Ceritasilat Novel Online

Misteri Melody Yang Terinterupsi 9

Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 9



"Yang lebih penting adalah menemukan siapa yang telah membunuh Melody Harman dan Norma Tanjung," jawab Gozali.

"Kau tadi mengatakan ada orang yang melihat perbuatan si Haris itu, memangnya siapa yang melihatnya, kok aku nggak tahu?" tanya Kosasih.

Gozali menyeringai.

"Si Haris juga nggak tahu," katanya.

"Oh, jadi kau bohong toh!" kekeh Kosasih.

"Saat itu aku sadar pasti dia yang melempari rumah Danny Lesmana, aku mau dia mengaku."

"Pemuda itu memang sangat marah. Dengan kematian bapaknya, pasti sudah pupus harapannya mau masuk ke fakultas," kata Kosasih.

"E, Goz, kaupikir mungkin enggak dia menyelinap masuk ke rumah Melody Harman lalu membunuhnya setelah Shaun Harman pergi?"

"Kemungkinan itu juga sudah aku pikirkan, tapi kapan dia bisa menyelinap masuk ke rumah itu? Bob Partahi ngotot mengatakan tidak ada orang yang datang selagi dia ada di sana." kata Gozali.

"Tentunya dia menyelinap masuk setelah Bob Partahi mengantarkan Shaun Harman ke bandara, Goz.Mana mungkin dia masuk selagi Shaun Harman masih di dalam rumah? Dia bersembunyi di mana?"

"Kita harus bertanya lagi kepada Bik Mur," kata Gozali,

"seingatku si pembantu ini berkata, dia langsung mengunci pintu setelah Shaun Harman keluar rumah."

"Ya, kita juga perlu bertanya lagi ke Shaun Harman," kata Kosasih.

"Mudah-mudahan dia ada di rumah sekarang."

**

BIK mur membukakan pintu bagi Kosasih dan Gozali.

"Pak Shaun Harman ada?" tanya Kosasih kepada perempuan separo baya itu.

"Ada. di kamarnya," kata Bik Mur. Wajahnya tidak menggambarkan perasaannya, tidak tampak gembira maupun jengkel dengan kedatangan kedua orang tamu ini.

"Kami mau bicara dengan Bapak," kata Kosasih.

"Tolong panggilkan."

Bik Mur menepi, dan membiarkan kedua orang tamu itu masuk lalu duduk di ruang tamu. Dia sendiri segera menaiki anak tangga ke atas.

"Ternyata Danny Lesmana sungguh sudah mengembalikan si pembantu kemari." bisik Kosasih kepada Gozali.

Tak lama kemudian Shaun Harman pun turun. Dia mengenakan kaus dan celana pendek. Di belakangnya mengikuti si pembantu.

"Selamat siang!" kata Shaun Harman. Nada suara dan mimik wajahnya juga tidak menunjukkan perasaannya, tidak gembira, juga tidak jengkel dengan kedatangan kedua orang tamunya ini.

"Selamat siang, Saudara Harman," kata Kosasih.

"Kami tidak menyangka Anda ada di rumah sekarang."

"Saya lagi mengumpulkan semua barang Melody, mau saya kembalikan kepada keluarganya sebelum

saya ditahan lagi, supaya tidak ada urusan yang masih menggantung," kata Shaun Harman. Nada bicaranya juga tetap datar tanpa emosi.

"Oh. memangnya barang-barang Ibu Harman diminta oleh Pak Danny Lesmana?" tanya Kosasih.

"Enggak. Tapi saya tahu perasaannya. Dia menganggap saya yang telah membunuh Melody, tentunya saya tidak pantas masih menyimpan barang-barangnya. Daripada masih ada di sini kan lebih baik dikembalikan kepada keluarganya," kata Shaun Harman.

"Lalu apa yang membuat Bapak-bapak datang mencari saya hari ini?"

"Kapan Saudara Harman terakhir bicara dengan Ibu Norma Tanjung?" tanya Kosasih.

"Norma?" Shaun Harman mengerutkan keningnya.

"Oh, sudah sejak sebelum kematian Melody, waktu saya masih bekerja di Lesmana Corporation. Kenapa?"

"Ibu Norma Tanjung tidak menelepon Anda beberapa hari terakhir ini?"

"Tidak. Kenapa?" Kerutan di dahi Shaun Harman semakin dalam.

"Ibu Norma Tanjung ditemukan tidak bernyawa Sabtu petang. Rupanya dia dibunuh orang malam sebelumnya."

"'Apa? Norma dibunuh orang?" Shaun Harman tampak terkejut.

"Pak Danny Lesmana tidak memberitahu Anda?"

"Pak Danny sudah tidak mau bicara dengan saya lagi."

"jadi Anda belum dengar tentang kematiannya?"

"Baru sekarang."

"Anda tidak tahu apa-apa tentang kejadian tersebut?"

"Kenapa saya dianggap tahu apa-apa tentang kejadian tersebut? Astaga! Memangnya sekarang saya disangka membunuh Norma? Untuk apa saya membunuhnya? Dia teman saya. Saya mengenalnya sudah bertahun-tahun!"

"Nomor telepon Anda tercantum pada secarik kertas di rumahnya. Dia tidak menelepon Anda dan minta Anda datang ke rumahnya?"

"Tidak!"

Kosasih berpaling ke Gozali lalu menganggukkan kepalanya.

"Bagaimana Norma terbunuh?" tanya Shaun Harman sebelum Gozali sempat membuka mulutnya.

"Kami masih menunggu hasil autopsinya, tapi pada pandangan pertama tampaknya lehernya digorok." kata Kosasih.

Shaun Harman mengeleng-gelengkan kepalanya.

"Kenapa ada orang yang mau membunuh Norma," katanya seolah-olah kepada dirinya sendiri.

"Mungkin Ibu Norma Tanjung mengetahui sesuatu," kata Kosasih.

"Sesuatu apa?"

"Sesuatu yang bisa membuktikan siapa yang telah membunuh Ibu Harman."

"Kalau begitu sudah jelas yang membunuh Norma

bukan saya kan, Pak: bukankah polisi dan keluarga Melody sudah yakin bahwa sayalah yang telah membunuh Melody? Jadi apa yang diketahui Norma bukan berita baru bagi polisi dan tidak akan memperburuk posisi saya," kata Shaun Harman.

"Keterangan yang dimiliki Ibu Norma Tanjung mungkin ada kaitannya dengan masalah keracunan pada istri Anda," kata Kosasih.

"Oh, jadi menurut polisi Norma mengetahui saya yang meracuni Melody lalu saya membunuhnya juga?" tanya Shaun Harman.

"Menurut Anda sendiri bagaimana?"

Shaun Harman mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala.

"Saya toh sudah dianggap membunuh Melody dengan membekapnya. Kalau sekarang Norma memberitahu polisi bahwa saya juga meracuninya. itu tidak memperberat kasus saya. karena toh saya sudah akan dihukum untuk pembunuhan Melody. Tapi kalau kemudian saya juga membunuh Norma, saya akan dikenai hukuman membunuh dua orang. Untuk apa saya menambah hukuman saya sendiri?" katanya.

"Anda begitu yakin Anda yang akan didakwa telah membunuh istri Anda?" sela Gozali.

"Apa tidak?" tanya Shaun Harman sinis.

"Saya adalah orang terakhir bersama Melody. Saya dianggap punya motif membunuhnya. Saya diketahui bertengkar dengannya sebelum kematiannya. Tak ada orang lain lagi di dalam rumah saat itu. Jadi, tidak ada kesimpulan lain yang bisa diambil dari kondisi itu, bukan?"

"Apakah Anda memang membunuhnya, Saudara Harman?" tanya Kosasih dengan wajah serius.

"Tidak. Tapi tidak akan ada orang yang bakal percaya itu. bukan?" kata Shaun Harman.

"Jadi Anda sudah siap didakwa yang membunuh istri Anda?"

"Ya."

"Kenapa Anda mau didakwa sebagai pembunuh jika Anda bukan?" tanya Kosasih.

"Karena sebetulnya saya merasa itu memang kesalahan saya sampai Melody meninggal."

"Jadi Anda menganggap ibu Harman sebetulnya bunuh diri?" sela Gozali.

"Begini. Pak. saya tahu saya tidak membunuhnya. Dia masih hidup saat saya tinggalkan. Tapi di sini tidak ada orang lain. Kenyataannya Melody meninggal. Jadi kesimpulan apa yang bisa saya tarik? Melody bunuh diri. tapi dia melakukannya karena saya. Jadi pada akhirnya sama saja seperti tangan saya sendiri yang telah membunuhnya." kata Shaun Harman.

"Ada yang perlu saya tanyakan," kata Gorali.

"Saat terakhir Anda bertengkar dengan istri Anda itu, pakaian apa yang sedang dikenakannya?"

"Pakaian? Oh. eh " Shaun Harman memejamkan matanya.

"Dia mengenakan setelan jas biru tua dengan kemeja kuning muda. Kenapa?"

"Jadi Ibu Harman belum menukar pakaiannya saat bertengkar dengan Anda itu?"

"Belum."

"Dan selama bertengkar dengan Anda itu, tentu saja dia tidak menukar pakaiannya?"

"Tidak. Masa orang sedang marah sambil menukar pakaian?" kata Shaun Harman.

"Dan saat Anda meninggalkannya, Ibu Harman masih mengenakan setelan jasnya itu?"

"Ya."

"Menurut keterangan pembantu Anda, saat ditemukan meninggal, istri Anda mengenakan daster."

"0? Dia menukar pakaiannya setelah saya pergi.

Kenapa?" tanya Shaun Harman.

"Kalau begitu dia masih hidup waktu Anda tinggal."

"Saya tahu," kata Shaun Harman sama sekali tanpa nada heran maupun terkejut.

"Tapi bisa saja setelah Anda membunuhnya. Anda menukar pakaiannya dengan daster sebelum Anda meninggalkannya," kata Gozali.

Shaun Harman tertawa.

"Jadi apa tujuan pembicaraan ini?" katanya.

"Hanya bahwa kami mempertimbangkan kemungkinan Anda bukanlah pembunuh Ibu Melody

Harman," kata Gozali.

"Terima kasih. Beritahu saya setelah polisi memutuskan kemungkinan mana yang dianggap cocok," kata Shaun Harman sambil berdiri.

"Kami masih belum selesai. Saudara Harman." kata Gozali.

Shaun Harman duduk lagi.

"Apa lagi yang akan dibicarakan dengan saya?" tanyanya.

"Tentang pencurian di pabrik Lesmana Corporation."

"Pencurian? Maksud Bapak kasus yang melibatkan karyawan gudang?"

"Ya."

"Mengapa polisi sekarang menanyakan kasus itu? Kasus itu sudah lama diselesaikan."

"Kami sedang mencari orang-orang yang mungkin memendam sakit hati terhadap keluarga Anda."

"Tapi kasus itu sudah selesai. Yang mencuri bunuh diri. dan kepala gudangnya saat itu sudah diganti. Maksud Bapak, kepala gudang yang lama itu yang punya sakit hati sama keluarga saya?" tanya Shaun Harman.

"Kami sudah bicara dengan Saudara Kris Wenger dan tampaknya dia bisa menerima pencopotannya sebagai kepala gudang." kata Kosasih.

"Ya. itu juga kesan saya. Selama ini Kris tidak pernah menunjukkan sikap bahwa dia sakit hati dicabut jabatannya. Toh dia masih tetap menerima gaji yang sama." kata Shaun Harman.

"Bagaimana dengan Saudara Slamet?"

"Yang mencuri? Dia bunuh diri."

"Kami tahu. Apa Anda pernah kontak dengan keluarganya setelah kejadian itu?"

"Tidak."

"Jadi tidak ada yang menjelaskan kepada keluarganya apa yang telah terjadi?"

"Saya mengutus Rahadian untuk mendatangi keluarganya dan memberikan santunan, tapi saya yakin polisi yang mengusut kasus kematiannya sudah menjelaskan kepada keluarganya."

"Jadi perusahaan memberikan santunan juga kepada keluarga Saudara Slamet?"

"Ya. Dia sudah bekerja beberapa tahun dan sebelum kejadian itu, dia selalu bekerja dengan baik. Kami mengingat Jasa baiknya itu dan memberikan santunan yang memadai kepada keluarganya. Kasihan mereka tiba-tiba kehilangan kepala keluarganya."

"Anak sulungnya yang melempari rumah mertua Anda dengan kotoran." kata Kosasih.

"Hah? Oh. saya tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Astaga. apakah dia yang membunuh Melody?" Shaun Harman berdiri dari duduknya. sekarang dia tampak lebih tegang.

"Kami belum tahu. Untuk itu nanti kami perlu bicara dengan pembantu Anda." kata Gozali.

"Bik Mur? Kenapa?"

"Anda nanti bisa mendengarkan pembicaraan kami. Sekarang kita berbicara tentang kasus pencurian itu dulu. Anda tidak berpikir bahwa pencurian itu mungkin tidak dilakukan hanya oleh Saudara Slamet sendiri?"

"Maksud Anda?"

"Dia punya komplotan di dalam pabrik."

"Tidak. Saya sudah bicara dengan mereka semuanya dan tidak ada yang terlibat."

"Anda tidak berpikir kalau Saudara Kris Wenger terlibat?" sela Kosasih.

"Mengapa Bapak menganggap Kris Wenger terlibat?" tanya Shaun.

"Kalau terjadi pencurian di dalam sebuah pabrik atau kantor, biasanya yang terlibat tidak mungkin hanya satu orang. Saudara Slamet mungkin pelakunya, tapi dia pasti punya beking. yang mengaturnya sedemikian rupa sehingga ada kesempatan baginya untuk melakukan pencurian itu. Saudara Kris Wenger adalah kepala gudang saat itu. Dia yang seharusnya mengecek pekerjaan Saudara Slamet. Bagaimana pencurian itu bisa terjadi berkali-kali selama berbulan-bulan tanpa diketahui si kepala gudang? Itu terlalu tidak masuk akal."

"Itu memang kesalahan Kris Wenger. Mungkin dia sudah terlalu lama menjadi kepala gudang sehingga sudah jenuh dengan pekerjaannya, mungkin juga sudah terlalu tua sehingga dia sudah malas menjalankan tugasnya, berdiri lama-lama di tempat yang panas. Makanya dia saya copot." kata Shaun Harman.

"Mungkin dia memang sengaja pura-pura tidak menjalankan tugasnya," kata Gozali.

Shaun Harman mengerutkan keningnya dan berpikir sejenak. Lalu dia mengangkat kepalanya.

"Oke, argumentasi Anda saya terima, jadi mungkin Kris Wenger toh terlibat, tapi kenapa Bapak-bapak mempermasalahkan hal ini? Saya sangka Bapak-bapak sekarang sedang mengusut kematian Melody." kata Shaun Harman.

"Kami harus memeriksa semua kemungkinan yang ada." kata Gozali.

"Tapi apa kaitannya kasus itu dengan kematian Melody?"

"Mungkin ada, mungkin juga tidak ada kaitannya, kita belum tahu," kata Gozali.

"Sekarang tolong ceritakan bagaimana pencurian itu terbongkar."

"Singkatnya, kami menemukan banyak barang pabrik yang hilang. Saya memakai jasa seseorang untuk melacak..."

"Siapa?" potong Gozali.

"Seorang yang saya kenal."

"Siapa?"

"Namanya Song Kumar."

"Seorang debt collector?"

"Anda kenal juga?"

"Orang-orang semacam dia pasti dikenal oleh polisi. Yang kami ingin tahu itu, dari mana Anda mengenalnya?"

"Oh, saya mengenalnya secara kebetulan. Suatu hari mobilnya menabrak mobil saya. Dia turun, saya turun, akhirnya kami berkenalan. Omong punya omong, kok kesan saya dia orang baik-baik. Saat itu saya tidak tahu apa pekerjaannya. Suatu hari kami sempat bertemu lagi di lapangan tenis dan kami pernah bermain bersama beberapa kali. Baru kemudian saya tahu apa pekerjaannya. Tapi karena saya lihat orangnya cukup baik, saya tidak khawatir berteman dengannya."

"Jadi Anda minta Song Kumar ini untuk menyelidiki pencurian di Lesmana Corporation?"

"Ya. saya minta bantuannya. Tentu saja bukan dia

sendiri yang mengerjakannya. Dia menyuruh anakanak buahnya."

"Dan?"

"Ya. menurut laporan anak buahnya pencurian itu hasil kerja sama orang gudang saya dengan sopir-sopir dan kenek dari pengangkutan Bintang Terang. Barang-barang curian itu diturunkan di tengah jalan, dan diambil oleh penadah. Dari penadahnya diperoleh nama Kris W. Tapi waktu dicocokkan. ternyata Kris Wenger hanya dipakai namanya. sesungguhnya pelakunya adalah karyawan gudang yang bernama Slamet."

"Bagaimana Anda tahu bahwa pelakunya adalah Saudara Slamet dan bukan Saudara Kris Wenger?" tanya Gozali.

"Setelah Slamet bunuh diri kan dengan sendirinya semuanya menjadi jelas," kata Shaun Harman.

"jadi hanya karena Saudara Slamet bunuh diri maka Anda percaya dialah yang melakukan pencurian itu?" tanya Gozali.

'Tidak. Si penadah juga memberikan keterangan yang sama."

"Anda memanggilnya ke pabrik dan menyuruhnya menunjukkan siapa pelakunya?"

"Tidak. tidak. Saya menyuruh Rahadian ke sana membawa foto Slamet."

"Ah, jadi si penadah ini mengenali pelakunya banya dari foto?"

"Ya."

"Oke. Jadi siapa nama penadahnva?"

"Eh, Toko 37. Mereka berjualan di dalam Pasar Pucang."

"Anda sudah melaporkan mereka ke polisi?"

"Ya. Saat penyidikan kematian Slamet. saya sudah menyebutkan nama toko itu kepada polisi."

"Siapa polisi yang menyidik kasus bunuh diri itu?" sela Kosasih.

"Eh... Letda Nono Damian dari Polsek Rungkut."

"Lalu tindakan apa yang telah diambil polisi terhadap mereka?"

"Saya tidak tahu."

"Anda tidak melanjutkan gugatan pidana terhadap mereka?"

"Itu hanya toko kecil. Tidak ada untungnya menggugat mereka, malah hanya menghabiskan waktu dan uang saja. Yang penting saya tahu siapa pencurinya di dalam organisasi kami."

"Saudara Slamet mengakui perbuatannya?"

"Saya belum sempat bertanya padanya. Dia keburu bunuh diri. Saat itu saya belum tahu bahwa dia yang terlibat. Tapi logis, kan? Kalau tidak terlibat, dia tidak akan bunuh diri." kata Shaun Harman.

"Bagaimana misalnya dia tidak bunuh diri?" tanya Gozali.

Shaun Harman mengerutkan keningnya.

"Maksudnya, dia dibunuh?" tanyanya kaget.

"Kami belum tahu. Cuma kami merasa aneh saja, bahwa dia merasa perlu melakukan bunuh diri karena ketahuan mencuri. Orang mencuri paling dipenjara

beberapa bulan, wong koruptor aja sebentar juga sudah keluar. Untuk apa bunuh diri?"

"Mungkin dia malu sama keluarganya."

Gozali mengangguk.

"Saya rasa Slamet memang bunuh diri karena hanya dia yang terlibat, jadi tidak mungkin dia dibunuh orang. Siapa yang membunuhnya dan untuk apa?"

"Anda sudah ngecek bahwa memang tidak ada orang lain yang terlibat?" tanya Gozali.

"Ya. Toko 37 membenarkan bahwa yang berhubungan dengan mereka adalah Slamet dan bukan Kris Wenger. Hanya Slamet. tidak ada orang lain."

"Jadi tidak diragukan lagi memang pencurian itu dilakukan oleh Saudara Slamet seorang diri?"

"Ya. Kris Wenger tidak terlibat."

"Tapi dia toh Anda copot dari jabatannya?"

"Dia memang tidak terlibat pencurian tersebut. tapi pencurian itu terjadi karena kecerobohannya. Dan saya mencopotnya sebagai kepala gudang karena kecerobohannya itu. Seorang kepala tidak boleh ceroboh!"

"Dan penggantinya sekarang ini tidak ceroboh?"

"Mudah-mudahan tidak."
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah dia tadinya juga menjabat wakil kepala gudang?"

"Ya."

"Tapi dia juga tidak tahu bahwa Saudara Slamet ini mencuri."

"Ya."

'Apa itu juga tidak ceroboh?"

"Ya, waktu itu dia kan meniru cara kerja atasannya. Kris Wenger. Tapi dengan kejadian ini, dia jadi sadar bahwa cara mereka mengontrol itu sangat lemah, jadi sejak itu sistem pengontrolan di gudang sudah diperketat."

"Jadi Anda memaafkan si wakil ini tapi tidak memaafkan Saudara Kris Wenger?"

"Kris Wenger sudah jelas-jelas bersalah. Kalau saya tidak mencopotnya, itu menjadi contoh yang buruk bagi karyawan yang lain. Mengecek pekerjaan anak buah adalah tanggung jawabnya. Si Rahadian ini masih muda, tugasnya hanya membantu Kris Wenger. Lha kalau dia tidak disuruh ngecek oleh Kris Wenger, dia tidak bisa disalahkan kalau dia tidak melakukannya, bukan?"

"Kalau tidak salah dia masih teman mendiang istri Anda?"

"Ya. Kakaknya Rahayu adalah sahabat Melody. Keluarganya sangat dekat dengan keluarga Pak Lesmana."

"Kenapa bisa dekat?"

"Karena Rahayu dan Melody sebaya. Mereka berteman dari kecil. Rahayu bahkan pernah disekolahkan Pak Danny ke London bersama-sama Melody. Hanya saja kemudian Rahayu ternyata lebih banyak terlibat pergaulan yang tidak baik sehingga Pak Danny memulangkannya kemari."

"Mereka masih dekat sampai sekarang?"

"Ya. Melody seminggu sekali pasti mengunjungi orangtua Rahayu. Waktu ibu mereka sakit, Pak Danny yang membiayai semua pengobatannya, semua

biaya rumah sakit sampai meninggalnya. Setahu saya Rahadian dulu juga disekolahkan Pak Danny, dan begitu selesai, dia ditarik ke Lesmana Corporation."

"Hmmm," angguk Kosasih.

"Jadi Saudara Rahadian tidak perlu mencuri. Kalau memang perlu uang, dia tinggal buka mulut saja pasti istri Anda atau ayahnya segera membuka tangan mereka lebar-lebar."

"Persis."

"Sekarang, di mana kami bisa mendapatkan foto Saudara Slamet ini?"

"Di arsip personalia Lesmana Corporation ada fotonya. Tapi. sebentar, mestinya di album saya juga ada fotonya. Waktu selamatan pernikahan saya dengan Melody. kami foto dengan semua karyawan."

"Bagus. Boleh kami pinjam foto itu?" tanya Gozali.

Shaun Harman mengangguk. dan masuk ke dalam. Sekitar sepuluh menit kemudian dia kembali dan membawa sehelai foto.

Gozali menerima foto itu dan memandang ke enam wajah yang menyeringai kepadanya.

"Ini Slamet," kata Shaun kepada Gozali menunjuk laki-laki yang berkacamata.

"Ini Kris, ini Karno. ini Didik, ini Rahadian, ini Edi."

"Oke." kata Gozali memasukkan foto itu ke sakunya,

"sekarang kami mau bicara dengan Bik Mur. Tolong panggilkan dia."

Shaun Harman segera bergegas ke belakang dan dalam sekejap kembali dengan Bik Mur.

"Bik. kapan kembali kemari?" tanya Kosasih.

"Minggu pagi, Kata bu Mur.

"Ada yang ngantar?"

"Ndak, saya naik bemo. Masa minta diantar seperti nyonya aja"

"Apa kata Pak Danny Lesmana kepada Bik Mur kemarin?"

"Oh, Tuan Danny tidak bilang apa-apa sama saya. Tuan Danny belum bangun waktu saya pergi."

"Jadi Bik Mur meninggalkan rumah Pak Danny tanpa pamit?" Kosasih mengerutkan keningnya.

"Ya pamit!" Nada jengkel.

"Non Lisa yang pagipagi memberitahu saya bahwa rumah ini sudah bisa ditinggali lagi dan saya boleh pulang."

"Jadi Non Lisa yang bicara dengan Bik Mur?"

"Iya."

"Non Lisa tidak cerita apa-apa lagi?"

"Cerita apa? Ndak cerita lain. Cuma bilang begitu aja.

"Jadi Bik Mur langsung kembali kemari?"

"Oh. saya sempet mampir ke pasar. Rumah ini sudah beberapa hari tidak ditinggali, kan saya belanja dulu supaya bisa masak."

Kosasih mengangguk. Keterangan si pembantu ini mendukung cerita Shaun Harman bahwa memang benar belum ada yang membocorkan berita kematian Norma Tanjung kepadanya.

"Kami mau Bik Mur mengingat-ingat lagi kejadian pada hari terakhir Ibu dan Bapak bertengkar." Ganti Gozali yang bicara kepada si pembantu sambil memandangnya dengan tajam.

"Ingat?" tanya Gozali.

Bik Mur mengangguk.

"Waktu Ibu pulang, siapa yang membukakan pintu?"

"Saya."

"Begini. Pak," sela Shaun Harman,

"di mobil Pak Danny dan di mobil kami itu ada remote bel. Begitu mobil tiba di depan pagar. yang mengemudi memencet tombol remote itu dan bel di dalam rumah ini berbunyi sehingga Bik Mur bisa langsung keluar membukakan pintu pagar dan pintu rumah."

"Ah. jadi Bik Mur yang membukakan pintu bagi Ibu?"

"Ya."

"Setelah Ibu masuk, apa pintu dikunci lagi?"

"Pintu depan ini punya kunci otomatis, Pak." kata Shaun Harman berdiri dan menunjukkan kepada tamu-tamunya.

"Kalau ditutup, dia langsung menjepret sendiri dan terkunci. Untuk membukanya dari dalam tinggal menarik selot ini, tapi untuk membukanya dari luar, harus memakai anak kunci."

"jadi setelah Ibu masuk. pintu ini mengunci lagi?" tanya Gozali kepada Bik Mur.

"Ya."

"Pasti?"

"Ya pasti. Pak!" kata Bik Mur.

"Berarti pintu itu terkunci sampai Bapak pulang?"

"Ya."

"Waktu Bapak pulang. Bik Mur lagi yang membukakan pintu?"

"tidak'.

"Lho, kenapa tidak? Bik Mur di mana?"

"Di belakang. Saya ndak tahu kalau Bapak pulang."

"Anda tidak membunyikan bel remote?" tanya Gozali ke Shaun Harman.

"Tidak, sebab saya lihat Pak Bob ada di luar. Dia yang membukakan pintu pagar buat saya."

"Lalu siapa yang membukakan pintu rumah?"

"Saya membuka pintu rumah sendiri," kata Shaun Harman.

"Saya punya kunci sendiri."

"Dan setelah Anda masuk. Anda menutup pintu itu kembali?" tanya Gozali kepada Shaun Harman.

"Ya. Saya membantingnya dan pintu mengunci kembali."

"Lalu Anda naik ke loteng?"

"Ya."

"Nah, sekarang, selama Bapak di loteng, Bik Mur ada di mana?"

"Ya di belakang, bersama Non Lisa."

"Bik Mur tidak ke depan sama sekali?"

"Tidak. Saya di dapur saja."

"Dan Non Lisa Harun?"

"Ndak lama Non Lisa terus pulang setelah Bapak datang."

"Sekarang, ini penting sekali," kata Gozali,

"ketika Non Lisa pulang, apa Bik Mur mengantarkannya keluar?"

"Tidak."

"Non Lisa keluar sendiri?"

"Ya."

"Jadi Bik Mur tidak tahu apa Non Lisa mengunci pintu setelah dia keluar?"

"Ya pasti dia mengunci pintu. Dia kan tinggal menutup pintu saja. pintunya bisa ngunci sendiri."

"Kita nanti bisa menanyakan hal ini kepada Lisa Harun sendiri." kata Kosasih kepada Gozali.

"Nah, waktu Anda mau meninggalkan rumah ini," kata Gozali kepada si tuan rumah,

"apakah pintu rumah terkunci atau terbuka?"

"Terkunci. Saya ingat saya harus meletakkan koper kecil saya dulu untuk membuka selotnya," kata Shaun Haman.

"Dan Anda menutupnya kembali setelah Anda keluar?"

"Ya."

"Apa mungkin dalam ketergesa-gesaan Anda, Anda lupa menutupnya dan membiarkan pintu terbuka?"

"'Tidak. Saya menutupnya." kata Shaun Harman mantap.

"Yakin?"

"Yakin!"

"Waktu Bapak meninggalkan rumah ini. saya ikut keluar." sela Bik Mur.

Gozali berpaling kepada si pembantu.

"Bik Mur ikut keluar?" tanyanya.

"Iya. Saya dengar langkah Bapak menuruni tangga. Saya bergegas ke depan. Ternyata Bapak langsung membuka pintu lalu keluar dan masuk ke dalam mobilnya."

Lalu:

"Ya sudah. Saya kembali ke dalam mengambil kunci pagar untuk menguncinya sebab di halaman masih ada mobil Tuan Danny."

"Apakah waktu itu pintu rumah dalam keadaan terkunci?"

"Ya. Pintunya terkunci, lalu saya buka, saya keluar mengunci pagar, dan saya masuk lagi, lalu mengunci pintu lagi," kata Bik Mur.

"Setelah itu, Bik Mur tidak pernah membukakan pintu lagi untuk orang lain?"

"Tidak. Sampai Pak Bob datang lagi dengan mobil Bapak, baru saya keluar membukakan pagar dan juga pintu garasi karena Pak Bob mau memasukkan mobil Bapak dan mobil Tuan Danny ke garasi."

"Berarti tidak ada orang lain yang masuk ke dalam rumah ini setelah Bapak pergi?"

"Tidak ada. Sampai Non Lisa datang malamnya setelah saya telepon."

Gozali mengangguk.

"Terima kasih. Bik Mur." katanya.

"Kami sudah selesai dengan Bik Mur."

Si pembantu pun kembali ke belakang.

"Bagaimana sekarang dengan jenazah Norma?" tanya Shaun Harman.

"Siapa yang mengurusnya?"

"Jenazahnya sekarang masih harus diautopsi. tapi Pak Danny Lesmana sudah mengetahuinya. kami rasa dia yang akan mengurus semuanya." kata Kosasih.

"Kasihan Norma." kata Shaun Harman.

**

ke mana Kita sekarang! tanya kosasih.

"Abbas Tobing," kata Gozali.

Mereka meluncur ke Labkrim dan mendapati Abbas Tobing sibuk terbenam di dalam pekerjaannya.

"Bas!"

"Aku tidak mau bicara dengan kalian!" kata Abbas Tobing dengan nada merajuk

Kosasih terbahak sementara Gozali hanya menyeringai.

"Bukan salahku Norma Tanjung dibunuh orang. Bas." kata Kosasih.

"Masa aku sudah pulang masih disuruh datang ke TKP! Gara-gara kalian sampai sekarang aku tidak diajak bicara istriku!" Abbas mengomel.

"Wah, lalu kau nggak diberi makan juga. Bas?"

"Makannya sih disiapin, tapi aku dicuekin. Bahkan semalam pintu kamar dikunci sampai aku terpaksa tidur di sofa!"

"Aaaaah! Ternyata nasibmu sama dengan aku." kata Kosasih tertawa lebar.

"Malam Minggu aku juga tidur di sofa!"

"Hah! Bagus! Jadi akhirnya istrimu marah juga kepadamu! Rasain!" Abbas Tobing tersenyum gembira. .

"Bukan istriku yang marah." kata Kosasih.

"Gara-gara monyet ini lho!" Dia menuding Gozali.

"Aku tertidur di sofa saking caoeknya berlari-lari sepanjang jalan."

"lari?! Abbas tobing keheranan. Ngapain lari lari? Sudah tua masih nggak tahu diri, ikut maraton segala macam."

"Ceritanya panjang, udah nggak usah dibicarakan. Tapi aku punya berita baik, Bas," kata Kosasih.

"Aku nggak mau denger. Berita baikmu itu biasanya nggak baik buatku. Aku mau disuruh ngerjain apa lagi?"

"Bukan! Ini pribadi. Aku mau mantu!" kata Kosasih.

"Oh, ya? Bambang?" tanya Abbas.

"Bukan. Bambang masih belum punya pacar. Anak gadisku."

"Oh! Kapan?"

"Tahun ini. Nanti kalau sudah pasti tanggalnya. kau pasti aku undang," kata Kosasih.

"Yang gede? Dapat jodoh anak mana?" tanya Abbas Tobing. Dia pernah beberapa kali bertemu anak-anak Kosasih dan dia ingat kalau anak-anak gadisnya cantik-cantik.

"Lha ini yang berdiri di depanmu ini," kata Kosasih menggerakkan kepalanya ke arah Gozali.

"Apa?" tanya Abbas Tobing tidak percaya. Dia tahu latar belakang Gozali-dia adalah salah satu dari beberapa gelintir orang yang tahu.

"Selama ini dia suka ngerjain aku," kata Kosasih.

"Setelah ini, dia sudah tidak berkutik lagi. Aku jadi bapak mertuanya!"

"Hah? Yang bener!" kata Abbas Tobing, lupa bahwa dia masih marah pada Kosasih.

"Iya. bener!"

Abbas Tobing memandang dari Kosasih ke Gozali beberapa kali dengan mulut menganga.

Gozali hanya tersenyum.

"Wah. kau nemu lotre apa. Goz!" kata Abbas Tobing akhirnya, memukul lengan Gozali.

"Dapat istri cantik, masih muda, lagi! Padahal kau sudah bujang lapuk! Dilelang pun nggak laku!" Abbas Tobing terkekeh-kekeh.

"Anakku cintanya setengah mati sama dia," kata Kosasih memandang sahabatnya sambil tersenyum.

"Kau pakai dukun dari mana. Goz, sesakti itu?" tanya Abbas Tobing.

"Waduh! Bujang model kayak gini. bisa dapet perawan cantik! Ngimpi apa kau!"

"Kok pakai dukun! Gitu itu dia masih jual mahal segala. begini nggak mau. begitu nggak mau! Bukannya mensyukuri nasib baiknya. malah bertingkah!" kata Kosasih meledek Gozali.

Gozali hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Mati kutu.

"Gimana kalau kita kembali ke tujuan utama kita kemari?" katanya kepada Kosasih.

"Kan kita mau tanya hasil penyidikan Abbas."

"Jadi kapan kau mantunya. Kos?" tanya Abbas Tobing masih belum ganti gelombang.

"Rencananya November nanti. Tapi tanggalnya belum pasti. Nanti kalau tanggalnya sudah pasti, kau akan diberitahu."

"Wah. aku jadi ngiri nih sama kau. Goz." kata Abbas Tobing.

"Kalau akhirnya dapat gadis cantik

dan muda begini, ya nggak rugilah kau membujang sampai setua ini."

"Hasil penyidikanmu, Bas," kata Gozali.

Abbas Tobing tertawa.

"Ya, Bas, sekarang apa yang sudah berhasil kauperoleh?" tanya Kosasih.

"Anak buahku tidak menemukan senjata yang dipakai menggorok leher korban," kata Abbas Tobing.

"Bagaimana dengan sidik jari?" tanya Kosasih.

Abbas Tobing menggelengkan kepalanya.

"Sampai sekarang semua sidik jari yang dianalisis merupakan sidik jari korban sendiri. Sepertinya sudah lama tak ada orang lain yang berada di rumah Itu.

"Jadi kita masih tidak tahu identitas si pembunuh?" tanya Kosasih dengan nada kecewa.

"Aku belum berhasil mendapatkan sidik jari orang lain di rumah itu."

"Di pintu atau pagar rumah juga tidak ada?"

Abbas Tobing menggeleng.

"Berarti si pembunuh datang memang dengan tujuan membunuh korban, dia sudah siap memakai sarung tangan," kata Kosasih.

"Tapi aku menemukan bekas sol sepatu di atas keset di depan pintu rumah," kata Abbas Tobing.

Mata Kosasih langsung melebar.

"Kira-kira sepatu si pembunuh sempat menginjak darah korban dan ketika dia menginjak keset itu saat meninggalkan rumah, sepatunya meninggalkan cap di atas keset," kata Abbas Tobing.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku kok tidak melihat jejak sepatu di kaset," kata Kosasih.

"Itu karena warna kesetnya cokelat, jadi tidak mencolok. Kami baru mendapat kiriman cairan khusus yang bisa mendeteksi darah. Di luar negeri cairan itu dikenal sebagai Luminol. Dengan cairan ini, cap sol sepatu itu tampak jelas," kata Abbas Tobing.

"Tapi aku juga tidak melihat jejak sepatu berdarah di lantai," kata Kosasih.

"jarak antara darah korban dan pintu rumah kira-kira dua setengah meter. Aku tidak melihat apaapa di sana. Jika sepatu si pembunuh kena darah, sebelum dia meninggalkan jejaknya di atas keset, lebih dulu kan dia harus menginjak lantai. Kenapa di lantai tidak ada jejak sepatunya? Masa dia melompat?"

"Menginterptetasikan hasil pemeriksaan Labkrim itu tugasmu, Kos," kata Abbas Tobing.

"Aku cuma melaporkan apa saja yang kami temukan di TKP."

"Mungkin si pembunuh sadar bahwa sepatunya sudah kena darah, jadi dia mencopotnya dan membawa sepatunya di tangan. Sesampai di atas keset. dia baru mengenakan sepatunya kembali karena dia pikir darah di sol sepatunya akan diserap keset yang berwarna cokelat itu dan tidak ada orang yang akan melihatnya," kata Gozali.

Abbas Tobing menunjuk ke Gozali sambil mengangguk.

"Tuh, teka-tekinya sudah dipecahkan oleh dia." katanya.

"Jelek-jelek kau pinter juga. Goz!"

Gozali tertawa.

"Apa jejak sepatu ini bermanfaat untuk menemukan si pembunuh?" tanya Kosasih ragu-ragu.

"Jejak sepatu itu menunjukkan ukuran sepatu si pembunuh," kata Abbas Tobing,

"kebetulan jejak ini berasal dari sol sepatu kets yang ada motifnya. Jika kalian bisa menemukan sepatunya, Labkrim bisa memastikan apakah itu sepatu yang sama atau bukan. Dan dengan cairan khusus yang tadi, kami bisa membuktikan apakah sol sepatu tersebut pernah kena darah."

"Kami tidak bisa mengetuk setiap pintu dan minta penghuninya menyerahkan sepatunya untuk diperiksa Labkrim, Bas."

"Aku rasa si pembunuh ini masih ada kaitannya dengan Lesmana Corporation." kata Gozali.

"Gimana kalau kita ajak Abbas ke sana untuk mengetes sepatu semua karyawan dengan cairan khusus itu. Dan tidak usah semua sepatu, hanya yang kets saja yang ukurannya sama dengan jejak yang ditemukan di keset."

"Itu ide yang bagus. Gimana, Bas? Kau bisa ikut ke sana sekarang?" tanya Kosasih.

"Waduh, pekerjaan di sini masih belum selesai begini," kata Abbas Tobing.

"Semakin cepat kau menemukan sepatu yang ber sangkutan, semakin baik, Bas, biar bekas darahnya masih kelihatan," kata Kosasih.

"Oh, masih kelihatan kok, Kos, walaupun sudah dicuci," kata Abbas Tobing.

"Baiklah aku ikut kalian sekarang."

"Kos, kau saja yang pergi bersama Abbas," kata Gozali.

"Apa? Lalu kau?" tanya Kosasih heran.

"Aku mau ngecek sendiri cerita pencurian di pabrik Lesmana Corporation," kata Gozali.

"Apanya yang mau dicek lagi?"

"Aku masih penasaran kenapa si Slamet bunuh diri."

"Goz, kita sekarang sudah punya dua kasus pembunuhan yang belum terbongkar siapa pelakunya. Kok kau masih mau mengungkit kasus kematian si Slamet itu yang terjadi sudah lebih dari sebulan yang lalu. Kasus itu kan urusan Polsek Rungkut, bukan urusan kita lagi."

"Karena dia itu juga karyawan Lesmana Corporation. aku rasa kematiannya ada kaitannya dengan kedua kasus yang kita usut sekarang."

"Jadi, kau mau bikin apa sekarang?"

"Aku mau bicara dengan si penadah dulu. Aku mau tahu bagaimana dia bisa mengenal si Slamet, dan apa tidak ada orang lain yang ikut terlibat."

"Kan Shaun Harman tadi sudah bilang. dia mengenali Slamet dari fotonya."

"Ya, itu kan kata Shaun Harman. Aku mau mendengar ceritanya dari orangnya sendiri."

"Jadi, mobilnya kaubawa?" tanya Kosasih.

"Ya. Kau naik mobil Abbas bersamanya ke Lesmana Corporation. Nanti aku susul ke sana."

Untuk kedua kalinya hari ini

Kosasih kembali ke

Lesmana Corporation. Saat Abbas Tobing memarkir kendaraannya di tempat parkir yang tersedia, Kosasih melihat sebuah Katana putih berjajar di antara mobilmobil yang ada di sana. Seketika itu juga dia teringat laporan anak buahnya si Alfred Pohan bahwa sebuah Katana putih terlihat datang ke rumah Norma Tanjung sekitar saat perempuan itu menemui ajalnya. Di Surabaya memang ada banyak Katana putih, tapi kalau ada yang parkir di halaman Lesmana Corporation. apakah itu bukan suatu kebetulan?

Kali ini Danny Lesmana sudah tiba di kantor. Kosasih memberitahukan apa tujuan kedatangannya bersama Abbas Tobing dan empat orang anak buahnya. Tentu saja Danny Lesmana mengizinkan mereka memeriksa sepatu para karyawan. Dia sendiri juga penasaran ingin tahu siapa yang telah membunuh sekretarisnya.

"Mobil Katana putih yang di tempat parkir itu milik siapa?" tanya Kosasih kepada Danny Lesmana.

"Oh, itu mobil Sabine," kata Danny Lesmana.

"Mengapa?"

"Sebuah Katana putih terlihat berhenti di depan rumah Ibu Norma Tanjung pada malam korban menemui ajalnya," kata Kosasih. Jantungnya langsung berdetak lebih kencang. Klop! Dia akan segera berhasil menangkap pembunuh Norma Tanjung nih!

Mata Danny Lesmana melebar.

"Sabine! Maksud Pak Kapten, Sabine membunuh Norma?" tanyanya dengan nada tidak percaya.

"Saya tidak bilang begitu. Saya bilang, sebuah

Katana putih ada di depan rumah korban sekitar saat ajalnya," kata Kosasih.

"Saya tidak bisa percaya Sabine membunuh Norma!" kata Danny Lesmana.

"Kan banyak yang punya Katana putih. Pak."

"Ya. Tapi pemilik Katana putih yang kenal dengan Ibu Norma Tanjung mungkin tidak banyak," kata Kosasih.

"Apakah Ibu Sabine Lemar ini punya alasan untuk membunuh Ibu Norma Tanjung?"

"Setahu saya tidak!" kata Danny Lesmana.

"Mereka memang bukan sahabat erat, tapi kenapa Sabine membunuh Norma? Itu sungguh tidak masuk akal."

"Kami menduga orang yang membunuh Ibu Norma Tanjung itu mau menghapus sidik jarinya dari kaleng susu cokelat yang ada di rumah Ibu Tanjung. karena dia tahu polisi akan menyidik kaleng itu," kata Kosasih.

"Saya tidak mengerti apa yang Bapak bicarakan. Kaleng susu apa?" tanya Danny Lesmana.

"Kaleng susu cokelat yang dibuat minum Ibu Melody Harman," jawab Kosasih.

"Kami menduga mungkin racun yang masuk ke tubuh Ibu Harman datang dari kaleng susu cokelat yang ada di kantor Ibu Harman. Tapi. kaleng susu itu sudah dibawa pulang oleh Ibu Norma Tanjung setelah Ibu Harman meninggal. Sedianya kami akan mengambil kaleng itu ke rumahnya, tapi malam yang sama wanita malang itu terbunuh."

"Dan kaleng susu cokelatnya?"

"justru itu yang aneh. Kaleng itu masih ada di rumah norma tanjung, tapi pada Kaleng itu hanya ada satu set sidik jari milik Ibu Tanjung sendiri."

Danny Lesmana masih mengangkat kedua alisnya dan menunggu. Tapi karena Kosasih tidak melanjutkan, akhirnya dia terpaksa bertanya.

"0? Di mana letak anehnya? Kaleng itu ada di rumah Norma, dan sidik jari Norma ada di kaleng itu. Apa tidak seharusnya begitu?"

"Satu set, Pak Lesmana, hanya satu set sidik jari!" kata Kosasih.

"Tidak mungkin kaleng itu hanya pernah dipegang satu kali saja. Mestinya kan ada banyak sidik jari di sana."

"Jadi?"

"Berarti ada orang yang telah menghapus semua sidik jari dari kaleng itu, lalu meletakkannya lagi di tangan Ibu Tanjung untuk memasang lima sidik jari kanannya di sana."

Danny Lesmana mengerutkan keningnya.

"Jadi karena kaleng susu cokelat itu si Norma terbunuh?" katanya.

"Ya."

"Dan sebuah Katana putih terlihat berada di rumah Norma malam itu?"

"Ya."

"Kalau begitu silakan segera memeriksa sepatu Sabine. Saya juga mau tahu apa betul dia yang telah membunuh Norma." kata Danny Lesmana.

"Apakah ibu itu hari ini ke kantor memakai sepatu olahraga?" sela Abbas Tobing.

"Biasanya tidak. Sabine selalu memakai sepatu bertumit tinggi," kata Danny Lesmana.

"Kenapa?"

"Jejak sepatu yang kami temukan adalah jejak sepatu olahraga," kata Abbas Tobing.

"Lha, kalau begitu ya bukan Sabine yang membunuh Norma Tanjung!" kata Danny Lesmana dengan nada lega.

"Bisa saja kalau ke kantor Ibu Sabine Lemar memakai sepatu jinjit tapi malam itu dia memakai sepatu olahraga ke rumah Ibu Norma Tanjung," kata Kosasih.

"Kalau dia memang ke sana dengan tujuan membunuhnya, dia pasti tidak akan mengenakan sepatu jinjit yang membuatnya tidak bisa bergerak dengan sigap."

"Oke, silakan tanya dia." kata Danny Lesmana.

"Saya tahu terkadang sepulang kantor Sabine memang ke tempat fitnes. Jadi pasti dia punya sepatu olahraga.

Mereka memang menemukan sepasang sepatu olahraga di bagasi Katana putih milik Sabine Lemar, tapi Abbas Tobing tidak menemukan adanya bekas darah di sepatu itu. Selain itu ukuran sepatu tersebut lebih kecil dari jejak yang mereka temukan.

"Kalau begitu kami harus memeriksa sepatu semua karyawan di sini," kata Kosasih setelah kembali ke kantor Danny Lesmana. Dia tampak kecewa. Dia sudah merasa begitu yakin sepatu Sabine bakal cocok

dengan jejak sepatu yang ditemukan Abbas tobing.

"Saya yakin orang yang membunuh Ibu Norma Tanjung pasti salah seorang dari sini, kalau tidak, dia tidak akan tahu tentang kaleng susu cokelat itu."

"Baik. Kalau memang ada karyawan saya yang melakukan hal keji itu, saya juga mau tahu siapa. Mau mulai dari mana?" tanya Danny Lesmana.

"Kita menyebar aja, Kos," kata Abbas Tobing.

"Satu anak buahku biar memeriksa di kantor, kan orangnya tidak seberapa, dan yang lain ke pabrik."

"Jadi sampai ke pabrik nih?" tanya Danny Lesmana.

"Ya," kata Kosasih.

"Sampai sepatu yang kami cari ditemukan."

"Tapi semua karyawan pabrik memakai sepatu kerja," kata Danny Lesmana.

"Apakah sepatu kerja itu dipakai mereka pulang juga?" tanya Kosasih.

'tidak. Mereka ganti pakaian dan sepatu di sini. Semua karyawan pabrik punya locker tempat menyimpan pakaian mereka."

"Locker-locker tersebut terkunci?"

"Ya."

"Siapa yang memegang kuncinya?"

"Masing-masing karyawan memegang kuncinya sendiri, tapi ada duplikatnya yang disimpan di dalam lemari besi di kantor Shaun sehingga kalau ada yang kehilangan kuncinya. kami bisa membuatkan copynya."

"Kalau begitu kami akan memanggil setiap karyawan untuk membuka sendiri locker-nya nanti," kata Kosasih,

"supaya mereka bisa menyaksikan pemeriksaan kami. Jangan sampai nanti ada yang menuduh kami mencuri barang mereka yang disimpan di dalam locker." Danny Lesmana mengangguk setuju.

* * *

Gozali memarkir mobilnya di tempat parkir yang tersedia. Dia menghapus keringat di keningnya dan masuk ke Pasar Pucang. Tidak ada hujan siang ini, dan panasnya bukan main.

Toko 37 ternyata hanya sebuah toko kecil yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Ada ini instan. pelbagai jenis minuman jus kotak, pelbagai macam kacang dan manisan, sachet-sachet mentega dan kopi, dan beberapa merek susu bubuk.

Seorang perempuan setengah baya dengan rambut separo beruban dan berkacamata agak tebal duduk di belakang meja kecilnya yang menghadap ke bagian depan tokonya. Selain itu ada dua orang pembantu lakilaki yang sedang menyusun kardus-kardus mi instan.

"Selamat siang!" kata Gozali melangkah masuk.

"Cari apa, Pak?" tanya si ibu segera berdiri dari belakang mejanya. Siang-siang begini toko lagi sepi, jadi pembeli yang datang harus dilayani dengan baik.

"Pemilik toko ini," kata Gozali.

"Saya dari kepolisian."

Wajah wanita setengah baya itu langsung berubah, dari ramah menjadi tegang.

"Kok polisi datang lagi," katanya.

"Urusan dengan polisi kan sudah selesai to, Pak."

"ibu pemilik toko ini?" tanya Gozali.

"Iya," kata perempuan itu.

"Nama Ibu?"

"ibu Tondo."

"ibu sudah pernah berurusan dengan kepolisian mana?"

"Polisi Rungkut."

"Mengenai kasus apa, ibu?"

Ibu Tondo mengerutkan keningnya, lalu balas bertanya.

"Bapak ini keperluannya apa?"

"Saya mau bicara dengan Ibu."

"Tentang apa?" tanya perempuan itu menyipitkan matanya.

"Ibu pernah menjadi penadah minuman jus curian akhir-akhir ini?" tanya Gozali.

"Urusan itu kan sudah selesai toh, Pak? Kenapa sekarang polisi datang lagi?" tanya Ibu Tondo.

"Saya dari kantor Polda Jatim, Bu," kara Gozali.

"Wah, kalau begini repot!" kata Ibu Tondo dengan nada marah.

"Lha kalau semua polisi di kota ini giliran datang, toko ini bisa tutup!"

"Maksud Ibu?"

"Saya sudah ngasi uang ke polisi yang tempo hari kemari. Katanya urusan beres. Lha kok sekarang ada lagi yang datang dari Polda ini gimana? Saya ini cuma

pedagang kecil, Pak, ya nggak mampu ngasi uang terus," kata Ibu Tondo.

"Bu, saya tidak datang minta uang," kata Gozali sambil menyeringai.

"Ya memang tidak minta, tapi kalau saya tidak ngasi uang, urusannya kan jadi semakin panjang."

"Bu, sekali lagi saya katakan, saya tidak datang minta uang. Dan juga tidak bakal menerima kalau diberi!"

Ibu Tondo menaikkan kacamatanya yang melorot karena hidungnya berkeringat. Dia memandang Gozali dengan pandangan tidak percaya. Ekspresinya sedikit berubah.

"Oh, ya maaf kalau begitu," katanya.

"Lalu apa maksud kedatangan Bapak Polisi kemari?"

"Saya mau mendengar ceritanya dari Ibu tentang bagaimana sampai ibu menjadi penadah barangbarang curian itu," kata Gozali.

"Ambil kursi!" kata Ibu Tondo kepada kedua pembantu laki-lakinya.

Salah satu pemuda tanggung itu pun segera mengangkat sebuah kursi plastik yang terletak di samping toko dan meletakkannya di depan meja majikannya.

"Silakan duduk. Pak!" kata Ibu Tondo.

Gozali pun duduk di dalam toko yang sempit itu.

"Begini, Pak, tadinya saya tidak tahu kalau barangbarang itu curian," kata Ibu Tondo.

"Katanya itu jatah karyawan. Andai tahu itu barang-barang curian, saya ya tidak mau menerima. Buat apa? Kalau ketahuan. kan saya yang susah. tapi karena katanya Itu jatah karyawan, saya pikir tidak apa-apa, soalnya sudah biasa kalau jatah karyawan yang tidak dipakai karyawannya sendiri dijual ke toko, mulai sabun, odol, sampai susu, rokok, mentega, dan sebagainya. jadi kali ini ya saya terima wong ngakunya itu jatah karyawan!"

"Siapa yang menjual barang-barang itu ke Ibu?" tanya Gozali.

"Orang itu ngakunya bernama Kris W. Tapi kemudian polisi mengatakan namanya sebenarnya Slamet," kata Ibu Tondo.

"Bagaimana Ibu sampai kenal dengan orang itu?" tanya Gozali.

"Dia sendiri yang datang kemari. Suatu hari orang itu datang dan menawari saya apa mau membeli kotak-kotak minuman jus merek Elsi dengan harga murah. Saya tanya, apa itu barang palsu. Dia bilang tidak, itu jatah karyawan. Setiap minggu semua karyawan dapat jatah. lha banyak yang mau menjualnya supaya mendapatkan uang tambahan. Dia yang menjualkan. Dia bilang tidak usah bayar kontan, boleh mundur satu bulan. Ya saya mau."

"Kapan itu?"

"Kalau nggak September ya Oktober gitulah."

"Jadi orang itu membawa barang-barang tersebut kemari?"

"Tidak. Dia bilang dia kerja, jadi tidak bisa ngirim, lagi pula dia tidak punya kendaraan. Saya disuruh ngambil sendiri."

di mana?

"Di pinggir jalan Jagir."

"Berapa kali sebulan?"

"Kira-kira 2-3 kali seminggu."

"ibu tadi bilang itu jatah karyawan yang dibagikan setiap minggu, lha kok Ibu bisa mengambilnya 2-3 kali seminggu?"

"Karena setiap kali yang bisa diambil hanya beberapa kardus."

"Kenapa begitu?"

"Katanya truk yang membawa barang sudah penuh, sehingga setiap kali hanya bisa membawakan beberapa kardus ekstra, nggak bisa semuanya."

"Bagaimana Ibu tahu kapan ada barang yang bisa diambil?"

"Setiap kali dia menelepon saya dulu sehingga saya bisa menyuruh anak saya menunggu di Jagir. Kalau truknya datang, barang-barang itu diturunkan dan dibawa anak saya naik sepeda motor kemari."

"Lha iya. Bu, apa itu tidak aneh? Kok Ibu tidak curiga? Masa ambil barang kok di pinggir jalan!" kata Gozali.

"Waktu pertama saya sudah tanya, kok begitu? Dia bilang jatah karyawan itu dititipkan truk pengangkutan yang ngambil barang ke pabrik. untuk menghemat biaya transpor supaya bisa dijual murah. Tapi truk itu tidak mau mengantarkan sampai ke toko saya karena bukan tujuannya, jadi saya harus ambil sendiri di tengah jalan. Ya sudah, karena memang harganya murah, ya saya mau."

"Bagaimana Ibu membayar orang itu?"

"Dia datang ambil uangnya di rumah saya."

"Kenapa di rumah, Bu?"

"Karena toko saya pukul lima sudah tutup, lha dia bilang dia belum bisa pulang jam segitu. Dia kalau datang ke rumah saya selalu malam. pukul tujuh-delapan begitu."

"Sekarang masih?"

"Bapak ini gimana sih, ya tentu saja sudah berhenti toh. Kata polisi orangnya bunuh diri! Saya kalau teringat sampai ngeri. Yah, pokoknya saya nyesel sampai terlibat urusan ini. Untungnya tidak sebanding dengan uang yang harus saya keluarkan untuk membereskan urusan ini."

"Memangnya Ibu mengeluarkan uang berapa untuk membereskan urusan ini?"

"Wah, lima juta aja lebih, Pak." kata Bu Tondo.

"Makanya saya tadi kaget, kok ada polisi datang lagi wong saya sudah keluar uang banyak."

"Memangnya uang itu untuk apa, Bu?"

"Kata polisi supaya saya tidak dituntut pabrik Elsi, untuk mengganti kerugian mereka."

Gozali geleng-geleng kepala. Kasihan si Ibu Tondo ini, ditipu oknum polisi.

"Bu, orang yang menawarkan barang curian itu kepada Ibu, dia tidak pernah membawa teman?"

"Tidak. Dia selalu sendirian."

"Bagaimana pada waktu mengambil uangnya?"

"Juga sendirian."

Gozali mengeluarkan foto yang diperolehnya dari

Shaun Harman dan memberikannya kepada Ibu Tondo.

"Tolong Ibu lihat foto ini. Yang mana orang yang mengaku bernama Kris W. itu?" tanya Gozali.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibu Tondo langsung menunjuk salah satu wajah yang ada di foto itu.

"Ini, Pak," katanya.

Gozali mengamati.

"Nggak salah, Bu?" tanyanya.

"Ya enggaklah! Ya ini orangnya!" kata Ibu Tondo mantap.

"Yakin. Bu?"

"Berani sumpah, Pak! Memangnya kenapa?" tanya Ibu Tondo heran.

Gozali mengangguk dan memasukkan foto itu kembali ke sakunya.

"Terima kasih. Bu. Ibu nanti akan diminta datang ke kantor Polda untuk memberikan kesaksian tentang kejadian itu," kata Gozali.

"Hah? Kasus itu kan sudah ditutup to, Pak? Orangnya sudah mati, saya juga sudah mengganti uang ke pabrik Elsi. Kenapa kok saya harus ke kantor polisi lagi? Saya ini nunggu toko, Pak! Kalau saya pergi, toko saya ini siapa yang jaga?" protes Ibu Tondo.

"Kalau nanti Ibu terima panggilan, ya Ibu wajib datang," kata Gozali.

"Waduh, maunya untung malah tambah habis uang banyak masih harus kerepotan, lagi," gerutu Ibu Tondo.

"makanya harus hati hati" kata Gozali.

Keluar dari Toko 37, Gozali mencari telepon umum dan menelepon ke kantor Lesmana Corporation. Dia mau memastikan dulu kalau Kosasih dan orang-orang Labkrim masih di sana.

"Eh, Goz! Kau sekarang segera kemari!" kata Kosasih begitu mendengar suara sahabatnya.

"Katana putihnya ketemu di sini, milik Sabine Lemar! Dan dia sudah mengaku dia ke rumah Norma Tanjung tiga malam yang lalu!"

"Apa?" tanya Gozali tidak percaya.

"Ya! Sabine Lemari"

"Dia mengaku?"

"Ya. Aku pakai caramu, aku bilang tetangga korban melihatnya datang. Akhirnya dia mengaku."

"Dia mengaku membunuh Norma Tanjung?"

"Tentu saja enggak! Dia bilang dia nggak masuk karena pagarnya terkunci dan dia pergi."

"Dia tidak bilang bahwa dia kembali lagi?"

"Tidak. Goz, kau datanglah. Barangkali kalau kau yang tanya, dia mengaku."

"Apa Abbas sudah menemukan sepatu yang terkena darah?"

"Belum."

"Oke. aku ke sana." kata Gozali.

Gozali duduk di belakang kemudi dan membawa mobilnya kembali ke daerah perindustrian SIER tempat Lesmana Corporation berada. Sambil mengemudi dia memikirkan informasi yang baru diperolehnya dari Toko 37. Siang ini lalu lintas tidak terlalu padat sehingga dia bisa mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Tiba-tiba kendaraan di depannya memperlambat jalannya. Terkejut, Gozali pun menginjak rem. Mungkin di depan mereka ada kemacetan atau kendaraan yang memotong jalan.

Kendaraan berhenti beberapa saat lamanya. Lamunannya terputus, Gozali pun tolah-toleh menikmati pemandangan di sekitarnya. Setelah berpengalaman sekian lamanya dengan kemacetan di jalan, Gozali sudah belajar tak ada gunanya jengkel. Kejengkelan hanya menimbulkan stres. Jengkel pun tidak akan membuat kemacetan lebih cepat lancar. Jadi lebih baik kondisi itu diterima saja dengan ikhlas, dinikmati-istilahnya.

Gozali melihat deretan rumah-rumah yang berjajar di sampingnya. Kebanyakan rumah-rumah itu pintunya tertutup dan pagarnya juga. Zaman sekarang orang takut membiarkan pintu rumah terbuka. Tidak seperti dulu saat kecilnya, selama matahari bersinar semua rumah membuka pintu dan jendela lebar-lebar agar angin dan udara segar bisa masuk dan membawa kesegaran alam ke dalam rumah. Zaman sekarang, jika pintu dan jendela besar dibiarkan terbuka, yang

lebih dulu masuk adalah para pencuri, atau perampok. Yah, zaman memang sudah berubah.

Tak lama kemudian kendaraan mulai merayap. Rupanya di depan ada kecelakaan. Dari jendela Gozali melihat seorang pembantu keluar dari pintu salah satu rumah di sisi kanannya. Pembantu itu menuju ke pagar, membuka kuncinya, lalu keluar. Kemudian dia mengunci pagar itu lagi dari luar, dan berjalan ke arah yang bertolak belakang dengan arah laju mobilnya.

Tidak ada yang istimewa dari kejadian itu. Setiap hari beratus-ratus pembantu melakukan hal yang sama, tapi pada saat itu seakan akan ada yang memencet tombol di kepalanya dan sebuah gambar muncul di depan matanya.

Astaga! kata Gozali dalam hati. Apa kata Bob Partahi? Tentu saja! Bob Partahi sudah mengatakan, tak ada orang yang masuk atau keluar dari rumah selagi dia berada di sana! Wah, alangkah bodohnya aku bisa melewatkan informasi itu!

Setelah melewati kedua mobil yang sempat berserempetan dan sekarang pengemudi-pengemudinya sedang adu mulut di pinggir jalan, kendaraan pun melaju kembali dengan lebih lancar.

Astaga! Aku rasa sekarang aku tahu bagaimana Melody Harman menemui ajalnya, pikir Gozali.

* * *

Gozali diantarkan Ella

ke

ruang rapat. Dia mendapati

Sabine Lemar duduk dengan wajah cemberut di sana sementara seorang Kosasih duduk di hadapannya dengan wajah yang tak kalah masamnya.

Kosasih hanya menggerakkan kepalanya ke arah Gozali saat dia melihatnya, tapi sahabatnya sudah mengerti bahwa dia yang disuruh bicara dengan Sabine Lemar.

"Selamat siang," kata Gozali menyapa mereka.

"Siang," jawab Sabine singkat.

"Iangsung ke pokok pembicaraannya saja ya, Bu." kata Gozali santai. Dia langsung menarik salah satu kursi yang bersebelahan dengan kursi Sabine Lemar dan duduk.

"Jadi benar tiga malam yang lalu Ibu ke rumah Ibu Norma Tanjung?"

"Ya."

"Pukul berapa?"

"Pukul enam lewat dikitlah."

"Lalu apa yang terjadi?"

"Saya ke sana, tapi rupanya tidak ada orang di rumah. Saya pulang. Itu saja. Tadi Bapak ini sudah tanya bolak-balik."

"Dari mana Ibu tahu tidak ada orang di rumah?" lanjut Gozali tak mengacuhkan omelan Sabine.

"Saya ngebel di pagar sampai lama tidak ada yang keluar, ya saya anggap tidak ada orang di rumah." kara Sabine.

"Pukul berapa Ibu kembali lagi ke sana?"

"Saya tidak kembali ke sana! Dari tadi saya sudah bilang, saya tidak kembali ke sana. tapi polisi tidak

mau percaya. Saya tidak kembali lagi ke sana! Kata Sabine Lemar ngotot.

"Itu kan tidak logis," kata Gorali.

"Kalau saya ke rumah orang. tapi tidak ketemu orangnya, pasti saya akan kembali lagi kemudian."

"Tapi saya tidak kembali lagi! Astaga! Saya harus bilang berapa kali bahwa saya tidak kembali lagi ke sana!"

"Tapi tetangga Ibu Norma Tanjung melihat Anda kembali lagi ke sana sekitar setengah delapan malam."

"Tetangga itu bohong! Saya tidak kembali lagi!" Saking ngototnya Sabine Lemar memukulkan kepalannya di meja.

"Iidak usah pakai unjuk emosi, Ibu," sela Kosasih memandangnya dengan tidak ramah.

"Yang kesal bukan cuma Ibu. Kami juga sangat kesal dengan sikap Ibu!"

"Lha saya memang tidak kembali lagi masa saya harus dipaksa mengaku bahwa saya kembali? Yang bener aja!"

"Sebetulnya untuk apa Anda ke sana?" tanya Gozali.

"Saya tidak tahu!" kata Sabine Lemar

"Hah?" Gozali mengangkat alisnya tinggi.

"Saya ke sana atas permintaan Ibu Norma," kata Sabine.

Gozali masih melebarkan matanya dan menampakkan wajah heran.

"jadi Ibu Norma Tanjung yang minta Anda ke rumahnya?" tanyanya.

"Ya!"

"Untuk apa?"

"Saya tidak tahu. Dari tadi saya bilang saya tidak tahu!"

"Anda disuruh datang ke rumah orang, masa Anda tidak tanya untuk urusan apa?"

"Lha belum ketemu Bu Norma, mana saya bisa tanya."

"Kok belum ketemu? Ya waktu Ibu Norma Tanjung minta Anda datang ke rumahnya itu!"

"Bu Norma tidak bicara langsung dengan saya," kata Sabine.

"Dia menelepon ke rumah saya, tapi saya belum tiba di rumah. Jadi dia bicara dengan pembantu saya. Pembantu saya tidak tanya."

"Oh, Bu Norma menelepon ke rumah Anda?" tanya Gozali.

"Ya."

"Kapan?"

"Kira-kira sepuluh menit sebelum saya tiba di rumah."

"Dari mana Ibu Norma menelepon Anda? Dari kantor sini?"

"Saya rasa tidak karena sore itu Bu Norma pulang lebih dulu. Saya masih di sini."

"Pukul berapa Anda meninggalkan kantor ini?"

"Sekitar pukul lima."

"Lalu apa yang Anda lakukan setelah tiba di rumah?"

"Pembantu saya menyampaikan pesan Bu Norma. tapi saya ya tidak mau segera menemui Bu Norma.

jadi saya mandi kilat, ganti pakaian. baru saya Ke rumahnya walaupun akan terlambat sedikit. Tapi Bu Norma-nya tidak ada. Saya juga heran, wong saya disuruh datang pukul enam, kok dianya yang tidak ada."

"Jadi Anda pulang?"

"tidak langsung. Saya pergi belanja ke supermarket karena kebetulan lewat."

"Pukul berapa Anda pulang?"

"Sekitar setengah sembilan."

"Jadi Anda tidak punya alibi sewaktu Ibu Norma Tanjung menemui ajalnya?"

"Saya tidak menduga saya perlu alibi. Saya tidak tahu Bu Norma meninggal."

"Apakah Anda memiliki sepatu olahraga?" tanya Gozali memandang ke kaki Sabine Lemar.

"Tadi sudah diperiksa." kata Sabine Lemar ketus.

"Oh, Anda bawa sepatunya kemari?"

"Sepatu itu selalu ada di mobil saya supaya sewaktu-waktu saya mau ke fitnes: sepulang kantor, saya bisa."

"Gimana hasil pemeriksaannya, Kos?" tanya Gozali.

Kosasih menggelengkan kepalanya.

"Saya sudah bilang, saya tidak terlibat pembunuhan Bu Norma, ya sudah pasti di sepatu saya tidak mungkin ada darah Bu Norma. ini kan sudah membuktikan bahwa saya memang tidak terlibat!" kata Sabine Lemar.

"Orang bisa saja punya lebih dari satu pasang sepatu," gerutu Kosasih.

"Anda bisa saja membuang sepatu Anda yang kena darah."

"Jadi, bicara dengan polisi tidak mungkin menang, kan?" kata Sabine Lemar.

"Kalau begitu untuk apa bertanya kepada saya kalau polisi sudah memastikan saya yang membunuh Bu Norma."

"Apa sebelumnya Anda pernah ke rumah Ibu Norma Tanjung?" lanjut Gozali.

"Tidak."

"Jadi kali ini Anda diminta datang, apa Anda tidak merasa heran?"

"Saya pikir mungkin Bu Norma mau memberi saya tugas sehubungan dengan pemakaman jenazah Melody keesokan harinya atau mengajak saya ke acara doa di rumah Pak Danny malam itu."

"Anda tidak datang ke acara doa di rumah Pak Danny Lesmana?"

"Tidak. Saya bukan anggota gerejanya. Setahu saya acara itu hanya untuk keluarga dan orang-orang gereja.

"Apakah..."

Sebuah ketukan terdengar di pintu dan sosok Abbas Tobing muncul dengan senyum yang merekah dari telinga kiri hingga telinga kanan.

"Apa?" tanya Kosasih melihat wajah gembira temannya.

Abbas Tobing membuat isyarat agar Kosasih dan Gozali keluar dari ruangan itu untuk diajak bicara.

"Kami sudah menemukan sepatunya," bisik Abbas

setelah Kosasih dan Gozali bergabung dengannya abbas.

"Sungguh?" tanya Kosasih.

"Ya. Sol sepatunya punya motif yang sama, dan kami temukan bekas darah di sana," Abbas berbisik lagi.

"Bagus! Sepatu siapa?" tanya Kosasih.

"Itu yang tidak kami ketahui." kata Abbas Tobing.

"Kami temukan sepatunya secara kebetulan di tempat pembuangan sampah."

Ekspresi riang di wajah Kosasih segera berubah kecewa lagi.

"Mana sepatunya sekarang?"

"ini!" kata Abbas yang masih mengenakan sarung tangan, mengulurkan sebuah kantong kertas kepada Kosasih.

"Masih akan diproses untuk menemukan sidik jari. Banyak yang punya sepatu merek ini," kata Abbas.

"Mungkinkah sepatu itu milik Ibu Sabine Lemar.?" tanya Kosasih.

"Kan kita sudah memeriksa sepatu Ibu Sabine Lemar di mobilnya tadi," jawab Abbas.

"Ya, tapi bisa saja dia punya lebih dari satu pasang sepatu olahraga," kata Kosasih.

"Sepatu ini ukuran kaki laki-laki. Kos," kata Abbas Tobing.

"Nomor 41. Kaki Ibu Sabine Lemar jelas tidak sebesar itu."

"Mungkin dia sengaja memakai sepatu yang lebih besar untuk menghilangkan jejak."

"Memangnya dia mau nyomot sepatu siapa, Kos?"

kata Abbas Tobing.

"Kami perlu spesimen sidik jari karyawan di sini, Kos, untuk mencari identitas pemilik sepatu olahraga ini."

"Apa yang membuatmu berpikir kau bisa menemukan sidik jari di sepatu itu?" tanya Gozali.

"Selama ini si pembunuh cukup rapi. Dia tidak meninggalkan satu sidik jari pun di TKP."

"Kali ini kita beruntung," seringai Abbas Tobing.

"Lihat!" Dia mengeluarkan sepatu itu dari kantong pembungkusnya.

"Dia pasti membuang sepatu ini dengan tergesa-gesa tadi begitu mengetahui ada pemeriksaan locker mencari sepatu. Waktu dia mengambil sepatunya dari locker. dia tidak sempat cuci tangan sehingga meninggalkan sidik jarinya di sini." Abbas menunjuk beberapa noda kehitaman di atas sepatu yang berwarna putih tersebut.

"Oke. Bas, kau dan anak buahmu bisa mengambil spesimen sidik jari mereka. Aku dan Gozali tunggu di sini." kata Kosasih.

"Tunggu' Gimana tadi kau sampai bisa menemukan sepatu ini di tempat pembuangan sampah?" tanya Gozali.

"Kami sudah selesai memeriksa semua sepatu di locker. Karena tidak menemukan apa-apa yang mencurigakan, akhirnya aku sebar anak-anak Labkrim untuk melihat di tempat-tempat lain. Secara kebetulan ketemu sepasang sepatu ini di tempat pembuangan sampah," kata Abbas Tobing.

"Locker siapa yang tidak ada sepatunya, Bas?" tanya Gozali.

"Banyak, Goa, dua puluhan aja ada; kata Abbas Tobing.

"Kau tidak mencatat nama pemilik atau nomor locker-nya?"

"Wah, enggak, Goz."

"Kau tidak bertanya kepada pemilik locker kenapa di locker mereka tidak ada sepatunya?"

"Pertama kalinya tanya. dan dijawab bahwa terkadang mereka memang memakai sepatu kerja sudah dari rumah, karena sayang sepatunya sendiri dipakai ke tempat kerja. Selanjutnya kami tidak nanya lagi, kami anggap kira-kira semua alasannya begitu."

"Jawaban yang wajar." komentar Kosasih.

"Mereka kan hanya buruh pabrik. sehingga masuk akallah kalau mereka mau menghemat sepatu pribadi mereka sendiri."

"Apa para karyawan pabrik tahu bahwa kalian menemukan sepatu di tempat pembuangan sampah?" tanya Gozali.

"Tidak. Waktu itu mereka semua sudah kembali ke pekerjaan masing-masing." kata Abbas Tobing.

"Ingatkan orang-orangmu supaya jangan sampai ada yang tahu," kata Gozali.

"Jangan sampai si pemilik sepatu itu tahu."

"Orang-orangku sudah mengerti. Mulut mereka semuanya terkunci rapat," kekeh Abbas Tobing.

"Oke, Bas," kata Gozali santai.

"Teruskan aja pekerjaanmu. Kami balik dulu. Ada banyak yang masih harus kami lakukan."

"Kalian sudah mau kembali?" tanya Abbas Tobing.

"Ya. Kami toh sudah selesai bicara dengan Sabine Lemar. Kau kan tadi bawa mobil sendiri, jadi Kos dan aku mau balik dulu," kata Gozali.

* * *

Begitu tiba di kantornya, Kosasih langsung mengangkat tangkai pesawat telepon dan minta dihubungkan dengan Dokter Leo Tarigan.

"Ah, Kos! Sudah aku tunggu teleponnya." kata Leo Tarigan dengan suaranya yang besar.

"Iya. Dok. mau tanya apa sudah selesai mengautopsi Norma Tanjung," kata Kosasih.

"Sudah aku kerjakan kemarin pagi," kata Leo Tarigan.

"Wah, jadi Minggu-Minggu tetap kerja, Dok," kata Kosasih.

"Autopsi itu kan semakin cepat dikerjakan semakin baik."

"Jadi, hasilnya gimana, Dok?"

"Visum resminya masih diketik, tapi hasilnya bisa kuberitahukan sekarang," kata Dokter Leo Tarigan.

"Hm... korban meninggal sekitar 36 sampai 40 jam sebelum diautopsi, jadi kira-kira antara pukul 17:00 dan 21:00 hari Jumat yang lalu. Pada waktu ajalnya, perut korban kosong, berarti belum makan malam, Kondisi organ-organ tubuhnya menyatakan korban cukup sehat dan sesuai dengan usianya, artinya organorgan korban tidak dalam kondisi sakit. Penyebab kematiannya adalah akibat kehabisan darah dari pembuluh-pembuluh darah yang terputus di lehernya. Melihat kondisi lukanya, korban menjadi tak berdaya dalam waktu 1-2 menit setelah lehernya digorok, tapi kematian bisa terjadi 20 hingga 30 menit kemudian."

"Ada apa-apa yang bisa mengindikasikan siapa pembunuhnya, Dok?" tanya Kosasih.

"Hm... di bawah kuku empat jari tangan kanannya, ditemukan kulit dan bekas darah manusia. Rupanya korban sempat mencengkeram atau mencakar pembunuhnya," kata Leo Tarigan.

"Kau tinggal mencari orang yang punya luka di tubuhnya, Kos."

"Korban bukannya mencengkeram lehernya sendiri yang terluka?"

"Ya, dengan tangan kirinya. Karena itu tangan kirinya kena banyak darah. Tapi tangan kanannya bersih. Hanya ada sedikit darah di kuku-kukunya."

"Ada yang lain, Dok?"

"Yang penting hanya itu," kata Dokter Leo Tarigan.

Kosasih mengucapkan terima kasih dan meletakkan tangkai pesawat teleponnya, lalu memberitahu Gozali apa yang baru didengarnya.

"Jadi, kau melihat ada yang punya luka di sini?" tanya Gozali.

Kosasih mengerutkan keningnya sambil memejamkan matanya.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tadi aku melihat lengan kiri Jaka Herlambang ada plesternya!" katanya dengan mata lebar.

"Jaka Herlambang?"

"Ya!"

"Gimana hasil pemeriksaan sepatunya?"

"Dia tidak memakai sepatu olahraga tadi. Dia memakai sepatu kulit."

"Apa ukuran kakinya sama dengan ukuran sepatu yang ditemukan Abbas di tempat sampah?"

"Mana aku tahu, Goz! Memangnya aku tukang sepatu!" kata Kosasih.

"Kau tadi tidak bertanya kenapa lengan Jaka Herlambang diplester?" tanya Gozali.

"Enggak. Aku kan nggak punya alasan untuk menanyakan hal itu tadi."

"Apa Jaka Herlambang punya Katana putih?" tanya Gozali.

"Tadi hanya ada satu Katana putih di tempat parkir, dan itu milik Sabine Lemar," kata Kosasih.

"Coba kautelepon Lesmana Corporation sekarang dan mencari tahu apa mobil Jaka Herlambang," kata Gozali.

Kosasih melihat ke lonceng dinding di seberang mejanya. Hampir pukul lima, mudah-mudahan masih ada orang di sana.

Ternyata yang menerima teleponnya bukan lagi Ella si resepsionis. tapi sudah dialihkan ke pos satpam.

Kosasih pun memperkenalkan dirinya lalu bertanya,

"Anda siapa?"

"Warna, Pak."

"Baik, Saudara Warna, saya hanya ingin bertanya, mobil apa yang dimiliki Saudara Jaka Herlambang?"

"Eh, Katana. Pak."

Mata Kosasih melebar.

"Warnanya?"

"Putih. Pak."

"Hari ini tadi saya kok tidak melihat mobilnya parkir di halaman kantor?"

"Hari ini memang tidak bawa mobil, Pak."

"Oh, kenapa?"

"Saya tidak tahu, Pak. Tapi sudah tiga hari Pak Jaka tidak bawa mobil ke kantor."

"Oh, lalu dia naik kendaraan apa?"

"Saya tidak tahu, Pak. Mungkin naik kendaraan umum atau numpang teman yang lain."

"Siapa lagi di kantor sana yang naik Katana putih?" tanya Kosasih.

"Sudah tidak ada lagi, Pak. Hanya Ibu Sabine dan Pak Jaka."

Kosasih mengucapkan terima kasih dan mengakhiri pembicaraannya.

"Kaupikir mungkin Jaka Herlambang?" tanyanya kepada Gozali.

"Mungkin saja. Apa katanya tadi ketika Abbas mau memeriksa sepatu olahraganya?"

"Dia bilang sepatu olahraganya ada di rumah. Dia mengaku tidak pernah memakai sepatu olahraga ke kantor."

"Jawaban yang masuk akal," kata Gozali.

"Dia kan orang kantoran."

"Jadi dia membuang sepatu olahraganya di tempat sampah Lesmana Corporation supaya sepatu itu tidak bisa dikaitkan dengan dirinya," kata Kosasih.

"Maksudmu?"

"Andai dia membuang sepatu itu di tong sampah rumahnya. kan langsung ketahuan itu sepatunya. Kalau dibuang di sini, sepatu itu bisa milik siapa saja. karena ada begitu banyak karyawan yang memakai sepatu semacam itu."

Untuk beberapa saat lamanya kedua orang sahabat itu tenggelam dalam pikirannya sendiri. sampai akhirnya Gozali berkata,

"Aku kira-kira tahu bagaimana pembunuhan Melody Harman terjadi."

"Gimana?" tanya Kosasih dengan pandangan penuh perhatian.

"Sebetulnya faktanya begitu jelas di depan mata kita. Kita saja yang tidak melihatnya."

"Oke. jadi siapa pembunuhnya?" tanya Kosasih.

"Aku punya teori, tapi kita tidak punya bukti yang konkret."

"Jadi?"

"Kita harus menjebak si pembunuh."

"Caranya?"

Gozali membeberkan rencananya. Selama pembicaraan itu wajah Kosasih tampak semakin lama semakin geram.

"Kaupikir Mark Lesmana mau melakukannya?" tanyanya pada akhir cerita Gozali.

"Semoga," kata Gozali.

"Lebih cepat kita bicara padanya, lebih baik," kata Kosasih.

"Ya. besok pagi. Sekarang kau harus menyiapkan

surat-surat panggilan agar besok pagi surat-surat itu sudah bisa disampaikan ke alamat masing-masing," kata Gozali.

"Dan pembunuh Norma Tanjung?"

"Kita tunggu sampai Abbas Tobing bisa mengidentifikasi pemilik sepatu olahraga itu." kata Gozali.

"Oke. kalau begitu sekarang bantu aku menyiapkan surat-surat panggilan itu supaya segera bisa diantarkan ke alamat masing-masing besok," kata Kosasih.

"Kapan kita panggil mereka. Goz?"

"Kita harus memberi Mark Lesmana cukup waktu. Gimana kalau hari Kamis?"

Kosasih mengangguk.

"Oke, jadi Kamis. Tiga hari mestinya cukup. kan?"

* * *

Dokter Sam Syaiful tersenyum ketika melihat Teti Kosasih masuk ke ruang prakteknya.

"Hai. tumben kamu datang." kata Sam. Karena di depannya duduk seorang pasien. dia tidak berani bersikap lebih mesra.

"Memang aku sengaja kemari." kata Teti.

"Oh. kenapa?"

"Ada yang mau aku ceritakan ke kamu," kata Teti. Dia sih mau bilang nggak bisa nahan rindu, tapi karena di depan pasien, ya tidak jadi.

"Oke. Kamu masuk aja ke dalam. Aku selesaikan ini dulu, nanti aku susul." kata Sam.

Teti melambaikan tangannya dan menghilang di

balik pintu. Ruang praktek Sam Syaiful membuka ke ruang tamu rumah ini, tempat dia tinggal dengan dua orang pembantu yang merupakan sepasang suami istri.

Kira-kira lima belas menit kemudian, pintu tembus itu membuka dan sosok Sam Syaiful pun muncul. Kali ini sambutannya kepada Teti jauh lebih mesra. Dia mendaratkan kecupan ringan di bibir gadis itu.

"Di luar masih ada dua orang pasien," kata Sam Syaiful.

"Tapi aku sudah penasaran. Apa yang mau kamu ceritakan padaku?"

"Kata Bapak, Bapak sudah siap menerima kedatangan orangtua Mas Sam kapan saja." kata Teti.

"O, ya? what great! Kalau begitu nanti aku akan segera memberitahu mereka. Berarti lamaranku paSti diterima nih?" tanya Sam langsung memeluk Teti.

"Ya!" kata Teti tersenyum lebar.

"Kita bisa menikah tahun depan."

"Tahun depan? Kok lama amat? Kenapa nggak tahun ini aja?"

"Bapak mau aku menyelesaikan studiku dulu."

"Kan bisa juga setelah kita menikah."

"Mbak Dessy yang akan menikah dulu tahun ini," kata Teti.

Mata Sam Syaiful melebar.

"Aku lega sekali. Jadi aku tidak usah melangkahinya," kata Teti.

"Lho, dengan siapa Dessy akan menikah?" tanya Sam sambil mengerutkan keningnya. Nada tak percayanya begitu mencolok.

"Dengan Lik," kata Teti sambil tersenyum lebar.

"Hah!" Sam yang baru meletakkan pantatnya di atas sofa langsung melompat berdiri.

Teti tertawa melihat tingkah Sam.

"Aku tahu kamu pasti nggak percaya," katanya.

"Tapi ini bukan hal baru. Sudah lama Mbak pacaran dengan Lik."

"Lik... Lik... Oom Goz, maksudmu?" tanya Sam melotot.

"iya."

"Hah? Oom Goz itu umur berapa? Dia kan paklik kalian! Gimana kok sekarang dia mau menikah dengan Dessy?"

"Dia bukan paklik betulan," kata Teti.

"Maksudku, dia tidak punya hubungan darah dengan kami. Dia itu sahabat Bapak, dan kami mengenalnya sejak kami masih kecil. Jadi kami memanggilnya 'Lik"

"Aku tahu! Tapi biarpun begitu dia kan nggak pantas jadj jodoh Dessy! Astaga!" gumam Sam Syaiful.

"Astaga! ini betul-betul gila!"

"Lho, kenapa gila? Mereka saling mencintai lho!" bela Teti.

"Dessy kok bisa mau menikah dengan Oom Goz itu gimana! Kan sudah tidak sebanding toh! Beda usianya saja berapa! Memangnya sudah tidak ada lakilaki lain di dunia ini?" kata Sam sambil melemparkan kedua lengannya ke atas.

"Namanya cinta," kata Teti.

"Memangnya perempuan nggak boleh mencintai laki-laki yang lebih tua?"

"Ini sungguh tidak bisa diterima," kata Sam Syaiful sewot.

"Aku tidak bisa mengizinkan Dessy menikah dengan Oom Goz!"

"Hah?" Ganti Teti yang terkejut.

"Desy tidak boleh menikah dengan Oom Goz!" kata Sam Syaiful.

"Lho, Bapak dan Ibu setuju kok!" kata Teti.

"Aku tidak setuju!" kata Sam.

Teti mengerutkan keningnya. Lalu katanya,

"Memangnya Mas Sam punya hak apa untuk tidak menyetujuinya?"

"Kita harus membuat Dessy menyadari bahwa dia bukan pasangan Oom Goz!"

"Kenapa? Mbak Des mau menikah dengan siapa itu kan pilihannya! Asal Bapak dan Ibu setuju, orang lain tidak punya hak melarang!" kata Teti.

"Dessy itu pasti kena guna-guna kalau begitu!" kata Sam Syaiful.

"Guna-guna? Kok jadi sekarang Mas Sam percaya guna-guna? Lik itu bukan tipe orang yang suka main guna-guna segala!"

"Kalau tidak diguna-guna. mana mungkin dia mau menikah dengan Oom Goz!"

"Kenapa tidak mau.Lik itu orangnya baik sekali!"

"Iya, baik, aku tidak bilang Oom Goz itu jahat. tapi orang baik yang lain kan juga ada. Apa kamu tidak merasa sayang Dessy menikah dengan Oom Goz yang seperti itu?"

"Seperti apa?" tantang Teti.

"Ya seperti itu! Penampilan nggak masuk kualifikasi. bicara usia juga payah. Umur sudan Banyak. lalu apanya yang dipilih? Kan rugi Dessy mendapatkan suami seperti itu! Dessy itu cantik, baik, pintar, dia harus mendapatkan pasangan yang lebih baik!" kata Sam Syaiful.

"Misalnya seperti Mas Sam?" tanya Teti memandang Sam Syaiful dengan tajam.

"Dessy tidak mau sama aku, aku bisa menerima itu. Tapi kalau sekarang dia menikah dengan Oom Goz, aku tidak bisa menerima itu!"

"Sayangnya Mas Sam tidak punya hak bicara dalam hal ini. Kami sekeluarga sudah menyetujui pernikahan Mbak dengan Lik."

"Kita harus membuatnya sadar bahwa dia tidak boleh menikah dengan Oom Goz!"

"Kita? Jangan bawa-bawa aku. Aku tidak sepaham dengan Mas Sam," kata Teti.

"Mbak dan Lik saling mencintai. Menurut aku itu landasan pernikahan yang kokoh."

"Tet. masa kamu percaya kalau Oom Goz itu mampu membahagiakan Dessy?"

"Yang penting kan Mbak Des percaya begitu. Bapak dan ibu juga percaya begitu. Terus terang, aku juga berpikir begitu. Saudara-saudara yang lain juga berpikir begitu. Rupanya yang tidak berpikir begitu hanya Mas Sam sendiri!"

"Aku masih punya pasien di luar," kata Sam menunjuk ke pintu tembusnya.

"Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu, lalu aku akan mengantarkan kamu pulang, dan aku akan bicara dengan Dessy."

"Mas Sam mau bicara apa dengan Mbak Des?" tanya Teti.

"Aku akan meyakinkannya untuk membatalkan pernikahannya dengan Oom Goz. Jika Dessy merasa malu dilangkahi adiknya, kita akan menunda pernikahan kita sampai dia mendapatkan jodoh yang seimbang," kata Sam Syaiful.

"Aku tidak mau dia asal menabrak menikah dengan satu-satunya laki-laki yang dikenalnya hanya supaya dia bisa menikah lebih dulu darimu."

"Mas Sam," kata Teti sambil menatap wajah Sam Syaiful dengan pandangan tidak ramah.

"jika kamu begitu ngotot mau membatalkan pernikahan Mbak Des, aku rasa yang akhirnya batal adalah pernikahan kita! Aku mau pulang sekarang, Mas Sam tidak usah mengantar." Dengan itu Teti lalu berdiri, mengambil empat langkah lebar ke pintu rumah, membuka kuncinya, membuka pintu, lalu keluar. Sekali pun dia tidak berpaling ke belakang.

**

"Bapak kok sampai sekarang belum pulang, ya?" kata Nyonya Kosasih memandang jarum jam yang sudah menunjuk pukul setengah delapan.

"Masih repot kali, Bu," kata Dessy yang sedang duduk di dapur. Dia sedang menghindar karena Teti baru saja pulang dengan wajah masam.

"Mbak Tet! Mas Sam datang!" teriak Ari dari ruang tamu.

Pasti Sam dan Teti habis bertengkar, pikir Dessy. Dia lalu bergegas ke kamar memanggil adiknya.

"Tet. Sam-mu sudah datang!" kata Dessy sambil melongokkan kepalanya.

"Dia nggak nyari aku kok," kata Teti yang sedang tiduran.

"Mbak aja yang temuin dia."

"Lho. ini ada apa?" tanya Dessy.

"Kamu kan tadi ke tempatnya? Sekarang dia datang. Kalau bertengkar, selesaikan baik-baik."

"Sungguh, Mbak! Dia kemari untuk ketemu sama Mbak. Coba Mbak tanyai orangnya sendiri. Aku nggak bohong," kata Teti tidak beranjak dari tempat tidurnya.

Dessy pun menutup pintu kamar dan keluar menemui Sam Syaiful. Mungkin adiknya masih marah sama pacarnya. Baiklah. dia yang akan menjadi jembatan mereka.

"Sam, Teti-nya lagi ngambek," kata Dessy sambil tersenyum.

"Kenapa?"

Nyonya Kosasih yang sedang menemui calon menantunya segera menghilang ke dalam. Dia tahu, Sam akan berbicara lebih terbuka kepada Dessy tanpa kehadiran dirinya. Kan nggak enak didengerin calon mertua, ya. kan?

"Des, aku mau bicara denganmu!" kata Sam dengan nada serius.

"Ri, matiin televisinya," kata Dessy kepada Ari.

"Aduh'" gerutu Ari.

"Kalian bicara di teras sana aja lho! Orang lagi asyik nonton nih!"

"Oke," kata Dessy sambil berdiri.

"Kamu jangan

nguping ya! Anak kecil belum waktunya dengerin cerita orang dewasa."

"Idiih. siapa yang mau nguping pembicaraan kalian? Asyikan nonton ini!" jawab Ari.

Dessy dan Sam lalu pergi duduk di kursi rotan di teras.

"Oom Kos belum pulang?" tanya Sam karena tidak melihat mobil Kosasih.

"Belum. Repot mungkin," kata Dessy.

"Begini, Des, kata Teti kamu mau menikah dengan Oom Goz. Betul itu?" Sam mulai.

"Oh, jadi Teti sudah memberitahu kamu? Ya, memang betul," kata Dessy sambil tersenyum.

"Des! Kamu tidak boleh menikah dengan Oom Goz!" kata Sam.

"Dia sama sekali tidak sesuai untukmu!"

"Lik itu jauh lebih baik daripada yang disangka orang-orang lain," kata Dessy.

"Jangan khawatir. Aku yakin pernikahan kami pasti bahagia."

"Des! Dia itu jauh lebih tua darimu! Dia juga tidak serasi bagimu. Kamu berhak mendapatkan suami yang seribu kali lebih baik dari Oom Goa!"

Dessy tertawa.

"Aku rasa di dunia ini tidak ada yang seribu kali lebih baik dari Lik. Bagiku dia sudah yang terbaik," katanya.

"Des, apa kamu menikah ini asal menikah aja supaya tidak dilangkahi Teti? Kalau begitu, aku berjanji padamu, kami tidak akan menikah sebelum kamu mendapatkan jodohmu. Jadi kamu tidak perlu asal nabrak dan menikah dengan Oom Goz!"

"Itukah yang kamu pikir alasanku menikah dengan Lik?" tanya Dessy dengan nada kecewa.

"Sam. aku tahu maksudmu baik. Kamu ingin aku mendapatkan suami yang kaya. yang sukses, yang muda. yang cakep. Tapi aku mencintai Lik. Dan aku nggak bohong. Aku sungguh mencintai Lik. Aku bahagia dia menjadi suamiku. Aku nggak mau menikah dengan laki-laki lain."

"Des! Kamu menolak aku. itu bisa aku terima jika laki-laki yang menjadi suamimu itu lebih dari aku!" kata Sam Syaiful.

"Bukan Oom Goz!"

"Di mataku Lik melebihi kamu dalam segala hal, Sam," kata Dessy dingin.

"Hatinya jauh lebih baik daripada hatimu. Dia tidak pernah menghina orang lain seperti kamu sekarang!"

"Des, aku tidak bermaksud..."

"Sam, kamu calon suami Teti. Teti itu masih adikku. Jadi pangkatmu juga hanya bakalan adik iparku. Kamu bukan bapakku, bukan ibuku. Nah, sebagai adik ipar, apalagi masih calon, kamu tidak berhak buka suara tentang apa yang akan aku lakukan," potong Dessy.

"Des, apa kamu tidak sadar bahwa kamu membuang seluruh sisa hidupmu dengan menjadi istri seorang laki-laki seperti Oom Goz?" tanya Sam belum putus asa.

"Aku akan menganggap percakapan ini tidak pernah ada." kata Dessy.

"Sebaiknya kamu juga!" Dia lalu berdiri.

"Sekarang. lebih baik kamu pulang. Aku rasa malam ini Teti juga tidak ingin bicara denganmu.

Aku mau kamu ingat bahwa berikutnya kita bertemu, kamu tidak akan berbicara tentang apa pun yang menyangkut urusan pribadiku."
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Des, aku temanmu..."

"Kamu tidak akan menjadi temanku lebih lama lagi jika kamu masih terus mencoba membatalkan

pernikahanku."

"Des, aku tidak bisa membiarkan kamu menikah dengan Oom Goz!"

Dessy mengangkat kepalanya sedikit, lalu berkata dengan nada datar,

"Aku sudah memperingatkan kamu." Lalu tanpa berkata apa-apa lagi. dia membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamarnya.

Teti melemparkan pandangan kepadanya begitu melihat Dessy masuk.

"jadi?" tanyanya cukup dengan satu kata.

"jika Sam berpikir dengan menjadi suamimu dia berhak mengatur hidupku, dia bakal kecele," kata Dessy dengan wajah jengkel. Dia ikut naik ke atas tempat tidur Teti.

"Kayaknya dia tidak bakal menjadi suamiku," kata Teti sambil cemberut.

"Apa?" tanya Dessy kaget.

"Aku sadar sekarang dia sebetulnya masih mencintai Mbak. Karena itu dia bingung Mbak mau menikah dengan Lik," kata Teti.

"Kamu jangan salah paham. Sam tidak mencintai aku," kata Dessy.

"Dia hanya tidak menghargai Lik."

"Aku nggak salah paham. Mbak. Mbak tidak melihat dia tadi marah-marah waktu aku beritahu bahwa Mbak akan menikah dengan Lik."

"Tet. Sam itu cinta sama kamu," kata Dessy.

"Aku sangka begitu. Tapi hari ini aku sadar, dia masih mencintai Mbak. Dan aku nggak mau punya suami yang mencintai perempuan lain," kata Teti.

"Tet! jangan bilang begitu. Orangtuanya akan datang untuk melamarmu."

"Aku akan menyuruh dia membatalkannya. Aku tidak mau dilamar orangtuanya," kata Teti dengan suara mantap.

"Tet, kamu tuh gimana sih! Urusan ini nggak ada kaitannya dengan hubunganmu dengan Sam. Sam mencintaimu. Dia sudah bicara dengan Bapak dan Ibu. Dia juga akan mendatangkan orangtuanya untuk melamarmu. Andai dia nggak cinta kamu, dia nggak akan berbuat itu!"

"Mungkin tadinya dia juga berpikir begitu. Tapi begitu tadi dia mendengar Mbak mau menikah dengan Lik. dia langsung sewot. Dia bilang dia tidak terima kalau Mbak menikah dengan Lik. Apa maksudnya itu?"

"Ya dia aja yang nggak mau punya saudara ipar Lik karena Lik dianggap miskin. rendah, atau apa." kata Dessy dengan wajah jengkel.

"Bukan! Dia tidak merelakan Mbak menikah dengan Lik karena dia menganggap Lik tidak sebanding dengan Mbak. Dia tidak bisa menerima Mbak menolaknya untuk menikah dengan Lik."

Dessy bungkam. Memang tadi Sam ngomong begitu juga.

"Itu artinya sebetulnya dia masih mencintai Mbak," kata Teti.

"Tet, kamu nggak perlu khawatir sama Mbak Aku tidak mencintai Sam," kata Dessy.

"Aku tahu. Aku bukannya khawatir Mbak bakal merebut Mas Sam dariku atau apa. Aku tahu Mbak mencintai Lik. Tapi untuk apa aku punya suami yang mencintai kakakku?" kata Teti.

"Jadi?"

"Sudah aku pikir baik-baik sementara Mbak tadi bicara dengannya. Aku nggak mau melanjutkan hubungan kami."

"Tet, kamu kan mencintainya?"

"Ya. Dia yang ternyata tidak sungguh-sungguh mencintai aku."

"Aku yakin sebetulnya dia mencintai kamu."

"Tapi tidak sebesar cintanya pada Mbak! Sekarang ini dia masih lebih mencintai Mbak."

"Enggak begitu, Tet..."

"Begitu kok, Mbak. Waktu dia pikir Mbak nggak pacaran dengan siapa pun, dia mencintai aku. Tapi begitu dia tahu Mbak mau diambil orang lain, dia nggak rela melepaskan, dia mau menggandoli Mbak lagi."

"Aku nggak mau digandoli Sam, Tet!"

"Aku tahu Mbak nggak mau. Tapi Mas Sam yang mau! Lha kalau dia masih mau sama Mbak, aku yang nggak mau sama dia!"

"Tet, kamu nggak menyesal memutuskan hubungan dengannya?"

"Ya nyesel. Tapi aku akan lebih nyesel jika aku tetap menikah dengannya sementara aku tahu dia mencintai Mbak."

"Yah, Tet. aku ikut menyesal hal ini terjadi," kata Dessy mengusap-usap punggung adiknya.

"Ini bukan salah Mbak," katanya.

"Aku..."

"Bapak pulang!" terdengar suara Ari yang berteriak dari depan.

"Nah, itu Bapak pulang!" kata Dessy langsung melompat turun dari tempat tidur Teti.

"Aku akan memberitahu Ibu dan Bapak bahwa kami batal menikah," kata Teti.

"Tet. dengarkan nasihat Mbak," kata Dessy.

"Jangan melakukan apa-apa dengan hati yang masih panas. Pikirkan dulu satu-dua hari. Masih banyak waktu untuk bicara dengan Ibu dan Bapak jika itu memang yang kamu inginkan setelah hatimu dingin."

Teti memandang kakaknya sejenak lalu mengangguk.

"Oke, aku pikirkan lagi," katanya.

Dessy mengangguk lalu segera menyelinap keluar. Dia akan menyambut ayahnya dan calon suaminya.

* * *

Makan malam kali ini berjalan agak canggung. Kosasih tak begitu memerhatikan bahwa kedua putrinya lebih diam malam ini daripada biasanya karena dia sangat antusias membicarakan langkah-langkah yang masih harus mereka ambil untuk menjebak pembunuh Melody Harman dan Norma Tanjung. Pembicaraan seputar meja makan malam itu boleh dibilang hampir seratus persen didominasi oleh Kosasih dan Gozali yang membahas kedua kasus pembunuhan tersebut.

Sehabis makan, seperti biasanya Dessy dan Teti yang membersihkan meja sementara ibu mereka dan semua yang laki-laki pergi duduk di ruang tamu. Tapi malam ini Gozali masuk ke dapur dengan alasan mengambil minum.

"Ada masalah?" tanyanya kepada kedua gadis yang sibuk mencuci piring di dapur.

Dessy berpaling dan tersenyum.

"Kenapa kok tanya begitu?" tanyanya.

"Kalian berdua tadi nyaris nggak buka mulut," kata Gozali.

"Kan Mas dan Bapak lagi sibuk diskusi." kata Dessy.

Gozali memandang dari Dessy ke Teti, lalu katanya.

"Aku rasa ada yang tidak beres. Ada masalah apa?"

"Aku enggak punya masalah," kata Dessy.

"Kamu, Tet?" tanya Gozali. Dia selalu konsern dengan seluruh anggota keluarga sahabatnya.

"Mungkin," jawab Teti tersenyum sumbang.

"Mau cerita padaku?" tanya Gozali.

"Mungkin aku bisa bantu."

Teti menggeleng.

"Kali ini Lik nggak bisa bantu." katanya.

"Problem dengan hati!" tanya Gozali lagi.

Teti mengangguk.

"Problem besar?" tanya Gozali sambil mengerutkan keningnya.

"Mungkin," kata Teti.

"Problem yang bisa diselesaikan atau tidak?" lanjut Gozali.

"Sebaiknya kita beri Teti kesempatan untuk berpikir dulu beberapa hari," kata Dessy. Lalu dia berpaling ke adiknya,

"Tet, sudah di sini biar aku yang menyelesaikan, kamu istirahat aja."

"Aku nggak apa-apa kok, Mbak," kata Teti.

"Ih, kamu udah kayak mau nangis begitu kok. Sudah, tinggal aja. Sebentar lagi juga Mbak selesai."

Teti pun mengangguk, lalu meninggalkan dapur.

"Apa Sam punya pacar lain?" tanya Gozali kepada Dessy setelah Teti pergi.

"Enggak," kata Dessy.

"Bukan itu masalahnya."

"Teti sangat mencintai Sam," kata Gozali kepada Dessy.

"Aku rasa dia bisa mengatasi masalah apa pun yang timbul dari hubungan mereka, kecuali satu hal itu.

Agak lama Dessy tidak menjawab. Dia menyibukkan dirinya mengeringkan piring-piring yang baru dicucinya dan Gozali membantunya dengan memasukkan piring-piring tersebut ke dalam lemari.

"Oke, aku ceritain," katanya kepada Gozali.

"Aku pikir sebaiknya semua terbuka aja. Aku nggak senang ada rahasia-rahasia di antara kita. Sam tidak setuju kita menikah."

Gozali tidak tampak terkejut. Dia tetap tenang saja.

"Semua orang dengan akal waras akan berpikir seperti itu." katanya.

"Orang lain tidak punya hak untuk berkata setuju atau tidak. Ini kan urusan kita, orang lain tidak ikut punya urusan." kata Dessy.

"Jadi Teti sakit hati karena Sam bilang dia tidak setuju dengan pernikahan kita?" tanya Gozali.

Mereka sudah selesai memasukkan piring-piring, sekarang Dessy bersandar saja di meja dapur dengan kedua tangannya terlipat di dada.

"Teti menganggap sikap Sam itu dasarnya karena dia masih punya perasaan padaku," katanya.

"Aku setuju dengan pendapat Teti. Dari dulu aku menganggap cinta Sam padamu tak pernah lenyap. hanya dikuburkan," kata Gozali.

"Ah, Mas! Aku kan sudah lama putus dengan Sam. di antara kami sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi," kata Dessy.

"Di permukaannya seperti begitu, tapi mungkin ke dalamnya lain." kata Gozali.

"Astaga! Jadi Mas meragukan aku?" tanya Dessy.

"Kita di sini bicara tentang perasaan Sam," seringai Gozali.

"Aku yakin Sam juga sudah tidak punya perasaan apa-apa padaku. Kan dia sekarang pacaran dengan Teti, malah dia sudah minta waktu kepada Bapak dan Ibu kapan bisa menerima orangtuanya datang .melamar Teti."

" Jadi begitu mendengar kamu akan menikah, dia tidak rela melepaskanmu," kata Gozali.

"Bukan itu. Sam menganggap Mas terlalu tua bagiku, dan bla-bla-bla semua alasan yang sudah kuno!" kata Dessy dengan nada jengkel.

"Itu karena dia masih punya perasaan padamu. Andai tidak, dia tidak akan peduli dengan siapa kamu kawin." kata Gozali.

"jangan ngomong begitu. nanti kedengaran Teti lho. Dia sudah cukup sedih sekarang, jangan sampai akhirnya dia nekat lalu memutuskan hubungan mereka," kata Dessy.

"Des, kalau Sam memang masih punya perasaan padamu, lebih baik Teti tidak menikah dengannya," kata Gozali.

"Lalu maksudmu, aku yang disuruh menikah dengan Sam? Mas. aku tidak mau menikah dengan Sam! Jadi jangan memakai alasan ini untuk membatalkan rencana pernikahan kita!" kata Dessy.

"Maksudku kalau Teti tidak jadi menikah tahun depan. juga tidak ada alasan bagi kita untuk menikah tahun ini," kata Gozali.

"Jadi, Mas mau mundur lagi?" tanya Dessy.

"Orang menikah itu perlu persiapan."

"Menikahnya kan masih November, masih delapan bulan lagi. Apa itu nggak cukup waktu untuk bikin persiapan? Memangnya apa yang mau disiapkan?" tanya Dessy.

"Bapak menginginkan kita tinggal di sini. Bapak tidak mau aku meninggalkan rumah. ini. Kita juga sudah memutuskan untuk tidak mengadakan pesta besar, cukup hanya acara sederhana, mengundang keluarga terdekat. Jadi semuanya nggak butuh persiapan banyak."

"Des, kalau Teti tidak menikah, kamarnya kan tidak cukup? Kita mau tidur di mana? Masa Teti disuruh tidur sekamar dengan Ari?" kata Gozali.

Dessy mengerutkan keningnya. Wah, betul juga! Kalau Teti tidak keluar. bagaimana Gozali bisa masuk?

"Tuh, nggak terpikir kan olehmu? Jadi, kalau Teti nggak jadi menikah, kita juga nggak bisa menikah sekarang," kata Gozali.

"Lalu gimana?" tanya Dessy. Sekarang dia yang sedih.

"Ya pelan-pelan, Des. Aku kan harus mencari kontrakan rumah yang lebih baik supaya layak untuk kamu tinggali. Lalu aku juga harus membeli beberapa perabotan karena sekarang yang ada itu sudah nggak layak disebut perabOtan lagi. Semua itu kan butuh persiapan," kata Gozali.

"Dan aku nggak yakin semua itu bisa diadakan untuk November tahun ini."

"Aduh, kalau begitu semoga Teti nggak batal kawin dengan Sam." kata Dessy.

"Gimana kalau Mas bicara dengan Sam dan menyadarkannya?"

Gozali menyeringai.

"Sam itu bukan apa-apaku. Aku tidak akan bicara apa-apa padanya kecuali dia yang minta pendapatku. Dari pengalaman aku sudah belajar untuk tidak memberikan pendapat kepada siapa pun kecuali bila diminta." katanya.

Ketika Gozali muncul dari dapur. di ruang tamu hanya tinggal Ari yang sedang menonton televisi.

"Lho, ke mana yang lain?" tanya Gozali.

"Bapak dan ibu sudah masuk kamar. Katanya biar Lik ngobrol dengan Mbak Des. Kayaknya Mas Sam dan Mbak Tet lagi bertengkar, ya?" komentar Ari walaw pun matanya masih lekat ke layar televisi.

"Ya begitulah orang yang pacaran," kata Gozali.

"Makanya aku nggak mau pacaran!" kata Ari.

"Repot banget. Ntar salah ngomong. marahan. Salah lihat, cemburu. Enakan nggak pacar-pacaran!"

"Coba ntar lima tahun lagi Lik ingatkan kata-katamu ini." kata Gozali sambil tertawa.

"Eh, buktinya Lik sampai setua ini juga single-an aja. Kan itu buktinya Lik juga lebih seneng sendiri daripada punya pacar!" kata Ari.

"Kata-katamu ini jangan sampai kedengaran mbakmu," kata Gozali.

"Maksudku kalau sudah setua ini ya bolehlah kawin," kata Ari.

"Kan sudah puas hidup membujang, Lik"

"Di matamu Lik ini tua banget, Ri?" tanya Gozali serius.

"Ya iyalah! Memangnya Lik kan udah kepala empat!" kata Ari.

Tiba-tiba Ari merasakan suatu tepukan halus di kepalanya.

"Hayo, ngomong apa itu!" kata Dessy yang tibatiba sudah berdiri di belakang Ari.

"Eh, Mbak Des. Jalan kok nggak ada suaranya." kata Ari mengusap-usap kepalanya.

"Kayak hantu aja."

"Memangnya kamu pernah ketemu hantu? Awas kalau kamu bilang Lik tua lagi," kata Dessy.

"Umur itu nggak menjadi soal. Semua orang juga bakal menjadi tua. Dibandingkan bayi yang baru lahir, kamu juga udah tua banget!"

"Iya, Mbak, sori," kata Ari.

"Wong Lik sendiri lho yang tanya, jadi aku ya jawab yang sebenernya."

Gozali tertawa.

"Aku pulang dulu," katanya.

"Besok itu acara padat."

"Syukurlah kalau si pembunuh sudah ketahuan dan bisa dijerat dengan bukti-bukti yang konkret," kata Dessy.

"Malam!" kata Gozali.

Dessy mengantarkannya sampai ke teras di luar.

"Malam, Mas," katanya mengusap lengan Gozali dengan manja.

Gozali memandangnya sejenak, lalu mendaratkan sebuah kecupan ringan di keningnya.

"Sampai besok," katanya.

* * *

"Tet," kata Dessy sambil duduk di tempat tidur adiknya.

"Hm?" Teti hanya mengangkat alisnya. Hatinya lagi kesal, jadi dia sedang tidak mood dengan berita apapun.

"Mbak tani bicara dengan LIK, Kata Dessy.

"Tentang?"

"Tentang kamu dan Sam."

"Lalu?"

"Ya, Lik bilang, kalau kamu nggak jadi menikah, kami juga harus menunda pernikahan kami."

"Lho? Apa kaitannya dengan aku?" tanya Teti. Dia mulai memberikan perhatiannya.

"Kalau kamu nggak menikah, lalu Lik mau tidur di mana?" tanya Dessy.

"Ya di sini. Aku kan bisa pindah ke kamar Ari."

"Lalu Ari?"

"Ya tetap di sana, sekamar denganku."

Dessy menggelengkan kepalanya.

"Nggak baik itu. Ari sudah remaja. Andai Ari masih empat tahun, ya nggak apa-apa. Tapi dia sudah remaja."

"Aku kan kakaknya! Memangnya dia mau apa?"

"Namanya pemuda remaja, ya nggak sehatlah kalau dia berbagi kamar dengan saudara perempuannya."

"jadi, gimana, Mbak?"

"Ya begitulah situasinya sekarang. Tet," kata Dessy.

"Mbak belum bisa menikah sebelum kami punya tempat tinggal."

"Kalau Mbak pindah ke rumah Lik?"

"Kalau begitu, waktunya masih lama. Rumah Lik yang sekarang kan sangat jelek, makanya kontraknya juga murah. Lik harus mencari kontrakan rumah yang lain, itu butuh uang, sekarang apa-apa mahal. Dan Lik kan nggak punya cukup uang, jadi harus

menabung dulu. Entah kapan baru punya cukup uang untuk mengontrak rumah yang lebih baik."

Teti terdiam cukup lama.

"Kalau kamu memang nggak ingin menikah dengan Sam, ya udah, nggak apa-apa. Mbak nggak keberatan menunda pernikahan kami," kata Dessy.

"Aku sebetulnya ingin setengah mati menjadi istri Mas Sam, Mbak. Cuma sikapnya yang aneh ini membuat aku kecewa. Aku takut dia sebetulnya masih mencintai Mbak, bukan aku," kata Teti.

"Aku rasa dugaanmu nggak bener. Tet. Dia hanya marah aja karena kok dikalahkan oleh orang seperti Lik. Gengsinya yang tersinggung, bukan karena dia nggak mencintaimu."

"Mbak yakin begitu?"

Dessy mengangguk.

"Nggak mungkinlah Sam masih mencintai aku, toh sudah sekian lamanya kami nggak berhubungan lagi. Dia cuma sakit hati kok dulu Mbak menolaknya tapi mau sama Lik yang dia anggap lebih kalah dalam segala hal dibandingkan dirinya."

Teti menghela napas dalam.

"Coba kamu tenangkan diri dulu beberapa hari. Lihat gimana Sam bereaksi kepadamu. Dia kan tahu hari ini kamu marah padanya. Setelah kalian sama-sama tenang, barulah masalah ini dibicarakan lagi, Tet."

Teti mengangguk.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yuk. sekarang kita tidur!" kata Dessy.

"Udah, jangan dipikir lagi malam ini. Kita lupakan aja masalahnya. dan kita tidur."

**

MENJELANG pukul delapan pagi mobil-mobil mulai berdatangan di kantor Polda. Yang tidak punya mobil, naik sepeda motor atau kendaraan umum. Semua diantar masuk ke sebuah ruang yang luas, yang biasanya dipakai sebagai tempat pertemuan, karena kantor kerja Kosasih tidak bisa menampung semua tamu itu.

Meja persegi panjang yang biasanya berdiri di tengah ruang itu sekarang dipinggirkan hingga menempel di dinding. Sebagai gantinya kursi-kursi diatur membentuk beberapa garis lengkung, berjajar memenuhi seluruh ruangan itu. Menghadap ke deretan kursi-kursi ini adalah sebuah meja kecil dan di belakangnya ditempatkan dua buah kursi yang membelakangi sebuah papan tulis yang menempel di dinding. Di belakang ruangan ditempatkan sebuah alat perekam.

Mereka yang datang kebanyakan sudah saling mengenal atau paling tidak mengenali namanya. Seluruh keluarga Danny Lesmana ada di sana, mereka datang bersama Bob Partahi; Shaun Harman ada di sana, dia datang bersama Bik Mur, yang juga menerima surat panggilan. Dari Lesmana Corporation, Sabine Lemar, Jaka Herlambang, dan semua karyawan bagian gudang juga hadir; Pak Ali lbrahim datang dengan Rahayu, dan Ibu Ayun juga dipanggil.

Ketika Kosasih dan Gorali memasuki ruangan pukul delapan lewat lima menit dengan beberapa bendel map yang dikempit di bawah lengannya, tamu-tamu yang diundang sudah datang semua dan sudah duduk di tempat yang dipilih masing-masing. Empat orang petugas polisi ikut masuk dan mengambil tempat di sudut-sudut ruangan bagian belakang, masing-masing dua orang di setiap sudut. Mereka berusaha membaur dengan latar belakang dinding untuk tidak menimbulkan perasaan canggung pada para tamu yang hadir. Begitu mereka masuk, salah seorang menghidupkan alat perekam lengkap dengan mik yang tergantung di tengah-tengah ruangan.

"Selamat pagi, Ibu-ibu dan Bapak-bapak," kata Kosasih yang pergi duduk di kursi yang disiapkan baginya, menghadap ke para tamunya dan membelakangi papan tulis yang menempel di dinding.

"Terima kasih Anda telah meluangkan waktu untuk memenuhi panggilan kami."

Beberapa ucapan "Selamat pagi" pun menggema di ruangan itu.

Gozali duduk di kursi kedua di samping Kosasih.

"Pertemuan kita hari ini adalah untuk mencocokkan semua keterangan yang berhasil kami peroleh dari Anda supaya kami bisa mendapatkan kesimpulan yang benar," kata Kosasih.

"Untuk memudahkan pembuatan berita acaranya, perlu Anda ketahui bahwa pertemuan ini direkam. Nah, saya rasa Anda di sini sudah saling mengenal sehingga saya tidak perlu lagi memperkenalkan Anda satu per satu. Sekarang, kita langsung saja mulai.

"Hari ini Kamis, tanggal 6 Maret 1997. Saya, Kapten Polisi Kosasih, yang akan memimpin pertemuan ini. Lebih dulu saya akan bercerita tentang semua keterangan yang sudah berhasil dikumpulkan polisi. Jika ada yang tidak cocok dengan apa yang Anda ketahui, silakan Anda segera bicara." Kosasih membuka map yang pertama di tangannya dan mulai membaca.

"Nah, kasus pertama yang akan kita bicarakan adalah kematian Ibu Melody Harman, istri Saudara Shaun Harman, dan anak Bapak Danny Lesmana.

"Ibu Melody Harman ini diketahui bertengkar dengan suaminya, Saudara Shaun Harman, di kantor pada siang hari Selasa tanggal 25 Februari yang lalu. Ibu Melody Harman kemudian pulang ke rumahnya diantarkan oleh Saudara Bob Partahi dengan mobil Mercy milik Pak Danny Lesmana. Sesampai di rumah. Ibu Harman naik ke kamarnya di loteng. Nona Lisa Harun yang waktu itu berada di rumah keluarga Harman, mengetahui kedatangan si nyonya rumah, ikut naik ke loteng." Kosasih berhenti sejenak dan memandang ke Shaun Harman dan Lisa Harun.

Baik Shaun Harman maupun Lisa Harun mengangguk, sebagai tanda membenarkan pernyataan Kosasih.

"Karena pembicaraan kita di sini direkam, Anda perlu menjawab dengan suara," kata Kosasih.

"Benar," kata Shaun Harman.

"Ya," kata Lisa Harun.

"Satu pertanyaan," kata Kosasih mengangkat telunjuknya.

"Saat Saudara Bob Partahi mengantar Ibu Melody Harman pulang, apakah pintu pagar dalam keadaan terbuka?"

"Tidak." kata Bob Partahi.

"Begitu tiba di depan pagar, saya membunyikan bel remote dan Bik Mur keluar membukakan pintu pagar."

"Berarti sebelumnya pintu pagar masih dalam keadaan terkunci?"

"Ya," kata Bob Partahi.

"Lalu Anda membawa mobil masuk ke halaman?"

"Ya," angguk Bob Partahi.

"Setelah itu apakah pintu pagar dikunci lagi?"

"Eh, ditutup, tapi tidak dikunci lagi," kata Bob Partahi.

"Siapa yang menutup?"

"Bik Mur."

"Tapi tidak dikunci lagi oleh Bik Mur?"

"Tidak." kata Bik Mur sambil menggelengkan kepalanya.

"Kenapa?" sela Gozali. Ini merupakan kalimatnya yang pertama sejak dia memasuki ruangan ini.

"Kenapa ndak dikunci? Kan ada Pak Bob di luar,"

jawab Bik Mur.

"Kalau nanti Pak Bob mau pergi lagi, dia akan memanggil saya untuk mengunci pintu pagar"

"Memang kalau lagi ada saya di luar, pintu pagarnya tidak dikunci," tambah Bob Partahi.

"Baik Saya lanjutkan. Di loteng, Nona Lisa Harun bercakap cakap dengan Ibu Harman dan Ibu Harman menceritakan alasan pertengkarannya dengan suaminya, yaitu bahwa suaminya mau pergi ke Singapura untuk menemui bekas kekasihnya," lanjut Kosasih.

"Ya." kata Lisa Harun.

"Pakaian apa yang dikenakan Ibu Harman saat berbicara dengan Anda?" tanya Kosasih kepada gadis itu.

"Eh, setelan jas biru tua." kata Lisa Harun.

"Apakah Ibu Harman menukar pakaiannya selama berbicara dengan Anda?"

"Tidak."

"Sampai Anda meninggalkannya dia masih tetap mengenakan setelan jas biru tua itu?"

"Ya."

"Lalu Anda turun dan Saudara Shaun Harman datang," kata Kosasih melanjutkan membaca dari mapnya.

"Eh, bukan, Pak," kata Lisa Harun.

"Mas Shaun masuk dulu ke dalam kamar. baru saya turun. Saya sempat melihat Mas Shaun masuk ke kamar."

"Terima kasih atas ralatnya," kata Kosasih membuat beberapa catatan di dokumen yang dipegangnya. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke Shaun Harman.

"Anda pulang tak lama setelah istri Anda tiba, betul?"

"Ya," kata Shaun Harman.

''Siapa yang mengemudikan mobil Anda?"

"Saya sendiri."

"Anda meninggalkan mobil di luar pintu pagar atau Anda membawa mobil masuk ke halaman?"

"Eh, Pak Bob melihat saya datang, lalu dia yang membukakan pintu pagar dan saya membawa mobil saya masuk ke halaman," jawab Shaun Harman.

"Dan setelah Saudara Shaun Harman membawa mobilnya masuk, pintu pagar hanya ditutup lagi tapi tidak dikunci?"

"Ya, Pak," kata Bob Partahi.

Kosasih menganggukkan kepalanya dan melanjutkan,

"Saudara Shaun Harman, Anda lalu masuk ke dalam rumah dengan membuka pintu rumah sendiri?"

"Ya."

"Walau itu pintu rumahnya dalam keadaan terkunci atau terbuka?"

"Terkunci. Saya membukanya sendiri karena saya punya kunci," kata Shaun Harman.

"Anda yakin pintu rumah dalam keadaan terkunci?" tanya Kosasih.

"Ya. Pintu rumah saya itu punya kunci otomatis. Begitu ditutup, dia mengunci sendiri," jawab Shaun Harman.

"Dan untuk membukanya dibutuhkan anak kunci.

"Dari luar membutuhkan anak kunci. Dari dalam rumah. hanya perlu memutar tombolnya," kata Shaun.

"Dengan demikian, hanya orang yang punya anak kunci pintu tersebut yang bisa membukanya dari luar?"

"Betul."

"Baik, saya lanjutkan. Setiba di rumah. Saudara Shaun Harman naik ke loteng dan bertengkar lagi dengan istrinya di kamar. Berapa lama kira-kira Anda berada di dalam kamar itu bersama istri Anda?" tanya Kosasih kepada Shaun Harman.

"Kira-kira satu jam," kata Shaun Harman.

"Saya sampai di rumah sekitar pukul satu siang, dan pukul dua siang saya meninggalkan rumah."

"Pertanyaan," sela Gozali.

"Siapa yang menghidupkan AC di kamar itu?"

Shaun Harman menggelengkan kepalanya.

"Saya tidak tahu. Waktu saya tiba, AC di dalam kamar sudah hidup," katanya.

"Eh, saya kira. saya yang menghidupkan AC," kata Lisa Harun sambil memegang dadanya.

"Ah, jadi Anda yang menghidupkan AC. Pertama kalinya kami tanya, Anda bilang tidak tahu sejak kapan AC itu hidup."

"Eh, ya. sekarang saya ingat. Waktu saya mengikuti Mbak Melody ke kamarnya itu. saya yang memencet tombol AC begitu kami masuk," kata Lisa Harun.

"Baik. Sekarang, selama Anda ada di halaman depan, apakah ada orang yang masuk ke dalam rumah?"

Kosasih mengarahkan pertanyaannya kepada Bob Partahi.

"Hanya Pak Shaun," kata Bob Partahi.

"Jadi, sejak Anda tiba membawa Ibu Harman pulang, tidak ada orang lain yang masuk ke dalam rumah baik sebelum maupun setelah kedatangan Saudara Shaun Harman?"

"Betul. Selagi saya di halaman itu sama sekali tidak ada orang yang lewat, selain Pak Shaun," kata Bob Partahi.

"Baik. Sekarang, Saudara Harman, selama satu jam yang terakhir bersama istri Anda itu, pakaian apa yang dipakai Ibu Melody Harman?"

"Ya masih setelan jas biru tuanya," kata Shaun Harman.

"Jadi dia tidak menukar pakaiannya?" tanya Kosasih.

"Tidak."

"Sampai Anda pergi?"

"Ya."

"Apakah saat Anda meninggalkan rumah, Ibu Melody Harman mengantarkan Anda sampai ke pintu rumah?"


Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko

Cari Blog Ini