Ceritasilat Novel Online

Misteri Dian Yang Padam 3

Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD Bagian 3



"Oh, pada saatnya akan datang juga giliran mereka tertangkap," kata Kosasih masih terus mau mempertahankan kedudukannya.

"Oh, ya," kata Herlina sambil mengangguk dengan serius.

"Untuk setiap satu koruptor yang tertangkap, ada seratus orang yang bebas berkeliaran dan bergelimang dalam kekayaan." Disertai suatu senyuman yang manis, Herlina melanjutkan,

"Nah, kalau Bapak-bapak ini sudah tidak mempunyai pertanyaan yang relevan, saya ingin meneruskan makan siang saya. Saya masih harus kembali ke pabrik," kata Herlina sambil berdiri. Ia tidak menunggu jawaban tamu-tamunya, tetapi dengan langkah-langkah yang panjang dan luwes, dengan tegas berjalan ke pintu dan membukanya.

Kosasih sebetulnya masih ingin meneruskan pertandingannya semata-mata untuk bisa mengundurkan diri dengan berwibawa, namun pandangan Gozali mengurungkan niatnya. Pada bibir Gozali terbersit bayangan suatu senyum yang seakan-akan berkata kepadanya,

"Terimalah kekalahanmu dengan jantan." Kosasih berdiri dan mengikuti Gozali yang sudah lebih dulu melangkah ke pintu.

"Selamat siang, Nona, dan selamat makan," kata Gozali.

***

MEREKA sedang duduk di kamar tamu Nyonya Narti lagi, tetapi kali ini ditemani oleh Nurlita, gadis yang terakhir melihat Dian Ambarwati berdiri di pagar rumah pemondokan itu pada malam hari Jumat tanggal dua puluh empat.

"Dan bagaimanakah sikap Dian Ambarwati ketika ia melihat Anda lewat tidak jauh dari tempatnya berdiri?" tanya Kosasih. Kosasih telah menemukan kembali ketenangannya dan wibawanya. Menghadapi Nurlita yang mahasiswi ini tidak seperti menghadapi Herlina Subekti.

"Oh, Dian tersenyum saja kepada saya, tetapi tidak mengatakan apa-apa."

"Dan Anda tidak pernah melihat pemuda yang bersamanya itu sebelumnya?"

"Tidak. Ia tidak pernah kemari sebelumnya."

"Apakah Anda mendengar namanya?"

Nurlita berpikir sejenak.

"Tidak," katanya.

"Bagaimanakah rupanya?"

"Oh, biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa," kata Nurlita.

"Perawakannya sedang, tidak gemuk, seperti kebanyakan pemuda-pemuda seusianya.

saya taksir dia berumur dua puluhan, masih termasuk muda, berkulit agak hitam. Rambutnya tebal dan mengombak, agak gondrong. itu saja seingat saya."

"Anda melihat kendaraan yang dinaikinya?" tanya Gozali menimpali.

"Sepeda motor, berwarna hitam, tetapi saya tidak memperhatikan dari jenis apa. Waktu itu saya cuma memandang orangnya sebentar."

"Jadi Anda tidak melihat nomor kendaraannya?"

"Tidak. Apalagi waktu itu di luar sudah gelap."

"Pukul setengah delapan kurang sepuluh?"

"Ya, tepat pukul setengah delapan kurang sepuluh. Kursus yang saya ikuti mulai pukul setengah delapan, dan perjalanan ke sana kira-kira makan waktu sepuluh menit "

"Apakah Dian Ambarwati pernah menceritakan kehidupannya yang lampau kepada rekan-rekan sepemondokannya?"

"Entahlah. Kepada saya tidak, tetapi itu mungkin karena saya jarang bertemu dengannya. Kami di sini tidak mempunyai begitu banyak waktu untuk duduk dan berkumpul ramai-ramai. Masingmasing mempunyai kesibukan sendiri. Kami di sini ada tujuh orang, tadinya delapan termasuk Dian. Yang tiga orang tinggal dalam satu kamar, dua kamar lainnya masing-masing diisi dua orang. Hanya Dian sendiri yang menempati satu kamar seorang diri. Jam-jam luang kami tidak sama. Ada yang karyawan, ada yang mahasiswi, dan ada pula yang sekolah sore. Kami jarang ada waktu untuk

duduk berkumpul bersama-sama. Setiap akhir minggu juga banyak yang pulang ke rumah orangtua, atau bertamasya dengan teman-temannya sendiri."

"Bagaimana dengan Dian? Apakah dia tidak pernah pulang?"

"Setahu saya tidak. Dia pernah mengatakan takut nanti dilarang kembali lagi ke Surabaya oleh ayahnya."

"Anda tidak dapat menambah apa-apa lagi?" tanya Kosasih.

Gozali dan Kosasih kemudian mohon diri. Sampai di sini semuanya masih jalan buntu. Mereka tidak mendapat keterangan tambahan apa-apa yang dapat membantu mereka.

"Sekarang ke mana?" tanya Kosasih.

"Kita terus ke Ngawi," jawab Gozali.

"Kaukira kita akan memperoleh sesuatu di sana?"

"Kalau tidak dicoba, mana tahu?"

"Tambah lama aku tambah yakin bahwa kematian ini hanya akibat penodongan biasa, Goz. Kalung dan cincinnya juga hilang, tasnya tidak beruang, apakah itu bukan tanda-tanda penodongan? Barangkali saja si penodong tidak mempunyai istri atau pacar, sehingga tas beserta isinya itu tidak berguna baginya, makanya ditinggal." Kosasih mengernyitkan dahinya.

"Boleh jadi juga. Tetapi yang aneh, mengapa ia bisa sampai di tempat itu seorang diri? Ia tidak mungkin mau diajak seorang tukang todong yang tidak dikenalnya, bukan? Bukankah malam itu ia juga mempunyai janji makan di luar? Nah, siapa yang mengajaknya kencan ini? Mengapa sampai sekarang tidak ada orang yang maju mengakuinya? insinyur itu mengatakan bahwa itu bukan dia, teman-temannya satu kantor tidak ada yang tahu. Temannya sepemondokan melihatnya bersama seorang pemuda asing. Nah, siapa pemuda ini? Kalau ia yang mengajak korban pergi, bukankah seharusnya ia yang membawa korban pulang? Kalau mereka ternyata ditodong di tengah jalan, mengapa pemuda ini tidak lapor? Kalau seperti yang kita pikirkan mungkin korban bertengkar dan nekat pulang seorang diri, mengapa ia ada di belakang lapangan tenis Taman Aksara? Di sana tidak ada rumah makan, dan juga bukan jalan pulang ke pemondokannya. Lagi pula kita harus ingat, bahwa pada saat ia dibunuh, dia belum sempat makan apa-apa lagi kecuali kangkung yang dimasak ibu semangnya."

"Harapan kita yang terakhir adalah mencari pemuda ini. Tetapi dari mana kita mulai?"

"Kita coba dari nomor telepon yang kita temukan itu dan alamat yang tercantum di buku alamatnya."

kantor telepon sentral Ngawi, Kapten Polisi

Kosasih menunjukkan identitasnya dan ingin mendapatkan nama orang yang memiliki nomor telepon yang tercatat di buku alamat Dian Ambarwati. Itu ternyata adalah nomor dan alamat Sersan Mayor Purnawirawan Jamaludin, yang sekarang menjadi seorang pedagang. Setelah mereka mencocok_ kan alamatnya, mereka segera mendatangi rumah Sersan Mayor Purnawirawan Jamaludin.

Pintu dibukakan oleh seorang pembantu rumah tangga. Mereka berkata ingin bertemu dengan tuan rumah. Tuan rumah ternyata tidak ada di tempat. Nyonya rumah yang keluar.

Sersan Polisi Kosasih memperkenalkan dirinya dan Gozali. Mereka dipersilakan masuk

"Ada keperluan apa Bapak-bapak kemari?" tanya Nyonya Jamaludin.

"Begini, Bu. Kami ada sedikit pertanyaan. Yang pertama-tama ingin kami tanyakan adalah apakah Ibu atau keluarga Ibu ada yang mengenal Dian Ambarwati?" tanya Kosasih.

"Oh, iya. Kami sekeluarga mengenalnya. Aduh, kasihan sekali, ya, sampai terbunuh di Surabaya. Dian itu teman anak saya dan sudah saya anggap seperti anak sendiri di sini. Sayangnya kami terlambat mengetahui kematiannya. Knmi baru tahu setelah orangtuanya kembali dari pemakamannya."

Hati Kosasih berdebar. Nah, ini baru ada suatu kaitan yang mungkin berguna. Ia berkata,

"Kalau begitu bolehkah kami mengetahui nama putra Ibu?"

"Oh, anak saya bernama Purnomo. Apakah

Bapak-bapak juga ingin bertemu dengannya? Kebetulan dia ada di rumah. Sedang kurang enak badan. Yah, sejak mendengar kematian Nak Dian itu. Tadinya mereka erat sekali, bahkan sudah berpacaran, istilah anak-anak muda sekarang. Nak Dian dulu setiap hari bemain-main di sini, atau anak saya yang bertandang ke rumah keluarga Prabowo. Aduh, anak saya sampai sekarang masih belum mau makan, katanya Nak Dian masih terbayang-bayang terus di matanya." Ibu tua yang malang ini menggelenggelengkan kepalanya. Lalu katanya,

"Sebentar, saya panggilkan."

Purnomo! Huruf "P" yang tercantum dalam buku alamat Dian Ambarwati! Sekali ini Kosasih merasa seakan telah memenangkan undian harapan.

Nyonya rumah kembali menggandeng seorang pemuda yang berperawakan sedang, berkulit hitam, dan berambut gondrong. Inilah pemuda yang dilukiskan Nurlita sedang bercakap-cakap dengan Dian Ambarwati pada malam hari tanggal dua puluh empat itu. Satu mata rantai yang hilang telah ditemukan.

"Ibu Jamaludin," kata Gozali dengan hormat,

"kami ingin berbicara dengan putra Ibu secara pribadi. Saya harap Ibu tidak tersinggung. Tetapi karena ini mengusut suatu kematian, kami terpaksa minta kepada Ibu untuk diberi kesempatan ini."

Nyonya Jamaludin memandang dari Gozali ke wajah anaknya, kembali lagi ke Gozali. ia tidak mengerti mengapa harus ada kerahasiaan dalam pembicaraan ini. Bukankah dia sendiri pun mengenal Dian dan dapat ikut memberikan pendapat? Tetapi kemudian Purnomo mengangguk. Katanya,

"Mari masuk ke kamar belajar saya saja."

Kosasih dan Gozali mengangguk hormat kepada nyonya rumah, dan mengikuti putranya masuk ke belakang. Rumah Sersan Mayor Purnawirawan .Jamaludin termasuk besar, melewati ruang tamu dan ruang makan, mereka tiba di suatu lorong. Purnomo membuka salah satu pintunya dan menyilakan mereka masuk. Di dalam kamar belajar berukuran tiga setengah kali empat meter itu ada sebuah meja tulis, dua buah rak buku yang penuh berisikan buku-buku tebal, sebuah sofa berwarna coklat yang rupanya enak sekali untuk diduduki dengan lampu tegak yang meneranginya, dan sebuah dipan sempit yang terbuat dari rotan dengan bantal-bantal coklat di atasnya. Di samping itu ada dua buah kursi di dekat meja tulisnya. Di atas meja tulis ada sebuah lampu bertudung yang sinarnya hanya jatuh di atas meja itu saja.

Gozali melihat bahwa lampu di dalam kamar ini sudah menyala sebelum mereka masuk, dan asbak yang terletak di atas meja tulis membuktikan bahwa sebelumnya kamar ini telah dipakai seseorang, karena ia tidak percaya bahwa nyonya rumah semacam Nyonya Jamaludin akan membiarkan pembantunya mengabaikan sebuah asbak yang berisi.

Purnomo menyilakan mereka duduk. Gozali berjalan ke sofa coklat yang nyaman itu dan duduk di sana. Ternyata kursi ini masih terasa hangat. Pasti ada orang yang baru saja duduk di sana. Dan

karena tuan rumahnya tidak di tempat, orang itu tidak mungkin bukan Purnomo karena nyonya rumah sudah dapat dipastikan tentu tidak merokok.

"Saudara Purnomo," kata Kosasih memulai wawancaranya.

Purnomo memandangnya dengan waswas. Jarijarinya merogoh-rogoh saku bajunya, mencari rokoknya.

"Berapa umur Anda sekarang?" tanya Kosasih.

"Dua puluh tiga, Pak."

"Masih sekolah atau sudah bekerja?"

"Masih kuliah, Pak."

"Tidak bekerja? Sambilan atau tetap atau musiman?"

"Tidak, Pak."

Kosasih meneliti isi kamar belajar ini. Meskipun tidak besar, isinya dapat dikatakan lengkap. Ada kipas anginnya, ada sebuah lemari es kecil di pojok dan pastilah ini berisi minuman dingin supaya orang yang sedang belajar di sini tidak perlu terganggu atau mengganggu orang lain dengan mengambil minuman di luar. Kosasih memperhatikan buku-buku tebal yang tersusun dengan rapi di rak. Melihat kerapiannya, rasanya buku-buku ini tidak pernah dipakai. Kalau dihitung jumlahnya, tentulah ini merupakan modal yang tidak sepele, apalagi buku-buku semacam ini harganya pasti beberapa ribu sebuahnya. Hm, Sersan Mayor Pumawirawan Jamaludin pasti bukan orang yang melarat. Dan rupanya ia tidak sayang mengeluarkan

uang demi kepentingan anaknya ini.

"Berapa orang saudara Anda?"

"Dua, Pak."

"Lebih tua atau lebih muda?"

"Keduanya kakak perempuan, Pak."

"Sekarang di rumah?"

"Tidak, Pak. Mereka sudah berkeluarga semua. Yang seorang tinggal di Bandung, dan yang seorang di Lumajang, ikut suaminya."

"Anda yang bungsu laki-laki seorang?"

"Iya, Pak."

"Hm," kata Kosasih.

"Kuliah di mana sekarang?"

"Fakultas Sospol, Pak."

"Tingkat berapa?"

"Baru dua, Pak."

"Hm, tersendat-sendat sedikit?"

"Ya, Pak." Purnomo menunduk. Kalau menyinggung kuliahnya memang tidak banyak yang bisa dibanggakannya. Ia harus mengakui bahwa otaknya tidak terlalu cerdas dan ketekunannya belajar juga tidak berkobar-kohar, sehingga sekolahnya juga tidak bisa lancar seperti beberapa temannya yang lain, yang sekarang sudah duduk di tingkat yang lebih tinggi. Sebenarnya Purnomo lebih suka bekerja saja, mencari pengalaman di kota yang lebih besar. Ke Bandung, misalnya, ikut kakaknya. Tetapi ayahnya tidak mengizinkan. Purnomo harus menyelesaikan sekolahnya dulu. Ayahnya menghendaki seorang anak yang punya titel untuk dibanggakannya.

"Sudah berapa tahun Anda mengenal Dian Ambarwati?"

"Dari muda, Pak. Sewaktu di SMA. Dian baru SLTP ketika itu."

"Ia pacar Anda?"

"Kami sudah putus, Pak," kata Purnomo cepatcepat "Kami sudah putus sebelum Dian pindah ke Surabaya." Seolah-olah dengan berkata demikian dia berharap mereka tidak akan menanyainya lebih banyak lagi. Tetapi perkiraannya keliru. Kosasih bukanlah orang yang mudah putus asa.

"Apakah Anda akhir-akhir ini pernah ke Surabaya?"

"Tidak, Pak."

Kosasih memandangnya dalam-dalam. Purnomo tidak berani menentang pandangannya.

"Sekitar seminggu yang lalu? Hari Jumat tanggal dua puluh empat?"

"Tidak, Pak."

"Betul?"

"Ya, Pak"

Kosasih menghela napas. Nah, ini! Menghadapi saksi-saksi yang tidak mau berterus terang begini adalah pekerjaan rutin baginya. Dengan geram dia berpikir, kalau kau sudah kutelanjangi, baru mau mengaku, ya? Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah,

"Sebaiknya Anda mengaku saja terus terang. Ada seorang saksi yang melihat Anda bercakap-cakap dengan Dian Ambarwati dan melihat nomor sepeda motor Anda." Kosasih sadar bahwa dirinya telah sengaja berbohong. Nurlita tidak pernah melihat nomor kendaraan Purnomo. Tetapi Nurlita akan mengenali Purnomo lagi kalau harus

dikonfrontasikan. Dalam mencapai suatu tujuan, cara apa pun halal, selama itu tidak melanggar perikemanusiaan dan berpijak pada kebenaran.

Bibir Purnomo bergetar. Rokok yang dari tadi diisapnya berulang-ulang tidak membantu menenangkannya. Butir-butir keringat dingin mulai bercucuran di dahinya, kendati di dalam ruangan itu udara sejuk karena kipas anginnya sudah dipasang. Kosasih dan Gozali tidak luput melihat semuanya ini. Harapan mereka mulai berkembang.

Akhirnya Purnomo berkata,

"Ya, saya bertemu dengan Dian hari Jumat, tetapi hanya sebentar saja. Saya tidak tahu apa-apa soal kematiannya."

"Apakah Dian Ambarwati yang menelepon supaya Anda datang?"

"Ya." Purnomo memutuskan untuk tidak memberikan informasi yang tidak ditanyakan. Lebih sedikit yang dikatakannya lebih baik. Dia tidak tahu berapa banyak yang diketahui polisi, tetapi kalau ia sekadar menjawab apa yang mereka tanyakan dan tidak memberikan keterangan tambahan, tentunya polisi juga tidak bisa mengorek banyak darinya.

"Tadi Anda mengatakan bahwa hubungan Anda dengan Dian Ambarwati sudah putus, mengapa ia masih menelepon Anda?"

Purnomo terkesiap. Wah, ini pertanyaan berbahaya. Apa yang harus dikatakannya? Kalau sampai mereka tahu apa alasan Dian meneleponnya, bisa celaka ia! Purnomo berpikir lama sementara keringat dingin masih membutir besar-besar di

dahinya. Perutnya mulai merasa mulas. Akhirnya ia berkata,

"Saya tidak tahu, Pak. Di telepon dia tidak mengatakan alasannya."

"Lho, mana bisa tidak tahu? Lalu apa yang dikatakannya kepada Anda ketika kalian bertemu?"

"Waktu menelepon, dia hanya memberikan alamatnya. Sedangkan pada hari Jumat itu kami tidak sempat berbicara banyak karena katanya mendadak dia harus pergi. Kami membuat janji untuk bertemu lagi hari Minggu pagi."

Kosasih menghela napas lagi. Ini lagi, suatu jalan buntu pula. Sudah berhasil menemukan si pemuda, ternyata pemuda ini sekarang berkata bahwa korban mempunyai janji bertemu dengan orang lain. Yang mana yang benar?

"Dan Anda menyanggupinya?" terdengar suara Gozali datang dari sofa yang nyaman itu.

"Apa?" kata Purnomo terkejut.

"Anda menyanggupinya untuk bertemu lagi hari Minggu?"

"Ya."

"Jadi Anda bermaksud menginap di Surabaya sampai hari Minggu?"

"Oh, tidak. Saya merencanakan kembali lagi hari Minggu."

"Jarak Ngawi-Surabaya tidak dekat, bukan? Dan dengan berkendaraan sepeda motor tentunya melelahkan juga. Tetapi mengapa Anda mau bolak-balik demi seorang gadis yang sudah bukan pacar Anda lagi?"

Purnomo tidak bisa menjawab. Dia bungkam saja.

"Sebaiknya Anda mengaku yang sejujurnya," kata Kosasih.

"Kami beritahukan kepada Anda, Dian Ambarwati meninggal dalam keadaan yang mencurigakan, dan kalau Anda tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, kami terpaksa menahan Anda."

Wajah Purnomo berubah pucat pasi. Sejenak dia teringat ayahnya. Wah, kalau sampai ia ditahan, betapa malunya keluarganya! Apa yang akan dikatakan orang nanti tentang keluarganya? Ia tidak sanggup berpikir sampai ke sana. Tetapi kalau mengatakan terus terang, apakah itu akan membuat urusan menjadi beres? Apakah ia tidak semakin dicurigai? Purnomo membenamkan kepalanya dalam kedua telapak tangannya. Andaikata ia bukan laki-laki dan tidak berusia dua puluh tiga tahun, ingin rasanya ia sekarang lari ke pangkuan ibunya dan menangis keras-keras, supaya ibunya yang mengusir kedua orang yang mengganggu ketenteraman hatinya ini. Tetapi ia sudah telanjur dewasa dan telanjur terlibat dalam peristiwa ini, sehingga ia tidak bisa lagi melarikan dirinya.

"Mengapa hubungan kalian sampai putus?" tanya Gozali lagi.

Purnomo terjaga dari lamunannya.

"Ah... eh, kami bertengkar," katanya.

"Mengenai apa?"

"Dian cemburu karena saya bercakap-cakap lama dengan seorang gadis di suatu pesta." Sekarang jawabannya lebih lancar. Pertanyaan demikian tidak sulit dijawabnya.

"Sudah berapa tahun kaliah berpacaran?"

"Semenjak saya mengenalnya dulu, sekitar lima tahun."

"Dan kalian putus hanya karena satu pertengkaran kecil itu?" tanya Kosasih tidak percaya.

"Apakah dalam lima tahun itu Anda tidak pernah bercakap-cakap dengan gadis lain?"

Purnomo diam lagi. Bagaimanapun jalannya pembicaraan, selalu akhirnya mengarah ke hal yang sama lagi. Bagaimana ia dapat melarikan dirinya lagi?

"Siapakah gadis yang dicemburuinya?"

"Oh, dia tidak ada hubungannya. Namanya Rini, anak Jakarta, waktu itu kebetulan berlibur di rumah sanak keluarganya di sini. Ia sudah lama kembali ke Jakarta."

"Nah, itulah. Tidak masuk akal, bukan? Kalian sudah berpacaran selama lima tahun, lalu hanya gara-gara persoalan yang begitu sepele kalian putus." Kosasih mendesak lagi.

"Saya tidak tahu," kata Purnomo pada akhirnya.

"Apakah Dian Ambarwati memanggil Anda ke Surabaya untuk dimintai pertanggungjawaban?"

Nah, akhirnya tiba pula ke pertanyaan yang paling ditakutinya. Kalau begitu apakah polisi sudah tahu? Mulut Purnomo terasa kering. Wajahnya semakin pias. Keringatnya semakin mengucur. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan mereka sudah tahu.

"Ya atau tidak!" bentak Kosasih.

"Tidak... tidak...," kata Purnomo. Tangannya gemetar. Rokoknya sudah habis. Ingin rasanya sekarang bumi terbelah dan menelannya.

"Tidak," katanya lirih.

"Kami sudah mengetahui semuanya. Ternyata Anda masih ingin menyembunyikan keterlibatan Anda! Kalau Anda tidak memberikan keterangan yang jelas dan jujur sekarang, keterangan yang dapat memuaskan kami bahwa bukan Anda yang membunuhnya, detik ini juga Anda akan kami bawa ke kantor polisi." Kosasih memandangnya dalam-dalam. Pemuda ini perlu diberi pelajaran, pikirnya. Ia seorang pemuda yang biasa dimanjakan. Sekali ini tidak ada hal lain yang dapat membantunya atau melindunginya, kecuali kejujurannya.

"Dian Ambarwati mengatakan kepada Anda bahwa ia telah hamil, dan bahwa Anda harus mengawininya. Lalu Anda dengan kejam telah membunuhnya!" kata Kosasih karena Purnomo tetap bungkam.

"Tidak!" teriak Purnomo seperti orang disengat kalajengking.

"Itu tidak benar!" Purnomo berdiri dari duduknya. Terkejutnya bukan kepalang. Dia tadinya menyangka bahwa mereka menuduhnya menghamili Dian, tetapi ternyata yang mereka tuju adalah pembunuhannya! Ini sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Dituduh menghamili adalah satu hal, tetapi kalau dituduh membunuh, sudah hal yang sama sekali lain! Dari tadi ia berusaha menutupi keterlibatannya karena ia mengira tidak ada orang yang tahu. Keluarga Dian pun tidak ada yang datang menanyakannya kepada

orangtuanya. Tetapi rupanya polisi berpendapat lain. Kehamilan itu telah dikaitkan mereka kepada pembunuhannya!

"Demi Allah saya tidak membunuhnya!" teriak Purnomo.

"Bapak harus percaya. Demi Allah..."

"Sudah, jangan pakai bersumpah segala. Anda akan mempunyai kesempatan bersumpah di pengadilan nanti," kata Kosasih.

"Nah, sekarang ceritakanlah semuanya kepada kami, dari permulaan."

Purnomo menelan air ludahnya. Sudah tak ada jalan lain lain kecuali mengakui segalanya.

**

DARI rumah keluarga Jamaludin mereka meneruskan perjalanan ke rumah keluarga Prabowo. Sekarang telah lewat empat hari sejak kematian Dian Ambarwati, putri mereka. Dalam hatinya Kosasih dapat merasakan duka yang melanda kedua orangtua yang sudah mulai memasuki usia senja ini. Putri mereka yang bungsu, yang menjadi kesayangan ayahnya, telah tiada. Mati secara mengenaskan, dan masih belum diketahui latar belakangnya pula. Kosasih sendiri, ayah empat orang anak, dapat membayangkan seandainya salah seorang dari anaknya bernasib seperti Dian Ambarwati. Seorang gadis yang baru mekar dewasa. Baru berusia dua puluh tahun, yang seharusnya mempunyai masa depan yang panjang, menjadi istri dan ibu suatu keluarga yang bahagia. Kosasih menggelenggelengkan kepalanya. Ia mencoba membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Dian Ambarwati tidak ditemukan mati tergolek di belakang lapangan tenis yang sepi pada pagi buta hari Sabtu itu oleh seorang gelandangan. Apakah Dian Ambarwati akan menikah dengan Insinyur Drajat? Kosasih tidak dapat membayangkannya. ia telah bertemu dengan Insinyur Drajat, telah mendengarnya berbicara, telah menyaksikan sikapnya. Ia juga telah mendengar banyak tentang watak Dian Ambarwati meskipun dia tidak pernah bertemu dengan gadis ini semasa hidupnya. Kemungkinan besar apa yang dikatakan gadis yang bernama Puji tentang kedua insan ini memang benar, mereka tidak sesuai.

Insinyur Drajat adalah seorang laki-laki yang berwatak kurang mantap sebagai lelaki, namun tidak suka dikekang. Dua unsur yang bertentangan. Seorang laki-laki yang berwatak kurang mantap akan lebih berbahagia apabila ia mempunyai watak penurut, dengan demikian hidupnya akan tenang karena ia menerima dibimbing orang lain. Tetapi dengan kombinasi watak seperti Insinyur Drajat, sudah dapat dipastikan bahwa dalam hatinya ada banyak pergumulan. Di satu pihak dirinya sendiri menyadari kekurangannya, namun di pihak lain dia akan berontak apabila dituntun. Insinyur Drajat termasuk dalam golongan manusia yang sering frustrasi selama hidupnya. Kendati telah bertitel insinyur, kelihatan bahwa ia terlalu lemah untuk dapat menjadi manusia yang berhasil dalam hidupnya dengan jerih payahnya sendiri. Sedangkan untuk menerima dorongan orang lain, hatinya berontak. Untuk waktu yang singkat dia telah dapat ditundukkan oleh Herlina Subekti, yang mempunyai watak kuat. Tetapi keresahan hatinya mem

buat ikatan ini menjadi sumbang. Dia tidak mau mengakui dominasi wibawa Herlina.

Kemudian dia terpikat oleh Dian Ambarwati, seorang gadis yang masih muda, yang halus, yang polos. Tentunya dalam benak Insinyur Drajat dia mengira bahwa kali ini dirinya yang akan lebih menonjol. Namun dia telah salah perhitungan. Memang Dian Ambarwati tidak sama dengan Herlina. Dian Ambarwati mempunyai senjata lain yang tidak dimiliki Herlina Subekti. Senjata kewanitaannya yang tak kalah ampuhnya, air mata! Ketergantungannya! Kelemahannya sebagai seorang wanita! Dan dengan senjatanya ini Dian Ambarwati juga akan dapat mengendalikan Insinyur Drajat sama ketatnya dengan Herlina Subekti. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, laki-laki itu akan merasa resah lagi, ingin berontak lagi, frustrasi lagi.

Sudah menjadi kodrat setiap wanita untuk mencoba membawa lelakinya ke arah yang diinginkannya, apalagi jika wanita ini mengetahui bahwa si lelaki tidak mempunyai watak yang mantap sendiri. Jadi dalam hatinya Kosasih berpendapat, bahwa dengan gadis mana pun insinyur Drajat tidak akan hidup berbahagia, selama ia sendiri tidak mengubah sikap mentalnya. Hanya ada dua jalan, apakah dengan memantapkan wataknya-hal yang sulit sekali untuk dicapai-atau dengan sikap pasrah menerima faktanya, harus tunduk kepada orang lain. Di dunia ini sudah biasa yang kuat menjajah yang lemah, entah itu laki-laki atau wanita, tidak ada bedanya. .

Dian Ambarwati sendiri ternyata mempunyai hati yang tegar, meskipun usianya masih muda. Kendati telah mengetahui dirinya hamil, dia bukannya memanggil Purnomo untuk minta dinikahi, melainkan dia telah meminta saran Purnomo, lelaki yang menghamilinya, bagaimana caranya supaya ia dapat menggugurkan kandungannya! Keputusan ini sendiri sudah merupakan bukti akan kekerasan hati Dian Ambarwati. Tidak setiap wanita rela menggugurkan bayi yang tidak berdosa dalam rahimnya. Apalagi menurut Purnomo ia bersedia mengawininya! Tetapi dengan alasan bahwa kuliah Purnomo masih jauh dari selesai dan dirinya sendiri yang masih terlalu muda, maka ia minta Purnomo untuk mencarikan seorang dokter atau bidan atau dukun, atau siapa saja, yang mau menggugurkan kandungannya. Di samping itu ia juga minta kepada Purnomo untuk mengusahakan biayanya, karena gajinya sendiri di Ramanda hanya cukup untuk kehidupannya sendiri di Surabaya, sedangkan dia tidak berani minta uang kepada orangtuanya. Ia sama sekali tidak menyebutkan kehadiran Insinyur Drajat kepada Purnomo, atau bahwa sekarang di Surabaya ia telah mempunyai kawan lakilaki baru. Ternyata Dian Ambarwati mempunyai kekerasan hati dan kecerdikan yang jauh di atas usia mudanya!

Pada hari Minggu berikutnya Purnomo sebenarnya harus kembali membawa uang, dan mereka bersiap-siap mencari orang yang mau membantu mereka menghilangkan aib ini. Purnomo dengan

berat hati menyetujuinya karena memang dia sendiri juga belum mampu untuk menghidupi seorang istri bersama anak. Apalagi ia juga takut kepada bapaknya, dan dia tidak tahu bagaimana nanti reaksi bapaknya kalau sampai mengetahui perbuatannya yang memalukan itu. Maka dengan berjanji akan kembali lagi pada hari Minggu, Purnomo meninggalkan Dian Ambarwati yang masih berdiri di depan pagar pemondokannya, karena Dian Ambarwati mengatakan bahwa sebentar lagi ia akan dijemput. Purnomo tidak mengetahui siapa orang yang akan menjemputnya ini. Dian Ambarwati hanya mengatakan bahwa itu teman sekantornya. Dalam hal ini mungkin saja Dian Ambarwati sengaja berbohong untuk menghilangkan kecurigaan Purnomo.

Teman sekantornya yang mana? Kosasih dan Gozali telah menanyai mereka satu per satu. Tidak ada yang cocok. Kebanyakan temannya adalah wanita, dan kecuali Puji, yang lain-lain tidak mempunyai kendaraan. Siapa yang akan menjemputnya? Sudah pasti bukan Puji, alasan pertama karena gadis ini pada saat itu berada di Malang, dan alasan kedua adalah mereka tidak menemukan apa dasarnya sehingga Puji ingin menyingkirkan Dian Ambarwati. Kecuali karyawati-karyawati yang semuanya mempunyai alibi kuat, hanya ada dua orang laki-laki yang menjadi teman sejawatnya, Aswin dan Sucipto. Aswin telah berkeluarga. Dan pada hari Jumat itu ada di rumah bersama seluruh anggota keluarganya. Sedangkan Sucipto pada

malam itu sedang berkencan bersama pacarnya. Pak Sugeng dan Sumarsono sudah terlalu tua untuk menjadi teman Dian Ambarwati. Mereka pun tidak mempunyai alasan untuk berjumpa dengannya malam itu, apalagi mengajaknya keluar makan! Hal ini juga dikuatkan oleh fakta bahwa kedua orang ini sudah ada di rumah masing-masing pada waktu itu. Memang Kosasih dan Gozali belum mengecek satu per satu alibi mereka, namun apabila orang mengatakan ada di rumah atau di tempat lain bersama orang-orang lain, sudah dapat dipastikan bahwa orang ini tidak berbohong. Jadi dalam hal ini yang berbohong adalah Dian Ambarwati!

Kosasih masih merasa penasaran. Sampai kini mereka belum berhasil menemukan siapa orang yang mempunyai janji mengajak Dian Ambarwati makan di luar malam itu.

Lamunannya terputus ketika mobil Jeep yang dikemudikan Gozali berhenti di depan sebuah rumah yang sedang ukurannya. Di depan rumah itu ada sebatang pohon jambu. Gozali mematikan mesin. Tanpa mengatakan apa-apa kedua laki-laki itu turun. Gozali berjalan ke belakang mengambil sebuah dos besar. Dos itu adalah titipan Nyonya Narti, berisi barang-barang pribadi Dian Ambarwati.

Seorang wanita yang berusia sekitar dua puluh lima tahun membukakan pintu. Wanita ini mengenakan daster dan rambutnya yang agak panjang itu diikat ke belakang dengan karet gelang. Mereka

belum pernah berjumpa dengan wanita ini sebelumnya.

"Kami dari kepolisian Surabaya," Kosasih memperkenalkan dirinya.

"Kami membawakan barangbarang putri Nyonya Prabowo dari ibu semangnya."

"Oh, silakan masuk. Saya panggilkan Ibu." Wanita ini menghilang ke belakang. Tak lama kemudian Nyonya Prabowo keluar menggendong seorang anak kecil yang berusia sekitar tiga tahun. Di bibirnya berbekas suatu senyum yang sendu ketika ia melihat kedua orang tamunya itu. Tetapi seketika matanya tertumbuk pada dos besar di tangan Gozali. Wajahnya menjadi semakin terselubung awan yang gelap. Barang-barang putrinya yang meninggal! Dia teringat kembali bahwa putrinya telah meninggal.

Ibu yang dirundung duka itu menyilakan tamunya duduk. Anak kecil yang digendongnya mulai rewel. Nyonya Prabowo menyerahkannya kepada wanita muda yang membukakan pintu tadi.

"Ini cucu saya," kata Nyonya Prabowo.

"Dan ini anak saya yang sulung, kakak Dian. Nyonya Rukmini Wibisono. Ia baru tiba di sini kemarin."

Kedua orang tamu itu mengangguk kepada wanita muda itu, yang sekarang ganti menggendong anaknya.

"Ini titipan dari Nyonya Narti untuk Ibu." Kosasih menyerahkan dos besar tersebut. Dos itu telah dibungkus dengan rapi dan diikat oleh dua utas tali rafia. Nyonya Prabowo meneteskan air mata.

Ia mulai terisak-isak. Anaknya, Rukmini Wibisono, segera duduk di sisi ibunya dan memeluknya. Mereka berdua sama-sama meneteskan air mata. Gozali dan Kosasih yang menyaksikan adegan ini tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian untuk mengalihkan perhatian, Kosasih berkata,

"Bapak Prabowo sudah sembuh?"

Nyonya Prabowo semakin terisak dan menggeleng gelengkan kepalanya.
Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bapak sakit," katanya lirih.

"Demam sudah beberapa hari, tidak bisa makan. Ke dokter masih belum sembuh juga sampai sekarang."

Di luar kebiasaannya, tiba-tiba Gozali berkata,

"Dari itulah, Ibu harus tabah. Jangan berwajah sedih terus. Sekarang Bapak membutuhkan semangat hidup dari Ibu. Ibu harus mengobati kesedihannya. Yang sudah mendahului kita, sebaiknya direlakan saja. Yang masih hidup ini yang membutuhkan perhatian."

Kosasih tercengang mendengar Gozali berkata demikian. Biasanya'dalam hal-hal demikian Gozali jarang berkata apa-apa. Mungkin kesedihan wanita yang mulai memasuki usia senja ini menyentuh hatinya juga, atau barangkali mengingatkannya kepada ibunya sendiri?

Nyonya Prabowo mengangguk. Diusapnya air matanya. Lalu katanya,

"Ambilkan minum untuk tamu kita, Min." Anaknya berdiri dan bergegas ke belakang sambil menggendong putranya.

"Anak Ibu hanya datang berdua putranya saja?" tanya Kosasih.

"Iya, suaminya masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Kami mengharapkan kedatangannya besok."

"Jadi ini anak Ibu yang tinggal di Banjarmasin?" tanya Kosasih.

"Iya. Mereka sudah tinggal di sana selama empat tahun lebih sekarang. Suaminya bekerja di sana, ikut perusahaan angkutan."

Nyonya Rukmini Wibisono kembali membawa sebuah nampan berisi empat buah cangkir. Anaknya entah sudah ditinggalkan di mana.

"Joni ke mana?" tanya Nyonya Prabowo kepada anaknya.

"Aku tinggalkan di kamar, Bu. Biar tidur sendiri."

Mereka dipersilakan minum. Keempat orang ini kehabisan bahan pembicaraan. Kosasih sudah akan mohon diri. ia berpikir lebih baik tidak mengatakan kepada orangtua yang sudah dibebani rasa duka ini tentang keadaan putrinya yang meninggal dalam keadaan hamil. Kepada Purnomo mereka juga telah berpesan supaya tidak menyebutkan hal itu kepada siapa pun. Dan Purnomo berjanji dengan lega, karena hal ini pas benar dengan keinginannya sendiri. Kalau ayahnya sampai tahu, entah apa yang akan terjadi padanya.

"Sebaiknya kita buka saja dos ini," kata Rukmini.

"Kita lihat bersama apa isinya. Mungkin ada yang bisa menunjukkan mengapa adik saya sampai mati terbunuh."

Tidak ada yang memprotesnya sehingga dos pun diserahkan kepada Rukmini untuk dibuka talinya.

Sehelai demi sehelai pakaian Dian Ambarwati dikeluarkan. Semuanya telah disusun Nyonya Narti dengan rapi. Semuanya ada di sana, alat-alat riasnya, buku-buku bacaannya, alat-alat tulisnya. Hanya empat pak jamunya yang tidak disertakan. Ternyata Nyonya Narti mempunyai perasaan yang peka juga. Kosasih berterima kasih kepada wanita yang berpandangan luas itu.

Kecuali barang-barang gadis yang mati itu, ada sebuah amplop coklat yang isinya agak tebal. Di depannya tertulis "Kepada yang terhormat Ibu Prabowo". Nyonya Prabowo yang menerima amplop tersebut dari tangan Rukmini memandangnya dengan heran.

"0h, ini surat dari Nyonya Nani," katanya. Dibukanya amplop tersebuL Di dalamnya ada sebuah album foto kecil yang terbuat dari plastik dan di atasnya diklipkan secarik kertas.

Ibu Prabowo yang terhormat,

Mungkin kalau sekarang Ibu melihat foto-foto ini, hati Ibu akan merasa tersayat-sayat kembali. Bukan dengan maksud itu saya mengirimkannya kepada Ibu. simpanlah dulu foto-foto ini semuanya. Pada suatu hari, kalau luka di hari Ibu sudah sembuh baru Ibu keluarkan untuk dilihat-lihat lagi. Pada waktu itu Ibu akan merasa bersyukur masih menyimpan kenang-kenangan ini.

Wasalam, Nyonya Narti".

Tangan Nyonya Prabowo mengusap ekor matanya. Dipegangnya album plastik kecil itu masih dalam keadaan tertutup, dan dia duduk termangu demikian untuk beberapa saat lamanya. Mungkin orang tua ini mempertimbangkan apakah sebaiknya sekarang saja ia buka album ini atau seperti yang dinasihatkan Nyonya Nani,

"pada suatu hari" kalau hatinya sudah lebih tabah. Rukmini-lah yang mengambil album tersebut dari tangan ibunya. Dilihatnya satu per satu foto yang ada di sana, foto pemakaman adiknya. Tak pelak lagi Rukmini sendiri pun mencucurkan air mata lagi. Namun usianya masih muda, ia masih mempunyai ketegaran hati, dan tangannya melanjutkan membalik-balik satu per satu halaman album kecil itu.

"Oh!" tiba-tiba Rukmini berseru heran, membangunkan ketiga orang manusia di sana, yang masing-masing sedang terbenam dalam lamunannya sendiri.

Gozali yang pertama sadar kembali.

"Ah, Nyonya Rukmini, ada apa?"

Air mata masih membekas di pipi Rukmini, namun suaranya sudah tidak mengandung nada duka lagi, melainkan mengandung sedikit ketegangan.

"Foto ini," katanya sambil menuding gambar seorang laki-laki yang berdiri di antara beberapa orang yang sedang menaburkan bunga ke dalam liang lahat adiknya. Wajah orang ini hanya tampak separo, yang separo lagi tertutup oleh bahu Sucipto.

"Bukankah ini Pak Sumarsono?"

"Anda mengenalnya?" tanya Gozali heran.

"Ya, kalau ia memang bernama Sumarsono," kata Nyonya Rukmini Wibisino.

"Di mana Anda mengenalnya?" tanya Gozali dengan penuh perhatian.

"Dia tetangga saya di Banjarmasin. Rumahnya berhadapan dengan rumah saya. Tetapi mengapa Pak Sumarsono bisa berada di sini?"

Kosasih ikut menjulurkan kepalanya, melihat gambar orang yang ditunjukkan Nyonya Rukmini Wibisono. Matanya memandang Rukmini dengan heran.

"Boleh saya lihat album itu?" tanya Gozali, mengulurkan tangannya.

Rukmini menyerahkan album itu kepada Gozali. Gozali membalik-balik halamannya lagi dari depan sampai ke belakang untuk mencari foto orang yang sama, namun dalam seluruh album itu ia tidak menjumpainya lagi.

"Anda tidak salah kenal?" tanya Kosasih.

Nyonya Rukmini Wibisono menatapnya dengan pandang tidak mengerti.

"Jadi namanya bukan Sumarsono?" tanyanya.

"Itu kepala kantor tempat Dian bekerja, Min," kata ibunya.

"Mungkin dia sudah lama pindah ke Surabaya."

"Tetapi... tetapi... rumahnya masih ada di Banjarmasin istri dan anak-anaknya masih di sana!" Rukmini berkata terbata-bata.

"Kami semua heran mendengar kabar hilangnya Pak Sumarsono. Istrinya sendiri tidak tahu suaminya ke mana."

sudah berapa lama Pak Sumarsono menghilang?" tanya Kosasih.

"Wah, saya kira sudah ada sekitar dua tahun lebih."

"Dan sampai sekarang keluarganya tidak mengetahui ke mana perginya?"

"Itulah. Mereka telah melaporkannya kepada polisi, tetapi polisi tidak berhasil menemukannya. Tadinya Pak Sumarsono disangka korban kecelakaan atau korban pembunuhan. Kasihan keluarganya! Istrinya wanita yang baik sekali. Dan mereka sudah mempunyai tiga orang anak pula. Setelah suaminya menghilang, mereka dikejar-kejar utang terus. Banyak orang mendatangi rumah mereka, katanya Pak Sumarsono telah berutang sekian-sekian kepada mereka, dan mereka menagih pengembaliannya kepada istrinya. Istrinya sendiri sebenarnya adalah anak orang kaya, tetapi setelah ayahnya meninggal, usahanya dijalankan Pak Sumarsono ini, karena istrinya cuma anak tunggal. Ya begitu, ternyata tiba-tiba suaminya menghilang, perusahaannya bangkrut, utangnya bertumpuk-tumpuk, dan kreditornya berdatangan menagih penyelesajan. Untunglah sebagian dari mereka adalah teman-teman lama ayahnya juga, sehingga rumah tempat mereka tinggal tidak diminta. Istrinya sekarang membanting tulang menerima jahitan untuk menghidupi anak-anaknya yang tiga orang. Heran! Mengapa suaminya bisa berada di sini?" Rukmini menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tunggu!" kata Gozali tiba-tiba. Semua orang

memandangnya. Mereka melihat bahwa lelaki berwajah jelek ini memejamkan matanya, dan mengernyitkan dahinya. Tak ada yang berani berbicara. Kosasih pun diam. Lewat beberapa menit kemudian Gozali membuka kedua matanya. Suaranya menjadi dingin, matanya menatap Rukmini dengan tajam, seolah-olah mau mengebor jauh ke dalam otaknya. Rukmini bergidik dibuatnya.

"Nyonya Rukmini," kata Gozali dengan suara berbisik,

"apakah adik Nyonya mengenal Sumarsono ini sebagai tetangga Nyonya?"

"Ah, tidak," kata Rukmini. Tetapi tiba-tiba matanya melebar.

"Eh, tidak, saya salah! Sekitar tiga tahun yang lalu Dian pernah mengunjungi saya ke Banjarmasin. Ketika itu saya akan melahirkan, dan Dian kebetulan sedang liburan kenaikan kelas, maka Dian ke Banjarmasin untuk membantu saya selama satu bulan." Rukmini berpaling kepada ibunya.

"Iya, kan, Bu?" Lalu katanya untuk meyakinkan ibunya,

"Itu sewaktu Joni akan lahir, kan?"

"Iya," kata Nyonya Prabowo termangu-mangu. Ia masih tidak mengerti rumitnya perkara inisegala cerita mengenai riwayat keluarga Sumarsono yang tidak ada hubungannya dengan anaknya yang sudah meninggal. Perasaan Nyonya Prabowo telah menjadi tumpul karena dukacitanya. Ia tidak dapat berpikir jauh.

"Kalau tidak salah, ketika itu Dian pernah saya perkenalkan dengan keluarga Pak Sumarsono yang mengunjungi saya di rumah sakit."

"Ah," kata Gozali, menepuk kedua tangannya,,"

"kalau begitu, Dian mengenal Sumarsono ini beserta istrinya?"

"Kalau dia masih ingat. Saya tidak dapat memastikan, toh. Dian hanya melihat mereka beberapa kali saja selama di Banjarmasin. Dan itu sudah tiga tahun yang lalu."

"Pernahkah Dian bercerita bahwa di Surabaya ini ia bertemu lagi dengan Sumarsono tetangga Anda?"

"Tidak. Dian tidak pernah bercerita bahwa kepala kantornya adalah bekas tetangga saya. Tetapi memang Dian tidak pernah bercerita tentang temantemannya kepada saya. Ia jarang sekali menulis surat."

"Apakah Dian mengetahui bahwa Sumarsono ini sedang dicari keluarganya dan bahwa keluarganya tertimbun utang di Banjarmasin?"

"Saya tidak tahu apakah Sumarsono menceritakannya kepadanya atau tidak. Tetapi saya sendiri tidak pernah menyinggung soal Sumarsono kepadanya. Toh dia cuma tetangga, dan tidak ada hubungannya dengan kami."

"Tetapi Anda yakin bahwa orang yang ada di foto ini adalah Sumarsono tetangga Anda di Banjarmasin?" desak Kosasih.

Toh orang yang bernama Sumarsono ada beribu-ribu. Dan foto itu sebetulnya tidak jelas benar, hanya kelihatan separo wajahnya saja.

"Oh, iya, Pak. Wajahnya mirip benar, dan dia tidak banyak berubah dalam waktu tiga tahun ini. Kecuali barangkali ini saudara kembarnya?" tanya Rukmini ragu-ragu.

"Goz, apakah ini relevan sehubungan dengan kasus kematian Nona Dian Ambarwati?" tanya Kosasih melihat sahabatnya merenung agak lama.

Gozali mengangguk perlahan.

"Aku tidak tahu. Menemukan kisah Pak Sumarsono itu merupakan suatu kebetulan dalam rangka menyidik kematian Dian Ambarwati."

"Kaukira ini terlibat kematian Nona Dian?" tanya Kosasih mengangkat alisnya.

Gozali menggeleng.

"Kita belum tahu sekarang. Itu suatu kemungkinan."

"Tapi itu mustahil! Mengapa Pak Sumarsono mau membunuh adik saya?" kata Nyonya Rukmini.

"Walaupun Pak Sumarsono dengan sengaja meninggalkan keluarganya di Banjarmasin, apa hubungannya itu dengan adik saya?"

"Begini, Nyonya Rukmini," kata Gozali,

"sampai sekarang terus terang saja kami masih belum berhasil mengatakan bahwa pembunuhan itu berkaitan dengan penodongan yang telah merampas kalung, cincin, dan uang adik Anda. Tetapi teori ini banyak kelemahannya. Yang pertama, bagaimana adik Anda bisa berada di tempat yang sepi itu seorang diri sehingga dirampok orang? Padahal menurut ibu semangnya, adik Anda jarang sekali keluar malam-malam, apalagi seorang diri saja. Yang kedua, sampai kini informan kami belum berhasil menemukan di mana cincin dan kalung adik Anda telah dijual. Seorang penodong biasanya akan cepat-cepat menjual hasil rampokannya"

untuk mendapatkan uang. Yang ketiga, baik teman-teman sekantor adik Anda, maupun temanteman sepemondokannya, mengetahui bahwa malam itu adik Anda telah diajak keluar untuk makan malam oleh seseorang. Sampai kini kami belum berhasil menemukan orang itu. Kami tidak percaya bahwa adik Anda mau pergi bersama orang yang tidak dikenalnya. Dan dugaan kami semula bahwa adik Anda pergi bersama bekas pacarnya Purnomo Jamaludin, ternyata juga meleset."

"Purnomo?" tanya Ibu Prabowo kaget.

"Purnama sama sekali tidak mengetahui alamat Dian! Dia pernah kemari beberapa kali menanyakannya, tetapi saya tidak pernah memberitahukannya, sesuai dengan pesan Dian."

"Oh, begini, Bu," kata Kosasih.

"Sehari sebelum kematiannya, putri Ibu menelepon Purnomo dan memberikan alamat pemondokannya. Purnomo datang ke pemondokannya pada malam Sabtu itu sekitar pukul tujuh seperempat dan bercakap-cakap dengan putri Ibu selama kurang-lebih dua belas menit. Tetapi putri Ibu memberitahukan kepadanya bahwa malam itu mendadak dia ada janji dan akan dijemput pada pukul setengah delapan. Maka Purnomo langsung kembali ke Ngawi lagi. Kami telah memeriksa dan mengecek pukul berapa Purnomo tiba di rumah. Keterangan pembantunya yang membukakan pintu baginya dan hansip yang kebetulan berjaga malam waktu itu sama-sama membenarkan bahwa Purnomo sudah tiba di rumah sekitar pukul sebelas. Ini menguatkan keterangan

Purnomo yang mengatakan bahwa ia langsung kembali ke Ngawi sekitar pukul setengah delapan. Berarti Purnomo tidak mempunyai waktu untuk memboncengkan putri Ibu dengan sepeda motornya entah ke mana, dan setiba di Taman Aksara lalu membunuhnya. Tempat itu sampai pukul sepuluh malam masih banyak dilalui orang yang akan dengan mudah melihat perbuatannya. Di samping itu visum dokter menunjukkan bahwa putri Ibu meninggal antara pukul setengah delapan sampai pukul sembilan malam, tetapi yang pasti tidak mungkin di tempat ia kemudian ditemukan. Kami berpendapat bahwa setelah putri Ibu dibunuh antara pukul setengah delapan sampai pukul sembilan, jenazahnya entah disimpan di mana, dan baru tengah malam atau pagipagi buta jenazahnya ditinggalkan di belakang lapangan tenis itu. Pada waktu itu Purnomo Jamaludin sudah ada di Ngawi."

"Memang aneh. Saya tidak bisa mengerti siapa yang mau membunuh adik saya. Apa yang telah dilakukannya Sehingga nyawanya begitu berharga bagi seseorang?" kata Nyonya Rukmini menggelengkan kepalanya.

"Kami belum juga memperoleh jawabannya sekarang. Itu masih harus kami lacak. Tapi masukan tentang kisah Pak Sumarsono merupakan satu info baru bagi kami dengan kemungkinan baru yang bisa kami lacak. Terus terang saat ini kami sudah kehabisan jejak yang bisa kami lacak. Segala

kemungkinan yang kami Selidiki ternyata berakhir dengan jalan buntu," kata Gozali.

"Saya masih tidak bisa percaya kalau Pak Sumarsono ini terlibat kematian adik saya," kata Nyonya Rukmini Wibisono.

"Kalaupun benar Pak Sumarsono sengaja meninggalkan keluarganya di Banjarmasin, apa hubungannya dengan Dian? Dian toh tidak tahu tentang cerita itu karena saya tidak pernah menceritakan kepadanya tentang kepergian Pak Sumarsono. Umpamakan akhirnya Dian tahu, apa pula yang bisa dilakukannya terhadap Pak Sumarsono? Paling banter barangkali akan minta Pak Sumarsono kembali kepada istrinya. Itu saja. Kalau Pak Sumarsono tidak mau, masa Dian akan berbuat apa-apa lha wong itu urusan rumah tangga orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dia! Saya benar-benar tidak bisa percaya bahwa untuk hal sepele seperti itu Dian perlu dibunuh!"

"Masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab kini, Nyonya Rukmini," kata Gozali.

"Malam ini kami segera kembali lagi ke Surabaya untuk mengecek beberapa hal yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh kami. Sementara itu kami harap baik ibu Prabowo maupun Anda tidak menceritakan pembicaraan kita malam ini kepada siapa pun." Gozali berbicara dengan perlahan-lahan, memberikan tekanan kepada setiap kata-katanya.

"Adik saya telah bekerja di Ramanda selama dua bulan lebih. Mengapa-kalau memang Pak Sumarsono yang membunuhnya-baru sekarang

dia bertindak? Kalau memang adik saya mengenali Pak Sumarsono, tentunya sudah sejak hari pertama dia bekerja di sana dia mengenalinya," kata Nyonya Rukmini Wibisono.

"Jika Pak Sumarsono takut nanti adik saya memberitahu istrinya di Banjarmasin, tentunya dia tidak akan menunggu dua bulan baru bertindak, kan dalam waktu itu adik saya sudah keburu bisa memberitahu istrinya kalau dia mau."

"Kami tidak bisa mengatakan bahwa Pak Sumarsono yang membunuh Nona Dian," kata Gozali cepat-cepat.

"Hanya info tentang Pak Sumarsono ini merupakan masukan baru yang berharga untuk kami cek. Maka dari itu kami minta Anda bersedia bekerja sama dengan kami dengan tidak menceritakan pembicaraan kita malam ini kepada siapa pun."

Rukmini mengangguk, tanpa mengerti sebenarnya apa yang sedang dikejar orang yang berwajah jelek ini.

Nyonya Prabowo yang juga kurang memahami pembicaraan Gozali, hanya menangkap bahwa ia tidak boleh menceritakan apa yang terjadi dalam ruangan tamunya malam ini kepada siapa pun.

"Tetapi sekarang sudah begini malam," kata Nyonya Prabowo.

"Sebaiknya Bapak-bapak bermalam di sini saja. Kami mempunyai satu kamar yang masih kosong di belakang." Ibu tua yang ramah ini tidak bisa membayangkan bahwa kedua orang tamunya yang bekerja keras untuk melacak pembunuh anaknya harus kembali lagi ke Surabaya malam itu juga, padahal hari sudah pukul sebelas malam.

"Ah, tidak, terima kasih, Bu," kata Gozali.

"Malam ini kami tidak ada waktu untuk tidur. Kami punya banyak tugas. Kami harus segera kembali." Gozali berpaling kepada Kosasih dan menganggukkan kepalanya.

Kosasih menghela napas. Malam ini berarti ia tidak bisa tidur di atas tempat tidur lagi. Memang, kalau ia sudah bekerja bersama Gozali, sudah biasa ia harus mengorbankan tidurnya. Gozali selalu demikian. Sekali ia memperoleh jejak, dia tidak akan berhenti mengejarnya sampai semuanya berada dalam tangannya. Kosasih berdiri dengan perasaan enggan, menepuk-nepuk celananya, lalu minta diri kepada nyonya rumah.

Di luar, udara malam kota Ngawi yang dingin menusuk mereka. Malam yang enak untuk tidur sebenarnya. Mereka berdua naik lagi ke dalam Jeep-nya. Di dalam Jeep Kosasih sekali lagi mencoba untuk mengubah pikiran Gozali.

"Kita bermalam saja semalam di losmen, besok baru kembali pagi-pagi," katanya.

Gozali menggelengkan kepalanya.

"Kau tidurlah. Aku yang menyopir. Kita tiba di Surabaya pagipagi." Gozali menghidupkan mesinnya dan dengan satu tarikan yang kuat, Jeep itu meluncur ke depan.

Kosasih masih sempat mengawasi wajah Gozali yang penuh konsentrasi. Ia merasa yakin bahwa Gozali akan membawa mereka dengan selamat

sampai di Surabaya, lalu dengan perlahan-lahan dikatupkannya matanya yang sudah terasa berat oleh kantuk. Samar-samar dia mendengar suara deru Jeep-nya, kemudian terlelaplah dia dalam alam tak sadarnya.

**

KOSASIH terjaga ketika dirasanya mobil berhenti. Dibukanya matanya. Malam masih gelap gulita. Ia berpaling ke sisi kirinya. Sebuah bangunan besar yang sudah dikenalnya tampak berdiri dengan megah. Kosasih mengerang. Kantor polisinya!

"Buat apa berhenti di sini? Pulang dulu, ah!"

"Kau sekarang harus mengirim berita ke Banjarmasin, supaya mereka dapat bertindak secepat mungkin." Gozali sudah turun dari mobil.

Dengan jengkel Kosasih membuka pintu mobilnya. Punggung dan lehernya terasa pegal. Toh usianya sudah tidak muda lagi. Pikirnya, kalau begini terus setiap ada kasus, bisa-bisa badanku sudah ambrol sebelum tiba masa pensiun. Udara malam yang sejuk menyambutnya.

Ia mengikuti Gozali yang sudah berada kira-kira sepuluh langkah di depannya. Mereka mengangguk kepada piket yang dinas malam. Piket ini sudah terbiasa melihat Kosasih dan Gozali keluar-masuk pada jam-jam yang ajaib. Mereka di kantor polisi rata-rata sudah mengetahui bahwa Kosasih dan

Gozali adalah pasangan tikus antik, yang tidak mempunyai jam kerja yang teratur.

Kosasih melemparkan dirinya ke atas kursinya. Kursi yang tua, namun pada saat ini terasa nyaman sekali. Gozali masih tetap berdiri di depannya. Matanya merah, wajahnya tampak letih, namun semangatnya tidak pudar.

"Sekarang apa?" tanya Kosasih, menghela napas.

"Kau segera menelepon ke kantor polisi di Banjarmasin, minta mereka secepatnya mengirimkan beberapa foto Sumarsono yang menghilang sekitar dua tahun yang lalu, foto istrinya dan keluarganya. Mereka akan dengan mudah memperoleh ini dari istrinya di sana. Di samping itu juga berkas mereka sehubungan dengan pemeriksaan mereka mengenai bangkrutnya usaha mertuanya. Minta mereka mengirimkan semuanya dengan cara yang paling cepat ke Surabaya, bila perlu dititipkan pesawat yang pertama berangkat."

Kosasih menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melihat ke arlojinya.

"Kau tahu, sekarang di sini masih belum pukul empat, mereka di sana masih tidur semua. Tidak semua orang segila kau dan aku."

"Bangunkan, bila perlu. Kita kan membantu mereka memecahkan kasus penipuan di sana."

"Itulah! Kita ini sekarang sedang mencari seorang pembunuh atau mencari seorang penipu? Biar mereka yang di Banjarmasin menyelesaikan kasus mereka sendiri, kita di sini masih punya

banyak pekerjaan lain tanpa harus ikut berpusing kepala dengan kasus-kasus mereka."

"Kalau kau berkeberatan menelepon, biar aku," kata Gozali menyambar telepon Kosasih.

"Baiklah, baiklah," kata Kosasih, merebut kembali pesawatnya.

"Ini risiko kita berdua, kalau kena damprat, juga kita berdua." Kosasih menghela napas dan mulai memutar nomor pesawat kantor polisi Banjarmasin.

"Satu jam lagi aku menjemputmu. Kau bisa mandi dan makan dulu," kata Gozali ketika Jeep berhenti di depan sebuah rumah mungil, rumah Kosasih.

Kosasih menarik tubuhnya ke atas dari posisinya yang setengah berbaring. Tanpa bersuara ia mencoba membuka pintunya. Dalam hati ia menggerutu. Hari masih pagi sekali, tentunya keluarganya juga baru saja bangun. Untung istrinya yang penuh pengertian juga tidak pernah marah kalau ia pulang pada jam-jam yang aneh begini. Tanpa membalikkan badannya, Kosasih melambaikan tangannya kepada Gozali, dan menancapkan anak kuncinya pada daun pintu rumahnya. Di dalam rumah sudah terdengar suara anak-anaknya yang bersiap-siap makan pagi.

"Moga-moga tidak ada yang menurun bapaknya, menjadi polisi," pikirnya dalam hati,

"yang harus masuk dan keluar rumah seperti pencuri saja, kalau tidak pagi-pagi buta, ya tengah malam." _

Di pintu ia disambut oleh Dessy, anaknya yang nomor dua.

"Eh, Bu, Ayah pulang!" teriaknya.

Istrinya bergegas keluar.

"Waduh, Pak, ke mana saja semalam! Ayo, mandi dulu, kami tunggu sarapan!"

Kalau kedatangan Kosasih disambut oleh kehangatan dan perhatian seluruh keluarganya, sebaliknya kedatangan Gozali ke rumahnya tidak ada yang menyambut. Rumahnya yang kecil sederhana hanya mempunyai satu kamar. Rumah itu tidak ditinggali orang lain kecuali Gozali sendiri. Oleh sebab itu dapat diperkirakan kalau rumah ini juga tidak terlalu nyaman maupun bersih. Sebagaimana layaknya lelaki bujang yang lebih banyak melewatkan waktunya di luar rumah, Gozali juga hanya sekali-sekali saja membersihkan rumahnya sendiri. Terkadang cuma satu bulan satu kali, kalau kebetulan tidak malas. Gozali tidak pernah makan di rumah. Bahkan kecuali untuk tidur, rumahnya boleh dikatakan selalu kosong.

Gozali masuk ke kamar mandi. Heran, lelaki ini tidak pernah memikirkan untuk beristri. Kalau sahabatnya Kosasih bertanya kepadanya, selalu ia menjawab,

"Perempuan mana yang mau hanya diperlakukan sebagai guling saja!" Kosasih membantah, bahwa seharusnya Gozali juga bisa menjalani kehidupan normal seperti orang-orang lain, pulang pada waktu-waktu yang tertentu, keluar pada waktu-Waktu yang tertentu, dan hidup secara layak dan

lazim seperti manusia lainnya. Gozali hanya tertawa. Ia tidak bisa diikat oleh apa pun, baik waktu maupun tempat. Dan dia menikmati hidupnya yang sekarang ini, ke mana-mana tiada yang larang, katanya menirukan lagu Si Jali-jali.

Gozali tersenyum teringat pengalamannya pada suatu kali ketika Kosasih berupaya menjodohkannya dengan salah seorang keluarganya. Begitu diperkenalkan kepada gadis itu, Gozali tanpa malumalu langsung berkata,

"Saya ini bekas pencuri, pernah mendekam dua tahun!" Kontan keluarga gadis itu naik pitam. Kosasih didamprat mereka habis-habisan! Sejak itu Kosasih jera turut campur mengatur kehidupan pribadi Gozali.

"Percuma," kata Gozali kepadanya,

"mana ada keluarga baikbaik mau bermenantukan pencuri, meskipun cuma bekas?" Dan Kosasih harus mengakui kebenaran kata-kata sahabatnya. Betapapun majunya pikiran masyarakat, betapapun mereka mengaku menjalankan ajaran agama yang harus saling mengasihi dan saling mengampuni kesalahan, namun rasanya berat juga mengambil seorang menantu bekas pencuri, apalagi pencuri ulung yang sudah punya nama dan sudah pernah mendekam di penjara pula!

Mereka pernah berbantah-bantah semalam suntuk mengenai hal itu. Kosasih beranggapan bahwa Gozali tidak perlu menceritakan masa lampaunya kepada siapa pun. Nanti bila sudah kawin, bukankah masih ada banyak waktu untuk berterus terang? Itu pun hanya kalau memang perlu. Sebaiknya masa lampau dikubur saja, sebab bukankah

Gozali sekarang sudah menjadi orang baikbaik yang tidak lebih jahat daripada kebanyakan orang lainnya? Begitulah usul Kosasih. Tetapi teori ini ditolak Gozali mentah-mentah. Dia paling tidak suka hidup berpura-pura. Mengapa aku harus memendam rasa dan bersandiwara seumur hidupku hanya demi seorang perempuan?

Gozali sudah tahu terlalu banyak mengenai perempuan. Segala jenis perempuan telah dijumpainya. Dan dia menarik kesimpulan bahwa tak ada di antara mereka yang cukup berharga untuk meminta pengorbanan yang sedemikian besarnya darinya. Ya, hal itu dianggapnya sebagai suatu pengorbanan. Menurut Gozali, manusia bisa saja menipu manusia yang lain, tetapi ia tidak dapat menipu dirinya sendiri! Kalau manusia terpaksa harus menipu diri sendiri, wah, itu sudah merupakan pengorbanan yang tiada taranya. Kalau ia memang bekas pencuri, mengapa fakta itu harus disembunyikannya?

Gozali menganggap dirinya tidak membutuhkan perempuan, artinya tidak membutuhkan perempuan sampai ia harus berkorban menjual harga dirinya. Perempuan banyak di mana-mana. Mengapa harus membuat badan sengsara menukarkan kebebasan fisik dan mentalnya hanya untuk mendapatkan seorang perempuan yang permanen? Kalau sewaktuwaktu ia ingin merasakan kelembutan seorang wanita, dengan mudah dia dapat membelinya, tanpa harus mengorbankan prinsip hidupnya. Perempuanperempuan yang dibeli tidak pernah mempersoalkan apakah dia bekas pencuri atau bekas perdana menteri-bagi mereka ia adalah seorang laki-laki yang dapat memberikan penghasilan kepada mereka. Dalam banyak hal, perempuan-perempuan ini lebih manusiawi dan lebih realistis daripada kaumnya sendiri yang terhormat statusnya. Demikianlah, memasuki usianya yang ketiga puluh enam, Gozali masih tetap mempertahankan status bujangnya.

Ia tidak iri terhadap teman baiknya, Kosasih. Hidup berumah tangga ada banyak masalahnya. Mana yang anak sakit, anak harus sekolah, membutuhkan biaya, membutuhkan uang bangku, wah, segala macam yang membuat kepala pusing. Dan dengan gaji yang pas-pasan, berarti mereka sama sekali tidak pernah mempunyai uang sisa untuk dapat menikmati hidup ini dengan lebih santai. Gozali tidak mengenal segala macam kerumitan hidup berumah tangga ini. Kalau di sakunya ada uang, ya dinikmatinya sendiri! Tidak ada uang, juga tidak ada seorang perempuan pun yang mengomelinya karena kekurangan uang belanja!

Tentang hari tuanya, Gozali tidak terlalu memikirkannya. Zaman sekarang beranak-cucu juga tidak menjamin bahwa hari tua seseorang pasti akan hidup nyaman. Kehidupan bertambah susah dari tahun ke tahun. Anak dan cucu yang penghasilannya hanya pas-pasan, atau bahkan kekurangan, akan merasa jengkel dibebani seorang jompo yang hanya menghabiskan uang saja. Bagaimana tidak? Bukankah orang yang bertambah tua bertambah pula penyakitnya? Tentulah ini membutuhkan uang

juga untuk biaya pengobatannya. Padahal semuanya akhirnya juga harus mengaku kalah kepada maut Daripada setiap hari menghadapi wajah-wajah cemberut anak dan cucu, lebih baik hidup sendiri. Selama masih kuat mencari nafkah sendiri, sebaiknya tidak bergantung kepada orang lain.

"Kalau sudah tidak kuat lagi?" bantah Kosasih pada suatu kali kepadanya. Yah, kalau sudah tidak kuat, berarti kita sudah cukup tua untuk minggir. Memberikan kesempatan hidup kepada generasi yang lebih muda. Untuk apa memenuhi dunia ini dengan orang-orang jompo yang sudah tidak bermanfaat lagi? Yang sudah tidak bisa mengurus dirinya sendiri, yang hanya merupakan beban saja bagi orang lain? "Jadi, terus mau bunuh diri, begitu?" tanya Kosasih.

"Ya tentu saja tidak seekstrem itu," kata Gozali, tersenyum. Tetapi kalau orang yang sudah lemah dibiarkan saja, kan cepat mati sendiri. Buat apa repot-repot? Toh, sudah banyak yang dilihatnya di dunia ini. Sudah banyak yang dinikmati, dan kalau tiba waktunya harus berangkat, ya harus mengalah dengan jantan!

Kosasih tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran Gozali. Maklum, meskipun perbedaan umur mereka tidak terlalu jauh, namun Kosasih masih mempunyai pola pemikiran lama. Orang dilahirkan, dibesarkan, kawin, berkeluarga, dan pada gilirannya ganti melahirkan dan membesarkan generasi berikutnya, lengkap dengan segala masalah yang mencekik leher! Itu sudah kodratnya menjadi manusia. Begitu menurut Kosasih. Gozali menamainya sebagai lingkaran setan, dan dia tidak mau terperangkap di sana!

"Coba, bayangkan," katanya pada suatu kali.

"Aku seorang bekas pencuri. Kalau aku mempunyai anak, anakku menjadi anak seorang bekas pencuri, lalu dia mempunyai kesempatan hidup apa di dunia ini? Bukankah dia akan menghadapi banyak kesulitan untuk sekadar membuktikan bahwa ia bukan pencuri? Dan misalnya imannya tidak kuat, timbul kebenciannya kepada dunia yang munafik ini, dan dia betul-betul terjun menjadi pencuri, atau profesi lainnya yang jahat. Nah bukankah aku menciptakan lingkaran setan baginya?" Tidak! Gozali mau menikmati hidup ini sepenuhpenuhnya sendiri, supaya jika tiba saatnya ia harus pergi, dengan rela ia dapat memberikan tempatnya kepada generasi penerusnya. Yang penting, selama ia masih hidup dalam keadaan sehat walafiat, dia tidak mau dibebani segala macam persoalan tetek bengek dan kekuatiran pelik urusan berumah tangga yang membuat otak menjadi jenuh.

Sejam kemudian Gozali telah sampai di depan rumah Kosasih dan membunyikan klakson mobilnya. Mobil Jeep dinas Kosasih yang sudah biasa dikemudikannya, tidak dimatikan mesinnya, karena ia yakin dalam waktu kurang dari dua menit Kosasih tentu sudah duduk di sampingnya.

"Sekarang ke mana?" tanya Kosasih sambil mengusap mulutnya dengan saputangan. Ia baru

saja selesai sarapan. Istrinya mengantarkannya sampai ke pintu depan dan memberikan tepukan mesra di bahunya.

"Jangan malam-malam lagi," begitu pesan istrinya.

"Ke kantor polisi. Kita kan punya banyak pekerjaan."

Piket yang dinas sekarang masih piket yang tadi pagi. Tanpa mengatakan apa-apa, ia mengangguk dan membiarkan kedua orang ini masuk.

Seharian itu Kosasih dan Gozali sibuk mengumpulkan data mengenai Sumarsono. Mereka berusaha melacak latar belakangnya, di mana dilahirkan, siapa orangtuanya, bagaimana perjalanan hidupnya, sampai akhirnya mereka berhasil membentuk suatu gambaran. Telepon dengan Banjarmasin terjadi berkali-kali hari itu. Semakin lama Gozali semakin yakin bahwa Sumarsono yang sekarang berada di Surabaya ini adalah Sumarsono yang menghilang di Banjarmasin itu, meskipun mereka belum berhasil menemukan koneksinya.

Hari itu mereka pulang ke rumah masingmasing masih dengan perasaan masygul. Belum semua data terkumpul di Banjarmasin. Mereka masih harus menunggu sampai besok.

**

HARI ini adalah hari kelima semenjak mereka mengusut kematian Dian Ambarwati.

Kosasih sedang duduk di belakang mejanya, menunggu berita dari Banjarmasin.

Seperti biasanya Gozali merokok sambil melamun di kursi di hadapannya. Tiba-tiba telepon berdering.

"Dari Banjarmasin, Pak," kata anak buahnya.

Inilah berita yang ditunggu-tunggu.

Setengah jam kemudian Kosasih bernapas dengan lega. Begitu pembicaraan dengan Banjarmasin selesai, Kosasih minta dihubungkan dengan telepon keluarga Prabowo di Ngawi.

Berbicara dengan Nyonya Rukmini Wibisono, Kosasih menanyakan,

"Suami Nyonya sudah tiba?"

"Sudah, Pak."

"Bagus. Sekarang kami minta Nyonya segera ke Surabaya beserta suami Nyonya. Anda berdua langsung menuju ke kantor Polda dan di sana nanti ada anak buah saya yang akan membawa Anda berdua ke suatu tempat."

"Tempat siapa, Pak?"

"Rumah keluarga Sumarsono. Kita bertemu di sana. Mohon Nyonya sekarang segera berangkat. Usahakan tiba sebelum pukul setengah satu di rumah Sumarsono."

Gozali berdiri, membuang puntung rokoknya, dan mengisyaratkan kepada Kosasih supaya ikut.

Setelah meninggalkan pesan kepada anak buahnya tentang apa yang harus mereka lakukan, Kosasih bergegas mengejar Gozali yang sudah keluar lebih dahulu.

"Sekarang ke mana?" tanya Kosasih ketika sudah duduk di sampingnya dalam mobil.
Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke rumah Pak Sugeng," kata Gozali singkat.

"Mau apa ke sana?"

"Minta keterangan darinya."

"Keterangan apa?"

"Riwayat Sumarsono semenjak bekerja di Ramanda."

Jeep berhenti di sebuah rumah yang bagus di Jalan Bengawan. Keadaan sekelilingnya masih sepi. Belum ada tanda-tanda kehidupan di seputar rumah. Rupanya kegiatan di rumah Pak Sugeng biasa mulai agak siang. Mereka turun dari mobil. Gozali berjalan di depan, Kosasih hanya membuntutinya.

Mereka menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada seorang pembantu rumah tangga setengah baya, yang keluar memenuhi panggilan bel mereka. Tanpa membukakan pintu, pembantu ini kembali masuk ke dalam rumah memberitahu tuannya. Mereka dipersilakan menunggu di depan. Rupanya pembantu ini takut juga membukakan pintu bagi dua orang asing yang belum pernah dilihatnya.

Selang beberapa lamanya, keluarlah Pak Sugeng dengan tergesa-gesa, masih terbalut kimononya.

"Ah, silakan masuk, silakan masuk. Maaf, pembantu saya tidak mengenali Anda. Pagi-pagi benar, apakah ada keperluan yang mendesak?"

Mereka mengikuti Pak Sugeng masuk ke suatu ruangan tamu yang nyaman, diperlengkapi dengan perabot-perabot besar yang antik. Pak Sugeng mempersilakan tamu-tamunya duduk.

"Maaf, Pak, kami terpaksa mengganggu pagipagi," kata Gozali.

"Kami ingin menanyakan beberapa hal lagi kepada Anda mengenai kepala kantor Anda."

"Oh, Sumarsono?" tanya Pak Sugeng.

"Apa yang ingin Anda ketahui?"

"Segalanya yang Bapak ketahui tentang dia," jawab Gozali.

"Hm, Sumarsono bekerja di tempat saya sudah sekitar satu tahun, lebih-kurang. Wah, saya kurang ingat kapan tanggalnya yang persis. Memangnya kenapa?"

"Selama bekerja pada Bapak, tidak pernah ada insiden yang menyebabkan Bapak mencurigainya?" tanya Gozali.

"Insiden? Ah, tidak. Dia adalah orang muda yang dinamis, penuh tanggung jawab. Selama ini segala tugas yang saya serahkan kepadanya pasti

beres. Sebenarnya ada apa, sih?" tanya Pak Sugeng.

"Tahukah Bapak latar belakangnya sebelum dia bekerja di tempat Bapak?"

"Latar belakangnya?" Pak Sugeng mengernyitkan dahinya, mencoba mengingat-ingat.

"Wah, saya tidak ingat betul. Dia berasal dari Jawa Tengah, entah Magelang, atau Muntilan, atau mana, saya lupa. istrinya orang Ujungpandang. Sebelum bekerja di tempat saya ia adalah orang kapal, berlayar ke mana-mana. Sekarang sudah agak berumur, ingin hidup lebih tenang, maka ia memilih bekerja di darat saja."

"Apakah dia masih mempunyai orangtua?"

"Saya kira tidak. Tetapi, mengapa kalian tidak langsung bertanya sendiri kepadanya?" Pak Sugeng keheranan.

"Ya, kami akan ke rumahnya hari ini. Pukul berapa biasanya ia masuk ke kantor?"

"Oh, sekitar pukul setengah sembilan, atau pukul sembilan. Seenaknya saja."

"Kalau siang hari apakah dia pulang ke rumahnya untuk makan, atau makan di kantor?"

"Biasanya ia pulang, toh dia mempunyai mobil sendiri, jadi tidak terlalu sulit."

"Pukul berapa ia pulang?"

"Siang? Sekitar pukul satu, dan kembali lagi sekitar pukul setengah tiga."

"Begini Pak," kata Kosasih.

"Saya minta, nanti Bapak tidak menyinggung sama sekali kedatangan kami pagi ini di rumah Bapak dan tidak memberitahu dia tentang percakapan kita. Yang penting hari ini tolong Bapak tahan Saudara Sumarsono di kantor sampai pukul satu siang, jangan biarkan dia keluar ke mana pun sebelum pukul satu. Setelah pukul satu, biarlah dia pulang makan seperti biasanya."

Pak Sugeng berkata,

"Mengapa kalian menanyakan soal Sumarsono kepada saya? Apakah dia ada hubungannya dengan kematian Dian?"

"Begini, Pak," kata Gozali,

"kalau informasi kami tidak salah, Sumarsono mungkin adalah orang yang sedang dicari-cari polisi Banjarmasin sehubungan dengan serangkaian penipuan di sana. Oleh karena itu, untuk membuktikan benar-tidaknya, kami perlu bantuan Bapak untuk menyimpan rahasia ini. Sebaiknya hari ini Bapak ke kantor lebih pagi dan memeriksa kembali apakah selama setahun ini tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Jika memang Sumarsono ini adalah orang yang dicari-cari polisi Banjarmasin, barangkali ia juga berbuat yang sama di kantor Bapak. Sebaiknya Bapak cek sendiri. Tetapi, untuk menjaga segala kemungkinan, lakukanlah dengan hati-hati. Demi keselamatan nyawa Bapak sendiri." Gozali mengangguk dan berdiri, meninggalkan Pak Sugeng yang berdiri terbengong-bengong di pintu.

**

PUKUL sebelas mobil berhenti di depan rumah Sumarsono di Jalan Thamrin. Mereka dapat melihat bahwa rumah itu termasuk mewah. Tentunya jauh lebih mewah daripada rumah yang dapat dibiayai dari gaji Sumarsono yang diperolehnya sebagai kepala kantor Ramanda. Rumah ini bukanlah rumah seorang karyawan, sekalipun karyawan yang berpangkal "kepala", kecuali apabila ia korupsi atau menyalahgunakan jabatannya. Rumah ini lebih mirip rumah seorang pengusaha kaya. Kosasih melihat bahwa bagian depan rumahnya yang berlapis batu pualam, berkilat-kilat ditimpa sinar mentari. Kecuali mewah, rumah ini pun terpelihara dengan baik. Kosasih juga melihat ke halamannya yang luas. Berbagai tanaman penghias yang indahindah ada di sana, bunga-bunga yang beraneka warna, daun-daunan yang putih, kuning, dan hijau. Taman ini dilengkapi dengan sebuah kolam mungil di sudutnya. Artistik! Dan membutuhkan pemeliharaan pula. Tentunya ada tangan seseorang yang telah merawat semuanya ini sehingga memberikan kesan yang indah. Kosasih sendiri tidak pernah

membayangkan memiliki taman semacam ini. Beruntung dia dan keluarganya masih mempunyai rumah yang dapat menampung mereka semuanya, meskipun agak berdesak-desakan. Setiap jengkal tanah di rumahnya sudah penuh. Taman yang demikian hanyalah fasilitas orang kaya dan impian orang miskin.

Mereka melangkah masuk menuju ke pintu depan memijit tombol bel. Suara dentingan bel yang manis terdengar menggema dari dalam. Tak berapa lama kemudian dari balik tirai jendela yang putih tipis tampak bayangan seorang wanita yang mengenakan panutlon berjalan menuju ke pintu. Pintu ternyata tidak segera dibukakan. Sebaliknya tirai jendela terkuak sedikit dan tampaklah seraut wajah yang manis, dengan mata bulat yang berwarna coklat tua.

"Ya?"

"Kami dari kepolisian, Nyonya. Bolehkah kami masuk?" tanya Kosasih dengan ramah.

Wanita itu tersenyum.

"Sebentar," katanya. Selot pintu terdengar bergeser dan dalam sekejap pintu sudah terbuka.

Mereka disongsong ruang tamu yang dingin dan sejuk, dengan ubin yang berkilat-kilat. Pikir Kosasih, kalau aku tidak berhati-hati, bisa terpeleset ini! Udara dalam ruangan itu kecuali dingin juga harum sekali. Kosasih tahu ini tentunya hasil dari pewangi ruangan yang disemprotkan dari tabungtabung khusus. Kosasih sendiri tidak pernah mencoba memakainya. Pembelian benda-benda demikian termasuk daftar tabu dalam anggaran belanjanya, yang harus membatasi setiap pengeluaran hanya untuk hal-hal yang vital saja. Tetapi itu tidak berarti bahwa hidung Kosasih tidak bisa menikmati keharumannya apabila ada orang lain yang mampu mempergunakannya. Ruangan ini bagus sekali pengaturannya. Bersih, rapi, dan terpelihara. Buku-buku semua berderet pada tempatnya, korankoran tersusun rapi di meja. Rupanya wanita muda yang menjadi Nyonya Sumarsono ini mempunyai bakat mengatur rumah juga, di samping uang untuk menunjang seleranya tentunya!

"Silakan, Pak." Nyonya muda itu menunjuk kepada seperangkat kursi tamu di sana, mengisyaratkan supaya tamunya duduk.

"Saya Kapten Polisi Kosasih, Bu, dan ini rekan saya, Pak Gozali. Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Pak Sumarsono. Suami Ibu ada?"

Sebelumnya Kosasih dan Gozali telah bersepakat memakai satu taktik untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai Sumarsono. Ini merupakan permulaannya. Mereka jelas sudah tahu bahwa pada jam sekian Sumarsono pasti tidak berada di rumah. Memang mereka sebenarnya tidak mencari Sumarsono, namun mencari istrinya, yang mereka rasa tentu lebih mudah dan polos dalam memberikan jawaban.

Nyonya Frida Sumarsono adalah seorang nyonya rumah yang ramah. Dia telah mendengar dari suaminya tentang musibah yang menimpa salah

seorang gadis sekantornya. Sayang, dia sendiri belum pernah berjumpa dengan gadis itu. Pada waktu ia datang ke kantor untuk menyampaikan undangannya, Dian sedang keluar. Namun dia mengetahui bahwa gadis itu masih muda sekali, baru berusia dua puluh tahun. dan ini merupakan pengalaman kerjanya yang pertama. Nyonya Frida Sumarsono yang menemui kedua petugas dari kepolisian ini menyatakan kesediaannya untuk membantu sedapatnya, sementara suaminya tidak ada.

"Meskipun sebenarnya saya tidak tahu bantuan apa yang dapat saya berikan." Nyonya Frida Sumarsono berkata sambil tersenyum.

"Saya sendiri belum pernah bertemu muka dengan korban, dan suami saya juga jarang menceritakan rekan-rekan sekantornya."

"Kami sebenarnya hanya ingin mengumpulkan infomasi saja, Bu, bukan mengenai korban yang telah dibunuh, melainkan mengenai keluarga Ibu sendiri," senyum Kapten Polisi Kosasih tak kurang rumahnya. Kalau mereka harus mengorek informasi dari wanita muda ini, mereka harus melakukannya dengan hati-hati, tak boleh membuatnya takut atau curiga sebelumnya.

"Keluarga saya?" tanya Nyonya Frida Sumarsono.

"Terutama mengenai Bapak Sumarsono, Bu, untuk melengkapi arsip kami," jawab Kosasih.

Mereka belum dapat mengatakan bahwa Sumarsono-lah yang telah membunuh Dian Ambarwati, karena bukti-bukti dan alasan pembunuhan itu

masih terlalu samar-samar dan tidak kuat. Tetapi yang pasti, mereka ingin dapat membuktikan bahwa Sumarsono yang ini adalah orang yang sama dengan Sumarsono yang mengadakan serangkaian penipuan di Banjarmasin dulu.

"Jadi, untuk melengkapi laporan kami," kata Kosasih,

"saya perlu tahu latar belakang Pak Sumarsono. Dari Pak Sugeng kami hanya diberitahu bahwa Pak Sumarsono baru pindah ke Surabaya sekitar satu atau satu setengah tahun yang lalu. Nah, karena pendatang baru, kami memerlukan keterangan tentang latar belakangnya sebelum kepindahannya ke Surabaya."

"Oh," senyum Frida Sumarsono,

"suami saya berasal dari Jawa Tengah, dari Muntilan. Memang kami baru pindah kemari sekitar dua puluh dua bulan yang lalu."

"Ibu sendiri dari Ujungpandang?"

"Ya, keluarga saya dari Ujungpandang."

"Wah, bagaimana ceritanya sampai bisa bertemu dengan Pak Sumarsono, Bu?"

"Oh, ceritanya panjang. Tetapi kalau memang sudah jodoh, ya mau apa lagi. Kata orang-orang tua asam di gunung dan garam di laut, bukan? Waktu itu kebetulan Pak Sumarsono melancong ke Ujungpandang. Jadi dari atas kami rupanya memang sudah ditakdirkan akan bertemu," kata Nyonya Frida dengan jenaka.

Dalam hati Kosasih merasa agak berdosa juga, memancing seorang istri untuk memberikan kesaksian yang dapat mengakibatkan suaminya sendiri

masuk penjara. Tetapi namanya tugas, jadi ditelannya saja perasaan berdosanya ini.

"Berapa lama Ibu mengenal Pak Sumarsono sebelum menikah?"

"Wah, malu juga kalau hal ini ditanyakan. Pokoknya begini, Pak, biarpun usia kami sudah bukan remaja lagi, tetapi bagi kami sudah seperti cinta pada pandangan pertama. Jadi begitu memperoleh restu orangtua, dalam waktu kurang dari satu bulan setelah kami berkenalan, saya sudah diboyongnya ke Surabaya."

"Dari perkawinan ini tidak dihalangi pihak orangtua?" tanya Gozali.

Nyonya Frida Sumarsono tampak agak tersinggung sedikit.

"Tentu saja, memangnya Anda pikir kami kawin lari?"

"Oh, bukan, bukan begitu. Hanya saja biasanya orangtua agak berat melepaskan anaknya ikut suami jauh-jauh," kata Kosasih mengelak. Tetapi matanya telah menangkap sinar tidak senang dalam mata nyonya rumahnya.

"Ah, tetapi saya kira dengan melihat status Pak Sumarsono yang cukup sukses begini," kata Gozali sambil memandang sekeliling ruangan tamu yang mewah itu,

"orangtua Ibu tentunya tidak raguragu lagi melepaskan anaknya ke tanah Jawa, bukan? Paling tidak mereka yakin bahwa anaknya tidak akan telantar."

"Oh, Anda keliru," kata Nyonya Sumarsono.

Suaranya agak berubah.

"Kalau Anda mengira saya menikah dengan Sumarsono karena melihat

hartanya, Anda sama sekali keliru. Justru suami saya tidak mempunyai modal yang berarti ketika ia bertemu dengan saya. Ketahuilah, keluarga saya tidak mata duitan! Justru Ayahlah yang menghadiahi kami semua perlengkapan ini, rumah, mobil, bahkan Ayah memberi kami modal untuk berwiraswasta."

"Ah, kalau begitu, keluarga Ibu tentunya kaya sekali," Gozali meneruskan.

Nyonya Frida Sumarsono memandang lelaki bertampang monyet ini dalam-dalam. Entah mengapa ia tidak menyukai orang ini, orang ini terlalu sinis, terlalu menusuk kalau berbicara. Kalau mereka bukan dari kepolisian, tentunya sudah dari tadi disuruhnya pulang. Katanya,

"Kaya sekali juga tidak." Matanya memandang Gozali dengan angkuh.

"Tetapi Ayah memiliki perkebunan kopra yang termasuk paling sukses di daerah kami."

Gozali manggut-manggut.

"Berapa saudara Nyonya?"

"Sembilan," kata Frida Sumarsono.

"Wah, itu karena pada zaman itu belum ada KB ya, Bu?" senyum Kosasih. Dia berusaha menetralkan suasana.

Nyonya Frida Sumarsono tersenyum kembali. Ia lebih suka berbicara dengan Kosasih daripada dengan lelaki bertampang monyet ini. Ia tertawa.

"Oh, tetapi yang hidup sampai dewasa cuma tiga orang."

"Dan Ibu di urutan yang keberapa?" tanya Kosasih.

"saya yang bungsu."

"Dan kedua orang kakak Ibu masih di Ujungpandang?"

"Yang seorang sudah menetap di Canada, kawin dengan orang sana, punya usaha sendiri dan tidak mau kembali. Yang seorang lagi masih di Ujungpandang."

"Yang di Ujungpandang itu apakah juga ikut menjalankan bisnis ayah Nyonya?" tanya Gozali.

Nyonya Frida berpikir, mengapa lelaki yang jelek ini selalu mengeluarkan pertanyaan yang menusuk hatinya. Ia memandang Gozali tanpa kedip, sinar matanya mengandung sedikit kebencian.

"Apakah itu perlu atau relevan dengan kasus yang Anda usut?" balasnya.

"Maksud saya bertanya, Nyonya," kata Gozali,

"adalah sekadar ingin tahu mengapa Pak Sumarsono tidak menetap saja di Ujungpandang dan bekerja di perusahaan ayah Nyonya. Saya pikir barangkali karena kakak Nyonya sudah membantu di sana."

Wajah Nyonya Frida Sumarsono menjadi murung. Dia menunduk.

"Tidak, kakak saya tidak terjun ke dunia bisnis. Memang sayang sekali suami saya tidak mau menetap di Ujungpandang. Tadinya memang Ayah telah menawarkan kesempatan itu kepadanya, tetapi katanya ia tidak mau berlindung di bawah ketiak orangtua, apalagi mertua. Lebih baik berusaha dari keringatnya sendiri." Nyonya Frida Sumarsono mengangkat matanya.


101 Kisah Bermakna Dari Negeri China Dewi Olympia Terakhir Last Olympian The Broker Karya John Grisham

Cari Blog Ini