Ceritasilat Novel Online

Misteri Gadis Tak Bernama 4

Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD Bagian 4



"Kami bukan penjual barang. Kami dari kepolisian dan kami ingin menanyai Anda tentang hubungan Anda dengan Nona Anggraini alias Ani,

" kata Gozali tajam.

Mulut Roy terbuka lebar. Senyum yang terpampang membeku di bibirnya. Heran bercampur takut terbaca dari ekspresi wajahnya.

"Ini... ini intimidasi?" tanyanya setelah keberaniannya kembali.

"Mengapa intimidasi? Kami menanyakan fakta."

"Fakta apa?"

"Di mana Nona Ani sekarang?"

"Ini lelucon apa?" balas Roy tajam. Dia sudah terbiasa bertemu dengan seribu satu macam orangyang galak, yang licik, yang tamak, yang sok-tapi sampai sekarang belum pernah ada yang berhasil mengintimidasinya.

"Ini bukan lelucon. Anda mungkin terlibat kasus pembunuhan!"

"Kasus pembunuhan? Kasus pembunuhan siapa? Di mana?" tanya Roy kaget. Tadinya ia mengira orang-orang ini dibayar oleh istrinya untuk menakut-nakutinya.

"jawab dulu, tiga hari yang lalu. tanggal 20 September, antara pukul sebelas dan pukul dua siang. Anda berada di mana?" tanya Gozali.

"Tiga hari yang lalu? Ya, tentu saja ada di sini! Di kantor! Apakah pembunuhan itu terjadi pada saat itu?" tanya Roy.

"Dan pada tanggal 15 September, antara pukul setengah enam dan setengah delapan malam. Anda berada di mana?"

Roy Suhendar berpikir sambil menatap kalendernya.

"15 September adalah hari Minggu. Oh!" katanya seakan-akan baru menyadari sesuatu.

"Anda mau tanya apakah pada hari itu saya pergi ke rumah Nona Ani? Ya, memang saya ke sana sekitar pukul tujuh malam. Tapi ia tidak di rumah. Mengapa?"

"Apa hubungan Anda dengannya?" lanjut Gozali mengacuhkan pertanyaan Roy.

Roy tertawa.

"Belum ada apa-apanya. baru mau berteman."

"Anda sudah beristri. Mengapa masih mengejar gadis lain?"

Lagi-lagi Roy tertawa.

"Itu kodrat laki-laki." Lalu tanyanya lebih serius,

"Sebetulnya apa yang telah terjadi sehingga polisi sekarang menghubung-hubungkan saya dengan Nona Ani?"

"Bekas istri Anda-Nyonya Citra-tidak mengeritakannya?" tanya Gozali.

"Tidak."

"Anda tahu bahwa anak Anda berada di rumah sakit?"

"Ya. Tapi itu tidak ada hubungannya dengan saya. Ibunya yang goblok! Dia yang seharusnya bertanggung jawab!" kata Roy mengumbar emosinya.

"Anak Anda berada dalam bahaya," kata Gozali.

"Saya tahu-saya sudah berbicara dengan dokternya."

"Maksud kami nyawanya sedang diincar orang."

"Diincar orang?" Roy Suhendar merenung dengan serius.

"Maksud Anda sehubungan dengan... kasus pembunuhan yang Anda selidiki ini?"

Ya

"Terus terang saja ini kasus pembunuhan apa toh? Saya sama sekali tidak tahu! Dan mengapa Beni sampai terlibat kasus demikian?" Roy Suhendar tampak marah.

"Kalau dari dulu saya tahu bahwa ibunya akan terlibat kasus-kasus pembunuhan begini, sudah pasti Beni akan saya bawa!"

"Mengapa Anda menyalahkan ibunya?" tanya Gozali.

"Beni masih berusia tiga belas tahun. Dia tidak tahu apa-apa. Kalau sampai ia sekarang menjadi incaran para pembunuh, pasti mata rantainya adalah ibunya. Dan, karena Anda begitu ingin tahu tentang hubungan saya dengan Ani, saya juga bisa menarik kesimpulan bahwa Ani pun terlibat dalam kasus ini. Ani dan Citra berusaha bersama-sama. Pasti kedua perempuan tolol ini entah terjerumus ke dalam urusan gila apa!"

"Anda masih mencintainya?" tanya Gozali.

"Siapa? Citra? Tentu saja tidak! Kami sudah bercerai!"

"Beni," kata Gozali datar.

"Oh, Beni! Tentu saja saya mencintainya! Hanya Beni sendiri yang tidak mau berhubungan lagi dengan saya. Paling-paling itu juga atas didikan ibunya!"

"Kalau Anda mencintainya, Anda akan berbuat semaksimal mungkin untuk menyelamatkan jiwanya," kata Gozali.

"Bagaimana? Saya kan bukan dokter! Memang Beni sekarang sudah berada di bawah perawatan dokter-dokter yang paling terkenal di sini. Saya tidak bisa berbuat lebih daripada itu."

"Anda bisa memberikan waktu Anda untuknya," kata Gozali.

"Waktu saya? Maksud Anda menungguinya di rumah sakit?" tanya Roy.

"Untuk apa? Beni toh tidak sadar. Saya menjenguknya setiap sore."

"Ibunya seorang diri tidak cukup untuk menjaga keselamatannya. Orang yang mencoba mencelakakannya pasti akan mencoba lagi apabila timbul

tanda-tanda Beni mungkin bisa tertolong. Kalau Anda mencintainya. dan kalau Anda masih menganggapnya sebagai anak Anda, tungguilah dia! jagalah agar tidak seorang pun kecuali ibunya mempunyai kesempatan mendekatinya. Dengan demikian Anda mungkin bisa menebus kesalahan Anda padanya."

Mata Roy melotot sejenak. Kurang ajar betul orang ini mengatakan dia bersalah kepada anaknya! Urusan bercerai kan urusan antara suami dengan

istri! Mengapa ia harus dikatakan mempunyai

kesalahan terhadap anaknya!

Tetapi kata kata orang jelek ini betul. Kalau memang Beni bukannya jatuh biasa-kalau memang ini ada kaitannya dengan kasus pembunuhan yang sedang diusut polisi-maka kehadirannya bisa menambah ketatnya penjagaan atas anaknya.

"Baiklah," kata Roy Suhendar. Wajahnya yang tampan terlihat serius.

"Saya akan mengambil cuti dan akan menjaganya. Kira-kira berapa lama saya harus menjaganya?"

Gozali berdiri, diikuti oleh Kapten Polisi Kosasih.

"Sampai kasus ini terbongkar, atau... sampai anak Anda memang tidak tertolong lagi," katanya lalu memutar badannya dan meninggalkan seorang laki-laki tampan yang mengawasinya dengan pandangan was-was.

"Hari ini kita betul-betul tidak boleh terlambat pulang." kata Kosasih.

"Memangnya kenapa?"

"Hari ini kan aku harus melihat anakku menari. Malam Perkenalan Mahasiswa. Dessy akan menyesali aku kalau aku tidak datang."

"Pukul berapa?"

"Acara dimulai pukul tujuh. tapi kan aku harus mengantarkan Dessy sejam sebelumnya."

"Oke, Dessy anakmu. Kau dan istrimu yang harus hadir, bukan aku."

"Iya. istriku ikut juga. dan anak-anak yang lain. Tapi kau jangan melarikan diri! Dessy sudah mengambil undangan enam lembar. Lagi pula, aku pasti terkantuk-kantuk di sana mendengarkan

kata-kata sambutan yang bertele-tele dan melihat anak-anak ingusan menari! Kau tahu, aku kan tidak pernah senang hadir pada acara yang begini. Cuma kali ini terpaksa. Kalau anak sendiri menari, ya orang tuanya harus memberikan dukungan moral. Jadi, setelah mengantarkan keluarga duduk, kita lolos dan mencari angin di luar, menunggu sampai acara hiburan. Perlunya ke sana kan hanya melihat Dessy menari, bukan mendengarkan kakatua-kakatua itu berpidato panjang lebar."

"Mbakyu pasti sakit hati kalau ia kita tinggal," kata Gozali enggan.

"Kan sudah ditemani anak-anak. Bambang, Teti, dan Ari cukup untuk menemaninya. Asal aku hadir. dia tidak akan marah."

"Tersiksa kan, Kos, punya keluarga itu?" goda Gozali.

"Kalau sudah begini, kau teriak-teriak minta tolong ditemani orang bujang."

"Ah, brengsek kau! Lain kali kalau kau sudah tua dan tidak ada yang merawat. rasain!"

"Ganti aku yang teriak-teriak minta kautemani," Gozali terkekeh.

"Kaukira sekarang aku memberikan bantuan moral dengan percuma? Budi baik ini

nanti aku tagih tiga-empat puluh tahun lagi, Kos, kala aku sudah kakek kakek."

"Moga-moga aku sudah mati duluan biar kau gentayangan seorang diri tidak punya teman!"

Mereka tertawa berderai.

**

Di dalam udara panas dan bising. Di luar angin bertiup dengan sejuk. Menyaksikan

timbulnya bintang bintang pertama merupakan pengalaman yang tersendiri. Kosasih dan Gozali berdiri membelakangi sebuah pilar yang berada di beranda depan bangunan universitas yang megah itu. Dari tempat mereka berdiri, mereka bisa mengawasi orang-orang yang berdatangan. Semua dalam pakaian menyala, terutama anak-anak mudanya. Para orang tua juga tidak mau kalah perlentenya. Karena kecuali untuk menyaksikan permainan anak-anak kebanggaan mereka, kesempatan ini juga merupakan forum bagi mereka untuk memamerkan diri dan bertanding status.

Dessy sudah sejak tadi masuk ke dalam. begitu pula Nyonya Kosasih dan anak-anaknya yang lain. Semua sudah duduk di tempat yang disediakan. Acara memang belum dimulai-biasa. terlambat panitia sibuk hilir-mudik mengatur ini dan itu. Kebisingan yang ditimbulkan suara-suara manusia dan elektronik bisa membuat Kosasih sakit kepala. Karena itu ia segera keluar begitu istri dan anak-anaknya mendapatkan tempat duduk.

Panggung sekarang sudah tampak indah terhias. Lampu-lampu berwarna-warni menyemarakkan suasana. Tulisan, slogan, dan balon-balon bergantungan di langit-langit, baik di depan layar maupun di sudut-sudut ruangan. Sebuah band di ujung kiri panggung sudah mengalunkan lagu-lagu populer, beradu keras dalam usaha mereka menghanyutkan suara-suara bising para panitia yang merasa perlu untuk berteriak-teriak.

"Aku masih memikirkan mengapa si pembunuh telah berusaha setuntas itu untuk menghilangkan identitas korban," kata Gozali.

"Agar polisi susah melacak jejaknya. Kalau kita tidak tahu siapa korban. kita tidak tahu apa hubungannya dengan Ani, kan sulit bagi kita untuk menentukan siapa orangnya yang harus kita curigai." kata Kosasih.

"Sampai sekarang tidak ada yang melaporkan kehilangan anggota keluarga?" tanya Gozali.

"Tidak ada."

"Aneh juga. Gadis ini sudah mati berhari-hari, mengapa tidak ada yang mencarinya? Tentunya ia mempunyai tempat tinggal. Kalaupun bukan serumah dengan keluarga, kan ya ada temannya. tetangganya, atau siapa. Mengapa tidak ada yang mencarinya?"

"Ada dua kemungkinan." kata Kosasih.

"Yang pertama, ia mungkin anggota komplotan sindikat juga-dan mereka sudah pasti tidak akan datang kepada polisi bila ada anggotanya yang tidak kembali. Atau. alternatif kedua, mungkin temanteman atau tetangganya tidak mau banyak usil. Kau tahu sendiri bagaimana sikap masyarakat terhadap polisi. Sebisa-bisanya mereka tidak mau berhubungan dengan polisi. Mungkin takut, mungkin malu. Mungkin juga sekadar tidak mau repot."

"Kita juga tidak mendengar berita dari Ani, atau orang yang menyanderanya-kalau ia disandera," kata Gozali.

"Alaa. masa kau masih percaya bahwa Ani disandera? Pelaku pembunuhan itu adalah dia sendiri! Entah dengan atau tanpa bantuan teman lelakinya. tapi jelas dia sendiri yang mengaturnya! Sekarang terbukti mobilnya ditemukan di Juanda. Pasti ia sudah kabur entah ke mana!" kata Kosasih.

"Mengapa seorang gadis yang selama ini hidup dengan tenang dan sukses di sini, tiba-tiba menjadi pembunuh?" tanya Gozali.

"Justru itu! Aku kira Ani datang ke Surabaya untuk menjauhkan dirinya dari komplotannya yang lama. Tapi mereka mungkin berhasil mencari jejaknya. Gadis ini mungkin mengetahui latar belakang Ani. Dan entah dia kemari mau memerasnya atau memaksanya untuk bergabung kembali dengan kelompok mereka. Ani yang sekarang sudah membina reputasi yang baik di Surabaya tidak ingin apa yang telah dibangunnya bertahun-tahun hancur begitu saja. Maka gadis itu dibunuhnya!"

"Dan ditinggalkan di rumahnya sendiri sementara ia lebih suka menjadi buron?" sambung Gozali.

"Apa yang akan kauperbuat kalau kau sudah membunuh orang? Masa masih menunggu di sana sampai ditangkap polisi? Ya tentu saja terus lari!"

"Kalau toh akhirnya harus lari, dan kalau toh reputasinya harus hancur, untuk apa susah-susah membunuh demi menyelamatkan nama baiknya yang akhirnya dirusak sendiri dengan meninggalkan mayat gadis itu di rumahnya?"

Kosasih tidak bisa menjawab.

"Kalau aku harus membunuh orang," kata Gozali,

"aku tidak akan melakukannya di rumahku sendiri! Apalagi meninggalkan mayatnya di sana! Itu kan namanya mengantar kepalanya sendiri ke tiang gantungan!"

"Habis, bagaimana? Teori penculikan itu kok rasanya terlalu ekstrem! Anak-anak kos yang melihat mereka meninggalkan rumah tidak melihat adanya perlawanan dari pihak Ani sama sekali. Seandainya ia

dibawa dengan paksa. kan pasti terlihat gerakangerakan yang tidak wajar."

"Sayang Beni tidak sadar. Aku yakin dia mengetahui sesuatu," kata Gozali.

"Barangkali kita terlalu cepat menarik konklusi, Goz. Mungkin Beni kebetulan terjatuh saja."

"Kau ingat sebelum kita berangkat ke Pasir Putih. kau telah membuat surat yang mengizinkan Beni untuk melihat jenazah gadis itu? Nah, itu adalah hari Rabu pagi. tanggal 18 September. Beni tentunya menerima surat itu keesokan harinya sepulang sekolah. terlalu siang baginya untuk pergi ke kamar mayat hari itu juga. Maka baru hari berikutnyatanggal 20 September, hari Jumat-sepulang sekolah dia langsung ke rumah sakit. Dari sana ia ke toko ibunya. lalu mendapat kecelakaan. Apakah ini bukannya indikasi bahwa kecelakaannya itu ada

kaitannya dengan kepergiannya ke rumah sakit itu?"

"Maksudmu ia ia mengenali mayat itu?" tanya

Kosasih terjaga.

Gozali mengangguk.

"Tapi aneh. Mengapa ia bisa mengenali mayat itu sedangkan ibunya tidak?" tanya Kosasih.

"Kalau itu teman Ani yang pernah dilihat Beni. pasti ibunya juga pernah melihat orang itu. Kan Ani lebih dekat dengan Citra daripada dengan Beni! Citra dan Ani kan sebaya!"

"Menurut Beni ibunya pelupa. Bisa saja gadis ini hanya pernah muncul satu-dua kali bertahun-tahun yang lalu. Citra sekarang sudah lupa padanya."

"Karena itu Beni berusaha mengkontakmu!" kata Kosasih tenang.

"ta. tapi kita tidak ada. Dan Beni yang sedang meluap luap ketegangannya. tidak bisa menunggu sampai Citra pulang ke rumah untuk menceritakan hal itu. sehingga ia menyusulnya ke butik."

"Tapi ibunya sibuk. sehingga anak itu tidak sempat bercerita apa-apa." kata Kosasih. Sekarang dia sendiri pun bisa membayangkan kejadian Jumat siang itu.

"Lalu ia bertemu dengan seseorang." kata Gozali.

"Dan menceritakan apa yang diketahuinya kepada orang lain."

"si pembunuh sendiri!"

"Iya! Di luar pengetahuan Beni. ia telah bertemu dengan si pembunuh sendiri!" kata Gozali.

"Kalau begitu berarti pada saat itu ia ada di dekat-dekat Gedung Wuni." kata Kosasih.

"Dan baru setelah dia berhasil mencelakakan Beni. ia melarikan diri dari Surabaya!"

Gozali tidak menjawab. Dahinya berkerut penuh konsentrasi. Melihat Sikap sahabatnya yang sudah sangat dikenalnya itu. Kosasih menyingkir. Dia tahu bahwa Gozali ingin menyendiri setiap dia lagi berkonsentrasi. karena itu ia tidak ingin mengganggunya. Biarlah dia berpikir dengan tenang sendiri .

Kosasih melongokkan kepalanya kedalam dan dia melihat bahwa kata-kata sambutan sudah mulai. Para tamu sudah duduk di tempatnya masing masing hanya Gozali dan dirinya saja yang tertinggal di luar.

Selesai kata-kata sambutan. lampu-lampu penerang di dinding mulai dimatikan. Tinggal lampulampu di atas panggung saja yang nyala. Pertunjukan segera akan dimulai.

"Goz. kita sudah waktunya masuk," kata Kosasih. menggapai temannya.

"Kau masuklah sendiri. Aku masih akan berpikir."

"Nanti saja." usul Kosasih.

Tetapi Gozali sudah tenggelam lagi dalam konsentrasinya. Ia tidak mempedulikan temannya sama sekali. Dengan santai ia duduk di anak tangga beranda itu, matanya menerawang jauh.

Kosasih bingung. Masuk atau tidak? Di sini sahabatnya sedang memeras otak membantunya melacak suatu pembunuhan pantaskah bila ia sendiri masuk ke dalam dan menikmati hiburan? Tapi di lain pihak anak gadisnya akan membawakan satu nomor tarian-tariannya yang pertama sebagai mahasiswi! Dan sebagai ayah seharusnya ia hadir menyaksikan pertunjukan itu. Dessy pasti akan kecewa kalau ia tidak ada.

Di panggung muncul serombongan gadis-gadis muda yang berpakaian gemerlapan, menari dengan luwesnya. Kosasih menikmati gerakan-gerakan yang indah gemulai itu dari jauh. Siapa bilang kebudayaan Indonesia kalah dengan kebudayaan luar negeri? Omong kosong! Lihatlah busananya. hiasan kepalanya, gerakan-gerakannya-ini jauh lebih indah dan halus dibandingkan dengan tari kejang yang berjumpalitan kepala di bawah dan kaki di atas seperti monyet! Diiringi tabuhan gamelan yang khas. suasana seperti berada di tengah-tengah keputren dan dirinya adalah seorang musafir asing yang kebetulan beruntung mencuri lihat kelincahan putri-putri cantik menarikan suatu tarian yang hanya dipersembahkan kepada raja-raja.

Tarian berakhir dan panggung kembali diisi oleh rombongan yang lain. Kali ini muda-mudi dalam pakaian kontemporer-ada perawat. ada dokter. ada pilot, ada tentara mereka semuanya menari sambil bernyanyi-menyuarakan kesetiaan kepada nusa dan bangsa-kepada tanah air tercinta.

Group berikutnya adalah sekelompok pemuda dan pemudi yang mengenakan busana tradisional Jawa membawakan tarian Serimpi. Betapa gemulai dan halusnya gerakan-gerakan yang dilakukan para pemudinya, membuat Kosasih merasa bangga bahwa generasi penerus toh masih ada yang menaruh minat pada tarian klasik.

Group keempat muncul di panggung dan ini membuat mata Kosasih terbelalak. Gadis-gadis dalam pakaian senam ketat yang berwarna-warni, dengan kaos panjang menutup sampai ke paha dan ikat kepala yang sama warnanya dengan baju senam mereka. mereka melakukan gerakan-gerakan yang menurut kamus Kosasih adalah gerakan-gerakan yang merangsang-gerakan-gerakan yang membangkitkan selera. Tidak terkecuali seleranya! Kosasih cepat-cepat mengalihkan matanya. Kalau ia masih berdiri menyaksikan adegan tari ini lebih lama lagi, bisa-bisa nanti ia tidak mampu berjalan. Kosasih menghampiri sahabatnya yang masih duduk dengan santainya di anak tangga.

"Goz! Mereka sudah hampir buyar kita masih ada di sini. Nanti nomor Dessy keburu keluar aku tidak tahu!"

Gozali dengan jengkel memalingkan wajahnya. Tapi toleransi dan rasa setia kawan membuatnya melangkahkan kakinya ke dalam juga.

Duduk di samping istrinya, Kosasih berbisik,

"Tarian Dessy masih lama keluarnya?"

Istrinya melengos dan mencemberutkan bibirnya.

"Sudah yang ketiga tadi. Memangnya kau ke mana saja!"

"Yang ketiga? Astaghfirullah! Aduh, maaf, Bu! Aku tidak tahu. Tapi aku sempat melihatnya kok dari luar. Betul!"

"Cuma kau kan tidak tahu yang mana anakmu?" tukas istrinya.

"iya, Bu, terlalu jauh, tidak kelihatan wajah penarinya. Tapi jangan memberi tahu Dessy. Bu!" Kosasih menyesali dirinya sendiri.

Rombongan pesenam sekarang diganti lagi. Suatu grup dagelan yang dimainkan oleh para mahasiswa senior. Cemberut pada wajah Nyonya Kosasih pecah menjadi tawa yang terpingkal-pingkal. Kosasih sendiri bernapas lega. Acara lawak ini merupakan acara yang terakhir. Kata penutup diucapkan oleh ketua panitia dan para undangan segera bubar. Manusia yang seperti semut banyaknya ini menyerbu dari segala arah menuju segala jurusan. Ada yang dari balik panggung menyerbu ke tempat penonton. ada yang dari antara penonton yang berbalik masuk ke kamar ganti. Kosasih dan rombongannya menuju ke pintu keluar dengan perlahan-lahan. Dia enggan berdesakan dengan orang-orang yang tidak beraturan itu.

Mereka adalah orang-orang yang terakhir keluar dari ruangan yang besar itu. Sementara Nyonya Kosasih bersama kedua anak yang termuda sudah lebih dulu menunggu di jip dan Bambang malah sudah pulang duluan berboncengan dengan salah

seorang temannya, Kosasih dan Gozali berdiri tidak jauh dari pintu keluar sambil menunggu Dessy.

Dari kamar ganti beberapa gadis keluar berbarengan, yang kemudian berpencaran mencari jemputannya masing-masing. Ada seorang yang berjalan menuju ke arah Kosasih dan Gozali dengan senyum dikulum-salah seorang gadis yang membawakan tari Serimpi tadi. Gadis ini teramat cantik, dan masih mengenakan pakaian tarinya lengkap dengan segala perhiasannya sambil satu tangannya menjinjing sebuah tas besar. Kosasih hanya melihat sekilas. kemudian membalikkan punggungnya dan mulai bercakap-cakap dengan Gozali. Gadis itu melambailambaikan tangannya yang tidak menjinjing tas. Dari Sudut matanya Gozali sempat menangkap gerakan itu lalu berpaling. Diawasinya gadis yang semakin mendekat itu, lalu ditepuknya sahabatnya.

"Kos! Kos! Gadis itu rupanya bermaksud memanggilmu." Kosasih menoleh ke kiri ke kanan namun dia tidak melihat ada orang orang lain di seputarnya yang mungkin dimaksud oleh gadis itu.

Gadis ini berjalan dengan tertatih-tatih karena ketatnya kainnya, tetapi dalam waktu yang beberapa detik itu pun Kosasih tidak dapat mengira mengapa gadis ini melambai padanya. Barangkali teman Dessy yang mencari tumpangan pulang? pikirnya. Tapi di mana Dessy sendiri?

Dari jarak lima meter gadis itu mengangkat suaranya,

"Aduh. Pak! Minta ampun! Masa Dessy melambai-lambai didiamkan saja! Mbok ditolong bawakan tas ini yang berat!" katanya merajuk.

Kosasih tersentak. Seketika itu ia baru menyadari bahwa gadis yang secantik bidadari yang sekarang berdiri di hadapannya ini tak lain daripada'anaknya sendiri! Seperti terkena sihir Kosasih dan Gozali mengawasi Dessy dari kepala hingga ke kaki dengan penuh kekaguman. Ini adalah pertama kalinya mereka melihat dari dekat Dessy dalam pakaian tarinya.

"Ini bagaimana sih! Bapak dan Lik Ali kok cuma memelototi orang saja! Mana Ibu dan yang lain?" tanya Dessy rikuh.

"Astaghfirullah. Des! Bapak sama sekali tidak mengira ini kamu! Aduh, cantiknya luar biasa kau! Kayak bidadari! Eh. sini, coba Bapak lihat yang jelas!" kata Kosasih memegangi kedua bahu anaknya dan diputar-putarnya tubuh yang kecil ramping itu supaya ia bisa menelitinya dari segala sudut.

"Idiih, Bapak! Bagaimana sih! Kan banyak orang di sini! Malu-maluin saja! Memangnya Dessy biasanya kayak Ninik Towok? Dari dulu kan ya juga cantik?" seloroh anaknya.

"Biasanya tidak seperti ini. Des! Aduh, betul! Bapak tidak mengenalimu lagi! Kau lain sama sekali! Kalau bukannya mendengar suaramu. Bapak masih tidak bisa percaya kalau ini betul betul kau"

"Rayuan gombal," kata Dessy.

"Bilang; saja Bapak mau merayu Dessy karena tadi tidak menyaksikan Dessy menari! Dessy lihat tadi cuma Ibu yang ada!"

"Aduh. kau salah. Des!" kata Kosasih berbohong karena tidak mau mengecewakan anaknya.

"Bapak ikut menyaksikan dari luar. Kau menari bagus sekali." 1

"Ah. bohong! Kalau tadi sudah menyaksikan mengapa sekarang tidak mengenali Dessy?" Anaknya pura-pura cemberut. Lalu melihat perubahan air muka bapaknya, ia meledak dalam tawa,

"Yuk, pulang! Makanya lain kali jangan bohong! Kan Dessy sekarang sudah gede! Sudah mahasiswi, mana bisa dibohongi kayak anak kecil!"

Pada saat itu di samping mereka lewat seorang perempuan cantik sambil membawa sebuah kopor kecil. Pakaiannya mengikuti mode yang terakhir, sikapnya sedikit centil.

"Selamat malam, Bu!" sapa Dessy kepada perempuan itu.

"Selamat malam!" kata perempuan itu sambil tersenyum, tapi tidak menghentikan langkahnya.

"Siapa itu?" tanya Kosasih.

"Ibu yang merias kami. Iih. dia pinter sekali. Pak! Dalam waktu singkat saja sudah selesai satu orang, lalu berikutnya, lalu berikutnya. Padahal kami kan membawakan tarian yang, berlainan sehingga cara meriasnya juga harus berbeda. Tapi Ibu itu cekatan sekali. Ia punya salon, Pak," kata Dessy.

Gozali yang sejak tadi tidak bersuara sama sekali tiba-tiba menyela,

"Namanya?"

"Namanya indah! Namanya Serina."

Tanpa menunggu lebih lama lagi Gozali sudah bergegas mengejar perempuan yang sekarang sudah sampai di pagar halaman gedung pertemuan itu.

"Nyonya Serina!" panggil Gozali ketika jaraknya sudah dekat.

Yang dipanggil menghentikan langkahnya lalu berpaling.

"Ya?" tanyanya keheranan. Dia belum pernah melihat Gozali sebelumnya. mengapa laki-laki ini bisa tahu namanya?

"Saya mohon Anda mau ikut dengan saya," kata Gozali sambil menunjuk kepada Kosasih dan Dessy yang berdiri kira-kira dua puluh meter dari tempat mereka.

"Ada apa? Siapa Anda?"

"Nama saya Gozali. Itu Kapten Polisi Kosasih dan anaknya. Kami mau minta sedikit bantuan Anda. Mari kita bicarakan bersama!" ajak Gozali.

Perempuan itu tampak ragu-ragu. Ia memandang Dessy dan mengenalinya sebagai salah satu gadisgadis yang tadi diriasnya. Tapi kedua orang lakilaki ini siapa dan butuh bantuan apa dari dirinya?

"Kapten Polisi Kosasih adalah ayah Dessy," kata Gozali. berusaha meyakinkan perempuan itu bahwa mereka adalah orang baik-baik dan tidak bermaksud jahat atas dirinya.

Serina akhirnya setuju untuk diajak kembali oleh Gozali.

Setelah basa-basi perkenalan dilewati. Gozali segera terjun ke pokok masalah.

"Nyonya Serina, Anda adalah seorang ahli kecantikan dan tata rias?"

"Ya."

"Anda telah menghasilkan karya yang bagus sekali pada diri Desy," kata Gozali.

"Malam ini ia tampak cantik sekali. sangat berbeda dengan Dessy yang biasa saya kenal."

"Memang maksudnya dirias itu adalah agar tampak lebih cantik," senyum Serina.
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan dirias, penampilan seseorang bisa berubah sama sekali. bukan?" kata Gozali.

"Tidak sama sekali. Tapi orang bisa membuat dirinya tampak lebih sempurna. atau lebih jelek juga bisa. Apalagi dengan teknis rias panggung. mudah sekali bagi seseorang untuk tampak lebih tua atau lebih muda. karena penonton melihatnya dari jarak jauh. Tentu saja kalau kita memakai tata rias panggung untuk berbelanja di Tunjungan. ya orang bisa lari semua melihat ada topeng berkeliaran." Serina tertawa. Suaranya enak dan merdu.

"Ya. Dessy malam ini tampak anggun dan cantik. Hidungnya tampak manCung. matanya ekspresif, dagunya lancip, tulang pipinya menarik. Lain daripada Dessy yang sehari-hari!" kata Gozali.

"Waduh. Lik Ali! Mentang-mentang aku jelek. ya jangan dijelek-jelekkan terus. Kalau begitu biasanya hidungku pesek. mataku pudar. daguku bersusun. dan tulang pipiku melesak. begitu?" gerutu Dessy setengah berkelakar.

"Ah, itu cuma permainan warna. Pak." kata perempuan itu tenang-tenang saya.

"Tapi omongomong. apakah Anda memanggil saya kembali ke sini hanya untuk memuji make-up Dessy?"

Gozali tersenyum.

"Oh. bukan. bukan. Mungkin Pak Kapten Kosasih bisa menjelaskan dengan lebih baik." kata Gozali berpaling kepada sahabatnya. Biasanya orang lebih menghargai seragam, jadi barangkali nyonya muda ini akan hilang rasa jengkelnya apabila mendengar penjelasannya dari mulut Kosasih.

Tapi celakanya Kosasih sendiri tidak tahu apa yang dikehendaki Gozali dengan memanggil perempuan ini.

"Eh... saya kira Pak Gozali bisa meneruskan ceritanya," kata Kosasih tergagap'gagap.

Mumpung perempuan ini belum bertambah jengkel karena merasa dibuat seperti bola ping pong di antara kedua laki-laki ini. Gozali cepat-cepat menjelaskan,

"Begini. Bu, kami ingin minta Anda melihat jenazah seorang gadis, kemudian dengan pengalaman Anda dan keahlian Anda. Anda mungkin bisa menunjukkan kepada kami bagaimana rupa gadis ini sebelum wajahnya rusak."

Serina memandang Gozali dengan keheranan.

"Maksud Anda... jadi, yang Anda inginkan itu adalah supaya saya meneliti jenazah seorang gadis lalu meriasnya. begitu?"

"Tepat!"

"Maaf! Saya bukan tukang rias mayat!" Mata Serina berkilat kilat karena menahan amarah. Memangnya ini lelucon apa!

"Masalah ini penting sekali, Bu. Kami tidak bergurau." kata Gozali.

"Ini serius. toh?" tanya Serina tidak percaya.

"Ya, Bu." kata Kosasih ikut bicara sekarang. setelah dia bisa menduga ke mana arah pembicaraan Gozali selanjutnya.

"Kami telah menemukan seorang gadis yang mati terbunuh dengan separuh wajahnya rusak. Kami belum berhasil menemukan identitas gadis ini. Apabila kami bisa mempunyai gambaran tentang bagaimana wajahnya yang asli. itu akan merupakan bantuan besar. Dalam kasus ini juga

ada seorang gadis yang hilang. yang terbunuh tidak bisa kami tolong lagi. tapi yang hilang masih bisa kami tolong kalau saja kami tahu siapa sebenarnya gadis yang meninggal itu dan apa hubungannya dengan gadis yang hilang itu. Begitu juga ada seorang anak yang berusia tiga belas tahun, yang rupanya mengenali siapa gadis yang terbunuh itu. Anak ini sekarang terbaring antara mati dan hidup di rumah sakit setelah terjatuh dari lantai tiga suatu gedung. Anak ini tidak bisa menyampaikan kepada kami apa yang diketahuinya, sampai ia siuman kembali-kalau ia siuman lagi! Oleh sebab itu bantuan Anda sangat kami hargai,"

"Oke." kata perempuan itu.

"Saya bersedia memberikan bantuan sebisanya. Kapan Anda butuhkan tenaga saya?"

**

"SUDAHKAH surat-surat panggilan itu diantarkan semuanya, Kos?" tanya Gozali, berjalan mondarmandir di dalam ruang kerja Kosasih yang sempit.

"Sudah kemarin siang," kata Kosasih, sibuk menyiapkan kursi untuk tamu-tamu yang mereka nantikan.

"Sudah pukul sembilan, mengapa belum ada yang datang juga? Kau tidak salah mencantumkan tanggalnya?" kata Gozali sambil melihat keluar jendela.

"Biasa, jam karet." kata Kosasih.

"Sudah menjadi kebudayaan kita, kan? Mereka juga tidak menduga bahwa kita tepat waktu."

"Aku harus memuji kecerdikan otak si pembunuh." kata Gozali sambil manggut-manggut.

"Ya, kalau bukan karena seorang anak, kita semua dikelabuinya," kata Kosasih.

"Bagaimana keadaan Beni?"

"Belum menentu. Kemarin sewaktu aku menjenguknya, ia tidak sadar lagi. Beberapa saat sebelumnya dokter mengira ia akan sadar karena

melihat adanya tanda-tanda akan siuman. tapi rupanya tidak jadi."

"Kasihan anak itu! Mau membantu kita malah dia yang kena celaka."

"Kita cuma bisa berdoa. Kata dokternya keadaan fisiknya mengalami perbaikan. Panas badannya sudah menurun banyak. tekanan darahnya mulai Stabil-sekarang tergantung daya tahan tubuhnya saja. Tapi melihat usianya yang masih muda. dari riwayat kesehatannya yang selama ini cukup bagus, dokter optimis Beni bisa sembuh Hanya saja makan waktu agak lama. Sebelum dia sadar mereka tidak bisa memastikan sampai di mana kerusakan sarafnya atau apakah mentalnya ikut terganggu."

"Tapi ia masih di bawah penjagaan ketat. bukan?" tanya Kosasih.

"Ya. Kemarin sudah kuperingatkan lagi. Bahwa untuk telinga orang luar, keadaan Beni masih tetap kritis seperti semula. Ini demi keselamatannya sendiri, agar si pembunuh tidak mengulangi lagi usahanya untuk mencelakainya."

"Apakah ada orang-orang lain yang menanyakan keadaannya?"

"Menurut Citra memang ada. Beberapa temannya, beberapa langganannya, beberapa tetangganya."

"juga orang yang kita curigai?"

"Juga orang yang kita curigai."

"Kalau begitu apakah kau tidak takut hari ini ia akan memakai kesempatan ini untuk menghabisi nyawa Beni sekali? Ibu dan ayahnya kedua-duanya kaupanggil kemari. Berarti hanya perawat nanti yang menjaga Beni."

"Hari ini aman. semua orang yang punya kaitan dengan kasus ini akan berkumpul di sini termasuk si pemnunuh! Dia tidak akan punya waktu untuk mendekati Beni."

"Sebetulnya kita hanya punya dugaan. Goz. kita belum bisa memastikan siapa pembunuh yang sebenarnya. Sebelum hal ini betul-betul terbongkar. semua orang punya potensi sebagai tersangka."

"Benar. Aku tidah akan menutup mata kepada kemungkinan lain." kata Gozali.

Seorang anak buah Kosasih masuk mengantarkan Nyonya Syahrir.

"Ah. Nyonya Syahrir! selamat pagi. Anda adalah yang pertama tiba." kata Kosasih. mengulurkan tangannya.

"Mari. silakan duduk. Di sini agak sempit, jadi berdesak-desakan sedikit. Anda datang sendiri?"

"Iya. suami saya harus ke kantor. Katanya lagi pula ia tidak tahu apa-ana sehingga dalangpun tidak ada gunanya."

"YA. ya.silahkan duduk." kata Kosasih

Belum lagi Nvonya Syahrir duduk. tamu-tamu yang lain mulai berdatangan-Nyonya Serina. Dani Burhan. Roy Suhendar. Mbok Sri. dan tiga dari enam anak kos yang tinggal di depan rumah Ani-Tina, Silvia dan Etei. Yang tiga lainnya tidak dapat hadir karena berhalangan dan mereka minta diwakilkan saja oleh ketiga temannya yang bisa hadir.

Mereka duduk dengan gelisah sementara Kosasih dan Gozali menunggu kedatangan Citra dan johan yang baru muncul pukul setengah sepuluh lewat"

"Maafkan. kami terlambat," kata Citra.

"Beni semalam menunjukkan gejala-gejala gelisah dan saya sebetulnya enggan meninggalkannya."

"Sekarang bagaimana?" tanya Kosasih penuh perhatian.

"Dokter menempatkan seorang perawat untuk menjaganya. Panasnya naik-turun. Tadi malam suhunya hampir normal, tapi tadi pagi saya rasakan badannya dingin sekali. Kata dokter kalau... kalau ia bisa melewati krisis ini, ia akan sembuh. Semoga... semoga ia selamat." Citra menelan ludahnya. Tenggorokannya terasa tersumbat. matanya panas. Tanpa terasa air matanya sudah mengalir keluar. Johan membimbingnya duduk di salah satu kursi yang masih kosong, lalu ia sendiri duduk di sampingnya.

Sejak menghilangnya Ani. rupanya johan telah mengalihkan perhatiannya kepada Citra-atau tepatnya mengembalikan perhatiannya kepada Citra yang dulu ditinggalkannya setelah berjumpa dengan Ani. Selama beberapa hari ini ia rajin ke rumah sakit. Dan walaupun dia tidak diizinkan masuk untuk menengok Beni, tapi ia setia menunggu di luar dan pada saat saat Citra ingin melepaskan lelah, Johan merupakan temannya berbicara.

"Kalau Anda memang lebih suka kembali ke sisi Beni hari ini, kami bisa mengerti. Kami akan menunda pertemuan ini sampai waktu yang lebih sesuai untuk Anda." kata Gozali.

Citra menggeleng.

"Tidak, tidak. Saya nanti menyusahkan orang" orang lain. Dan saya... saya tidak mau melihatnya... ma mati." Dan pecahlah tangisnya.

Gozali mencekal kedua bahunya dan membentaknya,

"Ia tidak akan mati! Dengar! Beni tidak akan mati! Kuatkan iman Anda, jangan putus asa pada saat saat ini!"

Kata-kata tajam yang keras itu seperti tamparan pedas di pipi Citra. Citra mengangkat kepalanya dan lagi-lagi ia melihat dua bola mata yang bening dan tulus memancarkan harapan padanya. Hatinya merasa agak dingin. Heran. mengapa pandangan orang kurus jangkung ini selalu bisa meredakan emosinya.

"Kekuatan keyakinan Anda bisa menolongnya melewati masa krisis ini," kata Gozali-"sekarang dalam nada yang lembut-.

"Dia mengandalkan Anda, salurkanlah keyakinan Anda itu kepadanya. Tahukah Anda bahwa antara anak dengan ibunya itu selalu ada tali batin yang menghubungkan keduanya? Apa yang menjadi pemikiran Anda akan sangat mempengaruhi mental Beni-jadi Anda harus berpikiran positif! Beni akan mendapatkan sambungan nyawanya lewat keyakinan Anda. jangan putus asa! jangan sekali-kali putus asa!"

Citra mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa yakin bahwa Beni akan sembuh, bahwa Beni bisa tertolong, bahwa ia tidak akan kehilangan anaknya. Entah mengapa setelah dibentak laki-laki kurus ini tiba-tiba hatinya merasa lebih mantap. Citra memang bukan orang yang rajin beribadat, tetapi sejenak tadi rasanya ia mendengar Tuhan berbisik,

"Anakmu akan sembuh," di telinganya. Tuhankah atau Gozali? Citra tidak tahu karena saat magis itu sudah lewat-tapi hatinya merasa tenang sekarang.

"Nah, sekarang kita sudah Siap untuk memulai pengusutan ini." kata Gozali. kembali duduk dikursinya sendiri.

"Silakan. Pak Kapten Kosasih," katanya selanjutnya.

"Anda semua kami panggil hari ini untuk menuntaskan pengusutan kami. Memang agak lain daripada biasanya. tapi ini agar prosesnya bisa kami percepat."

"Saya kira sebaiknya Nyonya Citra diizinkan kembali menunggui Beni saja," kata Roy Suhendar.

Gozali memberinya suatu pandangan yang dingin.

"Mengapa?"

"kalau terjadi apa-apa dengan anak itu, bagaimana? Dalam hal ini nyawanya lebih penting daripada pengusutan polisi "

"Tidak akan terjadi apa-apa dengannva, Roy," kata Citra memutuskan pembicaraan bekas suaminya.

"Terima kasih atas perhatianmu. tapi Beni pasti akan selamat."

"Bagaimana kau bisa berkata begitu?" kata Roy ngotot.

"Gara-gara kurangnya perhatianmu sampai ia sekarang terkena celaka...."

"jangan mengatakan gara-gara kurangnya perhatianku, Roy-! Kita di sini bukannya datang untuk saling tunjuk kesalahan orang. Cobalah intropeksi diri sebelum membuka mulut." Citra sendiri terkejut mendengar kata-kata yang mampu diucapkan sendiri. Sejak kapan dia mempunyai ketenangan dan keberanian sebesar ini?

"Aku tidak kurang-kurangnya memberikan perhatianku kepadanya!" balas Roy.

"Beberapa hari-ini aku juga ikut menjaganya! Padahal sebetulnya Beni

tanggung jawabmu! Kau sendiri yang memaksa agar Beni ikut ibunya!"

"Bapak-bapak dan Ibu-ibu." sela Kosasih,

"harap tenang." Dia tidak menghendaki terjadi percekcokan di sini antara dua bekas suami-istri.

"Sekarang dengarkan pembicaraan kami."

"Seperti yang Anda ketahui. pada hari Senin tanggal 16 September, seorang gadis telah ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa oleh Nyonya Citra dan Saudara Johan," mulai Kosasih sambil menunjukkan Nyonya Citra dan Johan kepada tamutamunya yang lain.

"Jenazah diketemukan sekitar pukul tiga lebih seperempat.

"Dalam visum dokter. disebutkan bahwa korban meninggal karena benturan keras di pelipisnya yang menyebabkan pendarahan otak di dalam. Korban diperkirakan meninggal antara pukul setengah enam dan setengah delapan hari Minggu tanggal 15 September.

"Dari pemeriksaan awal, polisi mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang terjadi di rumah Nona Ani pada hari Minggu tanggal l5 September tersebut sebagai berikut:

"Nona Ani muncul di butiknya seperti biasa dan pada siang harinya ikut ke rumah Nyonya Citra untuk makan siang. Dia pulang sampai di rumahnya sendiri sekitar pukul tiga kurang seperempat. Betul, Mbok?" tanya Kosasih kepada Mbok Sri.

"Betul, Tuan."

"Lalu ia mencuci rambutnya. Selama itu tidak ada tamu yang datang?" tanya Kosasih lagi kepada si pembantu.

"Tidak ada, Tuan."

"Dan di dalam rumahnya tidak ada orang lain?"

"Cuma Non Ani dan saya, Tuan."

Kosasih mengangguk.

"Lalu pukul lima sore Mbok pulang. bukan?"

"Ya, Tuan."

"Nah, setelah itu Nyonya Syahrir melihat Saudara Johan mengetuk ngetuk pintu rumah Nona Ani. Betul, Saudara johan?"

"Betul, Pak," kata Johan.

"Nona Ani pada waktu itu ada di rumah?"

"Ada, Pak."

"Pada waktu itu apakah Anda berjumpa dengan orang lain di rumahnya?" tanya Kosasih lagi.

"iya. Pak, gadis yang meninggal itu. Ia yang membukakan pintu bagi saya." kata Johan.

Kosasih mengangguk.

"Kalau demikian, menurut kesaksian Saudara Johan tentunya gadis korban itu datang antara waktu Mbok Sri pulang dan kedatangan Saudara Johandalam jarak waktu sekitar dua sampai lima menit. Saudara Johan. kenalkah Anda kepada gadis korban ini?" tanya Kosasih selanjutnya.

"Tidak. Pak. Dia hanya membukakan pintu, sementara itu Nona Ani sudah muncul dan gadis itu pergi ke belakang."

"Jadi Anda melihat baik gadis itu dan Nona Ani pada waktu yang bersamaan?"

johan memiringkan kepalanya keheranan.

"Iya, Pak." katanya.

"Apa keperluan Anda ke rumah Nona Ani?"

"Cuma main main. Saya tidak tahu ia ada tamu. Oleh karena itu, setelah saya melihat bahwa ia sedang menerima tamu lain. saya cepat cepat pulang."

"Dengan membanting pintu ?" tanya Gozali ikut bicara.

"Membanting pintu? Membanting pintu apa?" johan terbengong-bengong.

"Nyonya Syahrir mengatakan bahwa sewaktu Anda meninggalkan rumah Nona Ani. Anda seakan-akan marah dan membanting pintu."

"Ah, tidak." senyum johan luwes.

"Saya memang agak tergesa-gesa waktu itu. dan mungkin menarik pintu terlalu keras. Tapi sama sekali bukan maksud saya membanting pintu sebagai unjuk rasa emosi saya." Johan mengangguk ramah kepada Nyonya Syahrir seakan-akan mengatakan,

"janganlah cepat menarik kesimpulan yang bukan bukan."

"Pukul berapa Anda pulang?"

"Sekitar setengah enam, mungkin lebih. saya tidak tahu pasti," kata johan.

Kosasih mengangguk.

"Ya. Nyonya Syahrir melihat kepergian Anda. Pukul berapa Saudara johan ini keluar?"

"Adik ini pulang pukul enam kurang dua puluh." kata Nyonya Syahrir.

johan tersenyum lagi kepadanya menandakan bahwa ia telah memaafkan salah tafsirnya tadi.

"Kemudian muncul seseorang dengan kendaraan pick-up. Orang ini juga masuk ke rumah nomor 32-rumah Nona Ani-Nyonya Syahrir melihat kedatangannya beberapa menit sebelum pukul enam. Orang ini memarkir kendaraannya di depan rumah Nona Ani lalu masuk. betul?"

"Betul, Pak."

"Anda tidak mengenal orang ini," tanya Kosasih,

"maupun kendaraannya?"

**

"Dengan membanting pintu?" tanya Gozali ikut bitara.

"Membanting pintu? Membanting pintu apa?" Johan terbengong-bengong.

"Nyonya Syahrir mengatakan bahwa sewaktu Anda meninggalkan rumah Nuna Ani. Anda seakan-akan marah dan membanting pintu."

"Ah, tidak." senyum Johan luwes.

"Saya memang agak tergeca-gesa waktu itu. dan mungkin menarik pintu terlalu keras. Tapi sama sekali bukan maksud saya membanting pintu sebagai unjuk rasa emosi saya." Johan mengangguk ramah kepada Nyonya Syahrir seakan-akan mengatakan,

"Janganlah cepat menarik kesimpulan yang bukan bukan."

"Pukul berapa Anda pulang?"

"Sekitar setengah enam, mungkin lebih. saya tidak tahu pasti," kata johan.

KOSasih mengangguk.

"Ya. Nyonya Syahrir melihat kepergian Anda. Pukul berapa Saudara johan ini keluar?"

"Adik ini pulang pukul enam kurang dua puluh," kata Nyonya Syahrir.

johan tersenyum lagi kepadanya menandakan bahwa ia telah memaafkan salah tafsirnya tadi.

"Kemudian muncul seseorang dengan kendaraan pick-up. Orang ini juga masuk ke rumah nomor 32--rumah Nona Ani-Nyonya Syahrir melihat kedatangannya beberapa menit sebelum pukul enam. Orang ini memarkir kendaraannya di depan rumah Nona Ani lalu masuk. betul?"

"Betul, Pak."

"Anda tidak mengenal orang ini." tanya Kosasih.

"maupun kendaraannva?"

"Tidak. Pak." kata Nyonya Syahrir.

"Saya tidak pernah melihatnya sebelum petang itu."

"Nah, orang ini juga tidak tinggal lama karena pukul setengah tujuh lebih lima menit dia sudah pulang. Kemudian Nyonya Syahrir masuk ke dalam rumahnya sendiri.

"Sekitar pukul tujuh, Nona Tina yang rumahnya berhadapan dengan rumah nomor 32. melihat kedatangan seorang laki laki yang ternyata adalah Saudara Roy Suhendar. Betul Saudara ini yang Anda lihat?" tanya Kosasih kepada Tina.

"Betul, Pak," kata Tina. Tampang seganteng itu mana mungkin terlupakan! Apalagi ia sempat berbicara dengannya!

"Menurut kesaksian Nona Tina. Saudara Roy Suhendar ini tidak pernah masuk ke dalam rumah Nona Ani karena ia tidak dibukai pintu. jadi Saudara Roy pulang tak lama kemudian.

"Setelah itu tidak ada orang lagi yang melihat kegiatan apa-apa di rumah Nona Ani sampai sekitar pukul setengah sepuluh malam ketika adik-adik kos ini melihat mobil Nona Ani dikeluarkan dari garasi, dan dibawa pergi. Menurut ingatan mereka, ada seorang laki-laki yang pada waktu itu turun dari mobil dan menutup pintu garasi setelah mobil dikeluarkan. lalu masuk lagi ke dalam mobil. Orang ini memakai jaket dan malam sudah larut sehingga identitasnya tidak jelas. Betul?"

"Betul. Pak." kata Evi mewakili teman-temannya.

Pada saat itu Silvia mengangkat telunjuknya namun Kosasih tidak melihat isyarat tersebut, bahkan dia melanjutkan ceritanya.

"Nah, Sekarang saya minta adik-adik ini mengingat-ingat lagi yang teliti. Pada waktu itu, laki-laki ini menghampiri sisi mana mobil? Sisi kiri atau sisi kanan?"

"Kanan, Pak," jawab Evi pasti.

"Mobil Nona Ani yang kemudian kami temukan diparkir di Lapangan Udara juanda, ternyata mempunyai kemudi di sebelah kanan. seperti semua mobil yang dipakai di Indonesia. jadi kalau begitu, laki-Jaki inilah yang mengemudikan kendaraan Nona Ani keluar dari halaman rumahnya."

"Iya. Pak." kata Evi.

"Sekarang ingat betul-betul. apakah pada waktu itu penerangan cukup baik buat Anda untuk melihat keadaan di dalam mobil?"

Ketiga orang gadis itu saling berpandangan. Akhirnya Silvia berkata.

"Saya tidak melihat ke dalam mobil. Pak."

"Jendelanya tertutup." kata Evi.

Tina mengangguk menguatkan keterangan temantemannya.

"Jadi tak seorang pun dari antara kalian yang melihat Nona Ani di dalam mobil?" tanya Kosasih.

Ketiga gadis itu saling berpandangan kembali, tapi akhirnya mereka mengangguk.

"Jadi kalian tidak melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Nona Ani pada saat itu duduk didalam mobilnya ?" tanya Kosasih mempertegas maksudnya.

Ketiga gadis itu tertegun sejenak. Evi-lah akhirnya yang membuka mulut.

"Tapi... tapi itu kan mobilnya. Pak! Jadi..."

"Memang mobilnya. Tapi itu tidak berarti bahwa yang punya pasti duduk di dalamnya setiap mobil itu dipakai. bukan?"

Untuk ketiga kalinya gadis-gadis kos ini bertukar pandang. Hal ini sebelumnya tak pernah mereka pikirkan.

"Jadi... jadi sebetulnya Mbak Ani tidak ada di dalam mobil itu?" tanya Silvia yang sedikit lebih kritis otaknya.

"Itulah yang akan kita cari jawabannya sekarang." senyum Kosasih.

"Nah. kita kembali kepada laki-laki ini yang membawa mobil Nona Ani. Apakah ada dari antara Anda yang bisa memberikan deskripsi yang lebih jelas?"

"Saya kira orangnya masih muda. Pak. Perawakannya sedang. dia tidak pernah kami lihat wajahnya, jadi kami tidak tahu siapa." kata Evi.

"Bagaimana pakaiannya?"

"Jaket dan celana... kayaknya jeans." kata Evi dan Silvia berbarengan.

"Celananya berpotongan ketat, saya ingat," tambah Evi.

"Pakaian yang umum," komentar Kosasih.

"Nah. sekarang mumpung kita berbicara soal pakaian. marilah kita perhatikan pakaian Nona Ani.

"Menurut Mbok Sri-pembantunya yang sudah kami minta untuk mencek satu per satu baju majikannya-pakaian Nona Ani semuanya lengkap kecuali sehelai daster kuning yang dipakainya pada Minggu sore tanggal 15 September itu. dan sebuah celana jeans. Yang lain-lain semua ada lengkap di lemarinya. Aneh. bukan?"
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa aneh?" tanya Evi.

"Apakah ada orang memakai jeans dengan daster?"

Mereka semua terbahak kecuali Mbok Sri. Suasana tegang dan serius sementara berubah menjadi santai dan melegakan.

"Apa betul. Mbok. tidak ada kemejanya atau baju kausnya yang tidak ada?" tanya Citra kepada si Mbok yang sudah dikenalnya.

"Tidak ada. Nya. Sudah saya hitungbersama-sama Pak Polisi. Baju Non Ani kan saya tahu semua. apalagi yang memasukkan ke lemarinya juga saya! Semuanya ada di dalam lemari atau di keranjang cucian." Suara Mbok Sri lirih. Air mukanya keruh dan matanya tampak sedikit basah.

"Mungkin saja ia memakai baju baru?" usul johan.

"Apakah dia membawa baju baru sewaktu pulang dari rumah Anda. Nyonya Citra?" tanya Gozali menyela pembicaraan.

"Tidak. Ani tidak membeli atau membawa baju baru. Bahkan dia tidak membawa apa-apa kecuali tasnya."

"Bisa saja sebelum sampai di rumah dia mampir ke toko membeli baju baru." kata Johan.

"Sewaktu pulang Non tidak membawa bungkusan apa-apa kecuali tasnya." kata si Mbok getol.

"Dan pada sore hari itu ia tidak pergi ke mana'mana sebelum Mbok pulang?" tanya Kosasih melanjutkan.

"Tidak ke toko?"

"Tidak," kata si pembantu. merapatkan bibirnya.

"Mungkin dia tidak ada waktu membawa bajunya sendiri dan membeli di jalan," kata Citra.

"Dan selama itu ia keluyuran masuk toko dengan daster kuning dan celana jeansnya?" senyum Gozali.

Mereka tertawa lagi.

"Mengapa kalau sudah berdaster kok masih harus memakai celana jeans. dan mengapa kalau sudah memakai jeans kok dasternya tidak diganti dengan kemeja atau kaus yang lebih umum? Aneh bin ajaib, bukan?" kelakar Gozali.

"Ah. iya! Ani biasanya paling berhati-hati dalam memilih pakaiannya. Kenapa tiba-tiba punya selera menjadi orang India?" kata Citra keheranan.

"Kejanggalan itu membuat kami berpikir." kata Kosasih.

"Sekarang. marilah kita beralih ke masalah yang lain. Kepada kecelakaan yang dialami anak Nyonya Citra," kata Kosasih. memandang kepada kedua orang tua Beni yang duduk berjauhan itu.

"Maksud Anda. kecelakaan Beni ada hubungannya dengan kasus ini?" tanya Johan.

"Itu suatu asumsi yang beralasan. bukan? Supaya Anda ketahui, Beni pernah minta izin untuk melihat jenazah korban yang ditemukan di rumah Nona Ani. Beni mengusulkan kepada Pak Gozali. siapa tahu barangkali ia mengenali gadis itu. seandainya gadis itu pernah berhubungan dengan Nona Ani sewaktu Nona Ani masih tinggal di rumahnya dua tahun yang lalu.

"Nah. surat itu saya buatkan. tetapi pada hari yang sama Pak Gozali dan saya harus berangkat ke luar kota, sehingga surat itu tidak kami antarkan. tapi diposkan pada tanggal 18 September. Beni tentunya menerimanya pada tanggal 19 siang harinya. sudah terlambat baginya untuk ke rumah sakit hari itu juga. karena itu. baru keesokan harinya sepulang sekolah

beni ke rumah sakit. kebetulan pada hari Jumat dia bisa pulang pagian. Dari rumah sakit, Beni terus ke toko ibunya dengan membawa berita yang ingin diceritakannya. Nyonya Citra pada waktu itu sedang sibuk sehingga ia menyuruh Beni menunggu di luar butiknya yang sempit. Toh waktu itu sudah hampir jam tokonya ditutup.

"Saat berikutnya Beni sudah diketahui terjatuh dari lantai tiga. Menurut keterangan ibunya. Beni bukanlah anak yang nakal, yang suka memanjat dan memamerkan keberaniannya. Lagi pula di lantai tiga pada pagi dan siang hari sepi, karena lantai itu hanya dipakai sebagai gedung bioskop. yang baru mulai beroperasi setelah pukul setengah lima sore. Tidak ada alasan mengapa Beni bisa berada di lantai tiga. Kecuali apabila ada yang mengajaknya!" Kosasih membasahi bibirnya.

"Timbul pertanyaan. Mengapa ada orang yang mau mencelakakan Beni?" lanjutnya.

Semua mata memandang padanya. Tidak ada yang bersuara.

"Beni mengetahui sesuatu sesuatu yang hanya diketahui oleh si pembunuh tadinya! Apakah 'sesuatu' ini?

"Satu-satunya hal yang tidak diketahui oleh polisi dalam kasus ini adalah identitas si pembunuh dan identitas korban! Memang polisi punya kecurigaan kuat bahwa si pembunuh adalah orang yang rumahnya terpakai sebagai tempat pembunuhan-_yaitu Nona Ani sendiri. Tapi teori ini ada beberapa kelemahannya. Jadi. tanpa mengetahui identitas yang terbunuh. amatlah sulit bagi polisi untuk mencari identitas orang yang membunuhnya. Tiba-tiba anak

yang baru kembali dari kamar mayat mendapat kecelakaan!

"Polisi membuat asumsi yang paling logis saja. Kalau begitu anak ini mengenali identitas korban!

"Tapi anak ini dalam keadaan kritis! Dia tidak bisa ditanyai. Bahkan sampai sekarang pun masih belum sadar! Jalan buntu lagi!

"Untunglah Tuhan itu mahaadil! Walaupun pembunuhan ini dikerjakan dengan begitu sempurna-dengan begitu teliti-tetapi pada akhirnya polisi terjaga juga dari tidurnya. Aji sirep si pembunuh ternyata akhirnya dapat dipatahkan juga.

"Nyonya Serina---ahli kecantikan dan pemilik sebuah salon di Surabaya-hari ini berkenan datang dan memberitahukan apa yang disimpulkannya," kata Kosasih memperkenalkan seorang perempuan cantik yang duduk dengan anggunnya.

"Nyonya Serina kami minta untuk melihat sebuah foto yang kami temukan di rumah Nona Ani, dan yang menurut Nyonya Citra benar-benar adalah foto temannya, dan kemudian Nyonya Serina kami ajak untuk melihat jenazah gadis yang mati ini. Nah, kesimpulan apa yang telah Anda tarik, Bu Serina?" tanya Kosasih.

"Bahwa gadis yang di foto itu dan gadis yang meninggal itu adalah orang yang satu dan sama!" kata. Nyonya Serina dengan tenangnya.

Sejenak lamanya ruangan hening.

Kemudian terdengar pekikan lembut Nyonya Citra yang pertama menyadari implikasi kalimat yang baru didengarnya itu.

"Ani! Ani? Yang meninggal itu Ani?"

Seruannya diikuti oleh beberapa sedakan dan helaan napas lainnya. Nyonya Syahrir berkata,

"Masa, jeng Ani?" Dani menggumam,

"Oh, Tuhan mati aku!" Evi mengucapkan Inalillahi, dan seketika ruangan Kosasih dipenuhi oleh berbagai macam suara.

"Tapi itu tidak mungkin! itu mustahil!" kata Johan, mengangkat suaranya di atas semuanya.

"Bu Serina telah membuat kesalahan! Bukankah Nyonya Citra dan saya yang menemukan gadis itu-gadis itu sama sekali bukan Nona Ani!"

"Saya tidak tahu siapa gadis itu," kata Nyonya Serina tenang.

"Mungkin namanya Ani, mungkin juga bukan. Tapi satu hal yang saya ketahui adalah gadis di foto yang ditunjukkan Kapten Polisi Kosasih kepada saya, adalah gadis yang saya jumpai terbaring di kamar mayat dengan separuh mukanya rusak. Bahkan saya telah berusaha merias bagian mukanya yang utuh untuk membuktikan persamaannya. Foto-foto itu ada pada Kapten Polisi Kosasih. Mengapa Anda tidak melihatnya sendiri?"

"Tapi... tapi Ani berambut panjang," kata Citra.

"Gadis itu... yang saya lihat terkapar di lantai itu... ia..."

"Ia bukan Ani'," potong johan.

"Saya kan tahu! Saya mengenalnya! Soal make-up itu bukan masalah. Bintang film kalau di-make-up juga bisa menjadi seperti King Kong!"

Gozali memandang Mbok Sri yang diam saja dan tidak ikut dalam perdebatan ini.

"Marilah kita dengarkan apa kata Mbok Sri," kata Gozali meredakan suasana.

Semua mata memandang kepada ibu tua yang tampak sangat sederhana itu. Di tengah-tengah kerumunan orang-orang intelek yang kelas sosialnya jauh lebih tinggi, kelihatan sekali bahwa si pembantu ini merasa takut dan rendah diri.

"Bicaralah. Mbok, apa yang Mbok lihat kemarin," kata Gozali dengan lembut.

Mbok Sri mulai berkata-kata dengan suara yang kecil, terparah-patah dan tidak lancar,

"Kemarin kemarin saya dibawa... dibawa Pak Polisi ke... eh, ke kamar mayat. Saya... Non Ani di situ... Non Ani yang terbunuh...."

Kosasih menepuk-nepuk bahu ibu tua ini dan membisikkan.

"Cukup, Mbok. Terima kasih."

"Jadi yang meninggal itu betul Mbak Ani?" tanya Tina setelah mendengarkan keterangan Mbok Sri. Serina tidak dikenalnya, karena itu kata-katanya kurang berbobot. Tetapi si pembantu tua ini, yang sudah dikenalnya selama dua tahun. juga mengatakan bahwa yang mati itu Mbak Ani. Kalau begitu ya pasti Mbak Ani!

"Betul," kata Gozali datar.

Semua terdiam.

Tiba-tiba Citra berkata.

"Lho, tapi mengapa saya tidak mengenalinya?"

"Karena Anda tidak benar-benar melihatnya! Anda melihat seorang gadis terkapar di lantai dengan muka berdarah. Anda sudah pasti segera kehilangan keseimbangan. Itu terjadi pada kebanyakan orang. Darah kita mendesir, mata berkunang-kunang, keringat dingin mengalir. dan bisa-bisa terus pingsan.

Apalagi dalam hal ini orang yang membunuhnya telah berusaha sebisa-bisanya agar jenazah itu tidak dikenali sebagai Ani! Ia telah memotong rambutnya. menghapus make up-nya. merusak sebagian wajah nya. bahkan membakar ujung jari-jarinya untuk menghilangkan sidiknya. Dia cukup cerdik membawa Anda sebagai saksi! Anda yang seorang perempuan

sudah tentu tidak bisa diharapkan mempunyai ketegaran untuk meneliti sesosok mayat yang mengerikan. Memandang sekilas saja Anda hanya melihat perbedaannya. tapi sama sekali tidak melihat persamaannya!"

"Bagaimana? Bagaimana?" sela Nyonya Syahrir "Saya tidak mengerti. Tolong jelaskan yang jelas.. mengapa jeng Ani dibunuh orang? Apa kesalahannya?"

"Polisi mempunyai dugaan kuat bahwa kematiannya ada hubungannya dengan masa lalunya. Namun. pertama-tama marilah kita temukan dulu siapa orangnya yang telah berusaha menukar identitas Ani dengan identitas gadis lain yang tidak kita kenal." kata Kosasih.

"Silakan. Pak Gozali." kata Kosasih memberikan kesempatan ini khusus kepada sahabat nya yang telah berhasil membongkar kasus ini.

"Sekarang kita sudah tahu siapa identitas gadis yang terbunuh itu-yang tidak lain adalah Nona Ani sendiri.

"Memang sejak semula kami agak curiga. Orang ini terbunuh di rumah Nona Ani. seharusnya yang paling masuk akal adalah itu jenazah Nona Ani sendiri. Tetapi ada begitu banyak orang yang mengatakan tidak! Nyonya Citra dan Saudara Johan mengatakan yang meninggal bukan Nona Ani

adik adik yang kos di depan rumahnya mengatakan mereka melihat Nona Ani meninggalkan rumahnya bersama seorang laki-laki pukul setengah sepuluh malam pada hari Minggu itu. sehingga polisi akhirnya terkecoh."

"Kami minta maaf," kata Evi.

"Pada waktu memberikan keterangan kami tidak meneliti lagi apa yang kami katakan. Kami terlalu cepat menarik kesimpulan."

"Membuat kesalahan itu manusiawi." kata Gozali,

"dan mengakuinya serta menyadarinya, itu sudah merupakan satu langkah permulaan menuju perbaikan."

"Ya, kami akan berpikir lebih kritis sekarang, Pak," kota Evi. yang dikuatkan oleh anggukan akur teman-temannya.

"Nah. setelah meneliti semua keterangan yang masuk, polisi mendapatkan hanya satu orang yang betul-betul memastikan bahwa gadis korban itu dan Nona Ani adalah dua orang yang berlainan!"

"Nyonya Citra sudah kami bayangkan tidak melihat jenazah itu dengan teliti. Dan dia hanya mengatakan bahwa gadis yang mati itu bukan Nona Ani. Tetapi orang ini-orang yang satu-satunya ini-memberikan kesaksian yang betul-betul meyakinkan bahwa di rumah itu betul-betul ada dua orang gadis! Bahkan dia melihat mereka berdua pada waktu yang bersamaan!" Gozali memalingkan wajahnya kepada Johan yang tampak tegang dan terpaku di kursinya.

"Saudara johan. mengapa Anda mengatakan Anda pernah bertemu dengan gadis korban itu pada waktu

Anda ke rumah Nona Ani-bahkan bahwa dialah yang membukakan pintu bagi Anda?"

Johan tidak bisa menjawab. Wajahnya pucat. dahinya berkeringat.

"Mengapa Anda mengatakan bahwa setelah gadis itu membukakan pintu. Nona Ani keluar dan gadis itu masuk ke belakang? Bagaimana gadis ini bisa masuk ke belakang kalau sekarang terbukti bahwa ia dan Nona Ani adalah orang yang sama?"

"Saya... saya..." Tapi Johan tidak bisa mengatakan lebih daripada itu meskipun Gozali sudah menantikan jawabannya dengan sabar.

"Nama Anda yang sebenarnya adalah Sutejo. bukan? Anda sudah mengenal korban jauh sebelum perjumpaan Anda dengannya tiga bulan yang lalu. Anda pernah menjadi pacarnya ketika Ani masih bekerja di pabrik pakaian CV Arimbi di Jakarta. Anda-lah yang telah membawa lari mobil majikannya, yang melibatkan pacar Anda sampai ia dihukum di penjara. Bukankah begitu?" Suara Gozali berdentum.

Semua mata memandang johan dengan keheranan, lebih-lebih Citra.

"Kami tidak tahu apakah perjumpaan Anda dengannya di Surabaya ini hanya suatu kebetulan ataukah memang Anda mencarinya kemari. Tetapi Anda berhasil menemukannya. dan Anda kemudian memerasnya karena Anda mengetahui bahwa Nona Ani adalah orang yang takut ribut dan di sini ia sudah mempunyai reputasi yang baik.

"Kami mengetahui bahwa dalam dua bulan yang terakhir ini Nona Ani telah menarik delapan ratus ribu dari rekening bank Butik Citra tanpa alasan.

Uang itu pasti diberikannya kepada Anda. Nona Ani selama ini adalah orang yang berhati-hati dan jujur. dia selalu mencatat semua pengeluaran. Namun kali ini kami tidak menemukan catatannya mengenai dua kali penarikan cek sebesar empat ratus ribu. Mengapa Nona Ani tidak memberi tahu Nyonya Citra tentang pengeluaran ini? Karena ia malu! Ia tidak punya alacan mengapa tiba-tiba ia membutuhkan delapan ratuc ribu! Ia tidak punya alasan mengapa ia harus memberikan uang itu kepada Anda!"

"Saya yakin Ani berniat mengembalikan uang itu." kata Citra membela temannya.

"Saya yakin Ani hanya meminjamnya dan diam-diam dia akan mencicilnya."

"Saudara Johan. Anda hanya bekerja secara honorer sebagai pemangkas rambut di sebuah salon. Tapi Anda tidak bekerja di sana setiap hari. Melihat apa yang Anda peroleh dari hasil komisi dan honor Anda, kami tidak bisa mengerti bagaimana Anda bisa hidup dengan gaya Anda sekarang. Anda kos di Surabaya, punya sepeda motor, punya pakaian bagus, tapi Anda tidak punya penghasilan tetap yang memadai. Dari rekan-rekan Anda di salon tersebut kami juga mengetahui bahwa Anda adalah seorang pecandu judi buntut. dan bahwa Anda selalu bertaruh dalam jumlah yang besar. Dari mana Anda memperoleh semua uang itu?"

"Orang bertaruh ada kalah-menangnya." kata Johan jengkel.

"Apakah mereka tidak menceritakan bahwa saya juga pernah menang ratusan ribu rupiah?" Kedoknya sekarang terbongkar, dia tidak bisa mengelak lagi.

"Orang berjudi pasti banyak kalahnya. Kalau tidak begitu, tidak ada yang mau menjadi bandar," kata Gozali.

"Yang penting. kami tahu Anda selalu punya uang padahal penghasilan Anda dari bekerja tidak sesuai dengan pengeluaran Anda. Kami yakin Anda memperoleh uang itu dari cara yang tidak halal. Salah satu korban Anda adalah Nona Ani," kata Gozali tajam.

"Dan mungkin juga masih ada beberapa perempuan lainnya."

Johan tidak menjawab.

"Sekarang. katakan mengapa Anda membunuhnya? Apakah karena terakhir kalinya Anda muncul ke rumahnya Anda tidak berhasil mengeruk uang lagi darinya?" tanya Gozali sinis.

"Itu tidak benar!" kata Johan.

"Saya tidak membunuhnya! Ingat, Nyonya ini," katanya menunjuk Nyonya Syahrir,

"dia melihat saya keluar dari rumah Ani dan setelah itu ia masih melihat orang lain ke sana. Kalau pada waktu itu saya telah membunuhnya. bagaimana orang ini bisa masuk dan tinggal di dalam kira-kira setengah jam lamanya? Apakah dia bercakap-cakap dengan mayat?"

Kosasih dan Gozali saling bertukar pandangan. Memang pertanyaan ini belum bisa mereka jawab. Mereka tadinya berharap bisa menggertak Johan sehingga ia segera mengaku dan dia yang menceritakan apa yang sebetulnya telah terjadi. Ternyata johan lebih cerdik dari perkiraan mereka!

"Teori Anda berantakan, bukan?" ejek Johan.

"Maka dari itu. sebelum menuduh orang hendaknya Anda yakin dulu bahwa tuduhan Anda itu bisa dibuktikan! Hanya karena saya tidak bekerja secara tetap, hanya karena saya punya banyak teman

wanita, hanya karena saya bisa berpakaian bagus, Anda segera mengambil kesimpulan bahwa saya pembunuh dan pemeras? Saya akan menuntut Anda ke pengadilan!" sambungnya dengan lebih yakin sekarang.

"Maafkan," kata Silvia tiba-tiba. mengejutkan mereka semua.

"Saya... saya melihat Saudara johan ke rumah Mbak Ani malam itu pukul setengah delapan."

"Anda melihat Saudara johan?" tanya Kosasih setengah melompat.

"Ya, waktu itu saya keluar untuk mengunci pagar depan. Saya melihat Saudara Johan turun dari becak dan masuk ke rumah Mbak Ani. Saya melihatnya mengetuk pintu, dan tak lama kemudian dia masuk."

"Itu bohong!" pekik johan.

"Itu tidak benar! Saya tidak pernah kembali ke rumah Ani malam itu. Anda salah lihat. Anda melihat orang lain. bukan saya!"

"Saya mengenali Anda," kata Silvia tidak kurang getolnya.

"Anda memakai jaket. Malah pada waktu itu saya merasa heran. mengapa Anda naik becak. Biasanya Anda selalu datang dengan sepeda motor Anda!"

"Terima kasih, Nona Silvia," sela Gozali sebelum Johan bisa melontarkan protesnya lagi.

"Jadi Anda melihatnya datang pada pukul setenguh delapan! Saya harus minta maaf. Saya ingat sekarang, pada wawancara kita yang pertama, Anda mengatakan Anda melihat Saudara Johan ini. Tetapi pada saat itu saya terlalu cepat menarik kesimpulan bahwa Anda melihatnya pada waktu yang sama dengan Nyonya Syahrir, yaitu pada pukul lima sore. Saya tidak

menanyakan kepada Anda, pukul berapa Anda melihatnya.

"Saudara Johan memang cerdik. Dia tahu bahwa kedatangannya pada petang itu sekitar pukul lima sudah terlihat oleh Nyonya Sy ahrir. oleh karena itu ia mengakuinya dengan jujur di hadapan polisi. Tetapi ia tidak tahu bahwa kedatangannya yang kedua juga telah diketahui Nona Silvia. Sekarang. Saudara Johan, sebaiknya Anda mengaku saja. Sejak semula sikap Anda sudah mencurigakan."

"Saya tidak membunuhnya! Demi Allah saya tidak membunuh Ani!" kata Johan masih ngotot.

"Kami bisa membuktikan bahwa Anda-lah yang telah berusaha menghilangkan identitas Nona Ani. Pada mulanya polisi menduga bahwa si pembunuh menghilangkan identitas korban karena ia mau mempersulit pelacakan polisi. Tapi sebetulnya maksud utama Anda adalah mencegah polisi mengetahui bahwa korban adalah Nona Ani. Tujuan kedua Anda kemudian adalah melibatkan Nona Ani sebagai pelaku atau salah satu pelaku pembunuhan ini! Cerdik! Polisi disuruh mengejar ngejar Nona Ani yang disangka telah melakukan pembunuhan atas dirinya sendiri!

"Anda yang seorang ahli pemangkas rambut, telah memotong rambut bekas kekasih Anda. Oleh karena itu dokter telah menemukan banyak potongan rambut di baju bagian atas korban. Anda juga tahu bahwa bekas pacar Anda ini selalu tampil dengan make-up. maka Anda hapus semua make-up-nya agar dia tidak dikenali. Tidak cukup itu, Anda merusak wajahnya dengan memukulkan jambangan bunga yang terbuat dari kuningan itu ke kepalanya

dan Anda membakar ujung-ujung jari tangannya. Kemudian Anda lepas dasternya-yang mungkin kotor kena percikan darah-Anda mengenakan pakaian Anda sendiri, kemeja dan celana Anda-kepada jenazahnya. Dan dalam usaha itu Anda telah merusak ligamen di leher dan pangkal lengannya....

"

"Lalu saya keluar dari rumah itu telanjang?" tanya Johan sinis.

"Anda lebih cerdik daripada itu!" kata Gozali sambil tersenyum.

"Anda tahu bahwa Anda memakai jaket-dan malam-malam begitu siapa yang bisa melihat bahwa di balik jaket itu Anda tidak berkemeja? Lalu Anda mengambil sehelai celana korban-yang kebetulan tinggi badannya tidak banyak berbeda dengan Anda-dan Anda kenakan. Anda tidak mengira bahwa kami akan minta pembantunya menginventarisasi pakaian korban, sehingga kami menemukan kejanggalan daster dan celana panjang tadi. Daster itu tentunya Anda bawa dan entah Anda buang di mana."

"Jadi... jadi, pakaian yang dikenakan korban, eh, Ani, itu adalah pakaian Dik Johan ini?" tanya Citra.

"Ya. Untuk mengaburkan identitas korban, Saudara Johan sudah sangat berhati-hati. Sampaisampai ke pakaiannya pun dia ingat bahwa ia tidak boleh meninggalkan korban dalam pakaiannya sendiri yang mungkin segera dikenali orang. Oleh karena itu ia menukar pakaiannya dengan korban. Toh orang-orang yang nanti ditanyai polisi tidak akan mengenali pakaian Saudara johan!

"Ingat, pertama kalinya Saudara Johan ke rumah Nona Ani ia mengenakan jaket dan helmnya.

Sehingga Nyonya Syahrirpun tidak pernah melihat kemeja yang dipakainya di balik jaket itu."

"Jadi... jadi Anda yang membunuhnya! Anda yang telah membunuh Ani! Anda yang mencelakakannya! Itulah sebabnya sejak dia berjumpa dengan Anda, dia tiba-tiba bersikap aneh!" kata Dani kalap. Dia beranjak dari kursinya dan sudah siap-siap mencengkeram batang leher Johan.

"Jadi ini biang keladinya! Binatang ini yang memerasnya dan membunuhnya!"

"Sabar. Saudara Dani. sabar." kata Kosasih melerai dan memaksa Dani Burhan kembali duduk di kursinya.

"Semua akan diproses menurut hukum. Negara tidak mentolerir para pembunuh. Saudara Johan akan mendapatkan hukuman yang setimpal!"

"Tapi Ani sudah mati! Ani sudah mati!" kata Dani Burhan.

"Bajingan ini harus membayarnya dengan nyawa! Saya tidak rela kalau ia hanya dihukum penjara begitu saja! Ia telah membunuh orang, dia juga harus mati!"

"Saya tidak membunuh! Saya tidak membunuh!" teriak johan.

"Semua ini hanya tuduhan palsu saja. Mana buktinya? Hanya karena polisi tidak berhasil mencari siapa pembunuhnya. mereka mengambinghitamkan saya! Mana buktinya! Coba. mana buktinya!"

Telepon di meja Kosasih berdering. Pengusutan tertunda sejenak.

"Ya?" kata Kosasih begitu mengangkat tangkainya. Lalu setelah mendengarkan pembicaraan dari seberang, dia menyerahkan tangkai telepon kepada Nyonya Citra.

"Untuk Anda," katanya.

"Dari Dokter Harman."

"Ya, Tuhan!" desah Nyonya Citra.

"Jangan biarkan Beni mati! Jangan biarkan Beni Mati!"

Dalam ketegangan pemeriksaan tadi untuk sejenak lamanya ia telah melupakan anaknya. Sekarang hatinya tercekat. Telepon dari rumah sakit-matikah Beni? Citra tidak mampu menerimanya. Ia malah membenamkan kepalanya di antara kedua belah tangannya dan menangis.

Gozali yang segera berdiri menerima tangkai telepon itu.

"Nyonya Citra masih emosi. Bisakah Anda menyampaikan pesannya kepada saya? Saya Gozali."

Dari seberang terdengar serentetan kata-kata. Kemudian orang dapat melihat wajah Gozali yang serius melembut dalam senyum yang melebar dari ujung telinga kiri hingga ujung telinga kanan.

"Nyonya Citra," katanya lembut setelah mengucapkan terima kasih dan meletakkan tangkai telepon,

"Beni baru saja sadar. Dia menanyakan Anda. Menurut Dokter Harman sekarang tinggal pemulihan luka-lukanya saja. Ia akan sembuh total."

Nyonya Citra menangis dan melompat kegirangan. Spontanitasnya memeluk dan mendekap Gozali terjadi begitu tiba-tiba sehingga laki-laki jangkung itu tidak sempat mengelak.

"Saya ingin segera ke sana, Pak. Di sini kan sudah selesai?" kata Nyonya Citra, tidak sabar menunggu lagi.

"Di sini sudah selesai," senyum Kosasih penuh rasa syukur.

"Saya akan minta Anda diantarkan dengan mobil saya saja, supaya cepat sampai."

"Oh. terima kasih. Pak!" Air mata masih membekas di pipinya dan untuk sesaat Citra sendiri tidak tahu apakah dia sedang menangis atau tertawa.

"Satu hal lagi,". kata Gozali kepada semua pendengarnya di dalam ruangan itu.

"Beni juga mengatakan bahwa orang yang mendorongnya jatuh dari lantai tiga Gedung Wuni adalah Saudara Johan."

Johan duduk terhenyak kembali di kursinya.

"Saya tidak membunuh... saya tidak membunuh," katanya lemah.

"Ya, Tuhan, saya tidak membunuhnya! Tapi siapa yang akan percaya bahwa ketika saya datang dia sudah mati?"

Dan dia masih tetap menyuarakan protesnya ketika Kosasih memanggil dua orang petugas untuk membawanya ke dalam tahanan.

"Uh! Keterlaluan! Sudah ketahuan dosanya masih membantah." komentar Nyonya Syahrir.

"Dasar berhati serigala!"

Nyonya Serina juga berdiri.

"Saya kira kehadiran saya di sini sudah tidak dibutuhkan lagi. Pak?" tanyanya manis.

"Oh. tidak. Terima kasih banyak. Bu Serina. Kalau bukan dengan bantuan Anda, mungkin kasus ini masih belum terbongkar," kata Kosasih, menjabat tangan Nyonya Serina.

"Kami tidak pernah tahu siapa itu yang datang naik pick-up setelah Saudara johan pulang petang hari itu," komentar Nyonya Serina.

Gozali memasang telinganya.

"Ah, itu tidak penting lagi. Kasus ini sudah terbongkar. Dia hanyalah seorang tamu biasa yang kebetulan mampir di rumah itu pada hari yang naas," jawab Kosasih.

Nyonya Serina tersenyum manis.

"Mungkin Anda benar. Hanya saja saya yang masih penasaran. Saya tidak bisa tidur apabila ada pertanyaan yang masih belum terjawab." Dia tertawa manis.

"Itu salah satu sifat jelek saya."

Yang lain-lain sudah berdiri dan bersiap-siap meninggalkan ruangan. Pengusutan sudah selesai. Kosasih menepuk-nepuk bahu Dani Burhan yang hari ini tampak loyo dan bungkuk.

"Saudara Dani ingin melihat jenazahnya?" Kosasih menawarkan.

Dani terkejut. seperti baru bangun dari tidur.

"Bagaimana, Pak?" tanyanya.

"Anda ingin melihat jenazah Nona Ani?" ulang Kosasih.

"Ya... ya," katanya lemas.

"Mari kami antar."

**

"MENGAPA. kau masih belum puas? Kan kasus ini sudah kita pecahkan!" Kosasih melihat Gozali yang duduk dengan kaki terjulur ke depan dan mata terkatup.
Misteri Gadis Tak Bernama Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jam dinding di ruang kerja Kosasih sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kebanyakan meja-meja sudah kosong, hanya ada satu dua orang petugas saja yang masih bekerja dan dinas di markas.

"Pencuri ya tentu saja tidak mau mengaku! Itu sudah biasa! Lihat saja, kalau bukan karena Beni sadar dan menyebutnya sebagai orang yang mencelakakannya, sampai sekarang pun si Johan tidak akan mengakui keterlibatannya," omel KosaSih.

"Ya, tapi sekarang dia sudah mengakui bahwa ialah yang berusaha mengaburkan identitas Ani dan yang berniat mencelakakan Beni-mengapa ia tetap tidak mengakui ialah yang membunuh Ani?"

"Hukumannya kan akan menjadi lebih berat kalau ditambah kejahatan membunuh, Goz! Tentu saja ia tidak sebodoh itu mau mengakuinya. Lagi pula ia tahu bahwa kita belum bisa membuktikan dialah pembunuhnya. Tidak ada yang melihat perbuatan jahatnya. Semuanya hanya berdasarkan teori deduksi saja. Keterangan Silvia melihatnya masuk ke rumah

itu bukan bukti yang kongkret. Kalau ia tetap bersikeras Ani sudah meninggal pada waktu itu. kita tidak bisa berbuat apa-apa."

Gozali menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Goz, biarpun tanpa bukti. tapi kau tahu dan aku tahu bahwa Johan-lah pembunuh Ani!

"Ia mengakui bahwa pertemuannya dengan Ani adalah suatu kebetulan. Sebetulnya johan tadinya mau merayu Citra yang dianggapnya sasaran empuk-janda-punya usaha sendiri-dan kesepian. Tapi tiba-tiba muncul Ani-orang dari masa lampaunya. Johan terpaksa mengendurkan hubungannya dengan Citra ketika Ani mengancam akan melaporkan kejahatannya di masalalu kepada polisi. Ani tidak menghendaki Citra menjadi korban rayuannya. Johan menyetujui. Tapi sebagai imbalannya, ia minta bantuan uang dari Ani, atau sebaliknya ia yang melaporkan kepada Citra bahwa Ani pernah masuk penjara.

"Ani tidak mau nama baiknya rusak, maka ia memberi johan dua kali uang sebesar empat ratus ribu.

"Pada hari Minggu tanggal 15 September itu, johan muncul untuk minta uang lagi. Ia telah berhutang terlalu banyak pada bandar judinya dan mereka mulai mengancam. Tapi Ani menolaknya karena baru seminggu yang lalu ia memberi Johan empat ratus ribu. Johan meninggalkan Ani sambil marah marah bahkan sempat membanting pintu seperti yang disaksikan oleh Nyonya Syahrir. Dia kembali kepada bandar judinya untuk minta waktu lagi1 tapi malah sepeda motornya kena tahan di sana. Karena itu ia kembali ke rumah Ani naik becak.

Waktu itu pukul setengah delapan malam dan kedatangannya sempat dilihat oleh Silvia."

Belum lagi Kosasih sempat meneruskan ceritanya. Gozali sudah menyambung.

"Dan dia mengaku ia mengetuk ngetuk pintu tapi tidak ada yang membukakan. Dalam ketidaksabarannya itu ia memain mainkan tangkai pintu dan ternyata pintu tidak dikunci.

"Ia masuk mendapatkan Ani sudah mati terkapar di ruang tamu. Ia panik dan takut jangan-jangan nanti ia yang disalahkan membunuhnya. Ia tahu kedatangannya sore itu sudah terlihat oleh Nyonya Syahrir. Dan dengan latar belakangnya sebagai buron. orang tentu segera akan menuduhnya sebagai pembunuh sekali. Oleh karena itulah dia lalu berusaha menyamarkan identitas Ani. Kalau polisi tidak tahu siapa yang mati, polisi tidak akan mengaitkannya dengan kematian itu. Sampai di sini ketetangannya cukup logis. menurutku." kata Gozali.

"Johan kemudian menguras seluruh uang kontan Ani yang esoknya dipakainya untuk menebus sepeda motornya kembali. Malam itu setelah menyelesaikan pekerjaannya mengubah penampilan Ani. ia keluar membawa mobil Ani dan membiarkan pintu garasi tidak terkunci sementara pintu depan rumah dikuncinya dari dalam.

"Keesokan harinya ia sengaja datang ke Butik Citra. Johan bisa menduga watak Citra, yang sudah dapat dipastikannya akan menguatkan keterangannya bahwa yang meninggal bukan Ani. Kalau seandainya si Mbok yang lebih dulu menemukan Ani-atau para tetangga-jangan-jangan mereka mengenali siapa yang mati itu. Jadi, daripada mayat

itu ditemukan oleh orang lain yang mungkin akan mengamati mayat itu dengan lebih teliti, Johan cepat-cepat menjemput Citra siang hari Senin itu untuk lebih dahulu membuat identifikasi-sebelum si pembantu datang. Johan sudah dapat memastikan bahwa Citra tentunya tidak punya ketegaran untuk memeriksa mayat dengan teliti. Setelah mereka membuat identifikasi palsu, maka Johan segera menutup kamar tidur dengan alasan menyelamatkan bukti-bukti bagi polisi. Sebetulnya maksud utamanya adalah agar para tetangga tidak ada yang sempat melihat siapa mayat yang terkapar itu.

"Pada tanggal 20 September hari Jumat yang lalu, Johan bermaksud ke Butik Citra. Setelah matinya Ani, ia berpikir sudah aman baginya untuk menjalin kembali hubungannya dengan Citra. Tapi di gedung Wuni ia bertemu dengan Beni-yang tanpa curiga segera menceritakan apa yang baru saja dilihatnya.

"Johan ketakutan. Tapi ia tahu bahwa Beni belum sempat bercerita kepada siapa pun kecuali dirinya. Ia mengajak Beni ke lantai tiga agar mereka bisa bercakap-cakap dengan lebih leluasa tanpa didengar orang. Sesampainya di balkon. dia mendorong Beni jatuh. Dia mengira Beni pasti akan meninggal Jatuh dari ketinggian itu.

"Kemudian untuk lebih meyakinkan polisi lagi bahwa Ani betul-betul masih hidup, dia membawa mobilnya ke Juanda dan meninggalkannya di sana. Mobil itu tadinya dititipkannya di sebuah bengkel dengan alasan minta diganti olinya. Dua hari kemudian dia berpura-pura menelepon rumah Citra mau tahu nasib Beni dan mau menceritakan tentang 'ditemukannya' mobil Ani di tempat parkir Juanda.

Pada waktu itu tentu saja si tukang parkir sudah tidak ingat siapa yang meninggalkan mobil itu di sana."

"Nah. bukankah ini sudah membuktikan bahwa ia adalah orang yang cerdik dan kejam?" potong Kosasih.

"Dia punya seribu satu akal begini. mustahil ini bukan salah satu akalnya untuk membuat kita ragu ragu bahwa ialah pembunuhnya! Aku tidak peduli! Pokoknya bagiku ialah pelaku semua kejahatan ini!"

"Kita tidak pernah menemukan identitas orang yang datang ke rumah Ani dengan pick-up itu." kata Gozali.

"Ah, sudahlah! Semua orang yang ada kaitannya dengan Ani tidak ada yang punya pick-up! Kok mau pusing sendiri?"

"Di mana aku pernah melihat sebuah pick-up akhir-akhir ini?" gumam Gozali kepada dirinya sendiri.

"Di Surabaya ada jutaan pick-up. Setiap hari tentu saja kita bertemu dengan berpuluh puluh kendaraan begini," kata kosasih.

Di balik otak sadarnya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang rasanya seperti mengetuk-ngetuk pintu minta masuk. Gozali berusaha mengingat ingat apa itu. Tiba-tiba ia melompat dari kursinya dan menyebut.

"Astaghfirullah!". Kosasih memandangnya dengan penuh

keheranan.

"Ayo, kita berangkat!" katanya.

"Ke. mana?" tanya Kosasih.

"Mencari sebuah pick-up!"

Selama perjalanan Gozali menceritakan rencananya kepada Kosasih yang mendengarkan dengan keheran-heranan. Aspek ini sebelumnya sama sekali belum pernah dipikirkannya.

Mereka turun di depan sebuah rumah. Suasana sepi, tidak ada kegiatan. Tidak tampak orang juga walaupun pintu depan rumah terbuka.

"Permisi!" kata Kosasih.

"Ada tamu!"

Mereka mendengar suara kaki berjalan menuju ke arah mereka dan tak lama kemudian mereka berhadapan dengan si penghuni rumah.

"Kami ingin menanyakan sesuatu kepada Anda," kata Kosasih.

Tanpa menjawab mereka dipersilakan duduk.

Ya?

"Bukankah Anda mempunyai sebuah pick up? Tadi pagi sewaktu ke kantor polisi kan Anda naik mobil itu?"

"Ya, saya mempunyai pickup. begitu pula ribuan orang lainnya di Surabaya." kata laki-laki itu.

"Ayah Anda ada di rumah?" tanya Gozali.

"Tidak. Mengapa Anda mencari ayah saya?"

"Kami ingin menanyakan sesuatu kepadanya." kata Gozali.

"Ia tidak di sini."

"Ke mana?"

"Pergi. Ke luar kota," jawab laki laki itu.

Dari dalam terdengar suara berat seorang laki-laki yang lain,

"Siapa mencari aku, Dan?"

Bersamaan dengan itu keluarlah Pak Burhan, hanya dengan sehelai sarung dan kaus oblong.

"Cepat benar ayah Anda kembali dari luar kota." kata Kosasih sambil melotot kepada Dani Burhan.

"Oh. kami baru akan berangkat besok. Dani mengajak saya ke Lumajang, untuk menengok famili, Ada urusan apa maka Anda mencari saya?" tanya Pak Burhan.

"Ayah saya tidak tahu apa apa!" kata Dani.

"Mengapa Anda harus merepotkannya?"

"Apa yang tidak saya ketahui?" tanya orang tua itu dengan suaranya yang dalam kepada anaknya.

"Kalau tidak tahu, barangkali sekarang sudah waktunya saya diberi tahu." tambahnya.

"Apakah pada tanggal 15 September yang lalu, hari Minggu sore, Anda pernah ke jalan Ngagel Jaya

Tengah dengan pick-up anak Anda?"

"Oh. kiranya hal itu! Perempuan itu akhirnya melaporkan perbuatan saya juga!" Pak Burhan mencibir dengan sinis.

"Coba ceritakan apa yang terjadi." kata Gozali. Hatinya terasa blong. seakan dia sudah berlari jauh dan sekarang baru sampai di garis finis.

"Lho. Bapak kapan pernah ke Jalan Ngagel jaya Tengah? Polisi ini sedang mengusut kematian, Pak! Tidak ada hubungannya dengan Bapak!" kata Dani panik.

"Kasus kematian? Kasus kematian siapa?" tanya Pak Burhan.

"Coba. Anda ceritakan dulu ke mana Anda pergi pada hari Minggu tanggal 15 September yang lalu, sekitar pukul enam petang," kata Gozali.

"Hmph! Saya sudah menduga perempuan itu pasti akan melaporkan saya! Tempo hari waktu Anda datang mencari anak saya, saya malah mengira Anda

mencari saya. Tapi karena kata Dani itu soal dompetnya yang hilang. saya tidak bertanya lagi. Bahkan saya lupa bertanya sama sekali.

"Jadi kejadiannya begini, Hari Minggu sore itu saya pergi ke rumah perempuan yang bernama Ani. jeng Ani ini tadinya berpacaran dengan anak saya. Tiba-tiba diputuskan tanpa sebab. begitulah kata Dani. Saya melihat anak saya ini seperti orang kehilangan semangat-melamun berjam-jam, nafsu makannya hilang. konsentrasinya buyar. ya persis seperti mayat hidup saja. Padahal sekarang dia harus mengerjakan pesanan sebuah hotel besar.

"Dani saya tanyai masalahnya. tapi ia tidak mau mengaku. Katanya ia sendiri tidak tahu mengapa pacarnya tiba-tiba memutuskan hubungan. Lha saya sebagai ayahnya kan tidak bisa membiarkan keadaan ini berlangsung berlarut-larut? Bagaimana saya harus membiarkan anak saya menderita, melihatnya tersiksa batin setiap hari? Jadi saya memutuskan ke rumah perempuan itu saja.

"Saya pernah mengantarkan Dani satu kali ke sana, jadi saya masih ingat alamatnya. Maksud saya ke sana adalah untuk mencari tahu mengapa hubungan yang sudah berjalan satu tahun, yang tadinya saya kira akan berakhir dengan perkawinan. kok tiba-tiba diputuskan begitu saja justru pada saat anak saya mendapatkan peluang untuk memperbaiki usahanya.

"Saya bertemu dengan Jeng Ani--itu merupakan pertama kalinya saya betul-betul berbicara dengannya, sebelumnya kami hanya bertukar sapa saja kalau bertemu. Dani kadang kadang membawanya ke rumah sebentar dan kami pernah bertemu beberapa kali. Eh. ternyata si Ani ini juga tidak mau

menjelaskan apa alasannya. Saya emosi. ditanya baik-baik oleh orang yang lebih tua kok malah dia menjawab agar saya tidak mencampuri urusan anaknya dengan dirinya saja.

"Saya tempeleng dia satu kali. Saya lupa tenaga saya sendiri-mungkin terlalu keras menempelengnya. mungkin karena ia kaget sama sekali tidak menyangka bakal kena tempeleng-dia jatuh. Waktu jatuh mungkin kepalanya membentur sesuatu karena saya mendengar bunyi 'duk'. Dia menggeletak di lantai. Saya tinggal."

"Anda meninggalkannya setelah Anda melihatnya menggeletak di lantai?" tanya Kosasih tidak percaya.

"Saya masih emosi! Siapa tahu ia menggeletak di sana hanya pura pura saja supaya saya tidak menempelengnya lagi! Kalaupun tidak, kalaupun dia betul-betul pingsan, nanti kan bisa bangun sendiri. Ia kan sudah dewasa, bisa merawat dirinya sendiri!" kata Pak Burhan. masih belum hilang emosinya.

"Saya paling benci kepada perempuan yang tidak berterus terang!"

Gozali menghela napas panjang.

"Apakah sekarang perempuan itu mengadukan saya? Ia mau menuntut saya karena telah saya tempeleng?" tanya Pak Burhan.

Dani hanya membenamkan kepalanya dalam kedua belah tangannya dan menangis tanpa suara.

"Perempuan itu tidak bisa mengadukan Anda. Pak Burhan," kata Kosasih datar.

"Perempuan itu sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sudah meninggal."

"Hah? Meninggal? Meninggal bagaimana? Maksud Anda bukan meninggal karena kena tempeleng saya itu, toh!" Pak Burhan panik.

"Dia meninggal karena terjadi pendarahan di dalam kepalanya akibat benturan keras di pelipisnya. Dan benturan itu adalah akibat terjatuh kena tempeleng Anda," kata Kosasih.

"Astaghfirullah! Ya, Tuhan. ya Rabbi! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Aku tidak bermaksud membunuhnya! Aku sama sekali tidak bermaksud membunuhnya!"

"Seandainya pada waktu itu Anda membawanya ke rumah sakit. mungkin jiwanya masih tertolong," kata Kosasih.

**

"KAU sudah sehat?" tanya Gozali kepada Beni yang terbaring dengan beberapa bagian tubuhnya terbalut gips.

"Sakit semua, Pak. tapi untung aku tidak mati!" kata Beni sambil tersenyum.

Ibunya tertawa mesra di sampingnya.

"Kasihan Mbak Ani! Aku masih tidak bisa percaya bahwa ia sudah betul-betul meninggal," komentar Beni.

"Rasanya baru kemarin dia masih makan di rumah kami."

"Umur manusia tidak bisa ditentukan," kata Gozali,

"karena itu kita harus bersyukur untuk setiap detik yang kita nikmati. Betapapun menderitanya. betapapun jeleknya nasib, selama kita masih hidup, masih ada harapan untuk memperbaiki. Satu kali kita mati. semua peluang lenyap. Makanya kita tidak boleh menggerutu kalau menghadapi kesulitan. Bayangkanlah bahwa kita masih lebih beruntung daripada mereka yang sudah tidak bisa berupaya lagi."

"Oom Goz sering-sering kemari, ya? Temani Beni," kata Beni manja.

"Beni senang sekali mendengarkan cerita Oom!"

"Pak Gozali kan punya banyak kerja, Ben. Mana bisa terus-menerus membuang-buang waktu di sini," sela Citra yang entah mengapa pipinya memerah sendiri.

"Tidak disangka ya, Ma. itu Oom Johan ternyata penjahat! lih, waktu ia mendorong aku jatuh, aku masih sempat berpikir, 'Aduh, mati aku sekarang? begitu pikirku. Terus rasanya ada sesuatu yang meledak di kepalaku, dan semuanya gelap."

"Lain kali hati-hati, Ben. Kalau diajak ke tempat tempat yang sepi oleh orang lain, jangan mau!" kata ibunya.

"Setelah aku keluar dari sini. aku akan belajar ilmu bela diri, Ma! Sedikit-banyak bisa melawan kalau diapa-apakan orang."

Gozali tertawa.

"Setelah ini kau harus beristirahat dulu. Tidak boleh baku hantam dengan siapa pun sebelum sambungan tulang tulangmu kuat. Mungkin setelah dua tiga tahun lagi baru kau boleh belajar berantam," kata ibunya.

"Apa yang akan terjadi dengan ayah Dik Dani sekarang?" tanya Citra kepada Gozali.

"Kasusnya masih akan diputuskan pengadilan." kata Gozali.

"Ia akan dihukum mati?" tanya Beni.

"Tentu saja tidak. Ben." kata Gozali.

"Negara kita tidak menghukum mati orang kecuali ia penjahat besar atau pemberontak terhadap negara. Lagi pula tim juri tentunya akan mempertimbangkan latar belakang kejiwaannya, usianya yang sudah tua, sebelumnya tidak pernah berbuat kejahatan, dan kematian kali ini juga akibat suatu kecelakaan saja,

bukan pembunuhan yang direncanakan. Palingpaling dia hanya dihukum kurungan beberapa tahun," kata Gozali.

"Kasihan Dik Dani," kata Citra.

"Ini merupakan pukulan mental yang kedua baginya."

"Dani sebetulnya sudah merasa ketika Johan terus-menerus mempretes bahwa bukan dia yang membunuh Ani. Apalagi setelah mendengar komentar Nyonya Serina yang menanyakan identitas orang yang naik pick-up itu. Dani teringat bahwa Minggu sore itu ayahnya menegurnya dan menanyakan tentang hubungannya dengan Ani. Ayahnya memang mempunyai pengalaman pahit dengan perempuan. Istrinya lari ikut laki-laki lain. Sejak itu ia selalu mempunyai kecurigaan dan dendam bahwa semua perempuan itu tidak bisa dipercaya.

"Ketika ia melihat anaknya bertambah lama bertambah linglung, sakit hatinya yang lama kambuh lagi. Ia teringat pengalamannya sendiri ketika ditinggalkan istrinya. Karena itu ia pergi mencari Ani," cerita Gozali.

"Saya sebetulnya tidak percaya kalau Ani bisa bertengkar dengan orang. Ani perangainya pengalah. penakut. kalau harus ribut ribut dia paling enggan. Bagaimana kali ini bisa bertengkar dengan Pak Burhan?" kata Citra.

"Pak Burhan datangnya juga pada saat yang tidak menguntungkan. Ani baru saja selesai bertengkar dengan Johan yang datang untuk minta uang lagi darinya. Pak Burhan sendiri dalam keadaan emosi dan bicaranya tentunya tidaklah sesopan dan seramah tamu biasa. Maka tidaklah sulit membayangkan bagaimana kedua orang itu bisa bertengkar yang

berakhir dengan satu tempelengan dari tangan Pak Burhan."

"Heran. ya. Oom. itu tetangga kok tidak mengenali mobil Mas Dani? Kan Mas Dani sering menjemput dan mengantar Mbak Ani pulang. Seharusnya mereka langsung tahu itu pick-up-nya Mas Dani," kata Beni.

"Mobil Mas Dani tadinya kan sebuah Fiat kuno. Ia telah menukarnya dengan pick-up itu beberapa hari sebelumnya, dan sejak punya mobil baru itu ia belum pernah datang ke rumah Mbak Ani. Karena itu Nyonya Syahrir tidak mengenali mobil itu," kata Gozali.

"Yang saya sesalkan itu mengapa Ani tidak berterus terang saja kepada saya tentang riwayat masa lampaunya." kata Citra sambil menggeleng gelengkan kepalanya.

"Saya pasti akan mengerti. Lagi pula bukan dia yang telah membawa lari mobil majikannya. Ia cuma kebagian getahnya saja. Saya pasti tidak akan menyalahkannya. Seandainya ia berterus terang kepada Saya. tidak perlu ia memberikan uang itu kepada Dik Johan. Seandainya saya tahu bahwa Johan seorang bajingan, tidak bakal saya mau berteman dengannya. jangankan bisa dirayunya!"

"Manusia kan punya harga diri." kata Gozali.

"Biasanya orang tidak mau mengakui hal-hal yang buruk mengenai dirinya kepada orang lain meskipun kejadiannya sudah lewat bertahun-tahun yang lalu. Itulah sebabnya sering terjadi pemerasan. Apabila semua orang jujur dan terbuka, pemeras tidak punya

penghasilan," senyum Gozali.

"Oom Goz, ceritakan tentang kasus-kasus yang lain." kata Beni.

"Sekarang saya mau permisi dulu. Nanti Pak Kosasih marah-marah kalau saya lama tidak kembali," kata Gozali.

"Kami masih akan bertemu lagi dengan Anda?" tanya Citra lembut.

"Ah. masa Anda mau berteman dengan seorang pencuri dan bekas napi," kata Gozali setengah bergurau dan tersenyum.

"Hus! Ngawur saja omongnya!" kata Citra.

"Nanti dikira orang sungguh-sungguh lho!"

"Memang sungguh-sungguh," kata Gozali.

"Itu pengakuan yang jujur. Ingat. saya tidak mau menjadi mangsa tukang peras." kata Gozali.

Citra terbengong bengong.

"Saya akan menelepon Anda dua tiga hari lagi." senyum Gozali,

"dan kalau pada waktu itu Anda masih mau berteman. saya akan menampakkan diri lagi." Dengan itu Gozali berjalan dengan langkah lebar-lebar keluar dari kamar rumah sakit sambil melambaikan tangannya.

Citra tersenyum dan masih sempat berteriak sebelum Gozali menghilang di tikungan koridor,

"Saya tunggu telepon Anda!"

Tamat


Dewa Arak 46 Pendekar Sadis Si Pembuat Jam Karya Philip Pullman Rajawali Emas 44 Perjalanan Maut

Cari Blog Ini