Ceritasilat Novel Online

Misteri Melody Yang Terinterupsi 3

Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 3



Hening seketika.

Kecuali Shaun Harman dan Jaka Herlambang yang baru diberitahu lima menit sebelumnya. tak ada yang tahu tentang keputusan yang baru diambil sang wakil direktur baru ini. Mereka semuanya terkejut nyaris tidak petanya. Masa Sabine Lemar yang dikenal sebagai macannya Lesmana Corporation. sungguh telah digantikan oleh Jaka Herlambang? Selama ini mereka semuanya menganggap Sabine Lemar tak bisa didongkel. Dia adalah orang andalan Danny Lesmana. Jadi gebrakan pertama Melody Lesmana sebagai wakil direktur ini benarbenar membuat mereka tertegun. Juga membuat mereka mulai berpikir bahwa gadis yang tak berpengalaman ini ternyata harus diperhitungkan! Dia lebih keras dan lebih tega daripada bapaknya!

"Nah. saya rasa kita semua patut mengucapkan selamat kepada Saudara Jaka Herlambang," sela Danny Lesmana memecahkan keheningan.

"Betul!" sambut Shaun Harman.

"Selamat, Jaka!" Lalu dia bertepuk tangan.

Yang lain-lain pun ikut bertepuk tangan.

"Jadi. apa jabatan Bu Sabine sekarang?" tanya Andrianto. kepala Engineering.

"Kita belum tahu," kata Melody.

"Saya masih menunggu jawabannya."

"Maksud Mbak Melody?"

"Bu Sabine belum memutuskan pilihan mana yang akan diambilnya. Kita tunggu saja, sementara itu Bagian Pemasaran dan Penjualan akan melaju terus di bawah pimpinan Saudara Jaka," kata Melody.

"Aku berharap keputusan yang kamu ambil adalah keputusan yang benar," kata Shaun Harman saat Melody Lesmana minta pendapat petang itu. Hubungan mereka sudah berkembang menjadi hubungan teman sejak dua bulan yang lalu, sehingga Shaun berani berbicara kepada gadis itu sebagai teman dan bukan sebagai bawahannya.

Mereka sedang duduk di kantor Shaun. Saat ini sudah pukul setengah enam. Kantor sudah tutup dan yang lain-lain sudah pulang.

"Kamu menganggap bukan keputusan yang benar?" tanya Melody tersinggung.

Shaun Harman menyeringai.

"Kamu yang datang tanya pendapatku." katanya.

"Kalau kamu nggak suka mendapat jawaban yang nggak sesuai harapanmu. mestinya kamu jangan tanya. Anggap saja keputusan yang kamu buat itu benar dan jangan pedulikan pendapat orang lain."

Melody mengerutkan keningnya.

"Kamu membela Sabine?" tanyanya.

"Enggak. Aku sama sekali tidak terlibat dalam masalah ini. Kamu mau menempatkan siapa pun sebagai kepala Pemasaran, itu seratus persen hakmu. Kamu mau memecat Sabine, itu juga hakmu. Dia tidak bekerja di departemenku, jadi aku tidak terlibat."

"Tapi menurut kamu seharusnya aku tidak mengganti Sabine, begitu?" kejar Melody.

"Mel, aku sama sekali nggak punya niatan meragukan kepemimpinanmu. Aku tidak duduk di Pemasaran atau Penjualan. Kalau kamu menganggap Jaka lebih baik daripada Sabine, aku percaya kamu pasti punya alasan untuk berpikir demikian, alasan mana tidak aku ketahui dan bukan hakku untuk mengetahuinya. Jadi, kalau kamu memang sudah memutuskan untuk mengganti Sabine dengan Jaka, ya sudah. nggak usah tanya pendapat orang lain," kata Shaun.

"Lho, masa kita nggak bisa bertukar pendapat?" kata Melody.

"Bertukar pendapat dengan tujuan apa. Jika kamu minta pendapat orang lain sebelum kamu membuat keputusan. itu namanya kamu mencari masukan pembanding. Itu oke karena pendapat orang lain mau

kamu pakai sebagai bahan pertimbangan. Tapi kalau sudah kamu putuskan, dan bahkan sudah kamu eksekusi, baru kamu tanya pendapat orang lain, itu namanya kamu hanya mencari dukungan. Kamu ingin mendengar orang lain membenarkan tindakanmu. Dan sebagai pemimpin. sebetulnya itu tidak perlu. Seorang pemimpin harus PD bahwa apa yang dilakukannya sudah pilihan terbaik yang ada."

Melody merapatkan bibirnya. Benar juga apa yang dikatakan Shaun Harman. Dia sudah memutuskan. Dia sudah melaksanakan keputusannya. Kalau tadi dia bisa mengambil keputusan itu sendiri, untuk apa sekarang dia bertanya pada orang lain?

"Jika sekarang kamu minta pendapatku, itu menunjukkan bahwa sesungguhnya kamu sendiri meragukan kebenaran tindakanmu itu." lanjut Shaun.

Kata-kata Shaun ini seperti menuang cuka ke sebuah luka.

"Aku tidak akan melakukan apa yang aku lakukan andaikan dia tidak memojokkan aku!" kata Melody membela dirinya.

"Oke." kata Shaun sambil tersenyum,

"aku tidak ada masalah dengan keputusan yang kamu ambil."

"Kamu tadi bilang. kamu berharap itu keputusan yang benar. Berarti kamu tidak yakin itu keputusan yang benar!"

"Right. Aku tidak yakin itu keputusan yang benar. maksudku yang bijaksana," kata Shaun.

"Shaun, perempuan itu terus-menerus memojokkan aku! Dia terang-terangan memusuhiku. tidak menghormati aku. seakan-akan aku ini idiot yang tidak tahu apa-apa."

"Dan kamu merasa kamu harus membuktikan kepada semua orang bahwa kamu bukan idiot?" tanya Shaun dengan nada menggoda.

"Kamu tahu. orang yang tidak idiot. tidak usah membuktikan kepada orang lain bahwa dia tidak idiot."

"Jadi kamu sekarang bilang aku memang idiot?" tanya Melody marah.

Shaun Harman tertawa.

"Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama dengan Sabine," katanya.

"Kesalahan apa?" tanya Melody.

"Menganggapmu idiot."

"Shaun, jangan bergurau" kata Melody.

"Aku mau menjelaskan! Aku nggak mau dianggap mentangmentang aku anak bos lalu seenaknya aku memecat orang. Masalahnya aku merasa tidak bisa bekerja dengannya lagi, Shaun. Dia arogan. kasar, semaunya sendiri. Hampir semua anak buahnya tidak menyukainya. Hampir semua relasi kita tidak menyukainya. Aku juga tidak menyukainya. Gimana kita bisa bekerja sebagai satu tim kalau ada begitu banyak perasaan tidak senang antara anggota tim?"

"Oke, jadi kamu punya alasan. PD aja kalau begitu," kata Shaun.

"Kamu pikir dia akan mengundurkan diri?" tanya Melody.

Shaun Harman mengangkat bahunya.

"Aku nggak tahu. Dia adalah single parent. Dia harus membesarkan anaknya. Dia butuh pekerjaan dan mencari pekerjaan baru kan tidak gampang."

"Kamu pikir dia mau menjadi bawahan Jaka?" tanya Melody heran.

"Itu merupakan penghinaan besar baginya." kata Shaun tersenyum sumbang.

"Aku sengaja memberinya pilihan itu supaya dia menolaknya. Aku lebih suka dia mundur ketimbang masih di sini," kata Melody.

Shaun menganggukkan kepalanya tanda setuju.

"Tadinya aku lebih suka langsung memecatnya saja. Tapi aku tahu Papa pasti tidak ingin itu. Jadi. untuk menghormati Papa dan mengingat semua jasanya di masa lalu, aku berikan padanya pilihan itu. Papa pernah bilang dulu dia tidak bersikap begini. Dia menjadi begini setelah ditinggal suaminya. Apa benar begitu?" tanya Melody.

"Yah. kirakira begitu. Memang setelah suaminya pergi, dia menjadi lebih cepat tersinggung, lebih cepat marah. Mungkin luka di hatinya itu yang menyebabkan dia begitu."

"Kalau perubahan sikap itu cuma berlangsung duatiga bulan, ya masih bisa ditoleransi. Tapi kalau terusmenerus bertahun-tahun begini. kan nggak lucu lagi," kata Melody.

"Rupanya dia nggak bisa mengatasi kegetirannya sehingga kemarahannya pada suaminya dilampiaskan kepada orang-orang lain di sekitarnya." kata Shaun.

"Kan itu namanya jiwanya sudah terganggu toh? Kalau begitu ya dia sudah nggak pantas lagi menjadi

seorang manajer, apalagi di bagian pemasaran dan penjualan yang merupakan ujung tombak perusahaan."

"Pak Danny nggak pernah menegurnya?" tanya Shaun.

"Ya mungkin pernah, tapi tegurannya kurang keras. Papa takut menyinggung perasaannya."

"Hei, ternyata kamu ada di sini!" kata Danny Lesmana membuka pintu kantor Shaun Harman.

"Nggak pulang?"

"Lagi ngobrol dengan Shaun tentang Sabine," kata Melody.

"Kalau begitu dilanjutkan di rumah aja, yuk. Shaun ikut ke rumah," kara Danny Lesmana.

"Lain kali aja. Pak Danny. Nggak ada yang penting kok," kata Shaun Harman.

"Sudahlah. ayo ikut! Saya juga mau berunding soal pesta," kara Danny.

"Pesta apa, Pap?" tanya Melody.

"Pesta pengangkatanmu." seringai Danny Lesmana.

"Waduh, kok dipestain segala?" tanya Melody.

"Kayak remaja ulang tahun aja."

"Lho, kan Papa harus memperkenalkan penerus Lesmana Corporation kepada semua relasi kita. Sejak kamu bergabung. belum pernah ada perkenalan resmi dengan para relasi," kata Danny Lesmana.

"Ya. betul," seringai Shaun Harman.

"jadi ayo! Kita bicara lebih lanjut di rumah."

**

Sabine Lemar menghapus air matanya, pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Dia sudah menangis lebih dari satu jam, dia sudah capek, lambungnya terasa pegal dari isakannya, mata dan hidungnya terasa panas. Dia benar-benar merasa aus, terkuras, loyo. Tapi sudah saatnya dia menjemput anaknya pulang dari rumah Bu Suci. jadi dia pun terpaksa bangun.

Sabine Lemar mengambil napas dalam-dalam. Dia sudah mengalami semua tahap sakit hatinya.

Emosi pertama yang menyerangnya adalah amarah. Dia merasa tidak terima diperlakukan seperti koran kemarin-yang sudah tak diperlukan lagi dan dilemparkan ke tong sampah. Bagaimana Danny Lesmana bisa mengizinkan hal ini terjadi padanya? Mengapa dia tidak membelanya? Kok tega dia membiarkan anak perempuannya mencampakkannya begitu saja! Kurang ajar! Dadanya serasa terbakar. Begitu marahnya dia sampai seluruh tubuhnya bergetar. Untuk melampiaskan luapan emosinya ini dia membanting apa saja yang ada dalam jangkawannya. Untunglah saat itu anaknya Tara masih di rumah Bu Suci, tetangganya yang punya anak sebaya dengan Tara sehingga sering mengajak Tara bermain bersama anaknya di rumahnya. Andaikan tidak. pasti Tara akan ketakutan melihat amarah ibunya.

Setelah gelombang amarah ini berlalu, muncullah gelombang kekecewaan. Dia menghitung tahun-tahun dia membantu Danny Lesmana mengembangkan usahanya. Lebih dari delapan tahun! Keberhasilan Lesmana Corporation hari ini adalah berkat jasanya!

Sejak dia bergabung di sana, pemasaran dan penjualan produk-produk mereka mengalami peningkatan berlipat ganda. Bukti bahwa suatu perusahaan hanya sesukses kehebatan bagian pemasaran dan penjualannya. Walaupun bisa membuat produk yang bagus, kalau tak bisa menjualnya pastilah juga bangkrut.

Dan di mana rasa terima kasih Danny Lesmana kepadanya hari ini? Tidak ada! Dia justru membiarkan anaknya melemparkannya dari jabatannya! Hah! Itu terima kasihnya! Itu balas jasanya! Dan merasa diperlakukan tidak adil ini membuatnya menangis meraung-mung. Seluruh sakit hatinya ditumpahkan lewat air matanya.

Gelombang emosi ketiga yang datang berikutnya adalah rasa takut. Dia telah kehilangan pekerjaannya, lalu bagaimana kelanjutan hidupnya sekarang? Bagaimana dia bisa membesarkan anaknya? Dia tahu mencari pekerjaan itu sangat sulit, apalagi dengan gaji yang sekarang diterimanya. Dia tidak mampu hidup tanpa bekerja. Rumah yang ditinggalinya ini sekarang masih belum lunas pembayaran kreditnya, belum lagi dia masih harus memperbaiki bagian belakang rumahnya. Itu bakal uang lagi. Setiap bulan ada pengeluaran-pengeluaran tetap yang cukup besar yang harus dibayarnya. Belum lagi dia masih harus menabung untuk biaya pendidikan Tara kelak. Tanpa punya suami yang bisa diandalkan, dia harus menanggung semuanya seorang diri. Kalau sekarang dia tidak punya penghasilan lagi. dengan apa dia bakal membiayai semua itu?

Dari semua gelombang emosi yang menderanya itu. yang terakhir inilah yang paling membuatnya bingung.

Dia tidak boleh kehilangan pekerjaannya! Dia butuh gajinya. Tara butuh gajinya! Jadi apa yang harus dilakukannya?

Tak ada jalan lain baginya kecuali menelan gengsinya. mengakui kekalahannya, membiarkan harga dirinya diinjak-injak Melody Lesmana, dan menerima tawaran gadis kencur itu untuk tetap bekerja di sana di bawah Jaka Herlambang. Si kecoak yang telah mengkhianatinya itu! Itulah satu-satunya pilihan yang ada baginya. Itulah satu-satunya pilihan yang harus diambilnya!

Alangkah memalukannya! Kemarin dia masih atasan Jaka Herlambang. tapi jika dia kembali ke kantornya besok. justru Jaka Herlambang-lah yang menjadi atasannya! Di mana dia harus meletakkan mukanya? Jaka Herlambang yang biasanya ditugasinya macammacam. sekarang bakal duduk di kantornya dan memberinya tugas! Kurang ajar Melody Lesmana! Dia sengaja menempatkan aku di petisi yang memalukan ini! Dia sengaja mau membuatku malu! Dia sengaja merendahkan aku! Dia jahat! Dia kejam! Awas dia! Aku pasti membalasnya! Aku pasti membalasnya!

**

LANGIT cerah. bintang-bintang bertaburan, kerlapkerlip seperti berlian-berlian kecil yang berserakan di atas beludru biru tua. Cuaca sangat ramah malam ini. Angin pun bertiup dengan lembut membuat udara terasa sejuk. Kebun di belakang rumah Danny Lesmana telah dihias sedemikian rupa sehingga tampak sangat cantik. Bunga-bunga anggrek dari segala jenis memenuhi setiap pojok dan setiap meja. Dendrobium berbagai warna dirangkai menjulur dari atap teras belakang, sementara Phalaenopsis putih dan merah muda bercampur Cattleya dan Vanda beraneka nuansa menghiasi teralis-teralis yang dipasang di belakang lima buah meja panjang yang diletakkan di kebun. Di atas kelima meja yang bertaplak putih ini sudah tersedia semua peralatan katering untuk menjamu para tamu. Tinggal menunggu aba-aba dari si tuan rumah saja. maka pelbagai masakan yang telah disediakan pun akan dibawa keluar dari dapur dan

ditata di atas meja-meja panjang itu. Jamuan yang disediakan malam ini betul-betul istimewa. Masakanmasakan yang terkenal dan mewah dari dapur lndonesia, Cina, dan Eropa, masing-masing menempati dua meja panjang. Selain itu dua meja khusus disediakan untuk hidangan penutup, satu meja lagi untuk minuman. Di tengah-tengah ada sebuah meja bulat dan di atasnya telah dijajar hadiah-hadiah kecil yang sudah terbungkus antik dan akan diberikan kepada para tamu sebagai ucapan terima kasih atas kedatangan mereka malam ini.

Pukul tujuh kurang lima menit lampu-lampu sorot yang biasanya menerangi kebun pun dimatikan separo. Sebagai gantinya lilin-lilin di tempat-tempat yang strategis dan di atas semua meja yang tersebar di seluruh kebun pun dinyalakan, membuat suasana terasa hangat dan bersahabat. Musik dari seperangkat yang paling bermutu mengalun lincah, menambah nuansa gembira. Danny Lesmana sengaja memilih musik dari CD ketimbang band hidup. Danny beranggapan musik yang bisa diperolehnya dari albumalbum CD terkenal sudah pasti dimainkan oleh musikus-musikus kaliber dunia yang profesional dengan reputasi internasional. untuk apa dia harus mengambil risiko mengundang band hidup lokal yang performance-nya masih di bawah itu? Lagi pula volume suara hi-fi bisa dikendalikan. dikecilkan atau dibesarkan sesuai keinginan, sedangkan band hidup sering kali suka menyetel laudspeaker mereka keras-keras sehingga mengganggu kenyamanan tamu mengobrol.

Pokoknya untuk pesta ini Danny Lesmana ingin menyajikan yang terbaik bagi tamu-tamunya. Ini bukan sekadar pesta biasa. Ini merupakan simbol penyerahan Lesmana Corporation dari tangannya kepada anaknya!

Pukul tujuh tepat tamu yang pertama melangkah masuk. Dia adalah Jaka Herlambang yang malam ini muncul dengan kemeja batik. Rambutnya jelas menunjukkan bahwa dia sudah sempat mampir ke salon sebelumnya. Malam ini selain merupakan malam pengakuan bagi Melody Lesmana. juga adalah malam pengakuannya. Bukankah dia juga baru diangkat menjadi kepala Pemasaran Lesmana Corporation? jadi dia menganggap saja malam ini juga untuk merayakan pengangkatannya. Karena itu dia merasa malam ini dia harus tampil istimewa.

Harapannya untuk berhasil menjalin hubungan serius dengan Melody lesmana yang memudar sejak dua bulan lalu, meningkat kembali. Sekarang dia sudah punya jabatan manajer dan menikmati semua Fasilitas manajer yang diberikan Lesmana Corporation. Kalau tadinya dia hanya dipinjami mobil perusahaan, sekarang dia mendapat sebuah mobil pribadi yang baru, sama dengan mobil Sabine Lemar. Gajinya juga segera melonjak, menjadi enam digit. sama dengan gaji Sabine Lemar. Dan dia mendapat kantor pribadi Sabine Lemar, ini yang tidak sama dengan nasib Sabine Lemar sekarang. Sekarang statusnya sudah tidak terlalu jauh di bawah Shaun Harman! Dan semua itu berkat Melody Lesmana! Dia bahkan sempat berspekulasi, apakah Melody Lesmana sengaja mengangkatnya menjadi pengganti Sabine Lemar untuk menaikkan kedudukannya agar layak mempersuntingnya? Kenapa tidak?

"Pak Danny!" kata Jaka Herlambang sambil menyeringai lebar segera menghampiri si tuan rumah dan menjabat tangannya.

"Selamat malam. Jaka," kata Danny Lesmana. Ada sesuatu dengan laki-laki ini yang membuat Danny Lesmana kurang bisa memercayainya, tapi dia tidak tahu apa. Apakah sikapnya yang terlalu sopan? Terlalu hormat? Terlalu luwes? Di kamus Danny Lesmana, semua yang "terlalu" itu membuatnya tidak nyaman. Tetapi karena selama ini dia tidak bisa menemukan kesalahan apa-apa pada laki-laki ini. dia berusaha melupakan saja kecurigaannya.

"Selamat malam. Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Jaka sambil tersenyum manis.

"Oh, nggak ada, nggak ada. Malam ini kamu tamu kami. Semuanya sudah ada yang ngatur." kata Danny Lesmana.

"Mau minum apa? Silakan langsung saja "

"Bu Julinda di mana? Saya mau ngasi salam dulu," kata Jaka Herlambang sok akrab dengan istri bos.

"Oh, dia masih di kamar, tapi sebentar lagi akan keluar. Silakan ambil minuman aja dulu," kata Danny Lesmana.

"Selamat malam, Pak"

Danny Lesmana berpaling dan tersenyum melihat sekretarisnya.

"Malam, Nor." katanya.

"Naik taksi atau bawa kendaraan sendiri?"

"Kendaraan sendiri, Pak. Ngapain naik taksi, harus bayar lagi," kata Norma Tanjung sambil tertawa.

"Pulangnya nanti biar diikuti Pak Bob. malam-malam jangan nyetir sendirian," kata Danny Lesmana. Danny Lesmana cukup sayang kepada sekretarisnya ini yang telah melayaninya selama 15 tahun dengan baik.

"Wee! Nggak apa-apa, Pak. Saya sudah biasa nyetir sendiri malam-malam," kata Norma Tanjung.

"Apa yang masih perlu dikerjakan. Pak?"

Danny Lesmana tertawa.

"Nggak ada! Ini bukan di kantor. Malam ini kalian semua adalah tamu. bukan karyawan. Enjoy yourself," kata Danny Lesmana sambil menepuk-nepuk bahu Jaka Herlambang di sampingnya.

Belum lagi mereka sempat berbicara lebih banyak, masuklah tamu-tamu yang lain. Pesta telah dimulai.

Di antara para tamu yang sedang mengobrol dan menikmati hidangan yang digelar. Melody Lesmana melihat Jaka Herlambang sedang berbicara dengan Rahayu lbrahim, yang malam ini datang bersama adiknya Rahadian. Melody memang sengaja mengundang teman lamanya itu walaupun dia bukan relasi Lesmana Corporation.

Melody pun menghampiri mereka. Karena banyaknya tamu yang harus disambutnya, sejak tadi dia belum ada kesempatan untuk mengobrol dengan Rahayu.

"Wah, sori ya. baru sekarang aku sempat mencarimu," kata Melody.

"Nggak apa-apa. Aku kan bukan tamu." kata Rahayu. Entah apa yang dimaksudnya dengan kalimat itu.

"Ofcourse kamu tamu!" kata Melody.

"Kamu justru satu-satunya tamu yang terpenting karena kamu adalah teman pribadiku dan bukan relasi perusahaan."

"Selamat, ya," kata Rahayu mengulurkan tangannya.

"Ibu Direktur."

"Hus! Aku bukan Ibu Direktur. Aku cuma wakil Papa," senyum Melody.

"Ya, tapi tak lama lagi kan jadi Ibu Direktur." gelak jaka Herlambang.

"Amin," senyum Melody.

"Wah, kamu tahu. Yu. ini lho Jaka Herlambang. yang temannya berhasil menemukan kamu di Jakarta," katanya kepada Rahayu.

"Ya. Tadi Rahadian sudah memperkenalkan kami," kata Rahayu.

"Lho, iya, mana Rahadian?" tanya Melody sambil matanya mencari-cari di antara para tamu.

"Entah ke mana tadi. Mau ambil kue. katanya." kata Rahayu.

"Dan kalian nggak makan?" tanya Melody melihat kedua tamunya ini tidak memegang piring.

"Sudah, sudah." kata Rahayu.

"Kok cepat?"

"Kamu sendiri nggak makan," kata Rahayu.

"Dari tadi aku lihat kamu sibuk terus."

"Iya, sekarang ini mau makan. Yuk, nemeni aku makan lagi." kata Melody.

"Enggaklah, aku nggak mau jadi gemuk," kata Rahayu.

"Nih, biar si Jaka ini aja yang nemeni kamu makan."

"Oke." kata Jaka,

"kayaknya masih ada tempat di perutku." Dia merasa tersanjung diajak menemani Melody makan. Sepanjang malam ini dia sudah merasa agak dikesampingkan karena Danny Lesmana sama sekali tidak memberinya perhatian sementara Melody juga sibuk melayani para relasi perusahaan.

"Ayo, Yu. Ambil buahnya aja kalau nggak mau makan lagi," kata Melody menarik tangan temannya.

Hidangan yang tersedia sekarang tersisa hanya seperempatnya. Para tamu semuanya sudah makan. Melody mengambil sebuah piring dan memilih beberapa jenis makanan dari meja yang tengah sementara Jaka dan Rahayu ke meja buah-buah dan kue-kue penutup.

"Kok dikit amat makannya?"

Melody berpaling dan mendapati Shaun Harman di belakangnya. juga sedang memegang sebuah piring yang kosong.

"Lho, kamu belum makan juga?" tanya Melody.

"Iya. nggak sempet. Dari tadi diajak ngomong Pak Glen terus. Dia tanya urusan pajak," kata Shaun.

"Pak Glen juga belum makan?"

"Oh, dia sih sudah, diambilkan istrinya." kata Shaun Harman.

"Makanya, cepat punya istri," goda Melody,

"supaya ada yang ngambilkan makan."

Shaun Harman hanya menyeringai.

"Sabine tidak datang," katanya.

"Apa dia bilang padamu?"

"No. Sejak dia mengatakan dia bersedia menerima menjadi bawahan Jaka, aku nggak pernah bicara lagi dengannya," kata Melody.

"Apa dia diundang malam ini?" tanya Shaun.

"Diundang."

"Apa Jaka bilang kepadamu bahwa Sabine tidak akan hadir?"

Melody menggelengkan kepalanya.

"Mungkin dia juga nggak ngomong sama jaka," katanya.

"Aku nggak tanya sih sama jaka. Bagiku dia mau datang kek, mau enggak kek, nggak jadi masalah."

"Tadinya aku nggak menduga dia bakal menerima menjadi bawahan Jaka," kata Shaun.

"Aku bayangkan dia akan mengundurkan diri."

"Aku juga. Tapi betul katamu, mungkin dia berpikir mencari pekerjaan dengan gaji yang diterimanya sekarang tidak mudah. Dan karena dia masih tetap bisa menikmati semua fasilitasnya, menerima menjadi bawahan Jaka masih menguntungkan baginya.

"Tanggung jawabnya menjadi lebih kecil tapi gaji dan semua fasilitas tidak berkurang. Kan sebetulnya dia yang untung?" kata Melody.

"Secara finansial dia memang tidak rugi, tapi secara mental ini merupakan pukulan besar baginya," kata

Shaun. 'Dan ini seperti menyimpan api dalam sekam."

"I know. Kalau bukannya aku merespek kemauan Papa, aku akan memilih opsi memecatnya saja dengan memberinya uang pemutusan hubungan kerja yang memadai," kata Melody.

"Mudah-mudahan ini hanya sementara. Aku berharap dia mulai melamar pekerjaan di tempat lain dan aku doakan dia berhasil mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga dia mau pindah."

"Melody!"

Baik Melody maupun Shaun sama-sama berpaling mendengar panggilan yang mendentum ini. Ternyata di belakang mereka telah berdiri Pak Mariadi, salah seorang pelanggan Lesmana Corporation yang tertua.

"Wah, kalian baru makan. atau lagi nambah?" tanya Pak Mariadi dengan ramah.

"Baru makan, Pak," jawab Melody.

"Sate kambingnya enak banget lho." kata Pak Mariadi.

"itu daging lada hitamnya juga. Nggak nyoba gulainya?"

"Iya, Pak. satu-satu," gelak Melody.

"Pak Mariadi sudah mencoba semuanya?"

"Iya. padahal mestinya nggak boleh lho. Kolesterol saya tinggi, tekanan darah saya tinggi, tapi ada begini banyak makanan yang enak-enak masa dilewatkan," kata Mariadi.

"Aduh. saya merasa berdosa kalau nanti kolesterol dan tekanan darah Bapak naik." kata Melody.

"Mestinya makan aneka sayur tumis dan salad aja, Pak. Kan juga tersedia makanan vegetaris di setiap meja."

"Makan sayur sudah setiap hari di rumah," kata Mariadi.

"Masa dijamu begini makan sayur lagi. Sekali-sekali melanggar puasa nggak apa-apalah."

"Kalau begitu jangan lupa minum obatnya lho, Pak," kata Melody.

"Iya, sudah," kata Mariadi.

"Saya senang sekali Melody sekarang yang menjalankan Lesmana Corporation. Ada suntikan darah baru, bukan? Apalagi setelah Bu Sabine tidak di marketing lagi. Semuanya jadi lebih lancar."

"Syukurlah Pak Mariadi berpendapat begitu," kata Melody.

"Malam ini saya nggak melihat Bu Sabine di sini," kata Mariadi sambil berbisik.

"Saya juga. Sepertinya dia nggak datang," kata Melody.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mariadi tertawa terkekeh.

"Tapi dia masih bekerja di Lesmana Corporation?" tanyanya.

"Iya, Pak. Dia masih di Bagian Pemasaran, tapi ngerjain statistik," kata Melody.

"Berani turun pangkat, ya?" bisik Mariadi.

"Ya, dia nggak lagi bertanggung jawab atas Bagian Pemasaran dan Penjualan," jawab Melody sambil tersenyum.

"Orangnya itu lho, terlalu kaku," kata Mariadi.

Melody hanya tersenyum. Dia tidak berniat menggosip tentang karyawannya dengan relasi perusahaan. Mencuci pakaian kotor di hadapan orang lain hanya akan merugikan reputasinya sendiri.

"Yang bersama Jaka itu istrinya?" tanya Mariadi menunjuk ke arah jaka dan Rahayu yang sedang berbincang-bincang di dekat meja buah.

"Oh, Jaka masih single kok. Pak," kata Melody.

"Yang bersamanya itu teman saya."

"Oh, ya? Temannya masih single juga?" tanya Mariadi.

"Single. Pak."

"Kalau begitu kenalin saya, Mel," kata Mariadi.

Shaun Harman langsung tertawa.

"Wah, Pak Mariadi langsung to the point!" katanya.

"Kalau sudah seumur saya, jangan buang-buang waktu untuk basa-basi lagi. Setiap detik yang lewat itu berharga lho!" kata Mariadi yang sudah sebaya ayah Melody.

"Kenalan aja kan nggak apa-apa. wong nggak ngapa-ngapain kok. Ketimbang ngobrol sama yang tua-tua kan mendingan ngobrol sama cewek cantik, iya nggak?"

"Ayo. kalau begitu, saya perkenalkan," kata Melody sambil tertawa.

"Mumpung Ibu nggak ikut ya, Pak?"

* * *

"Terima kasih untuk undangannya malam ini, Pak Danny, Bu Juli." kata Jaka Herlambang. Dia dan Shaun Harman merupakan tamu-tamu yang terakhir pamit pulang.

"Terima kasih atas kedatanganmu." balas Danny Lesmana yang berdiri di pintu bersama istrinya.

"Terima kasih." angguk Julinda.

Shaun Harman yang berdiri di belakang Jaka pun mengulurkan tangannya kepada si tuan rumah, tapi Danny Lesmana tidak menyambutnya.

"O, Shaun, ada sedikit yang perlu kita bicarakan. Kamu bisa nunggu sebentar?" kata si tuan rumah.

"0, ya, ya," kata Shaun.

Danny Lesmana pun memutar tubuhnya dan membawa Shaun kembali masuk ke dalam.

Jaka Herlambang yang masih berdiri di teras mengerutkan keningnya. Mengapa bosnya mengajak bicara Shaun dan tidak mengikutsertakan dirinya? Apa yang kira-kira akan mereka bicarakan sekarang, yang tidak bisa menunggu sampai di kantor Senin? Tapi karena dia tidak diajak dan sudah pamit, tak ada yang bisa diperbuatnya selain melanjutkan langkahnya menuruni teras menuju ke mobilnya.

Di dalam rumah tampak petugas katering dan para pembantu membersihkan bekas-bekas pesta dan mengembaiikan perabotan ke tempatnya semula.

"Mas, aku ke dalam dulu." pamit Julinda yang tahu diri memberi suaminya kebebasan berbincang sendiri dengan tamunya.

"Mana Melody?" tanya Danny.

"Tadi aku lihat dia bersama Lisa sedang mengumpulkan anggrek-anggrek," kata Julinda.

"Kalau begitu, yuk kita ke kebun," kata Danny kepada Shaun Harman.

Shaun pun mengikuti tuan rumahnya ke kebun belakang lagi.

Danny menunjuk ke kursi-kursi kebunnya, lalu dia sendiri pun duduk. Beberapa petugas masih sibuk lalu-lalang mengangkat piring-piring dan peralatan makan lainnya, dan melipat semua taplak serta mejameja yang dipakai untuk pesta tadi. Melody dan Lisa tak tampak di sana lagi.

"Mau minum, Shaun?" tanya Danny.

"Ada kopi."

"Wah, enggak, Pak. Sudah kenyang. terima kasih," kata Shaun.

"Begini, Shaun, saya bicara blak-blakan aja," kata Danny Lesmana.

"Kamu nggak keberatan, kan?"

"Silakan, Pak." Ekspresi wajah Shaun Harman yang tadi rileks segera berubah serius. Wah, ada urusan apa ini yang sedemikian pentingnya sehingga tidak bisa menunggu sampai Senin di kantor?

"Ini tentang Melody," kata Danny Lesmana yang sebelumnya sudah tolah-toleh untuk memastikan anaknya tidak berada di sekitarnya.

Shaun Harman tidak berkata apa-apa. Hanya tatapannya saja yang menunjukkan bahwa dia masih menunggu kelanjutan kata-kata si tuan rumah.

"Saya nggak senang Jaka terlalu dekat dengannya.," kata Danny Lesmana.

Shaun Harman mengangkat alisnya. Ini bukan pembicaraan yang diharapkan olehnya.

"Bukan karena saya nggak senang dengan Jaka atau apa, tapi saya nggak ingin melihat mereka punya hubungan lain di luar urusan kerja," lanjut Danny Lesmana.

Shaun Harman menganggukkan kepalanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa, jadi dia diam saja.

"Saya lihat si jaka itu rupanya cukup gencar berusaha mendekati Melody. Dan di sinilah saya butuh bantuanmu, Shaun."

"Maksud Pak Danny, saya disuruh memberitahu Jaka supaya mundur begitu?" tanya Shaun sambil mengerutkan keningnya.

"Kamu pikir itu langkah yang terbaik?" tanya Danny Lesmana.

"E... sebetulnya kalau bisa ya saya nggak terlibat dalam hal ini, Pak. Soal ini kan bukan masalah pekerjaan. jadi saya..."

Danny Lesmana mengangguk.

"Menurut saya itu juga bukan langkah yang terbaik," katanya.

"Maksud saya, saya mau kamu yang intervensi sehingga Jaka tidak bisa mendekati Melody."

"Intervensi gimana, Pak?" tanya Shaun Harman.

"Misalnya, kalau waktu makan bersama, saya mau kamu duduk di sebelah Melody. Melody kan selalu duduk di samping saya, lha kamu yang duduk di samping Melody juga supaya Jaka tidak bisa duduk di sana," kata Danny Lesmana.

Shaun Harman sedikit tercengang tapi dia menganggukkan kepalanya.

"Kalau saya pulang duluan, atau Pak Bob sedang saya pakai, saya harus minta kamu yang mengantarkan

193

Melody pulang. Saya nggak mau Melody diantarkan jaka."

"Kalau Melody mau, Pak. Misalnya dia mau diantarkan Jaka?" tanya Shaun.

"Jangan beri Jaka kesempatan untuk menawarkan mengantar Melody pulang."

"Apa nggak lebih enak Pak Danny ngomong aja sama Melody tentang hal ini?" kata Shaun yang lamalama merasa dia telah ditempatkan di posisi yang tidak enak.

"Saya sudah pernah ngomong sama Melody. dan dia sudah nggak pergi berduaan lagi dengan Jaka. tapi saya khawatir setelah Jaka sekarang diangkat menjadi manajer, dia lebih gencar lagi mengejar Melody. Saya nggak mau itu terjadi."

Shaun Harman merenung sambil menggosok-gosok telapak tangannya. Di satu pihak yang bicara ini bosnya yang memberinya tugas di luar urusan pekerjaan, di pihak lain dia merasa seolah-olah dia disuruh bertarung melawan Jaka untuk melindungi Melody.

"Shaun, terus terang saya tidak mau suatu saat Jaka menjadi menantu saya," bisik Danny Lesmana.

Shaun mengangguk. Memangnya mau menjawab apa, coba?

"Baiklah, Pak. Saya akan berusaha menjauhkan jaka dari Melody," katanya.

"Jangan hanya berusaha, Shaun. Harus berhasil!" kata Danny Lesmana.

"Ya. Pak." angguk Shaun Harman dengan patuh.

"Ssst, Melody sedang menuju kemari. Jangan menoleh, bilang saja kita sedang membicarakan masalah pajak," kata Danny Lesmana.

Dua detik berlalu, sebelum mereka mendengar suara Melody.

"Hei, apa yang dibicarakan kok serius banget?" tanyanya dengan nada riang.

"Oh, enggak, cuma masalah pajak," kata Shaun Harman mengikuti petunjuk bosnya.

"Wah, malam Minggu kok bicara soal pajak. masih ada banyak es krim lho, mau ya?" tawar Melody.

"Iya, iya, Papa juga mau," kata Danny Lesmana.

"Sudah malam, Pak, saya pamit aja," kara Shaun Harman.

"Besok kan libur, bisa tidur sampai siang. Sekarang makan es krim dulu. Malam begini indah jangan disia-siakan. Ayo, Mel, mana es krimnya?" kata Danny Lesmana.

Melody tertawa lalu segera menuju ke dapur.

"Dia anak yang baik," kata Danny Lesmana.

"Ternyata lebih dari apa yang pernah saya harapkan."

Shaun Harman hanya mengangguk. Tidak tahu harus bilang apa.

"Saya ingin dia mendapat jodoh yang baik," kata Danny Lesmana.

"Seorang seperti kamu," tambahnya sambil memandang Shaun Harman dengan tajam.

Shaun Harman kaget. tapi dia cukup bisa menahan dirinya sehingga tak sampai memberikan respons yang memalukan.

"Yuhuuu!" seru Melody dari jarak enam meter.

"Es

krim sudah datang!" Dia membawa sebuah nampan dan di atasnya tampak tiga buah mangkuk berisi es krim ditambah sebuah container es krim dan sebotol Bailey.

"Nah. gitu!" kata Danny Lesmana.

"Ini baru namanya menikmati malam Minggu. Apalagi tadi makan cuma sedikit. Ntar nggak bisa tidur."

"Papa cuma makan sedikit?" tanya Melody.

"Iya. Papa tuh tadi mau makan sate kambing, tapi Tante Juli melirik terus, ya sudahlah. nggak jadi ambil daripada nanti semalaman diomelin," kata Danny Lesmana mulai makan es krim cokelatnya.

"Tante juli kan bermaksud baik, supaya tekanan darah Papa nggak naik," kata Melody.

"Ngomong-ngomong, di mana dia?" tanya Danny Lesmana.

"Tadi masih di dapur sama Lisa, tapi sudah selesai kok. Kira-kira sekarang sudah masuk ke dalam," kata Melody.

Danny Lesmana cepat-cepat menghabiskan es krimnya, lalu berkata,

"Sebaiknya Papa mengikutinya. Kasihan dia semalaman merasa tak diacuhkan karena Papa sibuk sendiri dengan para tamu."

"Ah, pasti Tante juga ngerti. Pap," kata Melody.

"Kan memang malam ini banyak tamu."

"Kalian habiskan aja es krim itu," kata Danny Lesmana sambil berdiri.

"Nggak usah cepat cepat pulang, Shaun, kami di sini kalau tidur malam kok. Ngobrol aja dengan Melody." Lalu dia meletakkan mangkuknya di meja dan bergegas masuk ke dalam.

"Eh, betul Papa lho, Shaun, yuk es krim ini dihabiskan, kan nggak bisa disimpan lagi," kata Melody,

"tapi harus cepat-cepat sebab sudah mulai meleleh."

"Ditambah Bailey memang lebih enak," kata Shaun.

"Tadi kok aku nggak melihat ada Bailey ini?"

"Memang ini koleksi pribadiku, yang disimpan di lemari es." kata Melody.

"Nggak disuguhkan pada tamu."

"Wah. kalau begitu aku sudah lancang makan barang pribadimu."

"Sekarang memang aku suguhkan. Makanya makan yang banyak. Lain kali kamu mungkin nggak seuntung ini. Nih, semuanya untuk kamu ya?" kata Melody menunjuk container es krim.

"Astaga! Mana muat perutku!" protes Shaun.

"Nggak banyak kok ini sisanya." kata Melody membuka tutup container: "Paling juga cuma sisa tigaempat swap."

"Ya buat kamu tiga swap, buat aku satu aja," kata Shaun.

"E., terbalik itu. Kamu yang tiga swap, kan kamu yang laki-laki," kekeh Melody.

"Aku kan takut gendut."

"Biar kamu makan satu liter es krim juga nggak bakalan gendut." kata Shaun.

"Menurut kamu, aku terlalu kurus?" tanya Melody.

"Sekian sudah pas, kan kamu masih muda. Ntar kalau udah kawin, udah punya anak, pasti jadi lebih

gemuk. Jadi kalau sekarang agak kurus lebih baik supaya besok nggak gendut gendut amat," kata Shaun.

"Memangnya kamu nggak suka perempuan gendut?" kekeh Melody.

"Enak lho, empuk, bisa dibuat bantal."

"Kalau perlu bantal, ya beli bantal aja," kata Shaun.

Mereka tertawa, makan es krim, ngobrol, makan es krim lagi, tanpa terasa es krimnya habis, dan malam semakin larut.

**

'KALIAN yakin tidak mau mengadakan pesta untuk merayakan pernikahan kalian?" tanya Danny Lesmana sambil mengerutkan keningnya.

"Iya, Pap, Shaun dan aku memilih menikah tamasya saja," kata Melody.

"Kamu kan anak sulung Papa, Mel. Masa anak sulungnya menikah nggak dirayakan? Papa bakal ditertawakan teman-teman Papa! Disangka pelit," kata Danny Lesmana.

"Kenapa Papa harus bingung dengan apa yang dipikir orang? Yang penting kan kita melakukan apa yang kita mau," kata Melody.

"Shaun, gimana ini? Kenapa kalian tidak mau menikah seperti lazimnya orang-orang lain? Tamasyanya tetap bisa kalian lakukan setelah pesta," kata Danny Lesmana.

"Aku terserah Melody aja, Oom," kata Shaun Harman.

"Orangtuaku sudah tidak ada, jadi buat aku

nggak ada keharusan untuk mengadakan pesta. Dan karena kami toh akan ke Australia selama berbulan madu, kakakku bisa bertemu dengan Melody saat itu."

Danny Lesmana melemparkan kedua tangannya ke atas.

"Gimana ini! Masa sama sekali nggak mau dipestakan? Pesta kecil aja sudah, macam 800 undangan gitu," katanya.

"800 undangan itu bukan pesta kecil, Pap!" kata Melody dengan mata lebar.

"Ya itu sudah yang paling kecil, kan kenalan kita banyak." kata Danny Lesmana.

"Justru itulah. Pap. Kalau bikin pesta, semua harus diundang, 4.000 undangan nggak cukup. Kalau dipilih cuma 800 orang, yang nggak diundang nanti sakit hati. Sudah mending semuanya nggak usah diundang, nggak ada yang merasa tidak dihargai." kata Melody.

"Gimana kalau kita buat aja acara kecil di kantor seperti waktu merayakan ulang tahun perusahaan." usul Shaun Harman.

"Hanya untuk intern Lesmana Corporation."

" a good idea." kata Melody.

"Ya, aku rasa itu cukup. jadi semua karyawan akan merasa mereka lebih dihargai dan diperhitungkan."

"Diadakan di mana?" tanya Danny Lesmana.

"Ya di tempat parkir dan halaman samping seperti yang biasa kita lakukan setiap tahun." kata Shaun Harman.

"Pasang terop di sana."

"Tapi ulang tahun perusahaan akan kita rayakan

bulan depan. Masa bulan sepuluh kita membuat acara yang sama lagi?" kata Danny Lesmana.

"Sebaiknya acara itu diadakan sekembali kita dari bulan madu aja, ya, Shaun?" tanya Melody.

"Ya. Itu lebih baik," kata Shaun.

"Waduh, masa seperti perayaan di kampung aja, Shaun, pasang terop di halaman parkir pabrik! Kalau mau ya kita sewa gedung yang bagus." kata Danny Lesmana.

"Gimana kalau diadakan di rumah Papa saja?" kata Melody.

"Rumah Papa cukup besar untuk menampung semua karyawan. Untuk wedding party kan tidak butuh tempat yang terlalu luas. Lagian kalau di rumah kan lebih bersifat kekeluargaan."

Danny Lesmana mengembuskan napas panjang.

"Oke, untuk karyawan diadakan di rumah tidak masalah, tapi untuk kenalan kita gimana? Masa sama sekali tidak mengundang mereka?" katanya.

"Pap, besok kalau Mark kawin. Papa boleh bikin peSta besar tiga hari tiga malam." kata Melody.

"Untuk aku. enggak usah sajalah."

"Shaun, tidak ada kemungkinan kamu bisa mengubah pikirannya?" tanya Danny Lesmana.

"Kebetulan aku sependapat dengan Melody, Oom, jadi aku justru mendukung keinginannya," jawab Shaun sambil tersenyum.

"Ya sudah kalau begitu. Papa yang mengalah. Zaman sekarang ini malah orangtua yang mengalah sama anak, coba toh'. Zaman Papa muda dulu, Papa yang nurut sama orangtua," gerutu Danny Lesmana.

ll

"Zaman sekarang generasi yang muda itu lebih cepat mengikuti perkembangan, Pap." kata Melody.

"Kan waktu Papa muda dulu nggak ada TV, nggak ada komputer, teknologi masih lamban jalannya, jadi semua perkembangan juga lamban."

"Apa kaitannya teknologi dengan pesta kawin?" tanya Danny Lesmana.

"Lho, sekarang kita bisa lihat di TV. di mana mana banyak bencana, banyak orang kelaparan, banyak orang yang susah, masa kita mau menggelar pesta seolah-olah nggak ikut prihatin dengan penderitaan orang lain?" kata Melody.

"Aku kok merasa malu gitu lho, Pap."

"Lho. nasib setiap orang kan nggak sama, Mel. Ada orang yang diberi hidup susah, ada yang diberi kelonggaran menikmati hidup yang lebih enak. Kita kebetulan diberi hidup yang enak. masa kita tidak boleh menikmatinya karena ada orang lain yang hidupnya susah?" kata Danny Lesmana.

"Hidup kita enak kan bukan dari merampas hak mereka? Kita nggak makan uang mereka, kita nggak menipu mereka. Ya memang kita diberi lebih oleh Yang Mahakuasa. Kan bukan salah kita kalau mereka hidupnya susah?"

"Iya, memang bukan salah kita mereka susah, Pap. cuma aku merasa nggak enak kok kita pamer harta sementara ada banyak orang lain yang kekurangan di sekitar kita," kau Melody.

"Banyak orang sekarang ini mau makan kenyang tiga kali sehari aja nggak mampu, aku merasa nggak enak kalau kita bikin pesta dengan makanan berkelimpahan."

"Oke, kalau itu keputusan kalian," kata Danny Lesmana mengangkat kedua tangannya.

"Jadi kalian hanya mau upacara pernikahan di gereja, lalu disahkan oleh Pencatatan Sipil?"

"Iya, Pap."

"Dan di gereja juga tidak mengundang siapa-siapa?" tanya Danny Lesmana.

"Hanya keluarga sendiri, Pap. Keluarga kita dan keluarga Shaun. Onm-Tante-nya."

"Tapi masih dengan gaun pengantin, kan?" tanya Danny Lesmana waswas.

Melody tertawa.

"Masih dengan gaun pengantin. Pap," katanya.

"Lha kalau sudah pakai gaun pengantin tapi tidak ada yang diundang. untuk apa?" tanya Danny Lesmana masih berusaha menaklukkan Melody.

"Aku pakai gaun pengantin kan bukan untuk dilihat tamu, Pap. kan untuk Shaun dan aku sendiri. untuk keindahan hari perkawinan kami. Nggak ada kaitannya dengan orang lain."

"Lho, orang bikin gaun pengantin yang mahal harganya kalau tidak untuk dilihat orang lain, lalu untuk apa?" kata Danny Lesmana.

"Siapa bilang aku bakal bikin gaun pengantin yang mahal.Aku akan memesan gaun yang indah tapi tidak mahal, Pap. Dan aku tidak mau kue pengantin yang gede. yang seperti istana atau apa yang dipasangi segala macam lampu. yang hanya bisa dilihat tapi tidak bisa dimakan. Aku cuma mau kue pengantin biasa, yang akan bisa kami iris semuanya dan bagi-bagikan kepada keluarga sebagai tanda ikatan kedua keluarga kita."

"itu sudah kuno. Mel! Itu waktu Papa dan mamamu menikah dulu, begitu. Kalau sekarang kamu masih mau seperti itu, kamu akan ditertawakan orang," kata Danny.

"Memangnya siapa yang akan tertawa? Kan nggak ada yang diundang selain keluarga sendiri? Memangnya keluarga sendiri akan tertawa? Ya nggak apa-apa. biar lebih gembira banyak yang tertawa," kata Melody.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Danny Lesmana menepuk-nepuk jidatnya.

"Kalau mamamu masih hidup. dia pasti nggak akan setuju dengan rencanamu ini, Mel," katanya mengeluarkan jurus pamungkasnya.

"Mama pasti setuju. Yang penting kan bukan pestanya. Pap. Yang penting itu upacara pernikahannya dan pengesahannya," kata Melody bergeming.

"Oke, kalau memang kalian mau begitu." kata Danny Lesmana.

"Apa kalian sudah menentukan tanggalnya?"

"Sudah, Oom," kata Shaun Harman sambil tersenyum.

"Bulan Oktober tanggal 12."

"Oktober 12? Hari apa itu?"

"Sabtu."

Danny Lesmana pun mengangguk.

"Oke, kalau memang kalian mau mengaturnya demikian, Papa tinggal menyetujui aja," kata Danny Lesmana.

**

sudah agak lama Sabine Lemar tidak masuk Ke kantor Shaun Harman, tapi sore ini tiba-tiba dia muncul. Sejak dia menerima keputusan Melody untuk diturunkan jabatannya menjadi anak buah Jaka Herlambang, perubahan besar telah terjadi pada dirinya. Dia tidak lagi bersikap sok kuasa. Dia justru menjadi sangat pendiam, nyaris tak pernah bicara dengan siapa pun kecuali memang sangat perlu. Dia duduk di meja yang bekas ditempati Melody sewaktu Melody masih magang di Bagian Pemasaran, dan sepanjang hari jika dia ada di kantor, dia hanya bekerja dengan komputernya. Saat jam istirahat, dia tak pernah lagi makan bersama para eksekutif yang lain, karena walaupun dia tetap menerima gaji kelas manajer, secara hierarki sekarang dia sudah bukan seorang manajer lagi, bahkan juga bukan wakil kepala seperti halnya Jaka dulu. Dia tidak menampakkan dirinya di kantin perusahaan untuk makan bersama karyawan lainnya. Dia memilih untuk makan di luar saja walaupun untuk itu dia harus membayar dari dompetnya sendiri. Tapi baginya lebih baik rugi duit sedikit daripada korban perasaan.

Perubahan ini membuat beberapa orang merasa iba padanya, di antaranya Danny Lesmana, Shaun Harman, Norma Tanjung. dan juga Jaka Herlambang. Dari waktu ke waktu mereka mengajaknya bicara bilamana berpapasan di koridor, atau bilamana mereka lewat di depan mejanya, tapi Sabine Lemar selalu

menjaga jaraknya, dan menjawab hanya bilamana diperlukan. Dia lebih banyak hanya mengangguk atau menggelengkan kepalanya saja sebagai tanggapan atas komentar atau pertanyaan-pertanyaan mereka. Karena itulah Shaun Harman merasa agak heran ketika sore ini Sabine Lemar masuk ke kantornya.

"Can we talk?" tanya Sabine. Tak ada senyuman di wajahnya.

".Sure," kata Shaun menunjuk ke kursi di depan mejanya.

Sabine Lemar pun duduk. Kedua tangannya diletakkannya di atas pangkuannya.

"Ada masalah?" tanya Shaun mengerutkan keningnya.

"Apa kamu akan menikah dengan Melody?" tanya Sabine Lemar memandang tajam ke Shaun Harman.

"Siapa bilang?" tanya Shaun balik.

"Aku dengar Pak Danny bicara dengan Melody di depan kantor mereka."

Selama ini Shaun dan Melody selalu merahasiakan hubungan mereka dari karyawan-karyawan yang lain. Di kantor mereka bersikap seolah-olah tak ada apaapa di antara mereka. Setiap hari Melody berangkat dan pulang bersama ayahnya, sehingga tak ada yang melihatnya berduaan bersama Shaun. Memang baik Melody maupun Shaun menghendaki hal ini karena tadinya mereka sama-sama belum yakin dengan hubungan mereka sehingga mereka tak ingin memublikasikannya.

"Apa kata mereka?" tanya Shaun.

"Mereka membicarakan rencana perkawinan dan aku dengar namamu."

"Oh. Oke, memang ya." kata Shaun sambil tersenyum.

Dahi Sabine Lemar mengerut.

"Jadi kamu sungguh akan menikah dengan Melody?" tanyanya dengan nada tidak percaya.

"Ya." kata Shaun.

"Kenapa?"

"Kamu kok nggak pernah bilang? Aku nggak tahu kalau kamu pacaran dengannya," kata Sabine.

Shaun Harman tersenyum.

"Memang kami mau merahasiakan hubungan kami dulu," katanya.

"Tapi karena dua bulan lagi kami akan menikah, ya nggak apa-apalah hubungan ini diketahui sekarang."

"Dua bulan lagi? Jadi Oktober? Kamu akan menikah dengannya Oktober?" Sabine lebih kaget lagi.

"Ya."

"Kok mendadak sekali! Kenapa?" tanya Sabine.

"Kami anggap waktunya pas," kata Shaun.

"Maksudku, sudah berapa lama kamu pacaran dengannya?"

"Masa pacaran yang lama juga nggak menjamin pernikahan yang sukses. Aku bicara dari pengalaman." kata Shaun.

"Kami merasa sudah siap untuk menikah. orangtua Melody juga setuju kami segera menikah, jadi ya kami laksanakan nanti Oktober," tambahnya.

Untuk beberapa saat lamanya Sabine Lemar tidak berkata-kata. dia duduk saja mematung. Sebelum Shaun Harman tahu harus berkata apa lagi, Sabine

mengangkat tangan kanannya dan mengusap matanya. Shaun sempat melihat air matanya.

"Ada apa?" tanya Shaun heran.

Sabine hanya menggelengkan kepalanya, lalu berdiri dan tanpa berkata apa-apa lagi dia pun meninggalkan kantor Shaun.

Shaun hanya memandang kepergiannya dengan bengong.

Sabine Lemar tidak kembali ke mejanya, melainkan terus menuju ke kamar kecil. Di sana di balik pintu yang tertutup. dia pun menangis. Jadi tamatlah kesempatannya untuk menjalin hubungan pribadi dengan Shaun Harman. Selama tiga setengah bulan yang terakhir ini dia memang jarang bicara dengan Shaun karena dia terlalu sibuk dengan sakit hatinya sendiri akibat diturunkan pangkatnya oleh Melody. Justru dalam tiga setengah bulan itulah Melody Lesmana telah merebut Shaun darinya! Hatinya segera mendesir menyadari hal ini, seperti tersayat sembilu. Melody Lesmana! Lagi-lagi Melody Lesmana! Gadis itu tidak saja telah merampas kedudukannya, tapi sekarang dia juga merampas Shaun darinya! No! No! Kenapa hal ini bisa terjadi? Kenapa gadis ini diizinkan merampas semua yang menjadi miliknya? Itu tidak adil! Itu tidak adil! Dia tak pernah berbuat apa-apa yang merugikan Melody Lesmana, tapi kenapa Melody Lesmana terus-menerus merugikan dirinya? Dia tidak terima!

Tidak! Dia jelas tidak terima! Memangnya hanya Melody Lesmana yang bisa berbuat jahat? Memangnya dia tidak bisa berbuat jahat juga? Tidak! Dia tidak akan membiarkan Melody lolos dengan perbuatannya ini! Dia akan membuat Melody membayar! Ya, dia akan membuat Melody membayar mahal untuk semua kerugiannya!

Saat Sabine Lemar membawa primata statistiknya ke meja Jaka Herlambang, dia berkata,

"Aku kira Melody itu pacarmu. tapi kok sekarang dia akan menikah dengan Shaun."

jaka Herlambang yang sedang menundukkan kepalanya ketika Sabine masuk, langsung menengadah.

"Apa?" tanyanya mengira dia aalah dengar.

"Oh. belum dengar? Melody Lesmana akan menikah dengan Shaun Harman bulan Oktober," kata Sabine Lemar.

"Siapa bilang?" Jaka Herlambang memberikan aksi yang sama seperti Shaun Harman. hanya saja nada Jaka nada terkejut sedangkan nada Shaun tadi hanya nada tanya biasa.

"Tanyalah sendiri kepadanya kalau tidak percaya," kata Sabine yang lalu menutup pintu kantor Jaka dan berlalu dari sana.

Jaka Herlambang duduk tegak. Seperti kena setrum listrik kagetnya. Melody akan menikah? Astaga! Gimana kok sampai dia tidak tahu? Lebih tepatnya lagi,

209

gimana kok sampai dia tidak tahu pacarnya mau menikah dengan orang Iain!

Langsung dia merasa keringat dingin menitik di seluruh tubuhnya. Tidak mungkin ah! Memang beberapa bulan terakhir ini interaksinya dengan Melody Lesmana hanya terjadi di kantor. tapi itu disebabkan karena dia harus melembur di kantor hampir setiap hari. Saat pekerjaan dan tanggung jawab Sabine Lemar diserahkan kepadanya, dia sama sekali tidak mendapatkan bantuan apa pun dari Sabine. jadi dia harus banting tulang menggali sendiri. Dan karena dia tidak mau mengecewakan Danny Lesmana. sekaligus ingin membuktikan bahwa dia pantas duduk di kursi Sabine Lemar. dia pun mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pekerjaannya. Setiap hari dia melembur sampai pukul sembilan malam. tentu saja itu membuatnya tak punya waktu lagi mengunjungi Melody. Tapi Melody seharusnya mengerti! Bukankah dia yang telah mengangkatnya menjadi manajer?

Astaga! Apa yang telah terjadi? pikir Jaka Herlambang. Aku mengira Melody mengangkatku menjadi manajer supaya aku punya status yang lebih baik bila melamarnya. Tapi kenapa sekarang dia akan menikah dengan Shaun Harman? Sejak kapan dia pacaran dengan Shaun Harman? Aku tak pernah melihat ada apa-apa yang mencurigakan di antara mereka. Setiap hari Melody datang dan pulang bersama Danny Lesmana sementara Shaun Harman seperti biasanya masih bekerja hingga pukul enam atau setengah tujuh. Apakah Shaun Harman datang ke rumah

Melody setelah itu karena mengetahui dirinya tak sempat datang? Sialan Shaun Harman! Dia sudah mencuri langkah. memanfaatkan kesempatan kesibukanku untuk mencuri Melody Lesmana!

Jaka Herlambang mengusap wajahnya. Ampun! Kenapa dia bisa berbuat setolol itu? Kenapa dia bisa kecurian langkah? Kenapa dia melalaikan kewajibannya sebagai pacar Melody dan lebih mendahulukan pekerjaannya? Sekarang gimana?

Jaka Herlambang menggelengkan kepalanya. Dia tidak mengerti kenapa Melody bisa melupakannya begitu saja. Dia tidak bisa mengerti kenapa Melody tak pernah membicarakan hal itu dengannya, kenapa Melody tak minta dia datang ke rumah jika merasa diabaikan, kenapa Melody justru berpaling kepada Shaun Harman! Kutu busuk itu! Shaun Harman pasti melihat kesempatannya untuk menyabet Melody dan tidak menyia-nyiakan keberuntungannya! Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menantang Shaun Harman dalam duel untuk memenangkan Melody Lesmana? Hah! Itu tidak lucu dan pasti tidak diharapkan Danny Lesmana. Apalagi berkelahi merupakan salah satu alasan seorang karyawan bisa dipecat tanpa syarat dan Jaka Herlambang tidak mau dipecat! Tidak sekarang setelah dia berhasil duduk di kursi kepala Pemasaran!

Lalu apa? Apakah dia harus duduk diam saja? Sampai detik ini Melody Lesmana tak pernah memberitahunya bahwa dia berpacaran dengan Shaun Harman. Paling sedikit mestinya dia berbuat itu. Masa Jaka tak

pernah merasa hubungan mereka putus, tiba-tiba pacarnya akan menikah dengan orang lain!

Jaka Herlambang memutuskan untuk segera menanyakan hal itu dengan Melody. Siapa tahu Sabine ngaco dan hanya menyebarkan isu bohong.

**

Melody Lesmana sedang sendirian di kantor ayahnya ketika Jaka mengintip dari celah pintu kantornya yang terbuka sedikit. Bagus, pikir Jaka. kebetulan sekali Danny Lesmana tidak di dalam.

"Mel!" Jaka membuka pintu lalu menyelinap masuk dan menutup pintu di belakang punggungnya.

Melody mengangkat kepalanya lalu tersenyum.

"Aku mau bicara." kata Jaka menghampiri meja Melody lalu duduk di kursi di depannya.

"Oke, tentang apa?" tanya Melody meletakkan bolpoinnya.

"Kita."

"Kita?" Alis Melody terangkat.

"Ya. Hubungan kita. Aku mau minta maaf selama tiga setengah bulan terakhir ini aku nggak sempat berkunjung ke rumahmu. Kamu tahu sendiri setiap hari aku di sini sampai malam." kata Jaka.

"Oh, nggak apa-apa." kata Melody dengan nada ringan.

"Aku tahu kamu lagi sibuk."

"Kamu nggak marah?" tanya Jaka.

"Kenapa mesti marah?" Nada heran.

"Barangkali kamu merasa diabaikan."

"Diabaikan?" Kerut di dahi Melody semakin dalam.

"Enggak tuh. Kenapa mesti merasa diabaikan?"

"Karena akhir-akhir ini aku kurang memberikan perhatian padamu," kata jaka. Hatinya membesar. Tak ada omongan bahwa gadis itu akan menikah dengan Shaun Harman!

"It is okay aku bukan bayi yang harus diberi perhatian seratus persen setiap hari," kekeh Melody.

"Gimana kalau nanti malam kita pergi nonton?" tanya Jaka Herlambang.

"Nonton?" Melody heran.

"Ya. Kita sudah lama sekali nggak pernah nonton," kata Jaka.

Mulut Melody membuka. tapi sampai lewat beberapa detik belum ada kata-kata yang keluar. Akhirnya dia menutup mulutnya lagi lalu mengerutkan keningnya.

"Aku nggak bisa pergi denganmu." kata Melody pada akhirnya.

"Kenapa?" Keringat dingin terbit lagi di tubuh Jaka. Firasat jelek.

Eh. karena aku akan pergi dengan Shaun," kata Melody.

Walaupun tadi Jaka sudah punya firasat bahwa dia akan menerima berita buruk dari Melody, toh tak urung hatinya berdebar-debar juga.

"Shaun? Kenapa kamu mau pergi dengan Shaun? Aku sangka kita... aku sangka kita berpacaran?" katanya lirih.

"Oh!" Melody mengerutkan keningnya lagi.

"I'm sorry kalau kamu punya kesan itu, Ka, tapi aku nggak merasa kita pernah berpacaran."

"Lho! Kok kamu bisa bilang begitu?" tanya Jaka. Sekarang dia merasa marah.

"Kita kan punya hubungan istimewa? Tiga setengah bulan yang terakhir ini memang aku sangat sibuk, tapi sebelumnya kan kita sering pergi bersama-sama."

"Tapi kita kan nggak berpacaran," kara Melody.

"Tentu saja kita berpacaran!" protes Jaka.

Melody menggelengkan kepalanya.

"Aku nggak pernah bilang bahwa aku ini pacarmu, Ka. Aku juga nggak pernah minta kamu menjadi pacarku. Memang kamu pernah bilang ingin menjadi calon pacar, tapi kan nggak pernah jadi pacar betulan? Aku anggap kita cuma berteman, bukan pacaran," katanya.

"Itu nggak bener! Kita sudah berpacaran!" Jaka ngotot.

"Ka, aku bilang kamu boleh menjadi calon pacar, tapi aku kan nggak pernah bilang kamu sudah menjadi pacarku sungguh?"

"Oke, jadi kamu sudah menerima aku sebagai calon pacar, lalu kapan status ini tiba-tiba berubah?" tanya Jaka.

"Namanya calon kan belum tentu jadi, Ka. Setelah aku merasa kita kurang cocok, aku kan langsung mundur. Kamu nggak merasa bahwa kemudian aku nggak lagi pergi bersamamu menemui relasi, tapi aku pergi sendiri? Aku juga nggak pulang kamu antarkan tapi aku pulang dengan Papa. Aku sangka kamu sudah

mengerti bahwa aku tak ingin punya hubungan melebihi teman denganmu."

Jaka Herlambang mengerutkan keningnya.

"Aku... aku bingung," katanya.

"Soalnya kemudian kamu mengangkat aku menjadi kepala Pemasaran. Aku sangka kamu memberiku kesempatan itu supaya aku lebih pantas menjadi pacarmu."

"Aku mengangkatmu menjadi kepala Pemasaran karena aku merasa kamu bisa melaksanakan tugas itu lebih baik daripada Sabine, tidak ada alasan yang lain, Ka!" kata Melody.

Jaka Herlambang menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mengambil napas dalam.

"Sori kalau aku tidak menjelaskan sikapku dengan lebih gamblang," kata Melody.

Jaka Herlambang menurunkan tangannya, lalu berdiri.

"Aku yang salah," katanya.

"Aku sangka kamu mencintai aku."

"Aku menganggap kamu temanku," kata Melody. Jaka mengangguk, lalu memutar tubuhnya dan berjalan ke pintu. Tanpa berkata apa-apa lagi dia membuka pintu lalu keluar.

**

JADI dua bulan yang lalu Melody Lesmana pun menikah dengan Shaun Harman seperti yang direncanakan. tanpa pesta. tanpa hura-hura. Danny Lesmana menuai banyak kecaman dari kenalan-kenalannya karena membiarkan anak sulungnya menikah tanpa dirayakan, kok melebihi orang miskin saja, kata mereka. Orang miskin itu masih berupaya pinjam uang ke sana kemari untuk mengawinkan anak mereka, lha kok ini ada pengusaha kaya membiarkan anaknya kawin sunyi senyap. Maka muncullah bermacam-macam spekulasi: Apakah Danny Lesmana tidak merestui perkawinan ini? Apakah anak perempuannya sudah telanjur hamil sehingga malu merayakan perkawinannya? Apakah keluarga Shaun Harman yang tidak merestui perkawinannya dengan anak Danny Lesmana? Bahkan sempat pula muncul spekulasi apakah keuangan Danny Lesmana sedang kritis sehingga tidak mampu membiayai pesta perkawinan anaknya!

216

Danny Lesmana hanya tersenyum menghadapi berbagai spekulasi itu. Walaupun dia sudah memberikan jawaban bahwa pasangan muda itu sendiri yang tidak menghendaki pernikahan mereka dipestakan, tak ada kenalannya yang mau percaya. Mana ada pengantin tidak mau dipestakan? Bukankah itu adalah hari yang paling bersejarah dalam kehidupan mereka? Pasti ada yang tidak beres! Jadi selama satu bulan Melody dan Shaun pergi berbulan madu, Danny Lesmana harus menghadapi pelbagai kritikan dari teman-temannya.

Begitu Melody dan Shaun Harman kembali dari bulan madu mereka yang berlangsung sebulan lamanya, Melody pun pindah ke rumah Shaun. Dibanding rumah Danny Lesmana, jelas rumah suaminya kalah dalam segalanya, ya besarnya, ya lokasinya, ya mewahnya. Tadinya Danny Lesmana menawarkan untuk membelikan rumah baru bagi mereka berdua, yang tak jauh dari rumahnya, namun baik Melody maupun Shaun menolaknya. Rumah Shaun ini dibeli dari uangnya sendiri, besar atau kecil. sederhana atau mewah, itu adalah rumahnya, dan Melody mau menghormati suaminya dengan membangun rumah tangganya di sana. Kelak apabila mereka sudah mengumpulkan uang lebih banyak lagi, sudah tentu mereka akan membeli rumah yang lebih bagus lagi. Tapi sementara ini rumah Shaun harus memadai.

Hari pertama Melody dan Shaun muncul di Lesmana Corporation sekembali mereka dari berbulan madu, mereka pun disambut para karyawan dengan ucapan selamat, tak terkecuali juga oleh Sabine Lemar

dan Jaka Herlambang. Sejak hari itu, Sabine Lemar mulai tersenyum lagi kepada Melody. Sedangkan Jaka Herlambang yang selalu bersikap sebagai seorang gentleman, malah lebih ramah dan lebih bersahabat baik terhadap Shaun maupun Melody.

Pesta intern yang diadakan di rumah Danny Lesmana untuk merayakan pernikahan Melody dan Shaun Harman dua minggu sekembali mereka dari berbulan madu pun berlangsung dengan sukses. Acaranya tentu saja sangat berbeda dengan pesta kebun yang diadakan beberapa bulan yang lalu saat Danny Lesmana secara resmi memperkenalkan Melody kepada para relasinya. Berhubung ini pesta untuk para karyawan, maka para karyawanlah yang berpartisipasi membuat acaranya. Sebuah panggung dibangun di sudut kebun dan para karyawan mempersembahkan beberapa macam acara, mulai sulap, tari-tarian, humor, sandiwara, sampai lomba menyanyi sebagai hadiah perkawinan mereka kepada sang wakil direktur dan kepala Keuangan Lesmana Corporation. Melody dan Shaun muncul dengan pakaian sehari-hari dan bahkan ikut berjoget di atas panggung bersama para karyawan. Malam itu Melody Lesmana Harman berhasil mengambil hati para karyawannya. Popularitasnya meningkat sebagai bos yang merakyat.

Maka segala sesuatu di Lesmana Corporation pun tampaknya beriaJan lebih lancar.

Hari ini adalah Malam Natal. Besok libur. Banyak perusahaan tutup mulai besok hingga tanggal 1 januari, tapi Lesmana Corporation tidak melakukan hal itu.

Hari ini Melody menunggu kedatangan Rahayu Ibrahim di kantornya, karena dua hari yang lalu sewaktu dia mengunjungi Pak Ali. Melody sempat mengobrol dengan Rahayu dan mendengar keluhannya bahwa sejak kepindahannya ke Surabaya itu dia dinilai tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Selama hampir satu tahun dia hanya berhasil mendapatkan beberapa klien baru, itu pun hanya account yang kecil-kecil, sehingga dia mendapat teguran. Tadinya dia sempat memakai alasan ibunya sakit. Tapi ibunya sudah meninggal lebih dari tujuh bulan, dan masih tidak ada perbaikan dalam performance-nya. Untunglah rekor kerjanya sewaktu dia Jakarta cukup bagus sehingga dia tidak di-PHK. Tapi bosnya memberinya waktu sampai akhir tahun untuk memperbaiki kinerjanya. dan apabila dia tetap tidak bisa mencapai targetnya, maka bukan saja dia akan kehilangan jabatannya sebagai wakil manajer cabang, tapi sangat mungkin dia akan diistirahatkan.

Tentu saja setelah mendengar cerita Rahayu ini, Melody pun memutuskan untuk menolong temannya. Memang perusahaan Lesmana Corporation sudah punya langganan kantor asuransi sendiri yang sejak bertahun-tahun lalu melayani mereka, tapi dia pribadi bisa menolong Rahayu. Jadi, dia minta Rahayu datang hari ini ke kantor.

Pukul sepuluh Rahayu muncul. Melody melihat temannya ini semakin kurus saja.

"Minum apa?" tanya Melody begitu Rahayu duduk di hadapannya.

"Air ini sajalah." kata Rahayu menunjuk galonan air yang bertengger di sudut ruangan.

"Ah, jauh-jauh kemari masa cuma minum air?" kata Melody.

"Bu Norma, tolong mintakan dua es jeruk peras dari kantin," kata Melody kepada sekretarisnya yang mengantarkan Rahayu masuk. Dia ingat temannya ini paling suka minum es jeruk peras.

Norma Tanjung pun mengangguk lalu mengundurkan dirinya.

"Hari ini panas banget," kata Rahayu.

"Iya sih. Lagi mendung. Setiap kali kalau mendung, memang panas. Tapi ntar malam pasti hujan."

"Malam Natal kok kamu masih ngantor?" tanya Rahayu.

"Padahal orang-orang sudah pada libur. Bosku sudah sejak Jumat lalu cuti dan baru balik lepas Tahun Baru."

"Itu risikonya bergerak di industri makanan dan minuman," senyum Melody,

"soalnya menjelang akhir tahun semua order harus dituntaskan."

"Mel, aku tahu kamu sibuk, jadi aku nggak mau mengambil waktumu terlalu banyak. Kita langsung aja. Kenapa kamu menyuruhku datang hari ini?" tanya Rahayu.

"Aku mau tanya soal asuransi jiwa," kata Melody.

"Kan kamu sudah punya langganan perusahaan

asuransi sendiri," kata Rahayu. Dia masih punya harga diri. Dia tak mau dibantu temannya lagi.

"Oh, ya, tapi itu kan asuransi yang dipakai perusahaan. Ini untuk aku pribadi," kata Melody.

"Mereka juga pasti bisa melayani itu," kata Rahayu.

"Ya, aku tahu. Cuma, kalau aku pakai perusahaan asuransi yang sama, kapan-kapan beritanya bisa bocor ke karyawan. Aku nggak mau yang lain tahu."

"Jadi, maksudmu?"

"Aku mau membuka polis asuransi jiwa dengan perusahaanmu."

"Bukannya kamu cuma mau membantuku lagi, Mel? Karena kemarin dulu aku keterlepasan bicara bahwa aku tidak bisa memenuhi targetku," kata Rahayu.

Sebenarnya Melody merasa sedikit jengkel. Rahayu ini angkuh bener. Orang lain pasti senang dibantu. Tapi dengan Rahayu juStru yang mau membantu yang harus mengemis supaya diizinkan membantu! Gila nggak?

"Aku memang mau mengambil polis asuransi jiwa. Kalau kamu mau, aku membuka polis itu dengan perusahaanmu. Kalau kamu nggak mau, ya aku akan mencari perusahaan asuransi yang lain. Terserah kamulah," kata Melody.

Dulu sewaktu masih muda, dia selalu bisa dikendalikan Rahayu, dia selalu mengikuti kehendak Rahayu. tapi sekarang Melody memutuskan untuk tidak lagi berbuat begitu. Heh! Dia sekarang seorang

wakil direktur! Kalau mengukur Keberhasilan, jelas dia lebih berhasil ketimbang Rahayu!

Rahayu tampak terkejut. Dia tertegun sejenak, lalu perlahan-lahan dia membuka tas yang dibawanya, dan bertanya dengan nada yang lebih merendah,

"Asuransi jiwa macam apa yang kamu inginkan?"

"Asuransi jiwa total, asuransi kesehatan, asuransi kematian, seluruhnya." kata Melody.

Rahayu mengangkat alisnya.

"Biasanya yang membuka polis asuransi kematian itu si suami untuk istri dan anak-anaknya, supaya mereka tidak telantar jika terjadi apa-apa," kara Rahayu.

"Aku tahu. Tapi tidak ada peraturan yang mengatakan seorang istri tidak boleh membuka polis asuransi untuk suaminya, kan?" kata Melody.

"Jadi kamu akan menunjuk suamimu sebagai bmqfciary-nya?" tanya Rahayu mengambil sebuah map dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja. Jari-jarinya dengan lincah mencari di antara tumpukan kertas-kertas di dalam map itu.

"Ya, saat ini hanya dialah keluargaku. Tapi kalau kelak aku punya anak, tentu saja nama-nama mereka juga akan ikut dicantumkan."

Rahayu pun mengangguk. Dia menyerahkan beberapa dokumen kepada Melody.

"Kami punya beberapa macam. Ada yang dalam rupiah, ada yang dalam nilai dolar. Bacalah dulu dengan teliti. Jika kamu sudah menentukan pilihanmu, nanti aku buatkan polisnya," katanya.

"Oke," kata Melody.

"Aku kabari setelah Natal, tanggal 26. Ini rahasia kita, ya? Jangan memberitahu siapa pun."

"Kantorku tutup seminggu, sampai tanggal 2 Januari," kata Rahayu.

"Oh, kalau begitu aku hubungi kamu di rumahmu, oke?"

"Oke." kata Rahayu sambil mengangguk.

"Yu, aku mau tanya sesuatu padamu," kata Melody begitu dia melihat Rahayu sudah bersiap-siap untuk berdiri.

Rahayu mengangkat matanya.

"Tentang Brian. Brian Sudarman," kata Melody memandang ke mata temannya.

Rahayu mengerutkan keningnya.

"Brian?" tanyanya dengan nada heran.

"Ya. Apa kamu tahu gimana kabarnya?" tanya Melody.

Rahayu menggeleng masih sambil mengerutkan keningnya.

"Kenapa?" tanyanya dengan nada curiga.

"Selama ini dia sama sekali tidak pernah kontak denganmu?" tanya Melody.

"Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Rahayu.

"Terkadang dia masih kontak denganku," kata Melody.

"Denganmu?"
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setelah kamu pulang ke Indonesia, ayah Brian datang. Brian juga ketahuan ayahnya memakai narkotik, dan tertinggal dalam studinya," kata Melody.

"Ayahnya lalu memberi ultimatum Brian, segera berubah, atau dia tidak akan membiayai studinya di London lagi."

"Kenapa kamu cerita kepadaku sekarang?" tanya Rahayu. Ekspresi wajahnya langsung berubah.

"Karena aku mau kamu tahu bahwa setelah itu Brian berteman denganku. Dia minta bantuanku untuk menolongnya melepaskan diri dari narkotik dan teman-temannya."

Mata Rahayu pun melebar.

"Aku nggak pernah menyangka kalian bisa berteman," katanya.

"Bukankah dulu kamu bilang padaku bahwa kamu tidak suka sama Brian?"

"Saat dia memakai narkoba, memang. Tapi kemudian dia berhenti dan dia bersungguh-sungguh mau menyelesaikan studinya," kata Melody.

Rahayu tersenyum sumbang.

"Jadi studinya selesai?" tanyanya.

"Ya. Kami selesai hampir pada waktu yang bersamaan," kara Melody.

Rahayu manggut-manggut.

"jadi hanya aku yang gagal," katanya dengan nada menyesal.

"iya" kata Melody.

"Ialu, apa yang terjadi padanya sekarang?" tanya Rahayu.

"Dia ada di Jakarta, dia bekerja di salah satu bank bapaknya."

"Aneh, aku tidak pernah bertemu dengannya ketika aku masih di Jakarta."

"jakarta kan luas. Kami tidak tahu alamatmu."

"Jadi Brian masih kontak denganmu?"

"Ya. Akhirnya kami cukup akrab. Dari waktu ke waktu dia meneleponku. Dia juga pernah datang mengunjungiku."

"Bagaimana kabarnya di Jakarta?"

"Terakhir saat dia menelepon, dia bilang tidak betah di sana. Dia tidak cocok dengan kedua kakaknya. Dia sedang mencari pekerjaan lain."

"Kapan itu?" tanya Rahayu.

"Kira-kira dua minggu sebelum perkawinanku."

"Apa dia pernah tanya tentang aku?" tanya Rahayu.

"Ya. Dia tahu kamu ada di sini sekarang. Aku sudah memberikan alamat dan nomor teleponmu kepadanya . Dia tidak kontak denganmu?"

Rahayu menggelengkan kepalanya.

"Mungkin dia sudah tidak ingin berteman lagi denganku. Nggak apa-apa. Aku sudah melupakannya. Kami sudah jalan sendiri-sendiri," kata Rahayu berusaha tetap bicara dengan nada normal.

"Kalian dulu kan berpacaran," kata Melody,

"sekarang kalian sama-sama sudah bersih, sudah bekerja, aku sangka setelah aku memberitahu Brian alamat dan teleponmu, dia akan menghubungimu lagi."

"Waktu telah memudarkan hubungan kami," kata Rahayu.

"Kami sama-sama sudah bukan orang yang sama dengan saat di London dulu. Mungkin sekarang kami sudah tidak cocok lagi untuk berteman."

"Jika kamu mau kontak dia, aku punya nomor teleponnya," kata Melody.

"Tidak." kata Rahayu.

"Dia toh tidak pernah mengontak aku, jadi aku anggap dia memang sudah tidak ingin berteman denganku."

"Jika kapan-kapan dia menelepon lagi, apa kamu mau aku menyuruhnya meneleponmu?" tanya Melody.

"Jangan!" kata Rahayu.

"Nanti dia menyangka aku mengejar-ngejarnya! Udah, jangan menyinggung tentang aku lagi dengannya."

"Kamu nggak mau bicara dengannya?" tanya Melody.

"Dia yang tidak mau bicara denganku!" kata Rahayu.

"Kalau dia mau, pasti dia sudah duluan meneleponku. Dia bisa meneleponmu, kan mestinya dia juga bisa meneleponku kalau dia mau? Berarti dia memang tidak mau bicara denganku."

"Ya sudah, aku juga nggak mau memaksamu, aku cuma mau kamu tahu aja bahwa jika kamu ingin kontak dengannya, dia ada di Jakarta," kata Melody.

"Untuk apa aku mau kontak dengannya? Sudah sekian lamanya kami nggak pernah kontak lagi," kata Rahayu.

Dia berdiri lalu sambil mengangkat tangannya sebagai ucapan selamat tinggal, Rahayu pun meninggalkan kantor Melody.

* * *

Shaun Harman mengerutkan keningnya. Di hadapannya duduk Hansen, dari Pembukuan. Laki-laki berusia 54 tahun yang sebentar lagi akan dipensiun itu

hanya menundukkan kepalanya. Hansen masih punya darah Barat dari kakeknya yang orang Belanda. tapi dia hanya mewarisi namanya saja sedangkan penampilannya sama sekali tidak mirip kakeknya. Hansen bertubuh kecil kurus dan hitam dengan rambut yang lurus dan memutih.

Hansen sudah lama bekerja di Lesmana Corporation, bahkan lebih lama daripada Shaun Harman. Seorang laki-laki yang pendiam, introvert, dan nyaris tak terdengar suaranya. Hansen adalah orang yang kurang diperhitungkan oleh rekan-rekannya. Dia selalu membaur dengan latar belakangnya. sedemikian sempurnanya sehingga tak ada orang yang melihatnya lagi.

Shaun Harman mengenal Hansen sebagai anak buahnya yang paling jarang mengganggunya. Hansen selalu bisa mengatasi semua problemnya sendiri, tanpa banyak cakap. Jadi kalau sekarang dia datang menghadap Shaun Harman, pastilah ada masalah besar.

"Sejak kapan terjadi selisih ini. Pak Hansen?" tanya Shaun Harman.

"Sebetulnya sudah agak lama, Pak Shaun, selisih yang pertama itu terjadi akhir bulan September. Tadinya saya masih berusaha mencari di mana kesalahannya. Tapi sampai sekarang tidak ketemu. malah angkanya semakin lama semakin besar. Jadi, saya pikir, lebih baik saya melaporkan saja hal ini kepada Pak Shaun." kata Hansen.

"Kehilangan ini tidak sedikit, Pak," kata Shaun Harman.

"Saya tahu, Pak Shaun. Saya sudah berusaha melacak di mana kesalahan itu. tapi tidak ketemu, Pak. Semua dokumen rasanya bener, tapi stok barang yang dilaporkan bagian gudang kok kurang banyak," kata Hansen.

"Sudah dibicarakan dengan Pak Kris?" tanya Shaun Harman.

"Sudah, selama berminggu-minggu sejak pertama saya melihat ada selisih itu, Pak."

"Pak Kris bilang apa?"

"Tadinya dia bilang mungkin saya yang salah memasukkan data. karena Pak Kris yakin dokumen gudangnya betul seratus persen. Jadi yah saya yang berusaha mencari. Sementara itu selisihnya terus bertambah, terutama akhir-akhir ini waktu Pak Shaun tidak di tempat."

"Jadi selama sebulan saya berbulan madu, selisihnya semakin besar?"

"Iya, Pak. Ini angka-angkanya, Pak." kata Hansen menunjukkan data-datanya.

"Pak Kris tidak menelusuri administrasi gudangnya Sendiri?"

"Kelihatannya enggak, Pak. Pak Kris yakin saya yang salah. Makanya sekarang saya datang melaporkan. Saya sudah angkat tangan, tidak berhasil menemukan di mana kesalahan pembukuan saya."

"Baik, nanti saya akan bicara dengan Pak Kris," kata Shaun Harman.

"Tinggalkan kertas-kertas itu di sini, dan akan saya pelajari."

Hansen membungkuk dan mengundurkan diri.

Kris Wenger, kepala gudang Lesmana Corporation, adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan raut wajah yang sedikit sangat. Lahir dari ibu Ambon dan ayah Belgia, Kris Wenger merupakan perpaduan kedua ciri khas orangtuanya. Bukan hanya dalam raut wajah dan penampilannya, tetapi juga dalam wataknya. Sampai usianya yang lee-47. Kris Wenger sudah lima kali kawin-cerai. Kegemarannya minum minuman keras dan kasar terhadap istri istrinya, menyebabkan tak ada wanita yang tahan hidup bersamanya lebih dari dua tahun.

Di tempat kerjanya pun Kris Wenger dikenal sebagai seorang pemarah. Dia tak segan-segan mendamprat siapa saja yang menurutnya bekerja tidak sesuai keinginannya. Justru karena sifatnya yang pemberang itulah Danny Lesmana menempatkannya sebagai kepaIa gudang, posisi yang banyak tantangan maupun cobaannya. Karena dengan sifat Kris Wenger yang keras. Danny berharap tak ada pencuri yang berani mencoba peruntungannya di sana.

Namun, sekarang ternyata ada beratus-ratus karton minuman aneka jus yang hilang. Hilang artinya jumlah stok fisiknya lebih sedikit daripada stok bukunya. Dan karena Kris Wenger ini termasuk anak buah Shaun Harman, maka menjadi tanggung jawab dialah untuk mencari mengapa terjadi selisih ini.

Tapi ternyata tugas ini tidak semudah itu. Seperti yang sudah diduga Shaun Harman. Kris Wenger menolak dengan hebat bahwa telah terjadi kesalahan di rekor gudangnya.

"Saya tidak tahu kenapa stok buku tidak cocok dengan stok saya. Pak Shaun," kata Kris Wenger sambil melotot. Matanya memang besar, dan dalam kondisi normal pun orang sering menyangka Kris Wenger sedang melotot.

"Itu urusan Pak Hansen. Saya sudah bilang kepadanya, salahnya pasti ada di Pembukuan.

"Pak Hansen kan menerima laporannya dari Anda," kata Shaun.

"Apa barangkali setiap hari ada pengiriman yang lupa dilaporkan?"

"Tidak mungkin, Pak Shaun! Semua sudah saya laporkan. Pasti Pak Hansen yang lupa memasukkan datanya," kata Kris Wenger.

"Pak Hansen sudah ngecek. dan saya juga sudah cross-check, semua yang dilaporkan Pak Kris sudah dimasukkan buku Pak Hansen," kata Shaun.

Kris Wenger melotot semakin lebar.

"Jadi Pak Shaun menuduh saya bohong?" katanya.

"Nggak ada orang yang nuduh siapa pun. Pak Kris. Saya ini mau mencari di mana letak selisihnya. dan di mana yang harus dikoreksi," kata Shaun Harman.

"Saya kan sudah bilang, kesalahan itu tidak terjadi di sini! Kalau Pak Hansen yang tidak klop, ya kesalahannya ada di sana," kata Kris sambil menunjuk ke arah bangunan kantor administrasi.

"Saya tidak menemukan kesalahannya di sana. Pak Kris!" kata Shaun mulai kehilangan kesabarannya.

"Pak Shaun juga tidak akan menemukannya di sini," kata Kris.

"Di sini tidak ada kesalahan!"

"Pokoknya sekarang saya minta Pak Kris mengecek kembali semua data di sini!" kata Shaun Harman dengan jengkel.

"Pekerjaan di sini setiap hari dicek! Saya pegang gudang ini bukan baru satu-dua tahun, Pak Shaun! Selama sembilan tahun saya pegang gudang ini belum pernah terjadi ada kesalahan seperti sekarang ini!"

"Pak Hansen juga sudah bekerja di sini lama. malah lebih lama dari Pak Kris," kata Shaun.

"Sekarang ini masalahnya bukan berapa lama Pak Kris sudah bekeria di sini. Persoalannya ada ratusan karton jus kacang hijau, sari kedelai, dan aneka buah yang hilang."

"Maksud Pak Shaun, saya mencuri?" Kris Wenger menggebrak meja. Watak kasarnya keluar.

"NatalNatal begini. saya dapat hadiah dituduh mencuri!"

Wajah Shaun Harman langsung berubah. Matanya menyipit, keningnya mengerut. Lalu tanpa berkata apa-apa dia berdiri dan berlalu.

Kris Wenger masih mengomel saat asistennya Rahadian datang.

"Kenapa, Pak?" tanya Rahadian lbrahim.

"Saya dapat hadiah Natal dari Pak Shaun." kara Kris Wenger dengan nada sinis. Lalu dia menceritakan masalahnya kepada Rahadian.

"Coba nanti saya yang ngecek lagi, Pak." kata Rahadian.

"Kita di sini lagi repot kok disuruh ngecek barang

yang sudah betul!" kata Kris Wenger.

"Itu truk-truk pada ngantre dimuatin kok, kan dilayani dulu!"

"Nggak apa-apalah, Pak. Nanti waktu istirahat makan saya cekkan," kata Rahadian. Dibandingkan atasannya yang pemberang, Rahadian ini sejuk orangnya. Dialah penyeimbang sifat panas Kris Wenger. Semua orang di pabrik lebih suka berinteraksi dengannya ketimbang dengan Kris Wenger.

"Pak Kris. bisa tolong ke kantor saya?" tanya Melody Lesmana Harman begitu teleponnya ke kantor gudang diangkat.

"Kapan. Bu?" tanya Kris Wenger yang seperti semua karyawan yang lain, langsung mengubah sebutannya kepada Melody dari Mbak menjadi Ibu sejak pernikahannya.

"Sekarang saja," kata Melody.

Tanpa berkata apa-apa. Kris Wenger pun meletakkan gagang telepon.

Sekitar sepuluh menit kemudian seorang Kris Wenger pun muncul di kantor Melody.

"Silakan duduk, Pak Kris," kata Melody.

Kris Wenger membuka topinya, lalu duduk di kursi di depan meja Melody.

"Begini, Pak Kris, saya langsung saja to the point. Saya minta ke depannya Pak Kris bisa bersikap lebih baik apabila berbicara dengan orang lain di perusahaan ini. terutama bila sedang berhadapan dengan orang

yang jabatannya lebih tinggi daripada Pak Kris sendiri," kata Melody.

"Gimana? Maksud Bu Melody apa?" tanya Kris Wenger dengan matanya yang melotot.

"Pak Kris tadi menggebrak meja di hadapan Pak Shaun. Saya tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi," kata Melody menyambut pandangan lelaki sangar di hadapannya.

"Oh. jadi Pak Shaun lapor toh sama Ibu?" tanya Kris dengan nada melecehkan.

"Pak Shaun adalah atasan Pak Kris. Itu bukan cara komunikasi yang baik terhadap seorang atasan." kata Melody. Dia masih menatap terus ke mata Kris Wenger.

"Pak Shaun menuduh saya mencuri!" kata Kris.

"Itu saya tidak terima!"

"Terlepas dari apa pun yang dikatakan Pak Shaun, dia tetap atasan Anda dan harus dihormati sebagaimana seharusnya," kata Melody.

"Kita sudah tidak hidup di zaman batu. Kita hidup di zaman yang beradab. Dan orang yang beradab bisa berkomunikasi dengan ara yang beradab, tanpa teriak-teriak dan tanpa menggebrak meja."

"Sekarang Ibu menuduh saya tidak beradab!" kata Kris Wenger mengangkat suaranya.

"Pendengaran saya bagus sekali, Pak Kris tidak perlu berteriak," kata Melody.

"Dan saya mau mengingatkan bahwa ke depan saya tidak mau lagi mendapat laporan tentang sikap Pak Kris yang kasar ini dari siapa pun."

"Saya mau biara dengan Pak Danny." kata Kris Wenger.

"Pak Danny hari ini tidak masuk." kata Melody.

"Andaipun masuk, Pak Danny sudah tidak terlibat lagi dengan operasional perusahaan ini. Saya yang bertanggung jawab atas operasional perusahaan ini. Atau Pak Kris belum tahu?"

"Pak Danny dulu yang mengangkat saya. Saya mau bicara dengannya. Saya tidak terima diperlakukan seperti ini! Saya tidak membuat kesalahan apa-apa. Kenapa saya diperlakukan seolah-olah saya yang menghilangkan dos-dos jus itu?" kata Kris Wenger.

"Pak Shaun minta Pak Kris mengecek data pengiriman. Kenapa Pak Kris tidak mau?" tanya Melody.

"Gudang sekarang sedang repot. Masih ada beberapa truk yang nunggu muatan. Besok kan libur. Masa semua itu harus ditunda gara-gara mengecek data? Apalagi saya tahu data itu sudah pasti benar!"

"Karena atasan Pak Kris yang minta itu, sebagai bawahan, Pak Kris wajib mengerjakan perintah atasannya," kata Melody.

"Saya tahu data saya sudah betul. Saya tidak..."

"Itu kebiasaan yang buruk. Pak Kris." potong Melody.

"Anda selalu membantah."

"Lho, memangnya kalau saya dituduh sembarangan, saya tidak boleh membela diri?" tanya Kris Wenger.

"Pak Kris pikirkan saja kata-kata saya. Sekarang silakan Pak Kris kembali ke gudang, dan melakukan apa yang diminta Pak Shaun." kata Melody mengakhiri penemuannya.

"Atau saya akan mengeluarkan surat peringatan kepada Pak Kris," tambahnya.

Kris Wenger berdiri dari kursinya, memasang topinya, dan baru akan membalikkan tubuhnya ketika Melody berkata,

"Saya minta dengan sungguh-sungguh agar Pak Kris mengubah sikap. Jika ke depan saya mendengar ada lagi yang mengeluhkan sikap Pak Kris, maka saya akan terpaksa mengambil tindakan yang lebih konkret."

"Tindakan apa, misalnya?" tantang Kris Wenger dengan wajah memerah.

"Kalau Pak Kris mau tahu. silakan mencobai saya," kata Melody dengan nada tajam.

**

"PAK SHAUN, saya mau mengundurkan diri saja, kata Hansen ketika siang ini dia duduk di hadapan atasannya.

"Lho, kenapa?" tanya Shaun Harman.

"Saya pikir-pikir selama Hari Natal kemarin, saya rasa itu keputusan yang paling baik."

"Kan Pak Hansen sudah akan memasuki masa pensiun tahun depan? Kenapa tidak menunggu sampai saat itu saja?"

"Yah, suasana kerjanya sekarang sudah tidak menyenangkan lagi, Pak Shaun. Saya sudah nggak betah. Kalau boleh, saya minta pensiun dipercepat aja," kata Hansen.

"Apa maksud Pak Hansen? Apa yang berubah?" tanya Shaun Harman.

"Yah, masalah barang-barang yang hilang itu, Pak. Saya nggak enak. sampai sekarang nggak ketemu di mana," kata Hansen.

236

Shaun Harman mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di atas meja. Dia berpikir.

"Saya rasa ada pencurian," katanya pada akhirnya.

"Kalau ada pencurian berarti terjadinya di gudang, Pak Shaun, kan tidak mungkin dari meja saya?" kata Hansen.

"Ya. Menurut saya kesalahan memang ada di gudang," kata Shaun Harman.

"Ternyata administrasinya di sana juga tidak rapi dan terlambat cukup banyak. Cuma saya belum bisa membuktikan telah terjadi pencurian."

"Syukurlah kalau Pak Shaun menganggap kesalahan tidak terletak pada saya," kata Hansen.

"Selama berminggu-minggu saya tidak bisa tidur, mikirin apa yang harus saya lakukan."

"Pak Hansen tenang sajalah. Saya akan mengusut kehilangan ini sampai ketemu. Pak Hansen juga tidak perlu minta pensiun dipercepat. Kita kan masih dalam upaya mencari pengganti Pak Hansen. Rencananya awal tahun depan kita akan pasang iklan."

"Lho. saya sangka Pak Shaun nanti akan mengangkat Hari Suyanto sebagai pengganti saya," kata Hansen.

"Saya belum memutuskan. Tapi saya ingin juga mencari dari luar untuk perbandingan. Kita kan masih ada waktu sekitar sepuluh bulan sebelum Pak Hansen pensiun."

Hansen pun berdiri.

"Kalau begitu terima kasih, Pak. Saya kembali dulu," katanya.

"Aku rasa ada yang mencuri," kata Shaun Harman kepada Melody dan Danny Lesmana. Mereka sedang berkumpul di kantor Melody.

"Ada yang kamu curigai?" tanya Danny.

"Pasti orang gudang terlibat," jawab Shaun.

"Kris?" Danny mengerutkan keningnya.

"Sangat mungkin."

"Tapi dia selalu jujur dan loyal selama ini, Shaun!"

"Setiap hal itu ada pertama kalinya, Pap." timbrung Melody.

"Dan sikap Kris Wenger sama sekali tidak kooperatif waktu Shaun berusaha mencari di mana selisih angka-angka itu."

"Aku dengar dari Rahadian. belakangan ini Kris suka main buntut," kata Shaun.

"Dia mungkin ketagihan, butuh banyak uang."

Danny mengerutkan keningnya.

"Tapi tidak ada bukti bahwa dia terlibat?" tanyanya.

"Belum. Aku bertekad mencarinya."

"Gimana?"

"Kalau barang-barang itu dicuri. kan harus dibawa keluar dari kompleks pabrik ini. Jalan satu-satunya yang paling gampang untuk membawa barang keluar adalah menitipkannya pada truk-truk pengangkutan yang datang mengambil barang."

"Maksudmu?"

"Kalau setiap truk seharusnya mengambil 100 karton barang. tapi mereka menaikkan 105 karton barang, kan tidak mencurigakan. jadi setiap kali ada yang datang mengambil barang, mereka menaikkan beberapa karton lebih tanpa dokumentasi," jelas Shaun.

"Jika setiap minggu mereka mengeluarkan 25 karton ekstra, dalam sebulan sudah 100 karton hilang. Menurut pembukuan Hansen, selisihnya ada 500 karton lebih. berarti pencurian ini sudah berlangsung sekitar 5 bulan. Dia tidak tahu persisnya kapan selisih ini mulai karena gudang selalu terlambat membuat pembukuan mereka. tapi September yang lalu sudah ada ketidakcocokan."

Danny Lesmana menggelengkan kepalanya.

"Di checkpoint terakhir di pintu keluar kan satpam mengecek lagi surat jalan dan jumlah barang yang dibawa," katanya.

"Kelebihan ini bisa ketahuan."

"Tidak, kalau hanya beberapa karton setiap truk. Karton-karton curian ini bisa disembunyikan. Satpam kan hanya menghitung karton-karton yang ditumpuk di bagian belakang kendaraan, tapi aku yakin mereka tidak mengecek hingga ke bagian dalam kendaraan, misalnya di bawah tempat duduk sopir atau disembunyikan di tempat lain. Kalau setiap kali 45 karton saja yang diselundupkan keluar, kesempatan lolosnya besar."

"Berarti si sopir pengangkutan ikut terlibat?" kata Danny.

"Jelas. Pasti dia juga dapat bagian."

"Berarti pembeli kita juga terlibat! Kan mereka yang mendapat beberapa karton gratis setiap pengiriman," kata Danny.

"Ya. dan untuk keuntungan itu, orang gudang pasti mendapat imbalan." kata Melody.

Danny merenung. Lalu dia menggerak-gerakkan jari-jarinya. Dia suka berbuat begitu setiap kali dia berhitung di luar kepala.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau benar begini, berarti :semua pembeli kita terlibat!" katanya menggelengkan kepalanya lagi.

"Aku nggak percaya. Kebanyakan pembeli kita adalah langganan lama-lama yang kita kenal dengan baik. Mereka nggak akan berbuat seperti itu."

"Kenapa harus semua? Mungkin cuma beberapa." kata Melody.

"Langganan yang baru-baru, barangkali."

Danny menggeleng lagi.

"Mustahil." katanya.

"Langganan yang baru-baru tidak ada yang membeli sebanyak itu dari kita. Ratarata mereka seminggu sekali baru mengambil barang."

"Kalau begitu langganan lama juga ada yang terlibat." kata Shaun.

"Mungkin bukan langganan kita yang terlibat," kata Melody,

"mungkin cuma sopirnya yang terlibat."

"Maksudmu?"

"Bisa saja di tengah jalan si sopir menurunkan kelebihan barangnya kepada seorang tukang tadah." kata Melody.

"Itu lebih masuk akal." kata Danny Lesmana.

"Oke, jadi sekarang yang harus kita lakukan adalah menangkap basah mereka," kata Melody.

"Apa rencanamu?" tanya Danny kepada Shaun.

"Aku akan menyuruh orang mengikuti kendaraankendaraan angkutan yang meninggalkan pabrik," kata Shaun.

"Ide yang bagus. jadi kita akan tahu apakah barang-barang itu diturunkan di tengah jalan, atau langganan kita ikut terlibat." kata Danny Lesmana.

"Siapa yang kamu suruh menguntit?"

"Aku sudah bicara dengan temanku yang bergerak di bidang penagihan kredit-kredit macet. Dia sanggup menggerakkan orang-orangnya untuk membantu kita mencari ke mana hilangnya barang-barang kita," kata Shaun.

Danny Lesmana mengerutkan keningnya.

"Orang ini bisa dipercaya?" tanyanya.

"Ya. Namanya Song Kumar. barangkali Papa pernah dengar? Dia sudah lama punya pekerjaan begini. Orang yang bekerja di bidang ini harus bisa dipercaya, kalau tidak, tidak ada yang mau memakai jasanya. Tentu saja kita harus membayar mereka, dan tarifnya tidak murah. Tapi aku beranggapan, lebih baik kita keluar uang untuk membongkar kasus ini supaya kita bisa menemukan pencuri di dalam organisasi kita."

Danny Lesmana mengangguk-angguk.

"Ya, aku pernah dengar tentang nama itu. Oke. aku setuju. Membiarkan pencuri di dalam organisasi kita sama dengan memelihara seekor ular. Suatu waktu ular itu akan menjadi naga dan kita bisa dilumatnya." katanya.

"Jadi aku mendapat persetujuan Papa untuk ini?" tanya Shaun Harman.

Danny Lesmana menyeringai.

"Secara de facto aku sudah tidak terlibat lagi dalam operasi perusahaan ini. Malah aku mau memberitahu kalian bahwa setelah Tahun Baru Melody akan menjadi direktur penuh. Aku akan resmi mengundurkan diri," katanya.

"Lho! Lalu Papa mau ngerjain apa?" tanya Melody.

"Papa mau ngelencer!" kata Danny Lesmana sambil tersenyum.

"Papa mau keliling dunia. Selama ini kalau Papa ke luar negeri selalu dengan tujuan bisnis, nggak pernah bisa santai. Sekarang Papa mau menikmatinya. Mau betul-betul melihat keindahan negara orang, mau mengenal kebudayaan bangsa lain, pokoknya mau jalan jalan dengan santai."

"Dan setelah itu?" tanya Melody.

"Jalan-jalan kan tidak selamanya?"

"Setelah itu belum punya rencana." kata Danny Lesmana.

"Jalan-jalan ini kan akan berlangsung lama. Bukan cuma seminggu-dua minggu. Hitung-hitung ini bulan madu Papa dengan Tante Juli begitulah. Jadi jangan berharap Papa akan pulang dalam waktu dekat."

"Cieeeh," senyum Melody,

"Papa bikin aku ngiri nih."

"Waktu muda itu waktunya banting tulang. Kamu belum memenuhi syarat untuk berleha-leha. Sekarang giliranmu untuk bekerja, membangun kerajaanmu sendiri. Giliran Papa adalah untuk menikmati hidup ini, selagi masih bisa. Kalau sudah terlalu tua, sudah

tidak bisa menikmati hidup lagi, kan? Nanti yang kakinya sakit, punggungnya sakit, giginya sakit, perutnya sakit, dengan seribu satu larangan tidak boleh makan ini, tidak boleh makan itu. mana bisa menikmati keliling-keliling lagi? Jadi sekarang ini mumpung belum ada yang sakit, badan masih kuat, Papa mau jalan-jalan."

"Iya, asal jangan lupa pulang aja, Pap. Ntar keenakan jalan-jalan, lupa jalan pulang," kata Melody.

Mereka semuanya tertawa.

* * *

"Pak Shaun. ada telepon," kata Ella yang bertugas sebagai resepsionis di lobi.

"Dari mana, El?" tanya Shaun melihat arlojinya. Hampir pukul empat sore.

"Cuma bilang dari temannya, Pak Shaun," jawab Ella.

"Oke, sambungkan." Ini pasti Song Kumar, pikir Shaun. Dia berjanji akan memberi kabar kepadanya, tapi mungkin Song Kumar bosan menunggu.

"Halo, Shaun!"

Langsung darah Shaun Harman membeku. Astaga! Suara itu! Suara yang sudah dilupakannya selama ini. Suara yang sudah dihapusnya dari ingatannya. Lebih dari lima tahun! Kenapa sekarang dia mendengar suara ini lagi?

"Shaun?"

"Ya." kata Shaun masih terguncang.

"Ini aku, Tania," kata suara dari seberang.

Setelah beberapa saat Shaun masih belum menjawab, terdengar lagi perempuan itu bertanya,

"Shaun? Kamu masih di sana?"

"Ya," kata Shaun.

"Aku ingin bertemu denganmu," kata Tania.

"Aku ingin bicara denganmu."

Shaun tidak menjawab.

"Shaun, kalau kamu masih marah padaku, aku minta maaf. Aku telah menyakiti hatimu. Please tell me you forgive me," kata Tania.

"What do you want?" tanya Shaun akhirnya.

"Aku mau bertemu. Aku mau bicara denganmu," kata Tania.

"Sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi antara kita," kata Shaun.

"Shaun, aku mohon padamu, aku perlu bicara denganmu. Please, please, please, please, please, jangan menolak. Kamu adalah harapanku yang terakhir." Suara Tania terdengar bergetar.

Hati Shaun tercekat. Apakah dia mendengar isakan kecil?

"Aku tinggal di Hotel Garden, kamar 304," kata Tania.

"Please come!" Dan tanpa menunggu jawaban Shaun, hubungan telepon pun sudah diputuskan.

Shaun masih memegang gagang telepon selama beberapa saat lamanya, sampai dia disadarkan bunyi tersebut yang menandakan bahwa hubungan sudah terputus. Hal pertama yang disadarinya setelah meletakkan gagang telepon adalah bahwa jantungnya ber

detak lebih kencang daripada biasanya. dan baik tangan maupun kakinya terasa dingin.

Ya Tuhan, gumamnya. Shaun mengambil napas panjang. Bayangan Tania yang sudah dilupakannya dengan susah payah, sekarang menari-nari lagi di depan matanya. Dia pernah mencintai gadis itu. bahkan sangat mencintainya! Dan baginya untuk tiba-tiba ditinggalkan gadis itu beberapa minggu sebelum hari pernikahan mereka. merupakan suatu pukulan hebat yang tadinya dia tidak menduga bisa diatasinya. Rasanya dia ingin mati saja saat dia menyadari pernikahannya harus batal. Berbulan-bulan setelah Tania keluar dari hidupnya dia masih berharap bahwa mimpi buruknya itu akan segera berakhir, bahwa Tania akan kembali kepadanya. Tapi hal itu tak pernah terjadi, dan perlahan-lahan dia harus menerima bahwa Tania benar benar telah lenyap dari hidupnya.

Sampai sore ini!

Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menemui Tania? Ya! Jelas dia harus menemui Tania! Sampai sekarang lembaran Tania masih terbuka dalam buku kehidupannya. Dia menyangka dia sudah menutupnya, tapi telepon yang barusan menyadarkan bahwa dia tak akan bisa menutupnya sebelum dia bertemu dengan gadis itu.

"Shaun!"

Pintu kantornya terbuka dan Melody sedang berdiri di sana.

Shaun yang masih seperti setengah bermimpi, hanya menengadahkan kepalanya dengan pandangan bengong. Mengalihkan pikirannya dari Tania ke Melody di hadapannya butuh waktu.

"Shaun, cuma mengingatkan, hari ini aku punya janji ketemu Rahayu. Aku mau ke rumahnya aja sekalian mengunjungi Pak Ali. Kamu mau ikut?" kata Melody.

"Eh, enggak, enggak," kata Sha'un tergagap.

"Oke, kalau begitu mobilnya aku bawa sendiri, dan kamu bisa pulang bareng Papa atau diantarkan Pak Bob naik mobil Papa setelah itu," kata Melody.

"Oh, nggak usah. Aku bisa pulang sendiri dengan taksi aja. Biar Papa pulang duluan dengan Pak Bob," kata Shaun.

"Oke. Kalau begitu sebentar lagi aku berangkat. Paling lambat pukul enam aku udah nyampe di rumah," kata Melody.

"Oke. See you home," kata Shaun. Hatinya merasa lega. Dia bisa pergi menemui Tania tanpa harus memberikan alasan yang masuk akal kepada Melody. Semuanya seperti sudah diatur!

**

Ketika Shaun tiba di Hotel Garden pukul setengah lima sore itu, hujan sedang turun dengan deras. Untunglah karena naik taksi, dia bisa turun persis di depan pintu masuk hotel tanpa perlu berbasah-basah.

Shaun berdiri di depan pintu kamar 304 dan mengetuknya.

Pintu segera dibuka. Seorang perempuan yang hanya mengenakan kimono berdiri di ambang pintu. Rambutnya yang hitam sekarang dipotong pendek. Selain seulas lipstik tipis, dia sama sekali tidak mengenakan makeup. Bau harum sabun menebar dari tubuhnya.

"Shaun!" pekik perempuan itu langsung melemparkan kedua tangannya ke leher Shaun. Sebelum Shaun pulih dari kagetnya, perempuan itu sudah mendekapnya erat-erat dan menciumi pipinya.

Lalu Shaun ditarik masuk ke dalam kamarnya, dan pintu kamar pun ditutup. Lalu dia mengalungkan kedua tangannya di leher Shaun lagi dan kembali menciuminya bertubi-rubi sampai Shaun berhasil melepaskan dirinya dan membawa Tania duduk di atas salah sebuah tempat tidur.

Di dalam kamar lampu yang dihidupkan hanyalah yang ada di samping tempat tidur, sehingga penerangan hanya redup saja. Shaun melihat di dalam kamar itu ada tiga buah koper.

"Oh, Shaun!" kata Tania menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis. lsakannya semakin lama semakin keras.

Shaun Harman hanya duduk di sampingnya dengan bingung.

Akhirnya Tania berhenti menangis. Dia memakai lengan kimononya untuk mengusap mata dan wajahnya. Dengan wajah sembap dia memandang Shaun dan berkata,

"Aku mau menjelaskan apa yang terjadi." Kata-katanya diselingi isakan-isakan kecil.

"Aku terpaksa melakukan apa yang aku lakukan."

Shaun tidak menjawab. Dia hanya menatap Tania tanpa kedip. Perempuan selalu memakai air mata sebagai senjata untuk meluruhkan hati laki-laki. Tapi kali ini dia tidak akan tertipu, pikirnya. Kira-kira hubungan Tania dan Chairul sudah putus dan sekarang perempuan ini mau kembali kepadanya, tapi sudah jelas dia tidak bakalan sudi! Memangnya dia ban serep!

"Aku tak pernah berhenti mencintaimu. Aku selalu mencintaimu," lanjut Tania.

"Masa? Kalau begitu kenapa kamu menyusul Chairul ke Canada?" tanya Shaun sambil mengerutkan keningnya.

"Aku nggak pernah ke Canada," kata Tania.

"Aku nggak ketemu Chairul."

Shaun terkejut.

"Hah? Kamu nggak ke Canada? Orangtuamu bilang kamu ke Canada!" kata Shaun.

"Itu hanya kamuflase. Aku tidak ke Canada. Aku ada di Cina, di Beijing," kata Tania.

"Beijing? What the bel! were you doing there?" kata Shaun. Tiba-tiba hatinya panas. Dia merasa tertipu dua kali!

"Berobat," kata Tania memandang dalam-dalam ke mata Shaun.

"Aku berobat di sana, Shaun! i was lying."

"Kamu ini lagi mabuk atau hilang ingatan?" kata Shaun dengan nada marah.

"Kamu sekarang mau menipu aku lagi?"

"No. no, no, no! Aku nggak nipu! Sungguh, waktu itu aku nggak punya pilihan lain. Aku ketahuan punya kanker di kepalaku! Aku divonis hanya punya waktu beberapa bulan saja," kata Tania.

'What." protes Shaun.

"Itu bohong! Andai kamu punya kanker, masa kamu tidak memberitahu aku? Selama kita bersama-sama. aku tidak pernah tahu kamu dinyatakan punya kanker!"

"Kamu ingat aku selalu sering sakit kepala?"

"Ya. Kan kata dokter itu migraine."

"Itu ternyata bukan migraine biasa. Kamu ingat aku dan ibuku pergi ke Singapore untuk berbelanja kebutuhan pernikahan kita?" tanya Tania.

"Ya."

"Nah, waktu di Singapore itu sakit kepalaku kumat dan ibuku menyuruh aku periksa di rumah sakit. Ternyata begitu di-cek langsung ketahuan ada sesuatu di kepalaku. Dan kanker itu tidak bisa dioperasi."

"Astaga! Kenapa kamu tidak bilang padaku? Kenapa orangtuamu tidak bilang kepadaku?" tanya Shaun melotot.

"Aku yang melarang mereka membuka mulut karena aku tak mau kamu tahu."

"Kenapa? Kita kan sedang bertunangan waktu itu! Aku akan menjadi suamimu! Aku berhak tahu!" kata Shaun.

"Tidak. Aku tahu kamu sangat mencintai aku, Shaun, dan kalau kamu harus menyaksikan aku mati karena kanker, aku tahu kamu akan hancur. Aku mau menghindarkan kamu dari pengalaman itu. Lebih

baik kamu menganggap aku berkhianat dan meninggalkan kamu daripada kamu melihatku mati sedikit demi sedikit setiap hari. Kamu pasti akan dapat melupakan aku jika kamu mengira aku meninggalkanmu untuk laki-laki lain. Kamu akan membenciku, dan kamu akan bisa melanjutkan hidupmu. Itulah sebabnya aku merahasiakan hal itu darimu. Karena aku mencintaimu!" kata Tania.

"No! No! No!" Shaun menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya serasa diremas-remas dengan kasar.

"Itu adalah pengorbanan paling besar yang pernah aku buat dalam hidupku, Shaun. Aku melakukannya supaya kamu bisa tetap hidup. Aku akan mati. tapi aku ingin kamu tetap hidup dan berbahagia," kata Tania.

"Astaga!" kata Shaun menutup mulutnya dengan tangannya.

"Itulah sebabnya sekembalinya dari Singapore, aku memutuskan untuk pergi ke Cina. Selain untuk menjauhkan diri darimu. aku masih berusaha mengobati penyakitku walaupun kemungkinannya untuk sembuh hampir nihil," kata Tania.

"Ya Tuhan!" kata Shaun langsung memegang kedua bahu Tania.

"Dan gimana keadaanmu sekarang?" ranyanya.

"Kata dokter-dokter Cina. aku sembuh!" jawab Tania yang langsung meledak dalam tangis.

'thank God' thank God'" bisik Shaun yang langsung memeluk gadis itu erat-erat.

Untuk beberapa saat lamanya mereka sama-sama

larut dalam tangis. entah tangis bahagia. atau tangis penyesalan.

"Kenapa kamu tidak memberiku kabar sampai sekarang?" tanya Shaun setelah tenang kembali.

"Sebelum aku yakin aku betul-betul sembuh. aku tidak mau memberitahumu. Dokter di Beijing menyatakan aku sungguh-sungguh sudah bebas sel kanker minggu lalu. Jadi aku berani mencarimu. Aku baru tiba dari Cina kemarin." kata Tania.

Shaun membawa Tania ke dalam pelukannya lagi. dan kali ini dia menciumi wajah gadis itu berkalikali.

"jadi kamu diapakan saja oleh dokter-dokter di sana?" tanya Shaun.

"Aku menjalani kemo berkali-kali. dan minum segala macam ramuan mereka. Aku juga diajarin dan diharuskan melakukan pernapasan Qi Kung dan berlatih Tai Chi. Ternyata kankerku mengecil dan mengecil. Tapi karena tadinya sudah stadium tiga, dokterdokter di sana belum berani berharap terlalu banyak. Mereka menginginkan aku tetap tinggal di sana supaya mereka bisa terus memantauku. Kankerku bandel. Setelah ukurannya menyusut separo, sisanya bertahan. Dokter-dokter mulai putus asa, tapi aku mau sembuh. Aku mau bertemu denganmu lagi. Jadi aku memaksa mereka untuk terus melanjutkan pengobatanku walaupun seolah tak ada harapan. Mereka mencoba segala bentuk pengobatan. Akhirnya kanker yang tersisa itu mulai mengecil lagi. Berbulan-bulan mereka mengikuti perkembangan yang menggembirakan ini, sampai

akhirnya mereka benar-benar yakin minggu lalu bahwa aku sudah sembuh total dan semua sel kanker sudah tidak ada lagi di tubuhku."

"Selama itu kamu tinggal di sana seorang diri?" tanya Shaun.

"Tidak. Orangtuaku ikut ada di sana. Ibuku terus mendampingi aku di sana. Ayahku menyusul pindah enam bulan kemudian."

"0. jadi itu sebabnya aku melihat kantor ayahmu di sini tutup dan rumahmu juga sudah ditinggali orang lain."

"Setelah enam bulan aku berobat di sana, ayahku memutuskan untuk memindahkan usahanya ke sana supaya bisa dekat denganku. Selain memang ada kesempatan baginya untuk berusaha di sana, dia juga ingin bisa melewatkan sebanyak-banyaknya waktu bersamaku, karena tidak ada orang yang tahu sampai kapan aku bisa bertahan hidup."

Shaun memeluk Tania lagi, mendekapnya erat-erat. Beribu perasaan berkecamuk di dalam dadanya.

"Aku nggak pernah berharap bisa bertemu denganmu lagi," kata Tania di antara air matanya.

"Hari ini adalah suatu mukjizat. Ini adalah hadiah Natal yang terbesar bagiku."

"Kamu seharusnya memberitahu aku," kata Shaun sambil menangis.

"Kamu seharusnya memberitahu aku."

"Sekarang semuanya sudah beres." kata Tania menghapus air mata Shaun dengan jari-jarinya.

"Aku sudah sembuh. Kita bertemu lagi."

Tapi tangis Shaun justru semakin menjadi. Dia terisak sampai bahunya terguncang-guncang terus.

Di dalam pelukannya Tania terus-menerus mengusap wajah Shaun sambil membisikkan "Sssttt-ssssttt".

Saat itu terdengar ketukan di pintu. Tania mengangkat kepalanya dan berkata,

"Itu Mama. Tadi aku memintanya untuk memberi kita kesempatan bicara berdua."

Tania pun berdiri dan pergi membukakan pintu. Seorang perempuan yang masih tampak cantik di usia awal lima puluh, tersenyum di ambang pintu, lalu melangkah masuk.


Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari

Cari Blog Ini