Ceritasilat Novel Online

Misteri Melody Yang Terinterupsi 1

Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 1



Misteri Melody Yang Terinterupsi

Mara S GD

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 2008

(http://bacaan-indo.blogspot.com)

**

Siang itu udara panas sekali-maklumlah bulan oktober, bulan terpanas untuk kata Surabaya-dan rasa panas ini benar-benar dirasakan Danny Lesmana yang sudah sejak dua puluh menit yang lalu terus-menerus mondar-mandir di areal Kedatangan Bandara Juanda. Seharusnya tadi dia tidak berangkat dulu, pikirnya. Seharusnya tadi dia menunggu setengah jam lagi. Bukankah lebih baik menunggu setengah jam di kantor atau di rumahnya yang disejukkan AC daripada berada di tempat terbuka yang panas seperti ini, di mana debu banyak beterbangan dan tak ada kursi bagi para penjemput yang menunggu.

Danny Lesmana melemparkan pandangannya ke arah istrinya. Tidak seperti dirinya, Julinda berdiri dengan tenang di dekat pintu keluar. Kedua tangannya terlipat di depan dadanya. Wajahnya bersih tak tersaput oleh makeup. Kulitnya yang putih bersih tak memerlukan alas bedak maupun bedak untuk menjadikannya cantik. Dia hanya memakai seulas tipis lipstik berwarna merah muda. Sepasang kacamata hitam bertengger di atas kepalanya, menahan bagian depan rambutnya yang ikal dari jatuh ke keningnya. Julinda tampak cantik dalam setelan blus putih tanpa lengan dan celana panjang putihnya. Satu-satunya aksesori yang menghiasi kostumnya yang serbaputih adalah sebuah ikat pinggang yang berwarna merah jambon, tapi justru detail yang sedikit itu membuat penampilannya menarik dan anggun. Tak selamanya dia berpenampilan seperti ini. Barulah setelah menjadi Nyonya Danny Lesmana, dia berusaha meningkatkan kelasnya dengan belajar berpenampilan lebih anggun. Dua tahun dia merombak dirinya, dari seorang perempuan sederhana yang tidak menarik menjadi Nyonya Danny Lesmana, istri pengusaha sukses yang anggun dan menawan. Perawakannya yang tinggi langsing menjadi modalnya yang utama. Itu dan sebaris giginya yang putih rata. Tentu saja Julinda lesmana tidak mengabaikan peningkatan pengetahuannya. Lahir dari keluarga yang kurang mampu, dia tak mampu menyelesaikan kuliahnya di bidang farmasi. Tapi itu tidak menjadi penghalang baginya untuk mengisi otaknya dengan segala macam ilmu pengetahuan yang digalinya dari buku dan majalah. Maka dalam waktu singkat Julinda Lesmana pun menjadi wanita elite yang tak canggung tampil di muka umum mendampingi suaminya. Bahkan sekarang Danny Lesmana merasa sangat beruntung bisa menyunting perempuan karismatik yang usianya 18 tahun lebih muda dari dirinya

ini. Teman-teman golfnya suka meledeknya, dan selalu menyinggung keberuntungannya punya istri yang masih muda. pintar dan cantik, dibandingkan istriistri teman-temannya yang rata-rata sudah gemuk dan buncit, dan tertinggal zaman.

Yah, dibilang untung ya memang untung, pikir Danny. Tapi usianya sudah cukup tua untuk menyadari tak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa diperoleh tanpa membayar suatu harga. Dan untuk mendapatkan Julinda, Danny sudah membayar harga yang cukup mahal, yaitu merenggangnya hubungannya dengan Melody, anak sulungnya.

Danny Lesmana masih ingat, sebelum Julinda masuk dalam hidupnya, hubungannya dengan Melody sangat dekat. Melody sangat sayang padanya. Tapi itu dulu, dulu saat istrinya Nicole masih hidup. Nicole adalah ibu Melody, pacarnya sejak mereka sama-sama masih di SMA, yang dinikahinya begitu mereka bersama-sama memperoleh gelar sarjana di bidang ekonomi. Dia sudah mulai bekerja setahun sebelum menamatkan studinya. menjalankan sebuah perusahaan minuman jus UHT bersama ayahnya, sehingga dia berani kawin walaupun usianya masih tergolong muda.

Pada tahun 1981, ayahnya meninggal, dan sebagai anak tunggal Danny Lesmana pun mewarisi UD Lesmana yang langsung dikembangkannya dari sebuah perusahaan tanggung yang kurang berarti menjadi Lesmana Corporation, sebuah industri minuman jus yang besar. Dia pun memindahkan lokasi pabriknya "_

dari Jalan Banyu Urip ke daerah perindustrian di Rungkut. Jika di Banyu Urip dulu luas pabriknya hanya sekitar 100 meter persegi, sekarang lebih dari sepuluh kali itu. Jika dulu perusahaannya hanya menyuplai toko-toko di kota Surabaya. sekarang minuman jus LC sudah dikenal di seluruh Jawa. Semua kota besar di pulau Jawa dilayaninya.

Seperti banyak perempuan yang senasib, Nicole tak pernah mendapat kesempatan untuk mempraktekkan ilmu ekonomi yang sudah dipelajarinya gara-gara langsung menikah begitu Studinya tamat. Tapi Nicole tak pernah menyesali mubazirnya pendidikan yang dicapainya dengan susah payah, karena sepuluh bulan setelah pernikahannya, masuklah Melody dalam kehidupan mereka. Dan kehadiran gadis cilik yang lucu ini telah menghapus semua cita-citanya untuk berkarier. Apalagi setelah lahir anak mereka yang kedua, laki-laki, penerus nama keluarga, empat tahun kemudian. Mark Lesmana pun menjadi anak kesayangan orangtuanya, karena bukan saja dia anak laki-laki yang didambadambakan ayahnya kelak sebagai penerusnya, kebetulan dia juga lahir sangat cantik. Matanya bola. bulu matanya lentik, bibirnya merah mungil, dan rambutnya+aduh, rambutnya sejak lahir sudah hitam lebat. Maka Nicole pun memutuskan untuk menjadi ibu full-time dan mengubur semua cita-citanya semasa kuliah dulu untuk memberikan kontribusinya kepada masyarakat sebagai seorang ekonom.

Sekarang, sementara menunggu kedatangan pesawat yang membawa Melody kembali ke Surabaya. Danny

Lesmana teringat lagi akan kehidupannya yang lama, saat dirinya, kedua anaknya, dan Nicole, semuanya hidup dalam keluarga yang berbahagia. Saat sebelum satu kecelakaan yang tragis merenggut nyawa Nicole dari kehidupan yang serbaharmonis itu.

Danny melihat lagi peristiwa yang telah mengubah seluruh hidupnya itu. Hari itu tanggal 3 Maret tahun 1985, hari ulang tahun mertuanya, ibu Nicole. Orangtua Nicole tinggal di Malang, jadi pada hari itu Melody dan Mark diajak ibunya ke Malang untuk merayakan ulang tahun nenek mereka. Danny tidak ikut karena hari itu dia harus menemui seorang tamu dari Jakarta. Andaikan dia tahu akan terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa istrinya. tentunya pagi itu dia tidak akan mengizinkan istri dan anak-anaknya pergi. Tapi tak ada firasat apa pun bahwa hari itu adalah hari terakhir istrinya hidup. Tak ada mimpi. tak ada bisikan, tak ada gejala sama sekali. Dan pagi itu dia melepas kepergian anak-anak dan istrinya dengan hati tanpa beban. Tak pernah tebersit dalam pikirannya bahwa ciumannya pagi itu adalah ciumannya yang terakhir bagi Nicole.

Satu setengah jam kemudian ketika dia menerima telepon yang memberitakan kecelakaan itu, Danny Lesmana masih tidak bisa percaya bahwa kecelakaan itu sungguh sudah terjadi. Bahkan saat dia melihat jasad istrinya yang terbujur di rumah sakit Lawang dengan darah yang mengering di telinga dan hidungnya. dia masih tidak percaya bahwa hal itu benarbenar telah terjadi, bahwa Nicole istrinya sudah tiada

bahwa dia telah kehilangan perempuan yang dicintainya untuk selama-lamanya.

Sopir yang mengemudikan mobil Toyota Crownnya dan kedua anaknya Melody dan Mark lolos dari maut. Mereka bertiga hanya luka-luka ringan, memarmemar, terkena pecahan kaca, dan kaki kiri Mark patah, tapi tak ada yang kritis. Hanya istrinya sendiri yang meninggal. Kepalanya terkena benturan yang keras. Dia sudah meninggal di tempat kejadian, sebelum dibawa ke rumah sakit.

Dalam kesedihannya itu Danny berusaha bersyukur bahwa kedua anaknya lolos dari maut. Hanya ingatan ini yang membuatnya masih kuat bertahan. yang membuatnya masih berusaha mempertahankan kewarasan pikirannya. Andaikan Melody dan Mark tidak selamat, barangkali Danny Lesmana betul-betul bisa kehilangan akal sehatnya. Nicole adalah belahan nyawanya. Dia jatuh hati pada pandangan pertama saat mereka bertemu di SMA sebagai murid kelas satu dan murid kelas tiga dalam acara malam perkenalan. Sejak itu hatinya sudah menjadi milik Nicole. Tak ada gadis lain yang bisa mengalihkan perhatiannya. jadi kematian istrinya merupakan cobaan yang amat sangat berat baginya.

Tapi orang mati tidak bisa hidup lagi, dan hidup ini harus terus berlanjut tanpa kehadiran yang mati lagi. Maka hari-hari berikutnya setelah kepergian istrinya merupakan hari-hari yang sangat gelap baginya. Danny Lesmana menenggelamkan dirinya dalam pekerjaannya, 18 jam sehari, tujuh hari seminggu.

Dia justru enggan pulang ke rumahnya. Setiap hari dia berusaha berada di luar rumah selama mungkin karena pulang ke rumahnya mengingatkannya kepada Nicole istrinya yang sudah tak ada lagi di sana menyambutnya dengan senyum dan tawanya yang mesra. Dan ingatan itu sangat menyakitkan. Semua yang ada di dalam rumahnya mengingatkannya kepada Nicole. Bahkan anaknya Melody pun mengingatkannya kepada Nicole karena pada usianya yang 15 tahun. Melody tumbuh sangat mirip ibunya. Bahkan suaranya pun mirip suara Nicole! Kalau dulu hal itu selalu menjadi kebanggaannya, sejak kematian istrinya hal itu justru merupakan duri dalam daging baginya. Melihat Melody sama seperti melihat hantu istrinya. yang memandangnya dengan mata sedih. tidak mengerti mengapa tiba-tiba ayahnya tak mau dekat lagi dengannya. Danny Lesmana tahu bahwa anak-anaknya sangat membutuhkan kehadirannya. bahwa mereka juga sangat terpukul dengan kematian seorang ibu yang tadinya selalu ada di samping mereka, tapi dia tak berdaya menolong mereka.

Teman-temannya mulai mengkhawatirkan kondisi Danny. Berat badannya terus menyusut. Wajahnya menjadi cekung. Lingkaran hitam di matanya karena kurang tidur menjadi semakin permanen. Danny terkena sakit tukak lambung. Makan segala membuat perutnya kembung. Dia juga mulai menjadi pelupa. Teman-temannya memutuskan bahwa Danny perlu dicarikan istri baru sebelum dirinya mati muda seperti istrinya. Jadi salah seorang temannya pun memperkenalkan Julinda kepadanya, gadis yang dianggapnya selalu melayaninya dengan ramah setiap kali dia membeli obat di tempatnya bekerja.

Julinda saat itu sedang bekerja di sebuah apotek untuk membiayai ibunya yang sudah menjanda. Penampilannya tidak jelek, hanya saja jelas kelihatan bahwa dia tidaklah sekelas Nicole.

Pada awalnya Danny enggan mengikuti kemauan teman-temannya. Dia menganggap hatinya sudah terkubur bersama Nicole. Dia ingin mendedikasikan sisa hidupnya hanya untuk mewariskan perusahaan yang kokoh kepada anak-anaknya. Tapi teman-temannya terus mengoreki kupingnya. Mereka berkata bahwa dia harus mengakhiri kesedihannya dan kembali ke dunia orang hidup. Nicole istrinya sudah meninggal, sudah tak akan kembali lagi kepadanya. Tapi kedua anaknya yang sudah piatu masih membutuhkan seorang ayah. Masa anak remaja 15 tahun dan 11 tahun yang sudah kehilangan ibunya, harus kehilangan ayahnya juga yang tidak pernah ada di rumah selain untuk tidur.Karena teman-temannya tahu Danny merasa sangat tidak nyaman di rumahnya sendiri di antara segala sesuatu yang selalu mengingatkannya kepada Nicole, mereka mendesaknya untuk mengambil istri baru, yang akan memberikan sentuhan baru dan suasana baru di rumahnya.

Berhari-hari Danny memikirkan saran itu. Andaikan rumah yang ditinggalinya itu bukan rumah peninggalan orangtuanya yang sudah almarhum. mungkin lebih mudah baginya untuk pindah saja ke rumah

yang baru bersama kedua anaknya, di mana kenangan istrinya tidak akan menghantuinya. Tapi Danny sudah berjanji kepada kedua orangtuanya bahwa rumah keluarga mereka ini tidak akan dijual atau dibongkar, melainkan akan dipertahankan dan dirawat, dan terus-menerus diwariskan kepada keturunan berikutnya. Rumah itu adalah hak Mark suatu hari.

Maka akhirnya Danny pun menyetujui saran teman-temannya. Dia bersedia menjajaki suatu hubungan dengan Julinda. Awalnya hanya untuk menyenangkan hati temannya ini dan menghentikan omelan-omelannya.

Nicole wanita yang lincah, hangat, ekspresif, di mana pun dia berada dia selalu menjadi pusat perhatian sekelilingnya. Julinda sebaliknya berkepribadian lebih tenang, kalem, tidak menonjol, pasif dan cenderung terlupakan. Dan karena penampilan dan pribadi Julinda sama sekali bertolak belakang dengan istrinya yang sudah mati itu, Danny pun merasa bahwa dia bisa membangun rumah tangga baru bersama perempuan itu, yang sama sekali tidak mengingatkannya pada Nicole.

Tiga bulan setelah Danny memutuskan untuk menikahi Julinda, dia pun berbicara kepada Melody dan Mark tentang rencananya itu. Melody, yang semakin lama menjadi semakin pendiam. hanya menyatakan setuju tanpa berani protes walaupun sebenarnya dia merasa sangat terpukul. Sejak adiknya berusia dua tahun, Melody sudah menyadari Mark adalah anak yang lebih difavoritkan orangtuanya. Karena itu sejak

itu dia sudah menerima dinomorduakan dalam urusan mendapatkan perhatian orangtuanya. Dan sebagai yang nomor dua. dia belajar untuk tidak banyak mengeluh apalagi protes. Dia berharap dengan menjadi anak yang penurut dan baik, orangtuanya masih menyisakan cinta untuknya. Dan sikap itu dibawanya terus dalam pribadinya sampai usia remajanya.

Mark yang saat itu masih belum 13 tahun. menerima pemberitahuan ayahnya tanpa terlalu banyak mempermasalahkannya. Saat itu fokus utamanya dalam hidup adalah musik. Ibunya toh sudah tidak ada. Ayahnya mau kawin dengan siapa pun tak menjadi soal baginya asalkan ibu tirinya tidak mengganggu kesenangannya mendengarkan musik. Hanya itu syaratnya.

Danny yang menganggap bahwa tidak ada pertentangan dari kedua anaknya, dengan mantap meminang Julinda. Dan hanya 22 bulan setelah kematian Nicole. Danny Lesmana pun memboyong Julinda ke rumahnya sebagai istrinya yang sah.

Tapi sejak itu hubungannya dengan Melody bukannya menjadi semakin erat melainkan semakin renggang. Dengan kehadiran seorang perempuan asing di dalam rumah. Melody lebih banyak bersembunyi di dalam kamarnya sendiri atau pergi bersama sahabatnya. Rahayu. Danny menganggap itu wajar-wajar saja. bahwa seorang anak tiri tentulah tidak bisa diharapkan mencintai ibu tirinya sebagaimana dia mencintai ibu kandungnya sendiri. Apalagi saat itu usia Melody berada pada masa di mana seorang remaja sedang

mencari identitasnya sendiri. Asalkan tidak terjadi konflik terbuka atau pertengkaran di dalam rumah tangganya, semua dianggap Danny beres.

Dan bulan-bulan pun berlalu. Setelah Melody lulus SMA. dia pun melanjutkan ke fakultas ekonomi. Danny berusaha menyenangkan hati Melody dengan memperlakukannya sebagai perempuan dewasa. langkah pertama yang dilakukan Danny begitu Melody menjadi mahasiswa adalah membukakan rekening bank atas namanya sendiri. Jadi Melody punya uang sendiri. punya buku cek sendiri, dan punya kartu ATM sendiri. Sejak itu setiap bulan Danny menyetor ke rekening bank Melody sejumlah uang tertentu yang lumayan besar. dan Melody harus mengurus semua pengeluarannya sendiri.

Tapi hal ini ternyata tidak membuat hubungannya dengan Melody menjadi semakin erat. Malah. dengan memiliki dana sendiri, Melody semakin menjauh dari keluarganya. Kalau dulu Julinda masih menemaninya pergi membeli pakaian atau keperluan yang lain, maka sekarang untuk keperluan itu Melody sudah tak pernah mengajak atau minta pendapat ibu tirinya.

Celakanya Julinda tidak sadar bahwa saatnya untuk mengurus keperluan anak tirinya ini sudah berakhir. Setiap kali Melody pulang membawa baju atau sepatu baru atau dengan potongan rambut baru, Julinda selalu memberikan komentar yang tidak mendukung. Konflik-konflik seperti ini membuat suasana dalam rumah menjadi semakin canggung. Melody semakin tak pernah bicara dengan Julinda, bahkan belakangan

dia sudah sering membuang muka kalau kebetulan berada dalam ruangan yang sama dengan ibu tirinya.

Melihat gelagat yang mengkhawatirkan ini, Danny memutuskan untuk memisahkan anak gadisnya ini dari istrinya saja. sebelum benar-benar pecah konflik yang tak bisa diselesaikan antara keduanya. Tentu saja Melody tak ingin pergi. tapi Danny tetap mengurus semuanya supaya Melody bisa pindah sekolah di London. Tak apa dia sudah kehilangan satu setengah tahun di fakultas ekonomi. Selain itu bisa memperluas wawasan Melody. juga memberinya waktu untuk melanjutkan pertumbuhannya di sana dan kelak kembali sebagai wanita dewasa. Danny selalu menganggap Melody kurang mandiri, kurang PD. kurang mantap. Dia ternyata tidak mewarisi sikap ceria dan positif ibunya. Dia lebih mirip seekor tikus. yang cuma bersembunyi di kolong begitu ada banyak orang. Walaupun Danny tidak membayangkan suatu saat Melody akan menjadi entrepreneur, apa salahnya anak itu belajar menjadi orang yang lebih punya gereget. jadi setelah berkali-kali dibujuk. akhirnya Danny berhasil memberangkatkan Melody ke London.

Nah. tanpa terasa lima tahun pun berlalu. Hari ini Melody akan pulang setelah lima tahun menuntut ilmu di inggris.

Lima tahun yang terakhir ini telah membawa banyak perubahan dalam rumah tangga Danny Lesmana. Mark sekarang sedang mengikuti sekolah musik di Amerika. Julinda-yang ternyata sampai sekarang tidak memberinya anak lagi-membawa seorang kemenakannya, Lisa Harun. tinggal bersama mereka karena dia merasa kesepian seorang diri di rumah yang besar sejak kepergian Mark. Melody hanya satu kali bertemu dengan Lisa Harun. yaitu saat pernikahan ayahnya dengan Julinda sebelum dia pergi ke London. Selama lima tahun menuntut ilmu di Inggris. Melody tak pernah pulang. Danny-lah yang tiga kali ke sana menengoknya, dan setiap kali selalu seorang diri tanpa membawa serta Julinda. Danny tahu Melody tidak terlalu suka pada Julinda. jadi karena setiap kali kunjungannya tidak pernah lama, Danny tak ingin waktu yang sedikit bersama putrinya itu terpolusi oleh rasa tidak suka Melody terhadap Julinda.

Danny berharap semuanya akan berjalan lancar. Melody sekarang merupakan satu-satunya harapan Danny untuk melanjutkan usahanya nanti. Sebenarnya tadinya Danny tidak meletakkan harapannya pada Melody, dia toh anak perempuan. nanti juga menikah, berumah tangga, dan akan mengalihkan perhatiannya kepada suami dan anak-anaknya. Danny justru meletakkan semua harapannya pada Mark. Tapi apa mau dikata, Mark ternyata sama sekali tidak tertarik pada bisnis. Sesungguhnya Mark tidak tertarik pada apa pun selain musik. Hal ini sebenarnya merupakan tamparan pedas bagi Danny. Masa anak lakilaki tunggalnya gila musik? Dalam kamus Danny, laki-laki yang tulen tidak berurusan dengan musik. Musik itu apa! Itu hanya permainan anak-anak muda.

bukan pekerjaan orang dewasa. Bahwa ada banyak musikus yang berhasil sukses, terkenal dan kaya raya, tidak masuk dalam hitungan Danny Lesmana. Dia tak pernah membayangkan justru anak laki-lakinya sendiri tergila-gila pada musik. Apakah itu karena Nicole suka main piano? Andaikan tahu anaknya bakal jadi begini. pasti dia tidak akan mengijinkan Nicole main piano pas waktu hamil!

Yah. Danny tahu Nicole memang suka musik, karena itu anak pertama mereka yang lahir putri diberi nama Melody. Nicole membayangkan anaknya ini kelak kalau dewasa bisa menjadi musikus terkenal, seorang pianis atau pemain biola. atau pemain alat musik apa saja, atau bahkan penyanyi. Danny menyetujui ini karena Melody toh hanya seorang putri. Tapi rupanya Melody tidak mewarisi hobi ibunya yang celakanya jusru menurun ke adiknya. Mark.

Pertentangan antara Danny Lesmana dan anaknya Mark ini berjalan cukup lama dan tegang. terutama setelah keberangkatan Melody ke London. Sampai Mark pernah angkat kaki dari rumah. menginap di rumah temannya dan beberapa hari tidak pulang. Akhirnya Danny pun mengalah. Apalagi Julinda tampaknya justru mendukung cita-cita Mark untuk belajar musik di Amerika setamat SMA-nya. Julinda membujuk Danny. lebih baik mengizinkan Mark bergelut dengan musiknya daripada kehilangan anaknya sama sekali. lagi pula, kalau dibiarkan. mungkin saja suatu saat Mark bosan sendiri dengan musiknya dan mau menjadi pengusaha. Anak itu kalau dibiarkan.

tidak akan ngotot mempertahankan kemauannya. Justru kalau terus dilarang, dia akan menempatkan dirinya sebagai oposisi yang menentang semua keinginan bapaknya. Maka akhirnya Danny pun pasrah.

Jadi selama Mark masih berkutet dengan musiknya, hanya tersisa Melody. Mau tak mau Danny harus mempersiapkan Melody menjadi penggantinya. Hal ini sangat tidak menggembirakan hatinya. Danny tahu bagaimana sifat anak perempuannya. Pendiam. Introvert. Apatis. Melody bukanlah bintang yang bersinar. Baik dalam pergaulan maupun dalam studinya. Dia cenderung membaur dengan sekelilingnya. tak pernah menonjol, tak pernah gemilang. Sanggupkah Melody memimpin sebuah perusahaan? Perusahaannya? Perusahaannya ini harus tetap berjaya karena janganjangan kelak perusahaan itu juga harus memberi nafkah pada Mark walaupun dia tidak ikut mengelolanya. Tak ada jaminan bahwa Mark kelak bisa hidup murni dari musiknya. bukan?

Pada saat-saat seperti ini Danny lesmana menyesali mengapa dulu tidak punya empat atau lima anak sehingga dia punya pilihan yang lebih banyak.

Danny melihat orang-orang yang datang menjemput mulai bergegas mendekati pintu keluar penumpang pesawat. Danny pun menghampiri Julinda.

"Mudah-mudahan nggak lama lagi," kata Danny kepada istrinya.

Julinda hanya mengangguk. Dia tampak agak nervus sekarang. Selama lima tahun yang terakhir dia merasa bebas karena Melody tak lagi ada di rumah.

Bagaimanapun menjadi istri kedua dan ibu tiri bukanlah posisi yang nyaman. Apalagi dia harus tinggal di rumah pendahulunya, di antara barang-barang dan kenangan Nicole. Selama lima tahun yang terakhir ini sedikit demi sedikit Julinda sudah mengganti perabotan di dalam rumah untuk melepaskan dirinya dari bayangan pendahulunya. Foto-foto Nicole pun diturunkan dari dinding dan disimpan di gudang. Hanya ada satu foto ukuran IOR yang mengabadikan Nicole dan kedua anaknya yang masih dibiarkannya bertengger di atas piano. Tapi sekarang Melody pulang. Bagaimanakah sikapnya melihat perubahan di rumah nanti? Apakah Melody akan marah barang-barang ibunya disingkirkan?

Julinda khawatir Melody tak pernah menerimanya secara bulat. Dia tak pernah bisa menebak apa yang ada di benak gadis yang pendiam itu. Berbeda dengan Mark yang lebih terbuka. Karena itulah dia membela Mark di hadapan bapaknya. Julinda tahu, suatu saat jika Danny Lesmana sudah tidak ada, dia akan membutuhkan dukungan Mark untuk menghadapi Melody. Ya, walaupun Melody pendiam, Julinda justru menganggap musuh yang laten. Karena itu dia terus membaiki Mark.

Penumpang yang pertama mulai muncul, keluar dari pintu Kedatangan, seorang laki-laki bule yang mengenakan jas dan membawa sebuah tas kecil. Di antara para penjemput tampak seorang laki-laki gemuk pendek yang langsung melompat menghampiri Dria bule itu dan menyambar tasnya. Danny Lesmana

mendengar laki-laki gemuk pendek itu memanggil si bule "mister". Pasti itu sopirnya karena mereka berdua lalu bergegas menuruni anak tangga menuju ke tempat parkir.

Berikutnya keluar dua orang wanita muda dengan dandanan menor. Masing-masing menggeret sebuah koper dan menyandang tas. Mereka pun disambut oleh orang orang yang menjemputnya. Adegan yang cukup ramai karena sepertinya semua orang di grup ini berbicara pada waktu yang bersamaan.

Danny dan Julinda menunggu dengan tak sabar. Sekarang sudah banyak penumpang yang keluar, tapi Melody masih belum tampak.

"Kira-kira dia bakal muncul terakhir," kata Danny. Begitulah sifat Melody. Tak mau berebut dengan orang lain, mending dia saja yang mengalah daripada dia harus berdesak-desakan.

Ramalan Danny ternyata tak jauh melesetnya. Melody memang muncul bersama tiga orang yang terakhir. Dia berjalan dengan santai sementara di belakangnya seorang porter membawakan dua kopernya. besar dan kecil.

Danny merentangkan kedua tangannya menyambut anaknya. Melody pun masuk dalam pelukan ayahnya seperti seorang anak yang penurut. Tak ada luapan emosi gembira akhirnya pulang ke tanah air. Setelah mendaratkan beberapa ciuman pada pipi dan kening anaknya, Danny mengarahkan Melody ke Julinda, yang juga mencium kedua pipinya.

"Capek?" tanya Danny.

"Enggak amat," kata Melody sambil tersenyum.

Danny melambaikan tangannya dan sopirnya yang menunggu tak jauh dari sana pun segera bergegas pergi mengambil mobil.

Begitu mobilnya tiba, si portir pun memasukkan koper-koper Melody ke bagasi lalu menengadahkan tangannya minta bayaran.

"Gimana rasanya kembali ke iklim yang panas seperti ini?" tanya Julinda berbasa-basi begitu mereka duduk di dalam mobil.

"Nggak apa-apa, sebentar kan sudah terbiasa lagi," kata Melody.

"Lisa tadi mau ikut menjemput, tapi Tante bilang tidak usah, supaya mobilnya nggak sesak," kata Julinda.

"Kamu kan pasti sudah capek duduk berdesakan di dalam pesawat, jadi kalau di mobil harus berdesakan lagi, kan nggak nyaman."

Melody hanya tersenyum.

Walaupun Melody sudah tahu Lisa Harun sekarang tinggal di rumahnya, tak urung Melody merasa kali ini dia pulang ke rumah yang akan terasa asing baginya.

"Mungkin kamu udah lupa sama Lisa, ya?" lanjut Julinda.

"Enggak. Kan udah pernah ketemu dulu."

"Ya itu sudah delapan tahun yang lalu." kata Julinda.

"Kalian masih remaja waktu itu. Dia sekarang juga sudah dewasa, seperti kamu."

"Iya, Papa kan pernah menunjukkan fotonya padaku waktu ke London tahun lalu." kata Melody.

"Lisa orangnya baik kok. Mel. Dia dua tahun lebih muda dari kamu. Mudahan-mudahan kalian cocok dan bisa menjadi sahabat," kata Danny Lesmana.

"Of course, why not?" kata Melody sekadar menjawab. Tak terdengar nada antusias dalam kata-katanya. Sesungguhnya dia tidak terlalu ingin bersahabat dengan Lisa. Bagaimanapun juga Lisa itu kubu ibu tirinya, kubu lawan begitulah. Daripada bersahabat dengan Lisa mending mencari tahu tentang kabar Rahayu, di mana dia sekarang, apa yang dikerjakannya, dan lain-lain. Rahayu dulu sahabatnya.

Karena sifatnya yang pendiam. Melody tak begitu banyak punya teman. Bahkan boleh dikata tadinya dia hanya punya satu orang teman. ya Rahayu itu, yang sekarang sudah putus hubungan dengannya gara-gara ayahnya. Jadi sekarang setelah dia kembali ke Surabaya, dia ingin mencari Rahayu dan menyambung persahabatan mereka yang terputus. Tapi tidak hari ini. Nantilah kalau dia sudah ada waktu.

"Mel, kamu tahu, si Rahadian sekarang bekerja untuk Papa," kata Danny Lesmana seakan-akan membaca pikiran anaknya.

"O, ya?" Melody tampak terkejut. Ayahnya tak pernah menyinggung hal ini sebelumnya.

"Sejak kapan?"

"O, sekitar dua tahun yang lalu," kata Danny Lesmana,

"setelah dia menamatkan kuliahnya."

"Dia kuliah di fakultas apa, Pap?" tanya Melody.

"Bukan fakultas. Dia hanya masuk akademi teknik," kata Danny Lesmana.

"Dia dulu kan ingin ke London juga," kata Melody.

"Dia nggak mampu. Angka-angka raportnya nggak bagus, lulusnya juga pas-pasan. Bahasa inggrisnya jelek, mana bisa sekolah di London? Papa suruh dia masuk akademi teknik aja daripada nanti mengecewakan lagi."

"Dan Rahayu, apa sekarang alamatnya sudah diketahui? Sampai sekarang semua suratku padanya nggak pernah dibalas," kata Melody.

"Terakhir katanya Rahayu bekerja di perusahaan asuransi di Jakarta, tapi alamatnya juga nggak ada yang tahu," kata Danny.

"Dia nggak pernah pulang?"

"Kayaknya Papa dengar waktu Lebaran dia pernah pulang, tapi cuma sebentar."

"Kalau begitu sutat-suratku padanya pasti sudah disampaikan," kata Melody.

"Wah, itu Papa nggak tahu. Tanya aja sendiri sama Rahadian."

"Rahadian masih tinggal bersama orangtuanya?" tanya Melody.

"Ya. Bu Fat setahun ini sakit-sakitan terus. Keluarmasuk rumah sakit sudah tiga kali."

"Kenapa?"

"Komplikasi macam-macam, ya punya sakit maag, sakit lever, sakit ginjal, gulanya juga tinggi."

"Apa mereka masih berjualan gado-gado di seberang rumah kita?"

"0, sudah satu tahunan ini mereka pindah.

Rahadian sekarang kan mampu mencicil rumah di daerah Bulak. Sejak Bu Fat sakit, ya mereka nggak bisa berjualan gado-gado lagi sebab Pak Ali kan harus merawat istrinya." kata Danny Lesmana.

"Apa kehidupan mereka cukup? Kalau Bu Fat sakit macam-macam. kan biaya pengobatannya tinggi, Pap?" tanya Melody. Pak Ali Ibrahim dan Bu Fatimah sudah merupakan orangtua kedua baginya.

"Pengobatan Bu Fat Papa yang nanggung." kata Danny.

"Mereka kan sudah teman lama. dan waktu Mama meninggal kan Bu Fat yang selalu mendampingi kamu dan Mark. Papa nggak akan melupakan hal itu."

"Kalau begitu besok aku mau nengok mereka." kata Melody.

"Oke. Biar diantarkan Pak Bob. Kamu kan belum tahu rumah mereka," kata Danny Lesmana.

Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam hati Melody. Perasaan berdosa karena dia jarang menulis surat kepada Pak Ali dan Bu Fat. Selama lima tahun barangkali hanya 15 kali dia menyurati mereka, pada saat lebaran dan ulang tahun mereka saja. Dan karena mereka tak pernah membalas surat-suratnya-maklum orang-orang tua yang pendidikannya sangat minim-maka dia pun tak mendapatkan berita tentang keadaan mereka.

Sejenak terbayang kembali masa-masa remajanya ketika dia dan Rahayu bersahabat kental. Pak Ali dan Bu Fat berjualan gadoogado di warung kecil mereka di seberang rumah Danny Lesmana. Karena setiap

hari bertemu akhirnya mereka pun jadi saling kenal. Pak Ali dan Bu Fat memiliki dua orang anak, yang tua, Rahayu, sebaya Melody, sedangkan adiknya Rahadian setahun lebih muda. Karena Melody kemudian berteman dengan Rahayu, maka Nicole pun mengusulkan kepada suaminya agar biaya pendidikan kedua anak keluarga penjual gado-gado itu dibantu mereka. Jadi semenjak kelas lima SD, Rahayu dan Rahadian pun dipindahkan ke sekolah yang sama dengan sekolah Melody dan Mark. Semuanya berjalan lancar. Rahayu ternyata berotak encer, sehingga dia sama sekali tidak tertinggal prestasi teman-teman sekelas yang berasal dari keluarga lebih mampu. Bahkan setamat SMA, dia pun dibiayai masuk Fakultas ekonomi bersama-sama Melody. Dan saat Danny memutuskan untuk mengirim Melody ke London, dia pun tidak keberatan memberikan kesempatan yang sama kepada Rahayu. Dia cukup mampu untuk itu, apalagi dengan mengirim Rahayu bersama Melody, berarti Melody akan merasa lebih betah di sana karena ada temannya.

Tahun pertama di London semuanya pun berjalan lancar. Rahayu dan Melody masuk ke sekolah yang sama dan tinggal di apartemen yang sama. Rahayu yang sejak semula adalah gadis yang lebih cantik di antara mereka berdua, dan lebih lincah, segera punya banyak teman. Sementara Melody yang pendiam, semakin memudar.

Dari sekian banyak teman-teman Rahayu, ada seorang pemuda bernama Brian Sudarman yang kemudian menjadi pacarnya. Dari Brian inilah Rahayu pertama mengenal obat-obat terlarang. Brian yang adalah anak bankir sukses Hendra Sudarman, punya cukup banyak uang untuk membiayai gaya hidupnya yang kurang sehat itu. Studi Rahayu mulai berantakan. Dia lebih sering bersama-sama Brian dan temantemannya ketimbang masuk kuliah. Melody yang selalu berada di bawah bayang-bayangnya, tak berdaya mengingatkannya.

Ketika Danny Lesmana muncul pada kunjungannya yang kedua, dia heran melihat perubahan pada penampilan Rahayu. Gadis itu tampak liar. Mengecek lebih dalam, dia mendapati Rahayu ternyata sudah sangat tertinggal dalam kuliahnya, bahkan boleh dibilang sudah lebih dari sembilan bulan yang terakhir dia tak pernah duduk lagi di kursi kuliahnya.

Danny marah besar. Bukan saja Rahayu telah menghambur-hamburkan uangnya tanpa hasil apa pun, dia juga telah meninggalkan Melody dengan pindah ke apartemen Brian. Danny sama sekali tidak bisa menerima ini. Jika Rahayu tidak mau sekolah, lebih baik dia dipulangkan saja. Danny Lesmana takut nanti anaknya sendiri ikut terpengaruh pergaulan buruk Rahayu dan dia juga tak bermaksud terus membiayai Rahayu berfoya-foya.

Maka, Rahayu pun dicabutnya dan dipulangkannya ke Surabaya.

Sejak itulah Melody kehilangan jejak sahabatnya. Dia bisa mengerti Rahayu pasti merasa sangat jengkel dipulangkan begitu saja. Tapi Melody juga tak bisa

menyalahkan ayahnya. Mestinya Rahayu mensyukuri nasib baiknya ada orang lain yang mau membiayai sekolahnya sampai ke luar negeri. Mestinya Rahayu justru sekolah lebih giat dan bukannya menghabiskan waktunya bersama Brian dan teman-teman jetsetnya.

Tapi semua itu sekarang sudah berlalu. Besok dia akan menemui Rahadian dan menanyakan kabar tentang kakaknya.

"Mbak Melody!" kata Lisa Harun segera mendekat dan menyambut Melody begitu pintu terbuka. Seingatnya sikap Lisa Harun kepadanya saat pertemuan mereka yang pertama dulu, selalu ramah dan hangat. Begitu juga penyambutannya sekarang. gadis itu sama sekali tidak canggung, seolah-olah mereka sudah berteman lama. Tapi karena Lisa Harun kemenakan Julinda, Melody mau menjaga jaraknya.

"Mau aku bantu membongkar koper?" tanya Lisa. Dia tahu ini bukan rumahnya, jadi dia harus bersikap merendah terhadap anak si empunya rumah.

"Nggak usah," kata Melody.

"Biar aja. Besok aja aku bongkar sendiri. Aku masih punya bajubaju lama di lemari yang bisa aku pakai."

"Oke."

"Non!" Dari dalam bergegas seorang perempuan separo baya yang bertubuh tambun.

"Aduh, Bik ijah!" kata Melody memeluk perempuan itu. Bik Ijah adalah pembantu ibunya dulu, yang merawatnya dengan kasih sayang seperti anaknya sendiri.

"Non, aduh sekarang lain ya! Pangling! Wah, sekarang Non cantik sekali!" kata Bik Ijah mengusap-usap bahu Melody.

"Aduh, aku kangeeeenn sekali."

Mata Melody pun basah. Bertemu ayahnya tadi dia sama sekali tidak emosional. tapi bertemu pembantu tuanya dia menangis. Dipeluknya lagi Bik Ijah eraterat sementara Julinda dan Lisa mengawasi.

"Sekarang aku mau mandi dulu," kata Melody sambil mengusap matanya.

"Semuanya sudah disiapkan," kata Bik Ijah.

"Kamar Non sejak kemarin Bibik bersihkan sendiri."

"Makasih lho, Bik!" kata Melody mengecup pipi Bik Ijah. Perempuan ini adalah jembatannya kepada kenangan masa kecilnya dulu.

"Mandilah. Makan malam kira-kira satu jam lagi." kata Julinda. Lalu dia berpaling ke Bik Ijah,

"Bik, sudah siap semuanya?"

"Sudah, Bu," kata Bik Ijah yang langsung mengerti bahwa dia disuruh kembali ke dapur. Bik Ijah sebetulnya memang kurang menyukai nyonya barunya ini, tapi karena dia sudah lama bekerja di keluarga ini, tak terpikirkan olehnya untuk pindah. Apalagi dia masih ingin melihat Non-nya lagi.

"Oh, aku nggak makan. Tante. Abis mandi aku mau tidur aja. Sudah kenyang makan di pesawat," kata Melody.

"Lho, Tante sudah menyiapkan nasi kuning kesukaanmu." kata Julinda dengan nada kecewa.

"Makanlah dikit-dikit. Ini kan mensyukuri kepulanganmu."

"Sungguh aku sudah kenyang, Tante." kata Melody.

"Besok siang aja aku makan nasi kuningnya."

"Wah. kalau sudah menginap. sudah nggak enak lagi, Mel," kata Julinda.

"Ayam gorengnya sudah keras. sambal gorengnya lembek...."

"Enggak apa-apa, Tante. Sisakan satu porsi aja buat aku. Besok aku panasi dengan mitra. Sudah lama aku nggak makan nasi kuning, bagaimanapun bentuknya pasti enak di mulutku. Sekarang aku ngantuk. ingin tidur aja," kata Melody.

julinda mengembuskan napas panjang. Sialan, ternyata Melody tidak menghargai kerja kerasnya menyiapkan nasi kuning untuknya. Tadinya dia sudah tidak mau repot-repot, tapi Mas Danny minta dia menyiapkan nasi kuning karena Melody suka makan nasi kuning. Apa jadinya sekarang? Enggak termakan, kan? Tahu begini seharian pagi tadi dia nggak perlu sibuk di dapur. Ya memang betul ada Bik Ijah yang mengerjakan semuanya, tapi kan dia yang harus memberi pengarahan.

"Kalau kamu memang capek ya sudah pergilah tidur," kata Danny. Lalu kepada _Julinda dia berkata,

"Kita simpan aja nasi kuningnya semua. Besok baru kita makan bersama."

"Lho. hari ini aku nggak menyediakan makanan lain kecuali nasi kuning," kata Julinda.

"Kalian makan saja nasi kuningnya," kata Melody mulai hilang kesabarannya . Soal makan saja kok repot

banget! "Kalau ada sisanya ya aku makan besok. Kalau nggak ada, juga nggak apa-apa. Kan kapan-kapan Bik Ijah bisa membuatkan nasi kuning lagi." Sengaja dia menyebutkan bahwa yang membuat nasi kuning itu Bik Ijah. dan bukan ibu tirinya! Julinda mana tahu masak? Sejak dia masuk ke rumah ini, yang memasak adalah Bik Ijah! Begitu saja kok ribut soal nasi kuning yang dia nggak ikut membuat!

Lalu dia berpaling kepada si sopir yang membawakan koper-kopernya ke dalam kamar.

"Terima kasih, Pak Bob."

Melody cepat-cepat menutup pintu kamarnya. Lima tahun! Lima tahun sudah dia tidak melihat kamar tidurnya ini. Dia melarikan matanya ke seluruh ruangan. Semua masih seperti dulu. tak ada yang berubah. Tempat tidur yang sama. perabotan yang sama-mungkin satu-satunya ruang yang perabotannya masih sama di rumah ini. karena semua perabotan di ruang tamu dan ruang makan yang dilihatnya tadi sudah ganti baru.

Melody membuka lemarinya dan mendapati isinya juga masih seperti saat ditinggalkannya lima tahun yang lalu. Dia mengambil sebuah daster yang sering dikenakannya dulu dan meletakkannya di atas tempat tidurnya. Lalu dia mulai melepas pakaiannya dan bersiap-siap untuk mandi. Dia punya kamar mandi pribadi di dalam kamarnya ini.

Melody mandi perlahan-lahan. Itu salah satu kebiasaan yang dipelajarinya di London. Mandi berendam, menikmati kehangatan air yang menyelimutinya dan

kelembutan busa sabun yang menempel di tubuhnya. Mencium bau wangi sabun dan pewangi yang dituangkan ke dalam airnya. Lalu dengan menyandarkan kepalanya di bibir bath upnya, dan dengan matanya terpejam, dia pun membiarkan kesadarannya melavang entah ke mana. Sungguh nikmat cara mandi ini. Tidak seperti kebiasaannya dulu. mandi cepat-cepat hanya dengan shower. bahkan terkadang sambil mandi itu pikirannya entah ada di mana sehingga dia sering kali tidak menyadari bahwa dia sedang mandi. Tapi sekarang lain. Sekarang mandi merupakan saat yang sangat istimewa baginya. Terkadang bisa berlangsung sampai satu jam lamanya.

Ketika Melody keluar dari kamar mandinya. dia merasa benar-benar "sembuh". Sembuh dari kepenatannya, sembuh dari stresnya, sembuh dari kecemasannya, sembuh! Dia merasa utuh kembali. Dia mematikan lampu, naik ke atas tempat tidurnya. memakan enaknya seprai baru di bawah tubuhnya. lalu dia pun memejamkan matanya.

Tapi walaupun mengantuk, Melody tidak bisa Iangsaung tertidur. Mungkin karena adanya perbedaan waktu antara Eropa dan Indonesia, sehingga badannya masih bingung. Melody menunggu datangnya tidur dengan tenang. Dia tidur telentang. kedua lengannya terjulur lepas di samping tubuhnya. kedua kakinya lurus terbuka selebar bahunya. Menunggu.

Is it great .to be home, pikir Melody. Saat berangkat ke London dulu dia tidak yakin dia akan bertahan dan menyelesaikan studinya. London terasa begitu

jauh dari rumah dan dari semua yang dikenalnya. Tapi lima tahun ternyata dilewatinya dengan baik. Dan sekarang dia sudah pulang. Aman, berada di rumahnya sendiri. Suatu perasaan hangar menjalari tubuhnya. Baru sekarang ini dia benar-benar menyadari bahwa dia sungguh-sungguh sudah pulang. Really home. Really home. Dan dengan pikiran ini, perlahanlahan Melody pun terlelap.

**

Matahari sudah tinggi ketika Melody membuka matanya. Melody sendiri terkejut melihat jam dinding di hadapan tempat tidurnya sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Untuk beberapa saat lamanya dia masih tetap berada di tempat tidurnya, tidak bergerak. Dia berusaha mendengarkan, tapi selain dengung lembut AC,-nya, tak ada suara lain, di dalam rumah sepi.

Perlahan-lahan Melody merentangkan kedua tangannya, dan meregang. Wah. enaknya. Karena itu dia tahu mengapa kucing selalu meregang saat bangun dari tidurnya. Ternyata hewan sering kali lebih pintar daripada manusia.

Melody mengenakan sandalnya, dan membuka pintu kamarnya. Pintu kamarnya membuka ke ruang keluarga, yang saat itu sepi. Ayahnya pasti sudah berangkat kerja. Julinda entah di mana. Bagus! Dia tak ingin orang pertama yang dijumpainya pada pagi pertamanya di rumah itu ibu tirinya.' Kalau tak ada

orang di rumah, itu lebih bagus. Seluruh rumah menjadi milikku, pikir Melody.

Melody yang masih mengenakan dasternya, pergi duduk di sofa berwarna hijau lumut di ruang keluarganya. Sofa baru, pikirnya sambil mengusap-usap permukaannya. Hijau lumut! Hmph! Warna apa ini! Begitu gelap. Mungkin Julinda memilih warna ini supaya lebih tahan kotor. Dasar tak punya selera! Melody teringat sofanya yang lama, yang berwarna krem muda. Sofa itu lebih empuk, lebih enak, dan lebih bagus bentuknya dibandingkan yang ini, pikirnya.

Melody melemparkan kepalanya ke belakang dan memejamkan matanya. So, this is home, pikirnya. Home meet home. Betulkah? Yang jelas saat ini dia tidak merasa at home. Tempat ini terasa asing baginya! Dengan hati yang berat Melody mengakui bahwa dia sekarang tidak punya home. Ini bukan home-nya. Ini sekarang adalah home Julinda. Julinda dan ayahnya. Tapi bukan home dia. Dia hanya tamu di sini.

"Lho, Mbak Melody. sudah bangun?"

Melody berpaling dan mendapati Lisa Harun baru memasuki ruang keluarga ini dari belakang.

"Oh, aku sangka nggak ada orang di rumah," katanya.

"Tante dan Oom memang nggak ada. Aku yang menemani Mbak di sini. Mau sarapan? Atau sekalian makan siang? Nih, sudah pukul setengah dua belas," kata Lisa sambil tertawa.

"Aku belum mandi," kata Melody.

"Nggak apa-apa. aku nggak bakal menciummu." gelak Lisa. Tawanya begitu polos dan lepas.

Melody memandang gadis itu dengan teliti. Apa yang kira-kira ada dalam pikirannya? Apakah sesungguhnya dia menganggap aku bukan temannya sebagaimana aku juga menganggap dia bukan temanku? Apakah dia bersikap baik kepadaku sekarang hanya karena aku anak Papa dan dia merasa perlu baik-baik padaku karena berutang budi pada Papa yang telah membantu biaya sekolahnya sejak tantenya menikah dengan Papa?

"Kalau kamu punya acara. nggak usah nungguin aku lho." kata Melody.

"Hari ini aku nggak ada acara. Memang khusus mau menemani Mbak," kata Lisa dengan senyum lebar.

"Kita makan sekarang?"

"Oke." kata Melody.

"Udah nggak usah sarapan ya? Untuk makan siang tadi Bik ljah sudah masak soto ayam." kata Lisa.

"Oke," angguk Melody. Dia bukan orang yang rewel tentang makanan. Selama bisa dimakan. dia pasti makan. Apalagi dia sudah kenal masakan Bik Ijah. pasti enak. Dia juga tidak menanyakan nasi kuning yang jadi isu kemarin.

Lisa Harun pun menghilang lagi ke belakang. Pasti menyuruh Bik Ijah menyediakan makan siang.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka makan bersama. dua orang gadis sebaya. yang satu mengenakan kaus ketat dan jins tiga perempat. yang satunya hanya mengenakan daster.

"Enak sorenya?" tanya Lisa mencoba memulai suatu percakapan.

"Enak. Tinggal makan, semuanya enak," kata Melody.

"Iya, bener," gelak Lisa lagi.

Dia mudah sekali tertawa. Gadis yang periang, pikir Melody. Mungkin gadis ini benar-benar ingin berteman. Tampaknya si Lisa ini orang yang cepat akrab dengan orang lain, sangat berbeda dengan dirinya yang selalu punya reserve.

"Jadi, abis makan, mau bikin apa?" tanya Lisa.

"Bongkar koper dulu. Ada beberapa oleh-oleh di dalamnya," kata Melody.

"Bagus! Aku dapat bagian?" tanya Lisa. Lagi-lagi dia tertawa. Begitu terbuka, tanpa pura-pura.

"Ya," angguk Melody.

"Aku bawakan dua CD."

"Hah? Celana dalam?" tanya Lisa dengan mata lebar.

"Na! Compact disc! Lagu-lagu dari pentas Phantom of the Opera dan Cats punya Andrew Lloyd Weber. Kamu pernah dengar? Di London sangat populer. Soalnya aku nggak tahu kamu suka apa." kata Melody.

"0, CD lagu! Ya, aku pernah baca. Pasti bagus. Makasih," kata Lisa.

"Setelah itu aku mau mengunjungi Pak Ali dan Bu Fat. Cuma aku nggak tahu alamat mereka sekarang, kata Papa mereka sudah pindah," kata Melody.

"Tadi Oom Danny sudah pesan. kalau Mbak mau pergi, aku disuruh menelepon, ntar Pak Bob dan mobilnya dikirim kemari."

"Oke, kalau begitu enaknya menelepon sekarang

dan minta mobil dikirim pukul..." Melody menengadah dan memandang jam besar yang tergantung di dinding,

" tiga siang?"

Mereka baru saja selesai makan.

"Oke!" kata Lisa segera pergi ke pesawat telepon dan mengangkat tangkai pesawatnya. Melody memerhatikan bahwa tanpa melihat catatan, dia sudah langsung tahu nomor telepon kantor Danny Lesmana. Berarti gadis itu sudah sering menelepon ke sana.

Lisa Harun bicara dengan nada riang yang sama kepada Danny Lesmana, dan menyampaikan pesan Melody. Sepertinya dia sudah punya hubungan yang sangat akrab dengan ayahnya, pikir Melody dengan sedikit perasaan cemburu di hatinya.

"Aku sekarang mau membongkar koper," kata Melody langsung membuka pintu kamar tidurnya dan menghilang ke dalam. Dia tidak ingin Lisa mengikutinya, jadi ditutupnya pintu kamarnya.

"Mau aku bantu, Mbak?" tanya Lisa dari balik pintu.

"Enggak usah!" jawab Melody dari dalam. Dia nggak ingin gadis ini mengintip apa saja yang ada di dalam kopernya, itu personal.

Melody mengeluarkan satu per satu isi kopernya. Tak berapa lama dia mendengar suara Julinda bercakap-cakap dengan Lisa. Ah, jadi ibu tirinya sudah pulang. Melody melanjutkan pekerjaannya. Dia tak merasa perlu untuk keluar dan berbasa-basi dengan ibu tirinya ini. Julinda memang tak pernah bersikap buruk padanya, tapi entah mengapa, Melody tak pernah benar-benar menerimanya sebagai anggota keluarganya, apalagi pengganti ibunya! Tapi, bagaimanapun juga dia membawakan oleh-oleh untuknya, sebotol parfum merek terkenal kesukaannya, seperangkat alat pembentuk rambut yang paling mutakhir karena dia tahu Julinda sangat memerhatikan penampilannya, dan sebuah tas berwarna beige. Untuk ayahnya dia membawakan beberapa dasi dengan motif dan warna terbaru, tiga kemeja merek terkenal, dan sebuah gelas kristal yang khusus digravir dengan namanya. Untuk Lisa selain dua CD dia membawakan sekotak tojfee merek terkenal, dan sekotak perona mata yang berisikan enam warna.

Masih ada beberapa oleh-oleh lain di dalam kopernya. Dia membawakan sebuah mantel untuk Bik Ijah yang suka kedinginan kalau pagi di musim hujan. Juga sesuatu untuk temannya Rahayu, sebuah blus cantik yang pasti akan disukai temannya itu. Dia tahu selera temannya ini. Selain itu juga beberapa botol kosmetik yang menjadi favorit Rahayu. Sedangkan untuk Pak Ali dan Bu Fat, Melody akhirnya memutuskan untuk tidak membelikan oleh-oleh. Agak sulit memang mencarikan oleh-oleh yang paling cocok untuk mereka. Mereka adalah orang-orang sederhana yang tidak terbiasa dengan barang-barang mewah atau barang-barang yang canggih. Tadinya Melody mau membelikan sebuah beatingpad untuk mereka, untuk meredakan sakit pinggang yang dulu sering dikeluhkan Bu Fat, tapi cukupkah listrik di rumah mereka untuk menghidupkan heating pad itu? Atau cukupkah

penghasilan mereka untuk membayar listrik guna memanaskan beating pad itu? Jadi, oleh-oleh yang paling cocok untuk kedua orang tua itu adalah pemberian dalam bentuk uang tunai. Uang tunai selalu bermanfaat. sehingga mereka bisa membeli sendiri apa yang mereka butuhkan. Jadi sebelum mampir ke rumah Pak Ali dan Bu Fat nanti. Melody harus ke ATM dulu untuk mengambil rupiah.

Selesai mengeluarkan semua isi kopernya. Melody pun memasukkan pakaian-pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam lemari. Sisa barang-barangnya selama tinggal di London masih akan tiba dalam minggu ini. Barang-barang tersebut sudah dikirimnya pulang sebelum keberangkatannya.

Melody menghela napas panjang. Akhirnya studinya selesai. Dia tak pernah berani membayangkan bahwa dia bisa menyelesaikan studinya ini. terutama setelah sahabatnya Rahayu pulang ke Indonesia dan meninggalkannya sendirian di sana. Dia sendiri tak tahu bagaimana dia bisa bertahan seorang diri di negara asing. Dia tak pernah sendirian. bahkan tidak juga saat masih sekolah di sini. Apalagi sejak dia akrab dengan Rahayu. Mulai saat itu benar-benar dia tak pernah seorang diri. Rahayu selalu ada di sampingnya, menempel padanya seperti prangko. Sahabatnya Rahayu. Yang persahabatannya diputuskan oleh ayahnya saat ayahnya mengirim Rahayu pulang ke Surabaya.

Sebenarnya Melody tak bisa menyalahkan ayahnya. Sudah berkali-kali dia mengingatkan Rahayu agar memutuskan hubungannya dengan Brian Sudarman, tapi Rahayu tak pernah ambil peduli. Brian Sudarman memang tampan dan keren, sebagai anak bankir kaya. Brian bisa hidup berkelimpahan di London, dan itu ternyata disalahgunakan olehnya. Bukannya dia berusaha untuk cepat-cepat menyelesaikan Studinya. dia malah terlibat pergaulan bebas yang memakai narkotika sebagai permainan yang mengasyikkan. Rahayu yang terpikat Brian, dengan sendirinya terseret juga ke kebiasaan buruk kelompoknya. Rahayu mulai sering tidak pulang ke apartemen yang ditinggalinya bersama Melody. Dia juga meninggalkan studinya berbulan-bulan. Sampai sejauh itu Melody masih berusaha menutupi masalah sahabatnya. Dia msih berharap Rahayu akan mendusin dan berhenti berhura-hura dan kembali ke studinya. Lalu tiba-tiba Danny Lesmana datang berkunjung dan berakhirlah riwayat studi Rahayu di London.

Tujuannya membiayai Rahayu di London pertama adalah untuk mendampingi Melody, putrinya, supaya tidak seorang diri di sana: dan kedua adalah memberikan kesempatan kepada Rahayu untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi karena Danny Lesmana tahu Rahayu anak yang cerdas. Tapi ternyata Rahayu tidak memenuhi kedua tujuannya itu. Jadi untuk apa Danny terus membiayai gadis itu di London? Memangnya uang tumbuh di pohon? Kalau Rahayu tidak mau sekolah, lebih baik dia pulang saja ke Surabaya!

Melody menyesali sikap tegas ayahnya. Sahabatnya

memang bersalah. Tapi setelah ketahuan. Rahayu minta maaf dan minta diberi kesempatan sekali lagi. Tapi Danny Lesmana bergeming. Dia tidak bersedia memberikan kesempatan lagi kepada gadis itu. Dia bahkan tak ingin Rahayu tinggal bersama Melody lagi karena takut kebiasaan buruknya bisa memengaruhi putrinya.

Melody tadinya berharap kejadian itu tidak akan memutuskan tali persahabatannya. Setelah Rahayu pulang ke Surabaya. dia berusaha menyuratinya. tapi surat-suratnya tak pernah mendapatkan balasan. Berbulan-bulan Melody menunggu berita dari sahabatnya, tapi tak ada yang muncul. Rahayu seakan-akan lenyap ditelan bumi. Melody bertanya kepada ayahnya tentang kabar Rahayu. dan akhirnya Danny Lesmana memberitahunya bahwa menurut adiknya. Rahayu ada di Jakarta dan sudah bekerja di sana. Alamatnya dia tidak tahu karena orangtuanya juga tidak tahu. Jadi sampai di sanalah persahabatannya. Tak ada kata-kata perpisahan. Mungkin Rahayu membenci dirinya juga karena perlakuan ayahnya.

Jadi kali ini dengan kepulangannya ke Surabaya. Melody akan berusaha mencari kabar tentang sahabatnya itu. Melody ingin bisa kontak lagi dengan Rahayu. Melody bukan tipe yang mudah berteman, dan setelah Rahayu, Melody belum berhasil menjalin persahabatan dengan gadis lain. Dia benar-benar merindukan teman lamanya.

Melody mengambil sehelai gaun dan celana jins dari antara pakaian yang baru saja dimasukkannya ke

dalam lemarinya. Lima tahun di London tidak mengubah kebiasaannya lebih suka memakai Tishin dan jins dibandingkan pakaian yang lebih konvensional bagi seorang gadis.

Melody memang bukan gadis yang bisa digolongkan berparas cantik. Aneh. walaupun dia mirip ibunya, tapi dia tidak cantik seperti ibunya. Penampilannya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Dan Melody menyadari itu. Laki-laki tak akan berpaling dua kali untuk melihatnya. Lain halnya dengan temannya Rahayu. Rahayu punya daya tarik yang sensual. Wajahnya cantik, matanya lebar, bibirnya tebal, rambutnya lebat. Sejak masa masih sekolah di sini dulu, Rahayu-lah yang menjadi pusat perhatian. Temannya banyak, mayoritas laki-laki. Dia punya banyak bakat: menyanyi, menari. badminton, renang. Sementara Melody hanya seorang kutu buku, itu pun dia masih kalah dalam prestasi sekolahnya dari Rahayu. Rahayu selalu berhasil masuk tiga besar. Setiap tahun pelajaran sedangkan Melody hanya pernah masuk dalam sepuluh besar satu kali. Justru karena prestasi sekolah Rahayu selalu bagus itulah maka Danny Lesmana tidak keberatan mengirimnya sekolah ke London bersama-sama Melody.

Melody mengingat hari-hari awalnya di London dulu, saat Rahayu dan dirinya masih berteman akrab. Karena Rahayu yang lebih pandai, dialah yang selalu membantu pelajaran Melody. Dia selalu satu langkah lebih maju daripada Melody, lebih pintar, lebih populer, lebih berbakat, lebih cantik, lebih PD. Tapi

Melody tidak cemburu, Melody tidak kecil hati karena kalah dari sahabatnya itu. Dia sudah merasa senang bernaung di bawah bayang-bayang Rahayu. Dan karena dia tidak cemburu itulah maka Rahayu pun sayang padanya, walaupun sesungguhnya Rahayu orangnya rada egois.

Saat Rahayu mulai bergaul erat dengan Brian, alarm di kepala Melody berdering. Kalau tadinya dia selalu mengikuti Rahayu ke mana pun Rahayu pergi, sekarang nalurinya membuatnya langsung menginjak rem. Dia bahkan berusaha menarik Rahayu agar mundur. Tapi Rahayu yang selama ini selalu menjadi pemimpin, mana mau mengikuti naluri Melody! Kalau Melody memang tidak mau bergabung dengannya. dia justru merasa itu kebetulan sekali karena itu artinya dia punya kesempatan bisa berdua-duaan dengan Brian.

Melody bersyukur dia menuruti nalurinya. Andaikan tidak, pasti dia akan terseret pergaulan tidak sehat sahabatnya. Maka sejak Brian masuk dalam kehidupan Rahayu. hubungannya dengan Melody pun merenggang. Rahayu benar-benar meninggalkan semuanya demi Brian. Ya sahabatnya, ya studinya, ya masa depannya, ya akal sehatnya. Dia tak ingat lagi bahwa dia bisa bersekolah di London itu karena jasa baik ayah Melody, dan bahwa dia seharusnya menunjukkan rasa syukurnya dengan menyelesaikan studinya dengan baik. Tentu saja sebetulnya Rahayu sendiri tidak menyangka ayah Melody akan memulangkannya ke Surabaya dan menghentikan bantuan dana studi

kepadanya. Dia menyangka karena Melody pasti tidak berani tinggal seorang diri di London. Oom Danny terpaksa membiarkannya di sana untuk menemani putri kesayangannya. Tapi ternyata kenyataannya tidaklah demikian. Danny Lesmana memberikan alternatif kepada putrinya. melanjutkan studinya sendiri di London atau pulang sekalian ke Surabaya. yang jelas dia tidak bersedia mensponsori Rahayu lagi di sana. Dan Melody memilih untuk tinggal. Prospek pulang ke Surabaya dan menghadapi ibu tirinya lagi membuat dia memilih London. Mungkin keputusannya itulah yang membuat Rahayu marah padanya, menganggapnya tidak solider. Tapi saat itu Melody sudah cukup dewasa untuk mengenali bahwa di dunia ini jika mau berhasil. orang tidak bisa menggantungkan nasibnya pada orang lain, setiap orang harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Selama ini dia belum menunjukkan prestasi apa-apa. jadi kesempatannya menuntut ilmu di London tak mau disia-siakannya. Jika dia pulang ke Surabaya. dia harus pulang dengan prestasi yang bisa dibanggakannya. kalaupun itu berarti dia harus melepas kepulangan sahabatnya kembali ke Surabaya.

Melody berusaha menjelaskan posisinya kepada Rahayu selama hari-hari terakhir sebelum kepulangan Rahayu bersama ayahnya ke Surabaya. Rahayu memang tidak pernah mengatakan secara terbuka bahwa dia marah atas sikap Melody. tapi dari mimik wajahnya Melody tahu sahabatnya sedang marah padanya. Melody berharap kemarahan itu akan sirna dengan

berlalunya waktu, tapi harapannya pupus. Dia tak pernah mendapat kabar lagi dari Rahayu, sampai sekarang.

Melody membuka pintu kamarnya. Lisa Harun sedang duduk di ruang makan dan sedang bercakapcakap dengan Julinda Lesmana.

"Pak Bob belum nyampe?" tanyanya kepada Lisa.

"Kalau nggak macet mestinya sebentar lagi," jawab gadis; itu.

"Panggil aku ya kalau mobilnya udah nyampe," kata Melody, lalu dia menghilang lagi ke dalam kamarnya.

Bob Panahi mengantarkan Melody sampai di depan pintu rumah Ali Ibrahim. Bagian terakhir perjalanan mereka harus ditempuh dengan berjalan kaki karena mobil tidak bisa masuk ke gang sempit itu.

"Ini rumahnya, Non," kata Bob menunjuk sebuah rumah kecil yang tampak relatif baru dan cukup terawat. Walaupun begitu, rumah ini sudah jauh lebih bagus ketimbang rumah mereka yang lama. pikir Melody.

"Wah, siang-siang begini barangkali Pak Ali dan Bu Fat lagi tidur. ya?" kata Melody memandang pintu yang tertutup.

"Ketok aja. nggak apa-apa," kata Bob.

"Nanti kalau Non pulang kan mereka bisa tidur lagi." Lalu dia yang mengetuk daun pintu yang berwarna biru itu.

Tak lama kemudian terdengar suara kaki mendekat, lalu pintu pun terbuka.

"Pak Ali!" kata Melody langsung memeluk laki-laki berkacamata yang berperawakan tinggi kurus itu.

"Aduh! Nak Melody!" sambut laki-laki yang tampak renta itu.

"Wah, sudah lima tahun ya nggak ketemu! Sekarang sudah dewasa dan cantik." tambahnya.

"Pak Ali sendiri gimana? Sehat-sehat?" tanya Melody.

"Ya. sehat. Namanya orang sudah tua, ya nggak seperti waktu muda dulu. Ibu yang sakit-sakitan." kata Pak Ali.

"Ayo. ayo. masuklah!" kata Pak Ali.

"Rahadian sudah bilang Nak Melody akan pulang kemarin, tapi Bapak nggak nyangka kalau hari ini sudah datang kemari."

"Non, ini tadi barang bawaannya." sela Bob Partahi sambil memberikan sebuah bungkusan kepada Melody.

"Saya tunggu di mobil ya? Nggak enak ninggal mobil nggak ada yang jaga."

"Oke. saya nggak lama kok," kata Melody pada Bob. Lalu dia berpaling ke Ali Ibrahim dan memberikan bungkusan di tangannya kepada laki-laki itu.

"Ini buat Rahayu. Tolong titip Bapak berikan padanya kalau dia datang."

"O, baik, baik. Nak Melody. Terima kasih," jawab Pak Ali.

"Ibu lagi tiduran di kamar. Yuk. masuk," tambahnya.

Melody pun mengangguk. lalu mengikuti Pak Ali masuk ke dalam rumah.

"Bu Fat masih sakit?" tanyanya dengan setengah berbisik.

"iya. Nak. Sejak tiga tahun yang lalu Bu Fat mulai sakit. Setahun yang terakhir ini sakitnya semakin parah," kata Pak Ali.

"Untung ada Pak Danny yang membantu pengobatannya."

Melody mengikuti Pak Ali masuk ke sebuah kamar di mana seorang wanita dengan rambut yang sudah beruban sedang berbaring di atas tempat tidur. Mata wanita itu tampaknya terpejam.

"Lho, Bu Fat sedang tidur," bisik Melody.

"Sepanjang hari seperti itu. Tidur, melek, tidur lagi, gitu. Tapi dia pasti senang melihatmu, Nak Melody," kata Pak Ali.

Melody pun mendekat ke samping tempat tidur. Perlahan-lahan dia meletakkan tangannya di atas lengan wanita yang sedang berbaring itu.

"Bu Fat." bisiknya lembut.

"Ini Melody."

"Hmmmm?" Perempuan yang tidur itu menggerakkan kepalanya dan perlahan-lahan membuka matanya.

"Bu, ini Melody," kata Melody mengusap-usap lengan Bu Fat. Dia sangat terpukul. Wanita yang dulu bertubuh gemuk segar itu sekarang tinggal kulit pembungkus tulang. Betapa berubahnya Bu Fat sekarang! Dulu dia begitu energik, selalu sibuk, selalu lincah. tapi sekarang dia tampak renta dan loyo seakan-akan semua api semangatnya sudah padam.

Sejenak perempuan itu mengerutkan keningnya. lalu dia mengenali gadis yang sedang memandangnya itu.

"Eee, Nak Melody! Melody lho. Pak, Melody!" katanya dengan semangat. Kedua tangannya langsung mencekal lengan Melody.

Melody mencium kedua pipi Bu Fat yang cekung. dan perempuan yang lebih tua itu pun menciumi wajah Melody berkali-kali.

"Aduh, Mel. kapan pulang?" tanya Bu Fat.

"Kemarin. Bu," kata Melody menghapus air matanya.

"Ibu sakit apa kok sampai begini?" tanyanya mengusap-usap bahu perempuan tua itu. Bahu itu sekarang terasa begitu tipis, padahal dulu saat ibunya baru meninggal. entah berapa puluh kali dia sudah menyandarkan kepalanya di bahu kekar perempuan itu.

"Kena sakit gula. Mel," kata Bu Fat.

"Bukan cuma itu," sela Pak Ali.

"tapi jantungnya juga lemah. paru-parunya membesar, asam uratnya tinggi. tekanan darahnya juga tinggi, levernya juga tidak betul."

"Lho, kok diborong semua to, Bu?" kata Melody.

"iya, Ibu juga heran kok tiba-tiba sakit macem-macem." kata Bu Fat.

"Padahal dulu Ibu itu nggak pernah sakit lho. Lha sakit sekali kok numpuk."

"Kata dokter. sebetulnya sakit gulanya itu mestinya sudah lama, tapi karena nggak pernah diperiksa, kami nggak tahu. Tahunya sudah parah, empat ratus lebih, baru masuk rumah sakit." kata Pak Ali.

"Iya, Ibu kan selalu suka minum teh manis," kata Melody teringat.

"Mungkin itu penyebabnya."

"Memang tadinya sudah punya bakat, kan orang

tuanya dua-dua kencing manis." kata Pak Ali,

"ditambah Ibu suka minum teh manis, ya sudah, jadilah. Bapak sendiri nyesel kok dulu-dulu nggak melarang Ibu makan yang manis-manis."

"Nggak perlu nyesel, Pak, Bapak nggak salah. Namanya orang sudah tua. ya penyakitnya muncul semua," kata Bu Fat sambil tersenyum.

"Kalau nggak gitu dunia ini kan penuh, kalau yang tua nggak matimati."

"Hus!" kata Melody.

"Jangan ngomong gitu, Bu. Sakit kalau diobati kan sembuh."

"Aduh. Nak, semua orang pada akhirnya juga harus mati. Itu kan sudah takdir segala yang hidup, nggak manusia, nggak binatang, nggak tanaman. semua ada saatnya mati. Di dunia ini semua tidak ada yang pasti kecuali kematian. Bakal kaya belum tentu. Bakal terkenal belum tentu. Bakal pintar juga belum tentu. Tapi kalau bakal mati, sudah tentu. Nggak ada yang bisa lolos." kata Bu Fat.

"Bu. Nak Melody jauh-jauh datang mengunjungi kita kok diajak bicara soal kematian," kata Pak Ali.

"O, iya, maapin Ibu," kata Bu Fat.

"Aduh, Ibu seneng sekali bisa ketemu dengan kamu lagi, Mel. Lima tahun ya? Lama sekali. Ibu sampai kangen."

"Surat-surat saya nyampai kan, Bu?" tanya Melody.

"Nyampai, nyampai," kata Bu Fat.

"Ayahmu memberikan surat-suratmu kepada Rahadian, jadi semuanya kami terima. Cuma kami tidak membalasnya. Ibu nggak tahu harus menulis apa, Mel. Tapi setiap hari

Ibu selalu mendoakan agar kamu di sana selamat, sehat walafiat, dan bahagia."

"Gimana kabarnya Rahayu, Bu?" tanya Melody.

"Ahhh, Rahayu," kata Bu Pat sambil menghela napas dalam-dalam.

"Dia kerja di Jakarta. Jarang pulang. Ibu dan Bapak juga nggak tahu gimana kabarnya."

"Sudah lama dia bekerja di Jakarta, Bu?"

"Ya sejak dia pulang dari London itu. Dia cuma satu minggu di rumah, lalu dia pergi ke Jakarta."

"Katanya dia bekerja di perusahaan asuransi ya, Bu?"

"Iya, tapi apa nama kantornya, Ibu nggak tahu."

"Alamatnya di Jakarta Ibu punya?" tanya Melody walaupun dia sudah tahu apa bakal jawabannya.

"Enggak punya. Ibu juga heran kenapa Rahayu nggak mau memberitahukan alamatnya. Padahal Ibu sudah bilang, kalau ada masalah penting, gimana kami bisa memberitahu kamu kalau nggak tahu alamatnya. Tapi dia tetap nggak mau memberitahu," kata Bu Fat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kapan dia terakhir pulang, Bu?"

"Wah, sudah lama, Lebaran lalu itu, Mel. Apa dia nggak pernah menulis surat ke kamu?" tanya Bu Fat.

"Sama sekali," kata Melody.

"Padahal semua suratmu sudah Ibu berikan padanya waktu dia datang."

"Yah, nggak apa-apa, Bu, mungkin dia sibuk sekali. Sekarang saya sudah di sini lagi, moga-moga nggak lama lagi saya bisa bertemu dengan Rahayu," kata

Melody.

"Kalau dia datang mengunjungi Pak Ali dan Bu Fat, tolong saya dikabari supaya saya bisa segera kemari."

"Pasti. Nak," kata Bu Fat.

"Sebetulnya Bapak dan Ibu itu merasa malu sekali pada ayahmu, Mel. Pak Danny itu sudah begitu baik mau menyekolahkan Rahayu sampai ke London, lha kok Rahayu malah menyia-nyiakan kesempatan itu dan mengecewakan Pak Danny. Waktu dia pertama pulang itu ya Ibu marahi. Bapak juga. Pak Danny mengusulkan supaya dia diikutkan program rehabilitasi dulu dari narkoba, tapi sebelum itu terjadi, Rahayu sudah minggat ke Jakarta. Mungkin karena dia tidak mau diikutkan program rehabilitasi itu maka dia nekat ke jakarta."

"Apa sampai sekarang Rahayu masih memakai narkotika?" tanya Melody.

"Ibu berharap tidak. Saat-saat dia datang waktu Lebaran, Ibu lihat dia biasa-biasa saja, maksud Ibu nggak ada kelakuan yang aneh-aneh atau apa gitu."

"Kami nggak tahu." sela Pak Ali.

"Dia nggak pernah tinggal lama. paling juga cuma tiga-empat hari."

"Dulu sewaktu di London itu dia memakai narkotika karena terpengaruh teman-temannya. Mudah-mudahan setelah jauh dari teman-temannya. dia berhenti," kata Melody.

"Iya. Ibu berharap begitu juga."

"Dia sekarang sangat berubah, Nak Melody." kata Pak Ali.

"Sudah jauh berbeda dengan dulu. Dia jadi pendiam. Dulu kan nggak pernah berhenti cerita. Sekarang kalau tidak ditanya. tidak ada suaranya."

"Saya ikut merasa berdosa," kata Melody.

"Waktu itu saya minta supaya Papa memberinya kesempatan sekali lagi dan tidak membawanya pulang. Tapi Papa bilang, kalau dia tetap di London. dia akan semakin kecanduan karena saya tidak akan bisa mengendalikannya. Satu-satunya kesempatan agar dia terlepas dari pemakaian narkotika adalah membawanya pulang."

"Pak Danny benar," kata Pak Ali.

"Nak Melody tidak usah merasa berdosa. Yang salah Rahayu sendiri. Dia yang telah menyalahgunakan kepercayaan Pak Danny. Seharusnya dia menemani Nak Melody menuntut ilmu di sana, tapi ternyata dia justru meninggalkan kewajibannya dan berkumpul dengan temanteman yang tidak baik. Untung kamu tidak ikut terjerumus. Andai sampai karut, wah Bapak yang tidak punya muka bertemu dengan Pak Danny lagi."

"Iya, untung Pak Danny punya anak seperti kamu. Mel, yang nggak mengecewakan orangtuanya," kata Bu Fat dengan nada sedih.

"Hati kami benar-benar dihancurkan Rahayu," kata Pak Ali.

"Bapak nggak nyangka. ada anak Bapak yang tega berbuat demikian. Ibu sampai sakit sebetulnya juga gara-gara hal ini."

"Sudahlah, Pak, jangan menyalahkan Rahayu. Ibu sakit ini karena kesalahan Ibu sendiri, suka makan yang manis-manis," kata Bu Fat.

"Iya, tapi dengan stres yang ditimbulkan Rahayu, penyakit Ibu jadi semakin parah. jadi komplikasi macam-macam. Dokter kan bilang. penyakit Ibu itu

akibat stres. Sebelum ada masalah Rahayu ini, Ibu kan nggak sampai ambruk. Tahu nggak. Nak Melody. kira-kira sebulan setelah Rahayu ke Jakarta. Ibu sampai pingsan sewaktu menyiapkan masakan untuk warung kami dan perlu dilarikan ke rumah sakit."

"Saya nggak tahu Ibu sakit sampai kemarin waktu diberitahu Papa," kata Melody.

"Andai tahu pasti saya pulang nengok Ibu."

"Pak Danny sendiri juga nggak Bapak kasi tahu kok." kata Pak Ali.

"Setelah melihat warung kami lama tidak dibuka, baru Pak Danny menyuruh Pak Bob ke rumah. Begitu tahu Ibu ada di rumah sakit. Pak Danny langsung membantu. Kalau bukannya dibantu Pak Danny, barangkali Ibu sudah tidak ada. Pak Danny yang memanggilkan dokter-dokter spesialis yang baik untuk menolong Ibu. Kami sendiri mana mampu untuk itu."

"Rahayu tidak pulang waktu itu?"

"Tidak. Bapak tidak bisa memberitahu dia karena tidak tahu alamatnya di mana."

"Jadi sekarang warung Ibu sudah ditutup?" tanya Melody.

"Iya. Sejak Ibu sakit. Rahadian melarang Ibu berjualan, padahal sesungguhnya Ibu suka lho berjualan itu. Masa sekarang ini sepanjang hari disuruh tiduran terus." kata Bu Fat.

"Ya istirahat dululah, Bu. sampai sembuh betulbetul. Kapan-kapan warungnya dibuka lagi kalau memang masih ingin," kata Melody.

"Sudah. jangan, Nak Melody. Ibu sudah tua. sudah

jangan kerja berat-berat. Sedangkan untuk memasak buat kami sendiri saja, Ibu sudah tidak kuat. Bapak lho sekarang yang masak tiap hari," kata Pak Ali.

"Ya enggak apa-apa, masakan Pak Ali kan juga enak. Dulu di warung juga ikut masak, kan?" senyum Melody.

"Iya. Buat makan kami bertiga aja Bapak masak yang mudah-mudahlah. Untunglah anak-anak sekarang sudah mandiri semuanya. Berkat Pak Danny, penghasilan Rahadian sekarang juga sudah cukup untuk hidup kami bertiga di sini, jadi yah sudahlah, nggak usah buka warung lagi," kata Pak Ali.

"Ibu sekarang merasa sangat tidak berguna, Mel," kata Bu Fat dengan nada sedih.

"Cuma memberatkan Bapak dan Rahadian. Mau apa-apa nggak punya tenaga, lemes aja sepanjang hari."

"Kok lemes sepanjang hari to, Bu? Memangnya nggak berobat ke dokter?" tanya Melody.

"Berobat terus. Mel. Obatnya mahal-mahal, dokternya mahal, tapi kok ya masih begini terus, nggak sehat-sehat, sampai Ibu sungkan sama Pak Danny," kata Bu Fat.

"Barangkali dokternya nggak cocok, Bu. Coba saya carikan dokter lain, Bu."

"Sudah, nggak usah. Kamu baru pulang, pasti masih banyak kesibukan. Pak Danny sudah mencarikan segala macam dokter buat Ibu. Ya sama nggak ada kemajuan. Terakhir Dokter Budi yang menangani Ibu sekarang ini sudah internis yang terkenal. Badan Ibu sendiri aja yang bodoh. bukan salah dokternya," kata Bu Fat.

"Ya itulah, Nak Melody," timbrung Pak Ali.

"Dokter Budi itu sudah berpesan, tidak boleh banyak mikir. tidak boleh stres, sebab kalau stres itu malah melemahkan tubuh. Tapi Ibu ini mikir terus."

"Memangnya apa yang dipikirin terus, Bu?" tanya Melody.

"Ya si Rahayu itu," kata Pak Ali.

"Ibu kepikiran kenapa kok Rahayu merahasiakan alamatnya di Jakarta, memangnya dia itu tinggal di mana? Gimana dia hidup seorang diri di Jakarta, gimana kalau dia terjerumus pergaulan yang tidak baik lagi, gimana kalau dia itu salah jalan, wah. macam-macamlah. Namanya hati seorang ibu, Nak Melody, pasti mikirin anakanaknya, apalagi ini kan anak perempuan."

"Tapi setiap kali Ibu ketemu Rahayu kan dia baikbaik. jadi sudah jangan membayangkan yang jelek-jelek. Bu. Kita doakan saja Rahayu hidupnya baik. kerjanya sukses. dan hatinya gembira." kata Melody.

"Iya. Ibu nggak mikir kok, Nak. Bapak aja yang bilang Ibu mikir," kata Bu Fat.

"Jadi sampai sekarang ini Rahayu tidak tahu kalau Ibu sakit?" tanya Melody.

"Ya tahu kalau punya penyakit, tapi tidak tahu kalau sudah separah ini, wong kami tidak bisa memberitahu dia," kata Pak Ali.

"Bapak itu nggak ngerti. kenapa dia nggak mau memberi alamatnya pada kami. Sudah bolak-balik Bapak tanya, tapi nggak pernah dijawab. Apa dia itu takut tiba-tiba Bapak dan Ibu datang terus tinggal di rumahnya atau apa, kami sungguh tidak mengerti."

"Apa Bapak dan Ibu tahu nama perusahaan tempat kerjanya?" tanya Melody.

"Lho, kalau tahu kan Bapak bisa menelepon ke kantornya. Justru itu! Bapak nggak ngerti kenapa Rahayu jadi misterius begini. Jangan-jangan dia itu sebenarnya tidak bekerja baik-baik di Jakarta, jadi dia malu diketahui apa pekerjaannya," kata Pak Ali.

"Jangan bilang begitu. Pak. Kita doakan saja dia tidak salah langkah." kata Bu Fat.

"Nanti coba saya bantu mengontak dia," kata Melody.

"Gimana caranya Nak Melody bisa mengontak dia? Kan Nak Melody juga tidak tahu alamatnya," kata Pak Ali.

"Coba dengan iklan dan siaran radio barangkali pesan kita bisa mencapai dia."
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waduh, itu kan mahal sekali, Nak Melody," kata Pak Ali.

"Kami sudah berutang banyak pada Pak Danny."

"Nggak apa-apa, Pak, saya kan juga ingin ketemu Rahayu," kata Melody. Lalu tambahnya sambil menyeringai,

"Lagian saya nggak akan minta uang sama Papa. Saya masih punya uang dari sisa uang saku di London."

"Wah, kalau begitu terima kasih banyak, Nak. Ibu benar-benar sudah kangen padanya."

**

SABINE LEMAR duduk di belakang mejanya. Sambil mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di atas meja. Pikirannya tidak tertuju ke laporan pemasaran yang ada di hadapannya. Tidak seperti biasanya. hari ini dia tampak gugup dan gelisah. Sejak pagi dia sudah uring-uringan. Beberapa anak buahnya sudah kena bentak. Begitu juga Tara, anaknya yang berusia empat tahun. sehingga tadi pagi dia tidak mau berangkat ke TK-nya.

Melody! Ya, itulah penyebab kegalawan hatinya. Hari ini bosnya, Danny Lesmana, akan membawa anak gadisnya yang lulusan Inggris untuk bekerja di perusahaan ini, di bawah bimbingan dirinya! Minggu lalu Danny Lesmana telah memberitahukan rencananya. Ini adalah perkembangan yang tak terduga baginya. Dia sama sekali tidak memperhitungkan Melody Lesmana, gadis yang dulu dikenalnya hanya sebagai seorang anak perempuan yang pendiam dan sama sekali tidak berpotensi. Ternyata sekarang justru dia yang muncul!

Sabine Lemar menyesali dirinya. Bagaimana dia bisa melupakan gadis ini? Selama ini yang dianggapnya sebagai ancaman adalah Mark Lesmana-putra tunggal Danny Lesmana. Sabine Lemar punya ambisi yang besar. Meraih bintang di langit adalah motonya. Kalau diterjemahkan artinya: duduk di kursi direktur! Targetnya bukannya mustahil dicapai. Saat ini dia adalah kepala Pemasaran. yang membawahkan bidang pemasaran, penjualan, dan hubungan ekstern. Ujung tombak perusahaan. Jatuh-bangunnya perusahaan ada di tangannya. Apalagi di perusahaan ini dia tidak punya tandingan. Tentu saja Shaun Harman punya masa kerja yang sama dengan dirinya. tapi Shaun bukanlah orang yang ambisius, dia sudah puas dengan kedudukannya sebagai kepala Keuangan dan Akunting. Shaun tidak suka bergaul dengan manusia, dia lebih suka berkutet dengan angka-angka. jadi Shaun tidak perlu dikhawatirkan bakal merebut kursinya. Kursinya' Yes! Kursinya! Sejak dia tahu bahwa Mark Lesmana lebih suka menjadi musikus ketimbang entrepreneur. dia sudah membayangkan dirinya suatu saat duduk di kursi Danny Lesmana! Mungkin tidak dalam waktu dekat karena Danny Lesmana masih tergolong muda dan belum punya niatan untuk pensiun. Tapi suatu hari. Suatu hari Danny Lesmana akan mundur dan menyerahkan kursinya kepadanya!

Itulah sebabnya ketika Danny Lesmana curhat padanya tentang kekecewaannya pada Mark yang ngotot

mau sekolah musik di Amerika. dia justru mendorong Danny untuk mengizinkannya. Tentu saja dia tidak mengatakan bahwa alasan yang sesungguhnya adalah untuk menutup kesempatan Mark Lesmana mewarisi kursi ayahnya. Dia bilang bahwa orangtua harus memberikan kebebasan kepada anakanaknya untuk memilih masa depannya sendiri, bahwa kalau Mark suka musik. ya biarlah dia diperbolehkan mengikuti suara hatinya. dan sebagainya, dan sebagainya. pokoknya blabla-bla yang dipakai banyak ahli jiwa untuk meyakinkan para ortu melepaskan kekangannya terhadap anak-anak mereka. Begitu Danny Lesmana setuju mengirim Mark Lesmana ke Amerika untuk melanjutkan ke sekolah musik. Sabine Lemar merasa yakin impiannya akan terkabul. Sampai Jumat kemarin! Saat Danny Lesmana memberitahunya bahwa putrinya Melody si pendiam akan bergabung di perusahaan ini.

Astaga! Sabine merasa seakan-akan tempatnya berpijak terkena gempa bumi. Jika anak perempuan Danny Lesmana masuk ke perusahaan ini, bukan saja impiannya menjadi direktur bisa melayang. tapi kedudukannya sendiri sekarang sebagai kepala Pemasaran sudah terancam! Dan dalam waktu dekat pula! Karena jika Danny lesmana masih akan duduk di kursi direkturnya. maka satu-satunya posisi yang bisa diberikannya kepada putrinya adalah posisi Sabine sekarang! Jelas Melody Lesmana tidak akan duduk di kursi Shaun Harman. gadis itu tidak tahu apa-apa tentang keuangan maupun akunting. Itu bukan bidangnya. Jadi di

mana lagi gadis itu bakal duduk? Sudah tentu dia juga tidak akan hanya menjadi karyawan biasa, mana ada anak bos hanya jadi karyawan biasa. pasti paling minim ya kepala bagian atau manajer. Ya bagian siapa lagi kalau bukan bagiannya! Karena Danny Lesmana sudah bilang bahwa Melody akan belajar di bawah bimbingannya. Danny mau Sabine mengajari Melody tentang semua seluk-beluk pemasaran dan penjualan produk mereka. Untuk apa kalau bukan untuk mewarisi pekerjaannya?

Aku harus berbuat sesuatu, pikir Sabine Lemar. Kalau aku tidak hati-hati, aku bisa kehilangan kedudukan! Dan itu tidak boleh terjadi. Aku membutuhkan pekerjaan! Aku ada Tara, dan membesarkan anak sebagai single parent sudah cukup berat tanpa harus dibebani dengan hilangnya mata pencaharian!

"Bu Sabine. Pak Danny dan putrinya sudah datang!"

Sabine mengangkat kepalanya, pandangannya beradu dengan mata tangan kanannya. Jaka Herlambang, yang sedang berdiri di ambang pintu kantornya. Saking tenggelamnya dalam lamunannya tadi, dia tidak mendengar Jaka mengetuk atau membuka pintu kamar kerjanya.

"Ob, ya. Sekarang di mana?" tanya Sabine langsung berdiri. Dia kan harus menyambut putri bosnya ini, sjalan!

"Ada di kantornya. Bu. Baru saja masuk." kata Jaka.

"Sendirian?" tanya Sabine.

"Pak Danny bersama putrinya." kata Jaka Herlambang dengan nada yang seolah-olah berkata. aduh, goblok banget kamu, wong tadi sudah dibilang Pak Danny dan putrinya!

"Maksud saya. kecuali mereka tak ada orang lain di kantor Pak Danny?" kata Sabine dengan nada tidak sabar, dalam hati mengumpat ketololan Jaka Herlambang padahal sebenarnya pertanyaannya sendiri yang salah kata-katanya.

"Tadi waktu saya kemari belum ada, Bu, nggak tahu lagi sekarang," kata Jaka Herlambang. Dia sudah kenal watak bosnya yang pemarah ini, jadi dia selalu berusaha berhati-hati dalam memberikan jawabannya.

Sabinepun meninggalkan mejanya lalu berjalan ke pintu kantornya.

"Kalau begitu sekarang saya ke sana dulu," katanya. pada waktu yang sama dia sudah segera melangkah keluar meninggalkan Jaka Herlambang yang masih berdiri di ambang pintu.

Sabine mendapati pintu kantor Danny Lesmana dalam keadaan terbuka lebar sementara dari dalam terdengar suara gelak tawa. Belum lagi dia sempat berpikir. Danny Lesmana yang melihatnya sudah memanggilnya masuk.

Danny Lesmana sedang duduk menghadap ke pintu di sofa panjang yang ada di ujung kamar kerjanya. di sampingnya duduk seorang gadis yang mengenakan

Tishin dan celana jins, sementara duduk berseberangan dengan Danny Lesmana adalah Shaun Harman, kepala Keuangan dan Akunting.

"Nah, ini dia Sabine! Ayo, ayo. saya kenalkan anak saya Melody." kata Danny Lesmana dengan nada gembira.

"Kalian sudah pernah bertemu dulu. tapi sekarang Melody kan sudah dewasa, sudah beda dengan waktu remajanya."

lalu dia berpaling kepada anaknya dan berkata,

"Kamu ingat Sabine Lemar, Mel. Dialah kepala Pemasaran kita tempat kamu akan belajar. Dia hebat, jadi kamu harus banyak belajar darinya."

Dalam waktu satu detik itu Sabine Lemar sudah membuat penilaiannya tentang gadis yang duduk di hadapannya. Ternyata Melody Lesmana tidak seperti gadis kurus penakut yang diingatnya dulu. Sekarang dia tampil lebih percaya diri. lebih matang. tenang, dan anggun. Punya stil! Dia juga tampak lebih cantik dengan potongan rambut pendeknya. Giginya yang dulu tonggos dalam ingatannya, sekarang tampak rapi dan lurus, pasti sudah dibetulkan oleh dokter-dokter gigi yang ahli. Wajahnya yang dulu banyak jerawatnya. sekarang tampak bersih dan mengilat, tanpa makeup. Wah, secara keseluruhan Melody Lesmana sekarang bisa digolongkan wanita yang menarik.

Melody lesmana mengulurkan tangannya kepada Sabine Lemar dan berkata.

"Hai!" kepada perempuan yang lebih tua ini. Entah mengapa pada pandangan pertama ini dia langsung merasa tidak nyaman dengan kehadiran perempuan itu.

"Halo, Melody." kata Sabine sedikit angkuh.

"Gimana London?" Dia ingin menanamkan kesan pada gadis yang lebih muda ini bahwa dirinya lebih hebat daripada Melody.

"Lembap," kata Melody berusaha tersenyum.

"Sering hujan."

"Bine, saya mau anak saya ini belajar tentang semua seluk-beluk pemasaran dan penjualan kita dari kamu. Karena sekolahnya di luar negeri, dia sama sekali buta tentang arena kita di sini. Tahu sendirilah. teori dan praktek di lapangan itu kan bedanya seperti langit dan bumi. Jadi tugasmulah mengajarnya supaya dia bisa menjadi semahir kamu." kata Danny Lesmana.

Sabine Lemar hanya menganggukan kepalanya. Tuh, betul kan firasatnya! Si Melody ini sudah diplot bapaknya untuk menggantikan dirinya! Kalau enggak. untuk apa dia harus tahu semua seluk-beluk pemasaran dan penjualan semahir dirinya?

"Hari ini saya mau memperkenalkan Melody kepada seluruh karyawan di sini dulu. besok baru dia mulai masuk secara resmi." kata Danny Lesmana. Dia melihat ke arlojinya.

"Karena sebentar lagi sudah waktunya istirahat siang, sebaiknya sekarang Melody saya bawa keliling dulu. Nanti kita berempat akan bertemu di ruang makan lagi."

Shaun Harman segera berdiri. Dia mengulurkan tangannya sekali lagi kepada Melody.

"Selamat datang dan bergabung dengan kami. Mbak Melody." katanya.

"Wah, kenapa kamu panggil dia 'Mbak', Shaun? Kamu lebih tua dan kamu adalah kepala Keuangan di sini!" kata Danny Lesmana sambil tertawa.

"Dia belum punya kedudukan."

"Ya. tapi dia kan anak Pak Danny," jawab Shaun Harman menyeringai nakal.

"No, ," sela Melody.

"semua orang di sini panggil saya Melody aaja. Kan saya yang paling muda."

Mereka tertawa, Sabine dengan sedikit terpaksa.

"Sebagai yang lebih junior, saya yang akan memanggil Bapak Shaun dan ibu Sabine." kata Melody.

"0, tidak usah, tidak usah." kata Shaun Harman.

"Panggil saya Shaun saja."

"Kalau begitu saya juga tidak usah dipanggil "Ibu'." kata Sabine Lemar walaupun sebenarnya "auman-nya ini tidaklah tulus.

"Ya, begitu juga baik." kata Danny Lesmana,

"panggil nama saja terasa lebih akrab. Dan saya memang ingin kalian bertiga menjadi akrab. Nah, sekarang. yuk. Melody. ikut Papa keliling."

Jaka Herlambang sedang duduk menghadapi komputernya. Di hadapannya layar monitornya menampilkan berderet-deret angka. Tampaknya dia sedang tenggelam dalam pekerjaannya, tapi sebenarnya pikirannya sama sekali tidak hadir di sana.

Pak Danny Lesmana dan putrinya Melody baru

saja berlalu dari mejanya. E. ternyata manis juga gadis itu. pikir Jaka. Ini merupakan pertemuannya yang pertama dengan Melody Lesmana. Senyumnya juga ramah dan tidak sombong, tidak merendahkan. Dari kesederhanaan pakaiannya. bisa diperkirakan orangnya tidak gila hormat, minta dipuji-puji orang seperti atasannya Sabine Lemar. Kelihatannya juga tidak cerewet, tidak seperti Sabine yang selalu mengkritik dan mencari kesalahan orang. Secara pribadi, dia tidak menemukan faktor apa pun yang membuatnya tidak menyukai Melody Lesmana.

Sebenarnya Jaka Herlambang langsung merasa terancam saat Jumat lalu mendengar dari Sabine Lemar bahwa Pak Danny bakal membawa putrinya bekerja di perusahaan ini. Yang membuatnya khawatir adalah Melody Lesmana ini akan bekerja di bagiannya! Di Bagian Pemasaran dan Penjualan! Dia akan belajar dari Sabine Lemar. jadi posisinya sebagai apa? Sampai detik ini, dia-Jaka Herlambang-adalah wakil Sabine Lemar. Nah. sekarang tiba-tiba muncul Melody Lesmana---lalu apa posisi gadis itu? Bawahannya? Atasannya? Sederajat? Mengingat gadis itu anak sang direktur, ya pasti tidak mungkin menjadi bawahannya, malah bisa-bisa menjadi atasan dari atasannya!

Jaka Herlambang memutar otaknya. Sama seperti Sabine Lemar, dia juga punya ambisi. Sudah cukup lama dia hidup kekurangan. hidup sebagai orang kecil. orang yang tidak diperhitungkan. orang yang tidak dipandang sebelah mata.

Sejak kecil sebagai anak seorang pekerja seks terselubung. Jaka Herlambang sudah cukup mengalami pahit-getirnya hidup. Ibunya-Bella (nama profesi yang begitu dibencinya) adalah seorang tukang pijat. itu profesinya yang resmi. Profesinya yang tidak resmi adalah memberikan pelayanan seks kepada laki-laki hidung belang yang minta "dipijat" olehnya. Sebenarnya ibunya memang bisa memijat karena neneknya seorang dukun pijat-dukun pijat berulan. artinya tidak punya profesi terselubung yang lain. Tapi seiring perkembangan zaman dan teknologi pengobatan. rupanya semakin lama semakin sedikit orang yang mencari dukun pijat sehingga Bella merasa perlu punya pekerjaan lain supaya dapurnya tetap mengukus setelah suami yang baru dua tahun menikahinya. meninggalkannya dengan seorang bayi untuk seorang janda yang lebih kaya. Dan Bella memilih profesi yang gampang. Apalagi wajahnya tidak jelek, maka dalam waktu singkat dia menyadari bahwa dia bisa mendapatkan jauh lebih banyak uang dari profesi terselubungnya ketimbang sungguh-sungguh memijat!

Maka semenjak kecil Jaka Herlambang sudah terbiasa melihat ibunya pulang pagi, atau bahkan tidak pulang sepanjang malam dan setelah pergi satu-dua malam, pulangnya diantarkan mobil yang berbedabeda. Pada awalnya dia tidak mengerti mengapa tetangga-tetangganya suka mencemoohkan ibunya dengan kata-kata kotor jika mereka bertengkar-dan ibunya memang sering bertengkar dengan para tetangganya-dia baru mengerti mengapa setelah berusia sembilan tahun.

Ketika dia berumur sebelas tahun, ibunya menikah dengan seorang sopir taksi dan Jaka disuruh memanggil "Bapak" kepada laki-laki yang tibatiba tinggal bersama mereka di rumah neneknya yang sempit itu. Tapi sejak itu justru rumah mereka semakin ribut. ibunya yang mengira dengan menikah itu dia bisa mengakhiri profesinya sebagai pekeria seks. harus kecewa karena penghasilan suaminya tidak mencukupi kebutuhannya. Maka dia mulai kembali ke profesinya semula. Tentu saja si suami tidak terima. Setelah berminggu-minggu ribut, belum sampai empat bulan kawin, ibunya minta cerai. Lalu ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki yang lebih tua, sebagai istri ketiga. Laki-laki ini cukup berada, kalau datang naik mobil mentereng dan gampang membuka dompetnya. Jaka sempat mendapatkan banyak pemberian dari bapak tirinya yang nomor dua ini. Tapi nasib baik ini tidak berlangsung lama. Belum setahun. laki-laki ini kena stroke dan menjadi lumpuh. Sejak itu dia dirawat istri tuanya, yang sudah tentu tidak menerima kehadiran "istri-istri"-nya yang lain. Apalagi ternyata ibunya tidak dinikahi secara resmi, tidak punya surat. Jadi ya tidak bisa menuntut apa-apa. Sekali lagi ibunya kembali ke profesi lamanya.

Saat Jaka berumur lima belas tahun, ibunya menikah lagi. kali ini dengan laki-laki yang lebih muda usianya. Penampilannya keren. rambutnya tebal berombak. senyumnya menawan. Cuma satu kekurangannya: dia pengangguran! Maka Bella pun tetap melanjutkan profesinya tanpa halangan untuk membiayai seluruh

rumah tangganya yang terdiri atas seorang ibu yang sudah tua, seorang anak remaja. dan sekarang ditambah seorang suami pemalas. Barangkali karena usianya yang masih muda. atau karena dia tidak merasa pantas menjadi bapak bagi Jaka, maka Jaka pun disuruh memanggilnya "Mas Doni" saja. dan bukan "Bapak". Jaka yang saat itu sudah remaja dan sudah mengerti gaya hidup ibunya. merasa sangat malu. Saat itu dia sudah bersumpah harus bisa keluar dari kehidupan yang tak bermartabat ini. Harus!

Jadi sejak itulah Jaka Herlambang menyekolahkan dirinya sendiri dengan bekerja mulai tengah hari di sebuah toko elektronik sementara di pagi hari dia sekolah. Malam setutupnya toko elektronik itu dia baru mengerjakan PR sekolahnya, yang terkadang membuatnya harus melek sampai tengah malam. Tapi semua itu dijalaninya dengan tekun. demi mencapai cita-cita yang lebih tinggi.

Jaka Herlambang sangat bangga dengan prestasinya sendiri. Dia berhasil menyelesaikan SMEA-nya dengan angka yang cukup bisa dibanggakan. Pada waktu itu dia sudah punya beberapa tahun pengalaman kerja. sehingga saat dia memasukkan lamaran ke perusahaan Danny Lesmana yang saat itu sedang mencari beberapa tenaga di bagian pemasaran dan penjualan, dia pun mendapat panggilan. Dari ketiga tenaga baru yang akhirnya diterima. ternyata prestasi kerja Jaka Herlambang yang dinilai paling menonjol. Walaupun pendidikan akademisnya yang paling rendah. dia yang paling rajin, dia yang paling ringan tangan. dia yang

paling tak pernah mengeluh, dia yang paling akomodatif dan kooperatif. Maka setelah beberapa tahun, Sabine Lemar pun setuju mengangkatnya menjadi wakilnya. Itu baru terjadi tahun lalu. Dan sekarang kedudukannya sudah terancam?

Aku harus berbuat sesuatu untuk mengubah kondisi yang tidak menguntungkan ini menjadi kesempatan yang menguntungkan buatku, pikir Jaka Herlambang. Harus!

Shaun Harman kembali ke kantornya sendiri dan duduk di mejanya lagi. Jadi anak Pak Danny akan bergabung, so what? Itu tidak ada kaitannya dengan dirinya. Toh gadis itu tidak akan ada di bagiannya. untunglah! Dia bakal ikut Sabine. Semoga betah aja. pikir Shaun sambil tersenyum. Di perusahaan ini Sabine punya reputasi sebagai perempuan galak. Banyak yang tidak menyukainya, termasuk dirinya.

Shaun Harman membuka kembali arsip yang ada di mejanya. Sampai mana ya tadi sebelum diinterupsi kedatangan Pak Danny? pikirnya. Dalam waktu kurang dari satu menit dia sudah melupakan Melody Lesmana yang akan bergabung dengan mereka mulai besok.

Shaun Harman berusia 33 tahun. Single. dan hidup sendiri di Surabaya. Kedua orangtuanya sudah meninggal dan saudara satu-satunya ada di Australia. Sebagai orang kepercayaan Danny Lesmana, Shaun

Harman punya penghasilan yang tertinggi di perusahaan ini setelah direkturnya sendiri. tentu. Dia cukup puas dengan hidupnya yang sekarang ini. Rumah sudah punya. mobil punya, tabungan punya, tak ada yang kurang. Istri memang belum punya, tapi Shaun Harman tidak tergesa-gesa untuk menikah. Lebih baik lambat daripada menyesal. pikirnya.

Tadinya Shaun Harman sempat mengencani Sabine Lemar juga. Sabine adalah seorang janda. yang usianya sebaya dirinya. Pada awalnya, Shaun mengagumi kapabilitas Sabine. Sebagai single parent seorang anak balita. Sabine cukup tangguh dan patut dikagumi. Namun kencan mereka tidak berlangsung lama. Sabine ternyata bukan hanya dominan di tempat kerja. tapi dia juga mau dominan dalam hubungan mereka. Dan Shaun tidak mau diposisikan di bawah telapak kaki pacarnya. Maka dia pun mengundurkan diri. Beberapa kali Sabine berusaha menjalin kembali hubungan mereka yang terputus. tapi Shaun tetap menjaga jaraknya. Saat ini mereka tak lagi bertemu di luar tempat kerja, suatu kondisi yang sebenarnya membuat Sabine kecewa. Dia ingin sekali hubungannya dengan Shaun bisa menjadi sesuatu yang lebih konkret. Apalagi dia memang sedang mencari suami baru. Hidup sebagai janda bukanlah hidup yang menyenangkan.

Shaun Harman tak pernah tahu alasan sebenarnya Sabine bercerai dari suaminya. tapi dia bisa membayangkan hidup bersama seorang istri seperti Sabine bukanlah hidup yang mudah. dan jelas bukanlah hidup yang ingin dijalaninya. Shaun lebih menyukai perempuan yang tak banyak menuntut, yang tenang, dan tidak dominan. Dia masih tergolong laki-laki konservatif yang lebih menyukai pasangan hidup yang kalem ketimbang yang keras.

Jadi pada usia 33 tahun, Shaun Harman adalah seorang :bachelor yang diintai para orangtua untuk dijadikan menantu mereka. Wajahnya tidak jelek. condong ke tipe serius, berkacamata, sopan santun, dan sukses! Dan Danny Lesmana, sebagai orangtua yang punya anak gadis yang sudah dewasa. sebetulnya juga mengincar Shaun Harman menjadi menantunya!

"Halo, Dian!" kata Melody Lesmana langsung mengulurkan tangannya kepada Rahadian yang dijumpainya berada di depan gudang.

"Apa kabar!"

"Mbak!" balas Rahadian. Sejak dulu dia memanggil Melody dengan sebutan "Mbak" sebagai teman kakaknya. Hubungannya dengan Melody tidak seerat hubungan Melody dengan kakaknya. Memang dia sering ikut kakaknya Rahayu main di rumah Melody, tapi pada saat-saat demikian dia lebih banyak asyik dengan Betamax Melody atau gitar Mark dan tidak mengabungkan diri pada apa yang sedang diobrolkan kedua gadis remaja itu.

"Maaf saya tidak di rumah waktu Mbak datang," kata Rahadian.

"Tentu saja kamu nggak di rumah, itu kan siang, kamu ya masih ada di sini," kata Melody sambil tersenyum.

"Gimana kondisi Bu Fat hari ini?"

"Yah, masih seperti itu, Mbak." kata Rahadian.

"Kok tiba-tiba sakit parah gitu sih, Dian? Tadinya aku nggak pernah tahu kalau Bu Fat punya penyakit seberat itu," kata Melody.

"Mestinya sakit kencing manisnya sudah lama, Mbak, cuma karena nggak pernah diperiksa, nggak ketahuan. Tapi yang lain-lain itu muncul setelah Mbak Rahayu pulang dari London," kata Rahadian.

"Bu Fat shock banget ya, Dian?" Melody menunjukkan wajah yang penuh konsen.

Rahadian melemparkan pandangan segan ke arah Danny Lesmana yang berdiri di sisi Melody, lalu menundukkan kepalanya.

"Yah, Ibu merasa malu dan sedih." katanya lirih. Tapi dia segera mengangkat kepalanya dan tersenyum,

"Tapi sekarang sudah enggak kok. Sudah nggak apaapa."

"Nanti kalian bisa ngobrol lagi," sela Danny Lesmana,

"sekarang kita lanjutkan dulu karena sebentar lagi sudah waktunya istirahat. Ntar mereka semua sudah pada nggak di tempat masing-masing. Pak Kris ada di dalam?"

"Ya, ada di dalam kantornya. Pak," kata Rahadian. Kris Wenger adalah atasannya, kepala gudang.

"Ya udah! Sampai ketemu lagi, Dian. Mulai besok kan aku kerja di sini, ntar kita ngobrol lagi," kata Melody mengikuti ayahnya yang sudah lebih dulu

bergegas masuk ke dalam gudang menuju ke kantor Kris Wenger.

Kris Wenger segera melihat kedatangan Danny Lesmana bersama seorang gadis. Dia sudah mendengar bahwa bosnya ini akan membawa anak perempuannya bekerja di perusahaannya. Kris tidak suka jika ada kerabat atau keluarga bos yang ikut bekerja. Mereka biasanya menimbulkan banyak problem. kalau bukan supermalas dan semaunya sendiri, ya super-dominan dan menekan orang lain. Tapi saat ini dia harus menyambut kedatangan si putri raja ini dulu. Masih banyak waktu kelak untuk bertengkar dengannya, pikir Kris. Dan Kris bukanlah orang yang takut bertengkar, kendati dengan anak si direktur sendiri!

"Selamat siang. Pak Danny!" kata Kris Wenger langsung keluar dari kantornya dan menyambut kedua tamunya.

"Kris. ini saya perkenalkan anak saya, Melody. Dia akan bergabung dengan kita," kata Danny Lesmana sambil tersenyum lebar.

"Selamat siang, Mbak Melody," sapa Kris Wenger kepada Melody yang mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar.

"Saya yang mengurus gudang ini. Kalau Mbak Melody mau tanya apa-apa tentang stok barang, sayalah orangnya."

"Makasih. Pak Kris," kata Melody.

"Kita harus ke bagian yang lain sekarang," kata Danny.

"Nanti kita bertemu lagi di meja makan."

Baik, Pak Danny, Mbak Melody, sampai jumpa nanti." kata Kris Wenner.

Danny Lesmana dan Melody pun meninggalkan gudang.

"Kasihan Bu Fat ya, Pap," kata Melody sambil berjalan. Pikirannya masih pada wanita yang pernah mengisi kekosongan hatinya setelah kematian ibunya.

"Aku ikut merasa bersalah."

"Kenapa kamu yang merasa bersalah?" tanya Danny Lesmana.

"Bukan kamu yang membuat si Rahayu terjerumus."

"Ya. tapi dia sahabatku dan aku ternyata tidak bisa menjaganya," kata Melody.

"Kamu sudah memperingatkannya. Dia yang tidak mau mendengar. Sudah, lupakan masalah itu. Itu Pak Yanto, supervisor Produksi kita," kan Danny Lesmana menunjuk seorang laki-laki berperawakan tinggi dan berkacamata yang sedang berdiri di depan pintu ruang Produksi.

Rupanya laki-laki itu pun melihat kedatangan mereka, sehingga dia bergegas mendekat untuk menyambut.

"Pak Danny!" kata Yanto mengulurkan kedua tangannya seolah-olah mau menangkap si direktur.

"Pak Yanto, ini putri saya. Melody. Mulai besok dia akan bergabung dengan kita di sini," kata Danny Lesmana.

**

BEGITU mobil mereka berhenti. Melody pun segera membuka pintu dan melompat turun. tanpa memberikan kesempatan kepada Jaka Herlambang untuk membukakan pintu baginya seperti yang pernah dilakukan Jaka pertama kalinya mereka keluar melihat pasar bersama-sama. Melody tak mau menanamkan kesan karena dia anak sang direktur. maka karyawan yang lain harus melayaninya seperti seorang putri raja.

"Pas jam istirahat siang." kata Jaka.

"Mau langsung ke kantin atau ke kantor dulu?"

"Ke kantor dululah." kata Melody.

"Map-map ini masa mau dibawa ke kantin juga?"

"Kenapa tadi nggak mau menerima ajakan makan siang Pak Henri aja. Mel? Biasanya Bu Sabine selalu mau kalau diajak makan siang relasi kita." kata Jaka selagi mereka berjalan menuju ke kantor mereka.

"Enggaklah, kok kayak kita nggak dapat makan di

perusahaan sendiri aja." jawab Melody sambil tertawa.

"Lagian kalau bolak-balik ditraktir nanti, bisa menempatkan diri kita di posisi yang sulit."

"Ah, Pak Henri sudah relasi lama, kita nggak pernah ada masalah dengannya," kata Jaka Herlambang.

"Dan kita harus berhati-hati supaya nggak bakal ada." kata Melody.

"Kamu bener. Lebih baik menjaga jarak dengan relasi kita supaya dia masih menyegani kita, gitu, kan?"

"Right." angguk Melody. Mereka sudah sampai di kantor Bagian Pemasaran yang menempati sayap kiri bangunan perkantoran Lesmana Corporation. Melody pun meletakkan map-map yang dibawanya di atas mejanya.

"Gimana kalau aku yang mentraktir kamu makan siang di Depot Pak Salam saja?" tanya Jaka.

"Di sini ada kantin, makannya gratis, untuk apa makan di Depot Pak Salam?" tanya Melody.

"Di sana bandeng bakarnya enak," kata Jaka.

"Yuk!"

"Kamu lagi banyak uang ya?" senyum Melody.

"Jadi mau menghambur hamburkannya dengan mentraktirku makan?"

"Aduh. makan di depot aja abis berapa sih," kata Jaka.

"Depot Pak Salam terkenal lho. Kamu kan belum pernah nyoba? Ayolah!"

"Jadi kita keluar lagi?" tanya Melody ragu-ragu. Dia sudah mendengar tentang bandeng Pak Salam. tapi belum sempat nyoba.

"Ya. Sebentar aja. Abis makan kita langsung kembali," kata Jaka.

"Kamu yang traktir?" tanya Melody. Walaupun anak bos, dia tak pernah menempatkan dirinya di atas karyawan-karyawan yang lain.

"Iya, aku yang traktir!" kata Jaka.

"Oke. Kali ini kamu yang traktir. Lain kali ganti aku," kata Melody.

"jadi!" kata Jaka. Dia sih bukan ingin dibalas Melody mentraktirnya, tapi kalau Melody membalas, itu berarti mereka akan keluar makan bersama lagi!

Mereka pun meninggalkan kantor dan kembali lagi ke mobil Jaka.

Selama sembilan minggu ini hubungan Melody Lesmana dengan Jaka Herlambang telah menjadi cukup erat. Ini dikarenakan Sabine Lemar mewakilkan Jaka untuk menjadi guru Melody. Pertama karena Sabine sendiri memang tidak menyukai Melody. dan kedua, jika bukan dia yang mengajari Melody langsung. dia tak perlu menurunkan seluruh ilmunya kepada gadis itu. Biar saja si Jaka yang menurunkan ilmunya. Tentu saja hal ini tadinya kurang disetujui Danny Lesmana. Tapi karena Melody sendiri berkata bahwa dia merasa lebih nyaman belajar dari Jaka ketimbang dari Sabine, ayahnya pun tidak menarik panjang masalah ini.

Maka Melody dan Jaka pun sering pergi bersamasama. Tugas Jaka adalah memperkenalkan Melody kepada para relasi mereka, kepada pasar mereka, dan kepada seluruh jalur pemasaran serta penjualan mereka.

Dan siang ini mereka makan berdua di Depot Pak Salam yang tak jauh letaknya dari Lesmana Corporation.

"Gimana, enak nggak?" tanya Jaka sementara mereka makan.

"Hmm, enak, cuma sambalnya agak terlalu pedas buatku," kata Melody.

"Itu hasilnya tinggal terlalu lama di London." goda Jaka,

"Sudah lupa makan sambal."

Mereka tertawa.

"Gimana sih sebetulnya kehidupanmu di London?" tanya Jaka.

"Biasa. Makan, tidur. belajar, gimana lagi?" tanya Melody.

"Punya pacar nggak di sana?" tanya Jaka.

"E-ehm," kata Melody sambil menggeleng. Brian tidak bisa dianggap pacar walaupun mereka kemudian menjadi cukup akrab, pikirnya.

"Ah. masa? Gadis cantik kayak kamu pasti jadi rebutan di sana." kata Jaka.

"Tanya. dijawab, nggak percaya," kata Melody.

"Ngapain tanya kalau gitu."

"Iha, bukannya nggak percaya, hanya mau konfirm aja apa memang benar nggak ada yang menunggu di sana," kata Jaka.

"Memangnya kalau ada yang nunggu, kenapa?" tanya Melody.

"Kalau ada yang nunggu kan berarti udah nggak ada kesempatan lagi buat orang lain untuk nyoba," kata Jaka.

"Yang mau nyoba siapa memangnya?" tanya Melody. Hatinya mulai berdebar. Kira-kira dia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Apa yang akan dikatakannya seandainya tebakannya benar?

"Aku," kata Jaka Herlambang memandang ke mata Melody lekat-lekat. Menikahi anak sang direktur merupakan jalan pasti naik pangkat, kan! Jadi harus bertanya. Paling paling ditolak, itu skenario terjelek. Tapi kalau diterima? Jadi kesempatan ini tak boleh dilewatkan.

Syuuur! Melody merasa seolah-olah jantungnya kena sembilu. Dia merasa telinganya panas. Pasti pipinya menjadi merah nih. Untuk mempertahankan cool-nya, dan untuk mengulur waktu supaya dia bisa menemukan jawaban yang pas, dia pun tertawa.

"Aku serius," kata Jaka yang mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Melody.

Melody membiarkan tangannya disentuh. Dia menunduk sambil tersenyum.

"Mel, kita sudah bersama-sama selama lebih dari dua bulan. Aku rasa aku sudah mengenalmu dengan baik. Dan aku ingin mengenalmu lebih baik lagi." kata Jaka. Dia tidak tahu apakah dia akan mendapatkan tanggapan yang positif atau negatif dari wanita yang duduk di hadapannya ini.


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana Animorphs 42 Petualangan Journey Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam

Cari Blog Ini