Ceritasilat Novel Online

Misteri Melody Yang Terinterupsi 6

Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 6



"Nggak bakal!" kata Melody.

"Sampai kapan pun aku nggak bakal bisa berteman dengan Sabine!"

Shaun melihat arloiinya.

"Oke. Sudah waktunya aku berangkat. Ntar sore kita kontrol aja ke Dokter Rizki, minta obat supaya kamu nggak terus-menerus seperti ini."

"Percuma ke dokter. Aku memang nggak mau minum obat, Shaun! Zaman ibu-ibu kita hamil juga nggak ada yang nelan obat macam-macam, kenapa sekarang perempuan hamil harus nelan segala macam obat? Semua obat itu pasti ada efek sampingnya. Kasihan bayinya, belum lahir sudah dibebani efek samping obat," kata Melody.

"Lho, semakin lama kan teknologi semakin maju, di bidang medis juga. Obat-obat yang diberikan dokter kan sudah mengalami pengujian macam-macam dan sudah dinyatakan baik untuk membantu kesehatan manusia," kata Shaun.

"Siapa bilang? Aku baca tentang kasus halidomide beberapa puluh tahun yang lalu. Tadinya obat itu juga dinyatakan aman. Tapi akhirnya ada berapa ribu bayi cacat yang lahir karena wanita-wanita hamil diberi obat tersebut? Kalau sudah telanjur bayinya cacat, kan celaka! Kita bisa menyesal seumur hidup, Shaun."

"Itu kan sudah kasus puluhan tahun yang lalu, Mel, dan cuma satu kasus dari antara sekian juta jenis obat yang dipasarkan! Kesalahan satu dari sekian juta bisa aja terjadi."

"Iya, lha kalau pas bayi kita yang sial dan termasuk korban kasus satu dari sekian juta, gimana? Aku nggak mau ngambil risiko itu."

"Enggaklah. dari pengalaman yang lalu-lalu, sekarang manusia kan lebih berhati-hati."

"Dulu waktu Thalidomide lolos pengujian, kata yang menguji, mereka juga sudah mengujinya dengan hati-hati," kata Melody bersikeras.

"Setiap hari sekarang ada berapa orang bayi yang lahir tanpa cacat, Mel? Masa mereka semua lahir sehat, bayi kita satu-satunya yang enggak?" kata Shaun.

"Enggak logis kan argumentasimu!"

"Aku nggak mau mengambil risiko itu. Semua yang alami itu lebih baik. Aku rela mengalami semua ketidaknyamanan ini demi anak kita Orangtua kan harus rela berkorban untuk anaknya. Ya ini merupakan uji coba yang pertama bagiku. sebelum anak kita lahir."

"Oke, terserah kamulah," kata Shaun.

"Kamu nggak usah bangun, tidur kembali aja. Abis sarapan aku langsung berangkat ya." Dia lalu menghampiri istrinya dan mendaratkan sebuah kecupan ringan di pipi Melody.

"Oke, kalau sudah baikan, aku nyusul agak sianganlah. kan Pak Bob selalu standby di sini," kata Melody. Sejak Danny Lesmana pergi ke luar negeri.

mobil Mercy dan sopirnya setiap hari nongkrong di rumah Shaun Harman untuk melayani kebutuhan Melody, sedangkan Shaun Harman ke mana-mana selalu naik Peugeot-nya sendiri seperti biasa.

"Ntar aku telepon sebelum berangkat," tambah Melody.

"Nggak usah memaksakan diri. Kalau nggak fit nggak usah ngantor," kata Shaun. Lalu sambil melambaikan tangannya dia membuka pintu dan menyelinap keluar.

Ketika Shaun tiba di ruang makan, dia membelok ke bufet tempat pesawat teleponnya bertengger sebelum duduk di meja makan dan menelepon ke rumah Danny Lesmana.

"Halo, Lisa?" kata Shaun begitu terdengar jawaban dari seberang.

"Iya. Mas Shaun nih?" tanya Lisa dengan suaranya yang selalu terdengar manis dan gembira.

"Iya. Lis, kalau hari ini kamu nggak sibuk, ntar bisa mampir ke rumah nengok Mbak Mel?" kata Shaun.

"Oke. Mbak Mel nggak ngantor lagi hari ini?" tanya Lisa.

"Iya. Udah sejak beberapa hari terakhir ini kondisinya memburuk lagi. Wajahnya juga rada pucat hari ini. Jadi aku suruh dia tidur aja di rumah."

"Oke. Aku sekarang datang," kata Lisa.

"Jangan sekarang. Dia masih tidur. Ntar siangan aja, sekitar pukul sepuluh-sebelas begitulah, kalau kamu nggak ada acara lain."

"Oke, aku nggak ada acara kok. Kalau begitu ntar

aku beliin buah dulu ya. Mbak Mel masih suka buah pir, kan?"

"Bolehlah. Uangnya ntar aku tinggal di atas meja makan, Lis."

"Aduh, nggak usah, Mas! Aku ada uang kok. Kan ditinggali uang berlebih-lebih sama Oom Danny."

"Oke, kalau begitu terima kasih, Lis. Kamu baik sekali."

"Namanya keluarga, Mas! Jangan khawatir, ntar aku temani Mbak Mel sampai Mas pulang."

* * *

Sekitar pukul sepuluh Melody memutuskan untuk bangun dan pergi mandi. Air yang dingin menyejukkannya dan membuat suasana hatinya lebih senang. Rasanya dia bisa berangkat kerja, pikirnya.

Melody baru saja keluar dari kamar mandi ketika teleponnya di kamar tidur berdering.

"Halo?" katanya sambil tangannya yang satu masih mencekal handuk yang membalut tubuhnya.

"Halo. Mel! Gimana keadaanmu?"

"Eh. Papa! Tumben nelepon!"

"Papa tadi menelepon ke kantor, tapi kata Shaun kamu sakit di rumah."

"Bukan sakit. Pap, cuma mual-mual dan pusing, ya kayak orang hamil biasanya." kata Melody.

"Kata Shaun kondisimu parah, soalnya kamu nggak mau minum obat dokter."

"Ah, Shaun itu membesar-besarkan. Aku nggak apa-apa kok, Pap."

"Kata Shaun tambah lama kamu tambah lemas, muntah terus, kenapa nggak ke dokter?" tanya Danny.

"Sudah. Pap. Nggak ada apa-apa kok, biasa bawaan bayinya. Jangan khawatirlah."

"Papa sekarang sudah di airport," kata Danny Lesmana.

"Mau terbang ke mana nih?"

"Pulang."

"Hah? Pulang? Lho, katanya mau pergi tiga bulan!"

"Mendengar kamu sakit. Tante bilang lebih baik pulang. Katanya kelamaan ninggal rumah juga nggak enak. Lalu kami mencari tiket dan ternyata untung masih ada tempat di pesawat yang terbang hari ini."

"Jangan pulang karena aku, Pap," kata Melody.

"Mumpung sudah keluar ya dipuaskan sekalian. Ntar kalau pulang, nggak tahu kapan lagi bisa berangkat."

"Nggak apa-apa, pulang dulu juga baik. Kata Shaun tiga minggu lalu rumah Papa dilempari kotoran ya? Apa ketahuan itu perbuatan siapa?"

"Nggak ada yang lihat katanya, Pap, jadi nggak ketahuan. Mungkin orang gila, kalau waras siapa yang mau pegang kotoran," kata Melody.

"Tapi cuma sekali itu kok, Pap. Setelah itu nggak ada kejadian yang aneh lagi."

"Ya sudah, nggak apa-apa. Kata Shaun sekarang setiap malam rumah dijaga satpam."

"Iya. Jadi Papa bener terbang pulang hari ini?"

"Ya, tapi baru sampai di Surabaya besok sore."

"Pukul berapa nyampenya, Pap? Ntar biar dijemput Pak Bob."

"Nggak usah. Kami naik taksi aja, lebih gampang. Kan belum tentu penerbangannya tertunda atau apa. Sudah ya, ini sudah waktunya masuk ke pesawat, see you tomorrow! Bye!" kata Danny Lesmana langsung memutuskan hubungan.

Melody menghela napas panjang. Sebagian hatinya merasa bersalah ayahnya memotong pendek bulan madunya karena dirinya, tapi sebagian lagi merasa senang, berarti ayahnya bisa mengambil alih pekerjaannya di kantor.

Melody pun membuka lemari pakaiannya dan mulai memilih pakaian yang akan dikenakannya ke kantor siang ini. Dia memilih setelan jas birunya yang dipadukan dengan kemeja kuning muda. Perutnya mulai membuncit dan dengan memakai jas, dia bisa menutupi perutnya.

Setelah selesai berdandan, dia pun berniat menelepon Shaun untuk memberitahukan bahwa dia jadi ke kantor.

"Pak Shaun, ada telepon dari Singapore," kata Ella begitu Shaun Harman mengangkat tangkai pesawat teleponnya.

"Singapore?" tanya Shaun heran.

"Dari siapa?" tanyanya dengan hati berdebar-debar.

"Dari Mbak Tania. Pak," jawab Ella. Dia hanya tahu perempuan ini pernah menelepon Shaun beberapa kali sebelumnya, tapi dia tidak tahu siapa Tania. Dia bergabung dengan Lesmana Corporation jauh setelah insiden hilangnya Tania dari kehidupan Shaun. Dan karena Shaun Harman tidak punya potongan laki-laki hidung belang, maka dia pun menganggap Tania ini hanya salah seorang kenalan biasa yang ada kaitannya dengan Lesmana Corporation.

Jantung Shaun serasa segera berhenti berdetak. Dua bulan sudah lewat sejak dirinya terakhir bertemu dengan gadis itu dan hampir sebulan sejak dia mendengar dari Tommy bahwa Tania harus menjalani kemo di Singapore. Bagaimana hasil kemonya? Pasti ada sesuatu! Kalau tidak, Tania tidak akan meneleponnya!

"Ya, ya, tolong sambungkan," kata Shaun.

"Shaun?" terdengar suara Tania yang tidak begitu jelas.

"Tania, kamu di mana? Are you right?"

"Aku di Singapore, Shaun, aku cuma mau mendengar suaramu, sebentar aja," kata Tania. Shaun bisa mendengar gadis itu sedang menangis.

"Untuk yang terakhir kalinya," tambahnya lirih.

"Apa? Apa? Apa yang terjadi?" kata Shaun panik.

"Aku cuma... aku cuma... mau say goodbye, Shaun. Aku ingin mendengar suaramu satu kali lagi," kata Tania terbara-bata.

"Tania! Kamu ngomong apa? Kenapa kamu?" tanya Shaun.

'Kankerku timbul lagi. Shaun. dan setelah dikemo

ternyata tidak ada penurunan malah angkanya naik. Dokter bilang prognosisnya jelek. Aku menyerah," kata Tania.

"No! No! No! Kamu harus berusaha sembuh, Nia! Jangan putus asa! Kenapa kamu di Singapore? Kenapa tidak kembali ke Beijing tempat kamu dulu berobat? Kamu pernah disembuhkan di sana!" kata Shaun.

"Justru karena terakhir periksa di sana angka CAku naik terus, Papa mengusulkan supaya pindah berobat ke Singapore. Tapi di sini ternyata juga nggak berhasil. Ya memang rupanya aku harus mati, Shaun."

"No! Tania, no!" kata Shaun.

"Coba di tempat lain. Coba ke Jepang, ke Amerika, ke mana saja! Kamu harus terus mencoba, pasti ada jalan."

"Sebetulnya aku juga merasa nggak ada gunanya mencoba lagi. Kalau dulu yang mendorongku untuk tidak menyerah itu karena aku berharap bisa bertemu denganmu lagi, tapi sekarang, untuk apa? Aku sudah nggak punya semangat untuk berperang dengan penyakitku lagi. Aku sekarang cuma mau mendengar suaramu sekali lagi. setelah itu aku ikhlas pergi."

"Tania, kamu..."

Tiba-tiba hubungan telepon pun terputus. Shaun dengan panik menekan-nekan tombol teleponnya, tapi yang terdengar hanya suara :::-tet-ter.

"El, teleponnya terputus. Kamu bisa nyambungkan dengan nomor Singapore tadi?" tanya Shaun ke resepsionisnya.

"Nomor teleponnya berapa, Pak?" _

"Saya nggak tahu," kata Shaun.

"Kamu tadi nggak nyatat?"

"Wah, tadi saya nggak tanya nomor telepon mereka, Pak. Saya pikir kan Mbak Tania itu sudah pernah menelepon beberapa kali, pasti Pak Shaun sudah tahu nomor teleponnya."

"Saya nggak tahu. Dulu itu dari Surabaya. Dia sekarang ada di Singapore," kata Shaun.

"Coba saya tanyakan ke kantor telepon," kata Ella.

"Barangkali bisa dilacak."

"Ya, tolong, ini penting sekali. Begitu nyambung, segera langsung hubungkan saya," kata Shaun.

Satu menit, dua menit berlalu. Shaun Harman mondar-mandir di dalam kantornya. Hatinya seperti diaduk-aduk, dia tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya saat ini dia mau segera terbang ke sisi Tania dan memeluknya, memberinya semangat untuk berjuang terus melawan penyakitnya. Tapi dia bahkan tidak tahu di mana gadis itu persisnya!

Shaun serasa tak mampu menunggu lebih lama lagi dalam ketegangannya ketika teleponnya berdering. langsung disambarnya tangkai teleponnya.

"Pak Shaun, ini lho..." suara Ella.

"Makasih, El, tolong cepat sambungkan," potong Shaun tidak sabaran.

Maka Ella yang mau memberitahukan bahwa ada telepon dari Ibu Melody pun langsung menyambungkan tanpa bicara apa-apa lagi.

Begitu Shaun mendengar nada "klik", dia segera bicara.

"Tania, dengarkan aku! I love you! Kamu tidak boleh menyerah! Aku akan segera datang. Hari ini kalau dapat tiket aku segera berangkat. Kamu tinggal di mana? Di mana kita bisa bertemu?"

"Kita bisa segera bertemu di kantor!" terdengar jawaban dari seberang.

Untuk sejenak Shaun Harman tertegun. Apa? Astaga! Itu suara Melody! Melody! Istrinya!

"Aku segera berangkat dan jangan sampai kamu tidak ada di kantor saat aku tiba!"

Begitu Melody memutuskan hubungan, Shaun pun segera memencet tombol nomor pesawat Ella.

"El! Kenapa tadi kamu tidak bilang itu Ibu Melody?" bentak Shaun.

"Lho, saya mau bilang, tapi Pak Shaun minta cepat disambungkan," kara Ella membela dirinya.

"Saya pikir kamu sudah nyambung telepon yang terputus dari Singapore tadi!" kata Shaun.

"Kalau itu, Pak, saya tidak bisa mendapatkan nomornya. Terus telepon dari ibu Melody masuk."

Dengan hari kesal Shaun Harman membanting pesawat teleponnya sampai Ella di ujung sana terkejut.

* * *

Shaun Harman duduk di belakang mejanya dengan kedua tangannya menutupi wajahnya ketika Melody melemparkan pintu kantornya terbuka.

Dengan mata menyala-nyala seakan-akan api yang siap melalap apa pun yang ada di hadapannya,

429

Melody melangkah masuk dan langsung duduk di depan meja Shaun.

"S0! Jadi sementara aku sakit di rumah, diam-dim kamu mencintai perempuan lain dan mau berangkat ke tempatnya?" kata Melody. Suaranya pelan, tapi nadanya sangat tajam.

Shaun masih menundukkan kepalanya beberapa saat lamanya. Matanya terpejam.

"Aku menunggu penjelasanmu," kata Melody dingin.

"Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepadamu," kata Shaun lirih.

"Kamu bisa mulai dengan mengaku sejak kapan kamu berselingkuh dengan perempuan itu!" kata Melody.

"Aku tidak berselingkuh, Mel," kata Shaun.

"Oh, sebagai suamiku kamu mencintai perempuan lain sampai mau menyusulnya itu bukan selingkuh?" tanya Melody sinis.

"Aku mengakui kesalahanku. Tapi kejadiannya tidak seperti yang kamu bayangkan," kata Shaun.

"Kamu nggak tahu apa yang aku bayangkan!" desis Melody.

"Aku nggak mencari perempuan lain setelah menikah denganmu, Mel."

"Jadi maksudmu perempuan itu adalah simpananmu bahkan sebelum kamu menikah denganku?"

"No." Dia bukan perempuan simpananku. Dia Tania. Tania tunanganku dulu! Tunanganku sebelum aku mengenalmu!" kata Shaun Harman.

428

"Oh! Tunanganmu yang katanya meninggalkan kamu dan lari dengan laki-laki lain itu?"

"Dia ternyata tidak lari dengan laki-laki lain. Mel. Dia sakit. Dia punya kanker di kepalanya! Dia meninggalkan aku karena dia tidak mau aku terbeban punya istri yang mengidap penyakit ganas."

Melody mengernyitkan dahinya. Matanya menyipit.

"Kenapa ceritanya sekarang ganti? Kamu dulu bilang dia meninggalkanmu dan kawin dengan temanmu di Canada! Jadi selama ini kamu bohong padaku!" katanya.

"Aku nggak bohong padamu. Aku tadinya juga mengira dia ada di Canada. Aku baru tahu sekarang dia kena CA dan dia dulu memutuskan hubungan kami supaya aku tidak menderita melihatnya mati."

"Sejak kapan kamu tahu dia kena CA?"

"Setelah Natal tahun lalu."

"Bagaimana kamu biia tahu?"

"Dia datang ke Surabaya. Kami bertemu."

"Apa! Jadi kamu pernah bertemu dengannya setelah Natal tahun lalu tapi kamu tidak bilang apa-apa padaku?"

"Aku tidak mau menyakiti hatimu. Karena itu aku nggak cerita padamu." kata Shaun.

"Oh, jadi kamu tidak mau menyakiti hatiku. tapi diam-diam kamu bikin rencana untuk meninggalkan aku dan berkumpul dengan perempuan itu lagi?" tanya Melody. Suaranya sekarang mengeras dan meninggi.

"Mel, kejadiannya nggak seperti itu! Dia tadi menelepon dari Singapore, mengatakan kankernya kambuh dan dia sudah menyerah! Aku kaget. Kata-kataku yang kamu dengar tadi keluar begitu saja. Aku tidak bisa membiarkan dia mati begitu saja!"

"Lho. kamu sendiri tadi bilang perempuan itu meninggalkan kamu karena dia tidak mau membebani kamu? Kenapa dia kembali mencarimu lagi?" kata Melody.

"Oke, aku ceritakan semuanya kepadamu. Setelah meninggalkan aku. Tania berobat di Cina. Dia sembuh karena dia masih punya keinginan besar untuk sembuh. Lalu dia kembali mencari aku akhir tahun lalu. Tapi waktu itu aku sudah menikah denganmu. Jadi dia pergi lagi. Hatinya hancur. Dan sekarang penyakitnya kambuh! Dan aku merasa berdosa penyakitnya kambuh gara-gara dia tahu aku sudah menikah denganmu!" kata Shaun Harman.

"Ialu sekarang kamu mau pergi untuk bersamanya dan meninggalkan aku?" tanya Melody dengan suara melengking. Mana ada istri yang bisa tenang di saat suaminya ketahuan punya perempuan lain dalam hidupnya.

"Aku tidak berpikir meninggalkanmu. Aku cuma mau pergi untuk bertemu dengannya. untuk bicara padanya dan menenangkan pikirannya yang kalut," kata Shaun.

"Dan kamu pikir kamu bisa menenangkan pikirannya yang kalut itu dalam satu-dua hari lalu kamu kembali padaku? Shaun. di mana logikamu! Tadi pagi

kamu bilang aku tidak logis. Sekarang kamu yang berpikiran logis ini, apa kamu pikir perempuan itu bisa kamu tepuk-tepuk bahunya dan kamu tenangkan. lalu kamu tinggal lagi? Apa setelah kamu tinggal dia tidak kembali putus asa karena tidak mendapatkan kamu?" kata Melody sambil melemparkan kedua tangannya ke atas.

"Aku tidak tahu! Tapi aku harus berbuat sesuatu! Aku tidak bisa membiarkan dia mati begitu saja!"

"Sejak kapan kamu mengangkat dirimu menjadi Tuhan?" kata Melody.

"Orang mati, orang hidup. semuanya di tangan Tuhan. Memangnya kamu mau melawan Tuhan?"

"Aku tahu kamu tidak akan mengerti. Aku juga tidak berharap kamu bisa mengerti," kata Shaun mengembuskan napas panjang.

"Terserah sekarang kamu mau apa."

"Dan apa maksud kalimatmu itu?" tanya Melody dengan dahi berkerut.

"Dalam hal ini memang aku yang bersalah padamu. Tapi aku tidak bisa berbuat lain. Sekarang terserah kamu mau gimana, aku menerima keputusanmu. Kamu mau menceraikan aku. aku terima." kata Shaun.

"Sungguh?" tanya Melody sambil menyipitkan matanya.

"Ya," kata Shaun.

"Aku siap menerima keputusan apa pun yang kamu ambil. Kamu boleh memecat aku. Kamu boleh mengusirku. Kamu boleh segera menceraikan aku. Apa pun yang kamu mau perbuat, akan aku terima dengan ikhlas."

"Good" kata Melody.

"Aku memutuskan kamu tidak kemana mana mengejar perempuan lain. Kamu adalah suamiku dan tempatmu adalah bersamaku!"

"Apa?" kata Shaun Harman kaget. Dia menyangka Melody akan menceraikannya. Kalau itu dia siap menerimanya. Tapi bukan ini! Bukan ini!

"Kamu masih terikat perkawinan denganku. Kamu suamiku. Jadilah suami yang baik. Aku sedang hamil anakmu. Ini anakmu. Kamu punya tanggung jawab kepadanya walaupun dia belum lahir. Jadi, kamu akan menjadi suami dan ayah yang baik dan tidak ke mana-mana mengejar perempuan lain."

"Tapi, Mel, Tania akan menghadapi ajalnya kalau aku tidak berbuat apa apa sekarang!" kata Shaun.

"Shaun, logikamu tidak jalan lagi." kata Melody ketus.

"Dia pertama kena sakit kanker sewaktu masih menjadi tunanganmu. Kenapa sekarang kamu berpikir kankernya kambuh karena kamu tidak di sampingnya? Andai kehadiranmu memang bisa membuat penyakitnya hilang, sejak semula saat kamu masih tunangannya, dia nggak akan kena kanker."

"Mel. aku tidak tahu kenapa dia kena penyakit ini! Aku hanya tidak mau dia mati karena putus asa!" kata Shaun.

"Tadi kamu bilang kamu akan mengikuti apa pun keputusanku. Sekarang aku sudah membuat keputusanku. kamu ingkar! Kok bicaramu plinplan? Jadi maumu apa?" tanya Melody.

"Aku mau ke dia," kata Shaun.

"Aku mau bertemu dengannya. Aku mau bicara dengannya. Aku mau

memberinya semangat untuk terus berjuang melawan penyakitnya. Aku mau dia hidup!"

"Dan kalau dia hanya mau hidup jika hidup bersamamu?" tanya Melody.

"Itu nanti bisa kita rundingkan. Aku nggak bisa memikirkan hal itu sekarang. Yang penting dia sembuh dulu," kata Shaun.

"Shaun, kecuali kamu memang punya niatan untuk meninggalkan aku secara permanen dan hidup bersama perempuan itu, kesembuhannya kali ini tidak ada artinya. Begitu kamu tinggalkan dia lagi. penyakitnya akan kambuh kembali. Apa selamanya kamu akan bolak-balik mengejar perempuan ini untuk menyembuhkan penyakitnya yang kambuh?" kata Melody.

Shaun bungkam. Dia harus mengakui kebenaran kata-kata istrinya. Selama dia masih tetap suami Melody, penyakit Tania bisa kambuh bolak-balik.

"Jadi sebetulnya kamu memang sudah berniat mengorbankan aku?" tanya Melody.

Shaun menundukkan kepalanya dan menggelenggeleng beberapa kali. Dia tahu dalam hal ini dia yang bersalah. Melody tak pantas menerima perlakuan ini darinya.

"Shaun?" tanya Melody.

"kamu akan mengorbankan aku untuk perempuan itu? Kamu akan meninggalkan aku untuk mendampingi perempuan itu?"

Shaun masih bungkam.

"Perempuan itu..."

"Namanya Tania, Mel. Tania," kata Shaun.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak peduli siapa namanya!" bentak Melody marah.

"Kamu adalah suamiku! Aku tidak bersedia melepas suamiku menunggui perempuan lain yang sakit maupun yang sehat! Tempatmu di sini!" Melody menunjuk meja di hadapannya.

"Di samping istrimu, dan anakmu yang akan lahir!"

"Aku tahu, Mel. Dan aku mohon maaf aku sudah menyakiti hatimu, apalagi dalam kondisimu sekarang."

"Ini baru logikamu yang bicara." kata Melody.

Shaun menekur. Dia tahu Melody tidak akan mengizinkan dia pergi. Kalau dia mau pergi. dia harus melakukannya tanpa izin istrinya. Akankah dia menantang istrinya?

"Papa besok pulang," kata Melody.

"Hah?" Shaun harus mengubah gelombang berpikirnya dari masalah Tania ke mertuanya.

"Papa besok sore tiba," ulang Melody.

"Dan aku tidak mau masalah memalukan ini ketahuan Papa."

"Maksudmu?"

"Aku tidak mau Papa tahu tentang perbuatanmu. Jadi, awas. jangan sampai kamu tidak ada di sini waktu Papa pulang. Dan jangan sampai Papa mendengar tentang hal ini!"

Shaun Harman diam saja. Kata-kara Melody terdengar seperti ancaman di telinganya, dan dia tidak suka diancam, apalagi oleh istrinya!

"Jadi, aku tidak mau mendengar kamu bicara tentang masalah itu lagi. Perempuan itu sudah keluar dari hidupmu lima tahun yang lalu. Kamu tidak punya tanggung jawab apa-apa padanya. Tanggung jawabmu sekarang adalah pada aku dan anakmu. Jangan lupa itu!" Melody berdiri. Dan tanpa menoleh ke belakang, dia berjalan ke pintu. membukanya. dan keluar.

Melody sempat melihat pintu-pintu kamar kerja Bagian Pemasaran. kantor Jaka Herlambang, dan kantor Norma Tanjung sedang terbuka, dan beberapa kepala sedang terangkat memandang ke arahnya. Pasti mereka mendengar pertengkarannya tadi dengan suaminya. Kesadaran ini membuat hatinya serasa tersayat. Gimana Shaun bisa berbuat begitu kepadanya? Gimana Shaun sampai hati mengkhianatinya! Mempermainkannya di hadapan semua orang ini? Di depan semua bawahannya, semua karyawannya! Bagaimana dia bisa punya muka bertemu lagi dengan mereka tanpa merasa di balik punggungnya nasibnya yang menyedihkan ini pasti menjadi gunjingan semua karyawannya!

Melody batal masuk ke kantornya. Dia langsung berjalan menuju ke lobi. dan langsung ke tempat parkir.

"Pak Bob, antarkan saya pulang!" katanya.

Shaun Harman duduk dengan membenamkan kepalanya dalam kedua telapak tangannya. Astaga. apa yang telah terjadi? Bagaimana dia bisa begitu ceroboh sehingga tidak memastikan dulu bahwa yang diajaknya bicara betul-betul adalah Tania? Sekarang apa yang harus diperbuatnva? Dia tidak bisa menyalahkan

Melody. Sebagai istri sudah tentu dia berhak marah. Dia yang telah berkhianat. Dia sendiri yang bersalah. Seandainya tadi Melody berteriak minta cerai, itu akan mempermudah situasinya. Tapi karena Melody justru mempertahankannya. itu yang membuat posisinya pelik. Hubungan mereka yang sudah tidak begitu kokoh akan menjadi semakin rapuh setelah insiden ini, semakin canggung, semakin tegang. Kehidupan rumah tangganya akan seperti di neraka, penuh kecurigaan, penuh kesinisan, penuh dendam. Shaun cukup mengenal istrinya untuk mengetahui bahwa Melody bukanlah tipe orang yang gampang melupakan, dan insiden ini bisa-bisa masih menjadi duri dalam daging nya dua puluh tahun yang akan datang.

"Pak Shaun?"

Shaun Harman mengangkat kepalanya dan memandang ke wajah Norma Tanjung yang berdiri di depan mejanya.

"Ada apa tadi dengan Bu Melody?" tanya Norma penuh konsern.

Shaun menggelengkan kepalanya dan menggoyanggoyangkan kedua tangannya dari kiri ke kanan sebagai tanda dia tidak mau membicarakannya.

"Apa sebaiknya saya menyusulnya? Bu Melody pulang, kan?" tanya Norma dengan nada khawatir. Sebagai karyawan lama yang punya hubungan sangat dekat dengan Danny Lesmana, dia merasa bahwa kesejahteraan Melody menjadi bagian dari tanggung jawabnya juga, terutama selama ayahnya tidak hadir.

"Tidak usah, Bu Norma," kata Shaun Harman. Dia

lalu berdiri dari

kursinya.

**

"Saya yang akan menyusulkan semua acara saya hari ini."

Melody membanting pintu menutup, membuat kaget Lisa Harun dan Bik Mur yang berdiri di belakang pintu.

tanpa berkata apa-apa kepada kedua orang tersebut, Melody bergegas menaiki anak tangga menuju ke kamarnya di loteng.

Lisa Harun bertukar pandang dengan Bik Mur. Seperti mendapat aba-aba yang sama, Bik Mur menunjuk ke halaman depan tempat Pak Bob sudah memarkir kendaraannya, dan dia segera bergegas keluar, sedangkan Lisa Harun pergi mengikuti jejak Melody naik ke kamarnya di loteng.

Lisa berhasil menyusul Melody di depan pintu kamarnya.

"Kenapa, Mbak?" tanya Lisa keheranan.

Melody melemparkan pintu kamarnya terbuka dan melemparkan dirinya ke atas tempat tidur.

Lisa ikut masuk lalu duduk di kaki tempat tidur. Keningnya mengerut. Dia memandang Melody dengan tatapan penuh rasa khawatir.

"Ada apa?" tanyanya lagi.

"Shaun!" kata Melody sambil membelalak.

"Ternyata dia masih berhubungan dengan bekas pacarnya!"

Kerutan di dahi Lisa menjadi semakin dalam.

"Mas Shaun?" tanya Lisa dengan nada tidak percaya.

"Mbak tahu dari mana?"

"Dari mulutnya sendiri! Malah dia bilang dia masih mencintainya! Keterlaluan enggak? Dia bilang dia mencintai perempuan lain!" kata Melody.

Lisa tampak prihatin. Dia mengulurkan tangannya dan memegang tangan Melody.

Tanpa sadar Melody meremas tangan Lisa sambil berteriak,

"Aku benci dia! Aku benci dia! Aku istrinya tapi ternyata dia mencintai perempuan lain!"

"Mbak nggak salah dengar?" tanya Lisa dengan lembut.

"Memangnya kamu pikir aku tuli? Tentu saja aku nggak salah dengar! Pertama aku dengar di telepon. Lalu aku pergi menemuinya di kantor dan aku tanya di depan hidungnya, ternyata dia mengaku dia pernah bertemu dengan perempuan itu akhir tahun lalu dan sekarang dia mau menyusulnya ke Singapore!" kata Melody.

"Hah?" Nada tidak percaya.

"Coba! Apa pantas perbuatannya itu? Istrinya hamil, dia mencintai perempuan lain!" kata Melody.

Lisa menggigit bibir bawahnya, untuk beberapa waktu lamanya dia tidak tahu harus berkata apa. Wajahnya yang biasanya riang tampak memucat, matanya melebar penuh ketegangan.

"Aku nggak terima!" lanjut Melody. Dadanya naikturun karena napasnya masih memburu.

"Aku nggak terima dipermainkan seperti ini! Dia yang minta aku menjadi istrinya dan sekarang dia berbuat begini?"

"Apa Mas Shaun minta cerai, Mbak?" tanya Lisa akhirnya.

"Aku tidak akan menceraikannya! Kok enak! Aku hamil dia mau bebas? Kalau dia mencintai perempuan itu, kenapa sejak semula dia tidak kawin saja dengannya? Kenapa dia kawin dengan aku tapi sekarang dia menyakiti hatiku! No! No! No! No! No! Dia nggak bisa berbuat seenaknya sendiri!"

Mata Lisa pun semakin melebar.

"Jadi Mbak nggak akan menceraikannya?" tanyanya.

"Itu yang diharapkannya. tapi aku tidak akan memberikan itu kepadanya" kata Melody.

"Aku istrinya, dan dia terikat perkawinan denganku! Aku tidak akan melepaskannya untuk lari mengejar perempuan lain! Memangnya dia pikir aku siapa?"

"Di mana Mas Shaun sekarang. Mbak?" tanya Lisa.

"Aku nggak tahu di mana! Terakhir aku tinggal dia masih di kantornya," kata Melody.

Pada saat itu terdengar suara kaki menaiki anak tangga.

Lisa segera berdiri dari duduknya. Betul juga dugaannya, karena pintu segera terbuka dan Shaun Harman menyelonong masuk. Tanpa disuruh, Lisa segera keluar dan menutup pintu kamar di belakang punggungnya. Dia menuruni anak tangga cepat-cepat. Dia mendapati ruang tamu kosong. Lisa segera pergi ke dapur. Bik Mur sedang mondar-mandir di sana.

"Ada apa toh, Non?" tanya Bik Mur dengan berbisik.

Lisa Harun meletakkan jarinya di depan bibirnya.

"Saya tadi tanya Pak Bob, tapi Pak Bob juga tidak tahu apa-apa. Cuma tahu Ibu menangis terus sepanjang perjalanan pulang," kata Bik Mur.

"Pak Shaun sekarang sudah pulang, jadi biar mereka selesaikan sendiri. Suami-isrri bertengkar katanya hal biasa, Bik Mur," kata Lisa.

"Ya biasa kalau kadang-kadang. Tapi akhir-akhir ini kok mereka sering bertengkar ya, Non," kata Bik Mur.

"Mungkin karena masih pengantin baru jadi belum terbiasa satu sama lain, ya, Bik?" kata Lim.

"Tapi nanti kan baikan lagi."

"Wah, gimana ini, besok itu saya mau pulang lho," kata Bik Mur.

"Oh, iya. Besok Rabu, kan? Mau pulang berapa hari, Bik Mur?"

"Ya seperti biasa, satu minggu. Tapi sekarang kalau Bapak dan ibu bertengkar gini, masa saya bisa ninggal?" kata Bik Mur.

"Yah, moga-moga ntar malam mereka udah baikan lagi," kata Lisa.

"Kalau enggak, ya pulangnya ditunda satu-dua hari lagi."

Bik Mur geleng-geleng kepala. Sebetulnya dia selalu merasa bahwa majikan perempuannya kurang pandai membawa diri. Andai dia punya anak laki-laki, dia tak akan mengizinkannya menikah dengan seorang perempuan seperti Melody Lesmana, yang selalu mau menangnya sendiri.

"Bik Mur, saya pulang aja ya. Nggak enak saya di

sini, nanti disangka saya mau nguping atau apa," kata Lisa.

"Non Lisa mau pulang?"

"Iya."

"Lha saya gimana, Non?"

"Ya Bik Mur di belakang sini saja. Siapkan minuman. barangkali setelah banyak ngomong di atas, nanti mereka haus," kata Lisa.

"Terus minumannya saya antarkan ke atas?"

"Jangan! Jangan ganggu mereka dulu, orang lagi marah kok, jangan didekati. Minumannya masukkan lemari es supaya nanti siap diminum."

"Lalu kapan saya suguhkan, Non?"

"Ya tunggu sampai mereka minta."

"Kalau ndak ada yang minta, gimana, Non?"

"Ya Bik Mur di sini aja, pokoknya jangan ganggu mereka Orang bertengkar kan nggak mau disaksikan orang lain."

"jadi saya diam aja di sini sampai dipanggil ya. Non?"

"Ya. Sudah ya, Bik Mur, saya pulang dulu!"

"Pagarnya belum saya kunci kok, Non, kan ada Pak Bob di luar," kata Bik Mur.

"Ya, makasih, Bik Mur," kata Lisa lalu cepat-cepat dia meninggalkan Bik Mur di dapur.

Bik Mur pun segera sibuk mengambil buah jeruk. Majikan laki-lakinya suka minum jeruk peras. Dan untuk majikan perempuannya dia akan menyediakan minuman susu cokelatnya. Biasanya susu cokelat itu

selalu disuguhkan hangat, tapi dingin pun tentunya sama enaknya, pikir Bik Mur.

Selama lima belas menit berikutnya Bik Mur sibuk sendiri menyiapkan jeruk peras dan susu cokelatnya. dan setelah meletakkan kedua buah gelas besar di dalam lemari es, dia kembali ke dapur untuk mencuci pisau dan juicer yang baru dipakainya.

Untuk menenangkan kebingungannya, Bik Mur mulai mengeluarkan isi laci meja dapurnya dan meletakkannya satu per satu di atas meja. Lalu dia mengelap setiap sendok, setiap garpu, setiap pisau satu demi satu dengan perlahan-lahan dan memasukkannya kembali ke dalam laci. Selesai satu laci, dia membuka laci yang lain dan mulai mengeluarkan isinya juga.

Entah berapa lamanya dia mengerjakan hal itu sampai tiba-tiba lamunannya dikejutkan oleh suara kaki yang bergegas menuruni anak tangga.

Bik Mur pun langsung melongokkan kepalanya ke ruang makan, tapi dia hanya sempat melihat punggung Shaun Harman sekilas sebelum laki-laki itu menghilang di balik pintu depan rumah. Bik Mur segera menyusul majikannya, tapi Shaun Harman dengan sebuah tas di tangannya sudah melompat ke dalam mobil Peugeot-nya sambil memanggil Pak Bob untuk mengemudi.

Bik Mur berdiri di teras depan. Dia melihat Pak Bob membawa mobil Peugeot majikannya keluar meninggalkan halaman sementara mobil Mercy yang dinaiki Melody pulang tadi ditinggalkan begitu saja di halaman. Lalu dia mendengar bunyi bel remote di da

lam rumah. Bel itu biasa dibunyikan bila ada yang minta dibukakan atau dikuncikan pintu pagar. Pasti sebelum meninggalkan halaman, Pak Bob yang memencet bel remote itu.

Bik Mur pun pergi mengambil kunci pagar dan keluar menguncinya.

Aneh, kenapa tuan rumahnya minta disopirin Pak Bob? Biasanya dia selalu nyetir sendiri. Bik Mur masuk kembali ke dalam rumah lalu mengunci pintu depan dari dalam.

Apakah sebaiknya sekarang dia naik ke atas dan menemui majikan perempuannya? Lalu apa yang harus dikatakannya? Dia hanya seorang pembantu, bukan tempatnya untuk bertanya kepada majikannya di luar urusan pekerjaan. Apalagi Bu Melody pasti lagi marah sekarang, sehingga maksud baiknya bisa ditanggapi negatif. Non Lisa saja tidak berani tinggal, sebaiknya dirinya juga tidak mendekat. Salah-salah kemarahan Bu Melody kepada suaminya bisa ditumpahkan ke dirinya. Bik Mur mengurungkan niatnya untuk menyuguhkan minuman yang sudah dibuatnya.

Bik Mur pun kembali ke belakang. Lebih baik dia meneruskan pekerjaannya saja. Dia memasukkan kembali semua isi laci yang masih tergeletak di atas meja, lalu pergi ke kamar di belakang dapur. Itu tempat semua cucian yang belum digosok tersimpan. Ada seonggok pakaian di sana yang menunggu. Bik Mur pun mulai menancapkan kabel setrika ke steker di dinding. Kalau nanti Bu Melody membutuhkannya, dia pasti akan mencarinya.

Bik mur tenggelam dalam tugasnya. selesai menggosok pakaian, dia kembali ke dapur. Sudah waktunya untuk menyiapkan makan malam. Pak Shaun belum pulang. Apakah nanti dia akan pulang untuk makan malam? Apakah majikan perempuannya mau makan malam? Jangan-jangan tidak ada yang mau makan karena masih marah. Tapi dia tidak bisa mengambil risiko tidak menyiapkan apa-apa. Siapa tahu tiba-tiba salah satu atau kedua-duanya mau makan nanti? Pasti dia akan disalahkan kalau tidak ada makanan!

Baru saja Bik Mur mengeluarkan bawang untuk mempersiapkan bumbu, bel remote berbunyi. Hatinya langsung lega. Majikan laki-lakinya pulang!

Bik Mur bergegas ke depan untuk membukakan pintu pagar. Begitu membuka pintu garasi, Bik Mur hanya melihat Bob Partahi di dalam mobil Peugeot seorang diri tanpa majikannya.

Bik Mur pun membuka kunci pintu pagar dan menunggu sampai Bob Partahi membawa masuk mobil Peugeot-nya sebelum dia bertanya.

"Lho, Bapak mana?"

"Pak Shaun tadi minta didrop di Bandara Juanda," kata Bob Partahi.

"Hah?" Bik Mur kurang mengerti.

"Pak Shaun mau naik pesawat terbang," jelas Bob.

"Saya disuruh membawa mobilnya pulang."

"Naik pesawat terbang ke mana?" tanya Bik Mur.

"Nggak tahu. nggak bilang. tapi yang pasti ke luar

negeri, Karena tadi turunnya di bagian penerbangan internasional," jawab Bob.

"Lho, jadi Bapak ndak pulang?"

"Orang baru berangkat ke luar negeri kok disuruh pulang!" kata Bob.

"Bu Melody nggak nyari saya?" tambahnya.

"Ibu di kamar, dari tadi ndak turun."

"Kalau begitu kedua mobil ini saya masukkan garasi. Ini sudah hampir pukul enam, kalau nggak ada pesan apa-apa, saya pulang," kata Bob.

Bik Mur mengangguk, dan menunggu sampai Bob Partahi memasukkan kedua mobil ke dalam garasi, lalu menguncinya. Lalu dia menunggu si sopir pulang dan mengunci pintu pagar lagi.

Suatu perasaan sedih muncul di hatinya. Sudah dua kali ini majikannya tidak pulang. Kali ini dia bahkan terbang jauh entah ke mana. Apakah ini berarti majikannya akan bercerai? Cerai pun baik, pikir Bik Mur. Majikannya terlalu baik untuk istrinya.

Dia sendiri kurang suka sama Bu Melody yang cepat marah. Dia bertahan bekerja di sini karena Pak Shaun. Kalau mereka bercerai, jelas dia akan ikut Pak Shaun. Tapi apa iya mereka akan bercerai? Kan mereka sedang menantikan kelahiran anak pertama, jadi mustahillah mereka akan bercerai sekarang. Mungkin nanti setelah anaknya lahir?

Di dapur Bik Mur kebingungan. Masak atau tidak? Pak Shaun sudah pasti tidak akan pulang. Ibu kalau lagi ngambek juga biasanya tidak mau makan. Jadi kalau begitu tidak perlu masak, wong tidak ada yang makan.

Apa yang harus dilakukannya sekarang? Majikan perempuannya masih mengunci dirinya di loteng. Bik Mur berpikir. Bu Melody pasti sedang sakit hati ditinggalkan suaminya. Walaupun majikannya itu orangnya kurang sabar dan kata-katanya sering menyakitkan hatinya, selama dia mau bekerja di rumah ini. dia harus melayaninya dengan sebaik-baiknya. Dan dia masih ingin bekerja di rumah ini. Bukan saja gajinya lumayan besar, tapi dia sudah menganggap Pak Shaun seperti keluarganya sendiri, karena dia sudah lima tahun ini melayani Pak Shaun sejak sebelum dia menikah. Jadi kalau masih mau ikut Pak Shaun, ya harus bisa melayani istrinya. Ya sudah, kalau begitu sebaiknya dia tanya aja, apakah majikannya ini mau makan atau tidak.

Bik Mur menaiki anak tangga ke kamar tidur majikannya dengan hati kurang tenang. Apa pun yang akan dilakukannya berikutnya bisa salah. Kalau majikannya tidur dan dia membangunkannya, Bu Melody bisa marah. Sebaliknya kalau dia tidak bertanya tentang makan malam, dia bisa disalahkan juga.

Di depan pintu kamar Melody, Bik Mur mengetuk.

Tidak ada jawaban.

Bik Mur mengetuk lagi.

Masih tidak ada jawaban.

Bik Mur menekan tangkai pintu ke bawah dan mendorong pintu ke dalam. Ternyata tidak dikunci. Pintu membuka. Dengan hati-hati dia masuk. Di dalam kamar dingin dan gelap, tak ada lampu yang

menyala. Hanya lampu kamar mandi yang menyala, dan karena pintu kamar mandi terbuka sedikit, dari celahnya sinar keluar memberikan penerangan sedikit ke ujung kamar.

Bik Mur menghampiri tempat tidur.

Kembali di ruang makan, Bik Mur pun memutuskan untuk menelepon Lisa Harun di rumah Danny Lesmana.

"Ya, halo," terdengar suara Lisa pada dering ketiga.

"Non, ini Bik Mur."

"Oh, iya, Bik Mur. Gimana? Mereka sudah baikan?" tanya Lisa.

"Non, Bapak ndak pulang. Kata Pak Bob dia diantar ke Bandara Juanda dan terbang ke luar negeri."

"Terbang?"

"Iya. naik pesawat terbang itu lho, Non."

"Lha Ibu?"

"Masih di kamarnya."

"Dari tadi?"

"Iya."

"Terus?"

"Non sekarang datang aja."

"ibu yang minta?"

"Ndak. Tapi Non harus datang sekarang."

"Kalau Ibu nggak minta, saya nggak enak, Bik. Ntar dikira saya mau turut campur urusan rumah tangganya."

"Ibu ndak bakal marah kok. Non. Non cepat daang. Saya tunggu," kata Bik Mur.

"Kalau ditanya Ibu kenapa saya datang lagi, saya bilang apa?" tanya Lisa.

"Ibu ndak bakalan tanya. Cepet. Non, saya tunggu," kata Bik Mur.

"Ya udah. Kalau nanti saya dimarahi Ibu. saya bilang Bik Mur lho yang manggil saya," kata Lisa terdengar mengembuskan napas panjang.

"Non bawa pakaian dan menginap di sini sekalian ya? Kamarnya saya siapkan."

"Lho, ada apa kok saya disuruh nginap di sana, Bik Mur? Saya masih punya banyak tugas di sini menyiapkan rumah. Besok kan Oom Danny pulang."

"Oh, besok Tuan Danny pulang?"

"Iya, tadi tante saya menelepon, mereka terbang malam ini. sampe di sini besok sore. Jadi saya masih mau bersih-bersih di sini."

"Di sana kan pembantunya tiga orang, Non, kan bisa bersih-bersih sendiri. Yang penting Non sekarang datang kemari!" kata Bik Mur dengan nada memaksa.

"Iya, saya datang, tapi nggak nginap. Saya tengok aja Ibu sebentar, lalu saya harus balik kemari."

"Ya sudah, pokoknya Non datang sekarang. Pak Bob sudah pulang, jadi Non harus naik taksi kemari.

"Ya deh."

Kedatangan Lisa Harun sudah ditunggu bik Mur.

"Gimana ibu?" tanya Lisa Harun begitu pintu dibukakan Bik Mur.

Bik Mur tidak menjawab, dia langsung menggandeng tangan Lisa dan berkata,

"Yuk, kita naik."

Berdua mereka menaiki anak tangga. Di depan pintu kamar Melody, Bik Mur langsung membuka pintu tanpa mengetuk lalu dia menepi dan membiarkan Lisa masuk duluan.

Di dalam masih dingin dan gelap, selain secercah sinar dari celah pintu kamar mandi, tak ada penerangan lain. Lisa tidak menyalakan lampu, mungkin takut nanti mengagetkan Melody. Perlahan-lahan dia berjalan ke tempat tidur.

Di atas tempat tidur, sosok Melody tampak terbaring. Dia tampak seperti tidur. Dia mengenakan daster. Kedua tangannya berada di sisi tubuhnya.

Lisa mengulurkan tangannya dan menyentuh bahunya.

"Mbak, Mbak," panggilnya lembut.

Melody tidak memberikan respons.

"Mbak, sudah malam, bangun dulu, yuk. makan," kata Melody menepuk-nepuk bahu Melody lagi.

Melody tetap diam saja.

Lisa menjalankan tangannya sepanjang lengan Melody dalam gerakan mengelusnya.

"Mbak, bangun!" katanya dengan suara yang lebih

keras sedikit. Tetap tidak ada jawaban.

Saat itulah Lisa Harun berpaling ke Bik Mur yang berdiri di belakangnya sambil mengerutkan keningnya.

Bik Mur menekan tombol lampu di atas meja kecil di samping tempat tidur. Langsung saja kamar itu menjadi terang.

Lisa mengalihkan pandangannya dari Bik Mur kembali ke sosok Melody di atas tempat tidur. Lalu dia membungkuk sedikit, untuk melihat lebih jelas lagi wajah perempuan yang berbaring itu. Tiba-tiba dia memegang kedua bahu Melody dan mengguncangguncangnya. Langsung dia melepaskan cekalannya dan melompat mundur.

"Lho, Bik Mur!" teriaknya.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bik Mur yang berdiri di sampingnya sekarang hanya mengangguk.

Lisa hanya menuding ke arah Melody dengan mulut terbuka, tapi tak ada kata-kata yang keluar.

Sekali lagi Bik Mur mengangguk.

Lisa kembali mendekat ke sosok Melody, tapi kali ini dia tidak menyentuhnya lagi.

"Kok bisa jadi begini, Mbak?" tanyanya dengan nada tertahan.

"Kok bisa jadi begini?" Lisa menurup wajahnya dengan tangannya dan mulai menangis.

"Non, Non!" Bik Mur meletakkan tangannya di bahu Lisa dan menekannya.

Lisa membalikkan tubuhnya dan menangis di dada Bik Mur.

"Non, jangan menangis. Kita harus berbuat apa sekarang?" tanyanya.

Pertanyaannya itu membuat Lisa mengangkat kepalanya dan menghentikan tangisannya.

"Lho iya! Kita harus berbuat apa?" tanya Lisa balik.

"Non ndak tahu Bapak ke mana?" tanya Bik Mur.

Untuk beberapa saat lamanya Lisa terdiam. Lalu katanya,

"Tadi Ibu sempat bilang kalau Bapak mau ke Singapore nyari tunangannya yang lama."

"Hah?" Bik Mur kaget.

"Ya masalah itu yang mereka ributkan."

"Kalau gitu Non Lisa tahu di mana Bapak sekarang?" tanya Bik Mur.

"Nggak tahu, Bik."

"Lha tunangan Bapak yang lama alamatnya di mana?"

"Saya nggak tahu, Bik Mur! Cuma tahu di Singapore."

"Aduh!"

Setelah terdiam beberapa saat lamanya, tiba-tiba Lisa kembali membungkukkan badannya di atas jasad Melody.

"Bik Mur, memangnya gimana Ibu kok bisa meninggal?" tanyanya.

"Ndak tahu, Non, barangkali Ibu punya sakit jantung," kata Bik Mur.

"Ah! Masa?" kata Lisa.

"Saya nggak pernah dengar Ibu punya sakit jantung."

"Justru itu, Non, barangkali karena ndak tahu punya sakit jantung, jadi tiba-tiba dapat serangan," kata Bik Mur.

"Kelihatannya seperti tidur dengan tenang ya," kata

Lisa.

"Iya."

"Ya Tuhan, sekarang ini apa yang harus kita lakukan?" kata Lisa.

"Kita tunggu sampai ada kabar dari Bapak, Non," kata Bik Mur.

"Lha kalau Bapak nggak kirim kabar?"

"Pasti besok Bapak menelepon. Kalau ndak, kan besok sore Tuan Danny pulang, ya kita tunggu sampai besok aja. Non," kata Bik Mur.

Lisa memegang dadanya.

"Aduh, saya kok nggak tahu Oom Danny hari ini naik pesawat apa ya? Soalnya dia kan mengubah jadwal penerbangannya. Mestinya mereka pulang lewat Hong Kong naik Cathay, lha sekarang ini mereka berangkat dari Eropa, jadinya saya nggak tahu mereka naik pesawat apa."

"Memangnya kalau tahu lalu bisa apa, Non?"

"Saya kan bisa meninggalkan pesan di kantor penerbangannya untuk disampaikan kepada penumpangnya."

"Ya sudah, ndak usah memberitahu Tuan Danny dulu. Kita tunggu sampai besok sore aja."

"Lalu sekarang dibiarkan seperti ini?" tanya Lisa dengan mata lebar.

"Ya ndak toh, Non. Ya Ibu kita mandikan, terus diganti pakaiannya, supaya kalau nanti dilihat orang, kan ndak pakai daster seperti ini," kata Bik Mur.

"Kita harus panggil dokter," kata Lisa.

"Waktu bapak saya meninggal dulu, itu harus ada surat keterangan dari dokter."

"Jangan! Kita tunggu Bapak atau Tuan Danny aja, Non, nanti malah salah," kata Bik Mur.

"Mestinya begitu ada orang meninggal, harus memanggil dokter, lalu dokter membuatkan surat keterangan kematiannya, Bik Mur," kata Lisa.

"Tadi waktu saya temukan itu Ibu sudah meninggal ndak tahu kapan lho, Non. Jadi manggil dokternya sekarang atau besok kan sama saja, toh sudah terlambat," kata Bik Mur.

"Wah, saya harus memberitahu Mark!" kata Lisa.

"Saya turun dulu untuk menelepon Mark, Bik Mur!"

. * *

Mark Lesmana ternyata tidak menerima telepon. Rupanya dia sedang keluar. Perbedaan waktu setengah hari antara Amerika dan Indonesia menempatkan Mark pada pukul setengah delapan pagi dalam perjalanan menuju ke sekolahnya.

"Non, kalau begitu ayo bantu saya memandikan Ibu dulu," kata Bik Mur.

"Apa? Memandikan Ibu?" Lisa terperanjat.

"Iya. Orang yang sudah meninggal kan harus dimandikan," kata Bik Mur.

"Masa kita yang memandikannya?"

"Abis siapa, Non?"

"Udah, biarin aja nanti apa katanya Mas Shaun atau Oom Danny."

"Bau, Non! Orang meninggal itu biasanya ngeluarin kotoran. Harus dimandikan dulu biar bersih. Pakaiannya juga diganti."

"Kalau Bik Mur mau mandiin, ya mandiin aja sendiri. Saya enggak ah!" protes Lisa.

"Saya ndak kuat ngangkat Ibu sendiri, Non. Kalau anak-anak gitu ya sudah saya mandikan sendiri. Ayo, bantu saya. Non yang pegangin. saya yang nyeka."

"Nggak! Saya takut. Bik Mur sendiri aja," kata Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Takut apa, Non? Wang itu ibu lho, apa yang ditakutkan?"

"Ya saya ngeri! Saya kan nggak pernah mandiin orang mati!"

"Sudah, anggap aja Ibu sedang tidur. Ayo bantu saya, kalau sendirian saya ndak kuat mengangkat Ibu."

**

Lisa Harun dan Bik Mur sedang duduk bersama di ruang tamu. Di luar hujan masih turun. Mereka berdua sama-sama entah menunggu apa, tak ada yang bicara. Pukul sepuluh kurang sedikit tiba-tiba telepon berdering mengejutkan mereka.

Lisa pun segera berdiri dan pergi ke bufet tempat telepon itu terletak, lalu mengangkat tangkainya.

"Halo?" katanya. Suaranya rada gemetar.

"Ah. Lisa?" Suara Shaun Harman.

"Tadi aku menelepon ke rumahmu, tapi diberitahu si Sri bahwa kamu ada di sini."

"Mas Shaun! Aduh, untung Mas nelepon! Kami di sini sudah kebingungan lho!" kata Lisa.

"Aku tahu. Gimana Melody? Dia sudah tidur? Aku nggak bisa menelepon lebih pagi, karena baru sekarang chek-in ke hotel."

"Ya itu. Mas, yang mau aku bicarakan. Mas harus segera pulang."

"Aku masih ada urusan di sini, Lis, tapi..."

"Pokoknya Mas harus pulang sekarang!" potong Lisa.

"Mbak Melody... Mbak Melody... nggak ada."

"Heh? Nggak ada? Dia ke mana?" tanya Shaun.

"Sudah nggak ada, Mas!" ulang Lisa.

"Lha iya. dia ke mana?" Shaun Harman masih tidak mengerti.

"Mbak Melody masih di kamar, Mas, tapi orangnya sudah tidak ada," kata Lisa.

"Nyawanya sudah nggak ada."

Beberapa saat lamanya tidak terdengar jawaban dari Shaun, sampai tiba-tiba dia menjerit,

"What? Maksudmu Melody... Melody meninggal?"

"Iya."

"Gimana kok bisa begitu?" tanya Shaun.

"Aku juga nggak tahu. Mas. Bik Mur yang menemukannya sudah meninggal, lalu dia memanggil aku."

"Kapan itu?"

"E... pukul enam tadi, atau pukul setengah tujuh? Sekitar itu. Aku nggak lihat jam waktu itu, Mas."

"Apa Melody terjatuh? Di mana dia waktu ditemukan?"

"Tidur di atas ranjang, Mas."

"Mungkin dia cuma pingsan, kamu udah panggil dokter?"

"Enggak pingsan kok, Mas. Sudah dingin."

"Sudah panggil dokter?"

"Belum. Aku nggak tahu harus manggil dokter siapa.

"Panggil dokter sekarang! Dokter Rizki Seputra. Dia dokternya Melody. Nomor teleponnya ada di buku agenda di dalam laci meja telepon."

"Lalu gimana?"

"Terserah apa kata dokternya."

"Mas Shaun nggak pulang?"

"Aku segera pulang, kalau ada pesawat malam ini juga. Tapi aku rasa nggak ada, terpaksa baru besok kesempatan pertama. Papa sudah diberitahu?"

"Oom Danny? Belum. Aku nggak tahu dia naik pesawat apa. Mas Shaun tahu?"

"Enggak."

"Mereka besok sore baru tiba."

"Ya sudah, nggak usah diberitahu dulu. nanti shock."

"Kalau sudah panggil dokter lalu gimana, Mas?"

"Satu jam lagi aku akan menelepon. Aku nanti mau bicara dengan dokternya. Tolong suruh dokternya nunggu di sana sampai aku menelepon ke rumah."

"Baik, Mas. Aku telepon dokternya dulu."

Suara Dokter Rizki beputra kedengaran terperanjat saat Lisa Harun menceritakan apa yang terjadi.

"Mas Shaun minta Dokter datang," lanjut Lisa.

"Nanti Mas Shaun akan menelepon kemari dan ingin berbicara sendiri dengan Dokter."

"Baik. Saya akan ke sana. Sementara ini tolong jangan menyentuh apa-apa di sana," kata Dokter Rizki Seputra.

Begitu meletakkan tangkai pesawat telepon, Dokter Rizki langsung memberitahu susternya untuk membatalkan semua janji pasiennya malam itu-yang masih ada empat orang-dan menjadwal ulang mereka untuk keesokan harinya. Setelah itu dia segera mengangkat tangkai pesawat telepon dan menekan beberapa tombol angka.

"Halo?"

"Selamat malam, Tante," kata Rizki,

"ini Riz. Oom belum tidur?"

"Oh, Riz! Oom ada nih, lagi nonton TV. Mau bicara, ya?"

"Iya, Tante, sori lho mengganggu malam-malam, tapi ada masalah dan saya perlu minta bantuan Oom," kata Rizki.

"Oke, tunggu ya. Tante panggilkan."

Rizki menunggu beberapa detik lewat. lalu terdengar suara renyah Dokter Leo Tarigan.

"Ada apa, Ria?"

"Oom. aku bingung nih," kata Rizki langsung ke pokok masalah. Dia tahu pamannya bukan orang

yang suka berbasa-basi.

"Pasienku ada yang tiba-tiba meninggal dan aku diminta ke rumahnya."

"Meninggalnya karena apa?" tanya Dokter Leo Tarigan.

"Justru itu yang membuat aku bingung, soalnya nggak ada yang tahu, Oom. Suaminya lagi ke Singapore, yang di rumah hanya ada pembantunya. Aku ini kan ginekolog. jadi nggak tahu sebaiknya gimana, Oom." kata Rizki.

"Lha pasienmu itu sakit apa?" tanya Leo Tarigan kalem.

"Nggak sakit. Oom. Terakhir dia memeriksakan diri karena hamil."

"Hmmm nggak sakit tiba-tiba mati?"

"Iya, Oom. Selama ini nggak ada pasienku yang mati tanpa alasan begini, jadi kalau Oom nggak mengantuk. Oom mau menemani aku ke sana? Oom kan pengalaman soal begini."

"Hmmm...."

"Aku jemput. Oom. ?" rayu Rizki.

"Yang mengomel itu nanti tantemu," kekeh Leo Tarigan.

"Toh acara TV-nya jelek Oke, Oom tunggu."

Dokter Rizki Seputra dan Dokter Leo Tarigan tiba di rumah Shaun Harman dan disambut oleh Lisa Harun dan Bik Mur di ruang tamu.

"Silakan masuk." kata Lisa Harun.

Mereka berjabatan tangan dan saling memperkenalkan diri.

"Kami ingin melihat jasad Ibu Harman." kata Dokter Leo Tarigan. Di dalam kendaraan tadi Rizki telah menceritakan apa saja yang diketahuinya tentang Melody Lesmana Harman.

"Mari saya antar." kata Lisa yang mendahului mereka menaiki anak tangga. Kedua tamunya pun mengikutinya sambil membawa tas besar masing-masing.

Mereka masuk ke dalam kamar dan langsung menuju ke tempat tidur di mana Melody terbaring. Sekali pandang saja mereka sudah yakin bahwa perempuan itu tak bisa ditolong lagi.

"Siapa yang pertama menemukan Ibu Harman ini?" tanya Dokter Leo Tarigan.

"Bik Mur." kata Lisa.

"Waktu itu Anda di mana?" Dokter Leo Tarigan berpaling ke Lisa Harun.

"Oh, saya ada di rumah. Saya tidak tinggal di sini. Saya baru datang setelah ditelepon Bik Mur," kata Lisa.

Kedua orang dokter itu pun memeriksa kondisi Melody. Dokter Tarigan meraba lengan Melody, mengerutkan keningnya. lalu bertanya.

"Kamar ini dingin sekali."

"Ya, AC-nya masih hidup. Dok," kata Lisa.

"Lagian kan di luar hujan."

"Sejak kapan AC-nya hidup?"

"Wah, saya nggak tahu. Waktu saya datang AC-nya sudah menyala begini," kata Lisa.

"Kapan si pembantu menemukan Ibu Harman seperti ini?" tanya Dokter Tarigan lagi.

"E... barangkali pukul enam, setelah itu dia menelepon saya," kata Lisa Harun.

"Dari pukul enam petang tadi?" Leo Tarigan melotot.

"Kenapa baru sekarang menelepon dokter?"

Lisa Harun menggigit bibirnya.

"Saya... saya tidak tahu harus berbuat apa. Mas Shaun nggak ada. Oom Danny baru kembali besok sore. Saya takut membuat kesalahan," katanya.

"Kalau terjadi kematian yang tidak wajar seperti ini. Anda harus langsung menghubungi dokter dan polisi, jangan diam saja sampai berjam-jam lamanya!" kata Leo Tarigan.

"Saya nggak ngerti, saya nggak punya pengalaman dengan kejadian seperti ini. Saya nggak punya wewenang untuk manggil polisi segala. Saya cuma kemenakan istri Oom Danny," kata Lisa Harun membela dirinya.

"Oom Danny ini siapa?" tanya Leo Tarigan untuk kedua kalinya mendengar nama tersebut.

"Oom Danny itu ayahnya Mbak Melody. Dia lagi ke luar negeri. Besok sore baru pulang."

"Lha kok akhirnya Anda menelepon Dokter Rizki?" tanya Leo Tarigan.

"Karena tadi suami Mbak Melody menelepon kemari, lalu saya cerita apa yang terjadi, dan dia yang menyuruh saya menelepon Dokter Rizki. Andai tidak, saya juga nggak akan menelepon Dokter Rizki."

460

"Lalu. Anda maunya diam saja sampai kapan?" tanya Leo Tarigan.

"Ya sampai suami atau ayah Mbak Melody datang. Saya sendiri kan nggak berani mengambil keputusan. Salah-salah kan saya yang kena marah," kata Lisa Harun.

"Gimana ini, Oom?" bisik Dokter Riski di telinga Leo Tarigan.

"Sebaiknya kita panggil polisi." kata Leo Tarigan.

"Jangan panggil polisi. Bicara dulu dengan suami Mbak Melody." kata Lisa Harun.

"Sebentar lagi Mas Shaun akan menelepon kemari."

"Apakah Ibu Harman ini ditemukan dalam keadaan seperti ini?" tanya Leo Tarigan menunjuk ke arah jasad yang terbaring itu.

"Maksud saya posisinya ya seperti ini?"

"Eh... tadi jenazah kami mandikan dan kami ganti bajunya," kata Lisa.

"Wah! Wah! Wah!" Leo Tarigan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tadi pakai baju apa?"

"Pakai daster. Saya sebetulnya nggak mau, tapi Bik Mur yang maksa. katanya supaya pantas dilihat orang. diganti dengan pakaian ini. Saya sebetulnya ngeri tadi. seumur-umur belum pernah memandikan orang mati," kata Lisa Harun.

"Anda keterlaluan!" kata Dokter Leo Tarigan.

"Kalau si pembantu tidak mengerti, masih bisa dimaafkan. Masa Anda yang berpendidikan tidak tahu bahwa Anda tidak boleh menyentuh apa-apa kalau ada kejadian seperti ini?"

"Memangnya orang mati nggak boleh dimandiin? Setahu saya semua orang mati harus dimandiin dulu!" Lisa Harun menjawab dengan nada tinggi. Lama-lama dia jengkel juga disalahkan terus.

"Kalau matinya wajar, ya boleh dimandikan, Non!" kata Dokter Leo Tarigan.

"Ini kan kematian yang tidak wajar!"

"Maksud Dokter tidak wajar gimana?" tanya Lisa Harun.

'Ibu Harman ini kan tidak sakit? Tiba tiba mati mendadak. Itu namanya kematian yang tidak wajar!"

"Barangkali Mbak Melody punya sakit jantung? Kan orang yang sakit jantung juga mati mendadak?" bantah Lisa Harun.

"Apa pasienmu punya sakit jantung?" tanya Leo kepada Rizki.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku belum pernah minta dia memeriksakan jantungnya seara spesin karena tidak ada alasan. Tekanan darahnya normal. kadar kolesterolnya normal, pemeriksaan laboratoriumnya semua baik, dan sebelumnya tidak pernah ada gejala bahwa ada masalah dengan jantungnya," kata Rizki.

"Jadi tidak ada kemungkinan dia punya sakit jantung?" tanya Leo Tarigan.

Rizki membuka kedua tangannya seolah-olah berkata,

"Mungkin saja."

"Coba panggil si pembantu kemari," kata Leo Tarigan kepada Lisa Harun.

Lisa pun segera turun dan dalam sekejap sudah kembali membawa Bik Mur.

"Bik, sampeyan yang menemukan majikan sampeyan?" tanya Leo Tarigan.

"Nggih." jawab Bik Mur. Dia tampak kurang senang dengan sikap tamunya yang agak memudahkan dirinya.

"Waktu itu posisinya bagaimana?"

"Ya seperti ini," kata Bik Mur.

"Seperti ini? Kan tidak mungkin toh! Katanya jenazah tadi sudah dimandikan, jadi pasti sudah berubah toh posisinya," kata Leo Tarigan.

"Iya memang sudah dimandikan, tapi kami kembalikan seperti posisinya semula," kata Bik Mur.

"Terbaring seperti ini?" tanya Leo Tangan dengan nada tidak percaya.

"Di atas bantal, rapi begini?"

"Ya."

"Waktu memandikan, gimana kalian melakukannya?"

"Cuma digosok sabun lalu diseka dengan waslap, ndak digerojok air," kata Bik Mur.

"Dilakukan di atas tempat tidur ini?"

"Ya."

"Tempat tidurnya kan basah semua?"

"Kami alasi dulu dengan daster Bu Melody dan handuk supaya seprainya tidak basah."

"Lalu pakaiannya diganti?"

"Ya."

"Berarti posisinya kan sudah berubah."

"Kami kembalikan seperti semula."

"Persis?"

"Ya, persis!" kata Bik Mur ngotot.

"Jadi persis seperti ini cuma pakaiannya yang ganti, begitu?" tanya Leo Tarigan.

"Iya!"

"Tangannya, kakinya; ya seperti ini?" Leo Tarigan merasa tidak puas dan masih mengejar terus.

"Tangannya seperti ini, kakinya tadi terbuka agak lebar," kata Bik Mur.

"Jadi kakinya dirapatkan?"

"Ya. Kan jelek dilihat orang kakinya terbuka begitu, jadi saya rapatkan."

"Begitu tadi bilang posisinya persis, ternyata tidak persis," gerutu Leo Tarigan.

"Apa lagi yang diubah?"

"Sudah. hanya kakinya dirapatkan sedikit!"

"Waktu itu kakinya masih lemas, masih bisa digetakkan?"

"Sudah agak kaku, tapi saya paksa, lalu bisa lemas lagi."

Dokter Leo Tarigan menggeleng-gelengkan kepalanya Iagi. Banyak barang bukti telah rusak. Dengan melihat stadium saat ajal korban bisa diperkirakan, tapi satu kali figur itu dipatahkan sebelum dia hilang dengan sendirinya. faktor itu sudah tidak bisa dipakai lagi untuk membantu menentukan saat ajal.

Pada saat itu telepon di sisi tempat tidur berdering.

Lisa Harun mengulurkan tangannya mau mengangkat tangkai pesawat, tapi sudah didahului oleh Dokter Leo Tarigan yang memakai saputangannya untuk melindungi jari-jarinya agar tidak meninggalkan sidik.

"Halo!"

"Ya, halo, ini Shaun Harman, itu Dokter Rizki?" tanya suara dari seberang.

"Ini Dokter Leo Tarigan, paman Dokter Rizki."

"0, bagaimana istri saya?" tanya Shaun Harman.

"Istri Anda sudah meninggal."

"! dia meninggal? Kenapa bisa meninggal? Waktu saya tinggalkan dia baik-baik saja," kata Shaun Harman.

"Kapan Anda terakhir bersamanya?"

"Tadi siang sekitar pukul dua."

"Apa istri Anda punya sakit jantung? Pernah mengeluh sesak napas atau apa?"

"Istri saya sedang hamil. Akhir-akhir ini dia memang kurang sehat, muntah-muntah, pusing, seperti itu. Kami kita itu pengaruh kehamilannya. Tapi dia nggak pernah mengeluh tentang jantungnya. Apa dia jatuh dari tangga atau apa?"

"Sepertinya tidak. Pembantu Anda menemukannya di dalam kamarnya di atas tempat tidur sekitar pukul enam sore sudah dalam keadaan meninggal."

"Ya Tuhan! Saya tidak berhasil mendapatkan tiket untuk pulang malam ini, sudah tidak ada pesawat. Baru besok pagi saya bisa kembali," kata Shaun Harman.

"Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan sekarang dengan jenazah istri saya."

"Kami mau membawa jenazahnya untuk diautopsi," kata Dokter Leo Tarigan.

"Autopsi? Apakah itu perlu?"

"Ya. Tidak ada yang tahu kenapa istri Anda tibatiba meninggal. Kita perlu tahu penyebabnya."

Terdengar Shaun Harman mengembuskan napas panjang. lalu katanya.

"Kalau memang harus, ya harus," katanya dengan nada pasrah.

"Dokter Rizki sekarang mau bicara dengan Anda," kata Leo Tarigan menyerahkan tangkai pesawat telepon kepada kemenakannya.

"Halo. Pak Shaun," kata Rizki.

"Saya ikut berduka atas kematian Ibu Melody."

"Terima kasih, Dok. Saya tidak menduga akan terjadi seperti ini. Ini bukan hanya istri saya yang meninggal, tapi anak saya juga."

"Ya. maafkan kami tidak bisa menolongnya. Sudah terlambat."

"Saya pasrahkan istri dan anak saya ke tangan Dokter malam ini," kata Shaun. Suaranya terdengar agak tercekat.

"Saya akan terbang dengan pesawat pertama besok pagi, dan begitu landing akan segera menghubungi Dokter."

"Oke. Sekali lagi saya mengucapkan ikut berdukacita, Pak Shaun. Semua yang di sini nanti biar kami yang urus, Pak Shaun tenangkan diri saja," kata Rizki lalu mengakhiri pembicaraan teleponnya.

"Kita harus memanggil polisi," kata Dokter Leo Tarigan.

"Apa perlu?" tanya Rizki.

"Nggak menunggu hasil autopsinya saja?"

"Lebih cepat Labkrim menyidik tempat ini lebih baik," kata Leo Tarigan.

"Sudah terlalu banyak barang bukti yang hilang."

466

"Tadi kok Oom nggak bilang " kata dokter Rizki.

"Memang sengaja," bisik Leo Tarigan.

**

Kringggg! Kringggg!

"Halo!" Suara Dessy Kosasih terdengar agak jengkel. Maklum sudah lewat pukul sebelas malam masih ada telepon yang berbunyi.

"Ini Dokter Leo Tarigan. Apa Pak Kosasih ada?"

"Oh, Bapak sudah tidur," kata Dessy.

"Apa penting?"

"Ya, penting. Kalau tidak, saya tidak menelepon malam-malam," kata Dokter Leo Tarigan.

"Kalau begitu tunggu sebentar, Pak, saya panggilkan," kata Dessy.

Tak lama kemudian Kosasih pun keluar dari kamarnya dan bergegas ke pesawat teleponnya.

"Lho, Dok! Wah, ada berita penting nih rupanya," kata Kosasih. Walaupun masih mengantuk, dipaksakannya juga memfokuskan pikirannya karena dia tahu Leo Tarigan tidak akan meneleponnya malam-malam tanpa alasan yang berarti.

"Sori ya malam-malam menelepon, itu tadi istrimu?"

"Bukan, dia anakku. Istriku sudah tidur. Ada masalah apa?" tanya Kosasih.

Dokter Leo Tarigan pun menceritakan kematian

Melody Lesmana Harman, dan mengakhirinya dengan,

"Sebaiknya kau kemari dan melihat tempatnya, Kos. Naluriku bilang kematian ini bukan kematian yang wajar."

"Abbas Tobing pasti sudah ngorok sekarang dan tidak akan bersedia ke sana malam-malam," kata Kosasih.

"Ya, biar dia datang besok, yang penting kaulihat tempatnya dulu dan menyegelnya. Soalnya si pembantu punya hobi membersihkan segalanya. Aku tidak berani meninggalkan tempat ini sebelum kau datang," kata Leo Tarigan.

"Jenazahnya akan kaubawa malam ini?"

"Ya. Autopsinya baru akan kulakukan besok, tapi jenazahnya aku keluarkan dulu. siapa tahu nanti si pembantu ingin memandikan majikannya lagi."

Kosasih tertawa.

Ketika Kapten Polisi Kosasih dan sahabatnya Gozali tiba, hujan sudah berhenti. Dr. Leo Tarigan dan Dr. Rizki Seputra menantikan mereka di ruang tamu rumah Shaun Harman.

Setelah berjabatan tangan, Dr. Leo Tarigan dan Dr. Rizki Seputra langsung pamit. Jenazah Melody Harman baru saja dibawa ambulans ke rumah sakit.

"Besok autopsi akan dilakukan pukul 9," kata Dr. Leo sambil berjalan keluar.

468

"Oke, kami akan datang," kata Kosasih.

**

Di dalam ruang tamu dua orang perempuan duduk berdekatan di atas sofa, yang satu berusia sekitar empat puluhan, yang lain separuhnya.

Kosasih pun memperkenalkan dirinya dan Gozali kepada kedua perempuan itu.

"Hanya Anda berdua yang ada di rumah ini sekarang?" tanyanya.

"Ya," kata Lisa Harun.

"Anda punya tempat lain untuk menginap malam ini?" tanya Kosasih.

"Polisi akan menutup rumah ini sampai Labkrim selesai menyidiknya."

"Oh!" Kedua orang perempuan itu pun saling bertukar pandang. Lalu yang lebih tua berkata,

"Saya harus menjaga rumah ini. Majikan saya ndak ada, masa rumahnya dikosongkan?"

"Untuk malam ini rumah ini harus dikosongkan," kata Kosasih.

"Bik Mur ikut saya pulang aja malam ini," kata Lisa Harun.

"Ah, jadi Nona tidak tinggal di sini?" tanya Kosasih.

"Tidak. Saya tinggal di Untung Surapati," kata Lisa Harun,

"di rumah tante saya."

"Kok bisa ada di sini sekarang?"

"Karena ditelepon Bik Mur. Saya satu-satunya keluarga Mbak Melody yang ada di sini. Suami Mbak Melody lagi ke luar negeri, ayahnya juga, adiknya sekolah di Amerika, jadi yang ada saat ini cuma saya.

"Sekarang, coba ceritakan apa yang terjadi," kata Kosasih.

Setengah jam kemudian mereka sudah mendapatkan informasi tambahan yang belum mereka peroleh dari Dr. Leo Tarigan.

"Sekarang kami mau melihat kamar tempat korban ditemukan," kata Kosasih.

Lisa Harun dan Bik Mur pun mengantarkan mereka.

Ketika mereka melangkah masuk, udara di dalam kamar itu masih terasa dingin walaupun AC sudah mati.

"Apakah tadi AC-nya menyala?1 tanya Kosasih.

"Ya. Saya matikan setelah jenazah Mbak Melody dibawa," kata Lisa Harun.

"Sejak kapan AC itu menyala?" sela Gozali.

"Kami tidak tahu," kata Lisa.

"Waktu Bik Mur menemukan jenazah Mbak Melody, AC-nya sedang menyala."

"Kapan terakhir kalinya Bibik melihat Ibu masih hidup?" tanya Kosasih kepada Bik Mur.

"Wah, ndak tahu, Pak, pukul dua belas atau setengah satu barangkali," kata Bik Mur.

"Waktu itu apa yang dikerjakan Ibu?"

"Ibu tadinya pergi, lalu pulang, dan langsung naik ke kamarnya sini. Setelah itu saya ndak lihat Ibu lagi."

"Ibu nggak turun lagi?"

"Ndak, Pak."

Sementara mereka bercakap-cakap Gozali sedang

memeriksa tempat tidur di mana menurut Keterangan si pembantu, korban ditemukan. Di atas tempat tidur itu ada dua bantal dan dua guling. Di bantal yang satu masih membekas bentuk kepala. Gozali berasumsi di situlah korban tidur. Gozali mengangkat bantal itu, membaliknya, dan meletakkannya kembali dalam postsinya semula. Kemudian dia mengambil bantal yang kedua di sisinya dan melakukan yang sama. Lalu dia berhenti.

"Kos!" panggilnya.

Kosasih berpaling kepadanya.

"Lihat!" kata Gozali menunjuk ke sarung bantal yang ada noda merahnya.

"Apa itu?" tanya Kosasih menyipitkan matanya.

"Kelihatannya seperti noda cat bibir," kata Gozali.

"Kau betul," kata Kosasih menganggukkan kepalanya. Lalu berpaling ke Bik Mur yang masih berdiri di ambang pintu kamar, dia bertanya,

"Bik, berapa hari sekali seprai ini diganti?"

"Tiap dua hari, Pak," kata Bik Mur.

"Jadi seprai ini terakhir diganti dua hari yang lalu?"

"Oh, ndak, Pak. Baru tadi pagi saya ganti. Tadi pagi memang waktunya mengganti seprai."

"Tadi pagi?"

"Iya, Pak."

"Kita bawa bantal itu dan besok kita berikan pada Abbas, Coz," kata Kosasih dengan nada geram.

"Kenapa bantalnya. Pak?" tanya Lisa Harun.

"Mau diperiksa di Labkrim," kata Kosasih.

"Memangnya kenapa?" tanya Lisa Harun lagi.

"Perlu diperiksa aja," kata Kosasih. Dia lalu pergi membuka pintu lemari dan mendapati pakaian-pakaian tergantung rapi di dalamnya. Dia membuka laci di dalam lemari dan menemukan cukup banyak uang di dalamnya. Semuanya tampak dalam keadaan rapi. Di dalam laci itu juga ditemukan sebuah kotak perhiasan. Kotak itu dalam keadaan terkunci.

"Mana kuncinya?" tanya Kosasih.

Lisa Harun langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mana saya tahu, Pak!" katanya.

Kosasih menutup pintu lemari lagi dan mengikuti Gozali yang sudah berada di dalam kamar mandi yang hanya dipisahkan oleh sebuah pintu dari kamar tidur itu.

Lantai kamar mandi kering. Semuanya dalam keadaan rapi. Keranjang pakaian kosong.

"Kamar mandi baru dibersihkan?" tanya Kosasih.

"Ya," jawab Bik Mur.

"Kapan?"

"Tadi,setelah memandikan Ibu."

"Pakaian yang kotor?"

"Sudah saya masukkan mesin cuci di bawah," kata Bik Mur.

"Pakaian apa saja yang sudah dicuci?" tanya Kosasih.

"Daster yang tadi dipakai Ibu, juga setelan yang dipakainya pergi tadi siang, dan kemeja yang dipakai Bapak kemarin. Juga baju-baju dalam."

472

"Waktu ditemukan meninggal, Ibu memakai pakaian apa?" tanya Kosasih.

"Daster."

"Berarti setelah pulang dari pergi. Ibu sudah sempat ganti pakaian dengan dasternya itu?"

"Ya. Biasanya begitu datang dari pergi, Ibu memang langsung ganti dengan daster."

Kosasih bertukar pandang dengan Gozali, yang lalu menganggukkan kepalanya. Bersama-sama mereka keluar dari kamar mandi.

"Kamar ini akan kami kunci," kata Kosasih.

"Sekarang, saya mau melihat pakaian yang tadi dikenakan Ibu. Sudah keluar dari mesin cuci, kan?"

"Sudah," jawab Bik Mur.

Mereka semuanya meninggalkan kamar tidur itu dan menuruni anak tangga. Bik Mur mendahului ke belakang diikuti yang lain.

Bik Mur menuju ke halaman belakang. Di samping ruang cuci ada sebuah rak gantungan besar dari aluminium di mana tergantung beberapa potong pakaian yang sudah dicuci.

"Ini," kata Bik Mur menunjukkan setelan berwarna biru tua yang sekarang sudah dalam kondisi 90% kering.

"Waktu Bibik mengganti daster Ibu, apa yang diganti hanya dasternya atau juga pakaian dalamnya?" sela Gozali.

"Semua," kata Bik Mur.

"Ini semua sudah dicuCl.

"Apa dasternya tadi kotor?" tanya Kosasih.

"Ndak," kata Bik Mur.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak ada noda darahnya atau kotoran atau apa?" tanya Kosasih.

"Saya ndak memeriksa," kata Bik Mur.

"Setelah dilepas, langsung saya masukkan mesin cuci."

"Tolong kumpulkan semua pakaian Ibu yang akan kami bawa juga," kata Kosasih.

"Pakaiannya belum kering, Pak," kata Bik Mur.

"Tidak apa," kata Kosasih.

Bik Mur pun pergi mengambil sebuah tas plastik lalu dia melipat satu per satu pakaian Melody yang tergantung di rak itu.

"Sekarang, saya minta semua kunci, rumah ini akan dikunci dan kalian berdua dipersilakan meninggalkan rumah ini. Besok rumah ini akan disidik Labkrim. Kalau penyidikan mereka sudah selesai, baru boleh ditempati lagi," kata Kosasih.

"Ayo, Bik Mur ikut ke rumah saya aja malam ini," kata Lisa Harun.

"Bik Mur besok jadi pulang?"

"Ya ndak, Non. Masa ada kejadian seperti ini saya pulang! Kan kasihan Bapak."

"Lho, sampeyan mau pulang?" tanya Kosasih sambil mengerutkan keningnya.

"Lebaran kemarin Bik Mur belum pulang, maunya pulang besok," jelas Lisa.

"Sekarang sampean tidak boleh pulang dulu," kata Kosasih.

"Sampean ini saksi lho, jadi jangan ke manamana. Polisi masih perlu bicara dengan sampeyan."

"Iya, Pak, sekarang ya saya ndak jadi pulang. Saya juga ndak tega ninggal Bapak sendirian di sini. Lha

Bapak besok datang kalau rumahnya dikunci kan

ndak bisa masuk?" kata Bik Mur.

"Jangan khawatir, nanti ada petugas polisi yang menunggu kedatangan Bapak," kata Kosasih.

"Saya ambil pakaian saya dulu," kata Bik Mur lalu menghilang masuk ke dalam kamarnya.

"Untuk pulang Anda punya kendaraan?" tanya Gozali kepada Lisa Harun.

"Manggil taksi aja," kata Lisa Harun.

"Kalau begitu biar kami antarkan sampai ke rumah," kata Gozali.

"Malam-malam begini kurang aman untuk dua perempuan naik taksi."

"Wah, ya terima kasih kalau begitu, Pak," kata Lisa.

"Sebetulnya memang saya juga takut naik taksi malam-malam."

Gozali mengangguk sambil tersenyum.

"Pak. kenapa kok sampai kematian Mbak Melody disidik polisi?" tanya Lisa Harun.

"Semua kematian mendadak yang tidak wajar memang harus disidik polisi," jawab Kosasih.

"Mungkin Mbak Melody bunuh diri, Pak," bisik Lisa Harun.

"Kenapa Anda menduga begitu?" tanya Gozali.

"Soalnya tadi siang habis bertengkar ramai dengan suaminya," bisik Lisa sambil meletakkan tangannya di depan bibirnya dan melirik ke kamar Bik Mur.

"Oh ya? Anda kok tahu?"

"Waktu itu saya ada di sini," bisik Lisa lagi.

Gozali memandang Kosasih lalu melemparkan pandangannya ke arah kamar Bik Mur. Kosasih pun

475

mengangguk dan berjalan ke sana. Gozali lalu membuat isyarat agar Lisa Harun mengikutinya keluar.

"Coba ceritakan apa yang Anda ketahui," kata Gozali ketika mereka sudah tiba di ruang tamu.

"Pagi-pagi tadi saya ditelepon Mas Shaun, suami Mbak Melody, saya disuruh datang sekitar pukul sepuluh-sebelas begitu untuk menemani Mbak Melody yang merasa kurang sehat. Kan dia lagi hamil muda, jadi sering mual dan pusing. Waktu saya tiba, Mbak Melody nggak ada. Kata Bik Mur dia keluar tergesagesa nggak tahu ke mana. Ya saya tunggu. Nggak lama lagi Mbak Melody pulang sambil menangis lalu langsung masuk ke kamarnya. Saya susul. Waktu itu dia cerita bahwa dia mengetahui suaminya ternyata mau ke Singapore menemui bekas pacarnya. Mbak Melody sangat marah dan sangat sedih."

Gozali mengerutkan keningnya.

"Jadi suaminya ke Singapura itu untuk menemui bekas pacarnya?" tanyanya.

"Kata Mbak Melody begitu. Saya sendiri nggak tahu."

"Baik. Setelah itu apa yang terjadi?"

"Lagi cerita itu, Mas Shaun pulang. Saya langsung turun. lalu mereka bertengkar ramai, sampai kedengaran di bawah. Saya cepat-cepat pulang. Nggak enak kan masih nunggu di sini, saya takut disangka mau nguping," kata Lisa Harun.

"Setelah itu?"

"Setelah itu saya nggak tahu lagi, sampai menerima telepon dari Bik Mur yang minta saya datang."

476

Gozali merapatkan bibirnya sambil menundukkan kepalanya.

"Saat korban bicara dengan Anda, dia baru datang dari pergi, bukan?" tanyanya.

"Ya."

"Berarti pada waktu itu dia belum sempat menukar pakaiannya dengan daster?"

"Eh, iya." angguk Lisa Harun membenarkan.

Genali merapatkan bibirnya lagi.

"Jadi. kira-kira memang betul Mbak Melody bunuh diri," kata Lisa.

"Setelah suaminya pergi, hatinya pasti hancur. Mana dia sedang hamil, mestinya kan dimanjakan suaminya. lha kok ini malah ditinggal ke Singapore untuk menemui perempuan lain. Jadi dia bunuh diri."

"Pukul berapa suaminya pergi dari rumah ini?"

"Saya sendiri nggak tahu. tapi kata Bik Mur sekitar pukul dua siang."

"Kenapa Anda tidak kembali untuk menemani Ibu Melody? Kalau Anda tahu dia lagi sedih ditinggal suaminya, kan mestinya Anda temani?" tanya Gozali.

"Saya nggak tahu kalau suaminya betul-betul jadi berangkat," kata Lisa Harun.

"Setelah saya pulang nggak ada kabar lagi dari Mbak Melody, jadi saya pikir barangkali mereka sudah baikan dan Mas Shaun nggak jadi pergi. Lagian saya masih mau bersih-bersih rumah karena besok tante saya dan Oom Danny tiba."

Dari dalam terdengar langkah kaki dan suara Kosasih. Mereka berpaling dan melihat Kosasih dan

477

Bik Mur berjalan menuju mereka sambil membawa beberapa buntalan.

"Seluruh rumah sudah dikunci, Bik Mur?" tanya Lisa Harun.

"Sudah, Non. Makanya lama. Pak Polisi ini yang ngunci satu per satu dan memeriksa semua jendela juga."

"Iya, jangan sampai rumah ini dimasuki maling nanti malam," kata Kosasih.

"Oke, kalau sudah semua, tinggal mengunci pintu ini dan pintu pagar, kita bisa berangkat," kata Gozali.

**

langit mendung lagi. Suara guntur terdengar beberapa kali. Hujan belum turun tapi melihat beberapa gumpalan awan gelap yang sudah menggantung di langit, tentunya tak lama lagi hujan akan turun. Tahun ini curah hujan untuk daerah Surabaya termasuk agak banyak, sudah beberapa kawasan kebanjiran walaupun hanya sekitar 10-20 cm, itu pun belum masuk ke dalam rumah, hanya terjadi genangan di jalan dan pekarangan depan. Warga kota banyak yang cemas, jangan-jangan hujan yang akan turun lagi ini akhirnya benar-benar akan mengakibatkan rumah-rumah mereka kemasukan air.

Begitu Shaun Harman keluar dari pintu ruang Kedatangan di Bandara Juanda. dua orang petugas kepolisian langsung menghampirinya.

"Bapak Shaun Harman?" tanya salah seorang dari kedua petugas itu.

"Betul."

"Kami dari kepolisian. Silakan mengikuti kami."

"Ikut ke mana?" tanya Shaun Harman.

"Ke kantor Polda. Anda sudah ditunggu Kapten Polisi Kosasih."

"Tapi saya mau pulang dulu, saya mau melihat istri saya!"

"Instruksi kami adalah membawa Anda ke kantor Polda."

Shaun Harman pun mengangguk dan berjalan di antara kedua orang petugas itu. Percuma membantah, pikirnya.

"Silakan duduk, Saudara Harman," kata Kosasih mengindikasikan kursi kosong di depan mejanya.

Shaun Harman pun duduk.

"Pertama-tama, kami mengucapkan ikut berdukacita atas kematian istri Anda," kata Kosasih mengamatamati wajah Shaun Harman yang tetap bermata kering.

Shaun hanya mengangguk.

"Kapan saya bisa melihatnya?" tanyanya.

"Nanti, setelah autopsinya selesai." kata Kosasih.

"Sekarang saya perlu mendengar keterangan dari Anda dulu tentang apa yang terjadi kemarin."

Shaun Harman menghela napas dalam-dalam.

"Kemarin Anda bertengkar dengan istri Anda?" tanya Kosasih.

Lagi-lagi Shaun Harman menghela napas dalam.

"Baru kemarin... rasanya sudah seperti setahun yang lalu," katanya lirih.

"Ya. Baru kemarin. Apa yang terjadi kemarin?" tanya Kosasih.

Shaun Harman menggeleng'gelengkan kepalanya.

"Saya tidak menyangka akan begini akibatnya," katanya.

"Saya selalu menganggap istri saya orang yang tangguh, orang yang tegar. Saya tidak pernah mengira dia akan berbuat begini."

"Berbuat bagaimana, Saudara Harman?" Kosasih mengangkat alisnya.

"Maksud saya, mengambil nyawanya sendiri," kata Shaun Harman.

"Anda menganggap istri Anda mengambil nyawanya sendiri?" tanya Kosasih menyipitkan matanya.

"Ya. Memangnya tidak?" tanya Shaun mengangkat matanya memandang Kosasih. Tatapannya bukan merupakan suatu tantangan, tapi mengandung kadar keheranan yang tepat untuk menyatakan kebingungannya.

"Apa alasan Anda mengatakan istri Anda mengambil nyawanya sendiri?" tanya Kosasih.

"Lho, dia tidak sakit, dia tidak jatuh, jadi kalau dia tiba-tiba meninggal, pasti itu karena dia yang mengakhiri hidupnya sendiri," kata Shaun Harman.

"Karena?"

"Karena dia kecewa. Dia kecewa pada saya. Dia tidak menyetujui saya ke Singapore tapi saya tetap berangkat," kata Shaun Harman mencopot kacamatanya dan mengusap wajahnya.

"Ya Tuhan, andaikan

saya tahu akan jadi begini, saya tidak akan berangkat."

"Memangnya kenapa Anda pergi ke Singapura, Saudara Harman?"

"Untuk urusan pribadi," kata Shaun Harman.

"Dalam pengusutan polisi, urusan pribadi menjadi tidak pribadi lagi. Saudara Harman. Kami perlu mengetahui apa yang terjadi."

"Saya mau menemui seseorang di Singapore."

"Dan istri Anda tidak setuju?"

"Ya."

"Kenapa dia tidak setuju?"

Shaun Harman terdiam sejenak.

"Apakah orang yang mau Anda temui itu bukan orang baik-baik sehingga istri Anda tidak setuju?"

"Bukan, bukan!" Shaun Harman menggerak-gerakkan telunjuknya seperti kipas untuk memberikan tekanan kepada ucapannya.

"jadi kenapa?" kejar Kosasih.

"Dia... dia... dia seorang wanita," kata Shaun Harman.

"Ohhhh!" Kosasih memandang Shaun Harman sambil mengerutkan keningnya.

"Pantas istri Anda tidak setuju. Anda sudah punya istri tapi masih mau pergi menemui wanita lain!"

"Situasinya bukan seperti yang Bapak duga. Tidak ada tujuan mesum atau apa dalam kunjungan saya itu."

"Oke, silakan Anda mengatakan apa tujuannya.

Sejak tadi Anda terus mengulur-ulur waktu. Ceritakan saja dengan terus terang apa yang terjadi."

"Wanita yang mau saya temui itu sedang sakit. Dia punya penyakit kanker. Saya mau menemuinya untuk memberinya semangat agar mau berjuang untuk mengalahkan penyakitnya itu."

"Dan siapakah wanita ini? Mengapa Anda yang harus memberinya semangat?"

"Dia... dia mantan tunangan saya."

"Aaaaah, jadi dia tunangan Anda!"

"Mantan."

"Ya, mantan. Jadi Anda mau memberinya semangat untuk melawan penyakitnya itu?"

"Ya."

"Apakah itu tidak aneh? Anda yang sudah menikah dengan perempuan lain, mau memberi semangat mantan tunangan Anda. Apakah dia tidak membenci Anda karena telah meninggalkannya?" tanya Kosasih.

"Meninggalkan? Saya tidak meninggalkannya!" protes Shaun Harman.

"Lalu bagaimana pertunangan Anda bisa putus?"

"Dia yang memutuskan saat mengetahui bahwa dia kena kanker. Dia tidak mau saya tahu. Dia menghilang begitu saja. Saya bahkan tidak tahu dia pergi ke mana. Saya pikir dia menikah dengan laki-laki lain."

Kosasih menyipitkan matanya.

"Lalu Anda menikah dengan istri Anda?" tanyanya.

"Ya."

"Berapa lamanya waktu yang lewat antara putusnya pertunangan Anda dengan perkawinan Anda ini?"

"Lima tahun lebih. hampir enam tahun."

"Berapa tahun sudah Anda menikah?"

"Baru Oktober yang lalu."

"Lalu sekarang Anda tahu bahwa bekas tunangan Anda ada di Singapura dan Anda mau ke sana untuk menemuinya?"

"Bukan begitu. Akhir tahun lalu dia kembali. Kankernya dalam tahap remisi. Dia dinyatakan sembuh. Dia mencari saya, tapi saya sudah menikah. Itu yang membuatnya sangat terpukul. Dia pergi lagi, dan saya kehilangan kabarnya. Tapi baru-baru ini seorang teman saya bertemu dengannya di Singapore dan memberitahu saya bahwa dia sedang menjalani kemo. Berarti kankernya kambuh. Lalu kemarin dia menelepon saya hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Saya tidak bisa membiarkan dia menyerah begitu saja. kan? Saya merasa bertanggung jawab atas kambuhnya kankernya itu. Gara-gara kecewa pada saya, kankernya kambuh. itulah sebabnya saya merasa perlu menemuinya dan membuatnya mengerti bahwa dia tidak boleh putus asa!"

Kerutan di dahi Kosasih menjadi semakin dalam. Benarkah apa yang dikatakan laki-laki di depannya ini? Kalau benar, sungguh beban yang dipikulnya tidaklah ringan. Sekarang dia harus merasa bertanggung jawab atas kematian istrinya juga!

"Teruskan cerita Anda," kata Kosasih.

"Sebetulnya saya tidak mau memberitahu istri saya alasan sebenarnya saya ke Singapore. Rencananya saya akan berbohong dan mengarang alasan lain yang bisa

diterimanya. Tapi secara kebetulan dia tahu. Dia datang ke kantor dan kami bertengkar. Saya berusaha membuatnya mengerti bahwa saya tidak bermaksud meninggalkannya untuk selamanya. Saya hanya perlu waktu untuk meyakinkan mantan tunangan saya agar mau tetap berjuang melawan penyakitnya. Tapi Melody-istri saya tidak mau mengerti. Jadi akhirnya saya berangkat tanpa restunya dan meninggalkannya dalam kemarahan dan kekecewaan."

"Anda bertengkar dengan istri di kantor?"

"Ya."

"Di mana Anda bekerja?"

"Di Lesmana Corporation. Itu perusahaan ayah mertua saya. Istri saya sekarang adalah direkturnya. Mertua saya pensiun."

"Ah, dan jabatan Anda?"

"Saya kepala Keuangan."

"Berarti posisi Anda lebih rendah dari istri Anda?"

"Ya. Dia direktur saya."

"Apa itu merupakan masalah bagi Anda?"

"Saya tidak mempermasalahkan istri saya menempari posisi yang lebih tinggi. Sebelum menikah saya sudah tahu."

"Sebelumnya Anda tidak pernah bertengkar dengan istri?"

"Semua suami istri pernah bertengkar." kata Shaun Harman.

"Itu hal yang biasa."

"Anda sering bertengkar dengan istri?"

"Tidak sering tapi pernah."

"Apa yang dipertengkarkan itu urusan pekerjaan?"

"Pernah."

"Tentang apa?"

"Oh, waktu itu istri saya mau menempatkan seorang temannya sebagai anak buah saya. tapi saya menolak karena saya punya pilihan lain."

"Dan akhirnya siapa yang menang?" tanya Kosasih.

"Akhirnya saya bilang kepada istri saya, saya bersedia menerima temannya itu, tapi kemudian dia sendiri yang mundur."

"Wah, berarti Anda memakai jurus mengambil langkah mundur untuk menang," kata Kosasih sambil menyeringai.

"Saya tidak bermaksud memakai jurus apa-apa. Mungkin dia akhirnya bisa menerima argumentasi saya yang semula. Istri saya orangnya pandai, hanya saja karena dia masih muda, masih kurang pengalaman."

"Istri Anda hamil muda?"

"Ya. Makanya saya merasa sangat bersalah harus meninggalkannya pada saat ini. Tapi orang yang sakit kanker kan tidak bisa menunggu sampai anak saya lahir!"

"Waktu Anda meninggalkan istri Anda, bagaimana keadaannya?"

"Dia marah sekali, dan kecewa sekali. Saya bisa mengerti itu. Tapi saya tidak punya pilihan lain, saya tidak bisa menunda kepergian saya. Saya pikir, begitu saya sudah check-in ke hotel di Singapore. saya akan 486

meneleponnya. Saya berharap pada waktu itu amarahnya sudah mereda dan dia bisa mendengarkan penjelasan saya dengan lebih tenang. Tapi waktu saya menelepon, ternyata... ternyata dia sudah..." Shaun Harman menggelengkan kepalanya lagi.

"Jadi istri Anda masih hidup saat Anda meninggalkannya?" tanya Kosasih.

"Tentu saja dia masih hidup!" protes Shaun Harman.

"Memangnya Bapak pikir saya yang membunuhnya?"

"Itu satu kemungkinan," kata Kosasih.

"No! Saya tidak membunuhnya!" kata Shaun Harman.

"Dia istri saya! Dia sedang mengandung anak saya! Saya tidak membunuhnya! Saya tidak akan membunuh anak dan istri saya sendiri!"

"Apa yang dilakukan istri Anda saat Anda meninggalkannya?"

"Dia sedang duduk di atas tempat tidur sambil melotot. Dia benar-benar marah."

"Apakah dia menangis?"
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak pada waktu itu. Saya benar-benar tidak menduga dia akan bunuh diri. Waktu itu dia memandang saya seolah-olah dia mau membunuh saya!" kata Shaun Harman.

"Apakah Anda sekarang sudah menemui mantan tunangan Anda itu?" tanya Kosasih.

"Belum. Saya tidak tahu alamatnya. Saya tiba di Singapore kan sudah malam, jadi sudah tidak bisa ke rumah sakit lagi untuk bertanya. Tadinya saya bermaksud bertanya ke rumah sakit pagi-pagi."

"Dan sekarang Anda tidak bisa kembali ke Singapore sampai penyidikan polisi selesai," kata Kosasih.

Shaun Harman mengangguk.

"Saya tahu. Jadi semua yang saya lakukan kemarin itu sia-sia," katanya lirih.

"Saya bermaksud menyelamatkan Tania, tetapi malah sekarang kehilangan Melody. Dan kalau saya tidak bisa segera kontak dengan Tania, jangan-jangan akhirnya dia tak terselamatkan juga."

Pada saat itu Kosasih sungguh merasa beruntung dia bukanlah Shaun Harman.

"Bagaimana... bagaimana istri saya mengambil nyawanya sendiri?" tanya Shaun Harman.

Kosasih mengangkat bahunya.

"Kita tunggu hasil autopsi dulu," katanya.

"Saya sungguh tidak menduga dia akan berbuat senekat itu. Bagaimana dia sampai hari mengakhiri hidupnya padahal dia sedang membawa nyawa lain di dalam tubuhnya? Bagaimana dia kok sampai hati membunuh bayinya juga?" kata Shaun Harman.

"Mungkin dia tidak mati karena bunuh diri, Saudara Harman," kata Kosasih sambil menyipitkan matanya.

"Hah?"

"Mungkin dia tidak mati karena bunuh diri," ulang Kosasih.

Alis Shaun Harman mengerut.

"Lalu? Kalau bukan bunuh diri, jadi?" tanyanya. Wajahnya menjadi lebih pucat daripada sebelumnya.

"Seperti kata saya tadi."

"Apa? Jadi Bapak menuduh saya membunuh istri saya?" tanya Shaun Harman sambil melemparkan kedua tangannya ke atas.

"Kenapa Anda menganggap saya menuduh Anda. Saudara Harman?" tanya Kosasih.

"Habis, saya adalah orang yang terakhir bersamanya! Tidak ada orang lain di rumah. Saya pergi, dia ditemukan mati. Berarti kan saya pembunuhnya!" kata Shaun Harman.

"Anda sudah membuat perkiraan yang tepat," kata Kosasih.

"Tidak! Itu tidak tepat! Saya tidak membunuhnya! Bagaimanapun juga dia adalah istri saya, ibu anak saya! Sekali-kali saya tidak akan menyakiti mereka!" kata Shaun Harman.

"Tidak ada maling yang mengaku mencuri, Saudara Harman," kata Kosasih sinis.

"Saya tidak punya alasan untuk membunuhnya, Pak!" kana Shaun membela dirinya.

"Kalau saya sudah tidak suka lagi padanya, saya bisa menceraikannya! Saya tidak perlu membunuhnya!"

"Anda sedang marah. Istri Anda sedang marah. Orang yang marah bisa mata gelap. Banyak orang membunuh karena mata gelap sehingga logikanya sudah tidak jalan lagi."

"Tapi saya tidak membunuhnya, Pak!" kata Shaun Harman.

Kosasih berdiri.

"Saya masih ada tugas, jadi saya tinggal dulu. Sete

lah ini saya minta Lettu Alfred Pohan untuk menginterogasi Anda dan membuat BAP." katanya.

"Kapan saya bisa melihat istri saya, Pak?" tanya Shaun Harman.

"Nanti Saudara Lettu Alfred Pohan akan memberitahu Anda setelah selesai membuat BAP-nya," kata Kosasih.

Dr. Leo Tarigan sedang membungkuk ketika Kosasih masuk ke ruang autopsi. Autopsi sedang berlangsung. Di sampingnya berdiri Gozali yang lalu mengangkat kepalanya dan mengangguk ketika melihat Kosasih mendekat.

"Gimana, Dok?" tanya Kosasih kepada Dr. Leo Tarigan.

"Korbanmu pasti tidak mati bunuh diri," kata Dr. Leo Tarigan.

"Oh? Jadi penyebab kematiannya?" tanya Kosasih.

"Aspiksia. Tidak bisa bernapas."

"Karena?"

"Karena hidung dan mulutnya tertutup sehingga dia tidak bisa bernapas."

"Dengan bantal yang ada noda lipstiknya itu?"

"Sangat mungkin dengan bantal itu karena tidak ada memar atau luka di wajahnya, dan cap lipstiknya sama dengan bentuk bibirnya."

Kosasih menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dan aku hampir merasa kasihan pada suaminya!"

Katanya. ternyata wajan polos tidak berdosanya hanyalah suatu kamuflase."

"Lihat!" kata Dr. Tarigan menunjuk ke lengan kanan Melody Harman.

"Apa?"

"Lihat bercak-bercak kecokelatan ini?"

"Ya. Apa itu?"

"Hiperpigmentasi."

"Dan?"

"Dengan usianya yang semuda ini belum waktunya terjadi hiperpigmentasi d-i lengannya."

"Kata suaminya dia hamil. Perempuan hamil ada yang kulitnya timbul bercak-bercak cokelat."

"Itu karena perubahan hormon dalam tubuhnya, tapi bercak bercak itu bukan begini, dan tidak timbul di sini."

"Mungkin dia banyak kena sinar matahari. Gemar olahraga atau apa?"

"Aku rasa bukan."

"Jadi?"

"Aku akan membuat beberapa pemeriksaan lagi sebelum aku berikan jawabanku," kata Dr. Leo Tarigan yang selalu sangat berhati-hati. Dia lalu mencabut beberapa helai rambut dari kepala Melody Harman.

"Untuk apa itu?" tanya Kosasih.

"Pemeriksaan," seringai Dr. Leo Tarigan.

"jadi betul dia hamil?" kata Kosasih.

"Ya, dia hamil."

"Kasihan janinnya. Belum lahir sudah mati. Jadi, gimana dengan waktu ajal?"

"Hm... aku masih belum selesai memeriksa semua organnya. dan melihat bercak-bercak tadi. aku akan memeriksa semua organnya, tapi saat ini aku rasa ajal terjadi antara pukul satu siang dan pukul lima sore kemarin." kata Dr. Leo Tarigan.

"Ada petunjuk yang mengarah ke identitas si pembunuh?" tanya Kosasih.

"Kalian lihat bagian samping tubuhnya yang memar ini?" tanya Leo Tarigan.

"Apa itu?"

"Menurut aku, si pembunuh duduk di atas tubuh korban saat dia membekapnya dengan bantal. dan lututnya menekan bagian sisi tubuhnya."

"Berarti korban sedang berbaring saat dibekap?"

"Ya. Aku rasa korban berbaring di atas tempat tidurnya karena aku tidak menemukan memar di bagian belakang kepala dan punggungnya. Andai korban tergeletak di lantai, pasti ada memar di bagian belakang kepala dan punggungnya."

"Jadi si pembunuh adalah orang yang dikenal baik oleh korban. yang kehadirannya di dalam kamar tidur korban dianggap hal yang biasa," kata Gozali.

"Kenapa kau bilang begitu?" tanya Kosasih.

"Korban sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Menurut keterangan si pembantu. saat itu dia sedang mengenakan daster. Jika ada orang asing yang masuk. atau di dalam kamar itu ada kehadiran orang asing, korban yang mengenakan daster pasti tidak akan menerima tamunya sambil tetap berbaring di atas tempat tidurnya," kata Gozali.

492

"Kau benar," angguk Kosasih.

"Jadi pasti bukan perbuatan orang luar. Pasti suaminya sendiri."

"Ada orang lain," kata Gozali sambil tersenyum.

"Pembantunya, Bik Mur."

"Pembantunya?"

"Ya. dengan pembantunya pasti korban merasa cukup akrab sehingga tidak merasa canggung untuk tetap berbaring di atas tempat tidurnya sambil mengenakan daster."

"Tapi pembantunya tidak punya motif untuk membunuhnya!" protes Kosasih.

"Kita belum tahu. Mungkin saja si pembantu pernah merasa sakit hati, pernah dimarahi atau apa. Mereka yang tinggal serumah pasti pernah saling menyakiti hati."

"Wah, untuk apa si pembantu membunuh majikannya, Goz? Kalau dia nggak betah, ya pindah aja nyari kerja di tempat lain, kan bisa!" kata Kosasih.

"Teori itu berlaku juga bagi suaminya," sela Dr. Leo Tarigan.

"Kalau dia nggak suka lagisama istrinya, dia bisa menceraikannya, nggak usah membunuhnya."

"Suaminya haruslah orang yang sangat kejam untuk tega membunuh istrinya yang sedang hamil," kata Gozali.

"Gimana orangnya?"

"Hmmm ... potongan orang yang serius," kata Kosasih.

"Berkacamata, bersih, rapi. Tipe akademis."

"Tidak kejam?" tanya Gozali.

"Mungkin dia pintar main sandiwara." kata Kosasih.

"Memang betul dia ke Singapore untuk menemui pacarnya?" tanya Gozali.

"Ya, itu tujuannya, tapi karena kematian istrinya ini dia mengaku tidak sempat menemui sang bekas tunangan. Ceritanya, pacarnya itu punya CA dan sudah putus asa. Dia mau memberinya semangat agar gadis itu mau berjuang melawan penyakitnya. Dia bilang, dia tidak bermaksud meninggalkan istrinya, dia hanya minta waktu untuk menemui bekas pacarnya itu dan membantunya melewati masa kritis ini," kata Kosasih.

"Kau percaya ceritanya?" tanya Gozali.

"Entahlah. Dia tidak tampak sedih. tidak menangis, tidak emosional. Tapi modelnya memang pendiam. introvert begitu. Aku ingin memercayainya, tapi dia adalah tersangka nomor satu kita," kata Kosasih.

"Pembunuhan ini terjadi secara spontan ya, Dok?" tanya Gozali.

"Si pembunuh melihat korban berbaring, lalu mengambil kesempatan itu untuk membekapnya."

"Sekarang aku belum bisa menjawab pertanyaan itu. Setelah pemeriksaanku selesai, kalian aku kabari," kata Dr. Leo Tarigan.

**

Siang ini hujan turun sangat deras bak dicurahkan dari langit. Begitu derasnya hingga kendaraan di jalan semuanya harus merambat karena airnya seperti air susu, sehingga pandangan para pengemudi sangat terganggu. jalan ke Rungkut industri macet total.

Ketika Kosasih dan Gozali akhirnya memasuki kompleks perusahaan Lesmana Corporation. seluruh kompleks sudah mendengar tentang kematian direktur utama mereka karena pagi-pagi Lisa Harun sudah menelepon Norma Tanjung untuk memberitahukan apa yang terjadi.

Di lobi, Kosasih dan Gozali disambut oleh seorang perempuan agak gemuk yang berusia sekitar akhir empat puluhan atau awal lima puluhan, dan seorang laki-laki berusia tiga puluhan. Mata perempuan itu sembap, bedaknya luntur, dan hidungnya mengilat. Jelas dia habis menangis. Yang laki-laki lebih tenang dan berusaha tampil berwibawa kendati usianya yang relatif masih muda.

"Saya Jaka Herlambang," katanya memperkenalkan dirinya.

"Dengan absennya Pak Shaun Harman, saya adalah eksekutif yang paling senior di sini."

Kosasih menerima jabatan tangannya dan juga memperkenalkan dirinya dan Gozali.

"Dan Ibu adalah?" tanyanya saat menjabat tangan Norma Tanjung.

"Norma Tanjung, sekretaris Ibu Melody Harman. Sebelumnya saya sekretaris ayahnya. Pak Danny Lesmana," kata Norma Tanjung.

"Anda tentunya sudah mendengar tentang apa yang terjadi pada Ibu Harman?" tanya Kosasih.

"Ya," jawab Jaka Herlambang.

"Kami semuanya terkejut atas kejadian itu. Kami sungguh tidak bisa percaya hal itu telah terjadi."

"Baik. Kami perlu mengajukan beberapa pertanyaan

kepada Anda dan juga kepada karyawan-karyawan yang lain." kata Kosasih.

"Eh. begini, Pak Kapten, kami belum menerima kabar dari Pak Shaun maupun dari Pak Danny, jadi kami minta waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Bapak setelah kami sempat berbicara dengan atasan kami." kata Jaka.

"Sayangnya kami tidak bisa menuruti keinginan Anda." kata Kosasih.

"Kami perlu mendapatkan jawaban-jawaban itu sekarang."

Jaka Herlambang bertukar pandang dengan Norma Tanjung. Walaupun tadi dia mengaku sebagai eksekutif yang paling senior, rupanya dia masih perlu bersembunyi di belakang punggung si sekretaris.

"Menurut Lisa Harun. Pak Shaun pagi ini akan terbang kembali, mestinya sekarang sudah sampai," kata Norma Tanjung.

"Coba saya telepon dulu ke rumahnya."

"Tidak perlu, Bu," kata Kosasih.

"Saudara Shaun Harman masih di kantor Polda sekarang."

"Oh, berarti dia sudah di sini," kara Norma Tanjung.

"Berarti sebentar lagi juga kemari."

"Mungkin Saudara Harman masih agak lama di kantor Polda. Bu. Sekarang kami perlu berbicara dengan karyawan di sini dulu," kata Kosasih.

Norma Tanjung membuat keputusan. Dia mengangguk.

"Oke. Bapak-bapak boleh mulai dengan saya," katanya.

"Silakan ikut saya ke ruang pertemuan, tempatnya lebih luas di sana dan tidak terganggu."

Mereka pun berjalan melewati sebuah koridor panjang, lalu Norma Tanjung berhenti di depan pintu terakhir di koridor itu. Dia membuka pintu itu. Di dalam ada sebuah meja panjang yang dikelilingi kursi kursi. Norma Tanjung menyalakan AC di ruangan itu. lalu mempersilakan tamu-tamunya duduk.

"Kami ingin bicara dengan Ibu Norma Tanjung ini sendiri," kata Kosasih saat dia melihat jaka Herlambang ikut menarik salah satu kursi.

"Setelah itu baru dengan Anda."

"Oh!" kata Jaka Herlambang setengah malu, setengah tersinggung. Wong eksekutif paling senior kok disuruh pergi! Tapi dia segera mengundurkan diri dan menutup pintu di_ belakang punggungnya.

"Ibu sudah lama bekerja di sini?" tanya Kosasih.

"Sudah lima belas tahun," kara Norma Tanjung.

"Pendiri perusahaan ini adalah ayah Ibu Melody Harman?"

"Ya, Pak Danny Lesmana," kata Norma Tanjung.

"Dan Saudara Shaun Harman juga bekerja di sini?"

"Ya. Dia adalah kepala Keuangan."

"Sejak kapan dia bekerja di sini?"

"Yah, sudah delapan tahunanlah. Dia pertama bergabung di sini saat baru lulus sarjana. Ini pekerjaannya yang pertama."

"Dia langsung menjabat kepala Keuangan?"

"0, ya. Dia tangan kanan Pak Danny. Dia orang yang paling dipercaya Pak Danny."

"Ibu Melody Harman sejak kapan bekerja di sini?"

"Setelah dia kembali dari sekolahnya di London, yah belum satu setengah tahun."

"Apakah dia langsung menjadi direktur menggantikan ayahnya?"

"Oh. enggak. Pertama Bu Melody mulai di Bagian Pemasaran, lalu menjadi wakil Pak Danny, dan baru mulai tahun ini menggantikan Pak Danny yang pensiun."

"Iebih dulu mana, Ibu Harman menikah dengan Saudara Shaun Harman, atau bekerja di sini?"

"Lebih dulu bekerja di sini. Mereka baru menikah Oktober yang lalu."

"Pernikahannya disetujui oleh Pak Danny Lesmana?"

"Tentu. Pak Danny sangat sayang sama Pak Shaun. Pak Shaun itu orang kepercayaan Pak Danny."

"Bagaimana hubungan Ibu Harman dan suaminya sehari-hari? Apa ada konflik karena pekerjaan?"

"Nggak pernah ada konflik dalam pekerjaan," kata Norma Tanjung.

"Urusan keuangan perusahaan seratus persen dikelola Pak Shaun. Ibu Melody tidak pernah ikut campur."

"Ibu tidak mengetahui tentang pertengkaran Ibu Harman dengan suaminya kemarin?" tanya Kosasih.

Norma Tanjung memandang Kosasih sejenak sebelum menjawab,

"Saya mendengar mereka bertengkar tapi tidak tahu permasalahannya."

"Di mana mereka bertengkar?"

"Di kantor Pak Shaun."

"Apa ada karyawan lain yang juga mendengar pertengkaran itu?"

"Ya."

"Siapa saja?"

"Seluruh Bagian Pemasaran. Ruang kerja mereka berhadapan dengan kantor Pak Shaun."

"Apa yang terjadi waktu itu?"

"Yang saya tahu adalah, Ibu Melody datang kirakira pukul sebelas-setengah dua belas begitu, langsung masuk ke kantor Pak Shaun, lalu mereka bertengkar."

"Lalu?"

"Sekitar pukul dua belas Ibu Melody keluar lalu naik mobil dan pergi. Saya mau menyusulnya tapi kata Pak Shaun tidak usah, sebab dia yang mau menyusulnya sendiri."

"Setelah itu?"

"Setelah itu Pak Shaun pergi dan tidak kembali lagi sampai kantor tutup."

Kosasih mengangguk tanda wawancaranya selesai.

Norma Tanjung mengerutkan keningnya dan bertanya,

"Boleh saya tanya, Pak?"

"Silakan," kata Kosasih mengangkat alisnya.

"Bagaimana Ibu Melody meninggal? Apakah dia bunuh diri?"

"Dari pemeriksaan awal pada jenazahnya. kelihatannya tidak," kara Kosasih.

"'Tidak? Tidak? " Norma Tanjung mendoyong ke depan. Bukan saja dia heran rapi juga terkejut.

"Apakah Anda pikir dia bunuh diri?" tanya Kosasih.

"Kalau tidak bunuh diri, berarti... berarti dia dibunuh? Astaga!" Norma Tanjung menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

"Anda menganggap itu mustahil?" tanya Kosasih.

"Lalu siapa yang membunuhnya? Tidak mungkin Pak Shaun! Tidak mungkin!" kara Norma Tanjung.

"Kenapa tidak mungkin?" tanya Kosasih.

"Pak Shaun orangnya baik sekali, tenang. sabar, tidak mungkin dia bisa membunuh orang, apalagi istrinya sendiri. Apalagi istrinya lagi hamil! Tidak mungkin!" kata Norma Tanjung.

"Apa Ibu Harman punya musuh? Ada yang tidak menyukainya?" tanya Kosasih.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di sini? Di perusahaan ini?" tanya Norma Tanjung.

"Ya. Di sini dan di luar perusahaan ini."

"Kalau di sini yang bermusuhan dengan Ibu Melody cuma Ibu Sabine Lemar," kata Norma Tanjung dengan ragu-ragu.

"Siapa dia?"

"Dulu dia bekas kepala Pemasaran. Sekarang kedudukannya digantikan Dik Jaka Herlambang yang tadi Bapak ketemu itu. Dik Jaka itu dulu wakilnya."

"Yang membuat perubahan ini Ibu Harman?"

"Ya."

"Ibu Harman tidak menyukai Ibu Sabine Lemar?"

"Yah, begitulah."

"Kenapa?"

"Enggak tahulah. Bu Sabine itu orangnya memang keras, suka mau-maunya sendiri. Dia orang lama di sini. seangkatan Pak Shaun. Waktu zamannya Pak Danny. dia diberi kebebasan penuh sama Pak Danny walaupun banyak relasi yang mengeluhkan sikapnya yang kasar. Bu Melody tidak bisa menerima itu. jadi akhirnya dia dicopot dan digantikan wakilnya."

"Berarti Ibu Sabine Lemar ini dendam sama Ibu Harman?"

"Ya pasti. Mana ada orang yang diturunkan pangkatnya nggak dendam?"

"Ibu Sabine masih bekerja di sini?"

"Masih. Itu yang membuat saya heran. Saya sangka dulu waktu dia dicopot itu dia bakal angkat kaki. Dia orangnya angkuh. jadi pencopotan itu kan mestinya membuarnya malu besar. Tapi kok dia masih bertahan di sini."

"Apa jabatannya sekarang?"

"Nggak punya jabatan. cuma karyawan biasa di Bagian Pemasaran. Dia yang membuat statistik. Tapi gajinya tidak ikut diturunkan. jadi dia masih menerima gaji yang sama yang diterimanya saat menjabat kepala Pemasaran. Hanya mobilnya sekarang disuruh nyicil. dulu itu aset perusahaan yang boleh dinikmatinya."

"Kemarin Ibu Sabine Lemar ini juga mendengar pertengkaran Ibu Melody Harman dengan suaminya?"

"Oh, ya."

"Ada hal lain yang bisa Anda tambahkan lagi untuk membantu penyidikan polisi?"

Norma Tanjung berpikir sejenak, lalu dia berkata,

"Karena sekarang Bapak mengatakan Ibu Melody tidak bunuh diri, saya merasa perlu mengatakan ini. Menurut saya. Ibu Sabine Lemar itu naksir Pak Shaun. Dulu sebelum Bu Melody bergabung di sini. mereka pernah berpacaran sebentar, lalu berhenti. Tapi sampai sekarang sepertinya Ibu Sabine masih mengejar terus. Setiap kali ibu Melody tidak ngantor, saya selalu mendapati dia duduk-duduk mengobrol di kantor Pak Shaun berlama-Iama."

"Dan Pak Shaun melayaninya?"

"Saya sih tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. tapi dia dibiarkan lama di dalam kantornya."

"Apakah Ibu Sabine Lemar ini ada di sini kemarin antara pukul satu siang dan lima sore?"

Norma Tanjung mengerutkan keningnya.

"Kayaknya setelah jam makan siang saya tidak melihatnya." kata Norma Tanjung.

"jam makan siang itu pukul berapa?"

"Untuk orang kantor, pukul dua belas hingga pukul satu siang."

"Jadi kapan terakhir Anda melihatnya?"

"Pukul dua belas itu. Setelah Ibu Melody dan Pak Shaun pergi, saya kembali ke kantor saya. Waktu itu saya melihat Ibu Sabine Lemar mengunci laci mejanya, dan menyandang tasnya, siap-siap mau keluar."

"Berarti Ibu Sabine bermaksud meninggalkan kantor?"

"Kelihatannya begitu."

"Mau ke mana dia?"

"Waktu itu saya pikir dia mau makan siang. Sejak tidak lagi menjabat kepala Pemasaran. dia nggak pernah makan di kantin perusahaan lagi. Tadinya kan semua manajemen itu makan semeja di ruangan terpisah. lha sekarang setelah Ibu Sabine tidak termasuk anggota manajemen lagi. dia mestinya makan bersama karyawan yang lain di kantin umum. Mungkin dia malu. makanya sejak dicopot itu dia selalu makan di luar."


Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 Trio Detektif 18 Misteri Rumah Yang Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa

Cari Blog Ini