Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 2
"Aku nggak keberatan untuk itu," kata Melody sambil tersenyum.
"Untuk apa?" tanya jaka minta ketegasan.
"Untuk kamu kenal dengan lebih baik," kata Melody.
Jaka menyeringai.
"Jadi... jadi kamu nggak keberatan kalau hubungan kita menjadi lebih akrab daripada sekarang?" tanyanya.
"Tidak."
"Itu artinya... itu artinya... aku boleh menjadi pacarmu sekarang?" tanya jaka.
"Gimana kalau mulai dengan kandidat pacar dulu?" tanya Melody.
"Kandidat pacar? Apa itu?" Jaka mengerutkan dahinya.
"Itu belum pacar tapi baru calon," kata Melody.
"Aku belum pernah dengar ada istilah calon pacar," kata Jaka.
"Calon wali kota, calon gubenur, calon presiden. itu ada. Tapi calon pacar?"
"Ya sama, seperti calon-calon yang lain," kata Melody.
"Apa aku perlu berkampanye juga seperti calon-calon yang lain itu?" tanya Jaka.
"Tapi tanpa janji-janji kosong. Jangan seperti caloncalon pejabat itu, hanya pandai mengumbar janji, tapi kalau sudah terpilih, langsung lupa sama semua janji mereka."
"Apakah... apakah aku satu-satunya kandidat, atau juga ada calon yang lain?" tanya Jaka.
"Hm... saat ini kamu pendaftar pertama," kata Melody sambil tertawa.
"Tapi waktu pendaftaran belum ditutup."
"Artinya kesempatan masih terbuka bagi calon-calon yang lain?"
"Iya. dong. Kenapa? Kamu keberatan?"
"Kalau aku boleh merasa keberatan. Tentu saja aku ingin menjadi satu-satunya kandidat."
"Oke, keberatanmu sudah aku catat," kata Melody.
"Apakah... apakah kamu akan mengabulkan keberatanku ini?"
"Tidak." kata Melody sambil tersenyum.
"Kenapa tidak?" tanya Jaka.
"Karena aku belum yakin."
"Kamu belum yakin padaku. atau kamu belum yakin hubungan kita ini pantas dilanjutkan ke jenjang berikutnya?"
"Kedua-duanya," kata Melody.
"Aku tidak mau tergesa gesa membuat pilihan."
"Apakah aku cukup memenuhi syarat sebagai calon pacarmu?" tanya Jaka.
"I don't know" kata Melody sambil mengangkat bahunya.
"Aku belum memikirkan persyaratanku. aku belum memikirkan pacar sama sekali."
"Lalu apa yang sudah kamu pikirkan?" tanya Jaka.
"So far tentang pekerjaan. Kamu tahu kan, adikku nggak punya minat sama sekali pada dunia bisnis. jadi aku satu satunya harapan Papa yang tersisa. Aku nggak mau mengecewakannya." kata Melody.
"Rencananya Pak Danny akan menempatkan kamu sebagai apa, Mel?" tanya Jaka.
"Aku nggak tahu. Aku belum tanya. Sekarang ini kan masa belajar bagiku. Setelah itu aku masih harus
membuktikan apa yang bisa aku kerjakan. Aku nggak mau diberi jabatan karena aku anaknya tapi tidak becus melakukan apa-apa," kata Melody.
"Kamu sendiri punya pandangan mau jabatan yang mana?"
"Pasti nggak di bagian pembukuan atau akunting." senyum Melody.
"Aku nggak suka pekerjaan yang membosankan begitu."
"Berarti di bagian marketing dong, kan kamu nggak mungkin ke bagian produksi. wong kamu nggak punya latar belakang teknik?"
"Ya, kira-kira di bagian marketing," kata Melody.
"Jadi? Bu Sabine mau dikemanakan?" tanya Jaka.
"Memangnya harus dikemanakan?" tanya Melody sambil tersenyum. Sudah bukan rahasia lagi kalau Sabine Lemar bukan figur yang favorit, terutama di antara para bawahannya.
Jaka Herlambang tergelak.
"Sebetulnya Bu Sabine itu kurang cocok sebagai kepala Pemasaran," katanya.
"Orangnya kurang luwes."
"Toh sudah sekian tahun lamanya dia sukses melakukan tugas-tugasnya," kata Melody.
"itu karena relasi-relasi kita semuanya segan sama Pak Danny. Pak Danny memang entrepreneur yang hebat. Semua relasi kita memujinya."
"Bu Sabine pasti punya kelebihan. Kalau enggak. Papa nggak akan mempertahankannya selama ini," kata Melody.
"Iyaaaaa. . .."
"Kenapa? Kamu nggak sependapat?"
"Akhir-akhir ini banyak pelanggan yang komplain," kata Jaka.
"Tentang apa?"
"Tentang sikap Bu Sabine yang terlalu keras. sering kata-katanya nggak enak."
"Really?"
"Kalau kamu nggak percaya, ayo besok aku ajak bertemu dengan Pak Teddy. Pak Abel, Pak Katoppo. Biar mereka yang cerita gimana Bu Sabine itu," kata Jaka.
"Memangnya apa yang dilakukan Bu Sabine?"
"Dia menyebut Pak Teddy tidak bonafide, dia memarahi Pak Abel karena terlambat satu jam menemuinya, dia menuduh Pak Katoppo tidak loyal karena juga mengambil barang dari kompetitor kita."
'Apakah Pak Teddy, Pak Abel, dan Pak Katoppo lapor ke Papa?"
"Enggak. Mereka cuma mengeluh ke aku. Dan bukan cuma mereka. masih banyak yang lain. Bahkan banyak relasi kita sekarang enggan kontak dengan Bu Sabine. Mereka lebih banyak mencari aku."
"Kamu nggak ngomong sama Bu Sabine?"
"Wah, ya jelas enggak! Dia kan atasanku. Kan nggak pada tempatku mengajarinya gimana menghadapi relasi! Apalagi mengingat sifatnya yang suka meledak gitu. bisa-bisa aku langsung didampratnya."
"Apa kamu cerita sama Papa?"
"Enggak juga. Ntar Pak Danny mengira aku mau menyabot Bu Sabine."
"Kalau begitu biar aku nanti bicara dengan Papa. Biar Papa yang menegur Bu Sabine."
"Wah, ntar aku nggak enak sama Bu Sabine," kata Jaka sambil mengerutkan keningnya.
"Dia pasti tahu informasi itu datangnya dari aku. Aku kan masih bawahannya, Mel, kalau sampai dia membenciku, kan suasana kerja menjadi kurang enak."
"Lalu gimana? Kalau dibiarkan terus begitu, jangan-jangan relasi kita pada lari semua," kata Melody.
"Kalau kamu memang bakal duduk di Pemasaran, ya enaknya customer: kamu pegang sendiri aja, Mel."
"Maksudmu aku oper begitu aja pekerjaan Bu Sabine?"
"Yah, kamu kan anak Pak Danny. jadi kalau kamu mengambil alih sebagian pekerjaan Bu Sabine, dia juga nggak bisa bilang apa-apa. iya, kan? Begitu lebih baik daripada dia ditegur. Kalau dia sudah tidak berhubungan lagi dengan relasi kita, kan sudah tidak ada kesempatan lagi baginya untuk berbicara kasar kepada mereka."
Melody merenung. Benar juga usul si Jaka ini.
"Baik, aku akan bicara dengan Papa untuk mengambil alih tugas customers relation dari Bu Sabine," katanya.
**
Sabine Lemar di ambang pintu kamar kerja Shaun Harman.
"Oke," kata Shaun Harman tanpa mengangkat matanya dari layar monitornya.
"Mobilku masuk bengkel," kata Sabine tanpa ditanya.
"Oke, nggak masalah," kata Shaun lagi.
"Pukul berapa kamu mau pulang?" tanya Sabine lagi.
"Terserah kamu. Aku hampir selesai," kata Shaun.
"Aku bisa berangkat kapan saja," kata Sabine.
"Oke, lima menit lagi." kata Shaun.
Sabine mengangguk dan kembali ke kantornya sendiri untuk mengambil tasnya dan membersihkan meja kerjanya. Lalu dia kembali ke kantor Shaun Harman dan duduk di kursi di hadapan meja Shaun.
Shaun mematikan komputernya, memasukkan dokumen-dokumen di atas mejanya ke lemari arsip di belakangnya, mengunci lacinya, lalu berdiri.
"Ayo!" katanya.
Ketika mobil Shaun baru meninggalkan kompleks pabrik, Sabine berkata,
"Aku traktir makan malam, ya?"
"Oh, enggak usah," jawab Shaun.
"Kamu kan harus makan? Aku juga mau makan. Yuk, makan sama-sama. Ada resroran yang baru buka lho di dekat rumahku. Masakannya lumayan. Murah, lagi. Aku sering beli di sana," kata Sabine.
"Kamu nggak ditunggu Tara?" tanya Shaun.
"Dia kan udah makan. Paling-paling dia sudah tidur sekarang. Ntar kalau aku datang, aku bangunin dia," kata Sabine:
"Oke, kalau kamu mau makan." kata Shaun.
"Tapi aku yang traktir lho. Kamu kan udah nganterin aku pulang," senyum Sabine.
"Terserah," kata Shaun.
"Kita udah lama ya nggak keluar lagi berdua, pergi nonton atau apa gitu," kata Sabine.
"Iya, aku repot," kata Shaun.
"Dengan apa?" tanya Sabine.
"Olahraga," kata Shaun.
"Oh ya? Olahraga apa?"
"Ya tenis, pingpong, farm, gitulah. Duduk terus sepanjang hari kok rasanya kurang enak. kurang gerak."
"Jadi setiap hari olahraganya?"
"Aku usahakan setiap hari. Kecuali kalau ada kesibukan yang lain, ya aku nggak olahraga."
"Jadi, kapan olahraganya kalau begitu? Setiap pulang kantor, makan dulu baru olahraga. atau olahraga dulu baru makan?"
"Ya makan dulu dikit, setengah porsi gitu, lalu olahraga. Kalau udah selesai, makan lagi sisanya," kata Shaun.
"Gimana caranya makan cuma setengah porsi? Apa yang separo dibuang?"
"Ya enggak. Kan aku selalu beli di depot langgananku. Mereka sudah tahu aku cuma makan separo. Yang separo dibungkus, ntar aku makan lagi setelah
olahraga. Kalau nggak lapar ya aku langsung olahraga, pulangnya baru makan."
"Kalau begini lapar enggak?" tanya Sabine sambil tertawa.
"Lapar sekali juga enggak, tapi diisi perutnya juga enak," kata Shaun.
"Setelah ini mau olahraga juga?" tanya Sabine.
"Kalau nggak kemalaman. Kalau enggak. ya malam ini skip sekali nggak apa-apa."
"Dipikir-pikir aku juga kurang olahraga," kata Sabine.
"Kalau aku ikut olahraga di tempatmu, boleh?"
"Wah, kelompokku udah fixed, lagi pula mereka laki'laki semua. Nggak enak kalau ada perempuannya," kata Shaun.
"Aduh! Memangnya zaman sekarang masih ada diskriminasi gender?" tanya Sabine.
"Bukan deskriminasi gender, tapi kalau semua lakilaki kan lebih bebas. Kalau ada perempuannya paSti semua menjadi serbakaku," kata Shaun.
"Jadi aku nggak boleh ikut?" tanya Sabine.
"Nggak di grupku. Lagian semua temanku sudah punya istri, ntar kalau ada perempuannya, para istri jadi cemburu kan nggak enak."
"Bilang aja aku temanmu, aku nggak ngincar lakilaki yang lain," kata Sabine.
"Wah, sori, nggak bisa. Memang kelompokku sudah membuat peraturan anggotanya hanya laki-laki."
"Kalau kamu ke fitnes, kan tempatnya untuk umum?" tanya Sabine tidak mudah putus asa. Dia
masih bertekad berhasil menggaet Shaun Harman menjadi suami berikutnya.
"Iya."
"Kalau begitu aku ikut waktu kamu ke fitnest aja," kata Sabine.
"Aku jarang ke fitnest, hanya kalau lagi nggak tenis atau pingpong aja. Aku lebih senang main tenis dan pingpong dengan teman-teman ketimbang main dengan alat fitnes."
"Jadi hari apa yang kamu nggak tenis atau pingpong?"
"Lha itu nggak bisa ditentukan. Kalau lebih dari tiga orang anggota grupku nggak bisa datang, baru kami batal main dan aku ke fitnes."
Sabine merapatkan bibirnya. Dia tahu Shaun Harman berusaha menghindarinya, tapi dia belum bersedia mengaku kalah. Dia masih akan tetap berusaha.
"Jadi, di mana restoran yang mau kita datangi sekarang?" tanya Shaun.
"Oh, udah dekat. Ntar aku tunjukin. Kita lewat sana kok, jadi nggak usah khusus muter atau apa," kata Sabine.
**
"Pap!" Melody sedikit terkejut ketika ayahnya membukakan pintu untuknya. Biasanya itu pekerjaan salah seorang pembantu 'di rumahnya.
"Kok malam?" tanya Danny Lesmana.
Melody melangkah masuk ke ruang tamu. Dari sana dia bisa melihat ibu tirinya Julinda dan Lisa duduk di ruang keluarga sedang menonton televisi.
"Iya, baru abis mentraktir makan sama si Jaka," kata Melody. Walaupun dia sudah bukan anak remaja lagi, dia tidak jengkel dengan pertanyaan ayahnya yang sebenarnya lebih cocok dilontarkan ke anak-anak yang masih di bawah umur.
"Mentraktir? Kamu yang mentraktir dia? Kenapa?" tanya Danny Lesmana heran.
"Karena tadi siang dia abis nraktir aku makan ikan bakar. dan aku nggak mau punya utang padanya." senyum Melody.
"Sejak kapan ada acara traktir-traktiran begini?" tanya Danny Lesmana dengan nada kurang senang.
Melody mengerutkan keningnya.
"Pap, aku kan sudah dewasa," katanya. Lalu dia masuk dan langsung menuju ruang keluarga.
"Tante!" sapa Melody.
"Hei, Lisa!"
"Sudah makan, Mel?" tanya Julinda.
"Sudah, Tante."
"Ayo, nonton! Ini filmnya lagi seru!" ajak Lisa Harun.
Sebelum Melody sempat menjawab, Danny Lesmana berkata,
"Malam ini masih ada yang mau Papa bicarakan. Yuk, ke belakang aja. Di sini terganggu suara televisi."
Di ruang belakang yang merupakan tempat keluarga bersantai, Danny Lesmana pun duduk di hadapan anaknya.
"Papa memang menunggumu pulang," kata Danny Lesmana serius.
"Siapa yang datang menemuimu di kantor siang tadi sekitar pukul tiga?"
Wajah Melody berubah tegang.
"Jadi Papa sekarang memata-matai aku?" tanyanya.
"Tidak! Papa kebetulan saja mau keluar dan Papa melihatmu di lobi bersama orang itu. Andai bukannya Papa memberimu muka, Papa sudah akan memanggil satpam untuk mengusir orang itu keluar."
"Papi" Melody melotot.
"Melody, apa kamu sudah gila? Kenapa kamu masih menemui Brian?" tanya Danny Lesmana emosi.
"Pap, nomor satu, bukan aku yang ngundang dia datang. Malah aku nggak tahu dia bakal datang. Tiba-tiba Ella meneleponku dan mengatakan ada tamu yang menungguku di lobi. Jadi aku keluar menemuinya. Ternyata Brian. Lha masa begitu melihatnya aku masuk lagi?" kata Melody.
"Ya! Seharusnya kamu langsung mengusirnya!" kata Danny Lesmana.
"Papi Dia..."
"Dia drug addict!" potong Danny lesmana.
"Garagara dia sampai sahabatmu sendiri, si Rahayu itu, kena drugs! Gimana kamu bisa melupakan itu?"
"Aku tidak lupa, Pap. Tapi itu dulu. Setelah Rahayu Papa bawa pulang, Brian sadar, dan dia berhenti memakai drugs."
"Papa tidak peduli. Pokoknya Papa tidak mau kamu berhubungan dengan anak itu lagi!" kata Danny Lesmana.
"Pap. setelah kepergian Rahayu, justru Brian yang menjadi temanku di London. Boleh dibilang dia satusatunya temanku. Andai nggak ada dia. belum tentu aku betah di sana terus seorang diri." kata Melody.
"Apa? Jadi kamu di sana malah berteman dengan Brian ini? Kenapa kamu tidak bilang sama Papa?"
"Iya, Pap. Aku nggak punya teman lain setelah Rahayu pulang. Hanya Brian. Dia yang mendampingi aku di saat aku senang dan di saat aku susah. Dia adalah temanku," kata Melody.
"Wah. andai Papa tahu kamu masih berhubungan dengan Brian di London, Papa akan membawamu pulang juga!" kata Danny Lesmana.
"Bagi Papa seorang drug addict nggak bisa dijadikan teman!"
"Aku kan udah bilang. Brian berhenti memakai drugs. Setelah itu dia melanjutkan sekolahnya baikbaik. Kami selesai sekitar waktu yang sama. Dia juga kembali ke Jakarta tak lama setelah aku pulang."
"Jadi selama ini kamu masih kontak dengannya?"
"Ya. Terkadang dia meneleponku."
"Kenapa dia ada di Surabaya sekarang?"
"Kebetulan lagi disuruh ayahnya. Dia sekarang kan bekerja di bank ayahnya."
"jadi dia sekarang sudah bekerja?"
"Iya. Brian bekerja di bank ayahnya."
"Untuk apa dia tadi datang mencarimu?"
"Ya untuk tanya apa kabar aja, Pap. Namanya pas dia di Surabaya, ya dia datang mencariku."
"Papa lebih senang kamu nggak berteman dengannya. Baiklah, di London kamu tidak punya teman
lain. Tapi di sini sekarang ada banyak orang yang bisa dijadikan teman." kata Danny dengan nada serius.
"Pap, orang itu bisa berubah. Masa satu kali salah jalan sudah nggak ada kesempatan lagi untuk menjadi orang baik?"
"Dia boleh menjadi orang baik asal tidak di dekat kamu. tidak di dekat keluarga Papa!" kata Danny Lesmana.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melody menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pokoknya kamu jangan berhubungan lagi dengannya," kata Danny Lesmana.
"Pap, dia pernah temanku. dan dia tetap temanku," kata Melody tegas.
"Tidak! Papa tidak mengizinkan itu!" kata Danny Lesmana.
"Sori, Pap. Tapi aku punya kebebasan untuk memilih teman-temanku sendiri. Aku sudah dewasa," kata Melody.
Danny Lesmana langsung mengerutkan keningnya. Belum pernah Melody berkata demikian kepadanya. Belum pernah Melody berani menentangnya secara terbuka dan mempertahankan pendapatnya sendiri. Apakah anak gadisnya yang dulu penurut sekarang sudah berubah?
"Tapi Papa tidak suka sama si Brian ini." katanya masih berusaha mengendalikan anaknya.
"Aku nggak minta Papa menyukai Brian. tapi aku tetap mau berteman dengannya." kata Melody.
"Aku cukup dewasa untuk menentukan dengan siapa saja aku mau berteman."
"Kenapa kamu ngotot mau berteman dengannya padahal Papa sudah bilang Papa tidak suka hal itu?" tanya Danny Lesmana.
"Banyak teman Papa yang juga tidak aku sukai, tapi aku nggak minta Papa berhenti berteman dengan mereka karena aku nggak suka. kan?" kata Melody. Suaranya tetap tenang, volumenya biasa, tidak lebih keras, tapi Danny Lesmana bisa merasakan keteguhan kehendak putrinya ini.
"Apa kamu mencintainya?" tanya Danny Lesmana dengan nada curiga.
'No!" kata Melody sambil tertawa.
" Selama aku di London dia adalah sahabatku, saat aku tidak punya teman yang lain, dia ada di sana, tempatku bersandar. Sekarang setelah aku pulang di tengah tengah keluargaku, aku tidak akan memutuskan hubungan dengannya."
Danny Lesmana mengembuskan napas panjang. Ternyata dia sudah kehilangan anaknya yang penurut. Ternyata Melody sekarang sudah punya pendapat sendiri, dan sanggup mempertahankannya. Astaga! itu artinya Melody cukup tangguh untuk mewarisi perusahaannya!
"Papa sudah selesai?" tanya Melody menginterupsi lamunan ayahnya.
Danny Lesmana mengangguk kalah.
"Oke. kalau begitu sekarang ganti aku yang mau membicarakan sesuatu," kata Melody.
"Tentang apa?" tanya Danny Lesmana.
"Pekerjaan," kata Melody.
"Oke, ada apa dengan pekerjaan?"
"Aku ingin mengmbil alih urusan customers: relation."
"Kamu suka itu?" tanya Danny Lesmana dengan mata lebar. Ini bagus! Melody sudah menaruh minat pada pekerjaannya!
"Ya. Aku ingin mengenal relasi kita satu per satu dan menjalin hubungan yang lebih akrab dengan mereka," kata Melody.
"Oke. !"
"Papa yang ngomong sama Sabine?"
"Ya. Besok Papa beritahu Sabine. Dia pasti senang ada yang meringankan tugasnya." kara Danny Lesmana.
"Papa kira begitu? Apa Sabine tidak bakal merasa keberatan?" tanya Melody.
"Ah! Tentu saja enggak! Pekerjaannya dikurangi kan mestinya dia gembira. Customers relation itu menghabiskan banyak waktu. Kalau begini. dia bakal bisa iebih fokus kepada pengembangan pasar. Jadi per 2 januari tahun depan customer: relation adalah bagianmu." kata Danny Lesmana.
"Oke." kata Melody sambil tersenyum.
"Pembicaraan selesai. Sekarang aku mau pergi mandi. lalu langsung tidur."
"Ya. Papa juga mau tidur." kata Dannv Lesmana.
**
ATMOSFER kerja di bagian Pemasaran terasa kaku dan tegang kendati ini merupakan hari kerja yang pertama di tahun yang baru, saat suasana sesungguhnya masih dipenuhi kegembiraan menyambut Tahun Baru. Ini adalah hari pertama Melody Lesmana menjalankan tugasnya sebagai customer relation yang baru.
Sabine Lemar sudah tentu tak berkutik saat Danny Lesmana memberitahunya sebelum liburan Natal agar per 2 Januari yang akan datang, customer: relation diserahkan saja kepada Melody. Sabine sudah langsung bisa menarik kesimpulannya sendiri bahwa Melody Lesmana ini akan merebut kursinya tak lama lagi. Pertama adalah bagian customer, setelah itu tugasnya akan dilucuti satu per satu, dan sebagai anak sang direktur, sudah tentu Melody Lesmana-lah yang bakalan menang! Dan kemungkinan itu sangat mencemaskan Sabine.
Sikapnya yang selama beberapa minggu terakhir ini
sudah dingin dan tak acuh kepada Melody, sekarang menurun hingga ke titik beku. Bahkan untuk tersenyum kepada Melody pun sudah merupakan suatu upaya yang luar biasa baginya.
Sejak Danny Lesmana memberitahunya bahwa anak gadisnya yang akan mengurusi bagian customers relation selepas Tahun Baru. sebisa-bisanya Sabine berusaha menghindar memandang Melody dengan membuang mukanya setiap kali dia melihat Melody mendekat. Kalaupun sampai ada pembicaraan di antara mereka-yang tak bisa dihindarinya-itu hanya pendek-pendek saja. satu-dua patah kata seperlunya. dan dengan nada suara yang sama sekali tidak ramah.
Melody Lesmana langsung melihat perubahan drastis ini. Kalau tadinya dia lebih banyak tidak diacuhkan oleh Sabine.. tiba-tiba dua minggu yang terakhir ini dia sudah terang-terangan dimusuhinya! Dan ini sangat menjengkelkannya. Apalagi sikap Sabine yang sering kasar dan tidak sopan terhadapnya, seperti caranya meletakkan dokumen di mejanya yang dengan sedikit dibanting, caranya minta sesuatu dengan nada memerintah. caranya menggeleng-gelengkan kepala saat membaca laporan Melody seolah-olah semuanya salah. yah. hal-hal seperti itulah. Tapi karena tahu dirinya masih lebih junior. Melody terus menahan diri. Dia tak mau memulai suatu konflik terbuka dengan Sabine. Dia ingat pelajarannya. bahwa menjadi eksekutif yang sukses sebagian besar tergantung pada caranya menghadapi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Kalau dia tidak bisa mengatasi masalah
dengan seorang Sabine Lemar, bagaimana dia berharap bisa mengatasi masalah dengan para karyawan dan relasi ayahnya yang sekian banyaknya! Dan Melody memutuskan untuk mempertahankan martabatnya dengan tetap bersikap korek, tidak terpancing ke dalam permusuhan konyol seperti yang dilancarkan Sabine terhadapnya kini.
Dalam hatinya Melody Lesmana tahu, Sabine Lemar bukanlah tandingannya. Sabine hanyalah seorang karyawan, sedangkan dia adalah anak dan ahli waris Danny Lesmana, pemilik perusahaan! Sudah tentu statusnya lebih tinggi. Jadi dia sudah menang tanpa perlu bertanding! Para relasi sudah tentu lebih senang berhubungan dengan anak si direkrut daripada dengan seorang karyawan, apalagi Melody jauh lebih ramah. lebih luwes. dan lebih kooperatif. Para pelanggan yang sudah terbiasa dengan sikap Sabine Lemar yang kasar sangat gembira dengan perubahan ini. Bahkan beberapa sempat menelepon Danny Lesmana untuk menyampaikan pujian mereka kepada Melody dan usulan mereka agar Danny segera saja menempatkan Melody sebagai pengganti Sabine Lemar.
Tetapi Danny Lesmana punya rencana lain. Melody tidak dipersiapkan menjadi pengganti Sabine Lemar. Melody dipersiapkan menjadi pengganti dirinya! Jadi. walaupun sekarang dia baru tahu bahwa Sabine Lemar kurang digemari relasi-relasinya, dia tidak berniat mengganti manajernya ini dengan Melody. Danny Lesmana sekarang sedang mencari akal bagaimana mengubah sikap Sabine yang dinilai kasar oleh
para relasinya. Andaikan Sabine itu laki-laki. sudah tentu Danny Lesmana tidak akan ragu-ragu untuk biara blak-blakan saja kepadanya. Tapi karena Sabine perempuan, Danny Lesmana merasa kesulitan menegur manajernya ini.
Selama ini sikap Sabine kepadanya selalu baik. tak pernah kasar atau menjengkelkan. jadi dia tidak tahu harus ngomong apa kepada perempuan itu. Akhirnya Danny Lesmana memutuskan untuk membiarkan dulu masalah ini, menunggu sampai Melody nanti sudah duduk di kursinya. Melody pasti bisa mengapproar/J Sabine secara lebih luwes. Semacam girl-togirl talk, sehingga Sabine tak akan terlalu tersinggung. Itu pikiran Danny Lesmana!
Semakin hari, semakin besar keyakinan Danny Lesmana bahwa Melody bisa menggantikan dirinya. Hal ini membuat hatinya sangat gembira. Ternyata kemampuan anak perempuan tidaklah di bawah anak laki-laki. Kalau Mark mau jadi musikus, ya sudahlah. karena sekarang terbukti Melody bisa diharapkan menggantikan dirinya dan melanjutkan usahanya. Dia benar-benar puas dengan perkembangan kemajuan Melody. Putrinya ini ternyata sungguh-sungguh berminat menjalankan perusahaannya. Sekarang setiap malam sehabis makan malam, mereka menghabiskan beberapa jam untuk membicarakan pekerjaan, dan Danny Lesmana mendapati alur pikiran Melody sangat bagus. bahkan sering kali bisa dikategorikan brilian!
Kondisi ini sudah tentu mengusik ketenangan hati
Julinda. Sebelum Melody berangkat ke London, hubungan gadis itu dengan suaminya selalu tawar, Melody lebih sering bersembunyi di dalam kamarnya sendiri. Tapi sekarang kecepatan meningkatnya keakraban hubungan Melody dengan Danny membuat hatinya kebat-kebit. Jangan-jangan Melody nanti berhasil merebut Danny darinya! Dia hanyalah istri kedua sedangkan Melody darah daging Danny Lesmana! Tentu saja suaminya lebih mencintai darah dagingnya sendiri! Yang menjadi masalah sebenarnya adalah Melody tetap bersikap tawar dan menjaga jarak dengannya, sehingga dia mulai merasa terancam.
Maka akhir-akhir ini julinda pun sering curhat kepada Lisa Harun, kemenakan favoritnya. Lisa tentu saja merupakan pendengar yang baik. Dia juga mendukung bibinya seratus persen. Dia sadar bahwa kemantapan posisi bibinya sebagai istri Danny Lesmana juga menjamin masa depannya sendiri. Sejak dia tinggal bersama mereka, hidupnya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Menu makannya lebih sehat dan lebih sedap. pakaiannya menjadi lebih banyak dan lebih berkelas, penampilannya juga lebih modis, pokoknya status hidupnya mengalami peningkatan. Dan ini harus dipertahankan, bukan? Paling tidak sampai dia berhasil menjerat seorang suami kaya yang bisa memberikan semua kenikmatan hidup seperti yang dirasakannya sekarang.
"Lagi mikir apa?" tanya Jaka saat dia mendapati Melody sedang termenung di mejanya.
"Temanku, Rahayu." kata Melody sambil menghela napas panjang.
"Kakak si Rahadian?"
"Ya."
"Kenapa dia? Aku lihat Rahadian baru keluar dari sini.
"Ya. Aku memanggilnya. Aku tanya apa ada kabar dari Rahayu."
"Dan?"
Melody menggelengkan kepalanya.
"Padahal aku udah memanggilnya lewat beberapa stasiun radio, juga memasang iklan di beberapa surat kabar di Jakarta." katanya.
"Tapi sampai sekarang sama sekali nggak ada tanggapan darinya."
"Mungkin dia nggak mendengarkan radio dan nggak membaca iklan surat kabar," kata Jaka.
"Barangkali iklan yang aku pasang kurang besar." kata Melody.
"Aku cuma ambil yang dua kolom."
"Dua kolom sudah cukup besar," kata Jaka.
"Iklan mini yang cuma dua baris aja dibaca orang kok."
"Kalau begitu mungkin aku salah milih surat kabar," kata Melody.
"Memangnya kamu mau masang iklan di semua surat kabar di Jakarta?" kata Jaka sambil tersenyum.
"Lha gimana? Dia juga nggak kontak dengan keluarganya di sini padahal ibunya kan sakit," kata Melody.
"Apa dia tahu ibunya sakit?"
107
"Itulah! Dia nggak tahu sakit ibunya parah. ibunya sakit parah setelah dia kembali ke Jakarta tahun lalu. Tapi masa berbulan-bulan nggak ada kontak darinya? E, nulis surat atau apa gitu kek. Atau dia kan bisa menelepon Rahadian di sini. Tapi semuanya enggak dia lakukan."
"Jadi dia juga nggak tahu kamu udah pulang?"
"Enggak."
"Kan sebentar lagi puasa, lalu Lebaran. Waktu Lebaran kan dia pasti pulang," hibur Jaka.
"Kata ibunya memang sejak dia bekerja di Jakarta. Rahayu nggak pernah menulis surat atau memberi kabar. Pulangnya cuma setahun sekali. waktu Lebaran itu.
"Kalau begitu ntar Lebaran kan dia pulang."
"Yah, aku bisa menunggu nggak ketemu dia sampai Lebaran. tapi masalahnya sekarang ibunya sakit dan setiap kali aku mengunjunginya kok sepertinya kondisinya semakin menurun." kata Melody.
"Apa perlu dimasukkan rumah sakit lagi? Kapan itu kan sudah dimasukkan rumah sakit dua atau tiga kali sama Pak Danny?" kata Jaka.
"Ayahnya keberatan kalau ibunya masuk rumah sakit lagi. Dia lebih senang merawat istrinya di rumah. Katanya kalau istrinya dirumahsakitkan, dia malah repot harus bolak-balik ke sana. Kalau nggak datang. kan nggak ada yang menemani Bu Fat. Kalau wira-wiri dua kali sehari, dia sendiri capek. mana dia kan nggak punya kendaraan, jadi harus naik bemo, ganti beberapa kali, nggak kuat lagi."
108
"Sekarang gimana perawatan ibunya?"
"Ya dokternya yang datang ke sana seminggu sekali untuk ngecek kondisi Bu Fat. Obat-obatan ya terus diberikan. Kata Dokter Budi, dirawat di rumah juga nggak apa-apa, karena di rumah sakit pun ya sama seperti itu. Malah pasien biasanya merasa lebih nyaman di rumah sendiri. Tapi kok nggak sembuh-sembuh?"
"Kalau begitu, ya kita berharap yang terbaik aja untuk ibunya Rahayu. Mudah-mudahan cepat sembuh." kata Jaka.
"Memang. Cuma kalau melihat keadaannya, aku tuh... tsk," Melody menggelengkan kepalanya.
"Nyawa itu di tangan Tuhan," kata Jaka berfilosofi.
"Kita pasrah aja."
"Cuma bagaimanapun juga aku tetap merasa bertanggung jawab, soalnya Bu Fat itu sakit gara-gara Rahayu dipulangkan Papa," kata Melody.
"Pak Danny mengambil tindakan yang benar, Mel. Andai Rahayu tidak dipulangkan, dia bisa terjerumus semakin dalam di sana, dan bisa-bisa berakhir tragis."
"Kalau sampai terjadi apa-apa pada Bu Fat, juga berakhir tragis." kata Melody.
"Ya, tapi itu bukan salahmu, juga bukan salah Pak Danny. Kalau ada yang salah. ya Rahayu sendiri. Dia sendiri yang menyebabkan dia dipulangkan. Lalu dia sendiri yang menghilang ke Jakarta setelah itu. sehingga ibunya merasa sedih dan sakit," kata Jaka.
"Rahayu orangnya sangat gengsi. Kira-kira dia malu dipulangkan itu. Teman-teman kami semua tahu kami
berdua berangkat ke London, kalau tiba-tiba dia pulang duluan, pasti dia merasa malu gagal menyelesaikan studinya." kata Melody.
"Di Jakarta kamu punya teman nggak yang kenal dia? Kalau ada. bisa minta tolong mereka yang menghubunginya." usul Jaka.
"Selama lima tahun di London, aku sudah kehilangan kontak dengan teman-teman lama. Aku udah nggak tahu mereka sekarang di mana." kata Melody.
"Begini. Aku punya teman di Jakarta. nanti coba aku minta tolong dia yang mencarikan info. Barangkali bisa," kata jaka.
"Wah, kalau bisa, aku berterima kasih banget lho, Ka!" kata Melody.
"Minta dia mencarinya di perusahaan-perusahaan asuransi dulu, kan kata ibunya Rahayu bekerja di perusahaan asuransi. Besok aku bawakan fotonya supaya temanmu tahu kira-kira gimana rupanya. Foto lama sih. waktu kami di London, mungkin penampilannya sekarang sudah beda, tapi wajahnya kan tetap sama."
"Oke. Semoga aja berhasil." kata jaka.
"Jaka!"
Jaka Herlambang mengangkat kepalanya. Di belakangnya berdiri Sabine Lemar.
Sabine membuat gerakan dengan telunjuknya yang mengindikasikan dia menghendaki Jaka mengikutinya. Lalu dia kembali ke kantornya.
Jaka pun berdiri dari duduknya dan mengikuti atasannya. Sialan, sudah hampir jam pulang kantor, dipanggil. Kalau sampai lama, Melody pasti tidak akan menunggunya dan pulang dengan ayahnya.
"Tutup pintunya," kata Sabine saat Jaka masuk ke kantornya. Dia sendiri sudah duduk di belakang mejanya.
Jaka pun menutup pintu di belakang punggungnya lalu duduk di kursi di hadapan meja Sabine.
"Ada apa, Bu?" tanyanya.
"Kenapa tiba-tiba Pak Danny menyerahkan customers "harian ke Melody?" tanya Sabine. Matanya mengawasi Jaka Herlambang dengan tajam, seperti seekor elang yang siap menerkam mangsanya.
"Wah, saya nggak tahu, Bu," kata jaka.
"Pak Danny nggak berunding dengan saya kok."
"Pak Danny sebelumnya nggak bicara tentang hal itu denganmu?" kejar Sabine.
"Enggak, Bu. Pak Danny kapan pernah bicara langsung dengan saya? Kan selalu kalau bicara dengan ibu." jawab Jaka.
"Soal ini dia juga nggak berunding dengan saya," kata Sabine Lemar.
"Pak Danny kan direktur, Bu, jadi kalau dia mau berbuat apa-apa tanpa berunding dengan kita. itu kan haknya." kata Jaka dengan nada sedikit sinis.
"Tidak biasanya Pak Danny nggak berunding dengan kita, apalagi ini menyangkut perubahan dalam departemen kita," kata Sabine Lemar.
"Lha Ibu kok nggak tanya aja sama Pak Danny
sendiri?" kata jaka. Sejak merasa akrab dengan Melody. dia sudah berani terhadap atasannya ini karena merasa punya beking.
"Melody cerita apa saja sama kamu?" tanya Sabine Lemar.
"Tentang apa. Bu?"
"Ya tentang masalah ini."
"Enggak cerita apa-apa."
"Ide mengambil alih customer relation ini bukannya datang dari dia?" pancing Sabine.
"Yang saya tahu. dia nggak cerita apa-apa sama saya, Bu," kata Jaka. Dia harus mencari posisi yang paling aman bagi dirinya sendiri. jangan sampai gajah sama gajah berkelahi. pelanduknya yang mati terjepit di tengah, bukan?
"Soalnya kan kamu yang membawa dia berkunjung ke relasi-relasi kita?"
"Iya, Bu, saya yang memperkenalkan Mbak Melody kepada relasi-relasi kita. Tapi kami nggak pernah cerita masalah Mbak Melody mau mengambil alih tugas customer "Harian itu," kata jaka bergeming.
"Apa dia bilang dia mau mengambil alih jabatan saya sekalian?" tanya Sabine Lemar.
"Apalagi soal itu, Bu! Menyinggung aja nggak pernah!" Jaka menunjukkan wajah kesal.
"Saya rasa dia mau mengambil jabatan saya," kata Sabine Lemar.
"Itu kan wewenang Pak Danny to, Bu, yang menentukan." kata Jaka.
"Saya mau tahu, kalau sampai hal itu terjadi, kamu mendukung saya enggak?" tanya Sabine Lemar.
"Maksud Ibu. mendukung gimana?" tanya Jaka.
"Kamu berdiri di belakang saya enggak?" tanya Sabine.
"Berdiri di belakang Ibu untuk apa?" tanya Jaka berlagak pilon.
"Ya menentang perubahan itu!" kata Sabine.
"Jadi, kalau Pak Danny memutuskan untuk menempatkan Mbak Melody sebagai kepala Pemasaran. ibu mau saya membantu Ibu menentang Pak Danny; gitu?" tanya Jaka Herlambang.
"Iya!"
"Lho. Bu. saya kan bukan manajemen! Saya cuma karyawan biasa. Kalau direkturnya membuat keputusan. masa saya disuruh menentang?" kata Jaka.
"Tapi Pak Danny kan nggak bisa semena-mena menc0p0t saya begitu saja dan memberikan jabatan itu kepada anaknya? Saya kan berhak mempertahankan posisi saya!" kata Sabine.
"Ya monggo kalau Ibu yang mau menentang Pak Danny. Ibu kan termasuk manajemen. Saya ya nggak berani. Bu. Bisa-bisa saya dipecat!" kata Jaka.
"Kamu kok nggak loyal sama saya. Ka?" kata Sabine kecewa.
"Ya loyal. Bu. Tapi kalau saya disuruh berhadapan dengan Pak Danny. ya maaf, saya nggak berani. Bu. Itu kan namanya konyol, wong karyawan kok mau melawan direktur. Bukan cuma nggak berani, tapi
saya merasa urusan itu kan nggak menyangkut saya. Itu kan urusan Ibu dengan Pak Danny."
"Jadi saya tidak bisa mengharapkan dukunganmu, Ka?" tanya Sabine.
"Kalau masalah pekerjaan, saya siap mendukung Ibu seratus persen. Tugas apa pun yang Ibu berikan, saya laksanakan sebaik-baiknya. Tapi kalau disuruh menentang Pak Danny. ya saya terpaksa menolak, Bu."
"Padahal kamu bisa menduduki jabatanmu hari ini kan berkat saya, Ka." kata Sabine.
"Saya yang mengangkat kamu menjadi wakil saya."
"Iya, Bu, saya tahu itu, dan saya berterima kasih diangkat menjadi wakil Ibu."
"Lha sekarang waktunya saya memerlukan supportmu kok kamu memble?" tanya Sabine bentar.
"Lha Ibu minta saya melawan Pak Danny, eh! Itu kan seperti lempung disuruh beradu dengan besi, ya remek, Bu!"
"Ya sudah kalau begitu, sekarang saya tahu kualitasmu. Tadinya saya pikir kamu itu tangguh, ternyata kamu cuma punya nyali tikus." kata Sabine jengkel.
"Maaf, saya nggak bisa membantu Ibu," kata Jaka berusaha mempertahankan sikap tenang di hadapan atasannya walaupun sudah di-tikus-tikus.
"Saya nyesel dulu milih kamu," kata Sabine Lemar. Dia langsung mengalihkan pandangannya ke kertaskertas di atas mejanya.
"Sudah, pembicaraan ini selesai," tambahnya sambil mengibaskan tangannya sebagai isyarat menyuruh bawahannya menyingkir dari hadapannya.
"Makasih. Bu," kata Jaka Herlambang sambil berdiri, tak lupa mengembalikan letak kursinya ke tempatnya yang semula.
Mendengar jawaban penutup yang sinis itu, Sabine Lemar segera mengangkat matanya dan memandang laki-laki yang masih ada di hadapannya sedang mendorong kursi merapat ke mejanya. Apakah dia sedang tersenyum? pikir Sabine. Kurang ajar! maki Sabine dalam hatinya. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa karena secara harafiah jawaban Jaka Herlambang tidaklah salah.
"Apakah Pak Danny akan menggeser aku?" tanya Sabine Lemar.
Shaun Harman yang sedang bekerja di komputernya dikejutkan oleh suara itu. Dia mengangkat kepalanya dan memandang tamunya dengan bengong.
"Apa bener begitu?" tanya Sabine Lemar lagi.
"Apanya yang bener?" Shaun masih bingung. Dia tidak benar-benar mendengar pertanyaan Sabine yang pertama tadi.
"Pak Danny akan menggeser aku. Kamu tahu tentang rencananya itu?" ulang Sabine.
Shaun Harman mengerutkan keningnya. Dia bukan orang yang cepat bereaksi. Dia butuh waktu untuk mencerna informasi yang didengarnya sebelum memberikan tanggapan.
"Kenapa kamu berpikir begitu?" akhirnya dia bertanya.
"Firasatku bilang begitu," kata Sabine.
"Oh. jadi cuma fitasatmu? Aku sangka Pak Danny sudah ngomong sesuatu padamu," kata Shaun menyandarkan punggungnya di kursinya dan menggerak-gerakkan lehernya untuk mengendurkan otot-ototnya yang tegang.
"Is it true?" tanya Sabine.
"Mana aku tahu, Bine," kata Shaun.
"Pak Danny nggak berunding denganmu? Kamu kan tangan kanannya." Sabine tidak duduk tetapi tetap berdiri di depan meja Shaun.
"Pak Danny tidak ngomong apa-apa sama aku," jawab Shaun.
Sabine mengembuskan napas panjang.
"Aku nggak nyangka akhirnya aku akan disingkirkan begitu aja," katanya.
"Hei, kalau Pak Danny belum ngomong apa-apa sama kamu. kenapa kamu sudah berpikiran begitu?" tanya Shaun.
"Jangan-jangan Pak Danny sama sekali tidak punya rencana untuk menggesermu."
"Coba kamu pikir secara logis. Si Melody itu mau ditempatkan di mana?" kata Sabine.
"Ya di bagianmu sekarang," kata Shaun.
"Lha iya! Di bagianku! Dia anak direktur, kan nggak mungkin kalau dia jadi anak buahku? Logisnya aku yang harus jadi anak buahnya," kata Sabine.
"Dia kan belum pengalaman," kata Shaun.
"Nggak jadi soal, kan masih ada aku. Tapi dia
akan menjadi atasanku dan aku harus menjadi bawahannya." kata Sabine.
"Asal gajimu nggak dipotong. ya nggak apa-apa dia jadi atasanmu, Bine. Hitung-hitung dia memang anaknya bos," kata Shaun.
"Aku harus tunduk sama anak kemarin sore yang nggak tahu apa-apa?" tanya Sabine.
"Lha kalau memang Pak Danny menunjuk anaknya untuk menjadi atasanmu, ya harus kamu terima hal itu. Kalau enggak ya kamu cari pekerjaan lain. Bine." kata Shaun ringan.
"Lho! Aku sudah bekerja di sini lebih dari delapan tahun. Shaun! Aku nggak berbuat kesalahan apa-apa. masa aku disuruh angkat kaki?" Mata Sabine melotot. Dia tidak menyangka temannya akan memberikan usulan itu kepadanya.
"Aku nggak menyuruh kamu angkat kaki. Tapi kalau kamu nggak bisa menerima keputusan Pak Danny, memangnya kamu mau berbuat apa? Direktur mau kamu lawan, Bine?" tanya Shaun sambil menggelenggelengkan kepalanya.
"Mauku itu kita harus membuat Pak Danny melihat bahwa aku lebih berhak duduk di kursi kepala Pemasaran ketimbang anaknya," kata Sabine.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita?" Shaun Harman mengerutkan keningnya.
"Ya. Aku berharap kamu mau membelaku," kata Sabine.
"Bine. mengangkat dan memberhentikan seorang manajer itu wewenang direktur. bukan wewenangku. Aku nggak bakalan melawan kehendak Pak Danny
kalau dia memang mau menempatkan anaknya sebagai kepala Pemasaran." kata Shaun Harman.
"Mana rasa solidaritasmu. Shaun?" tanya Sabine dengan nada jengkel. Dia merasa sudah dikhianati baik oleh Shaun Harman maupun oleh Jaka Herlambang.
"Aku nggak sependapat denganmu, Bine, gimana aku harus membelamu? Aku nggak bakalan melawan bosku, apalagi untuk masalah yang menurutku adalah hak dia sepenuhnya untuk memutuskan," kata Shaun.
"Jadi kamu juga akan mengorbankan aku?" tanya Sabine Lemar.
"Jangan mendramatisasikan hal ini, Bine. Aku nggak mengorbankan kamu. I am not in the game. Ini bukan peperanganku, Bine. Ini adalah antara kamu dan Pak Danny!" kata Shaun Harman.
"Aku tahu. Tapi aku tadinya berharap teman-temanku akan mendukungku," kata Sabine.
"Sekarang aku menyadari sesungguhnya aku nggak punya teman." Tiba-tiba matanya segera terasa panas dan tanpa disadarinya setetes air matanya mengalir keluar.
Shaun Harman pun mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas punggung tangan Sabine yang terletak di atas mejanya.
"Kamu nggak bisa mencampurkan antara masalah pekerjaan dan teman, Bine. Aku selalu temanmu, tapi ini urusan pekerjaan yang di luar wewenangku.Lagian ngapain kamu sekarang sudah berspekulasi tentang hal yang belum terjadi?"
"Karena aku takut kehilangan pekerjaanku, Shaun!"
isak Sabine Lemar. Semua ketangguhan dan kehebatannya sekarang luntur. Dia hanyalah seorang wanita yang lemah.
"Kamu nggak akan kehilangan pekerjaanmu, Bine! Pak Danny pasti tidak akan memecatmu. Paling banter dia menempatkan Melody sebagai atasanmu. Itu aja."
"Tapi itu merupakan tamparan keras di mukaku, Shaun! Aku kan malu!" kata Sabine.
"Kenapa malu? Kalau Pak Danny menempatkan anaknya menjadi atasanmu, semua orang tahu itu karena Melody anaknya, bukan karena kamu nggak mampu melaksanakan tugasmu. Kalau kamu nggak mampu. nggak selama ini kamu bisa duduk di kursimu, Bine."
Sabine Lemar masih terisak.
"Bine."
Sabine mengusap matanya. Maskaranya sedikit luntur.
"Kalau masalah itu begitu mengganggumu, kenapa kamu nggak menghadap Pak Danny saja dan membicarakannya blak-blakan dengannya? Jangan melawannya, cukup kamu mengetengahkan perasaanmu kepadanya. Selanjutnya terserah kepadanya," kata Shaun.
"No," geleng Sabine.
"Aku berharap kamu yang akan membicarakan hal itu dengan Pak Danny. Aku nggak mau mengemis padanya!"
Shaun Harman mengembuskan napas panjang.
"Oke. kalau Pak Danny menyinggung hal itu kepadaku, aku akan menyampaikan perasaanmu kepadanya." katanya.
Sabine Lemar tersenyum.
"Thanks, Shaun. Aku tahu aku bisa berharap padamu," katanya.
"Sekarang aku harus menyelesaikan ini," kata Shaun menunjuk ke layar monitornya.
"Dan kamu sebaiknya keluar dari sini. Nanti orang-orang menyangka aku yang telah membuatmu menangis."
Sabine Lemar tersenyum, membalikkan badannya, dan segera meninggalkan kantor Shaun Harman.
**
"TEMANKU berhasil menemukan Rahayu," Kata Jaka pagi-pagi begitu Melody tiba di kantor.
"Sungguh?" tanya Melody langsung tertarik.
"Ya. Dia bekerja di perusahaan asuransi Rantai Emas."
"Apa temanmu sudah bilang padanya bahwa ibunya sakit?" tanya Melody.
"Ya. Dan temanku berkata dia akan segera pulang."
"Kapan?"
"Secepatnya. Dia kan harus minta izin dari bosnya. Tapi dia sudah tahu ibunya sakit keras dan dia harus pulang secepatnya."
"Wah, makasih banget, Ka! Aku berutang padamu!" kata Melody.
"Nggak apa-apa, ntar aku minta dibayar plus bunganya," kata Jaka sambil tersenyum.
Melody tertawa ngikik.
'Apa temanmu bilang padanya bahwa aku sudah pulang?" tanyanya.
"Tidak."
"Lho, kenapa tidak?"
"Karena aku nggak memberitahu temanku tentang kamu."
"Why not?"
"Karena aku nggak mau dia memberitahu Rahayu bahwa kamu sudah datang."
"Kenapa?"
"Karena aku khawatir Rahayu mungkin tidak mau pulang kalau dia tahu kamu ada di sini."
Melody mengerutkan keningnya.
"Mel, dia sudah sekian lamanya memutuskan hubungan denganmu. itu artinya dia nggak mau bertemu denganmu. Yang penting sekarang kan dia pulang untuk ibunya. Dengan kamu nanti bisa dibicarakan setelah dia ada di sini," kata Jaka.
Melody manggut-manggut.
"Kamu bener," katanya.
"Aku selalu bener," nyengir Jaka.
Melody tertawa, persis waktu Sabine Lemar melangkah masuk ke kantor Pemasaran.
Sabine langsung membeku, lalu melemparkan pandangannya dari Melody ke Jaka, kembali lagi ke Melody. Hmph! Jadi kedua orang ini sudah menertawakannya di belakang punggungnya!
"Ada yang lucu?" tanyanya dengan mimik serius.
"Oh, enggak, enggak," kata Melody masih sambil menekan senyumnya.
"Kalau ada yang lucu, aku juga ingin mendengarnya," kata Sabine.
"Enggak, cuma lelucon kecil antara Jaka dan aku," kata Melody.
Sabine memandang kedua orang itu secara bergantian sekali lagi, lalu langsung menuju ke kantornya sendiri. Pantesan si Jaka tidak mau mendukungnya, ternyata dia sedang mendekati Melody! Dia pikir Melody akan menjadi atasannya, jadi belum-belum dia sudah menjilat pantatnya!
Duduk di belakang mejanya sendiri, Sabine merasakan amarahnya meningkat. Sialan si Jaka! Ternyata kecoak itu sama sekali tidak punya loyalitas! MeStinya dia kan berterima kasih kepadaku karena aku yang mengangkatnya menjadi wakilku! Tapi begitu melihat ada kesempatan yang lebih bagus muncul, dia langsung berbalik arah. Sialan! Betul-betul sialan! Awas, aku akan membalas pengkhianatannya ini! Aku akan membalasnya! Entah bagaimana. tapi aku pasti akan membalasnya! Enak saja dia memanfaatkan aku lalu mengkhianatiku! Habis manis sepah dibuang, begitu pikirnya? Dia akan menyesal! Aku akan membuatnya menyesal!
Sabine Lemar mengangkat matanya. Dari kaca jendelanya dia bisa melihat ke ruang kerja Bagian Pemasaran dan Penjualan yang berada di luar kantornya. Dia melihat Jaka Herlambang masih sedang bergurau dengan Melody Lesmana. Dahi Sabine Lemar mengerut. Apakah ada hubungan istimewa antara mereka berdua di luar urusan kerja? Astaga! Tentu saja! Tentu
saja ada hubungan istimewa antara mereka berdua! Kenapa aku tidak melihatnya sejak semula? Betapa naifnya aku! Seharusnya aku sudah bisa menebaknya! Melody Lesmana, ahli waris Lesmana Corporation, single, punya status. walaupun tidak terlalu cantik, sudah pasti merupakan dambaan setiap laki-laki yang ingin meraih sukses dan kedudukan lewat perkawinan. Dan ternyata Jaka Herlambang si kecoak tak bermartabat sudah berani terjun dalam percaturan ini! Jaka Herlambang yang bukan siapa-siapa sudah berani berharap menjadi menantu pendiri Lesemana Corporation! Apakah Danny Lesmana tahu tentang hal ini? Tentu saja tidak! Danny Lesmana tak akan mengizinkan anaknya dipersunting kecoak seperti Jaka Herlambang! Dia saja tak akan membiarkan anaknya Tara dipersunting Jaka Herlambang. apalagi seorang Danny Lesmana!
Seulas senyum tampak merekah di bibir Sabine Lemar. Dia sudah menemukan jalan untuk membalaskan dendamnya kepada Jaka Herlambang!
"Mel! Ntar kita pulang sama-sama." kata Danny Lesmana saat makan siang.
Sudah menjadi kebiasaan di Lesmana Corporation, semua kepala bagian, wakil mereka, dan para supervisor makan siang bersama sang direktur di ruang khusus di dalam kantin. Saat ini yang menjadi perkecualian dari mereka yang duduk mengelilingi meja
persegi panjang di ruang makan khusus hanyalah Melody Lesmana, yang belum punya jabatan manajerial apa pun. Tapi karena dia anak sang direktur, tak ada yang protes. Semua bisa menerima kehadiran Melody Lesmana di meja ini.
"Oh, tapi aku sudah punya janji dengan Jaka, Pap," kata Melody dengan segala keterbukaan.
"Hari ini kamu ikut Papa," kata Danny Lesmana sambil tersenyum.
"Memangnya ada rencana khusus, Pap?" tanya Melody Lesmana.
"Ya."
"Oke," anguk Melody.
"Ntar aku batalkan janjiku dengan Jaka."
Sabine Lemar melirik ke Danny Lesmana, tapi sang direktur sudah berpaling ke Shaun Harman yang duduk di sampingnya dan membicarakan hal yang lain sementara Melody juga sudah mulai mengobrol dengan Rahadian yang duduk di hadapannya.
"What? up?" tanya Melody saat pukul lima lewat sepuluh dia masuk ke kantor Danny Lesmana.
"Ah, kamu sudah selesai? Kalau begitu, yuk kita pulang," kata Danny segera mengemasi dokumen dokumen di atas mejanya dan memasukkannya ke dalam lacinya.
"Apa kita pulang atau Papa mau membawaku ke suatu tempat?" tanya Melody sedikit heran.
125
"Kita pulang," kata Danny Lesmana.
"Nanti kita bicara di rumah."
"Tentang apa?" tanya Melody mengerutkan keningnya.
"Kita bicara nanti di rumah," ulang Danny. Dia sudah berdiri dari kursinya. dan mengangkat tasnya.
"Urusan keluarga?" tanya Melody.
"Ya," kata Danny.
Mereka berjalan sepanjang koridor. Di depan pintu kantor Shaun Harman yang terbuka, mereka melihat laki-laki itu masih berkutet dengan pekerjaannya di dalam.
"Shaun! Waktunya pulang!" kata Danny mengangkat suaranya.
Shaun Harman terkejut, mengangkat kepalanya, lalu menyeringai.
"Ya, ya, kalian duluanlah," katanya.
Melody pun mengangkat tangannya sebagai lambaian kepadanya.
"Rahayu sudah berhasil dikontak," kata Melody sementara mereka berjalan ke tempat parkir mobil.
"Oh ya? Ketemu di mana?" tanya Danny.
Bob Partahi segera membukakan pintu mobil bagi majikannya.
"Teman Jaka yang berhasil menemukannya. Katanya dia sekarang bekerja di Asuransi Rantai Emas."
Mereka naik ke dalam mobil. Bob Partahi segera menutup pintu dan tak lama kemudian membawa Mercedes itu keluar meninggalkan kompleks perusahaan di kawasan industri Rungkut.
"Gimana kok teman si Jaka bisa menemukan anak itu? Memangnya dia kenal?"
"Enggak. Ya dia keliling ke semua kantor asuransi di Jakarta. Kan kata Bu Fat, Rahayu bekerja di kantor asuransi. Ya dicari satu-satu akhirnya ketemu."
"Hm. terus gimana sekarang?"
"Dia sudah diberitahu bahwa Bu Fat sakit dan dia bilang akan segera pulang."
"Bagus kalau begitu. Orangtuanya pasti gembira melihatnya."
"Iya, kasihan Bu Fat dan Pak Ali. Mudah-mudahan setelah bertemu Rahayu, penyakit Bu Fat bisa sembuh," kata Melody.
"Sembuhnya sih mungkin nggak bisa. Mel," kata Danny.
"Sudah parah gitu. Organ-organ vitalnya di dalam sudah nggak berfungsi dengan normal."
"Lha iya, padahal sebetulnya Bu Fat itu kan belum tua bener. Belum lima puluh. tapi sudah kelihatan seperti tujuh puluh."
"Itu karena makannya kurang gizi dan dari muda hidupnya berat," kata Danny Lesmana.
"Dulu kelihatannya hidup mereka juga nggak melarat amat, Pap. Kan mereka punya depot jualan gadogado yang cukup laris. Sekolah Rahayu dan Rahadian yang membiayai juga Papa. Jadi mestinya hasil depot mereka itu cukup buat hidup layak."
"Kelihatannya begitu, tapi buktinya kesehatan mereka kurang bagus. Baik Pak Ali maupun Bu Fat kan tampak jauh lebih tua dari usia mereka yang sebenarnya," kata Danny Lesmana.
"Lha iya, mereka juga nggak punya rumah sampai baru sekarang dikreditkan Rahadian. Ke mana semua ya hasil depot mereka dulu?" tanya Melody.
"Papa juga nggak tahu, nggak pernah tanya. Itu kan urusan mereka sendiri. Lha kamu yang bersahabat dengan Rahayu, apa ceritanya tentang keuangan orangtuanya?" tanya Danny Lesmana.
"Rahayu nggak pernah cerita soal itu. Mungkin karena saudara Bu Far itu banyak. sehingga banyak yang minta uang darinya," kata Melody.
"Ya itulah. Kalau banyak yang minta tunjangan dari mereka, ya sudah pasti habislah hasil depot mereka." kara Danny lesmana.
"Itulah kesalahan kebanyakan orang kita. Diri sendiri belum mampu, sudah terpaksa menolong kiri-kanan. Ya bukannya membantu, malah diri sendiri ikut tenggelam."
"Abis gimana, Papi Kalau ada saudara yang minta bantuan. apa nggak diberi?" tanya Melody.
"Kita itu boleh menolong orang lain, tapi kebutuhan diri sendiri harus dipenuhi dulu. lebihnya baru untuk membantu orang lain. Lha kalau kita melihat ada orang tercebur di air sedangkan kita sendiri tidak bisa berenang, apa kita bisa membantu orang itu? Kalau kita ngotot ikut masuk ke air untuk menolong. bukannya kita bisa menyelamatkan yang tercebur, malah kita sendiri ikut tenggelam."
"Iya, Pap, betul juga. Di pesawat itu kan ada tulisan. dalam keadaan darurat orang-orang dewasa harus mengenakan pelampung atau alat oksigennya sendiri dulu. baru menolong anak-anak mereka."
"Betul. Logisnya memang begitu. Kalau diri sendiri belum terjamin keselamatannya, bagaimana bisa menolong orang lain?"
Melody Lesmana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi itu bukan egois ya, Pap, menolong diri sendiri dulu?" tanyanya lebih lanjut.
"Melakukan apa pun membutuhkan kemampuan. Kalau kita sendiri tidak punya kemampuan untuk menolong orang lain, bagaimana kita bisa melakukannya? Pertama-tama, kita sendiri harus memenuhi warat dulu untuk menolong orang, baru kita bisa melakukannya. Kalau tidak, ya sia-sia. Yang ditolong tidak selamat. Kita juga tidak selamat. Dua-dua mati konyol. Eksrtemnya begitu."
Melody mengangguk angguk lagi.
"Coba. kalau Pak Ali memakai uang hasil depotnya itu untuk mengembangkan usahanya, kan hari ini mungkin depot kecilnya sudah menjadi depot yang lebih besar dan menghasilkan lebih banyak lagi. Kehidupannya juga bakal lebih baik, punya lebih banyak uang untuk membeli makanan yang bergizi. punya uang untuk periksa dokter dan merawat kesehatannya, dan lain-lain. Baru dalam kondisi itu dia cukup kuat untuk menolong saudara-saudaranya yang kurang mampu," kata Danny Lesmana.
"Iya, sekarang uang mereka semuanya habis. Depotnya sudah nggak ada. Uang juga nggak ada. Untunguntung Rahadian masih mampu menghidupi mereka," kata Melody.
"Makanya, uang itu perlu. Mel. Jangan mendengarkan kata-kata orang bodoh yang mengatakan uang bukan segalanya. Memang betul. uang bukan segalanya. Tapi tanpa uang. kamu tidak bisa mendapatkan yang lain," kata Danny Lesmana.
"Itu aku juga sudah tahu, Pap. Uang di manamana sangat perlu. Mau kencing di toilet umum aja harus bayar! Kalau nggak punya uang kan nggak bisa kencing! Mana orang bisa hidup tanpa uang?" kata Melody tertawa.
"Syukurlah kamu pintar." kata Danny Lesmana.
"Banyak orang yang seusiamu itu idealismenya lagi mekar-mekarnya sehingga logikanya nggak jalan. Apalagi anak-anak muda. Cinta adalah segalanya. bagi mereka. Nggak punya uang nggak apa-apa, kata mereka. Memangnya mau makan angin?"
Melody tertawa.
"Semua orang pernah melewati tahap idealisme itu, Mel." kata Danny Lesmana.
"Bedanya cuma ada yang hanya mengalaminya sebentar lalu cepat mendusin, ada yang terbuai terus nggak sadar-sadar sampai terlambat."
"Memangnya apa sih. Pap. yang mau dibicarakan itu?" bisik Melody kepada ayahnya yang duduk di sampingnya.
"Bob. kita mampir di Restoran Taman Sari saja." kata Danny kepada sopirnya.
"Taman Sari?" tanya Bob terkejut.
"Iya. Di depan patung Jogodolok itu." kata Danny.
"Baik, Pak," kata Bob langsung mengubah haluan mobil yang disetirnya.
"Ngapain ke Taman Sari, Pap?" tanya Melody.
"Papa pikir lebih baik kita bicara di sana saja, nggak terganggu orang lain. Di rumah nanti ada si Lisa segala."
Taman Sari adalah sebuah restoran yang kebunnya ditata sedemikian rupa menyerupai taman di Jepang. dengan pepohonan yang terpangkas rapi dan batu-batuan yang disusun cantik.
Di sini para tamu bisa memilih duduk di kebun yang asri di samping atau di dalam gedung utama. Karena letaknya yang jauh dari jalanan yang ramai. kebunnya tidak terganggu oleh hiruk-pikuknya suara kendaraan maupun polusi dari emisi kendaraan dan debu. Malam hari kebun ini dihiasi oleh lampu-lampu kecil yang membuat suasana terasa hangat dan romantis. Di bulan-bulan cerah, kebanyakan tamu memilih duduk di kebun daripada di dalam gedung.
Danny Lesmana berjalan ke sebuah kursi di taman yang indah ini. Melody mengikuti ayahnya.
Seorang waiter langsung menyambut mereka dan menyerahkan daftar menu.
"Saya cuma mau minum kopi saja," kata Danny Lesmana kepada si waiter.
"Saya mau es kelapa muda, tanpa gula ya," kata Melody.
Waiter itu pun menghilang meninggalkan mereka.
"Selama ini gimana pendapatmu tentang Bagian Pemasaran dan Penjualan kita?" tanya Danny Lesmana menunggu datangnya kopi pesanannya.
"Oke. Aku rasa semuanya baik. hanya sayang Sabine itu orangnya kurang supel," kata Melody.
"Kamu nggak suka dia?"
"Basically not." kata Melody.
"Dia mungkin sedikit sombong tapi sebagai kepala bagian dia perlu bersikap begitu supaya anak-anak buahnya terkontrol," kata Danny Lesmana.
"Memangnya kontrol tidak bisa dijalankan dengan lebih supel?" kata Melody.
"Selama ini Papa tidak punya komplain terhadap cara Sabine menjalankan departemennya," kata Danny Lesmana.
Si waiter kembali membawa pesanan mereka dan meletakkannya di atas meja.
"Ada pesanan lain lagi, Pak?" tanyanya kepada Danny Lesmana.
"Sementara ini belum." senyum Danny.
"Nanti kalau perlu, saya panggil."
Si waiter pun pergi meninggalkan mereka.
"Papa mungkin tidak punya komplain. tapi para customer punya banyak," kata Melody.
"Masalah itu kan sudah diatasi. Kan kamu yang menghandel para customer sekarang," kata Danny meminum kopinya.
"Hmmm," katanya.
"kopinya enak. cukup kental."
132
"Pap. sebetulnya aku rasa Jaka lebih cocok menjadi kepala Pemasaran ketimbang Sabine," kata Melody.
Danny Lesmana mengangkat alisnya. Dia segera meletakkan cangkirnya di atas meja.
"Dan kenapa kamu berpendapat begitu?" tanyanya.
"Dia menguasai pekerjaannya. Dia bisa menjalankan semua tugas Sabine. Dia lebih supel dan lebih disukai baik oleh anak-anak buahnya maupun oleh para mandor". Dia juga bisa bekerja sama lebih baik dengan kepala-kepala bagian yang lain." kata Melody.
"Apa penilaianmu itu tidak terpengaruh hubunganmu dengannya?" tanya Danny Lesmana.
"Sama sekali enggak," kata Melody.
Danny Lesmana merapatkan bibirnya dan memandang anaknya.
"Sebetulnya itu yang mau Papa bicarakan denganmu," katanya.
"Sungguh? Jadi Papa mau mengangkat Jaka untuk menjadi kepala Pemasaran?" tanya Melody sambil tersenyum lebar.
"Na. Papa mau membicarakan hubunganmu dengannya." Danny tampak serius.
"Hubungan?" tanya Melody heran.
"Sebetulnya sampai di mana hubunganmu dengannya?" tanya sang bapak.
"Kami teman baik," kata Melody.
"Ada rencana untuk menjadi pacarnya?" Danny Lesmana memandang wajah anaknya dengan teliti.
Melody tersenyum. Dia meneguk minumannya.
'Maybe," katanya.
"Don't." kata Danny Lesmana. Nadanya tidak main-main.
"Lho, kenapa?" tanya Melody.
"Dia bukan kelas kita. You desert): someone better."
"Aduh, Pap. masa zaman sekarang masih ada perbedaan kelas sih?" kata Melody.
"Tentu saja!"
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, Papi"
"Seorang perempuan tidak boleh menikah dengan laki-laki yang kelasnya lebih rendah darinya. Minimal harus sama, lebih baik lagi kalau lebih tinggi," kata Danny Lesmana.
"Kenapa?"
"Karena seorang istri harus bisa selalu respek kepada suaminya. Kalau suaminya lebih rendah darinya, si istri tidak akan respek kepadanya. Dan perkawinan yang demikian ini sangat menyedihkan."
"Respek masa selalu berdasarkan kelas, Pap?"
"Kelas adalah salah satunya. Masih ada yang lain. Karena itu seorang suami harus lebih dalam segala hal dibandingkan istrinya, baru perkawinan itu bisa bahagia," kata Danny Lesmana.
"Maksud Papa lebih dalam hal apa saja?"
"Lebih pandai, lebih mampu, lebih dewasa, lebih kuat, pokoknya lebih dalam segala hal."
"Jadi seorang wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki di bawah kelasnya, tapi seorang laki-laki malah harus menikah dengan wanita yang berada di bawah kelasnya, begitu?" tanya Melody.
134
"Persis. Makanya baru imbang," kata Danny Lesmana.
"Apa itu bukannya teori kuno, Pap? Waktu anak perempuan tidak disekolahkan tinggi-tinggi supaya dapat jodoh?" kata Melody.
"Mau bilang teori kuno atau bukan. yang pasti. kalau seorang istri posisinya lebih tinggi dari suaminya, itu membawa problem dalam rumah tangganya."
"Kalau begitu. perempuan yang pintar-pintar, yang punya jabatan tinggi. susah dapat jodoh, Pap!"
"Ya mereka harus mencari laki-laki yang lebih dari mereka, kalau tidak perkawinan itu sudah pasti gagal."
"Apa itu bukan tergantung si laki-laki? Memang ada laki-laki yang merasa kecil kalau istrinya lebih sukses dari dirinya. lalu hubungan menjadi renggang. Tapi kalau si laki-laki tidak mempersoalkan hal itu. kan semuanya oke?" bantah Melody.
"Kalau ada laki-laki yang tidak mempermasalahkan hal itu, berarti dia itu mata duitan dan dia memang sengaja mengawini gadis yang lebih kaya, atau dia seorang yang dungu. Kedua-duanya bukan tipe menantu yang Papa harapkan," kata Danny Lesmana.
"Lho, kok gitu, Pap?"
"Laki-laki yang punya tulang punggung tidak mau hidup dari istrinya. Dia yang harus menghidupi istrinya! Laki-laki yang tidak punya tulang punggung tidak pantas menjadi suamimu," kata Danny Lesmana.
"jadi pada dasarnya Papa ini mau bilang aku nggak boleh pacaran dengan jaka?" kata Melody.
"Persis!"
"Oke." kata Melody mengangkat bahunya.
"No big deal .Memangnya aku juga belum sreg mau menjadi pacarnya." Melody cukup tahu bahwa semua orangtua tidak suka ditentang. Semakin ditentang, jangan-jangan ayahnya malah akan membenci jaka sehingga kelanjutan hubungan mereka akan semakin sulit. Lebih baik dipatuhi aja apa yang diinginkan orangtua, atau paling tidak ya "pura-pura" dipatuhi begitulah. Jalan belakang kan masih banyak?
"Itu tandanya kamu memang pintar. Jaka karyawan yang baik, tapi dia bukan materi suami yang cocok bagimu."
"Oke." Melody menghabiskan minumannya.
"anything else?"
Danny Lesmana mengerutkan keningnya. Biasanya tidak semudah ini anaknya menyerah.
"Papa lebih senang kamu menjajaki Shaun," kata Danny Lesmana memerhatikan reaksi putrinya.
"Shaun?" Melody heran.
"Ya Dia memang sedikit lebih tua darimu, tapi dia jodoh yang pantas bagimu." kata Danny Lesmana.
"Tapi Shaun sama sekali tidak tertarik padaku! Bahkan aku rasa dia tidak tertarik pada perempuan sama sekali. Dia lebih senang berkutet dengan komputernya," kata Melody.
"Shaun pernah patah hati, karena itu dia enggan memulai hubungan dengan gadis lain."
"Wah, kalau ada laki-laki patah hati lalu tidak bisa bonne: back, berarti wataknya terlalu sensitif, Pap."
"Laki-laki yang sensitif kan baik?" kata Danny.
"Iaki-laki yang sensitif itu mengerikan," kata Melody.
"Di film-film yang menjadi pembunuh, yang menjadi pemerkosa, sebagian besar adalah orang-orang yang terlalu sensitif yang tidak bisa melupakan sakit hatinya."
Danny Lesmana terbahak.
"Kenapa?" tanya Melody.
"Papa tidak bisa membayangkan Shaun menjadi pembunuh atau pemerkosa," katanya.
"Dia orang yang sangat lembut hatinya. Nyamuk aja tidak dibunuhnya. hanya dikibaskan saja."
"Apa itu bukan orang yang aneh? Orang normal melihat nyamuk ya langsung dibunuh, Pap. Memangnya mau donor darah?" kata Melody.
"Kata Shaun nyamuk juga punya hak untuk hidup, sama seperti serangga lainnya."
Melody Lesmana mengangkat alisnya lalu menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak mau punya suami yang takut membunuh nyamuk," katanya.
"Sekarang banyak obat pengusir nyamuk," jawab Danny Lesmana.
"Aku sangka Shaun itu berpacaran dengan Sabine?" kata Melody.
"Mereka pernah berkencan beberapa kali, tapi sudah nggak ada kelanjutannya," kata Danny Lesmana.
"Kok Papa tahu? Memangnya Shaun suka curhat sama Papa?" Nada heran.
"Bukan Shaun, tapi Sabine. Dia kecewa karena Shaun tidak melanjutkan kencan mereka."
"Kalau sama nyamuk aja Shaun sudah takut, apalagi sama Sabine," kekeh Melody.
"Papa tahu cerita patah hatinya si Shaun? Siapa ceweknya?"
"Namanya Tania. Mereka sudah berpacaran selama tiga atau empat tahun, sempat bertunangan, bahkan sudah mempersiapkan perkawinan. Hotel tempat pesta akan diadakan sudah di-boak, gaun pengantin sudah dipesan, undangan sedang dicetak, tiba-tiba si cewek memutuskan hubungan. Shaun begitu shock sampai selama beberapa minggu dia seperti orang linglung," kata Danny Lesmana.
"Kapan itu terjadinya?"
"Sekitar empat tahun yang lalu."
"Kasihan si Shaun. Kenapa ceweknya minggat?" tanya Melody.
"Kecantol teman Shaun sendiri."
"Oh, jadi si cewek menikah dengan orang lain?"
"Itu Papa nggak tahu, dan juga nggak sampai hati bertanya ke Shaun. Yang Papa dengar si Tania ini tiba-tiba berangkat ke Canada menyusul teman Shaun itu. Yang membuat Shaun shock itu Tania menghilang begitu aja bahkan tanpa pamit, tanpa penjelasan padanya. Baru tiga hari setelah dia menghilang, orangtuanya yang menjelaskan bahwa Tania membatalkan rencana perkawinan mereka."
"Shaun," kata Melody sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,
"itu sungguh keterlaluan."
"Orangtua Tania itu sampai nangis-nangis minta
maaf kepada keluarga Shaun. Mereka juga tidak tahu apa-apa. Ternyata Tania sama sekali tidak berunding dengan mereka. Akhirnya mereka mengganti semua pengeluaran yang telah dibuat Shaun dan keluarganya untuk rencana perkawinan yang batal itu. Mereka merasa sangat malu dan menyesal atas perbuatan Tania."
"Dan Shaun?"
"Dia butuh waktu yang cukup lama untuk kembali menjadi dirinya sendiri. Tapi akhirnya dia berhasil pulih dari traumanya itu."
"Dan setelah itu dia berkencan dengan Sabine?"
"Eh, seingat Papa mereka baru mulai berkencan tahun lalu. Sebelumnya Sabine kan masih belum bercerai dari suaminya."
"Pasti Sabine yang ingin menjalin hubungan dengan Shaun," kata Melody.
"Sabine memang naksir dia. Mereka sebaya, sekantor lagi. Shaun kan orangnya baik, dari keluarga baikbaik juga, pekerjaannya sukses, jadi ya lumrahlah kalau Sabine naksir dia untuk dijadikan suami keduanya," kata Danny Lesmana.
"Lha kok Papa menyuruh aku menjajaki hubungan dengan Shaun?" tanya Melody.
"Karena Papa tahu Shaun tidak berminat pada Sabine. Mungkin betul kamu, dia takut sama Sabine," senyum Danny Lesmana.
"Sabine itu sudah tidak senang sama aku, Pap. Lha kalau sekarang ditambah aku berkencan dengan Shaun, dia kan akan sangat membenciku. Bisa-bisa aku digoroknya!" kekeh Melody.
"Sabine itu hanya galak di luarnya, Mel. Orangnya sebetulnya baik kok. Awal-awalnya dia nggak seperti ini. Setelah ada masalah dalam perkawinannya baru dia berubah menjadi galak. Lha itu salah satu contoh perkawinan yang bubar karena suaminya hanya karyawan kecil sedangkan Sabine punya kedudukan," kata Danny Lesmana.
"Menurut pendapatku, walaupun suaminya sukses tapi kalau istrinya seperti Sabine ya sulitlah mempertahankan perkawinan mereka. Dia itu galak banget lho, Pap. Aku aja terus mengalah sama dia, supaya jangan sampai orang lain mengira mentang-mentang aku anak Papa lalu mau bertengkar dengannya. Sebetulnya lama-lama aku juga sudah bosan mengalah terus, soalnya Sabine selalu mau menangnya sendiri," kata Melody.
"Papa tahu dia galak tapi itu kan karena dia memang harus bertanggung jawab menjalankan departemennya dengan sukses. Kamu juga nggak perlu selalu mengalah padanya. Kalau memang kamu yakin pendapatmu bener, ya bicarakan baik-baik dengannya," kata Danny Lesmana.
"Males mau ngomong banyak-banyak sama dia. Belum-belum dia sudah selalu pasang wajah cemberut begitu melihat aku. Beberapa kali apa yang aku kerjakan, dia batalkan begitu aja tanpa tanya apa-apa. Sebetulnya dia itu nggak cocok jadi kepala Pemasaran. Lebih cocok dia jadi kepala penjara."
Danny Lesmana tersenyum.
"Kamu begitu membencinya?" tanyanya.
"Aku yakin perasaan itu mutual. Bahkan dialah yang lebih dulu memamerkan kebenciannya padaku saat aku masih belum tahu apa-apa," kata Melody.
"Dan kamu merasa kamu nggak bisa bekerja bersamanya?" tanya ayahnya.
"Aku nggak mau menjadi anak buahnya, Pap! Sekarang ini aku anggap aku masih dalam tahap belajar, jadi aku telan sikap bermusuhannya itu. Tapi kalau Papa mau menempatkan aku secara permanen sebagai anak buahnya, mending aku cari kerja di perusahaan lain aja," kata Melody.
"Kamu itu anak Papa. Kamu yang bakal mewarisi Lesmana Corporation. Kamu bakal menggantikan Papa. Sudah terang kamu tidak akan menjadi anak buah Sabine." kata Danny Lesmana.
"Aku nggak berniat menggantikan Papa," kata Melody.
"Aku cuma nggak mau menjadi bawahan Sabine."
"Kamu jelas tidak akan menjadi bawahan Sabine. Kamu tidak akan menjadi bawahan siapa-siapa. Papa menyuruhmu belajar dari Sabine supaya kamu punya cukup pengalaman dan pengetahuan sebelum kamu bisa menjalankan perusahaan kita."
"Aku yang bakal menjalankan perusahaan Papa?" tanya Melody heran.
"Tentu. Adikmu Mark sudah nggak punya minat pada perusahaan ini. jadi semuanya akan jatuh ke atas bahumu," kata Danny Lesmana.
"Apa aku sanggup, Pap?"
"Pasti sanggup. Karena itu Papa ingin kamu belajar
yang banyak, baik dari Sabine maupun dari kepala bagian yang lain. Begitu kamu siap, Papa akan menyerahkan kursi Papa kepadamu."
"Lalu Papa mau bikin apa?"
"Untuk sementara Papa masih akan mendampingimu, tapi setelah kamu terbiasa memegang kendali, Papa akan exit."
"Exit ke mana?"
"Papa ingin membawa Tante Julinda keliling. Dulu waktu menikah, kami tidak sempat berbulan madu."
"0000, jadi Papa mau keliling dunia dan aku yang disuruh bekerja, gitu?" goda Melody.
"Untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi kalau ilmumu itu tidak dipakai, Mel? Ini kan merupakan kesempatan bagimu? Selama ini Papa yang banting tulang untukmu. Setelah ini kamu harus banting tulang sendiri."
"Untuk Papa?" gelak Melody.
"Tidak! Untuk kamu sendiri. Papa sudah menyiapkan untuk keperluan Papa sendiri. Kamu nggak usah membingungkan Papa. Lesmana Corporation seluruhnya akan Papa serahkan kepadamu. Hanya kamu tidak boleh melupakan adikmu. Papa khawatir musik Mark tidak akan menunjangnya sampai tua. Jadi jika suatu hari dia mau bergabung dengan Lesmana Corporation, kamu harus memberinya tempat," kata Danny Lesmana.
"Pasti, Pap. Itu Papa tidak usah khawatir. Mark punya bagian yang sama besarnya dengan aku dalam Lesmana Corporation."
"Tidak, tidak. Lesmana Corporation akan Papa wariskan kepadamu sendiri. Mark sudah Papa sediakan modal yang lain. Tapi karena dia belum terbukti bakal bisa mengolah warisannya, dan karena saat ini minatnya pada urusan finansial sama sekali tidak ada, Papa khawatir dia tidak cukup tangguh untuk mengolahnya dengan baik. Papa khawatir dia bisa kehilangan warisannya. Tentu saja Papa tidak mengharapkan itu bakal terjadi. namun jika hal itu sampai terjadi, kamu harus memberinya tempat dalam Lesmana Corporation, tidak sebagai pemilik, tapi kamu harus memberinya nafkah agar tetap bisa hidup layak."
"Aku tidak keberatan membagi Lesmana Corporation dengannya. Kami kan sama-sama anak Papa. Mestinya kami bersama-sama melanjutkan perusahaan yang Papa bangun." kata Melody.
"No, . Satu kapal tidak boleh punya dua kapten. Papa sudah melihat banyak contoh di mana beberapa saudara berbagi satu perusahaan, akhirnya banyak yang pecah berantakan. Lesmana Corporation Papa serahkan kepadamu. Kamu yang menjalankannya. Seratus persen hakmu. Kalau Mark mau bergabung di sana, dia menjadi karyawanmu, bukan co-pemilik. jangan lupa itu!"
"Aduh. Pap, masa pantas adik sendiri dijadikan karyawan?" kata Melody.
"Dengarkan Papa, Mel. Suatu perusahaan tidak akan sukses dipimpin dua orang. Hanya satu yang boleh menjadi pemimpin. Kamu wajib menolong Mark bilamana dia butuh bantuan, tapi tidak dengan
menjadikannya co-pemimpin Lesmana Corporation. Ingat itu."
"Oke, Pap. Yang pasti aku tidak akan membiarkan Mark jatuh miskin. Dia adikku satu-satunya," kata Melody.
"Bagus, kalau begitu. Berarti Papa sudah melaksanakan tugas Papa sebagai orangtua dengan baik," kata Danny Lesmana.
**
KAMU mau aku temani!" tanya Melody meletakkan tangannya di bahu perempuan yang berdiri di sisinya.
Rahayu menggelengkan kepalanya. Dia melepas kacamata hitam dan kerudung hitamnya, lalu melemparkan dirinya ke atas sofa.
"Aku mau tidur saja," katanya.
"Aku capek."
"Ya, itu baik. Kamu nggak tidur semalaman," kata Melody.
Mereka baru saja kembali dari mengubur jasad Bu Fat. Setelah terbaring lebih dari dua minggu di rumah sakit, akhirnya wanita yang renta itu pun tak dapat bertahan lebih lama. Tapi dia meninggal dengan tenang, dikelilingi orang-orang yang dicintainya.
"Sebaiknya kalian semua istirahat saja sekarang," kata Danny Lesmana.
"Akhir-akhir ini kalian semuanya kurang istirahat."
"Terima kasih atas semua bantuan Pak Danny,"
kata Ali lbrahim.
"Keluarga saya sudah berutang sangat banyak kepada Pak Danny. Bukan saja untuk bantuan keuangan yang begitu besar, tapi juga untuk dukungan moralnya kepada kami sekeluarga. Mudahmudahan semua jasa baik ini dibalas Allah SWT berlipat ganda."
"Kita ini kan sudah seperti keluarga." kata Danny Lesmana.
"Sudah kewajiban saya untuk membantu sebisanya. Hal ini tak perlu dibicarakan lagi."
"Terima kasih. Oom," kata Rahadian menganggukkan kepalanya kepada bosnya.
"Besok saya sudah bisa masuk kerja."
"Ambillah cuti beberapa hari lagi. Dian. Nggak ada yang mendesak di pabrik," kata Danny Lesmana.
"Saya sudah seminggu lebih nggak masuk." kata Rahadian.
"Besok saya masuk. Oom. Toh sudah nggak ada yang dikerjakan lagi di sini."
"Terserah kamu," kata Danny Lesmana.
"Tapi kalau kamu masih lelah sebaiknya istirahat dulu di rumah."
"Aku akan mampir besok sepulang kerja," kata Melody kepada Rahayu.
Rahayu mengangguk.
Persahabatan mereka terjalin lagi sejak Rahayu kembali dari Jakarta seminggu setelah dia ditemukan. Tentunya pada awalnya semua berlangsung kaku dan dipaksakan, tapi karena setelah itu kesehatan Bu Fat terus menurun. kedua gadis ini pun sering bertemu di samping tempat tidur Bu Fat. Dan demi Bu Fat. mau tak mau hubungan mereka pun membaik.
Baik Rahayu maupun Melody tak pernah menyinggung insiden di London. Melody juga tak pernah bertanya mengapa surat-suratnya tak dibalas. dan mengapa Rahayu memutuskan hubungan mereka begitu saja tanpa penjelasan. Kedua gadis ini seolah-olah mau menghapus bagian itu dari sejarah persahabatan mereka.
Untuk beberapa minggu pertama sejak perjumpaan mereka kembali, yang menjadi topik pembicaraan mereka hanyalah penyakit Bu Fat, dan apa yang bisa mereka lakukan untuk mengobatinya. Sejauh ini belum ada yang mulai curhat tentang kehidupan pribadi masing-masing. Apa yang mereka bicarakan adalah hal-hal yang umum. Rupanya Rahayu dan Melody sama-sama bersikap hati-hati meniti tali persahabatan mereka yang baru tersambung kembali ini.
Rahayu yang sekarang ini sudah jauh berbeda dengan Rahayu yang dikenalnya dulu. Dia menjadi lebih pendiam. lebih awas. tak lagi sespontan dan selincah dulu. Juga lebih tertutup. Semua perubahan ini membuat Melody merasa seolah-olah Rahayu adalah teman baru. seolah-olah dia tak pernah mengenalnya sebelumnya. Apalagi sikap Rahayu jelas-jelas mengindikasikan bahwa dia ingin menjaga jaraknya, bahwa dia tak lagi merasa karib dengan Melody.
Sejak kembali dari Jakarta. Rahayu bekerja di kantor cabang perusahaan asuransi Rantai Emas di Surabaya. Kedudukannya cukup bagus. sebagai wakil manajer. Melody bersyukur untuk situasi ini. Paling tidak Rahayu cukup sukses dalam kariernya sehingga
Melody tak perlu merasa berdosa terus karena ayahnya telah memotong pendek studinya di London dulu.
Sekarang Bu Fat sudah meninggal. berarti alasan yang membawa mereka berdua bertemu kembali sudah lenyap. Aku harus mencari alasan baru yang bisa melanjutkan ikatan persahabatanku dengan Rahayu, kalau tidak kami akan semakin menjauh dan akhirnya persahabatan kami pun akan mati, pikir Melody.
"Nggak usah bersedih terus."
Melody tersadar dari lamunannya oleh sentuhan tangan ayahnya di lututnya. Dia berpaling. Mereka sedang duduk di jok belakang mobil Merci yang baru saja meninggalkan rumah keluarga lbrahim.
"Aku sedang memikirkan Rahayu. Pap." kata Melody.
"Tampaknya dia bisa menerima kematian ibunya dengan ikhlas," kata Danny Lesmana.
"Bukan itu. Aku cuma merasa dia tetap menjaga jaraknya. Aku berusaha memulihkan pembabatan kami. tapi rasanya dia nggak begitu menyambutnya."
"Barangkali dia memang tidak ingin bersahabat lagi denganmu," kata Danny Lesmana.
"Kenapa? Kami dulu bersahabat begitu erat. kenapa kami sekarang tidak bisa menyambung hubungan yang putus itu?"
"Kamu sudah tanya padanya?" tanya Danny.
"Masa aku harus tanya padanya. Pap?"
"Karena masalah ini terus menggantung, lebih baik
kamu tanya apa dia masih mau berteman denganmu, mengapa dia menjaga jaraknya. Kalau kamu mendapatkan jawabannya, paling tidak kamu kan tidak berteka-teki lagi."
"Dia sahabatku yang pertama, bahkan sahabatku satu-satunya. Aku nggak pernah punya teman yang seerat hubunganku dengan Rahayu."
"Tapi kalau dia sudah tidak mau bersahabat lagi denganmu, kamu juga harus melepasnya. Mel. Kamu nggak bisa menggandoli suatu persahabatan secara sepihak."
"Aku sungguh-sungguh ingin bisa kembali bersahabat dengannya."
"Mudah-mudahan dia pun punya keinginan yang sama. Tapi kamu harus ikhlas seandainya dia sudah tak ingin lagi."
Melody mengembuskan napas panjang.
"Mel, tak ada yang abadi di dunia ini," kata Danny Lesmana.
"Semua ada awalnya dan ada akhirnya. Ada saatnya datang, ada saatnya pergi. Semua akhirnya akan berakhir," kata Danny.
"Tadinya aku berharap bisa bersahabat dengan Rahayu seumur hidup. Maksudku sampai dipisahkan oleh maut."
"Mau kita semua memang begitu, agar setiap hubungan itu awet dan hanya berakhir bila dipisahkan oleh maut. Tapi tak selamanya kita bisa mendapatkan
apa yang kita inginkan, Mel."
"Aku masih tetap akan mencoba memperbaiki hubungan kami." kata Melody.
"Asal Kamu tidak kecewa aja, Mel.
"Kami dulu begitu dekat, Pap, aku nggak percaya semua kenangan itu bisa hilang begitu saja."
"Manusia itu berubah, Mel. Kita semuanya berubah. Kamu lima tahun yang lalu, tak sama dengan kamu sekarang. Begitu juga Rahayu. Bukannya Papa menghalangi kamu mencoba membangun kembali hubungan kalian, cuma Papa tak ingin kamu terlalu berharap."
**
"Gimana keadaan temanmu?" tanya Shaun ketika mampir ke meja kerja Melody sore itu. Sudah pukul setengah empat.
"Rahayu cukup tabah, Rahadian juga. Bu Fat kan sudah sakit lama, jadi mereka sudah siap menerima kematiannya," kata Melody.
"Dan kamu?" tanya Shaun.
"Kamu kan juga sangat dekat dengan ibu Rahadian."
"Aku juga sudah siap menerima kematiannya. Dia sudah menderita sekian lamanya, aku memandang kematiannya sebagai suatu pembebasan baginya."
"Itu benar. Sakit berkepanjangan juga hanya memperlama penderitaan," kata Shaun.
"Shaun, ada yang perlu aku tanyakan tentang bujet .
"
Mereka berpaling dan mendapati Sabine Lemar sudah berdiri di belakang mereka dengan setumpuk kertas di tangannya.
"Oke!" kata Shaun segera membalikkan badannya dan berjalan kembali ke kantornya diikuti Sabine. Bagi laki-laki ini jelas urusan pekerjaan jauh lebih penting ketimbang mengobrol, walaupun dengan anak gadis sang direktur.
Melody mengikuti kepergian kedua orang itu dengan matanya. Dia yakin Sabine Lemar sengaja mengajak Shaun pergi dari dekatnya. Dia tak ingin Shaun dekat dengan Melody. Dia masih mengharapkan Shaun menjadi miliknya.
Melody mendapati dirinya sedang ditatap oleh Jaka Herlambang yang duduk di seberang mejanya. Dia pun melemparkan sebersit senyuman sumbang kepadanya.
Jaka mengangguk dan balas tersenyum. Entah apa artinya. Apakah Jaka sedang menertawakan upaya Sabine untuk menangkap Shaun, ataukah Jaka menertawakan kekalahannya dari Sabine dalam hal mendapatkan perhatian Shaun?
Tiga bulan yang terakhir ini Melody mengubah haluannya. Setelah memikirkan nasihat ayahnya, dia sendiri mulai ragu-ragu melanjutkan hubungannya dengan Jaka. jadi dia memutuskan untuk menginjak rem dulu. Tentu saja dia tidak langsung memutuskan hubungan mereka, tapi sejak pembicaraannya dengan ayahnya itu, selangkah demi selangkah dia menempatkan jarak antara dirinya dan jaka Herlambang.
Langkah pertama adalah dia tak lagi pulang bersama Jaka tetapi bersama ayahnya. Langkah kedua. dia juga tak lagi keluar mengunjungi para relasi bersama
Jaka. Jika dia perlu bertemu dengan seorang relasi, dia pergi sendiri, dan dia punya alasan untuk itu karena sekarang urusan customers harian menjadi tanggung jawabnya.
Langkah ketiga, dia mulai memberikan banyak alasan untuk menolak ajakan kencan Jaka. Dia tak lagi pergi nonton atau makan siang bersama Jaka. Manuver ini mudah karena dua bulan yang terakhir ini dia sering berada di sisi tempat tidur Bu Fat.
Hal ini tentu saja dirasakan Jaka sebagai gejala-gejala pengunduran diri Melody darinya, dan ini membuatnya frustrasi. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa karena Melody memang belum menjadi apa-apanya, walaupun tadinya dia sudah memberikan lampu hijau. Tapi siapa pun berhak berubah pikiran, bukan? Dan kira-kira Melody telah berubah pikiran. Mungkin sekarang dia dianggap tak lagi sepadan untuk menjadi pacarnya. Atau mungkin dulu itu Melody hanya berpura-pura menerima perhatiannya untuk mengetahui seluk-beluk di dalam departemennya? Sekarang, setelah Melody tahu semua, dirinya dianggap sudah tak bermanfaat lagi dan boleh ditinggalkan. Pikiran ini sangat menyakitkan hari Jaka. Dia tak suka dipermainkan orang. Dia juga tak suka diperalat orang.
Tapi demi gengsi, dan demi memberikan kesan bahwa dia adalah seorang gentleman. dia bersikap seolah-olah tak ada apa pun yang terjadi di antara mereka. Dari waktu ke waktu Jaka masih mengajak Melody untuk melakukan sesuatu bersama-sama, tapi setiap kali Melody memberikan alasan penolakannya,
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia memberikan kesan bahwa hal itu diterimanya dengan lapang dada, sama sekali tanpa ganjalan sakit hati. Jaka tak pernah bertanya mengapa sekarang Melody berubah terhadapnya.
Karena sikap Jaka yang "biasa" ini, Melody pun tidak merasa kesulitan untuk tetap berteman dengannya. Bahkan dalam urusan pekerjaan, jaka masih tetap merupakan partner-nya, tempatnya bercurhat urusan pekerjaan.
Selama tiga bulan terakhir ini sikap Sabine masih belum berubah. Dia masih menunjukkan secara terang-terangan bahwa dia sama sekali tidak menyukai Melody. Apalagi setelah lewat tiga bulan Melody masih belum ditunjuk ayahnya untuk menggantikan dirinya, perlahan-lahan rasa PD Sabine mulai timbul kembali. Kira-kira Danny Lesmana tahu bahwa anak gadisnya tidak bakalan becus menjalankan Bagian Pemasaran. Itu berarti Danny Lesmana masih tetap mengandalkan dirinya! Pikiran ini sangat menggembirakan Sabine. Ternyata kekhawatirannya selama ini tak beralasan. Melody Lesmana tak akan bisa menggesernya! Paling tidak, tidak sekarang, tidak dalam waktu dekat ini. Gadis kencur itu masih harus banyak belajar. Sepuluh tahun lagi barangkali, dan sepuluh tahun lagi siapa tahu dia-Sabine Lemar-sudah menduduki jabatan apa? Bisa-bisa saat itu dia sudah duduk di kursi direktur!
Seharusnya perasaan amannya ini bisa mengubah sikapnya terhadap Melody, tapi tidak demikian dengan Sabine. Kembalinya rasa PD-nya malah membuat sikapnya terhadap Melody lebih dingin. Sekarang dia tak perlu takut lagi padanya, dia menjadi semakin tak pandang sebelah mata pada anak si direktur!
"Mana perbandingan harga pasar produk-produk kompetitor yang saya minta seminggu yang lalu?" tanya Sabine Lemar kepada Melody Lesmana yang sedang duduk di belakang mejanya.
Melody terkejut. Dia tidak melihat kapan Sabine sudah keluar dari kantor Shaun dan kembali ke Bagian Pemasaran. Sabine berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang.
"Oh, belum sempat," jawab Melody tergagap.
'Semuanya belum sempat? Ada begitu banyak produk kompetitor, segala macam jus yang baru, masa satu pun belum sempat dikerjakan? Apa nggak ngerti kalau statistik itu sangat dibutuhkan?"
"Beberapa hari ini saya kan sibuk bolak-balik ke rumah sakit. Ini aja baru kembali dari pemakaman," jawab Melody memberikan penjelasan yang tidak perlu. Semua orang tahu hari ini ibu Rahadian dimakamkan, bahkan anak-anak gudang semuanya diberi kesempatan untuk ke sana.
"Jadi, kapan?" tanya Sabine seolah-olah tidak tersedianya laporan itu telah membuat perusahaan rugi besar.
"Besok saya akan ke pasar," kata Melody sambil menahan emosinya. Diperlakukan seperti ini di hadapan karyawan Bagian Pemasaran dan Penjualan lainnya yang berada di ruangan itu sangat menjengkelkan hatinya.
"Yang saya tanyakan itu kapan laporannya selesai." kata Sabine dengan nada dingin.
"Bukan kapan ngecek ke pasar."
Darah langsung mendesir ke ubun-ubun Melody.
"Laporan itu akan selesai kalau sudah waktunya selesai!" kata Melody mengangkat suaranya sambil membelalak. Sudah sekian lamanya dia terus menahan diri, yang namanya kesabaran kan ada batasnya juga.
Sabine yang selama ini tak pernah mendapatkan perlawanan dari Melody, agak kaget juga melihat perubahan sikap tersebut. Tapi kagetnya tidak lama. Dia segera pulih, dan dia langsung menyadari bahwa mata anak-anak buahnya yang lain di dalam ruangan itu semua sedang tertuju padanya. Semua orang menanti reaksinya, termasuk Jaka Herlambang yang mejanya berseberangan dengan meja Melody. Untuk mempertahankan martabatnya di depan mata anak-anak Pemasaran dan Penjualan ini, dia tak boleh membiarkan Melody Lesmana bersikap kurang ajar terhadap dirinya.
Sabine melotot. Lalu dengan nada suara sedingin dan setajam mungkin dia berkata,
"Ayo. ke kantor saya!" Dengan demikian Sabine berharap dia telah memberikan kesan seorang eksekutif yang anggun dan berwibawa dalam menghadapi seorang anak buah yang kurang tahu aturan, walaupun anak buah itu anak sang direktur. Lalu dia membalikkan tubuhnya dan melangkah ke kantornya.
Melody Lesmana berdiri tapi tidak menuju ke kantor Sabine Lemar, melainkan malah ke kantor ayahnya, Danny Lesmana!
"Aku sudah tak tahan," kata Melody begitu membuka pintu kantor ayahnya. Wajahnya memerah. Matanya menyala liar.
Dahi Danny Lesmana mengerut. Dia tak pernah melihat anaknya seperti ini. Apa yang telah terjadi?
"Aku sudah tidak mau bekerja dengan Sabine Lemar lagi!" kata Melody dengan nada berapi-api.
"Kenapa?" tanya Danny Lesmana.
"Apa yang terjadi?"
Melody duduk di hadapan ayahnya dan menceritakan apa yang terjadi.
"Selama dia ada di Pemasaran, aku tidak mau di sana!" kata Melody.
"Sudah mustahil aku bisa bekerja dengannya! She is crazy, and this driving me crazy."
Danny Lesmana menyandarkan punggungnya di sandaran kursinya. Dia memandang anak gadisnya dari atas hingga bawah. Lalu dia berkata dengan suara kalem,
"Kayaknya sudah waktunya untuk membuat perubahan di sini."
"Maksud Papa?"
Danny Lesmana memencet tombol interkom satu kali di atas mejanya. Segera terdengar suara seorang wanita berkata,
"Ya, Pak?"
"Norma, tolong kumpulkan semua kepala bagian, wakilnya, dan para supervisor di ruang rapat sekarang. Kalau sudah, beritahu saya," kata Danny Lesmana ke interkomnya.
"Sekarang, Pap? Ini sudah pukul empat kurang lima menit lho," kata Melody.
"Ini penting," kata Danny Lesmana.
"Ya, Pak," terdengar jawaban Norma.
"Papa mau merapatkan apa?" tanya Melody sambil mengerutkan keningnya.
"Aku nggak mau Papa memarahi Sabine atau apa di hadapan orangorang semua. Itu akan membuat aku seperti anak kecil yang bertengkar dengan teman mainnya lalu bapaknya ikut-ikut marah."
Danny Lesmana tersenyum.
"Tenang aja. Dengarkan aja nanti," katanya.
Ketika Danny Lesmana memasuki ruang rapat bersama Melody, semua mata tertuju kepada mereka. Tak biasanya si direktur menggelar rapat sesore ini. Pasti ada hal yang sangat mendesak, yang tidak bisa ditunda hingga besok. Beberapa orang sempat merasa cemas karena tak tahu apa masalahnya yang begitu penting yang mungkin berdampak negatif terhadap kelancaran jalannya perusahaan ini. Tapi begitu mereka melihat wajah Danny Lesmana yang tenang-tenang dan cerah, kecemasan mereka pun mereda. Namun rasa ingin tahu mereka tidak.
"Selamat sore," kata Danny Lesmana mengambil tempat duduknya di kepala meja yang berbentuk empat persegi panjang itu.
"Rapat ini tidak akan berlangsung lama, jadi jangan khawatir kalian akan pulang malam," tambahnya.
Semua kepala pun mengangguk.
"Saya hanya ingin mengumumkan bahwa saya telah mengangkat anak saya, Melody Lesmana, menjadi wakil saya efektif besok pagi. Selanjutnya semua urusan operasional sehari-hari perusahaan ini akan dilaksanakan olehnya. Jadi semua pekerjaan yang biasanya kalian bawa kepada saya, mulai besok silakan kalian bawa ke Mbak Melody Lesmana. Itu saja. Rapat selesai," kata Danny Lesmana sambil tersenyum.
Untuk beberapa detik pertama seluruh ruangan hening. Rupanya semua terkejut dengan pengumuman ini. Lalu, Jaka Herlambang pun mulai bertepuk tangan, yang segera diikuti oleh yang lain.
"Saya berharap kalian semua akan memberikan dukungan dan loyalitas yang sama kepada Melody seperti yang kalian berikan kepada saya," tambda Danny Lesmana.
"Terima kasih."
Hampir serentak terdengar suara kursi bergeser dan mereka yang hadir pun berebutan menyalami tangan Melody dan memberinya ucapan selamat. Semua, kecuali Sabine Lemar tentunya.
Sabine duduk terpaku. Mulutnya menganga. Dia seperti telah dibekukan tukang sihir.
Tak ada yang memerhatikan Sabine karena semua orang sekarang sedang mengerumuni Melody Lesmana dan ayahnya. Bahkan sosok Sabine tertutup oleh tubuh-rubuh koleganya yang berebutan maju. Pengangkatan Melody sebagai wakil direktur mendapatkan
respons yang positif, paling tidak di permukaannya, saat ini. Kondisi di dalam ruang rapat itu pun hirukpikuk, dipenuhi gelak tawa yang ramai. Sampai mereka semuanya meninggalkan ruang rapat itu bersamasama, tak ada yang melihat bahwa Sabine Lemar masih duduk di kursinya.
**
HAL pertama yang dilakukan Melody begitu tiba di kantor hari ini adalah memindahkan barang-barang pribadinya dari mejanya di ruang Pemasaran ke dalam kantor Danny Lesmana.
Danny menghendaki Melody menempati kantornya dan duduk di belakang mejanya sementara dia sendiri memilih duduk di sofa di ujung kanan meja tulisnya. Dengan demikian dia ingin mempermudah masa transisi anaknya. Danny bukannya tidak tahu bahwa usia Melody yang lebih muda daripada manajer-manajer dan eksekutif lainnya bisa menjadi alasan bagi mereka untuk kurang menghormati kewenangan Melody. Karena itu dia ingin menciptakan suasana bahwa dia membeking Melody seratus persen. Jika mereka menempati kantor yang sama, tak akan ada yang berani melecehkan Melody di hadapannya, sampai Melody sendiri nanti bisa menegakkan wibawanya.
"Makasih lho. Bu Norma, sudah membantu saya
menggorong barang-barang ini," kata Melody kepada sekretaris ayahnya yang sekarang menjadi sekretarisnya juga.
"Ah, ini biasa," kata Norma Tanjung sambil tersenyum. Wanita ini bertubuh agak gemuk pendek. Dia karyawan Lesmana Corporation yang paling pertama. Nomor karyawannya 0001. Dia selalu bangga bahwa dia adalah tenaga yang pertama-tama direkrut oleh Danny Lesmana saat perusahaan ini diperbarui dan menempati lokasinya di kawasan industri Rungkut pada tahun 1981.
Norma Tanjung berusia 49 tahun, tapi dia tampak jauh lebih tua daripada usianya. Itu mungkin disebabkan ada banyak kesedihan dalam hidupnya. Suaminya sudah meninggal lima belas tahun yang lalu. Begitu juga anak tunggalnya, yang meninggal delapan tahun yang lalu saat masih berusia 20 tahun dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Kehilangan orang-Orang terdekatnya, terutama anak laki-lakinya yang sangat dicintainya. membuat Norma sangat terpukul. Tapi karena dia adalah seorang wanita yang tabah. dia pun berusaha melanjutkan hidupnya dengan mencurahkan seluruh hatinya ke dalam pekerjaannya. Loyalitasnya kepada Danny Lesmana tak tergoyahkan. Baginya seluruh hidupnya sekarang hanyalah pekerjaannya. Hidupnya baru mulai saat dia tiba di kantor, dan berakhir setiap hari saat dia meninggalkan kantor. Setelah itu dia sekadar eksis, tapi tak benar-benar hidup.
"Letakkan aja semuanya di meja, Bu." kata Melody sambil tersenyum. Dia sudah mengenal Norma Tanjung sejak kecil. Saat ibunya meninggal, wanita inilah yang sibuk mengurus segalanya, dari urusan polisi hingga pemakamannya.
"Biar saya yang nata." kata Norma Tanjung.
"Supaya kelihatan rapi dikit gitu. Masa meja direktur seperti abis kena gempa bumi."
"Abis ini kan darurat." gelak Melody.
"Saya sudah bilang sama Papa, biar saya tempati aja kantor bekas ruang komputer yang sudah tidak dipakai lagi itu, tapi Papa maksa saya harus duduk di sini."
"iya, kan supaya kalian bisa berkomunikasi dengan mudah. Lha kalau satu di sini, yang satu lagi di belakang sana, mau ngomong aja susah," kata Norma. Tangannya yang cekatan sudah langsung menata mapmap Melody di atas meja Danny Lesmana.
"Iya, tapi kan kasihan Papa, jadi nggak punya meja. Dia mau duduk di sofa katanya." kata Melody.
"Kan Pak Danny sudah nggak punya pekerjaan rutin lagi sekarang. Kan semuanya sudah diserahkan kepada Dik Melody. Jadi dia nggak perlu meja lagi," kata Norma sambil tertawa. Dia berani bicara begini karena Danny Lesmana tidak ada di sana.
"Saya minta Papa masih aktif mendampingi saya sampai saya kenal semua seluk-beluk operasi perusahaan ini," kata Melody.
"Pak Danny pasti bangga sekali punya anak seperti Dik Melody." kata Norma Tanjung.
"Walaupun wanita, tapi mampu menjalankan perusahaannya."
"Mudah-mudahan. Saya juga nggak ingin mengecewakan Papa," kata Melody Lesmana.
"Kira-kira hari ini udah nggak jadi ke pasar, kan?"
Baik Melody Lesmana maupun Norma Tanjung yang sedang membelakangi pintu. terkejut dan segera berpaling ke arah datangnya suara itu.
Sabine Lemar sedang berdiri dengan kedua tangannya terlipat di depan dadanya. Walaupun dia tahu Melody sekarang sudah berpangkat wakil direktur. dia sengaja berbicara kepadanya seolah-olah kepada bawahannya saja untuk mendemonstrasikan bahwa dia sama sekali tidak punya respek terhadapnya. Ngapain respek sama anak pupuk bawang, pikir Sabine Lemar yang hatinya dipenuhi rasa benci.
"Berarti laporan yang dijanjikan kemarin. sekarang sudah nggak akan dikerjakan. kan?" lanjut Sabine dengan nada sinis.
Wajah Norma Tanjung langsung menggambarkan keterkejutannya. Apakah Sabine Lemar sudah mabuk? Bagaimana dia kok sampai berani bicara seperti ini kepada wakil direktur?
Melody meletakkan tangannya di lengan Norma dan berkata,
"Bu, saya perlu bicara dengan Ibu Sabine dulu. Empat mata."
Norma Tanjung pun segera meninggalkan kedua perempuan itu. Dia sudah tahu bahwa antara Melody Lesmana dan Sabine Lemar ada bibit permusuhan dan dengan diangkatnya Melody menjadi wakil direktur, pasti Sabine Lemar merasa jengkel. Tapi sikap Sabine kali ini sungguh keterlaluan. Pasti Melody tidak akan menerima perlakuan ini tanpa memberikan reaksi. Nyari penyakit sendiri, pikir Norma dalam hari.
Melody sengaja pergi duduk di kursi Danny Lesmana di belakang mejanya. Dia meletakkan kedua lengannya di atas meja. Sabine Lemar masih berdiri dua langkah dari pintu. Melody tidak mempersilakannya duduk.
"Ibu Sabine," kata Melody dengan nada formal sambil menatap Sabine dengan tajam.
"Saya tidak akan menerima perlakuan seperti itu lagi. Mulai hari ini saya adalah atasan Anda, dan saya tidak mengizinkan kekasaran ini berlangsung lebih lama lagi. Bahkan anggaplah ini sebagai peringatan yang terakhir bagi Anda untuk mengubah sikap in general terhadap semua orang yang berhubungan dengan pekerjaan Anda. baik itu terhadap atasan Anda, bawahan Anda. kolega Anda, maupun terhadap relasi perusahaan. Mulai hari ini, tidak ada lagi toleransi terhadap sikap kasar Anda."
'What!" pekik Sabine Lemar. Dia tak pernah berpikir anak pupuk bawang ini akan berani berbicara seperti itu kepadanya.
"Saya menunggu permintaan maaf dari Anda," kata Melody tanpa mengalihkan tatapannya dari Sabine.
"Tunggulah sampai langit runtuh!" kata Sabine Lemar. Dia segera membalikkan tubuhnya. dan meninggalkan kantor Danny Lesmana yang sekarang juga merupakan kantor Melody.
Melody pun memencet interkom di meja Danny.
"Bu Norma. tolong suruh Ibu Sabine Lemar kembali ke kantor saya," katanya.
"Ya." jawab Norma lewat interkom.
Lima menit lewat tapi yang muncul hanyalah Norma Tanjung.
"Bu Sabine sudah saya beritahu tapi dia tidak bereaksi, Dik Melody." kata Norma.
"Apa katanya?" tanya Melody.
"Tidak bilang apa-apa. Dia bersikap seolah-olah tidak mendengar kata-kata saya," kata Norma Tanjung.
"Ya udah, makasih. Bu Norma." kata Melody. Hatinya sangat panas. Ternyata Sabine Lemar sudah terang-terangan berani melawannya! Ini konfrontasi terbuka! Dia harus mengambil tindakan. Bagaimana dia bisa memimpin perusahaan ini jika kepala Pemasarannya tidak memandang sebelah mata kepadanya!
Ketika Danny Lesmana kembali dari inspeksi rutinnya keliling seluruh kompleks pabriknya, Melody pun menceritakan apa yang terjadi kepada ayahnya.
"Papa akan bicara kepadanya." kata Danny Lesmana.
"No!" kata Melody.
"Aku yang akan biara kepadanya! Aku cuma mau tahu kalau Papa mendukung keputusan apa pun yang aku ambil nanti."
Danny Lesmana mengerutkan keningnya. Wah, anaknya mau maju perang rupanya. Ternyata Melody lebih keras daripada perkiraannya. Tapi jika dia menghendaki anaknya memimpin perusahaan ini. dia tak boleh menyabotnya justru pada hari pertama Melody menjalankan tugasnya.
"Oke, Papa mendukungmu. Kamu punya kebebasan untuk mengmbil keputusan apa pun," kata Danny Lesmana.
"Apa pun yang aku putuskan?" tegas Melody.
"Ya. Papa percaya pada integritas dan kebijaksanaanmu."
Melody memencet tombol interkom dan berbicara kepada Norma lagi.
"Bu Norma, tolong panggilkan Ibu Sabine lagi. Kalau dia tidak segera datang kemari. Bu Norma boleh minta tolong satpam untuk mengantarkannya secara paksa ke kantor saya. Dua orang satpam bila perlu."
Mata Danny Lesmana pun membelalak. Tak pernah terbayangkan olehnya anak gadisnya yang dulu pemalu dan pendiam itu sekarang bisa mengambil tindakan seberani ini. Ternyata dulu Melody adalah seekor anak macan yang sedang tidur. Hari ini dia memamerkan kekuatannya pada saat dia bangun!
Lima menit kemudian terdengar ketukan di pintu.
"Ya!" jawab Melody.
Pintu pun dibuka oleh Norma Tanjung.
Sabine Lemar melangkah masuk ke dalam kantor Danny Lesmana.
Pintu ditutup kembali oleh Norma Tanjung yang tidak ikut masuk dan tidak berkata apa-apa.
"Silakan duduk," kata Melody kepada Sabine.
Sabine Lemar berpaling ke Danny Lesmana untuk melihat apakah bosnya ini tidak segera membelanya.
Danny Lesmana hanya mengangkat tangannya dan mengindikasikan kursi di depan meja Melody.
Sabine Lemar pun duduk.
"Ibu Sabine," mulai Melody.
"saya akan memberikan dua pilihan kepada Anda. Yang pertama. efektif segera Anda tidak lagi memangku jabatan kepala Pemasaran perusahaan ini, tapi mengingat jasa Anda di waktu yang lampau Anda masih saya izinkan bekerja di Bagian Pemasaran di bawah manajer yang baru. Anda yang akan mengerjakan statistik yang sangat dibutuhkan itu."
"What!" kata Sabine Lemar langsung berdiri dari kursinya. Dia segera menghampiri Danny Lesmana.
"Pak Danny, apa artinya ini?"
Danny Lesmana yang masih tampak terkejut hanya mengindikasikan Melody.
"Masih ada aLternatif kedua, Ibu Sabine." kata Melody.
"Kalau Anda tidak setuju. Anda bisa segera mengundurkan diri dari perusahaan ini. Detik ini juga. Perusahaan akan memberikan uang pemutusan hubungan kerja dengan Anda yang layak."
Mulut Sabine Lemar menganga. Seperti kena sambar halilintar. dia tak pernah menduga akan mendengar kata-kata ini. Lebih-lebih lagi dia tidak pernah menduga Danny Lesmana tidak membelanya!
"Saya memberi Ibu waktu sampai besok pagi pukul delapan untuk memberikan jawaban," lanjut Melody.
"Apa pun pilihan Ibu, efektif sekarang Ibu sudah bukan kepala Pemasaran lagi. Harap serahkan semua pekerjaan yang sedang Ibu kerjakan kepada saya sekarang juga. Setelah itu Ibu Norma akan membantu Ibu mengemasi barang-barang pribadi Ibu dari kantor kepala Pemasaran yang akan ditempati oleh pengganti Ibu. Ibu boleh berpikir di rumah sampai besok. Apabila besok pukul delapan pagi ibu tidak memberikan jawaban kepada saya, maka saya anggap Ibu memilih alternatif yang kedua. dalam hal mana kami akan segera menyelesaikan pembayaran gaji terakhir dan tunjangan-tunjangan yang berhak Ibu terima serta uang PHK."
"Pak Danny." kata Sabine Lemar,
"apa Pak Danny akan membiarkan saya diperlakukan seperti ini?" tanyanya dengan suara melengking.
"Sabine. Lesmana Corporation sudah saya serahkan kepada Melody. Mulai sekarang dialah kapten kapal ini. Semua keputusan yang dibuatnya, dibuatnya sebagai pemimpin perusahaan ini dan punya bobot yang sama dengan keputusan yang saya buat. Untuk sementara jabatannya memang masih wakil direktur. tapi ini hanyalah masa transisi. Dalam waktu dekat dia akan menjadi direktur penuh," kata Danny Lesmana.
"Tapi ini tidak adil! Saya sudah bekerja di sini delapan tahun lebih, Pak Danny! Melody baru datang setengah tahunan dan sekarang dia mau menggusur saya?" protes Sabine bentar.
"Bine. kamu adalah wanita yang pintar. Seharusnya kamu sudah bisa memprediksi bahwa suatu saat Melody akan menjadi pemimpin perusahaan ini. Sejak awal dia masuk, kamu telah menempatkan dirimu sebagai musuhnya. Sekarang. ini adalah konsekuensinya." kata Danny Lesmana sambil mengembuskan napas panjang.
"Saya tidak memusuhinya!" bantah Sabine Lemar.
"Pak Danny menyuruh saya mengajarinya tentang pekerjaan di departemen saya, itu sudah saya lakukan..."
"No. ," sela Melody.
"Yang mengajar saya adalah Jaka Herlambang. bukan Anda. Anda tidak pernah mengajari saya apa-apa."
"Pekerjaan saya banyak. Jaka wakil saya, dan memang saya tugaskan untuk mendampingimu. Sebagai kepala bagian kan saya berhak mendelegasikan tugas saya ke bawahan saya!" kata Sabine.
"Saya tidak bilang Anda tidak berhak. Saya hanya meralat kalimat Anda bahwa Anda sudah mengajari saya. Anda tidak pernah mengajari saya," kata Melody.
"Apa pun yang saya peroleh sampai hari ini, tak ada sedikit pun yang datangnya dari Anda."
"Pak Danny!" kata Sabine mengarahkan keberatannya kepada Danny Lesmana.
"Jangan bicara kepada saya, Sabine. Bicaralah pada Melody,' kata Danny Lesmana.
Sabine mengalihkan pandangannya ke wajah Melody yang memandangnya tanpa senyum. Tak tampak rasa iba atau takut sedikit pun di wajahnya. Dia tahu, dia tak perlu bicara lagi kepada gadis itu. Dia tahu dia sudah kalah dalam pertempuran ini.
Sabine mengembuskan napas panjang, lalu memutar badannya dan bergegas ke pintu. Dia tak mau Melody melihatnya menangis.
Setengah jam kemudian seluruh pemimpin dan staf Lesmana Corporation dikumpulkan di ruang rapat, minus Sabine Lemar tentunya yang sepuluh menit sebelumnya telah meninggalkan kompleks Lesmana Corporation.
Begitu semua sudah duduk. Melody Lesmana yang duduk di kursi yang biasanya ditempati ayahnya segera berkata.
"Saya ingin menyampaikan perubahan dalam organisasi kita. Ibu Sabine Lemar sudah tidak lagi memangku jabatan kepala Pemasaran. Mulai sekarang Saudara Jaka Herlambang adalah kepala Pemasaran kita yang baru."
Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Wiro Sableng 096 Utusan Dari Akhirat From Darkest Side Karya Santhy Agatha
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama