Ceritasilat Novel Online

Namamu Terukir Di Hatiku 1

Namamu Terukir Di Hatiku Karya Marga T Bagian 1



Namamu Terukir Di Hatiku

Marga T

Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 1991

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

*****

MATAHARI pagi menyinari kebun dengan lembutnya. Burung-burung riang bercuit-cuit pada dahan-dahan pohon yang rindang. Hari memang masih pagi sekali. Burung-burung masih belum berlalu, bunga-bunga pun belum mengatup kepanasan, semuanya menambah meriahnya keindahan dengan warna-warni mereka yang elok. Kebun belakang Bibi Nella memang terpelihara baik sekali berkat kerajinan Pak Kebun.

Pagi cerah penuh simfoni alam tampak menggugah pikiran Atila yang tengah duduk dalam kamarnya di loteng, bertumpu dengan sikunya di pinggir jendela, memandang ke dalam taman.

Gadis itu belum lagi dua puluh tahun usianya. Wajahnya licin dan halus. Kulitnya putih gading sedangkan alis matanya hitam pekat. Hidungnya meliuk ayu dari dahi ke bawah, meruncing di bagian ujung, membentuk sudut yang manis dengan bibir atasnya yang mungil sementara bibir bawahnya yang penuh tampak kemerahan walau tanpa polesan. Dia baru saja bangun tidur, belum mandi, belum berias. Namun wajahnya yang bujur telur tetap kelihatan menarik dalam rangkuman rambut pendek yang melengkung ke dalam, membentuk pigura hitam yang menambah keelokannya. Sayang dia tidak tampak siap tersenyum. Bahkan bunga-bunga cantik yang tengah bergurau dengan burung-burung pun tak bisa menyapu kekeruhan dari mukanya. Matanya yang hitam bening meredup seakan menatap sesuatu di kejauhan, namun sesungguhnya dia tidak melihat apaapa. Sebab dia tengah melamun.

"Aneh sekali melihat kau kawin begitu cepat!" ujar Ani sambil mengamatinya dalam cermin.

"Rasanya baru kemarin dulu kita tamat sekolah!"

"Apa boleh buat!" Atila mengangkat bahu.

"Daripada enggak boleh ke Jakarta!"

"Kenapa sih kau mati-matian begitu mau jadi dokter?" tanya Lisa mengerutkan kening.

"Aku sih diupah juga ogah!"

"Memangnya kenapa? Takut? Atau jijik?" Atila ketawa memperlihatkan barisan gigi-giginya yang putih rata.

"Ya dua-duanya. Kabarnya, orang harus berani masuk ke kamar mayat sendirian! Harus mau membedah mayat-mayat yang sudah busuk! liih, aku sih terima kasih saja deh! Mendingan buka salon kecantikan, tamu-tamunya selalu apik dan cantik!"

"Barangkali orangtuamu sebenarnya enggak setuju kau maSuk Kedokteran, La. Karena itu mereka sengaja menyuruhmu kawin dulu sebagai syarat, tapi sebenarnya supaya kau batal. Enggak tahunya kau malah laju terus!" Ani ngikik sambil menutupi mulut agar gigi-giginya yang kurang sempurna tidak merusak pemandangan.

"Kalau memang itu maksud mereka, berarti orangtuaku enggak tahu betapa kepala batunya aku

ini! Tapi enggak, kok. Aku rasa ibuku memang khawatir aku di Jakarta nanti kenapakenapa jauh dari rumah. Mereka pikir kalau sudah bersuami kan ada yang akan menilik aku! Ah, itulah susahnya jadi anak tunggal! Ke mana-mana dikhawatirkan terus! Coba seandainya aku punya abang.!" Atila menghela napas.

"Tapi suamimu kan cukup tampan. Calon dokter lagi!" puji Ani bukan tanpa sedikit iri.

"Yah! Memang lumayan, enggak terlalu jelek!"

"Kalau setampan itu masih kau anggap kurang, wah! Mau cari yang seperti apa lagi?" seru Lisa melotot.

"Tahu, deh. Rasanya dalam hatiku enggak ada apa-apa baginya," keluh Atila.

"Alaa, cinta itu kan bisa dibina pelan-pelan!" Lisa sok mengajari.

"Cinta! Cinta apa? Cinta itu cuma omong kosong, tahu!" seru Ani lebih sok menggurui.

"Penting amat sih cinta itu! Padahal mana mungkin orang hidup dengan cinta tok! Coba deh, apa baju dan sepatumu bisa dibeli dengan cinta?" Dia menunjuk Lisa yang tidak meladeni.

"Lantas, gimana kalian akan hidup di sana? Suamimu kan masih kuliah. Siapa yang akan mencari nafkah?" Lisa bertanya heran.

"Itu kan urusan ayah dan ibuku! Mereka yang ingin aku kawin, begitu juga dengan orangtua Jiro. Jadi merekalah yang mesti menanggung biayanya. Dan memang itu sudah mereka sanggupi." Atila mengangkat bahu sambil meneruskan dandannya dibantu oleh Lisa yang punya ijazah Kecantikan.

"Bagaimana dengan calonmu itu? Apa dia... anu, cinta padamu?" bisik Lisa sambil membedakinya.

Atila mengangkat bahu lagi.

"Tahu deh. Menurut ibuku, Jiro sudah naksir diriku. Tapi orangnya sendiri tak pernah bilang apa-apa padaku. Waktu pertama kali dipertemukan dia malah buang muka!"

"Barangkali masih malu!" tukas Ani ketawa kecil.

"Malu?! Mana pernah ada laki-laki mengenal kata itu? Kecuali, barangkali... kucing! Ha ha ha ha ...!" Lisa ngikik geli.

"Aduh! Tahu dari pengalaman pribadi nih, ye!" ejek Ani membuat Lisa melemparnya dengan sisir.

"Hei, hei!" pekik Atila.

"Itu sisir tanduk ibuku! Kalau patah, aduh!"

Atila tersenyum dalam hati terkenang gurawannya di rumah sehari menjelang perkawinannya. Tapi senyum itu segera sirna ketika lamunannya melayang ke malam pertama.

Sudah hampir jam sebelas malam, namun tamu-tamu masih banyak yang belum pulang. Mereka memang kebanyakan keluarga dan tetangga. Teman-temannya sendiri sudah tak ada lagi.

Atila duduk di pinggir ranjang. tak tahu menunggu apa. Bajunya sudah lama digantinya dengan gaun tidur panjang dari katun. Sebenarnya dia diberikan

setengah lusin baju tidur nilon yang bagus-bagus modelnya, penuh renda serta cantik sekali melekat di tubuhnya. Tapi dia lebih suka bajunya yang lama, yang sudah setengah pudar warnanya serta lemas dalam sentuhan. Gaun nilon itu terasa agak kasar dan kaku, walau diakuinya bagus-bagus warnanya. Tapi sayang terlalu tipis, sehingga tak ada apa pun yang tersembunyi di baliknya.

Kamar pengantin mereka adalah bekas kamarnya sendiri. Ranjang pengantinnya juga ranjangnya sendiri yang sebenarnya pas-pasan kalau dimuati dua orang. Tapi karena mereka akan segera berangkat ke Jakarta, tentu saja mereka tak perlu membeli ranjang baru. Orangtua Jiro, Bapak dan Ibu Yunus, telah menawarkan sebuah kamar yang lebih besar di rumah mereka, tapi Atila lebih suka tetap dalam rumah ayahnya dan mereka tidak memaksa.

Atila duduk agak ke tengah ranjang, berjuntai dengan tungkainya yang panjang dan mulus indah. Sambil mengayun-ayun kaki dipeluknya boneka beruangnya yang sudah tua. Matanya menyapu lantai yang penuh bingkisan. Tak ada seleranya untuk membuka semua kado itu. Biarlah besok saja.

Pikirannya melayang kepada teman-temannya. Ani mungkin sedang membaca novel. Pada saat-saat hening begini tak ada kegiatan yang lebih disukainya selain berbaring di ranjang mencucurkan air mata untuk seorang gadis yang malang dalam sebuah buku. Ani memang agak cengeng, saluran air matanya kelewat pendek menurut pengakuannya sendiri. Kalau Lisa... hm, mungkin sedang sibuk membersihkan

muka untuk persiapan tidur. Katanya, dia butuh waktu paling sedikit sejam untuk itu. Kalau tidak sedang menghitung calon-calon jerawat di depan cermin, dia pasti tengah asyik menonton video. Apalagi sudah tak ada pe-er, tak ada ulangan, tidurnya lewat tengah malam terus saking ketagihan nonton. Kalau bukan sedang lengket di sofa kesetanan video, itu berarti Herman-nya belum pulang. Jam malam mereka memang pukul dua belas. Kalau Herman belum pulang, itu berarti keduanya sedang duduk-duduk di bawah pohon nangka, mungkin sedang asyik cekikikan menertawakannya. Ya, tadi siang pun keduanya sempat menyindirnya.

"Sudah enggak tahan lagi nih, rupanya!" bisik Herman ke kupingnya membuat wajahnya terasa panas. Untung riasannya cukup tebal sehingga dia berharap rona merah di pipinya takkan bisa dibedakan dari range.

"Jangan gampang-gampang menyerah!" bisik Lisa, si monyet itu.

"Gigit dulu kupingnya kek, biar sampai hampir putus; sampai dia mintaminta ampun, baru ." Lisa terkekeh. Monyet! Sayang dia tidak sempat memakinya, sebab tamu-tamu sudah antre hendak menyalaminya.

Atila menunduk memandangi jari-jari kakinya yang terayun-ayun sementara lengan-lengannya mendekap mesra beruang coklatnya. Hatinya tersenyum teringat kawan-kawannya yang serba

lucu. Joko sempat teraduh-aduh menyatakan patah hati, sehingga dia tak bisa menahan ketawa. Namun ketika dia melirik ke samping, didapatinya Jiro tengah menatap tanpa senyum sedikit pun sehingga Joko tersipu-sipu, serentak menegakkan kembali tubuhnya yang terbungkukbungkuk dan bergegas menyalami mereka, lalu menyingkir.

Ah, Jiro rupanya tak suka humor, pikirnya menempelkan pipi ke kepala beruang. Dan suami yang tidak kenal humor biasanya sadis ya, Boni, katanya pada beruangnya. Atau cemburuan! Ah, masa bodoh mau cemburuan kek atau sadis kek! Eh, tapi kalau dia sampai berani memukul aku, kontan aku akan balik ke rumah ibuku! Atau kabur ke mana saja. Pokok nya, akan kutinggalkan dia! Memangnya aku ini dianggapnya apa, berani-beranian dia memukulku?! Huh! Mentang-mentang calon dokter! Dikiranya dirinya hebat, tampang lumayan, badan tegap! Tapi aku sih enggak gampang terpincut, deh! Kalau dia galak-galak padaku, aku akan...

Lamunannya terputus dengan terbukanya pintu kamar. Dia menoleh terkejut. Kakinya serentak berhenti berayun. Dipeluknya Boni lebih erat seakan mencari perlindungan. Sejenak dia melongo seolah tidak mengerti siapa yang tibatiba nyelonong masuk tanpa permisi itu. Tapi sedetik kemudian dia melengos saat ingatannya pulih lagi. Ketika dia melirik didapatinya Jiro tengah duduk membuka sepatu, menghadap ke dinding, membelakangi dirinya. Dia melengos lagi ketika laki-laki itu mulai melepaskan pakaian.

Dia menatap lantai menunggu entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Pikirannya menjadi tegang. Semua teman-temannya mendadak lari menghilang dari ingatan. Dia sendirian tanpa kawan. Kini tak ada lagi orang yang akan dekat padanya kecuali Boni yang tak bisa apaapa. Dia akan sendirian seumur hidup menghadapi... tiba-tiba matanya tertumbuk pada sepasang kaki yang menganga lebar di hadapannya. Tungkainya terpalut celana piyama biru bergaris putih yang kelihatannya maSih baru.

"Kenapa enggak kaupakai baju tidur yang kubelikan setengah lusin itu?"

Atila sedikit kaget mendengar suaranya walau sebenarnya dia sudah bersiap-siap untuk mendengarnya setiap saat. Sebab lambat atau cepat laki-laki itu pasti bersuara, bukan? Dan inilah pertama kali dia mendengarnya. Ketika mereka dipertemukan dulu itu, Jiro tidak berbunyi, tapi malah melengos!

Atila mengangkat kepala ragu-ragu, bukannya takut tapi risi dan malu. Didapatinya Jiro tengah menatapnya dengan kedua tangan di pinggang. Aduh, agaknya seperti jagoan saja, pikirnya sempat merasa geli. Bukannya koboi Spageti, tapi koboi nasi rawon! (Kata ibu mertuanya, anak tunggalnya ini paling suka rawon.) Jadi baju-baju nilon yang bikin gerah itu hasil bebannya! Pantas! Tak tahu rupanya dia bahwa nilon itu paling enggak cocok untuk hawa panas! Untung enggak dipakainya! Bisa makin lama dia berkacak pinggang dan makin besar kepalanya!

"Sudah kebiasaan pakai baju ini. Lebih enak baju tua," kilahnya berharap dia akan tersinggung dan

akibatnya akan menjauhinya malam ini. Dia sudah menyediakan dipan-dari kamar sebelah-dengan harapan Jiro akan berminat tidur di situ! Tapi Jiro tidak kelihatan tersinggung, entah berkulit badak atau terlalu penuh toleransi (paling cuma taktik belaka!). Cuma alisnya terangkat sedikit dan kelihatannya seperti mau ketawa ketika dia melirik Boni. Tanpa sadar Atila mempererat pelukannya seakan tak ada yang bisa membahayakan dirinya selama Boni dalam rangkumannya. Tapi Jiro tidak berusaha mengenyahkan Boni. Tangannya tetap di pinggang ketika dia bilang,

"Mulai malam ini kau akan hidup baru! Semua kebiasaan-kebiasaan lama mesti kautinggalkan!"

Jiro berhenti sejenak seakan menunggu reaksi. Ketika Atila diam saja, dia melanjutkan,

"Perkawinan kita ini memang sandiwara yang enggak lucu! Rasanya harga diriku terbanting, tidak bisa mencari istri sendiri! Harus menerima apa yang disodorkan orangtua!"

Atila mengangkat muka dan menatapnya dengan tajam. Kalau disangkanya aku rela dikawinkan dengannya, pikir gadis itu sengit, dia sungguh salah duga! Dikiranya aku tidak merasa terhina harus menerimanya mentah-mentah! Heran, kenapa Mama bilang, dia sudah lama naksir diriku?! Perasaannya yang menggelegak membuatnya sudah mau membuka mulut, tapi keburu didului.

"Yah! Segala sesuatu yang kita inginkan harus berani kita bayar! Kau ingin kuliah ke Jakarta. Untuk itu kau harus kawin denganku! Aku ingin mendapat warisan. Untuk itu aku harus mau kawin denganmu!

Aku harus memberikan seorang cucu laki-laki dulu pada ayahku sebelum aku bisa diakuinya sebagai ahli waris. Bila aku gagal, maka sepupuku yang akan jadi ahli waris! Kalau teman-teman kuliahku tahu, aku pasti akan jadi bahan tertawaan! Tak tahu lagi di mana mukaku harus ditaruh. Jadi jangan berani-berani kau mengaku sebagai istriku! Kalau terpaksa, bilang saja kita baru bertunangan, mengerti?"

Atila bengong menatapnya. Dia tidak bersiaga untuk mendengarkan kuliah macam begini, sehingga dia tidak siap untuk menjawab atau menangkisnya. Jiro menatapnya dengan mata hitam yang hening, lalu setengah menghela napas dilepasnya kedua tangannya dari pinggang. Dia berbalik dan melangkah ke arah sakelar. Atila makin tegang menunggu. Dipeluknya Boni erat-erat seakan dia kedinginan dan Boni bisa menghangatkannya. Jiro berdiri di depan sakelar dengan siku tertumpu di tembok, siap membunuh lampu. Tapi tiba-tiba dia berbalik sehingga terpandang olehnya sepasang mata bundar yang menatapnya tanpa kedip.

"Takut?" ejeknya.

"Hm. Bagus juga kalau kau takut padaku!"

Ketus sekali orang ini, pikir Atila. Dilihatnya Jiro mengangkat jari yang sudah siap untuk menyentuh sakelar, lalu menudingnya. Dengan telunjuk bergerak-gerak seperti guru di depan kelas, dia mengakhiri kuliahnya,

"Ingat! Kau adalah milikku! Jadi jangan coba-coba main mata atau bertingkah yang bukan-bukan. Nah, sekarang kau sudah tahu situasi hidup kita, jadi tak usah menuntut yang macam-macam dan aku!"

Tlekkk! Kamar menjadi gelap, tapi seberkas cahaya dari luar jendela menerangi mereka. Atila masih duduk mencangkung seakan beku tersihir tak bisa lagi bergerak.

"Menunggu apa lagi? Tidurlah! Sudah hampir tengah malam. nih!" didengarnya suara Jiro ketika laki-laki itu membuka selimut tipis di bagiannya, lalu merebahkan diri.

Atila pun terpaksa mengikuti contohnya, sebab tak ada yang bisa dilakukannya setelah lampu padam. Boni diletakkannya di samping bantal. Tiba-tiba dia merasa letih dan ngantuk sekali. Ketegangan sehari suntuk tadi kini terasa akibatnya. Sejak jam lima subuh dia sudah sibuk didandani. Sarapan cuma sesuap sebab tak bisa masuk. Makan siang tanpa arti. Tak ada selera. Santap malam lebih banyak minum dari makannya. Dan kini dia betul-betul k.o.

Sambil berbaring bersisian Atila tetap bersiaga menunggu entah apa. Tapi kemudian hatinya merasa lega. Jiro berbalik menghadap dinding. Setengah menit kemudian dengkurnya yang halus terdengar merdu di telinga Atila. Gelisahnya lenyap seketika.

***

KARENA keduanya masih kuliah, orangtua mereka memutuskan sebaiknya mereka tak usah punya rumah dulu. Dengan begitu Atila tidak perlu mengurus dan mengatur rumah tangga. Untuk sementara keduanya tinggal di tempat Bibi Nella, kakak dari ibu Jiro.

Suami Bibi Nella seorang bankir besar yang jarang di rumah karena sibuknya. Mereka mempunyai sepasang anak. Yang laki-laki sedang kuliah di luar negeri, yang perempuan masih di SMP. Rumahnya yang berloteng dengan enam kamar itu memang sepi, cocok untuk belajar. Selain itu, letaknya di daerah Kebayoran, lumayan tidak jauh sekali dari kampus Jiro.

Beberapa bulan pertama di Jakarta, Atila lebih banyak diam di rumah, sebab kuliah masih seret. Maklum Perguruan Tinggi Swasta, tak bisa dibandingkan kelancarannya dengan Negeri tempat Jiro kini kuliah di tingkat lima.

Atila menghabiskan waktu dengan membantu Bibi Nella. Lumayan dia jadi bisa belajar memasak. Dulu di rumahnya, dia tahu turun ke dapur, tapi setelah menikah dia menyadari pentingnya kepandaian masak. Apalagi melihat kenyataan bahwa Jiro doyan makan.

Pada akhir pekan atau hari libur, teman-teman Jiro biasa datang untuk belajar bersama. Bibi Nella sangat menyayangi keponakannya dan tak pernah lalai menyediakan nyamikan untuk teman-temannya. Biasanya Atila tidak ikut menemani. tapi kadang dia diminta oleh Bibi untuk mengantarkan suguhan keluar.

Pada suatu hari Minggu dia tengah mengantarkan sepiring pastel goreng ketika dari balik pintu ke ruang depan didengarnya suara seseorang yang membuatnya berhenti.

"Aku heran. Katamu kau kapok, seumur hidup takkan pernah lagi mau mendekati cewek. Kok nyatanya kau sekarang punya senggolan?"

Merasa bahwa dirinya sedang diperbincangkan, Atila menahan napas di balik pintu yang sedikit terbuka, menunggu apa lanjutan yang akan didengarnya.

"Ah, kawin kan enggak selalu berarti cinta!" didengarnya suara Jiro, tandas.

"Sakit hati dan kekecewaan tak perlu selalu dipamerkan. Kalau situasi memaksa, boleh dikubur asal jangan dilupakan. Dan aku memang bersumpah takkan melupakannya! Pertunanganku ini cuma politis kok, seperti zaman dulu di antara raja-raja. Keluarga Kiripan dan keluargaku di kota kami yang kecil. sama-sama kaya dan sama-sama cuma punya anak satu. Kebetulan orangtua kami sudah lama bersahabat. Ayahku dan ayahnya juga memiliki saham pada beberapa perusahaan yang sama. Nah...."

"Aku pernah dengar, ayahmu punya perkebunan cengkih, pabrik gula siklamat dan pabrik entah apa

lagi, aku lupa. Pasti cewekmu itu juga anak pabrikan, dong?!" seseorang terdengar menyela.

"Iya. Ayahnya punya beberapa tambak udang dan pabrik detergen. Mungkin masih ada pabrik kertas WC kalau tak salah," terdengar suara .Jiro.

"Nah, menurut ayahku. kalau saham-saham mereka itu bisa disatukan, berarti kelak aku akan bisa menguasai perusahaan-perusahaan tersebut. Paling enggak, mengendalikan jalannya management. Jadi mereka berbesan semata-mata demi pertimbangan ekonomi. Supaya harta mereka bisa bertambah banyak!" Betulkah suara Jiro kedengaran sinis?

"Dan kau mau diperjualbelikan macam sapi begitu?" terdengar suara orang ketiga.

"Kalau itu jelas, menguntungkan bagiku, kenapa enggak?" suara Jiro kedengaran menantang sekali, membuat jantung Atila berdebur liar sampai bunyinya seakan berdentum-dentum di telinga. Jadi dia tak pernah naksir diriku, pikirnya. Ibu telah berbohong ketika dia membujuk aku supaya mau. Kata Mama, Jiro sudah lama naksir. Tahunya?!

"itu namanya melacurkan harga diri!" tukas orang yang ketiga tadi.

"Ah, jangan sok puritan begitu, Tom! Kalau aku bisa punya duit banyak, kan aku jadinya enggak perlu mati-matian ngoyo buka praktek. Aku bisa mengubur diri di labor, bikin riset apa kek! Aku lebih senang riset daripada periksa pasien!" suara Jiro yakin dan mantap.

Atila sengaja berdehem keras, berlagak baru saja tiba. lalu muncul dari balik pintu. Suara mereka mendadak berhenti, tak ada yang berbunyi. Semuanya pura-pura sedang asyik membaca buku atau membalik-balik halaman. Apa topik barusan sudah selesai dibahas? pikirnya sambil menyilakan mereka makan.

"Tila, ini kau yang bikin?" tanya cowok berkumis dan bertato yang tadi diperkenalkan sebagai Tomi, yang tanpa malu-malu langsung menggigit sepotong.

"Hm. Renyah. Gurih."

"Bibi Nella yang bikin. Aku sih cuma membantu," sahutnya tersenyum.

Melihat kawannya terpejam-pejam keenakan, Basir, yang sudah dikenalnya dari kunjungankunjungan terdahulu, tak mau ketinggalan. Sambil menjangkau sebuah pastel dia mengeluh,

"Heran! Kenapa ya cewek-cewek cakep yang pintar masak enggak pernah melintas dalam hidupku!"

Anak yang bernama Rio dengan rambut cukuran landak pun, yang suaranya terdengar mengatakan Jiro sudah kapok, ikut memanjangkan tangan. Cuma Jiro sendiri yang menunduk terus menekuni textbook seakan tidak menyadari bahwa dia ada di dekatnya... atau sengaja tak mau mempedulikannya?!

"Silakan. Saya tinggal dulu, ya," kata Atila memaksakan sebuah senyum yang nyaris kelihatan meringis, lalu cepat-cepat berlalu. Tapi masih sempat dia mendengar Rio bilang,

"Kalau kau sudah bosan, tunanganmu itu oper saja deh sama aku! Meskipun keluargaku enggak sekaya keluargamu, istriku dijamin takkan kelaparan. Selain itu. dia pasti akan bahagia sebab aku akan mencintainya! Ha ha ha...."

Senda gurau itu terngiang terus di kuping sehingga tanpa sadar Atila jadi memikirkannya. Dan entah kenapa hatinya jadi gelisah.

Minggu siang seperti biasa Paman dan Bibi suka beristirahat sampai petang lalu minum kopi. Farida, putri Bibi. sedang pergi ke rumah kawannya, katanya mau belajar. Atila terkadang juga istirahat di kamarnya di sebelah kamar Jiro, tapi sekali ini dia memutuskan lebih baik membaca saja di teras belakang. Siapa tahu Jiro memerlukan apa-apa atau salah seorang temannya ingin dibuatkan minuman lagi.

Diambilnya sebuah buku detektif, dan ditariknya dua buah kursi hingga berhadapan, lalu dia duduk melonjorkan kaki. Cerita detektif sebenarnya belum pernah gagal menyita perhatiannya selama ini, namun saat itu ada sesuatu yang lebih penting dalam benaknya.

Mengingat usianya yang baru sembilan belas dan statusnya sebagai mahasiswi yang masih panjang masa kuliahnya, ibunya telah mengusulkan agar Atila jangan hamil dulu untuk sementara waktu. Sedikitnya untuk beberapa tahun mendatang. Mungkin Jiro juga mendapat nasihat yang sama dari rumahnya, sebab dia langsung mengusulkan agar mereka punya kamar sendiri-sendiri (dengan alasan supaya tidak saling terganggu kalau belajar), dan hingga kini belum pernah menjamahnya! Sudah berapa lamakah mereka kawin?! pikir Atila. Dia menghitung-hitung dalam hati. Ah, tiga bulan lebih. Dia sama sekali tidak merasa keberatan dengan sikap Jiro. bahkan merasa senang bisa punya kamar sendiri. Tidak dijamah pun tak apa-apa, dia tidak merasa kekurangan. Tapi kini.

setelah mendengar senda gurau barusan, hatinya jadi bertanya-tanya.

Apakah sikap Jiro ini mengandung arti tertentu? Betulkah dia pernah disakiti oleh seorang perempuan? Dendamkah dia pada cewek-cewek? Apa jadinya kalau ternyata seumur hidup Jiro tak sudi menjamahnya, lalu dia dicap mandul oleh pihak mertua?

Susahnya, mereka belum pernah berkenalan sebelum perkawinan, sehingga dia merasa kikuk untuk memulai suatu percakapan. Terlebih kalau topiknya begini sensitif. Selama tiga bulan ini mereka cuma berbasa-hasi sekadarnya di hadapan Bibi atau Paman. Kalau berduaan (untung jarang sekali), mereka lebih senang membisu. Dari pihaknya, sebab dia tak tahu harus mulai dari mana. Dari pihak Jiro, entah kenapa bungkam. Terkadang suaminya malah kelihatan melamun, seakan pikirannya sama sekali tidak ada di tempat.

Kalau kebetulan Paman, Bibi, dan Farida sedang pergi, dan mereka harus makan berdua saja, maka sepanjang makan bisa tak kedengaran bunyi apa pun, sebab Jiro makan sangat apik. Sendoknya tak pernah beradu dengan piring hingga berbunyi nyaring. Atila pun menirunya. Dia punya firasat bahwa Jiro akan lebih menghargainya kalau dia tidak kampungan, tapi mampu mengimbanginya dalam hal tata tertib.

Akibat dari kebisuan mereka, para pembantu bisa muncul sampai dua-tiga kali, mencek kalau-kalau mereka sudah meninggalkan meja.

Mendengar ada langkah mendekati, Atila berusaha mengalihkan perhatiannya pada buku. Dia berlagak asyik betul menikmati cerita di depannya.

Langkah itu kedengaran diseret ke arah kamar mandi. Bukan Jiro. Langkah-langkahnya tak pernah diseret.

Terdengar pintu kamar mandi dibanting, mungkin tak sengaja. Tapi pasti bukan Jiro. Dia tak pernah membanting pintu, sengaja ataupun tidak.

Tak lama kemudian terdengar pintu dibuka lagi, kali ini biasa saja bunyinya. Lalu suara langkah diseret mendekatinya kembali. Atila mengerutkan kening. Kenapa orang ini mengambil jalan memutar begitu? Bukankah melalui samping dapur lebih dekat keluar? Sengaja? Mau apa?

Dia tak sempat mengkaji lagi. Rio sudah berdiri di samping kursinya.

"Asyik banget! Baca apa, sih?" tanyanya, lalu membalik sampul depan tanpa pemiisi.

"Oooh, suka detektif, ya? Seperti aku dong! Yang ini aku belum baca. Kapan-kapan pinjami aku, ya. Tila, nih! Ini buatmu!" Secepat kilat disisipkannya sehelai carikan kertas di antara halaman buku. Lalu tanpa menunggu reaksi Atila, lakilaki itu segera menyeret langkahnya kembali ke depan.

Atila serta merta diantup rasa ingin tahu. Tanpa membuang waktu dicarinya kertas tadi. Hm. Sehelai notes kecil. Terlipat memanjang. Ketika lipatan itu dibuka, dia hampir ketawa geli. Tulisan Rio yang sebesar gajah kelihatan cepat-cepat saja ditera disitu (mungkin di depan hidung Jiro? Hiii, lucu!): "Kau cakep deh!"

Huh. Seperti anak SMP saja! Tangannya sudah bergerak hendak meremuk. namun pada detik berikut dibatalkannya. Sekali lagi ditatapnya tulisan itu. Hatinya ketawa. Ah, biar saja buat kenangan! Diselipkannya kertas itu ke dalam buku, kemudian diteruskannya membaca. Kali ini dia keasyikan. sehingga tidak menyadari bahwa semua tamu sudah pulang.

Tahu-tahu Jiro sudah duduk di dekatnya, di atas kursi rotan di sebelah kiri. Atila menunggu tanpa mengangkat muka dari buku, kalau-kalau dia menghendaki sesuatu.

"Apa yang diberikan Rio barusan?" tanyanya sedikit ketus.

Atila sempat terperangah mendengar apa yang tak pernah diduganya itu.

"Ah, eng gak a... pa... aa pa," dia sampai tergagap saking bingung dan kaget.

"Mana? Kasi aku lihat!"

Atila sudah mendapat kembali semangatnya. Dengan tenang dibalasnya tatapan Jiro, lalu menggeleng.

"Bukan apa-apa. kok."

"Mau belajar membantah?" Mendadak Jiro merebut buku dalam tangannya, lalu menunggingkannya hingga lembaran-lembarannya terbuka sendiri dan kertas Rio pun menggelepar ke lantai. Diletakkannya buku itu di meja (untung enggak dibanting, pikir Atila), lalu dia membungkuk mengambil kertas itu, membuka lipatannya dan membaca. Tanpa menarik napas berikut diremuknya kertas itu dalam telapaknya, lalu dilemparnya ke halaman belakang.

"Jangan ladeni kawanku itu atau orang mana pun yang berusaha mendekatimu!" katanya tajam.

"Aku enggak meladeni!" bantah Atila tersinggung dituduh yang bukan-bukan.

"Enggak? Buktinya kausimpan kertasnya! Buat apa? Mau kaubaca lagi di tempat tidur? Mau buat kenang-kenangan? Mau kaubalas nanti? Semua pengkhianatan bermula dari hal-hal kecil, tahu!" Jiro bangkit dari kursi dan berdiri dengan tangan di pinggang, menunduk menatapnya dengan berapi-api.

"Eh, ingat betul-betul! Kau adalah istriku! Jangan c0ba-coba mengkhianati aku! Atau... kau tahu sendiri akibatnya!" Tanpa menoleh lagi dia langsung berjalan pergi, masuk ke dalam dan tak lama kemudian kedengaran langkah-langkahnya menaiki tangga.

Atila tak habis herannya melihat luapan emosi sehebat itu hanya karena sepotong kalimat konyol. Kenapa Jiro harus marah begitu hebat? Tingkahnya sungguh menggelikan sampai dia tak tahu apakah dia harus marah atau tertawa. Sebelum dia sempat memutuskan untuk bersikap bagaimana, suara Bibi Nella sudah menyentuh telinganya. Tak ada alasan baginya untuk menghindar walau sebenarnya dia segan sekali ikut minum kopi sore itu.

"Mana Jiro?" tanya Bibi.

"Barusan naik. Mungkin kecapekan, Bi. Temantemannya baru saja pulang," katanya seceria mungkin.

"Ya. biarkan saja dia tidur."

ATILA menjatuhkan diri ke atas kursi dengan napas ngos-ngosan. Disekanya keringat yang bercucuran di dahi dan leher dengan saputangan putih berenda biru muda, hadiah kawin dan seorang bibinya. Pagi itu dia mengenakan rok bercorak hitam putih bola-bola dengan blus putih sederhana. Blusnya ini sudah melekat dengan punggungnya saking dia mandi keringat. Panasnya dalam bis, minta ampun! Selain itu dia juga tegang sebab jalanan macet dan dia takut telat. Hampir-hampir dia telat lagi. Malunya kaya apa masuk ruang kuliah diawasi dosen serta puluhan pasang mata. Rumah Bibi Nella memang strategis untuk Jiro yang kuliah di Salemba. Tapi kampusnya yang di Grogol terasa sangat jauh dari sana. Kalau saja lalu lintas bisa lancar! Namun nyatanya tiap hari selalu macet!

"Hampir telat lagi kau!" tukas Ana mendekatinya.

Atila mengangguk sambil mengatur napas.

"Untung Dokter Husodo juga rupanya bakal telat, sampai sekarang belum datang, jadi kau ketolongan!" komentar Pinus ketawa.

Kuliah pagi itu akan dimulai dengan kimia anorganik yang tidak disukainya sebab susah dimengerti, lebih-lebih lagi sulit dihafalkan. Atila lebih senang dengan biologi. Ketika dia pernah mengeluh begitu, Luntungan mencibir geli.

"Untuk mendapat yang enak, harus mau juga dong menerima yang enggak enak!"

"Contohnya?" teriak Robi, si sinting.

"Gampang. Jadi dokter, hebat, kan? Tapi mesti mau peras tenaga dan otak untuk belajar. Periksa pasien,jalan dengan jas berkibar-kibar, gagah, kan? Tapi sebelum itu, kita harus mau menerima kuliah-kuliah yang menjemukan seperti anorganik ini! Contoh lain. Kawin, sedap, kan? Punya anak, bangga, kan? Tapi harus mau membanting tulang, cari duit untuk membiayai keluarga! Nah, pikir-pikir deh sebelum kawin. Enak sih enak, tapiii...!"

"Por... lu! Pikiran lu enggak lain ke sono melulu juntrungannya!" tuduh Robi ngikik.

"Kau biasa bangun jam berapa sih tiap pagi?" tanya Ana.

"Setengah enam."

"Buat apa nyiksa diri begitu? Lebih baik kau pindah saja ke Grogol. Di tempatku masih ada kamar kosong. Tantenya juga baik, enggak pelit sama makanan. Aku sih biasa bangun jam tujuh atau setengah delapan. Kalau enggak ada kuliah, malah lebih siang lagi!"

"Wah, aku sih enggak bisa enak-enakan begitu. Biar enggak ada kuliah aku tetap bangun pagi. Habis, numpang di tempat Bibi, enggak enak dong kalau kita tetap tidur sedangkan yang punya rumah sudah bangun?!"

"Makanya, aku bilang apa, kos saja di seberang!"

"Mau kos?" Pinus nimbrung.

"Di tempatku saja. Banyak cowoknya. Sip. Kalau mati lampu, ada yang pompain air."

"Huh! Jangan mau di sana!" cegah Ana mencibir.

"Tantenya pelit banget. Masa dadar telur, satu dibelah delapan! Ditambah air sampai jadinya setipis kertas. Mana enggak diberi apa-apa kecuali garam sama miwon!"

"Ya, di mana-mana manusia kan mau untung, An," kata Pinus seakan membela.

"Untung sih untung, tapi jangan keterlaluan dong! Aku dengar, seminggu bisa empat kali diberi kangkung, benar enggak? Memangnya kita ini kambing apa? Di tempatku sih lebih lumayan. Telur seorang satu, dimata-sapi atau digulai. Sayuran tiap hari tapi kangkung jarang-jarang. Protein cukup, kalau enggak sapi ya ayam gitu. Kan tantenya sekalian masak buat catering, jadi kalau enggak enak nanti enggak ada dong yang mau langganan."

Makin mendengarkan, Atila makin berminat. Bukan karena Ana pintarjual jamu, tapi sebab dirasakannya sendiri bahwa dia kewalahan kalau tiap hari mesti mondar-mandir begini terus. Belum panasnya, belum macetnya! Minta ampun. Bajunya selalu basah dengan keringat tiap kali tiba di ruang kuliah. Belum lagi bedaknya yang pasti luntur sebagian. Betapa inginnya dia kelihatan segar dan menarik seperti kawan-kawan lain. Cuma tinggal nyeberang... lima menit pun sampai!

"Enak banget kedengarannya tempatmu itu!" Pinus sudah menelan ludah saking kebita.' "Katamu masih ada kamar kosong?! Apa aku bisa pindah ke sana?"

"Huss! Apa kau mau pakai rok sepanjang hari?" balas Ana.

"Buset! Tantenya sentimen, tuh! Masa cuma terima cewek! Padahal cewek itu bikin pusing, tahu! Belum lagi kalau mens! Mandinya pasti lebih lama, pakai airnya lebih banyak! Sepuluh saja cewek tinggal serumah, bergiliran merah, repot deh! Kalau cowok kan enggak kenal begituan! Malah kalau perlu, mereka tahan enggak mandi dua hari! Cucian juga lebih sedikit sebab celana luar kan enggak usah diturunin tiap hari. Bilangin deh tantemu, suruh terima cowok juga dong! Enggak boleh diskriminasi begitu! Kalau ada cowoknya malah lebih enak, dia enggak perlu bayar satpam buat jagain ayam-ayamnya!" Pinus ngakak, mengira idenya lucu.

"Tapi kalau lihat tampangmu. jangan-jangan Tante jadi curiga, kau justru punya bakat nyolong ayam!" balas Ana tidak kepalang tanggung.

"Ha ha... kalau suka sama suka, memangnya melanggar pasal berapa? Kita kan sudah bukan bocah es-em-pe lagi, Nyang!"

"Amit-amit jangan sampai aku jadi kerbaumu! Eh, Til, ntar ke tempatku, yuk. Biar kaulihat dulu kamarnya."

"Aku sih enggak suka kumpul kerbau, An. Lebih enak kumpul kelinci. Lebih rajin... mmm... makanya begitu produktif. Tapi aku juga enggak kesudian jadi kelincimu!" Pinus menjebi dengan bibir bawahnya.

"Memangnya!" sambut Ana melotot, siap untuk adu-maki.

"Ssst!"Atila menyentuhnya dari samping.

"Dosen datang!"

Selama kuliah pikiran Atila sebentar-sebentar kembali pada pembicaraan tadi. Dia bukannya tidak tergoda oleh undangan Ana. Malah lebih dari itu.

Bibi Nella sebenarnya orangnya cukup baik. Belum pernah menyuruhnya ini-itu, apalagi menyindir-nyindir. Dan kelihatannya tidak suka mencampuri urusannya dengan Jiro. Tapi sebaik-baiknya yang punya rumah, namanya orang menumpang tentunya harus tahu diri. Walaupun membayar makan misalnya, tak bisa seenaknya gulak-gulik di ranjang sampai siang! Lain soalnya kalau kos! Tak perlu membantu di dapur, enggak usah memasang meja atau mencuci piring atau bahkan mencuci baju. Yah, bukannya dia malas. Memasang meja misalnya, itu sih tugas kecil, apalagi ada Farida yang selalu siap membantu. Tapi terkadang, kalau sedang kelewat capek, rasanya makan pun enggan, apalagi bolak-balik dari dapur ke kamar makan mengangkut piring-piring, gelas-gelas... ah! Tapi apa kata Jiro nanti?

Siang hari mereka mempunyai waktu tiga jam. sebab kuliah baru akan dimulai lagi jam setengah tiga.

"Itu ruginya kalau kuliah di Swasta," keluh Wati.

"Harus tunggu giliran sampai dosen sudah bebas dinas dari Negeri!"

"Tapi ada enaknya juga, lho!" komentar Dedi yang agak "juling" prinsip hidupnya.

"Kita bisa keliling-keliling dulu cari objekan!"

"Aku sih lebih suka pulang, tidur!" tukas Ana.

"Ya, kau sih enak, An. Tinggal nyeberang, sampai deh di rumah!" kata Suasti iri.

"Kalau kaya aku begini, mesti mutar dulu setengah kota, sampai di rumah belum sempat ngapa ngapain sudah mesti berangkat lagi! Mendingan aku nongkrong di kantin aja deh! Belum lagi kalau jalanan macet! Ngabisin bensin. kesalin hati!"

"Daripada duduk di kantin, kenapa kau enggak ikut kami saja ke tempat Ana?" usul Atila.

"Eh, benaran, nih? Terang mau dong!" sambut Suasti berjingkrak.

"Kita beli nasi gudeg dulu, yuk. Jadi enggak ngiler kalau nanti melihat Ana makan."
Namamu Terukir Di Hatiku Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka pun pergi ke kantin yang terletak di samping kampus. Setelah membeli nasi bungkus, ketiganya menyeberang ke Jalan Makaliwe.

Rumah kos Ana memang mengesankan sekali. Bangunannya sih sudah tidak baru lagi, tapi kelihatan terawat baik. Halaman yang cukup luas ditumbuhi rumput serta pepohonan hijau dan bebungaan mancawarna. Di sebelah kiri terdapat garasi luas tempat anak-anak kos menyimpan kendaraan mereka di samping mobil Oom Kos. Di sebelah kanan terdapat pintu samping yang bisa langsung menuju dapur dan biasanya dipergunakan sehari-hari oleh para penghuni. Dari situ juga orang lebih dekat ke tangga loteng.

"Seluruh kamar di atas yang berjumlah enam dipergunakan untuk kos," Ana menjelaskan sementara mereka menaiki tangga.

"Sekamar biasanya dua orang, tapi ada juga yang sekamar seorang. Di bawah ada dua kamar untuk Tante dan Oom Kos. serta kedua anak mereka. Di belakang, menyatu dengan garasi dan dipisahkan oleh kebun dari rumah besar, terdapat sederetan kamar lagi. Di seberang mereka terdapat dapur besar tempat Tante dan keempat pembantunya memasak untuk para langganan kantor dan rumahan serta anak-anak kos."

Kamar Ana terletak paling ujung. menghadap ke kebun belakang, jadi berhadapan dengan kamar-kamar dekat garasi.

"Di seberangku ini kamar-kamarnya menghadap ke jalanan. Ada yang menyukainya, tapi bagiku lebih baik begini, enggak berisik. Memang terkadang asyik juga bisa mengamati anak-anak yang pulang kuliah. Kita bisa melihat siapa pacaran dengan siapa. Tapi lalu lintasnya sering berisik sekali. Selain itu, aku juga terlalu sibuk, tak bisa cuci mata sering-sering. Buat apa nampang di jendela memperhatikan orang lain? Salah-salah nanti ujian jeblok! Eh. kalau mau teh, di situ ada air panas. Tehnya ada di lemari kecil itu," Ana menunjuk lemari di pojok.

"Panas-panas begini mau minum teh! Air dingin aja deh kalau boleh. Atau mendingan kita beli es sirop aja di depan sana," ujar Suasti menghampiri Atila yang sedang bertumpu di pinggir jendela.

"Siapa-siapa yang kos di bawah, An?" terdengar suara Atila.

Ana sedang berganti pakaian di belakang pintu lemari. Dia tidak segera menjawab. Ketika muncul lagi dia sudah mengenakan daster longgar yang kelihatannya sejuk di badan. Ana lebih kecil dari kedua temannya, tapi wajahnya yang mungil itu tampak

menarik sekali dengan sepasang mata yang berbinar serta bibir merah yang lembut. Rambutnya yang panjang diikatnya dengan pita merah. Suasti mendesah kagum. Di antara ketiganya dialah yang paling tinggi, namun tubuhnya terlalu kurus, sehingga membuatnya kelihatan seperti tak berdaging. Namun pancaran matanya yang tajam seakan mau menimpali kekurangan lain, sehingga dia toh punya daya tarik tersendiri.

Ana melihat apa yang ditunjuk Atila.

"Oh, kebanyakan sih karyawati. Ada yang kerja di bank, ada yang jadi asisten pengacara. Kamar di tengah itu ditempati anak Hukum dan Arsitektur."

"Hm. Enak juga ya kalau pagi duduk-duduk di bangku kebun sana itu!" kata Atila menunjuk ke bawah.

"Makanya! Aku bilang apa. Sudahlah, pindah saja kemari! Kamar di ujung dekat garasi itu kosong."

"Apa oom dan tantenya enggak suka dudukduduk di situ juga?"

"Enggak, tuh. Setahuku, mereka punya taman mini sendiri di samping kamar mereka. Malah ada air mancurnya segala. Kalau kita ke kebun belakang, bisa kelihatan kok. Kamar mereka kan di bawah kamar kami ini, tapi jendelanya menghadap ke kebun samping. Pendeknya mereka enggak memata-matai kita, deh."

"Sedap juga ya seandainya aku bisa kos," kata Suasti setengah melamun.

"Sayang ibuku streng banget. Salah-salah disangkanya aku merencanakan yang bukan-bukan. Apalagi setelah ada anak tetangga yang ketahuan kumpul kebo di kampusnya, bukan

di Jakarta sih. Tapi toh ketahuan juga. Apalagi ini cuma di Grogol!"

"Yang penting kan kau enggak berbuat!" sergah Ana praktis.

"Masa bodoh orang mau bilang apa kek!"

"Tapi nyak gue kan paranoid!2 Kalau enggak Babe, tentu abangku yang jadi bulan-bulanan. Kakak perempuanku sendiri alimnya kaya kurakura, tapi kalau pulang kerja terlambat setengah jam saja sudah diinterogasi habis-habisan! Padahal dia menyumbangkan sebagian gajinya untuk dapur! Apalagi aku yang cuma makan tidur melulu dan bisanya menghabiskan uang terus buat diktat ini-itu! Huh! Pasti aku bakal kena cecer terus-terusan deh! Kalau ada praktikum sore saja, ibuku pasti ngebel ke tempat temannya, itu tuh maminya si Warsito. Dia pasti akan tanya apa betul aku ada praktikum sampai jam tujuh?! Tapi Warsito kan setingkat di atas kita, tentu saja dia enggak selalu tahu. Selain itu, lama-lama dia pasti sebal juga disuruh mengawasi aku terus. Kemarin dulu aku ketemu dia di kantin.

"Memangnya gue ini udah di-kastrasiapa, dijadikan dayang pengasuhmu?" sindirnya cemberut. Ibuku memang selalu takut dan khawatir. Akibatnya kakakku jadi berat jodoh. Habis. setiap cowok yang datang pasti akan selalu dinilainya dulu dari atas sampai ke bawah, apa cocok enggak dengan hatinya. Kalau enggak cocok, biarpun kakakku bilang cinta, ibuku akan ngotot bilang tidak. Lalu dia akan menakut-nakuti kakakku dengan segala macam contoh kejahatan laki-laki sampai akhirnya kakakku terpaksa mengakui kebenaran kata-kata ibuku dan barat kawin!"

"Wah, seru amat rumahmu, Ti!" komentar Atila.

"Rumahku sih sepi-sepi saja. Maklum aku ini hasil produksi tunggal!" Hampir saja dia keceplos mengatakan bahwa dia sebenarnya sudah menikah. Untung Ana keburu menyela.

"Ibuku sih modern dan penuh toleransi. Abangku diizinkannya gonta-ganti pacar asal jangan sampai bikin malapetaka, dan nanti kalau sudah kawin enggak boleh lagi hura-hura seperti waktu bujangan. Lantaran enggak dikekang, abangku juga jadi tahu diri. Sejak kuliah di Elektro, dia ogah pacaran. Katanya mau tunggu sampai ketemu yang benar-benar cocok, jadi enggak perlu main-main lagi tapi mau langsung serius!"

"Oh, aku baru tahu kau punya abang di Elektro!" Suasti menguik.

"Kapan-kapan boleh dong dikenalin sama aku?!"

"Cocok enggak nanti sama ibumu?" Atila berkelakar membuat temannya ketawa meringis.

"Kalau enggak diajak ke rumah sih, sip. Ibuku enggak bakal tahu!"

"Abangku kos di Nurdin. Biasanya kalau Minggu baru main kemari. Hari-hari biasa dia jarang di rumah. Kalau enggak kuliah, dia pasti ke rumah murid kasi les matematika.

"Di tempatnya itu selain cowok ada juga cewek

yang kos. Tadinya aku mau di sana, tapi setelah melihat makanannya, aku jadi batal. Bayangin, hampir tiap hari TTS melulu. Bukannya teka-teki silang. mek! Tapi tahu-tempe-sayur asam! Atau tahu-tempe-sambal! Memang sih sehat, siapa berani bilang enggak? Aku juga doyan tempe dan tahu, apalagi sayur asam yang pedas. Tapi kalau tiap hari kan bosan dong. Jadi aku tetap di sini deh, biarpun lebih mahal sepuluh ribu."

Ana turun sebentar ke bawah dan balik lagi membawa nampan berisi piring nasinya yang sudah dicampur lauk pauk. Diletakkannya di atas meja belajar yang sudah dibersihkannya dari buku-buku dan kertas.

"Tante tahu aku ada tamu dua, jadi dihadiahkannya perkedel daging untuk kalian. Aku juga mengambil sambal lebihan, sedap lho sambal terasi si Mbok. Sayang lalapnya cuma timun, enggak apa-apa ya?!"

"Wah, kalau ibuku tahu aku makan timun!" Suasti ketawa.

"Tapi aku sih hantam saja, enggak pakai pantang-pantang!"

Ana turun lagi dan balik membawa sebotol air es serta dua buah gelas dan dua piring kosong. Tanpa menunggu undangan, kedua temannya langsung merebut botol itu dan menuangnya ke dalam gelas masing-masing.

Mereka makan di depan jendela (meja digeser ke sana, sebab Suasti ribut kepanasan) dikipasi angin semilir. Percakapan diteruskan ngalor-ngidul seperti umumnya tingkah mahasiswi yang belum kenal beban tanggung jawab kehidupan.

Obrolan tentunya belum lengkap kalau para dosen tidak ikut diseksi sampai ke daging dan tulang mereka. Hampir tak ada dosen yang tak bisa dijadikan bumbu percakapan. Ada-ada saja bahannya walau tidak semua itu negatif. Ada yang lucu, malah banyak yang positif.

Selesai makan Ana menggelar tikar di lantai dan mereka pun berbaring-baring sampai saatnya tiba untuk bersiap-siap pergi kuliah lagi. Ana membasuh muka, tapi Atila dan Suasti cukup bersisir saja.

"Aku enggak membawa bedak, jadi enggak bisa cuci muka," sahut Atila menolak tawaran Ana.

"Pakai bedakku."

"Ih, nanti kuman-kumanku nempel di pipimu, baru tahu. Lihat, aku kan ada jerawat, nih!" kata Suasti menolak.

"Trimse, deh. Aku enggak berani, takut alergi kalau pakai bedak merek lain," kilah Alila.

Sebagian besar anak yang duduk melenggut dalam kuliah sore bertampang mengkilat dan berbaju lusuh, sebab tidak sempat balik dulu ke rumah.

Sore itu mereka pulangjam enam karena ada kuliah berturutan. Seperti biasa Atila naik bis. Sebenarnya cukup banyak anak yang menawarkan boncengan atau tempat dalam mobil, tapi Atila menolak dengan halus. Dia belum tahu bagaimana reaksi Jiro nanti. Tapi risikonya berat kalau dia sampai kena maki. Mereka mungkin akan bertengkar hebat, sebab dia

belum pernah dimaki-maki orang seumur hidupnya, dan takkan rela mendengarnya sekarang, walau dari suami sendiri. Atila mempunyai firasat bahwa .Jiro takkan suka bila dia pulang diantar teman pria. Dulu, Luntungan pernah meneleponnya sekali, memberitahukan perubahan jadwal jam praktikum. Kebetulan Jiro yang menerima.

"Siapa orang itu? Kenapa begitu baik sampai memerlukan telepon kemari? Apa alasanmu memberikan nomor telepon? Apa betul-betul dia enggak pernah naksir dirimu? Kenapa bukan teman cewekmu saja yang ngebel? Kenapa... kenapa...?" Sampai pusing dia menangkis semua serangan. Dari jengkel dia berbalik jadi marah. Hampir saja mereka bertengkar.

Dan sore itu dia baru tiba di rumah hampir jam setengah delapan. Diantar oleh Robi. Habis bagaimana. Lalu lintas macet. Ada bis bertingkat yang mogok di tengah jalan dan rupanya tak ada yang sanggup menariknya ke pinggir. Hatinya sempat bingung sebab besoknya ada responsi fisiologi dan dia belum belajar sampai ngelotok. Paling sedikit dia perlu mengulang baca sekali lagi.

Kebetulan dia melihat Robi antre dengan Vespa-nya di samping bis. Atila memanggilnya dari jendela bis yang terbuka.

"Hei, Rob!"

"Hei! Bisa sampai pagi nih antre begini!"

"Iya. Mana aku belum ngulang fisio buat besok."

"Ngapain naik bis. Terang akan lama. Mendingan aku antarkan saja, mau enggak? Motor kan bisa nyelip di sana-sini."

Atila kelihatan ragu. Sebenarnya dia sedang

mempertimbangkan bagaimana kira-kira tanggapan .Jiro nanti.

"Ayo, jangan pikir-pikir lagi. Pokoknya aku jamin sampai di tempat dengan utuh!" teriak Robi ketawa, diperhatikan segenap penumpang bis.

Ah, kan Jiro tak pernah ada di luar kalau dia pulang? Dia pasti takkan tahu!

Atila turun dari bis dan pindah ke boncengan Vespa. Betul saja, mereka bisa menyelip kian kemari, sehingga bisa lebih dulu melewati kemacetan. Setelah lewat sumbatan, dengan cepat mereka melaju terbang.

"Rasanya enggak sampai setengah jam sudah sampai!" seru Atila dengan gembira ketika Vespa berbelok kejalanan rumah Bibi Nella.

"Tapi antrenya sejam lebih!" keluh Robi menyetop motornya.

Ternyata Jiro ada di depan rumah! Atila mengeluh dalam hati. Entah kebetulan atau memang sengaja menunggu? Seingatnya, Jiro belum pernah menyambutnya bila dia pulang. Kalau tidak sedang dinas jaga di rumah sakit, pasti dia sedang berada di dalam rumah, entah di kamar atau di ruang keluarga, membaca atau nonton TV. Dia bahkan tak pernah menoleh bila istrinya masuk dari luar. Kenapa sekarang kok...?

"Kenapa begini malam?" tegur Jiro tanpa kata pembukaan, entah padanya atau pada Robi.

"Jalanan macet!" sahut Robi menalangi sebelum dia sempat membuka mulut.

Seakan baru menyadari ada orang lain, Jiro terdiam. Sesaat kedua laki-laki itu saling tatap. Atila

jadi salah tingkah.

"Rob, ini...." Sejenak Atila bingung mau bilang siapa Jiro. Tunangan? Tak ada seorang pun temannya yang tahu bahwa dia sudah bertunangan. Jiro tidak mengizinkannya memakai cincin kawin, dirinya sendiri juga tidak.

Sebelum Atila mengucapkan sesuatu yang salah, Jiro terdengar telah mengatakan,

"Terima kasih sudah mengantarkan adikku pulang."

Atila menarik napas lega. Setelah mengucap terima kasih dan selamat malam, lekas-lekas dia masuk ke dalam mengikuti Jiro yang sudah masuk lebih dulu.

Setiba di rumah keinginannya cuma satu. Tidur. Persetan deh responsi besok. Dia toh sudah belajar walau belum sampai ngelotok. Sekarang dia sudah enggak sanggup ngapa-ngapain. Capek. Kelewat capek. Tidur. Tapi badannya lengket dan perutnya lapar. Dia perlu mandi dan makan dulu.

Dia sedang mengambil baju rumah ketika Jiro tahu-tahu muncul di kamarnya, berdiri dekat pintu.

"Malam betul, Tila? Kau ke mana dulu?" Suaranya tidak keras, tapi di telinganya cukup mengandung tuduhan. Tanpa menoleh dia menjawab,

"Cuma kuliah. Habis, ke mana lagi, sih?"

Seakan tidak menangkap nada jengkel dan letih dalam suaranya, laki-laki itu mendengus,

"Hm. Kenapa sampai perlu diantar eowok? Lain kali kalau kau enggak bisa pulang sendiri, telepon, biar aku yang jemput! Jam berapa sih memangnya kuliah selesai? Masa sampai gelap? Apa dosennya enggak punya anak-bini?"

Atila tidak menyahut. Dia sibuk mencari baju dalamnya. Mungkin masih di bawah di kamar setrika, pikirnya. Atau si Mbok terlalu sibuk, belum sempat menggosok. Hm, dia harus mencari yang lain, yang kurang disukainya. Karetnya terlalu ketat. Tangannya mengaduk-aduk ke bagian bawah, dan tiba-tiba dia hampir menjerit kaget ketika terasa ada tangan mendarat di bahunya. Sebelum dia sempat menoleh, Jiro sudah memutarnya sehingga mereka berhadapan.

"Kenapa enggak kaujawab aku?"

"Aku... aku... enggak dengar. Kautanya apa sih?" Atila menatapnya dengan wajah lesu kecapekan.

Jiro rupanya baru menyadari betapa lelahnya Atila. Dia menghela napas dan melepas tangannya.

"Kau kelihatan capek dan mengantuk. Sana, lekaslah mandi, terus makan. Makanya lain kali jangan ngelayap dulu! Dari kuliah langsung pulang!"

Entah saking jengkel atau terlalu capek, Atila tidak punya semangat lagi untuk membantah. Tahu-tahu air matanya sudah menetes jatuh.

"Eh, kok nangis?" Jiro jadi curiga.

"Kau diapakan siapa?"

Dengan sengit Atila menghapus mata dengan tangannya, lalu menunduk dan berbalik lagi mencari baju dalam. Jiro mendekat ke sampingnya.

"Kau kenapa?" Suaranya lebih pelan dan sabar.

"Aku kesal! Jalanan selalu macet! Mana panasnya enggak kepalang! Jiro, aku mau kos saja deh di seberang kampus!"

"KENAPA?" tuntut Jiro acuh.

"Aku capek mondar-mandir tiap hari dari sini ke Grogol. Belum lagi kalau jalanan macet, udara begitu panas, sampai di kuliah baju sudah Iepek, badan rasanya enggak segar lagi. Kalau ada kuliah sore, aku kepingin bisa istirahat dulu, mandi lagi dan menyiapkan bahan, jadi kuliahnya bisa lebih dimengerti."

"Yah, bukan kau saja yang kecapekan. Aku juga. Kaukira enak naik motor pulang pergi Kebayoran-Salemba? Aku juga enggak piknik kok tiap hari!" Suaranya kedengaran hampir ketus. namun Atila tidak mempedulikannya. Dia sudah terlalu kepingin kamar kosong di tempat Ana.

"Di tempat kawanku ada kamar kosong," katanya lagi.

"Dia bilang. bisa segera ditempati."

Jiro melotot.

"Kawan laki-laki?"

Atila menatapnya sejenak dengan bertanya. Dia tidak segera mengerti tujuan pertanyaan itu, sebab dalam pikirannya yang terbayang cuma Ana tok. Dan Ana tentunya bukan laki-laki. Ketika menyadari apa yang dimaksud Jiro, wajahnya terasa panas. Dia menggeleng setengah tidak sabar.

"Tentu saja bukan. Namanya saja Ana!" Atila seakan menuduhnya pandir.

"Dari mana aku tahu namanya Ana!" semprot Jiro.

"Engkau kan belum menyebutnya!"

"Kalau bisa bulan depan..."

"Nanti kita bicarakan lagi!" potongnya.

"Sana lekas mandi dulu, nanti kemalaman, encok lagi! Setelah itu kita akan segera makan. Aku sudah lapar! Jangan biarkan aku menunggu terlalu lama!"

Jiro keluar dari kamar. Atila terpaksa menahan sabar. Diambilnya baju dalam yang mana saja, lalu keluar ke kamar mandi.

Sehabis makan dia berharap Jiro akan menyinggung lagi persoalan itu. Mereka tengah duduk menonton film seri di TV. Paman, Bibi, dan Farida juga ikut nonton, sebab komedi ini memang kegemaran seluruh keluarga.

Jiro menumpahkan seluruh perhatiannya pada TV. Dia ketawa paling keras dan paling sering, seakan belum pernah dia melihat komedi yang begitu lucu. Dia bahkan tak peduli Atila duduk memencil sendirian di sudut. Biasanya di depan Paman dan Bibi, Jiro masih mau berbasa-basi memperhatikannya, duduk di sebelahnya dan sebagainya.

Atila menunggu beberapa menit. Tak juga ada tanda-tanda bahwa Jiro mau mendiskusikan lagi masalah tempat kos barusan. Ah, barangkali karena ada Paman dan Bibi, dia jadi malu, pikirnya. Orang sedang asyik nonton, biarlah tak usah diganggu. Sambil menghela napas Atila bangkit.

"Enggak nonton terus, Til?" tanya Bibi Nella.

"Besok ada responsi, Bi," kilahnya tanpa menoleh pada Jiro. Laki-laki itu pun tidak kedengaran bersuara. Mungkin malah tidak tahu aku sudah pergi, pikirnya kesal. _

Seminggu. Dua minggu. Dia terus menunggu. Jiro sulit sekali didekati sendirian. Entah disengaja atau cuma kebetulan, Atila selalu mendapatinya berdua dengan Bibi atau Paman atau beramai-ramai dengan teman-teman kuliahnya.

Atila menyurati ibunya mengenai keinginannya untuk kos di dekat kampus. Ibunya penuh pengertian akan kesulitannya, namun ia menganjurkan agar Atila bicara langsung dengan Jiro saja. Padahal dia menulisi ibunya dengan harapan ibunya mau membujuk Jiro. Nyatanya Ibu tak berani. Atau dianggapnya anak yang sudah menikah itu hak suami sepenuhnya? Ah, susah kalau Ibu berpikiran kolot, keluhnya sambil melipat kembali surat itu dan menyimpannya dalam laci.

Itu empat hari yang lalu. Kini sudah hari Minggu. Dan Jiro masih belum memberi tanggapan atas permintaannya. Barangkali dia malah sudah lupa!

Minggu inilah kesempatanku, pikir Atila. Bibi dan Paman kebetulan sedang pergi. Farida juga diajak. Seorang keponakan Paman menikah dan Bibi rupanya diminta membantu-bantu. Sebenarnya Atila diundang juga, tapi dia berdalih banyak ulangan, jadi tak usah ikut. Jiro sendiri juga tidak mau.

"Aku sih enggak pernah pergi kondangan," katanya pada Farida di meja makan.

Sejak pagi langit sudah mendung. Sekitar jam sepuluh hujan lebat turun berderai-derai. Kebetulan enggak ada Bibi. pikir Atila. Jadi tak perlu membantu masak. Sebelum pergi Bibi sudah berpesan,

"Makan siang sudah siap. jadi kau tak usah ke dapur. Tila. Belajar saja untuk tentamenmu. Makan malam akan Bibi bawakan dari pesta!"

Atila menyekap diri dalam kamar. Sebenarnya tentamennya cuma satu untuk minggu depan, dua yang lain masih sebulan lagi. Tapi dipikirnya, tak ada salahnya mulai belajar dikit-dikit dari sekarang. Toh dia tak punya rencana apa-apa untuk membunuh waktu.

Suasana di luar yang mendung dan basah membuatnya makin betah di kamar. Dia telungkup membaca diktat. Rumah sunyi senyap. Sesekali saja kedengaran kelontang piring atau perabot lain di dapur, tapi bunyinya seakan datang dari jauh. Sedangkan di atas loteng cuma ada dia sendiri. Jiro tadi kedengarannya di garasi. entah mau keluar atau cuma membersihkan motor.

Wah, hujan-hujan begini enaknya makan apa, ya, pikirnya. Tiba-tiba terbayang olehnya Ana di tempat kos yang dekat tukang jualan. Keluar dari rumah, jalan terus sedikit saja, lantas belok satu kali, wah sudah ketemu sederetan penjual makanan. Murah-murah, mana enak lagi. Hiii, dingin-dingin begini enaknya makan soto ini Ya, soto Jakarta yang panas pakai sambal sesendok! Aduh, ngiler jadinya. Siapa tahu si Ana lagi nongkrong di warung soto saat im! pikirnya. Atau. kalau dia malas. bisa saja minta tolong pembantu kos dengan persen sedikit. Atau, mungkin si Pinus lagi iseng dolan, enggak betah di kamarnya yang sumpek (kalau enggak salah, kan bertiga sekamar? Memang tante kosnya sadis kata Ana, mau terima kos apa bikin kamp konsentrasi, sih! Mana pelit lagi!), nah pasti dia yang dikacungin. Terang mau dong, asal diupahin seporsi, apalagi makanan di tempatnya sudah kebeken bikin nelangsa orang seperti di kamp pengungsi saja! liih sedapnya nyoto ramerame, pikirAtila yang jadi kebi banget.

Dia mengeluh sendiri. Huh! Seperti orang ngidam saja. Ngidam? Tiba-tiba dia meledak ngikik kecil-kecilan. Hiii, dari mana bisa ngidam. orang disentuh sekali pun belum pernah! Yang namanya nikah kan cuma di atas kertas saja! Membelai belum pernah, mencium kagak juga, boro-boro lebih dari itu!

Atila mengangkat muka dari diktat dan menatap tembok di depan matanya. lya, kok tragis begini sih perkawinannya?! Tahukah Mama apa yang terjadi? Apakah dia curiga? Dalam suratsuratnya Mama belum pernah menyinggung soal itu. Tapi mungkin dikiranya semua oke sesuai dengan rencana pencegahan seperti yang telah dianjurkannya. Kalau Mama tahu keadaan sebenarnya, gimana ya kira-kira reaksinya? Perlukah ditulisnya bahwa Jiro sebenarnya enggak pernah naksir dirinya? Biar Mama sadar, di sini ada sedikit persoalan?

Atila mengerutkan kening, menatap Boni di samping bantal, sambil menggigit-gigit bolpen. Kenapa ya Jiro sikapnya begitu? Dibilang dekat, tak pernah merayu. Dibilang menjauh, kok gampang cemburu.

Misalnya waktu Rio memberikan secarik kertas berisi orat-oretan yang sinting! Kok dia sampai hampir naik pitam begitu?

Mendadak dia teringat apa yang didengarnya waktu nguping. Jiro pernah patah hati hebat! Betulkah? Jadi kawin enggak harus berarti cinta baginya? Apa sikapnya ini merupakan balas dendamnya pada makhluk betina? Sialnya, kenapa aku yang jadi kurban!

Atila menggigil. Tiba-tiba dia merasa amat kesepian. Tak ada teman yang bisa dijadikannya tempat menumpahkan perasaan, sebab Jiro melarangnya mengumumkan bahwa dia sudah kawin. Ini juga aneh. Kenapa? Buat apa mesti dirahasiakan? Bukankah perkawinan itu biasanya peristiwa bahagia yang sepantasnya diketahui tetnan bahkan umum? Kalau enggak, buat apa foya-foya menghamburkan uang untuk mencetak kartu undangan yang harus lebih bagus dari yang pernah dilihat, dan bikin pesta untuk ratusan orang? Mengharap kado? Atila mendengus. Mungkin, kalau pengantinnya serakah. Tapi biasanya sang orangtua yang kepingin pamer kekayaan di depan relasi atau saingan bisnis. Mumpung ada kesempatan untuk menyewa separo Hotel Hilton atau Borobudur sebagai maklumat kekuatan finansial mereka. Tapi Jiro kelihatannya orang terpelajar tulen, artinya enggak suka pamer.

Lantas, kalau begitu dia termasuk makhluk langka jenis apa? Kok perkawinannya harus dirahasiakan? Sebenarnya, enggak boleh ketahuan siapa, sih? Bekas pacarnya? Takut dia nanti enggak mau,

balik? Apa Jiro masih mengharapkan ex patsenya untuk kembali padanya? Lalu, dia mau dikemanakan? Atau... adakah alasan lain? Ah! Dia ingat! Jiro merasa malu kalau ketahuan teman-temannya bahwa dia harus menerima istri yang dipilihkan orangtua, seakan dia tidak sanggup mencari sendiri! Kalau ini sampai ke telinga eks-nya, wah! Apakah ini alasannya? Atau... apakah dia merasa malu punya istri dirinya? Kenapa? Dia kan enggak terlalu jelek, bukan? Beberapa orang malah suka memujinya cantik, walaupun ibunya selalu membantah, tapi mungkin cuma demi kesopanan. Cermin-cerminnya bilang, dia cukup cantik terus-terang saja (walaupun ini tidak membuatnya jadi sombong). Nah, kalau bukan lantaran istri jelek, kenapa Jiro mau menyembunyikannya? Kenapa? Huh, kenapa? Apa... dia dianggapnya dusun? Kurang modern? Kurang anggun? Kurang berani dandan? Kurang...?

Ah, seandainya ada Ani atau Lisa buat diajak ngobrol! Tapi dia sudah lama enggak nulis surat dan mereka juga hobinya cuma buka kotak pos, enggak mau nulis duluan. Jadi komunikasi macet. Barangkali Lisa kelewat sibuk dengan kursus ini-itu, kan ceritanya dia mau buka salon kecantikan. Mulai magrib ke malam tentunya dia sibuk digerayangi hatinya oleh Herman! Sedangkan Ani, siapa tahu sudah insaf bahwa Joko sebagai pacar lebih sip daripada novelnovel. Memacari novel kan cuma bikin kaya novelisnya yang sering kali tak berbuat apa-apa kecuali mengisap jempolnya terus-terusan sepanjang tahun!

Teringat teman, Atila jadi kangen rumah. Kamarnya yang hangat. Anjingnya yang setia. Mingg Minggu begini pasti ibunya sedang sibuk di dapur, mungkin memanggang ayam! Asyiiiknya! Aduh, baru sekarang disadarinya betapa rindunya akan rumah. Di sini aku kesepian sekaliii, Mam, keluhnya. Enggak ada yang sayang padaku!

Dan tahu-tahu air matanya menetes turun membencaki diktat stensilan. Di luar geledek dan halilintar sambar-menyambar bagaikan perang bintang. HUjan makin menjadi-jadi seperti tangis balita yang kelaparan cinta. Dan di dalam kamar, Atila sesenggukan tanpa tertahan tahan lagi. Aku kesepian! Aku kesepian! Aku ingin pulang, Ma! Kenapa aku dulu kawin dengan Jiro, padahal aku belum kenal dia! Kenapa aku mau saja! Di kuliah ternyata begitu banyak cowok simpatik! Rio yang bukan apa-apaku saja masih lebih menaruh perhatian padaku dibanding Jiro, Main!

Air matanya turun setetes-setetes seperti larutan asam dalam praktikum kimia, cuma akibatnya bukan terjadi reaksi tapi halaman diktat jadi berombak basah. Untung bukan dari kertas koran, pikirnya terkejut. Kalau enggak kan bisa jadi bubur!

Karena malas bergerak, dipakainya lengan bajunya saja untuk menyeka mata dan hidung. Namun sedu sedannya masih kedengaran walau sudah pelan dan jarang.

Hujan dan guntur di luar masih belum reda, tapi dalam kamar cuma isak tangisnya yang terdengar. Dia tenggelam dalam kepedihan sehingga perhatiannya tak bersisa untuk hal-hal lain. Karena itu beta

pa kagetnya dia ketika mendadak didengarnya suara Jiro.

"Eh, kenapa nangis?"

Atila menoleh sekejap, lalu buru-buru menunduk lagi. Kapan dia membuka pintu? pikirnya heran. Kok enggak berbunyi?! Sebelum dia memutuskan mau bohong atau terus terang saja, Jiro sudah melangkah ke pinggir ranjang, malah terus duduk di situ, sehingga tubuh mereka bersentuhan.

"Ada apa sih?" ulangnya dengan suara mengandung perhatian. Betulkah ada perhatian? pikir Atila kurang percaya. Ah, dia pasti salah dengar. Kalaupun ada, pasti cuma secuil kecil tanpa arti apa-apa. Kan dia sudah musuh sama perempuan. Sudah sakit hati. Mana mungkin ada perhatian lagi. 0 ya, aku ingat, bukankah dia diharuskan memproduksi cucu dulu bagi ayahnya sebelum dia bisa diakui sebagai ahli waris? Nah, terjawab sudah teka-tekinya kenapa dia mau kawin sembarangan. Baginya setiap perempuan sama saja, asal punya dapur yang masih bisa mencetak cucu buat ayahnya! Jadi cinta itu cuma embel-embel paling buncit! Sama sekali enggak penting! Tapiii, kalau perlu cucu, kenapa sampai sekarang Jiro belum... ngngng... menjamahnya?

"Enggak apa-apa. Mataku kelilipan!" sahutnya berlagak asyik kembali membaca diktat.

"Jangan ngibul! Kok kelilipan sampai cecegukan begitu? Mana! Sini aku lihat, apa masih ada kotorannya? Biasanya bulu mata yang suka masuk." Sebelum dia sempat menolak dan hilang udah enggak apa-apa, Jiro sudah mencekal dagunya serta memutar kepalanya, sehingga mereka kini berhadapan.

Jiro membuka kelopak atas kiri, lalu meniupnya sehingga Atila berkedip-kedip geli. Runyam. Enggak apa-apa disangka sungguhan! Lalu mata kanan disentuh. Tapi Atila cepat mengelak,

"Udah, kok. Yang kiri."

"Beneran? Udah ilang kelilipannya?"

"Iya. Beneran."

Tapi Jiro belum mau melepaskan pegangan di dagunya. Dia malah menatap Atila seakan baru pertama kali melihatnya.

"Matamu cakep!" tercetus rupanya tak sengaja. Sebab segera juga Jiro melepas tangannya seakan kesalahan memegang, dan menarik napas panjang. Dilihatnya diktat di atas ranjang yang sudah keriting basah.

"Hebat amat kelilipanmu tadi!" godanya tanpa senyum.

Atila menunduk rikuh. Belum biasa diajak bercanda. Padahal di kuliah dia sanggup menimpali Pinus atau siapa pun yang jadi biang humor. Seingatnya, Jiro tidak suka guyon. Kenapa sekarang...?

"Kau sibuk?"

Tak tahu jawaban lain, Atila manggut saja.

"Sibuk sekaliii?" Jiro menegaskan.

Atila meliriknya sekilas. Inilah saat yang baik untuk menimbulkan kembali soal indekosan, pikirnya genial. Sekarang! Atau tunggu sampai kiamat!

"Enggak, kok. Cuma baca-baca dikit. Abis, enggak ada kerjaan apa-apa."

"Tentamennya kapan sih?"

"Bulan depan." Biarlah yang minggu ini enggak sah disebut, pikirnya. Jiro menatapnya lama-lama, sehingga Atila merasa tersipu, dan akhirnya menunduk berlagak kembali sibuk membaca.

"Katamu tentamennya masih lama, kok mau sibuk sama diktat terus, sih?" Jiro menangkap kembali dagunya dan memutar wajahnya.

"Mana lebih penting, diktat apa aku?" Ada tuntutan tegas terbaca dalam tatapan Jiro. Sejenak Atila keder juga, tapi sekali ini dibalasnya tatapan itu. Cuma dia tak mampu menjawab. Bibirnya malah terkatup rapat. Kesal. Buat apa kau tanya-tanya begitu! semprotnya dalam hati. Kan selama ini aku cuma dianggap bayangan saja! Mana lebih penting coba, aku atau jaga malam? Mana lebih penting, aku apa teman-temanmu yang suka bikin ribut di sini? Mana lebih penting....

"Kau kelihatan sedih, Tila!" Suaranya lembut. Hah! Lembut?! Lembut t... kucing! Mana mungkin lembut. Jiro kan sudah anti sama ras betina! Kalau dia bisa hamil sendiri seperti Dewa Zeus, iris deh kupingku, mana dia mau kawin! pikir Atila sengit. Aku kan cuma alat tok! Perabotan dalam laboratorium alam semesta! Nasib! Gimana enggak mau sedih, kalau kau kaya begini! pekiknya (tapi dalam hati).

"Memangnya kenapa mesti sedih?" dia balas menciap tak kalah halus. Gagah deh!

"Mana aku tahu!" Jiro mengangkat bahu. Kemudian, seakan merasa sikapnya kurang simpatik. diperhalusnya suaranya.

"Itu yang mau kutanyakan. Kalau kau ada problem, terus terang saja padaku. Enggak usah malu-malu. Aku kan suamimu!"

Aduh! Gombal! Begini rupanya makhluk yang punya bakat jadi perayu ulung! Sayang kemajuan

ilmu belum bisa menciptakan keajaiban seperti Zeus, ya! Suami! Suami apa! Pikiran lain. Perasaan lain. Kamar lain. Lemari lain. Makan juga lain. Cuma sesekali bisa makan bersama kalau kau enggak giliran jaga malam, kan? Pernahkah kau memelukku? Pernahkah kau bercanda denganku? Boro-boro dikecup, atau bahkan dicumbu! Padahal Ani maupun Lisa begitu getolnya sandar-sindir dalam surat mereka. Waduh, yang lagi asyik-masyuk sampai lupa kawan lama, enggak mau nulis surat kemari! Habis apa yang mau ditulis, monyet! Aku enggak punya pengalaman yang lebih dari kamu!

Ketika Atila tidak mau membuka mulut, Jiro menambahkan,

"Kau kelihatan kurusan. Apa kau enggak bahagia jadi istriku?"

Uwah! Gombalnya menjadi-jadi! Jadi istrimu? Sejak kapan? Sejak teken kontrak dulu itu? Aku harus mencetak seorang cucu bagi ayahmu? Dia menggeleng dan Jiro melepas dagunya.

Atila berlagak sibuk membereskan seprai yang sedikit terlipat. Lalu dia menunduk pura pura komat-kamit asyik menghafal.

"Atau kau kecapekan mondar-mandir ke kuliah?" didengarnya lagi suaranya.

Nah, ini dia! Kesempatan yang ditunggutunggu. Atila langsung menoleh, menatapnya dan mengangguk.

"Ya, aku kecapekan sekali!" keluhnya dengan mata sayu untuk membuatnya kelihatan makin lesu.

"Aku ingin kos di seberang kampus aja deh, boleh, kan?"

"Sudah kautanya pendapat ibumu?"

"Sudah. Sudah. Mama menyuruh aku merundingkannya denganmu. Dia sih enggak keberatan!" sahutnya mantap padahal sebenarnya ibunya tidak memberi izin apa-apa. Tapi untuk telinga Jiro, boleh saja ditafsirkannya surat itu sesuai keperluan.

Jiro kelihatan termenung menatap ke luar jendela tanpa memperhatikan apa yang dilihat. Hujan di luar masih asyik sendiri, malah rasanya makin lebat. Suatu kali, guntur menggelegar dahsyat. Ingin rasanya menyambar Boni dan memeluknya kalau dia tidak merasa malu pada Jiro.

Setelah beberapa lama, Jiro terdengar menghela napas.

"Hm." Mendadak kepalanya menoleh dan dipandangnya Atila. Mata jeli yang tengah mempelajari profil laki-laki itu tidak sempat mengelak. Sejenak mereka bertatapan. Mata yang jeli bentrok dengan mata yang tajam.

"Jadi kita bakal tinggal pisahan?" tanyanya dengan suara pelan. Matanya meredup.

Atila cepat membantah.

"Oh, enggak! SabtuMinggu aku pulang ke sini atau kau datang ke tempatku!"

"Mana enak berkunjung ke tempat kos! Seperti orang pacaran aja! Paling cuma bisa sejam dua jam! Juga banyak temanmu. Mana bebas!" gerutunya membuat Atila ketawa dalam hati. Bebas! Mau bebas apanya? Memangnya mereka perlu bebas? Bebas ngapain?

Jiro kembali menatap Atila dengan tajam.

"Betul nih kau mau kos lantaran jauh?"
Namamu Terukir Di Hatiku Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atila mengangguk.

"Cuma lantaran itu?"

Atila mengangguk. Apa pun yang terjadi, Jiro harus bisa dibujuk! Dia tak boleh kehilangan kesempatan ini!

"Enggak ada sebab lain?"

Atila menggeleng.

"Sumpah?"

Dia mengangguk. Disuruh sumpah apa pun dia sanggup, asal boleh kos! Lalu mendadak teringat olehnya gosip yang pernah didengarnya tempo hari. Keningnya tanpa sadar berkerut. Apakah Jiro benar-benar sudah tak bisa mempercayai perempuan lagi? Gawat benar kalau begitu! Berarti dia takkan pernah mempercayai istrinya sendiri! Atila menggertakkan geraham.

Aku mesti sangat-sangat-sangat berhati-hati. Jangan sampai menimbulkan cemburu yang bukan-bukan!

"Hei! Jangan menatap aku seakan aku ini sinting! Aku tahu, aku memang cemburu berlebihan, tapi aku tak bisa mencegahnya! Perasaanku gampang curiga terhadap cewek! Tahu deh, aku juga enggak mau begini!" Jiro menarik napas panjang dan kesal. Dia menoleh, menatap ke luar jendela.

Apakah lantaran kau pernah dikhianati oleh seseorang? tanya Atila dalam hati.

"Kelak mungkin kau akan tahu sebabnya. Aku berharap suatu ketika akan bisa sembuh dari paranoid ini." Lalu suaranya makin pelan seakan dia berbisik cuma pada dirinya sendiri "Seandainya aku bisa yakin akan kesetiaan seorang perempuan..." ,

Kenapa enggak? Cobailah aku! Tapi Atila tidak mengucapkan kata-kata itu, dan Jiro tidak mendengarnya. Lewat sesaat Jiro menarik kembali pandangnya dari jendela, lalu ditatapnya Atila yang sedang telungkup di sampingnya, dengan diktat tebal di kasur, di bawah tubuhnya.

"Baiklah. Aku izinkan. Kau boleh kos." Suaranya terasa berat sekali, sehingga nyaris membuat Atila mengikik geli. Apa-apaan sih, pikirnya. Seakan ini suatu keputusan yang menyangkut urusan hidup dan mati saja! Cuma soal indekos sampai dibesar-besarkan begini! Pakai mesti sumpah segala!

Tapi di luar, wajahnya dipasang setenang murigkin. Jangan sampai menyinggung perasaannya, siapa tahu nanti dibatalkannya putusan itu! "Oh, Jiro, terima kasih! Aku pasti akan pulang setiap Sabtu dan Minggu!" tukasnya dengan wajah berseri. Dia berguling, punggungnya ke tembok.

"Hari liburjuga!" tuntut Jiro.

Atila mengangguk.

"Liburjuga!"

Jiro menatapnya lama-lama dengan mata berbinar seakan terharu.

"Kau kurang hiburan di sini, ya. Aku memang bukan kawan main yang mengasyikkan. Tapi ingat! Awas! Jangan kau pacaran sama orang lain, ya! Aku bisa mematamataimu!"

Bagaimana caranya? Hampir saja Atila meledak ketawa, tapi tidak dilakukannya. Jiro masih menatapnya dengan mata bening yang penuh nuansa-nuansa perasaan yang sulit dirincinya. Tiba-tiba Jiro membungkuk, kepalanya didekatkannya ke wajah Atila seakan mau mengecup. Atila menahan napas.

menatap tanpa berkedip. Dipalingkannya mukanya ke samping. Kedengaran dia menghela napas ketika bangkit dari ranjang.

"Ayo, ah, kita makan!" serunya seraya melihat arloji.

"Sudah jam berapa nih! Hampir jam satu!" Lengannya terulur seakan mau membantu Atila berdiri. Tapi Atila sedang membenahi diktat dan tidak melihatnya.

ATILA duduk di depan meja, dan mulai membuka catatan kuliahnya. Jam di dekatnya menunjukkan pukul empat lewat tujuh menit. Ana baru saja balik ke kamarnya. Mereka habis merujak mangga dan kedondong. Aduh, sedapnya! Bibirnya yang merah masih berkejap-kejap kepedasan. Diraihnya gelas dan diteguknya sisa air di dalamnya. Kemudian dimatikannya radio. Dalam suasana lengang dia bisa lebih tekun berkonsentrasi. Menghafalkan nama-nama Latin sangat melelahkan otaknya, sebab dia tak punya dasar sedikit pun dari bahasa itu.

Empat puluh menit lamanya dia terbenam dalam catatannya, kemudian dia mulai resah. Konsentrasinya buyar. Diluruskannya lengannya ke atas, lalu meliuk, melemaskan otot. Di luar terdengar suara mobil berhenti. Ah, pasti bukan karyawati di kamar sebelahnya. Semoga. Sebab bila tetangganya sudah pulang, berarti acara belajarnya akan sedikit terganggu. Wati mempunyai TV dan senang menyetelnya keras-keras. Kalau dia sedang butuh hiburan memang lumayan, bisa ikut nguping. Tapi kalau sedang perlu belajar....

Tok tok tok... Siapa lagi, nih? Ana? Mau apa lagi dia! Setengah tersenyum dia bangun menghampiri pintu.

"Ada apa, An?" serunya sambil membentangkan pintu.

"Oh!" Dia tertegun melihat siapa yang berdiri di depannya.

"Hai, Tila!" sapa Rio ketawa lebar sambil mencopot kacamata hitamnya.

"Hai." sambutnya agak hati-hati. Mau apa orang ini? Dari mana dia tahu aku ada di sini?

"Aku mendapat alamatmu dari Farida," kata tamunya sebelum ditanya.

"Ini, aku bawakan kau bukubuku detektif. Boleh aku masuk?" Tapi dia sudah melangkah maju sebelum Atila mengangguk, sehingga gadis itu terpaksa menyingkir ke sebelah dalam.

Rio masuk dengan tenang seakan dia sudah biasa ke situ. Di depan satu-satunya kursi plastik dia berhenti. Lagaknya jelas minta diundang duduk. Atila menelan ludah.

"Si... lakan duduk." Oh, mudah-mudahan Jiro tidak tahu mengenai ini.

"Trims," seru laki-laki itu dengan riang, lalu duduk. Diulurnya tangannya menyerahkan tiga buah buku yang disambut oleh Atila dengan hati berdebar. Senyumnya merekah melihat judul pertama. Buku memang merupakan kelemahannya, melebihi rujak dan coklat.

"Oh, kelihatannya menarik semuanya. Kapan harus kukembalikan?" tanyanya menatap Rio yang tengah menikmati senyum cerah di hadapannya.

"Kapan-kapan saja." sahutnya menggerakkan tangan.

"Enggak kaukembalikan juga enggak apa-apa."

"Ah? Buku-buku siapa ini? Masa tak usah dikembalikan? Aku sih enggak mau kalau buku-buku milikku dipinjam enggak dikembalikan!" Atila masih berdiri sejak tadi, tapi kini ditariknya kursi belajarnya, lalu duduk di depan Rio, menyandarkan siku ke meja.

"Oh, abangku sih bukan kolektor buku. Selesai dibaca, terus dibuang. Eh, sudah berapa lama kau di sini? Apa Jiro enggak menentang?"

"Baru seminggu aku di sini." Atila tidak menjawab pertanyaan kedua.

"Dan Jiro membiarkan?" ulang Rio melotot. Atila cuma mengangkat bahu.

"Ce, cc, ee..." Rio menggeleng-geleng seakan tak habis mengerti, entah soal apa, bagi Atila kurang jelas. Dia merasa risi, seolah setiap saat Jiro bisa melangkah masuk melihatnya berduaan dengan ah! Kenapa orang ini enggak mau cepat pergi, pikirnya resah. Seakan dapat menerka apa yang dipikirkannya, Rio bertepuk tangan dan mengubah duduknya, siap mau bangun.

"Aku enggak bisa lama-lama, harus jaga malam. Sebenarnya aku harus menengok pasien-pasien di Dharma Bakti, rumah sakit jiwa, pernah dengar? Tapi aku mampir dulu kemari, sebab aku ingat kau suka betul detektif."

"Oh! Kau baik sekali!" Atila mengucapkan ini sambil menunduk, mengagumi gambar-gambar sampul buku-buku itu.

"Ah!" Rio mendecah sementara matanya memperhatikan Atila.

"Bukan apa-apa. Eh, kalau kau punya kesulitan misalnya di fisio, atau biologi atau kimia, atau apa saja, ini kartu namaku." Dikeluarkannya sehelai kartu dari dompet dan diserahkannya pada Atila.

"Kau bisa menelepon setiap saat, siang dan malam." Dia bangkit dari kursi.

"Waktuku tersedia dua puluh empat jam bagimu!" Dia menyeringai, lalu melangkah ke pintu. Tangannya terjulur menyentuh gerendel ketika dia berbalik, menatap Atila.

"Trims,"

katanya sedikit malu,

"Jiro itu orangnya baik, tapi cemburunya keterlaluan. Aku katakan ini sebab aku enggak mau kau menderita. Seandainya... ehem... kau sudah enggak merasa nyaman lagi bersamanya, ingatlah, masih ada aku!" Lalu dia berbalik, memutar gerendel dan menghilang di balik pintu yang ditutupnya pelan.

Atila masih duduk di samping meja, tertegun menatap ke pintu. Setelah beberapa saat dia menunduk membaca kartu nama dalam tangannya. Huh! Dia bangkit, mengembalikan kursi ke depan meja, meletakkan buku-buku dan kamu ke rak di atas meja, lalu dia duduk dan mulai lagi menekuri catatan kuliahnya. Tapi pikirannya sudah bercabang. Matanya sebentar-sebentar melayang ke atas rak, ke tumpukan buku-buku yang dibawakan oleh Rio. Huh! Mana mungkin belajar kalau ada godaan begini!

Menjelang magrib dia benar-benar sudah tak tahan lagi. Ditutupnya catatannya, lalu diraihnya buku yang paling atas. Dia pindah ke atas sofa di pojok yang setiap malam bisa ditarik ke depan sehingga berubah jadi tempat tidur. Dinyalakannya lampu baca yang bertangkai panjang sampai ke lantai, hadiah dari Jiro. Lalu dibukanya halaman pertama dengan hati berdebar dan penuh harapan akan memulai sebuah petualangan baru yang menegangkan.

Dia begitu keasyikan membaca, sehingga nyaris ketinggalan makan. Untung bunyi TV yang keras dari sebelah menyadarkannya. Dilihatnya arloji. Ah, baru sampai halaman dua puluh, sudah waktunya makan! keluhnya. Dengan berat hati ditutupnya buku itu.

Esok sorenya dia terburu-buru pulang dari kuliah, tak sabar lagi mau meneruskan bacaannya. Dia bersyukur bahwa dia sudah pindah kos ke dekat kampus, sehingga jalan sepuluh menit pun sudah tiba di kamar.

"Kenapa sih kau begitu buru-buru?" tegur Ana heran.

"Apa abangmu mau datang?"

"Abang?" Sejenak Atila bingung tapi sedetik kemudian dia sudah tersenyum. Ketika dia pindah pada hari Minggu dulu itu, diantarkan oleh Jiro dalam mobil pamannya, Ana turun dari kamarnya menyambut mereka. Terpaksa kedua orang itu harus diperkenalkan. Tengah dia tertegun tak tahu harus mulai dari mana, Jiro sudah mengulurkan tangan.

"Hai, kau tentunya Ana, ya. Adikku sering bercerita mengenai engkau."

"Semoga bukan yang jelek-jelek!" Ana ketawa seraya mengerling Jiro dan Atila bergantian penuh arti. Mereka berjabat tangan. Genit juga cewek ini, keluh Atila saat itu dalam hati.

"Enggak," dia menggeleng.

"Abangku enggak datang."

"Kau tahu, Tila, aku gembira sekali, kita berdua bersahabat. Aku jadi sempat berkenalan dengan abangmu yang ganteng itu!"

Celaka! Jangan-jangan Ana sudah jatuh Cinta pada Jiro! pikir Atila sambil menatap senyum cerah temannya.

"Ganteng sih ganteng, An, tapi adatnya keras." '

"Ah, semua cowok memang begitu, La. Apalagi yang ganteng-ganteng!" Ana melirik dengan lagak sok pengalaman.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto Wiro Sableng 135 Rumah Tanpa Dosa Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut

Cari Blog Ini