Ceritasilat Novel Online

Relung Gelap Di Hati Sisi 2

Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W Bagian 2

sudah tidak mau kenal lagi padanya?

Hubungan mereka yang memalukan bisa merusak

masa depannya. Atau bukan itu saja. Barangkali Sisi

sudah menemukan seorang pengganti... seorang pria

rampan yang tidak memalukan untuk dibawa ke

hadapan ibunya dan reman-remannya

Airin mengisap rokoknya dalam-dalam. Hanya

rokok yang dapat menenangkan oraknya yang panas.

Hatinya yang gundah. Jiwanya yang resah.

Kalau nikotin belum dapar menenangkannya, dia

akan lari ke alkohol. Cuma kedua racun itulah yang

menjadi tempat pelariannya sekarang. Meskipun

Frans pernah memperkenalkannya kepada narkotik,

Airin belum kecanduan.

Malam itu Gino membawanya ke atas bukit

kembar. Dari puncak bukir iru, mereka dapar

memandang ke bawah. Ke kora San Francisco yang71

bermandikan cahaya seperti sebuah kubah raksasa

yang bersinar-sinar.

Tetapi bahkan keindahan panorama seperti iru

tidak menyentuh hati Airin lagi. Dia lebih merasa

nikmar mengisap rokoknya sambil membayangkan

seseorang di seberang lautan sana.

Mengapa dia jusrtu selalu membayangkan Sisi?

Karena hanya dia yang kini tidak dapar digapainya?

Justru karena cintanya kepada gadis itu tidak

kesampaian, cinta itu menjadi abadi?

"Libur semester ini aku ingin mengajakmu ke

Florence, Airin. Aku ingin membawamu ke rumah

orang-tuaku. Kamu pasti menyukai kota kelahiranku.

Kota tua yang artistik. Dengan Dome dan Piazza

Michael Angelo serta Patung David-nya yang

terkenal."

Airin tidak menjawab. Tatapannya sedang terpaku

pada pendar sejuta bintang di atas kepalanya. Ketika

perlahan-lahan bintang itu menjelma menjadi wajah

seorang gadis yang sangat dicintainya, Airin menghela napas berat.

"Aku belum pernah melamar seorang gadis,

Airin," kata Gino sambil meraih tangannya dan

menggenggamnya dengan mesra. "Tapi malam ini

aku ingin melamarmu. Maukah kamu menikah

denganku?"

"Aku belum ingin menikah, Gino." Bahkan

memikirkannya saja belum!

"Kamu masih menunggu Frans?"

"Frans teman sekamar yang baik."

"Dia tidak bisa memuaskanmu?"

"Dia sempurna."

"Lalu apa lagi yang kamu tunggu?"

"Frans belum pernah melamarku."72

"Kamu mencintainya?"

"Saat ini aku malah belum tahu apa sebenarnya

cinta itu."

"Kamu tidak perlu tahu," Gino meremas tangan

Airin dengan lembut. "Kamu hanya perlu merasakannya."

"Dan karena sekarang aku belum merasakannya,

maukah kamu membawaku pulang?"

"Ke flatku?"

"Jangan malam ini. Aku sedang tidak bergairah."

"Kalau begitu aku akan membawamu ke tempat

lain. Tempat yang belum pernah kamu lihat."

Dan tempat yang tidak pernah dibayangkan Airin.

Di sana semua orang bebas melakukan apa saja yang

mereka inginkan. Bebas melakukannya dengan siapa

saja.

Seandainya Sisi ada di sini, pikir Airin resah.

Mereka juga dapat melakukan apa saja yang mereka

inginkan.

Tetapi kalaupun Sisi ada di sini, bukan cinta

seperti ini yang didambakannya. Dengan Sisi, Airin

memimpikan cinta yang lembut. Yang murni. Yang

agung. Kalau benar ada cinta seperti itu di kamus

hubungan sejenis!

Airin akan memperlakukan Sisi dengan pantas.

Dengan terhormat. Tetapi masih adakah yang pantas,

yang terhormat, dalam hubungan yang dikutuk orang?

???

Ketika Airin pulang keesokan paginya, Frans sudah

bangun. Dia sedang duduk minum kopi di dapur.

Kemejanya lusuh. Rambutnya kusut masai. Mukanya73

semuram langit San Francisco yang mendung diselubungi awan.

Dia tidak menoleh ketika Airin masuk. Tidak

membalas salam Airin. Bahkan tidak membalas ketika

Airin menciumnya. Dia membeku seperti batu.

"Maaf," Airin tahu Frans marah. Bukan karena

dia tidak pulang tadi malam. Tapi karena dia tidak

memberi kabar. "Aku lupa meneleponmu."

Frans meneguk kopinya sampai habis. Lalu dia

berdiri dan meletakkan cangkir kosong itu di tempat

cuci piring, separuh melemparnya. Airin heran kalau

cangkir itu tidak pecah.

Tanpa berkata apa-apa dia meninggalkan dapur.

Membiarkan Airin tercenung seorang diri. Memandangi asbak yang penuh puntung rokok.

Ketika Airin selesai mandi, Frans sedang

memakai sepatunya. Rokok masih terselip di bibirnya.

Tetapi dia tidak berkata apa-apa.

Selesai memakai sepatu dia menyambar kunci

mobil dan melangkah keluar tanpa memberi salam.

Airin tidak ingin mengejarnya. Dia tahu percuma

bicara dalam keadaan marah. Dia akan membiarkan

Frans mendinginkan kepalanya dulu. Baru dia akan

minta maaf sekali lagi dan menjelaskan segalanya.

Tempat tidur mereka masih rapi. Semalam Frans

pasti tidak tidur. Dia mencari Airin ke mana-mana.

Barangkali dia cemas karena Airin tidak meneleponnya. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Karena

terus terang Airin lupa di mana dia meninggalkan

teleponnya.

Tetapi malam itu Frans tidak pulang. Percuma

Airin menunggunya sampai tidak pergi ke manamana.74

Dia sudah menolak ajakan makan malam Gino.

Padahal Airin tahu, Gino akan melamarnya dengan

resmi malam ini. Mungkin dengan sebentuk cincin

lamaran.

Airin malah menyiapkan makan malam untuk

Frans. Tetapi harapannya meleleh seperti dua batang

lilin yang telah dinyalakannya sejak tadi.

Frans memang muncul keesokan harinya. Tetapi

hanya untuk mengangkuti barang-barangnya.

"Lebih baik kita berpisah," katanya dingin. "Aku

sudah dapat flat lain."

Airin memang tidak mencegah, walaupun

mungkin jauh dalam hati kecilnya Frans mengharapkannya. Tetapi hari-hari berikutnya, hanya Airin

yang tahu betapa dia menunggu kedatangan Frans.

Barangkali cinta mereka sudah tidak sehangat

dulu lagi. Tapi kesepian seorang diri dalam sebuah

apartemen sungguh menyiksa.

Setelah sia-sia menunggu Frans, akhirnya Airin

pindah ke flat Gino. Dia yang masih dengan sabar

menunggu sampai lamarannya mendapar tempat di

hati perempuan Indonesia yang dikaguminya itu.

Airin memang bukan hanya cantik. Dia menarik.

Memikat. Menggiurkan. Di antara teman-teman

gadisnya, dia justru menonjol dengan kepribadiannya

yang kuat. Sikapnya yang kadang-kadang agak

misterius malah membuat Gino semakin tertarik.

Airin memang gadis modern yang serbabisa. Dia

pintar dansa. Kuat minum. Perokok ulung pula.

Di kampus, dia mahasiswi yang cemerlang. Di

lapangan, dia olahragawati yang tangguh. Di kolam

renang, Airin juga cukup disegani. Di organisasi dia

juga punya harapan, asal saja dia berambisi untuk itu.75

Airin luwes dalam pergaulan tingkat apa pun. Dia

mau bergaul dengan mahasiswa dari mana pun.

Bukan hanya berkumpul dengan teman-teman

sebangsanya saja. Tidak heran kalau bahasa

Inggrisnya cepat maju. Dia bisa berkomunikasi

dengan lancar dan fasih.

Tetapi kalau Gino mengira Airin akan mudah ditaklukkan setelah mereka tinggal bersama, dia keliru.

Airin tetap menolak lamarannya.

"Orangtuaku Katolik yang taat, Airin," kata Gino

serius. "Sudah lama mereka menyuruhku pulang.

Mereka mengkhawarirkan pergaulan bebasku di

Amerika. Sekarang ayahku sakit. Kanker prostat.

Umurnya tidak lama lagi. Jika aku pulang membawa

seorang calon mempelai, Ayah pasti bahagia sekali."

"Tapi aku belum ingin menikah, Gino," jawab

Airin untuk kesekian kalinya. "Aku masih ingin

menikmati kebebasanku."

Dan empat bulan setelah hidup bersama, Airin

pindah lagi ke flatnya sendiri. Dia sudah merasa

bosan. Dan tidak mau berpura-pura. Dia memutuskan

hubungan mereka.

Malam itu dia menikmati malam yang tenang di

flatnya. Kosong. Sepi. Seorang diri.

Dia sedang malas ke mana-mana. Dia hanya ingin

menonton TV sambil menikmati segelas Scotch.

Ada iklan pesawat terbang di layar televisi.

Pramugarinya cantik dan luwes. Tapi bukan

kecantikannya yang menarik hati Airin. Gadis itu

berwajah Asia. Matanya besar. Mulutnya pun lebar?

Dan tiba-tiba saja Airin seperti melihat wajah seorang

gadis lain di layar TV-nya. Gadis mungil

berpenampilan sederhana, dengan tatapan lugu yang

redup.76

Nyeri menggigit hati Airin. Ada perasaan sepi

yang begitu menyiksa di dalam sink Diraihnya

gelasnya dengan sengit. Diteguknya isinya sampai

habis.

Ketika dia mengambil segelas minuman lagi, tibatiba dia sadar, dia sudah terlalu banyak minum. Dia

tidak mau tubuhnya besok ditemukan orang dalam

keadaan tidak sadar.

Tetapi bagaimana mengusir kerinduan yang
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begini menyengat? Bagaimana menggebah keputusasaan yang mendera? Hanya alkohol pelariannya.

Alkohol dapat menenangkan sarafnya. Dan melelapkan kesadarannya.

Airin mematikan pesawat televisinya. Melemparkan remote control-nya ke mana saja. Dan melangkah

ke kamar. Dia ingin tidur lelap. Ingin melupakan

semua-nya. Gino. Frans dan...

Tangan Airin terulur membuka lemari di atas

wastafel di kamar mandi. Meraih sebotol obat tidur.

Membuka dan menuang isinya. Lalu dia membuka

keran dan mengisi segelas air. Tetapi sesaat sebelum

meneguk pil-pil itu, tiba-tiba dia seperti melihat

bayangan Sisi dalam cermin di hadapannya.

Tatapannya demikian sedih. Demikian redup

Airin membuang tablet-tablet di tangannya.

Menuang habis air dari gelas. Dan bersandar lesu

dengan sebuah kesadaran merayap ke kepalanya.

Dia sudah terlalu banyak minum. Obat tidur yang

bercampur alkohol bisa berakibat fatal. Karena

alkohol punya efek potensiasi.

Airin tidak mau tubuhnya besok ditemukan sudah

tidak bernyawa lagi. Dia memang tidak ingin bunuh

diri. Dia cuma mau tidur. Cuma mau melenyapkan

kerinduannya.77

Kasihan Sisi kalau dia mendapat kabar Airin mati.

Kasihan Frans kalau dia tahu Airin bunuh diri. Dikiranya Airin nekat karena kehilangan dia.

Padahal empat bulan berpisah, Airin tidak pernah

merindukannya. Mereka memang sering bertemu di

kampus. Frans kini berkencan dengan seorang mahasiswi dari Sydney yang mirip Nicole Kidman. Tetapi

heran. Airin tidak merasa cemburu. Dia sudah merelakan miliknya dipakai orang lain. Bukankah dia pun

sedang pacaran dengan Gino?

Airin membaringkan dirinya di tempat tidur. Tapi

sudah bosan dia membolak-balikkan badan, matanya

belum mau terpicing juga.

Tiba-tiba saja dia teringat Gino. Teringat Frans.

Kalau ada mereka, dia pasti tidak kesepian begini. Dia

bisa ngobrol sambil minum. Main Scrabble. Catur.

Atau sekadar nonton film tua di televisi.

Kalau bosan di rumah, Airin bisa mengajak

mereka minum di bar... mengapa tidak menghabiskan

waktu di sana saja? Daripada mati bosan di rumah?

Airin sedang minum seorang diri sambil merokok

ketika pelayan bar menyodorkan segelas minuman

lagi ke hadapannya.

"Dari nona yang di sana," pelayan itu mengerlingkan matanya ke sudut lain bar.

Airin menoleh. Dan matanya bertemu dengan

mata seorang gadis kulit putih. Wajahnya cantik.

Pakaiannya berani. Umurnya mungkin sebaya.

Dia mengangkat gelasnya untuk bersulang. Airin

mendorong gelas itu kembali kepadanya. Meletakkan

selembar uang di atas meja. Dan meninggalkan

tempat itu tanpa menoleh lagi.

Kalau dikiranya dia bisa membeliku dengan

segelas minuman, dia boleh gigit jari, gerutu Airin78

sambil berjalan ke mobilnya. Dunia ini memang

penuh dengan sampah. Tidak bisa menarik napas lega

di mana pun dia duduk.

"Hai," seseorang menegurnya dari belakang.

Tanpa menoleh pun Airin tahu siapa yang mengikutinya. Tetapi dia tidak berhenti. Dia berjalan ke

mobilnya dan mencari kunci mobil.

"Kamu biasa sesombong ini?"

"Kamu biasa diusir?" balas Airin angkuh.

"Aku suka gayamu."

"Aku tidak." Airin membuka pintu mobilnya.

"Gayamu murahan."

"Namaku Lyn."

"Apa aku menanyakan namamu?" sekarang Airin

berbalik. Dan dia bisa melihat wajah gadis itu dengan

lebih jelas.

"Aku tahu dari kalangan mana kamu berasal.

Ketika melihatmu tadi, aku tahu kita senasib."

"Tapi aku tidak ingin bernasib seperti kamu. Jadi

jangan ikuti aku lagi. Cari saja sampah yang cocok

denganmu." Airin berbalik. Dan masuk ke mobilnya.

Dari kaca spionnya, Airin masih bisa melihat

Lyn. Tegak sendirian di kaki lima. Dia menghela

napas panjang. Selama di San Francisco, entah sudah

berapa kali dia bertemu wanita seperti Lyn. Tetapi

mengapa dia tidak pernah merasa tertarik?

Kalau benar dia sakit, mengapa dia tidak pernah

berniat mencari pengganti Sisi? Tetapi kalau dia

normal, mengapa seorang lelaki sempurna seperti

Frans atau Gino tidak dapat memuaskannya?

Airin memarkir mobilnya. Mengunci pintunya.

Dan melangkah ke depan pintu apartemennya. Ketika

membuka pintu, dia tertegun.

Lampu di dapur menyala. Ada orangkah di sana?79

Sekejap perasaan waspada menyelinap ke hatinya.

Dia mengeluarkan ponselnya. Siap-siap untuk

memanggil 911. Tangannya yang lain meraih tongkat

golf milik Frans yang ketinggalan di tempat payung.

Lalu dengan hati-hati dia menyelinap ke dapur?

"Frans...?" gumam Airin heran.

"Alangkah nyamannya berada di rumah sendiri

lagi," desis Frans sambil tersenyum melihat tongkat

golf di tangan Airin. "Itu untuk menghajar kepala

maling atau memukul pantatku?"

"Dua-duanya," sahut Airin sambil meletakkan

tongkat dan ponselnya. Diambilnya minuman untuk

meredakan sarafnya yang tegang. "Kenapa tidak

memberi kabar? Aku tidak melihat mobilmu."

"Kejutan," sahut Frans santai. "Kamu senang

kejutan, kan?"

"Tidak juga. Kalau kejutan ini dibuat selama

gadismu cuti haid."

Airin duduk dengan tenang di depan Frans. Diawasinya pria itu dengan cermat. Tidak ada yang

berubah. Dia masih tetap Frans Putuhena yang menjadi idola di SMA mereka.

"Aku rindu padamu, Airin," kata Frans terus

terang. "Aku boleh kembali kemari?"

"Ke mana gadismu? Pulang ke Sydney? Atau dia

sudah menemukan pria Asia yang lebih menarik?"

"Kami sudah putus."

"Karena itu kamu kembali ke rumah."

"Tadi siang aku melihat Gino dengan perempuan

lain."

"Dia melamarku. Dan mengajakku menikah di

Florence."

"Kamu pasti menolak."

Tapi bukan gara-gara kamu.80

Frans bangkit. Menghampiri Airin dengan penuh

kerinduan. Dipeluknya gadis itu dengan hangat. Diciumnya bibirnya dengan mesra.

Dia masih tetap Frans pacarku di SMA, bisik

Airin berulang-ulang dalam hatinya. Satu-satunya pria

dalam hatiku. Cowok idola dari masa remajaku.

Disambutnya ciuman Frans dengan sama hangatnya. Dan ketika Frans merasakan sambutan Airin,

digendongnya wanita itu ke kamar tidur mereka.

"Aku mencintaimu, Airin," bisik Frans di tengahtengah melodi cinta yang dipersembahkannya. "Aku

tidak pernah berhenti mencintaimu?Cintaku tak

pernah berubah?"

Kamu memang tidak pernah berubah, desah Airin

ketika Frans sedang meracik butir-butir kerinduannya

dalam larutan gairah. Kamu masih tetap Frans-ku

yang dulu. Yang dengan sia-sia sedang berjuang

mendobrak pintu hatiku dengan ledakan kejantananmu?

Namun seperti dulu juga, tak ada yang mampu

membuka pintu itu. Kecuali seorang gadis lugu di

seberang lautan sana. Di negeri di mana matahari selalu bersinar, meskipun sinarnya bukan untuk mere???

Setelah Frans kembali, hidup Airin kembali ke siklus

yang rutin. Frans tidak pernah mengungkit-ungkit

hubungannya dengan Gino, yang kini telah menjadi

salah seorang teman baiknya.

Ketika sedang minum bersama Frans, Airin juga

bertemu kembali dengan Lyn Corman. Ternyata gadis

itu tidak seburuk yang disangkanya. Setelah berkenal-81

an secara baik-baik, dia kemudian malah menjadi

teman mereka.

Banyak persamaan yang ditemukan Airin dalam

dirinya. Untuk pertama kalinya Airin menemukan

orang yang dapat dijadikannya tempat mencurahkan

isi hati.

Lyn-lah yang kemudian membawa Airin

memasuki dunia yang baru itu. Dunia yang sudah

dikenal Airin sejak masa remajanya, tetapi yang

belum pernah dimasukinya. Dunia yang selama ini

hanya datang dalam impian, kini menjelma menjadi

realita.

Sekarang Airin punya dua pelabuhan. Kalau dia

bosan pada Frans, dia lari pada Lyn. Kalau dia jemu

pada Lyn, dia kembali ke pelukan Frans.

Tetapi entah mengapa, hatinya tak pernah merasa

puas. Dia tetap tidak merasa bahagia. Dia malah

merasa hidupnya semakin hampa. Semakin tidak

berarti. Dia tidak tahu lagi apa yang dicarinya.

Enam tahun dia tinggal di negeri ini. Studinya

sudah hampir selesai. Tinggal mengambil dua mata

kuliah lagi.

Dia juga sudah bekerja. Sudah bisa mencari uang

sendiri. Sudah bisa mengatur hidupnya sesuai

kemauannya. Tetapi dia masih tetap belum dapat

menemukan dirinya sendiri.

Sudah dicarinya di balik kepulan asap rokok. Di

dalam busa minuman keras. Di balik kejantanan seorang laki-laki. Bahkan dalam pelukan seorang

wanita.

Tetapi mengapa tidak seorang pun di antara

mereka mampu memuaskannya? Dia jadi lebih tidak

mengenal dirinya sendiri. Apa sebenarnya yang

dicarinya?82

Bab 8

SISI membaringkan rubuhnya di tempat tidur. Dia

lelah. Mengantuk. Malah sedikit meriang. Mungkin

karena kehujanan.

Tetapi sudah lewat tengah malam, dia belum

dapat terlelap juga. Bayangan Airin muncul dan
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul lagi di hadapannya. Sia-sia dia menelan dua

butir pil tidur. Sama sia-sianya dengan melenyapkan

Airin dari setiap embusan napasnya.

Dia begitu cantik. Penampilannya begitu perkasa.

Gayanya begitu menguasai.

Pelukannya begitu akrab. Begitu hangat.

Sekaligus melelapkan. Menenggelamkan Sisi dalam

pesona yang magis. Membenamkannya dalam segulung perasaan nikmat yang belum pernah dirasakannya... perasaan nikmat yang tidak dikenalnya... perasaan apa? Inikah perasaan yang bernama...

gairah?

Ada kehangatan yang tiba-tiba membuncah di

dada. Menggulung Sisi dalam ledakan keinginan yang

aneh. Sekujur tubuhnya seperti membara. Darahnya

bergolak. Sarafnya menegang

Sisi memejamkan matanya dengan gemas. Ingin

mengusir perasaan itu. Ingin mengenyahkan bayangan

Airin. Tetapi bagaimana dapat mengusir seseorang

yang selalu berada di relung hatinya? Bagaimana

mengenyahkan bayangan yang selalu melekat di

benaknya?83

Airin tampil begitu mengagumkan. Setiap

langkahnya tidak dapat tidak melukiskan betapa

pandainya dia menguasai dirinya. Bahkan menguasai

lingkungannya. Semua orang terpaksa menoleh kalau

dia muncul. Kerikil pun seolah-olah menyingkir kalau

dia lewat.

Enam tahun berpisah, Airin sudah jauh berubah.

Sisi sudah hampir tidak mengenalinya lagi. Berdiri

dalam jarak yang demikian dekat pun, Sisi merasa

Airin begitu asing. Berapa jauh Amerika sudah

merusaknya?

Make up-nya begitu mencolok. Pakaiannya sangat

berani. Bahkan parfumnya tajam merangsang. Aromanya bercampur dengan bau tembakau yang kuat.

Berapa batang dia merokok sehari?

Sisi seperti berhadapan dengan orang lain...

padahal selama enam tahun berpisah, di mana ada

satu malam saja yang lewat tanpa mengenang Airin

sesaat sebelum tidur?

Airin kerap datang dalam mimpinya. Sisi selalu

mengenangnya. Bahkan ketika sedang giliran jaga

malam di rumah sakit. Juga ketika Handi mulai

memasuki kehidupannya.

Tetapi Airin yang dikenangnya adalah Airin yang

dikenalnya dulu. Airin enam tahun yang lalu. Teman

SMA-nya.

Bukan Airin yang ditemuinya dalam reuni tadi.

Atau Airin yang tiba-tiba saja muncul di rumahnya

seminggu kemudian.

"Mbak Sisi, ada yang cari!" Seperti biasa, Titinlah yang menjadi resepsionis di rumahnya. Lalu

sambil menurunkan volume suaranya, dia berbisik,

"Call girl, kali!"84

"Ah, jangan main-main!" gerutu Sisi yang sedang

sibuk membuat presentasi kasus.

"Betul, Mbak! Ada cewek keren kayak bintang

film mencarimu! Nyetir mobil sendiri! Bukan

ceweknya Mas Handi?"

"Sinting!" Sisi menahan senyumnya. "Janganjangan kamu salah minum obat!"

"Serius! Mbak mau keluar nggak? Atau mau

ngumpet? Aku bilang saja Mbak Sisi jaga di rumah

sa-kit?"

"Suruh masuk saja," sahut Sisi santai. Dia bangkit

dengan malas. Merentangkan lengannya lebar-lebar.

Meluruskan pinggangnya yang pegal.

Hhh, pegalnya! Bisa bungkuk punggungnya sebelum jadi dokter! Jangan-jangan dia seperti Dokter

Nur... sudah bungkuk padahal umurnya belum ada

lima puluh!

Sambil menguap Sisi melangkah keluar dari

kamarnya. Dan matanya bertemu dengan mata gadis

yang baru masuk itu... mata yang secemerlang bintang

kejora? Dan Sisi sampai lupa menutup pintu kamar.

Bahkan lupa menutup mulutnya.

"Hai," sapa Airin setenang Telaga Warna.

"Halo," balas Sisi gugup. Mukanya tiba-tiba saja

terasa panas. Entah mengapa. "Belum pulang?"

"Pulang ke mana?" Airin mengulum senyum

manis. "Rumahku di Jakarta."

Bodohnya aku, maki Sisi dalam hati. Noraknya!

Pandir! Entah apa warna mukanya saat itu. Merah?

Putih? Biru?

"Eh, kukira... anu... kupikir sudah balik ke

Amrik?" gumam Sisi terbata-bata.

"Kuundur seminggu."

Sisi melongo bingung.85

"Diundur?" Kenapa? Tapi kata yang terakhir itu

tidak sempat menerobos keluar dari celah-celah bibirnya. Apa haknya bertanya?

Tapi Airin seperti dapat menerkanya.

"Masih kangen," sahutnya santai. Tapi dia tidak

menjelaskan kangen kepada siapa.

"Kapan berangkat?"

Bodohnya! Dia kan sudah bilang seminggu lagi!

"Senin depan. Mau ngantar?"

"Sori! Aku giliran jaga!" cetus Sisi spontan.

Tentu saja dia berdusta. Tapi Airin tahu apa?

"Kalau begitu kuundur sehari. Kamu tidak jaga

dua hari berturut-turut, kan?" senyum Airin melebar.

Manis. Dan tidak ada kesan mengejek.

Sisi mati langkah. Dia merasa malu sekali.

Sekarang bukan hanya mukanya yang terasa panas.

Telinganya juga. Tertatih-tatih dia menghampiri.

"Duduk, Rin," katanya setelah menyadari mereka

masih berdiri. "Mau minum apa?"

"Kalau kamu tidak ada acara, mau menemaniku

minum kopi?"

Airin duduk dengan gaya yang sedap dilihat.

Tungkainya yang panjang dilipat dengan sopan tapi

menarik.

"Di mana?"

"Di mana saja. Di Jakarta sekarang banyak kafe,

kan? Tapi kalau kamu lebih suka di mal..."

"Aku tidak bisa." Sesudah mengucapkan katakata itu, Sisi menyesal. Tersinggungkah Airin?

Diawasinya wajah temannya dengan ragu-ragu.

Tapi tidak ada perubahan apa-apa di parasnya. Dia

tetap setenang tadi.

"Kita minum di sini saja, ya? Aku punya es

kacang hijau"86

"Pasti sedap. Kamu masih suka bikin kue?"

Malam itu mereka memang tidak ke mana-mana.

Hanya mengobrol sambil makan kue pisang. Kue bugis. Kue talam. Dan dua gelas es kacang hijau. Kalau

Airin tidak diare saja, sudah bagus.

Tapi perutnya memang kuat. Seperti mentalnya.

Dia tidak tampak gugup meskipun Sisi sudah salah

tingkah. Tidak grogi biarpun ketika ibu Sisi pulang

dan mengenali siapa tamunya malam itu, sikapnya

tidak terlalu ramah. Sikap adik-adiknya juga berubah

ketika mereka mengenali Airin. Tetapi Airin tidak

peduli.

Airin dapat melayani ibu Sisi mengobroi dengan

sopan. Santai. Dan tetap mampu menguasai diri.

Sampai ibu Sisi yang seperti umumnya orang

Indonesia, tidak enak hati kalau mengusir tamu,

terpaksa menawarinya ikut makan malam.

Dan di luar dugaan siapa pun, termasuk Sisi,

Airin menerima undangan itu! Astaga, beraninya dia!

Entah terbuat dari apa hatinya!

Airin seperti tidak memedulikan sikap ibu Sisi

dan adik-adiknya yang tidak terlalu ramah. Sikap Sisi

yang serbasalah pun tidak mengganggunya. Yang

penting dia bisa berada bersama Sisi selama mungkin.

Yang lain, masa bodoh amat!

Dia dapat makan dengan santai. Mencicipi setiap

makanan yang disajikan dengan lahap. Dan melayani

mereka ngobrol dengan sopan.

Bukan main, pikir Sisi kagum. Bagaimana dia

bisa bersikap begitu rileks? Penguasaan dirinya

begitu sempurna!

Lain benar dengan aku, gerutu Sisi gemas. Duduk

diam-diam saja di depan Airin aku sudah kalang kabut menahan debar jantungku sendiri!87

Sampai Airin meninggalkan rumah itu, Sisi masih

menyesali dirinya. Ah, mengapa sikapnya menjadi

begini kaku? Mengapa mesti memperlakukan Airin

seperti orang asing?

Mereka kan teman SMA. Memang pernah ada

masalah. Tapi itu dulu. Waktu mereka masih remaja.

Sekarang mereka sudah sama-sama dewasa. Airin

sebentar lagi lulus. Sisi juga hampir jadi dokter.

Jadi apa lagi yang ditakuti? Mengapa mereka

tidak bisa bersahabat dengan wajar?

"Dia sudah berubah." Itu komentar ibu Sisi.

Kalau Ibu saja sudah punya pendapat seperti itu, apa

lagi yang harus dicemaskan? "Katanya dia sudah menikah?"

Tentu saja Airin berdusta. Dia dan Frans hanya

hidup bersama. Tetapi di depan ibu Sisi, dia harus

berlagak sudah menikah. Dan strateginya ternyata

jitu.

"Dengan teman sekolahnya di Amerika," sahut

Sisi sambil berpikir-pikir mengapa hatinya terasa

sakit ketika mengucapkannya.

"Orang kita juga?"

Mengapa Ibu begitu ingin tahu?

"Bekas teman SMA kami. Pacar Airin."

"Jadi dia sudah punya pacar?" alis Ibu terangkat.

Lalu mengapa mendekati Sisi juga?

Apakah benar mereka yang sudah salah

menuduh? Airin tidak menampakkan kelainan.

Fisiknya seratus persen wanita. Senyumnya, cara

bicaranya, gayanya berjalan, bahkan caranya berhias,

bahkan lebih sempurna dari perempuan mana pun

yang pernah dikenal ibu Sisi.

Sekarang dia malah sudah menikah. Dengan

pacarnya dari SMA. Apakah dia sudah sembuh? Atau88

ulahnya dulu cuma ulah remaja salah gaul? Atau ulah

remaja yang sedang mencari jati diri?
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi yang jelas, sejak malam itu, kecemasan ibu

Sisi terhadap hubungan putrinya yang abnormal

dengan Airin mulai pupus. Apalagi sekarang sudah

ada Handi. Teman kuliah Sisi yang mengajak kencan

setiap malam Minggu.

Tampaknya dia sudah boleh bernapas lega. Putri

sulungnya tidak sakit. Barangkali dia hanya korban

fitnah.

???

"Lho, kok melamun terus sih?" tegur Handi sambil

menyelinap ke kamar jaga mereka. "Pasienmu sudah

lengkap pembukaannya, Sis. Mau dipimpin meneran?

"Kamu yang pimpin deh, Di. Saya lagi malas

nih."

Handi tertawa lunak.

"Katanya bikin status." Dia duduk di depan Sisi

sambil menyeringai. Bau minyak rambutnya menusuk

hidung Sisi. Menimbulkan aroma yang mengganggu.

Bukan tidak enak. Bukan memuakkan. Tapi entah

mengapa, Sisi tidak menyukainya. "Anamnesa saja

masih kosong. Bikin status atau ngarang novel, Sis?"

"Ngarang novel?" Sisi berjengit. "Ngarang di

sekolah saja saya dapat lima terus!"

Handi tertawa pendek.

"Jadi partus yang ini kamu serahkan pada saya

juga, Non?"

"Ambil saja untukmu, Di. Saya sudah empat belas

kali menolong partus normal. Tidak usah diapa-apakan juga bayinya lahir sendiri."89

"Eh, kamu tidak tanya sudah berapa kali giliran

saya."

"Saya tahu," Sisi tersenyum. 'Tapi tolong saya

sekali ini ya, Di?"

Nah, itulah cnaknya jadi perempuan. Apalagi di

depan pria yang sedang menaruh hati seperti Handi.

"Sekalian saja dua-duanya ya, Sis? Ibu Dahlia

pasienmu juga, kan? Pembukaannya sudah delapan

senti. Dipecahkan ketubannya juga lengkap. Dia

multigravida. Tidak pernah ada riwayat kesulitan

partus."

"Aduh, murah hatinya kamu!"

"Wah, pacaran lagi!" Linda melongokkan kepalanya di pintu. "Hhh, susah kalau dokternya lagi

pacaran. Pasien jadi telantar! Bayimu sudah nongol

kepalanya, Sis!"

"Lalu apa kerjamu di sana, Lin? Kamu pelototi

saja sambil menggaruk-garuk hidung?"

"Enak saja! Tugasku sudah bertumpuk-tumpuk!

Tanganku cuma dua. Apa mesti kutolong pakai kaki?"

"Biar saya yang ke sana!" cetus Handi sambil berlari keluar. "Kalau nunggu Sisi, bayinya keburu jatuh

ke lantai!"

"Aduh, enaknya punya pahlawan!" sindir Linda

sambil mengedipkan sebelah matanya. "Serius nih,

Sis? Apa cuma penyalahgunaan cinta?"

Penyalahgunaan cinta. Ah. Barangkali Linda

cuma bercanda. Tetapi sampai tawa Linda lenyap

gemanya, Sisi masih belum dapat mengusir pikiran itu

dari kepalanya.

Benarkah dia telah memperalat Handi? Mentangmentang dia sedang jatuh cinta?

Sisi mengawasi kartu statusnya yang masih

kosong.90

Dan bayangan wajah scseorang terlukis lagi di

sana. Seraut wajah yang amat cantik. Dengan

sepasang mala yang cemerlang. Dan seuntai senyum

yang menawan.

Dengan jengkel Sisi membanting bolpoinnya.

Barangkali aku sudah gila! Airin sudah tidak

punya perasaan apa-apa lagi. Dia sudah menikah!

Dengan Frans. Cintanya yang pertama! Buat apa

membayangkannya lagi? Buat apa mengingatnya

terus?

Di sini ada Handi. Yang mencintainya dengan

tulus. Mengapa tidak dapat diberikannya hatinya

kepada Handi? Mengapa dia tidak dapat memalingkan

cintanya kepada orang yang lebih pantas menerimanya?

Handi seorang teman yang baik. Sopan. Sabar.

Calon dokter yang terhormat. Dan... laki-laki.

Kalau Airin dapat mengkhianatinya dan berpaling

kepada Frans, mengapa dia tidak? Kalau Airin bisa

menikah, mengapa dia tidak? Mengapa harus

menyiksa diri terus-menerus dalam bayangan cinta

terlarang ini?91

Bab 9

SEBENARNYA Sisi malas ikut kuliah. Apalagi

kuliah ilmu kedokteran jiwa.

Dosennya nyentrik. Cara mengajarnya pun tidak

enak. Membuat orang jadi ngantuk.

Heran bagaimana dia bisa memikat pasien-pasien

sakit jiwa yang datang ke tempat prakteknya. Orang

normal saja bosan. Apalagi orang sakit.

Tetapi mungkin di sanalah letak kelainannya.

Yang menjengkelkan untuk orang sehat justru

menyenangkan bagi orang sakit. Namanya saja sakit

jiwa.

Yang jelas praktek Dokter Zulkarnaen selalu

penuh sesak. Sebaliknya kalau dia diwakili oleh

Dokter Narlan yang muda dan ganteng, ruang

prakteknya kosong melompong.

Orang bilang, Dokter Narlan masih kurang

pengalaman. Sering tidak sabar mendengarkan

keluhan pasien-pasiennya.

Lain dengan Dokter Zul. Meskipun dia sudah tua,

giginya sudah banyak yang tanggal, rambutnya sudah

hampir memutih semua, dia disukai oleh pasienpasiennya.

Dia sabar. Lemah lembut. Penuh pengertian.92

Tidak marah meski dibentak-bentak pasiennya,

malah pernah didorong sampai jatuh tunggang

langgang.

Dia tidak pernah menganggap pasiennya gila.

Dan tidak pernah minta bayaran tinggi pada pasien

yang tidak mampu.

Tetapi meski Dokter Zul digemari pasienpasiennya, dia tidak disukai oleh mahasiswamahasiswanya sendiri.

Dia tidak pernah bolos. Tidak pernah datang terlambat. Tidak pernah pulang lebih cepat dari waktunya.

Cara mengajarnya monoton. Bertele-tele.

Membosankan. Dan ujiannya selalu mendadak.

"Dokter harus selalu siap sedia," dia menyeringai

memperlihatkan ompongnya kalau mahasiswanya

ramai memprotes. "Pasien selalu datang pada saat

yang tidak terduga. Mana sempat buka buku lagi?"

"Kuliah, Sis?" sapa Handi. Dia memang rajin ikut

kuliah.

"Iseng," sahut Sisi sambil mencari tempat duduk.

"Daripada bengong."

"Di sini saja, Sis. Kosong kok!" cepat-cepat

Handi memindahkan tumpukan buku-bukunya.

Sebenarnya Sisi lebih suka duduk di tempat lain.

Tetapi tidak enak menolak tawaran Handi. Jadi dia

terpaksa duduk. Dan tiba-tiba saja kursi itu menjadi

terlalu sempit. Sisi menaruh tangannya dengan rikuh.

Takut menyenggol lengan Handi.

"Wah, tumben dukun beranak pada kemari!"

tegur Dina yang baru datang. "Memangnya sudah

nggak ada orang bunting di Jakarta?"

Sisi dan Handi cuma tersenyum.93

"Hari ini topiknya menarik sih," sambar Guntur.

"Lihat saja, sampai nggak ada tempat kosong. Padahal

biasanya separuh ruang kuliah kosong melompong!"

"Ah, bukan gara-gara topiknya," sahut Handi.

"Kebetulan obgyn lagi kosong. Tadinya ada fantom

sama Dokter Nur. Tapi diundur besok."

Sisi tidak ikut memberi komentar. Dia diam saja.

Biasanya dia memang malas ikut kuliah psikiatri. Ikut

kuliah dengan fotokopi diktat sama saja. Dokter Zul

memberi kuliah hanya seperti mendiktekan surat kok.

"Kuliah hari ini tentang deviasi seksual," kata

Dokter Zul sambil mengenakan kacamata putihnya

yang sering diejek mahasiswa karena kunonya. "Yang

pertama, homoseksualitas. Sudah tahu artinya, kan?"

"Hubungan sejenis, Dok!" sahut Guntur lantang.

"Benar. Hubungan seks antara orang-orang

berjenis kelamin sama. Baik secara fisik maupun

psikis."

Tidak sengaja ingatan Sisi melayang kepada

Airin. Tidak pernah terlintas di benaknya untuk

melakukan hubungan seks dengan gadis itu. Dulu

maupun sekarang.

Cintanya kepada Airin benar-benar murni. Tidak

melibatkan cinta badani. Apalagi nafsu berahi.

"Ada enam jenis manusia ditinjau dari aktivitas

seksnya menurut Kinsey."

"Nggak nyatat, Sis?" bisik Handi ketika

dilihatnya Sisi seperti sedang melamun.

Sisi tersentak. Ternyata sambil kuliah pun Handi

tetap memperhatikannya! Tiba-tiba saja Sisi merasa

takut. Tahukah dia apa yang sedang dipikirkan Sisi?

Tahukah Handi salah satu penderita yang sedang dibicarakan Dokter Zul ada di dekatnya?

Tetapi aku tidak pernah menginginkan hubungan94

seks, bantah Sisi kepada dirinya sendiri. Aku hanya

selalu ingin berada di dekatnya. Melihatnya.

Merindukannya. Apakah aku juga termasuk penderita

homoseksualitas... secara psikis? Termasuk orang

sakit.. yang harus disembuhkan... diobati... dijauhi....

"Yang pertama, heteroseksualitas murni.

Golongan yang dalam masyarakat kita disebut orangorang normal. Laki-laki mencintai wanita dan

sebaliknya."

Alangkah bahagianya mereka, pikir Sisi gemas.

Tidak usah menyembunyikan cintanya. Bisa menikah

dengan orang yang dikasihi. Punya anak yang lucu....

"Golongan kedua, heteroseksualitas dengan

kecenderungan homoseksualitas secara insidental.

Mereka heteroseks, tapi beberapa tindakannya dapat

dikualifikasikan sebagai tindakan homoseks."

Sisi menghela napas. Agak terlalu keras sampai
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Handi menoleh. Sisi harus pura-pura tersenyum pahit

sambil berbisik, "Bosan."

Handi balas tersenyum. Tidak menyadari apa

yang sebenarnya tengah mengaduk-aduk emosi Sisi.

Duh, naifnya dia!

"Golongan ketiga, orang yang mempunyai

kecenderungan heteroseks dan homoseks sekaligus.

Kita menyebutnya biseksualitas. Dia tertarik kepada

lawan jenisnya. Tapi tidak jarang melakukan

hubungan sejenis."

Apakah Airin termasuk dalam goiongan ini, keluh

Sisi resah. Tentu saja hanya dalam hati. Dia tertarik

padaku tapi mau menikah dengan Frans?

"Golongan kelima adalah homoseks dengan

sedikit ciri-ciri heteroseksualitas. Golongan terakhir

adalah homoseks murni. Yang tidak tertarik sama

sekali kepada lawan jenisnya...."95

Di golongan inikah aku berada, pikir Sisi getir.

Apa yang telah dilakukan Ibu sampai aku harus menderita kelainan seperti ini? Benarkah ini semua akibat

kesalahan ayahku?

"Absen dulu, Sis," Handi menyodorkan lembaran

absensi dengan agak heran. "Kok kamu ngelamun

terus sih?"

"Ngantuk," sahut Sisi asal saja. Dibubuhkannya

tanda tangannya lalu digesernya absensi itu ke teman

di sebelahnya.

"Mendingan nonton film di rumahku," bisik

Guntur pada Dina. "Aku punya yang aneh-aneh

begini!"

Yang aneh-aneh. Sisi merasa hatinya sakit.

Seperti itulah mereka yang normal menganggapnya.

Aneh. Perempuan kok suka sama perempuan! Pasti

tontonan yang menarik! Padahal kalau saja mereka

tahu... betapa sakitnya punya kelainan seperti ini!

Betapa inginnya dia seperti mereka. Bebas mencintai orang yang dicintai. Tanpa perlu merasa malu.

Merasa hina. Disingkirkan oleh lingkungan sendiri!

"Homoseksualitas bukan kelainan seperti psikosa.

Seperti skizofrenia. Penderitanya tidak menimbulkan

kegaduhan. Justru banyak kasus ditemukan pada

orang yang kelihatannya normal"

Tidak sadar Sisi menggigil sedikit. Untung Handi

tidak melihat.

"Secara sosial, mereka dapat menyesuaikan diri

dengan baik dalam masyarakat. Banyak pula yang

berasal dari kaum intelek. Tidak sedikit yang menikah

dan punya anak. Memiliki kedudukan yang baik dan

diterima oleh lingkungannya"

Kalau Airin bisa memakai pernikahannya dengan

Frans untuk menutupi kelainannya, mengapa aku96

tidak, pikir Sisi murung. Kalau saja aku dapat

memperoleh seorang suami... punya anak... punya

kedudukan... tidak mungkinkah aku juga berhasil

meraih tempat yang terhormat dalam masyarakat?

Kalau aku dapat menyimpan baik-baik

kelainanku dalam relung-relung gelap di hatiku...

kalau aku dapat mengelabui dunia dengan menikah

dengan seorang laki-laki... tidak bisakah aku menjadi

perem-puan terhormat? Meskipun untuk itu aku

terpaksa menjual kebahagiaanku sendiri! Menikah

dengan laki-laki yang tidak kucintai!

???

Handi sendiri tidak tahu mengapa akhir-akhir ini

sikap Sisi menjadi lebih ramah. Bahkan senyumnya

terasa lebih manis. Sikapnya lebih bersahabat.

Dia terlalu lugu untuk mengerti, Sisi sedang

memakainya sebagai kompensasi. Bahkan tameng

untuk menutupi kelainannya.

Sisi sedang melarikan diri dari seseorang.

Seseorang yang tidak ingin dicintainya lagi. Dia ingin

memindahkan cintanya pada Handi.

Handi sendiri merasa sangat bahagia akhir-akhir

ini. Dia sudah boleh memberitakan kepada temantemannya, Sisi sudah menjadi pacarnya.

"Kami sudah jadian," katanya bangga. Kepada setiap orang.

Ya, Handi memang tidak perlu menutup-nutupi

hubungannya dengan Sisi. Tidak ada yang memalukan dalam hubungan mereka. Tidak ada yang

dirugikan pula. Sisi belum punya pacar. Handi juga.

Mereka sama-sama sisa dunia.97

Tetapi jika dua cembung sisa adonan dijadikan

satu dan diolah dengan baik, kata siapa mereka tidak

dapat membuat kue yang enak?

Handi begitu bangga dengan Sisi-nya. Dia tidak

cantik. Tidak merangsang. Kadang-kadang misterius.

Tapi dia milik Handi. Tangan pertama pula. Dia

tidak malu menceritakannya pada ibunya. Ya, apa

yang kurang pada Sisi?

Dia baik. Lembut. Lugu. Sopan. Calon dokter pula. Ah, Ibu harus bangga punya calon menantu seperti dia!

Tetapi mengapa Ibu malah rampak muram kalau

Handi sedang bersemangat menceritakan gadisnya?

"Jadi dokter dulu baru kawin, Di," desis Ibu

ketus. "Jangan sia-siakan jerih payah Ibu!"

Ibu ingin sekali anaknya jadi dokter. Jangan

hanya tukang jahit seperti ibunya. Atau sopir mikrolet

seperti almarhum ayahnya. Ibu ingin mengorbitkan

martabat keluarga mereka. Biar jangan direndahkan

orang lagi.

Handi-lah harapan satu-satunya. Dia anak

tunggal. Untung otaknya encer. Kemauannya keras.

Dan dia tidak menyia-nyiakan jerih payah Ibu

menyekolahkannya.

Sayangnya, begitu dia hampir meraih cita-citanya,

muncul penyakit yang tidak diduga. Perempuan!

Entah seperti apa gadis yang dicintai anaknya. Ibu

Handi sudah bosan mendengar cerita Handi. Sudah

lelah membayangkan seperti apa tampang gadis itu.

Tetapi dia tetap belum pernah melihatnya.

"Nantilah, Bu, pasti suatu hari Handi bawa Sisi ke

depan Ibu. Kalau kami sudah memutuskan akan menikah."98

Menikah! Gres! Tersayat hati ibu Handi.

Menikah! Anaknya sudah memikirkan pernikahan!

Padahal selama ini yang ada dalam pikiran Handi

hanya sekolah. Belajar. Jadi dokter!

Kerja saja dia dilarang ibunya. Takut mengganggu pelajaran. Sekarang dia sudah memikirkan

pernikahan? Lulus saja belum!

Ibu Handi takut anaknya menelantarkan

pelajarannya kalau terlalu banyak pacaran. Takut

keburu menikah sebelum jadi dokter. Jangan-jangan

kuliahnya gagal kalau dia sudah keburu jadi suami.

Atau malah jadi bapak sekalian!

Kalaupun Handi menikah sesudah jadi dokter,

maukah menantunya tinggal bersama ibu mertuanya?

Dia pasti gadis modern. Intelek. Terhormat. Mana

mau dia tinggal dengan mertua yang bodoh dan

miskin?

Dokter biasanya steril, kan? Apa-apa mesti bersih.

Masa dia rela anak-anaknya ditimang-timang

perempuan sekotor ibu mertuanya?

Ibu Handi menyesal sekali. Sejak kecil dia

merawat anaknya dengan penuh kasih sayang dan

harapan. Ibarat pohon, bertahun-tahun dia dipelihara,

disiram, diberi pupuk. Saat dia hampir berbuah

ranum, buahnya dipetik orang lain! Bahkan sebelum

dia sendiri sempat mencicipi!

"Kenapa sih Ibu kelihatannya tidak menyukai

Sisi?" tanya Handi agak kesal.

"Bukannya tidak suka. Ibu cuma takut pelajaranmu terganggu."

"Sisi tidak begitu kok, Bu. Dia baik."

"Iya, semua perempuan juga baik. Pada

permulaannya."99

"Tapi Sisi benar-benar baik, Bu. Jarang yang

sebaik dia."

"Tentu saja. Sebelum kawin."

"Kok Ibu curiga begitu sih?"

"Ibu sudah banyak pengalaman. Perempuan bisa

berubah sesudah menikah."

"Sisi pasti tidak begitu."

"Kamu tidak punya teman perempuan lain?"

"Banyak. Tapi tidak ada yang seperti Sisi."

"Apa sih istimewanya dia? Katamu dia tidak

cakep."

"Yang penting, dia baik, Bu. Jujur. Lugu.

Lembut. Perempuan seperti dia pasti bisa dipercaya.

Tidak bakal mengkhianati saya."

"Ah, kamu tahu apa soal perempuan? Dia

perempuan pertama yang kamu kenal dalam hidupmu

seizin Ibu!"

"Saya sudah telanjur menyukainya, Bu"

"Tundalah cintamu sampai kamu jadi dokter, Di.

Saat itu, banyak gadis yang bisa kamu pilih!"

'"api itu karena mereka memilih titel saya, Bu!"

"Apa salahnya? Justru karena itu Ibu sekolahkan

kamu! Supaya punya titel. Dihormati orang."

"Kalau saya memilih istri, saya ingin memilih

gadis yang saya cintai, Bu. Yang mencintai diri saya

seperti apa adanya. Bukan memilih titel saya!"

"Kamu pikir gadismu ini tidak mengincar

titelmu? Kalau tidak mengharapkan jadi istri dokter,

buat apa dia mengejarmu? Tidak gampang dokter

wanita dapat jodoh! Lelaki takut melamarnya. Dia

sendiri merasa tidak seimbang kalau suaminya tidak

punya titel!"100

"Ah, itu kan cuma pendapat Ibu! Sudah kuno tuh,

Bu! Sekarang teman-teman saya tidak punya pikiran

seperti itu lagi!"

"Tapi temanmu yang satu ini pasti masih berpikir

seperti itu! Kalau tidak, buat apa dia mendekati anak

tukang jahit yang tidak punya apa-apa?"

"Ah, Ibu! Sisi tidak begitu kok!"

"Ibu sudah banyak makan garam, Di."

"Ya sudah, kalau begitu kata Ibu. Tapi apa

salahnya kalau Sisi mengharapkan suaminya seorang

dokter juga? Nggak dosa, kan?"
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak salah, Di. Tapi kalau lagi sekolah, belajar

saja dulu. Jangan memikirkan perempuan. Pacaran.

Kawin. Perempuan gampang. Kalau kamu sudah jadi

dokter, kamu bisa pilih perempuan apa saja yang

kamu inginkan menjadi istrimu! Jangankan cuma

seorang gadis seperti Sisimu ini. Gadis yang sepuluh

kali lebih baik dan lebih cantik bisa kamu peroleh

semudah membalikkan tangan!"

Tapi Handi tidak menginginkan gadis lain. Tidak

yang lebih baik. Tidak pula yang lebih cantik.

Dia hanya menginginkan Sisi. Cuma dialah yang

bisa menjadi pengganti ibunya. Tidak ada yang lain.101

Bab 10

"DIA datang lagi, Mbak," kali ini bukan Titin yang

masuk ke kamar. Lia. Dan tidak ada senyum di bibirnya. Dia tampak serius. Terlalu serius malah.

Sisi tidak suka melihat mata adiknya. Apalagi melihat caranya menatap.

Lia hanya dua tahun lebih muda. Dia sudah cukup

besar ketika peristiwa itu terjadi. Dan dia masih ingat

ketika ibunya pulang dari sekolah Sisi sambil menangis.

Airin memang sekarang sudah berubah. Dia tidak

menampakkan keanehan sama sekali. Sama dengan

teman-teman gadis Sisi yang lain.

Tetapi entah mengapa, naluri Lia membisikkan,

ada yang tidak beres dengan hubungan Sisi dan Airin.

Dan hubungan itu masih berlangsung sampai

sekarang.

Padahal Lia sudah begitu gembira Sisi sudah

punya pacar. Normal seperti gadis-gadis lain. Makin

cepat dia menikah dengan Handi makin baik. Dia

tidak perlu mendului kakaknya menikah. Rizal sudah

tidak sabar menunggu.

Ibu memang tidak mengizinkan putri sulungnya

dilangkahi adiknya. Meskipun sebenarnya itu hanya

salah satu alasan. Ibu belum menginginkan Lia

menikah. Dia masih terlalu muda. Dan Rizal belum

punya pekerjaan.102

"Kamu bisa keburu jadi PT kalau mesti

menunggu kakakmu terus, Lia," gerutu Rizal.

Dia memang kurang ajar. Di depan Sisi dia berlagak hormat. Tetapi di belakang dia selalu mencerca.

Mulutnya memang lancang. Sayang Lia sudah

telanjur mencintainya.

"Tidak adil kalau kamu harus menunggu

kakakmu kawin dulu baru boleh menikah. Apa kalian

mau bikin PPT di sini? Perkumpulan Perawan Tua?"

"Habis Mbak Sisi harus gimana, Zal? Kalau

belum ada yang lamar, dia mau menikah sama siapa?"

"Pasang iklan dong!"

"Sinting kamu! Memangnya dagang! Apa yang

mau ditawarkan?"

"Ya dirinya! Apa lagi? Biar cepat laku! Banyak

tuh iklan jodoh! Di koran, di internet."

"Kalau kedengaran Mbak Sisi, mulutmu pasti

pindah ke perut!"

"Kupikir, kakakmu itu nggak normal, Lia."

"Maksudmu, semua perempuan harus kawin dulu

baru kamu anggap normal?"

"Itu kodrat mereka! Jadi istri dan ibu!"

"Juga kalau mereka belum menemukan lelaki

yang mereka cintai? Asal kawin saja?"

"Daripada jadi perawan tua?"

"Jadi lebih baik jadi janda muda daripada

perawan tua?

"Kalau bisa jangan menjanda!"

"Biar tidak cocok juga? Biar suami sewenangwenang menindas?"

"Kamu setuju perceraian?"

"Kalau sudah tidak dapat diatasi lagi? Sekarang

sudah bukan zamannya lagi perempuan ditindas laki-103

laki! Mereka berhak memilih jalan hidupnya sendiri!"

"Lho, kok jadi kamu yang ngotot?"

"Aku cuma tidak mau kaumku ditindas karena

mereka takut disebut perawan tua atau janda muda!

Jangan sembarangan kawin asal jangan disebut tidak

laku! Jangan takut bercerai kalau suami sewenangwenang!

"Waduh, meluapnya! Kamu tahu nggak sih, sudah

kodratnya perempuan itu jadi ibu dan istri! Sekarang

kamu bisa teriak-teriak tidak butuh lelaki! Dua puluh

tahun lagi, baru kamu rasakan sepinya hidup tanpa

anak dan suami! Segagah-gagahnya seorang wanita,

dia selalu mendambakan perlindungan dan kasih sayang seorang laki-laki!"

Ada tepuk tangan di balik tubuh mereka. Ketika

mereka berbalik, mereka melihat Airin tegak sambil

tersenyum.

"Bagus sekali! Latihan buat ceramah besok:*""

Wajah Lia langsung berubah.

"Tunggu sebentar," suaranya sama sekali tidak

bersahabat. Jauh dari ramah. "Mbak Sisi di kamar.

Lagi belajar."

"Terima kasih," sahut Airin setenang biasa.

Sedikit pun dia tidak tampak tersinggung.

Sungguhpun sikap Lia demikian judes. Dan tatapan

Rizal begitu kurang ajar.

Rizal mengawasi Airin dari ujung rambut sampai

ujung kaki. Dia terpana melihat kecantikan gadis yang

baru datang itu. Matanya menatap nyalang, seolaholah ingin menelanjanginya.

Terus terang Airin tidak suka ditatap seperti itu.

Dia kan bukan sapi. Punya hak apa anak muda

kerempeng ini menilainya selancang itu?104

Tetapi Airin sudah biasa menghadapi lelaki

konyol seperti ini. Dia sudah terlatih menampilkan

sikap yang acuh tak acuh menggemaskan. Membuat

yang menatap malah jadi berbalik penasaran.

"Teman Mbak Sisi ya, Mbak?" cetus Rizal penuh

keingintahuan. Kepalanya dimiringkan sedikit ketika

menatap wajah Airin yang disaput make up yang

cukup mencolok.

"Oh, bukan," sahut Airin dengan sikap melecehkan. Kalau orang bersikap kurang ajar, dia juga bisa

menampilkan sikap menghina. "Langganan."

"Langganan?" Rizal menyeringai jorok. "Berapa

tarifnya?"

"Pasti tidak terbayar oleh setahun gajimu. Itu juga

kalau kamu punya pekerjaan."

Sialan, maki Rizal dalam hati. Sejak kapan Sisi

punya teman model begini?

Dan Sisi keburu muncul di ambang pintu.

"Rin," sapa Sisi gugup. "Masuk, yuk."

Di pintu mereka berpapasan dengan Lia. Dia

sedang membawa sebotol minuman ringan. Tetapi dia

lewat saja tanpa menoleh.

"Adikmu manis," komentar Airin santai setelah

Sisi menutup pintu depan. "Sayang dia tidak bisa

memilih teman."

"Terus terang aku tidak suka Lia bergaul dengan

Rizal," dengus Sisi gemas. "Aku tidak tahu apa kerjanya. Hampir tiap hari nongkrong di sini."

Airin tersenyum manis.

"Dia cocok kalau Lia perlu sopir."

"Sayangnya kami belum punya mobil. Duduk,

Rin. Mau es kacang hijau lagi?"

"Ada koktail?" senyum Airin melebar. "Aku bercanda."105

"Aku bisa bikin es buah yang enak."

"Bagaimana kalau kali ini aku yang mentraktirmu?"

"Di mana?"

"Boleh aku yang memilih tempat?"

Sisi tidak menjawab. Karena dia tidak tahu

bagaimana lagi harus menolak ajakan Airin.

"Besok aku balik ke Amrik. Kalau pesawatku

jatuh atau dibajak, aku tidak menyesal lagi karena

sudah menikmati makan malam bersamamu."

"Hus! Jangan ngomong begitu ah!" sergah Sisi

kaget.

"Kenapa? Aku serius."

"Kenapa mesti makan dengan aku?"

Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Sisi baru

menyesal. Dia telah kelepasan bicara. Ingin rasanya

digigitnya lidahnya sampai putus!

Tetapi semua sudah terlambat. Ada sinar di mata

Airin. Dan melihat sinar itu, ada sebuah perasaan

ganjil merayap ke sudut hati Sisi. Dia menjadi resah.

"Masih perlu tanya?"

Senyum Airin begitu menarik seandainya Sisi

tidak terlalu memikirkan apa yang ada di balik

senyum itu. Airin sangat pandai memainkan senyumnya. Senyum itu menjadi senyum paling memikat

yang pernah dilihat Sisi. Sekaligus senyum yang

mampu memorak-porandakan jantungnya. Menggedor dadanya demikian rupa sampai dia merasa

lemas.

"Makan di mana?" tanya Sisi gugup. Asal saja.

Sekadar menenangkan jantungnya.

"Artinya tawaranku diterima?"

"Tergantung ke mana kamu mengajakku."106

"Ibumu menyensor juga tempat yang boleh kamu

kunjungi?"

"Ibu lebih tertarik melihat dengan siapa aku

pergi."

"Aku masih termasuk yang di-blacklist?"

"Tidak. Ibu tahu kamu sudah berubah. Sudah

menikah...."

Buru-buru Sisi menggigit bibirnya. Celaka. Lagilagi dia kelepasan bicara! Parasnya langsung

memerah sampai ke telinga.

"Juga kalau ibumu tahu aku tidak mencintainya?"

Dan kemarahan Sisi meledak. Dia tidak tahan lagi

mengekang emosinya. Emosi itu tumpah ruah dalam

serentetan kata-kata penuh kejengkelan. Dia sampai

melupakan rasa malunya.

"Tidak mencintainya sampai mengejarnya ke

Amerika?"

"Oh," senyum menggeliat di bibir Airin. Matanya

bersinar cemerlang. Berbinar dirangkul kegembiraan.

"Kamu pikir karena Frans aku lari ke Amerika?"

"Kamu punya alasan yang lebih masuk akal?"

"Segudang," sahut Airin tanpa melepaskan

tatapannya dari mata Sisi. "Tapi aku senang mendengar suaramu. Senang melihat kamu marah."

Sisi sudah membuka mulutnya untuk membantah.
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi dia sudah buru-buru menutupnya kembali.

Percuma membantah. Semakin keras dia membantah, semakin jelas Airin dapat mengintip ke lubuk

hatinya. Dia terlalu pintar untuk dibohongi. Dan

tampaknya sudah terlalu berpengalaman pula.

"Aku tukar baju sebentar."

"Boleh minta asbak?"

"Asbak?" sekejap Sisi tertegun. Lalu dia sadar.107

Buru-buru meraih sebuah asbak kecil.

"Maaf, masih kotor. Rizal merokok terus seperti

kereta api tua."

"Pantas badannya tinggal selembar."

"Seharusnya lubang hidungnya menghadap ke

atas. Biar jadi cerobong asap."

"Kamu tidak keberatan kalau kuputar lubang

hidungku ke atas?"

Sisi menghela napas berat.

"Berapa batang sehari, Rin?"

"Tidak banyak. Paling-paling dua bungkus."

Sisi mengeluh sedih. Kamu benar-benar sudah

berubah. Amerika benar-benar sudah merusakmu!

Atau... bukan Amerika. Kamu yang merusak dirimu

sendiri setelah sia-sia mencarinya!

???

Ketika Sisi muncul di ambang pintu kamar setelah

menukar baju, Airin masih mengisap rokok dengan

santainya. Gayanya begitu enak dipandang sampai

Sisi lupa dia sedih melihat Airin merokok.

"Sudah?" takjub juga Airin melihat cara Sisi berdandan. Tidak disangkanya secepat itu. "Kalau semua

dokter berpakaian secepat kamu, pasti tidak ada

pasien yang telantar!"

"Ah, bajuku tidak banyak," sahut Sisi seadanya.

"Tidak susah memilihnya."

"Dan tidak perlu menghias wajahmu?"

"Buat apa? Aku tidak bertambah cantik kalau

pakai lipstik. Kalau pakai eyeshadow. Pakai blush on.

Tetap saja orang menganggapku babumu kalau kita

jalan sama-sama di mal."108

"Kalau kamu minder begitu, aku bisa mencarikan

baju yang cocok untukmu. Aku juga bisa mengajarimu berdandan. Bukan supaya tidak dianggap babuku.

Tapi supaya kelihatan lebih menarik. Kamu tidak mau

kelihatan cantik, Sis?"

"Buat apa?"

"Buat apa? Kamu tidak mau dikagumi pacarmu?"

"Aku belum punya pacar."

"Teman yang datang bersamamu waktu reuni?

Dia bukan pacarmu?"

"Handi cuma teman biasa. Teman kuliah."

Celaka, pikir Sisi gemas. Buat apa memberi pernyataan seperti itu? Peduli apa Airin seandainya

Handi pacarnya sekalipun?

"Aku senang mendengarnya," senyum bergelut

lagi di bibir Airin. "Kita bisa pergi sekarang?"

dipadamkannya puntung rokoknya di dasar asbak.

"Atau kamu masih mau mengajakku bertengkar?"

Dan Sisi memang mengajak bertengkar lagi

begitu mereka memasuki restoran mewah itu. Sisi

sudah menggerutu begitu mereka duduk.

"Kalau aku tahu kamu mengajakku ke tempat

seperti ini, aku pinjam bajumu dulu."

Airin tertawa halus. Bahkan suara tawanya begitu

merdu di telinga Sisi.

"Kamu pasti tidak berani memakainya. Dan tidak

cocok."

"Karena aku jelek? Badanku pendek, tidak

seksi?"

"Karena kamu terlalu sopan. Dan bajuku tidak

sesuai dengan citramu."

"Kamu pintar menghibur."

"Aku cuma mengatakan apa adanya. Nah, kamu

mau makan apa?"109

"Apa saja. Aku tidak tahu harus pesan apa di sini.

"Di depanmu ada menu."

"Sama saja. Aku tidak tahu makanan apa yang keluar kalau kusebutkan sebuah nama. Pilihkan saja

untukku. Aku vegetarian."

"Kamu jujur. Tapi terlalu minder."

"Itulah aku. Kamu bukan baru kenal aku

sekarang, kan?"

"Tapi kamu sekarang bukan kamu yang dulu lagi!

Apa yang kurang pada dirimu? Kamu dokter."

"Calon."

"Ya, calon dokter."

"Apa bedanya untukku?"

"Tidak ada bedanya?"

"Tidak."

"Kamu malu pergi bersamaku?"

"Karena bajuku jelek. Penampilanku terlalu

sederhana."

"Bukan karena aku bukan teman biasa bagimu?"

Sisi tertegun. Untung pelayan telah menghampiri

meja mereka. Airin menyebutkan nama-nama

makanan yang asing di telinga Sisi.

"Kamu harus mengajariku garpu yang mana yang

harus kupakai," keluh Sisi setelah pelayan pergi.

"Tidak perlu," sahut Airin sanrai. "Kalau kamu

mau, kamu boleh makan pakai tangan. Siapa yang

berani melarang?"

"Kalau mau makan pakai tangan, aku tahu tempat

yang lebih cocok."

"Kalau kamu mau mengajakku ke sana, akan

kuundur lagi tiket pesawatku."

Sekali lagi Sisi tertegun.

Selesai makan, Airin tidak langsung mengantarnya pulang. Dia membawa Sisi ke rumahnya.110

"Ada apa?" tanya Sisi heran. "Ibumu ulang

tahun?"

"Ibu tidak ada di rumah."

"Malam-malam begini?"

"Ibu membuat sepatu untuk seluruh penduduk

Jakarta."

"Ayahmu di rumah sendirian?"

"Oh, Ibu punya jadwal tugas yang harus

dikerjakan Ayah dalam seminggu." Airin tersenyum

sinis. "Malam ini, dia harus makan malam dengan

seorang mitra bisnisnya."

"Lalu mau apa kita ke rumahmu?"

"Tidak mau melihat rumahku?"

"Malam-malam begini?"

"Apa bedanya? Rumahku tidak berubah jadi labu

kalau siang."

"Maksudku, buat apa malam-malam begini pergi

jauh-jauh?"

Yang kamu sebut jauh itu rumahku."

"Aku tahu. Tapi kalau kamu antarkan aku pulang

sekarang, kamu bisa pulang tidak terlalu malam."

"Aku tidak takut pulang malam."

"Aku yang takut."

"Kepadaku?"

"Bukan!" geram Sisi gemas. "Kepada orang

jahat!"

"Naik apa mereka? Jet?"

"Memang cuma kamu yang punya mobil?"

"Jangan khawatir. Kujamin mereka tidak bisa memaksa kita turun dari mobil."

"Kalau mobilmu mogok?"

"Kita naik taksi."111

"Malam-malam begini? Kamu tidak pernah baca

koran? Banyak perempuan dirampok waktu naik

taksi!

"Naik apa kamu kalau pergi dengan temanmu?"

"Teman yang mana?"

"Yang datang bersamamu waktu reuni."

"Naik bus. Kadang-kadang jalan kaki."

"Dan kamu tidak takut? Kamu merasa lebih aman

karena dia laki-laki?"

"Jangan bandingkan dirimu dengan dia!"

"Karena kami tidak sebanding? Karena aku cuma

seorang perempuan?"

"Karena aku tidak mau!" desis Sisi kesal.

Dan Airin tidak bertanya lagi. Dia membawa Sisi

ke rumahnya.

"Kenapa tidak pernah kamu balas surat-suratku,

Sis?"

"Aku takut mengganggu rumah tanggamu."

"Aku tidak punya rumah tangga." Airin

mematikan mesin mobilnya. Tetapi dia tidak langsung

turun.

"Kamu sudah punya suami."

"Kami tidak pernah menikah."

"Lalu kamu sebut apa lelaki yang tiap malam

tidur bersamamu?"

"Tidak tiap malam."

"Kamu tidur juga dengan orang lain?"

"Cuma kalau aku merasa bosan."

"Antarkan aku pulang, Rin," dengus Sisi penuh

kemarahan.

"Kita masuk sebentar. Tidak ada siapa-siapa di

dalam." Airin turun dari mobil. Membukakan pintu

untuk Sisi. Lalu mengajaknya ke pintu depan.112

Ketika dia menekan bel, seorang pelayan wanita

membuka pintu dengan ccpatnya. Seolah-olah dia

sudah setahun menunggu di balik pintu.

"Minum apa, Non?" tanyanya ketika Airin masuk.

"Air es. Taruh saja di ruang tamu."

Airin membawa Sisi ke kamar tidurnya yang luasnya hampir dua pertiga luas rumah Sisi.

"Ingat kamar ini, Sis?" Airin tersenyum sambil

menutup pintu kamar dan menguncinya. "Dulu kita

sering belajar sambil ngobrol di sini. Sambil makan

kacang."

"Bagaimana aku bisa lupa," keluh Sisi lirih. Itu

masa yang paling indah dalam hidupku. Sekaligus

masa yang paling pahit!

"Aku ganti baju sebencar, Sis," kata Airin sambil

masuk ke kamar pakaian. "Kamu mau nonton TV?"

Airin menyambar remote control. Dan
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghidupkan TV. Tapi Sisi lebih suka melihat-lihat

lukisan yang tergantung di dinding.

Ketika dia masih asyik mengagumi sebuah

lukisan karya seorang pelukis terkenal, Airin tiba-tiba

saja sudah berada di belakangnya. Sebelum Sisi

sempat berbalik, Airin telah memeluknya dari

belakang.

"Rin!" sergah Sisi kaget.

Airin memutar tubuh Sisi dan mendekapnya eraterar ke dadanya. Sesaat tubuh Sisi meregang. Dia

merasa sekujur badannya panas terbakar. Lebih-lebih

ketika bibir Airin menyentuh bibirnya dengan

lembut

Dada Sisi seperti hendak meledak dibakar gairah.

Tetapi berbareng dengan itu kesadaran merasuki benaknya. Sisi meronta dengan panik. Melepaskan dirinya dari pelukan Airin.113

"Jangan..." desahnya ketakutan.

Bergegas dia berlari ke pintu. Membukanya. Dan

baru sadar, pintu itu terkunci.

Ketika Sisi berbalik, dia melihat Airin tidak

mengejarnya. Dia bersandar ke tembok. Matanya

menatap dengan sangat sedih. Begitu sedihnya sampai

Sisi hampir tak sampai hati membalas tatapannya.

"Apa aku begitu menakutkanmu?" desahnya getir.

Sisi baru sadar. Airin telah mengubah make upnya. Dandanannya begitu sederhana. Mengingatkan

Sisi pada Airin yang dikenalnya waktu SMA.

"Ada apa, Rin?" gumam Sisi gugup. Mukanya

masih pucat pasi. "Ada apa dengan suamimu?

Mengapa melakukan ini padaku?"

"Dia normal. Aku yang tidak."

Airin menjatuhkan dirinya di kursi. Tangannya

meraih bungkusan rokoknya.

"Tapi kamu tidak pernah memperlakukan aku

seperti ini, Rin! Bahkan semasa kita SMA!"

"Dulu aku tidak berani. Dan tidak tahu."

"Rin, jangan kamu ulangi lagi, ya?" Sisi menghampiri dengan hati-hati. "Janji?"

"Kenapa menolakku, Sis?" Airin mengawasi Sisi

dengan pahit dari balik kepulan asap rokoknya. Matanya demikian terluka.

"Karena ini tidak normal, Rin," desah Sisi sama

nyerinya.

"Kamu sama sakitnya dengan aku! Kenapa harus

membohongi diri sendiri?"

"Karena aku tidak mau dipermalukan lagi."

"Kita malu karena menganggapnya salah."

"Tidak salahkah cinta yang tumbuh di antara dua

orang wanita?"114

"Dalam setiap pabrik selalu ada produk yang

rusak, Sis. Kitalah produk itu."

"Tapi aku tidak mau dibuang ke keranjang

sampah, Rin."

"Kita harus menerima apa adanya, Sis."

"Tidak. Kita dapat menentukan masa depan kita

sendiri."

"Buat apa menipu diri? Kita jadi begini bukan

salah kita. Tapi kita sudah telanjur ada. Ke mana

mereka hendak membuang kita?"

"Mereka tidak akan membuang kita, Rin. Asal

kita mau menyesuaikan diri."

"Dengan berpura-pura mencintai seorang lelaki?

Itu yang kamu sebut menyesuaikan diri?"

"Kenapa tidak mau belajar dari pengalaman, Rin?

Kita dibuang, dihukum, dicerca, dihina, hanya karena

kelainan kita ini!"

"Aku justru belajar dari pengalamanku sendiri.

Percuma berpura-pura mencintai seorang laki-laki!"

"Kamu baru mengatakan tidak mencintai Frans

setelah bosan hidup enam tahun bersamanya!"

"Aku sudah bosan sejak pertama kali bercinta!"

"Tapi kalau kamu mencintainya..."

"Aku tidak pernah mencintai seorang laki-laki!"

"Selalu wanita?"

"Bukan selalu! Tidak setiap! Cuma kamu! Kapan

kamu baru mau mengerti, Sis? Aku bukan lesbis! Aku

cuma mencintaimu. Cuma kamu!"

Tapi apa bedanya, keluh Sisi getir. Apa bedanya

bagi orang lain? Seorang laki-laki yang hanya

mencintai seorang wanita akan dipuja. Tetapi seorang

wanita yang mencintai wanita lain, tetap dicela,

berapa wanita pun yang dicintainya!

"Rin," hati-hati Sisi duduk di samping Airin.115

Ketika Airin hendak memadamkan puntung

rokoknya di dasar asbak, Sisi sudah telanjur bergerak

hendak menjauhkan diri.

"Berhenti mencurigaiku!" bentak Airin tersinggung. "Aku tidak akan memerkosamu!"

"Maafkan aku!" cetus Sisi menyesal.

"Aku hanya ingin mengajarimu, betapa sakitnya

berpura-pura mencintai seorang lelaki kalau hatimu

telah kamu berikan kepada perempuan lain!"

Dengan sengit Airin menyapu semua barang yang

terletak di atas meja di hadapannya. Jambangan kristal, asbak Murano, remote control, dan entah apa lagi

berhamburan ke segala penjuru. Untuk terdampar dan

pecah berderai di lantai. Seperti itulah hatinya

sekarang. Pecah menjadi serpihan kecil-kecil.

Wanita yang dirindukannya, satu-satunya orang

yang dicintainya, menolaknya. Tak ada harapan lagi.

Semua kandas seperti benda-benda malang itu.

"Aku stres sekali," Airin menutup wajahnya

dengan kedua belah telapak tangannya. Dia tidak

menangis. Tidak ada air di matanya. Tetapi ada darah

di hatinya.

Sesaat mereka sama-sama tidak tahu harus

berkata apa lagi. Sisi hanya mengawasi Airin dengan

mata berkaca-kaca. Alangkah tersiksanya melihatnya

dalam keadaan seperti itu!

Seorang wanita yang tahu sekali bagaimana

menguasai keadaan... sekarang menguasai dirinya

sendiri pun dia tidak mampu!

Oh, sakitnya mencintai dengan cara begini!

Mengapa benih cinta harus tumbuh di tanah terlarang?

"Ketika melihatmu berdiri di sana tadi," gumam

Airin lirih dari balik telapak tangannya, "aku tidak

tahan lagi. Begitu ingin memelukmu. Menciummu.116

Menyalurkan kerinduan yang telah enam tahun lebih

terpendam di hatiku"

Bukan cuma kamu yang tersiksa dibelenggu

kerinduan, Rin.

"Aku ingin membisikkan padamu, betapa siasianya memadamkan bara cinta di hati kita.... Betapa

sia-sianya memalingkannya kepada orang lain.

Cintaku kepadamu tidak pernah padam. Sungguhpun

ada orang lain di sisiku. Cinta itu meredup untuk

berkobar kembali ketika melihatmu"

Sisi merasa tenggorokannya basah disekat

keharuan. Betapa menderitanya Airin didera kelainannya sendiri.

Tapi apa bedanya dengan dirinya? Dia juga

tersiksa. Bedanya dia tidak sejujur Airin!

Sekarang Airin lebih berani menyatakan apa yang

dianggapnya benar. Meskipun hal itu salah di mata

orang lain. Tapi ada satu hal yang tak pernah berubah, cintanya kepada Sisi!

Ketika dia memperoleh kesempatan, dia ingin

menyalurkan cintanya kepada gadis yang dirindukannya. Cinta yang selama ini ditindas dengan kejam,

kini tengah memorak-porandakan pertahanan

moralnya.

Sayangnya Sisi tidak menjawab pernyataan

cintanya. Karena lain dengan Airin, Sisi justru ingin

selalu menyembunyikan cintanya, apa pun

taruhannya. Demi meraih tekadnya untuk menjadi

wanita terhormat.

"Sekarang aku mengerti mengapa kamu begitu

banyak merokok, Rin," desah Sisi pahit. "Kamu

sedang melarikan diri."

Airin menurunkan telapak tangannya. Ditatapnya

Sisi dengan getir.117

"Tahun depan kamu juga akan mengerti betapa

sia-sianya melarikan diri dari kodratmu. Sesuatu yang

bahkan ilmu kedokteranmu yang hebat itu tidak

mampu mengobatinya!"

"Maafkan aku, Rin," gumam Sisi lirih. "Aku

menyakiti hatimu."

"Kamu menyakiti hatiku dalam setiap desahan

napasmu!"

"Tapi bukan mauku..."

"Memang bukan maumu!" potong Airin sengit.

"Lingkungan yang mengajarimu bersandiwara terus!"

"Ada sesuatu yang namanya mora"

"Moral tergantung tahun berapa kamu dilahirkan!"

"Tapi masyarakat belum dapat menolerir keadaan

kita, Rin! Kita lahir terlalu pagi!"

"Masyarakat yang mana?" desis Airin sengit.

"Masyarakat yang melahirkan kita!"

"Kalau begitu," suara Airin melunak. Matanya

menatap Sisi dengan sungguh-sungguh. Pijar-pijar

harapan meletik di mata itu. "Pergilah bersamaku, Sis.

Ke tempat kita dapat hidup tanpa perlu bersandiwara

lagi.

"Aku tidak bisa meninggalkan Ibu."

"Suatu hari kamu akan meninggalkannya juga.

Kamu tidak dapat menyusu terus dan bersembunyi di

balik bajunya!"

"Benar. Tapi tidak bersamamu."

"Bersama temanmu?" desis Airin menahan

marah.

"Mungkin juga tidak. Masyarakat masih lebih

dapat menerima perempuan yang tidak menikah

daripada perempuan yang hidup bersama perempuan

lain."118

"Dan membiarkan cintamu tersia-sia seumur

hidup?"

"Cinta tidak selalu harus diakhiri dengan

perkawinan, kan?"

"Sisi," Airin menghela napas jengkel. "Sampai

kapan aku harus menunggu kamu jadi dewasa?"

"Justru karena aku sudah dewasa, Rin," sergah

Sisi mantap. "Aku sadar, bukan hanya cinta yang
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melandasi perkawinan yang ideal. Masih banyak

faktor lain."

"Apa misalnya? Martabat? Suami? Anak? Itu

yang tak dapat kuberikan padamu!"

"Kebahagiaan, Rin. Bagaimana kita dapat hidup

bahagia kalau setiap orang mengejek kita? Kita tidak

dapat mengurung diri terus dalam kamar!"

"Lalu di mana kamu akan mencari kebahagiaanmu?" ejek Airin sinis. "Di balik gelar suamimu?"

"Di balik harga diriku sebagai wanita."

"Kalau begitu selamat mencoba, Sis," dengus

Airin pahit. Dia bangkit mencari kunci mobilnya.

"Dua kali aku mengundurkan keberangkatanku. Aku

malah sudah berpikir-pikir untuk tidak kembali ke

Amerika. Karena aku sadar, sia-sia mencari diriku di

sana. Diriku ada di sini. Di sampingmu. Tapi

sekarang, aku sudah mengambil keputusan lain."

"Rin!" Sisi bangkit dan mengejar Airin yang

sudah melangkah ke pintu dengan cemas. "Jangan

senekat itu! Bunuh diri cuma pelarian orang-orang

yang pengecut!"

Airin menoleh dan tersenyum dingin.

"Bunuh diri? Tak pernah terlintas di otakku!

Neraka saja tidak mau menerima orang seperti aku.

Apa-lagi surga!"

"Lalu kamu mau ke mana?"119

"Mengantarkan kamu pulang. Ke mana lagi?"

"Lalu?"

"Memberimu kesempatan," sahutnya tenang.

"Untuk menjadi wanita terhormat."

Airin membuka pintu kamar dengan kasar.

???

Airin menepati janjinya. Dia tidak pernah kembali.

Sia-sia Sisi menunggu. Dia tidak pernah muncul lagi.

Dan Sisi mulai merasa ada yang hilang dari dirinya. Juga ketika dia berada bersama Handi. Bahkan

ketika dia sedang sibuk mengikuti kuliah praktek.

Ketika sedang tegang menghadapi ujian.

Sisi tidak dapat melupakan pelukan Airin.

Ciumannya. Dia selalu membayangkannya meskipun

otaknya ingin melupakannya.

Hatinya membara setiap kali sensasi itu menjalari

bibirnya. Darahnya mengalir deras setiap kali terkenang kehangatan pelukan Airin.

Dia merasa jijik. Sekaligus rindu. Dia ingin

mengenyahkan bayangan itu. Tetapi bukannya

menghilang, bayangan itu malah semakin sering

menggodanya.

Sisi ingin menyusut bibirnya dengan perasaan

bersalah. Tetapi dia malah menjilatnya dengan

perasaan ganjil. Perasaan yang tak pernah dirasakannya. Tapi yang akhir-akhir ini sering menyinggahinya. Perasaan apa? Mengapa dia begitu merasa

berdosa setiap kali perasaan itu mampir di hatinya?

Tetapi perasaan itu tidak mau hilang juga. Jika

tidak diusir, jika diberi kesempatan sebentar saja...

ada rasa nikmat... ah, bukan nikmat! Nikmatkah120

namanya perasaan itu? Sebuah perasaan hangat yang

nyaman....

"Ya Tuhan!" keluh Sisi putus asa. "Aku benarbenar sakit!"

Kegalauan Sisi akhirnya menarik perhatian Handi

juga. Apalagi dia begitu memperhatikan pacarnya.

"Boleh tanya, Sis?" tanyanya pada malam

Minggu ketiga setelah Sisi berpisah dengan Airin.

"Jangan jawab kalau tidak mau."

"Tanyalah," Sisi menahan napas. Dia sadar,

Handi sudah tahu. Dan dia merasa takut.

"Ada orang lain?"

Sisi terenyak. Dadanya berdebar tidak keruan. Sekilas paras Airin melintas di depan matanya. Dia ingin

menunduk. Ingin menyembunyikan matanya. Supaya

Handi tidak melihat siapa yang disembunyikannya

dalam relung-relung gelap di hatinya!

Tetapi ketika melihat sikap Sisi, Handi merasa,

dugaannya tidak meleset. Dan dia merasa sedih.

"Kalau boleh tahu," desahnya lirih, "di mana dia

sekarang?"

"Dia?" Sisi menggagap.

"Lelaki yang sedang kamu tunggu."

Lelaki! Jadi Handi belum tahu!

"Tidak ada siapa-siapa," dengus Sisi lega.

Napasnya yang tertahan terasa panas melewati lubang

hidungnya.

Jadi aku keliru, desah Handi sama leganya. Sisi

tidak menunggu siapa-siapa! Dia masih tecap

milikku!

Tetapi mengapa dia seperti menyembunyikan sesuacu? Akhir-akhir ini sikapnya lebih misterius lagi.

Dua malam Minggu dia menolak kencan. Katanya

tidak enak badan.121

Ketika Handi menjemputnya tadi, mula-mula Sisi

juga tidak mau pergi. Tapi akhirnya dia berubah pikiran. Dia mau pergi. Tapi tidak mau nonton.

Malas, katanya. Kita ngopi aja, ya?

Jangankan ngopi. Cuma ngobrol sambil jalan pun

Handi mau! Dia sudah rindu. Sudah ingin sekali

menghabiskan malam Minggu bersama pacarnya.

Apalagi Ibu sudah menyindir terus.

"Gadismu sudah ketemu calon dokter lain? Atau

calon profesor, kali?"

Ibu! Entah mengapa. Selalu sinis kalau membicarakan Sisi. Selalu gersang kalau topik mereka di

seputar pacar anaknya!

"Habis bosan," dengus Ibu kering. "Lagi-lagi Sisi.

Sisi. Sisi terus!"

Ibu. Kayak yang tidak pernah muda saja! Orang

lagi pacaran memang begitu, kan? Handi merasa

tingkahnya normal. Sisi yang tidak!

Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Ada

sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tapi dia tidak

mau curhat. Dipendamnya saja rahasianya seorang

diri!

Tetapi Handi yakin, suatu hari Sisi pasti mengatakan juga apa yang mengganggu pikirannya. Apa yang

membuatnya akhir-akhir ini lebih pendiam lagi. Lebih

jarang lagi tersenyum. Dia hanya harus sabar menunggu. Tidak boleh mendesak.

Suatu hari nanti, dia pasti bisa menemukan kunci

untuk masuk ke hati Sisi. Handi sudah telanjur mencintainya. Cinta pertama pula.

Mengapa harus takut pada bayangan? Bukankah

kata Sisi tidak ada siapa-siapa? Tidak ada lelaki lain

dalam hidupnya!122

Tentu saja Handi tidak sadar, masalahnya tidak

sesederhana itu.

Bahkan ketika bayangan yang ditakutinya itu

sudah menjelma menjadi seorang pasien yang

diangkut ke UGD. Pada suatu hari beberapa tahun

kemudian. Ketika mereka sudah menikah. Sudah

punya anak. Dan sudah sama-sama menjadi dokter.123

Bab 11

SlSI masih duduk mengunyah rotinya ketika Handi

sudah bangkit meninggalkan meja makan. Dia sama

sekali tidak menyentuh roti yang disediakan Sisi. Dia

hanya menghirup kopinya. Itu pun sambil membaca

koran.

"Nggak makan, Di?" tegur ibunya.

Suaranya mengingatkan Sisi pada Ibu Anidar.

Gurunya di SMA. Datar. Berwibawa. Tapi terlalu

sarat dengan perhatian.

"Masih kenyang, Bu," sahut Handi asal saja.

Wajahnya semuram Jakarta kalau banjir sedang

datang melanda.

"Dari kecil kan kamu tidak pernah tidak sarapan."

Tapi dia bukan anak kecil lagi, gerutu Sisi dalam

hati. Ditelannya kemengkalannya bersama rotinya.

"Nanti saya makan di kantin."

"Kapan? Kalau perutmu sudah sakit?"

"Kalau lapar!"

"Kalau keburu lapar sudah terlambat!"

"Sudahlah, Bu!" Ada nada kesal dalam suara

Handi.

Dan entah mengapa, Sisi senang mendengarnya.

Seorang laki-laki yang telah berumur tiga puluh

tahun, sekali-sekali harus membantah. Kepada ibunya

sekalipun.124

"Sudah bagaimana?" desak Ibu sama kesalnya.

"Saya bisa menjaga diri saya sendiri!"

Ibu meletakkan cangkir kopinya dengan keras.

Terlalu keras buat telinga Sisi.

"Kalau kamu tidak suka roti, bilang sama Ibu!

Nanti Ibu buatkan nasi ulam. Dari dulu juga kamu

selalu makan nasi kalau pagi!"

Sekarang Sisi-lah yang tersinggung. Dan

sekarang, dialah yang meletakkan cangkir kopinya

dengan keras. Ditinggalkannya meja makan tanpa

berkata apa-apa.

Sudah lima tahun mereka menikah. Selama itu,

Handi tidak pernah rewel dengan sarapan paginya.

Mau roti kek. Kue kek. Nasi kek. Apa saja yang disediakan Sisi dimakannya. Ibunyalah yang lebih

cerewet. Padahal Sisi tidak peduli dia mau makan roti.

Nasi. Atau batu sekalipun. Masa bodoh amat!

Tidak apa-apa kalau dia cuma rewel dengan

makanannya sendiri. Tapi memperlakukan anak lakilakinya yang sudah menikah seperti anak kecil, benarbenar keterlaluan!

Dia mengurusi semua keperluan anaknya. Mulai

dari bangun tidur sampai mau tidur malam. Semuanya

dia mau tahu saja. Seolah-olah dia takut Handi

telantar di tangan istrinya.

Pada tahun-tahun pertama, dia malah sudah

selesai dengan makanannya setiap kali Sisi baru mulai

mencari buku masakannya.

Tahun-tahun berikutnya, rupanya dia sudah bosan

jadi koki. Atau dia mau mencoba sampai di mana

kemampuan menantunya. Atau lebih celaka lagi, dia

hanya ingin memperlihatkan kepada anaknya, betapa

mengecewakan perempuan yang menjadi istrinya itu!125

"Handi suka sekali sayur lemeng," katanya waktu

mereka baru menikah dulu. "Kamu bisa bikin?"

"Oh, saya tidak bisa masak," sahut Sisi merendah.

Padahal siapa bilang dia tidak bisa? Dia anak ibunya. Sudah terlatih bikin kue dan masak untuk adikadiknya! Tapi dia cuma tidak mau menyombongkan

diri.

"Kalau begitu mesti belajar sama Ibu!" mata ibu

Handi melirik anaknya yang sedang duduk membaca
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buku. Seolah-olah dia takut suaranya tidak sampai ke

telinga anaknya, ditambahnya volume suaranya.

"Kalau tidak ada sayur lemeng, Handi bisa kurus

kering!

Tanpa sayur lemeng pun dia tidak bakal

kelaparan, geram Sisi dalam hati. Belum apa-apa

sudah mau menggurui!

Tentu saja Sisi tidak keberatan ibu mertuanya

tinggal bersamanya. Itu satu-satunya permintaan

Handi sebelum menikah. Dengan siapa lagi ibunya

mesti tinggal kalau tidak bersama mereka?

Tapi memperlakukan Sisi seolah-olah dialah yang

menumpang, benar-benar menjengkelkan! Rumah

mereka bukan milik Handi semata-mata. Tapi milik

mereka berdua!

"Sabarlah, Sis," bujuk Handi setiap kali dilihatnya

Sisi menahan marah. "Ibu kan sudah tua. Sudah

hampir enam puluh. Maklum sajalah kalau tingkahnya

aneh-aneh."

"Saya sudah berusaha mendekatinya, Mas," keluh

Sisi putus asa. "Tapi Ibu selalu menganggap saya

rivalnya. Seolah-olah sayalah yang merebutmu dari

tangannya!"

"Puluhan tahun kami tinggal berdua, Sis. Tak

mungkin dipisahkan dalam waktu setahun-dua, kan?"126

"Tapi saya bukan mau memisahkan kalian!"

"Saya tahu. Soal biasa kalau menantu dan mertua

berebut kasih."

"Salah lagi! Saya tidak punya niat untuk

merampas seluruh kasih sayangmu! Saya hanya minta

apa yang menjadi hak saya. Ibu harus memperlakukan

saya sebagai istrimu, Mas!"

"Ibu tahu."

"Tapi Ibu sepertinya mau memonopoli Mas

Handi!"

"Ah, itu cuma perasaanmu."

Di depan Sisi, Handi memang selalu membela

ibunya. Tapi di depan ibunya, dia malah selalu berada

di pihak istrinya. Sayangnya Sisi tidak tahu. Dia jadi

kesal karena seolah-olah Handi tidak pernah membelanya. Sebaliknya Ibu juga jengkel karena anaknya

sekarang seperti lebih mencintai istrinya daripada

ibunya.

Handi jadi serbasalah. Memang sulit berdiri persis

di tengah di antara dua orang wanita yang sama-sama

disayanginya.

Handi ingin berlaku adil. Memberikan apa yang

menjadi hak Sisi. Tapi dia tidak tega mengecewakan

ibunya. Mengubah kebiasaan-kebiasaan yang sudah

mereka lakukan puluhan tahun.

Ibu selalu ingin melayani makan. Ingin memilihkan pakaian. Bahkan menentukan sarapan

paginya. Seperti hari ini. Padahal bukan karena itu

Handi tidak mau makan. Bukan karena tidak

menemukan nasi ulam buatan ibunya.

Tetapi karena problem yang tidak ada habishabisnya di tempat tidur mereka. Persoalan yang ituitu juga. Persoalan yang sudah mereka bawa sejak

malam pertama.127

Handi seorang laki-laki yang sehat. Baginya dua

kali seminggu layak bagi suami-istri muda seperti

mereka. Tapi Sisi lebih sering menolak daripada

menerima.

Kalaupun dia menyerah, itu karena terpaksa.

Karena tugasnya sebagai seorang istri. Dan karena dia

tidak mau mengecewakan Handi.

Baginya sebulan sekali sudah cukup. Keseringan

malah bosan. Kadang-kadang malah menyakitkan.

Mula-mula Handi memang heran. Mengapa

istrinya seperti tampaknya tidak menyukai hubungan

seks?

"Kamu tidak orgasmus, Sis?" tanya Handi setelah

tidak dapat menahan rasa penasarannya. "Saya tidak

bisa memuaskanmu?"

"Aduh, Mas Handi ngomong apa sih?" keluh Sisi

jengah. Baginya pembicaraan terbuka tentang seks

seperti itu sangat memalukan.

"Tapi apa salahnya, Sis? Kita sama-sama dokter.

Kita kan biasa ngomong begini sama pasien."

Dengan pasien, bukan dengan suami!

"Kalau ejakulasiku terlalu dini, aku bisa mencari

pengobatan."

Tapi ini bukan salahmu, Mas! Aku yang salah!

Kamu normal. Aku yang sakit!

Aku yang tidak bergairah. Tidak bisa terangsang

oleh cumbuanmu.

Handi tidak mau menyerah. Dia mencari filmfilm yang dapat merangsang gairah. Yang diputarnya

sebelum mereka bercinta. Tetapi sepanas apa pun

adegan yang mereka lihat, Sisi tetap membeku seperti

baru!

Akhirnya Handi menyerah. Setelah punya anak,

mereka lebih jarang lagi bercinra. Dan Handi menurut128

saja. Jika Sisi sedang tidak ingin, dia memuaskan

dirinya sendiri.

Tetapi tadi malam, Handi memaksa. Padahal Sisi

benar-benar enggan. Dan dia sudah menolak.

"Saya ngantuk, Mas."

"Sebentar saja ya, Sis." Handi memegang tangan

istrinya. Mengajak pindah ke kamar sebelah.

Sejak Pipie lahir, mereka memang tidak tidur

seranjang lagi. Sisi pindah ke kamar anaknya. Hanya

jika Handi menginginkan, Sisi pindah ke kamar

sebelah.

"Jangan sekarang ya, Mas. Saya betul-betul

capek."

Handi memang tidak berkata apa-apa lagi. Dia

masuk ke kamarnya seorang diri. Tetapi Sisi sudah

kehilangan kantuknya. Dia merasa bersalah.

Sudah seminggu Handi menginginkannya. Tetapi

Sisi selalu menolak. Ada-ada saja alasannya. Kemarin

malam dia malah terpaksa pura-pura tidur wakru

Handi masuk. Padahal apa ruginya melayani suami

sendiri? Tidak ada seperempat jam.

Memang tidak ada kenikmatannya bagi Sisi.

Semuanya terasa hambar. Rutin. Membosankan.

Kadang-kadang malah menyakitkan.

Tetapi kalau cuma itu yang diinginkan Handi,

mengapa harus ditolak?

Handi tidak pernah meminta lebih. Dia tidak

pernah menuntut apa-apa. Dia menerima Sisi seperti

apa adanya. Tidak pernah mengeluh. Apalagi marahmarah.

Setelah usahanya membangkitkan gairah Sisi

tidak berhasil, Handi pasrah saja. Dijalaninya saja

kehidupan seks mereka yang hambar. Dia minta kalau129

sedang ingin. Dia mengambil kalau diizinkan. Kalau

ditolak, dia menyerah. Balik ke kamarnya sendiri.

Sisi-lah yang dihantui perasaan bersalah.

Mengapa dia tidak dapat melayani suaminya dengan

lebih baik?

Handi masih di kamar mandi ketika Sisi melepas

bajunya dan naik ke tempat tidur. Dia menyelubungi

tubuhnya dengan selimut sampai ke leher. Ketika

Handi keluar dari kamar mandi, Sisi hampir terlelap.

Tapi dia merasakan juga kecupan Handi di lehernya.

Dan tepat saat itu dia menguap.

Sesaat Sisi merasa lengan Handi yang sedang memeluknya mengejang. Lalu dia melepaskan pelukannya dengan kasar. Dan mengempaskan tubuhnya ke

atas kasur.

Sesaat Sisi merasa terpukul.

"Mas..." bisiknya dengan sejuta perasaan

bersalah. Duh, mengapa mesti menguap justru pada

saat Handi sedang mencumbunya? Tentu saja dia

tersinggung! Terhina!

"Sudahlah," dengus Handi dingin. Tidur saja."

Suara Handi demikian tertekan. Dia berbaring tertelentang. Dadanya yang terbuka menantang langitlangit kamarnya. Tapi matanya terpejam rapat.

Seolah-olah dia tidak mau Sisi melihat matanya yang

terluka.

"Mas..." Sisi meraba dada suaminya. Membelainya. Kantuknya langsung hilang. Digesernya

tubuhnya lebih dekat. Sekarang dia bahkan sudah

separuh menelungkup di atas dada suaminya.

"Maafkan saya, Mas. Kita coba sekali lagi, ya?"

"Tidak usah," Handi tidak bergerak sedikit pun.

"Tadi kamu sudah menguap."

"Saya tidak sengaja."130

"Tentu saja. Kamu ngantuk."

"Mas...."

Sekarang Handi membuka matanya. Menatap

istrinya dengan nanar.

"Sudahlah. Ini bukan yang pertama."

"Saya menyesal."

"Bukan salahmu. Saya yang tidak bisa memuaskanmu.

"Bukan salahmu, Mas! Kamu normal!"

"Kamu tidak?"

Tidak sengaja Sisi menggigil. Dan Handi merasakannya.

"Ada apa, Sis? Kenapa kamu tidak dapat

menikmati seks? Sesuatu dari masa lalumu?

Ceritakanlah, Sis. Supaya dapat kita atasi bersama.

Kalau perlu, kita bisa konsultasi."

Tapi Sisi hanya menggeleng sambil menutup

mulutnya rapat-rapat.

Apa yang mau diceritakannya? Bahwa dia

seorang lesbian? Bahwa sentuhan laki-laki sama

sekali tidak dapat memancing gairahnya?

Oh, dia ingin hidup seperti perempuan normal!

Perempuan baik-baik. Istri seorang laki-laki.

Perempuan terhormat. Berterus terang berarti membiarkan suaminya membuang dirinya ke keranjang

sampah!

Handi pasti jijik kalau dia tahu perempuan macam

apa yang menjadi istrinya! Apalagi kalau ibunya

sampai tahu!131

Bab 12

SISI sedang menulis resep di kantor perawat Bagian

Saraf ketika seorang pasien koma didorong masuk

dari Unit Gawat Darurat.

"Dikirim Dokter Bambang dari UGD dengan

koma, Dok. Diduga akibat intoksikasi alkohol dan
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barbiturat," lapor Suster Ina.

Sudah hampir dua tahun Sisi bertugas di Bagian

Neurologi rumah sakit itu. Dia sedang mengambil

spesialisasi di bawah bimbingan Dokter Iwan Bestadi.

Selama itu, baik Dokter Iwan maupun para perawat di

Bagian Saraf, belum pernah melihat Sisi membiarkan

emosinya meluap. Dia selalu tenang. Kadang-kadang

malah terkesan dingin.

Tetapi ketika melihat pasien baru itu, dia

memekik tertahan.

"Ya Tuhan! Airin!"

Sisi begitu gugupnya ketika memeriksa dan

menolong Airin sampai perawat-perawatnya merasa

bingung. Lebih-lebih ketika dia sendiri yang

memanggil Dokter Iwan minta konsultasi.

"Tolong, Dok," pintanya resah ketika Dokcer

Iwan datang. "Pasien ini teman baik saya."

Pasti teman istimewa, pikir Dokter Iwan. Kalau

tidak, masa kamu begini panik!132

"Konsumsi lama dan terus-menerus alkohol bisa

merusak kedua hemisfer otaknya," kata Dokter Iwan

setelah melakukan pemerilcsaan. "Kita harus

mengirimnya ke ICU."

Apa yang terjadi, Rin? Sisi harus menggigit bibir

menahan emosinya melihat keadaan temannya. Ditatapnya mata yang terpejam rapat itu dengan sedih.

Beberapa tahun yang lalu dia masih begitu lincah.

Hidup. Menguasai. Memikat

Sekarang dia terhantar tak sadarkan diri. Tak berdaya. Tidak bergerak sedikit pun.

Tanpa make up yang mencolok, wajahnya terlihat

sangat pucat. Tulang pipinya menonjol karena kurusnya. Bibirnya kering. Lingkaran kebiruan

mengelilingi matanya. Tetapi sisa-sisa kecantikannya

masih terbayang jelas.

Airin, Airin, mengapa kamu rusak dirimu seperti

ini, desah Sisi getir.

"Sudah berapa lama dia kecanduan alkohol?"

lapat-lapat dia mendengar aloanamnesis Dokter Iwan

dengan ibu Airin.

Sengaja Sisi menyingkir. Untuk suatu alasan yang

dia tidak ingin orang lain mengetahuinya, dia tidak

mau bertemu dengan perempuan itu.

"Saya tidak begitu tahu, Dok," sahut ibu Airin

sedih. "Dia baru seminggu berlibur di rumah. Sudah

dua belas tahun lebih tinggal di Amerika. Bersama


Dewi Ular 85 Misteri Pembunuh Hantu Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Pasukan Mau Tahu 05 Misteri Kalung

Cari Blog Ini