ambang pintu ruang tengah, dia hampir berhenti sejenak menyaksikan profil laki-laki yang masih terpateri dengan nyala dalam hatinya. Edo tampak tengah berkonsentrasi dengan hebat. Tentu dia mengharapkan angka dua puluhan atau bahkan tiga puluh. Sekarang, pun, dia sudah memimpin permainan itu dengan kelebihan angka di atas lima puluh. Wajahnya yang tampan itu jelas terlihat pada profilnya. Alis matanya luar biasa hitam. Jauh lebih hitam dari Feisal. Bibirnya yang penuh dan pemurah itu tampak bergelung ke atas. menandakan dia berpikir keras. Bulu matanya lentik seperti wanita dan sudah tentu itu adalah warisan dari ibunya. Tulang pipinya memang lebih menonjol dari yang pernah diingatnya. Tentu saja. Edo jauh lebih kurus sekarang. Sambil menghela napas Karmila meneruskan langkahnya yang tadi nyaris terhenti.

"Jangan terlalu berpayah-payah hanya untuk mengalahkan aku," ujarnya tertawa.

"Engkau sudah menang lima puluh coba aku lihat kertas itu... nah, sudah lima puluh tiga! Sudahlah, nanti pecah otakmu."

"Hm, baiklah. Dua belas saja. Sebenarnya aku dapat memperoleh dua puluh satu, tapi sudahlah ini saja. Kalau kupasang yang lain, tentu engkau dengan mudah akan maju di sini dan ini berarti angka tiga kali lipat! !"

Kamiila mendorong bahu Edo sambil tertawa. Edo menyeringai sambil mengangkat gelasnya.

"Ayo, ein Prosill" seru Edo, teringat betapa sedapnya masa perpeloncoan.

Karmila melambaikan tangan.

"Ah, waktu itu sudah berlalu. Aku sekarang cuma seorang ibu yang mulai tua. Laki-laki mana yang mau menaksir perempuan yang sudah beranak dua?" katanya menirukan F eisal.

Namun Edo memandangnya dengan serius.

"Engkau main-main! Engkau tahu persis, aku akan selalu memberikan harga paling tinggi bagimu!"

"Kata-kata itu seperti tulisan Frank Slaughter!" kata Karmila tertawa, namun dalam hati, siapa tahu dia menangis.

"Engkau masih senang baca gituan!"

"Gituan apa?! Itu cerita tentang seorang wanita yang dijual sebagai budak. The scarlet cord, tahu engkau?"

Edo mengangkat bahu. Dihabiskannya kopi susunya.

"Entahlah. Mungkin aku pernah membacanya. Semen/rere di otakku barangkali masih ada klisenya. Ayo, kenapa cuma pasang itu? Cuma empat! Carilah kemungkinan lain!"

"Tidak bisa lagi. Jalanku buntu!"

Edo mengangkat alis matanya dan menyeringai.

Karmila melirik ke tembok. Pukul setengah dua belas kurang delapan menit. Masih ada sepuluh huruf dalam kotak. Edo bersiul-siuJ. itu berarti, angkanya dua puluh lebih! Setan!

"Aku selalu kalah kalau main denganmu," keluh Karmila.

"Oho, jangan sedih. Sedangkan mahasiswi Australia itu masih kalahjuga dari aku."

Kembali mahasiswi itu, pikir Karmila sedikit... sedikit apa? Cemburu? Cemburukah dia? Cemburu terhadap sesuatu yang memang takkan pernah menjadi miliknya? Terhadap suatu impian kosong yang basi? Oh, mungkin aku sudah kehilangan akal sehatku, desisnya dalam hati. Dan dengan keras dikatakannya,

"Louise itu rupanya VIP juga ya!"

"Semua sahabatku adalah orang-orang penting bagiku," sahut Edo dengan singkat.

"Sedangkan musuh pun tidak pernah aku anggap sepele."

"Engkau punya musuh?"

Karmila tertawa nyaring, dirasakannya gelaknya itu palsu. Cuma penutup gejolak deburan jantungnya yang ingin memberontak.

"Siapa yang tidak punya?" tanya Edo dengan tenang.

Karmila agak gugup dipandang tajam-tajam seperti itu. Seolah-olah Edo dapat membaca semua yang ada dalam hatinya. Kamila tertawa sumbang.

"Giliranku. bukan?"

"Betul. Dan kalau jalanmu masih juga buntu, jangan malu-malu. Katakan saja engkau mau tukar huruf-hurufmu!"

"Aku tidak mau. Aku masih bisa nyerempet. Menukar berarti kehilangan giliran satu kali. Nah ini! Aku pasang dove!"

"Oke, sesukamu!"

Tiba-tiba terdengar lagu penutup dari TV yang sejak tadi dikecilkan.

"Ei, sudah jam berapa? Tidak terasa mengantuk!" kata Edo, menutup mulut dengan tangannya untuk menyembunyikan kantuknya.

"Hm... kita habiskan ini cepat cepat. Aku harus tidur. Maklumlah pegawai negeri. Jam delapan poliklinik sudah buka."

"O ya? Rasaku, ibumu bilang engkau kerja di Bagian Anak?"

"Betul. Tapi besok, giliranku di poli."

Karmila memandang bekas tunangannya.

"Eh, katamu tadi ibuku? Kapan engkau ketemu dia?"

"Sehari setelah aku keluar dari Kemayoran! !"

"Hm, ya. Aku belum tahu, apa maksudmu datang ke Jakarta? Kalau aku tidak salah, bukankah Perth jauh lebih menarik bagimu?"

"It depends... it depends! Tergantung! Ada apa di

sini dan ada apa di sana!"

"Aku tidak tahu di sana ada apa. Yang jelas, di sini ada keluargamu. Ada ibumu. Engkau datang untuk menengok ibumu, bukan? Anak tidak berbakti!" Karmila pura-pura sedikit marah.

"Bertahun-tahun tidak pernah pulang!"

"Engkau mau tahu mengapa aku pulang?"

Karmila memperhatikannya setengah detik, lalu menggeleng dengan lembut.

"Aku tidak mau tahu. Pokoknya engkau tidak berbakti. Titik!"

"Siapa yang membuatku tidak berbakti?" ejek Edo sambil memasang zoo.

"Two years ago, we 're bound jbr happiness and you .smashcd it! Ybu smm/ied it, Baby! You did! "

You smm/ied it! Ulang Karmila dalam hati. Aku menghancurkan kebahagiaan itu?! Oh!

"Dua tahun yang lalu, waktu kita menuju ke bahagia, bahagia yang kauhancurkan, waktu itu aku sudah merencanakan mau pulang! Bahkan kupikirpikir, apakah tidak lebih baik kalau aku bekerja di sini setelah kontrakku habis. Aku membaca banyak tentang ibu kota kita. Tentang kemajuan-kemajuannya yang mengagumkan! Tapi... yah!" Edo membuka kedua telapak tangannya dalam laku putus asa.

Karmila tidak tahu apakah dia harus menghibur

ataukah menangis. Dengan kikuk dipegangnya huruf W di tangannya. Dan dipandangnya Edo seperti anak kecil yang kedapatan mencuri gula-gula.

"Aku tidak bisa jalan," katanya pelan,

"tinggal huruf W satu."

"Itu baik!" Dan Edo meletakkan huruf N-nya yang terakhir.

"Berapa score?"

"Sudah tentu engkau menang! Tiga ratus tiga. Aku, dua ratus lima lima."

"He... he "

Edo meluruskan punggungnya lalu melihat jam tangannya.

"Jam dua belas kurang. Baiklah aku pulang. Engkau mau tidur, bukan? Sayang. engkau terlalu munafik. Kalau tidak malam ini dapat menjadi milik kita," katanya tertawa.

"Mau minum lagi?" tanya Karmila mengalihkan perhatian tamunya.

"Yup! No, thanks! Ayolah. Mana penjaga malammu? Supaya disaksikannya bahwa aku betulbetul keluar dari sini dan tidak masuk ke kamar! !"

"Hush!" Karmila melayangkan tangannya seakanakan mau menampar, tapi Edo lebih cepat.

"Tidak ada gunanya belajar yudo dari itumu."

"Jangan pandang enteng Feisal. Dia bekas juara haranan!"

"Engkau mau majukan dia menghadapi karate?" tanya Edo sambil melepaskan pergelangan tangan nyonya rumah.

"Aku tidak lahu engkau sempat belajar karate di antara buku-buku teknikmu!"

"Delapan tahun adalah waktu yang lama. Cukup lama. Oke, apakah Tinus sudah tidur?"

"Biarlah, jangan ganggu dia. Tentu dia sedang asyik baca cowboy! !"

Edo bangkit lalu berjalan ke luar. Di pintu kaca dia berbalik dan menatap sesaat wanita yang menghentikan langkahnya tepat di belakangnya.

Dengan tidak sadar Karmila mundur selangkah. Edo tertawa sedih.

"No. Of course nat! Don't want to Ina/te you scared, Honey, Angel." Dan segera diputarnya badannya. Dalam sedetik, Edo sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Di balik pintu kaca, Kamila memandang jalan, sampai mobil Edo entah pinjaman dari mana lenyap di kejauhan. Terdengar olehnya Salam mengunci pintu besi. Salam tidur di situ setiap kali Feisal tidak di rumah.

Sambil menyisir, Karmila membayangkan seluruh hari itu. Edo tidak tampak sakit hati. Setidaktidaknya begitulah yang tampak dari luar. Dia selalu khawatir bahwa Edo akan membenci

Fani. Sebab tidak dapat disangkal, kalau Fani tidak ada, tentu dia tidak akan pernah menikah dengan Feisal. Dan Edo tidak sampai jatuh sakit. Untunglah Edo ramah terhadap anak-anak. Malah tampaknya dia menyukai mereka. Diingatnya betapa Tasia tersenyum terhadapnya, sehingga matanya yang mengecil menyerupai bulan sabit itu nyaris tertutup sama sekali.

Sudah tentu Edo masih menyindir-nyindir sedikit. Itu tidak dapat dihindarkan. Dia sudah membuat sengsara hidup orang lain. Dirasanya seumur hidup harus ditanggungnya perasaan berdosa itu. Akan tetapi malam ini dirasanya suatu angin baru yang melegakan bertiup masuk ke dalam hatinya.

Tunangannya yang dicintainya itu tidak menyalahkan dia sedikit pun. Dan tampaknya juga tidak begitu peduli lagi akan hal itu. Mungkinkah sudah ada pengganti yang lain? Kalau Edo dapat berbahagia dengan seorang wanita lain, sungguh-sungguh berbahagia, rasanya desa itu dapat dilupakannya. Dia akan mampu mengampuni dirinya sendiri.

Akan tetapi secara tidak sadar, dia merasa sedikit cemburu. Dia masih ingin Edo memikirkan hanya dirinya. Hanya dia. Hanya Helen. Dia merasa harga dirinya sebagai wanita berkurang, bila Edo sanggup melupakannya hanya dalam sekejap mata. Setidaktidaknya. harus memakan beberapa tahun. sebelum
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diizinkannya dirinya membayangkan Edo bersama wanita lain ah, siapa namanya? Louise? Nama yang bagus!

Karmila menukar dasternya dengan baju tidurnya yang berwarna ros. Tanpa ber-sandal supaya tidak berbunyidia masuk ke kamar anak-anak. Fani tidur telentang, Napasnya teratur. Perlahan-lahan Kamila menyibakkan rambut yang terurai ke dahinya. Anak itu sungguh-sungguh merupakan pahatan kecil dari ayahnya. Hidungnya. Matanya. Bibirnya. Ah, sedang apakah si Keras Kepala itu sekarang? Apakah dia masih membelalak dalam salah satu night club, memperhatikan dengan teliti detildetil dari penari telanjang yang montok itu?

Karmila membungkuk, mengecup ujung hidung anaknya. Dia beralih pada Tasia. Gadis kecil ini tidur memeluk erat-erat bonekanya. Mukanya putih. Betapa manisnya, katanya dalam hati dengan bangga. Pasti tidak ada malaikat yang lebih cantik dari anaknya. Baju piyamanya yang terbuat dari Hanel putih, mempunyai belahan di pinggang bagian belakang, sehingga dapat diturunkan dalam keadaan darurat. Dan belahan itu diikat dengan tali di kiri kanannya. Tali ini sekarang sudah terlepas simpulnya. Dengan amat hati-hati. Kamiila menyimpulkan kembali ikat pinggang itu, lalu mencium pipi kiri Tasia yang berada di sebelah atas. Tasia senang tidur miring ke kanan. Karmila tidak tahu mengapa. Telinganya beres. Hidungnya tidak pernah tersumbat. Tasia selalu hebat. Tempat tidurnya sudah lama tidak pernah basah, asal dia tidak terlalu banyak minum sebelum tidur.

Kadang-kadang tengah malam, Tasia minta susu. Kalau begitu maka ibunya harus berhati-hati untuk membangunkannya beberapa jam kemudian atau anak itu sendiri yang terbangun memanggil-manggil ibunya. Fani tidak memerlukan ibunya dalam hal ini. Dia tahu di sudut kamar selalu tersedia sebuah pot yang diletakkan Minah tiap malam.

Perlahan-lahan Karmila menutup pintu lalu berbaring. Mengherankan mengapa baru sekarang disadarinya betapa besar tempat tidurnya. Seingatnya dia selalu harus berhati-hati kalau berbalik, takut kalau-kalau melanggar F eisal dan membangunkannya. Karmila masih mencoba berkomat-kamit sambil memegang rosarionya, namun pada Salam Maria kesepuluh, benda itu sudah terjatuh dan dia terlelap.

Pagi-pagi ibunya menelepon.

"Bagaimana? Semua beres? Apakah Tinus tiba dengan selamat tadi malam? Lupa dia menelepon kemari. Hampir-hampir Ibu lapor pada polisi!"

"Obo! Melaporkan pemuda umur delapan belas tahun? Tidak berperasaankah Ibu? Jangan membuatnya malu! Diperlakukan seperti anak-anak.

Nah, ini dia... baru dari kamar mandi. Ibu mau bicara ?"

"Ah, tidak usah. Mana anak-anak?"

"Ada di kamar makan. Ibu mau bicara dengan mereka? Tidak usah? Kalau begitu, tolong panggilkan Susi."

"Susi, ada telepon," terdengar teriak ibunya.

"Hallo, Sus. Kau libur Kamis ini?"

"Tentu. Kan Muharam? Kenapa?"

"Kakak sedang pikir-pikir mau ke Puncak. Kau ikut, ya? Tinus tidak bisa, katanya. Bagaimana Martin?"

"Entahlah. Dia sering study group belakangan ini. Saya tanyakan sekarang?"

"Tidak usah. Rencana ini belum lagi pasti. Kakak mesti mencari ganti jaga malam dulu. Nah, marilah, Fani sudah memanggil-manggil."

Di kamar makan, Fani tengah minum susu dengan tegukan besar-besar, hampir-hampir tidak bernapas dia. Tasia asyik mengulurkan rotinya pada Caesar dan menariknya kembali tiap kali anjing itu berniat menangkap tangannya.

"Hiii... hiii... hiiii... Mama... Mama Esa... tuh...," katanya menunjukkan kenakalan Caesar.

"Ya, dan kau mesti makan roti ini. Jangan berikan padanya. Caesar mempunyai makanannya sendiri. Kalau roti ini digigit olehnya, tentu engkau

tidak dapat memakannya lagi dan Mama tidak akan memberi Sisi roti yang lain sebab itu sudah bagianmu. Mengerti? Nah, duduklah di sini. Makanlah seperti anak-anak besar!"

Tasia duduk di kursi dan Caesar menghampiri lalu duduk di bawahnya.

"Oke, Fani, mengapa engkau berteriak-teriak tadi?"

Fani meletakkan gelas susunya yang kosong lalu menghapus mulutnya dengan tangan.

"Eit, jangan menjadi jorok. Di sebelahmu ada serbet."

Fani mengambil serbet itu lalu melap bibirnya.

"Mama, gunting Fani hilang. Sebentar ada pekerjaan tangan."

"Di mana kauletakkan?"

"Fani lupa."

"Itulah. Mama sudah bilang, letakkan barangbarangmu di kamar. Jangan sembarangan. Sudah kau cari?"

Fani mengangguk.

"Mama siapkan dulu rotimu. Nanti kita cari. O ya... bukankah tadi malam engkau menggambar di kamar buku? Barangkali di sana...."

Fani juga tiba-tiba ingat dan segera berlari ke sana. Karmila menyemir roti yang akan dibawa anaknya. sementara Bibi Emi asyik membuka-buka

"Ada, Fan?"

"Ada."

Fani mengambil tempat airnya dan menggantungkan talinya ke bahu.

"Main, kapan Papa pulang?" tanyanya tiba-tiba. Karmila menoleh.

"Oh, kan Papa baru pergi tiga hari". Mengapa kautanyakan?"

"Tidak apa-apa. Mam, masih lama Papa pulang?" tambahnya lagi ragu-ragu.

"Mungkin seminggu lagi. Atau dua minggu paling lama. Mengapa, Fan? Ada apa?"

Fani menunduk.

"Fani, ada apa? Tidak maukah engkau mengatakannya pada Mama? Apa yang tidak beres?" Karmila berlutut dan memeluknya.

"Mam, kereta api rusak lagi."

"Oh, itu tidak apa-apa," kata Karmila, tersenyum sambil memeluknya erat-erat, lalu,

"Fani, mungkin Oom Edo dapat memperbaikinya."

Anak itu tampak senang dengan rencana ibunya. Kegembiraannya muncul kembali. Diraihnya rotin_ ya lalu dengan kilat diciumnya ibunya dan adiknya.

"i love you, Mama."

"i love you. Tasia. Hii... mukamu penuh mentega.

Pukul sebelas lewat, baru Poliklinik Anak beres. Karmila membawa stetoskopnya lalu berjalan ke bangsal. Di ruang perawat dilihatnya Big Boss tengah duduk, memberikan perintah-perintah tertulis bagi para perawat.

"Hallo, Mil," katanya menyuruh Karmila masuk.

"Ada apa, Boss?"

"Suamimu pergi lagi, eh? Mengapa tidak bilangbilang?"

"Mau pesan apa?"

Big Boss melayangkan pandangnya ke kantung lab-jas Karmila.

"Anu stetoskop saya sudah terlalu tua. Sebenarnya saya mau beli yang baru. Tapi di sini terlalu mahal. Lagi pula modelnya tidak begitu bagus. Terlalu berat dan kopnya kebesaran bagi telinga saya. Buatan Amerika itu yang bagus. Misalnya "

Ditunjuknya kantung Karmila,

"seperti punyamu itu."

"Nanti saya kirim surat padanya, asal... ongkos jalannya bayar lho, Boss."

"Kan sekalian?"

"Ya, tapi dari penginapan ketoke? Di sana taksi mahal." Karmila tertawa sambil meninggalkan Boss yang menggeram-geram.

"O ya, kau tidak usah ronde hari ini," seru Boss.

"Sebentar kita ronde sama-sama."

Kalau Boss mau ronde bersama-sama, berani itu hari bagus yang harus dirayakan dengan makanan kantin yang tidak enak.

Karmila masuk ke kamar minum. Dilihatnya di atas meja beberapa piring agar-agar. Ada lima dokter tengah duduk menghadapi meja panjang itu.

"Hallo," seru Kamila pada semuanya.

"Hei, hallo," sambut Dokter Flineh dari Bagian Bedah Dokter Gatot, juga dari Bagian Bedah, melambaikan tangannya seraya tertawa. Yang lain cuma melirik ke arah pintu dan mengangguk.

"Asyik betul, Lina?" tegurnya seraya duduk.

"Teh? Tanya Dokter Flineh dalam aksen Australianya.

Setiap tiga bulan sekali, Bagian Orthopaedi mendapat bantuan dari beberapa -umumnya dua orang dokter-dokter Australia. Mereka bergilir datang ke Jakarta dan Solo. Kadang-kadang ada juga dokter dari Kanada. Dokter Flineh sudah dua bulan di Indonesia, Temannya tengah mengadakan perjalanan ke Jawa Tengah. Ahli tulang itu masih muda dan simpatik. Senang berbicara dengan dia.

Berlainan sekali dengan pendahulunya, seorang dokter gendut yang setengah botak dan sombong sekali.

Kamrila tersenyum mengangguk dan memberikan cangkir yang terletak di mukanya. Dokter Lina masih sibuk juga dengan kisahnya mengenai operasi amandel yang membawa maut beberapa waktu yang lalu. Lina bekerja di Bagian THTTelinga-hidung tenggorokan. Belum mendapat brevet, jadi statusnya masih sebagai dokter umum. Karmila tidak begitu erat dengan dia. Gayanya berjalan dan berbicara tidak disukainya. Lina senang menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya. Dan Karmila senang membuat dirinya sebagai bulan-bulanan lelucon tanpa Lina sendiri menyadarinya.

Karena di situ ada seorang pendengar yang tidak berbahasa Indonesia kecuali 'teerirna kaasihh' dan "bagus" maka Lina sebentar-sebentar menerjemahkan bagian bagian penting dari ceritanya. Kalau dia kehabisan kata-kata, maka Roy segera membantu dengan inggris-pasarnya. Mariani merupakan pendengar yang alim. Tanpa komentar sama sekali.

"Umur berapa wanita itu?" tanya Karmila.

"Tiga puluh delapan," sahut Lina.

"Ah, sebetulnya umur tidak menjadi soal," kata Dokter Gatot, melambaikan tangannya, dan segera menanyakan pendapat Dokter Flineh yang setuju

seratus persen dengan rekannya.

"Boleh dibilang, tonsil/ectonii itu suatu operasi kecil dibandingkan dengan operasi-operasi lain bedah jantung misalnya!"

"Itu betul. Tapi harus diingat, operasi amandel pada orang dewasa banyak bahayanya dibandingkan dengan pada anak-anak."

"Perdarahan?" tanya Roy.

"Itu salah satu."

"Dan pasien ini plus karena itu, bukan?"

"Betul. Gumpalan-gumpalan darah menyumbat jalan napasnya dan suster datang terlambat. Orang itu sudah pingsan karena kehabisan darah dan biru sebab tidak dapat bernapas."

"Lalu diberi apa?"

"Itulah. Tidak ada yang tahu pasti. Aku dengar, novocain. Dan pasien itu menjadi kejang-kejang."

"Kapan kasus ini akan dibicarakan bersama direktur? Setiap kasus yang meninggal memang dibicarakan dengan direktur, dan dokter yang merawat almarhum diminta memberikan keterangan selengkap-lengkapnya mengenai perjalanan penyakit serta dugaan sebab kematian."

"Belum tahu lagi. Mungkin minggu depan."

"Eh, Roy, hari ini Boss mau ronde. Berarti kerja kita kurang."

"Aku sudah tahu," sahut Roy dengan tidak gallant.

"Kau toh tahu apa artinya itu?" sambung Karmila dengan bandel.

"Apa?"

"Harus dirayakan. Ayo, kau belum pernah traktir kita. Biarlah Dokter Flineh mencicipi bagaimana rasanya sop kaki yang dua ratus seporsi itu!"

Roy kaget bukan main. Hatinya membengkak seketika dan jantungnya kontan berdebar-debar. Kaya, dia memang. Tapi pelitnya! Audzubillah.

"Aku... aku " katanya terputus-putus,

"aku... aku..."

Masih untung Karmila tidak mengatakan permintaannya dalam bahasa Inggris, sehingga Dokter Flineh yang tengah bicara dengan Dokter Gatot tidak tertarik perhatiannya.

"Kalau engkau tidak bawa uang, pinjam uangku dulu. Mungkin aku ada separuh dan Mariani dapat menambahkan kekurangannya. Oke?"

Mariani, mendengar namanya disebut, segera memandang Karmila dengan tanda tanya, tanpa berkata apa-apa. Karmila mengejapkan sebelah matanya dan sekutunya segera mengerti. Siapakah di dunia ini yang tidak mengerti akan kikirnya si Roy dan kemudian tidak ingin merampok harta mertuanya yang banyak itu?

"Lain kali. Kalau aku jurig atau lulus atau punya

anak;

"Siapuh! !" Mariani tertawa.

"Engkau saja yang traktir, Mil," usul Mariani.

"Boleh," sahut Karmila tanpa pikir panjang,

"asal Roy mau menggantikan aku jaga Kamis ini."

"Apa?" teriak Roy seperti melihat mantri memegang elektrode untuk menyetromnya.

"Lho, jangan kaget! Aku cuma mau minta tukar. Kalau engkau mau jaga Kamis ini, nanti aku jaga hari Senin menggantikan engkau. Tukar. Tukar. Bukan mau bolos. Nanti engkau bisa istirahat hari Minggu sepenuhnya. Bagaimana? Kamis. kau. Senin aku."

Roy memerlukan "aktu tidak kurang dari seratus dua puluh detik untuk memikirkan untung-rugi Usul tersebut. Kalau ada orang mengusulkan sesuatu, Roy selalu curiga, jangan-jangan ada udang di balik batu. Dia tidak pernah percaya bahwa manusia itu pada hakikatnya baik hati. Sebaliknya, mottonya adalah: "manusia merupakan binatang terhadap sesamanya". Sudah tentu sisa dari ajaran sekolah menengahnya dan akibat hidupnya yang terlalu tertutup semasa kanak-kanak. Roy tidak mempunyai ayah dan berkeliaran di sekitar dapur ibunya melulu, sewaktu teman-teman sebayanya asyik memanjal pohon atau mengejar layang-layang putus.

Roy merasa kepalanya sedikit bertambah besar

sebab dua orang wanita tengah menatapnya dan seorang di antaranya sangat membutuhkan dia. Mukanya yang putih dan gemuk itu tampak bersemu merah. Diusap-Usapnya kepalanya. Ditatapnya Karmila dan Mariani bergantian. Ah, senang dikelilingi dan ditatap wanita-wanita, apalagi yang cantik seperti mereka ini.

"Hm," dengusnya.

Karmila memasang telinga lebih tajam, namun dia kecewa. Tak ada suara lain yang keluar.

"Bagaimana, Roy! Kau mau bukan menolongku? Aku tidak pernah mendengar bahwa engkau pernah menolak membelikan pertolongan pada wanita," kata Kannila sambil menyumpah dalam hati, teringat beberapa tahun yang lalu ketika Roy menolak memberikan kursi padanya, padahal dia tahu Kannila sedang hamil muda dan tidak tahan berdiri lama-lama.

"Ya," kata Roy setelah seratus dua puluh detik itu lewat.

"Kamis itu hari libur. Aku mesti jaga dari jam delapan. Sedangkan Senin hari biasa. Rugi aku. Senin, kau jaga cuma dari jam satu siang."

"Oh, kalau cuma itu," kata Karmila sambil mee lirik Mariani yang tersenyum-senyum,

"aku tidak keberatan tukar dengan hari Minggu. Kapan giliran Minggumu?"

"Masih lama. Entah berapa minggu lagi. Dua

bulan, mungkin." gumam Roy. tapi dia bukan tidak memikirkan kemungkinan untuk menyelamatkan diri dari hari Minggu celaka itu. Dia dapat pergi jalan-jalan dengan istrinya. Jaga di hari Minggu memang merupakan siksaan. Tapi... mengapa Karmila justru tidak keberatan? Dia seharusnya lebih merindukan hari Minggu untuk diam di rumah.

Roy dengan curiga mulai menganalisa persoalan itu selama beberapa detik. Dia berotak cemerlang, memang. Itu diakui Karmila meskipun kikirnya setengah mati den gan catatan-catatannya yang maha berharga. Roy terkenal gemar menerjemahkan dan menyingkatkan textbook-textbook. Tapi egoisnya setengah mati. Contoh sejati dari seorang individualis. Tidak mempunyai teman. Tidak mempunyai kamerat untuk nyontek waktu tentamen. Seorang jenius yang kesepian dan sendirian. Karmila memang tidak mengharapkan Roy akan suka menerima usulnya. Dia sudah bersiap-siap untuk membujuk Mariani, tapi Roy dicobanya juga untuk iseng-iseng. Mariani dan Karmila saling bertukar pandang. Di antara mereka duduk Roy yang masih asyik berspekulasi. Karmila mengangkat cangkir tehnya dan nyaris hancur benda itu ketika didengarnya Roy menyetujui usulnya.

"Jadi, kau jaga hari Minggu nanti?" kata Roy menegaskan dengan bergaya.

Karmiila sering kali berpikir, bagaimanakah sikap teman sejawatnya itu andaikata suatu ketika dia mempunyai kekuasaan penuh dalam tangannya??! Apakah dia tidak akan meremehkan saja rekan-rekan sebawahannya? Dan tidak akan menjadi monster bagi para mahasiswa dalam ruang ujian?

"Oke. Mariani jadi saksi. Hari Minggu nanti, eh?" Roy mengangguk-angguk.

"Dua bulan lagi," katanya menggosok-gosok tangannya.

"Tapi... aku cuma mau tahu, mengapa engkau ingin betul libur hari Kamis ini?"

"Ah tidak apa-apa. Aku cuma ingin bersama anak-anak. Sebab Feisal tidak ada. Kasihan mereka seharian ditinggal sendirian."

Sudah tentu Karmila takkan mengatakan bahwa dia ingin menghindarkan diri dari bekas tunangannya yang mengancam akan datang ke rumah setiap hari.

"Oke. Beres, kalau begitu. Dan bila engkau tidak keberatan untuk pergi ke kantin, aku bersedia menraktir sop buntut itu."

Roy dengan tergesa-gesa segera bangkit lalu keJuar. Karmila tahu, dia tidak ke kantin. Palingpaling cuma mencari suster dan memintanya memesan sop itu.

Siang itu Edo datang lagi. Karena itu hari Rabu, Karmila tidak praktek. Edo dengan leluasa dan tenang memperbaiki kereta api Fani.

"Ayahmu punya solder? Per ini sebaiknya kita solder saja supaya tidak lepas-lepas lagi."

Fani menanyakan ibunya di kamar buku, apakah ada solder.

"Ada. Di garasi," katanya seraya bangkit.

Dalam garasi terdapat sebuah lemari kayu tempat Feisal menyimpan segala macam alat yang tidak semuanya diketahui Karmila namanya.

"Ini mungkin," katanya menyerahkan solder itu pada anaknya.

"Kalau mau yang lebih kecil, ada juga."

"Ini, Oom?" tanya Fani berlari-lari.

Edo memperhatikan sebentar ujungnya lalu mengangguk.

"Bolehlah. Nah, kita cabut dulu lampu itu lalu kita, masukkan ini di situ. Awas! Jangan pegang kuningan itu. Nanti engkau kena listrik."

Edo duduk kembali di lantai dikelilingi kedua anak-anak itu. Dirabanya ujung solder itu. Cukup panas.

", mana timahnya? Fan, minta timahnya pada ibumu. Kalau ada solder, tentu ada timah."

Fani baru saja bangkit ketika ibunya masuk.

"Ya, aku lupa. Ini dia. Jangan kauhabiskan ya. Nanti Feisal kalang-kabut kalau tiba-tiba dilihatnya habis waktu diperlukan."

Edo menggerutu pada diri sendiri. Tanpa bersusah payah, kereta itu berhasil diperbaikinya.

"Nah," katanya, tertawa pada Fani,

"ayo, Bung. keretanya sudah siap. Mau ke mana? Ke Bandung -Surabaya?"

Fani tertawa senang. Sedang Tasia cepat-cepat memasang rel yang terbalik-balik jadinya.

"Begini, Ma Petite Tasia," kata Edo memperbaiki rel-rel itu.

Kereta berjalan dengan laju. Namun tiba-tiba dia berhenti.

"Nah, kenapa?" tanya Fani kaget.

Edo memeriksanya dengan teliti.

"Beres," katanya berpikir, lalu,

"hm... minta baterai pada ibumu. Nah, betul dugaan Oom! Baterainya tidak jalan."

Untuk mencek baterai itu, Edo menghubungkannya dengan sepotong kawat. Karmila yang sejak tadi pindah dari kamar buku, menurunkan buku yang tengah dibacanya lalu memperhatikan mereka.

"Mama rasa tidak ada baterai," katanya.

"Ah, cari dulu, Mama," pinta Fani.

"Oke. Tapi rasanya tidak ada."

Di garasi terang tidak ada batu baterai. Di kamar juga tidak. Mungkin di kamar makan.

"Min, pernah melihat batu baterai?" tanyanya pada Minah yang tengah menggosok.

"Entahlah. Coba saya cari...."

"Eh... eh... lihat! Kautinggalkan seterika itu di atas bajuku! Astaga! Kalau terbakar.... Sudahlah, biar kucari beridiri!"

"Rasa-rasanya saya pernah lihat... entah di mana," katanya sambil meneruskan kerjanya.

"Aku juga pernah lihat. Tidak rasa-rasa lagi... di toko!"

Fani membuka lemari makan dan memperhatikan isinya.

"Tuan," kata ibunya.

"kita tidak makan batu baterai. Lebih baik kauperiksa bufet itu. Mungkin ada."

Kamila meraba-raba ke atas lemari makan. Tapi cuma debu yang didapatnya.

"Aduh, Min sebentar sore kaubersihkan ini. Lihat debunya seinci tebalnya. Fan, hati-hati dengan gelas-gelas itu!"

Fani berteriak kegirangan.

"Ini dia! Dua ya, Mama?"

Ketika Astuti datang, Edo diperkenalkan sebagai "saudaraku". Mula-mula Astuti percaya, tapi mendengar anak-anak berteriak,

"Oom Edo", mengertilah dia siapa laki-laki itu.

"Engkau tidak akan memulai sesuatu yang membawa penyesalan, bukan?" tanyanya dengan cerdik.

Itu dapat berarti dua. Pertama, bahwa Karmila tidak akan menikah dengan Feisal kalau hal itu akan

menyebabkannya menyesal kemudian hari. Kedua, bahwa Karmila tidak akan memulai lagi (affair-nya dengan Edo, yang mungkin akan menyebabkan rumah tangganya bangkrut.

"Hm... jangan jadi monyet yang sok ingin tahu," tukas Karmila dengan pendek.

***

Itulah saja yang berhasil dikorek Astuti mengenai tamu yang istimewa itu. Selebihnya, dia cuma dapat mengkhayal. Mengapa Edo datang waktu tuan rumah tidak ada? Direncanakan? Astuti sungguhsungguh tidak mau memikirkan hal-hal yang jelek mengenai temannya. Sebab, meskipun Karmila tidak pernah membicarakan urusan rumah tangganya dengan orang lain, namun mereka berdua merupakan sahabat karib.

"0 ya, Jumat nanti aku tidak di rumah. Mau ke Puncak dengan anak-anak."

"Bolos?"

"Tidak. Dengan izin Boss."

"Enak kau di Bagian Anak. Setiap Sabtu libur."
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karmila tertawa, mempermainkan bunga-bunga plastik di atas meja makan.

"Aku tidak pernah suka bunga-bunga plastik. Biarlah rumahku tidak ada apa-apanya daripada... huh!"

"Ah, kalau kau pandai memilih, lumayan juga kelihatannya. Apalagi dari jauh. Jangan beli dalam

negeri' dong. Kasar dan sembarangan. Ini buatan Hong Kong-"

"Oya, tumben ke Puncak. Ada apa-apa??!" Astuti mengerling dengan cerdik ke arah luar.

"Hm... sebaliknya dari itu."

"Maksudmu ?"

"Ingin tahumu itu dapat merusak suasana," tegur Karmila membelalak.

"Awas! Suamiku takkan membiarkan sahabatnya dikhianati oleh siapa pun!"

"Aduh! Aduh! Aku baru tahu. Feisal itu sahabat suamimu!"

"Kunyuk! Kunyuk! Ayolah, aku mau ke depan. Dan..." Astuti memandang temannya,

"aku tentu takkan mengatakan apa-apa pada Bambang. Tadi itu cuma main-main."

"Aku sama sekali tidak mempunyai rahasia."

"Bagus! Mil, apa pun yang kaulakukan, aku percaya padamu."

"Terima kasih."

Karmila memandang temannya yang menjadi jauh lebih genit dan montok itu dengan terharu sedikit.

Malam itu Kamila tidak mempunyai alasan untuk menolak Edo. Anak-anak tidak rewel. Dia tidak praktek, jadi tidak lelah. Semua beres. Edo mengajaknya ke luar.

"Ke mana?" tanya Karmiila dengan putus asa.

"Well, Jakarta toh tidak kekurangan tempat hiburan? Barangkali ke Bina Ria? Atau kita naik perahu?"

Oh, jangan, serunya dalam hati. Di Jadi! duh banyak orang yang mengenalnya. Feisal menjadi anggota dengan sebuah jachr yang cukup mewah.

"Kita nonton saja?"

Dia berharap dengan hati berdebar-debar, semoga mereka tidak pergi ke tempat semacam Kali Jodoh, di mana jodoh-jodoh bertemu.

Edo menolak gagasan itu.

"Film apa yang diputar di sini? Seks picisan!"

"Ya, ini bukan Perth," kata Karmiila pelan.

"Kalau engkau selalu tidak puas, baiklah kita diam saja di rumah."

Edo tidak mau mendengar keberatan-keberatan Karmila. Ketika Karmila memandang wajahnya yang kurus itu, dia tahu dia tidak dapat menolak. Aku sudah hancurkan hidupnya, katanya dalam hati. Dan dia sama sekali tidak menyalahkan aku. Malah dia tetap men... Karmila tidak berani meneruskan pikiran itu. Apa salahnya berjalan-jalan sebentar untuk menghibur hatinya?

Seperti kemarin malam, Edo membawa Opel putih. Milik pamannya, katanya. Karmila tidak mau, anak-anak tahu bahwa dia pergi. Sebab Fani pasti

akan hilang,

"Papa, ada Oom Edo kemari. Dan dia mengajak Mama jalan-jalan." Ditunggunya sampai mereka tidur. Sudah tentu dengan segala dongeng dan Cradle Song dari Schubert.

Mula-mula mereka memuaskan mata di Jalan Thamrin dan Jembatan Semanggi. Karmila kagum melihat keindahan malam Jakarta. Feisal jarang mengajaknya keluar malam, kecuali ke bioskop. Dia lebih suka bermain kereta api di lantai kamar anakanak atau bermain sembunyi-sembunyian. Karmila menghela napas. Feisal tidak dapat dikatakan kurang menarik, tapi ada sesuatu padanya yang berbeda jauh dari Edo. Karmila bersedia memberikan apa saja miliknya, untuk mengetahui apa perbedaan itu. Edu juga cukup ideal, namun rasa-rasanya Edo sekarang sudah berbeda dengan Edo delapan tahun yang lalu. Ketika dia pergi ke Kemayoran delapan tahun yang lalu, yang diantarkannya adalah seorang laki-laki periang yang lembut dan gallant. Laki-laki yang tidak mau rumahnya dimasuki wanita semaunya. Bahkan memasak untuknya! Apakah aku tidak mempunyai saham dalam mengubah tingkah laku Edo, pikir Karmiila dengan gelisah. Apakah itu semua karena aku?

"'Bagaimana pendapatmu tentang ibu kota?"

"Well, banyak kemajuan. Tapi neon-neon masih kurang semarak. Engkau harus lihat Australia. Kota-kota di sana ce cc... mandi cahaya."

"Di rumah sakit ada seorang dokter Australia. Dia mengundang aku jalan-jalan ke sana."

"Hm... delapan tahun yang lalu sudah ada orang lain yang mengajukan undangan serupa. Kautolak. Ingat?"

Edo meliriknya dengan manis. Karmila gugup.

"Sungguh mati, Ed! Aku sudah siap waktu itu.

Sedang diadakan pesta perpisahan ketika telepon berdering. Fani..."

"Jim... ya ya ya ! Aku masih belum lupa surat lima belas halaman itu," tukas Edo, tertawa sinis.

"Engkau tidak percaya?!"

"Perlukah aku percaya?!"

"Tapi Fani betul-betul sakit. Aku tidak dapat meninggalkannya."

"Juga tidak berarti engkau harus kawin dengan dia?! Aku bersedia memelihara Fani,"

"Ed..."

Karmila memegang bahu Edo dan meneteskan air mata di situ. Edo menggertakkan gerahamnya tapi tidak berbuat apa-apa. Opel meluncur terus. Sampai di bundaran Kebayoran, mobil membelok. Karmila mengangkat kepalanya.

"Aku selalu berdoa supaya engkau mendapat yang lain."

Edo menghentakkan Kamiila dari bahunya.

"Aku tidak perlu doa! What I want isyou! You. Helen! Oh, seandainya kini belum terlambat! Mengapa setan itu tidak mempunyai penyakit jantung? Atau kapal terbangnya hancur di udara?"

"Ed!"

Edo tertawa sumbang.

"Kalau dia mati, perkara jadi beres. Kecuali tentu saja kalau engkau mau ikut dibakar bersama dia!"

"Ed! Engkau mau membunuh orang?"

Tertawa Edo amat tidak wajar.

"Oho... obo aku tidak mengatakan begitu, kalau tidak salah? Aku belum cukup gila untuk membiarkan dia tertawa di neraka melihat tiang gantungan melilit leherku. Aku tidak akan membiarkan dia menipuku. Cukup sudah engkau menjadi korban

"Ed, apa katamu?"

"Kataku dia menipumu!"

"Apa?"

"My poor Helen! Tidak sadarkah engkau bahwa dia tidak mencintaimu? Fani membutuhkanmu. Dan dia amat menyayangi anak itu. Lalu "

"Oh, tidak!"

"Itu betul, Hell Dia cuma memerlukan engkau untuk mengurus anaknya."

1

"Tidak!" bisik Karmila dengan pucat.

"Siapa tahu dia ada main di Singapura?"

"Itu fitnah. Dia tidak ada apa-apa di sana," kata Karmila dengan sengit dan dia tidak tahu, mengapa dia membela Feisal.

"Engkau mempunyai bukti?" tanya Edo dengan lembut, memasukkan sumbu terakhir dari dinamitnya.

Karmila terdiam. Secepat kilat direkonstruksinya semua hidupnya selama dua tahun itu. Dan betapa kagetnya! Edo mungkin betul. Dalam otaknya masih terbayang olehnya bahwa ayah mertuanya bahkan jauh lebih memperhatikan keadaannya daripada Feisal sendiri. Ketika dia mengandung anak perempuannya, ayah mertuanya yang datang membawakan jamu-jamu dan bukan Feisal. Bahkan untuk mengantarkannya ke dokter, suaminya terlalu sibuk. Ibu mertuanya masih memerlukan mengangkat telepon setiap pagi, menanyakan keadaannya. Tapi Feisal sendiri seakan-akan acuh tak acuh saja terhadapnya. Mendengarkan hasil kunjungannya ke dokter kandungan dengan sebelah telinga. Sering absen di meja makan. Alasannya, banyak urusan penting. Sering kali pulang malam. Bukankah itu tipe-tipe klasik yang khas dari suami-suami yang menyeleweng karena merasa diri cukup kaya untuk memutarbalikkan dunia?

Karmila memandang jalan licin di depannya itu dengan setengah sadar.

"Jalan ini licin," gumam Edo,

"apakah ini jalan dollar atau rupiah?"

Karmila tidak mendengar pertanyaan itu. Pikirannya dengan penuh kekhawatiran tengah membayangkan bagaimana rupa Singapura di waktu malam. Show-show telanjang. Night club night club. Memang dia mengaku. Tapi apakah itu bukan cuma akal untuk meyakinkan istri bahwa suami tidak menyeleweng? Bahwa dia cuma melihat showshow saja, titik. Tidak lebih dari itu. Betulkah, tidak lebih dari itu? Betulkah laki-laki bisa sejujur Feisal"? Apalagi dia mempunyai riwayat...! Oh, aku telah menjadikan diriku bulan-bulanan yang tolol. Setiap orang dengan jelas akan melihat siapa Feisal dan di mana dia berdiri.

"Mengapa engkau diam saja?"

"Engkau menuduh Feisal yang bukan-bukan," tukas Karmila dengan ketus.

"Tentu saja aku jadi diam."

"Engkau marah?" tanya Edo dengan pandang menyelidik.

Karmila segera menengok ke arah lain.

"Aku tidak marah asal jangan memfitnah yang bukan-bukan."

"0 ya? Maaf, kalau begitu."

"Aku tahu dia di sana cuma melihat show-show telanjang. Tidak lebih."

"Hm... Kau tahu apa pikiranku sebagai laki-laki

"Apa?" tanya Karmila dengan menantang.

"Kalau laki-laki tidak mau berbuat sesuatu yang tidak akan disukai istrinya, sebaiknya dia tidak mengunjungi night club. Apalagi menonton striptease!"

Karmila terpukul betul.

Ketika dia kembali ke rumah pukul dua belas, kata-kata itu masih temgiang-ngiang dalam telinganya. Dia tahu, pendapat Edo seratus persen betul sehingga tidak dapat lagi disangkalnya. Dengan lesu ditukarnya bajunya. Dia merasa tertipu dan kesepian. Tanpa bertenaga disisirnya rambutnya. Betulkah Feisal sanggup menipunya? Oh, hampir tak dapat dipercaya! Dia begitu baik terhadap anakanak. Tidak pernah dendam. Sikap hidupnya selalu terbuka. Banyak humor. Kata doktor entah siapa namanya psikolog itu, orang yang penuh humor maksudnya laki-laki lebih toleran dalam rumah tangga. Dia melihat kekurangan-kekurangan istrinya, akan tetapi itu tidak mau dijadikan alasan untuk mengerling wanita lain.

Karmiila pergi menengok anak-anak. Dipandangnya lama-lama mereka berdua. Untuk kalian. Mama bersedia berbuat apa saja, katanya dalam

hati. Bagaimanapun tingkah laku Feisal, selama dia begitu baik terhadap anak-anak, dia akan bertahan.

Feisal mungkin main curang dalam hal ini, sudah tentu seorang laki-laki yang penuh pengalaman seperti Edo akan lebih tahu tapi sudah jelas dia mencintai anak-anaknya. Dan anak-anak itu memerlukan dia, bukan Edo atau siapa-siapa.

Kalau Feisal pergi, hampir tiap pagi, Fani datang bertanya berapa hari lagi Papa datang. Dan setiap pagi dicoretnya kalender di meja makan, lalu mencoba menghitung berapa hari yang sisa. Karmila membelai pipi Tasia dan membetulkan selimutnya.

Baru saja dia berbaring ketika diingatnya surat yang harus dikirimnya ke Singapura untuk memesan stetoskop bagi Big Boss dan... dia harus menelepon ibu mertuanya. Villa di Puncak itu kepunyaan mertuanya. Meskipun dia bebas menggunakannya setiap saat yang disukainya, Kamiila tidak pernah lupa menelepon ibu mertuanya, menanyakan kalaukalau villa itu kosong. Sebab kadang-kadang ada temanteman mertuanya yang bermalam di sana. Diambilnya arloji dari meja. Sudah hampir pukul satu. Biarlah besok pagi saja. Lagi pula hari libur. pos tentu tidak jalan. Tidak ada bedanya diposkan besok atau Jumat pagi. Dan bangun tidur akan diteleponnya menuanya. Pelupa betul, aku, hanya mengeluh.Karena tidak bisa tidur, dia ambil tape. Diputarnya Strauss dekat

bantalnya pelan-pelan sekali, supaya tidak mengganggu anak-anak. Matanya nyalang memandang langit-langit tapi dia tidak melihat apa-apa. Blaucn Donau mengalun pelan-pelan. Karmila merasa risau. Seakan masih dirasakannya pelukan Edo sekelilingnya. Kuat dan lembut. Masih terbayang olehnya horizon itu, di mana bulan bertemu dengan air. Mereka duduk-duduk di pasir. Tidak berkata-kata. Tidak saling memandang. Hanya Edo memeluknya tanpa bergerak. Oh, dia tidak berani menjamin apa yang masih dapat dihindarkan bila pertemuan semacam itu terulang kembali. Dia perlu segera pergi ke villa itu untuk menghindarkan Edo. Melarikan diri atau apa saja istilahnya, tapi dia harus pergi untuk menyelamatkan rumah ini bagi anak-anaknya. Feisal memang selalu lembut padanya, tapi dia tidak dapat mengira-ngira apa yang tidak dapat diperbuat seorang suami yang kalap. Pisau. Racun. Tambang.

Kamila teringat akan sebuah cerita Tiongkok kuno tentang seorang istri yang dituduh main gila. Untuk menyelamatkan nama baiknya, suami yang mencintainya itu, memaksanya memilih satu di antara ketiga transport ke neraka pisau, racun, atau tali. Dan istri yang terfitnah itu memilih racun, supaya tubuhnya tidak mengejutkan anak-anaknya yang kemudian akan melihatnya untuk penghormatan terakhir. Untunglah si munafik itu terbongkar

siasatnya pada saat terakhir. Rupanya dia menghendaki nyonya itu ketika suaminya sedang pergi. Dan karena ditolak maka dia menjadi kalap. Untung nyonya budiman itu dapat menghindarkan diri dari maut dan mengembalikan nama baik keluarganya.

Karmila menghela napas. Dia menyukai ceritacerita yang happv-end. Tapi dalam dunia nyata, tidak semuanya happy end. Dia tahu itu. Kalau dia harus memilih... ah! Dia menghela napas. Matanya memandang lukisan di mukanya, hasil karya Feisal. Dalam kamar anak-anak ada tiga buah lukisan anjing dan kucing buatan Feisal. Meskipun dia tidak mengerti banyak tentang lukisan, tapi dia dapat merasakan cinta yang terbayang dalam lukisanlukisan itu. Itu pasti. Sebab Feisal amat mencintai anak-anaknya. Dan aku? Apakah dia juga mencintai aku.

Karmila menarik selimutnya ke atas. Dimasukkannya tangannya ke bawah bantal dan dipusatkannya pikirannya pada Tales from the Vienna Woods. Strauss pasti seorang besar, karena telah sanggup menciptakan begitu banyak keindahan dalam musiknya. Dibayangkannya gadis-gadis cantik dengan baju-baju mereka yang beraneka warna, dengan petriwat yang mengembang seperti payung. Dengan wig berwarna ragam. Dibayangkannya ruang istana Louis XV dengan lantai dasarnya yang licin

berkilat, di mana Strauss dipersembahkan dengan penuh hikmat.

Dipejamkannya matanya. Betapa kecilnya aku, memikirkan diri sendiri. Apa artinya sebuah cinta dibandingkan dengan kebesaran yang telah dicapai jenius-jenius untuk memuliakan Tuhan? Mereka miskin, tuli, buta, tapi mereka tidak sempat memikirkan diri sendiri. Mereka mempergunakan waktu mereka seluruhnya untuk Tuhan. Tapi aku? Aku asyik memikirkan betapa malang nasibku Feisal tidak mencintai aku dan kemungkinan mendapat cinta Edo sudah tidak ada. Aku mengira diri paling malang, padahal mataku utuh, kakiku tidak lumpuh, tubuhku tidak cacat, hidupku serba cukup. Aku terlalu egois, pikirnya dengan mata berat. Pikirannya kemudian terasa ringan. Sebelum lagu berakhir, tangannya sudah terulur ke samping bantal dan Strauss terdiam.

***

Di atas atap Villa itu terdapat tulisan: MIRA. Itu nama ibu mertuanya. Karmila mengenakan slack merah dengan pull-over putih. Digandengnya anak-anaknya berjalan-jalan sore itu. Di belakangnya, agak jauh, berjalan Susi dengan Zeinal, adik

suaminya. Tinus tentu saja tidak dapat turut, sebab waktunya hampir seluruhnya milik pacarnya. Martin tidak dapat juga. Latihan bola basket untuk kejuaraan sekolah menengah. Tinggal Zeinal. Untung dia mau ikut, sebab Karmila memerlukan seorang laki-laki di sini. Salam disuruhnya pulang untuk menjaga rumah, sekalian memberinya kesempatan untuk berkenalan lebih baik dengan Minah. Kalau mereka berdua menikah, itu baik sekali. Sapir itu dapat tinggal di rumahnya dan Minah tidak akan teringat untuk pulang ke udik memotong padi.

"Jemput kami Minggu pagi. Salam," pesannya.

Amat menyenangkan beristirahat di sini. Udaia bersih. Suasana sunyi dan tentram. Seharusnya pemerintah membangun rumah-rumah peristirahatan untuk rakyat, yang dapat dicapai oleh setiap dompet. Sebab istirahat begini sama sekali bukan kemewahan. Bila orang dapat pergi menenangkan diri selama beberapa hari dalam setahun, pasti pikirannya akan menjadi lebih lapang dan terbuka, dan hasil produksi akan meningkat.

"Hiii..." teriak Tasia.

"Ada apa? Ada apa, Sisi?"

"Itu... itu... hiii Mama ..." Tangannya yang gemuk menunjuk-nunjuk.

"Oh! Itu keong racun."

"Keong racun," ulang Fani.

"Keong racun selalu membawa serta rumahnya ke mana pun dia pergi."

"Kenapa, Mam?"

Karmila tersenyum penuh arti.

"Ada kisahnya."

"Cerita, Mam. Kita duduk di situ," kata Fani menunjuk batang pohon yang rebah di pinggir jalan.

Kamiila memandangnya sambil tersenyum.

"Kalau kalian tidak nakal, nanti malam Mama akan cerita. Asal..." Karmila memijit bahu anaknya,

"asal kauingatkan Mama."

"Oh, Fani ingat. Fani ingat."

Fani dan Sisi masing-masing memakai slack biru dan merah dengan pull-over yang sewama. Rambut Sisi yang sudah agak panjang, diikat dengan karet kiri-kanan dan diberi pita merah yang kecil. Dia betul-betul manis, kata Karmiila dalam hati dengan perasaan tertusuk. Kalau rumah orang tuanya berantakan, apa jadinya dia? Akan ke mana senyumnya yang segar itu? Dan tertawanya yang cerah dan nyaring? Siapa lagi akan mendengarkannya? Kalau _ seandainya _ dia mempunyai ibu baru tidak! Itu takkan terjadi, Sisi sayang. Mama berjanji. Sungguh-sungguh berjanji.

"Ayo, kita nyanyi. Naik-naik ke gunung. Ayo, Fan. Sisijuga."

Karmila mulai menyanyi bersama Fani. Sisi

menambah di sana-sini. Mereka berjalan pelan-pelan. Udara sore Kamis itu cerah. Kalau ada mobil lewat, Sisi segera mengacungkan jarinya.

"Oto... oto... hiii... Mama oto."

Fani berjalan di sebelah luar. Kata Papa, katanya, lakiwlaki mesti berjalan di sebelah luar untuk melindungi para wanita atau orang tua-tua. Lebih gila lagi, setiap kali pergi ke Singapura atau Malaysia, Feisal selalu bilang,

"Fani, jagalah Mama dan Tasia selama Papa pergi!" Dan anak berumur lima tahun itu begitu serius menerima tugasnya, hampir-hampir Karmila tidak tahan untuk tidak menggodanya.

"Apakah menurutmu kita sudah berjalan terlalu jauh? Kembali sekarang?"

Kamiila memandangnya. Tasia juga memandang kakaknya. Fani merasa diri penting. Sebenarnya dia sudah ingin kembali sebab lapar. Tapi tidak ada laki-laki yang mau mengakui kelemahannya di hadapan wanita.

"Engkau sudah lapar, Tasia?"

Tasia segera mengangguk.

"Lapar?" tanya ibunya tertawa.

"Perut gendutmu ini lapar? Aha "

"Hiii... hiii " seru Tasia sambil melindungi perutnya dari gelitikan ibunya.

"Oke deh. Kita kembali, sebab Fani bilang begitu. Mama akan bikin nasi goreng, ya. Kalian suka,

bukan? Susi, kita balik yo."

Susi cepat-cepat melepaskan pegangan tangannya dari tangan Zeinal. Karmila tidak tahu, ke mana arah angin bertiup, tapi Zeinal dan Susi memang sudah menjadi kawan yang erat selama beberapa tahun terakhir. Menonton berdua. Ke mana-mana berdua. Susi sudah menjadi gadis tujuh belasan yang cantik. Menurut pendapat Karmila, jauh lebih cantik dari dia sendiri. Sudah tentu Karmila tahu, dia cukup cantik. Kalau tidak, mana mungkin mata keranjang seperti Feisal menaruh perhatian padanya. Susi kurus dan tinggi. Pipi kanannya mempunyai lesung pipit.

Pipinya licin putih seperti pualam. Zeinal juga sudah menjadi pemuda yang tampan. Jangkung seperti abangnya, tapi lebih kurus. Dia agak pemalu meskipun humornya tidak kalah dengan Feisal.

Sudah tentu Karmila pura-pura tidak melihat betapa mesranya muda-mudi itu berpegangan tangan. Feisal pernah mengatakan, alangkah baiknya kalau Susi dan Zeinal salingjatuh hati. Dan Karmila tidak menganggap itu suatu harapan yang buruk.

"Tasia, gendong?" undang Zeinal.

Nona kecil itu berlari kegirangan dan terengahengah tiba di hadapan pamannya.

"Hei, segendut itu minta digendong?" teriak ibunya.

"kasman Oom Zein!"

Tapi Tasia cuma tertawa hi hi hii dan tidak mau turun. Karmila melingkarkan lengannya pada bahu anak laki-lakinya dan perlahan-lahan mereka mengikuti Susi dan Zeinal.

Setibanya di villa, lampu sudah dinyalakan oleh Itja. Villa itu ditunggui oleh Itja dan suaminya, sepasang suami-istri yang sudah setengah umur. Mereka sudah tinggal di pondok di halaman belakang itu sejak mereka baru menikah. Dan sekarang kedua anak gadisnya sudah kawin. Berdiam di lembah.

"Nah, kalian main-main dulu. Mama mau masak."

Itja sudah menanak nasi. Karmila mengambil beberapa butir bawang merah.

"Tja, kalau mau pulang, pulanglah. Tidak ada lagi yang perlu kaulakukan di sini. Ambillah ayam goreng yang kubawa itu, dua potong."

Itja menggumamkan sesuatu tapi tidak berani mengambil sendiri. Karmila memberikannya dua potong.

Setelah selesai makan malam, Tasia duduk di pangkuan ibunya dan bersama kakaknya; mendengarkan kisah mengenai siput dan rumahnya. Susi bermain catur bersama Zeinal. Karmila memeluk anak-anaknya erat-erat, seakan takut kehilangan mereka. Dengan suara lembut didongengkannya mereka. Ketika lonceng berdentang sembilan kali,

dihalaunya mereka ke kamar.

"Jadi mula-mula siput itu mempunyai rumah di bawah pohon?" tanya Fani, masih belum puas.

"Betul. Lalu?"

"Lalu datang banjir. Rumahnya hanyut. Dan dia ketemu kunang-kunang, lantas "

"Kunang-kunang itu bilang apa?"

"Kunang-kunang bertanya kenapa siput bersedih hati? Rumahku banjir, kata siput. Mengapa tidak kuubawa rumahmu seperti aku membawa pelita, kata kunang-kunang."

"Lalu?"

"Lalu..." Fani berpikir keras.

"Lalu siput juga membuat rumahnya di atas punggungnya dan membau anya ke mana pun dia pergi."

"Lalu..."

"Lalu... lalu apa, Mama?"

"Lalu," kata Karmila menyentuh ujung hidungnya,

"kalian harus tidur!"

Fani tertawa dan Tasia juga minta disentuh hidungnya.

"Fani tidur bersama Oom, ya. Sisi dengan Mama dan Tante Sus."

Fani memandang ibunya dengan sedih.

"Dengan Mama," bisiknya.

"Kasihan Oom sendiri. Kautemani dia. Ya?!"

"Kalau begitu, Fani tunggu Oom."

"Fani, dengar Mama. Kau mesti tidur! Anakanak harus banyak tidur supaya lekas besar. Kalau engkau tidur malam-malam, nanti kepalamu pusing dan engkau tidak dapat turut ke pasar besok."

Fani diam merengut.

"Ayo, Beruang yang manis. Kamarmu di sebelah kamar Mama. Mama ada di sini, di dekatmu."

Di tingkat atas villa terdapat tiga kamar tidur. Dua di sebelah kiri dan satu di sebelah kanan. Di bawah tidak ada kamar tidur. Karmila menempati kamar di muka. Dia senang duduk-duduk di balkon kecil itu, memandang dan merasakan ketenangan malam seperti yang tengah dilakukannya kini.

Anak-anak sudah tidur. Fani di kamar belakang. Untung ada Bonie, sehingga mau juga dia dibiarkan tidur sendiri. Tasia seperti biasa, tidur bersama Meli. Kalau mereka sudah naik ke tempat tidur, mungkin Moli harus disingkirkan sebab boneka itu memerlukan cukup banyak tempat.

Karmila mendengar suara-suara yang serius dari bawah. Asyik betul mereka, gumamnya. Malam itu bulan cukup terang meskipun tidak penuh. Ibu mertuanya selalu mengatakan. bahwa dia harus tnenikmati terang bulan di sini. Karmila tahu, apa sebabnya.

Sambil bersandar ke dinding. diperhatikannya

sekelilingnya. Gelap pekat. Di kejauhan tampak cahaya-cahaya lampu. Tercium olehnya keharuman mawar dari halaman yang terbawa angin malam. Udara hangat dan segar. Ah, sedang apa si Keras Kepala itu? Tidur? Atau gentayangan di night club? Atau di... hotel? Atau ada simpanan? Oh, betapa ingin aku bahwa dia mencintaiku. Tidak usah sebesar eintanya pada anak-anak. Asal dia cinta sedikit saja. Oh, rasanya dapat aku membunuh diri kalau semua yang dikatakan Edo itu betul. Sudah tentu dia laki-laki. Lebih mengerti isi pikiran Feisal. Tapi, aku tidak berhak membunuh diri. Aku milik anak-anakku juga. Aku tidak dapat berbuat itu. Ditariknya napas dalam dan harum semerbak mawar-mawar itu melegakan hatinya yang risau. Dilipatnya tangannya dan dicobanya tidak berpikir apa-apa. Dari jauh, seakan-akan lampu-lampu itu tengah menceritakan kisahnya sendiri-sendiri. Apa saja yang tengah mereka saksikan? Apakah sepasang manusia yang berbahagia? Ataukah seorang janda yang miskin? Atau pemuda yang patah hati? Atau... seorang istri yang kesepian dan sendirian seperti dia?

Kamila tersentak. Tidak, katanya menggeleng keras-keras. Sudah tentu aku tidak kesepian. Aku mempunyai dua anak yang cukup nakal, yang menyita setiap detik dari waktuku. Aku bahkan tidak mempunyai cukup waktu untuk menyendi

ri, pikirnya. Dan senyum bangga terkembang di wajahnya yang sayu. Anak-anakku begitu sehat. Apalagi yang dikehendaki seorang wanita? Ayah mereka juga cukup lembut terhadapku. Oh, Feisal selalu lembut meskipun kadang-kadang humornya agak keterlaluan.

Dari bawah terdengar suara tertawa perlahan. Karmila iri terhadap mereka. Keduanya tampak begitu masa bodoh. Hidup mereka tanpa susah. Dan setiap hari terisi penuh dengan keriangan dan kegembiraan. Susi tidak pernah mengalami apaapa yang membuatnya mengalirkan air mata berhari-hari lamanya, meskipun secara tersembunyi. Susr tidak pernah merasa tertipu atau terhina. Ya, Karmila juga sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan melupakan segala kepahitan masa lampaunya, sejak saat Feisal dan dia mengatakan,

"Ya, saya mau," pada pater tua yang baik hati itu. Segala penghinaan yang pernah dirasakannya dulu, dihapusnya dari hatinya.

Tapi bagaimanapun juga, ingatannya terlalu kuat buat melupakan bahwa itu tidak pernah terjadi. Bahwa dia tidak memasuki rumah Feisal secara spontan, akan tetapi penuh perhitungan. Bahwa Fani memegang peranan penting dalam mendorongnya mengambil keputusan itu.

Sebaliknya, kalau Susi menikah, tentu dengan

alasan yang sama sekali lain. Dia akan mempunyai banyak waktu untuk membayangkan segala-galanya yang serba indah dan merencanakan semuanya berdua. Tidak seperti kakaknya: putusan yang begitu tiba-tiba. Sehingga orang tuanya kebingungan mesti mengirim telegram yang bagaimana bunyinya ke Perth. Dan sikap keluarga Edo yang tidak mau memenuhi undangan pesta itu. Bukan salah mereka. Dan Feisal cuma memberinya waktu seminggu untuk menyiapkan diri. Cuma seminggu. Sehingga pakaian pengantin yang indah dan mewah yang selalu dibayangkannya di Perth terpaksa diganti dengan satin putih yang sederhana sebab tak ada waktu.

Karmila memandang bintang-bintang dan bulan yang cerah itu dan menghela napas. Betapa anehnya hidup. Kita merencanakan sesuatu yang tampaknya sempurna betul. Tapi dalam sedetik datang angin puyuh yang menghancurkan segalanya. Tentu saja dia tidak menyesal telah memilih Feisal. Akan tetapi dia tidak tahu pasti apakah tidak-menyesal-nya itu karena Feisal pribadi atau karena adanya Fani dan Tasia?! Oh, betapa inginnya dia mengetahui jawabnya dia sengaja mengelakkanjawab itu dari alam sadarnya?
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Banyak orang melakukan hal yang serupa mendesak sesuatu yang ingin mereka lupakan ke

alam tidak sadar mereka, dan akibatnya timbul frustrasi, kegelisahan, kekhawatiran, tidak bisa ttdur, pusing kepala, sakit pinggang, dan seribu satu penyakit lain.

Apakah aku frustrasi, tanyanya. Karmila menggeleng sendiri. Kalau aku ingat Edo, katanya dalam hati, rasanya dia cuma seorang asing biasa. Ada sesuatu yang telah mengubahnya. Dia tampak lebih kasar, lebih berani, lebih tidak-pedulian. Bukan lagi laki-laki yang dulu kucintai. Mengapa? Hatiku yang berubah atau dirinya? Andaikata... cuma andaikata... andaikata dia sekarang... masa sekarang ini, masih mendapat kesempatan untuk memilih antara Feisal dan Edo... apakah dia dengan terengah-engah akan segera berlari mendapatkan Edo? Ya, apakah aku akan melakukan hal itu? Karmila memandang lampu-lampu di kejauhan. Sebuah mobil melintas di bawah dengan meninggalkan berkas sinar yang indah. Oh, aku tidak tahu. Tidak tahu? Dia tidak akan tergesa-gesa mencari Edo? Oh, aku tidak tahu, pikirnya dengan risau. Apa yang sudah terjadi padaku? Bctulkah Edo tidak lagi berarti apa-apa? Aku selalu membayangkan seorang laki-laki tampan yang periang dan gallant dan sama sekali tidak sinis. Tapi yang datang sekarang adalah orang yang sarkastis dan bahkan setengah membenci dunia.

Sudah tentu Susi dan Zein berhati-hati sekali

menaiki tangga itu, sebab mereka tahu yang lain sudah tidur. Tapi Susi tidak menyangka, kakaknya ada di balkon. Dan Karmila dengan telinganya yang biasa cepat menangkap suara-misalnya kalau dibangunkan suster waktu jaga malam berusaha keras untuk tidak mendengarkan hashhush-hashush yang terjadi di belakangnya. Terdengar olehnya suara tertawa Susi yang tertekan. Ah, adiknya amat menarik. Mungkin Feisal benar, betapa bahagia mereka semua kalau Susi dan Zein saling jatuh cinta. Keduanya begitu menarik. Tapi Susi masih terlalu muda. Masih banyak waktu. Dan Zein baru di esem-a. Suara-suara mereka bergumam tanpa dapat ditangkap artinya. Dengan sengaja, Karmila menggeser kursinya.

"Ssst..." lalu sunyi.

Terdengar pintu kamar dibuka lalu langkahlangkah Susi menuju ke balkon.

"Belum tidur, Kak?" tanyanya menyentuh bahu kakaknya.

Kamiila pura-pura terkejut.

"Oh, aku tidak mendengar engkau naik. Mungkin aku tertidur."

Terlihat kelegaan pada wajah adiknya.

"Sudah setengah dua belas."

"Oaah??! Marilah tidur."

Di kamar sebelah sudah sunvi.

"Zein? Sudah tidur?"

"Belum."

"Kalau Fani mau minum, sudah tersedia di meja."

"Oke."

Dengan hati-hati Kamtila melepaskan Mali dari pelukan Tasia. Dengan tidak sengaja tersentuh olehnya pernya dan Mali segera menguik,

"Mama". Karmila terkejut. Untunglah Tasia tidak bangun.

"Biarkan saja di situ," kata Susi sambil melepas rambutnya yang panjang.

"Ah, sempit. Nanti gepeng tertindih aku." Karmila tersenyum memperhatikan adiknya.

"Siapa yang menang?"

"Menang? Oh, itu. Mainnya tidak dihabiskan," kata Susi tertawa dan mukanya menjadi merah. Untung tidak terlihat oleh kakaknya, sebab sinar lampu cuma remang-remang.

Kamila tertawa juga lalu berbaring sambil membelai-belai anaknya.

Sabtu siang itu Villa amat sunyi. Anak-anak sedang tidur. Susi dan Zein sedang ke Cipanas. Maka Karmila mengambil kesempatan itu untuk membaca di bawah pohon Ambon yang rindang. Slack kuning yang dipakainya itu sebenarnya sudah agak tua, tapi dia menyukai warnanya. Dia mengenakan blus sutra yang tipis berwarna hijau lumut. Berlengan panjang

dan berpita di leher. Karmila tampak seperti gadis remaja yang duduk membaca sesukanya, bersandar pada kursi rotan yang tinggi, dan menjulurkan kedua kakinya ke atas kursi yang terletak di depannya. Itulah salah satu dari sedikit waktu di mana dia dapat sendirian tanpa diganggu anak-anak. Tenang. Sunyi. Dan pemandangan di sekitarnya mempesona. Rumput hijau di halaman yang luas itu segar sekali. Dan mawar-mawar di sini selalu tumbuh dengan subur, tidak seperti di Jakarta. Bunga-bunga coklat mengitari halaman dengan manisnya. Juga sutra bombay dan pakis-pakis. Dan gladiol serta dahlia yang cantik.

Setelah beristirahat sehari penuh kemarin, Karmila mempunyai banyak alasan untuk merasa tentram dan melupakan kerisawannya. Buku-buku yang dibawanya ringan-ringan semuaseri detektif Perry Mason dan M'sieur Poirot. Sudah tentu tak mungkin membaca Dostoyevsky atau Truman Capote di sini. Agatha Christie memang lebih suka membuat kisah-kisahnya tampak misterius, sedang Gardner selalu menampilkan tokoh-tokoh pembunuh yang tidak tersangka-sangka. Senang juga membaca sambil menerka terus-menerus siapa calon pembunuh yang akan divonis oleh pengarangnya. Mungkin Kannila terlelap sedetik atau amat asyik dengan bukunya sehingga tidak didengarnya

langkah-langkah halus di belakangnya. Dia baru sadar ketika dirasanya sekelilingnya sunyi betul. Musik yang diputar sejak tadi telah berhenti. Dia menoleh ke samping dan melihat sepasang sepatu di situ. Oh! serunya dalam tenggorokan.

"Ed!" kata Karmila kehabisan napas sedang matanya membelalak lebar-lebar.

Edo berdiri di samping kursinya sambil tersenyum.

"Al your service," sahutnya mengejek.

"Oh."

"Mula-mula, ini."

"Oh!"

Karmila menamparnya, tapi Edo lebih cepat mengangkat kembali mukanya. Dia tersenyum sinis melihat wanita itu meraba hidungnya yang tadi dikecupnya.

"Oh."

Edo menjatuhkan diri di atas rumput. Sambil memeluk lutut, ditatapnya Kamtila dengan tenang. Karmila mengangkat kembali buku yang tadi jatuh ke pangkuannya, tapi Edo dengan cepat merampasnya.

"No reading!" perintahnya.

"Engkau selalu mengganggu aku!"

"Hm... begitukah aku sekarang bagimu?"

Karmila tidak mau menerima tatapannya dan menoleh ke arah lain.

"Dulu engkau menangis. he Baby. Engkau menangis, bukan, di Kemayoran?" Edo memegang dagunya dan memutarnya balik, hampir dengan kasar. Karmila terpaksa memandang juga mata yang hitam pekat itu.

"Begitu lebih baik," katanya menyeringai.

"Engkau memang cerdik sekali telah memilih tempat ini. Jangan... jangan membela diri," kata Edo menggeleng-geleng.

"Kaupikir aku tidak tahu maksudmu kemari. Engkau cerdik, Helen. Sudah tentu di sana kita tidak bebas. Ada Tinus. Ada bibimu. Tapi di sini... hm... hm... engkau cerdik sekali. Cuma sayang, engkau tidak lebih dulu memberi tahu aku, sehingga sehari penuh kemarin terbuang sia-sia!"

"Edo! Kaupikrr kaupikjr aku ini apa?" kata Karmila sesak apas.

"Aha... jangan membantah. Wanita di mana pun sama. Di Perth atau di Jakarta. You love me still, don ? you? Don '! you?!" Edo tertawa berderai-derai.

"Engkau tidak dapat menginap di sini!" tukas Karmila dengan ketus.

"Kenapa tidak? Aku tidak bersedia pulang-pergi sehari. Terlalu lelah."

"Aku tidak mengundangmu." kata Karmila, menahan air mata kemarahannya sedapat mungkin.

"Oho, tidak jadi soal. Sebab aku mengundang diriku sendiri."

"Oh, Edo, dengarlah aku. Engkau mesti pulang!"

"Aku sudah lama berhenti mendengarkan engkau. Sebab engkau tidak setia." Edo menatap wajah Karmila yang menjadi pucat.

"Akan tetapi tidak apa. Magih ada kesempatan untuk mengganti waktu yang hilang."

"Maksudmu?" seru Karmila seperti disambar petir.

"Ha... ha... ha... seperti yang tadi aku katakan, mengganti waktu yang bilang. Engkau cukup dewasa dan tidak bebal, kukira. Jangan bilang, engkau tidak mengerti!"

"Edo, engkau harus pulang. Harus. Kalau tidak, aku akan membencimu seumur hidupku!"

"Dibenci atau tidak dicinta, sama saja. Toh sudah lama engkau tidak lagi mencintai aku."

"Oh!"

"Sekarang tiba giliranmu untuk mendengarkan aku. Mula-mula "

"Tidak! Engkau harus pergi! Di sini tidak ada tempat."

"Hm, aku bisa tidur di mobil atau tidak tidur sama sekali. Biasa."

Karmila memejamkan matanya, tidak berani menatap lama-lama mulut yang menyeringai itu.

Oh, di manakah Susi dan Zein?! Tidak adakah seorang pun yang dapat menolongku? Aku datang kemari bukan untuk mencari tempat reuni yang romantis! Oh, di manakah manusia-manusia lain itu? Di manakah ltja?

"Di sini ada Zeinal, Ed." Karmila menatapnya, minta dikasihani,

"adik suamiku."

"Oho... oho... cho..." Edo tertawa gelak-gelak.

"Apa urusanku dengan dia? Kakaknya yang jahanam itu telah mengobrak-abrik hidupku. Masih bagus, aku berdiam diri saja. Kalau tidak, aku tidak berani menjamin di mana dia sekarang. Sebab setan-setan di neraka pun agaknya kurang begitu menyukai makhluk-makhluk pengecut macam dia. Membius. Memperkosa! !"

Karmiila tidak berkata apa-apa. Matanya menatap Edo dengan pandangan tercengang dan setetessetetes air matanya turun ke bawah. Mukanya yang putih makin putih juga. Bibirnya kering dan pucat.

"Maaf, apakah aku menyakiti hatimu?" Suara Edo kembali lembut. Diulurnya tangannya hendak menepuk-nepuk lutut Karmila. Pada saat itu dari dalam villa terdengar suara Tasia setengah menangis mencari ibunya.

Karmiila lekas-lekas menyusut pipinya dengan pita bajunya lalu bangkit seraya mengibaskan lenaan Edo. Tanpa berkata-kata. dia berlari ke dalam

lalu naik ke atas. Edo memeluk kembali lututnya. Setelah beberapa lama. Karmila belum juga keluar, diraihnya tape di atas kursi lalu diputarnya. Beyond the ieefr dari Billy Vaughn mengalun sampai ke atas, ke kamar.

"Kita mandi sekarang, ya. Nanti dingin. Bagaimana rasanya kalau dingin?"

Tasia memeluk kedua lengannya dan menggigil.

"Hiiiii..." katanya dan matanya menyempit menyerupai bulan sabit. Giginya putih-putih dan kecil-kecil.

"Hm... betul... betul..." seru ibunya, tertawa.

"Ayo... kita mandi. Ambillah bajumu."

Tasia mengambil baju yang paling disukainya.

Hotpants coklat dengan baju kausnya.

"Ayo... jangan melompat keras-keras. Fani masih tidur."

"Ani bobo?"

"Iya. Fani bobo."

Ketika Tasia tengah mandi, Fani muncul sambil menggosok-gosok matanya.

"Tante Sus ke mana, Mani?"

"Entahlah. Katanya ke Cipanas. Ada apa?"

"Tante janji mau mencabut singkong."

"Mencabut singkong? Singkong siapa?"

"Tidak tahu. Kemarin waktu jalan-jalan, ketemu kebun. Banyak singkongnya. Tante bilang, besok

mau diambil."

"Engkau toh tidak akan mengambil barang yang bukan milikmu?"

"Tapi Tante bilang

"Eh, mengapa tidak kaupetik jagung si Itja? Minta izin dulu pada lakinya. Nanti kita makan jagung bakar. Enak deh, Fan."

"Nak, Mama," kata Tasia.

"He-eh."

Fani melompat-lompat kegirangan. Segera dia berlari ke bawah mencari Itja.

"Mandi dulu," teriak ibunya.

Dari bawah terdengar jerit Fani.

"Mam, ada Oom Edo! Mam Mama ada Oom."

Oh! Apakah aku akan dikejarnya sampai ke ujung langit? Apakah aku akan dipaksanya melompat saja ke dalam jurang untuk menghilangkan semua kesulitanku, pikirnya sambil mengeringkan anaknya.

"Ambil talk, Sisi."

Sisi segera mengambil talk-nya dan membedaki diri sendiri.

"Aduh, jangan terlalu banyak. Cukup. Cukup. Sisirmu. Nah, kau cantik anak Mama. Oh, dikancing dulu kausnya. Nah, kiss Mama."

"J love wii,"

"Aileyu," kata Tasia meniru.

"i have you. Aai... lev... yu."

"Aaa... le... yu

Karmila mencubit pipinya.

"Pergilah ke bawah. Panggil Fani kemari."

Susi dan Zein pulang ketika mereka tengah memetik jagung di halaman belakang. Karmila menoleh mendengar suara adiknya. Dilihatnya Zeinal tengah mengawasi Edo dengan tajam. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya. Untuk sekejap. Karmila menyangka Feisal yang berdiri di situ. Mereka amat mirip satu sama lain. Zein berdiri tegak sehingga tubuhnya makin terlihatjangkung.

"Hallo," serunya,

"asyik betul, begini hari baru pulang?"

"Kami pergi berenang," sahut Susi dengan nada gembira.

Zein masih terus menatap Edo. Ah, kenapa dia, pikir Kamila dengan gelisah.

"Kemari! Bantu aku memetik jagung ini!" Susi langsung menyeret Zein ke bawah.

"Oh, ada tamu," seru Susi yang baru sadar akan kehadiran Edo. Lalu dia menoleh pada Zeinal dan tanpa menanti kakaknya, sudah diperkenalkannya mereka berdua.

"Zein, ini Edo. Kak Edo, ini Zeinal, adik..."

Edo dengan cepat menghapus sisa kata-katanya

dari bibirnya, seolah-olah mau bilang: aku tahu. aku tahu!

"Halo!" seru Edo dengan lantang dan meremas tangan Zeinal dengan kepalannya.

Zeinal mengulurkan tangannya tanpa berkata apa-apa. Ah, dia memang perasa, pikir Karmila mengawasi mereka berdua tanpa mampu berbuat apa-apa.

Suasana menjadi tegang dan aneh. Kecuali kedua anak itu yang masih terus tertawa dan mengoceh, yang lain telah berdiam diri. Malah Susi bicara berbisik dengan Zeinal, seolah-olah takut memecahkan kesunyian di situ. Tidak lama kemudian, Zeinal permisi mau mandi. Karmila menyuruh anak-anak menumpuk jagung-jagung itu di sudut halaman. Dan Edo membuat api dari ranting-ranting yang disediakan oleh Aman, suami Itja.

Sambil menanti api, mereka membuka jagungjagung itu. Tasia kepayahan menyobek kulitnya maka Karmila mengizinkannya mempergunakan pisau. Sudah tentu diawasi terus-menerus oleh ibunya. ltja membawa air garam lalu kedua anak-anak itu diberi tugas memerciki jagung dengan garam dan secepat kilat Karmila memberikan pisau itu pada Itja.

"Simpan," bisiknya.

"Aku mandi dulu." seru Susi melihat Zeinal sudah muncul.

Dengan ekor matanya, Karmila melihat Susi mencubit Zein dua kali.

"Hm... harum betul yang baru mandi," kata Karmila untuk memancing humor siapa saja.

Tapi Edo tengah asyik membakar jagung didampingi Fani dan Tasia, sedang target lelucon itu cuma tersenyum tanpa komentar. Diam-diam Karmila mengeluh. Pesta jagung itu amat mengesankan. Terutama bagi anak-anak. Bagi Karmila, itu lebih mengingatkannya pada api unggun sebelum pembakaran topi-topi pelonco. Mereka bergandengan tangan membuat lingkaran dan menyanyikan Auld Lang Syne. Perlukah haruskah temanteman lama dilupakan beserta masa lalu? Perlukah, Sayangku? Perlukah?

Susi asyik berbisik-bisik dengan Zein dan sebentar-sebentar mereka tertawa. Edo membuat lelucon-lelucon yang cuma dimengerti anak-anak. Karmila seorang yang tidak berteman. Setelah habis dua buah, dia bangkit.

"Mama, mau ke mana?" tanya Fani.

"Mama mau masak. Fani lapar, kan? Diamdiamlah di situ. Jaga Sisi."

Lekas-lekas dia masuk ke dapur. Ketika dirasanya tidak ada Itja, disusutnya matanya cepat-ecpat. Lalu dikeluarkannya ayam dari lemari

es. Disayatsayatnya tipis-tipis. ltja belum juga muncul. Mungkin sudah pulang. Ditengoknya arlojinya. Hampir pukul enam. Sebetulnya Susi dapat membantunya. Tapi biarlah. Tidak sampai hatinya melenyapkan kegembiraan adiknya. Maka dengan tenang diberinya ayam itu merica dan garam. Lalu diirisnya kembang kol. Dicucinya. Dikupasnya sebuah bawang bombay. Lalu dinyalakannya kedua kompor di situ. Pada yang pertama digorengnya susis. Pada yang kedua diletakkannya panci berisi sop.

"Aku mencium sesuatu," tiba-tiba kata Susi di belakangnya.

Karmila menoleh dan tertawa.

"Habis?"

"Belum. Petiknya kebanyakan. Seharusnya kaupanggil aku."

Susi membuka lemari es.

"Masih ada daging. Kak, bolehkah aku membuat bistik?"

"Dengan segala senang hati." Kemudian tambahnya,

"Kalau tidak salah Zein amat suka bistik."

"Mana aku tahu," sahut Susi seenaknya tapi scecpat kilat disembunyikannya mukanya.

Karmila senang melihat tingkah adiknya yang riang kekanak-kanakan, seakan-akan dunia ini tanpa sengsara. Betapa aku iri padanya, katanya dalam hati.

"Kalau engkau mau membuat bistik. tentu ha

rus kausiapkan juga sayurannya. Mungkin wortel malah ada. Juga selada dan tomat. Tapi buncis mungkin habis. Aku sudah menggorengnya kemarin."

"Kalau begitu, tanpa buncis!"

"Pokoknya asal bistik, kan?"

"Mengapakah Kakak menggoda terus?"

"Oh, apakah engkau merasa digoda? Mengapa?"

Susi menjulurkan lidahnya keluar sambil memotong daging dalam ukuran besar-besar. Sementara bekerja itu, Karmila tidak juga dapat melepaskan kedua laki-laki di belakang itu dari pikirannya.

Sekarang mereka tinggal berdua. Apa yang dikerjakan mereka kini? Dan mengapa sikap Zein serupa itu?

Zein biasanya lembut, pemalu, dan tidak suka campur urusan orang. Seharusnya Susi tidak meninggalkan, mereka. Dan dikatakannya ini pada adiknya.

"Tinggalkan bistik itu," katanya setengah membentak,

"aku akan membereskannya. Kalau enak, akan kukatakan itu buatanmu. Kalau tidak enak, buatanku. Pergilah. Mereka masih asing satu sama lain. Seharusnya jangan kautinggalkan mereka begitu saja."

Betapa terkejutnya Karmila ketika mendengar jawab adiknya.

"Tapi Zein yang meminta aku masuk, sebab dia

mau bicara dengan Edo!"

"Oh."

Serasa dunia ini kiamat. Mau apa sebenarnya anak itu? Apakah dirasanya dirinya tengah membela kepentingan abangnya? Toh tidak ada sesuatu yang perlu pembelaan.

"Angkat sop itu. Rebus sayuranmu. Jangan terlalu banyak air. Beri sedikit gula dan mentega," katanya sambil menuang minyak penggoreng susis tadi, lalu membersihkan wajan sebentar dan menyiapkannya untuk ayam kembang kol.

"Tidak pakai jamur?" tanya Susi sambil memperlihatkan sekaleng ehampignon dari lemari es.

"Masih ada? Boleh juga," katanya tanpa antusias. Itu masakan kegemaran Feisal. Dia tahu kaleng itu diletakkan di situ oleh ibu menuanya yang sangat memperhatikan kesukaan-kesukaan anaknya. Isi lemari itu selalu dijamin oleh ibu Feisal karena dia tahu menantunya selalu lupa membawa apa-apa yang justru diperlukan. Sekarang jamur itil tinggal sekaleng. Dan dia bukan menyiapkannya untuk suaminya. Kalau Zein menceritakan ini pada ibunya waw! Mungkin akan dapat sindiran juga dia di telepon!

"Susi, apakah ltja sudah membuat sambal? Coba lihat di lemari. Oh, sudah? Aku ingin makan lalap," katanya tertawa

"Panggillah anak-anak, Kak. Kusiapkan meja."

"Baiklah. Pakailah kompor ini untuk menggoreng daging. Dan sayuran itu boleh diangkat sekarang. Airnya jangan dibuang."

Zein dan Edo tengah duduk berdampingan di atas batu, membelakangi rumah. Dia tidak dapat menerka apa saja yang dibicarakan mereka dan tidak pernah tahu. Edo juga tidak pernah mengatakan sesuatu mengenai hal itu.

"Sisi dan Fani, mau makan? Atau sudah cukup dengan mengisap-isap batang jagung itu?"

Kedua anak itu memang tengah mengisap-isap jagung bakarnya. Fani yang pertama-tama melemparkan batang jagungnya.

"Mau makan," serunya terbang memeluk ibun

"Mamam... mamam," teriak Tasia tidak mau ketinggalan memeluk ibunya juga.

Dengan mesra digandengnya anak-anak itu ke dalam. Tasia segera mau membantu. Terpaksa dia diberi tugas mengangkut piring sebuah-sebuah dan Fani membawakan gelas.

Makan malam itu cukup menyenangkan. Terutama disebabkan masakan yang lezat dan kedua, karena sudah adanya rupanya persesuaian paham antara kedua laki-laki yang semula bagaikan siap berperang setiap saat.

Tasia duduk dekat ibunya sebab dia masih harus banyak ditolong. Meskipun begitu, tampak jelas usahanya untuk sedikit mungkin mengotorkan meja dengan makanannya.

Mereka makan dengan tenang. Sama sekali tidak tergesa-gesa. Dan topik yang dikeluarkan cuma berkisar sekitar suami Liz Taylor yang terakhir serta olahraga mendaki gunung yang menarik hati kedua laki-laki itu.

Setengah delapan kurang semua makanan disikat bersih. Hampir sejam mereka di meja. Semuanya tampak puas. Karmila tersenyum dan cepat-cepat berdoa dalam hati semoga Zein tidak memusuhi Edo. Doanya terkabul dalam setengah menit.

"Engkau dapat tidur bersamaku," kata Zein.

Edo memandangnya dengan wajah cerah lalu cepat-cepat melirik Karmila. Dilihatnya bidadarinya itu menggelengkan kepala.

"Aku sudah memesan tempat tidur baginya di rumah ltja," kata Karmila dengan tenang.

"Ah!" seru Zein.

"Di sana dingin. Tak ada selimut."
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah berikan selimut yang paling tebal. Tidur di balai-balai tidak apa-apa, bukan?"

"Oho... oho... tidak apa-apa tidak apa-apa.... Tidak tidur pun tidak apa-apa!"

Ketika dia lewat di samping Edo, Karmiila berbisik.

"Aku toh tidak mengundangmu."

"siapa yang mau sukarela mencuci piring?" tanya Susi, lalu disambungnya,

"Kalau tidak ada sukarelawan, aku tunjuk orangnya!"

"Baiklah," kata Zein sambil mendorong kursinya ke belakang,

"aku toh sudah tahu engkau akan menunjukku!"

"Tenagaku boleh juga. Aku biasa mencuci piring di Melbourne!"

Fani dan Tasia mau membantu juga. Jadi tenaga sudah lebih dari cukup. Kamila pergi ke ruang depan dan duduk di situ bersama Susi.

"Coba pasang transistor itu, Sus. Aku tiba-tiba ingin mendengar warta berita!"

Karena belum pukul delapan, radio masih menyiarkan lagu-lagu. Kebetulan lagu-lagu sentimental yang cuma dimengerti oleh tujuh belas tahun ke bawah. Susi begitu asyik mendengarkan sehingga kakaknya tidak sampai hati menyuruhnya mencari sender lain.

Kamila menjulurkan kakinya di atas sofa. Baru saja diraihnya sebuah majalah tua, ketika anakanaknya berlari-larian masuk dan melompat ke sampingnya. Nyaris keluar isi perutnya tertumbuk Tasia.

"Aduh, apaapaan ini?! Keluar isi perut Mama, nanti."

"Hiii... hiii keluar? Ana?"

"Ini!" Dan dicubitnya hidung Sisi.

"Mama, sambung," kata Fani, menyerahkan Snow White dari seri Golden Book yang gemar dibawa pulang oleh Feisal sebagai oleh-oleh.

Kalau laki-laki lain membawakan istrinya bajubaju bagus, maka Feisal cuma membawa sekopor buku-buku untuk anak-istrinya. Sudah berkali-kali ditegur dan disindir, tapi Feisal cuma menyeringai dan tidak berusaha mengubah kebiasaan buruknya.

"Siapa mau main memory?" tanya Susi.

Edo dan Zeinal segera memberikan respons. Mereka duduk di sudut. Tiba-tiba mengalun lagu Maiden's Prayer. Karmila bercekat hatinya. Tanpa menoleh pun, dia sudah tahu perbuatan siapa itu. Susi tidak mempunyai tape. Zein tidak mengenal lagu itu, mungkin. Tapi yang pasti, Edo tahu lagu itu kesayangannya yang utama. Diperlukannya mengirimkan piringan hitamnya dari Perth meskipun untuk itu dia harus menghemat betul. Piringan hitam itu masih disimpan, tapi Karmila tidak pernah memutarnya kembali sejak dia menikah. Sekarang! Apa-apaan ini?! Sudah tentu Susi dan Zein tidak curiga. Sangka mereka, si Gila itu memutar Sierra-nya untuk menghangatkan suasana. Tapi aku tahu, pikir Karmila dengan pahit, dia mau mencoba menghantui aku. Apakah diharapkannya aku bunuh

diri dengan penuh rasa menyesal? Apakah aku tidak berhak menentukan mana yang terbaik bagi anakku? Aduh, mengapa tidak distopnya lagu celaka itu?

"Mama, sekali lagi," kata Fani mengguncangguncang lengannya untuk ketiga kali,

"apa kata ibu tiri itu pada cerminnya?"

Karmila tersentak dengan sedikit terkejut.

"Oh, dia bilang, 'Cerminku, cerminku yang ajaib, katakanlah siapa yang tercantik di kerajaan ini.' Lalu jawab cermin itu.

"Tuanku memang cantik, tapi Putri Salju adalah yang tercantik."

"

"Bagaimana rupa cerminnya?" tanya Fani seraya menggosok-gosok tangannya.

"Ini... seperti gambar ini."

"Ana... ana..." tanya Tasia mendesak mau melihat Juga.

"Seperti punya Mama, ya?"

"He-he-eh."

"Kenapa cermin Mama tidak bisa omong?"

"Oh, itu bukan cermin ajaib."

"Tidak ada yang jual?"

"Tidak ada. Zaman dulu mungkin ada. Mama terus, ya?"

Tasia cepat-cepat mengangguk.

Kamiila melanjutkan dongengnya dan kedua anak itu mendengarkan tanpa bergerak dengan kedua mata lebar membelalak. Hampir setengah

sembilan, ketika akhirnya sang pangeran datang dan mencium Putri Salju. Putri terbangun dari peti kaca dan mereka hidup bahagia untuk selamanya.

Karmila tersenyum memandang anak-anaknya. Untung tidak dilihatnya betapa Edo memandangnya dengan garang. Bahagia, he?! Bahagia. Jadi dia bahagia! Dan membiarkan aku hidup sendiri! Bagus"

Kedua anak itu tidak membantah ketika disuruh ibunya tidur. Susi mencium mereka. Juga Zainal.

"I love you, Tante Sus."

"I Ioveyou, Oom Zein."

"Aalecyu... hiiii... hiiii ..."

"Aaleeyu ..

"

Fani ragu-ragu di hadapan Edo. Ibunya sudah berjalan ke belakang dan tidak ada seorang pun yang memberinya nasihat sesuatu.

"Okey, My boy! Good-night! And you too, Young lady." Edo memeluk keduanya.

Fani tertawa lalu lekas-lekas berlari kepada ibunya sambil menyeret adiknya. Karmila bernyanyi perlahan-lahan sambil mencuci kaki anak-anaknya dan menggosok gigi mereka serta Bonie dan Meli. Di rumah, dia biasa bernyanyi sesuka hatinya seperti yang dilakukan Feisal. Tapi kehadiran Edo seakanakan mengubah suasana. Dia tidak bebas berteriak memanggil anak-anak, tidak bebas bersiul, malah bernyanyi pun harus pelan-pelan.

"Oke, melompat!" katanya memukul bokong Fani, lalu dibawanya Tasia ke kamar sebelah.

Di halaman depan terdapat sebuah bangku panjang yang sudah tua. Halaman itu gelap sebab satusatunya lampu di situ rupanya putus. Kemarin masih menyala. Seberkas sinar dari dalam yang jatuh di tepi bangku itu merupakan satu-satunya penerangan. Udara malam itu agak dingin. Mendung. Tanpa bulan atau bintang. Karmila duduk di bangku itu sambil merapatkan mantel hijaunya ke dada. Lehernya dinaikkan. Meskipun begitu, masih terasa juga dinginnya malam. Pasti sebentar lagi hujan. Dan betul saja, beberapa menit kemudian, hujan turun. Karmila bangkit lalu cepat-cepat masuk. Ketiga orang di situ masih asyik mengelilingi meja.

"Hujan?" tanya Edo.

"Hujan," sahut Karmila lalu duduk di sudut seberang sambil meraih majalah tua yang tadi mau dibacanya. Diangkatnya kakinya ke atas sofa lalu ditutupinya dengan bantal sulam untuk sedikit mengurangi dingin. Edo melihatnya.

"Dingin?" Ditutupnya jendela tanpa menanti jawaban.

"Thanks."

Karena khawatir Edo akan memutar kembali Maiden's Prayer yang sudah dimatikan itu, cepatcepat Kamila memutar tape-nya sendiri. Lebih

baik The Beatles. Tidak pada tempatnya untuk main sentimental-sentimentalan. Edo rupanya senang juga. Diketuk-ketuknya jari-jarinya ke meja. Begitulah waktu berlalu. Kaset sudah tiga kali berganti dan Karmila tengah memikirkan cara yang paling sopan untuk mengundurkan diri tanpa menyinggung perasaan siapa pun.

"Bagaimana dengan segelas kopi, Sus?" tanya Edo. Di luar hujan sudah menderas. Memang diperlukan segelas kopi panas.

"Aku setuju," kata Karmila bangkit berdiri.

"Siapa lagi yang mau?"

Semua mau.

"Dengan susu, ya?"

Seakan-akan terlepas dari belenggu, dia cepatcepat masuk ke dalam. Dihabiskannya air panas dalam termOs lalu dimasaknya air dalam ceret. Siapa tahu salah satu dari anak-anak itu mau minum tengah malam dan tidak ada air panas.

Ketika dia kembali membawa talam, dilihatnya Edo tengah duduk di sudut, sedang Susi dan Zein tengah asyik menghadapi papan catur. Diletakkannya dua gelas dekat mereka.

"Tidak diteruskan memorinya?"

"Bosan."

"Ya, tiga orang memang kebanyakan." kata Karmila dan bertambah lebar senyumnya melihat Susi marah.

"Untukmu kopi susu." katanya mengambil coklat susunya.

"Kapan engkau akan mulai minum kopi?" tanya

Edo.

"Takkan pernah!"

"Seisi rumahmu pantang kopi?"

"Cuma aku." Lalu cepat cepat dia melirik ke samping tapi Zein agaknya terlalu sibuk dengan pion-pionnya.

"Heh!" Edo menarik napas lalu menjulurkan kaki seenaknya.

"Kapan kau pulang?"

"Salam akan menjemput besok siang."

"Sebentar amat."

"Maklum pegawai negeri. Dan Fani mesti sekolah."

"O yaa. Anakmu itu cerdik, lho. Kira-kira kauharapkan dia jadi apa nanti?"

"Aku harapkan dia jadi orang yang baik."

"Maksudku, akan kauharapkan dia mendapat titel apa?!"

"Titel? Perlukah itu? Ayahnya sendiri tidak bertitel. Aku ingin dia bahagia. Apakah itu dijamin oleh titel?"

"No. Sure not."

Edo memandangnya dengan penuh selidik. Karmila tahu pertanyaan apa yang menyangkut

352 di otaknya. Kalau tidak ada kedua muda-mudi itu mungkin sudah terlontar kalimat itu dalam bahasa Perth-nya yang istimewa.

"Itis grand to be with you again," bisik Edo seraya duduk lebih dekat.

Lengannya dikalungkannya ke leher bidadarinya. Karmila berdiam diri dengan kaku. Dia bahkan tidak berani menengok untuk melihat, ke mana mata Zein kini. Digenggamnya gelasnya erat-erat. Hatinya berdebar-debar. Andaikata Edo menciumnya saat itu, pasti dia tidak berontak karena takut menarik perhatian iparnya. Untuk beberapa lamanya mereka mematung serupa itu. Tidak bergerak. Tidak bersuara. Edo memandangi kekasihnya dengan penuh perhatian dan Karmila asyik berdoa di hadapan gelas coklatnya,

Hujan di luar makin deras. Dia takut janganjangan Zein akan mengulangi tawarannya pada Edo yang sudah pasti tidak dapat dihalanginya. Hujan terlalu deras. Tidak sampai hati juga dia membiarkan Edo berlari-lari ke belakang tanpa payung atau baju hujan.

Stanley Black mengakhiri permainannya dan Karmila tidak memasukkan kaset baru. Diharapharapkannya akan terdengar guntur supaya dia mendapat alasan untuk naik ke loteng menemani anak-anak. Tapi hujan di sini jarang disertai petir.

Itulah susahnya. Tidak ada jalan lain daripada dengan tenang menghirup pelan-pelan isi gelasnya dan mengharapkan semoga lengan di belakang kepalanya itu lekas kesemutan.

Ruang di situ cukup hangat sebab pintu dengan kedua jendela sudah terkunci semua. Orang dapat melamun sepuas hati dalam suasana yang sunyi senyap itu. Karmila tentu saja tidak berani melamun. Dia duduk tegak dengan sikap siap sedia. Apa yang ditakutkannya sesungguhnya, dia sendiri tidak tahu. Tanpa mengubah sikap lengannya, ditengoknya arlojinya. Setengah sepuluh lewat dua puluh. Dari sudut sana terdengar Susi terkekeh sebentar lalu,


Ketika Angin Bertiup Karya James Mockingjay Buku Terakhir Trilogi Hunger Kisah Cinta Karya Sherls Astrella

Cari Blog Ini