Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W Bagian 3
suaminya."
"Di mana suaminya?"
"Masih di Amerika, Dok. Di San Francisco."
"Pasti sudah bertahun-tahun Airin jadi alkoholik."
"Dia bisa sembuh kan, Dok?"
"Kami usahakan, Bu. Tapi setelah sadar, dia harus
menyembuhkan alkoholiknya."133
"Ke mana lagi saya harus membawanya,
Dokter?"
"Ada tempat untuk menyembuhkan kecanduan
alkohol. Tapi dia sendiri harus punya motivasi kuat
untuk sembuh. Dan bukan itu saja."
"Apa lagi, Dok?"
"Jika seorang wanita cantik berumur tiga puluh
tahun merusak dirinya dengan alkohol, pasti ada
alasannya, Bu."
Sayalah alasan itu, Dok, pekik Sisi dalam hati.
Sayalah yang menyebabkan dia jadi begini!
???
Selama Airin dirawat di ICU, Sisi hampir tak pernah
absen dari sisi tempat tidurnya. Dia sama repotnya
dengan para perawat di ICU. Bahkan boleh dikatakan, dialah yang menangani hampir semua perawatan
khusus Airin.
Jika dia ingin berada berdua saja dengan Airin,
dia mengusir mereka semua. Duduk di sampingnya.
Menggenggam tangannya. Dan membisikkan katakata lembut di telinganya.
"Aku di sini, Rin. Maukah kamu membuka matamu?"
Sisi yakin, Airin bisa mendengar suaranya.
Meskipun dia belum sadar. Dia percaya, dalam koma
sekalipun, jiwa mereka rerap tak terpisahkan.
Detik demi detik ditunggunya sampai bulu mata
yang lentik itu bergetar. Sampai mata yang terpejam
itu terbuka kembali. Sampai tatapan yang dirindukannya itu dimilikinya lagi.134
Tetapi ketika saat yang ditunggu-tunggu itu tiba,
ketika saat yang paling mengesankan itu datang, Sisi
malah tidak tahu harus tersenyum atau menangis.
Tangan Airin bergerak dalam genggamannya.
Bulu matanya bergetar sekejap. Dan lambat-lambat,
matanya terbuka.
Sisi sampai lupa menarik napas. Dia begitu
terenyak. Airin sadar! Dia hidup!
"Airin," bisik Sisi menahan keharuan. Matanya
berkaca-kaca.
Mata Airin yang masih seperti diselubungi kabut
itu berkeliaran sejenak sebelum berhenti di wajah
Sisi.
Sisi menunggu sambil menahan napas.
Tetapi mata redup dengan tatapan sekosong
Gurun Sahara itu tidak berubah. Tidak ada tandatanda dia mengenali siapa yang dilihatnya.
Padahal Sisi sudah berharap akan menemukan
lagi sorot kerinduan itu di mata Airin. Seperti yang
pernah dilihatnya ketika mereka bertemu di malam
reuni. Di rumahnya. Di restoran.
Tetapi yang ditemukannya cuma sorot
kehampaan. Gersang. Tandus. Tak ada lagi telaga
jernih di sana. Tak ada bintang kejora. Tak ada
perapian yang hangar.
Sisi menggigit bibirnya menahan tangis. Tak
pernah Airin mcnatapnya seperti ini. Bahkan pada
malam terakhir mereka berjumpa. Ketika Airin
memeluknya di kamarnya. Menciumnya. Bahkan
setelah dia ditolak. Setelah angan-angannya pupus.
Setelah harapannya buyar.
Saat itu Sisi menemukan kesakitan dalam matanya. Kekecewaan. Bahkan kemarahan. Tapi kalau135
boleh memilih, Sisi lebih memilih melihat mata Airin
yang seperti itu. Jangan yang sekarang dilihatnya.
Memandang ke dalam matanya seperti
memandang ke sebuah ruang hampa tak berujung.
Sia-sia mencari tepinya. Sia-sia mengharapkan
pegangan.
???
Ketika Sisi pulang ke rumahnya tengah malam itu,
Handi menyambutnya dengan dingin. Dia tidak
menegur seperti biasa. Tidak menghampiri. Malah
tidak menoleh sama sekali.
"Airin sudah sadar, Mas," cetus Sisi dengan
perasaan tidak enak.
Terus terang dia merasa bersalah telah menyianyiakan anak dan suaminya selama merawat Airin.
"Kalau tidak, kamu pasti belum pulang," sahut
Handi datar.
Sisi agak kesal mendengarnya sampai tidak jadi
minta maaf.
"Mas Handi harus belajar menghargai
persahabatan.
"Tentu," desis Handi sambil menutup
komputernya. "Saya hargai rasa seria kawanmu. Tapi
tidak kalau anakmu sendiri sedang sakit!"
"Sakit?" cetus Sisi kaget. "Pipie sakit?"
"Untung ada Ibu. Kalau tidak, entah ke mana saya
harus mencari baby-sitter."
"Pipie sakit apa, Mas?"
"Badannya panas. Tidak mau makan. Nangis
terus mencarimu."136
Sisi melemparkan tasnya begiru saja. Membuka
sepatunya. Dan sudah menerjang ke kamar Pipie
ketika suara Handi mencegahnya.
"Cuci tangan dulu! Mau kamu bawa kumankuman dari rumah sakit ke kamarnya?"
Sejenak Sisi tertegun. Itu memang kebiasaan yang
mereka terapkan sejak punya anak. Sekarang dia
sendiri lupa karena panik.
Bergegas Sisi mencuci tangannya. Menukar baju.
Dan masuk ke kamar Pipie. Tapi kamar itu kosong.
"Di kamar Ibu," kata Handi sebelum ditanya.
Terus terang Sisi tidak suka Pipie tidur di kamar
neneknya. Di kamar itu terlalu banyak barang. Ibu
membawa semua barang dari rumahnya yang lama
dan menjejalkannya di kamarnya. Udara di sana jadi
pengap. Tidak baik untuk paru-paru anak kecil.
Satu hal lagi, Sisi tidak suka anaknya tidur
seranjang dengan mertuanya.
Ibu Handi tidak pernah menukar bajunya kalau
tidur. Baju tidurnya sama saja dengan bajunya di
dapur. Dan dia sering batuk kalau malam.
Sudah bertahun-tahun Sisi memutar otak.
Memikirkan bagaimana caranya menyuruh Handi
membawa ibunya ke kamar rontgen.
Kalau neneknya TBC, Pipie pasti ketularan!
Sekarang Pipie tidur dengan neneknya. Dan Sisi tidak
punya alasan untuk mengeluarkannya dari sana. Kini
sudah tengah malam. Pipie sedang sakit. Dan dia pasti
sudah tidur.
Ibu mertuanya membuka matanya dan menoleh
ketika Sisi membuka pintu. Sisi menyalakan lampu.
Dan matanya bertemu dengan mata perempuan itu.
Mata yang mengingatkan Sisi pada mata polisi yang
menangkap basah seorang pencuri.137
"Sst, dia sudah tidur!" cegahnya ketika Sisi mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi Pipie.
Tidak terlalu panas. Memang agak hangat. Tapi
tangannya yang sudah terlatih meyakinkan dirinya,
suhu tubuh anaknya tidak lebih dari tiga delapan.
"Pipie sakit apa, Bu?" bisik Sisi sambil tegak di
tepi pembaringan.
"Kok tanya Ibu?" suara mertuanya judes sekali.
"Kan kamu yang dokter!"
Malam-malam dia masih menantang perang,
geram Sisi gemas. Aku malah punya kesan, dia
senang anakku sakit waktu aku tidak di rumah! Jadi
dia punya peluang untuk mendiskreditkan diriku di
depan Handi!
"Maaf membuat Ibu repot," kata Sisi sambil berusaha tidak memperdengarkan kejengkelannya.
"Ah, perempuan sih biasa repot kalau anak lagi
sakit," sahut ibu Handi ketus. "Yang kasihan kan si
Handi. Capek-capek pulang praktek masih harus
ngurus anak!"
Satu tembakan lagi. Kapan mertuanya berhenti
menyindir? Kapan dia mau bersikap seperti ibu,
bukan musuh?
"Semua memang salah saya, Bu," Sisi masih berusaha menahan diri.
"Jangan mentang-mentang Handi itu orangnya
baik, kamu sembarangan memperlakukan suamimu!
Orang lain kamu urusi. Anak dan suami sendiri
telantar!"
"Saya tidak tahu Pipie sakit," entah berapa lama
lagi dia sanggup membendung kemarahannya. "Mas
Handi tidak telepon. Sms saja tidak!"
"Lho, sekarang kamu malah menyalahkan
suamimu? Kamu betul-betul istri tidak tahu diri!"138
"Bukan menyalahkan. Tapi kan Mas Handi
seharusnya bisa telepon saya. Bilang Pipie sakit.
Supaya saya bisa pulang."
"Memang kalau Pipie tidak sakit, kamu tidak usah
pulang? Tidak merasa punya kewajiban mengurus
anak-suamimu?"
"Pipie sudah diberi obat apa, Bu?" Sisi mencoba
mengganti topik. Sebelum dadanya meledak.
"Tanya Handi. Jangan tanya Ibu. Kalau Ibu yang
memberi obat, nanti kamu marah-marah, lagi. Obat
warung. Nggak mempan."
Wah, mertuanya benar-benar mengajak duel.
Lebih baik dia cepat-cepat menyingkir sebelum
telinganya pecah.
Setelah minta maaf karena melewati badan
mertuanya, Sisi membungkuk mencium dahi anaknya.
Tidur yang manis, Sayang, bisiknya dalam hati.
Hanya kamu satu-satunya alasan ibumu masih ingin
hidup!
???
Airin sudah dipindahkan dari ICU kc ruang perawatan VIP. Orangtuanya bergantian menungguinya. Sisi
tidak punya kesempatan lagi untuk mendampinginya.
Tetapi perkembangan kesehatan Airin tak pernah
lepas dari perhatiannya. Statusnya adalah yang pertama dicarinya kalau dia datang ke Bagian Neurologi
setiap pagi.
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang Sisi harus lebih berhati-hati. Dia merasa
semua perawat sedang memandangnya dengan curiga.
Mengapa Dokter Sisi tidak pernah datang ke
kamar Airin? Mengapa dia hanya sibuk mengontrol
kondisinya melalui status dan menghujani para139
perawat dengan pertanyaan? Ada hubungan apa di
antara mereka?
Tlenru saja itu hanya perasaan Sisi. Karena
merasa bersalah, dia jadi paranoid. Dia merasa semua
mata sedang menatapnya dengan curiga. Dia takut
mata mereka bisa mengintip ke relung hatinya yang
paling gelap. Tempat dia menyembunyikan seseorang
seseorang yang kini sedang meracau dengan
hebatnya.
Orang yang sedang diganggu oleh berbagai
halusinasi. Orang yang sedang berjuang untuk
memulihkan kembali fungsi otaknya dari tekanan
alkohol.
"Dia mengigau terus, Dok," lapor ibu Airin cemas
ketika Dokter Iwan melakukan visite pagi itu.
"Itu gejala biasa dari orang yang baru sadar dari
koma, Bu. Pemeriksaan darahnya menyatakan Airin
minum obat tidur melampaui dosis bersama alkohol.
Nyawanya benar-benar di ujung tanduk. Ibu harus
bersyukur karena rintangan terberat sudah mampu
dilewatinya."
"Dia terus memanggil-manggil seseorang."
"Suaminya? Dia sudah diberitahu?"
"Bukan, Dok. Temannya."
"Teman baiknya? Ibu kenal?"
"Seorang gadis yang bernama Sisi."
"Sisi?" naik alis mata Dokter Iwan. Apa bukan...
Dokter Sisi Purnomo? Hidungnya mulai mencium
sesuatu yang mencurigakan.
"Mereka bersahabat sejak SMA." Tapi nada suara
ibu Airin tidak seperti kalau seorang ibu sedang membicarakan sahabat anaknya.140
Karena itu Dokter Iwan tidak jadi bertanya apa
Sisi teman anaknya itu sama dengan Dokter Sisi
Purnomo.
Apa Ibu tidak tahu Dokter Sisi bertugas di sini.
Malah dia yang menyelamatkan nyawa Airin. Karena
kegigihan dan ketelatenannya merawatlah Airin bisa
lolos dari lubang jarum.
Dokter Iwan juga melarang perawatnya memberitahu keluarga pasien itu tentang Dokter Sisi. Kalau
Sisi sendiri tidak mau memperkenalkan diri, keputusannya harus dihormati. Tidak etis membocorkan
masalah pribadi mereka.
"Secara medis, Airin sudah banyak kemajuan.
Kalau Ibu setuju, besok kami akan memindahkan
Airin ke bagian rehabilitasi zat-zat adiktif. Di tempat
itu, dia bisa berusaha menyembuhkan alkoholismenya."
Besok Airin dipindahkan, pikir Sisi resah ketika
membaca status yang ditulis Dokter Iwan. Artinya
kami akan berpisah. Dan sesudah perpisahan ini,
entah kapan kami dapat berjumpa lagi!
Seharian itu Sisi gelisah terus. Akhirnya dia tidak
tahan lagi. Dia harus menjumpai Airin. Mungkin
untuk terakhir kalinya.
Setelah Dokter Iwan pulang sore itu, dia
menugasi salah seorang perawatnya untuk membawa
Airin ke kamar kerja Dokter Iwan.
"Dokter Iwan menyuruh saya membuat resume,"
kata Sisi kepada perawatnya.
Sesudah berkata begitu, dia baru menyesal. Buat
apa berbohong? Besok Suster Gita bisa melapor pada
Dokter Iwan! Lagi pula untuk apa memberi
penjelasan seperti itu? Jika seorang dokter ingin141
memeriksa pasiennya, dia tidak perlu memberi alasan
apa-apa kepada perawatnya!
Untung Suster Gita tidak secerdik Suster Ina.
Rasa ingin tahunya juga tidak terlalu besar. Dia
menjalankan perintah dokternya tanpa curiga. Wajar
kalau pasien yang mau keluar dibuarkan resume.
Cuma biasanya dia tidak dibawa ke kamar kerja
Dokter Iwan. Tapi peduli apa? Mungkin Dokter Sisi
perlu kasusnya. Dia kan masih mengambil
spesialisasi.
Jadi tanpa kecurigaan apa-apa, Suster Gita pergi
ke kamar pasien. Ayah pasien ada di sana. Tapi dia
juga tidak curiga.
"Ke kamar kerja Dokter Iwan," kata Suster Gita
ketika ayah Airin bertanya mau dibawa ke mana
anaknya. "Pemeriksaan terakhir sebelum keluar dari
Neurologi besok."
Airin sendiri diam saja. Dia tidak bertanya apaapa. Bahkan tidak bergerak sama sekali ketika
didorong di atas brankar. Sikapnya apatis sekali.
Seolah-olah dia tidak peduli mau dibawa ke mana.
Baju rumah sakitnya yang putih menambah pucat
wajahnya. Tetapi sesakit apa pun dia, kecantikannya
masih tetap tersisa. Alkohol tidak dapat memusnahkan sama sekali daya tariknya.
Punya masalah berat apa perempuan secantik ini
sampai harus merusak dirinya dengan alkohol, pikir
Suster Gita ketika dia sedang mendorong brankar ke
kamar kerja Dokter Iwan. Laki-laki? Laki-laki macam
apa? Perempuan ini bisa menguasai lelaki macam apa
pun yang diinginkannya. Sebelum alkohol melumpuhkannya, dia pasti sangat cantik!
Sisi sendiri yang membuka pintu ketika Suster
Gita mengetuk pintu. Matanya langsung bertatapan142
dengan mata Airin yang sedang didorong masuk.
Untung Suster Gita tidak melihat betapa lembutnya
tatapan Sisi. Dan untung dia juga tidak menyadari,
mulut pasien-nya terbuka sedikit. Hampir memekikkan sebuah nama kalau tidak keburu mengejang
kembali.
Bukan, teriak Airin dalam hati. Dipejamkannya
matanya rapat-rapat. Bukan dia! Halusinasi lagi!
"Tinggalkan saja," perintah Sisi kepada Suster
Gita.
"Tidak perlu dipindahkan ke ranjang, Dok?"
"Biarkan saja. Nanti saya panggil kalau perlu."
"Saya tinggal dulu, Dok." Dengan patuh Suster
Gita berjalan keluar dan menutup pintu.
Sekarang hanya tinggal mereka berdua di ruang
periksa yang tenang dan sejuk itu. Persis malam itu.
Malam terakhir di kamar Airin.
"Airin," bisik Sisi menahan haru. Dipeluknya
Airin dengan penuh kerinduan. Dan matanya
langsung berkaca-kaca.
Terbayang kembali hari-hari yang menegangkan
itu. Ketika dia menunggu dalam keputusasaan di
samping Airin yang masih koma.
Rasanya seluruh dunia pun tidak ada artinya lagi
tanpa Airin. Bahkan martabat, harga diri, dan
kehormatan tak dapat ditukar dengan nyawanya.
Dalam keadaan seperti itu, baru terasa betapa besar
cintanya kepada Airin!
Tubuh Airin mula-mula membeku dalam
pelukannya. Lalu perlahan-lahan menghangat. Untuk
menebarkan sensasi nikmat yang ganjil itu ke seluruh
tubuh Sisi.
Kehangatan mengalir turun ke relung hatinya
yang paling gelap. Membelai mesra padang rumput143
gersang yang hampir mati kekeringan. Menyirami
lahan tandus yang telah dua belas tahun lebih merana
dalam kemarau panjang.
Airin juga merasakan kehangatan itu di balik
matanya yang terpejam. Apa pun namanya sensasi ini,
halusinasi atau bukan yang sedang menyinggahinya,
dia merasa nyaman. Merasa nikmat.
Untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan
Sisi. Bukan hanya dari matanya. Tapi dari kedua
belah lengannya yang sedang memeluk mesra. Dari
dadanya yang melekat hangat. Bahkan dari bibirnya
yang sedang mengecup pipinya dengan penuh kasih
sayang.
Sekujur tubuhnya berpijar seperti dialiri aliran
listrik. Hangat. Nyaman. Nikmat. Membuat Airin
tidak ingin membuka matanya lagi.
Dia takut semua ini cuma mimpi. Imajinasi.
Halusinasi. Atau persetan apa pun namanya!
Airin ingin selamanya berada dalam dekapan Sisi.
Biar hanya mimpi sekalipun!
Dalam dekapannya, tubuhnya terasa ringan.
Melayang ke sana kemari dalam gumpalan awan yang
selembut kapas.
Ada ketukan di pintu. Airin merasa tubuh Sisi
mendadak mengejang. Lalu pelukannya terlepas. Dan
tubuh Airin seperti terbanting ke bumi.
Sedetik sebelum pintu terbuka, Sisi telah tegak di
samping brankar. Menoleh ke pintu sambil buru-buru
menyusut matanya.
"Sis," suara yang paling tidak ingin didengarnya
saat ini. Suara yang ragu-ragu. Tapi yang dapat membuat parasnya langsung memerah. "Sudah selesai?"144
"Kalau sudah selesai, saya keluar," sahut Sisi
menahan marah sambil memalingkan mukanya.
Menyembunyikan matanya. Menutupi dosanya.
Sesaat sesudah mengucapkan kata-kata itu, Sisi
baru menyesal. Mengapa harus berkata sekasar itu kepada Handi? Dia kan tidak tahu apa-apa. Polos seperti bayi!
Sejenak Handi tertegun. Tidak tahu kenapa
istrinya kesal.
"Sori," cetusnya sesaat kemudian. Mungkin Sisi
marah karena tugasnya terganggu. Dia sedang
memeriksa pasien. Mungkin tepat saat dia berada
pada anamnesis yang penting. "Kata Suster Gita
masuk saja. Kamu sedang memeriksa pasien."
Handi sudah hendak menutup pintu itu kembali
ketika Sisi memanggilnya dengan perasaan tidak
enak.
"Tunggu di kantin ya, Mas?" pinta Sisi dengan
mata berlumur sesal. Mata yang selalu membuat
Handi memaafkan meskipun tanpa diminta. "Sebentar
lagi saya selesai."
"Oke, nggak usah buru-buru, Sis." Suara Handi
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu sabar. Tanpa rasa marah.
Tapi justru suara itu yang membuat kemarahan
Airin meledak. Dan Sisi kewalahan menenangkannya.
Terpaksa dia memanggil Suster Gita. Dan
membawanya kembali ke kamar.
"Temperamennya masih meledak-ledak begitu,"
cetus Handi termangu-mangu. Dia masih berada di
luar kamar kerja ketika Airin didorong keluar.
"Temanmu pasti alkoholik berat, Sis."
Tapi dia meledak karena kamu, keluh Sisi getir.
Karena kedatanganmu membuatnya cemburu!145
Setelah memberikan obat-obatan yang diburuhkan
Airin, Sisi terpaksa pulang. Tetapi sepanjang perjalanan, dia membisu. Didiamkan begitu, Handi jadi tidak
enak sendiri. Dikiranya Sisi masih marah karena dimarahi ibunya waktu Pipie sakit.
"Saya minta maaf, Sis," kata Handi sabar.
Suaranya begitu lembut. "Tidak pantas saya dan Ibu
marah. Kamu sedang bingung karena temanmu
koma."
"Ah, kamu pantas marah, Mas. Saya memang
keterlaluan."
"Tapi kamu kan tidak tahu Pipie sakit."
"Kenapa Mas tidak telepon?"
"Saya takut mengganggu. Kamu kan suka kesal
kalau diganggu ketika sedang memeriksa pasien."
Seperti tadi."
Dan entah mengapa suara Handi membuat Sisi
merasa tidak enak didesak perasaan berdosa. Padahal
suara itu begitu tulus. Tidak mengandung kemarahan.
Apalagi kecurigaan. Tapi justru karena Handi tidak
curiga, Sisi jadi tambah merasa bersalah! Suaminya
begitu memercayainya! Mengapa dia sampai hati
mengkhianat-nya? Kalau memeluk Airin sudah berarti
berkhianat!
Tapi... bukankah dia bukan hanya memeluk? Dia
memeluk dengan penuh kerinduan... dan dia sangat
menikmati pelukan itu... ya Tuhan!
"Paling tidak Mas bisa sms. Bilang Pipie sakit."
"Ya, memang salah saya. Lain kali saya sms.
Saya janji. Maafkan saya ya, Sis?" Handi mengulurkan tangan kirinya. Meraih tangan istrinya. Dan
meremasnya dengan lembut. "Sesudah marah-marah
kepadamu, saya menyesal sekali."146
Dan Sisi terpukul lagi. Duh, baiknya lelaki ini!
Padahal istrinya baru saja berselingkuh... berselingkuhkah namanya memeluk dan mencium pipi
wanita yang dicintainya? Merasakan perasaan nikmat
tak bernama yang ganjil itu merayapi seluruh pori
tubuhnya?
"Janji ya, Sis, kita tidak marahan lagi."
Hari itu memang berlalu dengan damai. Handi
memperlakukan istrinya dengan sangat manis. Ibu
yang sudah beberapa hari seperti mendapat peluang
mendiskreditkan menantunya, sampai tidak berani
mencicit lagi. Karena begitu dia membuka mulutnya,
Handi sudah menegur setengah membentak.
"Sudah, Bu! Jangan ngomong lagi! Saya capek
mendengarnya!"
Sisi puas sekali melihat tindakan suaminya.
Begitu seharusnya dia membela istrinya. Sebagai
ucapan terima kasihnya, malam itu dia membiarkan
Handi mengambil haknya.
Anehnya, malam itu agak berbeda. Sisi dapat menikmati suguhan suaminya sampai Handi
merasa berterima kasih sekali. Dia begitu bahagia
sampai matanya berkaca-kaca.
"Puas, Sis?" bisiknya setengah tidak percaya.
Sisi cuma mengangguk sambil memejamkan
matanya rapat-rapat. Takut Handi dapat menerka
siapa yang dibayangkannya tadi dalam kebersamaan
mereka.
Dan melihat kebanggaan Handi, dia seperti
pahlawan yang baru saja merebut benteng musuh, Sisi
merasa lebih berdosa lagi. Dia membayangkan
perempuan lain ketika sedang bercinta dengan suaminya! Apa lagi namanya kalau bukan berselingkuh?
Meskipun hanya dalam pikiran!147
Bab 13
PAGI yang menjelang keesokan harinya merupakan
pagi yang amat cerah. Pada mulanya tentu saja.
Sebelum sang Angkara Murka datang mengacaukan
jagat.
Kebetulan Sisi kesiangan bangun. Dia tidak bisa
tidur sampai subuh. Tidak heran begitu terlelap dia
kebablasan.
Dia baru terjaga ketika tirai kamarnya tersingkap.
Ada cahaya terang menyapa begitu dia membuka
matanya.
Tatapannya langsung beralih ke jam di atas meja
kecil di samping ranjangnya. Hampir jam delapan!
Astaga.
Pantas matahari sudah bersinar seterang ini.
Rengek Pipie sudah membahana ke seluruh rumah.
Dan suara mertuanya sudah terdengar sampai ke
Jembatan Semanggi.
Berteriak-teriak seperti ada kebakaran. Mendumal
panjang-pendek. Entah siapa yang sedang dimarahi.
Paling-paling si Imah.
Kasihan dia. Kalau Ibu sedang jengkel pada Sisi,
tapi dia tidak punya alasan untuk memarahinya,
habislah pembantu itu dimaki-maki. Padahal
kesalahannya kecil sekali. Kebanyakan cuma dicaricari.148
Dasar Ibu yang superbawel! Kadang-kadang
bawelnya kelewatan. Apalagi kepada si Imah.
Mentang-mentang sekarang dia punya pembantu.
Enak saja disuruh-suruh. Dimarahi.
Entah sudah berapa kali si Imah mengadu pada
Sisi. Kadang-kadang sambil menangis. Beberapa kali
dia malah sudah minta berhenti. Tidak tahan. Telinganya sakit. Hatinya juga. Memang ibu mertuanya yang
tidak punya hati!
Dia tidak tahu bagaimana sulitnya mencari
pembantu yang baik sekarang. Seperti si Imah. Tidak
mencuri. Bisa dipercaya menjaga anak.
Tidak genit pula. Tidak pernah keluar malam.
Biarpun sekarang di seberang ada rumah baru yang
sedang dibangun. Banyak kuli bangunan di sana.
Kalau si Imah sampai berhenti, Ibu baru tahu
rasa! Semua mesti dikerjakan sendiri. Repotnya
setengah mati. Ada pembantu kok malah dimusuhi
terus!
"Selamat pagi, Sayang," sapa Handi yang tahutahu sudah berdiri di samping tempat tidurnya. Pagi
tadi dia memang ketiduran di kamar mereka. Tidak
sempat pindah ke kamar Pipie. "Enak tidurnya?"
Tapi bukan gara-gara persembahanmu tadi
malam, keluh Sisi dalam hati. Keliru kalau kamu
mengira saya tidur nyenyak karena puas.
Dan Sisi tertegun. Wajah Handi tampak demikian
berseri-seri. Matanya bersoror bahagia. Bibirnya
menyunggingkan senyum lebar. Dia kelihatan sehat
sekali pagi ini. Sudah rapi. Sudah bercukur. Dan...
sudah wangi
Tetapi bukan itu yang membuat Sisi tercengang.
Suaminya tegak di samping pembaringan dengan senampan sarapan pagi!149
"Khusus saya siapkan untukmu, Sis," katanya
lembut. "Saya sendiri yang membuatnya."
"Terima kasih," Sisi menggagap bingung. Dengan
susah payah dia mengingat-ingat tanggal perkawinannya... tanggal berapa hari ini?
"Tidak ada apa-apa," potong Handi sambil
tersenyum lunak, seakan-akan dia dapat membaca
keheranan istrinya. "Bukan hari istimewa. Saya hanya
ingin melayanimu. Boleh kan seorang suami melayani
istrinya sarapan?"
Terpaksa Sisi merayap bangun. Dan Handi
meletakkan nampannya di atas pangkuan istrinya.
"Bersandarlah yang enak," pinta Handi sambil
mengecup pipi istrinya. "Supaya enak makannya."
Sisi terpaksa menyorongkan pipinya. Dan
membiarkan Handi mengecupnya.
"Memangnya hari ini Hari Ibu?" tanyanya asal
saja. Mencoba menutupi perasaannya.
"Apa cuma pada Hari Ibu seorang laki-laki boleh
melayani istrinya?"
"Oh, tentu saja tidak! Tiap hari juga boleh!"
Handi tertawa. Sisi terpaksa tersenyum. Hanya
supaya Handi jangan tertawa sendirian.
"Kalau tiap hari tidak ada istimewanya lagi
dong!"
"Tidak ada salahnya. Tapi kalau tiap hari,
namanya bukan suami lagi. Pelayan!"
Dan Handi tertawa lagi. Begitu keras. Begitu
bebas. Begitu ceria. Sampai Ibu yang sedang duduk di
kamar makan dengan wajah masam menoleh ke
kamar mereka dengan sengit.
Dia sudah melihat Handi sibuk di dapur sejak
pagi. Mula-mula dikiranya Handi hendak berangkat
kerja sepagi mungkin. Padahal istrinya belum bangun.150
Jadi terpaksa dia menyiapkan sarapannya sendiri. Ibu
Handi memang sudah mengomel terus sejak tadi.
"Dasar perempuan zaman sekarang! Suami sudah
siap berangkat kerja, dia belum bangun juga! Istri
apaan tuh? Makanya perempuan jangan sekolah
tinggi-tinggi! Tidak usah cari istri kelewat pintar!
Kebelinger!"
Tetapi Handi pura-pura tidak mendengar gerutuan
ibunya. Dia terus saja menyiapkan kopi. Memeras air
jeruk. Menggoreng nasi. Repotnya bukan main.
Ibu sampai heran melihatnya. Dan lebih heran
lagi melihat Handi meletakkan semuanya di atas
nampan.
"Kalau mau nasi goreng, bilang saja sama Ibu,
Di," katanya kesal. "Nanti Ibu buatkan! Ibu masih
bisa kok bikin nasi goreng untukmu!"
"Ah, nggak usah, Bu," sahut Handi sambil
bersiul-siul riang. "Saya bisa bikin sendiri."
"Memangnya istrimu belum bangun juga?"
"Capek kali, Bu."
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Istri apaan begitu? Suami sudah bangun, belum
ada kopi di atas meja!"
"Kan ada si Imah, Bu. Kopi saya sudah ada di
atas meja."
"Si Imah cuma pembantu! Bukan istri! Buat apa
punya istri kalau bikin kopi saja nyuruh pembantu!"
"Buat apa punya istri kalau cuma untuk bikin
kopi, Bu?" balas Handi setengah bergurau. Wah,
mood-nya rupanya sedang bagus sekali pagi ini. Lihat
saja betapa sumringah wajahnya!
"Tapi istrimu harus sudah bangun sebelum suaminya!"151
"Tidak ada aturan begitu di surat kawin kami, Bu!
Biasanya juga Sisi bangun lebih dulu dari saya. Baru
pagi ini dia terlambat."
"Ah, dasar kamu yang kelewat baik! Jadi
melonjak istrimu tuh! Manja!"
"Apa salahnya sih manja sama suami sendiri?
Kalau Sisi manja sama orang lain, baru Ibu boleh
ribut!"
Tanpa menghiraukan gerutuan ibunya lagi, Handi
mengangkat nampannya. Sambil bersiul-siul dia
membawa nampan itu ke kamar istrinya.
"Mau dibawa ke mana?" cetus Ibu heran. Ke
kamar? Astaga! Anaknya melayani istrinya makan di
kamar? Bukan main! Dan mengapa pagi ini dia
kelihatan gembira betul?
Kecurigaan Ibu tambah besar ketika didengarnya
suara tawa anaknya dari kamar. Begitu keras. Begitu
bebas. Begitu riang. Sudah lama tidak dilihatnya
anaknya seriang ini. Apa yang diberikan istrinya tadi
malam?
Lima tahun menikah, belum pernah mereka
sarapan di kamar! Biarpun waktu pengantin baru!
Handi selalu ingin makan di dekat ibunya. Seperti
dulu-dulu.
Sayang ibu Handi tidak tahu, sebenarnya Sisi-lah
yang menginginkan mereka selalu makan bersama.
Maksudnya supaya ibu Handi jangan terlalu
kehilangan. Jangan merasa sendirian. Jangan merasa
dikesampingkan.
Mentang-mentang anaknya sekarang sudah punya
istri. Dan supaya hubungannya dengan mertuanya semakin baik. Sisi tidak mau dianggap merampas
Handi. Meskipun itu haknya sebagai istri.152
Sampai Handi dan Sisi keluar dari kamar sambil
tersenyum-senyum, ibu Handi masih duduk seperti
tugu di kursinya. Air mukanya pahit seperti kopi
tanpa gula. Dan dia belum sarapan. Nasinya masih
utuh di piring. Kopinya sudah dingin.
Handi tidak mengajaknya makan sama sekali.
Jangankan mengajak. Menawarkan nasi gorengnya
saja tidak!
Ibu Handi merasa hatinya sakit. Amat sakit. Tiga
puluh tahun dia telah memberi makan anaknya.
Belum sekalipun Handi membuatkan makanan
untuknya!
Tapi buat istrinya yang malas itu, dia sampai rela
membuat nasi goreng, bahkan melayaninya makan di
kamar!
Dia bukan hanya merasa tersisih. Merasa terhina.
Dia malah menyesal karena Handi sudah merendahkan derajatnya sebagai laki-laki! Selama suaminya
hidup, belum pernah sekali pun suaminya melayani
dia makan! Apalagi membawanya ke kamar tidur!
Biar dia sedang sakit sekalipun, suaminya belum
pernah membuatkannya kopi! Suami adalah
junjungan yang harus dihormati. Masa harus melayani
istri! Dasar si Handi yang tolol! Mau saja diinjakinjak istri! Padahal ada apanya sih perempuan itu?
Ibu Handi melirik Sisi dengan dengki.
Cakep ya tidak. Hidungnya besar seperti badut.
Mulutnya lebar seperti buaya.
"Sudah makan, Bu?" sapa Sisi sambil meletakkan
nampannya di meja.
Ibu cuma mendengus sambil membuang muka.
Pakai tanya, lagi! Tidak lihat tuh nasi masih
teronggok penuh di piring? Cuma berlagak saja di
depan suami! Cari muka! Bah.153
Sisi melirik suaminya tepat ketika Handi sedang
memandang ke arahnya. Tapi dia cuma mengangkat
bahu.
"Makan sedikit ya, Bu?" pinta Sisi mencoba
sabar. Barangkali begini perempuan kalau sudah
menopause. Pagi-pagi sudah marah-marah. Tidak tahu
apa sebabnya uring-uringan terus. "Handi bikin nasi
goreng. Enak lho, Bu!" Sisi menyeringai kepada
suaminya. Handi balas membusungkan dada sambil
tersenyum. "Cicipi sedikit, ya?"
Makan bekas-bekasmu? Sampai mendelik mata
ibu Handi. Masa dia harus makan nasi goreng sisa?
Keterlaluan! Mentang-mentang Ibu sudah tua. Sudah
tidak berharga lagi. Biar mati kelaparan, Ibu tidak
sudi makan bekasmu!
"Ini masih bersih kok, Bu," buru-buru Sisi
menimpali ketika melihat muka mertuanya sudah
semrawut seperti sayur asam. "Sengaja saya sudah
pisahkan untuk Ibu"
"Kasih kucing saja!" sentak Ibu judes.
Lalu sambil mengentakkan kaki dia bangkit berteriak-teriak memanggil si Imah. Dan kemarahannya
meledak ketika Imah tidak mendengar panggilannya
yang pertama. Padahal Imah sudah tergopoh-gopoh
berlari mendatangi seperti dikejar pocong.
"Tuli, ya?" seperti menemukan tempat
pelampiasan, habislah si Imah dimaki-maki. "Atau
sengaja pura-pura tidak dengar? Mentang-mentang
aku sudah tua! Sudah tidak ada harganya. Tidak
diladeni! Cuma yang muda yang kamu layani?"
"Maaf, saya nggak dengar, Bu." Imah membungkuk-bungkuk ketakutan. "Saya sedang nyuci di
belakang."154
"Bohong! Katanya suaraku seperti geledek!
Kedengaran sampai ke Jembatan Semanggi!"
"Betul, Bu..." gumam Imah kecut.
"Betul apa?" potong Ibu galak. "Suaraku seperti
geledek?"
"Sumpah mati saya tidak dengar, Bu"
"Sudahlah, Bu," potong Handi jcngkel. "Buat apa
sih marah-marah pagi-pagi begini? Kan dia sudah
bilang, tidak dengar!"
Tapi ibunya tidak menggubris bujukannya. Matanya masih melotot seperti hendak menelan si Imah
hidup-hidup.
"Mana obat encokku? Kan aku sudah bilang,
tempat obatku mesti disediakan di atas meja!"
Ya ampun, gerutu Sisi gemas. Baru beberapa
tahun yang lalu dia masih buka kios permak jins di
pasar! Sekarang mengambil tempat obatnya saja tidak
mau!
"Ibu memang kelewatan," keluh Handi sambil
menghela napas. Keriangannya hilang entah ke mana.
Saat itu mereka sedang di kamar Pipie. "Keterlaluan
amat sih sama pembantu!"
"Ibu marah karena Mas tidak mengajaknya
makan," sahut Sisi sabar.
"Masa saya harus mengajaknya juga ke kamar
kita?"
"Makanya Ibu marah. Biasanya kan Mas Handi
sarapan di meja. Bersama Ibu."
"Tapi masa tidak boleh saya makan berdua istri?"
"Ibu kan memang selalu mencemburui saya."
"Imaaahhh...!!" jeritan merdu itu melengking lagi.
"Astaga," keluh Handi kesal. "Rasanya tensi Ibu
perlu diperiksa."155
"Ada apa, Bu?" suara Imah kedengaran gemetar
ketakutan.
"Kamu benar-benar benci sama aku, ya? Ini kopi
atau jamu?"
Sambil memeluk Pipie, Sisi bertukar senyum
pahit dengan Handi.
"Kurang gula ya, Bu?"
"Aku tahu gula mahal. Aku tahu aku cuma
numpang di sini! Tapi kalau kamu malas bikin kopi
untukku, bilang! Besok aku bikin sendiri!"
"Semuanya gara-gara nasi gorengmu, Mas,"
gumam Sisi perlahan. "Kasihan si Imah."
"Rasanya aku harus menegur Ibu!" geram Handi
tidak sabar lagi. Dia menerjang keluar dengan
jengkel. "Mungkin Imah lupa memberi kopi Ibu gula.
Tapi Ibu kan tidak perlu marah-marah begini!"
"Jadi kamu juga sekarang memusuhi Ibu!" desis
ibunya menahan tangis. "Kamu lebih sayang pembantumu daripada ibu yang melahirkanmu!"
"Astaga, Ibu!"
"Ibu tahu," ibunya menyusur air matanya dengan
lengan bajunya. "Sejak menikah kamu memang sudah
tidak sayang lagi sama Ibu!"
"Ibu kok jadi melantur?" gerutu Handi gemas.
"Kalau Ibu menegur istrimu, kamu marah sama
Ibu. Kalau Ibu marah sama pembantu, malah kamu
bela dia! Biar Ibu ikut ayahmu saja! Sudah tidak ada
yang sayang sama Ibu!"
"Siapa bilang saya tidak sayang sama Ibu?" keluh
Handi serbasalah.
"Tadi malam Ibu mimpi," sekarang ibunya sudah
terisak. "Ayahmu datang menjemput naik mikrolet
tuanya!"
Sisi mengatupkan rahangnya menahan jengkel.156
???
Hari itu Sisi terlambat masuk. Dokter Iwan sudah
datang.
"Maaf, Dok," katanya tidak enak. "Anak saya
kurang sehat."
"Tidak apa," sahut Dokter Iwan sabar. "Apa
namanya dokter kalau tidak bisa mengobati anak
sendiri."
"Terima kasih, Dok," Sisi tersenyum membalas
kelakar Dokter Iwan. Ah, dia memang baik. Sabar.
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selalu ramah. Kepada siapa pun. Juga kepada seorang
keluarga pasien yang tiba-tiba muncul di depannya.
Langsung bertanya dengan lagak seorang penguasa.
"Di mana kamar Airin Setiadi, Dok?"
Sisi menoleh. Laki-Iaki itu berumur sekitar tiga
puluhan. Wajahnya ganteng. Tubuhnya tinggi tegap.
Kulitnya bersih. Rambutnya rapi dan modis.
Dandanannya menyiratkan cowok metroseks yang
sedang "in".
"Saya tidak hafal nomor kamarnya," sahut Dokter
Iwan sabar. "Coba tanya Suster di sana itu. Airin
sedang disiapkan untuk pulang. Bapak keluarganya?"
"Saya suaminya."
Frans! Sisi tersentak kaget. Frans Putuhena!
Bagaimana dia bisa lupa! Cowok idola di SMA
mereka! Pacar Airin!
Sisi buru-buru berbalik untuk menyembunyikan
wajahnya. Tetapi sebenarnya tidak perlu. Karena
Frans tidak mengenalinya. Dan dia memang hampir
tidak memedulikan orang lain. Juga para perawat
yang menatapnya dengan kagum.157
"Punya suami seganteng itu masih mabukmabukan," bisik Suster Ina kepada Suster Gita.
"Tadinya kukira suaminya loyo kayak permen karet!"
Sisi tidak mau mendengar bisik-bisik mereka lagi.
Harinya sakit sekali. Bukan karena mereka menggunjingkan Frans. Kalau hanya Frans, masa bodoh
amat mereka omong apa! Siapa yang peduli?
Hati Sisi sakit karena Frans datang. Justru pada
saat dia hampir berpisah dengan Airin. Kini lebih tak
mungkin lagi menemui Airin untuk terakhir kalinya.
Padahal Sisi sudah nekat. Masa bodoh amat di sana
ada ibu Airin. Bapaknya. Atau persetan siapa pun!
Dia kini dokter terhormat. Punya suami terhormat
pula. Punya anak. Siapa yang berani menghinanya
lagi?
Ibu Airin kini harus menghormatinya dan melupakan masa lalu mereka! Anggap saja semua kejadian
itu cuma masalah kenakalan remaja!
Tetapi kini ada Frans. Sisi tidak mau melihatnya
di sisi Airin. Apalagi menyaksikannya memeluk
Airin. Bahkan menciumnya!
Jauh-jauh Frans datang dari Amerika. Dia pasti
masih menyayangi Airin. Sekarang Airin tidak
sendirian lagi. Ada lelaki yang mencintainya.
Mendampinginya selama dia menjalani rehabilitasi.
Sisi tidak jadi menengok Airin. Tidak jadi mengucapkan selamat berpisah. Dari jauh saja dia melihatnya duduk di atas kursi roda. Didorong perawat
keluar dari Bagian Neurologi. Airin tidak menolehnoleh mencarinya. Dia diam saja di kursi rodanya.
Menatap lurus ke depan.
Tentu saja. Apa lagi yang dicarinya? Frans
melangkah gagah di sisinya. Ibunya di sisi yang lain.158
Airin tidak membutuhkan Sisi lagi! Selamat tinggal
masa lalu!
Seharian itu Sisi jadi uring-uringan terus. Juga
ketika sore Handi menjemputnya.
"Ada apa?" tanya Handi separuh bergurau.
"Kamu hamil lagi?"
Sisi tidak menjawab. Dia sedang tidak ingin bercanda. Tidak ada semangat.
Dan keadaan di rumah tidak mengusir
kejengkelannya. Malah menambah pengap dadanya.
Begitu sampai di rumah, Handi langsung mencari
ibunya.
"Mana Ibu, Mah?" tanyanya ketika Imah
menyodorkan segelas air es.
Biasanya, Ibulah yang menawarkan minum kalau
dia pulang dari puskesmas.
"Di kamar, Pak. Tidur."
"Tidur?" Handi mengerutkan dahi. Dan melirik
jam tangannya. "Sore-sore begini? Biasanya Ibu
belum tidur sampai saya pulang praktek nanti
malam."
"Mungkin Ibu pikir kamu sudah besar." Sisi tidak
ingin menyindir. Tapi perasaan yang tidak enak membuat suaranya terdengar tidak menyenangkan. Untung
Handi tidak marah.
"Barangkali Ibu sakit, Sis."
"Nah, lihatlah Ibu di kamar," sahut Sisi acuh tak
acuh. Dia sudah langsung mencari Pipie setelah mencuci tangan dan mengganti baju.
Pipie melompat-lompat gembira melihat ibunya.
Dia berteriak-teriak sambil berlari-lari di dalam
ru
mah. Pipie memang anak yang hiperaktif. Tidak
heran kalau rumah berubah jadi pasar.159
Dan dia belum mau diam kendati ayahnya membentaknya dari pintu kamar Nenek.
"Diam, Pie! Eyang lagi sakit!"
Ketika Pipie tidak mau diam juga, Handi keluar
dengan marah. Kali ini dia menyuruh istrinya.
"Ibu sakit, Sis. Sekarang lagi tidur. Kalau kamu
tidak bisa menyuruhnya diam..."
Mau kamu apakan, tantang Sisi jengkel. Kamu
pukul?
Tapi dia tidak sampai mengucapkan kata-kata itu.
Dia hanya menggendong Pipie tanpa berkata apa-apa.
Lalu membawanya ke kamar.
Sejam kemudian, Handi masuk ke kamar. Sisi
mengangkat mukanya dengan acuh tak acuh.
"Pipie sudah tidur," katanya perlahan. "Mudahmudahan Ibu bisa tidur nyenyak."
"Ajak Ibu makan ya, Sis," pinta Handi lunak.
Suaranya sudah tidak mengandung kejengkelan lagi.
"Kata Imah tadi siang tidak mau makan."
"Mana mau kalau saya yang menawari makan?"
bantah Sisi dalam nada tinggi. "Ibu kan mau makan
sama Mas Handi. Sejak pagi."
"Jangan marah, Sis," kata Handi sabar. Dia duduk
di tepi ranjang. Membelai kepala anaknya. "Namanya
juga orang tua. Kadang-kadang jadi seperti anak kecil
lagi. Maklumlah kalau sekali-sekali ingin dimanjakan."
"Nah, manjakanlah, sahur bisi datar. Ibu ingin
sekali dimanja oleh Mas Handi. Coba Mas yang ajak
Ibu makan. Pasti mau."
"Saya baru dari sana. Ibu tidak mau makan."
"Coba buatkan nasi goreng. Bawa ke kamarnya.
Suapi kalau perlu." Sisi berusaha tidak cerdengar me-160
nyindir. Tapi sesampainya di telinga Handi, suaranya
malah terdengar seperti mengejek.
"Kok jadi sinis begitu sih?" sergah Handi agak
tersinggung. "Saya kan belum pernah menyuapi Ibu."
"Mas tidak percaya? Kalau disuapi, Ibu pasti
mau. Awal kemarahan Ibu kan cuma karena tadi pagi
Mas Handi membuat nasi goreng untuk saya. Dan
melayani saya sarapan di kamar."
"Ah, Ibu pasti tidak seperti itu."
Handi meninggalkan kamar Pipie. Tapi dia pergi
juga ke dapur. Menggoreng telur. Menyendok nasi ke
piring. Dan membawanya ke kamar ibunya.
Setelah hampir lima menit merayu, akhirnya
ibunya mau juga bangun dengan susah payah.
Bersandar dengan lemah ke tumpukan bantal yang
disusun Handi. Seolah-olah tulang punggungnya
sudah meleleh jadi bubur.
"Ibu harus makan," bujuk Handi sabar. "Kalau
tidak, Ibu bisa sakit."
Ibu cuma mengeluh lemah.
Handi meletakkan piringnya di pangkuan ibunya.
"Ayo, makan, Bu."
Tetapi Ibu tidak mampu membuka mulutnya.
Seolah-olah semua giginya sudah melekat jadi satu.
Terpaksa Handi menyuapi ibunya. Dan Ibu menelan
makanannya dengan sulitnya. Beberapa kali batukbatuk kecil.
Ketika akhirnya dia betul-betul tersedak, Handi
berhenti menyuapi.
"Ibu minum susu saja, ya," katanya putus asa.
Waktu dia keluar dari kamar, dia melihat istrinya
sedang duduk di depan laptopnya. Dia tidak mengangkat mukanya. Tidak menanyakan keadaan Ibu.
Handi jadi tambah jengkel.161
"Kamu tidak mau melihat Ibu, Sis?"
Kalau itu yang kamu mau, dumal Sisi dalam hati.
Sisi sedang tidak ingin bertengkar. Dia sudah
capek. Tanpa berkata apa-apa dia bangkit. Melangkah
ke kamar mertuanya.
Tetapi begitu dia masuk, peluru pertama
menyambarnya.
"Mana Handi?" tanya mertuanya dingin.
"Lagi bikin susu untuk Ibu."
"Dulu dia memang anak yang baik."
"Sekarang juga," sahut Sisi menahan marah.
Cuma kamu yang tidak tahu diri! "Mas Handi sayang
sekali sama Ibu."
"Memang tidak boleh anak sayang ibunya?"
Salah lagi.
"Tentu saja boleh," Sisi menghela napas panjang.
Sabar. Sabar. Sabar. "Saya juga sayang sama Ibu."
Bukannya tersenyum, mertuanya malah mendengus. Matanya menatap dingin. Kalau bisa bicara,
barangkali mata itu berkata, Sayang dengkulmu!
Ketika Handi masuk membawa segelas susu, Sisi
minta izin keluar. Dia tidak mau melihar mertuanya
minum susu seperti bayi. Barangkali kalau perlu, dia
minta dot!
"Ibu takut, Di," rintih ibu Handi ketika dia sedang
minum dengan susah payah. Beberapa kali terbatukbatuk sampai Handi terpaksa menyendokkan susu ke
mulut ibunya.
"Ibu takut apa? Saya kan ada di sini."
"Ibu takut tidak dapat mendampingimu lagi.
Bagaimana kalau Ibu sudah tidak ada?"
"Ibu jangan berpikir yang bukan-bukan!"
"Semalam ayahmu datang, Di"162
"Biar saja Ayah datang. Ayah cuma mau
menengok Ibu."
"Ayahmu mengajak Ibu pulang naik
mikroletnya."
"Ah, itu kan cuma mimpi, Bu!"
"Tapi Ibu takut, Di" Dan Ibu mulai menangis
sambil memeluknya.
"Ibu mau saya temani?" keluh Handi serbasalah.
"Ibu mau saya tidur di sini malam ini?"
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
???
"Tidur bersama ibumu?" hampir terpekik Sisi.
"Cuma malam ini saja, Sis. Ibu sakit."
"Tapi kenapa mesti Mas Handi? Kenapa
bukan saya? Atau si Imah?"
Sisi tidak peduli Handi tidur di kamarnya atau di
kamar tamu. Tidak tidur sekamar malah dia merasa
lebih aman. Tapi di kamar ibunya? Yang benar saja!
Laki-laki itu sudah berumur tiga puluh tahun!
Masa dia mesti tidur di kamar ibunya? Malah
mungkin di ranjangnya!
Sisi yakin, mertuanya tidak sakit. Badannya sehat.
Jiwanya yang sakit! Dan Sisi tidak mau suaminya ikut
sakit!
"Barangkali Ibu lebih percaya kepada saya,"
bujuk Handi sabar. "Tidak apa-apa kan, Sis? Biasanya
juga kamu tidur dengan Pipie."
"Tapi ini beda, Mas! Pipie baru empat tahun! Mas
Handi sudah tiga puluh!"
"Maksud saya, biasanya juga kita tidak tidur
sekamar lagi. Cuma kadang-kadang."
"Banyak pasangan yang tidak tidur sekamar lagi,
Mas. Tapi tidak ada yang tidur dengan ibunya!"163
"Apa salahnya tidur sekamar dengan ibu kandung
sendiri?"
Handi tidak merasa aneh kalau seorang anak tidur
menemani ibunya. Apalagi kalau ibunya sedang sakit.
Sebelum menikah dulu pun dia sering tidur bersama Ibu. Kalau dia ketiduran karena lelah. Atau jika
sedang memijat kaki ibunya.
Kenapa Sisi malah marah-marah? Tidak pantas
dia kesal. Sekali-sekali dia harus mengalah. Jangan
mau memonopoli suaminya. Biarpun sudah menjadi
suaminya, Handi kan masih tetap anak ibunya.
Anggap saja dia berbakti pada orangtua.
"Ibu kan baru sekali ini minta ditemani, Sis. Ibu
sakit. Dan Ibu takut. Tadi malam Ibu mimpi Ayah
datang menjemputnya. Jadi Ibu takut mati. Wajar kan
kalau Ibu bersikap seperti anak-anak lagi? Dia kan
sudah tua."
Kamu yang tidak wajar, gerutu Sisi dalam hati.
Hubungan kalian yang tidak normal!164
Bab 14
TIGA bulan telah lewat. Sisi tidak pernah mendengar
kabar apa-apa lagi dari Airin. Sering dia merindukannya. Sering dia bertanya dalam had, sudah
pulangkah Airin ke Amerika? Bukankah Frans sudah
menjemputnya?
Atau... dia masih di Jakarta? Di sebuah tempat
rehabilitasi. Untuk menyembuhkan adiksinya terhadap alkohol?
Mudah-mudahan rehabilitasinya berhasil. Mudahmudahan dia dapat menyembuhkan kecanduannya.
Mudah-mudahan dia bisa memperbaiki hidupnya.
Memang sudah tidak ada masa depan untuk
hubungan mereka berdua. Tapi jika Airin bisa
mengatasinya... jika dia bisa menyembunyikan
kelainannya... mengalihkannya ke aktivitas lain...
seperti Sisi
Memang hidup Sisi juga tidak terlalu mulus.
Rumah tangganya jauh dari bahagia. Perkawinannya
memang langgeng. Tapi tidak hangat.
Satu-satunya hiburannya hanyalah Pipie. Kalau
Airin bisa punya seorang Pipie... barangkali dia tidak
usah melarikan diri kepada minuman keras!
Pipie-lah satu-satunya yang ingin dilihat Sisi jika
dia pulang dari rumah sakit. Memeluk Pipie, mengusir semua kekecewaan dan penderitaan dari hatinya.165
Melihat anaknya yang lucu itu tertawa, menggebah
semua keletihannya.
Tetapi hari ini, dia tidak melihat Pipie ketika
pulang dari rumah sakit. Handi yang baru
memasukkan mobil ke garasi juga merasa heran.
"Di mana Ibu? Biasanya Ibu selalu menunggu
saya pulang. Menawari minum. Apa Ibu sakit Iagi?"
"Di mana Pipie?" cetus Sisi khawatir.
Dia memanggil-manggil pembantunya. Dan Imah
tergopoh-gopoh masuk.
"Dari mana kamu?" tegur Sisi kurang senang.
Apa Imah mulai menyelinap keluar untuk pacaran
dengan salah seorang kuli bangunan di depan?
"Disuruh Ibu cari mangga harumanis, Bu," sahut
Imah setengah mengeluh. "Sudah saya cari ke manamana, nggak ada yang jual."
"Tentu saja tidak ada!" gerutu Sisi jengkel. "Kan
tidak musim! Kamu disuruh cari ke mana?"
"Namanya juga orang tua, Sis," sela Handi.
"Sabarlah."
"Saya kan tidak marah sama Ibu!"
"Tapi kamu selalu menyalahkan Ibu."
"Kata siapa."
"Ibu yang bilang. Katanya apa-apa yang
dilakukannya selalu salah."
"Ibu mengadu begitu sama Mas Handi?" belalak
Sisi panas. Batas kesabarannya benar-benar sudah terlewati.
Dia kan manusia. Bukan dewa. Manusia kalau difitnah terus pasti akhirnya melawan juga.
"Sudahlah. Saya juga tidak percaya kok."
"Tapi ini sudah keterlaluan, Mas! Ibu selalu
menghasut Mas Handi untuk membenci saya!"
"Saya tahu. Lupakan sajalah."166
"Tapi semakin hari tingkah Ibu semakin
keterlaluan, Mas. Ibu seperti mau memecah belah
kita! Barangkali Ibu senang kalau kita bertengkar.
Atau bercerai sekalian!"
"Hus! Jangan ngomong begitu!"
"Saya sudah tidak tahan, Mas. Rasanya kita harus
cari solusinya. Saya tidak bisa tinggal serumah lagi
dengan Ibu. Salah-salah suatu hari saya bisa lupa,
saya harus menghormati Ibu!"
"Kamu ngomong apa sih? Kalau tidak tinggal
sama kita, Ibu harus tinggal di mana?"
"Kita bisa kontrakkan Ibu rumah. Biar Ibu memilih pembantunya sendiri. Kita yang membiayai
semuanya."
"Mana mau Ibu pisah dengan saya? Sudahlah,
Sis! Jangan macam-macam! Kepala saya jadi
pusing!"
Dan jerit tangis Pipie sudah terdengar dari pintu
belakang. Bergegas Sisi menghambur mendapatkan
anaknya.
Dan dia melihat mertuanya sedang mcnarik
setengah menyeret tangan Pipie. Dia sedang berusaha
meredakan tangis cucunya. Tapi Pipie menangis terus.
"Kenapa?" Sisi berusaha mengusir nada dingin
dalam suaranya. Tetapi suaranya tetap terdengar
kering. Tawar. "Jatuh lagi?"
"Nakal sih! Naik-naik melulu!" ada ketakutan
dalam suara ibu mertuanya. Matanya juga terlihat
panik.
Ketika melihat ibunya, Pipie melepaskan diri dari
pegangan neneknya. Dan lari menghambur ke pelukan
Sisi. Sia-sia ibu Handi mencoba menahannya.
Sekarang Sisi dapat melihat lebih jelas. Dan
matanya terbelalak antara kaget dan cemas.167
Kening Pipie robek sepanjang hampir tiga sentimeter. Darah mengalir deras dari lukanya.
Sisi sudah sering melihat luka. Sudah biasa
melihat darah. Sudah tidak terhitung lagi seringnya
menjahit luka.
Tapi yang luka orang lain! Yang dijahitnya
pasien. Bukan anaknya!
Melihat anaknya berdarah seperti itu, Sisi panik.
Kakinya jadi lemas. Tangannya dingin.
"Ibu!" teriaknya marah. "Ibu apakan anak saya?"
"Jatuh!" sahut mertuanya sama marahnya. "Dia
kan cucu Ibu juga! Masa sengaja Ibu bikin celaka?"
"Mas Handi!" jerit Sisi setelah sia-sia menekan
luka Pipie dengan telapak tangannya. Darahnya
mengalir terus. Sisi ngeri sekali melihat tangannya
yang sudah berlumuran darah.
Handi berlari-lari datang dengan bingung.
"Ada apa lagi?" Dan suaranya hilang ketika
melihat darah di tangan isrrinya dan di muka anaknya.
"Ambil kasa, Mas! Cepat! Darahnya banyak
sekali."
"Aduh, Ibu!" bentak Handi marah kepada ibunya.
"Kenapa Pipie bisa jatuh?"
"Dia nakal! Naik-naik melulu!"
"Memang tidak ada yang jaga? Kenapa Imah
malah disuruh cari mangga?"
"Mas! Kasa!" teriak Sisi sambil menggendong
anaknya dengan panik.
Tergopoh-gopoh Handi mengambil tas dokternya.
Mencari gulungan kasa untuk menekan luka di kening anaknya supaya darahnya berhenti.
"Rasanya mesti dijahit, Sis," katanya cemas.
"Saya tidak tega, Mas!" keluh Sisi menahan
tangis.168
"Tapi harus kita coba, Sis."
"Masa dokter tidak bisa mengobati anak sendiri?"
sela ibu Handi nyinyir. "Apa namanya dokter kalau
begitu?"
Saatnya benar-benar tidak tepat. Kemarahan
Handi langsung meledak. Dia sedang bingung.
Cemas. Panik. Dan ibunya malah mengejek!
"Sudahlah, Bu! Diam!" bentaknya sengit.
Ibunya sampai kaget. Dia langsung terdiam. Air
mukanya berubah. Belum pernah dia dibentak sekeras
itu oleh anaknya. Di depan istrinya, lagi!
Dalam keadaan biasa, Sisi mungkin bersorak
dalam hati. Tapi sekarang, jangankan bersorak.
Bernapas saja sudah sulit!
"Mas bisa menjahit Pipie?" gumam Sisi ragu.
"Tidak perlu kita bawa ke rumah sakit saja, Mas?"
"Malu, Sis. Masa kita berdua tidak bisa menjahit
luka anak sendiri?"
"Tapi saya tidak tega"
"Biar saya yang memegangi Pipie. Kamu yang
jahit, ya?"
Akhirnya Sisi tidak punya pilihan lain.169
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bab 15
PIPIE menangis dan menjerit-jerit selama lukanya
dijahit.
"Diam-diam ya, Manis," bujuk Handi yang
sedang kewalahan memegangi anaknya. "Diam-diam
sebentar, ya? Sebentar saja...."
Sisi juga tidak kalah tegangnya. Dia takut jahitannya kurang rapi. Takut melenceng. Soalnya Pipie
tidak bisa diam sama sekali.
Tapi sekaligus dia juga kasihan melihat
penderitaan anaknya. Sampai rasanya dia ingin dia
saja yang dijahit!
Setelah berjuang mati-matian menjahit luka yang
biasanya pekerjaan sepele, akhirnya tugas itu selesai
juga.
Sisi menghela napas lega, keringat membanjir di
sekujur tubuhnya.
"Lebih berat dari menjahit luka operasi,"
keluhnya sambil menggendong dan menciumi
anaknya. "Maatkan Mama ya, Sayang. Mama
menyakiti Pipie."
Tetapi Pipie bukannya diam, malah menangis
makin keras. Dia meronta-ronta sambil menjerit-jerit
dalam gendongan ibunya.
"Jangan nangis dong, Manis," bujuk Handi sambil
membelai-belai kepala anaknya. "Tadi Papa janji apa,170
coba? Kita pergi minum es krim, ya? Pipie mau mainan apa? Boneka yang sebesar Mama?"
"Jangan bohongi anak kecil, Mas!" tegur Sisi
serius.
"Apa juga yang dia minta, akan saya cari," sahut
Handi tegas.
Tetapi Pipie tetap menangis. Karena sibuk mengobati dan membujuk anaknya, Handi lupa di mana
ibunya.
Dia malah tidak pamitan waktu membawa anakistrinya pergi ke mal. Membeli mainan untuk Pipie.
Dan minum es krim seperti yang dijanjikannya. Padahal sampai sebesar ini, Handi belum pernah pergi
tanpa pamit pada ibunya.
Di toko mainan, Handi menyuruh anaknya
memilih boneka apa saja yang diinginkannya. Tetapi
Pipie tidak mau boneka. Dia memilih pesawat
terbang.
"Anak perempuan main kapal terbang?" Handi
tertawa geli. Dia merasa lucu.
Tapi Sisi tidak. Dia malah merasa dingin.
"Mo jadi sopil kapal telbang," kata Pipie mantap.
"Memangnya Pipie mau jadi pilot?" Handi membeliak pura-pura terkejut. "Bukan sais delman aja?"
"Pilot?" Pipie menatap ayahnya dengan matanya
yang indah. Entah mata siapa yang melekat di sana.
Bukan mata Sisi yang besar. Bukan pula mata Handi
yang sipit.
"Sopir kapal terbang!" Handi masih tersenyum
geli. "Pipie mau jadi pilot?"
"He-eh," Pipie mengangguk lalu menoleh kepada
ibunya. "Boleh, Ma?"171
Sisi hanya mampu menganggukkan kepalanya.
Handi mengira istrinya tidak setuju anak perempuan
mereka menjadi pilot karena takut.
"Saya tidak akan melarang Pipie. Dia boleh
menjadi apa pun yang dia mau."
Ketika Sisi diam saja, Handi melanjutkan sambil
berbisik. Khawatir anaknya yang sedang digendongnya mendengar kata-katanya.
"Tapi kalau boleh memilih, saya lebih suka dia
jadi peragawati. Model. Atau bintang film." Handi
tersenyum lebar. "Soalnya dia cantik."
"Betul Pipie nggak mau boneka?" tanya Sisi di
depan kasir.
Pipie menggeleng mantap.
"Dia keras hati seperti bapaknya," kata Handi
bangga. "Untung dia cuma mewarisi kekerasan
hatinya. Bukan mukanya." Dicubitnya hidung
anaknya yang mancung dengan gemas. "Dari mana
sih Pipie dapat hidung mancung begini? Papa pesek.
Mama hidungnya besar kayak jambu!"
Sisi memukul lengan suaminya dengan kesal.
"Jangan keras-keras! Nanti mereka kira kita
nyulik anak!"
Handi tertawa geli. Pipie ikut tertawa. Manis. Dan
Sisi tahu sekali dari mana anaknya mewarisi kecantikannya. Dalam dunia kedokteran, hal itu disebut
maternal impresi. Tapi kalau Pipie mewarisi citacitanya juga, Sisi sendiri tidak mengerti.
Mudah-mudahan kamu cuma mewarisi
kecantikan dan cita-citanya saja, Sayang, bisik Sisi
dalam hati. Jangan kelainannya. Biar Mama saja
yang menderita!
Dari toko mainan, mereka pergi minum es krim.
Dan lagi-lagi Pipie mengejutkan orangtuanya.172
"Pipie mau minum es krim apa?" tanya Handi.
"Cokelat? Stroberi? Vanila?"
"Kopi."
"Kopi?" Handi terbelalak menahan tawa. Lalu dia
menoleh pada istrinya, pura-pura bertanya. "Umur
berapa anak boleh minum kopi, Ma?"
"Ngngng... Pipie mo kopiiii...!" Pipie mulai bersiap-siap untuk ngambek.
"Iya, Sayang...." Handi memeluk anaknya dan
mencubit pipinya dengan gemas. "Papa kan cuma bercanda!"
Ketika Pipie memukul tangan ayahnya dengan
kesal, Sisi menegurnya.
"Jangan begitu sama Papa, Pie."
"Biar saja, Sis," Handi masih tersenyum sabar.
"Namanya juga anak kecil. Dia kan cuma meniru
pukulanmu ke lenganku tadi."
"Kalau tidak diajar sejak kecil, kita sudah
terlambat mengajarnya," sahut bisi tegas. "Mas
Handi terlalu memanjakannya. Makanya dia jadi
bandel."
"Jatuh kan biasa buat anak-anak, Sis. Pipie nggak
bandel kan, ya? Ya?" Handi menggoda anaknva lagi.
"Kalau dia jatuh dari pagar setinggi itu, dia pasti
sudah lama memanjat," ujar Sisi datar.
"Barangkali Ibu nggak lihat, Sis. Kalau lihat,
masa sih tidak dilarang? Pipie memang nakal.
Hiperaktif. Kita tidak bisa menyalahkan Ibu."
"Siapa yang menyalahkan Ibu?" nada suara Sisi
mulai meninggi.
"Tapi sikap dan kata-kata kita menyinggung
perasaan Ibu."
"Habis saya harus bagaimana? Saya sedang
panik."173
"Saya tahu," Handi menghela napas dengan
sabarnya. "Nanti kita minta maaf, ya?"
Sisi hanya mengangkat bahu. Untung es krim
keburu datang.
Dia memang kesal pada ibu mertuanya. Kalau
Imah tidak disuruh mencari mangga, dia bisa menjagai Pipie. Dan Pipie tidak jatuh!
"Cacat nggak, ya?" bisik Sisi khawatir ketika dia
sedang mengawasi anaknya minum es krim. Disekanya noda es krim yang melumuri bibir, dagu, bahkan
pipinya juga.
"Ah, nggak," sahut Handi berusaha menghibur
istrinya. Padahal dia sendiri juga cemas. "Jahitanmu
rapi."
"Mudah-mudahan tidak jadi keloid."
"Pasti tidak. Bekas luka di lututnya jaringan
parutnya juga tidak menonjol, kan?"
"Tapi ini bekas jahitan, Mas! Dan lukanya cukup
dalam."
Handi menghela napas. Ditatapnya kening
anaknya sambil menyembunyikan rasa cemas di
hatinya.
Dan kecemasannya meledak ketika tidak menemukan ibunya di rumah.
"Ke mana Ibu, Mah?" tanyanya bingung.
"Biasanya Ibu tidak pernah pergi tanpa bilang dulu
mau ke mana!
"Sudahlah, Mas," sela Sisi jemu. "Ibu kan bukan
anak kecil."
Sebelum ikut kita, tiap hari juga dia pergi ke
pasar!
"Ibu nggak bilang, Pak," sahut Imah. "Tapi Ibu
bawa tas pakaian"174
"Bawa tas?" Handi melongo. "Ibu mau ke mana
malam-malam begini?"
Barangkali dia mau menginap di hotel!
Tapi di mulut, Sisi hanya menjawab enteng.
"Ke rumah Pakde kali, Mas."
"Mau apa Ibu ke sana?"
Ngambek.
"Kangen, kali."
Dan sikap Handi sudah seperti cacing kepanasan.
Dia menelepon ke sana kemari.
"Ibu nggak ada di mana-mana, Sis! Di rumah
Pakde juga tidak ada!"
"Belum sampai mungkin. Kalau Ibu naik kereta
jam delapan malam, Ibu baru sampai di Solo besok
pagi."
"Saya harus menyusul Ibu, Sis."
"Menyusul ke mana?"
"Ke rumah Pakde."
"Katanya tidak ada."
"Mungkin betul katamu, belum sampai."
"Kenapa tidak mau menunggu sampai besok?
Mas bisa nyusul naik pesawat."
"Saya khawatir, Sis. Ibu pasti pergi dengan
marah. Saya khawatir dia berbuat yang bukan-bukan."
Apa misalnya? Bunuh diri? Mimpi dijemput saja
takut!
Tapi Sisi tidak mau memperlihatkan kesinisannya. Dia hanya mengangkat bahu.
"Gantikan saya praktek ya, Sis. Jangan lupa
telepon Dokter Yani besok pagi. Bilang saya cari
Ibu."
"Lebih baik bilang sakit," sahut Sisi tawar. "Nanti
Dokter Yani kira Ibu kena Alzheimer's."175
Kabur dari rumah entah ke mana! Persis nenekne-nek yang sudah pikun!
Tetapi Handi sudah tidak bisa diajak bicara. Kepanikannya sama seperti ketika melihat Pipie jatuh
tadi.
Tentu saja Sisi jengkel. Dan dia lebih jengkel lagi
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika keesokan harinya Handi menelepon dari Solo.
"Benar Ibu ke rumah Pakde, Sis," suaranya terdengar lega. "Ibu naik kereta malam. Pagi baru sampai
di Solo."
"Kalau begitu Mas Handi sudah bisa pulang. Naik
pesawat saja."
"Hari Minggu, ya? Ibu mau nginap tiga hari di
sini, Sis.
Tiga bulan juga boleh! Masa bodoh amat. Tapi
Handi! Mau apa dia ikut-ikutan tinggal di sana tiga
hari?
"Tanggung, Sis. Saya pulang sama Ibu saja, ya?
Kasihan Ibu pulang sendiri naik kereta api."
Sisi mematikan ponselnya dengan gemas. Dan
pintu rumahnya diketuk dua kali. Ketika dia
membuka pintu, dia melihat orang yang paling tidak
ingin dilihatnya.
"Rizal," geram Sisi menahan marah. "Sudah
berapa kali saya bilang, jangan datang ke rumah!"
"Tadi saya ke rumah sakit, Mbak. Tapi Mbak Sisi
belum datang."
"Tapi itu tidak berarti kamu boleh datang kemari!
Tunggu saja di sana!"
"Ada urusan penting, Mbak. Saya harus ketemu
Mbak secepatnya."
"Bagaimana kalau mertua saya ada di rumah?"
gerutu Sisi gemas.176
"Apa salahnya? Jelek-jelek begini, saya kan
iparmu! Nenek itu juga dulu cuma tukang permak jins
di pasar! Sekarang saja dia sok kaya! Mentangmentang anaknya dokter!"
"Hus! Jangan menghina! Dia mertua saya!"
"Dan saya iparmu!" Rizal menyeringai menyebalkan. "Boleh masuk, Mbak?"
Tanpa berkata apa-apa, Sisi melebarkan pintu.
Rizal masuk dengan gesit.
"Ada minuman, Mbak?"
"Biasanya kamu ambil sendiri."
"Ada bir?" Rizal menyeringai lebar.
"Ada, di toko."
Rizal tertawa terbahak-bahak. Sisi muak sekali
mendengarnya. Apalagi melihat gayanya yang
seenaknya membuka lemari es, mencari minuman.
Dia heran bagaimana Lia bisa jatuh hati pada lakilaki seperti ini. Malah mau menikah dengannya.
Tampang tidak ada. Pekerjaan tidak punya. Apa yang
dilihat adiknya dalam dirinya?
"Mbak, saya minta duit," katanya sambil membuka dan langsung meneguk minuman ringan itu dari
kalengnya.
Memangnya saya ibumu?
Tapi Sisi hanya menjawab ketus.
"Sudah saya bilang, jangan minta uang di sini!
Malu sama suami saya!"
"Saya perlu sekali, Mbak."
"Berapa?"
"Tiga juta."
"Gila kamu!"
"Lia hamil lagi, Mbak."
"Saya tahu. Dia sudah kemari minta uang tiga
hari yang lalu."177
"Dia sudah kemari?" belalak Rizal pura-pura terkejut. Padahal dia tahu, nasi yang dimakannya tiga
hari ini pun dibeli dengan uang itu.
"Zal," Sisi menghela napas kesal. "Kenapa kamu
masih begini-begini juga? Anakmu sudah hampir
tiga! Kenapa kamu belum mau kerja juga?"
"Uang yang saya minta ini justru untuk modal,
Mbak." Rizal menjatuhkan diri di kursi dengan
seenaknya.
Sebaliknya Sisi tidak mau duduk. Dia berdiri saja.
Supaya tamunya cepat pulang.
"Modal apa? Main judi? Atau beli narkotik?"
"Ada objek bagus, Mbak. Patungan sama temanteman."
"Objek apa? Mengedarkan narkoba?"
"Buka bengkel motor."
"Saya tidak tahu kamu bisa reparasi motor."
"Ini kesempatan bagus, Mbak."
"Dan kesempatan terakhir," sahut Sisi tandas.
Dalam nada bengis. "Sesudah ini, tidak ada uang lagi!
Persetan kamu menangis sekalipun!"
"Saya janji, Mbak!" Rizal menyembunyikan
matanya yang berkilat-kilat kegirangan. Dia
memamerkan seuntai senyum yang tampak sangat
alim. "Ini yang terakhir!"
Sisi masuk ke kamar. Mengambil tasnya. Dan
membuka dompetnya. Lalu dia buru-buru keluar lagi.
Takut beberapa barangnya keburu pindah ke ransel
Rizal.
"Tiga juta, Mbak?" dengan rakus Rizal meraup
uang yang dilemparkan Sisi ke atas meja.
"Sepertiganya," sahut Sisi dingin. "Sisanya saya
berikan kalau bengkelmu sudah bisa saya lihat buktinya.178
"Tapi sejuta tidak cukup, Mbak!" desah Rizal
kecewa.
"Kalau kamu tawar lagi, saya ambil kembali."
"Wah," buru-buru Rizal mengambil uang itu dan
memasukkan ke ranselnya. "Apa boleh buatlah. Bayar
DP dulu."
"Ibu baik?" tanya Sisi sambil berpangku tangan.
"Sudah beberapa kali menanyakanmu, Mbak.
Katanya kok sudah lama nggak datang."
Sisi menghela napas sedih. Dia ingin menitipkan
sedikit uang untuk ibunya. Tetapi dia tahu di mana
uang itu akan berakhir.
Kasihan ibunya. Kalau dia bisa membawa Ibu
tinggal di sini... Ibu tidak usah bekerja lagi! Tidak
usah makan hati menyaksikan penderitaan Lia tiap
hari. Anak bertambah terus, suami tetap menganggur!
Sisi mengusap air matanya. Dan terlambat
menyadari, ada yang tengah memperhatikannya
dengan cermat.
"Kok Mama nangis?"
Sisi menggendong anaknya dan mengecup
pipinya dengan lembut.
"Papa nakal, ya?"
"Nggak, Sayang."
"Papa nggak mau pulang?"
"Papa jemput Eyang."
"Naik apa?"
"Kereta api."
"Kenapa kita nggak ikut, Ma?"
"Pipie mau ikut?" Sisi tersenyum geli. Cuma
Pipie memang yang dapat menghibur hatinya. Cuma
dia yang membuat matahari masih bersinar esok pagi.
"Naik apa?"
"Pipie mau naik apa? Kereta api?"179
"Kapal telbang."
"Kapal terbang?" Sisi pura-pura membelalak
takjub.
"Pipie punya kapal telbang."
"Betul? Mama boleh numpang?"
"He-eh," Pipie mengangguk penuh semangat. "Ke
mana?"
"Ke mana?" sekarang Sisi tidak dapat menahan
tawanya lagi. Anak ini benar-benar lucu menggemaskan! "Katanya mau ajak Mama naik kapal
jemput Papa?"180
Bab 16
"IBUMU ada di kamar," kata pakdenya waktu Handi
datang. "Katanya dia diusir."
Ibu, Handi menelan kemengkalannya. Siapa yang
mengusir Ibu? Bikin malu saya di depan Pakde saja!
"Jangan begitu sama orangtua, Di," suara pakdenya terdengar dingin. "Kualat kamu nanti. Ibumu
sayang sekali padamu. Sepeninggal ayahmu, dia yang
berjuang menghidupimu. Menyekolahkanmu. Masa
sudah jadi dokter, kamu malah mengusir ibumu?"
"Ibu cuma salah sangka, Pakde," sahut Handi
sambil menyembunyikan rasa jengkelnya. "Makanya
saya menyusul Ibu. Boleh saya menemui Ibu, Pakde?"
"Tentu saja boleh. Mungkin sudah bangun. Tapi
jangan sakiti hatinya lagi."
"Ibu," sapa Handi lunak begitu masuk ke kamar.
Ibu masih duduk di tepi tempat tidur. Rupanya dia
baru bangun setelah tidur sebentar. "Kenapa Ibu pergi
tidak bilang-bilang?"
"Kamu kan sudah tidak butuh Ibu lagi," sahut
ibunya tawar. "Sudah punya istri."
"Maafkan Handi, Bu," Handi membungkuk dan
mencium tangan ibunya. "Kemarin Handi kelepasan
ngomong."
Ibu mengusap kepalanya dengan berlinang air
mata.181
"Handi... Handi... dari kecil Ibu besarkan kamu
dengan susah payah. Sudah besar, begini kamu
perlakukan ibumu!"
"Kan Handi sudah minta maaf, Bu. Handi sudah
bilang, kemarin Handi kelepasan. Ngomong kasar
sama Ibu."
Handi duduk di sisi ibunya. Menyesal melihat
ibunya sedang menangis.
"Jangan mentang-mentang sudah jadi dokter,
kamu tidak menghormati ibumu lagi "
"Lain kali tidak, Bu. Handi janji. Kita pulang ya,
Bu? Handi kan mesti praktek. Besok banyak tugas di
puskesmas."
"Ibu tidak mau pulang. Istrimu tidak menyukai
Ibu."
"Ah, siapa bilang, Bu? Keliru kalau Ibu bilang
Sisi tidak menyukai Ibu!"
"Dia bukan cuma tidak suka, Di! Dia benci Ibu!
Kemarin Ibu dibentak-bentak!"
"Kan saya sudah bilang, Bu. Kemarin kami
sedang panik! Sisi tidak sadar membentak Ibu. Seperti
saya juga, kan?"
"Dari dulu juga Ibu sudah tahu, istrimu jijik sama
Ibu! Bukan baru kemarin! Ibu tahu istrimu dokter! Ibu
ini apalah? Cuma orang tua bodoh, miskin, jo-rok!"
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lho, itu kan cuma perasaan Ibu sendiri!" protes
Handi kesal. "Kalau dia jijik sama Ibu, masa dia mau
kawin sama saya? Saya kan anak Ibu juga!"
"Kamu dokter, Handi! Siapa yang tidak mau jadi
istri dokter? Coba kalau kamu cuma sopir mikrolet
seperti ayahmu, apa dia mau kawin sama kamu?"
"Ibu! Sisi tidak seperti yang Ibu sangka!"
Ibunya menghela napas. Disekanya air matanya
dengan bajunya.182
"Ibu sudah pengalaman, Di. Mana ada sih
menantu yang betul-betul sayang mertua? Palingpaling mereka cuma cari muka di depan suaminya!"
"Jadi Ibu mau apa?" dumal Handi menahan
marah. "Ibu mau saya bercerai?"
"Justru karena sayang padamu, lima tahun Ibu
menahan sakit hati. Ibu sabar-sabarkan diri dihina
menantu. Tapi sekarang Ibu tidak tahan lagi, Di. Ibu
pergi saja sebelum diusir."
"Siapa sih yang mengusir Ibu?"
"Istrimu tidak suka Ibu tinggal di sana, Di."
"Tapi itu rumah saya, Bu!"
"Ibu tahu. Tapi dia kan selalu menganggap itu
rumahnya. Dia yang nyonya rumah."
"Karena dia istri saya, Bu. Dan sebagian uang
pembelian rumah itu uang Sisi juga."
"Karena itu Ibu sudah bisa membaca gelagatnya."
"Gelagat apa?"
"Dia ingin ibunya sendiri yang tinggal di sana."
"Ibu jangan mencari-cari alasan untuk menjelekjelekkan Sisi!"
"Kamu tidak tahu bagaimana menderitanya
mertuamu? Tinggal berdesakan dengan anak-menantu
dan dua orang cucu dalam sebuah rumah kecil
berkamar dua? Suami adik istrimu itu pengangguran,
Di. Kerjanya cuma berjudi dan cari putauw!"
"Itu bukan urusan kita, Bu."
"Urusan kita kalau kamu tahu dari mana mereka
dapat uang!"
"Saya tidak peduli."
"Dari istrimu, Di!"
"Ah, tidak apa-apa kalau Sisi memberikan uang
kepada ibunya. Itu kewajibannya sebagai anak.
Wajar."183
"Tapi tidak wajar kalau dia memberikan uang
juga kepada iparnya!"
"Sekali-sekali boleh saja," sahut Handi santai.
"Sekali-sekali? Adiknya datang setiap bulan!"
"Saya tahu. Sisi bilang kok sama saya. Dia ingin
membantu ibu dan adik-adiknya."
"Tapi dia pasti tidak bilang kalau suami adiknya
itu datang juga minta uang! Tidak di rumah, pasti di
tempat lain!"
"Ibu," potong Handi dengan perasaan tidak enak.
"Ibu tidak usah mencampuri urusan saya. Apalagi
soal uang."
"Ibu cuma tidak rela uangmu dipakai beli putauw,
Di! Kamu terlalu jujur. Tidak tahu apa-apa. Capekcapek kerja, uangmu dihambur-hamburkan orang
lain!"
"Keluarga Sisi bukan orang lain, Bu. Dan uang
saya uang Sisi juga."
"Makanya perempuan itu memilihmu!" sergah
Ibu gemas. "Kamu polos seperti bayi!"
"Perempuan itu istri saya, Bu," sela Handi pedas.
"Panggil dia Sisi."
Ibu Handi terkejut melihat kemarahan anaknya.
Terus terang dia tidak menyangka Handi marah. Ini
benar-benar tanda bahaya.
"Makanya Ibu tidak mau pulang!"
"Jadi Ibu mau tinggal di mana?"
"Biar Ibu ngontrak rumah saja. Sendirian. Biar
kalau mati, tidak ada yang tahu!"
"Ibu, tolonglah," keluh Handi jengkel. "Jangan
bikin saya susah!"
"Justru karena Ibu tidak mau kamu susah, Di.
Makanya Ibu mengalah."184
"Ibu kan tahu, tidak mungkin saya membiarkan
Ibu tinggal seorang diri."
"Biarlah. Sudah nasib Ibu."
"Saya kan tidak mungkin bercerai, Bu," gumam
Handi letih. "Kami sudah punya anak."
"Ibu tahu kamu pasti memilih istrimu. Makanya
Ibu mau hidup sendiri saja. Sampai dijemput
ayahmu."
"Bu, kita coba sekali lagi, ya?" bujuk Handi putus
asa. "Kalau Ibu tidak bisa akur juga dengan Sisi, saya
carikan Ibu rumah kontrakan. Saya carikan Ibu
pembantu. Saya yang akan membiayai semua
pengeluaran Ibu...." Persis usul Sisi.
"Tapi Ibu belum mau pulang, Di. Ibu kan sudah
dikasari menantu. Mana ada muka balik lagi?"
"Jadi Ibu mau apa? Ibu mau Sisi minta maaf?
Nanti saya suruh dia minta maaf kalau Ibu pulang."
"Tapi jangan sekarang, Di. Hati Ibu masih panas.
Biar Ibu tinggal di sini sampai hari Minggu."
"Tapi saya kan harus kerja, Bu!"
"Tinggal saja Ibu," sahut Ibu ketus. "Kalau kamu
tega!"
Handi benar-benar bingung. Tetapi pakdenya juga
tidak berada di pihaknya. Dia malah menyokong
keinginan Ibu.
"Biar saja ibumu tinggal di sini," suara pakdenya
seperti menyalahkan Handi. "Di rumahmu kan dia
menderita tiap hari. Dikasari anak, diomeli mantu
galak. Kalau ibumu mau, Pakde juga tidak keberatan
kalau dia mau pindah kemari."
"Tentu saja tidak, Pakde," bantah Handi tidak
enak. "Saya anaknya. Saya yang harus mengurus
Ibu."185
"Syukur kalau kamu mengerti. Tapi apa istrimu
bisa mengerti?"
"Sisi tidak sejelek yang Ibu ceritakan, Pakde."
"Tentu saja. Dia istrimu. Mana ada suami yang
mau istrinya dijelek-jelekkan?"
Handi menghela napas berat.
"Pakde juga dulu pernah merasakan. Bedanya,
Pakde bisa bersikap tegas. Lama-lama budemu juga
tidak berani lagi kurang ajar."
"Saya mau mandi dulu, Pakde," akhirnya Handi
tidak tahan lagi.
"Kamu juga harus bisa bersikap adil," Pakde
masih penasaran dan mengoceh terus. "Kamu lelaki.
Harus bisa mendidik istri. Kasihan kan ibumu."
"Pakde tidak keberatan Ibu tinggal di sini?"
"Untuk selamanya maksudmu?" potong Pakde
tajam. "Sampai dia meninggal?"
'Tentu saja tidak, Pakde. Cuma tiga hari."
"Dan kamu tega meninggalkan dia di sini? Harus
cepat-cepat pulang ke samping istrimu?"
"Saya harus praktek, Pakde."
Handi merasa serbasalah. Apalagi setelah dia
menelepon Sisi. Suaranya tidak enak sekali. Dan dia
menutup teleponnya begitu saja. Mengapa sulit sekali
menjadi suami? Rasanya lebih enak waktu masih
lajang!
Mendengar suara istrinya, Handi ingin cepatcepat pulang. Tapi melihat air muka ibunya, mendengar dinginnya suara pakdenya, Handi jadi bingung
lagi.
"Ya sudah. Terserah kamu saja. Kamu kan yang
lebih tahu, mana yang lebih penting. Pakde cuma
mengingatkan, ibumu sudah tua. Jangan menyesal
kalau nanti ada apa-apa."186
Akhirnya Handi menyerah.
"Kalau Ibu mau saya temani, oke. Saya tinggal di
sini. Tapi jangan lama-lama ya, Bu. Saya kan mesti
praktek."
"Pokoknya Ibu belum mau pulang. Hati Ibu masih
sakiiitt!"
"Ibu mau apa? Mau saya suruh Sisi jemput Ibu?"
"Apa dia mau?" desis ibunya ketus. "Dia kan
dokter terhormat!"
Tapi dari wajah ibunya, Handi tahu, ibunya mau
sekali dijemput.
Ibu bisa membusungkan dada di depan Pakde dan
keluarganya kalau menantunya yang sombong itu
datang menjemputnya. Lebih-lebih kalau dia mau
minta maaf di depan semua orang!
Barangkali dengan begitu baru sebagian luka di
hatinya terobati! Dibentak di depan Handi dan si
Imah! Bah, siapa dikiranya dirinya?
Tetapi... apa benar perempuan itu mau datang
menjemputnya? Minta maaf di depan semua orang?
Yang lebih penting lagi, apa benar Handi berani
menyuruh istrinya? Jangan-jangan dia malah makin
tersiksa. Makin bingung. Makin serbasalah. Seperti
sekarang.
Lihat saja betapa bingungnya dia. Makan saja
tidak berselera! Padahal ada sayur lemeng
kesukaannya!
Handi, Handi. Mengapa kamu tidak bisa tegas?
Kamu lelaki, Nak! Sebagai suami, kamu harus
menunjukkan kekuasaanmu. Supaya istrimu takluk
dan tidak berani kurang ajar lagi!187
Bab 17
SEBENARNYA hari Jumat itu Sisi sudah malas
praktek. Dia ingin menutup saja praktek suaminya.
Lebih enak menghabiskan waktu di rumah bersama
Pipie. Anak itu memang nakal. Hiperaktif. Tapi dia
lucu. Bersamanya waktu seperti tidak terasa berlalu.
Terus terang, Sisi juga tidak kehilangan Handi.
Apalagi ibunya. Dia merasa rumah lebih tenang tanpa
mertuanya. Si Imah saja merasa umurnya diberi bonus
tiga hari begitu mendengar ibu majikannya pulang
hari Minggu.
Sisi sama sekali tidak merasa kesepian. Mana bisa
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesepian kalau ada Pipie?
Tetapi baru saja dia memutuskan menutup
praktek Handi, ada telepon masuk. Salah seorang
pasien Handi. Anaknya sakit.
"Dokter Suhandi Reksowardoyo praktek sore ini,
Mbak?"
"Dokter Suhandi sedang ke Solo, Pak."
"Ini siapa?"
"Istrinya."
"Oh, maaf, Bu Dokter. Kapan Dokter Suhandi
praktek lagi, Bu?"
"Senin, Pak. Minggu baru pulang."
"Anak saya sakit, Bu Dokter. Panasnya tinggi.
Apa bukan tifus, ya?"188
Mana saya tahu?
"Saya tidak tahu kalau tidak memeriksanya, Pak,"
sahut Sisi sabar. Kadang-kadang pasien menganggap
dokternya dewa yang serbatahu.
"Bisa tolong diperiksa, Bu Dokter?"
Sisi menghela napas.
"Bawa saja anaknya ke tempat praktek, Pak.
Nanti saya lihat."
"Saya sudah di depan tempat praktek, Bu Dokter.
Tapi pintunya masih ditutup."
Handi memang belum memakai perawat. Pasiennya belum banyak. Dia masih bisa menanganinya
sendiri.
Sore itu pun pasiennya hanya enam orang. Sisi
sudah hendak menutup prakteknya ketika pasien terakhir itu muncul. Dan dia tidak jadi menutup pintu.
Matanya terbuka lebar.
"Masih boleh masuk?"
Sisi sampai lupa menyilakan tamunya masuk.
Bahkan lupa menarik napas.
"Airin..." Sisi menggagap bingung. Dia gelagapan
seperti melihat dewi turun dari langit.
Sore itu, Airin memang sudah memperoleh
kecantikannya kembali. Dia tampak cemerlang.
Menawan. Dan memancing kerinduan!
"Boleh?" tanya Airin lembut dengan tatapan yang
membuar seluruh tubuh Sisi bergetar.
Airin melangkah masuk dengan gaya yang
memikat. Menutup pintu dan menguncinya tanpa
ragu-ragu.
"Praktekmu memang sudah mau tutup, kan?" dia
mengerling jenaka.
Airin memang dapat menguasai dirinya dengan
sempurna.189
Sementara Sisi masih terpesona menatap
tamunya. Tidak tahu harus mundur atau malah menghambur memeluknya.
Sesaat mereka saling pandang. Dengan tatapan
yang berbaur antara cinta dan kerinduan.
Sia-sia Sisi menyembunyikan keinginan yang berpendar-pendar di matanya. Airin telah membaca
keinginan itu.
Tanpa ragu sedikit pun, dia meraih tubuh Sisi ke
dalam pelukannya. Dan dia memeluk dengan penuh
percaya diri. Dengan penuh keyakinan. Karena dia
tahu, kali ini Sisi tidak mungkin menolak lagi.
Dan Sisi memang tidak menolak. Dia malah balas
merengkuh dengan sama mesranya.
Untuk pertama kalinya mereka saling dekap
dengan hangat dan lama. Waktu seolah-olah berhenti
berputar. Seperti memberi kesempatan kepada mereka
untuk memuaskan diri. Menikmati pelukan yang
mungkin tak akan pernah mereka rasakan lagi.
Sisi memejamkan matanya rapat-rapat. Membiarkan dadanya membuncah diracik kerinduan dan
kemesraan. Membiarkan kenikmatan yang nyaman itu
menguasai dirinya lagi. Sekarang dia tahu apa
namanya perasaan itu. Perasaan yang terasa begitu
hangat. Begitu nikmat. Begitu memabukkan. Perasaan
itu bernama gairah.
Lalu dia merasa bibir Airin menyentuh bibirnya.
Menciumnya dengan lembut.
"Aku mencintaimu, Sis," bisik Airin mesra.
Sisi tidak menjawab. Dia hanya mendesah.
Membiarkan cinta yang sudah dua belas tahun
dipenjarakannya dalam relung gelap di hatinya
mengenyam kebebasan.190
Tetapi ketika Airin hendak bertindak lebih jauh
lagi, Sisi menolak. Dia segera melepaskan diri.
"Jangan, Rin," pintanya dengan mata berkacakaca. "Jangan biarkan nafsu menodai cinta kita."
Dia berbalik dan melangkah lunglai ke kamar
praktek. Airin mengikuti dengan sabar.
"Aku tidak akan memaksamu," katanya tenang.
"Tapi keliru kalau kamu pikir yang melandasi
perbuatan kita cuma nafsu. Kita melakukannya
dengan cinta. Dan atas nama cinta, tidak ada yang
salah. Tidak ada yang kotor. Tidak ada yang ternoda."
"Aku sudah menikah, Rin," desah Sisi sambil
membelakangi Airin. "Aku tidak mau berselingkuh.
Biarpun atas nama cinta."
"Kamu juga tidak bahagia," gumam Airin pahit.
"Ketika kamu memelukku tadi, aku tahu siapa yang
masih menempati hatimu."
"Tempatmu di sana tidak pernah tergantikan."
"Juga oleh suamimu? Karena kamu tidak
mencintainya."
"Tapi aku mencintai anakku!" Ketika Sisi
membalikkan tubuhnya, Airin melihat wajahnya telah
basah bersimbah air mata. "Aku tidak mau suatu hari
dia tahu, dari tempat sampah mana ibunya berasal!
Demi anakku, aku rela melakukan apa saja, Rin.
Bahkan membunuh cintaku sekalipun!"
"Enam tahun yang lalu kamu menolakku karena
ingin mengejar martabat sebagai seorang wanita terhormat," kata Airin tenang. "Sekarang kamu punya
motivasi yang lebih kuat. Anak." Airin menghela napas. "Kamu beruntung punya anak, Sis."
"Kamu tidak?"
"Belum kucoba."191
"Kenapa tidak mencoba, Rin?" tanya Sisi lembut.
Matanya yang masih berkaca-kaca menatap dengan
penuh kasih sayang. "Kepada anakmulah kamu dapat
menumpahkan cintamu yang tersia-sia."
"Tidak kalau aku belum yakin dapat memberikan
kehidupan yang sempurna untuknya."
"Tidak ada yang sempurna, Rin. Mulailah
mencobanya. Kalau tidak, sampai kapan kamu baru
dapat menemukan kesempurnaan?"
"Mungkin aku harus mulai dengan sehelai surat
kawin. Aku tidak mau anakku tidak punya bapak."
"Frans tidak mau memberikannya?"
"Ketika membujukku untuk rehabilitasi, dia
melamarku."
"Rin!" pekik Sisi sambil lari menghambur
merangkul sahabatnya. "Aku benci mendengarnya!
Tapi aku bahagia!"
"Itulah kamu," Airin membalas rangkulan Sisi dengan lembur. Kali ini mereka saling rangkul sebagai
dua orang sahabat. "Hidupmu selalu pcnuh dengan
dualisme. Tapi kuhargai pilihanmu. Tekadmu untuk
menjadi wanita terhormat. Meskipun untuk itu kamu
terpaksa mengorbankan hakmu untuk mencintai orang
yang kamu cintai."
"Aku mencintai anakku, Rin. Untuknya, aku rela
menderita seumur hidup."
"Kalau begitu, selamat tinggal, Sayang," Airin
mengecup dahi Sisi sambil menahan haru. "Aku
hanya ingin melihatmu untuk terakhir kali."
Lalu dia melepaskan pelukannya. Dan menatap
Sisi dengan tatapan sendu. Tatapan terakhir sebelum
mereka berpisah untuk selama-lamanya.192
"Kamu akan kembali ke Amerika?" desah Sisi
dengan air mata berlinang. "Ini pertemuan kita yang
terakhir?"
"Aku akan menyusul Frans. Tadi malam dia
telepon. Sudah menyiapkan pernikahan kami. Hanya
dua puluh orang teman yang kami undang." Senyum
pahit menggeliat di bibir Airin. "Kalau saja kamu
berada di antara mereka..."
"Seandainya pun aku bisa datang," suara Sisi
sama pahitnya, "aku pasti tidak mau datang."
"Aku mengerti."
"Bagaimana terapimu?"
"Banyak kemajuan. Tahu apa yang memacu
semangatku untuk rehab?"
"Apa? Lamaran Frans?"
"Kesedihanmu waktu mendampingiku di ICU."
"Waktu itu kamu dalam keadaan koma! Mustahil
bisa melihatku!"
"Aku menoleh ke belakang ketika sudah
melangkah ke akhirat."
Sisi tersenyum. Dia tidak rahu Airin berbohong
atau tidak. Tapi dia gembira Airin sudah sembuh.
"Jangan minum dan merokok terlalu banyak lagi,
Rin. Apalagi kalau sedang hamil."
"Demi kamu, Sis. Aku janji. Tapi ada satu
permintaan terakhir."
"Katakanlah."
"Kamu mau mengabulkannya?"
"Mintalah, Rin."
"Mau menemaniku besok?"
"Ke mana?"
"Ke sekolah."
"Sekolah?" Sisi menatap heran.
"SMA kita. Untuk terakhir kali. Keberatan?"193
"Kita bisa masuk ke dalam?"
"Pak Atmo masih mengenaliku. Dan matanya
yang tua masih bisa mengenali uang. Katanya hari
Sabtu sore sekolah sepi."
"Kamu masih seperti dulu. Tidak ada yang bisa
mencegah niatmu."
"Cuma kamu." Airin tersenyum pahit.
"Kali ini tidak. Ngomong-ngomong, mau
menjawab satu pertanyaanku?"
"Tergantung apa pertanyaannya."
Relung Relung Gelap Di Hati Sisi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dari mana kamu tahu aku ada di sini?"
Airin menyeringai lebar.
"Aku telepon Suster Gita. Menanyakan alamat
rumahmu. Aku bilang mau mengirim parsel untuk
mengucapkan terima kasih kepada Dokter Sisi
Purnomo yang telah menyelamatkan nyawaku."
Sisi tersenyum masam.
"Kamu memang cerdik."
"Lalu pembantumu bilang kamu sedang menggantikan suamimu praktek. Untuk kepintarannya
menyebutkan alamat ini, kuberi dia ucapan terima
kasih."
"Di Amerika ada budaya nyogok juga?"
"Kamu pikir di mana budaya itu lahir?"
Mereka sama-sama tertawa. Lalu ketika tawa
mereka sama-sama mengambang, mereka saling tatap.
Lama. Dengan penuh kasih sayang.
"Jam berapa aku boleh menjemputmu besok?"
cetus Airin lembut.
"Tidak usah. Biar aku datang sendiri."
"Jam berapa?"
"Jam lima?"
"Oke. Saat itu mungkin suamimu sedang praktek.
Dia praktek juga hari Sabtu?"194
"Suamiku masih di Solo. Dia pulang hari
Minggu."
"Kamu tidak mau dia tahu hubungan kita?"
"Aku tidak mau menyakiti hatinya. Dia sangat
baik."
"Kamu juga baik, Sis. Beruntung dia punya istri
seperti kamu. Aku iri padanya. Sering aku menyesali
Tuhan, mengapa aku tidak diciptakan jadi lelaki saja.
Kita pasti jadi pasangan yang sangat bahagia."
"Jangan sesali Tuhan, Rin. Terimalah takdirmu
dengan tabah. Kalau kamu tidak dapat membahagiakan dirimu sendiri, cobalah membahagiakan
anak dan suamimu."
"Aku boleh melihat anakmu, Sis?"
"Tentu boleh, Rin. Kebetulan tidak ada siapasiapa di rumah."
Saat itu hari sudah gelap. Sisi membawa Airin ke
rumahnya. Dan itu menjadi penyesalannya yang terbesar.
???
"Rizal!" geram Sisi kesal ketika melihat adik iparnya
sedang duduk di depan rumahnya. "Ada apa lagi?"
Rizal langsung berdiri ketika melihat Sisi turun
dari mobil. Tetapi mulutnya yang sudah separuh terbuka untuk menyapa, mengejang kembali ketika
melihat Airin turun dari pintu yang lain.
Ketika mengenali wanita cantik yang sedang menekan remote untuk mengunci mobilnya itu, senyum
Rizal merekah lebar.
"Jalan-jalan, Mbak?" guraunya separuh
menyindir. Seringainya memuakkan sekali. Lebih-195
lebih tatapan matanya kepada Airin. "Sama langganan
lama?"
"Mau apa lagi, Zal?" potong Sisi tidak sabar.
Tetapi mata Rizal tidak berpindah sekejap pun
dari paras Airin.
"Tidak ada apa-apa, Mbak," seringainya melebar.
"Saya cuma mau memastikan Mbak baik-baik saja.
Mas Handi tidak ada di rumah, kan? Kata Imah dia ke
Solo."
Lalu sambil membungkuk dia berlagak memberi
hormat pada Airin. Menoleh pada Sisi. Tersenyum
lebar. Lalu berbalik meninggalkannya. Di depan
mobil Airin, dia masih mengelus kap motornya yang
mengilat dengan gaya memuakkan.
Sisi sudah merasa tidak enak melihat lagaklagunya. Lebih-lebih melihat senyumnya. Dia juga
benci sekali melihat matanya. Sejak dulu. Mata itu
menyimpan sejuta ancaman. Hanya saja Sisi tidak
pernah tahu dari mana bahaya itu akan muncul.
"Gila," rutuknya muak. "Dari dulu aku tidak
pernah tahu waras atau tidak otaknya."
Tetapi Airin tidak mengacuhkan Rizal sama
sekali. Dalam kamusnya, tidak ada tempat untuk
orang seperti itu. Dia cuma setitik debu di tanah.
"Pacar adikmu, kan?" katanya acuh tak acuh.
"Yang badannya cuma selembar?"
"Sekarang suaminya," Sisi menghela napas
sambil mencari-cari kunci rumahnya. "Ayah dua
orang anaknya. Tahun depan tiga."
"Produktif sekali. Apa pekerjaannya?"
"Nganggur. Masih tinggal dengan ibuku."
"Mau apa dia kemari?"196
"Itu yang aku heran." Sisi memasukkan kunci ke
lubangnya. "Tadi pagi dia sudah datang. Minta uang.
Paling-paling buat main judi atau beli narkotik."
Sesaat sebelum Sisi mendorong pintu, Airin
melihat bekas lipstik di bibirnya. Sambil tersenyum,
dihapusnya dengan jarinya.
"Nanti anakmu kaget," katanya lembut.
"Ah," tersipu-sipu Sisi menyeka bibirnya.
Mukanya memerah.
"Sedikit kok. Tapi anak kecil biasanya matanya
tajam."
"Apalagi anakku," Sisi tersenyum. "Kamu lihat
saja nanti."
Begitu Sisi masuk, Pipie langsung lari menubruknya.
"Mama! Mama!" teriaknya dengan teriakan yang
bisa membangunkan sekandang kerbau.
"Pipie!" Sisi terpaksa menggendong anaknya.
"Mama bilang apa? Kalau pulang, Mama mesti cuci
tangan dulu! Dari tempat praktek, Mama bisa
menularkan kuman penyakit!"
"Dia pasti sudah kebal, Sis," Airin tersenyum
tipis. "Tiap hari ayah-ibunya memindahkan kuman
dari pasien!
"Pie, ini Tante Airin, teman Mama."
Pipie menoleh kepada Airin. Dan ketika mata
Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah 01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama