Ceritasilat Novel Online

Misteri Melody Yang Terinterupsi 5

Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 5



"Karena aku menganggap si Dian tidak memenuhi kualifikasi untuk jabatan itu. Aku mau Brian yang duduk di sana!" kata Melody.

"Kamu tahu apa soal kualifikasi Rahadian? Kamu

nggak pernah bekerja bersamanya. Dia itu anak buahku, aku yang tahu kualifikasinya!" kata Shaun.

"Lagi pula si Brian ini bisa apa? Dia sama sekali tidak tahu apa-apa soal gudang! Selama ini dia kan kerja di bank bapaknya!"

"Dia bisa belajar!" kata Melody.

"Orang yang pandai belajarnya cepat."

"Kenapa kita harus mengambil orang yang masih baru belajar padahal sudah ada orang yang bisa langsung menjalankan tugas itu? Sebetulnya ada apa sih antara kamu dan si Brian ini. Kenapa kamu begitu getol mau dia bekerja di sini?" tanya Shaun dengan nada marah.

"Maksudku. biar sementara Brian itu menjadi kepala gudang dulu satu tahun. Setelah itu dia bisa dipromosikan menjadi tangan kananmu. Dan pada waktu itu jabatan kepala gudang bisa diberikan ke Dian," kata Melody.

"Heh? Tangan kananku? Aku tidak mau Brian menjadi tangan kananku! Aku tidak mau Brian menjadi apa-apaku!" kata Shaun sambil melotot.

"Kamu nggak akan bisa selamanya melakukan semua pekerjaanmu sendirian, Shaun! Kalau semua pekerjaan kamu lakukan sendiri, kita nggak bisa berkembang. Kamu harus punya tangan kanan untuk menangani semua pekerjaan yang rutin supaya kamu sendiri punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang lebih penting," kata Melody.

"Mel, si Brian ini sekolah apa di London?" tanya Shaun sambil melotot.

356

"Manajemen!" kata Melody.

"Aku tidak butuh orang manajemen! Kalau suatu saat aku akan mengangkat seorang tangan kanan, dia harus orang yang mengerti akunting. jelas tidak bakalan si Brian ini!" kata Shaun.

"Kamu bisa mencari seorang akuntan, tapi Brian bisa membantumu dengan manajemen."

"Aku tidak perlu dibantu dalam manajemen, aku bisa melakUkannya sendiri. Yang aku perlukan adalah seorang yang bisa mengurus akunting! Dan dia jelas bukan temanmu ini!"

"Brian kuat sekali dengan hitungan. Dia bisa mempelajari akunting dalam waktu singkat."

"Astaga, Mel! Kenapa kamu tidak mau mengerti kalau aku tidak mau Brian di Lesmana Corporation?" Shaun Harman melemparkan kedua tangannya ke atas sebagai indikasi kejengkelannya.

"Kenapa? Kenapa kamu sentimen sama Brian? Kamu nggak kenal dia," kata Melody tak mau kalah ngototnya.

"Aku tahu cukup banyak tentang dia. Ayahmu sudah bercerita tentang dia ketika dia kembali dari London membawa Rahayu pulang. Masa kamu lupa. Brian itu drug addict! Orang seperti itu kok mau kamu bawa masuk dalam perusahaan kita!" kata Shaun.

"Kamu persis seperti Papa!" kata Melody.

"Brian bukan drug addict! Dulu dia memang pernah makai drugs tapi hanya untuk iseng-iseng aja, sama seperti Rahayu. Setelah Rahayu dipulangkan Papa, Brian ikut

sadar dan dia berhenti nge-drugs. Dia orang baik-baik, Shaun. Andai waktu itu tidak ada dia, belum tentu sekolahku jadi. Dia satu-satunya temanku di London.

Dia yang menemani aku sehingga aku bisa bertahan melanjutkan studiku. Aku berutang padanya," kata Melody.

"Sekali orang sudah nge-drugs, itu tidak akan hilang darinya. Racun itu sudah ada di dalam darahnya. Suatu waktu dia kepepet, pasti dia akan kembali ngedrug lagi!" kata Shaun.

"Dan aku tidak mau orang seperti itu di perusahaan kita! Aku tidak mau orang seperti itu ada dalam kehidupan kita! Aku tidak mau kamu berteman dengan orang itu lagi!"

MelOdy mengerutkan keningnya. Dia benar-benar marah sekarang.

"Jadi sekarang kamu mau mengontrol dengan siapa aku boleh berteman dan dengan siapa aku tidak boleh berteman?" tanyanya sambil mendoyongkan tubuhnya ke depan.

"Ya! Aku tidak mau kamu berteman dengannya. Aku tidak mau orang itu datang kemari lagi!" kata Shaun.

"Shaun, sebelum aku kenal kamu, aku sudah duluan berteman dengan Brian. Kok kamu sekarang melarang aku berteman dengannya!"

"Kamu istriku!" kata Shaun.

"Aku berhak melarangmu!"

"Apa karena aku isrrimu lalu aku tidak bisa memilih temanku sendiri? Apa karena menjadi istrimu lalu aku sudah menjadi bodoh?" kata Melody.

"E, Shaun. sekarang

ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi ya! Aku mau kamu menghargai aku sebagai istri yang sederajat. Aku bukan anak umur lima tahun yang masih perlu dikontrol segalanya!"

Shaun Harman berdiri dari duduknya.

"Aku tidak mau bertengkar denganmu," katanya.

"Aku sudah mengemukakan pendapatku, aku tidak mau melihat orang itu di rumah ini. aku tidak mau melihat kamu berhubungan dengannya. Kalau aku melihatnya di sini lagi. aku akan melemparkannya keluar." Lalu tanpa menunggu jawaban Melody, dia pun segera mengambil kunci mobilnya yang tadi diletakkan di atas bufet.

"Bik Mur! Tolong bukakan pintu pagarnya!" kata Shaun mengangkat suaranya. Lalu dengan tiga langkah lebar, dia sampai di depan pintu rumah. mengentakkannya terbuka, dan keluar sambil menutup pintu di belakang punggungnya. Tak lama kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan halaman.

Melody tercengang. Dia tidak mengira Shaun akan meninggalkannya begitu saja di tengah pembicaraan mereka. Ini adalah pertengkaran mereka yang pertama sejak dia mengenal Shaun. Dia selalu mengira Shaun orangnya halus dan lemah lembut, mengapa malam ini dia bisa bersikap sedemikian kasarnya?

Bik Mur yang kembali dari membukakan pintu pagar mendapati majikan perempuannya sedang menangis. Sejak tadi dia mencuri dengar pertengkaran kedua majikannya di balik pintu ruang makan. Selama lima tahun lebih dia ikut Shaun Harman, belum pernah dia mendengar laki-laki itu mengangkat suaranya. Baru malam ini.

Bik Mur kembali ke dapur, lalu menuang segelas susu cokelat. Lalu dibawanya susu cokelat hangat itu dengan nampan dan diletakkannya di atas meja di depan sofa tempat Melody masih sedang menangis.

"Bu," katanya sambil menepuk punggung tangan Melody ringan-ringan.

"Sudahlah. Bu, jangan menangis."

Melody masih terus menangis.

"Namanya orang berumah tangga itu mesti ada gegernya. Jangan dimasukkan hari. Nanti kalau Sudah lega kan Bapak pulang."

Melody mengangkat kepalanya, dan mengusap air matanya.

"Ini lho, Bu. minum dulu," bujuk Bik Mur.

"Tadi sudah ndak makan, sekarang susunya diminum."

Melody menerima gelas susu cokelat itu dari tangan pembantunya, lalu mulai minum sedikit-sedikit. Belum ada seperempat gelas yang diminumnya, dia sudah meletakkan gelasnya di atas meja sambil gelenggeleng kepala.

"Lho, kenapa, Bu? Kurang manis?" tanya Bik Mur.

"Sudah enek, Bik, sudah nggak mau!" kata Melody.

"Jangan ndak mau. Bu. Harus dihabiskan. Kalau tadi sudah ndak makan, sekarang susunya ndak diminum, kan nanti Ibu lemes," kata Bik Mur.

"Gimana sih Bibik ini! Kok Bibik juga mau ngatur

saya!" bentak Melody.

"Kalau saya bilang tidak mau, ya tidak mau! Tidak usah banyak mulut! Sudah, buang susunya sana!" Melody bangkit dari duduknya.

"Saya mau tidur," tambahnya.

"Kunci semua pintu! Pagarnya juga!"

"Lho, Bapak kan masih keluar," kara Bik Mur.

"Dia punya kunci sendiri," kata Melody sudah mulai menaiki anak tangga.

"Bapak ndak punya kunci pagar," kata Bik Mur.

"Ya sudah, biar dia tidur di luar," kata Melody tanpa berpaling lagi.

Hujan mulai turun.

**

SEPANJANG malam bukan hanya Blk Mur yang menunggu Shaun pulang, tapi Melody juga menunggu suaminya pulang, namun sampai pukul empat pagi Shaun belum muncul. Hujan turun dengan deras lagi sepanjang malam, halilintar juga beberapa kali terdengar memecah keheningan malam. Melody tidak bisa tidur, dia menyesali pertengkarannya tadi. Dia tidak bermaksud bertengkar dengan suaminya. Cuma dia merasa sangat jengkel karena suaminya tidak mau menerima pendapatnya. Apakah suami-suami selalu begitu? Apakah suami-suami selalu menganggap istri mereka itu bodoh dan harus mereka atur? Apakah suami-suami selalu menganggap pendapat istri mereka salah dan hanya mereka sendiri yang betul? Apa istri tidak boleh punya suara dan hanya boleh bilang "Ya" dan "Amin"? Menjelang pukul lima pagi baru terdengar suara mobil Peugeot memasuki halaman. Si tuan rumah sudah pulang!

Melody pura-pura memejamkan matanya. Dia tidak mau Shaun tahu bahwa dia sudah menunggunya sepanjang malam. Dia mau Shaun melihatnya tertidur nyenyak, tanpa membingungkan suami yang tidak pulang.

Tapi tunggu punya tunggu, sang suami tidak naik ke atas. Melody menunggu sampai pukul enam lewat seperempat, masih saja Shaun tidak muncul di kamar. Sialan! Dia sudah capek bersandiwara pura-pura tidur. Ke mana si Shaun? Pukul setengah tujuh masih belum ada Shaun! Melody memutuskan untuk bangun. Memang sudah waktunya bangun. Dia merasakan kepalanya berputar, pasti karena kurang tidur semalam dan juga karena kalau pagi akhir-akhir ini memang kepalanya suka sakit dan perutnya mual. Perlahanlahan Melody turun dari tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian Melody pun turun. Dia sudah mandi tapi tetap mengenakan daster. Di tengah-tengah menuruni anak tangga dia mencium aroma wangi kopi. Setiap pagi memang Shaun minum kopi. Jadi kira-kira suaminya sekarang juga sedang minum kopi, pikir Melody.

Benar juga dugaannya. Shaun sedang duduk di depan televisi menonton berita pagi. Secangkir kopi yang sudah separo kosong terletak di meja. Shaun sudah berpakaian rapi dan sudah menukar pakaian santainya semalam dengan pakaian dinasnya. Mungkin dia mengambil dari tumpukan pakaian yang sudah disetrika tapi belum dimasukkan lemari.

Melody harus lewat di depan Shaun karena anak tangganya memang turun di bagian tengah rumah. Begitu Melody tiba di tempat Shaun sedang duduk, dia pun berhenti dan bertanya,

"Pukul berapa kamu pulang semalam? Aku nggak mendengarmu datang."

"Aku nggak pulang," kata Shaun ringan. Dia meneguk kopinya lagi.

"Aku baru pulang tadi."

"0? Lalu kamu tidur di mana?" tanya Melody seakan tidak peduli.

"Di hotel," kata Shaun.

"Punya rumah kenapa harus tidur di hotel?" tanya Melody sinis.

"Karena aku mau tidur. Aku sudah capek. Aku tidak mau menghabiskan satu malam bertengkar denganmu," kata Shaun.

"Aku juga nggak mau bertengkar denganmu," kata Melody.

"Tapi kalau ada perbedaan pendapat, aku atau itu dibicarakan sampai kita tiba pada suatu kesepakatan. Aku nggak mau kamu bersikap dominan dan menentukan aku harus mengikuti pendapatmu."

"Jadi maksudmu aku yang harus mengikuti pendapatmu?" tanya Shaun sambil mengerutkan keningnya.

"Maksudku kita biara sampai kita sama-sama sampai pada suatu kesepakatan," kata Melody.

"Itu tidak mungkin. Kalau kamu bilang plus dan aku bilang minus, walaupun dibicarakan sampai lidah kering, mana kita bisa sepakat? Yang bisa adalah salah satu pihak mengalah dan mau menerima apa yang

dikatakan pihak lain," kata Shaun.

"Dan dalam urusan Brian ini. aku tidak mau mengalah padamu. Brian tidak welcome di rumah ini. Tidak kemarin, tidak hari ini, tidak besok, tidak selamanya!"

"Jadi aku yang harus mengalah padamu?" tanya Melody.

"Aku tidak menyuruh kamu mengalah padaku," kata Shaun.

"Aku hanya mengatakan. dalam hal Brian ini, aku tidak akan mundur dari keputusanku. Aku tidak mau dia berada di rumah ini. Aku tidak mau dia berada di perusahaan kita."

"Baik. aku membuat kompromi denganmu," kata Melody.

"Karena rumah ini adalah rumahmu. aku akan mengikuti peraturanmu. Tapi aku adalah direktur Lesmana Corporation, dan aku yang berhak mengangkat karyawan."

Shaun Harman seperti kena tampar. Dengan kalimat itu istrinya memberinya peringatan bahwa pangkatnya lebih tinggi daripada suaminya di Lesmana Corporation, bahwa dia adalah atasan suaminya! Untuk beberapa saat lamanya Shaun tidak bisa menjawab.

"Jadi. kamu terima kompromi ini?" Melody bertanya. membuyarkan lamunan Shaun.

"Kamu betul," kata Shaun.

"Kamulah direktur Lesmana Corporation. Malah Lesmana Corporation adalah milikmu. Maaf, Ibu Direktur, saya sudah lupa di mana posisi saya." Shaun meneguk habis kopinya. meletakkan cangkirnya di meja. lalu berdiri.

"Sebaiknya sekarang saya berangkat ke kantor dulu supaya

tidak terlambat dan Kena pecat. Shaun segera menyambar kunci mobil di atas bufet dan segera pergi membuka pintu rumah.

"Shaun! Itu tidak adil!" kata Melody mengangkat suaranya.

"Aku tidak bermaksud demikian!"

Tapi Shaun Harman tidak memberikan jawaban. Dari jendela Melody melihat suaminya segera masuk ke dalam mobilnya, lalu dia mendengar bel berbunyi di dalam rumah, bel yang dipakai untuk minta Bik Mur membuka atau menutupkan pintu pagar. Bik Mur pun berlari-lari keluar untuk membukakan pintu pagar. Berikutnya Melody melihat suaminya segera mengundurkan mobilnya keluar dari halaman rumah. Dalam waktu kurang dari dua menit. Shaun dan mobilnya sudah lenyap dari pandangannya.

Melody langsung duduk di sofa. kakinya terasa lemas. Kepalanya seperti dipukul berpuluh-puluh martil.

"Bapak kok sudah pergi sepagi ini, ya?" tanya Bik Mur kembali dari mengunci pintu pagar.

"Sarapannya di meja makan aja belum dimakan lho, Bu," tambahnya.

"Sudah, biar. Buang saja!" kata Melody dengan nada jengkel.

"Lho, makanan kok dibuang to, Bu! Dibuat makan nanti kan juga bisa," kata Bik Mur.

Mata Melody melotot.

"Bik Mur ini memangnya mau menantang saya, apa?" katanya.

"Kalau saya bilang 'buang', ya buang. Tidak usah komentar macam-macam!"

Bik Mur menghela napas dalam-dalam. Sebenarnya dia ingin sekali mengentakkan kakinya lalu maSuk ke belakang dan tidak melihat wajah majikannya ini lagi, tapi dia menyadari bahwa dia cuma seorang pembantu, dia bekerja di sini, jadi dia harus melayani majikannya walaupun hatinya jengkel. Untuk menghibur dirinya dia berkata. majikannya ini marah-marah padanya karena tidak bisa marah sama suaminya. Ya, dia mengalah sajalah. Apalagi Ibu lagi hamil muda.

"Ibu sekarang mau makan apa?" tanyanya.

"Saya tidak mau makan. Nanti saja. Sekarang saya mau kembali tidur," kata Melody memutar tubuhnya kembali menaiki anak tangga.

"Makan dululah, Bu, abis gitu baru tidur lagi. Kemarin sudah ndak makan, nanti sakit," kata Bik Mur.

Amarah Melody langsung meledak lagi.

"Bik Mur, dengarkan baik-baik," katanya.

"Jangan sekali-kali mau mengatur saya! Saya tidak mau diatur orang lain. ngerti? Saya yang majikan di sini! Saya yang ngatur pembantu, bukan sebaliknya!" Lalu dia menaiki anak tangganya satu per satu kembali ke loteng.

Bel di dalam rumah berbunyi. Bik Mur melongokkan kepalanya ke jendela. Sopir Danny Lesmana sudah datang. Dia pun keluar membukakan pintu pagar.

Melody melemparkan dirinya di atas tempat tidur dan menangis lagi. Ternyata suaminya tidak seperti yang dihatapkannya. Ternyata Shaun adalah orang yang dingin dan keras, cuma mau-maunya sendiri. Mestinya laki-laki lain yang istrinya lagi hamil. lebih memanjakan dan lebih menyayangi istrinya. bukannya malah diajak bertengkar dan ditinggalkan! Andai tadinya tahu begini, lebih baik tidak kawin. Kalau kawin lalu harus kehilangan kebebasannya. harus tunduk seratus persen sama suami, untuk apa? Kan lebih enak tidak kawin tapi bisa mempertahankan identitas dan integritasnya sendiri!

Sekarang gimana? Apa yang harus dilakukannya? Apakah dia akan melakukan konfrontasi terbuka dengan suaminya soal Brian? Apa dia akan terangterangan menantangnya? itu pasti bukan jawaban yang bijaksana. Dia tidak ingin kehilangan suaminya-paling tidak, bukan sekarang. Dia masih berharap bisa melanjutkan perkawinannya. Jadi, satu-satunya jalan yang tersisa adalah dia harus mengikuti kemauan suaminya, patuh pada kehendak Shaun.

Melody marah. marah pada dirinya sendiri karena harus terpaksa tunduk kepada orang lain. walaupun itu suaminya. Padahal dalam hal ini sebetulnya Shaun tidak pada posisi di mana dia bisa menghakimi Brian, karena dia sama sekali tidak kenal Brian. Keputusan yang dibuat Shaun hanyalah berdasarkan apa yang diceritakan ayahnya kepadanya Padahal Brian sudah lama berubah, sudah sama sekali berhenti memakai narkotik. Orang kan bisa berubah? Rahayu pun sekarang sudah tidak

memakai narkotik. Lalu kenapa Shaun tidak keberatan dia tetap berteman dengan Rahayu tapi dengan Brian tidak boleh? Jadi sebetulnya alasan Shaun melarangnya berteman dengan Brian hanya dibuat-buat. Pasti sesungguhnya bukan itu. Lalu apa?

Cemburu? Ya, mungkin itu! Tapi mestinya Shaun tidak usah cemburu pada Brian. Dia tidak mencintai Brian. Andai dia mau sama Brian, sudah sejak di London mereka bisa jadian, kenapa harus menunggu sampai sekarang? Kenapa Shaun tidak bisa berpikir demikian?

Perlahan-lahan Melody mulai terlelap. Akhirnya toh dia kalah sama kantuknya. Ketika terjaga, dia melihat lonceng di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Dia pun berdiri, turun dari tempat tidurnya. Sakit kepalanya sedikit mereda. Sekarang dia merasa lapar. Jadi dia pun turun.

"Tadi ada yang menelepon, Bu," kata Bik Mur begitu melihatnya.

"Siapa?"

"Pak Brian yang kemarin datang itu," jawab Bik Mur.

"Saya bilang Ibu masih tidur. Nanti dia mau menelepon kembali."

"Ya. Sekarang saya lapar, ada makanan apa?" tanya Melody.

"Sudah saya masakkan sayur asem, Bu," kata Bik Mur.

"Makan sekarang ya?"

Melody pun makan apa yang dihidangkan Bik Mur. Berhubung rasanya asam, dia tidak merasa enek sehingga bisa menghabiskan sayur semangkuk.

Setelah makan Melody pergi ke meja telepon. Dia menelepon hotel tempat Brian menginap. Dia merasa beruntung karena Brian masih di sana.

"Halo. Mel, baru bangun?" suara Brian terdengar ceria.

"Iya. Semalam aku nggak bisa tidur, baru tidur tadi pagi, jadi ya baru bangun sekarang," kata Melody.

"Kamu semalam nggak bertengkar dengan suamimu, kan?" tanya Brian.

"Ya bertengkar," kata Melody polos.

"Kan aku udah bilang, jangan bicara soal tawaran kerjaku lagi. Kamu nggak percaya sih," kata Brian.

"Sori lho, Brian, aku nggak ngira akhirnya jadi seperti ini. Kamu jauh-jauh datang percuma," kata Melody.

"Ketemu kamu ya nggak percuma namanya!" gelak Brian.

"Lagian aku memang kepingin ketemu kamu. Kan sudah lama sekali kita nggak ketemu. Kamu udah makan siang belum? Gimana kalau aku undang kamu makan?"

"Aku baru makan, Brian, makasih! Kamu nggak puasa?"

"Tadi pagi bangunnya kesiangan, nggak sempet sahur," kekeh Brian.

"Kalau begitu ya udah, sekalian aku pamit nanti sore aku akan kembali ke Jakarta."

"Wah, sayang kita nggak sempat ngobrol lebih banyak. Sebetulnya aku masih ingin ngobrol denganmu," kata Melody.

"Memangnya aku masih boleh datang ke rumahmu?" tanya Brian.

"Pesawatku baru berangkat sore."

Melody teringat ancaman Shaun bahwa dia akan melemparkan Brian keluar kalau dia melihatnya di rumahnya. juga kompromi yang dibuatnya tadi pagi bahwa dia akan menghormati keinginan Shaun dan tidak mengizinkan Brian datang ke rumahnya. Tapi Shaun kan sekarang ada di kantor, jadi dia nggak tahu. Lagi pula Melody merasa konyol mengatakan kepada Brian bahwa suaminya tidak mengizinkan dia datang, kok sepertinya dia itu berada di bawah telapak kaki suaminya aja!

"Datanglah, nggak apa-apa," katanya.

"Suamimu nggak marah?"

"Suamiku pulangnya kan sore."

"Oke, kalau begitu aku ke sana sebentar aja. Kamu aku bawakan pastry dari hotel, ya? Tadi aku nyoba salah satu pastry-nya di sini, lumayan enak kok."

"Nggak usah, Brian. Aku lagi nggak selera makan. apalagi kue-kue. Kalau kamu hari ini nggak puasa, gimana kalau kamu yang aku undang makan siang di rumah sekarang? Pembantuku masak sayur asem, enak lho masakannya!"

"Katanya kamu udah makan?"

"Aku udah, jadi kamu makan sendiri, tapi aku temani sambil mengobrol," kata Melody.

"Oke! Aku berangkat sekarang," kata Brian.

"Tunggu, aku kirim sopirku untuk menjemputmu. Dia menganggur kok," kata Melody.

Dari Jalan, Shaun melihat mobil Mercy mertuanya dan Bob Panahi di halaman rumah. Berarti Melody tidak keluar, pikirnya. Dia melemparkan senyum ke Bob yang membukakan pintu pagar baginya, lalu bergegas menaiki dua anak tangga ke teras rumahnya. Dia membuka pintu dengan kuncinya sendiri seperti biasanya. Begitu sampai di ruang tamu, dia mendengar suara orang berbicara dari arah ruang makannya. Shaun pun mengerutkan kening. Siapa yang ada di rumahnya?

Biasanya dia tidak pernah pulang siang siang begini, tapi karena tadi pagi dia meninggalkan rumah dalam suasana yang tidak menyenangkan, dia bermaksud untuk memperbaikinya. Bagaimanapun juga Melody kan dalam kondisi hamil dan dia tidak ingin membuat istrinya merasa tidak nyaman. Kata orang perempuan hamil memang suka mau-maunya sendiri, jadi yah sudahlah, kali ini dia yang mengalah. Dia tak ingin jabang bayinya ikut stres karena ibunya marahvmarah.

Shaun masuk terus ke bagian dalam rumahnya. Tapi apa yang dilihatnya langsung membuatnya mati langkah. Betapa tidak! istrinya sedang tertawa dan bercanda dengan Brian Sudarman di meja makan, orang yang justru sudah dilarangnya datang ke rumahnya ini!

"Shaun!" kata Melody dengan nada sedikit terkejut saat melihat sosok suaminya berdiri di sana. Untuk beberapa detik awal dia tampak kebingungan.

"Kenapa dia ada di sini?" tanya Shaun menunjuk ke arah Brian.

Brian langsung berdiri. Dia mencoba tersenyum _menghadapi suami yang lagi marah ini.

"Oh, saya datang untuk pamit. Sore ini saya akan kembali ke Jakarta," katanya.

Dengan mata membelalak Shaun memandang istrinya.

"Aku kan sudah bilang aku tidak mau melihat dia di sini lagi," katanya dengan nada datar.

"Aku yang mengundang Brian makan," kata Melody yang sudah pulih dari kagetnya,

"dan aku minta kamu menghargainya sebagai tamuku." Dari nada bicaranya, nyata bahwa dia sedang mengendalikan amarahnya.

"Well, aku pikir aku pulang untuk makan siang bersamamu, tapi ternyata kamu sudah punya teman makan yang lain," kata Shaun yang langsung memutar haluannya meninggalkan ruang makan.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu depan menutup dengan keras.

Bik Mur yang mendengar percakapan majikannya ini, memburu ke luar. Dialah yang mengejar Shaun Harman.

"Pak! Masakan masih banyak! Kalau mau makan..." katanya sementara melihat Shaun Harman sudah melompat ke dalam mobilnya.

Tapi Shaun tidak menjawab, dan bahkan membanting pintu mobilnya menutup. Lalu dia segera mengundurkan kendaraannya. Bob Partahi cepat-cepat membukakan pintu pagar dan hanya bisa terbengong melihat si tuan rumah menghilang dari sana.

"Biarkan, Bik," kata Melody ketika melihat Bik Mur kembali masuk.

Bik Mur pun mengangguk dan menghilang ke dapur. Hatinya ikut merasa tidak enak. Dia tahu sejak kemarin majikannya bertengkar. Dia tidak suka itu.

"Sebaiknya aku segera pergi," kata Brian.

"Kenapa? Kalau Shaun tidak mau berteman denganmu, itu urusannya. Dia tidak bisa memaksa aku untuk mengikuti kemauannya," kata Melody.

"Mel, jangan begitu. Dia suamimu." kata Brian.

"Apa karena dia suamiku, lalu aku sudah tidak punya hak untuk memilih temanku sendiri?" tanya Melody.

"Maksudku, untuk apa kamu bertengkar dengannya gara-gara aku? Aku ini bukan isu penting, nggak perlu kamu ributkan dengan suamimu," kata Brian.

"Ini bukan masalah kamu, Brian. Ini masalah prinsip. Aku nggak senang dia mau mengatur aku. Aku nggak mau hanya bisa manggut-manggut saja. Aku berhak punya pikiran sendiri!" protes Melody.

"Mel, sudahlah! Ngapain kamu ngotot urusan yang nggak penting ini? Aku rasa suamimu cemburu aja karena melihat kamu dengan laki-laki lain. Itu menunjukkan dia mencintaimu," kata Brian.

"Aku nggak perlu dicemburui! Memangnya dia pikir aku melompat ke ranjang setiap laki-laki yang aku

jumpai? Yang bener aja!" kata Melody.

Brian beringsut meninggalkan meja makan.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku nggak mau terlibat dalam pertengkaranmu dengan suamimu. Aku temanmu. Kita sudah lama bersahabat. Dengarkan nasihatku, Mel. Masa baru kawin udah bertengkar urusan sepele begini. Teleponlah suamimu, minta maaf, dan baikan kembali," katanya.

"Aku heran. dia nggak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Andai dia pernah begini, aku nggak bakalan mau kawin dengannya!" kata Melody.

"Tapi sekarang kamu udah kawin dengannya. Kamu bahkan udah hamil. Kalian akan punya anak. Jadi jangan memperbesar masalah ini," kata Brian.

Melody tidak menjawah. Dia hanya merapatkan bibirnya tanda jengkel.

"Ini urusan kecil. Mel, jangan diperbesar. Turutilah suamimu." kata Brian.

"Tapi aku masih mau berteman denganmu," kata Melody.

"Oke, kita kan masih bisa bicara di telepon," kata Brian.

"Suamiku melarang aku bicara denganmu juga," kata Melody.

"Oh, ya? Mungkin dia benar-benar takut kehilangan dirimu, Mel. Kalau begitu ya udahlah. untuk sementara kita nggak usah bicara dulu. Kapan-kapan kalau suamimu sudah merasa lebih yakin, kita masih punya banyak waktu untuk bicara lagi," kata Brian.

"Kenapa Shaun tidak bisa sepengertian kamu?" kata Melody.

"Jangan salah paham, andai aku jadi suamimu. aku juga akan melarangmu berteman dengan laki-laki lain," kata Brian sambil tersenyum.

"Sekarang. aku pamit. Terima kasih untuk makan siangnya."

"Sori, Brian, jadi berantakan begini," kata Melody.

"Enggak apa-apa. Aku sudah senang bertemu denganmu. Bye' Brian langsung membuka pintu dan melangkah ke teras.

Melody mengikutinya keluar lalu berkata kepada Bob yang sedang duduk di kursi kebun.

"Pak Bob, tolong antarkan tamu saya kembali ke hotelnya."

**

SUDAH dua minggu lewat sejak pertengkaran mereka terjadi, tapi hubungan antara Shaun dan Melody masih berada di status quo. Mereka bicara hanya seperlunya, bertemu pun hanya apabila terpaksa. Shaun pulang malam, saat Melody sudah tidur, dan pagi-pagi sudah keluar rumah untuk joging sebelum Melody bangun. Bahkan selama dua minggu ini saat sarapan pun mereka tidak bertemu. Shaun duduk sendiri di meja makan, sambil membenamkan kepalanya di balik lembaran-lembaran koran pagi yang dibacanya, sementara Melody masih tergolek di tempat tidurnya di loteng karena mual dan pusing. Di kantor-apabila hari itu Melody mengantor-mereka pun nyaris tidak berkomunikasi. Mereka berangkat sendiri-sendiri, dan pulang sendiri-sendiri. Shaun mengendarai Peugeotnya sendiri seperti biasanya, sedangkan Melody diantarkan Bob Partahi dengan Mercy Danny Lesmana. Mereka juga tidak pernah bertemu di kantin waktu

makan siang, karena Melody memang lagi tidak suka makan. Jadi selagi jam makan, biasanya dia mengobrol dengan Jaka Herlambang yang juga tidak makan siang karena lagi berpuasa. Jika lapar, barulah dia minta dibuatkan susu cokelatnya. Jadi selama dua minggu ini mereka nyaris tidak berkomunikasi.

Bagi seseorang yang tidak menyukai masalah seperti Shaun, kondisi perang dingin di dalam rumah tangganya ini membuatnya sangat tertekan. Dan karena dia tidak punya tempat curhat. beban di hatinya terasa semakin berat. Shaun mulai mempertanyakan pernikahannya dengan Melody. Apakah dia sudah salah langkah? Ternyata dia belum kenal pribadi Melody yang sebenarnya. Ternyata Melody bukanlah seorang gadis manis yang butuh disayangi suami. Ternyata Melody lebih keras dan lebih tegas dari dugaannya. Berarti perkawinannya dengan Melody akan selalu dipenuhi konflik, kecuali jika dia bersedia selalu mengalah. Dia yang harus mengikuti semua keinginan Melody! Astaga! Kesadaran ini membuat nyalinya kecut. Kehidupan macam apa yang akan dimilikinya bersama Melody?

Ya Tuhan, alangkah bedanya Melody dengan Tania. Selama beberapa tahun dia berpacaran dengan Tania, mereka tak pernah bertengkar. Tania selalu mengikuti kehendaknya. Tania percaya padanya, bahwa dia akan selalu mengamankan hubungan mereka. Tania percaya bahwa dia selalu akan melakukan yang terbaik bagi mereka berdua. Tania tak pernah mempertanyakan keputusannya. Apa pun yang diputuskannya, Tania

menerimanya dengan keyakinan bahwa memang itulah pilihan yang terbaik bagi mereka. Melody sebaliknya. Melody menganggap dirinya lebih pintar, dan karena Melody adalah bosnya dia justru membawa pangkatnya itu ke dalam kehidupan rumah tangga mereka. Melody tetap mau menjadi bos di rumah. Wah!

Andaikan Melody tidak hamil, pasti Shaun sudah memutuskan untuk menceraikannya saja. Tapi dalam kondisinya sekarang. Shaun merasa menggugat cerai berarti dia tidak bertanggung jawab terhadap anaknya sendiri yang belum lahir. Dan Shaun tidak mau merugikan anaknya yang tidak berdosa. Selain itu. dia juga maSih merasa kasihan pada Melody.

Shaun tidak tahu harus berbuat apa. Tadinya dia mau minta maaf saja pada Melody untuk menyudahi perang dingin ini. tapi dalam hatinya dia tahu konflik seperti ini kapan saja bisa terulang lagi. Lalu apakah setiap kali dia harus mengalah kepada istrinya? Dia tidak berniat menjadi keset sepatu istrinya seumur hidupnya!

Aku harus berbuat sesuatu. pikir Shaun. Jika aku masih akan terikat perkawinan ini selama tiga-empat puluh tahun lagi, aku harus berbuat sesuatu sekarang! Melody harus tahu bahwa aku adalah suaminya. dan dia perlu menghargai aku sebagai suaminya. bukan karyawannya!

"Mbak Melody!"

Melody yang sedang tiduran di sofa memalingkan kepalanya dan melihat Lisa Harun berdiri di belakangnya.

"Hei, kok nggak denger ada yang ngebel." kata Melody.

"Kan minggu lalu aku sudah diberi Mas Shaun duplikat kunci pagardan kunci rumah ini. Mbak," kata Lisa sambil tersenyum.

"Jadi nggak usah ngerepotin Bik Mur setiap kali aku datang."

"Iya. aku lupa," senyum Melody.

"Belakangan ini kok aku suka lupa ya."

"Gimana keadaannya hari ini, Mbak?" tanya Lisa.

"Masih pusing, ya?"

"Iya, hari ini mumet lagi. Kemarin lumayan. aku bisa ngantor. tapi hari ini rasanya badanku nggak enak semua. Wah, ternyata orang hamil ini nggak enak ya. kok masih ada yang mau punya anak bolak-balik," kata Melody.

"Sebelum ini aku nggak pernah sakit lho. Batuk-pilek aja jarang, mungkin tiga tahun enggak sekali. Sekarang ini rasanya kapok-kapok deh."

Lisa Harun tersenyum.

"Ntar kalau bayinya udah lahir kan senang. Mbak," katanya.

"Mana senang? Menurut buku-buku yang aku baca tuh, malah repot. Mana yang menyusui, mana yang ganti popok, mana yang nggak bisa tidur karena nungguin bayi sakit. dan lain-lain. dan lain-lain. Aku justru khawatir setelah bayinya lahir. aku malah nggak bisa ngantor."

"Ya pakai suster, Mbak. Zaman sekarang kan semua orang pakai suster supaya ibunya punya waktu untuk hal-hal yang lain," kata Lisa.

"Kalau anak diserahin ke suster aja, juga nggak benerlah. Itu anak kan jadi anaknya suster, bukan anakku. Tapi kalau membayangkan harus merawat sendiri, rasanya juga aku nggak sanggup," kata Melody.

"Nanti biar aku yang bantu, Mbak." kata Lisa.

"Kalau perlu aku pindah kemari."

"Katanya kamu mau kerja, Lis," kata Melody.

"Iya, memangnya begitu rencanaku." Lalu sambil menyeringai Lisa berbisik,

"Ada lowongan nggak, Mbak. di Lesmana Corporation? Jadi tukang ketik pun aku mau. Aku punya lho ijazah ngetik."

"Sementara ini nggak ada. Lis. Lagian kamu kan sekolah farmasi, ngapain jadi tukang ketik? Lebih baik kamu cari pekerjaan yang berhubungan dengan sekolahmu," kata Melody.

"Iya, Mbak. Ntar kalau skripsiku udah selesai, aku mau ngelamar ke perusahaan farmasi. Tapi kalau Mbak perlu bantuan, ya bekerjanya ditunda dulu nggak apa-apa," kata Lisa Harun.

"Ya sebetulnya sayang, Lis, masa kamu jadi baby sister," kata Melody.

"Ya hitung-hitung kan training buat masa depanku juga, Mbak. Kan suatu waktu aku juga rencana punya keluarga sendiri, punya bayi sendiri," kata Lisa sambil tersenyum.

"Kamu udah punya pacar, Lis?" tanya Melody.

"Kok aku nggak pernah dengar tentang hal ini."

"Belum, Mbak. Yah. kalau teman aja banyak. tapi belum ada yang serius. Aku nggak ngebet kok, Mbak."

"Kalau dipikir-pikir. enakan :single," kata Melody dengan wajah cemberut.

"Nggak ada yang bikin sebel."

Lisa Harun mengerutkan keningnya.

"Memangnya Mbak bertengkar dengan Mas Shaun?" tanyanya.

"Laki-laki itu selalu mau menang sendiri." kata Melody.

"Hanya karena mereka laki-laki. mereka menganggap mereka tahu lebih banyak daripada kita. Mereka menganggap pendapat mereka yang paling benar."

Lisa membuka matanya lebar-lebar, mendengarkan kuliah dengan saksama.

"Coba lihat aku." lanjut Melody.

"Andaikan aku masih single, sekarang aku akan berada di kamarku dan bekerja, bukannya tiduran di situ dengan kepala yang berputar-putar."

"Biasanya kondisi seperti ini kan nggak lama, Mbak. Cuma tiga bulan pertama, kata orang." jawab Lisa.

"Tiga bulan pun juga penderitaan. Mau makan, nggak bisa. Mau tidur, juga nggak bisa. Tersiksa."

"Mbak nggak diberi obat sama dokter? Temantemanku yang hamil biasanya diberi obat untuk mengurangi rasa mual. Kelihatannya mereka ya biasa-biasa aja, masih bisa beraktivitas secara normal tuh."

"Sebisanya aku nggak mau minum obat." kata

Melody.

"Semua obat ada efek sampingnya yang buruk."

"iya, bener, Mbak. Sekarang ini banyak bayi lahir dengan macam-macam problem. Banyak bayi yang lahir kuning lho, Mbak, seperti orang yang sakit hepatitis gitu. Mungkin karena efek obat ya, Mbak," kata Lisa.

Kringggg' Kringggg'

"Bik Mur, tuh ada yang ngebel!" panggil Melody.

Bik Mur bergegas ke depan untuk melihat siapa yang datang.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki masuk ke ruang tamu.

"Halo, Mel!" Rahayu muncul mengikuti Bik Mur yang bergegas kembali ke belakang.

"Hai, Yu!" kata Melody tersenyum lebar. Dia langsung merasa gembira melihat teman lamanya.

"Aku tadi menelepon ke kantormu. Kata resepsionismu, kamu nggak masuk. Jadi aku kemari. Gimana keadaanmu?" tanya Rahayu. Dia membawa sebuah tas kresek besar.

"Yah, begini inilah, tersiksa," kata Melody.

"Kamu ingat Lisa. kan?" tanyanya sambil menunjuk Lisa Harun.

"Oh, iya, ingat," kata Rahayu memberikan tangannya menyalami gadis itu.

"Apa kabar?" katanya.

"Baik, Mbak," jawab Lisa.

"Ini aku bawakan minuman susu cokelat kesukaanmu," kata Rahayu menyerahkan tas besarnya kepada

Melody.

"Aku masih ingat, dari dulu kamu memang suka minum susu cokelat ini."

"Wah, repot-repot aja, Yu," kata Melody.

"Makasih lho."

"Aku bawakan ke belakang, Mbak," kata Lisa Harun mengoper tas itu.

"Mau dimasukkan lemari atau enggak?"

"Serahkan Bik Mur aja, Lis, biar dia yang nyimpan," kata Melody.

Lisa pun masuk ke dalam membawa tas kresek itu.

"Gimana keadaan Bapak?" tanya Melody kepada Rahayu.

"Baik, baik. Bapak lagi mikir mau buka warung lagi," kata Rahayu.

"Lho, kok buka warung lagi?"

"Setelah Ibu nggak ada, Bapak merasa kesepian sepanjang hari sendirian di rumah. Jadi Bapak pikir sehabis Idulfitri mau buka warung lagi di depan rumah aja, sampai sore. Sebelum magrib tutup."

"Wah, jadi Bapak mau memasak lagi?"

"Ya. Tapi ya masakan yang gampang-gampang aja, macam nasi goreng. bihun goreng, ini goreng, begitu itu."

"Hmmm, aku ingat bihun goreng buatan Bapak," kata Melody.

"enaaaak sekali. Kamu inget nggak dulu setiap aku mampir ke warungmu, Bapak selalu membuatkan bihun goreng untuk kita?"

"Ya," kata Rahayu sambil tersenyum.

"Hmmm. sekarang diingatkan begini, aku jadi ketagihan lagi," kara Melody.

"Jangan khawatir. ntar aku minta Bapak buatkan khusus untukmu." kata Rahayu.

"Aduh, tapi Bapak apa nggak capek sekarang? Kan usianya juga udah bertambah. Nanti yang belanja siapa?"

"Ya Bapak sendiri. Abis, Bapak bilang daripada cuma duduk bengong aja ya mending bikin sesuatu. Apalagi kan bisa menghasilkan uang."

"Lho, kalau Bapak perlu uang. biar aku yang ngirim aja, Yu. Nggak perlu sampai harus bekerja lagi. Kasihan kan, sudah tua kok masih harus banting tulang." kata Melody.

"Kalo sekali-sekali masakin aku, nggak apa-apa, he-he-he."

"Kalau uang sih bukannya kurang, Mel. Penghasilan Dian dan aku cukup kok untuk hidup kami bertiga. cuma Bapak aja yang nggak mau berpangku tangan. Bapak bilang. selagi masih kuat. dia mau bekerja," kata Rahayu.

"Kalau begitu enaknya diambilkan pembantu, Yu," kata Melody.

"Sebetulnya aku udah mau usul tempo hari, cuma nggak sempet-sempet. Kalau kalian bekerja, Bapak kan kasihan sendirian di rumah. Carikan pembantu supaya ada temannya."

"Iya. aku juga udah minta anak salah seorang tetangga untuk membantu di rumah. Anaknya masih umur 19 tahun, dia drop out dari SMA. ibunya sudah janda. Kamu tahu kan rumah kami kecil. kamarnya cuma dua. Kalau memakai pembantu yang tidur dalam, nggak ada tempatnya. Kalau tetangga sendiri

begini lebih enak, jadi kalau malam dia sudah selesai kerja, dia bisa pulang ke rumahnya sendiri."

"Bapak mau?" tanya Melody.

"Mau. Anaknya baik, sebelum ini kalau dia melihat aku menyapu di pagi hari, dia juga datang untuk membantu." kata Rahayu.

"Ya syukurlah kalau Bapak mau," kata Melody.

"Gaji anak itu biar aku yang membayar aja, Yu. Uangnya aku berikan kamu aja sekarang, untuk beberapa bulan. Kalau habis, kamu minta lagi padaku." Melody mau berdiri dari sofanya, tapi langsung dicegah Rahayu.

"Aduh, nggak usah, Mel! Menggaji si Farid aku juga mampu. Aku kan punya penghasilan!" kata Rahayu.

"Aku tahu kamu punya penghasilan. Tapi aku mau membantu. Kan aku juga menganggap Bapak seperti orangtuaku sendiri," kata Melody.

"Iya. Bapak juga menganggap kamu seperti anaknya sendiri, tapi kami nggak mau kamu yang membiayai semuanya, Mel. Masa kami mau jadi parasit keluargamu terus-menerus?"

"Kenapa ngomong begitu, Yu? Kita kan udah seperti saudara! Keluargamu, keluargaku juga."

"Iya, makasih atas semua kebaikanmu. Mel, tapi ya sudah waktunya kami bisa berdiri sendiri. Aku yang merasa malu kalau harus selalu menerima kebaikanmu."

"Aduh, Yu, justru aku yang merasa berdosa dengan apa yang terjadi di London, waktu Papa membawamu

pulang. Andaikan enggak, kan kamu sekarang sudah mengantongi gelar sarjana dari sana," kata Melody untuk pertama kalinya menyinggung masalah ini.

"Astaga, sejarah purba kok diungkit lagi," kata Rahayu sambil tertawa.

"Bagiku masalah itu udah lama terkubur. Apalagi, itu kan karena kesalahanku sendiri, jadi jangan menyalahkan Oom Danny atau dirimu sendiri."

"Bagaimanapun juga aku masih tetap merasa aku berutang padamu. Jika kamu punya titel sarjana lulusan London..."

what?" potong Rahayu.

"Memangnya kalau punya titel sarjana lulusan London, nasibku akan berubah?" kata Rahayu.

"Jelas. Kamu akan bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Mungkin kamu malah bisa bekerja di sana. Kamu kan pinter, pasti kamu bisa lulus cum laude," kara Melody.

"Ah, semua yang 'mungkin', 'andai', itu nggak usah dibicarakan, Mel, karena bukan realita. Aku sekarang sudah punya pekerjaan, aku cukup puas dengan apa yang aku punya hari ini."

"Apa targetmu sekarang sudah tercapai? Bosmu sudah puas?"

"Wah, berkat bantuanmu, targetku sudah terlampaui," kata Rahayu.

"Makanya, aku tuh sangat beruntung punya teman kamu. Jadi lebih baik kita sekarang bicara tentang keadaanmu hari ini. Gimana calon ibu yang berbahagia ini?" kata Rahayu sambil tersenvum.

Melody mengembuskan napas panjang.

"Aku tidak sebahagia yang kuinginkan," katanya dengan nada murung.

"Lho, kenapa gitu?" Kedua alis Rahayu terangkat ke atas.

"Kamu punya suami yang baik, sukses, cakep, sayang sama kamu; kamu sekarang sudah menjadi direktur perusahaan ayahmu, dan sebentar lagi kamu akan punya momongan. Kamu punya segalanya, Mel, kok masih tidak bahagia?"

Melody mau menjawab. tapi dia melihat sosok Bik Mur mendekat membawa nampan berisikan dua gelas air jeruk dan entah sepiring apa.

Bik Mur meletakkan nampannya di atas meja. Melody baru melihat bahwa selain kedua buah gelas yang dibawanya, ada sepiring pisang goreng. Dia langsung merasa mual melihat gorengan itu.

"Yu. kamu kan puasa?" tanya Melody.

"Iya."

"Kalau begitu ini diangkat aja. Bik Mur." kata Melody.

"Non Ayu lagi puasa."

"Oh, maaf ya, Non, saya ndak tahu," kata Bik Mur.

"Saya sangka Non agamanya sama seperti Ibu, ndak ikut puasa." Dia segera mengangkat nampannya lagi dan bergegas kembali ke belakang.

"Pembicaraanmu tadi terputus," kata Rahayu,

"kamu bilang kamu nggak bahagia, padahal kamu udah punya segala-galanya."

"Kelihatannya begitu, kan? Aku harus bersyukur dengan apa yang aku miliki. Tapi apa yang kelihatannya bagus, baik, dari luar itu belum tentu memang

demikian sesungguhnya." kata Melody sambil gelenggeleng kepala.

"Kalau kamu ada problem, aku siap membantu, Mel," kata Rahayu.

"Ini nggak bisa dibantu orang lain." kata Melody.

"Kamu tahu, dulu aku pikir, punya suami itu adalah gol terpenting dalam hidup seorang wanita. Sekarang aku baru tahu bahwa menjadi istri itu berarti menjadi robot, tidak boleh punya pendapat sendiri, semuanya harus patuh pada suami."

"Yah, namanya suami kan memang kepala rumah tangga, Mel."

"Kalau begitu, betul pendapat nenek-nenek kita, perempuan tidak perlu sekolah, toh otaknya tidak boleh dipakai. Asal suami bilang hitam, ya dia harus ikut bilang hitam. Suami bilang putih, dia juga ikut bilang putih. Tidak usah dan tidak boleh mikir sendiri," kata Melody.

"Memangnya kamu bertengkar dengan suamimu soal apa?" tanya Rahayu.

"Aku tahu suami itu kepala keluarga, tapi aku nggak menyangka Shaun menghendaki istri yang patuh buta padanya!"

"Kenapa? Apa yang terjadi?"

"Dia mau mengatur semua sepak terjangku, dia mau menentukan dengan siapa aku boleh berteman. dengan siapa tidak boleh berteman. Dia bahkan mau mengatur siapa yang boleh aku angkat sebagai karyawan di perusahaanku!"

"Dia kan sudah lebih lama bekerja di sana, Mel.

jadi nggak salah kalau dia merasa dia lebih tahu apa yang terbaik bagi perusahaanmu," kata Rahayu.

"Dia sama sekali nggak mau mempertimbangkan keinginanku. Dia menolak begitu aja tanpa mau mendengarkan penjelasanku! Padahal aku udah nyuruh Brian jauh-jauh datang dari Jakarta kemari untuk membicarakan hal itu, eh, begitu ketemu, malah diusir disuruh pulang!"

"Brian?" Rahayu terkejut.

"Iya, Brian kamu!"

"Kamu nyuruh Brian datang untuk menjadi karyawanmu?"

"Tujuanku begitu, tapi Shaun menolak."

"Lho, bapaknya kan kaya raya, punya beberapa bank! Apa dia nggak bekerja di bank bapaknya?"

"Dia nggak cocok dengan kedua saudaranya. Justru dia sendiri yang bilang, dia mau mencari pekerjaan di Surabaya supaya jauh dari keluarganya dan bisa lepas dari bisnis keluarganya."

"Oh, lalu kamu mau menariknya ke perusahaanmu?"

"iya. Aku pikir Shaun butuh tangan kanan. Sekarang ini tugasnya begitu banyak, setiap hari pulang malam. Sudah waktunya dia punya wakil. Brian mau aku didik supaya bisa menjadi wakilnya. tapi Shaun nggak mau!"

"Kalau memang mencari orang untuk menjadi wakil suamimu. sebetulnya ya lebih baik dia yang memilih calonnya sendiri. Mel. Kan dia lebih tahu orang

macam apa yang dia butuhkan, dan yang bisa diajak bekerja sama."

"Brian itu pintar lho, aku kan tahu kemampuannya! Waktu di London prestasinya bagus."

"Mungkin suamimu mencari orang yang sudah berpengalaman. Brian kan belum punya pengalaman di bidang industri minuman." kata Rahayu.

"Aku mengerti. Maksudku juga bukan langsung mengangkatnya menjadi wakil Shaun. Maksudku biar dia belajar dulu. Sekarang ini kan mumpung jabatan kepala gudang lagi kosong. jadi maksudku biar dia mulai sebagai kepala gudang dulu, sambil dipersiapkan menjadi wakil Shaun. Kalau dia sudah menguasai semuanya, baru diangkat."

Rahayu manggut-manggut, entah sebagai tanda setuju atau hanya tanda bahwa dia mendengar katakata sahabatnya.

"Shaun nggak mau menerima Brian karena katanya dia nge-drug. Aku bilang, itu kan dulu, dan dia bukan pecandu. Dia kan hanya ikut-ikutan teman-temannya. seperti kamu. Kebiasaan itu kan sudah lama ditinggalkan. Kalau enggak, mana dia bisa menyelesaikan studinya, iya, kan? Tapi Shaun tetap ngotot menolaknya.

"Yah sudahlah, Mel, kalau suamimu tidak mau menerima Brian, ya jangan kamu paksa. Laki-laki nggak ada yang suka diatur istrinya," kata Rahayu.

"Lha iya itu yang menjengkelkan. Mereka nggak mau diatur istri. tapi mau mengatur istri! Coba, sampai aku dilarang berteman dengan Brian! Padahal aku,

kenal Brian lebih lama daripada aku kenal Shaun, lha kok sekarang aku dilarang berteman dengannya!" kata Melody ngotot.

"Barangkali dia nggak mau istrinya punya teman laki-laki lain, Mel. Barangkali dia takut nanti terjadi apa-apa antara kamu dan Brian."

"Memangnya aku selingkuh dengan Brian? Kan enggak toh! Masa orang berteman nggak boleh? Aku nggak pernah melarang dia berteman dengan perempuan lain. Kalau hanya berteman aja, nggak ada masalah. Memangnya kita sekarang hidup di abad berapa? Lagi pula kalau aku memang naksir Brian. sudah sejak di London dulu aku bisa pacaran dengannya, tul nggak?"

Rahayu tersenyum.

"Sudah, jangan sewot, ingat bayi kamu," katanya.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anggap aja itu urusan kecil. Nggak berteman dengan Brian kan juga nggak apa-apa. Mel. Kamu kan masih punya teman-teman yang lain."

"Memang nggak apa-apa, hanya aku nggak suka didikte begitu! Sekarang urusan berteman, lain kali urusan lain lagi. Lama-lama kan aku kehilangan kebebasanku, aku kehilangan identitasku sendiri. Aku kan nggak punya kepribadian. Aku kan menjadi fotokopi dia!" kata Melody.

"Kata orang kalau lagi hamil, suka-suka timbul masalah yang aneh-aneh antara suami istri, yang setelah bayinya lahir akan hilang sendiri. Anggap aja pendapat ini bener, udah, jangan ribut sama suamimu," kata Rahayu.

"Kami sekarang udah nggak pernah ribut! Kami nggak pernah bicara! Setiap pagi dia sudah berangkat sebelum aku bangun. Dan setiap malam dia pulang setelah aku tidur."

"Kenapa kamu nggak bangun lebih pagi, atau tidur lebih malam supaya bisa mengobrol dengan suamimu?"

"Hatiku jengkel kok! Aku pikir dia sengaja menghindar bertemu dengan aku, dia sengaja menghindari harus bicara denganku," kata Melody.

"Ya sudah, kamu mengalah ajalah, Mel. Gimana kalau kamu yang mengajak dia bicara duluan? Toh dia suamimu. bapak bayi di perutmu. Nggak ada untungnya kamu bertengkar dengan dia. iya. kan? Kamu kan masih ingin mempertahankan rumah tanggamu itu".

Melody mengeluh lagi.

"Aku masih harus pergi menemui klien, jadi pamit dulu. ya?" kata Rahayu sambil berdiri.

"Lain kali aku tengok lagi."

"Oke! Aku senang kamu datang, Yu. Aku nggak bisa curhat sama orang lain. Abis ngobrol denganmu sekarang hatiku lebih plong," kata Melody.

"Sampe ketemu lagi, ya," kata Rahayu sambil mendaratkan sebuah ciuman di pipi Melody.

Setelah Rahayu meninggalkannya, Melody pun mengangkat suaranya memanggil pembantunya.

"Iya, Ibu?" tanya Bik Mur bergegas datang.

"Bik. kalau waktunya bulan puasa. sebelum nyuguhin tamu, tanya dulu. Jangan mentang-mentang

saya bukan muslim lalu semua teman saya dianggap bukan muslim. Nggak enak kan orang yang lagi puasa disuguhin minuman dan makanan, nanti disangka orang, saya nggak tahu tenggang rasa!" kata Melody.

"Maaf, Bu. Lain kali saya tanya dulu," kata Bik Mur.

"Eh! Malu-maluin saya aja!" gerutu Melody.

"Ya, maaf, Bu," kata Bik Mur lagi.

"Non Lisa ke mana?" tanya Melody.

"Oh, ada di belakang, Bu, ngobrol dengan saya. Saya panggilkan, Bu?"

"Iya."

Tak lama kemudian Lisa pun muncul dari dalam. Gerakannya yang lincah dan penuh semangat membuat Melody merasa iri hati.

"Kok kamu menghilang, Lis?" tanya Melody dengan nada jengkel.

"Aku nggak mau mengganggu tadi, Mbak," kata Lisa,

"kan Mbak Rahayu itu sahabat lama Mbak, jadi pasti kalian punya banyak cerita yang bukan untuk didengar orang lain."

"Lalu ngapain aja kamu di belakang?" tanya Melody.

"Yah, mengobrol aja sama Bik Mur, aku tanya resep sayur asem, kan sayur asemnya enak banget, Mbak. Nih, resepnya aku catat," katanya menunjukkan secarik kertas dari dalam saku kemejanya.

"Mbak mau makan sekarang? Kata Bik Mur, Mbak belum sarapan."

"Iya, malas," kata Melody.

"Kan nggak ada energinya, Mbak!" kata Lisa.

"Makan pun nggak ada gunanya, toh bakal dimuntahkan keluar lagi," kata Melody.

"Ialu gimana kata dokter?" tanya Lisa.

"Kata dokter ya itu pembawaan orang hamil," kata Melody.

"Makanya jangan hamil. Lis! Nggak enak!"

Lisa tertawa.

"Jangan tertawa. Sekarang kamu belum mengalaminya, kamu nggak tahu gimana menderitanya. Aku dulu juga nggak ngebayangin hamil itu seperti ini."

"Kalau begitu minum susu cokelat aja, ya. Mbak?" tanya Lisa.

"Kata Bik Mur, cuma itu yang Mbak masih mau."

"Itu pun sudah mulai bosan, Lis," kata Melody.

"Ya harus dipaksa, Mbak. kalau nggak ada makanan yang masuk, kan bisa pingsan!" kata Lisa.

"Okelah, kalau begitu setengah gelas aja," kata Melody.

**

"Pak Shaun, tidak makan siang?"

Kantin di Lesmana Corporation tetap buka walaupun bulan puasa karena tidak semua karyawannya ikut berpuasa. Mereka yang berpuasa tentu saja tidak ke kantin. tapi yang tidak berpuasa tetap bisa makan seperti biasa.

Shaun Harman mengangkat kepalanya dari dokumen-dokumen yang dihadapinya dan memandang ke mata Norma Tanjung yang menatapnya dengan penuh konsern.

"Oh, iya, sebentar lagi," kata Shaun sambil tersenyum. Dia tahu sekretaris senior ini bermaksud baik walaupun sering-sering terlalu suka ikut campur.

"Jam makan siang sudah lewat dua jam yang lalu, Pak Shaun. Kantin sudah tutup," kata Norma Tanjung.

"Gimana kalau saya keluar membelikan makanan buat Pak Shaun?"

"Ehm... nggak usah, Bu Norma. Makasih. Ngerepotin Bu Norma aja panas-panas begini mau keluar," kata Shaun.

"Nggak apa-apa, Pak Shaun. Saya memang perlu keluar sebentar membelikan susu cokelat Bu Melody, yang di sini sudah hampir habis. Kalau Bu Melody besok ngantor, susu cokelatnya nggak ada."

"Yah, kalau begitu terserah Bu Norma-lah," kata Shaun.

"Tapi tidak usah membelikan apa-apa untuk saya. Saya nggak lapar kok."

"Ada masalah, Pak Shaun?" tanya Norma Tanjung yang belum bersedia berlalu.

"Eeee, yah, biasalah, Bu Norma. Masalah rutin," kata Shaun Harman.

"Nggak ada yang istimewa."

"Kok sepertinya akhir-akhir ini Pak Shaun kurang gembira," kata Norma Tanjung.

"Ada banyak yang dipikirkan?"

"Yah, dengan mundurnya Pak Danny dan seringnya Melody absen. beban pekerjaan mereka kan harus saya yang pikul, padahal masalah pemasaran sebetulnya bukan bidang saya. Jadi memang betul kata Bu Norma. saya lagi punya banyak pikiran. Tapi dari hari ke hari saya jadi lebih mengerti," kata Shaun Harman.

175

"Apa Dik Jaka tidak bisa membantu?" tanya Norma

"Kan pemasaran bidangnya."

"Oh, ya. Kalau memang memerlukan bantuan, pasti saya akan bicara dengannya," kata Shaun.

"Gimana kondisi Bu Melody hari ini?" tanya Norma Tanjung.

"Yah, kurang sehat lagi," kata Shaun.

"Kalau fit, dia pasti ngantor."

"Lha iya, kemarin kelihatannya sudah oke, saya sudah senang dia masuk, kok hari ini absen lagi." kata Norma Tanjung.

"Itulah. Setiap hari kondisinya tidak tentu."

"Biasanya tiga bulan pertama memang perempuan hamil merasa mual dan pusing," kata Norma Tanjung.

"Bu Norma dulu juga cuti panjang waktu hamil muda?" tanya Shaun.

"Wah, ya enggak, Pak Shaun. Waktu itu kan saya masih bekerja di bank sebagai kasir. Mana bisa mau bolak-balik nggak masuk? Kan saat melahirkan sudah dapat cuti tiga bulan, jadi ya sungkan kalau sebelumnya sudah bolak-balik tidak masuk."

"jadi Bu Norma waktu itu masuk kerja terus?"

"Iya, sampai dua hari sebelum melahirkan," kata Norma Tanjung sambil tersenyum.

"Enggak pusing atau mual begitu?"

"Ya pusing-pusing dikit, mual juga. Waktu itu saya terpaksa membawa makanan sendiri dari rumah, manisan mangga muda," kata Norma sambil tertawa.

"Tapi semua itu bisa saya lalui."

"Kalau begitu barangkali Melody yang terlalu manja," kata Shaun.

"Saya ingat dulu Sabine waktu hamil juga bekerja seperti biasa sampai melahirkan."

"Yah, enggak apa-apa kan, Pak Shaun? Nasib setiap orang kan nggak sama. Bu Melody beruntung ditakdirkan sebagai direktur, jadi biarkan aja dia menikmati nasib baiknya ini," kata Norma Tanjung.

"Makasih perhatiannya, Bu Norma," kata Shaun Harman sebagai tanda mengakhiri dialog ini.

Norma Tanjung mengangguk, lalu mengundurkan diri.

Shaun masih tenggelam dalam pekerjaannya ketika telepon di mejanya berdering.

"Pak Shaun, ini dari Pak Tommy," kata Ella.

Tommy? Shaun Harman kaget. Sudah agak lama dia tidak kontak dengan temannya ini.

"Halo?" Suara Shaun masih terdengar ragu-ragu. Ada apa sekarang Tommy mencarinya?

"Hei, Shaun!" Suara Tommy berdentum dari seberang.

"Tumben! Angin apa yang bertiup nih?" tanya Shaun. Tommy adalah salah satu dari teman-teman baiknya di zaman mahasiswanya dulu. Hubungan mereka cukup erat hingga sekitar tiga tahun yang lalu saat Tommy hijrah ke Jakarta.

"Hei, Shaun! Mati pun kamu nggak akan menduga aku bertemu dengan siapa di Singapore tiga hari yang lalu," kata Tommy.

"Siapa?" tanya Shaun.

"Mantanmu. Tania!" kata Tommy.

Hati Shaun Harman berhenti berdetak sekejap.

"Dia dia di Singapore?" tanyanya

"Ya. Dengan kedua orangtuanya. Ternyata dia nggak kawin dengan Chairul, Shaun! Dia nggak pernah ke Canada!" Suara Tommy menggebu-gebu. Dia bayangkan si Shaun pasti kaget mendengar keterangannya ini.

"Gimana... gimana keadaannya?" tanya Shaun.

"Nah, itu, Shaun, aku nggak tahu gimana harus menyampaikan berita selanjutnya kepadamu."

"Kenapa?"

"Aku bertemu Tania di rumah sakit Mount E. Pas aku mengantarkan ibuku checkup di sana, dia juga lagi mau checkup. Ibunya bilang dokter mengharuskan dia kemo lagi."

"What!"

"Ya itu lho, Shaun. dia itu kena kanker!"

"Tapi dia sudah sembuh!" kata Shaun.

"Dia berobat di Cina dan dinyatakan sudah sembuh!"

"Oh, jadi kamu sudah tahu dia berobat di Cina?"

"Ya. aku tahu. Dan aku tahu dia sudah sembuh. Kenapa sekarang dia kemo lagi di Singapore?"

"Kambuh, Shaun. Penyakit kanker itu kan bisa kambuh lagi," kata Tommy.

"Astaga! Jadi dia lagi kemo di Singapore?"

"Waktu aku bertemu dengannya itu, dia akan dikemo besoknya. Itu tiga hari yang lalu."

"Jadi dia tinggal di Singapore sekarang? Aku tahunya dia sekeluarga sekarang tinggal di Beijing."

"Kata ibunya sementara ini mereka menyewa apartemen di Singapore karena kata dokter si Tania harus menjalani minimal enam kali kemo."

Untuk beberapa saat lamanya Shaun Harman bisu.

"Jadi gimana ceritanya kok kamu sudah tahu berita tentang Tania? Memangnya kamu udah pernah ketemu dia?"

"Sekitar sebulan yang lalu."

"Di mana?"

"Di sini, di Surabaya. Dia ke Surabaya dengan ibunya."

"Ooo, gitu. Jadi kamu udah tahu ceritanya," kata Tommy dengan nada kecewa karena beritanya sudah basi.

"Ya." kata Shaun.

"Dia datang untuk menjelaskan kenapa dia membatalkan perkawinan kalian?" tanya Tommy.

"Ya."

"Dan? Dan? Dan?"

"Dan apa lagi?"

"Lho, gimana kelanjutannya, kalian baikan lagi? Dia kan menghilang untuk berobat."

"Enggak," kata Shaun.

"Enggak? Kenapa enggak? Kalian kan hampir menikah! Dan sekarang sudah jelas Tania tidak meninggalkan kamu untuk laki-laki lain tapi karena dia sakit, kan mestinya hubungan kalian nyambung lagi."

Shaun Harman tidak menjawab.

"Atau karena dia sekarang kanker, kamu yang nggak mau sama dia, Shaun?" tanya Tommy. Di antara mereka memang sudah terbiasa bicara blak-blakan.

"Tidak! Sama sekali bukan itu," kata Shaun lemas.

"Wah, aku sudah dipanggil rapat nih, kita mengobrol lain kali, Shaun!"

"Tunggu! Tunggu! Kamu punya alamat Tania di Singapore? Dia tinggal di apartemen mana?"

"Oh, enggak."

"Nomor telepon?"

"Juga enggak. Sori, Shaun. aku harus pergi, sudah dipanggil terus!" Lalu tanpa menunggu lebih lama, hubungan telepon pun terputus.

Shaun Harman meletakkan tangkai pesawat teleponnya.

Kepalanya yang tadi sudah berat sekarang terasa semakin berat, seolah-olah ada sebuah batu besar bertengger di atas ubun-ubunnya. Kenapa dalam waktu satu bulan sejak mereka bertemu Tania bisa kambuh lagi kankernya? Apa itu gara-gara dirinya?

Ya Tuhan, betapa inginnya dia sekarang berada di sisi Tania untuk memberinya semangat, memberinya dukungan, memberinya kasih sayang, tapi dia tidak bisa. Dia tidak tahu di mana dia bisa menghubungi Tania! Dan andaipun tahu, dia juga tidak bisa terbang ke sana.

Shaun mencopot kacamatanya, dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia merasa begitu tak berdaya, begitu tak berguna. Hatinya hancur. Pikirannya kalut.

Entah berapa lamanya dia tenggelam dalam kegelapannya sampai tiba-tiba dia dikejutkan oleh tepukan halus di bahunya.

Terperanjat, Shaun Harman mengangkat kepalanya dan beradu pandang dengan tatapan iba Sabine Lemar.

"Kenapa?" tanya Sabine dengan suara lembut.

"Problem besar? Bisa aku bantu?"

"Oh, enggak," kata Shaun menggelengkan kepalanya sambil menghela napas dalam dalam. Dia mengusap wajahnya dengan tangannya lalu mengenakan kacamatanya lagi.

"Shaun, nggak ada salahnya sekali waktu kita menerima bantuan orang lain," kata Sabine.

"Ini tidak bisa dibantu orang lain," kata Shaun.

"Tapi terima kasih tawaranmu."

"Shaun, kita kan teman. Hanya karena kamu sekarang menikah dengan Melody. tidak membuat hubungan teman kita terputus, kan?" kata Sabine yang langsung duduk di depan meja Shaun tanpa diundang.

"Tapi kamu tidak bisa membantuku. Tidak ada orang yang bisa membantuku," kata Shaun. Tiba-tiba dia merasa tenggorokannya terkancing, dan cairan panas mendesak keluar dari matanya.

Cepat-cepat dia melempar mukanya dan dengan pangkal telapak tangannya dia mengusap ujung-ujung matanya.

382

Sabine Lemar memandangnya dengan dahi berkerut. Selama berteman dengan Shaun Harman belum sekali pun dia melihat laki-laki ini menangis, bahkan juga tidak saat pernikahannya batal dulu. Jadi problem yang dihadapinya pastilah sangat besar.

"Apa ini ada kaitannya dengan Melody?" tanya Sabine.

Shaun menggelengkan kepalanya.

"Dengan pekerjaan?" tanya Sabine lagi.

Shaun menggeleng lagi.

"Lalu kenapa?" tanya Sabine ikut bingung.

Shaun masih terus menggelengkan kepalanya.

"Astaga! Apa kamu sakit?" tanya Sabine.

"Maksudku, kamu punya penyakit yang serius?"

"Bukan! Bukan!" kata Shaun masih menggelengkan kepalanya.

"Bukan aku yang sakit."

"Lalu siapa?" tanya Sabine.

"Apa Melody? Atau Pak Danny?"

"Tania," kata Shaun akhirnya tak kuasa menyimpan rahasia itu lebih lama lagi.

"Tania? Tania.? Sabine langsung mendoyongkan tubuhnya ke depan. Apa nggak salah dengar nih?

Shaun mengangguk.

"Tania... Tania bekas tunanganmu?" tanya Sabine merasa perlu memastikan bahwa mereka sedang berbicara tentang orang yang sama.

Shaun mengangguk lagi.

"Tania sakit?" tanya Sabine lagi.

Shaun mengangguk.

"CA." katanya lirih.

"Astaga!"

Untuk beberapa saat lamanya sama-sama tak ada yang berkata-kata lagi. Akhirnya Sabine Lemar-lah yang memecahkan keheningan.

"Kamu tahu dari mana?" tanyanya.

"Temanku ketemu dia di Singapore. mau dikemo," kata Shaun.

Hening lagi beberapa saat lamanya.

"Mungkin CAnya masih tahap awal sehingga bisa sembuh total," kata Sabine akhirnya.

"Ini sudah yang kedua kalinya. Yang pertama kalinya dulu CA-nya ganas. Tadinya dia dinyatakan sudah sembuh, tapi ternyata kok sekarang kambuh lagi."

"Mungkin kali ini jenisnya nggak ganas," kata Sabine.

"Kalau sudah harus dikemo ya pasti serius," kata Shaun.

"Dia masih muda, dia orang yang baik. mengapa dia harus kena penyakit yang mematikan ini?"

"Kita semua juga harus mati suatu saat, Shaun. Belum tentu orang yang sakit kanker mati duluan. Nggak kurang orang yang nggak punya penyakit juga tiba-tiba mati akibat kecelakaan, pembunuhan, atau bencana yang lain," kata Sabine.

Shaun mengangkat wajahnya dan memandang Sabine dengan tatapan heran. Dia tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. Benar juga, siapa yang tahu nanti di jalan dia tidak mendapat kecelakaan dan langsung mati?

"Lagian kamu kan sudah bukan apa-apanya lagi

sekarang," kata Sabine,
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"dia kan sudah menikah dengan orang lain?"

Shaun menggelengkan kepalanya.

"Dia nggak pernah menikah dengan orang lain, Bine. Dia hanya bilang begitu untuk membatalkan perkawinan kami setelah dia tahu dia kena CA," katanya.

"What? Jadi dia tidak menikah dengan orang lain?"

Shaun menggelengkan kepalanya.

"Seharusnya aku tidak percaya begitu saja waktu itu. Seharusnya aku tahu dia tidak mungkin mengkhianati cinta kami. Seharusnya aku tahu pasti ada yang tidak beres," katanya.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Waktu dia membatalkan perkawinan kalian, pasti hatimu hancur sehingga kamu sudah tidak bisa berpikir dengan jernih lagi," kata Sabine.

"Aku membencinya! Waktu itu aku membencinya. Kamu tahu, Bine, selama ini aku membencinya karena aku menyangka dia telah berkhianat padaku! Padahal sebenarnya dia sengaja berbuat begitu untuk membebaskan aku dari kesedihan yang besar andaikan aku menikahinya "

Sabine tidak punya jawaban untuk itu.

"Aku sangat ingin berada di sisinya sekarang," kata Shaun mengalirkan air mata lagi.

"Tapi aku tidak bisa."

"Kenapa nggak? Aku rasa Melody akan mengerti. Apa dia tahu tentang hal ini?" kata Sabine.

Shaun menggeleng.

"Aku nggak bisa cerita padanya." katanya.

"Dia hamil. Dia sendiri sedang tidak sehat sekarang ini. Aku nggak bisa bilang padanya bahwa aku mau pergi menemui bekas tunanganku!"

"Kalau Melody tahu Tania sedang berjuang melawan CA, dia mungkin bisa mengerti," kata Sabine.

Shaun menggelengkan kepalanya lagi.

"Andaikan kamu yang jadi dia, bisakah kamu mengerti?" tanyanya.

Sabine menghela napas panjang, lalu katanya,

"Mungkin juga tidak. Aku cemburuan sih. Tapi Melody kan bukan aku."

"Semua istri pasti cemburu pada bekas tunangan suaminya," kata Shaun.

"Melody tak terkecuali."

"Oke, kalau begitu, jangan cerita padanya. Bilang saja kamu mau ke Singapore untuk urusan lain," kata Sabine.

"Urusan apa? Aku tidak bisa bilang untuk urusan bisnis karena dia tahu tidak ada bisnis yang perlu kuurus di Singapore."

"Ya bilang urusan lain gitulah."

Shaun menggelengkan kepalanya.

"Lagi pula mana aku bisa meninggalkan perusahaan sekarang, Bine? Pak Danny mengundurkan diri. Melody sering absen. Aku satu-satunya yang tertinggal di sini!" kata Shaun.

"Ya pergilah besok sepulang kantor. Besok kan Jumat, Sabtu kan hanya setengah hari kerja, kantor tutup pukul satu," usul Sabine.

"Hari Sabtu biasanya nggak ada aktivitas yang mendesak Kamu bisa kembali Senin pagi."

"Lalu aku harus memberi alasan apa kepada Melody?"

"Mana aku tahu, kamu ngarang aja, mau reuni dengan teman-teman sekolahmu atau apa gitu kek," kata Sabine.

"Alasan yang nggak masuk akal. Nggak ada undangan mana bisa aku bilang ada reuni?"

"Yah, bilang aja salah satu teman laki-lakimu yang lagi sakit di Singapore dan kamu mau mengunjunginya," kata Sabine.

"Gimana kalau Melody mau ikut?"

"Yah, kamu bilang karena dia hamil muda dia nggak boleh bepergian dulu. Hei, kok jadi aku yang disuruh memikirkan alasan untukmu? Kamu dari alasan sendiri!" kata Sabine.

"Otakku sudah begitu budeg-nya aku sudah tidak bisa berpikir," kata Shaun.

Untuk beberapa saat lamanya tak ada yang berbicara. Akhirnya Shaun membuka mulut.

"Mungkin aku akan memakai usulmu ini," katanya.

"Anyway, thank: for anything, Aku merasa lebih plong sedikit."

"Itu gunanya teman," kata Sabine.

"Apa yang nggak bisa dibicarakan dengan istri, bisa dibicarakan dengan teman."

"Jangan cerita hal ini kepada siapa pun, terutama kepada Melody, Bine," kata Shaun.

"Jangan khawatir, di sini aku nggak punya teman.

Aku Kan dimusuhi semua orang, Kata Sabine, keecuali kamu dan Pak Danny."

"Makanya kamu jangan galak-galak," kata Shaun.

"Itu memang sudah watakku," kata Sabine.

"Sudah dari sononya begitu."

"Dulu kamu nggak begini parah. Sekarang kamu tambah galak."

"Masa?"

"Kamu perlu berubah."

"Katanya mengubah watak itu yang paling sulit."

"Kalau ada kemauan pasti bisa."

"Yah, mungkin, kalau ada alasan kuat untuk mau berubah."

"Apa menghapuskan sikap bermusuhan orang lain tidak termasuk alasan yang kuat?" tanya Shaun.

"Oh, aku tidak terlalu pusing dengan sikap orang lain tethadapku," kata Sabine.

"Gimana pun kita hidup, pasti ada orang-orang yang menganggap kita salah. Masa bodolah!"

"Jangan masa bodo," kata Shaun.

"Kamu nggak bisa hidup seorang diri terus tanpa punya teman."

"Katakanlah, sampai sekarang ini aku belum bertemu dengan seseorang yang ingin aku jadikan temanku, selain kamu. Karena kamu toh sudah mengenal watak asliku, aku nggak perlu berubah untukmu, kan?"

"Nggak ada jeleknya kamu punya teman lain selain aku, Bine," kata Shaun.

"Kan aku sudah bilang, di sini nggak ada orang lain yang ingin aku jadikan temanku selain kamu," kata Sabine.

"Ngomong-ngomong, gimana dengan Jaka?" tanya Shaun berusaha mengalihkan perhatiannya.

"Jaka? Apanya yang gimana?" tanya Sabine.

"Ya, gimana kinerjanya?"

"Yah, lumayan. Kan dia sudah ditunjang dengan bawahan dan sistem yang matang, jadi semuanya mudah baginya."

"Dia diterima oleh bekas bawahanmu?"

"Oh, ya, Jaka kan bermulut manis."

"Kok sepertinya kamu sekarang kurang suka padanya?" tanya Shaun.

"Dulu kamu yang memperjuangkan supaya dia diangkat."

"Setelah aku tahu dia itu ular berkepala dua, aku nggak mau dekat-dekat dia."

"Apa maksudmu ular berkepala dua?"

"Dia yang menjualku ke Melody. Shaun. Dia cerita macam macam ke Melody tentang semua keburukanku karena dia ingin duduk di kursiku. Dan dia berhasil!"

"Setahuku Melody bukan hanya mendengarkan masukan dari Jaka, tapi juga dari orang-orang lain," kata Shaun.

"Mungkin. Aku nggak menyalahkan Melody. Cuma menurut kamusku apa yang dilakukan Jaka itu suatu kudeta. Aku yang mendidiknya, aku yang mengangkatnya menjadi wakilku, aku percaya padanya, tapi setelah itu apa balasannya? Itu perbuatan rendah yang nggak akan aku maafkan sampai kapan pun! Aku nggak bakal percaya padanya lagi seumur hidup! Ular berkepala dua mana bisa dipercaya?"

"Menurut Melody, dia orangnya baik," kata Shaun.

"Tentu saja. Kan Jaka selalu menjilat pantatnya. Tapi sebaiknya kamu ingatkan Melody. Lebih baik dia berhati-hati. Jaka bukan orang yang bisa dipercaya. Suatu hari dia bisa saja mengkhianati Melody. mengkhianati perusahaan ini."

"Kalian sekarang tidak bicara?" tanya Shaun.

"Hanya seperlunya. Aku nggak berminat bicara banyak-banyak dengan ular berkepala dua," kata Sabine.

"Kata-katanya sekarang nggak ada nilainya lagi bagiku. Sama dengan tai kucing."

"Kamu tahu, Bine, kamu harus belajar bicara dengan lebih diplomatis," kata Shaun.

"Aku nggak pernah suka sama diplomat. Mereka nggak bisa dipercaya, terlalu sering berpura-pura, terlalu sering bohong. Kalau aku, aku bicara apa adanya. Aku nggak mau bohong demi orang lain," kata Sabine.

"Aku nggak nyuruh kamu bohong, aku cuma minta kamu bisa memilih kata-kata yang lebih halus. Untuk apa kamu menyinggung perasaan orang lain kalau hal itu bisa dihindari? Kan lebih baik tidak menciptakan musuh."

Sabine berpikir beberapa saat lamanya, lalu dia mengangguk.

"Mungkin kamu bener. Oke, aku akan mencoba," katanya.

"Itu approach yang salah." kata Shaun.

"Kamu seharusnya bilang, 'Oke, aku bisa melakukan itu.

"Aku nggak janji bisa," kata Sabine.

"Kalau kita nggak bertekad bisa, kita nggak bakal bisa, Bine. Semua itu dimulai dengan tekad," kata Shaun.

"Kamu mau membantuku?" tanya Sabine.

"Pasti. Aku akan mengingatkan kamu kalau kamu salah ngomong," kata Shaun sambil tersenyum.

"Thank, Shaun, aku tahu aku selalu bisa mengandalkan kamu," kata Sabine.

"Seperti katamu, kita kan teman." kata Shaun.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang tentang Tania?" tanya Sabine.

"Apa kamu jadi ke Singapore?"

"Aku belum tahu." kata Shaun. Wajahnya kembali murung.

"Nanti aku pikirkan lagi."

Sabine mengerutkan keningnya.

"Kayaknya kamu masih mencintainya, Shaun?" tanyanya.

"Aku sangat terkejut ketika mendengar dia kena kanker dan dia bukannya berkhianat padaku," kata Shaun.

"Aku menyesal selama ini aku selalu mengira dia telah mengkhianatiku, aku membencinya, padahal bukan begitu sesungguhnya."

"Astaga. Shaun. hatimu saat ini pasti sedang terkoyak antara Melody dan Tania. Tapi kamu tidak bisa memilih kedua-duanya, Shaun. Kamu harus memilih satu dari mereka," kata Sabine.

"Aku sudah membuat pilihanku. Aku menikahi Melody." kata Shaun.

"Tapi saat itu kamu tidak tahu tentang kondisi Tania yang sebenarnya, kan?"

Shaun Harman mengangguan kepalanya.

"Andaikan kamu tahu sebelumnya, andaikan kamu tahu sehari saja sebelum perkawinanmu. apa kamu masih akan menikahi Melody?" tanya Sabine.

Shaun mengembuskan napas panjang.

"Entahlah. sebelum Tania muncul, aku sangka aku mencintai Melody."

"Dan sekarang kamu bingung?" tanya Sabine.

Shaun tidak menjawab.

"Kamu ingin kembali ke Tania?" tanya Sabine lagi.

"Tidak. Itu mustahil. Melody adalah istriku. Dia mengandung anakku. Aku punya komitmen padanya." kata Shaun.

"Kalau begitu lepaskan Tania," kata Sabine.

"Anggaplah kamu tidak pernah mendengar tentang sakitnya. Anggaplah dia sedang hidup bahagia entah di mana bersama keluarganya."

"Itu juga mustahil. Gimana aku bisa melupakan bahwa dia sedang sakit? Aku justru merasa berdosa sakitnya kali ini akulah penyebabnya!" kata Shaun sambil mencopot kacamatanya sekali lagi dan mengusap wajahnya. Matanya terpejam. Dia tampak lesu dan letih.

Sabine memandangnya dengan rasa iba. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap tangan Shaun Harman.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Shaun. Mana mungkin kamu yang menyebabkan Tania sakit kanker? Kamu begitu mencintainya. Kalian hampir menikah saat Tania tiba-tiba menghilang," kata Sabine.

"Aku bicara tentang sakitnya sekarang ini." kata Shaun.

"Maksudmu?"

"Tania sudah sembuh. Dia berobat di Cina dan dia sembuh. Lalu dia datang mencariku. Ternyata aku sudah menikah. Itu menghancurkan hatinya. Itu yang membuatnya stres. Kamu tahu kan kalau penderita kanker bisa kambuh penyakitnya apabila stres? Jadi akulah yang menyebabkan kankernya kambuh lagi sekarang!" kata Shaun.

"Jadi kamu pernah bertemu dengan Tania setelah pernikahanmu?"

"Ya. Tania tidak mendengar tentang perkawinanku. Dia datang dengan begitu gembira, dia mengira kami akan segera bersatu kembali." Shaun menggeleng gelengkan kepalanya.

"Bukan salahmu kamu sudah menikah. Shaun," kata Sabine mengelus tangan Shaun lagi.

"Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu memang nggak jodoh aja dengan Tania."

"Kalau soal nggak jodoh aja, aku masih bisa menerima. Tapi kali ini aku yang membuatnya sakit lagi. Aku! Itu yang sangat menusuk hatiku." kata Shaun menghunjam dadanya sendiri beberapa kali.

"Shaun! Shaun!" Sabine segera berdiri dari duduknya dan mencekal tangan kanan Shaun. mencegahnya memukuli dirinya lagi.

Shaun berusaha menarik tangannya. tapi Sabine mencekalnya erat-erat.

"Shaun, Shaun," kata Sabine.

Saat itu pintu kantor Shaun terbuka dan Norma Tanjung memergoki mereka dalam posisi yang mencurigakan. Tanpa menimbulkan suara, dia pun segera mengundurkan diri.

Pembicaraannya dengan Sabine membuat Shaun Harman bisa berpikir lebih jernih. Dia toh tidak bisa meninggalkan Melody, dan Tania juga tidak mau dia meninggalkan Melody, jadi dia juga tidak bisa hidup bersama Tania. Selain itu dia tidak tahu di mana Tania sekarang berada. Dia ke Singapore untuk kemo, tapi di mana dia tinggal di Singapore, Shaun tak tahu. Alamatnya di Cina dia juga tidak tahu karena Tania tidak menjawab pertanyaannya saat mereka terakhir berremu. Jadi sesungguhnya dia telah kehilangan semua kontak dengan gadis itu. Walaupun dia mau mendampinginya dia juga tidak tahu ke mana dia bisa menemukan gadis itu. Seakan-akan takdir memang sudah menentukan bahwa Tania sudah bukan bagian dari hidupnya lagi. Walaupun dia sangat menyesal dialah yang menyebabkan kankernya kambuh. dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk Tania, kecuali mendoakannya.

Tiba-tiba muncul pemikiran baru yang selama ini tak pernah terpikirkan olehnya. Tania telah berkorban banyak agar dia tetap tinggal bersama Melody, jadi dia harus menghargai pengorbanan itu. Dengan kata lain, Tania telah berkorban demi keutuhan perkawinan.

Saat itu pintu kantor Shaun terbuka dan Norma Tanjung memergoki mereka dalam posisi yang mencurigakan. Tanpa menimbulkan suara, dia pun segera mengundurkan diri.

Pembicaraannya dengan Sabine membuat Shaun Harman bisa berpikir lebih jernih. Dia toh tidak bisa meninggalkan Melody, dan Tania juga tidak mau dia meninggalkan Melody, jadi dia juga tidak bisa hidup bersama Tania. Selain itu dia tidak tahu di mana Tania sekarang berada. Dia ke Singapore untuk kemo, tapi di mana dia tinggal di Singapore, Shaun tak tahu. Alamatnya di Cina dia juga tidak tahu karena Tania tidak menjawab pertanyaannya saat mereka terakhir bertemu. Jadi sesungguhnya dia telah kehilangan semua kontak dengan gadis itu. Walaupun dia mau mendampinginya dia juga tidak tahu ke mana dia bisa menemukan gadis itu. Seakan-akan takdir memang sudah menentukan bahwa Tania sudah bukan bagian dari hidupnya lagi. Walaupun dia sangat menyesal dialah yang menyebabkan kankernya kambuh. dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk Tania, kecuali mendoakannya.

Tiba-tiba muncul pemikiran baru yang selama ini tak pernah terpikirkan olehnya. Tania telah berkorban banyak agar dia tetap tinggal bersama Melody, jadi dia harus menghargai pengorbanan itu. Dengan kata lain, Tania telah berkorban demi keutuhan perkawinannya. berarti dia juga harus berusaha untuk membuat perkawinannya sukses. kalau tidak kan sia-sia pengorbanan Tania, dan kalau dia sampai menyia-nyiakan pengorbanan yang begitu besar, itu berarti dosanya pada Tania menjadi bertumpuk-tumpuk.

Hari ini Shaun Harman berjanji pada dirinya sendiri akan bersikap lebih baik kepada istrinya, demi Tania! Kalau Melody mau menempatkan Brian Sudarman sebagai kepala gudang, ya sudahlah, toh Lesmana Corporation adalah perusahaannya. Bahkan andai Melody mau mengangkat Brian Sudarman sebagai wakil direktur pun, dia tidak akan protes. Tania telah berkorban untuknya, dan jika sekarang dia harus tunduk pada semua kemauan istrinya untuk mempertahankan perkawinannya, dia akan melakukan itu untuk tania untuk menghargai pengorbanan tania.

**

PERUBAHAN sikap Shaun Harman berdampak positif pada istrinya. Dalam waktu dua hari sebagian besar keluhan Melody langsung lenyap. Bahkan selera makannya pun membaik. Mualnya hanya muncul pada pagi hari saja, sehingga siang dan malamnya Melody sudah bisa makan seperti biasa. Pada hari Senin, Melody sudah merasa cukup fit untuk masuk kantor lagi. Minggu sebelum Lebaran adalah saat sibuk-sibuknya menyelesaikan pesanan-pesanan terakhir dan masalah-masalah yang pending sebelum perusahaan tutup selama satu minggu. Melody merasa kehadirannya diperlukan untuk memperlancar semuanya.

Kedatangan Melody di kantor disambut Norma Tanjung dengan gembira. Setiap seperempat jam, dia menongolkan kepalanya di celah pintu dan bertanya,

"Perlu sesuatu?" sampai akhirnya Melody menjawab,

"Ya. saya perlu waktu untuk bekerja."

Sampai sekarang Melody belum berbuat apa-apa

dengan rencananya mempekerjakan brian sadarman di Lesmana Corporation walaupun Shaun sudah mengatakan bahwa dia menarik kembali keberatannya dan bersedia menerima Brian sebagai apa pun yang dikehendaki Melody. Barangkali karena waktu ini sudah mendekati Lebaran dan ada banyak pekerjaan lainnya yang lebih mendesak untuk diselesaikan, Melody menangguhkan dulu masalah Brian Sudarman. Atau barangkali Melody sempat berpikir ulang dan setuju dengan pendapat Shaun yang semula. Shaun tidak tahu karena mereka tidak pernah menyinggung hal itu lagi.

Sejak Melody mulai mengantor lagi pada awal minggu ini, Jaka Herlambang nyaris berada di kantornya setiap saat. Terkadang dia muncul dengan setumpuk dokumen yang diperlihatkannya kepada Melody. Terkadang dia muncul tanpa membawa apaapa. Tapi yang pasti setiap kali dia masuk ke kantor Melody. paling sedikit satu jam kemudian baru dia keluar. ini membuat Norma Tanjung jengkel. Pada hari pertama, dia tidak berkata apa-apa. Pada hari kedua, dia mulai mengerutkan keningnya setiap dia melihat Jaka Herlambang di dalam kantor Melody. Dan pada hari ketiga, Norma Tanjung tidak bisa mengendalikan mulutnya lagi. Begitu Jaka Herlambang meninggalkan kantor Melody dan kembali ke kantornya sendiri, Norma pun mengikutinya.

"Dik Jaka," kata Norma setelah menutup pintu kantor jaka di belakang punggungnya.

"Saya mau bicara terus terang, saya minta Dik Jaka tidak marah."

Jaka Herlambang mengangkat sebelah alisnya. Heran. Ada apa sekretaris tua ini mau bicara terus terang padanya? Memangnya apa yang mau dibicarakan? Mau menyatakan cinta? Waduh!

"Begini," lanjut Norma,

"Bu Melody itu kan baru sembuh. Jangan diberondong terus-menerus dengan masalah. Pelan-pelan toh. Dik Jaka kan bisa mengatasi semuanya sendiri. Kasihan Bu Melody itu, dia kan masih membutuhkan istirahat."

Jaka Herlambang bernapas lega dan tersenyum.

"Saya tidak memberondong Bu Melody dengan masalah. Bu Norma. Saya justru melaporkan kemajuan kita supaya Bu Melody gembira," katanya.

"Tapi Dik Jaka mengganggunya terus-menerus! Saya perhatikan Dik Jaka itu dalam satu hari keluarmasuk ke kantor Bu Melody sampai lima-enam kali! Sampai-sampai kalau ada orang lain yang mau ketemu Bu Melody tidak bisa, karena selalu ada Dik Jaka di dalam kantornya!" kata Norma Tanjung.

Sekarang Jaka Herlambang mengerutkan keningnya.

"Bu Norma, kalau saya menemui Bu Melody itu karena saya punya keperluan dengan Bu Melody, bukan untuk mengobrol omong kosong! Saya membicarakan urusan pekerjaan dengan Bu Melody!" katanya.

"Waktu Bu Melody tidak masuk, kan Dik Jaka juga bisa menyelesaikan semua pekerjaan tanpa bicara dengan Bu Melody? Kenapa sekarang semua harus dibicarakan dengan Bu Melody? Dia itu kan masih capek, masih butuh istirahat!" kata Norma Tanjung.

"Oke, oke," kata jaka.

"Saya sudah mengerti maksud Bu Norma. Terima kasih. Sekarang saya masih punya banyak pekerjaan. maafkan kalau saya teruskan pekerjaan saya dulu." Tanpa menunggu jawaban Norma. Jaka Herlambang duduk di kursinya dan langsung mengambil sebuah map di atas mejanya dan mulai membaca isinya.

Norma Tanjung pun keluar dan menutup pintu dengan sedikit keras.

Jaka Herlambang mengangkat kepalanya dan memaki lembut tanpa suara tentu.

**

"Shaun?"

Shaun memalingkan kepalanya dari layar komputer yang sedang dihadapinya. Melody sedang berdiri di depan mejanya.

Dia hanya memandang istrinya dengan tatapan bertanya.

"Aku pulang duluan ya?" kata Melody. Memang sejak mulai ngantor empat hari yang lalu dia belum masuk full-time delapan jam kerja karena tidak mau kelelahan. Hari pertama pukul dua belas dia sudah pulang, hari-hari berikutnya dia pulang pas pukul dua siang.

"Oke," kata Shaun melihat arlojinya. Baru pukul setengah dua belas lewat sedikit.

"Sebetulnya hari ini aku mau kerja lagi. tapi kok perutku nggak enak lagi." kata Melody memegangi

perutnya yang belum membuncit.

"Abis minum susu cokelat Bu Norma tadi lho. Mualnya muncul lagi."

"Mungkin karena terlalu manis?" tanya Shaun.

"Manis itu membuat mual."

"Enggak juga. Bu Norma sudah tahu gulanya satu sendok. Kemarin-kemarin aku nggak minum susu cokelat di sini, nggak apa-apa," kata Melody.

"Mungkin kamu nggak cocok minum susu cokelat itu. ganti yang lain aja." kata Shaun.

"Aku dari kecil suka susu cokelat merek itu. Di rumah tadi sebelum berangkat juga minum, nggak apa-apa kok, baru sekarang terasa nggak enaknya." kata Melody.

"Mungkin ada perubahan hormonal lagi."

"Sore nanti mau ke dokter?" tanya Shaun.

Melody menggeleng sambil tersenyum.

"Enggaklah. Biasa orang hamil selalu begini." katanya.

"Aku pulang tidur aja."

Shaun mulai mematikan komputernya dan bersiapsiap mengemasi mejanya.

"Ayo, aku antarkan." kata Shaun.

"Oh. aku pulang diantar Pak Bob aja. kamu nggak usah ikut," kata Melody.

"Sungguh?" tanya Shaun.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku khawatir kamu pingsan dalam perjalanan."

"Enggak, enggak, aku cuma merasa mual aja." kata Melody memutar tubuhnya.

"See you home." katanya.

"Ntar pukul lima aku pulang," kata Shaun.

"Jadi kalau mau ke dokter. masih sempat."

"Enggak usah ke dokterlah. Kalau semua orang hamil setiap merasa mual lalu lari ke dokter, dokternya bisa praktek sampai subuh," kata Melody. Dia lalu melambaikan tangannya dan menyelinap keluar dari kantor Shaun.

Shaun menghidupkan komputernya lagi. tapi pikirannya sudah terganggu. Walaupun beberapa hari yang terakhir ini hubungannya dengan Melody sudah kembali mesra. itu hanyalah di permukaannya saja. Shaun merasa seolah-olah dia sedang bermain sandiwara, dan dia membawakan peran seorang suami yang menciumi istrinya. Tapi dia tahu sesungguhnya semua itu palsu. Sejak munculnya Tania kembali. dia menyadari bahwa hatinya masih mencintai Tania. Haruskah dia menghabiskan seumur hidupnya bersama perempuan yang tidak dicintainya?

Entah berapa lamanya Shaun masih memandang ke layar komputernya tanpa benar-benar melihat apa yang ada di hadapannya, sampai dia mendengar pintu kantornya membuka. Shaun berpaling dan melihat Sabine Lemat masuk.

"Aku melihat Melody pulang," kata Sabine.

"Ya, mualnya kumat lagi," kata Shaun.

"Mungkin terlalu capek."

"Selama empat hari ini aku belum sempat bertanya, gimana keadaanmu?" kata Sabine.

"Oke." kata Shaun.

Sabine Lemar mengamati wajah Shaun lalu menggelengkan kepalanya.

"No oke " katanya.

"Kelihatan dari wajahmu."

"Memangnya ada tulisan 'not OK' di wajahku?" tanya Shaun mencoba bergurau.

"Kamu sudah mendapat kabar tentang Tania?" tanya Sabine tidak menanggapi gurawannya.

Shaun menggeleng.

Sabine Lemar menghela napas dalam.

"Kalau saja aku bisa membantumu." katanya.

"Nggak ada orang yang bisa membantuku," kata Shaun.

"ini takdirku."

"Aku nggak percaya ada takdir," kata Sabine.

"Takdir itu di tangan kita sendiri."

"Kalau kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mengubah kondisi. itu namanya takdir." kata Shaun.

"Kita selalu bisa berbuat sesuatu. Shaun. Mungkin tidak hari ini. mungkin tidak besok, mungkin tidak minggu depan, tapi suatu saat. suatu hari, kita pasti bisa berbuat sesuatu. Kita cuma perlu menunggu datangnya saat yang tepat aja." kata Sabine.

"Kamu lebih optimis daripada aku kalau begitu," kata Shaun.

"Orang harus optimis. Kalau kita sudah kehilangan harap, kita fun aja. Shaun. Kita sudah bunuh diri secara mental." kata Sabine.

"Orang yang optimis itu tidak realistis," kata Shaun.

"Orang optimis yang bisa membaca kapan saatnya tiba, itu yang namanya realis tulen, Shaun. Kesempatan itu selalu ada. percayalah. Seperti kataku tadi,

suatu hari, suatu saat, pasti kesempatan itu muncul," kata Sabine.

"Kita perlu bersabar."

"Banyak orang yang tidak mendapat kesempatan kedua sampai akhir hayat mereka, Bine," kata Shaun.

"Mereka bukan tidak mendapat kesempatan, Shaun, mereka tidak sadar saat kesempatan itu muncul. Mereka terlalu larut dalam kekecewaan. terlalu larut dalam kesedihan sehingga mereka sudah linglung dan lupa bahwa mereka sedang menunggu datangnya kesempatan." kata Sabine.

"Sejak kapan kamu berfilsafat?" tanya Shaun.

"Sejak aku dikudeta oleh Jaka," kata Sabine dengan tatapan tajam.

Shaun Harman mengerutkan keningnya.

"Kamu menganggap apa yang terjadi itu kudeta Jaka?" tanyanya.

"Ya! Jaka kan telah merebut kursiku dengan cara yang tidak etis." kata Sabine.

"Dan kamu menunggu kesempatan untuk merebutnya kembali?" tanya Shaun.

"Tentu! Kamu pikir untuk apa aku masih bekerja di sini sekarang? Setelah aku dipojokkan dan dihina seperti itu, ngapain aku menerima menjadi bawahan Jaka? Dengan pengalamanku. aku yakin aku bisa mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Tapi aku bertahan di sini."

"Untuk balas dendam?" tanya Shaun dengan nada khawatir.

"Aku tidak menganggapnya balas dendam. tapi mengambil kembali hakku yang telah direbut secara

tidak sah oleh Jaka." kata Sabine.

"Tapi kalau kamu menganggap itu balas dendam, ya okelah, aku tidak pusing soal istilah."

"Jangan menimbulkan masalah di sini, Bine." kata Shaun Harman.

"Aku tidak berniat menimbulkan masalah! Aku justru akan membuktikan bahwa dengan menempatkan Jaka sebagai kepala Pemasaran, perusahaan ini berada dalam bahaya!" kata Sabine.

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak percaya pada Jaka. Suatu saat pasti akan ketahuan belangnya."

"Kamu mau menjebaknya?"

"Aku nggak perlu menjebaknya. Suatu hari dia akan menjebak dirinya sendiri, dan saat itu aku yang akan menangkapnya," kata Sabine.

"Bine, kamu sudah bekerja di sini lama, jangan berbuat apa-apa yang bakal merusak citramu di sini," kata Shaun.

"Citraku di sini sekarang justru sudah dirusak Jaka, Shaun. Begitu hebatnya dia bisa memengaruhi Melody sehingga aku disingkirkan. Melody terlalu gampang percaya padanya. Andai Pak Danny, nggak mungkin dia bisa berhasil. Pak Danny kan sudah tahu siapa aku. Selama bertahun-tahun aku berjuang bersamanya membesarkan perusahaan ini. Jaka itu apa? Dia belum membuktikan apa-apa, tapi karena keculasannya dia berhasil menggeser aku."

"Pak Danny menyetujui Jaka menduduki jabatanmu. Bine." kata Shaun.

"dan, itu karena tak ada ruginya merasa perlu mendukung keputusan Melody, bukan karena Pak Danny percaya pada tuduhan jaka! Aku yang jadi korban karena Pak Danny mau menunjukkan kepada semua karyawan di sini bahwa Melody pantas mengambil alih kedudukannya," kata Sabine.

Untuk beberapa saat lamanya Shaun Harman tidak menjawab. Dia tampak berpikir sendiri.

"Shaun, aku bukannya meremehkan kemampuan istrimu," kata Sabine,

"tapi kita kan sudah berteman lama. jadi aku merasa aku bisa bicara terus terang padamu. jaka itu pasti punya agenda terselubung. Aku perhatikan sejak istrimu ngantor lagi, dia bolakbalik pergi menemuinya, berjam-jam di dalam kantornya. Bikin apa, coba?"

"Melody kan sudah lama absen, barangkali ada yang perlu dibicarakan," kata Shaun.

"Sejak Melody absen kan tidak ada kejadian yang istimewa. Aku kan tahu! Semuanya rutin. sudah berjalan dengan lancar karena sudah ada jalurnya semua-jalur yang aku buat dulu! Apa lagi yang perlu dibicarakan? Coba, setiap rapat mingguan kita, mana ada topik baru yang perlu dibahas? Nggak ada, kan? Ya, dia aja yang mau menjilat pantat Melody!"

"Jaka juga bisa bilang yang sama tentang kamu, Bine," kata Shaun sambil tersenyum.

"Kamu juga sering berada di sini padahal nggak ada masalah yang perlu kita bicarakan, kan? Apalagi bidang kita sama sekali berbeda. Aku bagian keuangan, kamu masih di pemasaran."

"Kita kan teman, Shaun! Sebelum kamu menikah, kita kan pernah dekat!" kata Sabine.

"Jaka dan Melody juga pernah dekat sebelum kami menikah," kata Shaun.

"Kalau mau bilang teman. mereka juga teman."

Sabine Lemar merapatkan bibirnya, jengkel.

"Aku cuma mau mengingatkan aja, Shaun, si jaka itu berbahaya. Jangan jangan suatu saat dia bisa menikam kita semua dari belakang!" katanya sambil berdiri.

"Lho, katanya kamu yang akan mengawasi dia?" jawab Shaun sambil tersenyum.

"Aku hanya bisa mengawasi punggungku sendiri, Shaun! Punggungmu ya harap kamu awasi sendiri!" kata Sabine.

"Oke, makasih peringatanmu. Aku akan mengawasi punggungku mulai sekarang," kata Shaun.

Sabine Lemar melihat arlojinya.

"Sudah jam makan, kamu nggak ke kantin? Aku juga mau keluar makan," katanya.

"Kamu pergi duluan. Aku masih mau menyelesaikan ini sebentar," kata Shaun menuding layar monitornya.

Sabine Lemar membuka pintu dan melangkah keluar. Dia berpapasan dengan Norma Tanjung yang kebetulan sedang lewat di koridor.

Norma memandang Sabine dengan tatapan tidak senang sementara Sabine berlalu begitu saja tanpa sekali pun melemparkan pandangannya kepada perempuan separo baya itu.

Ketika Norma Tanjung masuk ke kantor Melody untuk mematikan lampu di dalamnya sebelum dia pulang, dia mendapati Jaka Herlambang sedang berdiri di belakang meja Melody dan sedang melihat-lihat isi map-map yang tersusun di dalam baki surat-surat masuk.

"Lho, Dik jaka! Lagi ngapain?" tanya Norma Tanjung dengan nada tidak senang.

"Lagi memeriksa surat-surat yang masuk, kenapa?" jawab jaka juga dengan nada tidak senang. Dia itu manajer lho, kok ditanyai seorang sekretaris! Hanya karena Norma Tanjung sudah tua jadi dia masih punya rasa segan.

"Dik Jaka memerlukan surat apa, biar saya yang mencarikan." kata Norma Tanjung.

"Saya nggak mau merepotkan Bu Norma, kan ini sudah lewat jam pulang, makanya saya cari sendiri. Kenapa? Bu Norma keberatan?" tanya Jaka Herlambang sinis.

"Sejujurnya iya," kata Norma sedikit melotot.

"Bu Melody aja tidak pernah ke meja Dik Jaka dan berdiri di situ. Kalau dia perlu sesuatu, dia minta kepada Dik Jaka. Kalau Dik Jaka perlu apa-apa dari meja Bu Melody, minta aja kepada saya. biar sudah lewat jam pulang kantor juga akan saya carikan. itu memang tugas saya."

Jaka Herlambang membanting map yang dipegangnya ke atas meja dan tanpa menjawab dia meninggalkan kantor Melody.

"Uhhh!" kata Norma Tanjung gemas. Dia lalu merapikan kembali tumpukan map-map itu di dalam laci

surat, mematikan lampu, dan menutup pintu di belakang punggungnya. Kurang ajar si Jaka itu, gerutunya dalam hati. Mau apa dia tadi membaca surat-surat di meja Melody. Mau tahu aja. Untunglah surat-surat yang bersifat rahasia tidak aku letakkan di sana. Sejelekjeleknya Sabine. dia tidak pernah mengintip surat-surat di meja Pak Danny. Orang itu harus diwaspadai. Dia itu licin dan licik. Nanti akan aku laporkan ke Melody.

* * *

Ketika Shaun Harman tiba di rumahnya pukul lima lewat sedikit, Melody sudah menantikannya.

"Kamu oke?" tanya Shaun yang sedikit heran melihat Melody tampak lebih segar.

"Ya, udah nggak apa-apa," kata Melody memberi suaminya kecupan di pipi.

"Tadi pas Bik Mur beli kelapa hijau jadi aku ikut minum airnya, kok terus rasa mualnya hilang."

Melody menemani Shaun naik ke loteng.

"Shaun, tadi siang ada masalah di rumah Papa," kata Melody.

"Masalah apa?" tanya Shaun.

"Lisa menelepon," kata Melody.

"Katanya ada orang gila yang melempari rumah Papa dengan kotoran."

"Hah?" Shaun mengerutkan keningnya.

"iya! Tiga lemparan kotoran manusia. Yang dua cuma kena pagar, tapi yang satu kena pintu garasi," kata Melody.

"Lalu?"

"Lalu ya dibersihkan, masa dibiarkan bau!" kata Melody.

"Maksudku, Lisa mengambil tindakan apa? Apa dia sudah lapor hansip?"

"Lisa meneleponku. Aku suruh dia lapor hansip."

"Siapa yang melempar?"

"Nggak tahu, waktu pelemparan itu nggak ada yang lihat, semua lagi di dalam. Tahu-tahu saat Bik ljah keluar membuka pintu garasi, dia baru melihat," kata Melody.

"Hansip bilang apa?"

"Kata Lisa hansipnya nggak lihat ada apa-apa, bahkan hansipnya nggak tahu rumah Papa dilempari kotoran. Baru tahu setelah Lisa lapor."

"Wah, ini bahaya, berarti ada orang yang menyatroni rumah Papa," kata Shaun.

"Wong Papa lagi nggak di rumah lho. Kira-kira cuma perbuatan orang gila," kata Melody.

Shaun langsung mengangkat tangkai pesawat telepon di samping tempat tidurnya.

"Kamu menelepon siapa?" tanya Melody.

"Satpam pabrik." kata Shaun memutar nomor telepon jaga Lesmana Corporation.

"Kita perlu mengirim salah satu satpam ke rumah Papa untuk menjaganya mulai malam ini. Lisa kan perempuan sendirian di sana. kalau terjadi apa-apa, celaka."

"Kalau begitu lebih baik Lisa disuruh bermalam di sini aja," usul Melody.

"Biar rumah dijaga satpam kita sendiri."

"Oke. Mumpung Pak Bob masih belum pulang.

tolong suruh.menjemput Lisa halo!." kata Shaun.

**

Lisa Harun datang membawa sebuah tas besar yang berisi beberapa potong pakaiannya.

"Aduh, Mbak, sebetulnya nggak apa-apa kok aku tinggal di sana," katanya begitu Melody membukakan pintu untuknya.

"Nggak ada kok yang mau nyulik aku."

"Sudah, biar di sini aja, lebih aman," kata Melody,

"daripada kami khawatir."

"Tapi kan rumah Oom Danny jadi kosong, Mbak," kata Lisa.

"Apanya yang kosong? Memangnya Bik Ijah, si Mien, dan Sri itu bukan manusia? Apalagi salah satu satpam pabrik sudah dipanggil untuk menjaga di sana," kata Melody.

"Lha kalau sudah ada satpam yang menjaga kan sudah aman, Mbak. Ngapain aku disuruh tinggal di sini?" tanya Lisa.

"Kan lebih baik berhati-hati ketimbang nyesel, Lis. Kita kan nggak tahu perbuatan siapa itu yang menyatroni rumah Papa, jadi sebaiknya kamu di sini aja," kata Melody.

"Lalu aku tinggal di sini sampai kapan, Mbak?" tanya Lisa dengan mimik kurang gembira.

"Ya sampai amanlah, Lis," kata Melody mulai tak sabar.

"Sabtu ini Bik Ijah dan Sri mau pulang, Mbak, jadi cuma tinggal Mien aja di rumah. Masa nanti Mien dibiarkan hanya berdua satpam?" kata Lisa.

"Memangnya kamu pikir si Mien bakal diperkosa satpam atau gimana? Ah! Yang logislah kalau berpikir," kata Melody dengan nada mengejek.

"Satpam kita kan semua orang lama, nggak bakalan ada yang punya pikiran aneh-aneh."

"Yah, siapa tahu, Mbak? Iya kalau itu Bik Ijah nggak apa-apa, tapi Mien kan masih muda. Kalau cuma mereka berdua serumah, bisa aja kan terjadi yang tidak diharapkan," kata Lisa.

"Kalau memang bakal terjadi begitu, biarpun kamu di sana juga tetap terjadi. Memangnya kamu mau tidur sekamar sama si Mien?"

"Ya enggak. tapi kalau ada aku di sana kan si satpam tahu masih ada orang lain, jadi nggak berpikiran yang macam-macam," kata Lisa.

"Ya udah, terserah kamulah," kata Melody dengan nada jengkel.

"Kamu nggak mau tinggal di sini ya terserah, tapi kalau sampai terjadi apa-apa padamu di sana, jangan bilang aku nggak memerhatikan keselamatanmu ya," kata Melody.

"Begini lo, Lis," sela Shaun,

"demi keamananmu kamu tidur di sini saja beberapa hari. Kita lihat dulu kalau satu-dua hari ini nggak ada kejadian yang anehaneh lagi, mungkin yang melempari rumah Papa tadi memang bener cuma orang gila, ya kalau kamu mau pulang ke sana, silakan."

"Oke," kata Lisa.

Hati Melody mendidih. Sialan anak ini.Mau aku yang ngomong, dibantah. Tapi kalau Shaun yang ngomong, dia oke-oke!

"Bik Mur kapan pulangnya?" tanya Lisa.

"Bik Mur mau nunggu sampai akhir bulan," kata Shaun.

"Bik Mur selalu mudiknya kalau sudah lewat Kupatan, jadi nggak usah berdesakan dengan pemudik yang lain dan ongkos busnya juga kembali ke tarif normal."

"Jadi kamu jangan berpikir kamu diajak tinggal di sini karena Bik Mur mau mudik lalu kamu yang disuruh membantu di sini!" kata Melody ketus.

"Kami

mau mengamankan kamu, bukannya mau memanfaatkan kamu."

"Mel," kata Shaun sambil mengerutkan keningnya.

Tapi Melody sudah langsung membalikkan badannya dan naik ke loteng.

"Sori, Lis. Melody nggak bermaksud begitu," kata Shaun.

Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti, perempuan yang hamil memang suka uring-uringan," katanya sambil tersenyum.

"Jadi di mana aku tidur malam ini?"

"Itu, sudah disiapkan Bik Mur, di kamar sebelah tangga. Itu memang kamar untuk tamu," kata Shaun.

"Makasih lho, Mas, jadi ngerepotin kalian di sini," kata Lisa.

"Nggak repot," kata Shaun,

"kita kan keluarga."

**

SELAMA perusahaan tutup seminggu untuk memberi semua karyawan kesempatan merayakan Lebaran, kesehatan Melody membaik. Sebetulnya Shaun mengajaknya berlibur ke Singapore, tetapi Melody menolak. Dia merasa malas bepergian. Dia memilih tinggal di rumah saja dan merayakan Lebaran bersama Pak Ali, Rahayu, dan Rahadian. Tentu saja dia tidak tahu alasan sebenarnya Shaun mengajaknya ke Singapore adalah untuk menciptakan kesempatan agar dia bisa bertemu dengan Tania di sana. Pikir Shaun, kalau sudah di Singapore pasti ada kesempatan di mana dia bisa keluar hotel sendiri tanpa Melody. dan pada saat itu dia bisa mencari kabar tentang Tania. Namun karena Melody menolak, pupus sudahlah harapan Shaun untuk bisa bertemu lagi dengan perempuan yang masih

dicintainya. Liburan yang seminggu ini pun cepat berlalu. Lesmana Corporation sudah kembali beroperasi seperti semula. Melody yang sudah merasa lebih fit setelah beristirahat Cukup lama di rumah. mengantor lagi. Kali ini dia bekerja full time hingga pukul lima sore dan pulang bersama Shaun. Tapi baru dua hari setelah mengantor. dia mulai merasa kurang fit lagi, walaupun demikian dia berusaha untuk bertahan bekerja seperti biasa sampai akhir minggu. Dia berpikir, kalau dia terus-menerus membolos itu namanya tidak bertanggung jawab. Banyak wanita karier juga pernah hamil, dan mereka juga tetap bekerja seperti biasa, jadi dia merasa malu jika bolak-balik tidak masuk. mentang-mentang anak pemilik dan punya jabatan direktur.

Tapi walaupun Melody berusaha untuk tidak merasakan ketidakenakan kondisi tubuhnya, tak dapat disangkal lagi bahwa setiap hari dia menjadi semakin lemah. Bahkan setelah tidur sepanjang hari waktu hari Minggu pun sepertinya tidak banyak membantu. Senin kemarin dia sudah merasa KO lagi. Rasanya setiap hari dia menjadi lebih cepat lelah, kepalanya juga semakin sering sakit, dan mualnya semakin lama semakin parah, hingga sejak kemarin dia nyaris tidak bisa menelan apa-apa.

"Pagi ini kamu istirahat di rumah aja, Mel," kata Shaun ketika melihat Melody berusaha bangun dengan ogah ogahan dari tempat tidurnya.

"Kamu rada pucat hari ini."

"Sebetulnya memang aku merasa lemas. tapi kok nggak enak bolak-balik nggak ngantor," kata Melody.

"Nggak enak sama siapa?" tanya Shaun.

"Ya sama semua karyawan. Pasti mereka membicarakan aku, mentang-mentang aku direktur jadi bisa membolos tanpa sanksi. Aku memberikan contoh yang buruk," kata Melody.

"Kamu kan sakit!"

"Aku nggak sakit. Aku hamil."

"Lha iya, orang hamil kan nggak sehat."

"Iya, tapi orang lain hamil nggak masalah. Coba, dulu si Sabine hamil. apa dia membolos bolak-balik? Kan enggak!"

"Kondisi setiap orang kan nggak sama, Mel. Sabine dulu mungkin nggak mengalami seperti yang kamu alami sekarang. Sudahlah, jangan pusing dengan pikiran orang. Kalau kamu nggak fit untuk bekerja, ya istirahat di rumah aja," kata Shaun.

"Aku teleponkan Lisa untuk menemanimu?"

"Aduh, udah nggak usah! Dia nggak suka kok di sini. Memangnya siapa yang suka menemani orang sakit. kan mending dia bertemu teman-temannya sendiri."

"Tapi dia mau kok kalau kita minta untuk menemanimu di rumah."

"Memangnya dia bisa apa di sini? Dia juga nggak bisa mewakili aku mual."

"Lho, paling sedikit kan ada yang bisa membantumu kalau perlu apa-apa."

"Alaaa, dia membantu apa? Semua juga Bik Mur yang nangani. Aku nggak bakalan minta dia mengerjakan apa-apa, ntar dia merasa diperlakukan seperti pembantu. Malah jadi omongan sama Tante Juli."

"Kelihatannya Lisa nggak punya perasaan begitu, Mel. Dia juga menganggap kamu keluarga, kakaknya begitulah. Sikapnya selalu manis."

"Dia memang selalu manis sama semua orang. Apalagi sama Papa, seakan-akan dia sudah betul anak Papa aja," kata Melody dengan nada tidak senang.

"Yah, setelah kamu di London dan Mark ke Amerika, di rumah kan cuma ada Lisa, jadi bisa dimengerti Papa sayang padanya juga," kata Shaun.

"Kira-kira dia berharap bisa mendapat bagian dari harta Papa!" kata Melody.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kan Lesmana Corporation sudah diserahkan kamu, Mel. jadi nggak mungkin jatuh ke tangan orang lain lagi."

"Tapi Papa sendiri kan masih punya banyak aset yang lain seperti rumahnya itu, mobil, tabungan. itu nilainya berapa! Pasti Lisa berharap mendapatkan bagian."

"Rumah dan lain-lain mungkin sudah jatah Mark. Mark kan belum menerima apa-apa. Sudahlah, kamu nggak usah mempersoalkan harta Papa. itu kan hartanya, dia mau ngasi ke siapa, itu haknya. Masa depanmu kan udah terjamin, jadi kamu nggak perlu risau."

Melody merenung sejenak, lalu tambahnya,

"Kalau dipikir sih, selama ini dia memang nggak pernah berbuat kesalahan padaku."

"Siapa? Papa?" Shaun tampak heran.

"Bukan, si Lisa. Yah, mungkin karena aku nggak pernah akrab dengannya, lalu aku sendiri yang curiga. Mungkin sebetulnya dia jauh lebih baik dari dugaanku." Melody mengangkat kedua bahunya.

"Tapi aku kurang suka padanya. Mungkin karena aku sendiri yang takut Papa lebih mencintai dia daripada aku."

"Apa karena itu kamu nggak mengirimkan dia bekerja di Lesmana Corporation?" tanya Shaun.

"Ya. Aku nggak ingin ketemu dia setiap hari di kantor. Daripada suatu saat bertengkar kan lebih baik nggak terlalu dekat."

"Ah. kalau model seperti si Lisa sih aku rasa nggak bakalan berani bertengkar denganmu. Dia selalu mengalah padamu."

"Kok kamu bilang begitu?" tanya Melody.

"Beberapa kali kamu bersikap rada kasar padanya, dia cuma tersenyum."

"Masa sih? Aku nggak pernah bermaksud mau bersikap kasar terhadapnya."

"Mungkin kamu memang nggak merasa."

"Kapan, Shaun? Misalnya, kapan?" tanya Melody dengan nada tidak terima.

"Kamu sering bicara dengan nada sinis yang merendahkan, seakan-akan dia itu anak kecil yang nggak tahu apa-apa. Untung dia itu sifatnya periang. jadi nggak dimasukkan hati. Andai kamu bersikap seperti itu kepada Sabine, wah, dia pasti udah maju perang," kata Shaun sambil tersenyum.

"Kalau Sabine memang aku amat sangat nggak suka. Aku masih menoleransi kehadirannya di kantor karena Papa. Suatu hari kalau Papa bener-bener udah pensiun dan Lesmana Corporation seratus persen di bawah pimpinanku, Sabine pasti akan aku out!"

"Sabine nggak sejelek itu, Mel. Mungkin pas kamu ketemu dia itu jamnya nggak kebetulan sehingga kalian jadi bermusuhan. Moga-moga suatu saat kalian bisa saling mengerti dan menyadari bahwa sesungguhnya kalian bisa menjadi teman."


Goosebumps Perkemahan Hantu Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Apalagi Jennings Karya Anthony

Cari Blog Ini