Ceritasilat Novel Online

Karmila 5

Karmila Karya Marga T Bagian 5



"aduh" dari Zein. Kalau dia bercerai dengan suaminya, tentu mereka berdua juga akan mendapat rintangan dalam persahabatan mereka Karmila belum berani mengatakan bahwa adik dan iparnya sudah saling mencinta, sebab mereka masih begitu muda dan bukan mustahil, akan patah hati. Apalagi Zein yang lembut dan pendiam itu! Dapatkah dia menerima pukulan semacam itu? Di samping itu tentu Fani dan Sisi akan kehilangan ayah juga. Karmila tidak pernah membayangkan kemungkinan kedua anak itu diambil ayah mereka kalau dia bercerai.

Tiba-tiba tepukan pada pipinya menyadarkannya. Gila aku! Apakah yang baru saja kupikirkan,

katanya marah pada diri sendiri. Dengan tidak sadar, disingkirkannya tangan Edo dari mukanya. Dia tahu, hidungnya tengah jadi sasaran sepasang mata di sampingnya. Edo selalu mencium hidungnya, dulu. Dulu. Dulu. Rasanya sudah seabad, dulu itu. Sekonyong-konyong dia merasa amat lelah. Terjadilah apa yang akan terjadi. Dia sudah lelah menentang.

Sudah lelah berjaga. Sudah tidak mampu berpikir. Terjadilah apa yang akan terjadi, pikirnya, aku sudah lelah. Jiwaku sudah lelah. Kalau aku harus menyerah pada keadaan, aku menyerah.

Edo yang mula-mula mendengarnya. Terasa lengannya melingkar lebih rapat.

"Ada orang," bisiknya.

Kamiila mengerutkan keningnya. Tok, tok, tok. Sudah tentu tidak ada hantu di sini, bukan? Suara ketukan itu cukup keras meskipun masih diselubungi oleh derasnya hujan.

"Ada orang," katanya mengangguk.

"Zein?!"

Zein menoleh tapi dia segera mendengar suara

"Ada orang," katanya lalu bangkit.

"Hati-hati," tiba-tiba Susi merasa perlu mengatakan hal itu. Zein mengangguk. Dibukanya gerendel lalu ditariknya daun pintu.

"Hallo!" seru Feisal dengan riang meskipun bajunya basah. Karmila seakan mau pingsan. Nyaris jatuh gelas di tangannya. Mukanya pucat. Matanya membelalak.

"Ada tamu?" tanya Feisal tertawa, tapi segera stop. Dilihatnya istrinya hampir menangis. Sekenyong-konyong dia sadar siapa laki-laki yang mengalungkan lengannya dengan begitu lancang sekeliling leher istrinya. Tubuhnya mengejang. Untuk sedetik, Karmila mengira akan terdengar suara tembakan dan mendapatkan dirinya jatuh dengan usus terburai-burai.

Feisal berdiri tegak di ambang pintu. Zein di sebelahnya. Meskipun setegang itu, Karmila tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak melihat persamaan yang begitu nyata antara kakak beradik itu. Keduanya tinggi. Zein lebih langsing. Dan oh! Mengapa keduanya mempunyai ekspresi muka yang begitu serupa? Apakah Zein juga akan menyangka yang bukan-bukan? Untuk sedetik itu, suasana amat sunyi dan menakutkan. Edo bahkan tidak berusaha mengangkat lengannya. Karmila sudah hampir mau menjerit. Kalau dalam gelasnya ada racun, pasti akan segera diminumnya tanpa ragu-ragu. Feisal memandangnya dengan rupa heran, dengan rupa tidak percaya. Begitu tidak bersalah tampaknya dia, seperti anak-anak.

Tiba-tiba, Feisal menggerakkan kepalanya,

menunduk sebentar, lalu sambil tersenyum pada Edo-jahanam itu sudah pasti Edo-dia bilang "Maaf" dan melangkahkan kakinya ke dalam dengan amat tenang. Semuanya itu cuma berlangsung sedetik. Edo merasa tercengang. Aku kalah, pikirnya. Yang dibayangkannya, seorang laki-laki yang marah hebat dan itu dapat dipergunakannya sebagai senjata untuk menunjukkan pada kekasihnya betapa tidak berharganya laki-laki semacam itu. Banyak cara untuk membuktikannya. Berkelahi. Atau membiarkan dia marah, untuk memperlihatkan kelebihannya sendiri. Sudah tentu dia akan berdiam diri memperhatikan si suami mengobral marahnya dan si istri akan memihak laki-laki yang dapat menahan diri, laki-laki yang didakwa tapi telah begitu agung sehingga tidak mau menggunakan haknya untuk membela diri, sematamata karena tidak ingin memalukan kekasihnya di hadapan orang-orang lainSusi dan Zein. Tapi itu tidak terjadi.

Begitu Feisal berjalan masuk, Karmila segera bangkit. Diletakkannya gelasnya. Nyaris terantuk dia pada kaki Edo bila laki-laki itu tidak spontan menarik kakinya. Karmila berlari masuk. Seakan dilupakannya aku ada di sini. pikir Edo. Susi dan Zein saling berpandangan, lalu Zein menggerakkan kepalanya dan Susi mengangguk. Mereka main lagi. Bagaimanapun itu bukan urusan kita, bukan?

Sudah tentu, sahut Zein dengan pendek.

"Heh, aku rasa sebaiknya aku ke rumah pondok itu," kata Edo pada mereka.

"Maaf, tidak ada payung," kata Susi, masih mencoba tersenyum.

Edo melambaikan tangannya sambil menggeleng. Di ambang pintu dia berhenti.

"Jangan salahkan kakak iparmu," katanya pada Zein.

"Tidak ada apa-apa lagi antara kami. Aku pun tidak bermaksud merebutnya kembali kecuali " Edo menggertakkan gerahamnya dengan keras dan tertawa,

"kecuali pesawat yang ditumpangi saudaramu meledak di udara!"

***

KARMILA menyusul Feisal ke dapur. Air di ceret sudah lama mendidih. Diangkatnya ceret itu dan dimatikannya apinya.

"Mau cuci muka, Sal?"

Tapi Feisal tengah sibuk dengan tali sepatunya dan tidak menjawab. Karmila mencarikannya sandal jepang yang biasa terkumpul dalam kotak di bawah tangga.

"Ini," katanya dan diulurnya tangannya, mau mengambil sepatu yang basah itu, tapi Feisal lebih cepat lagi menendangnya ke sudut.

"Bukalah jaket itu dulu. Engkau cukup basah, tahu. Mengapa mobil itu tidak kaunaikkan ke atas? Bukalah dulu. Mau cuci muka?"

"Tidak usah."

"Makan"! Kau belum makan, tentu?"

Feisal bangkit dan melemparkan jaketnya ke atas kursi.

"Zein," panggilnya.

Zein segera berada di situ sehingga Kamila mengira dia memang sudah sejak tadi ada di belakangnya.

"Kau bawa piyama berapa?"

"Oh, masih ada satu yang memang kutinggal di sini. Tapi mungkin bau lemari."

"Bawa kemari!"

Zein melompati anak-anak tangga itu dua sekaligus. Mungkin dia sudah tahu, bagaimana rasanya kalau Feisal marah, pikir Karmila.

"Engkau sudah makan, Sal?"

"Sudah!"

"Kalau begitu, kubuatkan kopi saja."

Dengan sengaja dia bekerja membelakangi suaminya, supaya tidak usah menunduk dia seandainya Feisal menatapnya.

"Ini," terdengar suara Zein.

"Bagaimana anak-anak?" tanya Feisal sambil menukar baju.

Karmila menyangka dia yang ditanya, tapi Zein yang menyahut. Oh, dia masih di situ. Dengan perasaan serba salah, dia masih berharap bahwa pertanyaan itu sebenarnya ditujukan baginya. Cuma kebetulan Zein ada di situ!

Dengan cepat terdengar suara sandal menuju ke loteng, sedang Zein kembali ke depan. Karmila mengaduk-aduk kopi dengan tidak sadar. Kepalanya terasa agak pusing. Akan kiamatkah dunianya?

Sambil berpegangan pada terali, dia menaiki tangga itu pelan-pelan. Mau rasanya berhenti tiap kali melangkah. Kakinya begitu penat. Dan kepalanya seakan-akan berputar-putar. Dengan memberanikan diri, diteruskannya langkahnya ke kanan. Perlahanlahan dibukanya pintu. Feisal tengah berbaring berbantalkan kedua tangannya. Matanya menyapu sekilas lalu kembali lagi menerawangi langit-langit.

"Ini kopimu," katanya secerah mungkin.

Tapi ketika suaminya tidak juga bergerak menyambuti gelas yang diulurkannya, diletakkannya saja kopi itu di atas meja di samping tempat tidur. Lalu ditariknya kursi ke dekat pembaringan dan duduk di situ.

"Aku mau bicara sebentar."

"Masih adakah yang harus dibicarakan ?" tanya Feisal tanpa menoleh.

"Sal, engkau salah paham."

"O ya?!"

"Engkau harus mengerti "

"Aku sudah mengerti!" potong suaminya dengan tegas, lalu bangkit.

"Jangan khawatir, Nyonya." katanya menggeledek sambil bercekak pinggang di hadapan Karmila,

"semuanya akan berakhir sesuai dengan keinginanmu!"

"Oh. Feisal! Engkau tidak mengerti." kata

Karmila, hampir menangis.

Feisal melangkah ke pintu tanpa menoleh.

"Simpan air mata buayamu itu! Belum kauperlukan sekarang!"

"Oh."

Feisal membuka pintu dan menoleh, tanpa melihat padanya.

"Besok aku akan mengangkut anak-anak pulang!"

Dan ditutupnya pintu itu.

Dan aku, pikir Karmila. Aku ke mana? Apakah aku tidak akan dibawanya juga? Karmila terkejut ketika disadarinya pipinya sudah basah. Dia menangis di kursi, mengharapkan setiap saat Feisal akan masuk dan minta maaf. Sejam lamanya dia duduk. Ketika kakinya sudah kesemutan dan Feisal belum juga datang, dia bangkit lalu pergi berbaring. Sampai dia tertidur, pintu tidak terbuka.

Ketika dia membuka mata keesokan pagi, yang pertama-tama dilakukannya adalah memandang ke samping. Kosong. Tapi masih dirasakannya kehangatan yang ditinggalkan Feisal. Tentu belum lama dia bangun. Dia merasa aneh, dibiarkan tidur terus. Biasanya Feisal tentu membangunkannya juga atau menyuruh anak-anak. Matahari tampak masuk dari jendela. Dilihatnya arloji. Pukul delapan lewat lima. Oh, siang amat. Anak-anak tentu sudah

bangun. Kembali dia merasa aneh mengapa tidak seorang pun yang membangunkannya. Tiba-tiba dilihatnya gelas kopi di atas meja. Masih penuh. Disingkirkannya selimutnya, lalu turun dan menuju ke jendela. Lantai kayu itu terasa dingin dan nyaman. Dia berdiri sejenak di jendela tanpa sandal, dalam baju tidurnya yang hangat. Dilihatnya di halaman depan anak-anak tengah bermain bola. Tasia yang paling keras tertawanya membuat ayahnya makin suka menggodanya dan sejak tadi, sudah dua kali dia kena bola.

Karmiila melihat Fani tidak begitu bersemangat. Sakitkah anak itu? Atau ?! Tidak! Dia sudah tidur ketika ayahnya datang. Sudah tentu dia tidak tahu apa-apa tentang insiden tadi malam. Fani. Dia amat mencintai dan membutuhkan aku, tapi, pikir Karmila dengan pahit, dia juga mencintai dan membutuhkan ayahnya.

Yah! Disingkirkannya tirai jendela ke samping lalu dibereskannya tempat tidur. Dipakainya sandalnya dan turun ke kamar mandi.

"Nyonya mau makan sekarang?" tanya ltja.

"Ya, setelah aku bersisir. Ke mana Nona Susi?"

"Tadi pagi pergi bersama Tuan Muda. Katanya tidak lama. 0, ya." ltja mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya.

"Ini surat dari Tuan Muda yang tidur di pondok. Tadi pagi-pagi dia sudah berangkat."

"Hm... anu... jam berapa?"

"Entahlah, Nyonya. Mungkin Jam lima, kira-kira. Waktu itu saya juga baru bangun."

"Baiklah. Pergilah ke atas. Tolong bereskan tempat tidur anak-anak."

"Baik, Nyonya."

Karmila menyangkutkan handuknya di kawat lalu masuk ke dapur. Kompor masih menyala dengan sebuah ceret air di atasnya. Karmila mengangkat ceret itu, lalu memandangi kertas putih di tangannya. Perlahan-lahan diulurnya kertas itu ke atas api dan dipeganginya sampai hampir seluruhnya terbakar.

Kemudian dilepasnya ketika api mulai menggigiti jari-jarinya.

Kamila cuma memakan rotinya separuh. Susu pun hampir-hampir tidak dapat ditelannya. Penyakit apa ini, pikirnya. Tenggorokannya terasa agak pedih. Matanya panas. Aku demam, katanya dalam hati. Kalau aku segera mati, itu lebih baik. Lebih baik sebuah legenda yang suci bagi anak-anak daripada harus menyaksikan mereka merana dan menjadi patah hati karena rumah orang tua mereka berantakan.

"Mau ke gereja?" tanya Susi yang tiba-tiba saja ada di depannya.

"Setan! Mengagetkan aku."

"Siapa suruh melamun?"

Karmila memandang adiknya dan tidak dapat menahan senyumnya melihat wajah yang cerah itu.

"Jadi ini hari Minggu? Astaga! Dan aku sudah makan!"

"Tidak apa-apa. Kita dapat pergi ke Sindanglaya. Misa jam setengah sebelas."

Karmila melihat arlojinya. Hampir pukul sembilan.

"Katakan pada Feisal, kita akan ke gereja dulu."

"Oke." Susi memutar sepatunya dengan penuh gaya dan Karmila tidak dapat tidak melihat pandangan Zein yang mengikuti gerak itu.

Susi berjalan ke depan diikuti Zein.

"Zein."

Pemuda itu berhenti. Susi terus.

"Ya?"

"Adakah abangmu mengatakan mengapa dia pulang secepat itu?"

Zein menatapnya tanpa ekspresi.

"Tidak. Tapi... saya dapat menanyakannya."

"Tidak usah. Tidak mengapa. Lupakan ini," kata Karmila, tersenyum.

"Tolong bawa anak-anak masuk, Zein."

Tolol betul aku menanyakan hal itu padanya. Sudah tentu dia tidak tahu apa-apa mengenai ini. Feisal selalu memperlakukan adiknya seperti

anak kecil yang perlu dilindungi, tapi tidak dapat diajak berkonsultasi. Mengapa aku mengajukan pertanyaan konyol itu? Tiada hasil apa-apa, malah membuat Zein menyangka ada sesuatu yang tidak beres antara abangnya dan aku. Itu pasti sudah diduganya sejak kedatangan Feisal. Tapi dia tidak perlu tahu sampai di mana ketidakberesan itu.

"Lagi susunya, Nyonya?"

"Tidak. Tidak. Tolong lihat anak-anak. Masih main? Mereka belum menukar baju."

ltja menengok ke luar jendela dapur.

"Oh, ini mereka, Tja."

"Mamah" teriak Fani menubruknya.

"Mama... Mama I love you."

"I love you." Cup, cup.

Tasia melompat turun dari gendongan pamannya. Karmila mengulurkan kedua lengannya dan memeluknya.

"I love you." Cup, cup.

Karmila mengangkat kepalanya, tepat pada waktu Feisal memutar kembali sepatunya.

"Papa!" teriak Fani.

"Yup! Papa mau periksa oto dulu."

Sisa hari itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Karmila. Feisal masih berbicara dengan dia, tapi dengan amat sopan. Dan dia berpikir-pikir apakah itu bukan kedok belaka supaya anak-anak tidak menyangka ada apa-apa antara mereka berdua. Anak-anak mempunyai perasaan yang tajam, begitu sering dikatakannya pada Feisal dan agaknya dia ingat akan hal itu sekarang.

Feisal terpaksa ikut masuk ke dalam gereja. Sudah tentu dia tidak mau kelihatan konyol, menanti dalam mobil.

"Papa, mengapa Papa tidak memberikan uang seperti Mama?" tanya Fani setelah misa selesai.

Tangan Feisal mencengkeram lingkaran setir dengan lebih kuat.

"Papa lupa bawa dompet," katanya tertawa, lalu memutar starter dan menginjak gas sekeras-kerasnya.

"Mengapa Oom Zein juga tidak beri uang?" tanya Fani memandang pamannya.

"Hush, Fani," kata Susi.

"Oom kemari tidak bawa uang," kata Zein malu.

"Fani." Karmila bersandar ke pintu dan memandang anaknya yang berdiri di belakang.

"Kita tidak boleh menanyakan mengapa orang-orang tidak berbuat seperti kita. Sebab mereka punya alasan sendiri. Mungkin mereka miskin. Mungkin uangnya tertinggal di rumah atau hilang atau perlu untuk beli obat. Engkau mengerti? Ya?!"

Fani mengangguk dengan hikmat.

Udara pagi itu nyaman dan segar. Matahari

bersinar dengan cerah. Sudah jelas, Feisal tidak bermaksud pulang siang-siang.

"Ke Cibodas, ya? Ada yang keberatan?"

Tidak ada yang keberatan. Susi dan Zein, pasti tidak Engkau bukan bertanya tapi menyatakan, pikir Karmila. Engkau menyatakan mau ke sana. Siapa yang akan membantah? Engkau sama sekali bukan menanyakan pendapat kita. Mobil dihempaskan ke kiri dan mereka mulai menaiki jalan sempit ke Cibodas. Feisal amat ahli di belakang setir. Orang pasti tidak akan khawatir bila semobil dengan dia. Karmila merasa bangga akan hal itu. Mertuanya, misalnya, sama sekali tidak menguasai kendaraannya. Pada waktu dia diberi kesempatan maju, dia justru diamdiam saja di ekor orang lain. Pada waktu dia maju, kesempatan sudah tidak ada, dari depan sudah menggelinding sebuah truk.

Mengherankan sebenarnya bagaimana dia dapat maju dalam usahanya. Bertentangan dengan teori bahwa sukses seseorang dapat dilihat dari caranya menguasai kendaraannya. Ya, memang ada kekecualian. Selalu ada. Nah, mertuanya itu merupakan kekecualian. Tidak bisa tidak.

Karmila mengingat-ingat piknik mereka hari itu. Begitu membosankan. Bahkan sedikit memalukan. Dengan setiap langkah baru, mereka berdua terpisah makin jauh. Cuma anak-anak yang tetap gembira. Mereka sudah cukup dewasa untuk mempertahankan itu bagi anak-anak. Untunglah Susi dan Zein begitu tenggelam dalam dunia mereka sendiri, sehingga agaknya tidak masuk dalam otak mereka, ada sesuatu yang tidak beres dengan kakak-kakaknya. Atau, kalaupun mereka tahu well, Karmila tidak melihat hal itu pada wajah-wajah mereka yang halus dan sempurna.

Mereka tiba di rumah pukul delapan malam setelah mengantarkan Susi dan Zein. Karmila sibuk seketika. Oleh-oleh untuk ibunya. Untuk mertuanya. Ditolaknya tawaran ibunya supaya makan dulu. Mereka ingin lekas-lekas tiba di rumah. Tapi di rumah mertuanya, Feisal yang mengambil putusan.

"Kita makan dulu," katanya dan Karmiila tidak dapat terbang dari sana.

Mereka makan. Dan supaya tidak mencurigakan siapa-siapa, mereka tertawa lebih banyak dari yang lain. Feisal bahkan menepuk-nepuk bahu istrinya di hadapan orang tuanya ketika menceritakan sesuatu yang tidak diingat lagi oleh Karmila. Betapa memalukan! Hanya untuk memperlihatkan bahwa mereka adalah pasangan yang berbahagia. Bukan suami yang hampir mencekik istrinya. Dan bukan istri yang dikejar-kejar kekasihnya. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil melepaskan diri. Terima kasih. Selamat malam.

Mobil berhenti di muka pintu besi yang dibikin sembarangan itu menurut Edo. Karmila tidak sanggup menanti sampai Salam atau Minah datang. Dia keluar dari mobil. Dibukanya pintu besi itu lalu masuk. Mobil meluncur ke dalam garasi di mana Bibi Emi sudah menanti.

"Malam betul? Sudah makan? Sudah makan, Tasia?"

"Dah."

"Kami sudah makan di rumah neneknya," kata Karmila sambil membawa tasnya. Minah dan Salam membereskan barang-barang dari bagasi.

"Ada air panas. Anak-anak mau dimandikan?" tanya Bibi Emi.

"Ya."

Bibi mengikuti Kamila ke kamar.

"Engkau tampak pucat."

Kamiila meluruskan badannya yang tengah membungkuk membereskan tasnya.

"Akhirnya Bibi melihat bahwa saya pucat," katanya, tertawa. Dihempaskannya dirinya ke atas tempat tidur.

"Saya cape," bisiknya.

"Itu saja." Pada saat itulah matanya melihat bungkusan itu. Di atas meja toaletnya.

"Biarlah Bibi mandikan anak-anak. Dan engkau juga cepat mandi. Lalu tidur."

Bibinya keluar. Karmila tidak menjawab. Dia langsung menghampiri mejanya. Di atas bungkusan itu terdapat sampul kecil. Tulisan Feisal. Diambilnya kartu di dalamnya. Karmila tertegun. Jadi kemarin adalah hari ulang tahun perkawinannya yang kedua.

Ditepuknya dahinya. Tiba-tiba tangannya mulai bergetar. Ditekannya ke meja. Tidak juga mau berhenti. Ah, mengapa aku bisa pelupa begitu. Sudah tentu ini sebabnya mengapa Feisal pulang seecpat itu. Ah! Sudah linglung. Pasti dia tersinggung. Entah berapa hebatnya telah kulukai perasaannya. Dirabanya bungkusan itu. Kertasnya merah dengan gambar-gambar abstrak kuning emas. Ukurannya cukup besar untuk yah, untuk apa saja. Dia tidak dapat menerka isinya. Tidak berhak diterimanya ini, sebab dia tidak mempunyai apa-apa untuk Feisal. Diingat-ingatnya apa saja yang masih ada dalam simpanannya. Tidak cocok. Tidak berharga. Lagi pula Feisal sudah tahu barang-barang itu semua. Dia ingin memberikan sesuatu yang tidak disangkasangka. Surprise. Tapi didapatinya, dia tidak memiliki apa-apa. Tiba-tiba ditangkapnya seloroh anak-anak dari kamar sebelah dan suara Bibi Erni menyuruh mereka diam. Karmila menghapus matanya lalu pergi ke lemari mengambil dasternya dan mandi. Selesai mandi. anak-anak sudah ber

baris di depan wastafel. Dengan senyum terpaksa, digosoknya gigi mereka. Untunglah Moli dan Benic tidak kelihatan. Setelah bersama anak-anak berlutut di lantai di muka sebuah patung kecil Maria dan Bayinya, diciumnya mereka. Dibereskannya selimut-selimutnya, lalu masuk kembali ke kamarnya menggosok gigi. Tengah dia menyisir, Feisal masuk. Dinantinya sampai suaminya selesai menggosok gigi.

"Feisal, aku ingin mengatakan sesuatu."

"Kebetulan. Aku juga," katanya sambil duduk di atas pembaringan.

Karmiila memandangnya dari dalam kaca. Mengapa dia tidak menegur kealpaanku?! Itu jauh lebih baik.

"Feisal, aku berterima kasih untuk ini," katanya menyentuh bungkusan itu.

"Tapi aku tidak dapat menerimanya. Sebab aku tidak mempunyai apaapa untukmu. Aku bahkan telah melupakan bahwa kemarin " Air matanya tiba-tiba mengalir turun, menyesakkan napasnya. Untuk sesaat dia batukbatuk. Feisal diam saja memandangi lantai. Tangannya sebentar-sebentar membuka dan mengepal. Sudut mulutnya bergerak-gerak tapi tidak sepatah pun yang diucapkannya. Karmila mengambil bungkusan itu dan memutar tubuhnya.

"Maafkanlah aku," katanya dengan muka basah.

"Aku tidak berhak menerima ini."

Feisal tidak mengangkat wajahnya dari lantai. Tangannya terus-menerus bergerak-gerak. Karmila menyorongkan bungkusan itu ke hadapannya.

"Ambillah. Aku tidak dapat menerimanya."

Untuk sesaat, Feisal masih diam saja.

"Oke," katanya tiba-tiba sambil berdiri. Secepat kilat dirampasnya bungkusan itu dan dibantingnya ke atas meja di samping tempat tidur.

"Oke. Oke. Jadi engkau tidak mau lagi menerima apa-apa dariku. Begitu?"

"Bukan," kata Karmila. menyusut hidungnya dan berusaha keras menahan air matanya.

"Aku merasa tidak berhak. Bukan apa-apa. Aku sudah melupakan tanggal itu. Aku menyesal. Lain kali, aku pasti tidak akan lupa lagi..."

"Tidak akan ada lain kali," kata Feisal perlahan lahan, seperti tengah mengajar anak yang baru belajar membaca,

"itu yang mau kukatakan!"

"Maksudmu?"

"Maksudku, engkau boleh pergi ke neraka mana saja yang kausukai, dengan setan apa saja yang kaucintai, dan tidak usah kembali ke sini. Tidak usah ingat anak-anak. Sebab untuk selanjutnya. engkau tidak akan menjumpai mereka lagi. Engkau terkena kecelakaan besok, ketika pulang dari rumah sakit. Atau kapan saja. Dan setelah itu engkau

akan mati. Dalam pikiran anak-anak, engkau sudah mati. Jangan berpura-pura kaget. Dan tahan air mata buaya itu! Aku benci melihatnya. Jangan menyesal. Semua ini sesuai dengan kehendakmu. Engkau sudah rencanakan reuni itu dengan begitu mengesankan. Sampai ke detil-detil. Rendezvous yang begitu asyik, bukan?"

Karmiila membenamkan dirinya ke tempat tidur. Tidak sanggup berkata apa-apa.

"Kalau kaupikir, aku akan berdiam diri saja melihat tingkah lakumu, maka engkau salah besar. Engkau cabut lotre yang salah! Aku bukan pahlawan bakiak, Mila. Seharusnya engkau insyafi itu."

"Engkau salah paham."

"Hm."

"Dengarlah aku, Sal."

"Masih adakah yang harus didengarkan?"

"Engkau harus percaya padaku. Harus. Sekali ini saja."

"Aku tidak percaya padamu atau pada setan perempuan mana punjuga. Kita hentikan pembicaraan ini, kecuali kalau engkau hendak membangunkan anak-anak dan menyuruh mereka menyaksikan bagaimana orang tuanya bertengkar!"

"Oh! Tapi engkau tidak dapat berbuat itu," bisik Karmila mengeluh.

"Engkau boleh menceraikan aku, tapi engkau tidak dapat memisahkan aku dari
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak-anak. Kalau engkau mau mendengarkan aku sekali ini saja...!"

"Simpan itu untuk di pengadilan nanti!"

"Aku sudah bilang, aku menyesal. Aku minta maaf."

Tapi Feisal diam saja. Biar sepuluh liter air mata itu kautumpahkan, Setan, peduli apa aku, pikirnya. Mereka berbaring begitu beberapa lamanya. Tidak ada suara lain kecuali tangis yang tertahan-tahan. Feisal menyerupai mayat yang mati tidak rela. Matanya membelalak ke atas. Air mukanya keras. Kelembutannya sehari-hari hilang tanpa bekas. Suatu ketika kaki mereka bersentuhan. Feisal segera menarik kakinya ke samping. Perlahan-lahan Karmila membalik, menghadap tembok.

"ini barang-namng yang kaupesan," kata feisal keesokan harinya. Suaranya sopan dan kaku, menggetarkan jantung Karmila.

"Periksa dulu. Betul?"

"Betul. Ini stetoskop untuk Boss. Ini sikat listrik untuk Mariani. Thanks."

Karmila tersenyum memandangnya tapi Feisal tidak mau memandang istrinya. Dia tengah asyik

mengeluarkan bungkusan lain dari kopornya.

"Untunglah aku kirim telegram, bukan surat. Siapa sangka kau pulang sece..." Karmila tiba-tiba terdiam. Sudah tentu dia harus tahu bahwa Feisal akan pulang cepat-cepat bila dia tidak lupa bahwa tanggal dua puluh satu itu adalah

"Fani Tasia..."

"Ya...."

Tasia berjalan macam kapal oleng di belakang kakaknya. Karmila duduk di atas tempat tidur memperhatikan mereka. Feisal memberi mereka masing-masing sebuah bungkusan.

"Terima kasih, Papa."

"Acih, Papa."

Feisal menepuk-nepuk kepala Fani dan Tasia, lalu ketiganya asyik membuka bungkusan-bungkusan itu. Begitulah keadaannya kalau aku sudah tidak di sini, pikir Karmila dan tiba-tiba matanya basah. Kalau Feisal menghendaki sesuatu hal, dia pasti akan mendapatnya. Dia selalu mempunyai keahlian untuk memilih cara yang paling tepat guna mencapai tujuannya. Kalau dia bilang aku harus pergi, maka aku harus pergi. Titik. Tapi ke mana? Oh. dia sudah bilang, ke neraka mana saja.

Dari balik air matanya dilihatnya Fani mengeluarkan sebuah stetoskop kecil, dan menoleh padanya. Lekas-lekas dikejap-kejapkannya matanya.

Karmila mengulurkan tangannya.

"Bagus. ya. Bagaimana cara memakainya?"

"Begini."

Fani memasukkan ujung-ujung stetoskop itu ke dalam telinganya dan menekankan belnya pada dada ibunya.

"Tidak terdengar apa-apa!"

"Oh... oh !" Kalau engkau mau memeriksa orang, bajunya harus dibuka. Ini tidak boleh diletakkan di atas baju. Nanti engkau cuma mendengar gesekan-gesekan baju itu."

"Bukalah baju Mama."

"Nanti, kalau kita bermain dengan ini. Sekarang Fani mesti sekolah dan Mama mesti ke rumah sakit."

"Mama!" teriak Tasia, tergesa-gesa bangun dari duduknya di lantai. Diacungkannya tangannya memperlihatkan alat-alat dapur yang didapatnya.

"Wah, ini bagus amat! Nanti siang, Mama pinjam ya. Untuk bikin panekuk?!"

"He-eh."

"Itu cuma mainan. Tidak ada apinya," kata Fani.

Untuk sesaat Tasia memandang kakaknya. lalu mainannya. Tampaknya sedih sebab kompornya cuma mainan yang tidak dapat dipergunakan.

"Sudah tentu ini sungguh-sungguh." kata ibunya cepat-cepat,

"cuma ukurannya lebih kecil. Nanti

kita masukkan ujung ini ke dalam tembok. Dan dia mendapat listrik lalu menjadi panas, lalu bikin ..."

"Kue!" teriak Sisi kegirangan.

Hidupnya dalam beberapa minggu setelah itu tidak lebih menyenangkan dari di neraka. Feisal masih bicara padanya, tapi yang perlu-perlu saja dan terutama di depan anak-anak. Terlihat jelas perbedaan sikapnya terhadap anak-anak dan terhadapnya. Dia masih mengantarkan mereka ke gereja. Masih mau membelikan anak-anak es krim. Masih bergurau kalau ada orang lain, misalnya Astuti. Tapi Karmila melihat, bahwa mukanya mengurus. Matanya agak cekung. Kadang-kadang kalau dia sendirian, Karmila mendapati dia tengah memandang buku di tangannya, akan tetapi setelah Karmila menanti lima menit di tempat persembunyiannya, buku itu belum juga dibaliknya. Makannya sedikit. Kadang-kadang Bibi Emi menunjukkan bahwa dia tersinggung kalau masakannya tidak dijamah. Barulah Feisal tersenyum dan membujuk Bibi sambil membiarkannya menyendok makanan segunung ke atas piringnya.

Karmila ingin sekali berbuat sesuatu untuk memecahkan tembok penghalang di antara mereka, tapi tampaknya jurang yang terjadi sudah terlalu lebar. Di dalam kamar, satu-satunya perhatian Feisal adalah cowboy-cowboy-nya. Ketika terakhir per

378

gi ke Singapura, dia membeli dua puluhjilid. Untuk Karmila, delapan buku romantis yang tidak dijamah Feisal. meskipun biasanya dibacanya juga, sekedar dapat mengimbangi istrinya kalau dia menyebutkan sesuatu dari buku-buku itu. Pada suatu malam, Karmila menutup lembaran terakhir salah satu buku itu.

"Engkau mesti baca ini," katanya, tertawa seraya melempar buku tersebut ke dada Feisal.

Feisal mengambil buku itu dengan tenang, menjatuhkannya ke bawah, lalu meneruskan bacaannya.

Karmila tertegun sesaat sebelum dia ingat bahwa mereka tengah berperang. Tanpa berkata apa-apa, dia turun dari tempat tidur, memungut pocket-book itu, meletakkannya di atas meja, lalu tidur kembali. Sesaat kemudian Feisal menutup bukunya lalu mematikan lampu. Kamar sunyi seketika.

"Besok aku akan mengunjungi Tuan Suhardjo," kata Feisal dengan tenang.

Karmila diam menahan napas.

"Kalau engkau juga membutuhkan pengacara, aku akan menanggung ongkosnya."

Karmila merasa bersyukur bahwa lampu dimatikan semua sehingga air matanya tidak kelihatan. Dia diam tidak bergerak-gerak. Tidak tahu mesti bilang apa. Didengarnya Feisal membalik. Mungkin dirasanya sudah cukup bicaranya. Kalau dia

mencintai aku sedikit saja, pikir Feisal sambil memejamkan matanya. Sejam lamanya dinantikannya istrinya datang padanya dan meminta maaf dan dia tidak akan pergi ke kantor Suhardjo SH dan segalanya akan beres, tapi Karmila tidak bereaksi. Feisal akhirnya tertidur.

***

Suhardjo SH mempunyai kantor di tingkat kedua. Gedung itu sudah tua dan agak kotor, akan tetapi bagian interior pengacara itu serba modern. Dia sudah tiga puluh tahun membuka praktek di situ dan sama sekali tidak mempunyai alasan untuk pindah tempat. Langganan-langganannya tersebar di seluruh Indonesia, bahkan ada yang sudah pindah ke luar negeri, akan tetapi masih meminta nasihat-nasihatnya.

Tuan Suhardjo sudah lama mengurus kepentingankepentingan ayah Feisal. Ketika Feisal di penjara, dia yang mengurus. Ketika Feisal menuntut anak pertamanya, dia yang mengatur bunyi surat perjanjiannya. Dan waktu Feisal akhirnya menikah, pengacara tua itu merasa amat bahagia, seakan-akan itu menyangkut anaknya sendiri.

Feisal keluar dari mobil dan Salam segera

membawanya ke tempat parkir. Satu-satu dihitungnya anak-anak tangga yang dilaluinya. Dia jalan perlahan-lahan. Seakan-akan diharapkannya setiap saat Karmila akan menubruknya dari belakang dan mencegahnya naik terus. Tapi Karmiila sudah diantarkan ke rumah sakit, berkilometer-kilometer dari sini, pikirnya sambil tersenyum dingin. Semua memang ada akhirnya. Tapi, Tuhan, jangan secepat ini. Dia selalu mengharapkan mereka hidup bersama sampai tua, sampai maut mengakhiri segalanya. Tidak secepat ini !!

Di tingkat kedua sebelah kanan terdapat pintu kayu dengan papan nama yang dicarinya. Didorongnya pintu itu. Seorang gadis manis menyambutnya

"Tuan...?"

"Feisal Gurong."

"O ya. Silakan duduk di situ. Apakah Tuan sudah membuat perjanjian?"

"Hm belum."

"Baiklah. Akan saya beritahukan. Silakan duduk, dulu. Tuan Suhardjo masih menerima tamu."

Gadis tadi memijit tombol di mejanya dan Feisal tidak peduli apa yang dikatakannya ke dalam. Dia asyik mengukir lantai dengan matanya dan mengepal-ngepal kedua tangannya. Bibirnya terasa kering. Ingin rasanya berlari ke luar lagi dan pergi kembali ke rumah sakit. Tidakkah istrinya juga tengah memikirkan dia? Bukankah dia sudah berkali-kali minta maaf? Bukankah Karmila yang dulu begitu angkuh terhadapnya, sudah ratusan kali minta maaf? Dia tidak mencintai aku, katanya pada diri sendiri. Digertakkannya gerahamnya. Dia cuma takut kehilangan anak-anaknya. Biar dia rasa! Mampus dia merana merindukan anak-anak. Tapi, apa yang akan terjadi setelah ini berakhir? Setelah dia pergi? Apakah setiap minggu akan diajaknya anakanak mengunjungi kuburan ibu mereka? Apakah dia tidak berdosa merencanakan semua ini?

"Silakan, Tuan Gurong."

Feisal terkejut. Gadis itu tersenyum menunjukkan pintu kamar di sampingnya.

"Terima kasih."

Feisal memutar tombol pintu lalu masuk. Tuan Suhardjo baru saja menutup pintu keluar, mengantar tamunya.

"Hei," serunya dengan gembira,

"apa kabar, Feisal? Anak-anakmu sehat-sehat? ! "

"Sehat."

"Sudah tentu. Dengan ibu mereka seorang dokter, kesehatan anak-anak pasti terjamin. Duduklah. Duduklah. Sudah lama rasanya aku tidak melihatmu. Ayahmu mengatakan engkau hidup senang sekarang. Ya? lstrimu sudah jinak sama sekali? Tapi

dia memang seorang wanita yang baik. Aku tahu itu ketika aku dimaki-makinya di rumah sakit."

Tuan Suhardjo tertawa. Rambutnya sudah putih semua, tapi wajahnya masih segar, tidak setua umurnya. Memang dia awet muda. Seperti ayahku, pikir Feisal meringis. Pengacara tua itu segera mengcium bahwa ada sesuatu yang kurang beres. Dimajukannya duduknya.

"Ayo, katakan apa yang membawamu kemari? Engkau tidak akan mengunjungi si Tua ini kalau segalanya beres, bukan? Katakanlah. Aku sudah siap mendengarkan. Apa yang membawamu kemari?"

Feisal memandang laki-laki tua itu dengan putus

asa.

"Saya mau mengurus perceraian saya!"

"Wow... wow jangan bergurau. Ha... ha... ha baru minggu lalu ayahmu kemari. Dia tidak akan bilang bahwa engkau hidup bahagia, kalau hari ini engkau mau bercerai ! !"

"Saya tidak main-main." Lalu ditatapnya lantai di antara kakinya.

Pengacara tua itu tiba-tiba sadar bahwa Feisal tidak main-main.

"Ceritakanlah," bisiknya sedikit ketakutan, seakan-akan yang duduk di hadapannya itu anaknya sendiri. Untuk selama lima menit yang menyakitkan, Feisal terpaksa membongkar rumah tangganya

di hadapan orang lain. Sedangkan terhadap orang tuaku, tidak kulakukan hal ini, katanya menggertakkan gigi.

"Nah," kata si Tua setelah Feisal selesai,

"kau tahu, untuk bercerai harus diajukan salah satu dari kelima hal ini: apakah istrimu main serong, apakah engkau mendapat tekanan mental?"

"Tekanan mental, ya!"

"Apakah dia kejam? Apakah dia gila? Apakah dia sakit berat sehingga tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai istri?"

"Setan," gerutu Feisal pada diri sendiri.

"Carikanlah alasan apa saja, asal saya dapat bercerai," kata Feisal dengan sengit lalu,

"Honor berapa saja. Saya bayar Tolonglah saya, Oom."

Laki-laki tua itu mengetuk-ngeluk meja dengan jari-jarinya yang langsing dan kuat.

"Apakah engkau sudah menemui ayahmu?"

"Untuk apa? Saya mengurus sendiri urusan saya!"

"Tentu. Tentu. Tapi tidak ada salahnya membicarakan kesulitan kita dengan orang tua kita. Sekedar menanyakan pendapatnya sebelum kita terlanjur menggali lubang yang tidak dapat ditimbun kembali."

"Saya kira. sudah cukup untuk sekarang ini?"

Feisal cepat-cepat menuju pintu keluar tanpa menanti tuan rumah.

Sore itu juga Feisal dipanggil ayahnya ke rumah orang tuanya.

"Aku mendapat telepon dari kantor Tuan Suhardjo bahwa engkau mengunjungi dia. Untuk apa?"

"Tidak bolehkah saya mengurus urusan saya sendiri?" tanya Feisal dengan marah.

"Oke. Oke. Tapi untuk apa? Tidak bolehkah aku tahu?"

"Saya rasa telepon itu sudah bicara cukup banyak. bukan?"

Ibunya yang duduk di sudut memandang anak dan suaminya bergantian. Feisal tampak pucat dan kurus. Beberapa minggu yang lalu mereka masih tertawatawa pulang dari Puncak! Oh, dunia sudah tua, pikirnya menggeleng-geleng.

"Baiklah. Engkau mau bercerai. Kenapa? Kenapa? Karmila tidak beres?"

Ayahnya mengecilkan matanya dan berjalan mondar-mandir di hadapannya. Feisal memandangnya dengan mata berapi-api. Napasnya bertambah cepat. Kepalanya terasa berdenyut-denyut.

"Ayah tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga saya!"

"Tentu. Tentu. Tapi engkau mesti ingat, perceraian tidak akan terjadi tanpa bukti-bukti yang nyata dan kuat. Bukti apa yang kaudapat tentang

istrimu?"

"Ya, Allah! Bukti apa? Saya melihatnya dengan mata saya sendiri!"

"Apakah engkau mengharapkan semua orang mempercayaimu?"

"Tentu tidak. Saya dapat mengajukan saksisaksi,"

"Misalnya?"

"Misalnya "

Feisal menelan liurnya dan tiba-tiba dia sadar, adiknya tidak ada di situ.

"Adiknya dan Zein ada di situ!" katanya agak pedas.

"Dan apa yang kauharapkan akan dikatakan mereka?"

Apa yang...?! Feisal tertegun. Apa yang ...?! Sudah tentu Zein akan membelanya, tapi Susi...? Anak itu menyukai dia. Baik. Tapi kakak adalah tetap kakak betapapun salahnya dia. Jadi apa yang ?!

"Dengarlah apa yang dikatakan adikmu!" kata ayahnya menggeledek.

"Zein sudah menceritakan semuanya. Laki-laki itu datang pada Sabtu siang. lstrimu tidak tampak senang menerimanya, tapi dia tidak mengusirnya. Oke. itu belum merupakan bukti bahwa dia tidak beres. Ya? Mungkin dia tidak enak hati untuk menyuruhnya pulang. Mungkin juga hari sudah sore dan mendung malam itu hujan, bukan? dan jalanan licin. Kalau dia pulang malam-malam

lalu kena celaka, bukankah istrimu akan merasa berdosa? Mungkin itu jalan pikirannya, kita mana tahu?! Lagi pula, dia menyuruh laki-laki itu tidur di rumah ltja, meskipun Zein menawarkan kamarnya. Bukankah hal itu perlu dipertimbangkan juga? Zein bilang, mereka selalu bersama-sama dengan dia sepanjang sore itu sampai engkau datang. Mana buktinya bahwa Karmila nyeleweng? Mana? Mana?"

"Oh, itu semua buktinya. Asal Ayah tidak membutakan mata! Karmila mengatur semua itu! Supaya dia dan jahanam itu dapat bertemu seenaknya"

"Lalu," ayahnya berhenti di depannya,

"mengapa dia mengajak adikmu? Mengapa dia membiarkan adikmu tahu ini semua? Coba buka matamu dan katakan, mengapa?"

Bukan main marah Feisal. Rasanya mau meledak dadanya. Tapi dia tidak berdaya.

"Kalau adikmu sendiri sudah tidak dapat mengajukan pembelaan bagimu," didengarnya bentakan ayahnya,

"apa lagi yang kauharapkan dari Susi? Atau engkau mempunyai saksi lain? Dengarlah! Hentikan segala omong kosong ini! Tidakkah engkau menarik pelajaran dari hidupmu sendiri? Berbahagiakah engkau ketika Ayah dan Ibu berpisah? Senangkah engkau kalau di rumahmu tidak ada ibumu? Sekarang. kau akan biarkan anak-anak itu

hidup sengsara?! Kau akan jadikan mereka jalang tanpa cinta ibu? Baiklah. Baiklah. Kau boleh pilih. Bercerai! Dan engkau akan keluar dari rumah ini, dari rumah orang tuamu, dari pekerjaanmu. Dan tidak sepeser pun sampai engkau mati! Mengerti! Engkau boleh jadi gelandangan bersama anak-anakmu! Aku tidak mau tahu!! Bercerailah. Tapi tanggunglah sendiri dosamu!"

Feisal mengangkat mukanya yang panas. Ayahnya tampak berdiri dekat jendela. Sudah mulai tua. Kamar duduk itu mulai gelap. Tapi ibunya tidak bergerak untuk memasang lampu. Dan Feisal tidak dapat melihat wajah ayahnya dengan jelas. Sedikit cahaya senja melingkari kepalanya dan Feisal mendapati, itu adalah kepala seorang tua.

"Aku mencintai engkau, Nak," kata ayahnya dengan lembut.

"Aku tidak mau anakku berbuat ketololan yang akan ditangisinya seumur hidup!"

Apa lagi?! Apa lagi?! Katakan, apa lagi, pikir Feisal, dengan sengit.

"Engkau mencintai Karmila, bukan?"

"Ya! Tapi... tapi... apakah dia juga mencintai saya?"

"Pulanglah! Dan carilah jawabnya!"

Malam itu Feisal langsung menelungkup di atas tempat tidur. Setelah membacakan dongeng dari Golden Book, dia langsung masuk ke kamarnya. Tidak diperlukannya meneliti koran-koran sampai ke maling ayam yang dipenjara dua bulan minus tahanan (yang sudah dijalankannya hampir tiga tahun!).

"Engkau tidak membaca malam ini?" tanya Karmila sambil memegang kemejanya yang lepas kancingnya.

"Ndak!"

"Tidak apa-apa kalau aku menyalakan lampu? Aku mau memasang kancinginu dulu."

Feisal tidak menjawab. Karmila duduk lalu mulai menjahit. Sebentar-sebentar dilayangkannya pandangannya ke tempat tidur. Feisal memang masih murung juga. Tapi dia tidak lagi menyebut-nyebut tentang perceraian dan segala sesuatu mengenai itu. Mungkin dia sudah mengubah pikirannya.

Digigitnya benang lalu dirapikannya kembali kemeja itu dan dimasukkannya ke lemari.

"Mau pijit, Sal?" Tiba-tiba dia mendapat ide bagus itu. Dia tidak pernah memijit suaminya kalau tidak dipaksa. Jadi ini good will yang bagus menurut otaknya. Feisal tidak menyahut. Bergerak pun tidak. Karmila masih tersenyum ketika dia mengambil textbook dari atas mejanya.

"Tidak keberatan aku membaca di ranjang? Atau engkau silau?"

"Dengarlah, Nyonya," kata suaminya membalik, menelentang,

"jangan menjadi tiba-tiba saja _

begitu baik padaku. Engkau takut aku ceraikan dan kehilangan anak-anak? Jangan khawatir! Itu takkan terjadi! Aku takkan menceraikan engkau, sebab aku tidak mau anak-anakku menjadi gelandangan."

"Sal, aku tidak mengerti .."

"Engkau akan mengerti dengan jelas kalau kau telepon ayahku!" bentak Feisal.

Untuk sesaat, Kamiila seolah-olah tidak mempercayai pendengarannya. Ilusi apa ini, pikirnya. Pandangan Feisal yang penuh kebencian menyadarkannya. Dengan cepat dia berlari ke kamar buku lalu menangis di situ. Jadi dia tidak menceraikan aku karena tekanan dari ayahnya dan karena anak-anak. Anak-anak! Pikirannya melulu dipenuhi anak-anak. Mengapa dia tidak kawin dengan babu saja yang dapat dibuangnya setelah anaknya lahir. Dia toh tidak perlu cinta. Dia cuma perlu anak-anak. Anakanak! Oh, goblok! Seharusnya aku tahu, dia tidak pernah mencintai aku! Aku sudah terperangkap. Oh, aku seharusnya benci padanya!! Tapi, astaga, di mana rasa kebencian itu? Mengapa tidak dirasakannya kebencian yang berkobar-kobar yang dikatakan dalam otaknya? Sudah lumpuhkah perasaanku? Aku harus membencinya! Disingkirkannya text book itu ke samping akan tetapi ditariknya kembali. Besok ada case di antara para dokter. Dia terpaksa harus membaca bab tiga puluh. Diletakkannya bukunya

agak ke tengah, supaya air matanya tidak jatuh ke atasnya dan meninggalkan bekas yang tidak bagus. Sambil membaca dia terus menangis sampai akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi.

Pukul dua malam Feisal terjaga. Karmila tidak ada di sampingnya. Dilihatnya weker. Pukul dua. Ke mana setan perempuan ini?!! Dia toh tidak akan bunuh diri? Tiba-tiba jantungnya berdebar-debar. Dia toh tidak segila itu? Dengan kaki telanjang, dia turun lalu menghampiri lemari istrinya. Dirabarabanya dalam gelap sambil di temukannya sebuah botol yang sudah dikenalnya. Diguncang-guncangnya. Karena kurang yakin. dinyalakannya lampu di meja tidurnya. Untunglah. Isinya masih utuh. Obat tidur itu tidak pernah dimakan siapa-siapa. Hanya dibawa pulang oleh Kamiila sebagai persediaan. Just in case, katanya selalu, ada yang perlu. Untunglah. Feisal menenangkan sebentar hatinya. Untunglah. Untunglah. Tapi di mana dia kalau begitu? Dia toh tidak akan kabur? Di mana setan ini? Oh, dia bikin jantungku... oh! Tiba-tiba Feisal menggigil dan keringat dinginnya keluar. Lekas-lekas dia pergi ke luar lalu dibukanya pintu kamar buku dengan berdebar-debar. Untuk sesaat diawasinya istrinya. Ketika dilihatnya dada yang turun-naik teratur itu. barulah dia masuk. Dirasakannya lantai yang dingin menusuk telapak kakinya. Karmila tertidur di atas

bukunya. Tangannya terentang ke muka. Dengan hati-hati Feisal mengangkatnya, lalu mendukungnya ke kamar. Feisal berdiri di samping tempat tidur, memandangnya. Baru pertama kali ini dilihatnya istrinya sedang tidur. Betapa cantiknya, pikirnya. Seperti Tasia. Dia sering kali mengawasi anakanaknya tidur. Tasia selalu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ketika sejam kemudian, Feisal belum juga tertidur, dia bangun lalu mengambil botol di atas lemari. Jus! in case. gumamnya lalu menelan sebutir.

MINGGU siang itu hari cerah. Karmila berdoa semoga tidak banyak yang konyol-konyolan di jalan. Sayang betul. Dari rumah mau jual tampang, sampai di jalan tidak tahan melihat orang lain lari lebih kencang dari dia, dan demi nama baik terhadap kekasih yang melekat erat di belakang, gas ditekan bm ...! Pulang ke rumah dengan perban di kepala atau dalam peti tertutup! Masih bisa diampuni kalau yang jadi korban itu diri sendiri. Tapi kalau orang lain atau bahkan anak kecil yang tidak ikut-ikut, konyoll! Pernah terjadi, seorang anak yang tengah berdiri di pinggir jalan terbawa oleh Honda yang membelok terlalu tajam. Si Honda patah tulang, tapi anak itu naik ke surga saat itu juga.

Jaga pada hari Minggu paling tidak enak. Apa boleh buat! Dia sudah tukar giliran dengan Roy. Tentu bedebah itu sedang enak-enak dalam haremnya. Roy mempunyai tujuh belas perempuan dalam rumahnya: enam belas berkaki empat, cuma satu berkaki dua: istrinya! Rupanya dia mewarisi gedung mewah itu berikut tiga induk kucing yang dalam

waktu singkat sudah membiak begitu mengerikan.

"Habis! Bagaimana mengatur Keluarga Berencana-nya," kata Roy mengeluh.

Tok, tok, tok.

"Ya, masuk."

"Selamat siang, Dok."

"Selamat siang. Ada apa?"

"Ini, Dok. Nyonya Mursalim dari ruang empat. Mengeluh sakit perut."

Karmila menyambuti status yang diberikan Suster Nur. Hm. Adneksitis. Opnamc untuk kedua kalinya. Riwayat gonorrhae dua tahun yang lalu. Pengobatan pen-strepl, mborantia, ana/genk.

"Kemarin malam dia sakit juga?"

"Tiap hari, Dok."

"Hm, ya. Berikan saja novalgin. Pasiennya gelisah?"

"Tidak begitu, Dok."

"Boleh diberi kompres hangat. Kalau dalam dua jam masih sakit. lapor lagi."

"Baik, Dok. Terima kasih."

"Kembali."

"Belum makan, Dok?" tambah Suster Nur sambil tertawa.

"Oh, belum. Sudah waktu makan?"

Karmiila melihat arlojinya. Sudah pukul dua. Tapi dia belum lapar.

"Makanannya tidak enak, Dok?"

"Oh, tidak. Lumayan, kok. Telur. Ayam. Sup. Saya belum lapar."

Itulah kalau jaga hari Minggu. Teringat terus ke rumah. Orang-orang bebas pergi ke mana saja. Tapi dia dikurung dalam ruang empat kali empat meter. Dan bertanggung jawab pada entah berapa jiwa. Lucu. Dia tidak pernah tahu, berapa sebenarnya jumlah pasien di rumah sakit ini. Sudah tentu dia tinggal memanggil mantri dan menyuruhnya melihat catatan harian, tapi dia malas.

Sepuluh menit kemudian, telepon berdering.

"Hallo, ini dokter jaga. Apa? Oh, gila kau?! Bikin kaget saja."

Di ujung lain terdengar suara Feisal tertawa.

"Sedang tidur?"

"Enaknya! Aku belum lagi makan."

"Oh! Mau makan dari sini? Bibi membuat rendang."

"Tidak usah, Sal. Di sini juga lumayan, cuma belum lapar."

"Banyak pasien?"

"Untunglah tidak. Satu abortus. Satu perdarahan hamil tujuh bulan. Satu laki-laki muda tidak bisa kencing. Sal?! Kau masih di situ?"

"Ya, masih. Ada apa?"

"Hati-hatilah kalau jadi laki-laki!"

"Kenapa?"

"Nanti kau tidak bisa kencing!"

"Setan! Cemburu atau curiga?"
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dua-duanya. Eh, mana anak-anak? Mengapa sepi amat rasanya di situ?"

"Sepi? Tasia di sebelah kiriku. Fani di sebelah kanan. Keduanya dengan kepala menengadah dan mata membelalak. Siap mengambil alih telepon kalau ayah mereka selesai pacaran dengan ibu!"

Kamila menyuruh panggil anak-anak dan berbicara sebentar dengan mereka. Setengah tiga, dipaksanya untuk makan sedikit. Setelah itu dia berbaring.

Setiap waktu luang haruslah dipergunakan sebaikbaiknya. Siapa tahu nanti malam tidak ada waktu tidur. Memang jaga di rumah sakit tidak bisa membuat kita betul-betul tidur, akan tetapi berbaring-baring pun bolehlah. Tadi pagi dia sudah ronde ke seluruh bangsal. Ada dua pasien yang gawat. Satu kencing manis. Satu lagi sakit lever. Keduanya dalam coma. Berat rasanya hati kalau mendapat pasien di ambang maut begitu. Karmila mengira, hanya dia seorang yang selalu berdoa semoga pasien-pasien semacam itu meninggal di waktu pagi saja atau waktu giliran jaga orang lain. Ternyata Mariani, Astuti, Lina, Roy-dan mungkin yang lain-lain yang belum ditanyakannya berbuat serupa. Tidak enak

hati menyaksikan seorang anak gadis menangisi ibunya di hadapan kita atau menghadapi seorang anak yang menuntut keterangan sejelas-jelasnya mengenai kematian ayahnya yang berumur delapan puluh. Selain doa di atas, Karmila juga mempunyai doa lain: semoga tidak banyak pasien-pasien yang datang dan semoga tidak ada yang gawat.

Tidak heran kalau dokter-dokterr memegang rekor sebagai manusia-manusia yang paling cepat mati. Bekerja keras. Hati selalu dak dik duk menghadapi yang sakit payah. Tertolong atau tidak, tertolong? Atau ...'?! Kurang tidur. Pukul tiga pagi dibangunkan. Pasien di rumah sakit A yang terletak di ujung langit mau melahirkan segera. Atau, ada pasien baru dengan turun bem yang gawat, mohon konsul, mungkin perlu operasi segera. Sebelumnya, jangan dilupakan studi yang mahaberat. Tujuh tahun swasta kabarnya sepuluh sampai dua belas, belum termasuk kalau tidak naik membanting tulang, memeras otak, kurang tidur, senewen kalau mau ujian atau sementara menantikan hasilnya. Ya, hidup sebagai dokter bukanlah hidup yang patut dijadikan iri hati.

Karmila kadang-kadang heran mengapa dia menjadi dokter. Lebih enak kalau tidak. Ikut suami kemana-mana. Tidur semaunya. Tidak mendapat teguran dari Boss kalau di bangsal ada yang tidak

beres. Tidak usah menunjukkan senyum pura-pura di dalam kamar praktek kalau memang pikiran sedang kusut. Tidak usah mengatakan semua beres padahal tahu, orang itu hampir dijemput setan. Tidak sampai dikatakan mata duitan, meskipun untuk studi seluruh harta benda orang tua habis musnah guna biaya kuliah dan kos.

Setengah empat Karmila pergi mandi. Untunglah kamar mandi dokter masih terjamin kebersihannya dibanding dengan kamar mandi pasien-pasien. Meskipun air tidak jalan, kamar mandi dokter selalu cukup air. Menyegarkan mandi sore. Ngantuk yang tidak terpuaskan itu dapat dihilangkan dengan sepuluh gayung air.

Disisirnya rambutnya cepat-cepat dan diberinya berpita hitam. Sudah agak panjang. Sebenarnya dia lebih suka kalau dipotong saja lalu dikeriting dengan model terbaru, seperti Astuti. Tapi Feisal berkeras menghendaki dia memanjangkan rambutnya. Pada hari-hari biasa masih dapat disasaknya sedikit di bagian atas, sehingga tampaknya lebih dewasa. Tapi kalau jaga malam, tentu tidak dapat. Dokter diharapkan dandan sesingkat mungkin, satu atau dua menit.

"Itulah ruginya kalau dokter perempuan yang jaga," kata Roy dengan menyebalkan.

"Sebelum mandi, cleansing-cream. Setelah mandi, bedak, lipstick. itu yang minimal. Siapa tahu ditambah

eye-pencil, mascara, eye-liner, rouge."

Laki-laki memang kadang-kadang menyebalkan. Sudah tidak bisa pakai, dia iri. Setelah dia Ciptakan semua itu untuk memperpadat kantungnya, masih diejek-ejeknya orang yang menjadi langganannya. Tapi wanita juga tidak semestinya memberi kesempatan pada laki-laki untuk mengisyu-isyukan tingkah laku mereka. Wanita harus manis seperti gula, tenang seperti boneka, tapi bekerja seperti anjing.

Tok, tok, tok.

Karmila melempar sisir dan bedaknya ke dalam tasnya.

"Ya? Silakan masuk."

Pintu dibuka dan kepala mantri muncul sedikit.

"Pasien baru. Dok."

"Baik. Saya segera keluar."

Pasien itu berumur sembilan belas tahun. Rambutnya hitam, dikeriting model kuno. Ada darah sedikit di situ. Matanya terpejam. Tapi dia tidak pingsan. Badannya kokoh dan tegap. Tidak gemuk. Itu adalah tubuh yang biasa bekerja keras. Kakinya besar-besar. Betisnya gemuk, penuh bercak-bercak bekas kudis. Tapi mukanya bersih dan manis juga.

"Kapan ketabraknya?" tanya Karmila setelah membaca tulisan pada surat dari dokter luar.

"Barusan, Dok. Kebetulan di depan rumah dokter ini." kata seorang laki-laki.

"Hm. Dan Saudara yang menabraknya?"

"He, iya, Dok. Tidak sengaja," kata laki-laki itu kemalu-maluan.

"Semua juga bilang tidak sengaja. Mengapa sampai begitu? Dan Saudara tidak apa-apa?"

"Tidak, Dok. Habis, jalan di perempatan situ gelap sih."

"Tulis surat dong pada gubernur. Pak, saya minta lampu neon satu. Pasti dikasih."

Mantri tertawa. Semua tertawa. Kecuali pasien di atas brankar.

"Baiklah. Saya mau periksa sebentar."

Laki-laki itu dan Mantri Budi pergi ke luar. Karmila memeriksa gadis itu ditemani suster yang bertugas di kamar jaga.

"Untung tidak apa-apa," gumam Kamila.

"Tapi sebaiknya observasi dulu untuk luka kepalanya. Siapa tahu, cnmmotio. Suruh ko-as yang jaga di Bedah mengurus luka ini, ya Sus. Siapa yang jaga di sana?"

"Anu... Kak Toni dan Kak Freddy."

Karmila tersenyum melihat wajah suster manis itu menjadi merah. Memang mahasiswa-mahasiswa paling ahli untuk pura-pura jatuh cinta pada suster-suster yang manis-manis. Tinggal si kerudung putih yang patah hati ketika tahu-tahu si dia kawin dengan yang lain setelah mendapat ijazah.

"Masukkan ke sal, ya."

"Jadi tidak boleh pulang?"

"Jangan. Observasi dulu. Biar cross-boy itu yang menanggung biayanya. Kelihatannya mentereng pakai night-and day segala. Punya Yamaha tentu punya uang."

Karmiila kemudian ingat kembali akan pasien ini ketika sebulan kemudian, mantri di kamar jaga melaporkan bahwa korban dan cross-boy itu sudah berpacaran. Dasar jodoh! Harus pecah kepala dulu baru bahagia!

Ketika kedua ko-as masih asyik mereparasi kepala si nona manis, datang korban lain. Juga untuk ko-as Bedah.

"Nah, cukup satu lagi untuk merepotkan mereka," kata Kamiila, tersenyum pada Mantri Budi.

Doa itu terkabul pukul delapan lewat. Biasanya pasien-pasien kecelakaan jarang sekali datang setelah pukul delapan. Mungkin karena orang yang berada di jalan sudah sedikit atau karena hari sudah betul-betul gelap, sehingga cross-boy jalanan lebih berhati-hati, takut tidak ada hari esok lagi baginya untuk mencium kekasihnya di bawah pohon.

Pukul tujuh, Karmila ronde lagi ke seluruh bangsal. Di Kebidanan ada lima wanita yang tengah merintih-rintih menantikan bayinya. Di antara mereka terdapat seorang wanita Rusia yang menikah dengan mahasiswa Indonesia dari Universitas Moskow. Dia tidak dapat berbahasa Inggris atau pura-pura -tapi bahasa Indonesianya jempolan. Tata bahasanya baik. Dan suaminya, seorang laki-laki kecil, kurus, ternyata nyerocos terus omong Rusia.

"Panen, Sus?" tanya Karmila pada bidan di situ.

"Ya, Dok. Pusing kepala. Satu berhenti, nangis yang lain."

Karmila tertawa.

"Nanti kau juga begitu."

"Oh, saya tidak akan menjerit-jerit."

"Oh, ya?"

"Dok, anak yang paling kecil sudah bisa apa?"

"Oh, sudah bisa mencium ayahnya," sahut Karmila tertawa, sambil berjalan ke tangga loteng. Kedua pasien yang eoma itu tidak membesarkan hati sama sekali. Malah yang levernya sudah rusak itu ternyata plus jam sepuluh malam. Seorang wanita berusia tiga puluh lima. Suaminya masih muda dan tampak tidak terlalu bersedih. Mungkin istrinya sudah terlalu lama sakit, badannya sudah terlalu sakit, sehingga boleh jadi sudah lama dia tidak mengenal lagi kehangatannya sebagai wanita.

Tanpa perasaan apa-apa, Karmila menuliskan surat keterangan kematian. Kalau orang sudah terlalu sering berurusan dengan kematian dan kelahiran, maka cuma yang betul-betul jenius yang masih berhak merasa dirinya hebat. Yang lain itu cuma cacing-cacing yang dipelihara dan dicintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita merasa diri luar biasa kalau dalam sekejap mata Tuhan menunjukkan kepada kita kekuasaan-NYA? Seseorang, segar-bugar, pergi berjalan-jalan, tahu-tahu dibawa ke kamar jaga dalam keadaan pingsan dan lima menit kemudian mati. Mungkin ketabrak. Mungkin perdarahan tiba-tiba di otak. Seribu satu kemungkinan dan semua itu rahasia Tuhan. Karmila sudah sering kali menolong orang bersalin. Akan tetapi sampai saat itu, dia masih tidak habis-habisnya kagum melihat bayi yang merontaronta, entah dari mana dia. Dan masih tidak hilang-hilang rasa pilunya kalau melihat seorang ibu menangis karena bayi yang dilahirkannya sudah tidak bernapas. Ketika Tasia baru lahir, setiap malam sebentar-sebentar dia pergi ke kamar sebelah dan berdiri di situ sambil komat-kamit memuji kebesaran Tuhan. Suatu ketika dia tertangkap basah oleh Feisal.

"Sentimentil amat," komentarnya.

Karmila merasa malu. Pipinya dirasakannya panas waktu itu dan juga setiap kali dia teringat peristiwa itu. Biarpun begitu, tidak tertahan juga hatinya hendak kembali lagi. kembali lagi ke kamar sebelah, mengagumi Tasia. Akhirnya Feisal memindahkan tempat tidur Tasia ke kamarnya.

"Nah," katanya pada Karmila yang merah mukanya seperti kepiting direbus.

"sekarang engkau tidak khawatir ia hilang, bukan? Aku boleh memelukmu lagi?!"

Cuma orang gila yang tidak sadar akan kekuasaan dan kebesaran Tuhan!

Karmiila makan malam pukul delapan. Selesai makan, datang lagi telepon dari rumah.

"Aku masih hidup," katanya tertawa.

"Hm, ya. Engkau tidak pacaran dengan salah seorang dokter atau ehm... mantri?!"

"Feisal" Bagaimana engkau dapat mengatakan itu?"

"Mmmmm, engkau selalu bilang, cinta itu apa, Mil, cinta itu? Aku lupa lagi,"

"Cinta zaman sekarang penuh pertimbangan. Kayakah calon mertua? Terhormatkah calon suamiku? Yah, kalau ada duda kaya yang tidak beranak, boleh juga!"

"Ingatlah! Perempuan yang sudah beranak dua itu susah laku!"

"Siapa yang mau bawa-bawa anak? Sudah tentu mereka tinggal denganmu!"

Feisal masih mau meneruskan polemik itu sampai dia menang, tapi Karmila cepat-cepat memutusnya.

"Ingatlah ini telepon rumah sakit, Bung! Selama semalam ini, aku direktur di sini dan aku

keberatan kalau telepon rumah sakit dipergunakan untuk urusan pribadi !"

"Oke, Dok," kata Feisal menurut.

"tapi katakanlah sebentar selamat malam pada kucing-kucinginu yang sudah menanti di sini."

Kamila merasa amat terhibur dengan telepontelepon dari rumahnya. Sejak insiden yang kurang menyenangkan dua bulan yang lalu, Feisal sudah kembali seperti semula. Karmila tidak mau pusingpusing memikirkan apakah suaminya mencintainya atau cuma membutuhkan kehadirannya bagi anak-anak. Selama dia baik dan lembut padaku, pikirnya, aku tidak peduli embel-embel lain. Selama dia tidak memikirkan wanita lain, semuanya beres. Setelah orang menikah beberapa tahun, biasanya cinta itu sudah pudar. Yang tinggal cuma pengertian dan toleransi. Kalau ada keduanya, perkawinan akan bertahan. Pengertian itu jauh lebih manis dari cinta. Sebab cinta itu disertai cemburu, kadang-kadang malah beracun. Seperti

Tok, tok, tok.

"Ya? Silakan masuk.

"

Kamiila melompat turun dari tempat tidur sebelum kepala mantri itu muncul di pintu.

"Pasien baru, Dok."

"Oke."

Dipakainya lab-jas yang tergantung di belakang

pintu.

Dilihatnya arloji. Setengah sebelas. Ya Allah. Semoga dia tidak gawat. Biasanya cuma orang-orang yang sudah sangat payah yang dibawa malammalam.

"Selamat malam, Dokter," kata pasien itu dengan suara nyaring.

"Selamat malam."

Gadis atau wanita itu ditaksirnya kira-kira tiga puluh tahun kemudian ternyata dia salah, kartu penduduk menyatakan dua puluh dua-amat kurus. dan mempunyai kepribadian histeris. Jelas terlihat dari gerak-genk dan suaranya. Luar biasa kurus. Pasti tidak lebih gemuk dari Yahudi-yahudi tawanan Nazi.

"Silakan duduk."

"Terima kasih, Dokter."

"Ada apa malam-malam kemari? Kan lebih enak di rumah?"

"Ya, habis ...!" Sebelum dia sempat menyambung, laki-laki di sebelahnya sudah buka mulut,

"Istri saya ini mengalami perdarahan, Dokter. Datang bulannya tidak teratur ..."

Jadi ini istri Saudara, tanya Kannila dalam hati. Astaga! Cuma tulang-tulang belaka! Apakah suaminya tahan tidak main mata di luar?

"Sudah berapa lama?"

"Sejak kawin, Dokter."

"Jadi berapa lama?"

"Hampir setahun, Dokter."

"Hampir setahun?! Baik. Sekarang perdarahan lagi ?"

"Tadi siang, ya. Tapi sekarang sudah stop, Dokter."

"Mengapa dibawa malam-malam begini? Kan pagi-pagijuga bisa?"

Laki-laki itu menunduk, tertawa.

"Saya repot, Dokter. Sebenarnya maksud saya, mau dibawa besok pagi, tapi dia mau juga sekarang."

"Sebelumnya ini, sudah pernah berobat?"

"Belum. Belum, ya?" tanyanya pada istrinya, tapi perempuan itu tidak memperhatikan kata-katanya.

"Rasanya belum, Dokter. Cuma makan jamujamu saja."

"Baiklah. Akan saya periksa dulu. Silakan Saudara menanti di luar."

"Baik, Dokter."

Meskipun dia berlaku sopan berlebih-lebihan, masih tertangkap oleh mata Kamila, bahwa Iaki-laki itu agak genit. Istrinya begitu lusuh tapi sang suami luar biasa perlente. Sang istri memakai selop butut, tapi sepatu suami putih bersih. Ada sesuatu pada sepatu putih laki-laki yang tidak disukainya. Mungkin itu mengingatkannya pada bintang-bintang film yang gemar main cinta. Karmila tidak menyukai laki-laki bersepatu putih, kecuali kalau itu sepatu tenis.

Begitu pintu ditutup oleh sang suami, wanita itu langsung menangis.

"Tolonglah, Dokter. Saya mau tinggal disini. Saya tidak mau pulang."

"Kenapa?" tanya Karmila sambil menolong suster membukakan bajunya. Betul-betul tulang melulu. lga-iganya dengan mudah dapat dihitung. Debur jantungnya terlihat nyata.

"Suami saya terlalu memaksa saya. Tadi juga. Saya takut, Dokter. Saya mau dirawat saja."

"Mengapa takut?" tanya Karmila sambil dengan cepat memutar otak-ini bukan kasus kebidanan tapi...

"Dia selalu mau memasukkan itunya ke sini." Dan ditunjuknya tempat yang dimaksudnya.

Karmila mengangguk dengan penuh simpati dan melanjutkan pemeriksaannya dengan serius, padahal dalam hati -astaga dia ingin juga tertawa seperti suster di sampingnya.

"Bukankah Nyonya sudah menikah hampir setahun? Mengapa takut terhadap suami Nyonya?"

"Habis. Dia selalu memaksa. Bukan satu kali. Tapi terus-menerus. Saya sampai kesakitan. Tapi dia tidak peduli."

Tentu kesakitan, sebab cuma tulang-tulang melulu.

"Apakah Nyonya sejak dulu kurus begini?"

"Tidak, Dokter. Saya dulu gemuk sebelum kawin

"Segemuk apa? Berapa kilo?"

Tapi wanita itu tidak dapat menjawabnya.

"Oke. Saya ingin tahu, apakah sejak dulu Nyonya merasa takut terhadap suami Nyonya?"

Karmila kembali ingin tertawa dalam hati. Ampuni aku, Tuhan. Bagaimanapun, aku cuma seorang manusia biasa. Sudah tentu aku akan menghormati setiap pasien, tapi izinkanlah aku tertawa dalam hati. Bayangkan kalau Feisal tahu ini! Takut terhadap suami? Takut terhadap cintanya? Aku hampir mati merindukan Feisal, sekarang ini!

"Sebelum kawin, tidak."

"Sebelum kawin?!"

"Apakah Nyonya sudah bercampur dengan suami sebelum menikah?" tanyanya dengan amat hati-hati.

Tanpa raguragu, pasien itu mengangguk.

"Seringkali, Dokter. Saya dipaksa dan dibujuk."

Pasien itu menangis. Karmila memegang tangannya dan mengguncangnya perlahan-lahan.

"Ya, ya, saya mengerti. Tapi sekarang Nyonya sudah menikah. Segalanya sudah beres."

"Tapi apakah saya akan dirawat di sini?"

"Ya, saya rasa sebaiknya begitu. Nyonya terlalu lelah. Jiwa dan badan. Di sini Nyonya dapat beristirahat. Badan Nyonya akan bertambah gemuk ...."

"Tapi saya tidak mau menjadi gemuk! Suami saya tidak menyukai hal itu!"

Masya Allah!! Takut terhadap suami tapi menyiksa diri untuk menyenangkan hatinya! Sampai tinggal tulang-tulang melulu.

"Baiklah. Saya akan bicara dengan suami Nyonya."

"Jangan biarkan dia membawa saya pulang, Dokter," kata perempuan itu dengan iba.

"Dia selalu mau memasukkan itunya kemari!"

"Ya, ya."

Karmila cepat-cepat masuk ke kamar lain di mana dia biasa menerima pasien-pasien.

"Bagaimana, Dokter?" tanya laki-laki itu, langsung bangkit dari bangku panjang di tembok sebelah kanan.

"istri Saudara tidak apa-apa," katanya sambil duduk di belakang meja,

"cuma sedikit lelah, jiwa dan badannya."

"Maksud Dokter, dia sakit jiwa?"

"Saya belum berani mengatakan hal itu. Saya rasa, tidak sehebat itu. Tapi dia perlu istirahat. Di sini."

"Baik, Dokter. Baik. Baik." Laki-laki itu mengangguk-angguk terus, sehingga Karmila muak melihatnya.

"Saya ingin tahu, mengapa dia sampai sekurus itu? Pernah sakit hebat?"

"Setahu saya, tidak. Tapi selalu makan sedikit." Ya, sebab engkau tidak suka kalau dia gemuk!

"Apakah ada kesulitan dalam bercampur ?"

"Tidak, Dokter," jawabnya tegas.

Bagus!

"Apakah Saudara berdua pernah bercampur sebelum menikah? Saya tanyakan ini sebab tampaknya istri Saudara pernah mengalami shock dalam hal seks."

"Oh, begitu, Dokter? Tapi... tidak, itu tidak pernah kami lakukan," jawabnya tanpa ragu-ragu.

Berdusta eh, Monyet!!

"Apakah Saudara terlalu sering bercampur dengan istri Saudara? .juga waktu dia tidak menghendakinya?"

"Tidak, Dokter. Sama sekali tidak," sahut Iaki-laki itu dengan gagah dan tangkas.

palamu, tidak! Bagaimana dia bisa ketakutan, kalau tidak??!

"Baiklah. Saya minta supaya istri Saudara dirawat di sini. Silakan minta keterangan pada Pak Mantri."

"Berapa lama. Dokter?"

"Itu tergantung keadaan istri Saudara. Sudah pasti lebih dari dua-tiga minggu."

"Baik, Dokter. Terima kasih, Dokter. Selamat malam, Dokter."

Karmila mengangguk. Playboy itu melangkah ke luar sambil pasang senyum, seakan-akan dia baru mendapat anak dan bukan mau memasukkan istrinya yang sudah setengah gila. Berani taruhan Karmila, laki-laki itu tidak langsung pulang, tapi mencari rumah berlampu merah dulu. Itulah untungnya kalau suami gemar baca cow-boy. Biarkanlah dia membeli dua puluhjilid yang tidak kau mengerti -jangan kritik dan dia akan mengurung diri di rumah selama mungkin. Setiap kali dia menamatkan sejilid, dia akan merasa dirinya setingkat dengan Adams Cartwright atau siapa pun juga nama pahlawan yang baru dikenalnya, yang patut mendapat ciuman. Berilah dia cium. Itu sama sekali tidak berbahaya.

Pukul setengah dua belas, telepon berbunyi lagi. Tapi Karmila tidak mau mengangkatnya. Malam sudah terlalu sunyi. Tidak enak kalau terdengar mantri yang duduk di luar, apa-apa yang diperbincangkan dokter jaga dengan suaminya. Memang Dokter Lina biasa berjaga bersama suaminya. Tapi, itu karena suaminya juga dokter di sini dokter senior yang tidak usah jaga malam.

Setelah berdering tiga kali telepon diam. Suasana amat sunyi. Karmila membaringkan diri tapi tidak dapat tidur. Dilemparnya jurnal di tangannya lalu diraihnya Intisari. Dia gemar juga membaca majalah itu, tapi penulis-penulis di dalamnya 60% selalu menulis tentang: Pengalaman saya seminggu di Amerika; Kesan-kesan saya selama tiga hari di Kongo; atau Khanum, seperti yang saya lihat; atau Singgah dua jam di negeri Antah-berantah; dan lain-lain negeri asing yang oleh kebanyakan rakyat di sini belum dapat dikunjungi sama mudahnya seperti mereka mengunjungi kampung halaman keluarga. Sehingga memberi kesan, Intisari cuma diisisebagian besar oleh orang-orang yang pernah ke luar negeri satu atau dua kali, lalu ingin mendapat kesempatan menunjukkan bahwa aku sudah pernah ke Anu, aku tahu makanan spesifik di sana, aku melihat Ratu sekilas, Aku bertemu dengan Shah dan bicara lima menit dengan dia.

Karmila lebih setuju dengan policy Readeris Digest yang lebih mengutamakan kesan-kesan paling dalam dari seseorang selama hidupnya di dunia, atau apa yang menyebabkan dia sukses sekarang, atau apa yang telah mengubah jalan hidupnya semula sehingga membelok ke arah lain. atau wawancara dengan orang-orang terkemuka untuk mengetahui resep bagi sukses-sukses mereka, atau mengadakan

ruang First Person Award.

Memang, melihat Niagara itu suatu hal yang patut dikenang dan dibanggakan, tapi itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat dilakukan juga oleh orang lain. Sebaiknya rubrik pengalaman-pengalaman di luar negeri itu dikurangi -katanya pada suatu kali ketika Feisal tengah membaca hal semacam itu.

"Ah, banyak mulut. Pimpinlah sendiri! Aku tanggung. isinya melulu tentang rahasia dapur!"

"Ya, habis! Beribu-ribu orang pernah ke tempat yang sama, cuma mungkin tidak ada yang pandai mengarang. Tapi hanya satu yang pernah menjadi Onassis, kalau engkau mengerti apa maksudku!"

"Kalau engkau tidak suka, jangan baca!"

"Aku suka. Aku suka. Di sini, belum ada majalah lain yang dapat menandingi Intisari seperti juga Reader s Digest untuk luar negeri. Tapi Intisari kurang humor. Life in Indonesia. Aduh! Pasti tergesa-gesa orang menulis tentang itu. Life in Indonesia kan aneh! Listrik disegel masih bisa jalan terus. Rekening air seribu lebih tapi setetes pun tidak keluar. Telegram Jakarta-Surabaya bisa tiba sebulan kemudian, yang ditelegram datang, yang menelegram sudah di dalam tanah! Coba!"

Karmila tersenyum sendiri membalik-balik majalah yang paling representatif di seluruh Indonesia. Itu pendapat banyak orang. Apa yang belum aku

baca, pikirnya. Sebelum kelahiran Tasia, dia selalu membaca habis-dengan meninggalkan satu-dua rubrik yang tidak disukainya-Intisari dalam beberapa jam. Dan setelah itu kembali lagi membuka majalah-majalah lain sementara menunggu bulan depan di mana dia terbit lagi.

Mungkin terlalu tipis atau dia sendiri yang hantam krama kalau membaca. Karmila tidak pernah melepaskan buku yang dibacanya sebelum betulbetul tamat. Sebelum kawin, itu hal biasa. Mandi pukul sembilan, tidak apa-apa. Rumahnya cukup demokratis. Tapi setelah kawin, sudah tentu ada Bos-s yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Kalau dia mau pergi menonton, terpaksa kita ikut, meskipun John Steinbeck memanggil-manggil dari sudut.

Nah, ini pikirnya. Tentang penyanyi Bernhard yang masyhur itu. Dia sudah membacanya dulu, entah di mana. Sudah lupa isinya. Teringat penyanyi, teringat piano. Feisal mau membelikan piano untuk Tasia. Sudah tentu ibunya dulu yang akan belajar. Dan Fani juga. Tidak peduli ayahnya tidak setuju, anak laki-laki main piano. Sebab piano itu merupakan tranquilizer yang mujarab. Ketika dia belum kawin, dia biasa lari ke piano kalau susah, misalnya ujian gagal. Kalau orang menyukai musik. dia sukar sekali mengalami patah hati. Itu pengalaman. Karena itu kalau Susi mau masuk Akademi Musik.

dia yang pertama-tama akan menyokong. Susi pandai main piano, tidak goblok seperti kakaknya yang cuma lahu pegang jarum suntik tiga ratus rupiah saja!

Karmila membuka matanya dengan paksa. Aduh, ngantuknya! Itulah sengsaranya jaga malam. Amat mengantuk tapi tidak bisa tidur. Karmila tidak habis heran. bagaimana Mariani selalu dapat tidur nyenyak kalau jaga. Mungkin itu sebabnya mengapa badannya begitu gemuk.

Diraba-rabanya tempat tidur. Astaga! Intisari Dokter Parera yang jaga kemarin sudah kusut tertindih. Mati aku. Terpaksa mengaku dosa, mana Parera begitu rapi. Dia bangkit sebentar untuk melelakkannya di alas meja lalu berbaring lagi. Jam berapa sih? Dilihatnya arloji. Aduh, Tuhan, baru jam satu. Tidur tidak dapat. Pagi, masih lama.

Pikirannya melayang ke rumah. Enak Feisal. Boleh tidur malang-melintang. Apakah anak-anak meminta minum? Dongeng apa yang telah dibacakan ayah mereka? Apakah Feisal memakai bantalku lagi? Awas saja! Karmila tidak suka the Dutch " ife, bantal guling. Anak-anak sejak bayi dibiasakan tanpa guling. Feisal yang mempunyai banyak guling di rumahnya, terpaksa mengalah juga. Tapi setiap kali Karmila jaga malam, bantal istrinya dijadikan

guling. Hal itu sama sekali tidak disukai Kamila. Pernah untuk beberapa lamanya, dia menitipkan bantalnya ke kamar Bibi. Feisal menertawakannya. Karena malu, hal itu tidak dilakukannya lagi.

Karmila memandangi langit-langit kelambu dokter mendapat kelambu seperti pasien-pasien VIP dan terbayang olehnya Dokter Nila. Cantik. Kaya. Pandai luar biasa. Tapi sendirian. Apa enaknya hidup sendirian? Biarpun kaya setengah mati? Biarpun semua laki-laki mengagumi kepandaiannya? Sendirian. Menakutkan. Tidak terbayang oleh Karmila. Makan sendiri. Ke bioskop sendiri. Tidak ada yang mengajaknya berdebat, bertengkar. Tidak ada anakanak yang selalu bikin ribut. Tidak ada boneka yang harus dijahit kupingnya. Mengerikan. Karmila berbalik menghadap tembok dan menendang guling itu sejauh-jauhnya. Dia tidak mengerti mengapa dokter-dokter diberi guling.

Dari luar terdengar suara-suara. Mungkin beberapa mahasiswa mengajak mantri dan suster main remi. Mahasiswa paling pandai mengambil hati paramedis. Membelikan rokok, traktir baso, dan seribu satu akal lain. Sehingga kalau ujian tiba, dia dapat bertanya dengan lagak acuh tak acuh,

"Pasien saya sudah disediakan makannya?"

"Sudah, Kak," jawab paramedis itu,
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"tinggi protein."

"Ah, nephrolic syndrom, kalau begitu," katanya dalam hati sambil tertawa, tapi dengan lagak tidak peduli. Makin lama makin samar suara-suara itu sampai ke telinganya dan akhirnya dia tidak mena dengar apa-apa lagi, meskipun cuma tidur-tidur ayam. Pukul empat dia terjaga. Lalu tidak dapat tidur lagi. Pukul lima dia mandi. Dilihatnya mukanya lusuh. Atau cerminnya yang kurang baik, barangkali. Dia tertawa dalam hati.

Pukul enam nanti, akan dibangunkannya Feisal. Kalau dia tidak mau bangun, aku suruh Tasia mengisi mainannya dengan air dan menyiramkannya ke muka ayahnya, seperti yang dilakukannya di kebun.

Setelah selesai menyisir, dengan bedak dan lipstick, dia duduk mengisi buku laporan dokter. Pukul enam kurang lima telepon berdering. Karmila menyumpah-nyumpah. Setan! Rupanya dia sudah bangun lebih dulu.

"Hallo! Sudah bangun rupanya kau, ya! Oh! Sorry, Dok. Apa kabar?"

"Bagaimana pasien-pasien saya?" tanya Dokter Parera.

Kamila cepat-cepat mengerling ke arah buku laporan paramedis.

"Dua sudah melahirkan. Wanita Rusia itu! Belum, Dok. Pembukaan masih tiga jari."

"My God! mesti apain, dan? Sudah lama di VK.

Ya, deh. Trims. Sudah mandi?"

"Tentu, dong. You belum, ya?"

Pukul setengah tujuh, Karmila ronde lagi sebelum ada dokter-dokter datang. Pasien-pasien kebanyakan tenang. Tapi yang coma diabeticum itu kelihatannya terlalu tenang. Asal saja dia dapat bertahan beberapa jam lagi, doanya. Jaga malam itu berakhir jam delapan.

Jam setengah delapan Feisal dan kucing-kucingnya menelepon. Rutin. Selamat pagi. Love you! i Iove_iou.

"Minta dijemput jam berapa?"

"Biasa. jam setengah satu."

"Oke. Aku mau ke kantor."

"Hei, tunggu. Kau bangun jam berapa?"

Feisal cuma tertawa gelak-gelak. Setan, pikir Karmila sambil meletakkan telepon. Seharian itu tidak banyak yang dikerjakannya. Dia sudah ingin pulang. Tidur. Mariani mengontrol pasien-pasien untuknya. Mereka biasa melakukan hal itu bergantian. Sehingga yang habis jaga, boleh beristirahat di kantor. Kecuali kalau ada case dari Boss. Semua mesti hadir.

Untung sekali, hari itu Boss agak lesu. Jadi beliau juga mau pulang secepat mungkin. Pukul dua belas semua sudah bubar. Tidak ada pasien gawat

Karmila cepat-cepat keluar. Kalau mobilnya belum datang, biarlah dia naik ambulans. Bayar bensin, kata Boss tertawa. Boleh, Lima rupiah? Ah! Untung Salam cerdik. Di lambainya Mariani supaya ikut.

"Untung kau sudah datang, Salam," katanya memuji.

"Ya, Nyonya pesan setengah satu. Saya piker biarlah lebih siang tidak apa. Lagi pula Tuan tidak perlu ke mana-mana. Saya ingat, kalau habis jaga, Nyonya mau pulang cepat-cepat."

Karmila tertawa. Engkau cerdik seperti setan, bukan? Akan kita lihat apakah engkau cukup cerdik untuk mencuri hati Minah.

Karmiila makan cepat-cepat lalu menuju ke kamar.

"Pepayamu," seru Bibi Emi.

"Bangun tidur," sahutnya hampir tidak kedengaran.

Fani tengah menyusun balok-balok bersama adiknya.

"Jam dua, tidur ya, Fan? Ajak Sisi."

"He-eh."

Karmila berbaring dan sekejap mata sudah mimpi.

Bel pintu berbunyi. Pos. Pos. Bibi berlari-lari dari dalam.

"Untuk Mama. Fan. Bawa ke kamarnya."

Fani menyambuti surat itu lalu pergi ke kamar ibunya.

"Mama, ada surat. Mama " Oh, sudah tidur.

Fani meletakkan surat itu di atas meja rias lalu sambil menggigit bibirnya, pelan-pelan ditutupnya pintu.

Karmila tidur nyenyak sekali sehingga suara Astuti yang nyaring itu pun tidak mampu membangunkannya. Dia terjaga ketika dirasanya pipinya dibelaibelai orang.

"Huh," keluhnya lalu membuka mata,

"Kau!"

Tasia tertawa sambil membelai ibunya sekali lagi lalu mundur, berlindung pada ayahnya.

"Aku tidak pernah dibiarkan tidur sampai puas!" gerutunya.

Dia tahu, Feisal yang membawa anak-anak kemari. Mungkin juga dia yang menyuruh Tasia...

"Bangun, Nyonya. Ada surat untukmu." Feisal melemparkan sepucuk surat kepadanya. Karmila membiarkannya jatuh ke tempat tidur.

"Aku mau mandi dulu. Tolong ambil dasterku, Sal."

Feisal mengambil sembarangan, yang terletak paling atas.

"Jangan itu. Kancingnya hilang. Yang lain. Hijau tu."

"Susah amat. Di bawah!"

"Astaga! Jangan diaduk, Boss! Sekretaris sedang cape. Aduh!!" Tiba-tiba hilang ngantuknya. Dia melompat turun lalu mendorong Feisal ke samping. Ambil baju saja tidak becus"

Malam itu amat menyenangkan. Semua gembira sebab Mama sudah ada di rumah. Karmila merasa bangga akan itu dan dengan sedikit merasa berdosa, tiba-tiba teringat olehnya Edo yang kesepian. Entah di mana dia. Boleh jadi sudah kembali ke Australia.

Anak-anak bermain kerbau-kerbawan. Kerbaunya cuma satu: ayah. Gembalanya dua. Caesar mau juga jadi kerbau, tapi dia cuma boleh dinaiki oleh Tasia. Fani terlalu berat. Setelah sang kerbau kehabisan napas, terpaksa dia disuruh istirahat saja. Dan gembala-gembala segera naik ke atas kursi, siap untuk mendengarkan fabel si Kancil. Kerbau yang kecapean itu mengubur diri di belakang surat kabar.

"Malam ini apa ya... Kancil dengan buaya? Sudah pernah?"

"Belum," seru Fani

"Lum," beo adiknya.

Bibi Emi sebentar-sebentar tersenyum sambil menisik kain sarungnya. Bibi selalu menemukan pakaian yang rusak, untuk diperbaiki tiap malam.

Heran.

"Yang sudah, apa? Masih ingat?"

Fani berpikir keras. Tasia memandang kakaknya lalu memutuskan untuk menunduk juga seperti dia.

"Kancil dengan harimau. Sudah?"

"0 ya, sudah!"

"Dah!"

"Kancil pencuri mentimun?"

"Sudah."

"Dah!"

"Kancil... Kancil dengan gajah?!"

"Dah!" kata Tasia cepat-cepat lalu memandang kakaknya. Nah, kali ini aku yang lebih dulu menjawab!

"Ya, sudah," sahut Fani dengan lagak orang dewasa. Biarlah anak kecil menjawab lebih dulu. Kasihan dia.

"Kancil dengan buaya?"

"Dah... eh... lum!"

Belum! seru Fani menepuk adiknya, kau salah. Anak-anak mendengarkan dongeng itu dengan mata terbuka lebar-lebar. Masing-masing tidak mau menunjukkan bahwa dia mengantuk. Kalau yang satu mau menguap, lekas-lekas dia menengok yang lain dan melihat mata-mata yang membelalak itu, ngantuknya bilang. Karmila melihat itu, maka diperpendeknya ceritanya. Lalu dibawanya anak

anak itu gosok gigi.

"Oh..." kata Tasia, mengulurkan Moli. Matanya sudah kecil. Tapi mengatakan Moli tidak perlu gosok gigi, agak berbahaya. Jadi cepat-cepat didudukkannya boneka itu di atas wastafel lalu ssrrt... ssmt...selesai.

Setelah anak-anak tidur, Karmila kembali lagi ke depan. Bibi masih menisik.

"Belum mau tidur, Bi'?"

"Mau, habis ini."

"Biarkan si Minah mengerjakan itu."

"Oh, jahitannya kasar. Sal, mana kaus kaki yang kaukatakan robek itu?"

Feisal menggaruk-garuk kepalanya sambil menyeringai melihat istrinya marah.

"Saya akan memperbaikinya nanti. Tidurlah Bibi sekarang."

"Tidak apa-apa, Bibi sekalian menjahit."

"Oh, sudahlah. Itu urusan saya. Bibi selalu memegang semua pekerjaan."

Bibi Emi tertawa.

"Aku sudah biasa bekerja. Apalagi sekarang, setelah pamanmu tidak ada.... Bekerja itu penting untuk menghindarkan lamunan yang bukan-bukan."

"Nantilah, Bibi sulam baju Sisi untuk ulang tahunnya. Saya belum sempat menggunting."

Bibi Emi senang sekali mendengar usul itu. Dia

ahli menyulam. Semua taplak meja di rumah itu disulamnya.

"O yaa. Mil, masih punya itgapj'rin?"

"Entahlah. Kenapa? Kambuh lagi rematik Bibi?"

"Rupanya begitu."

"Itulah. Kalau pagi, mandi dengan air panas. Mau sekarang?"

"Boleh. Bibi mau tidur."

Karmila bangkit tapi ditahan oleh Feisal.

"Hei, dengarlah! Pegawai PN Damarwulan ditahan karena ternyata korupsi seratus lima puluh perak! Ha... ha ha... yang punya lima ratus dollar di Swiss, enak-enak saja, tidak diapa-apakan!"

"Dan kau! Sudah korupsi sepuluh juta uang bapakmu, belum-belum juga ditangkap!"

Karmila masuk ke kamar diikuti bibinya. Diambilnya sebuah botol dari atas lemari.

"Untunglah masih ada lima. Ambillah semua, Bi. Besok saya bawakan lagi."

"Iya, ya. Engkau juga lebih baik tidur sekarang."

Karmila mengangguk. Ketika dia mau membereskan tempat tidur, dilihatnya sampul itu. 0, ya. Surat dari mana ini. Dia melompat ke atas pembaringan, lalu menyobeknya.

Nyonya Karmila yth., Sebenarnya saya tidak mau mencampuri urusan

yang tidak menyangkut diri .saya. Akan tetapi melihat Nyonya begitu baik terhadap suami Nyonya. saya tidak dapat berdiam diri saja. Saya tahu betul, ini bukan urusan saya. Kalau orang mau mempunvai istri sepuluh, apa peduli saya. Akan tetapi jangan dikira terlalu masa bodoh,

tidak semua laki-laki bisa dipercaya. Kalau nyonya kurang percaja surat ini, tanyakanlah pada suami Nyonya, ke mana dikirimnya tunjangan tiap bulan itu dan siapa nama anak laki-lakinya yang pertama, dan berapa gadis yang sudah bunuh diri karena perbuatannya.

Kesannya yang pertama-tama adalah ingin tertawa! Lucu! Zaman sekarang masih ada surat-surat kaleng semacam itu! Lucu! Karmila betul-betul ingin tertawa. Tapi sebelum itu dilakukannya, tiba-tiba masuk pikiran lain. Orang ini, kalau tidak gila tentu musuh Feisal. Ya, mestinya ini orang gila! Tapi gila atau tidak, betulkah isi suratnya? Anak

pertama?! Sudah tentu bukan Fani yang dimaksud. Mungkinkah dia sudah mempunyai anak sebelum bertemu dengannya? Dia tahu siapa Feisal dulu-dulu. Dan mengenai gadis-gadis yang bunuh diri... betulkah zaman sekarang masih ada hal-hal serupa itu? Betulkah masih ada gadis-gadis yang setolol itu? Tapi persoalannya, betulkah ada yang bunuh diri? Dan Feisal tidak tahu? Dan mengenai anaknya yang pertama?

Dari luar terdengar langkah-langkah orang. Secepat kilat Kamila bangkit lalu menyembunyikan surat itu di bawah tumpukan baju-bajunya.

"Mil, aku ingin minum coklat."

"Ah, bikinlah sendiri. Kau kan sudah besar!"

Feisal menggerutu tapi keluar juga.

"Dan jangan lupa. untukku segelas!"

ketika mereka tengan berbaring diam-diam, feisal tiba-tiba menanyakan surat tadi.

"Alaa...apalagi yang biasa ditulis si Lisa?" tanya Karmila, acuh tak acuh.

"Tentu urusan dapur. Si Nero sudah bisa ini, sudah bisa itu."

"Waw! Anak pertamanya dinamakan Nero? Hebat amat!"

"Siapa yang bilang itu anaknya? Nero adalah terrier-nya!"

Kamila ingin sekali menamparnya mendengar tertawanya yang begitu gembira. Hampir tidak dapat ditahannya untuk tidak melemparkan surat itu ke muka suaminya.

"Sal", katanya, seakan-akan cuma iseng,

"kalau aku dulu bunuh diri, apakah engkau akan mencari korban yang baru?"

Feisal terdengar bergerak sedikit. Tubuhnya menjadi kaku.

"Apa-apaan tanya begitu?"

"Ah, tidak apa-apa. Cuma tanya."

"Mesti ada apa-apa."

"Tidak ada apa-apa. Kenapa sih? Kau tampaknya kaget amat?!"

"Bukan kaget. Tapi, aneh kan tanya-tanya seperti itu! Betul, tidak ada apa-apa?"

"Betul."

"Sungguh mati ?"

"Sungguh mati!"

"Sumpah?"

Kamila memejamkan matanya lalu tersenyum. Tangannya meraba-raba sampai tertangkap olehnya hidung Feisal. Dipijitnya.

"Aku cuma bersumpah di depan altar dan di depan hakim!" bisiknya.

"Tapi tidak ada apa-apa. bukan?" tanya Feisal menegaskan untuk kesekian kalinya.

"Tidak ada apa-apa."

Tapi itu bohong. Justru sikap Feisal tambah membuatnya curiga. Dia tidak tahu bagaimana harus membuatnya mengaku. Karmila tidak biasa menuduh orang di depan hidungnya lalu mendengarkan pembelaan sepanjang seratus kaki. Paling-paling dia akan memikirkannya sampai taraf tertentu di mana dia dapat mengambil kesimpulan sendiri atau membiarkan keadaan menyelesaikannya seperti adanya.

Sejak saat itu, dia memandang suaminya dari dua sudut. Tidak pernah lagi sepolos seperti dulu. Di tengah-tengah gelak tertawa, sekonyong-konyong dia teringat akan surat itu dan dipandangnya Feisal dengan tercengang. Bila dilihatnya suaminya menelungkup di lantai menyaksikan kereta apinya bersama Fani, di belakang otaknya timbul pertanyaan: bagaimana dengan anaknya yang lain? Tidak pernah diajaknya bemrain-main? Dan bagaimana rupa ibunya? Atau, itukah gadis yang bunuh diri? Kalau begitu siapa yang merawat anak itu? Dan disekolahkan di mana?

Pertanyaan-pertanyaan serupa itu berputar-putar terus di kepalanya, membuatnya betul-betul pusing. Dia amat ingin membicarakannya dengan

Feisal. tapi pada saat terakhir selalu bilang keberaniannya. Bagaimana kalau Feisal menantangnya dengan,

"Kalau tidak suka, tinggalkan aku dan anak-anak!" Atau, bila dia pergi meninggalkannya dan hidup bersama yang lain itu. Tapi kalau anak itu tidak beribu, Di sini ada ayahnya, sedahg dia, well, dia tidak akan menjadi ibu tiri yang kejam. Seorang anak laki-laki umumnya tidak cemburu terhadap ibu tirinya. Tapi, apakah dia, laki-laki? Bagaimana kalau anak pertamanya itu perempuan? Apakah dia secantik Tasia? Apakah... ya. Allah, rasa pecah kepala saya! Berbulan-bulan keadaan itu berlangsung terus. Feisal tidak sadar akan hal itu atau tidak menunjukkanya. Namun Karmila diam-diam memperhatikannya dengan lebih serius. Entah apa yang diharapkannya dari pengamatan itu. Mungkin sebuah bukti. Kalau bukti sudah ada, mau apa, tanyanya pada diri sendiri. Dia tidak pernah dapat menjawab.

Diam-diam dicatatnya hari anu dia pulang malam, kemarin dulu dia hampir tidak makan, besok mungkin dia akan berangkat pagi-pagi seperti yang dilakukannya beberapa hari yang lalu.

Pada hari Selasa itu, datang ke kamar prakteknya Lili dan pacarnya. Karmila ingat dia tapi lupa siapa namanya.

"Oh ya, kau kan ..."

"Betul, Dokter. Saya Lili."

"Ya, ya, sudah tentu engkau Lili. Duduklah. Duduklah."

Kedua tamu itu duduk lalu saling berpandangan beberapa kali.

"Ada apa, Lili?"

"Eh... eh... anu... anu... Dokter "

Karmila mengalihkan pandangnya pada pemuda di sebelahnya, seakan-akan menyuruhnya membantu Lili. Pemuda itu kurus. Air mukanya serius. Matanya jernih tapi agak sayu. Dia mendehem melihat pandangan Karmila.

"Begini, Dokter, Lili dulu sudah kemari. Dengan ibunya."

Karmila mengangguk.

"Ibunya menghendaki supaya Lili melakukan abortus, sebab dia mau dikawinkan dengan orang kaya," kata pemuda itu dengan nada pahit.

"Tapi Lili tidak mau. Saya juga tidak setuju. Kalau dia mau kawin dengan orang lain, biarlah, apa boleh buat. Tapi jangan menggugurkan kandungan itu."

"Apakah Saudara sendiri tidak mau menikah dengan dia?"

"Tentu, Dokter. Itu rencana kami, tapi..."

"Mengapa membiarkan rencana itu berantakan? Tidak punya akal?"

Hei, hei apa-apaan ini! Mau jadi mak comblang atau dokter?

"Kami sedang memikirkannya. Kami ingin lari ke Sumatra, tapi sebelumnya, saya ingin tahu dulu apakah Lili tidak kurang suatu apa?"

Tiba-tiba Karmila melihat Lili tersenyum cerah. Karmila mengisyaratkannya supaya masuk ke tempat periksa. Lima menit kemudian, dia duduk kembali di belakang mejanya lalu memandang pemuda itu dengan senyum manis.

"Berapa, Dokter?" tanyanya dengan tangan gemetar, memegang-megang dompetnya.

Karmila melihat sekilas kemejanya yang sudah lama dan jaketnya yang lusuh dan rambutnya yang gondrong. Dilambaikannya tangannya.

"Tidak usahlah. Bayar lain kali saja, kalau datang lagi."

Pemuda itu tidak menolak. Karmiila hampir yakin, sesungguhnya dompet itu kosong.

"Trima... trima kasih, Dokter."

"Kembali. Kembali."

Ketika dia menutup pintu kamar prakteknya malam itu, dia masih terus mengingat-ingat Lili. Aku akan ceritakan pada Feisal, pikirnya sambil bergegas masuk ke rumah besar. Anak-anak tengah bermain dengan Caesar.

"Sudah makan?"

"Sudah."

"Dah."

Ditengoknya kursi di sudut. Kosong. Karmila mengerutkan keningnya.

"Mana Papa?"

"Belum pulang."

"Oh."

Karmila berjalan terus ke kamarnya. Ditukarnya bajunya lalu ke kamar makan. Di tengah pintu dia berhenti. Mungkin dia ada di rumah orang tuanya. Siapa tahu ada yang sakit, meskipun aneh juga, tidak ada yang menelepon.

Diputarnya nomor mertuanya.

"Hallo? Zein? Oh, ke mana Ibu dan Ayah? Pergi? Oh, tidak apa-apa. Cuma ingin menelepon. Kakakmu ada di situ? 0 ya. Ya. Tidak apa-apa. Ya, sudah ya."

Karmila meletakkan tangannya ke dahi. Ke mana dia? Nyonya Karmila yth., sebenarnya saya tidak mau mencampuri urusan... oh dia masih ingat isinya Persetan!

"Mil, makan," teriak Bibi dari belakang.

"Mil " kata Tasia.

"Hei, kau tidak boleh panggil Mama, Mil. Ya?!"

Tasia terkekeh-kekeh.

"Mama makan," kata Fani sambil mendorongnya ke belakang. Adiknya ikut-ikut.

"Mamam... mamam

Karmila tersenyum. Dibelai-belainya dan dipeluknya mereka berdua, lalu pergi ke belakang.

"feisal belum pulang," katanya sambil memegang sendok yang belum juga menyentuh nasi.

"Ah, mungkin dia lembur. Kan kadang-kadang dia pulang malam juga?"

Karmila menghela napas. Tanpa menjawab, disuapnya nasi. Diliriknya jam di atas bufet, meskipun dia sudah tahu pukul berapa: sembilan lewat.

"Empalnya, Mil!"
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karmila mengangguk dan mengambil daging sepotong.

"Seperti pengantin baru saja, kau ini! Gelisah tidak karuan!"

"Saya tidak gelisah," bantahnya dengan muka merah, lalu mengalihkan pembicaraan.

"Kata teman saya, kecap inggris bikinan Jepang itu boleh juga. Bibi ingat? Yang kita lihat di Glodok?"

"Oh, Bibi sudah lupa mereknya. Belilah kalau engkau kapan-kapan ke sana."

"He-eh. O ya, kalau pakai vetsin jangan banyak-banyak. Katanya membuat badan jadi lemah. Mungkin juga menyebabkan kanker."

"Siapuh! Sejak muda, Bibi selalu memakainya. Buktinya, Bibi lebih kuat dari engkau! Tiap hari mi

num susu, tiap hari seribu satu macam vitamin, tapi mengangkut air seember belum tentu kuat!"

Karmiila tertawa.

"Anak-anak sudah diberi jeruk ini?"

"Sudah. Seorang satu."

"Biarlah saya beri lagi."

"Nanti dia ngompol."

"Ah, tidak. Sisi sudah belajar bangun kalau mau pis. Sisi... Fani kemari!"

"Mau jeruk?"

"Mau!!!"

"Papa! Papa pulang!"

Kedua anak-anak itu berlari ke luar mendengar suara mobil berhenti. Feisal menerobos masuk.

Diangkatnya Tasia dan Fani berganti-ganti lalu menuntunnya ke dalam. Karmila berdiri di ambang pintu ruang tengah dengan dua buah jeruk di tangannya.

"Sorry," kata Feisal sambil mencubit pipinya,

"aku tidak sempat menelepon."

"Di rumah sana tidak ada telepon?"

"Ha? Oh ya, tidak ada," jawab Feisal setengah linglung.

"Minah! Sediakan air panas untuk mandi Tuan. Dan handuknya juga. Jangan kaumakan sabunnya, ya!" katanya kepada Feisal yang tengah membuka sepatu, lalu ditinggalkannya ke dalam sambil mem

beri anak-anaknya jeruk. Karmila tidak menanyakan ke mana Feisal malam itu dan Feisal juga tidak memberi alasan apa-apa. Mungkin itu suatu kesalahan besar.

Pada Sabtu sore itu Fani diajak ayahnya menonton bola ke Menteng. Sudah lama dia merayu ayahnya untuk itu sebab temannya, anak sebelah, sering kali diajak ayahnya melihat pertandingan bola. Fani merasa sedikit bangga, sebab itu adalah sesuatu yang sedikit-banyak dimonopoli laki-laki. Mana ada ibu-ibu yang keranjingan bola? Dan alangkah janggalnya melihat perempuan saling tendang di hadapan ribuan penonton, hanya memperebutkan bola! Jadi dengan sedikit membusungkan dada. dia bilang pada adiknya: dia ada urusan penting dengan ayahnya. Tasia tidak mengerti apa itu urusan laki-laki. Dia menangis sedih sekali melihat kakaknya pergi. Karmila kehabisan akal membujuknya. Tasia tetap menangis.

"Dengarlah, Sayang," katanya akhirnya,

"kita jalan-jalan ke Pasar Baru, ya. Kita lihat pop, ya?! Yang bisa jalan, ya? Tapi Sisi jangan menangis. Sudah. Sudah. Aduh, sedihnya."

Tasia maju-mundur sebentar sebelum sama sekali merem air matanya. Memang biasanya anak itu tidak pernah menangis lama-lama. Karmila mencuci mukanya lalu mengganti bajunya.

"Pakai baju bagus, ya? Lihatlah, manisnya anjing ini. Baju anak laki-laki mana ada yang sebagus ini. Pakai pita, ya? Yang biru?"

Tasia terhibur juga melihat bajunya. Karmila lekas-lekas menukar baju lalu naik becak ke rumah ibunya.

"Mana Susi? Kita ke Pasar Baru, yo!"

Susi keluar dari kamarnya dan memeluk Tasia.

"Kalau tidak terlalu lama, bolehlah!"

"! lm... hm... ada dare, nih?!"

"Siapa bilang?" Siapa bilang sih siapa bilang, tapi mukanya merah juga.

Ibunya menanyakan ke mana Fani dan ayahnya. Karmila menjawab sepintas lalu saja dan entah mengapa, tahu-tahu ibunya mendapat kesan, mereka baru saja bertengkar. Cuma tidak dikatakannya terang-terangan. Dipandangnya wajah Karmila yang agak lesu. Tidak salah lagi, pikirnya, tentu mereka telah bertengkar.

"Kita pergi dulu, Mam. Mau pesan apa?"

lbunya tertawa saja. Sebenarnya Karmila tidak mempunyai rencana untuk berbelanja. Semula maksudnya mau tidur, setelah Fani pergi.

"Mau beli apa ih?" tanya Susi di becak

"Ah, apa saja! Masakan tak ada yang ingin kaubeli di sana?"

"Sebenarnya Susi mau beli Zwempak baru. Tapi

mahal sih. Dua ribu lebih."

"Mau utang dulu?"

"Kalau tidak usah bayar, mau!"

Mereka mondar-mandir dari Gelora sampai ujung jembatan, pulang-pergi. Alhasil, Susi mendapat baju mandi. Tasia bertambah lagi koleksi bonekanya. Fani dibelikan papan penghitung. Ibu dan Bibi Emi dibelikan kebaya. Karmila sendiri tidak membeli apa-apa. Untuk di dapur dibelinya tiga buah panci, sekaleng vetsin, Madcira, tomato-catchup. korsvet, mentega, dan segala tetek-bengek lain, yang biasanya dibeli bibinya di pasar.

"Di sini lebih mahal," kata Susi sambil mengadakan konsultasi dengan arlojinya.

"Ah, sekalian. O ya, coba kita lihat cangkircangkir itu. Kok bagus amat?"

Karena bagus amat, bilang uangnya sepuluh ribu lebih. Dia tahu, benda-benda itu sedikit sekali gunanya, sebab di rumahnya sudah begitu banyak cangkircangkir dan gelas-gelas maklumlah, memberi barang-barang semacam itu pada pesta kawin, rupanya selalu in de mode di sini tapi, karena: bagus amat...!?

"Kak Feisal tidak marah? Semahal itu?" tanya Susi waswas.

"Ah, dia marah lima menit. Besok lusa sudah lupa, uangnya hilang!"

Ketika Fani pulang, dia kecewa betul. Maksudnya mau membanggakan diri terhadap ibu dan adiknya, tapi


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo 02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Pendekar Gila 9 Mawar Maut Perawan Tua

Cari Blog Ini