Ceritasilat Novel Online

Riak Riak Kehidupan 2

Riak Riak Kehidupan Karya Marga T Bagian 2



Yang paling mencemaskan adalah sikap ibu mertuanya terhadap Nafisah. Ditanyai sampai melit seperti proses verbal di depan polisi saja.

Untung sekali Nafisah langsung membayangkan Dono. Semua pertanyaan itu dikaitkannya dengannya.

"Di mana suamimu?"

"Sedang melanjutkan pelajaran di jerman." _

" Kerja apa dia?"

"Calon dokter," dustanya.

"Jadi dia belum pernah datang ke sini?"

"Belum."

"Untunglah. Bagaimana dengan ibu mertuamu? Pernah, datang? Sering? Katakan saja padanya, mohon jangan kelewat sering, sebab nanti mengganggu menantuku. Dia perlu istirahat mutlak. kan kau sudah tahu sendiri. Kalau keluargamu ada yang datang, jangan biarkan Astari bangun dari ranjang!"

Tentu saja Nafisah gugup sekali menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Salah jawab sedikit saja....

Masih belum puas, seakan ingin membuktikan bahwa keturunan suami Nafisah kalah jauh dari Murdo. ibu mertuanya terus mencecer.

"Mertuamu apa sih usahanya?"

"Pengusaha tekstil."

"Asal daerah mana?"

"Betawi asli."

"Dan orang tuamu sendiri?"

"Petani."

"Hmmm."

'Hmmm' ini yang mencemaskan Astari. Jantungnya serasa mau copot ketika melihat pandangan berapiapi dari Nafisah. Dia sangat takut, setiap saat gadis itu akan meletus dan menjerit, ' Hm. Hm. Coba lihat anak mantumu sendiri! Mereka tidak sanggup bikin anak, sampai sampai terpaksa membeli anak dari aku!"

Aduh, aduh, kalau itu sampai terjadi. Dan bukannya tidak mungkin. Astari tahu sampai di mana harga diri Nafisah. Kalau gadis itu dibikin murka, bukan tak mungkin dia akan kalap dan merusak semua rencana mereka.

Untunglah. Nafisah melirik padanya dan Astari sempat mengedip sambil menggelengkan kepala, memohonnya agar jangan ambil di hati. Bencana besar berhasil dicegah. Tapi dia sempat berkeringat dingin sementara tanya-jawab itu berlangsung. Murdo juga kemudian mengakui, hatinya kebat kebit waktu itu.

"Ibu memang selalu ingin tahu urusan orang, Fi," kata Murdo malamnya, seolah mau minta maaf atas sikap ibunya siang tadi.

"Setiap kawanku yang datang pasti ditanyai juga olehnya. Kau tidak marah, bukan?"

Nafisah melirik Astari dengan mata berapi, lalu tersenyum ketika menoleh pada Murdo. Dia menggeleng manis.

"Tidak, Bang Murdo. Saya tidak marah." Padahal diakuinya pada Astari esoknya betapa dongkolnya dia.

"Huh! Kalau mertuaku seperti itu!" desisnya gemas.

****

seorang bayi lelaki yang sehat telah terlahir pada tanggal sepuluh Juni. Dokter Faruk dan Murdo bermalam di vila selama tiga hari, sejak Nafisah mengeluh dia mulai merasakan nyeri di perut bawah.

Kelahiran berjalan tanpa komplikasi sedikit pun.

Nafisah baru berumur dua puluh dua dan tubuhnya sehat kuat. Bi Ipah tentu saja sudah disingkirkan. Tidak boleh dekat-dekat dengan vila. Dia disuruh berdiam di dapur saja yang terletak di belakang, jauh dari kamar. Menunggu perintah Murdo untuk mengambilkan ini dan itu.

Yang melahirkan lebih dulu menurut cerita Murdo pada lpah adalah Nafisah. Bayinya dalam keadaan kritis dan tidak mau menangis. Rupanya karena kaget melihat keadaan bayi itu, Astari pun segera melahirkan pula.

"Cuma selang dua jam, Bi. Bayi kami berkoar keras. Nah, coba dengar! Itu suaranya. Keras. bukan?"

Bi Ipah mengangguk seraya bergumam,

"Kasihan Neng Fifi." Dia menyukai kedua wanita itu. Rasa kasihannya timbul mendengar keadaan bayi Nafisah yang gawat.

"Apa tidak mau menyusu, Pak?" tanyanya prihatin.

"Belum boleh sama dokter. Harus segera dibawa ke rumah sakit. Barangkali besok kami akan kembali ke Jakarta membawa mereka."

"Secepat itu? Neng Astari juga dibawa?"

"Ya. Keduanya. Untuk Bibi, ini ada persen di samping gaji. Mudah-mudahan nanti kami bisa kembali kemari dan kita akan ketemu lagi."

Perempuan tua itu dengan lugu mengucapkan terima kasih. Dia merasa sedikit menyesal tidak sempat melihat sendiri keadaan Astari dan Nafisah. Hatinya terharu melihat kebaikan Murdo dan didoakannya

semoga kedua bayi serta ibu mereka sehat-sehat tidak kurang apa pun.

Esoknya, Dokter Faruk dan Murdo membawa kedua wanita itu balik ke Jakarta.

Murdo sebenarnya sudah mengatakan bahwa Bi Ipah tak perlu datang lagi. Tapi esoknya tahu tahu dia sudah muncul di pintu dapur, memaksa mau membuatkan sarapan. Astari jadi blingsatan mendengar perkembangan yang tak terduga itu. Semalam mereka sangka perempuan lugu itu sudah pulang dengan senang membawa uangnya, dan tak kembali lagi.

"Gimana sekarang?" tanya Astari sudah setengah panik. Bagaimana dia akan menyamar lagi sekarang setelah bayinya lahir? Perutnya tentu sudah kempes, bukan? Lalu, apa kata Bi Ipah kalau dilihatnya bayi cuma satu?

Murdo bertindak cepat sesuai dengan kebiasaannya sebagai direktur perusahaannya sendiri.

"Tenang!" perintahnya.

"Aku sudah bilang padanya, bayi Nafisah dalam keadaan gawat. itu sebabnya kita mesti berangkat pagi ini juga untuk membawanya ke rumah sakit. Nah. sekarang begini! As, kau akan menggendong bayi ini. Usahakan agar kau kelihatan lesu, jangan pakai lipstik biar jadi pucat. Rambut tak perlu diuntai kelewat rapi, sebab kau masih lemah, tak sanggup dandan terlalu lama. Jalanmu usahakan supaya kelihatan loyo. Dan Nafi, kau tak perlu menggendong apa-apa. Biar aku yang akan menggendong buntalan, yaitu bayimu yang gawat."

"Iebih baik aku yang menggendong buntalan itu," kata Dokter Faruk.

"Bi Ipah takkan berani mendekati aku. Tapi mungkin dia akan mendekati Pak Mantik untuk melihat keadaan sang bayi. Supaya bisa diceritakannya nanti pada seluruh kampung!"

"Ah, Anda benar, Dokter. Anda yang harus membawa buntalan ini. Asta, mana karet-karet busamu? Sekarang masih kita perlukan. Untuk terakhir kali."

Bi Ipah mengantar sampai ke jalan raya. Benar dugaan dokter. Mula-mula dia tak berani mendekat ketika dilihatnya Dokter Faruk masuk ke mobil menggendong buntalan selimut biru. Setelah dilihatnya Astari dan Nafisah keluar dibimbing oleh Murdo, barulah dia menghampiri.

Bayi dalam dukungan Astari dipujinya, tapi berhatihati agar jangah sampai melukai hati Nafisah yang anaknya sudah tak berbunyi lagi.

Hati Bi Ipah pilu sekali menyaksikan Nafisah begitu pucat, lemah, dan seakan tanpa semangat. Dia langsung masuk ke mobil dipapah oleh Murdo. Ini sama sekali tidak disangka oleh pembantu lugu itu. Sehari-harinya Neng Fifi kelihatan sehat-sehat saja, kok sekarang jadi lesu begitu dan bayinya kurang sehat!

Asrari juga masuk ke mobil. Murdo masuk ke tempat sopir. di sebelah Dokter Faruk.

Bi Ipah mengetuk jendela tempat Nafisah dan bibirnya bergerak-gerak.

"Semoga Neng Fifi juga anaknya akan lekas sehat! Bibi doakan."

NaEsah tidak bisa mendengar suaranya, tapi dia mengangguk juga, mencoba tersenyum kecil. Eksodus mereka dimulai.

Ibu mertuanya gembira setengah mati ketika mendengar bahwa Astari sudah melahirkan seorang bayi lelaki. Kegembiraannya tidak berkurang waktu dijawab oleh Astari, bahwa Nafisah kurang beruntung. Bayinya mati di rumah sakit.

"Memang kelihatannya kurang begitu kuat. Habis orang tuanya miskin sih. Pasti gizinya kurang baik. Siti, bawakan nyonyamu sup ayam yang aku bikin tadi!" serunya ke dapur, seakan mau memastikan bahwa menantunya takkan mengalami kurang gizi macam Nafisah.

Siti muncul tergopoh-gopoh dengan semangkuk sup di atas nampan.

"Nah, mesti kauhabiskan!" perintahnya pada Astari, lalu pada Siti,

"Peraskan jeruk yang tadi aku bawa! Nyonyamu perlu makan banyak buah segar. Hati sapi yang barusan aku goreng, coba bawa kemari sepiring kecil. Nasinya yang hangat. Sana, lekas. Nyonyamu sudah kelaparan, tahu."

Betapa sibuknya Siti, sehingga Astari merasa kasihan. Tapi dia ogah membantah sang mertua. Biar saja, asal damai!

Ibu mertuanya seakan mengambil alih semua

inisiatif. Ibu Astari, bahkan Murdo sendiri. tak diberinya kesempatan. Dia yang menentukan kapan upacara ini dan itu, semua yang berkaitan dengan sang bayi. Untung, dia masih mengizinkan Murdo dan Astari yang mencarikan nama.

Hermes! Oh, nama yang sangat, sangat berkenan di hati sang nenek. Sehari bertamu, ada disebutnya "Hermes, tidak kurang dari lima puluh kali. Dunianya sekarang sudah terisi sepenuhnya oleh Hermes-nya!

Dia tak peduli lagi pada Astari. Bahkan untuk menyindir-nyindirnya pun dia sudah tak ada waktu. Menantu itu dibiarkan sendiri, menikmati kebahagiaannya diam-diam. Ibu mertua sudah tak mempedulikannya. Apalagi Nalisah! Tak ada seorang pun yang masih ingat padanya.

Tapi itu tidak betul. Murdo mengurus gadis itu seperti yang dijanjikannya. Begitu pulang dari vila, Nafisah segera dibawa ke rumah mungil apik yang akan dihadiahkan padanya. DI Situ juga sudah menunggu seorang pembantu. Rumah itu lengkap berperabot. Murdo menengoknya setiap hari. Dan setiap malam dia melapor pada Astari.

Sesuai dengan perannya sebagai wanita yang baru melahirkan, tentunya Astari tak bisa bebas kelayapan mengunjungi Nafisah. Terpaksa mereka saling kontak melalui telepon saja. Murdo sudah mengatur semua dengan beres. Telepon, listrik, langganan koran, dan hiburan video, semua tidak dilupakannya. Pada pembantu dijelaskannya bahwa Nafisah adalah adik

sepupunya. Orang tuanya. yaitu bibi dan pamannya, berada di seberang, tak bisa datang dalam waktu singkat ini. Suami Nafisah sedang sekolah di luar negeri.

Entah dia percaya atau tidak, tapi pembantu itu tak pernah kelihatan curiga. Untuk memastikan kesetiaannya pada majikan, Murdo memberinya imbalan yang lebih dari lumrah.

Begitulah hari-hari berjalan tenang. Tapi dua bulan setelah melahirkan, Nafisah mulai resah berdiam seharian di rumah. Dia minta dicarikan kerja. Setelah berunding dengan Astari, Murdo memutuskan untuk menerimanya di kantornya sendiri.

Nafisah sekarang hidup sentosa, ada rumah dan kerja tetap yang besar gajinya. Pada hari Minggu dan libur, dia diizinkan datang melihat Hermes. Hubungannya dengan keluarga Mantik sudah betul-betul seperti saudara sendiri.

Pada suatu sore sepulang kerja. disempatkannya mampir ke tempat Rukiah untuk mengambil kembali barang-barangnya. Pada Rukiah dia hati-hati sekali bicara, tapi memang tak mungkin berdusta seratus persen.

"Aku baru balik dari Lampung, Kiah. Sementara ini menumpang di rumah saudara. Orangnya sedang tugas belajar ke luar negeri, jadi aku disuruh menunggui rumah."

"Sudah dapat kerjaan?"

"Sudah. Di pabrik tegel," sahutnya sekenanya.

Rukiah menatapnya lama sekali, lalu berkata,

"Kau kelihatan pucat amat! Baru baik sakit?" .

Ini dia yang ditakutinya. Rukiah pasti akan melihat penampilannya yang tidak seperti biasa.

Untung sebuah dalih segera hinggap di kepala, sehingga cukup sigap juga dia menangkis.

"Aku kena malaria. Kiah!"

***

TAK terasa, kehidupan yang aman sentosa itu telah berlangsung tiga tahun.

Dono rupanya tidak betah di luar negeri dan kembali pulang. Atau karena sia-sia mencoba melupakan Nahsah? Entahlah. Orang tuanya berharap perempuan itu sudah betul-betul dikubur masa lalu. Terlebih Sabina dan ibunya. mereka amat berharap.

Ibu Sabina adalah adik perempuan ayah Dono. Sejak suaminya ketahuan tidak becus mengelola perusahaannya sampai mundur terus, bibinya itu diamdiam sudah mengincar Dono. Untuk Sabina. Sekaligus tentunya ingin warisan yang akan diterima Dono. Itu akan sangat bermanfaat guna memupuki usaha ayah Sabina yang kembang kempis.

Tapi Dono tak pernah ada pikiran ke situ. Sejak kecil dia selalu baik terhadap Sabina yang dianggapnya sebagai adik sendiri. Malahan dengan kakak perempuannya dia tidak sedekat itu. Mungkin karena Dono dan Sabina hampir seumur, cuma beda satu tahun lebih.

Dengan ijazah di bidang manajemen, Dono diharapkan akan segera menuangkan pikiran dan ideide bagi kemajuan usaha-usaha ayahnya.

Pada hari kedua setibanya kembali di Jakarta, Dono sudah bangun pagi sekali. Bersiul-siul dia mandi, sarapan dan mau ke kantor.

"Ah, Don," seru ibunya kaget.

"Tak perlu secepat

itu! Kau kan baru saja pulang. Istirahatlah dulu. Ayah semalam cuma bilang, bahwa kau diharapkannya akan membantu. Tapi bukan berarti langsung hari ini juga!"

Namun ayahnya sangat girang melihat semangat anaknya.

"Biarlah, Bu. Daripada dia nganggur di rumah. Kalau masih jet-lag nanti boleh pulang untuk tidur."

Digandengnya tangan Dono seakan dia baru mau masuk TK untuk pertama kali. Bersamasama mereka masuk ke mobil. Pak sopir Aslan menyeringai gembira melihat putra majikannya sudah pulang. Alamat bakal sering-sering dapat persen nih, pikirnya senang. Apalagi kalau mesti menunggui Dono di tempat kos dulu itu, wah persennya banyak!

"Apa kabar, Bang Aslan?"

"Baik-baik saja, Pak Dono." Sebaiknya mulai sekarang panggil 'Pak saja. Dibiasakan. Sebab tampaknya putra satu-satunya ini akan memangku jabatan tinggi di kantor.

Setibanya di sana, Pak Kusmanto langsung menggamit anaknya supaya naik ke tingkat tiga.

"Kita akan orientasi dulu tentang seluk'beluk tugasmu," katanya tanpa menyembunyikan nada bangga dalam suaranya.

Tapi Dono melenceng di tingkat dua.

"Sebentar, Pa. Aduh, saya harus ke kamar kecil dulu." Dan dia sudah berlari sebelum ayahnya sempat mengingatkan, bahwa di kamarnya juga ada WC. Malah lebih bagus.

Sambil tersenyum kecil Pak Kusmanto terus menaiki tangga, sementara Dono memasuki ruangan tata usaha yang luas. Matanya celingukan.

Letak meja kursi rupanya sudah mengalami perubahan. Tapi pandangannya yang berkeliling tidak juga menangkap apa yang dicari. Seseorang di pojok melihat dan mengenalinya. Dia bangun menghampiri.

"Mencari Mbak Emmi, Pak?" tanyanya sopan.

Dono meringis. Sudah dua kali dia dipanggil 'Pak' pagi ini, padahal dia tidak merasa sudah setua itu. Dipandangnya gadis manis yang menunggu jawabnya.

"Oh, eh, ya deh. Mbak Emmi pun boleh. Tapi sebenarnya bukan dia yang saya cari."

Gadis itu berlari dan mengetuk pintu kamar Emmi. Kepalanya menjulur sebentar ke dalam. Dia tampak mengatakan sesuatu, lalu cepat menarik diri lagi. Dilambaikannya tangannya.

"Mari, Pak. Silakan masuk."

Dono mengangguk, lalu melangkah menghampiri.

"Terima kasih," katanya sambil membuka pintu.

Emmi sudah menunggu dengan wajah berseri. Dia langsung berdiri dan mengulurkan tangan.

"Hei, Bos, selamat jumpa lagi. Tambah keren saja!"

"Apa kabar, Mbak Em? Kau juga tambah manis, lho."

"Yah! Mungkin berkat rifle)"? Jadinya aku tidak begitu kelihatan menyeramkan, bukan? Seperti burung hantu? Ha. ha, ha "

Keduanya terbahak.

Dono mengambil kursi dan duduk. Sejenak mereka saling berpandangan. Emmi kemudian berdehem.

"Tentunya aku tak boleh ge-er, ya. Aku tahu, kau bukan datang mencariku! Terus terang nih, siapa sih yang kaucari?"

Dono memajukan tubuh ke depan dan melipat tangannya yang bertumpu di paha.

"Mbak Em." katanya menatap lekat ke mata Emmi seakan mau mencegahnya berdusta "Nafisah tak ada. Sakitkah dia?"

"Oh..." Emmi tak bisa menjawab. Alih-alih malah wajahnya merah serentak.

Dono mengerutkan kening.

"Sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" bisiknya ketakutan.

Emmi cepat menggeleng dan Dono menarik napas lega.

"Dia tidak kenapa-kenapa."

"Tapi hari ini dia tidak masuk?"

"Sudah lama dia tidak masuk, Don."

"Dan Mbak barusan bilang, dia tidak apa-apa."

Emmi menunduk dan menghela napas. Kenapa urusan yang rumit ini kok jatuh ke bahunya! Tugas siapakah untuk memberitahukan bahwa...

"Don, Nafisah sudah berhenti."

"Diberhentikan?"

"Bukan." Emmi menggeleng. Dia mau sendiri. Aku dengar " Emmi tiba-tiba merasa takut terlibat dan menghentikan ocehannya. Tapi Dono tentu saja memaksa.

"Ya. apa yang Mbak dengar?"

"Ah, cuma gosip kok. Dari sopir yang biasa menjemput kami.

"Apa bunyi gosip itu?" desaknya.

"Tapi, Don, aku tak tahu kebenarannya. Aku tak berani meneruskan sesuatu yang belum ada kepastiannya. Bang Danu rupanya terlalu suka ngobrol. Tak ada jaminan benar tidaknya. Berdosa dong aku mengatakan sesuatu yang belum "

"Biar dosanya bagianku'." potong Dono dengan mata menyala.

"Mbak cuma perlu mengatakan apa yang Mbak dengar saja!"

"Baiklah. Kau memaksa. Ingat, bukan aku yang mau. Aku dengar... ehm... Nafisah sudah... punya rumah bagus, punya mobil..."

"Ah, aku kita dia sudah kawin!" seru Dono terbahak, lega bahwa itu memang betul-betul cuma pepesan kosong bikinan Bang Danu.

"Apa sih anehnya punya rumah dan mobil? Tentunya penghasilannya sangat baik, bukan? Dia pasti mendapat bonus dari kantor!"

Emmi terdiam, menekuri kertas-kertas di atas meja. Dono menelan ludah. Dia tahu apa yang tengah dipikirkan oleh perempuan empat puluhan ini. Tapi dia tak mau mendiskusikan gadis yang dicintainya dengan orang luar.

"Kau tahu dimana alamatnya?"

Emmi menggeleng.

"Tidak."

"Baiklah. Aku permisi dulu." Diambang pintu Dono menoleh.

"Oh, ya, kapan dia berhenti?"

"Tidak lama setelah kau berangkat, Don."

Dono keluar dan melangkah seperti dikejar setan. mau ke bawah mencari Bang Danu. Tapi lagi-lagi gadis manis yang tadi melambai.

"Pak Dono, tadi ada pesan dari atas. Pak Dono ditunggu oleh Pak Kusmanto."

Walaupun dalam hari menggerutu, Dono tak berani membantah. Dengan cepat dia naik ke atas. Biar urusan dengan ayahnya lekas beres dan dia bisa mengurus persoalannya sendiri.

"Nah, Dono." sambut ayahnya.

"Baru habis melepas kangen pada Emmi?"

"Saya mencari Nafisah," sahutnya pendek.

"Kenapa Ayah tidak pernah mengatakan di surat bahwa dia sudah lama berhenti?"

"Ah, bukannya Ayah mau merahasiakannya padamu, Don. Aku sangka, kau sudah melupakannya! Jadi aku pikir, itu tidak penting lagi untuk kauketahui."

"Tentu saja saya harus tahu. Saya akan menanyai Bang Udin atau siapa saja untuk mencari alamatnya."

"Tentu, tentu, Don. Jangan khawatir. Aku akan turut bantu mencarikan. Pasti ketemu. Sekarang tenanglah dulu. Ambil kursi. Kita akan mulai dengan penataran tugas-tugasmu."

Sejam kemudian orientasi itu berakhir. Baru saja Dono menghilang di balik pintu, Pak Riso Kusmanto sudah mengangkat telepon.

"Toha? Pesan si Udin, Ujang. Danu. Aslan. dan yang lainnya supaya bilang "tidak tahu' saja kalau ditanyai

apa-apa oleh anakku! Awas siapa yang berani lancang mulut!"

"Baik, Pak!" sahut satpam itu. walau dia tidak mengerti sedikit pun ke mana juntrungannya perintah ltu.

Telepon sudah berdering sepuluh kali, tapi Dono seakan tidak mendengarnya. Ibunya keluar dari kamar dan tergopoh-gopoh mengangkatnya.

"Halo? Ah, kau kiranya. Sebentar, ya." Lalu dia menoleh ke arah kursi malas.

"Untukmu, Don. Kecilkan sedikit stereo itu. Nanti tak bisa mendengar."

Dono meloncat berdiri, mematikan recorder dan menyambar pesawat. Seketika dia berpikir bahwa ini pasti dari Nafisah. Tapi begitu mendengar suara Sabina, dia langsung terjaga. Alangkah naifnya! Nafisah kan belum tahu bahwa dia sudah pulang, jadi bagaimana dia akan bisa meneleponnya?

Dono mendengarkan dengan sabar, tapi juga tanpa minat. Sabina ingin mengajaknya ke pesta ultah seorang teman. Ibu serta bibinya pasti akan kesenangan kalau dia mau.

Dono mengeluh dalam hati. Heran. kenapa sih orang tak pernah mau ikut merasakan kesusahan orang lain? Mereka maunya agar orang lain cuma memikirkan diri mereka sendiri.

"Nantilah, Sabin. Kan masih empat hari lagi. Aku

pikir-pikir dulu. Besok aku kabari kau. Aku repot nih. banyak urusan kantor. Ya, hari ini kebetulan saja aku bolos. Tapi besok pasti harus masuk. Apa? Ah, maunya sih mau. Aku tak keberatan. Asal ada waktu."

Diletakkannya pesawat dengan lesu. Sebenarnya dia sedang uring-uringan.

****

"Bang Danu, saya dengar Abang tahu di mana Nona Nafisah sekarang tinggal?" tanyanya minggu lalu. begitu keluar dari kantor ayahnya.

Sopir itu memutar-mutar topi pernya seakan kehilangan akal. Wajahnya meringis seolah menahan siksaan, entah apa. Ujung kumisnya kelihatan bergerakgerak macam antena tikus. Matanya jelalatan ke kiri dan ke kanan, mencari bantuan ngomong dari teman. Tapi si Udin yang nyopir truk dan Ujang, sopir Kijang, semua pura-pura asyik membaca Pos Kota. padahal dia tahu, itu koran kemarin. Malah Toha si Brewok. yang barusan memberikan pesan "harus bungkam', juga tidak kelihatan mau menolong. Sibuk melamun di atas kursinya.

Brengsek, pikirnya.

"Tidak, Pak Dono. Saya tak tahu."

"Jangan bohong, Bang." Dono menatapnya dengan tajam.

"Abang bilang saja terus terang, jangan takut. Ini bukan urusan mau nagih hutang, kok. Katakanlah di mana alamat Nona Nafisah?!"

"Saya... sung...guh ti dak ta...hu, Pak Dono." Topi kembali berputar-putar di tangan. Untuk lebih meyakinkan bahwa dia berkata jujur, ditambahnya,

"Kalau tahu, buat apa saya sembunyikan. He, he."

Dia mencoba ketawa tapi jadinya cuma meringis macam monyet mabuk terasi.

"Aku beri kau dua ratus ribu rupiah, Bang. Ayo katakan!"
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sialan si Toha, kutuk Danu dalam hati. Biar dia kualat sama aku! Rejeki sebesar itu mesti aku biarkan lewat! Pakai melarang-larang! Apa betul perintah dari Pak Kusmanto? Apa bukan ulahnya sendiri, biar hadiah ini jatuh ke telapak tangannya yang serakah?

"Nah, Bang Danu?" Dono melihat lelaki itu raguragu, namun akhirnya menggeleng. Dono menarik napas kecewa.

"Apa masih kurang, Bang Danu?"

Aduh, mampuslah si Toha! Pak Dono ini sudah mau memberi aku lima ratus ribu, tahu! (Anggaplah lima ratus. Kan itu juga "Iebih" dari dua ratus?)

"Sa...ya ti...dak ta...hu, Pak. Sung...guh ma...ti! Biar disambar geledek!" Terlambat dia ingat bahwa dia bisa betulan disambar, sebab dia kan bohong?! Si Toha yang sepantasnya disambar!!! dumalnya.

"Barangkali Ujang tahu, Pak," katanya mau mempersulit teman-teman yang tidak mau membantunya.

"Atau Kusmin. Atau Udin. Atau yang lain." Nah, tahu rasa deh! Tak boleh buka mulut sementara uang ratusan ribu dikibarkan di depan mata! Betapa menderitanya! Enak, kan?!

Satu per satu sopir ditanyai. Tak ada yang tahu. Dono menjadi putus asa. Hadiah yang dijanjikan sudah dipetlipat dua. namun tak ada seorang pun yang tahu di mana Naftsah kini berada.

Dengan uring-uringan dia berjalan keluar dari lapangan pabrik. Bang Aslan terbirit-birit menghampiri.

"Mau pulang, Pak?"

Dono menoleh. Dikeluarkannya dompet dan dicabutnya sehelai uang. Diberikannya pada Aslan.

"Ini lima ribu. Belilah jajanan bersama kawankawanmu, asal jangan rokok. Aku lagi ingin naik bis. Mau keliling kota."

Bang Aslan prihatin sekali melihat kedukaan majikan mudanya. Dia sudah mengantarkan Dono sejak dia masih duduk di kelas enam SD. Sayangnya padanya sudah seperti pada anak sendiri. Melihatnya bermuram durja begitu membuat hatinya pedih.

"Apa kata Pak Dono?" sambut kawankawannya serempak.

"Aku lihat kau diberi sesuatu!"

"Dikasih persen," sahut Aslan mengibarkan selembar lima ribuan.

"Dia tahu cucuku sedang sakit dan perlu ke dokter."

Ah siapa yang tidak kenal tukang ngibul seperti kau!" seru Toha.

"Ayo, mari kita belikan sop kambing dan ayam goreng. Kebetulan sudah hampir jam makan, nih!" Dan direbutnya uang itu dari jepitan jari-jari Aslan yang kurang bersiaga. Sambil melenguh seperti kerbau mau dibantai, Aslan terpaksa merelakan kekayaannya hari itu diludeskan ke dalam perut kawan-kawannya.

Dono keliling kota tanpa tujuan. Sore-sore baru pulang ketika ibunya sudah bersiap-siap menelepon polisi.

Dia masih ingat peristiwa seminggu yang lalu itu. Usahanya mencari Nafisah menemui jalan buntu.

Dono menutupi pesawat telepon dengan kain sulam, lalu berjalan balik ke kursi malas. Dia duduk di pinggir, menggenakkan geraham dan meninju tangannya sendiri. Kalau mereka mengira bahwa dia sudah akan menyerah. oh mereka belum kenal kepala batunya Dono Kusmanto!!!

****

"Hayo, cepetan dikit!" hardik Ujang uringuringan.

Rukiah tidak peduli. Dia tetap asyik mencoletkan lipstik ke bibirnya.

"Alaa, enggak pantas!" komentar Ujang sebal.

"Kalau memangnya kokokbeluk, biar digincu berjamjam juga akan tetap kokokbeluk!"

Hasan ketawa mendengar ejekan Ujang. Dia sama sekali tidak marah pacarnya dicemooh seperti itu. Sebab Rukiah bukanlah satu-satunya baginya. Pacarnya selusin lebih. Setiap perempuan yang baru masuk, pasti harus melalui saringannya. Kalau menolak, dia akan lapor bahwa pegawai baru itu tak bisa diterima, tidak

guna, tidak cekatan, tidak tahan berdiri lama, tidak... dari seribu satu 'tidak" yang lain.

Hasan naik ke jok di sebelah Ujang. Dikeluarkannya kretek. Ujang mencabut satu dengan gemas. Hasan menyalakan korek. Direbut olehnya. Hasan menoleh dan memperhatikannya.

"Tampaknya kau baru dimarahi bos, nih?" sindirnya.

"Siapa yang dimarahi, Bajingan?!" bentak Ujang sambil mengisap.

"Habis, mukamu mendung pisan!"

"Siapa yang nggak keki, coba! Empat ratus ribu rupiah sudah di tangan! Eh, melayang! "

"Kau mau nyolong barang dari gudang?" bisik Hasan dengan perhatian yang mendadak terbangun.

" Bukan! Hadiah dari Pak Dono!"

"Macammu mau dikasih hadiah?"

"Tadi siang aku dipanggil olehnya," kata Ujang sambil memeluk setir.

"Dia sedang mencari pacarnya! Gadis yang rambutnya segini itu! Kok melongo kayak orang sawan! Masa kau sudah lupa. Yang ada dekiknya kalau ketawa! Aduh, masa lupa? Bekas anak buahmu! Temannya Rukiah!"

"Oh, maksudmu... Nafisah?" Hasan menelan ludah. bukan karena mendadak ingat, tapi karena empat ratus ribu terbayang-bayang.

"Ngkali. Tahu deh siapa namanya. Pendeknya, Pak Dono menawarkan empat ratus... am...pat...ratus(!) kalau aku bisa kasih info!"

"Bebetulan. nih? Kau enggak main-main?" Hasan susah betul menelan ludahnya yang sudah kebanyakan.

"Mula-mula dia bilang dua ratus. Sama si Danu. Waktu aku masih godek kepala terus, dia tambah dua kali lipat! Bayangkan! Pernahkah kau menghitung uang sebanyak itu dalam tanganmu? Eh, sialnya, si Toha sudah mengancam kita semua, enggak boleh buka mulut kalau ditanya apa-apa sama Pak Dono. Mesti geleng kepala, bilang 'tidak tahu'. Katanya, perintah dari atasan. Huh. Dasar bintang lagi gelap."

"Padahal kau tahu di mana dia tinggal?" tanya Hasan.

Ujang menggaruk-garuk kepala. Lalu nyengir.

"Tahu sih terus terang ya enggak. Tapi, kau kan tahu? Kan kita bisa kerja sama?"

"Hm," dengus Hasan. Kerja sama kalau soal bagibagi rokok sih masih boleh. Tapi ini kan sudah mirip undian harapan! Hm. Sebenarnya dia sendiri juga tidak tahu jelas di mana Nafisah tinggal. Namun itu bukan masalah.

Mendadak dipanggilnya Rukiah dengan suara sayang.

"Ayo dong, Kiah. Sudah cantik, deh. Paten! Dijamin! Kita semua kan sudah lapar, nih!"

Rukiah menoleh dan melempar senyum genit, penuh arti. Hasan jarang sekali bermesra-mesra kayak gitu padanya. Kalau sudah merayu begini, biasanya dia lalu minta nginap...

Hasan sendiri lain lagi pikirannya. Sesaat sebelum mobil Kijang itu meluncur, diawasinya Rukiah seraya berpikir: "Aku kan tidak pernah dilarang sama Toha, bukan?!"

***

DONO sudah empat bulan di rumah. Tapi Nafisah belum juga ketahuan di mana tempatnya, seakan dia sudah lenyap ditelan bumi atau hanyut dibawa ombak.

Dono menjadi lesu dan apatis sekali. Setiap pagi dia ikut ke kantor ayahnya seperti robot. Untuk menghibur hatinya, sekaligus supaya gampang kalau dia mau bepergian dengan Sabina (atau tepatnya diminta mengantarkan oleh gadis itu), maka ayahnya membelikan sebuah Honda baru, langsung dari dealer.

Dono merasa senang dengan hadiah itu, walaupun ke kantor masih ikut mobil Ayah. Namun setelah satu minggu, dia merasa bosan. Terlebih setelah ternyata bahwa Sabina jadi makin sering mengganggu kesendiriannya, makin bertingkah minta diantar ke sana ke sini, padahal dia juga punya sopir sendiri.

Dono kembali lesu dan apatis. Tugas-tugas kantor dikerjakan dengan setengah hati, walau memang beres juga. Minatnya yang semula menggebu-gebu untuk menjadi tangan kanan Ayah, kini sirna separuh. Dia tak tahu siapa yang akan disalahkannya. Dia tak tahu kepada siapa kejengkelan dan putus asa ini mau itu ditumpahkannya.

Pernah dia memasang iklan di koran. Hasilnya nihil. Mungkin Nafisah tak punya waktu untuk membaca koran, apalagi menelusuri iklan-iklan mini. Dipasangnya sekali lagi. Lebih besar. Bukan cuma

pada satu koran, melainkan sekaligus lima. Sayang dia tak tahu nama koran yang beredar di Lampung. Kalau tidak, tentu akan dipasangnya juga di sana, biar seperempat halaman, tak peduli berapa mahal, asal Nafisah bisa melihatnya. Siapa tahu dia sebenarnya sudah balik ke Lampung?

Nihil juga.

Emmi yang kasihan padanya pernah mengusulkan sambil lalu agar dia menghubungi biro detektif PIDO. Waktu itu Dono tidak menanggapi, sebab mengira dia sedang bergurau. Kemudian, setelah semua usahanya sia-sia, dia teringat Emmi lagi. Tak peduli gurawan atau bukan, pikirnya, lebih baik dia menanyakan di mana alamat FIDO. Ibarat pasien yang sudah kenyang berobat pada selusin dokter tak sembuh-sembuh, jalan apa pun mau ditempuhnya sekarang asal penyakitnya baik.

Tapi, brengsek! Emmi mendadak lupa pernah bilang begitu. Dia malah betul-betul kelihatan heran mendengar nama FIDO disebut-sebut. Sia-sia saja Dono coba mengingatkan.

"Dulu itu, belum ada sebulan, Mbak Em. Waktu kita sedang makan di kantin. Ingat? Mbak minta gadogado saja. Alasanmu lagi diet. Sedang aku minum kopi susu. Ingat?"

Emmi menggeleng.

"Maaf, Don. Bukan aku tak mau kasih tahu, tapi aku benar-benar tak tahu. Aku sih mana tahu apa-apa soal detektif detektifan? Perhatianku cuma terbatas pada baju bagus dan makan enak saja.

Barangkali kau salah ingat! Mungkin orang lain yang bilang?"

Dono bangun dengan kesal dari kursi dan pergi meninggalkan Emmi. Perawan tua itu mengawasi punggung Dono dengan wajah duka. Tapi, setelah ada instruksi begitu eksplisit dari bos, mana berani dia lancang? Ini kan menyangkut piring nasi dan bajubaju bagusnya? Terpaksa Dono menjadi korban! Dia menghela napas, lalu mencoba menghilangkan rasa kasihan dan meneruskan apa yang tengah dikerjakannya saat itu.

Dono makin lesu. Dia yakin, seluruh dunia sudah berkomplot untuk memisahkan dirinya sejauh mungkin dari Nafisah. Dia sekarang mulai ragu, betulkah gadis itu minta berhenti, dan bukannya diberhentikan? Dengan imbalan yang lumayan? Kalau dia tidak salah menerka sifat ayahnya, Pak Kusmanto lebih suka kehilangan uang daripada mesti melihat maksudnya tak tercapai.

Dono teringat waktu tape recorder dari mobil dicuri orang. Berapa sih artinya benda itu bagi ayahnya? Dia bisa membelinya seratus biji sekaligus kalau mau. Tapi susahnya, benda itu hadiah seseorang yang sudah meninggal, kenangkenangan yang tak ternilai.

Pak Kusmanto mengadu pada polisi, memberikan santunan sekian ratus ribu supaya barang itu diperoleh lagi. Untunglah berhasil. Kalau tidak, Dono tak tahu lagi apa yang akan dilakukan ayahnya. Mungkin akan dijungkirbalikkannya seantero isi bumi.

Dan kini, bila ayahnya ikut terlibat dalam masalah menghilangnya Nafisah, berarti tak ada harapan lagi baginya. Dia takkan menang melawan kekuasaan serta kecerdikan ayahnya. Pak Kusmanto bagaikan punya mata dan telinga di mana-mana. Dia takkan pernah bisa ketemu Nahsah lagi.

Tiba-riba secercah pikiran yang mengerikan menerjang kepalanya. Betulkah Nafisah minta berhenti? Bukankah dia sudah...?! Mereka mau memberhentikan dan gadis itu tak mau! Nafisah ngotot mau menunggunya. Kalau ayahnya sudah berang, barangkali apa pun bisa terjadi. Dan dengan mudah saja. Seorang lelaki pun sudah cukup untuk menghadapi gadis semampai macam Nafisah! Apa susahnya mencekik Dono menggigil. Kalau sampai itu terjadi, pikirnya ganas sambil menggertaan gigi, dia sendiri yang akan menyerahkan ayahnya ke polisi!!!

Kelesuan Dono membawa akibat lain. Dia menjadi urakan, tak peduli pada keadaan. Masa bodoh. Dan tak punya kemauan, baik untuk meminta maupun untuk menolak. Bagaikan robot diturutinya semua kemauan Sabina. Tentu saja ibu dan bibinya girang sekali melihat perkembangan ini. Kedua wanita itu malah sudah kasak-kusuk menentukan kapan sebaiknya mereka dinikahkan. Ibu Sabina ingin mereka langsung menikah. Kalau ditunda-tunda, dia khawatir sekali "punai di tangan terbang melayang. Tapi ibu Dono masih belum puas merawat anaknya sejak pulang dari luar negeri. Dono cuma bersaudara seorang dan kakak

perempuan ini sudah lama ke luar rumah, ikut suami ke Ambon. Ibunya kesepian sekali sebab tak punya kegiatan apa-apa.

Ketika ayah Dono juga menyatakan sebaiknya bertunangan saja, ibu Sabina mengalah. Dia tahu, abangnya tak bisa dibantah. Lebih baik sedikit, daripada tidak sama sekali. Sebagai calon besan, suaminya toh akan lebih leluasa kalau mau pinjam modal, bukan?

Waktu berita itu disampaikan pada Dono, aneh bin ajaib, dia cuma melongo. Tak punya komentar sama sekali. Dia cuma mengangkat bahu dan pergi menghilang ke kamarnya. Tentu saja senang hati kedua wanita itu. Mereka menganggap Dono masih malumalu, tapi mau. Sebenarnya, keadaan lebih gawat lagi.

Dono sudah tak peduli apa yang akan terjadi padanya. Dia sudah setengah pikun. Terkadang dia terjaga dan mengira masih di luar negeri. Dia tidak jadi mandi, sebab udara di luar pasti dingin. Cuma mukanya saja yang dicuci (dalam kamarnya memang ada kamar mandi) dan alat vitalnya. Lalu dikeluarkannya jaket tebal dari lemari. Juga kaus kaki wol dan syal untuk membelit leher. Dari bawah ranjang ditariknya sepatu but yang sudah berdebu sebab tak pernah dipakai. Ketika dia ke luar kamar dengan dandanan orang eskimo yang membuat tubuhnya jadi kelihatan gemuk, ibunya ternganga. Ayahnya hampir semaput.

" Kau mau ke mana, Don?" ibunya memaksa diri bertanya.

Dono memandang berkeliling dan tiba-tiba seakan

baru terbangun dari mimpi. Wajahnya merah kemalumaluan.

"Aduh, mimpi apa saya barusan? Rasanya masih di Amerika, sedang musim salju!" Tergopohgopoh dia berbalik dan lari ke kamarnya. Ayahnya cuma menghela napas, tapi ibunya terisak.

"Apa dia sudah gila, Risa?"

"Ah, macam apa sih kau ini! Kan dikatakannya sendiri: dia mimpi! Mungkin dia tidur berjalan!"

"Tak perlu dibawa ke dokter?"

"Bu, keluargaku tak ada yang gila. Keturunanku juga tidak. Seumur-umur kami cuma ke dokter kalau mau beranak! Jangan pikir yang enggak-enggak, ah."

****

"Aslan, lu suka duit, enggak?"

"Monyet lu, San! Nanya kok geblek begitu sih? Nah, situ sendiri, apa enggak suka? Laa, buat apa aku cape-cape begini kalau bukan buat duit?"

"Kalu begitu, kita searah, nih. Rokok?" Hasan menawarkan kreteknya yang tinggal dua batang. Sebenarnya masih ada empat di kantung celana. Dia khawatir kalau kelihatan semua nanti ada orang lain yang mau ikut nimbrung minta. Tidak dikasih, katanya kelewatan banget. Dikasih, ya itu juga pakai uang belinya. Dan uang! Inilah yang dibutuhkannya!

"Apa kabar majikan kita?" tanya Hasan sambil mengepul.

"Oh, rasa saya sehat-sehat saja. Makin gemuk,

makin botak, dan makin kaya! Ha, ha, ha! Heran ya, kenapa orang kaya selalu tambah kaya, Yang miskin, makin miskin. Sepertinya duit itu punya mata, maunya nyari temen melulu. Di mana udah banyak duit, nah ke situlah mereka rame-rame datang. Tul, enggak?!"

Tapi Hasan tidak setuju dengan pendapat itu. Uang akan berbondong-bondong datang asal tahu memancingnya. Asal tahu aturan mainnya.

"Maksud kita bukan Pak Riso, Goblok' Tapi Pak Dono!"

Bang Aslan menyeringai, teringat persenan sepuluh ribu waktu mengantarkannya ubek-ubek di daerah Kebayoran, entah apa yang dicari. Sayang Pak Dono sekarang sudah punya mobil sendiri, jarang sekali minta disopiri kecuali ke kantor. Tapi itu pun bersama Pak Kusmanto yang tidak suka menghamburkan uang.

Ya, Pak Dono memang sudah setengah majikan sekarang. Tangannya terbuka sekali. Sepuluh ribuannya itu telah berhasil dijadikan uang muka bagi pesawat TV kecil hitam-putih yang sudah diidam-idamkan oleh istrinya sejak enam tahun!

"Oh, kalu dia sih, ab memelas ati ngeliatnya. Tega banget orang tuanya menyiksa begitu rupa. Orang kaya lain sih kali perhitungannya. Kalu kawin, mereka musti jauh-jauh udah ngitung dulu tuh untung-ruginya. Kalau kayak saya sih, asal ada yang mau sama anak saya, siapa kek orangnya, asal jujur dan benar-benar suka, saya relakan deh!"

"Apa enggak ada yang bisa nolong?"

"Sssr! Pelan dikit, tak boleh kedengaran intel!"

Keduanya celingukan seolah sudah pasti Satpam Toha sedang menguping. Tapi lapangan parkir di belakang kompleks pabrik dan kantor itu ternyata lengang dan kedua orang itu menarik napas lega. Rokok dihisap kembali.

"Nah, apa enggak ada yang bisa nolong?" ulang Hasan berbisik ke dekat telinga Bang Aslan.

"Dilarang sama bos!"

"Oh, gitu?!"

"Si Toha udah ngancam: buka mulut, kontan keluar!"

"Hm." Hasan kelihatan berpikir-pikir, lalu seakan bicara pada diri sendiri dia bergumam,

"Tapi gue kan enggak pernah dilarang-larang sama si Toha?"

"Eh, iya, benar juga!" Terlompat kegirangan dalam suara Bang Aslan ketika menangkap gumam itu.

"Kau tahu? Persennya ampat, iya am...pat... satu, dua, tiga, ampat... ratus... ribu! Kita bagi dua kalau berhasil. Biarin deh, dipecat. itung-itung dapat modal buat buka warung, kek. Sayangnya saya tak tahu apa-apa soal gadis ini!"

"Mata duitan, lu!" tuduh Hasan mendengar keluhan Bang Aslan.

"Majikan sedang kesusahan, lu ingatnya duit doang! Kita kan seharusnya menolong tanpa pamrih. Bukannya lantaran ingin persenan!"

"Iya, saya keliru," Bang Aslan mengakui seraya menggaruk kepala. Dia mengira justru Hasan yang mata duitan. Dia menjadi malu sendiri melihat orang

lain berhati begitu mulia, sementara yang dibayangbayangkannya hanyalah sebuah warung kecil untuk istri. sebagai tambahan penghasilan.

Hasan menepuk bahu Aslan dengan lagak bersaudara.

"Jangan marah, Lan. Gue bukan benarbenar ngomel. Eh, coba kaupikir, seandainya ada yang diam-diam bisa membantu Pak Dono, kira-kira bakal ketahuan enggak, ya?"

"Kalu udah dibilang (diam diam, ya terang kagak bakal ada yang tahu, dong!" Mendadak Bang Aslan terkesiap dan menatap Hasan yang sedang jongkok di sampingnya.

"Apa sih maksudmu dari tadi, San? Jangan ngalor-ngidul kayak gitu, ah. Bilang aja terus terang, apa sih niatan lu?"

Hasan menggeser lebih rapat Pada Aslan. Didekatkannya bibirnya ke telinga Aslan. Sopir itu mendengarkan dengan serius. lalu mendadak wajahnya cerah.

"Nah?" Hasan memandangnya dan mengangguk. Aslan ketawa lebar.

****

Dono memarkir mobilnya di pinggir, mematikan mesin, lalu keluar. Setelah mengunci pintu dan mengantungi kuncinya, dia mulai berjalan ke arah Monas. Lalu menyeberang ke Taman. Subuhsubuh tempat ini ramai sekali dengan orang-orang senam atau sekadar jalan kaki menghirup udara yang belum

terpolusi asap bensin.Tapi senja begini lain lagi kegiatan mereka yang ke sini.

Taman sebelah timur. Bangku batu. Tak usah khawatir, kata Aslan kemarin. Pak Dono tak perlu celingukan mencari. Orang itu akan mengenali Pak Dono.

Dekat air mancur dia berhenti sebentar dan seakan sambil lalu melayangkan pandang ke sekitar. Banyak orang yang berpasangan. Pacaran. Entah pacar benar atau cuma jam-jaman. Dia segera menyadari risikonya datang sendirian ketika dilihatnya dua orang gadis melempar senyum genit. Ketika dia tidak bereaksi, tapi cuma melongo melihat kapstok yang didandani begitu reboh, kedua perempuan itu jadi tambah keberanian dan melenggok ke arahnya.

Runyam, pikirnya sambil cepat-cepat berbelok ke kiri mengitari pancuran. Mana orang ini yang namanya Hasan, pikirnya. Lebih baik dia lekas nongol dan jangan bikin lelucon.

Sambil berjalan pelan-pelan menjauhi bidadari tadi, matanya dipasang dengan awas agar jangan sampai melangkah ke dekat bidadari ketiga atau keempat.

Mana si Hasan ini! Kalau dia tidak jadi datang, awas! Orang begitu banyak dan dia tidak ingat seperti apa rupa mandor itu. Sekali-kalinya dia ke pabrik dulu itu, pada hari pertama mereka ketemu Nahsah dan dia perhatiannya cuma tertuju pada gadis itu. Sang mandor sama sekali tidak diingatnya tampangnya. Berkumis. Oke. Tapi begitu banyak lelaki berkumis tengah hilir

mudik di sini. Dan kalau Aslan tidak berlebihan, 'tampang seperti pencoleng' juga tidak kurang. Orang kan tidak selalu harus diadili berdasarkan wajahnya. Nah, lelaki brewok yang duduk di depan situ. tampangnya memang amat menyeramkan. Tapi lihatlah caranya mencumbu anak perempuannya yang masih bayi. Orang pasti menyangka hatinya lembek seperti pepaya bonyok! (Siapa tahu memang dia lembut?)

Nah, Hasan "bertampang pencoleng' ini, terbukti juga bersedia menolongnya. Memang diakuinya, uang pasti memegang peranan penting. Tapi sopir-sopir lain tak ada yang berani buka mulut. Bahkan Emmi pura-pura lupa. Dono menduga, ayahnya telah campur tangan. Tapi dia tak punya bukti. Sampai serak dia sudah mengulang: 'Jangan takut. Bilang saja kalau kau tahu sesuatu.' Tapi mereka tetap takut. Pada siapa? Kenapa? Mereka tidak bilang bahwa mereka takut. Tidak mau mengakui bahwa mereka dilarang buka mulut. Oleh siapa? Cuma dugaan.

Tapi Hasan ini rupanya pemberani. Atau pembangkang? Uah, mana sih orangnya?

"Selamat malam, Pak Dono," terdengar dari belakangnya.

Walaupun sedang ditunggu, suara yang mirip sanjungan itu membuatnya kaget. Serta-merta dia menoleh. Hm. Betul tampang garong!

Seorang lelaki gemuk pendek berwajah angker tengah menyeringai sambil sedikit membungkukkan badan dan melipat kedua tangan di perut. Rupanya itu cara penghormatan modelnya sendiri.

"Selamat malam. Kau pasti Hasan, bukan?"

"Betul, Pak. Habis di mana lagi ada tampang pencoleng kayak gini? He, he, he."

Sedikit kurang ajar, pikir Dono tidak suka. Giginya kelihatan ompong satu di depan, tapi itu tidak mengurangi kegarangannya. Di belakangnya, kira-kira semeter dari mereka, berdiri seorang perempuan muda, dengan rambut keriting dan rupanya baru saja tercebur ke dalam adonan tepung. Wajahnya tak kalah rapi dari pemain Kabuki.

"itu siapa?" tanya Dono mengerutkan kening. Apa apaan ini! Masakan Hasan begitu lancang beraniberanian membawa perempuannya pada pertemuan ini.

"Itu Rukiah, Pak. Teman baik Nafisah," sahut Hasan menunjuk.

Dono menggeram mendengar Hasan seenaknya saja menyebut nama gadisnya. Dengan "Nona" kek. Atau lebih sopan lagi, jangan sebut namanya. Bilang saja "gadis yang Bapak cari'. Dan dia makin geram melihat Rukiah. Tak mungkin Nafisah akan punya teman baik kayak gitu. Tapi dia tidak berkata apa-apa.

"Aku tidak mau dia mendengarkan omongan kita!"

"Ta...pi, Pak, justru dia yang punya infonya! Dia berkeras mau menyampaikannya sendiri pada Bapak. Maaf, Pak. Jadi saya terpaksa membawanya ke sini."

Hasan makin membungkuk-bungkuk, tapi matanya sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Sesaat Dono ingin membatalkan pertemuan itu. Nalurinya

mengatakan bahwa Hasan ini berbahaya. Sekali orang terperangkap dalam tangannya... nah! Surat kaleng, pemerasan, dan gangguan lain-lain yang pangkaan cuma uang! Yah, apa boleh buat. Dia harus ketemu Nafisah lagi. Harus tahu bagaimana keadaannya.

"Rupanya kau tidak takut ancaman seperti yang lain, ya?"

Hasan ketawa malu.

"Saya sih enggak pernah dilarang apa-apa. Pak. Cuma Udin dan kawankawannya yang dilarang oleh Toha. Katanya perintah dari atas."

Hm. Betul ayahnya campur tangan. Dono menggertaan geraham. Tapi dia tidak mau ketahuan bawahan cekcok dengan Ayah. Jadi dia berlagak tidak mendengar kalimat terakhir.

" Baiklah. Di mana kita bisa bicara?"

Hasan menunjuk sebuah tempat di bawah pohon.

"Ada koran, Pak, untuk alas tanah." katanya menunjukkan koran yang baru saja dibelinya.

***

Tok, tok, tok. Pintu dibuka oleh seorang pembantu setengah tua, berkain kebaya. Diawasinya lelaki di depannya dengan waspada bercampur curiga.

Dono mencoba tersenyum untuk mengambil hatinya.

"Permisi, Bi. Nona Nafisah sudah pulang?"

Bi Ina ketawa lega.

"Oh, temannya Non, toh, Bapak ini? Belum. Non belum pulang. Tapi sebentar lagi. Biasanya memang sekitar jam lima. Cuma jarangjarang, sampai gelap."

"Boleh tunggu di dalam? Saya sudah janji dengannya."

"Oh, silakan. Silakan."

Pintu dipentang dan Dono melangkah masuk. Betul kata Rukiah semalam. Nafisah sudah kaya. Rumahnya walau kecil, tapi modern. Dan perabotnya mahal mahal.

Dipilihnya sofa yang menghadap ke pintu luar, lalu menjatuhkan diri di situ. Tungkainya dijulurkan sambil menerka-nerka siapa gerangan yang sering ke situ. Laki-laki mana?

Bi lna yang tadi masuk ke dalam, kini keluar lagi dengan segelas minuman dingin.

"Silakan, Pak. Dan ini kuenya. silakan dicoba."

"Hm. Rupanya kau sudah biasa sekali menjamu tamu! Apa Non-mu sering kedatangan tamu?"

Sesaat Dono seakan melihat wajah lugu itu menegang, tapi kemudian, oleh suatu sebab dia mesem lagi dan menggeleng.

"Ah, enggak kok, Pak. Paling-paling teman kerjanya Non." Lalu seakan bisa menduga isi hati Dono, ditambahkannya.

"Teman-teman perempuan, kok."

Dono menarik napas lega tanpa kentara. Berdusta atau tidak pembantu ini, paling sedikit dia telah melenyapkan kekhawatirannya untuk sesaat. Tinggal menunggu Nahsah. Melihat bagaimana sikapnya. Kalau sudah ada yang lain, itu akan segera diketahuinya.

Dia tengah mengagumi lukisan di dinding dan patung kayu yang tergantung di sampingnya, ketika telinganya menangkap suara klakson.

Bi Ina tergopoh-gopoh berlari dari dalam.

"Non pulang," katanya tanpa berhenti lari, membuka pintu, dan terus ke pagar.

Dono memperhatikan. Wah! Nafisah menyetir sendiri? Sungguh maju pesat gadis itu! Sejumput rasa tidak enak merayapi dadanya. Kalau begini keadaannya. mungkin sekali dia tak membutuhkannya lagi. Siapa tahu, dia mungkin sudah lupa padanya' Mungkin... dari mana semua itu diperolehnya? Hasil keringat? Dalam cuma sekian tahun? Berapa besar gajinya kalau begitu? Apa kerjanya?

Mobil diparkir di halaman, sebab tak ada garasi. Tapi halaman itu ukurannya enam kali enam meter, jadi cukup luas untuk sebuah mobil mini.

Bi Ina dilihatnya menjulurkan kepala sejenak ke dalam mobil dan rupanya mengatakan sesuatu, sebab Nafisah menoleh ke arah ruang tamu. Tapi kaca hitam di dinding depan tidak memperkenankannya melihat siapa yang di dalam.

Dono memutuskan untuk tetap duduk, menanti. Dia ingin melihat bagaimana reaksi Nafisah yang pertama sekali. Itu paling penting. Dia tak bisa siapsiap bersandiwara Selama belum tahu siapa yang menunggunya.

Dono takjub melihatnya keluar dari mobil dan melangkah ke rumah. Sungguh kemajuan pesat dari Nafisah lugu yang berkepang dan berbaju katun ke Nafisah yang kini berambut pendek dan berkostum butik: blazer berlengan panjang dan syal yang serasi.

Pintu dibuka pelan, tanpa derit. Dono menahan napas. Sedetik. Dua... tiga... empat... Nafisah tegak di ambang pintu. Begitu matanya melihat sang tamu, tangannya naik menutupi bibirnya yang melongo. Wajahnya seketika kaget, kemudian girang. akhirnya terharu.

"Dono! Oh, Don!"

Dia berlari dengan sepatu tingginya, sementara Dono bangkit dari kursi menyambutnya. Nafisah menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Dikecupnya gadis itu berulang-ulang.

Bi Ina masuk menjinjing tas. Menyaksikan kemesraan itu dia pura-pura tak melihat apa-apa dan bergegas masuk ke dalam. Sampai di dapur, wajahnya kelihatan bercahaya. Dia menganggukangguk sambil tersenyum.

Memang sudah lama dia mengkhawatirkan kesendirian majikannya. Non-nya rupanya sekarang sudah ketemu lagi dengan jodohnya, pikirnya. Semogalah Tuhan tidak memisahkan mereka kembali.

Bi lna menyayangi majikannya yang tidak rewel itu seperti anak sendiri. Ketiga anaknya lelaki dan dia amat rindu ingin memanjakan seorang anak perempuan. Sayang suaminya tak mau lebih dari tiga, dan sekarang dia sudah tiada, tinggal Ina harus bekerja di kota, sebab tidak cocok dengan menantu-menantu di kampung. Kalau ada anak perempuan, mungkin dia bisa tinggal adem ayem di desa, mengasuh cucu....

"Bi, ambilkan saya minum juga. Dan siapkan makan malam, ya," seru Nafisah dari luar. ,
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, Non."

Mmm. Sudah diajak makan! Belum pernah selama ini ada tamu yang diajak makan, kecuali tentu saja, keluarga Ibu Mantik yang anaknya lucu menggemaskan itu. Betapa sayangnya Non pada bocah itu. Ah, memang sudah waktunya dia menimang anak sendiri! Pak dan Bu Mantik sering main membawa anak mereka dan Non selalu punya persediaan mainan di kamarnya untuk menyambut tamu kecilnya.

Bi lna menggeleng-geleng sambil menyiapkan minuman. Dia menggumam sendirian,

"Sudah waktunya. Sudah waktunya."

Makan malam yang lezat itu membuat Bi Ina dilimpahi pujian oleh Dono. Sebenarnya, masakan yang terhidang tidak luar biasa istimewa. Tapi selama berbulan-bulan sejak pulang ke Jakarta, baru malam itulah Dono betul-betul bisa melahap nasinya dengan gairah.

Dia tidak banyak buka mulut, asyik mendengarkan celoteh Nafisah perihal dirinya. Sudah cukup baginya mengetahui bahwa Nafisah belum punya yang baru dan kerjanya di pabrik tegel (tentu saja di kantor, bukan di pabrik!). Dia belum berani menanyakan dari mana semua harta kekayaannya. Dan dia juga tidak mau curiga atau menuduh yang bukan-bukan. Nanti saja, kalau sudah kembali akrab seperti dulu, pasti akan ketahuan juga semua....

"Hari Minggu ini kita jalan-jalan, yuk. Makan sayur asam dan pepes ikan," ajak Dono ketika mereka ngobrol lagi sehabis makan.

"Oh, maaf, Don. Aku... sudah ada janji."

"Tidak bisa dibatalkan?"

Nafisah menunduk sesaat seakan berperang batin, mana yang lebih penting, Dono atau janji. Dia tahu Dono akan kecewa, tapi sesaat kemudian diangkatnya wajahnya lalu menggeleng.

"Maaf, deh. Tapi malamnya kita bisa nonton, bukan? Lantas ke restoran?" bujuknya sambil memiringkan kepala.

"Baiklah," Dono mengalah.

"Tapi kau harus bilang dulu, janji itu dengan siapa?"

"Wah, belum apa apa kau sudah cemburu, nih?!" rajuknya.

"Laki-laki mana?" desak Dono.

"Bos-mu?"

Nafisah ketawa lega.

"Oh, bukan. Bukan laki-laki. Ini saudara sepupuku. Anak mereka ulang tahun. Kalau aku tidak muncul, pasti mereka akan kecewa sekali, sebab aku sudah dipesan betul-betul supaya membantu. Mereka banyak menolongku waktu susah..."

****

Dono mengerutkan kening sambil meletakkan telepon. Sudah tiga kali Minggu, Nafisah selalu menolak kunjungannya. Mungkinkah setiap minggu ada anak sepupunya yang ulang tahun? Mustahil.

Kalau begitu, kenapa? Apa Nafisah sebenarnya sudah punya pria lain. tapi dengan munculnya dia kembali jadi ragu-ragu memilih antara mereka berdua? Ataukah

itu caranya yang halus untuk memberitahukan bahwa dia tidak lagi diinginkan?

Mustahil juga. Sikapnya begitu gembira melihatnya. Tak mungkin dia sepintar itu main sandiwara.

Aku harus tahu! pikirnya memutuskan.

Diangkatnya telepon.

"Halo?"

"Mbak Emmi, ini Dono. Aku ingin tahu di mana alamat biro detektif FIDO yang kausebutsebut tempo hari itu!"

"Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan, Don," sahur Emmi tenang seperti menghadapi anak kecil.

"Mbak Em, dengarlah. Bagaimana kira-kira reaksi ayahku bila dia tahu bahwa ayahmu pernah ikut menandatangani Manifesto Politik?"

"Ayahku tidak tersangkut Gestok!" seru Emmi dengan suara lantang tapi jelas ketakutan.

"Dia cuma orang jujur yang mau memperbaiki nasib rakyat!"

"Aku tahu! Tapi ayahku adalah pengusaha besar yang tidak punya tempat untuk urusan tetek-bengek di hatinya. Baginya yang paling penting, nomor satu: perusahaan. Nomor dua: perusahaan. Nomor tiga: perusahaan! Kita-kita ini termasuk nomor buncit! Mana dia mau ambil risiko usahanya akan diawasi yang berwajib, sebab stafnya ada yang terlibat dengan kegiatan anti pemerintah?!"

Dari seberang sana tidak kedengaran bunyi. Dono menanti sebentar sebelum melontarkan granat.

"Jadi gimana, Mbak Em? Kau masih ingat alamat FIDO?"

Emmi kedengaran menghela napas.

"Aku tidak mau tanya dari mana kau bisa tahu semua itu! Sebenarnya sumbermu itu pintar lho, kayak detektif sungguhan!"

"Jangan sinis, Mbak. Kau tahu. hatiku berdarah terpaksa mengatakan semua itu padamu. Kau ini sudah aku anggap kakakku sendiri. Mana tega aku melukai perasaanmu kalau tidak sangat terpaksa? Ayolah, Mbak Em, katakanlah di mana FIDO itu. Aku perlu sekali. Sumberku tadi itu cuma orang iseng yang ngelantur pada saat yang tepat, sehingga aku ikut mendengar..."

"Dan bisa mengancam diriku!" Emmi menghela napas lagi.

"Baiklah. Aku menyerah. FIDO terletak di Jalan.

"

Dono mencatat.

"Terima kasih, Mbak. Jasa ini takkan kulupakan."

Sepuluh hari kemudian Dono mendapat telepon dari FIDO. Sangat tidak kebetulan, saat itu dia tengah briefing dengan kepala bagian pemasaran. Ayahnya mengeluh, pemasaran mereka kurang memenuhi target. Harus lebih digalakkan.

Dono tak bisa bertanya terlalu mendetil. tapi apa yang didengarnya rupanya cukup menentramkan hati. Dia ketawa dan hilang terima kasih. Jadi cuma itu! Dia menggeleng lalu menyadari di mana dia berada. Lekaslekas dia kembali mendengarkan laporan Pak Rusman.

"Hm. Jadi pamanku menawarkan mau membenahi

pasaran di Kaltim dan Kalbar? Hm. Jadi dia punya saham di pabrik handuk dan seprai? Ayahku tak pernah mengatakannya."

" Baru saja, kok. Bulan lalu."

"Hm. Berapa persen?"

"Tiga puluh lima persen, Pak. Lima puluh persen masih di tangan Pak Kusmanto. Sisanya, di tangan tuan Ghulam Singh."

"Kalau pamanku menguasai pasaran di sana, apa ruginya buat kita?"

"Rugi sih mungkin ya, mungkin tidak. Yang jelas, kalau berhasil, berarti Pak Lilo itu akan bisa lebih mencampuri urusan kita. Misalnya masalah pasar. Dia mungkin ingin menentukan sendiri motif motif apa yang kira-kira akan laku di sana. Kualitasnya bagaimana. Harganya berapa. Dan... kalau dia mau menguntungkan terlalu banyak, kita juga tak bisa mencegah."

"Hm. Apa ayahku sudah tahu?"

"Pak Kusmanto sendiri yang mengatakannya pada saya. Tapi katanya dia masih pikir-pikir dan minta juga pendapat saya. Saya belum berani bilang apa-apa, sebab ini kan masalah keluarga."

"Hm. Justru keluarga tak boleh dibawa-bawa kalau orang mau berusaha dengan betul. Rusman, biarkan aku membicarakan hal ini dengan ayahku dulu. Besok kita berunding lagi."

"Baik. Pak."

Selesai makan siang Dono menelepon Nafisah di kantornya

"Aku sudah tahu ke mana saja kau setiap hari Minggu. Ke tempat saudaramu, bukan?"

"Kan sudah aku bilang, memang ke tempat saudara. Kenapa sih kau mulai tidak percaya padaku?"

"Jangan marah, Nahsah. Aku khawatir apakah selama aku tinggalkan kau bukannya sudah dapat yang lain. Itu saja. Anu, kalau cuma saudara, boleh dong sekali-sekali aku ikut? Aku juga ingin berkenalan dengan mereka dan anak kecil yang lucu itu."

Nafisah terdiam, seolah berpikir-pikir. Sesaat kemudian barulah dia bersuara lagi.

"Tentu saja, boleh. Lusa, bagaimana? Ini kan Jumat?"

***

Pak Risa Kusmanto mengangguk sambil mengunyah pisang sehabis makan. Dipandangnya Dono dengan rupa heran, sebab mengajukan pertanyaan yang begitu jelas jawab nya.

"Memang betul. Ayah Sabina memang sudah aku beri tiga puluh lima persen. Lima belas lagi aku kasih Pak Ghulam Singh. Lima puluh persen masih dalam tanganku. Aku masih berkuasa atas pabrik tekstil itu!"

"Tapi kalau dibelinya lagi bagian dari Ghulam Singh?"

"Dalam perjanjian sudah ditulis, Pak Ghulam harus menawarkannya dulu padaku kalau dia mau jual bagiannya!"

"Bagaimana dengan pabrik limun, pabrik gelas, dan pabrik baju kaus? Apa Paman juga punya andil di sana?"

"Rupanya kau terlalu khawatir aku akan dicoup oleh pamanmu. begitu? Tidak. Don, dia cuma kuizinkan membeli saham di tekstil. Kenapa kau begitu khawatir?"

"Tentu saja, Yah. Dia rupanya berniat menguasai pasaran kita di luar jawa!"

"Cuma di Kalimantan. Biar saja. Kita kan masih punya banyak pasar lain di jawa dan Sumatra. Pemasaran di Sulawesi dan Irian Jaya juga mau aku upgrade. sebab peluang di sana tak terhingga besarnya. Aku belum memutuskan apa akan mengabulkan permintaan Paman Lilo atau tidak, sebab aku masih mempertimbangkan untuk mengirim kau ke mana. Kalimantan. Atau Sulawesi."

"Ekh! Saya lebih suka tinggal di sini saja, Yah."

"Aku butuh tangan kanan di luar Jawa. Satu di Kalimantan, satu di Sulawesi, satu di Irja."

"Hati-hati terhadap Paman Lilo. Yah!"

Pak Kusmanro menurunkan kaca matanya dan menatap anaknya dengan heran.

"Hal-hal seperti itu, aku lebih tahu, Nak! Tak usah kawajari. Tapi Paman Lilo kan saudara sendiri, apalagi nanti kalau sudah jadi mertuamu, tentunya sudah betul-betul anggota keluarga kita!"

"Ekh!" Dono kembali seakan tercekik sesuatu. Matanya melotot. Bibirnya pucat. Yang dirakutinya selama ini sekarang menjelma jadi kata-kata.

"Saya kurang mengerti maksud Ayah," katanya berlagak bodoh.

Ibunya yang sejak tadi cuma mendengarkan, kini merasa perlu untuk nimbrung.

"Maksud Ayah, kau dan Sabina adalah pasangan yang serasi!"

"Ayah pikir begitu?" Kengerian membayang di matanya.

"Ibu juga?"

Ibunya tersenyum seolah yakin itu reaksi lumrah dari seorang bujang yang masih malumalu kucing. Anaknya masih perjaka ting-ting!

"Don, ibu Sabina adalah saudara kandung ayahmu. cuma lain ayah. Satu kandungan. Sabina. walaupun anak tunggal, Ibu kira tidak manja dan tidak cerewet. Kau sudah dewasa. Kakakmu sudah lama berumah tangga. Kata orang. tak baik anak laki-laki dewasa dibiarkan lajang terlalu lama. Sabina kelihatannya begitu lekat padamu. Kau juga sayang padanya, bukan? Ibu masih ingat waktu kalian masih kecil "

"Ah, Bu. Masa kecil dan masa kini kan sudah tak ada hubungannya lagi. Saya belum ingin kawin, Bu. Ingin bebas dulu."

"Itulah yang tidak kami sukai," kata ayahnya.

"Lelaki tak boleh terlalu bebas kelamaan. Lihat aku, nih. Muda-muda sudah kawin, anak bisa dirawat dengan baik. Kalau kau kawin setelah beruban, nanti anak

anakmu masih kecil, barangkali kan sudah digotong ke kubur. Nah, siapa yang celaka kalau begitu? Kan anakanakmu juga, bukan? Dengarlah omongan orang tua yang sudah kenyang makan asam garam dunia, Don. Sabina itu cocok untukmu."

"Berilah saya waktu berpikir," kata Dono sambil bangkit.

"Kalau saya dipaksa juga, takkan baik jadinya buat Sabina!" Dengan ancaman itu dia berjalan keluar.

Minggu pagi itu Sabina bersenandung terusmenerus. Wajahnya riang. Dia mau pergi piknik dengan kawankawan. Dan masing-masing boleh membawa pacar, cewek atau cowok. Sudah tentu pikirannya langsung melantur pada Dono.

Begitu selesai mandi, segera diputarnya nomor telepon rumah Dono. Lonceng baru berdentang sekali. Setengah delapan. Pada hari Minggu mungkin Dono takkan bangun pagi pagi, karena itu tak berani dia mengganggu lebih dini lagi.

Tapi berapa kecewa dan mangkel hatinya. Sepagi itu pun ternyata Dono sudah tak ada di rumah! Kata ibunya, pukul tujuh tadi sudah pergi. Dengan amat kesal dipanggilnya ibunya dari kamar.

"Mam, Tante Lisa mau ngomong."

Melihat air muka anaknya, Nyonya Lilo segera tahu, ada yang tidak menyenangkan hatinya. Disambutnya tangkai pesawat seraya melirik,

"Dono menolak?"

"Dia tidak di rumah!" sahut Sabina dengan kesal, balik ke kamar.

Sebuah firasat buruk membuatnya berhenti di ambang pintu kamar. Ibunya tampak mendengarkan dengan cermat, tapi "ah" dan 'oh' dan 'kenapa begitu? bunyinya tidak menggembirakan. Pasti bukan kabar baik. Soal apa? Dirinya dan Dono? Atau hal-hal lain?

Ditunggunya sampai ibunya selesai bicara.

"Urusan apa sih. Mam? Kok kelihatannya seru banget!"

Ibunya tampak terperanjat mendengar suaranya. Tapi cepat-cepat diusahakannya agar wajahnya bisa tenang kembali.

"Ah, tidak apa-apa, Sabin," katanya memaksakan diri tertawa.

"Soal Dono?" desa Sabina.

Sesaat ibunya kelihatan seperti mau menggeleng, namun akhirnya malah mengangguk.

Sabina mendengus.

"Sudah saya duga. Dia menghindari saya, Mam! Hari Minggu yang lalu pun dia tidak di rumah, waktu saya mau minta diantar ke pesta Titin. Ingat, Mam? Masa malam-malam mau dibiarkannya saya keluar sendirian? Untung masih ada Bob yang mengantar pulang!" Suara Sabina sudah sengau.

Ibunya mengangguk dengan wajah gemas.

"Ya, ya, Mama ingat, Sayang. Dan Rabu lain waktu kau perlu ke dokter gigi yang jauh itu, Dono juga tak bisa mengantar. Apa katanya? Sudah ada janji mau main bowling? Nah, meskipun janji memang harus ditepati, tapi urusan gigi

kan lebih penting dari menggelindingkan bola? Untung kau cuma perlu tambal, coba kalau yang sakitnya berdenyutdenyut, aduh, Mama pernah merasakannya!"

Mata Sabina sudah berlinang-linang. Ibunya mendekat, membelai rambutnya seakan dia baru berusia tujuh belas dan itu kisah kasihnya yang pertama.

"Dan... dan... tadi Tante Lisa bilang apa, Mam?"

"Sudah, jangan menangis," bujuk ibunya mendengar sengaunya makin menjadi.

"Tante cuma bilang, Dono makin susah diurus. Makin suka membangkang. Kata ibunya, Dono menolak kawin buru-buru. Dia masih ingin bebas dulu."

"Sampai kapan, Mam?" tanya Sabina dengan membelalak ketakutan.

"Aduh, Mam, apa-kata temanteman saya nanti. Mereka sudah saya beri tahu semua bahwa Dono adalah calon saya! Oh, Mam, malu sekali kalau sampai tidak jadi!" Sabina menubruk ibunya dan mengisak pelan di dadanya.

"Tenang, Sabin. Kita cari jalan pelan-pelan. Kita akan membicarakannya nanti malam dengan Papa. ya. Sekarang pergilah kau dengan temantemanmu. Lupakan sejenak kesusahanmu."

Perundingan malam hari itu segera memberi hasil yang positif. Ketiga orang itu punya alasan yang berlain=lainan namun sepakat bahwa Dono harus jadi milik mereka.

Pak Lilo cuma teringat akan pentingnya modal yang bisa diperolehnya dari sang menantu. Sebab Pak Kusmanto pernah bilang, begitu Dono berumah

tangga, dia akan mendapat hadiah uang sekian ratus juta untuk modalnya. Karena tampaknya dia sudah senang bekerja di kantor ayahnya, maka uang itu tentunya takkan segera dipergunakannya, bukan? Nah, disimpan di bank atau diputarkan oleh mertua, apa bedanya?

Selain itu dia juga geram sebab menganggap bahwa warisan istrinya telah dikangkangi oleh iparnya. Istrinya adalah anak orang kaya. Karena itu dia mengawininya, sebab mengira warisannya pasti besar. Tidak tahunya, calon mertua meninggal sebelum mereka menikah, dan sang istri ternyata cuma kebagian rumah serta sedikit perhiasan yang tidak bisa dijual. Permata permata itu mesti diwariskan lagi pada Sabina.

Karena diobor oleh suami, Nyonya Lilo juga yakin bahwa abangnya telah melicikinya dalam pembagian warisan. Tentu saja dia merasa masih harus mendapat bagian yang lebih lagi, walaupun dengan perantaraan Dono.

Namun sebab utama kenapa anaknya harus kawin dengan Dono, adalah wajahnya yang mirip betul dengan pacarnya semasa muda. Laki-laki yang dicintainya itu telah dipaksa orang tuanya agar kawin dengan orang lain. Barangkali pikirannya itu sedikit aneh, tapi dia merasa harus memiliki Dono sebagai anak. Dengan begitu, dia yakin akan merasa masih dekat dengan bekas pacar itu yang kini sudah almarhum (dalam hati dia selalu bilang, Turas mati karena tidak bahagia bersama pilihan orang tua. Padahal belum tentu begitu.

Mungkin sekali penyakit parunya memang sudah parah).

Sabina, obyek pertama dari lakon ini, sebenarnya cuma tertarik pada ketampanan Dono. Tapi ibunya juga berhasil meyakinkan bahwa suami yang kaya adalah seratus kali lebih menyenangkan daripada lakilaki miskin.

Sabina tidak bisa lupa wajah semua teman yang begitu jealous, iri dan sedih ketika melihatnya bergandengan dengan Dono. Sudah tampan, kaya lagi. Tamatan luar negeri lagi. Gagah lagi. Penuh perhatian lagi. Aaah, Sabina merasa dia bisa celaka bila tidak berhasil mendapatkan Dono. Ke mana akan dilipurnya kesedihan hatinya? Di mana akan disembunyikannya wajahnya? Dan bagaimana akan bisa ditahannya gunjingan serta cemooh teman-temannya? Terutama Titin, pasti akan bergunjing senang di belakangnya. Anak itu pernah coba-coba menaksir Dono juga. Mana bisa! Izinnya dari mana?!

"Jangan bimbang'" seru Pak Lilo seakan telah memutuskan sesuatu dan melihat jalan terang.

"Aku akan menyelidiki siapa gadisnya!"

"Gadis?" pekik Sabina kaget.

"Dono sudah punya gadis, Pap?"

Melihat mata yang begitu penuh kekhawatiran, Pak Lilo tidak jadi mau menyebut anaknya dungu. Cuma diam-diam saja menarik napas kesal.

"Kalau perjaka jarang di rumah, Sayang, ke mana lagi kalau bukan ke tempat pacarnya? Tenang saja. Papa

pasti akan berhasil mendapatkannya untukmu!" Lalu diraihnya telepon yang terletak di meja kecil di sebelah sofa. Ditekannya beberapa nomor.

"FIDO? Saya tidak mengganggu, bukan? Ya, ya, saya tahu FIDO buka dua puluh empat jam, tUjuh hari dalam seminggu! Ha, ha, ha. Apa malam-malam begini Anda masih mengharapkan langganan? Oh, misalnya saya? Ha, ha, ha. Betul juga. Anu, begini. Berhubung tempo hari FIDO sudah memberikan servis yang baik sekali untuk saya, sekarang saya balik lagi dengan problem lain. Yang dulu itu? Oh, ya, ya. Terima kasih. Niat saya sudah tercapai. Baiklah saya kasih tahu Anda, saya sudah mendapatkan saham itu walau belum sebanyak yang saya mau. Biarlah. Tak apa. Saya penyabar, kok. Sekarang mari kita bicarakan problem saya yang baru ini "

Pak Lilo bicara panjanglebar dengan sesekali diinterupsi oleh orang dari FIDO. istri dan putrinya memperhatikan tanpa mengerti siapa yang diajaknya bicara.

Akhirnya,

"Ya, ya, betul. Betul begitu. Apa? jadi Dono pernah minta bantuan FIDO juga? Masih ingat anak buah Anda yang mana? Menguntit seseorang? Saya berani taruhan, itu pasti soal perempuan! Iya, kan? Oh, Anda tak bisa memberi tahu? Ya, saya mengerti. Rahasia jabatan. Oke, saya hargai sikap Anda. Tapi terus terang saya jadi kepingin sekali tahu. Pasti soal perempuan, bukan soal kerjaan. Untuk itu ayahnya punya intel cukup. Nah, kalau soal wanita, biasanya masalah apa, ya? Dia sedang naksir seseorang dan mau tahu silsilahnya? Oh, bukan? Oh, cuma disuruh menguntit? Oh, begitu! Oh ya, ya, tentu saja Anda tak boleh menceritakan apa-apa. Tentu saja saya harap Anda juga akan bersikap demikian terhadap tugas yang saya berikan barusan. Jadi tolong selidiki sekalian tentang wanita itu, FIDO. Pasang anak buah Anda yang sama. Dia sudah tahu ke mana mencarinya. Oh, wanita itu tak perlu lagi disediliki? Datadatanya sudah pada Anda? Namanya Nafisah? Asal Lampung? Hm. Pernah bekerja di kantor ayahnya? Hm. Hm. Oh? Hm. Ah! Baiklah, saya tunggu laporan Anda, FlDO. Terima kasih." Pak Lilo meletakkan kembali pesawat lalu menyeka keringat.

"Jadi dia sudah punya pacar. Pap?" tanya Sabina Separuh mau nangis.

"Aku harus lapor pada orang tuanya!" dengus Lilo geram, seolah-olah menjawab anaknya.

Diangkatnya kembali telepon, ditekannya enam nomor, lalu,

"Halo? Riso, kau ini? Kebetulan! Aku ada sedikit kabar "

Di seberang sana Pak Kusmanto mendengarkan. Mula-mula masih tenang. Pelan-pelan wajahnya berubah merah. Dan akhirnya geraham digertak, tangan dikepal, sementara urat urat di leher menyembul dan suara mengguntur. Darahnya mendidih. Ditinjunya meja.

"Beri tahu aku hasil penyelidikan FIDO, Man!" teriaknya.

"Tentu!" Warman Lilo tersenvum.

***

Hidup seakan mempunyai arti lagi untuk Dono. Kelesuannya lenyap. Dia menjadi pemuda yang dinamis dan penuh inovasi yang mengagumkan bahkan ayahnya sendiri. Sampai-sampai Pak Kusmanto pernah berniat merelakannya kawin dengan siapa saja yang dipilihnya. Tapi Tina dan suaminya selalu mengutarakan alasanalasan yang bagus dan masuk akal kenapa Dono tak boleh dibiarkan kawin sembarangan.

Dono sendiri kelihatan sudah lupa pembicaraannya beberapa waktu yang lalu dengan ayahnya. Kalau Paman Lilo sekeluarga datang makan malam. selalu dilayaninya Sabina ngobrol seperti biasa, seakan belum tahu bahwa gadis itu dicalonkan untuknya dan dia sudah menolak.

Semua keriangan Dono berpangkal dari Nafisah. Sejak dibawa berkenalan dengan Astari dan Murdo, sekarang tiap Minggu mereka pergi ke sana. Pagi-pagi sekali Dono sudah menjemput Nafisah, lalu ke rumah keluarga Mantik. Mereka juga sudah siap menunggu. Dengan dua mobil mereka pergi ke vila yang baru tahun lalu dibeli Murdo.

Astari pernah mengusulkan agar mereka semobil saja, biar lebih meriah ngobrolnya. Tapi Nafisah punya alasan, kalau dua mobil, satu mogok, yang lain masih bisa menolong. Kalau cuma satu mobil, lalu mogok pas di pinggir jalan yang sepi di mana tak ada rumahrumah penduduk, lalu gimana? !,

Dan Nafisah selalu berhasil membujuk si kecil Hermes agar mau ikut dengan mobil Dono. Semula Astari agak keberatan, tapi Murdo melihat sesuatu pada wajah Nafisah dan digamitnya istrinya, disuruhnya mengalah.

"Awas, jangan kawambil hatinya!" seru Astari putapura mengancam.

"Pasti enggak, deh." Nafisah menggeleng sambil mengumbar senyum manis. Heran, dia jadi lebih banyak ketawa kalau sedang memangku Hermes seperti itu.

Di jalan, Dono teringat kembali ucapan Astari. Tadi rasanya seperti main-main, tapi sekarang kok bunyinya kedengaran aneh.

"Kenapa dia takut anaknya rapat denganmu. Nafi?"

"Ah," Nafisah ketawa, memeluk dan menciumi Hermes,

"ibu mana sih yang tidak cemburu melihat anaknya menyayangi perempuan lain?"

Lalu, begitu saja, ketawanya sirna seakan ada yang membekap mulutnya. Dono ingin menoleh, tapi tak sempat. Sebuah truk dengan ganas memaksa mendahului dari kiri!

Nahsah cepat-cepat menghapus mata dengan tangannya sebelum ketahuan. Dipeluknya eraterat anak di pangkuannya, seolah takut, dia akan terlontar ke luar jendela (yang sebenarnya tertutup).

Hermes merupakan buah Simalakama baginya. Tidak dilihat, hatinya risau. Kalau dilihat, hatinya kacau.

Anak itu bagaikan pinang dibelah dua dengan Dono. Ketika diajaknya Dono untuk pertama kali, Astari hampir menjerit kaget. sedang Murdo nyaris melongo. Mereka sampai tidak perlu lagi diperkenalkan. Astari langsung mengulurkan tangan.

"Ah, kau tentunya Dono!"

Dono tentu saja merasa senang. mengira bahwa Nafisah sudah begitu sering menceritakan perihal dirinya, sampai-sampai mereka sudah hafal kayak apa orangnya.

Sampai saat itu, rupanya cuma Dono seorang yang masih belum menyadari betapa miripnya si kecil Hermes dengan dirinya. Kalau potret Hermes dijejer dengan porretnya semasa kecil, pasti semua orang akan hilang, itu gambar dari satu anak!

Dan inilah yang mencelakakan mereka!

Seorang laki-laki gemuk dengan wajah bundar yang kelihatan selalu siap mau ketawa, tengah celingukan di depan rumah keluarga Lilo. Penjual rokok di seberang sana sudah mengawasinya dengan curiga, dan Bobadilo memang sudah berniat tanya info ke sana, tapi dibatalkannya.

Kumisnya bergerak gerak seperti hidung marmut. Bentuknya kaku persegi empat. Kaca mata hitam dan codet di pipinya tidak membuatnya ditatap orang dengan lebih ramah. Sebaliknya! Herannya, justru dia.

yang paling banyak mengumpulkan data dibanding anak buah FIDO yang lain. Rupanya dia bisa berbaur dengan sekelilingnya, seperti bunglon.

Kalau ada pria perlente berdiri menyender di gerobak tukang mi, lalu pura-pura iseng bertanya soal perempuan yang diam di rumah anu: siapa namanya. berapa umurnya (kira-kira), apa kerjanya, jam berapa pulangnya, dan lain-lain pasti orang akan curiga. Tapi. kalau tampang pengangguran bertanya melit begitu, orang akan memberi tahu lengkap, sambil ketawa geli. Kok masih ada orang yang tidak punya cermin! Tampang kayak gitu, berani mimpi perempuan kayak artis?!"

Setelah celingukan sepuluh kali ke sekelillng pagar bambu yang rapat menutupi pagar besi, akhirnya ketemu juga benda brengsek itu. Dengan sengit langsung ditekannya sekeraskerasnya. Bobadilo tidak mendengar bunyi apa pun, tapi di dalam, Nyonya Lilo sampai meloncat dari kursi. nyaris menjadi latah seperti salah seorang pembantunya.

Semenit kemudian pagar dibuka. Bnbadilo nyelonong ke pintu samping tempat pembantu tadi keluar. Pintu itu ternyata menembus ke kebun samping. Dan di ujung kebun masih ada pintu besi lagi. Nah. di dalam kerangkeng itu ada seorang nyonya tengah duduk mengecat kuku.

"Selamat pagi, Bu."

Nyonya Lilo menoleh dan mengisyaratkan agar Bobadilo masuk sampai ke teralis kerangkengnya.

"Ya,

ada perlu apa?" tanyanya tanpa mengangkat muka lagi dari tangannya.

"Bapak ada, Bu?"

"Di kantor. Kami tidak melayani peminta sumbangan."

"Saya permisi saja kalau begitu."

"Eh, tunggu dulu. Mari saya lihat dulu sumbangan buat apa. Kalau memang pantas disumbang, tentunya saya akan sumbang. Tak perlu tunggu Bapak."

"Ini bukan soal sumbangan, Bu. Saya ada perlu penting sama Bapak. Jadi saya permisi saja, Bu."

"Eh, nanti dulu! Anak muda zaman sekarang kok lamun lamun banget sih, seperti takut ketinggalan sepur!"

Meskipun sudah hampir lima puluh tahun, Nyonya Lilo masih kelihatan cantik. Bobadilo yang memang mata keranjang jadi berdegupdegup juga jantungnya menerima lirikan maut yang memakunya di tempat. Dia tak berani bergerak.
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyonya montok itu memasukkan kuas ke dalam botol kuteks, meniup-niup kuku-kukunya, lalu bangkit. Dari kalung leher dicopotnya sebuah kunci antik. Bobadilo kecut juga hatinya menyaksikan kegagahan tante yang seorang ini. Pikiranpikiran jorok secepatnya dilempar jauh-jauh. Salah?salah bukan cium, tapi bogem mentah yang akan mampir di wajahnya!

Bukan main hebatnya! Dengan kunci antik sekecil itu mau dibukanya gembok raksasa ini?

Tapi ternyata Nyonya Lilo malah berjalan ke tembok

samping dan membuka k0tak yang tergantung di situ. Barulah terlihat di dalamnya penuh anak kunci manca ukuran. Diambilnya satu. Lalu balik lagi ke pintu besi dan membuka gembok.

"Nah, ada urusan apa?" Dia berkacak pinggang di tengah pintu.

"Kalau Bapak tidak ada. biar saya permisi saja. Bu. Nanti sore saya akan kembali lagi." Bobadilo mengangguk hormat dan mau pergi.

"Eh, tunggu! Saya ini istrinya! Apa pun yang Saudara mau sampaikan pada Bapak, boleh diterimakan pada saya." Suara yang berwibawa itu membuat hati Bobadilo kuncup.

"Te...ta...pi, i...ni...i...ni..." Dia mau bilang 'urusan cari perempuan,, tapi segera juga dia sadar, ucapan begituan bisa membuat tante montok itu kalap. Jadi cepat disambungnya,

" Bapak tidak pesan boleh..."

"Tentu saja boleh! Silakan masuk!" undang nyonya rumah dengan otoriter, seraya mendorongnya ke dalam. Sebelum dia sempat bereaksi, pintu sudah terkunci lagi. Berduaan dengan macan betina?!!

"Silakan duduk. Nah, Saudara dari mana? Ada urusan apa?"

"Saya dari FIDO, Bu."

"Apa itu?" lengking Nyonya Lilo.

Mati aku, keluh Bobadilo. Yang ditakutinya ternyata benar! Data-data yang dibawanya tidak boleh jatuh ke tangan sang istri! Harus minta diri sekarang juga!

Tapi perempuan itu ndak mau melepasnya lagi.

"Apa itu FIDO?" ulangnya dengan suara makin tinggi.

"Biro detektif, Bu," sahutnya lemah bagaikan kambing sekarat.

"Ah, tentu, tentu. Saya ingat!"

Nyonya Lilo bisa ketawa lagi. Semula dia sudah khawatir, jangan-jangan suaminya punya simpanan dan ini utusannya!

"Tentu. Tentu." Dia mengangguk-angguk seperti kakatua ngantuk.

"Saya kira siapa! Kok ketakutan begitu lihat saya!"

Bobadilo menyeringai kayak kuda sakit gigi. Habis, siapa yang tidak bakal takut ditantang oleh bomber dan vulkan sekaligus?!

"Sudah lama kami tunggu hasil penyelidikan Saudara. Bagaimana? Berhasil, bukan?" Dia bertepuk tangan, lalu berteriak ke dalam,

"Sari, bikin minuman. Saudara suka hangat atau dingin?"

"Di ngin saja, Bu," sahut Bobadilo sambil menyeka keringat dan melepas kaca mata hitamnya. Bisa-bisa tambah keringatan dia disuguhi teh atau kopi panas!

Heran, biasanya dia selalu berhasil jual tampang di depan perempuan. Meskipun badannya seperti drum dan kepalanya yang botak itu lebih mirip semangka, namun mereka semua takluk padanya. Sekali saja menjentrikkan jari, mereka sudah akan datang terbirit-birit! Belum pernah ketemu tipe begini, yang tidak berkelojotan girang hatinya melihat dirinya. Cuma superbionik saja yang tidak terpengaruh oleh penampilannya! Bukan nyombong, dia membatin, lalu kembali menyeka keringat.

Kalau istrinya saja sudah super begini, kayak apa pula macamnya Pak Lilo itu? Sembarangan main di luaran. apa enggak ngeri sama istri? (Tentu saja Bobadilo tidak tahu-menahu siapa perempuan yang harus dikuntitnya. Sangkanya, pasti mainan sang suami.)

"Ya, Bu. Sudah berhasil."

Dibukanya map yang dibawanya, lalu dicarinya sehelai kertas biru dan disodorkannya. Tapi sesaat itu keraguan kembali menyergapnya. Kalau diberikannya datadata yang tidak seharusnya dibaca oleh tante bionik ini, bisa-bisa dia akan dipecat!

"Ma af, Bu. Se...sekali lagi saya mesti tanya, apa betul Bapak tidak ke...beratan Ibu..."

Nyonya Lilo ketawa renyah. Dadanya yang terpaksa dilihatjuga oleh Bobadilo, berguncangguncang, turunnaik dengan riuhnya, persis Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Putri waktu gempa!

"Tentu saja boleh! Saudara... siapa nama Saudara?"

"Bobadilo tok, Bu."

"Nah, Saudara Tok, ini kan..."

"Bobadilo, Bu. Sonder tok."

"Ya, Saudara Bobadilo, sama sekali tak ada larangan! Saya bahkan ikut mendengar waktu Bapak menelepon ke biro... apa tadi namanya itu. Ini kan menyangkut anak kami, jadi urusan berdua."

"Oh, begitu." Bobadilo sekarang tidak lagi was-was. Disodorkannya kertas biru yang masih digenggamnya.

"Silakan Ibu baca sendiri."

Dari hormat, lalu takut, kini dia jadi kagum

melihat seorang wanita tidak gentar sedikit pun pada tampangnya yang cukup menyeramkan. Bahkan codet di pipi, suvenir masa muda kebanggaannya, tidak berkesan padanya. Perempuan besi kayak gini sungguh belum pernah ditemuinya.

Nyonya Lilo sudah selesai membaca, dan menyilakan tamunya minum. Tak perlu dua kali, Bobadilo langsung menyergap gelas dan mengosongkannya. Rasa kaget serta keringat dingin membuatnya jadi haus.

"Hm. Jadi tiap hari Minggu, Dono pergi dengan gadis bernama Nafisah ini! Disertai keluarga Mantik dan putra mereka, Hermes. Hm. Keluarga Nafisah? Hm. Nafisah pernah pulang ke Lampung? Apa semua info ini bisa dipertanggungjawabkan, Saudara...m..."

"Bobadilo."

"Saudara Bobadilo? Apa semua ini bisa dipercaya seratus persen?"

"Leher saya jaminannya, Bu!" katanya gagah. Kalau sudah menyangkut soal tugas, kepercayaan diri Bobadilo tak tergoyahkan.

"FIDO tidak pernah memberi info palsu, Bu. He he. Baiklah saya kisahkan kembali, Bu. Sebab kebetulan saya sendiri yang ditugaskan melacak kasus ini. Kata Siti, pembantu keluarga Mantik, Nafisah baru dikenalnya sesaat sebelum Nyonya Mantik pergi beristirahat ke gunung. Nyonya ini sudah kawin tujuh tahun dan baru kali itu mengandung, jadi dokter hati-hati sekali merawatnya. Dia diharuskan menyepi ke atas. Kedua kali Siti melihatnya, yaitu waktu majikannya pulang setelah melahirkan. Nafisah tampak


Of Mice And Men Karya John Steinbeck Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit

Cari Blog Ini