Ceritasilat Novel Online

Perisai Kasih Yang Terkoyak 3

Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W Bagian 3

untuk dipersembahkan kepada ayahnya. Sebagian

besar uang itu adalah uangnya sendiri!

Ah, Cempaka tahu sekali apa yang pertama-tama

akan dilakukannya kalau dia punya uang. Anganangan itu telah merupakan suatu obsesi baginya. Dia131

tak pernah dapat melupakan sahabatnya. Uang yang

menyebabkan dia sampai hati menjual sahabatnya itu.

Uang pula yang akan mengembalikannya!

Bergegas Cempaka mencari alamat toko piano

itu. Setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya dia

dapat menemukan si pembeli. Tetapi piano tua itu

sudah tidak ada lagi di sana!

Cempaka terhenyak kecewa. Air mata menggenangi sudut matanya.

"Tunjukkanlah alamat pembelinya, Pak,"

pintanya sungguh-sungguh. "Saya akan membelinya,

berapa pun dia minta! Tolonglah, Pak! Piano itu tidak

ternilai harganya bagi saya!"

* * *

Agung sendiri yang menyambut di depan pintu

rumahnya. Dan sampai pedagang itu meninggalkan

mereka, Cempaka masih belum dapat mengucapkan

sepatah kata pun. Dia benar-benar shock. Kaget.

Tidak menyangka seujung rambut pun! Kegembiraannya, melihat piano tua itu masih menunggunya

dengan setia di kamar kerja Agung, terpupus dengan

peristiwa yang tidak disangka-sangka itu.

"Marah?" tanya Agung dari belakang.

Cempaka tidak menjawab. Dia masih terhenyak

di depan pianonya.

"Kebetulan aku membaca iklanmu. Jadi kukirim

orang itu untuk membelinya. Kalau aku datang

sendiri, kau pasti tersinggung."

"Terima kasih," ujar Cempaka tanpa menoleh.

"Kau telah menolongku sehingga kami tidak usah

berpisah. Sekarang, tolonglah aku sekali lagi. Jual-lah

piano itu kembali padaku."132

"Kau boleh mengambilnya kapan saja kau mau."

"Berapa?"

"Berapa?" desis Agung tersinggung. "Begitu kau

memperlakukan seorang teman?"

"Jangan salah paham, Agung." Cempaka membalikkan tubuhnya. Ditatapnya Agung dengan sabar.

"Kita memang berteman. Tapi aku tak dapat

menerima pemberianmu...."

"Oke! Oke! Berapa kau mau membelinya?"

"Berapa kau mau menjualnya?"

"Berapa uangmu?"

Cempaka menatap Agung tanpa perasaan

tersinggung. Dikeluarkannya amplop yang baru diterimanya dari Burhan Record. Ditumpahkannya uang itu

di atas meja.

"Cukup?" tanyanya tanpa mengangkat mukanya.

"Jadi karena itu kau punya uang! Dia sudah

membayarmu!" cetus Agung tidak sadar. Sesudah

mengucapkan kata-kata itu dia baru menyesal. Dia

telah kelepasan bicara!

Cempaka mengangkat mukanya dengan cepat.

Matanya menyipit. Menatap Agung dengan tajam.

"Karena apa?" desaknya curiga. "Siapa menurut

pendapatmu yang membayarku?"

"Bagaimana aku tahu?" kilah Agung sambil

memalingkan wajahnya ke tempat lain. "Kau yang

harus mengatakan dari mana kauperoleh uang itu!"

Cempaka menghampiri pemuda itu. Ditatapnya

Agung dengan tatapan yang membuat yang ditatap

merasa tidak enak.

"Agung," desahnya pahit. "Katakanlah padaku,

kaukah yang mendesak mereka supaya menerimaku?

Pak Burhan itu temanmu?"133

Agung menghela napas panjang. Ditatapnya gadis

itu dengan jengkel.

"Apa salahnya? Tidak bolehkah aku berbuat sesuatu untukmu?"

"Aku tidak mau!" Cempaka menggigit bibirnya

menahan tangis. "Aku tidak mau menjadi penyanyi

hanya karena koneksi!"

"Bukan begitu!" geram Agung sengit. "Kau

hanya tidak mau menerima pertolonganku! Kau

terlalu sombong untuk ditolong!"

"Kau selalu menolongku, Agung," gumam Cempaka sedih. "Tapi jangan dengan cara seperti ini!

Kau meruntuhkan harga diriku!"

"Harga diri? Apa arti harga dirimu dibandingkan

dengan cintaku?!"

"Agung..." Cempaka menggigit bibirnya menahan

tangis. "Kumohon padamu, jangan bicarakan soal

cinta dulu...."

"Sebelum kaujumpa adikmu? Jadi aku ini cuma

sisa! Orang nomor dua dalam hatimu! Mungkin juga

nomor tiga setelah ayahmu. Atau bahkan nomor

empat setelah pianomu ini!"

Dengan geram Agung menendang piano tua itu.

Cempaka memejamkan matanya dengan ge-tir.

Membiarkan dua tetes air mata yang sejak tadi

menggelantung di bulu matanya bergulir ke pipi.

"Kau tidak ingin berhutang budi padaku karena

aku tidak ada harganya sama sekali di matamu! Kau

tidak pernah menghargai diriku! Kau tidak pernah

membutuhkan aku!"

Dengan sengit Agung meninggalkan kamar

kerjanya. Membiarkan Cempaka seorang diri di sana.

Tegak dengan mata terpejam dan mulut terkatup

menahan tangis.134

* * *

Ketika Agung kembali ke kamar kerjanya beberapa

jam kemudian, Cempaka sudah tidak ada lagi di sana.

Dia telah meninggalkan rumah Agung. Tetapi

uangnya masih berserakan di atas meja. Dengan lesu

Agung meraih pesawat telepon. Dan memutar sebuah

nomor. "Pak Burhan ada?" tanyanya datar. "Katakan

saja dari Santoso."

Agung hanya perlu menunggu beberapa detik.

Suara Pak Burhan telah menggema di ujung sana.

"Bagaimana, Pak Santoso? Penyanyi baru itu

datang sejam yang lalu. Dia ingin membatalkan

kontrak!"

Cempaka benar-benar keras kepala, geram Agung

dalam hati.

"Apa yang terjadi, Pak Santoso? Mengapa jadi

begini?"

"Kami bertengkar,"

"Sudah saya katakan padanya, Pak Santoso,

pembatalan kontrak dapat dikenakan ganti kerugian

sampai dua ratus kali lipat!"

"Batalkan saja kalau dia memang

menginginkannya, Pak Burhan. Tidak usah menuntut

ganti rugi."

"Tapi, Pak Santoso..."

"Permohonan kredit yang diajukan oleh Burhan

Record sedang diproses. Kalau semua persyaratan

telah terpenuhi, dapat kita tanda tangani secepatnya."

"Oh, terima kasih, Pak Santoso! Terima kasih!

Apa lagi yang dapat saya bantu?"

"Sementara ini belum ada. Terima kasih, Pak

Burhan. Selamat sore."135

Agung meletakkan tangkai teleponnya dengan

lesu. Ditatapnya uang yang berhamburan di atas meja

itu. Dari mana Cempaka bisa mengumpulkan uang

sebanyak itu kalau dia membatalkan kontrak?

* * *

"Mengapa kau begitu keras kepala?" keluh Pak Wisnu

sambil menghela napas berat. "Agung bukan orang

lain. Mengapa malu menerima pertolongannya?

Sekarang kau telah membatalkan kontrak. Dari mana

kau mendapat uang untuk membatalkannya?"

Pintu diketuk sebelum Cempaka sempat menjawab. Bergegas Cempaka membuka pintu, Dan dia

kecewa. Bukan orang yang disangkanya. Bukan orang

yang ditunggunya. Bukan Agung.

"Nona Cempaka? Pak Santoso mengirimkan ini

pada Anda."

Orang itu mengeluarkan sebuah amplop. Raguragu Cempaka menerimanya. Itu amplopnya sendiri.

Dari Burhan Record. Tapi jumlah uangnya telah

berkurang tiga ratus lima puluh ribu.

Sebagai gantinya, orang itu bersama ketiga orang

temannya menurunkan sebuah piano dari atas pick-up

yang mereka bawa. Dan meletakkan piano tua itu di

dalam rumah Pak Wisnu.

Cempaka menggigit bibir menahan tangis. Sia-sia

dia mencari surat dari Agung. Agung tidak

meninggalkan pesan apa-apa. Cempaka benar-benar

merasa terpukul.

Beberapa kali Cempaka mencoba menelepon ke

rumah Agung. Bahkan ke kantornya. Tapi Agung

tidak mau menerimanya. Padahal Cempaka hanya

ingin minta maaf.136

Datang ke rumahnya pun sama sia-sianya. Agung

menolak untuk bertemu. Terpaksa Cempaka hanya

meninggalkan sepucuk surat. Entah Agung mau

membacanya atau tidak.

Mula-mula Agung memang langsung meremas

surat itu dan melemparkannya ke tempat sampah.

Tetapi ketika malam harinya dia tidak dapat juga

terlelap, dicarinya kembali surat itu.

Ketika dilihatnya keranjang sampahnya kosong,

dibangunkannya Mbok Inem. Dan pada pukul dua

belas malam, Mbok Inem harus, mengaduk-aduk

tempat sampah mencari surat itu. Agung tegak di

belakangnya sambil menyorotkan lampu senter.

"Surat apa sih yang hilang, Tuan?" gerutu Mbok

Inem separuh mengantuk. Matanya yang sudah kelapkelip seperti pelita kurang minyak dibelalakbelalakkannya dengan sia-sia untuk melawan kantuk.

"Surat penting," sahut Agung singkat. Matanya

dengan cermat menelusuri gumpalan-gumpalan kertas

yang sedang diaduk-aduk oleh Mbok Inem.

"Ini dia!"

Agung buru-buru menyambar sebuah sampul

surat yang sudah diremas sebelum dibuka. Tanpa

berkata apa-apa lagi, dibawanya surat itu masuk.

Mbok Inem menggerutu dalam hati. Dimasukkannya kembali kertas-kertas itu ke dalam tempat
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampah. Ketika kertas-kertas itu menyembul ke

permukaan, dijejalkannya saja dengan kesal.

Belum juga sampai di kamar, Agung telah

merobek sampul surat itu. Karena terlalu tergesa-gesa,

ujung surat di dalamnya ikut terkoyak. Sambil melangkah ke kamar, dibacanya surat itu. Dan dia

kecewa.137

Cempaka tidak menulis apa-apa. Dia hanya minta

maaf! Dengan gemas diremasnya kembali surat itu.

Dan dibuangnya begitu saja ke tempat sampah.

Mbok Inem melongo antara heran dan kesal

melihatnya. Susah-susah dicari tengah malam begini,

mengapa dibuang lagi? Akhirnya dipungutnya saja

surat itu. Disimpannya di bawah kasur.

"Daripada besok malam disuruh cari lagi, lebih

baik kusimpan saja dulu," katanya seorang

diri."Aman."138

BAB IV

MULA-MULA Cempaka sendiri tidak terlalu

antusias. Dia merekam lagu itu hanya untuk

memenuhi kontrak. Sebaliknya, Pak Burhan juga

tidak terlalu berharap kasetnya ini akan meledak. Dia

hanya memakainya sebagai tumbal. Untuk

memperoleh kredit. Rugi sedikit tidak mengapa.

Tetapi karena setiap kali menyanyikan lagu itu,

Cempaka teringat pada adiknya, dia menyanyikannya

dengan penuh perasaan. Penuh penghayatan.

Ketika kaset itu akhirnya meledak di pasaran,

tidak seorang pun pernah menduganya. Dua puluh

ribu buah kaset yang diproduksi Burhan Record terjual habis hanya dalam waktu satu bulan. Dan permintaan dari pasaran masih mengalir terus!

PERISAI KASIH YANG TERKOYAK telah

menjadi top hit! Dan bersamaan dengan meledaknya

lagu itu, nama Indah Lestari sebagai nama samaran

Cempaka pun ikut melejit ke orbit atas. Permintaan

untuk menyanyi datang seperti banjir.

Tetapi Pak Burhan yang telah berpengalaman,

sudah mengadakan blocking lebih dulu. Cempaka

langsung dikontrak. Tidak boleh merekam suaranya

untuk pengusaha rekaman lain. Cempaka hanya untuk

Burhan Record!

Sekarang bukan hanya permintaan menyanyi saja

yang mengalir ke alamat Cempaka. Uang dan139

kemasyhuran pun datang bersama. Wartawan majalah

dan surat kabar mencarinya untuk wawancara.

Tawaran demi tawaran untuk menyanyi seakan-akan

tak pernah berhenti.

"Sayang Ayah sudah jompo seperti ini," keluh

Pak Wisnu, masih di rumahnya yang lama. Cempaka

tidak mau pindah dari sana. Dia hanya memperbaiki

rumah itu. Dan menggaji dua orang pembantu untuk

merawat dan menemani ayahnya kalau kebetulan dia

sedang sibuk. "Ayah tidak dapat membantu apa-apa."

"Ayah memang sudah tidak perlu lagi melakukan

apa-apa," ujar Cempaka lembut. "Kalau ada yang

Ayah inginkan, katakanlah pada Cempaka, Ayah,

supaya Cempaka tahu dengan apa harus membalas

budi Ayah."

Pak Wisnu memandang anaknya dengan terharu.

Dia sudah menjadi seorang penyanyi terkenal. Uang

dan kemasyhuran sudah menjadi sahabatnya. Tetapi

dia masih tetap Cempaka yang lemah lembut dan

rendah hati. Dia tidak berubah secuil pun. Anaknya

ini tak pernah berubah!

Mengalir diam-diam air mata Pak Wisnu kalau

melihat Cempaka duduk di muka piano tuanya, memainkan lagu itu, sama seperti dulu. Sama seperti

masa lalunya. Masa kecilnya.

Cempaka memang tidak pernah melupakan masa

lalunya. Ketika dia merasa cukup mempunyai uang,

dia membeli rumah sebelah, bekas Panti Asuhan

Pancuran Kasih. Bukan untuk memperbesar

rumahnya sendiri. Tapi untuk mendirikan sebuah

panti asuhan baru!

Lalu Cempaka mencari Mbak Lastri. Dan memintanya untuk memimpin panti asuhan itu. Mbak140

Lastri yang baru saja ditinggalkan suaminya,

menyambut permintaan Cempaka dengan terharu.

"Saya ingin menjemput Bu Nasti, Mbak," kata

Cempaka ketika mereka sedang membicarakan persiapan untuk pembukaan panti asuhan itu. "Saya ingin

beliau hadir dalam upacara pembukaan nanti."

"Bu Nasti tinggal di kampung bersama salah

seorang saudaranya. Mbak tidak tahu apa beliau

masih kuat untuk datang kemari. Beliau pasti senang

sekali kalau diundang."

"Saya akan menjemputnya, Mbak," kata

Cempaka mantap. "Takkan saya biarkan Bu Nasti

naik kendaraan umum ke sini."

"Syukurlah kalau begitu, Cempaka. Jika saja

setiap anak yatim-piatu yang pernah merasakan sukadukanya hidup di panti asuhan mau memikirkan anakanak yang senasib seperti kamu..."

"Saya tidak ingin nama saya ditulis dalam surat

kabar, Mbak. Saya tidak mau publikasi murahan

untuk menaikkan popularitas. Karena itu, tolong ya,

Mbak, rahasiakan hal ini. Biarlah mereka hanya

mengenal Mbak Lastri saja."

"Mereka pasti tidak percaya, Cempaka. Mbak

cuma janda yang tidak punya apa-apa. Bagaimana

dapat mengelola panti asuhan?"

"Katakan saja ada seorang donatur yang tidak

mau disebutkan namanya."

"Baiklah kalau begitu." Mbak Lastri menghela

napas. "O ya, kamu sudah bertemu Bara?"

Cempaka menggeleng muram.

"Saya masih menunggunya, Mbak. Siapa tahu

suatu hari nanti, dia akan mencari saya."

"Sekarang kamu sudah menjadi orang terkenal.

Tidak sulit mencarimu. Sabarlah."141

"Sayang saya terpaksa menggunakan nama

samaran, Mbak. Kemauan produser saya."

"Mudah-mudahan dia masih ingat lagu itu,

Cempaka."

"Memang hanya itu harapan saya, Mbak."

"Mari kita sama-sama berdoa, mudah-mudahan

Tuhan berkenan mempertemukan kalian kembali."

Hari demi hari, Cempaka memang menunggu

dengan harap-harap cemas kedatangan adiknya.

Tetapi jauh dalam hati kecilnya, dia sebenarnya bukan

hanya mengharapkan adiknya. Dia juga menunggu

seseorang yang lain

* * *

Agung mengawasi halaman surat kabar yang terpampang di hadapannya. Dalam iklan satu halaman

penuh, tertera foto Cempaka, lengkap dengan kaset

dan judul lagunya.

Burhan Record dengan bangga mempersembahkan Indah Lestari dalam show terbesar tahun

ini di Balai Sidang. Jungan lewatkan kesempatan

yang haik ini. Indah Lestari akan membawakan top

hitnya: PERISAI KASIH YANG TERKOYAK dengan

gayanya yang khas, melankolik, penuh penghayatan....

Agung menatap foto ini dengan penuh kerinduan.

Hampir setahun dia tidak berjumpa dengan gadis itu.

Sekarang dia telah menjadi seorang penyanyi

terkenal.

Sering Agung melihatnya menyanyi di televisi.

Foto-fotonya terpampang di majalah, surat kabar,

bahkan iklan-iklan di pinggir jalan.142

Kaset-kasetnya memenuhi rak kaset di rumah

Agung. Foto-fotonya yang digunting Agung dari surat

kabar dan majalah sudah sealbum penuh.

Tetapi Cempaka tidak tampak berubah. Gayanya

masih tetap lembut. Penampilannya sederhana.

Tatapannya masih tetap tatapan gadis kecil yang

redup dan melankolis.

Tidak ada yang berubah, pikir Agung muram.

Pendiriannya pun mungkin tetap tak berubah. Dia

masih menunggu adiknya. Dan tidak akan sempat

memikirkan kebahagiaannya sendiri sebelum

menemukan Bara!

Jadi percuma kembali kepadanya. Di balik

kelembutan hatinya terdapat sebentuk tekad yang

kokoh. Tidak tergoyahkan. Dia harus menemukan

adiknya dulu. Baru ada peluang untuk seorang lakilaki....

Telepon di atas meja tulis Agung berderingdering. Menyentakkan lamunannya. Diangkatnya dengan malas-malasan.

"Pak Santoso di sana? Selamat siang, Pak! Q-Jank

Record di sini, Pak!"

"Oh, Pak Amir! Selamat siang!"

Agung ingin menutup pembicaraan itu, tapi sudah

terlambat. Pak Amir sudah mengenali suaranya. Tak

mungkin menghindar lagi.

"Bagaimana follow up pembicaraan kita

seminggu yang lalu, Pak? Ada green light untuk

permohonan kredit kami? Jangan dianaktirikan dong,

Pak Santoso! Q-jank Record juga nasabah yang baik,

kan?"

"Masih dalam proses, Pak Amir. Begitu ada titik

terang, pasti kami hubungi."143

"Kami punya proyek besar nih, Pak Santoso. Satu

lompatan ke depan yang gemilang. Kami baru

mengontrak seorang penyanyi terkenal. Gemblengan

luar negeri. Namanya sudah top di Filipina dan

Malaysia."

"Orang asing?"

"Asembling! Orang Indonesia. Tapi belajar teknik

menyanyi di Paris. Ayahnya diplomat. Sering

berpindah-pindah tugas di berbagai negara. Karena itu

namanya sudah populer di negara-negara ASEAN."

"Pak Amir yang mendatangkan dia kemari?"

"Kebetulan dia pulang. Kami menawarkan

kontrak. Dia langsung setuju. Rencananya, kami mengadakan show besar-besaran. Semua penyanyi top

kami akan turun. Tanggal dan tempatnya akan kami

tentukan kemudian. Masih menunggu sponsor. Tapi

ya, kalau bisa, akan kami usahakan agar tidak

didahului oleh show yang lain. Supaya animo

penonton tidak berkurang!"

Tak sadar Agung melirik surat kabar yang masih

terpampang di atas meja. Cempaka masih
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandangnya dengan lembut.

* * *

"Agung tidak pernah menemuimu lagi?" tanya Pak

Wisnu ketika mereka sedang makan malam berdua.

Cempaka memang sangat sibuk akhir-akhir ini.

Tapi jika ada waktu luang, dia selalu menyempatkan

diri menemani ayahnya makan malam di rumah.

Seperti dulu.

Pak Wisnu melihat air muka Cempaka langsung

berubah. Dia seperti kehilangan selera makannya.

Dan Pak Wisnu menyesal telah menanyakan hal itu.144

"Maaf," gumamnya penuh sesal. "Ayah tidak

bermaksud membuatmu sedih."

Cempaka tidak menyahut. Dia meletakkan

sendoknya. Dan menghirup air minumnya.

"Kalian bertengkar?"

"Cempaka yang salah, Ayah."

"Agung memang cepat tersinggung. Maklum. Dia

masih muda. Anak tunggal. Anak orang kaya pula."

"Dia sangat baik, Ayah. Cempaka-lah yang telah

menyinggung harga dirinya."

"Mengapa kau tidak datang minta maaf

padanya?"

"Cempaka sudah minta maaf."

"Dan dia tidak mau memaafkanmu?"

"Cempaka yakin Agung telah memaafkan. Dia

hanya belum dapat melupakannya, Ayah."

Pak Wisnu menghela napas panjang. Disendokkannya sayur ke piring Cempaka.

"Makanlah."

"Kenyang, Ayah."

"Temani Ayah."

Terpaksa Cempaka melanjutkan makannya.

Hanya untuk menyenangkan hati ayahnya.

"Kau belum memikirkan perkawinan, Cempaka?"

"Cempaka masih ingin menemani Ayah."

"Perkawinan tidak akan memisahkan kita,

Cempaka."

"Tapi pasti mengurangi waktu Cempaka untuk

Ayah. Lagi pula Cempaka ingin meniti karir dulu,

Ayah."

"Dan menunggu Bara?"

"Mengapa dia belum juga mencari Cempaka,

Ayah?" keluh Cempaka murung. "Mungkinkah dia145

belum mendengar lagu itu? Atau.... dia sudah

melupakan Cempaka?"

* * *

"Indah Lestari." Bobby Hamzah merenungi kotak

kaset rekaman lagu PERISAI KASIH YANG

TERKOYAK. "Heran. Aku seperti pernah melihat

wajahnya... tapi, di mana? Dan lagu ini..." Bobby

menatap tape deck-nya dengan murung. "Di mana aku

pernah mendengar lagu ini?"

"Mungkin di luar negeri," potong Pak Amir

bersemangat. "Waktu kau belajar menyanyi di Paris.

Siapa tahu ini lagu jiplakan! Kau sudah pernah

mendengar melodinya?"

"Bukan hanya melodinya," gumam Bobby,

sambil berpikir keras. "Kata-katanya pun seperti

sudah pernah kudengar...."

"Oh, kalau itu tak mungkin! Liriknya kan dalam

bahasa Indonesia!"

"Saya ingin menemui penyanyi ini, Pak," cetus

Bobby, masih diliputi galau perasaannya sendiri.

"Tentu saja tidak mungkin! Dia sainganmu!

Burhan Record dan Q-Jank Record bersaing terus!

Kita akan mengadakan show pada tanggal dan waktu

yang sama! Hanya tempatnya yang berbeda! Mereka

pasti merasa disaingi!"

"Kita hanya bersaing dalam showbiz. Antara saya

dan penyanyi itu tak ada dendam pribadi. Saya ingin

berkenalan dengan dia."

"Jangan! Hubungan kalian akan memadamkan

semangat bersaing! Padahal persaingan adalah

cambuk menuju sukses!"146

Tapi aku ingin sekali menemuinya, pikir Bobby

gundah. Aku ingin tahu mengapa serasa ada sesuatu

yang hilang di hatiku setiap kali aku melihatnya.

Mendengar suaranya. Dan lagu itu... seperti

mengembalikan diriku kepada suatu masa.... masa

yang telah berlalu.... Kapan? Di mana?

"Saya harus menemuinya!" cetus Bobby mantap.

"Sebelum saya menemuinya, saya tidak dapat

berkonsentrasi untuk show itu!"

"Saya keberatan," protes Pak Amir sama

tegasnya. "Bobby tidak boleh ke sana!"

"Tapi ini urusan pribadi, Pak! Tidak ada

hubungannya dengan bisnis!"

"Bobby telah saya kontrak!"

"Saya hanya dikontrak untuk menyanyi! Bukan

dilarang untuk menemui seseorang!"

"Tapi saya keberatan Bobby menemuinya! Paling

tidak sampai show selesai!"

"Kalau begitu lebih baik kita batalkan saja

kontrak ini!" geram Bobby marah. "Belum apa-apa

Pak Amir sudah mau main atur saja! Saya tidak mau

kebebasan pribadi saya dikekang! Itu hak saya!"

"Silakan," tantang Pak Amir panas. "Tapi ingat,

membatalkan kontrak berarti harus mengganti

kerugian! Akan saya tuntut ganti rugi sebesar dua

ratus kali lipat!"

Dengan sengit Bobby meninggalkan Q-Jank Record. Dan beberapa detik kemudian, Pak Amir

mendengar deru mesin mobil Bobby meraung

meninggalkan halaman kantornya.

"Belum apa-apa sudah besar kepala!" geram Pak

Amir ketika melalui jendela kantornya dilihatnya

mobil Bobby meluncur pergi dengan kecepatan tinggi.147

"Penyanyi yang sedang naik daun memang

begitu, Pak. Apalagi yang masih muda-muda begitu.

Banyak tingkah! Tapi Bapak juga keliru. Mengapa dia

dilarang bertemu dengan Indah Lestari? Itu kan tidak

ada di dalam kontrak!"

"Saya hanya mencari yang terbaik untuk kita

semua! Kalau dia bertemu dengan penyanyi itu, dan

kebetulan mereka pernah kenal, persaingan mereka

menjadi kurang hebat. Padahal kita mengontrak dia

kan untuk menyaingi Indah Lestari! Semakin hebat

persaingan mereka, semakin ambisius mereka untuk

mengalahkan saingannya, semakin baiklah show

kita!"

"Saya tidak sependapat, Pak. Harus dipisahkan

antara persoalan pribadi dan bisnis. Kita memang mau

menyaingi mereka. Tapi bukan mau menghancurkan

mereka. Bukan mencari musuh. Sekarang dengan

kejadian ini, kita malah sudah kalah sebelum

bertanding! Mana kita sempat lagi mencari saingan

Indah Lestari? Membatalkan kehadiran Bobby

Hamzah saja kita sudah mendapat malu! Publikasi

sudah tersebar luas. Para fans mereka sudah demam

ingin menyaksikan show itu. Dan mereka bingung

harus memilih yang mana!"

"Yah, saya akui, saya memang terburu napsu

tadi." Pak Amir menghela napas panjang. "Saya

terlalu cepat panas. Mungkin karena saya tidak biasa

dibantah. Saya lupa, yang saya hadapi kali ini

penyanyi asembling luar negri. Dia dibesarkan di

bagian dunia yang sangat mendewakan kebebasan

pribadi!"

"Sekarang bagaimana, Pak? Apa belum terlambat

kalau kita kejar dia kembali? Kita mengalah sedikit,

demi sukses yang akan kita raih!"148

"Oke, kauaturlah semua. Tarik dia kembali. Tapi

jangan sampai saya kehilangan muka! Nanti dia jadi

besar kepala!"

"Beres, Bos!" Kusnadi menjentikkan jarinya.

Bergegas dia keluar untuk mengambil mobilnya. Dan

memburu Bobby Hamzah.

* * *

Pak Burhan mengawasi plakat yang terhampar di atas

meja tulisnya dengan geram.

"Tanggal, hari, dan waktu yang sama!" gerutunya sengit. "Mereka benar-benar kurang ajar!"

"Q-Jank Record hendak menyaingi show kita

dengan menampilkan parade artis-artis topnya,"

komentar Rizal, yang merobek plakat yang ditempelkan di papan-papan reklame di kaki lima itu, dan

memperlihatkannya pada majikannya.

"Si Amir pikir dia bisa menyaingi animo

penonton untuk melihat Indah Lestari!"

"Q-Jank punya kartu As baru, Bobby Hamzah,

biduan yang sudah populer di luar negeri."

"Tapi dia belum terlalu top di sini. Sedangkan

kita memiliki Indah Lestari, yang justru sedang in!"

"Bos, Bobby Hamzah ada di depan!"

"Sialan, mau apa dia kemari?!"

"Katanya dia mau bertemu dengan Indah

Lestari!"

"Persetan! Suruh dia pergi ke neraka!"

"Dia menanyakan alamat rumah Indah, Bos."

"Mau apa dia mencari Indah Lestari?" gumam

Rizal heran bercampur curiga. "Padahal pertarungan

mereka tinggal sebulan lagi!"149

"Bilang Indah Lestari tidak ada di sini. Dan kita

tidak tahu rumahnya! Habis perkara!" geram Pak

Burhan sengit. "Jahanam mereka. Menyaingi dengan

cara seperti ini! Busuk!"

* * *

"Bobby masuk ke Burhan Record, Pak," lapor

Kusnadi, dari telepon umum di seberang Burhan

Record. "Apa yang mesti saya lakukan?"

"Terkutuk!" desis Pak Amir menahan marah.

"Dia kira bisa menukar kontrak seenaknya? Akan

kutuntut dia!"

"Dia sudah keluar lagi, Pak! Sudah dulu ya. Akan
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya kejar dia. Saya coba membujuknya kembali.

Kalau Bobby bergabung pula dengan Burhan Record,

kita bisa gigit jari!"

Buru-buru Kusnadi meletakkan tangkai telepon.

Dia menghambur masuk ke dalam mobilnya. Dan

mengejar Bobby.

Begitu mobil Bobby meninggalkan halaman

Burhan Record, mobil Cempaka meluncur memasuki

halaman itu. Cempaka sampai memutar kepalanya

melihat mobil yang dilarikan dengan kecepatan tinggi

itu. Bannya sampai berderit-derit ketika menikung.

Sebuah bemo terpaksa merem tajam untuk

menghindari tubrukan. Pengemudinya menyumpahnyumpah dengan kesal. Mentang-mentang naik mobil.

Enak saja memotong jalan orang!

Tetapi Bobby tidak peduli. Kemarahannya

memuncak dengan perlakuan orang-orang di Burhan

Record. Mereka memang bersaing. Tapi ini benarbenar bentuk persaingan yang tidak sehat!150

Tahukah mereka dia sudah memutuskan

hubungan dengan Q-Jank Record? Dia malah dituntut

ganti rugi sebesar dua ratus kali lipat karena

membatalkan kontrak! Ah, dia sudah harus mencari

seorang pengacara. Dan ini semua gara-gara Indah

Lestari!

Dengan geram Bobby meninju kemudi mobilnya.

Mengapa dia sampai bertindak senekat itu? Dia tidak

kenal Indah Lestari. Dia hanya mirip seseorang...

entah siapa. Seseorang dari masa lalunya....

Tapi untuk menemuinya tidak perlu sampai

membatalkan kontrak! Ah, sudah kepalang basah.

Bobby pernah mendengar orang-orang mengatakan

rumah Indah Lestari berada di pinggiran kota. Di

daerah perumahan sederhana. Bukan di daerah elit.

Heran. Bagaimana seorang penyanyi terkenal masih

bertahan tinggal di tempat semacam ini?

Gang demi gang ditelusuri oleh mobilnya.

Akhirnya gang yang dicarinya memang ditemuinya.

Tapi yang mana rumah Indah Lestari? Bobby tidak

tahu nomornya!

Rumah-rumah di gang seperti ini memang

kadang-kadang tidak punya nomor. Orang-orang

hanya menyebutkan RT sekian RW sekian di gang

anu. Dan rumah-rumah beratap seng di gang ini

hampir sama semuanya. Besar maupun bentuknya.

Sesampainya di sebuah panti asuhan yang masih

sepi, Bobby merasa dadanya berdebar aneh. Mengapa

dia merasa seperti sudah pernah berada di tempat ini?

Inikah yang disebut deja vu?

Dia belum pernah ke sini. Tapi merasa sudah

pernah berada di sini. Entah kapan. Aneh.

Bobby sudah hendak menghentikan mobilnya.

Dia ingin bertanya pada kakek jompo yang sedang151

duduk di depan rumahnya di sebelah panti asuhan itu.

Dia pasti tahu yang mana rumah Indah Lestari.

Penyanyi terkenal. Mustahil dia tidak tahu.

Tapi sesaat sebelum Bobby menepi, matanya

menangkap bayangan sebuah mobil yang sedang

membelok memasuki gang. Dan mata Bobby

menyipit menahan marah. Dia mengenali mobil itu.

Q-jank Record!

Sialan! Mereka benar-benar hendak memperkosa

hak asasinya sebagai manusia! Mereka ingin

mengekang kebebasan pribadinya!

Dengan berang Bobby melarikan mobilnya. Siasia Kusnadi memberi tanda ingin bicara. Bobby sudah

meluncurkan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dan

karena dia tidak berhenti dulu di ujung gang itu, dia

tidak melihat sebuah bus yang datang dengan

kecepatan tinggi dari samping kanan.

Terlambat bagi bus itu untuk merem. Mobil

Bobby keluar begitu tiba-tiba dari dalam gang. Bagian

depan bus menghantam sisi kanan mobil Bobby.

Begitu hebatnya benturan itu sampai nyaris separuh

mobil Bobby remuk.152

BAB V

SEJAK berangkat dari rumah sebenarnya Cempaka

sudah merasa kurang sehat. Entah mengapa,

perasaannya tidak enak terus. Jantungnya berdebar

lebih cepat daripada biasa. Keringat pun rasanya tidak

pernah kering.

Pak Burhan yang sangat memanjakannya setelah

namanya melejit ke orbit atas penyanyi pop, sudah

menyuruhnya pulang.

"Kalau kurang sehat buat apa dipaksa, nanti

hasilnya kurang bagus. Lagi pula kamu tidak boleh

sakit, Indah. Ingat, show kita sudah dekat! Kamu tidak

boleh mengecewakan penggemar-penggemarmu!"

"Saingan kita kali ini nekat, Indah," sambung

Rizal sambil memperlihatkan iklan Q-Jank Record.

"Mereka juga bikin show pada hari dan waktu yang

sama! Gila betul Q-Jank Record ini! Mentangmentang berhasil impor penyanyi, mereka pikir bisa

meraih animo penonton! Mereka menteror show kita

supaya kosong melompong!"

Tidak sengaja Cempaka melihat foto Bobby

Hamzah yang terpampang di sudut iklan. Alangkah

tampannya anak muda itu. Tubuhnya tinggi semampai. Gayanya amat menawan.

Dan matanya... Berdebar hati Cempaka setiap kali

matanya bertatapan dengan mata Bobby dalam153

gambar itu. Mata itu mengingatkannya pada

seseorang....

Ah, dia memang mirip sekali. Tapi kata Pak

Burhan, Bobby anak seorang diplomat. Lama di luar

negeri. Tidak mungkin... Tapi... mengapa tidak mencoba menemuinya?

"Menemui Bobby Hamzah?" Pak Burhan tertawa

sinis. "Lebih baik tunda saja sampai sesudah show,

Indah!"

* * *

Berkali-kali Cempaka gagal mengkonsentrasikan

dirinya. Penata suara yang sedang merekam suaranya

sudah uring-uringan terus. Kalau Cempaka bukan

penyanyi terkenal, pasti sudah sejak tadi di makimaki.

Entah sudah berapa kali Cempaka harus mengulang. Tapi hasilnya tetap kurang baik. Penata suara

itu sudah hampir membanting head-phone-nya

dengan kesal ketika tiba-tiba di balik kaca sana

terlihat Cempaka terkulai lemah. Dia jatuh bersimpuh.

Serentak Pak Burhan dan stafnya memburu ke

dalam ruang rekaman. Tetapi Cempaka tidak pingsan.

Dia hanya merasa pusing. Tiba-tiba saja dunianya

terasa gelap. Setelah diberi minum dan dibiarkan

berbaring sebentar, dia merasa agak segar.

"Pulang saja, Cempaka," kata Pak Burhan penuh

pengertian. "Istirahat dulu. Jaga kesehatanmu baikbaik."

"Terima kasih, Pak," sahut Cempaka lemah. Dia

melangkah ke wastafel untuk membasuh mukanya.

Terasa segar ketika air yang sejuk itu menyentuh kulit

wajahnya.154

Ketika Cempaka membungkuk untuk membasuh

mukanya sekali lagi, seseorang yang tegak di

belakangnya menegurnya dengan lembut,

"Ruangan terlalu banyak minum air mentah.

Nanti sakit perut."

Bagai disambar petir Cempaka mengangkat

wajahnya. Dia berbalik dengan cepat. Dan terhenyak

kaget melihat siapa yang berdiri di belakangnya

sambil tersenyum.

"Agung!" pekik Cempaka tertahan.

"Apa kabar, Indah Lestari?" tegur Agung separuh

bergurau. "Terima kasih masih mengenaliku."

"Panggil aku Cempaka!"

"Tapi sekarang kamu Indah Lestari yang

terkenal."

"Bagi kamu, aku tetap Cempaka."

"Pak Burhan bilang kamu sakit."

"Tapi bukan karena itu kamu datang kemari,

kan?"

"Oh, aku cuma datang untuk minta tanda tangan."

Agung pura-pura membalikkan badannya. "Tolang

tanda tangani baju saya, Nona Indah Lestari."

Cempaka memukul punggung Agung dengan

gemas. Agung tertawa renyah. Dia memutar

tubuhnya. Dan meraih tangan Cempaka.

"Masih marah?"

"Kamu yang marah. Cepat tersinggung."

"Sekarang tidak lagi. Aku insaf. Indah Lestari

tidak membutuhkan diriku lagi."

"Siapa bilang? Sekarang pun aku membutuhkanmu."

"Mengantarkan kamu pulang?" Agung membimbing tangan Cempaka keluar dari tempat itu.155

"Oke, Neng! Mulai sekarang, sopirmu boleh

pensiun!"

Mereka bergandengan tangan keluar dari Burhan

Record. Ketika melewati kamar kerja Pak Burhan,

Agung mengajak Cempaka masuk sebentar untuk

pamit.

"Urusannya kita bicarakan besok saja ya, Pak

Burhan."

"Boleh saja." Pak Burhan menyeringai penuh

pengertian. "Saya tahu, ada urusan yang lebih

penting! Biar besok saya yang datang ke kantor Pak

Santoso! Takut tiba-tiba Indah pingsan lagi. Nanti

urusan kita tidak selesai-selesai!"

Cempaka merasa mukanya panas. Tapi dadanya

berdebar gembira. Kepalanya memang masih agak

pusing. Tapi kakinya tidak terasa lemas lagi.

Dia merasa sangat bergairah. Semangat yang

entah dari mana datangnya menjalari seluruh jaringan

pembuluh darah di tubuhnya. Dia tidak memprotes

ketika Agung tidak langsung mengantarkannya

pulang.

Agung membawanya makan sate. Meskipun

sedang tidak ingin makan sate, Cempaka tidak merasa

mual. Dia juga tidak merasa letih ketika selesai makan

Agung mengajaknya berjalan-jalan ke pantai. Padahal

Teluk Jakarta pada pukul dua siang bukan main
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panasnya. Mereka menghabiskan sisa hari itu

bersama-sama, seakan-akan tidak ingin berpisah lagi.

"Heran, mengapa hari ini terasa pendek sekali?

Waktu begitu cepat berlalu," keluh Agung ketika

mereka sedang duduk berdua di tepi pantai

menyaksikan matahari terbenam di uiuk barat.

"Rasanya rinduku padamu belum hilang, Cempaka."156

"Rindu tapi kuat bertahan sampai setahun tidak

menemuiku." Cempaka tersenyum pura-pura merajuk.

"Ah, itu kan cuma soal harga diri," sahut Agung

tenang. "Aku melukai harga dirimu. Kau pun melukai

harga diriku."

"Hanya karena merasa tidak kubutuhkan?"

"Kau memang tidak membutuhkan aku. Tanpa

koneksi pun kau bisa menjadi Indah Lestari. Penyanyi

yang terkenal."

"Tapi tanpa bantuanmu, mungkin masih sepuluh

tahun lagi."

"Mengapa dulu engkau menolak bantuanku?"

"Kau tidak mengerti, Agung. Aku anak yatimpiatu. Diangkat anak hanya karena belas kasihan

Ayah. Aku tidak punya apa-apa untuk dibanggakan.

Pada saat aku ingin membuktikan eksistensi diriku,

kau datang menolong. Jadi aku menjadi penyanyi

bukan karena aku mampu. Tapi karena mereka melihat namamu. Mengharapkan uangmu! Kau membuat aku merasa makin kerdil! Tidak berarti apa-apa!"

"Cempaka." Agung menggenggam tangan gadis

itu dengan lembut. Ditatapnya mata Cempaka dengan

penuh kasih sayang. "Aku hanya ingin menolongmu.

Percayalah."

"Aku tahu, Agung. Maafkanlah kalau aku telah

melukai perasaanmu. Kau tahu aku sangat

membutuhkan dirimu...."

"Kau tidak membutuhkan siapa pun, Cempaka.

Kau seorang gadis yang hebat."

"Kau keliru, Agung. Semakin tinggi aku terbang

merentangkan sayap, semakin kubutuhkan seorang

laki-laki yang tangguh untuk menopangku, agar aku

tidak luruh ke bumi bila angin kencang bertiup."157

"Cempaka." Agung merangkul gadis itu dengan

hangat. "Jika cintaku tidak menghalangi tekadmu

untuk mencari adikmu, bolehkah aku melamarmu?

Akan kita cari dia bersama-sama."

Cempaka tidak menyahut. Dia hanya mengangguk sambil memejamkan matanya. Membiarkan

air mata merembes melalui celah-celah bulu matanya.

Mengalir diam-diam ke pipi.

Beberapa belas kilometer dari sana, di dalam

sebuah kamar operasi sebuah rumah sakit, para dokter

sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa Bobby

Hamzah dari cengkeraman maut.

* * *

Ketika Kusnadi melaporkan kecelakaan itu, Pak Amir

tidak tahu harus merasa gembira atau sedih. Penyanyi

pembangkang itu memang sudah mendapat pelajaran

yang setimpal.

Tapi show-nya juga pasti berantakan. Tidak

mungkin menampilkan Bobby dalam show itu.

Burhan Record sudah menang selangkah di depan.

"Karena orang tuanya masih di luar negeri,

Dokter Halim minta Bapak datang ke rumah sakit,

Pak," lapor Kusnadi murung. Bagaimanapun dia tidak

dapat menghilangkan perasaan bersalah itu dari dalam

hatinya. Bobby mendapat kecelakaan karena ingin

menghindarinya.

"Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan

dia," sahut Pak Amir ketus. "Dia telah membatalkan

kontrak!"

"Tapi demi kemanusiaan, kita tidak dapat

meninggalkannya demikian saja, Pak. Bobby seorang158

diri di sini. Orang tuanya masih di Manila. Tidak

mungkin datang malam ini juga."

"Hubungi saja orang tuanya."

"Bagaimanapun, sebaiknya Bapak menengoknya

di rumah sakit, Pak. Tidak baik efeknya kalau pers

sampai mendengarnya...."

"Persetan! Dia yang memutuskan hubungan

kerja! Q-Jank Record tidak bersedia menanggung

biaya perawatan!"

"Kalau mengenai biaya perawatan saya kira orang

tuanya pasti mampu, Pak. Kita tidak perlu

memikirkan hal itu. Kita hanya perlu menengoknya,

Pak. Bagaimanapun di mata publik, dia masih

penyanyi kita."

Akhirnya Pak Amir memang memerlukan datang.

Tetapi melihat apa yang dilakukannya di sana,

Kusnadi menyesal telah membujuknya untuk datang

menengok Bobby.

Kusnadi mengerti kekecewaan majikannya.

Ketidakhadiran Bobby dalam show itu menurunkan

reputasi Q-Jank Record. Membuat malu Pak Amir.

Mungkin pula mereka harus menghadapi tuntutan dari

pihak sponsor.

Tapi sikap Pak Amir terhadap kecelakaan yang

menimpa Bobby Hamzah dinilai keterlaluan olch

Kusnadi. Sejak menghadap Dokter Halim, Pak Amir

sudah memperlihatkan sikap yang kurang simpatik.

"Show?" Dokter Halim mengerutkan dahinya.

"Sebulan lagi? Saya rasa tidak mungkin, Pak. Trauma

pada bagian belakang kepala Bobby menyebabkan

kerusakan beberapa saraf otaknya. Beberapa kelainan,

memang bersifat sementara. Akan pulih setelah

beberapa lama. Tapi ada yang sifatnya menetap. Lagi

pula..." Dokter Halim berhenti sejenak. Diamat-159

amatinya kartu status yang terpampang di atas meja

tulisnya. Dan dia menghela napas panjang sebelum

melanjutkan dengan lebih berhati-hati. "Ada sesuatu

yang harus Bapak ketahui. Karir Bobby sebagai

penyanyi mungkin harus dimulai dari bawah lagi.

Luka-luka di lehernya merusakkan juga beberapa

saraf dan otos di daerah itu.... Suara Bobby akan

berubah... lemah dan parau...."

Pak Amir terhenyak di kursinya. Bukan oleh rasa

iba. Tetapi semata-mata karena terkejut. Habislah

sudah harapannya! Bobby Hamzah benar-benar telah

tamat! Kehadirannya dalam show bulan depan itu

sudah tidak dapat diharapkan lagi. Dan

kekecewaannya itu ditumpahkannya dalam luapan

kemarahan di sisi pembaringan Bobby.

Penyanyi muda yang malang itu masih terbujur

lemah di ranjang rumah sakit. Dia sudah sadar. Tetapi

belum dapat mengucapkan sepatah kata pun.

Sebotol darah masih meneteskan titik-titik darah

melaluijarum transfusi di lengan kanan. Sedangkan di

lengan kiri, cairan infus masih mengalirkan tetes-tetes

cairan ke pembuluh darahnya.

Bobby tidak mampu menggerakkan seujung jari

pun meskipun dia sudah siuman. Dia tahu siapa yang

datang. Tetapi dia tidak mampu menyapa.

Kemarin Bobby baru saja mengalami operasi

yang cukup berat untuk menyelamatkan nyawanya.

Dokter Halim merasa waktunya belum tepat untuk

menyampaikan trauma psikis yang dia yakin dapat

mengguncangkan jiwa Bobby itu. Dia menunggu

sampai fisik Bobby pulih dan mentalnya cukup kuat

untuk menerima kenyataan pahit yang akan

disampaikannya.160

Mungkin Bobby akan merasa bebannya lebih

ringan bila didampingi oleh orang tuanya. Menurut

telex dari Manila, orang tua Bobby akan tiba di

Jakarta malam ini juga. Dan Dokter Halim bermaksud

akan membicarakan musibah itu dengan orang tuanya

terlebih dahulu.

Tetapi Pak Amir sudah tidak dapat menahan

emosinya lagi. Begitu sampai di sisi pembaringan

Bobby, dia sudah langsung mengumbar kemarahannya.

"Kau ingin membatalkan kontrak?" Dengan kasar

ditariknya selembar kertas dari dalam tasnya. Diperlihatkannya kepada Bobby. "Oke ! Kita batalkan

kontrak ini! Dan kau tak perlu lagi mengganti

kerugian! Pikirkan saja nasibmu setelah suaramu

rusak!"

Dengan gemas Pak Amir merobek-robek kertas di

tangannya. Lalu ditinggalkannya kamar itu dengan

sengit.

Kusnadi menunduk dengan hati trenyuh. Tidak

sampai hati memandang Bobby yang terhenyak shock

di ranjangnya.

* * *

"Bobby menolak makan, karena itu infusnya terpaksa

kami lanjutkan," kata Dokter Halim beberapa hari

kemudian kepada orang tua Bobby.

"Tapi Bobby marah-marah terus karena tangannya yang diinfus itu diikat, Dokter."

"Kami terpaksa mengikatnya. Sudah beberapa

kali dia mencoba mencabut infusnya."

"Benarkah dia tidak bisa menelan makanan

seperti biasa, Dok?" tanya Bu Hamzah getir.161

"Akibat kerusakan sarafnya, memang Bobby

mengalami sedikit kesulitan untuk menelan. Tapi saya

yakin, kalau dia mau, dia masih bisa makan sendiri

seperti biasa."

"Dia merasa tertekan sekali, Dokter," keluh Pak

Hamzah murung. "Dia tidak dapat menumpahkan

perasaannya kepada ibunya. Padahal biasanya dia

begitu dekat dengan istri saya ini."

"Sebenarnya Bobby tidak bisu. Dia masih bisa

berbicara. Walaupun suaranya rusak. Artikulasinya

juga mengalami gangguan. Kata-katanya agak pelo.

Tapi kelainan ini bersifat sementara. Problemnya

terletak pada semangat Bobby sendiri. Dia seperti

takut mendengar suaranya sendiri. Dan tidak memiliki

lagi kemauan untuk hidup."

* * *

"Pak Amir tidak ada di tempat, Pak," Kusnadi

menyambut telepon dari Agung. "Ke dokter. Tekanan
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darahnya naik lagi. Yah, akhir-akhir ini Pak Amir

memang pusing sekali."

"Pasti karena kecelakaan itu." Agung menghela

napas. "Saya baca di koran."

"Panitia yang mensponsori acara itu mengklaim

Q-jank Record karena tidak dapat menampilkan

Bobby Hamzah seperti yang tertera dalam kontrak.

Pak Amir shock sekali."

"Yah, bisnis memang begitu. Saya harap Pak

Amir dapat bangkit kembali. Dan tidak ambruk garagara pukulan ini."

"Penyanyi itu lebih kasihan lagi, Pak."

"Bobby Hamzah?"162

"Kata dokter, beberapa sarafnya mengalami

kerusakan. Salah satunya adalah saraf yang mempersarafi pita suara. Dia tidak dapat menyanyi lagi.

Suaranya rusak."

"Kasihan..." Agung benar-benar iba mendengar

nasib penyanyi itu. "Masih muda sekali. Berbakat

pula."

"Baru dua puluh tahun, Pak. Masa depannya

hancur dalam sekejap."

"Orang tuanya sudah datang?"

"Langsung dari Manila. Siang malam mereka

menunggui anak tunggal mereka di rumah sakit.

Kasihan sekali."

"Sungguh berat untuk mereka."

"Lebih-lebih untuk Bobby. Dia tidak memiliki

semangat lagi untuk hidup. Beberapa kali mencoba

bunuh diri."

"Kasihan sekali. Baiklah Pak Kusnadi, sampai

bertemu. Titip salam buat Pak Amir. Selamat sore."

Agung meletakkan teleponnya. Ditatapnya

Cempaka yang masih duduk di hadapannya.

"Bobby Hamzah," katanya iba. "Suaranya rusak."

"Ya, Tuhan!" keluh Cempaka terkejut bercampur

kasihan.

"Hancurlah masa depannya. Padahal dia begitu

berbakat."

"Mudah-mudahan dia tidak putus asa. Tidak

menyerah pada nasib."

"Dia malah sudah mencoba bunuh diri."

"Dia tidak boleh menyerah! Dia harus berjuang

untuk bangkit kembali!"

"Bobby seorang penyanyi. Suaranya rusak. Apa

lagi yang diharapkannya? Dia pasti putus asa. Apalagi163

kudengar Q-Jank Record telah membatalkan

kontrak."

"Kejam! Apa Pak Amir tidak dapat menunggu

sampai saat yang lebih baik?"

"Q-Jank Record sendiri diklaim oleh panitia yang

mensponsori show itu."

"Karena tidak dapat menghadirkan Bobby

Hamzah? Keterlaluan! Ini sebuah kecelakaan! Oh,

mengapa bisnis begitu kejam?"

Agung tidak menjawab. Dia cuma menghela

napas.

"Aku ingin menjenguknya, Agung," cetus

Cempaka tiba-tiba.

"Hah?" Agung menoleh dengan terkejut. "Siapa?"

"Siapa lagi? Tentu saja Bobby Hamzah."

"Jangan sekarang, Cempaka!"

"Mengapa?"

"Orang akan mengira kamu ingin melihat

kesengsaraan sainganmu."

"Aku cuma ingin menghiburnya! Membangkitkan semangatnya! Salahkah itu?"

"Orang tidak percaya."

"Aku tidak peduli! Aku bermaksud baik. Aku

tidak peduli apa kata orang."

"Aku hanya memikirkan yang terbaik untukmu,"

kata Agung murung. "Aku tahu maksudmu baik. Tapi

orang bisa berpendapat lain. Bobby pun belum tentu

mau menemuimu. Dia akan merasa lebih terpukul

lagi."

"Aku ingin menghiburnya, Agung. Menabahkan

hatinya. Lagi pula... memang sudah lama aku ingin

menemuinya. Ingin berkenalan...."

"Karena dia seorang penyanyi? Sainganmu pula?"

"Karena dia mirip Bara!"164

"Maksudmu..." Agung membelalak kaget.

"Dia seumur Bara."

"Banyak orang yang seumur dia."

"Tatapannya selalu mengingatkanku pada Bara.

Lihatlah ini." Cempaka mengeluarkan guntingan iklan

yang memuat foto Bobby Hamzah. "Setiap kali aku

menatapnya, aku ingat Bara. Cara memandangnya

demikian mirip!"

"Tapi dia anak seorang diplomat, Cempaka. Lama

di luar negeri. Mungkinkah..."

"Dulu aku berdoa, mudah-mudahan dialah

adikku..." gumam Cempaka lirih. "Tapi kini... aku

mengharap semoga dia bukan Bara!"

* * *

"Bobby Hamzah belum dapat ditemui," kata perawat

itu tegas. "Kecuali oleh orang tuanya."

"Gawat keadaannya, Suster?" tanya Cempaka

cemas.

"Maaf, kami dilarang pihak rumah sakit untuk

memberi keterangan apa-apa."

"Tidak usah kuatir!" sela Agung jengkel. "Kami

bukan dari pers!"

"Maaf. Ini kebijaksanaan rumah sakit. Bapak

harus maklum, Bobby Hamzah penyanyi terkenal.

Sejak masuk, entah sudah berapa belas wartawan

yang mencoba mencari berita ke sini."

Agung hendak membantah lagi. Tetapi Cempaka

sempat mencegahnya.

"Barangkali dia butuh ketenangan. Demi

kebaikannya, lebih baik kita tunda saja sampai lain

kali."165

"Lho, tadi kamu yang ngotoi mau ketemu!"

Agung menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas. "Hhh, dasar perempuan! Benar-benar sulit

dimengerti."

"Aku datang dengan maksud baik. Tapi jika

mereka menganggap kedatangan kita tidak baik untuk

Bobby, bukankah sebaiknya kita tidak menemuinya?

Mereka kan lebih tahu."

Cempaka menarik tangan Agung. Dan

mengajaknya pulang. Ketika mereka sedang

melangkah di lorong rumah sakit itu, seorang ibu

setengah baya bergegas-gegas mendatangi dari arah

depan.

Dia hanya memandang Cempaka dan Agung

sekejap tatkala berpapasan. Tampaknya dia sedang

tergesa-gesa. Dan tidak mengacuhkan apa-apa. Hanya

ingin lekas-lekas sampai.

Tetapi Cempaka sampai memutar tubuhnya

karcna tcrkcjut.

"Ibu Bastian!" panggilnya gemetar. Dia takkan

pernah melupakan wajah itu! Takkan pernah!

Perempuan itu sudah melewati mereka. Tetapi

mendengar namanya dipanggil, dia langsung berhenti. Dan menoleh. Ditatapnya Cempaka dengan

heran.

"Ibu Bastian!" sergah Cempaka menahan haru.

"Di mana Bara?"

Keheranan di mata perempuan itu berubah

menjadi keterkejutan yang luar biasa. Dan sebelum

dia sempat membuka mulutnya, Cempaka telah

berlutut di hadapannya. Diambilnya tangan ibu itu.

Diciumnya sambil menangis.

"Saya Cempaka, Bu. Kakak Bara. Bolehkah saya

menemui adik saya, sebentar saja?"166

Terhenyak ibu itu mengawasi gadis yang sedang

bersimpuh di hadapannya. Semuanya terjadi demikian

cepat. Demikian tak terduga. Seperti dalam mimpi....

Belasan tahun dia telah menganggap Bara sebagai

anaknya sendiri... Sekarang setelah dia hampir lupa.

Anak itu bukan anaknya, kakaknya muncul membuyarkan fantasinya! Kenyataan datang seperti badai

yang tak dapat ditolak. Kenyataan pahit yang

menyakitkan. Yang menyentakkan kesadaran yang

telah terlena selama lima belas tahun.... Bara memang

bukan anaknya! Masa lalu yang dihindarinya itu kini

datang menjenguk....

Dengan tangan gemetar dibangunkannya gadis

yang masih berlutut di hadapannya itu. Seandainya

saja gadis ini muncul beberapa hari yang lalu, pasti

dia memilih untuk berpura-pura tidak kenal saja. Biar

tetap tak ada seorang pun yang tahu, Bara bukan

anaknya.

Tetapi kini... apa pun akan dikorbankannya demi

Bara! Jika masa lalu itu dapat membahagiakannya,

biarpun cuma sekejap, biarlah dia mencicipinya! Jika

kedatangan kakaknya dapat membangkitkan kembali

semangat hidupnya, biarlah mereka bertemu kembali!

"Bara sudah berbeda, Nak..." rintih Bu Bastian

Hamzah getir. Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Tangisnya keburu pecah.

* * *

"Bobby..." bisik Bu Bastian di dekat telinga anaknya.

"Kakakmu datang, Nak.... Bukalah matamu."

Tetapi Bobby tetap memejamkan matanya. Dia

malah seperti tidak mendengar apa-apa. Padahal dia

tidak pingsan.167

Cempaka yang tegak di ambang pintu dengan

berlinang air mata, menggigit bibirnya menahan

tangis. Inilah adiknya! Inilah Bara yang dirindukannya! Inilah adik yang telah lima belas tahun

dicarinya!

O, dia sudah berubah! Jauh berubah! Dia bukan

lagi anak laki-laki kecil berkepala bulat yang gemuk

dan lucu. Bukan anak kecil yang sering merajuk.

Menangis. Menjerit-jerit. Bukan adik kecil yang

kedinginan ketika hujan menyiram tubuh mereka.

Yang dipeluknya di dadanya yang tipis ketika kilat

sabung-menyabung memekakkan telinga. Yang setiap
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam didongenginya. Dininabobokkannya sebelum

tidur...

Dia kini seorang pemuda tampan. Tidak membutuhkan lagi seorang kakak untuk melindunginya.

Mencucikan kakinya. Menyikatkan giginya...

O, Tuhan, tangis Cempaka dalam hati. Mengapa

kami harus dipertemukan kembali dalam keadaan

seperti ini?

Sia-sia Bu Bastian mencoba membangkitkan

keinginan Bara untuk membuka matanya. Melihat

siapa yang datang. Dia diam saja. Seolah-olah tidak

mendengar apa-apa. Musibah itu telah membunuh

emosinya. Membunuh keinginannya untuk hidup.

Membunuh semangatnya.

Bu Bastian mengangkat mukanya. Dan menatap

Cempaka dengan air mata berlinang.

"Maafkan Bobby, Nak...," bisiknya lirih. "Bukan

dia tidak mau menemuimu. Bertahun-tahun dia selalu

menanyakanmu. Dia sangat merindukan kakaknya...

Tapi kau datang pada saat yang tidak tepat...."

Bu Bastian tak dapat menahan tangisnya lagi.

Cempaka menghampirinya sambil menggigit bibir.168

Dipapahnya Bu Bastian. Dimintanya Agung menjaganya. Kemudian dia melangkah ke sisi tempat

tidur. Dia duduk di samping adiknya. Dipegangnya

tangannya dengan lembut.

"Aya..." bisiknya penuh keharuan, "Ini Kakak...."

Tapi Bara tidak bergerak sedikit pun. Matanya

tetap terpejam rapat. Pedih hati Cempaka melihat

keadaan adiknya. Benarkah Bara sudah melupakannya? Atau... dia cuma tidak ingin bertemu dalam

keadaan seperti ini?

"Aya..." desahnya lirih, menahan tangis,

"benarkah Aya tidak ingin melihat Kakak? Lima belas

tahun, tiap malam Kakak menangis merindukanmu.

Bukalah matamu, Aya. Izinkanlah Kakak melihat

matamu. Kakak mohon. Supaya tidak sia-sia

penantian Kakak selama ini...."

Ketika Bara tetap tak mau membuka matanya,

Cempaka tidak dapat menahan tangisnya lagi.

"Baiklah, Aya... kalau Aya tidak mau, Kakak juga

tidak akan memaksamu.... Tapi sebelum Kakak pergi,

panggillah Kakak untuk terakhir kali, Aya... seperti

dulu...."

Tetapi Bara tetap membisu. Dan Cempaka tersedu

dalam keputusasaan. Dia telah menemukan adiknya.

Namun tak pernah lagi dapat melihat matanya.

Mendengar suaranya. Dia datang terlambat! Emosi

Bara benar-benar telah mati. Kini dia cuma seonggok

daging. Hidup. Tapi tanpa perasaan. Tanpa semangat.

Dalam kepedihan hati yang amat sangat, tak sadar

Cempaka mulai menembang. Lagu yang sama. Lagu

yang selalu dinyanyikannya untuk menina-bobokkan

Bara.

Nostalgia masa kanak-kanak mereka terasa nyeri

menggigit. Nostalgia yang menggetarkan benang169

halus yang senantiasa terentang di antara kedua batin

mereka....

Mula-mula Bara tetap tidak bereaksi. Matanya

tetap terpejam, air mukanya kosong. Tanpa ekspresi.

Tetapi ketika sambil tetap menyanyi Cempaka

membelai-belai kepala adiknya dan mengecup mata

Bara seperti yang sering dilakukannya dulu kalau

Bara sudah separuh terlelap, Bara langsung membuka matanya. Dan Cempaka melihat mata pemuda

itu telah penuh digenangi air mata....

Sekejap mercka saling bcrtatapan. Dua pasang

mata yang membiaskan rindu dan haru....

"Aya!" Cempaka tak berhasil menyelesaikan

tembangnya. Tangisnya keburu meledak. Dirangkulnya Bara sambil menangis.

Bara tidak mampu mengucapkan sepatah kata

pun. Meskipun banyak yang hendak diungkapkannya.

Berhari-hari setelah kecelakaan itu, dia memang tidak

pernah lagi mau berbicara. Dia takut mendengar

suaranya sendiri!

Bu Bastian yang tegak bersama Agung di ambang

pintu melelehkan air mata haru. Diam-diam dia

merasa berdosa telah menunda pertemuan mereka

sampai hari ini!

* * *

Sejak kedatangan Cempaka, keadaan Bara memang

telah banyak berubah. Dia sudah mau makan. Sudah

mau membuka matanya. Mau dimandikan oleh

perawat. Tidak pula mencoba untuk bunuh diri lagi.

Tetapi Bara tetap belum mau bicara. Padahal

Cempaka begitu ingin mendengar dia memanggilnya

'Kakak'. Walaupun dengan suara serak. Bertahun-170

tahun suara Bara tak mau lekang dan telinganya.

Selalu terngiang dan terngiang lagi rengekannya pada

malam hujan lebat itu, ketika mereka kabur dari panti

asuhan.

Sedih hati Cempaka melihat keadaan adiknya.

Kalau dapat menolong, maulah rasanya dia melakukan apa pun untuk menghibur Bara. Untuk menghidupkan kembali semangatnya. Tetapi bagaimana

caranya? Bagaimana mengembalikan kepercayaan

diri Bara setelah suara kebanggaannya rusak? Setelah

karirnya hancur?

"Mengapa harus menyiksa diri seperti ini, Aya?"

tanya Cempaka lemah lembut. "Kau tidak dapat

berdiam diri untuk selamanya. Dengan bersikap

begini, kau bukan saja menyiksa dirimu sendiri. Kau

menyiksa juga kakakmu. Ibumu. Ayahmu...."

Tetapi Bara tetap tidak menyahut. Walaupun dia

mendengar kata-kata Cempaka.

"Kau masih ingat Bu Nasti? Mbak Lastri?"

Bara menggeleng lemah. Muram.

"Ibu-ibu panti asuhan yang pernah merawat kita

dulu. Kakak ingin membalas jasa mereka. Ingin pula

berbuat sesuatu untuk anak-anak yang senasib dengan

kita dulu. Tidak punya orang tua. Tidak punya rumah.

Tidak ada kasih sayang. Kakak ingin mendirikan

panti asuhan untuk anak-anak yatim-piatu. Di tempat

yang dulu juga. Kau tidak tertarik?"

Bara diam saja. Kalaupun dia tertarik, apa yang

dapat dilakukannya?

"Teman Kakak telah berbicara dengan Pak

Burhan. Beliau bersedia menyumbangkan lima puluh

persen hasil bersih show mereka untuk panti asuhan

itu...."171

Cempaka berhenti sebentar untuk melihat reaksi

Bara. Tetapi pemuda itu diam saja. Masih termenung

mengawasi langit-langit kamarnya. Tenggelam dalam

dunia lamunannya sendiri.

"Sebagai anak-anak yang telah pernah merasakan jasa panti asuhan yatim-piatu, Kakak ingin Aya

ikut menyanyi bersama Kakak. Dengan demikian kita

ikut menyumbangkan sesuatu...."

Bara memalingkan wajahnya dengan terperanjat.

Matanya terbelalak antara kaget dan ketakutan.

Mukanya yang memang masih pucat bertambah pias.

Dia menggelengkan kepalanya berkali-kali. Separuh

panik.

Cempaka memegang tangan adiknya untuk menenangkan hatinya. Membangkitkan semangatnya.

"Kita akan menyanyi bersama, Aya! Lagu yang

diciptakan Paman Wisnu untuk kita!"

Tetapi Bara terus juga menggeleng. Makin kuat.

Ditutupnya telinganya dengan kedua belah tangannya. Seolah-olah dia tidak ingin lagi mendengar apa

pun.

Cempaka menghela napas. Dengan lembut

ditariknya tangan Bara. Ditatapnya adiknya dengan

sabar.

"Kakak tidak memaksa kalau Aya tidak mau.

Tapi Kakak mohon, hadirlah dalam show itu. Kehadiranmu menambah semangat Kakak..."

Sekali lagi Bara menggelengkan kepalanya.

Bagaimana dia dapat hadir dalam show itu? Bertemu

dengan para fansnya? Dia kini cuma seorang laki-laki

cacat yang tak berguna! Buat apa hadir kalau cuma

untuk menerima penghinaan?

Bukan hanya suaranya saja yang rusak. Kakinya

pun lumpuh. Apakah dia harus hadir di Balai Sidang172

yang gegap gempita oleh tempik sorak pengunjung di

atas sebuah kursi roda? Didorong seperti orang jompo

yang tidak berdaya?

Oh, tidak! Tidak! Lebih baik dia tidak hadir sama

sekali daripada dihina! Masa berhura-hura dengan

publik penggemamya telah lewat! Kini dia bukan lagi

Bobby Hamzah yang penuh glamour! Dia kini cuma

seonggok sampah!

"Kamu tidak lumpuh, Aya." Cempaka meremasremas tangan adiknya dengan lembut untuk

menentramkan hatinya. "Dokter bilang tidak ada saraf

kakimu yang rusak. Kamu bisa jalan seperti biasa!

Kelumpuhanmu hanya karena trauma psikismu.

Hanya karena kamu tidak mau keluar dari kamarmu.

Enggan menemui publik. Berhadapan dengan fansmu.

Kamu shock karena merasa tidak mampu lagi

menyanyi! Padahal kamu tidak bisu, Aya. Kamu

masih dapat bicara. Dapat menyanyi!"

Tetapi Bara menggelengkan kepalanya dengan

kesal. Dipejamkannya matanya rapat-rapat. Seakanakan ingin segera menenggelamkan dirinya ke alam

mimpi.

Di sana, di alam mimpi, dia dapat menjadi Bobby

Hamzah kembali. Meliuk-liukkan tubuhnya di atas

pentas sambil memegang mike. Dan di tengah

tepukan riuh penggemar-penggemarnya, suaranya

mengalun merdu mengusap telinga....

* * *

"Cempaka menyanyikan lagu itu untukmu," kata

Agung ketika mendapat kesempatan berdua saja

dengan Bara. Dia datang bersama Cempaka. Tetapi

seorang perawat meminta Cempaka untuk menemui173

Dokter Halim di kamar kerjanya. "Berta-hun-tahun

dia mencarimu. Ketika dia tidak berhasil juga

menemuimu, dia menyanyikan lagu itu dengan

harapan kau bisa mendengarnya dan mencari dia.

Cempaka melupakan dirinya sendiri. Mengubur

semua kebutuhannya sebagai wanita untuk mencari

adiknya. Dia menjadi penyanyi walaupun ayahnya
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mengizinkan. Konflik mereka sampai membawa

Paman Wisnu ke rumah sakit. Lumpuh sebelah.

Cempaka berselisih dengan kekasihnya. Berpisah.

Setahun menanggung rindu. Hanya karena dia

menolak lamaran laki-laki itu. Dia telah bertekad

tidak akan menikah sebelum menemuimu. Lalu apa

yang dilakukan adiknya itu? Bukan saja dia tidak

pernah mencari kakaknya, dia malah mengubur

dirinya sendiri dalam keputusasaan setelah ditemui!

Laki-laki apa kau ini, Bobby! Kau kehilangan suaramu. Kehilangan masa depanmu sebagai penyanyi!

Oke, semua orang kasihan padamu! Tapi cuma itukah

yang kaukehendaki, Bobby? Belas kasihan orang

lain? Air mata kakakmu seperti yang sering kaulihat

waktu kalian masih kecil? Atau perlindungan orang

tuamu, yang selalu memanjakanmu sebagai anak

tunggal? Meredam semua getaran yang dapat

mengguncangkan anak kesayangannya? Apa yang

telah kauperbuat untuk membalas budi Cempaka?

Untuk membalas jasa orang tuamu? Ibu-ibu

pengasuhmu di panti asuhan dulu? Apa? Tidak ada!

Selain berpura-pura lumpuh padahal kamu bisa jalan!

Tidak mau bicara padahal kamu tidak bisu!" Bobby

membanting gelasnya dengan marah. Ditatapnya

Agung dengan geram. Tetapi Agung tidak peduli. Dia

yakin, seseorang harus bersikap keras kepada Bara.

Seseorang harus mengajarnya menjadi seorang jantan!174

Selama ini semua orang selalu bersikap lembut

kepadanya. Orang tuanya sangat memanjakannya.

Kakaknya selalu melindunginya. Bobby tidak pernah

dipersiapkan untuk menghadapi tantangan. Hidupnya

terlalu enak. Akibatnya dia tumbuh menjadi seorang

pemuda cengeng! Ketika musibah itu datang

menyapa, dia ambruk. Tak dapat bertahan lagi.

"Musibah tidak dapat memberangus seorang

jantan!" sambung Agung sambil melangkah ke pintu.

"Sekarang saatnya kau harus membuktikan, tidak siasia Cempaka mencarimu! Engkau memang seorang

adik yang pantas untuk dicari. Seorang laki-laki yang

pantas untuk dikagumi. Seorang anak yang dapat

dibanggakan oleh orang tuamu!"

Bara mengawasi pemuda itu dengan geram. Siapa

dia kira dirinya itu? Lancang! Berani benar berkata

demikian padanya!

Dia mungkin sahabat Cempaka. Barangkali juga

kekasihnya. Tapi bagaimanapun, dia tidak berhak

berkata seperti itu kepadanya! Bahkan kakak dan

orang tuanya saja tidak pernah memperlakukannya

seperti itu. Tidak pernah bersikap keras kepadanya.

Tidak pernah mengucapkan kata-kata yang begitu

kasar!

Tetapi sebelum Bara sempat melemparkan sebuah jambangan bunga ke pintu, pemuda itu telah

lenyap.175

PENUTUP

BALAI sidang melimpah ruah dipadati pengunjung.

Banyak yang tidak kebagian karcis. Penonton bukan

datang hanya untuk melihat show. Untuk melihat

Indah Lestari, penyanyi kesayangan mereka beraksi di

atas panggung. Mereka juga ingin menyumbang.

Ingin beramal untuk cita-cita luhur mendirikan sebuah

panti asuhan anak-anak yatim-piatu.

Demikian yang tertera dalam iklan-iklan show itu.

Semua memang jasa Agung. Dia yang berhasil

mendiktekan ide itu pada Pak Burhan. Beramal untuk

anak-anak yatim-piatu.

Tetapi Pak Burhan menyetujuinya juga bukan

tanpa perhitungan bisnis yang matang. Dia

menyelenggarakan show ini bukan hanya untuk

meraih keuntungan materi. Dia mengincar publikasi

yang lebih hebat untuk penyanyi-penyanyi yang

dikontraknya. Sekaligus publikasi untuk kaset-kaset

produksi perusahaan rekamannya.

Lagi pula dia sedang bersemangat untuk

mengalahkan Q-Jank Record. Musibah datang

beruntun menimpa saingannya itu. Penyanyi andalannya kecelakaan. Kontrak mereka dibatalkan. Q-Jank

Record masih dituntut pula oleh sponsornya. Hah,176

mereka benar-benar hancur kalau show mereka

kosong melompong!

Mereka yang membuka front. Menabuh

genderang perang dengan menyelenggarakan show

pada hari dan waktu yang sama. Sekarang mereka

pula yang harus menanggung akibatnya. Kalau

mereka gagal total dalam show ini, Q-Jank Record

boleh gulung tikar!

Karena itu Pak Burhan tidak memerlukan waktu

lama untuk berpikir ketika Agung Santoso menawarkan usul itu. Lima puluh persen hasil bersih show

akan diamalkannya untuk pendirian sebuah panti

asuhan anak-anak yatim-piatu. Oke! Kalau hal itu bisa

menambah publikasi. Bisa membangkitkan animo

penonton. Bisa menyebabkan shownya sukses.

Hanya satu hal yang disayangkannya. Cempaka

tidak berhasil membujuk adiknya untuk hadir dalam

show itu. Padahal kalau Bobby Hamzah hadir, apalagi

kalau dia mau menyanyi, tidak peduli suaranya parau

atau jelek seperti kaleng rombeng sekalipun,

pengunjung pasti tambah melimpah ruah.

Peristiwa kecelakaannya telah mendapat tempat

yang cukup luas di media massa. Penonton tentu ingin

melihat seperti apa penyanyi itu sekarang.

Tetapi penampilan Cempaka pada puncak acara

show itu benar-benar berhasil menghapuskan

kekecewaan Pak Burhan karena ketidakhadiran

Bobby. Tampil sederhana, lembut dan melankolis

seperti biasa, Indah Lestari tidak Iangsung menyanyi.

"Lima belas tahun yang lalu..." Suaranya lembut

mengisi mikropon yang dipegangnya, menyatu

dengan keheningan di Balai Sidang, "dua orang anak

kecil yang malang kehilangan ayah mereka. Anakanak yatim-piatu yang tidak memiliki rumah, orang177

tua, dan kasih sayang lagi itu dirawat dengan penuh

kasih oleh para pengasuh sebuah panti asuhan.

Demikian besar pengorbanan para pengasuh panti

asuhan itu demi pengabdian mereka yang luhur pada

anak-anak malang yang diasuhnya.

Pemimpinnya malah sampai tidak mengacuhkan

penyakit jantung yang cukup berat, yang dideritanya.

Beliau menolak beristirahat di rumah sakit, sebelum

anak-anak asuhannya mendapat orang tua angkat

yang akan melindungi mereka. Kedua kakak-beradik

yatim-piatu itu pun terpaksa berpisah. Si adik

diadopsi oleh sepasang suami-istri yang mendambakan anak yang dapat menggantikan anak kandung

mereka yang telah meninggal. Sementara si kakak

diambil oleh seorang komponis miskin berhati luhur

yang pernah dikecewakan oleh istrinya sendiri.

Selama lima belas tahun, si kakak berusaha mencari

adiknya. Dia menyanyikan lagu yang diciptakan oleh

ayah angkatnya untuk mereka, yang dinyanyikan si

kakak pada hari perpisahan dengan adiknya. Lagu

yang dipersembahkan untuk ibu pengasuh yang baik

hati itu pulalah yang kini mempertemukan kembali

kedua kakak-beradik itu. Dan lagu yang menyuarakan

jeritan hati mereka waktu harus berpisah itulah yang

kini akan saya nyanyikan. Lagu yang berjudul Perisai

Kasih Yang Terkoyak ini, akan saya persembahkan

kembali untuk Bu Nasti..."

Cempaka membungkukkan badannya untuk

memberi hormat kepada Bu Nasti yang duduk di

deretan terdepan. Dibantu oleh Mbak Lastri, Bu Nasti

berdiri untuk menerima aplaus dari penonton.

"...sebagai tanda terima kasih kami, anak-anak

yatim-piatu yang pernah merasakan sepercik kasih

sayang yang tak pernah lagi kami terima dari orang178

tua kami sendiri.... Juga kepada Bapak Wisnu Andika

dan Bapak-Ibu Bastian Hamzah, yang telah sudi

merawat dan memberi kasih sayang mereka sebagai

orang tua angkat bagi kedua anak tersebut...."

Dibantu oleh Bapak dan Ibu Bastian yang ikut

berdiri, Pak Wisnu bangkit dari kursinya di deretan

terdepan untuk menerima aplaus penonton.

"...dan yang terakhir..." Kilatan lampu

membiaskan air mata yang menggenangi mata

Cempaka, "untuk adikku Bara Bobby Hamzah, yang

tidak hadir bersama kita di sini, untuk siapa lagu ini

saya nyanyikan...."

Cempaka harus berhenti sebentar untuk menerima

tepukan riuh dari penonton.

"Dalam kesempatan istimewa ini, saya ingin

menyanyikan lagu ini sebagaimana aslinya, diiringi

permainan piano penciptanya, ayah saya tercinta,

Wisnu Andika...."

Tertatih-tatih dengan menyeret sebelah kakinya

yang masih separuh lumpuh, Pak Wisnu naik ke

pentas dibantu Agung dan Rizal.

"Ayah akan mengiringi nyanyian saya dengan

permainan pianonya. Tetapi karena tangan kirinya

lumpuh, beliau akan didampingi oleh sahabat lama

saya, sahabat saya terbaik, dengan siapa saya selalu

memainkan lagu ini bila kami berduet pada piano...

Saudara Agung Sanioso...."

Dengan paras merah padam menahan malu,

Agung terpaksa membungkuk membalas aplaus penonton. Keterlaluan Cempaka! Masa direktur bank

harus main piano mengiringi seorang penyanyi dalam

suatu show sebesar ini? Tapi... ah, demi Cempaka, apa

pun rela dilakukannya! Dia tidak akan mengecewakan

gadis itu. Tidak akan pernah!179

Semua hadirin sudah pernah mendengar Indah

Lestari menyanyikan Perisai Kasih Yang Terkoyak.

Sudah sering malah. Tetapi belum pernah mereka

mendengar Cempaka mengalunkannya dengan

demikian penuh perasaan. Penuh penghayatan. Suara

tunggal piano yang mengiringinya jauh lebih

berperasaan daripada musik pengiring yang hebat

dalam kasetnya.

Dentang piano yang sederhana itu, piano tua yang
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menciptakan lagu yang dinyanyikan Cempaka,

seolah-olah menyatu dengan perasaan pianis yang

memainkannya. Membaur dengan emosi penyanyi

yang mengalunkan lagu itu. Mengaduk emosi

penonton sampai ke titik haru.

Ketika di tengah-tengah lagunya Cempaka

mendeklamasikan lirik lagu itu dengan diiringi alunan piano Pak Wisnu dan Agung, bukan hanya Bu

Nasti yang menitikkan air mata.

Jika ada yang dapat kupersembahkan

kepadamn, Ibu

Sebagai pembalas budimu

Katakanlah Ibu, katakan

Akan kuserahkan

Akan kurelakan....

Walaupun titik air mataku

Menangis jiwaku

Merintih hatiku

Tak segurat sesal di bihirku

Karena aku memahamimu, Ibu!

Kaupisahkan kami

Kauceraikan belahan jiwaku180

Kauurai seuntai rantai kasih

Tapi tak kusalahkan dikau,

Ibu Tak kusalahkan!

Biarlah jiwa ini menjerit

Menangis

Merana

Karena terkoyak sudah

Sebuah perisai kasih....

Seperti dulu, Cempaka juga tidak berhasil

menyelesaikannya. Dia tertunduk bisu menahan

tangis. Tenggorokannya basah tersekat. Untuk sesaat

dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Karena

begitu dia membuka mulutnya, tangisnya pasti pecah.

Permainan piano Pak Wisnu dan Agung masih

mengisi kesunyian dengan lembutnya. Dentangnya

syahdu, menganyam nada-nada getir ke puncak haru.

Dan pada saat yang kosong itu, sebuah suara, lemah

dan parau, tiba-tiba mengisi alunan lagu Perisai Kasih

Yang Terkoyak.

Cempaka menoleh dengan terkejut. Tetapi bukan

hanya Cempaka yang terhenyak. Semua penonton

termasuk penyelenggara bersorak riuh melihat Bobby

Hamzah mendorong kursi rodanya perlahan-lahan

memasuki pentas.

Di sampingnya, Pak Burhan sendiri yang

memegang mike. Dia mengenali pemuda itu, muncul

di pintu dengan kursi rodanya waktu Cempaka mulai

menyanyi.

Mula-mula Bara memang menolak naik ke pentas

untuk diperkenalkan kepada hadirin. Tetapi terbawa

oleh emosinya sendiri, akhirnya Bara minta izin ikut181

naik ke pentas, mendampingi kakaknya. Tepat pada

saat Cempaka sudah tidak mampu lagi melanjutkan

acara.

Dengan air mata berlinang menahan haru,

Cempaka membawa adiknya ke tengah pentas.

Diambilnya mike dari tangan Pak Burhan. Diberikannya kepada Bara. Dan mereka bersama-sama

menyanyikan lagu itu sampai selesai.

Suara Bara memang buruk. Serak. Parau. Lemah.

Tetapi berduet dengan kakaknya, suaranya malah

terdengar pas.

Tepukan riuh penonton membahana selama

hampir satu menit ketika lagu itu berakhir. Cempaka

dan Bara membungkukkan badan untuk menyambut

aplaus penonton.

Pak Burhan sendiri yang muncul kembali untuk

menyerahkan karangan bunga untuk mereka berdua.

Padahal dia sudah menyiapkan seorang gadis manis

untuk melakukannya. Gadis itu melongo keheranan

ketika Pak Burhan meraih bunga dari tangannya lalu

langsung naik ke atas pentas.

"Sebagai penghormatan dan respck kepada anakanak yatim-piatu yang hebat," katanya antara kagum

dan bangga, "mulai sekarang Burhan Record akan

menjadi donatur tetap panti asuhan ini."

Hampir semua hadirin yang duduk di baris depan

bangkit berdiri ketika Cempaka dan Bara

melambaikan karangan bunga yang baru diterimanya

itu kepada penonton.

tamat

E-book By syauqy_arr182


Pedang Pelangi Jay Hong Ci En Karya Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah

Cari Blog Ini