Ceritasilat Novel Online

Namamu Terukir Di Hatiku 3

Namamu Terukir Di Hatiku Karya Marga T Bagian 3



"Rio menyebut-nyebut soal suratnya untukmu. Surat apaan, sih?" Nadanya santai seakan itu cuma pertanyaan iseng yang tak bermakna, tapi matanya bagaikan kobra yang siap memagut. Atila mengeluh dan menggigil dalam hati. Betul-betul kambing si Rio itu! Sepotong kalimat saja disebutnya surat! Jadi menimbulkan kecurigaan yang enggak-enggak.

Sekarang suratnya sudah dibuang,

"gimana harus kubuktikan omonganku nanti?

Ditelannya ludah, dialihkannya matanya ke tembok.

"Itu bukan surat." Lalu diceritakannya mengenai kedatangan Rio beberapa hari yang lalu.

Jiro mencekal dagunya dan menggerakkannya sehingga mereka kembali berpandangan.

"Pandang aku! Lalu katakan sekali lagi bahwa kau betul-betul enggak membukakan dia pintu!"

Atila menatapnya.

"Aku memang enggak membukakannya pintu."

"Tapi itu mungkin karena kau belum tahu siapa yang mengetuk. Kaubilang sendiri, kau takut itu rampok atau pemerkosa. Seandainya kau tahu itu Rio, seandainya dia menyebutkan namanya, apakah kau masih tetap tidak mau membuka pintu? Atau mungkin akan kaubuka?"

Hampir saja Atila menangis saking jengkelnya. Tapi dikeraskannya hatinya. Aku enggak sudi menangis di depannya! Aku enggak boleh kelihatan cengeng di matanya! Aku enggak boleh membiarkannya menyakiti perasaanku! Jangan-jangan dia akan kesenangan kalau melihat aku nangis! Huh! Begini rupanya menghadapi orang yang paranoid! Lama-lama aku bisa gila!

Menuruti hati. dia ingin bilang "mungkin", tapi dipikirnya lebih lanjut, buat apa melampiaskan kejengkelan dengan sepotong dusta yang bisa memperbesar urusan. Karena terus terang dia memang enggak tertarik pada Rio dan tidak berminat menyilakannya masuk ke tempatnya.

"Enggak, Jiro. Aku enggak bakal membukakan dia pintu. Aku sudah ngantuk, nih." Suaranya kedengaran memohon. Jiro menatapnya seakan mau meyakinkan dirinya bahwa Atila tidak bohong. Tiba-tiba laki-laki itu tersenyum, lalu sesuatu yang aneh terjadi! Jiro menunduk dan mengecup sebelah pipinya! Oh, oh, oh, apa-apaan, nih? Sintingkah Jiro? Atau itu cuma ilusi belaka? Cuma bayangan angan-angan dalam pikiranku. Angan-angan?! Bagus amat! Siapa yang berangan-angan mau dike...

"Oke, tidurlah. Kau memang kelihatan ngantuk. Apa lagunya mau dimatikan?"

"Biar saja. Akan stop sendiri nanti," sahutnya dengan mata setengah terpejam. Kok rasanya mendadak jadi ngantuk sekali? Dirasanya tangan kanannya ditepuk-tepuk dua-tiga kali.

"Tidurlah. Rio takkan menganggumu lagi. Aku berjanji!" Lalu terasa Jiro berdiri dan melangkah ke pintu setelah memadamkan lampu.

Dalam keadaan sunyi, terdengar helaan napas dari tempat tidur. Sesaat sebelum lelap dia masih sempat berpikir. Oh, Mam! Dia telah mengeeupku!

Dielusnya pipinya sambil tersenyum dengan mata terpejam.

****

ATILA menceritakan perihal surat Dani pada Ana. Untuk menjaga kalau-kalau Jiro nanti betul-betul menanyakannya pada Ana, maka dimintanya agar Ana mengakui Dani sebagai abangnya.

"Abangmu namanya mirip-mirip itu, enggak?"

"Terang enggak! Abangku namanya Tomi! Tapi kenapa sih sampai kaubilang si Dani itu abangku?"

"Soalnya Jiro enggak mau aku sembarangan berteman sama cowok! Apalagi yang sudah pakai ngirim-ngirim surat segala! Tentu saja aku enggak berani cerita panjang-lebar kenapa Dani sampai nulis surat!"

"Iiih, kuno juga ya abangmu! Untung abangku sih simple. Dengan siapa saja aku boleh berteman, asal bukan copet dan garong! Apa abangmu itu juga suka milih-milih soal teman cewek?"

Sebenarnya memang lebih baik kalau aku bilang ya, pikir Atila. Biar Ana enggak begitu antusias terhadap Jiro. Tapi dipikir-pikir, aku enggak sampai hati mengecilkan hatinya. Salah-salah dia bisa merasa minder kalau Jiro acuh terus padanya! "Wah, soal itu aku kurang tahu. Tapi rasanya sih enggak. Buktinya temannya banyak kok, dan enggak semuanya hebat! Ada yang mirip kambing. Kambing bandel (dia ketawa teringat Rio)! Ada juga cewek yang centil (dia sengit teringat Mona). Ada yang bego..." Atila tiba-tiba terenyak. Dia sengit pada Mona? Dia tidak

pernah menyadari bahwa dia sengit padanya. Kenapa dia harus sengit? Dia kan enggak kenal Mona? Mereka belum pernah ngomong, Mona belum pernah menyakitinya.

Atila sedikit bingung memikirkan perasaannya yang aneh terhadap Mona. Tapi di depan Ana dia tak bisa melamun lama-lama, apalagi teman-teman kuliah yang lain sudah mulai berdatangan. Dia terpaksa melupakan Mona.

Dia menunggu laporan dari Ana tentang Jiro menanyakan perihal Dani. Tapi setelah keduanya beberapa kali bertemu, dan Jiro tak pernah menanyakan apa-apa, Atila menjadi tenang. Dia yakin, Jiro sudah melupakan abang si Ana yang sinting itu.

Pada suatu petang dia pulang kuliah bersama Ana seperti biasa. Dekat garasi dilihatnya Vespa diparkir.

"Eh, abangmu datang, La. Itu kan skuternya? Aku kenalin warna kremnya!"

"Mungkin dia barusan pulang main tenis," katanya, berharap Ana tak usah ikut ke tempatnya. Dia sudah capek, sedangkan Ana ini bisa tahan ngobrol sejam lagi kalau diladeni.

"Titip salam deh. La. Aku enggak nemuin, deh." Lalu dia berbisik ke kuping Atila,

"Lagi bocor, nih. Udah enggak betah, mau mandi."

Dengan lagak penuh pengertian Atila melangkah ke kamarnya sementara Ana masuk ke dalam, ke tangga loteng. Dari luar kamar terdengar Suara biduanita kesayangan Jiro. Atila sekonyong-konyong merasa gembira. Tumben Jiro menunggunya pulang! Biasanya bila habis main tenis, dia langsung meletakkan kembali raketnya tanpa menunggunya balik dari kuliah. Kenapa sore ini dia belum pulang?

Sesekali dia memang suka mendengarkan lagu (beberapa kaset kesayangannya ditinggalkannya di situ), tapi biasanya Sabtu siang waktu menjemput Atila. Terkadang dia datang ketika gadis itu masih kuliah, jadi dia menunggu sambil memutar kaset. Tapi enggak pernah sore-sore sehabis tenis, sebab dia pasti sudah lelah dan ingin cepat istirahat. Dia tak pernah menunggu Atila pulang. Paling-paling ditinggalkannya sekadar catatan di meja memberitahukan dia tadi datang.

Kenapa sekarang? Atila coba mengingat-ingat. Ulang tahunku? Jelas bukan. Ulang tahunnya? Hm. Rasanya juga bukan. Alasan lain? Ujiannya bagus! Dia kena undian harapan! Baru dapat kiriman uang dari rumah! Ah, barangkali dia ingin mengajak aku makan? Iiih, ke restoran? Berdua? Belum pernah dia mengajak aku pergi berdua. Kelihatannya dia selalu sibuk, enggak punya waktu buat hal-hal lain kecuali tugasnya sebagai ko-as.

Ketika tiba di depan pintu, Atila tersenyum. Ah, barangkali dia cuma ingin mendengarkan musik di kamarku sambil menunggu aku kembali. Mungkin dia khawatir mendapati aku sudah lewat magrib masih belum pulang..!

Penatnya terasa berkurang. Dengan hati riang diputarnya gerendel dan didorongnya pintu (dia tahu,

pintu pasti tidak dikunci, sebab dia sedang ditunggu).

Di dalam agak gelap. Lampu belum dinyalakan. Jiro sedang berbaring di sofa, tapi dia tak bisa melihat wajahnya. Mungkin sedang tidur, pikirnya, lalu berjinjit masuk. Alunan lagu menambah keriangannya.

"Nyalakan saja lampu!" terdengar suara Jiro.

Atila menekan tombol di sebelah pintu. Neon di atas berkeredep sebentar lalu... byaarr terang benderang. Dia berbalik mau menyalakan lampu meja yang kuning agar suasana lebih hangat. Lampu neon memang terang, tapi dingin dan kurang disukainya.

Meja belajarnya terhalang sebagian oleh lemari. Ketika dia sampai di situ matanya melebar. Wow! Buket mawar dan sekotak coklat! Acara apa ini? Dinyalakannya lampu di meja. Aduh, cantiknya bunga-bunga itu! Apa-apaan Jiro kok mendadak jadi romantis begini? Selama ini tidak kelihatan bahwa dia menaruh perhatian... ah, mungkin bukan pemberiannya!

Atila berbalik menatap ke sofa. Ternyata Jiro sudah duduk dan tengah mengawasinya sambil berpeluk tangan. Matanya yang hitam penuh binar-binar aneh ketika mereka berpandangan. Tapi Atila sedang riang dan tidak memperhatikannya.

"Dari mana ini, Jiro?" serunya.

"Dari Dani!" sahutnya pendek.

"Ah!" keluhnya panjang dan senang. Dia terlambat menyadari bahwa dia sudah melakukan kesalahan yang fatal. Begitu terpandang olehnya wajah Jiro. ketawanya langsung sirna dan hatinya mengerut kecut. Matanya menatap tajam seakan siap mau mencekiknya. Atila lekas-lekas mencari kursi untuk menenangkan diri. Kedua tangannya dikatupkannya di atas meja, seakan bersiap mendengarkan vonis.

"Seorang laki-laki yang tegap dan tampan! Hm. Diakuinya terus terang tanpa malu bahwa memang dialah yang sudah mengukir namamu di hatinya! Ce... ee... ce... bukan main romantisnya, ya? Akujadi merasa bagaikan keledai dungu saja!" Jiro menjangkau radio mematikan kaset yang sedang diputarnya. Suasana jadi hening mencekam. Tetangga sebelah rupanya belum pulang, sebab bunyi TV pun tak terdengar.

Jiro memajukan tubuhnya ke depan, sehingga tidak lagi bersandar ke sofa. Kedua tangannya terkatup, sikunya bertumpu di atas lutut. Atila masih menatapnya, tapi Jiro mengelak, tak mau memandangnya. Suaranya kedengaran makin lama makin berat di telinga Atila.

"Aku juga menanyakan apakah adiknya bernama Ana. Dia bilang, adiknya cuma satu, lakilaki!"

Oh, Main! Aku ketahuan bohong! Lebih baik aku berterus terang sekarang juga! Dibukanya mulutnya, tapi Jiro melihat dan menggoyangkan tangannya.

"Tidak! Tak perlu kaukatakan! Aku tidak ingin tahu siapa Dani itu."

Huh! Dia mulai marah.

Jiro menatap lantai dan mengepalkan kedua tinjunya. Gerahamnya ditekannya kuat-kuat sehingga terlihat gerakan ototnya dari luar. Sambil menghela nanas dia bilang.

"Aku rasa. aku tak mau tahu lagi

segala apa mengenai dirimu! Siapa kawanmu, apa kegiatanmu dan lain-lain. Sebaiknya kita tak usah ketemu lagi!"

Oh, Mam! Kenapa dia jadi marah begini? Cuma lantaran Dani...? Aku enggak bisa mengerti! Apa salahku?

"Aku akan lapor pada orangtuaku perihal hubungan kita, aku rasa kau juga sebaiknya berbuat yang sama!" Jiro kembali menatapnya dengan aneh. Lalu mendadak dia bangun dan menepuk meja sekali.

"Oke, deh. Aku pulang dulu. Nanti kau kukabari lagi."

Kabari apa? Kenapa dia jadi marah besar? Apa maksudnya tak mau ketemu aku lagi? Aku kan istrinya? Huh! Gara-gara bunga dan coklat! Ambillah semuanya! Aku tidak menghendaki mereka! Oh, Dani, kenapa kau kirimi aku bunga? Huh! Masa karena itu saja dia harus marah? Tidakkah dia ingat perbuatannya sendiri? Dengan Mona? Tapi apakah aku marah-marah padanya? Kan enggak. Apakah dia mau menang sendiri? Oh, Mam! Apa yang sudah terjadi padaku?

Bunyi pintu ditutup, walaupun sebenarnya tidak keras, mengejutkannya. Dia terenyak kembali dari lamunan. Dengan bengong diawasinya pintu yang sudah terkunci. Jiro tak kelihatan lagi. Tiba-tiba dia mengerti apa yang sudah terjadi.

Oh, Mam! Apa yang sudah kulakukan sekarang?

Dia menelungkup di atas meja dan menangis tersedu-sedu.

****

Hari Sabtu berikutnya Jiro tidak datang menjemput. Juga tidak memberi kabar bahwa dia berhalangan. Dalam minggu itu dia tidak muncul untuk main tenis. Untuk pertama kalinya Atila berakhir pekan di tempat kos. Guna menghilangkan kecurigaan Ana, dikatakannya bahwa abangnya sedang tugas ke Puskesmas di luar kota, dan Bibi Nella sekeluarga tak ada di rumah. Ana menemaninya belajar sambil ngegosip, sama-sama kesepian. Atila memaksakan diri ketawa dan melucu, tapi setelah Ana kembali ke kamar, dia tak tahu lagi bagaimana menghabiskan waktunya. Duduk salah, berbaring salah. Belajar tidak masuk, mendengarkan musik, segan. Untuk pertama kalinya dirasakannya hatinya kosong. Dipeluknya Boni sambil duduk di sofa dengan kedua kaki terlipat. Tibatiba dia ingin pulang. Dia rindu pada orangtua dan anjing kesayangannya. Dia bahkan rindu pada kedua pembantu ibtrnya. Oh, dia rindu sekali. Biarlah dikurbankannya cita-citanya. Dia tak perlu menjadi dokter, asal bisa pulang lagi ke rumah. Saat ini juga!

Dia belum menulisi orangtuanya mengenai hubungannya dengan Jiro. Selain takut, dia juga tidak tahu harus bilang apa. Dari mana dia harus mulai? Apa sebenarnya yang disuruh lapor oleh Jiro? Dia tidak tahu.

Seharusnya dia sudah membalas surat ibunya yang terakhir. Tapi karena tak ada berita gembira yang akan ditulisnya, surat itu ditunda-tunda terus olehnya. Seminggu berlalu. Dua minggu berlalu.

Surat untuk ibunya masih dibiarkannya menunggu. Tapi pada minggu ketiga, hari Sabtu, datang Farida bersama sopir.

"Kak, Mami menyuruh Kakak pulang. Bang Jiro sakit!"

***

Pelan-pelan dikuaknya pintu dan berindap-indap melangkah ke dalam, seakan takut membangunkan yang tidur. Tapi Jiro tidak tidur. Dia langsung berpaling ketika mendengar langkahnya. Diawasinya sesaat gerak-geriknya seakan dia kurang percaya pada penglihatannya. Atila meletakkan nampan kecil yang dibawanya ke atas meja di samping ranjang. Kemudian dia menoleh dan tersenyum.

"Kukira kau sedang tidur. Bagaimana keadaanmu sekarang? Rasanya mendingan?"

Tapi Jiro tidak tergugah oleh senyumnya.

"Mau apa kau ke sini? Aku rasa, aku sudah pernah bilang, sebaiknya kita enggak usah ketemu lagi!"

Atila menggigit bibir bawahnya. Senyumnya sirna seketika. Tapi dia masih berusaha bicara dengan sabar.

"Bibi Nella menyuruh aku datang. Farida menjemputku, mengatakan kau sakit!"

"Hm!" dengusnya sambil mengalihkan matanya ke langit-langit.

"Jadi kau ke sini lantaran disuruh Bibi! Bukan kesadaranmu sendiri!"

"Aku enggak tahu kau sakit."

"Rupanya kalau aku enggak muncul Sabtu, kau juga akan diam saja, tak mau mencari tahu kenapa aku enggak datang. Apa kau lupa nomor telepon di sini?"

"Aku sangka kau marah. Enggak terpikir olehku, kau sakit. Aku sama sekali enggak tahu."

"Seandainya kau tahu, apa kau akan datang?"

Bagaimana aku berani datang kalau kau sudah enggak ingin ketemu aku lagi? Huh! Dia mulai sinis!

"Ya. Kalau kau mau aku datang."

"Bukan kalau aku mau!" ujarnya ketus.

"Tapi atas kehendakmu sendiri! Apa kau akan datang kalau mendengar aku sakit?"

"Ya. Tentu." Huh! Seperti di kantor polisi saja, ditanya-tanya begini! Tapi sebaiknya jangan kusinggung perasaannya. Orang sakit gampang marah.

Jiro masih menerawang langit-langit. Atila berdiri di pinggir ranjang seakan menunggu perintah atau mengharapkan masih ada yang akan dikatakan. Tapi Jiro memejamkan matanya, tak bergeming.

Atila mengambil mangkuk dari atas nampan dari mendekatkannya ke bibir si sakit.

"Minumlah kaldu ini. Bibi yang bikin."

Tiba-tiba Jiro membuka matanya dan menoleh.

"Bibi!" semburnya.

"Semua-mua Bibi! Apa sih yang pernah kau buat untukku?"

Atila kaget sampai mundur selangkah. Dia tertegun. Ditatapnya mata yang marah itu, lalu menunduk.

"Kau mau dibuatkan apa olehku?" tanyanya setengah berbisik.

Jiro kembali melengos, menatap ke lampu di atas.

"Aku enggak mau dibuatkan apa-apa olehmu!"

Huh! Ngambek! Seperti anak kecil saja. Tadi marah enggak kubuatkan apa-apa, tapi ditawari menolak! Dasar anak manja rupanya!

"Kau boleh pergi. Aku cuma flu ringan, tak usah dikhawatirkan. Aku enggak perlu perawatan!" ujarnya lagi kepada langit-langit.

"Minumlah kaldu ini dulu," katanya seperti membujuk anak kecil.

"Bibi akan tersinggung kalau kautolak!"

"Taruh saja di meja. Nanti akan kuminum kalau aku mau. Sebaiknya kau keluar saja."

"Kalau sudah dingin enggak enak."

Tapi Jiro diam saja. Sambil menghela napas kewalahan, Atila meletakkan kembali mangkuk itu di atas nampan. Matanya menyapu kamar. Huh! Sudah berantakan lagi! Dia pergi ke pojok dan mulai membenahi baju-baju yang bertebaran di lantai. Dia membungkuk dan berjalan bolak-balik ke lemari. Dari arah ranjang mendadak terdengar suara setengah membentak,

"Tinggalkan kamar ini! Aku enggak membutuhkanmu!"

Atila kaget. Dia terpaku di tempat dan menjadi salah tingkah. Ditatapnya Jiro dan lantai bergantian sementara kedua tangannya memeluk kemeja-kemeja yang dianggapnya sudah perlu dicuci.

Jiro menoleh dan menatapnya dengan tajam.

"Kau tuli? Aku bilang, tinggalkan aku sendiri! Jangan masuk-masuk lagi kemari!"

Dibentak dan dipelototi! Suasana di situ tak tertahankan lagi olehnya. Perasaan yang sejak tadi ditekannya kini meluap ke luar. Diempaskannya pakaian-pakaian dalam tangannya, lalu dia bergegas melangkah keluar sambil menggigit bibir. Dipaksakannya bersikap tenang, malah sedikit menantang.

Namun begitu pintu ditutupnya, dia langsung berlari ke kamarnya sendiri. Dikuncinya pintu. Dia berlari ke ranjang dan membanting diri di situ. Dibenamkannya wajahnya ke bantal supaya sedu sedannya tidak kedengaran.

Itulah pangkal dari keretakan mereka. Sampai dia balik ke tempat kos Senin pagi, Atila tidak masuk lagi ke kamar Jiro.

Ibunya memarahinya. Seingat Atila, dia belum pernah kena marah seumur hidupnya. Kalau dia berbuat salah selama ini, ayah atau ibunya selalu menegur dengan memberi pengertian dan penjelasan, tapi tak pernah mengancam atau benar-benar marah.

Ibunya menulis, orangtua Jiro memberitahu mereka bahwa Jiro ingin memutuskan hubungan dengannya.

Oh, Mami Memutuskan hubungan? Maksudnya, ber... cerai? Aduh! Aku bakal disebut janda? Padahal aku masih perawan? Huh! Di mana harus kutaruh wajahku?

Tapi bukan itu yang merisaukannya. Yang dipikirkannya adalah ancaman orangtuanya untuk menariknya pulang seandainya dia betulbetul putus dengan Jiro.

"Kalau tak ada orang yang akan mengawasi, kau tak bisa tinggal terus di Jakarta...."

Huh! Berarti enggak bisa terus kuliah?! Huh! Atila menghela napas. Baiklah, apa pun akan kulakukan demi kelangsungan kuliahku!

Rupanya orangtua Jiro telah memaksa anak mereka agar menangguhkan niatnya selama tiga bulan. Dan orangtuanya sendiri menyuruh rujuk kembali dalam waktu itu. Entah Jiro sudah mengadu apa sampai ibunya, menyalahkannya kurang perhatian, dan menasihati enggak boleh egois, harus memikirkan perasaan orang lain.

"Sebagai seorang istri, kau tidak bisa lagi bergaul bebas seperti teman-temanmu yang masih single...."

Siapa sih yang bergaul bebas? Aku? Kapan aku pernah bergaul bebas? Temanku yang dekat cuma Ana dan Suasti, keduanya cewek. Teman-teman cowok ya cuma yang dari kuliah, dan mereka semuanya cukup tahu aturan, enggak pernah pegang-pegang atau sentuh-sentuhan, apalagi melanggar batas! Andaikan ada yang naksir pun, itu cuma terbatas pada lirikan dan sindir-sindiran. Biasa, deh, Mam, kaya orang kuno berpantun-pantun,

"gitu! Enggak ada yang kurang ajar. Satu-satunya yang diketahui Jiro naksir diriku adalah si Rio, temannya sendiri. Rio ini memang nyebalin. Tapi dia juga sekarang sudah kapok, kok. Mungkin sudah diancam sama Jiro. Kami sudah lama enggak ketemu lagi. Rio sebenarnya juga baik, suka minjamin buku. Sedangkan Jiro cuma janji melulu mau beliin buku, mau ngajak ke toko buku, tahunya sampai sekarang, enggak! Huh! Bisanya cuma mengadu ke rumah seperti anak kecil!

Atila tidak membalas surat ibunya. Dia kesal dimarahi padahal menurut perasaannya dia tidak bersalah apa-apa. Tapi bersalah atau tidak, ancaman orangtuanya tak dapat diabaikan. Dia harus berusaha rujuk.

Cuma Jiro tak pernah datang lagi. Tak pernah menjemputnya pulang ke rumah Bibi Nella. Untuk datang sendiri, jelas dia segan. Gengsi, ah, pikirnya. Salah-salah aku nanti ditertawakan si Bleki dan si Bruno kalau terus-terusan mengunjungi Jiro sedangkan dia jelas-jelas selalu menghindar!

Sejak Jiro sakit, sudah dua kali Sabtu dia tidak muncul di sana. Hatinya resah juga teringat kemungkinan kuliah akan distop. Tapi untuk nyelonong sendiri pun dia tak sudi. Hampir pecah kepalanya memikirkan jalan keluar. Mereka cuma diberi waktu tiga bulan. Kalau samasama tak mau mengalah,

"gimana bisa rujuk? Huh! Dia kan cowok, sudah sepantasnya dia mengalah! Masakan aku harus bertekuk lutut menyembah-nyembah minta ampun? Minta ampun untuk apa? Untuk bunga dan coklat dari Dani? Itu kan urusannya. Dia yang memberi hadiah-hadiah itu, bukan aku yang minta! Tapiii, bersalah atau enggak, kuliahku terancam! Ini yang meresahkan.

Setelah Atila hampir putus asa, untunglah muncul titik terang. Pada Sabtu ketiga Bibi Nella mengirim sopir untuk menjemputnya. Mereka menyambutnya seperti biasa, tak ada yang menyebut-nyebut persoalan di antara Jiro dan dirinya, padahal Paman dan Bibi pasti sudah diberitahu masalahnya oleh ibu Jiro. Atila pun berlagak tak ada apa-apa. Mulailah dia bersandiwara. Anehnya, Jiro pun kemudian ikut-ikutan main tonil, walau cuma terbatas di hadapan paman dan bibinya saja. Selama hampir tiga bulan keduanya mengenakan topeng kepura-puraan.

Jiro mulai menjemputnya kembali. Dia masih main tenis walaupun sudah jarang. Dalihnya, dia kelewat sibuk di rumah sakit. Teman-temannya tak pernah kelihatan lagi. Kalau mau studygroup, sekarang giliran Jiro yang pergi ke tempat kawannya.

Sikap Jiro merupakan tanda tanya yang tak mudah dijawab bagi Atila. Di hadapan seisi rumah, sikapnya cukup perhatian dan manis. Misalnya kalau makan bersama, Jiro selalu berusaha mengikutsertakannya dalam percakapan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dia juga menunjukkan perhatiannya dengan menyendokkan hidangan-hidangan.

Tapi begitu mereka cuma berduaan, bibirnya langsung terkatup seperti kerang laut. Mereka pernah menonton TV berdua selama satu jam, dan tak sepotong pun kalimat terlontar di antara keduanya. Duduk mereka pun cukup berjauhan, sehingga Bleki dan Bruno bisa tidur malang melintang di antara mereka kalau mau.

Atila tidak bisa mengerti sikap Jiro. Dia tak pernah lagi masuk ke kamarnya. Seharusnya Atila kini merasa senang, sebab takkan perlu kaget-kagetan lagi. Tapi nyatanya hatinya gundah.

Jiro dirasakannya makin lama makin acuh, tapi dia tak pernah menolak bila dimintai tolong. Setiap kali Atila membutuhkan buku, pasti dicarikannya di rak, tapi tak pernah lagi dibawakannya ke kamar. Buku itu diletakkannya di atas meja telepon, kemudian diberitahunya Atila bila kebetulan mereka ketemu

di ruang makan atau di mana saja di bawah. Seakan penasaran, Atila terus-menerus minta pinjam buku. Terkadang Jiro menaikkan alisnya seakan tahu bahwa buku tersebut pasti belum diperlukannya, sebab itu untuk tingkat atas. Tapi dia tak pernah memberi komentar sepatah pun, melainkan langsung mencarinya dengan patuh. Atila merasa tersiksa. Hatinya makin lama makin rapuh dan hancur dikit-berdikit.

Entah sudah berapa puluh kali dia meratap... dan aku harus kehilangan orang sebaik ini? Yang tak pernah menolak bila kumintai tolong? Huh! Kalau saja aku bisa mulai lagi dari permulaan! Akan kucari jalan menuju ke hatinya, akan kususuri dengan tekun. Tapi sekarang hatinya sudah tertutup, keluhnya. Dan kuncinya sudah hilang! Beribu tetes air mata pun takkan bisa menemukannya kembali, sementara waktu berjalan terus! Tak lama lagi... ya, takkan lama lagi... tiga bulan ini akan berakhir! Aku tak tahu apa yang akan kutemui di ujung sana...! Dan dibiarkannya air matanya menetes bebas. Dia tak pernah menangis di depan Jiro. Gengsi dan kekerasan hatinya melarangnya. Tapi dindingdinding kamarnya di rumah Bibi Nella maupun di tempat kos sudah sering menghadapi banjir. Namun di depan Jiro sikapnya tetap seperti dulu. Dia sudah bertekad bahwa Jiro tak boleh tahu dia menduduki tempat istimewa dalam hatinya. Dia tak boleh memperlihatkan bahwa keretakan mereka telah membuatnya gundah.

Kalau dia pintar bersandiwara, masakan aku enggak?!

Sabtu malam jam sepuluh mereka bisa ditemui berkumpul di depan TV, sebab acaranya adalah film seri kegemaran seisi rumah. Setiap Sabtu malam Farida pasti menghentikan belajarnya lima menit sebelum acara dimulai, Bibi Nella pasti meletakkan majalah di tangannya, Paman menurunkan koran dari matanya, Jiro keluar dari kamarnya, dan Atila muncul dari arah kebun atau dari loteng.

Malam Minggu itu pun kebiasaan mereka tidak berubah. Paman, Bibi, dan Farida duduk di atas sofa, di tengah, tepat menghadapi TV. Atila dan Jiro duduk di kiri-kanan sofa, saling berhadapan tapi juga agak miring supaya bisa menonton dengan leluasa.

Di pertengahan film, ketika semuanya sedang asyik melotot ke depan, Atila merasa digigit nyamuk. Dipukulnya betisnya. Matanya tanpa sadar melayang ke kanan. Takkk. Jantungnya langsung dak-dik-duk. Jiro tengah memperhatikannya dengan cermat. Rupanya ketika semua orang asyik menonton, Jiro sibuk sendiri mengawasinya! Untuk sesaat dibalasnya tatapan itu dengan tak kurang garangnya. Tapi ketika Jiro tetap tak berkedip dan tidak mau melengos, Atila terpaksa menyerah kalah. Dia berpaling kembali ke layar TV.

Setelah beberapa menit, radarnya memberitahukan bahwa Jiro masih tetap menatapnya seperti tadi. Dak-dik-duk-nya makin menjadi. Bagaimanapun dia mencoba berlagak tenang, toh rasanya tetap kikuk diawasi terus begitu. Akhirnya, sambil melontarkan

lirikan kesal ke alamat yang bersangkutan, Atila bangun dari kursi.

"Enggak nonton sampai habis, Til?" tanya Bibi Nella.

"Enggak, Bi. Kepala saya agak pusing, saya mau tidur saja." Lalu dia mendelik ke arah seberang. Sesuatu yang langka muncul di permukaan wajah Jiro. Mungkin itu dimaksudkannya sebagai senyum, pikir Atila sengit. Tapi bagiku lebih mirip apa yang disebul "nyengir kuda"! Digigitnya bibir bawahnya, lalu dengan sengit dientakkannya tubuhnya dan berlalu ke loteng.

Esok malamnya selesai bersantap, Atila menyingkir ke halaman samping yang lampunya redup kebiru-biruan, sesuai dengan nuansa perasaannya. Dia duduk di atas bangku marmer yang sejuk, mengawasi ikan-ikan dalam kolam. Ketika dia baru datang ke sini, ikan-ikan itulah yang menjadi kawan-kawannya, sebab dari seisi rumah tak ada seorang pun yang bisa diajaknya berteman. Farida terlalu kecil, dan selalu sibuk dengan pe-er dan seribu satu macam les. Bibi Nella jarang di rumah, dan juga terlalu tua untuk menjadi kawannya. Jiro yang diharapkannya bisa menemaninya, paling sedikit selama bulan-bulan pertama di mana dia masih kelewat rindu akan rumahnya, ternyata tak pernah punya waktu baginya. Dia sangat kesepian waktu itu. Cuma sesekali dia bisa ngobrol dengan si Mbok atau si Ina, tapi t0piknya itu-itu juga

sehingga cepat sekali membuatnya bosan. Bermain dengan anjing lama-lama pun membosankan. Akhirnya dia menyepi memandangi kolam ikan.

Seperti dulu, malam ini pun dia butuh kesejukan untuk hatinya yang galau. Bangku yang adem, lampu yang redup, dan pancuran air yang berkericik turun dari bebatuan ke dalam kolam, merupakan penawar yang lumayan bagi kesesakan dadanya Tak lama lagi liburan kenaikan tingkat akan dimulai. Dia merencanakan mau pulang ke kotanya. Tapi dia belum berani memberitahu ibunya. takut dilarang. Mungkin ibunya takkan mengizinkannya pulang sebelum dia rujuk! Huh! Aku sudah gerah di sini, Mami Aku ingin pulang menyejukkan diri. Di sini tak ada lagi tempat bagiku. Aku pingin libur ke rumah, boleh enggak?

Ah, masa enggak boleh! Boleh ya, Main?! Ikanikan itu kelihatannya bahagia. Mungkin karena hidup mereka sederhana walaupun monoton. Mereka tak punya keinginan apa-apa, enggak merancang cita-eita setinggi langit macam aku, jadi mereka enggak sampai terlibat benang-benang kusut yang penuh cemburu yang membingungkan.

Huh! "Gimana jadinya bila Ibu melarangku pulang? "Gimana kalau aku diharuskan menemani dia terus di sini, sedangkan orangnya sendiri sudah enggak mau kenal lagi denganku? Ah, biar aku nekat! Kalau aku enggak boleh pulang liburan, aku akan ikut Ana jalan-jalan ke kotanya! Kebetulan, aku memang sudah lama ingin ke Surabaya dan Bali! Dan Ana sudah berkalikali mengajak aku ke tempatnya. sekalian keliling Jawa, katanya. Pokoknya, ke mana

saja, asal selama liburan ini aku enggak usah bertapa di sebelah kamarnya!

Atila tidak mendengar bunyi langkahnya, tapi tahu-tahu dia mendapat. teman yang duduk di ujung bangku sebelah yang lain.

Ah, enggak usah menjaga jarak sampai sejauh itu! katanya dalam hati Takut aku akan duduk menempel di sebelahmu? angak bakal, deh!

"Ujian-ujianmu sudah beres semua?" tanyanya. Atila tahu Jiro menoleh, tapi dia tetap memaku pandangannya ke tengah kolam.

"Sudah," sahutnya singkat dan lengkap.

"Kapan selesai-nya?"

"Minggu depan."

"Bagaimana kira-kira hasil ujian-ujianmu?"

Lagi-lagi seperti di kantor polisi! Rupanya dokter enggak berbeda dengan polisi dalam keterampilan tanya-jawab (ya, mereka yang bertanya, kita cuma berhak menjawab saja!).

"Tahu, deh. Mungkin ada yang bagus, ada yang jelek."

"Tapi aku yakin kau pasti naik tingkat! Ayahmu bilang, kau murid yang tekun dan rajin. rapormu selalu penuh dengan delapan serta sembilan!"

Huh! Aku enggak percaya kau kemari khusus untuk memuji-muji rapor SMA-ku!

"Kapan kau mulai liburan?"

"Dua minggu lagi."

"Dan apa rencanamu selama liburan?" Dirasakannya tatapan Jiro singgah di wajahnya, namun dia belum juga mau menoleh.

Apa rencanaku? Apa lagi yang bisa kurencanakan selain pulang ke rumah ibuku? Huh! Untuk apa sih kau tanya-tanya? Bukankah kau sudah enggak mau berurusan lagi dengan aku? Bukankah kau sudah memberitahu orangtuamu bahwa kau mau putus denganku? Kau sudah mengadu apa sih sampai aku dimarahi ibuku? Kenapa kau enggak mau bilang padaku terus terang apa sebenarnya salahku? Kenapa harus membawa-bawa orangtua? Apa kek rencanaku, pusing amat kau! Apa pedulimu aku mau ke Kutub Utara kek, ke Hutan Amazon kek, ke kandang macan kek, ke lubang ular kek!

"Aku mau pulang ke rumah."

"Kapan?"

Kok tumben banyak perhatian begini? Aku jadi merasa seperti calon tiang gantungan yang ditanyai mau makan apa saja buat penghabisan kali....

"Sesudahjudicium."

"Kalau begitu Sabtu depan aku akan ke tempatmu. '

Oh?! Dia tidak pernah berharap akan mendengar kalimat seperti itu, sehingga dia sedikit terperanjat dan tanpa sadar sudah menoleh. Mata mereka langsung berpagut dalam tatapan yang mencekam. Untuk beberapa saat keduanya beku dalam kelumpuhan kata-kata, tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara.

Atila yang lebih dulu melepaskan diri. Dipalingkannya matanya kembali ke kolam. Kecurigaan yang mengerikan merambati hatinya. Dia punya firasat bahwa tiang gantungan baginya sudah disiapkan. Sebab dia tak percaya bahwa Jiro akan datang lagi ke tempat kosnya semata-mata untuk bertandang saja. Dan dalam detik berikutnya kengeriannya menjadi kenyataan.

"Aku mau mengambil barang-barangku yang masih ketinggalan."

Oh, Mam! Hatiku!

"Tentu saja kau enggak usah menantikan aku! Kan aku masih punya kunci."

Oh, Mam! Tolonglah aku!

Setelah itu Jiro diam untuk beberapa menit. Masing-masing membisu dengan pikirannya sendiri. Jiro bergerak mengubah duduknya. mungkin pegal. Atila masih tetap menunduk menekuri ikan-ikan yang tak pernah punya persoalan. Gerakan kecil di ujung sana menarik perhatiannya. Dia melirik. Jiro tengah mengepal dan membuka tinjunya berulang-ulang, kiri dan kanan bersamaan.

Huh! Senewen? Orang gagah macam kau masa harus senewen menghadapi cewek ingusan begini? Ayo, silakan injak kepalaku, remukkan tubuhku, hancurkan hatiku! Kurang dari itu pasti akan membuatmu masih penasaran. Kau masih punya dendam terhadap cewek yang dulu mengkhianatimu? Balas sekalian padaku! Kepalang, hatiku sudah hitam-lebam, tambahan satu pukulan lagi enggak bakal kurasakan.

"Tila, aku enggak mau menyakiti hatimu, tapi aku juga enggak bisa pura-pura seumur hidup! Aku harus terus terang, kita berdua enggak cocok untuk hidup bersama. Aku enggak bisa menjadi suami yang baik bagimu."

Apa bukannya sebaliknya? Aku rasa maksudmu sebenarnya adalah bahwa aku enggak bisa menjadi istri yang baik bagimu! Dan siapa yang pernah bilang bisa? Aku memang enggak bakal menjadi istri yang baik! Aku enggak becus masak, aku enggak pintar membaca semua keinginanmu dari matamu. aku enggak tahu bagaimana memanjakan suami.", lantas siapa suruh kau mau dikawinkan denganku?
Namamu Terukir Di Hatiku Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waktu tiga bulan yang harus kita jalani sudah berakhir. Dan nyatanya tetap enggak ada pendekatan di antara kita. Aku sudah konsultasi sedalam-dalamnya dengan hati nuraniku, aku sudah memikirkannya lama-lama, tapi dengan sangat berat terpaksa harus kukatakan, keputusanku enggak berubah! " Suara Jiro terasa berat seperti bapak yang sangat terpukul sebab terpaksa harus membelah dua anak kesayangannya.

Oh, Mam! Jangan biarkan hatiku binasa! Tolonglah, siapa saja yang mendengar jeritan hatiku! Tolong pegangi aku, jangan biarkan aku terjerembap ke semak berduri yang akan mencacah tubuh dan nyawaku!

"Dengan sikapku selama ini aku sudah berjaga-jaga supaya kau enggak terkena aib. Teman-teman kita enggak ada yang tahu kita sudah menikah. Jadi kalau kita pisah diam-diam, namamu takkan tercemar."

Oh, Mam! Kenapa aku enggak mati saja! Jadi dia sudah merencanakan itu sejak semula!

"Kau sangat cantik, banyak laki-laki yang akan mencintaimu. Kau takkan menemui kesulitan untuk menikah lagi."

Oh, Mami! Oh. Mami!

"Kau juga sangat muda, ingatanmu takkan panjang. Dalam satu-dua tahun lagi kau pasti sudah bisa melupakan diriku. Dan aku harap kau bisa. Terutama bila kau merasa sakit hati terhadapku. Kau berhak merasa sakit hati, tapi percayalah, aku bukannya sengaja menyakitimu. Sungguh!"

Oh, Mam!

"Aku menyesal kenapa kita enggak ketemu nanti saja bila kau sudah lebih mantap, lebih matang, lebih dewasa...."

Kaupikir aku belum cukup dewasa? Oooh, Mam!

"Bukan salahmu. Sikapmu memang lumrah buat gadis-gadis sembilan belasan. Kau masih terlalu muda. Rio benar. Kau enggak boleh cepat-cepat mengikat diri. Kau mesti banyak bergaul dulu sebelum menentukan pilihan."

Oh, Mam! Inilah kuliah yang paling menyakitkan yang pernah kudengar! Dia masih tetap mengungkit-ungkit soal Rio, padahal kami sudah enggak pernah ketemu lagi. Huh! Sebentar lagi mungkin akan disebut-sebutnya masalah bunga dan coklat dari Dani!

"Sudah sering kuperhatikan, Rio memang benar, wajahmu murung terus. Kau tidak merasa bahagia bersamaku, bukan?"

Bagaimana aku takkan murung kalau...

"Atila! Atila! Aku ingin kau selalu cerah sepanjang hidupmu. Aku rasa keputusanku ini akan menyelamatkanmu dari duka nestapa."

Oh, Man!

"Tidurlah. Besok kau harus berangkat ke tempat kos pagi-pagi, bukan? Aku juga mau tidur. Besok aku

harus membantu OP dua kali." Jim bangkit dan menghampirinya. Dengan kedua lengan lurus di samping, ditatapnya Atila.

"Semoga kita bisa berteman, La. Aku selalu kepingin punya adik perempuan." Huh! Maumu! Siapa yang sudi menjadi adikmu? "Aku doakan semoga kau selalu bahagia." Jiro menepuk bahunya dua kali.

"Nah, selamat malam."

"Selamat malam," bisiknya pada ikan-ikan di kolam.

Langkah-langkahnya kian menjauh, akhirnya cuma sayup-sayup. Atila menegakkan telinganya, tapi bunyi langkahnya tak terdengar lagi. Jiro memang tak pernah menyeret-nyeret kakinya, pikirnya. Sebutir air mata bergulir jatuh. Digigitnya bibirnya.

Oh. Mam!

***

SABTU itu Atila sengaja menghindar dari kamarnya. Berdua dengan Ana dia pergi ke Blok M, mengitari Pasaraya tiga kali sambil memborong oleh-oleh untuk orangtua, sepupu, teman-teman, dan para pembantu. Ana juga ngobjek. Dibelinya pakaian dan kain-kain potongan yang akan dijualnya lagi di kotanya.

"Aku enggak tahu, kau punya bakal jadi tukang catut!" tukas Atila menggodanya.

"Habis! Kenalan-kenalanku sukanya yang murah-meriah kaya 'gini. Biarpun barang-barang di sana enggak kalah kualitasnya, tapi sebutan "beli dari Jakarta' masih sama kebekennya seperti orang Jakarta nyebut "beli dari Paris". Lumayan, nih, untungnya bisa dipakai jajan sebulan!"

Setelah kenyang ngaduk di Blok M dan mengisi perut, mereka pergi ke Pasar Baru. Masih belum puas di sana, mereka ngibrit ke Proyek Senen. Dari Senen, masih penasaran, mereka loncat ke dalam mikrolet jurusan Kota. Di Kota mereka menbelok dari satu centre ke centre yang lain. Atila menolak terus diajak pulang dengan alasan masih penasaran, belum semua oleh-oleh terbeli. Padahal sebenarnya dia sebentar-sebentar memperhatikan arloji. Baru jam tiga. Belum. Baru jam empat. Belum.

Akhirnya menjelang magrib, ketika Ana betul-betul sudah kewalahan, barulah Atila mau pulang. Mula-mula mereka berniat naik bis atas usul Ana.

"Irit

dan praktis! Soalnya duitku sudah tinggal recehan."

Ketika kondektur melihat mereka, dia berseru heran,

"Wadow! Ada pengungsi dari Kamboja!"

Semua kepala nongol dari dalam bis. Gadis-gadis itu jadi malu. Dengan kedua lengan digelantungi belasan kantong plastik, keduanya memang mirip sekali pengungsi yang terpaksa mengangkut seluruh harta benda mereka dalam kantong-kantong.

"Naik taksi aja, deh. Biar aku yang bayar!" usul Atila sambil mengajak Ana menjauhi bis yang penuh sesak itu.

"Kita naik Patas saja," Ana menawar.

"Kondekturnya enggak usilan, dan bisnya juga kosong."

"Ah, lama lagi nunggunya. Jari-jariku sudah kesemutan menahan kantong-kantong ini." Akhirnya Ana menurut dengan senang hati, sebab dia juga sudah kesemutan dan kecapekan serta kehausan.

"Uh! Enaknya langsung mandi, lalu rebahan," ujar Ana melamun.

"Itu juga mauku," sambut Atila sambil mengerling ke arah kamarnya. Hatinya terasa plong. Enggak ada Vespa diparkir. Mobil juga enggak (mungkin saja Jiro pinjam mobil pamannya untuk mengangkuti barang-barang yang jumlahnya lumayan, paling sedikit satu karton TV ukuran sedang). Berarti dia sudah pulang!

Tanpa ragu dibukanya kunci, lalu didorongnya pintu kemudian diambilnya lagi kantong kantong yang terpaksa dilepasnya ketika membuka kunci tadi. Lalu dia masuk dengan lega. Huh! Untunglah enggak usah kepergok dia! Tapi pada saat itu juga matanya

tanpa sadar sudah melirik ke atas lemari, dan... hatinya mencelos. Kaleng bola tenis masih berada di sana! Mana mungkin, pikirnya setengah mau menjerit. Dia pasti sudah datang!!! Huh! Aku enggak mau kepergok di sini! Dia enggak boleh datang sekarang!

Setengah panik dia mulai mengusut. Ah, mungkin bola tenis itu memang sudah enggak terpakai lagi, jadi ditinggalnya. Tangannya meraba-raba. Raket? Juga masih ada! Dia naik ke atas kursi seakan sudah tak percaya pada rabaan tangannya.

Dia melongok ke atas lemari. Raket itu memang masih di sana! Enggak mungkin benda itu ditinggalkannya untuk dibuang? Dia meloncat dari kursi dan pergi ke rak. Dicarinya di antara koleksi kasetnya. Dia mengenali kasetkaset milik Jiro. Semuanya ternyata lengkap! Huh! Jadi dia belum kemari! Siasia saja aku seharian mondar-mandir sampai kaki pegal! Huh!

Atila mengempaskan diri dengan kesal ke atas sofa. Seandainya dia muncul besok? Atau minggu depan? Atau minggu depannya lagi? Ah, moga-moga dia datang setelah aku pulang kampung! Jadi aku takkan ketemu dia! Ya, ya, mungkin kelewat repot ngurusin pasien, dia tak bisa datang. Semoga datangnya nanti saja kalau aku sudah pergi!

Dengan merancang harapan seperti itu, dipaksanya dirinya untuk tidak mengingat-ingat lagi persoalan itu. Dia berkonsentrasi penuh memikirkan pengepakan koper-kopernya. Baju-baju mana yang akan dibawanya, oleh-oleh apa yang masih kurang....

Sehabis judic-ium hari Senin, dia masih merasa segar bugar. Bersama konco-konconya dia tidak langsung pulang, tapi makan dulu di Pasar Grogol, lalu minum es teler. Malamnya dia nonton film bersama Ana dan Pinus di Plaza Theater. Esoknya, tanpa peringatan pendahuluan, tahu-tahu dia bangun berkeringat dingin, perutnya mual dan badannya panas. Dia memaksakan dirinya untuk sarapan di kamar makan, tapi tak lama setelah kembali ke kamar, dia merasa mual. Untung dia masih sempat mencapai kamar mandi sebelum isi perutnya tumpah ruah, sarapannya terlontar kembali semuanya. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya, jantungnya berdebar dan napasnya terengah. Dengan lemas dia kembali ke kamar, lalu berbaring lagi di sofa.

Sota ini bisa dirombak menjadi ranjang biasa, tapi dia tidak sanggup melakukannya. Tenaganya serasa lenyap, dan kepalanya mulai berdenyut. Cuma satu keinginannya: berbaring secepatnya! Dipakainya selimut, sebab mendadak dia merasa kedinginan. Dipejamkannya matanya, dicobanya tidur, tapi kepalanya berdenyut sakit sekali, sehingga membuatnya gelisah dan terjaga terus. Tak mungkin beristirahat, apalagi tidur.

Salahnya, dia tak punya obat apa pun yang bisa di telannya. Dalam keadaan tak berdaya yang bisa dilakukannya hanyalah berbaring sambil memejamkan mata. Tapi keadaan ini pun tidak berlangsung lama. Sepuluh menit kemudian perutnya berontak

lagi. Bergegas dia lari ke kamar mandi. Disangkanya sarapannya sudah tumpah semua tadi, tapi ternyata isi perutnya masih ada, kali ini ditambah cairan lambung serta empedu yang terasa asam dan pahit.

Oh, Mam!

Ketika siangnya dia tidak muncul untuk makan, Ana datang menjenguknya. Pintu memang sengaja tidak dikunci, sehingga temannya bisa masuk sendiri.

"Kau kenapa, Til?" serunya kaget.

"Kepalaku sakit, An. Perutku mual. Sudah empat kali aku muntah sampai rasanya lemas banget."

Ana meraba dahinya.

"Kau demam!"

"Iya. Tapi aku tak punya obat. Kau punya apa?"

"Obat flu biasa."

"Itu pun bolehlah. Tolong berikan aku satu, ya."

"Sebaiknya abangmu diberitahu. Mana nomornya? Biar aku telepon." Ana menawarkan.

"Oh, jangan! Jangan! Enggak usah! Cukup obatmu saja. Besok juga pasti sudah sembuh!"

"Tapi kau harus makan. Nanti aku ambilkan piringinu. Kalau perut kosong mana mungkin cepat sembuh. Ssst, mungkin Tante mau membuatkan kau bubur."

"Jangan, An. Jangan bikin orang berabe. Sakitku enggak seberapa kok. Cuma sakit kepala ini yang tak tertahankan."

Ana membawakannya makan siang dan obat, tapi cuma obatnya yang ditelannya. Dia tak sanggup makan. Baru sesendok sudah muntah lagi. Begitu juga malamnya, dia tetap tak bisa makan. Untung dalam kamar ada termos air panas. Walaupun isinya sudah dari kemarin malam, tapi masih lumayan panas. Dibuatnya segelas susu untuk sekadar mengisi perut, sebab obat yang diberikan Ana membuat perutnya agak perih.

Esoknya, dia terbangun dari tidur yang gelisah dengan kepala yang berdenyut sakit bukan main, sehingga dia nyaris mengaduh kesakitan. Hatinya gelisah dicekam kekhawatiran. Sekarang sudah hari Rabu, pikirnya. Dan dia masih belum sembuh, sedangkan hari Jumat dia harus take off! Jangan-jangan keberangkatannya terpaksa ditunda. Untung orangtuanya tidak dikabarinya bahwa dia mau pulang libur, sehingga mereka takkan menunggu-nunggu. Atila sengaja tidak memberi kabar, sebab takut dilarang pulang sebelum rujuk. Tapi kalau dia sudah tiba di rumah, tentunya ibunya takkan mengusirnya.

Lebih menggelisahkan lagi, Ana besok pagi akan berangkat mudik. Kalau dia sudah enggak di sini, kepada siapa dia akan minta tolong seandainya perlu sesuatu? Tapi tentu saja semua itu tidak diutarakannya pada Ana, supaya dia jangan bingung memikirkannya.

Sore harinya Ana datang membawakan makan malam dan obat. Di belakangnya mengikut salah seorang pembantu kos, membawakan termos air panas yang sudah diisi penuh.

Atila mencoba bangun untuk membuat susu, tapi Ana mencegahnya.

"Jangan bangun! Biar aku saja yang membuatkan."

Ana membujuknya supaya makan walaupun cuma sedikit. tapi Atila tak bernafsu. Piring itu dikemba

likannya ke atas meja. Ditelannya obat dari Ana dengan segelas susu.

"Lebih baik aku telepon saja abangmu, Til," Ana menawarkan untuk kedua kali.

"Aku rasa kau membutuhkan dokter. Obat yang kuberikan kelihatannya kurang manjur bagimu. Berikan saja nomornya, aku bisa pinjam telepon Tante."

"Ah, enggak usah! Kalau perlu dokter, aku bisa naik becak ke gang sebelah."

Ana merasa heran kenapa Atila tetap tak mau mengabari abangnya.

"Kalian sedang musuhan, ya?" tebaknya.

Atila sempat terperanjat seakan Ana ketahuan bisa membaca pikiran orang, tapi temannya langsung ketawa.

"Kaget? Aku sih enggak heran kalau kalian berantem. Abangku dan aku juga lebih sering musuhannya daripada damai, apalagi waktu kecil. Tapi biar musuhan pun, kalau keadaan darurat begini, dia pasti mau menolong."

"Aku enggak mau bikin berabe dia."

"Aneh. Aku justru paling senang membuat abangku repot, sehingga pernah dia bilang, dia akan selamatan kalau aku sudah punya pacar, sebab berarti dia takkan kerepotan lagi gara-gara ulahku." Ana terbahak geli, sementara Atila cuma bisa meringis. Betapa tepat dugaannya, pikirnya. Boleh dibilang Jiro dan aku memang sedang musuhan walau enggak pernah bertengkar!

"Til, apa lagi yang bisa kulakukan untukmu?"

"Tak ada, An. Trims, ya. untuk perhatianmu. Sebaiknya kau balik saja ke kamarmu. Pasti masih banyak yang mesti kaubereskan untuk besok."

"Ya, memang. Sebenarnya aku belum selesai ngepak. Terpaksa kau harus kutinggal dulu. Tapi aku sudah memberitahu Tante. Bi lna, yang tadi membawakan termos, sudah disuruh Tante untuk ngecek keadaanmu. Malah kalau perlu, Tante bilang, Ina boleh menemani. Dia bisa menggelar kasurnya dekat lemari di situ," usul Ana menunjuk ke sudut.

Atila menggeleng.

"Aku enggak perlu ditemani. Sakit kepalaku sudah agak mendingan. Asal dia mau ngecek sekali-dua kali sehari sudah cukup, An. Tolong bilangin terima kasih sama Tante. Jadi besok kau pasti berangkat?"

Ana mengangguk.

"Dan kau?"

"Entahlah. Aku khawatir harus menundanya kalau besok sakitku belum juga sembuh. Tapi jangan pikirkan aku." Atila memaksakan sebuah senyum.

"Kuucapkan selamat jalan! Sampai ketemu lagi di tingkat dua!"

Ana ketawa gembira. Mereka berpelukan.

"Lekas sembuh ya, Til," bisik Ana di telinganya, lalu dikecupnya pipinya. Atila berlinang-linang karena terharu.

"Sampai ketemu lagi, An!"

"Sampai ketemu lagi, Til! Awas, jangan lupa menulis surat, ya. Suruh abangmu menulisi aku juga, ya!" Ana terbahak sambil melangkah keluar.

Atila tersenyum, membalas lambaian Ana sebelum dia menghilang di balik pintu.

Sekarang tinggallah aku sendiri, pikirnya. Apa yang akan kulakukan untuk melewati waktu sampai tidur datang? Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kepalaku... kepalaku! Kalau saja aku bisa mendapat obat yang lebih manjur! Oh, Mami!

Kalau sedang sakit begini rasanya aku kepingin sekali diperhatikan dan dimanja. Oleh Ibu, oleh teman, oleh pembantu, oleh siapa saja! Sayang ibuku jauh di Ujung Pandang. Seharusnya Jiro bisa menggantikannya. Seharusnya dialah yang kuharapkan untuk memanjakan diriku pada saat-saat seperti ini. Tapi kenyataannya? Sedangkan Ana, yang cuma seorang teman belaka, masih jauh lebih hangat terhadapku daripada Jiro!

Huh! Bagaimana bisa kuharapkan dia akan memperhatikan diriku? Waktu dia sendiri sakit pun, dia tak sudi diperhatikan olehku! Diusirnya aku keluar kamar.

Jiro sebenarnya sangat menarik. Begitu tampan dan gagah. Walaupun dia tidak mempedulikan diriku, terus terang, aku tak bisa membencinya. Ah, seandainya dia enggak terlalu suka curiga. Seandainya dia enggak memusuhi cewek. Seandainya...

Dengan mata terpejam Atila membiarkan dirinya terlibat pusaran lamunan pengandaian yang indah-indah. Hampir sejam pikirannya tenggelam dalam bayangan mimpi. Perasaannya menjadi nyaman, denyut jantungnya teratur dan pelan, malah sakit kepalanya seakan sudah menghilang. Dia begitu keasyikan melukis mimpi-mimpinya, sehingga tidak didengarnya pintu dibuka orang. Seberkas sinar neon

tiba-tiba menguak kegelapan kamarnya. Dengan terperanjat dibukanya matanya, tapi terpaksa ditutupnya lagi sebab silau.

"Oh, kau sudah tidur? Tapi baru jam tujuh!"

Atila membuka kembali matanya. Sesaat dia tercengang. Wajahnya menunjukkan keheranan seakan dia tidak mempercayai penglihatannya. Bermimpikah aku? pikirnya. Sadarkah aku saat ini? Ataukah betul-betul sedang tidur?

Dilihatnya Jiro meletakkan kotak karton yang dibawanya di lantai, lalu dia melangkah maju. Pada perasaannya langkah Jiro pelaaan sekali seolah takkan sampai-sampai ke sampingnya. Dilihatnya Jiro melirik ke meja. Rupanya dia melihat piring berisi bubur. Wajahnya kelihatan heran. Dia menoleh sekali lagi padanya.

"Ah, kau sakit?" Suaranya kedengaran mengandung kekhawatiran (atau itu cuma perasaanku saja? pikir Alila).

Dilihatnya Jiro berdiri di samping sofa, setengah membungkuk, menatapnya sambil bertanya,

"Kau kenapa?"

"Kepalaku sakit, perutku mual, tapi aku sudah enggak muntah-muntah lagi seperti..." Melihat Jiro cuma manggut-manggut tanpa kelihatan tertarik, segera dihentikannya perkataannya. Jiro memang tidak mendengarkan. Buktinya, dia tidak menyadari bahwa dia berhenti di tengah kalimat!

Dilihatnya lengan Jiro terulur seakan dia mau meraba dahinya, tapi kemudian dibatalkannya. Dia cuma menepuk-nepuk tangannya beberapa kali.

"Sudah minum obat?"

Karena tahu perhatian Jiro bukan padanya, Atila pun segan ngomong panjang-lebar.

"Sudah," sahutnya singkat. Buat apa kuceritakan riwayat penyakitku, kapan mulainya, berapa kali aku muntah kemarin, demamku yang belum juga turun....

Jiro manggut-manggut.

"Mendingan?" Seakan tanpa sadar tangannya memperbaiki selimut yang sudah turun sebagian ke lantai.

Kalau aku bilang belum pun, apa gunanya?

"Ya."

Wajahnya kelihatan lega. Dia berdiri tegak kembali, lalu menoleh ke meja.

"Kenapa buburnya enggak dimakan?" Dirabanya.

"Sudah dingin." Tangannya terjulur seakan mau meraih piring itu.

"Aku suapi, mau?"

Ah, jangan berlagak ada perhatian! Kau kan ke sini mau mengangkuti barang-barangmu, bukan? Nah, bereskan saja urusanmu sendiri! Jangan pedulikan diriku!

"Enggak ingin makan."

"Baiklah. Sebentar lagi mungkin kau mau."

Dilihatnya Jiro menatapnya. Beberapa kali bibirnya bergerak, tapi rupanya kata-katanya susah keluar. Dilihatnya jakunnya naik-turun ketika dia menelan ludah. Akhirnya tercetusjuga,

"Aku mau membenahi barang-barangku."

"Ya. Buku-bukumu sudah kususun di atas meja. Tinggal diambil."

"Biarkan saja di sini. Kau boleh meminjam bukubuku itu selama kau memerlukannya." Jiro menundukkan kepala dan berkata pelan,

"Tila, aku ingin

kau dan aku tetap berteman. Kau mau, bukan?"

Oh, Mam!

"Ya," bisiknya dengan bibir merah merekah kering, lalu cepat-cepat dia berpaling ke tembok ketika dirasanya matanya mulai basah. Aku enggak boleh nangis di depannya! Enggak boleh! Enggak boleh!

"Nah, begitu! Kau memang gadis yang hebat! Aku ingin sekali kau menjadi adikku, mau kan?"

Enggak! Aku enggak mau!

Tapi didengarnya Jiro sudah melangkah ke lemari tanpa menunggu jawabannya. Atila memejamkan mata dan mendengarkan. Kaleng bola tenis yang pertama kali diangkat dan dijatuhkan ke dalam karton. Kemudian menyusul raket

"Bagaimana kalau aku hadiahkan radio kaset ini untukmu?"

Aku tidak membutuhkannya! Yang kuinginkan adalah...

"Jangan. Aku enggak suka mendengarkan radio."

"Kalau begitu, harus kubawa. Di mana kotaknya? Ah, ini di atas lemari!"

Dengan mata terpejam didengarkannya kesibukan Jiro membenahi barang-barangnya yang lumayan banyak. Suara kertas membungkus sepatu tenis, suara karton dibuka dan ditutup, suara cello-tape dirobek dan dilekatkan, suara... Tanpa dikehendakinya dia sudah terlena. Rupanya dia memang sangat lelah sebab beberapa malam tidurnya tak pernah nyenyak.

Ketika terdengar ketukan, Jiro menoleh ke arah sofa. Dilihatnya Atila sedang lelap. Untuk mencegah ketukan itu diulang, dia segera bangkit membuka pintu. Atila sebenarnya tidak lama terlelap. Tapi dia sempat bermimpi. Mimpinya aneh, tak bermakna dan penuh dengung-dengung yang mengganggu. Samar-samar didengarnya orang bicara. Suara Jiro-kah itu? Apakah namanya disebut-sebut? Kenapa? Dia harus ke pelud, mana taksi? Kapalnya hampir take of! Suara siapakah itu? Jiro? Jiro? Di mana kau? Aduh, kepalaku! Saaakit! Jiro? Di mana kau?

"Aku di sini...."

Tiba-tiba dia terjaga. Dirasakannya kedua tangannya digenggam erat-erat. Dibukanya matanya. Jiro tersenyum padanya. Dipejamkannya matanya erat-erat. Dibukanya kembali. Jiro masih tersenyum. Masih bermimpikah dia? Seingatnya Jiro tak pernah tersenyum! Padanya!

"Ini ada kartu undangan dari Dani!" Sebuah sampul besar berwarna kuning disisipkan di telapak tangannya.

Dani? Jadi akhirnya dia berhasil juga menemukan kebahagiaannya? Oh! Mendadak matanya membasah. Cepat-cepat dia mengejap dan memejamkan kelopaknya rapat-rapat. Tapi air matanya merembes juga, mengalir sepanjang pipinya. Dengan malu dihapusnya pipinya dengan telapaknya.

"Kau menangis karena sedih atau bahagia?"

Apakah dia mau menggoda atau mengejekku? Dengan menantang dibukanya matanya dan dihunjamkannya tatapan ke mata hitam yang tengah mengawasinya.

"Kenapa aku harus sedih atau bahagia?"

"Sebab dia akan menikah minggu depan! Dengan gadis sekantornya!"

Ah, Ella memang sudah lama mencintainya!

Dia tak bisa menahan senyumnya, sementara air matanya kembali merembes turun.

"Jadi kau dicampakkannya begitu saja!" Mata yang terpicing itu menatapnya dengan sinis.

Senyumnya lenyap seketika. Air matanya mengucur makin deras. Oh, ini sudah keterlaluan! Tidakkah dia akan berhenti menusuk-nusuk perasaanku?

Sakit kepala yang barusan tidak dirasakannya, mendadak muncul lagi, sehingga dia meringis. Tanpa sadar tangannya sudah terangkat mencengkeram kepalanya seakan dengan begitu sakitnya dapat berkurang.

"Kepalamu sakit lagi?"

Apa pedulimu'?

"Tinggalkan aku. Lebih baik kaubereskan saja urusanmu, hari sudah malam!" Dia berpaling, bermaksud menyembunyikan air matanya. Tapi Jiro menyentuh wajahnya dan menggerakkannya sehingga mereka kembali berpandangan. Dikeluarkannya saputangan dari saku dan diserahkannya pada Atila. Seakan tersihir diterimanya sapu tangan itu dan disekanya matanya.

"Aku rasa, kita harus bicara lama, Tila!"

Enggak ada yang perlu dibicarakan. Kau harus menempuh jalanmu. aku akan menempuh jalanku.

"Ada yang kurang beres. Aku ingin tahu siapa Dani sebenarnya! Dan aku ingin tahu sekarang! Aku ingin tahu kenapa kau diCampakkannya! Dan kenapa dia begitu lancang beraniberani mengundangmu setelah kau dicam..."

"Dia enggak mencampakkan aku!" pekiknya. Ditatapnya Jiro dengan mata berapi-api. Enggak ada yang pernah mencampakkan aku selain MU! Air matanya bercucuran. Ditutupnya wajahnya dengan kedua tangannya saking malu. Akhirnya perasaannya mengalahkannya. Dia tak kuasa menahan tangisnya di depan Jiro.

Walaupun dia berusaha menahan diri, namun dia terus terisak-isak. Hidungnya tersumbat. Dia terengah. Tiba-tiba dirasakannya tubuhnya diangkat, dan bantalnya dipindahkan.

"Lebih baik kau duduk supaya napasmu lebih lega. Nah, lebih enak sekarang?" Air matanya disusuti. Saputangan Jiro sudah basah.

"Oke, ceritakanlah siapa Dani!"

"Tinggalkan aku!" katanya parau.

"Tidak! Sebelum kaukatakan siapa dia sebenarnya!" Suaranya tegas, tak mau menerima penolakan. Bahunya diguncang-guncang.

"Ayo!"

Atila menghela napas.

"Baiklah. Walaupun enggak ada gunanya lagi. Kita toh akan berpisah..." Senyumnya sendu.

"Atila!"

"Jangan sentuh aku! Dengarkan saja! Aku ketemu Dani waktu piknik tempo hari...."

"Budi membawa binokular. Sejak dalam perjalanan anak-anak sudah memperebutkannya. Kalau bis melambat sedikit saja, pasti akan ada anak yang

membawa teropong itu ke matanya, lalu memberi komentar yang membuat anak lain jadi ikut-ikutan kepingin lihat. Setibanya di Cipanas, kami bergiliran meminjamnya. Ketika tiba giliranku, aku pergi menyingkir ke dalam semak-semak untuk mencari objek yang lain dari yang sudah diteropong oleh kawan-kawanku. Sebenarnya aku berharap bisa melihat seekor burung berbulu indah atau kelinci dengan anakanaknya atau... entahlah, aku sendiri tak tahu apa yang kuharapkan.

"Jadi binokular itu aku arahkan ke sana kemari tanpa ada yang dituju. Pada saat aku mengarahkan ke kiri, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki sedang duduk di atas batu. Sikapnya mencurigakan. Dia memegang sehelai kertas yang dibaca dan dilipatnya berkali-kali seakan dia tak tahu kertas itu mau diapakannya. Tentu saja aku jadi tertarik. Rasa ingin tahuku timbul. Kulihat dia menarik napas berkali-kali. Karena dia duduk miring menghadap ke arahku, aku bisa melihat air mukanya yang tampak sedih dan putus asa.

"Ana sudah kedengaran teriak-teriak memanggilku, sebab setelah aku, gilirannya. Tapi aku tetap sembunyi dan enggak mau melepaskan binokular itu dari mataku. Orang itu kulihat menyimpan kertasnya dalam saku, lalu... dia mengeluarkan dari saku lain, sebuah pisau lipat! Bayangkan kagetnya aku. Berindap-indap aku maju menghampirinya dari arah belakang. Setelah dekat, aku sembunyi di balik pohon yang dikitari semak-semak rimbun. Aku intip terus orang itu. Dia sedang meraba-raba mata pisaunya

seakan mau menjajal ketajamannya. Ketika orang itu mulai menggulung ke atas lengan kemejanya aku menerjang keluar dan berlari ke pohon tempat dia bersandar. Sebelum orang itu sadar, sudah kurebut pisau lipatnya yang terbuka itu, lalu aku lipat dan aku kembalikan.

"Laki-laki itu berumur antara dua lima-tiga puluh, berambut panjang, berkulit coklat bersih... tapi enggak perlu kujelaskan ciri-cirinya sebab kau kan sudah melihatnya. Seperti dalam keadaan shock, orang itu seakan enggak menyadari kehadiranku. Diterimanya pisau itu. Aku suruh simpan di kantong. Dia tidak membantah. Aku duduk di rumput. di sebelahnya. lalu aku minta dia menceritakan apa kesulitannya. Seperti robot, dia menurut saja.

"Tiga hari sebelum upacara perkawinan, gadisnya lari dengan kawan baiknya yang jauh lebih kaya dari dia. Ibunya pingsan saking marah, pembuluh darahnya pecah dan sekarang dia lumpuh sebelah. Karena merasa berdosa pada ibunya, dan penasaran pada diri sendiri serta malu pada keluarga dan kenalan, dia berniat mengambil jalan nekat.

"Hampir sejam lamanya aku bicara dengannya. Anak-anak sampai ketakutan dikira aku sudah dibawa lari wewek atau orang hunian. Aku enggak ingat lagi apa yang telah kukatakan padanya. Pendeknya, aku berhasil mengurungkan niatnya. Rupanya dia merasa begitu terharu atas perhatianku, sampai-sampai diecritakannya juga riwayat hidupnya. Aku jadi tahu mengenai Ella, teman sekantornya yang sudah lama menaruh hati padanya, tapi selama itu diacuhkannya sebab calon istrinya sendiri lebih lincah dan lebih cantik."

Atila menatap Jiro sekilas, lalu menunduk dan tersenyum sendiri. Diraihnya Boni dari pojok, dan didudukkannya di sebelahnya. Sambil membelai-belai telinga Boni dia meneruskan setengah berbisik. seakan cuma untuk kupingnya sendiri.

"Dan sekarang Dani ya, laki-laki itu adalah Dani akan menikah dengan Ella! Berarti aku telah berhasil meyakinkannya, budi pekerti yang luhur serta cinta yang tulus jauh lebih berarti daripada kecantikan yang hampa. Kalau kupikir-pikir sekarang, aku sendiri heran bagaimana aku berani lancang sok mengajari dan membujuk seorang asing sedemikian sampai dia mengurungkan niatnya untuk membunuh diri, dan malah berbalik mengawini gadis yang semula diacuhkannya! Ah! Dia juga bilang, aku sudah mengembalikan cahaya ke dalam hidupnya. Katanya, namaku akan selalu terukir di hatinya. Lalu dipeluknya aku!"

Huh! Kesalahan ngomong! Tak usah kusebutsebut perihal dia memelukku! Jangan-jangan nanti timbul salah paham! Padahal itu cuma pelukan tanda terima kasih dan keharuan. Tapi, ah! Memangnya juga sudah salah paham, sudah mau putus, jadi biar saja aku cerita semua apa adanya! Dia mau cemburu?! Cemburu saja sendiri! Enggak ada urusan sama aku! Lagi pula buat apa dia cemburu? Kan sudah putus? Oh, Mam! Belum pernah rasanya hatiku begini pedih. Aku berhasil membuat orang lain bahagia, tapi diriku sendiri...?! Tragisnya. perceraianku justru berkaitan dengan orang tersebut yang sudah kuselamatkan!
Namamu Terukir Di Hatiku Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengerti sekarang kenapa dulu itu aku berani lancang memberi nasihat ini-itu padanya. Karena... saat itu aku belum pernah mengalami masalah seberat persoalan Dani, sehingga aku enggak menginsafi betapa beratnya penderitaan dan aib yang harus ditanggungnya. Waktu itu aku belum pernah patah hati, belum pernah mengalami malu..." Mendadak air matanya merembes lagi. Dengan cepat dihapusnya dengan punggung tangannya.

"Apakah kau sekarang sudah mengalami patah hati, Tila?" Suaranya seakan terdengar tepat di telinga, padahal Jiro tidak beranjak dari tempatnya, di atas sofa dekat kakinya.

Enggak, kok! Aku enggak patah hati. Hatiku sudah enggak ada di sini, mana mungkin dia patah"!

"Apakah kau sekarang sudah mengalami malu?"

Perlukah kau memojokkan aku dengan pertanyaan seperti itu? Keinginanmu akan tercapai. Hubungan kita akan segera putus. Aku takkan berusaha menahanmu. Apakah itu masih belum cukup? Perlukah kau menambah kepuasan hatimu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa perasaanku?

Air matanya merembes lagi. Ah! Brengsek mata ini! Bikin malu saja. Dikiranya, aku menangisinya! Tambah senang hatinya! Dengan sengit dihapusnya pipinya dengan tangan. Jiro pindah duduk lebih ke depan. Diulurkannya tangannya dan dikeringkannya pipi yang basah itu dengan sapu tangannya. Atila tidak dapat segera mengelak sebab tengah menunduk. Ketika dia memalingkan wajah ke samping, saputangan itu sudah diangkat.

"Siapa yang telah membuamtu malu? Katakan namanya, aku akan bikin perhitungan dengannya!"

Atila mengangkat mukanya pelan-pelan, lalu menatap Jiro dengan tenang. Setelah amukan badai berhenti, tak ada lagi yang ditakutinya. Apa yang lebih berat baginya daripada perceraian? Apa yang lebih buruk daripada menjadi janda pada usia sembilan belas? Enggak ada yang lebih berat, enggak ada yang lebih buruk. Batinnya kini tenang.

"Lekaslah benahi barang-barangmu. Hari sudah malam. Tahu sendiri jalanan Jakarta di malam hari," tukasnya menunjuk kotak di lantai yang sudah terisi sebagian dengan radio, raket, dan lain-lain.

Tapi Jiro tidak bergeming.

"Aku harus tahu dulu kenapa kau merasa malu, dan siapa penyebabnya!"

Kenapa sih kau mau tahu terus! Sudah tahu urusan Dani, sekarang ingin tahu utusanku! Pergilah! Biarkan aku sendiri! Tak usah kau campuri urusanku!

"Aku takkan pulang sebelum kau berterus terang!"

Sesukamu! Kalau kau bersedia tidur di lantai atau di kursi! Ya, Boni, kalau enggak mau pulang, masa bodoh amat! Bukan urusanku, kan?

Dibelai-belainya telinga beruangnya yang sudah tua itu. Dia tahu, Jiro tengah memperhatikannya, tapi dia menolak mengembalikan penghormatan itu dengan balas memperhatikannya.

Hening sejenak seakan kedua pihak tengah mereka-reka kekuatan masing-masing. Ketika Jiro bergerak, Atila sempat menarik napas lega. Sangkanya dia menyerah kalah dan tak mau memaksa. Tapi dia tidak bersiaga terhadap serangan berikut. Tahu-tahu wajahnya sudah berada dalam rangkuman dan kepalanya ditengadahkan sehingga mereka kembali bertatapan. Dia terpaksa tak bisa mengelak lagi ke samping sebab dagunya terpenjara dalam kedua tangannya yang kokoh.

"Tidak mau kaukatakan?"

Matanya begitu indah. Bibirnya begitu menawan. Wajahnya begitu tampan. Hatinya yang perawan hancur luluh. Kenapa aku begini muda? Kalau saja aku lebih tua sedikit Atila mengejap-ngejap untuk membendung waduknya yang sudah mengancam lagi.

"Kau ingin tahu siapa Dani. Sudah kuberitahu. Kau ingin tahu apakah dia pernah mencampakkan aku. Sekarang kau sudah tahu. Kini giliranku mau minta tolong. boleh?"

Jiro langsung mengangguk.

"Tentu saja. Katakanlah!"

"Tolong tinggalkanlah aku sendiri. Cepatlah pulang! Aku memang masih bocah. masih suka main beruang. Duniaku bukanlah duniamu, dunia orangorang dewasa yang matang!"

Tiba-tiba Jiro mendekatkan wajahnya ke depan dan mempererat rangkumannya. Suaranya hampir berbisik,

"Apakah aku yang telah membuatmu patah hati? Apakah aku yang telah membuatmu malu?"

Sesuatu dalam dirinya terasa bergetar demikian kerasnya, seakan tanggul bendungan yang bobol, sehingga seluruh perasaannya meluap bergolak-golak menyebabkan kepedihan yang tak tertahan. Jadi selama ini dia tidak menyadari bahwa dia telah menu

suk-nusuk dan melumat habis diriku?! Apakah baginya kawin dan cerai sama gampangnya dengan makan dan muntah? Begitu bencikah dia pada cewek?

"Menurut perasaanmu, kalau aku kauceraikan, apakah aku takkan merasa malu? Mereka akan menyebut aku janda! Padahal aku baru sembilan belas dan... masih gadis! Aku takkan diizinkan lagi meneruskan kuliah. Orangtuaku pasti akan menyuruh aku pulang. Seisi kota akan tahu riwayatku. Aku akan jadi bahan omongan seumur hidupku! Kaupikir, aku takkan malu?" Suaranya parau dan matanya sudah penuh air lagi sehingga dia nyaris tak bisa melihat wajah di depannya, tapi tidak dihiraukannya. Dia sudah tak peduli lagi apakah dia akan dianggap cengeng atau sentimentil atau apa kek. Segala macam perasaan yang selama ini ditekannya kini meluap tak bisa lagi ditahantahan. Dan Jiro tercengang mendengarnya. Dia terpaku tidak bergeming sedikit pun.

"Kaubilang, aku tak perlu khawatir, masih banyak laki-laki yang akan menghendaki diriku. Tapi, apakah kaupikir aku masih akan mau didekati mereka setelah pengalaman yang pahit ini? Apakah itu enggak sama dengan pengalamanmu sendiri? Setelah dikhianati oleh seorang gadis, buktinya kau jadi kapok dan memusuhi semua perempuan! Apakah aku juga harus dikutuk memusuhi semua laki-laki? Hanya karena aku terlalu muda di matamu? Sehingga terpaksa kauceraikan? Adilkah itu?"

Jiro mendadak kelihatan terengah seakan salah tingkah. Saputangannya dipakainya menyusuti keringat di dahi dan tengkuknya.

"Tapi... tapi, itu semua

takkan terjadi padamu!" ujarnya parau.

"Karena kau berharap aku akan berbuat nekat seperti Dani? Oh, tidak! Aku takkan melakukannya. Aku takkan membuat orangtuaku merana karena ulahku. Sebaliknya, kalau kau masih punya sedikit rasa kasihan bagiku, lebih baik kaubunuh aku! Supaya aku tak usah menanggung malu. Aku akan sangat berterima kasih." Dia tersenyum menantang. Beranikah kau? Takut? Huh!

"Kau sudah gila! Dengarlah!"

Tapi Atila cepat menyela,

"Kau bisa mengaturnya sedemikian sehingga mirip kecelakaan. Dengan begitu orangtuaku takkan kena aib."

Jiro mengguncang-guncangnya dengan keras.

"Dengarlah, Tila. Dengar baik-baik! Jangan potong sampai aku selesai! Mengerti? !

"Tila. aku minta maaf telah menyakiti hatimu. Semuanya salahku, bukan salahmu. Terus terang, sebenarnya aku kawin dengan iktikad kurang baik. Aku sudah dikecewakan oleh seorang gadis yang semula sangat kucintai. Aku jadi dendam. Aku sengaja kawin dengan perempuan yang tidak kukenal, yang takkan kucintai, sebab aku tidak ingin terlibat dengannya. Supaya aku bisa menghindari kekecewaan seperti yang pernah kualami. Yang kuperlukan hanyalah seorang cucu bagi ayahku dan untuk itu, gadis mana pun boleh. Tapi setelah melihat kau begitu manis dan lugu, aku jadi kasihan. Aku tidak tega mengurbankanmu. Aku memutuskan untuk menunggu dulu, aku tak mau menjamahmu. Seandainya terbukti kau tidak setia atau punya bakat ke situ, aku akan menceraikanmu tanpa menimpakan kerugian padamu. Aku memang menjauhkan diri, tapi bukan karena mau mencampakkanmu! Aku bahkan sangat cemburu! Sering kali aku tak bisa tidur memikirkan kau begitu jauh di tempat kos, bukannya di kamar sebelah!

"Makin kuperhatikan kau, makin aku merasa tertarik. Tapi pada saat yang bersamaan timbul persoalan mengenai Rio serta Dani. Aku jadi curiga dan menyangka kau sama saja dengan gadisku yang dulu. Dengan berat sekali aku terpaksa mengambil keputusan, kita harus berpisah....

"Tapi sekarang. setelah aku tahu persoalan sebenarnya, setelah kusadari semua kekeliruanku, tentu saja kita takkan berpisah, La! Kita takkan berpisah untuk selama-lamanya! Kau akan menjadi ratu dalam hidupku!"

Oh, Mam, betulkah ada keajaiban seperti ini? Dari calon tiang gantungan aku akan menjadi ratu!

"Kalau ada kesempatan. aku akan melarang Dani mengukir namamu dalam hatinya! Sebab nama itu sudah kuukir dalam hatiku sendiri!"

Oh, Mami! Apakah aku harus menangis atau tertawa?

"Apa rencanamu selama liburan?"

"Sebenarnya lusa aku mau pulang ke rumah..."

"Batalkan! Rumahmu di sini! Bersamaku! Daripada mudik ke Ujung Pandang, lebih baik kita jalan-jalan ke luar negeri. Kita kan belum pernah bulan madu? Kau mau ke mana? Keliling ASEAN bagaimana? Sepulangnya dari sana, kita beli rumah yang kecil tapi nyaman. Ayahku pernah bilang. dia

mau membelikan kita rumah. Aku enggak setuju kau indekos, jauh dari aku. Jangan takut, kita akan cari rumah di dekat kampus. Aku juga akan mengganti skuterku dengan mobil biasa supaya kau enggak kepanasan atau terpelanting disenggol kendaraan lain. Nah, bagaimana pendapatmu? Setuju?"

"Belum tentu."

Jiro kelihatan terkejut mendengar sambutan yang tenang itu.

"Apanya yang kurang?" tanyanya heran.

"Mona! Siapa dia? Kau mencurigai aku dengan Rio serta Dani, padahal sama sekali tak ada alasan. Tapi kau dan Mona! Aku telah melihat buktinya sendiri! Lengannya mengalungi lehermu! Kau mintaminta ampun padanya sambil tertawa cekikikan. tentunya bukan karena dia mau membunuhmu, kan? Orang yang akan dibunuh pasti takkan ketawa geli! Aku heran kenapa kau enggak kawin dengan dia saja kalau kau sudah telanjur mencintainya!"

"Kawin dengan Mona? Kau gila! Siapa yang mencintainya? Mona adalah teman kuliahku sejak tingkat satu. Semua cowok menyukainya. Dia bisa diajak main apa saja yang kami lakukan. Dia selalu ikut petualangan-petualangan kami ke mana saja, walau berbahaya sekalipun. Kalau sedang camping, kami biasa tidur bertigaberempat satu kemah dengannya. Saking akrabnya, lama-lama tanpa sadar kami sudah menganggapnya sebagai cowok juga! Kami biasa bercanda dan bergelut dengannya seakan dia juga seperti kami. Akibatnya, dia mempunyai banyak kawan akrab cowoktapi tak ada yang mencintainya sebagai wanita! Untung dia berhasil ketemu

jodoh juga, tapi bukan dari kalangan kita. Calon suaminya bankir kaya. Kami semua tak ada yang nempil untuk menggosok sepatunya pun, begitu kayanya dia! Aku harap saja dia kelak takkan punya ide mau berbini muda! Nah, tapi itu urusan Mona! Kita bicarakan urusan kita sendiri saja. Jadi kau sudah yakin? Apa yang kaulihat itu memang konyol, tapi percayalah kami sekelas tidak pernah menganggap Mona lain daripada teman akrab atau, yah... adik! Tak lebih dari itu. Puas dengan penjelasanku? Masih ada pertanyaan'?"

Atila terpaksa menggeleng. Ditatap begitu lekat, dia jadi tersipu-sipu. Wajahnya dirasakannya menjadi hangat. Tapi, aneh, dia tidak merasa kikuk! Dan sakit kepalanya.,Dicobanya berkonsentrasi memikirkan sakit kepalanya... tapi sia-sia, tak ada yang dirasakannya. Dipegangnya kepalanya dengan kening berkerut.

"Sakit lagi?"

Atila kembali menggeleng.

"Kenapa keningmu berkerut?"

"Aku sedang heran, kok mendadak sakitnya hilang!" Jiro tertawa gelak.

Oh, Mam! Baru sekali ini aku melihatnya ketawa begitu keras di depanku!

"Ada yang lucu?" tanyanya heran.

"Sakit kepalamu! Aku rasa di bawah sadarmu kau enggak mau pulang! Kau enggak mau meninggalkan Jakarta dan... aku! ha ha ha...!"

"Iiih!" Atila memalingkan wajah berlagak tersinggung. padahal sebenarnya untuk menutupi malu

nya. Huh! Rupanya monyet ini enggak bisa dikelabui! Dasar calon dokter, ilmunya banyak! Sekarang dia sudah tahu rahasia hatiku, ' gimana lagi aku harus pura-pura acuh? Betulkah aku sakit kepala supaya enggak bisa take off? lhh, gawat! Jangan sampai sering-sering saja!

"Masih ada pertanyaan, La?"

Dia menggeleng.

"Kalau begitu, sekarang aku yang bertanya. Kapan kau mau diresmikan sebagai istriku?"

Oh, eh! Maksudmu?

Atila menoleh dengan terperanjat. Melihat air mukanya, Jiro kembali terbahak.

"Takut? Maksudku, kita undang kawan-kawan kita, kita umumkan dengan resmi bahwa kita sebenarnya sudah menikah! Kita bisa bikin pesta kecil sekalian selamatan pindah ke rumah baru. Bagaimana? Setuju? Dengan begitu kawan-kawanmu dan kawan-kawanku juga, takkan berani mengusikmu lagi! Itu satu hal. Hal yang lain, juga menyangkut peresmianmu sebagai istri...! Ah, kau kelihatan ngeri. Sudahlah tak usah dibicarakan sekarang! Kita tunda sampai..." Jiro berbisik ke telinganya. Atila langsung menunduk dengan wajah kemerah-merahan.

"Pulanglah! Sudah malam!"

Jiro melirik arlojinya.

"Ya, sudah malam. Kalau enggak, tentu kuangkut kau saat ini juga. Sekarang kan sedang libur, tak ada kuliah, jadi tak ada alasan bagimu untuk tinggal di sini! Sementara menunggu paspor. kau harus tinggal bersamaku di tempat Bibi!"

Jiro bangun dan mengambil piring bubur yang

diserahkannya ke tangan Atila.

"Habiskan! Supaya kau cepat sehat lagi! 0 ya, aku lupa, sakit kepalamu sudah hilang! Berarti kau sudah sehat lagi!" Dia tersenyum menatap Atila yang sedang menyendok bubur.

Iiih! Kok dia sekarang jadi penuh humor? Kukira semula dia berhati batu!

"Tapi perutmu kan tetap perlu diisi. Barangkali bubur itu kurang banyak. Mau aku belikan soto mi?"

Iiih! Dia jadi terus-terusan menggodaku! Tak boleh kuladeni!

"Enggak usah."

Jiro berdiri mengawasinya beberapa saat. Atila makan pelan-pelan. Buburnya sudah dingin, tapi rasanya nikmat, pikirnya.

Dia tidak bersiaga ketika tahu-tahu Jiro sudah berlutut di samping sofa dan menggenggam tangannya.

"Tahukah kau? Inilah saat yang paling bahagia bagiku! Aku telah menemukan tambatan hatiku!"

Atila seakan terpesona melihat mata yang hitam itu berlinang-linang. Kemudian... Oh, Mam! Dia menyecupku!

Tamat


Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Pendekar Majapahit Karya Kusdio Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul

Cari Blog Ini