Ceritasilat Novel Online

Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo 4

Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD Bagian 4



Kapten Danu Brata tidak tahu harus bertanya apa lagi. Ia berpaling kepada Gozali.

"Tanyakan apakah dia tahu siapa Helmi Rantung dan apa kerjanya di pesta itu," kata Gozali yang tidak mahir berbahasa Inggris.

Kapten Danu meneruskan pertanyaan itu.

"Oh, dia ke pesta itu juga atas ajakan orang lain. Dia juga tidak mengenal si nyonya rumah yang mengadakan pesta. Saya kira ia adalah seorang pengusaha muda atau sedikit-dikitnya seseorang yang punya kedudukan penting di dalam salah satu perusahaan besar di jakarta. Ia punya potongan eksekutif."

"Tapi Anda tidak tahu pasti apa pekerjaannya dan di mana ia bekerja?" tanya Kapten Danu.

"Tidak."

Gozali berkata kepada Kapten Danu.

"Katakan kepadanya bahwa orang ini dari BKPM bagian perizinan."

Sejenak Peter Halliday terkejut mendengar keterangan Kapten Danu. Kekagetannya sangat mencolok.

"Tanyakan mengapa ia kaget mendengar Rantung dari BKPM," bisik Gozali.

"Oh. tidak, tidak!" bantah Peter Halliday mencoba tersenyum menjawab pertanyaan Kapten Danu Brata.

"Saya cuma heran. Saya mengira ia pengusaha swasta atau eksekutif pada suatu perusahaan swasta."

"Desak lagi apa yang dikatakannya kepada Rantung. Aku kira ia baru menyadari ia pernah salah omong! Ia tampak sangat terkejut," bisik Gozali lagi.

"Berapa lama Anda berbicara dengannya?"

"Oh. mungkin sekitar tiga perempat jam."

"Apa garis-garis besar pembicaraan Anda?"

"Oh, eh... biasa-saya menawarkan barangbarang yang bisa kami suplai dari Australia. Well, Anda mengerti, saya berusaha menjual kepadanya.."

"Anda menyangka ia adalah calon pembeli yang potensial?"

"Ya. Saya tidak tahu ia orang pemerintah."

Orang pemerintah! Sekarang Kapten Danu sendiri pun bisa menangkap nada janggal Halliday. Ia tidak menyebut 'BKPM', tapi "orang pemerintah"! Hal ini seakan-akan memberikan gambaran

bahwa pembicaraan yang disodorkan kepada 'orang pemerintah' tentunya tidak sama dengan pembicaraan yang disodorkan kepada orang-orang non-pemerintah! Bahwa orang sudah umum tidak membicarakan hal-hal yang peka dengan 'orang pemerintah"! Mungkin kali ini si bule betul-betul telah salah bicara-telah mengatakan apa yang biasanya tidak akan dikatakannya kepada 'orang pemerintah'! Tanpa mengetahui identitas asli Helmi Rantung. mungkin dia telah menceritakan halhal yang tidak seharusnya sampai ke telinga "orang pemerintah"!

Sekarang pertanyaan berikutnya adalah, apakah hal-hal yang diceritakannya itu ada hubungannya dengan kematian Helmi Rantung!

"Tepatnya. apa saja yang Anda ceritakan padanya?" desak Kapten Danu. Suaranya yang serius dan tatapan matanya yang tajam membuat orang kulit putih yang berdiri di hadapannya menjadi gugup.

Apakah dia harus menceritakan semuanya? Ya, Tuhan! Bagaimana mungkin aku telah membuat kebodohan ini! Halliday memaki dirinya sendiri dalam hati.

"Yah. .. yah. saya tidak mengingatnya lagi, Tuan Polisi," kata Halliday.

"Saya kira apa yang saya ceritakan tidaklah banyak bedanya dengan apa yang biasanya saya ceritakan kepada orang-orang yang saya anggap bisa dijadikan calon pembeli. Seperti yang Anda ketahui sendiri, saya tidak

mengenal orang ini secara pribadi, tidak ada alasan

bagi saya untuk menceritakan hahhal yang mencurigakan, bukan?" Tapi suaranya tidak meyakinkan.

"Seandainya Anda tahu bahwa Saudara Helmi Rantung ini orang pemerintah-dan dari bagian perizinan BKPM-apakah Anda juga masih akan menceritakan apa yang telah Anda ceritakan padanya malam itu?" kejar Kapten Danu yang tidak mudah dialihkan perhatiannya.

"Oh, tentu saja tidak," kata Peter Halliday.

"Seandainya saya tahu ia 'orang pemerintah,, saya tidak akan buang-buang waktu untuk bercerita sama sekali. Untuk apa saya menghabiskan tenaga bercerita toh dia tidak akan membeli apa-apa!" Peter Halliday mencoba tersenyum, membuat penjelasannya supaya terdengar masuk akal.

Kapten Danu Brata berpaling pada Gozali.

"Tanyakan mengapa ia kemari. Kita belum tahu mengapa Helmi Rantung kemari. Apakah ini cuma suatu kebetulan atau ada hubungannya dengan kedatangan orang ini kemari."

Kapten Danu Brata mengangguk. Penganalisaan yang baik, pikirnya. Ternyata orang jangkung kurus ini tidak bodoh, bahkan jauh lebih encer otaknya daripada banyak rekannya yang lain, yang seringkali cuma bekerja secara dogmatis dan robotis!

"Mengapa Anda ke Surabaya?" tanyanya kepada tamunya yang tampak berkeringat ini. Entah karena tidak tahan bau formalin atau karena

takut disodori pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.

"Oh. tentunya karena ada beberapa urusan." kata Peter Halliday.

"Saya mau mengunjungi beberapa perusahaan dalam rangka memperkenalkan perusahaan kami dengan lebih jelas."

"Tempat-tempat mana saja yang akan Anda datangi?"

Peter Halliday mengangkat tasnya dan mencari tempat di mana ia bisa meletakkannya untuk membuka tutupnya.

"Mungkin sekarang kita bisa kembali ke mobil,

" kata Kapten Danu Brata yang tidak melihat adanya tempat lain di mana tas ini bisa diletakkan kecuali di atas jenazah Helmi Rantung yang tentunya akan merupakan perbuatan yang kurang ajar.

Mereka bertiga kembali ke mobil. Di dalam mobil Peter Halliday membuka tasnya, mengeluarkan buku agendanya dan melihat catatannya.

"Boleh saya lihat?" tanya Kapten Danu mengulurkan tangannya.

Dengan hati berat Halliday menyerahkan agendanya.

"Hm. nama tiga perusahaan tercantum di sini. Satu untuk besok, dua lagi untuk lusa pagi. Setelah itu?"

"Lusa sore saya akan terbang ke Bali untuk terus ke Australia."

"Mengapa Anda membutuhkan waktu dua hari hanya untuk mengunjungi tiga perusahaan ?" tanya Kapten Danu Brata.

"

"Oh, karena besok itu saya harus menghadiri suatu upacara peresmian, jadi tentunya akan berlangsung lama. Saya khawatir acara itu baru selesai sore harinya dan itu sudah terlalu sore untuk mengunjungi dua perusahaan lagi."

Kapten Danu mengangguk, mengambil buku catatannya sendiri dan menyalin nama dan alamat ketiga perusahaan itu.

"Tahukah Anda mengapa Saudara Helmi Rantung berada di Surabaya?"

"Tentu saja tidak."

"Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Anda?"

"Wah," kata Peter Halliday menyeka keringatnya,

"kalau itu sudah pasti tidak! Bagaimana bisa ada hubungannya, kami cuma bertemu sekilas begitu saja!"

Lagi-lagi Danu Brata berpaling pada Gozali. Gozali menggelengkan kepalanya. Ia pun kehabisan pertanyaan.

"Apakah ada keterangan lainnya yang bisa Anda berikan untuk membantu kami melacak pembunuhan ini?" tanyanya kemudian.

Peter Halliday cepat-cepat menggelengkan kepalanya.

"Anda tahu, saya senang sekali seandainya saya dapat membantu, tetapi dalam hal ini saya betul-betul tidak tahu apa-apa."

Ketika orang asing ini mereka turunkan di halaman sebuah hotel di mana ia sudah memesan

kamar. dia masuk dengan langkah-langkah lebar tanpa berpaling satu kali pun ke belakang.

"Dia sama sekali tidak menanyakan bagaimana Rantung mati," komentar Gozali.

Danu Brata memandang Gozali dengan kesadaran yang baru timbul.

"Mengapa hal itu tidak kita tanyakan?"

"Kita masih punya kesempatan," Gozali menyeringai.

"Saya punya firasat kita akan bertemu lagi dengannya."

Ketika pukul tiga sore Gozali muncul di ambang pintu rumah keluarga Kosasih. dia mendapatkan rumah ini diramaikan oleh kehadiran beberapa tetangga. Bambang duduk dengan kepala tersembunyi di balik telapak tangannya, Teti menangis tanpa suara sambil bersandar di dinding.

"Mbang!"

"Oh, Lik!" Seketika Bambang melompat berdiri.

"Lik, Dessy menghilang!" kata Bambang sebelum Gozali sempat mendekat.

"Menghilang? Menghilang bagaimana?" tanya Gozali. Tanpa disadarinya, hatinya serasa melayang entah ke mana, nyeri dan dingin.

"Entah, Lik. Aku pulang pukul sebelas kurang. dia tidak ada di rumah. Aku mencarinya ke mana-mana, tidak ketemu."

"Mungkin dibawa mobil yang kemari tadi," kata Bu Pardi tetangganya di depan rumah.

"Memang tadi saya melihat ada mobil yang parkir di sini, tapi tidak tahu siapa."

"Coba ceritakan dengan tenang, Mbang," kata Gozali.

"Jangan panik. Lebih panik kita lebih tidak bisa memikir nanti."

"Tadi pagi aku pergi, Lik. Pukul delapan keluar rumah. Di sini cuma ada Dessy dan Teti. Aku pikir pagi-pagi begini tidak membahayakan. lagi pula aku kira aku tidak akan pergi lama. Dessy sudah kupesan supaya berhati-hati dan jangan lupa mengunci pintu rumah. Aku pulang mendapatkan rumah tertutup...."

"Teti juga tidak ada?" putus Gozali.

"Teti ada di rumah saya. Pak," kata Bu Usman yang duduk di samping gadis itu.

"Sedang nonton film." Bu Usman merasa ikut bersalah karena pagi itu ia telah menyuruh putrinya untuk mengajak Teti menonton bersama.

"Jadi di rumah hanya ada Dessy seorang diri?"

"Ya," kata Bambang.

"Bagaimana keadaan dalam rumah ketika kau kembali, Mbang?"

"Ya seperti ini, biasa-biasa saja. Aku sudah memeriksa kamar Dessy. Di sana semuanya rapi. Sandalnya terletak di tempat yang biasa. Hanya taSnya yang tidak ada. Menurut pendapatku, Dessy pergi atas kemauannya sendiri, Lik. Aku kira ia tidak diculik atau dipaksa."

"Kau tidak tahu pukul berapa Dessy meninggalkan rumah?"

"Persisnya tidak. Lik. Tapi aku mencoba merekonstruksinya. Aku mendapatkan tiga potong pakaian yang sudah digosok. Menurut Teti. ketika ia meninggalkan rumah. Dessy baru mulai menggosok. Di tempat jemuran masih ada dua

potong pakaian yang belum digosoknya. Jadi aku menghitungnya demikian. Lik.

"Aku minta Teti mencoba menggosok sepotong, ternyata ia membutuhkan waktu dua puluh menit untuk menggosok satu potong. Dessy tentunya bisa menggosok lebih cepat. jadi aku perkirakan antara sepuluh sampai lima belas menit. Untuk menyelesaikan tiga potong, Dessy membutuhkan waktu tiga puluh sampai empat puluh lima menit. Teti pergi ke rumah Bu Usman sekitar pukul delapan lebih seperempat-berarti sebelum pukul sembilan Dessy sudah berhenti mengg0sok.

"Sekarang tinggal menjawab. berapa lama setelah dia berhenti menggosok, dia meninggalkan rumah. Itu yang tidak aku ketahui, Lik." kata Bambang mengakhiri teorinya.

"Analisamu bagus," kata Gozali.

"Kita asumsikan saja ia meninggalkan rumah pukul sembilan. Tempat mana kirakira yang akan didatanginya pada jam sekian? Ke pasar?"

"Mbak Dessy kalau ke pasar pagi sekali. pukul enam begitu. Lik." kata Teti.

"Pasar kecil di gang sebelah ini sudah bubaran pukul delapan."

"Baik, jadi Dessy bukan ke pasar. Lalu ke mana-ke toko?" Gozali menggelengkan kepalanya sendiri.

"Ini hari Minggu, toko pun-kalau ada-juga tidak buka sepagi itu."

"Dessy pasti tidak keluar rumah sendiri, Lik. Aku sudah berpesan agar dia tidak keluar rumah sendiri." kata Bambang.

"Berarti ada seseorang yang kemari. Tadi Ibu ini mengatakan melihat ada mobil yang berhenti di depan rumah ini. Pukul berapa waktu itu. Bu?" tanya Gozali kepada Bu Pardi.

"Oh. sekitar pukul sembilan. saya tidak tahu persis."

"Apakah Ibu melihat nomor polisinya?"

Bu Pardi menggeleng-gelengkan kepala.

"Saya tidak memperhatikan. Waktu itu saya kebetulan berada di halaman dan saya melihat mobil ini. Saya pikir ada tamu."

"Apakah Ibu melihat siapa yang mengemudikan mobil ini?"

"Tidak. Pada waktu itu didalam mobil tidak ada orang. tapi pintu rumah ini terbuka."

"jelasnya mobil apa itu. Bu?"

"Wah, kalau ditanya soal merk. maaf saja. Pak, saya ini bodoh urusan ienis mobil segala. Yang saya tahu. mobil itu jenis pikep. warnanya biru. Itu saja."

Gozali mengangguk. Perempuan memang banyak yang begitu. Dasar perempuan! Huh! Kalau perlu kesaksiannya, tidak bisa memberikan keterangan yang tepat.

"Lama mobil itu berhenti di sini. Bu?"

"Sepertinya kok tidak. ya. Pak." kata Bu Pardi.

"Waktu itu saya sedang bersih-bersih di belakang rumah saya. Pertama kalinya saya melihat mobil itu adalah pada waktu saya keluar membawa sampah yang akan saya buang di tong di depan rumah. Ketika saya keluar lagi untuk kedua

kalinya, mobil itu sudah pergi dan... dan daun pintu sudah menutup kembali."

"Kira-kira berapa lamanya antara jarak Ibu pertama keluar dengan yang kedua kalinya?"

"Barangkali ada sepuluh atau lima belas menit."

"Baiklah, jadi kita asumsikan Dessy meninggalkan rumah kurang lebih pukul sembilan bersama mobil pikep biru itu. Sekarang, Teti. apakah kakakmu tidak mampir di rumah Bu Usman untuk memberitahukan kepergiannya kepadamu? Sebetulnya kan mudah sekali, rumah kalian bertetangga."

"Tidak. Lik," kata Teti.

"Kau membawa kunci rumah pada waktu itu?"

"Tidak, Lik. Teti tidak pernah membawa kunci rumah."

"Kalau begitu, tidak pamitnya kakakmu ada dua kemungkinan. Yang pertama ia tidak sempat pamit. Yang kedua, ia berpikir tidak ada gunanya pamit karena ia hanya akan pergi sebentar saja. Pukul berapa seharusnya kau pulang, Tet?"

"Janji dengan Mbak waktu makan siang."

"jadi kakakmu tentunya merencanakan akan tiba di rumah sebelum waktu itu. Kalau ia merencanakan akan pergi lama. tentunya kunci rumah akan diserahkannya kepadamu. bukan?"

Teti mengangguk.

"Lalu bagaimana kau masuk ke rumah?" tanya Gozali lagi.

"Mas Bambang yang membukakan pintu."

"Saya pulang duluan, Lik. Saya membawa kunci pagi itu," kata Bambang.

"Dan kau mengatakan akan pulang pukul berapa kepada Dessy?" tanya Gozali kepada Bambang.

"Aku bilang aku tidak akan pergi lama. cuma untuk rapat sebentar. Tapi yang pasti aku akan pulang untuk makan siang."

"Jadi adikmu tahu bahwa kalian akan makan siang bersama di rumah." kata Gozali menarik kesimpulannya.

"Ya, Lik. Itulah sebabnya aku kira Dessy merencanakan pulang jauh sebelum waktu makan itu," kata Bambang.

"Dia kan harus masak dulu. Ketika aku pulang, aku lihat di dapur masih bersih, belum ada tanda-tanda ia telah membuat persiapan untuk memasak. Pasti Dessy merencanakan hanya keluar sebentar."

"Baik. Jadi yang tidak kita ketahui sekarang adalah ke mana perginya dan bersama siapa! Siapa di antara kenalannya dan teman-temannya yang punya mobil pikep biru?"

Bambang menggeleng.

"Di antara teman-temannya yang terkadang membawa mobil cuma Kandar. Yang lain-lain mungkin bapaknya punya mobil, tapi mereka semuanya naik sepeda motor."

"Dan mobil si Kandar ini bukan pikep biru?" tanya Gozali hampir pasti.

"Bukan. Lik. Mobil kakaknya itu Colt. yang sering dicarterkan untuk ke luar kota."

"Teman-temannya juga tidak tahu ke mana perginya Dessy?"

"Tidak, Lik. Aku sudah mencarinya ke rumah semua temannya. Ke Linda, ke Taufik, ke Albert, bahkan ke rumah Yulis. Tidak ada yang tahu atau melihatnya sama sekali hari ini."

"Apakah Dessy punya teman-teman lain yang di luar grup ini?"

"Teman sih banyak, Lik, baik dari fakultas maupun bekas teman-teman sekelasnya di SLA dulu. Tapi setahuku mereka tidak ada yang membawa mobil."

Gozali menekur, mencoba berkonsentrasi. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia membenamkan kepalanya dalam kedua belah tangannya. Didalam hati ia sendiri pun panik-walau tak ingin ditunjukkannya. Bagaimana tidak! Anak sahabatnya yang dititipkan padanya untuk dilihatlihatkan, ternyata bisa menghilang begitu saja! Seandainya terjadi apa-apa pada diri Dessy, bagaimana ia bisa mempertanggungiawabkannya kepada Kosasih?

"Lik, bagaimana sekarang?" suara Bambang membangunkan Gozali dari lamunannya.

"Aku betul-betul panik. Dessy tidak pernah bersikap seperti ini. Ia tidak akan pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan."

Gozali mengangkat kepalanya. Ia tahu dalam hal ini ia harus berkepala dingin. Kalau ia pun terbawa emosi, nyawa Dessy semakin tipis peluangnya untuk bisa diselamatkan. Bambang, Teti. dan

orang-orang ini semua memandang penuh harap padanya seakanakan dia adalah seorang tukang sulap yang dengan satu ucapan 'Simsalabim' maka orang yang hilang bisa ditampilkan kembali. Dan Gozali tidak bisa menyalahkan orang-orang ini. Mereka sudah mengenalnya sebagai patner Kapten Polisi Kosasih, yang sehari-harinya berkecimpung dalam kasuskasus kriminal. Dia pasti dapat berbuat sesuatu! Orang-orang ini menggantungkan harapan mereka kepadanya. Ia tidak bisa mengecewakan mereka-terlebih daripada itu ia tidak bisa mengecewakan sahabatnya, Kosasih!

"Kalau kepergian Dessy ini karena ia telah diperdaya orang, pasti ini ada hubungannya dengan kasus di Kakek Bodo dan usaha orang untuk menubruknya hari jumat yang lalu," kata Gozali.

"Sekarang kita menghadapi jalan buntu karena kita tidak tahu ke mana Dessy pergi dan dengan siapa. Satu-satunya iaian adalah dengan mengaitkannya pada keterangan yang kita punyai tentang kasus Kakek Bodo ini.

"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan urut-urutannya. Mbang, tapi aku punya tiga alamat. Ketiga alamat ini mungkin ada kaitannya dengan kasus pembunuhan di Kakek Bodo. Jadi upaya kita sekarang adalah untuk mencari apakah tidak mungkin Dessy berada di salah satu di antara ketiga alamat ini. Mudah mudahan kita menemukannya di sana!"

Bambang memboncengkan Gozali di belakang sepeda motornya yang dikebutnya meluncur ke arah selatan kota Surabaya. Tujuan pertama mereka adalah pabrik susu Melki-salah satu dari ketiga alamat yang diperoleh Kapten Danu Brata dari Peter Halliday.

Sepeda mOtor memaSuki kompleks pabrik. Tadinya Gozali merasa apatis bahwa di ketiga alamat ini bisa dijumpai apa-apa karena hari ini adalah hari Minggu dan alamat-alamat ini semuanya adalah alamat perusahaan. Perusahaan Semuanya tutup pada hari Minggu. Tetapi sementara belum timbul gagasan yang lain. Gozali ingin bisa berbuat sesuatu. Karena itu ia memilih alamat PT Melki ini-perusahaan yang menurut keterangan Peter Halliday akan diresmikan besok. Perusahaan yang sudah menjalin hubungan kerja dengan Peter Halliday-orang yang kartu namanya ditemukan di dalam tas Helmi Rantung. Dua perusahaan yang lain masih dalam tahap pendekatan saja, mereka belum menjadi klien Peter Halliday.

Sebetulnya mengaitkan kehilangan Dessy dengan alamat ketiga perusahaan itu agak tidak masuk akal. Belum tentu Peter Halliday ini ada hubungannya dengan kematian Helmi Rantung. apalagi sekarang yang akan didatangi ini adalah cuma klien Peter Halliday, yang sangat mungkin sama sekali tidak pernah tahu siapa Helmi Rantung ini! Apalagi ada hubungannya dengan menghilangnya Dessy!

Sepanjang perjalanan Gozali berusaha memutar Otaknya. Langkah apa selanjutnya yang bisa diambilnya seandainya ia tidak mendapatkan Dessy di pabrik susu ini? Mengunjungi kedua alamat yang lain?

Namun begitu memasuki kompleks perusahaan susu PT Melki ini, Gozali merasa bersemangat kembali. Jauh dari bayangannya, ternyata di sini aktivitas berjalan penuh kesibukan. Orang-orang mendirikan terop, orang-orang mengangkut kursi, orang-orang membawa peti-peti limun, pikeppikep yang diparkir di sembarang tempat.... Pikep-pikep !

Gozali memasang matanya. Di sana ada sebuah pikep putih, juga ada sebuah pikep kuning yang diparkir di bawah pohon. kemudian ada sebuah truk ukuran sedang, dan dua-tiga mobil sedan yang berjajar lebih teratur di bawah tempat parkir yang beratap.

Pos penjagaan di depan ternyata kosong, ditinggalkan penjaganya entah ke mana-mungkin ikut turun tangan mengatur banyaknya orangorang yang berseliweran di halaman.

Bambang mematikan mesin motornya lalu turun. Gozali sudah melompat turun lebih dahulu.

Tidak ada orang yang memperhatikan kedatangan mereka. Semuanya sibuk dengan pekerjaannya sendiri.

Mereka menghampiri seseorang yang tampak sedang memberikan aba-aba bagi pekerja-pekerja yang mengatur kursi.

"Sedang sibuk. Pak?" tanya Gozali seolah'olah sudah mengenal orang ini.

Orang ini menjawab dari ujung mulutnya tanpa berpaling.

"Wah, iya, untuk persiapan acara besok."

Gozali sekarang punya lebih banyak kesempatan untuk memperhatikan kompleks pabrik ini. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. Tidak ada pikep biru! Sambil menyembunyikan kekecewaannya Gozali bertanya-tanpa berani mengharapkan beroleh jawaban yang dicarinya.

"Pikep yang biru di mana, Pak?"

"Pikep yang biru? Ada hei! jangan di situ kursinya! jangan. jangan! Lebih ke kiri lagi. ke kiri lagi! Masih terlalu dekat loudspeaker, nanti yang duduk di sana bisa tuli! Lagi, pindahkan lagi ke kiri... ya, ya, oke, di situ Cukup. Nah, itu diurut ke belakang yang lurus! Ya!... Apa?" tanyanya berpaling kepada Gozali-lupa pada pembicaraan mereka saking antusiasnya ia mengatur kursikursi.

"Pikep yang biru, Pak-ada di mana kok tidak kelihatan," kata Gozali mengambil risiko. Hatinya berdebar-debar. Jawaban apa yang akan diterimanya?

"Oh, iya! Pikep biru... lho, tadi sudah datang kok, tadi ada diparkir di sini. itu cari saja di

belakang sana. mungkin dipakai untuk mengangkut minuman." Hati Gozali melonjak. Apakah dia terlalu cepat bergembira? Pikep biru bukan hanya satu di

Surabaya. Apakah pikep biru yang dibicarakan orang ini sama dengan pikep biru yang mampir di rumah Kosasih tadi pagi?

"Di belakang mana, Pak," tanya Gozali.

"Waduh, tidak tahu saya! Coba tanya sama itu," katanya menuding seorang yang berkemeja putih dengan celana abu-abu yang berdiri di ujung bangunan itu entah sedang mengecek apa bersama dua-tiga orang yang lain.

"Itu Pak Basir, manajernya."

Gozali segera mengambil langkah-langkah panjang menghampiri orang yang ditunjukkan padanya. Bambang mengikut di belakangnya.

"Pak Basir." sapa Gozali seakan-akan kenal.

"Pikep birunya sudah datang?"

"Pikep biru? Oh, baru saja keluar membeli tali. Kenapa?"

Gozali bersyukur karena orang ini tidak bertanya siapa dirinya atau apa urusannya di sini. Mungkin dia sendiri sudah terlalu sibuk mengatur sampai-sampai tidak ingat lagi dengan siapa ia pernah berhubungan. Daripada menyinggung perasaan orang dengan menanyakan siapa orang itu. lebih baik tidak bertanya. Ini kan sudah budaya Indonesia, pantang menyinggung perasaan orang.

"Siapa yang mengemudikannya, Pak?" tanya Gozali selanjutnya.

"Oh, Pak Marto kalau tidak salah. Kenapa? Anda butuh mobil? Itu masih ada yang putih dan

yang kuning. Pakai itu saja," katanya menuding ke tempat di mana kedua mobil pikep ini diparkir.

"Oh. tidak, kami tidak memerlukan mobil. Kami hanya ingin menanyakan pikep biru itu saja," kata Gozali sambil mempertimbangkan apakah bijaksana ia mengatakan maksud kedatangannya kepada orang ini.

"Oh, memangnya kenapa pikep itu?" tanya yang bernama Basir.

"Mobil itu mungkin pernah terlibat kejahatan," kata Gozali.

"Tapi kami tidak pasti. Karena itu kami ingin melihatnya dulu."
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terlibat kejahatan? Lho, Bapak ini dari mana?" tanya Basir terkejut.

"Kami dari Polda," kata Gozali menunjukkan tanda pengenalnya dengan cap Polda. Tidak sering dia berbuat ini. Biasanya kalau ia pergi bersama Kosasih, dia lebih suka tidak memperkenalkan dirinya. Tetapi sekarang dia tidak bisa mengandalkan seragam Kosasih.

"Dari Polda?" Basir yang bernyali kecil segera takut. Urusan kepolisian bukan bagiannya. Ia adalah manajer bagian administrasi, job deseription-nya tidak termasuk memberi keterangan kepada polisi! Itu bagian Yusman Rasidi-direktur utama! "Wah, Bapak sebaiknya bicara dengan Pak Yusman Rasidi saja."

"Siapa Yusman Rasidi ini?" tanya Gozali.

"Direktur utama kami."

"Apakah kami bisa berbicara dengannya sekarang?" tanya Gozali.

Basir berpaling ke kiri dan ke kanan.

"Wah, saya sendiri tidak tahu ke mana beliau sekarang. Tadi ada di sini tapi katanya mau keluar.. . ."

"Baiklah, kami akan mencarinya sendiri," kata Gozali melihat keengganan Basir untuk meluangkan waktu mencari direktur utamanya. Mungkin tugasnya masih banyak.

"Bagaimana rupa Pak Yusman Rasidi ini?" tanya Gozali.

"Supaya kami mudah mengenalinya."

"Oh. Pak Yus tinggi besar." kata Basir. Dia tersenyum lega dibebaskan dari tugas mencari atasannya.

"Terima kasih, Saudara Basir." kata Gozali.

Gozali dan Bambang meninggalkan Basir sambil memasang mata mencari seseorang yang tinggi besar di antara orang-orang yang berkeliaran. Tiba-tiba mereka melihat seorang lakilaki yang berperawakan tinggi tegap muncul dari bagian belakang bangunan dan berjalan dengan langkahlangkah lebar menghampiri Basir.

Gozali menyikut Bambang.

"Itu rupanya si direktur utama," katanya. Mereka menghampiri kedua orang yang sedang bercakap-cakap itu.

"Kalau nanti Pak Wu mencari saya, katakan saya pulang dulu dan nanti malam kembali lagi. Pukul tujuh kita rapat, lho, Sir, jangan lupa mengingatkan yang lain!"

"Iya, Pak."

Laki-laki itu mengangkat tangannya sebagai salam lalu berjalan meninggalkan Basir.

"Oh, Pak Yusman tadi..."

"Nanti saja. Sir," kata laki-laki itu memutus kata-kata Basir.

"Di rapat saja kita bicarakan. Saya sudah terlambat ini."

Basir mengangkat bahunya lalu kembali memusatkan perhatiannya kepada apa yang sedang dikerjakannya-mengawasi dua orang tukang menambal dinding pabrik yang retak bagian bawahnya.

Laki-laki tinggi tegap ini berjalan melewati Gozali dan Bambang menuju ke tempat parkir mobil.

"Eh, sebentar, Pak," kata Gozali mengejarnya.

Laki-laki itu berpaling.

"Ya? Ada apa?"

"Kami ingin bicara sedikit dengan Anda."

"Nanti malam saja. Sekarang saya tergesa-gesa mau pulang," katanya.

"Ini penting. Di mana kita bisa bicara dengan leluasa?" desak Gozali sambil melihat ke sekelilingnya mencari tempat yang tepat.

"Lho, memangnya mau bicara apa?" tanya laki-laki itu.

"Ini urusannya rumit, Pak Yusman," kata Gozali.

"Saya anjurkan Anda untuk meluangkan waktu mendengarkannya."

Lelaki itu memandang Gozali dari kepala hingga ke kaki. Rasanya ia tidak pernah melihat orang ini sebelumnya. Memang sekarang banyak mandor.

pengawas, maupun pimpinan kontraktor yang sibuk di sini, tapi ia merasa yakin dia tidak pernah melihat orang ini sebelumnya.

"Anda dari mana?" tanyanya sambil memandang tajam.

Gozali mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan tanda pengenalnya dari Polda.

Lelaki itu mengangkat alisnya, keheranan.

"Urusan apa? Urusan izin untuk peresmian besok?" tanyanya.

"Oh, tidak. Ini menyangkut pikep biru Anda."

"Pikep biru? Memangnya kenapa? Terlibat kecelakaan?"

"Sebaiknya kita bicara di tempat lain, Pak Yusman," kata Gozali.

"Di sini terlalu bising dan terlalu banyak orang."

Laki-laki itu berpikir sejenak, lalu mengangguk.

"Baiklah, lima menit saja. Mari kita bicara di kantor,

" katanya. Ia berjalan mendahului mereka membelok masuk ke bangunan perkantoran.

Di dalam dia membuka salah satu pintu yang bertuliskan "Yusman Rasidi' dengan tinta emas.

Ruangan ini tidak besar, tapi cukup untuk tempat seperangkat meja-kursi tamu di samping sebuah meja tulis yang besar dan sebuah bufet. Kamar ini bersih, tidak ada kertas-kertas yang bertebaran di atas meja, tidak ada map-map yang biasanya ditumpuk di ujung meja. Kamar ini memberikan kesan bahwa si pemakai adalah orang yang rajin, teratur, dan menyukai kerapian. Di atas meja hanya ada sebuah foto berbingkai, itu saja.

Tidak ada tempat pensil, tidak ada asbak, tidak ada buku agenda maupun kalender meja.Bersih.

Yusman Rasidi menyilakan kedua tamunya duduk, lalu ia bertanya,

"Jadi, bagaimana dengan pikep biru itu?"

"Tadi saya sudah berbicara dengan Saudara Basir mengenai hal ini," kata Gozali. Biasanya para direktur selalu minta agar pihak orang luar terlebih dulu menghubungi bawahannya-seakan-akan mereka ingin menanamkan kesan bahwa hanya apabila bawahannya ini tidak dapat menyelesaikan masalah yang timbul, baru pihak orang luar ini dibenarkan naik ke tingkat yang lebih tinggi untuk minta keputusan. Karena itulah sebelum dia disuruh oleh Yusman Rasidi untuk kembali bicara dulu dengan Basir, Gozali sudah mendahului dengan mengatakan bahwa ia sudah melampaui formalitas yang berlaku.

"Oh? Dan apa katanya?" tanya Yusman Rasidi.

"Saudara Basir minta kami berbicara dengan Pak Yusman. Katanya dalam hal-hal begini, Anda-lah yang berwewenang."

Yusman Rasidi mengangguk.

"Kami ingin tahu di mana kendaraan ini berada sekitar pukul sembilan tadi pagi dan siapa yang membawanya," lanjut Gozali.

Si tuan rumah menyipitkan matanya. Tatapannya tajam, penuh tanda tanya. Untuk beberapa saat lamanya ia tidak menjawab. Akhirnya ia berkata.

"Apa sebetulnya yang telah terjadi dengan kendaraan itu? Terlibat kecelakaan di mana?"

"Kami punya dugaan bahwa kendaraan ini terlibat suatu kejahatan." kata Gozali.

"Kejahatan ." Lelaki itu tampak sangat terkejut.

"Kejahatan apa maksud Anda?"

"Kami tidak dapat menjelaskannya sebelum kami yakin betul bahwa kendaraan inilah yang kami cari. Karena itu keterangan dari Anda sangat kami harapkan. Kalau Saudara Basir tadi merasa bahwa adalah di luar wewenangnya memberikan keterangan kepada kami, mungkin sekarang Anda sebagai direktur utamanya dapat mencarikan informasi ini dengan lebih mudah."

"jadi menurut Anda peristiwa itu terjadi sekitar pukul sembilan tadi pagi?" tegas si tuan rumah.

"Ya_,,

"Baiklah. saya akan mengecek hal ini. Begitu saya tahu, saya akan menghubungi Anda. Di mana saya bisa menghubungi Anda?"

"Anda dapat menelepon ke kantor Polda dan meninggalkan pesan di sana kalau saya tidak ada," kata Gozali.

"Atau saya bisa menunggu sekarang sementara Anda mengumpulkan informasi."

"Wah. itu tidak mungkin. Saya masih punya banyak urusan," kata si tuan rumah.

"Sebentar malam ada rapat di sini. saya harus mempersiapkannya. Pokoknya begitu saya mendapat keterangan, saya pasti akan memberikan informasi ini kepada Anda."

Gozali mengangguk. Dia tidak bisa menekan orang ini. Tidak ada kepastian bahwa pikep biru mereka-lah yang terlibat kasus menghilangnya Dessy. Lagi pula keterkejutan si direktur utama tadi mendengar bahwa pikep itu terlibat kejahatan tampaknya tulen. Berarti ia betul-betul tidak tahu-menahu soal itu. Tetapi untuk mendapatkan kepastian, Gozali bertanya lagi,

"Kami masih ingin menanyakan satu hal lagi, Pak Yusman. Apakah Anda mengenal orang yang bernama Peter Halliday?"

"Oh, Pak Halliday! Tentu! Tentu! Kami membeli perlengkapan mesin-mesin dari perusahaannya. Mengapa?"

Jawaban ini pun diberikan dengan spontan. pikir Gozali, tidak ada nada-nada yang mencurigakan sama sekali.

"Pak Halliday akan menghadiri acara peresmian besok?" tanya Gozali lagi.

"Ya. saya kira begitu. Kami sudah mengirimkan undangan."

"Lalu, apakah Anda mengenal seseorang yang bernama Helmi Rantung?"

"Helmi Rantung? Siapa itu?"

Lagidagi nadanya cukup tulen. Kalau si tuan rumah tidak mengenal Helmi Rantung, keterangannya tentu tidak dibuat-buat.

"Anda tidak mengenalnya?" desak Gozali lagi.

"Namanya tidak familier. Dari perusahaan mana ia?"

"Dari BKPM Jakarta. bagian perizinan."

"Oh, saya tidak mengenalnya."

"Dengan siapa Anda berhubungan di BKPM Jakarta?"

"Wah, yang mengatur urusan perizinan dan segala pembicaraan di tingkat pusat itu adalah Pak Lukmansyah sendiri," kata si tuan rumah.

"Kami di sini hanya menyiapkan berkas-berkasnya saja. Pak Lukman yang menghadap ke BKPM sendiri."

"Dan siapakah Pak Lukmansyah ini?" tanya Gozali.

"Oh, Pak Lukmansyah Arsyad adalah salah satu pemilik perusahaan ini."

"Apakah kami bisa berbicara dengan beliau?"

"Oh, Pak Lukman belum datang sekarang. Pak Lukman pengusaha yang sangat sibuk. Mungkin nanti malam beliau datang untuk rapat."

"Pukul berapa rapat malam nanti?"

"Pukul tujuh. Dan sekarang saya harus minta maaf, Pak," kata si tuan rumah.

"Saya masih punya beberapa urusan."

"Anda akan mencarikan informasi itu untuk saya?" tanya Gozali.

"Oh, tentu, Pak. Hal ini akan saya perhatikan. Begitu saya mendapat kabar, saya akan menghubungi Anda."

Gozali dan Bambang mengucapkan terima kasihnya lalu berdiri.

"Baiklah, Pak Yusman. kalau begitu kami mohon diri dulu. Dan terima kasih atas waktu yang Anda luangkan."

**

Dessy terjaga dan mendapatkan dirinya terkunci dalam suatu kamar kosong yang tertutup rapat.

Ruangan ini gelap dan masih berbau cat. Dessy berusaha mengoriemasikan dirinya. Kepalanya masih pening dan daya pikirnya masih belum seluruhnya pulih.

Pertama'tama yang dicobanya adalah menggerakkan tangan dan kakinya. Ini membuatnya sadar bahwa ia tidak terikat. Lalu ia mulai meraba-raba sekujur badannya ternyata juga tidak ada tempat-tempat yang terasa nyeri yang perlu dikhawatirkannya. Kemudian dia mencoba duduk. Berhasil walaupun kepalanya masih pusing. Lalu ia mencoba berdiri sambil berpegangan pada dinding. Setelah merasakan kakinya stabil, dia mencoba mengambil beberapa langkah. Tidak ada bagian tubuhnya yang tidak berfungsi. Yang sakit cuma kepalanya.

Dessy mulai sadar bahwa kamar ini tidak berjendela. Hanya terdiri atas empat dinding dan sebuah pintu yang terkunci. Di atas sana, kira-kira sepuluh sentimeter dari langit-langit, ada dua buah lubang ventilasi yang cuma selebar telapak tangannya. Dari sana masuk sedikit cahaya.

Dessy mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Tadi ia pergi bersama temannya---mau ke mana? Ah, iya, mau menengok Pak lksan di rumah sakit. Lalu kok bisa sampai kemari? Samar-samar Dessy ingat bahwa ia dibawa ke sebuah rumah yang belum seratus persen rampung karena temannya mau menemui seseorang. Lalu ia disuruh masuk dan menunggu. Kemudian apa yang terjadi?

Ke mana temannya sekarang?

Sudah berapa lamanya berselang sejak waktu itu?

Perlahan-lahan pikirannya mulai terbuka. Dessy menjadi takut. Benarkah temannya sendiri yang mau mencelakakannya? Mengapa ia dikunci di tempat ini? Apakah ini ada hubungannya dengan usaha orang yang ingin menubruknya tempo hari? Apakah ini ada hubungannya dengan pembunuhan di Kakek Bodo? Tak mungkin ini suatu lelucon! Betapa humorisnya pun teman-temannya, tapi ini sudah bukan sesuatu yang lucu lagi!

Pertanyaan bertubi-tubi muncul di benaknya. Kepanikan terus merayap di hatinya sehingga ia merasa keringat dingin mengucur keluar dari setiap lubang pori-pori kulitnya. Apa yang akan diperbuatnya?

Dengan susah payah Dessy berusaha membaca arlojinya. Kalau tidak salah sekarang pukul empat. Empat apa? Pagi atau sore? Dari kamarnya yang serba gelap ini ia tidak bisa menebak apakah sekarang pagi atau sore, apakah secercah sinar yang

masuk ke kamarnya itu sinar matahari atau lampu. Ia sama sekali tidak bisa merasakan berapa lamanya ia tak sadarkan diri tadi.

Sekali lagi Dessy mencoba tangkai pintu. Masih tidak bergeming. Pintu tetap terkunci rapat. Dessy mempertimbangkan apakah sebaiknya ia berteriak atau tidak. Barangkali orang-orang yang menahannya di sini masih ada di dalam rumah. Bagaimana reaksi mereka seandainya ia berteriak? Apakah mereka malah akan datang untuk menyiksanya? Kalau begitu, sebaiknya ia diam saja tanpa mengingatkan mereka akan kehadirannya di dalam kamar ini. Tetapi seandainya ada orang lain di dalam rumah ini-atau di luar rumah ini yang bisa menolongnya, dan dia tidak berteriak, bagaimana orang ini bisa tahu bahwa ia terkunci di dalam?

Keringat dingin semakin mengucur. Dessy tidak tahu risiko mana yang harus diambilnya. Pada saat nyawanya berada di ujung tanduk begini, otaknya benar-benar buntu.

Dessy berusaha mempertajam pendengarannya. Rasanya ia tidak bisa menangkap suara apa pun dari luar. Apakah memang di rumah ini tidak ada orang atau dindingnya begitu tebal sehingga tidak tembus suara? Kalau ia tidak bisa mendengar suara dari luar, berarti suaranya juga tidak akan terdengar dari luar. Percuma ia berteriak.

Bagaimana ia bisa melepaskan dirinya? Di sini tidak ada sebuah lubang pun dari mana ia bisa keluar. Kecuali lubang kunci dan lubang ventilasi yang selebar telapak tangannya. kamar ini buntu"

rapat, dikelilingi oleh tembok padat. Apakah ini berarti nasibnya sudah ditentukan? Vonis kematian? Kecuali jika ada yang menyelamatkannya sebelum itu. ia tidak melihat kemungkinan bagaimana ia bisa menyelamatkan dirinya dari tempat ini.

Dessy kembali duduk di lantai. Aneh. pikirnya. Mengapa mereka tidak langsung menghabisi nyawaku saja pada waktu aku pingsan? Mengapa aku dikunci di kamar ini? Apakah ini hanyalah salah satu gurawan teman-teman untuk menakutnakuti aku? Tapi kalau ini hanya suatu lelucon, rumah siapa ini? Teman-temannya tidak ada yang punya rumah baru. Mereka semuanya mempunyai orang tua. Mustahil para orang tua menyetujui permainan gila seperti ini!

Atau barangkali orang-orang keiam itu sengaja membiarkan aku mati kelaparan di sini? Bulu tengkuknya berdiri. Mati kelaparan bukan cara mati yang enak. Penderitaan yang hebat akan harus dilewatinya dulu sebelum ajal datang. Dan berapa lama orang akan mati kelaparan? Satu minggu? Dua minggu? Satu bulan? Dua bulan? Ya. Tuhan! Jauhkan kiranya nasib itu dariku. Seandainya aku harus mati sekarang. biarlah aku mati tanpa menderita, bisik Dessy.

Tapi panggilan kepada Tuhan tiba-tiba mengingatkannya. Mengapa ia minta mati yang tidak menderita? Mengapa minta mati sama sekali? Mengapa tidak minta hidup? Dessy segera mengganti permohonannya. Ya, Tuhan, tolong

selamatkan aku dari mara bahaya ini! Jangan biarkan mereka membunuhku!

Tanpa disadarinya air matanya menitik satu per satu. Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Mengapa aku harus mati? Aku tidak berbuat kesalahan! Aku tidak pernah berlaku kejam terhadap siapa pun! Aku tidak pantas menerima hukuman ini! Mengapa aku dihukum karena kesalahan orang lain? Mengapa orang yang membunuh malah dibiarkan lepas sedangkan aku yang hanya kebetulan melihatnya. ju5tru yang harus mati? Ini tidak adil! Ya, Tuhan. ini tidak adil! pekiknya di dalam hati.

Dan temannya! Siapakah dia sebenarnya? Apakah hubungannya dengan si pembunuh di Kakek Bodo itu? Apakah dia sengaja berkomplot dengan orang itu untuk mencelakakan aku, atau dia sendiri pun sekarang terperangkap seperti aku? Barangkali ia juga sedang terkunci dalam kamar yang lain di rumah ini?

Tangisnya sekarang tidak lagi hanya air mata yang mengalir dalam kebisuan. Tangisnya mengambil bentuk isakan-isakan tajam yang mengguncang badannya. Adakah orang yang akan menyelamatkannya? Siapa yang tahu ia berada di rumah ini? Tidak ada yang tahu ia disini! Ia tidak meninggalkan catatan sama sekali ke mana perginya dan bersama siapa! Bagaimana orang bisa menemukannya? Apakah mereka baru akan

menemukannya setelah dia memjadi mayat yang membusuk dan berbau?

Ya, Tuhan. aku tidak ingin mati ! Aku tidak ingin mati!

***

GozAli duduk membisu di belakang Bambang yang sudah melajukan kendaraannya keluar dari kawasan daerah industrial Rungkut. Otaknya kerja keras. Tadi ada sesuatu yang sempat menimbulkan tanda alarm di kepalanya-tadi sewaktu berbicara dengan Yusman Rasidi. Tapi apakah itu? Gozali tidak tahu.

Keterkejutan Yusman tampaknya tulen, tidak dibuat-buat. Gozali yakin akan hal ini. Ia selalu punya indria keenam yang peka terhadap keterangan dan reaksi yang palsu. Entah dari mana ia memperoleh bakat ini, tetapi bakat ini ternyata sangat efektif. Dan dari pengalamannya. Gozali sudah tahu bahwa ia bisa mengandalkan indria keenamnya sepenuhnya.

Kalau Yusman Rasidi tidak berbohong mengenai mobil pikep biru itu, mengapa ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam pembicaraan mereka tadi? Apanya yang tidak beres? Menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Yusman Rasidi cukup spontan dan juiur, sama sekali tidak menimbulkan sikap atau kesan yang mencurigakan. Gozali percava bahwa direktur utama ini tidak tahu

menahu tentang terlibat atau tidaknya pikep biru perusahaan itu dalam kasus kejahatan. Sekarang apa yang bisa diperbuatnya hanyalah menunggu. Kalau Yusman Rasidi memang tidak punya rahasia yang perlu disembunyikan. dia pasti akan mencarikan informasi yang lengkap mengenai pikep biru itu.

Sementara menunggu kabar dari direktur utama PT Melki ini, Gozali dan Bambang memutuskan untuk mengunjungi kedua alamat yang lain yang didapatnya dari Peter Halliday. Siapa tahu pikep biru itu bukan milik PT Melki melainkan milik salah satu di antara kedua perusahaan itu.

Mereka baru tiba di tikungan untuk membelok kembali ke Surabaya ketika sebuah mobil putih dari belakang ngebut melewati mereka. Angin menyambar dan dengung tinggi mesin mobil mengagetkan Gozali. Ia mengangkat matanya dan sempat melihat bagian belakang kepala Yusman Rasidi yang mengemudikan mobil itu. Ditimpa sinar mentari sore hari yang mulai merendah ke ufuk barat, mobil itu tampak seperti seekor ikan perak yang berenang di antara ikan-ikan lainnya.

Gozali tersentak! Sedan yang berwarna perak! Bukankah sedan berwarna perak pula yang telah menubruk Dessy dan Teti?

Nalurinya saat itu segera memberikan aba-aba,

"Mbang, ikuti mobil putih itu!"

Bambang yang juga melihat Yusman Rasidi. mengangguk. Segera ia mempercepat laju kendaraannya. Di tengah-tengah lalu lintas yang padat

ternyata sepeda meter lebih lincah dan mudah dipacu daripada mobil. Sebentar saja mereka sudah membayangi mobil putih Yusman Rasidi.

"jangan terlalu dekat. Aku tidak ingin dia melihat kita," teriak Gozali melawan suara angin.

Bambang memperlambat kendaraannya. membiarkan mobil-mobil lain yang tadi berada di belakangnya, menyalip. Ia menjaga jarak tetapi tidak melepaskan pandangan matanya dari mobil putih yang bergerak gesit di depan.

Mobil ini terus membelok masuk Jalan Kutai, melaju di Jalan Major: Soengkono, memasuki daerah perumahan elit kota satelit Surabaya. Akhirnya ia berhenti di depan sebuah rumah.

Rumah ini masih belum selesai seluruhnya. Pagarnya masih baru sebagian ditancapkan. Halaman juga masih belum ditanami apa-apa.

Yusman Rasidi melompat keluar dari mobilnya dan naik ke beranda depan. Dia mengeluarkan dompet kuncinya dan membuka pintu. Di dalam rumah gelap karena rumah ini menghadap ke timur dan pukul setengah enam begini tidak ada sinar matahari lagi yang tersisa. Yusman menyalakan lampu.

Di dalam ruang tamu hanya ada seperangkat meja-kursi tamu. Perabotan yang lain masih belum ada, maklum rumah ini juga belum ada yang menempati.

Yusman berjalan ke belakang untuk memeriksa kebun di sana. Tukang rumput seharusnya hari

Sabtu kemarin sudah menanami kebun belakang. Kemarin dia belum sempat memeriksanya.

Untuk sementara waktu Bambang dan Gozali kehilangan jejak mobil putih itu. Membayangi orang di daerah kota satelit tanpa menimbulkan kecurigaan orang yang dikuntit bukanlah pekerjaan yang mudah. Di kota satelit, kendaraan lebih lengang dan jalan-jalan banyak dibagi dalam belokan-belokan. Bambang tidak berani menguntit terlalu dekat karena Yusman Rasidi dengan mudah bisa melihat kehadiran mereka dari kaca spionnya. Walaupun dia dan Gozali sama-sama mengenakan helm dan sulit bagi Yusman untuk mengenali wajah-wajah mereka. namun tak mungkin dia tidak akan mencurigai sepeda motor satu ini yang terus berada di belakangnya sejak jalan Raya Waru.

Karena itulah Bambang terpaksa menjaga jarak. Di jalan yang lurus dan panjang mereka tidak menjumpai kesulitan, tetapi begitu mobil putih ini membelok ke jalan-jalan samping yang jumlahnya tak terbilang dan kelokan-kelokannya membingungkan orang yang tidak tinggal di daerah ini, akhirnya Bambang dan Gozali tidak melihat mobil putih ini lagi.

Untuk mencarinya mereka berputar-putar masuk-keluar semua jalan samping yang mereka temui di sana. Mereka kehilangan waktu kira-kira

dua puluh menit sebelum mereka melihat mobil putih ini parkir di depan salah satu rumah yang masih belum selesai dikerjakan.

"Matikan mesin," kata Gozali dari jarak dua puluh meter sebelum mereka mendekati rumah itu.

"Kita tidak mau mengumumkan kedatangan kita."

Pintu depan tampak tidak tertutup rapat.

"Kau menunggu di sini, Mbang," kata Gozali turun dari boncengannya.

Tanpa menimbulkan suara, Gozali masuk. Di dalam rumah dia mendengar ada suara yang datang dari belakang. Gozali masuk terus. Di bagian belakang dia hanya melihat sebuah kebun yang masih baru ditanami. Tidak ada orang.

Suara itu rupanya datang dari sebelah kiri rumah. Di sana ada sebuah pintu yang terbuka.

Gozali melongokkan kepalanya ke dalam. Apa yang dilihatnya membuat jantungnya berhenti berdetak! Yusman Rasidi sedang membungkuk di atas seorang gadis yang terbaring di lantai!

Gozali tidak dapat melihat wajah gadis itu yang tertutup punggung Yusman, tapi hati kecilnya berseru bahwa itu pasti Dessy!

"Jangan bergerak!" kata Gozali mengangkat suaranya. Di dalam ruangan yang rupanya berfungsi sebagai garasi ini suaranya mendengung,

digemakan oleh dinding dalam ruang yang kosong.

Yusman Rasidi terperanjat dan berpaling. Dia hanya dapat menatap Gozali dengan mulut terbuka.

Gozali menghampirinya namun tetap menjaga jarak. Laki-laki yang ada di hadapannya ini berperawakan lebih tegap. Kalau sampai timbul konflik fisik, dia harus mengandalkan perhitungan, bukan kekuatan otot. Tetapi rupanya laki-laki ini tidak bermaksud melawan. Dia masih tetap pada posisi jongkok semula dan hanya mengikuti langkah-langkah Gozali dengan matanya yang memandang dengan panik.

"Apa yang telah Anda perbuat?" tanya Gozali menatapnya tajam. Dari jarak dua meter sekilas dia dapat melihat bahwa gadis yang terkapar di lantai benar Dessy.

"Apa yang saya perbuat?" tanya Yusman keheranan.

"Ya! Apa yang telah Anda perbuat dengan putri Kapten Kosasih?" ulang Gozali.

"Saya tidak berbuat apa-apa!" kata Yusman tergagap.

"Saya cuma menemukannya di sini."

Ini merupakan jawaban di luar dugaan!

"Anda menemukannya di sini?" tanya Gozali tak kalah herannya.

"Bagaimana ia bisa sampai kemari?"

"Saya tidak tahu," kata Yusman-sekarang lebih tenang. Wibawanya kembali.

"Saya menemukannya di sini dan rupanya ia pingsan atau terbius atau apa. Saya berusaha membangunkannya."

Yusman baru berdiri dan menepi. Gozali meliriknya. mempertimbangkan apakah dia akan membuat gerakan-gerakan yang mencurigakan.

Tetapi rupanya tidak. Kedua lengannya tergantung lemas di sisinya, kakinya hampir rapat-sama sekali bukan posisi orang yang akan menyerang.

Gozali membungkuk dan mengangkat kelopak mata Dessy. Memang tidak sadar tapi masih bernapas walaupun napasnya lamban. Gozali meraba pergelangan tangannya. Denyut nadinya juga lamban. Pada saat itu ia melihat ada beberapa bekas merah pada lehernya. Hatinya tercekat. Entah apa yang telah terjadi pada gadis cantik ini. Keadaannya perlu dikhawatirkan.

"Angkat gadis ini ke mobil Anda!" perintah Gozali. Urusan Yusman bisa nanti setelah Dessy tertolong.

Tanpa membantah atau memberikan komentar apa-apa, Yusman Rasidi mengangkat gadis yang lemas itu dan memondongnya ke mobilnya. Bambang yang melihat mereka keluar segera memburu.

"Des!" teriaknya.

"Ia tidak sadar, Mbang, Sekarang kita ke rumah sakit. Kauikuti dengan motormu. Aku naik mobil bersama Pak Yusman," kata Gozali.

"Dessy tidak apa-apa?" tanya Bambang yang sempat melihat betapa pucatnya wajah adiknya.

"Kita belum tahu. Lekas berangkat!"

"Ayahmu harus tahu" kata Gozali.

Mereka menunggu di rumah sakit. Dessy masih ditangani para dokter di dalam.

"Bapak pasti kaget. Kaget dan marah." kata Bambang.

"Aku tentu dianggapnya tidak becus. Seharusnya tadi pagi aku tidak pergi. Lik."
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan menyalahkan dirimu. Dessy meninggalkan rumah bukan secara paksa. Ia sudah dewasa. Sudah seharusnya bisa membuat pilihan yang benar. Kalau mau disalahkan, Dessy sendirilah yang berbuat kesalahan," hibur Gozali.

"Ya, tapi ia adikku. Aku kakaknya! Seharusnya aku bisa menjaganya. Aku sudah melalaikan kewajibanku." Bambang menunduk dengan sedih. Kalau bukan karena di sini banyak orang, sudah dari tadi ia ingin menangis rasanya.

"Mbang. dengar! Kau cuma lebih tua satu tahun dari Dessy. Satu tahun ini tidak menempatkan dirimu jauh lebih bertanggung jawab di atas adikmu. Kalian sebaya. Adikmu seharusnya bisa menjaga dirinya sendiri," kata Gozali.

"Tapi ia kan gadis. Lik. Aku kan laki-laki! Aku yang seharusnya melindunginya."

"Ia juga harus bisa melindungi dirinya sendiri dengan tidak menempatkan dirinya di posisi yang berbahaya. Zaman sekarang gadis atau perjaka sama saja, Mbang. Ini zaman kemajuan. Gadis dan perjaka mendapatkan kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu dan mencapai cita-cita yang tinggi. Masing-masing harus memakai otaknya secara kritis. Bukan menjadi alasan lagi karena gadis lalu dibenarkan berbuat tolol dan tanpa.

pertimbangan yang matang. Dessy cukup tahu bahwa keadaan tidak aman baginya untuk meninggalkan rumah tanpa pengawalan. dan seharusnya ia tidak sebodoh itu mau mempertaruhkan nyawanya sendiri. Jadi kalau kali ini ia berani pergi. pasti ia pergi bersama seseorang yang dikenalnya. Ia tidak mungkin pergi dengan seorang asing, apalagi dengan orang yang dijumpainya di Kakek Bodo tempo hari. Kejadian ini membuktikan bahwa ada orang yang telah mengkhianatinya."

Yusman Rasidi mendekat.

"Eh, Pak Gozali," katanya,

"saya permisi pulang dulu. Saya masih harus menghadiri rapat malam ini untuk pematangan acara peresmian pabrik besok. Saya minta izin pamit dulu."

Gozali menatapnya dengan tajam.

"Anda seharusnya merasa beruntung sampai sekarang belum kami tahan karena kami masih menangani penyelamatan putri Pak Kosasih. Tapi kami jelas tidak bisa mengizinkan Anda ke mana-mana dulu sebelum masalah ini jernih. Kami masih menunggu sampai anak Pak Kosasih ini sadar supaya ia bisa menceritakan peranan apa yang telah Anda mainkan dalam kasus ini."

"Saya tidak punya peranan apa apa. Pak! Sungguh!"

Gozali menatap laki-laki itu tajam. Sejak tadi ia belum punya kesempatan untuk bicara banyak dengannya. Sejak berangkat di dalam mobil. pikirannya hanya dipusatkan pada Dessy. Ini

merupakan kesempatan pertama mereka berbicara setelah kejadian itu.

"Sebaiknya Anda berterus terang kepada kami sekarang," kata Gozali.

"Keterlibatan Anda dalam kasus ini cukup mencurigakan."

"Tapi saya tidak tahu apa-apa, Pak! Sungguh!" kata laki-laki itu gugup.

"Bagaimana mungkin gadis itu bisa ditemukan di rumah Anda tapi Anda tidak tahu apa-apa mengenai hal itu!" kata Gozali sinis.

"Itu bukan rumah saya, Pak!"

"Oh? Jadi rumah siapa?"

"Itu rumah Pak Lukmansyah Arsyad, pemilik saham mayoritas PT Melki."

"Ah, masa Pak Lukmansyah tinggal di rumah yang kosong melompong itu!"

"Oh, rumah itu masih belum selesai dibangun, Pak, dan memang belum ditempati."

"Sekarang jelaskan, bagaimana gadis itu bisa sampai ke sana dan bagaimana Anda tahu ia ada di sana!" kata Gozali.

"Saya tidak tahu, Pak ! Sungguh saya tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi!"

"Anda tahu siapa gadis ini?"

"Tidak, Pak. Seumur hidup saya belum pernah melihatnya sebelumnya."

"Masa Anda tidak pernah melihatnya? Di Tretes baru-baru ini?"

"Di Tretes? Saya tidak pernah melihatnya, Pak!"

"Dekat air terjun Kakek Bodo," desak Gozali.

"Saya tidak pernah melihatnya dekat air terjun mana pun. Bahkan saya tidak pernah melihatnya sama sekali sebelum tadi saya temukan dia di lantai garasi rumah Pak Lukman."

"Bagaimana ia bisa berada di sana?"

"Saya tidak tahu, Pak! Saya sendiri pun heran!"

"Kalau Anda tidak tahu ia ada di sana, untuk apa Anda ke rumah itu?"

"Saya... eh, saya tidak ke rumah itu. Maksud saya... saya tidak punya rencana ke rumah itu. Saya cuma kebetulan lewat saja."

"Kebetulan lewat? Lalu mengapa kami mendapatkan Anda di daLam ?"

"Eh. anu. Pak, saya... saya melihat... eh... saya melihat pintu depannya terbuka separuh. Saya pikir barangkali eh, barangkali Pak Lukman ada di sana. Saya turun untuk mampir sebentar."

"Lalu apa yang terjadi?"

"Saya masuk, tapi karena tidak ada orang. saya terus ke belakang. Di belakang juga tidak ada orang, tapi saya lalu mendengar suara dari arah garasi. Saya buka pintu yang menghubungkan antara bagian belakang rumah dengan garasi. tapi persis pada waktu itu saya melihat bagian belakang sebuah mobil lenyap dari sana. Saya memburu ke depan dengan tujuan masih sempat mencegat siapa pun orang itu, tapi ternyata saya sudah terlambat. Yang tertinggal hanya derunya saja ketika saya tiba di depan."

"Lalu?"

"saya masuk ke garasi lewat pintu garasi yang terbuka dan pada saat itu saya melihat gadis ini tergolek di dekat dinding sebelah kiri garasi. Saya mencoba menolongnya. dan tak lama lagi Anda sendiri muncul. Saya tidak tahu apa-apa lagi."

Gozali terbahak. Sinis dan menusuk.

"Oh, rupanya Anda sudah sempat mengarang cerita khayal untuk menjelaskan kehadiran Anda di rumah itu selama kami sibuk tadi, ya!"

"Oh, saya tidak mengarang cerita khayal. Pak. Ini kejadian yang sesungguhnya!"

"Tahukah Anda bahwa sejak Jalan Raya Waru sampai ke depan rumah Pak Lukmansyah itu Anda kami buntuti? Kami sama sekali tidak melihat ada mobil yang keluar dari garasi itu."

"Memang sewaktu Anda sampai, mobil itu sudah pergi. Saya sendiri pun hanya sempat melihat lampu belakangnya saja."

"Mobil apa itu?"

"Saya tidak tahu. Pak. didalam garasi kan gelap. Sewaktu saya melihatnya, yang tampak hanya dua nyala lampu merah, kemudian mobil itu sudah menghilang."

"Maksud Anda. di dalam rumah itu ada orang lain yang telah membawa putri Kapten Kosasih ke sana, yang segera melarikan dirinya begitu Anda datang! Kedengarannya sangat mustahil, bukan?"

"Saya tidak tahu mustahil atau tidak. tapi saya benar-benar mendengar suara mobil ke luar dari garasi. dan ketika saya keluar untuk melihat, pintu garasi memang terbuka lebar."

"Kalau betul kata-kata Anda ini, hanya ada satu kemungkinan siapa orang itu yang bisa masukkeluar dari sana seenaknya," kata Gozali sambil tersenyum sinis.

"Siapa?" tanya Yusman Rasidi.

"Si pemilik rumah. Pak Lukmansyah sendiri. Kalau begitu berikan alamat Pak Lukmansyah ini kepada saya dan saya akan menginterogasinya!"

"Eh eh... saya kira... saya kira itu tidak perlu. Pak Lukman... eh... Pak Lukman tidak memiliki kunci rumah itu." kata Yusman tergagap.

"Tidak memiliki kunci rumahnya sendiri? Lho, kok aneh?"

"Eh, kan rumah itu masih belum selesai dibangun. Pak Lukman tidak tinggal di sana."

"jadi siapa yang memegang kunci rumah itu?"

"Oh... eh, si pemborong. Si pemborong yang punya kuncinya."

Gozali menatap lurus-lurus ke dalam mata Yusman Rasidi. Yusman Rasidi sebaliknya berusaha memandang apa saja kecuali kepada Gozali. Gozali dapat merasakan bahwa ada hal-hal yang tidak beres di sini.

"Apakah Anda juga punya kunci rumah itu?" tanyanya.

"Saya?... Eh saya tidak. tidak... saya tidak mempunyai kunci rumah itu."

"jadi hanya si pemborong yang punya kunci rumah itu?" tanya Gozali sambil menyipitkan natanya.

Yusman Rasidi mengangguk.

"Ya, ya, hanya si pemborong."

"Baik, coba Anda berikan alamat si pemborong itu kepada saya, nanti saya akan mengeceknya." Sekali lagi Yusman Rasidi tampak gelisah.

"Eh... wah, saya tidak tahu. Pak. Saya tidak tahu alamatnya."

"Anda tidak tahu?" tegas Gozali.

"Eh... rumah itu adalah rumah pribadi Pak Lukman, Pak. Saya tidak tahu."

"Baik, kalau begitu di mana Pak Lukmansyah ini bisa saya hubungi?" tanya Gozali.

Yusman Rasidi semakin gelisah. Matanya melebar.

"Anda mau mau menghubungi Pak Lukman?" tanyanya gugup.

"Ya. Karena gadis ini ditemukan di rumahnya, sedikit banyak dia terlibat juga. Kami harus minta keterangan darinya."

"Saya kan sudah memberikan keterangan yang Anda butuhkan. Tidak perlu Anda mengganggu Pak Lukman."

"Perlu tidaknya itu urusan kami. Di mana Pak Lukman bisa kami hubungi sekarang?" kata Gozali datar.

Dengan hati yang berat Yusman Rasidi memberikan alamatnya sambil menggerutu.

"Saya tidak mengerti mengapa Pak Lukman harus dibawa-bawa dalam hal ini."

Seorang perawat kebetulan lewat. Gozali menghampirinya.

"Saya mau menelepon. Di mana saya bisa menelepon?"

"Oh, di pintu masuk ada telepon umum. Pak." katanya.

"Saya tidak mau memakai telepon umum. Saya dari Polda," kata Gozali menunjukkan kartu identitasnya.

"Saya perlu pinjam telepon sekarang juga di mana saya bisa memakainya dengan leluasa tanpa ada yang antre menunggu di belakang saya."

"Oh. kalau begitu Bapak bisa menghubungi kantor tata usaha. Di sana ada telepon. Tapi. percayalah. Pak, telepon umum lebih baik. Bapak akan mendapatkan hubungan lebih cepat karena Bapak bisa memutar nomornya sendiri. Kalau menunggu disambungkan weselbor rumah sakit, bisa lama, Pak." Perawat itu tersenyum.

"Yang antre banyak dan terkadang yang melayani masih sibuk mengerjakan tugas lain."

"Yah, penyakit pegawai pemerintah sama saja!" gerutu Gozali."

"Mbang, kau tunggu di sini bersama Pak Yusman ini, jangan izinkan dia pergi," kata Gozali selanjutnya berbisik kepada Bambang. Dia sendiri lalu mengambil langkah-langkah lebar mencari telepon umum di luar bangunan rumah sakit.

Selang dua puluh menit, Gozali kembali.

"Mbang, sudah ada berita tentang Dessy?" tanyanya.

"Belum," kata Bambang.

"Kalau begitu kau tunggu di sini. Aku membawa Pak Yusman ke markas. Teleponlah aku

Kalau ada perkembangan pada Dessy. Aku akan memberi kabar ayahmu." Bambang hanya bisa mengangguk lemas.

"Mari, Saudara Yusman!"

**

LUKMANSYAH Arsyad adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar enam puluhan. Rambutnya sebagian besar masih hitam, hanya bagian pelipisnya saja yang sudah diselingi beberapa helai uban keperakan. Lukmansyah mengenakan setelan safari berwarna coklat, perawakannya sedang-masih cukup gagah, hanya perutnya saja yang sudah membuncit.

Duduk di kantor Kapten Kosasih yang untuk sementara waktu ditempati oleh Kapten Danu Brata, Lukmansyah Arsyad mendengarkan penuturan Kapten Danu Brata dengan penuh perhatian.

"... Saudara Yusman ini mengatakan bahwa rumah itu adalah rumah Bapak. jadi kami terpaksa minta Bapak datang kemari untuk memberikan penjelasan," kata Kapten Danu mengakhiri kata-kata pembukaannya.

Dalam hati Kapten Danu Brata menggerutu. Ia tidak terbiasa dicomot dari kesantaiannya di hari-hari Minggu seperti ini untuk masuk bekerja lagi. Ia bukan Kosasih, yang sudah terlatih bekerja tanpa mengenal hari, yang selalu menomorsatukan tugasnya di atas segala-galanya. Tadi siang dia

sudah mengorbankan waktu istirahatnya karena harus menemui Peter Halliday di Bandarajuanda. Kesediaannya itu sudah suatu keistimewaan. Dia sama sekali tidak mengira bahwa sore ini lagi-lagi ia harus kembali ke markas. Baru sekarang dia tahu bagaimana cara kerja pasangan Kapten Kosasih dan Gozali.

Orang-orang edan semua!

Orang-orang yang ketagihan kerja! Lebih cepat Kosasih kembali, lebih baik-dia betul-betul jera kalau setiap ada kasus dia harus bekerja seperti ini!

Lukmansyah Arsyad menghela napasnya dalamdalam, matanya menatap Gozali. Tenang dan berwibawa. Di luar dugaan, dia berkata.

"Pak Polisi, bolehkah saya minta Anda untuk tidak merokok sebentar? Saya punya sakit bengek dan saya tidak tahan asap rokok."

Gozali memandangnya dengan takjub. Tidak umum orang Indonesia bicara blak'blakan seperti ini. Biasanya orang kita lebih sering mengomel di belakang daripada langsung mengutarakan keberatan kita kepada yang bersangkutan. Tapi orang tua yang satu ini lain!

Gozali cepat-cepat mematikan rokoknya dan menggumamkan maaf. Tadinya ia mengira, tentunya sukar membawa orang terkenal dan kaya ini ke markas. Pertama karena ini Minggu sore-_waktu orang bersantai, kedua karena orang ini adalah seorang pengusaha yang sibuk. Ditambah faktor ketiga yaitu biasanya orang yang kaya dan sukses itu sulit untuk didekati. Tetapi ternyata tidak! Tanpa banyak komentar, tanpa

mempersulit petugas yang disuruh menjemputnya, Lukmansyah Arsyad segera ikut ke markas.

"Di mana Yusman sekarang?" tanyanya melayangkan matanya kembali ke Kapten Danu.

"Sedang menunggu di ruang yang lain."

"Apakah Anda akan menahannya?"

"Besar kemungkinan."

Lukmansyah mengangguk. Tidak ada luapan emosi yang menjadi ciri khas begitu banyak orang kaya dan orang berpengaruh. Tidak ada protes yang menuduh polisi telah bertindak tidak adil.

"Yah, kalau memang harus begitu prosedurnya," katanya menghela napas panjang.

"Hanya saja saya kira di sini telah terjadi suatu kesalahpahaman. Saudara Yusman adalah orang yang sangat saya andalkan. Dia adalah seorang yang kompeten, tegas, serius, hati-hati. Saya tidak percaya kalau ia terlibat hal-hal begini."

"Tapi ia ditemukan di rumah Anda," kata Kapten Danu.

"Ya. Saya tidak bisa membantah fakta itu, bukan?" kata Lukmansyah.

"Bagaimana menurut Yusman sendiri?"

"Ia tidak bisa memberikan keterangan yang kongkret. Dia mengatakan dia berhenti karena melihat pintu garasi tidak tertutup rapat."

"Iya, saya juga heran mengapa ia di sana," kata Lukmansyah.

"Rumah itu rumah saya pribadi, bukan bagian dari tugasnya untuk memeriksa rumah itu. Orang yang seharusnya memeriksa adalah Moelyono." !

"Siapakah Moelyono ini?"

"Oh, Moelyono Nariman. anak angkat saya. Karena saya sendiri tidak punya waktu untuk mondar-mandir memeriksa pekerjaan si pemborong, saya serahkan tugas mudah ini kepada Moel," kata orang tua itu sambil menarik napas panjang lagi.

Gozali tidak tahu apakah tarikan napas yang terakhir ini adalah karena dadanya sesak oleh penyakit bengeknya ataukah karena ada rasa penyesalan yang memenuhi hatinya.

"Jadi Saudara Moelyono ini punya kunci rumah itu?" tanya Kapten Danu Brata.

Ya.,

"Siapa lagi yang Anda beri kunci?"

"Hanya Moelyono dan si pemborong. Saya sendiri tidak memegang kunci. Saya anggap mereka lebih membutuhkannya karena setiap saat harus bisa keluar-masuk rumah itu sampai seluruh pekerjaan selesai."

"Saudara Yusman tidak punya kunci?"

"Tentu saja tidak! Saudara Yusman adalah direktur perusahaan saya, ia sudah punya banyak tugas lain. Masa harus saya bebani pekerjaan mengawasi pemborong rumah pribadi saya!"

Gozali mencatat di dalam hati. Kalau begitu mungkin keterangan Yusman ada benarnya juga--bahwa ia berhenti di depan rumah itu karena melihat pintu garasinya terbuka. Kalau tidak. bagaimana ia bisa masuk? Tapi yang aneh, mau ke mana ia kok bisa lewat di jalan itu ? Jalan itu adalah

jalan yang sepi. salah satu jalan samping yang tidak menuju ke mana-mana. Orang tidak mungkin sekadar lewat saja di sana kalau memang tidak bertujuan ke sana! Banyak kejanggalan di sini!

"Tahukah Anda siapa gadis yang ditemukan di rumah Anda itu?"

"Sama sekali tidak. Saya tidak pernah ke rumah itu sudah hampir satu bulan. Semuanya saya serahkan Moel."

"Saudara Moelyono ini bekerja di mana?" tanya Gozali menimpali.

"Oh, Moel bekerja untuk saya." Lagi-lagi helaan napas panjang. Kali ini tak dapat diragukan lagi nada penyesalan pada suara orang tua itu.

"Anda tampaknya tidak puas dengan Saudara Moelyono ini," kata Gozali. Mengingat insiden rokok tadi, ia mengambil risiko menanyakan hal ini secara blak-blakan. Siapa tahu, orang tua ini akan menjawabnya!

"Ya. Saya sudah jenuh," kata Lukmansyah.

"Maksud Anda?"

Lukmansyah mendehem.

"Moelyono adalah anak tetangga saya sewaktu saya masih tinggal di Kediri dulu. Saya kenal baik dengan ayahnya. Lima belas tahun yang lalu ayahnya meninggal karena penyakit kanker. Sebelum ajalnya, ia menitipkan anak satu-satunya pada saya. Sejak itu ia saya anggap seperti anak sendiri. Waktu itu usianya dua puluh tiga tahun, masih mahasiswa, belum pernah bekerja. Saya melihat bahwa ia tidak senang belajar, ibunya

selalu mengeluh karena studinya tidak maju-maju. Saya pikir, mungkin dia punya bakat dalam hal lain. Saya mengajarnya berdagang. Kemudian setelah usaha saya sendiri mulai mengembang dan saya pindah ke Surabaya, saya menyuruhnya bekerja di perusahaan saya." Lukmansyah berhenti untuk mengambil napas. Lalu lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,

"Tapi rupanya ia memang tidak bisa dijadikan apa-apa. ia gagal dalam segala bidang. Dia tidak becus bahkan untuk melakukan pekerjaan administrasi yang paling mudah pun! Bukan karena ia bodoh atau terbelakang, tetapi semata-mata karena ia tidak punya ketekunan! Tidak punya rasa tanggung jawab, tidak punya rasa bangga pada hasil tangannya dan hasil otaknya sendiri. ia cepat bosan. Dari satu pekerjaan dia melompat ke pekerjaan yang lain tanpa berhasil mendalami satu jenis pun pekerjaan yang sudah dicobanya. Pengetahuannya tentang segala sesuatu hanya sedikit-sedikit, sangat terbatas. Dia tidak punya kesabaran dan keuletan untuk mempelajari suatu kepandaian sampai mahir, sampai berhasil.

"Akhirnya ia sendiri frustrasi karena tidak bisa menduduki jabatan apa pun yang berarti. Dia menganggap saya menuntut terlalu banyak dari nya, saya yang sukar dipuaskan. Dia sama sekali tidak mau melihat kekurangan pada dirinya sendiri. Bahwa saya tidak bisa mempercayakan tanggung jawab yang berarti kepadanya karena ia tidak bisa membuktikan dia adalah orang yang bisa

saya serahi tanggung jawab itu! Moelyono putus asa dan saya kecewa. Sejak saat itu ia mulai tidak jujur.

"Sebetulnya mulai waktu itu saya sudah ingin mencuci tangan saja darinya kalau bukan karena ibunya juga meninggal. Saya merasa punya tanggung jawab moral terhadap anak ini. Kalau bukan kepada saya, kepada siapa lagi ia bisa menggantungkan dirinya? jadi, saya berusaha lagi menjadikan dia orang yang mandiri. Tapi pada saat itu Moelyono sudah belajar hal-hal yang tidak baik. Mula-mula ia hanya berbohong kecilkecilan, lama-lama ia berani memakai uang perusahaan. Saya menegurnya. saya memberinya peringatan. tapi ia tidak menjadi sembuh. Sampai sekitar dua bulan yang lalu. Saya memergokinya terang-terangan menipu saya! Ia memaksa. si pemborong untuk menaikkan harga barangbarang yang dibelinya dan memberikan selisih itu kepadanya. Kalau tidak, dia mengancam akan menimbulkan banyak kesulitan dengan mengatakan ini kurang itu kurang dan si pemborong diharuskan membongkar lagi pekerjaannya. Si pemborong merasa terjepit dan melaporkannya kepada saya. Pada saat itu saya beri ultimatum padanya, bahwa kalau satu kali lagi saya tahu ia terlibat praktek-praktek yang tidak pantas ini, maka putuslah hubungan kami. Saya tidak akan menganggapnya anak lagi. Dan saat itu ia mengatakan ia sudah insaf dan tidak lagi akan terlibat hal-hal yang memalukan."

"Tapi sampai sekarang Saudara Moelyono ini masih bekerja di perusahaan Bapak?"

"Tidak. Dia saya jadikan pembantu pribadi saya, semacam pesuruh intelek." Lukmansyah berkata tenang, tanpa emosi.

"Ia tidak punya loyalitas untuk dijadikan salah satu ahliwaris saya, ia tidak punya kemampuan untuk menjadi manajer dalam perusahaan perusahaan saya, jadi satusatunya pekerjaan yang masih terbuka baginya adalah menjadi pesuruh saya, opas saya."

Wah, pikir Gozali. Orang tua ini cukup tegar. Tapi zaman sekarang kalau orang mau sukses memang harus berhati tegar. Orang yang selalu tidak tega, tidak bisa maju karena akan dibebani pelbagai rasa segan dan utang moral.

Gozali berusaha mencernakan keterangan yang baru didengarnya dari Lukmansyah. Orang semacam Moelyono ini lebih tepat menjadi pelaku kejahatan. Wataknya lemah, tidak punya karakter yang kuat. Orang yang lemah sering memilih jalan keluar yang termudah daripada harus bersusahsusah mencari penyelesajan yang sebenarnya. Dan membunuh musuhnya adalah jalan keluar yang mudah!

Mengikuti alur pikirannya ini, Gozali berusaha membayangkan orang yang bernama Moelyono ini sebagai pembunuh Helmi Rantung.

"Apakah Saudara Moelyono ini mengenal seseorang yang bernama Helmi Rantung?" tanyanya.

Lukmansyah menggeleng.

"Moelyono punya banyak teman yang tidak berguna. Saya tidak tahu satu per satu. Mengapa?"

"Saudara Helmi Rantung dari BKPM Jakarta," kata Gozali.

"Mungkin hubungan mereka lebih bersifat dinas."

"BKPM?" Orang tua itu mengangkat alisnya.

"Saya tidak akan mengira si Moel punya urusan dinas dengan BKPM. Dia terlalu bodoh untuk itu. Moelyono sama sekali tidak tahu urusan izin. Jangankan izin BKPM, tempo hari saya suruh dia mengurus izin untuk peresmian pabrik saya besok pagi saja ia sudah kalang-kabut!"

"Kalau dengan seorang Australia yang bernama Peter Halliday?" lanjut Gozali.

"Peter Halliday? Rasarasanya saya pernah mendengar nama itu. tapi di mana, ya?" gumam Lukmansyah.

"Dia adalah suplaier mesin-mesin di perusahaan susu Bapak yang baru itu."

"Oh! Betul! Ya, saya kenal Peter Halliday. Orangnya berkacamata, bukan?"

"Ya. Apakah Saudara Moelyono kenal dengan Peter Halliday ini?"

"Moelyono? Bagaimana ia bisa mengenal suplaier saya? Mungkin dia pernah berjumpa satu-dua kali dengan Halliday kalau kebetulan mereka berada di kantor pada waktu yang bersamaan. Tapi Moel tidak ada urusan resmi dengannya."

"Jadi Saudara Moelyono ini tidak terlibat dalam urusan impor mesin-mesin Bapak dari Australia?"

Lukmansyah melemparkan kepalanya ke belakang dan tergelak.

"Moel tidak tahu membedakan mana mesin pengolah susu dan mana mesin jahit! Kalau saya menyerahkan urusan pemesanan mesin kepadas nya, bisa-bisa pabrik saya tidak memproduksi susu tapi tiba-tiba yang keluar katak kalor!" Lukmansyah terkekeh pada leluconnya sendiri.

"Tidak, Moelyono tidak akan saya serahi tugas-tugas penting seperti itu. Cukuplah kalau ia membantu mengurusi acara peresmian besok. Kalau ada kesempatan berhura-hura begitu Moel paling senang menjadi seksi sibuk. Maunya ikut mengatur begini-begitu. Yah, sekali waktu senang kan bisa menjadi bos sambil berkacak pinggang memerintahi orang-orang. Saya tahu, Yusman pun sudah dibuat sakit kepala olehnya, tapi saya katakan kepada Yusman, yah, biarkan sajalah Moelyono yang mengatur acara peresmian kali ini. Biar sekali waktu ia merasa berguna juga. Moga-moga ini bisa membantu dirinya berubah."

Gozali menekur sebentar. Lalu ia bertanya lagi,

"Tahukah Bapak di mana Saudara Moelyono ini berada pada tanggal dua puluh lima yang lalu?"

"Jangankan kegiatan Moelyono," senyum Lukmansyah.

"kegiatan saya sendiri saja saya tidak ingat. Mengapa Anda bertanya?"

"Kami ingin tahu apakah pada waktu itu Saudara Moelyono pernah berada di Tretes."

"Tretes?"

"Ya, di dekat air teriun Kakek Bodo."

"Mengapa?"

"Karena pada hari itu Saudara Helmi Rantung terbunuh di sana."

"Apa!" Baru pertama kali ini Lukmansyah menunjukkan sedikit emosinya. Alisnya terjungkat ke atas.

"Kematiannya ternyata suatu pembunuhan," kata Gozali selanjutnya.

"Dan Anda menuduh Moelyono yang melakukannya?" Lukmansyah menjadi ngotot.

"Apabila pada saat itu ia berada di Tretes, mungkin," Gozali menjawab dengan tenang.

"Anak muda, dengarkan, ya," kata Lukmansyah menggOyang-goyangkan telunjuknya.

"Betapapun jelek sifatnya dan tidak bergunanya Moelyono, ia bukanlah seorang pembunuh! Anda mengerti, ia bukan seorang pembunuh! Lagi pula sudah saya katakan bahwa Moel tidak mungkin ada hubungannya dengan si Rantung dari BKPM ini! Mengapa Anda mencurigainya?"

"Kami tidak akan mencurigainya seandainya ia tidak punya kunci rumah Bapak. Tapi ternyata, menurut keterangan Bapak sendiri, hanya Moelyono-lah dan si pemborong yang mempunyai kunci rumah Bapak. Gadis ini ditemukan teraniaya di rumah Bapak. Berdasarkan kaitan ini, kami terpaksa menarik kesimpulan bahwa Saudara Moelyono ini ada hubungannya dengan si Helmi Rantung. Mungkin dia jugalah yang telah membawa gadis itu ke rumah Bapak dan meninggalkannya di sana."
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lukmansyah mengernyitkan dahinya.

"Sebentar. sebentar! Sekarang saya menjadi bingung. Apa hubungannya antara gadis itu, orang yang bernama Helmi Rantung. dan rumah saya! Siapakah sebenarnya gadis ini?"

"Gadis ini adalah orang yang telah melihat seseorang meninggalkan air terjun Kakek Bodo sekitar waktu pembunuhan atas Helmi Rantung ini terjadi."

"Dan gadis ini mengatakan Moelyono-lah orang yang dilihatnya itu?" tanya Lukmansyah tidak percaya.

"Tidak. Gadis ini tidak tahu siapa identitas orang yang dilihatnya. Tapi setelah itu, beberapa usaha telah dilakukan oleh si pembunuh untuk mencelakakannya. Terakhir, dia diculik dari rumahnya. dan hanya secara kebetulan kami berhasil menemukannya di rumah Bapak!" Gozali memandang orang tua itu tajam-tajam. Siapa tahu ialah otak di belakang semua keributan ini!

"Saya tidak percaya!" kata Lukmansyah ngotot.

"Saya tidak bisa percaya Moelyono punya keberanian untuk membunuh dan menculik orang! Seperti kata saya tadi. Pak Polisi, Moelyono itu tidak cerdas, tidak ulet, tidak bisa diandalkan. tidak punya tanggung jawab, tapi ia bukan seorang pembunuh! Kalau sekarang Anda mengatakan kepada saya bahwa Moelyono telah menipu seseorang sepuluh juta rupiah, saya akan percaya. Kalau Anda mengatakan Saudara Moelyono terlibat permainan judi gelap. itu pun saya masih

percaya. Tapi kalau Anda mengatakan kepada saya Moelyono telah membunuh seseorang dan menculik seorang gadis. ya, Tuhan, saya tidak percaya!"

Hening sejenak. Dua kepribadian kuat saling adu mental. Siapa yang lebih unggul?

Lukmansyah adalah yang pertama memecahkan keheningan.

"Ada dua orang yang memegang kunci rumah saya-Moelyono dan si pemborong. Sebaiknya sekarang Anda mencoba dengan si pemborong."

Gozali mengangguk.

"Baik. Tolong saya diberi alamatnya."

Lukmansyah mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam sakunya lalu mencatatkan alamat si pemborong itu untuk Gozali. Lalu ia berdiri.

"Malam ini saya masih harus rapat di PT Melki untuk persiapan peresmian pabrik itu besok. Saya permisi."

Baik Gozali maupun Kapten Danu Brata tidak ada yang berusaha mencegahnya. Tapi di pintu orang tua ini berpaling.

"Seandainya mungkin. saya akan berterima kasih sekali kalau Anda bisa membebaskan Yusman Rasidi sampai seluruh acara peresmian pabrik ini selesai. Saya membutuhkannya dan tidak baik bagi citra perusahaan saya kalau direktur utamanya diketahui orang ditahan polisi pada malam menielang peresmian pabrik. Saya yakin ini pasti suatu kesalahan. Sebagaimana Moelyono, Yusman pun tidak mungkin melibatkan dirinya dengan halhal yang bisa mengguncangkan kedudukannya. Ia sangat mementingkan status dan jabatannya. Saya kira keterangannya benar. Dia cuma kebetulan mampir di sana dan Anda bertemu dengannya. Misteri tentang bagaimana gadis itu bisa sampai ke rumah saya, masih perlu Anda selidiki lebih lanjut lagi."

**

Kapten Danu Brata dan Gozali baru saja kembali dari alamat si pemborong yang mereka peroleh dari Lukmansyah. Ternyata orang yang mereka cari sedang keluar kota-maklumlah hari Minggu-saat kebanyakan orang bersantai bersama istri dan anak-anak. Menurut keterangan pembantunya di rumah, mereka sudah sejak tadi pagi pukul delapan berangkat, seluruh keluarga-bahkan termasuk ibu mertuanya yang tinggal bersama mereka. Melihat perkembangan ini sulitlah kiranya untuk membayangkan bagaimana orang ini bisa menyelinap dan menculik Dessy sekitar pukul sembilan. Masa seluruh keluarganya terlibat? Agak terlalu mustahil. Kapten Danu dan Gozali terpaksa mengambil kesimpulan bahwa mereka menemui jalan buntu di sini.

Mereka sekarang kembali duduk di kamar kerja Kapten Kosasih yang sementara dipakai oleh Kapten Danu Brata. Yusman Rasidi telah mereka lepaskan atas permintaan Lukmansyah. Sebetulnya kalau hanya karena permintaan orang luar, polisi tidak akan melepaskan seorang yang mereka

curigai. Namun dalam hal ini Gozali sendiri yakin bahwa Yusman Rasidi tidak tahu apaapa soal ditemukannya Dessy di sana. Barangkali keterangannya memang benar. bahwa ada orang lain yang terlibat-orang yang sempat melarikan diri sebelum dia bisa mengenalinya.

Sekarang satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu. Menunggu sampai Dessy sadar. Apabila Dessy sadar. dia pasti dapat memberikan keterangan mengenai siapa yang telah menculiknya dan nyaris mencelakakannya. Tapi telepon dari rumah sakit tak kunjung ada. Apakah memang para dokter yang masih belum berhasil menyadarkan gadis itu atau weselbor rumah sakit yang brengsek pelayanannya?

Gozali berusaha memecahkan teka-teki ini seorang diri. Tanpa sahabatnya Kosasih. semua pemikiran harus dikerjakannya sendiri. Kapten Danu sudah jelas bukan Kosasih walaupun sama-sama berpangkat kapten. Lagi pula keakraban dua orang sahabat yang membuat mereka bisa saling terbuka tidak dapat diterapkannya di sini. Kapten Danu tetap merupakan orang luar bagi Gozali--yang tidak dapat menyelami jalan pikirannya.

Sekarang walaupun mereka duduk berhadapan. masing-masing tenggelam dalam dunianya sendiri. Gozali berusaha konsentrasi. sedangkan Kapten Danu sejak tadi sudah bermain-main dengan CB-nya. CB merupakan hobinya, dan juga salah satu caranya untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Berlainan dengan Kapten Kosasih yang mendedikasikan jam'jam kerja yang hampir nonstop dalam mengemban tugasnya, Kapten Danu lebih suka memberikan pelayanan kepada masyarakat lewat Siaran CB. Dengan alat ini apabila ia mendengar ada panggilan bantuan, dia segera akan bertindak. Memang masing-masing orang punya caranya sendiri, yang dianggapnya paling sesuai dengan bakat dan kegemarannya.

" Yankee Papa India Tiga... pemberitahuan jalan di sekitar Ngaglik macet. Yang belum masuk ke sana sebaiknya mengambil haluan lain. Pertunjukan sepakbola di stadion Tambaksari baru saja bubaran "

Beruntunglah Gozali adalah jenis manusia yang bisa menutup telinganya kepada segala jenis suara apabila ia tidak ingin mendengarnya. Kalau tidak sudah sedari tadi ia bisa sewot mendengar siaran siaran yang aneh-aneh dari alat CB Kapten Danu.

Gozali membalik-balikkan lagi semua data yang masuk ke tempatnya. Sekarang sudah tidak diragukan lagi bahwa kasus meninggalnya Helmi Rantung pasti ada kaitannya dengan orang-orang dari PT Melki. Helmi Rantung ke Surabaya membawa kartu nama Peter Halliday. Peter Halliday ke Surabaya untuk menghadiri acara peresmian PT Melki. Helmi Rantung dibunuh di Kakek Bodo dan Dessy kebetulan bertemu dengan si pembunuh. Dessy diculik dan ditemukan di rumah pemilik PT Melki. Semuanya klop! Yang

masih harus dipecahkan adalah siapa di PT Melki yang terlibat ini ?

Lukmansyah terlalu tua untuk menjadi orang yang dilihat Dessy di Kakek Bodo. Orangnya juga memberikan kesan sebagai orang yang cukup terbuka. jujur, dan tidak mencurigakan. Tapi ialah pemilik rumah di mana Dessy ditemukan! Tidak mustahil ia terlibat dalam kasus ini.

Yusman Rasidi yang dipergoki bersama Dessy-menurut Lukmansyah adalah orang yang kompeten, tegas, bisa diandalkan. Orang yang mementingkan status dan jabatannya, orang yang hati-hati. Ia tidak akan berbuat sesuatu yang bisa mengguncangkan kedudukannya sebagai direktur utama suatu perusahaan! Tapi aneh, dalam pembicaraannya mengapa ia begitu gelisah, begitu panik. sehingga ia sama sekali tidak memberikan kesan sebagai orang yang kompeten dan bisa diandalkan. Namun demikian dengan berat Gozali harus mengakui satu hal. Keterangan yang diberikannya sehubungan dengan ditemukannya Dessy di sana benar-benar kedengarannya jujur. Gozali sudah terbiasa mengandalkan nalurinya dalam menilai sampai di manakah kejujuran kata-kata seseorang, dan kali ini nalurinya mengatakan bahwa Yusman Rasidi benar-benar tidak tahu apa-apa.

Nama lain yang sempat tampil ke permukaan adalah Moelyono Nariman, anak angkat Lukmansyah-orang yang dikatakannya sebagai tidak becus menjalankan apa pun juga. Tetapi walaupun

Moelyono ini mempunyai sederet kekurangan yang menjengkelkan ayah angkatnya, pembunuhan tidak termasuk di dalamnya. Lukmansyah menilainya sebagai orang yang terlalu bodoh untuk melakukan sesuatu seberani ini. Lagi pula Moelyono tidak punya urusan dengan orangorang dari BKPM maupun suplaier mereka dari Australia.

Jadi siapa yang terlibat kalau begitu?

"Pak Gozali!"

Tiba-tiba Gozali dikejutkan oleh seruan Kapten Danu Brata. Ia mengangkat kepalanya dengan pandangan bertanya.

"Ini coba dengarkan!"

" kebakaran yang semakin membesar. Menunggu datangnya PMK, mohon bantuan unitunit lain yang punya fasilitas pemadam kebakaran untuk memberikan pertolongan pertama. Belum diketahui apakah ada korban. Ambulans sudah dipanggil, tetapi kalau ada dokter budiman di sekitar daerah ini, mohon kesediaannya memberikan bantuan. Tempat kejadian adalah di pabrik susu PT Melki di kawasan Rungkut. Kami ulang. di pabrik susu PT Melki di kawasan Rungkut.

"

Gozali segera melompat dari kursinya dan berkata,

"Kita segera ke sana!"

Keadaan hiruk-pikuk suara manusia dan barisan pemadam kebakaran dari perusahaan-perusahaan

yang bertetangga dengan pabrik yang terbakar itu membuat Kapten Danu dan Gozali sulit untuk mencari orang yang bisa mereka mintai keterangan.

Berbarengan dengan tibanya mereka di tempat itu tiga unit mobil PMK juga tiba di tempatseperti biasanya-selalu yang paling akhir. Pada waktu itu api sudah mulai dapat dikuasai, tinggal satu dua tempat saja yang masih menyala. Jadi ke sanalah orang-orang PMK ini menyerbu.

Bau asap yang mengepul hitam menyesakkan napas. Gozali menyeruak di antara orang banyak mencari orang yang dikenalnya.Lukmansyah atau Yusman Rasidi atau paling tidak si Basir. Tetapi semuanya entah di mana. Tempat itu bukan saja dipenuhi oleh pekerja-pekerj a para kontraktor yang masih sibuk mempersiapkan untuk acara besok tetapi juga oleh penduduk yang berbondong-bondong datang untuk menyaksikan keramaian. Tenaga Satpam yang bertugas sia-sia berusaha mencegah arus manusia yang semakin lama semakin banyak itu. Kebakaran adalah suatu kejadian yang mengasyikkan bagi mereka-suatu tontonan yang tidak setiap hari ada, suatu alasan bagi mereka untuk keluar rumah meninggalkan kehidupan mereka yang rutin dan membosankan.

Mereka berdiri di sebarangtempat, bergerombol sesama teman, berspekulasi atas apa yang menyebabkan terjadinya kebakaran.

Setelah berputar-putar beberapa saat lamanya, Kapten Danu dan Gozali menemukan orang yang

bernama Basir sedang berdiri di samping seorang lakilaki Cina.

"Saudara Basir!" panggil Gozali yang mengenalinya.

Basir berpaling. Untuk sesaat lamanya ia tampak bengong. tidak mengenali orang yang tadi siang pernah berbicara dengannya selama beberapa menit.

Pada saat itu sekali lagi terdengar bunyi sirene yang meraung-mung masuk ke kompleks pabrik.

"Nah, itu ambulans datang!" kata Basir segera melompat meninggalkan tamu-tamunya. Ia berlari mengejar mobil ambulans itu.

"Ada yang terluka?" tanya Kapten Danu kepada orang Cina yang ditinggalkan Basir.

"Sorry?" Orang itu balik bertanya.

"Ada yang terluka? Ada korban?" ulang Kapten Danu.

"Ah, J am sorry. I am from Taiwan."

"You guest?" tanya Kapten Danu.

"No, no. I am owner. My name is Edward Wu. This company is a joint venture. I am the foreign partner."

Kapten Danu tidak ambil pusing apakah orang ini kongsi sahamnya atau siapa. yang ingin diketahuinya adalah apakah ada korban yang jatuh. Dia mengulangi lagi pertanyaannya-kali ini dalam bahasa Inggris.

Orang itu menjawab bahwa yang terluka hanya satu orang pekerja dan lukanya tidak berat. Tapi

justru yang menjadi korban adalah Lukmansyah Arsyad, patner usahanya.

"Mr. Lukmansyah?" tanya Kapten Danu Brata kaget.

"Yes, it is a tragedy..."

Tanpa menunggu sampai Edward Wu selesai bicara, Gozali diikuti oleh Kapten Danu sudah memburu ke arah mana ambulans itu menuju.

Ambulans berhenti di depan sebuah bangunan. Basir adalah yang pertama turun dari mobil. Gozali dan Kapten Danu mengikutinya masuk.

Mereka mendapatkan beberapa orang sedang berjongkok mengerumuni sesuatu. Setelah dekat mereka melihat bahwa yang dikerumuni adalah sesosok tubuh yang tampak terbujur di lantai, mematung, wajahnya kemerah merahan, pakaiannya di beberapa tempat hangus dan robek. Salah satu orang yang sedang berjongkok itu meletakkan tangannya di atas dadanya. Tiga orang lagi yang tadi berjongkok, sekarang berdiri. Dua orang tampak agak kotor, tapi sehat, sedangkan yang seorang lagi tampak menderita sedikit luka-luka pada lengannya.

"Kalian terlambat," kata orang yang masih berjongkok itu kepada petugas ambulans.

"Korban sudah meninggal."

"Siapa yang bertanggung jawab di sini?" tanya Kapten Danu dengan suaranya yang berwibawa.

Salah satu dari antara laki-laki yang pakaiannya agak kotor memperkenalkan dirinya.

"Saya. Saya direktur di sini," katanya. ,

kapten Danu mengangguk.

"Nama Anda?"

"Yusman Rasidi."

"Yusman Rusidi,?" Gozali dan Kapten Danu sama-sama terperanjat.

Orang itu tertegun, tidak mengerti.

"Anda adalah Yusman Rasidi?" tanya Kapten Danu lupa pada tata kesopanan lalu main tuding.

"Sejak lahir," sahut laki-laki itu tenang.

"Mengapa?"

Sebelum Kapten Danu memberikan jawaban, Gozali menyodok iganya lalu mendahului berkata kepada Yusman Rasidi,

"Sudahkah Anda menelepon polisi?"

Yusman Rasidi merasa agak heran. Di hadapannya berdiri seorang petugas polisi yang berpangkat kapten lha kok sekarang dia ditanya apakah sudah menelepon polisi! Pasti sudah ada yang menelepon, kalau tidak bagaimana polisi ini bisa sampai di sini!

"Lho, Bapak-bapak sudah di sini," katanya.

"Kami datang karena mendengar berita dari CB," kata Kapten Danu.

"Tapi polisi perlu segera diberi tahu. Tempat ini harus segera diperiksa mengenai apa yang menyebabkan kebakaran ini dan lain-lain."

"Oh, saya kira sudah ada yang menelepon polisi," kata Yusman Rasidi. Lalu kepada Basir yang sekarang berdiri di sisinya ia berkata,

"Sir, tolong kawatur!"

"Bagaimana kebakaran ini bisa terjadi?" tanya Gozali.

"Wah, saya sendiri tidak tahu. Saya tadi mendampingi Pak Lukman melihat-lihat sekalian inspeksi sebelum kunjungan tamu-tamu penting besok. Kami mulai tur kami dari tempat pengemasan, bangunan yang paling ujung sana," katanya menuding ke sebelah barat.

"Lalu setelah beberapa waktu lamanya saya teringat bahwa saya masih belum mengunci kamar kerja saya dan di sana ada banyak dokumen penting sedangkan sekarang ada begitu banyak orang yang berkeliaran. Saya pamit kepada Pak Lukman untuk kembali sebentar ke kamar saya dan beliau mengatakan akan meneruskan inspeksinya sendiri sambil menantikan kembalinya saya. Saya masih belum sampai di pintu ketika tiba-tiba terdengar letusan keras. Saya berpaling dan saya melihat api berkobar.

"Saya berlari keluar mencari bantuan, lalu kami berusaha memadamkan api dengan alat-alat pemadam kebakaran. Tapi api rupanya sulit dipadamkan karena sudah mulai membakar tumpukan kertas-kertas karton. Kami hanya bisa menjinakkan api cukup lama untuk dapat menolong Pak Lukman keluar. Dik Slamet ini yang berusaha menarik beliau keluar.

"Kami sudah tidak meneruskan upaya memadamkan api, sebaliknya kami segera meninggalkan tempat dan membawa Pak Lukman ke tempat aman yang terdekat. Tapi karena luka bakarnya

yang agak parah dan lagi karena usia beliau sudah lanjut, beliau meninggal tanpa pernah sadar lagi."

"Apakah sudah diketahui apa yang meledak itu?" tanya Gozali.

"Saya sendiri tidak tahu. Mungkin saja karena ada bensin di sana. Seingat saya, ketika saya pertama masuk bersama Pak Lukman saya melihat ada satu jerigen yang terbuka di dekat jalur pengemas. Rupanya anak-anak memakai bensin untuk membersihkan mesin dari nodanoda gemuk agar mesin-mesin tampak cemerlang sewaktu dilihat tamu-tamu penting besok.

"Waktu itu saya sudah berpikir,

"Wah, berbahaya ini jerigen terbuka ditinggalkan di sini. Siapa ini yang teledor!' Tapi karena masih ada Pak Lukman, saya tidak berkata apa-apa. Kami meneruskan perjalanan saja."

"Lalu bagaimana jerigen itu bisa diam-diam meledak?" tanya Gozali.


Oliver Twist Karya Charles Dickens Fear Street Klub Horor Thrill Club Pasukan Mau Tahu Misteri Kucing Siam

Cari Blog Ini