Ceritasilat Novel Online

Misteri Gadis Tak Bernama 3

Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD Bagian 3



"Saya tidak tahu. Saya harap pada waktu itu produsen-produsen kain kita sudah bisa menciptakan kain yang bagus. Sebetulnya, Pak. yang menjadi masalah itu sekarang bukanlah apakah sehelai kain itu berasal dari luar negeri atau bahan lokal, tapi masalahnya adalah mendapatkan bahan yang bagus motif dan warnanya, bagus kualitasnya. dan tidak melimpah di mana mana. Saya kira. perempuanperempuan Indonesia tidak terlalu mementingkan pada label luar negerinya. Saya sendiri pun dalam mencari bahan tidak mencari yang harus buatan luar negeri. Saya turun ke tempat-tempat penjualan kain, saya lihat jenis warna dan motif apa yang melimpah di sana. dan saya mencari kain-kain yang tidak ada di pasaran. Bagi saya tidak penting apakah kain yang langka itu buatan Ciamis. atau buatan Bandung. atau buatan Paris. Asalkan warnanya bagus. kainnya bagus, motif disainnya bagus. Nah, kebetulan

kain-kain yang memenuhi persyaratan saya Kebanyakan adalah kain impor." Citra berhenti dan menatap Gozali lama-lama. Lalu sambungnya.

"Anda tidak terlalu percaya, bukan? Mari. saya tunjukkan!" Dia mengeluarkan beberapa helai baju yang tergantung di sana.

"Bahan ini." katanya sambil menunjuk sehelai gaun,

"adalah bahan lokal. Bahan ini adalah bahan yang sudah tersimpan lama yang sekarang tidak ada lagi di pasaran. Bahan-bahan seperti ini saya pakai, karena saya tahu orang lain tidak akan punya bahan seperti ini, yang umurnya sudah sepuluh atau lima belas tahun." Citra menunjuk gaun yang lain.

"Nah, bahan ini pun bahan lokal, kainnya polos, kualitasnya bagus. Tidak kalah dengan bahan-bahan impor. Dan yang ini, ini adalah bahan sarung, sarung tulis. Indah sekali, bukan? Bahan inipun tidak ada duanya, karena kami memesannya khusus. Nah. beginilah jenis dagangan kami di sini. Tetapi Anda tidak akan menemukan baju-baju konfeksi yang dibuat secara masal dan bisa ditemui di sembarang sudut pasar."

Gozali tertawa.

"Terima kasih untuk kursus kilat dalam bidang busana perempuan ini. Sekarang, marilah kita kembali kepada masalah cek ini. Tadi Anda mengatakan bahwa baik Anda maupun Nona Ani berhak menandatangani cek. Siapa yang lebih sering?"

"Ani, Pak. Dia yang lebih sering keluar membeli kain, membayar tukang, mencari bahan, dan lain-lain. Saya umumnya menunggu toko saja."

"Apakah Anda tahu untuk apa setiap pengeluaran yang dibuatnya?"

"Ani selalu memberi tahu kalau ia telah membuat pembayaran. Di antara kami tidak ada rahasia." Gozali meneruskan pencariannya. Ia melihat sebuah blek bekas biskuit. Blek dibukanya dan ;ternyata kosong.

"Mengapa blek ini di sini?" tanya Gozali keheranan.

"Oh, itu tempat uang kami," kata Citra sambil menata baju-baju dagangannya.

"Kok kosong?"

"Memang kami tidak meninggalkan uang di sana kalau kami tidak ada. Setiap kali kami pulang, uang itu kami bawa. itu cuma tempat penyimpanan sementara."

"Kalau uangnya dibawa pulang. bagaimana perhitungannya?" Wah, ini organisasi yang betulbetul serampangan rupanya! Dasar perempuan! Tidak becus sama sekali mengurus administrasi.

"Lho, kan ada catatannya. Uang itu dibawa pulang dulu, nanti seminggu sekali kami kumpulkan. baru kami setorkan ke rekening kami di bank. Kalau setiap hari harus ke bank kan susah. Belum lagi kalau kami harus membayar orang, buat apa dua kali kerja. Ya, uang itu yang kami ambil buat membayar."

"Tidak kacau begitu? Apa tidak ada uang yang terselip atau hilang atau tercampur dengan uang pribadi?"

"Ya tidak dong! Semuanya tergantung pada manusianya saja. Kalau orangnya jujur. ya pasti uang itu tidak hilang atau terselip atau tercampur uang pribadi. Kan bisa diatur. dimasukkan amplop. atau apa! Kenapa susah banget mikirnya?"

"Lalu Siapa yang membawanya pulang?" tanya Gozali.

"Siapa saja-terkadang saya. terkadang Ani.siapa yang kebetulan mengunci laci dan terakhir pulang."

"Dan selama ini selalu beres?"

"Selalu."

"Anda beruntung mendapatkan kongsi yang jujur." kata Gozali, menghela napas panjang.

"Kalau cara kerja dan administrasinya begini. lalu Anda mendapat kongsi yang nakal. dalam waktu beberapa bulan ludes sudah semua kekayaan Anda!"

"Jadi. maksud Anda setiap hari kami harus membawa uang ke bank. begitu? Atau membiarkan uangnya bermalam di sini dengan risiko tokonya dibongkar orang?" tanya Citra.

"Seharusnya memang semua pendapatan Anda dibankkan pada hari yang sama. Dan Anda tidak membuat pembayaran dari uang yang Anda terima itu. Kalau Anda mau membayar, Anda bayar dengan cek. Semua ada aturannya, begitu," usul Gozali.

"Alaa, itu kalau di kantor-kantor besar yang punya karyawan puluhan. Di sini cuma kami berdua. Kalau setiap hari cuma ribut setor ke bank, dan buka cek, kapan kami mengerjakan yang lain? Kami mengambil cara praktisnya saja."

"Lalu siapa yang mencatat semua pemasukan dan pengeluaran Anda?"

"Itu kami kerjakan berdua. kalau tutup bulan."

"Dan sampai akhir bulan yang lalu semuanya cocok?"

"Cocok."

"Kalau begitu saya minta sekarang Anda mengerjakan pembukuannya sampai dengan hari ini dan kita bisa periksa bersama apakah semuanya cocok atau tidak."

"Untuk apa? ini kan bukan akhir bulan! Lagi pula kalau saya harus mengerjakannya sendiri kan makan waktu berjam-jam!"

"Nyonya Citra, Anda harus ingat, teman sekerja dan kongsi Anda telah menghilang. Di rumahnya saya tidak menemukan uang kertas selembar pun! Berarti. ia telah membawa semua uangnya. Apakah tidak mustahil dia juga membawa uang usaha?" tanya Gozali serius.

"Maksud Anda... Anda mengatakan bahwa Ani melarikan uang saya?"

"Boleh jadi."

"Omong kosong! Ani adalah teman baik saya."

"Saya belum pernah berjumpa dengan Nona Am ini. saya tidak bisa memberikan pendapat."

"Saya sudah berteman dengannya lama. Saya menjamin keiujurannya! Apakah itu tidak cukup"

Gozali tersenyum.

"Kalau Anda memang begitu yakin akan kejujurannya. seharusnya Anda sama sekali tidak berkeberatan membiarkan kami memeriksanya. Kecuali apabila... apabila sebetulnya dalam hati Anda sendiri..." Gozali sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Ngawur! Ani sahabat saya. Ia pernah tinggal bersama saya dua tahun lamanya. Saya kenal bagaimana wataknya. Ani tidak akan menipu saya!"

"Kalau begitu berilah kami kesempatan untuk membuktikan kebenaran kata kata Anda."

"ini suatu tantangan!" tanya citra. matanya bercahaya.

"Ini suatu tantangan," kata Gozali.

"Kita bertaruh?" tanya Citra. Matanya bersinarsinar.

"Berjudi dilarang pemerintah." senyum Gozali.

"Tapi kalau Anda terbukti benar, saya akan mengundang Anda makan sate. Dan sebaliknya, kalau saya yang terbukti benar, Anda harus mengundang saya makan sate!"

"jadi!" kata Citra bersemangat. Dia merogoh ke dalam laci yang sebelah kanan atas, dan mengeluarkan sebuah map.

"Ini, semua bon pembayaran ada di sini. Dan," katanya, mengeluarkan sebuah amplop gemuk dari dalam tasnya.

"semua penerimaan kami yang belum kami setorkan ke bank ada di sini. Anda boleh mencatat sendiri."

"Pada Nona Ani tidak ada uang kontan atau cek atau bon-bon?" tanya Gozali.

"Ani tidak pernah membawa pulang bon. Semuanya ditaruh di laci itu. Dan baru hari Sabtu yang lalu kami menyetorkan uang kontan ke bank. Hari Minggu karena Ani makan di rumah saya, ia meninggalkan penerimaan kontan yang ada padanya di rumah saya, ya di dalam amplop ini. Hari Senin kemarin. dia tidak datang, dan saya yang mengisi amplop ini dengan hasil penjualan saya untuk Senin kemarin. Jadi semuanya ada di situ. Anda pasti akan mendapatkan angka yang cocok."

"Lalu rekening bank Anda mana?"

Citra mengernyitkan dahinya.

"Wah, rekening bulan lalu kalau tidak salah sudah saya buang. Rekening bulan ini belum diterima."

"Kok dibuang?" tanya Gozali keheranan.

"Untuk apa disimpan? Rekening bulan yang lalu kan sudah lewat. Sudah cocok, kok!"

"Siapa yang mencocokkan?"

Citra mengernyitkan dahinya.

"Eh, Ani, Pak. Habis, Ani yang punya waktu lebih banyak daripada saya. Saya kan banyak melayani tamu. Kalau Ani di sini, ia cuma duduk di belakang meja itu saja."

"Kalau begitu sekarang tolong buatkan surat kuasa untuk saya berhubungan dengan bank Anda dan mengecek transaksi-transaksi usaha Anda selama satu tahun yang terakhir ini," kata Gozali.

Citra marah. Kerja sama dengan polisi sih boleh, tapi kalau sampai mau memeriksa rekening banknya apakah sudah tidak keterlaluan?

"Apakah sebetulnya yang Anda cari?" tanyanya.

"Kami perlu mengetahui lebih banyak tentang latar belakang patner usaha Anda-bagaimana orangnya. wataknya. keuangannya-"itu semuanya mungkin Anda anggap tidak relevan, tetapi sejauh ini kami hanya punya sebuah foto sebagai bahan pelacakan. Tanpa informasi lain. sangat sulit bagi kami untuk menemukannya. Nyawanya mungkin dalam bahaya, Anda mengerti?"

"Yah, apa yang terjadi padanya?" gumam Citra sendiri.

"Itu yang berusaha kami selidiki." kata Gozali geram.

"Baiklah," kata Citra membuat keputusannya. Dia segera membuka laci dan menyobek sehelai

kertas bersih dari salah satu bukunya. Dengan cepat dia menulis surat kuasanya dan setelah dibubuhi meterai. segera ditandatanganinya.

Sementara itu Gozali membuka laci yang ketiga yang berisi setumpuk skets berbagai model gaun. Gozali menelitinya satu per satu. Rupanya yang membuat skets ini memang orang yang berbakat.

"Itu semua coretan teman saya." kata Citra.

"Ia ahli sekali dalam membuat skets dan pola."

Tiba-tiba tangan Gozali berhenti. Terselip di antara skets-skets itu ada sehelai kertas yang terlipat. Gozali mengambilnya dan membuka lipatannya. Surat itu tertanggal empat bulan Yang lalu.

"Anggraini,

Terima kasih atas weselmu yang baru kami terima dua hari yang lalu. Kiriman itu sangat membantu kami dan datangnya juga tepat pada saat kami membutuhkannya. Lebaran kan tinggal sepuluh hari lagi, sedangkan tahun ini dan: untuk merayakan hari Lebaran telah dihapus oleh yayasan. Katanya keuangan yayasan sekarang mengalami kemunduran yang amat sangat. Oleh karena itu anak-anak dan kami semua sangat bersyukur masih bisa merayakan Lebaran ala kadarnya dengan wesel kirimanmu. Semoga Tuhan yang melimpahimu dengan berkat dan selamat.

Kau memang anak yang sangat baik. Biarpun sudah bertahun-tahun kita tidak berjumpa, kau masih selalu ingat kepada kami. Kaulah satu-satunya anak yang setelah berhasil menjadi orang yang sukses, tidak lupa kepada panti

yang membesarkanmu. dan selalu mengirimkan uang untuk kami.

Ibu Mar sekarang sudah pensiun. Penglihatannya sudah sangat berkurang. Sekarang di panti hanya tinggal Ibu Trees dan Ibu. Yayasan juga belum punya dana untuk mencari pengganti Ibu Mar.

sekali-sekali kalau kau libur. datanglah ke tempat kami. Kami sudah rindu sekali dan ingin benar bertemu lagi denganmu. Kau sama sekali tidak pernah menulis surat mengenai dirimu. Bahkan tahun-tahun terakhir ini boleh dibilang hampir tidak ada berita sama sekali. Kecuali wesel-weselmu. yang begitu sering kami terima, kayaknya kau sudah hilang ditelan bumi. Anggraini, kalau ada waktu, layangkanlah sepucuk surat supaya kami juga tahu bagaimanakah keadaanmu.

Ibu doakan semoga kau sekeluarga (kalau sekarang kau sudah berkeluarga) hidup berbahagia dan selalu berada di dalam lindungan Tuhan yang Mahaesa. Peluk Cium untukmu.

Wasalam, Ibu Karsih."

Gozali menyerahkan surat itu kepada Citra. Citra membacanya sambil mengernyitkan dahinya.

"Panti? Panti apa ini?" tanya Citra keheranan.

"Nama lengkapnya Anggraini?" tanya Gozali kepada Citra.

"Saya kira. Cuma ia selalu dipanggil 'Ani'."

Gozali diam.

"Pernahkah dia bercerita tentang kebiasaannya mengirim wesel kepada panti ini?"

"Sama sekali tidak."

"Pernahkah dia menyinggung-nyinggung tentang sebuah panti?"

"Tidak."

"Hm. ternyata ia tidak sejujur yang Anda gambarkan," celetuk Gozali.

Mata Citra bersinar-sinar.

"Setiap orang kan boleh mempunyai kehidupan pribadi! Ia tidak punya keharusan menceritakan seluruh riwayat hidupnya kepada saya!"

"Oke, kalau Anda masih berpendapat demikian. Moga-moga Anda tidak kecewa saja," kata Gozali.

"Kalau begitu, sebaiknya saya permisi dulu. Pak Kosasih tentunya sudah kepanasan di tempat parkir." Dia menyeringai.

"Buku catatan ini saya bawa"

"Eh. Pak Gozali." kata Citra.

"Kalau ada berita apa-apa tentang Ani, tolong beri tahu saya, ya? Saya sangat menguatirkannya."

Gozali mengangguk. Di pintu keluar dia hampir bertumbukan dengan dua orang ibu yang gemukgemuk yang bermaksud masuk. Di belakangnya ia mendengar Citra berkata,

"Oh. Ibu Mariano dan Ibu Kartika, mari. mari. silakan masuk."

Kebiasaan rutin kehidupan Citra sudah pulih seperti biasa.

**

DI Jalan Arjuna mereka menemukan sebuah bengkel kecil yang tampak sangat sederhana dari luarnya. Kosasih dan Gozali turun dari jip dan masuk ke pekarangannya. Seorang tukang sedang mengukir dengan penuh konsentrasi.

"Tolong tanya, Pak, apakah Saudara Dani ada?" tanya Kosasih.

"Oh, keluar, Pak," katanya.

"Tetapi Bapak ada." tambahnya sambil menunjuk ke teras rumah.

Mereka berjalan melewati si tukang yang sudah sibuk kembali dengan pekerjaannya.

Seorang laki-laki yang sedang duduk di depan rumahnya memandang kedatangan kedua orang ini dengan curiga.

"Kami dari kepolisian. Kami mencari Saudara Dani," kata Kosasih kepada laki-laki itu.

Orang itu menyipitkan matanya. Aneh. untuk apa polisi datang mencari anaknya? Kalau masalah mau pesan barang. sudah pasti tidak mungkin. Mereka tidak tampak seperti calon-calon pembeli yang berminat. Bahkan dari tempat duduknya di teras ini ia sudah melihat bagaimana mereka tadi masuk melalui halaman. Mereka sama sekali tidak memberikan perhatian kepada benda yang dipahat Mardi. jadi apa keperluannya kalau begitu?

"Anak saya masih pergi. Silakan tunggu," kata Pak Burhan. Dia tidak begitu menyukai polisi. Menurut pengalamannya. polisi adalah orang-orang yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan. Beberapa kali persimpangannya dengan polisi (meskipun itu cuma polisi lalu lintas) telah membuatnya mempunyai sikap curiga dan antipati. Betapa tidak. penyakit minta uang mereka sangat menjengkelkannya. Pak Burhan cukup menyadari bahwa memang gaji seorang polisi tidak seberapa. Tapi kan juga tidak begitu caranya mencari tambahan penghasilan! Entah kali ini kapten polisi ini mau apa? Ia mengikuti di belakang mereka masuk ke dalam.

"Silakan duduk," katanya, menunjuk kepada seperangkat perabotan tua yang berada di ujung ruang tamu.

"Apakah keperluannya bukan dengan saya?" tanyanya selanjutnya.

"Ah, tidak. kami mencari anak Anda." kata Kosasih.

"Ada keperluan apa dengan anak saya?" desak Pak Burhan.

Pada waktu itu terdengar deru sebuah mobil di halaman dan sebelum Kosasih dan Gozali sempat menjawab, seorang laki-laki sudah muncul di tengah-tengah mereka.

Laki-laki ini berperawakan sedang, berdada bidang. dan berbahu lebar. Versi yang lebih muda dari ayahnya. Ia hanya mengenakan sehelai kaus dan celana pendek. Rambutnya kusut dan ada sejumput yang jatuh ke depan, persis menggantung di ujung alisnya. Namun demikian ia masih tampak tampan

dan gagah, walaupun dengan badan penuh peluh dan pakaian yang lusuh. Lengannya tampak berotot kekar. yang mempunyai daya tarik tersendiri.

"Ini Dani, anak saya." kata lelaki yang lebih tua itu.

"Mengapa Bapak-bapak polisi ini mencarimu?" tanyanya.

"Oh. eh. tidak ada apa-apa, Pak," kata Dani buru-buru.

"Cuma soal kehilangan dompet saya saja."

"Kapan dompetmu hilang? Kau tidak pernah mengatakannya!" kejar ayahnya.

"Oh. aku lupa, Pak," kata Dani. lalu cepat-cepat mengalihkan perhatian,

"Tadi aku bertemu dengan Bibi Mun. Katanya Pakde sakit. sudah berhari-hari tidak bisa bangun. Sebaiknya Bapak ke sana sekarang." Dan dia mengulurkan kunci kendaraannya.

"Sakit apa Pakde?" tanya ayahnya serius.

"Mungkin agak parah. Pak! Kan umurnya sudah tua."

Ayahnya mengambil kunci kendaraan dari tangan anaknya dan tanpa pamit meninggalkan tamutamunya. Tak lama kemudian terdengar deru kendaraan menjauh.

Dani Burhan tersenyum kepada tamu-tamunya.

"Terima kasih Anda mendukung sandiwara saya." katanya.

"Bapak orangnya cepat kuatir, maklum sudah tua." Ia mengulurkan tangannya yang kekar, yang sebelumnya sudah ditepuk-tepukkan di pantatnya dulu untuk menghilangkan debu dan peluhnya.

"Maaf. Pak. saya kotor semua," katanya lagi sambil tersenyum. Giginya rata dan bersinar. Sangat jantan.

Tadi sewaktu Dani berbicara dengan ayahnya, Kosasih sempat melarikan matanya memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Ruang tamu ini kecil saja, tidak ada yang istimewa. Sebetulnya rumah ini tidak terlalu jelek-ukurannya sedang. bahannya baik-dindingnya tampak tebal-rumah kuno. Tetapi ada satu hal yang amat kurang di sini-kebersihan! Lantainya tampak seolah-olah sudah setahun tidak pernah dipel, begitu juga perabotannya-debu bertumpuk setebal jarinya. Langit-langit di atas kepalanya tampak hitam dan bersarang labahlabah. terutama di pojok-pojoknya. Tentunya sudah cukup lama tidak pernah dibersihkan.

Lha kok ada ibu rumah tangga yang sejorok ini, pikir Kosasih di dalam hati.

"Sebetulnya maksud kedatangan Bapak-bapak ini apa?" tanya Dani, membawa lamunannya kembali ke dunia nyata.

"Saudara Dani, kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan sehubungan dengan salah seorang teman Anda," kata Kosasih.

Dani Burhan mengangkat alisnya. Kalau ia terlibat, dia adalah aktor yang baik, putus Gozali.

"Ya?"

"Anda mengenal seorang perempuan yang bernama Ani atau Anggraini?" tanya Kosasih.

Sepasang mata yang polos memandang kembali kepada Kosasih.

Pantas mendapat piala Citra, pikir Gozali.

"Ya."

"Sudah berapa lama Anda mengenalnya?"

"Mungkin tiga tahun, saya tidak ingat," kata Dani.

"Kapan terakhir kalinya Anda bertemu dengannya?"

Dani mengernyitkan dahinya. Dua minggu yang lalu? Ya! Dua minggu yang lalu-kurang lebih.

"Sekitar dua minggu. Mengapa?"

"Teman Anda itu sejak kemarin tidak pulang ke rumahnya. Tahukah Anda ke mana perginya?"

Sejenak lamanya Dani tertegun. Ani tidak pulang ke rumahnya-sekarang dua orang polisi datang menanyai dirinya-kok aneh? Apakah mereka menuduhnya melarikannya?

"Barangkali ia ke luar kota." katanya tenang. Apakah polisi sekarang sudah begitu kekurangan pekejaan sehingga jika ada seseorang yang melaporkan tetangganya tidak pulang semalam. lalu polisi langsung melacaknya?

"Ada hal yang lebih serius yang telah terjadi di rumahnya sehingga kepergiannya ini sangat mencurigakan," kata Kosasih.

"Kejadian apa?" tanya Dani keheranan.

"Ada seorang gadis yang terbunuh di rumahnya."

Mata Dani Burhan melotot. Mulutnya menganga. tetapi tak sepatah kata pun yang diucapkannya. Mungkin daya kontrolnya bagus, pikir Gozali, atau mungkin saking kagetnya ia tidak bisa berkata apa-apa. Tuluskah reaksinya ini?

"S-s-siapa yang terbunuh?" gagapnya setelah detik-detik yang pertama lewat.

"Seorang gadis muda, kami belum mengetahui identitasnya. Kami ingin minta bantuan Anda barangkali Anda mengenal gadis ini."

"Pembantunya?" tanya Dani tolol.

"Bukan pembantunya. Pembantunya kemarin juga tidak ada."

"Saya... saya tidak mengerti!" kata Dani. menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Siapa gadis ini? Saya sama sekali tidak bisa membayangkan bisa terjadi kejadian demikian!"

"Sampai di manakah hubungan Anda dengan Nona Ani?"

Pertanyaan ini menyentuh borok di hati Dani.

"Teman," kata Dani datar.

"Teman dekat?" sela Gozali untuk pertama kalinya.

"Cukup dekat," sahut Dani.

"Pacar?"

Dani mengatupkan bibirnya. Sampai dua minggu yang lalu memang dia menganggap dirinya adalah pacar Ani. Tetapi sekarang dia tidak tahu lagi di mana kedudukannya.

"Saya tidak tahu," katanya lesu. Kepalanya menunduk.

"Mengapa?"

"Karena dua minggu yang lalu ia memutuskan hubungan. Sejak itu ia tidak mau menemui saya lagi." Kedengarannya begitu bodoh, pikir Dani dalam hati. Seorang laki-laki dicampakkan begitu saja oleh seorang perempuan! Di mana harga dirinya?

"Dari mana Anda tahu alamat saya dan bahwa saya temannya?" tanya Dani kemudian.

"Nyonya Citra."

"Oh."

"Kenalkah Anda pada teman-teman Nona Ani yang lain?"

"Saya hanya mengenal Nyonya Citra saja. tidak ada orang lain... dan, oh, ada seorang temannya yang bernama Johan. Itu saja. Yang lain-lain saya tidak tahu."

"Ia tidak mengatakan bahwa ia akan merencanakan pergi sebelumnya?" tanya Kosasih kemudian.

"Tidak. Bagaimana ia?"

"Kami tidak tahu. Kami bahkan tidak tahu di mana ia sekarang."

"Ya, Tuhan!" Dani menutup kedua belah telinganya.
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hening sejenak.

"Nyawanya mungkin dalam bahaya," kata Gozali tenang.

Dua mata memandang Gozali sejenak dan didalam pandangan yang sekejap itu Gozali mengenali sinar kepanikan.

"Ke mana ia bisa melarikan dirinya? Apakah dia tidak di rumah Mbak Citra?" tanya Dani.

"Ia tidak di rumah Nyonya Citra."

"Kalau begitu saya tidak tahu ke mana ia bisa pergi. Mbak Citra adalah temannya yang terdekat. Kalau ada apa-apa pastilah dia akan ke sana."

"Apa pendapat Anda tentang pembunuhan itu? Apakah Anda mengetahui sesuatu yang mungkin dapat menolong pengusutan ini?"

Dani Burhan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ani tinggal seorang diri di rumah itu. Pembantunya hanya datang setiap siang hari. Mungkin... mungkin gadis itu terbunuh di sana tanpa sepengetahuannya dan ketika ia datang, dia menemukan

gadis yang mati itu lalu ia melarikan diri ketakutan. .. mungkin dia takut terlibat atau... entahlah," kata

Dani, menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Saya tidak mengerti mengapa sampai bisa terjadi pembunuhan di rumahnya."

"Menurut keterangan tetangga-tetangganya, pada waktu gadis ini terbunuh. teman Anda ada di dalam rumah. Dia terlihat meninggalkan rumahnya malam hari itu bersama seorang laki-laki," kata Gozali.

Dani mengernyitkan dahinya. Ani membunuh orang? Atau paling tidak sudah ikut mengambil bagian dalam pembunuhan itu? Mustahil!

"Tidak mungkin!" katanya.

"Ani tidak mungkin membunuh orang."

"Mengapa Anda begitu yakin?" tanya Gozali terkesan.

"Saya... saya cukup mengenalnya. Saya mengenal wataknya. Ani orangnya pengalah. Semisal dirinya hanya punya sepiring nasi dan datang orang merebutnya, Ani akan memberikannya dengan ikhlas tanpa perlawanan. Dia. .. dia orang yang tidak suka ribut-ribut. Dalam segala hal selalu mengalah."

"Begitu baikkah hatinya?" tanya Gozali sinis.

"Saya kira lebih banyak karena didasari rasa takut. Ani adalah orang yang sangat penakut. Maksud saya bukannya takut setan atau apa, tapi takut ribut, takut malu, takut bertengkar dengan orang."

"Ada lebih dari satu saksi yang melihatnya keluar dari rumahnya setelah pembunuhan itu terjadi," kata Gozali.

"Kalaupun dia mengetahui tentang pembunuhan itu, pastilah dia hadir di sana karena dipaksa. Atau barangkali saksi-saksi itu salah lihat?"

"Enam orang saksi masa salah lihat semua?" sela Kosasih.

"Kalau satu orang yang melenceng

matanya, boleh jadi. tapi masa enam-enam semuanya salah! Memangnya dihipnotis atau bagaimana sehingga pohon bisa kelihatan seperti orang. begitu?"

Dani Burhan terdiam. Hanya ada satu alternatif kalau begitu, pikirnya.

"Kalau begitu tentunya ia disandera pembunuh itu," katanya.

"Setelah ikut menyaksikan pembunuhan tersebut, tidak mungkin si pembunuh akan melepaskannya begitu saja."

"Itulah yang kami kuatirkan."

Dani Burhan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk kesekian kalinya.

"Anda tidak tahu alasan apakah yang mungkin membuat gadis korban itu terbunuh di rumahnya?"

"Tidak. Bagaimana rupa gadis itu?"

"Berperawakan tinggi. berambut pendek, kehitam-hitaman, berusia sekitar dua puluh limaan."

"Wajahnya?"

"Wajahnya sulit digambarkan," kata Kosasih geram.

"Sebagian rusak dipukul benda keras."

"Astaghfirullah." kata Dani.

"Anda tidak mengenalinya?" kejar Gozali.

"Tidak."

Hening sejenak. Tiba-tiba mata Dani bersinar.

"Eh, kalau ada saksi-saksi yang melihat Ani meninggalkan rumah. tentunya mereka juga melihat laki-laki yang pergi bersamanya. Bagaimana rupanya?" tanya Dani.

"Waktu itu sudah malam, mereka tidak melihat wajahnya. Laki-laki itu memakai jaket. Pada waktu itu mereka tidak terlalu menaruh perhatian karena belum tahu bahwa telah terjadi pembunuhan. Orang

itu bisa siapa saja." kata Gozali. kemudian lanjutnya dengan lebih lambat,

"bisa juga Anda." Dani Burhan melotot.

"Anda menuduh saya? Anda menuduh saya membunuh orang dan melarikan Ani? Anda gila!"

"Anda punya motif," kata Gozali datar.

"Motif. Motif apa?" kata Dani setengah berteriak.

"Mungkin Anda salah membunuh orang. Mungkin sebetulnya yang akan Anda bunuh itu adalah Ani, pacar Anda yang telah memutuskan hubungan. Kebetulan di rumahnya pada saat itu ada gadis ini. Mungkin karena satu dan lain hal, Anda menumpahkan kejengkelan Anda pada gadis ini. Dan setelah melakukannya. Anda memaksa pacar Anda untuk meninggalkan rumah itu bersama Anda. dan entah sekarang Anda bawa ke mana. Barangkali ia juga sudah Anda habisi nyawanya supaya tidak bisa melaporkan kejahatan Anda."

"Apa? Polisi benar-benar gila. kalau menyangka begitu!" Dani berdiri dari tempat duduknya.

"Duduk. Saudara Dani!" kata Gozali dingin.

"Tidak ada gunanya pamer emosi di hadapan kami. Ceritakan apa yang telah terjadi saja, itu yang kami ingini."

"Apa yang harus saya ceritakan kalau saya tidak tahu apa-apa? Saya sudah dua minggu tidak bertemu dengannya! Saya tidak tahu apa-apa sama sekali!" Dani duduk kembali.

"Mengapa tadi Anda menyuruh ayah Anda pergi? Anda tidak menghendakinya mendengar pembicaraan kita. Mengapa?" tanya Gozali tenang.

"Bapak sudah tua. orang yang tua suka kelewat kuatir. Hal-hal yang kecil saja sudah membuatnya

kepikiran. Saya tidak tahu dengan maksud apa Anda datang, tetapi saya sudah bisa menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres. Karena itu saya menyuruhnya pergi. Apalagi memang benar tadi saya bertemu dengan bibi saya, dan memang benar paman saya sedang sakit!"

"Anda sama sekali tidak tahu maksud kedatangan kami?" tanya Gozali sinis.

"Mengapa Anda bisa menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres. kalau begitu? Mungkin saja kami kemari hanya untuk minta sokongan."

"Anda tidak seperti orang yang minta sokongan. Lagi pula tidak pernah saya melihat seorang kapten polisi minta sokongan. Saya tadinya berpikir mungkin Anda datang menanyakan surat-surat izin saya membuka bengkel di sini. Memang ada seorang tetangga saya yang kurang setuju saya berusaha di sini. Saya pikir Anda kemari sehubungan dengan laporannya itu."

"Baiklah, kalau begitu. Untuk sementara kami mempercayai keterangan Anda."

"Kira-kira yang memberikan keterangan melihat Ani bersama seorang laki-laki itu adalah keenam anak kos di depan rumahnya itu, bukan?" tebak Dani.

"Mengapa?" balas Gozali. Orang ini cukup cerdik, pikirnya.

"Mereka tidak bisa dipercaya. Mereka adalah gadis-gadis yang belum matang. bisanya cuma pringas-pringis dan tertawa cekikikan. Gadis-gadis tolol semuanya!" kata Dani Burhan merendahkan.

"Anda tidak menyukai mereka?"

"Tidak. Mereka itu usianya sudah dewasa, tapi pikirannya masih kekanak kanakan. Suka gosip,

suka usil, selalu mau tahu saja apa yang terjadi di

rumah tetangga-tetangganya."

"Anda sering bergaul dengan mereka kok begitu mengenal pribadi mereka?"

"Hmph! Setiap saya ke rumah Ani, begitu mendengar mobil saya, mereka semua melongok ke luar. Entah apa yang dilihat! Nanti kalau saya sudah duduk di dalam rumah, mereka mencari-cari alasan mengintip kami. Mereka datang mau pinjam ini, mau tanya itu, ada-ada saja, alasan-alasan yang tolol dan dibuat-buat, sekadar bisa melihat siapa tamu Ani."

Gozali tersenyum. Dia juga mendapat kesan yang demikian ketika berbicara dengan mereka.

"Apa pekerjaan Anda?" tanya Gozali beralih subjek.

"Oh, saya tukang membuat ukir-ukiran." kata

Dani merendah.

"Bagaimana usaha Anda? Cukup maju?"

"Usaha kecil-kecilan saja, ya lumayan untuk dimakan. Lebih baik daripada bekerja pada orang."

"Modal Anda sendiri?"

"Modalnya tidak seberapa. Saya menjualnya juga secara kontan. Sampai sekarang belum menemui kesulitan pembayaran."

"Apakah antara Nona Ani dan Anda pernah ada hubungan dagang?"

"Sama sekali tidak. Saya tidak mencampuri usahanya dan sebaliknya ia pun tidak pernah nencampuri usaha saya."

"Mengapa hubungan kalian putus?"

"Save sendiri juga tidak tahu. Tidak ada alasan sebetulnya. Semuanya berjalan lancar dan baik.

tiba-tiba ia menjadi dingin dan acuh dan akhirnya ia minta putus."

"Apakah tadinya ada rencana untuk menikah?"

Dani menundukkan kepalanya. Kesedihan terbayang di matanya.

"Saya tidak pernah. .. belum pernah membicarakan masalah perkawinan dengan serius. Saya belum berani melangkah sejauh itu. Saya merasa status ekonomi saya masih belum cukup mantap untuk pantas mengajukan perkawinan kepadanya. Kalau saya kawin, saya menghendaki saya sendiri bisa bertanggung jawab sepenuhnya untuk semua kebutuhan rumah tangga saya dan saya dapat memberikan apa yang sudah biasa dinikmatinya sebelum dia menjadi istri saya. Dan dalam hal ini, saya merasa masih belum mampu."

"Oh, Anda tidak menghendaki istri Anda bekerja.?" tanya Gozali.

"Bukan begitu. Ia boleh saja bekerja, tetapi saya tidak menghendaki ia bekerja karena ia membutuhkan penghasilannya untuk biaya rumah tangga kami. Kalau ia mau bekerja. penghasilannya adalah haknya sendiri. Urusan membiayai dan menanggung keluarga harus menjadi tanggung jawab saya seorang. Saya adalah laki-laki. sayalah yang mencari nafkah! Dan itu masih belum mampu saya berikan padanya."

"Bukankah tadi Anda mengatakan usaha Anda cukup maju?"

"Ah, ya. untuk taraf hidup kami yang sederhana ini." kata Dam Burhan menunjuk rumahnya yang kotor itu.

"Tapi bukan menurut taraf hidup yang dikenal Ani. Anda bisa membandingkan keadaan

rumah ini dengan rumannya-sangat jauh berbeda, bukan?"

Dalam hati Kosasih membatin, seandainya rumah ini dibersihkan keadaannya juga tidak terlalu jelek. Tapi adat ketimuran tidak mengizinkannya berkata demikian.

"Apakah ada keterangan lainnya yang bisa Anda berikan pada kami?"

"Kalau saja ada...! Saya ingin sekali membantu, Pak. Saya menguatirkan keselamatannya. Tapi saya tidak tahu apa-apa."

**

"SEKARANG ke mana?" tanya Kosasih.

"Kita seharusnya pergi ke markas dulu. Aku harus membuat surat perintah periksa untuk rumah Ani."

"Oke. Tapi sebelumnya kita mampir dulu di bank, kan satu jalan."

"Bank mana? Kau tiba-tiba menjadi jutawan?" goda Kosasih. Gozali tadi hanya menceritakan garis besar pembicaraannya dengan Citra. jadi Kosasih belum mengetahui maksudnya dengan jelas.

"Aku mau memeriksa rekening Butik Citra. Kau tahu pembukuan mereka kan tidak keruan. Aku kuatir seandainya ada yang bermain curang, yang lain tidak akan tahu."

"Kau curiga terhadap yang mana?"

"Butik itu adalah milik Citra. Yang punya. kan tidak mungkin menipu dirinya sendiri, bukan?"

Dua orang anggota satpam berjaga di depan pintu masuk Bank Antar Niaga. Mereka mengawasi kedua orang tamu ini dengan penuh kecurigaan. Tidak sering ada polisi yang berurusan dengan bank. Umumnya gaji mereka terlalu kecil untuk dibankkan. Belum pertengahan bulan biasanya sudah habis.

Kosasih dan Gozali menghampiri meja yang terdepan di mana seorang gadis cantik sedang duduk

dan menyibukkan dirinya dengan Kertas-kertas dan map-map yang berada di atas mejanya.

"Dik, kami mau bertemu dengan pimpinan. bisa?" tanya Kosasih.

"Ada sedikit urusan polisi," katanya menjelaskan.

Gadis itu tampak bingung. Dia tahu pimpinannya tidak mudah mau bertemu dengan orang, kecuali jika orang itu sudah dikenalnya. Tapi mau menolak dia tidak berani, melihat seragam Kosasih. Apalagi tamu ini sudah menyebutkan "urusan polisi".

"Sebentar, Pak. Saya sampaikan," katanya seraya berdiri.

"Silakan duduk," katanya menunjuk kedua kursi di hadapannya.

Kosasih dan Gozali duduk di kedua kursi yang memang tersedia di depan meja gadis itu dan menunggu. Ruangan sejuk yang didinginkan oleh AC ini memang nyaman dan menyegarkan dibandingkan keadaan didalam mobil mereka yang panas.

Beberapa saat kemudian gadis itu kembali diiringi oleh seorang laki-laki berkaca mata. Sekali pandang Gozali sudah dapat memastikan bahwa laki-laki ini tentulah bukan si pemimpin bank sendiri. Ia masih tampak terlalu hijau dan muda.

Laki-laki itu datang dan dari jarak lima meter sudah mengulurkan tangannya dan memamerkan sebaris giginya yang putih.

"Selamat pagi, Pak. Perkenalkan, saya Handoyo, kepala bagian kredit di sini. Apa yang dapat saya kerjakan?" Ia segera duduk di kursi gadis itu sementara si gadis hanya berdiri di sisinya.

"Kami tidak perlu dengan bagian kredit. Kami ingin bertemu dengan pimpinan. Kami ingin memeriksa rekening salah seorang nasabah Anda,

dan kami mau bertemu dengan orang yang punya wewenang memberikan izin tersebut," kata Kosasih jengkel.

"Aah. bolehkah saya tahu mengapa Bapak perlu memeriksa rekening nasabah kami? Rekening seorang nasabah adalah hal yang rahasia." senyum laki-laki muda ini. yang rupanya sudah pernah mengikuti kursus teknik penjualan bagaimana menghadapi tamu yang cerewet.

"Kami akan menjelaskannya kepada pimpinan Anda," kata Kosasih.

"Aah. pimpinan kami kebetulan sedang menerima tamu yang lain dan beliau tidak mau diganggu kecuali hal itu memang mendesak sekali. Karena itu, Pak, sekali lagi, bolehkah saya tahu apa masalahnya, supaya saya bisa menilai apakah hal ini termasuk mendesak atau tidak," katanya masih sambil tersenyum.

"Penilaian Anda tidak masuk hitungan." kata Kosasih marah.

"Kami menganggapnya mendesak dan kami tidak punya banyak waktu berdebat di sini. Sekarang. kami minta segera bertemu dengan pimpinan Anda. Anda berurusan dengan polisi, tahu!" Kosasih mengangkat suaranya. Beberapa orang yang sedang berdiri di depan loket-loket berpaling ingin tahu apa yang diributkan di sana.Salah satu dari kedua orang satpam yang menjaga pintu mendekati, tapi tidak berani membuka mulutnya.

"Baiklah, Pak, kalau begitu," kata laki-laki yang bernama Handoyo itu, sekarang tanpa senyum.

"Saya akan memberi tahu pimpinan bahwa Bapak memaksa." Ia berdiri dan meninggalkan mereka.

Kosasih dan Gozali harus menunggu lagi kira-kira sepuluh menit, kemudian telepon di meja gadis itu berdering. Gadis itu sudah kembali duduk di mejanya dan dia segera menerima telepon tersebut. Setelah mengucapkan beberapa kali "Iya, Pak" dia meletakkan tangkai telepon dan berkata kepada petugas satpam yang masih berdiri tidak jauh di belakang kursi Kosasih.

"Pak Yan, tolong antarkan Bapak-bapak ini ke kamar Pak Theo."

"Siapa Pak Theo?" tanya Kosasih sebelum berdiri. Ia tidak mau dipertemukan dengan kepala bagian yang lain lagi.

"Direktur kami, Pak." kata gadis itu ketakutan.

"Oke, terima kasih," katanya segera berdiri diikuti Gozali di belakangnya.

Kamar si direktur bank ternyata ditata dalam dekorasi yang serba wah. Karpetnya tebal, perabotannya bagus, tirai-tirai yang menggantung panjang dari langit-langit terbuat dari bahan yang mahal dan bermutu. Ruangan ini berbau wangi-tentunya wangi bahan-bahan kimia yang keluar dari tabungtabung semprot, walaupun di sini banyak ditemukan jambangan-jambangan bunga yang berisikan hanya mawar-mawar segar. Sebuah bank yang menonjolkan kebonafiditasannya dengan barang-barang yang mewah.

Seorang laki-laki pendek kecil berusia sekitar lima puluhan menyambut mereka di pintu. Alisnya tebal, wajahnya keras, sikapnya kaku.

"Saya Theo Koswara." katanya memperkenalkan dirinya. Suaranya dalam dan berat. Kosasih merasa segala sesuatu pada orang ini sangat tidak sesuai dengan ukuran badannya yang mini. Suara yang demikian dan wajah yang demikian lebih cocok apabila dimiliki oleh orang yang berperawakan tinggi besar.

"Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kepada seperangkat sofa yang bagus dan mentereng di ujung ruangan itu.

"Kami dari kepolisian. Kami sedang mengusut suatu kasus pembunuhan dan kami merasa perlu untuk memeriksa rekening salah seorang nasabah Anda di sini,

" kata Kosasih langsung terjun ke pokok tujuan kedatangannya.

Theo Koswara tidak menjawab beberapa saat lamanya. Alisnya yang tebal mengernyit dan dua garis itu menyambung membentuk satu garis lurus yang hitam melintang di dahinya. Angkuh.

"Kami tidak punya banyak waktu." tambah Kosasih.

"Ada surat tugas?" tanya si direktur. tidak terpengaruh atau keder akan gertakan Kosasih.

Kosasih menunjukkan surat identitasnya dan Gozali mengulurkan surat kuasa yang dibuat oleh Citra Suhendar.

Theo Keswara mempelajari kedua dokumen itu dengan cermat. Tak lama kemudian dia berdiri dan berjalan ke teleponnya di atas meja. Ia memutar

sebuah nomor dan berkata kepada orang yang menerima di seberang sana,

"Teleponkan Nyonya Citra Suhendar. rekening "54237."

Theo Koswara tidak kembali lagi ke kursi sofa melainkan duduk di belakang meja tulisnya sambil menunggu sambungan telepon. Selama itu tidak ada yang berkata apa-apa. Baik tuan rumah maupun tamu tamunya sama-sama membisu.

Selang hampir tujuh menit, telepon di mejanya berdering.

"Nyonya Citra Suhendar?" tanya Theo Koswara. Setelah merasa yakin bahwa ia berbicara dengan orang yang dicarinya, ia melanjutkan.

"Saya Theo Koswara. direktur bank Antar Niaga. Di sini ada dua orang dari kepolisian membawa surat kuasa yang menurut mereka dibuat oleh Nyonya untuk memeriksa rekening Nyonya. Apakah betul?"

Kosasih merasa tersinggung. Kurang ajar monyet ini! Jadi dikiranya kami ini tukang memalsu tanda tangan atau bagaimana! makinya dalam hati.

"Baiklah, kalau begitu." kata Theo Koswara.

"Tetapi lain kali kalau ada permintaan serupa, sebaiknya Nyonya datang sendiri bersama-sama yang berwajib dan Nyonya dengan mudah bisa minta lihat rekening Nyonya di bagian giro tanpa mengganggu saya."

Entah jawaban apa yang diberikan Citra Suhendar. ternyata si direktur kemudian melunakkan nada suaranya dan berkata,

"Saya mengerti, saya mengerti. Saya akan memberikan kerja sama yang seluaS luasnya kepada teman Nyonya dari kepolisian ini. Selamat siang."

Begitu pembicaraan terputus, si direktur ini sudah memutar angka lain lagi.

"Hamdi," katanya kali ini ke dalam pesawat teleponnya.

"tolong ambilkan rekening 415-223? segera. Ya! Saya ada di kamar saya."

Telepon diletakkannya dan dia berjalan ke kursi sofanya kembali.

"Sebentar lagi akan diantar kemari," katanya kepada Kosasih. Lalu mereka berdiam diri lagi.

Gozali merasa kagum orang yang kecil pendek ini sama sekali tidak menanyakan apa masalahnya mengapa mereka mau memeriksa rekening Citra pembunuhan siapa-dan lain-lain. Tidak biasa orang Indonesia tidak mempunyai sifat ingin tahu. Tapi ternyata si direktur mini ini diam saja dan matanya menerawang tajam entah sedang memikirkan apa.

Suatu ketukan lemah terdengar di pintu. Sebuah kepala nongol dan setelah mendapatkan persetujuan si direktur untuk masuk, barulah seorang pemuda yang tidak lebih dari dua puluh empat tahun memberanikan dirinya masuk menyerahkan sebuah map kepada Theo Koswara.

"Kau boleh kembali," kata Theo kepada pemuda itu seakan-akan berbicara kepada binatang peliharaannya. Ia mengulurkan map tersebut tanpa dibuka kepada Kosasih.

Kosasih menerimanya dan bersama-sama dengan Gozali mulai memeriksanya. Sebetulnya, Kosasih sendiri tidak tahu apa yang seharusnya mereka periksa. Di sini hanya ada tiga lajur angka, yaitu kolom debet, kolom kredit. dan kolom saldo. Keterangan yang tercantum di kolom paling kiri pun tidak memberikan banyak keterangan, umumnya adalah nomor-nomor cek yang bersangkutan atau kata "setoran tunai".

Gozali segera membuka buku catatan yang dibawanya dari Butik Citra dan menyibukkan dirinya dengan angka-angka di sana. Ia mengeluarkan sebuah kalkulator kecil dan mulai menekan angka-angka di hadapannya.

Untuk mengurangi kesan bahwa sebetulnya dirinya tidak mengerti apa yang sedang dibacanya, maupun apa yang dikerjakan Gozali, Kosasih tetap menundukkan kepalanya dan berpura-pura memelototi angka-angka yang tercantum di sana. Dalam hati ia berdoa semoga si direktur tidak bertanya apa yang mereka cari dan apakah mereka sudah mendapatkannya.

Di lain pihak Gozali tampak tegang. Beberapa kali ia membalik-balikkan halaman-halaman kertas itu dan membandingkannya dengan catatannya. Akhirnya ia berkata.

"Bolehkah kami minta fotokopi dokumen ini?"

Theo Koswara memandangnya untuk pertama kali. Dari tadi ia hanya berbicara kepada Kosasih saja, seakan-akan Gozali tidak pernah hadir.

"Surat kuasa dari Nyonya Citra Suhendar hanya menyebutkan bahwa Anda boleh memeriksa rekeningnya saja. bukan untuk membuat fotokopinya. Namun." katanya setelah berhenti sebentar.

"saya akan mengizinkan memberikan satu fotokopi dari rekeningnya bulan ini-hanya bulan ini karena sekarang baru pertengahan bulan dan rekening belum ditutup-dalam amplop tertutup kepada Anda untuk diserahkan kepada Nyonya Citra. Rekening-rekening bulan-bulan yang lalu. bisa Anda lihat pada Nyonya Citra yang telah menerima dokumen aslinya. Terserah nanti apakah Nyonya Citra

mengizinkan Anda memiliki fotocopynya atau tidak."

Gozali menyeringai.

"Anda sangat berhati-hati, Pak Koswara."

"Kalau saya tidak berhati-hati, saya tidak akan diangkat menjadi direktur di sini," katanya datar. Rupanya orang ini tidak mengenal humor dan tidak pernah tertawa seumur hidupnya.

"Di dalam surat kuasa itu juga disebutkan bahwa kami berhak memeriksa semua dokumen pendukung sehubungan dengan transaksi yang tercantum di rekeningnya," kata Gozali santai.

"Sekarang kami mau melihat dokumen pendukung untuk pengambilan uang dua kali sebesar empat ratus ribu rupiah ini. Satu kali dalam bulan yang lalu. dan satu kali awal bulan ini."

Theo Koswara mengulurkan tangannya meminta map itu. Dengan map di tangannya ia berjalan kembali ke meja tulisnya dan memutar sebuah nomor.

"Hamdi!" katanya begitu mendengar jawaban dari seberang.

"Carikan cek nomor 011234W22 yang dituangkan tanggal enam bulan lalu dan nomor 01l234W4l yang diuangkan tanggal tujuh bulan ini. Ya, cek-cek Nyonya Citra Suhendar. Bawa kemari!"

"Bank Anda cukup ramai," kata Kosasih mencari bahan pembicaraan. Janggal juga rasanya hanya duduk membisu sambil melotot. Lagi pula ia ingin mencari topik lain, agar si direktur ini tidak bertanya mengapa Gozali menanyakan kedua cek tersebut.

Bisa-bisa ia hilang muka kalau tidak bisa memberikan penjelasan yang logis. Ini kesalahan Gozali juga, pikirnya sambil memaki-maki di dalam hari. Gozali

tidak menceritakan secara jelas apa yang dimauinya disini.

"Banyak pusing," kata Theo Koswara menjawab pertanyaan Kosasih.

Mata Gozali bersinar jenaka.

"Itukah sebabnya Andatidak menanyakan tentang pengusutan kami? Tidak umum ada orang yang tidak mempunyai rasa ingin tahu," katanya.

"Saya sudah punya cukup banyak persoalan yang harus saya pikirkan dan pecahkan. Saya tidak perlu mengimpor lebih banyak lagi pengetahuan tentang persoalan orang lain. Kepala saya sudah jenuh berpikir. Soal kematian dan pembunuhan itu urusan Anda. Saya sama sekali tidak ingin tahu. Lebih banyak yang kita ketahui, lebih banyak yang menjadi beban pikiran kita. Terkadang saya berpikir lebih enak menjadi orang bodoh saja. tidak banyak yang dipikirkannya, kemampuannya berpikir juga terbatas, tidak banyak pusing."
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gozali tersenyum.

"Mencari dokumen-dokumen ini bisa makan waktu agak lama," kata direktur bank ini kemudian setelah lewat beberapa saat lamanya mereka samasama diam.

"Kami tunggu," kata Kosasih.

"Apakah Anda mengenal satu per satu nasabah Anda?" tanya Gozali.

Theo Koswara menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Hanya mereka-mereka yang mempunyai transaksi besar saja, mereka yang mendepositkan uang dalam jumlah yang besar atau mereka yang punya kredit besar. Biasanya direktur-direktur perusahaan besar."

"Dengan Nyonya Citra Suhendar ini. kenalkah Anda?"

"Tidak secara pribadi. Ia hanya sebuah nama rekening saja bagi saya. Tentunya anak-anak buah saya mengenalnya lebih baik, tergantung sering tidaknya ia kemari. Kalau melihat transaksinya di sini," katanya. menunjuk map rekening itu,

"kegiatannya tidak banyak. paling banyak tigaempat kali dalam sebulan dia kemari."

"Tapi reputasinya baik?" tanya Gozali.

"Tidak ada cek kosong, tidak ada saldo merah?"

Theo Koswara mengamati lagi map itu.

"Kredibilitasnya cukup bagus. Saya lihat di sini ia pernah mempunyai pinjaman, dan semuanya terbayar lunas pada waktunya. Tidak pernah ada cek yang melampaui saldonya. nasabah yang cukup stabil keuangannya dan dapat dipercaya. Kalau saja semua nasabah saya seperti nyonya ini. pusing saya sudah berkurang separuh."

Mereka menunggu lagi dalam kebisuan. Lama kemudian baru muncul pemuda yang tadi membawa dua lembar cek. Setelah meninggalkan ruangan itu. baru cek-cek ini diserahkan Koswara kepada Kosasih.

Di balik kedua cek itu tercantum nama Anggraini beserta nomor KTP-nya dan tanda tangannya.

Gozali mencatat nomor KTP tersebut.

"Puas?" tanya Theo Koswara agak sinis.

Kosasih mengmbil notesnya dan mencatat kedua nomor cek tersebut dan tanggal penarikannya.

"Terima kasih, Pak Koswara. atas kerja sama Anda." kata Kosasih formal. Dia tidak mempunyai

kesan baru mengenai direktur yang berwajah dingin ini. Dan lebih cepat mereka keluar dari tempat ini, lebih baik.

**

SEHABIS makan siang yang terburu-buru di salah satu warung di tepi jaian, mereka kembali ke markas.

Baru saja Kosasih selesai mengatur surat perintah periksa untuk rumah Ani, teleponnya berdering.

"Pak. ini si pembantu rumah datang," suara Kopda Adi terdengar. Kopda Adi adalah petugas yang digilir hari ini untuk meniaga rumah Ani kalau-kalau si nyonya rumah atau pembantunya muncul.

"Kapan?"

"Baru saja. Dia tidak tahu apa-apa. Kemarin katanya memang dia libur sehari karena saudaranya datang dari luar kota."

"Tahan dia di situ. Kami segera menyusul."

Lalu lintas di siang yang panas hari ini sangat menyebalkan. Kendaraan berjalan tanpa aturan, masing-masing ingin cepat sampai di tempat dan keluar dari bawah terik mentari yang menyengat ini. Bemo-bemo berhenti di sembarang tempat, sepeda motor dan becak mengambil tempat sampai lebih dari setengah jalan. Truk-truk dengan muatan sarat seenaknya parkir di jalan-jalan yang sudah sangat sempit. Akhirnya mereka baru tiba di tempat tujuan

empat puluh menit kemudian dalam pakaian yang hampir seluruhnya basah oleh keringat.

Seorang perempuan tua yang duduk di teras bersama Kopda Adi segera bangkit berdiri melihat kedatangan Kosasih dan Gozali.

"Ini pembantunya, Pak. Namanya Mbok Sri. Di sini dipanggil si Mbok begitu saja," kata Kopda Adi menjelaskan.

"Nih, berikan surat ini kepada Pak RT!" kata Kosasih, mengulurkan surat perintah periksa kepada Kopda Adi. Ia juga mengeluarkan anak kunci dari sakunya dan membuka pintu rumah.

"Masuk, Mbok," katanya.

Di dalam rumah tercium bau tidak enak, bau darah yang sudah berusia sehari dan dibiarkan.

"Mbok, di sini kemarin ditemukan sesosok mayat. Perempuan, usianya sekitar dua puluh limaan, berambut pendek, tinggi, dan ramping. Mbok kenal tidak?" tanya Kosasih.

"Tidak, Tuan! Saya sama sekali tidak tahu apa-apa!"

"Bukan itu yang saya tanyakan." kata Kosasih jengkel. Siang yang panas ini menyebabkan kesabarannya sangat tipis.

"Saya tanya apakah Mbok kenal, atau pernah melihat majikan Mbok di sini punya kenalan seorang perempuan yang kira-kira seperti itu penampilannya-tinggi, sekitar dua puluh limaan, ramping, berambut pendek, kulit agak kehitaman."

Perempuan itu berusaha memikir.

"Nyonya Citra, pendek," katanya kepada dirinya sendiri,

"orang ini tinggi eh, seberapa tingginya? Setinggi Non Ani atau lebih pendek?" tanya Mbok

"Saya belum pernah bertemu dengan majikanmu. jadi tidak tahu apakah gadis ini setinggi Non Ani atau tidak. Tapi tingginya kira-kira sekian," kata Kosasih menunjuk sampai batas telinga bawah Gozali yang kebetulan pada waktu itu sedang berdiri sehingga tidak terlalu .sulit bagi si Mbok untuk menilainya.

"Oh. kalau begitu. lebih pendek sedikit daripada Non Ani. Non Ani tingginya sekian," katanya sambil berdiri.

"Eh, permisi. Tuan." Lalu ia menunjuk bagian atas telinga Gozali.

"Non Ani tinggi sekali. Seperti orang laki!" katanya selanjutnya.

"Den johan saja hampir kalah tingginya. Kalau dibandingkan Den Dani, lebih tinggi Den Dani sedikit. Tapi kalau Non pakai sepatu jinjit, Den Dani pun sudah kalah."

Kosasih sama sekali tidak tertarik pada anatomi Ani.

"Kenal. tidak, Mbok?" tanyanya kembali ke pertanyaannya semula.

Si pembantu menggelengkan kepalanya.

"Kok rasanya tidak, Tuan. Perempuan-perempuan yang pernah kemari dan yang pernah'saya lihat cuma Nyonya Citra, Non-non yang kos di depan rumah, terkadang Nyonya Syahrir di sebelah, itu saja."

"Nah. kemarin dulu sebelum Mbok pulang, siapa siapa saja yang bertamu kemari?"

"Tidak ada. Tuan."

"Pukul berapa Mbok datang kemarin dulu?"

"Seperti biasa, saya datang pukul dua siang, Tuan. Tapi Non belum pulang waktu itu. Saya menunggu di depan sampai Non pulang. Hampir pukul tiga Non baru pulang!"

"Waktu Mbok masuk di dalam rumah tidak ada orang?"

"Orang? Orang siapa? Rumahnya kan dikunci, mana bisa ada orang di dalam?" tanya Mbok Sri keheranan.

"Lalu Mbok pulang pukul berapa.?"

"Pukul lima, Tuan."

"Di rumah ada siapa pada waktu itu?"

"Cuma Non sendiri."

"Sudah berapa lama Mbok bekerja di sini?"

"Dua tahun, Tuan. Waktu Non Ani baru pindah kemari."

"Bagaimana watak majikanmu?"

"Non pendiam, tidak banyak bicara. Makannya juga gampang. seadanya, tidak rewel. Orangnya baik, sabar. Saya sering-sering diberi pakaiannya yang tidak dipakainya lagi untuk dibagikan pada anak-anak saya atau famili saya di kampung."

"Bagaimana dengan teman-temannya? Ada yang ugal-ugalan? Ada yang berandal atau kasar?"

"Tidak ada, Tuan. Setahu saya teman teman Non sopan-sopan dan orang baik-baik semua."

"Mbok kenal dengan mereka?"

"Yang sering-sering kemari cuma Nyonya Citra, Den Dani, Den Johan kadang-kadang. Non-non yang kos di depan rumah itu, dan itu, Tuan Roy."

"Tuan Roy? Ia juga sering kemari?"

"Oh, tidak sering. Non jarang mau menemuinya. Kan dia bekas suami Nyonya Citra," kata si Mbok setengah berbisik.

"Tapi kadang-kadang Tuan Roy muncul siang-siang pukul dua atau pukul tiga. begitu. Nah, kalau kebetulan Non lagi duduk duduk di ruang tamu di sini. yah, terpaksa harus menerima

Tuan Roy masuk. Kalau tidak kepergok begitu. Non selalu menyuruh saya mengatakan dia pergi."

"Apa Mbok tahu mengapa Non Ani tidak pulang dua malam ini?"

Pembantu itu menggelengkan kepalanya.

"Sejak saya di sini, tidak pernah Non tidak pulang. Setiap siang saya kemari Non pasti di rumah. Non tidak pernah pergi ke luar kota. kecuali tahun yang lalu ketika Non pergi ke luar negeri selama tiga minggu."

"Sekarang. Mbok, coba lihat di dalam rumah ini, apakah ada barang majikanmu yang hilang atau tidak," sela Gozali.

"Kami akan mengintip keadaan di dalam kamar lagi. Kalau Mbok tahu ada barang yang hilang. atau berpindah tempat, segera beri tahukan pada kami."

Untuk kedua kalinya Kosasih dan Gozali masuk ke dalam kamar Ani. Hanya saja kali ini mereka tidak disambut oleh senyuman manis dari gadis di foto yang terpampang di atas tempat tidur. Foto itu sudah dibawa Abbas Tobing untuk dibuatkan reproduksinya dan diedarkan ke mana-mana dalam usaha mencari gadis itu.

Kamar itu tanpa foto tersebut tampak sunyi dan dingin. Bau anyir yang lebih tajam dan menusuk hidung segera mengganggu pernapasan mereka. Sekali lagi Kosasih dan Gozali memeriksa kamar ini, untuk meyakinkan bahwa pertama kalinya tidak ada apa-apa yang terlewatkan. Mereka tidak menemukan apa-apa lagi di samping apa yang pernah mereka temukan di sini kemarin.

Mereka pindah ke ruang tengah, memeriksa isi lemari dan meja yang ada. Tidak ada apa-apa yang

mencurigakan. Tidak ada indikasi bahwa penghuni rumah ini punya hubungan dengan gang-gang penjahat atau sindikat-sindikat narkocika. Apa yang ada cuma peralatan rumah tangga biasa. dan jumlahnya pun tidak banyak. Semuanya serba sederhana di sini.

"Ada yang hilang, Mbok?" teriak Kosasih ke belakang, di mana si pembantu sibuk memeriksa dan menginventarisasi barang-barang majikannya.

"Tidak ada, Tuan!" katanya.

"Coba sekarang di dalam kamar Non Ani!"

Lima belas menit kemudian si pembantu keluar.

"Tidak ada yang hilang. Tuan. Bahkan sikat gigi dan odol Non masih ada di kamar mandi. Masa kalau

Non merencanakan pergi, ia tidak membawa sikat giginya?"

Gozali tersentak. Dahinya berkerut. Hal itu tadi tidak terpikirkan olehnya. Tapi misalnya Ani disandera? Apakah si penyandera akan ingat membawakan sikat gigi korbannya? jadi itu bukan jawaban yang kongkret!

"Bajunya lengkap semua, kecuali sehelai daSternya yang kuning dan sehelai celana panjang biru yang tidak ada. Itu daster yang dipakainya ketika saya pulang kemarin dulu. Saya lihat di cucian juga tidak ada dasternya ini. Yang ada hanya pakaian yang ditukarnya sore hari itu yang belum sempat saya cuci. Tuan. masa Non pergi memakai daster dan celana panjang?"

Kepala Gozali mulai pusing. Mungkin karena bau anyir yang memuakkan, tapi mungkin juga karena pembantu ini mengajukan terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya.

"Sekarang bagaimana?" tanya Kosasih bingung. Setiap jalan yang mereka tempuh ternyata buntu. Setiap kemungkinan yang mereka jajagi ternyata tidak logis. Setiap upaya mereka ternyata sama sekali tidak membawa mereka lebih dekat kepada penyelesajan kasus ini.

"Kita sebaiknya menunggu sampai keluarnya visum dokter saja supaya lebih jelas kapan dan bagaimana gadis itu mati. Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi di sini," sahut Gozali.

"Lalu perempuan ini?" tanya Kopda Adi yang sudah kembali dari rumah Pak RT.

"Biar dia pulang ke rumahnya, catat alamatnya. dan peringatkan agar tidak ke luar kota. Sewaktuwaktu kita mungkin membutuhkan kesaksiannya."

**

PUKUL sembilan lebih seperempat Gozali mendapatkan dirinya berdiri di depan rumah Citra. Keadaan di dalam rumah terang benderang. Suasana tampak hangat karena lampu yang dinyalakan adalah bola-bola lampu biasa-yang berlainan dengan lampu neon yang memberikan pancaran sinar keputihan yang dingin-memancarkan sinar kekuningan yang membuat suasana ruangan terasa ramah dan mengundang.

Dari pintu pagar Gozali bisa melihat seorang pemuda tanggung duduk sambil membaca buku di ruang tamu depan. Kakinya diangkat. Dia tampak asyik dan menikmati kegiatannya. Gozali mengetuk pintu.

"Siapa?" tanya pemuda itu melongokkan kepalanya keluar dari jendela.

"Ibu ada?" tanya Gozali sambil tersenyum.

"Oom siapa?" tanya pemuda ini curiga.

"Nama saya Gozali."

"Oh! Oom Gozali!" kata pemuda itu sambil tersenyum seakan-akan nama itu sudah akrab dengannya.

"Mari masuk." katanya segera membukakan pintu.

"Mama belum pulang, sebentar lagi. Yuk. masuk!"

Gozali menyukai sikap polos dan santai pemuda ini. Ia tidak lebih dari seorang anak sebetulnya, belum pantas disebut pemuda, namun dia sudah mempunyai rasa kepercayaan diri yang cukup besar. Sikapnya penuh keterbukaan dan ramah tamahseperti ibunya.

"Pukul berapa ibumu pulang?" senyum Gozali menandingi keramahan pemuda itu.

"Biasanya pukul sepuluh. Kadang-kadang lebih. Tapi tidak mengapa. Oom bisa menunggu di sini. Oom naik kendaraan apa?" tanya Beni melongokkan kepalanya ke luar pintu.

"Enaknya dimasukkan saja, lebih aman." tambahnya.

"Oom naik bemo, turun di perempatan sana, terus berjalan kemari," jawab Gozali. ia ingin mencoba bagaimana tanggapan anak ini mendengar pernyataannya. Apabila ia anak yang sombong, pasti sikap ramahnya akan berubah merendahkan.

Beni menyeringai. Entah mengapa ia suka kepada pria ini. Ia begitu berbeda dari pria-pria yang pernah datang ke rumah ini yang bermaksud mau menjalin hubungan yang lebih erat dengan ibunya. Mungkin karena pria ini tidak punya maksud demikian. Beni tahu dari cerita Citra bahwa kedua orang polisi yang menangani kasus menghilangnya Ani, bernama Kosasih dan Gozali. Jadi kedatangan orang yang bernama Gozali ini tentunya sehubungan dengan pengusutan itu.

"Oom reserse, ya?" tanya Beni setelah Gozali duduk.

"Bukan. Saya cuma pembantu pribadi Kapten Polisi Kosasih."

"Mana Pak Kapten?"

"Pak Kapten kebetulan ada tugas lain "

Seorang perempuan melongokkan kepalanya ke dalam.

"Bicara dengan siapa, Den?" tanyanya. Ia tidak melihat Gozali karena Gozali duduk membelakanginya dan kursi rotan itu mempunyai sandaran yang tinggi.

"Bik Minah. tolong ambilkan minum untuk tamu Mama." kata Beni.

Si pembantu memerlukan mendekat dan melihat sendiri siapa yang disebut Beni tamu majikannya. Beni masih terlalu muda, jangan-iangan salah memasukkan penjahat ke dalam rumah. Malam malam begini tidak lazimnya orang bertamu.

Mengenali Gozali yang tadi pagi sudah datang dan ditemui nyonyanya, Bik Minah merasa tenteram dan bergegas ke belakang mengambilkan minum.

"Siapa namamu?" tanya Gozali.

"Beni," kata anak itu yang tak habis-habisnya memandangi Gozali.

"Pelajaran apa yang kausenangi di sekolah, Ben?" tanya Gozali. Sudah lama rasanya ia tidak berbicara dengan seorang anak. Apa ya yang pantas dibicarakan dengan seorang anak? Pikirnya dalam hati.

"Oh, tidak ada!" Beni tertawa.

"Semuanya menyebalkan!"

Gozali ikut terbahak.

"Oom dulu juga begitu," katanya.

"Tapi kalau kau tidak senang bersekolah, buat apa sekolah terus?"

Beni kaget. Baru pertama kali ini ada orang dewasa yang seolah olah menyetujui ada anak yang tidak usah bersekolah.

"Karena terpaksa. Oom. Habis, Mama menghendaki Beni punya titel kelak."

"Kau sendiri ingin punya titel, tidak ?"

"Wah, titelnya sih ingin. Oom." kata Beni lucu.

"Memang rasanya kan gagah kalau kita bisa menyebut diri sendiri sebagai dokter. atau insinyur atau dokterandus. Tapi kalau mikir sekolahnya, rasanya kok berat sekali!"

"Kalau maksudmu punya titel sekadar supaya namamu kedengarannya gagah, Ben, lebih baik tidak mengejar titel saja. jerih payah dan susahnya untuk mencapai titel tidak sebanding dengan kepuasan yang kaudapat kelak dari mendengar orang memanggilmu Pak Dokter atau Pak Insinyur. Lagi pula setelah beberapa lamanya, kau sendiri sudah terbiasa dengan panggilan itu dan tidak akan merasakan nikmatnya lagi. Jadi percuma kau sekarang bersengsara hanya untuk mendapatkan kepuasan yang sedikit dan sekejap itu."

Beni lebih terheran-heran lagi.

"jadi. maksud Oom. tidak ada gunanya punya titel?" Ini betul-betul orang yang bisa diajaknya berteman! pikir Beni. Coba Mama mau mendengar kata-kata orang ini, kan enak!

"Titel itu sendiri tidak ada artinya, Ben. Di negara-negara maju. sudah jarang sekali orang mencantumkan titelnya. Sudah dianggap lumrah. setiap orang pernah masuk universitas! Di Indonesia pun. mungkin dua puluh tahun lagi juga begitu."

"Lalu apa perlunya orang sekolah tinggi-tinggi? Menyiksa diri, buang-buang uang. kan. Oom?" tanya Beni.

"Orang yang bijaksana mau bersusah payah sekolah sampai tinggi itu untuk mencapai ilmunya, Ben! Bukan untuk mencapai gelarnya! Bukan mencari kepuasan dari mendengar dirinya dipanggil orang Pak Profesor atau Pak Akuntan. Orang yang tahu hakekatnya. belajar dengan maksud menambah kepintarannya sendiri. Bukan untuk orang lain, bukan untuk menyenangkan mamanya, bukan untuk menuruti papanya, dan bukan untuk motif murahan yang tidak berarti seperti sekadar bisa mencantumkan titel sarjana di depan atau di belakang namanya!"

Beni memandang Gozali dengan dua bola mata yang jernih, bola mata Citra. Ini adalah teori baru yang didengarnya. Selama ini semua orang selalu berkata. sekolah yang pandai sampai mendapatkan titel. Besok hidupnya bisa enak, cari uang mudah! Tapi orang jelek jangkung ini sama sekali tidak bicara soal hidup enak maupun mudahnya mencari duit. Dia berbicara mengenai sesuatu yang abstrak. sesuatu yang mengandung makna yang lebih dalam, sesuatu yang bukan material. Dan Beni yang berada tepat pada usia yang peka dan penuh idealisme, kali ini merasa menemukan orang yang bisa mengisi kehausan hatinya. Orang ini mempunyai jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah dikemukakannya. Dan Beni ingin berbicara lebih banyak dan lebih lama lagi dengan orang ini.

"Apa gunanya kepintaran, Oom?" tanya Beni. Dalam hati ia kuatir akhirnya orang ini juga akan memberikan jawaban yang sama dengan orang-orang lain-yang mengatakan bahwa itu adalah bekalnya untuk mencari duit dan hidup enak besok.

"Kepintaran adalah sumber kepuasan bagi diri sendiri. Kepintaran itu tidak ada habis-habisnya. Sampai mati pun kita tidak akan pernah sampai kepada kejenuhan. Dengan kepintaran, kita dapat mengerti banyak hal. Begitu banyak rahasia alam yang akan bisa kaupahami dan kauhargai, dan kau akan lebih mudah menjadi orang yang utuh. orang yang bersyukur. orang yang mengakui kebesaran Tuhan. Tuhan adalah ilmuwan yang tidak terukurkan kepandaiannya. Dengan kepintaran di pihakmu. kau bisa lebih mengerti bagaimana seharusnya dunia ini diatur agar penderitaan bisa berkurang."

Tuhan? Beni tambah keheranan. Tadi kan bicara soal titel. kok jadi melenceng ke Tuhan? Sebagai anak muda, Tuhan hanyalah merupakan figur yang abstrak dan jauh bagi Beni. Mamang ibunya mengajarnya untuk bersembahyang, dan itu pun dilakukannya-tapi di luar detik-detik dia bersujud, Tuhan sudah jauh dari pikirannya. Banyak hal yang lebih nyata dan lebih menarik yang mengambil perhatiannya.

"Jadi kalau orang itu pintar. dia puas, Oom?" tanya Beni menegaskan. Lebih baik bicara soal kepuasan saja, pikirnya.

"Hanya apabila orang itu sadar bahwa ia mencari kepintaran untuk bisa lebih mengerti keadaan alam ini. Banyak juga orang pintar yang tidak mendapatkan kepuasan dalam hati mereka karena mereka salah menempatkan nilai-nilai hidup. Misalnya orang yang memperalat kepintaran sekadar untuk mengumpulkan harta benda bagi dirinya. atau demi mencapai suatu ketenaran. Orang-orang yang demikian di dalam hati kecilnya tidak akan merasakan kepuasan

itu. Ia tidak ubahnya hanya seperti suatu mesin. Dia bekerja-dan bekerja-dan bekeria. mengumpulkan lebih banyak harta setiap saat, tanpa bisa menikmatinya. Hidupnya menjadi hampa. Materi hanya memberikan kepuasan yang sejenak-selagi orang itu masih muda. Tapi pada saat tuanya ia akan bertanya. untuk apa selama bertahun-tahun ini aku bekerja keras mengumpulkan demikian banyak harta? Ketampanan akan hilang bila seseorang menjadi tua. kecantikan akan lenyap. Kalau sudah tua dan jelek, mau pakai baju bagus pun, tidak ada orang yang mengagumi lagi. percuma. Mau makan enak terus, kesehatannya Juga tidak mengizinkan. Organ-organ dalam tubuhnya sudah tua. tidak bisa lagi menerima makanan yang mewah dan berlimpah seperti pada masa mudanya. Lalu apa yang tinggal? Seorang tua dengan harta berlimpah yang kesepian."

"Tapi meskipun orang itu pintar, dia kan juga akan menjadi tua. Oom?" bantah Beni.

"Setiap orang akan menjadi tua dan mati, Ben. Itu kodrat. Tapi bagi orang yang memakai kepintarannya untuk mendekatkan dirinya kepada alam dan Tuhan, maka pada usia tuanya, ia tidak akan merasa kesepian. Dia bisa berpaling ke belakang dengan bangga dan berkata, ini telah aku buat demi kemanusiaan, ini telah aku perbaiki demi dunia. Ada orang orang yang hidupnya menjadi lebih baik karena aku menerapkan kepintaranku pada mereka. Dan meskipun apa yang aku kerjakan itu kecil dan tidak berarti dibandingkan dengan jasa-jasa besar ilmuwan lainnya. namun sumbangan yang kecil-kecil ini bila ditimbun akan menggunung juga. Ia akan menemukan kedamaian, ketenteraman, bahwa kepintaran yang berhasil diraihnya, telah menjadikannya orang yang lebih paham akan makna hidup ini."

Beni mencoba mengerti kata-kata Gozali. Samarsamar dia bisa menangkap sedikit, namun untuk mengerti secara keseluruhannya. masih terlalu sulit baginya. Mungkin nanti, pikirnya, nanti malam kalau aku sudah duduk di kamarku sendiri. aku ada waktu untuk memikirkan kara-kata orang ini. dan mungkin aku bisa mengertinya.

"Oom sendiri punya titel apa?" tanya Beni lugu. Orang yang mempunyai pengertian sejauh ini niscaya seorang ilmuwan!

"Saya tidak punya titel, Ben. Bahkan sekolah formal saya berakhir ketika saya berusia lima belas tahun. Lulus SMP saja belum. Saya telah membuangbuang waktu sebelas tahun dari kehidupan saya dalam kegiatan yang bodoh. Itulah sebabnya baru kemudian saya sesali kekurangan daya pengertian saya ini. Dan untuk mengejar ketinggalan itu, membutuhkan ketekunan yang sungguh-sungguh."

"Tapi Oom berhasil masuk kepolisian," kata Beni.

"Saya bukan polisi, Ben. Tugas saya hanya mendampingi Kapten Polisi Kosasih dalam melacak kasus-kasus kejahatan yang terjadi di sini. Seandainya saya lebih pintar, mungkin saya dapat berbuat lebih banyak. Sekarang saya hanya bisa berbuat sebatas kepintaran saya saja."

Beni memandang Gozali dengan polos. Biasanya orang selalu mengakui dirinya lebih daripada yang sebenarnya. Tapi orang ini dengan terus terang mengatakan dirinya bukan apa-apa. Tiba-tiba timbul pikiran dalam hatinya, alangkah senangnya kalau orang ini menjadi bapaknya! Orang ini lugu, tidak

munafik, dan tidak sombong. Dia adalah orang yang bisa aku hormati, pikir Beni. Dan dia bisa mengajarkan tentang nilai-nilai hidup itu kepadaku.

"Oom punya anak berapa?" tanya Beni memancing.

Gozali yang tidak menduga alur pikiran pemuda ini. tertawa terbahak.

"Oom bujang lajang!"

"Lho. Oom belum punya istri?" tanya Beni kegirangan.

"Pekerjaan saya berat. tidak ada waktu yang teratur. Terkadang berangkat pagi pulang malam. terkadang berangkat malam pulang tiga hari lagi. Kasihan kan kalau punya anak dari istri yang ditinggal terus di rumah?"

"Terus Oom kapan mau kawin?"

"Mungkin selamanya tidak, Ben," kata Gozali.

lni teori baru lagi buat Beni. Ada orang yang selamanya tidak mau kawin padahal dia bukan biarawan!

"Kok selamanya, Oom? Oom kan bisa mencari pekerjaan yang lain. Kalau tidak punya anak, nanti tua siapa yang mengurus?"

"Anak itu tidak Seharusnya dilahirkan untuk mengurus orang tuanya, Ben! Anak itu dijadikan juga bukan atas kehendaknya sendiri. Lha kok setelah dijadikan manusia, terus diberi tanggungjawab yang tidak enak. yaitu mengurus orang tuanya di masa tua mereka. Itu namanya kita mem-fait-a-compli-kan dia! Ia tidak ditanya tadinya mau tidak diberi beban demikian, tapi tahu.-tahu dipaksa memikulnya. Boleh

jadi kalau dari tadinya ia tahu bakal begitu jalan

hidupnya, ia memilih lebih baik tidak pernah dilahirkan saja!

"Kalau orang tua sudah memutuskan untuk mempunyai anak. maka tujuannya harus mulia yaitu mereka yang bertanggungjawab membesarkan dan menjadikan anaknya manusia, supaya kelak anak ini bisa berdiri sendiri, bisa menikmati arti suatu kehidupan. Itu baru namanya cinta yang sesungguhnya. Bukan punya anak agar besok tua ada yang mengurusi! Kalau kita punya anak supaya hidup kita kelak terjamin, itu namanya bukan saja egois, tapi juga kejam! Kan seperti memelihara ayam di rumah, diberi makan supaya gemuk, kalau sudah gemuk disembelih lalu kita makan sendiri!"

Beni terbengong bengong. Rasanya orang ini menyentuh sesuatu yang terpendam jauh di lubuk hatinya. Rasanya orang ini menyinggung tentang sesuatu yang pernah timbul sebagai pertanyaannya sendiri. Pertanyaan yang tidak pernah berani diutarakannya. bahkan dia sering menipu dirinya sendiri bahwa pertanyaan itu tidak pernah timbul dalam benaknya. Tapi sekarang orang ini justru membicarakannya dengan terbuka, seakan-akan ini adalah suatu kenyataan-bukan dosa. Tadinya Beni menganggap dirinya adalah orang yang berhati jahat. karena sampai berani memikirkan hal yang demikian.

"Tapi anak kan wajib membalas budi orang tuanya?" tanya Beni berperang dengan prinsipprinsip yang telah diajarkan kepadanya.

"Anak tidak Wajib membalas budi orang tuanya. Orang tua yang berhati mulia tidak mewajibkan apa-apa dari anaknya. Tetapi anak yang baik. yang membina hubungan kekeluargaan yang erat dengan

orang tuanya, dengan sendirinya mempunyai kesadaran untuk berbuat baik kepada orang tuanya. Kesadaran itu harus timbul sendiri. bukan suatu kewajiban yang digariskan oleh orang tuanya. Anak itu mengurus orang tuanya karena ia mencintai mereka, dan ingin membuat hidup kedua orang tuanya itu senang dan terawat di masa tua mereka. Tetapi ia berbuat demikian karena ia mencintai mereka, bukan karena ia merasa ia wajib mengurusi mereka."

"Pendapat Oom kok lain sekali dengan orangorang yang lain? Kalau Mama mendengar ini. pasti ia marah-marah dan mengatakan anak yang demikian adalah anak yang murtad dan tidak berbakti kepada orang tuanya."

"Berbakti itu tidak bisa dituntut dari seseorang, Ben. Ingat itu! Hubungan antara anak dengan orang tuanya harus dilandasi cinta. Dan Cinta tidak bisa dituntut seperti halnya orang menuntut ketaatan. Cinta itu timbul dengan sendirinya. dan merupakan buah dari pendekatan kedua belah pihak. Anak yang tidak mencintai orang tuanya, itu sebagian besar adalah kesalahan orang tuanya sendiri yang salah mendidiknya dan salah menanamkan benih itu di dalam hubungan mereka.

"jangan sekali-kali menuntut cinta dari orang lain. Ben! Biarpun itu dari ibumu sendiri, misalnya. Kalau kau menghendaki ia mencintaimu, maka berbuatlah hal-hal yang bisa menimbulkan rasa cinta itu. Kau tidak bisa menuntut. tapi kau bisa membantu membangkitkan perasaan yang istimewa ini."

Beni menggeleng gelengkan kepalanya lagi.

"Oom ini benar benar lain," katanya.

"Kalau menurut Mama, segalanya itu harus ada. Orang tua harus mencintai anaknya, anak juga barus mencintai orang tuanya. Semuanya serba harus! Terkadang Beni sendiri ingin membantah. tapi tidak tahu apa jawaban yang sebenarnya. Mungkin Oom yang benar. Mungkin kita terlalu banyak mengharuskan sesuatu. Sehingga kalau tidak mendapatnya, lalu Orang kecewa. Oom benar-benar lain daripada yang lain," kata Beni kagum.

"Mungkin karena riwayat hidup saya yang juga lain daripada orang lain maka saya melihat segala sesuatu dengan kaca mata yang berbeda, Ben. janganlah menyalahkan siapa pun. Setiap manusia boleh mempunyai pendapatnya sendiri. Ikutilah yang mana yang kau anggapbenar. Itu yang penting. Selama kau tidak munafik terhadap dirimu sendiri, itu sudah pilihan yang paling baik. Asalkan kau selalu jujur kepada dirimu sendiri, suatu waktu kau akan menemukan prinsipmu sendiri."

"Oom," kata Beni beralih ke topik yang tidak kalah menariknya bagi dirinya,

"ceritakan bagaimana sih terjadinya pembunuhan di rumah Mbak Ani itu!"

"Tidak banyak yang bisa saya ceritakan. Ada seorang gadis terbunuh di rumahnya sedangkan Mbak Ani sendiri tidak tahu pergi ke mana. Itu saja."
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana sih rupa gadis yang terbunuh itu?" tanya Beni penuh rasa ingin tahu.

"Oh, tinggi, kurus, sawo matang, berambut pendek, berusia sekitar dua puluh limaan."

"Sekarang di mana jenazahnya?"

"Di kamar mayat. Sedang diotopsi."

"beni boleh lihat" tanyanya penuh harap. Melihat air muka Gozali yang tidak setuju dengan usulnya itu. ia cepat-cepat menambahkan,

"Ayo, dong. Oom! Beni seumur hidup tidak pernah melihat jenazah! Ini kan pengalaman baru namanya-melihat jenazah korban pembunuhan lagi! Mungkin dalam lima puluh tahun mendatang kesempatan ini tidak akan kembali lagi."

"Kau tidak takut? Tidak ngeri? Orang mati itu tidak cantik. lho!"

"Ngeri sih ngeri, Oom, tapi saya kan laki-laki."

"Dalam kematian tidak ada lagi tabir. tidak ada lagi penutup, tidak ada lagi pura pura, tidak ada lagi polesan untuk memperindah bentuk luarnya. Kau akan melihat manusia dalam bentuk aslinya tanpa kemuliaan-dalam keadaan hanya segumpal daging mati yang tidak ada harganya, yang akan membusuk dan hancur kembali kepada kenihilan. Kau mengerti?"

Beni menganggukkan kepalanya.

"Maksud Oom yang membuat manusia berarti itu hanya jiwanya? Jiwanya yang membuatnya seorang individu?"

Gozali tersenyum gembira. Anak ini mulai tembus otaknya.

"Ya. Terserah bagaimana orang menyebutnya jiwa-roh-napas-mentaI-otak apa saja. Tapi yang dimaksudkan adalah kemampuannya berpikir dan jalan pikirannya. Itu yang membuat manusia beridentitas dan berharga."

"jadi. Beni boleh melihatnya?" tanya anak itu kembali ke permohonannya.

"Besok Oom ada tugas lain. Oom harus ke luar kota barang tiga-empat hari, jadi tidak ada waktu mengantarkanmu ke sana."

"Saya bisa pergi sendiri, Oom! Pulang sekolah-kan Beni naik sepeda-saya bisa mampir di rumah sakit sebentar. Asal ada surat izin dari Oom. masa tidak boleh?"

"Lalu alasan apa yang harus saya tulis di surat itu?"

"Hem... anu, Oom, mau melihat apakah barangkali Beni mengenal jenazah itu atau tidak," kata Beni mendapatkan akal.

"Iya. Oom, siapa tahu memang saya kenal orangnya-kan berarti membantu polisi menemukan identitas korban! Mbak Ani kan pernah tinggal di sini dua tahun. Mungkin ini salah seorang temannya yang pernah datang kemari."

"Ibumu mengatakan dia tidak mengenal orang ini," kata Gozali.

"Uh, Mama! Mama itu pelupa! Dan juga orang yang paling sukar mengingat rupa dan nama orang! Sekarang kenal. dua bulan lagi mungkin sudah lupa!"

"Baiklah, kalau begitu. Akan saya mintakan surat dari Pak Kapten Kosasih untukmu." janji Gozali.

Sebuah mobil terdengar berhenti di depan pintu pagar. Beni melompat keluar.

"Itu Mama!" Dan anak itu sudah berlari menyongsong ibunya. Gozali tersenyum. Perempuan ini tidak perlu menguatirkan anaknya kelak tidak akan berbakti kepadanya.

"Saya ingin membicarakan masalah penarikan dua cek senilai delapan ratus ribu rupiah dengan Anda." kata Gozali begitu Citra muncul di ambang pintu.

**

KOSasih dan Gozali baru saja kembali dari Pasir Putih setelah ditugaskan di sana selama lima hari untuk membantu Polres Pasuruan membereskan suatu kasus pembunuhan di sana. Mereka akhirnya memerlukan waktu dua hari lebih lama daripada waktu yang direncanakan.

Kosasih memarkir tubuhnya yang penat dan berpeluh di kursi tuanya. melepaskan topinya, dan mengambil sapu tangannya untuk menyeka peluh yang membutir besar-besar di dahinya.

Gozali duduk di hadapannya dengan kedua kakinya yang panjang terjulur ke depan-suatu posisi kesayangannya.

Hari Minggu ini markas sepi. Meja-meja di sekeliling mereka banyak yang kosong. Tetapi karena Kosasih dan Gozali sudah lima hari meninggalkan tugas mereka di Surabaya, mereka ingin cepat-cepat mencari tahu apa yang telah terjadi selama waktu mereka tidak di tempat.

Belum lagi mereka sempat mengatur napas dengan leluasa, Kosasih sudah menyibukkan dirinya mengumpulkan kertas-kertas nota yang merupakan

memo-memo singkat di atas mejanya. Kosasih tidak punya sekretaris, jadi semua harus dikerjakannya sendiri.

Ia menyusun kertas-kertas itu satu per satu dan merapikannya. Belum sempat matanya membaca pesanan-pesanan yang ditinggalkan di atas mejanya, matanya sudah tertumbuk pada seberkas dokumen dengan tulisan tangan Dokter Leo di sampulnya. Aaah! Ini tentunya visum gadis yang mati itu!

Kosasih mengenakan kaca matanya dan mulai membaca berkas itu. Beberapa kali Gozali mendengarnya menggumam sendiri tapi ia tidak mengganggunya. Setelah selesai, tanpa berkata apa-apa Kosasih menyodorkan berkas itu kepada sahabatnya.

Gozali meneliti laporan visum itu.

Melihat keadaan organ-organ tubuhnya. gadis itu cukup sehat, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun, tidak ada tanda-tanda bekas hubungan seksual maupun perkosaan sebelum kematiannya. tidak diketemukan penyakit kronis dalam tubuhnya, tidak ada kelainan apa-apa. Ia mati karena pelipisnya terbentur benda keras, mengalami pendarahan otak dan ajal diperkirakan datang dalam waktu dua puluh menit setelah terjadinya pendarahan dari pembuluh darah besarnya.

Pada saat kematian, perutnya kosong, diperkirakan makanan yang terakhir masuk ke perutnya tentunya sudah lebih dari empat jam sebelum ajalnya.

Menilik semua faktor yang ada, maka dokter memperkirakan kematian terjadi antara pukul setengah enam dan pukul setengah delapan malam pada tanggal lima belas September. hari Minggu.

Bahwa pada tubuhnya, terutama bagian atas, ditemukan banyak potongan rambut halus dan ada juga yang menempel pada pakaiannya.

Bahwa pukulan pada wajahnya yang menyebabkan satu matanya cacat dan tulang pipinya sebelah pecah, dilakukan beberapa jam setelah kematiannya.

Lebih dari itu, dokter tidak berhasil mendapatkan sidik jari satu pun dari kulit tangannya yang sudah hangus terbakar.

Dan akhirnya bahwa setelah kematiannya dan setelah mayatnya menjadi kaku, jenazah korban pernah diganti posisinya sehingga beberapa ligamen di daerah leher mengalami perkosaan.

"Bagaimana?" tanya Kosasih.

"Masih aku kaji," sahut sahabatnya serius.

Kosasih tidak berkata apa-apa lagi. Dari kebiasaan dia tahu bahwa kalau sahabatnya ini sedang berpikir dia tidak komunikatif. Semua disimpannya sendiri di dalam kepalanya, sampai terbentuk suatu teori.

Kosasih menyibukkan dirinya dengan nota-nota yang lain. yang ditinggalkan anak buahnya di atas mejanya.

"ini ada surat dari Jakarta," katanya membaca laporan sepanjang tiga halaman itu.

Polisi Jakarta memberitakan bahwa alamat Ani yang terakhir diketahui ternyata adalah sebuah rumah panti asuhan anak yatim-piatu, milik suatu yayasan sosial. Pengurusnya dulu terdiri atas tiga orang perempuan. yang diangkat oleh yayasan itu. Yang seorang sekarang sudah pensiun. dan yang masih ada di sana menyatakan memang mengenai seorang anak asuh mereka yang bernama Anggraini.

Menurut catatan mereka Anggraini adalah anak yang diserahkan oleh yayasan tersebut setelah ditemukan terlantar hampir mati di emper sebuah toko. Orang tuanya tidak pernah diketahui.

Anggraini datang ke panti itu pada usia sekitar empat lima bulan. Dia dibesarkan dan disekolahkan sampai berusia delapan belas tahun. Lulus dari SKKA, ia diterima bekerja pada sebuah perusahaan industri kecil yang membuat pakaian-pakaian jadi dari batik. Tiga tahun dia bekerja di CV Arimbi, sampai menjadi orang kepercayaan majikannya. Suatu waktu ketika majikannya pergi, ia mengizinkan pacarnya yang bernama Sutejo meminjam kendaraan majikannya. Ternyata mobil itu dibawa lari dan pacarnya tidak pernah kembali. Belakangan baru diketahui bahwa Sutejo adalah salah satu anggota sindikat pencuri mobil di jakarta. Usaha penangkapan Sutejo tidak berhasil. Anggraini yang akhirnya harus mempertanggungjawabkan kecerobohannya. Ia sempat menjalani hukuman karena dituduh berkomplot dengan Sutejo. Setelah itu tidak terdengar lagi beritanya sampai dua tahun yang lalu. Pada waktu itu Ibu pengurus panti asuhan itu tiba-tiba mulai menerima kiriman wesel dari Anggraini. Tiga-empat bulan sekali mereka tentu menerima kiriman uangnya. Baru kemudian mereka mengetahui bahwa Anggraini sudah pindah ke Surabaya.

"Itulah sebabnya ia tidak pernah menceritakan masa lampaunya," kata Kosasih selesai membaca laporan itu.

Sekarang giliran laporan Abbas Tobing yang mereka teliti.

Ternyata jambangan bunga dengan bercak-bercak darah itu bersih dari sidik jari. Tak dapat disangkal lagi, mereka berhadapan dengan seorang pembunuh profesional.

Kertas berikutnya mengatakan,

"Pak Kapten, ada telepon dari Beni untuk Pak Gozali. Penting. Supaya segera menghubungi."

Gozali mengangkat kepalanya.

"Tanggal berapa nota itu?"

"Dua hari yang lalu," kata Kosasih melihat tanggalnya.

Gozali memeriksa arlojinya. Pukul setengah dua. Beni seharusnya sekarang sedang makan siang bersama ibunya.

"Tolong ditelepon di rumahnya," katanya kepada Kosasih yang segera mengangkat tangkai telepon.

"Rupanya kau mendapatkan teman baru." senyum Kosasih.

"Ibunya tidak jelek, lho!"

"Yah, boleh kauambil," sahut Gozali sambil menyeringai.

"Aku sudah punya istri." kata Kosasih setelah minta disambungkan dengan nomor telepon Citra di rumah.

"Itu salahmu sendiri." kata Gozali menggoda,

"jangan mengeluh padaku."

"Buset!"

Telepon berdering. tapi Beni tidak ada. Seorang perempuan yang menerimanya.

"Den Beni di rumah sakit. Ini siapa?" tanyanya.

"Di rumah sakit?" Kosasih terkejut.

"Sakit apa?"

"Itu, jatuh dari atas," sahutnya.

"Di rumah sakit mana?"

"Dokter Sutomo, di... di... unit apa gawat begitu." katanya.

"Unit Gawat Darurat!"

"Ya. ya. Nyonya juga ada di situ."

"Nyonya juga jatuh?" Hati Kosasih seketika tercekat.

"Tidak, tidak. Nyonya menunggui Den Beni. Den Beni tidak sadar. Situ siapa?"

"Polisi, dan terima kasih!" kata Kosasih cepatcepat meletakkan tangkai telepon.

Gozali mengangkat aliSnya.

"jatuh dari mana?" tanyanya kuatir.

"Pembantunya tidak bilang. Sekarang bagaimana?"

"Kita segera menyusul ke rumah sakit. Jangan jangan bukan kecelakaan biasa!"

**

MEREKA tidak diizinkan masuk oleh perawat. Nyonya Citra yang keluar menemui mereka.

Untuk pertama kalinya sejak mereka mengenal Nyonya Citra, ia kelihatan tua. Bayang-bayang hitam terlihat di bawah matanya, rambutnya awut-awutan, wajahnya tidak berbedak. Kekuatiran dan putus asa membayang dari sinar matanya yang redup.

"Kami baru mendengar sekarang, Nyonya, bahwa anak Anda kecelakaan. Kami dari luar kota selama beberapa hari dan baru kembali hari ini," kata Kosasih menjelaskan kedatangannya.

Citra mengangguk lemah.

"Bagaimana terjadinya ?" tanya Gozali.

"Saya sendiri tidak tahu. Kemarin dulu, hari Jumat. sepulang sekolah dia mampir ke Gedung Wuni mencari saya. Waktu itu saya sibuk sekali karena sirene tutup sudah berbunyi dua kali sedangkan di dalam toko masih ada tiga orang pembeli. Ia mengatakan ada hal yang penting yang mau diceritakannya kepada Pak Gozali. Saya menyuruhnya menunggu di luar saja sampai saya selesai melayani tamu. Ia keluar entah ke mana. Sampai tamu-tamu sudah pergi dan saya bersiap-siap

menutup toko. Beni tidak kembali. Saya menunggu di depan butik. Kok tahunya saya mendengar suara ribut-ribut di luar. Orang-orang mengatakan ada anak jatuh dari lantai tiga di atas. Iseng-iseng saya ikut melongok ke bawah, kan butik saya ada di lantai dua, jadi saya bisa melihat dari balkon. Tidak tahunya saya melihat Beni digotong orang! Saya heran bagaimana ia bisa jatuh dari atas! Di atas siang hari begitu tidak ada apa-apanya, kan itu gedung bioskop. Lagi apa Beni di atas dan mengapa bisa jatuh? Dia anak yang berhati hati. bukan anak badung yang suka memanjat-manjat atau sok memamerkan keberaniannya.

"Beni segera diangkut ke rumah sakit. tapi ia tidak sadarkan diri sampai sekarang. Beberapa tulang iganya patah. lengannya yang kanan juga patah, tempurung kakinya pecah, tapi yang paling saya kuatirkan adalah kemungkinan rusaknya susunan saraf di kepalanya."

Citra menutup matanya.

"Dokter mengatakan lukanya parah, dan... dan harapannya tipis...."

Air mata yang mengalir kemudian sudah tidak bisa dibendungnya lagi. Selama dua hari ia berusaha menguatkan hatinya. Beni membutuhkannya. ia adalah satu-satunya orang yang ada, jadi ia tidak boleh panik, harus berkepala dingin, harus! Jangan sampai terbawa emosi. jangan sampai kalap! Itulah berkali-kali ucapan yang diulanginya di dalam hati.

Tetapi sekarang melihat kedua orang petugas negara ini, yang pada saat-saat demikian merupakan satu-satunya orang yang bisa dianggapnya sebagai temannya, Citra membiarkan dirinya hanyut dalam

faktor kemanusiaannya. Untuk sementara ia menanggalkan semua pertahanannya dan mencari pelepasan lewat uraian air mata yang diizinkannya mengalir dengan lancar dan deras.

Gozali membimbingnya duduk di bangku yang tidak jauh letaknya dari pintu kamar ICU itu. Mereka berdiam diri sampai semua air mata Citra terkuras habis dan sebagian dari bebannya terasa tersalurkan.

Sapu tangan yang diulurkan Gozali akhirnya mengakhiri luapan emosi yang sejenak itu. dan Citra merasa hatinya lebih ringan.

"Anda sudah bisa berbicara lagi sekarang?" tanya Gozali lembut.

Citra mengangkat kepalanya dan melihat sepasang mata yang penuh iba menembus hatinya. Sejenak lamanya ia hanya sadar akan kedua mata Gozali yang begitu jernih, begitu polos, begitu ramah. Dan dia teringat akan kata-kata Beni malam sebelum terjadinya kecelakaan itu. Beni menyatakan bahwa ia mengagumi laki-laki jangkung ini-bahwa ia adalah manusia yang istimewa, manusia yang punya mental dan pemikiran yang "antik"-istilah Beni. Pemikiran yang sebenarnya jauh lebih logis dan nyata daripada pendapat umum. Pemikiran apa itu. Beni tidak menjelaskan. Katanya itu rahasia di antara mereka. Secara halus Beni bertujuan mendorongnya untuk menjajagi hubungan yang bersifat lebih nonformal dengan laki-laki ini, laki-laki yang masih membujang pada usia tiga puluh tujuh tahun.

Citra mengerti maksud anaknya. Memang seandainya ia mau mencoba. tidak ada halangan karena baik Gozali maupun dirinya berstatus single. Gozali memang jauh daripada tampan, tapi ia mempunyai

pembawaan yang meyakinkan. Dengan caranya sendiri ia tampak jantan. Tapi lebih daripada itu, saat ini Citra merasakan sesuatu yang mendasar dari sinar matanya. Sesuatu yang jarang ditemuinya pada mata orang lain. Suatu pengertian yang hanya lahir dari pengalaman pahit dan penderitaan yang pernah dialami sendiri. Dan Citra merasa sebagian bebannya terangkat-terangkat ke bahu laki-laki jangkung yang walaupun jelek. namun bukannya tidak simpatik.

"Apakah Beni pernah mengatakan apa yang begitu penting yang akan disampaikannya kepada kami ?" tanya Gozali.

"Kepada Anda," kata Citra membetulkan.

"Kepada Pak Gozali, katanya... tapi saya tidak tahu apa."

"Ia sama sekali tidak memberikan sentilan apa-apa yang mungkin bisa membantu saya menebaknya?"

Citra menggelengkan kepalanya.

"Seharusnya saya tidak menyuruhnya pergi. Seharusnya saya memberikan waktu untuk mendengarkan apa yang ingin dikatakannya. Seandainya saja saya memberinya perhatian, semua ini tidak akan terjadi... tidak akan terjadi."

"Nyonya." kata Gozali lembut.

"jangan menyalahkan diri sendiri. Hal ini bukan kesalahan Anda. Beni mengemban sesuatu-*saya yakin itulah yang menyebabkannya terjatuh dari tingkat tiga." Gozali berhenti sebentar lalu lanjutnya.

"Saya mempunyai firasat kuat bahwa terjatuhnya bukan karena suatu kecelakaan."

Mata Citra membesar. Mulutnya terbuka. Hatinya tercekat!

"Jadi jadi maksud Anda, Beni dicelakai orang?" tanyanya ketakutan.

"Ya."

"Ya, Tuhan!" ucap Citra membenamkan kepalanya dalam kedua telapak tangannya lagi seperti ketika ia menangis tadi.

"Beni mengetahui sesuatu, dan ada orang yang tahu bahwa ia mengetahui sesuatu yang merugikan orang itu. Kali ini usahanya untuk menutup mulut Beni hanya berhasil sementara. Tetapi selama Beni belum meninggal, berarti orang itu belum merasa aman betul-betul." Gozali sengaja berhenti agar kata-katanya meresap ke otak Citra.

"Jadi... jadi kalau begitu, ia masih akan mencari kesempatan untuk membunuh anak saya?" tanya Citra.

Anggukan kepala Gozali menyerupai palu godam yang dipukulkan ke kepala Citra.

"Setelah kecelakaan itu terjadi, siapakah yang pernah kemari menjenguk anak Nyonya?"

"Ayahnya," kata Citra.

"Dari mana ia tahu?"

"Saya yang meneleponnya. Kalau... kalau ada apa-apa dengan Beni, toh dia harus tahu, Ia ayahnya."

"Bagaimana sikapnya?"

Citra menggeleng.

"Dia menyalahkan saya. Ia berkata dari dulu butik saya itulah yang menjadi setan dalam kehidupan saya. Bahwa butik itulah penyebab dia meninggalkan saya-dan bahwa butik itu pulalah yang sekarang menyebabkan saya akan kehilangan Beni-kalau

Beni betul-betul meninggal," suara Citra semakin mengecil.

"Berapa kali ia kemari?"

"Setiap sore, sejak kecelakaan itu."

"Apakah dia tampak kuatir?"

"Ya. ya. ia menguatirkan Beni. Tapi... tapi baginya Beni adalah tanggung jawab saya. Beni adalah bagian hidupnya yang sudah lewat. Bahkan sejak perceraian kami ia tidak pernah lagi bertemu muka dengan anaknya. Beni sendiri yang tidak mau."

"Siapa lagi?"

"Siapa lagi apa?" tanya Citra yang pikirannya sudah setengah dibekukan oleh rasa dukanya.

"Yang kemari menjenguk Beni?"

"Kemarin teman yang punya stan alat-alat tulis di dekat butik saya juga kemari menanyakan Beni."

"Apakah dia menunjukkan perhatian yang berlebihan?"

Citra menggeleng.

"Tidak. dia hanya sebentar saja di sini, sebelum pergi ke tokonya-sekadar syarat berbasa-basi dengan saya."

"Orang lain?"

"Tidak ada. Saya memang tidak memberi tahu orang lain."

Sementara mereka bercakap-cakap, tiba-tiba seorang laki-laki mendekat dengan tergesa-gesa.

"Mbak Citra! Mbak Citra!" panggilnya.

Semua mata menoleh memandangnya. Johan berlari-lari kecil mendekat.

"Alhamdullillah!" katanya.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya pada Citra sambil terus memegang kedua bahunya.

Citra hanya bisa terbengong bengong saja.

"Siapa yang sakit?" tanya Johan kebingungan.

"Ini pembantu di rumah bilang Nyonya di rumah sakit di Unit Gawat Darurat! Eh, gila betul! Aku sampai ngebut kemari! Aku kira Mbak terlanggar mobil!"

"Beni, Dik. yang kecelakaan," kata Citra.

"Beni? Astaga! Ditubruk di mana? Apakah tahu siapa yang menubruknya?" tanya johan.

"Bukan, Beni bukan kena tubruk, Beni jatuh!" kata Citra.

"Jatuh dari lantai tiga Gedung Wuni!"

"Ya, Tuhan! Kok bisa jatuh?" Saking gugupnya Johan sampai sampai ia tidak memperhatikan bahwa di sana ada Kosasih dan Gozali yang memandangnya dengan keheranan.

"Aku tidak tahu, Dik! Tidak ada yang melihat bagaimana ia bisa jatuh. Sebetulnya untuk apa ia naik ke lantai tiga itu, kan di siang hari tidak ada apa-apanya di sana! Gedung bioskop yang di sana baru buka pukul setengah enam."

"Sekarang bagaimana keadaannya? Boleh aku lihat?" tanya Johan.

"Masih koma. Ia belum sadar."

"Dan kata dokter bagaimana? Harus diapakan? Apakah harus dioperasi?"

"Tadi pagi kepalanya baru difoto. hasilnya masih belum mereka katakan. Menurut dokter efek yang paling berat adalah shock-nya. Iga, tangan, dan kakinya sudah dirawat. tapi mereka belum bisa mengatakan bagaimana keadaan di dalam kepalanya."

"Saudara Johan tadi dari rumah Nyonya Citra?" tanya Gozali memutuskan pembicaraan kedua orang Itu.

Untuk pertama kalinya sejak kedatangannyajohan menunjukkan rasa kaget atas kehadiran orang lain di sana.

"Oh, Pak... eh, Pak Gozali, bukan? Ah, maafkan. saya tidak melihat Anda tadi. Saya tadi memang mau ke rumah Mbak Citra. tapi baru menelepon. diberi tahu pembantunya bahwa Mbak Citra ada di rumah sakit. Wah, kaget saya bukan kepalang! Saya kira Mbak Citra sendiri yang masuk rumah sakit! Saya..."

Mumpung dia belum mengulang lagi pembicaraannya dengan si pembantu dan menceritakan bagaimana reaksinya mendengar berita itu, Gozali menengahi lagi.

"Mengapa Anda mencari Nyonya Citra?"

Pertanyaan ini kedengaran agak janggal di telinga Citra. Apakah ada nada cemburu dalam suara Gozali? Atau ia semata-mata menjalankan tugasnya Seperti biasa?

"Oh, iya! sampai lupa! Ini! Tadi saya melihat mobil Ani!"

"Mobil Ani?" tanya Kosasih dan Citra berbarengan.

Anak-anak buah Kosasih sudah berusaha melacak kendaraan ini selama beberapa hari dan masih belum berhasil, tiba-tiba orang ini yang bukan polisi dan bukan detektif. bisa berhasil mendapatkannya! Kan tidak adil!

"Di mana?" serbu Gozali.

"Di juanda!" kata Johan.

"Juanda lapangan udara?" tanya Gozali menegaskan.

"Iya! Diparkir disana! Saya kebetulan mengantarkan seorang teman tadi pagi, eh, kok di tempat parkir kendaraan saya melihat mobil Ani! Saya tanyakan kepada tukang parkirnya. kapan mobil itu diparkir di sana, dan siapa yang membawanya-tapi yang jaga tidak tahu. Saya mencari sampai ke pojok-pojok seluruh bangunan ruang berangkat dan ruang tunggu di juanda, tapi saya tidak menemukan Ani sama sekali."

"Lalu?" desak Kosasih.

"Lalu saya pulang--terus saya menelepon Mbak Citra ini, dan diterima si pembantu yang mengatakan..."

"Mobil itu sekarang di mana?" putus Gozali yang sudah bosan mendengarkan ceritanya tentang teleponnya ke rumah Citra.

"Setahu saya ya masih diparkir di sana, kecuali kalau sudah diambil yang memarkirnya."

"Mengapa pada saat itu Anda tidak segera menelepon kantor polisi dari Juanda? Paling tidak Anda harus melaporkan kepada petugas satpam di sana bahwa mobil ini sedang dicari polisi dan agar mereka menahannya dan menahan orang yang mau membawanya pergi, sampai polisi datang," kata Kosasih.

"Wah. saya tidak berpikir sampai ke sana, Pak! Saya pikir barangkali Ani yang membawanya sendiri dan dia telah berangkat dengan pesawat entah ke mana. Karena itu saya ingin membicarakannya dengan Mbak Citra dulu." kata Johan dongkol karena ditegur Kosasih.

"Sekarang sebaiknya Anda ikut dengan kami," kata Gozali menepuk bahu Johan.

"Kita bereskan urusan mobil ini dulu."

"Lho, saya mau menengok Beni dulu," protes Johan.

"Untuk sementara Beni tidak boleh ditengok siapa pun," kata Gozali tegas.
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nyonya Citra! Ingat pesan saya!" kata Gozali mengangkat suaranya.

"Jaga Beni baik-baik-demi kesehatannya jangan izinkan siapa pun-siapa pun, Nyonya ingat-untuk masuk ke kamarnya! Kami akan menghubungi Anda lagi secepatnya."

Di luar Johan yang terpaksa ikut dengan mereka bertanya,

"Terus terang saja, bagaimana peluang Beni?"

"Tipis sekali," sahut Gozali.

"Ia tidak diharapkan bisa bertahan sampai besok malam. Ibunya saja yang tidak diberi tahu."

"Kasihan!" kata Johan.

**

SETELAH menelepon Labkrim untuk mengirimkan orang-orangnya guna menyidik mobil Ani yang untungnya masih didapati nongkrong di tempat parkir Lapangan Udara Juanda, dan setelah mengizinkan Johan pulang-Kosasih dan Gozali juga meninggalkan tempat itu.

"Jadi si pembunuh berhasil lolos!" gerutu Kosasih.

"Siapa?" tanya Gozali.

"Perempuan itu! Siapa lagi? Asal-usulnya tidak menentu-mungkin anak pelacur yang dibapaki seorang garong-setelah dewasa juga mencuri mobil majikannya-sekarang ketahuan menggelapkan uang Nyonya Citra sebanyak delapan ratus ribu rupiah. padahal Nyonya Citra adalah orang yang telah menolongnya-terus membunuh gadis yang malang itu! Dan sekarang setelah hampir berhasil merenggut nyawa seorang anak kecil. dia melarikan diri!"

"jadi kau yakin Ani-lah pelaku semua kejahatan ini?"

"Siapalagi, Goz? Coba. pembunuhan itu terjadi di rumah-nya. Ia menguras uangnya, bahkan diamdiam sudah dua kali mengambil uang Nyonya Citra dari rekening bank mereka. sekarang secara diam

diam dia telah berhasil melarikan diri keluar dari Surabaya!"

"Mengapa kau menganggapnya bertanggung jawab? Dia mungkin seorang sandera yang terpaksa mengikuti jejak penyanderanya."

"Ah, itu terlalu mustahil! Dari semula aku sudah curiga! Pembunuhan itu terjadi di rumahnya, Goz! Mana mungkin orang lain merencanakan membunuh di rumah orang lain? Pasti si penghuni rumah itu sendiri yang terlibat. Hanya ia sendirilah yang dapat mengaturnya karena itu rumahnya sendiri! Pasti gadis yang bernama Ani ini, Goz! Jangan lupa, bekas pacarnya seorang anggota sindikat pencuri mobil! Siapa tahu ia sendiri bukan anggota sindikat mafia lainnya.?"

"Mengapa ia membunuh gadis itu ?" tanya Gozali.

"Kira-kira si gadis ini kebetulan tahu bahwa ia adalah seorang penjahat barangkali. Karena itu ia harus dibunuh."

"Ada sesuatu yang kaulupakan. Kos." kata Gozali.

",Apa?',

"Seorang laki-laki terlihat meninggalkan rumahnya antara pukul sembilan dan setengah sepuluh malam itu dengan mobilnya!"

"Ya, itu pasti komplotannya! Komplotan pencuri mobil-mungkin pacarnya yang lama itu muncul Iagi '!"

tiba tiba Gozali tersentak.

"Kita ceroboh," katanya menepuk dahinya sendiri.

"Maksudmu?"

"Mengapa kita tidak melacak lebih jauh mengenai identitas bekas pacarnya ini? Mungkin saja asumsimu benar. Kos. Mungkin betul bekas pacarnya muncul lagi!"

"Yah, ke mana kita mau mencarinya? Sedangkan waktu itu saja polisi jakarta tidak berhasil menangkapnya! Orang buron begitu pasti punya nama segudang, alamat tidak menentu, KTP palsu tiga empat. Sedangkan rupanya saja kita tidak tahu-kan seperti mencari kerikil di pasir!"

"Biarpun begitu. kita bisa mencoba. Hubungilah kepolisian Jakarta untuk minta bantuan mereka mengirimi kita data apa saja yang mereka punyai tentang orang yang bernama Sutejo ini."

"Oke, tidak ada jeleknya mencoba, tapi jangan mengharapkan terlalu banyak," kata Kosasih.

**

MEREKA membelok memasuki sebuah kompleks pabrik.

"Mau apa kemari?" tanya Kosasih yang baru sadar bahwa ia telah dibawa sahabatnya ke tempat yang tidak dikenalnya.

"Mencari bekas suami Citra."

"Perlunya?"

"Sekadar melihat reaksinya. Kita kan belum pernah berjumpa dengannya."

Kosasih melirik sahabatnya dengan tajam.

"Kau rupanya punya rencana." katanya menebak.

Gozali menyeringai.

"Mengapa?" tanyanya.

"Kau tidak akan iseng-iseng kemari kalau hanya ingin melihat rupa bekas suami Citra saja."

"Kita dengarkan dulu kisahnya. Kalau betul dia tidak terlibat pembunuhan itu. maka aku mau minta bantuannya ikut menjaga keselamatan anaknya. Tidak adil kalau hanya ibunya saja yang menanggung beban ini. Ia ayahnya. Seharusnya iajuga mempunyai tanggung jawab moral."

Kepada petugas satpam yang dinas di pos masuk, mereka mengatakan ingin bertemu dengan Roy Suhendar-kepala bagian pembelian pabrik barangbarang plastik itu.

Rupanya Roy Suhendar sudah terbiasa dicari tamu dari pelbagai lapisan masyarakat-umumnya untuk memperkenalkan barang dagangan mereka. Oleh karena itu Kosasih dan Gozali tidak menemui kesulitan apa-apa melewati pos penjagaan.

Roy Suhendar menerima mereka di kamar kerjanya yang sempit.

"Ya? Barang apa yang mau Anda perkenalkan?" tanyanya sambil tersenyum lebar. Seragam Kosasih tidak membuatnya keder. Zaman begini tidak jarang ada pedagang yang punya backing orang angkatan guna memperlancar usaha mereka.


Juri Pilihan Runaway Jury Karya John Hotel Bertram At Bertrams Hotel Karya Hardy Boys Bencana Menjelang

Cari Blog Ini