Ceritasilat Novel Online

Misteri Gadis Tak Bernama 1

Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD Bagian 1



Misteri Gadis Tak Bernama

Mara S GD

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 1986

(http://bacaan-indo.blogspot.com)

***

"ADUH, Jeng! Ininya lho yang kurang bagus!" kata Nyonya Zainal sambil menepuk-nepuk kerah gaun yang melekat dengan indahnya di tubuhnya yang montok.

"Saya kok tidak suka dengan potongan lehernya-kayak seragam perawat saja! Mana warnanya banyak putihnya lagi!" Nyonya Zainal berputar-putar di depan kaca.

Citra tersenyum. Dia bersandar di pintu kamar pintu butiknya yang mungil. Menghadapi pembeli harus bersabar-apalagi kalau pembeli itu bernama Nyonya Zainal, orang membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Nyonya Zainal ini memang selalu mencela-mungkin sudah hobinya begitu-tapi anehnya ia selalu kembali ke Butik Citra untuk membeli semua pakaiannya.

"Kerah begitu itu lestari sepanjang zaman, Bu," kata Citra.

"Dan yang ini lebih istimewa karena potongannya dibuat dalaaaaam sekali sehingga kelihatan bentuk tubuh Ibu yang aduhai. Model begini biar tiga-empat tahun lagi masih tetap in, tidak pernah ketinggalan zaman. Berlainan dengan model

model yang cuma Khusus corak itu selama satu masa yang pendek saja."

"Alaaa, siapa yang mau pakai gaun yang sama sampai tiga-empat tahun toh, jeng! Paling-paling satu tahun juga sudah saya berikan yayasan sosial."

Citra berpikir dalam hati, yayasan' sosial mana yang kerepotan mmerima gaun-gaun apkiran Nyonya Zainal yang selalu mengejar model-model yang sexy potongannya? Bayangkan kalau gaun-gaun begini menjadi sumbangan korban bencana alam dan jatuh kepada seorang nenek tua yang kempot di desa!

"Model ini kalau dipakai dengan asesori kalung dan giwang, jadinya manis sekali, Bu. Coba, Ibu kenakan kalung dan giwangnya, kan bagus sekali!" Citra mengulurkan seuntai kalung manik-manik putih dan giwang besar berbentuk segi empat.

"Tolong dipasangkan," kata Nyonya Zainal manja.

Citra dengan sabar mengenakan asesori tersebut pada leher dan telinga Nyonya Zainal.

Nyonya Zainal berputar-putar lagi di depan kaca.

"Bagus, bukan?" kata Citra.

"Hm," kata Nyonya Zainal.

"Lumayan memang." Dia meraba-raba kalung dan giwangnya.

"Dari mana sih kalian selalu mendapat asesori yang tepat begini? Setiap gaun di sini pasti ada asesorinya. Itu lho yang saya sukai!" puji Nyonya Zainal.

Citra tersenyum lebar. Tidak sering dia mendapat pujian dari pembelinya yang seorang ini.

"itu semua kami buat sendiri, Bu. Memang untuk setiap gaun rancangan kami, pasti kami sediakan asesorinya yang sesuai. Teman saya-Jeng Ani-pandai sekali mencarikan padanannya."

"Dan semua itu ia sendiri yang membina?"

"Membuatnya kami pesankan orang, Bu, tapi memilih bahannya, susunannya, membuat gambarnya, semua dikerjakan jeng Ani. Memang dia artistik sekali."

"Tapi gaun'ini kok rasanya terlalu sederhana modelnya, tidak seperti gaun-gaun yang keluar dari butik. Seharusnya untuk harga yang kalian minta, gaunnya harus kelihatan betul-betul lain daripada yang lain," kata Nyonya Zainal yang sedikit gila status.

"justru gaun yang anggun itu modelnya harus sederhana, Bu, sebab di sini yang dilihat itu kainnya dan potongannya. Kalau terlalu banyak modelnya, terlalu ramai. Hilang keanggunannya, Bu." Citra sudah hapal bahwa semua celaan itu hanya kamuflase .itu untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Akhirnya Bu Zainal toh juga akan membeli gaun ini.

"Yah, okelah!" kata Bu Zainal.

"Saya jadikan. Sudah tidak ada pilihannya yang lain lagi?" tanyanya ingin tahu.

"Banyak, Bu. Tapi menurut saya yang paling cocok untuk Ibu adalah yang ini. Dengan gaun ini Bu Zainal tampak jauh lebih muda. Pasti Pak Zainal akan jatuh cinta lagi," goda Citra.

Nyonya Zainal tertawa terbahak.

"Wah, Bapak! Dia sama sekali tidak memperhatikan apa yang saya pakai!" Lalu tambahnya genit,

"Untuk Bapak, dia paling suka kalau saya tidak memakai apa-apa!"

Citra menemani Nyonya Zainal terkekeh.

Nyonya Zainal keluar dari kamar ganti mengenakan gaunnya sendiri-gaun yang juga dibelinya dari butik ini dua minggu yang lalu.

"Selamat pagi, Jeng," sapa Bu Zainal kepada Ani yang duduk di belakang meja menunggui butiknya selama Citra menemani Nyonya Zainal di dalam kamar ganti.

Ani tidak begitu suka kepada Nyonya Zainal yang cerewet dan dia tidak sepandai Citra mengambil hati pembeli-pembelinya. Citra benar-benar seorang penjual yang berbakat. Ani lebih suka merancang dan membuat baju-bajunya daripada berhadapan Iangsung dengan para pembeli. Itu adalah keahliannya dan bakatnya, suatu naluri alami yang hanya dengan sekali pandang saja ia tahu kain yang demikian bagus dibuat model demikian dan pantas untuk orang yang berbadan demikian, dikenakan bersama asesori yang demikian. Itulah sebabnya umumnya baju-baju yang dijual di Butik Citra sebetulnya adalah baju-baju yang khusus dibuat untuk langganan-langganan mereka. Setiap gaun hanya ada satu. eksklusif, tidak ada kembarannya-Juga modelnya, warnanya, maupun jenis kainnya.

"Selamat pagi, Bu Zainal," balas Ani semanis mungkin.

Nyonya Zainal mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa helai uang puluhan ribu. Harga baju-baju yang dijual di Butik Citra semuanya di atas puluhan ribu. tidak ada yang murah. Baik Citra maupun Ani percaya bahwa orang lebih menghargai dagangan mereka apabila mereka memasang harga yang mahal. Pembeli rupanya punya kebiasaan yang aneh. Lebih mahal harganya, lebih sreg hati mereka

membelinya. Apalagi mereka tahu betul bahwa setiap gaun hanya ada satu, mereka tidak takut nanti di jalan ketemu dengan saudara kembarnya.

"kok tambah mahal terus sih sekarang?" ngomel Nyonya Zainal menyerahkan uangnya kepada Ani.

"Bahannya juga mahal, Bu, dan ongkos kerja yang lulus memang jauh lebih mahal dibandingkan ongkos membuat konfeksi biasa. Tapi hasilnya kan juga sangat lain," kata Ani.

"iya, tapi kalau begini terus, mana saya ada uang untuk membeli baju sesering dulu?" gerutu Nyonya

Zainal.

"Tidak apa-apa, Bu," kata Citra.

"Lebih baik punya lima-enam baju yang betul-betul bagus dan

yang kalau dipakai memberikan kesan anggun daripada punya sekeranjang baju yang kodian.

"IH! baju begini, biar dipakai bolak-balik dan dicuci bolak-balik pun potongannya tetap bagus dan Seperti baru "

Citra tahu betul psikologi langganannya yang satu ini Nyonya Zainal ini kalau tambah dianjurkan tidak usah membeli banyak-banyak, malah ketagihan kembali setiap minggu! Kalau dihitung-hitung, tentunya baju perempuan setengah baya ini ada tiga lemari! Bayangkan, setiap minggu membeli paling tidak satu, dalam setahun bajunya bertambah paling tidak lima puluh dua buah! Kapan memakainya? pikir Citra. Tapi langganan yang boros berarti keuntungan baginya, dan sudah pasti ia tidak akan mencoba menyadarkan Nyonya Zainal untuk meninggalkan hobi borosnya ini. Bahkan setiap minggu Ani pasti merancangkan satu gaun khusus untuknya. Ani mempunyai catatan lengkap mengenai pelanggan-pelanggannya-apa yang sudah mereka beli-warnanya-modelnya-kainnya agar dia dapat menyiapkan sesuatu yang lain daripada yang sudah pernah mereka beli. Dan seorang pelanggan seperti Nyonya Zainal yang istri seorang pejabat tinggi. pasti setiap minggu membawa pulang apa yang sudah mereka persiapkan. Nyonya Zainal sendiri merasa heran mengapa di butik butik yang lain dia tidak pernah bisa menemukan baju yang sesuai dengan potongan tubuhnya. Justru di Butik Citra ini selalu ada gaun-gaun baru yang pas dengan badannya. Nyonya Zainal tidak tahu, memang gaun-gaun tersebut khusus dibuatkan untuknya!

"Minggu depan ada koleksi baru, Bu,". kata Citra.

"Saya sudah melihat sketsnya dan modelnya manis sekali. Bahannya dari katun edel dengan bunga kecil-kecil beraneka warna. Asesorinya juga bagus. sebuah kalung besar dengan gelangnya."

"Huh! Masa saya disuruh membeli lagi! Baju saya sudah banyak, Jeng!" kata Nyonya Zainal pura-pura tidak berminat.

"Dilihat saja dulu, Bu. Kalau senang dan cocok ukurannya, boleh Ibu beli. Bajubaju kami kan cuma satu setiap modelnya, jadi sayang kalau dibeli orang."

"Baiklah, saya kembali minggu depan. Kapan? Hari Sabtu sudah ada?" tanya Nyonya Zainal, memasukkan uang kembaliannya ke dalam dompetnya.

"Insya Allah, Sabtu depan sudah kami terima. Bu," kata Citra manis.

Nyonya Zainal berlalu membawa bungkusannya.

"Untung kita punya langganan semacam dia," bisik Citra.

Ani hanya tersenyum saja.

Hari Minggu pagi ini mereka telah menjual sembilan gaun. dua blus, dan tiga rok bawah. Memang biasanya Minggu pagi selalu ramai. waktunya orang-orang libur dan menyempatkan diri berbelanja. Itulah sebabnya mereka tetap membuka butiknya pada hari Minggu. Sore harinya saja mereka tutup karena mereka sendiri juga membutuhkan waktu luang untuk kehidupan pribadi mereka.

Ani memang hidup membujang, jadi tidak ada masalah harus menyisihkan waktu untuk keluarganya. Tetapi Citra adalah seorang janda yang masih mempunyai seorang anak. Anaknya yang berumur tiga belas tahun membutuhkan perhatian juga. Dan hari Minggu sore selalu disisihkan Citra bagi anak laki-lakinya ini.

"Yuk, siang ini kau makan di rumahku," undang Citra kepada Ani.

"Setelah kita tutup, kita pulang sama-sama. Sudah lama kau tidak mampir ke rumah."

"Kau masak apa?" tanya Ani.

"Bik Minah yang masak. Aku mana bisa masak. Bukankah itu sebabnya sampai suamiku minta cerai? Katanya tiap hari aku cuma menggoreng telur saja!" Citra terbahak. Sekarang dia bisa membicarakan bekas suaminya dengan bebas-tanpa ada rasa sakit hati yang membuatnya jatuh mental. Tetapi keadaan tidak selamanya begini. Pada tahun pertama setelah perceraiannya. Citra masih mengalami akibat lanjutan traumanya yang sempat membuat dirinya hampir-hampir putus asa. Kalau bukan karena

kehadiran anaknya dan Ani yang selalu menghiburnya, mungkin Citra sudah bunuh diri.

"Goreng telur pun jadilah, asal kau sendiri yang menggoreng," kata Ani.

**

Waktu berlalu dengan cepat. Beberapa orang sempat masuk dan keluar butik mereka. Mereka masih menjual lagi tiga buah gaun sebelum waktu tutup Siang.

Mereka hampir menutup pintu butik ketika datang seorang laki-laki ke toko mereka.

"Hei! Apa kabar?" sapa pria gagah itu.

Ani yang pada waktu itu sedang mengunci laci meja segera memucat. ' .

"Oh, Dik johan! Siang-siang tumben mampir?" balas Citra. '

"Kangen sama Ani," kata yang dipanggil 'Johan'.

Ani tidak berkata apa-apa.

"An. nanti sore aku ke rumahmu." kata Johan mengundang dirinya sendiri.

"Aku repot!"

"Kok jual mahal?" goda Johan.

"Tidak dijual," sahut Ani ketus,

"mahal maupun murah!"

johan terbahak.

"Kita nonton, ada film bagus di President," ajak Johan.

Ani menggeleng.

"Aku lelah."

"Oke, kalau begitu kita ngobrol saja yang santai di rumahmu," kata johan.

"Aku mau tidur."

"Aku temani," seloroh Johan.

"Eh, kalau ngomong dipikir dulu!" Ani sudah memanggul tasnya dan mematikan lampu.

Citra tersenyum. Sudah dua-tiga bulan ini johan mondar-mandir ke butik mereka. Tadinya ia memang teman Citra, tetapi rupanya sekarang dia sudah jatuh hati pada Ani. Hanya saja tampaknya Ani tidak memberikan tanggapan. Citra tidak tahu mengapa. Johan orangnya tampan, ramah, supel. mudah bergaul. Di samping itu kelihatannya ia punya banyak duit. Johan hanya bekerja secara honorer di sebuah salon kecantikan. tapi tidak setiap hari ia bisa dijumpai di sana. Rupanya ia punya sumber penghasilan yang lain. jadi sebetulnya Ani tunggu apa agi? Umurnya sendiri sudah dua puluh delapan tahun, sudah sepantasnya memikirkan untuk berumah tangga. ' '

"Hari ini aku mengajak Ani makan siang di rumahku," kata Citra.

"Kau boleh ikut kalau mau," ajaknya kepada Johan.

"Kalau ia ikut, aku tidak jadi, Mbak," sela Ani.

"Lho, kok ngambek begitu, sih?" kata Citra.

"Mbok pakai gencatan senjata sebentar."

"Oke, kalau hari ini tampang jelekku tidak berkenan di hati Putri Raja," kata Johan lucu,

"aku akan bersabar. Lama-lama kan mau juga. Cewek selamanya begitu kan, Mbak Citra? Malu-malu kucing, tapi dalam hati menyimpan rindu!"

Citra tertawa dan menggandeng Ani yang cemberut ke luar. johan melangkah dengan ringan di samping mereka menuju ke tempat parkir.

**

MENGHADAPI semangkuk soto ayam dan perkedel kentang hasil masakan Bik Minah, Citra dan Ani makan dengan santai dan lahap. Beni-anak Citra sudah makan lebih dulu. .

Ani sudah lama merindukan bisa makan dalam suasana kekeluargaan _seperti ini. Tidak seperti biasanya jika ia harus menghadapi piringnya seorang diri. Kalau sudah begitu; makanan apa pun yang dihidangkan akan terasa hambar.

Beruntung Citra masih mempunyai seorang anak, jadi walaupun sudah bercerai dari suaminya, kekosongan hatinya masih terhibur oleh gelak dan tawa anaknya. Alangkah bedanya dengan nasib dirinya, pikir Ani. Aku tidak punya siapa-siapa, tidak ada orang yang betul-betul milikku dan yang memiliki aku. Aku hanya sebatang kara.

"Ayo, tambah lagi, An! Kok pakai malu-malu segala!" kata Citra mengusik lamunan Ani.

"Sudah banyak lho, Mbak! Nanti timbanganku naik."

"Loh, potongan peragawati kelaparan begitu kok takut timbangan naik! Nih, aku lebih gemuk banyak daripadamu, lebih pendek juga, tapi aku tidak takut makan enak. Mumpung gigi kita masih lengkap, usus

kita masih bagus, ayo makan! Nanti kalau sudah ompong, sudah mengidap penyakit jantung, penyakit liver, tekanan darah tinggi-nah, waktu itu baru mikirin diet. Sekarang, ayo!"

Ani terkekeh.

Citra adalah sahabatnya-satu satunya temannya yang erat dengannya. Citra bagaikan seorang kakak yang lebih tua, selalu memperhatikannya.

Ani berjumpa dengan Citra lima tahun yang lalu. Waktu itu belum lama ia tinggal di Surabaya, masih mondok di sebuah rumah kecil di salah satu gang sempit di daerah Embong Malang. Ani datang ke Surabaya tanpa banyak bekal kecuali sekeranjang kenang-kenangan yang menghantui hidupnya. Tetapi jiwa mudanya tabah. Dia bertekad membangun kembali hidupnya yang berantakan. Dengan uang simpanannya yang terakhir, dia membeli sebuah mesin jahit. Jahit menjahit adalah keahliannya, bakat alamiahnya. Keahlian ini dipelajarinya dari bangku SKKA yang pernah dinikmatinya selama tiga tahun. Guru-gurunya yang segera mengenali bakatnya itu,mendorongnya untuk lebih memperdalam mata pelajaran merancang dan membuat pakaian, dan Ani banyak menerima petunjuk-petunjuk gratis dari mereka. Guru-gurunya merasa kasihan padanya dan mengagumi keuletannya sebagai seorang anak yatim-piatu.

Demikianlah dari SKKA, Ani memperoleh pekerjaan sebagai tukang potong dan jahit pada CV Arimbi, sebuah perusahaan kecil yang membuat pakaian-pakaian jadi khusus dari bahan batik. Tiga tahun lamanya Ani bekerja di sana dan dia dipromosikan dari tukang potong menjadi asisten

majikannya. Ia menjadi orang kepercayaan, tangan kanan Serta pembimbing tukang-tukang potong yang lain. Bahkan akhirnya ia diminta tinggal di rumah majikannya saja karena di situ pulalah industri kecil ini beroperasi. Perlahan tapi pasti bintangnya naik, begitu juga status sosialnya.

Sejalan dengan meningkatnya penghasilannya, meningkat pula taraf hidupnya. Sedikit demi sedikit Ani berusaha meng-upgrade dirinya. Ia belajar mempergunakan make-up, belajar memilih pakaian yang serasi mtuk pOtongan tubuhnya yang tinggi semampai, belajar bersikap halus dan sopan santun seperti perempuan-perempuan yang berpendidikan tinggi. Dan dengan hati yang puas dia melihat sedikit demi sedikit perubahan dalam dirinya. Perlahanlahan dia berubah dari seorang gadis melarat yang mengibakan menjadi sekuntum mawar yang merekah indah dan pusat perhatian kumbang-kumbang jantan.

Di tengah-tengah keberuntungannya ini Sutejo muncul dalam hidupnya. Ternyata kemanisan hubungan mereka pada saat-saat pertama hanya merupakan permulaan kehancurannya saja.

"Kau kelihatan sedih," komentar Citra melihat temannya melamun.

.Mereka sekarang sudah pindah duduk di ruang tamu sambil menikmati puding arbei buatan Bik Minah.

"Ah, tidak!" elak Ani. Ia adalah orang yang tertutup, dan meskipun Citra merupakan satusatunya sahabatnya sekarang. tak pernah terpikirkan olehnya untuk berbagi rasa dengannya.

"Bagaimana kabarnya si Dani? Lama tidak muncul lagi di butik untuk mengantar dan menjemputmu," tanya Citra.

"Lebih baik begitu. Ia terlalu serius," kata Ani.

Citra mengangkat sebelah alisnya.

"Lho! Kan dia pacarmu! Ya tentu harus serius, dong!"

"Cuma pacar-pacaran saja," jawab Ani bersikap tak acuh.

"Kau ini aneh, An! Sama si Johan emoh, sama si Dani sekarang katanya sekadar pacar pacaran. Memangnya kau mencari yang bagaimana? Ingat lho, kau bukan remaja tujuh belasan lagi yang punya banyak waktu dan kesempatan untuk menentukan sang pangeran. Kau sudah hampir mendekati tiga puluh, waktumu tidak banyak lagi, begitu pula pilihanmu! Laki-laki sebayamu yang masih bujang biasanya kalau bukan impoten ya homoseks! Umumnya yang normal sekitar tiga puluhan Sudah punya keluarga semua. Lalu masa kau mau sama duda?" Citra mulai dengan salah satu serial kuliahnya. Ia gemas melihat sikap Ani yang menyia-nyiakan kesempatan yang tentunya tidak tinggal banyak lagi.

"Belum lagi kau lupa tinggi badanmu yang ukuran super untuk perempuan jawa! Bayangkan, kau sama johan saja hampir sama tingginya! Dani yang berpotongan atletis saja cuma lebih tinggi sedikit. Laki-laki yang pendek pasti takut padamu. Pilihanmu terbatas lho, An!"

"Aku masih belum ingin kawin."

"Eh, kau! Perempuan itu harus kawin, An! Perempuan yang tidak kawin dinilai negatif oleh

masyarakat kita! Lain halnya jika kau hidup di Barat, di sana tidak ada yang mempermasalahkan status bujang atau bukan. Tetapi di sini? Uh! Pokoknya tidak mungkin bagi seorang perempuan Indonesia bertahan hidup membujang terus, kecuali apabila ia tuli! Telinga ini," kata Citra, menjewer telinganya sendiri,

"bisa panas! Digunjing orang. dihina orang, dicurigai orang, dikatakan yang bukan-bukan! Aku kan sudah pernah mengalaminya!"

"Buktinya kau menter, Mbak," senyum Ani.

"Buktinya hidupmu juga gembira, penuh tawa."

"Ah, itu kan di luarnya, An! Di dalam hati aku merasa kesepian juga." Citra menghela napas panjang.

"Lalu mengapa kau tidak kawin lagi? Kau masih cantik, masih muda. Usiamu baru tiga puluh enam. Pasti masih banyak lelaki yang berebut menjadi pasanganmu."

"O-ho! Itu kan cuma untuk membesarkan hatiku!" kata Citra menggoyang-goyangkan telunjuknya seperti seorang ibu memarahi anaknya.

"Pada kenyataannya sama sekali tidak demikian! Namanya yang gadis saja sekarang susah mendapatkan jodoh., apalagi bagi seorang janda plus anak seperti aku! Aku sudah tidak mengimpikan untuk kawin lagi. Kecuali kalau memang ada laki-laki yang cinta padaku dan yang kucintai pula."

"Kalau kau merendahkan standarmu sedikit, pasti banyak yang masuk nominasi," kata Ani.

"Janda seperti aku ini susah, An! Aku harus memikirkan anakku. Kalau lelaki itu tidak bisa menerima kehadiran Beni. maka aku pun tidak mungkin mau padanya. Sebaliknya Beni sekarang

sudah mencapai usia di mana ia bisa berpikir lebih kritis. Komentarnya macam-macam. Satu-dua pria yang pernah mendekatiku selalu dicelanya.

"Oom ini orangnya jorok',

"Oom itu kalau makan mulutnya ciap-ciap',

"Oom itu galak-yah, pokoknya ada ada saja yang tidak mengena di matanya

"Nah, kalau toh aku kawin lagi, aku ingin suamiku yang baru ini bisa dihormati dan dihargai oleh anakku. Aku tidak ingin ada perang dingin di dalam rumah. Aku juga tidak ingin mendapatkan suami yang tidak menyayangi Beni. Jadi kaulihat, susah sekali, bukan?"

"Mungkin Beni bersikap demikian karena ia takut kehilangan dirimu," kata Ani.

"Selama ini kan dia dekat sekali padamu setelah bercerai dari ayahnya. Jadi mungkin secara psikologis dia takut kehilangan dirimu."

"Boleh jadi juga. Tapi harus kuakui bahwa apa yang dikomentarkan Beni memang tidak salah. Mas _Jarot itu memang agak jorok-aku sendiri menilainya begitu juga. Mas Hilman kalau makan memang seperti kuda nil, sruput-sruput-ciap-ciap kedengaran semua. Dan Mas Hasan memang galak, sedikit.sedikit membentak." Citra terbahak.

"Habis, memang yang nongol modelnya begitu-begitu, apa aku harus membutakan mataku, menekan rasa tidak senangku, dan mengorbankan perasaanku hanya supaya aku bisa kawin lagi? Terima kasih! Aku lebih senang hidup begini."

"Sama!" kata Ani terkekeh.

"Lho, kok sama? Ya tidak toh! Kau kan masih muda, masih bujang, tidak diberati anak. tidak punya titel janda! Kau tentunya punya peminat yang

bagus standarnya. Aku lihat si Dani tidak ada celanya dan si Johan juga tidak kalah. Memangnya kau menunggu Omar Sharil?"

"Ah, tidak! Cuma cuma aku..." Ani mengangkat bahunya. Terlalu sulit menjelaskan sesuatu yang sudah dipendamnya bertahun tahun.

"Cuma kau yang kelewat cerewet!" kata temannya.

"Masa seperti Dani begitu tidak lekas-lekas digaet? Nanti kalau diambil orang kau yang menyesal! Paling tidak pilihlah salah satu dari antara mereka-Dani atau _Johan. Mereka sama sama gagah, sama-sama bujang, sama-sama menaruh hati padamu, sama-sama punya penghasilan sendiri yang baik. Masih kurang apa lagi?"

"Kenapa tidak kau saja yang mau sama salah satu dari antara mereka?" goda Ani.

"Lho, itu rencanaku!" kata Citra terbahak.

"Kalau kau sudah menentukan pilihanmu, yang kawapkir, aku tadahi. Tidak mengapa mereka lebih muda daripada aku."

Mereka terbahak bersama.

"Ambillah Dani kalau begitu," kata Ani lebih serius,

"dia pria yang baik."

"Lalu kau sama Johan?" tanya Citra.

"Nih, ketahuan sekarang! Malu-malu kucing selalu menolak ajakannya, tidak tahunya di dalam hati sebetulnya memang Johan yang diharap-harapkan!"

"Oh, tidak! Tidak!" kata Ani tegas. Untuk sementara wajahnya berubah serius.

"Aku tidak sudi sama Johan! Johan orangnya... orangnya... pokoknya aku tidak suka sifatnya. Jangan kausebut-sebut dia lagi," kata Ani jengkel,

"bikin aku jengkel saja."

"Memangnya ia pernah melukai hatimu?" tanya Citra ingin tahu. Sepanjang pengetahuannya setiap kali Johan muncul di butik mereka. sikapnya selalu korek dan sopan. Aneh, mengapa Ani tidak menyukainya?

"Sudahlah, lebih baik masalah ini tidak kita bicarakan."

Mereka berdiam diri sejenak, lalu kata Citra,

"An, aku tadi cuma bergurau, lho. Aku tidak ada niatan sama sekali untuk menggaet Dani maupun Johan. Jangan sampai kau mundur gara-gara kaupikir aku mengharapkan mereka. Tidak! Aku lebih tua daripadamu. dan aku sudah pernah mendapatkan jatahku. Kau masih belum kebagian jatah. jadi janganlah berpikiran yang aneh-aneh mau menjadi pahlawan berkorban bagiku karena kau ingin melihat aku kawin lagi. Teruskanlah hubunganmu dengan Dani."

Ani tersenyum.

"Sudah siang, Mbak. Aku pulang dulu. Masih mau mencuci rambut dan tentunya si Mbok sudah menunggu dibukakan pintu."

"Oke, sampai besok!" kata Citra.

"Ben! Ben! ini Mbak Ani mau pulang, ayo keluar!" teriak Citra ke dalam.

Dalam sekejap Beni sudah berlarian sampai di sisi ibunya.

"Kok buru-buru amat, Mbak! Main lagi ya kemari!" katanya sok bergaya orang dewasa. Sejak tidak ada ayahnya, Beni merasa dirinyalah kepala rumah tangga di sini, yang punya kewajiban berperan sebagai tuan rumah.

Ani melambaikan tangannya sambil tertawa.

***

DANI Burhan meletakkan pisaunya dan menghela napas panjang. Disekanya peluhnya yang membutir besar-besar di keningnya. Udara Minggu siang ini panas benar, apalagi didalam bengkelnya yang kecil, terasa benar panas matahari yang dipantulkan atap sengnya.

Minggu siang begini bengkelnya sepi. Mardi-pembantunya-tidak masuk. Dani terpaksa bekerja sendiri. Sebagai seorang wiraswastawan kecil .yang bermodal kecil dan berusaha kecil, dia tidak mampu menggaji terlalu banyak pembantu. Pesanan-pesanan yang masuk tidak menentu, terkadang banyak, _terkadang sepi. Dani lebih suka berhati-hati dalam hal menambah tenaga pekerjanya. Akibatnya tidak jarang dia' harus bekerja sendiri pada hari Minggu begini untuk menyelesaikan pesanan-pesanan yang kebetulan banyak.

Dani membuka usaha pengukiran ini sudah sejak lima tahun yang lalu. Mulai dari nol besar dia belajar terjun ke bidang yang semula hanya menjadi hobinya. Tadinya ia bekerja di salah sebuah biro perjalanan sebagai pemandu wisata. Tetapi gajinya yang kecil memaksanya untuk mencari upaya mencari penghasilan sampingan. Tidak banyak yang

bisa dikerjakannya. Sekolahnya yang terakhir adalah tingkat dua akademi perhotelan, yang tidak sempat diteruskannya semenjak dia bekerja sebagai pemandu wisata. Tetapi ia mempunyai hobi.. Ia berjiwa seni-suka melukis, suka memahat, dan suka mengukir. Oleh karena itu dicobanya membuat beberapa macam kerajinan tangan dari kayu yang semula ditawarkannya kepada turis-turis yang dilayaninya. Hasilnya lumayan. Penjepit buku dari kayu yang berukir, piring hias dengan tepi berukir, tutup dan tempat gelas dari kayu berukir-semuanya merupakan ciptaan baru yang tidak pernah dibuat orang lain. Lama lama ia mulai kewalahan melayani pesanan yang masuk. Dan setelah membandingkan antara gaji yang diterimanya dan penghasilannya dari karyanya sendiri, Dani memutuskan untuk mencurahkan seluruh waktunya ke bidang ukir-mengukir ini saja. Selain dia bisa mengerjakan hal yang memang disukainya. ia mendapatkan hasil yang lebih banyak.

Demikianlah dengan susah payah dan penuh ketekunan dia merintis usaha wiraswastanya ini. Lama-kelamaan pekerjaannya tidak hanya terbatas pada barang barang cindera mata kecil untuk para turis. Belakangan malah sudah ada beberapa perusahaan perabotan yang memesan ukirannya untuk menghiasi perabotan mereka.

Dan kini, lima tahun kemudian, Dani sudah boleh berbangga sebagai salah satu putra Indonesia yang berhasil memperbaiki nasibnya sendiri dari seorang karyawan kecil menjadi seorang pengusaha yang mandiri--dan itu dicapainya hanya dengan modal kemauan dan bakat.

Dani memandang hasil ukurannya. Memang bagus, walaupun itu menurut mataku sendiri, pikirnya. Ia sedang mengerjakan sebuah kaki lampu--pesanan contoh salah satu hotel besar di Surabaya. Kalau pesanan mereka yang pertama ini dapat diselesaikan dengan memuaskan-artinya pekerjaannya halus, pengirimannya tidak terlambat, dan mutu kayunya baik-maka mereka akan mendapatkan pesanan ulang yang jumlahnya hampir membuat jantung Dani berhenti berdetak ketika ia mendengarnya. Betapa tidak! Bayangkan! Seorang pengusaha keciL-yah, yang tidak lebih daripada usaha rumahan, yang untuk dinamakan industri saja masih terlampau kecil-tibatiba mendapat prospek membuat seluruh perlengkapan interior kamar-kamar sebuah hotel bertaraf internasional! Jumlah kamarnya saja ada dua ratus lebih-lha kalau ia harus membuatkan hampir seluruh ukiran perabotannya, bayangkan, betapa besar pesanan tersebut! Dari kaki lampu sampai pintu lemari, dari kepala tempat tidur sampai bingkai kaca, dari meja hias sampai tangan kursi-untuk dua ratusan kamar! Untung hotel ini masih dalam tahap akhir pembangunan, jadi ada waktu sekitar sepuluh . sampai dua belas bulan bagi Dani untuk menyelesaikan pesanan ini-kalau mereka jadi memesan darinya. Oleh sebab itu pekerjaannya yang pertama ini harus dikerjakannya dengan hati-hati dan teliti. Ini merupakan suatu kesempatan emas baginya untuk menaikkan taraf usahanya dari kelas mini menjadi kelas menengah.
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja itu berarti nanti ia harus mencari pekerja-pekerja tambahan. Mustahil menyelesaikan pesanan sebanyak itu hanya dengan tenaga Mardi dan

dirinya, meskipun mereka berdua bekerja siang dan malam. Mardi sudah dipesannya untuk mencarikan beberapa orang pembantu yang memang sudah berpengalaman dalam bidang ukir-mengukir. Dan begitu ada kepastian dari pengusaha hotel itu, mereka bisa segera mulai. Dengan uang muka yang sudah disanggupi pihak hotel, kiranya tidaklah terlalu sukar untuk menyiapkan semua bahan dan perlengkapan yang dibutuhkannya.

Dani merasa bangga juga bahwa dirinya yang semula hanya seorang karyawan yang makan gaji, kini bisa menjadi majikannya sendiri---bahkan sudah berhasil memberikan lapangan pekerjaan kepada orang lain-yang untuk sementara memang cuma Mardi seorang-namun siapa tahu melihat perkembangan dua tiga bulan yang akan datang?

Sayangnya semangat kerjanya belakangan ini

sangat menurun. Sejak Ani tidak lagi mau menemuinya--sejak Ani menghendaki pemutusan hubungan mereka-Dani seperti kehilangan dorongan. Kerja ya masih kerja, tetapi sudah tanpa semangat dan ketekunan yang dulu begitu menjiwai sikap mental-' nya. Bahkan tadinya memang dia getol berusaha karena ia ingin mempunyai masa depan yang mantap untuk bisa membangun rumah tangga bersama Ani. Tapi sekarang semuanya kandas-hanyut tersapu arus kekecewaannya. Sering kali ia mendapatkan dirinya melamun, murung, patah semangat. Pekerjaan sekarang hanyalah sekadar pengisi kekosongan waktunya saja-sesuatu yang rutin-Cuma supaya ada kegiatan. Ambisi dan antusiasnya yang mulamula tiba-tiba lenyap entah ke mana.

"Sudah siang. tidak makan ?" Sesosok tubuh tinggi besar muncul di ambang pintu bengkelnya.

"Oh, iya, Pak," sahut Dani.

Dani hanya hidup berdua dengan ayahnya saja, ibunya sudah lama meninggalkan mereka. Adiknya yang perempuan sudah berkeluarga sendiri. Pak Burhan tidak ingin ikut anaknya yang perempuan. Sungkan pada menantu, begitu kilahnya. Lebih baik ikut anak lelakinya sendiri. meskipun itu berarti hidupnya tidak terlalu teratur seperti apabila di dalam rumah tangganya ada seorang perempuan yang mengaturnya.

Dani menggaji seorang pemuda untuk membantu bantunya di rumah. Si Tono yang mencuci untuk mereka, yang memasak, dan membersihkan rumah. Memang masakannya tidak seenak masakan ibunya dulu, tapi yah, cukuplah untuk mengisi perut mereka asalkan tidak lapar saja.

Hari ini Tono menghidangkan gorengan tempe dan sayur bening. Menunya sehari-hari memang sederhana. Selain Tono tidak mampu memasak yang sulit-sulit, Dani juga ingin menghemat pengeluarannya. Seada-adanya uang dipakainya sebagai modal, dan sebagian ditabungnya untuk "hari-hari hujan". Dani menyadari ayahnya sudah mulai tua, dan orang tua pasti mulai banyak sakitnya-maklum Onderdil tubuhnya juga sudah banyak yang aus'. Karena itu pasti dari waktu ke waktu ia membutuhkan biaya pengobatan. Untuk itulah Dani menabung. Biaya pengobatan sekarang sangat mahal, belum lagi kalau harus tinggal di rumah sakit. Memang dia tidak mengharapkan orang tuanya sakit, tapi hatinya

merasa lebih aman jika ia tahu ia punya dana cadangan seandainya diperlukan mendadak.

"Kau tidak pergi hari ini? Kan Minggu?" tanya ayahnya. Ayahnya tahu bahwa Dani sudah mempunyai pacar.

"Tidak," kata Dani singkat. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.

Ayahnya mengangkat alisnya.

"Kenapa? Bertengkar?"

Dani mengangkat kepalanya.

"Tidak," katanya.

"Kalau bertengkar, harus ada yang mau mengalah. Nanti setelah berbaikan masalah bisa dibicarakan Iagi," kata ayahnya sambil mengunyah sepotong tempe.

"Tidak bertengkar, Pak," kata Dani.

"Lalu kenapa sekarang kau tidak ke sana lagi? biasanya Minggu siang kau menjemputnya pulang dari butik. Sekarang sudah berhari-hari kau tidak mengantar atau menjemputnya."

"Ia yang minta supaya aku tidak ke sana lagi,

" kata Dani murung. Sejak kepergian ibunya Dani lebih -dekat kepada ayahnya. Tidak banyak hal yang bisa dirahasiakannya terhadap orang tua ini, dan kalaupun ada itu tidak akan lama. Ayahnya pasti akan merasa dan menanyainya.

"Mengapa? Kau pernah menyakiti hatinya?"

"Seingatku tidak. Aku sudah minta penjelasan. ia hanya mengatakan kami tidak jodoh."

"Kok tiba-tiba? Kan kalian sudah berpacaran satu tahun?" tanya ayahnya heran.

"Iya, aku sendiri juga tidak mengerti."

"Katamu Ani adalah gadis yang baik, halus, penyabar-mengapa tiba-tiba bersikap tidak masuk akal begini?"

"Barangkali ada laki-laki lain, Pak," kata Dani yang pernah berjumpa beberapa kali dengan johan di Butik Citra ketika ia datang untuk menjemput Ani.

"Laki-laki lain?" Wajah ayahnya berubah. Dia paling tidak menyukai perempuan yang tidak setia.

"Kau pernah melihat ada laki-laki lain?"

"Aku tahu ada seorang yang bernama johan sering mencarinya di butik."

"Sejak kapan?"

"Dua-tiga bulan terakhir ini baru aku melihatnya. Tapi mungkin juga mereka sudah berteman sebelum itu."

Ayahnya merapatkan bibirnya. Kalau memang perempuan itu begitu tipis kesetiaannya, lebih baik tidak diteruskan saja. Perempuan macam begitu tidak berharga untuk dibela. Di sini ada banyak perempuan lain, anaknya tidak perlu menyia-nyiakan hidupnya hanya untuk menyembah kaki seorang perempuan yang murahan.

"Sudahlah! Lupakan saja dia! Cari yang lain," kata ayahnya.

"Sudah berhari-hari aku lihat kau seperti mayat hidup saja-melamun, pikun, kayak orang mati yang berjalan. Buat apa? Kau kan laki-laki! Kalau dicampakkan perempuan, ya sudah! Cari lagi! Perempuan di dunia berlimpah-limpah. Satu laki-laki mau punya dua-tiga perempuan pun bisa. Untuk apa kau menyia-nyiakan hidupmu seperti ini?

"Eh, Dan, dengarkan aku! Karirmu sekarang harus kauperhatikan. Di mana-mana orang susah mencari nafkah. Jangan bodoh mengorbankan masa

depanmu hanya untuk seorang perempuan! Kalau kau kaya, banyak uang, perempuan mana yang tidak terjangkau olehmu! Seribu Ani bisa kaudapatkan! Sebaliknya kalau kau melarat atau seperti sekarang ini-kayak orang yang hidup enggan mati tak kesampaian-kau akan dihina perempuan! Semua orang akan hilang, Tuh, ada laki-laki tolol, ditinggal kekasihnya merana? Kau sudah bukan remaja cengeng lagi. Dan. Kau sudah dewasa, sudah bisa berpikir logis, sudah bisa melihat prioritas setiap masalah. Buat apa kautangisi perempuan yang tidak mempedulikan kau lagi?

"Biasanya kau bekerja dengan cepat. Sekarang aku lihat sudah empat hari kaukerjakan kaki lampu itu masih belum selesai. Kalau begini caranya, mana kau bisa mengirim barang pesanan itu tepat pada waktunya? Jangan kaubiarkan perempuan itu meracuni hidupmu. Ia tidak mau padamu, oke. kau harus bisa menunjukkan bahwa hidupmu tetap berjalan seperti biasa-bahkan kalau bisa lebih sukses daripada sebelumnya supaya bisa kautunjukkan padanya bahwa tanpa dirinya pun kau tetap manusia yang utuh.

"Bapak heran melihat sikapmu. Bukalah matamu lebar-lebar! Dunia masih terbentang luas, ada banyak kesempatan, ada banyak pilihan. Jangan seperti mayat hidup begitu. Atau memang kau sudah kena guna-gunanya?" Pak Burhan tambah lama tambah ngotot bicaranya.

Dani tidak berani menjawab, dia hanya menunduk dan meneruskan makannya. Ayahnya memang diketahuinya berwatak keras.Itulah yang menyebabkan ibunya tidak betah.

"Kau sakit hati?" tanya ayahnya.

"Aku mencintainya," kata Dani perlahan.

"Cinta yang tidak terbalas tidak usah kautangisi! Banyak perempuan lain yang bisa menghargai cintamu."

"Kalau saja aku tahu alasannya," kata Dani seperti kepada dirinya sendiri.

"Kalau saja ia mengatakan terus terang bahwa ia mencintai orang lain, atau bahwa aku terlalu miskin untuk menyuntingnya, atau apa! Tapi ia tidak memberikan penjelasan apa-apa! Mustahil setelah berpacaran selama satu tahun baru sekarang dia sadar bahwa ia tidak menyukaiku."

"Perempuan banyak yang munafik. Pokoknya, apa pun alasannya. yang penting adalah dia tidak ingin meneruskan hubungannya denganmu. jadi, buat apa kaupikirkan panjang-lebar dan merana sendiri?"

"Aku merasa heran, Pak. Tidak seperti kebiasaannya bersikap demikian. Selama ini masalah apa pun yang kami hadapi, selalu dibicarakannya dengan aku. Entah mengapa tiba-tiba ia' berubah. Pertama tama aku merasakan perubahan sikapnya ketika si Johan ini muncul. Sejak itu Ani rasanya ingin menghindari aku. Sikapnya menjadi dingin, jauh. seakan tidak terjangkau lagi olehku. Setelah kudesak, akhirnya ia mengatakan bahwa ia telah memikirkannya matangmatang dan kami sebaiknya berpisah. Dia sama sekali tidak memberikan penjelasan! Aku tidak mengerti!"

"Kau pernah berusaha menemuinya setelah itu?"

"Iya. aku ke rumahnya, ia bersembunyi di dalam, tidak mau membukakan pintu. Aku ke butiknya, di sana paling tidak dia tidak bisa bersembunyi. Tapi ia

tetap bungkam. Aku mengajaknya bicara di luar karena di butik banyak orang, dia menolak. Aku tunggu sampai jam butiknya tutup, dan pada saat itu aku bertemu lagi dengan si johan. Aku betul-betul penasaran! Kalau memang dia lebih menyukai Johan aku tidak berkeberatan mundur. Tapi anehnya, ia juga tidak pulang bersama johan, bahkan sikapnya kepada johan bukan main ketusnya. Jadi, sebetulnya masalahnya apa? Alasannya apa?"

"Mungkin hanya di depanmu saja sikapnya ketus terhadap johan. Mungkin itu hanya aksinya mengelabuimu." Pak Burhan sudah punya terlalu banyak pengalaman tentang perempuan yang mengelabui laki-laki. '

"Anehnya si Johan rupanya juga sudah terbiasa Menghadapi sikapnya yang ketus. jadi ketusnya itu bukan tiba-tiba karena kebetulan aku ada di sana. Dan Johan sama sekali tidak tampak cemburu, ia sangat ramah kepadaku. Karena itulah aku menjadi sangsi apakah ini pacar Ani yang baru. Aku betul-betul bingung!"

"Sudah sejak kapan kalian terakhir bertemu?"

"Dua minggu yang lalu. Sejak itu bahkan kutelepon pun dia tidak mau menerimanya."

"Kau tidak pernah bertanya kepada temannya yang membuka usaha butik itu? Barangkali ia tahu sesuatu."

"Mbak Citra juga tidak tahu apa-apa. Menurut Mbak Citra, si Johan pun selalu dimusuhinya dan ditolak semua ajakannya."

"Mungkin tiba-tiba ia tidak mau kawin," usul ayahnya.

"Berapa sih usianya?"

"Dua puluh delapan." kata Dani.

"Jarang seorang gadis yang cantik membujang terus sampai seusia itu. Biasanya yang cantik-cantik muda-muda sudah digaet orang. Tidakkah kau merasa heran mengapa Ani sampai sekarang tidak kawin-kawin?"

"Memang pernah kutanyakan dan dia mengatakan dulu hidupnya terlalu melarat untuk memikirkan kawin. Dia menghabiskan masa mudanya untuk meningkatkan taraf kehidupannya dulu."

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Zaman rupanya sudah berubah. Sekarang bukan laki-laki saja yang puma aspirasi dan cita-cita. Perempuan pun mempunyai hak menemukan jalan hidupnya sendiri. Kalau seorang gadis ingin mencapai kemajuan dulu dan menangguhkan perkawinannya, itu bukan hal yang mustahil lagi.

"Makanlah!" kata ayahnya, melihat isi di piring anaknya tidak berkurang sejak tadi.

"Dan jangan kaupikirkan dia lagi. Tidak ada gunanya membuat diri sendiri sengsara untuk orang yang tidak mencintaimu. Hargailah dirimu sendiri."

"Memang aku aku patah semangat rasanya," kata Dani lesu.

"Aku betul-betul patah semangat. Rasanya apa yang kucapai dan apa yang hendak kukejar sekarang ini sama sekali tidak berarti lagi. Semuanya tidak berarti lagi."

"Omong kosong!" Pak Burhan mengangkat alisnya dan menggebrak meja.

"Jadi hidupmu dan hidupku ini tidak ada artinya lagi hanya gara-gara seorang perempuan yang tidak setia?jadi masih lebih berarti perempuan itu bagimu daripada dirimu sendiri dan bapakmu ini?" Otot-otot leher Pak Burhan sudah menonjol semua.

"Entahlah, Pak. Sekarang pikiranku masih kacau. Aku berusaha untuk melupakannya, tapi sampai sekarang aku masih belum berhasil. Sudahlah, Bapak jangan marah-marah. Sebaiknya hal ini tidak kita bicarakan lagi. Hanya membuat hatiku semakin sakit saja," kata Dani lemas.

"Dan," kata Pak Burhan. menggeleng-gelengkan kepalanya,

"anak lakilaki kok lemahnya seperti kau! Mana kejantananmu? Mana harga dirimu? Sia sia Bapak mendidikmu selama ini kalau hanya gara-gara perempuan itu kau berantakan!"

Dani berdiri dan meninggalkan ayahnya yang masih menggeleng-gelengkan kepalanya di meja makan. '

**

ANI baru selesai mengeringkan rambutnya yang panjang ketika pembantunya berpamitan.

"Non, besok saya minta permisi tidak masuk," kata Mbok Sri.

"Kenapa, Mbok?"

"Adik saya yang dari Pekalongan datang. Dia dan anaknya minta diantar melihat kebun binatang. Cuma sehari saja, Non! Lusa saya sudah masuk lagi," katanya. _

"Yah, boleh," senyum Ani,

"tidak apa apa."

"Non sudah saya masakkan semur daging satu panci. Tinggal memanasinya saja kalau mau makan. Cukup buat dua hari," kata si Mbok yang punya perasaan sedikit bersalah meninggalkan majikannya seorang diri.

"He-em," kata Ani,

"aku suka semur daging. Banyak senang, ya'

"Terima kasih. Non."

Ani memang lebih suka memakai pembantu yang datang harian. Toh dia hanya tinggal seorang diri di rumah. Kalau pagi dan malam dia selalu berada di butik, jadi tidak ada gunanya menyuruh seorang pembantu menunggui rumah. Toh rumah tidak bisa dibawa lari. pikirnya. Lebih leluasa begini. Si Mbok

datang Setiap pukul dua siang setelah Ani pulang dari butik, dan dia bisa pulang menjelang magrib sebelum Ani berangkat ke butiknya lagi. Pada jam jam Ani tidak ada di rumah. rumahnya dikunci begitu saja. Itu lebih aman, menurutnya. Kalau tidak ada pembantu, ia bisa mengunci semua pintu dan jendela. Kalau ada pembantu. kan tidak manusiawi si pembantu dikunci di dalam! Malah itu lebih berbahaya seandainya si pembantu ternyata pencuri. Bisa-bisa pada suatu hari ia pulang mendapatkan isi rumahnya terkuras habis!

Apalagi pekerjaan di rumahnya yang kecil itu tidak banyak. Barang-barangnya hanya sedikit, tempatnya kecil, kebun juga cuma sepetak yang di depan, binatang peliharaan tidak ada, masak dan cuci juga hanya untuk satu orang. Sama sekali tidak repot. Si Mbok setiap hari sudah berbelanja untuknya sebelum masuk bekerja sehingga begitu sampai di rumahnya, dia tinggal memasaknya saja. Terkadang Ani juga belanja sendiri di pagi hari sebelum dia berangkat ke butik dan barang barang itu ditinggalkannya di dalam lemari esnya untuk dimasak si Mbok sore harinya. Hidup membujang amat sederhana, tidak perlu bingung.

Si Mbok sudah bekerja padanya hampir dua tahun, sejak dia mengontrak rumah ini. Sebelumnya Ani mondok di rumah Citra. Tetapi setelah terkumpul cukup banyak uang, Ani berpikir mengapa ia tidak memisahkan diri-toh Citra sudah sembuh dari trauma perceraiannya dan tidak membutuhkan kehadirannya lagi. Citra mendukung sepenuhnya usul ini dan dia tidak berkeberatan meminjami Ani uang untuk menutup kekurangan sewa kontraknya.

Begitulah akhirnya Ani mengontrak sendiri di salah satu gang di Jalan Ngagel Jaya Tengah.

Ya. secara keseluruhan aku telah berusaha membangun hidupku kembali, pikirnya sambil memandang sekeliling rumahnya dengan puas. Memang sekarang dia masih belum mampu mendekorasi rumah ini sesuai dengan seleranya-perabotannya sangat sederhana dan hanya yang esensial saja---tapi semua itu bisa menyusul kemudian kalau rumah ini sudah menjadi miliknya. Sekarang sebagian besar dari penghasilannya harus dipakainya untuk menabung agar bisa membeli rumah ini dulu. Pemiliknya sudah mengatakan bahwa ia boleh membelinya kapan saja punya uang.

jadi, haruskah aku membongkar kembali semua ini hanya gara-gara satu kesalahan tolol di masa muda?? Tidak! Aku sudah bekerja terlalu keras dan terlalu lama untuk sampai ke taraf ini. Aku harus mempertahankannya-walaupun itu berarti aku harus memutuskan hubungan dengan Mas Dani!

Ani mengangkat bahunya. Kalau memang tidak jodoh, mau diapakan lagi? Mungkin dia memang tidak mempunyai jodoh sama sekali. Mungkin dia memang ditakdirkan hidup membujang seumur hidupnya. Mungkin itulah pengorbanan yang harus dibayarnya untuk dosanya yang lalu. Kalau memang sudah demikian, untuk apa lagi berontak melawan takdir? Orang harus realistis menerima keadaan. Dosanya di masa yang lampau telah meninggalkan bayangan yang untuk seumur hidupnya akan mencemari reputasinya. Itu adalah konsekuensi yang harus dipikulnya. Dan tidak adil jika ia harus menyeret orang lain untuk diajaknya memikul aib

yang sama. Tidak! Mas Dani tidak berdosa. Mas Dani orang yang baik. Tidak sepantasnya aku menghancurkan hidupnya dan masa depannya. Apalagi pada saat-saat ini ia membutuhkan kesempatan yang selonggar-longgarnya untuk meraih kesuksesan. Bayangkan, apa kata orang seandainya mereka mengetahui bahwa iStrinya dulu pernah mendekam dipenjara? Dengan reputasi seperti itu, mana lagi ada orang yang mau percaya berdagang dengannya?

Ani memandangi wajahnya di cermin. Seorang gadis yang cantik menatapnya kembali. Seorang gadis dengan mata yang bagus, hidung yang tampak mancung, bibir yang penuh dan tulang pipi yang menonjol. Seorang gadis dengan kecantikan yang eksotis, dengan kulit sawo matang yang bersih dan bentuk tubuh yang tinggi semampai.

Aku telah bekerja keras untuk mencapai semua ini, pikirnya dalam hati. Memang tadinya ia mengira bahwa dengan melarikan diri ke Surabaya ia bisa melarikan diri dari masa lampaunya. Bahkan dia sudah berani bermimpi bisa membangun suatu permulaan yang baru bersama Dani. Tapi ternyata impiannya tidak berlangsung lama. Masa lampaunya menyusulnya ke Surabaya dan berakhirlah semua angan-angannya.

Perlahan-lahan Ani mengmbil sebotol susu pembersih. Dituangnya sedikit ke telapak tangannya, lalu dengan gerakan gerakan yang teratur dia mulai menggosokkan susu pembersih itu di keningnya, matanya, pipinya, hidungnya. dan dagunya. Sambil memijit wajahnya perlahan-lahan untuk menghilangkan ketegangan, Ani merasakan sejuknya cairan itu pada kulitnya. Ia mengambil sehelai tisu dan dengan

gerakan yang terlatih dihapusnya semua susu beserta tata rias wajahnya dari mukanya. Dua belai tisu dibutuhkannya untuk membersihkan seluruh wajahnya sampai betul-betul bersih, kemudian dia membubuhkan cairan penyegar dengan sepotong kapas. Hmm, alangkah sejuk dan menyegarkan cairan itu terasa pada kulitnya. Ani memejamkan matanya. Lagi-lagi dengan gerakan memutar dia menarikan kapas itu ke seluruh bagian wajahnya. Pada akhir ritus ini ia membuka matanya kembali.

Seraut wajah yang bersih dan polos memandangnya kembali dari cermin. Dia merasa telanjang. Tanpa make-up kelihatanlah kekurangan-kekurangan alaminya; Pada usianya yang menjelang tiga puluh ini kulit di bawah matanya sudah mulai tampak berbintik-bintik kecoklatan. Memang masih samarsamar, tapi dengan berlalunya waktu, bercak-bercak pigmen itu akan semakin menyolok.

Ani melihat bahwa matanya sebenarnya tidaklah selebar dan secerah tadi ketika ia masih ber-make-up, alisnya terlalu pendek dan jarang, bibirnya juga terlalu panjang, dan hidungnya sekarang tidak tampak mancung. Memang tata rias telah mengubah penampilannya dari seorang yang biasa-biasa saja menjadi seorang yang cantik. Dan hal ini telah dipelajarinya dari pengalaman selama beberapa tahun.

Ani memang memakai make-up-semua orang bisa melihat hal itu-tetapi apa yang tidak terlihat orang adalah di mana make-up itu dimulai dan di ' mana ia berakhir. Tekniknya begitu halus, begitu . sempurna sehingga orang tidak dapat membedakan mana yang make up dan mana yang asli. Banyak

perempuan yang berhias, asal saja menempelkan segala macam bahan di wajah mereka. Hasilnya kalau bukan seperti boneka Cina, ya seperti pemain ludruk. jarang sekali ada yang tahu persis teknik pemakaian make-up yang sempurna. Sebenarnya maksud merias diri itu adalah untuk membuat diri tampak lebih cantik, lebih menarik-bukan untuk memamerkan bahwa kita berhias dengan adanya vegala macam warna menempel di wajah kita. Make-up yang bagus adalah yang tidak bisa dibedakan dengan keaslian yang wajar. Dan teknik inilah yang sekarang telah dikuasai Ani.

Memandang wajahnya orang tidak akan menarik kesimpulan bahwa ia adalah perempuan yang gemar berhias, yang membuang waktunya berjam-iam di depan cermin. Tata riasnya sama sekali tidak menyolok. Tidak ada warna biru atau ungu di pelupuk matanya. Tidak ada gambaran alis tebal seperti coretan arang di keningnya. Tidak ada bibir merah merekah seakan-akan hantu yang baru mengisap darah orang membingkai giginya. Warnawarna luar yang dipakainya adalah warna-warna yang wajar, yang konservatif, yang sesuai dengan kulitnya yang sawo matang.

Tetapi orang tidak tahu bahwa untuk menghasilkan penampilannya itu. Ani harus mulai dari dalam dulu. Dan inilah suatu pekerjaan yang sarat seni. Orang tidak tahu bagaimana Ani mulai dengan kuasan kapas memadukan dan mencampur beberapa nada warna dan krem yang akan membuat kulitnya tampak bercahaya dan tulang pipinya lebih beraksen. Begitu pula dengan hidung dan matanya, yang bisa disulapnya agar tampak lebih mancung dan lebih

lebat. baru setelah pekerjaan dasar ini selesai, Ani membubuhkan sedikit perona mata berwarna coklat tua atau coklat keabuan, sedikit gincu berwarna coklat kemerahan di pipinya, dan seulas pemerah bibir berwarna coklat tembaga. Hasilnya, seraut wajah cantik dengan make-up tipis yang sangat sederhana!

Hmph! Aku cukup punya syarat untuk menjadi ahli rias nomor wahid, senyum Ani meraba pipinya. Setelah mengadakan berpuluh-puluh kali eksperimen, tentunya orang akan sampai pada hasil yang memuaskan juga. Dan dari praktek praktek ini, di antara keempat dinding kamarnya, tertutup dari pandangan orang luar, dia bebas mencoba segala macam cara untuk memperbaiki fisiognominya sendiri.

Hanya ada satu hal yang belum terjawab sampai kini. Untuk siapakah dia menghias diri itu? Ia tidak memiliki siapaasiapa dan tidak dimiliki siapa-siapa. jadi apakah ada manfaatnya semua jerih payahnya ini?

**

Nyonya Syahrir menyeret sebuah kursi plastik dan

duduk di teras depan rumahnya. Sudah menjadi

kebiasaannya pada Minggu minggu sore duduk di beranda depan menantikan suaminya pulang dari bermain tenis. Biasanya suaminya pulang sekitar pukul setengah enam.

Daerah Ngagel Jaya termasuk daerah yang ramai. kendaraan tak henti-hentinya berlalu-lalang. Namun rumah mereka tidak terletak di jalan rayanya,

melainkan masuk di salah satu gangnya yang jauh lebih sempit dan sepi. Hanya mobil-mobil penghuni daerah itu saja yang sekali sekali masuk. Bahkan mak-anak bisa bermain baksodok di tengah jalan dengan santainya. Mereka cukup menepi kalau ada kendaraan yang akan lewat.

Nyonya Syahrir berpaling ke kiri dan ke kanan mencari teman bicara. Tetangga-tetangganya tidak ada yang kelihatan. Yang di sebelah kiri rupanya tadi pagi sudah keluar kota, seharian rumahnya sepi. Ia melongok ke rumah tetangganya yang sebelah kanan. ke rumah nomor 32. Biasanya Minggu sore Jeng di sebelah ini ada di rumah.

Nyonya Syahrir tidak melihat yang punya rumah. Sebaliknya ia melihat seorang laki-laki berdiri dengan

satu tangan bersandar di pintu dan satu tangan menjinjing helm. Nyonya Syahrir sudah sering melihat laki-laki ini, paling tidak sudah lima-enam kali.

"Tidak ada orang?" teriak Nyonya Syahrir dari sebelah. _

Johan kaget dan berpaling. Melihat seorang ibu gemuk tersenyum padanya ia cepat-cepat menjawab,

"Oh, ada! Cuma masih mandi."

Nyonya Syahrir mengangguk dan kembali duduk bersandar di kursi plastiknya, tapi dari ekormatanya ia masih tetap memperhatikan tamu tetangganya. johan memang keren, dan kalau dibandingkan dengan suaminya yang sudah membuncit dan menipis rambutnya, tentunya Johan jauh lebih menarik. Sebagai manusia yang normal tak salahlah kiranya kalau Nyonya Syahrir berkhayal sedikit tentang pemuda itu.

Eh, gadis tetangga itu lama juga mandinya, pikir Nyonya Syahrir sendiri. Tamunya sampai sekarang masih belum dibukai pintu. Seandainya aku bertamu ke rumah orang dan si nyonya rumah tidak keluar-keluar, sudah pasti aku segera angkat kaki. Itu namanya tidak menghargai yang datang bertamu!

Ada seperempat jam kemudian baru pintu terbuka dan laki-laki itu terus masuk ke dalam. Nyonya Syahrir membawa pikirannya melayang ke hal-hal lain.

Tiba-tiba lamunannya terhenti dengan mendadak. Nyonya Syahrir dikagetkan oleh suara pintu yang dibanting dengan keras. Dia menoleh dan sempat melihat laki-laki tadi bergegas lari ke pagar depan. Di

sana ia segera menaiki sepeda motornya. mengenakan

helmnya, dan memacu kendaraannya menghilang di tikungan. Nyonya Syahrir menggeleng-gelengkan kepalanya. Pasti mereka bertengkar. Barangkali si pemuda marah karena harus menunggu di luar begitu lama.

Nyonya Syahrir berharap gadis itu akan menyusul ke luar supaya ia bisa bertanya. Tetapi tunggu punya tunggu pintu rumahnya tertutup dan tidak ada orang yang keluar. Nyonya Syahrir menyibukkan pikirannya dengan hal-hal lain.

Tiba-tiba ia melihat sebuah mobil pick-up biru berhenti di depan rumah nomor 32. Seorang laki-laki turun. Dia memandang ke kiri dan ke kanan seakan-akan mencari sesuatu. Lalu ia masuk ke halaman rumah nomor 32.

Karena tidak ada yang bisa dibuatnya menyibukkan pikirannya, Nyonya Syahrir kemudian memutuskan untuk memperhatikan gerak-gerik laki-laki yang baru masuk ke rumah sebelah itu. Usianya sudah tidak muda lagi, tapi badannya masih tegap dan gagah. Tidak seperti suaminya, pikir Nyonya Syahrir menyesali pasangan hidupnya.

Laki-laki ini mengetuk pintu dan menunggu. Tak lama kemudian pintu terbuka 'dan dia masuk ke dalam. Kemudian pintu menutup lagi.

Nyonya Syahrir mereka-reka siapa gerangan orang ini. Ia belum pernah melihatnya, begitu pula kendaraan pick-up itu. Ia melirik arlojinya. Pukul enam kurang beberapa menit. Aneh, mengapa suaminya belum datang juga? Malam semakin turun dan bersamaan dengan itu datang pulalah nyamuknyamuk yang mulai bising mendengung. Sambil

masih d uduk di atas kursi plastiknya Nyonya Syahrir mulai menepuk-nepuk nyamuk yang berusaha mendekatinya.

**

"KAU mau ke mana?" tanya Titin berkacak pinggang. Dengan daster kusut menudungi tubuhnya yang membengkak di tengah dan kedua tangan di pinggulnya. ia persis seperti sebuah teko Cina. Roy meliriknya dengan perasaan sebal.

"Ke luar," kata suaminya singkat.

Berlainan dengan istrinya yang seperti belum mandi tiga minggu, Roy sudah rapi dan berbau harum. Rambutnya sudah diberi minyak dan tersisir rapi.Bajunya juga sudah dimasukkannya ke dalam celananya. Ia sedang menilai profilnya sendiri di Cermin panjang dan dia merasa puas dengan pantulan bayangannya sendiri. Pada usia tiga puluh delapan tahun dirinya masih tampak gagah. Perutnya datar, dadanya bidang. perawakannya tinggi, wajahnya pun tampan. Banyak orang yang mengatakan dirinya mirip Roby Sugara! Siapa orangnya yang tidak bangga dikatakan mirip bintang film ganteng?

"Setiap hari keluar! Setiap hari keluar! Memangnya ke mana, sih? Nyopir taksi?" tanya Titin ketus. Tangannya meraba-raba perutnya karena sesekali terasa sentakan-sentakan halus si penghuni di dalam.

Hatinya jengkel. Suaminya sering pergi. Bahkan belakangan ini terlalu sering! Dia merasa kesal.

Tubuhnya terasa penat, pinggangnya pegal, perutnya keberatan. Seharusnya pada saat-saat begini ia mendambakan perhatian khusus dari suaminya seorang yang telah menanamkan benih yang kini hidup dan tumbuh di dalam perutnya itu! Tetapi justru suaminya akhir akhir ini semakin tak mengacuhkannya! Keluar rumah setiap hari.-pulang terlambat dari kantor-bahkan hari Minggu seperti sekarang pun tidak menemaninya di rumah. Ada-ada saja alasannya-yang rapat. yang undangan, yang seminar, yang penataran-sekarang entah apa lagi!

"Laki-laki punya urusan sendiri," kata suaminya singkat. Tanpa memandang pada istrinya. Roy bermaksud keluar begitu saja dari kamarnya.

"Tunggu dulu!" teriak Titin. Dengan tergesa-gesa tubuhnya yang membesar itu dipaksakannya berlari mendahului suaminya sampai di pintu. Lalu sambil bersandar pada daun pintu untuk menghalangi keluarnya si suami, Titin berkata,

"Urusan apa? Ayo. katakan urusan apa!" _

"Urusan laki laki tidak perlu kaukatahui," jawab Roy tenang.

"Ayo. minggir. ini sudah pukul setengah tujuh. nanti aku kemalaman."

"Kaukira aku tidak tahu kau pergi ke mana?" bentak Titin. Titin yang anak orang kaya tidak mau menerima perlakuan semena-mena suaminya. Di kamusnya tidak ada peraturan yang mengatakan bahwa istri cuma bisanya menurut saja. Titin adalah produk zaman modern. dia sudah mengenal apa itu persamaan hak kaum wanita, apa itu emansipasi wanita! Ia bukan macam perempuan desa yang tahunya cuma bisa mendewakan suami dan diperintah.

Roy mengangkat alisnya. Pada bibirnya tersungging suatu senyuman-seakan akan mengejek dan menantang istrinya.

"Ke mana?" tanyanya tersenyum.

"Kaukira aku tidak tahu bahwa kau sering ke butik istrimu yang lama?" kata Titin ketus.

"Terasi biar

dibungkus seperti apa pun, akhirnya tercium juga!"

Roy terbahak.

"Dari mana kau mendapat ide yang sinting itu?" katanya.

"Berkali-kali aku menemukan bon parkir Gedung Wuni di kaca depan mobilmu. Untuk apa kau bolak-balik ke sana? Aku tidak pernah melihatmu membawa belaniaan pulang. Kalau bukannya untuk berbelanja, lalu untuk apa kau ke Gedung Wuni?"

"Heem! Aku harus lebih berhati-hati kalau begitu," senyum Roy sengaja membuat istrinya lebih penasaran.

"Setelah ini aku berjanji kau tidak akan menemukan karcis parkir Gedung Wuni atau gedung

apa pun. Aku yang akan membuangnya sendiri

sebelum sampai di rumah."

"Kau memang tak punya malu! Istri sudah dicerai masih didatangi terus. Untuk apa?" tuduh Titin.

"Menurutmu untuk apa?" balas suaminya.

Titin merasakan darahnya bergolak. Napasnya memburu. Keterlaluan si Roy ini! Bukannya berurai air mata dan minta maaf seperti yang diharapkannya, kok malah bersikap menantang!

"Mana aku tahu? Untuk ngemis cintanya lagi barangkali!" katanya gemas.

"Barangkali," imbal Roy dingin. Suaranya datar. Hatinya merasa sebal lagi. Bukan karena pertanyaan pertanyaan Titin. tetapi lebih karena melihat

penampilan istrinya yang sangat tidak sedap dipandang mata ini.

Samar samar Roy bisa menangkap bau minyak goreng dari rambut Titin. Dan sekali melirik ke jari-jarinya, Roy melihat kukunya hitam-hitam. Sudah begitu dari arah dasternya yang lusuh tercium bau asam yang menimbulkan rangsangan negatif. Roy kehilangan selera. Alangkah jauh bedanya dengan Titin yang dikawininya empat tahun yang lalu! Hamil sih hamil, dulu Citra pun pernah mengalami hamil, tapi tidak berantakan seperti ini!

Empat tahun yang lalu ia betul-betul tergila-gila pada gadis manis ini. Gara-gara Titin-lah rumah tangganya bersama Citra hancur. Roy pada saat itu hanya menurutkan nafsunya untuk bisa mendapatkan gadis yang lincah dan menarik iru.

Titin memang gadis yang manis, gadis masa kini, yang pandai bergaul dan pandai berdandan. Apalagi ia anak orang kaya, sedikit pun tidak kekurangan dana untuk membeli segala sesuatu yang bisa dimanfaatkannya untuk membuat penampilannya bertambah menarik. Roy pada saat itu segera terpikat. Dengan berbagai upaya ia berusaha menjatuhkan hati gadis itu kendatipun dia sendiri sudah berkeluarga..

Titin yang gadis modern, sama sekali tidak merasa canggung bergaul dengan laki-laki yang sudah beristri. Tadinya sekadar iseng saja, mana Roy memang tampan dan gagah. Lama-lama menjadi betulan, apalagi setelah hubungannya dengan Roy sudah diketahui istrinya. Titin merasa mendapatkan angin. Bayangkan, Roy bersedia bercerai dari istrinya untuk bisa kawin dengannya. ROy adalah

orang eksekutif senior dalam suatu perusahaan. kedudukannya dan penghasilannya cukup memikat., meskipun orang tuanya tidak menyetujui hubungan mereka, Titin tidak ambil pusing. Calon suaminya akan bisa membiayai rumah tangga mereka tanpa kesulitan. Mereka menikah kendatipun tanpa restu dari orang tua Titin.

Tahun-tahun pertama perkawinan mereka dilewatkan dalam kemesraan yang menghanyutkan. Titin semakin yakin bahwa pilihannya tidaklah

salah-bahwa Roy memang sudah ditakdirkan menjadi jodohnya dari "sono"-nya. Bahwa kehidupan mereka akan langgeng dalam kebahagiaan yang manis .

Semuanya berjalan lancar dan Titin tidak merasaKan adanya perubahan dalam sikap Roy setelah sinar ke-baruan perkawinannya mulai pudar. Mereka bertengkar satu-dua kali, tapi selalu dapat dicarikan

suatu pertemuan. Itu adalah bumbu perkawinan pikir Titin-hal yang biasa saja. Kemudian ketika ia merasa perhatian suaminya mulai berkurang, dia menganggapnya sebagai salah satu akibat kesibukannya di kantor saja-maklum. eksekutif senior, dari bagian pembelian pula! Titin bertekad menjadi istri tang berpandangan luas-istri yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada suami yang dipercayainya. Jangan sampai memalukan seperti istri-istri yang tidak terpelajar, yang mencurigai setiap langkah yang diambil suami mereka!

Sekali waktu mereka menikmati juga saat-saat istimewa kala mereka tidak terusik oleh segala macam kesibukan. Dan pada saat-saat itu terobatilah segala kekecewaan hati Titin.

Lalu dia mulai hamil.

Kegembiraannya bisa memberi hidup dan memelihara benih yang ditaburkan suaminya dalam dirinya ternyata hanya mendapatkan tanggapan yang biasabiasa saja dari Roy. Tidak ada letupan-letupan emosi gembira. tidak ada antusias menghadapi kehadiran buah perkawinan mereka. Tidak ada demonstrasi kaSih sayang yang umumnya diperlihatkan para suami kepada istri mereka yang hamil. Jadi, tidak ada perubahan sikap apa-apa dari Roy. Ia tenang-tenang saja seperti biasa. Berita kehadiran bakal keturunannya sama sekali tidak meninggalkan pengaruh apa-apa padanya.

Titin kecewa. '

Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa sikap tak acuh suaminya mungkin disebabkan karena ini bukanlah pertama kalinya ia akan menjadi ayah. Memang dari perkawinannya yang pertama dengan Citra, Roy sudah mempunyai seorang anak-Beni yang sekarang berusia sekitar tiga belas tahun. Tapi ini kan anaknya yang pertama dari Titin! Anak yang akan hidup bersama mereka di masa-masa mendatang. Beni sudah ikut ibunya dan sudah pasti tidak bisa diharapkan kembali. Jadi kali ini seharusnya merupakan anaknya yang pertama lagi. Tetapi mengapa sikapnya dingin-dingin saja?

Keacuhan itu lambat laun bahkan bertambah parah. Roy mulai jarang berada di rumah. Kalau dulu mereka selalu ke mana-mana berdua-nonton berdua, tamasya berdua, ke pesta berdua, berdisko berdua, makan berdua-sekarang Roy berangkat sendiri. Memang pada bulan-bulan pertama kehamilannya Titin sering tidak bisa mengikuti kegiatan suami karena terus-menerus terganggu rasa pening dan pening yang berkepanjangan. Tetapi setelah

usia kehamilan empat bulan. kesehatannya sudah pulih. Roy saja yang tidak pulih! Kebiasaan meninggalkan Titin di rumah ketika kesehatannya terganggu rupanya sekarang menjadi kebiasaan yang permanen. Kalau dulu ia masih menanyakan,

"Mau ikut?" kepada istrinya, sekarang Roy sama sekali ndak bertanya. Ia berangkat sendiri meskipun Titin ! menyatakan keinginannya untuk ikut.

"Perut besar begitu kok mau ke mana-mana!" kata Roy.

"Di rumah saja!" begitu selalu jawabnya. Dan Titin nelangsa.

Mungkinkah karena ia malu berjalan denganku yang sekarang buncit ini? pikirnya. Tapi hamil adalah hal yang lumrah, hal yang alami, apanya yang perlu dimalukan? Kan aku istrinya!
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Titin mulai curiga. Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres! Apa sih senangnya keluyuran sendiri? Masa nonton sendiri, makan sendiri. berdansa sendiri? Mustahil! Pasti ada kehadiran orang lain! Dan Titin mulai merasa badannya panas-dingin.

Tiba-tiba ia teringat akan riwayatnya sendiri bersama Roy. Bagaimana asal usulnya semula. Dan seperti terjaga dari tidurnya ia mendengar kata-kata ibunya mengiang lagi di telinganya,

"Laki-laki yang tidak setia kepada istrinya itu bukan suami yang baik. Sekarang dia mehinggalkan istrinya untuk kamu, tidak mustahil pada suatu hari ia meninggalkan kamu untuk perempuan lain! laki-laki begitu tidak bisa dipercaya! Ibu lebih suka kau kawin dengan duda yang ditinggal mati istrinya

dan beranak lima daripada dengan duda yang menceraikan istrinya."

Pada waktu itu Titin bisa mengetengahkan beribu perbantahan. Yang perkawinan Roy-Citra tidak harmonis-yang Citra tidak memperhatikan suaminya-yang Citra terlalu sibuk dengan butiknya yang Roy tidak dihargai sebagai suami-dan macam-macam yang semuanya bernada menyalahkan Citra dan membenarkan Roy.

Tetapi sekarang Titin mulai bimbang. Betulkah ketidakharmonisan perkawinan mereka disebabkan karena kekurangan Citra? Atau-dan ini yang lebih menguatirkan hatinya-memang betul ramalan ibunya, bahwa Roy adalah laki laki yang tidak setia?

Titin mencoba instrospeksi. Rasanya ia selalu memberikan perhatian penuh kepada suaminya kecuali pada saat-saat dia sakit (tapi itu manusiawi, kan? Orang sakit tentunya diizinkan untuk beristirahat dari tugas-tugasnya!) Wajahnya juga tidak jelek-yah memang potongan tubuhnya yang dulu seperti gitar sekarang sudah berubah seperti labu siam berkaki, tapi itu kan hanya untuk sementara! Lagi pula ini adalah anaknya sendiri yang kukandung, protes Titin. Kalau soal kerapian, memang Titin terpaksa mengakui bahwa akhir-akhir ini ia tidak pernah berdandan lagi, tidak'pernah memakai baju yang bagus-bagus lagi-tapi itu semua juga ada sebabnya. Yang pertama karena walaupun dia sudah berdandan dan berpakaian lengkap, Roy juga tidak pernah mengajaknya pergi. Yang kedua karena ia sekarang selalu merasa kepanasan sehingga dandanannya cepat luntur dan dia merasa lebih nyaman memakai daster-daster katunnya. Yang ketiga karena

sudah sejak lebaran yang lalu pembantunya yang sudah ikut padanya bertahun-tahun, pulang, dan sampai sekarang belum kembali sehingga ia harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangganya sendiri. Mencari pengganti memang tidak terlalu sulit, tetapi hatinya sudah lekat kepada pembantunya tang lama yang masih diharapkannya muncul kembali. Lalu apakah karena hal-hal yang sepele ini luntur cinta Roy padanya? Alangkah tidak adilnya! Titin gemas! Siapa yang mau mempunyai perut buncit begini! Sudah jalannya keberatan, tidurnya juga tidak enak, keringat mengalir terus-tapi mau bagaimana lagi? Mau kawin ya harus mau punya anak-mau punya anak ya harus mau hamil! Dan untuk itu suami kan harus mengerti! Kan sudah enak mereka tidak usah mengalami kehamilan yang menyebalkan ini, paling tidak mereka harus berbuat sesuatu yang bisa membantu meringankan penderita istri! Kok malah istri ditinggal di rumah sementara mereka berfoya-foya di luar bersama entah siapa! Nah,

"entah siapa"-nya ini sekarang sudah punya identitas! Pasti Roy kembali pada Citra! Tiga bulan yang terakhir ini Ray terlalu sering ke Gedung Wuni. Mau apa sih laki-laki bolak-balik ke pusat perbelanjan? Mustahil tiba-tiba suaminya punya hobi berbelania tiga-empat kali dalam seminggu. Apalagi toka-toko di sana umumnya menjual barang-barang keperluan rumah tangga dan perempuan saja! satu-satunya tebakan yang logis adalah Citra! Citra punya sebuah butik di sana, dan Citra sampai saat ini masih sendiri. Tentunya ia masih mengharapkan Roy kembali-baik bagi dirinya, terlebih demi anaknya.

Dan itu sekali-kali tidak boleh terjadi!

Di dalam hatinya Titin menyadari bahwa sedikitbanyak dia berdosa juga memisahkan Roy dari Citra. Lepas daripada alasan apakah Roy mencintai Citra atau tidak; namun dialah yang mengawali faktor pendorong bagi ROy untuk meninggalkan Citra dan anaknya. Dan apakah sekarang ini pembalasannya? Apakah Citra yang sudah menerima kekalahannya sedang menyusun strategi untuk memulangkan bekas suaminya kembali? Apakah Citra mungkin mengetahui kehamilannya dan sengaja memanfaatkan kesempatan memenangkan perhatian Roy lagi? Citra tentunya sangat mengenal pribadi Rey-maklum, dia pernah menjadi istrinya selama sepuluh tahun!

"Jangan berdiri di pintu. Aku mau pergi," kata Roy membuyarkan lamunan Titin. Nadanya biasabiasa saja, tidak mengandung kemarahan, seakanakan dia berbicara kepada seorang anak kecil yang rewel dan manja.

"Ke mana sih?" desak Titin.

"Untuk apa kau tahu?"

"Aku kan istrimu. Mengapa tidak boleh tahu?"

"Aku tidak memberi tahu supaya kau tidak sakit hati. Tapi kalau kau mendesak dengan cara begini-sehingga aku terlambat-ya, sudahlah! Nanti kau menyesal kalau aku katakan."

Sekujur tubuh Titin terasa dingin. Inikah saatnya? Saat seorang suami membuat pengakuan ketidaksetiaannya-saat seorang suami menyebutkan nama perempuan lain dalam hidupnya! Titin menyesali desakannya tadi. Seharusnya dia tidak bertanya. Sekarang terlanjur keterusan, tidak ada jalan mundur

lagi. Gengsinya sebagai perempuan membatalkan niatnya untuk menerima pengkhianatan suaminya begitu saja.

"katakan" katanya di antara gigi-gigi yang bergemeletuk.

"Ke rumah Ani."'kata Roy tenang.

"Ani siapa?" Titin terkejut setengah mati. Jadi bukan Citra! Lalu Ani siapa?

"Kau tidak kenal, tapi mungkin kau ingat. Dia adalah rekan kerja Citra. Jadi aku ke Gedung Wuni bukannya mencari Citra, Sayangku. tapi mencari temannya, Ani. Nah. sekarang kau sudah puas, ayo minggir, aku mau pergi."

"Perempuan jangkung yang tingginya selangit itu?" pekik Titin keheranan. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan ada apa-apa antara suaminya dengan perempuan yang pernah dilihatnya satu-dua kali di Butik Citra.

"Tingginya tidak selangit," ralat Roy.

"Masih lebih tinggi aku."

"Untuk apa kau ke sana?" tanya Titin.

"Sementara ini cuma sekadar main-main saja," kata Roy, mulai hilang kesabarannya.

"Tapi kalau kau bersikap seperti anak kecil begini terus-menerus dan hanya menimbulkan kesebalan di hatiku saja, aku mungkin akan berpikir lebih serius. Ani orangnya tidak cerewet seperti kau."

Titin seperti kena aliran listrik tegangan tinggi. Untuk beberapa saat lamanya pikirannya membeku. Ia hanya bisa memandang suaminya dengan bengong. Bahkan dia tidak dapat berbuat apa-apa

ketika Roy mendorongnya sedikit ke samping lalu membuka pintu dan keluar. Baru setelah mendengar deru suara mobil suaminya, ia terjaga dari shock-nya.

**

"Ini bagaimana sih! Banyak tamu kok si Ani tidak muncul-muncul!" gerutu Citra yang sibuk melayani beberapa orang pembeli di butiknya.

Tidak seperti biasanya hari Senin begini ada banyak pengunjung. Umumnya hari-hari kerja biasa butiknya sepi-sepi saja di pagi hari. Baru petang harinya ada lebih banyak pengunjung setelah ibu-ibu sempat menggiring suami-suami mereka yang sudah pulang dari kantor untuk menemani mereka berbelanja dan perempuan-perempuan berkarir mempunyai waktu senggang untuk mencuci mata. Tetapi entah mengapa Senin pagi ini keadaan butiknya luar biasa ramai. Sejak baru buka tadi sudah ada lebih dari lima belas pengunjung. Meskipun tidak semuanya membeli sesuatu, namun untuk melayani pertanyaan-pertanyaan mereka sudah cukup makan tenaga.

Hari ini adalah hari yang menguntungkan. Sepagi ini Citra sudah menjual tujuh potong baju lengkap beserta asesorinya. Kalau keadaan begini terus sampai tokonya tutup nanti pukul satu, bisa-bisa mampus aku, pikir Citra. Sejak pertama membuka pintu butiknya sekejap pun dia belum sempat duduk.

Citra melirik arlojinya sambil masih sibuk mengembalikan beberapa baju yang baru dicoba orang tapi urung dibeli.

"Pukul sebelas! Ke mana si Ani?" katanya sendiri.

Tidak seperti biasanya Ani menghilang tanpa pesan. Kalaupun ada apa-apa yang mendesak. Ani selalu menyampaikan pesan. Memang di rumahnya yang kontrakan itu tidak ada sambungan telepon, tetapi tentunya tidaklah sulit baginya untuk meminjam dari tetangga atau memakai fasilitas telepon umum. Citra benar-benar tidak mengerti mengapa tidak ada berita sama sekali dari sahabatnya.

Belum sempat Citra berpikir lebih lama, sudah ada dua orang ibu lagi menampakkan diri di pintu butiknya.

"Oh, Ibu Hartono! Ibu Arifin! Mari, silakan masuk!" senyum Citra. Betapapun telapak kakinya merasa seperti menginjak pasir panas dan punggungnya sudah terasa hampir patah karena bolak-balik membungkuk menata dagangannya, Citra tetap memamerkan sebaris gigi yang putih. Orang-orang yang masuk ke butiknya adalah raja baginya-yang memberinya mata pencaharian-yang mengenyangkan perutnya-yang menyekolahkan anaknya yang membuatnya bisa hidup nyaman. Terhadap orang-orang ini ia selalu bersikap manis, bagaimanapun perasaan hatinya ketika itu.

Tanpa terasa waktu terbang dengan cepatnya. Baru saja Citra sempat memarkir pantatnya di atas kursi, ia sudah mendengar suara suling yang menggema di seluruh gedung pertokoan itu. Sudah pukul satu siang! Waktu bagi toko-toko untuk tutup.

"Alhamdulillah." keluh Citra, mengusap rambutnya. Meskipun udara di dalam butiknya ini didinginkan dengan AC.. namun kening Citra tetap berkeringat. Mungkin karena aktivitasnya berlebihan sepagian ini.

"Hei! Selamat siang!"

Citra terkejut. Suatu senyuman yang menawan tertangkap pandangannya.

"Oh, Dik Johan! Apa kabar?" sapanya.

"Baik, baik. Selalu kabar baik dariku. kan? Mana Ani?" tanya Johan.

Siang ini ia kelihatan keren sekali. Dengan potongan kemeja baru, leher tertutup dan lengan yang digulung tiga perempat, dengan celana khaki dan sepatu putih, dia kelihatan masih seperti pemuda dua puluhan yang penuh gaya. padahal usianya sudah tiga puluh empat tahun.

"Huh! Entah bersembunyi di mana ia hari ini," kata Citra, menghembuskan napasnya.

"Seharian tidak datang. Aku sendiri ikut heran! Biasanya kalau tidak bisa datang, tentu kirim pesan. Telepon atau bagaimana. Hari ini sama sekali tidak ada berita."

"Sakit barangkali?" tanya Johan. Nada suaranya mengandung kekuatiran.

"Mungkin. Mungkin dia tidak bisa bangun sehingga tidak bisa meneleponmu," kata Citra sambil berpikir.

"Iya, apalagi pembantunya kan baru masuk nanti siang pukul dua," kata Johan sok tahu.

"Jadi pagi ini tidak ada orang yang bisa membantunya."

"Itulah! Dari dulu aku sudah mengatakan lebih baik memakai pembantu yang ngamar saja. lebih leluasa. Tapi ia ingin meniru gaya di Eropa. Katanya

rumahnya kecil, dia tidak butuh seorang pembantu full-timer. Waktu yang tiga jam sehari sudah cukup asalkan si pembantu bekerja sungguh-sungguh. Ani tidak suka melihat pembantu yang sering nongkrong dan ngobrol sama pembantu tetangga." :

"Kemarin aku ke rumahnya. Ia tidak kelihatan . sakit." kata Johan.

"Bagaimana kalau kita mampir?" usul Citra.

Rumah Ani tampak sepi-sepi saja dari luar. Tirai-tirai jendela masih tertutup. Anehnya Citra melihat bahwa lampu didalam rumah menyala. Agak aneh. Mengapa pada siang hari yang terang benderang begini tirai tertutup dan lampu dibiarkan menyala?

Citra menekan tombol bel. Dari luar dia mendengar dentingan halus bel di dalam. Mereka menunggu. Tidak ada yang keluar.

Citra mengetuk pintu.

"An! An!" serunya.

Selang beberapa lamanya juga masih tidak ada suara apa apa dari dalam.

"Pergi barangkali," kata johan.

"Kok lampunya menyala sih?" tanya Citra keheranan. Dia tahu Ani adalah orang yang hemat. Tidak seperti kebiasaannya membuang-buang listrik percuma.

"Coba aku lihat apakah mobilnya ada," kata Johan.

"Garasinya tertutup," kata Citra, menunjuk pintu garasi. Tapi tak ayal dia mengikuti langkah Johan ke garasi juga.

Johan mengetuk-ngeluk pintu garasi yang terbuat dari kayu.

"An! A-a-a-an!" serunya.

"Kita tunggu sebentar," kata Citra. Ia melihat arlojinya.

"Sebentar lagi kan jam dua. Si pembantu tentunya datang. Mungkin dia punya kunci."

Mereka menunggu sambil duduk di tembok yang rendah yang mengelilingi sebagian terasnya. Keadaan di seputar tempat ini memang sepi. Tidak ada kendaraan yang lewat, tidak ada orang yang lewat,bahkan sama sekali tidak ada suara apa-apa kecuali suara silir angin yang berembus di antara dedaunan. tempat yang tenang siang ini. Ini waktunya

orang-orang tidur siang.

Pukul dua sudah lewat, namun si pembantu tidak tampak batang hidungnya. Begitu pula majikannya.

Citra mulai merasa resah. Perutnya keroncongan. Dia tadi belum makan. '

"Ini bagaimana?" tanyanya pada johan.

"Kita tinggal sajalah! Rupanya tidak bakal ada orang yang datang. Aku sudah lapar," kata Citra.

"Aneh! Mengapa si pembantu tidak datang? Bukankah setiap pukul dua siang dia dinas?" kata Johan.

"Seharusnya," kata Citra.

Johan berdiri dan sekali lagi menghampiri pintu atas. Tangannya secara coba coba diletakkannya

pada tangkai pintu, lalu tangkai ditekannya ke bawah. Ternyata pintu terbuka!

"Mbak Citra!" serunya kepada Citra yang masih duduk di pinggir teras.

"Pintu garasinya tidak

dikunci!"

Dengan berlari-lari Citra menghampiri.

An! A-a-a-an!" seru Citra yang segera masuk dulu.

"Rupanya pergi, garasinya kosong," kata Johan.

Citra baru sadar bahwa ia tidak melihat mobil Ani yang kecil. _

"Kita sudah jauh-jauh kemari, yuk, menunggu di dalam saja!" kata Citra jengkel.

"Biar aku curi telurnya sebutir untuk bikin telur dadar. Perutku lapar. Eh. Dik Johan tidak lapar?" tanyanya.

"Kalau laki-laki sih, makan tidak menjadi soal-segala cuaca bisa," kata johan.

Mereka masuk melewati dapur yang tepat ada di depan mulut garasi, lalu membelok ke kanan, masuk ke bagian dalam rumah. Di sini semua lampu menyala. Mereka masuk terus ke kamar tamu. Rumah memang kosong-tidak ada orang.

Johan menghenyakkan badannya di kursi tamu. Enak dan sejuk di, dalam rumah, dibandingkan dengan cuaca panas matahari siang yang membakar kulit di luar.

"Aku ke dapur dulu, ya," kata Citra.

"Dik Johan mau makan?" tanyanya.

"Boleh juga," kata Johan.

Di kamar tamu Johan mendengar suara Citra membuka lemari es dan tak lama kemudian tercium bau harum telur yang digoreng.

"Untung nasinya masih banyak," seru Citra dari dapur.

"Dan di sini ada sepanci semur daging." tambahnya.

"Aku panaskan sekali untuk tambahan."

Citra dan Ani merupakan dua sahabat yang erat. Meskipun Ani tidak pernah menceritakan latar belakang kehidupannya sebelum dia bertemu dengan Citra, hal ini tidak menghalangi kedua orang

perempuan ini untuk menjalin suatu persahabatan.

Citra menduga mungkin Ani pernah mengalami kepahitan dan kegagalan dalam hidup yang ingin dilupakannya, karena itu ia tidak pernah mendesak

sahabatnya untuk bercerita. Mereka saling menghormati rahasia kehidupan pribadi yang lain.

"Yuk, kita makan!" ajak Citra sambil membawa beberapa piring ke meja makan Ani.

"Pokoknya kalau makanannya kita habiskan. bukan salah kita ya, dik johan? Habis, pergi tidak bilang-bilang!" Citra memang orang yang luwes, penuh kesantaian.

Mereka makan dengan selera: Bagi orang yang lapar, makanan apa pun akan terasa sedap. Dan Citra baru merasa betapa laparnya ia tadi.

"Kalau boleh aku tahu, Dik Johan," kata Citra di antara kunyahannya,

"Hubungan kalian sebetulnya dah sejauh mana?"

Johan tersenyum jenaka.

"Surabaya-Sepanjang saja belum," katanya terbahak.

"Ani orangnya unik. Tapi aku yakin, lama-lama pasti mau juga ia."

Citra terkekeh.

"Ini mumpung ada kesempatan. Aku ingin dengar riwayat Dik Joban sendiri. Aku tidak pernah tahu persis. Mengapa orang yang tampan. keren begini sampai usia tiga puluh empat tahun masih membujang?" pancing Citra.

"Katanya meniru si jali-jali," balas Johan penuh humor.

"Paling enak kan si orang bujang, ke mana-mana tidak ada yang melarang."

"Lho, kalau begitu kok naksir si Ani?" tanya Citra.

"Naksir saja apa salahnya," kata johan masih dengan jenaka.

Citra berhenti mengunyah. Keningnya berkerut.

"jadi... jadi, Dik Johan ini sekadar iseng? Sekadar-sekadar pacar-pacaran?" tanyanya curiga.

"Itu yang paling enak, kan?"

"Pantas kalau begitu si Ani mengelak!" kata Citra polos.

"Mana ada gadis yang mau cuma dibuat main-main saja?"

"Lho, semua itu bermula dari main main," kata Johan berusaha membela dirinya.

"Kalau sudah main main dirasakan enak dan menyenangkan. yah tidak ada jeleknya dibuat betulan asal kedua belah pihak setuju. Kan begitu?"

"Ya enggak, dong! Habis, kalau sudah main-main dan dianggap tidak enak, terus maunya ditinggal begitu saja?"

"Namanya kan semua boleh menjajagi dulu. Dicoba dulu, cocok tidak. Ambil karyawan saja pakai masa percobaan tiga bulan. Apalagi mengambil istri! Kalau memang tidak cocok, masa harus dipaksakan untuk dilanjutkan?"

"Tidak betul itu! Tidak betul!" kata Citra ngotot.

"Mulainya sudah dengan itikad yang salah. Makanya si Ani sebel melihat Dik Johan!"

"Kalau memang si Ani sebel, bagaimana kalau Mbak saja?" tawar Johan dengan sinar di matanya.

"Aku? Eh, jadinya sekarang kan mau memanfaatkan status jandaku, ya? Mentang-mentang aku janda terus mau dibuat iseng-isengan?" kata Citra

pura pura galak.

"Tidak usah, ya!" katanya membuang muka.

Mereka bercanda dan bergurau sementara makan. Sampai akhirnya mereka selesai.

"Ini kok masih belum ada yang datang bagaimana, toh!" kata Citra sambil mengangkati piring-piring yang kotor.

Johan kembali duduk di ruang tamu. Citra mencuci piring di dapur. Walaupun dia tahu Ani mempunyai pembantu, tapi tidak enak juga kalau sehabis makan dia meninggalkan piring-piring kotor, apalagi mereka sudah makan tanpa diundang.

Selesai mencuci piring, hari sudah pukul tiga seperempat.

"Apakah kita bakal menunggu di sini terus?" tanya Johan.

"Kalau Ani tidak pulang sampai besok, bagaimana?"

"Aneh, ya! Ceroboh betul si Ani kali ini. Masa pintu garasinya sampai lupa dikunci," komentar Citra.

"Mungkin pembantunya yang lupa. Kalau melihat gelagatnya begini. mungkin Ani pergi entah ke mana dan pembantunya sudah diberi tahu agar tidak perlu kemari sampai ia pulang. Buktinya hari ini ia tidak muncul juga," kata Johan.

"Iya," kata Citra ragu-ragu.

"Hanya saja kok tidak seperti watak Ani. Ani orangnya cukup bertanggung jawab. Dia tidak akan menghilang begitu saja tanpa memberi tahu sebelumnya."

Citta bangkit dari duduknya. lalu berjalan ke pintu kamar Ani. Tangannya mencoba-coba tangkai pintu, ingin tahu apakah pintu terkunci atau tidak. Ternyata pintu membuka tanpa suara.

Citra melongok ke dalam dan seketika terdengar teriakan tajam. Johan segera menyusul di belakangnya. .

Di hadapan mereka tertelentang di atas lantai seorang perempuan muda. Ia mengenakan kemeja dan celana jeans. Sebagian wajahnya berlumuran darah. Lampu di kamar menyala terang benderang dan dari mata perempuan mati yang setengah terbuka itu terpantul cahaya yang mengerikan.

Citra tidak tahu kapan dirinya berhenti berteriak. Tetapi ketika pikiran warasnya mulai kembali, ia mendapatkan dirinya sudah duduk di sofa. Beberapa orang sedang mengerumuninya dan Johan merangkulnya erat erat.

Samar-samar terdengar suara orang berkata,

"Telepon polisi. cepat!"

**

"COBA, Bapak-bapak dan Ibu ibu yang tidak berkepentingan di sini harap keluar dulu. Berikan kelonggaran kepada polisi untuk bekerja. Kalau semua orang berkerumun di sini, polisi tidak bisa bekerja. Ayo, pulang saja ke rumah masing-masing. Nanti polisi akan ke rumah Anda kalau Anda punya keterangan yang relevan." kata Sersan Satu Alex, menggiring sekitar setengah lusin lebih orang keluar dari ruang tamu Ani yang tiba-tiba menjadi sesak.

"Coba ceritakan yang jelas bagaimana terjadinya peristiwa ini." kata Pelda Gatot kepada Citra dan Johan yang sekarang duduk di sofa.

Citra merasakan badannya masih gemetaran, tapi pikirannya sudah jauh lebih tenang. Dengan mata kering dan suara yang datar dia berusaha memberikan jawaban kepada semua pertanyaan yang diajukan kepadanya.

"Kami kemari sekitar pukul setengah dua. Rumah kosong. Kami menunggu di luar beberapa waktu lamanya. Maksudnya menunggu kedatangan si pembantu. Tapi sampai pukul dua lebih dia tidak luang. Akhirnya kami mencoba pintu 'garasi. Ternyata tidak terkunci. Kami masuk..."

"siapa yang mencoba pintu garasi?" tanya Pelda Gatot sambil mencatat di buku notesnya.

"Saya," kata johan.

"Teruskan."

"Kami masuk, di dalam tidak ada orang. Saya lapar. lalu saya melihat di dapur ada masakan dan nasi. Kami makan. Setelah makan kami duduk di Sini sebentar. Akhirnya kami membuka pintu kamar dan dan... ada..." Citra tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Wajah perempuan tadi yang setengah melesak ke dalam itu terlalu mengerikan.

"Dan Anda menemukan orang yang Anda cari sudah menjadi mayat," kata Pelda Gatot meneruskan kalimat Citra seakan-akan dia berkata,

"Saya pergi ke pasar." Tanpa emosi, dan tanpa kengerian.

"Siapa yang membuka pintu kamar?" tanyanya kemudian.

"Saya." kata Citra.

"Eh. Pak Polisi," selaJohan.

"saya kira saya perlu menambahkan sesuatu. Perempuan yang meninggal itu bukan orang yang kami cari," katanya.

"Bukan?" tanya Pelda Gatot keheranan. Alisnya yang tebal terangkat sedikit.

"Itu bukan Nona Ani, Pak," kata Joban.

"Nona Ani berambut panjang."

"Lalu siapa?" tanya Pelda Gatot.

"Kalau tidak salah, itu tamunya yang saya jumpai di sini kemarin sore," kata Johan.

"Oh, Anda kemari tadi malam?"

"Iya, saya kemari sekitar pukul lima sore."

"Lalu?" ,

"Lalu kebetulan perempuan yang meninggal ini yang membukakan pintu," kata Johan sambil

menuniuk ke lantai di dalam kamar tidur Ani.

"Nona Ani pada saat itu masih mandi."

"Namanya?"

"Nama siapa?" tanya johan.

"Nama perempuan yang mati itu."

johan mengernyitkan dahinya.

"Rasanya kok tidak menyebutkan nama. ya?" katanya seperti kepada dirinya sendiri. Lalu ia mengangkat kepalanya dan berkata,

"Entah saya yang lupa atau memang dia tidak menyebutkan namanya. Saya tidak tahu."

"Lalu apa kata teman Anda yang mandi itu?"

"Oh, dia keluar tak lama kemudian. Kami mengobrol sebentar, tetapi karena ia sedang menerima tamu gadis itu, saya tidak jadi mengajaknya keluar. Saya terus pulang."
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anda punya hubungan keluarga apa dengan Nona Ani?"

"Cuma teman." kata Johan.

"Dan Anda?" tanya Gatot kepada Cina.

"Siapa nama Anda?"

"Saya Nyonya Citra. Saya adalah partner usaha Nona Ani."

"Apa yang Anda ketahui tentang kematian ini?" tanya Gatot.

Citra menggelengkan kepalanya.

"saya tidak tahu apa-apa. Bahkan saya belum pernah berjumpa dengan perempuan itu," katanya.

"Mengapa Anda berdua bisa berada di tempat ini?"

"Hari ini Nona Ani tidak datang ke toko. Saya menunggunya setengah hari. Lalu karena ada Dik Johan ini, kami akhirnya memutuskan untuk bersama-sama kemari. Tidak seperti biasanya Nona

Ani tidak muncul begitu saja tanpa pesan. karena itu tadinya kami mengira ia sakit."

"Ini rumah siapa?" tanya Pelda Gatot lagi.

"Rumah Nona Ani. Maksud saya rumah yang dikontrak Nona Ani," kata Citra.

"Dengan siapa ia tinggal di sini?"

"Sendiri."

"Masih bujang?"

"Ya."

"Tidak punya pembantu atau apa?"

"Punya, tapi pembantunya tidak tidur di sini. Pembantunya masuk setiap hari pukul dua siang sampai sekitar magrib."

"Kok aneh. mengapa begitu?"

"Itu adalah saat-saat Nona Ani ada di rumah. Pagi ia ada di toko, pulang siang. Sore sekitar pukul setengah enam sudah harus berada di toko lagi. Jadi tidak ada gunanya si Mbok dikunci saja di dalam rumah sepanjang hari. Toh rumahnya kecil, jadi pekerjaannya tidak banyak."

"Sekarang mana si pembantu?"

Citra menggelengkan kepalanya.

"Saya juga heran mengapa si Mbok tidak muncul. Dari tadi kami tunggu-tunggu di luar sampai pukul dua lebih."

Pelda Gatot dan Sertu Alex saling bertukar pandangan.

Sirene terdengar. Tak lama lagi deru sebuah mobil ambulans berhenti di depan rumah nomor 32. Tiga orang keluar dari mobil. Yang seorang membawa tas hitam besar dan di lehernya menggantung sebuah kamara. Dua orang lainnya membawa usungan.

"Ah, ambulans sudah datang," kata Pelda Gatot.

"Orang-orang tadi itu tidak ada yang masuk kemari?" tanyanya.

"Tidak. Pintu kamar saya tutup dan saya larang mereka masuk. Nanti mereka meninggalkan sidik jari dan memindahkan barang-barang bukti," kata Johan.

Pelda Gatot tersenyum,

"Anda pernah menjadi polisi?"

"Tidak," kata Johan tertawa.

"Tapi begitu kan prosedurnya di film-film?"

Bertepatan dengan itu sebuah mobil jip juga berhenti di belakang mobil ambulans. Dua orang turun dari mobil. Yang seorang gemuk pendek berseragam polisi. Dari kejauhan Citra dapat melihat tanda pangkatnya di bahu. Paling tidak pangkatnya sudah perwira. Yang seorang lagi bertampang kurus Jangkung dan jalannya agak bungkuk-preman.

"Siap. Pak." kata Alex dan Gatot hampir berbarengan menyambut perwira polisi yang baru datang itu. Tanpa formalitas perwira itu hanya menggerakkan tangannya sedikit tanda membalas sapaan anak buahnya. Temannya" yang jangkung kurus hanya mengangguk saja.

"Bagaimana?" tanya kapten polisi yang baru muncul itu.

"Ini catatan wawancaranya, Pak." kata Pelda Gatot. menyerahkan buku catatannya.

Kapten polisi itu membacanya sebentar lalu menyerahkannya kepada temannya yang preman. Dia sendiri terus masuk ke dalam. mengikuti menghilangnya ketiga orang yang datang bersama ambulans tadi.

"Wah. Dokter Leo!" sapa Kosasih. menepuk bahu orang yang berdiri sambil membidikkan kameranya ke arah mayat yang terkapar itu, dan sekali-sekali menyerukan instruksinya kepada kedua pembantu-' nya yang sedang membungkuk di dekat jenazah itu.

"Kok datang sendiri?" tanya Kosasih.

"Biasanya kau cuma duduk di kantormu saja. Mana asistenmu, Dokter Kardi?"

"Kebetulan saja aku mendengar panggilan untuk ambulans waktu laporan ini masuk." kata Dokter Leo.

"Makanya aku yang kemari." Ia membungkuk dan memegang dagu korban.

"Coba lihat ini, Kos! Cara mati yang mengerikan," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Wajahnya yang sebelah kiri telah dipukul dengan benda keras sampai melesak. Matanya cedera berat. tulang hidungnya patah, dan sebagian tulang pipinya retak. Seperti kena lindas bulldozer saja."

"Bagaimana pendapatmu tentang saat kematian?" tanya Kosasih si kapten polisi.

Dokter Leo mengangkat bahunya.

"Kira-kira pagi ini. melihat dari kekakuan mayat dan suhu badannya," katanya.

"Tapi kita akan tahu lebih banyak setelah selesai otopsi. Kita harus ingat kalau sebelum ajal terjadi banyak ketegangan dan gerakan, maka mayat akan cepat menjadi kaku. Oleh karena itu tanpa otopsi aku tidak bisa memberikan pendapat."

"Kira-kira apa yang membunuhnya?" tanya Kosasih.

"Kalau dilihat sepintas lalu mungkin pukulan pada kepalanya itu. Tapi ini pun tanpa otopsi tidak bisa dipastikan. Bisa saja sebelum korban dipukul

kepalanya ia sudah lebih dulu disuntik atau diminumi

racun, atau apa. Harus aku bedah dulu."

"Ya, ya, aku tahu," kata Kosasih.

"Coba lihat nih," kata Dokter Leo menunjuk ke jari-jari tangan perempuan yang terkapar dengan pandangan mata yang kosong itu.

"Bagian dalam jari-jari tangannya tampak hitam dan agak basah."

"Astaga! Apa itu?" tanya Kosasih. Kesepuluh jari tangannya semua mempunyai penampilan yang sama.

"Hangus," kata Dokter Leo singkat.

"Hangus? Hangus terbakar, maksudmu?" Kosasih keheranan.

"Api atau listrik?"

"Api," kata Dokter Leo.

"Itu seperti daging yang langsung kena lidah api, macam sate," katanya tapi tanpa humor.

"Astaghfirullah!" kata Kosasih berulang-ulang.

"Orang gila siapa yang melakukan penganiayaan -seperti ini!"

"Manusia tambah lama tambah cenderung kejam dan jahat," kata Dokter Leo masih dengan suaranya yang datar.

"Kau yakin ini bukan karena sengatan listrik? Mungkin tangannya basah dan dia memegang alat pengering rambut yang kabelnya sudah rusak dan kena setrum?" tanya Kosasih.

"Aku tidak melihat ada alat pengering rambut disini. lagi pula hangus kena listrik tidak sama. Coba lihat, bagian yang hangus pada setiap jari hampir

beragam ukurannya dan hanya di bagian bawah jari, sedangkan bagian atas yang ada kukunya tidak tampak hangus."

"Biadab benar! Bayangkan,. manusia abad dua puluh masih menjalankan praktek-praktek penganiayaan dari zaman abad pertengahan! Untuk apa? Aku betul-betul tidak bisa mengerti!" kata Kosasih.

"Soal untuk apa. itu bagianmu," kata Dokter Leo meringis.

"Itu teka-teki yang harus kaupecahkan. Aku cuma bertugas mencari tahu kapan perempuan ini mati dan kerusakan organ yang mana yang mengakibatkan kematiannya."

Sambil bercakap-cakap itu Dokter Leo masih membuat beberapa foto lagi dan mencatat dalam buku kecilnya.

"Oke, korban bisa diangkat sekarang," katanya kepada kedua orang pembantunya.

"Kami duluan, yuk!" kata dokter itu.

Kosasih mengikuti rombongan Dokter Leo keluar. Di ruang tamu ia melihat Gozali sedang bercakapcakap dengan kedua orang yang pertama-tama menemukan jenazah perempuan yang mati itu.

"...Anda tidak mengetahui ke mana perginya Nona Ani ini?" Kosasih mendengar Gozali mengajukan pertanyaan itu kepada yang perempuan.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. '

"Anda juga tidak tahu di manakah keluarganya, teman-temannya yang lain, tempat mana saja yang mungkin didatanginya?"

"Nona Ani orangnya pendiam. Dia tidak pernah menceritakan keluarganya atau teman-temannya. Saya kira sayalah satu-satunya temannya yang terdekat. Bayangkan, setiap hari pagi dan sore sampai malam. dia berada di butik atau di tempat tukang jahit kami. Mana ia ada waktu berteman dengan orang-orang lain?"

"Bagaimana dengan anda?" tanyanya pada yang

pria.

"Saya juga baru mengenalnya, Pak," kata johan.

Kosasih melongokkan kepalanya dari ambang pintu kamar.

'Goz!"

Gozali mengangkat kepalanya dan menangkap mata sahabatnya.

"Anda berdua tunggu di sini," katanya kepada Citra dan Johan. Lalu ia bergegas menghampiri Kosasih.

KOSASIH dan Gozali masuk ke kamar yang berukuran 4 X 4 di mana jenazah tadi ditemukan. Benda yang pertama-tama menarik perhatian mereka adalah sebuah foto besar yang menggantung di dinding di atas tempat tidur. Foto itu mengabadikan seorang gadis yang cantik dalam pose yang rileks.

Gozali mendekati foto tersebut. Foto itu jelas tidak mirip foto-foto yang sering dilihatnya di etalase studio-studio foto yang dijumpainya di Surabaya. Foto ini dibuat dalam tata warna yang indah dan oleh orang-orang yang betul profesional. Dengan latar belakang yang gelap dan sorotan lampu di belakang kepalanya, tampak bagaimana rambut tebal gadis itu bercahaya di atas dasar yang hitam. Gadis di dalam foto itu sedang tertawa lepas. Giginya rata. Seorang gadis yang manis dan boleh dikatakan cantik. Matanya bulat. alisnya tebal, hidungnya meskipun kecil dan agak lentik ujungnya, tampak mancung. Bibirnya penuh dan sensual. Gadis ini berleher panjang, dan di dalam foto itu ia mengenakan baju dengan potongan leher yang rendah sehingga tampak sedikit-sedikit sekali--belahan dadanya.

"Gadis yang cantik," komentar Kosasih di

belakang Gozali.

"Begitu berbeda dengan mayat sang ditemukan."

"Bagaimana keadaan korban?" tanya Gozali mengembalikan pikirannya kepada masalah yang mereka hadapi.

Kosasih menceritakan keadaan wajahnya yang rusak. Sambil mendengarkan keterangan temannya, Gozali memperhatikan keadaan di dalam kamar ini.

Ruangan ini ternyata telah ditata dengan selera dekorasi yang harmonis. Warna yang mendominasi adalah warna kayu muda dan hijau daun. Semua perabotan di dalam kamar ini terbuat dari kayu. jenisnya adalah dari jenis yang praktis dirakit sendiri. Di tengah-tengah ruangan menghadap ke pintu masuk terdapat sebuah tempat tidur berukuran besar. Seprai yang menutupnya terbuat dari kain berwarna hijau daun yang polos. Sekelilingnya menjuntai sampai ke lantai dihiasi renda dan kain satin dari jenis warna yang senada, tetapi lebih muda sedikit. Di .samping tempat tidur ini, di sisi kanannya ada sebuah meja kecil yang rendah dan di atas meja tampak sebuah weker. jarum alarm menunjuk angka 7:30 .am., tetapi tombol alarm dimatikan.

Di depan meja kecil ini terbentang sebuah karpet kecil menutupi lantai yang terbuat dari teraso. Sebuah jambangan dari kuningan tampak terguling di atas karpet. Seikat kembang kembang imitasi berserakan di lantai. Kosasih memakai sapu tangannya untuk memungut jambangan kosong itu.

"Ini tentu alat pembunuhnya," katanya meneliti bagian bawah jambangan itu yang berlepotan darah.

Abbas Tobing pasti senang memeriksa sidik jari yang tertinggal di benda ini."

"Kalau ada," komentar Gozali datar.

Di sebelah kiri tempat tidur terdapat sebuah jendela yang berkaca naco. Sirip-sirip kaca jendela terbuka sedikit. Jendela ini memperlihatkan pemandangan ke teras di depan apabila tirainya yang tebal diangkat sedikit. Tirai dengan warna dasar krem dan bermotif batang dan daun bambu itu tampak serasi sekali dengan perabot lainnya di dalam kamar ini.

Tidak jauh dari jendela ini ada sebuah meja rias dengan tiga kaca berengsel. Di atas meja rias ini berbaris bermacam-macam botol dan pot kosmetika.

Kosasih mengalihkan pandangan matanya ke sana dan dibuat takjub melihat banyaknya "perlengkapan perang" seorang perempuan. Dengan penuh minat didekatinya deretan botol-botol kosmetika itu dan dibacanya etiketnya satu per satu.

"Goz. apa betul seorang perempuan membutuhkan begini banyak macam kosmetika supaya tampak cantik?"

Gozali memandang deretan botol-bowl itu dengan spekulatif, lalu mengangkat bahunya.

"Jangan tanya aku, aku belum menjadi perempuan." '

Dia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepasang sarung tangan kain yang segera dikenakannya. Lalu ia berjalan ke lemari kayu yang berhadapan dengan tempat tidur di sana. Pintu lemari tidak terkunci. hanya tertutup begitu saja. Gozali membukanya lebar-lebar. Di dalamnya tampak berjajar bermacam-macam pakaian. Jumlahnya tidak bisa dikatakan banyak, tetapi kebanyakan pakaian itu terdiri atas setelan jaket dengan celana atau rok dan dibuat dari kain yang warna dan bahannya dapat

dikombinasikan satu sama lain. Kalau dengan dua

stel pakaian dia bisa membuat empat kemungkinan kombinasi, maka dengan isi lemari ini tentunya seolah-olah gadis ini punya berpuluh puluh setel. Gozali menganggukkan kepalanya. Gadis yang pintar. Pintar, ekonomis, dan praktis.

Bagian lemari yang sebelah kiri terbagi dalam rak-rak. Rak yang teratas ternyata berisi seprai. Rak kedua berisi baju-baju kaus, kemeja. dan selendang. di bawah rak ini terdapat sebuah laci. Gozali mencoba lacinya yang membuka dangan mudah. Di dalamnya ditemukan sebuah kaleng yang berisi tang-uang logam seratus dan lima puluhan rupiah. sebuah kotak perhiasan yang kosong, dan selebihnya kalung, giwang. gelang imitasi yang dipakai uang sebagai asesori. Tidak ditemukan uang kertas selembar pun.


Dewa Arak 46 Pendekar Sadis Ching Ching Karya Isau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar

Cari Blog Ini