Ceritasilat Novel Online

Misteri Melody Yang Terinterupsi 7

Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 7



"Berarti atas biaya sendiri?"

"Iya."

"Jadi bukan hal yang istimewa jika kemarin Ibu Sabine Lemar keluar untuk makan siang."

"Ya."

"Anda tidak melihatnya kembali setelah makan siang?"

"Tidak."

"Anda tidak melihatnya lagi. atau dia yang tidak kembali ke kantor setelah itu?" tegas Kosasih.

"Saya agak repot kemarin siang, saya sedang mengetik laporan bulanan di dalam kantor saya sendiri."

"Jadi Anda yang tidak melihatnya."

"Ya."

Kosasih berpaling ke Gozali. tapi Gozali menggelengkan kepalanya sebagai indikasi dia tidak ingin bertanya kepada wanita ini.

"Apakah ada keterangan lain yang bisa Anda berikan kepada kami?"

Norma Tanjung mengerutkan keningnya sejenak lalu menggeleng.

"Kalau teringat apa-apa, saya akan memberitahu Bapak-bapak," katanya.

"Baik. Kalau begitu sekarang kami ingin bicara dengan Saudara Jaka Herlambang," kata Kosasih.

Norma Tanjung mengangguk dan mengundurkan diri.

Jaka Herlambang menutup pintu ruang pertemuan itu lalu duduk di seberang kursi Kosasih dan Gozali.

"Saudara Herlambang, kami langsung to the point saja. Apakah Ibu Melody Harman memiliki musuh?" tanya Kosasih.

"Musuh?" Jaka Herlambang tampak sedikit kaget.

"Seperti yang Anda ketahui, Ibu Melody Harman telah dibunuh orang. Kami ingin tahu siapa yang begitu membencinya sehingga tega membunuhnya." kata Kosasih.

"Apa? Dibunuh orang? Dia bukannya kena serangan jantung?" tanya Jaka Herlambang.

"Siapa yang bilang Ibu Harman kena serangan jantung?" tanya Kosasih.

"Tadi pagi waktu Lisa Harun menelepon Bu Norma, katanya Ibu Melody meninggal kena serangan jantung!" kata Jaka Herlambang.

"Tidak. Dia dibunuh." kata Kosasih.

"Astaga! Dibunuh siapa?"

"Itu yang sedang kami cari." kata Kosasih.

"Itulah

sebabnya saya sekarang bertanya apakah Ibu Harman punya musuh."

"Oh! Di kantor ini, maksud Bapak?" tanya Jaka.

"Di kantor ini dan di luar kantor ini, ceritakan saja apa yang Anda ketahui."

"Eh... begini, Pak, saya nggak mau menjelek-jelekkan orang atau menuduh tanpa bukti, jadi sebaiknya saya tidak bilang apa-apa," kata Jaka Herlambang.

"Kalau Anda mengetahui sesuatu, Anda perlu memberitahu kami supaya kami bisa menemukan orang yang telah membunuh Ibu Harman."

"Ya, Pak, tapi bicara tanpa bukti namanya fitnah. Saya tidak mau dituduh begitu," kata Jaka Herlambang.

"Ini penyidikan pembunuhan, Saudara Herlambang, bukan gosip di warung kopi," kata Kosasih.

"Jadi memberitahu kami bukan fitnah. Kami akan memeriksa keterangan Anda sebelum mengambil tindakan tentunya."

Kosasih memandang Jaka Herlambang yang masih melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan itu selain menyambut tatapan Kosasih.

"Jadi. Saudara Herlambang, siapa?"

"Saya tidak menuduh dia yang membunuh Ibu Melody Harman lho, Pak," kata jaka Herlambang.

Kosasih mengangguk.

"Ibu Sabine. Ibu Sabine Lemar," kata Jaka Herlambang.

"Dia membenci Ibu Melody Harman?" tanya Kosasih pura-pura tidak tahu.

"Ya. Mereka bahkan nyaris tidak pernah bicara."

"Kenapa?"

"Karena Ibu Melody mencopot Ibu Sabine dati jabatannya sebagai kepala Pemasaran dan Penjualan."

"Mengapa?"

"Karena semakin lama semakin banyak relasi yang mengeluhkan sikap Ibu Sabine yang kurang ramah."

"Dan Anda yang diangkat menggantikan Ibu Sabine Lemar?"

"Ya."

"Sebelumnya, apa jabatan Anda?"

"Wakil Ibu Sabine."

"Dan apa jabatan Ibu Sabine Lemar sekarang?"

"Dia menjadi bawahan saya, dia mengerjakan statistik dan tidak punya kedudukan manajerial."

"Bagaimana sikap Ibu Sabine Lemar dengan perubahan itu?"

Jaka Herlambang tertawa.

"Ya tentu saja dia tidak senang, Pak. Mana ada orang yang senang diturunkan pangkatnya."

"Kenapa Ibu Sabine Lemar tidak keluar saja, daripada terus bekerja di sini dengan hati tidak senang?"

"Ya karena posisinya masih enak di sini. Walaupun pangkatnya diturunkan, gaji pokoknya tetap. Hanya mobil yang dulu adalah mobil perusahaan yang boleh dipakainya dengan gratis, sekarang harus dicicilnya untuk dibeli sendiri. Tapi cicilannya murah banget. Jadi hitung-hitung sebetulnya dia masih untung, pekerjaannya berkurang banyak, tapi gajinya sama."

"Kalau untung kan tidak perlu sakit hati?"

"Sakit hatinya itu kan karena malu dicopot jabatannya."

"Jadi ada ganjalan sakit hati. Apakah itu tidak memengaruhi prestasi kerja semua pihak yang terlibat?"

"Ibu Sabine sekarang mengerjakan statistik .Pekerjaannya tidak memerlukan terlalu banvak interaksi dengan orang lain. Dia cukup meletakkan hasil pekerjaannya di meja saya, selesai."

"Jadi Anda juga tidak bicara dengan Ibu Sabine Lemar?"

"O, bicara juga, seperlunya. Sebagai atasannya terkadang saya perlu bertanya satu-dua hal kepadanya."

"Dan Ibu Sabine Lemar juga memberikan jawaban?"

"Lha iya toh! Ditanya baik-baik kan ya dijawab baik-baik. Ibu Sabine cukup profesional."

Kosasih mengangguk.

"Kemarin siang, Anda tahu di mana Ibu Sabine Lemar berada?"

"Maksud Bapak?"

"Antara pukul satu dan pukul lima sore, di mana Ibu Sabine Lemar?"

"Wah, itu saya kurang tahu, Pak, mestinya ya ada di mejanya. Mengapa?"

"Sebagai atasannya Anda tidak tahu bawahan Anda ada di mana?" Kosasih mengerutkan keningnya.

"Saya memberikan kebebasan kepada bawahan-bawahan saya, mereka semuanya kan sudah dewasa, jadi saya tidak mengharuskan mereka lapor kepada saya

untuk setiap langkah yang mereka ambil," kata Jaka Herlambang dengan gaya PD-nya.

"Pertanyaan saya adalah, apa kemarin Anda melihat Ibu Sabine Lemar antara pukul satu siang dan pukul lima sore?" tanya Kosasih.

"Tidak."

"Tidak?"

"Tidak."

"Jadi antara pukul satu siang dan pukul lima sore Ibu Sabine Lemar tidak ada di mejanya?" tanya Kosasih.

"Itu saya tidak tahu. Saya yang tidak ada di kantor. Saya keluar untuk makan siang dan tidak kembali ke kantor lagi," kata Jaka Herlambang.

"Ooooh, jadi Anda yang tidak ada di sini!" kata Kosasih.

"Ya."

"Ke mana Anda?"

"Oh, saya pergi makan siang dengan Pak Hendarta. seorang relasi."

"Makan siang sesorean?"

"Oh. tidak. Kira-kira sampai pukul duaan begitu."

"Setelah itu?"

"Setelah itu saya keliling-keliling. Saya pikir kembali ke kantor juga nanggung, siang hari kan jalanan macet, sampai di sini bisa-bisa pukul tiga lebih. Lebih baik saya keliling melihat pasar di luar."

"Ada yang bisa membenarkan di mana Anda berada waktu itu? Maksud saya. apa Anda bertemu dengan orang-orang yang mengenal Anda?"

".. U . saya tidak bertemu Siapa-Siapa yang mengenal saya."

"Berarti Anda tidak punya alibi?"

"Apa saya perlu punya alibi?" tanya Jaka Herlambang. Nada suaranya berubah. Jelas dia merasa tersinggung.

"Semua orang perlu alibi hingga dinyatakan oleh bukti bahwa dia memang tidak terlibat," kata Kosasih.

"Kalau begitu, menurut ukuran Bapak, saya tidak punya alibi," kata jaka Herlambang dengan nada sombong.

"Anda mendengar pertengkaran Ibu Melody Harman dengan suaminya kemarin?" tanya Kosasih.

Jaka Herlambang mengerutkan keningnya sejenak. lalu menjawab.

"Ya. Ibu Norma yang memberitahu Bapak tentang pertengkaran itu?"

"Siapa yang memberitahu tidak penting. Bagaimana reaksi Anda mendengar pertengkaran itu?"

"Semua suami-istri pernah bertengkar. Saya anggap itu hal yang lumrah."

"Anda tidak merasa perlu melerai atau membantu menyelesaikan masalah mereka?"

"O-o-oh. tidak, Pak!" kata Jaka Herlambang dengan nada sinis.

"Saya bukan orang yang suka turut campur urusan orang lain. Nggak ada untungnya melerai orang bertengkar. salah-salah kita sendiri yang kena pukul. Kita semua kan sudah dewasa, jadi mampu menyelesaikan masalah kita sendiri tanpa bantuan orang lain."

"Jadi Anda cuek aja?"

"itu kan bukan urusan saya, dan tidak menyangkut pekerjaan."

"jadi kalau ada orang berkelahi di depan hidung Anda, Anda juga tetap cuek?" tanya Kosasih.

"Ibu Melody dan Pak Shaun tidak berkelahi secara fisik, Pak. Mereka hanya bertengkar aja. Malah. mungkin tidak tepat dikatakan bertengkar karena yang terdengar marah-marah hanya suara Ibu Melody. sedangkan kami tidak mendengar reaksi Pak Shaun."

"Waktu mendengar pertengkaran itu, Anda tidak mengkhawatirkan nyawa Ibu Melody Harman?"

"Hah?" Jaka Herlambang tampak bengong, tidak mengerti pertanyaan Kosasih.

"Waktu itu Anda tidak berpikir bahwa ibu Melody Harman bisa terluka?"

"Maksud Bapak. Pak Shaun yang akan melukai istrinya, begitu?"

"Ya."

"Tidak!" kata Jaka Herlambang.

"Pak Shaun tidak pernah akan melukai istrinya atau siapa pun! Dia bukan tipenya."

Kosasih mengangguk.

"Apa polisi beranggapan Pak Shaun yang... eh... yang membunuh Ibu Melody?" tanya Jaka Herlambang dengan nada spekulatif.

Kosasih tersenyum.

"Dalam penyidikan polisi. kami yang mengumpulkan keterangan, bukan yang memberikan, Saudara Herlambang," katanya. Lalu dia memandang Gozali dan berkata,

"Goz?"

Gozali menggeleng lagi.

"Baiklah." kata Kosasih,

"sekarang, kami ingin bicara dengan Ibu Sabine Lamar."

* * *

Sabine Lemar masuk dengan kepala terangkat tinggi dan sikap yang angkuh.

"Silakan duduk. ibu Lemar," kata Kosasih.

"Saya Kapten Polisi Kosasih dan ini Pak Gozali dari kantor Polda. Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda."

Sabine Lemar duduk dengan punggung tegak. Kedua tangannya di atas pangkuannya seakan-akan dia takut menyenggol meja. Matanya memandang Kosasih tanpa keder.

"Anda sudah mendengar tentang kematian Ibu Melody Harman?" tanya Kosasih.

"Ya."

"Apa pendapat Anda tentang kejadian itu?"

Sabine Lemar mengangkat bahunya.

"Saya tidak tahu," katanya.

"Saya tidak tahu apaapa untuk bisa membentuk pendapat apa pun."

"Anda tidak punya dugaan siapa yang telah membunuh Ibu Harman?"

Sabine Lemar mengerutkan keningnya.

"jadi Melody dibunuh?" tanyanya. Dia tampak kaget.

"Ya. ibu Harman dibunuh." kata Kosasih.

"Kami di sini tidak tahu kalau dia dibunuh. kami sangka dia meninggal karena serangan jantung atau apa," kata Sabine Lemar.

"Apa Ibu Harman memang diketahui punya penyakit jantung atau penyakit lain yang membahayakan jiwanya?" sela Gozali untuk pertama kalinya membuka mulut.

"Saya tidak tahu." jawab Sabine Lemar mengalihkan pandangannya ke laki-laki jangkung itu. Wajahnya memang jauh dari tampan. tapi matanya punya daya tarik sendiri. Sabine Lemar memberikan lebih banyak perhatian kepada Gozali sekarang.

"Kalau begitu mengapa Anda menyangka dia meninggal karena sakit?" lanjut Gozali.

"Akhir-akhir ini dia sering tidak masuk kerja. Katanya sih hamil. Tapi orang lain yang hamil juga bisa bekerja seperti biasa. Saya waktu hamil juga bekerja seperti biasa. Jadi mungkin dia punya penyakit lain," kata Sabine Lemar mengangkat bahunya.

"Lagi pula tidak terpikirkan oleh saya tadi bahwa dia mati dibunuh."

"Setelah sekarang tahu Ibu Harman meningal karena dibunuh. apakah Anda punya kecurigaan siapa yang mungkin melakukannya?" tanya Gozali.

"Astaga!" kata Sabine Lemar. Tiba-tiba matanya melebar.

"Pasti dia! Saya tidak tahu bagaimana dia melakukannya. tapi saya yakin, pasti dia!"

"Dia siapa?" tanya Kosasih memandang Sabine Lemar tanpa kedip setelah Gozali kembali bungkam.

"Jaka! Siapa lagi! Jaka Herlambang!" kata Sabine Lemar.

Kosasih dan Gozali bertukar pandang.

"Dan mengapa Anda menganggap Saudara Herlambang ini terlibat pembunuhan Ibu Harman?" tanya Gozali.

"Sejak awal saya sudah tahu kalau dia itu busuk." kata Sabine Lemar.

"Saya sudah memperingatkan Shaun, tapi Shaun tidak percaya. Sekarang terbukti!"

"Anda memperingatkan Saudara Shaun Harman bahwa istrinya akan dibunuh oleh Saudara Herlambang?" tanya Kosasih dengan mata lebar.

"Bukan! Saya tidak tahu kalau Jaka bakal membunuhnya. Saya cuma memperingatkan Shaun bahwa Jaka itu tidak bisa dipercaya. bahwa dia harus berhatihati menghadapinya."

"Kenapa Anda menganggap Saudara Herlambang itu tidak bisa dipercaya? Apakah dia mencuri uang?"

"Soal uang saya tidak tahu. Tapi saya tahu dia itu orang yang menikam dari belakang. Saya bahkan menyuruh Shaun menjaga punggungnya sendiri dari kemungkinan tikaman Jaka. Dia dulu adalah bawahan saya. karyawan biasa. Saya yang mengangkatnya menjadi wakil saya. Saya yang mengajarinya segala yang diketahuinya hari ini. Tapi begitu Melody Lesmana muncul. dia langsung membuat gebrakan untuk mendongkel saya.. Dia menjilat pantat Melody, dia berusaha mengambil hatinya, dan dia mengkhianati saya

513

dengan menjelek-jelekkan saya. Itulah macam apa si Jaka Herlambang ini!" kata Sabine Lemar.

"Jadi Anda membenci Saudara Herlambang?"

"Tentu saja saya membencinya! Dia telah merebut kursi saya! Dia telah mempermalukan saya!"

"Kalau tuduhan Saudara Jaka Herlambang tentang Anda itu tidak benar, mengapa Ibu Harman bisa memercayainya?"

"Karena dia pintar bicara! Mulutnya manis. tapi hatinya berulat!"

"Mengapa Anda tidak membela diri di hadapan Ibu Harman?"

"Melody sudah termakan omongan Jaka! Waktu Melody pertama bergabung di sini, ayahnya menempatkannya di bagian saya dan saya menyuruh Jaka untuk mengajarinya. Saya sendiri kan punya banyak tugas. Sejak itu mereka runtang runtung berdua ke mana-mana, dan pada saat itulah Jaka meracuni pikiran Melody."

"Anda sudah lama bekerja di sini?"

"Ya."

"Lebih lama tentunya dari Ibu Harman?"

"Jelas. Melody belum dua tahun di sini, saya sudah bekerja untuk ayahnya, Pak Danny Lesmana. sejak delapan tahun yang lalu."

"Dan sewaktu Anda dicopot oleh Ibu Harman itu, ayahnya tidak berusaha membela Anda?"

"Saya memang menyesalkan sikap Pak Danny waktu itu. Dia telah mengecewakan saya."

"Jika apa yang dituduhkan Saudara Herlambang itu

hanya fitnah. mestinya Pak Danny Lesmana membela Anda."

"Mungkin Pak Danny ingin memberikan support kepada anaknya, untuk menunjukkan kepada semua karyawan bahwa Melody kapabel menjadi pemimpin menggantikan dirinya, jadi semua keputusannya didukung walaupun sebenarnya keputusan itu salah."

"Jadi Anda merasa dikorbankan?"

"Jelas. Tapi di mana-mana kan memang darah itu lebih kental daripada air, jadi mau gimana lagi?"

"Kenapa Anda tidak mengundurkan diri saja setelah itu?"

"Tentu saja tidak! Bukannya saya takut tidak bisa mendapatkan pekerjaan di tempat lain, tapi kalau saya keluar kan berarti saya kalah bertarung dengan Jaka! Saya harus membuktikan saya yang benar. Jadi saya bertahan di sini untuk menyaksikan kejatuhannya suatu hari."

"Jadi menurut Anda, Saudara Herlambang ini yang telah membunuh Ibu Melody Harman?"

"Saya tidak hilang begitu. Saya bilang pasti dia terlibat. Tapi saya tidak bilang dia yang bunuh, nanti saya dituduh Fitnah, kena urusan lagi."

"Maksud Anda dia yang mengotaki pembunuhan itu?"

"Ya. Pokoknya dia terlibat."

"Apa motifnya?" sela Gozali lagi.

Sabine Lemar terdiam sejenak, mengerutkan keningnya, lalu mengangkat bahunya.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya tidak tahu." katanya.

"Setelah Anda pikir, tuduhan itu tidak masuk akal, bukan?" kara Gozali.

"Ibu Melody Harman ini yang mengangkat Saudara Jaka Herlambang. Dia adalah, katakanlah. sponsornya begitu. Untuk apa Saudara Jaka Herlambang membunuh bekingnya? Sebaliknya. Anda adalah orang yang punya sakit hati terhadapnya."

"Apa? Jadi sekarang saya yang dituduh membunuh Melody?" Mata Sabine Lemar langsung melotot.

"Ibu Harman mencopot Anda dari jabatan Anda. Sudah pasti Anda sakit hati padanya, bukan?" ejek Gozali.

"Ya! Saya sakit hati padanya. tapi saya tidak membunuhnya! Saya sakit hati pada banyak orang. tapi saya tidak keliling membunuh mereka semuanya!" bantah Sabine Lemat.

"Memang tidak, hanya Ibu Melody Harman." kata Gozali.

"Saya tidak terima dituduh membunuh!" protes Sabine Lemar.

"Di mana Anda kemarin antara pukul satu siang dan pukul lima sore?"

"Saya ada di sini!"

"Selama waktu itu terus-menerus?"

"Saya keluar untuk makan siang. tapi setelah itu saya kembali dan tidak beranjak dari meja saya."

"Pukul berapa Anda kembali?"

"Sekitar pukul setengah empat siang."

"Pukul berapa Anda pergi makan siang?"

"Sebelum pukul satu."

"Jadi di sini jam makan siang itu tiga jam lebih?"

"Satu jam. Tapi itu untuk karyawan biasa. Yang sudah manajer seperti saya diberi kebebasan karena jam kerja kami juga lebih fleksibel. Karyawan dapat uang lembur, manajer tidak dapat uang lembur sedangkan tidak jarang kami harus melembur setiap hari."

"Apakah Anda sekarang masih tetap punya jabatan manajer?" tanya Kosasih.

Sabine Lemar langsung membuka mulutnya, tapi dia baru menjawab beberapa saat kemudian,

"Tidak, tapi saya selalu keluar untuk makan siang."

"Jadi Anda menghabiskan waktu tiga jam lebih untuk makan siang?" tanya Gozali dengan nada sinis.

"Tidak selalu. Kebetulan kemarin saya sekalian pergi membayar tagihan telepon rumah saya," kata Sabine Lemar.

"Anda punya bukti?" tanya Kosasih.

"Bapak bisa cek ke kantor telepon," kata Sabine Lemar.

"Kantor telepon hanya akan mengatakan bahwa tagihan telepon Anda sudah terbayar. Mereka tidak bisa membuktikan Anda sendiri yang datang membayarnya."

"Kalau begitu Bapak juga tidak bisa membuktikan bahwa saya tidak ke sana kemarin untuk membayarnya, bukan?" kata Sabine Lemar sinis.

"Apa Anda punya informasi lain yang bisa Anda berikan kepada kami untuk membantu penyidikan kami?" tanya Kosasih.

"Saya mau tanya, Pak, dengan apa Melody dibunuh?" Sabine Lemar memandang dari Kosasih ke Gozali lalu balik lagi ke Kosasih.

"Penyidikan polisi masih belum selesai," kata Kosasih.

"Jenazah ibu Melody Harman masih diautopsi".

Sabine Lemar mengangguk, lalu berdiri.

"Kalau begitu saya tidak punya informasi apa-apa lagi buat Bapak-bapak."

"Apa pendapatmu?" tanya Kosasih dalam perjalanan mereka kembali ke kantor Polda.

"Terlalu pagi untuk membuat kesimpulan." kata Gozali.

"Sabine Lemar punya kesempatan dan punya motif," kata Kosasih.

"Dan dia tampaknya juga punya ketegaran untuk membunuh."

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Dia orangnya tegas. Terlalu tegas buat seorang perempuan."

"Hmmm kau tahu. dia satu-satunya dari mereka yang bertanya dengan apa korban dibunuh," kata Gozali.

"Jadi apa artinya itu?"

"Artinya dia satu-satunya yang ingin tahu alat apa yang dipakai membunuh korban. Yang lain-lain tidak bertanya."

"Berarti yang lain-lain tidak ingin tahu?"

"Atau sudah tahu, jadi tidak perlu bertanya," senyum Gozali.

"Baik si sekretaris maupun si kepala Pemasaran sama-sama menyebut Sabine Lemar sebagai orang yang bermusuhan dengan korban," celetuk Kosasih.

"Ya."

"Dia pasti punya dendam terhadap korban. Dicopot dari jabatannya, lalu malah ditempatkan di bawah bekas anak buahnya. Itu pasti merupakan tamparan yang keras baginya."

Lagi-lagi Gozali mengangguk.

"Dia tidak keluar dari perusahaan ini mungkin juga karena dia sudah membuat rencana untuk balas dendam," lanjut Kosasih.

"Bukan seperti katanya dia mau melihat kejatuhan si Jaka." '

"Atau dia adalah wanita yang berotak dingin," kata Gozali.

"Kenapa kau bilang begitu?"

"Orang yang berotak dingin bisa mengesampingkan emosinya dan melihat situasi dalam perspektif yang lebih akurat."

"Maksudmu?"

"Nyari pekerjaan lain yang lebih baik di luar itu susah, Pak," senyum Gozali.

"Tapi dia sendiri bilang dia tidak takut tidak mendapat pekerjaan di tempat lain."

"Itu kan cuma omongnya, Kos. Coba kaupikir, Kos, Sabine Lemar dulu adalah seorang kepala pemasaran, ujung tombak perusahaan. Jatuh-bangunnya suatu perusahaan sangat dipengaruhi kinerja bagian

ini. Gajinya pasti paling sedikit enam digit, apalagi masa kerjanya sudah lama, bisa-bisa malah sudah tujuh digit. Walaupun dia sekarang bukan kepala bagian lagi. gajinya tidak dikurangi. Jadi. apa jeleknya tetap bekerja di sini? Seperti kata si Jaka, tanggung jawabnya lebih sedikit, gajinya tetap. Belum tentu dia bisa mendapatkan gaji dan fasilitas yang sama di luar," kata Gozali.

"Tapi dia membenci Melody Harman!"

"Dan semua orang tahu itu, termasuk pasti Melody Harman sendiri."

"Maksudmu?"

"Bagaimana dia bisa sampai di dalam kamar tidur Melody Harman? Bagaimana mungkin Melody Harman menerimanya sambil tiduran di tempat tidurnya?"

"Hm... kau bener. Melody Harman tidak akan menerimanya di dalam kamar tidurnya," kata Kosasih.

"Bisa-bisa Melody Harman tidak akan menerimanya sama sekali di dalam rumahnya."

Gozali mengangguk.

"Berarti kita kembali ke tersangka utama kita, si suami," kata Kosasih.

Gorali mengangguk lagi.

"Karena korban terbunuh di dalam kamar tidurnya. sulit bagi orang lain untuk sampai ke sana, kecuali orang-orang di dalam rumah itu sendiri," katanya.

"Jadi hanya si suami dan si pembantu," kata Kosasih.

Gozali mengangguk.

"Dan aku yakin si pembantu tidak terlibat," kata Kosasih.

"Kenapa?"

"Feeling-ku aja," kata Kosasih.

"Berarti tinggal si suami."

"Dia punya motif," kata Gozali.

"Ya. Bekas pacarnya yang kanker itu," kata Kosasih.

"Aku kan belum bertemu dengannya," kata Gozali.

"Menurutmu. apa dia cocok mengisi profil pembunuh kita?"

Kosasih mengembuskan napas panjang.

"Penampilannya seperti orang baik-baik Tapi sering kali apa yang kita lihat di luar tidak sama dengan apa yang ada di dalam, bukan?" katanya.

"Kita tunggu aja dulu hasil pemeriksaan Labkrim dan hasil autopsi," kata Gozali.

**

Ketika Danny dan Julinda Lesmana mendarat di Bandara Juanda petang itu, Lisa Harun dan Norma Tanjung sedang menantikan mereka. Kedua perempuan itu sudah sejak pukul dua siang hari menunggu di bandara karena mereka tidak tahu pasti pesawat mana yang dinaiki Danny dan Julinda.

Dari dalam ruang Kedatangan. Danny Lesmana sudah melihat para penjemputnya dan merasa agak heran mengapa kedua perempuan itu datang menjemput padahal dia tidak mengharapkan penjemputan sama sekali.

Julinda Lesmana keluar lebih dulu sementata suaminya masih menunggu keluarnya bagasi mereka dari ban berjalan.

Setelah berpelukan sejenak dengan kemenakannya Lisa Harun dan menjabat tangan Norma Tanjung, di antara hiruk-pikuk para penjemput dan penumpang yang baru tiba, Julinda pun bertanya,

"Ngapain kalian datang menjemput? Kan Oom Danny sudah bilang nggak usah. kami bisa naik taksi. Kasihan udah nunggu lama ya?"

"Tante, ini pasti suatu kejutan, tapi sesuatu telah terjadi dengan Mbak Melody," kata Lisa dengan nada serius.

"Apa? Dia keguguran?" tanya Julinda mengerutkan keningnya. Suaminya pasti kaget menerima berita ini.

"Bukan, Tante, dia... dia..."

"Dia meninggal," sambung Norma Tanjung ketika Lisa Harun tidak meneruskan kalimatnya.

"Apa? Meninggal? Meninggal?" _Julinda Lesmana melotot.

Baik Lisa Harun maupun Norma Tanjung pun mengangguk.

"Astaga! Apa yang terjadi?" tanya Julinda Lesmana. Rasa terkejut berganti dengan rasa ngeri.

''Belum ada yang tahu, Tante. Dia ditemukan Bik Mur meninggal di kamarnya," kata Lisa.

"Kapan?"

"Kemarin."

"Kemarin? Tapi Oom baru bicara dengannya kemarin!"

"Itu kan paginya. Tante. Ini malamnya."

"Ya Tuhan! Gimana nanti kalau Oom tahu? Aduh!" Julinda menutup wajahnya dengan kedua tangannya sejenak. Lalu dia mengangkat kepalanya dan memandang ke bagian dalam ruang Kedatangan tempat Danny Lesmana masih menunggu koper-koper mereka.

"Aduh. gimana kita akan memberitahu Oom!" kata Julinda. Lalu tiba-tiba dia mencekal tangan Lisa Harun dan Norma Tanjung.

"Kita tidak boleh memberitahu Oom sekarang. Dia pasti shock. Kita pulang, lalu kita panggil Dokter Felix tetangga kita, baru kita cerita sama Oom. Oke?"

Lisa Harun dan Norma Tanjung saling bertukar pandang, lalu mengangguk setuju. Baru tiba dari suatu perjalanan panjang tentunya melelahkan. Dan bagi seorang yang usianya sudah melampaui setengah abad, kelelahan itu pasti berdampak negatif pada kesehatannya. Jika ditambah lagi dengan berita yang bisa membuat jantungnya copot. jangan-jangan jantungnya copot sungguh. Jadi mereka memang harus berhati-hati. Menyiapkan seorang dokter adalah langkah yang bijaksana. Jika terjadi apaapa. ada ahlinya yang menangani.

Mereka menunggu kira-kira 10 menit lagi sebelum Danny Lesmana keluar bersama seorang portir yang menggeledek kopor-kopor mereka. Dari kejauhan Danny Lesmana sudah tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Hei! Kok repot-repot menjemput!" katanya begitu

mendekat. Dia menepuk-nepuk bahu Lisa Harun dan Norma Tanjung.

"Kami bisa'naik taksi sebetulnya."

"Nggak apa-apa, Oom," kata Lisa Harun.

Norma Tanjung tak berani buka mulut, takut tidak bisa menguasai emosinya.

Bob Partahi begitu melihat majikannya muncul segera berlari ke tempat parkir mobil untuk mengambil mobil, tak lama lagi pun tiba dan memarkir mobilnya. Dengan cekatan dia turun, membuka pintu bagasi dan mengambil koper-koper dari troli si portir lalu memasukkannya ke dalam bagasi.

"Gimana kantor?" tanya Danny Lesmana kepada Norma Tanjung.

"Semua beres?"

"Beres, Pak," kata Norma Tanjung.

"Lalu orang gila yang melempari rumah tempo hari sudah tertangkap?" lanjut Danny Lesmana kepada Lisa Harun.

"Nggak ada kabarnya lagi tuh, Oom." kata Lisa. Lalu tambahnya,

"Gimana perjalanannya? Asyik?"

"Wah, tentu saja asyik. Sebetulnya Oom masih mau tinggal lebih lama, tapi Tante ini lho yang sudah ingin pulang," kata Danny Lesmana tertawa lebar.

"Mungkin sudah nggak betah hanya berduaan dengan Oom."

"Bukan nggak betah, cuma hati ini rasanya kurang enak sudah terlalu lama meninggalkan rumah," kata Julinda.

"Rumah kan ada Lisa, ada Bik Ijah, si Sri, dan si Mien, juga ada satpam yang jaga sekarang, sebetulnya nggak apa-apa kita pergi lebih lama, mumpung sudah

di luar." kata Danny Lesmana.

"Sejak menikah kita kan nggak pernah pergi berdua. Jadi maksudku mau menjadikan ini semacam honeymoon gitulah. E, nggak tahunya Tante nggak betah berduaan Oom."

Karena tidak ada yang menjawab, maka Danny Lesmana_pun melanjutkan ocehannya dengan cerita tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi, makanan yang mereka coba, dan kejadian-kejadian menarik lainnya yang mereka alami selama perjalanan.

Empat puluh menit perjalanan dari Juanda hingga ke Jalan Untung Surapati mereka tempuh sambil mendengarkan cerita Danny Lesmana, yang saking antusiasnya tidak merasa bahwa ketiga perempuan yang semobil dengannya ini lebih banyak membisu daripada memberikan respons.

Begitu kendaraan memasuki halaman rumah, Bik Ijah dan Sri sudah segera membukakan pintu dan bergegas keluar.

"Tante, saya ke sebelah dulu ya," kata Lisa Harun begitu melangkahkan kakinya keluar.

Julinda hanya mengangguk lalu turun dari mobil.

"Pak Bob bisa tunggu sebentar? Jangan pulang dulu." kata Juli. Jika terjadi apa-apa pada suaminya dan mereka membutuhkan transpor, sebaiknya si sopir tidak pulang dulu, pikirnya.

"Ya, Bu. Saya tunggu," kata Bob yang sudah membuka bagasi mobil dan mulai mengeluarkan koper-koper mereka. Dia merasa heran kenapa tidak ada yang memberitahu Danny Lesmana tentang kematian anaknya.

Danny Lesmana sudah lebih dulu turun dan memasuki rumahnya diikuti Norma Tanjung, sementara Julinda Lesmana masih berbicara dengan si sopir dan Bik ljah mengenai koper-koper mereka.

"Mobilmu mana. Nor?" tanya Danny Lesmana.

"Tadi ditinggal di kantor," kata Norma Tanjung.

"Dik Lisa yang datang menjemput saya."

"Setelah Pak Bob membawa koper-koper masuk, biar dia mengantarkan kau pulang aja, Not," kata Danny Lesmana kepada Norma Tanjung.

"Gampang nanti, Pak," jawab Norma.

"Makasih lho, kau ikut menjemput segala. Sebetulnya nggak perlu. Kau tentunya juga sudah capek bekerja seharian di kantor tadi," kata Danny Lesmana.

"Nggak apa-apa, Pak." kata Norma Tanjung.

Pak Bob lewat membawa koper-koper mereka.

"Bawa masuk ke kamar aja. Bob," kata Danny Lesmana.

"Setelah itu antarkan Bu Norma pulang."

"Ya. Pak," jawab Bob.

Pada saat itu Lisa Harun pun memasuki rumah bersama Julinda dan Dokter Felix Umar yang datang membawa tas hitamnya.

"Lho, Dokter Felix!" kata Danny Lesmana terkejut, dia sama sekali tidak menyangka bakal ada tamu, tapi sebagai tuan rumah yang baik dia pun segera bangkit dan menyambut tamunya.

"Silakan duduk, silakan duduk!"

Felix Umar adalah laki-laki yang sebaya dengan Danny Lesmana dan sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi tetangga mereka. Terkadang dia pergi main

tenis bersama Danny Lesmana kalau kebetulan lagi sama-sama punya waktu senggang.

Lisa Harun segera menghilang ke belakang dan tak lama lagi bersama Bik ijah keluar membawa minuman dingin untuk semua.

"Tumben bisa mampir kemari," kata Danny Lesmana kepada Felix Umar.

"Pasiennya sudah habis?"

"Eh, saya tinggal sebentar," kata Felix Umar.

"Oh? Kenapa? Ada perlu dengan saya?" tanya Danny Lesmana semakin heran. Ada urusan apa ini yang sepenting itu sampai detik pertama dia menginjakkan kakinya di rumah sudah langsung didatangi?

"Eh. iya." kata Felix Umar.

"Sebaiknya ibu Juli aja yang bercerita," lanjutnya.

Danny Lesmana berpaling ke istrinya dan melihat perempuan itu dalam keadaan gelisah. Dia pun mengerutkan keningnya. Jelas ada sesuatu yang tidak beres! Apa? Apakah istrinya berselingkuh dengan si Felix ini dan akan meninggalkannya? Apa? Apa?

"Oke, cepat cerita!" kata Danny Lesmana dengan nada tidak sabar ketika istrinya masih belum membuka mulut.

julinda mengambil napas dalam-dalam, memejamkan matanya, lalu berkata,

"Mas, sesuatu telah terjadi pada Melody."

"Melody? Apa?" tanya Danny heran. Dia sama sekali tidak menduga arah pembicaraan akan menuju ke anaknya.

"Dia meninggal."

Danny Lesmana membutuhkan waktu beberapa detik untuk menangkap arti kata-kata tersebut. Lalu matanya membelalak. Mulutnya menganga. Napasnya langsung tampak memburu. Dia mengangkat telunjuknya dan menuding istrinya dengan jari yang bergemetaran.

"Apa... apa... yang terjadi?" tanyanya.

"Belum tahu, Oom," sela Lisa Harun dengan mimik ketakutan.

"Bik Mur menemukan Mbak Melody sudah meninggal di kamarnya kemarin."

Sejenak Danny Lesmana hanya bengong, lalu dia berteriak nyaring sekali, seperti macan yang terluka.

Dokter Felix Umar dengan cekatan mengeluarkan alat suntik dan sebuah ampul dari dalam tas hitamnya, segera menyiapkan penyuntikan pada Danny Lesmana.

Danny Lesmana menangis terisak-isak dalam pelukan istrinya.

"Sebentar lagi dia akan lebih tenang. Biarkan tidur aja dulu di sini," kata Felix Umar.

"Apa perlu dibawa ke rumah sakit, Dok?" tanya Lisa Harun.

"Sementara tidak perlu," kata Dokter Felix Umar.

"Nanti malam sehabis praktek saya akan mampir menengoknya lagi."

**

PAGI itu cuaca cerah. Warga kota banyak yang bernapas lega setelah berhati-hari turun hujan. Hari ini scakan ada suasana baru. Sepanjang perjalanannya ke kantor Polda, Kosasih dan Gozali melihat warga sibuk membawa jemuran mereka ke luar, agar cucian yang berhari-hari tak kena panas sinar matahari, sekarang bisa kering dengan tuntas lagi.

Kosasih baru melangkah masuk ke kantornya saat telepon di atas mejanya berdering.

"Pak, ada Bapak Danny Lesmana dan keluarganya mau bertemu," kata petugas yang piket telepon.

"Berapa orang?" tanya Kosasih.

"Empat, Pak."

"Baik, suruh mereka masuk." Kosasih meletakkan tangkai teleponnya lalu berkata kepada Gozali,

"Rombongan Danny Lesmana sudah datang."

Gozali mengangguk, lalu pergi duduk di sebelah rak arsip di belakang kursi Kosasih.

Pintu terbuka dan Lisa Harun adalah orang yang pertama masuk. diikuti oleh seorang wanita dan lakilaki yang lebih tua. dan terakhir Shaun Harman yang menutup pintu kantor Kosasih di belakang punggungnya.

"Selamat pagi. Pak." kata Lisa Harun mengulurkan tangannya ke Kosasih.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini Oom Danny dan istrinya, Tante juli," katanya memperkenalkan orang-orang di belakangnya.

"Oom Danny adalah ayah Mbak Melody."

Kosasih mengulurkan tangannya satu per satu kepada para tamunya. memperkenalkan Gozali. lalu mempersilakan mereka duduk.

"Sebelumnya kami ucapkan ikut berdukacita atas kematian Ibu Melody Harman," kata Kosasih.

"Terima kasih, Pak." kata Danny Lesmana yang pagi ini tampak berantakan. Wajahnya kusut. matanya bengkak, dan dia tampak jauh lebih tua daripada usianya yang 56 tahun.

"Pak Kapten." lanjut Danny Lesmana dengan suara gemetar,

"saya hampir gila. Paginya saya masih bicara dengan anak saya sebelum saya berangkat. lha kok waktu saya tiba di rumah kemarin dia dikatakan sudah meninggal. Bagaimana itu bisa terjadi! Tolong beritahu saya semua itu tidak benar! Anak saya tidak mati!"

Kosasih menarik napas dalam. Sebagai seorang bapak dia bisa membayangkan betapa sedihnya tentu laki-laki yang duduk di hadapannya ini.

"Menyesal saya tidak bisa memenuhi harapan

Anda, Pak Lesmana. Ibu Melody Harman memang meninggal," katanya.

"Bagaimana itu bisa terjadi? Apa yang terjadi?" tanya Danny Lesmana.

"Itu masih sedang kami selidiki, Pak Lesmana," kata Kosasih.

"Apa? Jadi polisi juga tidak tahu bagaimana Melody anak saya bisa mati!" protes Danny Lesmana.

"Kami justru berharap keluarganya bisa memberitahu kami," kata Kosasih.

"Mereka semua bilang tidak tahu, Pak Kapten!" kata Danny Lesmana.

"Mereka bilang mungkin Melody bunuh diri."

"Apa Anda percaya bahwa Ibu Melody Harman bisa bunuh diri?" tanya Kosasih balik.

"Saya tidak tahu! Saya sudah tidak tahu apa-apa lagi! Saya tidak bisa berpikir!" kata Danny Lesmana tiba-tiba menangis. Istrinya yang duduk di sampingnya langsung mengusap-usap punggungnya.

Danny Lesmana mengangkat kepalanya lalu berpaling dan dengan telunjuknya menuding-nuding wajah Shaun Harman.

"Dia bunuh diri karena kamu! Karena kamu! Ya Tuhan! Aku berikan anakku kepadamu, tapi kamu lukai hatinya! Kamu sakiti hatinya! Dan dia bunuh diri! Dia bunuh diri karena kamu! Kamu binatang!" katanya dengan emosi menggebu gebu.

"Tenang, Pak," kata Kosasih.

"Saya mau orang ini ditangkap dan dihukum yang berat, Pak!" kata Danny Lesmana menunjuk Shaun

Harman.

"Dia harus membayar nyawa anak saya! Dia sudah bukan manusia! Masa istrinya sendiri yang sedang hamil tega ditinggalkan untuk mengejar perempuan lain. sampai akhirnya bunuh diri!"

Shaun Harman yang sejak tadi menunduk sama sekali tidak memberikan reaksi apa-apa.

"Andai fakta ini bisa meringankan kesedihan Anda, Pak Lesmana, Ibu Melody Harman tidak bunuh diri," kata Kosasih.

"Hah? Apa?" Danny Lesmana kaget.

"Kematiannya bukan akibat bunuh diri, Pak." kata Kosasih.

"Dia dibunuh."

Mata Danny Lesmana melotot. Mulutnya menganga. Lalu dia jatuh terkulai.

Sisa hari ini merupakan mimpi buruk bagi Danny Lesmana. Dia datang ke rumah sakit. Jasad putrinya sudah boleh dibawa pulang karena Dr. Leo Tarigan sudah menyelesaikan autopsinya. Dia mengurus semua yang berhubungan dengan upacara pemakaman putrinya. Dia sempat mampir ke kantornya untuk menyerahkan semua urusan rutin ke tangan Jaka Herlambang dan minta Norma Tanjung memberitahu semua relasinya bahwa untuk sementara waktu semua transaksi yang tidak mendesak agar ditangguh sampai dia bisa kembali ke kantor dan mengambil alih lagi kepemimpinan perusahaannya. lalu dia pulang sementara Pak Bob dan Lisa ke Bandara luanda untuk menjemput Mark Lesmana yang pesawatnya akan tiba sore ini.

Untuk kedua kalinya dalam hidupnya Danny Lesmana merasa dunianya tiba-tiba runtuh. Dua wanita yang dicintainya dalam hidupnya tiba-tiba direnggut maut begitu saja tanpa pemberitahuan sebelumnya. Apakah ini dosanya? Mengapa dia harus mengalami hal ini sampai dua kali? Dua kali! Astaga! Orang lain bahkan ada yang tidak pernah mengalaminya, tapi dia harus mengalaminya dua kali! Tuhan menghukumnya! Mengapa Tuhan menghukumnya?

Danny Lesmana bukanlah orang yang religius. Dari waktu ke waktu dia mampir ke gereja untuk merayakan hari-hari istimewa seperti Paskah dan Natal. tapi kebanyakan dia lebih suka menghabiskan hari-hari Minggunya dengan bermain golf atau tenis bersama teman-temannya. Jadi, apakah Tuhan sekarang menghukumnya karena dia tidak serius menjalankan ibadahnya? Apakah kesalahannya yang dulu mengakibatkan istri dan sekarang putrinya meninggal secara tidak wajar? Sekejam itukah Tuhan? Bukankah Tuhan itu maha pemurah, maha pengasih, maha pengampun? Di mana kemurahan-Nya sekarang? Di mana kasihNya dan di mana ampun-Nya?

Ya, saat ini Danny Lesmana merasa kematian putrinya, putri yang dibanggakannya, yang akan meneruskan usahanya, adalah kesalahannya. Bukan saja karena itu merupakan hukuman Tuhan, tapi dialah yang mendorong Melody menikah dengan Shaun Harman! Andaikan dia membiarkan Melody berpacaran dengan

jaka Herlambang, tentunya semua ini tidak akan terjadi! Jadi Danny Lesmana merasa geram. bagaimana dia bisa begitu salah dalam menilai karakter seseorang! Shaun Harman yang sudah dikenalnya begitu lama. yang dipercayainya 1000%, yang sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. yang diserahinya hartanya yang paling berharga-putrinya-justru dialah yang telah mendatangkan musibah ini! Bajingan dia! Bajingan dia berani membunuh Melody! Sungguh dia orang yang kejam! Dia bukan saja membunuh Melody. tetapi juga membunuh jabang bayinya sendiri! Cucunya!

Danny Lesmana merasa sangat berang tadi ketika polisi tidak mengambil tindakan apa-apa untuk menangkap Shaun Harman. Mengapa kapten polisi itu membiarkannya pergi? Apakah Shaun telah menyuapnya sehingga dia bisa bebas? Ya, pasti itu! Padahal sudah jelas-jelas Shaun Harman-lah yang telah membunuh Melody. Dialah orang yang terakhir bersamanya. dan dia mau pergi menemui si Tania di Singapore. Dia ingin bebas dari ikatan perkawinannya. Dia ingin kembali ke pacarnya di Singapore. Seharusnya dia menceraikan Melody saja, tak perlu membunuhnya! Mengapa dia begitu kejam sehingga tega membunuh istri dan jabang bayinya sendiri?

"Pap!"

Danny Lesmana dikejutkan oleh suara Mark dan ketukan di pintu kamarnya. Mark baru saja tiba. Danny Lesmana pun bangkit dan memeluk anaknya. Kedua laki-laki yang berbeda satu generasi itu pun saling melepaskan emosi kesedihan masing-masing.

Bagi Mark kematian Melody merupakan pukulan batin yang cukup keras. Saat mereka masih sama-sama remaja. hubungan mereka tidak terlalu intim. Pertama karena sifat Melody yang introvert dan Mark yang waktu itu belum mengerti. Lalu Melody pergi ke London. dan selama lebih dari lima tahun mereka tak pernah bertemu. Sesekali mereka hanya berbicara lewat telepon. tapi yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang biasa saja. seperti liburan ini ke mana. makanan apa digemari, dan sejenisnya. Terakhir kalinya mereka bertemu adalah saat pernikahan Melody bulan Oktober yang lalu. Mark pulang hanya sepuluh hari karena dia harus menyiapkan dirinya untuk acara konser yang digelar sekolah musiknya, dan dalam sepuluh hari itu tak banyak kesempatan bagi mereka untuk berbicara dari hati ke hati. Hanya pada malam menjelang pernikahannya itu Mark dan Melody sempat saling curhat. dan saat itulah Mark menyadari betapa minimnya dia mengenal pribadi kakaknya. Mark berjanji, setelah sekolahnya tuntas, sebelum dia membuat rencana lebih jauh untuk masa depannya, dia akan pulang ke Surabaya dan menyediakan waktu khusus untuk dilewatkan bersama kakaknya dan untuk mengenalnya dengan lebih baik. Itulah sebabnya ketika dia menerima telepon dari Lisa Harun saat dia pulang dari sekolah musiknya Selasa malam yang lain bahwa Melody meninggal, kesadaran yang pertama muncul di benaknya adalah dia tak lagi punya waktu untuk bisa mengenal kakaknya dengan lebih baik. Dan itulah penyesalannya yang terbesar saat ini.

Tak ada pertukaran kata-kata yang diperlukan saat ini. Bagi Danny Lesmana berada dalam pelukan anaknya Mark sudah merupakan suatu penghiburan yang besar.

Entah berapa lamanya mereka berpelukan seperti itu, saling bersandar, saling menyerap kekuatan dari pihak yang lain. Tapi hal ini ternyata baik bagi jiwa mereka berdua. meringankan penderitaan batin masing-masing.

Lalu terdengar ketukan kecil di pintu.

"Mas!" Suara Julinda Lesmana.

"Ya?" sahut Danny Lesmana melepaskan pelukannya pada anaknya.

"Ada Rahayu dan Pak Ali lbrahim." kata Julinda.

Danny Lesmana mengembuskan napas panjang. Dia mengusap wajah Mark yang basah oleh air mata.

"Silakan mereka duduk dulu," kata Danny Lesmana. Dia merasa terpaksa harus menemui tamutamunya ini. Andaikan hanya si Rahayu yang datang, dia sudah pasti akan memberikan alasan untuk tidak menemuinya Tapi kali ini bapaknya ikut, jadi dia harus memberi muka kepada Ali lbrahim. Jangan sampai nanti orang tua itu merasa dirinya tidak dihargai karena status ekonominya lebih rendah.

Ketika Danny Lesmana dan Mark memasuki ruang tamu, Julinda sudah menemani kedua tamunya itu. berbicara dengan suara rendah.

Ali lbrahim dan Rahayu segera berdiri dan memberi salam kepada Danny Lesmana begitu melihatnya.

"Kami ikut berdukacita, Pak Danny," kata Ali Ibrahim.

"Kami tidak menyangka Nak Melody akan begitu cepat meninggalkan kita semua."

Danny Lesmana hanya menganggukkan kepalanya. Otaknya sudah sangat jenuh sehingga malas memberikan jawaban.

"Mark," kata Ali Ibrahim.

"Sudah lama Bapak tidak melihatmu. Sayang kali ini kita bertemu dalam suasana yang begini."

Mark Lesmana pun maju dan memeluk laki-laki tua itu. Dia masih ingat saat ibunya meninggal, Pak Ali dan istrinya yang ikut merawatnya.

Rahayu hanya mengulurkan kedua tangannya untuk menggenggam tangan Mark.

"Kata Tante, suaminya yang membunuh Melody. Oom?" tanya Rahayu setelah mereka duduk kembali.

Danny Lesmana mengangguk lagi.

"Tapi kata Tante, suaminya masih belum ditangkap polisi."

Lagi-lagi Danny Lesmana mengangguk.

"Menurut polisi yang tadi bicara dengan kami, mereka masih perlu menyidik lebih lanjut sebelum memastikan siapa pembunuhnya." jelas Julinda Lesmana.

"Kalau begitu polisi belum yakin suaminya yang membunuhnya," kata Rahayu.

"Andai sudah yakin, pasti langsung ditahan."

"Kira-kira begitu," jawab Julinda.

"Sebetulnya memang kurang masuk akal," sela Ali Ibrahim.

"Untuk apa sampai membunuh? Zaman sekarang suami-istri yang tidak cocok bisa mengajukan cerai dengan gampang. Kalau dulu orang masih merasa malu bercerai, merasa aib, sehingga walaupun perkawinan itu sudah tidak harmonis tapi dipertahankan terus demi kehormatan. Orang zaman sekarang kan sudah lain. Jadi sebetulnya kan tidak perlu membunuh."

"Mungkin dia pikir, kalau bercerai dia tidak akan mendapat apa-apa," kata Rahayu.

"Hah?" Julinda tidak mengerti.

"Tidak mendapat apa?" tanya Danny Lesmana.

"Kalau dia menceraikan Melody, kan dia tidak akan mendapat apa-apa, Oom. Mungkin bahkan dia akan kehilangan pekerjaannya. Lha kalau sekarang dia membunuh Melody, sebagai suami yang ditinggalkan, dia kan berhak atas separo harta Melody," kata Rahayu.

"Astaga!" kata Julinda Lesmana.

"Itu artinya dia berhak atas separo Lesmana Corporation!"

"Belum lagi uang asuransi jiwa yang dibuat Melody atas namanya sejumlah tiga ratus ribu dolar!" tambah Rahayu.

"Apa! Melody punya polis asuransi sebesar tiga ratus ribu dolar?" Danny Lesmana terkejut.

"Iya, Oom. Dia membuka polisnya di perusahaan saya," kata Rahayu.

"Dia tidak bilang apa-apa sama Oom!" kata Danny Lesmana.

"Memang dia tidak mau orang lain mengetahuinya."

"kapan dia membuatnya:

"Beberapa hari sebelum akhir tahun."

"Apa Shaun tahu tentang polis asuransi itu?" tanya Danny Lesmana.

"Pasti. Melody bilang dia bermaksud memberikan polis itu kepada suaminya sebagai hadiah tahun baru."

"Jadi Shaun pasti sudah tahu!" kata Danny Lesmana.

"Berarti suaminya punya alasan untuk membunuhnya, tidak sekadar menceraikannya," kata Rahayu.

"Dengan menceraikannya dia akan kehilangan semua itu."

"Oom akan segera bicara dengan kapten polisi itu!" kata Danny Lesmana langsung berdiri. Tanpa memedulikan tamu-tamunya dia meninggalkan mereka dan kembali ke kamarnya untuk mencari nomor telepon Kosasih.

"Halo! ini Danny Lesmana. Saya perlu bicara dengan Kapten Polisi Kosasih," katanya begitu ada yang menerima teleponnya.

Danny Lesmana menunggu beberapa saat lamanya sampai terdengar suara Kosasih dari seberang.

"Pak Kapten," kata Danny Lesmana,

"saya sekarang tahu kenapa Shaun Harman membunuh anak saya!"

**

PUKUL sembilan pagi telepon di meja Kosasih berdering.

"Ada telepon dari Dokter Leo Tarigan, Pak," kata petugas yang lagi dinas sebagai operator telepon.

"Makasih, Dik, sambungkan!" kata Kosasih.

Tak lama kemudian terdengar suara Dokter Leo Tarigan yang khas.

"Kos. aku baru terima hasil pemeriksaan lebih lanjut atas Melody Harman. Ternyata kecurigaanku terbukti. Kematiannya bukan pembunuhan spontan. Dia itu sudah diracuni perlahan-lahan."

"Hah?"

"Dari folikel rambutnya dan darahnya terbukti kadar arsenik di dalam tubuhnya lebih tinggi daripada normal. Tapi kondisi organ-organnya membuktikan bahwa keracunan itu terjadi dalam jumlah yang kecil sekali tapi terus-menerus."

"Sudah berapa lama kira-kira?"

"Melihat dampaknya, sekitar dua bulan. Mestinya korban sudah agak lama merasakan gejala-gejala keracunannya, seperti sakit kepala, mual, muntah, sakit tenggorokan. mungkin mencret dan lain-lain."

"Mungkin karena hamil dia mengira semua gejala itu bertalian dengan kehamilannya. Kan biasa orang hamil muda juga suka sakit kepala, mual, muntah, dan sebagainya, sehingga dia tidak menyangka kalau keracunan," kata Kosasih.

"Melihat kondisi organ organnya, dia tidak terusmenerus kena racun. Jadi ada masa beberapa waktu dia kena racun, setelah itu tidak lagi sehingga organorgannya sempat membaik. lalu dia kena racun lagi, lalu mulai membaik lagi, begitu beberapa kali. Tapi karena terjadi terus-menerus, semakin lama organ-organnya semakin rusak."

"Kenapa bisa begitu?"

"Jika yang kautanyakan itu alasan medisnya, aku bisa menjawab karena masuknya racun ke tubuh korban tidak terusmenerus tanpa henti. melainkan ada masa tenggangya. Tapi jika yang kautanyakan kenapa itu bisa terjadi, aku harus mengembalikan pertanyaan itu kepadamu. Kos. Kau yang harus mencari jawabannya."

"Berarti ada orang yang meracuni korban tapi tidak secara kontinyu?"

"Ya."

"Berarti orang itu tidak ingin korban cepat-cepat mati?"

"Lalu tiba-tiba dia membunuh korban dengan

menghentikan pernapasannya dengan drastis?" tanya Dokter Leo Tarigan.

"Aneh, kan?"

"Hmm... nggak klop ya? Tapi siapa tahu, mungkin akhirnya dia tidak sabar lagi dan berubah pikiran untuk membunuh korban dengan sekali gebrak."

"Andai itu aku, Kos. kalau aku sudah punya racun, kenapa aku tidak sekalian membunuh korban dengan memberinya dosis racun yang besar saja? Kenapa harus susah-susah menutupkan bantal di wajahnya?"

"Mungkin dia kehabisan racun," kata Kosasih.

"Racun apa yang dipakai?"

"Arsenik. Mudah didapatkan dari racun tikus." kata Dokter Leo Tarigan.

"Kau sudah punya tersangka?"

"Sampai sekarang ya masih suaminya."

"Itu rada aneh," kata Dokter Leo Tarigan.

"Anehnya?"

"Katanya mereka masih termasuk pengantin baru. Kalau melihat kondisi korban, berarti tidak lama setelah menikah, si suami sudah meracuni istrinya. Lha untuk apa? Wong masih pengantin baru kan masih manis-manisnya, belum ada problem. Apalagi si istri sedang hamil. Lha itu kan anaknya sendiri, Kos. Masa anaknya sendiri juga tega dibunuhnya? Motifnya apa lalu?"

"Di antaranya uang asuransi tiga ratus ribu dolar dan setengah dari aset perusahaan si istri," jawab Kosasih geram.

"Oh! Jadi maksudmu si suami itu kawin dengan korban semata-mata untuk mendapatkan hartanya?"

"Kelihatannya begitu. Ternyata dia masih mencintai bekas tunangannya."

Kos, Kita selalu masih mencintai pacar-pacar lama kita, terutama yang kita kenal di masa muda kita," kekeh Leo Tarigan.

"Itu bagian dari mimpi tak tersampai kita, Kos. Nggak ada bahayanya masih menyimpan cinta masa muda kita di hati, Kos."

"Tapi yang ini mau mewujudkan mimpinya," kata Kosasih.

"Dia sudah mengejarnya sampai ke Singapore."

"Justru kalau dia membunuh istrinya begitu cepat setelah perkawinannya, itu bodoh sekali," kata Dokter Leo Tarigan.

"Kalau dia pintar. dengan mudah dia bisa mengeruk. harta istrinya tanpa harus membunuhnya. Kalau begini kan dia pasti dicurigai dan janganjangan malah tidak bisa menikmati harta itu akibat harus masuk penjara."

"Orang yang sudah nekat tidak bisa berpikir jelas lagi," kata Kosasih.

"Makasih, Dok!"

"Apa?" tanya Gozali begitu Kosasih meletakkan tangkai pesawat teleponnya.

"Melody Harman ternyata sudah diracuni arsenik perlahan-lahan," kata Kosasih.

"Aku tidak menyangka suaminya sekejam itu. Aku bisa mengerti kalau dia membunuh istrinya secara spontan sewaktu mereka bertengkar. tapi dengan meracuninya secara perlahanlahan, itu artinya dia sudah merencanakan pembunuhannya sejak lama. Kata Leo keracunan itu sudah terjadi sejak dua bulan yang lalu."

Gozali menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa?" tanya Kosasih.

"Kalau dia sudah meracuninva, untuk apa dia membunuhnya saat ini? Tak lama lagi kan istrinya akan mati keracunan dan tidak akan ada orang yang mencurigainya," kata Gozali.

"Mungkin dia sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia mau cepat-cepat bersatu kembali dengan pacarnya di Singapore itu," kata Kosasih.

"Sungguh kejam perbuatannya, padahal istrinya hamil dan itu anaknya sendiri. Kok tega dia membunuh anaknya sendiri yang tidak berdosa."

"Yuk kita bicara dengannya sekarang," kata Gozali.

"Sejak dia ditahan kemarin sore kita belum bicara dengannya."

"Itu kan atas kemauanmu. Kau yang bilang biarkan si Harman itu tetap di tahanan supaya lebih mudah dipatahkan setelah itu," kata Kosasih.

"Bener," Gozali menyeringai.

"Jadi sekarang yuk kita patahkan dia."

Shaun Harman yang diantarkan masuk ke kantor polisi tampak kusut. Matanya merah mungkin karena kurang tidur, kulitnya kusam, dan dagunya menghitam dan tak adanya kesempatan baginya untuk bercukur.

"Silakan duduk, Saudara Harman," kata Kosasih mengindikasikan kursi di hadapannya.

Shaun Harman pun duduk.

"Kami baru saja mendapatkan informasi baru, Saudara Harman," kata Kosasih memasang wajahnya yang

paling angker. Dia sengaja berhenti sejenak untuk memerhatikan reaksi tersangka yang duduk di hadapannya.

Shaun Harman mengangkat matanya dan menunggu kelanjutan kata-kata Kosasih. Tak ada rasa terkejut, tak ada rasa takut.

"Informasi yang tidak menguntungkan bagi Anda," lanjut Kosasih.

Shaun Harman tersenyum sumbang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa? Anda tidak percaya masih ada lagi informasi yang tidak menguntungkan Anda?" tanya Kosasih.

"Sejak tragedi ini terjadi, saya sudah menganggap diri saya sangat sial, Pak Kapten," kata Shaun Harman.

"Informasi yang bisa bikin saya lebih sial lagi sudah tak mungkin ada. Saya hanya mengasihani semua orang lain yang menderita akibat kejadian ini. Semua orang yang hidupnya jadi hancur akibat kematian Melody."

"Kalau begitu, mengapa Anda melakukannya?" tanya Kosasih.

"Melakukan apa?" tanya Shaun Harman bengong.

"Membunuh istri Anda!"

"Saya tidak pernah bermaksud membunuh Melody, Pak Kapten," kata Shaun Harman.

"Saya sudah katakan kepadanya saya perlu waktu untuk menemui Tania, tapi itu tidak berarti saya meninggalkannya. Saya tidak bermaksud meninggalkannya. Dia adalah ibu anak saya. Saya tidak mengira perbuatan saya itu akan mengakibatkan kematiannya."

"Sudah, jangan bermain sandiwara terus, Saudara Harman." kata Kosasih.

"Akui sajalah Anda yang telah membunuhnya."

"Saya memang merasa bertanggung jawab atas kematian istri saya. Saya akui itu kesalahan saya," kata shaun Harman.

"Maksud Anda, Anda mengaku telah membunuh Istri Anda?" tegas Kosasih.

"Ya."

Kosasih melemparkan pandangan heran ke arah Gozali yang menganggukkan kepalanya sedikit.

"Bagaimana Anda membunuh istri Anda, Saudara Harman?" tanya Gozali.

"Saya sudah hilang, perbuatan saya pergi ke Singapore itu telah membunuhnya," kata Shaun Harman.

"Oh!" kata Gozali.

"Jadi menurut Anda bagaimana istri Anda menemui ajalnya?"

Shaun Harman menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Saya tidak tahu," katanya.

"Kami tahu," kata Gozali.

"Ibu Melody Harman menemui ajalnya karena tidak bisa bernapas. Kami tahu bahwa sebuah bantal telah dipakai untuk menutup wajah Ibu Melody Harman sehingga dia tidak bisa bernapas."

Shaun Harman menganggukkan kepalanya. Lagilagi tak ada rasa terkejut atau rasa takut yang tercermin dari sorot matanya.

"Menurut Anda siapa yang telah menutupkan bantal itu ke wajah ibu Melody Harman?" tanya Gozali.

546

Shaun Harman mengangkat wajahnya.

"Dia sendiri," katanya.

"Mungkin dia tidak bermaksud bunuh diri. Mungkin dia hanya ingin menutupi wajahnya untuk mengurangi suara tangisannya. Mungkin kemudian dia tertidur dan bantal itu masih terus menutupi wajahnya sehingga dia tidak bisa bernapas."
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gozali menggelengkan kepalanya.

"Orang yang merasa tidak bisa bernapas walaupun sedang tidur, secara refleks akan berusaha untuk menghirup udara. Dia akan terbangun dan melemparkan bantal yang menutupi wajahnya," katanya.

Shaun Harman mengerutkan keningnya dan memandang lekat-lekat ke wajah Gozali.

"Jadi?" tanyanya. Mulai ada perhatian khusus.

"Jadi tidak mungkin Ibu Melody Harman meninggal karena tidak sadar bahwa dia tidak bisa bernapas," kata Gozali.

"Seseorang telah menutupkan bantal itu ke wajahnya dan menahannya dengan kuat di sana sampai dia kehilangan kesadarannya lalu meninggal karena tidak bisa bernapas lagi," kata Kosasih geram.

"Apa?"

"Ibu Melody Harman itu dibunuh dengan sengaja. Polisi sudah tahu itu. Jadi sebaiknya Anda mengaku saja Andalah yang telah membunuhnya sebelum Anda pergi ke Singapore," kata Kosasih.

"Tidak! Saya tidak akan pernah menyakiti Melody!" kata Shaun Harman.

"Saudara Harman." kata Kosasih sambil melotot.

"Anda adalah orang yang pandai bermain sandiwara,

tapi kami tidak sebodoh yang Anda sangka. Anda telah lama merencanakan kematian istri Anda. Anda telah meracuninya secara diam-diam, sedikit demi sedikit supaya tidak ketahuan, tapi Anda dengan sadar sudah mempersiapkan kematiannya!"

"Apa ini?" tanya Shaun Harman.

"Meracuni? Jadi Melody meninggal karena diracuni?"

"Tidak. Dia meninggal karena tidak bisa bernapas. Tapi pemeriksaan autopsi membuktikan bahwa dia telah diracuni perlahan-lahan selama ini. dan andaikan dia tidak meninggal tiga hari yang lalu, tak lama lagi dia juga akan meninggal karena keracunan itu," kata Kosasih.

"itu... itu... itu mustahil!" protes Shaun Harman.

"Itu sama sekali tidak mustahil. Justru itu adalah tipu muslihat yang sangat keji!"

"Jadi Melody terkena racun? Racun apa?" tanya Shaun Harman.

"Arsenik."

"Tapi... bagaimana racun itu bisa masuk ke tubuh! nya?"

"Biasanya lewat makanan dan minuman."

Shaun Harman menganga. Dia tampak shock. Jika dia memang yang telah meracuni istrinya, dia benarbenar membawakan perannya dengan hebat dan pantas mendapatkan Piala Citra.

"Anda tidak tahu menahu tentang racun ini?" tanya Kosasih sinis.

Shaun menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Orang yang keracunan pasti menampakkan gejalagejaia keracunan itu. Masa Anda tidak melihatnya?" tanya Kosasih.

"Gejalanya apa?"

"Sakit, pusing, lemas. mual, muntah, rambutnya rontok. kulitnya timbul bercak-bercak." kata Kosasih.

"Ya, Melody menampakkan semua gejala itu, tapi saya mengira itu gejala orang yang hamil muda," kata Shaun.

"Pasti Melody sendiri juga menganggap itu gejala orang hamil muda. Andai dia tahu dia kena racun, dia pasti akan segera berobat!"

"Anda tidak membawa istri Anda ke dokter?" tanya Kosasih.

"Kami ke dokter dua-tiga kali, tapi dokternya juga tidak pernah menyinggung soal keracunan!" kata Shaun Harman.

"Kalau Pak Kapten tidak percaya, silakan tanya Dokter Riski Seputra sendiri!"

"Ini menandakan bahwa orang yang meracuni Ibu Melody Harman itu sangat pintar. Dia memakai momentum kehamilan Ibu Melody untuk meracuninya karena gejala-gejalanya mirip," kata Kosasih.

Tiba-tiba Shaun Harman meletakkan kepalannya di atas meja Kosasih.

"Pak Kapten. kalau begitu istri saya mati terbunuh!" katanya.

"Lha kan sejak awal kami sudah mengatakan istri Anda mati karena dibunuh orang." kata Kosasih sinis.

"Tadinya saya pikir entah bagaimana dia telah membunuh dirinya karena kesalahan saya, tapi sekarang kalau ternyata dia telah diracuni, berarti dia tidak mati karena bunuh diri tapi karena dibunuh orang!" kata Shaun Harman.

"Dan menurut kami, Andalah orang itu, Saudara Harman," kata Kosasih.

"Saya? Tidak! Saya tidak meracuninya! Sungguh saya tidak meracuninya!" kata Shaun Harman.

"Sebagai suaminya Anda dengan mudah bisa memasukkan racun ke dalam makanan dan minumannya," kata Kosasih.

"Tapi saya tidak pernah melakukannya!"

"Kalau begitu, siapa yang menurut Anda telah meracuninya?" lagi-lagi nada Kosasih berubah sinis.

"Saya tidak tahu! Saya tidak pernah mengira ada orang yang mau meracuni Melody! Silakan Pak Kapten memeriksa rumah saya, barang-barang saya, kalau saya punya racun pasti bisa ditemukan."

"Memang kami akan melakukan itu, Saudara Harman," kata Kosasih.

**

"Ya, Bas," kata Kosasih mengakhiri pembicaraannya dengan Abbas Tobing dari Labkrim,

"porak-porandakan seluruh rumah Harman untuk menemukan racun arsenik di sana, atau racun apa pun yang bisa ditemukan."

"Rumah itu masih belum ditempati lagi?" tanya Abbas Tobing.

"Aku belum mengembalikan kunci rumah ke tuan rumah yang masih ada di tahanan kami. Jadi tidak ada yang mengganggu penyidikanmu."

"Oke," kata Abbas Tobing.

"Kalau racunnya ketemu. segera aku kabari."

"Bas, orang ini pintar, jadi racun itu mungkin disembunyikan di tempat yang tidak terduga, atau sudah tersamar dalam bahan makanan atau minuman biasa. Kau perlu membawa seluruh bahan makanan dan minuman di rumah itu untuk dianalisis apakah ada yang tercampur racun."

"Oke. Kau tahu ya itu pekerjaan besar, jadi jangan berharap segera dapat jawaban." kata Abbas Tobing.

"justru itu, Bas. kami harus berlomba dengan waktu. Kami tidak bisa menahan si suami ini lebih lama tanpa bukti yang lebih konkret."

"Ahshhhh! Biasa! Selalu kalian itu mau cepat, mau cepat. Tanganku cuma dua, tahu!" gerutu Abbas Tobing.

"Ya. aku doakan tanganmu segera tumbuh sepuluh pasang lagi." kekeh Kosasih yang segera meletakkan tangkai pesawat telepon sebelum Abbas Tobing sempat menyatakan keberatannya lagi.

"Yuk. berangkat!" kata Gozali yang sudah siap di pintu.

"Berangkat ke mana?" tanya Kosasih.

"Ke kantor Lesmana Corporation."

"Untuk apa?"

"Jika Shaun Harman ini memang pintar. dia tidak akan meracuni istrinya di rumah." kata Gozali.

Kosasih mengerutkan keningnya.

"Di rumahnya hanya ada dia dan istrinya. Kalau terjadi apa-apa pada istrinya, tidak ada orang lain yang bisa dituduh selain dirinya," kata Gozali.

"jadi maksudmu dia akan meracuni istrinya di kantor?"

"Di kantor kan orangnya banyak. Banyak orang punya akses ke istrinya. Dia tidak akan menjadi tersangka satu-satunya."

"Kalau begitu Abbas lebih baik mulai dari kantornya?"

"Biarkan Abbas bekerja di rumahnya dulu. Coba kita ke kantornya dan kita selidiki gimana keadaan di sana," kata Gozali.

"Kau mau bicara dengan siapa di kantornya? Shaun Harman masih di tahanan kita dan aku mengira Danny Lesmana masih belum ngantor," kata Kosasih.

"Justru itu. Aku mau bicara dengan yang lain," kata Gozali.

"Goz, semalam istriku bilang, si Sam mau mendatangkan orangtuanya untuk melamar Teti," kata Kosasih dalam perjalanan mereka menuju ke Lesmana Corporation.

"Kapan?"

"Aku belum menyanggupi," kata Kosasih.

"Kenapa?"

"Aku mau ngomong sama kau dulu."

"Sama aku? Memangnya Teti anakku?" kata Gozali sambil tersenyum.

"Bukan, tapi ini kan urusan keluarga, jadi aku perlu rundingan sama kau."

"Memangnya kau ragu-ragu menerima Sam sebagai menantu?" tanya Gozali.

"Bukan. Aku lihat sih dia anak baik. si Teti juga cinta setengah mati sama dia. dan istriku sudah kebelet punya mantu dia," kekeh Kosasih.

"Lalu apa lagi yang masih dipikirkan?"

"Kalau orangtua Sam datang melamar, mereka pasti minta menetapkan tanggal perkawinan."

"Carilah tanggal perkawinan yang menurut kalian paling cocok," kata Gozali ringan.

"Apa kau menghendaki Teti menyelesaikan studinya dulu? Tahun ini kan sekolahnya selesai?"

"Bukan masalah sekolah Teti yang aku pikirkan."

"Jadi, apa?"

"Teti kan masih punya kakak."

"Hmm."

"Aku tidak mau Teti melangkahi kakaknya."

"Apa Bambang sudah punya pacar?" tanya Gozali.

"Sejak dia di Bali, aku nggak pernah bicara lagi dengannya."

"Bukan Bambang yang aku maksudkan," kata Kosasih melirik sahabatnya di sampingnya.

"Bambang itu anak laki-laki. Dilangkahi adiknya tidak apa-apa."

Gozali tidak menjawab.

"Maksudku Dessy, Goz." kata Kosasih setelah menunggu jawaban Gozali dengan sia-sia.

"Dessy keberatan Teti menikah dulu?" tanya Gozali.

"Aku yang keberatan," kata Kosasih.

"Oh."

"Dessy akan sangat terpukul, aku tidak mau hal itu terjadi. Itu tidak adil baginya."

Gozali tidak menjawab.

"Aku bisa minta orangtua Sam menunggu sampai Teti selesai sekolahnya. Itu alasan yang masuk akal. Mereka bisa menikah tahun depan," kata Kosasih.

"Hm-ehm," angguk Gozali.

"Berarti Dessy harus menikah tahun ini," kata Kosasih.

"Kau akan mencarikan jodoh untuk Dessy?" tanya Gozali.

"Astaga! Kita ini bicara apa?" kata Kosasih melemparkan kedua tangannya ke atas saking jengkelnya.

"Kenapa aku harus mencarikan jodoh untuk Dessy!"

"Lha katanya kau mau dia menikah tahun ini. Kan kau harus mencarikan jodoh dulu untuknya." kata Gozali. Tatapannya masih lurus ke depan. Nada suaranya juga tidak berubah.

"Apa aku harus melemparkan kau ke kali untuk menyadarkan dirimu?" tanya Kosasih.

"Yang nggak sadar itu kau, Kos, bukan aku," kata Gozali.

"Maksudmu?"

"Kau mau aku menikah dengan Dessy? Memangnya Dessy bakal aku kasi makan apa?" kata Gozali dengan nada datar.

Ia makan nasi! kukira dia nggak Kekurangan makan," kata Kosasih.

"Ya. Karena dia tinggal di rumahmu! Kau yang memberinya makan. Kalau dia tinggal bersamaku, aku tidak bisa memberinya makan," kata Gozali.

"Memangnya kaukira anakku makan seberapa banyaknya, Goz?" tanya Kosasih.

"Jangan ngawur. Kalau untuk memberi makan Dessy tiga kali sehari saja aku tahu kau lebih dari mampu!"

"Orang hidup tidak hanya makan, Kos. Aku tidak punya rumah. Aku tidak punya apaaapa. Aku tidak mampu punya istri. Jadi kalau kau mau Dessy kawin tahun ini, aku sarankan kau segera mencarikan dia jodoh," kata Gozali.

"Goz, aku sudah memikirkan hal ini. Kau tidak perlu membawa Dessy ke rumahmu. Kau saja yang pindah tinggal bersama aku. Bambang sudah tidak ada, Teti tahun depan juga akan meninggalkan rumah. Sisa Ari yang masih tinggal bersamaku, dan Ari nyaris tidak pernah ada di rumah selain pada waktu makan dan tidur. Kalau Dessy juga meninggalkan rumah, rumahku menjadi terlalu sepi. Kasihan istriku sendirian kalau aku tidak di rumah. Tapi jika kau dan Dessy tinggal bersama kami, itu merupakan solusi yang sangat bagus. Dessy bisa tetap membantu dan menemani ibunya, dan kita punya banyak waktu untuk mengobrol."

"Cari anak kos saja kalau kau mencari orang untuk mengisi rumahmu," kata Gozali.

"Goz, aku nggak bergurau! Ini serius. Pikirkan usulku. Itu betul-betul ide yang bagus. Kau sudah lama merupakan bagian dari keluargaku. Sekarang kau benar-benar akan menjadi keluargaku!" kata Kosasih.

"Aku nggak bisa..."

"No! Aku tidak mau mendengar kata 'nggak bisa' atau nggak ini, nggak itu. Aku cuma mau mendengar jawaban 'Ya' darimu," potong Kosasih.

Gozali memalingkan wajahnya dan memandang sahabatnya dengan tatapan aneh.

"Lihat ke depan, aku tidak mau mati kecelakaan sebelum menikahkan anak-anakku!" bentak Kosasih.

Gozali melengos, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Goz, aku memberimu waktu sampai Minggu untuk memberiku jawaban 'Ya.' Jawaban selain itu, aku tidak bersedia menerima. Setelah itu kita akan membicarakan rencana perkawinanmu dengan anakku." kata Kosasih.

"Kau Sudah gila. Kos!" kata Gozali.

"Hei. aku bakal mertuamu. Kau harus memanggilku 'Bapak' mulai sekarang," kekeh Kosasih.

"Kos! Pikirkan dengan cermat. Aku ini miskin! Aku tidak punya apa-apa. Anakmu pantas mendapatkan jauh lebih daripada apa yang aku miliki. Jika kau menjadikan Dessy istriku, kau memaksanya menjalani kehidupan yang penuh penderitaan. Aku tidak akan membiarkan kau melakukan itu kepadanya!" protes Gozali.

"Nasib setiap orang itu sudah ditentukan Yang Mahakuasa, Goz. Kalau Dessy nasibnya harus hidup menderita. biarpun aku kawinkan dengan hartawan

yang paling kaya. akhirnya dia juga akan tetap menderita. Tidak ada jaminan orang yang kaya hari ini lima tahun lagi masih kaya. Tidak kurang orang yang lima tahun lalu kita kenal kaya raya hari ini bangkrut dan hidup metana. Lihat saja Melody Lesmana. Dia mendapat jodoh yang bagus, tapi nyawanya melayang. Aku tidak mau hal itu terjadi pada anakku! Nah, jadi kalau Dessy tidak ditakdirkan hidup menderita. aku yakin hidupnya tetap bisa berbahagia. Apalagi aku tahu kebahagiaannya merupakan prioritas utama bagimu. Jadi aku sama sekali tidak khawatir menyerahkannya ke tanganmu."

"Apa kau sudah membicarakan hal ini dengan istrimu?"

"Tentu saja."

"Dan apa pendapatnya?"

"Istriku tahu Dessy mencintaimu. Dia menyerahkannya kepada Dessy."

"Sebetulnya Mbakyu tidak setuju. bukan?" tanya Gozali.

"Tidak ada ibu yang waras setuju anaknya kawin dengan bekas napi yang kere, Kos."

"Tidak jadi soal. Bukan istriku yang akan kawin denganmu," seringai Kosasih.

"Denger, Goz. Istriku kenal siapa kau, dia tahu sifat-sifatmu. Dia tahu kau mencintai Dessy. Dia tahu kau mencintai seluruh keluargaku. Dia sudah menerimamu sebagai bagian dari keluarga kami. Dia tidak akan menentangmu."

"Tapi dia menginginkan menantu lain bagi anaknya. Aku mengerti itu, Kos. Andai aku jadi dia, aku pun menginginkan menantu yang lain," kata Gozali.

"Selama Dessy bahagia, aku yakin ibunya ikut bahagia, Goz."

"Kau sudah bicara dengan Dessy juga?"

"Oh, ya."

"Lalu apa katanya?"

"Dia sendiri tentu saja gembira dengan usulku. Tapi dia tidak mau memaksamu untuk menerimanya. Dia bilang dia siap mengikuti keputusan apa pun yang kawambil. Maksudnya tentang di mana kalian bakal tinggal."

"Bagus! Kalau begitu tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah kontrakanku. dan dia tinggal bersamamu," kata Gozali.

"Hah? Mana ada suami-istri tidak tinggal serumah, Goz!"

"Siapa yang bilang aku akan menjadi suaminya?" tanya Gozali balik.

"Aku!" kata Kosasih.

"Aku merasa sudah cukup lama kau menunda-nunda mengambil langkah lebih lanjut. Kau tidak bertambah muda setiap harinya, Goz. Begitu juga Dessy. Aku tidak mau anakku menunggumu seumur hidupnya sampai rambutnya ubanan. Sekarang saatnya kalian menikah!"

Gozali tidak menjawab. Dia bersyukur mereka telah tiba di tempat tujuan. Dia melambankan kendaraan dan membelok lalu berhenti di gardu satpam di depan Lesmana Corporation.

"Kami dari Polda." kara Gozali kepada satpam yang

menjaga pintu gerbang.

"Kami mau bertemu dengan Bapak Danny Lesmana atau wakilnya."

"Pak Danny hari ini belum datang, Pak. Yang ada Pak Jaka Herlambang," kata si satpam.

"Baik, kami mau bertemu dengan Saudara Jaka Herlambang," kara Kosasih.

Satpam itu pun mengizinkan kendaraan mereka masuk. Gozali memarkirnya di lahan parkir, lalu mereka pun berjalan ke pintu perkantoran.

* * *

Jaka Herlambang bergegas menemui Kosasih dan Gozali di lobi, lalu mengajak mereka berdua masuk ke kantornya.

"Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanya jaka Herlambang.

"Ada perkembangan baru dalam penyidikan kami," kata Kosasih.

"Ternyata Ibu Melody Harman selama ini telah diracuni orang. Anda tahu sesuatu tentang itu?"

Wajah Jaka Herlambang langsung memucat.

"Diracuni?" bisiknya.

Kosasih mengangguk.

"Anda tahu siapa yang punya kesempatan untuk meracuni Ibu Harman?" tanyanya.

"Maksud Bapak, Ibu Melody diracuni di sini?" tanya Jaka Herlambang menunjuk ke lantai di bawahnya.

"Kami belum tahu di mana, jadi kami meneliti semua kesempatan. Apakah di sini ada orang yang punya kesempatan untuk meracuni Ibu Harman?" tanya Kosasih.

"Ibu Melody sudah agak lama jarang ngantor, Pak. Kalau ada yang meracuninya, ya mestinya di rumahnya sendiri." kata Jaka Herlambang.

"Memangnya gimana cara meracuninya?"

"Lewat makanan atau minuman."

Jaka Herlambang menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu pasti tidak di sini. Sejak hamil, Ibu Melody walaupun ngantor. juga tidak pernah ikut makan di sini. Katanya dia selalu mual sehingga tidak ada nafsu makan," katanya.

"Bagaimana dengan minumnya?" sela Gozali.

"Siapa yang menyediakan minumnya?"

"Di sini di setiap kantor sudah disediakan air galonan, jadi kami mengambil minum sendiri. Nggak ada yang melayani. Hanya pekerja di pabrik yang disuplai minum dari dapur."

"Baik, kalau begitu air galon di kantor Ibu Harman akan dikirim ke Labkrim untuk diperiksa," kata Kosasih.

"Tunggu, selain itu saya tahu Ibu Melody suka minum susu cokelat di sini," kata Jaka Herlambang.

"Susu cokelat?"

"Ya. Karena nggak nafsu makan, supaya nggak lemes dia minum susu cokelat."

"Dan yang membuatkan?"

"Saya nggak tahu. Mestinya ya dia sendiri. Kaleng susu cokelatnya kan ada di kantornya."

"Coba tunjukkan pada kami," kata Gozali langsung berdiri.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaka Herlambang membawa mereka ke kantor Melody Harman. Begitu membuka pintu mereka mengejutkan Norma Tanjung yang duduk di belakang meja Melody Harman sedang menyortir tumpukan dokumen di hadapannya.

"Bu Norma!" kata Jaka Herlambang dengan nada seakan akan menangkap basah maling yang sedang mencun.

Norma Tanjung hanya bisa menganga.

"Bu Norma lagi ngapain di sini?" tanya Jaka Herlambang dengan nada menuduh.

"Saya mengumpulkan semua surat yang belum sempat ditangani Bu Melody." kata Norma Tanjung dengan nada tidak senang.

"Kenapa Dik Jaka ada di sini?" balasnya.

"Ini bapak-bapak dari kepolisian mau melihat tempat kerja Ibu Melody." kata Jaka Herlambang.

"Oh! Silakan lihat." kata Norma Tanjung melanjutkan pekerjaannya. Lalu tambahnya.

"Maafkan. saya duduk di sini. Saya sudah tidak kuat berdiri terlalu lama."

Gozali menghampiri tabung air galon di ujung ruangan. Tabung itu masih ada isinya lebih dari separo.

"Ibu Melody minum air ini?" tanyanya.

Norma Tanjung mengangkat kepalanya lalu mengangguk.

"Kapan air ini diganti?"

Norma Tanjung mengerutkan keningnya lalu menggelengkan kepalanya.

"Saya tidak ingat. Kalau tinggal sedikit, diganti." katanya.

"Siapa yang mengganti?"

"Saya yang akan memanggil karyawan dari bagian kantin untuk menggantinya." kata Norma Tanjung.

"Kira-kira ada dua minggu yang lalu?" tanya Gozali.

"Hm... mungkin lebih. Akhir-akhir ini Bu Melody kan jarang ngantor, jadi airnya juga nggak ada yang minum." kata Norma Tanjung.

"Yang minum air dari galon ini hanya Ibu Harman?"

"Ya. Semua kantor punya galon sendiri sehingga yang mau minum tidak perlu merepotkan kantin. Hanya yang di pabrik saja yang disuplai dari kantin tiga kali setiap hari di luar saat makan." kata Norma Tanjung.

"Kalau begitu galon ini akan kami bawa untuk diperiksa." kata Kosasih.

"Kenapa?" tanya Norma Tanjung.

"Karena Ibu Melody ternyata diracun!" kata Jaka Herlambang.

"Diracun?" Norma Tanjung tampak terkejut.

Kosasih mengangguk.

"Jadi Ibu Melody meninggal karena diracun?" tanya Norma Tanjung.

"Tidak. Tapi dia sudah kena racun." kata Kosasih.

"Jadi seseorang sudah merencanakan kematiannya untuk jangka waktu yang cukup lama. Mungkin karena terlalu lama belum berhasil. dia menjadi tidak sabar dan membunuh Ibu Harman dengan membekapnya."

"Astaga!" kara Norma Tanjung.

"Tapi siapa yang telah melakukan hal ini?"

"Kantor ini, apakah setiap orang bisa masuk ke dalamnya?" tanya Gozali.

"Ya."

"Tapi tidak semua orang masuk kemari," bantah Jaka Herlambang.

"Hanya mereka yang pekerjaannya berkaitan langsung dengan Ibu Melody, seperti Bu Norma, saya, atau Pak Shaun. Karyawan lain tidak ada yang berani masuk ke kantor Bu Melody."

"Anak-anak Cleaning setiap hari masuk kemari untuk bersih-bersih. Bagian kantin juga masuk kemari mengganti air galonnya, mengisi pot gulanya," tambah Bu Norma.

"Berarti kantor ini tidak pernah dikunci?" tanya Gozali.

"Tidak. Tidak ada kantor yang dikunci," kata Norma.

"Bagaimana dengan makanannya?" tanya Kosasih.

"Makanan untuk Ibu Harman juga disuplai oleh kantin di sini?"

"Iya, kalau Ibu Melody mau makan di sini. Tapi Ibu Melody jarang makan di kantin terlebih akhirakhir ini setelah dia hamil," kata Norma Tanjung.

"Jadi dia makan di mana?"

"Hampir tidak pernah makan. Sejak hamil dia

sering mual sehingga nggak kerja sehari penuh. Kadang dia datang sudah siang. mungkin sudah makan di rumah, ya dia tidak makan lagi di sini sampai saat pulang: kadang dia datang pagi tapi siang sudah pulang dulu sebelum waktunya makan. Kalau dia bisa bekerja seharian penuh. paling-paling dia cuma minum susu cokelat itu saja."

"Siapa yang membuatkan susu cokelat itu?" tanya Kosasih.

"Biasanya saya."

"Ibu ambil air dari galon ini?"

"Ya."

"Susu cokelatnya?"

"Ya dari kaleng."

"Mana kalengnya?"

"Sudah saya bawa pulang Rabu lalu setelah kematian Ibu Melody."

"Dibawa pulang? Kenapa dibawa pulang?" tanya Kosasih dengan nada tidak senang.

"Lha Ibu Melody sudah tidak ada. daripada susu cokelat itu mengeras tidak terpakai. ya saya bawa pulang untuk minum saya. Kaleng itu baru dibuka hari Senin, jadi baru dipakai satu kali. Kan sayang kalau dibuang. lagi pula susu cokelat itu saya yang membelinya dengan uang sendiri. Saya tidak pernah minta ganti uang dari perusahaan. Jadi saya bawa pulang," kata Norma Tanjung sengit.

"Ibu sudah minum dari kaleng itu?" tanya Gozali.

"Belum."

Untunglah kalau begitu. Andai kaleng itu ada racunnya. kan Ibu bisa kena."

"Apa? Polisi menganggap kaleng itu ada racunnya?" tanya Norma Tanjung sambil mengangkat kedua alisnya.

"Kami belum tahu. Itulah sebabnya kami perlu mengecek kaleng susu cokelat itu. Bu."

"Kalau begitu setelah semua kerepotan ini selesai, kalengnya saya bawa kembali kemari. Bapak-bapak Senin aja datang mengambilnya."

"Bagaimana kalau nanti sore kami mengambilnya di rumah Ibu?" tanya Kosasih.

"Wah. nanti sore saya sibuk sekali. Pak. Malam ini kan ada acara doa di rumah Pak Danny, jadi masih banyak yang harus saya selesaikan. Besok. itu hari pemakaman Ibu Melody. Lusa Minggu. Jadi Senin baru kalengnya saya bawa kembali kemari."

"Sangat penting memeriksa kaleng susu cokelat itu secepat mungkin. Bu," kata Kosasih.

"Saya mengerti. Pak, tapi nanti dan besok itu saya sendiri tidak tahu kapan saya ada di rumah," kata Norma Tanjung jengkel.

"Nanti ini dari kantor saya tidak pulang. tapi langsung ke rumah Pak Danny. Pulangnya jam berapa juga tidak tahu."

"Titipkan saja kaleng susu cokelat itu kepada yang ada di rumah supaya bisa kami ambil sewaktu-waktu,"

kata Kosasih.

"Di rumah saya tidak ada orang lain. Pak."

"Kalau begitu. besok setelah pemakaman kan tugas

Ibu sudah selesai. Sorenya kami ke rumah Ibu saja untuk mengambil kaleng itu," kata Gozali.

"Saya tidak bisa janji ya, Pak. Saya tidak tahu apa besok sore Pak Danny masih memerlukan bantuan saya. Kan sekarang cuma tinggal saya yang membantunya; Bu Melody sudah tidak ada, Pak Shaun masih di kantor polisi. Jadi apa-apa tinggal saya yang mengerjakannya.

"Beginilah, kalau memang kaleng itu penting sekali, besok malam coba Bapak telepon ke rumah saya dulu, kalau saya sudah di rumah. Bapak bisa datang mengambilnya," kata Norma Tanjung sambil menuliskan nomor teleponnya di secarik kertas dari bloknote di atas meja dan memberikannya kepada Gozali.

"Baik," kata Gozali.

"Itu apa?" tanya Kosasih menunjuk ke sebuah kereta dorong kecil yang ada di pojok belakang meja tulis Melody Harman. Di atas kereta dorong itu ada empat cangkir porselen bersih yang tersusun, beberapa sendok teh, dan sebuah pot kecil dari porselen yang berisi gula.

Mereka pun berjalan ke kereta dorong itu untuk melihat dari dekat.

"Ya ini peralatan untuk membuatkan susu cokelat Ibu Melody," kata Norma Tanjung.

Kosasih berkata.

"Semua ini nanti juga akan kami bawa untuk diperiksa."

"Siapa saja yang menyentuh barang-barang ini selain Anda?" tanya Gozali.

"office boy kami," kata Norma Tanjung.

"Dia yang

mengangkat semua cangkir yang kotor. menyerahkannya ke kantin yang mencucinya. lalu membawanya

kembali kemari."

"itu dilakukan setiap hari?"

"Ya kalau habis dipakai. Kalau tidak dipakai, ya dibiarkan di sana saja. Saya selalu mengelap cangkir yang akan dipakai dengan kertas tisu sebelum saya membuatkan minuman Ibu Melody."

"Berarti selain office boy, kantin dan Ibu. tidak ada orang lain yang menyentuh barang-batang ini?"

"Mestinya begitu."

"Apa masih ada yang bisa Ibu ceritakan kepada kami?" tanya Kosasih.

Norma Tanjung menggelengkan kepalanya.

"Ini sungguh mengejutkan saya, Pak Kapten," katanya.

"Saya sungguh tidak menyangka ada orang yang sengaja mau mencelakakan Ibu Melody."

"Bagaimana dengan Ibu Sabine Lemar?" tanya Gozali.

"Apakah dia punya kesempatan untuk masuk kemari?"

"Kalau bicara soal kesempatan. tentunya semua orang yang bekerja di sini punya kesempatan masuk kemari, Pak." kata Norma Tanjung.

"Tapi saya tidak pernah melihat Ibu Sabine masuk ke kantor Ibu Melody. Ibu Sabine cuma suka masuk ke kantor Pak Shaun. Apa Bapak menduga Ibu Sabine yang meracuni Ibu Melody?"

"Sebelum terbukti siapa pelakunya. polisi mencurigai semua orang, termasuk Ibu juga," kata Kosasih.

"Kalau Bapak mencurigai saya, ya saya pasrah. Di

bandingkan semua karyawan yang lain di sini, saya adalah orang yang paling sering masuk ke kantor Ibu Melody," kata Norma Tanjung.

"Baiklah, kalau kalian sudah tidak punya keterangan lagi, kami akan membawa barang-barang bukti ini," kata Kosasih.

Sore itu semua karyawan Lesmana Corporation sudah mendengar bahwa direktur mereka telah diracuni orang, maka subjek itu pun menjadi topik yang paling aktual dan paling baru untuk dibicarakan. Para karyawan pun terpecah dalam beberapa kelompok yang saling mencurigai dan saling menuduh orangorang yang mereka anggap paling mungkin melakukan kejahatan tersebut. Semua orang punya pendapat sendiri.

Akibat kejadian ini mulai muncul kasak-kusuk terutama di antara para pekerja pabrik, bahwa apa yang terjadi mungkin disebabkan karena arwah Pak Slamet mau membalas dendam .Maklum di antara para pekerja masih banyak yang percaya takhayul.

Seiring dengan timbulnya gosip yang bersifat supranatural ini, timbul jugalah pelbagai cerita yang mengatakan bahwa selama ini arwah Pak Slamet sering tampak berkelebatan di lokasi gudang. Cerita ini sore itu sampai juga ke telinga Jaka Herlambang, yang langsung memanggil Rahadian lbrahim untuk ditanya.

Rahadian tentu saja menertawakan cerita tersebut. Dia mengatakan semua itu pasti tidak benar. Dia sendiri tidak pernah melihat arwah Pak Slamet. Menurut Rahadian yang menyebarkan cerita-cerita itu adalah Andrianto, kepala Engineering, yang memang senang dengan hal-hal yang berbau klenik.

Maka Jaka Herlambang pun memanggil semua supervisor dan kepala bagian di pabrik dan kantor untuk berkumpul. Cerita-cerita yang tidak jelas ujung pangkalnya ini harus dihentikan karena bisa menimbulkan keresahan, begitu katanya. Dan para kepala bagian ini pada gilirannya punya tugas untuk meluruskan juga isu-isu negatif ini kepada anak buah masingmasing.

Tapi satu kali benih itu sudah ditanam, maka selanjutnya timbullah pelbagai macam cerita.

**

Shaun Harman dilepaskan dari tahanan sehingga pagi ini dia bisa mengikuti pemakaman jenazah istrinya. Tapi tidak seperti biasanya para suami yang berkabung, dia justru selalu berada agak jauh dari peti jenazah. Jelas dia tidak berani mendekat ke keluarga Lesmana yang bersikap memusuhinya. Danny Lesmana bahkan tidak menoleh ke arahnya sama sekali. Begitu juga Julinda dan Mark Lesmana, semuanya tidak ada yang memberinya perhatian seolah-olah dia sama sekali tidak eksis. Bagi mereka dia tak beda dengan seorang pesakitan. Hanya Lisa Harun yang terkadang masih ingat kehadirannya. Lisa Harun masih membawakan minuman untuknya dan menanyakan bagaimana keadaannya.

Sejak dilepaskan dari tahanan polisi semalam, kali ini Shaun Harman juga tidak pulang ke rumahnya. Dia sudah diberitahu bahwa orang-orang Labkrim masih menyidik barang-barang di rumahnya dan baru

Siang itu dia bisa mengambil kunci rumahnya di kantor Polda. Maka, seperti pada malam pertama dia datang, semalam dia check-in lagi ke hotel yang sama. Untuk menghadiri pemakaman istrinya, semalam dia membeli satu setelan kemeja dan celana dari toko di samping hotelnya, yang lipatan kainnya sekarang masih tampak membekas karena langsung dipakai tanpa disetrika.

Karyawan-karyawan Lesmana Corporation banyak yang merasa iba melihat Shaun Harman, tapi mereka juga tidak berani menunjukkan dukungan kepadanya. Jelas mereka melihat bahwa keluarga Lesmana sudah tidak menganggap Shaun Harman sebagai suami Melody. Jenazah Melody tidak disemayamkan di rumahnya sendiri, melainkan di rumah Danny lesmana. Dengan meninggalnya Melody Harman, sudah pasti Danny Lesmana akan kembali memegang tampuk pimpinan, dan melihat sikap Danny Lesmana yang memusuhi menantunya, para karyawan pun harus menunjukkan di mana loyalitas mereka berada.

Hanya Sabine Lemar yang menghampiri Shaun Harman dan bercakap dengannya. Tapi itu pun tidak berlangsung lama karena Shaun Harman sendiri kemudian cepat-cepat menghindar. Mungkin dia tidak mau menempatkan Sabine di posisi yang sulit. Sabine yang juga sudah dikenal sebagai salah satu orang yang memusuhi Melody, bisa-bisa juga dicurigai oleh keluarganya telah berkomplot membunuhnya.

"Aneh, kenapa Bu Norma belum muncul sampai sekarang," kata Jaka Herlambang kepada Pak Hansen.

"Ini masih pagi. mungkin sebentar lagi datang," kata Pak Hansen.

"Memang masih pagi, tapi kan kita akan berangkat pukul enam. Ini sudah setengah enam!" kata Jaka Herlambang.

"Barangkali Bu Norma lagi disuruh Pak Danny mengurus sesuatu," kata Hansen.

"Ngurus apa lagi? Semua sudah saya urus beres." kata Jaka Herlambang rada tersinggung.

Hansen pun tidak bicara lebih banyak tapi ngeloyor pergi. Dia tidak terlalu favorit dengan Jaka Herlambang yang angkuh ini. Belum-belum sudah merasa dia yang paling berkuasa sekarang di Lesmana Corporation.

"Dik Ella, Bu Norma ke mana?" tanya Jaka Herlambang kepada si resepsionis.

"Nggak tahu, Mas," jawab Elia.

"Kok masih belum datang?"

"Sakit, kali," kata Ella.

"Kemarin setelah polisi-polisi itu pulang, kan Bu Norma menangis lama."

"Coba saya telepon rumahnya. Telepon rumahnya nomor berapa, El?"

Ella yang punya keahlian mengingat semua nomor telepon, dengan mudah menyebutkannya.

Jaka Herlambang pun segera bergegas menghampiri Julinda Lesmana.

"Bu Juli, saya pinjam teleponnya, mau menelepon ke ibu Norma," kata Jaka Herlambang kepada si nyonya rumah.

"Oh. ya. silakan." kata Julinda Lesmana.

Jaka Herlambang mencoba beberapa kali, tapi tidak ada yang menjawab teleponnya di rumah Norma Tanjung.

"Sudah mau waktunya berangkat lo, Mas," kata Lisa Harun kepada Jaka Herlambang.

"Kata Pak Danny nggak boleh terlambat sampai di tempat pemakaman."

"Oke, saya sudah siap. Bus-bus karyawan akan segera saya beritahu," kata Jaka Herlambang.

Tak lama kemudian satu per satu kendaraan yang akan mengantarkan jasad Melody Lesmana Harman ke tempat perisrirahatannya yang terakhir pun mulai bergerak. Diantarkan oleh keluarga, teman, dan hampir semua karyawan dan relasi Lesmana Corporation, iringiringan mobil pengantar jenazah yang panjang itu memberikan kesan seakan-akan orang yang meninggal adalah orang yang sangat disayangi banyak orang.

"Goz, kau belum memberi aku jawabanmu." kata Kosasih ketika mereka sedang duduk di sebuah depot nasi campur di seberang kantor Polda untuk makan siang. Depot nasi ini sudah sepi karena sudah lewat jam makan siang.

"Pertanyaanmu apa?" kata Gozali.

"Akh, gimana kau ini! Pura-pura tidak tahu aja! Ya soal perkawinanmu dengan anakku," kata Kosasih.

"Soal itu aku sudah memberikan jawabanku berkali-kali," kata Gozali.

"Itu bukan jawaban yang aku tunggu." kata Kosasih.

"Sori, cuma itu jawaban yang bisa aku berikan," kata Gozali.

"Aku sungguh tidak mengerti kenapa kau begitu keras kepala! Oke, kalau kau tetap keras kepala begini. aku tidak perlu bertanya lagi kepadamu. Aku yang memutuskan!" kata Kosasih.

"Kalian akan menikah tahun ini!"

"Apa!" Gozali berpaling sambil melotot.

"Semalam aku sudah bicara dengan istriku dan kami memutuskan bulan November adalah waktu yang tepat. Kita tidak perlu menggelar pesta besar, cukup syukuran sederhana saja, jadi tidak perlu membuat persiapan macam-macam."

"Tapi, Kos..." Gozali langsung meletakkan sendoknya.

"Sudah tidak usah beralasan macam-macam," potong Kosasih.

"Kau akan menikahi Dessy dan tidak ada perdebatan lagi. Setelah itu kau akan pindah dari rumahmu dan tinggal serumah dengan aku. Titik."

"Ini gimana toh! Masa "

"Stop! Aku tidak mau mendengarkan protes apaapa darimu tentang hal ini. Sekarang cepat habiskan makanmu, aku mau cepat-cepat kembali ke kantor," kata Kosasih.

"Kos. ini tidak lucu "

"Makan!" kata Kosasih sambil melotot.

"Aku masih punya banyak pekerjaan administrasi di kantor!"

Gozali mengembuskan napas panjang dan menyuapi mulutnya cepat-cepat. Dia sudah tidak mengunyah makanannya lagi. semua ditelannya bulat-bulat begitu saja.

Kosasih segera membayar makanan mereka lalu berdiri.

"Ayo!" katanya.

Gozali bungkam. Dia tetap duduk tidak bergerak.

"Oh, mogok bicara?" kata Kosasih.

"ini pemaksaan," kata Gozali masih tetap duduk.

"Masa bodo," kata Kosasih.

"Pelanggaran hak asasi." kata Gozali lagi.

"Terserah."

"Aku tidak akan melakukannya!"

"Kalau sampai terjadi apa-apa pada anakku karena pernikahan ini tidak terjadi, kau akan menyesal seumur hidupmu. Aku yang akan membuatmu menyesal seumur hidupmu!"

Akhirnya Gozali berdiri juga karena si pemilik depot sudah mulai memerhatikan mereka.

Mereka berjalan kembali ke kantor Polda.

"Tidak akan terjadi apa-apa pada Dessy, Kos, dia gadis yang bijaksana," kata Gozali sambil berjalan.

"Aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kalian akan menikah November. Jadi kalau sampai hal itu tidak terjadi, berarti kau yang ingkar. dan kau akan menghancurkan hatinya."

"Tapi aku tidak pernah membuat janji itu!"

"Aku yang membuatkan janji itu untukmu. dan kau harus memenuhinya, kecuali kau tega menghancurkan hati Dessy."

"Kos. aku ini kere!"

"Aku tahu."

"Lalu untuk apa kau mau punya menantu kere?"

"Karena anakku mencintaimu dan dia merasa bahagia hidup bersamamu."

"Aku tidak mampu memberinya apa-apa."

"Kau bisa memberinya cintamu. Kayaknya bagi Deasy itu sudah cukup."

"Orang tidak hanya hidup dari cinta, Kos! Orang perlu makan, perlu pakaian, perlu rumah, .perlu uang!"

"Aku tahu. Uang masih bisa kalian cari."

"Uang yang bisa aku dapatkan sama sekali tidak mencukupi."

"Kekurangannya ditambal oleh cinta."

"Kalau perut lapar tidak bisa makan cinta, Kos!"

"Aku yakin kalian tidak akan sampai kelaparan. Kalau mau Dessy bisa membantu mencari uang, berjualan makanan atau apa. Saat aku kawin dulu. kami juga tidak punya apa-apa. Tapi toh kami tidak pernah kelaparan satu hari pun."

"Ini betul-betul tidak masuk akal!"

"Ini jodoh. Sudah jalannya harus begini, ini takdir, jadi kita ikuti saja, jangan dilawan."
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * *

"Gimana hasil analisismu, Bas?" tanya Kosasih pukul empat sore itu kepada temannya Abbas Tobing dari Labkrim.

"Semua bahan makanan dan minuman di rumah korban juga tidak mengandung arsenik," kata Abbas Tobing.

"Berarti korban tidak keracunan di rumahnya sendiri?" tanya Kosasih.

"Atau si pelaku sudah sempat membuang barang buktinya sebelum kita periksa," kata Abbas Tobing memandang Gozali seolah-olah minta pendapatnya.

Gozali diam saja.

"Goz, kok melamun?" tanya Abbas sambil menyeringai.

"Nggak melamun," jawab Gozali dengan wajah masam.

"Kenapa diam aja sejak tadi?" tanya Abbas Tobing yang tidak mengetahui masalah Gozali.

"Dia lagi kena sakit bisu," kata Kosasih.

Seringai Abbas Tobing semakin melebar.

"Marah sama kau ya, Kos?" tanyanya menggoda.

"Sekali-sekali ada yang berani marah sama kau, bagus juga."

"Kayak anak kecil aja," gerutu Kosasih. Lalu dia berpaling ke sahabatnya.

"Sekarang ini pikirin urusan pekerjaan. Marahnya ntar aja diteruskan di rumah."

"Iya, Goz. Menurutmu mungkin nggak si suami sudah membuang racunnya?" tanya Abbas Tobing.

"Si suami tak pernah masuk ke rumahnya lagi setelah kepulangannya dari Singapore, Bas. Kan kunci rumahnya ada di kita," kata Gozali.

"Dia baru ngambil kuncinya tadi siang ini sepulang dari pemakaman jenazah istrinya."

"Betul. Rumahnya waktu kami sidik semalam masih dalam keadaan kosong," kata Abbas Tobing.

"Mungkin dia membuangnya sebelum dia berangkat ke Singapore karena dia sudah memperkirakan nanti kita akan mencari racun di rumahnya," kata Kosasih.

"Kalau begitu. dia pasti membuangnya sebelum pertengkarannya dengan korban siang itu, karena menurut keterangan pembantunya dia meninggalkan rumah dengan tergesa-gesa. tanpa berhenti untuk membawa apa-apa dari rumahnya." kata Gozali.

"Tunggu!" kata Abbas Tobing.

"jika si suami ini sudah membuang barang-barang beracun dari rumahnya sebelum kematian si istri, berarti dia sudah merencanakan kapan dia mau membunuh istrinya!"

Kosasih mengerutkan keningnya.

"Kau bener, Bas. Berarti dia sudah merencanakan akan membunuh istrinya pada hari Selasa yang lalu dengan membekapnya dan semua racun yang dipakainya untuk meracuni istrinya sudah dibuang sebelumnya supaya dia tidak dicurigai orang!" katanya.

"Lalu dia sengaja bertengkar ramai dengan istrinya supaya semua orang tahu dia punya motif untuk membunuhnya," kata Gozali sinis.

"Pertengkaran itu terjadi di luar dugaan, Goz. Dia sendiri bilang tadinya dia mau ke Singapore dengan alasan lain. tapi entah gimana istrinya tahu bahwa dia mau menemui bekas tunangannya," kata Kosasih.

"Jadi andai tidak terjadi pertengkaran, dan istrinya tiba-tiba kedapatan mati waktu dia di Singapore, kan

nggak ada yang tahu dia terlibat, Kata Abbas tobing sambil mengangguk-angguk.

"Bagaimana dengan barang-barang yang berasal dari kantor korban, air galonan dan gula serta cangkir-cangkirnya?" tanya Kosasih.

"Belum selesai," kata Abbas.

"Nanti aku beritahu."

"Kaleng susu cokelat yang ada di kantornya nanti menyusul. Bas," kata Kosasih,

"kami masih perlu mengambilnya dulu dari si sekretaris. Semalam kami telepon ke rumahnya pukul setengah sembilan, si sekretaris masih belum pulang." Lalu berpaling kepada Gozali dia berkata,

"Gimana kalau kau telepon ke kantor Lesmana Corporation dan mencari Norma Tanjung, Goz?"

"Ini Sabtu, dan hari pemakaman Melody Harman. Apa kantornya nggak tutup?" tanya Gozali.

"Coba ajalah," kata Kosasih.

Gozali menunjuk ke telepon di meja Abbas Tobing sambil mengangkat alisnya dan menyeringai.

"Silakan!" kata Abbas.

Gozali berbicara beberapa saat lamanya lalu meletakkan tangkai pesawat telepon.

"Kantor hari ini diliburkan," kata Gozali.

"Yang masuk hanya orang pabrik shift dua."

"Oh, ya sudah kalau begitu, coba nanti kita mampir ke rumahnya saja," kata Kosasih.

"Senin juga nggak apa-apa, Kos," kata Abbas Tobing.

"Aku toh masih punya barang-barang ini untuk disidik dan dianalisis. Hari ini aku mau pulang

579

lebih sore. Semalam aku sudah melembur di rumah Shaun Harman sampai hampir pukul sepuluh. Aku capek. Lagi pula ini malam Minggu."

"Ya okelah, kalau begitu Senin aja ya. Bas, kami drop kemari."

"Gimana kalau akhirnya aku tidak menemukan racun di mana pun, Kos?" tanya Abbas Tobing.

"Itu akan menimbulkan problem buat kami," kata Kosasih.

"Kenapa?"

"Karena kita harus membuktikan suaminya yang meracuninya. Aku tadinya berharap kau sudah menemukan racun. Kalau tidak, kami tidak punya bukti konkret untuk menahannya."

"Kalau suaminya pintar, dia sudah menyingkirkan semua barang bukti yang bisa menggantungnya," kata Abbas Tobing.

"Suaminya pintar," angguk Kosasih dengan nada geram.

**

Walaupun kantor hari ini tutup, Danny Lesmana muncul di Lesmana Corporation bersama Mark siang itu. Mereka berdua masih mengenakan pakaian yang dikenakan ke pemakaman Melody tadi pagi.

Jaka Herlambang yang juga ke kantor setelah acara pemakaman selesai. agak terkejut saat melihat sosok Danny Lesmana lewat di depan kantornya yang pintunya terbuka. Dia pun segera melompat berdiri dari

kursinya dan mengejar bosnya. Ini kesempatan bagus untuk menunjukkan kepada bosnya bahwa dia adalah manajer yang rajin, yang tahu tanggung jawab, meskipun kantor diliburkan dia tetap ke kantor.

Danny Lesmana membuka pintu kantornya yang lama yang kemudian ditempati oleh Melody. Dia menghidupkan lampu di dinding, lalu pergi duduk di kursinya. Mark Lesmana mengikutinya dan pergi duduk di sofa di samping. Dia memang menyertai ayahnya karena mengkhawatirkan kesehatan ayahnya, tapi dia diam saja, tidak berkata apa-apa, tidak mau ambil bagian dalam apa yang dilakukan ayahnya. Dia sendiri sedang bingung. Apa yang akan terjadi sekarang dengan perusahaan ini? Dengan kematian kakaknya, hanya dialah yang tersisa untuk mewarisi perusahaan ini, dan dia sama sekali tidak tertarik untuk terjun di sini. Dia hanya bisa berdoa semoga ayahnya mengizinkan dia kembali ke Amerika untuk melanjutkan studinya di bidang musik dan tidak memaksanya untuk bergabung di perusahaan ini.

"Pak Danny? Kok datang?" tanya Jaka Herlambang mengintip di depan pintu.

"Ya," kata Danny Lesmana tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Dia juga tidak tanya kenapa Jaka ada di sana.

Jaka Herlambang langsung kecewa. Dedikasinya kok tidak dikomentari?

Danny Lesmana berusaha membuka laci meja, tapi terkunci. Di atas meja tidak ada apa-apa selain alatalat tulis yang biasanya ada di sana. Dia pun berdiri

dan pergi membuka pintu penghubung ke kantor Norma Tanjung.

Kantor itu dalam keadaan gelap. Danny menyalakan lampu dan pergi ke meja tulis sekretarisnya. Meja itu juga bersih.

"Wah, di mana Norma menyimpan semua berkas urusan yang penting?" kata Danny Lesmana.

"Kemarin semua dokumen yang di meja Ibu Melody diambil oleh Bu Norma. Pasti disimpan di lemarinya," kata jaka Herlambang.

"Andai tadi saya ketemu Norma, saya mau minta kuncinya," kata Danny Lesmana.

"Tapi aneh juga dia tadi nggak muncul."

"Lho, jadi Bu Norma nggak bilang sama Pak Danny kalau dia bakal nggak ikut ke pemakaman tadi pagi?"

"Enggak. Dia bilang sama kamu?"

"Enggak, Pak. Saya justru nyangka tadi pagi Bu Norma mendapat tugas khusus dari Pak Danny."

Danny Lesmana menggelengkan kepalanya.

"Tadi pagi saya juga sudah mencoba meneleponnya tapi nggak ada yang ngangkat pesawatnya, Pak," kata Jaka Herlambang.

"Itu nggak mirip sifat Norma," kata Danny Lesmana.

"Kalau dia berhalangan, dia pasti meninggalkan pesan.

"Coba kita telepon sekarang," kata Danny Lesmana. Lalu dia minta kepada satpam untuk menghubungkannya dengan telepon rumah Norma Tanjung. Pada

saat kantor tutup, satpamlah yang mengoperasikan telepon.

"Nggak ada yang ngangkat teleponnya di rumah Bu Norma, Pak," kata si satpam setelah beberapa menit berlalu.

"Coba suruh Pak Bob ke rumahnya, Mark. Barangkali dia sakit atau apa," kata Danny Lesmana.

Mark yang sedang duduk di sofa pun segera berdiri dan keluar mencari Bob Partahi.

"Dik Jaka, sekarang tolong panggilkan Pak Hansen."

"Lho, apa Pak Hansen ada to, Pak?" tanya Jaka Herlambang heran.

"Saya tadi nyuruh dia ke kantor setelah dari pemakaman. Mestinya ya ada."

Otak Jaka Herlambang langsung berputar. Danny Lesmana tidak pernah berurusan dengan orang-orang Pembukuan. Kenapa sekarang dia mencari Hansen? Apa Shaun Harman sudah tidak bekerja lagi di sini?

"Pak Shaun tidak kembali, Pak? Dia kan sudah tidak ditahan lagi di kantor polisi."

"Pak Shaun sudah tidak akan menjejakkan kakinya lagi di sini!" kata Danny Lesmana dengan nada geram.

"Iya, Pak, saya panggilkan Pak Hansen," kata Jaka Herlambang lalu keluar. Wah, ini yang untung Pak Hansen, pikir Jaka Herlambang. Dia yang bakal mengisi kursi Shaun Harman!

Pak Hansen ternyata ada di kantornya sendiri.

"Pak Hansen, dipanggil Pak Danny," kata Jaka Herlambang.

"Oh, Pak Danny sudah datang?" Hansen segera berdiri dari mejanya.

"Makasih, Dik Jaka," tambahnya.

"Pak Hansen, memangnya kenapa Pak Danny memanggil sampeyan?" tanya Jaka memancing.

"Nggak tahu, Dik Jaka." Hansen segera bergegas ke kantor Danny Lesmana.

Danny Lesmana masih sedang berbicara dengan Hansen ketika teleponnya berdering.

"Dari Pak Bob, Pak," kata si satpam.

"Oke."

Setelah terdengar bunyi klik, langsung terdengar suara Bob Partahi yang bernada panik.

"Pak, Bu Norma meninggal!"

"Hah?"

"Bu Norma meninggal, Pak!"

"Kok bisa meninggal?"

"Nggak tahu, Pak. Saya sampai ke rumahnya, pagarnya tidak dikunci, saya masuk, lalu saya ketok-ketok pintu rumahnya. tapi tidak ada yang keluar. Lalu saya coba ternyata pintu rumahnya tidak dikunci. Saya masuk ke dalam. Kondisinya berantakan. Lalu saya temukan dia di lantai ruang tamunya. Pak. sudah kaku. Lehernya nyaris putus!"

"Ya ampun. Tuhan!" kata Danny Lesmana.

"Pak. saya harus gimana ini sekarang?" tanya Bob.

"Ini betul-betul gila!" kata Danny Lesmana sambil mandar-mandir di teras depan rumah Norma Tanjung.

Mark duduk tanpa berkata sepatah pun di kursi rotan yang ada di teras. Pemuda ini benar-benar terguncang. Jiwa senimannya kehilangan stabilitas. Dia dan ayahnya tidak ingin duduk di dalam ruang tamu yang berantakan tempat mayat Norma Tanjung masih tergeletak. Jelas pemuda ini sedang kebingungan.

"Sebetulnya kemarin kami itu mau kemari ngambil kaleng susu cokelat dari Bu Norma, tapi kami meneleponnya jam setengah sembilan malam, tidak ada yang terima. Jadi kami sangka dia belum pulang dari acara doa di rumah Anda, Pak Lesmana. Kami nggak jadi datang," kata Kosasih.

"Norma kemarin malah nggak ikut acara doa di rumah saya," kata Danny Lesmana.

"Dia datang sekitar pukul lima sore untuk membantu apa-apa yang perlu disiapkan. Kata istri saya, lilinnya kurang, jadi Norma pergi membeli lilin dan beberapa keperluan lain. Dia kembali sekitar pukul setengah tujuh. Sedianya acara doa dimulai pukul tujuh malam, tapi tibatiba pendetanya telepon, katanya rombongan dari gereja baru bisa datang pukul delapan malam. Jadi karena tertunda satu jam, Norma pamit pulang untuk

mandi dulu. katanya. Nah, saya bilang, sudah nggak usah kembali, nggak ikut acara doa nggak apa-apa, pasti dia sudah apek seharian belum beristirahat, apalagi pemakaman akan berangkat jam enam pagi-pagi besoknya. Jadi Norma nggak kembali lagi ke rumah saya. Mestinya waktu Bapak telepon itu dia sudah ada di rumahnya!"

"Tapi waktu itu teleponnya nggak ada yang terima. Jangan-jangan waktu itu dia sudah dibunuh," kata Kosasih. Dia menerima telepon dari Danny Lesmana beberapa saat sebelum dia dan Gozali bermaksud meninggalkan kantornya, maka bersama Gozali dia pun segera meluncur ke tempat tinggal Norma Tanjung.

"Saya sungguh tidak mengerti kenapa bisa ada kejadian seperti ini. Siapa bajingan gila yang telah membunuh Norma! Dia cuma perempuan tua yang tidak pernah melukai siapa pun. Kenapa ada orang yang mau membunuhnya?"

"Pada pandangan pertama kelihatannya ini seperti perampokan yang disertai pembunuhan," kata Kosasih mengindikasikan barang-barang yang tercecer di lantai ruang tamu.

"Dari sekian rumah yang ada di jalanan ini, kenapa perampoknya memilih rumah Norma, wong rumahnya ini sederhana. Memangnya apa yang bisa diambil di sini?" kata Danny Lesmana.

"Perabotnya sudah tua semua. Televisinya juga. Satu-satunya harta Norma yang paling berarti selain rumah ini adalah mobilnya, dan itu masih ada di garasinya. Barang lain dia tidak punya. Perhiasan dia tidak punya. Gajinya selalu dia

tabung di bank dan dia ambil uang tunai hanya seperlunya. Kalau orang mau merampok, pasti memilih sasaran yang lebih kaya."

"Makanya, saya bilang 'pada pandangan pertama'." kata Kosasih.

"Tapi melihat kunci pintunya yang tidak rusak, dan tidak adanya tanda-tanda orang masuk ke rumah ini dengan kekerasan. sepertinya barang-barang yang tercecer ini merupakan skenario si pembunuh saja."

"Jadi menurut Pak Kapten, Norma memang dibunuh dengan sengaja, dan bukan pekerjaan seorang pencuri?" tanya Danny Lesmana.

"Kita tunggu hasil autopsi dan penyidikan Labkrim dulu, Pak," kata Kosasih menunjuk ke dalam. tempat Gozali dan beberapa orang Labkrim sekarang sedang sibuk melakukan pekerjaan mereka.

"Menurut Pak Kapten apa kematian Norma ada kaitannya dengan kematian anak saya?" tanya Danny Lesmana.

"Logisnya begitu." kata Kosasih.

"Berarti ini juga perbuatan Shaun Harman?" tanya Danny Lesmana geram.

"Kami belum tahu. Tapi melihat kunci pintu rumah ini yang tadi, saya menarik kesimpulan bahwa si pembunuh dikenal oleh Ibu Norma Tanjung karena dia membukakan pintu untuknya." kata Kosasih.

"Berarti Norma tahu siapa yang telah membunuh anak saya dan dia dibunuh karena itu?" tanya Danny Lesmana.

"Kemarin kami datang ke Lesmana Corporation

dan bertemu dengan Ibu Norma Tanjung. Pada saat itu dia tidak memberikan kesan bahwa dia tahu lebih dari yang sudah diceritakannya kepada kami. Artinya, apa yang dikatakannya tidak menunjuk siapa-siapa sebagai pembunuh Ibu Melody Harman. Malah, keterangannya hanya menunjuk dirinya sendiri sebagai orang yang punya kesempatan paling banyak untuk meracuni Ibu Melody Harman," kata Kosasih.


Pendekar Bunga Karya Chin Yung Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung

Cari Blog Ini