Ceritasilat Novel Online

Namamu Terukir Di Hatiku 2

Namamu Terukir Di Hatiku Karya Marga T Bagian 2



"Gampang marah, An!" Atila membujuk terus agar Ana mengurungkan mimpinya.

"Ayahku juga! Aku sih sudah biasa menghadapi laki-laki pemarah !"

"'Yang mendengkurjuga?" tanya Atila penasaran.

"Wah, ketiga abangku jagoan ngorok semua!" seru Ana ketawa gelak. Atila mengangkat bahu, menyerah, dan ikut ketawa. Masa bodoh, deh! pikirnya. Aku Sudah coba mencegahnya menginjak ranjau, tapi terserah deh kalau dia mau melangkah terus.

"Lupakan Jiro kalau bisa, An."

"Kau enggak senang aku menjadi iparmu? Aku takkan merebut cintanya pada adiknya!"

"Aku tak ingin kau kena batunya, An," bujuknya untuk penghabisan kali.

"Wah, aku sih sudah biasa kena batu, kena bola, kesandung, ketabrak, ketubruk...." Ana ketawa geli. Atila menyerah.

Begitu masuk ke kamar, dia langsung membuka sepatu, menukar baju lalu menyambar buku dari Rio dan bergulung di pojok sofa. Ketika sejam kemudian Jiro masuk dengan kuncinya, didapatinya Atila begitu asyik dengan bukunya, sehingga untuk sesaat dia tidak menyadari bahwa kamarnya sudah kemasukan orang. Jiro menitipkan raket tenisnya di tempat AtiIa dengan dalih bahwa tempat kosnya lebih dekat ke lapangan tenis daripada rumah Bibi. Tapi sebenarnya supaya dia bisa datang mengontrol seminggu dua kali tanpa harus mencari-cari alasan. Karena itu dia minta kunci, sebab terkadang dia datang pada saat Atila masih kuliah. Jadwal tenisnya memang tidak teratur, tergantung waktu luangnya, kapan dia tak usah jaga malam.

Jiro tertegun sejenak melihat Atila.

"Sorry aku enggak mengetuk dulu. Kukira kau masih kuliah."

Mendengar suara orang, Atila mengangkat muka, dan melongo melihatnya. Tapi dia tidak bergerak untuk menyambut. Jiro melangkah ke sofa, lalu mengambil buku itu dan membaca judulnya.

"Hm. Buku ini rupanya lebih penting dari aku, ya?" Ditutupnya buku itu dan ditatapnya Atila.

"Dari siapa ini?"

Atila mendadak ketakutan. Dia tidak sanggup membuka mulut. Dibalasnya tatapan Jiro dengan mata lebar penuh kengerian, tak berani menjawab. Seandainya dia tahu Jiro akan datang, pasti akan disembunyikannya buku ini.

"Kenapa enggak kaujawab? Enggak kaudengar? Aku tanya kau, dari mana buku ini?" Suaranya memang belum meninggi, tapi nadanya cukup mendesak. Dia berdiri di depan sofa dengan kaki terpentang lebar seperti koboi siap tembak. Sebelah tangannya memegang buku, yang lain berkacak pinggang.

Atila tengadah, menatapnya tanpa kedip, matanya char ketakutan seolah tengah berhadapan dengan monster. Seakan tersihir, tanpa sadar bibirnya sudah berbisik,

"Dari Rio." ,

"Hm." Jiro berbalik, menuju ke meja. Diletakkannya buku itu di atasnya, lalu tangannya terjulur ke atas rak. Rupanya dia telah melihat yang lainnya. Kedua buku dari rak diturunkannya ke atas meja. Dibacanya judulnya satu-satu, sementara Atila memperhatikan tanpa berkutik.

"Hm. Kapan dia ke sini?" tanyanya sambil membanting kartu nama Rio ke atas meja.

"Kemarin. Sore," sahut Atila menatap punggungnya, kemudian celana tenisnya, lalu sepatu karetnya yang berwarna putih.

"Sudah berapa kali'?" Jiro masih tetap membelakanginya.

"Eh?" Dia terenyak dari keasyikannya memperhatikan belakang orang. Berapa kali apanya?

"Oh, baru sekali."

"Hm." Jiro berjalan ke lemari, lalu meraih raket dari atasnya. Dibukanya sarungnya, diletakkannya kembali ke tempatnya, lalu dijinjingnya raket itu. Diraihnya juga kaleng hijau berisi bola-bola tenis. Lalu dia menoleh ke arah sofa.

"Oke. Sampai nanti malam. Tak usah kautunggu, aku bisa masuk sendiri." Dalam dua-tiga langkah dia sudah sampai ke pintu. Dibukanya dengan tenang, lalu ditutupnya dengan pelan.

Atila bengong mengawasi pintu sementara pikirannya kacau balau. Kenapa dia enggak marah? Kenapa enggak ditegurnya aku? Marahlah. Tegurlah aku. Jangan diam saja begitu, Jiro! Buku-buku ini akan segera kukembalikan kalau kau enggak suka aku membacanya. Bilang saja harus kukembalikan,

dan besok akan kutelepon Rio dari kampus.

Tok tok tok...

"Tila, makan!" Suara Ana dari luar menyadarkannya. Dengan lesu dia bangkit dari sofa. Ketika dia memandang cermin mendadak teringat olehnya bahwa dia belum mandi.

Astaga! Sampai kelupaan saking asyiknya membaca. Jangan-jangan Jiro mengetahui hal ini dan menambah kesalahannya. Huh! Kenapa aku begitu tergila-gila sama buku? Kenapa pula Rio memanfaatkannya? Huh! Betulkah dia meminjamkan buku tanpa maksud-maksud tertentu? Apakah dia ingin aku putus dengan Jiro?

Tok tok tok...

"Til, mau makan enggak? Til...?"

"Ya." Dia bergegas ke pintu, lalu membukanya.

"Aku belum mandi, An."

Ana memandangnya sekilas.

"Ah, enggak ada yang tahu. Makan saja dulu!"

Selesai makan Ana mengusulkan agar mereka belajar bersama. Atila sebenarnya ingin meneruskan bacaannya yang sudah telanjur dimulai. Mumpung belum disuruh mengembalikan oleh Jiro. Akan diusahakannya supaya bisa habis sebelum Jiro datang lagi. Dua buku yang lain biarlah akan dikembalikannya tanpa dibuka. Tapi sekarang Ana mengajak belajar duaan. Kalau dia menolak, temannya akan curiga atau tersinggung. Sedangkan dia tak ingin ada yang tahu bahwa Rio datang membawakan buku. Siapa tahu Ana juga doyan buku, bisa gawat kalau Rio diundangnya sering-sering ke situ. Bisa-bisa Jiro menyangka dia yang ingin Rio datang terus. Tidak. Dia tak dapat berterus terang pada Ana mengenai buku

detektifnya. Tak ada jalan lain. Dia terpaksa setuju.

"Tapi aku mau mandi dulu, An. Habis mandi akan kuketuk kamarmu. Kita belajar di atas saja, ya. Tetanggaku sudah mulai nyetel TV soalnya. Berisik."

"Ah, mendingan di tempatmu saja. Kalau kita konsentrasi, suara-suara dari luar enggak akan menganggu." Melihat Atila berdiri bengong, Ana tersenyum malu-malu kucing.

"Aku kepingin ketemu abangmu. Tadi kulihat dia mengambil raket, pasti dia akan balik lagi mengembalikannya, bukan?" Ketika Atila masih diam setengah bingung, Ana mengguncangnya,

"Eh, kau enggak keberatan kan aku ketemu abangmu lagi?"

Seakan baru dibangunkan dari tidur, Atila mengejap-ngejap, menatap Ana sesaat, kelihatan seperti orang tersadar, lalu menggeleng.

"Enggak, enggak keberatan. Ayo deh, aku mandi dulu ya."

Jam sembilan kurang terdengar orang membuka pintu dari luar. Ana dan Atila serentak menoleh dan menatap lubang kunci dengan tegang. Kunci terbuka, gerendel terputar, pintu terkuak, dan... Jiro melangkah masuk menenteng raket sambil memeluk kaleng berisi bola bola. Wajahnya menyapu isi kamar, lalu Atila melihat kekecewaan menyelinap dalam matanya. Tiba-tiba dia merasa gembira ada Ana di situ. Dia memang sudah punya firasat bahwa Jiro akan memberinya kuliah malam ini mengenai persoalan pinjam-meminjam buku serta masalah hal-hal kecil

yang bisa menjurus pada pengkhianatan. Karena ada Ana, rupanya jadi batal dan wajahnya jadi mendung sesaat. Tapi Ana tidak membiarkannya murung terus. Mereka berdua tengah duduk di meja, Ana di kursi belajar, Atila duduk di kursi plastik. Lemari diletakkan sedemikian sehingga menutupi sebagian pintu. Ketika menutup pintu, Jiro hilang sejenak ditutupi lemari, tapi begitu muncul lagi untuk meletakkan kaleng bola dan sarung raket, Ana langsung menyambutnya dengan ketawa merdu yang mesra. Atila membisu saja seakan salah tingkah.

"Hai, Jiro!"

"Hai, An." Dimasukkannya raket ke dalam sarung.

"Malam amat? Lebih dari dua jam kau main!"

Jiro menoleh dan menaikkan alis tinggi-tinggi seakan heran dari mana Ana tahu dia main berapa lama.

"Tali sepatumu lepas yang kiri!"

Jiro menengok ke bawah. Diletakkannya raketnya ke atas lemari.

"Biar saja," tanggapnya sambil melirik Atila yang sejak tadi masih membisu. Dilirik begitu, mendadak Atila jadi berdebar. Apa sih maksudnya, pikirnya. Apa dia mengharapkan aku mengikatkan tali sepatunya? Kan ada Ana, malu dong! Tapi kalau enggak, kenapa dia melirik setajam itu?

"Ada air, La?" tanya Jiro sambil menyeka wajah dan tengkuk dengan handuk kecil yang melilit di lehernya.

"Oh, ada." sahut Atila mengangguk. Tapi sebelum dia sempat bangun, Ana sudah mendahului. Di pinggir sofa terdapat meja kecil. Di atasnya ada tempat air dari gelas, hadiah dari Bibi Nella. Bentuknya cantik, buatan Jepang. Dengan dua langkah panjang Ana sudah menjangkau kendi itu, lalu celingukan.

"Mana gelasnya, Til?"

Atila mengambil gelas baru dari bawah serbet di atas rak, lalu mengulurkannya pada Ana tanpa berkata-kata.

"Trims," sambut Jiro, menghabiskan isi gelas sekali teguk. Diletakkannya gelas ke atas meja, nyaris menyentuh siku Atila yang bertumpu di situ.

"Lagi, ya?" Ana menawarkan.

Jiro menatap sekilas, lalu menggeleng.

"Cukup, enggak usah." Kemudian matanya singgah lama di atas wajah Atila yang tengah menunduk, membalik-balik diktat. Merasa diperhatikan, gadis itu mengangkat kepala. Mata mereka beradu. Jiro masih tak mau mengalihkan tatapannya. Atila merasa seakan ada sesuatu merayapi dirinya dari dada ke sekujur tubuh. Dia merasa terpenjara dalam tatapannya, tak mampu berkutik. Kemudian Jiro bermurah hati, dan mengalihkan matanya ke tempat lain. Atila diam-diam menarik napas lega. Itu berlangsung cuma semenit, dua menit, tapi rasanya cukup lama dia tersiksa. Seakan tidak menyadari situasinya, Ana mendekati Jiro.

"Oke, deh. Aku lihat kalian sedang sibuk..."

"Ah, enggak, kok," potong Ana cepat-cepat.

"Kami cuma baca-baca dikit. iseng. Duduk dulu dong."

"Sorry. sudah malam, aku harus pulang. Besok

pagi-pagi aku ada operasi kecil, tiga pasien."

"Wow!" Ana bertepuk tangan.

"Hebat banget! Usus buntu? Circumcisi ' ?"

"Bukan. Cuma mengangkat kutil dan mencabut kuku yang meradang. Oke, deh." Dia melangkah diawasi kedua gadis itu. Di depan pintu, seakan teringat sesuatu, dia menoleh dan menatap Atila.

"Sabtu nanti kau pulang, La! Akujemput!"

Atila mengangguk. lesu. Kuliah itu rupanya enggak batal, tapi cuma ditangguhkan. Huh! Dan untuk mencegah aku enggak datang, dia akan menjemputku.

Pintu sudah tertutup, tapi seakan tidak disadarinya. Dia bengong terus sampai disentuh oleh Ana.

"Mau diterusin, enggak?" tanyanya.

"Aku capek!" keluhnya.

Ana melihat arloji.

"Aku juga. Udah malam, sih. Baiklah kita udahan aja. Besok berangkat jam delapan, ya? Nanti aku bawakan sarapan jam tujuh, kita makan di kamarmu."

Atila mengangguk, tersenyum sendu. Enak juga punya abang ganteng. Ada cewek cakep yang naksir dan berusaha memanjakannya. Terlebih kalau Suasti juga tahu! Ah, seandainya dia betul abangku! Yang menyayangiku! Yang tak usah kutakuti!

Rupanya dia sudah tenggelam dalam lamunan, sebab tahu-tahu Ana sudah melambai dari balik pintu. Cepat-cepat dia balas melambai. Pintu lalu tertutup. Hening seketika. Kemudian ditangkapnya suara-su

ara dari TV sebelah. Matanya hinggap ke atas rak. Mendadak lesunya lenyap. Dijangkaunya buku yang paling atas, lalu dia pergi ke sofa, dan mengempaskan diri di atasnya.

***

SABTU itu udara cerah. Langit biru dengan gumpalan awan di sana sini, sehingga matahari tidak terasa terlalu menyengat. Selesai kuliah jam satu mereka berbondong-bondong mencari pompa nasi untuk melawan lapar. Beberapa anak mencari pompa bensin untuk kendaraan mereka yang juga kelaparan.

"Mau makan apa, nih?" tanya Suasti.

"Gado-gado, gimana?" usul Atila.

"Bosan, ah. Mendingan pulang saja, Til," tukas Ana menepuk bahunya.

"Kesusu betul kau! Siapa sih yang sedang nunggu?" Suasti menggoda.

"Jadi mau makan apa, nih?"

"Ngurusin makan aja! Nanti abangmu keburu datang, kau belum pulang!"

Mendengar teguran Ana, Atila mendadak sadar. Buset! Kau masih ingat bahwa Jiro akan menjemputku Sabtu ini! Aku sendiri lupa!

"Abang? Siapa punya abang? Til, kau punya abang? Kok aku baru tahu, kau punya abang! Kenalin dong!" seru Suasti memeluknya, nyaris remuk. Celaka! pikir Atila. Seorang Ana saja sudah cukup memusingkan, apalagi ditambah Suasti. Tapi Ana rupanya punya kepentingan lebih besar untuk menyembunyikan Jiro. Sebelum Atila membuka mulut, dia sudah mendahului,

"Abang apa? Maksudku, Abang Rujak! Kan hampir tiap sore kita ngerujak. Mau ikut?"

"Ah, rujak! Ogah!" keluh Suasti menggeleng. Atila ketawa geli dalam hati. Pasti Ana memang sudah tahu bahwa teman mereka itu enggak suka rujak. O ya, dia ingat, Suasti memang enggak tahan pedas, malah seperti yang ngeri melihat cabai. Waktu beli gudeg tempo hari, hampir menjerit. melihat sambal sesendok penuh dituang ke atas nasi. Untukku saja, katanya, dan Suasti mendapat bungkus kedua yang tanpa sambal.

"Jadi mau makan apa, nih?" ulang Atila kesekian kali.

"Kau betul-betul harus makan dulu sebelum pulang?" Ana menegaskan. Melihat Atila mengangguk, terpaksa dia mengalah.

"Apa aja, deh!"

"Gado-gado,

"gimana?" Atila mengulang usulnya.

"Boleh, deh. Asal jangan pakai cabe," Suasti mengangguk, dan menoleh pada Ana.

"Kau bagaimana?"

"Aku juga setuju."

Selesai mengisi perut Ana langsung menyeret Atila, sementara Suasti pergi ke tempat bis.

"Kenapa sih buru-buru?" tegur Atila ketawa dalam hati.

"N anti kau telat! Katamu, abangmu gampang marah, aku kasihan kalau kau sampai dimarahi!" sahut Ana penuh perasaan membuat Atila nyaris tergelak.

"Ah, dia baru akan datang sore atau malam. Mungkin dia harus dinas juga, enggak bisa datang."

"Kau kedengarannya kurang akrab dengan abangmu!" kata Ana seakan menegur.

"Apa kau enggak

menyukai abangmu? Seharusnya kau bangga punya abang seperti itu! Mana ganteng, calon dokter lagi!"

"Ah, apa sih hebatnya calon dokter? Kita juga calon dokter, kok enggak hebat?"

"Kita kan cuma dokter-dokteran, enggak bakal seperti abangmu itu. Taruhan deh, dia pasti bakal jadi ahli bedah! Kalau keroeo macam kita sih, tamat pun belum tentu. Siapa tahu setengah jalan sudah mundur!"

Sambil ngobrol-ngobrol begitu akhirnya mereka tiba di rumah. Melihat motor yang sudah mereka kenal, Ana langsung mendesah,

"Apa aku bilang!"

Atila menggeleng kagum,

"Hebat sekali ramalanmu!"

"Aku boleh mampir dulu, dong?" dia menciap merdu dengan lirikan yang menembus ke ulu hati.

"Cuma mau bilang selamat siang saja sekalian nanyain buku anatomi."

Bagaimana akan kularang, pikir Atila. Dilarang pun, dia pasti akan tetap ngikut. Kamar-kamar di dekat garasi mempunyai teras di luar pintu yang dibatasi dengan tembok setengah badan serta teralis di atasnya. Pada malam hari pintu teralis di tengah teras digembok, tapi masing-masing penghuni mempunyai anak kuncinya.

Jiro sedang duduk di atas kursi plastik di teras depan kamar Atila.

"Hai, Jiro, sudah lama?" sapa Ana riang. Mendengar itu yang disapa langsung mengangkat wajah dari majalah Kedokteran yang tengah dibacanya.

"Barusan sampai," sahutnya, lalu melihat arloji.

"Kenapa jam dua baru pulang? Kan kuliah berakhir jam satu?"

Atila merasa dia yang ditegur, tapi Ana yang menjawab sambil ketawa,

"Kami makan gado-gado dulu. Ini nih, si Tila, ngidam!"

Mampus! Dia pasti akan marah-marah padaku! Oh, anak ini enggak tahu gelagat, main ceplas-ceplos aja ngomongnya!

"Kok enggak masuk ke dalam'?" Ana terus merepet. Dia tahu, Jiro punya kunci.

"Panas. Biar di sini saja. Kan enggak mau lama. Ayo, La, ambil tasmu! Sudah kaubenahi pakaianmu, kan?"

Atila mengangguk sambil mencari-cari kunci di antara kertas-kertas catatan dan diktat-diktat. Ke mana lagi kunci ini! keluhnya. Kalau dicari kok susah amat ketemunya! Masa sih ketinggalan di ruang kuliah? Atau jatuh dijalanan?

"Enggak ada?" tanya Jiro memperhatikan.

"Pasti ada. Cuma belum ketemu."

"Kalau mesti dicari sampai besok, aku sudah keburu pingsan kelaparan!" Dikeluarkannya tempat kunci dari kantong, lalu dipilihnya satu dan disorongkannya.

"Nih, pakai ini saja!"

Atila menurut. Pintu terbuka, dan dia cepatcepat masuk.

"Jangan lama-lama!" didengarnya perintah Jiro.

"Ya," sahutnya melempar tas kuliah, lalu membuka lemari, menarik keluar travel bag yang sudah diisinya dengan yang perluperlu. Dimasukkannya juga sebuah diktat yang akan dibacanya di sana. Buku Rio Yang ketiga, yang belum sempat diselesaikannya, ditinggalkannya. Sebenarnya tangannya gatal ingin meraih, tapi dia takut risikonya nanti. ,

"Sudah beres?" Tahu-tahu Jiro muncul di ambang pintu. Dari luar didengarnya suara Ana,

"Yuk, Til, aku tinggal dulu."

"Yuk!" balasnya. Lalu menyambung,

"Sudah."

Jiro mengangkat tas pakaiannya, dia mengikut lalu mengunci pintu dan mengembalikan kunci... tiba-tiba diraihnya kembali kunci itu dari telapak Jiro yang sudah terbuka, lalu memasukkannya lagi ke lubang.

"Kelupaan bawa kunci. Nanti Senin aku enggak bisa masuk!" Dia berlari ke dalam, menumpahkan isi tasnya ke atas meja, lalu mengaduk-aduk mencari kunci. Setelah ketemu, dikembalikannya semua ke dalam tas, lalu berlari keluar lagi. Jiro sudah menunggu di atas motor. Dia langsung berlari menghampiri. Diserahkannya kunci Jiro, lalu cepat-cepat duduk di boncengan.

"Sorry," bisiknya terengah.

Jiro tidak kedengaran menanggapi. Dia langsung menyalakan starter dan menjalankan Vespa-nya. Atila memeluk pinggang Jiro erat-erat. Dia ngeri sekali terperosok jatuh, sebab motor itu melaju kencang tak kira-kira. Sebenarnya Paman sudah pernah mengusulkan agar Jiro mencari mobil saja, ayahnya pasti akan mau membelikan. Atila pun dalam hati senang naik mobil, enggak ngeri dan enggak terjemur matahari. Tapi Jiro bilang lebih enak naik motor untuk menanggulangi macetnya lalu lintas.

Demikianlah setengah terbang mereka melaju di belantara mobil-mobil ibu kota.

Malam Minggu itu Jiro jaga malam. Ketika dia pamitan pada Bibi Nella di dapur, kebetulan Atila juga ada di sana. Bibi menegurnya,

"Kau kurang perasaan, Jiro! Ada Atila masa kautinggal jaga malam? Kan dia cuma seminggu sekali ketemu engkau?!"

Sambil menggigil sepotong lemper, enak saja dia menjawab,

"Aku juga enggak mau jaga, malam Minggu. Enggak ada yang mau. Tapi kita semua kena giliran yang sama biar adil. Enam minggu sekali masing-masing harus jaga di malam Minggu." Bibi terdiam mendengar dalih itu. Atila sudah tahu, Jiro memang pintar ngomong. Kalau dia sudah buka mulut, siapa saja gampang dibujuk atau dibuatnya percaya. Tapi dia enggak mau bilang,

"Menyesal. La, aku harus jaga malam ini!" keluhnya ketika melihat Jiro pergi begitu saja dengan tas ranselnya di punggung. Digigitnya bibir bawahnya, hampir saja dia meneteskan air mata saking kesal dan sedih. Untung enggak sampai. Malu sekali kalau sampai nangis di dapur.

"Jangan sedih, La. Besok pagi-pagi juga dia sudah pulang lagi," ujar Bibi seakan membujuk.

"Saya enggak sedih, Bi. Saya juga sibuk, harus belajar untuk tentamen," katanya seolah tak peduli.

"Oh, kau membawa buku pelajaran? Baguslah kalau begitu. Jiro sudah hampir lulus, tugastugasnya memang makin menumpuk. Apalagi nanti kalau sudah bekerja penuh sebagai dokter, siap-siaplah kau, dia pasti akan jarang di rumah. Kau enggak boleh merasa kesepian! Karena itu harus punya kegiatan juga. Tapi kau pun pasti akan sibuk dengan kuliah.

dan tugastugasmu sebagai ko-as nanti."

"O ya, saya takkan pernah kesepian, Bi," katanya tertawa, lalu dibayangkannya buku Rio yang belum sempat dihabiskannya.

"Saya senang membaca, dan melihat TV. Itu saja sudah akan menyita waktu semalaman."

"Betul. Acara TV sekarang banyak yang bagus." Bibi mengangguk.

Tapi acara malam itu kebetulan jelek-jelek. Atila masuk ke kamar dengan alasan lebih baik belajar saja. Diambilnya piyama kuning berenda dari dalam lemari. Pakaiannya masih banyak di sini. Dia cuma membawa sebagian ke tempat kos. yang dirasanya akan dipakainya ke kuliah. Baju-baju pesta misalnya, tidak. Di rak atas dilihatnya setengah lusin baju tidur nilon yang belum pernah dipakainya. Huh! Panas. Mungkin nanti, kalau dia punya kamar dengan pendingin. Bagaimanapun harus dipakainya. Jiro yang beli. Nanti dia tersinggung.

Ditukarnya bajunya dengan piyama. lalu dia telungkup di atas ranjang mencoba belajar. Dua puluh menit pertama berjalan lancar. Dua puluh menit kedua mulai timbul gangguan yang memecah konsentrasinya. Dua puluh menit ketiga dia mulai sering menguap. Untuk mengganti suasana, dia telentang dan mengangkat diktat tersebut ke atas matanya. Tapi posisi itu cuma bertahan lima menit. Matanya ngantuk, lengannya pegal menyanggah stensilan seratus lembar lebih. Dia kembali telungkup, tapi otaknya sudah tidak sanggup bekerja seperti semula. Berkali-kali kepalanya jatuh menimpa diktat, dan dia ter

sentak lalu mengangkat kembali kepalanya, tapi tak ada lagi yang masuk ke otak. Lama-lama ngantuknya terasa makin berat. Akhirnya dia terpaksa menyerah, tidak berkutik lagi sedikit pun.

Ketika esoknya dia terjaga, didapatinya hari sudah terang. Rupanya dia tidur nyenyak sekali, sebab dia tidak terbangun sekali pun untuk ke kamar mandi. Disingkirkannya selimut birunya ke samping, lalu dia duduk sambil menggosok-gosok mata. Samar-samar ingatannya pulih. Tangannya meraba-raba ke bawah selimut. Enggak ada diktat! Dilemparnya selimut ke kaki ranjang. Betul-betul tak ada apa-apa. Matanya memandang berkeliling. Diktat bersampul coklat itu tertutup rapi di... atas meja! Dan dia tidur di atas bantal, ditutupi selimut! Padahal semalam dia melintang, telungkup menindih bukunya.

Siapa yang telah memindahkannya? Siapa yang masuk ke kamarnya? Tentu saja cuma satu orang yang mungkin, tapi dia kan sedang jaga malam?! Atau sudah pulang? Kapan dia pulang? Diambilnya arloji dari meja. Ya ampun! Sudah jam sepuluh lewat! Gila-gilaan aku! Apa kata Bibi Nella melihatku nanti? Mungkin dianggapnya aku sengaja malas-malasan, tak punya malu atau kurang ajar! Pantas Jiro sudah pulang! Pasti orang-orang sedang sibuk di dapur. Mungkin juga makan siang sudah hampir siap.

Cepat-cepat dia menyambar daster, lalu masuk ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian dia sudah siap untuk turun dari loteng. Diketuknya pintu Jiro lembut-lembut. Ketika tidak kedengaran apa-apa. diputarnya gerendel dan didorongnya pelan-pelan."

"Kau mencari aku?" Huk! Uh! Tangannya langsung menekan dada, semangatnya terbang, rasanya hampir pingsan. Dia menoleh. Jiro tengah bersandar di dinding dengan kedua tangan dalam saku. Berdirinya santai, sebelah tungkainya melintang. Lorong di depan kamar-kamar tidur lebatnya cuma semeter lebih. Bila dijulurkannya lengannya, rasanya dapat tersentuh olehnya T-shirt Polo yang dikenakannya. Heran, bagaimana dia bisa kelihatan begitu segar padahal baru habis jaga malam?

"Perlu sesuatu?" Tatapannya dirasakannya terlalu menyelidik, menghunjam terlalu dalam. Cepat-cepat dialihkannya matanya, lalu berbalik pura-pura mau menutup kembali pintu kamar yang sudah setengah terbuka.

"Oh, eh, enggak. Enggak perlu apa-apa. Aku cuma ingin melihat kalau-kalau kau masih tidur...."

"Oh... ah... aku Sudah bangun dan sarapan sejam yang lalu! Kau juga perlu makan, lekaslah turun! Bibi masih membiarkan sarapanmu di meja." Lalu mendadak dia ketawa membuat Atila salah tingkah dan merasa wajahnya panas. Apa yang ditertawakannya? Aku? Kenapa dia tertawa? Tapi sebelum dia punya keberanian untuk bertanya, Jiro sudah melangkah pergi. Ketika dia tiba di bawah, orang itu sudah tak kelihatan lagi bayangannya.

Siangnya Atila tidak punya rencana apa-apa kecuali istirahat di kamar. Sejak bangun tidur dia belum sempat duduk kecuali waktu makan siang.

Ketika dia muncul di dapur, dilihatnya Bibi Nella sedang sibuk memasak. Cepat-cepat diraihnya sepotong roti, diolesinya dengan margarin dan selai, lalu dia sarapan sambil berdiri. Sebelah tangannya membersihkan toge dari topi hijaunya.

"Tak usah kaupetiki buntutnya, enggak panjang kok. Cukup hilangkan kulit kacangnya saja," kata Bibi setelah tak berhasil menyuruhnya makan saja, tak usah membantu.

Habis sarapan dia menumbuk uli bersama si Mbok. Paman senang sekali uli dimakan dengan tapai ketan merah. Sekali bikin bisa berkilo-kilo, dan numbuknya, aduh! Tapi Jiro juga senang makanan itu, jadi dipaksakannya menumbuk terus walau tangan rasanya sudah panas dan nyeri. Beres uli, dia menggantikan pembantu lain memarut kelapa. Masih ada lima yang harus diparut. Tentu saja dia takkan sanggup menyelesaikannya semua, tapi paling sedikit sebuah atau dua buah....

Dari waktu ke waktu, Bibi Nella suka membuat dodol, terlebih kalau musim durian. Jenang itu biasanya dibuat berdasarkan pesanan dari kenalan-kenalan yang sudah menjadi langganan lama. Tentu saja Bibi selalu membuat lebihan, sekalian untuk keluarga sendiri. Dodol memang gurih, pikirnya. Enaaak. Tapiii... mengaduknya, amboi! Dia pernah mencoba sekali ketika jenang itu sudah hampirjadi, baru lima menit pun tangannya sudah menyerah. Beratnya bukan main. Tangannya sakit seperti yang terkilir.

Ketika dia baru selesai memarut sebuah, dan mau meraih kelapa kedua, tiba-tiba Jiro muncul di dapur. Rupanya kepingin minta uli. Tapi setelah diberi, dia

tidak segera pergi. Tanpa komentar diawasinya Atila dari samping. Atila tentu saja merasa kikuk, tapi ditahan-tahannya. Habis bagaimana lagi, dia tak berani mengusirnya. Walau tengah menunduk, dia merasa bahwa dia diperhatikan. Pipinya terasa panas, mungkin warnanya sudah seperti tomat bonyok, pikirnya malu. Mana tangannya sudah pegal banget, tapi dia tak berani stop.

"Tila, lebih baik kau tolong mengupas bawang saja sana. Biarkan si Mbok yang meneruskan parutan," kata Bibi tiba-tiba. Dengan perasaan lega segera dilepasnya potongan kelapa yang dipegangnya, lalu dibasuhnya tangannya di bawah keran. Ketika dia berbalik menuju ke meja di pojok dapur, Jiro sudah berlalu.

Mengupas bawang kalau cuma dua-tiga butir memang bukan masalah kecuali membuat ujungujung jari sedikit hitam. Tapi kalau mengupas lebih dari setengah kilo...! Matanya menjadi pedih dan penuh air. Dia sudah hampir tak bisa membuka mata lagi saking pedihnya ketika Bibi Nella melihatnya.

"Ola... ola...," serunya dengan suara nyaring.

"Nona manisku tidak biasa mengupas bawang rupanya!"

Tentu saja, pikir Atila. Di rumah, aku mana pernah ke dapur! Dihapusnya matanya dengan punggung tangan, tapi pedihnya tidak berkurang.

Bibi menyalakan sebatang lilin yang diletakkannya di depan Atila. Ditepuknya bahunya.

"Ini akan mengusir gas bawang dari matamu." Tapi rupanya lilin itu datang terlambat. Pedih matanya tidak juga berkurang walau memang tidak bertambah. Untung

sekali tak lama kemudian makan siang diumumkan. Dan setelah makan didapatinya bawang-bawang itu sudah hampir habis dikupas oleh kedua pembantu Bibi Nella. Merasa tidak lagi diperlukan, Atila pergi ke kamarnya.

Setelah bosan membaca diktat, ditukarnya bajunya dengan celana panjang yang berenda di mata kaki. Disingkirkannya bantalnya ke atas kursi, lalu dia berbaring tanpa bantal, kaki lurus, lengan lurus di samping, tarik napas pelanteratur, keluarkan napas pelan-teratur, gerakkan jari-jari kaki satu per satu, tarik napas, keluarkan napas, gerakkan tumit, kiri lalu kanan, tarik napas, keluarkan
Namamu Terukir Di Hatiku Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah selama beberapa menit dia senam, dua puluh kali gerakan ini, dua puluh kali gerakan itu, lima belas kali begini, lima belas kali begitu. Kemudian, latihan untuk melangsingkan betis. Telentang, lengan lurus di samping, telapak menekan kasur, angkat kedua tungkai tegak lurus sehingga membentuk sudut siku dengan tubuh, tarik napas, keluarkan napas... ulang lagi... ulang lagi... telentang, lengan lurus.... Dia begitu tenggelam dalam keasyikan, dia sama sekali tidak menyadari sekelilingnya. Dengan kedua mata terpejam dan pintu yang tidak berderit, dia memang tidak bisa tahu bila seseorang masuk. Karena itu betapa terkejutnya dia ketika tahu-tahu dirasakannya kedua pergelangan kakinya dicekal dan diturunkan ke bawah, ditekan ke atas kasur. Pelan-pelan dibukanya matanya, mula-mula setengah mengintip.

Sudah diduganya! Siapa lagi! Siapa yang berani

dan berhak masuk tanpa permisi selain.... Jiro menatapnya tanpa senyum. Huh! Kenapa sih matanya begitu serius? Betul-betul enggak kenal humor orang ini! Seakan tersihir, Atila merasa tidak sanggup mengalihkan matanya ke arah lain. Baru beberapa saat kemudian disadarinya bahwa Jiro tidak melepaskan pegangan pada kedua kakinya.

Lepaskan kakiku! pekiknya (dalam hati). Huh! Lain kali sebaiknya pintu aku kunci supaya aku enggak dibikin kaget-kagetan begini!

"Barangkali kau sudah bisa menduga apa sebabnya aku menganggu waktu istirahatmu sekarang," tukas Jiro menatap tanpa berkedip. Mendadak Atila teringat bahwa tadi pagi dia sudah dipindahkan dan diselimuti oleh Jiro (tentu saja dia! Habis siapa lagi!). Wajahnya mendadak terasa panas.

"Kenapa pipimu mendadak kemerahan begitu?"

Enggak ada senyum sedikit pun! Benar-benar berhati dingin! Pembenci perempuan!

"Kau tentunya merasa bersalah, ya? Sudah sepantasnya!" Anggukan yang tegas menyertai kata-katanya.

Siapa bilang? Kenapa aku harus merasa bersalah?

"Sebab kau tahu, enggak sepantasnya kau membiarkan Rio datang!"

Rio? Mana aku tahu dia bakal datang?

"Sebab dia pasti takkan berani datang kalau enggak kauundang!"

Kapan dia pernah kuundang! Dia mulai merasa kesal. Tuduhan itu dirasakannya sangat tidak adil.

"Mungkin enggak kauucapkan, tapi sikapmu, gerakanmu, diammu, tundukmu, tengadahmu, tatapanmu, lirikanmu... semua itu bisa mengundang Rio ke tempatmu, tahu!"

Mana aku tahu! Itu mungkin pengalamanmu?

"Oke. Aku takkan menarik panjang apa yang sudah terjadi. Tapi aku ingin memberimu peringatan, kalau Rio kaubiarkan terus-terusan datang, aku akan menarik kembali izinku, kau enggak boleh kos lagi! Dan kalau ada teman kuliahmu yang naksir engkau, aku bahkan bisa melarangmu kuliah terus! Kaget? Oh, kaukira aku tidak bisa melarangmu kuliah? Aku bisa, La! Dan aku akan! Kalau perlu! Tapi aku enggak mau mengancam. Aku cuma ingin memperingatkan. Sebaiknya kau berhati-hati. Jangan biarkan Rio datang lagi! Jangan biarkan ada yang naksir dirimu!"

Tapi aku kan enggak bisa melarang orang naksir aku?

"Sebab orang cuma akan memperhatikanmu, tertarik padamu, kalau kau provokatif, kalau kau membuat dirimu menarik. Bila kau acuh saja, tidak genit-genitan..."

Kapan aku pernah genit-genitan? Ini sudah keterlaluan, Mam! Kenapa aku dulu mau kawin dengannya? Oh, kenapa?!

"...mereka pasti takkan mendekat."

Pengalaman pribadi?

"Mereka akan membiarkanmu sendiri. Dan kalau kau ketus, itu lebih baik lagi. Mereka akan sakit hati, tapi akan menyingkir!"

Rupanya pernah diketusin cewek, ya? Cewekmu? Oh. salah! Eks-mu? Yang berkhianat padamu? Huh.

Dia yang salah, aku yang harus menanggung akibatnya! Huh, Mam! Nasib!

"Kalau kau memang suka buku-buku begituan, kenapa tidak bilang terus terang padaku? Kan bisa aku belikan? Aku kan suamimu!"

Betulkah? Atila merasa sesak napas. Berbagai perasaan mengaduk di dalam. Rasanya kepingin nangis. Oh, Mam!

Tiba-tiba Jiro kelihatan salah tingkah. Mungkin baru disadarinya bahwa sejak tadi tangannya mencekal kedua kaki Atila. Diangkatnya kedua tangannya dan dimasukkannya ke dalam kantong celana. Dia menghela napas, dan menoleh ke luar jendela.

Karena Jiro bergerak, Atila juga mendadak sadar akan keadaan dirinya. Jiro bertubuh jangkung, tidak tahu berapa sentimeter, tapi menurut taksirannya tidak kurang dari seratus delapan puluh. Mungkin lebih. Sekarang dia berdiri tegak di kaki ranjang sementara dia sendiri terbaring datar, rasanya dia bagaikan sepotong rakit di bawah Gunung Fupyama. Dia ingin bangun, berdiri atau duduk, tapi rasa malu membuatnya tak mampu bergeming.

Kenapa aku selalu merasa salah tingkah di depannya? Kenapa aku harus merasa malu seakan ketahuan berbuat yang enggak-enggak? Kenapa dia kelihatan begitu gagah, begitu berkuasa, sedangkan aku rasanya begini kecil, begini tak berarti seperti tikus kudis saja?

Matanya yang tak lepas-lepas dari Jiro, seakan takut kena serangan mendadak bila dia lengah, melihat laki-laki itu menoleh kembali dari jendela dan meng
hadiahkannya sebuah tatapan setajam pisau. Sekali lagi dia menghela napas.

"Aku tidak ingin menyakiti hatimu, La, tapi hati-hatilah! Jangan coba-coba menyakiti hatiku duluan!" Kapan aku sudah coba-coba menyakiti engkau? Tapi Jiro sudah berbalik dan melangkah ke pintu. Atila cuma bisa mengawasi dengan bibir terkatup.

****

KETIKA Atila pulang kuliah pada suatu hari, didapatinya sepotong kertas dengan tulisan Jiro di atas meja. Matanya menengok ke atas lemari. Hm. Rupanya dia sudah datang mengambil raket dan bola tenisnya. Dibacanya kertas kecil itu. Kau tak usah pulang Sabtu ini. Aku harus jaga, tak bisa menjemput.

Huh! Enggak ada "untuk siapa", enggak ada "dari siapa"! Diremuknya kertas itu dan dilemparnya ke keranjang di bawah meja. Tiba-tiba dia merasa gembira. Ha! Enggak usah ke tempat Bibi Nella minggu ini! Bisa tidur seharian. Enggak usah ketemu Jiro! Berarti enggak usah kikuk-kikuk! Oh, Main! Tapi secara tak sadar pikirannya mengingatkannya. Samar-samar dia tahu, dia harus datang. Matanya menoleh pada kalender di atas meja. Huh! Sabtu malam kan pesta ulang tahun perkawinan Paman dan Bibi yang kedua puluh lima, bagaimana dia mau enggak datang? Huh! Dijemput, enggak dijemput, dia terpaksa harus hadir. Sebaiknya kukatakan ini padanya kalau dia nanti datang mengembalikan raket!

Tapi ternyata mereka tidak ketemu. Ana mengajaknya belajar di kamarnya sekalian melihat preparat-preparat cacing, sebab dia baru dibelikan mikroskop oleh ayahnya sebagai hadiah ulang tahun. Mereka begitu keasyikan sehingga lupa waktu. Ketika Atila balik ke kamarnya, dilihatnya raket dan kaleng bola sudah berada di atas lemari lagi.

***

Sabtu siang itu dia ke rumah Bibi Nella dengan bis, disambung becak. Ketika turun di depan rumah. dilihatnya di halaman sebuah mobil kecil berwarna merah yang tidak dikenalnya. Rumah kelihatan sepi. Tak ada orang maupun anjing di luar. Ditekannya bel. Si Mbok yang muncul. Mungkin Pak Kebun sedang sibuk di belakang.

"Kok sepi-sepi aja, Mbok? Ke mana Farida dan ibunya?"

"Non Ida les. Ibu belum pulang dari salon. Masuk, Non."

"Itu mobil siapa?"

"Mobil tamu, Non."

Begitu dibukanya pintu dari gaiasi yang menembus ke rumah, sudah didengarnya suara ketawa seorang wanita disusul oleh bunyi terengah dari seorang la... bukankah itu suara Jiro? "Mona, kau gila! Mona! Aku menyerah! Mona! Kau memang luar biasa!" Lalu keduanya kembali tertawa. Lebih tepat mengikik, pikirnya.

Siapa si Mona ini? Dan mereka sedang ngapain sampai merasa begitu lucu? Apa Jiro sedang digelitik? Huh! Untung aku enggak masuk lewat pintu depan!

Lorong dari garasi membawanya ke kaki tangga tanpa harus melewati ruang depan. Tapi dia bisa melihat ke sana sebelum naik ke atas. Kebetulan mereka duduk menghadap ke luar, jadi tak ada yang melihatnya. Keduanya duduk berdampingan di atas sofa,

kepala mereka menunduk seakan lengah membaca sesuatu. Lengan Mona melingkar di leher Jiro sementara rambutnya melekat di pipinya. Dan Jiro membiarkan? Bukankah dia anti sama cewek? Anti? Mereka kelihatan begitu asyik! Apa sih yang sedang dibicarakan? Diakah cewek yang telah mengkhianatimu? Kok sekarang berbaikan lagi? Atau bukan dia? Lalu siapa cewek itu? Teman baik? Kenalan biasa?

Kakinya tiba-tiba terasa penat ketika di menaiki tangga satu per satu. Dibukanya pintu kamarnya yang memang tidak terkunci, dilemparnya tasnya ke atas kursi, lalu dibantingnya dirinya ke atas ranjang. Matanya dipejamkannya. Dia berusaha tidak memikirkan apa-apa, namun tanpa disengaja otaknya berputar terus.

Kenapa Jiro berdusta padaku? Katanya, dia harus jaga malam, tahunya sedang pacaran! Enggak bisa menjemput! Pura-pura! Dia enggak mau aku datang hari ini, sebab ada si Mona ini? Katanya sudah kapok sama cewek! Huh! Kalau aku, dilarang terus, ini enggak boleh, itu enggak boleh. Harus hati-hati. Jangan menyakiti hatiku duluan, katanya. Huh! Nyatanya, siapa yang menyakiti siapa duluan? Uh, Mam! Kata Mama, dia sudah lama naksir diriku, nyatanya...?

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Sekali entak dia berdiri lalu menuju ke kursi. Dibukanya tas, dan dikeluarkannya ketiga buku Rio yang sudah dibungkusnya dalam kantong plastik. Setelah mengganti sepatu dengan sandal, dia keluar kamar. Dibukanya pintu kamar Jiro di sebelah. lalu masuk dengan membiarkan pintu tetap terbuka. Dia jarang sekali masuk

ke situ, tapi dia ingat, kamarnya memang selalu berantakan. Buku dan kertas-kertas bertebaran di meja dan di lantai. Baju-baju bergelantungan di kursi, di pintu lemari, di belakang pintu, dan juga bertumpuk di lantai. Ranjang tidak dibereskan, bantal terlempar ke pinggir. Untung ranjang itu menempel ke tembok, sehingga bantal itu tidak jatuh ke bawah.

Sejenak Atila berdiri diam di tengah kamar, tak tahu akal harus berbuat apa. Barangkali harus dibereskannya kamar ini. Tapi rasanya akan percuma. Besok pun akan kacau lagi. Ah, buat apa dibereskan?! Dan kenapa harus dia yang membereskan? Jiro kan bukan anak kecil, kenapa harus...? "Aku kan suamimu!" Huh! Suami?! Gombal!

Atila memandang berkeliling. Huh! Rasanya memang enggak betah menghadapi keadaan semrawut begini. Heran bagaimana orang bisa hidup dalam kandang babi seperti ini. Diletakkannya buku-buku Rio di atas kertas yang menutupi meja. Tanpa berpikir panjang, tahu-tahu dia sudah membungkuk memunguti kertas dan buku dari lantai. Disusunnya serapi mungkin di atas meja. Kemudian dibenahinya pakaian. Mana-mana yang kelihatannya agak kotor dipisahkannya, biar akan dibawanya ke belakang untuk dicuci. Diambilnya gantungan dari lemari, lalu kemeja-kemeja itu digantungnya. Seprai ditariknya, bantal dipukul-pukulnya dan dilicinkannya sarungnya. Walaupun di rumahnya Atila hampir tak pernah ke dapur, tapi soal keberesan kamarnya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dia sudah biasa merapikan ranjang. Ibunya sangat mengutamakan kerapian serta kebersihan.

***

Dalam sekejap kamar Jiro sudah berubah rupa. Tapi Atila masih kurang puas. Aku harus minta tolong pembantu supaya mengepel di sini. Mungkin kamar ini tak pernah dipel sebab banyak barang di lantai, dan Jiro tidak mau pakaiannya disentuh orang. Lantai kamarnya sendiri kelihatan bersih, berarti selalu dipel tiap hari walau dia tidak di sini.

Diambilnya baju-baju kotor yang sudah dipisahkannya, lalu cepat-cepat dia turun ke bawah. Dari arah luar masih didengarnya suara Mona bersahut-sahutan dengan Jiro. Seperti pasangan murai saja, pikirnya. Huh! Itu namanya kapok? Itu namanya musuh? Sama cewek?

Tanpa menoleh dia melangkah terus ke belakang, menyerahkan cucian ke tangan pembantu. Lalu dia masuk ke dapur menanyakan si Mbok apa yang bisa dibantunya.

"Oh, banyak, Non," sahutnya girang.

"Masih banyak yang mesti dikerjakan. Dan Ibu sampai segini hari masih belum pulang!" Dia mengeluh kesal.

"Non sudah makan?"

"Sudah," dia mengangguk.

"Jangan khawatir, Mbok, kan ada saya! Pasti bisa kita bereskan semuanya berdua. Timun ini mau disayat atau dibuat bunga? Dan tomat ini? Bawang ini matt dikupas? Kue yang sudah dipotong-potong ini mau dibungkus? Agar-agar yang sudah dingin ini mau diparut? Kertas yang digunting-gunting ini untuk membungkus paha ayam?"

Atila mengitari dapur yang luas itu menanyakan semua yang perlu dikerjakan. Sambil mendengarkan jawaban si Mbok, dikenakannya celemek, lalu

langsung menggulung lengan blusnya dan turun tangan. Tak lama kemudian datang Ina yang baru saja memasukkan pakaian Jiro ke dalam mesin. Bertiga mereka sibuk bekerja tanpa berkata-kata. Tidak kedengaran bunyi apa pun kecuali suara air sedang dijerang. Bahkan Bruno dan Bleki pun tenang. Keduanya sedang tidur di kolong meja dapur.

Setelah sekali melihat contoh si Mbok, Atila sudah bisa meniru. Dia begitu keasyikan membuat berbagai hiasan dari timun, wortel dan tomat, sampai lupa sekeliling. Jari-jarinya yang panjang dan indah sibuk mengukir, pikirannya kosong dan tenang. Tiba-tiba dia merejat kaget ketika bahunya disentuh, dan sebuah tangan dilihatnya terjulur menjangkau mawar dari wortel bikinan si Mbok.

"Bagus amat!" terdengar suara mendecah.

"Kau yang bikin ini?"

"Bukan." Atila menggeleng.

"Si Mbok."

Huh! Kenapa sih langkahnya selalu enggak berbunyi? Kenapa bukan diseretnya sandalnya seperti si Rio?! Bikin orang kaget saja!

"Kau kaget? Sorry', deh." Suaranya dekat sekali sampai embusan napasnya menyentuh tengkuknya. Hangat, tapi membuatnya kikuk.

"Sudah lama kau datang?"

"Belum," sahutnya tanpa mengangkat muka dari kerjaannya. Sana deh duduk dengan Mona! Jangan mengganggu di sini!

"Sebenarnya aku berniat menjemputmu nanti sore. Temanku enggak jadi berhalangan, karena itu aku batal jaga malam."

Enggak perlu bikin penjelasan! Aku enggak

menuntut, kan? Kok kedengarannya seperti orang punya salah?

"Jiro, aku mau minta tolong, boleh?" Diangkatnya mukanya dan dipandangnya Jiro yang sudah beranjak dari belakang ke sampingnya.

"Tentu saja!" Wajahnya kelihatan berseri (atau... itu cuma perasaanku saja?).

"Buku-buku Rio aku taruh di kamarmu. Tolong ya, kaukembalikan padanya. Sekalian deh bilangin, dia enggak usah datang-datang lagi! Aku enggak ingin ketemu!" Puas sekarang? Enggak curiga lagi?

"Ok... uk! ...oke!"

Kenapa suaranya seperti orang tersedak? Kan dia enggak makan apa-apa?

Dikembalikannya wortel yang dikaguminya barusan, lalu diambilnya dua potong kue. Dia keluar tanpa bunyi seperti masuknya tadi.

Ketika sebagian besar tugas di dapur sudah rampung, dan tubuhnya terasa letih, Atila pergi ke teras belakang mau berleha-leha sambil menunggu Bibi Nella pulang.

Ketika dia lewat di luar ruang keluarga didengarnya suara Jiro.

"Sudah berapa lama si Non datang?"

"Non Tila?" didengarnya suara si Mbok.

"Sudah sejam lebih!"

Rupanya dia enggak percaya, aku bilang belum lama datang. Apa dia takut aku telah memergokinya dengan Mona?

Atila belum lama tergolek di kursi malas di belakang, ketika didengarnya suara mobil menderu pergi. Tak lama kemudian didengarnya sebuah pintu di loteng ditutup orang.

Malam itu Atila mengunci pintu kamarnya. Di tidak ingin dikejutkan terus-menerus. Di samping itu dia sangat lelah. Sudah hampir tengah malam. Dia ingin langsung pulas. Pesta yang meriah ternyata juga sangat menyita tenaga, terlebih kalau semangat sedang lesu seperti semangatnya. Dia tak bisa melepaskan bayangan Mona di samping Jiro. Begitu dekat. Begitu mesra. Mungkin mereka juga berpelukan cuma kebetulan tidak disaksikannya? Siapakah cewek itu? Kenapa dia harus merasa resah memikirkannya?

Untunglah penarnya berhasil mengalahkan keresahannya. Dalam sekejap dia sudah terlena. Tapi dia langsung dikejar mimpi buruk. Suara ingar-bingar menghantam telinganya, gaduhnya seakan membuatnya pecah kepala. Dia melarikan diri, namun suara yang memekakkan itu terus mengejarnya. Akhirnya dia tersudut ke tepi jurang. Ditutupnya kupingnya. Bisingnya, aduh! Seseorang berusaha memukul dan mendorongnya jatuh. Mukanya menakutkan, tapi seakan dikenalnya, seperti Jiro! Jangan!

Dia terjaga dengan jantung berdebar dan punggung berkeringat. Suara-suara itu masih didengarnya. Tapi tidak ingar-bingar, dan datangnya dari...

"La! Buka pintu! La!"

Dia berpaling, mengawasi tanpa bergerak seakan gedoran itu tidak bermakna baginya. Tapi sesaat kemudian pikirannya pulih. Celaka! Jiro di luar pintu! Suaranya kedengaran marah!

Dia mencelat bangun, menyalakan lampu dekat pintu, dan menarik selot kunci ke samping. Sambil menggosok-gosok mata dibukanya pintu. Matanya yang setengah terpicing mencoba menatap Jiro. Dilihatnya wajahnya kaku seakan tersinggung dan marah, tapi setelah mereka berpandangan, wajah itu menjadi lunak. Mungkin dia kasihan melihat aku dibangunkan dari tidur? Huh! Masih punyakah dia rasa kasihan untuk cewek?

"Salahmu sendiri!" tukasnya tanpa pembukaan.

"Kenapa main kunci-kunci pintu? Kalau kaubiarkan seperti biasa, aku bisa masuk sendiri. Dan bila kulihat kau sudah tidur, pasti takkan kubangunkan.

"Kau mau mulai main barikade, ya? Apa maksudmu?"

Habis, aku kesal selalu dikagetkan kalau kau masuk diam-diam!

Jiro menutup pintu lalu beranjak masuk. Atila mundur ke arah ranjang sambil memeluk lengannya seakan kedinginan. Jiro menatapnya dengan pandangan yang mencekam seakan takut mangsanya akan lari bila dilepas dari pengawasannya. Dengan kedua tangan berkacak di pinggang dikuliahinya Atila dengan suara tegas,

"Kau tahu, di rumah ini orang tak pernah mengunci kamar! Itu menyinggung perasaan, juga berbahaya. Belasan tahun yang lalu rumah Bibi pernah kebakaran. Mereka punya pembantu yang selalu tidur dengan lampu minyak, sebab takut gelap. Suatu kali lampunya terbalik lalu terbakar, dan menjilat kasur. Orang-orang tak bisa menolongnya sebab pintunya terkunci dari dalam. Ketika akhirnya pintu

berhasil didobrak, pembantu itu sudah pingsan dan terbakar parah. Untung sekali enggak fatal, tapi harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit. Sejak itu di rumah ini dibuat peraturan, kamar-kamar tak boleh dikunci. Perbuatanmu menyinggung perasaanku. Kau takut siapa yang akan masuk ke sini? Tak ada orang yang berani lancang masuk-masuk tanpa permisi ke kamar yang bukan haknya. Mereka pasti akan mengetuk dulu. Tapi kupikir, aku kan berhak masuk ke sini semauku? Atau enggak? Kalau kau kurang senang aku kemari, kalau kawanggap aku mengganggu, bilang saja, tapi tak usah mengunci pintu. Seandainya seisi rumah sampai tahu. aku bisa ditertawakan! Dikunciin pintu oleh istri!" Tiba-tiba sebelah lengannya terjulur mencekal bahu Atila dan mengguncangnya.

"Coba bilang, kau ini istriku atau bukan? Pantaskah kau menolak aku masuk ke kamarmu?"

Huh! Ngantuk-ngantuk begini mesti dengarin kuliah, ampun.

"Sebenarnya kau... (ditutupnya mulutnya dengan tangan ketika menguap) ke sini mau apa?" tanyanya lesu.

"Aku tersinggung, kau enggak minta maaf?" seru Jiro melotot.

Oke, oke, aku akan bilang maaf, biar dia lekas minggat! "Maaf."

"Maaf, Jiro, itu takkan terulang lagi!" Jiro mengajari.

Buset! Ibuku saja enggak begini galak! Tapi biarlah aku mengalah asal dia cepat pergi.

"Maaf, Jiro, takkan terulang lagi, Sudah?"

"Belum! Tahukah kau kenapa aku mencarimu?"

Suara dan matanya melembut sedikit (atau itu perasaanku saja?).

Mana aku tahu! Aku enggak bisa membaca pikiran orang.

"Aku ingin mengucap terima kasih karena kau Sudah membereskan kamarku. Boleh sering sering!"

Terima kasih saja, tak usah ya! Sekarang pun aku sudah menyesal kenapa sok usilan membenahi kamarmu! Akibatnya tidurku jadi terganggu!

Atila tiba-tiba menahan napas ketika Jiro menjulurkan tangan dan... tahu-tahu sudah membereskan rambut yang tergerai di dahi. Dia menjadi panas-dingin, tak berani tengadah. Rasanya salah tingkah banget. Kenapa sih dia begitu jangkung? Dalam keadaan bersepatu masih lumayan, kepalanya masih di atas bahu yang bidang itu. Tapi bertelanjang kaki begini, rasanya dia kecil sekali. Ditambah dengan baju yang minim... dipereratnya pelukan tangannya. Tiba-tiba dirasakannya betapa dinginnya lantai. Untung tangannya segera diangkatnya kembali.

"Oke deh, kau boleh tidur kembali."

Ampun! Tidur pun harus dengan izinnya!

Tapi Jiro tidak segera berlalu. Beberapa saat ditatapnya Atila. Sesuatu dalam matanya membuat gadis itu tercekat. Terlebih ketika dia memajukan kepalanya dan menunduk, seakan... Atila menahan napas. Tegang. Tapi Jiro seakan tersadar kembali, lalu menegakkan tubuh, dan berbalik keluar. Atila mendengarnya menghela napas. Diawasinya punggung yang kokoh itu sambil bersiap-siap untuk kembali tidur. Ketika Jiro hampir menyentuh pintu, mendadak Atila

teringat sesuatu.

"Oh, eh, Jiro, aku mau minta tolong, boleh?"

Jiro menoleh.

"Mengembalikan buku-buku Rio? Jangan khawatir. Akan kukembalikan." Dia melambai.

"Selamat malam."

"Bukan itu."

Jiro menaikkan alis, dan menunggu, tapi tidak bertanya apa-apa. Atila menelan ludah serta mengumpulkan keberanian. Lengannya berpelukan makin erat.

"Hari Minggu depan, teman-teman kuliahku mau piknik ke Puncak. Boleh enggak aku ikut?"

"Kau mau ikut?"

Atila mengangguk.

"Iya."

"Boleh bawa pengawal, enggak?"

Aduh, Mam! Malu dong dikawal-kawal kaya anak TK! Atila melihat mata Jiro berbinar seakan mau ketawa. Kau enggak serius mau ikut, kan? Kau hanya mau mempermainkan aku! Mau melihat aku ngambek atau marah!

"Tahu, deh."

"Hm." Jiro kelihatan menekur.

Celaka! Dia mau melarangku! Atila mengawasi dengan berdebar. Biarkanlah aku pergi. Aku akan baik-baik padamu. Aku akan jadi penurut, deh.

"Kau sangat kepingin ikut?" Tiba-tiba Jiro menatapnya lagi. Tanpa berkedip.

Atila mengangguk tegas.

"Iya. Tolong deh, izinkan..." Huh. Kenapa aku dulu kawin? Coba lihat si Ana, mau ke mana-mana tak perlu minta izin sama siapa-siapa! Bebas! Toh orangtuanya enggak khawatir?! Betul, ada abangnya, tapi kan tinggalnya berjauhan? Oh, kalau dia melarang...!

"Sebenarnya aku enggak setuju kau pergi-pergi begitu jauh "

Aduh, Mam! Ke Puncak saja, jauh? Huh! Kenapa aku dulu enggak mau kuliah ke Amerika saja? Tak perlu teken surat kawin dulu!

"...tapi sebab kau sangat ingin, baiklah sekali ini aku izinkan!"

Atila tersenyum gembira.

"Trims!" Mau rasanya kukecup pipimu! Tapi malu-maluin kalau kau menolak!

"Tapi enggak boleh sering-sering!"

Atila mengangguk.

"Jadi minggu depan kau enggak pulang?"

Ya, enggak! Bodoh banget! Atila menggeleng.

"Kita enggak ketemu, dong?"

Memangnya kenapa kalau enggak ketemu? Kesepian? Masa iya?! Kan ada Mona!

"Kalau kau main tenis kan bisa ketemu," katanya setengah membujuk, takut izin akan dicabut.

Jiro menarik napas.

"Oke, deh. Tapi kau harus berjanji akan berhati-hati, enggak boleh mendekati bahaya!" Lalu seakan baru teringat, ditambahkannya,

"Ingat! Orangtuamu menitipkan engkau padaku. Aku bertanggung jawab penuh atas keselamatanmu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu!"

"Aku akan berhati-hati! Hati-hati sekali!" Biar deh berjanji-bersumpah pun mau, asal boleh piknik!

"Tidurlah. Kau pasti capek. Besok tak usah bangun terlalu pagi." Dimatikannya lampu. lalu keluar.

***

KAMIS siang itu Atila menyediakan waktu untuk membalas surat-surat Lisa dan A yang sudah hampir kedaluwarsa. Grupnya, termasuk Ana dan Suasti, baru saja membuat responsi kimia. sehingga dia mengizinkan dirinya untuk bersantai sejenak. Dia sudah merasa jenuh terus-menerus belajar. Hampir tak pernah kenal hiburan. Dia tidak pernah ke bioskop, melihat TV cuma Sabtu Minggu di tempat Bibi Nella, dan membaca novel tak ada waktu. Selain itu dia merasa sedikit bersalah sudah membiarkan teman-temannya menunggu begitu lama. Sebenarnya dia bukan lalai atau segan, tapi semata-mata karena waktunya tak ada.

"Bukan waktumu yang tak ada," tulis Ani.

"Tapi kau tak becus membagi waktu! Setiap orang waktunya sama, dua puluh empat jam sehari, mana mungkin kawanggap waktumu kurang dari aku?"

Mungkin benar juga pendapat Ani, pikirnya sambil menyiapkan kertas dan bolpoin, lalu duduk di depan meja.

Sekali tangannya bergerak, penanya tak terkendali lagi. Berlembar-lembar kertas ditulisnya. Rupanya diam-diam rindunya sudah menumpuk, banyak cerita yang terpendam selama ini tumpah semua ke atas suratnya. Dia begitu asyik, sehingga betul-betul lupa waktu. Ketika mendadak terdengar ketukan di pintu, dia kaget setengah mati. Matanya langsung melirik jam untuk melihat apakah sudah waktunya makan.

mungkin itu Ana. Wah, dia sudah dua jam menulis. Tak terasa cepatnya waktu berlalu. Tapi, tidak. Belum saatnya makan sore. Itu pasti bukan Ana. Dia mungkin sedang tidur.

Tok tok tok...

Siapa itu"? Teman-temanku enggak biasanya datang jam-jam begini. Lagi pula mau apa, kan tadi baru ketemu di kuliah. Tetangga? Pasti belum pulang kerja. Lagi pula Sally belum pernah datang ke kamarnya. Dia selalu mengunci diri di dalam bersama TV-nya.

Tok tok tok...

Siapa ya? Dia ingin bertanya, tapi nalurinya melarang. Tangannya yang memegang bolpen terkulai di atas meja. Ketika dia kaget mendengar ketukan pertama, tangannya tergetar dan bolpennya membuat coretan kecil di atas suratnya untuk Lisa. Tapi enggak apa-apa, bisa ditutupnya dengan "pe-Er.

Tok tok tok...

Memaksa betul! Ini pasti bukan kawannya! Mendadak dia jadi takut. Siapa orang ini? Matanya mengawasi pintu dengan nyalang dan hati berdebar. Apa yang harus dilakukannya? Kamar-kamar di sebelahnya semua kosong. Di kamarnya tak ada telepon tentu saja. Bagaimana dia harus minta tolong? Belum pernah terdengar ada yang merampok anak kos. Apa yang bisa dirampok? Tak ada yang berharga kecuali paling-paling lonceng, arloji, dan... tengkorak plastik?! Dalam hati dia mau ketawa geli, tapi tak jadi sebab kembali terdengar ketukan. Atila menahan napas. Apa yang harus dilakukannya? Apa? Membuka

pintu? Sudah tentu dia enggak berani!

Tengah dia ketakutan begitu, didengarnya bunyi berkerisik, lalu suara sesuatu diceploskan di bawah pintu, kemudian langkah kaki menjauh. Atila berdiri dari kursi, lalu memiringkan kepala untuk menengok ke arah pintu. Dilihatnya ada sepotong kertas putih di lantai. Berjingkat-jingkat (siapa tahu orangnya belum jauh) dihampirinya kertas itu, lalu diambilnya. Sebelum membaca pun, sudah dikenalinya tulisannya.

Rio! Mau apa dia ke sini lagi? Bukankah bukubukunya sudah dikembalikan oleh Jiro? Bukankah Jiro sudah hilang padanya bahwa aku tak mau dikunjungi lagi? Atau... tidak dikatakannya? Lupa? Mungkin dia juga belum mengembalikan buku-buku itu, sehingga Rio datang menagih?! Huh!

Sayang kau tidak ada waktu aku datang. Sampai ketemu di ketemu Jiro hari Minggu depan. Rio.

Diremuknya kertas itu dan dilemparnya ke keranjang di bawah meja.

Begitu didengarnya suara Vespa berhenti di halaman, sebuah pikiran melintas di kepalanya. Aku enggak mau pergi ke tempat Bibi Nella! Aku enggak bisa. Aku enggak boleh ketemu Rio. Aku harus menjauhinya supaya Jiro jangan marah-marah padaku.

"Jiro, aku enggak bisa pulang Sabtu ini. Rasanya aku kurang enak badan," keluhnya.

"Ah, aku rasa itu alasan yang dibuat-buat!" ujar Jiro dengan tegas.

"Wajahmu enggak kelihatan seperti orang sakit, pipimu masih merah, bibirmu apalagi! Ayo, lekas tukar baju!"

Mana aku berani mengatakan alasan yang sebenarnya? Bisa-bisa dia marah padaku! Mana dia mau percaya, aku enggak mengajak Rio masuk? Dia kan sudah enggak percaya sama cewek-cewek!

"Ayo, dong! Tunggu apa lagi?" desak Jiro.

"Kau duduk di luar dulu kalau begitu."

"Memangnya kenapa?"
Namamu Terukir Di Hatiku Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atila menuju ke lemari dan membukanya.

"Oh! Kau mau ganti pakaian? Lalu, kenapa aku harus keluar? Aku kan suamimu?" Lalu dengan enaknya Jiro menarik kursi plastik, duduk dan menyilangkan kaki. Atila berlagak tidak mendengar dan tidak melihat, tapi dalam hati dia sempat memaki juga. Gombal! Suami! Siapa yang jadi suami?

Untuk menghindarkan perbantahan ditutupnya mulutnya. Dibawanya pakaiannya keluar.

"Eh, kau mau ke mana?" seru Jiro heran.

"Ke kamar mandi," sahutnya tanpa menoleh. Dan sebelum Jiro sempat mencegah, Atila sudah menghilang di luar pintu. Ketika dia balik lima menit kemudian didapatinya Jiro sudah pindah ke kursi belajarnya. Kedua lengannya terlipat di atas meja, matanya menunduk seakan tengah asyik membaca. Atila tidak tahu apa yang menarik perhatiannya. Seingatnya di Situ cuma ada textbook yang terbuka, yang dipinjamnya dari Jiro. Dia memang tak perlu membeli buku. Semua yang diperlukannya bisa dipinjamnya bekas Jiro.

Digantungnya dasternya dalam lemari, diambiln

ya tasnya, lalu berbalik memandang Jiro yang masih tetap menunduk.

"Aku sudah siap!" katanya mengajak berangkat.

Tapi Jiro tidak beranjak. Dia malah kelihatan mau duduk lebih lama. Disandarkannya punggungnya ke kursi, lengan kirinya terlipat di belakang kursi, yang kanan menjangkau sehelai kertas dari atas meja. Dikibar-kibarkannya kertas itu tanpa mengangkat tangannya dari meja.

"Surat dari siapa ini?"

Atila serasa disambar geledek. Jantungnya berdebar kencang sekali. Aduh, Mam! Kenapa aku begitu teledor? Kenapa surat itu belum aku buang? Atau aku simpan? Kenapa aku biarkan tergeletak di situ? Apa yang harus kukatakan sekarang?

"Kaudengar enggak apa yang kutanya? Siapa ini yang sudah lancang menulis: *Namamu terukir selalu di hatiku'. Ce... ce ce monyet jenis apa sih yang begini romantis? Pantas Sabtu ini kau kurang enak badan. Mungkin kau sudah bikin janji untuk ketemu pemujamu ini nanti malam?"

Oh, tuduhan yang bukan-bukan! Dia mulai sinis. Mungkin dia berhati kejam. Salahku. Bukankah aku sudah tahu bahwa dia gampang curiga? Dan tukang cemburu? Kenapa aku gegabah! Kenapa! Seandainya dia kejam...?! Dengan rasa ngeri dipaksakannya membalas pandangan yang berapi-api itu dengan tenang. Dalam hati diulang-ulangnya: Aku enggak bersalah, aku enggak bersalah, aku enggak buat....

Jiro mengetuk-ngetuk bagian bawah surat dengan telunjuknya.

"Siapa si Dani ini?" tuntutnya dengan suara bengis, sehingga Atila nyaris mundur selangkah saking kaget.

"Aku tanya kau! Jawab!"

Dalam keadaan terdesak, pikirannya jadi buntu. Yang kebetulan teringat olehnya cuma Ana. Oh, kenapa anak itu enggak mau muncul? Kalau ada orang lain, pasti Jiro enggak berarti marah-marah. Tapi percuma. Dia toh akan marah juga, nanti. Di tempat Bibi!

"Atila, mau kaujawab enggak? Orang ini teman kuliahmu, bukan?"

Punggungnya mulai berkeringat dingin.

"Bukan! Bukan! Sungguh, bukan!" sahutnya cepatcepat sambil menggeleng. Dalam hati dia mulai panik. Celaka! Kuliahku bisa distop sampai di sini!

"Habis? Siapa?" Sabarnya kedengaran mulai hilang.

Mendadak saja tercetus tanpa dipikir lagi,

"Itu abang si Ana. Kau tahu kan si Ana? Yang tinggal di kamar atas sana? Temanku yang naksir engkau?"

Atila berharap dia akan ketawa atau paling sedikit mendengus, tapi Jiro seakan tidak mendengar kalimatnya yang penghabisan.

"Hm. Abang si Ana? Dan dia berani naksir dirimu? Tentunya kau akan menyangkal bahwa kau sudah membuat dirimu menarik di matanya?"

Bagaimana mungkin aku bisa mencegah seseorang tertarik padaku? Itu kan hak asasinya? Lagi pula, siapa sih yang tertarik sama aku? Kan enggak ada!

"Tingkahmu pasti provokatif terhadapnya!"

Kalau kau sudah begitu yakin, buat apa lagi kusangkal! Tapi... enggak ada untungnya membuat dia

marah. Malah aku bisa rugi kalau enggak boleh kos terus! Atau harus berhenti kuliah! Aduh! Aku mau ngapain kalau enggak boleh kuliah lagi?

"Enggak! Sungguh mati, enggak! Abangnya memang sinting, kok. Setiap teman adiknya dikiriminya surat yang bukan-bukan. Tapi enggak ada yang pernah meladeni tentu saja. Ana sendiri cuma ketawa membaca surat-surat abangnya." Nah, meyakinkan, enggak? Maaf, An, aku terpaksa membawa-bawa abangmu padahal ketemu orangnya pun belum pernah! Namanya juga enggak tahu. Semoga bunyinya mirip-mirip Dani.

Jiro terdiam mendengar penjelasan yang panjang-lebar itu. Untuk beberapa saat ditatapnya Atila seakan mau menyelidiki kebenaran ucapannya sampai ke lubuk hati. Atila membalas tatapannya dengan ketenangan yang dipaksakan. Dalam hati sih dia menggigil!

Rupanya Jiro tidak berhasil membuktikan kalau-kalau dia bohong. Sambil melirik surat itu dia mendengus, lalu membaca beberapa baris dengan agak sinis: '"...kau telah mengembalikan cahaya ini dalam hidupku! Aku takkan pernah melupakan penantianmu padaku. Bla... bla... bla.... Namamu terukir selalu di hatiku.' Hm." Tanpa komentar lagi dilemparnya kertas itu ke keranjang, lalu dia bangun, meraih bahu Atila dan menggiringnya keluar.

Begitu masuk ke dalam rumah. dia tertegun. Pantas Jiro memaksanya untuk pulang! Ruang tamu yang luas itu sudah penuh hiasan. Kertas jagung merah'hijau malang melintang di langit-langit, balon-balon gas warna-warni diikatkan pada kertas-kertas emas dan perak. Atila langsung teringat: Ulang tahun Farida! Huh! Kenapa dia bisa lupa! Sekarang dia tak punya kado! Bagaimana dia bisa teledor begitu! Huh! Apakah dalam lemariku ada sesuatu yang bisa kuberikan? Apa ya? Barangkali... parfum? Ah, kurang cocok untuk anak SMP. Apa ya lainnya? Dia tidak bisa ingat apa-apa. Pikirannya masih dipenuhi dengan surat yang bikin gara-gara itu. Hatinya sebenarnya masih terasa tak enak sebab kena tegur cukup keras begitu. Selama ini Jiro belum pernah begitu marah padanya.

Karena ingin membongkar lemari, dia lekas-lekas naik ke loteng tanpa menemui Bibi Nella lebih dulu. Sebaiknya memang jangan ketemu Farida dulu. Anak itu pasti akan berkecil hati bila melihat tangannya kosong.

Bergegas dilangkahinya anak tangga dua sekaligus. Sedikit terengah dibukanya pintu dan didorongnya. Huh! Capek juga. Dia melangkah masuk dan... dia terpaku di tempat. Matanya tak berkedip menatap ke atas ranjang. Sebuah kado dibungkus kertas berwarna merah dengan gambar-gambar yang lucu-lueu! Kado untuk Farida! Oh! Dia ketawa sendirian saking lega dan senangnya. Dilemparnya tasnya ke lantai, lalu dia berlari ke tempat tidur. Diraihnya bingkisan itu, dibolak-baliknya, diangkatnya. Berat juga. Apa sih isinya? Biarlah, enggak apa dia enggak

tahu isinya. Yang penting, ada kado buat besok. Oh, untunglah Jiro berpikiran panjang, dia jadi ketolongan. Dirabainya kotak yang cukup besar itu seakan mau mencari-cari petunjuk mengenai isinya.

"Itu dari kita berdua!"

Dengan terkejut Atila menoleh. Jiro tengah berdiri di ambang pintu mengawasinya. Hatinya serentak jadi dak-dik-duk. Rupanya pintu kelupaan ditutupnya. Jiro menatapnya tanpa senyum. Membuat dia jadi salah tingkah. Mungkin dia masih memikirkan surat Dani, pikirnya. Karena itu ditekankannya barusan ketika bilang kita!

"Untung kau ingat!" tukasnya dengan nada terima kasih.

"Aku betul-betul lupa!"

Jiro tidak bilang apa-apa, tapi matanya seakan mengejek (atau perasaanku belaka?): Tentu saja lupa, habis ngapalin surat-surat melulu sih kerjanya!

"Isinya apa, nih?" tanyanya untuk membuyarkan tatapan yang membuatnya kikuk itu.

"Perangkat untuk melukis," sahutnya tanpa beranjak masuk. Kedua tangannya diangkat ke atas, bertumpu di kosen pintu.

"Lengkap dengan kanvasnya. Farida pernah bilang, dia gemar melukis tapi selama ini cuma pakai cat air. Dia ingin mencoba dengan cat minyak."

"Oh!" komentarnya demi kesopanan. lalu menunduk menghindari tatapan. Tapi dia terpaksa mengangkat kembali wajahnya ketika Jiro meneruskan,

"Sebenarnya mau kutunggu kau datang, biar kau yang membungkusnya. Tapi toko itu mempunyai servis pembungkusan kado gratis, jadi kupikir buat apa berabe-berabe."

Atila mengangguk-angguk tanda sependapat, lalu menunduk, kemudian tengadah lagi mendengar suaranya.

"Lagi pula besok pun kau akan melihatnya juga," ujarnya seakan membujuk.

Atila mengangguk lagi.

"Kartunya?"

"Di dalam. Sudah kutulisi nama kita berdua."

Atila menunduk kembali mendengar bunyi yang nyelekit itu. Dak-dik-duk yang sudah agak mereda tadi kini berjangkit kembali. Hatinya berjengit, terasa sakit di dada, menjalar ke sekujur tubuh. Dia masih marah, pikirnya, dan tak berani lagi mengangkat kepala menatapnya. Tahu bahwa dia tengah diawasi, salah tingkahnya makin menjadi-jadi. Pipi dan lehernya terasa panas, mungkin warnanya sudah merah matang. Dalam hati dia mengeluh kesal, kenapa surat itu enggak langsung dibuangnya saja. Gara-gara geer-nya juga sih! pikirnya memarahi diri sendiri. Dia kelewat senang menerima surat itu, maksudnya mau dipamerkan pada Ana! Huh! Makanya jangan suka berniat nyombong! Ini akibatnya! Dia menjadi makin kikuk. Biasabiasa pun aku sudah merasa selalu dalam penilaian, tapi sekarang lebih-lebih lagi. Aku merasa diperhatikan dan dinilai dari ujung kuku sampai ujung rambut! Huh! Kenapa sih aku harus merasa kikuk terhadapnya? Sedangkan terhadap Rio, enggak? Dengan cowok-cowok di kuliah juga enggak? Dia kan manusia, aku juga! Jadi kenapa aku harus, merasa lebih kecil di depannya? Kita kan sama, kakinya dua, tangannya dua?! Paling-paling kelebihannya, dia sudah tingkat lima, sedangkan aku baru mulai!

Untuk menutupi keresahannya, selama beberapa saat dia berlagak asyik mempelajari gambar-gambar lucu pada kertas kado, sementara pikirannya makin menenggelamkannya, membuatnya seakan tak berada di situ tapi di alam impian yang penuh kehangatan dan kedamaian, ciptaannya sendiri. Gambar-gambar adegan rumah beruang yang lucu-lucu itu menenggelamkannya lebih dalam lagi, memberinya kedamaian yang lebih khusyuk, sehingga rasanya dia tak ingin mengapung lagi. Entah berapa lama dia seakan tersihir begitu. Ketika akhirnya dia sadar kembali, didapatinya Jiro sudah berlalu.

Esok paginya dia bangun dengan perasaan kurang nyaman. Sejak semalam dia sudah gelisah, sehingga tak bisa tidur nyenyak. Bayangan Rio mengganggunya terus, dan bersamaan dengan itu, suratnya yang maut itu! Baginya surat itu mengandung ancaman. Dia tak tahu apa yang akan dikatakan atau dilakukan Rio bila mereka nanti ketemu. Oh, moga-moga dia berhalangan dan tak bisa datang! Tidak usah sampai kena bencana, cukup sakit kepala saja, atau bannya pecah, atau karburatornya kotor, atau orangtuanya minta diantarkan ke luar kota, atau... banyak kemungkinan yang bisa mencegah Rio datang. Tapi terkadang justru yang tidak diharapkan itu yang terjadi! keluhnya ketika menjelang tengah hari didengarnya hiruk-pikuk di halaman luar. Dan di tengah ingar-bingar itu didengarnya suara Rio mengatasi jering

Huh! Aku harus berusaha menghindarinya! Paling tidak, jangan sampai didekati olehnya atau diajak bicara berduaan!

Tapi itu lebih mudah diputuskan daripada dilaksanakan. Selama pesta berlangsung, Atila merasa aman. Rio dan kawan-kawannya sibuk dengan temanteman Farida yang lincah-lincah. Masing-masing berusaha menunjukkan kebolehannya untuk mengambil hati cewek-cewek manis itu. Atila sempat terpingkal-pingkal melihat ulah mereka, tapi ketika tanpa sengaja dia menoleh ke arah Jiro, senyumnya padam. Semua orang asyik terbahak menonton Basir coba-coba merayu teman Farida yang paling cakep, tapi Jiro ternyata tengah asyik sendiri memperhatikannya. Wajahnya serentak terasa panas, dan jantungnya berdebar. Tak lama kemudian ketika dilihatnya Jiro sedang lengah, cepat-cepat dia menyelinap pergi.

Dia naik ke atas dan masuk ke kamar. Diambilnya diktat yang dibawanya, lalu dia duduk di meja dan mulai membaca. Tapi konsentrasinya agak terganggu oleh teriakan-teriakan dari bawah. Setelah hampir sejam belajar, tiba-tiba dia teringat bahwa dia perlu pinjam textbook biokimia dari Jiro. Dia bangun dan pergi ke kamar sebelah.

Huh! Kamarnya sudah berantakan lagi! Tapi tak apalah! Saat ini dia justru perlu menyibukkan diri supaya bisa menghindari bencana.

Seperti tempo hari, dirapikannya meja, diangkatnya baju-baju dari lantai, ranjang serta kursi, dan digantungnya di lemari, lalu ditumpuknya yang kotor-kotor untuk nanti dicuci. Dipandangnya seluruh

kamar. Sudah rapi, katanya dalam hati. Lalu dihampirinya rak buku di seberang ranjang mau mencari apa yang diperlukannya.

Sampai pegal lehernya dan pusing kepalanya mencari, tapi buku itu tidak ditemukannya. Ketika dia tengah menarik napas panjang-pendek saking kesal, tahu-tahu bahunya disentuh. Ukh! Dia hampir terpelanting dari kursi yang dinaikinya untuk mencapai rak paling atas, saking kagetnya. Dia menoleh dan memaki dalam hati. Selalu bikin orang kaget saja! Rupanya kau tak kenal budaya mengetuk pintu! Tapi saat itu juga dia ingat bahwa itu kamar Jiro sendiri, kenapa dia harus mengetuk pintu?!

"Wah, rupanya kau sudah berbenah lagi, nih!" seru Jiro sambil melayangkan mata ke sana kemari, tapi tanpa tersenyum. Mungkin begitu caranya mengucap terima kasih, pikirnya.

"Sudah pada pulang semua?" tanyanya penuh harap seraya meloncat turun dari kursi.

"Sudah. Mereka pergi ke bioskop."

"Ah, syukurlah!"

"Kau mencari apa?"

"Biokimia dari Bodeck."

"Oke, nanti aku cariin. Turunlah ke bawah, Bibi memanggilmu tadi."

Atila segera turun, khawatir Bibi Nella memerlukan bantuannya. Dia bergegas melangkah dari tangga ke dapur, sebab kemungkinan besar Bibi ada di sana.

"Atila!"

Seketika dia mengejang beku mendengar panggilan itu. Langkahnya terhenti. Dia menoleh ke pojok di samping tangga. Hatinya mengerut bingung. Dia hampir tidak percaya apa yang dilihatnya. Rio sedang berdiri di depan Hi-Fi membolak-balik sebuah album piringan hitam. Mungkin dia sedang berpikir-pikir untuk memutarnya. Paman memang seorang kolektor LP. Hobinya adalah musik klasik, setengah klasik, pop, dan country.

"Sini!" Rio melambai.

Atila cuma berani maju dua langkah. Maksudnya supaya dia bisa berbisik dan Rio tak usah bicara keras-keras.

"Sejak tadi kutunggu kau, kenapa menghindar terus.

Huh! Rupanya kambing ini enggak bodoh! Dia tahu, aku menghindarinya! "Bukankah kau seharusnya pergi nonton?" dia balik bertanya, sebab tak bisa menjawab.

"Ah, film remaja!" Rio ketawa geli.

"Cuma Farida dan teman-temannya yang suka! Kami sendiri mau belajar di sini sampai sore! Banyak ujian. Sengsara deh sekolah di FK. Untuk apa nyiksa diri? Cewek cakep kaya engkau mestinya senang-senang terus, makanya dengarlah nasihatku."

Siapa yang butuh nasihatmu! "Maaf, Bibi Nella memanggilku!" Atila berbalik, tapi Rio cepat menyambar lengannya.

"Eh, eh, jangan kesusu. Baiklah kalau kau ogah dinasihati, aku akan bungkam. Tapi aku kepingin tanya, apa kan sudah menerima suratku? Sayang tempo hari aku datang, kau enggak ada."

Atila diam saja. Rio menatap tanpa melepas

pegangannya, lalu mengulangi,

"Sudah kauterima suratku?"

"Sudah. Lepaskan aku!" Atila mengibas, Rio tidak menahan.

"Sebenarnya aku penasaran sekali ingin tahu kenapa kau enggak mau ketemu aku lagi? Jiro bilang, kau enggak mau aku datang-datang lagi membawakan buku. Bukankah kau sangat menyukai cerita-cerita itu? Kenapa sekarang kautolak? Apa aku sudah berbuat salah tanpa kusadari? Kalau begitu, aku minta maaf, dan tolong katakan apa kesalahanku."

"Tidak. Kau tidak bersalah apa-apa. Maaf, aku harus ke dapur."

"Kalau begitu aku boleh datang lagi ke tempat kosmu?" tanya Rio penuh harapan.

Atila menggeleng.

"Jangan. Aku tidak mau kau datang lagi. Maaf, aku harus "

Rio menghadang di depannya. Air mukanya tampak sangat penasaran.

"Kalau aku enggak bersalah, kenapa aku enggak boleh datang? Eh, apa kau takut sama Jiro? Kau takut dimarahi olehnya?"

Hampir saja dia mengangguk tanpa sadar. Tapi untung sekali sebelum dia bertindak fatal, kepalanya sudah menggeleng.

"Tidak. Aku tidak takut padanya. Jiro tidak pernah marah padaku!" Huh! Betulkah dia belum pernah marah padanya?!

"Eh. dengarlah. Seperti pernah kukatakan tempo hari, seandainya kau sudah enggak sreg lagi sama dia, telepon saja aku! Waktuku masih seperti dulu, dua puluh empat jam tersedia bagimu! Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam derita. Kau masih begini muda! Dan kau sangat cantik, tidakkah kausadari itu? Wajahmu kulihat murung terus. Tidak seharusnya kau susah hati pada saat duniamu sedang cerah-cerahnya. Jangan tergesa-gesa mengikat dirimu dengan seseorang. Kau harus berkenalan dulu dengan banyak orang, dengan teman-teman kuliahmu, dengan teman-teman Jiro, misalnya aku(!), sebelum menjatuhkan putusan untuk hari depanmu. Sekarang masih belum terlambat bagimu untuk mengubah nasibmu. Pertunangan bukanlah hal yang fatal. Bukan akhir dari jalan buntu. Kau masih bisa keluar lagi tanpa harus membuat namamu cacat."

Ah, kau terlalu banyak ngomong padahal sama sekali enggak tahu keadaanku!

Rio mendekatkan diri dan merangkum dagunya dengan tangannya yang bebas (yang satu lagi masih memegangi LP). Matanya yang bulat menatap dengan binar-binar kemesraan (ataukah itu perasaanku saja, pikir Atila).

"Kau kelihatan murung. Gadisku yang begini cantik, enggak boleh murung! Kalau kau ada persoalan, katakan segera padaku! Pasti akan kubereskan!"

Gombal, gombal. gombal! Siapa yang menjadi gadismu? Atila memaksakan sebuah senyum sekadar ungkapan terima kasih, dan supaya jangan dituduh murung terus.

"Terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku tidak punya persoalan apa-apa. Aku murung lantaran sakit perut! Biasa, kau ngerti, kan? (Biar deh, aku bohong! Kambing bandel begini memang pantas dikibulin!) Maaf, aku harus..." Atila menggoyangkan kepala untuk melepaskan dagunya.

"Eh, nanti dulu! Sakit mens itu tak boleh dipandang remeh! Kau harus periksa ke dokter! Siapa tahu itu endometriosis! Bisa menyebabkan mandul, tahu!"

Hiii, dasar kambing! Dungu! Kena dibohongi! Siapa yang sakit?! "Wah, apa iya?" Dia berlagak kaget.

"Kalau begitu aku harus cepat ke dokter! Tapi, maaf, aku benar-benar harus ke dapur! Bibi menungguku!" Lalu dia berlari sebelum Rio sempat menyambarnya kembali.

"Ingat!" seru Rio di belakangnya.

"Begitu kau bosan dengannya, bel aku!" Tapi Atila tidak menanggapi. Jantungnya berdegup kencang membuatnya sedikit terengah ketika sampai di dapur, sehingga Bibi Nella keheranan.

"Kau dikejar si Bleki atau si Bruno, Tila?"

Dia cuma menggeleng tak bisa menjawab. Yang mengejarnya bukanlah anjing, melainkan bayangan! Bayangan Jiro yang muncul di atas tangga! Entah berapa lama dia sudah berdiri di situ? Berapa banyak yang telah didengarnya?

Malamnya Atila memakai piyama kesukaannya, oleh-oleh ayah-ibunya dari Tokyo. Katun itu sudah lima tahun usianya, tapi warnanya belum pudar, rendanya masih putih. boneka di bagian dada pun masih bagus, bahkan kepang rambut boneka itu masih utuh, berkilat seperti baru. Atila berbaring mendengarkan lagu-lagu padang rumput kegemarannya. Kedua lengannya terlipat di bawah kepala, tungkai kanannya

terlipat di lutut, tungkai kiri menumpang di kanan, dan matanya menerawangi langit-langit. Udara hangat, dia tidak perlu memakai selimut.

Terdengar ketukan halus. Semula sangkanya itu Farida. Sebelum dia sempat menyahut, pintu sudah terkuak, dan... Jiro melangkah masuk dengan sebuah textbook dalam jinjingan. Huh! Rupanya dia sekarang mulai kenal kesopanan dan belajar mengetuk pintu! Tapi kenapa dia enggak meletakkan buku Itu di meja saja siang tadi? Huh! Rupanya bakal ada kuliah malam ini! keluhnya.

Diturunkannya kedua tungkainya, lurus di atas ranjang. Tapi dia tidak sempat bangun, sebab Jiro sudah keburu duduk di pinggir tempat tidur, sehingga dia terpepet tak bisa bergerak.

"Itu buku yang kaucari," katanya menunjuk ke arah meja dengan kepalanya.

"Trims."

Jiro menatapnya lekat-lekat seakan ingin mengorek isi hatinya. Seolah tersihir, Atila merasa terpaksa membalas tatapannya. Mungkinjuga dia takut jangan-jangan akan terjadi sesuatu padanya bila dia melengos atau lengah. Sikapnya bagaikan anak rusa menghadapi panter yang ganas. Untuk beberapa saat keduanya membisu. Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara. Tidak kedengaran apa-apa kecuali alunan syahdu dari padang rumput.

Taktik apa lagi, nih? pikir Atila mulai dakdik-duk. Dia tahu, diam-diaman mereka bukanlah kemesraan. Lebih tepat disebut gencatan senjata. Atau kesenyapan sebelum terjangan badai.

Setelah lewat beberapa menit, Jiro masih tetap membisu, sehingga Atila mulai menghibur diri bahwa sebenarnya dia tidak mendengar percakapannya dengan Rio. Mungkin Jiro kebetulan muncul tepat pada saat dia mau berlalu.

Jiro memindahkan lengan-lengannya, menapakkannya di kiri kanan Atila seakan mau mengurungnya. Diturunkannya kepalanya mendekati wajah Atila sementara matanya terus menatap tanpa berkedip. Atila mulai ketakutan. Apa yang akan dilakukannya padaku? Menamparku? Apakah dia mendengar banyak? Jantungnya dak-dik-duk tak keruan. Pelipisnya terasa berdenyut-denyut, keringat dinginnya merembes di tengkuk dan punggungnya. Rasanya ingin berteriak, tapi tak mampu. Dia mulai panik. Apakah dia akan membunuhku? Ancamannya tempo hari terngiang kembali. Jangan coba coba mengkhianati aku! Atau... kau tahu sendiri akibatnya!

Apakah aku bakal enggak boleh kos lagi? Atau harus berhenti kuliah? Tapi aku kan enggak berkhianat! protesnya. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi Rio memang ngotot sih! Aku kan enggak bisa melarangnya ngomong denganku? Atau... ini bukan mengenai Rio, tapi persoalan Dani! Huh! Sudah si Rio bandel, eh surat Dani lagi harus ketahuan! Menambah urusan saja!

Beberapa saat berlalu lagi. Jiro masih diam. Atila mulai bernapas lega. Ah, dasar aku memang penakut. Membayangkan yang bukan-bukan. Jelas sudah dia tidak mendengar apa yang dikatakan Rio di bawah tangga. Mungkin juga dia tidak tahu bahwa Rio dan

aku ada di situ! Huh! Dia bernapas lega.

Tapi pada detik berikutnya napasnya langsung tertahan. Jiro menurunkan lagi wajahnya beberapa senti, sehingga Atila mengalami kesukaran untuk memfokus penglihatannya. Napasnya hangat menerpa hidung dan pipinya. Suaranya halus-halus menyengat.

"Kau kelihatan murung. Gadisku yang begini cantik, enggak boleh murung! Kalau kau ada persoalan, katakan segera padaku! Pasti akan kubereskan! Dan bila kau sudah bosan dengannya, telepon aku!"

Atila serasa ingin pingsan saat itu juga. Jadi semua yang dikatakan Rio telah didengarnya! Pasti Jiro sudah berdiri lama di situ sebelum dia kebetulan menengok ke atas dan melihatnya! Huh! Diam-diam dia menarik napas kesal. Tapi kemudian timbul niatnya untuk melawan. Kalau dia mendengar semua, pasti dia tahu bahwa aku enggak memberi hati pada temannya itu! Jadi tak ada yang harus kutakuti! Dia takkan berani menyetop kuliahku! Kan ayahku yang membiayai, bukan ayahnya! Ayahkujuga yang membayar uang kos, bukan dia! Kenapa sih aku harus takut padanya? Dia manusia juga seperti aku, kakinya dua, tangannya dua....


Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang

Cari Blog Ini