Ceritasilat Novel Online

Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo 5

Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD Bagian 5



"Mesin pada waktu itu sedang berjalan?"

"Tidak, mesin tidak berjalan. Mungkin ada yang membuang puntung rokok. Mungkin... mungkin rokok itu berasal dari Pak Lukman. Seingat saya ia sendiri juga merokok waktu itu."

Mereka menyaksikan bagaimana jasad yang sedikit hangus itu diangkat ke dalam ambulans. Orang yang tadi masih berjongkok di sisi jenazah sekarang berdiri.

"Tugas saya sudah selesai, saya minta diri kalau begitu," katanya.

"Anda siapa?" tanya Kapten Danu Brata.

Laki-laki itu tersenyum.

"Saya Dokter Firman. Saya kebetulan berada tidak jauh dari tempat ini. Saya mendengar permintaan bantuan lewat CB."

Kapten Danu mengangguk membiarkan rekan penggemar CB-nya lewat.

"Nah, sekarang marilah kita bereskan masalah ini," katanya kepada Yusman Rasidi.

"Rupanya malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi kita semua."

**

SUDAH terlalu terlambat sekarang untuk membatalkan acara peresmian yang direncanakan, jadi sebisa-bisanya orang-orang dikerahkan bekerja semalam suntuk untuk membersihkan sisa-sisa musibah yang terjadi.

Sementara para kontraktor bekerja keras, Gozali dan Kapten Danu juga terpaksa melewatkan malam ini tanpa tidur.

Kosasih yang sudah ditelepon interlokal tadi sore bersama istrinya tiba dengan pesawat terakhir dari Jakarta-dengan wajah yang tampaknya seolah-olah sepuluh tahun lebih tua sejak saat terakhir Gozali melihatnya. Istrinya yang terpaksa meninggalkan anak bungsu mereka di bawah perawatan saudara perempuan Kosasih, segera terbang ke rumah sakit untuk mendampingi putrinya. Kosasih sendiri setelah memastikan bahwa Dessy sudah tidak lagi dalam keadaan kritis-tetapi karena masih shock mental maka dianggap perlu oleh dokter diistirahatkan dulu dengan obat penenang-merasa cukup lega untuk bisa meninggalkannya di bawah penjagaan ibunya. Ia sendiri segera bergabung dengan sahabatnya dan

Kapten Danu untuk membantu memecahkan misteri ini.

"Aneh! Kalau begitu siapa laki-laki yang mengaku sebagai Yusman Rasidi itu!" kata Kapten Danu.

"Dan mengapa ia perlu menyamar!"

"Saya kira ia tak lain adalah anak angkat Lukmansyah Arsyad yang tidak berguna itu Moelyono Nariman." kata Gozali.

"Mengapa Moelyono Nariman?" tanya Kapten Danu ragu-ragu.

"Karena ialah yang punya kunci masuk ke rumah Lukmansyah selain si pemborong."

"Bangsat itu! Kita ditipunya mentah mentah!" gerutu Kapten Danu.

Gozali menyeringai.

"Itu kesalahan kita sendiri-kesalahan saya. Seingat saya, ia tidak pernah mengatakan namanya adalah Yusman Rasidi. Saya yang menarik kesimpulan itu karena mendengar Basir menyebut nama itu ketika sedang berbicara dengannya."

"Tapi ia juga tidak pernah meralatnva! Mengapa ia mau saja dipanggil Yusman Rasidi kalau ia bukan!" kata Kapten Danu jengkel karena merasa dipermainkan.

"Dia memang cerdik. Bahkan ketika Bambang dan saya berbicara dengannya. ia mengajak kami masuk ke kamar yang pintunya bertuliskan nama Yusman Rasidi. Sekarang saya teringat! Ketika itu saya merasa ada sesuatu yang janggal tapi saya tidak bisa menjabarkan apa. Sekarang saya sadari

"Di dalam kamar itu di atas meja ada sebuah foto keluarga. Laki-laki di dalam foto itu wajahnya tidak sama dengan laki-laki yang berbincang bincang dengan kami disana. Otak tak sadar saya pada waktu itu rupanya sudah mengirim sinyal bahwa ada yang tidak beres di sini. Kan tidak umum orang memasang foto orang lain di atas mejanya sendiri! Hanya karena setelah itu beruntun terjadi kejadian-kejadian yang meminta perhatian kami, saya tidak pernah punya waktu untuk berhenti mencari jawabannya." Gozali terbahak, menertawakan kebodohannya sendiri.

"Kita seharusnya tidak melepaskan Yusman Rasidi gadungan itu," kata Kapten Danu.

"Pasti dialah biang keladi semua kejadian ini. Dan sekarang dia menambah satu lagi rekor kejahatannya dengan menimbulkan kebakaran itu!"

"Moelyono Nariman ternyata tidak ada di kompleks PT Melki malam ini. Menurut keterangan Satpam yang piket di pos, malam ini Moelyono Nariman tidak datang. Bagaimana ia bisa menimbulkan kebakaran itu kalau ia tidak ada di sana?" kata Gozali.

"Itu satu hal lain lagi yang patut kita curigai. Mengapa ia tidak datang? Kan dia yang kebagian tugas mengurus acara peresmian besok itu. Mengapa justru ia tidak hadir?"

"Mungkin dia takut bertemu muka dengan ayah angkatnya. Kalau Lukmansyah sampai tahu ia memakai identitas Yusman Rasidi dalam pembicaraannya dengan polisi, Moelyono tentu akan didampratnya habis-habisan!" kata Gozali.

"Anda yakin kasus kebakaran ini ada hubungannya dengan kasus diculiknya anak saya, Pak Danu?" tanya Kosasih.

"Terlalu kebetulan kalau tidak, bukan?" Gozali yang menjawab.

"Apa hubungannya. Goz? Mungkin saja kebakaran ini suatu kecelakaan." kata Kosasih.

"Aku tidak tahu. Ini masih harus kita cari."

"Sebetulnya tidak ada tujuan apa-apa yang tercapai dengan membakar pabrik itu," kata Kosasih.

"Toh dengan kebakaran itu mereka tidak bisa mengharapkan polisi lalu berhenti melacak kematian Helmi Rantung dan penculikan Dessy."

"Ada dua hal yang tercapai. Kos, dengan menimbulkan kebakaran itu." kata Gozali.

"Yang pertama adalah meninggalnya Lukmansyah Arsyad...."

"Anda kira itu disengaja?" tanya Kapten Danu.

"Mengapa ada orang yang menghendaki kematian Lukmansyah?"

"Itu belum kita dapatkan jawabannya sekarang," kata Gozali.

"Tapi jelas dan tidak dapat dibantah, bahwa salah satu akibat dari kebakaran itu adalah meninggalnya Lukmansyah."

"Dan apa tujuan yang kedua, Goz?" tanya Kosasih.

"Peresmian besok tidak akan berjalan selancar yang diharapkan...."

"Maksudmu ini suatu aksi sabotase?"

"Mungkin, mungkin juga bukan."

"Apa kalau begitu?"

"Mungkin ada hubungannya dengan mesinmesin yang disuplai oleh Dawson & Co. Ltd. itu," kata Gozali sambil mengernyitkan dahinya.

"Maksudmu?"

"Coba kita pikir, ruang mana di dalam pabrik itu yang terbakar? Ruang pengisian dan pengemasan di mana sebagian besar mesin-mesin yang berasal dari Dawson & Co. Ltd. itu ditempatkan. Dengan terjadinya kebakaran itu. mesin-mesin di sana sedikit banyak mengalami cedera-terkena api, terkena semprotan air, dan lain-lain."

"Jadi maksudmu... kebakaran itu sengaja untuk merusakkan mesin-mesin itu?" tanya Kosasih.

"Boleh jadi. Boleh jadi bukan untuk betul-betul merusaknya karena mesin-mesin yang terbuat dari besi dan baja yang kuat begitu tidak akan mudah rusak begitu saja, tapi setelah kebakaran itu, mesin-mesin itu jelas tidak lagi bisa diharapkan berfungsi sebagai mesin baru, sebelum dibetulkan."

"jadi ini merupakan tindak sabotase untuk memperlambat turunnya barang-barang produksi mereka ke pasaran, begitu, Goz?" tanya Kosasih.

"Hmm, mungkin bukan itu. Mungkin... ah, tapi ini hanya suatu teori saja, sebaiknya sekarang kita bertanya secara lebih mendetil kepada Peter Halliday mengenai mesin-mesin itu." kata Gozali.

Mereka menemukan Peter Halliday sedang asyik minum-minum di dalam pub hotel yang ditinggalinya.

Kapten Danu yang bertindak sebagai juru bahasa segera menyapanya.

"Mr. Halliday."'

Peter Halliday merasa terganggu dengan kehadiran dua orang yang berseragam polisi ini.salah seorang bersama orang jangkung yang preman itu sudah memperlakukannya secara kurang ramah tadi siang.

Dengan cepat bartender yang melihat gelagat kurang enak ini segera minta kepada Peter Halliday agar menemui tamunya di luar pub supaya tidak mengganggu ketenteraman orang-orang lain di dalamnya.

"Mari kita bicara di dalam kamar Anda saja," kata Kapten Danu.

Halliday yang sebetulnya merasa tersinggung dengan munculnya tiga orang yang menurut ukurannya kurang tahu etika ini. dalam hatinya ingin menolak, tapi satu tatapan mata dari Kosasih yang galak. sikap Gozali yang dingin, dan katupan bibir Kapten Danu Brata yang rapat, mengurungkan niatnya. Dengan setengah terpaksa ia menghampiri meja penerimaan tamu untuk meminta kuncinya lalu memimpin jalan menuju ke lift.

Ketiga orang tamunya masuk dengan santai dan Segera mencari tempatnya masing-masing. Baik Kosasih maupun Kapten Danu segera menempati

kedua buah kursi di dalam kamar itu sedangkan Gozali tetap berdiri di belakang si tuan rumah.

Halliday duduk di atas tempat tidurnya dan merasa terganggu dengan sosok tinggi Gozali yang masih berdiri di belakangnya. Namun dia tidak berkata apa-apa karena di dalam kamar ini memang tidak ada kursi lain lagi yang bisa ditawarkannya kepada Gozali.

"Sekarang, ceritakan hubungan Anda dengan perusahaan susu PT Melki," kata Kapten Danu.

Walaupun Kosasih dan Gozali tidak fasih berbahasa Inggris. namun mereka cukup bisa menangkap apa yang dibicarakan di sini karena Kapten Danu dan Peter Halliday menyertai pembicaraan mereka dengan gerakan-gerakan tangan yang mudah dimengerti.

"Sudah saya katakan bahwa perusahaan saya yang mensuplai mesin-mesin mereka." kata Peter Halliday.

"Semuanya?"

"Sebagian besar, terutama mesin-mesin pengisi dan pengemasnya."

"Dari mana Anda mendatangkannya?"

"Tentunya dari sumbernya sendiri, dari pabriknya di Australia."

"Katakan bahwa kami telah melihat kelainan pada mesin-mesin di sana," bisik Gozali.

Kapten Danu berpaling padanya. tidak pasti.

"Tanyakan!" kata Gozali dingin.

Kapten Danu menerjemahkan kalimat Gozali.

"Kelainan apa?" tanya Halliday. Ia bukannya orang bodoh yang tidak bisa melihat keraguraguan Kapten Danu Brata tadi. Kalau memang orang-orang ini menemukan kelainan, mereka akan bersikap lebih tegas. Tapi tak urung dahinya berkerut juga, dan orang asing ini mengeluarkan sapu tangannya untuk mengusap wajahnya.

Ketiga orang tamunya melihat kegugupannya. dan Kapten Danu maju dengan suara yang lebih mantap.

"Mesin-mesin itu ada yang tidak beres. Palsu!" katanya.

"PaISu? Ah, tidak bisa! Saya jamin mereka tidak palsu! Kalau Anda tidak percaya, boleh panggil orang dari pabrik mesin itu untuk meneliti apakah itu betul mesin buatan mereka atau tidak," bantah Halliday.

"Atau barang bekas," kata Gozali membuat tebakan.

Kapten Danu menerjemahkannya.

Mulut Halliday terbuka, tapi otaknya yang tidak cukup cerdik itu tidak bisa memberikan jawaban yang masuk akal. Melihat gertakannya mengenai sasaran, Kapten Danu mendesak lagi.

"Sebaiknya Anda berterus terang sekarang kalau Anda tidak mau mendapat kesulitan. Tempat tahanan di sini mungkin sangat berbeda dengan standar tempat tahanan di negara Anda."

Halliday mengusap wajahnya lagi. lalu ia berdiri dan berjalan mendekati lemari es.

"Saya ingin minum," katanya.

Tetapi sosok Gozali lebih cepat sampai di sisi lemari es itu dan menghalanginya.

"Katakan kepadanya ia tidak boleh minum sebelum menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi," kata Gozali kepada Kapten Danu.

Halliday duduk kembali di atas tempat tidurnya. Kepalanya dibenamkannya ke dalam tangannya. Sekarang sudah tidak ada lagi jalan lain kecuali harus mengakui semuanya kepada ketiga orang pria menyanderanya ini.

**

"AKU tidak pernah melihat wajahnya, Pak," kata Dessy yang pagi ini sudah tampak sehat kembali.

Bekas gosong masih ada pada lehernya yang mulus, tapi selain itu sudah tidak ada apa-apa lagi yang membekas. kecuali mungkin trauma dari pengalamannya yang terakhir.

"Waktu ia masuk ke dalam kamar di mana aku dikuncinya, ia mengenakan sebuah topi pet yang menutup seluruh bagian atas wajahnya, sedangkan dari hidung ke bawah tertutup oleh sapu tangan seperti yang dipakai bandit-bandit dalam film koboi."

"Apa saja yang diperbuatnya padamu?" tanya bapaknya tak henti-hentinya memeriksa sekujur tubuh putri sulungnya ini.

Pagi ini Dessy sudah diizinkan pulang dan Kosasih beserta Gozali yang menjemputnya.

"Aku dibiusnya, Pak. Terakhir yang aku ingat adalah tiba-tiba aku menjadi mengantuk dan saat berikutnya ketika aku sadar, aku sudah berada di dalam suatu kamar yang gelap. Kamar ini tidak ada apa-apanya, hanya empat dinding, langit langit, dan lantai."

"Kau tidak diperkosanya?" tanya Kosasih.

Dessy memerah wajahnya, melirik Gozali yang berdiri di sisi tempat tidurnya.

"Ini Lik-mu, kau tidak perlu malu. Katakan terus terang!" Kosasih menatap putrinya dengan serius.

"Ah, Bapak ini! Kan malu!" Dessy menutup wajahnya.

Segera hati Kosasih seakan-akan tertusuk pisau. Nyeri dan sakit.

"Des, kau diperkosanya?" Ini lebih merupakan suatu pernyataan daripada pertanyaan.

Dessy menunduk, tidak menjawab.

"Des!"

"Aku tidak tahu, Pak," kata Dessy dengan suara yang kecil.

"Kan aku pernah tak sadarkan diri."

"Iya, tapi bagaimana rasanya!" Kosasih panik.

"Apakah kau merasa sakit atau tidak!"

"Ah, Bapak, malu-maluin saja! Ada Lik kok bertanya begitu!"

"Goz, jangan sekali-kali hal ini sampai tersebar di luar. Aku tak mau anak gadisku menjadi cemoohan orang!"

"Sekarang yang penting adalah mencari tahu dari Dessy siapa yang bertanggungjawab atas semuanya ini. Nyawa Dessy lebih penting daripada hal-hal lain."

"Kau betul, Goz. Terus bagaimana, Des?" tanya bapaknya.

"Aku ketakutan setengah mati, Pak. Satusatunya jalan keluar adalah pintu yang terkunci. Aku mengira kali ini riwayatku paSti akan tamat.

"Entah berapa lamanya aku dibiarkan di sana. Aku berusaha memanggil beberapa kali. barangkali ada orang yang bisa menolong, tapi tak ada yang datang. Aku betul-betul ketakutan, Pak.

"Setelah lewat seribu tahun rasanya, tiba-tiba aku mendengar orang membuka kunci pintu kamar itu dari luar. Perasaanku bercampur baur. Aku harap-harap cemas bahwa pertolongan datang, tapi detik berikutnya ketika aku melihat orang yang bertopi dan menutup mukanya itu, aku segera sadar bahwa ia sekali-kali tidak bermaksud menolongku.

"Aku berusaha berlari keluar melewatinya, tapi ia lebih kuat. Dengan sigap aku diringkusnya, walaupun aku sempat memberontak mati-matian. Aku berteriak-teriak, tapi tak ada yang datang menolong. Akhirnya aku merasa orang ini berhasil menempatkan jari-jari tangannya di leherku. Aku meronta. mencakar, kaki dan tanganku mendorong dan menyepak sekuat tenaga. Tapi toh akhirnya ia berhasil membuatku tidak bisa bernapas dan aku tidak tahu apa-apa lagi.

"Ketika aku sadar aku sudah berada di sini dan sedang dikerumuni dokter-dokter dan perawat."

"Menurut dokter cekikan di lehermu tidak terlalu parah. Kau bukannya pingsan karena tidak bisa bernapas, tetapi lebih karena ketakutanmu. Itu yang telah menyelamatkan dirimu, Des," kata

Kosasih.

"Orang itu tentunya mengira ia telah berhasil mencekik kau mati sehingga dilepaskannya cengkeraman pada lehermu. Seandainya ia bertahan sedikit lebih lama lagi. pasti kau mati betul-betul."

Dessy bergidik. Seumur hidup belum pernah dia mengalami ketakutan seperti yang baru dilewatinya. Ketakutan bukan saja kepada ajal. tetapi ketakutan juga kepada siksaan.

"Begitu takutnya kau sampai kau pingsan lama, sampai dokter-dokter bingung berusaha menyadarkan dirimu," kata Gozali yang juga baru sekarang bisa bernapas lega. Sejak sadarnya Dessy tak sekali pun disebutkan tentang apa yang terjadi di antara mereka selama beberapa hari yang terakhir ini.

"Iya, Lik, coba siapa yang tidak takut! Dijebloskan ke dalam kamar yang gelap, kosong, tanpa jendela sebiji pun, tanpa mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu dan tidak tahu apa yang harus ditunggu. Lalu setelah rasanya seabad berlalu. pintu terbuka dan seorang manusia tanpa wajah berdiri di depan mata yang segera menyerbu untuk mencekik leherku!"

"Bagaimana kau bisa sampai di rumah itu?" tanya Gozali.

Baru sekarang Dessy teringat bahwa ia tidak begitu saja ada di tempat itu! Tadinya dalam ketakutannya ia sama sekali tidak memikirkan apa yang membawanya ke rumah itu.

"Astaga!" katanya.

"Sekarang baru aku ingat. Bagaimana ya nasib anak itu!"

"Ceritakan yang jelas," kata bapaknya.

"Pagi itu teman Dessy datang ke rumah, Pak. Katanya salah seorang dosen Dessy sakit keras, mungkin tidak akan tertolong lagi. Ia mau ke rumah sakit, jadi aku ikut sekalian. Tapi tiba-tiba di jalan teman Dessy ini ingat bahwa ia tadi disuruh menyampaikan pesan kakaknya kepada salah seorang temannya. Jadi kami pergi ke sebuah rumah di daerah Darmo Satelit. Rumah itu masih kosong, masih belum selesai dibangun.

"Teman Dessy ini masuk, sementara aku menunggu di mobil. Tapi tak lama kemudian dia keluar lagi dan mengatakan temannya masih mandi, dan sebaiknya Dessy menunggu di dalam saja karena sudah diambilkan minuman. Jadi aku turun. Lalu... ya itu! Setelah Dessy minum, kok tak lama kemudian terasa kepalaku pusing dan tahu-tahu sudah berada di dalam kamar yang gelap itu."

"Dan temanmu?"

"Sampai sekarang aku tidak berjumpa dengannya lagi."

"Kau mengenali orang yang memberimu minum

itu?"

"Minuman itu sudah ada di atas meja ketika Dessy masuk. Aku belum pernah melihat orang yang punya rumah."

Kosasih berdiri. ,

"Aku kira sekarang kita mulai menemukan titik terang. Paling tidak, kita menemukan seorang saksi mata."

"Atau komplotan si pembunuh," kata Gozali datar.

**

Tempat itu masih penuh orang. Memang para pejabat tinggi sudah meninggalkannya-biasa, kalau pejabat tinggi. Datangnya yang paling akhir, pulangnya yang paling pagi-tapi undangan lainnya masih ada di sana. Kalau pejabat tinggi biasanya hanya bersedia tinggal sampai upacara resminya selesai, tetapi kalau para undangan tentunya mengharapkan dijamu.

Di pintu ruji tempat pos Satpam, Kosasih, Gozali, dan Danu Brata dicegat oleh anggotaanggota Satpam. Sekali ini baik Kosasih maupun Danu Brata sama-sama berpakaian preman.

"Undangannya, Pak?" tanya si petugas Satpam.

"Oh, kami bukan undangan," kata Kapten Danu.

"Tapi kami perlu berbicara dengan bapak direkturnya."

"Wah, hari ini ada resepsi, Pak. Saya hanya diizinkan membuka pintu bagi para undangan saja."

Sebelum Kapten Danu naik pitam dan berkata apa-apa yang bisa menggagalkan rencana mereka, Gozali segera menyela,

"Mungkin Pak Yusman lupa memberitahukan Anda. Kami ini dari Polri. Justru kami adalah

pengawalnya." Dengan itu Gozali mengambil dompetnya dan menunjukkan simbol Polri yang ada di dalamnya.

"Setelah kejadian sabotase kemarin, Pak Yusman mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Jadi tolong pintu ini dibukakan. Kami tidak mau menimbulkan rasa resah di antara para undangan, karena itu kami baru muncul sekarang supaya mereka tidak melihat kami masuk. Tapi jangan mengatakan hal ini kepada siapa pun," bisik Gozali sambil mengedipkan matanya.

Disebutnya nama Yusman dan penjelasan Gozali yang dianggapnya masuk akal oleh petugas Satpam yang tidak terlalu tinggi tingkat inteligensianya ini, membuat sikapnya berubah.

"Oh, jadi kemarin itu betul sabotase, toh, Pak?" bisiknya sambil cepat-cepat membukakan pintu kawat itu.

"Saya juga sudah menduganya begitu. Kalau bukan orang dalam, mana mungkin! Pasti orang dalam! Sewaktu polisi kemarin mengusut, masa, tidak ada seorang pun yang mengaku meletakkan jerigen bensin tanpa tutup itu di sana!"

Gozaii mengedipkan matanya. Petugas Satpam itu tersenyum seakan-akan mereka sama-sama membagi suatu rahasia yang amat penting. Nanti ia bisa bercerita kepada teman-temannya, kepada anak-istrinya di rumah-bahwa ia sudah diajak bertukar pendapat oleh polisi-polisi yang menyamar sebagai tamu, yang tak lain adalah pengawal pribadi majikannya. Bahwa polisi-polisi ini telah mengenalinya sebagai orang yang bisa

dimintai pendapat, yang bisa memegang rahasia, yang bisa wah, banyak lagi, nanti kan bisa dikarangnya sendiri!

Pertukaran beberapa kalimat yang tidak berarti itu saja yang sudah bisa menimbulkan kebanggaan dalam hati orang yang sederhana. bukanlah suatu gejala yang aneh. Setiap orang pasti suka merasa penting, dan adalah normal bagi mereka yang dalam kenyataannya memang bukan orang penting. justru ingin memberikan kesan dan menyombongkan diri kepada orang lain bahwa ia lebih penting daripada yang sebenarnya.

Tamu-tamu berdiri menggerombol. Bapakbapak bersama bapak-bapak, ibu-ibu bersama ibu-ibu, sambil rata-rata tangan mereka memegang sebuah piring yang berisi makanan. Jamuan ala prasmanan sekarang benar-benar sudah membudaya. Selain hemat tempat, juga hemat pelayanan.

Ketiga orang dari Polri ini dengan mudah membaur di antara para tamu yang sama sekali tidak mencurigai identitas mereka. Rupanya Yusman Rasidi telah berhasil membenahi tempatnya dengan baik sehingga bekas-bekas musibah kemarin sama sekali tidak tampak di dalam ruangan utama perusahaan di mana resepsi ini sedang berlangsung.

Kapten Danu Brata melihat Edward Wu. Cina dari Taiwan yang kemarin ditemuinya itu, sedang sibuk menjelaskan sesuatu kepada salah seorang tamunya. Dengan meninggalnya Lukmansyah

Arsyad. dialah satu-satunya pemilik perusahaan ini yang hadir.

Para tamu makan dengan santai, sesekali terdengar tawa yang tertahan. Walaupun tadi sebelum upacara berlangsung sudah diumumkan bahwa Lukmansyah Arsyad telah wafat dalam suatu musibah kebakaran di bangunan pengisian dan pengemasan kemarin. hal ini tidak mengurangi selera makan para tamu. Hari ini mereka diundang untuk meresmikan suatu perusahaan. Mereka datang untuk memenuhi undangan ini. dan kematian salah seorang pemiliknya pada saat yang tidak menguntungkan ini, bukan kesalahan mereka. Mengapa mereka tidak boleh menikmati hidangan yang sudah disediakan? Mereka tadi sudah mengheningkan cipta bagi si mati, sudah ikut memanjatkan doa untuk arwahnya. itu berarti mereka sudah menyelesaikan tugas sosialnya. Sekarang adalah saatnya untuk menikmati makanan yang telah dihidangkan. Tak baik makanan sebanyak ini harus dibiarkan mubazir. Nanti pada saat mereka harus menghadiri upacara pemakamannya saja mereka baru akan memasang wajah duka lagi yang untuk sementara waktu ini mereka tanggalkan sambil menikmati makanan yang lezat-lezat.

Kecuali beberapa staf pimpinan seperti Basir dan satu-dua manajer lainnya yang merasa perlu menunjukkan raut prihatin untuk menghormati yang meninggal, selebihnya bersikap seolah-olah musibah kemarin hanyalah salah satu bagian siaran

dari Dunia dalam Berita yang terjadi entah di negara Antah Berantah yang mana-yang pokoknya tidak terjadi di sini, tidak di bangunan yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari mana mereka sekarang sedang berpijak.

Yusman Rasidi mereka lihat sedang bercakapcakap dengan seorang tamu. Pakaiannya perlente, hanya wajahnya saja yang tampak kusut. Pasti semalam dia tidak ada waktu untuk tidur. Setelah menghadapi pertanyaan-pertanyaan polisi sehubungan dengan terjadinya kebakaran itu, dia masih harus memimpin pembersihan kompleks pabriknya dari sisa-sisa kebakaran.

Gozali terpaksa harus angkat topi atas keberhasilan Yusman Rasidi sehingga kecuali sebagian atap bangunan di belakang yang tampak tinggal kerangka, dari luar orang tidak melihat bekasbekas kebakaran kemarin. Lukmansyah memang tidak salah memilih orang yang tepat untuk menduduki jabatan yang tepat.

"Pak Yusman." kata Gozali menepuk bahu laki-laki tinggi kekar ini dengan sentuhan yang ringan.

Yusman Rasidi berpaling. Dari dekat kelelahan yang terbayang di matanya tampak jelas sekali. Matanya juga merah karena kurang tidur.

"Ya?" tanyanya tanpa mengenali Gozali maupun Kapten Danu Brata.

"Kami ingin berbicara sebentar dengan Anda," kata Gozali.

Yusman mengernyitkan dahinya-merasa terganggu. Ia tidak ingat siapa arang jangkung ini, tapi menilik pakaiannya ia yakin dia bukanlah salah satu tamunya. Kemejanya sudah tua, di bagian kerah warnanya sudah pudar. Celananya juga sudah tua, apalagi ikat pinggangnya-kulit yang tadinya berwarna hitam sekarang sudah menjadi abu-abu kecokelatan. Pasti ini bukan salah seorang undangannya!

"Maafkan, saya rasanya belum mengenal Anda," kata Yusman.

Gozali menyeringai.

"Kemarin kita sudah bertemu, tapitentunya Pak Yusman tidak ingat karena pada waktu itu sedang bingung."

Oh, polisi kalau begitu, pikir Yusman. Empat jam lebih kemarin dia harus memberikan keterangannya kepada poiisi yang mengusut kebakaran itu, apakah masih belum cukup? Apakah sekarang dia harus menjawab lagi entah berapa banyak pertanyaan mereka lagi? Brengsek! Bagaimana orang-orang ini bisa masuk, padahal tadi ia sudah berpesan kepada orang-orang Satpam bahwa kecuali undangan tak seorang pun diizinkan masuk! Huh, memang susah! Apa-apa kalau tidak. dikerjakan sendiri, pasti tidak beres! Kepada Gozali ia berkata,

"Apakah tidak bisa menunggu sampai besok pagi? Kami masih ada resepsi di sini."

"Ini cukup mendesak," kata Gozali.

"Baiklah, kalau begitu, mari!" Yusman Rasidi segera minta diri kepada tamu yang tadi diajaknya bicara, lalu berpaling.

"Apakah Saudara Moelyono Nariman hadir hari ini?" tanya Gozali.

"Tentu saja ia hadir." kata Yusman.

"Saya sendiri yang menjemputnya tadi pagi. Ia adalah panitya pelaksana resepsi ini." Lalu seakan-akan dia baru sadar, Yusman bertanya,

"Anda mengenal Moelyono?"

"Ya, saya pernah berbicara dengannya," senyum Gozali.
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau ia hadir di sini. kami juga ingin berbicara dengannya."

"Agak sulit mencarinya di antara orang banyak," kata Yusman.

"Daripada membuangbuang waktu. mungkin saya bisa mewakilinya. Toh Saudara Moelyono tidak tahu apa-apa masalah kebakaran itu. Kemarin dia tidak datang." kata Yusman.

"Saya kira tak apalah kita membuang waktu sedikit sekarang untuk mencarinya daripada nanti harus mengulang kembali seluruh pembicaraan," kata Gozali.

"Memangnya apakah Moelyono ada sangkut pautnya? "

Tepat pada saat itu mata Gozali menangkap bayangan punggung dan bagian belakang kepala seseorang. Dia berkata,

"Itu Saudara Moelyono! Sebentar, biar saya panggil."

Begitu Moelyono Nariman melihat Gozali, segera ia memucat dan berusaha cepat-cepat untuk mengambil langkah seribu. Tapi orang tinggi jangkung ini punya kaki yang cukup panjang untuk bisa melampaui buruannya dengan dua-tiga langkah.

"Saudara Yusman, mari ikut kami!" kata Gozali tetap memanggil Moelyono dengan nama Yusman.

"Eh, anu... saya.... saya masih punya banyak urusan. Pak. Nanti saya menyusul," kata Moelyono.

"Cuma sebentar saja, kok! Ayolah!" Gozali mencekal lengan laki-laki ini dan setengah menggeretnya ke mana teman-temannya sedang menunggu.

Melihat Yusman Rasidi yang asli ada bersama mereka, langkah Moelyono terhenti. Secara refleks dia menarik badannya mundur.

"Tidak apa-apa, mengasyikkan sekali bagi kami menyaksikan ada dua orang Yusman Rasidi pagi ini," kata Gozali menarik lengan sanderanya lagi.

"Eh. anu, Pak... eh... nama saya sebetulnya bukan Yusman Rasidi. Dia yang Yusman." gagap Moelyono menunjuk ke Yusman yang asli.

"Lho. Anda bukan Yusman Rasidi? Sayang! Tadi saya kira ada dua orang yang punya nama yang sama. jadi Anda siapa?" sindir Gozali.

"Saya... eh... nama saya Moelyono. Pak. Moelyono Nariman," kata laki-laki itu dengan wajah pucat pasi.

"Lalu mengapa Anda memakai nama Yusman Rasidi kalau begitu?"

"Eh... anu, Pak... saya sebetulnya saya tidak pernah mengatakan nama saya Yusman Rasidi. Anda yang memanggil saya dengan nama itu."

"Mengapa pada saat itu Anda mengiyakan saja? Mengapa Anda tidak membetulkan kesalahan saya?" kata Gozali datar.

"Eh... eh... anu, Pak, saya pikir... saya pikir siapa pun nama saya kan tidak jadi soal."

"Dan Anda bukan saja membiarkan kami salah mengenali Orang. malahan Anda dengan sengaja membuat kami semakin yakin bahwa Anda adalah Yusman Rasidi. Anda malah membawa kami masuk ke kamar kerja Yusman Rasidi yang namanya dapat kami baca di pintunya!"

"Iya, saya minta maaf, Pak," kata Moelyono Nariman.

"Saya tidak mengira urusan akan berekor sepanjang ini. Anda pada waktu itu kan hanya menanyakan perihal kendaraan pikep biru. Saya kan tidak tahu urusannya akan berkelanjutan seperti ini."

"Baiklah, sekarang kita lanjutkan pembicaraan kita di dalam saja," kata Gozali mengisyaratkan agar Moelyono mengikutinya bergabung dengan rombongan Kosasih yang sudah menantikan kedatangan mereka dengan tidak sabar.

Mereka dibawa Yusman Rasidi ke kamar kerjanya. Untuk kedua kalinya Gozali berada di ruang ini, kali ini bersama Yusman Rasidi yang tulen.

"Saudara Yusman," kata Kosasih memulai pembicaraan.

"Saya adalah Kapten Polisi Kosasih dari Polda Jatim. Saya mempunyai seorang anak perempuan. Anak perempuan saya ditemukan oleh rekan saya Pak Gozali ini, teraniaya di rumah milik Saudara Lukmansyah. Ternyata nyawanya tak dapat ditolong lagi...."

"Oh, jadi gadis itu meninggal?" potong Moelyono.

Kosasih mengangguk. Ini merupakan bagian dari taktik yang mereka mainkan. Dengan mengatakan Dessy meninggal maka si pembunuh akan merasa aman rahasianya tidak terbongkar. Ini akan membantu mereka mengorek dan mencari bukti dengan lebih leluasa.

"Ya, anak saya meninggal." kata Kosasih dengan tampang beringas.

"Dan saya akan mencari siapa yang telah menganiayanya sampai ia celaka itu!"

"Saya tidak membunuhnya! Saya betul-betul tidak membunuhnya, Pak! Saya tidak berbuat apa-apa kepadanya. Sungguh! Sewaktu saya menemukannya ia sudah tergeletak di lantai!" Moelyono tampak panik.

"Apa-apaan ini, Moel? Apa yang telah kaulakukan kali ini!" bentak Yusman Rasidi.

Yusman Rasidi yang sadar bahwa dengan meninggalnya Lukmansyah Arsyad berarti Moelyono telah kehilangan pelindungnya, sekarang berani bersikap lebih garang kepada musuhnya

yang sudah lama dirasakannya bagai duri di dalam dagingnya saja.

"Saya betul tidak menganiayanya, Pak! Betul! Saya berani bersumpah!" kata Moelyono Nariman ngotot.

"Saya cuma menemukannya di sana. Saya tidak mengapa-apakannya!"

"Duduk. Saudara Moelyono!" bentak Kapten Danu Brata.

"Jawab saja apa yang kami tanyakan, dan jawab dengan benar. Tidak perlu pamer emosi di sini. Anda sudah terlalu sering berbohong sehingga kami harus sangat berhati-hati menimbang semua keterangan Anda."

"Tapi betul saya tidak mencelakakannya, Pak! Betul saya tidak berbuat apa-apa padanya! Saya mendapatkannya sudah tergolek di lantai."

"Menurut keterangan Anda sendiri, Anda sebenarnya tidak bermaksud ke sana, bukan? Anda hanya mampir karena melihat pintu depan terbuka. Betul?" tanya Gozali. Moelyono Nariman menunduk. Diam.

"Ayo, jawablah, Moel! Sebagai laki-laki harus bersikap jantan." kata Yusman Rasidi tanpa belas kasihan.

"Ya ya ," kata Moelyono ragu-ragu.

"Mau ke mana Anda waktu itu sehingga kok bisa 'kebetulan lewat' di sana? Jalan itu tidak menuju ke mana-mana. bagaimana Anda bisa 'kebetulan lewat" di sana?"

Moelyono menunduk semakin dalam.

"Mengapa tidak dijawab? Kami menantikan jawaban yang logis."

Setelah sekian lamanya tidak ada jawaban dari Moelyono, akhirnya Gozali melanjutkan.

"Sebenarnya keterangan Anda itu tidak benar, bukan? Anda tidak sekadar lewat saja di jalan itu. Anda memang bertujuan ke sana! Menurut mendiang ayah angkat Anda, Anda memang diberi tugas untuk memeriksa perkembangan pembangunan rumah itu. Anda memegang kunci rumah itu!"

"Ya, ya, betul. Saya terpaksa berbohong karena ketika itu saya mengaku sebagai... sebagai Pak Yusman." kata Moelyono.

"Apa?" kata Yusman.

"Kau telah memakai namaku? Kau menyamar?"

"Saudara Yusman, sekarang ini giliran kami sebagai petugas negara yang punya wewenang menginterogasi Saudara Moelyono. Harap Anda tidak ikut campur!" kata Kosasih datar.

"Tapi ia... ia memakai nama saya! Nama saya! Itu namanya pemalsuan! Itu bisa dituntut!" kata Yusman Rasidi masih tidak rela.

"Penuntutan Anda bisa disampaikan nanti setelah kami selesai mengusut kasus ini," kata Kosasih.

"Sekarang harap Anda tutup mulut!"

Yusman Rasidi terperanjat mendengar katakata Kosasih yang sedemikian kasarnya. Tapi ia mengurungkan niatnya untuk memperpanjang masalah itu karena Gozali sudah melanjutkan pemeriksaannya atas Moelyono.

"Jadi, cerita yang sebenarnya bagaimana. Saudara Moelyono?"

"Begini, Pak," kata Moelyono menghela napas dalam-dalam,

"kemarin itu memang saya sengaja ke sana. Saya kan diserahi Pak Lukman untuk mengontrol pekerjaan si pemborong di sana. Saya ke sana untuk mengecek sudah sejauh mana pekerjaan tukang-tukang yang memasang pagar dan tukang kebun yang harus menanami halaman belakang. Seharusnya saya ke sana hari Sabtu, tapi waktu itu saya sibuk disini, saya tidak sempat. Jadi hari Minggu kemarin saya pikir sebaiknya saya mampir sebentar untuk melihat rumah itu. Seandainya malam harinya Pak Lukman yang akan datang kemari untuk rapat bertanya kepada saya, saya bisa melaporkan perkembangan yang terakhir."

"Berapa kali dalam seminggu Anda ke sana?"

"Setiap hari, Pak."

"Setiap hari tanpa kecuali? Hari Sabtu dan Minggu juga?"

"Hari Sabtu iya, Pak. Hari Minggu tidak karena tukang-tukang juga tidak masuk, jadi percuma saya ke sana."

"jadi Anda memang bertujuan ke sana. Lalu bagaimana?"

"Saya tiba di sana, lalu saya masuk, Pak."

"Pintu depannya terbuka?" tanya Gozali. Moelyono menunduk.

"Tidak, Pak. Saya masuk dengan kunci saya."

"Kecuali Anda siapa lagi yang punya kunci zinah itu?"

"Pemborongnya."

"Pak Lukmansyah?"

"Pak Lukman tidak. Bapak tidak pernah memeriksa rumah itu. jarang sekali. Pernah mungkin satu-dua kali tapi bersama-sama saya."

"Orang lain?"

"Tidak ada, Pak. Mengapa?"

"Di mana Anda menyimpan kunci Anda?"

"Selalu saya bawa, Pak, di saku saya."

"Tidak pernah Anda tinggalkan di mana-mana? Tidak pernah kehilangan?"

Moelyono Nariman berpikir.

"Terkadang kunci itu saya simpan di dalam tas tangan yang saya bawa. Kalau tas ini pernah saya tinggalkan sewaktu saya sibuk. Misalnya kalau saya ada di sini, tas saya biasanya saya tinggalkan di kamar Pak Yusman atau Pak Wu. Pernah juga di kamar Pak Basir. begitu."

"Baik. Kita kembali kepada hari Minggu kemarin. Lalu apa yang terjadi setelah Anda masuk ke dalam rumah?"

"Selanjutnya apa yang saya ceritakan kepada Anda adalah yang sebenarnya," kata Moelyono.

"Saya masuk ke belakang, lalu saya mendengar ada suara yang datang dari dalam garasi. Saya heran. Siapa yang mungkin berada di dalam garasi. pikir saya. Ketika saya buka pintunya, saya hanya sempat melihat lampu belakang sebuah mobil yang dipacu keluar dari sana lalu menghilang. Kemudian saya menyusul ke muka, tapi mobil itu sudah tidak tampak lagi. Saya masuk lewat pintu garasi yang menganga lebar dan saya temukan gadis ini. .. anak

Pak Kapten ini... tergolek di lantai. Itu kejadian yang sesungguhnya. Pak! Saya betul-betul tidak mencelakainya!"

"Hmph! Cerita konyol!" Yusman Rasidi mengomentari.

Gozali berpaling padanya.

"Bagaimana, Pak Yusman?"

"Saya bilang cerita konyol! Yang punya kunci. dia! Yang tertangkap basah disana, dia! Masih mau mengelak dengan membuat cerita bohong!"

Gozali mengangguk.

"Memang kedengarannya mustahil, bukan? Tetapi biarlah sekarang kita beralih ke hal yang lain. Mengapa Anda meminjam identitas Pak Yusman ketika berbicara dengan saya kemarin?" tanya Gozali kembali kepada Moelyono Nariman.

Moelyono menunduk lagi.

"Apakah Anda sudah terbiasa berbuat demikian?"

"Tidak."

"Mengapa kali ini. kalau begitu?"

"Karena... karena Anda menanyakan perihal pikep biru itu. Anda mengatakan pikep itu terlibat kejahatan."

"Dan pada saat itu Anda mengatakan tidak tahu masalah itu."

"Iya, saya tidak tahu. Itulah sebabnya saya juga ingin tahu apa yang telah terjadi dengan pikep biru itu."

"Mengapa?" ,

Moelyono bungkam. Gozali menunggu agak lama, tetapi setelah beberapa saat lamanya tetap tidak ada tanda-tanda ia akan memperoleh jawaban, akhirnya ia berkata,

"Saudara MoelyOno, Anda adalah anak angkat Pak Lukmansyah, namun Anda telah merasa disia-siakan olehnya, bukan? Anda merasa bahwa Pak Lukman lebih menghargai Saudara Yusman daripada Anda. Anda merasa dikalahkan. tersisih, dan diperlakukan dengan tidak adil. Anda menginginkan suatu jabatan yang tinggi. semacam jabatan yang dipegang oleh Saudara Yusman ini. Anda betul-betul sakit hati ketika lowongan itu diberikan ayah angkat Anda kepada Saudara Yusman yang adalah orang luar dan bukan kepada Anda, anak angkatnya sendiri. Anda..."

"Itu tidak benar!" sela Moelyono, tapi matanya tidak berani menatap Gozali sama sekali.

"Saya tidak iri hati terhadap Pak Yusman."

Seakan akan interupsi ini tidak pernah terjadi, Gozali melanjutkan,

" selalu mencari kesempatan untuk bisa menjatuhkan Saudara Yusman. Anda ingin tahu apa yang dikerjakannya, Anda mencoba mematamatainya supaya Anda bisa menemukan kesalahan yang dibuatnya dan Anda dapat melaporkannya kepada ayah angkat Anda. Bukankah begitu, Saudara Moelyono?"

"Itulah sebabnya," lanjut Gozali tanpa memberikan kesempatan kepada Moelyono untuk mengajukan sanggahan,

"Anda begitu ingin tahu

apa yang dicari polisi pada mobil pikep biru itu. Kami sampai kepada suatu kesimpulan bahwa Anda paSti tahu sesuatu mengenai mobil pikep biru itu. Kalau tidak, Anda tidak akan mengambil risiko besar menyamar sebagai Yusman Rasidi untuk mendapatkan keterangan dari kami. Sekarang katakanlah, apa yang Anda ketahui tentang mobil pikap biru itu sehingga Anda berani mengambil risiko yang sedemikian besarnya."

Moelyono semakin menunduk Bungkam.

"Sebaiknya Anda memberikan jawaban yang benar. Saudara Moelyono!" kata Kapten Kosasih dengan nada suara sedingin es.

"Kami tidak membenarkan peminjaman identitas orang lain untuk mengelabui polisi!"

Moelyono mengangkat matanya dan bertemu pandang dengan Kosasih. Apa yang dibacanya dalam mata kapten polisi itu membuat nyalinya kecut. Sedikit tergagap dia menjawab,

"Sebetulnya... sebetulnya saya tidak tahu apa apa masalah pikep itu. Saya... saya cuma tahu bahwa pikep itu sehari sebelumnya dibawa pulang Pak Yusman. Karena... karena Anda mengatakan kendaraan itu terlibat kejahatan, saya... saya ingin tahu kejahatan apa."

"Dan Anda ingin tahu apakah Saudara Yusman teriibat di daLam kejahatan itu atau tidak, bukan ?" senyum Gozali.

Moelyono tidak menjawab tapi kebisuannya sudah merupakan jawaban yang positif.

"Nah, Saudara Yusman," kata Gozali tiba-tiba berpaling kepada Yusman Rasidi yang tidak siap,

"sekarang kami ingin tahu, ke mana Anda. dengan mobil pikap biru itu kemarin sekitar pukul sembilan ?"

"Tidak ke mana-mana!" kata Yusman Rasidi.

"Mengapa Anda membawa pulang sebuah mobil pikap kalau begitu? Kami yakin Pak Lukmansyah tentunya menyediakan kendaraan yang lebih pantas bagi seorang direkturnya. Pikep kan hanya dipakai sebagai pengangkut barang!"

"Kebetulan hari itu saya kemari diantarkan istri saya dan mobil saya dikendarainya pergi. Saya tidak punya transpor untuk pulang, karena itu saya pinjam mobil pikep ini-satu-satunya kendaraan yang pada waktu itu tidak terpakai dan diparkir di halaman perusahaan."

"Jadi Anda tidak ke mana-mana dengan pikep ini?"

"Tidak. Setelah saya tiba di rumah, pikep ini saya parkir di depan dan tidak saya pakai lagi sampai Sabtu pagi ketika saya mengemudikannya kembali ke kantor."

"Apakah Anda pernah meminjamkan mobil ini kepada seseorang?" tanya Gozali. Tidak ada nada tuduhan, kalimatnya hanya sekadar suatu pertanyaan biasa.

"Meminjamkan? Kepada siapa?" tanya Yusman seakan-akan hal itu sangat mengherankannya.

"Kepada kemenakan Anda, misalnya," kata Gozali.

Wajah Yusman Rasidi memucat, tapi suaranya tetap tenang.

"Oh, iya! Anda betul!" katanya menganggukangguk.

"Sekarang saya ingat. Jumat malam itu si Taufik bertamu ke rumah saya dan motornya mogok. Saya menyuruhnya membawa pulang pikep itu asal keesokan harinya dikembalikan ke rumah saya sebelum saya berangkat." Mata Yusman menyipit. Lalu sambungnya,

"Tapi dari mana Anda tahu hal ini?"

"Dari mana kami tahu itu urusan kecil," kata Gozali.

"Lalu bagaimana dengan perjalanan kendaraan itu. Apakah keesokan harinya pikap tersebut dikembalikan ke rumah Anda?"

"Ya, sekitar pukul setengah sepuluh kendaraan itu dikembalikannya."

"Lalu?"

"Lalu saya berangkat kemari. Kemarin kan hari Minggu, saya tidak perlu pagi-pagi berangkat, bahkan sebetulnya saya tidak perlu ngantor sama sekali. Hanya karena ada persiapan untuk peresmian ini maka saya memerlukan datang untuk memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan menurut rencana," kata Yusman Rasidi. Air mukanya sudah kembali tenang. Darah sudah mewarnai pipinya lagi.

"Tidak begitu keterangan yang diberikan Taufik," komentar Kosasih datar. Hatinya bergelora. Ia kenal anak muda ini. Taufik sering datang ke rumahnya. Selama ini tak sekali pun dia pernah membayangkan bahwa pemuda yang tampaknya

baik itu bisa berlaku sekejam ini sampai tega mencelakakan anaknya. Hati orang memang sukar ditebak.

"Kalau Taufik telah menyalahgunakan pikep itu sewaktu ia membawanya, saya sama sekali tidak tahu," kata Yusman.

"Dan kalau memang benar itu yang terjadi1 Anda tidak perlu heran anak muda itu akan memberikan keterangan palsu sekadar untuk menyelamatkan dirinya."

"Bukankah itu yang sekarang Anda lakukan. Saudara Yusman?" dentum Kosasih.

"Anda yang telah mengizinkan Taufik membawa kendaraan itu untuk menjemput anak saya setelah dia mengantarkan Anda ke rumah Pak Lukman di Darmo satelit. Lalu Anda menyuruh Taufik membawa anak saya ke rumah itu yang Anda ketahui sedang kosong dan sepi di hari Minggu pagi! Anda yang kemudian memasukkan obat tidur ke dalam minuman yang diberikan Taufik kepada anak saya untuk membuatnya tidak berdaya!

"Kemudian setelah anak gadis_ saya tidak sadarkan diri, Anda membawanya masuk ke salah satu kamar di bagian belakang rumah itu. Hal itu dengan mudah bisa Anda lakukan karena semua anak kunci di dalam rumah itu tergantung begitu saja di lubang kuncinya. Dan seandainya tidak ada orang lain yang muncul di rumah itu, pasti Anda berdua kemenakan Anda itu sudah berhasil menghabisi nyawa anak saya pada saat itu juga? Tapi malang bagi Anda karena menurut si Taulik pagi itu salah seorang karyawan Anda mencari

Saudara Moelyono, dan karena ia tidak mendapatkan Saudara Moelyono di rumahnya, ia datang ke rumah Pak Lukmansyah ini karena mengira Saudara Moelyono ada di sana. Ternyata ia tidak menemukan Saudara Moelyono, malahan berjumpa dengan Anda. Anda mempunyai pendengaran tajam begitu mendengar ada suara mobil yang mendekat sudah lebih dulu menyembunyikan anak saya di dalam kamar sehingga orang yang datang itu tidak mengetahui tentang kehadiran anak saya di sana! Kemudian Anda meninggalkan tempat itu mengikuti karyawan Anda ini setelah lebih dulu memulangkan Taufik!

"Saudara Yusman, Anda tidak bisa mungkir lagi! Sebentar akan saya panggilkan Saudara Basir yang pagi itu mendapatkan Anda di rumah Pak Lukmansyah! Dia akan bisa memberikan kesaksian bahwa Anda benar-benar dijumpainya di sana! Dan justru karena Anda tidak punya alasan untuk tidak segera mengikutinya ke pabrik itulah, maka Anda terpaksa menunda rencana jahat Anda terhadap anak gadis saya! Anda tidak percaya kepada si Taufik ini untuk menyelesaikan tugas itu sendiri, jadi Anda biarkan anak saya terkunci di dalam kamar sampai nanti Anda punya kesempatan untuk kembali menyelesaikan maksud Anda yang terhalang ini. Anda sama sekali tidak merasa khawatir meninggalkan anak saya di sana karena Anda tahu pada hari Minggu tidak ada orang yang datang ke rumah itu, baik itu para tukang, atau si pemborong, maupun Saudara Moelyono ini.

"Lalu begitu ada kesempatan setelah semua urusan di pabrik selesai, Anda secepatnya kembali ke rumah itu. Kali ini Anda sudah merencanakan dengan matang apa yang akan Anda lakukan. Anda membawa mobil pikep itu lagi. Anda masukkan mobil itu ke dalam garasi agar nanti sewaktu Anda memasukkan tubuh gadis malang itu ke dalam mobil tidak terlihat orang, lalu Anda masuk ke dalam untuk menghabisi nyawa anak saya!

"Anda cekik dia, Anda pondong tubuhnya yang lemas dan Anda masih dalam proses memasukkan tubuhnya ke dalam mobil ketika lagi-lagi pendengaran Anda yang tajam mengenali suara mobil Saudara Moelyono. Anda tahu Anda terperangkap. Tapi Anda cerdik! Daripada Saudara Moelyono memergoki Anda bersama tubuh gadis itu lebih baik Anda kabur saja dan meninggalkan gadis itu di lantai. Toh dia sudah meninggal dan tidak bisa membuka rahasia Anda lagi. Malah kebetulan kalau sampai Moelyono yang tertangkap bersama jenazah gadis itu! Tak seorang pun yang tahu keterlibatan Anda kecuali Taufik. dan Taufik pasti tidak akan membocorkan rahasia Anda karena ia sendiri terlibat. Anda menghilang dari tempat itu!

"Tapi satu hal yang terjadi di luar dugaan Anda, Saudara Yusman!" kata Kosasih dengan mata menyala-nyala.

"Anak gadis saya tidak mati! Anak gadis saya masih dipanjangkan Allah umurnya supaya bisa menjadi saksi atas kebuasan perbuatan Anda! Anak gadis saya bisa menyebutkan bahwa Taufik-lah yang membawanya ke rumah itu! Dan Taufik terpaksa menceritakan keterlibatan Anda dalam peristiwa ini!"

Yusman Rasidi berdiri dengan wajah yang pucat dan tangan bergetar. Giginya bergemeletuk. Dia menatap Kosasih seolah-olah mau menerkamnya.

"Saya nasihatkan agar Anda tidak mencoba melakukan sesuatu yang bodoh," kata Kosasih dengan suara yang dingin dan seram.

"Sedikit saja Anda memberi alasan bagi saya untuk mematahkan seluruh tulang ditubuh Anda, itu segera akan saya lakukan sebagai ucapan terima kasih saya atas apa yang telah Anda perbuat pada diri anak gadis saya!"

Satu pandangan dari Kosasih membuat Yusman Rasidi kehilangan keberanian. Dengan lemas dia duduk kembali.

**

SEHABIS makan siang mereka duduk di teras rumah keluarga Kosasih-Suami-istri kapten polisi itu, Bambang. Dessy dan Teti. dan tentu saja Gozali. Sebentar lagi mereka akan mengantarkan Kosasih ke stasiun kereta api karena ia harus segera kembali ke jakarta sore hari ini. Mereka hanya punya waktu kurang-lebih tiga jam sebelum kereta berangkat.

Dessy sudah pulih dari shock-nya, sudah bisa tertawa lagi. Hanya sinar matanya yang banyak berubah. Waktu yang dilewatinya sebagai sandera di dalam kamar yang terkunci itu tak pelak telah meninggalkan dampaknya juga pada diri gadis ini. Dampak yang mungkin seumur hidup tidak akan hilang. Dampak yang menumbuhkan sikap awas, sikap curiga, sikap lebih berhati-hati. Semuanya ini bukannya tidak baik, asalkan tidak membuatnya getir saja terhadap hidup ini.

Kalau tadinya Dessy adalah seorang gadis yang periang, polos dan lincah-yang memandang segala sesuatu hanya dari segi baiknya saja, maka pengalamannya kali ini memaksanya untuk mengakui bahwa di dunia ini juga terdapat banyak

kejahatan. Banyak hal yang jelek dan buruk dan menyakitkan, dan orang harus berhati-hati dalam setiap langkahnya supaya tidak menyesal kemudian.

Ya, Dessy telah menjadi lebih dewasa dalam waktu beberapa jam yang menegangkan itu saja-ketika ia disekap di dalam sebuah kamar yang gelap-ketimbang perkembangannya selama setahun yang terakhir.

"Aku sama sekali tidak menyangka kalau temanmu itu bisa berbuat demikian. Des," kata ibunya.

"Datangnya ke sini selalu sopan, pakai 'Selamat malam, Tante, selamat malam, Oom,' tapi tidak tahu hatinya kejam seperti serigala."

"Sekarang Dessy juga baru sadar, Bu, bahwa Taufik itu mendendam pada Dessy," kata anak gadisnya.

"Sejak saat piknik itu."

"Piknik ke Tretes itu?" tanya Bambang.

"Iya, hari yang sama aku melihat Yusman Rasidi di dekat air terjun itu."

"Memangnya mengapa Taufik mendendam padamu? Aku kira tadinya ia naksir kamu," kata kakaknya.

"Mungkin dia naksir, tapi hatinya busuk, penuh dengki. Sekarang aku pikir-pikir mungkin memang sejak semula barangkali itikadnya sudah tidak baik," kata Dessy.

"Ceritanya bagaimana. Des, kau tidak pernah menyinggung masalah ini," kata Bambang.

"Bermulanya dari soal sepele. Waktu kami dalam perjalanan ke Tretes, anak-anak mengusulkan untuk bermalam saja di sana. Kebetulan si Kandar baru saja mendapat persen dari kakaknya. Aku menolak, kan sebetulnya memang tidak direncanakan bermalam! Taufik marah."

"Terus teman-teman yang lain bagaimana?" tanya ayahnya. Kalau memang teman-teman anaknya ini punya tendensi yang kurang baik, lebih baik anaknya tidak usah saja berteman dengan mereka!

"Teman-teman yang lain akhirnya mau mengerti juga dan malah membenarkan sikapku," kata Dessy.

"Hanya Taufik sendiri yang memusuhiku."

"Ah, masa untuk urusan sepele begitu saja ia mau membunuhmu?" tanya Bambang heran.

"Itu baru permulaannya. Tapi akhirnya kami bertengkar. Dia mengatai aku macam-macam. yang perawan pingitan-lah, yang sok pahlawan, sok generasi penerus-wah, pokoknya macemmacem! Dan aku juga berbuat yang sama, habis hatiku juga iengkel sih! Aku juga membalas mengata-ngatainya, dan aku kira pilihan katakataku pun cukup pedas. Pokoknya kami bertengkar ramai, saling menyakiti. Lucu nggak, dia itu juga sempat cemburu pada Lik Ali," Dessy tersenyum.

"Katanya aku selalu memuji-muji sifat Lik sampai ia muak."

"Des!" Gozali membentaknya tanpa tersenyum sedikit pun. Kali ini Kosasih sudah menerima shock yang cukup berat, dia sekali-kali tidak bermaksud menambahinya lagi dengan membuatnya terkejut mendengar Dessy mengakui bahwa ia mencintai dirinya.

Nyonya Kosasih melirik Gozali sekilas, lalu ia berpaling pada putrinya yang tersenyum penuh arti. Sebagai ibu rupanya ia punya perasaan yang lebih peka. Kali ini naluri keibuannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan di sini!.

"Kenapa, Dik Goz?" tanyanya.

"Oh, Lik membuat Dessy berjanji untuk tidak mikirin soal pacaran dulu sebelum studiku selesai," kata Dessy sambil mengerling Gozali.

Gozali merasa seakan kepalanya diguyur oleh air es!

"Itu yang paling bagus!" sambut Kosasih yang tidak menangkap getaran-getaran asmara yang memancar dari putrinya.

"Yang penting sekarang kau memusatkan perhatianmu untuk menuntut ilmu. Banyak yang dapat diraih dengan bekal ilmu yang cukup. Urusan pacar, kau tidak perlu bingung. Kau cukup cantik untuk tidak perlu khawatir tidak kebagian suami tampan."

"Suami mah nggak usah tampan, Pak. Yang penting suami itu harus sayang, tanggung jawab, bijaksana, hm, pokoknya yang baik seperti Bapak gitu," kata Dessy.

"Tampan kalau hatinya busuk seperti Taufik, untuk apa!"

"Kita cerita urusan suami lain kali saja, Des," sela Bambang,

"aku ingin mendengar kelanjutan terbongkarnya kasus ini. Jadi kebakaran itu akhirnya suatu kesengajaan, ya, Lik?"
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gozali mengangguk hatinya merasa lega topik pembicaraan berbelok dari masalah suami bagi Dessy ke masalah yang lebih tidak berbahaya.

"Yusman Rasidi ternyata tidak sebaik yang disangka oleh Lukmansyah Arsyad. Dia orang yang tidak segan memanfaatkan kesempatan yang ada. Dengan kedudukannya sebagai direktur utama perusahaan susu itu, ia tidak bisa melawan godaan untuk memperkaya dirinya lebih cepat lewat jalan yang tidak halal.

"Dia bertemu dengan Peter Halliday, yang ternyata demi keuntungan pribadi juga tidak segan berbuat curang. Mesin-mesin yang dikirimnya kemari yang seharusnya baru. ternyata adalah mesin-mesin bekas yang sudah diberi penampilan baru-catnya diganti, diminyaki, dikemas lagi-sehingga seakan-akan baru. Tentu saja selisih harganya menjadi keuntungan Yusman Rasidi dan Peter Halliday berdua...."

"Tapi masa tidak ada yang tahu kalau mesin-mesin itu barang bekas, Lik! Di pabrik tentunya kan ada insinyurnya juga, ada orangorang yang pinter yang ahli mesin dan dapat membedakan mesin bekas dari mesin baru!" kata Bambang.

"Nah, itulah, Mbang! Orang kita ini cenderung kurang punya pikiran kritis. Terlalu mudah percaya. Kalau menurut dokumen dikatakan baru, ya percaya saja barangnya baru. Tidak pernah timbul inisiatif untuk mempertanyakan apalagi memeriksa apakah memang betul-betul mesin

mesin yang datang itu sudah sesuai dengan brosur atau spesifikasi resminya. Itulah sebabnya kita mudah dikibuli! Kita terlalu gampang percaya begitu saja. Asal penampilannya dari luar kelihatan masih mengkilat, wah, dianggap masih baru gres-tidak dilihat apa ada bagiannya yang sudah aus, apa ada yang sudah tumpul, dan lain-lain. Dari itu," kata Kosasih,

"kalau lain kali kau terjun ke masyarakat, berlakulah yang kritis! Ujilah semuanya sendiri. jangan asal percaya saja pada omongan orang!"

"Jadi tidak ketahuan, Pak?"

"Tidak."

"Kalau tidak, kok akhirnya bisa ketahuan?"

"Ini satu pelajaran lagi untuk kalian," kata Kosasih.

"Hati-hati kalau bicara! Ingat, bahwa apa yang kauucapkan hari ini mungkin besok akan mencelakakan dirimu! Jadi sebelum kau berkata apa-apa, pikirkan dulu matang-matang akibatnya. Kalau kau ragu-ragu, lebih baik jangan berkata apa-apa. Diam itu selamat! Paling-paling kau disangka orang tolol, tapi kau tidak akan terjerat kata-katamu sendiri.

"Sekali ini antusiasme Peter Halliday untuk memasarkan barangnya ternyata telah membalik menjadi senjata makan tuan. Dia keterlepasan bicara kepada orang yang bisa mencelakakan dirinya! Lha wong Helmi Rantung ini pegawai BKPM kok diceritai tentang praktek gelap perusahaannya yang bisa mengatur permainan curang ini! Ya modyar!"

"Lha iya. kok bodoh toh Pak cerita soal begituan kepada orang BKPM!" komentar Nyonya Kosasih.

"Itu karena si bule ini tidak tahu bahwa Helmi Rantung itu pegawai BKPM! Dia mengira ketemu seorang pengusaha yang mungkin pada suatu hari bisa menjadi kliennya atau paling tidak bisa memperkenalkan perusahaannya kepada rekanrekan pengusaha lainnya."

"Lalu?"

"Ternyata si Rantung ini juga jenis manusia yang oportunis. Mencium adanya hal-hal yang tidak beres ini, ia bermaksud memanfaatkannya demi keuntungannya sendiri."

"Ia memeras Yusman Rasidi?" tebak Bambang.

"Tidak, dia tidak memerasnya. Justru karena ia tidak mau diberi uang oleh Yusman Rasidi maka ia dibunuhnya. Rantung mau memakai informasi yang diterimanya untuk di-obyek-nya sendiri! Dari teman sekantornya kami tahu bahwa Rantung mengharapkan dapat memakai informasi ini untuk meraih suatu kenaikan pangkat. Itulah sebabnya ia datang ke Surabaya sendiri untuk mengecek sampai di mana kebenaran dugaannya. Apabila ia bisa membongkar kasus ini, berarti ia akan mendapatkan penghargaan.

"Kalau hanya mendapat uang sogokan, kan cuma satu kali itu saja. Tapi kalau pangkatnya bisa naik, dia mendapat posisi yang empuk, dan reputasinya sebagai orang yang jujur melejit, kariernya bisa mengembang. Kalau nanti ia sudah

menjadi kepala ini-kepala itu, kan dia punya banyak peluang untuk menjadi kaya dengan lebih cepat."

"Oh, jadi karena Helmi Rantung ini tidak mau dibeli, maka akhirnya ia dibawa oleh Yusman Rasidi ke air terjun Kakek Bodo yang diketahuinya pasti sepi pada hari-hari biasa untuk dicabut nyawanya!" kata Bambang sambil manggutmanggut.

"Malang baginya ia bertemu aku," sela Dessy.

"Karena itu ia mengejar-ngejar Mbak untuk dibunuhnya sekali," celetuk Teti yang bergayut manja pada bahu ibunya.

"Iya, lho, Bu," kata Dessy,

"ia sudah dua kali berusaha membunuhku. Yang pertama ia mencoba menubruk Teti dan aku. untung tidak ada yang terluka parah. Kalau tidak ada para tetangga yang langsung datang menolong. jangan-jangan usahanya itu bisa berhasil! Yang..."

"Lho, kalian pernah ditubruk!" Nyonya Kosasih terkejut. Tidak ada yang menceritakan kepadanya perihal peristiwa itu.

"Iya, tapi tidak apa-apa kok, Bu," sela Teti.

"Teti cuma lecet-lecet sedikit. Nih. kakinya yang terkilir. Mbak Dessy juga cuma terantuk kepalanya di aspal dan lecet-lecet ringan. Untung Mbak Dessy terbentur pada kepalanya, jadi selamat. Habis kepalanya keras sih!"

Mereka semua meledak dalam tawa.

"Sialan. kamu, Tet!" kata Dessy menepuk kepala adiknya.

"Kenapa tidak ada yang mengatakan kepada Ibu!" tanya Nyonya Kosasih pura-pura melotot.

"Masa ada kejadian seperti itu kalian diam-diam saja! Nih, sudah mulai berani main menyembunyikan sesuatu dari orang tua ya!"

"Habis, kami tidak ingin membuat bingung Ibu. Mana Ari masih sakit, Bapak juga jauh, kalau Ibu diberi tahu masalah itu kan nanti jadi senewen," kata Bambang.

"Namanya tahu sekarang saja setelah kejadian itu berlalu Ibu sudah sewot begini, apalagi kalau waktu itu kami beri tahu!"

"Baiklah. kali ini Ibu terima penjelasan kalian. Tapi lain kali jangan lagi menyembunyikan apa-apa dari orang tua. Bagi orang tua itu mendingan tahu sambil khawatir daripada tidak tahu tapi lain kali terkejut. Orang terkejut bisa mati, tahu!"

Lagi-lagi mereka meledak dalam tawa.

"Terus yang kedua kali ia hampir berhasil. Untung Pak Moelyono datang sehingga menggagalkan rencananya," sambung Dessy.

"Sebetulnya ia sudah mencoba tiga kali, Des," kata Gozali.

"Kau ingat kue tart yang dikirim orang ke rumahmu?"

"Oh. iya! Apa jadinya kue itu. Lik?" tanya Bambang.

"Kue itu ternyata berisi obat tidur dalam dosis tinggi bercampur potas. Racun ini ditaburkan di lapisan tengah kue itu di mana terdapat krem coklat yang bisa menyamarkan rasanya." ,

"Astaga! Jadi kue itu betul-betul beracun!" Dessy mengelus-elus dadanya.

"Aduh, untung belum sampai termakan siapa pun! Kue itu tadinya sudah mau kupotong-pOtong dan kubagikan teman-teman!"

"Kue apa itu, Goz?" tanya Kosasih.

"Ini, Pak, sore-sore si Agus datang kemari mengantar kue...."

"Agus siapa?" tanya Kosasih.

"Agus anak gang sebelah yang suka main sepeda di muka sini itu!"

"Mengapa Agus membawakan kue?"

"Nah, itu, katanya ada orang yang mengaku baru datang dari jakarta dan dititipi oleh Bapak untuk menyampaikan kiriman kue itu. Orang itu tergesa-gesa dan tidak tahu rumah kita. lalu ia minta Agus yang mengantarkan karena Agus kebetulan sedang bermain di mulut gang."

"Kiriman dari Bapak?" tanya Kosasih.

"Iya, katanya oleh-oleh dari Bapak. Aku buka ternyata isinya empat potong kue tart. Bagus. bagus lagi, Pak, sangat menggiurkan. Sudah hampir aku potong, tiba-tiba Lik muncul. Terus kue itu dibawa Lik untuk dianalisa. Pas itu terjadi setelah Teti dan Dessy tertubruk itu. Pak, jadi Lik terus curiga pada keempat potong kue ini. Eh. nggak tahunya betul-betul kue itu beraCun!"

"Aduh, Des, kau harus betul-betul bersyukur kau masih dilindungi Allah dan dijauhkannya dari segala mala petaka!" kata Nyonya Kosasih.

"Dan terima kasih, lho, Dik Goz! Kalau tidak ada Dik

Goz di sini, bisa-bisa kita kehilangan ketiga anak kita, bukan, Pak?"

"Iya, Bu. Kalau sampai mereka semuanya makan kue tart itu, wah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana akibatnya!"

"Aku masih curiga bahwa temanmu si Taufik ini tahu apa isi kue itu. Ia kan ada di sini sewaktu kue ini datang. Coba ingat-ingat, apakah bukan dia yang mengusulkan supaya kue itu segera dibagikan dan dimakan?" tanya Gozali.

Dessy memejamkan matanya dan mencoba membayangkan kembali adegan malam itu.

"Iya, Lik rasanya memang dia yang mengusulkan agar kue itu segera dibagikan. Tapi tapi itu kan berarti teman-teman yang lain juga akan celaka kalau makan kue itu!"

"Mungkin dia begitu membencimu sampai ia tidak peduli lagi apakah ada orang lain yang akan jatuh sebagai korban asalkan dia bisa mencelakai kau-atau mungkin dia juga membenci temantemannya sehingga ia sengaja ingin mencelakakan kalian semua," kata Gozali.

"Apakah dia mengaku, Lik?" tanya Bambang.

"Tidak. Sewaktu aku tanya ia memang tidak mengakuinya. Katanya ia sama sekali tidak tahu-menahu soal kue itu. Tapi aku yakin dia berbohong."

"Duh, manusia macam apa itu! Betul-betul tidak kusangka hanya berangkat dari pertengkaran soal bermalam saja ia bisa berbuat sekejam itu!" kata Dessy.

"Apakah kau bisa mengaitkan kue itu padanya, Goz?" tanya Kosasih.

"Sayang, dengan Taufik tidak ada bukti yang kengkret, kecuali kalau Yusman Rasidi yang menunjuknya. Tapi Abbas Tobing menemukan sebuah sidik jari pada bagian dasar kotak itu, dan tidaklah sulit bagi Abbas untuk mencocokkan persamaan sidik itu dengan sidik jari tengah Yusman Rasidi."

"Bagus, itu satu hal lagi yang bisa menggantungnya!" kata Kosasih yang rasa-rasanya sudah ingin menjerat leher laki-laki yang berani mencelakai anak gadisnya.

"Lho, Lik, bagaimana Taufik ini kok bisa tahu bahwa Yusman Rasidi ini punya niatan untuk mencelakai Dessy sehingga mereka bisa bekerja sama?" tanya Bambang.

"Hari Rabu tanggal dua puluh lima itu ternyata yang melihat Yusman Rasidi di Kakek Bodo bukan cuma Dessy seorang. Taufik juga berjumpa dengannya tak lama setelah periumpaan Dessy. Hanya bedanya dengan Dessy. Taufik tahu siapa identitas orang yang ditemuinya-yang tidak lain adalah pamannya sendiri!

"Ketika ia membaca di surat kabar mengenai berita laporan Dessy ke Polda, dengan mudah dia bisa menyambung bagian cerita yang hilang ini dan sampai pada kesimpulan bahwa Yusman Rasidi-lah orang yang dilihat oleh adikmu. Ia menghubungi pamannya, menawarkan bantuannya, menceritakan hasratnya untuk membalas dendam kepada

adikmu, dan akhirnya membantunya melaksanakan penculikan atas Dessy."

"Jadi si Taufik ini sudah tahu sebelumnya bahwa pamannyalah yang membunuh Helmi Rantung?"

"Ya."

Dessy menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Benar-benar gila! Sudah tahu pamannya pembunuh, malah dibantu untuk berbuat kejahatan lebih lanjut!"

"Jadi mereka berdua sudah merencanakan semuanya. Sabtu sore itu Yusman Rasidi membawa pulang mobil pikep biru kantornya untuk dipakai Taufik keesokan harinya. Yusman Rasidi ini rupanya sudah selalu mau lempar batu sembunyi tangan. Sewaktu ia menubrukmu, ia meminjam mobil Moelyono Nariman, dan kali ini ia memakai mobil kantor. Dia sudah berjaga-jaga agar dirinya tidak ketahuan terlibat, jadi ia memakai mobil orang lain.

"Nah, hari Minggu itu sesuai rencana Taufik kemari untuk mengajakmu pergi. Kebetulan Bambang dan Teti tidak ada di rumah sehingga ia sangat leluasa bertindak. Seandainya ada orang lain di rumah, entah dalih apa yang akan dipakainya untuk memperdayamu."

"Tapi bagaimana Yusman Rasidi dan Taufik bisa maSuk ke rumah Lukmansyah?" tanya Bambang.

"Bukankah kata Lik yang punya kunci hanya si Moelyono ini dan pemborongnya!"

"Yusman Rasidi ternyata adalah orang yang cerdik. Sejak usaha. pertamanya untuk membunuh

adikmu gagal, dia sudah mempersiapkan beberapa akal busuk. Kiranya terlalu sulit baginya untuk membunuh Dessy di sini, jadi ia mencari akal untuk membawa Dessy keluar dari sini supaya bisa dibunuhnya dengan mudah di tempat lain. Tapi di mana?

"Yusman Rasidi teringat akan rumah Lukmansyah. Dia tahu rumah ini terletak di daerah yang sepi, tetangga belum ada, dan pada hari Minggu rumah ini sama sekali tidak akan didatangi orang baik itu si pemborong, atau tukang-tukang, ataupun Moelyono Nariman. Karena itu rumah ini merupakan tempat yang ideal.

"Hari Sabtu pagi ketika semua orang sedang sibuk mempersiapkan acara peresmian hari Senin, Yusman Rasidi mencuri kunci pintu depan rumah itu dari dalam tas Moelyono Nariman. Kebetulan tak berapa jauh dari sana ada sebuah toko yang menerima membuatkan kunci duplikat. Yusman Rasidi minta dibuatkan kunci duplikat, lalu setelah selesai, kunci yang asli ia kembalikan ke dalam tas Moelyono yang tidak pernah tahu bahwa kuncinya pernah dikeluarkan dari dalam tasnya. Setelah itu semuanya mudah. Yusman Rasidi hanya membutuhkan kunci pintu depannya saja karena kuncikunci yang lain di rumah itu semuanya tergantung pada lubang kuncinya.

"Sebetulnya Yusman Rasidi tidak berniat mengunci Dessy di rumah itu. Sebetulnya ia merencanakan untuk membunuh Dessy pagi itu juga. Tapi maksudnya terhalang dengan munculnya si Basir yang mencari Moelyono ke sana. Karena itulah dia terpaksa mengunci Dessy di dalam salah satu kamar di belakang sampai ia sempat kembali sore hari itu untuk menyelesaikan pekerjaan yang terganggu. Tapi ternyata sore itu untuk kedua kalinya ia diganggu oleh orang. Kali ini Moelyono-yang datang ke sana untuk memeriksa keadaan rumah itu.

"Yusman Rasidi betul-betul seorang pembunuh yang berdarah dingin. Begitu ia mendengar suara mobil Moelyono berhenti di depan rumah itu, ia memutuskan untuk meninggalkan Dessy yang lemas di sana saja dan dirinya kabur. Dia mengira toh Dessy sudah meninggal. Yusman Rasidi pulang ke rumahnya, menukar bajunya, meninggalkan mobil pikep biru itu dirumah, lalu kembali ke pabrik dengan mobil sedannya sendiri. Ia tidak tahu apakah MoelyOno Nariman sempat melihat jenis kendaraan apa yang meluncur keluar dari garasi Lukmansyah tapi ia sekali-kali tidak mau ambil risiko membangkitkan kecurigaan orang.

"Di pihak lain setelah Lukmansyah berbicara dengan Kapten Danu dan aku, ia juga datang ke pabriknya untuk menghadiri rapat mereka malam itu. Di dalam rapat ia mengajukan beberapa pertanyaan berdasarkan kesangsian yang pernah kami utarakan kepadanya. Menurut cerita Edward Wu dan Basir yang hadir dalam rapat itu, Lukmansyah menanyakan apakah tidak terjadi kecurangan di pihak suplaier mereka. apakah ada

hal-hal yang tidak beres dengan mesin-mesin yang diimpor dari luar negeri.

"Aku kira sejak saat itulah timbul niatan busuk Yusman Rasidi untuk melenyapkan bukti-bukti penyelewengannya bersama Lukmansyah sekali. Apabila ia bisa menciptakan suatu keadaan di mana mesin-mesin di pabrik itu sulit untuk dibedakan antara barang baru atau barang bekas, maka kedudukannya menjadi lebih aman. Jadi ia merencanakan untuk menimbulkan kebakaran ini. Kebakaran tidak akan menghancurkan mesinmesin itu seluruhnya yang hampir semuanya terbuat dari bahan besi dan baja, tapi yang penting,. penampilannya tentu menjadi cacat dan tidak ada orang yang bisa membedakan apakah cacatnya karena api atau karena memang barang bekas.

"Maka pada waktu rapat itu masih berlangsung, keluarlah Yusman Rasidi pura-pura permisi ke kamar kecil tapi sebetulnya ia ke tempat di mana ia telah memarkir mobilnya. Ia tahu di dalam tempat bagasi mobilnya selalu tersedia sebuah jerigen yang berisi bensin. Yusman Rasidi sering keluar kota dan dia tidak mau ambil risiko kehabisan bensin di tengah jalan jauh dari tempat pompa bensin. Jerigen ini lalu diambilnya...."

"Jadi yang meletakkan jerigen itu di sana adalah dia sendiri!" kata Dessy.

"Betul. Dia meletakkan jerigen itu di sana, tersembunyi dari pandangan mata, mungkin di bawah salah satu mesin-mesin yang besar atau di

balik tumpukan karton-karton. Setelah itu ia kembali ke ruang rapat.

"Malang baginya ketika ia keluar dari tempat itu, salah seorang pekerja sempat melihatnya sehingga ketika polisi mengusut kebakaran itu, pekerja ini memberikan kesaksian bahwa beberapa saat sebelum kebakaran itu terjadi, Yusman Rasidi pernah masuk ke bangunan itu."

"Tapi ia kan hanya terlihat keluar dari bangunan itu. Bagaimana polisi bisa membuktikan bahwa ia pernah masuk ke bangunan itu membawa jerigen bensin?" tanya Bambang.

"Ketika Yusman Rasidi mengatakan kepada polisi bahwa yang menyebabkan kebakaran itu mungkin karena jerigen bensin yang dilihatnya tertinggal di sana, polisi segera menyelidiki siapa yang mungkin mempunyai jerigen bensin. Ternyata menurut semua orang yang dimintai keterangan, di pabrik itu tidak pernah ada jerigen bensin. Mereka jarang memerlukan bensin dan apabila mereka membutuhkannya, biasanya mereka langsung mengetap dari salah satu kendaraan di sana. Di samping itu polisi juga tidak berhasil menemukan karyawan maupun pekerja kontraktor yang pernah membersihkan mesin-mesin dengan bensin.

"Maka polisi beralih kepada para sopir. Setelah diusut ternyata beberapa sopir perusahaan mengatakan bahwa di dalam bagasi mobil pribadi Yusman Rasidi sendiri selalu tersedia sebuah jerigen yang berisi bensin. Sewaktu polisi

memeriksa mobilnya, ternyata jerigen itu tidak ada. Jadi, Yusman Rasidi sendirilah yang tolol menyebut-nyebut soal jerigen bensin itu."

"Aneh!" kata Bambang.

"Padahal dia begitu cerdik menyusun rencana untuk mencelakakan orang. Mengapa kali ini ia berbuat bodoh dengan jerigen bensin itu!"

"Ia kan harus memberikan penjelasan mengapa ketika hanya ia berdua Lukmansyah di sana tempat itu bisa terbakar sedangkan di dalamnya tidak ada kegiatan. Alasan yang paling mudah adalah bensin! Bensin kena rokok! Tapi ceritanya kan memang tidak masuk akal."

"Mengapa tidak masuk akal, Lik?" tanya Teti.

"Bensin kena api kan memang bisa terbakar!"

"Yang pertama. karena di dalam bangunan itu tidak ada orang lain kecuali Lukmansyah dan dirinya. Kapten Danu dan aku tahu bahwa Lukmansyah tidak merokok. bahkan membenci bau asap rokok karena ia berpenyakit asma. Yusman Rasidi mengatakan pada saat itu ia tahu Lukmansyah sendiri sedang merokok. Itu sudah bohong. Yang kedua karena pekerjaan melemparkan puntung rokok yang bisa pas masuk ke dalam mulut jerigen itu lebih mustahil lagi! Dalam sejuta kali barangkali tidak satu kali pun berhasil. Apalagi kalau melemparkannya dengan tidak sengaja dan dari jarak yang cukup jauh."

"Iya, Lik. Kok memberi alasan yang begitu tidak masuk akal!"

"Namanya orang panik. Kebakaran itu kan tidak direncanakannya. Keputusan untuk membakar tempat itu dan sekalian melenyapkan Lukmansyah baru diambilnya selama rapat itu berlangsung. Yusman Rasidi belum sempat memikirkan segala aspeknya dengan tenang. Seandainya kami tidak segera tiba di tempat kejadian. mungkin Yusman punya waktu untuk mempersiapkan alasan yang lain."

"Terus bagaimana ceritanya, Lik?" tanya Dessy.

"Nah, sehabis rapat, Yusman mengajak Lukmansyah untuk melihat sendiri keadaan mesinmesin di pabriknya. Mereka berdua berangkat ke bangunan tempat jalur pengisian dan pengemasan itu sementara yang lain-lain kembali ke tugasnya masing-masing untuk persiapan hari besar keesokannya."

"Si anak angkat mengapa tidak ikut dengan mereka, ya, Lik?" tanya Bambang.

"Si anak angkat setelah peristiwa Dessy dan diinterogasi di kantor polisi, malam itu merasa grogi sehingga tidak berani muncul."

"Lho. kalau memang dia tidak terlibat mencelakakan aku, mengapa ia harus grogi, Lik?" tanya Dessy.

"Bagaimanapun juga kan dia yang kepergok bersamamu, Des. Dia kuatir juga ialah yang nanti disalahkan polisi. Tapi yang membuatnya paling susah adalah penyamarannya sebagai Yusman Rasidi itu! Tadinya ia tidak mengira urusan akan

menjadi begitu rumit. Setelah timbul masalah dirimu, ia takut penyamarannya pasti akan terbongkar! Polisi pada akhirnya pasti akan menemukan Yusman Rasidi yang asli, lalu alasan apa yang bisa diberikannya? Karena itu setelah Moelyono kami lepaskan, malam itu ia kebingungan. Bahkan dia tidak berani pulang. Dia berusaha mencari akal bagaimana menyelamatkan dirinya dari tuntutan yang akan terjadi. Terlebih-lebih dia takut terhadap Lukmansyah. Dia tahu dalam rapat malam itu Lukmansyah pasti hadir, jadi ia mau menghindar."

"Lalu kapan si Yusman Rasidi ini punya kesempatan menimbulkan kebakaran itu, Lik?" tanya Bambang.

"Nah, ketika mereka sudah berada di sana kira-kira seperempat jam lamanya-menurut keterangan orang-orang lain yang ikut dalam rapat, dan aku kira tentunya selama itu Lukmansyah juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang semakin menuduh maka Yusman Rasidi memutuskan untuk melaksanakan niatan buruknya pada saat itu.

"Entah dengan alasan apa ia meninggalkan Lukmansyah yang sedang getol-getolnya meneliti keadaan mesin-mesinnya. Yusman Rasidi memakai kesempatan itu untuk menuangkan sedikit isi jerigen yang disembunyikannya ke atas tumpukan kanon-karton pengemas itu, lalu dari jarak yang cukup aman, Yusman Rasidi menyulut sebatang korek dan melemparkannya ke sana. Api berkabar

dalam sekejap karena karton-karton itu merupakan media yang bagus.

"Lukmansyah yang tiba-tiba mendengar suara gemuruh api dan melihat nyala yang berkobarkobar itu segera menghampiri. Yusman Rasidi mengatakan majikannya terjatuh ke dalam api ketika berusaha membantu memadamkannya. Aku kira ia sengaja didorong oleh Yusman Rasidi yang bertubuh lebih tinggi dan kekar. Untuk sementara Yusman membiarkan orang tua itu dimakan api selama kobaran api itu masih belum tampak dari luar. Setelah dia menyaksikan Lukmansyah roboh baru ia keluar mencari bantuan. Bersama beberapa orang pekerja ia sempat menjinakkan api dan menolong Lukmansyah keluar dari kepungan api, tapi orang tua itu sudah hampir mati.

"Menurut visum dokter sebetulnya luka-luka bakarnya tidak terlalu parah. tapi faktor usia, lemah jantung. dan penyakit bengeknyalah yang membuat badannya tidak tahan terhadap penderitaan seperti itu. Lukmansyah meninggal tanpa pernah sadar kembali."

"Keterlaluan orang ini!" kata Nyonya Kosasih.

"Majikannya sendiri yang memberinya nafkah dibunuh begitu saja. Aku harap semoga ia dihukum gantung!"

"Jadi Yusman Rasidi sudah mengakui semua perbuatannya, Lik?" tanya Bambang.

"Sebagian. Dalam kasus pembunuhan Helmi Rantung dan usaha pembunuhan atas Dessy ia

tidak bisa mungkir. Ada terlalu banyak saksi. Baik Taufik maupun Peter Halliday bisa membuktikan keterkaitannya... ."

"Aku juga!" sela Dessy.

"Aku tidak akan tinggal diam menerima saja diperlakukan seperti itu!"

"Dan mengenai kematian Lukmansyah ?" tanya Bambang.

"Mengenai itu, ia masih mungkir. Dia mengatakan Lukmansyah terjatuh ke dalam api. Tapi ia tidak bisa mungkir bahwa kebakaran itu ialah yang menyebabkannya. jerigen itu miliknya, ditambah ada yang melihatnya keluar dari bangunan itu sebelum kebakaran itu terjadi."

"Sebetulnya Yusman Rasidi ini bodoh sekali, ya, Lik," kata Bambang.

"Seandainya ia tidak berusaha membunuh Dessy, semua ini tidak perlu terjadi. Toh Dessy tidak tahu siapa dirinya. Kalau ia diam saja, dari mana polisi bisa tahu bahwa orang yang terlihat oleh Dessy di Kakek Bodo adalah Yusman Rasidi direktur utama PT Melki itu. Kapan pula Dessy punya kesempatan untuk bertemu lagi dengannya di jalan sehingga bisa menunjuknya sebagai orang yang dilihatnya di Kakek Bodo? Setiap hari kita bertemu dengan begitu banyak orang di jalan, rasanya kita tidak pernah melihat orang yang sama."

"Memang kau betul, Mbang," kata Gozali.

"Dan aku yakin Yusman Rasidi pun tidak sebodoh itu mau membangunkan macan tidur seandainya tidak ada urusan peresmian pabriknya itu."

"Peresmian pabriknya? Lho, apa hubungannya dengan Dessy, Lik? Dessy toh tidak akan pernah datang ke pabrik tersebut!"

"Kau lupa bahwa dalam acara peresmian itu ada liputan yang dikerjakan oleh TVRI Surabaya. Sebelumnya Yusman Rasidi sudah berusaha untuk membatalkannya, tapi Moelyono Nariman telah membuat komitmen dengan orang-orang TV atas nama ayah angkatnya, sehingga protes Yusman

tidak ditanggapi. Yusman Rasidi takut Dessy melihat wajahnya di layar televisi dan segera dapat mengenalinya dan melaporkan kepada polisi. Karena itulah ia begitu tergesa-gesa melenyapkan Dessy sebelum acara peresmian itu sempat disiarkan TVRI."

"Huh! Kebangeten toh orang ini!" kata Nyonya Kosasih yang tidak bisa mengutarakan rasa gemasnya dengan jalan lain kecuali berkali-kali mengatakan "keterlaluan" atau "kebangetan".

"Bagaimana dengan Taufik?" tanya Dessy.

"Apakah dia pun ditahan?"

"Sudah barang tentu," kata Kosasih.

"Dia akan dituntut sebagai terdakwa kedua yang membantu YuSman Rasidi melaksanakan niat jahatnya."

"Dan Peter Halliday?"

"Ia pun akan diusut sehubungan dengan pengiriman mesin-mesin bekas. Tentunya kasus ini bukan pertama kalinya perusahaannya melakukan kecurangan itu. Pasti masih ada perusahaan perusahaan lain yang pernah menikmati permainan

model begini. Masalah Peter Halliday dan perusahaannya akan ditangani oleh Pusat sebab ini sudah menyangkut tindak kriminal ekonomi."

"Kalau begitu si Helmi Rantung ini secara kebetulan menjadi pahlawan, ya, Pak," kata Bambang.

"Kalau bukan gara-gara dia, praktek ini tidak pernah akan terbongkar."

"Ya begitulah.-Orang jadi pahlawan itu sering bukan atas kemauannya sendiri. Malah sering sebetulnya orang itu punya monf lain yang kurang terpuji tapi karena keadaan. dia akhirnya mati sebagai pahlawan," kata Gozali.

"Yah, sekarang kita perlu mengucapkan puji syukur pada Yang Mahakuasa bahwa seluruh keluarga kita walaupun sempat mengalami kaget dan shock, tapi ternyata semuanya selamat dan terlepas dari bahaya," kata Kosasih.

"Sudah berapa kali Dessy nyaris menjadi korban. Kalau bukan karena dipanjangkan Tuhan umurmu, Des, wah, sekarang kau sudah terbujur kaku. Maka dari itu, hati-hati memilih teman. Perhatikan betulbetul cara bicaranya. Kalau sudah ada gejala-gejala temanmu punya sifat tidak baik, lebih baik jauhi saja. Bahaya itu datangnya tidak disangkasangka...."

"Dan kalau kita tidak segera berangkat, Bapak akan tertinggal kereta. dan Bapak akan terkena bahaya didamprat komandan habis-habisan." putus Bambang sambil tertawa.

"Sekarang sudah pukul setengah empat! Yuk, kita ke stasiun!"

Mereka semuanya berdiri dan berbondong bondong ke jip Kosasih yang diparkir di depan pagar rumah.

Ketika Dessy lewat di samping Gozali, ia sempat menarik jari tangan laki-laki jangkung itu dan memberinya sebuah sentakan kecil. Gozali berpaling dan sempat melihat gadis itu mengedipkan matanya padanya sambil berbisik halus,

"Aku tidak pernah diperkosa orang, kok. Itu cuma alasan supaya lain kali Bapak tidak mengharapkan menantu yang muluk-muluk."

Belum sempat Gozali membuka mulutnya gadis itu sudah memalingkan wajah dan memandang lurus ke depan dengan tampang tidak berdosa. Hanya ujung bibirnya saja yang mengulum seulas senyuman yang meresahkan hati Gozali.

Mereka semuanya naik ke dalam jip.

Tamat


Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Sleep With Devil Karya Santhy Agatha Sleep With Devil Karya Santhy Agatha

Cari Blog Ini