Ceritasilat Novel Online

Relung Gelap Di Hati Sisi 1

Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W Bagian 1



Mira W.

RELUNG-RELUNG GELAP

HATI SISI

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 20095

RELUNG-RELUNG GELAP HATI SISI

Oleh Mira W.

GM 401 01 09. 0036

Foto dan desain sampul: Delia Marsono

(email: design@bubblefish.com.au

website: www.bubblefish.com.au)

? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

JL Palmerah Barat 29-37

Blok I, Lt. 4-5

Jakarta 10270

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,

anggota IKAPI,

Jakarta, Juli 1983

Cetakan ketujuh: November 2009

280 hlm; 18 cm

ISBN: 978 - 979 - 22 - 5150 - 0

E-Book by syauqy_arr

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan6

Kalau suatu hari nanti kamu membutuhkan diriku,

kamu tahu ke mana harus mencariku.

Dan kamu akan menemukan aku,

sama seperti dulu,

kemarin,

hari ini,

dan esok,

menunggumu dengan setia.7

Bab 1

SEKALI lagi Sisi memandang ke dalam cermin.

Ah, sebenarnya dia tidak suka lama-lama menatap

wajahnya. Tidak enak. Tidak ada yang menarik di

sana. Semuanya cerlalu besar. Ya matanya. Hidungnya. Bahkan mulutnya juga.

Tetapi hari ini ada sesuatu yang menarik

perhatiannya. Uban. Dua helai rambur putih di antara

ribuan yang hitam.

Tidak jelek. Tidak. Tapi mengerikan. Mengingatkan Sisi pada usianya. Di ambang dua empat. Di awal

senja masa remajanya.

Dan teriakan Linda membuyarkan lamunannya.

"Ayo, Sis! Cepat!" teriakannya sudah menggelegar sebelum kepalanya muncul di ambang pintu

kamar jaga mereka. "Pasiennya sudah mati dua kali,

kamu belum siap juga?"

"Aku pakai sepatu sebentar," sahut Sisi sambil

bergegas meraih sepatunya.

Tetapi Linda sudah lenyap. Dia memang tidak

pernah sabar menunggu Sisi.

Jalanmu seperti siput, komentarnya dulu. Jalan

sama-sama kamu, aku bisa ketiduran di jalan!

Sisi sudah mencapai ambang pintu ketika tiba-tiba

dia ingat stetoskopnya. Buset. Dokter ketinggalan

stetoskop seperti koboi ketinggalan pistol!8

Jadi cepat-cepat dia berbalik untuk mengambil

stetoskopnya. Tapi celaka! Di mana benda keramat

itu?

Dan suara Linda telah meledak lagi. Cukup untuk

mengusir sekawanan nyamuk yang sudah berpesta

pora semalaman di kamar jaga mereka.

"Sis! Kamu masih hidup?"

"Separuh!" Sisi balas berteriak. Dan matanya bertemu dengan benda keramat itu. Bersembunyi di balik

kursi.

Lekas-lekas Sisi meraihnya dan berlari keluar

menyusul Linda.

"Selamat pagi, Dokter," sapa seorang keluarga

pasien yang belum bisa membedakan koasisten dari

dokter.

Sisi membalasnya dengan sepotong senyum.

Tetapi Linda menoleh pun tidak. Dia tidak pernah

sempat menoleh kepada keluarga pasien. Kecuali

kalau sedang ujian.

"Ingat, Sis, sepatumu parkir di luar!"

"Mulutmu juga!" sahut Sisi jengkel.

Dia sudah bosan digurui terus. Tidak peduli

dimana, Linda selalu mengguruinya. Dan Sisi

sudah jemu diberitahu terus. Memangnya dia anak

kecil?

"Selamat pagi," sapa Suster Nia begitu mereka

sampai di dalam kamar operasi. "Sudah siap?"

"Siap apa, sus?"

"Latihan membuka mata lebar-lebar dan menutup

telinga rapat-rapat." Suster Nia tersenyum kecut.

Seperti para koasisten juga, dia dan para perawat

ruang operasi harus sudah siap mental kalau mendampingi Dokter Chandra operasi.9

"Pasiennya sudah sampai, Sus?" tanya Sisi sambil

membalas senyum Suster Nia.

"Sudah. Koas Handi juga sudah di dalam."

Senyum Suster Nia melebar. Dan melihat senyum

itu, paras Sisi langsung memerah.

Suster Nia memang paling senang menggodanya.

Dari dialah Sisi sering mendapat info. Koas Handi

menaruh perhatian padanya. Selalu mencuri-curi lihat.

Dan... mm, belum punya pacar.

Entah dari mana dia tahu. Untuk soal gosip, dia

memang pakarnya. Cekatan mencari info. Cekatan

juga mencari koas yang masih tersisa. Lumayan buat

masa depan.

"Dokter Chandra sudah dihubungi?"

"Sedang dalam perjalanan. Siap-siap saja

menerima ucapan selamat paginya. Mudah-mudahan

kopinya tidak terlalu pahit!"

"Sis, cepat pakai seragam ruang angkasamu!"

seru Linda dari pintu kamar ganti. "Hari ini kan

giliranmu asistensi!"

"Giliranku?" belalak Sisi sengit.

Oh, kutu ini memang satwa paling egois di bumi!

Kalau giliran asistensi Dokter Chandra, dilemparkannya pasiennya kepada orang lain! Ada-ada saja

alasannya. Dia tahu, menjadi asisten Dokter Chandra,

sama saja dengan menyerahkan diri untuk dibakar

hidup-hidup.

"Tapi pasien ini pasienmu, Lin! Kamu yang

terima dia tadi malam!"

"Oh, dia pasien arisan, Sis! Aku yang bikin

statusnya. Kamu yang buat laporan operasinya! Adil,

kan?"

"Curang!" geram Sisi gemas. "Aku sudah dua kali

jadi asisten Dokter Chandra!"10

"Eh, jangan lupa, aku juga sudah tiga kali

asistensi operasi!"

"Tapi jadi asisten Dokter Nur kan beda! Sapi

kalau pakai baju juga bisa!"

"Pasti lagi ribut siapa yang asistensi hari ini,"

tersenyum Handi yang tahu-tahu sudah muncul di

belakang mereka.

Tetapi Handi pun tidak mampu memancing

senyum Sisi.

Jadi asisten Dokter Chandra! Duh, seandainya

Handi melamarnya sekalipun pasti tidak akan

didengarnya!

Sisi sudah dua kali menjadi asisten operasi Dokter

Chandra. Semua pekerjaannya pasti salah. Dari mulai

memasang duk sampai menjahit, dia pasti dimarahi

habis-habisan.

Dengan kata-kata yang paling kasar. Paling

menusuk telinga. Paling menyakitkan hati. Seolaholah Dokter Chandra belum puas kalau belum melihat

mata koasnya merah seperti kena konyungtivitis.

Dia memang sadis. Dan si Linda tidak kalah

sadisnya. Sia-sia Sisi merayunya untuk tukar tempat.

"Aku sudah dua kali dibedah, Lin," bujuknya

mengiba-iba. "Semua kuman di otakku dia sudah

tahu. Sekali lagi aku bisa dikirim ke kamar mayat!"

"Tapi kamu juga kan tahu apa isi otakku, Sis?"

Linda balas merengek dengan suara yang sama

memelasnya. "Kalau dia tahu kepalaku kosong, aku

bias digantung! Kamu saja ya, Sis? Kamu kan lebih

pintar. Lebih cekatan. Lebih tegar."

Sialan, maki Sisi dalam hati. Mau merayu malah

berbalik dirayu!

Bulus ini memang cerdik. Licik. Egois. Sadis.

Tidak tahu malu. Dan masih sejuta julukan lagi.11

Tetapi Sisi tidak punya pilihan lain. Ketika dia

sedang memakai topi, suara Linda membelai

telinganya lagi. Kali ini dia tidak berteriak. Dia

berbisik.

"Algojo datang, Sis. Lekas cuci tangan!"

Tiba-tiba saja Sisi merasa sakit perut. Sakit sekali.

???

Begitu masuk ke kamar operasi, bentakan Dokter

Chandra sudah menggelegar. Mengusir semua kuman

di ruangan yang katanya steril itu.

Linda yang sedang melumuri tangannya dengan

alkohol sampai shock. Karena tangannya gemetar,

alkohol itu lebih banyak yang tumpah ke lantai

daripada ke tangan Dokter Chandra.

"Tremor, ya?"

Serangan pertama, keluh Sisi sambil menahan napas. Untung bukan buat dia.

"Persediaan darahnya berapa banyak?"

"Dua labuh, Dok."

"Berapa Hb-nya?"

"Yang terakhir tujuh, Dok," sahut Linda gugup.

"Kapan yang terakhir itu?"

"Satu jam yang lalu, Dok."

"Periksa sendiri?"

Wah, tentu saja! Sama algojo mana dia berani

nembak? Salah-salah kepalanya bisa hilang!

Diam-diam Sisi melirik dokter ahli kandungan

yang sudah berumur separuh baya itu. Dia sedang
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menatap Linda dengan bengis seperti hendak

menelannya hidup-hidup.

Ih, matanya memang seram. Tajam. Galak.

Mengerikan. Entah seperti apa matanya kalau dia12

sedang menatap istrinya. Kalau anak, katanya dia

tidak punya.

"Iya, Dok," sahut Linda dengan bibir menggeletar

seperti direndam dalam air es.

"Operasi apa hari ini?"

Nah, ini peluru buat Sisi.

"Histerektomi, Dok."

Uh, ke mana suaranya? Kenapa suaranya jadi

seperti orang sakit leher? Di depan algojo ini, suara

juga tidak mau memperdengarkan diri. Takut.

"Pasien apa? Kenapa rahimnya harus diangkat?"

"Uterus pertorasi, Dok."

"Saya tahu!" bentak Dokter Chandra sengit.

Wah, kalau pasiennya belum terbius sempurna,

barangkali dia sudah melompat bangun karena kagetnya.

"Saya minta anamnesa lengkap! Pasien siapa

ini?"

Celaka, pikir Sisi antara bingung dan takut.

Pasien ini bukan pasiennya. Bagaimana dia bisa hafal

statusnya? Dia hanya sempat melihatnya ketika Linda

mengoper pasiennya tadi.

Dengan gelisah Sisi melirik Linda. Tapi kutu

busuk itu! Mukanya sudah pucat seperti tembok.

Jangankan mengakui pasiennya. Bernapas saja sudah

sulit. Mengangkat mukanya saja dia sudah tidak

berani. Apalagi membalas tatapan Sisi.

"Seorang wanita..." desah Sisi gugup.

"Saya tahu dia wanita, bukan pria!" potong

Dokter Chandra tidak sabar. "Begitu cara melaporkan

pasien obstetri?"

Jantung Sisi rasanya sudah merosot ke perut.

Denyutnya terasa sampai ke pelipis. Nyut. Nyut.

Nyut.13

"G6P4A1, amenore 38 minggu, hta... hta..."

Aduh! Dia benar-benar lupa. Kapan haid terakhirnya?

Sekali lagi Sisi melirik Linda. Tapi Linda sedang

meneliti kutu di lantai. Sia-sia mengharapkan pertolongannya.

Yang sedang memandangnya justru Handi.

Dengan tatapan iba yang malah membuat Sisi tambah

malu.

Rasanya mukanya sudah terbakar hangus. Lebihlebih kecika Dokter Chandra membentak lagi. Kali ini

lebih keras. Lebih bengis. Lebih ganas. Rontoklah

semua sisa-sisa logika di kepalanya.

"Kapan haid terakhirnya?"

"Lupa, Dok..." Datanglah, sang maut. Ambil

nyawaku.

"Wanita ini hamil berapa minggu?"

"Tiga puluh delapan minggu, Dok," sahut Sisi

menahan tangis. Matanya panas. Mukanya juga.

"Kapan kira-kira taksiran partusnya?"

"Dua minggu lagi, Dok."

"Ada rumus untuk mencari haid terakhirnya?"

"Ada, Dok."

"Nah, apa susahnya?" belalak Dokter Chandra

sambil melangkah ke sisi pasiennya. "Itulah kalau

cara menghafalmu masih seperti anak SD! Ayo, lekas

pasang duknya! Tunggu apa lagi? Kamu mau asistensi

atau bertapa di situ?"

Bergegas Sisi menyambar kain steril yang masih

terlipat rapi di atas meja instrumen.

Babak pertama telah lewat. Tapi baru babak

pemanasan. Sekarang datang babak pembantaian.

Kalau ada neraka, inilah nerakanya.14

Entah mengapa dokter kebidanan itu rata-rata

lebih galak dari dokter bedah. Padahal mereka samasama mengoperasi pasien. Apa karena di bagian ini

dua nyawa yang dipertaruhkan?

"Dep darahnya!" bentak Dokter Chandra gemas.

"Kamu di sini mau asistensi atau cuma mau

nampang?"

Percuma Sisi berusaha sebaik apa pun. Karena

mulut Dokter Chandra tidak henti-hentinya mengomel

selama tangannya bekerja. Seolah-olah gerutuannya

malah menenangkan dirinya seperti musik yang

mengalun.

Ruang operasi itu baru tenang kembali setelah

Dokter Chandra pergi. Damai menyelubungi semua

manusia di bumi setelah si Angkara Murka

menyingkir. Semua boleh menarik napas lega.

Kecuali Sisi.

Dia sedang mencuci tangannya ketika Handi

menghampirinya dari belakang.

"Makan, Sis," ajaknya ramah. "Ke kantin yuk."

Tapi Sisi diam saja. Dia tidak menjawab. Bahkan

tidak mengangkat kepalanya. Ketika Handi melangkah ke sampingnya, dia baru sadar, Sisi sedang

mencuci tangan sambil menahan tangis. Kepalanya

tertunduk dalam. Seolah-olah hendak menyembunyikan air yang menggenangi matanya.

"Semua koas pernah dimarahi Dokter Chandra,

Sis," katanya terenyuh. "Cuek ajalah."

Sisi tidak menyahut. Dia mematikan keran air.

Memutar tubuh. Dan melangkah tanpa menoleh lagi

ke kamar ganti.

Lama Handi masih mengawasinya dari belakang.

Sisi yang lembut. Sisi yang rapuh. Dia sudah15

menangis pada saat koas lain masih bisa tertawa

sumbang.

Ah, entah sudah berapa lama Handi menaruh perhatian kepada gadis itu. Barangkali sejak setahun

yang lalu. Ketika untuk pertama kalinya dia

menyadari, betapa miripnya Sisi dengan ibunya 16

Bab 2

SAAT itu mereka dikirim ke Lampung untuk menjalani bakti sosial. Seperti biasa, kalau ada pembagian

regu, Linda pasti memilih seregu dengan Sisi.

"Belajar sama yang rajin supaya ketularan rajin,"

kilahnya gesit. "Kalau seregu sama kamu, Bing, aku

pasti tambah malas!"

"Dan duitku amblas!" menyeringai Bing. "Kamu

kan nggak pernah berhenti minta ditraktir!"

Tetapi Azis lain lagi. Dia tidak mau dipisahkan

dengan Linda. Kalau perlu sampai menyogok Bing

dengan dua bungkus rokok.

Di Jakarta, setengah mati dia mencari kesempatan

untuk pergi berdua saja dengan Linda. Entah sakit apa

ayahnya. Dia sama galaknya dengan macan. Selalu

mengaum menyambut kedatangannya. Tidak peduli

berapa banyak apel yang dibawanya.

"Salahmu sendiri," gurau Bing setiap kali Azis

mengeluh. "Kalau cuma apel modalmu, sampai kapan

kamu baru dapat menjinakkan macan? Ganti motormu sama Mercy!"

Selagi Azis kebingungan bagaimana mengubah

motornya jadi mobil mewah, datanglah kesempatan

itu. Baksos ke Lampung! Hm, seperti berita dari

surga!17

Kapan lagi bisa berada siang-malam dengan

Linda? Pacaran selama baksos tidak dilarang. Asal

tidak melewati batas. Kebudayaan jelek dari Ibukota

tidak boleh dibawa. Obat-obatannya boleh.

Seharian dokter-dokter muda itu mengobati orang

sakit. Membagikan obat. Memberi vaksinasi. Mereka

pasti lelah. Apa salahnya bersantai setelah bertugas?

Dan Linda paling pintar memanfaatkan situasi.

"Aku pulang duluan, Sis," katanya dengan suara

dilemah-lemahkan seolah-olah dia sudah hampir

diangkut ke UGD. "Jariku sudah bengkak nih.

Seharian nyuntik terus."

"Memangnya cuma jarimu yang tidak terbuat dari

besi, Lin?" sindir Sisi kesal.

Dia juga sudah lelah. Tapi bagaimana harus meninggalkan pasien yang masih berjejal-jejal

menunggu pengobatan ini?

Kalau Linda pulang, tenaga berkurang satu.

Apalagi Handi sejak pagi sudah kelihatan kurang

sehat. Kalau ada yang harus pulang, mestinya Handilah orangnya. Bukan Linda.

"Biar aku antar kamu pulang, Lin." Ternyata

bukan hanya Linda yang tidak mau menyia-nyiakan

kesempatan. Azis juga. Dia sudah lelah. Dan pulang

bersama Linda pasti bukan hanya menghilangkan penat.

"Biar Linda pulang dengan Handi."

Kata-kata ketua regunya yang tegas mematahkan

harapan Azis. Menghancurkan angan-angannya.

Lenyaplah bayangan indah akan melangkah berdua

dengan Linda di bawah keremangan senja di desa.

Tetapi yang memprotes perintah Sisi bukan hanya

Azis dan Linda. Handi juga.18

"Saya tidak mau pulang." Tentu saja. Mana mau

Handi meninggalkan Sisi? Biarpun kepalanya pusing

dan badannya panas.

"Kamu sakit!" kata Sisi tegas. "Kamu harus

istirahat."

"Di sini dan di rumah Pak Camat sama saja. Saya

sudah minum obat."

"Beda dong, Di," sindir Linda sambil tersenyum.

"Di rumah Pak Camat kan nggak ada Sisi kalau kamu

pingsan."

"Diam kamu!" bentak Sisi judes. "Aku yang memimpin di sini. Aku yang mengatur. Kalau kamu mau

bertindak seenak perutmu sendiri, cari ketua regu

baru! Bilang sama Dokter Win kalau dia datang nanti!

Ditatapnya Linda dengan bengis sampai yang ditatap terpaksa tersenyum kecut.

Hhh, Sisi memang baik. Lembut. Rapuh. Tapi sekali dia diangkat jadi pemimpin, perintahnya tidak

bisa ditawar lagi.

"Oke, Ibu Ketua," Linda mengangkat bahu. "Jadi

bagaimana maumu? Azis yang pulang mengawalku

atau aku yang mengawal Handi?"

"Kamu pulang dengan Handi. Titik. Banyak

mulut lagi, berarti izin pulang dicabut!"

"Tunggu dulu," bantah Handi tegas. "Saya tidak

mau pulang!"

Sekarang Sisi menoleh dengan marah.

"Kamu sakit!"

"Tapi saya tidak mau pulang!"
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia mau pulang sama kamu, Sis," sela Azis

sambil tersenyum mengejek. "Masih betah di

sampingmu biar kepalanya hampir pecah juga."

Tetapi begitu melihat belalakan Sisi, senyum Azis

memudar. Uh, dengan Sisi memang tidak bisa ber-19

canda. Tidak ada humor dalam kamusnya. Seriuuusss

terus!

Pantas saja tampangnya cepat tua. Umur dua tiga

sudah seperti tante-tante tiga puluhan! Hhh. Entah apa

yang dilihat Handi dalam dirinya. Sampai dia rela

mati di sampingnya!

Beda benar dengan Linda. Hidup yang santai

membuatnya awet muda. Banyak senyum. Banyak

tawa. Banyak canda. Banyak makan. Lihat saja betapa

segar wajahnya! Ceria. Cantik. Enak dipandang.

Lain dengan Sisi. Sampai pegal Azis menunggunya tersenyum dia masih tetap cemberut juga. Berdua

dengan dia seperti ditinggal dengan sebuah textbook.

Pintar. Rajin. Tapi tidak ada seninya! Tandus.

Gersang. Membosankan! Heran, apanya sih yang

membuat Handi naksir!

"Jadi aku harus pulang dengan siapa?" cetus

Linda bosan. Dia menguap lebar. Dan menepuk

nyamuk yang hinggap di lengannya. Nyamuk itu

tewas tanpa sempat menjerit.

Dibayangkannya kembali kasur di rumah Pak

Camat. Memang tidak seempuk kasur di rumahnya.

Digelar di atas lantai, lagi. Bukan di atas ranjang.

Tapi enaknya membaringkan diri dalam keadaan

seletih ini, cuma Linda yang mampu membayangkannya!

Tetapi badut-badut itu! Mereka masih meributkan

dia harus pulang dengan siapa! Padahal dalam

keadaan seperti ini, sebenarnya Linda sudah tidak

peduli seandainya dia harus pulang dengan kerbau

sekalipun!

Dan karena Handi tetap tidak mau pulang biarpun

dimarahi habis-habisan oleh Sisi, akhirnya terpaksa

Linda dibiarkan pulang bersama Azis.20

"Langsung pulang," peringatkan Sisi dengan

judes. Khususnya kepada Azis.

Entah mengapa dia selalu mencurigai Azis. Ada

sesuatu di matanya. Sesuatu yang tidak diketahuinya

apa, tapi yang selalu membuat Sisi merasa resah.

Mata Azis terlalu nyalang. Mata itu seolah-olah

mampu mengintai ke lekuk hatinya yang paling

dalam... ke relung hatinya yang paling gelap

Lain dengan Handi. Dia bukan hanya alim. Polos.

Lugu. Dia juga dapat dipercaya. Dari dirinya, tak ada

yang perlu dikhawatirkan.

Matanya yang selalu bersorot jujur, mata yang

selalu buru-buru disembunyikannya kalau kebetulan

mereka beradu pandang, tidak pernah menampilkan

bahaya. Tidak pernah membuat Sisi takut.

"Pusing?" tanya Sisi ketika sekilas dia melihat

Handi sedang memijat-mijat keningnya.

"Ah, sedikit," sahut Handi sambil mengambil

jarum suntik baru.

Tidak sengaja tangannya menyentuh tangan Sisi

yang juga hendak meraih jarum. Dan Sisi tersentak

kaget. Bukan karena sentuhan iru. Tapi karena panasnya tangan Handi!

"Gila!" cetus Sisi cemas. "Panasmu pasti lebih

dari tiga sembilan!"

"Ah, nggak mungkin," Handi pura-pura acuh tak

acuh. "Cuma subfebril kok."

"Kata siapa subfebril?" Sisi mengulurkan

tangannya menyentuh dahi Handi sampai yang

disentuh kelabakan sendiri. "Panasmu sudah bisa

merebus telur! Jangan-jangan kena malaria!"

"Paling-paling flu," elak Handi rikuh. "Saya

sudah minum antipiretik."

"Kita harus pulang."21

"Masih ada beberapa pasien lagi."

"Mereka bisa datang lagi besok."

"Mereka pasti kecewa."

"Dokternya sakit. Bukan cuma pasien yang bisa

sakit."

Dan Sisi tidak bisa dibantah lagi. Dia

memerintahkan menutup klinik darurat mereka. Dan

membawa Handi pulang.

Malam itu Handi benar-benar jatuh sakit.

Demamnya makin tinggi. Dan dia mulai meracau.

Memanggil-manggil ibunya.

"Dia sudah delirium, Dok," cetus Sisi cemas kepada dokter pembimbing mereka. "Apa tidak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit?"

Sia-sia Dokter Win mengompresnya. Menyuntikkan obat penurun panas. Bahkan memberi obat

malaria. Keadaan Handi semakin memburuk.

Akhirnya dia dibawa ke rumah sakit. Dan dirawat

di sana.

Selama Handi dirawat, Sisi selalu menyempatkan

diri menjenguknya sepulang bertugas. Dia yang membawakan pakaian bersih. Menemaninya ngobrol.

Bahkan menyuapinya makan.

Handi tidak menyangka, di tempat yang jauh dari

ibu yang sangat mengasihinya, dia menemukan seorang gadis yang merawatnya dengan telaten seperti...

Ibu!

Sambil mengunyah makanan yang disuapkan Sisi,

diam-diam diawasinya gadis itu. Sisi tidak cantik.

Jauh dari lincah. Penampilannya sederhana.

Tidak ada yang menarik dalam dirinya kecuali

pembawaannya yang tenang dan sifatnya yang lemah

lembut. Dia introver. Pemalu. Serba tertutup.22

Selama ini Handi tidak pernah berhasil

mendekatinya. Ada sesuatu, entah apa, yang selalu

membatasi hubungan mereka berdua. Naluri Handi

mengatakan, ada jurang yang tak mungkin terseberangi di antara mereka.

Sisi seperti mengurung dirinya dalam dunia yang

diciptakannya sendiri. Dan Handi menyesal karena

sampai sekarang dia tidak mampu menarik Sisi keluar

dari dunianya.

Seandainya aku lebih berpengalaman bergaul

dengan gadis-gadis, sesal Handi lirih. Seandainya dia

bukan gadisku yang pertama!

Sisi sendiri bukannya tidak menyadari perasaan

Handi padanya. Dari teman-teman dan para perawat

dia tahu, Handi menaruh perhatian kepadanya.

Tetapi Sisi tidak pernah membalas perhatian

Handi. Dia menganggapnya sama saja dengan temanteman prianya yang lain. Kecuali saat Handi sakit.

Saat dia merasa sangat cemas. Saat dia ingin

mendampingi pria itu mengatasi penderitaannya. Saat

dia merawat Handi dengan cermat.

Mengapa dia begitu memperhatikan Handi?

Mengapa tiba-tiba saja laki-laki itu menjadi begitu

istimewa? Dan mengapa... hatinya mendadak menjadi

resah? Mengapa ada segurat perasaan bersalah setiap

kali memikirkannya?

Kepada siapa dia merasa bersalah? Kepada

seseorang yang tak pernah dilihatnya lagi tapi yang

selalu masih berada dalam relung hatinya yang paling

gelap? Seseorang yang kehadirannya dalam ingatannya saja sudah cukup membuat Sisi merasa resah...

apalagi kalau dia sedang berada di dekat seorang lakilaki yang begitu diperhatikannya... seperti Handi....23

Bab 3

SISI ke mana, Lin?" sapa Handi ketika melihat Linda

sedang makan seorang diri di kantin.

Sebuah mangkuk kosong sudah bertengger di atas

meja. Kini Linda sedang menggarap mangkuk yang

kedua. Buat Linda, semangkuk bakso memang tidak

pernah cukup.

"Wah, gawat, Di! Dia nggak mau ngomong lagi!

Aku dicuekin terus!"

Tentu saja, pikir Handi gemas. Kamu umpankan

dia ke mulut buaya!

Ditariknya kursi di samping Linda. Tanpa menghiraukan belalakan Azis yang baru datang mengambil

minuman sementara kursinya sudah diambil orang.

"Tumben, Di!" cetus Azis separuh mengejek.

"Biasanya kamu kan belum mau duduk kalau belum

tujuh kali diundang!"

"Dia sudah makan?" tanya Handi serius, tanpa

menghiraukan seloroh Azis.

'Dia siapa?" Linda mengunyah baksonya dengan

nikmat.

"Sisi, siapa lagi!" gerutu Handi gemas.

"Nggak mau."

"Kenapa nggak diajak kemari?"

"Sudah! Tapi dia nggak mau!"

"Mestinya kamu paksa dia makan!"24

"Memangnya dia umur berapa? Lagian sejak

kapan aku jadi pengasuhnya?"

"Nanti gastritisnya kumat lagi, Lin!"

"Memang salahku?"

"Tapi kamu kan bisa bujuk dia! Sisi lagi kesal

karena dimaki-maki Dokter Chandra!" Dan itu garagara kamu! Enak saja melempar pasienmu pada Sisi!

"Kamu saja yang ajak dia makan, Di! Sisi pasti

mau kalau kamu yang ngajak!"

"Apalagi kalau kamu yang bayar!" sambung Azis

sambil tertawa.

"Lha, memangnya aku punya modal apa?"

"Ah, jangan pura-pura! Bawa deh Sisi ke sini!

Gendong kalau perlu! Dia masih di bangsal. Lagi

bikin status!"

"Kalau perlu bantuan, panggil aku, Di!" Azis

mengedipkan sebelah matanya. "Aku tahu bagaimana

caranya mengundang cewek makan!"

???

Ketika Handi tiba di bangsal, kamar bersalin kosong

melompong. Entah ke mana saja pasien-pasiennya.

Tetapi Sisi ada di sana. Dia sedang duduk menulis.

Punggungnya menghadap ke pintu.

Sisi mendengar langkah-langkah sepatu di

belakangnya. Dia tahu sekali siapa yang datang. Tapi

dia tidak menoleh.

"Sis, kita makan dulu, yuk," cetus Handi sambil

berjalan menghampiri. "Nanti Dokter Nur keburu

datang."

"Makanlah duluan," sahut Sisi tanpa menoleh.
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat Handi kehilangan semangat. Tidak tahu

harus mulai dari mana lagi.25

"Sudah jam satu lewat, Sis. Nanti maagmu sakit

lagi.

Tidak ada jawaban. Sia-sia Handi menunggu.

"Case sama Dokter Nur bisa sampai jam tiga,

Sis."

Tidak ada jawaban juga. Handi sudah kehabisan

kata-kata.

"Saya belikan kue saja, ya? Kamu malas ke

kantin?"

"Saya malas makan!" bentak Sisi jengkel. "Tidak

lapar!"

Handi terkejut sekali. Belum pernah Sisi berkata

sekasar itu kepadanya. Biasanya dia selalu lembut.

Selalu sabar. Tetapi belum sempat dia memutuskan

hendak diam saja atau pergi, Sisi menoleh.

"Maaf," katanya dengan perasaan bersalah. "Saya

lagi jengkel."

"Saya cuma mengajakmu makan." Tidak ada

nada marah dalam suara Handi.

"Saya tidak lapar."

"Kalau menunggu sampai lapar, gastritismu bisa

kumat!"

"Biar! Siapa yang peduli!"

"Sisi!"

Sekejap mereka saling pandang. Ada bayangan

terluka merayap di mata Handi. Dia buru-buru

menunduk untuk menyembunyikannya. Tetapi Sisi

telah melihatnya. Dan heran. Dia ikut merasa pedih.

Tanpa berkata apa-apa lagi Handi meninggalkannya. Dan dia tidak kembali. Sia-sia Sisi menunggu.

Handi tidak muncul. Bahkan sesudah Dokter Nur

datang.

Untuk pertama kalinya, mahasiswa yang paling

rajin itu tidak mengikuti presentasi kasus.26

Mereka baru bertemu kembali keesokan harinya.

Ketika Sisi menghampirinya, Handi menoleh. Tapi

hanya sekejap. Dia sudah buru-buru memalingkan

tatapannya ke tempat lain.

"Ini case yang kemarin, Di," kata Sisi seolah-olah

tidak ada apa-apa. "Sudah saya fotokopi buat kamu."

"Terima kasih," sahut Handi. Suaranya juga tetap

sesabar biasa. Tidak ada nada kesal. Apalagi marah.

"Apa diagnosanya, Sis? Betul Solusio Plasenta?"

"Betul. Dokter Nur setuju. Itu ada catatan diskusinya di balik kertas."

"Kamu baik sekali."

"Anggap saja sebagai permintaan maaf."

"Untuk apa?"

"Mengasari kamu."

"Oh, lupakan saja."

Sesaat mereka sama-sama terdiam. Handi purapura membolak-balik kertasnya. Setelah dia tidak tahu

harus membalik kertas yang mana lagi, dia mengangkat mukanya.

"Sis," katanya ragu-ragu. "Berapa duit?"

"Apa?"

"Fotokopi ini."

"Ah, nggak usah. Ambil saja."

"Itu menyalahi perjanjian kita selama ini."

"Saya tahu. Tapi kan gara-gara saya kamu tidak

ikut case kemarin. Jadi anggap saja saya bayar

utang."

"Ah, salah saya juga. Saya cepat tersinggung."

"Kalau saya dikasari begitu, saya juga tersinggung."

"Betul?" Handi mencoba tersenyum. "Lain kali

saya akan belajar lebih sabar."

"Sekarang kamu sudah tidak marah lagi?"27

Handi menggeleng.

"Kamu juga sudah tidak kesal lagi?"

"Ah, bukan kesal sama kamu kok."

"Saya tahu."

"Makanya saya minta maaf. Jadi kamu yang kena

getahnya."

"Boleh minta maafnya diganti dengan cara lain?"

Sisi menatap Handi dengan tatapan tidak

mengerti.

"Boleh mengajakmu nonton?" tanya Handi raguragu dengan paras memerah.

???

Handi sendiri sampai heran.

Mengajak Sisi nonton! Astaga! Dari mana dia

tiba-tiba punya keberanian seperti itu?

Tetapi makin dipikir, makin tidak menyesal dia.

Handi malah menyesal mengapa bukan dari dulu-dulu

dia punya ide gila seperti itu.

Sisi tidak menolak kok! Dia tidak marah.

Rupanya dia tidak seangker yang dikira orang. Dia

tetap gadis biasa. Yang senang kalau ada teman yang

mengajak pergi. Tapi... benarkah dia senang? Bukan

cuma pura-pura? Sekadar supaya tidak menyakiti hati

Handi lagi?

"Sudah dua kali kamu menggosok celanamu,"

gumam ibu Handi curiga. "Sebenarnya kamu mau ke

mana, Di?"

Handi tersentak kaget. Ujung jarinya tersentuh

besi panas setrikaannya. Dia sampai melonjak

kesakitan.

"Aduh, Handi!" cetus Ibu terkejut. "Kamu

menggosok atau melamun?"28

"Diam-diamlah, Bu," keluh Handi malu. "Nanti

hangus celana saya!"

"Biar Ibu saja yang gosok." Tanpa menunggu lagi

ibunya meraih setrikaan.

Tetapi Handi menyingkirkan tangan ibunya.

"Ah, jangan, Bu. Biar saya saja."

"Kamu mana bisa? Lihat, celanamu tetap kusut!"

"Tapi sudah lumayan kan, Bu?" Handi

menyeringai sambil mengamat-amati celananya.

"Kamu mau ke mana sih? Sore-sore begini

menggosok celana? Biasanya kan itu kerjaan Ibu

besok pagi."

"Saya mau nonton, Bu."

Nonton. Tersentak hati ibu Handi. Nonton.

Dengan siapa?

Kemarin dia pulang dengan wajah kusut masai.

Langsung masuk ke kamar. Tidak mau minum. Tidak

mau makan. Mengurung diri di kamar. Katanya

belajar. Mau ujian.

Hari ini dia pulang dengan wajah cerah.

Makannya lahap sekali. Selesai makan dia membereskan buku-bukunya sambil bersiul-siul. Lalu dia

mengaduk-aduk lemari memilih celana. Dan menggosoknya sendiri.

Cuma mau pergi nonton? Dengan siapa?

Seseorang yang sangat istimewa?

Ibu Handi memang tidak bertanya apa-apa lagi.

Tetapi ketika melihat Handi mematut-matut dirinya di

depan cermin sampai setengah jam lebih, Ibu tidak

dapat menahan dirinya lagi.

"Siapa gadis itu, Di?"

Handi berhenti berputar. Dia tertegun memandang

bayangan ibunya di dalam cermin. Ketika melihat

cara Ibu menatapnya, mukanya memerah.29

"Ah, Ibu..." gumamnya tergagap-gagap. "Cuma

teman kuliah kok, Bu"

Jadi benar, dia sedang jatuh cinta, keluh ibu

Handi dengan perasaan kosong yang tiba-tiba

menyergap hatinya.

Akhirnya saat itu datang juga. Saat Handi

menemukan seorang gadis. Saat dia menyadari, ada

cinta jenis lain yang dibutuhkannya. Cinta seorang

wanita yang bukan ibunya. Cinta seorang kekasih.

Sebentar lagi sudah waktunya dia akan membawa

seorang mempelai ke depan ibunya. Dan perempuan

itu... perempuan seperti apa yang akan menjadi

menantunya?

"Dia cantik?"

"Hah?" Handi menatap bingung. Perhatiannya

masih tumplek blek pada kemeja yang sedang

dipakainya. Rasanya dia belum pernah memakai

kemeja ini. Sisi pasti belum pernah melihatnya.

"Siapa, Bu?"

"Siapa lagi. Gadismu ini."

"Oh, Sisi sangat baik, Bu. Tidak terlalu cantik.

Tapi menarik. Sabar. Lembut. Sopan. Ibu pasti

menyukainya."

Handi juga tidak tampan. Penampilannya biasabiasa saja. Kalau gadisnya terlalu cantik, Ibu malah

khawatir suatu saat Handi ditinggalkan. Gadis cantik

kan biasanya banyak maunya.

"Kaya?"

"Tidak, Bu. Kata teman-teman, ibunya jualan

kue."

"Bagus," dengus Ibu kaku. "Itu namanya kamu

tahu diri."

Karena mereka juga tidak kaya. Sepeninggal ayah

Handi, hidup mereka serba pas-pasan. Bisa30

menyekolahkan Handi sampai ke fakultas kedokteran

saja sudah prestasi luar biasa bagi ibunya. Dia hanya

membuka kios permak jins di pasar. Kadang-kadang

ada tetangga yang minta tolong bajunya dikecilkan.

Handi tertegun mendengar suara ibunya. Ibu tidak

marah, bukan? Dia cuma mau mengajak teman

gadisnya nonton. Bukan kawin lari. Tetapi kalau

tidak marah, mengapa begitu dingin suaranya. Dan

kalau marah, mengapa Ibu harus marah?

"Ibu," Handi membalikkan rubuhnya dan memandang ibunya dengan heran. "Ibu tidak menyukai

Sisi?"

"Mana Ibu tahu? Lihat saja belum. Bawalah dia

kapan-kapan kemari."

Bawa kemari? Sisi? Mana mungkin! Baru diajak

saja barangkali dia sudah jatuh pingsan!

???

Sisi sampai pusing memilih gaunnya yang terbaik.

Entah mengapa sore ini dia tidak mau memakai

celana jins dan T-shirt santai seperti biasa. Padahal

biasanya dia paling malas memakai gaun. Malas
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memilih baju. Dikenakannya baju asal saja. Apalagi

cuma untuk pergi nonton! Siapa pula yang iseng

menilainya?

Dia kan tidak cantik. Tubuhnya juga tidak seksi.

Tidak ada orang yang tertarik untuk menilai, baju apa

pun yang dipakainya.

Tetapi kali ini dia pergi dengan Handi. Sisi tidak

rela kalau Handi dipermalukan. Membawa cewek

yang memakai jins lusuh dan kaus sablonan sepuluh

ribuan.31

"Mau ke mana sih, Mbak?" desak Lia curiga. Dia

sedang duduk makan rujak di ranjang. Tapi sambil

menciut-ciut kepedasan, matanya tidak lepas-lepasnya

mengawasi kakaknya yang sedang mengaduk-aduk

lemari.

"Nonton," sahut Sisi singkat.

"Nonton kok cari baju sampai heboh begitu? Lia

pikir mau nyumbang buat amal lagi."

Sudah biasa melihat kakaknya mengosongkan

seperempat lemarinya untuk menyumbang korban

banjir. Sisi memang dermawan. Tidak peduli bajunya

yang sedikit jadi tambah minim.

Tetapi melihatnya mengaduk-aduk lemari mencari baju cuma untuk nonton, nah, ini baru luar biasa!

"Mau cari celana yang kayak apa sih?"

"Nggak mau celana. Bosan."

"Bosan?" Lia mengerut heran. "Wah, itu bukan

adatmu, Mbak!"

"Memangnya cuma kamu yang boleh bosan?"

"Jadi Mbak mau nonton pakai apa? Short?" Lia

menahan tawa.

"Rok."

"Rok?" Lia hampir memekik. "Mau nonton atau

ke gereja?"

"Memang nggak boleh nonton pakai rok?"

"Mau minjam rokku?"

"Kalau Handi tahu aku meminjam bajumu..."

Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Sisi ingin

menggigit lidahnya sendiri karena kelepasan. Lihat,

bagaimana Lia menutup mulutnya menahan tawa.

"Jadi kamu mau nonton sama Handi? Ampun!

Sudah mau kiamat kali, ya?"32

Tentu saja Lia kenal Handi. Sebelum Lia drop

out, mereka pernah satu kampus. Siapa yang tidak

kenal ketua senat itu?

Dan Titin muncul di ambang pintu kamar.

"Mbak!" bisik adik bungsunya seperti mengabarkan ada hantu kesasar. Matanya membulat seperti

bola. "Ada pramuka mencarimu!"

???

Di perjalanan maupun di dalam reater, Handi berlaku

amat sopan sampai Sisi jadi rikuh sendiri. Heran.

Mereka sudah hampir enam tahun bergaul. Mengapa

malam ini sikap mereka jadi begini kaku?

Karena ini pertama kali mereka berkencan? Ah,

kencankah namanya pertemuan ini? Mereka hanya

nonton bareng, bukan kencan!

"Suka filmnya, Sis?" tanya Handi mencoba

mencairkan kebekuan.

"Bagus," sahur Sisi asal saja. Padahal dia tidak

terlalu suka ending-nya. Tokoh yang hitam tidak

terbalas kejahatannya. Malah terkesan menang. Yang

membuat film itu pasti orang sakit jiwa.

"Saya tidak suka ending-nya."

"Saya juga."

"Kita naik taksi?"

"Jalan saja sedikit. Kita bisa naik bus."

Terima kasih, Sis, bisik Handi dalam hati. Kamu

memang bijak. Dua tiket saja sudah lima puluh ribu.

Naik taksi pasti menguras dompetku lima puluh ribu

lagi.

"Kita nyeberang?" Handi mengulurkan tangannya. Membimbing Sisi ke seberang. Ketika sesampainya di seberang Handi tidak ingin melepaskan tangan33

Sisi lagi, secercah perasaan aneh merayap ke sudut

hatinya.

Sisi juga tidak berusaha menarik tangannya. Dia

membiarkan tangannya dalam genggaman Handi. Dan

jantung Handi berdebar cepat, seperti berpacu mencapai garis finis.

Mudah-mudahan tidak ada bus yang berhenti,

pinta Handi dalam hati. Mudah-mudahan tidak ada

metromini kosong. Supaya dia bisa lebih lama menggenggam tangan Sisi. Ah, tangan yang mungil itu

terasa dingin dalam genggamannya.

"Dingin, Sis?" tanya Handi ragu-ragu. Sedikit.

"Mau pakai jaket saya?"

"Ah, tidak usah."

Dan Handi tidak berani memaksa. Dia diam saja.

Mencari objek pembicaraan baru.

"Kamu senang, Sis?"

"Belum pernah seperti malam ini."

"Saya juga."

Mereka sama-sama tersenyum. Dan sama-sama

tersipu.

"Pulang, Sis?" tanya Handi lembut setelah

mereka berjalan cukup jauh. Padahal dia berharap

sebaliknya. Mengapa harus pulang? Malam masih

panjang.

"Terserah."

"Sebenarnya saya ingin mengajakmu makan

sate."

Tapi saya takut uangmu tidak cukup, Sisi

menyimpan senyumnya.

"Lain kali saja, ya?"

"Kita cari bus?"

"Jalan saja, oke?"

"Kamu masih kuat?"34

"Kamu sendiri? Rumah saya masih jauh."

"Kalau bisa saya ingin begini terus. Jalan samasama kamu. Tapi saya takut kamu capek."

"Di SMA dulu, saya juara lari seratus meter. Ikut

regu gerak jalan. Kalau cuma segini, kamu boleh coba

adu napas."

"Dan saya boleh mengajakmu lagi mengukur

jalan dari rumahmu ke warung sate minggu depan?"

Tawaran yang simpatik. Diucapkan dengan malumalu. Khas Handi. Tetapi di balik tawaran yang

sederhana itu, Sisi merasakan sesuatu yang lain.

Sesuatu yang Sisi tidak kenal. Tapi yang membuatnya

takut.

Apakah Handi mengajaknya berkencan? Handi

menaruh hati padanya... ingin menjadikannya pacarnya?

Sisi tidak ingin mengecewakan Handi. Dia

seorang lelaki yang sangat baik. Lembut. Polos.

Sabar. Kejam mematahkan hati lelaki sebaik dia.

Tampaknya Handi mulai serius... memangnya

kapan dia pernah tidak serius? Tetapi semakin serius

dia, semakin takut juga Sisi!

Sisi tidak pernah tertarik pada laki-laki. Tidak

pada Handi. Tidak juga pada teman prianya yang lain.

Padahal Sisi juga ingin punya pacar. Seperti

teman-temannya. Seperti adik-adiknya. Dia ingin

menjadi wanita normal. Tetapi mengapa hatinya tidak

pernah tergetar? Bahkan ketika Handi memegang

rangannya, jantungnya tidak berdebar lebih cepat!

Tidak ada kehangatan yang menyelusup ke relung

hatinya. Sudut hatinya tetap gelap dan dingin! Alangkah berbeda jika seseorang yang lain yang memegang

tangannya... atau bahkan hanya dengan menatapnya

saja!35

Semakin lama Sisi semakin terjebak didera

kepalsuannya sendiri. Karena semakin keras dia

berusaha berpura-pura membalas perhatian Handi,

semakin tersiksa juga dirinya.36

Bab 4

SEMUANYA gara-gara Puspa. Dialah yang membawa mereka ke rumah Airin. Panitia reuni bekas

SMA-nya.

"Kudengar dari Puspa kamu ada di rumah, Rin,"

kara Hastuti setelah puas mengguncang-guncang tangan Airin. Seolah-olah dengan memeluk Airin saja

belum tuntas luapan perasaan rindunya. "Langsung

kuminta Puspa mengantarkan kami kemari."

"Kapan pulang, Rin?" sambar Santi, tidak sabar

menunggu giliran bertanya.

"Baru dua minggu."

"Kamu pulang selamanya?"

"Tidak. Mau balik lagi ke Amrik. Sekarang saja

aku sudah bosan di sini."

"Sudah tidak cocok dengan suasana di sini?"

Hastuti tersenyum penuh pengertian. Meskipun di

dalam hati dia tidak setuju.

Bosan dengan tempat kelahiran sendiri? Yang

benar saja, Neng! Itu sama saja dengan mengatakan

kamu bosan makan nasi!

"Berapa lama rencanamu di sini, Rin?"

"Sebulan."

"Cuma sebulan?"

"Sekarang saja aku sudah tidak tahu mau ke

mana."37

"Jakarta kan sekarang sudah lain, Rin. Mai

bertebaran. Kafe menjamur. Panti pijat di manamana"

"Nggak minat."

"Kenapa nggak ngajak ortumu jalan-jalan?"

Airin cuma tersenyum. Dan cuma dia yang

mengerti arti senyum itu.

"Kalau begitu kami punya acara bagus untukmu,

Rin," cetus Hastuti bersemangat.

"Apa? Hiking kayak dulu? Kamu nggak takut keguguran?"

Hastuti tertawa geli.

"Minggu depan SMA kita bikin reuni."

"Kamu mesti datang, Rin," desak Santi. Seolaholah memang kedatangan Airinlah yang diharapkan.

Bukan sumbangannya. "Kapan lagi bisa ketemu sohib

kita?"

"Eh, Rin, kamu ingat si Wiwin?"

"Wiwin?"

"Itu tuh si Burung Pipit!" Durung...:

"Wiwin yang jago nyanyi sambil main gitar!

Masa kamu lupa sih?"

Langsung saja Airin mengangguk. Meskipun

sampai pusing kepalanya, dia belum ingat juga seperti
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa tampang si Burung Pipit.

"Anaknya sekarang sudah tiga, Rin!" cetus

Hastuti dengan suara seperti mengabarkan pecahnya

rekor nasional lempar lembing. Padahal dia sendiri

bakal memecahkan rekor itu tahun depan.

"Dan si Trianto, Rin!" Hastuti memukul lengan

Airin untuk memancing perhatiannya. Matanya memang sudah kelihatan mengantuk. "Si bandel yang

sering malak duit kita! Sekarang dia sudah jadi CEO!

Tapi masih ketawa geli kalau kusindir masa lalunya!38

Hastuti tertawa renyah. Dan Airin tidak enak

kalau tidak ikut tersenyum. Walaupun dia sudah lupa

siapa Wiwin. Siapa Trianto. Semua sudah

dibenamkannya ke alam tak sadarnya. SMA-nya

hanya mengingatkan kepada sebuah nama

"Sisi juga datang, Rin," Puspa tersenyum penuh

arti. "Yang satu ini kamu pasti ingat. Bekas teman

sebangkumu. Calon dokter dia sekarang."

Ada perasaan perih di hati Airin setiap kali dia

ter-ingat Sisi. Dan ketika senyumnya memudar, mata

Puspa yang setajam elang membaca kerinduan dalam

senyum yang tersisa itu.

"Dia pasti datang kalau kamu mau datang, Rin."

"Tentu saja Airin dan Sisi harus datang!" potong

Santi. Seakan-akan dialah yang berhak mengatur mereka semua. "Untuk itu kita bikin reuni!"

"Ayo, nyumbang, Rin," akhirnya Hastuti

sampai juga ke pokok persoalannya. "Untuk konsumsi

dan sumbangan ala kadarnya buat guru-guru kita."

Sekolah itu masih seperti dulu. Kecuali catnya

yang telah diperbarui, tak ada perubahan apa-apa lagi

di sana.

Hujan menyambut kedatangan mereka dengan kejamnya. Bukan hanya Puspa yang menggerutu karena

bajunya basah. Spanduk yang tergantung di depan

sekolah itu juga sudah mengerut kedinginan.

"Untung aku ikut mobilmu, Rin," Puspa tidak

henti-hentinya mengomel. Suaminya pasti sudah

mengidap penyakit telinga kronis. "Kalau naik motor,

aku harus keramas lagi."

"Kamu nggak salah, Pus? Mereka bikin reuni di

sini? Kok gelap amat?"

"Si Tuti tuh yang punya ide sinting! Milih tempat

reuni di aula sekolah, bukan di kafe atau di hotel!"39

Dan dia mulai mengomel lagi panjang-pendek. "Katanya penghematan!"

"Di mana pintunya, Pus? Kok tidak ada yang

nyambut di pintu?"

"Memangnya kamu siapa? Dubes Indonesia untuk

Amerika Serikat?"

"Dulu pintunya di sini, kan?"

"Sekarang di ujung sana. Pintunya pindah."

"Hah?" Airin terbelalak kaget. "Mesti melewati

tanah sebecek itu? Bercanda kamu! Sepatu hakku bisa

terkubur hidup-hidup!"

"Nanti kalau ketemu si Tuti, kita guyur dia!"

"Puspaaa...!!" jerit seorang wanita gemuk yang

tiba-tiba merangkul Puspa dari belakang sampai yang

dirangkul jadi gelagapan.

"Lidaaa...!!" Puspa balas menjerit seperti melihar

tuyul.

Airin sendiri heran bagaimana dalam cuaca

segelap itu Puspa masih dapat mengenali wajah

teman-temannya. Tapi ingatannya memang luar biasa.

"Da, ini Airin," kata Puspa setelah dia puas

berangkul ria dan baru ingar dia tidak datang

sendirian. Dia menoleh kepada Airin yang sedang

tepekur sambil menghitung tetes-tetes hujan yang

jatuh menimpa kepalanya. "Rin, ini Elida. Lupa?

Bekas ketua RT kita! Tapi dulu, waktu badannya

masih kerempeng!"

Ketika sesosok wajah yang bulat itu berpaling,

Airin tidak sanggup mencegah naiknya alis matanya.

Astaga. Bagaimana seorang wanita dapat membiarkan

tubuhnya menjadi segembrot ini! Padahal umurnya

belum ada tiga puluh tahun!40

"Puspa!" teriak satu suara lagi di belakang

mereka. Waduh, populernya manusia yang satu ini.

"Reuninya di sini?"

"Ria!" Puspa melompat kegirangan memeluk

temannya. Rupanya kalau bertemu teman lama, setiap

wanita jadi anak kecil lagi. "Aduh, cakepnya kamu

sekarang!"

"Kapan kita masuk, Pus?" sela Airin jemu. Kalau

datang dua orang lagi, bajunya pasti sudah bisa diperas.

"Ini Airin, Ria," kata Puspa sambil melepaskan

pelukannya. "Cheerleader kita!"

"Iya, masa aku lupa!" Ria memeluk Airin dengan

kagum. "Cantik sekali kamu, Rin!"

Tanpa permisi, Ria menarik Airin ke dalam.

Menemui lebih banyak lagi pengagumnya di dalam

aula yang terang benderang.

"Halo, Ria!" datang-datang seorang pemuda tegap

menyergap lengan Ria dan mengguncang-guncangnya

sambil tertawa. "Aduh, cewekku yang kecil mungil

sudah besar, ya?"

"Hati-hati, Mat!" Puspa memukul bahu Rahmat

sambil tersenyum lebar. "Ria datang sama hubby-nya

tuh!"

Tetapi perhatian Rahmat sudah tumplek blek pada

gadis tinggi ramping yang datang bersama Ria.

"Airin?" desahnya sambil mengejap-ngejapkan

matanya dengan jenaka. "Kukira Jilo yang datang!"

"Halo," sapa Airin sambil tersenyum. "Sudah

berapa istrimu?"

"Kamu yang keempat," Rahmat menjabat tangan

Airin dengan hangat. "Mana Frans?"

"Ditahan FBI."41

"Syukur. Aku mau jadi guide-mu selama di

Indo."

"Tawaran yang simpatik. Mertuamu masih

hidup?"

Mereka sama-sama tertawa renyah.

"Itu Ibu Anidar!" cetus Puspa tiba-tiba.

Entah berapa pasang matanya. Dia selalu tahu

saja siapa yang datang meskipun sedang asyik mengobrol.

"Selamat malam, Bu," sapa Rahmat sopan. "Saya

tidak membuat PR, Bu "

"Rahmat..." mata Bu Anidar berpendar-pendar

dalam keharuan. "Kamu masih tetap seperti dulu."

Malam itu Ibu Anidar memang terlihat sangat

bahagia. Dikerumuni mantan murid-muridnya yang

tubuhnya sudah lebih tinggi-tinggi dari tubuhnya

sendiri, dia tampak amat terharu.

Dan teriakan Puspa membahana lagi. Dia

memang persis corong.

"Itu Sisi, Rin! Walah, walah, dia datang sama

cowoknya!"

Ada sentakan ganjil di dadanya. Airin merasa

jantungnya berdebar dua kali lebih cepat biarpun dia

belum melihat Sisi.

Airin memutar kepalanya dengan cepat. Bukan

hanya karena rindu ingin melihat Sisi. Ingin melihat

seperti apa dia sekarang. Tapi juga sekaligus ingin

melihat pacarnya. Seperti apa pria yang mendampinginya?

Pemuda itu tidak tampan. Terlalu rapi untuk

selera Airin. Terlalu sederhana. Tubuhnya tinggi

kurus. Gayanya serbarikuh.42

Bagaimanapun penampilannya malam itu tidak

mampu mencegah Airin untuk berpikir sinis, oh cuma

segitu.

Justru Sisi-lah yang lebih memikat perhatiannya.

Dalam usia dua puluh empat tahun, dia sudah jauh

berubah. Wajahnya tampak lebih matang. Malah terkesan lebih tua dari umurnya. Matanya yang besar,

seperti menyimpan segudang misteri ketika bertatapan

dengan mata Airin.

Sisi seperti menyimpan baik-baik perasaannya.

Tidak menampilkan kerinduan yang begitu ingin

dilihat Airin di sana. Benarkah Sisi tidak merindukannya? Sudah menjadi orang lainkah dia sekarang?

Hanya sekadar teman masa lalu?

Sikapnya begitu terjaga. Berkesan formal. Beda

dengan Airin. Dia begitu terbuka. Tidak berusaha

menyembunyikan kerinduan yang berpendar-pendar

di matanya.

"Halo, Bu Dokter," sapanya lembut. Nadanya

seakrab sikapnya. Sesedap gayanya. "Apa kabar?"

Sisi harus meredam baik-baik kekagumannya

ketika melihat Airin. Dia telah tumbuh menjadi

seorang gadis yang luar biasa cantik. Dia seperti tahu

sekali bagaimana caranya berhias. Di depannya,

teman-temannya jadi tampak seperti anak sekolah

yang baru belajar berdandan.

Tubuhnya tinggi semampai. Gaunnya yang

bergaya halterneck tampak berani menampilkan lekuk

tubuhnya dan kemulusan kulitnya.

Ada kerinduan yang pedih merayap di hati Sisi.

Sekejap dia ingin memeluk Airin. Tapi tiba-tiba dia

sadar di mana mereka berada. Dia harus mengusir

kerinduan di matanya. Harus menjaga sikapnya.43

Harus menampilkan kewajaran seolah-olah Airin

cuma seorang teman lama. Bekas sahabatnya di SMA.

"Halo, Airin." Sisi mengulurkan tangannya.

Tetapi Airin tidak menjabat tangannya. Dia

meraih Sisi ke dalam pelukannya. Tubuh Sisi yang

kecil, sepatunya yang rata tanpa tumit, membuat Airin

seperti merangkul seorang anak kecil. Tetapi ketika

tubuh wanita itu terbenam dalam pelukannya, dia

merasa kehangatan yang luar biasa mengalir dari

lengan ke hatinya. Dan percikan gairah membakar

sukmanya.

Sisi yang tidak menyangka Airin berani

memeluknya, membeku sekejap dalam rengkuhan

Airin. Kepalanya melekat di dada Airin yang nyaris

terbuka karena belahan dada gaunnya yang rendah.

Dan Sisi hampir pingsan dibuai perasaan yang tidak
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikenalnya.

"Kenalkan dong cowokmu, Sis!" suara Puspa

tiba-tiba menyadarkan Sisi.

Mukanya terasa panas. Dadanya juga. Tapi tangan

dan kakinya terasa dingin.

Buru-buru dia melepaskan pelukan Airin. Dan

berpaling pada Handi dengan tersipu.

"Kenalkan, Di, ini Airin, sahabat saya,"

gumamnya terbata-bata.

Untung Handi tidak curiga. Dia memang tidak

berpengalaman. Dia tidak mengerti mengapa Sisi jadi

bersikap serbasalah begitu. Tapi bukankah biasanya

Sisi memang canggung kalau di depan orang banyak?

"Handi," dia mengulurkan tangannya dengan

sopan kepada Airin.

Airin menyambut tangan pemuda itu tanpa berusaha menyembunyikan perasaan tidak senangnya.

Sekali lagi Handi tidak mengerti. Dia hanya meng-44

anggap gadis cantik itu tidak memandang sebelah

mata padanya. Sudah biasa memang dia tidak

diacuhkan gadis-gadis papan atas. Jadi Handi tidak

merasa tersinggung.

Justru Sisi-lah yang merasa tidak enak. Mulamula dia mengira karena sikap Airin kepada Handi.

Belakangan dia mengerti, ada alasan lain. Alasan

yang membuat dia merasa bersalah. Kepada Airin.

Bukan Handi.

"Handi teman kuliahku," kata Sisi tanpa

menyadari mengapa harus mengatakannya. Airin

tidak peduli siapa Handi, kan? Atau dia peduli?

Tampaknya dia sangat memperhatikan Handi

walaupun jelas tidak menyukainya. "Frans tidak

ikut?"

"Dia sibuk."

"Kerja?"

"Sambil kuliah."

"Hebat."

"Bagaimana studimu?"

"Dua vak lagi. Saraf dan THT. Aku menyesal.

Salah masuk."

"Kamu menyesal jadi dokter?"

"Aku menyesal karena terlalu lama kuliah."

"Kenapa? Mau buru-buru kawin?" Airin melirik

Handi dengan sinis. "Dia sudah mendesak?"

"Aku ingin buru-buru kerja." Pipi Sisi memerah.

Siapa yang bicara soal kawin? Kata siapa Handi ingin

mengawininya?

"Ibumu tidak memberi uang kuliah lagi?"

"Aku ingin membantu Ibu. Dia sudah tidak sekuat

dulu lagi."

"Ibumu sehat?"45

"Ibu selalu sehat. Aku tidak mau jadi dokter kalau

semua orang seperti Ibu. Rugi."

Untuk pertama kalinya mereka saling bertukar

senyum. Dan sama-sama menikmati senyum itu

dengan berbagai perasaan. Rindu. Pedih. Nikmat.

"Bagaimana studimu?" Sisi cepat-cepat

menyembunyikan perasaannya. Menutupi kerinduan

nyeri yang bersorot di matanya. Jangan sampai ada

yang melihat. Jangan sampai Airin tahu. Jangan

sampai Handi menyadari.

"Tinggal ujian dua mata kuliah lagi. Sengaja

kutunda. Supaya tidak diusir pulang."

"Kamu ambil apa?"

"IT"

"Kukira kamu mau jadi pilot."

Sekali lagi mereka bertukar senyum. Kali ini

Airin sudah lebih berani memamerkan kedekatannya.

Sisi juga sudah tidak serikuh tadi. Mereka mengobrol

terus sampai lupa waktu. Lupa pada teman-teman.

Dan lupa pada Handi yang berdiri di samping Sisi

dengan resah.46

Bab 5

AIRIN berremu Sisi di bangku SMA. Sebenarnya

mereka berasal dari dua kutub yang berbeda.

Airin cheerleader yang dikagumi hampir semua

co-wok di sekolahnya. Sementara Sisi ketua kelas

yang disegani karena tegas menerapkan peraturan.

Airin gadis berpenampilan modern yang tidak

mau tunduk pada norma. Sedangkan Sisi remaja lugu

yang konservatif.

Airin cantik dan lincah. Badannya tinggi.

Dandanannya kinclong. Sisi sederhana dan introver.

Tubuhnya mungil. Tampangnya culun.

Dari sudut mana pun, mereka tampak tidak cocok.

Kalau bukan berbeda bagai bumi dan langit.

Mula-mula Airin juga tidak memandang sebelah

mata kepada Sisi. Saat itu dia sedang pacaran dengan

Frans. Cowok idola di SMA-nya. Frans bukan Cuma

kaya. Dia tampan. Gagah. Lain dengan dongeng yang

sering didengarnya dari ibunya.

Anak orang kaya biasanya bodoh. Cuma bisa jual

tampang. Yang miskin justru yang pintar. Biarpun

makanan mereka biasanya kurang gizi.

Nah, si Frans ini rupanya perkecualian. Sudah

kaya, cakep, pintar, lagi. Jelas saja dia laku keras.

Semua gadis bangga jadi pacarnya. Termasuk Airin.47

Tidak heran juga kalau ibu Airin pun tidak

keberatan anaknya pacaran dengan Frans. Dan

kunjungannya ke rumah tidak pernah dilarang.

Menurut pendapatnya, bergaul dengan anak yang

pintar pasti bisa membuat anaknya ketularan pintar.

Seperti ibu-ibu yang lain, ibu Airin juga lebih suka

anaknya jadi dokter daripada penyanyi. Padahal penghasilan penyanyi kadang-kadang malah jauh lebih

tinggi dari dokter.

Ketika duduk di kelas tiga, Airin duduk sebangku

dengan Sisi. Mereka mulai bersahabat. Karena Sisi

ibarat kamus berjalan, Airin bisa mengandalkannya.

Sebaliknya karena Airin royal, Sisi tidak perlu

khawatir lagi kelaparan setiap jam istirahat.

Hubungan mereka semakin lama semakin erat.

Dan secara ajaib mulai beralih ke hubungan yang

tidak terduga.

Mereka sama-sama tidak tahu kapan mulainya.

Dan mengapa perasaan itu mulai tumbuh di hati

mereka.

Sisi mulai mencemburui hubungan Airin dengan

Frans. Meskipun tidak pernah dikatakannya. Dan

meskipun mula-mula dia sendiri tidak tahu apa

namanya perasaan itu.

Sisi mulai merasa tidak enak setiap kali Airin

pulang dengan Frans. Setiap kali Frans menjemputnya

setiap malam Minggu, saat Sisi sedang belajar

bersama di rumahnya. Saat dia mencuri baca sms

Frans yang begitu mesra ke HP Airin.

Airin sendiri tidak tahu mengapa dia merasa bersalah setiap kali melihat muramnya paras Sisi.

Padahal apa salahnya pulang dengan Frans? Pergi

kencan dengannya? Frans memang pacarnya kok!48

"Sori, Sis. Kamu marah, ya?" tegur Airin ketika

pagi itu dia menaruh tas di bangkunya dan Sisi membuang mukanya dengan ketus. Padahal biasanya Sisi

selalu menunggu kedatangannya.

"Ah, kenapa mesti marah," sahut Sisi datar.

"Gara-gara malam Minggu kemarin, kan? Frans

ngajak nonton?"

"Kamu boleh nonton sama siapa saja. Memangnya aku peduli?"

"Tapi kenapa kamu marah?"

"Kata siapa aku marah?"

"Sori deh, aku tinggal kamu begitu saja. Frans

maksa sih. Dia kalau sudah maunya susah dilarang!"

"Ah, semua itu kan tergantung kamu! Kalau kamu

memang nggak mau, siapa yang bisa maksa?"

Dan perdebatan mereka meledak menjadi pertengkaran. Hari itu juga Airin pindah tempat. Dia

memilih duduk dengan Frans. Mengusir Rahmat ke

tempat lain.

"Memang nggak cukup pacaran di mal sampai

harus pacaran juga di kelas?" gurau Rahmat. Dia tidak

merasa rugi duduk dengan Sisi. Asal boleh nyontek.

Boleh menyalin PR-nya. Tapi hari ini rupanya kutu

buku itu sedang ngambek. Pantas saja Airin gerah.

Dan memilih pindah.

Frans juga tidak keberatan Airin duduk di

sampingnya. Meskipun konsentrasinya pasti lebih

cepat buyar.

Tentu saja dia tidak tahu mengapa Airin pindah.

Dikiranya Airin kangen padanya. Dan ingin duduk

berdekatan seperti di bioskop malam Minggu

kemarin.

Airin memang pacarnya. Dan Frans bangga punya

cewek seperti dia. Sudah cantik, berani, lagi. Seperti49

itulah memang cewek idolanya. Bukan cewek

cengeng yang cuma bisa memeras air mata.

Airin bukan hanya cantik. Dia energik. Mandiri.

Penuh perlawanan. Gadis yang menantang untuk ditaklukkan. Cita-citanya saja jadi pilot! Bukan model

atau bintang film!

Tubuhnya juga elok. Nyaris seksi kalau boleh dipamerkan. Tapi tubuh itu tidak dipakainya untuk melenggang-lenggok menari. Malah ditempanya di

lapangan basket dan di kolam renang.

Tidak ada seorang pun teman gadisnya yang bisa

mengalahkannya di arena olahraga. Kecuali di

perlombaan lari seratus meter. Ketika dia sengaja

mengalah pada Sisi.

"Tentu saja," cibir Riri, musuh bebuyutannya,

ketika Airin berhasil mengandaskannya di pertandingan renang gaya bebas seratus meter. "Dia

bukan cewek sih!"

Untuk kelancangannya, Airin menghadiahkan sebuah tamparan keras yang membuat Riri harus berpikir seribu kali sebelum mengejek lagi. Dia terpaksa

menyimpan dendamnya. Dan menusuk Airin dari

belakang kalau ada kesempatan.

Riri tahu sekali apa kelemahan Airin. Sisi. Ketua

kelas bertubuh mungil yang misterius itu. Yang lebih

banyak diam daripada bicara.

Sudah lama Riri memperhatikan tingkah-polah

mereka. Dan entah mengapa, semakin hari, dia

merasa ada yang tidak beres di antara mereka.

Teman akrab memang banyak. Tapi hubungan
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka lebih dari itu. Mula-mula Riri hanya merasa

ganjil. Tetapi lama-lama dia yakin, hubungan mereka

bukan hanya hubungan dua orang sahabat. Sikap

mereka lebih mirip pacar daripada teman.50

Contohnya saja, Sisi kelihatan cemburu kalau

Airin sedang bercengkerama dengan Frans. Dan yang

aneh bukan hanya Sisi. Kalau dia sih sudah biasa

aneh. Tapi Airin pun tidak kalah anehnya! Mengapa

dia seperti melayani Sisi? Dia tampak merasa bersalah

kalau Sisi melihatnya bermesraan dengan Frans!

Memang sudah lama Riri mendendam kepada

Airin. Dia merampas kesempatannya untuk menjadi

cheerleader. Merenggut gelar juara renang di sekolah.

Bahkan merebut Frans dari tangannya. Seolah-olah

Airin mengambil semua yang seharusnya menjadi

miliknya.

Jadi Riri selalu mencari kesempatan untuk membalas dendam. Dan kesempatan itu datang waktu

sekolah mereka mengadakan acara kemping.

???

Mula-mula Sisi tidak berniat ikut. Sampai hari

terakhir pendaftaran, dia belum punya uang juga. Dan

saat itu dia masih marahan dengan Airin. Jadi tidak

ada yang membayarinya.

Tentu saja Sisi kesal. Dia ingin ikut. Tapi tidak

punya uang. Kalau soalnya sudah sampai ke uang, Ibu

memang selalu tidak punya!

Penghasilan Ibu berjualan kue memang tidak

banyak. Sementara Ayah sudah lama menghilang.

Menikah dengan perempuan lain. Meninggalkan istri

dan ketiga anak perempuannya begitu saja.

Sebagai anak sulung, Sisi harus membantu ibunya. Membersihkan rumah. Mengasuh dan merawat

adik-adiknya kalau Ibu sedang sibuk membuat dan

berjualan kue. Bukan itu saja. Sambil pergi ke sekolah51

pun dia harus mampir menitipkan kue buatan ibunya

ke toko-toko langganan mereka.

Sering Sisi iba kepada ibunya. Pendidikannya

yang hanya lulusan SMP tidak membuatnya terampil

mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya.

Tapi sering juga Sisi merasa jengkel. Mengapa Ibu

membiarkan Ayah kawin lagi? Mengapa Ibu tidak

menuntut tanggung jawab Ayah untuk menafkahi

anak-anaknya? Enak saja dia kawin lagi!

Dualisme seperti itu memang wajar bagi remaja

seusianya. Yang tidak wajar justru perkembangan

jiwanya.

Mula-mula Sisi tidak mengerti mengapa dia

begitu suka berada di dekat Airin. Dia memang

cantik. Serbaenak dilihat. Belakangan dia malah

sangat baik. Selalu memberikan semua kebutuhan

Sisi. Makanan. Bolpoin. Buku. Belakangan malah HP

bekas.

Tetapi lama-kelamaan Sisi sendiri merasa, dia

tidak bisa lagi memperlakukan Airin sebagai teman

biasa.

Ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Apa?

Mengapa Sisi begitu sayang padanya? Begitu

mengkhawatirkannya kalau sampai malam dia belum

pulang ke rumah. Begitu cemas kalau Airin sedang

berlomba di kolam renang. Dan begitu sakit hati kalau

melihatnya pergi dengan Frans?

Ibunya tidak pernah mengajarkan perasaan apa

yang sekarang sedang mengaduk hatinya. Bertanya

kepada gurunya juga tidak mungkin. Sisi hanya bisa

mempelajarinya dari internet kalau dia mendapat kesempatan meminjam kompurer di sekolah. Dan apa

yang dibacanya di sana malah membuatnya semakin

bingung.52

Sekarang dia tahu apa nama penyakitnya, kalau

benar penyakit yang menghinggapinya. Hanya saja

dia tidak tahu bagaimana harus menyembuhkannya.

Dan dia tidak tahu ke mana harus mengungkapkan

perasaannya.

Airin sudah dua bulan tidak mau bicara.

Memutuskan hubungan. Ah, sebenarnya bukan Airin.

Sisi yang mulai dulu. Dia yang cemburu, kalau benar

perasaan ini bernama cemburu.

Mereka bertengkar hebat. Lalu Airin pindah

duduk di samping Frans. Dan sejak itu Airin jadi

semakin mesra dengan pacarnya. Seolah-olah dia

sengaja ingin menyakiti hati Sisi.

Dia memang patut bangga punya cowok seperti

Frans. Dia tampan. Gagah. Kaya. Dan... laki-laki!

Mestinya Sisi harus tahu diri. Buat apa Airin

kembali kepadanya? Dia sudah punya segalanya!

Tetapi sakitnya hati ini ketika melihat Airin pergi

berduaan dengan Frans sesudah acara api unggun

pada malam pertama mereka berkemah di Lembang,

hanya Sisi yang mampu merasakannya!

Rasanya dia ingin menangis menjerit-jerit. Ingin

memukuli dadanya sampai mati. Dan menyesal

mengapa harus ikut acara ini sampai memaksa Ibu

memberi uang.

Buat apa ikut kemping kalau hanya untuk

disakiti? Hanya untuk menyaksikan kemesraan Airin

dan Frans?

Diam-diam Sisi memperhatikan mereka dari jauh

ketika acara api unggun. Diam-diam dia melihat Airin

dan Frans menyelinap pergi. Dan dia marah sekali

ketika sampai jam sepuluh malam keduanya belum

pulang juga ke perkemahan.53

Sisi yang ditugasi mengabsen teman-temannya

harus mengatupkan rahangnya menahan marah. Dan

Riri yang selalu berada di dekat Sisi dapat merasakan

kemarahan Sisi.

Dia cukup cerdik untuk membedakan kemarahan

Sisi dengan kejengkelannya sendiri. Mereka samasama dilanda perasaan cemburu. Tapi Riri cemburu

karena Frans pernah menciumnya dua kali. Waktu itu

Airin belum muncul di antara mereka.

Dengan Sisi pasti sebaliknya. Dia tidak peduli

Frans menciumi semua cewek di sekolah mereka, asal

bukan Airin!

Sisi sendiri mula-mula tidak mengerti mengapa

akhir-akhir ini Riri selalu mendekatinya. Kalau dia

mengira mereka bisa bersekutu untuk bersama-sama

membenci Airin, dia pasti keliru! Keliru besar!

Sisi tidak pernah membenci Airin. Tidak pernah.

Bahkan sesudah mereka bermusuhan. Sesudah Airin

scmakin dekat dengan Frans.

Tak pernah tersirat rasa benci di hati Sisi. Dia

memang cemburu. Sedih. Sakit hati. Tapi benci?

Tidak sedikit pun!

Tidak pernah terlintas di otaknya, Riri justru

berada di dekatnya untuk memata-matainya. Seperti

malam ini. Ketika Sisi dengan suara gemas membentuk tiga regu untuk mencari Airin dan Frans.

Riri tidak bertugas untuk mencari mereka. Sisi

sudah menyuruhnya kembali ke kemah. Tetapi Riri

berkeras ingin ikut.

"Aku tahu ke mana mereka pergi," kilah Riri

tegas.

"Kamu tahu ke mana mereka pergi?" bentak Sisi

sengit.

"Aku lihat mereka menyelinap ke mana."54

"Dan kamu diam saja?"

"Habis aku harus bagaimana? Menjerit-jerit memanggilmu?"

Riri tersenyum penuh arti. Dan Sisi benci sekali

melihat senyum itu. Tetapi dia tidak punya pilihan

lain. Dia harus membawa Riri. Kalau benar dia tahu

ke mana Airin pergi.

???

Frans melingkarkan lengannya di bahu Airin. Suasana

di sekitar mereka sudah gelap. Hening. Sunyi. Cuma

nyanyian jangkrik dan pendar bintang di atas kepala

mereka yang menemani. Frans merasa tenteram.

Damai. Bahagia.

Dinginnya malam hampir tidak terasa. Dia malah

bisa menghangatkan Airin dengan rangkulannya.

Menyelubungkan jaketnya ke bahu gadis itu.

Sudah dua kali diciumnya bibir Airin. Dan gadis

itu tidak menolak. Dia malah membalas dengan sama

hangatnya. Lalu mereka duduk sambil saling rangkul.

Menatap bintang-bintang yang berkedip mesra di

langit.

"Malam ini cerah sekali ya," bisik Airin sambil

mengagumi kemegahan alam di sekitarnya. "Begitu

banyak bintang bertaburan di langit."

"Aku tidak melihat satu bintang pun di langit,"

sahut Frans mesra. "Sudah pindah ke matamu."

Airin tersenyum. Dan cahaya senter jatuh di

wajahnya. Menyilaukan mata.

"Ampun, Frans!" suara Rahmat memecahkan kesunyian. "Kalian ke sini mau kemping atau bulan

madu?"55

Airin tidak bisa melihat Sisi. Cahaya senter

menyilaukan matanya. Tapi tanpa melihat pun dia

sudah dapat membayangkan seperti apa sorot mata

Sisi. Sepanas apa api yang membakarnya. Suaranya

penuh kemarahan ketika dia memerintahkan mereka

kembali ke perkemahan secepatnya.

Sisi tidak melaporkan mereka kepada gurunya.

Ketika Riri hendak mengadu, dia malah dimarahi

habis-habisan.

"Urus saja urusanmu sendiri!" katanya tegas.

Dengan suara berang. "Aku yang bertanggung jawab

di sini. Balik ke kemahmu!"

Ketika Frans ingin mengatakan sesuatu, dia juga

dibentak.

"Sudah cukup ulahmu merepotkan kami!" geram

Sisi sengit. "Sekali lagi kamu tidak muncul waktu

absen, aku akan minta Pak Gun mengirimmu pulang!"

Frans ingin membantah. Tapi Rahmat sudah menyodok rusuknya dengan sikunya.

"Ibu Ketua lagi ngamuk! Mendingan kamu

buruan masuk kemah daripada ditransfer balik!"

Terpaksa Frans mengikuti Rahmat berjalan ke
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemahnya. Tentu saja sesudah mengirim senyum

paling mesra kepada Airin. Yang membuat darah Sisi

semakin bergolak.

Tentu saja Airin tahu betapa marahnya Sisi. Dia

memang tidak dimarahi. Tetapi dia merasa, Sisi

jengkel adanya. Dan bukannya kesal, Airin malah

menyesal. Dia dapat merasakan sakitnya hati Sisi.

Dan diam-diam, dia ikut merasa pedih.

Airin ingin minta maaf. Tetapi Sisi tidak memberi

kesempatan sama sekali. Dia sudah buru-buru

menjauhkan diri sebelum Airin sempat membuka56

mulut. Dan di sana ada Puspa. Yang matanya jeli

seperti elang.

Dan ada Riri pula! Yang tidak pernah jauh dari

Sisi. Entah apa kerjanya di sana. Tapi setiap kali Airin

mencoba mendekati Sisi, dia pasti ada di sana!

Airin benci sekali melihat mata Riri. Melihat

caranya menatap. Mengapa dia selalu mau tahu saja

urusan orang lain?

Bukan sekali-dua kali dia mendengar gosip di

belakang kepalanya. Diembuskan oleh mulut iseng

anak-anak perempuan jail seperti Puspa dan Riri.

Airin ingin sekali menghajar mereka. Tetapi dia

tidak mau membesar-besarkan masalah. Kalau sampai

pecah keributan, masalah mereka malah tambah

mengapung ke permukaan. Makin banyak orang yang

tahu. Makin ramai dibicarakan.

Airin tidak takut pada Frans. Seperti teman-teman

prianya yang lain, Frans tidak pernah peduli pada

gosip semacam itu. Biarpun Riri sering menyindir,

bahkan menghasutnya.

"Kamu yakin Airin cewek tulen, Frans? Nggak

perlu periksa kromosom?"

Frans tidak mengacuhkan serangan fajar Riri. Dia

percaya seratus persen, Airin cewek tulen. Kalau ada

yang sakit, itu pasti Sisi. Bukan Airin! Dari ujung

rambut sampai ujung jari kaki, dia komplet wanita!

Fisiknya malah lebih feminin dari Riri. Lebih

sempurna. Lebih menggiurkan dan merangsang selera

lelaki!

Yang Airin takutkan justru Sisi. Gosip itu akan

memukul Sisi yang rapuh. Menghancurkan

pertahanan mentalnya. Jadi dia terpaksa diam

menahan diri. Membiarkan Riri leluasa menyebar

gosip.57

Bab 6

FRANS berangkat ke Amerika dua bulan sebelum

ujian akhir SMA. Dia membeli ijazah supaya dapat

memajang nilai yang serbagemilang di ijazahnya. Dia

melamar di fakultas teknik sipil sebuah universitas.

Dasar otaknya encer, nasibnya pun bagus, dia

langsung diterima. Dan tidak punya ingatan lagi untuk

pulang. Dia malah selalu mengajak Airin ikut melanjutkan studi di sana.

"Heran, ngapain sih ngajak-ngajak ke sana

melulu?" gurau Airin kalau mereka sedang asyik

ngobrol melalui telepon. "Memangnya kamu sudah

nggak laku di sana?"

"Aku kangen," sahut Frans terus terang.

"Pulang dong kalau memang kangen."

"Kamu saja yang kemari, Rin."

"Bisa dipanggang Nyokap, tau nggak?"

"Aku nggak percaya bokapmu nggak mau

anaknya sekolah di Amrik. Aku kan sering ngobrol

sama dia."

"Tapi ayahku tidak punya kekuasaan apa-apa.

Semua keputusan di tangan ibuku.}

Sejak kecil Airin tidak pernah menaruh respek

pada ayahnya. Di rumah maupun di perusahaan, ibunyalah yang berkuasa. Ayah cuma barang pajangan.

Di rumah dan di kamar direktur!58

Namanya saja dia direktur. Semua keputusan di

tangan Ibu. Ayah cuma diangkat karena Ibu tidak mau

punya suami penganggur.

Perusahaan sepatu itu milik kakeknya. Ayahnya

Ibu. Ketika Kakek pensiun, perusahaan itu diwariskan

kepada Ibu. Yang membuktikan biar dia wanita, dia

bisa melanjutkan bisnis orangtuanya sehebat anak

laki-laki.

Ketika Ibu membutuhkan seorang suami sebagai

pelengkap statusnya, dia menikah dengan seorang

laki-laki yang tidak banyak tingkah. Dan mengangkatnya sebagai direktur meskipun dia cuma

lulusan SMA dan sedang tidak punya pekerjaan.

Airin menghormati prinsip ibunya. Bagaimana

pun galak dan kerasnya adat Ibu, dia tidak rela orang

menghina suaminya. Jadi daripada dia menjadi tuna

karya, dia diberi kursi direktur.

Baru ketika berumur delapan belas, ketika untuk

pertama kalinya dia dibawa ke seorang psikiater,

Airin sadar, latar belakang keluarganya punya andil

dalam kelainan jiwanya.

Seorang ibu yang keras berkuasa. Dan seorang

ayah yang tidak punya apa-apa. Dari mana dia mendapat gambaran lelaki ideal yang diidam-idamkannya?

"Tapi kenapa cuma dia yang sakit, Dok?" keluh

ibu Airin penasaran. "Di keluarga kami, semua

sehat!"

"Saya lebih cenderung mengatakan homoseksualitas adalah sebuah kelainan, Bu. Bukan

penyakit."

"Tapi dari kecil dia tidak punya kelainan, Dok!

Dia normal! Saya mendidiknya dengan keras."59

"Ini bukan kelainan jiwa, Bu. Cuma deviasi

seksual. Bukan soal pendidikan atau keturunan."

"Tapi dia tidak pernah punya keinginan untuk jadi

anak laki-laki, Dok! Dia genit dan suka dandan seperti

layaknya remaja putri lain! Dan dia mendapat haid

setiap bulan!"

"Ibu jangan salah sangka. Homoseksual bukan

transvestit. Bukan pula hermafrodit. Dia bukan banci.

Saya percaya kalau Ibu bilang Airin seratus persen

wanita. Seleranyalah yang berbeda."

"Tapi dia punya pacar, Dok! Seorang pria

ganteng. Sedang sekolah di Amerika. Mereka masih

sering pacaran melalui telepon."

"Mungkin Airin menyukai kedua-duanya. Pria

dan wanita. Jadi dia biseks. Bukan homoseks murni."

"Tapi menyukai seorang perempuan! Saya tidak

mengerti bagaimana seorang wanita bisa mencintai

wanita lain! Itu betul-betul gila!"

"Jangan menambah penderitaannya lagi dengan

menganggapnya gila, Bu. Airin sudah cukup

menderita. Ibu kira dia tidak tersiksa dengan

kelainannya itu? Di luar dia wanita, di dalam dia

mencintai wanita lain? Bukan cuma dunia yang

melecehkannya. Hukum juga menentangnya. Agama

melarangnya manusia-manusia seperti mereka ada di

sekitar kita, Bu. Persoalannya adalah di mana kita

menempatkan mereka."

"Karena itu dia harus disembuhkan, Dok! Dengan

cara apa pun juga! Kalau perlu dia harus dirawat!"

"Kesembuhannya banyak tergantung pada

kemauannya untuk sembuh, Bu. Juga kepada sikap

Ibu kepadanya. Dan kepada penerimaan masyarakat.

Semakin kita memusuhinya, semakin dalam dia

tenggelam dalam keputusasaan."60

"Saya ingin dia sembuh! Saya ingin anak saya

jadi wanita normal!"

"Kita akan berusaha menyembuhkannya, Bu.

Tapi tidak perlu mengurungnya dalam rumah sakit

jiwa. Karena dia tidak gila."

Aku memang tidak gila, geram Airin jemu. Tapi

mereka memperlakukan diriku seperti orang tidak

waras!

Padahal apa salahku? Aku hanya menyukai Sisi.

Menyayanginya. Kenapa seorang wanita tidak boleh

menyayangi wanita lain? Hanya laki-lakikah yang

boleh menerima cinta seorang wanita?

Airin bosan disuruh datang seminggu sekali ke

tempat praktek psikiater yang mahasabar itu. Dia

tidak mengerti mengapa harus dipsikoanalisis.

Mengapa harus melihat gambar-gambar perempuan

yang menjijikkan itu. Kalau mereka mengira terapi ini

bisa membuatnya merasa jijik kepada Sisi, mereka

keliru! Keliru besar!

Terapi itu memang membuatnya jijik kepada

praktek homoseksual. Tapi tidak pernah memadamkan cintanya kepada Sisi, kalau benar cinta namanya

perasaan yang berkobar di hatinya itu!

Apa sebenarnya yang telah dilakukannya selama

ini? Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk

bercinta dengan Sisi. Untuk membawanya ke tempat

tidur. Dia hanya ingin berada di dekat gadis itu.

Mengobrol. Saling pandang. Saling bertukar senyum.

Memegang tangannya. Di mana letak kesalahannya?

Tak pernah terlintas di otaknya untuk mencicipi

seks bersama Sisi. Dia malah sudah lebih dulu

melakukannya bersama Frans! Seorang pria!

Mengapa kesalahannya yang ini malah tak pernah

dihukum?61

Apa sebenarnya yang telah dilakukannya bersama

Sisi? Apa kesalahan yang telah menyeretnya ke ruang

praktek dokter ini?

???

Malam perpisahan berlangsung meriah. Sekaligus

syahdu.

Selama acara demi acara berlangsung, mereka

belum merasakan detik-detik perpisahan itu. Mereka

masih sibuk bergurau, tertawa, menyanyi, bahkan

berdansa.

Baru ketika acara terakhir tiba, suasana menjadi

hening. Tiba-tiba saja mereka baru menyadari artinya

perpisahan.

Tidak ada lagi guru yang galak. Guru yang dijadikan bulan-bulanan. Kepala sekolah yang ditakuti.

Tidak ada lagi teman nyontek yang setia. Teman

yang bandel dan suka iseng. Teman jail yang suka
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memalak duit mereka.

Esok semua akan berlalu. Sekolah ini akan tinggal

kenangan. Manis-pahitnya masa SMA hanya tinggal

nostalgia.

Entah kapan mereka baru dapat bertemu kembali.

Sepuluh rahun? Dua puluh tahun? Atau... tidak pernah

lagi?

"Sampai ketemu lagi ya, Pus," Ria merangkul

sahabatnya sambil membiarkan air mata meleleh ke

pipinya. Dia tersenyum. Sekaligus menangis.

"Jangan bikin aku nangis, Ria," Puspa mencoba

tertawa sambil menahan tangis. "Kita kan masih bisa

ketemu! Aku janji akan datang ke rumahmu setiap

minggu! Asal ada rujak!"62

Sudah beberapa kali Sisi mencuri-curi pandang ke

arah Airin. Tetapi sekejap pun Airin tidak menoleh

kepadanya. Masih marahkah dia? Justru pada saat terakhir perjumpaan mereka?

Besok sudah tidak ada lagi pertemuan. Mereka

akan berpisah untuk selama-lamanya. Dia tidak akan

pernah melihat Airin lagi, betapapun rindunya hati

ini!

Sisi hampir tidak dapat menahan tangisnya.

Memang semua teman putrinya sedang berlinang air

mata. Tetapi Sisi menangis bukan karena akan berpisah dengan mereka. Dia menangis karena Airin.

Karena ini mungkin saat terakhir dia dapat

melihatnya!

Diam-diam Sisi menyingkir ke WC. Dia membasuh mukanya. Mengambil tisu untuk mengeringkan

air matanya. Ketika dia sedang memandang ke dalam

cermin untuk mengeringkan wajahnya, dia melihat

Airin.

Dia tegak di belakangnya. Di balik pintu WC

yang tertutup.

Sekejap mereka saling pandang. Dengan tatapan

yang membiaskan kerinduan.

Sisi membalikkan badannya. Menatap Airin

sambil menahan tangis. Ketika melihat air mata

menggenangi mata sahabatnya, Airin tidak tahan lagi.

Dia mengulurkan tangannya untuk memeluk Sisi.

Sekejap mereka saling dekap tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dan pintu WC terbuka.

Riri tegak di sana. Tatapan matanya bersorot sangat

puas. Dan dia tidak sendirian. Ibu Anidar tegak di

sampingnya.63

Ibu Anidar tidak berkata apa-apa. Tetapi

keesokan harinya, ada surat panggilan dari kepala

sekolah. Kedua ibu mereka dipanggil menghadap.

"Lesbian!" geram ibu Airin sengit sesampainya di

rumah. "Airin! Airin! Penyakit apa yang kamu bawa

ke rumah ini? Memalukan! Pacaran dengan

perempuan! Seperti sudah tidak ada lelaki di dunia

ini!"

Tapi aku salah apa, pikir Airin gemas. Aku cuma

memeluk Sisi! Apakah itu salah? Puspa juga memeluk

Ria! Hastuti merangkul Wiwin. Teman-teman

putrinya saling rangkul sambil menangis! Mengapa

mereka tidak dihukum?

"Karena kamu memang sudah lama dicurigai!"

bentak ibunya ketika Airin membantah. "Gurugurumu sudah lama mencurigai hubungan kalian yang

tidak normal!"

Tapi bukan aku yang salah! Aku juga ingin jadi

cewek normal! Tapi aku sakit. Dan orang sakit tidak

pernah salah, kan? Tuhan yang salah. Tuhan yang

salah pasang!

"Tidak ada yang salah, Airin," kata psikiater yang

ramah itu. "Lagi pula buat apa mencari siapa yang

salah? Yang penting membetulkan kesalahan itu."

Duh, kalau semua orang penuh pengertian seperti

dokter yang baik ini! Airin tidak usah menyingkir

mencari dunia lain. Tidak usah menyusul Frans ke

Amerika. Hanya untuk mencari dunianya sendiri.

Tidak perlu meninggalkan Sisi yang juga sama

menderitanya dengan dirinya. Sisi tidak dibawa

ibunya ke dokter. Ibunya tidak marah-marah seperti

ibu Airin. Ibu Sisi hanya menangis.64

"Semua salah Ibu," keluhnya di sela isaknya.

"Kamu kehilangan ayahmu dalam usia yang sangat

muda. Tidak heran kamu jadi sakit begini."

Tapi sakitkah aku, pikir Sisi sedih sambil

menyaksikan ibunya menangis. Sakitkah mencintai

seorang gadis sebaik dan secantik Airin?

Sakit karena dia perempuan, maki hati kecilnya.

Karena Tuhan menciptakan Adam dan Hawa. Bukan

dua orang Adam atau dua orang Hawa!

"Jangan bikin Ibu malu, Sis," ratap ibunya pilu.

"Kalau kamu sudah tidak sayang Ibu lagi, lebih baik

Ibu mati saja. Ibu tidak tahan mcnanggung malu."

"Saya janji tidak akan menemuinya lagi, Bu,"

desah Sisi getir.

Meskipun saya harus membunuh cinta saya dan

meredam kerinduan saya kepadanya!

Saya tidak akan memberi malu Ibu lagi. Saya berjanji akan menjadi wanita terhormat supaya Ibu merasa bangga!65

Bab 7

DARI jendela pesawat yang menerbangkannya ke

San Francisco, Airin memandang ke bawah. Ke laut

biru yang membentang luas nun jauh di bawah sana.

Riak-riak ombak yang putih memecah di laut.

Layar perahu tampak bagai secarik kertas dipermainkan angin. Lalu muncul jembatan yang tersohor itu,

Golden Gate yang permai, tampil memikat mata

dilatarbelakangi oleh teluk yang indah.

Di sana, di pelabuhan udara yang terletak di atas

teluk itu, Frans mungkin sedang berdebar-debar menunggu kedatangannya. Sudah setengah tahun mereka

tidak bertemu. Meskipun mereka selalu berhubungan

melalui telepon dan email.

"Aku kangen sama kamu, Rin," Frans selalu

mengakhiri obrolan mereka dengan mantra itu.

"Kapan kamu datang?"

Tetapi mengapa tidak ada senandung rindu

mengalun di hati Airin? Bahkan setelah jaraknya

dengan Frans sudah terasa begitu dekat?

Mengapa tidak ada getar-getar kegelisahan yang

menganyam kenikmatan sebuah pertemuan sebagaimana layaknya kalau dua orang kekasih bertemu?

Jantung Airin tidak berdebar lebih cepat seperti

kalau dia sedang menunggu untuk bertemu dengan

Sisi. Padahal dengan Frans-lah justru tubuhnya pernah66

menyatu. Dengan lelaki yang kini sedang menunggunya di bawah sanalah Airin pernah berbagi napas.

Tetapi mengapa justru Sisi-lah yang seolah-olah

menjadi belahan jiwanya? Mengapa justru kepada

Sisi-lah dia merasa rindu?

Airin tidak pernah dapat menemui Sisi lagi.

Teleponnya tidak dijawab. Sms-nya tidak dibalas.

Kedatangannya ke rumah Sisi juga tidak disambut.

Dia hanya bisa bertemu adik-adik Sisi yang menjawab

dengan datar, Mbak Sisi tidak ada di rumah.

Padahal Airin bukan datang untuk mengajak Sisi

kencan! Dia hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Karena dia sudah memutuskan akan melanjutkan

studi ke Amerika.

Tetapi Sisi sudah tidak mau menemuinya lagi.

Atau bukan Sisi yang tidak mau menemuinya.

Keluarganya yang melarang. Mereka sudah menganggap Airin sebagai bibit penyakit yang harus

dijauhi.

Padahal Airin ingin sekali menjelaskan semuanya.

Dia tidak melakukan apa-apa yang salah! Dia hanya

menyayangi Sisi! Salahkah menyayangi seorang

teman, hanya karena mereka sama-sama wanita?

Siapa yang berhak menentukan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan orang lain? Moral? Opini

umum? Tapi moral dan opini tidak ada yang abadi.

Karena takarannya tergantung tahun berapa dia dilahirkan!

Ketidakpuasan mendesak Airin untuk melepaskan

diri dari kekangan yang dirasanya tidak adil. Dia

memberontak. Melawan. Membangkang.

Dia ingin mengajak Sisi mencari kebebasan di

tempat lain. Tempat yang dapat menerima kelainan

mereka. Tempat yang tidak memusuhi mereka.67

Tetapi Sisi bukan Airin. Bukannya memberontak,

dia malah bersembunyi. Dia bertekad tidak akan menjumpai Airin lagi. Karena dia ingin menjadi

perempuan terhormat. Supaya dapat membanggakan

ibunya.

Terpaksa Airin pergi seorang diri. Ke tempat yang

dirasanya dapat memberi kebebasan.

Dan di sanalah dia berada sekarang. Di San

Francisco. Sebuah kota yang cantik di pantai barat

benua Amerika. Di tempat di mana bukit yang

menghijau bertemu dengan birunya air laut.

Tetapi San Francisco bukan hanya kota yang

indah. Sekaligus romantis. Lebih-lebih kalau di sana

ada Frans Putuhena.

Frans tahu sekali bagaimana harus mengaduk

emosi Airin. Dia membawa Airin ke tempat-tempat

yang membangkitkan gairah.

Mula-mula dia memang berhasil membangkitkan

gairah gadis itu. Mula-mula mereka memang dapat

menikmati semuanya dengan mulus. Pemandangan

yang indah. Tempat-tempat yang romantis. Darah

muda yang bergolak. Kebebasan yang menyeluruh.

Semuanya mudah sekali membangkitkan gairah.

Tetapi selang beberapa bulan, Airin sudah merasa

bosan. Ciuman Frans tidak membiusnya lagi. Bahkan

ketika Frans sedang menciumnya dengan mesra, tibatiba saja Airin teringat Sisi.

Seandainya bukan Frans yang sedang menciumnya... seandainya Sisi-lah yang berada di sini...

barangkali Jembatan Golden Gate masih tetap

menjulang megah, Menara Coit masih tetap

bermandikan cahaya, Kampung Nelayan masih

menyimpan seribu perahu di dermaganya, tetapi hati68

Airin lebih berbunga. Lebih hangat. Bukan dingin

disapu kepalsuan. Hampa dipulas kesepian.

"Aku mencintaimu, Rin," bisik Frans untuk keseribu kalinya.

Airin percaya, Frans memang mencintainya.

Tetapi dia tidak berani membalas ungkapan cintanya.

Karena semakin hari dia semakin yakin, ada cinta

yang lebih besar di hatinya. Dan cinta itu untuk orang

lain. Bukan untuk Frans.
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Airin belum berani mengatakannya dengan terus

terang. Dia tidak sampai hati menyakiti hati Frans.

Mengatakan cintanya telah diberikannya kepada gadis

lain! Alangkah sakit hatinya kalau dia tahu dari jenis

apa perempuan yang dicintainya!

Barangkali Airin harus menunggu sampai

beberapa tahun lagi. Sampai mereka lebih dewasa.

Atau sampai pengaruh kebebasan negara demokrasi

mi sudah menyelusup sampai ke tulang sumsum

mereka.

Barangkali saat itu Airin baru berani berterus terang. Masih maukah Frans menerimanya? Atau dia

juga akan mencampakkannya seperti orang lain?

Frans akan menceraikannya begitu tahu istrinya

lesbian. Dia merasa jijik. Dan tidak mau menggauli

istrinya lagi.

Tetapi kalau Airin mengira Frans akan melamar

dan menikahinya, dia keliru. Frans memang mencintainya. Tetapi dia tidak pernah melamar Airin.

Pandangannya terhadap lembaga perkawinan telah

berubah. Dia menunggu dengan sabar sampai Airin

juga ikut berubah. Dan dia tidak usah menunggu

terlalu lama.

Pada akhir tahun kedua, mereka sudah hidup bersama. Menyewa sebuah apartemen. Dan hidup seperti69

layaknya suami-istri. Hanya saja tanpa ikatan surat

nikah.

Hidup seperti itu menyenangkan bagi mereka berdua. Mereka bebas pergi ke mana saja. Bebas pulang

ke apartemen kapan saja. Lebih-lebih ketika kebosanan mulai menyergap.

Cinta Frans memang masih tersisa. Tetapi dia

tidak pernah melarang Airin. Dia memberikan

kebebasan sepenuhnya. Airin boleh pulang terlambat,

bahkan tidak pulang sekalian, asal memberitahu.

Tidak perlu memberi alasan.

Dan kebebasan itu membuat Airin betah tetap

tinggal bersama Frans. Justru karena Frans menerima

dirinya seperti apa adanya. Kalau Frans

mengekangnya, sudah lama Airin meninggalkannya.

Kadang-kadang Airin benci kepada dirinya

sendiri. Mengapa dia tidak dapat menerima seorang

laki-laki yang begitu sempurna seperti Frans?

Mengapa dia tidak pernah merasa bahagia di

sampingnya? Mengapa lama-kelamaan dia merasa

semakin bosan?

Dan ketika dia merasa bosan, kerinduannya

kepada seseorang semakin berkobar. Kerinduan yang

memadamkan gairahnya pada kehangatan cumbuan

Frans.

Airin sudah mencoba dengan lelaki lain. Teman

kuliahnya sendiri. Seorang pemuda Italia yang

romantis. Yang raut wajahnya artistik seperti patung

pahatan Michael Angelo. Tubuhnya tinggi atletis.

Otot-ototnya bersembulan seperti binaragawan.

Gino Mastroani memang pemain baseball andalan

kampus mereka. Banyak mahasiswi yang rela tidur

bersamanya. Tetapi Gino malah mengincar Airin70

Setiadi. Figur yang memadukan pesona dan misteri

dari Timur.

Tetapi hubungannya dengan Gino pun kandas setelah beberapa bulan. Airin merasa bosan. Dan ingatannya kembali lagi pada Sisi.

Seandainya dia bisa mengajak Sisi kemari. Ke

tempat mereka diterima lingkungannya. Ke tempat

yang tidak melecehkan hubungan mereka. Ke tempat

mereka bisa berkencan dengan bebas

Sudah tujuh buah surat dilayangkannya ke alamat

Sisi. Tidak satu pun yang berbalas. Surat-suratnya

hilang entah ke mana. Padahal Airin begitu mengharapkan balasannya.

Salahkah menulis surat kepada seorang sahabat?

Dapatkah dosa dikirim melalui pos? Kalau tidak,

untuk apa ibu Sisi menyensor surar-surar anaknya?

Atau... bukan ibunya. Barangkali Sisi sendiri yang


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir

Cari Blog Ini