Ceritasilat Novel Online

Misteri Melody Yang Terinterupsi 4

Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 4



"Halo, Shaun!" kata Nyonya Hidayat Utomo.

Shaun berdiri, mengusap matanya dan menganggukkan kepalanya. Dia tidak kuasa berbicara.

"Maafkan Tante telah berbohong kepadamu," kata Nyonya Hidayat Utomo.

"Tapi kami melakukannya demi kebaikanmu."

Shaun mengangguk lagi.

"Tante tahu kamu pasti masih sangat terkejut. Tapi yang penting. Tania sekarang sudah sembuh, dan kalau kalian mau melanjutkan hubungan, ini merupakan kesempatan kedua," kata Nyonya Hidayat Utomo.

Shaun mengangguk lagi. Tidak tahu harus berkata apa.

"Apa kalian masih perlu waktu untuk berbicara berdua lebih lama lagi? Kalau iya, Tante akan menunggu di lobi aja," kata Nyonya Utomo.

"Eh, tidak, tidak," kata Shaun.

"Saya harus pergi sekarang. Saya... saya masih ada keperluan."

"Aduh, Shaun! Aku baru melihatmu. Masih belum selesai melepas rindu." kata Tania bergelayut di lengan Shaun.

"Kemarin begitu tiba di Bandara Juanda aku langsung menelepon ke rumahmu, tapi kok dibilang salah alamat ya?"

"Apa? Kamu menelepon ke rumah?" Shaun kaget sekali.

"Iya. Tapi kata yang menerima telepon di sana nggak ada yang namanya Shaun Harman, gitu. Memangnya kamu udah pindah?" tanya Tania.

"Oh," kata Shaun bernapas lega. Rupanya Tania menelepon ke rumahnya yang lama, yang dulu dibelinya untuk tempat tinggal mereka berdua.

"Iya, setelah kamu pergi rumah itu aku jual," katanya.

"Pantesan kemarin aku nggak bisa kontak kamu. Lalu aku mau menelepon ke kantormu, tapi kemarin kan Natal, jadi tutup. Makanya baru hari ini aku bisa kontak kamu."

"Aku harus pergi sekarang," kata Shaun.

"Sori. Tapi sungguh aku harus pergi. Aku punya urusan."

"Iyalah, Nia, Shaun kan punya kesibukan sendiri. Sudah lima tahun kalian putus kontak. Kamu nggak bisa berharap dia meninggalkan semua urusannya begitu kamu muncul," kata Nyonya Utomo.

"Kapan kita ketemu lagi?" tanya Tania masih tidak melepaskan cekalannya pada lengan Shaun.

"Besok. Besok aku akan meneleponmu," kata Shaun.

"Pukul berapa?" tanya Tania.

"Pagi," kata Shaun.

"Kenapa nggak nanti malam aja? Sebelum tidur?" kata Tania.

"Nanti malam tidak bisa, aku... aku tidak tahu pukul berapa aku pulang."

"Aku bisa menunggu. Kamu telepon saja, walaupun aku sudah tidur, aku pasti akan bangun menerimanya," kata Tania.

"Besok saja. Aku telepon besok saja," kata Shaun bingung.

"Iyalah, Nia. Besok kan juga bisa. Biar malam ini Shaun pulih dulu dari shock-nya," kata Nyonya Utomo.

"Besok kita punya banyak waktu untuk berbicara. Besok kan Shaun bisa mengaturnya supaya dia punya waktu untuk berbicara denganmu."

"Iya," kata Shaun sambil mengangguk.

Tania memandang Shaun sejenak, lalu diciumnya bibir Shaun ringan-ringan. Setelah itu dilepaskannya pegangannya pada lengan Shaun.

"Oke, aku tunggu besok," katanya.

Shaun mengangguk.

"Tante, saya permisi," katanya. Dan kepada Tania dia hanya menepuk pipinya dua kali, lalu dia segera membuka pintu kamar dan berlalu.

**

HUJAN deras. Sepanjang malam Shaun Harman gelisah. Bunyi curah hujan yang mengenai kaca jendela kamarnya di luar menyiksa batinnya. seakan-akan mendera dadanya satu sayatan demi satu sayatan. Terus-menerus, tak henti-hentinya. Dari waktu ke waktu terdengar gemuruh halilintar yang kilatannya sempat menembus gorden jendela. Untunglah Melody tidur terus dengan nyenyak di sampingnya sehingga Shaun tidak usah menjelaskan mengapa dia seperti ikan tanpa air.

Shaun memutuskan untuk tidak memberitahu Melody saat ini tentang apa yang terjadi. Dia harus tahu dulu apa yang akan dilakukannya dengan perkembangan yang terakhir ini. Sekarang ini dia sendiri masih bingung. Tania adalah perempuan pertama yang dicintainya. bahkan kalau mau jujur, sangat dicintainya. Perasaannya terhadap Tania amat berbeda dengan perasaannya terhadap Melody. Tania bisa membangkitkan semua emosinya yang terbaik. Dia menjadi orang yang lebih sabar, lebih lembut, lebih hangat, lebih penyayang, lebih perhatian. lebih mencintai. Bersama Melody dia merasa biasa saja. tak ada yang istimewa. Bahkan setelah Melody menjadi istrinya pun dia tidak pernah merasakan gelora yang pernah dialaminya bersama Tania dulu. Tadinya dia menganggap itu dikarenakan sekarang dia sudah lebih dewasa, lebih tua beberapa tahun, jadi emosinya juga sudah menurun digantikan oleh akal sehat dan logika. Tapi begitu dia bertemu lagi dengan Tania kemarin. ternyata semua perasaan lamanya timbul. gejolaknya, geloranya, passion-nya.

Sebelumnya dia merasa tidak sulit untuk memberikan cintanya kepada Melody karena Tania sudah dibuangnya dari benaknya. (Tadinya dia menganggap apa yang diberikannya kepada Melody memang benar cintanya.) Tania yang dianggapnya sudah berkhianat dan meninggalkannya, tak pantas untuk diingat-ingat lagi. jadi dia bisa mengalihkan cintanya kepada Melody tanpa perasaan bersalah.

Tapi sekarang ceritanya lain lagi! Ternyata Tania tak pernah mengkhianatinya! Tania justru masih tetap mencintainya! Tania justru berkorban baginya! Bagaimana dia bisa membencinya lagi? Tania yang dengan berani menghadapi maut sendiri demi menghindarkan dirinya dari kesedihan yang luar biasa, sekarang bukan lagi sosok seorang pengkhianat di matanya. Justru sebaliknya! Tania sekarang justru terbukti sebagai orang yang benar-benar mencintainya. yang telah mendahulukan kepentingan dan kebahagiaan dirinya di

atas kepentingannya sendiri. Bagaimana dia bisa tidak mencintai gadis itu lagi?

Saat mendengarkan cerita Tania. hati Shaun Harman bagai dihantam angin puting beliung. hancur terbang berserakan. Betapa inginnya dia tadi berlutut di hadapan Tania dan memohon maafnya karena telah membencinya selama ini. Betapa inginnya dia memeluk dan mendekap gadis itu untuk selamanya tak melepaskannya lagi. Andaikan Tania muncul dua bulan yang lalu. tak akan ada keraguan di hatinya untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Melody dan kembali ke Tania. Tapi sekarang dia sudah resmi menjadi suami Melody Lesmana. Dia sudah tak bebas lagi.

Bagaimana dia harus memberitahu Tania bahwa dia sudah menikah? Sekarang terbukti bukan Tania yang mengkhianati cinta mereka. justru dialah yang telah mengkhianati cinta mereka! Dengan harapan hidup yang bebas dari kanker Tania kembali kepadanya, tapi apa? Dia sudah kawin dengan perempuan lain!!! Astaga. alangkah berdosanya dia terhadap Tania! Sementara gadis itu berjuang melawan maut, dia membencinya. dan malah menikah dengan perempuan lain.

Pukul empat pagi Shaun Harman pun turun dari tempat tidurnya. Sepanjang malam nyaris dia tidak tidur sama sekali. Dia hanya membalik tubuhnya ke kanan dan ke kiri. sambil berharap agar pagi segera datang dan dia boleh meninggalkan tempat tidurnya. Hujan sekarang sudah berhenti, tapi masih terdengar bunyi tetes air yang jatuh satu per satu dari ujung atap ke atas batu-batu di halaman.

Perlahan-lahan dia membuka pintu, meninggalkan kamar tidurnya, menutup pintu kembali, lalu turun ke bawah. Dia sengaja tidak memakai kamar mandi yang terletak di samping kamar tidurnya dan memilih untuk memakai kamar mandi yang di bawah saja.

Pembantunya Bik Mur yang sedang membersihkan ruang makan, sedikit terkejut melihat majikannya sudah turun. Tak biasanya si tuan rumah bangun sepagi ini.

"Kok pagi, Pak?" tanya Bik Mur.

"Iya, mau olahraga," kata Shaun.

"Ada kopi?"

"Belum bikin," jawab Bik Mur.

"Kalau mau saya tuangkan sekarang."

"Iya, buatkan," kata Shaun. Lalu dia masuk ke kamar mandi tamu di sebelah anak tangga untuk menggOsok giginya.

Ketika Shaun keluar dari kamar mandi, secangkir kopi panas sudah tersedia di atas meja.

"Mau sarapan sekarang. Pak?" tanya Bik Mur.

"Nanti saja, Bik. Abis ngopi saya mau olahraga dulu."

"Ibu nggak ikut?" tanya Bik Mur.

"Enggak. Biar Ibu tidur saja," kata Shaun.

Bik Mur pun mengangguk. Dia sudah lima tahun lebih ikut majikannya ini, saat majikannya baru pindah ke rumahnya yang lama di Darmo Harapan. Waktu itu majikannya akan menikah dengan seorang gadis yang bernama Tania. Dia sudah beberapa kali bertemu dengan Mbak Tania itu dan dia sudah senang bakal punya seorang nyonya yang baik dan sabar seperti gadis itu. Tapi tiba-tiba semuanya batal.

Bik Mur tidak tahu alasannya. Yang dia tahu hanyalah majikannya kemudian menjual rumah di Darmo Harapan itu, dan pindah kemari.

Pagi ini Bik Mur tidak punya kecurigaan apa-apa. Sebelum menikah majikannya memang suka keluar pagi-pagi untuk lari pagi, jadi kali ini pun dia tidak heran

Sehabis ngopi, Shaun mengenakan sepatu olahraganya, lalu keluar. Rumah mereka memang terletak di daerah permukiman baru yang eksklusif. Rumah-rumah di sini dikelilingi oleh taman-taman yang asri. Jalannya di-paving, dan pagi-pagi begini udaranya sejuk dan bersih, apalagi hujan baru saja berhenti. Tak heran pagi ini pun banyak warga yang jalan-jalan atau joging di kompleks ini.

Shaun pun mulai berjalan. Dia tidak berniat untuk lari hari ini, dia hanya merasa perlu meninggalkan rumahnya. Dia merasa seolah-olah tersekap di dalam rumah, tidak bisa bernapas. Dia merasa perlu menghirup udara segar, perlu merasa bebas, perlu menyendiri, jauh dari orang-orang yang mengenalnya.

Apa yang harus aku lakukan, pikirnya sambil berjalan. Bau rumput basah dan tanaman yang segar setelah diguyur hujan deras semalam, tak terekam oleh pancaindranya. Satu-satunya yang memenuhi kepalanya sekarang hanyalah problem yang dihadapinya.-keharusannya memilih antara Tania dan Melody. Jika aku memberitahu Tania aku sudah menikah, hatinya pasti hancur. Bukankah Tania mengatakan bahwa hanya cintanya kepada Shaun-lah yang membuatnya

tak putus asa untuk menaklukkan penyakitnya? Kalau sekarang dia tahu laki-laki yang menjadi tujuan hidupnya selama ini justru sudah menikah. bagaimana dia akan menerimanya? Shaun merasa dia tak bisa berbuat sekejam itu kepada Tania. Tapi jika dia harus meninggalkan Melody. apakah itu juga tidak berbuat kejam kepada perempuan yang sudah menjadi istrinya? Melody tidak berbuat kesalahan apa-apa, bagaimana dia bisa tega menyakiti hatinya?

Jadi?

Angin pagi bertiup perlahan-lahan, mengusap wajahnya, rambutnya, tubuhnya. seolah-olah membelainya. Angin yang datang setelah hujan selalu terasa lebih lembut. lebih dingin. Tapi Shaun tidak merasakannya. Begitu tenggelamnya dia dalam pikirannya sampai dia pun tak lagi melihat orang-orang lain yang juga sedang berjalan pagi atau joging saat berpapasan dengannya.

jika dibandingkan antara Melody dengan Tania. maka Shaun harus mengakui bahwa Melody adalah wanita yang lebih tegar. Usianya memang lebih muda, tapi dia terbuat dari bahan yang kokoh. Berkali-kali sudah Shaun menyaksikan ketegarannya. Tak salah ayahnya mengangkatnya sebagai CEO pemsahaannya. Melody Lesmana tak kalah dari CEO laki-laki mana pun. Shaun bangga padanya.

Lain halnya dengan Tania Utomo. Tania adalah seorang gadis yang hangat, diterima". Tania tidak setegar Melody, dan jelas juga tidak sekokoh Melody. Tania mirip seekor anjing kecil, yang manja dan bergantung seratus persen kepada kemurahan hati majikannya, yang tanpa pamrih dengan setia menunggui dan mencintai majikannya sepenuh hati dan rela mengorbankan nyawanya untuk sang majikan. Melody lebih perhitungan. Semua harus ada timbal balik baginya. Melody mementingkan keadilan. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan dirinya jika dia tidak mendapatkan manfaat yang memadai dari pengorbanan itu. Sebaliknya Tania bisa berkorban banyak untuk orang yang dicintainya, tanpa pamrih. Hidupnya diliputi cinta.

Hidup bersama Tania akan dipenuhi cinta. kemesraan. kehangatan. dan keintiman. Bersama Melody hidupnya akan didominasi oleh kesejajaran. kewajiban, dan tanggung jawab. Melody ingin berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan suaminya; Tania pasti lebih suka berlindung di bawah kepak sang suami. Dengan Tania tak akan ada kompetisi, Tania akan seratus persen mengakui dominasi suaminya. Tak begitu halnya dengan Melody. Shaun selalu merasa dia harus membuktikan bahwa dia lebih kompeten daripada Melody untuk menjadi kepala keluarga. Hidup bersama Tania pasti lebih santai, dengan Melody lebih banyak tantangan.

Kalau mau jujur. timbangan Shaun Harman sudah lebih berat ke arah Tania. Tapi karena dia juga tak ingin menyakiti hati Melody yang dalam hal ini sama sekali tidak bersalah, maka dia pun kebingungan akan apa yang harus dilakukannya. jika dia sampai meninggalkan Melody. maka dia menjadi laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Melody Lesmana tak pantas mendapat perlakuan itu dari suaminya. Danny Lesmana

tak pantas mendapat perlakuan itu dari menantunya! Selama bekerja untuk Danny Lesmana, mertuanya itu selalu baik terhadapnya. Bagaimana dia sekarang bisa menyakiti hati kedua orang ini yang hanya berbuat baik kepadanya?

Shaun Harman menyesali dirinya. Mengapa dia setuju menikah dengan Melody Lesmana? Sebenarnya di dalam hatinya dia sadar bahwa dia tidak benar-benar mencintai gadis itu-tidak seperti cintanya kepada Tania. jadi pernikahannya dengan Melody bukanlah berdasarkan cinta, melainkan berdasarkan banyak pertimbangan lain, yang pada saat itu dianggap sangat masuk akal. Andaikan dia benar-benar mencintai Melody. maka problem yang dihadapinya sekarang ini tak pernah akan ada. Dia akan bisa mengatakan kepada Tania bahwa mereka telah berpisah sekian lamanya. bahwa dia sudah tidak mencintainya lagi, bahwa dia telah jatuh cinta kepada perempuan lain, dan sekarang dia sudah menikah.

justru karena sebetulnya hatinya masih mencintai Tania, maka sekarang dia merasa konyol. Konyol dan tidak tahu harus berbuat bagaimana!

Sampai pukul setengah tujuh ketika Shaun kembali ke rumahnya, dia masih belum menemukan jawabannya.

"Kamu sangat diam pagi ini," kata Melody di dalam mobil dalam perjalanan mereka ke kantor. Dahinya mengerut. Dia tampak khawatir.

"Hmmm.... Masa?" balas Shaun Harman berharap suaranya tetap tenang dan tidak menimbulkan kecurigaan istrinya.

"Apa yang dipikirin?" tanya Melody.

"Maunya sih nggak mikir. tapi banyak kerjaan yang perlu aku review lagi." kata Shaun.

"Mikir kerjaan itu ntar sampai di kantor aja," bisik Melody. sekarang mulai tersenyum. Ah. jadi tidak ada masalah yang besar, pikirnya.

"Sekarang mikir istri aja."

Shaun Harman pun tertawa kecil. berusaha menutupi degup jantungnya yang semakin kencang. Dia harus menemui Tania pagi ini. dia sudah berjanji kemarin. Dia perlu menciptakan alasan agar bisa meninggalkan kantor tanpa dicurigai istrinya.

Mereka turun di lobi dan setelah saling melemparkan senyum, masingmasing menuju ke kamar kerjanya sendiri yang letaknya bersebelahan.

Di perusahaan ini hanya tiga pesawat telepon yang punya len langsung keluar dan tidak usah lewat PABX atau si resepsionis. Yang satu sudah pasti di kantor Melody. yang satu lagi di kantor Shaun. dan yang terakhir di bekas kantor Sabine lemar yang sekarang ditempati Jaka Herlambang. Tapi selama ini Shaun Harman tidak pernah menyambung teleponnya sendiri, selalu Ella yang melakukannya untuknya, karena selama ini yang ditelepon Shaun hanyalah orangorang yang ada kaitannya dengan perusahaan ini. Tapi hari ini tidak. Begitu masuk ke kamar kerjanya.

Shaun Harman pun mengangkat gagang teleponnya dan menelepon sendiri ke Hotel Garden.

Shaun merasakan detak jantungnya terus bertambah cepat sementara menunggu resepsionis hotel menghubungkannya dengan kamar Tania.

"Halo!" Suara Tania terdengar begitu cerah, begitu gembira.

"Selamat pagi." kata Shaun.

"Pagi, Yang!" jawab Tania memakai nama panggilan kesayangannya untuk Shaun.

"Aku udah nunggu dari tadi. kok nggak menelepon pagi-pagi. Kemarin aku lupa tanya nomor telepon di rumahmu yang baru. Juga alamat rumahmu yang baru."

Shaun tidak mau memberitahukan alamat maupun nomor telepon rumahnya, khawatir tiba-tiba Tania menelepon ke sana dan diterima Meiody.

"Aku sekarang ke sana, bisa?" tanya Shaun mengalihkan perhalian.

"Jelas!" kekeh Tania.

"Dari tadi aku udah nunggu. Kamu cuti ajalah hari ini, kan masih suasana Natal."

"Justru akhir tahun begini lagi banyak pekerjaan. Tapi aku bisa izin keluar sebentar." kata Shaun.

"Oke. Kalau begitu aku tunggu!"

Begitu Shaun Harman melangkah masuk ke lobi Hotel

Garden, seorang gadis cantik segera berdiri dari duduknya dan menghampirinya. Sebelum Shaun sempat

berkata apa-apa, gadis itu sudah mendaratkan sebuah kecupan di bibirnya dan bergelayut manja di lengannya, di hadapan orang-orang lain yang berada di sana.

Shaun Harman hanya bisa tersenyum dan membiarkan dirinya digali-ndang si gadis menuju lift.

"Kamu dapat izin berapa jam?" tanya Tania Utomo sembari memencet tombol lift.

"Sebelum makan siang aku harus kembali." kata Shaun.

"Ada rapat."

"Wah. kok pelit amat bosmu." kata Tania "Itu berarti jam sebelas kamu sudah harus kembali?"

Pintu lift membuka dan mereka pun masuk. Di dalam privasi lift yang tertutup, Tania mencuri ciuman lagi dan kali ini Shaun membalasnya, walau hanya sekejap.

"Mamamu di mana?" tanya Shaun begitu pintu lift membuka.

"Hari ini Mama pergi mengunjungi Tante Fanny, bekas tetangga kami, jadi kita bisa ngobrol dengan bebas," kata Tania tak melepaskan pegangannya di lengan Shaun.

Dia menancapkan anak kunci di lubangnya dan membuka pintu kamarnya. Begitu Shaun menutup pintu di balik punggungnya. Tania sudah langsung melemparkan kedua lengannya di leher Shaun dan menciuminya bertubi'tubi. Seperti tadi di dalam lift, Shaun pun membalasnya. tapi kali ini dengan bersemangat. Sampai mereka sama-sama kehabisan napas barulah mereka berhenti. Tania pun menarik lengan Shaun ke tempat tidur. Lalu dia membaringkan dirinya di sana.

Shaun duduk di atas tempat tidur dan membungkuk di atas Tania.

"Kamu tahu," kata Tania memandang serius ke mata Shaun,

"selama ini tak pernah lewat sehari pun yang aku tidak memikirkan kamu. Bahkan saat menjalani kemo pun, saat aku merasa seperti mau mati rasanya. aku masih memikirkan kamu."

Shaun menundukkan kepalanya dan mencium bibir Tania lagi. Kali ini dengan lembut, dengan penuh kasih sayang.

"Ini mukjizat," bisik Tania di telinga Shaun.

"Aku mendapat kesempatan kedua. Doaku terjawab. Aku bisa melihatmu lagi. bisa menyentuhmu lagi, menciummu lagi."

Shaun Harman mempererat pelukannya. Dia mencium bau wangi rambut Tania. merasakan kembali kehalusan kulitnya, dan semua bayangan Melody pun lenyap dari ingatannya.

Tania memegang kedua pipi Shaun, mengangkat kepalanya, dan memandang dalam ke matanya.

"Shaun, kita bisa menikah sekarang," kata Tania serius.

Kata-kata itu menyadarkan Shaun. Menikah! Astaga! Melody! Perlahan-lahan dia menarik tubuhnya mundur sambil menghela napas panjang. Perubahan sikapnya langsung tertangkap Tania.

"Kenapa?" tanyanya. Something wrong?"

Shaun memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. dari menghadap Tania, sekarang menghadap ke pintu kamar.

Tania pun langsung duduk. Dia meletakkan tangannya di atas tangan Shaun.

"Tell me," katanya.

Shaun memalingkan wajahnya. Dia memutuskan untuk berterus terang kepada Tania sekarang. Kalau tidak Sekarang, kapan lagi?

"Aku sudah menikah," kata Shaun lirih.

Ekspresi wajah Tania menggambarkan seakan-akan dia kena guyur seember air es. Langsung membeku.

"Aku tidak tahu kamu akan kembali," lanjut Shaun.

"Aku sangka kamu sudah menikah di Canada. Aku tidak menyangka akan ketemu kamu lagi."

Ada rasa ngeri yang terpancar dari sorot mata Tania.

"Maafkan aku, Nia. Maafkan aku," kata Shaun dengan nada memohon.

Tania menggigit bibirnya lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku tahu. Aku tahu mimpi ini terlalu indah untuk bisa menjadi realita," katanya dengan suara lirih. Dia menarik tangannya kembali.

"Aku tidak menyalahkan kamu. Aku memang telah meninggalkan kamu, aku tidak mengirim kabar, sudah pasti kamu melanjutkan hidupmu. Aku yang bodoh berharap kamu masih milikku."

Shaun memandang kepala Tania yang tertunduk. Hatinya seperti diremas-remas. Dia melingkarkan kedua lengannya dan membawa Tania kembali ke dalam pelukannya. Tak ada kata-kata yang diucapkannya, dia tak tahu harus berkata apa. Untuk beberapa saat lamanya mereka terkunci dalam posisi itu, hingga Shaun merasakan sesuatu yang hangat menyentuh bahunya. Dia menyadari Tania menangis tanpa suara.

Shaun mengusap-usap kepala dan punggung Tania.

"Maafkan aku," bisiknya di telinga Tania.

"Bukan salahmu," jawab Tania di antara isakannya.

"Seharusnya aku mencarimu. Seharusnya aku tidak menerima begitu saja alasan yang dikatakan orangtuamu," kata Shaun penuh penyesalan.

"Aku yang tak ingin berterus terang padamu. Bukan salahmu," ulang Tania lagi.

"Andai kamu kembali dua bulan yang lalu," kata Shaun.

Tania mengangkat kepalanya dari bahu Shaun dan bertanya,

"Kamu baru menikah dua bulan yang lalu?"

"Ya," jawab Shaun.

Tania meletakkan kepalanya di bahu Shaun dan menangis lagi.

Karena tak tahu harus berkata apa lagi. Shaun pun membiarkan Tania menangis sepuas-puasnya di bahunya sampai akhirnya gadis itu melepaskan dirinya dari pelukan Shaun.

"Aku yang harus minta maaf padamu," kata Tania.

"Aku seharusnya tanya dulu apakah kamu masih milikku."

"Aku selalu mencintaimu." kata Shaun.

"Tapi kamu sudah suami perempuan lain," kata Tania.

"Apakah kamu mencintainya?"

Shaun memejamkan matanya. Jawaban apa yang harus diberikannya? Bilang cinta dan semakin menghancurkan hati Tania? Bilang tidak cinta dan membuat situasinya semakin konyol?

"Seharusnya aku nggak tanya," kata Tania sambil geleng-geleng setelah agak lama Shaun diam saja.

"Betapa bodohnya aku. Tentu saja kamu mencintainya. dia istrimu."

Shaun tetap bungkam. Apa pun yang dikatakannya tidak akan memperbaiki kondisi.

"Siapa namanya? Apa aku kenal dia?" tanya Tania.

"Melody. Namanya Melody." kata Shaun.

"Melody Lesmana."

Tania mengerutkan keningnya.

"Lesmana? Masih keluarga Danny Lesmana, bosmu?" tanyanya.

"Anaknya," kata Shaun.

"Oh, jadi kamu menikah dengan anak bosmu?" tanya Tania.

Shaun mengangguk.

"Jodoh yang bagus kalau begitu," kata Tania mencoba tersenyum.

"Aku ikut bahagia untukmu."

Beberapa menit berikutnya tak ada yang berkatakata. Sama-sama merasa canggung.

Akhirnya, Tania-lah yang memecahkan kebisuan itu.

"Kalau begitu sebaiknya kamu sekarang kembali ke istrimu, Shaun," katanya.

"Atau ke kantormu. Kamu akan rapat, kan?"

Shaun Harman mengangkat matanya dan menatap Tania. Segala macam perasaan bercampur aduk di dalam hatinya.

"Kita lupakan saja pertemuan ini. Kita lupakan saja bahwa aku pernah kembali dan kita pernah bertemu lagi," kata Tania.

"Itu tidak mungkin," kata Shaun dengan kesedihan yang mendalam.

"Anggap saja aku sudah mati, atau aku tinggal di Canada dan sudah menikah dan punya anak tiga orang," kata Tania menghapus ekor matanya yang masih basah.

Shaun Harman menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku yakin aku tak akan bisa berbuat itu," katanya.

"Ya harus. Demi istrimu. Demi perkawinanmu," kata Tania.

Shaun merasa dadanya sesak, seakan-akan ada gelombang besar di dalamnya yang ingin menggulungnya. Tanpa disadarinya, matanya basah, dan dia pun menangis terguguk.

Tania melepas kacamata Shaun dan meletakkannya di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.

"itu artinya kita memang tidak jodoh, Shaun. Aku mengerti sekarang. kita memang tidak jodoh. Pertama kalinya kanker yang memisahkan kita. Sekarang, cintamu pada istrimu. Itu takdir kita. Kita tidak bisa melawan takdir."

Shaun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menutupi wajahnya. Dia masih belum bisa mengendalikan emosinya.

"Ceritakan tentang istrimu," kata Tania.

Shaun menggelengkan kepalanya lagi.

"Dia pasti sangat cantik," kata Tania lagi.

Shaun tidak menjawab.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka membisu lagi, sampai akhirnya Tania menepuk lutut Shaun.

"Kamu sebaiknya kembali ke kantor," katanya.

"Semakin lama kamu di sini, semakin berat aku melepasmu. Pergilah sekarang. Lupakan hari ini. Kembalilah ke istrimu."

Lalu Tania berdiri dan masuk ke kamar mandi. Shaun mendengar dia mengunci pintu dari dalam.

"Aku nggak mau melihatmu lagi saat aku keluar dari kamar mandi, Shaun. Pulanglah! Aku doakan kamu bahagia," kata Tania dari dalam kamar mandi.

"Dan jangan lupa kacamatamu!" tambahnya.

Shaun menunggu beberapa menit, tapi Tania tidak keluar lagi. Lalu dia pun berdiri, pergi ke pintu, membukanya, dan menutupnya lagi di belakang punggungnya.

Shaun Harman tidak kembali ke kantornya. Hatinya galau. Dia mengendarai mobilnya tanpa tujuan. Langit mendung dan hujan mulai turun lagi, walau belum deras. Di jalan banyak sepeda motor yang mulai ngebut, mungkin pengendaranya ingin cepat sampai di tempat tujuan sebelum hujan turun lebih deras. Setelah keliling-keliling mengitari kota, akhirnya

Shaun berhenti di sebuah restoran di pinggiran kota. Dia memarkir mobilnya. masuk, dan memesan minuman. Dia perlu waktu untuk berpikir.

Restoran ini sepi, mungkin karena belum jam makan, mungkin juga karena hujan sehingga banyak orang membatalkan niat untuk makan di sana. Shaun duduk di meja di samping jendela dan memandang butir-butir air yang mengalir turun. Dia tak tahu harus berbuat apa. Memang sekarang dia suami Melody Lesmana, tapi dengan jujur dia harus mengakui bahwa dia tak pernah mencintai Melody seperti cintanya pada Tania. Tania adalah cintanya yang pertama, dan setelah perjumpaannya kembali dengan gadis itu, dia merasa yakin Tania adalah cintanya yang sejati.

Bisakah dia tetap mencintai Melody setelah ini? Kalau sebelumnya dia bisa mengubur bayangan Tania dengan amarah dan kebenciannya terhadap gadis yang disangkanya telah meninggalkannya untuk laki-laki lain. sekarang sudah pasti dia tak akan bisa melakukannya lagi. Sekarang dia tahu Tania masih mencintainya, sekarang dia tahu tak ada laki-laki lain dalam hidup Tania, sekarang dia tahu Tania meninggalkannya karena kena kanker. Semua cintanya yang terpendam sekarang muncul lagi ke permukaan. menenggelamkan perasaan apa pun yang pernah dimilikinya bagi Melody.

Pantaskah dia tetap beristrikan Melody padahal hatinya mencintai perempuan lain.Melody wanita yang baik. dia seharusnya mendapatkan suami yang seratus persen mencintainya. Setelah bertemu kembali dengan Tania, Shaun yakin dia tak mungkin mencintai Melody seratus persen. Walaupun dia tidak berselingkuh dengan Tania. walaupun Tania meninggalkan Surabaya dan tak pernah kontak dengannya lagi. dia tahu hatinya ada pada wanita itu.

Tiga jam kemudian hujan sudah berhenti. Jam makan siang di Lesmana Corporation sudah lama lewat. tapi Shaun Harman masih duduk di mejanya sambil menghabiskan cangkir kopinya yang keempat. Tamutamu yang lain datang dan pergi, hanya dia seorang yang masih duduk di tempatnya, dan sekarang mulai menjadi bahan spekulasi para waiter yang memandangnya dengan penuh curiga. Apakah ini seorang penjahat yang akan merampok mereka begitu tak ada lagi tamu yang lain? Apakah ini seorang yang kurang waras karena pandangannya lebih sering kosong daripada terfokus? Apakah ini seorang buron dan sedang bersembunyi di sini dari kejaran polisi? Untuk mengantisipasi setiap kemungkinan. waiter yang berperawakan paling tinggi besar memosisikan dirinya tak jauh di belakang kursi Shaun. siap untuk merobohkannya andai dia membuat gerakan yang mencurigakan.

Untunglah Shaun tidak berbuat apa-apa yang sampai menyebabkan dia dirobohkan oleh si waiter ini. Setelah menghabiskan cangkir kopinya yang keempat, Shaun melambaikan tangannya kepada salah seorang waiter di depannya, dan memberinya uang yang diterima si waiter dengan napas lega. Dia telah membuat keputusan dan dia akan melaksanakannya.

Shaun melangkah keluar dari restoran itu dengan langkah-langkah yang lebih mantap dibandingkan tadi

saat dia melangkah masuk. Dia masuk ke mobilnya, dan mengendarainya lagi, tapi kali ini dengan tujuan-kembali ke Hotel Garden.

**

"Shaun!"

Tanpa berkata apa pun. Shaun melangkah masuk ke kamar Tania Utomo lagi.

Nyonya Hidayat Utomo yang sedang menata kopernya pun mengangkat kepalanya dengan kaget.

"Shaun, kamu bikin apa di sini lagi?" tanya Tania.

"Aku mau bicara. Aku sudah berpikir, aku memutuskan untuk menceraikan Melody dan menikah denganmu," kata Shaun Harman.

"What?" kata Tania kaget.

"Aku mencintaimu. Kita saling mencintai. Kita sudah merencanakan untuk menikah. Penyakitmu menggagalkan rencana kita. Sekarang kamu sudah sembuh. Rencana kita bisa dilanjutkan," kata Shaun.

"Tapi kamu sudah punya istri, Shaun!" timbrung Nyonya Utomo yang meninggalkan pekerjaannya dan mendekati Shaun.

"Saya akan menceraikan Melody, Tante," kata Shaun.

"Jangan! Itu tidak benar, Shaun!" kata Nyonya Utomo.

"Tante juga tidak akan mengizinkan Tania merebut suami perempuan lain!"

"Tania tidak merebut saya, Tante. Sejak semula hati saya adalah milik Tania. Andai saya tahu apa yang menimpa Tania. saya pasti akan mencarinya sampai ketemu dan menikahinya," kata Shaun.

"Aku tidak mau kamu menceraikan istrimu, Shaun," kata Tania.

"Melody berhak mendapatkan suami yang mencintainya sepenuh hati. Aku tidak bisa mencintainya sepenuh hati setelah aku tahu kamu masih ada di sini." kata Shaun.

"Aku tidak akan tetap di sini. Shaun." kata Tania.

"Besok pagi Mama dan aku akan kembali ke Beijing. Kami punya rumah di sana dan Papa juga bekerja di sana."

"Aku tidak akan kehilangan dirimu untuk yang kedua kalinya. Nia. Aku sudah membuat keputusan. Aku akan menceraikan Melody dan menikahimu." kata Shaun.

"Jika kamu menceraikan Melody, kamu akan dipecat mertuamu." kata Tania.

"Tidak apa. Aku akan mencari pekerjaan lain." kata Shaun.

"Shaun, istrimu jangan dikorbankan. Dia tidak bersalah. Kalau kamu ceraikan. hatinya pasti hancur," kata Nyonya Utomo.

"Melody akan mengerti. Dia perempuan yang tegar. Jangka panjang. perceraian ini lebih baik baginya. daripada dia tahu hati suaminya lekat pada perempuan lain," kata Shaun.

"Kamu pasti ini adalah yang kamu inginkan?" tanya Nyonya Utomo.

"Ya, Tante." kata Shaun mantap.

Nyonya Utomo memandang dari Shaun Harman ke putrinya, lalu mengangkat bahunya.

"Oke. kalian sudah sama-sama dewasa, jadi Tante serahkan semuanya ke tangan kalian sendiri. Apa pun keputusan yang kalian ambil, Tante akan mendukungnya," katanya.

"Mam, aku ingin bicara dengan Shaun empat mata," kata Tania.

"Oke, Mama akan tunggu di lobi," kata Nyonya Utomo segera meninggalkan mereka.

Shaun Harman segera memeluk dan menciumi Tania begitu ibunya keluar.

"Tadi kamu mengajakku menikah, sekarang aku yang mengajak kamu menikah," kata Shaun di antara ciuman-ciumannya.

"Aku tetap merasa kita melakukan kesalahan, Shaun," kata Tania.

"Aku tak ingin melukai hati istrimu."

"Aku juga tak ingin melukai hatinya, tapi tidak ada jalan lain," kata Shaun.

"Dia baru menjadi istrimu dua bulan. Kalian seharusnya masih sedang berbulan madu. Bagaimana sekarang kamu bisa datang padanya dan mengatakan kamu akan menceraikan dia?" kata Tania.

"Aku bisa membayangkan betapa kagetnya dia, betapa shock-nya."

Shaun menganggukkan kepalanya.

"Aku tahu. Dan sebisa-bisanya aku ingin menghindarkan dia dari itu semua. Tapi apa lagi alternatif kita?" katanya.

"Aku rasa lebih baik kamu kembali padanya, Shaun. Aku akan selalu merasa berdosa padanya jika kamu menceraikannya," kata Tania.

"Kita tak seharusnya berpisah, Nia. Kita saling mencintai," kata Shaun.

"Tapi kamu sudah ada yang punya."

"Baiklah," kata Shaun.

"Begini. Aku akan bercerita kepada Melody tentang kita, tentang kamu. Dan aku akan menyerahkan keputusannya kepada dia. Aku yakin, jika dia tahu tentang apa yang terjadi ini, dia pasti bersedia menceraikan aku."

Tania mengerutkan keningnya.

"Aku yakin dia tidak mau punya suami yang mencintai perempuan lain. Melody adalah wanita yang punya karakter. Dia sangat mandiri," kata Shaun.

Tania duduk di ujung tempat tidurnya. Sambil menundukkan kepalanya dia mengembuskan napas panjang.

"Seharusnya aku tidak kembali." katanya.

"Tidak! Kita ditakdirkan menjadi satu. Justru dengan kembalimu ini aku yakin, kita memang ditakdirkan menjadi satu," kata Shaun.

"Aku sudah ikhlas melepasmu. Shaun. Besok Mama dan aku akan kembali ke Beijing," kata Tania.

"Aku yang tidak ikhlas melepasmu!" kata Shaun.

"Tapi..."

"Ini takdir kita, Nia," bisik Shaun mencium bibir Tania lagi.

"Aku percaya, apa yang dimulai dengan sesuatu yang negatif, pasti akan berakhir negatif, Shaun. Kita

tidak akan bahagia jika kita tahu kita telah mengorbankan Melody untuk kepentingan kita sendiri," kata Tania.

"Makanya, kita biarkan Melody yang memilih." kata Shaun.

"Jika dia tidak bersedia melepaskan aku, ya aku akan tetap bersamanya. Jika dia bersedia melepaskan aku. kita bisa memulai perkawinan kita dengan hari yang lapang, tanpa perasaan bersalah."

"Tidak ada istri yang rela melepaskan suaminya dengan ikhlas. Shaun! Kalaupun dia melepaskan kamu, itu karena terpaksa."

"Apa pun alasannya, aku memberi dia kesempatan untuk membuat keputusan."

Tania menggelengkan kepalanya.

"Bagiku itu lebih kejam lagi. Dia yang disuruh membuat keputusan supaya kita tidak punya perasaan berdosa. No, I can't do that," kata Tania.

"Tapi itu satu-satunya kesempatan kita, Nia!"

"Aku selamanya tidak akan sanggup memandang wajahku sendiri di cermin, Shaun, kalau aku membiarkan kamu memanipulasi istrimu seperti itu. Lebih baik aku yang pergi tapi masih sanggup mengangkat kepalaku dengan bangga daripada aku mendapatkan kamu dengan cara yang tidak adil."

"Nia, takdir telah membawamu pulang kepadaku sekarang, itu pasti ada artinya! Artinya kita memang ditakdirkan bersama-sama!"

"Shaun, Mama menunggu di lobi. Enggak enak membuatnya menunggu terlalu lama," kata Tania.

"Oke, biar aku jemput dia naik," kata Shaun.

"Nggak usah. Kamu pulang aja. Kalau dia melihat kamu turun, pasti dia akan naik sendiri."

"Oke, aku akan bicara kepada Melody malam ini dan akan segera menghubungimu begitu semuanya clear."

"No! Jangan malam ini," kata Tania.

"Kita harus memikirkannya masak-masak sebelum bertindak. Membuat keputusan untuk bercerai itu bukan seperti membeli pisang goreng. Kita harus memikirkan semua efeknya. Kamu harus memikirkan semua efeknya. Kalau kamu membuat keputusan yang salah, dampaknya tidak hanya berhenti sampai kita berdua. Aku mau kamu memikirkannya dengan tenang tiga-empat hari. Sebelum kamu benar-benar yakin menceraikan istrimu adalah keputusan yang terbaik bagi kita semua, jangan mengambil tindakan apa pun."

"Aku sudah memikirkannya. Aku sudah yakin itulah keputusan yang paling bagus bagi kita semua," kata Shaun.

"Aku yang belum yakin. Aku juga perlu waktu untuk berpikir," kata Tania.

"Apa lagi yang mau dipikirkan, Nia? Kamu mencintai aku. Aku mencintaimu. Kita diberi kesempatan kedua oleh Tuhan. Masa kesempatan ini tidak kita ambil?" kata Shaun yang memeluk lagi Tania erat-erat.

"Aku diberi Tuhan kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup ini, Shaun. Apakah aku akan memakai kesempatan itu untuk menghancurkan hidup perempuan lain?" tanya Tania melepaskan dirinya dari pelukan Shaun.

"Astaga! Hal ini baru terpikirkan olehku!

Aku yakin itu bukan tujuan Tuhan memberiku kesempatan untuk melanjutkan hidupku," katanya.

"Nia, kita saling mencintai!" kata Shaun.

"Dengarkan aku! Aku akan bicara dengan Melody. Aku akan menjelaskan semuanya. Aku yakin, saat aku selesai menjelaskan tentang kamu, dia sendiri yang akan menceraikan aku!"

"Aku nggak ingin menghancurkan hati orang lain, Shaun," kata Tania.

"Kamu sudah menikahinya. Andai aku tahu kamu sudah menikah, aku nggak akan kembali mencarimu, Shaun! Sungguh!"

"Nia, sekarang setelah kita bertemu kembali, aku nggak bisa mencintai istriku lagi! Kamu harus mengerti itu! Aku tidak bisa mencintainya! Kalau aku harus tetap menjadi suaminya, itu akan merupakan neraka bagiku, setiap hari harus bersandiwara di hadapannya. Aku tidak bisa melakukan itu!" kata Shaun.

"Dan cepat atau lambat, dia akan tahu bahwa aku hanya bersandiwara! Bahwa aku tidak mencintainya! jadi toh suatu saat perceraian itu pasti akan terjadi! Untuk apa memperpanjang suatu perkawinan yang memang sudah ditakdirkan gagal dari awal?"

Tania Utomo duduk di pinggir tempat tidurnya. Kakinya lemas. Di hadapannya berdiri laki-laki yang sangat dicintainya, yang dibayangkannya siang dan malam selama lima tahun terakhir. Dia hanya membutuhkan satu anggukan kepala saja, maka laki-laki itu akan menjadi miliknya. Semudah itu. Tapi...

"Nia, aku akan bicara dengan istriku malam ini. Pembicaraan itu mungkin akan makan waktu cukup

lama. Jadi besok pagi aku baru akan menghubungimu lagi," kata Shaun Harman.

Tania menganggukkan kepalanya.

"Kamu harus ingat, dia nggak bersalah dalam hal ini."

"Pasti. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Ini hanya permainan takdir, Nia. Kita memang ditakdirkan menjadi satu, cuma jalannya tidak lurus tetapi dibuat berliku-liku, untuk menguji cinta kita."

"Pergilah." kata Tania.

"Nanti Mama menunggu terlalu lama di lobi."

Shaun Harman mendaratkan sebuah kecupan di bibir Tania. mengusap rambutnya, dan berkata,

"Besok, aku menjadi milikmu." Lalu dia membalikkan tubuhnya dan pergi ke pintu, membukanya, berpaling sekali lagi ke Tania yang masih duduk di tempat tidurnya, melambaikan tangannya, dan melangkah keluar.

**

Ketika Shaun memasuki kantornya, Norma Tanjung berlari-lari mengejarnya.

"Pak Shaun! Pak Shaun!"

Shaun Harman pun berpaling.

"Saya disuruh menyampaikan Pak Shaun ditunggu di ruang rapat," kata Norma.

"Rapat?" tanya Shaun Harman yang sudah sama sekali tidak ingat urusan pekerjaan lagi.

"Iya, kan siang ini ada rapat untuk menentukan

rencana membeli mesin baru, Pak." kata Norma sedikit heran. Kan mestinya Shaun Harman sudah tahu karena memo panggilan rapatnya sudah diedarkan kemarin.

"Oh, iya," kata Shaun.

"Aku lupa."

"Sudah dimulai tadi sejak pukul satu. Pak Shaun langsung saja bergabung."

"Oke!" kata Shaun segera menuju ruang rapat. Setelah hari ini berakhir dia sudah tidak akan berurusan lagi dengan apa pun di perusahaan ini. Pasti dia akan segera dipecat Danny Lesmana.

Semua kepala menoleh saat Shaun Harman membuka pintu ruang rapat.

"Lha, ini Pak Shaun!" kata Melody dengan nada lega begitu melihat suaminya.

"Kita sudah sampai bagian bengkel. Nanti yang sudah lewat, aku beritahu."

Shaun Harman segera duduk di kursi kosong di samping Melody yang memimpin rapat.

Nico Noya yang kepala bengkel sedang memberikan penjelasan tentang kesulitan-kesulitan yang diantisipasinya dengan pemasangan mesin yang baru.

Shaun melirik ke istrinya. Lho. kok Melody tampak agak kusut? Wajahnya agak pucat. Apakah benar memang kondisinya demikian atau pandangannya yang terpengaruh perasaan bersalahnya?

Nico Noya masih bercerita, dan dari waktu ke waktu disela oleh Pak Ruslan, kepala Produksi yang merasa bagiannya terkait dengan kelancaran operasi bagian bengkel.

Dari ujung matanya Shaun melihat Melody mengusap-usap keningnya. Lalu dia melihat meja bekas Melody meletakkan lengannya tampak basah. itu aneh! Ruang rapat ini disejukkan oleh AC, bahkan suhu di dalam ruangan ini termasuk dingin, kenapa Melody bisa berkeringat sebanyak itu? Shaun berpaling ke Melody dan memandang wajahnya. Astaga, ternyata wajah Melody benar-benar tampak pucat, bukan hanya sugestinya saja.

"Mel," kata Shaun memegang bahu istrinya.

"Kamu oke?"

Melody memejamkan matanya. Lengannya yang kanan masih memegang keningnya.

"Aku rada pusing," bisiknya.

Nico Noya pun berhenti berbicara dan mengawasi adegan itu.

"Kamu pucat sekali," kata Shaun.

"Kamu sakit?"

"Enggak, nggak apa-apa," katanya lalu meletakkan tangannya di meja lagi.

"Mel, kita tunda aja rapat ini. Kamu kelihatan kurang sehat lho," kata Shaun yang sekarang berdiri di

samping istrinya.

Semua mata sekarang memandang ke arah Melody.

"Saya cuma pusing, lanjutkan aja," kata Melody kepada semua yang memandangnya.

Tapi sebelum Nico Noya sempat melanjutkan presentasinya, Melody meletakkan kepalanya di atas meja di atas lengannya.

"Tolong suruh Pak Bob segera menyiapkan mobil," kata Shaun segera memeluk istrinya.

"Dan panggilkan Bu Norma kemari!"

**

SHAUN HARMAN bersyukur semalam Tania tidak meneleponnya di rumah walaupun dia sama sekali tidak memberi kabar gadis itu setelah meninggalkannya di hotel kemarin siang. Jadi pagi ini dia pun menelepon ke Hotel Garden. Dia menunggu hingga disambungkan dengan kamar 304 dan mendengar suara Tania dari seberang.

"Nia!" Suaranya terdengar tegang.

"Ya. Shaun!"

"Aku perlu bertemu denganmu sekarang," kata Shaun.

"Datanglah. Aku tunggu," kata Tania.

**

Pintu tidak dikunci sehingga Shaun bisa masuk sendiri. Tania seorang diri di dalam kamarnya saat Shaun masuk. Dia sedang berdiri di depan kaca meja rias. Dia tampak tegang.

"Nia!" kata Shaun yang langsung memeluknya dan mendekapnya erat-erat. Selama beberapa saat berikutnya, tak ada kata-kata yang diucapkan, hanya napas mereka saja yang terdengar.

Lalu Shaun melepaskan pelukannya, dan pergi duduk di salah satu kursi di samping jendela besar yang tirainya sedang terbuka. Dia melepas kacamatanya lalu menutupi wajahnya dengan tangannya. Dia tampak lemas.

Tania mendekatinya dan berlutut di sampingnya.

"Ceritakan apa yang terjadi," bisik Tania sambil menyentuh tangan Shaun dengan tiga jari kanannya.

Shaun Harman masih menutupi wajahnya, hanya saja sekarang kepalanya menggeleng-geleng.

"Melody tidak akan menceraikan kamu?" tanya Tania.

Lagi-lagi Shaun Harman menggeleng.

Tania tidak mengerti apakah gelengan itu berarti Melody tidak bersedia menceraikan suaminya atau bukan itu masalahnya. Tapi jantungnya sudah berdebar kencang sekali.

Shaun Harman menurunkan tangannya dan berpaling memandang wajah Tania.

"Aku tidak aku tidak jadi bicara padanya," katanya dengan wajah sedih.

Tania tidak menjawab. Dia diam saja dan menunggu Shaun melanjutkan ceritanya.

"Aku... aku tidak bisa," kata Shaun. Dia lalu mengangkat kepalanya tapi memalingkan wajahnya ke arah 286

jendela besar dan memandang ke luar. Dia tak kuasa melihat tatapan mata Tania.

Tania masih tidak berkata apa-apa. Dia masih berlutut di samping kursi Shaun.

Shaun yang tercekam ketegangannya sendiri, berdiri, dan pergi ke jendela di hadapannya.

Tania pun berdiri, dan sekarang dia yang duduk di kursi yang baru dikosongkan Shaun. Kakinya terasa lemas.

"Kemarin waktu aku kembali ke kantor," kata Shaun masih tetap menghadap jendela,

"Melody pingsan. Kami membawanya ke dokter dan ternyata dia hamil."

Tania memejamkan matanya, tapi tentu saja Shaun tidak melihatnya karena dia masih membelakangi gadis itu.

"Aku tidak bisa meninggalkannya sekarang," kata Shaun. Kalimat paling sulit yang pernah diucapkannya, akhirnya terlontar juga.

Beberapa saat lamanya di dalam kamar hotel itu semuanya hening. Yang ada hanya suara dengung AC yang lembut. Tak ada yang berkata-kata lagi.

Akhirnya Shaun Harman pun memutar tubuhnya. Tania masih duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Shaun menghampirinya dan mengangkat wajahnya dengan kedua tangannya.

"Maafkan aku," katanya.

Tania masih tetap memejamkan matanya supaya dia tidak perlu memandang ke mata Shaun. Air mata mulai mengalir turun membasahi pipinya. Dia mengangguk.

"Aku sudah punya firasat, hubungan kita mustahil dilanjutkan," bisiknya.

"Sori," kata Shaun lembut.

"Andaikan Melody tidak hamil, aku pasti akan memberitahunya tentang kamu. Tapi dalam kondisi demikian, aku tidak tega. Kemarin saat dia pingsan itu, dia tampak begitu pucat, lunglai, tak berdaya. Aku sangka dia mati. Aku begitu shock melihatnya demikian. Aku selalu mengenalnya sebagai wanita yang lincah, tegar, kuat."

Tania pun menganggukkan kepalanya lagi.

"Kembalilah padanya, Shaun," katanya.

"Apa yang akan terjadi pada kita, Nia?" tanya Shaun dengan suara tertahan.

'Nothing," kata Tania.

"Sudah tidak ada istilah 'kita' lagi, Shaun. Kamu jalan sendiri, aku jalan sendiri. Kita tidak akan berhubungan lagi."
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa aku harus kehilangan dirimu lagi?" tanya Shaun. Air matanya mengalir sekarang. Walaupun dia laki-laki, dia tak kuat membendung tangisnya.

"Kamu kan sudah mendapatkan gantinya, Shaun? Kamu punya istri, dan sekarang kamu akan punya anak. Kamu sudah mendapatkan ganti yang lebih."

"Dan kamu? Gimana kamu setelah ini?"

"Aku masih punya tiket terbang ke Beijing siang ini," kata Tania.

"Sebaiknya sekarang kamu pulang. Mama dan aku perlu bersiap-siap untuk berangkat."

"Dan kita tidak akan bertemu lagi?" tanya Shaun.

"Ya," angguk Tania.

"Dan semua ini seakan-akan tidak pernah terjadi?"

"Ya."

"Aku nggak bisa!" kata Shaun melemparkan kedua tangannya ke atas kepalanya.

"Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok, tapi sedikit demi sedikit, suatu hari kamu bisa."

"Nia..."

"Kamu harus pergi sekarang. Aku harus segera berkemas supaya masih keburu naik pesawat Cathay," kata Tania.

"Aku tidak mau kehilangan dirimu. Kabari aku di mana pun kamu berada," kata Shaun.

"Untuk apa?" tanya Tania.

"Kita tidak punya masa depan bersama-sama. Lupakan pertemuan ini. Anggaplah aku sudah mati lima tahun yang lalu."

"Aku tidak bisa! Apa kamu bisa?"

"Kamu harus bisa. Demi istrimu, demi anakmu."

"Nia, kita harus tetap berhubungan. Aku tetap mau tahu gimana kabarmu."

"Tidak, Shaun. Kali ini hubungan kita putus untuk selamanya. Kita tidak akan berhubungan lagi."

"Aku tidak bisa hidup tanpa mengetahui gimana kondisimu"

"Kamu harus menghapus aku dari ingatanmu. Sekarang kamu harus pergi. Aku tidak mau terlambat naik pesawat."

"Berikan alamatmu di Beijing padaku!" kata Shaun dengan nada memaksa.

"Tidak!"

"Kamu akan meninggalkan aku begitu saja?"

"Mulai detik ini hidupmu seratus persen milik istri

dan anakmu. Aku sudah tidak ada tempat lagi dalam hidupmu."

"Nia, aku mohon padamu, jangan meninggalkan aku begitu saja tanpa aku tahu apa yang terjadi padamu. Aku bisa gila memikirkanmu. Kirimlah kabar kepadaku. Asal aku tahu kamu oke, hatiku rada lega."

"Baik. aku akan memberimu kabar kalau aku sudah tiba di Beijing. Tapi kamu harus berjanji untuk tidak mencoba melanjutkan hubungan kita."

Shaun mengangguk

"Now, Go!" Tania pun langsung membalikkan tubuhnya dan segera menuju ke lemari. Dia membuka pintu lemari dan sebuah lampu kecil di dalamnya menyala. Lalu dengan cekatan dia mengeluarkan Semua pakaian yang tergantung di dalamnya dan meletakkannya di atas tempat tidur.

"Nia..."

"Go! Kalau kamu tidak segera pergi, aku tidak akan memberimu kabar sama sekali," katanya mulai melipat satu demi satu pakaian-pakaian itu dan menumpuknya.

Perlahan-lahan Shaun berjalan ke pintu. Dia membukanya, dan berpaling lagi satu kali ke arah Tania yang sama sekali tidak mengacuhkannya. Shaun melangkah kembali, dan tanpa berkata apa-apa dia melingkarkan kedua lengannya di pinggang Tania dan menciuminya.

Terkejut, Tania pun larut dalam ciuman itu. ciuman yang terakhir. Lalu dia memalingkan wajahnya,

dan cepat-cepat masuk ke kamar mandi, dan mengunci pintunya.

Shaun bisa mendengar gadis itu terisak di dalam. Hatinya. sendiri hancur. Dengan langkah gontai dia pun membuka pintu kamar, melangkah keluar dan menutup pintu kembali di belakang punggungnya. Dia merasa seolah-olah dia telah meninggalkan seluruh hatinya di dalam kamar nomor 304 itu.

**

"TOLONG Pak Kris bisa datang ke kantor saya sekarang?" kata Shaun Harman ke pesawat teleponnya.

"Ya, Pak," kata Kris Wenger.

Shaun Harman meletakkan gagang teleponnya, mengusap dagunya dan mengembuskan napas panjang.

Sejak perpisahannya dengan Tania Utomo dua minggu yang lalu, hatinya selalu gundah gulana. Dia berusaha keras untuk tidak memikirkan Tania, tapi usahanya tak banyak berhasil. Dia menenggelamkan dirinya dalam pekerjaannya. dan berharap semua itu bisa mengobati luka di hatinya. Tapi dia harus mengakui dengan jujur bahwa sampai sekarang upayanya tak terlalu berhasil.

Untunglah selama dua minggu ini Melody lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat tidur sehingga Shaun tidak usah bicara terlalu banyak dengannya.

292

Selama dua minggu terakhir ini. Melody sudah enam kali tidak masuk kerja karena kepalanya pusing dan perutnya mual, sehingga Shaun punya alasan untuk menghabiskan lebih banyak waktu di kantor karena harus memastikan bahwa semua yang biasanya ditangani Melody, tidak terbengkalai. Dengan kepergian Danny Lesmana bersama Julinda ke luar negeri sehari setelah pergantian tahun. maka menjadi tugas Shaun-lah untuk tetap menjaga kelancaran operasi Lesmana Corporation.

Sebetulnya Danny Lesmana bermaksud menunda keberangkatannya begitu Melody diketahui hamil. tapi jusrru Melody sendirilah yang memaksa ayahnya tetap berangkat sesuai rencananya. Selain semua tiket dan hotel sudah di-book dan mengubah semua itu terlalu merepotkan. Melody memberikan alasan tambahan. mumpung sekarang dia masih hamil, ayahnya boleh absen. karena nanti apabila dia sudah melahirkan, dia justru memerlukan ayahnya lebih sering bisa menggantikannya di kantor karena dia ingin mencurahkan perhatian dan konsentrasinya juga kepada bayinya.

Bila Shaun pulang. biasanya Melody sudah tidur. Sepertinya kehamilannya membuatnya mengantuk terus. Terkadang Melody memang terbangun waktu Shaun pulang. dan pada saat-saat itu Shaun pun segera sibuk menawarkan segala macam makanan dan minuman kepada istrinya itu, untuk menunjukkan perhatian dan cintanya. Melody merasa kasihan melihat upaya Shaun untuk membuatnya senang, sehingga walaupun dia mual, dipaksanya juga untuk menerima

tawaran Shaun makan buah yang dikupasnya. atau minum susu cokelat yang dibuat sendiri oleh Shaun walaupun tak jarang setelah itu dia muntah lagi.

Pada saat-saat itu Shaun pun bercerita tentang apa saja yang terjadi di kantor dan minta usul dari Melody untuk tugas-tugas yang biasa ditanganinya. Membahas urusan pekerjaan bisa makan waktu satu sampai dua jam. sehingga boleh dibilang mereka tak pernah berbicara tentang cinta lagi karena hari pun sudah malam dan mereka sama-sama sudah mengantuk.

Lima hari setelah kepergiannya, Tania Utomo pernah menelepon satu kali ke kantor mencari Shaun. Pembicaraannya tidaklah panjang. singkat saja, hanya memberi kabar bahwa dia dan ibunya sudah sampai Beijing dan mereka bergabung dengan ayahnya. Tania sama sekali tidak menyinggung tentang hubungan mereka. Dan sebelum Shaun sempat bertanya lebih lanjut, hubungan telepon itu pun sudah diputuskan. Shaun lalu menyuruh Ella untuk memberinya nomor telepon yang terputus itu, tapi ternyata Ella tidak berhasil mendapatkannya karena telepon itu merupakan hubungan langsung, tidak lewat operator. Maka pupuslah harapan Shaun untuk masih bisa berhubungan dengan Tania. Tentu saja hal ini membuat hatinya terasa semakin berat, seolah-olah ada beban besar yang menekan di sana. Wajahnya yang biasanya bersih, tenang, murah senyum. sekarang berubah menjadi Serius, murung, dan kusam. Perubahan ini tampak oleh semua di Lesmana Corporation. tak terkecuali

juga oleh Norma Tanjung. yang sudah begitu lama mengenalnya.

"Pak Shaun kelihatan capek sekali akhir-akhir ini," kata Norma pagi ini. Sifat keibuanny-a membuatnya tak dapat mengacuhkan kondisi Shaun yang terekam olehnya.

"Oh, iya. Bu Norma," kata Shaun sambil tersenyum. namun senyumnya jelas tampak dipaksakan.

"Lagi nggak enak badan?" tanya Norma Tanjung lagi.

"Cuma merasa capek aja." kata Shaun Harman.

"Mungkin lagi stres karena Bu Melody masih merasa kurang sehat?"

"Yah. barangkali begitu." senyum Shaun Harman.

"Kalau hamil muda kebanyakan perempuan memang suka begitu, Pak Shaun. Itu sudah normal. Nanti kalau lewat tiga bulan, biasanya semuanya sudah lancar lagi," kata Norma.

"Iya, Bu Norma," angguk Shaun.

"Tapi walaupun begitu. yang menjadi suami pasti tetap khawatir ya?" senyum Norma Tanjung.

Shaun Harman tertawa kecil.

Sebuah ketukan terdengar di pintunya.

"Ya, silakan masuk!" kara Shaun mengangkat suaranya.

Kris Wenger membuka pintu. mengangguk, lalu masuk. Norma Tanjung pun segera keluar meninggalkan mereka dan menutup pintu di belakang punggunanya.

"Duduklah, Pak Kris," kata Shaun mengindikasikan kursi di hadapan mejanya.

Kris Wenger pun duduk Kursi ukuran normal itu nyaris tak kelihatan lagi tertutup tubuh laki-laki yang tinggi besar itu.

"Begini, Pak Kris. kami sekarang sudah tahu ke mana kira-kira barang-barang kita yang hilang itu," kata Shaun Harman.

"O, ya? Ke mana?" tanya Kris Wenger.

"Barang-barang itu ternyata dibawa keluar truk CV Bintang Terang, disembunyikan di bawah tempat duduk sopir dan keneknya."

"Akh! Tidak mungkin itu! Waktu loading kan selalu dikerjakan orang kita sendiri. Tidak pernah sopir dan kenek truk pengangkutan ikut mengambil barang dari gudang!" kata Kris Wenger.

"Itu saya tidak tahu." kata Shaun Harman.

"Yang saya tahu adalah, semua truk Bintang Terang membawa keluar beberapa karton ekstra yang melebihi jumlah yang tertera pada surat jalan mereka. Hal ini terjadi berulang-ulang selama kurun waktu yang cukup panjang sehingga jumlah karton yang hilang mencapai ratusan."

"Lho, memangnya Pak Shaun tahu dari mana?" tanya Kris Wenger mengerutkan keningnya.

"Yah, saya punya cara, Pak Kris. Bagaimana caranya tentunya tidak akan saya beberkan kepada orang lain. Yang penting adalah hasilnya."

"Itu tidak mungkin, Pak Shaun! Setiap waktu loadding pasti dilakukan oleh anak buah saya sendiri.

bukan orang ekspedisi yang mengambil barang!" kata Kris Wenger.

"Saya tahu. Dalam hal ini pasti orang gudang terlibat," kata Shaun Harman.

"Itu tidak mungkin, Pak Shaun! Saya kenal semua anak buah saya. Mereka semuanya jujur!"

"Karena gudang itu tanggung jawab Pak Kris, jadi saya anggap ini juga tanggung jawab Pak Kris. Saya anggap Pak Kris yang bersalah," kata Shaun Harman.

"Lho! Saya ini tidak tahu-menahu, Pak Shaun!" kata Kris Wenger dengan suara keras.

"Justru itu! Sebagai kepala gudang kalau Pak Kris bilang Pak Kris tidak tahu-menahu tentang pencurian yang terjadi di gudang sendiri, itu namanya Pak Kris tidak menjalankan tugas!"

"Memangnya Pak Shaun punya bukti bahwa truktruk Bintang Terang itu membawa barang curian?" tanya Kris Wenger.

"Tentu saja. Truk-truk itu dikuntit dan mereka berhenti di tengah jalan, dan menurunkan karton-karton curian itu di tempat sebuah sepeda motor sudah menunggu. Pengendara sepeda motor itu lalu mengikat semua karton tersebut ke atas sepeda motornya, dan melaju menuju ke Pasar Pucang dan menurunkan barang-barang curiannya di salah satu toko di sana."

"Jadi Pak Shaun sudah tahu siapa yang menadah barang-barang curian itu?"

Shaun Harman mengangguk.

"Kalau begitu Pak Shaun kan tahu siapa yang melakukan pencurian itu di sini," kata Kris Wenger sambil jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke lantai.

"Saya memberikan kesempatan kepada Pak Kris untuk berterus terang kepada saya sekarang." kata Shaun Harman dengan nada datar.

"Maksudnya?"

"Saya mau Pak Kris bicara terus terang dan mengakui keterlibatan Pak Kris dalam kecurangan ini," kata Shaun Harman.

"Lho! Tapi saya tidak terlibat dalam kecurangan ini!" kata Kris Wenger melompat dari kursinya.

Shaun Harman tidak menjawab, tapi hanya melipat kedua tangannya di depan dadanya dan memandang Kris Wenger tajam-tajam.

"Kenapa Pak Kris tidak bertanya kepada si penadah siapa kontaknya di dalam pabrik ini?" kata Kris Wenger.

"Oh, sudah," jawab Shaun.

"Lalu nama siapa yang disebutnya?" tanya Kris Wenger.

"Nama Pak Kris," kata Shaun memandang lawan bicaranya dengan mimik wajah yang sangat tidak sedap.

"Nama saya? Nama saya?" Kris Wenger berteriak sedemikian kerasnya hingga Norma Tanjung yang kebetulan lewat di depan pintu kamar kerja Shaun Harman pun menghentikan langkahnya.

"Memangnya Pak Kris mengira kenapa saya memanggil Pak Kris kemari sekarang?" tanya Shaun Harman.

"Tapi itu tidak benar! Itu fitnah! Siapa nama si penadah ini, biar saya patahkan lehernya!" kata Kris Wenger.

"Sebaiknya Pak Kris mengakui saja terus terang perbuatan curang tersebut," kata Shaun Harman.

"Tapi saya tidak berbuat!" bantah Kris Wenger.

"Itu versi Anda?"

"itu yang sebenarnya!" teriak Kris Wenger lagi.

"Kenapa masih mau mungkir?" kata Shaun.

"Sudah, begini saja. Ini tawaran saya. Pak Kris membuat surat pengakuan, dan mengundurkan diri dari perusahaan ini. Sebagai gantinya, perusahaan akan memberikan pesangon mengingat jasa Pak Kris di waktu yang lampau."

"Atau?" tanya Kris Wenger sambil menyipitkan matanya.

"Atau Pak Kris saya pecat dengan tidak hormat, tanpa pesangon. Kalau perkara ini saya bawa ke P4D, perusahaan pasti menang karena saya sudah mengantongi pengakuan dari tukang tadah Anda," kata Shaun Harman.

"Tidak!" kata Kris Wenger.

"Saya tidak terima tawaran itu! Saya tidak bersalah. Saya akan mencari siapa yang benar-benar bersalah!"

"Tawaran itu tidak terbuka untuk negosiasi. Pak Kris mundur sendiri, atau kami pecat. Tidak ada pilihan lain. Saya beri waktu tiga hari untuk berpikir dan memberikan jawabannya kepada saya. Sementara itu, mulai saat ini Pak Kris dikenai skorsing dan harus segera meninggalkan kompleks pabrik."

Kris Wenger berdiri dari duduknya, dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia melangkah ke pintu, membukanya, keluar, dan membantingnya menutup di belakang punggungnya.

Dengan wajah merah padam Kris Wenger mengumpulkan semua anak buahnya siang itu dan menceritakan apa yang terjadi.

"Sekarang gimana rencana Pak Kris?" tanya Rahadian.

"Saya tidak mau disuruh mengundurkan diri!" kata Kris Wenger.

"Kalau saya mengundurkan diri kan namanya saya mengaku saya yang nyuri. Saya akan fight di P4D!"

Beberapa pasang mata saling memandang. tak ada yang bersuara.

"Kenapa kalian diam saja?" tanya Kris Wenger.

"Kalian tidak akan mendukung saya?"

Lagi-lagi beberapa pasang mata saling memandang, lalu ada yang menundukkan kepala, ada yang melemparkan pandangannya ke arah lain asal tak usah memandang wajah Kris Wenger saja.

Kening Kris Wenger mengerut.

"Astaga!" katanya, seakan-akan baru terjaga dari tidurnya.

"Jadi rupanya kalian ini semua yang telah mencuri! Pasti itu! Kalian semua bekerja sama mencuri karton-karton itu dan menitipkannya ke truk. truk Bintang Terang! Ternyata malingnya kalian!"

"Jangan begitu. Pak Kris!" protes Karno sambil melotot. Dari antara karyawan gudang, dia adalah yang paling vokal dan paling berani.

"Saya nggak tahu apaapa! Jangan main tuduh seenaknya!"

"Kalau bukan kalian yang nyuri, siapa lagi? Pak Shaun bilang dia punya bukti bahwa truk-truk Bintang Terang ini menurunkan barang di tengah jalan. Bagaimana barang-barang kita bisa naik ke truk-truk itu kalau bukan kalian yang menaikkannya!" kata Kris Wenger.

"Tapi bukan saya!" kata Karno melotot semakin lebar.

"Buat apa saya nyuri! Kalau mau nyuri tidak usah bekerja! Jadi maling aja, enak."

"Sebaiknya yang nyuri sekarang ngaku!" kata Kris Wenger.

"Siapa yang nyatut nama saya dalam pencurian ini? Ayo! Ngaku!"

"Begini saja, Pak, nanti saya cekkan siapa yang bertugas loading waktu truk-truk Bintang Terang ambil barang," sela Rahadian.

"Nanti di copy surat jalan itu kan ada tanda tangannya."

"Betul!" kata Kris Wenger.

"Coba periksa sekarang. Saya mau tahu siapa malingnya di sini!"

"Wah, kalau sudah sembarangan nuduh 'maling-maling' gini, ya suasana kerjanya sudah nggak sehat," gerutu Karno sambil berdiri.

"Lho, kamu mau ke mana? Saya belum selesai bicara!" kata Kris Wenger melotot ke Karno.

"Sudah! Kalau bicaranya nggak ngenakkan kuping begini ya saya tidak mau dengar. Apa! Seenaknya nuduh orang maling segala! Sudah, ayo bubaran!" kata

Karno kepada teman-temannya yang lain.

Seperti terkena sihir, yang lain-lain pun ikut berdiri lalu satu per satu meninggalkan Kris Wenger.

"Lho!" Kris Wenger pun melompat berdiri dari duduknya, tapi Rahadian yang duduk di sampingnya mencekal lengannya dan menggelengkan kepalanya.

"Biar nanti saya cek dulu, Pak Kris," kata Rahadian meredam amarah atasannya.

"Wah, anak-anak itu sekarang kok tidak bisa diatur. gimana? Saya belum selesai bicara kok semua ngeloyor pergi nuruti si Karno!" Kris Wenger semakin melotot.

"Sudahlah, Pak Kris, biarkan dulu. Nanti kalau sudah ketemu siapa yang berbuat, kan ada buktinya," kata Rahadian.

"Kalau gitu, cepat kamu periksa. Dian. Kira-kira kapan bisa selesai?" tanya Kris Wenger.

"Pokoknya sekarang saya periksa, kalau selesai, saya lapor Pak Kris," kata Rahadian.

"Saya kena skorsing, tidak boleh berada di kompleks pabrik. Jadi begitu malingnya ketahuan, kamu hubungi saya di rumah ya?" kata Kris Wenger kepada asistennya.

"Baik, Pak, segera saya tahu, Pak Kris saya kabari," kata Rahadian.

**

Kringggg! Kringggg!

"Halo!" kata Kris Wenger mengangkat tangkai pesawat teleponnya.

"Pak Kris masih belum pulang?" tanya suara Shaun Harman yang terdengar tidak ramah dari seberang.

"Ya, sekarang ini mau pulang!" kata Kris Wenger ketus.

"Saya mau bicara dengan Saudara Rahadian," kata Shaun Harman.

Kris Wenger pun memberikan tangkai pesawat telepon ke Rahadian tanpa bicara apa-apa. Dia membuka lacinya, mengambil beberapa barang pribadinya, lalu tanpa berpaling lagi, meninggalkan kantornya. Ternyata di depan pintu gudang seorang satpam sudah menunggunya. Shaun Harman menyuruhnya untuk mengantar Kris Wenger sampai keluar dari kompleks pabrik tanpa boleh mampir ke kantor-kantor yang lain.

"Rahadian, Pak," kata Rahadian kepada Shaun Harman.

"Tolong kamu ke kantor saya," kata Shaun Harman.

"Iya, Pak," kata Rahadian.

* * *

Sepanjang sisa hari itu, Slamet tampak gelisah. Beberapa kali dia tampak mengembuskan napas panjang sambil mengelus dadanya. Saat istirahat siang dia justru menjauh dari teman-temannya yang sedang duduk-duduk di gudang, dan pergi berdiri menjauh seorang diri di bawah salah sebatang pohon di dekat pos satpam. Di sana dia membatalkan puasanya hari itu dengan merokok.

Tentu saja gerak-geriknya yang tidak seperti biasanya ini membuat teman-temannya curiga, terutama teman-temannya dari gudang. Didik, Edi. dan Karno pun mulai berbisik-bisik apakah mungkin tikus dalam lumbung mereka adalah si Slamet ini. Mereka ingin sekali bertanya kepada Rahadian, tapi sepanjang hari dia sibuk berunding di kantor Shaun Harman sehingga tak ada kesempatan untuk berbicara padanya.

"Besok atau lusa toh kita akan tahu kalau Rahadian sudah menemukan siapa yang melayani loading ke truk-truk Bintang Terang dengan barang curian," kata Karno.

"Kita semua kan pernah loading ke truk Bintang Terang." celetuk Didik sambil mengerutkan keningnya,

"mereka hampir setiap hari ambil barang. Ratarata semua pembeli memakai jasa mereka."

"Iya, aku juga pernah beberapa kali," timbrung Edi dengan nada khawatir.

"Aku nggak pernah," kata Karno.

"Aku nggak suka sama sopir-sopir mereka. Jadi namaku pasti tidak tercantum di copy surat jalan mereka."

"Gimana Rahadian nanti bisa tahu siapa yang kerja sama dengan sopir-sopir Bintang Terang ini?" tanya Didik.

"Kamu takut terlibat?" tanya Karno.

"Ya tentu! Kalau aku dituduh mencuri kan bisa dipecat!" kata Didik.

"Wah, iya! Bener kamu, Dik. Gimana Rahadian bisa membedakan siapa yang kerja sama dengan sopirsopir Bintang Terang? Soalnya aku juga pernah melayani loading ke truk mereka. Pasti Rahadian bisa menemukan namaku di copy surat Jalan mereka," Kata Edi.

"Kita perlu bicara dengan Rahadian sebelum dia melaporkan nama kita ke Pak Shaun," kata Didik.

"Rahadian sejak tadi nggak keluar-keluar dari kantor Pak Shaun. kira-kira hari ini dia belum sempat ngecek copy surat jalan," kata Kamo.

"Kesempatan pertama kita bertemu dengannya nanti. hal ini harus kita bicarakan," kata Didik.

**

SHAUN HARMAN terjaga dari tidurnya ketika pesawat telepon di samping tempat tidurnya berdering mengagetkannya. Weker di samping teleponnya menunjukkan belum pukul enam, masih kurang sepuluh menitan. Suara hujan di luar terdengar jelas, pasti turunnya sedang deras. Minggu-minggu ini hampir setiap malam turun hujan deras.

Shaun segera mengangkat gagang telepon dan berharap Melody tidak ikut terkejut oleh deringnya.

"Pak Shaun, ini Warno. Maaf pagi-pagi mengganggu, Pak," kata suara dari seberang.

"Memangnya apa yang terjadi?" tanya Shaun. Warno adalah salah seorang satpam di Lesmana Corporation.

"Ini, Pak, ada anak gudang yang meninggal," kata Warno.

"Oh, siapa?" tanya Shaun.

"Slamet. Pak."

"Kapan meninggalnya?" tanya Shaun agak heran karena kemarin dia masih melihat si Slamet itu mandar-mandir di lapangan loading.

"Nggak ada yang tahu, Pak. Pagi-pagi tadi waktu anak-anak Cleaning mau membersihkan kantor Pak Kris, mereka menemukan Slamet sudah meninggal di dalam."
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah? Jadi dia meninggal di dalam kantor Pak Kris?" tanya Shaun Harman langsung seratus persen terjaga.

"Iya, Pak. Kayaknya bunuh diri. Dia motong urat nadinya sendiri," kata Warna.

"Astaga! Kalau begitu langsung tutup kantor Pak Kris, jangan izinkan orang masuk. Saya segera datang!" kata Shaun.

"Keluarganya tidak diberitahu, Pak?" tanya Warna.

"Tunggu saya datang dulu. Jangan memberitahu siapa pun. Sekarang ini 'siapa saja yang tahu?" tanya Shaun.

"Ya anak-anak Cleaning, Pak, dan satpam. Karyawan yang lain kan belum datang, tapi sebentar lagi shift 1 masuk."

"Sebelum saya tiba, semua karyawan shift 1 yang mau masuk dikumpulkan di kantin dulu. Jangan ada yang bisa masuk ke lokasi pabrik," kata Shaun lalu meletakkan gagang telepon.

"Apa?" tanya Melody yang terjaga karena pembicaraan ini.

"Ada anak gudang bunuh diri di dalam kantor Kris," kata Shaun.

"Aku harus segera ke sana." Dia

langsung masuk ke kamar mandi dan tak lama lagi terdengar suara keran air dibuka.

"Astaga!" kata Melody. Dia lalu ikut menyibakkan selimutnya.

"Siapa?"

"Slamet."

"Aku akan pergi bersamamu."

"Nggak usah, Mel," kata Shaun dari dalam kamar mandi yang pintunya tidak ditutup.

"Ini nanti pasti bakal urusan dengan polisi segala. Bisa makan waktu berjam-jam. Kamu datang nanti saja, kalau urusan sudah selesai. Gimana keadaanmu hari ini? Nggak pusing?" tanya Shaun.

"enggak kok. Mumpung nggak pusing, aku mau ngantor," kata Melody.

"Oke. Nanti kamu berangkat pukul delapan dengan Pak Bob aja. Sekarang aku pergi dulu," kata Shaun. Dia keluar dari kamar mandi dan langsung ke lemari pakaian mengambil sehelai kemeja dan celana panjang. Dia tidak sempat mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi saja.

"Kenapa si Slamet ini bunuh diri di kantor Pak Kris?" kata Melody memandang suaminya berpakaian.

"Enggak tahu," kata Shaun. Dia sudah selesai berpakaian, lalu membungkuk dan mencium Melody.

"Aku pergi dulu." katanya.

"Oke."

"Oh ya, tolong telepon si Rahadian supaya dia juga segera datang. Kamu tahu nomor telepon rumahnya, kan?" kata Shaun.

"Kok si Dian yang ditelepon? Kok nggak Pak Kris?"

"Kris Wenger masih diskors. Lagian aku nggak tahu nomor teleponnya. Nanti aku telepon dari kantor aja."

"Ya. Untung telepon di rumah Pak Ali sudah tersambung sekarang," kata Melody. Dia segera mengulurkan tangannya untuk meraih gagang telepon yang terletak di samping tempat tidur di sisi Shaun Harman.

Hujan yang turun dengan derasnya sepanjang malam membuat semua rumput dan tanaman tampak segar dan berseri. Apalagi pagi ini langit sudah cerah kembali sehingga alam pun menyambut sinar matahari yang menghangatkan dengan sukacita setelah semalam suntuk diguyur hujan. Tapi keindahan alam hari ini terlewatkan begitu saja oleh hampir semua karyawan Lesmana Corporation yang sibuk membicarakan kematian Slamet yang telah membunuh dirinya justru di bulan puasa ini.

Tak ada yang tahu mengapa karena menurut keterangan istri maupun orangtuanya, Slamet tidak punya problem apa pun di rumah yang menyebabkannya perlu bunuh diri. Tapi dari kasak-kusuk orangorang gudang, akhirnya tersiar juga cerita bahwa kira-kira Slamet-lah orang yang terlibat dalam kehilangan barang-barang dari gudang selama ini, namun tanpa bukti yang mendukung, tak ada yang berani terangterangan menuduhnya.

Karena sudah terjadi kematian yang tidak wajar

ini, maka Polsek Rungkut pun turun tangan menyelidiki motif bunuh diri ini. Shaun Harman dipanggil ke kantor polisi untuk memberikan keterangan, begitu juga semua anak gudang, satu per satu dimintai ketetangan. Karena semua memberikan keterangan yang sama, yaitu bahwa mereka mencurigai Slamet terlibat pencurian barang-barang dari gudang, maka polisi pun yakin bahwa motif bunuh diri ini berkaitan dengan terbongkarnya pencurian tersebut. Dengan demikian, penyidikan pun dianggap selesai. Kesimpulan penyidikan polisi: kematian Slamet adalah akibat perbuatan bunuh diri karena bingung kejahatannya terbongkar. Mungkin malu karena pas ini bulan puasa.

Tapi Shaun Harman belum puas. Menurut laporan Song Kumar, orang yang disebut Toko 37 sebagai penyuplai barang-barang curian itu bernama Kris, bukan Slamet. Karena itu dia lalu mengirim Rahadian lbrahim untuk pergi menemui pemilik Toko 37 dengan membawa foto Slamet dan Kris Wenger untuk mencari tahu apa betul Slamet inilah yang bekerja sama dengan mereka, atau Kris Wenger.

Ternyata jawaban yang dibawa kembali oleh Rahadian lbrahim sangat mengejutkan. Pemilik Toko 37 mengenali foto Slamet sebagai orang yang selama ini mereka kenal bernama Kris W. Jadi terbuktilah sudah anggapan polisi bahwa kematian Slamet memang terkait pencurian itu. Kasus pun ditutup.

"Berarti sebetulnya Pak Kris memang tidak terlibat, Pak." kata Rahadian membuat laporannya.

Shaun Harman mengangguk.

"Berarti skorsing Pak Kris bisa dicabut, Pak?" tanya Rahadian.

"Kamu boleh menyuruh Pak Kris menghadap saya besok," kata Shaun Harman.

"Pukul berapa, Pak?"

"Pagi-pagi. begitu saya datang. Pukul delapan."

Rahadian pun mengangguk.

* * *

"Gimana jadinya?" tanya Melody menyambut Shaun di rumah. Tadi waktu Melody pulang Shaun masih di kantor polisi.

"Ya, ternyata memang benar Slamet yang mendalangi pencurian itu," kata Shaun melemparkan dirinya ke kursi terdekat. Dia merasa lelah. Badannya terasa lengket. Dia ingin mandi dulu.

"jadi yang nyuri bukan Kris Wenger?" tanya Melody.

"Bukan."

"Kalau begitu kita harus minta maaf pada Kris Wenger, sudah salah menuduhnya," kata Melody.

"Aku akan minta maaf padanya besok." kata Shaun.

"Aku sudah minta dia datang besok untuk menemuiku."

"Sedari awal aku juga nggak percaya kalau Pak Kris ini bisa terlibat pencurian begitu. Dibandingkan gajinya, berapa sih uang yang dia dapatkan dari pencurian itu?" kata Melody.

"Untuk apa dia mempertaruhkan pekerjaannya demi uang yang cuma segitu."

"Tapi Kris tetap aku anggap bertanggung jawab," kata Shaun.

"Maksudmu?"

"Si Slamet itu bisa bekerja sama dengan sopir-sopir Bintang Terang mengeluarkan barang dari pabrik tanpa surat jalan karena Kris Wenger tidak teliti. Dia tidak ngecek pekerjaan anak buahnya. Jadi dia tetap harus ikut memikul konsekuensinya."

"Mau kamu apakan dia?" tanya Melody.

"Dia akan diturunkan pangkatnya. Rahadian yang akan menggantikannya."

"Maksudmu. Rahadian yang menjadi kepala gudang sedangkan Kris Wenger menjadi anak buahnya, gitu?"

"Ya."

"Ya jelas dia nggak bakalan mau," kata Melody.

"Pak Kris sudah berapa tahun ikut kita? Si Dian kan baru aja. Lagian Dian itu jauh lebih muda."

"Kalau dia tidak mau, dia boleh keluar," kata Shaun sambil berdiri.

"Aku mau mandi dulu."

"Yang bener!" kata Melody kaget.

Shaun Harman tidak menjawab tapi segera naik ke kamar tidurnya.

"Shaun!" Melody mengikutinya naik ke kamar.

"Aku mandi dulu," kata Shaun langsung masuk ke kamar mandi.

Melody terpaksa menunggu di tempat tidurnya sampai suaminya keluar dari kamar mandi.

Ketika Shaun muncul hanya dengan sehelai handuk melingkari pinggulnya, Melody pun segera berdiri dan mengambilkan pakaiannya dari dalam lemari.

"Jadi, gimana dengan Pak Kris?" tanya Melody melihat suaminya berpakaian.

"Ya sudah itu, apanya lagi yang gimana? Biar besok dia sendiri yang memutuskan. Kalau dia masih mau bekerja dengan kita, ya dia menjadi bawahan Rahadian. Kalau dia tidak mau menerima itu, dia boleh keluar," kata Shaun.

"Apa itu tidak terlalu kejam?" kata Melody.

"Dia sudah bertahun-tahun lho bekerja untuk Papa."

"Orang yang salah harus ada sanksinya. Itu namanya disiplin, juga contoh bagi orang-orang yang lain. Dengan demikian orang tidak berani ceroboh lagi menjalankan tugasnya," kata Shaun.

"Ya, tapi..."

"Kamu nggak setuju?" tanya Shaun sambil mengerutkan keningnya.

"Sebetulnya Kris Wenger bukanlah orang yang tepat menjadi kepala gudang," tambahnya.

"Dia bukan orang yang tepat menjadi kepala bagian mana pun. Aku heran gimana ayahmu dulu bisa menjadikannya kepala gudang. Dia peminum, dia juga pemalas, dan dia tidak mau turun tangan sendiri. Dia cuma main perintah."

"Toh selama ini dia bisa menjalankan tugasnya dengan baik, sampai yang terakhir ini," kata Melody.

"Mungkin karena sekarang sudah mulai tua."

"Bukan. Sejak awal Kris Wenger bukanlah materi seorang pemimpin. Dia orangnya tidak kooperatif, pemarah, tidak memberikan contoh yang baik kepada anak-anak buahnya. Kalau sebelumnya tidak pernah

terjadi pencurian, itu karena tidak ada yang nyoba. Sampai kasus si Slamet ini," kata Shaun.

Melody tampak belum yakin.

"Kris Wenger itu tidak disukai banyak orang. Pak Hansen merasa terintimidasi olehnya," kata Shaun.

"Seperti Sabine?" tanya Melody.

"Ya, kira-kira begitulah. Tapi performance Sabine masih lebih baik daripada performance Kris Wenger. Paling tidak Sabine cukup bertanggung jawab."

"Hmmmm.... Dan menurutmu, Rahadian bisa menjadi kepala gudang yang lebih baik?" tanya Melody.

"Dia masih muda, tapi dia bisa belajar. Dia masih bisa dibentuk," kata Shaun.

"Paling tidak, sikapnya lebih baik."

"Sekolahnya kurang, dia bukan sarjana," kata Melody.

"Memangnya kamu pikir Kris Wenger sekolah apa?" kata Shaun.

"Maksudku. kalau kamu mau memperbaiki SDM kita. lebih baik mencari orang yang lebih memenuhi syarat sebagai kepala gudang, yang secara akademis punya pendidikan lebih tinggi," kata Melody.

"Seorang sarjana."

"Ijazah bagiku tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah kemauan untuk menjalankan tugas nya." kata Shaun.

"Oke. Nanti-nanti kita bicarakan lagi. Sekarang yuk kita makan dulu. Kamu pasti udah lapar," kata Melody.

**

Ternyata Kris Wenger menerima tanpa protes diturunkan pangkatnya dan tidak lagi menjadi kepala gudang. Kris yang tadinya sudah yakin bahwa dia bakal tidak punya pekerjaan yang notabene berarti tidak punya penghasilan, langsung menerima tawaran Shaun Harman dengan penuh rasa syukur. Memang begitulah manusia, kalau sudah nyaris kehilangan, barulah dia menyadari betapa beruntungnya dia tadi, memiliki apa yang akan segera hilang darinya itu. Saat sadar itulah Kris Wenger bertekad berbuat apa pun untuk bisa mempertahankan nafkahnya. Selama berpikir di rumah dia menyadari, pada usianya yang sudah 47 tahun ini mencari pekerjaan baru yang gajinya lebih baik tidaklah mudah kalau tidak mau dibilang mustahil. Dengan banyaknya tenaga kerja yang masih muda-muda, lulusan perguruan tinggi ternama, yang bersedia bekerja dengan gaji jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang diterimanya sekarang, dia

sama sekail tidak punya kesempatan. Jadi saat dia mendengar Shaun Harman memberinya alternatif untuk turun pangkat tapi tetap boleh bekerja di Lesmana Corporation, Kris Wenger menerimanya tanpa berpikir dua kali. Apalagi, walaupun pangkatnya turun, gaji pokoknya tidak berubah. hanya fasilitas-fasilitas lain yang menjadi hak seorang kepala gudang tak lagi bisa dinikmatinya. Tapi karena masa kerjanya di Lesmana Corporation sudah sembilan tahun, gaji pokoknya masih jauh lebih bagus daripada jika dia harus memulai lagi dari awal di perusahaan lain-itu kalau dia masih bisa mendapatkan pekerjaan-suatu "kalau" yang sangat besar!

Shaun Harman sendiri cukup terkejut ketika Kris Wenger menerima tawarannya tanpa banyak protes. Sikap itu sangat berbeda dari kebiasaan Kris seharihari yang dikenal pemarah dan vokal itu. Sebenarnya Shaun Harman lebih suka apabila Kris Wenger menolak tawarannya, karena bagaimanapun juga kinerjanya sudah cacat sekarang dan dia pasti punya ganjalan sakit hati karena diturunkan jabatannya. Itu sama saja seperti memelihara harimau di dalam rumah. Alpa sedikit, bisa dicaplok. Tapi sebagai atasan, dia mau tak mau harus memberinya alternatif tersebut. Dan sekarang dia terikat tawarannya sendiri.

**

Kringggg! Kringggg!

"Pak, ditelepon Ibu Melody," kata Ella. Melody hari ini tidak masuk kantor karena mual dan pusingnya muncul lagi.

"Halo, Mel." kata Shaun Harman.

"Something

wrong?" Shaun melihat arlojinya, baru pukul sembilan.

"Enggak. Cuma mau tanya aja. Gimana pembicaraannya dengan Kris Wenger?"

"Dia menerima diturunkan pangkatnya," kata Shaun.

"Oh, ya?" Melody terkejut.

"Dia menerima?" Nada tidak percaya.

"Ya. Aku juga nggak menyangka dia bakal menerima. Dan yang lebih mengherankan lagi, dia menerima tanpa protes, dan nggak pakai berpikir lama-lama. Begitu aku sampaikan, dia langsung bilang, 'Ya, Pak, saya mau.' Selama aku bicara, sepatah pun dia nggak membantah. Dia cuma mengangguk-anggukkan kepala sambil menunduk. Dia bilang dia bisa menerima aku menyalahkan dia atas perbuatan Slamet dan malah berterima kasih masih diberi kesempatan untuk terus bekerja di sini."

"Mungkin dia sadar bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih baik di luar, kayak kasus Sabine," kata Melody.

"Ya sudahlah kalau dia menerima. Berarti tidak ada problem lagi. Yang aku khawatirkan kan dia nggak menerima lalu melapor ke P4D, dan kita bakal terlibat urusan panjang soal itu," kata Melody.

"Yang aku khawatirkan sebetulnya di dalam hatinya dia tidak terima," kata Shaun.

"Sudah pasti dia sebetulnya tidak terima. Mana ada orang yang dengan ikhlas mau sendiri pangkatnya

919

diturunkan! Kata Melody. Pasti dalam hati dia juga jengkel seperti Sabine."

"Nah, ini seperti menyimpan api dalam sekam. Mel. Ini yang membuat aku merasa kurang sreg sebetulnya. Lebih baik kita bertempur di P4D daripada begini. Siapa tahu suatu hari dia membalas dendam," kata Shaun.

"Enggaklah. Aku pikir kalau balas dendam sih enggak sampai. Paling dia cuma jengkel aja di dalam hati. Pak Kris kan sudah lama bekerja di LC, apalagi umurnya sudah dekat 50, pasti dia berharap employment-nya bisa berlanjut sampai dia pensiun. Dia nggak bakal mempertaruhkan hak pensiunnya," kata Melody.

"Dia masih 47, berarti masih 8 tahun lagi baru dia berhak pensiun. dan banyak yang bisa terjadi dalam waktu 8 tahun," kata Shaun.

"Kalau dia sudah bukan kepala gudang lagi, dia sudah tidak bisa berbuat banyak, Shaun."

"Sabotase bisa dilakukan oleh siapa saja, Mel. Siapa tahu suatu hari muncul ide jahatnya lalu dia menuang racun ke dalam minuman kita?"

"Ah, aku rasa dia tidak akan berbuat begitu. Dengan rekornya yang sudah cacat begini, begitu ada kejadian apa-apa yang aneh, dia tahu pasti dia orang pertama yang dituduh."

"Moga-moga kamu benar. Tadi aku juga sudah memberitahu Rahadian, efektif hari ini dia menjadi penjabat kepala gudang dan menjalani masa percobaan tiga bulan. jika dalam tiga bulan ini dia bisa menunjukkan bahwa dia sanggup menjalankan tugas itu, dia akan diangkat. jika tidak, masa percobaannya akan diperpanjang lagi sampai dia mampu," kata Shaun.

"Lho! Kamu masih jadi mengangkat Rahadian?" tanya Melody.

"Kan kemarin kita bicara mau mencari orang luar yang secara akademis lebih memenuhi syarar."

"Kamu yang bilang mau mencari orang luar, aku sudah bilang akan mencoba Rahadian."

"Tapi kan lebih baik mencari orang luar yang punya pendidikan lebih tinggi, Shaun!"

"Kita sekarang tidak punya calon, Mel. Jabatan kepala gudang kan tidak bisa vakum selama kita mencari calon. Kan harus ada yang segera bertanggung jawab. Kita sekarang hanya punya Rahadian, jadi dia harus segera mengambil alih tugas-tugas kepala gudang. Beginilah, kalau dalam tiga bulan ini kinerjanya tidak memuaskan, baru kita cari orang lain." '

"Jadi kita harus tunggu tiga bulan baru bisa menempatkan orang baru?" tanya Melody dengan nada tidak senang.

"Kita akan kehilangan banyak waktu, Shaun."

"Aku rasa kita tidak perlu menempatkan orang baru. Masa percobaan tiga bulan yang aku berikan kepada Rahadian sebetulnya cuma proforma. Aku yakin dia bisa menjalankan tugasnya, toh selama ini dia sudah melaksanakan sebagian besar tugas Kris," kara Shaun.

"Aku lebih suka kita menempatkan orang baru, Shaun," kata Melody.

Nada istrinya yang kurang ramah itu membuat

Shaun Harman tersinggung. Jadi Melody sudah menunjukkan kartu As-nya dan berkata, Aku direkturnya, kemauanku yang harus diikuti. Perasaan ini sangat tidak mengenakkan hatinya. Harga dirinya sebagai laki-laki, sebagai suami, dan sebagai atasan yang membawahkan gudang, merasa dilecehkan.

"Oke, carilah orang baru," kata Shaun.

"Aku masih sibuk, kalau tidak ada urusan lain yang penting, kita bicara nanti saja."

"Right. Take to you later." kata Melody. Dan hubungan telepon pun langsung diakhirinya.

"Sudah ada masalah secepat ini?"

Shaun Harman yang duduk membelakangi meja tulisnya segera memutar kursinya kembali menghadap ke meja, dan ke pintu kantornya.

Sabine Lemar sedang berdiri dua meter di depan mejanya dengan kedua tangannya terlipat di depan lambungnya dan sebersit senyuman sinis di bibirnya.

"Ada yang kamu perlukan?" tanya Shaun memandang perempuan itu dengan tatapan tidak senang.

Sabine Lemar melangkah masuk lalu duduk di kursi di depan meja Shaun, tanpa dipersilakan.

"Waktu aku masih menikah dulu. problem baru muncul setelah dua tahun perkawinan," kata Sabine masih sambil tersenyum sinis.

"Aku sibuk, jadi apa yang kamu perlukan?" tanya Shaun dengan nada datar.

"Cuma mau ngobrol aja," kata Sabine.

"Aku lihat akhir-akhir ini kamu kusut banget. Sebagai teman, aku mau membantu."

"Makasih. Tapi aku nggak apa-apa. Capek aja karena banyak pekerjaan," kata Shaun.

"Shaun, aku sudah mengenalmu bertahun-tahun," kara Sabine.

"Hanya karena kamu sudah menikah, tidak membuat kamu menjadi orang asing bagiku. Aku tahu kapan kamu memang capek dan kapan kamu frustrasi. Kamu sekarang bukan lagi capek."

"Look, semua orang punya problem sendiri yang harus diselesaikannya sendiri. Makasih atas perhatianmu," kata Shaun.

"Sekarang, aku "

"Kenapa kamu nggak mau ngomong sejujurnya aja, Shaun? Aku bisa melihat kamu tidak gembira. Kamu tidak seperti seorang pengantin baru. Mungkin mempunyai isrri yang juga bosmu adalah situasi yang tidak nyaman. Akuilah itu!" kata Sabine.

"Bine, ini bukan urusanmu. Juga bukan urusan yang ada kaitannya dengan pekerjaanmu. Jadi kamu tidak perlu turut campur," kata Shaun Harman.

"Aku temanmu, Shaun! Sebelum kamu mengenal Melody, aku adalah temanmu. Kita pernah dekat. Aku mau menolongmu," kata Sabine.

"Kamu bisa menolongku dengan tidak turut campur dalam urusanku," kata Shaun.

"Sekarang, aku masih punya banyak pekerjaan. Jadi..." Shaun membuat gerakan dengan telunjuknya yang mengindikasikan agar Sabine Lemar segera keluar dari kantornya.

Sabine Lemar pun berdiri lalu berjalan ke pintu. Dia membuka pintu, tapi sebelum melangkah keluar dia berpaling dan berkata,

"Kamu tahu di mana tempatku. Kalau kamu perlu

209

teman bicara. carilah aku. Kamu bisa memercayaiku."

Sabine membalikkan kepalanya dan terkejut melihat Norma Tanjung berdiri di depan hidungnya.

"Ups!" kata Sabine sebagai refleksnya. Lalu dia pun minggir dan berlalu.

Norma Tanjung memandang punggung Sabine dengan kerutan di dahinya. Lalu dia melangkah masuk ke kamar Shaun Harman.

"Ini surat perjanjian kerja untuk Rahadian. Pak Shaun." kata Norma langsung ke meja Shaun Harman dan meletakkan sebuah map di atasnya.

"Oh. ya, Bu Norma. terima kasih." kata Shaun langsung membuka map itu. Dia membacanya sekilas lalu membubuhkan tanda tangannya di bagian bawahnya.

"Panggil saja si Rahadian ke kantor Bu Norma untuk mengambil perjanjian ini. Suruh dia baca yang teliti dulu sebelum ditandatangani," tambahnya.

"iya. Pak," kata Norma Tanjung mengambil map itu kembali. Sebetulnya dia ingin sekali tahu apa yang dibicarakan Sabine Lemar tadi. Dia tahu Sabine Lemar dulu mengejar Shaun Harman, tapi sekarang Shaun Harman sudah menikah dengan Melody, masa perempuan itu masih berani mengganggu suami bosnya? Tapi Norma Tanjung tahu posisinya sendiri, jadi sudah tentu dia tidak akan menanyakan hal itu kepada Shaun Harman. Dia berjanji kepada dirinya sendiri, mulai sekarang dia akan pasang telinga, pasang mata mengawasi gerak-gerik Sabine Lemar dan Shaun

Harman. Jika ada apa-apa yang mencurigakan, akan memberitahu Melody Lesmana!

Petang ini Norma Tanjung sengaja tinggal lebih lama daripada biasanya. Dia tahu Shaun Harman masih duduk di dalam kantornya, begitu pula Sabine Lemar. Dia ingin tahu apakah setelah semua karyawan di dalam kantor pulang, kedua orang itu lalu mempergunakan kesempatan untuk berbuat sesuatu! Dengan kondisi Melody yang akhir-akhir ini sering membuatnya tidak masuk kerja, bisa saja Sabine Lemar berniat merayu suaminya. Kalau benar begitu. dia bermaksud menangkap basah mereka berdua malam ini!

Norma Tanjung menunggu sampai semua karyawan yang lain pulang, termasuk Jaka Herlambang. Wah, memang benar kecurigaannya. Sabine lemar dan Shaun Harman masih bekerja. Norma Tanjung pun mulai memainkan sandiwaranya. Dia mengangkat tasnya, mematikan lampu di kamar kerjanya. lalu meninggalkan kantornya sendiri. Ketika melewati ruangan Pemasaran dan Penjualan. dia sengaja melongokkan kepalanya dan berkata kepada Sabine Lemar yang masih duduk di mejanya.

"Belum pulang. Bu Sabine? Saya duluan!"

Sabine mengangkat kepalanya. Mimik wajahnya menunjukkan keheranannya. Tidak biasanya Norma Tanjung pamit kepadanya.

"Oh. masih ada yang harus diselesaikan. Selamat malam."

Norma Tanjung melanjutkan perjalanannya dan mengetuk pintu kantor Shaun Harman.

"pak Shaun. saya pulang dulu," katanya sambil membuka pintu.

"Oh. iya. Bu Norma. Kok baru sekarang pulangnya?" tanya Shaun Harman.

"Iya. tadi masih menyelesaikan mengarsip." kata Norma Tanjung.

"Selamat malam!"

"Malam!"

Norma Tanjung pun menutup pintu kantor Shaun Harman dan melanjutkan perjalanannya menuju ke tempat parkir di mana mobilnya berada. Dia membuka pintu mobilnya, masuk. dan mulai mengemudikan mobilnya keluar dari kompleks Lesmana Corporation.

Tapi Norma Tanjung tidak pulang. Dia membawa mobilnya berhenti di depan sebuah depot yang tak jauh letaknya dari Lesmana Corporation. Dia memesan segelas es kelapa muda, dan meminumnya. Sepuluh menit kemudian dia masuk kembali ke dalam mobilnya dan mengarahkannya kembali ke Lesmana Corporation.

"Lho, Bu Norma. ada yang ketinggalan?" tanya satpam yang piket di gardu masuk.

"Iya, Pak Sudah tua ini apa. jadi pelupa," kata Norma sambil tersenyum.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia melihat mobil Shaun Harman dan Sabine Lemar masih ada di tempat parkir.

Norma Tanjung kembali memasuki ruangan kantor. Dia berjalan dengan berjinjit supaya sepatunya tidak menimbulkan suara. Dia sadar bahWa dia tidak bisa tiba-tiba membuka pintu kantor Shaun Harman begitu saja. Iya kalau dugaannya benar. Kalau salah? Dia harus bilang apa kepada Shaun Harman? Jadi Norma Tanjung memutuskan untuk masuk ke kantor Melody Lesmana saja. Kantor Melody ini bersebelahan dengan kantor Shaun Harman. Jika dia berada di dalam kantor Melody, dia pasti bisa mendengar apa yang terjadi di dalam kantor Shaun Harman-kalau memang ada apa-apa yang sedang terjadi di sana! Kalau tidak. dia bisa keluar lagi secara diam-diam tanpa ada yang perlu tahu bahwa dia kembali.

Dia membuka pintu kantor Melody dengan perlahan-lahan. Di dalam sudah gelap, semua lampu sudah dimatikan. Dia menyelinap masuk, menutup pintu kembali. dan menahan napasnya. Dia sedang memasang telinga.

Dari kantor Shaun Harman terdengar suara kresekkk. Suara apa itu? Shaun Harman sedang bekerja dengan kertas-kertas di mejanya, atau kertas kertas itu terusik kegiatan Shaun Harman dan Sabine Lemar?

Norma Tanjung menunggu dengan jantung berdebar-debar. Ternyata pekerjaan mengintai ini sangat menegangkan!

Tiba-tiba dia menyadari ada orang yang sedang membuka pintu kantor Melody Lesmana dari koridor di luar. Lalu pintu pun terbuka tanpa suara. Penerangan di koridor membuat Norma melihat ada orang

yang masuk. tapi karena di dalam ruangan gelap. dia tidak bisa melihat wajahnya. Seketika jantungnya serasa berhenti berdetak. Astaga! Bagaimana kalau Shaun Harman tahu dia ada di dalam sini? Apa yang harus dikatakannya? Kenapa dia diam-diam ada di dalam kantor Melody Lesmana yang gelap?

Belum sempat Norma Tanjung menemukan jawabannya, tamu yang baru datang itu sudah masuk. Di tangannya dia membawa sesuatu dan dia menuju ke meja Melody Lesmana.

Norma Tanjung membuat keputusan. Daripada tertangkap basah, lebih baik dia menampilkan dirinya. Dia sekretaris Melody Lesmana, dia berhak ada di dalam kantor bosnya karena setiap hari dia memang keluar-masuk kemari. Dia langsung memijat tombol lampu di dinding.

Langsung saja ruangan itu menjadi terang benderang.

"Astaga, Dik!" kata Norma mengenali siapa yang baru masuk.

"Ngagetin saya aja."

"Oh, Bu Norma. Saya nggak lihat Bu Norma di sini karena waktu membuka pintu di sini gelap. Kok nggak menyalakan lampu. Bu?"

"Saya sudah mau pulang, lampunya baru saya matikan," kata Norma Tanjung berdalih.

"Ada apa kok masuk ke kantor Bu Melody, Dik?"

"Ini lho, Bu, mau menyerahkan dokumen ini. Sepanjang hari nggak sempet kemari, jadi saya pikir sebelum pulang saya letakkan aja di meja Bu Melody." Rahadian lbrahim meletakkan sebuah map di atas

meja Melody. Norma Tanjung mengenali map itu sebagai kontrak kerjanya yang baru.

"Oh, mana. saya simpan saja di laci meja saya," kata Norma Tanjung.

"Besok saya masukkan lemari arsip. Sudah dibaca, Dik?"

"Sudah, Bu, dan sudah saya tanda tangani. Terima kasih, Bu." kata Rahadian. Dia lalu melambaikan tangannya dan segera bergegas meninggalkan kantor itu.

Norma Tanjung bernapas lega. Jantungnya tadi hampir copot. Untung bukan Shaun Harman! Dia segera mematikan lampu. menutup pintu. dan juga segera bergegas dari sana sebelum kehadirannya diketahui Shaun Harman!

Setelah merasa aman di dalam mobilnya yang sedang meluncur menuju ke rumahnya. Norma Tanjung pun menggerutu sendiri,

"Mau jadi detektif. malah diri sendiri nyaris ketahuan!"

Ketika Shaun Harman pulang ke rumahnya sekitar pukul tujuh malam, dia merasa heran melihat pintu pagarnya sudah terbuka sebelum dia memencet bel mate-nya. Kenapa pintu pagarnya sudah terbuka? Biasanya tidak pernah begitu.

Shaun langsung membawa mobilnya masuk ke halaman. Dia mematikan mesin dan melompat turun dari Peugeot-nya. Dan untuk pertama kalinya dari jendela dia melihat bayangan seseorang di dalam ruang tamunya.

Shaun bergegas menuju ke pintu rumahnya dan menancapkan anak kuncinya di pintu. Dia sudah terbiasa membuka pintu rumahnya sendiri.

"Nah. ini Shaun sudah pulang!" kata Melody yang sedang duduk di ruang tamu bersama seorang lakilaki.

Tamu laki-laki itu pun berdiri dan mengulurkan tangannya kepada si tuan rumah yang sedang melangkah masuk.

"Ini Brian Sudarman, Shaun." kata Melody memperkenalkan.

"Temanku waktu di London dulu."

Shaun Harman sedikit tercengang. tapi dia maju menghampiri si tamu dan menerima jabatan tangannya.

"Saya sudah pernah mendengar tentang Anda. tapi belum pernah bertemu muka." katanya. Dia tidak tersenyum tapi juga tidak menampakkan wajah marah. Dingin saja.

"Likewise," kata Brian sambil tersenyum.

"Cuma saya lebih dulu mengenal wajah Anda dari Foto-foto yang tadi diperlihatkan Melody kepada saya."

"Bukankah Anda tinggal di Jakarta?" tanya Shaun mengangkat sebelah alisnya. Dia sudah pulih dari terkejutnya sekarang.

"Ya," kata Brian.

"Brian baru datang dari Jakarta," kata Melody.

"Aku yang mengundangnya datang."

"O?" Shaun Harman mengerutkan keningnya. Betapa bodohnya dia di mata Brian, istrinya mengundang

seorang laki-laki ke rumahnya tanpa sepengetahuannya!

"Aku memberitahu Brian bahwa kita punya lowongan bagi seorang kepala gudang. Aku minta Brian datang untuk bertemu denganmu." kata Melody sambil tersenyum.

Wajah Shaun Harman membeku. Melody bicara apa? Ini namanya Melody menodongnya untuk memberikan jabatan kepala gudang kepada si Brian ini, padahal tadi pagi kan dia sudah bilang bahwa dia teIah menempatkan Rahadian di jabatan itu! Apa maksud perbuatannya ini?

"Aku sudah cerita kepada Brian tentang apa yang terjadi di pabrik, dan dia tertarik dengan lowongan ini," kata Melody.

Kerut di dahi Shaun semakin dalam. ekspresi wajahnya juga berubah masam.

"Bukankah dia ini anak Pak Sudarman, seorang bankir?" tanyanya.

"Ya. Memang Brian sekarang lagi bekerja di bank ayahnya. tapi terakhir kami bicara, Brian mengatakan bahwa dia kurang cocok dengan kedua saudaranya di sana, jadi dia ingin mencari pekerjaan lain," kata Melody.

"Masa anak bankir sudi mau bekerja sebagai kepala gudang?" kata Shaun sinis.

"Saya ingin mencobanya," kata Brian.

"Saya pikir bekerja ikut orangtua itu kurang enaklah." Lalu menyadari bahwa Melody dan suaminya juga bekerja di perusahaan orangtuanya, dia segera menambahkan. lagi.

"Maksud saya, untuk saya, karena saya yang paling muda dan kedua kakak saya menganggap saya tidak becus segala."

"Mungkin mereka benar," kata Shaun dengan nada serius.

"Anda kan pemain baru. Mereka sudah lebih lama berkecimpung di bidang masing-masing. Semestinya Anda belajar dari mereka."

Brian Sudarman tersenyum. Sangat menawan.

"Mungkin perbankan bukan bidang saya," katanya.

"Saya ingin mencoba yang lain."

"Sebagai kepala gudang?" tanya Shaun mengangkat alisnya.

"Apa Anda tahu apa pekerjaan seorang kepala gudang?"

"Tidak secara rinci. Tapi saya bisa mempelajari sesuatu dengan cepat," kata Brian.

"Selama ini Anda cuma duduk di belakang meja, di ruangan ber-AC, mengenakan dasi, mungkin juga mengenakan jas, bertemu dengan nasabah-nasabah yang beruang. Seorang kepala gudang kerjanya lebih banyak di lapangan, di bawah terik matahari, tanpa dasi, dan bertemu dengan sopir-sopir pengangkutan. Itu merupakan suatu drop yang besar dari status Anda sekarang," kata Shaun.

"Saya bersedia mencoba," kata Brian sambil tersenyum.

"O, ya? Berapa gaji Anda sekarang? Sebagai anak Pak Sudarman, pasti mendekati tujuh digit? Berapa Anda kira gaji yang akan Anda terima sebagai kepala gudang?" tanya Shaun. Lalu dia berpaling kepada Melody,

"Kok kamu bisa menawarkan lowongan itu

kepadanya? Dia kan sama sekali tidak cocok untuk jabatan itu. Lagi pula tadi kan aku sudah bilang bahwa jabatan itu sudah diberikan kepada Rahadian."

"Aku tahu, Shaun, tapi Brian ingin lepas dari ayahnya dan dia bersedia bekerja di sini. Rahadian kan belum diangkat. Dia kan masih menjalani masa percobaan tiga bulan. Jadi tidak ada masalah kan kalau kita mengangkat Brian," kata Melody.

Shaun membuka mulutnya, tapi lalu dia berhenti. Sebaliknya dia berpaling kepada Brian Sudarman dan berkata,

"Sebaiknya Anda meninggalkan kami sekarang. Nanti saya akan memberi kabar Anda tentang pembicaraan ini."

"Lho! Brian ini baru aja nyampai dari Jakarta langsung kemari. Aku pikir kita bisa mengajaknya makan malam bersama kita," kata Melody.

"Kalau begitu silakan kalian berdua makan, aku masih punya urusan," kata Shaun Harman langsung meninggalkan istri dan tamunya di ruang tamu dan segera menaiki anak tangga menuju ke kamarnya di lantai dua.

"Shaun!" panggil Melody.

Tapi Shaun Harman tidak menjawab. Dia melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga dan menghilang dari pandangan istrinya.

"Mel, sebaiknya aku kembali ke hotel aja," kara Brian Sudarman.

"Wah, sori lho, Brian," kata Melody.

"Aku nggak ngerti kenapa dia bersikap begitu malam ini, biasanya

nggak pernah begini. Mungkin kepalanya lagi pusing dengan masalah kerjaan."

"its okay" kata Brian Sudarman.

"Aku telepon kamu aja besok. Sekarang aku pamit dulu."

"Tunggu, tunggu, aku teleponkan taksi," kata Melody.

"Nggak usah. Aku kan bisa memanggil taksi yang lewat." kara Brian.

"Di sini bukan Jakarta. Taksi kosong hanya lewat di daerah pertokoan. Di perumahan nggak ada taksi yang lewat." kata Melody. Dia lalu menelepon ke salah satu perusahaan taksi dan memesan satu unit untuk menjemput Brian.

"Mel. kita lupakan aja tawaran kerja ini." kata Brian.

"Kelihatannya suamimu sudah punya calon sendiri."

"Aku ingin memperbaiki SDM perusahaan kami. Anak yang diangkat suamiku itu bukan apa apa. Aku ingin semua kepala bagian kami paling sedikit sarjana," kata Melody.

"Oke. Tapi jangan memaksa suamimu. Aku nggak mau menjadi sumber pertengkaran kalian." kata Brian Sudarman,

"Nanti aku bicarakan lagi dengannya," kata Melody.

"Aku pasti bisa meyakinkan dia untuk menerima pandanganku."

"Dengarkan aku. Forget it." kata Brian.

"Pokoknya nanti aku kabari," kata Melody.

"Kamu jangan kembali ke Jakarta dulu besok"

"Oke. aku bisa tinggal dua-tiga hari di sini. tapi sudah jangan mempermasalahkan tawaran kerjamu

lagi. Aku nggak mau kamu bertengkar dengan suamimu." kata Brian.

Suara mobil terdengar berhenti di depan pintu.

"Itu taksiku," kata Brian.

"Sampai besok."

" I'll talk to you tomorrow." kata Melody mengantarkan Brian ke pintu.

**

"Shaun!" kata Melody membuka pintu kamarnya.

Kamar tidurnya kosong. Melody mendengar suara air dari dalam kamar mandi. Rupanya Shaun masih mandi. Jadi dia pun menunggunya sambil duduk di atas tempat tidur mereka.

Lima menit, sepuluh menit. Shaun tidak keluar. Melody pun bangkit dan pergi mengetuk pintu kamar mandi.

"Shaun?" panggilnya sambil membuka pintu sedikit.

Shaun sedang berendam di dalam batkep. Dia sedikit kaget saat pintunya membuka.

"Apa?" tanyanya. Nada tanyanya penuh kejengkelan.

"Brian sudah pergi. Aku menunggumu makan malam," kata Melody sambil mengerutkan keningnya. Dia lalu menutup pintu kamar mandi lagi. Tidak biasanya Shaun bersikap tidak sabar dan garang, kenapa dia hari ini?

Setelah berpikir sejenak. Melody memutuskan untuk turun ke ruang makan di bawah lebih dahulu.

Dua puluh menit kemudian baru Shaun muncul. Rambutnya basah. Dia mengenakan kaus dan celana pendek. Bau harum sabun menebar dari tubuhnya.

Tanpa berkata apa-apa, dia pergi duduk di kursinya, dan mulai mengambil nasi. Setelah itu dia mengambil lauknya yang malam ini adalah tawon kesukaannya.

Shaun sudah makan tiga suapan ketika akhirnya dia memandang Melody yang masih duduk diam saja di hadapannya.

"Kamu sudah makan?" tanyanya.

Melody tidak menjawab, tapi dia menunjukkan mimik marah.

Shaun tampaknya tidak terusik dengan tidak adanya jawaban dari Melody. Dia melanjutkan makannya sampai habis. Lalu dia berdiri dari duduknya dan pindah ke sofa di ruang tengah lalu menghidupkan pesawat televisi dengan remote-nya.

Melody masih duduk di meja makan sambil melotot memandang suaminya yang bersikap purapura tidak tahu bahwa istrinya sedang memandang ke arahnya.

Shaun mencoba beberapa stasiun televisi, dan akhirnya memutuskan memilih salah satu yang sedang menyiarkan acara sport.

"Ibu ndak makan?"

Melody berpaling dan melihat Bik Mur pembantunya berdiri di belakang kursinya.

"Sudah. angkat saja. Bik," kata Melody ketus.

"Saya sudah kehilangan selera untuk makan!"

"Makan dikitlah, Bu, nanti lemes lho," kata Bik Mur yang sudah berusia sekitar 45 tahun.

"Sudah nggak selera!" kata Melody.

"Angkat saja!" Lalu dia berdiri dan menghampiri Shaun yang tampaknya sedang mencurahkan seluruh perhatiannya ke layar televisi.

Melody pergi duduk di salah satu sofa di sebelah kiri sofa yang diduduki suaminya. Dia lalu meraih remote televisi yang terletak di atas meja dan mematikan siaran dengan sekali pencet.

"Lho!" kata Shaun berpaling ke arah Melody seakan-akan baru melihatnya untuk pertama kali.

"Kalau ada masalah. bicarakan baik-baik," kata Melody.

"Aku nggak suka didiamkan."

Shaun Harman melipat kedua lengannya di depan dadanya dan memandang istrinya dengan tatapan tidak ramah.

"Kamu mau bicara? Oke, bicaralah!" katanya.

"Kenapa tadi sikapmu seperti itu? Malu-maluin aja di depan Brian," kata Melody.

"Sikapmu itu tidak menghargai aku sebagai istrimu!"

"Sikapmu yang tidak menghargai aku sebagai suamimu!" balas Shaun.

"Aku sudah hilang padamu, aku sudah menempatkan Rahadian sebagai pengganti Kris Wenger, lha kok kamu masih bisa mengundang Brian itu kemari untuk jabatan itu?"


Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Perjanjian Dengan Maut Appointment With Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang

Cari Blog Ini