Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W Bagian 4
mereka bertemu, Airin merasa ada pukulan lembut
menyentuh dadanya.
"Anakmu cantik sekali, Sis," gumam Airin
kagum.
"Kamu tahu dia mirip siapa?"
"Ayahnya?"
Sisi tersenyum haru. "Kamu tidak mengenali
hidungnya? Matanya?"197
Airin menoleh. Ketika mata mereka bertemu,
secercah keharuan menyelinap ke hatinya.
"Bagaimana bisa, Sis?" desahnya hampir tak terdengar.
Sisi menggigit bibirnya menahan tangis.198
Bab 18
SISI terkejut sekali ketika malam itu Handi pulang.
Hanya satu jam setelah Airin meninggalkan rumahnya.
Mereka tidak melakukan apa-apa yang salah.
Hanya mengobrol sambil bermain dengan Pipie.
Ketika Pipie sudah tidur, mereka melihat-lihat foto
lama di album tua Sisi. Tetapi begitu melihat
suaminya di de-pan pintu, Sisi jadi kelabakan seperti
habis berbuat dosa.
"Kok sudah pulang, Mas?" sergah Sisi gugup.
"Bukannya kamu yang tidak suka saya menemani
Ibu lama-lama?" Handi balik bertanya sambil melangkah masuk. "Pipie sudah tidur?"
"Baru saja. Ibu mana?"
"Masih di rumah Pakde."
"Nggak ikut pulang?"
"Ibu minta kamu yang menjemputnya."
Sisi tertegun.
"Anggaplah sebagai permintaan maafmu."
Dan ambang kesabaran Sisi terlampaui.
Perempuan tua itu betul-betul keterlaluan! Selalu
mencari gara-gara!
"Tapi saya salah apa, Mas?"
"Sikapmu kasar."199
"Tapi saat itu saya sedang panik! Pipie jatuh.
Darahnya banyak sekali! Mas juga membentaknya!"
"Saya sudah minta maaf."
"Oke! Kapan saya harus menjemput Ibu?"
"Lebih cepat lebih baik. Ibu belum mau pulang
kalau belum dijemput."
Astaga. Sisi hampir mengurut dada. Sekilas dia
teringat janjinya pada Airin.
"Saya jemput Ibu hari Minggu," katanya datar.
"Kenapa bukan besok? Rizal janji datang lagi?"
Sisi yang sudah memutar tubuhnya tidak jadi
melangkah. Dia berpaling dengan heran. Bukan oleh
pertanyaan suaminya. Tetapi oleh nada suaranya.
Kapan pernah didengarnya suara Handi sebengis itu?
"Tadi pagi dia datang, kan? Mau apa dia kemari?
Minta duit lagi?"
"Mas!"
"Jangan bohong. Tadi pagi aku telepon ke rumah.
Kamu baru saja berangkat ke rumah sakit. Kata Imah,
Rizal datang."
Meledak kemarahan Sisi. Dia tahu, suaminya
berhak marah. Tapi kalau marah, mengapa mesti
kepadanya? Dia sendiri kesal. Terus-menerus dimintai
uang. Tetapi dia harus bagaimana?
"Dia minta modal untuk buka bengkel motor.
Lain kali Mas bisa langsung tanya saya. Tidak usah
melalui pembantu!"
"Jadi benar kata Ibu," geram Handi sama marahnya. "Kamu bukan cuma membiayai ibumu! Kamu
memberikan uang juga kepada iparmu!"
"Persetan dengan ibumu!" bentak Sisi sambil
membanting gelas yang dipegangnya. Tadi dia sedang
me-angkah ke lemari es untuk mengambil minuman200
buat suaminya. "Kapan Ibu baru mau berhenti menghasutmu? Kalau kita sudah bercerai?"
"Ibu tidak menghasut! Ibu hanya coba menyadarkan anaknya, betapa tololnya saya selama ini!"
"Karena menikah dengan saya?"
"Karena membiarkan uang saya dihabiskan di
meja judi! Di kantong bandar narkotik!"
"Saya benar-benar tidak tahan lagi bersaing
dengan ibumu, Mas," Sisi menggigit bibir menahan
tangis. "Lebih baik kita bercerai."
"Ibu bukan saingan! Ibu cuma mengatakan apa
yang benar!"
"Benar untuk siapa? Yang benar, Ibu tidak menghendaki Mas Handi kawin! Ibu tidak menginginkan
seorang perempuan pun memiliki anak kesayangannya. Tidak juga istrinya!"
Handi menggebrak meja dengan marahnya. Dia
menyapu semua barang di atas meja itu. Semua benda
berjatuhan ke lantai. Pecah berderai dengan
menerbitkan suara gaduh.
Tanpa menghiraukan jerit tangis Pipie yang
terjaga dengan kagetnya, Handi menerjang ke kamar
tidurnya. Dia masuk dan membanting pintu sekeraskerasnya.
Itulah pertengkaran mereka yang paling hebat selama menikah. Biasanya Handi selalu sabar. Sisi pun
lebih banyak mengalah. Rumah tangga mereka
memang tidak hangat. Tapi selalu damai. Kecuali
kalau Ibu sudah menyulut petasan.
Sisi menghambur ke kamar anaknya. Pipie sedang
menangis dalam gendongan Imah yang sudah
mengerut ketakutan.
"Saya bukan ngadu, Bu," rintihnya lirih. "Bapak
tanya ada tamu nggak"201
"Sudah, keluar sana," Sisi mengambil anaknya
dari gendongan Imah.
Terbirit-birit Imah lari keluar. Di luar matanya
terbelalak. Melorot melihat pekerjaan rumahnya
malam ini.
"Kaget ya, Sayang?" bujuk Sisi sambil memeluk
dan mencium anaknya. "Bobok lagi, ya? Mama temani Pipie bobok."
Sisi membawa anaknya ke tempat tidur. Membaringkannya. Membelai-belai kepalanya dengan
lembut. Menepuk-nepuk pahanya dengan penuh kasih
sayang.
Lambar laun tangis Pipie mereda. Matanya mulai
terpejam kembali. Tetapi sekali-sekali dia seperti tersentak kaget.
"Mama..." rintihnya mengantuk.
"Mama di sini, Manis," bisik Sisi sambil
mengusap-usap kepala anaknya.
Ketika setetes air mata jatuh ke mukanya, mata
Pipie yang sudah terpejam dilibat kantuk terbuka sedikit.
"Mamaaa..." gumamnya lemah.
"Iya, Sayang?"
"Mama..." Pipie seakan-akan masih ingin bicara.
Tetapi matanya sudah tidak mau dibuka lagi. Mulutnya juga. Dia sudah jatuh terlelap.
Sisi mengecup pipi anaknya dengan hati-hati.
Khawatir membangunkannya. Lalu perlahan-lahan dia
membaringkan tubuhnya di samping anaknya.
???
Ketika Sisi terjaga keesokan paginya, Pipie belum bangun. Rupanya tidurnya nyenyak sekali. Meskipun202
sedang kesal, melihat wajah anaknya selalu membangkitkan senyum di bibir Sisi. Apalagi melihat dia
me-meluk guling kecilnya.
Hati-hati Sisi menggeser tubuhnya. Turun dari
ranjang. Diperbaikinya seiimut yang menyelubungi
tubuh Pipie. Dibelainya wajahnya sedikit.
Pipie bergerak sedikit. Dia melenguh. Mencium
gulingnya. Air liurnya meleleh. Tapi matanya tetap
terpejam.
Sisi menunggu sebentar sambil menahan senyum.
Ketika dilihatnya Pipie tidak terjaga, dia melangkah
hati-hati ke pintu.
Tenang sekali di luar. Damai. Tenteram. Kalau
saja Angkara Murka itu tidak ada, senyaman inilah
rumahnya tiap hari. Cuma Imah yang sedang
memasak air untuk membuat kopi
Dan Sisi tertegun. Yang ditemuinya di dapur,
bukan Imah. Tapi ibu Handi!
Dia sedang minum kopi seorang diri. Entah di
mana disimpannya mulutnya pagi ini!
"Ibu..." sapa Sisi antara heran dan terkejut. "Ibu
sudah pulang?"
Ibu Handi menoleh dengan dingin. Dan melihat
tatapannya saat itu, rasanya lebih baik kalau Sisi tidak
usah balas menatap. Atau lebih baik, dia balik saja ke
kamar. Tidur kembali bersama Pipie.
"Memang kenapa kalau Ibu pulang?" suaranya
judes sekali. "Nggak boleh?"
"Saya kira Ibu masih di rumah Pakde."Bukannya
dia minta dijemput seperti ratu?
"Ibu tidak tega Handi di rumah sendirian. Tidak
ada yang ngurus."203
Sisi berusaha menelan kejengkelannya. Dia tahu
perkawinannya sudah di titik kritis. Kalau dia ingin
mempertahankannya, demi Pipie, dia harus sabar.
"Saya baru saja mau menjemput Ibu ." Besok.
Ditelannya kata yang terakhir itu.
"Kapan?" sindir Ibu pedas. "Bulan depan?"
"Pakde baik, Bu?" sengaja Sisi mengalihkan pembicaraan. Lebih baik pura-pura tidak dengar daripada
menjawab tantangannya.
"Lukanya Pipie bagaimana?"
"Baik, Bu."
"Lain kali kamu jaga sendiri anakmu! Jangan
suruh Ibu lagi!"
"Saya minta maaf, Bu. Tidak sengaja mengasari
Ibu."
"Ah, sudah biasa mertua yang numpang dikurangajari menantu."
"Ibu," desis Sisi menahan marah. "Kenapa Ibu
begitu tidak menyukai saya?"
"Kok tanya Ibu?"
"Saya heran kenapa Ibu selalu menghasut Handi
supaya kami bertengkar."
"Berani-beraninya kamu menyalahkan Ibu!" Ibu
Handi bangkit dengan marah. "Tadi malam kalian
ribur, kan? Justru waktu Ibu tidak ada di rumah!"
"Tapi kami ribut karena Ibu."
Ibu Handi membeliak marah. Seperti hendak
menelan menantunya bulat-bulat. Ketika dilihatnya
Handi datang, diacungkannya jari telunjuknya ke
muka menantunya dengan sengit.
"Sekarang dia berani menuduh Ibu menghasutmu!
Dia bilang gara-gara Ibu kalian selalu bertengkar!
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Coba, Handi, Ibu baru saja pulang sudah disakiti lagi!
Mana Ibu bisa tahan hidup begini!"204
Sekarang Handi berpaling ke arah Sisi. Dan melihat mata Handi saat itu, Sisi tahu, percuma membela diri.
Belum pernah dilihatnya rarapan yang demikian
penuh kebencian. Dan tatapan itu milik Handi. Milik
suaminya!
Sampai bergetar pelupuk mata Sisi. Jantungnya
terasa pedih. Nyeri tersayat-sayat. Sakitnya sampai
terasa ke sumsum tulang.
"Tadi malam kamu ribut dengan saya." Suara
Handi begitu dinginnya sampai Sisi merasa seperti
disiram seember air es. "Sekarang baru juga Ibu
datang, sudah kamu ajak bertengkar. Katakan, Sisi,
mau apa kamu sebenarnya? Kalau kamu sudah bosan
hidup sebagai istri saya, bilang!"
"Saya sudah bosan jadi duri di antara cinta kalian
yang tidak normal!" Sisi sudah bergerak
meninggalkan dapur ketika Handi menghalanginya.
"Kamu bilang apa?" desisnya sengit.
"Kalau Mas memperistri saya karena mencari
ibumu dalam diri saya, Mas keliru! Ibumu tidak bisa
digantikan oleh siapa pun! Karena Mas Handi mengidap Oedipus Complex!"
Sekejap Sisi melihat kilat keluar dari mata Handi.
Dan dia terlambat menafsirkan reaksi kata-katanya.
Terlambat mengantisipasi gerakan tangan suaminya.
Karena dia tidak menyangka Handi berani
melakukannya!
Tangan Handi melayang demikian cepatnya.
Melanda wajahnya dalam sebuah tamparan kuat yang
menyakitkan.
Sisi terjajar ke belakang. Menabrak meja di belakangnya. Dia merasa sakit menusuk di wajahnya.
Sakit di pinggulnya. Tapi lebih sakit lagi hatinya.205
Lebih-lebih melihat mata perempuan yang sedang
menatap dengan puasnya itu.
Bergegas Sisi memperbaiki posisinya. Sambil
mengatupkan rahangnya menahan sakit dan marah,
dia melewati tempat Handi yang masih tertegun.
Kaget dan tidak percaya menyadari apa yang telah
dilakukannya.
"Sis!" Handi mengejarnya dengan perasaan
bersalah. "Maafkan saya!"
Tetapi Sisi tidak berhenti melangkah. Menoleh
pun tidak. Dia langsung masuk ke kamar Pipie. Dan
menutup pintu.
"Biarkan saja," Ibu mencegah Handi menyusul
masuk. "Sekali-sekali dia harus diajar seperti itu! Biar
jangan kurang ajar!"
"Diam, Ibu!" bentak Handi pedas. "Atau saya
antarkan lagi Ibu ke rumah Pakde!"
Ibunya sampai melongo kaget. Dan tidak berani
membuka mulutnya lagi.
Ketika Handi masuk ke kamar Pipie, dilihatnya
Sisi sedang duduk di sisi tempat tidur. Dia tidak
menoleh ketika suaminya masuk.
"Maaf, Sis," kata Handi penuh penyesalan. "Saya
khilaf."
Sisi tidak menjawab. Dia membetulkan letak
guling Pipie. Merapikan selimutnya. Dan melangkah
keluar.
Ketika dia lewat di depan suaminya, Handi
meraih tangannya.
"Kamu dengar, Sis? Saya minta maaf! Begini
kamu perlakukan orang yang minta maaf padamu?"
Sisi mengempaskan tangannya lepas dari
cengkeraman Handi. Lalu tanpa berkata apa-apa dia206
melangkah keluar. Langsung masuk ke kamar tidur.
Mengambil handuk. Dan masuk ke kamar mandi.
Ketika dia sedang membuka keran bak mandi,
Handi masuk.
"Katakanlah sesuatu, Sis," pintanya lirih. "Jangan
diamkan saya seperti ini!"
"Saya harus bilang apa?" desis Sisi dingin. Tanpa
menoleh. "Terima kasih untuk tamparanmu? Apalagi
di depan Ibu?"
"Sis," Handi memeluknya dari belakang.
Tetapi Sisi meronta dengan marah. Ketika dia
menoleh, Handi melihat bekas tamparan di pipinya.
Dan dia merasa hatinya nyeri disayat penyesalan.
"Kenapa kita selalu bertengkar, Sis?" keluh Handi
getir.
"Jangan tanya saya! Tanya Ibu!"
"Mengapa kamu begitu benci pada Ibu? Tidak
bolehkah seorang anak mencintai ibunya?"
"Mas bukan cuma mencintai seorang ibu," sergah
Sisi pedas. "Mas sakit! Atau bukan cuma Mas Handi
yang sakit. Ibu juga sakit!"
"Jangan pernah mengatakannya lagi, Sis!"
"Atau Mas akan menampar saya lagi?" tantang
Sisi sengit. "Silakan, Mas. Karena saya akan
mengatakannya terus. Sampai Mas Handi sadar!
Sekarang keluar-lah. Saya mau mandi!"
"Kamu mau ke mana?"
"Ke mana lagi? Ke rumah sakit! Mas kira saya
mau kabur ke rumah ibu saya?"
"Tunggu saya. Nanti saya antarkan."
"Tidak usah! Tunggui saja ibumu!"207
Bab 19
"KOK nggak nunggu saya sih?" gumam Handi
kecewa.
Dia sudah tergesa-gesa mandi. Menolak tawaran
Ibu sarapan. Tetapi belum sempat menukar pakaian,
Sisi sudah siap berangkat. Dia menyambar tasnya dan
melangkah ke pintu.
"Pergi, Mas," katanya datar.
Lalu dia mencium Pipie yang sedang mengisap
ibu jarinya dalam gendongan Handi.
"Langsung ke rumah sakit, Sis?" tanya Handi penuh sesal melihat bekas tangannya di wajah istrinya.
"Ya," sahut Sisi sambil mencium pipi anaknya.
"Mama pergi dulu, Sayang."
"Betul tidak mau saya antarkan?"
"Saya sudah pesan taksi." Sisi melambaikan
tangan kepada anaknya.
Pipie yang masih mengantuk hanya mengawasi
ibunya sambil melambai-lambaikan tangannya. Sisi
langsung keluar ke halaman. Ketika dia duduk di
dalam taksi yang sudah menunggu di pinggir jalan,
dia melihat Handi menggendong Pipie di teras depan.
Mereka melambai-lambaikan tangan kepadanya.
Sisi menghela napas panjang. Seolah-olah hendak
menumpahkan kepengapan yang menyesak di dada.208
Tetapi begitu dia masuk ke Bagian Neurologi,
kepengapan lain sudah menunggu.
Suster Gita langsung menghampiri begitu
melihatnya datang.
"Pagi, Dok. Ditunggu adiknya."
Sisi melemparkan pandangannya dengan cepat ke
arah yang ditunjukkan Suster Gita. Dia terkejut sekali. Dikiranya Lia yang datang. Atau Titin. Ada apa?
Ibu...?
Dan rasa terkejutnya hilang berganti dengan rasa
jengkel begitu melihat siapa yang sedang duduk di
sana.
"Ada apa lagi, Zal?" Sisi berusaha menjaga
volume dan nada suaranya. Di sana banyak perawat.
"Ibu baik?"
Rizal seperti mengerti kakak iparnya sedang mencoba menjaga citranya. Karena itu dia bersikap sopan.
"Pagi, Mbak. Ibu sehat. Lia juga oke. Boleh
bicara dalam kamar kerjamu, Mbak?" Dia mendekatkan mulutnya dan berbisik dalam nada
menyebalkan, "Jaim, Mbak."
Sisi menatapnya dengan kesal. Rizal membalas
dengan seuntai senyum melecehkan.
Dia langsung mengikuti Sisi ketika canpa berkata
apa-apa, kakak iparnya melangkah menuju ke sebuah
kamar kerja yang pintunya masih terbuka.
Kamar kerja Dokter Iwan masih kosong. Hari
Sabtu biasanya dia tidak datang. Kecuali kalau ada
pasien gawat yang membutuhkan konsultasi.
Sisi langsung duduk di balik meja tulis. Rizal
mengikutinya masuk. Menutup pintu dan duduk di
hadapannya. Sikapnya langsung berubah kurang ajar.
"Dua juta, Mbak," katanya sambil menyeringai
puas.209
"Baru kemarin kamu minta sejuta! Sudah habis di
meja judi? Memangnya gampang cari uang?" desis
Sisi kesal.
"Pacaran dengan langganan lama juga tidak
gampang kan, Mbak?" Ada seringai mengejek di bibir
Rizal. "Harus menunggu suami ke luar kota dulu?"
Sisi tersentak kaget. Matanya membelalak marah.
Disembunyikannya ketakutannya di balik kemarahan
yang berkobar di matanya.
"Kamu ngomong apa sih?"
"Dua juta sebelum jam lima nanti sore, Mbak,"
kata Rizal kurang ajar sekali. "Antarkan ke rumah
saya."
"Yang mana rumahmu?"
"Maksud saya," Rizal menyeringai lebar, "rumah
Ibu."
"Tidak ada," sahut Sisi sambil menekan getar
dalam suaranya. Mudah-mudahan bajingan ini tidak
tahu, betapa takutnya dia! Dari mana dia tahu...?
"Mbak tidak mau Mas Handi tahu hubungan
Mbak dengan Airin, kan?"
"Rizal!" bentak Sisi gemetar.
"Saya tahu, Mbak." Ada seringai amat puas bermain di bibirnya. "Tapi Mas Handi belum tahu. Perawat-perawat belum tahu. Pasien-pasien Mbak juga
belum tahu."
"Otakmu benar-benar sudah rusak!" bentak Sisi
menahan marah. "Kamu sakit!"
"Tapi masyarakat memang kejam, Mbak." Rizal
menyandarkan punggungnya dengan santai ke kursi.
Ditatapnya kakak iparnya dengan penuh kemenangan.
Selama ini dia selalu merendahkannya. Ternyata dia
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malah lebih rendah lagi! "Mereka sering bersikap210
kejam pada orang sakit. Apalagi kalau yang sakit
seorang dokter!"
"Saya minta kamu keluar, Rizal," Sisi mencoba
tenang. Dia tidak boleh kelihatan takut. "Atau saya
akan memanggil satpam."
"Dua juta, Mbak," sahut Rizal sama tenangnya.
Matanya tersenyum puas. Bibirnya juga. "Saya akan
menutup mulut saya rapat-rapat. Saya juga tidak mau
kan kakak ipar saya yang terhormat dihina orang!"
"Rizal!" sergah Sisi sengit. "Kamu mau memeras
saya dengan segala macam omong kosong ini?"
"Kalau Mas Handi sampai tahu, ini bukan omong
kosong lagi, Mbak! Lelaki mana yang tidak jijik kalau
istrinya main dengan perempuan lain?"
"Rizal!" Sisi menggigit bibirnya menahan tangis
dan sakit hati. "Ini balasanmu untuk apa yang selama
ini telah saya berikan kepadamu? Kepada istrimu?
Anak-anakmu? Kamu memfitnah saya dengan
tuduhan sekeji ini?
"Ini bukan fitnah, Mbak." Senyum Rizal sarat
dengan sejura permintaan maaf. Tapi matanya
menatap dengan tatapan melecehkan. "Saya punya
saksi. Lia. Meskipun saya harus sedikit memaksanya
tadi malam. Dan... Riri Hadianto. Mbak ingat dia?
Teman SMA Mbak Sisi. Sekarang dia sering
menawarkan barang pada saya."
Barangkali pucatnya paras Sisi sudah sama
dengan baju yang dipakainya. Riri Hadianto! Nama
yang sudah tidak ingin didengarnya lagi!
Sekarang dia kerja menawarkan barang. Barang
apa yang ditawarkan kepada seorang pengangguran
seperti Rizal? Riri pasti bukan sales peralatan rumah
tangga. Jangan-jangan dia pengedar narkoba!211
Berapa sulitnya menyogoknya untuk bersaksi?
Lia mungkin bisa menutup mulut. Kecuali kalau dia
disiksa suaminya. Tapi Riri? Dia mungkin hanya
perlu seratus ribu! Mungkin malah kurang!
"Tadi malam saya ngomong-ngomong sama dia,
Mbak. Dia masih ingat padamu. Dia kirim salam,
Mbak!"
"Tidak ada orang yang percaya fitnah seorang
pengedar putauw!" geram Sisi putus asa.
"Tapi gosip kan jahat, Mbak. Hidup Mbak tidak
bakal tenang lagi. Rumah tangga Mbak kacau kalau
suami sudah mulai curiga. Dan Mbak tidak bisa bebas
lagi pergi berdua... mmm, ngomong-ngomong,
lipstiknya rasa apa, Mbak?"
Percuma menutupi semuanya lagi. Untuk pertama
kalinya Sisi sadar, ada orang yang mengetahui
hubungan nya dengan Airin setelah dia jadi dokter!
Dan orang itu Rizal. Yang tidak akan berhenti
memerasnya!
Ketika untuk pertama kalinya Sisi tidak dapat
membuka mulutnya, ketika melihat air menggenangi
matanya, Rizal merasa terenyuh. Bagaimanapun
judesnya Sisi, dialah yang selama ini menopang
rumah tangganya. Dia tidak pernah menolak kalau Lia
minta uang. Bahkan selalu memberikan uang setiap
bulan untuk ibu dan adik-adiknya.
"Maafkan saya, Mbak." Tak ada senyum lagi di
bibir Rizal. Dia membungkuk ke atas meja. Suaranya
lebih perlahan. Lebih lunak. "Saya terpaksa memerasmu. Saya perlu uang."
"Kenapa harus dengan jalan ini?" desah Sisi lirih.
"Saya tidak melihat jalan lain, Mbak. Kalau tidak
ada dua juta nanti malam, saya bisa mati!"212
"Tapi dua juta! Saya tidak punya uang sebanyak
itu!"
"Mbak bisa pergi ke ATM."
"Itu ATM bersama Mas Handi, Zal. Kalau dia
tahu saya memberimu uang lagi, saya bisa diceraikan!"
"Cari saja alasan lain, Mbak!"
Alasan apa? Rumah tangganya sedang panas. Perkawinannya sedang berada di ujung tanduk!
Kalau Handi tahu dia mengambil uang di ATM
dan memberikannya lagi kepada Rizal, dia pasti
marah sekali. Mereka akan bertengkar lebih hebat
lagi.
Tapi dia harus bagaimana lagi? Percuma
memohon belas kasihan Rizal. Percuma minta tolong
pada pecandu narkotik yang sedang kehabisan duit.
Uang itu mungkin diperlukannya untuk
membayar utang judinya. Atau untuk membeli
narkoba!
Kalau tidak ada dua juta nanti malam, saya bisa
mati!
Rizal serius dengan kata-katanya. Sisi tahu dia
tidak berbohong. Bukan hanya Sisi yang ketakutan.
Rizal juga!
Dan Sisi tahu, Rizal tidak akan pernah berhenti
memerasnya. Memberinya uang kali ini bukan solusi
yang akan menyelesaikan masalah. Karena dia tidak
akan berhenti menguras tambang minyaknya!
Sisi minta izin pulang sebelum makan siang.
Kepalanya pusing. Hatinya gundah. Pikirannya kacau.
Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ke mana harus
minta tolong. Di mana harus mencari dua juta rupiah.
Tanpa setahu Handi.213
Ketika dia sampai di rumah, Handi tidak ada. Ibunya juga entah di mana. Tapi buat apa mencari mereka? Dia kan tidak mungkin minta tolong pada
suaminya. Menjelaskan semuanya.
Menceritakan masalahnya kepada Handi tidak
akan memecahkan masalahnya. Dia mungkin malah
akan mengejek dengan sinis.
"Katamu saya sakit! Kamu sendiri yang sakit!"
Dan penyakitnya malah lebih memalukan lagi.
Seandainya dia berselingkuh dengan seorang lakilaki, barangkali malah tidak begini memalukan!
Sisi merasa sekujur tubuhnya dijalari rasa dingin.
Untuk pertama kalinya setelah jadi dokter dia harus
menelan kenyataan pahit itu. Ada orang yang
mengetahui rahasianya. Dia tidak dapat lagi
menyimpan rahasia itu dalam relung gelap di hatinya
sendiri!
Seluruh dunia bakal tahu. Pasien-pasiennya tahu.
Perawat-perawatnya tahu. Dokter-dokter sejawatnya
tahu. Suaminya tahu. Mertuanya tahu. Mereka akan
memandangnya dengan jijik! Di mana harus
disembunyikannya mukanya?
Lebih baik dia bunuh diri daripada mendapat
malu!
Sisi sudah mengambil obat tidurnya ketika pintu
menjeblak terbuka.
"Mama! Mama!" teriak Pipie sambil melompat
hendak merangkulnya.
Dan tiba-tiba saja Sisi sadar, dia hampir saja berbuat nekat!
Terima kasih, Tuhan, bisiknya sambil merangkul
dan menggendong anaknya. Terima kasih karena
telah mengirim Pipie untuk menyelamatkan nyawaku!214
Diciuminya anaknya dengan berlinang air mata.
Melihat ibunya menangis, Pipie ikut menangis.
"Kenapa Pipie nangis?" Sisi membawa anaknya
ke tempat tidur. Membaringkannya di ranjang. Dan
mengeringkan air matanya dengan tisu.
"Kenapa Mama nangis?" Pipie balas bertanya
dengan tatapan lucu. "Papa nakal lagi?"
Ada pukulan lembut di dada Sisi. Dia ingin tertawa. Sekaligus menangis.
Pipie bukan cuma bandel. Dia lucu. Sekaligus
cerdik. Entah dari mana dia tahu ayahnya nakal.
Apakah dia bisa melihat pipi ibunya yang lebam?
Yang sekarang sedang diusap-usapnya dengan
tangannya yang mungil sampai Sisi bergetar menahan
rasa geli dan haru?
"Tidak, Sayang," Sisi menciumi anaknya dengan
gemas sampai Pipie menggeliat-geliat kegelian.
"Mama tidak nangis. Dan tidak akan pernah nangis
kalau Pipie tidak nangis!"
Pipie berguling-guling sambil tertawa cekikikan.
Dia mulai melompat-lompat di ranjang. Biasanya Sisi
mencegahnya. Biasanya dia takut anaknya jatuh.
Biasanya dia pusing melihat tingkahnya yang
hiperaktif. Tapi sekarang didiamkannya saja. Dia
malah menikmati saat-saat itu. Saat yang hampir tidak
dapat dinikmatinya lagi!
Melihat anaknya, kekuatan Sisi bangkit kembali.
Apa pun yang terjadi, dia harus menghentikan Rizal.
Handi tidak boleh tahu. Ibunya tidak boleh tahu.
Semua orang tidak boleh tahu!
Demi Pipie, dia rela melakukan apa saja. Untuk
menghentikan Rizal. Untuk melindungi nama baiknya. Untuk melindungi Pipie!215
Ketika Pipie sudah tidur karena kecapekan, Sisi
mengeluarkan seluruh sisa uangnya. Dihitungnya
dengan hati berdebar-debar. Satu juta dua ratus sembilan puluh ribu rupiah. Itu sudah termasuk lima ratus
ribu uang simpanannya.
Belajar dari ibunya, Sisi selalu menyisakan uang
di dalam amplop yang disimpan di bawah tumpukan
bajunya. Untuk keperluan mendadak. Seperti mala
mini.
Satu juta dua ratus. Puaskah Rizal menerima uang
itu? Atau dia ngotot harus dua juta hari ini juga?
Bisakah Sisi minta tolong Lia untuk melunakkan
hati suaminya? Membujuknya agar... agar tidak apa?
Menyebarluaskan kelainan kakak iparnya? Aduh,
malunya!
Rizal mungkin tidak memedulikan permintaan
istrinya. Dia mcmang kurang ajar. Tidak pernah
menaruh respek, apalagi rasa hormat, pada Lia!
Barangkali Ibu lebih tepat. Rizal menumpang di
rumahnya. Kalau Ibu mengancam... tapi... ah, Sisi
tidak sampai hati mengatakannya kepada Ibu!
Kasihan Ibu. Umurnya sudah enam puluh dua tahun. Dalam umur setua itu, dia masih harus bekerja
keras. Pagi membuat kue. Siang sampai sore
menunggui kiosnya.
Memang Ibu sekarang tidak perlu lagi menjajakan
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kue. Menitipkan kuenya di toko-toko langganan. Sisi
sudah mencicil sebuah kios kecil di pasar. Di sana Ibu
bisa berjualan kue.
Tapi berapa hasilnya? Apalagi untuk dimakan
bersama anak, menantu, dan cucu-cucunya! Merasa
hasil berjualan kue tidak memadai lagi, Ibu malah
tidak segan-segan jadi buruh jahit.216
Lia tidak bekerja apa-apa. Sibuk mengurus anak.
Rizal menganggur. Sementara Titin yang sudah menikah dengan seorang guru, belum dapat membantu
apa-apa.
Sisi memang memberi uang setiap bulan.
Kadang-kadang membantu kebutuhan mendadak Lia.
Tapi ekonomi keluarga tetap dibebankan kepada
ibunya.
Padahal dalam usia setua itu, seharusnya Ibu
sudah pensiun! Sudah bisa menimang-nimang cucu
dengan santai! Bukan berlumur terigu dan telur setiap
hari!
Sisi tidak sampai hati menambah beban ibunya
lagi. Dia sudah dewasa. Kalau ada masalah, mengapa
tidak dapat diselesaikannya sendiri? Mengapa harus
membawa-bawa Ibu?
???
Ketika Sisi turun dari taksi di rumah ibunya, Lia baru
saja hendak meninggalkan halaman rumahnya. Dia
terperanjat melihat kakaknya datang.
"Mbak Sisi!" sapanya heran. "Kok tumben?"
"Ibu belum pulang?" tanya Sisi asal saja.
Padahal dia tahu, sejam lagi pun ibunya belum
tentu pulang. Kalau jahitan sedang banyak, jam delapan saja dia belum tentu sampai di rumah.
"Wah, hari begini sih Ibu pasti belum pulang!
Jam berapa sekarang ya, Mbak?" Lia menoleh kepada
tetangganya. Rupanya mereka hendak pergi bersamasama.
"Jam lima kurang sepuluh."
"Tunggu di dalam saja, Mbak," kata Lia kepada
kakaknya. Sisi menghela napas melihat perut adiknya217
yang sudah mulai terlihat menonjol di balik bajunya.
"Saya mau pergi sebentar sama Mbak Mimin."
"Apa kabar, Mbak Mimin?" sapa Sisi sambil memaksakan sepotong senyum.
"Baik," Bu Mimin tertawa ramah. Padahal dulu
dia jarang sekali tertawa. Apalagi kalau Sisi masih
punya utang di warungnya. "Anu lho, Sis. Kebetulan
nih ketemu. Mau nanya, si Didit tuh bijinya gede sebelah. Sudah seminggu. Kenapa ya, Sis?"
"Mesti diperiksa dulu, Mbak," sahut Sisi
seadanya. Habis dia harus menjawab apa lagi? Dia
sedang malas bicara. Tetapi rupanya pasien ada di
mana-mana. "Bawa saja ke rumah. Atau ke tempat
praktek suami saya."
"Terima kasih, Sis!" Senyum Bu Mimin kian melebar. Pucuk dicinta ulam tiba. "Nanti boleh ya, saya
bawa ke tempat praktek suamimu? Kata Lia, Sabtu
juga dia praktek, kan?"
Sisi cuma mengangguk.
"Pergi dulu ya, Mbak," sela Lia. "Mau cepatcepat nih. Mumpung anak-anak lagi tidur. Rizal ada
di dalam. Tumben tuh nggak ke mana-mana!"
"Kapan-kapan mampir ke rumah, Sis," kata Bu
Mimin makin ramah.
Kalau aku bukan dokter, apa dia seramah ini
juga, pikir Sisi sambil masuk ke dalam rumah. Dan
kalau dia tahu penyakitku, apa dia masih tetap
ramah?
Begitu masuk, Rizal muncul dari bekas kamarnya
dulu. Masih bertelanjang dada. Hanya mengenakan
celana pendek. Tetapi begitu melihat siapa yang
datang, dia lekas-lekas menyambar bajunya.
"Wah, Mbak Sisi!" cetusnya gembira. "Untung
datang!218
Sisi hampir bcrsin mencium bau tidak enak yang
menyerbu hidungnya. Dulu, rumahnya kecil. Tapi
bersih. Sisi rajin membersihkan dan merapikan
rumahnya.
Sekarang, rumah itu tidak bertambah besar.
Tetapi bertambah jorok. Barang berserakan di manamana. Mainan anak-anak, sisa makanan, abu rokok
bertebaran. Baunya bukan main. Kotornya jangan
ditanya lagi.
Kalau tidak sedang pusing, Sisi pasti sudah menegur Rizal. Kalau tidak punya pekerjaan, mengapa
tidak membersihkan rumah saja? Supaya rumah ini
bisa dibedakan dari kandang!
Tetapi hatinya sedang galau. Pikirannya kacau.
Jangankan memikirkan urusan orang lain.
Memikirkan urusan sendiri saja sudah sakit kepala!
"Mana uangnya, Mbak?" desak Rizal rakus.
"Cuma sejuta dua ratus. Tidak ada lagi."
"Tidak ada dua juta?" sergah Rizal cemas.
"Itu sudah seluruh uang yang bisa saya
kumpulkan saat ini. Sisanya tinggal enam puluh ribu.
Buat naik taksi."
"Tolonglah saya, Mbak!" mata Rizal menggelepar-gelepar dalam ketakutan. Kalau tidak sedang
didesak rasa malu, rasa geram, rasa tertindas, Sisi
pasti sudah menemukan kepanikan di mata iparnya.
"Saya betul-betul butuh uang! Kali ini saja!"
"Tapi saya bukan bank, Zal! Baru kemarin saya
berikan satu juta! Masa sudah habis?"
"Saya perlu dua juta lagi, Mbak!
"Berapa banyak putauw yang kamu butuhkan?
Atau kamu punya utang pada bandar judimu?"
"Saya ikut ke rumah ya, Mbak? Atau mesti ke
tempat praktek?"219
"Mau apa ke sana?"
"Biar saya bicara dengan Mas Handi. Dia pasti
rela kehilangan delapan ratus ribu. Daripada
kehilangan nama baiknya."
Akhirnya ambang kesabaran Sisi terlewati juga.
Bagaimanapun sabarnya dia, kesabaran itu ada batasnya. Lagi pula dia tahu, menyerah tidak ada gunanya.
Barangkali menggertak lebih baik.
"Silakan saja kalau itu pilihanmu," Sisi menelan
kemengkalannya. Disimpannya kembali uang yang
tadi diletakkannya dalam sampul di atas meja. "Saya
tunggu di rumah."
"Mbak!" sergah Rizal panik. Dia memburu
hendak merampas uang itu.
Tetapi Sisi sudah keburu menyimpannya. Dia
malah sudah menutup tasnya.
"Berikan pada saya, Mbak!" teriak Rizal kalap.
Dia menerjang hendak merampas tas Sisi.
Karena Sisi lebih cepat menyingkirkan tasnya,
Rizal hanya sempat merenggut tali penggantung tas
itu. Tali itu putus. Tapi tasnya masih dalam
genggaman Sisi.
"Ke sinikan uangnya, Mbak!" geram Rizal gusar.
Dilemparkannya tali penggantung tas itu dengan
sengit. Lalu dengan ganas dia menerjang Sisi dan
merampas tasnya.
"Kamu benar-benar bajingan!" gerutu Sisi setelah
tidak mampu lagi mempertahankan tasnya.
Rizal membuka tas itu dengan kalap. Dan
menum-ahkan isinya ke atas meja. Dia meraih sampul
itu dengan kasar. Merobeknya dengan tergesa-gesa.
Dan mengantongi uangnya.
Belum puas, dia masih meraih dompet Sisi dan
mengambil sisa uangnya. Dia mengantongi juga220
ponsel Sisi. Barangkali lumayan buat menambal
kekurangannya.
"Saya tinggalkan lima ribu buat naik bajaj," katanya sambil menyeringai kurang ajar.
Sambil mengutuk Sisi meraup isi tasnya yang
berantakan di meja. Sebenarnya dia ingin menunggu
Ibu pulang. Tapi dia punya janji dengan Airin. Janji
terakhir. Sekarang saja dia sudah terlambat. Sudah
hampir pukul lima.
Bergegas Sisi menghambur ke halaman.
Memanggil bajaj yang kebetulan lewat.
Dia menyebutkan alamat sekolahnya.
"Lima ribu ya, Bang?"
Memang cuma itu sisa uangnya. Kalau si tukang
bajaj menolak, dia harus jalan kaki! Atau menunggu
bus.221
Bab 20
AIRIN sudah menunggu di dalam mobilnya di depan
sekolah. Tidak ada mobil lain di sana. Seperti yang
dikatakan Pak Atmo, Sabtu sore sekolah kosong.
Tidak ada aktivitas apa-apa.
Jadi tidak sulit mengenali mobil Airin. Sisi melangkah menghampiri. Mengetuk kaca mobilnya yang
tertutup.
Airin yang sedang mendengarkan lagu sambil
membaca buku dalam mobil yang AC-nya masih
dinyalakan, langsung membuka kaca.
"Kukira tidak datang, Sis," cetusnya lega.
"Lho, aku kan sudah janji."
Airin menaikkan kaca jendela mobilnya. Turun
dari mobil dan mengunci pintunya. Lalu dia menghampiri Sisi mengajak masuk.
Pintu gerbang sekolah masih tertutup. Tapi tidak
dikunci. Pak Atmo sengaja membiarkannya terbuka.
Dia hanya mengawasi dari kejauhan.
Airin mendorongnya dengan mudah. Dan mengajak Sisi menyelinap ke dalam.
"Maaf aku terlambat," kata Sisi waktu mereka
berjalan menelusuri deretan kelas yang sepi. Hari
sudah mulai gelap.
"Ah, nggak apa-apa," sahut Airin santai.
Tangannya menyelusur ke bawah. Mencari tangan222
Sisi. "Cuma telat sepuluh menit. Aku tahu, dokter
selalu sibuk. Praktek dulu?"
"Hari ini giliran suamiku."
Sisi merasa dadanya berdebar-debar ketika
merasakan tangan Airin menyentuh tangannya.
Menggenggamnya dengan lembut. Dan Sisi tidak
kuasa menolaknya. Dia tidak ingin melepaskan
genggaman itu.
Kelima jari-jemari mereka saling kait. Saling
remas. Hangatnya terasa sampai ke dada.
"Suamimu sudah pulang? Katanya hari Minggu."
"Tadi malam dia pulang."
"Mendadak?" Airin tersenyum sambil menoleh.
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mata mereka bertemu. Dan bukan cuma Sisi yang
bergetar. Airin juga. "Curiga istrinya punya
pengagum gelap?"
"Ah, siapa yang mengagumi perempuan jelek
seperti aku?"
"Sekarang saja aku kenal dua orang."
Mereka bertukar senyum.
"Kapan berangkat, Rin?"
"Lusa."
"Aku ingin mengantarmu ke bandara. Tapi takut
tidak tahan melihatmu pergi."
"Tidak usah. Aku akan membawamu ke mana
pun aku pergi. Biarpun cuma hatimu."
Dan aku akan selalu menyembunyikanmu di
dalam relung gelap di hariku. Tidak ada orang lain di
sana kecuali kamu.
Lama mereka berjalan sambil bergandengan
tangan ke tempat-tempat yang berkesan untuk
mereka. Masa lalu seolah kembali menjelang.
Menggelikan. Sekaligus mengharukan.223
Lalu Airin membawanya ke lapangan olahraga.
Dan mereka duduk-duduk di sana sambil mengobrol.
Waktu seperti berhenti berputar kalau mereka bersama. Gelap pun seperti tidak terasa.
"Rasanya saat berpisah sudah hampir tiba, Sis,"
desah Airin sendu.
Airin tidak melakukan lebih dari menggenggam
tangan Sisi. Meremasnya dengan lembut. Tersenyum.
Dan menatap matanya.
Sisi membalas tatapannya. Membiarkan mata
mereka bicara dengan sendirinya.
Tidak ada kata-kata yang tepat untuk saat-saat
seperti iru. Tetapi mata kadang-kadang dapat
berbicara lebih banyak.
Seperti ada lagu yang bersenandung di hati
mereka. Lembut. Melankolis. Mengharukan.
Lalu Airin meraih Sisi ke dalam pelukannya.
Mereka saling dekap dengan erat. Dan untuk pertama
kalinya, Airin menangis. Sisi juga terisak dalam
pelukannya.
Lama mereka menangis sambil saling berpelukan.
Lalu sambil bergandengan tangan, mereka melangkah
meninggalkan sekolah yang mempertemukan mereka.
Sekolah yang kini mereka tinggalkan jauh di belakang. Seperti masa lalu mereka.
Pak Atmo sudah menunggu di depan pintu. Airin
menyelipkan lagi selembar uang ke tangannya. Dan
dia memamerkan sepotong senyum berharga seratus
ribu rupiah.
Ketika Sisi sampai di rumah, Handi sedang
makan malam bersama ibunya. Mereka menoleh. Tapi
tidak menyapa.
Pipie-lah yang menghambur lari menyambutnya.
Padahal tadi dia sedang berlari-lari ke sana kemari224
dengan ributnya. Dia memang tidak bisa diam.
Kecuali kalau sedang tidur.
Pipie memaksa minta digendong. Terpaksa Sisi
mengangkat anaknya tinggi-tinggi. Lalu menurunkannya kembali.
"Mama mandi dulu, ya? Kotor."
"Ih, Mama bau!" Pipie tertawa-tawa geli. "Baju
Mama kotor tuh! Banyak tanahnya! Hihihi"
"Hus!" Sisi pura-pura menampar pipi anaknya.
Padahal dia cuma membelainya dengan lembut.
Sekilas Sisi menangkap lirikan tidak senang
suaminya. Handi tidak berkata apa-apa. Tetapi ketika
Sisi melewatinya, dia mencium bau yang asing.
Campuran bau parfum dan tembakau.
Kapan Sisi pernah memakai partum? Dan siapa
yang menempelkan bau tembakau di rambutnya? Di
pakaiannya? Salah seorang pasiennya? Tetapi di mana
ada pasien merokok di depan dokternya?
Kata Imah, Sisi sudah pulang siang tadi. Pukul
empat, dia pergi lagi. Handi sudah mencoba
menelepon HP-nya. Tapi ponselnya tidak diangkat. Di
rumah sakit juga dia tidak ada.
"Sudah pulang jam dua belas tadi, Dok," jawab
Suster Gita. "Dokter Sisi bilang, tidak enak badan."
Jadi ke mana Sisi pergi? Sekarang sudah hampir
jam sembilan. Artinya sudah lima jam Sisi
meninggalkan rumah. Entah ke mana.
Adakah hubungannya dengan pertengkaran
mereka? Dengan tamparan suaminya? Dengan niatnya
bercerai?
Selama menikah, Handi belum pernah mengasari
istrinya. Dia menyesal sekali. Selesai praktek, dia
buru-buru pulang. Dia ingin mengajak Sisi makan di225
luar. Berdua saja. Untuk memperbaiki hubungan
mereka.
Handi sudah bertekad untuk mencari solusi yang
paling baik. Kalau memang tidak ada jalan lain, dia
akan menerima usul Sisi. Mencari rumah kontrakan
untuk ibunya. Daripada mereka bertengkar terus?
Mungkin Sisi tidak keberatan kalau Handi
menginap di rumah ibunya sehari-dua. Ah, pokoknya
harus ada solusinya. Sebelum masalah ini berlarutlarut dan membawa mereka ke ambang perceraian!
Tetapi rupanya dia sudah terlambat! Sisi sudah
mencari tempat pelarian lain! Siapa laki-laki itu?
Salah seorang koleganya?
"Gendong, Ma! Gendong!" si nakal itu masih melonjak-lonjak mengejar-ngejar ibunya yang sudah bergegas ke kamar mandi.
"Kan Mama bilang mau mandi dulu! Sana, main
dulu sama si Imah!"
Kalau saja dia tahu apa yang akan terjadi,
mungkin saat itu dia bukan hanya menggendong
Pipie. Dia akan memeluknya dan tak pernah
melepaskannya lagi!
Sambil membiarkan air dari pancuran membasahi
rambut dan kepalanya, Sisi masih membayangkan
pertemuan terakhirnya dengan Airin. Air matanya
berbaur dengan air dingin yang melumuri wajahnya.
Airin tidak menciumnya seperti kemarin. Dia
hanya memeluk erat-erat. Dan menangis!
Sisi belum pernah melihat Airin menangis. Tetapi
tadi air matanya berlinang-linang. Matanya bersoror
sangat sedih. Dan di dalam mata itu, Sisi menemukan
sebongkah cinta yang sangat dalam.226
Cinta mereka begitu besar. Begitu kuat. Begitu
murni. Sungguh tidak adil menghina cinta mereka!
Melarang mereka memilikinya!
Tetapi bukankah Sisi sendiri yang tidak
menghendakinya? Airin sudah mengajaknya pergi
ke suatu tempat. Tempat di mana mereka tidak perlu
lagi menyembunyikan cinta mereka.
Sisi memilih hidup sebagai perempuan terhormat.
Sungguhpun dia harus mengorbankan cintanya. Dan
Airin menghormati keinginannya.
Dia mengalah. Pergi membawa cintanya yang siasia.
Dia kembali ke sisi Frans. Mencoba memulai
hidup baru.
Semoga kamu bahagia, Rin, bisik Sisi ketika dia
keluar dari kamar mandi. Masih dengan handuk membungkus rambutnya. Dan dia tertegun.
Handi berdiri di depannya. Tatapannya sangat
sulit diartikan.
"Sis," katanya nanar. "Ada polisi mencarimu."
"Mencari saya?" kepanikan menyerbu dirinya.
Ada apa? Airin... mendapat kecelakaan? Ya Tuhan!
Jangan!
Sisi menghambur keluar. Tanpa ingat untuk menukar baju lagi. Menemui dua orang polisi yang
sedang menunggunya.
"Dokter Sisi Purnomo?" sapa salah seorang
petugas itu sopan.
"Ada apa, Pak?" desis Sisi gemetar ketakutan.
Airin... Airin...! Ya Tuhan! Jangan! "Dia... dia tidak
apa-apa kan, Pak?"
"Lebih baik kita bicara di polsek, Bu Dokter. Silakan Ibu ikut kami."227
"Polsek?" mata Sisi menyipit. Kenapa ke polsek?
Bukan ke rumah sakit?
Sekejap Sisi melirik suaminya. Tepat pada saat
Handi sedang memandangnya. Dengan ratapan yang
sulit diartikan.228
Bab 21
"RlZAL?" teriak Sisi hampir histeris. "Rizal... mati?"
"Tewas di rumahnya. Lambungnya robek, karena
itu kami menduga ini kasus pembunuhan," sahut
Kompol Ngatiman, kepala polsek yang mereka temui.
Ya Tuhan! Sisi menurup mukanya dengan kedua
belah tangannya.
Rizal! Rizal! Jam lima tadi sore mereka masih
bertengkar! Rizal masih meribuikan uang! Malah
merampas tasnya! Tidak mungkin sekarang dia sudah
mati!
"Adik Ibu yang bernama Lia Purnomo yang menemukan mayat korban. Katanya korban adalah
suaminya, Rizal Hamzah."
Sisi menggigit bibirnya menahan tangis.
"Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan,
Bu. Karena Ibulah orang terakhir yang melihatnya
dalam keadaan hidup."
Sisi hanya mampu menganggukkan kepalanya.
"Sore tadi Ibu pergi ke rumah korban. Benar?"
Sekali lagi Sisi mengangguk. Tidak mungkin
menyangkal. Begiru banyak saksi. Lia. Bu Mimin.
"Ibu ingat pukul berapa?"
Tentu saja. Dia punya janji dengan Akin. Dan
gara-gara Rizal, dia terlambat sepuluh menit!
"Jam lima. Tapi ketika saya meninggalkan
rumahnya, dia masih hidup!"229
"Istri korban, Lia Purnomo, pulang kira-kira
setengah delapan. Dan menemukan korban telah
tewas di ruang tengah rumah mereka. Saar itu katanya
Ibu sudah tidak ada."
"Saya sudah pulang," sahut Sisi dengan leher tercekik. Sebuah perasaan tidak enak mulai menjalari
hatinya. Mengapa tampaknya nada pertanyaan mereka
mengandung tuduhan? Dia kan tidak mungkin... ya
Tuhan! "Saya pulang jam lima...."
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kata suami Ibu, ketika petugas kami datang ke
rumah, Ibu baru saja pulang."
"Saya... saya" Sisi menggagap dengan wajah
pucat pasi.
"Saya tidak mengerti," sela Handi agak kesal. Dia
mendampingi istrinya di polsek. "Mengapa tampaknya istri saya dicurigai? Dia kan tidak mungkin
membunuh adik iparnya sendiri?"
"Karena Dokter Sisi adalah orang terakhir yang
diketahui berada bersama korban dalam keadaan
hidup. Dan kami memiliki barang bukti ini"
Sisi merasa peluh dingin membasahi sekujur
tubuh-nya ketika polisi itu memperlihatkan sebuah
benda yang dikenalnya... bcnda yang berada dalam
sebuah kantong plastik itu berwarna cokelat... tali
penggantung tasnya yang putus!
"Milik Ibu?"
Sisi terpaksa mengangguk. Membantah berarti
membuat dia terperosok lebih dalam lagi!
"Ibu bertengkar dengan korban?"
"Tidak"
"Ibu mempereburkan tas ini?"
Sisi tidak menjawab. Dia merasa kakinya lemas.
Dia ingin menangis. Menjerit-jerit. Menumpahkan
semua beban yang menyesakkan dadanya.230
"Ibu mau menceritakan kepada kami maksud kedatangan Ibu ke rumah korban?" suara polisi itu
masih tetap sopan. Tapi sarat dengan tuduhan.
"Saya mau menengok Ibu."
"Menurut istri korban, dia sudah bilang, ibunya
tidak ada di rumah. Dan Ibu tahu sekali jam berapa
biasanya dia pulang. Ibu sengaja menemui korban
pada saat dia sendirian di rumah?"
"Jangan jawab lagi, Sis," pinta Handi menahan
marah. Dia menoleh kepada Kompol Ngatiman.
Suaranya tegas. "Saya minta istri saya didampingi
seorang pengacara."
"Tidak perlu, Mas," bantah Sisi menahan tangis.
"Saya tidak bersalah!"
"Di mana Ibu berada antara pukul tujuh sampai
setengah delapan tadi?"
"Di rumah. Bersama saya," sela Handi cepat.
Sisi menoleh ke arah suaminya dengan terharu.
Ternyata dia masih berusaha melindungi istrinya!
"Bukankah kata Bapak, Ibu baru saja pulang
ketika petugas kami datang? Saat itu jam sembilan."
"Iya, tapi jam tujuh kami berada di rumah. Sebelum istri saya pergi ke mal pukul delapan?"
"Saat itu Bapak sedang praktek," kata polisi itu
sopan tapi tegas. "Petugas kami baru saja mencatat
pengakuan ibu Pak Dokter. Katanya menantunya
pergi dari jam empat sore sampai jam sembilan
malam. Seme-tara Pak Dokter Suhandi pergi praktek
dari pukul lima sampai pukul delapan malam."
Ibu pasti punya mesin absensi di rumah! Handi
mengepalkan tangannya dengan marah. Lagi-Iagi Ibu
yang mengacaukan semuanya!
"Dokter forensik yang memeriksa mayat korban
di TKP mengatakan belum terdapat lebam mayat. Itu231
berarti korban meninggal belum lebih dari setengah
jam. Istri korban menemukan suaminya sudah tewas
waktu dia pulang jam setengah delapan. Artinya
pembunuhan itu diperkirakan berlangsung antara
pukul tujuh sampai setengah delapan."
"Saya meninggalkan rumah ibu saya sekitar jam
lima," desah Sisi gemetar. Jerat itu sudah dikalungkan
di lehernya. Hanya tinggal menunggu waktu.
"Ada saksi yang bisa mengatakan di mana Ibu
berada antara jam tujuh sampai setengah delapan?"
Ada dua orang! Airin Setiadi dan Pak Atmo, penjaga pintu sekolah! Mereka tahu persis di mana Sisi
berada saat itu! Di halaman sekolah!
"Ke mana Ibu pergi setelah meninggalkan rumah
korban?"
Sisi tidak menjawab. Dia tidak mungkin menjelaskan ke mana dia pergi. Tidak mungkin!
Bukan hanya polisi yang menunggu jawabannya.
Handi juga sedang menunggu dengan gelisah. Mengapa Sisi tidak mau menjawab? Karena dia tidak bisa
menjelaskan ke mana dia pergi dengan...
"Satu pertanyaan lagi, Bu. Pembantu Ibu
mengatakan, korban telah dua kali datang ke rumah
Ibu kemarin. Benar?"
Sisi mengangguk sambil menahan tangis. Apa
lagi yang mau dibantahnya? Jerat itu semakin ketat
juga mencekik lehernya. Tidak ada peluang lagi untuk
lolos!
"Untuk urusan apa, Bu?" desak Kompol
Ngatiman sekali lagi. Suaranya masih tetap sesopan
tadi. Tapi tatapan matanya bukan main tajamnya!
Sisi tidak menyahut. Ditatapnya polisi itu dengan
mata berkaca-kaca.232
"Apakah kami boleh menyimpulkan, ini
mengenai... uang?"
???
Semua tuduhan memberatkan Sisi. Handi sudah
menyewa seorang pengacara. Tetapi pembela yang
bagaimana pintarnya pun tak mampu meringankan
tuduhan itu. Apalagi membebaskannya dari tuduhan.
"Bagaimana saya dapat membelanya," geram
Sukoco Pranoto, S.H. kesal. "Ibu Sisi tidak mau
dibela!"
"Ceritakanlah kepadanya, Sis," pinta Handi sama
jengkelnya. "Dia yang akan membelamu! Kamu tidak
sudi dituduh sebagai pembunuh, kan?"
"Tuhan tahu saya tidak bersalah," sahut Sisi
gigih.
"Tapi kamu tidak dapat menunjuk Tuhan sebagai
pembelamu! Tuhan tidak akan datang ke pengadilan
untuk membelamu!"
"Korban pasti memerasnya," kata Sukoco
Pranoto, S.H. mantap. "Tapi ada latar belakang hitam
apa di balik kehidupan istri Bapak?"
"Sisi bersih seperti kertas kosong," sahut Handi
sama mantapnya. "Polos seperti bayi!"
"Ibu Sisi punya affair?"
'Tidak mungkin!" bantah Handi. Walaupun dia
sendiri mulai curiga. "Waktu belum kawin saja,
pacarnya cuma saya!"
"Sesuatu dari masa lalunya mungkin? Rahasia
yang tidak Bapak ketahui, tapi diketahui korban?"
Handi memeras otaknya semalam-malaman.
Tetapi dia tetap tidak dapat memecahkan teka-teki itu.
Tidak dapat menemukan rahasia Sisi. Hanya satu hal233
yang dapat dipastikannya. Sisi tidak membunuh
Rizal!
"Tidak mungkin Sisi membunuh," katanya tegas.
"Membunuh semut pun dia tidak tega! Tahu kenapa
dia jadi vegetarian? Karena dia tidak sampai hati
membunuh binatang!"
"Bu Sisi bisa menyuruh orang melakukannya."
"Membunuh suami adiknya? Tidak mungkin! Pak
Pranoto belum kenal istri saya!"
"Orang yang sedang terdesak bisa melakukan apa
saja, Pak. Rizal memerasnya. Demi meiindungi nama
lain.
"Pak Pranoto pembela atau justru penuntut
umum?"
"Saya tidak bisa melakukan apa-apa kalau istri
Bapak tidak mau berterus terang. Bagaimana bisa
membelanya kalau saya tidak tahu apa-apa?"
"Tapi saya juga sama tidak tahunya dengan Pak
Pranoto! Tapi satu hal saya yakin. Sisi tidak bersalah!
Dia bukan pembunuh!"
???
Ada perasaan sepi melingkupi hati Handi selama istrinya ditahan. Lebih-lebih kalau dia pulang ke rumah.
Pipie selalu menyongsongnya dengan pertanyaan
yang itu-itu juga.
"Mana Mama, Pa? Kenapa Mama nggak dibawa
pulang?"
Tetapi apa yang harus dijawabnya? Bagaimana
dia harus menjelaskan kepada seorang anak yang baru
berumur empat tahun, ibunya sedang meringkuk di
penjara? Ditahan karena dituduh membunuh orang?234
Dan korbannya bukan orang lain! Suami adiknya
sendiri!
Dengan kerongkongan basah disekat keharuan,
Handi menggendong anaknya. Cuma itu yang dapat
dilakukannya.
"Nggak mau makan, Pak," lapor Imah murung.
Dia juga tampak sedih. Mungkin merasa bersalah.
Merasa gara-gara pengaduannya kepada polisilah
majikannya ditahan. Bukankah dia yang cerita, Rizal
sudah datang dua kali minta uang?
Rasanya yang gembira di rumah itu tinggal Ibu.
Dia yang jadi bertambah sehat. Bertambah segar. Bertambah bersemangat melayani anak-cucunya. Tapi dia
pun tidak mampu memaksa Pipie makan.
"Nunggu Mama!" katanya ketika Handi membujuknya makan.
Sejak ibunya tidak pulang, Pipie memang jadi
bertambah sulit diatur. Makan susah. Mandi susah.
Tidur susah. Nakalnya dua kali lipat. Kalau dulu dia
tidak bisa diam, sekarang dia malah tidak bisa membuat orang lain tidak marah.
Seakan-akan dia memakai ulahnya untuk
mengajukan protes. Tetapi memprotes siapa? Bahkan
Papa tidak bisa membawa Mama pulang!
Yang makin sering marah-marah malah ibu
Handi. Sudah berapa kali dia mengurut dadanya.
"Anakmu bisa membuat jantung Ibu berhenti,
Di!" teriaknya kalau sudah tidak tahan lagi. "Suruh
dia diam! Kasih obat kalau perlu!"
Tetapi Handi bisa apa? Jangankan menyuruh
anaknya diam. Memaksa istrinya membuka mulutnya
saja dia tidak bisa!
Mengapa Sisi tidak mau membuka rahasianya?
Kalau dengan membuka rahasia, dia dapat235
menyelamatkan dirinya. Dapat pulang lebih cepat ke
rumah. Lebih cepat menemui Pipie.
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak rindukah dia kepada anaknya? Tidak
mungkin! Hanya Pipie yang ditanyakannya setiap kali
Handi datang!
Tetapi mengapa Sisi tetap membisu? Ada rahasia
apa yang suaminya sendiri tidak boleh tahu?
"Kalau ini soal laki-laki, kamu tidak perlu lagi
merahasiakan perselingkuhanmu," kata Handi akhirnya. "Kalau malam itu kamu sedang berdua dengannya, katakan saja. Supaya dia dapat dipanggil sebagai
saksi yang meringankanmu! Saya dapat menerima
penjelasanmu."
Tapi bagaimana kalau aku tidak berada dengan
seorang laki-laki, keluh Sisi sedih dalam hati.
Bagaimana kalau aku justru berada bersama seorang
wanita, walaupun kami tidak berselingkuh? Apakah
Mas Handi dapat menerimanya?
Handi hampir putus asa. Tidak ada Sisi di rumah
memang mengurangi pertengkaran dengan Ibu. Tapi
tetap saja Handi tidak merasa nyaman.
Setiap masuk ke kamarnya, Handi merasa
kesepian. Kamar tidur mereka memang tak pernah
hangat. Dan mereka jarang tidur bersama di kamar
ini.
Sisi bukan istri yang sempurna. Selalu bertengkar
dengan Ibu. Tapi sekarang Handi sadar, punya istri
lebih baik daripada tidak punya siapa-siapa.
Ibu memang selalu melayaninya. Bahkan lebih
giat sejak Sisi tidak ada.
Tetapi sekarang Handi baru menyadari, seorang
ibu tidak sama dengan istri. Ada hal-hal lain yang
tidak dapat diberikan oleh seorang ibu. Ada sesuatu
yang hanya dapat diperolehnya dari seorang istri.236
Ibu memang telah merawatnya dengan baik.
Melayaninya dengan cermat agar hidup Handi dan
anaknya tidak telantar.
Ibu malah selalu menghiburnya.
"Jangan terlalu dipikirkan. Nanti kamu sakit."
"Bagaimana tidak dipikirkan, Bu. Istri saya
sedang ditahan!"
"Salahnya sendiri," sahut Ibu seenaknya. Dia
malah kelihatan puas. "Kalau tidak bersalah, masa
dihukum?"
"Jangan ngomong begitu lagi, Bu," ancam Handi
pedas. "Atau Ibu mau saya kirim ke rumah Pakde?"
"Handi!" sergah Ibu kecewa. "Siapa yang
merawatmu kalau tidak ada Ibu?"
"Habis Ibu bikin kepala saya tambah pusing!"
"Ibu kan cuma bilang, jangan kelewat murung!
Jangan terlalu dipikirkan. Nanti kamu sakit!"
"Ibu juga seperti menyalahkan Sisi! Padahal saya
yakin, dia tidak bersalah!"
"Kalau tidak bersalah, mengapa dia tidak mau
membuka mulutnya? Memang dia sengaja membisu
supaya masuk penjara?"
"Dia merahasiakan sesuatu."
"Itulah. Istrimu tidak jujur."
"Sisi tidak sejelek itu. Saya percaya dia bersih."
"Lalu apa yang ditakutinya? Kenapa dia malu
membuka rahasianya?"
"Mungkin dia melindungi seseorang."
"Yang lebih dicintai dari anak dan suaminya?"
"Dia pasti punya alasan kuat merahasiakannya."
"Istrimu pasti terlibat skandal yang memalukan! Makanya dia bungkam! Kasihan kamu, Handi.
Orang-orang mencemoohkanmu. Nama baikmu jadi
rusak gara-gara istrimu."237
"Ibu," desis Handi menahan marah. "Kalau Ibu
masih menghasut saya, siap-siap saja pindah ke
rumah Pakde!"
"Ibu menghasutmu?"
"Sekarang saya baru merasa, Sisi yang benar. Ibu
selalu menghasut saya karena membenci Sisi!"
"Lho, kenapa jadi Ibu yang disalahkan?"
"Karena Ibu belum puas jika kami belum
bercerai.
"Kalau Ibu yang salah, mengapa bukan Ibu yang
dipenjarakan?" teriak ibu Handi histeris.
Mendengar neneknya menjerit, Pipie yang sedang
disuapi Imah ikut memekik. Malah lebih keras. Dan
bukan hanya sekali. Dia menjerit terus sampai
neneknya bising.
"Diam!" ancamnya sambil melotot mendekati
Pipie.
Maksudnya tentu saja hanya menakut-nakuti.
Masa dia mau benar-benar menelan cucunya?
Tetapi sekarang Pipie bukan cuma menjerit. Dia
menangis melolong-lolong sampai terbatuk-batuk
karena tersedak. Nasi berhamburan ke inuka neneknya.
"Ibu!" sekarang Handi yang ikut berteriak. "Ibu
apakan anak saya?"
Dia bergegas menggendong Pipie yang sedang
batuk-batuk terus.
"Lho, Ibu lagi yang salah?" sergah Ibu sengit. Disekanya wajahnya yang berlumuran nasi. "Ibu salah
apa?"
"Ibu bikin Pipie tersedak! Makanannya bisa
masuk paru, Bu!"
Dan Handi marah-marah terus sepanjang hari.
Padahal biasanya dia sangat sabar. Jarang marah.238
Jiwa Handi memang amat tertekan sejak istrinya
ditahan. Dituduh membunuh iparnya sendiri. Apalagi
desas-desus mulai santer. Istrinya pasti terlibat perselingkuhan. Tapi dengan siapa?
Sisi tidak pernah terlihat mencurigakan. Dia
memang misrerius. Dari dulu. Tapi Handi masih
percaya, istrinya bersih. Mengapa dia tidak mau
membebaskan dirinya?
Siapa yang dilindunginya sampai dia harus
mengorbankan kebebasannya sendiri?
Di dalam penjara, Sisi pun sedang berperang
dengan perasaannya sendiri. Selama ditahan, hanya
Handi dan penasihat hukumnya yang boleh
mengunjunginya. Padahal Sisi sudah rindu sekali
kepada anaknya.
Dia hanya dapat mendengarkan dengan mata berkaca-kaca setiap kali Handi sedang menceritakan
anak mereka. Ingin rasanya dia memeluk dan
menciumi Pipie. Oh, hanya dia yang tahu betapa dia
merindukan anaknya!
Setiap malam Sisi memimpikan Pipie. Setiap saat
dia merindukannya.
Jangan nangis, Sayang, bisiknya ketika dia
sedang tepekur sendirian dalam selnya yang sempit
dan gelap. Mama melakukannya untukmu juga.
Supaya kamu tidak dihina karena punya seorang ibu
yang sakit!
Lalu bayangan Airin melintas di depan matanya.
Dan air menggenangi matanya.
Tahukah Airin apa yang sedang menimpa
dirinya? Tahukah dia betapa menderitanya Sisi?
Dulu, dia hanya menderita karena harus
menyembunyikan cintanya. Harus menekan rasa
rindunya. Membunuh gairahnya. Kini dia malah harus239
membiarkan tubuhnya terkurung dalam penjara untuk
merahasiakan kisah cinta mereka!
Entah berapa tahun hakim akan menjebloskannya
ke penjara untuk pembunuhan yang tak pernah dilakukannya!
Tetapi kalau pengorbanannya ini harus ditukar
dengan nama baik anaknya, dengan perkawinan Airin,
dia rela! Demi kehormatan dua orang yang paling dicintainya, penjara pun ditantangnya dengan tabah!
Nama baiknya sendiri mungkin sudah hancur.
Martabatnya ternoda. Masa depannya punah. Sebagai
pembunuh, kehormatan apa lagi yang masih dimilikinya?
"Tidak ada harapan kalau Ibu tidak mau membela
diri sendiri," bujuk Sukoco Pranoto, S.H. untuk terakhir kalinya. "Saya tidak bisa menyusun pleidoi
kalau Ibu tidak mau membantu. Penuntut umum akan
membantai kita dengan rekuisitornya besok."
Tetapi Sisi tetap bergeming. Apa pun yang
dituduhkan kepadanya, seberat apa pun tuntutannya,
dia tetap menutup mulutnya rapat-rapat.
Tetapi keesokan harinya, pembelanya kedatangan
seorang saksi. Orang yang mengetahui latar belakang
pemerasan Rizal. Orang yang tahu di mana Sisi
berada ketika pembunuhan itu terjadi. Orang yang
rela menjadi saksi apa pun risikonya.
Puspa menelcpon Airin setelah mendengar cerita
Riri. Dia tahu mengapa Rizal memeras Sisi.
"Rizal pernah menanyakan hubungan Sisi dengan
Airin. Aku tidak menyangka ceritaku malah mencabut
nyawanya. Dia memang bilang punya utang jutaan
rupiah."
Dan Airin mengambil pesawat terbang pertama
yang dapat membawanya ke Jakarta.240
Bab 22
KETIKA akhirnya Sisi dibebaskan dari segala tuduhan, bukan alam bebas yang ceria yang
menyambutnya. Sekeluarnya dari penjara, Handi
mengajukan permohonan cerai.
Penuntut umum memang tidak dapat menghadirkan bukti yang paling penting dalam persidangan.
Senjata pembunuhnya tidak pernah ditemukan.
Dan pembela berhasil mengajukan saksi yang
tahu persis di mana keberadaan Sisi pada saat
terjadinya pembunuhan itu.
Airin mengungkapkan semuanya dengan terus
terang. Untuk menyelamatkan Sisi dari penjara, Airin
rela melakukan apa saja. Termasuk mempertaruhkan
nama baiknya sendiri.
"Jangan, Rin," cegah Sisi ketika Airin
menyatakan kesediaannya untuk hadir sebagai saksi
di pengadilan.
"Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau mereka
tahu rahasia kita! Kalau suamiku tahu istrinya
lesbian!"
"Kalau suamimu benar-benar mencintaimu," kata
Airin tegas, "dia akan menerimamu seperti apa adanya.
"Tapi anakku, Rin! Dia menderita sekali kalau
tahu perempuan macam apa yang menjadi ibunya!"241
"Kamu pikir dia tidak menderita kalau ibunya masuk
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penjara? Kalau tahu ibunya seorang pembunuh?"
Akhirnya Sisi menyerah. Airin tidak dapat dicegah
lagi. Dan dia tidak bersaksi sendirian. Dia minta pembela Sisi mendatangkan juga Pak Atmo sebagai saksi.
Kesaksian mereka memang menguatkan pembelaan Sukoco Pranoto, S.H. Sekaligus melemahkan
tuntutan jaksa. Lebih-lebih ketika dua hari sebelum
replik dibacakan, polisi berhasil menangkap
pembunuh yang sebenarnya berikut pisau yang
merobek lambung Rizal. Ternyata pembunuh itu
bandar narkoba yang sudah bosan menagih utangnya
pada Rizal. Tidak ada sangkut pautnya dengan Sisi.
Dia hanya sedang sial. Berada di tempat yang
seharusnya ditempati orang lain. Dan kesialan itu
merambat ke rumah tangga Sisi. Perkawinannya
berantakan. Handi tidak dapat menerima pengakuan
istrinya. Dia sangat terpukul. Sisi dapat memaklumi
kalau Handi jijik kepadanya.
Kapan pun dia menggauli istrinya lagi, dia takkan
pernah bisa melupakan, istrinya pernah mencintai
perempuan lain. Istrinya lesbian!
Ibu Handi-Iah yang mengusulkan solusi itu
kepada anaknya. Menceraikan istrinya. Dan
mengambil Pipie.
"Bukan kamu yang bersalah," katanya kepada
Handi. "Mengapa kamu harus menghukum dirimu
sendiri?"
Sejak peristiwa itu, Handi memang seperti
menarik diri dari pergaulan. Dia lebih suka
menyendiri. Jarang bicara. Tidak pernah tersenyum.
Apalagi tertawa. Ibunya takut, lama-lama dia menjadi
gila.242
"Lebih baik kalian bercerai," katanya kepada Sisi.
"Supaya cuma yang bersalah yang dihukum! Handi
tidak bersalah apa-apa. Satu-satunya kesalahannya hanyalah karena dia jatuh cinta padamu! Biarkan dia
mencari perempuan normal untuk menjadi istrinya."
"Saya rela bercerai," sahut Sisi pasrah. "Tapi saya
tidak bisa berpisah dengan Pipie."
"Lebih baik Pipie menganggap ibunya sudah mati
daripada mengetahui perempuan apa yang menjadi
ibunya! Tinggalkan dia. Biarkan dia tumbuh menjadi
gadis normal. Pergilah ke tempat di mana orang tidak
mengenalmu. Mulailah hidup baru di sana."
Tetapi Sisi tidak mungkin berpisah dengan
anaknya. Tanpa Pipie, apa artinya lagi hidup ini?
Sekalipun dia harus berjuang melalui pengadilan, dia
akan mempertahankan anaknya mati-matian!
Tetapi sekali lagi Sisi harus menelan pil pahit.
Handi memenangkan hak asuh Pipie. Dia dianggap
lebih pantas mengasuh seorang anak daripada ibunya
yang sakit dan pernah masuk penjara!
Hakim beranggapan, seorang ibu yang punya
kelainan sedikit-banyak pasti berpengaruh buruk pada
perkembangan kepribadian anaknya. Ayahnya yang
dokter itu, pria terhormat tanpa cela, pasti lebih
mampu mendidik anaknya dengan lebih baik.
Sungguh suatu ironi bagi seorang wanita yang
hampir di sepanjang hidupnya telah berjuang untuk
menjadi seorang wanita terhormat. Bahkan dengan
melawan kodratnya sendiri. Mengalahkan penyakitnya. Dan membunuh cintanya.
"Sekarang kamu sudah tidak punya siapa-siapa
lagi," desah Airin lirih ketika dia mendengar
keputusan pengadilan atas hak asuh Pipie. "Tapi di
mana pun kamu berada, ingatlah, kamu masih punya243
aku. Kalau suatu hari nanti kamu membutuhkan
diriku, kamu tahu ke mana harus mencariku. Dan
kamu akan menemukan aku, sama seperti dulu,
kemarin, hari ini, dan esok, menunggumu dengan
setia."
"Kamu punya Frans," sahut Sisi terharu. "Kamu
punya hari-harimu sendiri. Aku tidak akan
merusaknya."
"Kalau nanti malam kamu mengubah pendapatmu, temuilah aku di airport besok pagi. Pesawatku
berang-kat pukul sembilan. Di dalam pesawat
sekalipun, belum terlambat untuk membatalkan
kepergianku jika aku menerima teleponmu."
Sisi merangkul Airin sambil menangis. Dia
merasa inilah perpisahan yang sesungguhnya. Dia
tidak akan pernah melihat Airin lagi. Karena memang
dia tidak mau.
"Selamat berpisah, Rin," bisiknya getir. "Jika ada
hidup yang kedua, mungkin kita baru bisa bertemu
lagi.
Airin menghela napas panjang. Dia tahu pcrcuma
mengharapkan wanita ini lagi. Sisi adalah Sisi.
Sampai saat terakhir pun Airin tak dapat memilikinya.
Tetapi Airin tetap Airin. Selama matahari
bersinar, harapan masih tetap berpijar di hatinya.
"Ketika kita berpisah di sekolah malam itu, kita
juga mengira sudah tidak ada pertemuan lagi. Tapi
rupanya nasib selalu mempertemukan kita."
"Kalaupun kita tidak dapat bertemu lagi, Rin,
ingatlah, hati kita tak pernah terpisahkan."
"Aku tahu," bisik Airin lembut.
"Aku juga tahu apa yang telah kamu lakukan
untukku," balas Sisi sama lembutnya.244
???
Sehari sebelum meninggalkan rumahnya, Sisi minta
izin untuk menghabiskan malam terakhir bersama
anaknya.
"Biarkan Pipie ikut saya ya, Mas? Malam ini saja.
Boleh ya, Mas? Saya mohon padamu."
"Kamu tidak usah pergi," Handi tidak tega membalas tatapan istrinya yang memelas. "Saya akan
membawa Ibu ke hotel. Tinggal saja dengan Pipie di
rumah nanti malam."
"Betul, Mas?" desah Sisi terharu. "Mas tidak
keberatan?"
Handi mengangguk kaku.
"Besok siang saya pulang."
"Terima kasih, Mas."
Dan Handi menepati janjinya. Sore itu dia membawa ibunya pergi dari rumah. Walaupun Ibu memprotes. Pakai marah-marah segala.
"Ulah apa lagi ini? Dia belum puas juga mempermainkanmu?"
"Ibu tinggal pilih," dengus Handi dingin. Handi
memang sudah banyak berubah. Sikapnya lebih kaku.
Lebih tegas. Lebih cepat marah. Terutama kepada
ibunya. "Ikut saya. Atau pergi sendiri ke rumah
Pakde."
Seandainya dulu Handi bisa setegas itu kepada
ibunya, pikir Sisi sedih. Barangkali suasana di dalam
rumah mereka lebih temaram!
Tetapi sekarang semuanya sudah terlambar! Telah
pergi suaminya yang paling baik!
Sisi menghapus air matanya ketika melihat
mantan suaminya untuk terakhir kalinya. Di pintu,
Handi juga menoleh. Seolah-olah dia juga ingin245
melihat untuk terakhir kalinya satu-satunya wanita
yang pernah dicintainya. Cintanya yang pertama.
Mungkin juga yang terakhir.
Sekejap mereka saling tatap dengan tatapan yang
sangat getir. Lalu Handi memalingkan wajahnya. Dan
melangkah ke halaman. Masuk ke mobilnya. Dan Sisi
tidak pernah melihatnya lagi.
Dia melewati malam itu berdua saja dengan Pipie.
Karena Imah pun telah disuruhnya bermalam di
rumah kakaknya, tidak jauh dari sana.
Sisi tidak ingin ada seorang pun yang
mengganggu malam terakhirnya bersama anaknya.
Dan tampaknya bukan hanya Sisi yang menikmatinya.
Pipie juga.
Si bandel itu seperti punya firasat, inilah malam
terakhir dia bisa melihat ibunya. Merasakan pelukannya. Tepukan lembut di pantatnya. Usapan halus di
pipinya. Belaian sayang di kepalanya. Dan menikmati
ciuman hangatnya sebelum terlelap.
"Kalau besok Pipie nggak ketemu Mama lagi,
jangan nangis, ya?" kata Sisi sesaat sebelum mata
Pipie terpejam. Padahal dia sendiri sudah hampir
tidak dapat menahan air matanya. "Supaya di tempat
yang jauh nanti, Mama juga tidak menangis ingat
Pipie."
"Mama mau ke mana sih?" tanya Pipie dengan
suara lemah dilibat kantuk. "Kenapa Pipie nggak
boleh ikut?"
"Karena tempatnya sangat jauh, Sayang."
"Nggak ada kapal telbang?"
Sisi memeluk anaknya erat-erat. Digigitnya
bibirnya menahan tangis.
"Jangan nakal ya, Manis. Jangan naik-naik. Nanti
jatuh lagi!" Sisi membelai bekas luka di kening Pipie246
yang kini tinggal segaris. "Pipie mesti nurut sama
Papa. Jangan bikin Papa sedih."
Sisi masih ingin mengobrol terus. Tapi Pipie
sudah terlelap bahkan sebelum Sisi sempat
memberinya ciuman selamat bobok.
"Kalau Pipie merindukan Mama, jangan nangis,
ya?" bisik Sisi sambil membelai-belai rambut
anaknya. Seperti yang selalu dilakukannya sejak Pipie
masih bayi. Satu-satu air matanya menitik membasahi
wajah permata hatinya. "Di mana pun Mama berada,
jiwa Mama akan selalu berada di dekat Pipie."
Diambilnya pesawat terbang yang dibelinya siang
tadi. Diletakkannya dengan hati-hati di dekat kepala
anaknya. Senyumnya merekah bercampur tangis.
"Jadilah pilot, Manis. Terbanglah mencari Mama
suatu hari nanti"
???
Gerimis yang menyambut datangnya pagi menambah
suramnya suasana. Setetes demi setetes butir air hujan
membasahi kaca jendela kamarnya. Di sampingnya,
Pipie masih tertidur pulas. Wajahnya demikian damai.
Seolah-olah tak ada kesedihan apa pun di dunia ini
yang dapat merusak ketenteraman tidurnya.
Sisi menyelimutinya baik-baik. Mengecup dahinya. Matanya. Hidungnya. Pipinya. Bibirnya. Dengan
limpahan kasih sayangnya yang terakhir.
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mama sayang Pipie," bisiknya lembut sambil
menahan tangis.
Dibisikkannya sepatah demi sepatah di telinga
anaknya,
"Mama pergi, Sayang"247
Sisi menggigit bibirnya sekuat-kuatnya sampai
berdarah untuk menahan ledakan tangisnya. Berat
sekali meninggalkan Pipie. Kalau boleh tinggal lebih
lama lagi...
Tetapi dia tahu sebentar lagi Handi datang. Dan
kalau dia datang, Sisi tidak mau berada di sini lagi.
Cukuplah cukup dia menyakiti hati lelaki yang
baik itu. Sisi tidak mau lagi melihat dcrira di matanya.
Karena itu dia harus segera meninggalkan rumah.
Imah sudah datang. Dia tidak meninggalkan Pipie
sendirian.
Tetapi Sisi juga tidak mau menyusul Airin.
Biarlah dia kembali kepada Frans. Suaminya yang
tidak mencampakkannya meskipun dia tahu
perempuan macam apa yang telah dipilihnya menjadi
istrinya.
"Sekarang kamu tahu semuanya, Frans," tulis
Airin dalam sebuah sms yang dikirimnya setelah
memberi kesaksian di pengadilan. "Aku seorang
lesbian. Mungkin juga biseks. Jika kamu menyesal
mengawiniku, kutunggu surat ceraimu."
Frans membalasnya saat itu juga.
"Pemberitahuanmu datang terlambat, Sayang.
Lyn sudah memberitahu lebih dulu ketika aku ingin
menyusulmu ke Jakarta. Tetapi aku bukan Frans
Putuhena kalau mengalah pada seorang wanita. Tidak
peduli dia seorang dokter."
Sisi bersyukur Airin tidak mengalami nasib yang
sama dengan dirinya. Dia berdoa semoga Airin segera
memiliki seorang Pipie.
Sisi akan mencari jalannya sendiri.
Sebagai perempuan dia telah gagal. Mereka
menolaknya. Meskipun hampir di sepanjang hidupnya248
dia telah berjuang untuk menjadi seorang wanita
sejati.
Tetapi sebagai dokter, siapa yang tahu?
Barangkali dia masih dapat mencoba.
Nun jauh di pelosok Nusantara sana, masih
adakah tempat baginya? Mungkin di antara orangorang sakit yang membutuhkan uluran tangannya.
Yang tidak peduli dari lumpur mana dokternya
berasal.
Ketika Sisi membuka pintu depan, gerimis masih
turun. Dikembangkannya payungnya. Kemudian
seorang diri dia menerobos hujan. Setapak demi
setapak menelusuri jalan becek yang terbentang di
hadapannya.
Pada saat yang sama, di bandara juga turun hujan.
Seorang wanita duduk menunggu di ruang boarding
dengan sebuah ponsel di tangannya.
Ketika teleponnya tak kunjung berdering juga,
sementara panggilan terakhir telah berkumandang, dia
bangkit dari kursinya. Meraih tasnya. Dan melangkah
ke pintu untuk masuk ke pesawat.
Tamat
Cretaed E-book
By syauqy_arr@yahoo.co.id249
Raja Naga 07 Selubung Tabir Hitam Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama