Ceritasilat Novel Online

Misteri Melody Yang Terinterupsi 10

Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 10



"Tidak. Melody tetap berada di dalam kamar."

"Begitu Anda turun, Anda langsung keluar rumah lalu pergi ke Bandara Juanda?"

"Ya."

"Diantarkan Saudara Bob Partahi?"

"Ya. Saya minta diantarkan karena harus ada yang membawa mobil saya pulang."

"Dengan mobil Anda sendiri?"

"Ya, dengan mobil Peugeot saya."

"Di mana mobil Mercy yang dipakai Ibu Melody Harman sebelumnya?"

"Masih di halaman depan." jawab Bob Partahi.

"Ditinggalkan begitu saja di halaman depan? Apa tidak takut mobil mewah itu dicuri orang?" tanya Kosasih.

"Wah, ya tidak Pak," kata Bob Partahi.

"Begitu saya duduk di dalam mobil Pak Shaun. saya langsung sudah membunyikan bel remote untuk memanggil Bik Mur agar keluar menguncikan pagar."

"Tapi Anda tidak menunggu sampai Bik Mur betul-betul keluar baru berangkat, kan?"

"Tidak, saya tidak menunggu karena Pak Shaun bilang Cepat! kata Bob Partahi.

"Berarti ada tenggang waktu beberapa menit di mana pintu pagar itu dalam keadaan terbuka dan orang dari luar bisa masuk?"

"Saya segera keluar kok, Pak," sela Bik Mur.

"Ndak mungkin ada orang bisa masuk, wong saya masih sempat melihat mobil Bapak keluar dari pagar."

Kosasih berpaling ke Bik Mur yang duduk di samping majikannya.

"Jadi sampeyan segera keluar mengunci pagar?"

"Iya. Pak." kata Bik Mur.

Kosasih mengangguk.

"Berarti orang luar tidak ada kesempatan untuk masuk ke halaman tanpa terlihat oleh Saudara Partahi dan Saudara Harman. atau oleh Bik Mur," katanya.

"Ndak mungkin ada orang masuk, Pak," kata Bik Mur.

"Berarti setelah Saudara Shaun Harman pergi, di dalam rumah hanya ada Bik Mur berdua Ibu Melody Harman?"

"iya," angguk Bik Mur.

"Bik Mur, pada saat Saudara Shaun Harman meninggalkan rumah sekitar pukul dua siang itu. apa sampeyan tahu istrinya masih hidup atau sudah meninggal?"

"Ndak tahu. Pak," kata Bik Mur.

"Bik Mur tidak mendengar suara atau apa dari loteng?"

"Ndak, Pak."

"Apakah Bik Mur naik ke loteng setelah kepergian Saudara Shaun Harman?"

"Ndak, Pak."

"Kenapa tidak? Mestinya kan Bik Mur nengok majikannya sedang apa gitu?"

"Saya takut dimarahi, Pak. Ibu kan abis bertengkar dengan Bapak, jadi hatinya kan masih panas. Saya ndak berani dekat-dekat, salah-salah bisa kena marah."

"Memangnya Ibu suka memarahi Bik Mur?"

"Yaaaaah, Ibu gampang marah. Kalau saya salah omong dikit, Ibu pasti marah."

"Bik Mur tentunya sakit hati kalau dimarahi Ibu?"

"Ya sakit hati. Mana ada orang yang dimarahi ndak sakit hati, Pak? Tapi wong itu sudah watak Ibu, ya gimana lagi?"

"Sekarang kami perlu bertanya kepada sampeyan. Bik Mur, apakah sampean yang membunuh Ibu Melody Harman?" tanya Kosasih.

"Heh?" Bik Mur tampak kaget.

"Apa Bik Mur yang membunuh Ibu Melody Harman karena sakit hati padanya?"

"0, tidak! Fidak!" jawab Bik Mur sambil menggelengkan kepalanya keras-keras.

"Di dalam rumah hanya sisa sampeyan dan Ibu Harman lho, tidak ada orang lain," kata Kosasih.

"Iya, tapi saya ndak membunuh Ibu!" kata Bik Mur.

"Jika bukan sampeyan yang membunuhnya, berarti Saudara Shaun Harman yang membunuh istrinya sebelum dia pergi?"

Lagi-lagi Bik Mur menggelengkan kepalanya keraskeras.

"Bapak itu orang baik, ndak mungkin dia membunuh orang, apalagi Ibu kan lagi hamil," kata Bik Mur.

"Coba, bagaimana ini, yang punya kesempatan membunuh Ibu Melody Harman hanya dua orang: Saudara Shaun Harman dan sampeyan," kata Kosasih.

"Tidak ada orang lain lagi di dalam rumah itu."

"Saya ndak pernah membunuh orang, Pak! Dan saya yakin Bapak juga ndak mungkin membunuh orang!" kata Bik Mur sambil menunjuk majikannya yang duduk di sampingnya.

"Ialu siapa yang masuk ke rumah itu untuk membunuh Ibu Melody Harman?" tanya Kosasih.

"Saya ndak tahu! Setahu saya ndak ada orang masuk. Ndak ada orang datang sama sekali kok!" kata Bik Mur.

"jadi, setelah Saudara Shaun Harman pergi, sama sekali tidak ada orang yang masuk ke rumah itu?"

"Ya cuma Pak Bob, waktu dia membawa pulang mobil Bapak."

"Pukul berapa waktu itu?"

"Sudah magrib, sudah gelap kok," kata Bik Mur.

"Hampir pukul enam," sela Bob Partahi.

"Ah, jadi Anda membawa pulang mobil Peugeot Saudara Shaun Harman, lalu?" Kosasih mengalihkan pandangannya ke Bob Partahi.

"Lalu mobilnya saya masukkan garasi, juga mobil Mercy Pak Danny saya masukkan garasi. Setelah itu saya pulang," kata Bob Partahi.

"Apakah Anda hari itu pernah naik ke kamar Ibu Harman?" tanya Kosasih.

"Oh, tidak, Pak! Buat apa saya naik ke loteng? Kalau di sana saya itu selalu duduk di halaman depan. Nggak pernah masuk ke dalam rumah, apalagi sampai ke loteng segala!" kata Bob Partahi.

"Jadi bukan Anda yang membunuh Ibu Melody Harman?" tanya Kosasih.

"Demi Tuhan. Pak! Saya tidak membunuh siapa pun!" kata Bob Partahi.

Kosasih mengangguk.

"Setelah Saudara Bob Partahi pulang, baru Bik

Mur menemukan Ibu Harman sudah meninggal di

kamarnya?" tanyanya.

"Iya," angguk Bik Mur.

"Lalu Bik Mur menelepon Saudara Lisa Harun?"

"Ya, saya minta Non Lisa untuk datang, tapi waktu itu saya ndak bilang kalau Ibu meninggal. Saya cuma minta dia segera datang," kata Bik Mur.

Kosasih menganggukkan kepalanya. Lalu dia melanjutkan

"Nona Lisa Harun tadinya pulang pukul berapa sih?"

"Eh, masih siang, Pak. Pukul satuan gitu," kata Bik Mur.

Kosasih mengalihkan pandangannya ke Lisa Harun sambil mengangkat alisnya.

"Ya," jawab Lisa.

"Saya pulang sekitar pukul satu, tidak lama setelah Mas Shaun'datang. Saya pamit sama Bik Mur. setelah itu saya langsung pulang."

"Bik Mur mengantarkan Anda sampai ke pintu?" tanya Kosasih.

"Oh, enggak. Saya kan bukan tamu. Saya keluar sendiri."

"Anda punya kunci sendiri?"

"Ya."

"Kunci apa saja yang Anda miliki?"

"Kunci pintu pagar dan kunci pintu rumah."

"Anda tidak tinggal di rumah itu, kok bisa punya kunci rumahnya?"

"Saya kan sering datang, jadi Mas Shaun memberi saya duplikat kunci agar setiap kali saya bisa keluarmasuk sendiri tanpa merepotkan Bik Mur."

Kosasih mengalihkan pandangannya ke Shaun Harman.

"Betul Anda yang memberi Nona Lisa Harun duplikat kunci rumah Anda?" tanyanya.

"Ya. Terkadang Lisa menginap di rumah kami. Saya yang memberinya duplikat kunci pintu rumah kami." kata Shaun Harman.

"Baik," kata Kosasih.

"Jadi. siang itu Nona Lisa Harun pulang tak lama setelah Saudara Shaun Harman datang?"

"Betul," jawab Lisa Harun.

"Berarti Anda pulang selagi Pak Bob masih ada di halaman depan bersama kedua mobil?"

"Ya." angguk Lisa Harun.

"Kalau begitu, tolong jelaskan kenapa Saudara Bab Partahi tidak melihat Anda keluar?"

"Hah?"

"Saudara Bob Partahi tadi bilang selama dia ada di halaman, tak ada orang yang lewat. Kalau Anda keluar waktu itu, dia pasti melihat Anda lewat," kata Kosasih.

"Oh. ya Pak Bob yang ngantuk waktu itu," kata Lisa Harun sambil tersenyum.

"Masa saya segede ini tidak kelihatan? Memangnya saya bisa menghilang?"

"Kalau begitu kenapa tadi Anda tidak meralat keterangan Saudara Bob Partahi bahwa tidak ada yang lewat halaman depan selama dia di sana?" tanya Kosasih.

"Mungkin tadi saya kurang perhatian karena pertanyaan itu nggak ditujukan ke saya," kata Lisa Harun.

"Apa Anda melihat Saudara Bob Partahi saat itu?"

"Ya, tentu saja!" kata Lisa Harun.

"Apa Anda menyapanya?"

"Tidak. Saya langsung keluar aja."

"Apa yang sedang dilakukannya?"

"Eh, saya tidak memerhatikannya. Kepala saya saat itu sedang dipenuhi masalah yang dihadapi Mbak Melody. Saya merasa kasihan padanya."

"Jadi Anda sendiri juga tidak melihat Saudara Partahi?"

"Ehmmm," kata Lisa Harun sambil mengerutkan keningnya,

"coba saya ingat-ingat apa yang sedang dikerjakan Pak Bob waktu itu... ehm... oh, ya, saya ingat sekarang. dia sedang asyik mengelap mobil. Dia sedang menghadap ke mobil, mungkin itu sebabnya dia tidak melihat saya," kata Lisa Harun mantap.

"Mobil mana yang sedang dilap Saudara Partahi?" tanya Kosasih.

"Mobil Mercy atau mobil Peugeot?"

"Mobil Mercy."

"Enggak! itu nggak bener!" protes Bob Partahi.

"Waktu itu saya sama sekali tidak mengerjakan apa pun. Saya tuh mengantisipasi jika Ibu Melody tibatiba keluar lalu minta diantarkan ke mana gitu, jadi saya standby terus. Saya siap disuruh berangkat kapan saja.

"Jadi apa yang Anda lakukan selama Anda menunggu di halaman depan itu?" tanya Kasasih kepada Bob Partahi.

"Saya cuma duduk dan menunggu."

"Di mana Anda duduk?"

"Di kursi taman menghadap ke pintu pagar sambil mengawasi jalan. Berhubung pagarnya tidak dikunci, saya kan harus awas, jangan sampai tiba-tiba ada perampok masuk sementara saya lengah," kata Bob Partahi.

"Dan Anda tidak melihat Nona Lisa Harun keluar? Anda tidak melihatnya membuka pintu pagar?"

"Tidak! Saya tidak melihat siapa pun keluar sampai Pak Shaun keluar dan minta diantarkan ke Bandara Juanda!" kata Bob Partahi.

"Mungkinkah Anda tertidur di kursi taman?"

"Sama sekali tidak, Pak! Saya kan sopir. sudah biasa menunggu. Saya tidak pernah tidur selagi menunggu!" bantah Bob Partahi dengan nada jengkel.

"Lalu kenapa Anda tidak melihat Nona Lisa Harun keluar?"

"Saya tidak tahu. Tapi saya sungguh tidak melihatnya! Dan itu bukan karena saya tertidur!" kata Bob Partahi.

"Apakah Anda pernah meninggalkan halaman depan untuk sejenak? Ke WC misalnya? Atau ambil minum?"

"Siang itu saya tidak ke mana-mana karena saya sadar saya bertanggung jawab atas pintu pagar. Ada dua mobil mahal di halaman, mana mungkin saya tinggal masuk?" kara Bob Partahi semakin jengkel.

"'Bagaimana, Nona Harun?" tanya Kosasih dengan nada bingung.

"Kenapa keterangan Anda berbeda dengan keterangan Saudara Parrahi?"

"Maklum Pak Bob kan sudah tua, jadi dia lupa. Ini

kan masalah kecil toh, Pak, apa yang dikerjakan Pak Bob waktu itu kan nggak relevan?" kata Lisa Harun.

"Justru sebaliknya," kata Kosasih.

"Bila terjadi kontradiksi dalam keterangan para saksi, itulah point yang sangat relevan."

"Astaga!" kata Danny Lesmana langsung melompat berdiri.

"Maksud Pak Kapten, Bob berbohong dan dia yang membunuh Melody?"

"Lho!" protes Bob Partahi.

Danny Lesmana sudah meninggalkan kursinya dan dengan wajah marah berusaha mencapai tempat duduk Bob Partahi di deretan kursi paling belakang.

Gazali langsung melesat dan mencekal lengan Danny Lesmana sebelum tangan itu sempat mendarat di kepala Bob Partahi.

"Pak, silakan duduk kembali," katanya sambil menatap Danny Lesmana dengan tajam.

"Papi" kata Mark Lesmana menyusul ayahnya. Dia lalu memegang tangan ayahnya yang lain dan menariknya ke bawah. Tapi Danny Lesmana mengibaskannya.

"Dia membunuh kakakmu! Papa akan membunuhnya!" teriak Danny Lesmana berusaha melepaskan dirinya dari cengkeraman tangan Gozali. Salah seorang dari kedua polisi yang berdiri di belakang melangkah maju, tapi Gozali memberikan isyarat agar dia kembali ke tempatnya.

"Papi Duduklah!" kata Mark Lesmana menarik lengan ayahnya.

"Kita dengarkan aja pengusutan polisi."

"Jangan khawatir, Pak Lesmana. Ini markas polisi.

Tidak ada yang bisa melarikan diri dari ruangan ini. Jadi, silakan Pak Lesmana duduk kembali dengan tenang. Pertemuan ini belum selesai," kata Gozali.

julinda Lesmana pun ikut berdiri dan melambaikan tangannya supaya suaminya mau kembali duduk di kursinya.

Perlahan-lahan Danny Lesmana kembali ke tempat duduknya dan duduk.

"Saya mau pembunuh anak saya dihukum seberatberatnya!" desis Danny Lesmana.

"Dihukum mati!"

"Pasti, Pak Lesmana. Orang yang bersalah pasti dihukum," kata Kosasih dari kursinya.

Gozali juga kembali ke kursinya.

"Saudara Partahi, tahukah Anda kenapa Anda tidak melihat Nona Lisa Harun siang itu?" tanyanya.

"Saya tidak melihatnya karena dia memang tidak pernah lewat di sana!" kata Bob Partahi spontan sambil melotot.

"Tepat sekali!" kata Gozali.

"Apa?" tanya Danny Lesmana bingung.

"Saudara Partahi tidak melihat Nona Harun karena memang Nona Harun tidak lewat halaman depan," ulang Gozali.

"Hah? Lalu lewat mana?" tanya Danny Lesmana.

"Maksudnya, Nona Harun tidak pernah lewat halaman depan saat Saudara Partahi ada di sana," kata Gozali.

"Saya masih tidak mengerti," kata Danny Lesmana.

Gozali mengangguk ke arah Kosasih dan mengindikasikan agar sahabatnya itu yang menjelaskan.

"begini, Pak Lesmana, Nona harun ini sudah lama memendam sakit hati sama Ibu Harman. Siang itu setelah dia mendengar cerita Ibu Harman tentang pertengkarannya dengan suaminya, timbullah niat jahat Nona Harun untuk memakai kesempatan itu membunuh Ibu Harman. Dia akan membuatnya seolah-olah Ibu Harman ini bunuh diri karena kecewa terhadap suaminya.

"Jadi, setelah berpamitan pada Bik Mur, sesungguhnya dia tidak pulang. tapi hanya bersembunyi di dalam rumah, mungkin di dalam salah satu kamar di lantai bawah," kata Kosasih.

"Memang di lantai bawah, di belakang anak tangga ada kamar kosong." kata Shaun Harman sambil mengerutkan keningnya.

"Kalau Lisa menginap di rumah kami, dia tidur di sana."

"Nah, jadi, Nona Harun bersembunyi di dalam kamar itu. Ketika dia melihat Anda turun, Saudara Harman. dia segera naik ke loteng, ke kamar Ibu Melody Harman.

"Dia mendapati istri Anda sedang menukar pakaiannya. Mungkin dia lalu membujuk Ibu Harman untuk berbaring. Jadi setelah Ibu Harman memejamkan matanya, Nona Harun segera mengambil salah satu bantal, dan menutupkannya di wajahnya. Istri Anda tentu saja berusaha melawan, tapi karena Nona Harun ini berhasil duduk di atas tubuh Ibu Harman, maka sudah tentu dia yang menang. Apalagi kondisi Ibu Harman memang sudah lemah sehingga perlawanan yang diberikannya pun tidaklah berarti.

768

"Setelah melakukan pembunuhan itu, Nona Lisa Harun cepat-cepat turun, dan kali ini betul-betul pulang. Pada saat itu Saudara Partahi sudah lama pergi bersama Anda. Pintu pagar sudah terkunci, tapi karena dia punya kunci, dengan mudah dia membukanya sendiri lalu pergi," kata Kosasih mengakhiri narasinya.

Semua yang hadir di ruangan itu sempat menganga mencerna informasi yang baru disampaikan. Semua mata memandang ke Lisa Harun.

Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh suara Lisa.

"Itu adalah cerita karangan polisi," katanya.

"Mentang-mentang saya perempuan yang tidak berdaya, lalu dijadikan kambing hitam. Memangnya untuk apa saya membunuh Mbak Melody?"

Gozali mengambil sesuatu dari dalam salah satu map di atas meja, lalu mengangkat tangannya ke depan memamerkan benda itu.

"Anda kenal ini, Nona Harun?" tanyanya sambil menggoyang-goyang benda yang dipegang dengan kelima jarinya.

Mata Lisa Harun menyipit. Lalu wajahnya memucat.

Gozali berdiri dan menghampiri tempat duduk Lisa Harun di samping Julinda Lesmana.

"Mungkin Anda perlu melihatnya dari dekat untuk mengenalinya," kata Gozali.

Tiba-tiba Lisa berdiri dan mencoba merebut buku itu dari tangan Gozali. Tapi gerakan tangan Gozali lebih cepat. Dia langsung menyembunyikan benda itu di belakang punggungnya.

"Berikan pada saya!" teriak Lisa berusaha mencapai tangan Gozali di belakang punggungnya. Yang berhasil dilakukannya adalah memeluk Gozali. Pada waktu yang sama Gozali justru mengangkat tangannya yang memegang benda itu ke atas.

"Nona Harun, kendalikan diri Anda." kata Gozali dengan nada mengejek. Lalu dia mengisyaratkan agar salah seorang petugas polisi yang siaga di pojok ruangan mendekat.

Petugas itu pun segera datang, menguasai kedua tangan Lisa Harun lalu memborgolnya. Gozali pun kembali ke kursinya, sementara hadirin yang lain hanya bisa menyaksikan dengan terbengong-bengong.

"Lepaskan! Kenapa saya diborgol! Lepaskan saya!" teriak Lisa Harun.

"Maafkan, kami terpaksa mengendalikan Anda karena Anda tidak bisa mengendalikan diri sendiri," kata Gozali.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lisa! Kamu yang membunuh Melody?" kata Danny Lesmana masih dengan nada tidak percaya.

"Betul, Pak Lesmana," kata Kosasih.

"Dan ini buktinya! Buku harian Nona Lisa Harun, yang ditulis dengan tangannya sendiri."

"Dari mana kalian mendapatkan buku itu?" tanya Lisa Harun dengan mata menyala-nyala.

"Kami tahu Anda yang membunuh Ibu Melody Harman, tapi kami belum punya bukti. Maka kami menelepon Saudara Mark Lesmana dan minta dia

memeriksa isi kamar Anda untuk mendapatkan bukti yang bisa mengaitkan Anda dengan kematian Ibu Harman. Kami berharap Anda menyimpan sesuatu dari kejadian hari itu sebagai kenang-kenangan Anda. Ternyata kami lebih beruntung lagi. Saudara Mark Lesmana menemukan buku harian Anda dan menyerahkannya kepada kami kemarin," kata Kosasih.

"Apa? Mark membongkar kamar saya?" tanya Lisa Harun marah.

"Kamu berani membongkar kamarku?" tanyanya kepada Mark Lesmana yang duduk di samping ayahnya.

"Kamu membunuh kakakku dan kamu masih berani marah padaku?" kata Mark Lesmana sambil melotot.

"Apa ini?" sela Julinda Lesmana dengan nada marah.

"Kenapa Lisa dituduh membunuh Melody? Lisa ini anak baik-baik! Dia tidak membunuh siapa pun!"

"Ibu tidak usah meragukannya lagi karena semuanya sudah diakuinya sendiri di dalam buku hariannya ini," kata Kosasih.

"Rupanya Nona Harun tidak punya teman dekat tempat bercurhat. Jadi dia curhat kepada buku hariannya."

"Gimana kamu bisa menemukan buku harianku? Aku menyembunyikannya di laci rahasia lemariku!" kata Lisa Harun kepada Mark Lesmana.

"Kamu lupa, sebelum lemari itu menjadi milikmu, lebih dulu itu adalah lemariku. Aku tahu tentang laci rahasia itu. Aku dulu juga menyembunyikan barang

barang rahasiaku di sana. Aku sudah menduga, jika

Kamu menyembunyikan apa-apa, pasti di sana. dugaanku benar," kata Mark Lesmana.

"Jadi kamu sudah tahu dia yang membunuh kakakmu?" tanya Danny Lesmana kepada anaknya, Mark.

"Ya, setelah aku membacanya di buku harian penipu ini!" kata Mark menuding Lisa Harun.

"Dia benar-benar iblis, Pap! Dia bahkan merasa bangga bisa membunuh Mbak Melody sementara Mas Shaun yang dituduh sebagai pembunuhnya."

Danny Lesmana pun melompat dari duduknya.

"Astaga! Kenapa kamu tidak segera bilang sama Papa? Andai tahu. sudah langsung Papa cekik mati dia!" katanya sambil mengangkat kedua tangannya dan akan segera mencengkeram leher Lisa.

"Mas!" teriak Julinda Lesmana mencekal tangan suaminya.

Petugas polisi yang tadi memborgol Lisa Harun pun segera mencekal bahu Danny Lesmana dan memaksanya duduk kembali.

"Justru karena takut Pak Lesmana akan berbuat seperti itu maka Saudara Mark Lesmana sudah kami wanti-wanti agar rahasia itu tidak dibocorkan."

Sambil menggeretak giginya Danny Lesmana dengan mata melotot memandang ke Lisa Harun seolah-olah mau dilumatnya.

Petugas polisi yang tadi mendudukkannya segera mencekal lengan Lisa Harun lalu menariknya berdiri dan menggelendengnya ke depan, ke meja Kosasih.

"Kenapa kamu membunuh Melody. ha? Melody tidak pernah jahat padamu, kenapa kamu tega membunuhnya!" teriak Danny Lesmana sambil menudingnuding Lisa Harun.

"Dia tidak jahat padaku? Dia tidak jahat padaku?" Lisa Harun balas berteriak sambil mengenakkan kakinya.

"Dia justru sangat jahat padaku! Kalian saja yang buta dan tuli! Dia selalu menghinaku! Aku mau kerja di Lesmana Corporation, tidak diizinkan. Aku ngomong apa saja, tidak dianggap. Mentang-mentang dia anak orang kaya, aku dari keluarga miskin, dia selalu menghina aku!"

"Lisa! Kamu ngomong apa?" kata Julinda Lesmana yang hampir menangis. Dia tampak sangat terpukul dengan perkembangan situasinya.

"Aku ngomong yang sebenarnya! Tante jangan purapura tidak tahu! Melody membenci kita! Ya, dia membenci Tante juga! Tante pikir dia menerima Tante sebagai keluarganya? Tidak! Dia sama sekali tidak menghargai Tante! Kita ini sampah di matanya, ngerti?"

"Kamu memang binatang!" kata Danny Lesmana dengan geram. Seluruh tubuhnya bergetar. Buih-buih kecil tampak terbentuk di ujung-ujung bibirnya. Andai bukan Mark Lesmana sedang mencekai kedua tangannya. dia sudah akan melesat ke depan dan menerkam Lisa Harun.

"Aku membawamu ke dalam rumahku, menyekolahkan kamu sampai jadi sarjana, memberimu apa saja yang kamu inginkan, tapi sebagai balasannya kamu membunuh anakku!"

"Justru karena Oom baik padaku, anak Oom itu cemburu! Setiap kali kami hanya berdua, aku bisa melihat dari wajahnya kalau dia itu membenciku! Dia

bukan orang baik! Hatinya busuk! Orangnya egois! Dia punya suami yang baik. masih saja dimusuhin! Tanyalah pada Bik Mur! Dia bertengkar terus dengan suaminya. Mentang-mentang dia jadi direktur, dia selalu mau menang sendiri! Dia tidak peduli perasaan orang lain. Di matanya hanya ada dirinya sendiri!" kata Lisa Harun berkobar-kobar. Untunglah sepasang borgol membatasi gerakannya.

Danny Lesmana meraung pendek lalu tepekur di kursinya. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, dan menangis. Apakah Melody memang seburuk itu? Apakah salahnya sehingga anaknya menjadi begitu?

"Kita akan rehat dulu selama seperempat jam," kata Kosasih.

"Tapi jangan ke mana-mana, tunggu di dalam ruang ini saja. Saya akan keluar sebentar untuk mengurus penahanan Nona Lisa Harun." Kosasih memberikan isyarat agar petugas polisi yang masih memegang bahu Lisa Harun membawa gadis itu keluar ruangan.

Kosasih dan Gozali pun meninggalkan ruangan, tetapi ketiga orang petugas polisi yang masih berada di dalam ruangan itu tetap berdiri di tempatnya. Alat perekam pun dimatikan.

Langsung terdengar suara ribut derit kursi-kursi yang diundurkan karena yang mendudukinya memutar badan atau berdiri, bercampur dengan suara sepatu yang bergesekan dengan lantai secara serempak. Semua orang mulai berbicara pada waktu yang bersamaan sehingga ruang itu menjadi sangat ramai.

Lima belas menit kemudian ketika Kosasih dan Gozali kembali, mereka yang hadir di dalam ruang itu segera duduk kembali di kursi masing-masing. Wajah Danny Lesmana tampak sangat kusut. Dia duduk dengan kepalanya ditunjang kedua telapak tangannya sambil sikunya terletak di atas pahanya. Shaun Harman memegangi jidatnya sementara matanya terpejam. _Julinda Lesmana tampak sangat gelisah, di wajahnya terbayang perasaan berdosanya. Bagaimanapun juga Lisa Harun adalah kemenakannya, dan dialah yang mengajak gadis itu tinggal di rumahnya. Yang lain-lain seperti Sabine Lemar. Jaka Herlambang, Kris Wenger dan orang-orang gudang, semuanya tampak penuh perhatian. Mereka masih menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.

"Apakah Anda sekalian sudah cukup tenang untuk melanjutkan pembicaraan kita ini?" tanya Kosasih kembali duduk di belakang meja. Dia meletakkan sebuah bungkusan di atas mejanya.

Salah seorang petugas polisi menghidupkan alat perekamnya lagi, yang sudah diganti dengan pita baru.

Danny Lesmana meluruskan tubuhnya Matanya merah. Lalu dia berdiri.

"Terlebih dahulu saya ingin minta maaf secara terbuka dan di hadapan semua yang hadir di sini, kepada Shaun," katanya.

"Selama ini saya selalu menuduhnya sebagai pembunuh Melodv. Saya memutuskan

semua hubungan dengannya. Saya mengusirnya dari Lesmana Corporation." Danny Lesmana menggelenggelengkan kepalanya "Saya begitu keliru! Shaun, Papa minta maaf yang sebesar besarnya. Kesalahan yang Papa lakukan kepadamu sangat besar dan Papa tidak tahu bagaimana Papa bisa menebusnya."

"Aku tidak menyalahkan Papa sama sekali. Aku memang orang terakhir bersama Melody," kata Shaun yang duduk di baris paling belakang.

"Wajarlah kalau aku yang disangka membunuhnya."

"Aku sudah mengenalmu bertahun-tahun, Shaun," kata Danny lesmana,

"gimana aku bisa begitu salah menilaimu. Pembantumu itu saja yakin kamu tidak membunuh Melody. Justru Papa yang sudah mengenalmu begini lama, yang mencurigaimu. Selama ini kamu adalah orang yang jujur, baik. dan loyal padaku. Seharusnya Papa tahu kamu tidak mungkin melakukan perbuatan sekejam itu kepada Melody. Papa hanya bisa mengetuk kebesaran hatimu dan berharap kamu mau memaafkan aku, Shaun."

"Sudah aku maafkan, Pa. Sebetulnya aku tidak pernah menyalahkan semua orang yang mencurigai aku," kara Shaun Harman.

"Memang semua bukti seolah mengarah kepadaku."

Danny Lesmana menganggukkan kepalanya, lalu duduk lagi.

"Saya tidak pernah menduga. justru anak yang saya bawa masuk dalam rumah saya, yang saya perlakukan seperti anak saya sendiri, bisa melakukan kejahatan seperti ini," lanjut Danny Lesmana.

"Setan apa yang

masuk ke hatinya sehingga dia tega berbuat sekejam itu!"

Julinda Lesmana menundukkan kepalanya dan menangis diam-diam. Setelah ini, bagaimana dia bisa memandang wajah suaminya lagi? Akankah suaminya menyalahkan dia sebagai biang keladi kematian anaknya?

"Jadi Lisa yang membunuh Norma juga?" tanya Shaun Harman kepada Kosasih.

"Tidak." kata Kosasih.

"Oh, kalau begitu kematian Norma tidak ada kaitannya dengan pembunuhan Melody?"

"Kematian Ibu Norma Tanjung ada kaitannya dengan pembunuhan Ibu Melody Harman, tapi pelakunya bukan Nona Lisa Harun," kata Kosasih.

Seluruh hadirin di ruangan itu langsung tampak tegang. Mereka tadinya mengira Lisa Harun-lah yang melakukan semuanya dan dengan terungkapnya si pembunuh. berarti mereka semuanya selamat. Tapi ternyata tidak!

"Hah? Kalau begitu siapa yang membunuh Bu Norma?" tanya Sabine Lemar.

"Orang yang membunuh Ibu Norma Tanjung adalah orang yang meracuni Ibu Melody Harman," kata Kosasih.

Danny Lesmana mengerutkan keningnya.

"Hah? Lho, jadi yang meracuni Melody bukan Lisa?" tanyanya.

"Ternyata bukan. Pak Lesmana," kata Kosasih.

"Kami rasa andaikan Nona Lisa Harun tahu Ibu

Melody Harman sedang diracun orang, dia tidak akan membunuhnya. Dia akan menunggu sampai Ibu Melody meninggal akibat keracunannya itu."

"Ya Tuhan! Jadi masih ada orang lain lagi yang mau mencelakakan Melody?" tanya Danny Lesmana.

"Orang yang meracuni Ibu Melody Harman tidak bermaksud untuk membunuhnya, paling sedikit dia tidak bermaksud untuk segera membunuhnya. Dia hanya memasukkan racun sedikit saja, cukup untuk membuat Ibu Harman sakit tapi tidak sampai meninggal."

"Kenapa tiba-tiba ada begitu banyak orang yang mau mencelakakan anak saya?" kata Danny Lesmana dengan penuh frustrasi.

"Mungkin Ibu Harman telah banyak menyakiti hati orang lain, Pak Lesmana," kata Kosasih dengan nada sedih.

"Jadi siapa yang meracuninya?" kata Danny Lesmana tak sabar.

"Kami masih mencari orang ini. Mestinya dia salah seorang karyawan Lesmana Corporation. atau orang yang punya akses ke kantor Ibu Melody Harman, karena racun itu diaplikasikan di kantor tersebut."

"My God' Karyawan saya sendiri?"

"Ya."

"Sabine!" Tiba-tiba Danny Lesmana menunjuk ke arah Sabine Lemar.

"Kamu! Kamu membencinya! Melody mencopotmu dari jabatanmu. Kamu yang meracuninya!"

"Tidak!" bantah Sabine dengan mata lebar.

"Saya tidak pernah meracuni siapa pun!"

Danny Lesmana lalu berpaling ke Jaka Herlambang.

"Jaka! Melody memutuskan hubungannya dengan kamu. Kamu pasti juga membencinya! Apa kamu yang meracuninya?" tanyanya.

"Sabar, Pak Lesmana," kata Kosasih.

"Biar saya dan Pak Gozali yang mengajukan pertanyaan untuk menemukan siapa pelakunya."

"Bagaimana keracunan Melody ini ada kaitannya dengan pembunuhan Bu Norma?" tanya Shaun Harman.

"Setelah diperiksa, Labkrim menemukan racun di dalam kaleng susu cokelat Ibu Melody Harman di kantor," kata Kosasih.

"Ternyata siapa saja bisa masuk ke sana saat Ibu Melody Harman tidak ada di dalam kantornya, dan mencampurkan sedikit bubuk arsenik yang bisa diperoleh dari racun pembunuh tikus ke dalam kaleng susu cokelatnya."

"Ah, jadi tiap kali Melody minum susu cokelat itu, dia menelan racun arsenik?" tanya Shaun.

"Ya, dalam jumlah kecil."

"000. itu sebabnya kalau Melody beristirahat di rumah, kondisinya membaik. Tapi begitu dia ngantor lagi, sakitnya muncul lagi," kata Shaun.

"Justru karena Ibu Harman sering istirahat di rumah, organ-organnya sempat membaik sebelum terkena racun lagi. Jadi prosesnya seperti yoyo. Tapi lamakelamaan, kondisinya menjadi semakin lemah."

"Kenapa orang yang meracuni Melody lalu membunuh Bu Norma?" tanya Shaun Harman lagi.

"begini, polisi menyimpulkan, ada dua orang yang mau mencelakakan Ibu Melody Harman, tapi kedua orang ini tidak saling mengetahui niat masing-masing. Andai tahu. mungkin mereka akan bekerja sama. Tapi karena tidak tahu. mereka lalu bertindak sendirisendiri," kata Kosasih.

"Orang yang meracuni Ibu Melody Harman ini sudah mulai melakukan kejahatannya sekitar dua bulan yang lalu. Kami belum tahu mengapa dia meracuni Ibu Harman sedikit-sedikit. Mungkin dia tidak bermaksud membunuh Ibu Harman, tapi hanya membuatnya sakit. Atau mungkin dia tidak mau orang-orang curiga bahwa sakitnya Ibu Harman itu akibat keracunan dan bukan akibat kehamilannya. jadi dia tidak mengira Ibu Harman akan meninggal secepat itu.

"Saat Ibu Harman dibunuh Nona Lisa Harun, orang yang meracuninya ini sadar bahwa polisi nanti akan tahu Ibu Harman sudah keracunan sebelumnya dan akan mencari sumber racunnya. Jadi, dia mau menghapus keterlibatannya dengan racun itu. Dia mau menghapus sidik jarinya dari kaleng susu cokelat di kantor Ibu Harman. Celakanya, kaleng susu itu ternyata sudah dibawa pulang oleh Ibu Norma Tanjung."

"Ah. iya. saya ingat. Bu Norma memang menceritakan hal itu-saat makan di kantin hari Jumat yang terakhir itu," kata Jaka Herlambang.

"Dia mengatakan polisi minta kaleng susu itu yang sudah dibawanya pulang dan akan mengambil kaleng itu di rumahnya malam itu."

"Ah, jadi Bu Norma Tanjung pernah bercerita di kantin," kata Kosasih sambil menganggukkan kepalanya.

"Siapa saja yang mendengar cerita itu?"

"Ya semua kepala bagian yang makan di sana. Setiap hari kan kami makan siang bersama-sama di ruang yang terpisah di kantin," kata Jaka Herlambang.

"Bu Norma itu walaupun bukan kepala bagian, tapi karena dia itu sekretaris Pak Danny dan orang lama, dia makan bersama kami."

"Kecuali saya! Sudah lama saya tidak makan siang di kantin," kata Sabine Lemar.

"Betul. Ibu Sabine memang tidak di kantin siang itu," kata Jaka Herlambang.

"Tuh. Pak Kapten." kata Sabine Lemar.

"Satu lagi alasan kenapa bukan saya yang membunuh Ibu Norma Tanjung seperti yang dituduhkan polisi! Saya bahkan tidak tahu tentang kaleng susu cokelat itu. Saya tidak mendengar cerita Bu Norma."

"Berarti yang membunuh Bu Norma adalah salah satu dari antara para kepala bagian LC yang Jumat siang itu mendengar cerita Bu Norma tentang kaleng susu cokelat Melody?" tanya Shaun Harman.

"Mestinya begitu," kata Kosasih.

"Selama polisi tidak mencari kaleng susu cokelat itu, si peracun diam-diam saja dan berharap keterlibatannya tidak ketahuan. Tapi begitu dia mendengar cerita Bu Norma bahwa polisi mau mengambil kaleng susu cokelat itu dari rumahnya. dia panik. Dia harus menghapus sidik jarinya dari kaleng itu sebelum kaleng itu jatuh ke tangan polisi."

"Tapi kenapa Norma membawa pulang kaleng susu cokelat itu?" tanya Danny Lesmana heran.

"Karena sifat hemat Ibu Norma Tanjung. Dia pikir daripada mubazir, dia sendiri yang mau minum susu cokelat itu. apalagi kaleng itu dia yang membelikan dengan uangnya sendiri," kata Kosasih.

"Astaga, jadi Norma ikut keracunan?"

"Tidak. Bu Norma belum sempat minum dari kaleng itu."

"Berarti orang yang memasang racun itu datang ke rumah Norma dengan tujuan menghapus sidik jarinya dari kaleng susu cokelat itu, tapi kenapa kemudian dia membunuh Norma?" tanya Danny Lesmana.

"Ya. Mungkin Bu Norma Tanjung menjadi curiga sehingga dia harus dibunuh supaya perbuatannya meracuni Ibu Harman tidak ketahuan," kata Kosasih.

Semua karyawan Lesmana Corporation di ruangan itu saling berpandangan. Tidak semua kepala bagian Lesmana Corporation yang makan siang di kantin hadir di ruangan ini, berarti polisi sudah tahu bahwa si pembunuh terdapat hanya dari antara mereka yang hadir di sini! Yang tidak dicurigai, tidak diundang datang.

Untuk pertama kalinya Danny Lesmana memandang ke karyawan-karyawannya yang hadir di sana dengan tajam. Salah satu dari mereka itu adalah orang yang meracuni anaknya dan membunuh sekretarisnya! Tapi siapa?

"Menurut keterangan Ibu Ayun," kata Kosasih sambil mengindikasi ibu Ayun yang duduk dengan rapi di kursinya,

"yang rumahnya berseberangan dengan rumah Ibu Norma Tanjung, pada malam terjadinya pembunuhan di sana. ada mobil Katana putih yang datang dua kali ke rumah Ibu Norma Tanjung."

Semua mata pun mengarah ke wanita itu yang merupakan satu-satunya orang yang tidak dikenal oleh tamu-tamu yang lain.

Diam-diam Jaka Herlambang mengangkat tangan kanannya ke mulutnya. Tapi dia cepat-cepat menurunkannya lagi begitu sadar bahwa beberapa pasang mata sedang tertuju padanya.

"Lho, yang punya Katana putih di seluruh Surabaya kan banyak!" katanya sebagai bela diri.

"Ya. Tapi yang punya Katana putih sekalian mengenal Ibu Norma Tanjung mungkin bisa dihitung dengan jari." kata Kosasih sambil menyeringai.

"Mobil saya Katana putih juga." kata Jaka Herlambang.

"Kami tahu," kata Kosasih tanpa emosi.

"Jadi, kami sekarang perlu bertanya, apakah yang bertamu ke rumah Ibu Norma Tanjung malam itu Anda?"

"Tidak! Saya tidak punya urusan sama Bu Norma, kenapa harus ke rumahnya," kata Jaka Herlambang.

"Untuk menghapus sidik jarimu dari kaleng susu cokelat di rumahnya," sela Sabine Lemar ketus.

"Tidak! Saya tidak punya urusan dengan kaleng susu cokelat itu! Saya tidak pernah memegang kaleng susu cokelat itu. Bukan saya peracunnya!" protes Jaka Herlambang.

"Kami sudah bicara dengan Ibu Ayun, ternyata Ibu Ayun tidak melihat dengan jelas siapa pengendara Katana putih itu," lanjut Kosasih.

"Soalnya waktu orangnya turun, pandangan saya terhalang mobilnya. Saya cuma melihat ada sosok orang begitu, tapi nggak jelas bentuknya," celetuk Ibu Ayun, untuk pertama kalinya bersuara.

"Kami tahu Katana putih yang datang ke rumah Ibu Norma Tanjung sekitar pukul enam sore adalah milik Ibu Sabine Lemar." kata Kosasih,

"hal mana sudah diakui sendiri oleh Ibu Lemar."

"Saya datang ke sana karena ditelepon Bu Norma. Kalau enggak, ya nggak bakalan saya diam-diam ke sana," kata Sabine Lemar.

"Kenapa Norma memanggilmu datang, Bine?" tanya Danny Lesmana.

"Saya juga nggak tahu, Pak. Soalnya waktu dia menelepon, saya belum sampai rumah. Jadi dia bicara dengan pembantu. Pembantu saya nggak tanya," kara Sabine Lemar.

"Menurut pengakuan Ibu Lemar, waktu dia tiba di rumah Ibu Norma Tanjung. ternyata tidak ada yang membukakan pintu walaupun sudah dibel. Jadi Ibu Lemar pergi." kata Kosasih.

"Saya sudah ngebel di luar pagar sampai lama nggak ada yang keluar, ya sudah, saya tinggal." kata Sabine Lemar.

Kosasih mengangguk.

"Ibu Ayun membenarkan hal tersebut," katanya.

"Dia melihat Katana putih itu pergi."

Ibu Ayun menganggukkan kepalanya.

"Tunggu, tunggu!" kata Mark Lesmana.

"Pukul enam Bu Norma bukannya masih membelikan lilin untuk acara doa di rumah kami?"

"Bener," kata Danny Lesmana.

"Jadi mana mungkin Norma meneleponmu supaya datang ke rumahnya, Bine?"

"Saya juga nggak tahu, Pak," kata Sabine Lemar.

"Kata pembantu saya, saya disuruh ke rumah Bu Norma pukul enam."

"Dia menelepon ke rumahmu pukul berapa, Bine?" tanya Danny Lesmana.

"Kira-kira pukul lima seperempat begini, Pak. Saya tiba di rumah pukul setengah enam," kata Sabine Lemat.

"Pukul lima seperempat Bu Norma di rumah kita," kata Mark Lesmana.

"Pasti bukan dia yang menelepon karena dia lagi sibuk menata kue-kue untuk disuguhkan setelah acara doa."

"Jadi sekarang kita tahu, bukan Bu Norma Tanjung yang menelepon Ibu Sabine Lemar," kata Kosasih.

"Lalu siapa?"

"Kira-kira orang yang meracuni Ibu Harman, dan yang bermaksud membunuh Ibu Norma Tanjung."

"Tapi kenapa saya disuruh ke rumah Bu Norma?" tanya Sabine.

"Untuk melibatkan Anda."

"Sialan orang ini," gerutu Sabine Lemar.

"Jadi dia sengaja mau menjadikan saya kambing hitamnya!" Dia lalu mlarak ke arah laka Herlambang.

"Kita lanjutkan dulu," kata Kosasih.

"Sekitar pukul setengah delapan, saat Ibu Ayun keluar ke teras rumahnya, dia melihat ada Katana putih parkir lagi di depan pagar rumah Ibu Norma Tanjung," kata Kosasih.

Ibu Ayun menganggukkan kepalanya lagi.

"Betul," katanya.

"Sekarang, saya punya pertanyaan yang sangat penting buat Ibu Ayun," kata Kosasih.

"Apakah Katana putih yang kedua ini adalah Katana putih yang pertama datang?"

"Sama Katana putihnya, Pak," kata Ibu Ayun.

"Namanya Katana putih ya semua modelnya sama, Pak!" celetuk Sabine Leman "Tapi sumpah saya tidak kembali ke rumah Bu Norma malam itu!"

"Eh..." Ibu Ayun mengangkat tangannya,

"saya teringat, Katana yang kedua itu tidak ada ban setepnya."

Mata Kosasih melebar.

"Sungguh?" katanya dengan nada gembira.

Ibu Ayun mengangguk.

"Ya. Saya tidak bisa melihat nomor polisi mobilnya, tapi saya bisa melihat ban serepnya tidak ada," katanya.

"Katana yang pertama punya ban serep, Bu?"

"Ya. Kalau tidak salah malah ada bungkusnya yang dominan warna putihnya," kata Ibu Ayun.

"Ya, itu Katana saya," celetuk Sabine Lemar.

"Ban serep saya memang dibungkus plastik putih."

"Katana saya juga ada ban serepnya di belakang,"
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Jaka Herlambang tidak mau kalah.

"Tapi tidak ada bungkusnya."

"Bagaimana dengan Katana Anda, Nona Rahayu Ibrahim?" tanya Kosasih mengangkat matanya langsung memandang Rahayu lbrahim yang duduk di samping ayahnya.

"Katana saya juga ada ban serepnya," kata Rahayu lbrahim tenang.

"Itu parkir di luar, bisa dilihat sendiri."

Kosasih memalingkan wajahnya dan memandang Gozali.

"Sekarang memang ada ban setepnya. Tapi enam hari yang lalu mungkin tidak?"

"Mobil saya selalu ada ban serepnya, Pak. Kalau tidak bawa ban serep, lalu ada ban yang bocor. kan tidak bisa diganti?" sahut Rahayu lbrahim.

"Kalau begitu mungkin enam hari yang lalu Anda mengalami kebocoran ban sehingga ban serep yang dipakai sementara ban yang bocor itu dibetulkan," kata Kosasih.

Rahayu lbrahim berpaling ke ayahnya lalu menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Saya tidak pernah menambalkan ban. Sejak pertama sampai sekarang mobil saya belum pernah mengalami kebocoran," kata Rahayu lbrahim.

"Hal itu bisa dicek dengan gampang. Kami tinggal membuka semua ban mobil Anda saja untuk melihat apa benar semua bannya utuh tak pernah ditambal." sela Gozali.

"Lho, kenapa hanya mobil saya yang dicek?" kata

1417

Rahayu ketus.

"Kenapa mobil Katana putih yang lain tidak dicek?"

"Karena hanya Anda yang mengatakan mobil Anda belum pernah bocor bannya," seringai Gozali.

"Apa mobil Saudara Herlambang dan ibu Lemar pernah bocor bannya?"

"Mobil saya kan mobil lama, sudah pasti bannya ada yang ditambal," kata Sabine Lemar.

"Ban mobil saya juga sudah pernah bocor," kata Jaka Herlambang.

"Anda masih tetap mengatakan ban mobil Anda belum pernah ada yang bocor?" tanya Gozali kepada Rahayu lbrahim.

"Ya," kata Rahayu mantap.

"Kalau begitu Anda tidak keberatan kan kami cek sekarang?"

"Silakan!"

Gozali mengangguk lalu segera meninggalkan ruangan.

"Sekarang, saya mau bertanya kepada ketiga pemilik Katana putih di sini. di mana Anda pada Jumat malam tanggal 28 Februari sekitar pukul setengah delapan?" kata Kosasih memandang Sabine Lemat, Jaka Herlambang, dan Rahayu lbrahim secara bergantian.

"Saya ada di rumah," kata Rahayu Ibrahim menjawab lebih dahulu.

"Sudah dua minggu ini setiap hari saya pulang ke rumah sekitar pukul enam dan tidak keluar lagi. Tanyalah ayah saya kalau tidak percaya."

Ali ibrahim mengangguk.

"Betul. Dua minggu ini Rahayu sepulang kerja selalu di rumah," katanya.

"Legi pula saya nggak kenal dengan Ibu Norma. Untuk apa saya ke rumahnya!" kata Rahayu dengan nada jengkel.

'Saudara Herlambang. bagaimana dengan Anda?" tanya Kosaih.

"Hari Jumat yang lalu mobil saya masih di bengkel, jadi sepulang kerja saya tidak ke mana-mana. Saya ada di tempat kos saya."

"Ada yang bisa menguatkan keterangan Anda ini?" tanya Kosasih.

"Tentu saja. Teman-teman sekos saya bisa ditanyai. Malam itu kami nonton TV bersama-sama sampai pukul satu."

"Dan ibu Lemar?"

"Dari rumah Bu Norma saya pergi belanja dan baru tiba di rumah pukul setengah sembilan begitu," kata Sabine.

"Jadi ibu tidak punya alibi?"

"Saya tidak menduga saya perlu menyediakan alibi untuk hari itu." jawab Sabine ketus.

Gozali kembali dan duduk lagi di kursinya.

"Baik, kita lanjutkan dulu. Labkrim menemukan cap sebuah sol sepatu di atas keset di rumah Ibu Norma Tanjung." kata Kosasih.

"Cap itu kemudian diproses dan diketahui berasal dari sebuah sepatu olahraga merek Eagle berukuran 41."

"Saya kok tidak melihatnya saat di rumah Norma," celetuk Danny Lesmana.

"Itu karena keset itu sendiri berwarna kecokelatan, dan cap sol sepatu itu juga berwarna kecokelatan. itu habis menginjak darah sehingga kalau dilihat dengan mata sekilas begitu saja, tidak tampak. Tapi dengan cairan tertentu, cap itu tampak jelas," kata Kosasih.

"justru karena tidak tampak oleh mata maka si pemilik sepatu itu tidak melihat bahwa sepatunya sudah meninggalkan jejak. Andaikan dia tahu, pasti keset tersebut sudah dibuangnya," tambah Gozali.

"Kalau sepatu itu berukuran 41, berarti bukan sepatu Sabine," kata Shaun Harman.

"Memang itu bukan sepatu Ibu Sabine Lemar" kata Kosasih.

"Juga bukan sepatu saya!" kata Rahayu lbrahim.

"0000, jadi itu sebabnya polisi datang ke pabrik untuk memeriksa sepatu semua karyawan," kata Kris Wenger mulai mengerti.

"Betul. Waktu itu kami memang tidak memberitahu Anda alasan pemeriksaan kami supaya tidak membuat si pembunuh menghilangkan jejaknya," kata Kosasih.

"Yang saya dengar dari anak-anak. di locker karyawan juga tidak ditemukan sepatu yang dicari polisi," kata Danny Lesmana.

"Betul, memang Labkrim tidak menemukan sepatu yang mencurigakan di locker karyawan." kata Kosasih.

Beberapa di antara para hadirin tanpa sadar tampak melepaskan nafas lega.

"Tapi," lanjut Kosasih sambil mengangkat matanya dari dokumen yang dipegangnya,

"Labkrim menemukan sepatu tersebut di tempat pembuangan sampah di dalam kompleks Lesmana Corporation."

"Apa!" kata Danny Lesmana.

"Kok saya tidak diberitahu tentang hal ini?"

"Begitu juga si pemilik sepatunya," seringai Gozali.

Gozali membuka bungkusan di atas meja Kosasih dan mengeluarkan sepasang sepatu dari dalamnya.

"Ini sepatunya," kata Kosasih.

"Dan, lebih bagus lagi, Labkrim menemukan sidik jari pada sepatu itu.

"Jadi. sepatu ini milik siapa, Pak?" tanya Danny Lesmana tidak sabar.

"Sidik jarinya milik Saudara Rahadian Ibrahim," kata Kosasih.

"Tidak! itu tidak benar!" kata Rahadian Ibrahim membelalak.

"Benar. Sidik jari di sepatu ini adalah sidik jari Anda," kata Kosasih.

"Labkrim salah lihat! Itu bukan sidik jari saya! Itu bukan sepatu saya!" kata Rahadian lbrahim.

"Saudara Rahadian lbrahim, Anda adalah orang yang pintar. tapi kali ini Anda tertangkap," kata Kosasih.

"Anda pergi ke rumah Ibu Norma Tanjung dengan mobil Katana kakak Anda dengan tujuan mau menghapus sidik jari Anda dari kaleng susu cokelat yang Anda masukin racun tikus itu. Mungkin Ibu Norma Tanjung tiba-tiba sadar bahwa Andalah orang

yang mencampurkan racun ke dalam kaleng itu, sehingga Anda memutuskan untuk membunuhnya."

"Tidak! Saya tidak pernah ke rumah Bu Norma!" protes Rahadian lbrahim.

"Anda tidak meminjam Katana kakak Anda malam itu dan pergi ke rumah Ibu Norma Tanjung? Mungkin Anda ke sana sudah dengan niatan membunuh korban, karena Anda datang sudah siap dengan pisau yang Anda pakai untuk menggaruk leher korban." kata Kosasih geram.

"Tidak! Saya..."

Sebuah ketukan terdengar di pintu, lalu seorang petugas polisi muncul membawa sebuah ban mobil. Gozali langsung berdiri dan menghampiri petugas Itu.

"Gimana? Ada tambalannya?"

"Ada, Pak. lni," kata si polisi itu menunjuk ke atas ban. Suaranya cukup keras untuk didengar semua yang hadir di ruang itu.

Gozali meletakkan ban itu di samping meja dan kembali duduk.

"Jadi, Saudara Rahadian Ibrahim, pada Jumat malam tanggal 28 Februari itu Anda meminjam mobil Katana kakak Anda dan Anda pergi ke rumah ibu Norma Tanjung. Dalam perjalanan ban mobilnya bocor. Anda berhenti di tukang ban, mengganti yang bocor dengan ban serep. dan meninggalkan ban yang bocor untuk ditambal. Anda lalu melanjutkan perjalanan Anda ke rumah Ibu Norma Tanjung. Anda membunuh wanita malang itu. dan Anda kembali ke

tukang tambal ban untuk mengambil ban yang sudah ditambal dan ban itu dipasang kembali di mobil kakak Anda. Tentu saja Anda tidak bilang apa-apa kepada kakak Anda tentang apa yang Anda lakukan," kata Kosasih.

"Tidak! Ini tuduhan fitnah!" kata Rahadian sambil berdiri

"Saudara Rahadian Ibrahim, tolong singsingkan lengan baju Anda," kata Kosasih.

"Apa?" tanya Rahadian.

"Tunjukkan lengan Anda, kedua-duanya," kata Kosasih.

"Kenapa?"

"Karena di lengan Anda pasti ada bekas luka cakaran Ibu Norma Tanjung."

"Itu bohong! Bu Norma tidak pernah mencakar saya!"

"Kalau begitu tentunya Anda tidak keberatan menyingsingkan lengan baju Anda dan menunjukkan lengan Anda kepada kami, bukan?"

Rahadian tidak bergerak sama sekali. Salah seorang petugas polisi di bagian belakang ruangan, maju menghampirinya. Lalu dia mulai menggulung lengan kemeja Rahadian ke atas. Di lengan kirinya tampak membekas beberapa guratan yang berwarna kemerahan.

"Anda masih mencoba mengelak?" tanya Kosasih sinis.

Rahadian cepat-cepat menurunkan lengan kemejanya lagi. Matanya membelalak liar.

"ini dicakar kucing tetangga." katanya.

"Saudara Rahayu lbrahim, bukankah Jumat malam itu mobil Anda dipinjam adik Anda?" tanya Kosasih.

"Saya tidak ingat." kata Rahayu lbrahim.

"Kenapa bisa tidak ingat? itu baru enam hari yang lalu!" kata Kosasih.

"Dian memang sering meminjam mobil saya kalau dia pergi sepulang kerja. Saya tidak ingat apa Jumat yang lalu dia meminjamnya atau tidak," kata Rahayu Ibrahim bergeming.

"Dian, apa kamu membunuh Ibu Norma Tanjung ini?" tanya Ali Ibrahim sambil memandang anaknya dengan tajam.

"Enggak, Pak!" bantah Rahadian lbrahim.

"Untuk apa aku membunuh orang?"

"Sepatu itu mirip sepatumu." kata Ali Ibrahim menunjuk ke sepatu di atas meja Kosasih.

"Sepatumu mereknya Eagle juga, kan?"

"Pabrik sepatu itu kan membuat beribu-ribu sepatu seperti itu, Pak. Yang punya kan bukan cuma aku!" kata Rahadian.

"Tiga hari yang lalu bukannya kamu membeli sepatu baru?" tanya Ali lbrahim.

"Memangnya aku tidak boleh membeli sepatu baru, Pak!"

"Mana sepatumu yang lama?"

"Aku buang karena sudah rusak."

"Kenapa dibuang? Kan bisa diberikan Farid?"

"Sudah rusak kok diberikan Farid! Kalau masih bisa dipakai, ya aku pakai sendiri, tidak dibuang, Pak!"

"Kalau itu bukan sepatumu," kata Ali Ibrahim menunjuk ke sepatu di atas meja Kosasih,

"kenapa sidik jarimu bisa berada di sana?"

"Itu bukan sidik jariku, Pak!"

"Itu sidik jari Anda," kata Kosasih.

"Astaga, Dian, apa yang telah kamu lakukan?" kata Ali Ibrahim.

"Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua cuma tuduhan kosong!" kata Rahadian.

Ali Ibrahim berpaling ke Rahayu yang duduk di sampingnya.

"Jumat malam itu apa kamu meminjamkan mobilmu kepada adikmu?"

Rahayu lbrahim menundukkan kepalanya tidak menjawab.

"Jawablah, Nak," kara Ali lbrahim dengan nada yang lebih lembut.

"Bapak berharap Bapak tidak membesarkan anak-anak pembohong. Adikmu sudah mengecewakan Bapak. Mudah-mudahan kamu tidak mengecewakan Bapak."

Rahayu menganggukkan kepalanya. Air matanya mulai mengalir.

"Iya, Pak. Dian memang meminjam mobilku Jumat malam itu," katanya masih dengan kepala tertunduk.

Ali Ibrahim mengambil napas panjang.

"Ya, Allah, ya, Rabbi, kenapa kamu jadi begini, Dian?" kata Pak Ibrahim sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Membohong, membunuh, meracuni orang." Orang tua itu pun mulai mengalirkan air mata.

"Dan yang kamu racun justru Mbak Melody,

sahabat kakakmu. temanmu juga sejak kecil, anak Pak Danny yang keluarganya selama ini tak henti-hentinya menolong keluarga kita! Pak Danny yang mengobatkan ibumu sampai..."

"Pak Danny itu penipu!" kata Rahadian Ibrahim melompat dari duduknya sambil menunjuk ke Danny Lesmana.

"Dia pura-pura jadi orang baik. tapi sebetulnya semua itu dengan pamrih! Dia dulu membantu kita bukannya tanpa pamrih, tapi supaya Mbak Ayu dan aku mau menjadi teman anak-anaknya! Anakanaknya itu di sekolah tidak punya teman, Bapak tahu? Jadi kita ini dibeli supaya jadi teman anak-anaknya!"

"Hei, Dian, saya membantu menyekolahkan kamu dan kakakmu itu dengan tulus!" kata Danny Lesmana.

"Kok kamu bisa ngomong seperti ini sekarang!"

"Tulus apa, heh? Semua itu pamrih! Begitu Mbak Melody sudah betah di London, Mbak Ayu dipulangkan karena sudah tidak dibutuhkan lagi!" kata Rahadian lbrahim.

"Ayu saya puiangkan karena dia tidak sekolah sewaktu di London!" kata Danny Lesmana.

"Kalau tidak dipulangkan, dia akan menjadi semakin rusak di sana."

"Tidak! Pak Danny memang tidak berniat menyekolahkan kami ke luar negeri. Mbak Ayu cuma dipakai sebagai alasan supaya Pak Danny juga tidak usah mengirim aku sekolah ke luar negeri seperti yang pernah dijanjikan!" kata Rahadian Ibrahim menggebu-gebu.

"Kamu tidak saya kirim ke luar negeri karena angka-angka pelajaranmu sendiri jelek! Kamu lulusnya selalu cuma pas-pasan. Saya yakin kamu tidak sanggup mengikuti pelajaran di luar negeri yang lebih berat. Tapi saya memberimu pekerjaan di pabrik sebagai wakil kepala gudang!" kata Danny Lesmana.

"Itu pekerjaan apa! Kalau saya sekolah di luar negeri, pasti pulangnya saya bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus, tidak usah nguli di LC!" kata Rahadian lbrahim.

"Wah, kamu sungguh orang yang tidak tahu budi!" kata Ali lbrahim memandang anaknya seolah-olah memandang makhluk dari bulan yang membuatnya heran.

"Kita sekeluarga sudah berutang budi segunung kepada Pak Danny, tapi kamu..."

"Berutang budi apa, Pak? ibu meninggal sebetulnya kan gara-gara Mbak Ayu dipulangkan dari London! Dia ini yang membunuh Ibu!" kata Rahadian lbrahim menuding Danny Lesmana.

"Kamu sudah gila!" kata Ali Ibrahim.

"Ibumu penyakitnya macam-macam. Kalau bukan ditolong Pak Danny, mungkin sudah lama ibumu meninggal."

"Ibu sakit setelah Mbak Ayu dipulangkan! Tadinya Ibu tidak pernah sakit!" kata Rahadian Ibrahim.

"Ibumu sakit bukan karena kakakmu dipulangkan, tapi justru karena dia tidak pulang ke rumah! Karena dia tidak diketahui berada di mana," kata Ali lbrahim.

"Itu yang membuat ibumu sedih! Bukan karena Pak Danny!"

"Tapi andai Mbak Ayu tidak dipulangkan dari London. kan dia tidak menghilang. Jadi pangkalnya itu kesalahan Pak Danny!" kata Rahadian Ibrahim.

"Kesalahanku yang terbesar adalah membawa kamu masuk ke dalam keluargaku!" kata Danny Lesmana dengan suara keras.

"Kamu meracuni anakku dan membunuh sekretarisku yang setia!"

"Bapak tahu nggak, Mbak Melody mau mengganti saya dengan temannya dari Jakarta!" kata Rahadian lbrahim berkacak pinggang kepada Danny Lesmana.

"Dia mau menyingkirkan saya! Kalau dia menganggap saya temannya, tidak mungkin dia berbuat begitu!"

"Hah? Kamu bicara apa ini?" tanya Danny Lesmana.

"Mbak Melody bilang kepada Mbak Ayu bahwa dia mau menempatkan temannya sebagai kepala gudang padahal Pak Shaun sudah memberikan jabatan itu kepada saya!" kata Rahadian lbrahim.

"Walaupun saya sudah berteman dengannya sejak kecil, toh dia tega mau menyingkirkan saya!"

"Astaga. Dian! Itu pabrik milik Mbak Melody. Dia mau menempatkan siapa di mana, itu hak dia!" kata Ali ibrahim.

"Kamu seharusnya sudah bersyukur kamu diberi pekerjaan di sana!"

"Saudara Rahadian," kata Gozali,

"Anda ternyata seorang oportunis. Anda gila jabatan dan Anda berani melakukan apa saja untuk memenuhi ambisi Anda. Anda bahkan menyutradarai pencurian di pabrik untuk mendiskreditkan dan menyingkirkan Saudara Kris Wenger, supaya Anda bisa duduk di kursinya."

"Hah? Apa? Apa?" tanya Kris Wenger kaget. Dia bukan satu-satunya yang kaget, karena Shaun Harman pun ikut menganga.

"Saudara Rahadian ini otaknya, dia mengajak Saudara Slamet untuk membantunya melaksanakan pencurian tersebut." kata Gozali.

"Dia yang datang ke Toko 37 menawarkan barang curiannya. Dia yang memakai nama Kris Wenger."

"Apa?" Shaun Harman langsung terjengkat di kursinya.

"Ibu Tondo, pemilik Toko 37, sudah membuat BAP dua hari yang lalu. yang menyatakan bahwa orang yang menawarkan barang curian dan yang mengambil uang darinya adalah Saudara Rahadian Ibrahim yang memperkenalkan dirinya sebagai Kris W kepadanya."

"Tapi untuk apa Rahadian mencuri?" tanya Shaun Harman.

"Jika dia membutuhkan uang, dia tinggal mengatakannya saja, pasti Melody atau Pak Danny akan memberikan bantuan berapa pun besarnya."

"Dia tidak melakukan pencurian itu untuk uangnya." kata Gozali.

"Dia melakukan pencurian itu untuk menyingkirkan Saudara Kris Wenger. Dia pikir, jika Kris Wenger dipecat, pasti dia yang menggantikannya."

"Astaga!"

"Dan ketika pencurian itu terbongkar seperti yang direncanakannya, dia membunuh Saudara Slamet supaya keterlibatannya tidak ketahuan."

"Apa? Jadi si Slamet itu bukan mati bunuh diri tapi dibunuh?" tanya Danny Lesmana.

"Kami yakin Saudara Slamet dibunuh," kata Kosasih.

"Sekarang kami sedang bekerja sama dengan kepolisian Rungkut untuk memeriksa kembali kematian Saudara Slamet. Kami yakin kami bisa membuktikan bahwa kematiannya adalah suatu pembunuhan.

"Aaah. dan waktu saya mengirim Rahadian ke Toko 37 untuk mencari konfirmasi, dia kembali dengan laporan bahwa betul Slamet yang memakai nama Kris Wenger!" kata Shaun Harman.

"Betapa bodohnya saya!"

"Ei. bajingan kamu!" tukas Kris Wenger sambil menunjuk Rahadian.

"jadi kamu tega membunuh si Slamet hanya karena kamu tuh ngincar kedudukanku sebagai kepala gudang?"

"Itu langkah pertamanya," kata Gozali.

"Siapa tahu setinggi apa ambisinya? Mungkin dia sudah membayangkan suatu saat dia bisa duduk di kursi direkturnya juga."

"Ternyata kamu itu kutu busuk!" maki Kris Wenger.

"Selama ini aku selalu memujimu sebagai anak yang baik, ternyata hatimu busuk!"

Dikepung dari segala arah seperti itu, Rahadian Ibrahim tampak grogi. Butir-butir keringat mengucur dari keningnya. Dia mulai gemetar.

Kosasih memberikan isyarat kepada kedua orang polisi yang berdiri di bagian belakang ruangan itu untuk membawa Rahadian lbrahim keluar.

"Saudara Rahadian Ibrahim." kata Kosasih,

"Anda sekarang ditahan sebagai tersangka dalam pembunuhan

Ibu Norma Tanjung dan kasus keracunan Ibu Melody Harman."
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua orang polisi itu pun memasang borgol di tangan Rahadian Ibrahim dan membawanya pergi tanpa perlawanan.

"Saya pikir-pikir sekarang. yang menelepon ke rumah saya dan bicara dengan pembantu saya supaya datang ke rumah Bu Norma pasti dia, atau teman perempuannya," kata Sabine Lemar.

"Dia tahu mobil saya Karana, sama dengan mobil kakaknya. Kalau sampai terjadi apa-apa, pasti dia bermaksud memberitahu polisi bahwa saya yang ke rumah Bu Norma malam itu!"

"Sangat boleh jadi." seringai Gorali.

"Ya Tuhan! Iblis macam apa dia itu." kata Danny Lesmana.

"Dari dulu aku sudah tidak menyukainya. Pap," kata Mark Lesmana.

"Dia itu selalu banyak senyum. seolah-olah dia orang yang paling baik, tapi aku selalu merasa semua itu hanya pura-pura. Makanya dari dulu aku nggak mau dekat dengannya."

Danny Lesmana menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Saya sungguh menyesal. Ternyata justru orangorang yang saya bawa masuk ke rumah saya yang mencelakakan keluarga saya dan karyawan-karyawan saya," katanya.

"Bagaimana saya bisa sebuta ini?"

Tak ada yang bisa memberikan jawaban kepada Danny Lesmana mengapa hal seperti ini bisa terjadi. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang-orang lain yang kurang beruntung. menolong mereka tanpa mengharapkan imbalan. namun akhirnya justru menuai petaka. tetapi hal seperti ini tentunya bukan untuk pertama kalinya terjadi, kalau tidak. tak akan ada pepatah air susu dibalas dengan air tuba. Itulah dunia. Tak ada rumus yang menjamin bahwa kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan. Ada pepatah Cina yang mengatakan. jika kita berbuat baik kepada orang lain, dan orang lain membalas tidak baik kepada kita, itu adalah takdir.

"Nah." kata Kosasih.

"Pembicaraan kita hari ini sudah selesai. Kita semua sekarang sudah tahu siapasiapa yang melakukan kejahatan dan saya berharap bagi keluarga yang ditinggalkan, pengungkapan ini sedikitnya bisa memberikan kelegaan dan penyelesajan. Bagi polisi, ini berarti kami sudah melaksanakan tugas kami dengan baik. Terima kasih atas kehadiran Anda semua. Besok kami minta Anda kembali untuk membuat BAP."

Hadirin pun mulai berdiri. Ali lbrahim juga berdiri dengan lunglai, dipapah oleh Rahayu yang tak berani mengangkat kepalanya. Laki-laki tua itu menghampiri Danny Lesmana dan dengan suara bergetar serta mata merah dia berkata,

"Pak Danny. saya sangat menyesali perbuatan anak saya. Saya tidak tahu di mana kesalahan saya mendidiknya sehingga anak saya bisa menjadi seperti itu. Saya tahu permintaan maaf saya sangat tak memadai dengan kerugian dan kesedihan yang dialami Pak Danny sekeluarga. Saya sudah berutang budi begitu banyak kepada Pak Danny yang sampai mati pun tak bisa saya balas."

Danny Lesmana tak tahu harus berkata apa. segala macam perasaan berkecamuk di dalam dadanya dan yang paling dominan adalah perasaan marah. Tapi memandang Ali lbrahim yang hancur ini, masih ada sebersit rasa kasihan di hatinya. Dia hanya mengangguk sekali lalu memalingkan wajahnya. Hari ini dia tidak bisa bicara kepada Ali ibrahim. Hatinya masih terlalu sakit. Nantilah, kapan-kapan kalau sakitnya sudah memudar dan amarahnya mereda, mungkin, mungkin, dia masih bisa menerima orang tua ini yang hidupnya juga diporak-porandakan oleh perbuatan anaknya sendiri.

**

DUA orang laki-laki duduk berhadapan. tak ada sukacita yang terbayang di wajah keduanya. Yang satu dengan kedua bahunya melengkung ke depan, punggungnya membulat, dan matanya menatap lantai. Yang lain punggungnya bersandar di sandaran kursi, tapi matanya menerawang jauh, seakan-akan pikirannya sudah mendahuluinya bepergian entah ke mana.

Di luar hujan sedang turun. Tidak terlalu deras, tapi juga tidak rintik-rintik.

Lama tak ada yang berbicara, sampai akhirnya lelaki yang lebih tua mengangkat kepalanya dan berkata,

"Papa sungguh ingin kamu kembali ke LC, Shaun."

Shaun Harman mengambil napas dalam.

"Aku rasa lebih baik tidak, Pa," katanya.

"Mungkin tidak sekarang, tapi suatu saat setelah kamu menyelesaikan semua urusanmu."

Shaun Harman menggelengkan kepalanya

"Aku tidak bisa."

"Kamu masih sakit hati karena tempo hari Papa menuduhmu yang membunuh Melody?" tanya Danny Lesmana.

"Tidak. Tapi kematian Melody selalu akan merupakan ganjalan di antara kita. Setiap kali Papa melihatku. Papa akan teringat Melody."

"Tanpa melihatmu Papa juga akan selalu teringat Melody, Shaun. Dia anak Papa, mana bisa dilupakan?"

"Ya, tapi aku telah melakukan kesalahan besar. Papa telah memberikan dia kepadaku, tapi sebagai suaminya aku tidak melindunginya. Aku meninggalkannya, sehingga orang lain punya kesempatan untuk membunuhnya."

"Selama beberapa hari yang terakhir ini Papa sudah banyak merenung." kata Danny Lesmana.

"Kejadian ini menyadarkan Papa bahwa hidup-mati orang itu di tangan Yang Mahakuasa. 25 Februari yang lalu merupakan saatnya Melody harus meninggalkan dunia ini. Papa tidak tahu mengapa, tapi jatah usianya hanya sampai di sana. Jadi dia harus meninggalkan dunia saat itu. Dia sudah diracuni berminggu-minggu, tapi karena saat itu belum waktunya untuk pergi, dia masih tetap bisa hidup. Tapi pada tanggal 25 Februari itu dia tiba pada ujung hidupnya, jadi dengan begitu mudahnya dia bisa dibunuh. Andaikan saat itu kamu tidur di sisinya pun. dia tetap akan mati karena memang sudah saatnya dia mati."

Shaun Harman mengerutkan keningnya.

"Kenapa Papa bisa punya pemikiran seperti itu?" tanyanya heran.

"Aku sendiri juga tidak tahu," kata Danny Lesmana.

"Pemikiran itu tiba-tiba muncul begitu saja. Tapi sejak itu hatiku merasa lebih ikhlas, lebih bisa menerima. Berhari-hari sejak kematian Melody, Papa bertanya kepada Tuhan, kenapa hal itu bisa terjadi? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Papa begitu marah pada Tuhan. Tuhan sudah pernah merenggut mama Melody dariku begitu saja, masa itu tidak cukup? Kenapa masih harus terjadi sekali lagi? Melody yang Papa banggakan, Melody yang akan melanjutkan apa yang sudah Papa bangun selama bertahun-tahun."

Danny Lesmana mengambil napas dalam beberapa kali sebelum melanjutkan.

"Ialu tiba-tiba pemikiran itu muncul," katanya.

"Seperti ada yang berbisik di telingaku, 'Sudah saatnya Melody pergi.' Papa sendiri begitu kaget mendengarnya. Lalu seperti menjawab protes Papa yang belum terucapkan, muncul lagi pemikiran yang lain. *Andaikan belum saatnya, pasti akan terjadi sesuatu yang bisa menyelamatkan nyawanya., Papa mulai berpikir. Benarkah? Saat itu tak ada yang menyelamatkan Melody. Dia mati. Tuhan tidak menolongnya, Tuhan mengizinkan dia mati. Kenapa? Ternyata Papa baru sadar, itu memang waktunya untuk mati!"

"Pa, Melody dibunuh! Dia bukannya mati tua umur 80 tahun! Dia dibunuh di usia yang masih sangat produktif!" protes Shaun Harman.

"Andai Tuhan menghendaki Melody tetap hidup, dia masih hidup hari ini."

"Jadi Papa menyalahkan Tuhan? Papa anggap Tuhan yang membunuh Melody?" tanya Shaun dengan nada tidak percaya.

"Tidak. Shaun. Tuhan tidak membunuh siapa-siapa. Melody menjalani kodratnya sebagai manusia, itu saja. Sebagai manusia, kodratnya adalah suatu saat harus mati. Semua manusia suatu saat harus mati. Tidak ada yang bisa hidup terus. Ada yang diberi umur panjang sampai 80, 90, bahkan lebih dari 100 tahun. Ada yang meninggal pada usia 30, 20, atau bahkan baru 1 tahun. Bagi Melody saatnya mati adalah tanggal 25 Februari yang lalu. Maka ajal datang padanya pada hari itu. Itu saja."

"Jadi Lisa Harun tidak bersalah?" tanya Shaun dengan nada protes yang semakin kuat.

"Lisa bersalah telah mengambil nyawa Melody. itu urusan dia dengan Tuhan dan dengan hukum. Tapi Lisa hanya sarana yang mewujudkan kematian Melody. Jika saat ajalnya tiba, andai tidak ada Lisa pun, Melody tetap harus mati. Mungkin dia lalu mati karena kecelakaan seperti mamanya, mungkin karena penyakit. atau musibah lainnya. Papa sendiri baru menyadari kenyataan ini."

Mata Shaun yang tadinya melotot perlahan-lahan menyipit. Sesuatu tiba-tiba menyala di benaknya. hanya sekejap, tapi untuk sekejap itu rasanya dia menangkap apa yang dimaksudkan mertuanya.

"Kamu tahu, pengertian itu mendinginkan semua

amarah di hati Papa," kata Danny Lesmana.

"Papa masih belum mengerti mengapa Melody hanya diberi usia sependek itu, dan mungkin sampai akhir hayat Papa juga masih belum mengerti, tapi paling tidak, Papa bisa menerimanya. Papa berharap kamu pun bisa menerimanya, Shaun. Papa tidak mau kamu terus menyalahkan dirimu seumur hidup."

Shaun Harman mencopot kacamatanya dan mengusap wajahnya. Selama bermalam-malam sejak kematian Melody dia terus merasa sangat berdosa kepada istrinya ini. Dia merasa semua itu terjadi karena kesalahannya. Bahkan di dalam setiap mimpinya dia melihat dia sendirilah yang telah membekap Melody dengan bantal sampai mati. Dan sekarang, mertuanya mengatakan kepadanya bahwa dia tidak bersalah, bahwa dia tidak perlu memikul beban perasaan berdosa ini seumur hidupnya?

"Shaun, hidup Melody telah berakhir, hidup kita belum. Kita masih harus melanjutkan hidup kita sampai saat kita tiba. Di depan kita masih ada banyak tantangan, banyak beban. Janganlah menambah beban hidup kita dengan perasaan berdosa yang tidak perlu," kata Danny Lesmana seolah-olah dia bisa membaca pikiran menantunya.

Shaun Harman mengangguk. Dia mengerti, dengan ini mertuanya mau menyampaikan bahwa dia tidak marah atau menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada anaknya. Danny Lesmana memaafkannya! Tapi bisakah dia memaafkan dirinya sendiri?

"Kamu tahu. sebelum kamu menikah dengan

Melody, aku sudah menganggap kamu seperti anakku sendiri," kata Danny Lesmana.

lagi-lagi Shaun Harman mengangguk. Itu benar.

"Kematian Melody tidak mengubah perasaan itu, Shaun," lanjut Danny Lesmana.

"Aku tidak bisa menggantikan Melody, Pa," kata Shaun Harman lirih.

"Tidak. bukan maksudku kamu menggantikan Melody. Papa sudah menganggap kamu anakku bahkan sebelum Melody pulang," kata Danny Lesmana.

"Kamu adalah anak laki-laki yang selalu aku harapkan, harapan yang tak pernah diisi oleh Mark. Jangan salah mengerti, Papa mencintai Mark, hanya saja dia bukan anak laki-laki yang Papa harapkan, yang suatu hari akan mengambil alih kedudukanku dan melanjutkan usahaku."

"Aku tidak bisa bekerja di LC lagi, Pa," kata Shaun Harman.

"Tapi, kenapa?"

Shaun Harman menggelengkan kepalanya.

"Aku merasa tidak pantas berada di sana, setelah semua yang terjadi," katanya.

"Papa kan sudah bilang, kamu tidak perlu merasa berdosa dengan kematian Melody. Nomor satu, bukan kamu yang membunuhnya. Nomor dua, dia memang sudah tiba di ujung perjalanannya," kata Danny Lesmana.

"Bukan hanya soal kematian Melody," kata Shaun Harman.

"Tapi aku telah menipunya. Aku kontak lagi

dengan Tania di belakang punggungnya. Aku suaminya. tapi aku mencintai perempuan lain."

Shaun sudah siap-siap mendengar mertuanya marah setelah kata-katanya itu, tapi sampai dua menit lewat Danny Lesmana belum meledak. Shaun mengangkat kepalanya dan memberanikan dirinya menatap ke wajah mertuanya.

Danny Lesmana sedang memandangnya dengan tatapan sayu. Jelas ada kesedihan yang mendalam di hari laki-laki itu. tapi tak ada amarah yang terpancar dari sorot matanya.

"Apa yang terjadi adalah takdir, Shaun," katanya akhirnya sambil mengembuskan napas panjang.

"Kamu dan Tania sudah pacaran lama, sudah merencanakan akan menikah, lalu dia pergi untuk membebaskan dirimu dari penderitaan batin menyaksikannya mati karena kanker. Iktikadnya baik. Kamu melupakannya. Kamu menikah dengan Melody. Mungkin kamu tidak pernah mencintai Melody seperti kamu mencintai Tania. Mungkin Melody juga bukan perempuan seperti Tania. Tapi kamu siap membangun rumah tangga bersamanya. lktikadmu juga baik.

"Lalu Tania kembali, sembuh, tanpa mengetahui bahwa kamu sudah menikah, siap mengajakmu melanjutkan hubungan kalian yang sempat berantakan karena penyakitnya. Iktikadnya ini pun baik. Dan kamu melepaskannya untuk tetap hidup bersama Melody, juga dengan iktikad yang baik. Jadi semua yang terjadi itu dilandasi oleh iktikad yang baik. Tidak ada yang membuat kesalahan."

810

Danny Lesmana menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bilamana begitu banyak iktikad baik akhirnya toh berakhir dengan tragedi, itu namanya takdir, Shaun," katanya.

"Tapi aku merasa bersalah pada Melody, Pa. Seorang suami tidak seharusnya mencintai perempuan lain kecuali istrinya". Melody tidak seharusnya mengalami kekecewaan itu."

"Shaun, setelah hidup selama ini Papa sadar, manusia tidak selalu bisa menguasai hatinya sendiri. Dia bisa mengendalikan perbuatannya, tapi perasaan yang ada di hatinya itu timbul dengan sendirinya. Papa tidak bisa menyalahkan kamu masih mencintai Tania."

Datang dari mulut mertuanya, kalimat ini seolaholah air sejuk yang diberikan kepada orang yang nyaris mati kehausan di padang pasir. Shaun merasa matanya memanas dan air pun mengambang di pelupuknya.

"Shaun, kamu adalah seorang gentleman. kamu memutuskan untuk mempertahankan perkawinanmu walaupun kamu mencintai Tania. Tapi kamu tidak rela dia mati, jadi kamu merasa perlu menemuinya di Singapore. Papa tidak menyalahkan kamu membuat keputusan itu."

"Tapi keputusan itu melukai hati Melody," kata Shaun.

"Ya, tentu saja. Mana ada istri yang tidak terluka mengetahui suaminya mencintai perempuan lain. Itulah hidup, Shaun. Itulah nasib Melody, itu karmanya."

kata Danny Lesmana.

"Tapi, seandainya dia tidak mati, Papa percaya kalian masih akan mempertahankan perkawinan itu. Melody masih muda, perlahanlahan dia akan belajar bahwa kita tidak selalu bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, dan kita bisa make the best dengan apa yang kita miliki."

"Tapi Melody..." Shaun tidak melanjutkan kata-katanya, tidak perlu, mereka berdua sama-sama tahu apa yang terjadi pada Melody.

"Papa sendiri juga sangat terpukul dengan kematian Melody. Tapi dengan menyadari bahwa memang sudah waktunya bagi Melody untuk pergi, Papa mengikhlaskannya."

Setelah beberapa saat lamanya tak ada yang berkata-kata, Danny Lesmana melanjutkan,

"Jadi, kapan kamu ke Singapore menemui Tania?" tanyanya.

Shaun Harman menggelengkan kepalanya dan mengembuskan napas panjang.

"Aku tidak tahu. Setelah semua yang terjadi ini. masih pantaskah aku ke sana?"

"Kenapa tidak? Tujuanmu ke sana kan untuk menolong Tania melewati masa sulitnya?"

"Papa tidak marah?"

"Tidak. Andaikan sebelum ini Papa tahu kamu mau menemui Tania untuk memberinya semangat berjuang melawan CA-nya, Papa akan membantu memberikan pengertian kepada Melody. Papa bisa mengerti kamu tidak punya pilihan lain. Membiarkan Tania merana sendiri juga bukan sikap yang baik."

Shaun Harman masih menundukkan kepalanya.

"Pergilah, Shaun. Temui Tania, beri dia semangat untuk berjuang mengalahkan penyakitnya. Jika memang waktunya belum sampai, dia akan sembuh. Dan jika waktunya sampai, kamu tahu kamu telah melakukan semaksimal kemampuanmu untuk menolongnya," kata Danny Lesmana.

Shaun Harman bukanlah orang yang emosional, juga bukan orang yang ekstrover, tapi mendengar kata-kata mertuanya, dia menangis sesenggukan.

Danny Lesmana berdiri dari duduknya dan menghampiri menantunya. Dia meletakkan lengannya di bahu lelaki yang lebih muda itu.

"Kapan kamu siap untuk kembali, Papa menunggumu di sini," katanya.

"Mungkin aku tidak akan kembali, Pa," kata Shaun Harman.

Danny Lesmana mengangguk

"Jika kamu memutuskan untuk tidak kembali, Papa juga tidak memaksa, Shaun. Papa doakan semoga kamu bahagia dan sukses di mana pun kamu berada."

"Aku sudah tidak memikirkan kebahagiaan atau sukses lagi, Pa."

"Hidup ini singkat, Shaun, jadi berusahalah bahagia dalam situasi apa pun. Waktu akan mengobati luka di hati kita."

Shaun Harman pun berdiri.

"Sebelum berangkat, aku akan mampir lagi untuk berpamitan, Pa," katanya.

Danny Lesmana mengangguk.

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Shaun. Apa yang terjadi, memang harus terjadi. Bukan salahmu," katanya.

Shaun Harman membuka pintu dan melangkah keluar. Dia tidak berpaling sekali pun.

**

"Sam sudah pulang?" tanya Dessy saat adiknya masuk ke dalam kamar.

"Sudah," jawab Teti.

"Bapak dan Ibu sudah tidur?"

"Bapak sudah nggak kelihatan. Ibu masih duduk di ruang tamu nonton televisi."

"Sambil nunggu kamu." seringai Dessy.

Teti tersenyum.

"Kalau Mbak dan Lik yang ngobrol sampai malam kok nggak pernah ditunggui," katanya.

"itu karena Bapak dan Ibu percaya sama Mbak dan Lik." kekeh Dessy.

"Jadi aku nggak dipercaya?" tanya Teti. Dia sekarang sedang melepas pakaiannya dan menggantinya dengan daster untuk tidur.

"Mungkin Sam yang nggak dipercaya," senyum Dessy.

"Jadi, hubungan kalian sudah mesra lagi?"

"Yah, kami memutuskan untuk melanjutkan rencana menikah. Orangtuanya akan datang minggu depan." kata Teti.

"Kamu kok nggak kelihatan gembira?"

"Sebetulnya aku rada takut, Mbak."

Dessy mengerutkan keningnya.

"Takut apa?"

"Aku tidak merasa semantap dulu."

"Tet. kalau kamu nggak yakin, ya jangan diteruskan," kata Dessy.

"Orang kawin itu kan hanya satu kali. Jadi jangan salah pilih."

"Aku sendiri bingung. Aku tahu aku mencintai Mas Sam. Hanya saja aku sekarang nggak yakin dia benar-benar mencintai aku."

"Apa Sam masih menyinggung tentang Lik dan aku?" tanya Dessy.

"Enggak. Tapi aku tahu dia tidak senang Mbak akan menikah dengan Lik."

"Soal itu sih nggak perlu kamu pusingin, Tet. Yang penting dia sayang sama kamu. Apa ada yang berubah dalam sikapnya terhadap kamu?"

"Sebetulnya sih enggak, cuma aku aja yang merasa nggak yakin."

"Ya udahlah. toh bukan besok kalian harus menikah. Masih tahun depan, masih banyak waktu," kata Dessy.

"Kalau Mbak sudah mantap?" tanya Teti.

"Mantap banget, Tet," senyum kakaknya.

"Dan Lik?"

"Lik yang takut," senyum Dessy.

"Dia takut tidak mampu menghidupi aku."

"Yah, kan memang penghasilannya dikit banget, Mbak."

"Karena itu Mbak sudah bikin rencana mau ikut nyari duit dengan berjualan makanan atau kue-kue."

"Wah iya, masakan Mbak enak-enak kok," puji Teti.

"Makanya Mbak mau nyoba terjun di sana."

"Lik setuju?"

"Lik sih bilang terserah Mbak."

"Baguslah kalau begitu. Kapan mulainya, Mbak?"

"Pertama Mbak harus menghitung dulu, berapa ongkos buatnya dan bisa dijual dengan harga berapa. Kalau kemahalan nggak laku, tapi juga jangan sampai rugi."

"Besok aku bantu menghitung, Mbak!"

Tamat


Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius Atas Atas Nama Kehormatan In The Name Of Honor Karya Mukhtar Mai Kehormatan In Name Of Honor Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung

Cari Blog Ini