Riak Riak Kehidupan Karya Marga T Bagian 1
Riak Riak Kehidupan
Marga T
Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama
Jakarta 1986
Ebook by Syauqy_Arr
(http://hana-oki.blogspot.com)
****
SEJAK pagi tadi Nafisah tampak gelisah. Sebentarsebentar dia memandang lonceng di tembok, lalu mencocokkannya dengan arlojinya, seakan tidak yakin lagi bahwa keduanya masih tepat jalannya. Ketikannya pun jadi tidak beres. Banyak huruf yang ditelannya begitu saja, membuat Emmi, supervisor-nya yang galak itu makin bertambah judes. Emmi sebetulnya tidak sejahat yang diduga orang, tapi dia pedantik sekali dan tidak senang bila anak buahnya ceroboh. Dan itulah yang dilakukan Nafisah hari ini.
Pada bon tagihan yang besarnya dua puluh delapan juta delapan ratus ribu rupiah, diketiknya angka dua delapan delapan nol-nol-nol-nol. Kekurangan satu nol yang nilainya hampir dua puluh enam juta itu pantas juga kalau sampai menimbulkan makian pedas dari Emmi.
"Nafisah! itu di kepalamu mata atau gundu, sih?" hardiknya.
"Lagakmu dari tadi macam perawan ditinggal pacar saja! Apa pacarmu lari, kali? Sampai kau bisa linglung begini!" Dan bon yang diketik salah itu dilemparnya ke depan Nafisah. tapi sayang terbang jatuh ke lantai. Dengan sabar gadis itu membungkuk dan memungutnya. Tanpa kelihatan jengkel dia kembali ke mejanya. Dia insaf, dirinyalah yang salah. Tidak seharusnya dia memikirkan Dono. Tapi dalam
otaknya berkelebat terus adegan demi adegan sejak perkenalannya dengan anak majikan itu sampai keintiman yang menjalin hati mereka tiga bulan yang lalu.
Rabu itu, kira-kira sepuluh bulan yang lalu, diadakan peninjawan oleh bos mengajak tamu asing yang akan memberi kredit berupa mesinmesin tenun modern yang berkapasitas lipat ganda dari yang sudah ada. Menyertai rombongan terdapat konsultan dari United industrial Consultants yang akan memberi nasihat kepada pemberi kredit. Itu kata mandor Hasan ketika memberi peringatan agar mereka betul-betul kelihatan tekun bekerja waktu majikan datang nanti.
" Kalau kalian semua kelihatan malas, berarti kurang produktif, maka kita tidak akan mendapat kredit mesin-mesin itu, dan majikan pasti akan menyalahkan kalian!" Ancaman Hasan mengena juga.
Saking tekunnya, Nafisah tidak berani mengangkat muka. Dia tak bisa tahu siapa saja yang muncul. Juga tak perlu tahu. begitu kata Hasan tadi.
Banyak suara kedengaran. Dan suara Hasan yang biasanya menggeledek itu terdengar kecil sekali. seperti bisikan angin di jendela malam. Bos berbicara dengan tamunya dalam bahasa inggris pasar yang jelek, namun dihargai sebab merupakan titik penting dalam pendekatan mereka. Pokoknya bisa dimengerti dan bisa timbul kesepakatan.
"Kau sudah berapa lama di sini? " ..
Nafisah gelagapan mendengar suara itu. Ketika diangkatnya kepala, yang pertama dicari adalah wajah mandor Hasan. Kumisnya kelihatan di pojok sana. Untunglah. Dia menarik napas lega. Tapi segera juga gemetar teringat pertanyaan barusan. Kalau bukan karena ada kesalahan, pasti orang takkan menghampiri atau menaruh perhatian padanya.
Sudah berapa lama kau di sini?! Astaga! Kekeliruan apa yang sudah dibuatnya, sehingga laki-laki muda ini mengira dia belum berapa lama di sini?!
Matanya jelalatan menelusuri jalannya benangbenang, mencari-cari di mana salahnya. Sekilas pintas semua tampak beres. Tapi kenapa...?!
"Hei, bisukah kau?" tanya lelaki itu. Walau nadanya tidak menegur, Nafisah berdebar takut. Gelisah membuat keringat titik berembun di dahi. Dia memang belum lama di situ.
"Saya ba...ba...ru enam bu lan di sini...."
Tiba-tiba lelaki itu tersenyum.
"Kau tak perlu takut! Aku bukan mandor kayak si Hasan yang galak itu."
Nafisah mendadak berani ikut tersenyum. Dia merasa lega. sebab orang yang tak dikenal ini ternyata tahu juga dan mengakui kegalakan Hasan.
Laki-laki itu menatapnya dengan mata hitam penuh keramahan. Nafisah seakan merasa dilongok dari atas menara, begitu jangkungnya orang itu.
Dia teringat hidungnya yang berair dan pasti merah lagi, dan tiba tiba rasa malunya timbul. Cepat dipancingnya ke luar sapu tangan dari saku roknya dan
didekapnya ke hidung. Haaciiih! Haaciiih! Haacih! Brengsek! Kenapa tidak cukup sekali saja?! Bersin ini mengganggunya betul. Rukiah sudah bilang bahwa Nafisah rupanya tidak tahan pada debu-debu benang pintalan dan menasihatkan agar memakai penutup hidung. Tapi Nafisah belum diberi jatah masker oleh Hasan.
"Kenapa tidak pakai masker? Dan penutup rambut?"
"Tidak kebagian, Pak. Kehabisan jatah."
"Jangan panggil aku 'Pak. Namaku Dono. Kau bisa ngetik?"
"Bisa... Pak."
"Jangan panggil 'Pak", kataku! Kau lulus SMA?"
"Ya Ppp... Dono." Nafisah serentak merona merah pipinya setelah menyebut nama itu. Dia menunduk. Siapakah laki-laki ini? Mandor baru? Kenapa begitu memperhatikannya? Alangkah senangnya kalau mandor baru yang kelihataun baik ini akan menggantikan Hasan.
Ah, jangan gampang mati di lagu, katanya mengingatkan diri, seperti nasihat Rukiah dulu. Lelaki tak pernah ramah sama perempuan, kecuali ada maksudnya. Mandor baru ini bernikah dia mandor yang baru kalau terlalu ramah begini, padahal belum tahu sampai di mana ketrampilannya. pasti punya maksud-maksud tertentu.
Dilanda pikiran seperti itu, Nafisah jadi murung kembali. Dia bersin lagi.
"Oh, maaf," katanya menunduk tersipu. ,.
"Barangkali kau tidak bisa kerja di sini," kata lakilaki itu dan Nafisah jadi panik.
Dia menggeleng seraya menyumpahi hidungnya yang tidak bisa tahan debu. Debu segala macam. Bahkan di rumah, dia tak bisa menyapu tanpa bersin belasan kali.
"Oh, saya bukan tidak tahan, Ppp... Dono. Ini... ini... pilek biasa. Kalau sudah baik, tentu saya takkan bersin-bersin lagi."
"Siapa namamu?"
Nafisah jadi lemas. Mandor baru ini rupanya benar-benar tidak mau punya anak buah yang bersin terus-terusan. Namanya mau dicatat supaya bisa segera dikeluarkan! Dan dia kembali akan kelaparan. Oh! Kalau begitu masih lebih mending Hasan yang berkalikali mengajaknya tidur (tapi masih bisa dielakkannya dengan seribu seratus alasan).
"Nafisah," sahutnya dengan lesu, berharap semoga suaranya tidak terlalu jelas dan namanya tidak kedengaran. Tapi Dono cuma ber-'hm', mengangguk, dan melangkah kembali mendekati kelompok bos dengan tamu asingnya yang dua orang.
Sorenya Nafisah dipanggil mandor. Sikap Hasan yang sedikit lunak dari biasa memperkuat dugaannya. Mandor itu rupanya sudah tahu bahwa dia mau dipecat dan barangkali merasa kasihan juga sedikit. Tapi dia tidak perlu kasihan dari orang. Dia perlu pekerjaan.
Hasan menatapnya dengan senyum aneh. Nafisah
melengos. Apakah babi ini mau coba-coba menidurinya lagi setelah tahu nasibnya yang segera akan jadi gelandangan?
Percobaannya yang pertama, kedua, dan ketiga sudah berhasil digagalkan. Tapi akibatnya, Nafisah mesti tahan perlakuan yang galak sehari-harinya. Rukiah yang merasa diri lebih bijaksana telah menasihati agar menurut saja supaya hidup jangan tambah susah. Tapi Nafisah tak bisa menerima bujukan itu. Apalagi setelah melihat contoh pada diri Rukiah sendiri. Betul dia tak pernah digalaki seperti dirinya oleh Hasan. namun Rukiah juga tidak diperlakukan dengan manis atau terhormat oleh laki-laki itu. Dia dianggap seperti kesetan kaki yang cuma didekati bila kaki terasa kotor, lalu digosok-gosokkan untuk kemudian ditinggalkan lagi bila kaki sudah bersih.
Tidak. Nafisah tak mau hidupnya cuma sebagai alas kaki seorang jahanam macam Hasan.
"Nafisah, kau tak usah melihat dengan ketakutan begitu padaku! Aku kan tidak mau menelanmu!" Hasan ketawa menyeringai sehingga giginya yang kecoklatan terpampang semua. Nafisah melengos.
"Kau dipanggil bos," kata Hasan menyambung. Nafisah terpana. Jadi betul firasatnya. Laki-laki tadi kalau bukan mandor baru, tentunya mata-mata bos sudah mengadukannya dan kini bos mau memecatnya. Dia tahu, dia takkan mendapat pesangon apa apa. Baru juga enam bulan!
"Ayo, pergi sana!" Hasan mendorongnya ke arah
depan. Keluar dari pintu besi itu, melewati halaman sedikit, masuk gedung administrasi, naik ke loteng... dan dia takkan bisa kembali lagi ke sini.
Nafisah terpaku di tempat. Bibirnya menggeletar. Dipaksanya memandang Hasan tanpa linangan air mata.
"Bang, tolonglah saya. Katakan pada bos, bahwa saya sedang pilek. Bukannya tidak tahan debu. Kalau nanti sudah dapat masker, pasti saya bisa tahan di sini. Tolonglah, Bang." Rasanya, kalau saat itu Hasan menagih pembayaran dalam bentuk apa pun, dia akan setuju.
"Sudah jangan banyak pernik! Sana, naik ke atas! Asal kau tidak menjelek-jelekkan aku. pasti kau selamat!"
Nafisah didorongnya sekali lagi. Dengan gugup dan ragu, Nafisah terpaksa melangkah juga. Dia tak berani memandang ke kiri atau ke kanan. Dia tak berani menyahuti seruan Rukiah yang menanyakan persoalannya. Kakinya yang terasa berat diseretnya keluar, menuju kelaparan dan putus asa.
Seakan mau mengejeknya, terdengar teriak Hasan dari dalam pabrik,
"Hei, kalau suatu waktu kau perlu apa-apa, ingatlah aku!"
Di loteng mereka sudah menunggunya: Dono. lakilaki setengah tua yang belum pernah dikenalnya, dan seorang perempuan umur empat puluhan, berkaca mata
serta kelihatan judes. Bibirnya yang terkatup rapat itu garang, seakan Nafisah adalah musuh bebuyutannya.
"Silakan duduk," undang Dono menunjuk ke kursi sementara kedua orang yang lain cuma mengawasi dengan pandang skeptis. Terutama wanita berkaca mata yang bergaun anggun itu. Sepintas lalu Nafisah melihat blus abu-abu yang pasti terbuat dari sutra. berpita di leher, dan di sebelah luar marie/Jet lengannya terlihat tiga buah gelang emas, menyerasikan kalung yang bergantung di leher.
Nafisah duduk di pinggir sofa. Hatinya gentar juga, seakan mau diadili oleh tiga orang hakim.
"Begini, NaFisah," kata Dono lagi sambil duduk lebih menjorok ke depan dengan kedua tangan terkatup bertumpu di paha.
"Saya boleh menyebutmu Nafisah saja, bukan?"
Nafisah mengangguk tanpa sadar, begitu herannya dia mendengar laki-laki itu sanggup mengingat namanya. Biasanya namanya paling sulit dihafal. Sayang laki-laki sebaik ini kok kerjanya menjadi matamata untuk memecat pegawai!
"Mbak Emmi ini mau membicarakan sesuatu denganmu. Dengarkan baik-baik. Mbak Emmi adalah supervisor di bagian administrasi. Dan ini, Pak Koreto. kepala bagian personalia. Silakan, Mbak Em."
Wanita yang sedang cemberut itu mendadak bisa tersenyum manissekali pada Dono, tapi ketika dia memandang Nafisah, kembali wajahnya jadi asam.
Begini rupanya cara memberhentikan orang. Tiga algojo. Dono, saksi, Emmi, jaksa atau hakim? Dan Kotero...
"Begini, Nafisah," katanya tanpa keramahan.
"Pak Dono melapor bahwa kau tidak tahan debu."
"Oh, bukan begitu," kata Nafisah cepat, dan dia segera menyadari kekeliruannya ketika melihat wajah Emmi merah padam.
"Bicaraku belum selesai!" desisnya setengah marah. Tahulah Nafisah, Emmi tak boleh disela kalau sedang ngomong.
"Ma...af," katanya terbata-bata.
"Sa...ya eu ma ingin menga...takan, sa...ya se...dang pi lek. Bu kannya ti..."
"Tak jadi soal!" potong Emmi, mengulapkan tangan dengan rupa tidak sabar. Entah kenapa, dia tampaknya jengkel menghadapi Nafisah.
"Pokoknya," katanya terus sambil memandang gadis itu dengan tajam,
"Pak Dono kepingin kau pindah ke bagian administrasi!"
Nafisah terperangah. Tak menyangka sama sekali bahwa inilah sebabnya kenapa dia dipanggil. Pantas Hasan jadi ramah bercampur takut padanya. Seandainya dijelekkannya lelaki galak itu sekarang, pasti tahu rasa dia! Tapi Nafisah tak punya hasrat untuk mencelakakan orang lain.
"Nah, kau pasti setuju, bukan?" tanya Emmi dengan nada sinis.
"Sekarang sebutkan ijazah apa saja yang kaumiliki!" .
"Ijazah SMA."
"Di luar itu! Aku sudah tahu, kau lulusan SMA. Pak Dono sudah mengatakannya. Ijazah sekretaris, ngetik, Bond A, Bond B, bahasa Inggris, komputer?"
Nalisah menggeleng berkali-kali, makin lama makin ditelan keputusasaan.
"Saya punya ijazah ngetik, Mbak," katanya akhirnya dengan suara kecil.
"Hm." Emmi melirik Dono sekilas dan berpandangan dengan Pak Kotero.
"Dia tidak becus apa apa," desisnya.
"Tentunya kau bisa bahasa Inggris, bukan?" tanya Dono dengan manis untuk menentramkan gadis itu, yang kelihatan begitu takut pada Emmi.
"Kau pasti bisa mengisi tabel-tabel dalam bahasa Inggris, bukan? Di SMA kau sudah belajar bahasa itu, kan? Kau sekolah di SMA mana? Anu, kau berasal dari mana?"
"Lampung, Ppp... Dono."
"Hm, Don, rupanya sudah intim, nih," sindir Emmi sambil melirik Dono. Yang dilirik cuma ketawa biasa.
"Nah, Inggris takkan banyak artinya bagi tugasmu. Pendidikan lain? Jangan sebut-sebut kursus menjahit dan memasak!" Emmi memperingatkan.
"Saya pernah kuliah di Hukum. Sampai tingkat dua."
"Hm. Tak berguna sama sekali!"
Emmi rupanya tidak menghendakinya sebagai anak buah. Dengan rupa tidak sabar dia sudah bangkit, mengisyaratkan agar Pak Korem mengikut. Tapi Dono melambaikan tangan dan kedua orang itu tak berani bergerak.
"Pokoknya, Mbak Em, saya minta agar Nafisah diterima. Kalau perlu, kita suruh dia kursus dulu."
Dengan sikap terpaksa, Emmi menoleh pada Pak Kotero dan memintanya menuliskan datadata mengenai Nafisah. Pak Kotero segera memberinya sehelai formulir yang mesti diisinya.
"Kalau sudah selesai, turunlah ke bawah. Cari aku!" kata Emmi singkat, lalu sekali lagi bangun dari kursi. Dono mengangguk seakan setuju dengan perintah Emmi, lalu diikutinya perempuan itu tanpa menoleh lagi pada Nafisah.
***
"Huss, jangan melamun! Nanti nenek sihir marah," bisik seseorang. Nafisah terhenyak kaget. Dia menoleh dan melihat Karla tengah memperhatikannya dengan wajah serius.
"Sakitkah kau, Nah? Mukamu pucat banget."
"Tidak," gelengnya. Tapi belum lagi selesai dia membantah, rasa mual mendadak menyergapnya. Serangan itu begitu tiba-tiba, sampai dia tidak sempat lagi mengambil sapu tangan. Muntah yang sudah naik ke mulut terpaksa ditelannya kembali. Dan ini justru menambah rasa mual. Dengan cepat dia bangkit dan setengah berlari mencari WC.
Di sana dia angkek-ongkek sampai lima menit, sehingga rasanya seluruh isi perutnya mudal semua. Peluh dingin merayapi seluruh muka dan punggung membuatnya merasa lemah sekali. Dia bersandar sejenak di dinding, sambil menyeka keringat. Untung
sekali kepalanya tidak ikutikutan pening. Apakah dia akan terserang flu, atau...?! Dia tak berani berpikir lebih lanjut. Cepat-cepat dia keluar dari WC.
Ketika tiba kembali di mejanya, dilihatnya Emmi sedang duduk di sana. Dengan pandang menyelidik diperhatikannya gadis itu. Apa yang membuat Nafisah masih betah bekerja di bawah Emmi adalah sikap keibuannya yang hangat manakala seorang anak buahnya dirundung susah atau sakit.
Emmi memang galak sekali pada keadaan biasa. Bila anak buahnya berbuat salah, dia bisa memaki dengan amat pedas dan tajam. Tapi itu semua rupanya cuma merupakan upaya untuk membuat anak buah disiplin dan tahu kewajiban. Sebab begitu ada yang kena musibah, Emmi segera berubah jadi ibu yang penuh prihatin, sehingga kebanyakan bawahannya segera pula memaafkan serta melupakan kegalakannya.
"Karla bilang, kau sakit, Nah?" tanyanya dengan suara hangat.
"Saya tidak apa-apa, Mbak. Cuma mual sedikit."
Tapi kau kelihatan pucat. Dan berkeringat dingin! Sudah, pulang saja. istirahat."
"Tanggung, Mbak," Nafisah berkilah.
"Alaa, kerjaan takkan ada habisnya. Serahkan tugasmu pada Karla. Dan kau lekas pulang."
Nafisah masih ingin menampik kemurahan hati ini. ketika tahu-tahu rasa mual mengancamnya kembali. Dia terpaksa menyerah.
"Ya, Mbak. Terima kasih."
***
NAFISAH pulang ke tempat kos dengan bimbang. Rasa mual sudah tidak mengganggu, namun rasa gelisah dan galau masih belum mau hilang dari hatinya.
Setiba di pemondokan, lekas-lekas diletakkannya tas, berganti baju dengan daster longgar, lalu pergi ke ruang tamu mencari majalah majalah tua.
Untung ibu kos sedang pergi, jadi leluasa dia menggeratak seluruh tumpukan Femina. Kartini, Sarinah, Famili, serta majalah wanita lainnya. Ibu kos yang anaknya sudah besar-besar itu rupanya merasa kelebihan waktu sehingga terpaksa dibunuhnya dengan membaca.
Diambilnya setumpuk Femina. Kalau tak salah. dulu pernah dilihatnya di sana. Dia ingat wajah perempuan yang menghiasi iklan tersebut, tapi justru nama barang yang diiklankan dia lupa. Apa sih ya nama tes kehamilan itu? Aduh, kok tidak sedikit pun teringat olehnya? Kenapa dulu tidak dicatatnya? Astaga! Tentu saja dulu tak pernah terpikir olehnya bahwa dia akan mengalami...
Dua jam lamanya dia mengaduk-aduk. Tapi rupanya majalah itu sudah tidak lengkap lagi. Banyak nomor yang hilang. Mungkin dipinjam orang, lalu tak dikembalikan. Atau sedang dibaca oleh anak-anak kos yang lain.
Bagaimanapun. dia tidak berhasil menemukan apa yang dicarinya. Dengan kecewa dibereskannya semua
kembali, lalu pergi ke kamar merebahkan diri. Dia tak bernafsu untuk makan, walaupun pembantu kos sudah menawarkan. Sekali itu, wangi masakan dari dapur tidak bisa menggugah rasa laparnya.
Nafisah berpikir seharian. Ketika sore tiba, dia jadi nekat. Diputuskannya untuk mengunjungi seorang dokter. Diam-diam dibawanya buku telepon ke kamar. Setelah meneliti daftar, dipilihnya dokter yang tidak begitu jauh. Dokter Faruk.
Mereka duduk membisu di hadapan Dokter Faruk yang kelihatan tengah mengatakan sesuatu dengan rupa serius sekali. Diperhatikannya sekali lagi map di atas meja. Dibolak-baliknya beberapa kertas hasil pemeriksaan laboratorium. Lalu ditatapnya lagi kedua pasiennya. Mula-mula sang istri. Lalu sang suami.
"Tua dan Nyonya Mantik, ini adalah kunjungan kalian yang kedua puluh pada saya. Perawatan sudah berjalan tiga tahun lebih. Tapi hasilnya masih nihil. Karena itu saya ingin mengusulkan agar percobaan ini distop saja. Biasanya malah setelah dua tahun pun, dokter akan menyarankan agar pasangan pasiennya memungut anak saja. Saya rasa takkan ada gunanya diteruskan."
"Tapi bukankah saya ini jelas-jelas tak ada kelainan. Dokter?!" tanya sang istri dengan sedikit beringas. sehingga suaminya merasa perlu mengingatkan dengan halus,
"Asta, sabarlah kalau bicara."
Dokter Faruk mengangguk.
"itu memang betul. Nyonya tak ada kelainan apa-apa. Karena itu saya tak tahu pasti bagaimana mesti menolong Anda. Semua kelihatan oke dan normal.Tuan Mantik juga tidak punya kelainan. Tapi kenapa tidak juga terjadi kehamilan? Semua pemeriksaan sudah diulangi rangkap tiga. Saya percaya, Anda sebenarnya sudah bosan mondar-mandir terus ke sini. Sekarang saya terpaksa mengatakan hal yang sebenarnya agar Anda berdua jangan menyimpan harapan kosong. Kalau saya biarkan Anda berdua terusterusan datang sementara saya sudah tahu keadaan yang sebenarnya seperti ini, berarti saya egois. Cuma ingin honor tanpa memikirkan kepentingan pasien. Ketidakpastian seperti ini pun pasti sangat meresahkan Anda. Terombangambing antara harapan dan putus asa adalah sangat tidak enak. Karena itu saya ingin menyarankan agar percobaan ini dihentikan saja. Satusatunya jalan yang masih terbuka adalah..." Dokter menelan ludah, menunduk sejenak mempermainkan bolpen, lalu mengangkat muka dan memandang Astari.
"...mengangkat seorang anak!" sambungnya.
Astari menggigit bibir bawah, sekuat tenaga melawan bendungan air mata yang hampir jebol. Sampai mereka pamitan, dia masih berhasil menguasai diri.
Dokter Faruk mengawasi kedua pasiennya menghilang di balik pintu kamar praktek. Dia merasa kalah dan kecewa pada diri sendiri sebab tak berhasil menolong mereka. Akhirnya dia menghela napas dan bergumam,
"Direktur jutawan. Istri begitu cantik. Tapi... nasib!"
Di ruang tunggu, Astari melihat seorang gadis belia duduk setengah ketakutan di kursi paling pojok yang agak gelap. Kecemasan begitu meronai wajahnya, sehingga sejenak Astari ingin sekali tahu apa penyakitnya. Dia sudah mendengar adanya wanitawanita muda belia yang terserang penyakit kanker... itukah penderitaan yang membuatnya kelihatan begitu putus asa?! Masih adakah orang lain di dunia yang lebih malang dari dirinya sendiri?!
"Ayo, Asta," bisik Murdo, menyentuh sikunya dan menggandengnya ke arah mobil.
Tapi aku belum mau menyerah, murdo: seru Astari dengan tegas.
"Aku tidak mau memungut anak! Aku mau anakku sendiri! Anak kita! Dan aku akan mendapatnya! Dengan atau tanpa bantuan dokter! Pada suatu hari, aku pasti akan memperolehnya!"
"Itu juga harapanku, As. Tapi kita tak boleh merusak hidup ini dengan sebuah obsesi yang takkan jadi kenyataan. Seandainya kita ini memang takkan pernah dikaruniai Tuhan dengan anak. yah sudahlah. Kita tak bisa berbuat apa-apa kalau itu sudah kemauan Yang Mahakuasa. Lebih baik kita pikirkan usaha lain untuk membuat rumah kita ini lebih semarak. Mengangkat seorang anak rasanya bukanlah ide yang buruk..."
"Memelihara anak orang lain?" teriak Astari sambil melempar suaminya dengan bantal. Mereka tengah
berada di kamar tidur.
"Menjadikan diri kita gunjingan dari teman dan kenalan? Oh, tidak. Murdo! Tidak! Aku tidak mau! Aku sudah muak disindir-sindir orang melulu!"
"Siapa yang menyindirmu, Asta?"
"Siapa? Kau sudah lupa barangkali waktu adik temanmu menikah? Temanmu, insinyur Bambang itu! Kita duduk semeja dengan teman'temanmu yang lain beserta istri-istri mereka. Aku mendengar sendiri salah seorang berbisik: 'Mandul', lalu disusul dengan cekikikan tertahan. Lalu lirikan mencemooh ke arahku. Dan bisikan kembali. Apa kau sudah lupa? Ayo, apa kau sudah lupa peristiwa itu? Kau rupanya tak bisa merasakan penderitaanku!" Astari bersimpuh di atas ranjang, memeluk bantal dan mulai menangis.
Murdo lekas-lekas meninggalkan koleksi perangkonya di atas meja. Dia naik ke ranjang, duduk di sebelah Astari dan memeluknya erat erat.
"Asta, Kekasihku, tentu saja aku sangat merasakan apa yang kauderita. Sebab aku juga sependeritaan. Aku juga merindukan seorang anak, As. Darimu. Apa kaukira tidak? Tapi habis bagaimana lagi kalau memang tak mungkin.Kita sudah berusaha mati-matian. Tuhan masih belum mau mendengarkan permohonan kita. Sudahlah. jangan menangis. Sabar saja. Orang penyabar biasanya dikasihani Tuhan."
Murdo mengecup istrinya dan merebahkannya ke atas bantal. Lalu dia bangkit, mengambil kertas tisyu dari meja rias. Disekanya mata dan pipi istrinya. Sambil
mengelus punggung Asrari yang mengisak ringan, seakan dia itu bocah cilik, dibujuknya perempuan itu supaya tidur.
"Aku padamkan lampu, ya," katanya seraya bangun berdiri.
Murdo sudah terlelap berbaring di sisinya, namun Asrari tak bisa memicingkan mata. Semua kisah hidupnya melintas lagi di depan mata, seolah itu gambar hidup yang belum selesai ditonton.
Dalam ketemaraman cahaya lampu kamar, Astari melihat dirinya semasa gadis. Lincah, gembira, penuh pesona, dan tak pernah risau. Astari tidak mengenal banyak kesusahan dalam hidupnya. Lepas bangku SMA, dia segera diterima di fakultas ekonomi yang sempat disinggahinya sampai hampir tiga tahun. Sampai dia berkenalan dengan Insinyur Murdo Mantik yang sekampus dengannya.
Murdo waktu itu sudah hampir jadi sarjana. Setelah lulus, dia meneruskan pasca sarjana selama lima tahun ke Jerman. Pulangnya mereka langsung kawin. Astari ingat, mereka begitu bahagia waktu itu. Adakah terpikir oleh mereka akan kemungkinan menemui musibah seperti sekarang?! Tidak. Mereka sama sekali jauh dari was was ataupun kekhawatiran jenis lain.
Pesta yang begitu meriah. Gaun pengantin yang begitu anggun. Buket anggreknya pun sangat manis. m
Dan sepasang pengiring yang lucu: putri kakak Asrari serta putra kakak Murdo. Keduanya kebetulan sama tua, baru lima tahun. Astari masih ingat ucapan seorang bibi yang mengharapkan mereka akan segera memiliki bocah-bocah selucu Atina dan Suki. Waktu itu dia tersipu malu, sementara Murdo ketawa terbahak. Entah di mana lucunya. Itu kan bukan lelucon! bisiknya kemudian, menyebabkan Murdo hampir ketawa lagi. Untung saat itu datang tamu yang mesti disalami.
Arina dan Suki sekarang sudah duduk di SMP. Cepatnya waktu melayang pergi. Dan bocah bocah yang didambakan ternyata tak pernah menyinggahi mereka.
Ah! Betapa penuh harapannya hari itu, ketika mereka bersanding di pelaminan. Betapa biru terasa langit. Betapa cerah masa depan. Dan rumah ini sungguhsungguh merupakan istana. Kenapa akhirnya jadi begini? Di mana salahnya?
Pemeriksaan demi pemeriksaan mereka jalani dengan tabah. Dengan kerelaan yang mengharukan, Murdo juga membiarkan dirinya diperiksa macammacam. Padahal dari omongan orang dia tahu, para suami paling emoh pergi ke dokter dan lebih suka mengkambinghitamkan istri saja kalau si buyung susah lahir.
Empat tahun setelah mereka menikah dimulailah perawatan oleh Dokter Faruk dengan melakukan analisa sperma. Astari sendiri menjalani pemeriksaan darah, Sinar X, serta pemeriksaan fisik berulang kali. Namun dokter tak pernah menemukan kelainan.
Saat itu AStari sudah berumur tiga puluh tahun. Dokter beranggapan bahwa mereka harus mulai berpacu dengan waktu kalau betul-betul ingin punya bayi. Perawatan tidak mungkin akan memberikan hasil dalam waktu singkat.
"Dokter bukanlah Tuhan," kata Dokter Faruk,
"yang bisa membuat mukjizat dalam sekejap mata."
Dan kini, tiga tahun telah berlalu lagi. Astari baru saja merayakan hari ulang tahunnya yang ke tiga puluh tiga. Dan pada hari bahagia itu di mana orang biasanya ketawa renyah, Astari diam-diam menghapus air mata. Murdo memergokinya dan mengecupnya berulangulang sampai dia sanggup tertawa lagi.
Yah! Hanya cinta Murdo-lah yang masih memberinya kekuatan untuk bertahan dan tabah serta tidak kehilangan harapan. Cinta dan kepercayaan Murdo membuatnya mampu meliput lara. Terlebih menghadapi cemooh serta sindiran dari keluarga Murdo.
Dia tahu, mertuanya sudah berulang kali menyuruh Murdo agar menceraikannya dan kawin lagi. Bahkan padanya sendiri, ibu mertuanya pernah bertukar pikiran mengenai hal ini, mengharapkan kebesaran hati serta keikhlasannya untuk membiarkan Murdo punya keturunan.
"Kalau kau tak mau diceraikan, tidak apa-apa. Asalkan suamimu kauberi kebebasan untuk beristri lagi. Semata-mata demi keturunan. Percayalah, Murdo masih akan tetap cinta padamu. Dan kau juga takkan terlantar."
Astari seperti disambar geledek mendengar permintaan itu. Pulangnya dia langsung menunggu Murdo di ruang depan. Begitu suaminya datang dari kantor, serentak dibombardirnya dengan serentetan tuduhan yang menyakitkan. Dia bahkan sudah tidak sempat menunggu sampai mereka masuk ke kamar.
"Kau menyuruh ibumu supaya minta izin dariku, ya. Buat kawin lagi! Kau mementingkan diri sendiri! Tak mau tahu penderitaanku. Apa kaupikir yang ingin cuma kau sendiri? Kau pikir aku sudah puas dengan kehidupan selama ini? Apa aku juga tidak merindukan "
"Huss!" bisik Murdo cepat-cepat mengecup bibirnya.
"Mari ke kamar dulu. Nanti didengar pembantu."
Di dalam kamar, Murdo menanyakan duduk persoalannya. Astari menjelaskan dengan berapi api.
"Tadi aku ke rumah Ibu mengantarkan ayam goreng kesukaan Bapak. Tahu-tahu..." Astari menceritakan semuanya dengan suara tersendatsendat menahan ledakan tangis.
Murdo menghela napas sambil memeluknya eraterat.
"Asta, Kekasihku. Sejak dulu aku sudah khawatir bahwa kau pada suatu hari akan terjebak juga oleh ibu. Bukankah sudah aku pesan, jangan sekali-kali ke sana tanpa aku? Larangan itu sebenarnya untuk mencegah terjadinya insiden seperti ini. As. Aku sudah pesan pada Ibu, jangan sekali-kali mengatakan yang bukan-bukan padamu. Persoalan ada tidaknya anak adalah persoalan.
kita berdua yang tak perlu dicampuri oleh siapa pun. Tidak juga ibuku. Saran dan nasihat tentu saja akan kita sambut dengan baik. Tapi jalan keluar seperti yang disarankan ibuku, sudah aku tolak mentahmentah. Perkawinan bagiku adalah jauh lebih tinggi daripada sekadar jalan untuk punya keturunan. Anak bukanlah tujuan utama hidup manusia di atas bumi. Tapi hanyalah pelengkap saja. Kalau kau masih kurang percaya padaku, baiklah kukatakan terus terang: sebenarnya ibuku sudah berkali kali menyuruh aku bercerai dan kawin lagi."
"Oh!" seru Astari terpana.
Murdo mengetatkan pelukannya.
"Kau tak perlu khawatir, Sayang. Aku takkan pernah mau mengikuti kehendak Ibu yang satu ini. Senang atau susah, aku ingin tetap bersamamu! Aku tidak mau bercerai. Takkan pernah mau!!!"
Dalam ketemaraman cahaya kamar, Astari menghapus sebutir air mata. Cinta Murdo sungguh sangat mengharukan dan merupakan satu?satunya sumber yang memberinya semangat hidup untuk menghalau keputusasaan yang begitu kerap mau menelan dirinya.
Tapi hari ini! Seminggu setelah ulang tahunnya, apa kata dokter? Usaha mereka gagal! Sebaiknya dihentikan saja. Sebab obat-obat yang selama ini ditelannya, semua hormon-hormon itu, bukannya tak punya efek yang berbahaya. Walau dokter tak mau menjelaskan barangkali karena tidak mau menakut-nakutinya Astari bisa menerka bahayanya. Tumor, kanker, dan
entah apa lagi. Obat-obat yang didapat Murdo juga bisa menimbulkan efek samping yang akan cukup memusingkan.
Jadi mereka sepakat, usaha itu dihentikan. Maksudnya, dokter dan suaminya. Dia sendiri cuma mengangguk, walau dalam hati bertekad takkan pernah berhenti. Sebab itu berarti menyerah. Dan menyerah artinya tak mau lagi berjuang. Dan bila dia sudah tak mau lagi berjuang, artinya dia harus mati. Tidak. Dia belum mau mati. Belum mau menyerah.
Sekarang dia sudah berumur tiga puluh tiga tahun. Mereka sudah kawin tujuh tahun. Seharusnya dia merasa bersyukur mendapat suami seperti Murdo, yang begitu toleran dan penuh pengertian. Tapi kalau dia sudah berada di tengah-tengah keluarga Murdo, misalnya kalau ada yang ulang tahun, maka hatinya selalu berdarah dikoyak pandangan maupun kata-kata yang tak pernah ramah.
"Nah, Tari, kapan kalian mau punya baby, nih?" tanya kakak Murdo. Sepintas lalu memang kedengarannya penuh perhatian, tapi di balik itu Astari bisa menangkap siratan cemooh. Dia mengerti, tidak ada pasangan yang akan menunggu sampai tahunan untuk mendapat anak pertama. Dan mereka tak punya alasan apa pun untuk menunda. Ekonomi mereka sangat cukup.
Sejak Murdo membuka pabrik pengalengan makanan dan serentetan supermarket bergabung dengan beberapa teman di samping pabrik genting dan tegel
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang memang sudah lama ada, maka hidup mereka jadi mewah. Murdo sudah menjadi jutawan. Nah, mau tunggu apa lagi? Selusin anak pun pasti akan bisa mereka ongkosi dengan serba cukup.
Ditilik dari segi waktu. juga tak ada masalah. Sejak menikah, Astari tidak lagi bekerja di kantor. Juga tidak mengambil kursus apa pun. Jadi mau tunggu apa lagi?
Oh, dia bisa gila rasanya kalau sudah memikirkan sindiran serta pandangan mengejek yang dilontarkan ibu serta kakak-kakak dan adik-adik Murdo yang lima orang itu. Bahkan anak-anak mereka pun rupanya tidak dilarang untuk mengurangajarinya.
"Kok Tante belum juga punya baby? Mama sudah punya lagi satu. Kata Mama, cuma orang gila yang tak boleh punya anak sama dokter. Apa Tante gila dan tidak boleh punya anak?"
"Tentu saja boleh, Raf. Tante kan bukan orang gila?" Astari memaksakan diri tersenyum, padahal dalam hati mendidih. Ibu Rafi yang duduk tidak jauh dari situ, secara demonstratif menyusui bayinya dan sama sekali tidak menggubris omongan anaknya yang kurang sopan itu.
Dalam ketemaraman kamar, setetes lagi air mata meleleh di pipi. Disusutnya dengan telapak tangan.
Astari menghela napas. Terkadang dia menanyai Tuhan melalui Murdo.
"Coba pikir, Mur. Begitu banyak anak yang dilahirkan lantas jadi terlantar. Tidak kurang pula yang begitu lahir langsung dibunuh. Ada yang dicekik. Ada yang dilempar ke atas genting. Ada
yang ke sungai, ke got, bahkan ke kakus. Sedang anak kita, seandainya lahir. pasti akan mendapat perawatan yang sangat baik, bukan? Kita pasti akan mengasihinya. Dia takkan terlantar. Tapi kenapa Tuhan justru tak mau memberkati kita dengan anak? Kenapa, Mur?"
"Tuhan bukanlah untuk ditanyai, Asta. Dia cuma untuk ditaati. Tuhan tak mau dan tak bisa digugat. Dia takkan menjawab. Jalan pikiranNya takkan pernah bisa kita pahami selama kita masih tinggal di bumi fana. Yang bisa kita lakukan cuma satu: berharap dan berdoa. Sabar, sabar, sabar."
Setiap kali pulang dari dokter, bila didapatinya Astari menyendiri di kamar dengan wajah murung, Murdo pasti memeluknya dengan bisikan penuh hiburan.
"Sudahlah, As. jangan terlalu kita pikirkan benar kesulitan ini. Kalau memang Tuhan tidak mengizinkan kita punya anak, tak apalah. Yang penting, kita berdua tetap sehat dan saling mencinta selamanya. Coba saja lihat keadaan sekeliling kita. Teror di mana-mana. Inflasi. Kerjaan susah. Masuk sekolah sulit. Anak-anak di luar negeri sudah pintar bunuh diri, tentunya karena merasa hidup ini terlalu menekan. Sebentar lagi akan perang nuklir dan kita masih belum tahu kesengsaraan macam apa yang akan menimpa bumi ini setelah perang seperti itu. Anak yang terlahir sekarang, belum tentu akan jadi bahagia. Kehidupan sudah begitu susah, Asta. Barangkali ini karunia dari Tuhan juga, bahwa kita tak punya anak. jadi kita tak usah sampai harus menyaksikan kesengsaraan anak kita setelah perang
nuklir di mana segala rupa penyakit akan timbul tanpa ketahuan apa obatnya. Di mana hidup pasti akan berpuluh kali lipat lebih sulit dari sekarang."
Astari tak bisa menerima logika suaminya. Tidak punya anak dianggap berkat dari Tuhan?! Masa iya?! Takkan pernah bisa dianggapnya itu sebagai anugerah!
"Bagaimana sih kau ini! Kalau kita menginginkan sesuatu, lalu tidak kita peroleh. masakan itu merupakan berkat?"
"Kenapa tidak? Misalnya kalau yang kauinginkan itu berbahaya bagimu? Pistol, umpamanya?!"
"Tapi anak kan tidak berbahaya, Mur!" kilah Astari.
Murdo menggeleng.
"Entahlah. Barangkali Tuhan menganggap itu berbahaya buat kita."
"Tapi Tuhan pilih kasih! Tidak adil! Berat sebelah! Kenapa bayi-bayi yang tidak diharapkan dibiarkanNya lahir, padahal jelas akan segera dibunuh begitu lahir! Sedang kita..."
Murdo menutup ocehan istrinya dengan kecupan.
"Jangan menggugat Tuhan, Manis." bisiknya.
"Jangan tanyai Dia."
Dalam ketemaraman kamar, Astari mencoba tidak lagi menanyai Tuhan. Semua pertanyaan ditelannya kembali. Dikatupkannya mata dan dicobanya melelapkan diri ke dalam mimpi yang bisa membuatnya luna akan derita.
***
"NONA Nafisah?"
"Betul, Dokter."
"Umur?"
"Dua puluh dua, Dokter."
"Belum menikah?"
"Be...lum, Dokter."
Kartu yang putih bersih itu mulai terisi data-data. Kapan haid untuk pertama kali? Berapa hari biasanya? Lamanya jangka waktu antara haid yang satu dengan berikutnya? Nyeri atau keluhan lain menjelang haid? Ada keputihan? Gatal-gatal? Penyakit kelamin?
"Nah," kata Dokter Faruk akhirnya, memandang pasien barunya.
"Apa keluhan Nona sekarang?"
"Sa...sa...ya tet...lam...bat haid, Dokter!" cetus Nafisah.
"Berapa lama?" Dokter sama sekali tidak tampak kaget.
"Sudah tiga minggu, Dokter." Nafisah meremas sapu tangan di pangkuannya.
"Apakah Nona pernah bercampur dengan seorang pria?"
Nafisah mengangguk lemah. Lalu menunduk. Meremas sapu tangan.
"Ya. Dengan pacar saya."
"Berapa kali?"
"Empat kali."
"Cuma dengan satu orang? Tak ada orang lain?"
Nafisah menggeleng.
"Tak ada, Dokter. Cuma dengan dia."
"Baiklah. Silakan masuk ke kamar periksa. Tadi sudah menampung air kencing di luar?"
"Sudah, Dokter. Suster yang menyuruh."
Dokter mengangguk. Nafisah pergi ke kamar periksa di mana sudah menunggu seorang suster lain. Sementara Nafisah menyiapkan diri, dokter memeriksa beberapa kartu pasien untuk membaca-baca apa keluhan-keluhan mereka yang terdahulu supaya bisa dicocokkan dengan keadaan sekarang, bertambah baik atau makin buruk.
Pemeriksaan berjalan cepat. Dokter melepas sarung tangan, lalu pergi ke labor yang terletak di ruang sebelahnya. Selain untuk pasien-pasien pribadi. labor itu juga menerima pasien luar yang perlu tes darah. urine, dan lain-lain.
Sementara dokter ke labor, Nafisah mengenakan kembali pakaiannya.
"Urine pasien Nafisah sudah diperiksa?" tanya dokter pada laboran.
"Sudah, Dok. Hasilnya positif."
"Hm," gumam Dokter sambil berjalan balik ke kamarnya.
"Kita akan menghadapi badai!"
Dibukanya pintu. Nafisah sudah duduk menanti di depan mejanya.
"Yah!" kata Dokter dengan suara berat seraya menjatuhkan diri ke dalam kursi.
"Nona memang hamil."
Dipandangnya gadis itu dengan iba. Usianya tidak terpaut jauh dengan putrinya sendiri yang berumur dua puluh satu tahun. Tapi Priska masih begitu kekanak-kanakan. masih suka merengek manja kalau ingin sesuatu dan bisa merajuk pada ibunya kalau tidak dituruti. Nafisah tampaknya sudah lebih dewasa dan matang. Diperhatikannya gadis itu menerima beritanya dengan wajah dipaksakan setenang mungkin. Tapi dilihatnya juga dia mencoba menelan ludah dengan susah payah. Gadis ini menghadapi kesulitan, pikirnya dengan rasa kebapakan.
"Nah, apa rencana Nona selanjutnya? Memberi tahu orang tua?"
"Oh, tidak, Dokter." sahutnya spontan dan terlalu cepat, penuh takut.
"Mereka tak boleh tahu. Ibu saya sakit jantung, Dokter."
"Memberi tahu pacar?"
Nafisah menunduk.
"Dia sudah berangkat ke luar negeri, Dokter. Dipaksa orang tua."
"Surati dia."
"Saya tak tahu di mana alamatnya. Rupanya dia dilarang orang tuanya menyurati saya. Kalau ketahuan, mereka mengancam akan memecat saya."
"Jadi Nona bekerja pada ayahnya?"
"Ya, Dokter. Saya bekerja pada Famaguchi Textile. Di bagian tata usaha. Orang tua saya di Lampung, Dokter. Petani. Miskin. Gaji saya diperlukan untuk menyokong sekolah ketiga adik saya."
Dokter Faruk sudah punya batasan untuk tidak
melibatkan diri kelewat dalam dengan persoalan pribadi pasien-pasien, tapi entah kenapa. terhadap Nafisah mendadak muncul naluri kebapakan yang ingin melindungi.
"Yah!" katanya menggeleng.
"Jadi, apa yang akan Nona rencanakan untuk selanjutnya? Apa Nona akan memelihara anak ini? Atau memberikannya pada orang lain? Atau... abortus? Tapi ingat, saya tidak menganjurkan jalan terakhir itu. Lebih baik Nona biarkan anak itu dipelihara orang lain."
"Saya akan kehilangan dia?"
"Tidak ada jalan lain, Nona. Nona tidak mungkin memeliharanya, bukan? Itu jauh lebih baik daripada membunuh janin itu sekarang."
Nafisah tahu, tak ada jalan lain. Uangnya tak cukup untuk mengongkosi seorang anak. Untuk keluarganya di Lampung saja sudah pas-pasan. Dari mana lagi mau diperasnya uang untuk seorang bayi? Tapi, kalau dia harus kehilangan anak itu untuk selamanya...
"Ke mana harus saya serahkan anak itu kalau sudah lahir, Dokter?"
"Ke mana? Nah. ada beberapa panti asuhan bayibayi terlantar yang bisa membantu Nona. Nanti saya berikan alamat mereka kalau sudah tiba saatnya."
"Tidak bolehkah saya mencarikan sendiri orang tua angkat bagi anak saya, Dokter? Supaya saya bisa melihatnya sesekali? Mengunjunginya?"
"Sebaiknya jangan Nona lakukan hal itu. Demi kebaikan anak . Dia harus tumbuh dengan keyakinan
bahwa mereka adalah orang tua kandungnya. Kelak, bila sudah dewasa, kalau dia sudah bisa menerima fakta kehidupan, barulah boleh diberi tahu mengenai asalusulnya. Saat itu biasanya dia akan ingin tahu siapa ibunya dan akan mencarinya. Tapi kalau sejak kecil dia sudah dibimbangkan dari mana asal-usulnya, dia mungkin akan mengalami gangguan perkembangan jiwa."
Nafisah mengangguk dengan rupa tak berdaya.
"Sekarang tenang-tenang sajalah," hibur dokter dengan nada kebapakan. Rambutnya yang sudah penuh uban dielusnya sejenak. Dia merasa prihatin terhadap pasien yang muda belia itu.
"Apa Nona tidak punya Famili di Jakarta?"
Nafisah menggeleng.
"Tidak, Dokter. Saya sendirian di sini. Saya kos. Dulu pernah kuliah, dua tahun. Lantas putus. Tak ada biaya."
"Hm." Dokter mengambil kertas resep dan menooretkan beberapa jenis obat yang perlu dimakan oleh Nafisah. Sejenak dia tercenung memandangi resep, seakan memikirkan obat apa yang masih kurang. Bolpen diletakkannya di meja. Jari-jarinya mengetukngetuk kertas dengan irama bikinannya sendiri.
"Apa Nona sudah memutuskan untuk memberikan anak ini pada orang lain?" Dokter menatapnya.
Nafisah menggigit bibir, tidak mampu segera menjawab. Kemudian, dengan mata berlinang, dia cuma bisa mengangguk.
"Baiklah. Mungkin saya bisa membantu. Mungkin saya bisa mencarikan orang tua yang baik untuk anak ini."
Seperti biasa setelah kunjungan ke Dokter Faruk yang tidak memberinya harapan, esoknya Astari pasti pusing kepala dan tidak bangun dari tempat tidur.
Murdo membawa baki sarapan ke dalam kamar, supaya mereka bisa makan bersama. Setelah itu baru ditinggalkannya istrinya dengan selusin kecupan.
Astari biasanya lalu mencoba tidur kembali. Tengah hari barulah pusingnya akan berkurang dan dia akan sanggup bangun. Tapi pagi itu dering telepon mengusik usahanya untuk melelapkan diri kembali. Dengan segan dan malas diangkatnya pesawat di samping ranjang. Kalau ini Nyonya Istiati, yang akan mengajaknya pergi arisan, dia sudah menyiapkan jawaban. Pusing kepala. Kalau ibu mertua, yang akan menyuruhnya datang membantu bikin kue ini itu, akan dikatakannya ada janji ke dokter. Itu satu-satunya alasan yang bisa melunakkan hati perempuan itu. Ke dokter. Tentunya ke dokter kandungan. bukan? begitu pasti akan ditanyanya. Dan kalau Astari mengiakan, suara mertua kontan akan jadi lebih ramah. Beliau betul-betul mengharapkan seorang cucu dari Murdo, sebab Murdo adalah satu-satunya anak lelaki!
"Halo," katanya tanpa semangat.
"Selamat pagi. Saya rasa, saya bicara langsung dengan Nyonya Mantik sendiri, bukan? Saya Dokter Faruk. Begini Nyonya Astari, maukah kiranya Anda mendengarkan saya barang sebentar?"
Astari mendengarkan. Mula-mula dengan acuh saja. tapi lambat laun bertambah tertarik. Berbagai pikiran bersembulan di kepala. Pusingnya mendadak tak terasa lagi.
"Pikirkan saja dulu baik-baik. Tak usah diputuskan terburu-buru. Rundingkan dengan suami dan keluarga. Bel saja saya kapan-kapan."
Astari meletakkan pesawat dan menatapnya dengan takjub seakan itu alat luar biasa yang bisa mengubah jalan hidup manusia. Dan rupanya terkadang hal itu memang terjadi. Melalui telepon, banyak hal bisa terlaksana. Merundingkan dengan keluarga? Tidak. Tak perlu. Dia cuma akan berunding dengan Murdo saja.
Betapa kecewanya Astari ketika tanggapan Murdo adem belaka. Sambil melepaskan dasi, duduk di kursi menunggu teh diantarkan pembantu, ditatapnya istrinya sambil tersenyum geli. Astari kelihatan seperti anak kecil mengharapkan mainan baru yang akan segera diperolehnya asal dia mau. Ketika Murdo tidak memberi jawab, Astari mengulang lagi dari depan.
Telepon dari dokter. Usulnya. Mula mula dia skeptis dan merasa terhina ditawari untuk memungut anak orang. Seakan itu suatu vonis bahwa dirinya sebagai wanita sudah tak berguna, kosong dan mandul seperti tunggul yang takkan bercabang serta berdaun.
lagi. Namun kemudian, setelah dipikir-pikir setengah harian, mendadak malah muncul pikiran yang menyambut baik usul tadi. Yaitu, begini Mur...
Laki-laki itu menggelengkan kepala. Betapa naifnya perempuan, pikirnya. Sebesar itu pun masih mau menggampangkan segala urusan.
"Aku kurang setuju," katanya pendek.
Pembantu masuk dan mereka berhenti sebentar. Murdo meneguk teh yang hangat itu seraya menjangkau piring kue. Diambilnya sepotong kue talam. digigitnya, lalu ditatapnya kembali istrinya.
Astaga! Wajah yang barusan begitu riang, sekarang sudah mendung dan sebentar lagi pasti hujan bila dia salah taktik sedikit saja. Wajah yang cemberut itu dipandangnya dengan penuh cinta.
"Jangan marah dulu, Asta. Pikirkan baik-baik apa kehendakmu itu bisa dilaksanakan atau tidak. Coba, pikirkan lagi."
"Pasti bisa!!" seru Astari, kembali mendapat semangat. Matanya yang besar makin berbinar ketika dia bilang,
"Tak ada yang perlu tahu keadaan sebenarnya, kan? Kecuali kita berdua, gadis itu dan dokter. Aku akan menyepi ke gunung, misalnya ke Puncak atau ke mana kek, yang takkan diketahui oleh orang lain. Dan kukatakan pada Bi Siti bahwa aku mengandung, oleh dokter disuruh istirahat sampai melahirkan. Biar Siti yang jaga rumah. Begitu juga pada ibumu kaukatakan hal yang sama. Pada keluargaku juga. Supaya bohongnya jadi pas. Nah, kami akan tinggal
berdua, gadis itu dan aku. Kau menjenguk setiap akhir pekan saja, Mur. Nanti, kalau sudah melahirkan, dan bayi sudah ada, aku akan balik ke rumah. Gadis itu kita tutup mulutnya dengan imbalan yang harus lebih dari cukup...."
"Misalnya?" tanya Murdo sambil meraih sepotong kue lagi.
"Yah! Misalnya. ! Terus terang, aku belum memikirkan sampai ke detil. Tapi kita bisa saja memberinya uang sebanyak yang diinginkannya. Atau, barangkali rumah? Mobil? Biarkan dia memilih sampai senang hatinya. Kita toh bisa memberikan imbalan serupa itu, Mur?"
"Bukan soal bisa tidaknya, Asta. Kalau perlu, aku rela berhutang demi kau. Supaya kau bahagia. Tapi apakah rencanamu itu rasional, Asta? Kenapa kita tak mau menerima saja keadaan kita ini dengan tabah?"
"Aku malu, Mur!"
"Malu sama siapa?"
"Sama siapa katamu? Apa kau tidak ingat lagi sikap Ibu dan kakak-kakakmu terhadapku? Bahkan anakanak mereka dibiarkan kurang ajar padaku. Masih untung kita tidak tinggal di rumah petak, sehingga tetangga pun tidak begitu usrl satu sama lam. Tapi kalau aku ikut arisan, terkadang masih ada juga satudua ibu yang selalu bertanya,
"Kapan nih, Dik As." atau kayak gitu, deh. Aku rasanya tertekan, malu bercampur penasaran. Masa sih aku tak bisa punya anak, Mur?! Apakah kau ingin aku malu terus-terusan begini?" .
Murdo pindah duduk ke sofa di sebelah istri dan memeluknya dengan mesra, membelai rambut rambut yang menjulur ke dahi. Dikecupnya pipinya.
"Tentu saja tidak, Asta. Aku ingin kau bahagia! Bahagia sepenuh-penuhnya. Aku ingin kau mendapat apa yang kauinginkan."
"Apa kau juga tak mau punya anak. Mur? Pernah, waktu kita ke Bandung tempo hari, kita melewati sawah-sawah dan aku melihat induk kambing dengan tiga ekor anaknya. Hatiku merana, Mur. Aku berpikir saat itu,
"Sedangkan kambing saja bisa punya anak, diperbolehkan Tuhan punya anak, kenapa aku tidak? Kenapa kita tidak, Mur? Ke mana pun kulayangkan mata, selalu kelihatan ibu mendukung atau menuntun anaknya. Masa kita akan tinggal seperti ini sampai tua, Mur.Tidak bolehkah kita mengubah nasib kita selagi masih ada kesempatan? Kenapa kita tak boleh seperti orang-orang lain, menimang dan membesarkan anak? Kita kan tidak minta lusinan, Mur. Satu-dua pun sudah cukup. Oh, Mur, katakanlah bahwa kau setuju dengan rencanaku ini!"
Bendungan pun pecah juga akhirnya dan Murdo kelabakan ketika tangannya tidak menemukan sapu tangan dalam saku celana. Semua saku ditepuknya. Untung akhirnya ketemu di saku kemeja, rupanya kelupaan dipindah ke sana setelah makan siang di kantor. Dengan lembut diusapnya air mata istrinya.
"Bukannya aku tidak setuju, Asta. Tapi, apakah tindakan kita itu tidak akan jadi bahan tertawaan orang? Apakah rencana itu rasional, Asta?"
Asrari menyeka habis matanya dan membelalak menatap suaminya.
"Maksudmu, apakah aku masih waras?! Begitu?! Masih, Mur! Masih! Tapi jangan harap aku akan bisa tinggal waras terus seandainya keadaan tidak berubah. Seandainya kesempatan ini kita biarkan lewat, aku tidak bisa memastikan apakah aku tidak akan menjadi gila. Aku... aku... sangat tertekan, Mur. Rasanya setiap pandangan orang seakan bertanya, *Anaknya sudah berapa? Dan kalau tahu, aku tak punya berapaberapa, rasanya pandangan memelas mereka seakan mencemooh dan merobek hatiku. Mur, kabulkanlah keinginanku barusan...."
Murdo menghela napas diam-diam. Dia sadar betapa menderitanya Astari. Untuknya sendiri, walau dia juga mendambakan anak, persoalan itu tidak begitu menyita pikiran. Mungkin karena dia sibuk seharian di kantor. Dan pergaulannya dengan orang-orang asing selama di luar negeri telah banyak mengubah jalan pikirannya. Kenalan-kenalan asingnya banyak yang dengan mau sendiri memutuskan takkan punya anak. Mereka bukanlah manusia-manusia egois yang cuma mau enak sendiri saja, tapi adalah orang-orang berpikiran maju yang rela mengorbankan kepentingan pribadi. Mereka akui bahwa anak merupakan sesuatu yang paling istimewa yang bisa terjadi dalam hidup seorang manusia. Tapi mereka juga sangat khawatir melihat perkembangan kehidupan di bumi dan tidak adanya keseimbangan antara jumlah penduduk serta persediaan makanan. ?
Demi mengurangi sedikit (sedikiiiit saja, mereka akui. Sebab jumlah orang-orang seperti mereka hampir tak ada artinya dibandingkan dengan jumlah manusia di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang yang ayo saja seenaknya mencetak anak, memadati dunia yang sudah kekurangan bahan alami. Kata mereka, orangorang itu harus kita tolerit, sebab kebanyakan dari mereka tidak menyadari akibat perbuatannya. Kita yang sadar, harus rela mengorbankan diri.) kepincangan yang gawat ini, banyak kenalannya yang orang baikbaik, tidak mau punya anak.
Pikiran yang semaju itu banyak mempengaruhi dirinya. Walaupun dia insaf, di negeri Timur seseorang harus punya keturunan. namun Murdo cuma ingin satu anak saja. Dan ketika hal itu tidak terjadi, hatinya juga tidak terlalu risau. Dia cuma risau kalau sudah melihat Astari bermuram durja, misalnya kalau pulang dari dokter atau kalau baru saja menghadiri pesta di rumah ibu Murdo atau salah seorang saudaranya.
Demi cintanya pada Astari, dia bersedia melakukan apa saja, walaupun nanti akan jadi bahan tertawaan orang sejagat.
Dielusnya Astari. Diperhatikannya wajahnya yang menunduk, begitu kuyu, gemetar menahan ketakutan yang bisa ditimbulkan oleh sindiransindiran yang tajam. Rupanya tak ada jalan lain. Kecuali menuruti kehendak Astari.
Begitulah, setelah termenung beberapa saat, melayangkan pandangan ke sekitar ruangan dan
melihat kelima boneka yang duduk berjajar dalam lemari kaca, Murdo mendadak khawatir janganjangan Astari betul-betul akan hilang ingatan.
Waktu dia masih kecil ada kios rokok dekat rumahnya. Di situ sering terlihat seorang perempuan jembel menimang bundelan kain yang dinyanyikannya supaya mau tidur. Kata ibunya, wanita itu kematian anak, lalu menjadi gila.
Gila!!! Murdo terhenyak. Astari akan menjadi giii...?! Tidak! Tak boleh! Selama dia dapat mencegahnya! Biarlah mereka ditertawakan seluruh dunia. Biarlah dia dianggap sudah sinting! Takkan ada yang tahu, kata Astari barusan. Dia tidak begitu yakin. Tak ada api yang bisa ditutupi. Bagaimanapun, asapnya pasti kan naik ke angkasa. Tapi biarlah. Apa boleh buat. Demi istri tercinta.
"Sudahlah. Sayang. Keringkan air matamu. Ayo, nanti ketahuan Bi Siti, kan malu. Baiklah, akan kuturuti rencanamu itu. Demi kau, Asta. Supaya kau bisa bahagia sepenuhnya. Demi cintaku padamu."
Dikecupnya Astari sementara wanita itu mencoba tersenyum di tengah air matanya.
***
"JADI kau mau berhenti?" Emmi menegaskan dengan kening terangkat naik. Rasa heran tak bisa ditekannya. Cuma mengetik dan mengerjakan tata buku ringan. Gaji permulaan saja sudah dua ratus lima puluh netto! Sekarang mau berhenti. Bagaimana orang takkan heran? Di mana gadis ini akan bisa mendapat kerja yang begitu enak?
Melihat Nafisah mengangguk, Emmi merasa harus menegaskan lagi.
"Tidak gampang mendapat lowongan yang sebaik di sini, Nafi."
Tanpa dikehendaki, nada suaranya kedengaran setengah membujuk. Sebenarnya Emmi hatinya baik. Cuma tampang dan sikapnya memang galak. Itu rupanya berkaitan juga dengan kegagalan bertubitubi yang dialaminya dalam percintaan. Dia menjadi sinis terhadap sesamanya. Terlebih pada yang namanya lelaki.
"Saya tahu, Mbak," sahut suara kecil Nafisah.
"Nah, kalau sudah tahu, kenapa mau berhenti juga?" Ditatapnya gadis itu dengan tajam, tapi Nafisah tak mau mengembalikan tatapannya. Malah bermain meremas-remas jari di pangkuan.
Emmi meneliti wajah belia di hadapannya. Bulu mata yang lentik. Bibir yang manis. Hidung yang bangir. Pipi yang bulat segar dengan kulit yang halus seperti sutra direntangkan.
Mendadak timbul rasa curiganya. Kau toh bukannya mau beralih kerja di klub malam, Nafi?"
"Oh, tidak. Tidak, Mbak Emmi," sahut Nafisah cepat.
"Juga tidak di panti pijat?"
"Tidak. Tidak." Gadis itu menggeleng ratusan kali.
"Habis kenapa dong!" gumamnya kesal.
Emmi duduk dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Tiba-tiba ketika teringat sesuatu, diajukannya tubuhnya ke depan, bertumpu ke pinggir meja.
"Nah, kau toh bukannya mau kawin?"
Nafisah menjadi gugup. Keringat dinginnya tahutahu sudah merembes ke luar di dahi. Dia mulai khawatir jangan-jangan Mbak Emmi yang kaca matanya bisa menembus hati orang, akan tahu juga akhirnya rahasianya. Emmi menangkap kegugupan gadis itu.
"Bu... bu... kan, Mbak."
Ah, suaranya terlalu gugup, pikir Emmi. Kecurigaannya memuncak. Kalau mau kawin baikbaik, tentunya akan mengundang, pesta ramai-ramai. Paling tidak. pasang iklan di koran. Kenapa ini malah diam-diam, seakan perlu dirahasiakan?
"Apa kau... dilamar sebagai... isrri... muda?" Susah sekali Emmi mencoba mengutarakan itu, sebab perkawinan selalu menyakitkan hatinya. Apalagi masalah 'bini muda'. Sekilas teringat olehnya riwayatnya sendiri: sudah asyik pacaran, sudah dilamar, eh tahunya ada keluarga memberi tahu bahwa laki laki
itu sebenarnya sudah beristri dan punya tiga anak. Dia mau dijadikan istri sampiran! Malah mungkin juga bukan lagi yang kedua, tapi sudah yang kesekian.
Dia agak lega melihat Nafisah sekali lagi menggeleng. Melihat gelagat yang kurang enak ini, gadis itu pun sibuk mencari dalih yang bisa dipercaya. Sebelum Emmi sempat menanyai lebih melit, Nafisah sudah ngomong sekenanya,
"Saya disuruh balik ke Lampung, Mbak. Ibu sakitsakitan. Jantungnya lemah. Rumah tak ada yang urus. Di sana saya akan mencoba melamar kerja lagi. Ada teman Ayah yang menjanjikan...."
Bukannya gampang berdusta begitu panjang. Tapi untunglah Emmi kelihatan menarik napas lega. Dia percaya!
Nafisah diberi bonus sebulan gaji, sebab sudah setahun lebih bekerja di perusahaan tekstil itu. Ditambah dengan gaji terakhir, lumayan juga setengah juta lebih. Akan dikirimkan ke Lampung separuh. Lalu bayar kos bulan penghabisan ini. Sisanya akan dimasukkan ke Tabanas.
Turun dari loteng setelah menemui Pak Kotero, Nafisah pergi ke pabrik mencari temannya, Rukiah. Setelah permisi pada Hasan, keduanya diizinkan bicara di pojok selama sepuluh menit.
"Aku mau titip barangbarangku di tempatmu, Kiah. Boleh, kan?"
Rukiah yang gemuk itu tentu saja segera mengangguk.
"Terang boleh, dong. Masa sama teman sendiri enggak boleh?" Hatinya betul baik, tapi mulutnya tak bisa menyimpan rahasia.
"Memangnya kenapa sih, pakai titiptitip segala? Kau mau ke mana?" tanyanya lebih lanjut.
Nafisah sudah menduga, pasti Rukiah ingin tahu dan takkan puas kalau tidak dijawab. Demi keselamatannya sendiri, dia terpaksa meneruskan dustanya.
"Aku harus pulang sebentar ke Lampung. Mungkin setahun."
"Lama be-eng! Kali kau bakal dikawinkan!" tukas Rukiah dengan pandang menyelidik. Hatinya lega melihat temannya menggeleng. Rukiah selalu agak jealous terhadap perempuan sebayanya yang mau kawin. Sebab dia sendiri belum juga laku-laku. Sementara itu, Hasan yang bujangan makin sering menuntut malammalamnya agar diserahkan padanya. Tanpa rengekan minta pertanggungjawaban.
Oh, Hasan pernah menempelengnya ketika dia minta dikawin saja.
"Berani-beraninya kau minta kawin sama aku! Siapa sih kau? Kayak apa sih tampangmu? Ngaca dulu sana sebelum berani-beranian melamar lelaki! Kayak yang gablek duit aja! Kalau aku mau kawin sama kau, alan (dengan tekanan tinggi) yang akan melamarmu, tahu! Sementara ini aku enggak mau. Tapi awas kalau kau berani main sama yang lain! Langsung keluar dari pabrik! Baru tahu kau, gimana jadi kere!" Rukiah takut sekali pada Hasan, tapi sekaligus mendambakan keberangasan serta kekasaran yang menjadi ciri khas kelelakiannya.
"Ibuku sakit, Kiah. Aku harus mengurus adik-adik sambil mencari uang," katanya dengan roman sesedih mungkin. Dan itu tidak sulit. Hatinya memang sedang rusuh mengingat bencana yang kini tengah menimpanya. Ah, kalau saja Dono masih di sini, keluhnya kalau dia sedang sendirian di kamarnya. memandangi foto Dono di atas meja.
"Oh, ibumu sakit," ulang Rukiah dengan suara bersimpati.
"Kapan mau kaubawa barangbarangmu itu ke rumahku? Kenapa bukan di bawa saja ke kampung?"
"Ah, lemari, meja, dan sekopor buku-buku, buat apa dibawa-bawa? Barangkali besok aku akan datang. Di tempatmu ada orang, bukan?"
Rukiah mengontrak rumah di gang becek bersama enam orang lainnya. Dari ketujuh penghuni itu, salah seorang pasti selalu ada di rumah. Ada beberapa yang pekerjaannya tidak jelas, entah pembantu RT atau lainnya. Nafisah tak berani menanyakan.
"Nanti aku kasih tahu yang tinggal di rumah, kau mau datang. Tapi ingat, taruh barang-barangmu di kamarku saja! Nanti kuncinya aku tinggalkan. Koperkopor harus kaukunci rapatrapat. Banyak tangan jail." Dirumah itu cuma ada satu kamar dan itu milik Rukiah. Yang lain tidur bersama-sama di ruang belakang. ada yang di ranjang susun, ada yang menggelar tikar di lantai.
Baiklah. Urusan menitip barang sudah beres. Nafisah segera berlalu dengan lega.
Sorenya ketika mereka pulang. Hasan menghampiri Rukiah dan menanyakan maksud kedatangan Nafisah. Dia agak kecewa sebab tidak mendengar sesuatu yang bisa digunjingkan.
"Pulang ke kampung? Hm. Itu memang sudah lama harus dilakukannya!" komentarnya dengan sinis.
Rencana Astari rupanya berjalan dengan baik. Murdo menyewa sebuah vila di tempat terpencil. Astari tinggal di sana berdua dengan Nafisah, ditemani seorang pembantu setengah tua yang agak tuli.
Karena tak ada tamu yang akan datang, maka Astari kelihatan tenang. Cuma setiap pagi dia ribut membelit perutnya dan tak mau beranjak dari depan cermin sebelum yakin betul bahwa buntalan perutnya sudah sama besar dengan perut Nafisah. Untuk peranan itu Astari sudah menyediakan karet busa segala ukuran. Berangsur-angsur tebal karet ditambah, sesuai dengan perkembangan Nafisah. Sepintas lalu orang pasti mengira keduanya tengah hamil sama tua.
Tapi Astari masih mengalami kesulitan setiap bulan. Dia tidak tahu ke mana harus membuang pembalutnya tanpa ketahuan pembantu. Nafisah mengusulkan agar pembalut serta kotaknya yang sudah kosong dibuang jauh-jauh dari vila kalau mereka gerak jalan pagi hari. Astari menuruti nasihat itu. Sebulan sekali selama duatiga hari dibawanya kantung plastik kalau mau gerak jalan. Pembantu tidak menanyakan apa isinya. Rupanya kantungkantung plastik tidak menarik perhatiannya. Untunglah. Terlepas Astari dari sebuah problem yang susah-susah gampang.
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"
Pada waktu-waktu yang ditentukan, Dokter Faruk datang memeriksa kehamilan Nafisah. Tapi pembantu diberi kesan bahwa kedua wanita itu bergilir masuk kamar diperiksa dokter. Hal-hal sekecil apa pun mesti diperhatikan dengan baik agar tidak menimbulkan kecurigaan pembantu.
Sebenarnya Astari ingin tinggal berdua saja dengan Nafisah, tanpa pembantu. Tapi Murdo keberatan. Pasar jauh. Urusan rumah tangga begitu banyak. Siapa yang akan mengerjakan? Masakan dua wanita hamil harus bekerja keras membereskan rumah? Dan janggal kelihatannya. Terpaksa Astari menyerah. Akhirnya pemilik vila meminjamkan pembantunya yang sudah tuli itu.
Terkadang timbul peristiwa yang bisa dianggap lucu, bisa juga dianggap mengkhawatirkan. Misalnya pada suatu sore ketika kehamilan sudah berjalan enam bulan. Lumayan besar.
Sore itu pembantu sudah disuruh pulang sebab hari mau hujan dan memang tak ada lagi kerjaan yang berarti. Seperti biasa, begitu tak ada orang, Astari segera melepas lillitan karet busa supaya dia bisa bernapas lebih lega. Bantal karet itu ternyata bisa juga membuatnya gerah dan terkadang putus asa, sebab tidak betah lagi memakainya. Sering kali dihitunghitungnya berapa lama lagi dia mesti menyiksa diri serupa itu. Terkadang dia ingin lari saja dan kembali ke jakarta. Biarlah tetap disindir dan diejek. Tapi Nafisah selalu berhasil membujuknya dalam saat-saat kritis
begitu. Dikatakannya betapa akan berbahagia hidup perkawinannya bila sudah memiliki anak itu.
"Kita kan sudah setengah jalan, Mbak As. Masa mau mundur lagi?"
Nafisah bukan cuma mau menghibur Astari. Dia juga harus memikirkan nasibnya bersama anaknya. Kalau Astari batal mengangkat anaknya, berarti dia takkan memperoleh rumah yang dijanjikan Murdo. Juga anaknya takkan bisa hidup sentosa berkecukupan seperti bila dia menjadi anak keluarga Mantik yang jutawan itu.
Nah, sore itu Astari lekas lekas masuk kamar, melepaskan semua karet penyiksa di badannya. Nafisah ketawa geli menyaksikannya mengangkat daster tinggitinggi, melepas ikatan sarung, membiarkan bantal itu melorot ke lantai, lalu menarik napas lega.
"He, he," keluh Astari senang.
"Lega deh. Tadi sudah sumpek rasanya. Untung si Bibi cepat pulang."
Keduanya lalu duduk-duduk di beranda belakang bercakap-cakap sambil menyulam baju-baju kecil dan makan keripik pisang. Karena mendung, cuaca lebih cepat gelap. Lewat magrib, guntur sudah menggelegar berkali-kali.
"Masuk, yuk, Mbak," kata Nafisah yang sedikit ngeri pada geledek. Astari menertawakannya.
"Justru bagus buat anak itu," ujarnya.
"Biar dia jadi pemberani!"
"Ah, aku masuk sendiri saja kalau begitu." kata Nafisah sambil membenahi jahitannya ke dalam keranjang kecil, lalu menentengnya masuk ke dalam.
Astari tergelak. tapi tidak beranjak dari kursi. Matanya melayang asyik menikmati rerumputan yang meliuk hijau segar diterpa angin senja. Bunga-bunga bakung, mawar, krisan, gerbera, anyelir, serta dahlia turut menyemarakkan pemandangan. Sayang semua itu sulit sekali tumbuh dengan subur di Jakarta.
Udara bertambah dingin. Dedaunan di pohonpohon bergurau mesra dengan angin yang datang membelai. Ah, permainya alam kalau hati sedang sarat dengan harapan, pikirnya.
Nun di sebelah kiri, terdapat air mancur yang kelihatan seperti pita putih keperakan yang tidak bergerakgerak, padahal dia terus mengalir, entah sudah berapa kurun waktu. Untuk tiba di sana, orang harus melintasi dataran rendah yang bertangga-tangga. Walaupun tidak terjal, Murdo melarang keras keduanya main ke sana tanpa pengawalannya. Karena itu sering dinantikannya hari Sabtu, agar segera bisa merendam kaki di kubangan yang terbentuk di bawah pancuran alam itu.
Astari tersenyum kecil sendirian. Sekarang sudah Jumat. Besok siang Murdo akan tiba. Pasti membawa penganan yang lezat-lezat. Semua kegemaran serta pesanan mereka berdua paSti akan dibawakannya, sebab dia sudah mencatatnya dengan teliti dalam notes kecil. Nafisah semula kelihatan malu dan tak mau pesan apa-apa. Tapi Astari mendesaknya. sehingga gadis itu memberanikan diri juga. Apa ya yang dipesan Nafi tempo hari? Kalau tak salah, otak otak, bukan? Hm.
Besok mereka pasti akan makan otak-otak! Dengan sambalnya yang pedaaas sekali.
Sedang apakah Murdo saat ini? Apakah dia bisa bertahan pada malam-malam yang sesepi ini? Astari punya pegangan sendiri. Kalau begitu datang Murdo sudah menyerbunya (kasihan Nafisah, dia terpaksa mengungsi ke kamar seberang, atas maunya sendiri. Sebab kamar di sebelah yang dipakainya, sudah tidak bisa dikunci lagi. Pintunya rusak), legalah dia. Berarti Murdo sedang kelaparan'. Tapi kalau laki-laki itu kalem saja, bahkan tidak kelihatan mau bermesraan, cemburunya segera timbul. Astari akan ngambek sampai Murdo menjelaskan dengan terperinci apa penyebabnya. Biasanya itu urusan kerjaan yang sedang memusingkan pikirannya.
"Ingat, Asta," godanya,
"perang. ujian, sakit. dan urusan kantor, semua itu membunuh gairah!" Untunglah Astari gampang dibujuk, sebab dia yakin, Murdo memang sangat mencintainya.
Angin makin kencang dan dingin. Gerimis sudah mulai turun. seperti anak kecil memulai isaknya sambil melirik-lirik kapan kiranya ibu akan segera datang menghiburnya.
Dari ruang dalam terdengar Nafisah berteriak,
"Masuk, Mbak. Nanti masuk angin."
"Baiklah. Rupanya hujan akan segera turun," kata Astari seraya bangun dari kursi. Sebelum masuk, dia berjalan ke teras samping untuk memeriksa kalaukalau ada jemuran kerupuk atau apa saja yang perlu diamankan.
Dia sedang memperhatikan bunga-bunga Maka. ketika sebuah gerakan di ujung halaman, dari arah luar, menarik perhatiannya. Sementara itu hujan sudah makin deras. Astari tidak bisa segera mengenali siapa yang sedang berlari itu. Hujan membuat pandangan kabur. Tapi siapa pun orang itu, Astari tak boleh membiarkan dirinya dilihat. Dengan terburu-buru dia balik ke teras belakang dan masuk ke rumah.
"Fi, ada orang!" katanya sedikit terengah sebab tegang.
"Coba kaulihat sana." Tanpa menunggu Nafisah bangkit, Astari sudah berjalan ke kamar, siap untuk mempersenjatai diri kembali dengan bantal busanya. Sedang dia mempersiapkan diri, Nafisah masuk.
"Cuma si bibi, kok," katanya tersenyum.
Astari terhenyak ke atas tempat tidur.
"Cuma si Bibi? Mau apa sih?" Suaranya kedengaran jengkel, tapi wajahnya tampak lega. Karet pengaman yang sudah separuh melilit di badan, dibiarkannya lepas, meluncur ke lantai.
"Putranya sakit keras, katanya. Mau dibawa ke rumah sakit. Perlu pinjam lima belas ribu buat sewa kendaraan."
Astari menarik napas lega. Dia bangkit dari ranjang, menyepak karet busa yang menyesakkan napas itu ke pinggir, lalu membuka lemari untuk mengambil uang. Diberikannya lima belas ribu pada Nafisah.
"Kalau dia tanya aku, katakan saja sedang istirahat. Pusing."
Dan sesungguhnya kepalanya mendadak jadi pening. Kejadian itu sebenarnya sepele banget, tapi seandainya pembantu mereka sempat melihatnya dari
dekat, dia pasti akan melihat perubahan tubuhnya dan itu pasti akan mengundang pergunjingan yang amat menakutkan.
"Apa dia melihat aku tadi?" tanya Astari ketika mereka berduaan makan.
"Rasaku tidak, Mbak. Sebab dia bertanya,
"Mana Neng Astari? Matanya kan sudah kabur, Mbak As. Umurnya sudah hampir enam puluh. Selain itu, hujan pasti tambah mengaburkan penglihatannya."
"Yah, semogalah dia tak melihat," biSik Astari sambil menelan makanan. Pada saat-saat seperti itu, AStari sering merasa ragu untuk meneruskan sandiwaranya. Tapi bayangan mertua dan ipar-ipar yang galak menghantui dirinya dan membuatnya nekat.
Beberapa minggu setelah peristiwa itu, Nafisah terpeleset di kamar mandi dan jatuh. Punggungnya sakit. Bi lpah, yang mengaku pandai memijit, segera menawarkan jasanya. Nafisah menurut saja asal nyerinya bisa bilang. Dan memang. setelah dipijit kirakira satu jam, dia sudah merasa baikan.
"Cukup sekian dulu, Neng," kata Bi Ipah.
"Tidak boleh kelamaan. Besok saya pijit lagi."
Nah, dua minggu setelah itu, giliran Astari kesandung batu di kebun dan jatuh. Pinggulnya terasa sakit. Bi Ipah cepat-cepat keluar dari dapur dan menggandengnya ke dalam rumah, langsung membaringkannya di kamar.
"Mari saya lihat di mana yang sakit, Neng. Barangkali perlu dipijit," kata perempuan lugu setengah
tua itu tanpa menduga bahwa Astari akan meronta dan mengusirnya dengan berang.
"Tidak! Tidak!" serunya setengah kalap sebab ketakutan.
"Tak usah! Pergi sana ke dapur! Tinggalkan aku sendiri. Aku tidak kenapakenapa!"
Bi Ipah tentu saja kaget setengah mati. Laa, orang mau membantu kok malah diusir kayak anjing gelandangan. Dengan perasaan terluka bercampur takut, perempuan itu cepat-cepat berlalu. Di ambang pintu dia bertubrukan dengan Nafisah yang baru balik dari kamar kecil.
"Ada apa saya dengar ribut-ribut?!"
"Neng Astari jatuh di kebun," sahur Bi lpah dengan pendek, lalu bergegas pergi. Wajahnya keruh.
"Kaumarahi dia? ' tanya Nafisah.
"Wajahnya keruh sekali macam tinta."
Astari menghela napas.
"Salahku, memang. Aku begitu ketakutan ketika dia mau menjamahku, sehingga aku berteriak menyuruhnya pergi. Dia mau memijiti aku. Tadi aku kesandung di kebun, pahaku sakit, tapi sekarang sudah mendingan. Yah, pasti dia tersinggung oleh sikapku."
"Oh, begitu. Aku tidak bisa menyalahkanmu. Pasti kau khawatir sekali jangan-jangan dia akan tahu keadaanmu, bukan? Tenanglah. Serahkan Bi lpah padaku!" Nafisah mengedip dan berlalu.
Astari tersenyum. Makin lama dia makin menyayangi Nafisah seperti adik sungguhan. Nafisah terbukti bukanlah gadis kampungan yang murah, yang
gampang menyerahkan diri. Dia cukup terpelajar, bahkan pernah duduk di bangku universitas sampai dua tahun. Seleranya tidak norak. Humornya cukup, pembawaannya tenang. bicaranya inteligen. dan harga dirinya tinggi. Dia tak pernah kelihatan merasa lebih rendah dari Astari, walaupun uangnya tak ada.
Nafisah pergi ke dapur, menyuruh Bi Ipah membuat ayam goreng dan sambal petai yang lezat.
"Bikin yang banyak, Bi. Bawa pulang untuk keluargamu juga."
"Ah, tak usah, Neng. Anak saya di rumah juga sudah masak."
"Ini kan ulang tahun Neng Astari. Katanya, kau harus ikut merayakan."
"Oh, Neng Astari ulang tahun! Pantas kelihatannya kesal, rupanya ingin bersama keluarga di Jakarta. Iya kan, Neng, kalau ulang tahun kan semua orang ingin merayakan di tengah keluarga, bukan?"
Nafisah mengangguk. Mendung di wajah Bi lpah sudah sirna. Dengan cekatan dan penuh semangat dia mulai mempersiapkan "pesta ulang tahun' Astari.
Tapi cobaan belum habis.
Murdo lain lagi kesulitannya. Ketika pada ulang tahun anak kakaknya dia datang sendirian, kakaknya sudah mulai merepet sebab tersinggung.
"Ooh, sombong amat sih binimu. Murdo! Tidak mau menginjak rumahku! Mentang-mentang enggak semewah rumah kalian!" .
Murdo menyerahkan bingkisan ke tangan anak yang ulang tahun. Dia menyalaminya seraya berkata,
"Tante Asta tak bisa datang, Jeni. Dia sakit."
"Sakit? Huh! Paling-palingjuga pusing! Kebanyakan pergi arisan!" gerutu sang kakak seraya berlalu ke belakang.
"Sakit?" giliran ibunya bertanya dengan nada kurang percaya.
"Kapan ya aku melihatnya penghabisan? Kok kelihatan segar-bugar! Sakit apa sih?"
"Bu," sahut Murdo perlahan supaya jangan didengar telinga anak-anak.
"Astari sedang hamil, Bu."
"Nah, itu dinamakannya sakit? Sejak kapan perempuan begitu banyak pernik kayak dia?"
"Manja!" Kakaknya muncul kembali, menimpali.
"Kehamilannya agak mengalami kesulitan, Bu. Dokter menyuruhnya istirahat dua puluh empat jam di tempat tidur. Tak boleh menerima tamu."
"Hm. Biar aku tanyakan sendiri!" Sang kakak sudah meraih telepon, tapi Murdo mencegah.
"Dia bukan di Jakarta. Tak ada di rumah. Dokter menyuruhnya sembunyi dulu selama sembilan bulan. Betul-betul tidak ketemu ataupun berbicara dengan siapa pun kecuali saya."
"Ada di mana dia kalau begitu?" desak ibunya.
"Maaf, Bu. Tak boleh saya katakan."
"Apa-apaan sih ini? Orang lain boleh saja tak diberi tahu!" seru ibunya marah.
"Tapi aku kan lain. Aku ini kan jelek-jelek mertuanya, orang yang telah melahirkan suaminya! Tanpa aku, mana mungkin dia bisa hidup senang bersama seorang suami seperti kau? Masakan
sekarang aku tak boleh melihat dan menjenguknya? Yang sedang dikandungnya itu kan cucuku sendiri?!"
Murdo selalu kewalahan menghadapi ibu serta kakak perempuannya. Sekarang pun dia termangu kehabisan akal untuk menangkis serangan ibunya.
"Aku harus melihatnya!" setu ibunya memberi ultimatum.
"Kapan kau bisa antarkan aku padanya?"
"Sa...ya be...lum ta...hu, Bu."
"Minggu depan!" ibunya memutuskan untuknya.
"Saya ikut!" kata kakaknya dengan sikap menantang kalau-kalau dia mau melarang. Murdo tak berani melarang.
Esoknya dia terpaksa mengunjungi Astari. meninggalkan urusan kantor pada wakilnya. Lama keduanya berunding. Soal Nafisah juga dipertimbangkan. Apa nanti dugaan Ibu kalau melihat gadis itu? Dan kakaknya yang licin seperti belut itu, apa takkan jadi curiga?
Tapi sekali ini Astari keras kepala.
"Biarlah, Mur," katanya seakan menantang.
"Biarkan mereka datang hari Minggu nanti. Biar mereka ketemu Nafisah. Aku bisa katakan bahwa Nah adalah temanku yang kebetulan juga sedang hamil. Aku perlu teman di sini."
Celakanya, ucapan itu telah memancing pendapat lain dari ibu mertua. Hampir saja terjadi malapetaka.
"Kalau perlu teman, kenapa tidak kauajak saja Nuri (adik bungsu Murdo)? Di rumah pun seharian tak ada kerjanya. Lebih baik dia di sini, menemani kau. Danpada mengajak orang lain!" Dan diliriknya Nafisah
yang duduk agak jauh sedang menyulam baju-baju bayi dengan pandangan kurang senang.
"Aku juga mau sesekali berlibur kemari." tukas kakak ipar nimbrung.
"Aku memang butuh udara segar. Jumat sore datang. Minggu sore pulang. Kan bagus?!" Kakak iparnya ketawa memuji usulnya sendiri.
Mabuklah kepala Astari. Dia menoleh pada Murdo memohon bantuan. Murdo sendiri sudah mulai sebal melihat tingkah laku kakaknya.
"Ini bukan hotel. Kak. Asta di sini bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk istirahat mutlak. Kedatangan tamu pun sebenarnya dilarang dokter, sebab melelahkan dan menaikkan tekanan darah. Bicara pun cuma boleh seperlunya saja. Tak boleh berdiskusi yang menimbulkan emosi. jadi Kakak pikir saja bagaimana efeknya kalau Ibu dan Kakak terusterusan memojokinya begini. Maaf saja, tak ada yang boleh datang bermalam kemari. Bukan saya larang, tapi ini perintah dokter. Kalau terjadi apa-apa dengan kandungannya, dokter tak bisa menjamin bahwa kami akan bisa punya anak lagi."
"Malah kebetulan!" pikir sang kakak.
"Anakanakku takkan punya saingan di mata nenek serta kakeknya!"
Tapi ibu Murdo bisa digertak. Dia kelewat ingin melihat Murdo punya anak, sebab Murdo adalah anak lelaki satu-satunya. Kelima anak yang lain tidak begitu dipusingkannya. Semua perempuan. Tiga sudah menikah dan mereka subur seperti kelinci.
"Baiklah, As," katanya menurunkan sedikit nada
suaranya.
"Tenangkan hatimu. Jangan pikirkan halhal yang menggelisahkan. Ibu takkan mengganggumu lagi sampai saat kau sudah melahirkan nanti. Jaga kesehatanmu baik-baik. Ingat, kau mengandung cucuku! Dan Murdo adalah putra tunggal keluarga kami. Di bahunya jatuh kewajiban untuk meneruskan keturunan. Tenang, tenang. As. Jangan dengarkan ucapan kakakmu barusan. Sejak tadi Ibu lihat kau gelisah. Apa kau sudah cape duduk? Pergilah berbaring ke kamar."
Bagaimana Astari takkan merasa gelisah? Mata kakak iparnya berkali-kali menelusuri tubuhnya, seakan ingin tahu rahasia yang sebenarnya. Hakikatnya. itu cuma pandangan biasa dari seorang wanita bila melihat perempuan sedang hamil. Tapi Astari merasa seakan dia tengah diamati, seakan sebentar lagi rahasianya akan terbongkar melalui cetusan kecurigaan dari ipar yang cerdik itu. Untunglah secara tidak sengaja ibu mertuanya datang menolong.
Tanpa perlu disuruh kedua kali, Astari mengiakan, dia memang penat. lalu segera minta diri. Dalam kamar terkunci, dia merasa tenang. Tapi belum aman betul, selama kedua tamu agung itu belum pergi.
Malam harinya barulah Astari betul-betul bisa ketawa lega dalam pelukan Murdo.
" Hampir saja, Mur! Oh. kalau aku pikirkan kembali, merinding bulu kudukku. Saking takutnya. Apa jadinya aku ini seandainya ibu dan kakakmu sampai tahu?! Waduh! Mungkin ditempeleng atau malah diusirnya aku! Kau pasti akan disuruh bercerai saat itu juga!"
Murdo ketawa.
"ASta, Asta, fantasimu kelewat banyak. Dari mana mereka akan tahu? Apa mereka berani menuduh aku bohong? Bukankah aku suamimu?! Kalau aku bilang kau hamil, berarti memang betul! Titik!"
"Tapi. Mur, kalau aku bayangkan kemungkinan mereka curiga. Lalu, aku ditelanjangi! Bantal ini merosot ke lantai... aduh, Mur! Rasanya aku bisa kelengar kalau itu sampai terjadi."
"Fantasimu mesti direm sedikit, Asta. Buat apa menakut-nakuti diri sendiri? Pokoknya kan semua sudah berjalan beres dan aman. Tak terjadi insiden apaapa. Sekarang tidurlah. Jangan khawatir. Percayalah padaku. Kau takkan diganggu mereka lagi. Ibu cuma mau mencek apa betul kau hamil. Setelah melihat sendiri. dia rupanya sudah puas."
"Tinggal tanggal mainnya di mana kita harus mempersembahkan seorang cucu padanya."
"Itu urusan nanti, As."
"Mur. gimana nih seandainya Nafisah mendadak berbalik pikiran dan tidak jadi menyerahkan bayinya pada kita?" bisik Astari sambil menyusupkan wajah di dada suaminya.
Murdo menangkap ketakutan dalam suara istrinya dan dikecupnya perempuan itu dengan mesra, seakan mau melenyapkan segala kekhawatiran yang melanda lubuk hatinya.
"Jangan pikir yang bukan-bukan, Sayang. Nafisah takkan berubah pikiran. Percayalah! Dia takkan mau
kehilangan rumah yang telah aku janjikan. Tidurlah sekarang. Besok pagi-pagi sekali aku sudah harus balik ke Jakarta." Murdo mengelus perut istrinya yang buncit. Seakan mau meyakinkan diri sendiri, di depan Murdo pun tak mau Astari melepas sabuk karetnya.
Astari tidak bisa segera tidur. Acara kunjungan tadi kembali bermain dalam ingatan. Hampir saja, pikirnya berkali kali. Hampir saja ketahuan.
Dia lengah. Ketika masuk ke kamar mandi, tahutahu didapatinya tali pengikat bantal terjuntai sebelah keluar dari ujung daster. Untung tali yang lain masih terikat rapi. Dan mertuanya tidak bertanya tali apa itu!
Waktu duduk pun, hatinya terus gelisah. Keluar dari kamar mandi dia tak sempat lagi masuk kamar melihat cermin. Biasanya itu dilakukannya kalau-kalau letak karet pengaman sudah berubah miring. Jadi dengan gelisah terpaksa dia duduk dan menimbuni diri dengan bantal-bantal kursi. Dia tak berani bergerak. Untung ada Nafisah yang mau membantu menyediakan minuman. Ibu mertuanya paling tidak mau dilayani oleh pembantu kalau ada anak atau mantu. Katanya, dia merasa kurang dihormati oleh mereka kalau begitu.
Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah Super Thriller Sang Pelarian Karya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama