Ceritasilat Novel Online

Misteri Gadis Tak Bernama 2

Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD Bagian 2



Gozali melihat lagi isi rak yang berikutnya. Di sini ia melihat tumpukan pakaian dalam wanita dan beberapa botol minyak wangi yang sudah kosong.

Rak terakhir di bawah sendiri berisi empat pasang

sepatu dan dua pasang sandal.

Gozali menutup pintu lemari kembali. Di kolong lemari tampak menyembul ke luar ujung tiga pasang sepatu lagi. Mungkin karena rak yang terakhir sudah penuh, maka ketiga pasang sepatu yang tampaknya

ldbih sering dipakai dibandingkan yangdi dalam lemari, lalu diletakkan di sini.

Di samping lemari menempel pada dinding yang terbentang sampai ke ujung ruangan terdapat suatu hiasan dinding yang terbuat dari rotan. Di antara anyaman" lajur-lajur rotan itu tampak paku-paku panjang. Pada setiap paku tergantung sebuah tas.

Akal yang cerdik juga, pikir Gozali. Dengan demikian, walaupun sebetulnya tas-tas ini menggantung dari paku-paku yang tertancap di dinding, namun mereka tidak mengotori dinding karena mereka bersandar pada anyaman rotan ini yang berfungsi sebagai penghalang.

Ada lima buah tas yang tergantung di sana, dari pelbagai warna. Gozali memeriksa isinya satu per satu. Rata-rata di dalam setiap tas dia menemukan kertas tisu, bolpen, buku notes yang berukuran mini, kartu kartu nama, dan kaca. Lagi-lagi di sini ia tidak menemukan uang maupun dokumen-dokumen penting. Tidak ada KTP. tidak ada SIM, tidak ada selembar surat apa pun.

"Isi rumah ini perlu diperiksa, Kos," kata Gozali kepada sahabatnya.

"Ya, nanti aku buatkan surat pemeriksaan."

"Aku kira si empunya rumah ini tidak bakal kembali dalam waktu dekat," kata Gozali.

"Mengapa?"

"Di kamar ini tidak kutemukan selembar pun uang kertas! Yang ada cuma beberapa ratus uang logam saja."

"Kaukira ia yang membunuh perempuan itu?" tanya Kosasih.

"Apa kata si Leo tadi?"

"Matinya mengenaskan sekali. Bayangkan, sudah kepalanya dipukul sedemikian rupa sehingga separuh wajahnya rusak, juga jari-jari tangannya gosong."

"Gosong?" tanya Gozali keheranan. Baru sekarang Kosasih menyinggung soal jari-jari yang gosong.

"Gosong ujung-ujungnya semua-kesepuluh jarinya!" kata Kosasih.

Gozali menekurkan kepalanya.

"Bayangkan! Seperti zaman inkuisisi saja! Masa satu per satu jari-jarinya dibakar sampai hangus!" Kosasih masih ngotot.

"Gadis yang mati itu tidak punya tanda pengenal?" tanya Gozali.

"_Kamarnya ya seperti ini ketika aku masuk. Aku tidak melihat ada tas atau apa yang terjatuh di bawah. Dan pada bajunya juga tidak ditemukan apa-apa. Tadi sudah diperiksa Leo."

"Aneh. mengapa si pembunuh merasa perlu untuk menghilangkan identitas korban?" tanya Gozali.

"Menghilangkan identitas?"

"Dengan menghanguskan jari-jarinya. hilang sudah kesempatan untuk mendapatkan sidik jari korban, bukan?"

Kosasih tersentak.

"Ah! Jadi itukah tujuannya? Aku kira itu hanya suatu bentuk penganiayaan saja."

"Membutuhkan ketabahan dan perut yang kuat," kata Gozali datar. .

"Perut yang kuat?" tanya Kosasih keheranan.

"Kau belum pernah mencium bau daging yang terbakar? Orang bisa mual dan tumpah-tumpah kalau tidak tahan."

"setahuku bau sate dan bistik itu sedap sekali," kata Kosasih berseloroh.

Gozali terbahak.

"Kaukira gadis yang cantik itu terlibat?" tanya Kosasih menunjuk ke foto di dinding.

"pembunuhan ini terjadi di rumahnya."

"Dan dia ikut menghilang. Lari adalah salah satu tanda yang mencurigakan. Atau apakah ada kemungkinan dia diculik.Goz?" tanya Kosasih.

"Sebaiknya kita berbicara lagi dengan kedua orang yang pertama menemukan korban," kata Gozali lalu berjalan ke luar.

"Saya tidak pernah melihatnya sebelumnya, Pak," kata Citra menjawab pertanyaan Kosasih apakah dia mengenal korban.

"Gadis itu bukan salah seorang langganan Anda atau orang yang pernah mampir ke toko Anda?"

"Mungkin juga ia pernah mampir di toko tetapi yang jelas dia bukan pelanggan tetap karena. saya mengenal setiap langganan saya."

"Dan Anda?" tanya Kosasih, berpaling pada Johan.

"Anda hanya tahu bahwa Anda bertemu dengannya di sini kemarin? Anda tidak pernah melihatnya sebelum itu?"

"Betul, Pak. Saya baru melihatnya kemarin."

"Dan Anda juga tidak diperkenalkan padanya?"

"Oh, tidak. Gadis itu membukakan pintu. saya masuk, dan pada saat itu Ani sudah keluar dari kamarnya sehingga ia langsung menerima saya sendiri."

"Dan gadis itu?" .

Johan mengernyitkan dahinya.

"Gadis itu terus masuk ke belakang dan tidak keluar-keluar lagi sampai saya pulang."

Gozali berpaling kepada Kosasih.

"Tidak seperti layaknya seorang tamu." komentarnya.

"Iya, seorang tamu biasanya tidak membukakan pintu orang kalau nyonya rumahnya di dalam. dan juga tidak masuk=masuk ke bagian belakang rumah orang sementara si nyonya rumah menemui orang lain," kata Kosasih. '

"Mungkin gadis ini sudah kenal baik dengan Nona Ani," usul Johan.

"Nona Ani itu yang fotonya terpampang di kamar?" tanya Gozali.

"Ya, itu fotonya," kata Citra.

"Ia bangga sekali dengan foto itu. Foto itu dibuat di Hong Kong ketika ia ke sana setahun yang lalu."

"Nona Ani ini asli dari Surabaya?"

"Saya kira tidak," kata Citra.

"Ia dari jakarta sebelum pindah kemari."

Sementara mereka bercakap-cakap tiga orang masuk.

"Ah, si Tobing sudah datang," kata Kosasih.

"Dari laboratorium kriminal-untuk mengadakan penyidikan," katanya menjelaskan kepada Citra dan Johan.

"Sebaiknya mereka dipulangkan saja, Kos," kata Gozali, menunjuk kepada kedua saksi ini.

"Alamat mereka sudah aku catat. Kita sendiri perlu mendatangi RT dan RW-nya dulu. Tempat ini dikosongkan saja supaya Abbas Tobing dan rekan-rekannya bisa bekerja dengan leluasa."

**

DALAM perjalanan pulang Citra tidak banyak bercerita. Ia mengendarai mobilnya dalam kebisuan. johan yang duduk di sampingnya juga diam. Masing masing tenggelam dalam alam pikirannya sendiri.

Johan yang meninggalkan sepeda motornya di tempat penitipan kendaraan di Gedung Wuni diantarkan Citra kembali ke sana.

Citra melirik arlojinya. Tidak disangka hari sudah pukul setengah enam. Lampu-lampu jalan sudah mulai dinyalakan, demikian pula beberapa stan di dalam Gedung Wuni, sudah menunjukkan tandatanda sedang dibuka oleh pemiliknya. Citra segera teringat bahwa ia pun seharusnya sudah bersiapsiap membuka butiknya. Namun sesiangan ini ia belum sempat pulang. Beni tentu menguatirkannya. Lagi pula hatinya sedang bingung-bingung dan ketakutan--dan dia sama sekali tidak bernapsu menghadapi pembeli mana pun petang ini

Paling baik aku pulang, minum obat penenang, terus tidur, pikir Citra. Ia bersyukur masih mempunyai sisa beberapa butir obat penenang yang dulu diberikan dokter kepadanya pada masa-masa ia mengalami trauma setelah perceraiannya. Pada

saat-saat 'seperti ini Citra amat mendambakan seseorang yang bisa diajaknya berbicara-seseorang yang dapat menentramkan hatinya-seseorang yang siap memberikan bahunya sebagai tempatnya bersandar dan bermanja.Tetapi, sekarang seseorang yang demikian itu noneksisten dalam hidupnya. Kecuali Beni-yang masih terlalu muda untuk mengambil tempat yang dikosongkan ayahnya-Citra tidak punya siapa-siapa lagi yang dekat dengannya.

Sering kali dalam keadaan seperti ini Citra ingin berbuat nekat kawin dengan siapa saja yang mau memperistrinya-peduli setan apakah orang itu jorok, atau galak, atau mengeluarkan bunyi kalau makan! Siapa saja lebih mending daripada tidak ada sama sekali! Tetapi untunglah pikiran yang demikian hanya mampir sejenak saja. Begitu balik pikiran warasnya. Citra kembali pada pendiriannya. Lebih baik tidak makan daging daripada membeli daging yang busuk. Cuma, ah, betapa beratnya hidup seorang diri., betapa sepinya, betapa hampanya, dan betapa itu membutuhkan ketabahan!

Citra teringat kembali akan gadis yang terkapar di lantai tadi. Pada saat pertama ia melihat sosok tubuh yang menggeletak dalam kekakuan maut itu, hatinya berhenti berdetak karena ia mengira itu sahabatnya. Barulah ketika Johan datang dia sadar bahwa gadis itu bukan sahabatnya. Tetapi, kalau begitu ke mana Ani sekarang? Apakah Ani terlihat dalam kematian gadis itu? Mengapa ia tidak pulang? Mengapa tidak memberi kabar? Apa yang sebetulnya telah terjadi?

Pusing kepala Citra memikirkan kejadian itu. Ia tidak tahu harus mengambil sikap mental yang bagaimana. Percaya bahwa Ani terlibat kematian

gadis itu! Percaya bahwa rumah Ani kemasukan manusia-manusia yang buas, yang telah membunuh orang dan menculik sahabatnya? Semua ini kok kedengaran terlalu ekstrem. Masa hal begini bisa betul-betul terjadi dalam kehidupan yang sesungguhnya?

Citra berpendapat bahwa kehidupan Ani tentunya tidak jauh berbeda dari kehidupannya sendiri. Setiap hari menghabiskan sebagian besar dari waktu bangunnya di butik atau di tempat tukang jahit mereka. Tidak ada yang aneh atau luar biasa, tidak ada yang menakutkan. Tetapi sekarang mengapa justru terjadi hal yang menakutkan?

Mustahil Ani berkomplot dengan gang-gang pengisap ganja atau garong! Itu adalah hal yang tidak bisa dipercayainya. Hampir lima tahun dia mengenal Ani dengan baik. Selama waktu itu Ani selalu bersikap baik dan sopan-mustahil tanpa setahunya ia berkawan dengan orang-orang jahat!

Tetapi Citra harus mengakui bahwa banyak dari kehidupan Ani yang tidak diketahuinya. Latar belakangnya, asalusulnya, keluarganya, semuanya tidak pernah disinggung oleh Ani. Selama ini apa yang tidak pernah mereka bicarakan memang tidak pernah menjadi pertanyaan-tapi kalau sudah timbul kejadian seperti begini? Citra menyesal tidak pernah mendesak sahabatnya menceritakan latar belakangnya.

Citra teringat bagaimana pertama kalinya ia mengenal Ani. Pada suatu hari muncul di depan butiknya seorang gadis kurus jangkung yang membawa sebuah bungkusan besar. Gadis kurus ini

menanyakan apakah butik yang dimilikinya tertarik membeli beberapa potong pakaian yang dibawanya.

Citra tertarik kepada penampilan gadis kurus ini. Wajahnya cantik dan terdandan rapi. Meskipun pakaiannya sangat sederhana, potongannya bagus din cocok dengan bentuk tubuhnya. Keheranan Citra bertambah ketika ia menemukan empat potong gaun yang bagus bagus dalam bungkusan yang dibawa gadis itu. Kecurigaannya yang pertama adalah gadis ini telah mencuri gaun-gaun itu. Tetapi

setelah meneliti bahannya-yang hanya kain murah dan banyak terdapat di mana-mana-Citra merasa heran. Biasanya baju baju yang bagus dan mahal tidak dibuat dari bahan yang murah dan melimpah. Sedangkan baju-baju konfeksi yang memang memakai bahan-bahan itu, tidak ada yang potongannya dan modelnya sebagus baju bain yang terhampar di depannya.

Menjawab pertanyaan Citra, gadis itu mengatakan bahwa baju-baju itu adalah hasil jahitannya sendiri, bahwa ia adalah seorang tukang jahit di sebuah gang sempit di daerah Embong Malang, dan bahwa langganannya tidaklah banyak dan dia berusaha mencari tambahan penghasilan dengan menjual pakaian-pakaian jadi buatannya sendiri kepada toko-toko di pusat-pusat perbelanjaan.

Entah mengapa Citra menaruh simpati pada gadis ini. Kesedihan hatinya sendiri pada saat itu karena suaminya yang terang-terangan mulai main gila dengan perempuan lain. membuat perasaannya lebih peka terhadap penderitaan orang lain.

Keempat baju itu dibelinya, dan untuk membuktikan itikad baiknya. ia malah memesan dua buah gaun

lagi pada gadis itu. Tetapi kali ini ia yang memberikan bahannya. Modelnya terserah kepada gadis itu.

Seminggu kemudian gadis itu kembali membawa kedua gaun yang dipesannya. Citra sendiri terkesiap melihat hasilnya. Di luar dugaannya ia mendapatkan dua buah gaun dengan model yang pas betul dengan kepribadiannya. Ketika ia mencobanya, gaun itu terasa menempel begitu nyaman dan bagus di badannya.

Demikianlah dimulai tawaran kerja sama dari Citra. Gadis kurus yang kemudian diketahuinya bernama Ani itu, menerima uluran tangannya dengan gembira dan wajar. Ani bekerja dengan rajin dan tekun. Dari Citra ia belajar banyak tentang kualitas kain. Dalam waktu singkat dia sudah mewarisi semua pengetahuan Citra, bahkan saat-saat berikutnya ia berkembang lebih cepat daripada Citra. Sejak saat itulah Citra menyerahkan semua pengadaan gaungaun di butiknya kepada temannya ini dan Ani memang terbukti tidak mengecewakan. Butiknya yang semula kecil dan hanya bertahan secara kembang kempis itu sedikit demi sedikit mulai mempunyai pelanggan tetap-yaitu mereka yang merasa puas dengan apa yang telah mereka beli pertama kalinya dan kembali lagi untuk kedua, ketiga, dan keempat kalinya.

Dagangan Citra sedikit demi sedikit beralih. Dari jenis konfeksi murah meningkat ke taraf konfeksi menengah, dan akhirnya mengkhususkan diri pada gaun-gaun eksklusif dan mahal. Dan anehnya, semakin mahal harga yang dipasangnya, semakin banyak orang yang berminat membeli dari butiknya. Memang kebanyakan masyarakat yang berduit lebih,

masih gila Status. Dan sejak nama butiknya menjadi bagian dari status, maka dapat dipastikan tempat itu selalu termasuk dalam daftar butik butik yang harus dikunjungi oleh mereka yang tidak mau dikatakan ketinggalan zaman oleh perempuan-perempuan jetset.

Tidak terasa Citra sudah tiba di depan halaman rumahnya. Lamunannya akan Ani buyar ketika hatinya melompat melihat Beni berlari ke luar menyambutnya. .

"Ma! Ke mana saja kok tadi siang tidak pulang? Aku sampai kuatir!"

Beni berusaha bersikap dewasa-seakan-akan seorang ayah yang memarahi anaknya yang terlambat pulang. Citra tertawa. Dalam pelukan anaknya yang manja tanggung ini untuk seketika semua bayangan yang jelek dan menakutkan pudar dari ingatannya.

"Yuk, masuk! Nanti Mama ceritakan mengapa Mama sampai terlambat."

**

Didampingi ketua RT, Kosasih dan Gozali mulai mencari data-data yang lebih lengkap "mengenai penghuni rumah nomor 32 itu. Dari ketua RT yang kebetulan tinggal hanya terpisah dua rumah dari Ani, Kosasih mendapatkan keterangan bahwa Ani hidup membujang sendiri dan selama beberapa jam setiap hari ada seorang pembantu tua yang datang _untuk membersihkan rumah.

Tidak banyak yang mereka ketahui tentang Ani, hanyalah bahwa ia pindahan dari alamat Nyonya Citra. Selama tinggal di sini, Ani adalah warga yang baik, yang walaupun tidak banyak berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial mereka (maklumlah dia harus selalu bekerja pagi dan sore sampai malam), tidak pernah menolak apabila tenaganya dibutuhkan.

Ani terkenal sebagai seorang gadis yang pendiam, yang tidak banyak berbicara dan tidak suka gosip. Bahkan boleh dibilang dia adalah orang yang bersikap tak acuh terhadap gunjingan-gunjingan yang timbul di antara warga. Waktu yang dilewatkannya di" lingkungan rumahnya juga cuma sedikit, dan tidak ada dari antara warga yang bisa dikatakan dekat dengannya. '

"Kemaren malam atau tadi pagi Anda tidak melihat , mendengar apa-apa yang mencurigakan ?" tanya masih kepada ketua RT itu.

"Rasanya tidak ada. Entah kalau tetangga sebelah rumahnya persis berdampingan." Kosasih dan Gozali mengucapkan terima kasihnya lalu pamit ke rumah nomor 34.

Laki-laki setengah baya yang membukakan pintu bagi mereka memperkenalkan dirinya sebagai Pak Syahrir. Kosasih dan Gozali dipersilakan masuk.

"Kami ingin minta sedikit keterangan, Pak, barangkali ada dari antara anggota keluarga Anda yang mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan kemarin malam atau tadi pagi di rumah umur 32," kata Kosasih mengawali pembicaraannya.

Nyonya Syahrir yang segera keluar menemani -mereka berbincang bincang merasa senang sekali. Ia adalah tipe perempuan bawel yang suka turut campur dalam urusan orang dan suka bergunjing. Dia juga dan dianggap sebagai orang yang mengetahui segala sesuatu di daerah itu.

"Kemarin, Pak, saya melihat dua orang tamu yang yang ke rumah sebelah,_" kata Nyonya Syahrir yang berpotongan gemuk.Dagunya yang bersusun dua tampak turun seperti leher katak.

"Anda kenal siapa mereka?" tanya Kosasih.

"Yang seorang," kata Nyonya Syahrir.

"Yang utama adalah pria yang tadi siang menemukan gadis yang meninggal itu-siapa namanya? Johan?" 'Aah, jadi Anda melihat Saudara johan. Pukul berapa itu?" tanya Kosasih.

"Sekitar pukul lima lebih beberapa menit.saya keluar untuk duduk di teras ini," katanya, menunjuk terasnya di luar.

"Saya sedang menantikan suami saya pulang dari bermain tenis. Pada waktu itu saya melihat Dik Johan ini berdiri di depan pintu rumah sebelah. Saya malah menyapanya. Saya tanya apakah tidak ada orang, dan dia mengatakan ada. tapi masih mandi. Kira-kira lima belas menit kemudian baru ia dibukai pintu, ia masuk tapi tidak lama. Sekitar dua puluh menit kemudian dia keluar lagi sambil marah marah," kata Nyonya Syahrir setengah berbisik.

"Ah, Ibu!" sela suaminya.

"Dari mana kau tahu ia marah atau tidak? jangan suka membuat kesimpulan yang belum tentu kebenarannya."

"Lho! Bapak ini bagaimana! Aku melihat sendiri bagaimana ia membanting pintu terus cepat-cepat naik ke atas sepeda motornya yang digasnya keras-keras dari sana. Kalau itu bukan indikasi marah, apa namanya?" kata Nyonya Syahrir tidak mau kalah.

"Lalu tamu yang kedua?" tanya Kosasih.

"Oh, sekitar sepuluh atau lima belas menit kemudian datang seorang dengan mobil pick-up."

"Dia juga masuk ke dalam rumah?"

"Iya, dong! Namanya tamu ya tentu masuk ke dalam rumah," kata Nyonya Syahrir lancar.

"Lalu?"

"Lalu sekitar pukul setengah tujuh lebih sedikit dia

pulang. Saya sendiri' terus masuk ke dalam rumah karena nyamuk-nyamuk mulai menggigiti saya."

"Setelah itu Anda tidak melihat atau mendengar

apa-apa lagi?"

"Suami saya pulang tak lama setelah itu. lalu kami sekeluarga makan malam dan nonton TV. Kami tidak duduk lagi di teras-."

"Dan tadi pagi?"

"Tadi pagi saya sama sekali tidak melihat apa-apa. Beberapa kali saya berjalan melewati depan rumahnya ketika saya pergi dan pulang dari pasar, tapi

semuanya tampak sepi sepi saja."

"Anda tidak melihat kedatangan gadis yang meninggal itu?" '

"Tidak. Mungkin dia datang setelah saya masuk ke

dalam-"

"Atau sebelum Anda duduk di luar." kata Kosasih.

Nyonya Syahrir mengangguk.

"Dan Anda? Anda tidak melihat atau mendengar

apa-apa?". tanya Kosasih kepada tuan rumahnya.

"Oh, Bapak kan tidak ada di rumah," kata

nyonya Syahrir, berbicara untuk suaminya. Rupanya di rumah ini ia sudah biasa menjadi juru bicara keluarga.

"Bapak main tenis dan pukul tujuh kurang perempat baru tiba di rumah."

"Ada pertandingan," kata Pak Syahrir singkat.

"Anda tidak melihat apa-apa pada waktu Anda

berangkat dan pulang?" tanya Kosasih.

Syahrir menggelengkan kepalanya.

"Sepanjang malam dan pagi hari ini tidak ada suara-suara yang mencurigakan dari rumah sebelah? suara orang bertengkar, misalnya, atau suara teriakan?" tanya Gozali menimpali.

"Kalaupun ada, kami tidak mendengarnya." kata Syahrir mendahului istrinya.

"Di rumah ini kami

sendiri cukup membuat banyak kegaduhan. Anakanak kami empat orang, ditambah ibunya yang suka ribut sama pembantu dan TV yang disetel keras-keras sudah cukup membuat suasana di rumah ini hiruk-pikuk." _

Gozali menyeringai. Rupanya Pak Syahrir ini sudah lama juga menderita dari hidup berkeluarga.

"Ah, Bapak ini bagaimana sih! Siapa yang suka ribut sama pembantu! Habis kalau kerjanya tidak becus, masa didiamkan saja! Ya harus dikasih tahu dong! Masa bisa beres kalau tidak pernah diberi tahu!"

"Iya, tapi caranya memberi tahu kan bisa pelan-pelan. tidak perlu seperti orang mau. berangkat perang begitu," sela suaminya takut-takut. Mungkin karena sekarang dia melihat ada kehadiran dua laki-laki lain yang kebetulan dari kepolisian, baru ia berani mengutarakan apa yang sudah lama dipendamnya di dalam hati. Kalau ada apa-apa, paling tidak kan ada dua orang polisi yang bisa memberikan perlindungan padanya!

"Ah, Bapak! Laki-laki tahu apa soal ngurus pembantu!" gerutu istrinya.

"Pembantu kalau dimanja tambah bertingkah tidak keruan. Kalau kita tidak galak, semua perintah kita tidak dilakukannya. Dasar malas! Maunya cuma berdiri-berdiri di pagar, bersenda gurau dengan tukang-tukang becak yang mangkal di depan rumah. keluyuran di jalan-jalan. Tapi kalau soal bekerja, tidak ada yang beres!"

Pak Syahrir bungkam. Rupanya topik pembantu sudah terlalu sering dibahas di rumah ini sehingga sudah tidak ada gunanya untuk dibahas lebih lanjut.

"Baiklah, Bu, Pak," kata Kosasih sambil mengangguk kepada nyonya dan tuan rumahnya,

"kalau tidak ada keterangan yang lain lagi, kami permisi."

Mereka pindah ke rumah yang berada di seberang nomor 32. Seperti halnya rumah nomor 32, rumah nomor 29' di depannya ini juga rumah pojok. Di sini Kosasih dan Gozali tidak perlu mengetuk pintu karena pintu memang sudah terbuka.

"Permisi!" kata Kosasih kepada rumah yang kosong itu. . '

Tak lama kemudian keluarlah seorang gadis yang berusia sekitar dua puluh limaan.

"Ya, Pak ?" tanyanya.

"Orang tua Nona ada?" tanya Kosasih.

"Oh, ini rumah pemondokan, Pak. Cuma anak-anak kos saja yang ada di sini. Bapak mencari siapa?" tanya gadis itu.

"Tidak ada induk semangnya? Ibu atau Bapak

kos?" tanya Kosasih lagi. '

"Tidak ada. Pak. Pemilik rumah ini tinggal di tempat lain."

"Berapa orang yang kos di sini ?"

"Enam, Pak."

"Semuanya ada di rumah?"

"Ada, Pak."

"Coba panggilkan .semua!"

Gadis itu masuk. Sebentar lagi yang lain-lain ikut luar. Umumnya sekitar akhir dua puluhan. hanya seorang yang masih tampak remaja. Berada di antara gadis-gadis yang cantik dan manis begini, rasa lelah

Kosasih berkurang separuh.

Dengan santai dan tanpa kecanggungan mereka duduk mengitari Kosasih dan Gozali. Ada yang

memakai celana pendek, ada yang memakai daster, ada yang memakai kaos oblong dengan celana jeans. Tidak ada yang merasa malu atau segan berada di hadapan dua orang petugas negara ini. Kosasih harus mengakui bahwa perkembangan mental gadiS gadis zaman sekarang jauh lebih sehat dan wajar dibandingkan keadaan dua puluh lima tahun yang lalu. Kosasih masih ingat bagaimana gadis gadis di zaman mudanya dulu banyak yang menyembunyikan diri apabila ada laki-laki asing yang masuk ke rumahnya. _

"Adik-adik ada yang kenal dengan Nona Ani yang tinggal di rumah seberang?" tanya Kosasih.

Beberapa kepala mengangguk dan beberapa "Ya" terdengar.

"Ada yang kenal baik? Yang akrab berteman dengannya?"

"Kenal-kenal begitu saja, Pak. Mbak Ani jarang di rumah," kata salah satu dari antara mereka.

"Kemarin dan hari ini apakah kalian melihat atau mendengar sesuatu yang aneh di rumah Mbak Ani ini?"

"Aneh bagaimana, Pak ?" tanya seorang yang berambut pendek dan bercelana pendek. Dia bernama Kristi.

"Misalnya suara orang bertengkar, atau orang "berteriak."

"Tidak ada, Pak. Hanya sekitar pukul sembilan atau setengah sepuluh malam kami melihat Mbak Ani pergi."

Gozali segera memasang telinganya dengan lebih teliti.

"Sendiri?" tanyanya.

"Dengan orang lain, Pak," kata yang bernama Evi.

"waktu itu orang itu yang mengemudikan mobilnya

dan dia yang turun menutup pintu garasi."

'laki-laki atau perempuan?"

'Laki-laki."
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Bagaimana rupanya?"

'Wah, susah untuk mengatakannya. Di luar kan gelap. Kami cuma melihat bayangan seorang laki-laki . tapi wajahnya kami tidak lihat."

'Bagaimana ciri cirinya? Muda atau tua, gemuk atau kurus, tinggi atau pendek, bagaimana perawakannya?" desak Gozali.

"Kayaknya ia memakai jaket atau pakaian yang longgar. Susah menebak apakah dia gemuk atau kurus. Tingginya lumayan, mungkin sekitar satu tujuh puluhan begitu, gerakannya cukup lincah. jadi saya kira mungkin usianya masih muda," kata yang bernama Silvia.

'Apakah kalian melihat kedatangan orang orang ke rumah Mbak Ani kemarin?"

'Ya, saya melihat temannya yang tadi siang menemukan jenazah itu kemari. Mas johan namanya

kalau tidak salah," kata Silvia lagi. Teman-temannya yang lain segera meledak dalam tawa.

"Silvia ini selalu melihat Masjohan! Maklum dia sendiri naksir," goda Kristi.

"Hus!" kata Silvia memerah wajahnya.

Gozali dan Kosasih ikut tersenyum.

"Ya, kami tahu Saudara johan kemarin ke rumah mbak Ani. Ia sendiri juga mengatakan begitu," kata kosasih.

"Ada orang lain lagi?"

"Saya melihat seorang yang _naik mobil mewah kemari. Saya kebetulan keluar membuang sampah, dan saya melihat mobil mewah ini-"sebuah Mercy Tiger-berhenti di depan rumah. Tapi aneh, orang itu mengetuk-ngetuk pintu dan membunyikan bel, namun tidak ada yang membukakan pintu. Lalu ia bertanya kepada saya apakah yang punya rumah ada. Saya jawab kalau tidak ada yang membuka pintu. ya barangkali keluar," kata yang bernama Tina.

"Lalu ?"

"Lalu orang itu naik mobilnya lagi dan pergi."

"Bagaimana rupanya?"

"Ganteng," kata Tina singkat.

Teman-temannya meledak lagi dalam tawa.

"Habis, memang dia ganteng kok!" protes Tina.

"Orang ini pernah kemari sebelumnya?"

Gadis-gadis itu saling berpandangan. Akhirnya mereka sependapat bahwa mereka tidak pernah melihat yang membawa mobil Mercy Tiger.

"Yang biasanya kemari itu Mas Johan, dan Mas Dani," kata Silvia.

"Mas Dani adalah pacar Mbak Ani," tambahnya.

"Kalau Mas Joban selalu naik sepeda motor, Mas Dani naik mobil Fiat yang kuno."

"Ah, jadi kalian kenal dengan pacar Mbak Ani?" tanya Kosasih menaruh minat.

Silvia mengangguk.

"saya pernah dikenalkan satu kali pada Mas Dani. Waktu itu kebetulan saya ke rumahnya dan Mas Dani ada di sana."

"Orangnya bagaimana?"

"Oh, lumayan cakep, berkumis sedikit," kata Silvia.

Teman-temannya yang lain tertawa lagi.

"Apakah dia mungkin orang yang kemarin kalian lihat pergi bersama Mbak Ani?" tanya Gozali tegang.

Beberapa kening berkerut. Akhirnya yang bernama Evi berkata,

"saya tidak bisa memastikan, mungkin ya. mungkin bukan. Perawakannya memang kira-kim

sama."

'Kenalkah kalian pada gadis yang ditemukan mati itu?" tanya Kosasih lagi.

"Kami tidak sempat melihatnya. Sewaktu polisi belum datang, pintu kamar ditutup Mas Johan dan tidak ada yang diizinkannya masuk. Setelah polisi datang, kami langsung diusir pulang."

"Kalau kalian mau, kalian bisa kami antar ke kamar mayat," kata Gozali.

"Iiih, ngeri, ah! Sudah, tidak usahlah." kata Kristi,

"nanti kami tidak bisa tidur. Paling-paling kami juga tidak kenal. Kami hanya tahu Masjohan. Mas Dani. Dan pemilik butik yang menjadi teman usaha Mbak Ani itu saja."

"Pernahkah Mbak Ani ini menceritakan tentang latar belakangnya, asal-usulnya, keluarganya. dari mana ia dulu, dan lain-lain?" pancing Gozali.

"Tidak. Sebetulnya kami jarang bertemu. Pagi hari sebelum Mbak Ani keluar. kami semua sudah berangkat sendiri-sendiri. Dewi dan Evi ke kantor. kriSti dan Tina kuliah, dan Dik-Maya sekolah. Saya juga ke kantor," kata Silvia.

"Sore hari kalau kami pulang. Mbak Ani sudah berangkat ke tokonya. Jadi praktis kami jarang bertemu, kecuali pada hari-hari Minggu, terkadang sore hari kami bertemu."

Kosasih dan Gozali mengucapkan terima kasih dan berlalu.

**

MEREKA kembali ke rumah Ani. Sementara mereka sibuk di luar, Abbas Tobing dan teman-temannya sudah selesai mengadakan penyidikan. Abbas sedang duduk di ruang tengah menantikan kedatangan Kosasih dan Gozali.

"Selesai. Bas?" tanya Kosasih.

"Sudah. Pak."

"Seluruh rumah?"

"Terutama kamar tidurnya. Tapi rupanya kita berhadapan dengan seorang pembunuh yang cerdik. Di tempat-tempat yang justru harus banyak sidik jarinya, ternyata bersih sama sekali. Termasuk jambangan bunga dari kuningan itu."

"Ya, kerjakan saja apa yang kaudapat," kata Kosasih. '

Abbas Tobing sudah lama mengenal Kosasih dan Gozali. Ia mengagumi dedikasi dan loyalitas kedua orang ini. Abbas bukannya tidak tahu berapa sebetulnya pendapatan Kosasih sebulan sebagai kapten polisi, tapi kendatipun gaji yang diterimanya tidak seimbang dengan pengabdian yang diberikannya, Abbas' tidak pernah mendengar Kosasih mengeluh.

Kedua orang ini bekerja tanpa mengenal batas waktu. jika tugas memanggil, biarpun tengah malam mereka berangkat juga. Kosasih tidak pernah menunjukkan keengganan atau kemasabodohan karena kecilnya penghasilannya. Setiap tugas, setiap kasus, diberinya perhatiannya yang sepenuhnya. Untuk itu Abbas Tobing buka topi. Jarang ada orang tang seperti Kasasih.

Suatu saat Kosasih pernah menjelaskan prinsip

hidupnya.

"Kita bekerja sekuat kemampuan kita, sebatas kesanggupan kita. janganlah itu dikaitkan dengan gaji. Sebab sebetulnya manusia itu pada akhirnya bertanggung jawab kepada Tuhan juga. kita sebagai orang-orang beriman, harus memberikan pelayanan kita seratus persen kepada tugas kita. Bukan demi majikan, bukan demi orang lain, bahkan bukan demi atasan-tapi demi Tuban! Kalau kita bisa bekerja, itu adalah atas kesempatan yang diberikan Tuhan. Jadi, harus kita tunjukkan kepada Tuhan bahwa kita tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan-Nya. Soal gaji. itu lain. Itu adalah tanggung jawab majikan. Kalau majikan tidak memberi kita upah yang selayaknya, maka 'ia yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di hadapan Tuhan. Asal kita sudah melaksanakan bagian kita. soal orang Jain, biarkan Tuban yang menjadi hakimnya."

Pada saat itu Abbas Tobing tidak bisa menerima perbantahan yang janggal ini. Baginya segala sesuatu itu adalah transaksi jual-beli. Orang yang bekerja menjual tenaganya. sedangkan untuk itu ia'harus nenerima pembayaran yang seimbang. Kalau pembayaran itu tidak seimbang. _kita berhak

mengurangi mutu pekerjaan kita juga. Kalau tidak begitu, namanya majikan kan untung berlipat ganda! Pokoknya upah besar, kita rajin. Upah kecil, ya asal kerja saja, buat apa berkorban percuma, memang-nya kita harus kerja bakti?

Kebetulan pada saat itu memang Abbas sedang jengkel karena sudah setahun gajinya tidak naik, padahal pekerjaan rasanya semakin bertambah. _

"Kita kan pegawai negeri, Bas," kata Kosasih, berusaha meredakan amarah temannya.

"Majikan kita kan negara. Kau tahu sendiri di negara kita masih banyak orang yang melarat. Kemakmuran belum merata. Anggaplah dirimu lebih beruntung dibandingkan mereka yang kekurangan makan."

"Lha mereka yang bergelimang dalam kekayaan bagaimana?" jawab Abbas Tobing ketus.

"Kaukira para pejabat itu hanya makan pohong goreng? Kau tidak lihat berapa buah mobil mereka, betapa besar rumah mereka, anak-anak mereka bersekolah di luar negeri, istri-istri mereka berbelanja ke London. ke Paris, uang mengalir kayak Bengawan solo dari tangan mereka. Iru uang siapa? Apa bukan uang negara yang seharusnya sebagian jatuh ke tangan kita juga? Mereka sih enak-enak. kita yang banting tulang sampai tua!"

Kosasih hanya tertawa pada saat itu.

"Kalau membandingkan, jangan selalu melihat ke atas. Tundukkan kepala dan lihatlah ke bawah. Kau akan bersyukur nasibmu tidak sejelek orang-orang yang lain."

"Masa bodoh!" kata Abbas Tobing ketika itu.

"Pokoknya sekarang aku bekerja malas-malasan saja. Percuma kita ngotot tapi tidak ada perbaikan nasib.

Aku sih tidak mau seperti kau, kerja bakti sukarela begitu. Mana penghargaannya? Mana apresiasinya? Mana imbalannya?"

"Kau kok masih seperti anak SD saja, Bas." goda Kosasih.

"Kalau bekerja harus ada yang berdiri di samping-mu dan memuji hasil pekerjaanmu, baru kau merasa puas. Mengapa kau butuh dihargai orang? Mengapa butuh dipuji? Kau sendiri kan tahu mutu pekerjaanmu. Yang penting kau sendiri menghargai hasil pekerjaanmu! Biarpun orang-orang lain memuji pekerjaanmu bagus dan lain-lain, dan lain-lain, tapi kalau dalam hati sebetulnya kau tahu bahwa pekerjaanmu itu bukan dedikasi yang sepenuhnya, apakah kau tidak malu, Bas? Tidak malu pada diri sendiri?"

"Orang tidak hidup hanya dari harga diri," bantah Abbas.

"Anak dan istriku tidak bisa makan harga diri. Mereka butuh uang untuk bisa makan nasi. Untuk apa aku punya sekeranjang harga diri tapi anak dan istriku tidak bisa makan?"

Kosasih menepuk-nepuk bahu temannya yang muda ini.

"Kau terlalu ekstrem juga mencari perbandingan.Kan anak dan istrimu bukannya sedang kelaparan sekarang. Mana imanmu, Bas? Asal kan yakin kau telah mengerjakan semuanya sebatas kemampuanmu, berusaha sekuat tenagamu, apakah kaukira Tuhan tidak akan memberkati hidupmu? Tuhan itu menyukai orang yang panjang sabar. Kalau sehariharian kau hanya menggerutu saja, tidak pernah bersyukur, Tuhan kan sebel juga mendengarmu! jangankan Tuhan yang bisa mendengar setiap gerutumu, yang tahu setiap keluhanmu di dalam hati

sekalipun, sedangkan aku saja yang cuma sekali sekali bertemu denganmuaku juga sebel mendengar kau mengomel begini."

"Aku heran, Pak, bagaimana kau bisa bersabar terus dengan gaji yang kecil, tugas yang berat, jam '. kerja tidak menentu-bagaimana sih kok masih bisa tertawa begini?" tanya Abbas Tobing.

"Mau tahu rahasianya? Nih," kata Kosasih, menepuk-nepuk dadanya.

"Nih, di dalam hati ini ada perasaan yakin. Iman! Iman bahwa Tuhan yang menjadikan kita itu maka pemurah. Jelas Tuhan tidak akan menyulap gajiku yang kecil menjadi besar. atau memberikan sebuah lampu Aladdin kepadaku yang bisa memenuhi segala kebutuhan ku. Tapi aku yakin Tuhan mengetahui bagaimana keadaanku, keadaan keluargaku. Nah, aku berusaha sebatas kemampuanku mengkaryakan seluruh bakat dan kepandaian yang diberikan Tuhan padaku. Selebihnya aku serahkan pada-Nya. Kalau aku sudah melaksanakan kewajibanku, pasti Tuhan pun akan melaksanakan kewajiban-Nya! Kau tidak percaya? Coba lihat, di dalam keluargaku kami tidak kekurangan. kesehatan seluruh anggota keluargaku baik-baik, anak-anakku tidak mengalami kesulitan dalam menuntut ilmu. Yang lain-lain bingung ujian masuk di sini. ujian masuk di sana, uang bangku sekian, dan lain lain, eh. kedua anakku. Bambang dan Dessy, bisa masuk ke bangku universitas tanpa kesulitan dan tanpa aku harus mengeluarkan biaya biaya yang menakutkan. Ada-ada saja berkatnya, mereka dapat beasiswa, dapat prioritas karena prestasinya bagus, dan lain-lain! Tuhan memang tidak menjatuhkan setumpuk uang bagiku dari langit, tapi bantuannya datang

dalam bentuk yang berlainan. Kami sekeluarga diberi kesehatan yang baik, kehidupan yang tenteram, kesempatan yang bagus-apakah itu bukan imbalan yang lebih dari cukup?"

Abbas Tobing harus mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku tidak pernah memikir sampai ke sana." katanya

"Mulai sekarang, pikirkanlah ke sana. Berkat itu banyak bentuknya, bukan saja dalam jumlah gaji yang besar. Kalaupun gajimu besar tapi istrimu sakit-sakitan terus, apa ya enak? Siapa tahu. Bas. kalau kau bersyukur, pakaianmu akan bertambah awet dua kali lipat. Biasanya setahun sudah kumal , menjadi dua tahun masih tetap bagus sehingga kau tidak perlu membeli yang baru." _

"Mungkin ada benarnya juga teorimu," kata Abbas.

"Mengapa tidak kaucoba. Mulai sekarang jangan menggerutu saja. Kerjakanlah apa yang harus kaukerjakan, dedikasikan dirimu. selanjutnya serahkan kepada Yang Mahakuasa. Kau bisa mulai mencoba dengan menyelesaikan pemeriksaan ini besok pagi," tambah Kosasih sambil menyeringai.

'Aku membutuhkan laporanmu secepatnya."

"Buset! jadi ada udang di balik batu! Sebetulnya yang kautuju cuma supaya aku menyelesaikan laporan ini," kata Abbas Tobing terbahak, namun sejak itu rasa kagumnya kepada Kosasih bertambah.

"Kami kembali dulu," kata Abbas Tobing membuyarkan lamunan Kosasih."'Moga-moga besok lusa sudah siap laporanku."

Rombongan laboratorium meninggalkan tempat Itu.

Setelah mengunci rumah nomor 32, Kosasih dan Gozali pun pergi setelah meninggalkan seorang petugas untuk menjaga tempat itu. Mereka berpesan seandainya. Nona Ani atau pembantunya menampakkan diri, polisi harus segera dihubungi. '

"Sekarang ke mana?" tanya Kosasih kepada Gozali setelah mereka duduk di dalam jip lagi.

"Sekarang kita ke alamatnya yang lama di daerah Embong Malang," kata Gozali.

"Menurut Nyonya Citra, Ani pernah tinggal di sana sebelum tinggal bersamanya. Barangkali mereka di sana tahu dari mana asal-usulnya."

"Mengapa kita melacak asal-usulnya? Yang mati kan bukan dia?" tanya Kosasih.

"Kau punya usul yang lain? Kita tidak tahu identitas gadis yang terbunuh itu. Kita hanya tahu orang yang rumahnya dipakai sebagai tempat pembunuhan. Jadi, saat ini itulah satu-satunya jejak yang bisa kita lacak," kata Gozali.

"Apakah dengan mengetahui latar belakang gadis yang bernama Ani ini, maka kita bisa tahu identitas gadis yang mati itu?"

"Itu yang aku harapkan. Gadis itu mati di rumahnya, jadi pasti ada hubungannya dengan dirinya. Tidak mungkin seorang asing yang tidak

kenal-mengenal bisa ditemukan mati di rumah orang yang tidak dikenalnya."

**

Buku tua yang dibolak-balik Pak RW di Gang Plemahan ternyata tidak memberikan keterangan apa-apa. Alamat Ani yang tercantum di sana sebelum kepindahannya adalah sebuah alamat di Jakarta. Ani ternyata hanya tinggal di gang itu kurang dari satu tahun. Tidak banyak yang diingat orang tentang gadis itu selain faktanya bahwa ia menerima jahitan. Ani tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan bekas tetangga-tetangganya dari gang ini.

"Sekarang apakah berarti kita harus menguber ke Jakarta?" tanya Kosasih setengah mengeluh.

"Sementara cukup kalau kauhubungi rekanmu di sana saja. Minta tolong mereka menanyakan apakah di alamat itu masih ada yang mengenal gadis yang bernama Ani."

"Jadi tugas kita hari ini selesai?" tanya Kosasih.

"Kalau mungkin aku mau pulang lebih pagi. Dessy hari ini latihan menari dan istriku minta aku yang mengantarkan."

"Oke, aku antarkan kau pulang," kata sahabatnya.

"Dan kau?" tanya Kosasih curiga.

"Kau boleh menemani aku menunggu Dessy latihan."

"Anakmu tidak memerlukan dua orang ayah. Kau saja yang menungguinya."

"Lalu kau ke mana?"

"Kok lupa siJali-jali? Orang bujang ke mana-mana

tak ada yang melarang-dan sebagainya, dan

sebagainya." Gozali tergelak.

"Eh, penyakitmu berburu celeng konde masih

belum sembuh-sembuh juga?" tanya Kosasih dengan wajah cemberut.

Temannya tertawa terkekeh. Celeng konde adalah istilah mereka untuk perempuan-perempuan yang menjajakan diri demi kepuasan'laki-laki.

"Kok ke sana pikiranmu?" sahut Gozali masih sambil tersenyum.

"Mentang-mentang aku bujang kaukira hal itu saja yang aku pikirkan sepanjang hari?"

"Aku kan mengenalmu seperti mengenal telapak tanganku sendiri," kata Kosasih.

"Aku tahu apa kerjamu kalau kau tidak ada kegiatan yang positif. Sudah! ikut aku mengantarkan Dessy saja!"

"Aku mau berpikir. Aku mau membuat resume dari hasil wawancara kita hari ini. Aku mau mengulang kembali apa-apa yang sudah dikatakan para saksi."

"Oke, kita ulang bersama." kata Kosasih,

"sambil menunggu anakku menari."

"Kau kan harus mengawasinya menari, mana bisa membuat resume?" goda Gozali.

"Bukannya mengawasi, cuma mengantar, menunggu, lalu membawanya pulang. Kau tahu tidak, setelah menjadi ayah sekian tahun, akhirnya kita tidak lebih daripada cuma sopir keluarga saja. Istri pergi arisan, suami harus mengantar, anak pergi kursus. ayah 'yang harus mengantar. Begitu!"

"Kenapa sekarang mengeluh?" goda Gozali terus.

"Makanya kan pintar aku! Aku tidak mau kawin, tidak mau punya keluarga! Aku tidak perlu menjadi sopir siapa-siapa!" _

Gozali tidak melewatkan kesempatan mengejek sahabatnya karena biasanya selalu Kosasih yang memberikan ceramah tentang enaknya orang punya keluarga. ada yang mengurusi, ada yang memperhatikan, ada yang merawat kalau sakit. dan lain-lain. Tumben sekarang dia sendiri menggerutu. Kesempuan bagus bagi Gozali untuk membenarkan dirinya

yang masih tetap hidup membujang pada usia tiga puluh tujuh tahun. '

Masalah berumah tangga adalah salah satu topik yang rawan di antara kedua orang sahabat ini. Kosasih yang lahir dan dibesarkan menurut prinsip prinsip lama, tidak dapat menerima pendapat ' temannya yang dianggapnya terlalu radikal ini. Bagaimana mungkin seorang hidup tanpa keluarga di dunia ini? Lalu untuk apa hidup? Apa artinya hidup kalau hanya hidup bagi dirinya sendiri?

Keluarga merupakan tujuan utama hidup di dunia , begitu pendapat Kosasih. Keluarga merupakan generasi penerus-penerus nama, penerus cita-cita. keluarga yang menjadikan seorang laki laki itu sempurna, yang mengubahnya dari seorang anak kecil menjadi orang yang dewasa dan bertanggung

jawab.

Lain lagi pendapat Gozali. Zaman susah begini, keluarga hanyalah merupakan beban. Lebih banyak yang yang kita pikirkan, lebih sulit kita bergerak.

Orang yang mau berkeluarga itu mencari pusing sendiri.

"Kalau setiap orang berpendapat seperti dirimu, abis penduduk dunia ini, Goz," kata Kosasih setiap

saat.

"Kalau setiap orang berpikir seperti kau, berantakan program keluarga berencana pemerintah," balas Gozali.

"Setiap orang hanya mementingkan

dirinya sendiri--mencetak anak sebanyak mungkin

agar punya satu batalyon untuk merawat, menjaga,

mengurus. dan membiayainya kelak kalau tua. Mereka lupa, bahwa agar anak-anak ini kelak punya kemampuan untuk membiayai dan merawat mereka, terlebih dulu mereka yang harus menyiapkan bekal bagi anak-anak ini agar kelak mereka bisa mandiri."

"Walaupun keluarga berencana, pemerintah juga mengizinkan dua anak, Goz. _Tapi kau keterlaluan! Kau seakan-akan benci bahkan kepada mereka yang cuma punya satu anak saja!" bantah Kosasih.

"Oke, kalau setiap pasangan 'punya dua anak, masih mending. Tapi coba, mereka yang sudah terlanjur punya empat-lima-enam bahkan sepuluh, bagaimana? Nah, kalau tidak ada orang-orang yang mau mengalah seperti aku, kan tambah berabe dunia kita! Kalau ada yang plus, harus ada yang mau minus, baru bisa berimbang. Hitung saja berapa pasangan yang punya anak sekeranjang. Kau sendiri punya empat. Nah, yang dua orang harus dimasukkan jatah siapa? Justru kau harus berterima kasih ada orang-orang macam aku.

"Susah ah, bicara sama kamu," gerutu Kosasih. Begitu selalu akhir perdebatan mereka mengenai topik yang satu ini.

Mereka tiba di depan sebuah rumah mungil. baru saja mereka turun dari mobil, pintu depan rumah sudah terbuka dan Nyonya Kosasih keluar.

"Kok terlambat, Pak? Dessy sudah berangkat!"

"Sudah berangkat?" tanya Kosasih dengan sedikit perasaan bersalah.

"Dengan siapa?"

"Naik bus, sendiri. Habis Bapak ditunggu-tunggu tidak datang. Dia kan tidak boleh terlambat. Bapak sendiri yang mengajarnya harus disiplin."

"Waduh, bagaimana ya, Bu! Aku masih ada tugas," kata Kosasih, menggosok gosok kepalanya.

"Sekarang Bapak menyusul saja ke sekolahnya. biar bisa pulang bersama-sama," kata istrinya. Sebagai istri kapten polisi, apalagi kapten polisi yang bernama Kosasih-yang kalau bekerja tidak mengenal waktu-Nyonya Kosasih sudah terbiasa dikecewakan suaminya. Waktunya pulang, tidak pulang. janji begini, tidak ditepati-semua gara-gara tugas. lama-kelamaan dia sudah terbiasa dan menganggap hal demikian adalah bagian dari jalan hidupnya. karena itu di belakang benaknya sudah selalu ada adangan alternatif lain, sekadar berjaga jaga seumpama suaminya tidak bisa menepati janjinya. Kosasih dan Gozali kembali lagi menuju ke jipnya lalu berangkat ke gedung universitas Dessy. Nyonya masih mengawasi kepergian mereka dengan "senyum. Dua orang laki'laki dengan penampilan berbeda, namun yang begitu akrab hubungannya sehingga melebihi saudara kandung. Dan nyonya Kosasih iingat kembali saat pertama kalinya Gozali masuk dalam kehidupan mereka. Pada saat itu bukannya tanpa rasa was-was dan cemas ia menerima tamu yang dibawa pulang oleh suaminya. Betapa tidak! Tamu ini adalah seorang penjahat! Seorang pencuri berkaliber ulung! Seorang bekas napi yang baru saja dibebaskan dari lembaga Pemasyarakatan! Betapapun luas pandangannya. bagai seorang istri dan ibu yang menguatirkan

keselamatan keluarganya, tak dapat disangkal lagi bahwa hati kecilnya tidak menginginkan orang ini masuk ke dalam rumahnya. .

Tapi suaminya mengatakan "Tidak apa-apa", dan selama ini ia tahu suaminya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab, seorang ayah yang hati-hati, mustahil dia akan bersikap ceroboh membawa malapetaka masuk ke tengah-tengah keluarganya. Maka akhirnya Nyonya Kosasih pun setuju-walaupun masih dengan kesangsian dan kecurigaan.

Ternyata laki-laki kurus jangkung yang muncul itu toh tidak terlalu menakutkan. Memang wajahnya tidak tampan, bahkan kalau mau bicara jujur, Nyonya Kosasih terpaksa mengatakan wajahnya mirip kera-banyak kerut-kerutnya, kurus panjang. dan kempot. Hanya matanya saja yang istimewa. Mata yang menarik. mata yang seakan-akan menembus pandang. Tapi yang membuat hatinya lega adalah karena orang ini tidak tampakbuas. Tidak tampak beringas seperti apa yang tadinya ia bayangkan. Dia tampak tenang, pendiam, dan sangat awas. Tutur katanya sopan, gerak-geriknya wajar. suaranya halus dan sama sekali tidak dirasakan adanya dampak penjara yang melekat padanya. Ia seperti orang-orang biasa lainnya, tidak lebih jahat maupun kejam daripada tetangga-tetangga lain yang dilihatnya setiap hari.

Dan sedikit demi sedikit Nyonya Kosasih merasa lebih rileks bilamana berhadapan dengannya.

Ia tersenyum sendiri. Waktu ternyata membukti kan bahwa orang yang tadinya diterima dengan

penuh kesangsian dan reserve ini akhirnya malah menjadi orang yang paling mereka andalkan dalam kehidupan mereka. Sekarang apabila pagi-pagi Nyonya Kogasih melepas suaminya dinas, hatinya merasa lebih lega sedikit apabila Gozali ada bersamanya. Ia tahu Gozali sangat mencintai suaminya, dan pasti akan membelanya sebatas kemampuannya. Sebagai istri ia bersyukur Suaminya memerlukan seorang sahabat yang setia, seorang pendamping yang tidak kenal pamrih, seorang teman seperjalanan yang sehaluan dan seperjuangan-dan lebih daripada itu-seorang yang bisa diajak tertawa dan menangis bersama. Karena walaupun sebagai istri yang selalu siap berbagi rasa dengan suaminya, Nyonya Kosasih tahu bahwa laki-laki memerlukan sahabat sesama jenisnya untuk membicarakan masalah-masalah yang mereka anggap "persoalan laki-laki". Dari pengalaman, Nyonya Kosasih tahu bahwa bagaimanapun dekatnya hubungan seorang suami dengan istrinya, namun tugas-tugas seorang suami di kantor dan kehidupan dinasnya merupakan bagian yang terpisah sama sekali dari kehidupannya di-rumah rangga. Urusan intern dinas sama sekali tidak pernah dijadikan bahan pembicaraan di rumah-bahkan mengenai kasus-kasus yang langung ditangani suaminya sendiri, Nyonya Kosasih sama awamnya dengan orang-orang lain di sekelilingnya. Sering kali ia mendapatkan lebih banyak inFormasi dari koran daripada dari mulut suaminya sendiri. Oleh karena itu Nyonya Kosasih bersyukur ada Gozali-tempat suaminya mengadu, tempat suaminya minta pendapat-karena mana ada laki-laki mau

minta pendapat perempuan, apalagi perempuan Itu istrinya! '

Pengalamannya dengan Gozali membuktikan bagaimana syak wasangka dan praduga negatif itu terkadang sama sekali tidak beralasan, pikir Nyonya Kosasih. Gozali yang karena tadinya diketahui sebagai seorang pencuri dan bekas' napi-yang menurut ukuran masyarakat luas sudah tidak lebih daripada sampah yang harus dihindari seperti penyakit sampar saja ternyata mempunyai perasaan dan hati nurani yang tidak lebih jelek daripada orang-orang lain. Keadaan saja yang membentuk nasib seseorang. Dan dalam kehidupan Gozali, keadaan rupanya tidak terlalu ramah padanya.

Ia kehilangan kedua orang tuanya pada usia yang muda, dibesarkan di tengah-tengah kemelaratan dan kesengsaraan, ditempa oleh kepahitan hidup dan sikap egoisme manusia-manusia yang berjejal di sekelilingnya-kesempatan apa yang dimilikinya untuk menjadi orang yang terhormat dan berbudi? Apabila pada akhirnya ia menjadi pencuri, siapakah yang bersalah? Masyarakatkah? Keadaankah? Atau Tuhankah? Banyak orang menyalahkan Tuhan telah membiarkan kejahatan merajalela di dunia ini, kejahatan dan kemiskinan dan penyakit-tiga hal yang saling berkaitan. Mengapa Tuban membiarkan hal hal yang buruk ini terjadi? Mengapa sampai timbul kelaparan? Mengapa Tuhan tidak memberi makan orang-orang itu supaya tidak ada kelaparan, tidak ada penyakit, tidak ada kemiskinan. dan tidak ada kejahatan?

Begitu banyak "mengapa" yang tinggal tidak terjawab.

Namun walaupun banyak orang yang menuntut pertanggungjawaban dari Tuhan atas timbulnya segala jenis penderitaan di dunia. Nyonya Kosasih percaya bahwa aib dan kesengsaraan itu adalah akibat ulah manusianya sendiri. Nyonya Kosasih bukanlah seorang ahli agama, bukan orang yang melewatkan waktunya berjam-jam setiap hari untuk memperdalam pengetahuannya akan hal-hal kerohanian.Tapi ia merasa di dalam batinnya, bahwa Khalik yang disembahnya, Khalik yang menjadikannya. Khalik yang memeliharanya, adalah maha pengasih. Nyonya Kosasih tidak bisa menjelaskan dari mana konsepnya ini timbul. Tapi hatinya merasa, dan jiwanya sadar bahwa Tuhan itu tidak bertangan kejam, bahwa Tuhan menyayangi manusia.

Kalau di dunia terjadi penderitaan. itu karena manusianya sendiri yang salah mengolah apa yang tadinya diciptakan baik dan sempurna. Kesalahan kesalahan yang bertumpuk dari generasi ke generasi. pemerkosaan dan perusakan alam dari abad ke abad. menimbulkan berlipat lipat masalah dan akibat, yang mungkin baru dirasakan setelah lewat berpuluh puluh dekade kemudian. Dan pada saat itu keadaan sudah demikian parahnya sehingga mustahil untuk diperbaiki lagi.

Akan halnya Gozali-sebagai salah satu contoh saja-siapakah yang bersalah kalau dia terjerumus ke jalan yang tidak terpuji? Sedari kecil dia hidup di antara pencuri, bagaimana anak ini tidak akan menjadi pencuri akhirnya?

Kalau mau menyalahkan, maka NyOnya Kosasih cenderung menyalahkan orang tuanya-sebagai orang yang langsung bertanggung jawab. Mereka

yang tahu dirinya sendiri sudah hidup di bawah garis kemiskinan, mengapa tidak berpikir panjang sebelum membawa kehadiran seorang bayi lagi ke dalam dunia ini? Mereka tidak memikirkan akibatnya. Yang jelas. mereka kawin, dan beranak. Anak bukan lagi perwujudan cinta kasih dua orang yang bercita-cita membentuk masa depan yang baru, melainkan hanya akibat dari perkawinan ini saja. Nyonya. Kosasih berani bertaruh (padahal dia paling anti berjudi) bahwa tentunya Gozali hadir ke dunia ini tanpa perhitungan sebelumnya. Seperti kebanyakan bayi yang lahir-dia hanyalah akibat alami dari napsu orang tuanya. Akibat alami yang tidak dicegah dan tidak direncanakan-semata-mata dibiarkan jadi begitu saja.

Tetapi mereka orang bodoh! Ayah Gozali hanya seorang kenek truk. Ibunya seorang gadis kampung yang polos, yang sudah bersuka dengan kelebihan yang sedikit. Tentunya orang-orang yang tidak mempunyai cita cita tinggi ini tidak bisa diharapkan mempunyai pandangan yangluas dan jalan pemikiran yang panjang. Bagaimana mereka bisa merencanakan masa depan bagi keturunan mereka kalau bagi diri mereka sendiri saja mereka tidak pernah merencanakan jangka panjangnya? Mereka orang-orang sederhana. Sederhana dalam pengetahuan, sederhana dalam upaya, sederhana dalam cita-cita. Lalu kalau diurut-urut salah siapa? Nyonya Kosasih toh tidak bisa mendapatkan jawabannya.

Namun syukur alhamdullillah, Gozali berhasil keluar dari lumpur kenistaannya. Ia berhasil melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya

pada situasi dan kehidupan yang tanpa ujungpangkal.

Setelah tertangkap basah oleh Kosasih, Gozali merasai dua tahun mendekam di lembaga pemasyarakatan. justru saat yang dua tahun dilewatkan di antara tembok-tembok yang pengap dan sempit itu merupakan obat baginya. Di sana. terbebas dari kebisingan dunia, ia mempunyai waktu untuk berpikir. 'Dan di sanalah dia menemukan makna hidup yang sesungguhnya.

Dalam hal ini tidak kecil peranan yang dimainkan kosasih dalam merehabilitasi mental seorang pemuda yang sudah digetirkan dan dikecewakan oleh nasib. Nyonya Kosasih menyimpan rasa bangga tersendiri terhadap suaminya untuk jasanya itu. Ia bangga karena suaminya bukanlah seorang hipokrit yang hanya bisa berpidato soal kebajikan tetapi yang tidak melaksanakannya sendiri-seperti kebanyakan orang yang mengaku taat beribadat. justru Kosasih lah yang pertama-tama mengulurkan tangannya menembus dinding penjara yang cemar untuk berkomunikasi dengan Gozali. Kosasihlah yang mengajarnya nilai-nilai suatu persahabatan.

Memang setiap perbuatan baik itu ada pahalanya, kendatipun sering pahala itu terlambat munculnya. Nyonya Kosasih selalu percaya bahwa apabila kita tertanam sesuatu yang baik. maka buah yang kelak bisa dinikmati tentunya baik juga. Kalaupun bukan kita sendiri yang menikmati, ya anak-cucu kita atau generasi-generasi berikutnya. Tapi kebaikan itu pasti

terbalas. Kebaikan tidak akan meresap begitu saja

seperti air yang tumpah ke tanah lalu hilang tidak berbekas kena matahari.

Dan balasan itu tidak lambat datangnya dari Gozali. Siapa yang selalu mendampingi suaminya ke mana-mana? Siapa yang begitu setianya membantunya memecahkan kasus-kasus yang pelik? Siapa yang memberikan dukungan penuh sehingga suaminya selalu berhasil dalam menjalankan tugas? Dan bukan hanya itu! Bahkan Gozali juga merupakan teman keluarganya yang paling akrab. Dan ke mana pun suaminya pergi, Nyonya Kosasih tidak kuatir apabila Gozali ada bersamanya.

Dengan hati-hati ia mengunci pintu rumahnya kembali. Sekarang zaman susah. banyak orang nekat. Setiap orang harus waspada sendiri iika tidak ingin mengundang pencobaan.

**

PANGGUNG yang dipakai berlatih oleh para mahasiswa ini tampak sederhana saja. Belum ada sekatsekatnya, belum ada lampu warna-warni yang meneranginya-hanya sebuah panggung gundul tanpa tirai maupun dekor. Suara hiruk-pikuk mereka yang sedang berlatih di antara alunan musik rupanya tidak mengganggu konsentrasi si pelatih. Suara dug-dug telapak kaki yang telaniang beradu dengan papan lantai panggung memberikan atmosfer tersendiri, yang membuat Kosasih teringat akan masa mudanya.

Kala itu sekolah sekolah tidak semegah sekarang. Kalaupun mereka sempat mementaskan sesuatu. semuanya dibuat dalam ukuran yang sederhana-maklum negara pada waktu itu masih berusia muda, fasilitas sangat terbatas. Namun sekarang walaupun dinding sekolah sudah terbuat dari bahan yang permanen dan menjulang beberapa tingkat ke Angkasa, suasana dan corak kegiatannya masih saja sama seperti dulu. Pemuda pemuda masih tak henti-hentinya menggoda para pemudi sementara para pemudi tertawa ngikik atau bersikap sok galak. Bau peluh yang tercium juga masih bau yang sama yang begitu dikenal Kosasih dari zaman sekolahnya

dulu. Kaki-kaki telanjang yang kotor dan hitam lugu tidak berbeda dengan kaki-kaki teman-temannya dulu. Masa memang telah berganti, tetapi ada banyak hal yang fundamental-yang mempunyai corak dan bau yang sama. Kosasih bernostalgia. '

Sambil duduk di baris yang paling akhir di antara keremang-remangan aula yang besar itu, ia dan Gozali sama sekali tidak menarik perhatian orangorang muda yang sedang ribut sendiri itu. Lampu hanya menyala di atas panggung-dua batang neon panjang yang memberikan sinar dingin. Kosasih berusaha mencari anaknya diantara para penari. Tapi ini agak sulit karena mereka semuanya memakai pakaian dasar yang sama, baju senam warna hitam dan sehelai selendang yang terikat di pinggang. Rata-rata rambutnya diikat ke atas, agar tengkuk tidak kepanasan.

'"Diulang lagi!" terdengar suara nyaring si pelatih--seorang perempuan yang berusia sekitar empat puluhan-mungkin salah seorang dosen atau memang dia berprofesi sebagai guru menari entahlah.

"Yuk, diulang lagi !" Kosasih mendengar kata-kata yang sama menggema di samping telinganya. Ia kaget dan mendapatkan seraut wajah Gozali yang meringis memandangnya.
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kaget-kagetin orang saja!" gerutu Kosasih.

"Habis! Kalau mau ikut menari ya naik ke panggung sana," kata Gozali.

"Kalau duduk di bawah sini, kita mengulang data pembunuhan tadi siang."

"Oke, aku siap mendengarkan," kata Kosasih.

Gozali memang sudah dikenalnya sebagai orang yang teliti, orang yang panjang ingatan, orang yang kuat daya pikirnya. Itulah sebabnya mengapa setelah dia menangkap dan menjebloskan Gozali ke dalam penjara, ia jugalah yang mengulurkan tangan membantunya keluar dari lingkaran setan yang selama itu menghanyutkan kehidupannya. Walaupun Gozali pada waktu itu cuma seorang pencuri, Kosasih dapat merasakan bahwa jauh terpendam di lubuk harinya, jauh tertimbun oleh sikap tak acuh dan masa bodohnya, terdapat dasar perangai yang baik.

Dia melihat kemungkinan mengembangkan sifatsifat yang menguntungkan pemuda yang berusia dua puluh enam tahun itu menjadi bakat yang bermanfaat. Otak Gozali yang cerdas dan logis dapat dipergunakan untuk hal-hal yang positif. Kebiasaannya untuk bisa menilai suatu situasi dalam waktu yang singkat tapi tepat sangat membantunya untuk dapat menentukan pilihan langkah-langkah apa yang paling cocok diambil. Apalagi setelah terbukti pemuda itu memiliki indria keenam-yang peka menangkap ketidaktulusan kata-kata seseorang. Kosasih berpendapat bahwa semua bakat alami ini sangat bermanfaat apabila disalurkan untuk memecahkan kasus-kasus kejahatan. Namun, sebelum bakat tersebut dapat dipakai. si empunya bakat harus dijinakkan terlebih dulu. Dan itulah tugas yang terberat.

Untunglah, di samping keinginan dan rencana Kosasih untuk menyalurkan kelebihan pemuda itu kepada pekerjaan polisi, ia juga mempunvai harapan

yang tulus untuk merehabilitaSi pemuda itu. Dan ketulusannya inilah yang pertama-tama tertangkap oleh indria keenam Gozali. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bertemu dengan seseorang yang bukan sanak bukan kadangnya tetapi mempunyai minat pribadi terhadap dirinya. Selama ini orangorang yang dijumpainya hanyalah orang orang yang punya pamrih-orang-orang yang baik terhadapnya karena mengharapkan suatu balasan darinya. Orangorang itu sebetulnya tidak ambil pusing apakah dia senang atau susah, apakah dia menjadi garong atau ulama, apakah dia sakit atau sehat, selama mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan darimu. Hubungannya semata-mata hubungan bisnis. Kau perlu-aku perlu. harga pantas, maka terjadilah transaksi. Tidak ada ikatan batin. KalauPun di sana-sini terselip satu-dua patah kata yang manis. itu hanyalah basa basi belaka. Ungkapan yang hanya timbul di bibir tetapi tidak pernah berpangkal dari hati. Dan Gozali sudah jemu dengan orang-orang seperti ini.

Tetapi di sini ada seorang sersan polisi (pada waktu itu Kosasih baru berpangkat sersan)--ia yang menangkapnya-bahkan kesaksiannya yang membawanya ke rumah tahanan-namun sikapnya tidak seperti orang-orang yang dikenalnya. Orang ini menaruh perhatian atas apa yang terjadi padanya! Itu yang mengherankan Gozali! Dan yang lebih aneh lagi. perhatiannya itu bukan cuma basa-basi, bukan cuma untuk pamer saja, bukan karena ia berharap mendapatkan sesuatu dari Gozali, bukan! Perhatiannya timbul karena ia merasa bahwa Gozali ini bisa diselamatkan, bisa ditolong, bisa dikembalikan

menjadi manusia yang terhormat. Dan dia yakin bahwa Gozali berharga untuk diselamatkan!

Keyakinan dan ketekunannya inilah yang membuat Gozali terharu. Seorang dengan latar belakang yang bertolak belakang sama sekali dengan dirinya, berusaha mengulurkan persahabatan kepadanya karena ia yakin dirinya berharga untuk dijadikan sahabat! Dan Gozali menerima uluran tangan sersan polisi itu.

Demikianlah persahabatan ini sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun. Bersama sama mereka telah melewati masa-masa yang senang dan masa-masa yang susah. Ikatan persahabatan mereka bertambah erat. Gozali menganggap Kosasih sebagai belahan nyawanya sendiri. Dan dia kemudian mencurahkan seluruh tenaganya kepada kasus-kasus yang terbeban di atas bahu sahabatnya sebagai detektif polisi dari bagian kriminal.

Itulah sebabnya Kosasih selalu menyerahkan bagian tugas memikir kepadanya, karena deduksi dan analisanya selalu tepat.

"Ayo kita urut kembali keluar masuknya tamu di rumah nomor 32 itu sejak kemarin sore," mulai Gozali. Kosasih mengangguk.

"Pukul setengah tiga ia meninggalkan rumah Nyonya Citra dan pulang ke rumahnya. Nona Ani ini pulang sendiri. " Kemudian pukul lima sore. Nyonya Syahrir yang bawel itu melihat kedatangan Johan. Sekitar lima belas menit kemudian baru johan ini dibukai pintu-dan menurut keterangannya sendiri-oleh gadis yang terbunuh itu. Menurut Nyonya Syahrir,

Johan keluar kira-kira dua puluh menit setelah itu, jadi sekitar pukul lima lebih empat puluh menit.

"Lalu sekitar pukul enam kurang sedikit katakanlah pukul lima lebih lima puluh lima menit, Nyonya Syahrir melihat orang lain yang datang naik pick-up. Orang ini tinggal sampai pukul setengah tujuh lebih sedikit, ya umpamakan saja pukul setengah tujuh lebih lima menit.

"Setelah itu, gadis yang bernama Tina itu melihat seorang datang dengan mobil Mercy Tiger. Tapi orang ini tidak masuk.

"Dan yang terakhir antara pukul sembilan dan setengah sepuluh, anak-anak kos itu melihat Ani dan seorang laki-laki pergi."

Kosasih berusaha mengingat-ingat semua jadwal waktu itu di luar kepala.

"Ada yang janggal di sini, Kos," kata Gozali.

"Tidak ada yang melihat kapan gadis yang mati itu datang dan kapan laki-laki teman Ani itu datang."

"Maksudmu?" tanya Kosasih mulai bingung.

"Semua tamu yang datang ke rumah itu diketahui datang dan pulangnya. Tetapi ada dua orang yang tidak diketahui datangnya sama sekali!"

Kosasih mulai menghitung dengan jari-jarinya sambil berkomat-kamit.

"Orang itu tentunya sudah ada di dalam rumah sebelum johan datang pukul lima. Gadis itu sudah terlihat Johan pada saat itu. Bukan mustahil pada waktu itu si pria juga sudah berada di dalam rumah itu, hanya saja ia bersembunyi!" kata Kosasih.

"Kalau betul teorimu itu, berarti Ani mengambil bagian dalam menghilangkan nyawa gadis itu. Ia

bukan seorang yang disandera atau diculik di luar kemauannya."

"Mengapa begitu?" tanya Kosasih.

"Seandainya ia berada di bawah ancaman. maka kedatangan Johan adalah saat yang terbaik baginya untuk melarikan diri. setidak-tidaknya untuk minta bantuan pada johan untuk mengupayakan keselamatannya."

"Gadis itu pada saat kedatangan Johan kan belum mati!" protes Kosasih.

"Mungkin si Ani tidak menduga bakal terjadi pembunuhan!"

"Kita harus mencari mobil Ani." kata Gozali.

"Sulit. Goz. Surabaya begini besar, mobil berjuta juta bagaimana mencarinya? Apalagi kalau mereka sudah berada di luar kota. kita harus mulai dari kota yang mana? Nomor polisi bisa dipalsu. misalkan saja mobil itu lewat di depan hidung kita sendiri pun belum tentu kita mengenalinya!"

"Biarpun begitu kita harus mencoba. Mintalah bantuan polantas."

"Itu kalau mobilnya dipakai keluyuran di jalan raya. Kalau terus disimpan di suatu tempat. bagaimana mungkin dicari?"

"Yah. kita harus mencoba. Kalau nasib baik..."

"Pak!" seru seorang gadis mengejutkan dan memutuskan percakapan mereka. Tanpa disadari latihan menari ternyata sudah selesai. Anak-anak pada bubaran dan Dessy berlari menghampiri ayahnya.

"Dessy tidak nyangka kalau Bapak masih sempat menjemput!" kata gadis yang baru masuk bangku perguruan tinggi ini. Seorang gadis yang lincah dan periang. dengan mata yang jernih dan senyum yang

menawan. Hati Kosasih berdenyut bangga melihat putri pertamanya.

"Maaf. ya. Bapak tadi terlambat pulang. Des, sehingga tidak bisa mengantar." kata ayahnya.

"Ah. tidak apa-apa. Dessy sebetulnya Sih bisa berangkat sendiri. Ibu saja yang kuatir, minta Dessy dikawal Bapak. Sebetulnya banyak kok teman yang sukarela antar-jemput," kata anaknya riang.

"Ibumu betul! Kau jangan suka-suka ikut orang orang lain! Kalau nanti kau tidak dibawa ke tempat yang seharusnya kautuju. bagaimana?" kata Kosasih. Dia membayangkan seks-maniak yang menipu dan mempedaya gadis-gadis polos yang tidak menaruh curiga.

"Ah. mereka kan teman-teman Dessy! Apalagi Bapak dan Ibu juga kenal pada mereka. Kan Dessy selalu mengajak teman teman mampir ke rumah supaya berkenalan dengan Bapak dan Ibu. Mereka anak baik-baik semuanya. Pak!"

"Yuk, pulang!" kata ayahnya. Lampu neon diatas panggung sudah keburu dimatikan sehingga mereka harus mencari jalan di antara barisan-barisan kursi hanya diterangi sinar rembulan yang masuk lewat jendela-jendela besar di atas.

**

CITRA baru membuka pintu garasinya untuk mengeluarkan mobilnya ketika ia melihat sebuah jip berhenti di depan pagar rumahnya. Dua orang laki-laki turun, yang seorang jangkung kurus dan yang seorang lagi lebih pendek dan gemuk.

Oh, kedua orang petugas kepolisian yang kemarin, pikir Citra dalam hatinya.

Setelah melewatkan semalam dalam tidur yang lelap berkat obat penenangnya, Citra merasa segar kembali pagi ini. Ia sudah bersiap-siap menghadapi kesulitan yang akan dijumpainya dengan sikap optimis. Bagaimanapun juga keadaan tidak sejelek yang dibayangkannya. Meskipun dia menyayangkan kematian gadis itu. namun sebetulnya gadis itu tidak berarti apa-apa baginya. Ia tidak bedanya dengan orang-orang di jalan yang berpapasan dengannya setiap hari. Tambah satu kurang satu-apa bedanya?

Usahanya harus tetap berjalan. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi di rumah Ani dan di mana ia sekarang, tapi ia toh tidak bisa duduk sambil menggigit jarinya menantikan kedatangan temannya. Tokonya harus dibuka. Langganan-langganannya

harus dilayani-hidup harus tetap berlangsung seperti biasanya. Citra sadar betul bahwa ia masih harus membayar sewa stannya setiap bulan, masih harus membiayai sekolah anaknya, masih harus menghidupi keluarganya-jadi tidak boleh tidak dia tetap masih harus bekerja. Sekarang butiknya merupakan sumber nafkahnya, berlainan dengan dulu ketika ia masih bersuami. Kala itu usaha membuka toko hanyalah suatu hobi. suatu kesibukan.

"Selamat pagi. Nyonya." sapa Kosasih yang sudah memasuki halaman rumahnya.

"Selamat pagi, Pak."

"Anda mau pergi?"

Citra melirik arlojinya. Sudah pukul setengah sepuluh. Sudah waktunya ia harus berangkat supaya bisa membuka tokonya pada pukul sepuluh.

"Iya. mau ke toko." katanya.

"Kami perlu berbincang-bincang sedikit lebih banyak lagi dengan Anda." kata Kosasih.

Citra menghela napas panjang. Mau bilang apa lagi? Di sini ada dua orang petugas yang sedang mengusut suatu kejahatan yang terjadi di rumah sahabatnya. Paling tidak dia punya tanggung jawab moral untuk memberikan kerja sama yang sepenuhpenuhnya. Apalagi sahabatnya sekarang tidak ada. jadi Citra merasa punya kewajiban untuk mewakilinya. Ah. moga moga Ani tidak apa apa, gumamnya sendiri.

"Silakan masuk, Pak." katanya. menutup pintu garasi lagi. Langganan langganannya harus menunggu pagi ini.

Mereka masuk ke sebuah ruangan yang sedang besarnya. Di pojok ada seperangkat sofa berangka rotan yang disusun membentuk huruf L. Kelihatannya nyaman dan empuk untuk diduduki. Ruangan ini sederhana saja, tidak terlalu bagus dekorasinya. Barang-barang serta perabotan yang ada juga yang fungsional saja, tidak ada hiasan hiasan tambahan.

Ruang tamu ini ternyata menjadi satu dengan ruang makan, tidak ada sekat pembatas. Empat buah kursi tampak mengelilingi sebuah meja makan bundar yang juga terbuat dari rotan. Tidak ada yang istimewa. Rupanya nyonya rumah ini tidak terlalu artistik seleranya dalam menata rumahnya, atau mungkin juga dia tidak terlalu mementingkan hal ini. Berlainan dengan rumah Ani yang tampak rapi dan harmonis, rumah Citra agak acak acakan. Di setiap meja ditemukan toples makanan dan blik-blik kue, pita kaset juga ditinggalkan di mana-mana begitu saja, majalah, koran, dan buku asal ditumpuk tanpa diperhatikan besar-kecilnya. Pendek kata semuanya memberikan kesan bahwa penghuni-penghuni rumah ini bukanlah orang-orang yang biasa berdisiplin rapi. Tapi suasana hangat sangat terasa di sini suasana sebuah rumah yang ditinggali-tempat berkumpul seluruh keluarga yang hidup dengan santai dan bebas. Tidak terlalu rapi memang, tidak seperti ruangan-ruangan yang hanya khusus ditata untuk dikagumi orang-namun walaupun begitu. Kosasih merasa rileks di sini. Sangat berlainan rasanya dengan kalau masuk ke rumah yang ditata sedemikian rupa sehingga rasanya untuk duduk di kursinya pun dia merasa takut nanti akan membuat kusut bungkusnya.

Di bawah bufet mata Gozali yang jeli melihat sepasang sepatu kets yang warnanya sudah tidak menentu lagi. Melirik kaki nyonya rumahnya, ia segera tahu bahwa itu pasti bukan sepatunya.

"Anda suka berolahraga?" tanya Gozali memancing.

Citra mengikuti pandangannya lalu tertawa.

"Oh. itu sepatu anak saya! Saya sendiri tidak punya waktu untuk berolahraga khusus. Tapi sehari-harian di toko termasuk berolahraga juga, terutama bagian yang ini." katanya sambil menunjuk bibirnya.

"Ini yang goyang terus tidak ada henti-hentinya."

Kosasih dan Gozali ikut tertawa.

Sikap Citra sekarang juga lebih santai, tidak setegang pada waktu mereka pertama bertemu kemarin.

Gozali mencatat dalam ingatannya bahwa Citra sama sekali tidak minta maaf atas keadaan rumahnya yang tidak rapi ini. Biasanya para ibu rumah tangga yang merasa malu dengan keadaan rumah yang mereka tinggali, selalu menyelipkan kata-kata,

"Maaf, rumah saya kotor" atau "Rumah saya kecil" atau "Anak anak meninggalkan barang mereka di mana mana dan si pembantu pulang" dan sebagainya-dan sebagainya. Tapi Citra rupanya sama sekali tidak merasa perlu minta maaf kepada tamu-tamunya atas keadaan rumahnya yang boleh dikatakan kemprot ini. Dalam kamus Gozali itu suatu angka plus bagi Citra! Sesungguhnya, mengapa orang harus minta maaf akan keadaan rumahnya? Toh itu rumahnya sendiri! Ia berhak meletakkan barangbarangnya di mana pun dia suka tanpa perlu minta

izin atau maaf kepada tamu siapa pun! Dan kalau si empunya rumah merasa nyaman dengan susunan yang demikian, mengapa harus munafik atau tiba'tiba merasa bersalah?

"Anak Nyonya sekarang ke mana?" tanya Kosasih.

"Oh, sudah berangkat sekolah," kata Citra sambil tersenyum.

"Dan suami Anda?" tanya Gozali.

Sejenak Citra terkesiap. tetapi ia segera sadar bahwa kemarin memang dia belum memberikan keterangan apa-apa tentang dirinya pribadi. Memang kehidupannya sendiri sama sekali tidak ada hubungannya' dengan gadis yang mati itu-namanya ia kenal saja tidak-tapi ia mengerti bahwa pihak kepolisian tentunya sedang mengumpulkan data yang sebanyak mungkin dari orang-orang yang terlibat-langsung maupun tidak langsung-dengan kejahatan itu.

"Saya janda." katanya singkat.

"Saya tinggal di sini hanya berdua anak saya yang berusia tiga belas tahun. Dan seorang pembantu. tentunya." tambahnya.

"Sudah lama suami Anda meninggal?" tanya Kosasih prihatin. Kasihan perempuan yang semuda ini sudah menjanda. pikirnya dalam hati.

"Oh. dia masih segar-bugar. Bahkan sudah kawin lagi." kata Citra sambil tersenyum geli. kok hatinya tidak merasa nyeri lagi ya membicarakan hal ini? pikirnya sendiri. Ah, kalau begitu aku betul-betul sudah sembuh! Aku sembuh dan aku sudah normal kembali. pekiknya dalam hati dengan gembira.

Kosasih merapatkan bibirnya. Kesannya segera berubah. Dia paling tidak suka dengan praktek

kawin-cerai yang sekarang sudah menjadi mode yang paling populer ini. Orang sekarang melihat perkawinan hanya seperti membeli pakaian saja-senang dipakai terus. bosan dibuang lalu beli baru! Tidak ada tanggung jawab. tidak ada beban moral-memalukan!

"Kami ingin tahu lebih banyak tentang Nona Ani ini-bagaimana Nyonya mengenalnya, bagaimana kehidupannya pribadi. siapa teman-temannya. dan lain-lain. Kami kira hal ini penting sekali. Kalau Nona Ani terlibat dalam kematian gadis di rumahnya itu, ia adalah seorang buron. Kalau tidak-dan kemungkinan ini adalah yang lebih menguatirkan dia sekarang disandera atau diculik oleh orang-orang yang membunuh gadis yang mati itu. Apa pun alternatifnya. ia harus ditemukan-dan segera!" kata Gozali.

Citra mengangguk. Memang pikiran yang sama juga sudah timbul padanya.

"Saya mengenalnya sekitar lima tahun yang lalu." kata Citra mulai mengisahkan bagaimana pertemuannya yang pertama yang kemudian berlanjut dengan kerja sama mereka berdua di butiknya.

Kosasih dan Gozali mendengarkan dengan teliti.

"Lalu selama Anda bekerja sama. apakah pernah timbul kecurigaan terhadap pribadi Nona Ani?" tanya Gorali.

Citra menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sama sekali tidak! Ani orangnya baik. jujur, bertanggung jawab. Waktu saya ke luar negeri selama satu bulan lebih. dia yang menunggui butik seorang diri. Semuanya lancar-keuangan beres. Begitu juga sewaktu saya menyuruhnya pergi ke Hong Kong

untuk melihat lihat pasaran baju di sana-ia pun menunjukkan sikap yang tidak tercela."

"Sebetulnya bagaimana sih perjanjian kerja Anda berdua?" tanya Gozali.

"Apakah Nona Ani menerima komisi dan gaji dari pakaian yang dibuatnya. atau ia menerima pembagian laba. atau bagaimana?"

"Pada permulaannya memang dia menerima gaji bulanan dari saya ditambah komisi untuk setiap gaun yang terjual. itu cuma berjalan sekitar setengah tahun. Lalu saya pikir saya kurang adil, karena ia yang merancang bajunya, ia yang mengatur pembuatannya. ia yang mencari bahannya. sedangkan saya hanya duduk di toko dan menjualnya saja. Saya pikir lama-lama ia mungkin digaet toko lain yang mengetahui bakatnya. Jadi, saya pikir lebih baik kalau kami berusaha bersama-kongsi. istilahnya. Dengan demikian dia akan merasa ikut memiliki butik yang kami kelola bersama dan tidak punya pikiran untuk pindah pekerjaan. Maka akhirnya kami bekerja secara bagi hasil."

"Maksudnya bagi hasil itu bagaimana?" tanya Gozali

"Pertama-tama kami mengusahakan kapital dari kredit bank. sedangkan uang saya sendiri yang tertanam di sana saya tarik kembali-ini membuat kami berdua berdiri sama tinggi-yaitu tidak ada yang merasa lebih memiliki butik itu karena ia punya modai yang lebih banyak tertanam di sana. Lalu semua penghasilan kami. kami total. Setelah dikurangi dengan pembayaran bunga, biaya-biaya operasional, sewa stan, dan lain-lain pengeluaran. hasil bersihnya kami bagi dua. Saya berhak atas 50

persen, dan Ani berhak atas 50 persen juga. hanya saja uang itu tidak boleh kami tarik. Setiap bulan kami hanya boleh mengambil jumlah tertentu setiap orang untuk keperluan biaya hidup kami. Selebihnya kami masukkan tabungan dan sedikit demi sedikit kami lunasi kredit dari bank. Sekarang setelah empat tahun lebih. kami sudah bisa beroperasi seluruhnya dengan modal kami sendiri. Kredit dari bank sudah kami lunasi seluruhnya."

"Dan selama ini tidak pernah timbul pertengkaran atau perselisihan yang menyangkut urusan bagi hasil tersebut?" tanya Gozali skeptis. Tidak umum ada kongsi yang langgeng itu. Biasanya setelah mengalami kemakmuran, sifat tamak manusia pasti timbul.

"Tidak pernah. Semua kami catat dengan jelas dan segalanya terang-terangan, Tidak ada hal yang kami rahasiakan. Saya percaya Ani adalah orang yang juiur, begitu pula saya sendiri. Saya yakin dia tidak memikirkan untuk menipu saya, sebaliknya saya pun tidak pernah memikirkan untuk menipunya. Segala sesuatu yang berlandaskan keterbukaan dan kejujuran tentunya beres. Kami sama-sama mempunyai itikad baik yaitu agar usaha kami tetap maju. Itu adalah satu-satunya sumber nafkah kami. jadi kami berdua sadar. kami tidak boleh ceroboh atau seenaknya dalam menjalankannya."

"Dan Anda punya catatan pembukuan tersebut?" tanya Kosasih ikut bicara.

"Ada. di toko." kata Citra.

"Kami ini cuma pengusaha kecil. Pak. jadi pembukuannya juga sederhana-ya kami buat sebisa kemampuan kami saja. Baik Ani maupun saya sebetulnya bukan ahli pembukuan. Tapi semua -masukan kami catat dan

semua pengeluaran kami juga ada bonnya memeriksanya tidaklah sulit. Prinsip kami bekerja adalah mencari nafkah yang halal. Kami percaya bahwa Tuhan memberkati orang yang berusaha dengan jujur. Karena itulah kami selalu berpegang pada prinsip jujur. Baik terhadap diri kami sendiri. baik terhadap kantor pajak juga," senyumnya.

"Saya tidak berkeberatan kalau Anda merasa perlu untuk memeriksa buku-buku itu."

"Kami bukan dari Inspeksi Pajak," kata Gozali.

"namun tawaran Anda kami sambut dengan gembira. Kami ingin melihat pembukuan Anda itu bukan untuk membuktikan jujur tidaknya Anda membayar pajak. tetapi untuk melihat benar tidaknya asumsi Anda atas kepribadian teman usaha Anda itu."

"Ani adalah orang yang baik." kata Citra ngotot.

"Dua tahun dia tinggal bersama saya di sini. Dua tahun dia menemani saya pada saat-saat yang kritis dalam kehidupan saya. Dua tahun dia berusaha keras untuk menyembuhkan saya dari kekecewaan hidup. Seandainya ia mau menipu saya, saat itu merupakan saat yang paling tepat-saya sama sekali tidak berdaya pada waktu itu. Percayalah, Ani adalah orang yang baik. Dia tidak mungkin terlibat pembunuhan ini," kata Citra.

"Sekarang marilah kita meliput aspek lain." kata Gozali mengangguk tanda menerima penjelasan Citra tadi.

"Siapa sajakah laki-laki yang pernah berperan dalam hidupnya?"

Citra mengernyitkan dahinya.

"Ani . Ani itu orangnya agak aneh," katanya pada akhirnya.

"Saya sendiri tidak mengerti. Tadinya saya mengira ia berpacaran dengan seseorang. Tetapi

belakangan ini pria itu tidak pernah datang lagi Ke butik. Menurut Ani mereka bukan berpacaran sungguh-sungguh. cuma sekadar iseng saja. Saya tidak mengerti. Padahal Dik Dani itu orangnya lumayan, cukup gagah dan keren."

"Anda tahu alamatnya?" tanya Gozali.

"Tahu. Ia mempunyai sebuah bengkel kerajinan tangan, khusus ukir-ukiran. di Jalan Arjuna."

"Tolong dicatatkan," kata Gozali.

"Lalu, Saudara Johan yang kemarin itu-apakah dia teman Anda atau teman Nona Ani?"

"Oh. saya yang mengenalnya dulu. Dik Johan itu terkadang bekerja di Salon Mercury. Saya mengenalnya ketika saya memotong rambut di sana. Kami berteman. dia pernah mampir satu-dua kali ke rumah saya, kami pernah pergi nonton atau makan-tapi cuma itu saja. sekadar berteman biasa, tidak ada apa-apa antara kami," kata Citra.

"Dik Johan di sini hidup sendiri, saya juga tidak punya ikatan, jadi kami berteman.

"Lalu pada suatu hari Dik Johan mampir ke butik dan di sana saya perkenalkan dengan Ani. Ruparupanya ia terus naksir. Saat-saat berikutnya ia sering mampir ke butik atau ke rumah Ani. Hanya saja si Ani kayaknya selalu menghindar. Dia lebih banyak condong ke Dik Dani."

"Kalau dengan Saudara Dani ini, bagaimana kenalnya?"

"Oh. itu kenalnya di biro perjalanan. Waktu saya mau ke Singapura tiga tahun yang lalu. saya minta Ani mengaturkan tiket saya karena saya paling malas berurusan yang membutuhkan kesabaran begitu. Hari itu kebetulan Dik Dani mampir ke biro

perjalanan di mana ia dulu pernah bekerja. Di sana ia bertemu dengan Ani. dan rupanya goda punya goda akhirnya mereka berkenalan dan berteman."

"jadi hubungannya dengan Nona Ani sudah berjalan tiga tahun?"

"Akrabnya baru sekitar satu tahun yang terakhir ini. Tadinya mungkin tiga-empat bulan sekali kami baru mendengar berita dari Dik Dani. Setahun yang terakhir ini kunjungannya mulai rutin. Dik Dani sering mengantarkannya ke toko. dan menjemputnya pulang-terkadang sehari dua kali begitu. terkadang pagi Ani berangkat sendiri, tapi sorenya diantar dan dijemput Dik Dani."

"Dan dia naik Mercy Tiger?" tanya Gozali.

"Dik Dani?" tanya Citra keheranan.

"Ah. siapa bilang! Dik Dani itu seorang pemuda yang baru membangun usaha wiraswastanya sendiri. Mobilnya sebuah Fiat kuno, tapi masih dirawatnya dengan baik."

"Oh," kata Gozali.

"Mengapa Anda bertanya?" balas Citra.

"Karena ada sebuah Mercy Tiger yang belum kami ketahui siapa pemiliknya." kata Gozali.

Citra mengernyitkan dahinya tapi ia tidak berkata apa-apa

"Sekarang Saudara Dani ini sudah tidak pernah menjemput dan mengantarkan Nona Ani lagi?" tanya Gozali selanjutnya.

"Iya, sudah ada kira-kira dua minggu ini saya tidak melihatnya kemari. Yang terakhir ketika ia kemari Ani tidak mau berbicara padanya. Belakangan Ani memang selalu menghindar dari Dik Dani juga."

"Sejak kapan?" desak Gozali.

"Yah, sejak... sejak dua bulanan yang lalu barangkali. saya tidak ingat betul." kata Citra.

"Apa alasannya?"

"Ani tidak pernah mengatakan. Hanya saja dia bilang dia tidak ingin kawin dulu-_masih senang hidup membujang."

"Berapa umurnya?"

"Dua puluh delapan."

"Sudah berapa lama ia mengenal Saudara johan?"

"Yah... baru-baru saja, sekitar tiga-empat bulan barangkali."

"Ada teman laki-laki yang lain?"

"Setahu saya tidak ada, Pak."

"Kenalkah Anda seorang yang naik mobil Mercy Tiger?"

Citra diam sejenak.

"Ada seorang yang naik mobil itu datang ke rumah teman Anda setelah Saudara johan pulang. Tahukah Anda siapa kira-kira laki-laki ini?" desak Gozali melihat keragu-raguan Citra.

"Saya..."

"Tebak saja, tidak apa-apa. Kami akan menyelidikinya dulu, Anda tidak perlu kuatir melibatkan orang lain yang memang tidak terlibat." dorong Gozali.

"Saya kenal seseorang yang... yang gemar mobil-mobil lux. Tapi. .. tapi saya tidak tahu apakah dia mempunyai sebuah Mercy Tiger sekarang," kata Citra.

"Siapa?"

"Namanya Roy. Roy Suhendar."

"Ah, masih saudara Anda?" tanya Gozali

"Bukan. Dia bekas suami saya."

Alis Gozali terangkat.

"Dan apakah bekas suami Anda punya alasan untuk mendatangi rumah teman Anda?"

Citra mengangguk. Wajahnya menunjukkan kejengkelannya.

"Roy belakangan sering ke butik juga. Rupanya ia jatuh hati pada Ani."

"Bukankah kata Anda ia sudah kawin lagi?"

Citra tersenyum sumbang.

"Perkawinan bukan halangan bagi orang untuk tertarik lagi pada lawan jenisnya. bukan? Apalagi bagi Roy!"

"Bagaimana hubungan mereka?"

"Ani dengan Roy?" Citra menggelengkan kepalanya.

"Ani membenci Roy. Ani sudah mengenalnya sewaktu ia masih suami saya. Dan Ani tahu bagaimana ia telah menghancurkan perkawinan kami karena pada waktu itu ia sedang mabuk cinta dengan wanita lain. Ani lah yang mendampingi saya selama prOses perceraian yang telah menguras semua energi saya."

"Tetapi bekas suami Anda itu sering ke toko Anda?"

"Ya. dua-tiga bulan yang terakhir ini. Tadinya ia ke sana setiap bulan sekali untuk memberi uang saku anaknya. Nah. setiap datang kan dia bertemu juga dengan Ani. rupanya lama-kelamaan dia tertarik."

"Bagaimana sikap Anda sendiri terhadap bekas suami Anda?"

"Oh. setelah rasa sakit dan kagetnya lewat. saya bisa berpikir dengan tenang lagi. Saya tidak memusuhi Roy, tapi saya bersyukur dia bukan suami saya lagi. justru setelah saya bukan istrinya lagi saya

mulai mengenal wataknya yang asli, saya baru bisa melihat dengan perspektif yang betul. Roy bukanlah seorang laki-laki yang perlu dibela atau dipertahankan. Saya merasa bersyukur saya telah berhasil melewati dan keluar dari masa sulit itu dengan utuh."

"Anda masih berteman dengannya kalau begitu?"

"Oh, ya. Roy sebetulnya cukup sayang pada anak kami. hanya saja Beni yang tidak mau lagi bertemu dengannya. Bagi Beni pengkhianatan Roy dianggapnya terlalu kejam untuk bisa dimaafkan. Yah, maklum dia masih berusia tiga belas tahun. Saya sendiri berharap suatu hari Beni bisa memaafkannya dan berteman dengan ayahnya. Saya mempertahankan hubungan saya dengannya demi Beni. Kalau saya pun memusuhinya, pasti Beni selamanya akan membenci ayahnya. Dan itu tidak baik. Hubungan suami istri bisa putus. tapi hubungan orang tua dengan anak tidak boleh putus."

"Apakah teman Anda ini menunjukkan sikap ramah juga kepada bekas suami Anda kalau mereka bertemu? Janggal rasanya bagi seorang laki-laki berani ke rumah seorang perempuan kalau perempuan itu tidak memberikan tanda lampu hijau," kata Gozali

"Anda tidak kenal Roy, Roy mata keranjang, dan rupanya semakin tua semakin menjadi. Dulu waktu menjadi suami saya, ia mencari petualangan di luar dengan perempuan yang sekarang dinikahinya. Sekarang rupanya setelah perkawinan mereka berjalan beberapa tahun-cukup lama untuk membuatnya bosan-dia ingin mencari petualangan lagi. Dan kali ini sasarannya Ani. orang yang sering dijumpainya dan sudah lama dikenalnya

"Memang sudah beberapa kali ia ke rumah Ani, Ani sendiri mengatakannya kepada saya. Dan saya pun sudah menegurnya Supaya tidak mengganggu Ani lagi. Tapi dasar laki-laki! Semakin ditolak semakin penasaran."

"Dan Anda tidak sakit hati? Anda tidak merasa cemburu?" pancing Gozali.

Citra tertawa lepas.

"Saya sudah sembuh, ingat? Saya bukan lagi Citra yang bodoh dulu-yang dibutakan oleh cinta sehingga tidak bisa melihat sifat sesungguhnya suami saya. Tidak, saya tidak cemburu, bahkan sekarang saya bisa merasa kasihan pada perempuan yang menjadi istrinya. Pada suatu hari ia juga akan terjaga dari mimpi indahnya dan mendapatkan dirinya tercampak di antara onak dan duri."

"Berapa tahun Anda kawin sebelum bercerai?"

"Sekitar sepuluh tahun."

"Dan suami Anda sudah bermata keranjang sejak semula?"

"Oh, tidak! Roy dulunya tidak begitu. Waktu mudanya dulu, waktu kami masih hidup susah dan pas-pasan, tidak ada pikiran iseng dengan perempuan lain yang mampir di kepalanya. Kami sama-sama bekerja keras. Roy mengejar karirnya di kantor, sedangkan saya berusaha menambah uang belanja dengan berjualan konfeksi kecil-kecilan. Kami hidup hemat dan prihatin. Akhirnya saya punya cukup uang untuk menyewa sebuah stan di Wuni. Kehidupan kami membaik. Karir Roy menanjak terus. Kami mulai mengenal apa artinya hidup berkecukupan, bahkan berlebihan. Nah, kalau sudah begitu. kalau sudah punya uang. punya kedudukan.

punya waktu senggang, maka mata laki laki mulai beraksi, Istri yang sudah mendampinginya berjuang di masa-masa yang sulit sudah ketinggalan zaman baginya. ia mau mencari sesuatu yang baru-yang menarik-yang mengasyikkan. Bukankah begitu kebanyakan laki-laki?" tanya Citra sinis.
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak semuanya." bantah Kosasih.

"Sebagian besar," kata Citra ngotot.

"itulah sebabnya kepada teman-teman atau kenalan saya yang masih bujangan dan muda-muda. saya selalu memberikan nasihat demikian: jangan mencari pasangan yang melarat, yang masih harus dibantu banting tulang dan berkorban. Percuma! Nanti kalau sudah berhasil. malah istrinya yang sudah capai-capai membelanya dunia akhirat, ditinggal untuk seraut wajah baru yang sama sekali tidak pernah ikut merasakan susahnya mencapai kesuksesan itu. Kita yang membantu suami kerja keras, kita yang berkorban. Kita yang ikut menanam, justru tidak akan menikmati hasilnya! Orang lain yang tidak menanam, tahu-tahu datang dan memetik buahnya! Percuma! Kalau mencari suami, cari yang sudah mantap. cari yang sudah dokter. sudah bekerja, sudah berduit banyak. Sehingga jika meskipun kelak kita ditinggal. kan kita sudah menikmati buahnya! Daripada sudah susah-susah membela laki laki dunia-akhirat, akhirnya cuma menggigit jari!"

"Wah, nih anak saya harus mendengarkan kuliah Nyonya," kata Kosasih,

"supaya punya pandangan tentang calon suami yang tepat."

Gozali bertukar pandang dengan Kosasih sambil tersenyum.

"Rupanya Nona Ani ini punya daya tarik yang istimewa-setiap lakilaki yang bertemu dengannya terus naksir!" kata Kesasih.

"Kau harus berhati-hati, Goz. Jangan-jangan kau pun akan terpikat dirinya."

Citra tertawa terbahak.

"Kenalkah Anda pada orang setengah tua yang mengemudikan mobil pickup?" tanya Gozali selanjutnya.

"Orang setengah tua?" tanya Citra keheranan.

"Ani tidak punya teman yang setengah tua, kok!"

"Ah. jadi Anda tidak bisa menebak siapa kira kira?"

Citra menggelengkan kepalanya.

"Apakah itu penting?"

"Dia adalah orang yang datang setelah Saudara Johan pulang dan sebelum kedatangan laki-laki dengan mobil Mercy Tiger itu." kata Gozali.

"Saya tidak tahu." kata Citra.

Gozali melirik arlojinya.

"Baiklah." katanya.

"Sekarang Anda tentunya ingin ke toko, bukan? Sekarang sudah pukul sepuluh seperempat. Apakah Anda berkeberatan kalau kami mampir?"

Citra memandang seragam Kosasih dengan sangsi. Kalau pria yang kurus jangkung itu tidak menjadi masalah karena ia berpakaian preman. Tapi kapten polisi ini dengan seragamnya mungkin akan menimbulkan pertanyaan. Kehadiran mereka bisa menjadi iklan jelek bagi butiknya. jangan-jangan nanti ada yang mengira ia terlibat hutang dan akan ditangkap polisi atau apa!

"Saya sih sebetulnya tidak berkeberatan, Pak," kata Citra terus terang.

"Maaf sebelumnya, saya

harap Anda tidak tersinggung, tapi kalau sampai orang-orang yang ada di Gedung Wuni itu melihat ada petugas polisi yang masuk ke toko saya, apalagi sedang memeriksa buku. wah. nanti reputasi saya menjadi jelek. Jangan-jangan saya dikira penipu atau apa!"

"Kami mengerti," kata Gozali.

"Eh, gimana ya, Pak-saya ini cuma pedagang kecil, kehidupan saya sangat tergantung dari hasil toko itu. Kalau karena suatu salah pengertian lalu reputasi saya jelek, bisa-bisa. toko saya tidak laku lagi dan saya kehilangan mata pencaharian."

"Ya. kami mengerti," ulang Gozali,

"dan kami senang Anda berterus terang begini. Saya kira kalau begitu Pak Kapten Kosasih tidak berkeberatan menunggu di mobil saja sementara saya yang masuk ke toko Anda. Dan saya akan bersikap hati-hati kalau ada calon pembeli yang masuk. Pokoknya mereka tidak akan tahu bahwa kedatangan saya adalah untuk mencari informasi mengenai Nona Ani," kata Gozali sambil tersenyum.

Kosasih tidak bisa berkata apa-apa. Dalam hati ia memaki-maki. Buset! Masa aku harus duduk dalam jip yang panas sementara Gozali enak-enak duduk di dalam butik yang sejuk! Tapi ia harus mengakui juga kebenaran usul Gozali. Sejauh ini perempuan itu hanyalah seorang saksi. Ia bukan terdakwa. Dan dia sudah memberikan kerja sama yang baik dengan menceritakan apa yang diketahuinya. Seyogyanya mereka pun tidak boleh mengabaikan kepentingannya. Menjadi petugas negara tidak hanya membutuhkan ketegasan dan disiplin, tetapi juga harus memiliki fleksibilitas dan rasa kemanusiaan. Dengan demikian

orang yang mau membantu dan berkerja sama, tidak akan kecewa karena merasa dirugikan. Kedua belah pihak sama-sama puas.

**

GOZALI membantu Citra membuka stannya di lantai dua Gedung Wuni. Tetangganya dari stan sebelah melongokkan kepala dan menyapa,

"Aku kira kau tidak buka lagi! Kemarin sore kok tidak buka?"

"Ada kepentingan mendadak." sahut Citra nonkomital.

"Beberapa orang yang datang sempat mengomel, lho! Kata mereka bukan hari libur kok tutup."

Tetangganya ini menjual alat-alat tulis, jadi tidak ada persaingan bisnis dan tidak ada permusuhan.

Mereka masuk ke dalam. Citra menyalakan lampu dan alat pendingin ruangan.

"Kami cuma punya satu meja di sini, habis tempatnya sempit dan semuanya sudah dipakai untuk menaruh baju," kata Citra.

"Ini kunci laci meja kalau Anda mau melihat isinya.," katanya mengulurkan sebatang anak kunci kepada Gozali.

"Anda yang menyimpan kuncinya?" tanya Gozali.

"Oh, kami masing-masing punya kunci sendiri. Baik itu kunci meja atau kunci stan-supaya siapa yang tiba duluan bisa segera mulai bekerja tanpa menunggu yang lain."

Meja tulis itu mempunyai tiga buah laci. Yang satu berada di tengah. melintang-yang satu melintang di sisi kanan. dan yang terakhir merupakan laci besar. juga di sisi kanan di bawah laci yang lebih kecil. Ketiga-tiganya terkunci. Gozali mencoba memasukkan anak kunci yang diberikan kepadanya pada lubang kunci laci yang melintang di tengah tengah meja. Kunci segera terbuka.

Laci ini berisi beberapa buku blanko kwitansi dan bon, beberapa bolpen, karbon, dan peralatan tulis-menulis lainnya semacam stapel. meterai. penjepit kertas. stempel. dan lain-lain.

Di salah satu sudutnya ada sebuah kotak kecil bekas tempat kartu nama yang sekarang berisi dua buah anak kunci. Gozali mengeluarkan kedua anak kunci itu dan mencoba yang berbentuk pipih kuning pada laci kanan atas. Laci itu pun terbuka.

Di sini ditemukan buku-buku folio yang rupanya merupakan catatan keuangan mereka. Gozali membuka beberapa halaman dan dia tersenyum sendiri. Rupanya kedua orang perempuan yang mengelola usaha ini betul betul buta terhadap masalah pembukuan. Sebodoh-bodohnya Gozali yang cuma pernah menikmati bangku sekolah sampai usia lima belas tahun. dari pengalamannya ia tahu bahwa paling sedikit orang harus mempunyai dua buah buku. untuk mencatat kegiatan kas dan bank. Tapi di sini semuanya bercampur baur. Buku itu dibagi dua di tengahnya. Satu sisinya mencatat semua pemasukan. dan yang lain mencatat semua pengeluaran.

itu saja! Sederhana dan mudah. Kedua orang perempuan ini rupanya tidak mempersoalkan apakah itu kas atau bank.

"Ini kalau diperiksa akuntan. akuntannya bisa pingsan. Bu!" kelakar Gozali.

Citra terbahak.

"Kan saya sudah bilang. kami tidak paham soal pembukuan. Pokoknya semua kami catat. apa yang kami terima dan apa yang kami bayar, sudah cukup untuk kami! Akhir bulan membuat totalan. Buktinya selama bertahun-tahun kami tidak menemui kesulitan. Anda bisa lihat. itu buku-buku kami dari tahun tahun yang lalu. semuanya masih kami simpan. Bunga-bunga bank terbayar pada waktunya. kredit bank kami kembalikan menurut rencana. tukang-tukang kami tidak ada yang terlambat menerima upah, pajak kami bayar dengan jujur setiap tahun. Minta apa lagi?"

Gozali menemukan sebuah buku cek dari salah satu bank. Buku ini tampaknya masih agak baru. Cuma dua-tiga helai yang terpakai.

"Siapa yang berhak menandatangani cek?" tanya Gozali.

"Oh, kami berdua." kata Citra.

"Bersama-sama?"

"Sendiri-sendiri. Susah kalau harus bersama-sama. Kalau salah seorang tidak ada dan membutuhkan pembayaran yang cepat, bagaimana? Dalam usaha kami ini sering kami harus bertindak cepat dalam membeli bahan. Kalah sedikit. sudah diambil orang lain. Bahan-bahan yang bagus masuknya terbatas. dan dalam jumlah yang sedikit. Pengimpor selalu bersikap seperti raja. ia tidak akan menunggu kami walaupun sudah kenal. Siapa yang datang dulu dan yang membawa pembayarannya dulu, itu yang mendapatkan barang-barang pilihan."

"bahan bahan yang Anda pakai selalu bahan impor?"

"Sebagian besar." kata Citra.

"Anda tidak menggalakkan pemakaian barangbarang lokal?"

Citra tersenyum.

"Yah. bagaimana ya. Pak. Memang kita sebagai bangsa Indonesia tentunya bangga dapat menyajikan produksi dalam negeri kita. Saya pun demikian, terutama untuk bahan bahan yang tidak bermotif atau yang polos. Kualitas kain kita tidak kalah dengan kualitas impor. Tetapi untuk kain-kain yang bermotif kami sering menghadapi keSulitan. Produsen-produsen kita apabila membuat suatu disain. selalu memproduksinya dalam jumlah yang melimpah-barangkali untuk menekan biaya produksi. Tapi ini ada satu kelemahannya. Pak. Ini menyebabkan kita bisa menjumpai kain itu di mana-mana. Bagi orang perempuan ini fatal. Pak. Kami perempuan paling segan melihat baju kami dikembari orang di mana mana. Apalagi yang mengembari itu-yah, maafkan saja kalau saja kedengarannya sombong-mereka-mereka dari tingkatan sosial yang lebih rendah. Seorang nyonya yang dikembari pembantunya yang juga memakai baju dari bahan yang sama walaupun si pembantu membeli baju konfeksi dan si nyonya membeli baju keluaran pabrik-bisa kejangkejang tujuh hari tujuh malam!

"Itulah sebabnya untuk baju-baju kami yang terbuat dari kain bermotif. kami sampai sekarang masih terpaksa membeli kain impor. Walaupun kain kita sudah mengalami kemajuan tahun-tahun terakhir ini, tapi tidak dapat disangkal bahwa kain-kain

impor itu lebih halus. Produsen kain kita masih harus belajar banyak dari rekan-rekannya di luar negeri. Mereka juga seharusnya mempertimbangkan menciptakan kain-kain dari kualitas yang lebih tinggi, yang lebih halus. dan dalam jumlah yang tidak melimpah ruah begitu. Tidak mengapa harganya lebih tinggi. karena ini nanti akan dikonsumsi oleh orang-orang dari tingkatan sosial yang lebih tinggi juga. Sekarang apa yang ada di pasar hanya satu jenis kualitas saja, yaitu kualitas untuk konsumsi masal. Memang ini adalah mayoritas rakyat kita, tapi suatu saat juga harus dipikirkan kebutuhan untuk golongan minoritas-yaitu mereka yang tingkatan sosial dan inteleknya lebih tinggi."

"Anda membedakan kelas?" tanya Gozali sambil tersenyum.

"Perbedaan kelas itu tidak bisa disangkal eksistensinya. Pak. apakah itu di negara yang sudah makmur. atau di negara yang berkembang seperti negara kita ini. Kita harus realistis dalam melihat faktor sosial. Kita hanya menipu diri sendiri apabila kita mengatakan di negara kita tidak ada perbedaan kelas. Di mana-mana kalau majikan disamai oleh karyawannya. tentu merasa sakit hati-meskipun di negara sosialis. Masalah mengapa timbul perbedaan kelas ini. dan bagaimana caranya untuk menghapuskannya, itu merupakan bahan pemikiran bagi negarawan-negarawan dan ahli-ahli sosiologi. Saya hanya seorang perempuan yang berusaha mencari nafkah untuk menghidupi diri sendiri dengan seorang anak. Jadi saya harus mengikuti arus. Saya tidak mau menjadi orang yang idealis dan sengaja melawan kenyataan demi memperbaiki keadaan sosial suatu

masyarakat." Citra tersenyum.

"Katakanlah, saya tidak punya potongan untuk menjadi seorang pahlawan. Kalau masyarakat menghendaki adanya perbedaan tingkatan sosial, kalau nyonya-nyonya tidak mau dikembari oleh pembantunya. yah. sebagai seorang pengusaha saya harus menuruti kehendak mereka. Kalau tidak. saya tidak bisa mencari nafkah. Kalau saya tidak bisa mencari nafkah. siapa yang memberi makan saya? Idealisme itu suatu hobi yang mahal, saya tidak mampu bermain main dengannya."

"Bagaimana kalau nanti impor kain dilarang?" tanya Gozali. Ia senang berbicara dengan perempuan ini. Citra ternyata adalah orang yang terbuka. yang tidak takut-takut menyatakan pendapatnya.


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Lupus Kecil Bolos Karya Hilman Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya

Cari Blog Ini