Ceritasilat Novel Online

Karmila 6

Karmila Karya Marga T Bagian 6



"Ke mana Mama, Oma?" tanyanya dengan air mata di ujung hidung.

"Oh, Mama ke Pasar Baru. Sebentar lagi pulang." Hm, jadi perempuan-perempuan yang tidak bisa nonton bola itu pergi ke Pasar Baru. Enak juga sebenarnya kesana. Banyak yang dilihat. Kesal betul dia, tidak diajak.

"Hei," kata ayahnya melempar-lempar kunci mobil,

"kenapa sedih amat?"

"Mama ke Pasar Baru."

"Oh, nanti juga pulang. Sekarang sudah setengah delapan. Toko tutupjam delapan. Sebentar lagi! Tukarlah bajumu. Kalau panas, mandi lagi."

Tanpa membantah, Fani mencari Bibi Emi, minta dimandikan. Selesai mandi, dia kembali lagi ke depan. Masih tetap murung. Caesar diusirnya dan dia duduk sendirian dekat jendela.

"Fan, kita main kereta api, yo."

Fani menggeleng. Ayahnya pergi menelepon seseorang. Tiba-tiba Fani bangkit. Siapa tahu ibunya pergi dengan Tante Sus dan sekarang sudah ada di sana?

"Papa." katanya hampir tidak bernapas.

"barangkali... barangkali ..." Ditelannya liurnya,

"siapa tahu

Mama ada di sana!"

"Di sana, di mana?"

"Di rumah Tante Sus! Telepon, Pa. Barangkali Mama ada di sana."

Feisal mengangkat bahu. Diangkatnya kembali telepon itu.

"Hallo? Ibu? Tunggu sebentar." Diserahkannya telepon pada anaknya.

"Bicaralah!"

Fani menyambutinya dengan pura-pura tidak gemetar.

"Hallo? Oma, ada Tasia di situ? Ada? Mama juga? Kenapa tidak pulang?"

Neneknya memanggil Karmila.

"Cepatlah. Anak itu hampir menangis!"

"Hallo, Fani. Mama di sini. Bagus bolanya? Siapa yang menang?"

Tapi Fani sudah tidak peduli akan bola. Dia mau, Mama lekas pulang. Dia sudah lapar.

"Mama tentu pulang sebentar lagi. Tunggu Om Tinus. Mama tidak berani pulang sendiri. Sudah malam."

"Papa, jemput Mama", kata Fani, masih memegangi telepon.

"Kenapa?" tanya ayahnya yang sejak tadi mengawasi anaknya dari tempat duduknya.

"Mama tidak mau pulang sendiri. Sudah malam!"

Tiba-tiba anak itu menangis.

"Eh, kenapa Fani nangis? Sudah tentu kita akan jemput Mama. Pakailah sepatumu. Oke?" Feisal mengeringkan air matanya dan mendorongnya ke belakang.

"hei, fani," teriak neneknya, membukakan pintu.

Fani membiarkan Nenek menciumnya sebelum dia diperbolehkan menerobos masuk. Ibunya tengah duduk tenang-tenang makan asinan. Feisal menggertakkan gigi. Rasa mau ditelannya istrinya.

"Uh, kaujemput juga, ya?" Karmila tertawa keras-keras, namun tiba-tiba dilihatnya Fcisal memandangnya dengan marah.

"Ayah juga heran melihat Mila sendirian kemari. Tumben!" kata ayah Karmila sambil meletakkan surat kabarnya.

"Tidak habis bertengkar, bukan?" tanya ibunya, ingin meredakan suasana.

"Bertengkar sih boleh. Asal jangan berlarut-larut."

"Oho! Dia takkan menceraikan saya, jangan khawatir.

"

Sekarang semuanya tertawa termasuk Feisal. Mereka mengira Karmiila tengah membuat lelucon.

"Ayahnya melarangnya!" sambung Karmila, tertawa gelak-gelak.

Feisal menjadi pucat. Tapi cuma sekejap, air mukanya kembali tenang.

"Ayo, Sisi, bilang sama Oma, Opa, mau pulang."

"Oma, ang. Opa, ang."

Feisal minta diri dan tanpa menantikan Karmila, dia berjalan ke luar.

"Hei, tunggu! Asinanku belum habis. Hei!" Karmila berlari-lari dengan mulut penuh. Sepatunya dijinjingnya.

"Ayo, semua. Gila kau!" dengusnya ke kuping Feisal.

"Aku sudah lapar!"

"Kan bisa makan di sana?"

"Aku tidak mau makan di sana!"

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa."

Mereka diam. Sepanjang jalan mereka diam. Fani dan Tasia sudah setengah tidur kelaparan. Karmila tahu, Feisal betul-betul marah, anak-anak belum makan.

"Mil, aku mau bicara sebentar," kata Feisal malam itu

Kamiila melirik dari balik Intisari yang baru terbuka.

"Mil, duduk!"

Feisal memegang kedua bahunya dan mendudukkannya di atas tempat tidur.

"Tutup majalah itu! Dan sekarang, katakan apa yang ada di belakang semua ini? Aku mau tahu apa alasanmu untuk bertingkah laku begitu?"

"Kau bicara apa?"

"Jangan pura-pura tidak mengerti! Aku sudah melihat perubahanmu sejak beberapa bulan yang lalu! Ayo, keluarkan semua!"

Hm, jadi dia melihat juga ha, pikir Karmila dengan suka cita. Dia tahu, aku tidak senang padanya! Haa yaaa!

"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu," kata Karmila sambil berusaha membuka kembali bacaan nya. Feisal merebutnya dan melemparkan ke atas meja.

"Engkau mengerti dengan jelas, Setan! Engkau tidak akan diam saja melihat aku pulangjam sembilan malam, kalau tidak ada apa-apa! !"

"Hm. Jadi memang sengaja pulang malam?"

Feisal tidak mengacuhkan pertanyaannya.

"Engkau tidak akan menanyakan yang anehaneh, kalau

"Misalnya?"

"Demi setan! Engkau menanyakan tentang gadisgadis yang bunuh diri karena aku! Tidakkah

itu aneh?"

"'Tidak aneh! Kecuali... memang betul ada yang bunuh diri dan... dan... anaknya tidak diakui!" Karmila segera sadar, dia terlalu banyak buka rahasia.

Feisal memandangnya dengan amat kaget. Kamila tertawa-tawa dalam hati. Hm, terbuka topengmu, Kunyuk. Sekarang engkau harus menyembahnyembah minta ampun. Kalau kulaporkan ini pada ayahmu, hm... hm hm !!!

"Aku tidak tahu, setan alas mana yang mengatakan semua itu padamu! Tapi..."

"Engkau tidak perlu tahu!"

"Dengar!" bentak Feisal seraya mengguncangguncang bahunya.

"Jangan potong-potong bicaraku. Aku mau cerita semuanya! Dengar baik-baik! Aku tidak mau engkau mati penasaran nanti! Voni, memang pernah menjadi pacarku. Dan kami sudah melakukan segala hal. Aku sebenarnya tidak mau mengingat-ingat hal itu lagi, tapi agaknya engkau memaksa...."Feisal meringis seperti matt menangis. Karmila tiba-tiba merasa kasihan.

"Engkau tidak perlu mengatakannya. Aku tidak ingin tahu. Katakan saja, tidak ada gadis yang bunuh diri karena engkau, dan aku akan percaya."

Feisal menggeleng dengan angkuh.

"Engkau sudah mendesak aku ke pojok. Kalau

tidak dikeluarkan sekarang, ini akan terus menjadi bisul di antara kita. Baiklah, Voni tadi. Kau tahu hidupku dulu. Aku main cinta dengan siapa saja. Voni cuma salah satu di antaranya. Bagi Voni, aku bukan sesuatu yang istimewa. Dia melakukan hal yang sama dengan banyak pemuda lain. Kemudian dia pindah ke Bandung. Menghindarkan diri dari ayahnya yang terlalu banyak menuntut dan mengekangnya. Lalu pada hari naas itu, dia terseret kereta api yang hampir berhenti. Ringsek bersama skuternya. Waktu itu aku hampir dua tahun tidak bertemu dengan dia. Malah mungkin juga dia sudah lupa siapa aku. Kita cuma main cinta, bukan pacaran. lseng. Kalau ada pesta-pesta. Atau kalau kebetulan orang tua tidak di rumah!" Feisal tersenyum dingin. Mungkin dia ingat juga gadis angkuh yang menjadi korbannya yang terakhir?! Karmila memandangnya tanpa mengedip.

Ada lagi? Mesti ada lagi, pikirnya dengan dongkol. Kalau engkau mau mengaku dosa, akui sekalian bahwa anak pertamamu ada di... Tapi Feisal tidak nampak bersiap melanjutkan pengakuannya. Dia diam saja mengepal-ngepal tinju.

"Masih ada lagi ?" tanya Karmila dengan sinis. Feisal menoleh, kaget.

"Aku tidak merasa ada bekas pacar-pacarku yang bunuh diri," sahutnya dingin.

"Tentu Dokter

Karmila yang terhormat, tidak akan menganggap orang yang mati ditangan abortem' itu, melakukan bunuh diri?"

"Oke. Kalau engkau berpura-pura Suci, aku akan katakan apa yang kudengar. Coba bilang, di mana kausembunyikan anakmu yang pertama? Hm, jangan pura-pura kaget. Engkau tahu di mana dia. Setiap bulan, kaukirimi uang dan..." Kamila tersedu sedan, tidak mampu melanjutkan serangannya.

Feisal termangu sesaat. Kalau tidak ada setan yang masuk ke otaknya, tidak tahulah aku, dari mana diketahuinya semua itu, pikirnya. Diperhatikannya sesaat bahu istrinya yang turun-naik. Perempuan adalah makhluk aneh. Dia dapat berlaku sedewasadewasanya tapi karena rumor yang tidak tentu asalnya, dia dapat menumpahkan air mata berember-ember. Tiba-tiba sesuatu memukul kepalanya. Anak pertama?! Anak pertama, katanya tadi? Tiap bulan Ditariknya Karmila tiba-tiba dan dipeluknya. Kalau tidak takut anak-anak akan terbangun, mau dia tertawa keras-keras. Perempuan, perempuan! Belum selidik betul-betul, sudah menangis.

"Kukira, aku tahu maksudmu, Mil," katanya selembut mungkin, menyembunyikan gelaknya yang mau melompat keluar.

"Aku tahu maksudmu. Aku tahu!" Suaranya hampir tercampur rasa bangga

dan lega. Dia yakin. dia tahu.

"Engkau mungkin tidak ingat siapa Hartojo! Dia datang waktu kita kawin. Sekarang ular itu tinggal di Paris atau begitulah kira-kira menurut suratnya dua bulan yang lalu. Hidup dengan janda kaya. Semacam gigolo, kasarnya. Luntang-lantung. Menipu orang tua. Bilang mau sekolah tapi main judi. Nah, ular berbisa ini mempunyai seorang anak di... di luar nikah. Orang tuanya tidak tahu-menahu. Dia menitipkan dua ratus ribu padaku dan menyuruh aku tiap bulan mengirimkan ongkos. Gadis itu mau kawin dengan dia, tapi Hartojo tidak mau. Sebelum aku kawin, lebih baik aku digantung dulu, katanya. Aku diangkatnya jadi wali tidak resmi. Mau tidak mau. Aku kasihan pada anak itu. Jelas? Sekarang kau dapat menyusut air matamu!"

Karmila merasa amat malu. Dia tidak tahu harus tertawa atau memperkeras tangisnya. Untung sekali, Feisal tidak menertawakannya. Dia akan membencinya seumur hidup, kalau itu terjadi.

"Aku sudah buka kartu. Kuharap engkau juga suka mengatakan dari setan mana semua itu kaudengar. Tapi, kalau Nyonya keberatan, Tuan tidak akan memaksa."

Tanpa berkata apa-apa. Karmila menggelinding turun. Itulah anehnya perempuan! Kalau dipaksa. dia malah menolak. Tapi kalau dibilang, tidak apa

apa kalau tidak mau, dia justru mau! Kamiila membuka lemarinya. Aduh mek, kata Feisal dalam hati, disimpan di tumpukan baju paling bawah, di pojok lagi!! Ce, ce, ce... surat cinta macam apa? Karmila mengeluarkan sebuah sampul dan memberikannya dengan agak malu. Diperhatikannya Feisal membaca surat itu dua kali bolak-balik.

"Kurang ajar! Jadi dia buktikan ancamannya," bisik Feisal, takut anak-anak bangun dengan gusar.

"Kau tahu! Ini kerja si Djamain. Pasti! Aku berani taruhan kepalaku! Dia memang mengancam mau yah pokoknya mau merusak rumah tangga orang. Betul-betul! Pikirnya, aku takut padanya. Pikirnya otakku, otak udang?! Mil, engkau pasti masih ingat tidak mungkin kau lupa! bahwa aku kadang-kadang pulang malam-malam. Waktu Tasia belum lahir dan beberapa hari terakhir ini. Kau tahu kenapa? Karena si Djamain keparat ini! Tidak tahu terima kasih. Begini dibalasnya aku!! Hm!"

Feisal merah biru wajahnya karena marah. Napasnya terengah-cngah. Karmila tiba-tiba merasa ngeri, bagaimana kalau dia mendapat serangan jantung?

Oh, oh, oh. Pikiran itu membawanya ke wastafel di kamar anak-anak dan membasahkan handuk kecil yang tergantung di situ. Perlahan-lahan dilapnya muka Feisal dari keringat yang bertetes-tetes di

dahi. Dia tidak berkata apa-apa. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan.

"Mil," kata Feisal, meraih lengannya,

"engkau tahu perahu motor Ayah yang diberikan padaku?"

Karmila mengangguk.

"Engkau selalu berjanji mau mengajak aku piknik dengan itu, tapi belum pernah "

"Perahu itu sudah kujual!!"

"Oh, tidak. Engkau main-main!"

"Aku tidak tahan menghadapi Djamain dan komplotannya. Sudah lama dia suka meminjam kapal itu. Dia bilang, iseng-iseng mancing. Oh, betapa tololnya aku. Baru beberapa bulan yang lalu aku tahu. dia menyelundupkan barang-barang berat."

Kamiila tidak tahu, apa itu barang-barang berat. Tapi bukan saatnya bertanya sekarang. Kemudian saja, bila keadaan sudah tenang.

"Kau tahu berapa yang mesti kubayar untuk melepaskan jahanam itu dan perahuku? Dua ratus ribu! Tidak kurang sepeser pun! Dua ratus ribu! Bukan main sakit hatiku! Tapi terpaksa. Aku tidak mau Ayah tahu. Dan yang terakhir ini, dia mau pinjam lagi. Bayangkan, tidak tahu malunya! Ketika aku menolak, dia mengancam... dia mengancam akan..."

"Aku tahu, dia mengancam akan menfitnahmu, bukan? Itu sudah berlalu, sudahlah."

Tapi Feisal tidak mau sudah.

"Aku harus bikin perhitungan," katanya berulang-ulang.

"Jangan, jangan. Jangan membahayakan dirimu dengan percuma. Orang semacam itu tidak pantas kita layani. Kadang-kadang ada orang yang terus menerus mencari sengketa dengan kita, dengan alasan sekecil semut pun. Kalau kita layani dia, kita akan turun serendah dia juga. Sudahlah. Semuanya sudah beres di antara kita berdua. Apa lagi yang lebih penting?"

Feisal menepuk-nepuk tangan istrinya dengan rasa terima kasih. Karmila melepaskan tangannya perlahan-lahan, lalu pergi ke lemari. Dari atasnya diambilnya sebuah botol coklat.

"Sal, minumlah ini. Engkau akan dapat istirahat. Nanti kuambilkan air." Diambilnya air yang tersedia dalam kamar anak-anak. Feisal menerima tablet itu tanpa membantah.

"Nah, sekarang, tidur!" Didorongnya Feisal pelan-pelan. Diselimutinya seperti dia biasa melakukannya terhadap anak-anak. Feisal sudah agak tenang. Napasnya tidak lagi secepat jet-coaster, tapi mukanya masih merah.

"Berjanjilah, engkau tidak akan menempuh bahaya konyol itu, Sal."

Lama Feisal berdiam diri, seakan-akan tidak didengarnya kata-kata istrinya. Kemudian diulurnya lengannya.

"Aku dapat menjaga diri." katanya dan tidak lama kemudian, tertidur.

Yah, itu saja yang dapat diusahakannya. Kadang kadang ada suatu bagian dalam dunia laki-laki yang tidak mungkin dimasuki oleh wanita, meskipun itu istrinya. Dia mempunyai harga diri, kehormatan yang harus dipertahankan dengan cara yang sama sekali tidak masuk akal wanita. itu harus diterima saja.

***

MALAM itu udara hangat dan penuh kedamaian. Jendela kamar sengaja dibuka, membiarkan mawarmawar di bawahnya menyebarkan harumnya ke dalam. Karmila duduk di muka cermin dengan seuntai kalung mutiara di lehernya. Kalung itu bersusun tiga, seperti yang selalu diidamkannya dalam hati. Anting antingnya juga tiga baris. menggelantung dengan manisnya. Brosnya merupakan setangkai buah-buah anggur. Kata Bibi Emi, harganya ratusan ribu. Tapi Karmila tidak peduli berapa harganya. Dia bahkan tidak peduli apakah itu asli atau tidak. Yang penting, itu pemberian Feisal.

Malam itu hari ulang tahun perkawinannya yang keempat. Karmila dengan hati-hati sudah menabung uang gaji dan sebagian uang prakteknya selama setahun dan diberikannya sebagai hadiahnya dengan catatan, untuk piknik ke pulau. Feisal pernah mengatakan, dia menyesal telah menjual perahu motornya. Sekarang Fani sudah cukup besar untuk diajaknya ke tengah laut. Dan rupanya dia tidak mempunyai uang untuk membeli gantinya. Semua uang disimpannya untuk Fani dan Tasia. Satu satunya barang yang dibelinya dalam dua tahun terakhir itu adalah Stcinway. Untuk Tasia, katanya. Tapi Karmila juga menyuruh Fani belajar piano. Sekarang tiap siang dan sore, rumah itu penuh dengan ting-tang-tingtong jari-jari anak-anak. Mobil mereka yang sudah agak tua itu belum mau pula digantinya. Biarlah, masih bisa jalan, katanya, dan uang untuk anakanak belum cukup. Kita harus memperhitungkan kemungkinan seribu jadi serupiah.

Karmila memandangi dirinya dalam kaca. Entah berapa harganya kalung ini. Dia mencintai aku, pikirnya dengan senang. Dia pasti mencintai aku. Kalau tidak, takkan mungkin diobralnya uangnya begini banyak.

Karmiila merasa amat bahagia malam itu, terutama ketika dilihatnya bagaimana Feisal menerima uangnya.

"Aku tidak tahu soal motor-motor," kata Karmila,

"tapi itu cukup, bukan?"

Feisal tersenyum, mengangguk melihat cek tiga ratus ribu di tangannya.

"Asal saja ini bukan cek kosong!" serunya menggoda. Sudah pasti istrinya sama sekali buta tentang motor-motor. Sebuah jat ht yang lumayan besarnya. bekas pakai, harganya masih satu setengah juta! Dilipatnya cek itu. Diciumnya istrinya tanpa ber

kata apa-apa. Karmila begitu bahagia kelihatannya, serasa ingin Feisal menangis. Tentu dengan susah payah dikumpulkannya uang itu. Sebab selama ini Karmila selalu menghamburkan uang gaji dan prakteknya dan tidak pernah teringat olehnya untuk menyimpannya. Dia sukar sekali menahan diri untuk tidak mengangkut pulang setengah dari isi setiap toko yang dikunjunginya.

Sebuah hadiah lain yang luar biasa, diberikan oleh Susi dan Zeinal dengan pengumuman mereka untuk bertunangan dalam waktu singkat. Zein sudah naik ke tingkat dua ekonomi dan Susi baru masuk sastra Prancis. Dalam usia sembilan belas tahunnya, Susi tampaknya memiliki segalanya. Untuk pertama kali tadi sore, Karmila dapat memandangnya tanpa rasa iri. Susi begitu antusias menceritakannya.

"Belum ada yang tahu, Kak. Ya, Zein? Kami sengaja kemari untuk memberi tahu Kakak berdua. Surprise, gitu!"

Susi saling berpandangan dengan Zeinal dengan wajah merah. Karmila merasa setiap saat, air matanya bisa turun ke bawah. Dia begitu bahagia. Dikejapkejapkannya matanya. Adalah tolol sekali kalau terlalu sering mengeluarkan air mata. Tengah dia berjuang mati-matian untuk mengeringkan matanya, tiba-tiba dirasanya Feisal memeluknya. Lembut, hangat, dan meyakinkan. Pada saat itu dia

tahu, mereka juga bahagia seperti Susi dan Zein.

"Bagaimana dengan persoalan agama? Engkau tidak keberatan aku menanyakan ini. bukan?" tanyanya pada Zein.

Sebelum pemuda itu sempat menjawab, Susi yang berbahagia itu tampil.

"Oh, dia sudah lulus katekismus. Akan dipermandikan nanti. Semua beres."

Karmila berusaha keras untuk tidak melihat bagaimana jari-jari mereka saling menggenggam.

"Oh, aku senang sekali mendengarnya," katanya dengan sopan.

"Bagaimanapun, dia toh tidak pernah memeluk agama apa-apa," kata Susi dengan nyaring sambil tertawa, tidak terkira-kira kerasnya. Pernyataan itu cuma membuat Zein menggenggam tangannya lebih erat.

"Pelajaran agama... apa namanya apa saja yang kaupelajari di situ?" tanya Feisal pada adiknya.

"Ya... kita diajar untuk apa kita hidup di dunia. Apa itu desa. Apa artinya Allah bagi kita, dan banyak lagi. Beberapa ratus pertanyaan-pertanyaan disertai gambaran yang praktis bagi kehidupan sehari-hari. Aku kira Kak Mila, tidak pernah Kakak memperlihatkannya buku semacam itu?"

"Oh." Karmila menoleh pada Feisal. Pelukannya bertambah erat.

"Hm... Kami sebenarnya sudah sepakat tidak akan mempersoalkan hal agama. Tapi rupanya itu mustahil. Anak-anak sudah makin besar dan baru kemarin dulu, Tasia bilang, kenapa Papa tidak bisa menyanyikan Kristus... Kristus entah Kristus apa, aku lupa namanya. Aku tidak suka menipu anakanak...."

Karmiila memegang lengan Feisal erat-erat.

"'Kapan-kapan, aku juga mau lihat bukumu itu, Zein."

Oh, rasanya dialah satu-satunya wanita selain Susi yang paling bahagia di dunia malam itu. Mereka pergi makan di luar. Berdua. Semula, disangkanya anak-anak akan merengek dan minta ikut. Tapi mengherankan, bagaimana mereka tanpa rewel melambaikan tangan melihat mobil melunem pergi. Ketika Karmila pulang, anak-anak sudah tidur. Meli tidur di samping Tasia, tapi Bonie sudah pindah ke atas rak.

"Anak kelas tiga tidak tidur dengan beruang bukan, Mama?" kata Fani pada suatu hari.

Betapa mengagumkan melihat anak-anak tumbuh. Fani sudah menjadi anak laki-laki besar yang duduk di kelas tiga. Tasia sebenarnya belum cukup umur tapi karena dia begitu ingin sekolah, ibunya memasukkannya ke taman kanak-kanak dan bila ada yang tanya,

"Tasia kelas berapa?" Jawabnya,

"Kelas nol," lalu dengan malu-malu ditambahnya,

"kecil!"

Sekarang sudah hampir pukul dua belas. Karmila masih duduk di muka cermin dengan kalung itu di lehernya. Dia tidak begitu gemar perhiasan. Apalagi emas-emas. Tapi dia suka mutiara.

"Engkau seharusnya jangan menghambur-hamburkan uang begini," katanya seraya memperhatikan kalung itu baik-baik.

"Ah, omong kosong." Feisal menoleh ke dalam cermin.

"Aku ingin engkau memilikinya."

Karmila tidak sanggup menyembunyikan senyumnya. Dia tiba-tiba teringat pada hadiah Feisal dua tahun yang lalu, yang belum dibukanya. Bungkusan itu masih terikat rapi di dalam lemari bukunya. Setiap kali dibukanya lemari itu, terpandang olehnya bungkusan kemas merah itu kadang-kadang dia sengaja menghampiri lemarinya hanya untuk melihat dan memandangi hadiahnya dan selalu rasa ingin tahu membakar dirinya. Tapi dia tidak pernah mau membukanya. Sebagai peringatan akan pertengkaran mereka, katanya dalam hati. Malam itu ditanyakannya untuk kesekian kalinya, apa sebenarnya isi bungkusan istimewa itu.

"Cari tahu sendiri, dong," jawab Feisal, persis sama seperti jawab-jawabnya dulu.

Feisal pergi ke kamar buku dan kembali lagi dengan sebuah textbook. Dia biasa membaca buku

buku istrinya dan tidak mau kalah dalam hal pemberian obat-obat, kalau anak-anak jatuh sakit. Untunglah anak-anak amat jarang sakit, sehingga dia tidak perlu dipereteli kebodohannya oleh suaminya. Feisal tahu betul, mana-mana obat yang dapat diperoleh dengan jauh lebih murah di pasaran gelap.

"Apa itu?"

"Interne."

"Sakit apa lagi?"

"Sakit pinggang! Aku mau tahu obatnya."

"Ala... aku tahu obat yang tepat," kata Karmila, mau merebut buku itu.

"Hei, biarkanlah aku membacanya juga. Supaya aku tahu pasti, aku tidak ditipu!"

"Percayalah, aku takkan menipumu."

Karmiila membuka kalungnya dan menghampirinya.

"Aku tidak akan menipumu," bisiknya dan ditariknya buku itu pelan-pelan. Kalau Feisal terlalu banyak membaca buku-bukunya, suatu ketika dia yang akan duduk di dalam kamar praktek.

"Aku takkan pernah menipumu."

Buku itu berdebam jatuh ke lantai. Feisal memeluknya. Bagaimanapun dia telah melewati empat tahunnya yang pertama dan bukankah dia yang paling bahagia malam ini?

"Aku takkan menipumu, Sal."

Namun tiba-tiba, terbayang olehnya sebuah wajah lain. Kurus. Kesepian. Dan mencintainya.

Oh, aku harap dia matt pergi dari hatiku, pikirnya. Aku mau sendirian dengan Feisal. Aku mau sendirian. Aku mau memikirkan Feisal saja. Oh, Tuhan, usirlah dia. Biarkanlah aku melupakannya. Melupakannya. Melupakannya. Tapi Karmila tidak dapat lupa. Dia betul-betul tidak dapat lupa: sebuah cinta lain yang dicampakkannya ke tempat sampah. Untuk selamanya aku akan dihantui oleh cintanya. Oleh dosaku. Terbayang di depannya mata yang cekung itu, pipi yang klimis, bibir yang pucat.

"Oh," dosisnya tanpa sadar.

"Ada apa?"

Oh, Sal, aku tidak dapat! Aku tidak dapat melupakannya. Tidak dapat!! Tolonglah aku! Tolonglah. Feisal menepuk-nepuk bahunya dan membuj uknya tanpa menanyakan mengapa tiba-tiba ada banjir air mata.

Malam itu menjadi rusak. Edo berdiri di situ, menyaksikan dan merusak.

***
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SIANG ITU Karmila duduk-duduk di kamar minum, bersama dokter-dokter yang lain. Mariani sedang hamil lagi, anak kelima. Sesak napas Karmila kalau memandang temannya. Ketika Fani lahir, Mariani masih pacaran. Sekarang. lima lawan dua.

"Kalau Feisal punya istri seperti engkau, tentu bukan main senangnya. Maunya, kita mempunyai anak sebanyak mungkin, sehingga kalau bennain kucing dan tikus, tidak usah memanggil anak-anak tetangga. Memangnya! Yang melahirkan dia atau aku! Mempunyai anak banyak, adalah paham yang sudah kuno. Zaman sekarang orang mempunyai anak satu-dua saja. Betul ndak, Dok?" tanya Karmila pada Dokter Gatot.

"Saya sih setuju. Sebab prinsip saya, kualitet, bukan kuantitet. Anak banyak, tapi kalau tidak mampu memelihara dan biaya kurang, tentu akhirnya mereka cuma jadi kambing-kambing saja. Takkan pernah bertanduk. Bagaimana pendapat kalian?" tanyanya pada orang lain.

"Kalau saya sih, terang tidak keberatan banyak

anak. Sebab itu berarti banyak pasien." kata Dokter Parera, tersenyum simpul.

"Saya juga tidak keberatan," nimbrung si Roy.

"Kalau banyak anak, saya banyak pasien!"

"Huh! Sekarang tahulah aku mengapa Keluarga Berencana di sini berantakan. Rupanya dokterdokter kandungan dan anak yang mengacau!" seru Retno.

"Hush! Saya kan cuma main-main. Anak saya cuma satu," kata Dokter Parera. Tapi Roy tidak bisa bilang apa-apa. Hanya mukanya merah mendengar sindiran itu.

Dokter Retno sebenarnya bekerja di RS Pusat, tapi dia diperbantukan di situ, seminggu dua kali, untuk memberi bed-side teaching pada mahasiswa.

Kecuali Hanami, yang masuk dua tahun setelah rombemgan Karmila, dokter-dokter yang lain sudah mendapat gelar Spesialis Anak-nya. Itu berarti, mereka dibebaskan dari jaga malam. Karmila memilih superspesialisasi bagian penyakit perdarahan. Mariani tidak memilih apa-apa. Roy cenderung ke jurusan penyakit-penyakit keturunan. Kalau rekan-rekannya sudah mengatakan suatu ketika pasti akan ada Roy's syndrom, wah, hidungnya yang besar itu mengembang dua kali. Kepandaian si Roy itu mengagumkan, tapi anaknya masih nihil juga. Atau istrinya betul-betul nanan setrika. kata Mariani, atau Roy yang kehabisan enerji. Bukan rahasia lagi, bahwa laki-laki gemuk itu lebih mencintai buku bukunya daripada istrinya.

"Roy, kenapa tidak kausewakan saja ruang depanmu kepadaku?" tanya Dokter Sutarjo.

"Hei, apa yang kudengar ?" teriak Dokter Remi sambil menutup pintu.

"Si Pelit itu mau mengontrakkan kamar prakteknya yang tidak pernah dibukanya? Ingat, aku sudah menghendakinya lebih dulu!" Dan dia seret kursi ke samping Roy yang tersenyumsenyum seperti orang sinting.

"Ingat, Roy, sebelum kautawarkan kepada orang lain, aku dulu!"

"Siapa... siapa... yang mau menyewakan kamar itu? Kau berani bayar tiga juta? Punya uang??!"

"Duh! Sama teman, lu begitu ya? Buset?"

"Eh, kapan-kapan aku mau periksa mata," kata Karmila pada Dokter Remi, yang sudah siap-siap mau mencekik si Roy keparat.

"Datang saja ke tempat praktek waktu hampir tutup. Dan jangan bawa-bawa suami. Ha ha... ha Aku melihat Mariani kita kok subur banget? Kau kapan, Mil?"

"Mau tahu saja rahasia orang!"

"Eh, tadi datang seorang bayi, baru sebulan. Tidak mempunyai mata. Aku kasihan sekali," kata Remi, menyebabkan pembicaraan-pembicaraan

lain berhenti.

"Mana anak perempuan lagi. Lubang matanya tertutup oleh kelopak dan di bagian bawah terdapat gumpalan lunak berwarna biru. Kalau anak itu menangis, benjolan itu makin besar. Ce... ce... ce kasihan betull!"

Mariani bengong mendengarkan. Dia memang biasa tidak banyak komentar bila mendengarkan orang.

"Hei, jangan bicara semacam itu. Ada Mariani!" kata Roy.

"Alaa... takhyul konyol! Masa mendengarkan cerita begini, lamas anaknya ikut-ikut tidak punya mata?" kata Dokter Gatot sengit.

"Eh, jangan main-main. Di Rshvchiatri ada perempuan yang diguna-guna mertuanya!"

"Rem, lantas gimana bayi itu?" tanya Karmila, sangat ingin tahu.

"Yah, gimana lagi!" kata Remi putus asa.

"Belum ada ahli yang dapat membikin mata. Aku cuma bisa hilang pada ayahnya,

"Pak, anak ini tidak dapat ditolong, sebab biji matanya keduanya memang tidak ada. Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Percaya deh sama saya, ke mana pun Bapak pergi, tidak bisa ditolong. Saya kasih tahu ini, supaya Bapak jangan buang-buang uang, pergi ke sana kemari. Biar ke luar negeri, tidak akan ada yang mampu berbuat

apa-apa? Lantas laki-laki itu bilang,

"Ya. Dokter, maksud saya kemari, cuma mau dapat penegasan bagaimana keadaan anak saya. Apa dia masih bisa ditolong. Kalau tidak bisa, ya itu sudah nasibnya. Sudah kemauan Tuhan, mau apa lagi. Asal maknya dan saya tidak jadi menyesal kemudian hari." Remi terdiam sementara beberapa dokter-dokter wanita sudah berkaca-kaca matanya.

Laki-laki itu sama sekali tidak mengeluh. Dia cuma menunduk, memperhatikan istri dan anaknya. Juga ibu yang malang itu tidak menangis. Aku, yang hampir menyusut mata, malah! Aku bilang lagi,

"Bapak dan Ibu jangan menganggap ini Sebagai kutukan Tuhan atau merasa berdosa karenanya. Ini memang kadang-kadang terjadi. Ada yang tidak berlengan. Ada yang tidak ada otaknya. Anak ini tidak bermata. Tapi ini cuma kesalahan perkembangan waktu anak ini masih di dalam kandungan. Apa sebabnya kesalahan itu, saya sendiri tidak tahu. Anak ini tidak apa-apa. Cuma kalau benjolannya makin membesar juga, harap lekas-lekas dibawa ke rumah sakit. Sebab itu perlu dibedah. Kalau seperti ini saja, tidak usah diapa-apakan."

"Tidak kawanjurkan supaya anak itu dimasukkan ke sekolah tuna netra?"

"Tentu kukatakan. Tapi apakah mereka tahu, di mana letaknya itu?"

"Bukan orang kaya?"

"Bukan. Anak mereka sudah sepuluh di rumah! Apa lagi yang masih tersisa bagi bayi malang itu? Huh! Makin dipikir, makin ngeri aku! Mulai besok, aku tidak akan main-main di nightelub lagi, menghamburkan uang! Aku tobat! Jangan-jangan aku kena kutukan semacam itu!"

"Katamu, itu bukan kutukan!"

"Iya. Ya. Tapi andaikata, hal itu menimpa kita, apakah kita tidak akan segera mengintrospeksi diri sampai ketemu suatu dosa yang mahaberat? Lalu menganggap malformation itu sebagai hukuman Tuhan?"

Tidak ada yang menjawab. Masing-masing sudah tentu telah berhasil ditakut-takuti oleh Remi yang tergelak-gelak dalam hati. Tapi yang paling takut, mungkin Mariani dan Karmila. Yang pertama, karena dia justru tengah mengandung. Yang kedua, hanya karena rasa takut itu sendiri: kalau-kalau aku nanti mempunyai anak cacat! Rasanya itu adalah kekhawatiran setiap wanita muda.

"Gila si Remi tadi. Omong yang bukan-bukan," kata Mariani ketika mereka mau pulang.

"Ah, jangan pikir yang bukambukan, An. Anak-anakmu semua sehat-sehat. Lagi pula engkau sudah jalan delapan, kan? Mana mungkin ada pengaruh," hibur Karmila.

"Oh, aku juga tidak punya pikiran begitu. Kau ikut aku?"

"Tentu. Salam tidak menjemput hari ini." Beberapa saat kemudian, Karmila menyambung,

"Aku amenorlme bulan ini."

"Hm. Periksa GM!"

"Trima kasih! Bawa-bawa urine?! Aku tidak pernah periksa GM waktu Fani atau Sisi."

"Ya, kan kita mau tahu!"

"Malu aku periksa-periksa begitu. Paling-paling tunggu dua-tiga bulan lagi, sampai ada denyut jantung!"

"Ndak mau, ah! Aku paling benci obat-obat."

Mariani membukakan pintu mobil dan menyilakan temannya masuk dulu.

"Tapi engkau kan senang?"

Karmila tertawa.

"Begitulah kira-kira. Siapa tidak senang mempunyai anak? Sisi sudah empat tahun. Cukup besar, bukan?"

"Aku ingin punya keberanian untuk menelan salah satu pil-pil itu," kata Mariani dengan iri.

"Ya, asal jangan telan rover'a! Kan masih banyak yang dinyatakan !"

"Aku rasa, aku harus juga. Lama-lama, habis badan! Lagi pula, aku Sudah gatal, ingin praktek.

Suamiku tidak begitu makmur seperti dulu-dulu. Saingan terlalu banyak. Mau .swileh ke bidang tenun, bahan baku susah. Feisal bagaimana?"

"Biasa. Tapi memang perdagangan sepi tahun ini. Sudah hampir setahun dia tidak ke Singapura."

"Mil, apakah engkau tidak pernah cemburu melihat Feisal mondar-mandir ke sana?" tanya Mariani dengan ingin tahu.

"Kalau engkau mempunyai kekasih dan mempunyai suami, buat apa cemburu?"

"O ya. omong-omong aku ingat. kita diundang Kongres Nasional Australia. Bagian Anak. Kabarnya Dokter Kosasih mau menyuruh Retno dan engkau ke sana?"

"Aku sudah dengar dari si Roy kemarin. Pokoknya, aku tidak mau pergi!"

"Kenapa!"

"Kenapa?! Kalau aku gravide? Bisa abortus, naik plane!"

"Ala... cuma itu alasanmu?"

"Stop, Pir. Sebelah kanan. Ayo, Gendut!"

Kamila keluar cepat-cepat dari mobil dan membunyikan bel. Cuma itukah alasannya? Dia tidak mau ke sana? Atau takut?

Feisal menjadi dua kali lebih sayang padanya mendengar berita itu. Padahal belum ada kepastian. Kalau aku keliru, mampuslah, pikir Karmila. Buku

Benjamin Spock yang sudah masuk lemari empat tahun yang lalu, dikeluarkannya kembali. Mula-mula dilap olehnya, lalu dijemur. Setelah itu, tiap malam dibacanya, seakan-akan belum hapal olehnya semua bab-bab itu.

"Kalau bayi tidak mau makan, jangan dipaksa! Ingat itu, Mil!"

"Hm."

"Kalau anak di atas tiga tahun masih ngompol, maka mungkin hubungan ibu dan anak kurang beres. Ingat itu!"

"Hm."

Setiap malam, paling sedikit ada sepuluh hal yang harus diingat oleh Kamiila, seakan-akan Feisal sendiri sudah ingat.

"Mengapa tidak kaubaca Nelson, sekalian?" ejeknya. Tapi Feisal memang tidak dapat dipandang enteng.

"Coba bilang, di mana mula-mula timbul bercak pada campak?" tanyanya suatu malam.

"Terang di belakang kuping!"

Karmiila menggigit bibirnya. Tidak main-main ini, mek! Aku mesti belajar dengan lebih teliti lagi sekarang, supaya jangan sampai dia lebih tahu dari aku!

Boks Fani yang sudah turun ke adiknya, sekarang dikeluarkan lagi dari gudang. Cat putihnya

dikikir lalu diberi meni lagi dan dicat biru muda. Donald Duck-nya diperbaharui.

Pokoknya kalau aku keliru, mampus! Pasti Feisal tidak mau mengerti ditipu mentah-mentah.

Ketika Feisal sudah omong-omong mau cari bahan kelambu, Karmila terpaksa menggunakan hak veto-nya.

"Ini sudah terlalu, Boss! Apa-apaan sih! Aku belum tentu gravide, tahu! Malu kan sama tetangga! Kemarin Nyonya seberang sudah menelepon, bilang,

"selamat" segala macam. Jangan seperti anak kecil, ah."

"Apa salahnya membeli barang-barang? Betul kan, Bi?"

Susahnya, Bibi Emi amal gemar menjahit. Sudah tentu segala hiruk-pikuk yang ditimbulkan Feisal itu amat menyenangkan hatinya. Sehari-hari kerjanya duduk dibelakang mesin jahit. Karmila pulang, dia tengah menjahit. Karmila mau tidur, dia asyik menjahit. Kamiila bangun tidur, dia masih menjahit.

"Kalau rematiknya kambuh lagi, kau Obati ya, Boss!" katanya suatu kali.

Feisal menyeringai dengan amat yakin. Memang Bibi sudah menjadi sekutunya.

"Bibi, jangan menjahit baju bayi sebelum dia dikandung empat bulan. Kan Bibi tahu itu? Supaya dewa-dewa tidak marah karena

"Ah, omong kosong! Kuno amat pikiranmu?! Itu kan zaman dulu: takut dewa-dewa tahu ada kebahagiaan dalam sebuah rumah karena orangorang menjahit baju-baju merah, lalu bayi itu diambil kembali. Siapuh! Sedangkan orang-orang Tionghoa sekarang tidak lagi percaya. Nyonya Lauw itu... dia kan teman sekelas Bibi?! Pergi, kau! Pergi! Jangan pedulikan Bibi menjahit."

Kamila mengangkat bahu. Alangkah senang hatinya membayangkan bagaimana wajah Feisal dan Bibinya kalau

Senin sore itu Feisal mengajak anak-anak menonton bola. Karmila mengambil kesempatan ini untuk mempelajari textbook dan catatannya. Dia ditugaskan memberi ease presentation pada mahasiswa, dua minggu sekali. Dan jangan remehkan mereka! Kadang-kadang mahasiswa-mahasiswa itu bertanya sekedar ingin tahu, apakah dosen itu tahu jawabnya, seperti yang sudah mereka hapalkan! Kalau dosen terlalu banyak bilang mungkin, boleh jadi, saya kurang tahu, maka derajatnya turun sedikit. Tapi kalau dia berputar-putar dulu sampai ke Tanjung Perak lalu mogok di Bangkalan tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan, maka mahasiswa-mahasiswa akan meneemoohkannya. Terutama si Alex dalam rombongan sekarang. Soknya audzubillah! Kalau ada teman-temannya bertanya,

sebelum dosen menjawab, dia sudah buka mulut, menyebabkan sang dokter manggut-manggut saja mengiakan.

"Yah! Ketika aku dulu menjadi mahasiswa", pikir Karmila,

"tidak seberani itu anak-anak. Mungkin dunia sekarang lebih demokratis atau moral Sudah tidak beres."

Sambil menarik napas panjang-pendek, dibukanya rextbook. Case besok: typhus abdominalis. Sederhana kedengarannya. Tapi, dapat menyambar-nyambar seribu satu hal-hal lain. Dia bermaksud menitikberatkan persoalan besok ke arah kelainan darah. Bagaimanapun, itu bidangnya. Kelainan usus sudah tentu harus digugat juga. Dan dia harus tahu semua policy pemberian, tidak semua rumah sakit atau negara memberikannya dalamjumlah yang sama.

Selesai membaca sebuah jurnal dari India, Karmila sudah merasa pegal punggungnya. Dia pindah ke kursi malas. Dibukanya halaman seribu seratus tiga puluh dua. Sebuah gambar kecil jatuh ke bawah. Oh! Dari Edo! Tanggalnya. sepuluh tahun yang lalu. Bagaimana dia sekarang? Setan! Kalau aku tidak mau ditertawakan mahasiswa, aku harus membaca sekarang. Edo dapat menunggu. Sejam lamanya dia berhasil konsentrasi. Setelah itu kembali terasa pegalnya. Terpaksa dia berjalan-jalan ke

belakang. Di dapur diambilnya hati si Minah dan dia mendapat kerupuk.

"Aku dengar, Salam mau pinjam uang untuk kawin?"

Minah tersenyum malu-malu tanpa menjawab.

"Betul, Min?"

"He-eh. Betul, Nyonya." Betapa merah wajah Minah.

"Kalau engkau mau tinggal di sini setelah itu, boleh kau ambil kamar yang lebih besar. Di sebelah gudang."

Minah diam saja. Mukanya makin merah, menyebabkan Nyonya terbatuk-batuk karena geli.

Untuk sejam berikutnya dia berhasil juga menghabiskan lima halaman. Kemudian pintu terbuka dan anak-anak berlarian masuk. Karmila lekaslekas bangkit dari baringnya dan duduk di atas sofa sebelum Tasia menumbuknya.

"Hallo, Kelinci dan Beruang. Siapa yang menang?"

"Kaus merah yang menang!" Seru Tasia terengah-engah.

"Tolol! Mereka dari Bandung!"

"Sisi tahu! Tapi kan betul, pakai kaus merah?"

"Iya! Bilang saja. dari Bandung!"

"Tapi kan kausnya merah! Kalau bilang kaus merah, kenapa?"

"Hei, mau berkelahi? Atau mau makan?"

Selesai makan, Karmila mendengarkan Fani menghapal kali-kalian. Kemudian memeriksa pekerjaan rumahnya. Sementara itu Tasia sibuk mempelajari a-b-e bersama ayahnya. Kamila menetapkan, sehari tidak lebih dari sejam. Kalau anak itu sudah mulai tergagap-gagap, ibunya segera memanggilnya.

"Mama ingin sekali mendengar pianomu."

Tasia akan kembali berseri-seri dan ayahnya terpaksa menyerah.

"Oke. Bereskan bukumu."

Dua bulan kemudian, Karmila tidak dapat mungkir lagi. Semua orang tahu, sebab perutnya gendut.

"Ah, lu," kata Dokter Edi,

"belum tahu dunia sih! Setia sama suami adalah ajaran kuno. Kalau engkau lari dengan pacarmu, tidak akan ada yang sudi merajammu, dengan batu. Percaya deh. Sudah dikasih tahu, menyingkirkan suami itu paling gampang. Ck... beres! Ini sih, gravide lagi, gravide lagi. Sebelum sempat dia disingkirkan, engkau sudah tua, kebanyakan anak. Ah... ah ah "

Dokter Edi memang paling gila. Ada-ada saja selalu. Suatu ketika aku akan mempertemukan mereka berdua, kata Kannila pada Mariani yang segera menyatakan akan membantu rencananya.

Beberapa bulan kemudian, Feisal pergi lagi ke

Singapura dan Malaysia.

"Aku tidak akan lama-lama," katanya pagi itu.

"Oh, lama juga tidak apa-apa," tantang istrinya, sambil menyemir roti anak-anak.

"Hm, apakah itu berarti kekasihmu mau datang?"

"Itu urusanku. Kaupikir, dia cuma berani datang kalau engkau tidak ada? Apalagi sekarang, aku sehari-harian di rumah. Dia tidak datang, aku yang akan mengunjunginya!"

Karmiila sudah mendapat perlopnya meskipun sebenarnya baru tujuh bulan. Kakinya agak bengkak. Dokter Parera tidak mau ambil risiko. Safe is safe. you istirahat saja deh di rumah.

"Oke. Hutang budi dibayar budi. Terus terang saja, kekasihmu mau datang?"

"Kalau, ya?"

"Supaya aku juga mencari yang baru di sana. Bosan toh memandangi perut gendut melulu!"

Karmila sudah mengangkat tangannya ketika Fani berjalan masuk sambil membaca Bahasaku. Selamatlah Feisal dari tamparan.

Sudah tentu itu cuma lelucon belaka. Karmila tahu betul. Tapi entah mengapa, hatinya merasa kurang senang ketika Feisal seminggu kemudian pulang bersama seorang gadis India yang cantik.

Karmila menunggu di rumah. Anak-anak pergi menjemput ke Kemayoran.

"Mama... Mama " bisik Tasia berlari -lari ke dalam kamarnya,

"Papa pulang dengan Tante Amalia. Ayo, Mama lihat. Di depan."

Buku yang tengah dibacanya jatuh ke lantai. Dengan Tante Amalia? Binatang macam apa itu, tanyanya dalam hati.

"Mama cape. Tapi kita mesti menghormat tamu, bukan," katanya seakan-akan pada diri sendiri.

"Mil Mila," terdengar teriak Feisal.

"Mana dia, Bi'? Mila?!" Suara keras yang biasa disukainya itu. kini terdengar bagaikan hentakan.

"Sabarlah. Aku datang," teriaknya kembali lalu keluar.

"Ini Amalia, anak Paman Hamid," kata Feisal dengan gembira.

Karmiila memandang gadis di mukanya. Tinggi langsing. Dia segera ingat betapa bulat perutnya. Bajunya begitu chic. Sedang dasternya, macam ondel-ondel dia. Gadis itu cantik. Matanya dalam dan hitam seperti gadis-gadis India yang lain. Meskipun kulitnya tidak putih entah mengapa, Karmila merasa senang bahwa Amalia tidak seputih dia tapi bersih dan halus.

"Amalia, ini kakakmu, Mila."

Karmiila lekas-lekas mengulurkan tangannya menyambuti tangan Amalia yang besar dan langsing.

"Hallo," katanya, senyum terpaksa. Entah mengapa, dia tidak menyukai gadis ini sejak pandangan pertama. Mungkin matanya yang hitam dan eksotik. Mungkin senyumnya yang selalu disertai sepasang bibir basah. Kamila diam-diam menggigil.

"Saya senang sekali datang kemari," suaranya tinggi melengking.

"Saya kira, gadis India dari mana?!"

"Nenek saya India," kata Amalia sambil senyum cerah.

"Nenek dari ibunya tentu saja," tambah Feisal tergesa-gesa,

"bukan dari Paman Hamid."

Karmila menyapunya sekilas.

"Sekarang katakanlah, Sal, siapa Paman Hamid ini."

"Aw!" seru Feisal dengan malu.

"Jangan bilang engkau sudah lupa!"

"Aku tidak pernah tahu!" tukas Karmila ketus dan timbul bencinya melihat senyum Amalia. Engkau membuat aku merasa diri kasar dan jahat, bukan? Engkau tersenyum manis-manis, sedang aku marah marah. Aku kasar, bukan, jeritnya dalam hati.

"Well, Mila, Paman Hamid adalah saudara sepupu Ayah. Aku memang jarang bercerita padanya."

Tentu tambahan di belakang itu bukan untukku, pikir Karmila tanpa memerlukan memandang mereka.

"Bagaimanapun, aku baru pertama kali ini ke rumah ayahmu."

"Tentu saja," terdengar suara merdu si Jelita.

"Oh, maafkan saya," kata Karmila mengembalikan senyumnya sebab Fani dan Tasia sudah tiba di situ dari luar,

"saya lupa makan obat. Minah akan mengurus barang-barangmu. Di kamar Bibi..."

"Biarlah saya angkat sendiri. Jangan biarkan saya merepotkanmu"

Karmila berjalan ke kamarnya seperti dikejar hantu, namun masih terlihat olehnya, Feisal mengangkat kopor-kopor itu. Dan Amalia! Biarpun dia bilang tidak usah, toh dia hanya berdiri tegak macam patung.

Feisal menempatkannya di kamar belakang yang sudah dibersihkan. Bibi Emi jelas berpihak pada kemenakannya, jadi takkan mungkin menyuruh tamunya tidur di situ.

Karmiila tidak memerlukan payah-payah menanyakan Feisal, maksud kedatangan Amalia. Itu memang tidak perlu. Setiap pagi Amalia menemaninya dengan cerita-ceritanya. Kalau anak-anak sudah ke sekolah dan Feisal sudah ke kantor, Amalia akan mulai dengan segala macam kisah. Karmila selalu ingin pergi dari hadapannya, tapi terlalu sopan untuk melakukannya. Dan makin dongkol hatinya. karena dia tidak dapat menemukan sesuatu

kesalahan pun pada diri gadis itu, untuk dilaporkannya pada Feisal.

Mula-mula Amalia bilang, dia cuma akan menumpang beberapa minggu saja, sementara mencari tempat kos. Dia ingin mengikuti kursus merangkai bunga-bunga Indonesia dan kemudian, ke Jawa untuk kursus pembuatan batik. Diam-diam Karmila menghitung: berapa hari lagi, berapa hari lagi. Tapi setelah sebulan berlalu tanpa tempat kos atau alamat kursus yang terbaik, dia berhenti mencoret agendanya.

Ingin rasanya mengusir tamu itu, tapi tidak ada alasan. Kalau dia mencuri atau kasar terhadap anakanak atau memarahi Minah tapi Amalia adalah seorang gadis jelita yang halus, dengan suaranya yang tinggi dan nyaring, dengan matanya yang mempesona dan bibirnya yang selalu basah.

Engkau membuat aku tampak tolol dan kuno, geram nyonya rumah selalu. Anak-anak menyukainya. Beberapa kali dia berkeras mau membacakan dongeng-dongeng ketika tiba giliran Feisal, sehingga akhirnya dengan sengit Karmila memutuskan akan membacakan sendiri semua buku-buku tiap malam, betapa lelah pun dia. Bahkan Astuti tampaknya tertarik padanya. Tentu saja dia tidak dapat bilang,

"He, Tut. Amalia itu musuhku. Engkau tidak boleh bersahabat dengannya!"

Karmila mulai mendapati dirinya selalu melamun dan membayangkan yang bukan-bukan. Beberapa tahun yang lalu, Edo pernah memperingatkannya. Mungkin dia benar. Bagaimanapun, Edo lebih berpengalaman sedangkan dia cuma seorang wanita tolol yang percaya saja apa yang keluar dari mulut suami.

Kadang-kadang terpikir olehnya, mengapa Amalia tidak tinggal di rumah mertuanya? Mereka adalah paman dan bibinya dan rumah mereka setidak tidaknya bekas kamar Feisal kosong.

Mereka tidak lagi pergi jalan-jalan bertiga, tapi berempat, sebab Tante Amalia selalu siap untuk ikut ke manapun Feisal pergi.

"Mama diam di rumah?!" Tanya Tasia.

"Ya, tentu. Kalau tidak, nanti adikmu ngamuk," sahut ayahnya tertawa.

Itu lelucon biasa tapi sekali ini Karmila memandangnya dengan mata berapi-api.
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau tidak menyukai Amalia, bukan?" tanya Feisal suatu malam.

"Bagus kalau engkau tahu," bentak Karmila.

"Mengapa? Apakah dia tidak sopan? Apakah dia tidak mau membantu? Apakah dia..."

Karmila diam mendengarkan. Demi setan! Justru dia terlalu sopan, terlalu merendahkan diri, terlalu lembut, terlalu aku muak! Aku yakin, dia cuma

berpura-pura. Aku yakin! Tapi mana buktinya? Karmila menjatuhkan diri kembali ke atas kasur, dengan kekalahan yang menjengkelkan.

"Pokoknya aku cinta padamu, Mil. Cukup, bukan? Anak kecil itu cuma mau mengikuti kursus-kursus. Tidak lama lagi dia akan pindah."

Anak kecil! Aduh, anak kecil! caranya menggerakkan pinggulnya kalau berjalan. Caranya melemparkan kepalanya ke belakang bila tertawa meskipun tidak ada yang lucu. Boleh jadi di Kuala Lumpur, gadis itu menjadi hostes atau cabarel-girl atau apa kek, tapi bukan penjahit pakaian konfeksi seperti yang disuruhnya setiap orang percaya. Apalagi anak kecil! Memang betul belum ada alasan untuk menuduh Feisal. Mereka tidak pernah pergi berdua, selalu dengan anak-anak. Tidak pernah bercakapcakap berdua. Tapi... dia di situ, si Keparat itu! Dan Karmila merasa, gadis itu tengah menanti, entah menanti apa. Mungkin menanti kesempatan untuk merampas si Keras Kepala yang goblok itu.

"Kalau aku masih mendapati dia di sini sepulangnya dari rumah sakit, well banyak terima kasih! Aku terpaksa bilang selamat tinggal. Aku tidak mau kembali lagi kemari!"

Feisal cuma tertawa perlahan-lahan.

Pagi itu Karmila iseng-iseng membaca koran. Sebenarnya dia ingin membantu di dapur, tapi baru

saja mengambil pisau, Amalia sudah merampasnya sambil berkata dengan amat manis, supaya Kak Mila duduk-duduk saja. Dengan amat dongkol, Karmila keluar dari dapur dan duduk membaca di ruang depan. Aku tidak bebas lagi bergerak dalam rumahku sendiri, pikirnya dengan pahit. Dia mulai menentukan apa-apa yang boleh dan apa-apa yang tidak boleh! Oh, kapan setan itu mau pergi dari sini? Aku sungguh-sungguh berharap, aku cukup berani untuk mengusirnya. Mengusirnya! Betapa mengerikan terdengarnya! Padahal Amalia tidak berbuat apa-apa kecuali membantu setiap orang, tersenyum pada Feisal, mengambil hati anak-anak, dan memanjakan dia! Untuk itu, si Jelita akan diusirnya! Ah, apakah aku sudah gila? Tapi aku toh merasa bahwa aku benci padanya meskipun sekian banyak jasa-jasanya.

Perasaan itu ada di sini, di dalam hatiku dan tidak mau bilang-bilang. Katakanlah itu intuisi atau apa saja. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tapi apa?!

Dengan setengah sadar ditelusurinya koran di tangannya. Dia tiba-tiba saja melihat berita itu. Sangat kebetulan. Sebab itu bukan berita yang menyolok. Cuma makan tempat tiga sentimeter. Tapi Karmila membacanya dengan terang dan jelas. Dua kali. Edo mendapat hadiah pertama yaitu dua puluh lima ribu pounds dalam Sayembara Arsitektur Modern di Melbourne. Hebat, katanya? pada diri sendiri. Dua lima ribu pounds. Bukan sedikit. Edo betul-betul jempol. Dia tersenyum sendiri. Tentu Edo amat senang. Mungkin juga ini berarti banyak baginya. Karir bagi laki-laki merupakan istri kedua. Kadang-kadang ada yang tidak kawin karena karir. Siapa tahu, Edo amat terhibur dengan kemenangan ini dan melupakan kesusahan hidupnya.

Karmiila melipat koran itu dan pergi ke kamar buku. Tanpa berpikir panjang dia segera duduk, menulis surat ke Perth. Dengan berseri-seri segera dilipatnya surat itu dan dimasukkan ke dalam amplop.

Karmiila selalu menulis suratnya dengan lancar, tanpa berhenti di tengah jalan, tanpa merobek-robek kertas, dan tidak pernah membacanya kembali. Yang terakhir ini mungkin suatu kemalasan, akan tetapi dengan begitu surat-suratnya akan selalu segar. Si pembaca seakan-akan berhadapan sendiri dengan dia dan menemukan satu-dua kata yang terlupa, seperti juga bila mereka berhadapan muka dan Karmila lupa mengucapkan kata-kata itu.

Dibasahinya perangko dengan ujung lidahnya lalu dilihatnya daftar pos yang kebetulan memang ada dalam tumpukan buku-buku telepon, rekening rekening, dan lain-lain.

"Minah."

"Ya, Nyonya."

"Coba lihat, apakah mobil PTT masih ada di samping jalan. Kalau tidak, masukkan saja surat ini di bis surat, ya."

"Baik, Nyonya."

Kamiila merasa amat gembira hari itu. Dia yakin, dia berbuat suatu kebaikan: memberi selamat untuk menunjukkan bahwa dia tetap seorang sahabat.

Selama dua minggu itu dia hampir tidak peduli apakah Feisal dan anak-anak sering pergi keluar dengan Tante Amalia, meskipun mereka tahu.

Karmiila tak dapat ikut. Bengkak di kakinya sudah hilang tapi perutnya yang makin gendut itu menyebabkannya lebih suka diam-diam di rumah. Dia hampir tidak peduli apakah orang-orang memperhatikan keadaannya, atau meremehkannya. Setiap hari kerjanya hanyalah mendengarkan kalau ada dering bel sepeda tukang pos. Suatu ketika, kalau aku sempat, aku akan carikan si tua itu kemejakemeja bekas yang masih dapat dipakainya. Akan kuberikan dia uang.

Tukang pos sebenarnya adalah manusia yang berjasa besar. Menyampaikan berita-berita dan melepaskan rindu dendam jutaan manusia di seluruh dunia. Cuma sayang, di sini nasib mereka amat sangat buruk. Dia tidak tahu berapa gaji Pak tua itu, tapi menilik air mukanya, pastilah bukan jumlah yang menyenangkan.

Pada hari-hari pertama pun Karmila sudah asyik menantikan pas dengan hati berdebar-debar, meskipun dia tahu, suratnya baru akan tiba lima hari kemudian. Lalu, bila Edo langsung menjawabnya seperti yang biasa dilakukannya maka itu berarti lima hari berikutnya surat itu akan tiba di Jakarta.

Jadi sepuluh hari, pulang-pergi. Itu kalau Edo membalas segera dan tidak sedang repot. Sebab dengan kemenangannya ini, bukan mustahil, dia akan mendapat tawaran kerja dari delapan penjuru dunia. Kalau Edo tidak membalas segera...! Edo tidak membalas. Sampai Karmiila pergi ke rumah sakit pagi itu, tidak ada surat dari Penh atau Melbourne atau kota mana pun di Australia. Karmila masih tidak mau percaya bahwa tidak ada surat baginya.

ketika dia setengah sadar menahan nyeri, terbaring di rumah sakit, yang mula-mula dilihatnya adalah wajah Amalia. Mula-mula dia kaget. Kemudian perlahan-lahan dicarinya Feisal. Laki-laki itu

tengah berdiri di kaki tempat tidur. memandangnya dengan rupa tidak berdaya. Begitu pikirannya sudah terpusat kembali, segera timbul muaknya. Mengapa perempuan ini lagi.

Amalia berkeras mau menunggui Kamiila dan menyuruh Feisal pergi ke kantor. Dia mungkin mau meracun aku, pikir Karmila tiba-tiba.

"Panggil Ibu, Sal. Panggil cepat!"

Seperti orang kehabisan akal, Feisal keluar tergesa-gesa dan menelepon mertuanya.

"Bagaimana?" tanyanya ketika Feisal kembali.

"Sudah. Sudah. Sebentar datang."

"Jangan pergi dulu sampai Ibu tiba." pintanya tiba-tiba sambil menahan nyeri.

Selama itu tidak sekali pun dipalingkannya mukanya ke samping, seakan-akan di situ tidak ada gadis bergaun hijau dengan matanya yang hitam dan cekung.

Dokter Parera masuk tertawa-tawa.

"Hallo, apa kabar? Bagaimana his?"

"Masih agak jarang, Dok. Sepuluh menit sekali. Duration mungkin setengah menit. Masih jarang, jadi saya bilang sama bidan, tidak usah dicatat dulu. Kasihan kalau dia harus menunggui saya di sini. Pasien-pasien lain katanya penuh di VK."

"! sih akur saja. Asal you jangan banyak tingkah nanti, sectio-la,_f0rcep-la, apa-Ia!"

"Aduh! Mengutuk saya, nih? Semoga jangan dong, Dok."

Dokter Parera tertawa.

"Oke," katanya sambil mengangguk pada Feisal,

"saya tingggalkan dulu." Lalu dia mengedip ke arah Karmila.

"Aku akan panggil Mariani."

Mariani datang tertawa tawa, dan di belakangnya mengekor Dokter Edi. Meskipun dia jauh lebih tinggi dari Mariani, masih dijinjitkannya sepatunya dan melalui bahu Mariani, matanya berkeliaran di seluruh kamar mencari suami malang yang sudah ratusan kali dianjurkannya supaya disingkirkan saja.

"Nah, ini dia!" seru Karmila tertawa.

"Hush!" kata Dokter Edi sambil melirik ke arah Feisal yang alim betul.

"Sal, ini Dokter Edi yang memberi aku tujuh. Tapi selalu mengatakan bahwa itu sebenarnya cuma hadiah. Dokter Edi yang terhormat, ini suami saya yang mau yang mau "Karmila meledak tertawa melihat Dokter Edi sibuk bukan main memberi isyarat-isyarat rahasia padanya.

Kedua laki-laki itu saling berjabat tangan. Karmila masih mau meneruskan kata-katanya yang terputus tadi, ketika dilihatnya Edi memakukan pandangannya pada gadis yang duduk diam-diam di samping ranjang.

"O ya, ini Amalia," kata Karmiila secerah mungkin.

Dokter Edi membungkukkan badannya dan ketika tangan yang diharapkannya tetapi juga terletak di atas pangkuan, maka cepat-cepat diluruskannya badannya.

"Mariani, sudah kenal dengan suami-"

"Oho, sering pesan barang tanpa bayar kok, masa tidak kenal," kata Karmila, membuat Feisal berulang-ulang mengucapkan: ah, tidak apa, ah itu tidak apa.

"Tapi Karmila mau membeli tegel porselen suamiku separuh harga. Katanya untuk kandang anaknya. Coba, Dok, U kan ahli genetika, tolong katakan yang mana antara mereka berdua mempunyai nenek moyang bulldog?!"

"Awas, kau?!" geram Karmila.

"Dengan izin Tuan Feisal, saya akan memberikan pandangan saya," kata Dokter Edi, tapi tertawanya tidak dilanjutkannya sebab pasien tersebut sudah mulai lagi meringis-ringis menahan nyeri.

Feisal mau menghampiri tempat tidur, tapi jalannya terhalang oleh Mariani, sedangkan Amalia dengan setia sudah menyeka peluh dari dahi Karmila.

"Pergilah kalian. Mengganggu saja!" kata Karmila, pura-pura marah, namun bibirnya tersenyum.

Dokter Edi membungkuk sambil mengambil stetoskop bidan dari meia. Ditekannya benda itu ke

perut Karmila, lalu bisiknya.

"Mengapa tidak kaukatakan dia setampan itu? Demi setan. untung belum kausingkirkan dia. Kalau terjadi perang dunia lagi, mungkin sekali dia berharga tinggi: diperlukan untuk inseminasi buatan. Kau tahu kan, takkan ada laki-laki yang hidup setelah pede ketiga!"

Setan! Karmila tersenyum mendongkol. Mariani yang berdiri di situ mendengarnya dan tertawa geli. Cuma Amalia dan Feisal yang tersenyum sopan.

"Engkau dengar apa, Sal?" tanya Mariani.

"Oh! Maksudmu?"

Untung dia tidak dengar.

"Ayolah! Aku juga banyak kerja," kata Dokter

"Sal, perhatikan mukanya baik-baik. Kalau suatu ketika engkau merasa diracuni orang, maka itu adalah buah pikirannya," kata Karmila.

Dokter Edi berdeham-deham dengan kikuk. Di ulurnya tangannya yang disambut oleh Feisal dengan hangat.

"Sudah tentu Saudara tidak mempercayai seorang wanita, bukan? Saya, tidak. Jangan pikirkan apa yang tadi dikatakannya. Itu cuma sebuah nasihat buat wanita yang mempunyai kekasih dan ingin mengirim suaminya dengan kereta ekspres ke surga."

"Ha... ha... ha Feisal tertawa gelak-gelak.

Tertawanya itu menyakitkan hati Karmila dan Mariani. Seakan-akan bernada: kaum laki-laki di suluruh dunia, bersatulah! Bersatulah melawan iblis-iblis perempuan!

"Di samping ahli dalam hal barusan, saya terutama ahli superspesialisasi dalam memberi advis pada suami-suami yang sudah bosan dengan istri di rumah dan ingin membeli istri baru dari jalanan. Menyingkirkan seorang wanita adalah sama mudahnya seperti membuka mata kalau bangun pagi! Pasti beres!"

Karmila melirik ke kiri ke kanan, sibuk mencari sesuatu yang dapat dilemparkan kepada ahli genetika itu. Tapi tidak ada sepotong barang pun yang representatif". kecuali stetoskop kayu itu.

"Bye, Mila. Kasih dia baby yang bagus, ya. Dan...kalau Saudara suatu waktu perlu advis itu, ingatlah alamat saya. Kalau bosan makan gado-gado, dan ingin bistik, pasti beres. Semudah membuka mata waktu pagi."

Feisal terbahak-bahak menyakitkan hati Karmila.

"Sayang sekali, Dokter Edi yang mulia, dia amat sukar membuka mata pagi-pagi. Diperlukan segelas air paling sedikit." ejek Karmila.

"Itu, manis," katanya seraya membuka pintu.

"Cuma berarti honor saya akan bertambah dua kali.

Nah, Saudara Feisal, ingat-ingatlah alamat dan nomor telepon saya." Dokter Edi keluar, nyaris bertumbukan dengan Ibu Karmila yang tergesa-gesa masuk.

"Oh, Tante, baru datang," sapa Mariani yang juga tergesa-gesa keluar sebab dia belum ronde.

Karmiila merasa lega melihat ibunya datang. Tanpa menunggu lama-lama, diisyaratkannya supaya Feisal pulang.

"Pulanglah, Amalia," katanya selembut mungkin, padahal hatinya panas membara.

Dengan patuh gadis itu berdiri lalu menyapa ibu Karmila dengan sopan dan menanti Feisal, mengajaknya keluar.

"Oke. Kalau perlu apa-apa, telepon, Mil. Sore nanti aku datang. Ibu tahu telepon kantor, bukan?"

"Ibu ingat. Pergilah."

Karmila kembali kesakitan. Feisal mau menghampirinya, tapi mertuanya mendorongnya ke pintu.

"Pergilah. Dia tidak apa-apa. Ada Ibu." Setelah nyeri itu hilang, Karmila istirahat kembali.

"Siapakah gadis tadi?" tanya ibunya.

"Sepupu Feisal."

"Oh. Ibu belum pernah melihatnya. Apakah dia datang waktu Susi tukar cincin?"

"Sudah tentu tidak. Dia dari Kuala Lumpur."

"Hm."

Karmila tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi ibunya tahu ada sesuatu yang disembunyikannya mengenai gadis itu.

Sore itu Feisal datang bersama anak-anak dan Bibi Emi. Amalia pergi mengunjungi temannya, yang agaknya banyakjuga di sini.

Tasia amat antusias ingin lekas-lekas mendapat adik.

"Besok, Mama? Besok? Besok bawa pulang, ya? Seperti Moli. ya Mama? Betul?"

Fani juga sebenarnya sudah tidak sabar mau melihat adik baru, tapi dia bersikap tidak peduli, sebab menurut teman-temannya di sekolah. begitulah seharusnya sikap anak laki-laki. Mereka main kelereng, main layang-layang, main perang-perangan, tapi tidak main boneka. Cuma anak perempuan yang meributkan hal-hal remeh. Bah!

"Fani," panggil ibunya,

"apakah Fani suka mendapat adik baru?"

Suka? Oh! Fani menahan napas. Sudah tentu! Dia mengangguk.

"Ayo terka, laki-laki atau perempuan? Sisi juga. Siapa yang benar, akan diberi hadiah."

"Laki-laki," kata Sisi.

"Ah, Fani mau bilang begitu. Anak perempuan harus menerka perempuan juga!"

Tapi Sisi tidak mau.

"Sudahlah. Kalian berdua bilang laki-laki?! Kalau betul, Mama akan kasih hadiah."

"Berdua?" tanya Fani.

"Tentu. Berdua."

Sejak sore itu, nyeri makin sering dan lama. Feisal dengan halus menyuruh mertuanya pulang. Dia mau berjaga malam ini.

"Besok pagi, Ibu datang lagi," bujuknya.

Karena Karmila setuju, ibunya pulang. Di dalam kamar VIP itu disediakan sebuah tempat tidur lain untuk Feisal. Suster Nur masuk ketika Feisal tidak di kamar dan menanyakan apakah Dokter Karmila akan menjerit-jerit?!

"Engkau boleh taruhan, saya tidak akan menjerit. Ini sudah ketiga kalinya, tahu. Sedangkan yang dulu-dulu, tidak. Paling-paling saya sepak bapaknya. Itu risikonya. Dia pasti tidak akan menjerit.

"Tidurlah," kata Karmila.

"Kalau ada apa-apa, kubangunkan."

"Ah, jangan pikirkan aku," sahutnya membandel, Ialu menyeret kursi ke samping tempat tidur. Seperti biasa, baca cowboy. Bila istrinya kesakitan, cepatcepat ditutupnya bukunya, lalu mengelus-elus Karmila dan membiarkan lengannya dicubit habishabisan. Kalau semuanya sudah beres, mungkin perlu juga mengompresnya dengan air dingin. Sakit!

Tanpa banyak ribut-ribut, pukul dua malam Daniel tiba di dunia. Dia menangis dan meronta ronta sebab menyesal rupanya meninggalkan surga di mana cuma ada nyanyian dan cinta. Bidan yang membungkuk, mengikat tali pusatnya, disemprotnya dengan urine, dan Suster Nur baru saja menertawakannya ketika dia juga mendapat tendangan.

Karmiila tersenyum mendengar ocehan perempuan-perempuan itu. Tiga ribu sembilan ratus gram. Bukan main-main, mek, pikir Karmiila. Kalau aku hamil lagi, mungkin empat kilo beratnya! Panjang: Lima dua. Jauh melebihi saudara-saudaranya.

"Itu bagus." komentar Feisal ketika bidan mengatakan hal itu padanya.

Setelah mereka tinggal berdua dalam kamar, Karmila membuka matanya dan memandangnya.

"Sudah kau lihat?"

"Hebat! Betul-betul sebuah masterpiece!"

"Semua anak adalah masterpiece, Sal, ini yang terakhir, bukan?" Karmiila memandangnya seperti Tasia biasa melakukannya kalau dia menghendaki sesuatu.

"Tentu, Sayang. Tentu," kata Feisal cepat-cepat.

Karmila tersenyum, lalu tertidur. Feisal mencium kedua belah pipinya.

Tibalah hari ketiga. Karmila boleh pulang. Feisal datang bersama ibu dan ibu mertuanya. Daniel sudah terbungkus rapi. Dan kedua neneknya sebentarsebentar memandangnya, menghitung-hitung kapan saat yang terbaik untuk merampas dan menggendongnya.

Karmila memanggil Feisal dengan anggukan kepalanya. Feisal mendekat.

"Aku mau pulang dulu ke rumah ibu. Tidak keberatan, bukan?"

"Mengapa?" tanya Feisal, terkejut. Karmila menunduk.

"Tidak apa-apa," bisiknya.

"Tapi mesti ada alasan! Dulu, waktu Tasia..."

"Ada apa? Ada apa?" kedua ibu itu serentak memberondong mereka dengan pertanyaan ingin tahunya.

"Mila mau pulang ke rumah Ibu," kata Feisal, memandang mertuanya.

"Ke rumahku saja," kata ibu Feisal dengan cepat.

"Ibumu sudah cukup repot! Aku di rumah keisengan. Engkau akan mendapat kamar Feisal. ..."

"Bukan begitu soalnya. Kita ingin tahu apa alasannya," kata Feisal.

"Tidak apa-apa." kata Karmila, tersenyum.

"Ini... tentu ini karena gadis itu! Ibu juga tidak senang melihatnya. Oh, maafkan Ibu. Sal. Ibu tidak sengaja," kata ibu Karmila pada menantunya.

Feisal menggigit-gigit bibirnya. Jadi Karmila

sungguh-sungguh mau pergi dari rumah kalau Amalia masih di situ! Perempuan! Cemburu tidak keruan. Padahal tidak pernah kupikirkan anak kecil itu Sedikit pun. Bagaimanapun, dia masih kecil, seumur Zein. Dari mana didapatnya pikiran aneh itu!

"Mengapa dia tidak mau tinggal di rumahmu, Kak?" tanya ibu Kamila pada besannya.

"Gadis... siapa? tanya ibu Feisal tidak mengerti.

"Ibu," kata Karmila cepat-cepat,

"tamu ingin menghormati rumah kita dengan kehadirannya, mengapa ditolak?"

"Siapa ini? Siapa?"

Tapi tidak ada yang menjawab pertanyaan itu.

Feisal mau menerangkan, tidak tahu harus mulai dari mana. Selama Amalia datang ke sini, dia belum pernah mengajaknya pergi ke rumah orang tuanya. Tentu saja ibunya tidak tahu.

"Sal, engkau harus mencari jalan. Dengan halus carikan tempat lain. Saya juga tidak begitu suka kalau di rumah saya ada gadis cantik yang terus main mata dengan suami saya! Betul kan, Kak?" kata ibu Karmila, menyebabkan Karmila tidak enak hati, melihat mertuanya melongo.

"Ibu, kita tidak mengusir tamu, bukan?"

"Siapa yang mengusir tamu. Mila? Engkau lebih suka rumahmu berantakan?"

"Siapa... siapa... ini yang sedang dibicarakan?

Siapa Dik?"

Ibu Karmila memandang menantunya dengan heran.

"Oh, Ibu memang belum bertemu dengan Amalia," kata Feisal gugup.

"Dan siapa Amalia?" tuntut ibunya dengan bengis.

"Anak Paman Hamid."

"Siapa Paman Hamid?"

"Ibu! Dia kan saudara sepupu Ayah?! Di Kuala Lumpur? Lupa? Hamid?" Feisal memandang ibunya yang menatapnya juga sambil berpikir keras.

"Kalau dia betul kemenakan ayahmu, mengapa tidak kausuruh tinggal bersama kami? Dan sama sekali tidak kauberitahukan bahwa dia ada di sini? Sudah berapa lama?"

"Tiga bulan lebih."

Karmiila memegang lengan mertuanya dan mengguncang-guncangnya.

"Ibu, jangan marah. Feisal tidak salah. Saya cuma ingin istirahat di rumah. Bukan karena ada apa-apa." Karmila tersenyum semanis mungkin untuk meyakinkan semua orang, tapi dia tidak mau memandang Feisal.

"Bagaimanapun, Ibu harus melihat anak ini! Masakan sudah hampir empat bulan... ce... ce... cc.... Kalau pamanmu tahu, siapa yang malu? Kan

Ibu juga? Masakan anaknya kemari. tidak ditengoktengok oleh ayahmu?! Sal, di mana pikiranmu?"

"Saya antarkan Ibu ke rumah," kata Feisal dengan cepat.

"Itu paling baik. Dan kau telepon juga ayahmu! Suruh dia datang juga! Adik di sini saja bersama Mila, ya. Mil, jangan takut! Kalau gadis itu ada main dengan Feisal, Ibu usir dia!"

"Bu, jangan ribut-ribut. Biarlah saja, kalau dia mau pergi. Jangan dimaki-maki. Kalau ada apa-apa, tentu bukan dia sendiri yang salah!"

Feisal memandangnya dengan terkejut, tapi Karmila mengalihkan pandangannya pada bungkusan yang tidur nyenyak di sampingnya.

"Ah, tenang-tenang saja. Ibu dapat membereskan perkara ini bersama ayahmu."

"Jangan sampai anak-anak tahu. Pukul sebelas mereka pulang."

Feisal menelpon ayahnya, kemudian pulang ke rumah bersama ibunya. Ayahnya ternyata sudah menanti di pinggir pintu pagar. Begitu melihat mereka datang, tergesa-gesa dibukanya pagar besi yang dibuat sembarangan itu, menurut Edo lalu dihampirinya mobil. Sambil membukakan istrinya pintu. laki-laki tua itu mengomel.

"Aku tidak tahu apakah aku sudah linglung atau gila! Tapi seingatku, Hamid tidak kawin dengan India. Dan anak bungsunya, perempuan satu satunya, pasti belum berumur lebih dari sepuluh tahun Yang sulung, lebih muda dari Feisal "

"Jadi siapa dia?" bentak istrinya.

"Aku mana tahu?!" katanya sambil memandang Feisal.

"Saya... saya bertemu dengan dia di rumah Paman Hamid. Namanya Amalia. Dia bilang, dia anak..."

"Kawajak dia kemari?" tanya ayahnya dengan ganas sambil berjalan masuk.

"Salam, tunggu di luar saja." kata Feisal, melambatkan tangan lalu tergesa-gesa menyusul ayahnya.

"Saya tidak mengajaknya, Ayah. Sungguh sungguh, tidak. Ketika saya sedang duduk-duduk di airport, Amalia datang. Katanya dia juga mau kemari, mau kursus. Dia bilang, Paman Hamid mengizinkannya tinggal di rumah saya kalau saya tidak keberatan. Tentu saja saya tidak keberatan "

"Hmm... tentu saja...," ejek ayahnya.

"Gadis secantik itu?! Aku sudah melihatnya tapi dia belum tahu siapa Ayah. Disangkanya mungkin, aku ayah Karmila. Biar saja. Kita mau lihat sampai di mana kelancangannya!"

"Ayah. saya tidak ada apa-apa dengan dia," kata Feisal setengah putus asa.

"Hm. Hm ..."
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berilah saya kesempatan untuk membuka kedoknya dan membuktikan kata-kata saya."

Laki-laki tua itu berhenti dan menatap anaknya dari atas sampai bawah.

"Aku beri engkau kesempatan!"

Amalia tengah di dapur bersama Bibi Emi.

"Bibi tidak memasak apa-apa, tapi kita ingin menghias meja sedikit. Karmila amat suka melihat bunga," kata Bibi Emi padanya.

Amalia menawarkan diri untuk membeli anyelir dan kemudian mencantumkannya dengan jarum jarum pentul di atas taplak putih. Dia tengah asyik menghias ketika Feisal masuk.

"Hallo, sibuk?"

Amalia mengangkat kepalanya.

"Hei," serunya gembira,

"mengapa pulang sekarang? Mana istrimu?"

"Ah, jangan pikirkan dia. Sekarang hanya engkau dan aku, bukan?" bisik Feisal, menghampirinya.

Amalia memandangnya dengan mata yang eksotik. Dibasahkannya bibirnya. Feisal menggigil melihatnya. Jijik.

"Aku akan membelikan engkau rumah. Engkau dapat segera menulis surat pada ayahmu, sebelum istriku pulang dari rumah sakit. Aku akan tulis sekarang!"

"Jangan."

"Kenapa?"

Amalia menggoyang pinggulnya dan melirik dengan genit.

"Aku bukan anak Tuan Hamid, pamanmu."

"Oh, tidak jadi soal."

"Aku anak tetangganya. Sering main ke rumahnya.

"Dan ketika aku ke sana, engkau sedang main?"

Amalia mengangguk, tersenyum.

"Tidak jadi soal!"

"Dan aku tidak bekerja pada perusahaan konfeksi pakaian!"

"Tidak apa-apa!"

Amalia tersenyum menang sekarang. Feisal dibelai-belainya. Laki-laki itu menyumpah-nyumpah dalam hati dan mengharapkan ayahnya betulbetul mendengarkan di balik gorden panjang yang terjuntai dekat mereka.

"Aku bahkan tidak bermaksud kursus apa-apa."

Masya Allah! Setan!

"Aku cinta padamu! Aku ingin mengikutimu ke mana engkau pergi! Semula Amalia kira, Abang belum beristri!"

"Dan sekarang?!"

"Terserah putusan abang," kata Amalia dengan manis.

"Amalia bersedia memelihara anak-anak."

Bagus! Kalau terserah padaku, aku giling kau dengan stoonnt'als supaya bibirmu yang menjijikkan itu bisa kering untuk selama-lamanya"

"Oh! aku harus menulis surat pada pamanku. Mengabarkan hal ini. Lepaskan aku!"

Pada pendengaran ayahnya, Feisal seakan-akan menjerit ketakutan. Tak tertahan hatinya mau keluar dan menampar iblis perempuan itu.

"Tadi ada ayah mertuamu kemari!"

Feisal mendorong Amalia dengan marah yang bertahan-tahan.

"Inikah orangnya?" tanyanya dingin.

Amalia menoleh dan menjadi pucat. Di dekat gorden berdiri seorang laki-laki tua yang memandangnya dengan mata berapi-api.

"Ya, ini! Tolong, Bang! Amalia takut."

Feisal mundur menjauhkan diri.

"Engkau lupa padaku, Amalia? Aku saudara ayahmu. Dulu, waktu engkau masih kecil, aku sering ke rumahmu!"

Amalia pucat-pasi. Napasnya sesak seketika.

"Feisal. .."

"Kalau kausangka aku tertarik padamu, engkau gila! Kalau kaupikir aku mau menceraikan istriku atau mengkhianatinya, kalau kaupikir aku sudi menerima pelukanmu yang menjijikkan itu, engkau engkau aku dapat membunuhmu! Aku aku

Feisal amat marah. Urat-urat di pelipisnya menonjol ke luar. Mukanya merah biru. Tangannya terkepal erat-erat. Bibirnya putih. Matanya membelalak lebar-lebar.

"Lekas menggelinding pergi sebelum kuseret kau ke kantor polisi! Lekas! Bawa semua milikmu yang haram itu!" hardik ayah Feisal.

"Kalian tidak dapat berlaku seperti ini. Aku tidak terima! Aku minta ongkos!"

"Tidak sepeser pun tahu?!" bentak laki-laki tua itu sambil mengawasi anaknya, kalau-kalau dia menjadi kalap.

"Aku akan lapor pada ketua er-te. Aku tidak terima! Diperlakukan sewenang-wenang! Aku diusir!" teriak Amalia sambil membalas pandangan kedua laki-laki itu dengan gagah berani.

"Aku akan kasih tahu apa sebabnya engkau diusir!"

"Kau tidak mempunyai bukti, Tua Bangka!!"

"O ya?! Coba dengar!"

Ayah Feisal mengulurkan tangannya ke belakang garden lalu terdengar suara Feisal dan Amalia saling merayu.

"Setan! Aku tidak terima ini. Licik! Padahal aku tidak mau menyusahkan siapa pun!" katanya. tiba-tiba tersedu-sedan di atas kursi.

"Aku cuma ingin suami yang kaya dan baik hati.

Hu hu... hu "

"Lekas pergi sebelum kucekik lehermu," bentak Feisal.

"Lekas!"

"Ayo, menggelindinglah, Perempuan tidak tahu malu! Atau aku telepon polisi!"

Ibu Feisal yang sejak tadi ditahan-tahan oleh Bibi Emi, ternyata berhasil melepaskan diri dan tiba-tiba saja sudah berada di situ. Kalau tidak dibawa masuk oleh suaminya, tentu banyak kata kata lain yang dikeluarkannya untuk menghina gadis itu.

"Betul-betul liar!" gumam ayah Feisal.

"Seumur hidup belum pernah aku memaki perempuan!"

"Kecuali aku!" Istrinya meliriknya dengan senyum asam manis.

"Feisal, panggil Salam! Suruh dia jemput Karmila sekarang. Engkau tidak dapat menjumpainya dengan tampang serupa itu!! Pergilah ke kamarmu. Kubereskan perempuan itu!"

Ketika Karmila tiba di rumah, segalanya sudah beres. Tenang dan cerah seperti biasa.

"Salam, cepat ambil anak-anak," kata Karmila ketika melihat anak-anak belum pulang.

"Sudah setengah sebelas lewat. Cepat!"

Fani pernah naik bis bersama adiknya ketika terlambat dijemput. Ibunya hampir putus jantung mendengar Fani bercerita mengenai bis yang berlari seperti di lapangan balap. Dia menyuruh anak itu

berjanji, tidak akan naik bis lagi. Setidak-tidaknya sampai engkau duduk di es-em-pe, mengerti?!

Setelah makan, ibu dan mertuanya pulang. Karmila duduk di ruang tengah menantikan anakanak.

"Tidak kembali ke kantor?"

"Mau. Menunggu Salam."

Setengah dua belas mereka baru pulang. Fani berlari-lari dikejar Tasia. Masing-masing berebutan memeluk ibunya.

"Tidak ada yang mau kiss Papa?" tanya Feisal.

Anak-anak memandangnya lalu tertawa.

"Awas! Papa tidak ajak naik draaimolen lagi. Papa ajak Deni saja."

"0 ya, Deni," teriak Fani,

"di mana dia?"

"Marilah," kata Karmila mengajak mereka,"dia ada di kamar." Melalui bahu dia memandang Feisal.

"Ayo, ke kantor. Sudah jam berapa ini?" Feisal menggaruk-garuk kepala. Dilihatnya jam-nya lalu berjalan keluar sambil mengedip-ngedip dengan jenaka.

"Kalau kalian tidak ribut," bisik Karmila.

"boleh masuk dan melihatnya."

Tempat tidur kecil itu diletakkan di sudut kamar tidur Kamiila, sebab tidak ada kamar lain. Feisal merencanakan untuk memindahkan buku-buku ke paviliyun, tapi belum sempat.

"Bagus, bukan?"

Tasia mengangguk berulang-ulang. Kalau tidak dipaksa pergi. dia akan terus berdiri di situ.

"Ingat, Non! Ganti baju lalu makan!"

"Mama, Daniel laki-laki, bukan?" tanya Fani.

"Tentu. Kenapa?" tanya ibunya, pura-pura tidak mengerti.

Fani melirik ibunya lalu tersenyum malu.

"Kalau laki-laki bukankah Fani menerka betul?"

"Sisi juga."

"Ssst... jangan keras-keras." Karmila tersenyum.

Anak-anak tidak pernah lupa janji orang tuanya! Berhati-hatilah. Kadang-kadang sampai dewasa mereka masih ingat sesuatu janji yang tidak dipenuhi.

"Makan dulu. Ganti baju. Kalian akan menerima sesuatu yang istimewa dari Mama karena sudah jadi anak-anak yang baik waktu Mama tidak ada. Tapi... ada yang berkelahi? Tidak?"

Kedua anak-anak itu menggeleng dengan sungguhsungguh. Karmila memeluk mereka dengan bangga.

Sore itu anak-anak pergi les piano. Rumah sepi. Selesai mandi, Karmiila diam di kamar membaca kartu-kartu selamat yang dikirim teman-temannya.

Satu di antaranya berasal dari Ana. kawannya

dulu. Dia sekarang di Surabaya dengan dua anak.

"Hei! Tidak ada orang di luar. Untung ada Caesar yang membukakan pintu."

Karmiila menoleh. Feisal melemparkan sebuah surat.

"Ketinggalan di luar!"

"Dari siapa?"

"Kalau dari Australia, biasanya dari siapa?"

Berhenti detak jantung Karmila sesaat. Akhirnya dia membalas. Disobeknya amplop itu dengan cepat.

"Aku selalu membuka surat dari kekasihku dengan hati-hati," kata Feisal di belakangnya,

"misalnya dengan gunting yang ada di depanmu."

Karmiila tidak peduli. Feisal mengangkat bahu lalu menghampiri ranjang Daniel!

Kamila mengeluarkan sebuah kartu undangan biru yang mewah. Edo! Akhirnya Edo...! Dengan Myma B. Fawcett! Oh! Mengapa bukan Louise? Ke mana dia? Karmila membolak-balik kartu itu. Hm. Biru memang kesayangan Tuan Besar Edo. Tapi, dia tidak menulis apa-apa mengenai suratku! Tidak sampai? Dibacanya sekali lagi. Sakramen Perkawinan di St. Mary's Church. Tanggal... Jam Oh, betapa bahagia rasanya. Seakan-akan bebas dari tindihan batu yang selama ini memberati hatinya ke mana pun dia pergi, apa pun yang diperbuatnya.

Untuk pertama kali, dia merasa betul-betul lega.

Hm, pakai PS segala! PS. Tellyour husband. Helen is his. She always is. No haidjeelings.

"Hei, kenapa tertawa sendiri? Dia kirim tiket lagi?"

"Kunyuk!" Karmiila melemparkan kartu itu ke mukanya.

Feisal membacanya dengan amat ingin tahu.

"Bagaimana?" tanya Karmila dari punggungnya.

"Bagaimana kalau kita pilih Edo untuk Daniel?!"

"Apa?" tanya Feisal membalik dan menatapnya.

"Kau tentu tidak lupa. Daniel belum dipermandikan. Dan dia perlu bapak permandian. Bagaimana kalau Edo? Aku rasa dia akan kemari memperkenalkan istrinya. Ya? Katakan. ya!"

"Apakah ini paksaan? Belum tentu dia setuju! Gampang saja. 0 ya," Feisal melambaikan kartu di tangannya,

"jadi namamu Helen? Bukan Helen of Troy, kan?"

"Aku lebih suka jadi Karmila. Helen yang mencintai Edo sudah di kubur di halaman sebuah rumah putih dengan permadani merah Karmila terdiam.

"Jangan menangis!"

"Siapa yang menangis? Serius ini, Sal. Kau setuju tidak?"

"Setuju saja. Daripada perang sabil. Tapi... kalau dia tidak mau?"

"Di dunia ini ada dua laki-laki yang selalu menuruti kehendakku, engkau, Kunyuk, dan dia!"

Feisal mengangkat bahu dengan rupa mencemooh.

"Sesukamu. Pokoknya jangan kaucarikan siapa-siapa bagiku. Aku sudah memilih ayahmu."

"Apa?" teriak Karmila kegirangan.

"Ssst... nanti dia bangun."

"Engkau mau dipermandikan juga?!"

"Kaupikir gereja milikmu sendiri? Kenapa aku, tidak?"

Karmila tiba-tiba memandangnya dengan serius.

"Jangan main-main, Sal. Sejak kapan engkau belajar katekismus?"

"Jangan mau tahu rahasia laki-laki!"

Karmila menatapnya sedetik lalu tertawa, memeluknya erat-erat.

"Oh, sekarang aku tahu, aku betul-betul cinta padamu!"

"Baru sekarang? Mengapa baru sekarang?"

"Kunyuk!"

Feisal memeluknya.

"Sal, aku ingin tahu, mengapa engkau tidak tertarik pada Amalia?"

"Karena aku cinta pada istriku. Tolol. Kalau engkau ujian begini padaku, pasti tidak lulus. Hal yang begitu essential! Dokter Edi terlalu baik. Angka tujuh untukmu?! Apakah engkau tidak tahu, Bidadari Tolol, aku cinta istriku sejak pesta terkutuk itu, hampir sepuluh tahun yang lalu!" Feisal menunduk dan meletakkan pipinya pada wajah istrinya yang halus.

"Tapi malam itu tidak lagi terkutuk. Ya, bukan? Katakan, ya!"

"Kalau engkau katakan begitu, ya. Ya. Ya." kata Feisal.

"Nomor telepon Dokter Edi?"

Feisal memandang istrinya lalu menyeringai.

"Aku sudah tahu. Aku langsung melihatnya malam itu juga. Tujuh tujuh delapan sembilan! Kau perlu advisnya?" tanya Feisal menyelidik.

"Takkan pernah!"

"Aku juga."

Tamat


Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Pedang Bayangan Dan Panji Sakti Huan Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini