Ceritasilat Novel Online

Misteri Melody Yang Terinterupsi 8

Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD Bagian 8



"Dia tidak menyebut nama lain?"

"Tidak. Bu Norma mengatakan sejak Ibu Harman hamil dan mual-mual, dia hampir tidak pernah makan di kantin, dan kalau dia minum susu cokelat di kantor. yang membuatkan adalah Ibu Norma Tanjung sendiri."

"Kalau begitu kenapa ada orang yang mau membunuhnya?" tanya Danny Lesmana.

"Sebaiknya Pak Danny sekarang pulang saja dan memberitahu anak-anak Ibu Norma Tanjung tentang apa yang terjadi. toh tidak ada lagi yang bisa dikerjakan di sini. Sekarang kami hanya menunggu kedatangan Dr. Leo Tarigan dan orang-orang Labkrim menyelesaikan pekerjaan mereka. Nanti kami akan kabari Pak Danny lagi," kata Kosasih.

"Norma tidak punya anak," kata Danny Lesmana.

"Anaknya cuma satu dan dia meninggal dalam kecelakaan lalu lintas beberapa tahun yang lalu."

"Suaminya?"

"Malah sudah meninggal duluan. Setelah suaminya meninggal itu dia baru bekerja ikut saya. Setahu saya Norma sekarang hidup sebatang kara. Dia bahkan

suka menyumbang sebuah panti jompo karena dia merencanakan tinggal di panti jompo itu kalau sudah pensiun kelak."

"Jadi Ibu Norma Tanjung ini sama sekali tidak punya keluarga? Saudara. kemenakan, atau apa gitu?"

"Itu saya tidak tahu. Norma tidak pernah cerita tentang saudara atau kemenakannya. Barangkali juga tidak punya karena andaikan ada. dia pasti pernah menyinggung tentang mereka."

"Berarti orang yang muncul di sini untuk membunuhnya bukan keluarganya," kata Kosasih.

"Tadi pagi saya melihat Shaun di pemakaman. Kapan dia dikeluarkan dari tahanan polisi?" tanya Danny Lesmana.

"Kemarin malam sekitar pukul tujuh begitu pemeriksaannya telah rampung dan dia diizinkan pulang."

"Kenapa dia tidak ditahan terus?"

"Kami belum punya bukti konkret untuk menahannya. Semua yang dituduhkan kepadanya tidak ada dasar barang bukti apa pun."

"Jadi sejak semalam dia sudah pulang ke rumahnya?"

"Semalam dia tidak tidur di rumahnya karena orang-orang Labkrim masih bekerja di sana. Dia baru mengambil kunci rumahnya tadi siang: Kenapa?"

"Berarti semalam dia punya kesempatan untuk membunuh Norma," kata Danny Lesmana.

"Begitu juga banyak orang yang lain, Pak Lesmana," kata Kosasih.

"Ya sudah. kalau sekarang dia sudah kembali ke

rumahnya, saya akan mengirim pembantunya kembali kepadanya. Kan pembantunya masih di rumah saya," kata Danny Lesmana.

"Saya sudah tidak mau punya hubungan apa-apa lagi dengan seluruh isi rumah Shaun Harman."

"Berarti Saudara Shaun Harman sudah tidak bekerja lagi di Lesmana Corporation?" tanya Kosasih mengerutkan keningnya.

"Ya. Mulai sekarang dia bahkan tidak diizinkan menginjakkan kakinya lagi di Lesmana Corporation!"

"Bagaimana kalau nanti terbukti bukan Saudara Shaun Harman yang membunuh istrinya?" tanya Kosasih.

"Mana mungkin bukan dia. Pasti dia! Dia adalah satu-satunya orang yang ada di rumah saat kejadian."

Kosasih menganggukkan kepalanya tanda setuju.

Danny Lesmana menghela napas dalam.

"Tahun ini memang tahun yang sial." katanya.

lagi-lagi Kosasih menganggukkan kepalanya.

"Awal tahun sudah dibuka dengan kematian salah satu karyawan bagian gudang," lanjut Danny Lesmana.

"Waktu itu perasaan saya sudah kurang enak, wong baru dua minggu memasuki tahun baru, di bulan puasa, lagi. kok ada karyawan yang bunuh diri. Saya sudah punya firasat buruk. Tapi saya pikir, masa saya ini ikutan takhayul, jadi saya buang jauh-jauh firasat jelek itu. Ternyata firasat itu betul. Anak saya ikut jadi korban, dan sekarang sekretaris saya."

"Lho, jadi pernah ada karyawan yang bunuh diri?" tanya Kosasih heran.

"Ya. Malah sekarang kata si Hansen, di pabrik beredar omongan bahwa semua ini terjadi karena arwah karyawan yang mati itu yang membalas dendam."

Kosasih pun mengangkat suaranya dan memanggil Gozali.

Gozali segera muncul dari dalam rumah.

"Goz kau tahu ada karyawan Lesmana Corporation yang bunuh diri bulan puasa yang lalu?" tanya Kosasih kepadanya.

Gozali menggelengkan kepalanya.

"Kenapa dia bunuh diri?" tanyanya.

"Karena ketahuan nyuri barang," jawab Danny Lesmana.

"Persisnya gimana saya kurang jelas. soalnya gudang kan urusan Shaun, jadi dia yang manggil temannya dan disuruh menyelidiki. Tadinya dikira kepala gudangnya terlibat, tapi ternyata bukan."

Kosasih dan Gozali saling bertukar pandang.

"Kami ingin tahu lebih banyak tentang masalah itu." kata Gozali.

"Wah, Anda harus bicara dengan orang-orang gudang. Kepalanya yang sekarang namanya Rahadian. Dia menggantikan kepala gudang lama yang diturunkan jabatannya karena dianggap Shaun tidak menjalankan kontrol yang benar hingga memberi anak buahnya kesempatan untuk mencuri," kata Danny Lesmana.

"Kepala gudang yang lama masih bekerja di Lesmana Corporation?" tanya Kosasih.

"Ya. Cuma sekarang dia tidak menjabat kepala lagi. Wakilnya yang menggantikan kedudukannya."

"Aneh, kenapa bisa ada dua kejadian di perusahaan Anda di mana seorang kepala diturunkan jabatannya dan digantikan oleh wakilnya. Pertama kepala Pemasaran Anda, sekarang ternyata kepala gudang Anda juga begitu," kata Kosasih.

"Ya. saya tahu sebetulnya kondisi ini tidak sehat," kata Danny Lesmana mengembuskan napas panjang.

"Sebenarnya lebih bagus jika mereka berhenti. Tapi mengingat mereka ini sudah lama bekerja di LC dan juga pernah berjasa terhadap perusahaan, kok rasanya kurang manusiawi jika mereka dikeluarkan. Jadi alternatifnya ya itu. diturunkan pangkatnya."

"Siapa nama kepala gudang yang lama?" tanya Kosasih.

"Eh, Kris Wenger. Dia sudah lama bekerja di Lesmana Corporation. Dia sendiri sih tidak mencuri, cuma karena teledor, anak buahnya punya kesempatan mencuri."

"Lagi-lagi ada yang punya ganjalan sakit hati," kata Kosasih.

"Ya, mungkin dia sakit hati sama Shaun karena Shaun yang menurunkan jabatannya."

"Mungkin juga sama Ibu Harman, karena dialah direkturnya," kata Kosasih.

"Dan sekalian istri Saudara Shaun Harman," tambah Gozali.

Mata Danny Lesmana melebar.

"Jadi. maksud bapak-bapak. Kris Wenger yang mencelakakan anak saya?" tanyanya.

"Kami tidak tahu. Yang kami tahu ada dua orang di perusahaan Anda yang punya sakit hati terhadap keluarga Anda."

"Tunggu! Saya ingat satu kejadian lagi," kata Danny Lesmana.

"Sebulan yang lalu, rumah saya pernah dilempari kotoran. Pelakunya tidak tertangkap dan tidak diketahui."

"Kapan itu terjadi?"

"Tanggalnya saya tidak ingat. pokoknya awal bulan Februari. sebelum Lebaran. Waktu itu saya dan istri masih di luar negeri."

"Berarti itu terjadi sesudah masalah terbongkarnya pencurian di gudang ini?"

"Ya."

"Selain dengan orang-orang gudang kita juga harus bicara lagi dengan Saudara Shaun Harman," kata Kosasih kepada Gozali.

"Tapi, Pak Kapten, walaupun Kris Wenger ini punya dendam sama Shaun dan Melody. dia tidak mungkin membunuh Melody karena dia kan tidak ada di rumahnya!" kata Danny Lesmana.

"Melody meninggal di rumahnya, dan satu-satunya orang yang punya kesempatan membunuh anak saya di rumahnya sendiri hanyalah suaminya sendiri yang kejam itu!"

"Kita tidak tahu. Bisa saja ada orang lain yang masuk ke dalam rumah setelah Saudara Harman pergi," kata Gozali.

"Kita juga masih harus mengusut bagaimana Ibu Harman bisa keracunan." kata Kosasih.

"Saya yakin itu juga perbuatan Shaun! Dia yang tinggal serumah dengannya. dia punya kesempatan 24 jam setiap hari untuk meracuninya."

"Labkrim tidak menemukan racun di rumahnya sama sekali. Pak Lesmana." kata Kosasih.

"Kami masih memeriksa barang-barang di kantornya."

"Maksud Bapak, anak saya diracuni di kantor?" tanya Danny Lesmana heran.

"Kami masih menunggu hasil pemeriksaan labkrim."

"Bapak pikir Kris Wenger yang meracuni anak saya?"

"Atau Sabine Lemar."

"Sabine?"

"Dia punya sakit hati sama Bu Harman. Dan menurut cetita Bu Norma Tanjung. Ibu Sabine Lemar masih menaksir Saudara Shaun Harman."

"Saya tahu Sabine menaksir Shaun, tapi Shaun tidak naksir dia."

"Alasan itu mungkin bisa membuat dia semakin sakit hati."

"Oke! Kalau memang terbukti Kris Wenger atau Sabine Lemar yang meracuni anak saya, saya tuntut dia habis-habisan!" kata Danny Lesmana.

"Tapi bagi saya sekarang yang lebih penting adalah menangkap pembunuh anak saya. Shaun Harman!"

"Itu yang sedang kami lakukan. Pak Lesmana," kata Kosasih.

"Hanya saja kami belum mendapatkan

bukti konkret yang memastikan si pembunuh adalah Saudara Shaun Harman."

"Kalau begitu Kris Wenger dan Sabine Lemar mulai Senin saya skorsing," kata Danny Lesmana.

"Jangan dulu. Kami akan memeriksa mereka lagi. Sementara sebaiknya Pak Lesmana tidak mengambil tindakan apa-apa yang bisa membuat si pelaku tahu bahwa dia sedang dicurigai," kata Kosasih.

"Apakah kepala gudang yang sekarang ini orangnya bisa dipercaya?" sela Gozali.

"Oh, iya! Dia adik si Rahayu, teman baik Melody. Kami mengenalnya sudah sejak kecilnya dulu. Pak Kapten ingat kan sama Rahayu. yang bekerja di kantor asuransi dan yang memberitahu bahwa anak saya punya polis 300 ribu dolar?"

"Oh. ya." angguk Kosasih.

Danny Lesmana tampak terdiam sebentar. Berpikir. Gozali memerhatikannya dan menunggu apa yang akan dikatakan laki-laki itu berikutnya.

"Sekarang baru terpikirkan oleh saya." kata Danny Lesmana kemudian,

"apa tidak mungkin Shaun menyuruh temannya yang debt collector untuk membunuh Melody? Orang seperti Shaun mungkin tidak mau melakukan pembunuhan dengan tangannya sendiri."

"Siapa temannya itu?" tanya Kosasih.

"Dia seorang debt collector: Namanya Song Kumar. Orang seperti itu kan cara kerjanya seperti preman. Orang seperti ini tidak akan segan melakukan pekerjaan kotor apa saja asalkan dibayar!"

"Song Kumar?" tanya Kosasih mengangkat alisnya.

"Ya. Pak Kapten kenal nama itu?" tanya Danny Lesmana.

"Ya. Kami kenal," kata Kosasih.

"Bagaimana Saudara Harman bisa berteman dengan orang seperti itu?"

"Nah, itu saya juga tidak tahu," kata Danny Lesmana.

"Dari mana Pak Lesmana tahu bahwa Song Kumar ini berteman dengan Saudara Harman?" tanya Kosasih.

"Karena Shaun memakainya untuk membongkar kasus pencurian di pabrik kami itu," kata Danny Lesmana.

"Waktu itu saya juga tidak bertanya kepadanya kok dia bisa kenal dengan orang seperti itu. Kalau dipikir, orang baik-baik nggak bakal berteman dengan debt collector kan?"

"Kita betul-betul perlu bicara dengan Saudara Harman lagi," kata Kosasih sambil merapatkan bibirnya.

Goaali yang sejak tadi mencekal sesuatu di tangannya, sekarang mengulurkannya ke Kosasih.

"ini ada di sebelah pesawat telepon korban di dalam kamarnya," kata Gozali.

Kosasih mengerutkan keningnya mengamati sebuah blok kertas yang di atasnya tertulis sederetan angka.

"Kelihatannya seperti nomor telepon," katanya. Lalu dia mengambilnya dari tangan Gozali dan menunjukkannya kepada Danny Lesmana.

"Anda kenal nomor apa ini?" tanyanya.

Danny Lesmana memandang sejenak lalu langsung berkata,

"Itu nomor telepon rumah Shaun!"

Ketiga laki-laki itu pun saling bertukar pandang.

"ini buktinya!" kata Danny Lesmana sambil menuding ke blok kertas di tangan Kosasih.

"Ini buktinya Shaun juga terlibat kematian Norma. Ternyata Norma menelepon Shaun, dan Shaun datang lalu membunuhnya!"

Kosasih memandang sahabatnya sambil menunggu reaksinya.

Gozali manggut-manggut tapi tidak menjawab.

"Goz. kaupikir begitu?" desak Kosasih.

"Melihat kondisi mayat korban. saya memperkirakan dia meninggalnya sudah sejak kemarin," kata Gozali.

"Ialu?"

"Yah, jadi kalau kemarin korban menelepon ke rumah Saudara Shaun Harman, dia pasti tidak ketemu dengan orangnya karena Shaun Harman tidak pulang tapi menginap di hotel," kata Gozali.

"Jadi kalaupun Ibu Norma ini menelepon ke rumah Shaun Harman, dia juga tidak bisa bicara dengan Shaun Harman dan tidak bisa menyuruhnya datang."

Danny Lesmana terdiam beberapa saat lamanya. Tapi dia kemudian melanjutkan,

"Tapi ini artinya Norma tahu sesuatu. dan dia mau bicara dengan Shaun tentang hal itu." katanya.

"Itu mungkin benar," kata Gozali.

"Kenapa dia tidak bicara dengan saya saja.! Andai

dia bicara dengan saya, mungkin dia tidak terbunuh"

"Apakah hubungan Ibu Norma Tanjung dengan Saudara Shaun Harman sangat akrab?" tanya Kosasih.

"Sudah pasti. Mereka kan sudah lama bekerja sama, kedua-duanya tadinya orang kepercayaan saya," kata Danny Lesmana.

"Jadi sebetulnya sebelum ini Pak Lesmana tidak ada alasan sama sekali untuk mencurigai iktikad Saudara Shaun Harman?" tanya Gozali.

"Betul! Saya sudah menganggap dia seperti anak saya sendiri, bahkan sebelum dia menjadi menantu saya. Bisa dibilang semua urusan keuangan perusahaan saya ada di tangannya. Saya pasrahkan semuanya kepadanya. Saya sekarang sebetulnya bingung, bagaimana perusahaan ini bisa berjalan lancar tanpa dia. Tapi kejahatan yang dibuatnya sudah keterlaluan sehingga saya sudah tidak bisa memaafkannya lagi," kata Danny Lesmana.

Suara kendaraan terdengar berhenti di depan halaman dan tak lama lagi muncul sosok Dr. Leo Tarigan di depan pintu.

"Malam, Dok!" sapa Kosasih sambil menyeringai lebar.

"Sori, malam Minggu harus dinas."

"Wah, kau ini! Gagal rencanaku malam ini garagara kaupanggil kemari," kata Dr. Leo Tarigan sambil tersenyum. Dia lalu memberikan tangannya kepada Danny Lesmana.

"Ini Pak Danny Lesmana, Dok. Yang meninggal ini sekretarisnya," kata Kosasih memperkenalkan Danny Lesmana! Kok rasanya aku pernah dengar namanya?" kata Dokter Leo Tarigan.

"Dia adalah ayah Ibu Melody Harman yang terbunuh empat hari yang lalu," tambah Kosasih.

"Oh! Dan sekarang ini sekretarisnya juga terbunuh?" tanya Dr. Leo Tarigan dengan kedua alisnya terangkat.

"Ya."

"Oke." kata leo Tarigan.

"Tugasku hanya memeriksa kondisi korban dan menentukan apa penyebab kematiannya dan lain-lain. Mencari benang merahnya antara dua pembunuhan ini adalah tugas polisi. Jadi, di mana korban?"

Kosasih menunjuk ke ruang tamu yang pintunya terbuka, dari mana terlihat beberapa orang sedang sibuk di dalam.

"Pak Abbas di dalam?" tanya Dokter Leo Tarigan.

Kosasih mengangguk sambil menyeringai.

"Wah, dia ngomel-ngomel karena maunya malam ini dia tidur sore-sore." katanya.

"Yah, beginilah. korban profesi," jawab Leo Tarigan sambil terus nyelonong masuk ke dalam.

"Aku rasa kita perlu bicara dengan orang yang pertama menemukan korban." kata Gozali kepada Kosasih.

"Itu si Bob, sopir saya," kata Danny Lesmana. Lalu dia segera berdiri dan memanggil Bob Partahi.

Seorang laki-laki separo baya naik ke teras.

"Ini Bob Partahi." kata Danny Lesmana.

"Dia yang menemukan Norma. Bob, Bapak-bapak dari Polda ini mau bicara denganmu."

Bob Partahi mengangguk.

"Coba Pak Partahi bercerita tentang apa yang terjadi tadi," kata Kosasih.

Bob Partahi pun mengisahkan pengalamannya tadi sore sampai dengan saat menemukan mayat Norma Tanjung.

"Sepertinya Pak Partahi ini selalu berada di TKP sekitar waktu terjadinya pembunuhan, ya?" kata Gozali setelah mendengarkan cerita Bob Partahi.

"Lho, maksud Pak Goz?" tanya Danny Lesmana kaget.

"Dari cerita yang berhasil kami kumpulkan, Pak Partahi ini juga yang mengantarkan Ibu Melody Harman pulang pada hari terakhir hidupnya, bukan? Sekarang Pak Partahi juga adalah orang pertama yang mengetahui tentang kematian Ibu Norma Tanjung," jelas Gozali.

"Waduh, Pak! Saya tidak ada sangkut-pautnya dengan kedua pembunuhan itu!" kata Bob Partahi langsung menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan dadanya untuk mempertegas ketidakterlibacannya.

"Kalau Bapak bilang begitu, kan sama dengan menuduh saya yang membunuh!"

Gozali menyeringai.

"Kami tidak menuduh siapa pun sebelum jelas bukti-buktinya. jadi Pak Partahi tidak perlu khawatir jika memang tidak melakukan kejahatan," katanya.

"Sungguh lho. Pak, saya tidak tahu apa-apa! Lagi pula buat apa saya membunuh Ibu Melody atau lbu Norma? Mereka kedua-duanya sangat baik terhadap saya!" kata Bob Partahi.

"Eh, Bob, waktu kamu nganterin Melody pulang, apa ada orang lain yang datang ke rumahnya?" tanya Danny Lesmana.

"Kapan?"

"Ya siang yang terakhir itu, sebelum Melody terbunuh."

"Yang saya tahu ya cuma Pak Shaun," kata Bob.

"Saya mengantarkan Ibu Melody pulang lalu tidak lama lagi Pak Shaun datang."

"Setelah itu tidak ada orang lain lagi yang datang?" tanya Danny Lesmana.

"Selama saya di sana. tidak ada," kata Bob.

"Kamu di mana waktu itu?"

"Ya di halaman depan, Pak."

"Berapa lama kamu di sana?"

"Di sana terus. Pokoknya saya siap kalau sewaktuwaktu Ibu Melody mau pergi lagi atau apa."

"Jadi kamu tidak ke mana-mana? Tidak masuk ke dalam rumah untuk minum atau apa?"

"Tidak. Pak. Saya nunggu di halaman terus."

"Sampai kapan?"

"Sampai Pak Shaun keluar lalu menyuruh saya mengantarkannya ke Juanda."

"Dan selama waktu itu sama sekali tidak ada orang lain yang datang?" tanya Danny Lesmana lagi.

"Satu pun?" Teorinya tentang Song Kumar menjadi berantakan dengan keterangan Bob Partahi ini.

"Selama saya di halaman itu sama sekali tidak ada satu pun manusia yang masuk atau keluar dari rumah

Pak Shaun, Pak," kata Bob dengan yakin.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Entah setelah saya pergi."

"Kamu nggak ketiduran waktu itu, Bob?" kejar Danny Lesmana.

"Kamu kan suka duduk di dalam mobil terus ketiduran."

"Aduh! Waktu itu enggak, Pak! Masa saya berani tidur, wong di halaman ada mobil Pak Danny, ada mobil Pak Shaun, sementara pagarnya nggak dikunci, kan mobil-mobil itu bisa dibawa lari orang, Pak!" protes Bob.

"jadi kamu yakin waktu itu nggak ada orang yang melewati kamu?"

"Yakin seyakin-yakinnya, Pak! Berani sumpah saya, waktu itu sama sekali tidak ada orang lain yang lewat, baik keluar maupun masuk ke dalam rumah!"

"Kamu melihat waktu Pak Shaun datang, dia datang sendiri atau ada orang lain bersamanya di dalam mobilnya?" tanya Danny Lesmana tidak putus asa.

"Sendirian, Pak."

"Kamu yakin? Barangkali ada yang sembunyi di dalam mobilnya?"

"Aduh. Pak Danny! Masa tidak percaya sama saya? Kalau ada orang lain di dalam mobilnya, saya pasti tahu wong saya yang memarkirkan mobilnya lho. Pak Shaun begitu turun, mobilnya ditinggal di tengah-tengah halaman begitu saja. Pak Shaun tergesa-gesa masuk. Saya yang memarkirkan mobilnya di pinggir supaya kalau mobil Mercy-nya mau dipakai. bisa langsung keluar."

Danny Lesmana berpaling ke Kosasih dan Gozali.

"Kalau begitu Shaun melakukan perbuatan kejinya dengan tangannya sendiri," katanya.

"Kami akan bicara lagi dengannya," kata Kosasih.

* ' *

Dua jam kemudian, Kosasih dan Gozali pun meninggalkan rumah Norma Tanjung. Dokter Leo Tarigan sudah membawa jenazah korban ke rumah sakit, tinggal anak buah Abbas Tobing yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka menyidik rumah itu.

"Menurut pandanganmu apa yang terjadi?" tanya Kosasih kepada sahabatnya yang mengemudikan mobil mereka.

"Kaulihat kaleng susu cokelat di atas meja makan korban?" tanya Gozali.

"Tidak. Aku kan tidak masuk ke dalam karena sudah ada kau dan orang-orang Labkrim di dalam. Jadi kaleng susu cokelatnya sudah kauberikan pada Abbas?"

"Ya. Ada yang aneh dengan kaleng itu."

"Apa?"

"Begitu aku berikan, atas permintaanku Abbas segera mengecek sidik jari di kaleng itu."

"Lalu? Tidak ada sidiknya?"

"Ada. Satu set lengkap, lima jari tangan kanan," kata Gozali.

"Bagus kalau begitu."

"Hanya satu set itu. Kos."

"Maksudmu?"

"Kaleng itu kan sudah dipegang berulang-ulang, paling tidak oleh Norma Tanjung sendiri. Pertama waktu dia membelinya, lalu waktu dia meletakkannya di kantor Melody Harman. Lalu waktu dibawa pulang dan diletakkan di atas meja makannya. Belum lagi mestinya ada sidik jari si penjual atau karyawannya. Jadi mestinya di kaleng itu ada banyak sidik jarinya!"

"Ini hanya ada satu set?"

"Ya! Lima jari dengan satu jempol. Melihat ukurannya, tangan wanita."

"jadi, menurutmu gimana?"

"Aku rasa, itu sidik jari Norma Tanjung yang sengaja dipasang di sana setelah kaleng itu dibersihkan dulu dari sidik-sidik yang lain."

"Untuk apa?"

"Untuk menghilangkan sidik-sidik jari yang lain yang bukan milik Norma Tanjung."

"Berarti kaleng susu cokelat itu sungguh ada racunnya?"

"Mungkin."

"Kalau begitu sebaiknya Abbas mendahulukan pemeriksaan kaleng itu."

"Aku sudah bilang begitu padanya."

"Tapi dengan bersihnya kaleng itu dari sidik jari yang lain, kita tidak punya bukti siapa yang mencampurkan isi kaleng itu dengan racun."

"Sekarang kausuruh anak buahmu bicara dengan para tetangga Norma Tanjung besok pagi-pagi," kata Gozali.

"Barangkali ada yang melihat siapa yang datang ke rumahnya kemarin."

beSOK Minggu. kata Kosasih.

"Justru itu. Waktunya semua orang ada di rumah. Kalau anak buahmu datang pagipagi, orang-orang itu belum pergi."

Kosasih mengangguk

"Oke, kalau begitu sekarang kita harus kembali ke kantor lagi." katanya.

Gozali mengangguk.

"Goa. kalau begitu. orang yang membunuh Norma Tanjung adalah orang yang tahu sidik jarinya ada di kaleng susu cokelat itu dan dia datang untuk menghapusnya." kata Kosasih.

"Ya."

"Lalu untuk apa dia membunuh si Norma Tanjung?"

"Mungkin Norma tidak mau menyerahkan kaleng susu cokelatnya kepada orang ini. Atau mungkin Norma menjadi curiga padanya."

"Yah, salahnya sendiri sih." kata Kosasih dengan nada kesal.

"Andaikan kaleng itu diberikan pada kita kemarin, kan dia nggak sampai mati."

"Usia itu di tangan Yang Mahakuasa, Kos. Kalau sudah waktunya mati, di mana pun dan apa pun yang dikerjakan, pasti akibatnya membuat dia mati." kata Gozali.

"Yah, kalau dipikir-pikir lagi ada benernya juga pendapatmu itu. Kayaknya memang semua orang yang mati sebetulnya memang sudah waktunya mati. Lalu buat apa kita mencari siapa pembunuhnya? Kalau memang sudah waktunya mati, dibunuh atau tidak, dia juga bakalan mati, entah itu dengan dibunuh, ditabrak mobil, tercebur sungai, atau kena penyakit," kata Kosasih.

Gozali mengangguk sambil tersenyum.

"Dan, berdasarkan teorimu itu, kalau orang belum waktunya mati, walaupun sepuluh orang datang membunuhnya, dia tetap selamat," lanjut Kosasih.

"Apa memang nggak begitu?" kata Gozali masih sambil tersenyum.

"Kan banyak orang yang selamat secara ajaib dari situasi yang sangat jelek?"

"Ya sudah, kalau begitu kita tidak usah mencari dan menangkap pembunuh, karena kalaupun orang itu tidak mati di tangan si pembunuh, dia juga bakalan mati karena satu dan lain hal karena sudah tiba saatnya untuk mati. Si pembunuh itu kebetulan aja di sana," kata Kosasih dengan nada jengkel.

"Usia itu di tangan Yang Mahakuasa, nyawa juga milik Yang Mahakuasa. Menghidupkan dan menge akhiri nyawa itu hak Yang Mahakuasa. Kalau ada orang yang mengakhiri nyawa orang lain, dia telah merampas hak Yang Mahakuasa," kata Gozali.

"Itu yang tidak diizinkan oleh hukum. Kau kan'penegak hukum, jadi pekerjaanmu adalah menangkap orangorang yang melanggar hukum ini."

"Jadi menurutmu siapa yang membunuh Norma Tanjung?" tanya Kosasih.

"Kita tunggu hasil penyidikan Abbas. Kalau kita beruntung, dia akan menemukan sidik jari orang yang tidak seharusnya ada di rumah itu," kata Gozali.

"Maksudmu di rumah Norma Tanjung?"

"Ya."

"Menurutmu pelakunya bukan Shaun Harman?"

"Tergantung saat ajal korban. Jika korban mati sebelum pukul tujuh malam. pasti bukan di tangan Shaun Harman karena dia masih berada di kantor Polda waktu itu."

"Seandainya memang bukan Shaun Harman, lalu siapa?" tanya Kosasih.

"Orang yang meracuni Melody Harman." kata Gozali.

"Menurutmu siapa selain Shaun Harman? Sabine Lemar? Kris Wenger?"

"Aku tidak tahu. Senin kita bicara lagi dengan mereka semuanya."

"Bagus. Kalau begitu setelah dari kantor, kita langsung pulang. Ada banyak yang perlu kita bicarakan," kata Kosasih.

"Apa lagi yang mau dibicarakan?"

"Urusanmu dengan anakku," kata Kosasih.

"Aku sudah capek. Kos. Malam ini aku langsung pulang saja setelah mengantarkan kau."

"0, tidak! Kau tidak bisa meloloskan diri semudah itu," kata Kosasih.

"Tapi aku sudah capek."

"Justru itu kami nanti bisa lebih mudah mengalahkanmu," kekeh Kosasih.

**

"Kok malam. Pak?

sudah pukul delapan lebih,"

tanya Nyonya Kosasih yang menyambut suaminya di pintu.

"Mbakyu," sapa Gozali sambil mengangguk ke nyonya rumah.

"iya. Baru mau pulang tadi, tiba-tiba ada mayat lagi yang ditemukan. terus kami masih harus kembali ke kantor untuk menyiapkan surat tugas," kata Kosasih.

"Kalian sudah makan?"

"Ari dan Teti sudah," kata Nyonya Kosasih.

"Bapak mau mandi dulu atau makan dulu?"

"Sebetulnya ingin mandi tapi perut kok ya sudah lapar ya? Ya sudah, makan aja dulu. kasihan kalian juga pasti sudah lapar!"

Dessy yang mendengar suara di depan langsung bergegas keluar dari kamar tempat dia dan Teti sedang mengobrol.

"E. Bapak! Lik! Aku panasi ya sopnya." katanya segera masuk ke dapur.

Kosasih dan Gozali pun pergi duduk di meja makan sementara Nyonya Kosasih juga masuk ke dapur.

"Tumben si Ari tidak keluar dan ikut makan lagi," kata Kosasih ketika semua hidangan sudah ditata di meja.

"Oh, si Ari ke rumah Dede." kata Nyonya Kosasih.

"Mau bikin PR bareng-bareng."

"Bikin PR apa nonton film?" tanya Kosasih. Dede masih tetangga mereka terpaut lima rumah.

"Ngakunya bikin PR," jawab ibunya.

"Kalau selesai bikin PR mau nonton film ya biarinlah. Pak. Namanya masih remaja."

"Teti mana?" tanya Kosasih.

"Nggak ikut makan lagi?"

"Masih ganti pakaian," kata Dessy.

"Sebentar lagi kan Sam datang. Ini kan malam Minggu. Dia sudah makan kok. Lagian dia diet, kepingin langsing, hehehe."

"Kalau begitu yuk kita mulai!" kata Kosasih yang langsung menyendok sop ke piring nasinya.

"Gimana ceritanya hari ini, Pak?" tanya Dessy.

"Malam ini kita tidak bicara pekerjaan," kata Kosasih.

"Oh, ya? Lalu kita bicara apa?" tanya Dessy.

"Kita bicara tentang kamu dan..." Kosasih menuding Gozali yang duduk di seberangnya.

Dessy berpaling memandang Gozali dan mulutnya perlahan-lahan merekah ke sebuah senyuman lebar.

Gozali membeku. Dengan kepala masih setengah tertunduk menghadapi piringnya, dia hanya berani melirik ke kiri dan ke kanan tanpa berani bersuara apa-apa.

"Bapak sudah memberitahu Lik-mu bahwa kalian harus menikah dulu sebelum Teti dan Sam. Karena Teti dan Sam merencanakan menikah tahun depan, berarti kalian harus menikah tahun ini karena menurut kata orang-orang tua, tidak baik menikahkan dua

anak dalam satu tahun," kata Kosasih.

"Kos!" Hanya itu yang keluar dari mulut Gozali sebagai protes.

Dessy yang masih sedang mengawasinya langsung mengerutkan keningnya.

"ibumu sudah memilih bulan November," kata Kosasih,

"Bapak rasa itu pilihan yang baik, jadi kita masih punya waktu delapan bulan untuk mempersiapkan apa-:apa yang diperlukan. Itu waktu yang cukup."

"Kos!" kata Gozali lagi.

"Karena Teti akan meninggalkan rumah ini, dan Bambang bekerja di Bali, kami ingin kalian tetap tinggal di sini setelah menikah." kata Kosasih.

"Jadi, Goz, aku rasa semuanya sudah pas. Gimana?"

Gozali menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kepala tertunduk.

Nyonya Kosasih langsung memandang suaminya dengan wajah cemberut.

Untuk beberapa detik lamanya, tak ada yang berkata apa-apa. Lalu Kosasih memecahkan keheningan.

"Goz?" tanyanya.

Gozali tetap menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kosasih menepuk meja dengan telapak tangannya.

"Goz!" bentaknya. Wajahnya memerah.

"Pak," kata Dessy mengangkat tangannya ke arah bapaknya.

"Lik tidak usah menikahi aku kalau dia tidak mau."

"Apa?" Kosasih terenyak kaget.

"Aku nggak mau Lik menikah denganku karena dipaksa Bapak!" kata Dessy.

Sekarang ganti Gozali yang memandang Dessy dengan terkesima.

"Des, kamu tuh ngomong apa?" tanya Kosasih bingung.

"Kamu bukannya mau menikah dengan Lik? Bapak ini sudah ngaturkan semuanya untuk itu!"

"Tidak dengan cara pemaksaan seperti ini, pak. Kalau Lik tidak mau, Bapak tidak usah memaksanya," kata Dessy.

"Kamu kayak nggak kenal Lik-mu ini aja! Dari dulu dia berusaha menghindari pernikahan. kalau dia tidak dipaksa, dia tidak bakalan mau menikah denganmu, atau dengan siapa pun!" kata Kosasih.

"Ya sudah, kalau itu keinginannya, Pak, biarkan dia. Aku tidak mau dia menikahiku karena terpaksa! Aku bukan siapa-siapa, mungkin Lik memang nggak mau punya istri aku," kata Dessy.

"Biar Teti menikah dengan Sam tahun depan, aku tidak keberatan dilangkahi. Aku tidak keberatan membujang terus."

"Des," kata ibunya mengulurkan tangannya mencekal tangan anaknya.

"Lik-mu hanya khawatir dia tidak pantas mendampingimu. sebetulnya kami semua tahu dia mencintaimu."

"Dia mencintai seluruh keluarga ini. Tapi kalau dia tidak mau menikah denganku, jangan paksa dia," kata Dessy.

"Des, kamu sadar nggak apa yang kamu katakan?" tanya Kosasih.

"Sadar, Pak."

"Kamu yakin ini yang kamu mau?" tanya Kosasih heran.

"Ya. Aku tidak mau Bapak memaksa Lik untuk menikah dengan aku."

"Bapak sangka kamu mencintai Lik?"

"Ya. dan karena itu aku tidak mau Bapak memojokkannya. Lik akan membenciku kalau dia dipaksa menikahi aku."

"Des, sejak dulu cita-citamu adalah menikah dengan Lik. kan?" kata Nyonya Kosasih.

"Ya. Tapi tidak semua cita-cita kita bisa tercapai, Bu. Yang sedikit ini aku juga tahu."

"Tapi dua malam yang lain waktu kita bicara, kamu setuju dinikahkan tahun ini."

"Aku setuju karena aku menyangka Lik juga mau."

"Des, Lik-mu ini sebetulnya mau, hanya saja dia merasa tidak mampu untuk punya istri," kata Kosasih.

"Bapak kan sudah bilang setelah menikah kami boleh tinggal di sini. jadi pengeluaran kami bisa hemat sekali karena tidak usah membiayai rumah tangga sendiri. Tapi Lik tetap nggak mau, jadi mungkin Lik memang nggak menginginkan aku sebagai istrinya. Mungkin Lik punya calon yang lain," kata Dessy.

"Bukan itu masalahnya," sela Gozali.

"Jadi apa masalahnya?" tanya Kosasih dengan nada tak sabar.

"Seperti kata Dessy, masalah keuangan sudah tidak menjadi kendala lagi kalau kalian tinggal di sini. Lalu apa kendalanya?"

Gozali menggelengkan kepalanya lagi.

"Sudahlah, Pak, jangan memojokkan dia," kata Dessy kepada Kosasih.

"Sudah jelas Lik nggak mau."

"Jadi sekarang kamu juga mundur?" tanya Kosasih masih bingung.

"Menikah itu harus kehendak kedua belah pihak.

Kalau yang satu nggak mau. yang lainnya masa bisa maju sendiri? Kalau Lik nggak mau. aku akan menghormati keputusannya." kata Dessy memandang Gozali lurus-lurus.

Gozali memejamkan matanya lalu menunduk.

Beberapa detik berlalu tanpa ada suara sedikit pun di meja makan itu.

"Hei. kok pada diam semuanya?" tanya Teti yang baru keluar dari kamar. Wajahnya yang cerah sangat bertolak belakang dengan wajah mereka yang duduk di meja makan.

"Rambutmu bagus dimodel seperti itu, Tet," kata Nyonya Kosasih mengalih perhatian dan mencairkan suasana yang membeku.

"iya ta. Bu? Pantas?" tanya Teti kolokan.

"Sam mau mengajakmu keluar?" tanya Kosasih.

"Cuma jalan-jalan di dekat sini aja. Pak." kata Teti yang ikut duduk di meja makan bergabung dengan keluarganya.

"Lho, kok nggak habis makanannya?" tanyanya.

"Wah, nanti Ari yang senang. pasti dia makan lagi kalau melihat masih ada sisanya."

"Ya. nggak apa-apa," kata Nyonya Kosasih,

"namanya anak laki-laki, masih remaja. lagi. Kan dia geraknya hanyak, jadi makannya juga kuat."

Gozali berdiri.

"Saya pamit dulu, Mbakyu," katanya kepada Nyonya Kosasih.

"Lho. kok tergesa-gesa, Lik? Ini malam Minggu lho." kata Teti.

"Malam ini permisi dulu. Kos, Des, Tet, malem!" kata Gozali lalu berjalan ke pintu.

Desy mengikutinya dan membukakan pintu untuknya.

"Des. sori..."

"Nggak apa-apa," potong Dessy tersenyum sumbang.

"Kau nggak apa-apa?" tanya Gozali.

"Nggak usah memusingkan aku," kata Dessy.

Gozali mengangguk, lalu keluar.

Dessy menutup pintu di belakang punggungnya lalu kembali ke meja makan dan mulai mengangkat piring-piring kotor ke dapur. Teti pun membantunya. Ibunya dan Kosasih sudah masuk ke dalam kamar mereka. Terdengar mereka sedang bicara di dalam tapi tak jelas kata-katanya.

"Jadi," bisik Teti di dapur,
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"sudah OK?"

"Ya, sudah OK," kara Dessy sambil tersenyum.

"Pantesan tadi Lik langsung mau pulang," kekeh Teti,

"pasti dia lagi malu-malu kucing, hehehe. Jadi kalian akan menikah November ini?"

Dessy terSenyum tanpa memberikan jawaban. Dia mulai mencuci piring-piring kotor dan Teti membantu mengeringkannya dan mengembalikannya ke lemari.

"Mas Sam pasti kaget mendengarnya nanti," kekeh Teti.

"Dia sama sekali tidak tahu Mbak pacaran dengan Lik."

"Jangan beritahu dia sekarang," kata Dessy.

"Iagian waktu pacaran kalian cuma sedikit, ngapain membicarakan aku? Bicara tentang kalian berdua sendiri aja."

"Iya. ya. itu risikonya punya pacar dokter," kata Teti.

"Ketemunya baru bisa malam setelah pasiennya abis."

"Makanya. waktu yang sedikit itu harus dimanfaatkan." kata Dessy.

"Janji, jangan membicarakan aku."

"Kenapa?"

"Kata orang, kalau belum jadi dibicarakan, ntar bisa batal."

"Oh ya? Oke. kalau begitu aku nggak akan bicara apa-apa soal itu. Mbak, kalau udah kawin nanti gimana kalau aku membantu Mas Sam di tempat prakteknya, biar nggak sendirian di rumah dan biar punya waktu bersama-sama suami?" kata Teti.

"Kamu mau membantunya apa?" tanya Dessy.

"Ya apa ajalah, nyatat nama pasien atau ngelap-ngelap mejanya juga nggak apa-apa, asal aku ikut hadir di sana. Lagian supaya aku nggak cemburu. Siapa tahu pasiennya ada cewek yang cantik." kata Teti.

Terdengar ketukan di pintu.

"Ini Mas Sam sudah datang! Pergi dulu ya, Mbak!" Teti melemparkan serbetnya dan langsung melesat keluar.

Nyonya Kosasih masuk dan membantu Dessy menyelesaikan pekerjaannya.

"Ibu mendengar Sam baru datang?" tanyanya.

"Ya. Bapak di mana?" tanya Dessy.

"Mau mandi. nunggu air hangatnya," kata ibunya. Lalu tambahnya,

"Des, apa kamu bener-bener sudah tidak berharap menikah dengan Lik?"

"Aku sih berharap, Bu, tapi aku nggak mau kalau

dia menikahi aku karena dipaksa Bapak. Rasanya gimana gitu kalau setiap memandangnya aku teringat bahwa dia menikahi aku hanya karena dipaksa Bapak," kata Dessy.

"Lha sekarang gimana? Bapak kan telanjur menyetujui Teti dan Sam menikah tahun depan. Memang resminya orangtua Sam belum datang, tapi Bapak kan sudah memberikan janjinya kepada Sam dan Teti."

"Ya nggak apa-apa. Bu, biar Teti menikah tahun depan. Aku nggak keberatan dilangkahi," kata Dessy.

"Mulut orang itu kejam lho, Des," kata ibunya.

"Aku nggak dengerin mulut orang, Bu. Biarinlah orang mau ngomong apa," kata Dessy.

"Sekarang kamu bisa ngomong begitu. Tapi jatuh waktunya, hatimu pasti juga sakit," kata Nyonya Kosasih.

"Ya sakit kan cuma awal-awalnya, Bu. Lama-lama kan sudah kebal." kata Dessy.

"Mungkin Ibu yang salah juga ya, Des. Mestinya kamu keluar bekerja, jadi ada banyak kesempatan ketemu orang lain. Sekarang ini setiap hari kamu hanya ketemu keluargamu sendiri dan Lik. Kamu nggak punya pilihan."

"Ketemu orang lain pun aku nggak mungkin berniat menikah dengan mereka. Aku mencintai Lik." kata Dessy.

"Mungkin Lik memang bukan jodohmu, Des."

"Ya sudah, Bu, aku terima nasibku."

"Maksudmu? Kamu berniat membujang seumur

hidup?" tanya Nyonya Kosasih dengan nada khawatir.

"Kan nggak semua orang itu ditakdirkan menikah, Bu."

"Semua perempuan ingin punya suami. Des, ingin punya keluarga sendiri. Itu sudah naluriah. Perempuan itu kodratnya memelihara, merawat, dan memberi makan. Nah. kalau dia tidak punya keluarga, dia tidak bisa melaksanakan dorongan naluriahnya ini."

"Yang bisa dipelihara, dirawat, dan diberi makan kan tidak terbatas pada keluarga sendiri aja, Bu. Kan masih banyak orang luar yang juga membutuhkan dipelihara, dirawat, dan diberi makan," kata Dessy.

"Tapi lain kalau bukan milikmu sendiri, Des."

"Ya dianggap aja mereka milik kita sendiri. Banyak orang yang mendedikasikan hidupnya untuk orangorang lain yang bukan keluarganya sendiri."

"Kamu kan nggak hanya harus menikah dengan Lik, Des. Kan masih banyak laki-laki lain di luar sana yang akan berebut menjadi suamimu!"

"Aku tidak mau menikah dengan laki-laki lain, Bu. Aku cinta sama Lik."

"Tapi dia tidak mau menikah sama kamu!"

"Ya sudah. aku kan sudah bilang, aku terima keputusannya itu. ibu dan Bapak nggak usah bingung."

"Gimana nggak bingung, Des. Kamu itu anak kesayangan Bapak, prihadimu baik, hatimu baik, kamu juga cantik, kan sayang kamu nggak kawin!"

"Di dunia ini banyak kok, Bu, perempuan yang nggak kawin, bukan cuma aku sendiri," kata Dessy.

"Sudah selesai semua, Bu. Aku tidur ya? Ibu yang nunggu Ari dan Teti pulang?"

"Ya, pergilah tidur, Des," kata Nyonya Kosasih dengan hati hancur, menyesali anak gadisnya yang malang ini.

Di dalam privasi kamarnya sendiri Dessy menanggalkan pakaiannya dan menggantungnya di belakang pintu. dan dengan tindakan itu dia menanggalkan topeng ketegarannya dan membiarkan air matanya mengalir turun.

Jadi semuanya sudah berakhir sekarang, final, habis, tuntas. Pupuslah semua harapannya untuk menikah dengan Gozali. Mereka memang tidak jodoh kalau begitu.

Dengan mengenakan dasternya, Dessy naik ke atas tempat tidur dan membaringkan tubuhnya. Tiba-tiba dia merasa sekujur tubuhnya sakit semua, seperti seorang yang sudah tua renta. Dia meletakkan kepalanya di bantal, dan mengisak di atasnya.

Suara Gozali saat menghentikan bicara bapaknya mengiang kembali di telinganya. Hanya dengan satu suku kata "Kos!" itu saja sudah terangkum seluruh protesnya bahwa dia tidak bersedia menikahinya. Andai mereka menikah, apakah dia akan mendengar nada yang sama itu mengiang di telinganya setiap hari dalam hidupnya? Dessy tahu dirinya tak akan tahan itu. itulah sebabnya dia melepaskannya. Barang

kali memang benar kata para pujangga cinta, cinta yang paling tulen adalah yang membiarkan yang terkasih pergi bilamana dia mau pergi.

Dessy berharap malam ini Sam akan mengajak Teti pergi sampai malam karena dia membutuhkan waktu untuk menyendiri. Tapi rupanya ini bukan malam keberuntungannya karena tak lama kemudian dia mendengar suara Teti dan Sam masuk ke dalam rumah.

Dessy tidak berniat menjelaskan kepada adiknya mengapa dia menangis, jadi dia cepat-cepat menyambar jaketnya dari belakang pintu, mengenakannya di atas dasternya, lalu cepat-cepat menyelinap keluar dari kamar dan keluar dari rumah lewat pintu samping yang membuka ke kebun. Dari kebun Dessy segera menuju ke pagarnya lalu keluar. Teti dan Sam saat itu sudah masuk ke dalam rumah sehingga tidak melihatnya.

Dessy cepat cepat berjalan menyusuri lorong yang penerangannya tak terlalu terang. Di dalam hatinya dia berdoa semoga Teti tidak segera masuk ke dalam kamar dan mendapatinya tidak ada di sana. Dia tidak mau keluarganya nanti kebingungan, tapi saat ini dia belum siap menghadapi mereka. Saat ini dia ingin menyendiri dengan kesedihannya, dengan kehancuran hatinya. Nanti kalau dia sudah berhasil menenangkan dirinya, dia akan pulang. Moga-moga sampai kepulangannya nanti tak ada yang tahu bahwa dia pernah menyelinap pergi.

Tanpa disadarinya Dessy mendapati dirinya sudah

di luar gang rumahnya. Dia sekarang ada di tepi jalan. Beberapa mobil mendesis lewat, tak mengacuhkannya. Beberapa toko dan depot yang ada di sepanjang jalan itu masih ada yang buka, tapi kebanyakan sudah tutup.

Rasa takut merayap masuk ke hatinya. Walaupun belum malam benar, tak umum bagi gadis baik-baik berada di jalan seorang diri tanpa kepentingan apaapa.

Dessy tidak tahu dia harus ke mana. Dia tidak bisa masuk ke depot begitu saja, pertama karena dia toh tidak membawa uang dan kedua karena dia tidak terbiasa masuk depot mana pun seorang diri. Jadi dia pun memutuskan untuk berjalan saja mengikuti jalanan ini sambil berdoa jangan sampai ada orang yang mengganggunya. Dia akan berjalan sampai hatinya tidak merasa sakit lagi, lalu dia akan pulang.

Gozali duduk termangu-mangu di kursi bututnya. Sudah sejam dia duduk di sana, dalam kegelapan rumahnya. di antara denging suara nyamuk yang beterbangan di sekitarnya. Di kejauhan terdengar suara geleduk-geluduk. Mungkin nanti malam hujan, pikirnya. Dari waktu ke waktu jika dia merasa ada nyamuk yang terbang terlalu dekat, dia akan mengibaskan tangannya, tapi setelah itu dia tidak bergerak lagi.

Dia tahu dia telah menyakiti hati Dessv. Dia tak

ingin melakukannya, tapi lebih baik menyakitinya sekarang daripada membuatnya kecewa besar dengan menikahinya. Gozali menundukkan kepalanya. Andaikan dia punya penghasilan yang besar, punya rumah bagus, punya masa depan yang cerah, sudah sejak dulu dia menikahi Dessy. Tapi lihatlah dirinya! Dengan semua kemelaratan dan kekurangannya, apa yang bisa diberikannya kepada Dessy? Dessy berhak mendapatkan hidup yang jauh lebih baik daripada yang bisa diperolehnya sebagai istrinya.

Dan rupanya pada akhirnya Dessy sendiri pun menyadari bahwa tidak menjadi istrinya bukanlah kondisi yang terlalu buruk. Buktinya untuk pertama kalinya sejak mereka menjalin hubungan, Dessy memberinya kebebasan untuk tidak menikahinya. Suatu kejutan besar! Berarti gadis itu sendiri sadar bahwa hidup toh tidak berakhir dengan berakhirnya hubungan mereka.

Gozali berdiri dari kursi bututnya dan masuk ke dalam kamarnya. Dia membaringkan tubuhnya di atas kasurnya yang tipis dan dipejamkannya matanya. Dia berusaha untuk tidur, tapi sampai setengah jam kemudian tidur tetap tak mampir di kepalanya.

Gozali melompat bangun. Ada sesuatu yang mengganggu perasaannya-sesuatu yang berhubungan dengan Dessy.

"Sebaiknya aku kembali ke sana," katanya kepada dirinya sendiri.

"Hanya untuk memastikan bahwa semuanya beres."

Belum sampai ke rumah Kosasih, Gozali sudah mendengar suara gaduh yang datang dari rumah itu. Sementara rumah-rumah tetangganya sudah semuanya gelap dan tertutup, Gozali melihat sosok Kosasih, istrinya. Teti. Sam, dan Ari di teras semuanya sedang bicara sendiri-sendiri. Mendadak Gozali merasa seakan-akan jantungnya terjun bebas ke perutnya. Ada yang tidak beres!

"Ada apa? Ada apa?" tanyanya berlari menghampiri teman-temannya.

"Goz! Dessy hilang!" kata Kosasih begitu mengenali siapa yang datang.

"Hilang?" tanya Gozali. Dia merasa darahnya mendesir di ubun-ubunnya.

"Dari kamarnya!" kata Kosasih.

"Dia masuk ke kamarnya dan sejak itu tak ada yang melihatnya lagi."

Hati Gozali bagai diremas-remas dan hancur berkeping. Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai terjadi hal-hal yang mengerikan pada Dessy?

"Kapan kalian tahu dia hilang?" tanyanya.

"Waktu aku masuk ke kamar. Lik," kata Teti.

"Aku mau mengambil obat nyamuk karena di teras banyak nyamuknya, lha kok kamar kosong? Aku lihat pintu kamar mandi terbuka. berarti kan juga kosong. Lalu aku ngecek dengan Ibu, barangkali Mbak ada di kamar Ibu atau apa, tapi ternyata semua nggak tahu di mana Mbak."

"Berarti dia sudah pergi sebelum Teti dan Sam pulang," kata Kosasih,

"karena mereka tidak melihat Dessy keluar."

"Dia pergi membawa apa?" tanya Gozali.

"Pakaiannya ada yang dibawa?"

"Yang di lemari sepertinya tidak tersentuh, hanya jaketnya dari belakang pintu," kata 'Teti.

"Dompetnya juga tidak dibawa."

Gozali langsung merasa seakan-akan kepalanya dicengkeram cakar yang besar dan kuat, yang kuku-kukunya langsung menembus tulangnya. Jika Dessy tidak membawa dompetnya, itu berarti dia tidak minggat ke tempat lain! Astaga! Dessy menghilang tidak untuk pergi ke tempat lain! Dia menghilang untuk melakukan bunuh diri! Gozali duduk terenyak di kursi teras. Kakinya terasa lemas. Ya Tuhan, aku telah mencelakakannya, jeritnya dalam hati.

"Tet, kira-kira mbakmu minggat ke mana? Siapa teman curhatnya?" tanya Kosasih.

"Aku nggak tahu, Pak," jawab Teti.

"Belakangan mana Mbak masih berhubungan dengan teman-temannya? Paling Mbak cuma curhat sama aku."

"Dia nggak pernah bilang dia ingin ke mana?" tanya Kosasih lagi.

"Enggak tuh."

Nyonya Kosasih mulai menangis.

"Goz! Ayo berpikirlah. ke mana kita harus mencari anakku!" kata Kosasih mengguncang-guncang bahu Gozali yang masih duduk lemas.

Gozali menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Paling dia belum pergi jauh, Oom," sela Sam.

"Tanpa membawa uang, pasti Dessy hanya bisa berjalan. Coba saya cari di jalanan di luar."

"Wah, itu ide yang bagus. Kalau begitu, Sam. kamu ke utara, Oom ke selatan, moga-moga salah satu dari kita bisa segera menemukannya." kata Kosasih langsung menuruni teras dan bergegas meninggalkan rumahnya mendahului Sam Syaiful.

"Aku ikut!" kata Teti mengejar Sam yang juga segera bergerak.

"Aku ikut Bapak!" kata Ari yang berlari mengikuti kepergian yang lain.

Hanya Gozali dan Nyonya Kosasih yang masih duduk di kursi. yang satu menunduk lemas, yang lainnya terus terisak.

Kosasih setengah berlari menyusuri jalan yang diambilnya. Ari berlari di samping ayahnya. Kedua lakilaki itu tak ada yang berbicara, masing-masing memerhatikan potongan jalan yang ada di depan mereka, Kosasih yang sisi kiri, Ari yang sisi kanan.

Jalanan yang mereka lewati tidak terlalu gelap. namun lampu-lampu penerangan jalan yang dipasang berjarak terlalu jauh untuk bisa menerangi seluruh jalan itu dengan sempurna.

Mereka tiba di perempatan jalan. Jalan yang lebih lebar.

"Ke mana sekarang. Pak?" tanya Ari.

Kosasih juga tidak bisa memberikan keputusan. Dia tidak tahu arah mana yang mungkin diambil Dessy. Jalanan yang terbentang di hadapannya sama gelapnya dengan yang baru mereka lewati.

Tak tahan mendengar isak tangis Nyonya Kosasih, Gozali pun menuruni teras rumah Kosasih dan keluar. Pada awalnya dia bergegas sepanjang lorong hingga tiba di mulut gang. lalu dia berhenti. Dia tidak tahu harus ke mana. Lebih parah lagi. dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya jika sesuatu yang buruk terjadi pada Dessy. Astaga, apa yang telah aku lakukan pada gadis itu? Bagaimana kalau dia bunuh diri karena kecewa padaku? Selama ini Dessy tak pernah berbuat jahat padaku. Dia selalu memperlakukan aku dengan baik. dengan kasih sayang. dan sekarang aku hancurkan hatinya. aku membuatnya putus asa. aku mendorongnya untuk bunuh diri! Ampun! Tidak! Jangan! Jangan sampai dia bunuh diri! Aku harus mencarinya sampai ketemu dan aku akan minta maaf padanya.

Gozali berpaling ke kiri dan ke kanan. Baik Teti dan Sam maupun Ari dan Kosasih sudah pergi jauh. Dengan penerangan jalan yang tidak begitu kuat. dia sudah tidak bisa melihat sosok mereka lagi.

Gozali memutuskan untuk mengambil arah utara. Kosasih adalah polisi yang terlatih. Dia akan mengenali tanda-tanda yang ditinggalkan Dessy bilamana

ada. Dia tidak butuh bantuan. Tapi Teti dan Sam adalah orang-orang awam. Mereka membutuhkan bantuannya untuk menemukan Dessy.

Gozali mempercepat langkahnya. Matanya yang awas menelusuri seluruh jalan yang terbentang di depannya, di balik setiap pohon, di antara semua bayang-bayang malam. Tak ada tanda-tanda Dessy.

"Pak," kata Ari sambil menunjuk ke depan.

"Sepertinya ada orang yang duduk di tempat pemberhentian bus. Coba kita tanya dia. barangkali dia melihat Mbak."

Kosasih mengangguk dan berdua mereka pun bergegas menghampiri tempat pemberhentian bus yang hanya diterangi sinar remang-remang itu. Dia melihat sosok tunggal yang duduk di bangku di sana.

Tapi dari jarak sekitar tujuh meter. Kosasih mengenali sosok tunggal itu. Cara duduknya, bentuk bahunya, besar badannya, astaga. dia Dessy! Ya Tuhan, terima kasih!

"Des!" panggil Kosasih mempercepat langkahnya.

Perempuan yang duduk dengan kepalanya terbenam dalam kedua telapak tangannya itu pun terkejut dan mengangkat kepalanya. Mulutnya menganga.

Saat itu Kosasih dan Ari pun sudah tiba di sampingnya. Kosasih langsung memeluk anaknya.

"Aduh, Des! Kenapa kamu di sini? Bikin jantung Bapak copot aja!" katanya tanpa sanggup menahan air mata.

Dessy tidak menjawab sampai ayahnya melepaskan pelukannya.

"Aku... aku cuma kepingin duduk sendiri. menikmati angin aja kok, Pak." kata Dessy mencoba tersenyum.

"Kok Bapak sampai nyari kemari? Bapak kan sudah tidur?"

"Teti masuk ke kamar dan kamu tidak ada. Dicari di seluruh rumah tidak ada. Semua bingung! Kami semua bingung! Kamu keluar kok nggak pamit?" kata Kosasih.

"Maunya tadi cuma jalan-jalan sebelum, terus pulang." kata Dessy.

"Mungkin aku duduk kelamaan di sini. lupa waktu. Maafin Dessy. Pak."

"Aduh, yang penting kamu selamat," kata Kosasih.

"Malam-malam begini jalan sendiri kan mengundang cobaan! Untung kamu masih dilindungi Yang Mahakuasa."

"Semua pada nyari lho. Mbak," tambah Ari.

"Mas Sam dan Mbak Tet juga ikut nyari. tapi mereka ke utara sana."

"Iya, Mbak lupa waktu," kata Dessy.

"Bukan maksudku untuk membuat bingung seisi rumah. Kasihan kalian semua."

"Ayo. pulang!" kata Kosasih mencekal lengan anaknya.

"Ri. kamu pegang tangan mbakmu yang satunya supaya tidak menghilang lagi."

"Lik juga datang lho, Mbak." kata Ari.

"Lik?" tanya Dessy terkejut.

"iya. Lik datang lagi."

"Kalian memanggil Lik?" Nada panik.

"Nggak dipanggil kok, Lik tiba-tiba datang sendiri." kata Ari.

"Astaga!" Deasy yang sudah mau berjalan langsung duduk lagi di bangku.

"Iya, ke mana ya Lik? Bersama Mas Sam dan Mbak Tet barangkali ya, Pak?" kata Ari.

"Bapak nggak tahu," kata Kosasih.

"Yang penting sekarang kita pulang. Ibu pasti sudah khawatir sekali. Ayu. Des!"

"Aku nggak mau bertemu Lik. Pak," kata Dessy.

"Nggak malam ini."

"Kamu nggak usah bertemu dengannya. Kamu boleh langsung masuk ke kamarmu." kata Kosasih.

"Yang penting kita pulang!"

Ketika Kosasih, Dessy. dan Ari tiba di rumah. di teras hanya ada Nyonya Kosasih yang menyambut kedatangan putri sulungnya dengan pelukan dan ciuman disertai air mata.

Dessy pun segera digandeng ibunya masuk ke kamarnya sementara Kosasih yang kelelahan dari olahraga malamnya ini segera duduk di ruang tamu mengatur napasnya.

Ari pergi mengambilkan minum ayahnya.

"Pak, kita nggak pergi nyari Mbak Tet? Mereka kan tidak tahu kalau Mbak Des udah pulang," kata Ari saat kembali membawakan Kosasih segelas teh hangat.

"Bapak sudah capek. Nanti kan mereka kembali sendiri. Teti kan bersama Sam. jadi Bapak nggak khawatir." kata Kosasih.

"Aku lapar, Pak Tadi di dapur aku lihat masih ada sisa tempe goreng. Aku makan dulu. Pak," kata Ari yang langsung menghilang ke dapur.

Dua jam kemudian ketika Teti dan Sam Syaiful tiba di rumahnya kembali. Dessy sudah lama tertidur di kamarnya sendiri dalam pelukan ibunya. Ari memanfaatkan kesempatan menunggu Teti untuk nonton televisi. tapi dia menyetelnya pelan-pelan karena Kosasih yang kelelahan sudah mengorok di kursinya.

"Ri!" kata Teti kaget ketika Ari membukakan pintu untuknya.

"Bapak...?"

Ari meletakkan telunjuknya di depan bibirnya dan menunjuk ke sosok Kosasih yang terlelap di kursinya.

"Mbak Dessy sudah ketemu." bisik Ari.

"Oh. ya. Kapan?" tanya Teti dengan nada gembira.

"Yah. kira-kira sudah dua jam yang lalu." bisik Ari lagi.

"Sialan. kenapa kamu nggak memberitahu kami? Kami sampai keliling ke mana-mana mencarinya!" kata Teti menepuk bahu adiknya sambil melotot.

"Kata Bapak kalian akan kembali sendiri, Bapak bilang tidak usah khawatir karena ada Mas Sam. Lagian kami juga nggak tahu kalian ke mana aja."

"Yang penting Dessy sudah di rumah," kata Sam.

"Mana Mbak sekarang?" tanya Teti.

"Di kamar dengan Ibu. Lik mana?"

"Lik? Lik nggak bareng kami," kata Teti.

"Kami cuma berdua."

"Oh! Ya sudah, sekarang kalian sudah pulang, aku tidur," kata Ari.

"Oh, iya, tempenya sudah aku habiskan."

"Mas, duduk dulu, aku ambilkan minum," kata Teti kepada Sam.

"Sudah, nggak usah." kata Sam.

"Aku pulang saja. Sudah malam, kalian semua juga sudah capek."

"Oke," kata Teti sambil tersenyum manja pada Sam.

"Kalau perlu bantuan apa pun. telepon aku," kata Sam.

"Walaupun tengah malam."

"Ya, Mas," kata Teti yang mengantarkan pacarnya sampai ke teras lalu menutup pintu setelah kepergiannya.

"Kita bangunkan Bapak enggak?" tanya Teti kepada Ari.

"Terserah," jawab Ari.

"Ya sudah, biarkan Bapak tidur di situ sampai bangun sendiri," kata Teti.

"Kan sama saja, di situ pun dia sedang tidur."
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teti pun pergi ke kamarnya dan membuka pintu perlahan-lahan.

Nyonya Kosasih mengangkat kepalanya dari bantal lalu meletakkan telunjuknya di bibirnya.

Teti melepaskan sepatunya, dan masuk dengan kaki telanjang.

Nyonya Kosasih memakai bahasa isyarat untuk membuat Teti mengerti bahwa malam ini dia yang akan tidur bersama Dessy. Teti disuruhnya tidur di kamar Ari.

Teti pun mengangguk lalu berjinjit keluar. Dia merasa lega kakaknya sudah pulang. Besok saja mereka berbicara. Sekarang dia mau bersiap-siap untuk tidur.

Tanpa berhasil menemukan Dessy walaupun sudah dicari ke mana-mana. Gozali memutuskan untuk kembali ke rumah Kosasih. Hujan mulai turun rintik-rintik. Mungkin mereka butuh bantuan polisi dan Kosasih harus menurunkan beberapa anak buahnya. Mudah-mudahan mereka bisa menemukan Dessy dalam keadaan masih selamat.

Dengan langkah gontai Gozali berjalan kembali menuju rumah sahabatnya. Hatinya gundah tak terlukiskan. Suatu perasaan cemas muncul. Dia pernah merasa seperti ini sebelumnya. Ya! Hampir dua tahun yang lalu saat Dessy terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit setelah ditabrak orang. saat itu perasaannya persis seperti ini, takut akan kehilangan gadis itu untuk selamanya. Saat itu dia membuat janji akan menikahi gadis itu asalkan dia sadar dari komanya. Ya! Dia membuat janji itu! Tapi dia ingkar janji setelah Dessy ternyata kehilangan memorinya. Saat itu Dessy sampai kecelakaan juga gara-gara dirinya. Sekarang gadis itu hilang juga gara-gara dirinya. Astaga! Betapa bodohnya aku! Tuhan memberikannya kepadaku tapi aku tidak mau menerimanya, dan sekarang Tuhan akan mengambilnya kembali!

Gozali tak pernah mengizinkan dirinya dikuasai oleh emosinya, apalagi sampai menangis, tapi saat ini dia merasakan panas di matanya dan tenggorokannya terkancing. Hatinya dilanda gelombang penyesalan yang sangat dahsyat. Kalau Tuhan memang mau mengambil nyawa. dia bersedia menggantikan Dessy detik ini juga. Dia rela menjalani kematian yang paling mengerikan sekalipun asalkan Dessy ditemukan selamat.

Gozali mempercepat langkahnya. Dia setengah berlari. Ya Tuhan, jangan sampai terjadi apa-apa padanya, bisiknya dalam hati. Gagalkanlah upayanya untuk bunuh diri. Izinkan kami tak terlambat menemukannya.

Dengan napas memburu Gozali memasuki gang rumah Kosasih. Tapi ketika tiba di rumah Kosasih dia mendapati tempat itu sunyi sepi.

Gozali berdiri di depan pintu dan berpikir. Jika rumah dalam keadaan tenang dan sepi begini, berarti semuanya beres! Andaikan tidak, pasti ada kegiatan dan kebingungan di dalam.

Hatinya merasa lega, seakan-akan sebuah batu besar yang menindih dadanya baru saja lenyap. Dia menaiki teras dan berusaha mengintip dari jendela. Gorden jendela dalam keadaan tertutup, tapi tidak rapat. Dia bisa melihat sosok Kosasih tertidur di sofa.

Apa? Mungkinkah Kosasih berjaga-jaga di sini supaya kalau Dessy mencoba minggat lagi, dia segera tahu? Berarti Kosasih takut Dessy masih akan mencoba untuk minggat lagi?

Gozali ingin mengetuk pintu. Dia ingin sekali bicara dengan sahabatnya. Dia ingin mencium kaki minta maaf pada sahabatnya ini yang selama ini selalu baik terhadapnya. Lihatlah bagaimana dia membalas kebaikannya itu! Dua kali sudah dia mengakibatkan sahabatnya ini nyaris kehilangan putri kesayangannya! Masih akankah sahabatnya ini memaafkannya?

Gozali melihat wajah Kosasih yang tidur dengan mulut menganga. Dia baru sadar bahwa Kosasih sekarang tampak lebih tua. Waktu telah berlalu dengan cepat. Mereka bukan lagi laki-laki gagah perkasa di puncak kehidupan, mereka sudah menua, melamban, menurun. Seharusnya dia membuat hidup sahabatnya lebih enak, bukannya malah membuatnya khawatir, membuatnya sedih.

Tidak, dia akan membiarkan sahabatnya tidur saja di sana. Dia pasti kelelahan, baik fisik maupun mentalnya. Besok setelah dia bangun, masih ada waktu untuk berbicara. Entah apa nanti yang akan dikatakan sahabatnya kepadanya. Mungkin dia bahkan akan diusirnya, dan dilarang datang lagi, dilarang berhubungan lagi dengan seluruh anggota keluarganya. Jika itu terjadi, dia akan menerimanya dengan ikhlas. Hukuman apa pun yang akan dijatuhkan Kosasih kepadanya akan diterimanya dengan ikhlas.

Gorali meletakkan pantatnya di atas kursi rotan

yang ada di teras. Hujan sekarang turun dengan deras. Angin malam pun bertiup lebih kencang. Gozali memutuskan akan duduk di sini sepanjang malam. Andaikan Desy berhasil menyelinap melewati bapaknya yang tertidur di ruang tamu. dia tidak akan berhasil melewati dirinya, yang akan berjaga di sini sepanjang malam.

**

yang ada di teras. Hujan sekarang turun dengan deras. Angin malam pun bertiup lebih kencang. Gozali memutuskan akan duduk di sini sepanjang malam. Andaikan Dessy berhasil menyelinap melewati bapaknya yang tertidur di ruang tamu. dia tidak akan berhasil melewati dirinya, yang akan berjaga di sini sepanjang malam.

**

DESSY selalu merupakan orang yang pertama bangun di rumahnya. Sudah menjadi tugasnya untuk menjerang air. membuat teh, dan menanak nasi untuk sarapan keluarganya. Begitu juga yang terjadi pagi ini. Seolaholah di dalam tubuhnya ada alarm, tepat pukul empat pagi ini Dessy terjaga seperti biasanya. Yang tidak biasa adalah dia mendapati ibunya tidur di ranjang Teti. Lalu perlahan-lahan ingatannya kembali. Kejadian semalam terlintas lagi di benaknya. Dan hatinya yang tadi ringan, langsung merasa berat lagi.

Tapi Dessy adalah manusia rutin. Jadi, walaupun dengan hati berat dia tetap bangun untuk melakukan tugasnya.

Perlahan-lahan dia turun dari tempat tidurnya agar tidak membangunkan ibunya, dan berjingkat-jingkat keluar. Dia melihat lampu masih menyala di ruang tamu, dia merasa heran karena biasanya semua lampu di dalam rumah dimatikan ketika mereka pergi tidur,

hanya lampu ber-watt kecil di teras depan yang dibiarkan menyala sampai pagi. Betapa terkejutnya dia ketika dia melihat ayahnya tertidur di sofa. Kasihan Bapak. pasti nanti punggungnya sakit tidur terduduk begitu, pikirnya. Dessy merasa berdosa telah membuat bingung orangtuanya semalam sampai bapaknya tidak tidur di atas ranjang melainkan tidur di sini.

Tanpa menimbulkan suara Dessy pun pergi membuka pintu depan. Tujuannya untuk mematikan lampu teras. Sebentar lagi fajar menyingsing. jadi tak perlu ada lampu di luar. Setelah itu dia akan menjerang air. mencuci beras, dan memasukkannya ke rice cooker. Kemudian sambil menunggu nasinya masak, dia akan pergi mandi.

Hujan semalam sudah berhenti. Tanaman kembang sepatu di depan rumahnya tampak sedikit merunduk keberatan butir-butir air yang menempel di atasnya. Tapi begitu matahari bersinar nanti, butir-butir air itu akan mengering, dan tanaman itu akan berdiri tegak kembali, lebih segar dan lebih sehat daripada sebelumnya.

Alangkah terkejutnya Dessy saat membuka pintu dia melihat Gozali duduk di kursi sambil memandang ke arah pintu yang dibukanya.

"Lik!" katanya. Dia jelas tak ingin bertemu Gozali dan terlebih lagi saat ini, dia bahkan belum gosok gigi!

"Des!" Gozali segera berdiri dan menghampirinya. Tanpa bicara apa-apa lagi Gozali segera merengkuhnya dan memeluknya erat-erat sambil terisak. Posturnya yang lebih tinggi menempatkan kepalanya di atas kepala Dessy.

Untuk beberapa saat lamanya tak ada yang bersuara. Dessy membiarkan dirinya didekap. Dia membenamkan kepalanya di dada Gozali, mencium baunya, bau yang begitu dikenalnya. Dan dia merasa aman, dia merasa memang di sanalah tempatnya.

Lalu seakan seabad berlalu, Gozali mengangkat kepalanya, dan memandang dalam-dalam ke matanya.

"Des, aku minta maaf atas kebodohanku semalam. Aku minta maaf telah menyakiti hatimu. Aku minta maaf telah membuatmu kecewa. Aku minta maaf atas apa yang terjadi semalam. Jika kamu masih mau menerima aku, aku di sini. Aku bersedia menerima hukuman apa pun yang kamu berikan kepadaku. Aku sangat menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu bisa memaafkan aku?" katanya.

Dessy mau berteriak, tapi segera ingat dia belum sikat gigi. Dia tak ingin kalimat pertamanya kepada laki-laki yang dicintainya ini diucapkan dengan mulut yang bau! Maka dia pun segera membenamkan kepalanya di dada Gozali lagi.

"Des. kamu tidak bisa maafkan aku?" tanya Gozali bingung.

"Jika kamu membenciku dan tidak mau melihatku lagi, aku segera pergi."

Dessy menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Des, kamu mau aku pergi?" tanya Gozali mencoba menebak apa yang diinginkan gadis itu.

Dessy menggeleng-gelengkan kepalanya semakin keras. Lalu dia mendorong Gozali mundur sedangkan dirinya juga mengambil dua langkah ke belakang.

Mimik bingung di wajah Gozali membuat Dessy

tertawa. Dia lalu menutupkan mulutnya dan berkata,

"Aku belum gosok gigi!"

Mulut Gozali menganga.

"Aku gosok gigi dulu, jangan pergi dulu!" Dessy langsung melesat ke dalam.

**

Jadi di pagi hari itu semua yang menjadi masalah semalam pun terselesaikan. Setelah mengomeli Gozali panjang-lebar, terutama karena dia merasa punggungnya kaku akibat tidur di kursi sepanjang malam, Kosasih pun memberikan restunya. Jadi pagi itu suasana di rumah Kosasih pun penuh keriangan. Semua orang gembira. Semua orang wajahnya bersinar cerah, termasuk Gozali. Dia tak pernah menyangka dia bisa merasa sebahagia pagi ini.

"Goz, sebaiknya kau pulang dulu," kata Kosasih selesai sarapan.

"Lho! Kok disuruh pulang? Hari ini kan Minggu? Kan nggak usah kerja?" tanya Dessy kaget.

"Dia belum mandi sejak kemarin, belum ganti pakaian. Bapak nggak mau duduk seruangan dengannya," kata Kosasih.

Mereka semua tertawa.

"Ya, bener. Aku memang harus pulang dulu," kata Gozali mencium pangkal lengannya sendiri lalu nyengir.

"Kami tunggu, jangan lama-lama!" kata Kosasih

menyeringai. Akhirnya sahabatnya ini akan menjadi menantunya. Dan walaupun dia tak punya banyak harta dunia, sedikit pun Kosasih tak khawatir menyerahkan putri tersayangnya kepadanya. Dia tahu Gozali akan memperlakukan Dessy dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Gozali membawa mobil Kosasih pulang. Dia mau mandi dulu. Gozali menyeringai. Astaga. sahabatnya sungguh akan menjadi mertuanya. Bagaimana dia harus memanggilnya nanti? Bagaimana keluarganya akan memanggilnya? Tetap dengan sebutan "Lik"? Ganti dengan "Mas"? Lalu bagaimana Dessy akan memanggilnya? Gozali menyeringai lebar.

Dia merasa sangat nyaman, walaupun belum mandi dia merasa segar sekali. Jalan-jalan mulai dipadati pelbagai jenis kendaraan juga oleh orang-orang yang berolahraga jalan pagi. binar mentari mulai panas. Mereka yang biasanya mencari sarapan di luar ikut memenuhi jalan untuk mencapai depot tujuan mereka.

Gozali sudah tak sabar untuk tiba di rumahnya dan mandi. Hari Minggu ini akan menjadi hari pertama dalam hidupnya bersama Dessy.

Pukul sembilan telepon berdering.

"Mungkin itu Alfred Pohan yang tadi pagi bersama Hermanto berbicara dengan tetangga Norma Tanjung." kata Kosasih.

"Aduh, Minggu-Minggu masih kerja juga, Pak," kata Nyonya Kosasih. Mereka sedang duduk-duduk di teras bersama Dessy dan Gozali menikmati santainya hari Minggu. Sam dan Teti sudah berangkat berpiknik ke Selecta.

"Yang kerja kan bukan aku," kata Kosasih berdiri menuju ke pesawat teleponnya.

"Halo?"

Benar juga dugaan Kosasih, Lettu Alfred Pohan meneleponkan laporannya.

"Fred. gimana hasilnya?" tanya Kosasih kepada anak buahnya.

"Tetangga kanan-kirinya tidak ada yang melihat atau mendengar apa-apa, Pak. Tapi tetangga seberang rumahnya melihat sekitar pukul enam itu ada mobil Katana putih berhenti di depan rumah korban. Tetangga ini, Ibu Ayun, saat itu sedang mengikuti anak balitanya jalan-jalan di teras rumahnya, jadi dia melihat tamu itu. Tapi rupanya saat itu korban belum pulang sehingga orang tersebut tidak bisa masuk. pagarnya terkunci," kata Alfred Pohan.

"Ibu Ayun ini melihat nomor polisi Katana putih itu?"

"Tidak, Pak."

"Lalu apa yang terjadi?"

"Karena tidak ada yang membukakan pintu, Katana itu pergi."

"Apakah mobil itu kembali lagi kemudian?"

"Sekitar pukul setengah delapan, Ibu Ayun keluar untuk membuang sampah sehabis makan malam. Saat itu dia melihat mobil Katana putih itu parkir lagi di depan rumah korban. Itu saja yang diketahuinya, Pak."

"Apa Ibu Ayun ini bisa mengenali wajah pengendara Katana putih itu?"

"Tidak. Penerangan jalan di sana kurang terang dan sosok orang tersebut terhalang body mobilnya."

"Apa ibu itu tidak tahu orang tersebut laki-laki atau perempuan, perawakannya gimana, gemuk. kurus. tinggi. pendek. dan lain-lain?" tanya Kosasih.

"Wah. saya tidak tanya. Pak. Ibu Ayun ini bilang dia tidak melihat dengan jelas. jadi saya tidak tanya."

"Kembalilah ke sana dan tanya sebanyak-banyaknya," kata Kosasih.

"Siap. Pak!"

"Setelah itu laporkan kepada saya lagi."

"Siap, Pak!"

Kosasih kembali ke teras dan menceritakan laporan Alfred Pohan kepada Gozali.

Dua puluh menit kemudian. Lettu Alfred Pohan menelepon lagi.

"ibu Ayun pikir sepertinya orang yang turun dari Katana putih itu seorang wanita, tapi dia tidak yakin seratus persen. Dia mengatakan pokoknya orang itu pakai celana panjang tapi gaya jalannya seperti wanita.

"Oke. makasih, Fred. Kalian boleh bebas tugas sekarang." kata Kosasih.

"Apa?" tanya Gozali.

"Si saksi tidak melihat dengan jelas. tapi dia pikir orangnya mungkin wanita," kata Kosasih.

"Wanita?"

"Hm-ehm."

"Sudah, urusan pekerjaan hari ini ditangguhkan dulu." kata Nyonya Kosasih protes.

"Katanya siang ini kita jalan-jalan ke mal."

"Kita ke mal, Goz?" tanya Kosasih sambil mengerutkan keningnya.

Gozali hanya mengangkat bahunya sambil menyeringai.

Hari Minggu merupakan satu-satunya kesempatan Sam punya waktu banyak untuk pacarnya. Jadi Sam suka mengajak Teti berekreasi ke Tretes atau Selecta. Sam suka berenang, jadi dia sedang melatih Teti untuk berenang juga. jadi Minggu ini mereka pesiar ke Selecta, menikmati udara pegunungan yang sejuk. dan berenang. Mereka meninggalkan Selecta sekitar pukul empat. Setiba di Surabaya, mereka tidak langsung pulang, tetapi karena saatnya masih sempat mengikuti pertunjukan kedua, Sam mengajak Teti pergi menonton. Maka ketika Teti diantarkan pulang, hari pun sudah malam. Sam yang merasa sudah sepanjang hari menyita Teti dari keluarganya, cukup tahu diri untuk tidak duduk lama lagi di rumahnya. Setelah mengucapkan selamat malam kepada seluruh keluarga Kosasih yang

sedang bercengkerama di ruang tamu, dia pun segera pamit pulang.

Tak lama kemudian Gozali pun pamit pulang. Hari ini pun cukup melelahkan baginya, mengingat kemarin semalam suntuk dia duduk di kursi di teras, tanpa berani memicingkan matanya.

Ketika Teti dan Dessy masuk ke kamar mereka, kedua gadis ini sama-sama berseri-seri, sama-sama merasa bahagia telah menghabiskan hari libur ini bersama pria idaman mereka.

"Jadi, sekarang Lik benar-benar sudah mantap masuk ke keluarga kita?" tanya Teti kepada kakaknya selagi mereka berbaring di atas tempat tidur masing masing.

"Ya," kata Dessy tersenyum lebar.

"Jadi Mbak benar-benar akan menikah November?"

"Ya."

"Bagus! Aku ikut bahagia, Mbak," kata Teti.

"Dan aku juga ikut bahagia untukmu dan Sam, Kata Bapak, kalau Sam mau mendatangkan orangtuanya untuk melamarmu sekarang, mereka sudah welkom."

"Yiiii! Besok aku akan memberitahu Mas Sam!" kata Teti.

"Apa Sam sudah tahu tentang hubunganku dengan Lik?" tanya Dessy.

"Belum, Mbak. Lha tadinya kan Mbak sendiri yang ngelarang aku memberitahu dia. Kemarin waktu Mbak menghilang itu, Mas Sam tanya apa masalahnya. Aku sampai harus berbohong Mbak habis dimarahi hebat oleh Bapak, gitu ceritaku."

Dessy tertawa.

"Dan Sam percaya?" tanyanya.

"Sebetulnya enggak, Mbak. Dia bilang Bapak begitu cinta sama Mbak. mana mungkin Bapak marah besar sama Mbak."

"Lalu kamu bilang apa?"

"Aku bilang sebetulnya sih nggak hebat-hebat amatlah marah Bapak, cuma Mbak yang lagi sensitif, jadi Mbak merasa tersinggung lebih dari kondisi yang sebenarnya."

Dessy tertawa lagi.

"Eh. ternyata kamu pintar bohong juga, Tet."

"Abis, aku mau ngomong apa, Mbak, waktu ditanya Mas Sam. Kan jadi serbasalah aku. Lagian kalau begini biar Mas Sam menganggap Bapak itu galak kalau marah, supaya lain kali dia nggak berani macem-macem sama aku."

Kedua gadis itu pun terbahak.

"Jadi sekarang aku udah boleh memberitahu Mas Sam tentang Lik?" tanya Teti.

"Hm-ehm," angguk Dessy.

"Mas Sam pasti kaget." kata Teti.

"Selama ini dia menganggap Lik sebagai paman kita."

"Ya nggak apa-apa, sekali-sekali aku yang bikin kejutan kan boleh?" kata Dessy.

Kedua kakak-beradik itu pun tertawa bersama lagi.

**

PUKUL enam lewat seperempat Gozali sudah tiba di depan pintu rumah Kosasih. Baru saja dia mau mengetuk pintu, Kosasih sudah membukanya.

"Tumben sudah siap," kata Gozali kepada sahabatnya.

"Punggungku masih sakit, jadi tidur tidak bisa nyenyak." kata Kosasih.

Gozali menyeringai.

"Gara-gara kau!" gerutu Kosasih.

Kedua laki-laki itu pun masuk ke dalam, langsung ke meja makan.

"Selamat pagi. Mbakyu," kata Gozali kepada Nyonya Kosasih.

"Pagi, Dik Goz," balas Nyonya Kosasih yang sedang meletakkan piring-piring di atas meja makan.

Dessy pun keluar dari dapur. Di tangannya dia membawa sebuah mangkuk besar dari mana tercium bau soto.

"Selamat pagi," katanya sambil tersenyum. Dia tampak sangat cantik pagi ini walaupun tidak berdandan apa-apa. Rasa bahagia di hatinya memancar ke luar. membuat kulitnya tampak berseri-seri.

Teti dan Ari pun bergabung di meja makan, dan sepuluh menit berikutnya suasana meja makan itu dipenuhi gelak tawa. Pagi ini mereka duduk lebih lama di meja makan, enggan mengakhiri suasana gembira yang mengisi hati mereka. Kosasih yang biasanya tak punya waktu untuk mendengarkan cerita anak-anaknya, pagi ini memberikan perhatian penuh kepada cerita cerita Ari tentang teman-temannya. Sementara mendengarkan itu dia mulai sadar bahwa anaknya yang paling bungsu ini juga mulai beranjak dewasa. Dia bukan lagi anak kolokan dan pemalas yang "semau gue", tapi sudah menjadi lebih pengertian dan lebih pintar, walaupun makannya masih tetap banyak.

Begitu asyiknya mereka bertukar cerita hingga Teti dan Ari nyaris terlambat berangkat, andai tidak diingatkan oleh Dessy. Maka kedua anak yang termuda pun berangkat lebih dulu. sementara Kosasih dan Gozali masih duduk di meja makan menikmati kopi mereka. Dessy, seperti biasa. setelah sarapan sibuk membersihkan meja.

Seperempat jam kemudian. Kosasih pun berdiri.

"Ayo. berangkat!" katanya.

"Bu! Berangkat!"

Gozali pun ikut berdiri.

"Iya, Pak. Selamat bekerja!" sahut Nyonya Kosasih dari dalam dapur. Dia sedang membantu Dessy mencuci piring.

Dessy muncul dari dapur dan mengiringi kedua laki-laki yang paling dicintainya dalam hidupnya menuju ke pintu rumah.

"Yuk, kami berangkat!" kata Kosasih menepuk pipi putrinya.

"Des," kata Gozali sambil tersenyum kepada gadis itu. Hanya satu kata itu saja yang perlu diucapkannya.

"Jangan malam-malam," kata Dessy.

Suatu kehangatan menyerap ke hati Gozali. Jadi setelah ini beginilah acara pagi harinya. Dessy akan mengantarkannya sampai ke ambang pintu dan menyaksikan kepergiannya, dan menunggu kepulangannya. that is good'

Sebelum dia sempat menikmati pengalaman itu lebih lama, Kosasih sudah menggelendengnya menuju ke mobil.

Dari dalam mobilnya Gozali melihat Dessy masih berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. Dia pun mengangkat tangannya dan memberikan lambaian kecil.

"Sampai kemarin kau berlagak nggak mau sama anakku, sekarang nggak tega ninggalin," ejek Kosasih.

Gozali tertawa, dan memasukkan persnelingnya ke gigi satu. Lalu dia membawa mobil mereka melaju.

"Aku ingin bicara dengan Kris Wenger," kata Gozali.

"Apa? Kaupikir dia terlibat kedua pembunuhan itu?" tanya Kosasih.

"Aku mau bicara dengannya. Dia punya dendam terhadap Shaun Harman yang mencopot jabatannya."

"Tapi Shaun Harman masih hidup!"

"Ya. dia tidak bisa membunuh Shaun Harman. dia membunuh istrinya dan membuat Shaun menjadi pihak yang dicurigai polisi. Aku rasa dia juga yang telah meracuni Melody Harman."

"Dan Norma Tanjung menemukan koneksinya!" kata Kosasih dengan mata lebar.

"Karena itu dia juga dibunuh dan kaleng susu cokelatnya dibersihkan dari sidik jarinya!"

Gozali mengangguk.

"Kalau begitu kita sekarang langsung menuju Lesmana Corporation saja. setelah itu baru ke kantor," kata Kosasih.

**

Kris Wenger membelalakkan matanya.

"Saya tidak meracuni orang! Apalagi kalau orang itu direktur perusahaan tempat saya bekerja!" katanya dengan nada keras.

"itu kan sama dengan membunuh sumber penghasilan saya sendiri."

"Anda tidak sakit hati sama Ibu Melody Harman atau suaminya?" tanya Kosasih.

"Kenapa saya harus sakit hati?"

"Anda diturunkan jabatannya. Dulu kan Anda kepala gudang?"

"Itu karena kesalahan saya sendiri. Saya terlalu memercayai anak-anak buah saya. Saya tidak menyangka ada yang berani mencuri."

"jadi Anda mengakui itu kesalahan Anda?"

"Ya. Saya ini apa adanya. Kalau salah. ya saya mengaku salah. Kalau betul. sampai kapan pun saya tidak mau disalahkan. Pencurian itu kesalahan saya. Memang bukan saya sih yang mencuri, tapi sebagai kepala gudang seharusnya saya lebih waspada. Saya terima disalahkan dalam hal ini."

"Jadi Anda tidak memendam sakit hati baik kepada Saudara Shaun Harman maupun Ibu Melody Harman atau Pak Danny Lesmana?"

"Tidak. Saya bersyukur saya masih diizinkan bekerja di sini. Walaupun jabatan saya sebagai kepala gudang dicabut. gaji pokok yang saya terima besarnya tetap. hanya fasilitas sebagai kepala bagian yang ditarik. Mau apa lagi?" Kris Wenger bicara dengan menggebu-gebu.

"Masa Anda tidak sakit hati?" sela Gozali dengan nada sinis.

"Begini, Pak," kata Kris Wenger mengalihkan pandangannya ke Gozali. Orang jangkung yang berparas jelek ini sudah menimbulkan kejengkelannya.

"Saya menyadari usia saya sudah tidak muda lagi. Pendidikan saya juga tidak tinggi. Saya cuma punya pengalaman di bidang gudang. Pekerjaan lain saya tidak bisa. Mencari pekerjaan lain sekarang juga susah. apalagi kalau harus bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dan lebih tinggi pendidikannya. Saya tidak akan bisa mendapatkan gaji sebesar gaji saya sekarang

ini di tempat lain. Jadi, saya sama sekali tidak punya perasaan sakit hati kepada pimpinan saya. Justru saya merasa bersyukur karena saya masih bisa bekerja di sini. Kalau rasa sakit hati. terus terang saya sakit hati sama si Slamet, anak buah saya yang mencuri itu. Dia juga sudah lama bekerja di sini, lha kok masih tidak bisa dipercaya! Kan keterlaluan! Tapi orangnya sudah mati, jadi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa kepadanya."

"Bagaimana meninggalnya Saudara Slamet ini?" tanya Kosasih.

"Dia bunuh diri."

"Dengan apa?"

"Memotong nadi tangannya sendiri."

"Di mana?"

"Di sini," kata Kris Wenger.

"Di dalam gudang ini?" tanya Kosasih menuding ke bawah.

"Katanya di bekas kantor saya yang sekarang ditempati Dik Rahadian itu. Saya sendiri tidak tahu persisnya di mana karena waktu itu saya kan diskors."

"Masa ada orang bunuh diri waktu kerja tidak ada orang lain yang tahu?"

"Katanya waktu itu anak-anak gudang sudah pulang. Gudang tutupnya pukul lima sore. terkadang kalau banyak muatan ya sampai pukul setengah enam. tidak pernah lebih. Lha orang mau bunuh diri kan ya juga nunggu sampai tidak ada orang lain di sekitarnya. Jadi si Slamet melakukan bunuh diri setelah yang lain pulang."

"Memangnya gudang itu ditinggal pulang para karyawan tanpa dikunci?"
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau gudang barang dan gudang bahan mentah. ya dikunci. Kalau tidak dikunci kan isinya diambil orang, Pak!" kata Kris Wenger sinis.

"Tapi kalau kantor. tidak dikunci. karena apa yang mau dicuri dari kantornya? Yang ada cuma lemari arsip dan mesin tik."

"Jadi siapa saja bisa masuk ke kantor gudang?"

"Ya."

"Berarti yang bukan karyawan gudang pun bisa masuk ke dalam kantor itu?"

"Iya. Memang bagian Cleaning juga setiap hari masuk ke sana untuk bersih-bersih."

"Siapa yang menemukan jenazah Slamet?"

"Anak Cleaning, keesokan harinya."

"Kenapa waktu itu Saudara Slamet tidak diskors bersama Anda?" tanya Gozali mengerutkan keningnya.

"Karena waktu itu belum ada yang tahu kalau pelakunya Slamet. Justru saya yang disangka pencurinya oleh Pak Shaun."

"Lha kalau yang disangka mencuri itu Anda. dan tidak ada yang tahu pelakunya Slamet, untuk apa dia bunuh diri?" tanya Gozali.

"Mungkin dia pikir akhirnya toh bakal ketahuan bahwa dialah pelakunya! Memang siang itu setelah saya memberitahu semua anak gudang bahwa saya diskors karena dituduh mencuri tapi saya tidak terima. karena saya tidak melakukannya, si Slamet ini

sikapnya jadi aneh. Seperti orang salah tingkah begitu. Tapi saya waktu itu tidak mencurigainya. Nggak ada yang Curiga waktu itu."

"Jadi Saudara Slamet itu melakukan pencurian memakai nama Anda?"

"Iya. makanya saya yang dituduh oleh Pak Shaun. Saya sudah protes bahwa saya tidak tahu apa-apa, tapi Pak Shaun tidak percaya Baru setelah Slamet bunuh diri. Pak Shaun percaya bahwa saya sama sekali tidak terlibat pencurian apa-apa, sehingga saya diizinkan bekerja lagi di sini, hanya saja tidak lagi sebagai kepala gudang."

"Saudara Slamet melakukan pencurian ini bersama siapa?" tanya Kosasih.

"Sendiri. Karyawan lain tidak ada yang terlibat. Dia bekerja sama dengan sopir-sopir pengangkutan luar."

"Ah, masa dia tidak punya teman orang dalam yang membantunya?" kata Kosasih.

"Biasanya orang tidak mungkin bekerja sendiri. Pasti ada komplotannya."

"Terbukti memang nggak ada. Semua karyawan sudah diperiksa Pak Shaun dan dinyatakan tidak terlibat. Semua DO bermasalah ternyata pemuatan barangnya dilakukan oleh si Slamet, semua DO itu dia yang paraf. bukan orang lain."

"Jadi tidak ada karyawan lain yang mendapat sanksi atau hukuman?"

"Cuma saya, karena saya kepalanya. Pak Shaun menganggap saya tidak melakukan tugas kontrol yang

benar sehingga memberi kesempatan si Slamet mencuri. Yang lain-lain tidak disalahkan."

"Pencurian itu sudah terjadi berapa lama?"

"Cukup lama. Kata Bagian Pembukuan akhir September sudah ada selisih, ya tadinya saya tidak menganggap itu pencurian, saya pikir ada kesalahan pembukuan saja. Baru terbongkar kalau itu pencurian waktu bulan puasa kemarin."

"Selama itu Anda tidak menduga sama sekali?"

"Ya itu kesalahan saya. Semua anak gudang itu sudah orang-orang lama. Saya tidak membayangkan ada yang sampai mau melakukan perbuatan yang memalukan itu."

"Saudara Slamet ini sebelumnya juga tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik?"

"Tidak. Dulu-dulu setahu saya dia bekerja dengan benar. Entah kenapa kok tiba-tiba dia kena bisikan setan lalu mencuri."

"Anda tidak mengenal Saudara Siamet ini secara pribadi? Maksud saya tidak berteman dengannya di luar tempat kerja?"

"Saya cuma ketemu dia di tempat kerja, di luar itu ya nggak pernah ketemu."

"Anda tidak tahu kenapa dia sampai mencuri?"

"Lha saya baru tahu dia yang mencuri itu setelah dia mati kok, jadi saya tidak bisa bertanya padanya," kata Kris Wenger sinis.

"Karyawan-karyawan yang lain di sini juga tidak ada yang tahu alasannya?"

"Setahu saya semua tidak tahu. Ya logislah begitu.

Namanya orang mencuri masa ngaku sama teman sekerjanya yang lain, kan bisa-bisa dia dilaporkan."

"Apa dia mengalami kesulitan keuangan di rumah atau apa?"

"Semua orang mengalami kesulitan keuangan, Pak!" kata Kris Wenger.

"Kita yang cuma karyawan begini mana ada yang punya uang berlebihan. Tapi kalau ada kesulitan kan mestinya dia ngomong sama saya, atasannya, kan nanti bisa dibicarakan dengan pimpinan, minta pinjam uang atau apa. Di sini kalau karyawan memang perlu pinjam uang, pasti diberi kok. Pak Danny tidak pernah menolak memberi bantuan."

"Tapi Pak Danny Lesmana kan sudah bukan direkturnya lagi?"

"iya memang Pak Danny sudah pensiun. Tapi saya percaya kebiasaan itu masih tetap diberlakukan."

"Jadi mestinya Saudara Slamet tidak perlu mencuri ya?"

'Betul! Dia tahu kalau dia memang butuh. dia bisa minta pinjam uang. Makanya saya menyesal sekali dia kok sampai berbuat yang memalukan dirinya begitu. Akibatnya dia sendiri celaka, dan saya ikut kena getahnya!"

"Siapa yang menggantikan Anda?"

"Rahadian. Dia dulu memang wakil saya."

"Apa dia tidak bertugas membantu Anda mengontrol pekerjaan karyawan gudang yang lain?"

"Ya, dia juga membantu, tapi tadinya dia juga tidak mengontrol secara ketat. Pokok dilihat begitu

saja. sudah. Ya, mungkin dia anggap saya begitu, ya dia juga begitu sudah betul."

"Dia tidak disalahkan?"

"Dia kan cuma wakil saya. Yang bertanggung jawab kan saya. saya kepalanya. Jadi saya yang disalahkan. Lha kalau dua-dua disalahkan dan dua-dua diturunkan jabatannya, lalu siapa yang menjadi kepala gudang?"

"Anda tidak sakit hati padanya?"

"Pada Rahadian? Enggak. Kenapa harus sakit hati. dia tidak berbuat apa-apa pada saya."

"Dia yang mengambil jabatan Anda."

"Kan bukan dia yang merebut, kan dia juga ditempatkan Pak Shaun di situ. Rahadian anaknya baik kok, masih muda, tapi cerdas."

"Dan sejak itu tidak ada kasus pencurian lagi?"

"Sudah tidak ada. Sopir-sopir pengangkutan yang terlibat sudah tidak diperkenankan memasuki kompleks perusahaan ini lagi."

"Sebetulnya bagaimana modus operandi pencurian ini?" tanya Kosasih.

"Sebetulnya sederhana. Barang-barang yang dimuat ke atas truk jumlahnya melebihi yang tertera di DO. Lalu di tengah jalan barang-barang curian itu diturunkan, sudah ada yang menadah."

"Yang menaikkan muatan ke atas truk berapa orang?"

"Mestinya untuk mengangkat perlu dua orang. Tapi ada sopir-sopir dan kernet-kernet truk yang mau ikut membantu mengangkat, sehingga karyawan gudang cukup satu. Karyawan-karyawan gudang yang lain melayani truk truk yang lain."

"Dan sopir sopir yang ringan tangan ini mau membantu karena mereka memang berkomplot melakukan pencurian," kata Kosasih.

"Iya. Tadinya saya tidak curiga, saya pikir sopirsopir itu baik-baik. mau membantu supaya pekerjaan cepat selesai. Tidak tahunya mereka justru memakai kesempatan itu untuk menaikkan barang curian."

"Sekarang kesempatan untuk berbuat seperti itu sudah tidak ada lagi?"

"Ya. Dari pengalaman tersebut sekarang sopir dan kernet pengangkutan tidak boleh ikut loading muatan. Setelah memasukkan truk, mereka harus menunggu di pinggir, diberi tempat khusus. Ditambah Rahadian sendiri yang mencocokkan jumlah barang yang dikeluarkan dari gudang dengan yang tertera pada DO satu per satu. jadi kontrolnya ketat, tapi otomatis pekerjaan jadi lambat. Banyak yang mengomel, tapi ya gimana lagi."

"jumat yang lalu, di mana Anda setelah pulang kerja?" tanya Kosasih.

"Saya pergi main biliar, kenapa?" tanya Kris Wenger.

"Pukul berapa Anda main biliar?"

"Langsung dari kerja saya main sampai pukul sebelas malam."

"Di mana?"

"Di Manyar. Saya selalu main di sana."

"Anda main bersama teman?"

"Tentu saja. Mana ada orang main sendiri. Saya main bersama dua teman yang lain."

"Nama, alamat, dan nomor telepon mereka," kata Kosasih sambil menengadahkan tangannya.

"Petrus dan Rafiq. Alamatnya saya tidak ingat, tapi nomor telepon mereka ada di catatan saya. Saya carikan dulu." kata Kris Wenger mengeluarkan sebuah notes kecil dari sakunya. Dia segera membalik-balik halaman-halaman kertas yang sudah lusuh itu sampai dia mendapatkan apa yang dicarinya. Lalu dia mengambil secarik kertas dari atas meja dan menulis beberapa baris laiu diberikannya kepada Kosasih.

"Silakan tanya mereka. Kami bermain setiap hari bersama-sama." kata Kris Wenger.

"Anda tidak pernah ke rumah Ibu Norma Tanjung?" lanjut Kosasih.

"Bu Norma? Tidak! Ngapain saya ke rumahnya? Dia sudah janda. kalau saya ke sana nanti disangka saya mau apa-apa sama dia!" kata Kris Wenger tersinggung.

"Dia ditemukan mati terbunuh Sabtu kemarin," kata Kosasih.

"Hah? Bu Norma?" Nada terkejut.

"Pak Danny Lesmana belum memberitahu karyawan-karyawan di sini tentang kematiannya?"

"Belum! Kayaknya Pak Danny belum ada di kantor hari ini, saya belum melihat mobilnya di tempat parkir. Saya baru mendengar cerita itu sekarang. Apa yang terjadi pada Bu Norma? Bagaimana dia dibunuh?" tanya Kris Wenger.

Lenernya tergorok.

"Astaga! Astaga!" kata Kris Wenger membelalak.

"Untuk apa? Kenapa dia dibunuh?"

"Kami berharap Anda yang bisa memberitahu kami," kata Kosasih.

"Tapi saya tidak tahu apa-apa! Saya bahkan sudah lama tidak pernah bicara dengannya. Apa polisi sekarang mencurigai saya yang membunuhnya?" tanya Kris Wenger. Sekarang pandangan matanya menyalanyala. Jelas dia sedang marah.

"Apa Anda patut dicurigai?" balas Kosasih.

"Saya tidak pernah berbuat kejahatan apa-apa!" kata Kris Wenger.

"Kenapa polisi obsesi terhadap saya? Tadi saya dicurigai meracuni ibu Melody, sekarang dicurigai membunuh Bu Norma. Memangnya di wajah saya ini tertulis saya ini penjahat?"

"Anda punya motif."

"Saya punya motif? Motif apa? Cinta tak terbalas?" tanya Kris Wenger sinis.

"Anda dicopot dari jabatan Anda, Anda dendam kepada pimpinan perusahaan, Anda meracuni ibu Harman, dan akhirnya Ibu Norma menyadari Andalah pelakunya. sehingga Anda membunuhnya juga," kata Kosasih.

"Saya tidak dendam kepada pimpinan perusahaan ini, saya tidak meracuni siapa pun, dan saya tidak membunuh siapa pun! jika polisi sekarang menuduhkan semua itu kepada saya, coba saja buktikan!" tantang Kris Wenger menggebrak meja.

Rahadian Ibrahim yang tadinya duduk di mejanya

agak jauh dari tempat mereka bicara, terkejut mendengar gebrakan itu, dia segera berdiri dan menghampiri mereka. Dia meletakkan tangannya di bahu Kris Wenger dan berkata dengan suaranya yang tenang,

"Pak Kris, sabar, jangan emosi dulu. Semua kan bisa dibicarakan dengan baik. Bapak-bapak polisi ini hanya menjalankan tugas mereka." Lalu kepada Kosasih dan Gozali dia berkata,

"Pak Kris ini hanya galak suaranya, Pak, tapi orangnya baik kok."

"Mereka bilang Ibu Norma mati dibunuh!" kata Kris Wenger kepada Rahadian.

"Hah?" Rahadian menganga.

"Kapan?"

"Jumat malam yang lalu, tapi kematiannya baru diketahui Sabtu petang." kata Kosasih.

"Siapa yang membunuhnya?" tanya Rahadian.

"Menurut Bapak-bapak ini, saya!" kata Kris Wenger.

"Untuk apa Pak Kris membunuh Bu Norma?" tanya Rahadian.

"Saya juga tidak tahu!" kata Kris Wenger.

"Mungkin Bu Norma dibunuh orang yang merampok rumahnya?" usul Rahadian.

"Dia kan hidup sendirian. jadi dianggap sasaran empuk bagi para perampok."

"Labkrim masih menyidik tempatnya, kami akan tahu lebih banyak setelah penyidikan mereka selesai," kata Kosasih.

"Kami masih perlu bicara dengan karyawan-karyawan bagian gudang yang lain." sela Gozali.

"Kami mulai dengan Anda saja dulu," katanya kepada Rahadian.

"Oke," kata Rahadian.

"Dan saya mau pinjam telepon Kosasih.

"Oh. silakan pakai yang ada dimeja saya pak" kata Rahadian.

Keterangan yang diperoleh dari Rahadian dan karyawan-karyawan gudang yang lain sama dengan yang diungkapkan Kris Wenger sehingga tidak ada masukan baru lagi. Slamet ternyata adalah orang yang pendiam dan tidak bergaul dengan karyawan-karyawan yang lain di luar tempat kerja. Rahadian mengatakan tidak melihatnya di kantor Kris Wenger ketika dia mengunci gudang petang itu. Petang itu karena dia diajak bicara lama di kantor Shaun Harman, dia baru kembali ke gudang menjelang pukul enam saat karyawan karyawan yang lain sudah pulang semua, jadi dia tidak masuk ke kantor Kris Wenger, melainkan langsung mengunci pintu gudang, lalu dia sendiri pun pulang.

Tidak ada yang mengaku tahu apa yang menyebabkan Slamet menjadi pencuri. Setelah kematiannya teman-temannya tak ada yang berhubungan dengan keluarganya karena sebelumnya mereka juga tidak pernah berhubungan dengan keluarganya. Mereka hanya tahu bahwa Slamet ini punya tiga orang anak, yang sulung sekolah STM. yang tengah masih di SMP, dan yang bungsu di SD. Bagaimana kehidupan keluarganya sebelum dan sesudah kematiannya, tidak ada yang mengaku tahu.

"Yang tidak masuk akalku adalah kenapa Slamet bunuh diri petang itu padahal tidak ada yang tahu dia terlibat." kata Gozali.

"Mungkin dia berpikir hanya maaalah waktu saja sebelum perbuatannya terbongkar," kata Kosasih.

"Kalaupun terbongkar, paling-paling dia ditangkap dan dimasukkan penjara beberapa bulan. Kenapa harus bunuh diri?"

"Tidak tahan menanggung malunya," kata Kosasih.

"Orang yang berani mencuri sudah tahu semua risikonya. Mereka sudah siap mental kalau tertangkap. Nggak ada yang mau bunuh diri untuk itu, Kos!"

"Jadi. maksudmu apa?" tanya Kosasih melirik sahabatnya. Dia kenal betul apabila Gozali bicara dengan nada seperti itu, berarti dia mencurigai sesuatu.

"Mungkin dia tidak bunuh diri."

"Apa? Kaupikir dia dibunuh?"

"Aku ingin bicara dengan polisi yang menyidik kematiannya."

"Kejadiannya sudah Januari yang lalu. Goz, kalaupun ada jejak juga sudah lama dingin," kata Kosasih.

"Tidak apa. Kita bicara saja dengan Polsek Rungkut. Laporannya kan masih bisa dibaca."

"Ternyata Kris Wenger punya alibi," kata Kosasih.

"Sudah kuduga saat aku melihat wajahmu selagi menelepon tadi," kata Gozali sambil menyeringai.

"Teman-temannya bukan hanya membenarkan tiga

malam yang lalu si Kris Wenger main bersama mereka. mereka malah mengatakan setiap malam mereka main biliar, sama-sama bujangan tidak punya keluarga." kata Kosasih.

"Jadi jalan kita buntu lagi," kata Gozali.

"Mungkin betul si Rahadian, Norma Tanjung dibunuh perampok." kata Kosasih.

"Ngambil apanya?"

"Mungkin setelah masuk ke dalam, si perampok baru tahu kalau di dalam rumah perempuan itu tidak ada barang berharganya, tapi perbuatannya telanjur diketahui korban. jadi korban dibunuh."

"Dan kaleng susu cokelat yang hanya ada satu set sidik jarinya?"

"Mungkin dilap sendiri oleh korban. Siapa tahu korban hobinya lap-lap di rumah? Walaupun dia tidak punya pembantu. barang-barangnya tampak bersih. jadi pasti korban suka bersih-bersih rumah."

Gozali mengerutkan keningnya.

"Mungkin kau benar," katanya.

Kosasih melihat arlol.inya.

"Sebaiknya sekarang kita ke rumah si Slamet ini dulu, toh dekat di daerah ini." katanya.

"Oke."

Rumah yang mereka cari ternyata terletak di dalam sebuah kampung di daerah Wonocolo. Gangnya termasuk sempit dan rumah-rumah yang berimpitan di

sana berukuran kecil-kecil. Kampung itu termasuk kumuh. Bau comberan menyengat hidung karena air got tidak mengalir.

Nomor 7D adalah sebuah rumah kecil persis di tikungan. Gang yang lebih kecil lagi memisahkan rumah ini dari tetangganya. Pintu rumah dalam keadaan tertutup. Karena tidak punya pagar, Kosasih dan Gozali langsung menuju ke pintu rumah yang tertutup dan mengetuknya. Dari dalam terdengar suara televisi.

Pintu membuka dan wajah seorang wanita separo baya melongok dari balik daun pintu.

"Kami mau bertemu dengan ibu Slamet." kata Kosasih memperkirakan perempuan yang berada di hadapannya ini adalah orang yang dicarinya.

"iya, saya Ibu Slamet," kata perempuan itu membenarkan dugaannya.

"Situ dari mana?" Dia membuka pintu lebih lebar sehingga Kosasih dan Gozali bisa melihat ke dalam rumahnya.

Seorang pemuda berusia sekitar tujuh belasan yang duduk di depan pesawat televisi berpaling memandang mereka.

"Kami dari kantor Polda." kata Kosasih.

"Saya Kapten Polisi Kosasih. dan ini Bapak Gozali. Kami mau bicara dengan keluarga di sini."

"Kantor Polda? Sampeyan polisi?" tanya perempuan itu sambil mengerutkan keningnya.

Belum lagi Kosasih sempat menjawab, pemuda yang tadi mengawasi mereka itu langsung melompat berdiri dan berlari masuk lalu keluar rumah lewat bintu samping.

Gozali yang melihat kelakuan aneh itu segera mengejar lewat gang kecil di samping rumah. Dengan langkah-langkah lebar kakinya yang panjang, Gozali dengan mudah berhasil menarik baju kaus pemuda itu dan dalam hitungan detik sudah segera meringkusnya. Orang-orang lain di dalam gang itu segera berlarian keluar. Gozali langsung berteriak.

"Polisi!" agar warga kampung yang merangsek maju itu tidak mengeroyoknya.

"Dari kantor Polda!" tambah Gozali sambil mencekal pemuda yang diringkusnya.

Pemuda itu berusaha melepaskan dirinya dengan mengobat-abitkan bahunya, tapi kepalanya yang tertunduk mencerminkan bahwa dirinya punya kesalahan.

Beberapa orang laki-laki mendekat. tapi tanpa bersikap mengancam. Mereka hanya ingin tahu apa yang terjadi.

"Ada apa, Pak?" tanya yang satu.

Saat itu Kosasih dan Ibu Slamet pun tiba.

"Tidak ada apa-apa," kata Kosasih dengan suara penuh wibawa.

"Ini penyidikan polisi. Kami ini petugas dari Polda. Silakan Saudara-saudara kembali ke rumah masing-masing."

"Kenapa, Bu?" tanya seorang warga lain kepada Ibu Slamet.

"Tidak tahu saya. Belum sempat bicara kok tahutahu anak saya dikejar," kata perempuan itu dengan wajah jengkel.

"Kalau anak Ibu tidak lari, kami juga tidak mengejarnya," kata Kosasih.

"Saya tidak melakukan apa-apa! Saya tidak melakukan apa-apa!" protes si pemuda.

"Kenapa kamu lari?" tanya Kosasih.

"Saya tidak melakukan apa-apa! Kenapa saya ditangkap?" balas si pemuda.

"Kami dari kepolisian. dan kami mau bicara dengan kamu dan ibumu. Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa harus lari?" bentak Kosasih.

"Saya tidak berbuat apa-apa, kenapa saya harus bicara dengan polisi!" Si pemuda berusaha melepaskan dirinya. tapi tingkahnya membuat Gozali semakin mempererat cekalannya.

"Sudah, sekarang kami akan membawa adik ini kembali ke rumahnya dan bicara dengannya. Saudarasaudara pulang saja," kata Kosasih kepada warga yang mengerumun.

"Pak. Ibu ini sudah janda, jadi anaknya ini anak yatim." celetuk salah seorang warga dengan nada tidak senang.

"Kami sudah tahu. Kalian tidak usah khawatir. kami ini polisi. Kami tidak akan menganiaya baik ibu ini atau anaknya," kata Kosasih sambil mengapit si pemuda yang diringkus Gozali kembali ke rumahnya.

Mereka masuk lagi ke dalam rumah. Kosasih membiarkan pintu rumah terbuka. tapi Gozali berdiri di sana menghalangi si pemuda melesat keluar seandainya dia mau lari lagi. Beberapa warga masih berdiri berdiri di depan rumah itu tapi tidak berani masuk.

"Sekarang, coba kamu mengaku kenapa kamu tadi

lari?" tanya Kosasih kepada pemuda yang didudukkan di sampingnya. Televisi langsung dimatikan Gozali agar pembicaraan mereka tidak terganggu.

Pemuda itu diam saja.

"Coba, namamu siapa dulu?" tanya Kosasih.

"Namanya Haris," jawab ibunya.

"Umurmu berapa?" tanya Kosasih kepada si pemuda lagi.
Misteri Melody Yang Terinterupsi Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mau delapan belas," lagi-lagi yang menjawab ibunya.

Kosasih berpaling ke nyonya rumahnya.

"Ibu, biarkan anaknya menjawab sendiri. Dia kan punya mulut!" katanya.

Ibu Slamet melengos.

"Polisi ini maunya apa toh kok siang-siang datang ke rumah orang bikin masalah?" katanya dengan nada ketus.

"Kami sedang menyidik kasus kematian Saudara Slamet, Bu," jawab Kosasih.

"Apanya lagi yang mau disidik wong orangnya sudah dikubur! Masa bapaknya anak-anak sudah mati masih tidak bisa beristirahat dengan tenang? Kok masih mau diobok-obok lagi!" kata Bu Slamet.

"Apa ibu tahu kenapa Saudara Slamet meninggal?" tanya Kosasih.

"Saya tidak tahu! Dia berangkat kerja baik-baik kok tahu-tahu dibilang suami saya bunuh diri!"

"Ibu tidak tahu kenapa suami Ibu bunuh diri?"

"Katanya dia mencuri barang pabrik."

"Siapa yang bilang dia mencuri?"

"Ya polisi."

"Polisi dari mana?"

"Wah, saya tidak tahu, pokoknya ada polisi yang datang kemari lalu bilang suami saya meninggal bunuh diri karena ketahuan mencuri barang pabrik tempat dia bekerja.."

"Bapak saya bukan pencuri!" sela si pemuda. Matanya menyala-nyala merah.

"Itu Fitnah! Bapak saya bukan pencuri!"

"ibu tidak tahu suami Ibu mencuri?"

"Lho, saya tidak tahu! Kalau saya tahu ya sudah pasti saya larang jangan mencuri. Buat apa mencuri? Orang hidup cuma satu kali. Mati juga tidak membawa apa-apa!"

"Bapak saya tidak pernah mencuri! Yang bilang bapak saya pencuri itu bukan manusia! Itu binatang!" sela Haris.

"Jadi kamu tidak percaya bapakmu mencuri?" tanya Gozali menghampiri si pemuda dan berdiri di hadapannya.

"Bapak saya memang bukan pencuri! Bapak saya orang baik-baik! Yang bilang bapak saya mencuri itu bohong! Bohong!" kata Haris.

"Lalu kenapa bapakmu bunuh diri?" tanya Gozali.

"Saya tidak tahu! Tapi saya tahu pasti Bapak tidak mencuri! Mungkin Bapak bunuh diri karena jengkel dituduh mencuri!" jawab Haris.

"Suami saya sudah bekerja di pabrik itu bertahuntahun," sela Ibu Slamet.

"Dari dulu tidak pernah mencuri, kenapa tiba-tiba dituduh mencuri!"

Apa akhir-akhir ini Keluarga ibu perlu uang yang jumlahnya lebih besar daripada gaji Saudara Slamet?" tanya Kasasih.

"Bukan cuma akhir-akhir ini, Pak. Selalu!" kata Ibu Slamet.

"Mana ada orang kampung yang tidak kekurangan uang? Coba lihat sendiri, kami ini kan hidup kekurangan. Si Haris mau masuk fakultas aja kami tidak punya uang."

"Mungkin untuk mengadakan uang itu lalu Saudara Slamet terpaksa mencuri?" kata Kosasih.

"Itu tidak benar!" sela Haris.

"Biar kami miskin tapi Bapak tidak akan mencuri! Tuduhan itu bohong!"

"Jadi kamu tidak terima bapakmu dibilang pencuri?" tanya Gozali kepadanya.

"Tentu saja! Bapak saya memang bukan pencuri!" Sikap Haris semakin garang.

"jadi kematian bapakmu ini kamu anggap suatu kesalahan?"

"Iya! Orang tidak mencuri dituduh mencuri sampai Bapak bunuh diri! Apa itu tidak kejam namanya?"

"Siapa yang kamu anggap kejam?"

"Ya bos Bapak! Dia yang menuduh Bapak!"

"Bos yang mana?" tanya Gozali sambil menyipitkan matanya.

"Yang namanya Danny Lesmana itu! Yang punya pabrik itu!"

"Kamu tahu yang punya pabrik namanya Danny Lesmana?"

"Tahu. Bapak kan sering cerita."

"Kamu tahu rumahnya?"

"Enggak." Kalau tadi Haris itu menjawab sambil melotot dan menatap menantang, tiba-tiba sekarang dia mengalihkan pandangannya.

"Ngomong yang jujur!" kata Gozali sinis.

"Kamu tahu di mana rumah Pak Danny Lesmana, kan?"

"Enggak."

"Jangan bohong! Kamu tahu, dan kamu ke sana. kamu melempari rumahnya dengan kotoran bulan lalu. Betul tidak?" tuduh Gozali.

"Enggak! Saya nggak tahu rumahnya," kata Haris.

"Ada saksinya yang melihat perbuatanmu," kata Gozali.

"Sudah melempari rumah orang, masih mau berbohong pula. itu namanya dua kesalahan!"

"Saya nggak melempari rumah orang!" kata Haris.

"Tahu tidak perbuatan itu termasuk tindakan tidak menyenangkan terhadap orang lain dan ada hukumannya?" tanya Gozali.

"Anak saya sudah bilang dia tidak melempari rumah orang kok!" bela Ibu Slamet.

"Anak ibu ini pembohong," kata Gozali. 'Makanya dia tadi takut melihat kami, lalu lari. Jangan-jangan dia juga terlibat pembunuhan direktur Lesmana Corporation, yang adalah anak Pak Danny Lesmana."

"Apa?" Sekarang mata Haris membelalak lebat, tapi bukan dengan garang melainkan dengan takut.

"Saya tidak membunuh siapa-siapa!"

"Kamu bohong. Kamu tidak mengaku melempari rumah Pak Danny Lesmana, kamu juga tidak mengaku membunuh ibu Melody Harman," kata Gozali dengan nada mengejek.

"Tapi perbuatanmu ada yang melihat. Kalau tidak begitu, polisi tidak akan sampai kemari sekarang."

"Tidak! Tidak! Saya tidak berbuat apa-apa!" kata Haris. Sekarang dia benar-benar tampak ketakutan.

"Untuk melempari rumah orang sih hukumannya tidak terlalu berat. Tetapi untuk membunuh orang, wah, itu hukumannya bisa sangat berat!" kata Gozali.

"Saya tidak membunuh orang!" kata Haris.

"Karena kamu tidak mau mengaku, terpaksa kami sekarang membawa kamu ke kantor polisi," kata Gozali.

"Aduh, Pak, jangan!" kata Ibu Slamet.

"Jangan bawa anak saya ke kantor polisi!"

"Anak Ibu ini pembohong dan pembunuh. Dia harus kami tangkap," kata Gozali.

"Tidak, Pak! Anak saya bukan pembunuh! Sungguh itu! Memang dia yang melempari rumah bos bapaknya, tapi dia tidak membunuh orang! Sumpah, Pak!" kata Ibu Slamet panik.

Gozali berpaling kepada Haris.

"Ibumu bilang kamu melempari rumah Pak Danny Lesmana," katanya.

"Kamu sekarang bilang apa?"

Pemuda itu menunduk dan mengangguk lemas.

"Jadi sekarang kamu mengaku melempari rumah orang?" tanya Kosasih.

Haris mengangguk lagi.

"Apa lagi yang kamu lakukan terhadap bos bapakmu dan keluarganya?" tanya Kosasih.

"Cuma itu, Pak," kata Haris.

"Kamu tidak membunuh anaknya?"

"Tidak, Pak!"

"Di mana kamu pada hari Selasa tanggal 25 bulan lalu antara pukul dua belas siang dan pukul enam sore?"

Haris memandang Kosasih dengan tatapan bingung dan menggelengkan kepalanya.

"'Saya tidak ingat." katanya.

"Masa tidak ingat?" tanya Kosasih.

"Belum satu minggu lewat!"

Haris menggelengkan kepalanya lagi.

"Biasanya setiap hari di mana kamu pada jam-jam sekian?" tanya Kosasih.

"Tidak tentu," kata Haris.

"Kadang di rumah, kadang main bersama teman."

"Pak. anak saya tidak membunuh orang!" sela Ibu Slamet.

"Sungguh! Saya ibunya, saya tahu anak saya tidak membunuh orang."

"Semua pembunuh juga punya ibu," kata Kosasih.

"Dan semua ibu mereka juga tidak percaya kalau anaknya bisa menjadi pembunuh."

* * *

"Jadi akhirnya kita tahu siapa yang melempari rumah Danny Lesmana," kata Kosasih di dalam mobil.


Sapta Siaga 14 Membela Teman Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Pelarian Karya Alviorita

Cari Blog Ini