Ceritasilat Novel Online

Riak Riak Kehidupan 3

Riak Riak Kehidupan Karya Marga T Bagian 3



pucat dan lesu seperti habis sakit, padahal majikannya sendiri yang baru bersalin, kata Siti, kelihatan segar. Sayang Bi Ina pembantu gadis itu, tak tahu apaapa atau mungkin tidak mau buka mulut. Perempuan setengah baya itu mengaku tak pernah tahu majikannya sakit atau kapan kenalnya dengan keluarga Mantik. Setahunya, mereka memang famili. Sebab Pak Mantik bilang. gadis itu adalah sepupunya. Anehnya, Bu, Pak Mantik-lah waktu itu yang mempekerjakannya dan membawa Ina ke rumah yang masih kosong. Beberapa hari kemudian, barulah gadis itu muncul. Tapi Bi Ina tak mau bilang, apa lesu apa pucat majikannya saat itu. Dari sumber lain (Rukiah, temannya) saya dengar, Nafisah itu pernah pulang ke Lampung hampir sebelas bulan lamanya. Dia menitipkan perabot pada Rukiah. Waktu dia mengambil kembali barang-barangnya, wajahnya pucat. Katanya dia kena malaria. Tapi Niah, pembantu mertua Bu Mantik, mengatakan hal yang aneh. Dia bilang, waktu Bu Mantik harus istirahat di gunung, supaya jangan kesepian, dia ditemani oleh kawannya yang juga sama-sama sedang mengandung. Suami kawan ini sedang di luar negeri. Nah, waktu dilahirkan, ternyata bayi kawan ini meninggal. Sedang bayi Bu Mantik selamat. Anak itu baru saja ulang tahun keempat. Niah pernah mendengar sekilas nyonyanya bilang: "Anak itu amat mirip...' Sayang dia tidak mendengar terusannya. Yang jelas, semua orang bilang, tidak mirip Pak Mantik."

Nyonya rumah mengangguk-angguk dengan mata

memandang jauh seakan sedang merenung. Lalu dia menoleh dan mengambil kembali kertas biru itu. Dibacanya lagi sekilas.

"Harap saja info ini semuanya akurat!" katanya setengah mengancam.

"Oh, pasti!" jawab Bobadilo cepat.

"Saya sudah keluar ongkos bukan sedikit buat persen sana-sini... pembantu sekarang sudah tahu artinya uang, Bu. Awas saja kalau mereka bohong. Sudah saya bilang, akan saya puntir nanti batang leher mereka! Begitu banyak ongkos-ongkos ekstra, Bu...."

"Saya tahu." potong Nyonya Lilo tak sabar.

"Semua itu akan kami bayar. Kami akan persen Saudara lebih dari sepantasnya! Asal Saudara betul-betul mau membantu...."

"Ahem. Bu, apa kira-kira Ibu merasa perlu saya menyelidiki ke Lampung? Dari Rukiah saya tahu, orang tuanya tinggal di Metro. Ibunya guru kepala SD. Sedang bapaknya petani. Tidak susah mencari pasangan yang ganjil begitu... He he..."

Nyonya Lilo tiba-tiba menoleh dan mendelik padanya. seakan dia telah membuyarkan apa yang tengah dipikirkannya.

"Tidak ada keterangan lain-lain?"

"Oh, ada, Bu. Potret Hermes. Hampir kelupaan."

Map dibuka lagi, lalu ditariknya foto itu dari dalam sampul dan diserahkannya dengan takzim.

Wanita itu menatap gambar tersebut dan . .. wajahnya pucat seketika seakan melihat kalajengking. Agak lama

dia tercenung. Rona mukanya seperti campuran dari kesima dan pedih yang dalam sekali. Baru beberapa saat kemudian timbul suaranya.

"Hm. Memang mirip," gumamnya pada diri sendiri.

"Memang mirip sekali!" Lalu diperkerasnya suaranya.

"Ya, anak ini memang mirip sekali dengan... ayahnya!"

Wajahnya tampak ngeri, sehingga Bobadilo khawatir jangan-jangan yang dimaksud adalah Pak Lilo sendiri. Disekanya keringat dingin yang merembes lagi. Dia kembali was-was janganjangan sudah berbuat kesalahan fatal dengan menyerahkan bukti-bukti ini ke tangan si istri.

Namun segera juga dia ingat, Pak Lilo sendiri yang minta pertolongan, bukan istrinya. Selain itu bukankah tadi Bu Lilo sudah bilang bahwa ini menyangkut anak mereka?! Ya, pasti begitu!

"Bagaimana, Bu? Apa saya perlu ke Metro? Saya kira bisa balik dengan laporan lengkap dalam tiga hari. Cuma ongkosnya! Kalau dengan bis, murah tapi lama."

Nyonya Lilo masih menatap foto itu. Semula Bobadilo mengira dia akan menangis. Tapi wanita superbionik tentu saja tak punya air mata. Dia cuma berkejap-kejap, lalu menggeleng tanpa melepas matanya dari anak kecil di atas telapak tangannya.

"Tak perlu!" serunya setengah menghardik, sehingga Bobadilo terguncang kaget seperti kena setrom dan kepalanya terangguk ke depan macam boneka kayu.

"Sudah jelas. Sudah jelas."

Perempuan super itu mengangkat muka dan menatap tamunya dengan jengkel, seolah merasa terganggu dengan kehadirannya.

"Semua ini saya tahan. Akan saya berikan pada Bapak. Saudara boleh berlalu..."

"Lho! Anu..."

Maksud Bobadilo, Anu, saya mesti menyerahkannya langsung ke tangan Pak Lilo. Kalau perlu, akan saya tunggu di sini!" Tapi nyonya Lilo mengartikan lain.

"Oh ya," katanya merogoh saku gaun rumahnya. Dikeluarkannya sebuah dompet kecil yang gendut. Jangan pandang enteng kecilnya! Isinya padat. Ditariknya beberapa lembar puluhan ribu.

"Nah, tiga puluh cukup? Untuk ongkos-ongkos ekstra itu! Soal honor nanti Bapak yang urus." Melihat rejeki nomplok tentu saja girang tak kepalang hati Bobadilo. Berulang-ulang dia bilang terima kaSih. Lenyaplah semua kengeriannya terhadap tante bionik ini, yang kiranya begitu welas asih.

"Cukup, Bu. Cukup. Terima kasih. Terima kasih. Permisi, Bu."

Sebodo amat kalau laki-bini itu bakal perang sabil gara gara laporannya! pikirnya. Dia kan cuma melaksanakan tugas!

Nyonya Lilo tersenyum masam membukakan pintu besi yang segera menjepret lagi begitu Bobadilo sudah molos ke luar.

Tapi malamnya, Pak Lilo tidak bisa tersenyum walau semasam apa pun. Dia menggertakkan geraham sambil menceritakan rencana selanjutnya. Sabina dan

****

Jangan pandang enteng kecilnya! Isinya padat. Ditariknya beberapa lembar puluhan ribu.

"Nah, tiga puluh cukup? Untuk ongkos-ongkos ekstra itu! Soal honor nanti Bapak yang urus." Melihat rejeki nomplok tentu saja girang tak kepalang hati Bobadilo. Berulangulang dia bilang terima kasih. Lenyaplah semua kengeriannya terhadap tante bionik ini, yang kiranya begitu welas asih.

"Cukup, Bu. Cukup. Terima kasih. Terima kasih. Permisi, Bu."

Sebodo amat kalau laki-bini itu bakal perang sabil gara-gara laporannya! pikirnya. Dia kan cuma melaksanakan tugas!

Nyonya Lilo tersenyum masam membukakan pintu besi yang segera menjepret lagi begitu Bobadilo sudah molos ke luar.

Tapi malamnya, Pak Lilo tidak bisa tersenyum walau semasam apa pun. Dia menggerakkan geraham sambil menceritakan rencana selaniutnya. Sabina dan

ibunya masuk mendengarkan di atas sofa dalam ruang keluarga.

Untuk pertama kali dalam sejarah, video malam itu tidak dinyalakan. Padahal Sabina baru saja meminjam kaset bajakan berjudul wan. serial yang sedang .....

ibunya duduk mendengarkan di atas sofa dalam ruang keluarga.

Untuk pertama kali dalam sejarah, video malam itu tidak dinyalakan. Padahal Sabina baru saja meminjam kaset bajakan berjudul Dynasty, serial yang sedang beken di luar negeri.

"Tapi Hasan tidak cocok, Pa," kata ibu Sabina setelah uraian selesai.

"Tidak kena, deh. Betul dia bekas sopirmu. Dan sekarang jadi mata-matamu di pabrik, tapi gadis itu akan mengenalinya. Bukankah dia pernah bekerja di situ sebelum naik ke loteng?"

"Tina, kaupikir dalam kepalaku ini otak atau bubur sumsum, sih? Sebelum kau bilang, Ma, aku sudah lebih dulu tahu. Sebelum kau lahir, aku sudah bisa berlari, malahan memanjat pohon."

Dijulurkannya lengan kirinya.

"Nih, lihat. Tanganku patah! Sobek! Ini bekas jahitannya. Jadi soal Hasan kau tak usah gelisah. Tentu saja dia tidak akan kita pakai. Tidak bisa. Tapi anak buahnya lho, Ma. Dia kan bekas pencoleng kelas teri di Proyek Senen, tukang menyilet tas ibu-ibu yang matanya meleng. Nah, koneksinya segudang. Tak usah tarik muka ngeri dulu. Kira bukan merencanakan pembunuhan. Ini cuma akal buat menggertak gadis itu...."

"Kita harus memberi tahu abangku! Sah atau tidak. itu kan cucunya!"

***

RABU itu kalender merah. Libur di tengah minggu selalu menyenangkan hari Nafisah. Dia merencanakan untuk tidak ke mana-mana. Tidak juga ke tempat Astari. Di mau santai di rumah bersama Dono. Sekali ini dia sendiri yang akan ke dapur. Bi Ina biar istirahat di kamarnya.

Pukul tujuh pagi bel pagar sudah berbunyi. Nafisah baru selesai sarapan. Dia tersenyum. Tumben pagi sekali Dono, padahal mereka tak ada niat mau ke luar kota.

"Coba buka pintu, Bi. Pagi betul Pak Dono."

Tapi Bi Ina balik lagi menggendong Hermes.

"Bukan Pak Dono, Neng. Bapak dan ibu Mantik."

"Hei, Anak manis, wah Tante senang sekali kau datang," seru Nafisah seraya meninggalkan pepayanya di piring, langsung mengambil alih Hermes dari gendongan.

"Tapi kami bukan mau bertamu lho, Nafi," kata Astari yang muncul bersama suaminya.

"Lantas? Cuma mau mengganggu saja?" seru Nafisah ketawa, menciumi Hermes dengan gemasgemas sayang.

"Kira-kira begitu!" angguk Astari.

"Fi," kata Murdo cepat,

"pamanku semalam meninggal. Kami berdua harus ke sana, sebab dia tak punya anak. Aku ini kurang lebih selalu dianggap anak

olehnya. Kami tak mau membawa Hermes. Jadi tolong kaujaga dia. ya?!"

"Di sini atau di rumahmu?"

"Sebaiknya di rumah kami saja," kata Astari.

"Di sana dia bisa bermain-main sendiri, jadi kau takkan repot. Selain itu, kami baru saja mendapat pembantu lagi tiga hari yang lalu. Saudaranya Niah, pembantu mertuaku. Si Siti rupanya betul-betul jadi dikawinkan di udik. Dia tidak balik lagi, padahal pakaiannya masih banyak yang belum dibawanya. Kami agak khawatir membiarkan Wati sendirian di rumah."

Nafisah tidak berpikir lama-lama. Dia menyanggupi permintaan mereka dan segera menukar baju. Murdo serta Asrari berlalu dengan pikiran tenang.

Ketika setengah jam kemudian Nafisah mau masuk ke mobilnya bersama Hermes. mendadak dia ingat bahwa Dono pasti akan datang.

"Bi Ina, nanti kalau Pak Dono datang, suruh dia menyusul ke rumah Hermes, ya."

"Nah, kita sudah sampai lagi di rumahmu, Her," kata Nafisah menoleh, tersenyum pada anak itu yang balas menyeringai lucu.

"Mama dan Papa pergi ya, Tante?"

"Iya."

"Kok Hermes enggak diajak?"

"Sebab mereka mau menengok orang yang meninggal. Lebih enak kan kita main-main saja berduaan, bukan?"

Hermes mengangguk Tapi sesaat kemudian dia bertanya lagi.

"Orang meninggal itu apa sih, Tante?"

"Oh, orang itu tidak hidup lagi."

"Mati? Seperti anjing sebelah? Si Bleki?"

"Iya."

"Tapi si Bleki kata Tante sebelah, cuma tidur. Buat selamanya. Kenapa orang kok tidur selamanya, Tante? Berapa lama sih itu? Apa dia enggak lapar? Enggak pingin main main? Enggak mau bangun?"

"Tidak, Her. Orang yang sudah tidur selamanya itu tak akan bangun lagi. Mereka tak bisa makan lagi. Tak bisa main-main lagi. Buat selamanya. Selamanya adalah selamanya. Seumur bintang-bintang."

"Lama sekali ya, Tante. Iih, bosan. Tapi, orang itu juga enggak perlu mandi ya, Tante. Iih, dinginnya kalau mandi pagi." Hermes menggigil untuk memperlihatkan betapa dinginnya mandi pagi. Anak itu lalu merenung sebelum menyambung,

"Tapi Hermes lebih suka mandi deh, daripada nggak bisa bangun lagi. Hermes kepingin main main terus. Mainannya nanti pasti akan Hermes bereskan lagi. Tante, Hermes enggak mau ah, tidur selamanya. Hermes mau bangun saban pagi deh, enggak usah tunggu dibangunkan Mama."

"Tentu, Sayang. Tentu," sahut Nafisah tersenyum. Betapa perihnya hari setiap kali dipanggil "Tante'. Cuma Tuhan yang tahu betapa itu serasa duri yang menusuk nusuk di hari, makin lama makin dalam.

Terkadang dia heran, kok Dono tidak menyadari betapa miripnya anak itu dengan dirinya, padahal sudah berkali-kali dia melihatnya. Yah, memang begitulah manusia. Wajah sendiri paling susah dikenalinya, sebab kita selalu membayangkan wajah kita seperti yang kita inginkan. Padahal belum tentu sama dengan apa yang dilihat orang dari luar.

Mobil berhenti agak ke depan. sebab sudah ada mobil tetangga yang parkir tepat di depan pagar. Heran, orang kok tidak punya perasaan, pikir Nafisah. Parkir kok pas menghalangi pintu masuk.

Karena tidak bisa langsung membawa mobil ke dalam pekarangan, Nafisah memutuskan untuk keluar saja. Akan dimintanya tetangga itu memindahkan kendaraannya.

"Ayo, Her," katanya meraih anak itu sambil tangan kanannya membuka pintu. Tapi tahu-tahu pintu sudah menjeblak terbuka, sehingga dia tersungkur ke kanan, tertarik oleh gerakan pintu. Pegangannya pada Hermes terlepas.

Sebelum Nafisah menyadari apa yang terjadi, dilihatnya pintu sebelah kiri terbuka dan seorang perempuan menjulurkan tangannya, menangkap Hermes.

"Jangan! jangan!" pekik Nafisah tanpa mengerti apa artinya semua itu. Dia cuma ketakutan melihat Hermes disambar orang.

Mendengar pekiknya. anak itu pun menjadi ketakutan dan mulai meronta-ronta. Tapi perempuan

muda yang menggendongnya, memeluknya makin keras. Sementara itu Nafisah sudah berhasil keluar dari mobil. Lelaki yang memegangi lengannya tadi ketika dia berusaha merebut kembali Hermes, kini ikut berlari meninggalkannya. Oh, kiranya itu mobil mereka!

"Cepat, Sabina! Masuk ke mobil!" teriak seseorang dari dalam mobil, mungkin sopir. Laki-laki yang berlari itu sudah mencapai mobil, membuka pintu depan dan melejit masuk. Perempuan yang mendukung Hermes juga sudah meraih pintu belakang. Seakan tersadar dari pesona sihir, Nafisab berlari ke mobil yang diparkir tanpa aturan itu. Dilihatnya Hermes meronta-ronta, menangis tersedu sedu dan dengan tangannya yang kecil dipukulinya perempuan itu agar melepaskannya.

Pintu belakang sudah terbuka.

"Lepaskan Hermes! Hermes enggak mau ikut! Enggak mau ikut! Tante tolong! Tanteee...!" Suaranya lenyap ketika dia dibawa masuk dan pintu digabruk.

Terengah-engah Nafisah menghampiri jendela dan menjulurkan tangan mau mengetuk. Tepat saat itu mobil mulai meluncur, lalu ganti persneling dan kabur. Dalam sekejap, cuma debu-debu melulu yang terlihat.

Nafisah berdiri terpaku seperti orang bilang akal. Kemudian dia celingukan. Tak ada orang lain yang menyaksikan. Dalam kawasan rumah rumah mewah ini, orang jarang mendengar apa yang terjadi di depan pintu masing masing. Halaman terlalu luas dan semua orang lebih suka tinggal di dalam, tidak mencampuri urusan tetangga.

Tak ada yang bisa menolong! Pikiran itu demikian mematahkan semangatnya, sehingga dia nyaris ingin mendeprok saja dijalan dan menangis seperti orang gila.

Ketika sudah bisa menguasai sedikit perasaannya, Nafisah tidak melihat jalan lain kecuali masuk ke rumah, beristirahat dan mencoba berpikir apa yang sebaiknya dilakukan. Yah! Pengusaha besar seperti Murdo pasti punya musuh. Atau rekan usaha yang iri melihat kemajuannya. Atau, mungkinkah itu cuma penculik biasa yang ingin uang tebusan?! Apakah Hermes takkan dicelakai mereka?!

Ketika bel ditekan, tak lama kemudian seorang pembantu membuka pagar. Nafisah terhenyak. Sesuatu dalam pikirannya menyentak-nyentak. Dia seakan pernah melihat perempuan ini. Di mana? Dikernyitkannya keningnya. Tapi dia tidak bisa mengingat. Peristiwa barusan telah membuat semangatnya terbang dan tubuhnya yang lemas itu tak mau lagi disuruh berpikir.

"Kau tentunya Wati, bukan?"

"Ya. Nyonya sudah bilang, Non akan datang bersama... mana Hermes?" Matanya berusaha melihat ke belakang Nafisah, tapi tidak begitu berhasil sebab dia pendek.

Nafisah cuma menggeleng, sambil berjalan masuk. Kelirukah dia? Atau betulkah telah dilihatnya sesuatu pada wajah Wati? Seakan dia menyesali tapi juga seakan dia bersyukur?! Kenapa?! Dan di mana pernah

dilihatnya wajah tirus dengan mata tikus yang aneh itu?! Di mana?!

Dijatuhkannya tubuhnya yang penat ke dalam kursi. Lalu dipejamkannya mata. Suara Witi mengikutinya.

"Mobilnya tidak mau dimasukkan, Non? Mana Hermes? Tidak ikut?"

O ya, mobil! Kelupaan. Ah, biarlah di luar. Nanti kalau Dono datang, biar dia yang membawa masuk.

"Biar di luar."

"Hermes di mana, Non?"

Dibukanya mata dan diratapnya perempuan itu, yang tampak mundur mengkirik seolah pancaran matanya bisa membunuhnya.

"Anak itu dibawa lari orang, Wati! Barusan. Di depan rumah!"

"Ya. Allah! Oh, Gusti!" pekiknya lalu berlari ke belakang menutupi mulut seakan mau muntahmuntah.

Nafisah mengerjap dan menggeleng keras. Betulkah telah dilihatnya sekilat rasa puas dalam mata yang melotot tadi? Siapakah Wati? Apakah dia tahu mengenai penculikan itu? Barangkali dia mengintip? Apakah dia membenci majikannya sehingga menyukuri terjadinya musibah itu? Atau...? Bukan tak pernah dibacanya di koran, bagaimana seorang pembantu yang masih baru menjadi kaki-tangan penjahat. Mungkin itu komplotannya? Tapi perempuan yang menculik Hermes jelas bukan termasuk pembantu rumah. Siapa namanya? Sa... Sa... apa? Diingat-ingatnya. Sa... ah! Sabina! Yah. pasti Sabina! Dia belum tuli. Ya. Sabina!

***

"Kau pasti?" tanya Dono untuk ketiga kali. Sejam setelah kejadian itu, Dono muncul.

Nafisah mula-mula masih bisa menahan emosi ketika menceritakan jalannya peristiwa. Tapi waktu sampai di bagian Hermes meronta-ronta, menjeritjerit lalu dibawa masuk ke dalam mobil dan lenyap, air matanya tak tertahan lagi. Makin lama makin deras. Akhirnya dia tersedu-sedu. Tidak bisa lagi bicara. Dan untuk ketiga kalinya, dia pun cuma mengangguk.

"Sudah. Sudah," bujuk Dono seraya berpikir keras.

"Mereka pasti tak bisa menyalahkanmu. Mereka pasti takkan menuduhmu. Aku akan menemani kau di depan Murdo dan Astari. Sudahlah. Jangan takut. Aku akan membelamu."

"Aku bukan takut pada me...reka!" Lalu dia mengisak lagi.

"A..ku kha...watir Her...mes ke...napake...napa ."

"Biasanya mereka cuma ingin duit, Nah. Mereka takkan membunuh. Mereka ingin menikmati hasil tebusan itu, bukan? Jadi jangan sampai didakwa pembunuh, lalu tertangkap! Sudahlah. Jangan kelewat takut. Atau kau sedih?"

Nafisah mengangguk berulang-ulang. Dono membelainya.

"Ya, aku mengerti," gumamnya.

"Hermes itu lucu, membuat kita sayang padanya. Tentu saja kau sedih." lalu tiba-tiba dia menambahkan dengan suara lebih jelas,

"Kau tidak salah dengar, Nah? Betul, Sabina?"

"Ya."

"Seperti apa orangnya?"

Nafisah terpaksa harus berusaha keras menghentikan guguknya. tapi tidak begitu berhasil.

"Mu...da, ting... gi, ram...ping, ram...but ke...ri...ting pan...jang...."

Dono nyaris menahan napas.

"Aku tidak mengerti," gumamnya, lalu lebih keras,

"warna mobilnya apa? Kau ingat? Mereknya?"

"Honda... Ci...vic."

Ya, Civic memang paling mudah dikenali. Susahnya, hampir setiap orang memiliki Civic! Susah dilacak!

"Warnanya?"

"Oh! Aku sa ma se....ka. ti...dak i ngat!" sahut Nafisah terkejut. Ya. kenapa bodoh betul dia! Tentu saja harus diperhatikannya warna dan nomor pelat!

"Tidak apa," hibur Dono.

"Semua itu dengan gampang bisa mereka ubah! Ayo, hentikanlah tangismu, Nafi. Kau kelihatan sedih bukan main. Kalau orang lain melihatmu sekarang, pasti dia akan mengira kau ini ibunya, bukan cuma tante!" godanya, mau menyenangkan.

Namun Nafisah malah melotot dan menggeram.

"Oh, Don, betulkah kau tak pernah sadar selama ini? Aku memang ibunya!!!"

"???" Kalau ada lalat sepuluh, pasti bisa masuk semuanya ke dalam mulut yang celangap itu.

"Kau... kau... apa?" Dono tergagap.

"Hermes itu anakku! seru Nafisah. Isaknya serentak terhenti, walaupun hidungnya masih penuh air. Dipandangnya Dono dengan ganas dan penasaran.

"Masih juga kau belum mengerti?! Don, Hermes itu anak kita!"

***

Nafisah sama sekali tidak bergerak maupun bersuara selama Dono mengisahkan peristiwa penculikan itu. Kedua orang tuanya juga tunduk mendengarkan.

" Nah, Yah, sudah Ayah dengar semuanya! Saya tahu, Paman Lilo terlibat! Sudah saya bilang, dia berbahaya bagi kita. Dia mau meruntuhkan Ayah!"

"Mana mungkin! Dia kan saudara sendiri!"

"Kok Ayah tidak jadi mendapat kredit dari Inggris untuk membeli mesin-mesin tenun baru? Itu mungkin hasil campur tangannya."

'Ah, itu kan gara-gara orangnya UIC (United Industrial Consultants) yang brengsek. Memberi info salah pada Tuan-tuan Wright dan Rang. Jangan menuduh sembarangan. Apa kau punya bukti pamanmu terlibat?"

"Memang tidak." Dono menghela napas kesal, sebab tidak tahu harus cari bukti ke mana.

'Nah, itu! Kan tidak ada bukti. Kau cuma asbun saja! Don, Lilo tidak punya kuasa apa-apa. Dia tidak berkuku."

"Tapi koneksinya dengan pejabat? Siapa tahu? Bukankah ada keluarganya yang jadi sekjen? Ataukah itu dubes?"

"Ah, itu kan mertua adik perempuannya! Mana ada sangkutannya dengan dia!"

"Siapa tahu?" Dono tetap skeptis akan kemurnian hati Paman Lilo. Sayang belum punya bukti.

"Yang pasti, Ayah, dia sudah tahu siapa Hermes! Pasti! Betul kan, Yah? Nah, kok diam? Apa Ayah juga sudah tahu?!"

Dono melenguh dan menutupi wajah dengan telapak tangan.

"Rupanya cuma saya yang buta? erangnya mencabik-cabik rambut.

"Saya tidak pernah sedetik pun menyangka "

"Aku baru tahu sepuluh hari yang lalu."

"Nah. dari Paman Lilo, bukan?" seru Dono mengangkat muka menatap ayahnya.

"Tenang, Don. Aku akan membantu...."

"Bagaimana saya bisa tenang, Yah? Anak itu dalam bahaya!"

"Serahkan pada Ayah. Sekarang kawantarkan nona ini pulang. Serahkan semua padaku!"

Ketika Nafisah minta permisi pulang. ibu Dono melengos tak mau memandangnya.

Begitu keduanya sudah berangkat, Pak Kusmanto segera menelepon.

"Celaka! Mereka sudah tahu kau terlibat!"

"Tak perlu khawatir," sahut suara di seberang sana.

"Anak itu ada di mana? Dia tidak kenapakenapa. bukan?"

"Tentu saja tidak! Dia kan cucumu? Mana berani aku sentuh? Bahkan rambutnya pun tidak akan hilang sehelai pun! Aku jamin. Sekarang dia sedang tidur. Sabina telah memberinya sesuatu."

"Awas! Jangan obat keras! Kapan mau kau kembalikan?"

"Soal anak itu, tak perlu kau khawatir seujung rambut pun. Begitu aku berhasil membekuk setan perempuan itu dan mengancamnya, anak itu akan segera aku pulangkan... pada keluarga Mantik tentu saja! He, he, he."

Pak Kusmanto membanting telepon. Setan si Lilo itu. Dikiranya lucu, tak bisa mengakui cucu sendiri tanpa bikin heboh? Kalau dia ingin mendapat bocah itu kembali, pasti Mantik tak mau sudah dengan gampang. Pengadilan! Skandal! Tapi itu pun susah. Sebab istrinya sendiri sudah bersumpah, tak sudi mengakui anak haram itu. Ah! Dunia sudah mau kiamat!

Mereka menunggu berempat di rumah Murdo. Semua mata terarah pada pesawat telepon, berharap pada suaru ketika akan datang perintah dari para penculik.

Tak ada yang ingat makan atau minum. Bahkan Murdo sudah lupa sama sekali bahwa pamannya baru saja dikebumikan. Dia tidak ingat lagi hal lain, kecuali wajah Hermes yang berulang-ulang dipandangnya dari gambar di dinding depan mereka.

Ketika telepon berdering, serentak keempatnya meloncat bangun. Murdo yang berhasil menyambar pesawat.

"Ya. halo." teriaknya seolah takut tidak terdengar dan orang itu akan segera meletakkan kembali pesawatnya.

"Oh, Ibu Krisant? Besok arisan? Istri saya sedang kena campak!" serunya jengkel sekali.

"Dua minggu lamanya tak boleh keluar rumah!" Lalu dibantingnya pesawat dan dengan kesal menjatuhkan kembali bokongnya di kursi.
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka duduk tak bergeming sampai senja. Malam mulai merayap masuk lewat jendela. Murdo memaksakan diri bangun untuk menyalakan lampu dan menutup garden. Wati diperintahkannya membuat nasi goreng saja yang bisa dimakan di ruang duduk.

"Kita semua harus makan!" katanya tegas memaksa setiap orang menerima piring yang diberikannya.

Mereka makan tanpa nafsu sama sekali. Bahkan Nafisah kemudian tidak bisa ingat lagi apa yang telah dimakannya.

Selesai makan, warta berita pukul tujuh di TV sudah berjalan setengahnya. TVberbunyi, tapi tak ada yang mendengarkan. Ketika pukul delapan terdengar dering telepon, sesaat semuanya mengira itu dari adegan TV. sandiwara Rumah Masa Depan. Dono yang pertama menyadari kesalahan mereka.

"Ya, halo!" Dia mendengarkan. Lalu teriaknya,

"Dengan saya sama saja!" Mendengarkan lagi. Kemudian dengan lesu menjauhkan telepon dari telinga.

"Untukmu," katanya menyerahkannya pada Nafisah.

Dengan wajah pucat gadis itu mendengarkan telepon. Wajahnya tegang, persis murid SD yang tengah mendengarkan perintah ibu guru dengan cermat.

Tidak sekali pun dia bersuara. Cuma mengangguk dan mengangguk. Berulang-ulang. Akhirnya telepon diletakkannya kembali. Tapi lengannya mendadak lemas, terkulai ke bawah. Tangkai pesawat terjuntai. bergoyang goyang seakan mengajak bercanda.

Murdo segera memperbaiki letaknya sementara Dono memeluk Nafisah dan semua orang kini menanyakan apa pesan para penculik. Nafisah tidak bisa segera bersuara.

" Berapa juta mereka minta?" tanya Astari.

"Mesti diserahkan di mana?" tanya Dono.

"Kapan?" sambung Murdo.

Nafisah memandang ketiganya bergantian, lalu menggeleng pelan. Mereka keheranan. Tidak minta rebusan?

"Yang mereka inginkan adalah saya! Diri saya!"

"Nafisah!!!" seru ketiganya serempak.

Dono memeluknya lebih erat.

"Tidak! Kau tak boleh menuruti perintah itu! Kau tak boleh pergi ke mana-mana. Itu pasti akal licik mereka."

"Don, aku takkan kenapa-kenapa!" Mendengar ketakutan Dono, anehnya Nafisah malah jadi berani. Semangatnya mendadak seakan terkumpul habishabisan. Kelesuannya hilang.

'Mereka berjanji takkan mengapa-apakan diriku. Biarkan aku pergi."

"Itu tipu licik mereka! jangan pergi!"

"Aku harus!"

"Tidak boleh!"

Tapi Nafisah menggeleng keras kepala.

"Aku harus, Don."

"Aku antar, kalau begitu!"

"Mereka tegas tegas menyuruh aku datang sendiri."

"Tidak boleh!!!"

Mendadak, sebelum Dono bersiaga, Nafisah sudah meronta dan berhasil melepaskan diri dari pelukannya. Gadis itu berdiri lalu menggoyang kepalanya dengan marah. Wajahnya merah menahan emosi.

"Hermes adalah anakku! Aku yang susah payah melahirkannya! Aku harus menyelamatkan dia!"

"Sabarlah, Nafi," bujuk Murdo.

"Bukan begitu caranya. Jangan dengan kepala panas. Mari kita rundingkan."

Nafisah tiba-tiba melihat gunting dalam kotak jahitan di meja kecil di dekatnya. Tanpa berpikir lagi disambarnya benda itu dan diarahkannya pada dirinya.

"Awas! Jangan mendekat! Aku akan tusuk dadaku sendiri! Dan bila aku mati, Hermes juga! Kalian boleh pilih! Kehilangan dua-duanya atau " Beringsut-ingsut dia mundur ke pintu luar. Ketiga orang itu mengawasi tanpa daya.

"Paling sedikit, katakanlah ke mana kau akan pergi!" teriak Dono parau. Dia sudah merosot dari kursi empuk dan berlutut di lantai dengan kedua lengan terangkat ke atas seakan memohon pada Tuhan. Murdo masih berdiri mematung dekat meja telepon. Astari duduk terpaku, tenggelam dalam sofa, mencengkeram lengan kursi seerateratnya.

"Aku harus menunggu di terminal Jalan Haryono awas! Jangan ada yang coba coba mengikuti! Dan jangan panggil polisi!"

Nafisah tiba di ruang tamu, lalu berlari ke pintu. Yang ditinggalkan mendengar suara langkahnya berlarian di atas semen depan garasi, lalu bunyi pagar berderit dibuka dan menggabruk sendiri. Lalu, hening.

Mereka berpandangan.

"Aku punya firasat, takkan pernah melihatnya lagi!" keluh Dono.

Semua terasa bagaikan dalam mimpi. Perhentian bis yang sepi. Itu hari libur dan juga sudah malam. Siang hari pun tidak banyak orang yang menunggu bis di situ. Dia tahu, mereka telah memilih lokasi yang tepat bagi mereka.

Dia gemetar ketakutan. Tidak bisa membayangkan kira-kira apa yang bakal terjadi.

Mula-mula sedan hitam. Bukan Honda. Bukan merek yang dikenalinya. Lalu, seorang laki-laki. Keluar dari pintu belakang, mencekal lengannya dan menyeretnya masuk ke mobil, mendorongnya hingga dia tersungkur ke pangkuan lelaki yang duduk di dalam.

Dia diapit kiri-kanan. Sopir segera melajukan kendaraan dengan cepat. lalu, lelaki pertama memegang selendang dan matanya ditutup begitu erat hingga terasa pedih.

Mobil terus berputar putar-rasanya memang seperti tidak maju, melainkan cuma putar-putar sajadan dia kehilangan orientasi. Di cobanya memperhatikan bunyi-bunyi, barangkali dia bisa menerka di jalan mana mereka tengah berada. Tapi tidak berhasil. Yang kedengaran cuma deru mobil mereka. Ah, ya mobil ini pakai pendingin. Semua jendelanya tertutup rapat.

Ketika dirasanya mereka sudah berjam-jam putarputar, mendadak mobil berbelok, lalu tak lama kemudian berhenti. Lelaki di sebelah kanannya yang kini mencekal dan menariknya ke luar, sedang yang di kiri kedengaran sudah membuka pintu duluan.

Dia dituntun. Bunyi gembok diputar. Pintu berderit. Pasti pintu besar nian, menilik bunyinya. Seseorang mendorongnya. sementara tangan lain menghelanya.

Perasaannya bilang, tempat itu gelap. Gelaap. Lalu mendadak... byar... terang. Terasa warnawarna di depan kelopak tertutup menjadi lebih kuning, kemerahan.

Dia didorong hingga ngusruk. Untung ada kursi kayu. Walaupun keras tapi tidak sampai membuatnya cedera mencium lantai.

Seseorang di belakangnya membuka ikatan matanya. Begitu kelopaknya terangkat, serta-merta ditutupnya lagi. Silau!

"Cantik juga!" didengarnya seseorang nyeletuk sambil terkekeh.

"Kalau enggak, masa sih ada yang begitu kesengsem!" kata suara lain.

"Jangan pikir yang enggak-enggak, Bung!" hardik

suara yang lain lagi. Nafisah berpikir. Ada berapa orang sih sebenarnya? Di mobil ada tiga. Tapi waktu pintu berderit tadi, rasa-rasanya ada orang dari dalam ruangan yang mendumal,

"Lama be-eng, Sih!"

"Sudah, Nona manis! Sekarang boleh kaubuka matamu!"

Benar. Ada empat orang. Yang penghabisan itu yang kedengaran paling ceriwis.

Nafisah tidak segera menuruti. Dia ogah tunduk pada perintah mereka. Tapi lewat beberapa detik. rasa ingin tahu menyerang dengan hebatnya. Dia harus tahu siapa orang-orang itu.

Dibukanya mata sedikit demi sedikit. Dia mengerjap. jadi silau tadi bukan dari langit-langit! Dua buah lampu mobil diarahkan padanya. Dan bersembunyi dalam kegelapan, samar-samar dilihatnya bentuk-bentuk manusia.

"Siapakah kalian? Mau apa dengan saya?" tanyanya memaksa diri agar melawan rasa takut.

"Ha, ha, ha, Nona Manis yang berani! Di sini kami yang buka suara, tahu?! Kau cuma punya hak buat mendengarkan! Enggak boleh tanya-tanya! Mengerti?!" Ketawa sinis berubah jadi suara bengis.

Dan itulah yang terpaksa dilakukannya selama hampir dua jam! Suara bengis penuh ancaman itu merupakan kuliah terpanjang yang pernah didengarnya seumur hidup.

***

Sampai dini hari Nafisah belum juga kembali. Semuanya sudah lesu menunggu. Astari tidurtidur ayam di atas sofa. Murdo menyandarkan kepala ke sandaran sofa dan memejamkan mata. Cuma Dono yang membelalak terus.

Dan sampai pukul dua pagi dia masih belum kembali, pikirnya. Sudah hampir enam jam Nafisah pergi! Dia terkejut sendiri. Enam jam! Astaga. Kenapa mereka begitu alpa? Enam jam! Mungkin gadis itu sudah terbujur kaku!

Dono bangkit dari kursi dekat jendela.

Mereka sekarang duduk di ruang tamu yang sebenarnya bersatu dengan ruang duduk keluarga.

Disibaknya gorden dan diperhatikannya jalanan. Sepi. Tak ada satu makhluk pun di luar. Bahkan lalat tak nampak seekor pun. Di mana Nafisah?

Suara langkah Dono membangunkan yang lain. Murdo menguap dan merentangkan lengan ke atas.

"Huh!" keluhnya.

"Aku hampir gila!" Astari membuka mata dan menarik napas dengan bunyi yang keras.

Dono menoleh dan memandang mereka bergantian.

"Kita harus menelepon polisi!" katanya tegas.

"ini sudah lewat enam jam!"

Tanpa setahu mereka, Wati kebetulan terjaga, merasa harus ke kamar mandi. Waktu balik, tibatiba didengarnya suara-suara dari depan. Rupanya majikannya belum tidur, pikirnya. Karena ingin tahu, berindap-indap dia melangkah telanjang kaki ke ruang tamu. Dia sampai di sana tepat ketika Dono sedang

berkata lantang, bahwa mereka sebaiknya memberi tahu polisi.

Mendengar itu, Wati cepat-cepat berlalu lagi ke belakang. Wajahnya dicekam panik. Dikumpulkannya semua pakaian ke dalam kantung plastik dan sisir bedak ke dalam tas gantung. Rambutnya dibenahi. Kemudian terlihat olehnya sarung lusuh yang dipakainya tidur. Dibongkarnya kembali kantung plastik. Diambilnya sehelai gaun yang sudah pudar. Kain tidurnya dicopot dan gaun tadi dikenakannya.

Sementara itu Murdo berusaha menyabarkan Dono yang sudah menyentuh pesawat telepon.

"Sabar dulu, Don. Ingat pesan Nafisah. Itu pasti perintah dari mereka. Kita tak mau membahayakan dirinya dan Hermes, bukan? Sekarang kan belum ketahuan bagaimana keadaan mereka. Mungkin ini cuma taktik untuk menjatuhkan mental kita! Sabar dulu. Duduklah kembali. Aku akan ke dapur membuat kopi panas." Murdo mengisyaratkan istrinya agar memperhatikan Dono, lalu pergi ke belakang.

Lampu dapur dinyalakan. Cerek diisi air bersih dari tempayan plastik yang dibeli tiap hari. Lalu diletakkannya di atas kompor dan gas dibuka.

Sementara menunggu air mendidih dikeluarkannya cangkir, kopi, dan gula. Tengah dia menyendok kopi, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi berdenting dari kamar Wati yang terletak di sebelah gudang. Gudang itu sendiri pas berada di sebelah dapur.

Bunyi apa itu? Suaranya seperti barang jatuh ke lantai. Sedang apa Wati pada dini hari begini? ,

Dilerakkannya sendok dan ditutupnya kembali kaleng kopi. Lebih baik dia pergi sebentar mengecek.

Setibanya di depan kamar Wati, dia tercengang. Dari jendela terlihat sinar lampu terang benderang. Sejak kapan Wati bisa tidur dengan lampu begitu menyilaukan? Dan itu juga tentunya pemborosan listrik. Tidakkah dia tahu berapa mahalnya listrik sekarang?! Walaupun jutawan, Murdo sama sekali bukanlah seorang pembatas yang masa bodoh dengan pengeluaran.

Tapi baru saja dia mau mengetuk, pintu sudah dibuka dari dalam. Wati muncul menyandang tas dan menjinjing kantung plastik. Dia begitu kaget melihat majikannya, sehingga kantung itu terlepas dan isinya berhamburan di lantai. Sepasang gunting jatuh berdenting keras.

"Apa-apaan ini, Wati? Kau sedang mengigau? Atau tidur jalan?"

"Saya mau pulang saja. Pak."

"Lho! Memangnya kenapa?"

"Tidak apa apa, Pak. Saya cuma enggak kerasan di sini."

"Tapi kan enggak pada jam-jam seperti ini, dong! Kau tahu ini baru jam berapa?" tanyanya dengan suara makin lama makin keras, hingga akhirnya kedengaran dari luar membuat Astari dan Dono tergopohgopoh datang.

"Biar. Pak. Saya mau pulang sekarang juga!"

"Apa kau enggak takut di jalan ada orang jahat?" ,

"Enggak, Pak."

"Ada apa sih?" tanya Astari, berdiri di kanan suaminya. Di belakangnya berdiri Dono, mengawasi Wati dengan perasaan aneh. Serasa pernah ketemu, tapi di mana?

"Perempuan ini mendadak sinting. Dia memaksa mau pulang sekarang juga!"

"Alasannya kenapa?"

"Tidak apa-apa, Bu. Saya mau pulang saja. Enggak betah."

"Lho! Kenapa bukan bilangnya kemarin sore? Kok aneh, jam dua di pagi buta mendadak enggak betah! Bagaimana kalau kebetulan kami masih tidur? Aaah! Aku tahu! Kau sebenarnya mau mencuri, ya? Lantas pergi diam diam? Iya, kan?!"

Wati menggigil ketakutan. Dia tahu, tuduhan begitu bisa menyeretnya ke kantor polisi! "Tidak. Bu!" sahutnya dengan gelengan kepala yang keras.

"Sungguh mati saya bukannya mau nyolong. Saya cuma kepingin pulang. Harus."

"Lha, kok harus? Model dari mana ini. Kami sedang kesusahan, kau bukannya membantu, malah menambah pusing pikiran! Ayo bilang, kenapa kok 'harus' begitu?"

"Saya dipesannya begitu," jawabnya menunduk. lugu.

"Dipesan sama siapa?"

Wati terdiam. Rupanya dia mendadak sadar, sudah omong kebanyakan. Astari penasaran melihat Murdo tidak dijawab. Dia mendesak.

"Kau dipesan apa sebenarnya, Wati? Sama siapa?" tanyanya dengan suara lembut. Pancingan itu mengena. Wati tidak lagi gemetar setelah mendengar suara halus itu.

"Saya disuruhnya segera pergi kalau Bapak dan Ibu mau panggil polisi."

"Lho!!!" seru Astari keheranan. Ketiganya melongo tak mengerti.

"Apa artinya ini?" tanya Murdo mengerutkan kening.

Dono maju ke depan, menyelak di samping Murdo.

"Wati, coba katakan siapa orang yang memberimu pesan itu! Kau tak perlu takut. Orang itu takkan tahu bahwa kau sudah membuka mulut. Sebaliknya, kalau kau tetap kepala batu, tak mau bicara, kami akan panggil polisi sekarang juga. Kau akan dibawa oleh mereka dan dimasukkan ke penjara. Di sana kau bisa disiksa atau dianiaya oleh narapidana lain. Barangkali kau susah keluar lagi hidup-hidup! Nah, pilih mana. Bicara, atau...?! Siapa orangnya, Wati?"

Tak usah dibilang lagi betapa takutnya Wati mendengar tentang polisi dan penjara. Tanpa harus dihardik lagi bibirnya sudah kemak-kemik.

"Hasan..."

Dono berjengat.

"Hasan yang kumisnya seperti ijuk? Yang tampangnya garang? Mirip pencoleng?"

Wati mengangguk dua kali.

"Siapa Hasan?" tanya Murdo. Tapi Dono tidak sempat menanggapi. Seperti orang takut kehabisan waktu. dia mencecer Wati terus.

" Kau baru di sini, bukan? Aku tak pernah melihatmu sebelum ini. Siapa yang membawamu kemari? Hasan?"

"Bukan. Niah."

"Siapa itu?"

"Niah adalah pembantu ibuku," kata Murdo.

"Niah itu kenalannya Hasan," sahut Wati.

"Jadi dia yang menyuruh kau kerja di sini?"

"Bukan. Kalau itu, Hasan."

"Aku jadi pusing. Sebentar bukan Hasan, sebentar lagi ya Hasan," kata Astari.

"Bicara yang jelas!" perintah Murdo.

Wati malah kebingungan tak tahu mana yang tidak jelas.

"Jadi Hasan yang menyuruhmu kerja di sini, tapi Niah yang mengantar. Begitu?" Murdo membantunya mengatasi bingung.

"Ya. Hasan menyuruh saya menemui Kak Niah. Katanya ada lowongan buat saya. Sungguh mati, saya enggak tahu apa-apa, Pak. Saya cuma disuruh."

"Disuruh apa?"

"Disuruh menelepon Bang Hasan kalau Bapak dan ibu pergi."

"Astari, apa kau kemarin mengatakan padanya kau mau pergi?" tanya Dono menoleh padanya.

"Tentu saja. Aku bilang, kami mau melayat dan Hermes akan dijaga oleh tantenya."

"Jadi kemarin kau telepon Hasan? Di rumahnya ada telepon?"

Wati mengangguk.

"Oh, di rumahnya ada telepon?"

"Bukan di rumah, Pak. Di gudang. Di Pulogadung. Ada temannya yang menunggu."

"Hm.jadi ada komplotan?!" seru Murdo tercengang. Dia merasa tidak punya musuh, tapi tahunya ada orang berkomplot menculik anaknya!

"Hasan itu apamu? Pacar?" tanya Dono lagi.

"Pacar kakak saya, Kiah."

"Kiah? Apa bukannya Rukiah?"

Wati mengangguk.

"Celaka! Murdo, jangan biarkan dia pergi dari sini. Kalau perlu ikat dan sumpal mulutnya, kunci di kamar. Aku ada urusan penting!"

Dono berlari ke luar.

"Hei! Kau mau ke mana?" teriak Murdo.

"Masih gelap di luar!"

Tapi Dono sudah menghilang.

***

Hari baru pukul tiga pagi. Ayam jago pun belum ada yang berkokok. Dan pengeras suara dari mesjid masih belum berbunyi.

Rumah Hasan di Jalan Santani, bilangan Sentiong, masih tertutup rapat. Tapi Dono tak peduli. Dengan garang dia menggedor. Begitu keras sampai penghuninya terpaksa bangun, khawatir para tetangga akan ngamuk atau menyumpahinya.

Sambil mengucak-ucak mata. Hasan membuka

pintu.

"Haram jadah! Siapa sih gini hari..." Ditelannya kembali kata-kata yang sudah siap di ujung lidah. Dia melongo ketika mengenali Dono. Tanpa sadar dia sudah mundur lagi ke dalam, sementara tangannya mendorong kembali daun pintu. Tapi Dono terus masuk sehingga pintu tidak sempat ditutup lagi.

"Apa uangku yang empat ratus ribu tempo hari masih kurang?" bentak Dono sambil menggabrukkan pintu. Sikapnya mengancam sekali. Dia maju, Hasan mundur terbungkuk-bungkuk.

"Ampun, Pak Dono," bisiknya dengan tangan mengatup.

"Saya... sumpah mati enggak salah apaapa, Pak. Saya kan cuma orang kecil. Mesti turut perintah." Wajahnya yang kusut dan bajunya yang utuh menunjukkan bahwa Hasan baru saja pulang. Rupanya saking mengantuk. langsung tidur tanpa buka pakaian.

"Lho, kok tahu kau tidak salah? Memang aku sudah menuduhmu apa?"

"Ta...di Pak Dono bi...lang so al u...ang ," erang Hasan.

"Aku cuma tanya. apa sebegitu masih kurang?! Kalau masih, nanti aku tambah."

Hasan meringis dan menunduk. Dia sadar, sudah masuk perangkap yang dipasangnya sendiri.

"Kenapa kau jadi begitu ketakutan?!" ejek Dono.

"Ayo bilang. apa upahmu itu masih kurang?"

"Ti...dak, Pak."

"Kalau tidak, kenapa kau masih mau cari gara-gara lagi? Rupanya kau ini perlu uang terus, ya!"

Hasan terus menunduk, diam tak berbunyi.

"Tadi kau bilang. kau cuma turut perintah. Nah, perintah siapa?"

Hasan sudah menyadari bahwa dia salah omong. Dia lantas bungkam. Dono mengulangi sampai tiga kali, tapi tidak dijawab.

"Di mana Nafisah? Di mana Hermes?" ini pun diulang sampai tiga kali. Namun mulut Hasan tetap terkancing.

"Tidak ada gunanya berlagak tak tahu apa-apa. Aku sudah tahu semuanya dari Wati!"

Tiba-tiba Hasan menggigil seperti kena demam malaria. Tapi bibirnya malah makin dirapatkan sampai mengerut, seakan khawatir nanti terbuka sendiri.

Dono menyeret kursi dan duduk. Hasan kini bersandar ke tembok, menghitung jumlah tegel tanpa berkedip. Dono mengawasi kunyuk itu sambil mengira-ngira di mana titik lemahnya. Taktik apa yang mesti dipakainya agar kunyuk ini mau membuka mulut. Dengan kekerasan jelas hasilnya diragukan. Belum tentu dia akan menang melawan kampiun berkelahi dari Sentiong ini. Coba lihat saja jaringan patut di sekujur lengannya kiri-kanan. Mungkin semua itu bekas bacokan!

"Hasan, gimana kalau aku beri kau uang supaya kau bisa pulang ke kampung, membeli sawah dan menetap di sana?"

Dono melihat mata Hasan berkilat sebentar mendengar 'uang', tapi segera juga melengos lagi.

"Satu juta, San! Apa tidak cukup? Ajak Rukiah sekalian. Kau bisa kawin dan punya anak seperti orangorang lain. Kau tidak mau punya anak, San? Siapa nanti yang akan mengurusmu kalau sudah tua? Nah, kalau kau terima tawaranku ini, kau bisa memperoleh semua yang aku sebut tadi. Bagaimana?"

Hasan menunduk untuk menyembunyikan matanya yang berkedip-kedip penuh anganangan. Dia menghitung tegel dengan lebih rajin seakan Dono telah mengupahnya untuk itu.

Uang sejuta, tak tahu dia betapa besarnya. Belum pernah ada orang menawarkan jumlah sebegitu. Bahkan Pak Lilo maunya cuma kasih perintah, tapi jarang ingat membalas jasa. Atau kalaupun ingat, paling paling cuma seratus dua ratus ribu. Itu pun kagak setahun sekali, pikirnya.

Satu juta! Sa tu ju-ta! Hatinya tergoda. Tapi tamaknya pun timbul. Otaknya yang masih cukup cerdik segera menebak, kalau berani menawarkan sejuta. kenapa tidak berani kasih dua juta? Ini kan semacam jual beli juga, bukan?!

Jadi mulutnya bungkam terus. Tegel masih belum selesai dihitung. Dono kewalahan. Sabarnya hampir habis.

"Tak ada yang perlu kautakutkan," katanya membujuk seakan yang di depannya itu adalah anak balita.

"Tak ada yang tahu di mana kampungmu. Kalaupun tahu, takkan ada yang akan datang ke sana mencarimu. Kau aman. Nah, katakanlah di mana

Nafisah dan Hermes? Tahukah kau, bila mereka sampai terbunuh, kau akan masuk penjara puluhan tahun?"

"Keduanya tidak kenapa-kenapa," sahutnya cepat sementara tangannya diremas-remas dengan rupa bimbang. Tegel tidak lagi menarik minatnya. Mau diterima enggak. ya. pikirnya. Bagaimana dengan Pak Lilo? 'Tidak akan menghajarnya nanti?

"Nah. jadi sudah kawakui bahwa kau tahu di mana mereka berada. Di mana, San?"
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak itu akan segera dilepaskan. Hari ini juga!"

"Bagus! Tapi aku mau tahu, di mana mereka! Di mana gadis itu? Kau ikut-ikutan begini, apa tidak takut dikenali olehnya?"

"Saya tidak ikut, Pak. Saya menunggu di gudang. Kawan-kawan saya yang..."

"Bagus! Punya anak buah, ha? Rupanya kau ini raja rampok! Awas kau! Kalau tidak mau kasih tahu di mana gadisku, lalu terjadi sesuatu padanya..."

"Saya enggak berani kasih tahu...," dia menguak dengan suara gentar. Ancaman seorang yang banyak uang tak boleh dipandang enteng. Uang adalah kekuasaan. Dia sudah tahu itu.

"Satu juta, San! Apa kau tidak suka uang?"

"Saya tidak berani, Pak. Bukannya tidak suka. Saya takut kepala copot. Punya cuma ini-ininya!"

"Aku tidak minta kau menyebutkan siapa dalangmu!" bentak Dono lalu bangkit dari kursi dan menghentakkan kaki.

"Untuk penghabisan kali! Aku tanya, mau atau tidak? Di mana Nafisah? Di mana Hermes? Dua juta!!!"

Hasan sampai bergidik mendengar geledek menyambar telinga. Tapi dia tahu juga kapan harus berhenti pura-pura. Dono pasti tak akan mau naik lebih tinggi lagi. Alih-alih dapat dua juta, bisa-bisa dia akan dipanggilkan polisi!

Mata ularnya berbinar cerah. Bibirnya tiba-tiba menyungging senyum. Dikatupkannya tangannya, lalu digosok-gosokkannya satu sama lain.

"Tapi Pak Dono mesti menjamin keselamatan saya! "

"Enggak usah khawatir," sambut Dono seraya berpikir,

"dilempar ke Kali Jodoh pantasnya orang kayak gini!"

"Sore nanti temui aku di Jalan Kendal dekat rel kereta. Di sana banyak sop kaki. Nah, masuklah ke tenda Pak Kumis! Ambil tempat di pojok! Tunggu aku di sana jam lima-an. Akan kuberikan upahmu dan kau bisa segera ngacir ke udik. Oke? Nah, di mana mereka?"

Hasan menelan ludah. Dua juta! Bini, sawah, rumah, kerbau, ayam. kambing...

Bibirnya menggelerar.

"Di..."

Hasan membocorkan seluruh rahasia.

Dari Jalan Santani, Dono langsung pulang ke rumahnya di bilangan Kebayoran. Jam-lemari berdentang sekali. Dia melirik. Setengah lima. Orang tuanya masih tidur.

Dono masuk ke kamar merebahkan diri, tapi tak

berhasil tidur. Pukul enam dia bangun dan mandi. Terasa lebih segar. Lalu dia turun ke bawah. Dia tahu, ayah dan ibunya sudah duduk di meja sarapan.

"Kau tidak pulang semalam, Don?" tegur ibunya.

"Kalau Ibu sudah tahu, kenapa tanya lagi?" katanya seenaknya sambil menarik kursi dan duduk.

Ibunya tercengang. Belum pernah anak ini berlaku kurang ajar padanya.

"Setan apa yang merasukimu saat ini? Ke mana kau semalam?" tanya ayahnya lebih bengis dari Ibu.

Dono menyendok nasi seraya melirik ayahnya sekejap. Sungguh tingkah yang kurang pantas dari seorang anak! Darahnya naik ke kepala. Namun sebelum dia sempat menyemperot anak kurang ajar ini, Dono sudah mendahului.

"Saya justru ingin tahu. setan apa yang merasuki Ayah sampai berkomplot dengan Paman Gilo? Namanya lebih pantas Gilo, Yah. Bukan Lilo. Habis, tingkahnya juga seperti orang gila, sih!"

"Dono! Kenapa kau jadi kurang ajar begini?!" teriak ibunya.

"Sebab gadis saya mau dicelakai, Bu!" sahutnya tenang menantang. Kemudian menyambung,

"Saya sudah tahu Paman Lilo memang terlibat. Nafisah sekarang tengah dikurung dalam rumah. mereka! Baru akan dilepas setelah saya mengawini anaknya! Tidakkah itu keterlaluan?"

"Apa menjadi suami Sabina kawanggap keterlaluan?"

"Saya tidak cinta padanya, Yah!"

"Apa urusannya cinta dengan perkawinan? Ayah dan ibu dulu tidak cinta-cintaan, tapi toh kami bahagia juga!"

"Sekarang zaman apa? Lebih baik saya dilempar ke angkasa luar saja daripada mesti jadi tertawaan orang! Masakan zaman komputer begini masih mau main jodoh-jodohan?!"

"Dengarlah, Don. Kau tentunya tahu, industri tekstil kita sedang mengalami kemunduran. Malah banyak pabrik lain yang sudah tutup. Dabralon, Pardedetex, dan Texin misalnya, sudah tidak berproduksi. Dalam situasi begini, kita perlu sekali merger dengan orang yang punya modal atau usaha di bidang lain yang subur. Kita tidak bisa mengambil risiko membiarkan harta kita jatuh ke tangan orang lain. Atau dibagi-bagikan pada sanak keluarga yang tidak membawa keuntungan apa-apa bagi kita."

"Kalau Ayah mengira bahwa Paman Lilo akan membantu Ayah, rasanya agak kurang tepat. Dia sendiri yang justru kelihatan ingin agar dibantu! Dia ingin menguasai perusahaan-perusahaan Ayah!"

"Itu tidak benar!" Pak Kusmanto menggeleng.

"Kau terlalu bercuriga. Aku takkan percaya!"

"Terserah. Saya memang tak punya bukti, sih. Tapi mengenai ketakutan Ayah bahwa saya akan membagibagikan harta pada keluarga istri saya, itu bisa dikesampingkan. Sebab hal seperti itu takkan terjadi, Yah."

"Sudahlah, Dono. Buat apa kita bertengkar mengenai soal kecil begini? Kau masih terlalu muda, Nak. Biarkanlah aku yang mengambil keputusan dalam hal ini."

"Oh, ini disebut soal kecil? Untuk Ayah, barangkali ya. Tapi buat saya, ini urusan penting, Yah. Saya kan manusia. masakan mau dipaksapaksa kawin seperti kerbau pemacak saja? Pendeknya. sekarang juga saya akan ke sana! Akan saya obrak-abrik rumah itu sampai ketemu Nafisah dan Hermes. Kalau tidak berhasil, saya akan ke kantor polisi!"

Dono berlalu dengan rupa marah. Ibu dan ayahnya berpandangan dengan penuh kekhawatiran. Kemudian ayahnya meraih telepon sambil menarik napas panjangpendek.

"Beginilah kalau anak terlalu dimanja oleh ibunya!" gumamnya.

"Jangan menyalahkan aku, Pak. Rupanya kau sudah lupa siapa yang sebenarnya selalu mengiakan semua permintaannya selama ini? Sejak kecil dia sudah tahu bahwa kau bisa diputarnya bagaikan gasing di ujung telunjuknya.

"Yah, minta motor." Dapat motor.

"Yah,

sepatu roda.' Dapat sepatu roda. 'Yah, mobil.' Dapat mobil. 'Yah,..."

"Sudah! Sudah!" bentak Pak Kusmanto.

"Jangan kautambah lagi kepusinganku! Ya, halo, Warman ini? Gawat, Man! Dono sudah tahu bahwa gadis dan anak itu ada di sana! Sekarang dia sedang menuju ke rumahmu! Seseorang telah memberinya tahu. Pasti!"

Di seberang sana Pak Lilo membanting telepon,

dan memukul-mukul kepala dengan gusar.

"Keparat si Hasan! Kalau belum aku bacok mampus, belum tahu rasa dia!" serunya menggelegar.

"Jangan omong kasar begitu, Pa." kata istrinya yang turut gelisah.

"Sekarang bukan waktunya ngamuk. Kita harus cepat mengambil tindakan. Sebaiknya gadis itu kita usir, suruh dia pulang ke Lampung saja. Perhiasan perhiasannya kita kembalikan!"

"Kau gila!" teriak sang suami.

"Itu kan duit! Paling sedikit sepuluh juta nilainya. Kau mau melempar apa yang sudah kita genggam?"

"Kalau Dono memanggil polisi, aku tak mau ada barang bukti yang bisa melibatkan kita, Pa."

Pak Lilo menggerung seperti beruang lapar. Dia mondar-mandir seraya berpikir dan sebentarsebentar menarik napas berat diselingi kutukan yang tidak jelas dialamatkan pada siapa.

Akhirnya dia juga tidak melihat jalan lain. Sambil mengangkat bahu dia menyerah pada istrinya.

"Aturlah yang terbaik menurut pendapatmu."

***

NAFISAH duduk termangu di atas sofa butut di pojok ruangan. Dia letih sekali tapi tidak bisa tidur. Seolah takut akan terjadi yang tidak diinginkan bila dia terlelap. Sejak didorong masuk ke situ, dia bersiaga terus terhadap segala kemungkinan. Setiap bunyi yang paling tak berarti pun sudah membuatnya waspada. Dia mencoba bertahan melawan kantuk. Tapi pada suatu ketika, rupanya dia telah lelap sebentar. Tibatiba saja dilihatnya kembali bayang-bayang gelap yang mengelilinginya penuh ancaman di garasi (atau apakah itu sebuah gudang?) tadi malam. Lampu terang benderang membuatnya setengah buta. Dan orang-orang yang berdiri atau duduk di balik cahaya, tak bisa dilihatnya. Cuma suara mereka silih berganti menerkam dan mengoyak kedamaian dalam hatinya.

Itu adalah kuliah paling panjang yang pernah didengarnya seumur hidup. Dan takkan pernah bisa dilupakannya lagi. Selamanya.

"...anak itu akan kami suntik dengan sejenis obat yang tak ada pemunahnya. Akibat suntikan itu, anakmu akan tetap kerdil seumur hidup. Dia takkan bisa tumbuh lebih tinggi dari sembilan puluh sampai seratus sentimeter! Nah, apa kau tega membiarkannya jadi si cebol yang nanti merindukan bulan? Ingat, kecerdasan dan kesadaran jiwanya takkan terganggu. Dia takkan menjadi gila. Dengan tubuh kerdil yang",

cuma semeter, dia pasti akan sangat menderita, bukan? Kalau dia sudah dewasa, dan ingin pacaran..." Mereka ketawa semua.

Nafisah menggigit bibir kuat-kuat dan meratap dalam hati. Dia tak berani membuka mulut, sebab dilarang keras. Tadi tanpa sengaja telah dilanggarnya larangan itu. Seseorang langsung menamparnya. Dia tak mau dikurangajari begitu sekali lagi.

"...ingin menghindari bencana bagi anakmu, kau harus berjanji takkan menemui Dono lagi. Kau tidak boleh menjadi istrinya. Dia itu sudah menjadi milik orang lain. Demi anakmu, kau mesti merelakannya. Nah, di meja di depanmu ada kertas. Bubuhi tanda tanganmu di bagian bawah, tandanya kau memang berniat menjauhkan diri dari Dono. Bolpen ada juga di situ. Ayo, lekas kerjakan!"

Angin dingin tiba-tiba berhembus dari samping. Nafisah mencium bau zat kimia yang keras sekali. Haacih! Haacih! Dia bersin beberapa kali. Dicarinya sapu tangan di tas, tapi baru disadarinya bahwa dia tidak membawa tas. Pasti ketinggalan di rumah Astari. Ah, hilang pun tak mengapa. Tasnya banyak. Yang penting sekarang...

"Ayo, cepatan dikit! Aku sudah mau pulang, nih!" hardik salah satu dari komplotan itu.

Dengan gemetar diraihnya bolpen dan dicobanya menulis tanda tangan. Tapi jari-jarinya seakan tak mau bergerak. Bagaimana pun dipaksanya, mereka tetap melekat di tempat. Dia menjadi panik. Sebab teringat keselamatan dan hari depan Hermes. .

"Cepat!!!"

Dia makin panik. Saya tak bisa, serunya. Tapi suaranya pun tercekik di tenggorokan. Lamatlamat didengarnya suara gaduh, lalu dia tersentak bangun.

Nafisah memandang berkeliling. Dia masih tetap di atas sofa butut dalam kamar telanjang yang sepi. Tak ada cahaya menyilaukan. Tak ada wajah-wajah gelap mengandung ancaman. Tak ada suara apa apa.

Disekanya keringat. Tiba-tiba telinganya menegang. Samar-samar ditangkapnya suara anak menangis. Sejenak dikiranya itu Hermes. Tapi kemudian dia menggeleng sendiri. Mana mungkin anaknya. Anak itu pasti bukan disekap bersamaan dengannya di tempat ini. Penculik-penailik itu pasti tidak bodoh. Mereka sangat penuh perhitungan. Setelah membubuhkan tanda tangan tadi malam (untung dalam keadaan sebenarnya dia sanggup menggerakkan tangan!), mereka masih melontarkan serangkaian ancaman yang tak bisa diremehkan.

...sampai Dono melangsungkan perkawinan dengan pilihan orang tuanya! Setelah itu baru dia akan dibebaskan. Sedang anaknya, yang sudah lebih dulu akan dikembalikan pada Astari, barulah setelah perkawinan itu terbebas pula dari ancaman suntikan yang mengerikan itu.

Semuanya bagaikan dalam mimpi. Setelah tanda tangannya kering, dia kembali digiring ke luar, didorong lagi ke dalam mobil. Kemudian matanya ditutup dengan selendang. Rupanya mereka sudah "

tahu semua hal tentang dirinya. Dia langsung dibawa ke rumahnya tanpa seorang pun perlu menanyakan alamatnya lebih dulu.

Lima menit sebelum mereka tiba di depan rumah, selendang itu dibuka. Kembali didengarnya kuliah terperinci.

"...ambil pakaianmu yang perlu perlu saja barang dua-tiga potong. Katakan pada pembantumu, kau mau nginap ke tempat Bu Mantik. Ambil semua perhiasan, uang, dan barang berharga lainnya. sebab rumah ini takkan kami jamin keamanannya. Dan jangan coba-coba memberi pesan apa pun pada pembantu! Ingat, anakmu masih dalam tangan kami!"

Nafisah menoleh ke lantai seakan mau memastikan bahwa barang-barangnya masih ada. Pakaiannya tentu saja. Cuma itu. Yang lain, perhiasan (yang diperolehnya dari Astari bersama rumah dan mobil) serta semua uang simpanannya dua juta lebih disita oleh pemilik rumah ini, seorang tante gemuk yang galak, katanya sebagai jaminan agar dia takkan melarikan diri.

Nalisah tersenyum getir. Seolah dia akan mampu lari dari sini! Dia memandang berkeliling dengan skeptis. Jendela-jendela tertutup rapat dengan teralis yang kuat. Pintu terkunci dari luar. Lubang angin tak ada. Satusatunya lubang yang cukup besar adalah tempat alat pendingin ruangan di tembok. Tapi yang bisa keluar dari situ hanyalah lelaki super. Bukan perempuan lemah seperti dia. Letaknya saja sudah tak terjangkau walau dia naik ke punggung sofa sekali pun.

Tapi dia tidak peduli akan semua itu. Masa bodoh bisa keluar lagi atau tidak dari sini. Yang penting, biarlah Dono secepatnya kawin dengan pilihan orang tua. Agar Hermes bisa lekas bebas dari ancaman yang menakutkan itu. Membayangkan anak itu sebagai lelaki kerdil merupakan siksaan batin yang hebat baginya. Cuma membayangkan saja. dia sudah tak rela. Apalagi membiarkan hal itu benar-benar terjadi!

Oh, lekaslah Dono kawin. Biar dia juga bisa lekas bebas dari penjara yang sumpek ini. Biar bisa dilihatnya lagi matahari. Ah, dia bahkan tak tahu pukul berapa sekarang. Arlojinya ikut disita. Selain lampu TL di langit-langit, tak ada cahaya dari luar yang tembus ke dalam.

Ah, dia tak peduli apakah sekalian hartanya berikut arloji kesayangan itu hadiah ultah dari Dono sebelum dia berangkat ke luar negeri akan kembali atau tidak. Yang penting, Hermes selamat. Dan dirinya sendiri segera bebas.

Suara tangis anak kecil kembali terdengar. Hatinya tercekat. Apa dia akan menjadi gila?! Masakan setiap tangis disangkanya tangis Hermes? Hatinya serasa ditarik-tarik oleh bunyi itu. Hampir saja dia bangkit dan menggedor pintu, minta diantarkan ke tempat suara itu. Untung sekali tangis itu segera berhenti dan hatinya tenang kembali. Mungkin itu cuma khayalannya belaka, pikirnya kemudian. Ruangan ini begitu tertutup. Mana mungkin bunyi dari luar bisa terdengar demikian jelas. ,

Ah, apakah Hermes sudah dikembalikan pada Astari dan Murdo seperti yang mereka janjikan semalam? Apakah keluarga Mantik dan Dono masih menantikan kedatangannya? Atau mereka sudah gelisah, lalu menghubungi polisi? Atau Dono sudah dijemput oleh keluarganya dan persiapan kawin tengah berlangsung? Siapakah calon istrinya?

Dicobanya mengingat ingat kalau-kalau Dono pernah menyebut-nyebut nama seseorang. Tak pernah. Dono tak pernah menyebut nama gadiS gadis lain. Kalaupun pernah, paling-paling cuma sepupunya, Sabina.

Sabina! Nafisah terkejut. Bukankah itu nama yang didengarnya ketika Hermes diculik? "Cepat, Sabina! Masuk ke mobil" Bukankah itu nama sepupu Dono? Kalau tidak salah ingat, wajah Dono berubah pucat ketika dia menyebutkannya. Selain itu, Dono juga menuduh pamannya terlibat apakah dia ayah Sabina? Apa artinya semua ini? Kenapa sepupu dan pamannya ikut-ikutan? Atas suruhan keluarga Dono? Atau...

Suara gerendel tiba-tiba menarik perhatiannya. Semula disangkanya itu dari luar (mungkin kamar sebelah). tapi kemudian didengarnya gembok dibuka dan pelan-pelan diangkat.

Nafisah menahan napas. Gerendel bergerak. Daun pintu didorong pelan-pelan, makin lama makin terkuak. Dia bersiaga menunggu apa yang bakal muncul dari lubang yang menganga itu.

Napas lega dilepasnya diam-diam. Oh, tante galak!

Paling sedikit bukan lelaki garang yang mungkin akan memperkosanya.

Tanpa berkedip diawasinya wanita gemuk yang bersolek rapi itu memasuki ruangan. Dalam tangannya terdapat tas gantung yang dikenalinya sebagai miliknya.

Tanpa senyum sedikit pun, wanita itu menghampirinya dan melempar tas itu ke atas sofa.

"Itu semua barang-barangmu. Coba periksa dulu."

Dengan gemetar Nafisah membuka tas dan mengeluarkan kotak perhiasan yang terbuat dari kayu gaharu. Sekali pandang pun dia sudah tahu, sepasang giwang berlian tak ada di tempat. Nilainya sekitar dua juta.

"Kau boleh pulang sekarang," kata wanita itu lagi. Melihat Nafisah menutup lagi kotak itu, tanyanya menantang,

"Lengkap?"

Saking gembira mendengar bahwa kebebasannya akan segera dikembalikan, Nafisah pun mengangguk tanpa ragu.

"Ya."

"Nah, sekarang dengar baik-baik. Kau boleh keluar dari sini. Bawa semua harta dan pakaianmu. O ya, hitung lagi uangmu, apa jumlahnya masih cocok dengan kemarin atau tidak."

Tapi Nafisah menolak. Dia tak peduli uangnya utuh atau berkurang. Yang penting, segera bebas! Uang bisa dicari dalam kebebasan! Apa artinya segepok kekayaan bila dia mesti dikurung terus seperti sekarang? Jiwanya binasa!

"Biarlah, Bu. Tidak usah."

"Terserah," sahut wanita itu dengan angkuh. Tapi Nafisah melihat sekelebatan sinar serakah dalam matanya. Dia tahu, uangnya sudah digerogoti oleh wanita itu. Biarlah. Hitung-hitung buang sial.

"Tapi jangan menuntut kalau nanti ternyata kurang, ya. Kami tak mau bertanggungjawab atas kekurangan itu kalau tidak kawajukan sekarang."

"Saya takkan menuntut. Boleh saya pergi sekarang?"

"Tunggu dulu. Aku belum omong apa apa. Dengar baik-baik. Kau boleh pulang ke rumahmu. Tapi kau dilarang keras mengunjungi atau menghubungi keluarga Mantik. Dan kau sama sekali tak boleh berhubungan lagi dengan Dono. Mengerti? Sama sekali tak boleh! Anakmu bisa celaka kalau kau bandel. Kalau tahu gelagat, aku nasihatkan agar kau kembali saja ke kampungmu. Begitu kau sudah di sana, anakmu pun tidak akan terancam apa-apa lagi."

"Bagaimana Hermes? Apa dia sudah dikembalikan pada... ibunya?"

Wanita itu ketawa mengejek.

"Hm. Bukankah kau yang sebenarnya ibunya?"

Nafisah tunduk, sebab hatinya terpanah dengan jitu. Rasanya pedih sekali. Sesaat dia menyesali diri kenapa dulu begitu tergesa-gesa memberikan Hermes pada orang lain. Ah, kenapa nasibnya begini jelek, tak bisa merawat anak sendiri! Tapi suara wanita itu menyentaknya kembali, tidak mengizinkannya berlama-lama mengasihani diri.

"Anak itu baru saja dikembalikan. Tenangkan hatimu." Suaranya penuh jengekan.

"Kau tak perlu menghubungi keluarga Mantik. Aku ulangi lagi, itu terlarang! Dono dan Mantik. mereka harus kauhindari. Setelah berada di Lampung, barulah kau boleh menyurati Nyonya Mantik. Tapi Dono, tetap tak boleh kauhubungi buat selamanya!"

"Bagaimana kalau saya tak bersedia balik ke Lampung?"

"Kau harus pindah rumah. Dono tak boleh sekalisekali tahu di mana kau tinggal. Mengerti? Nah, lekaslah! Ambil semua barangmu. Ikuti aku."

Oh, nasib. Tidak punya hutang, tidak apa, kok didikte orang seperti ini.Hidupnya sebenarnya miliknya sendiri ataukah milik perempuan gendut ini?

Nafisah didorong ke pintu. Mereka keluar dari kamar, lalu menuruni tangga. Nafisah segera melihat bahwa penjaranya itu adalah sebuah rumah yang luar biasa mewah, jauh lebih bagus dari rumah Astari. Tapi herannya, dalam rumah sebesar itu tak ada orang. Kecuali tante gemuk ini. Barangkali penghuni lain masih tidur? Nafisah melihat dari jendela, bahwa hari masih sangat pagi.

Dia dibawa ke belakang. Melalui pintu samping, mereka tiba di halaman belakang. Juga di sini, tidak dilihatnya seorang pun pembantu. Tapi lamat-lamat didengarnya suara air diciduk dari bak. Jadi ada orang. Mungkin pembantu. Sedang mencuci baju. ';

Di pojok halaman belakang terdapat sebuah pintu besi yang kokoh. wanita itu menarik serenceng anak kunci dari saku dasternya, lalu dipilihnya yang cocok. Pintu itu dibuka gemboknya, disetor gerendelnya dan ditarik daunnya. Setengah mendorong, dia menyuruh Nafisah cepat angkat kaki dari rumahnya.

Nafisah heran kenapa orang kelihatan begitu terburu-buru mau mengusirnya. Apa dirinya sudah tidak diperlukan lagi? Apa upacara nikah sudah akan segera berlangsung? Apa dia akan... dibunuh?!

Pintu segera ditutup lagi dengan bunyi yang lumayan keras. Nafisah celingukan sejenak, mencaricari kalau-kalau ada orang sembunyi yang sikapnya mencurigakan.

Tak ada siapa-siapa. Dia menarik napas. Betulkah dia sudah dibebaskan begitu saja? Tak ada yang menunggu untuk menghabiskan nyawanya? Dia sungguh tidak menyangka bahwa nasibnya jadi begitu baik.

Dengan pikiran penuh tanda tanya dilangkahkannya kakinya keluar dari jalan kecil itu. Sunyi sekali. Jalan itu cuma dirapati rumah rumah petak pada sebelah sisi. Sebab sisi yang lain merupakan bagian belakang rumahrumah mewah, seperti tempatnya dikurung tadi.

Di ujungjalan tidak ditemuinya kendaraan apa pun. Hari masih terlalu pagi. Tiba-tiba dia teringat arloji yang dilihatnya tadi dalam tas. Untung tidak diambil. Memang bagi orang lain mungkin tidak menarik. Arloji itu sudah tua. Tapi nilainya baginya lebih dari sepasang giwang berlian.

Dia berhenti sebentar, membuka tas, lalu mengeluarkan arloji. Sebelum dikenakan, diamatinya dulu. Masih jalan. Pukul setengah tujuh lewat sepuluh. Dililitnya talinya sekitar pergelangan. lalu dia berjalan lagi.

Deru bajaj memberinya harapan. Dia mengamati jalan di sebelah kanan dari mana bunyi itu datang. Sebuah bajaj hijau melaju ke arahnya.

Diangkatnya tangan.

"Ke mana, Neng?"

Dia berpikir sesaat. Ke mana? langsung ke rumah? Tapi dia perlu sekali menghubungi Astari. Dia harus tahu dengan pasti bahwa Hermes sudah selamat.

Gimana caranya? Bi lna tak tahu jalan dan belum pernah diajak ke rumah Astari. Dia juga tidak tahu rumah Rukiah. Padahal Kiah bisa dimintainya tolong untuk menyampaikan surat. Meskipun belum pernah ke rumah Astari, temannya itu tahu jalanan.

Jadi dia harus menghubungi Rukiah. Moga-moga saja belum berangkat kerja.

"Ke Jalan Merpati, Bang."

"Enam ratus."

Dia langsung naik walaupun harga segitu sangat mencekik. Apa boleh buat, tak ada bajaj lain.

Betapa kecewanya Nafisah ketika mendapati rumah Kiah terkunci rapat. Seorang tetangga yang sedang menjemur pakaian menyempatkan diri menjawab pertanyaannya.

"Kemarin sore Kiah berangkat mudik, Neng. Tapi adiknya enggak ikut. Tahu deh ada di mana."

"Penghuni lain-lainnya?"

"Cuma dua orang. Kali belum pulang dari semalam." Lalu matanya melirik ke atas seakan memberi tahu suatu rahasia yang tidak bisa diucapkan.

Nafisah tak punya waktu buat berhandaihandai. Diucapkannya terima kaSih dan permisi secepatnya. Lantas ke mana lagi, pikirnya sambil berjalan. Siapa lagi yang bisa dimintainya tolong? Rukiah tak ada. Penghuni lain tak ada yang dikenalnya. Teman, dia tak punya.

Hasan! Nama itu spontan saja melejit keluar dari ingatan. Ya. Hasan! Orang itu pernah bilang padanya. kalau perlu pertolongan, jangan ragu mencarinya. Ya, Hasan pasti bisa menolong. Laki-laki akan selalu lebih bebas bergerak ke mana pun. Dan pihak penculik pun, seandainya mengawasinya. pasti takkan curiga melihat Hasan di depan rumah Astari. Mungkin saja pesuruh kenalan tuan rumah. Atau dari kantor.

Keluar dari gang rumah Rukiah, Nafisah naik mikrolet. Dia sudah lupa-lupa ingat alamat Hasan, tapi Gang Sentiong dia tahu.

Untunglah! Jendela rumah Hasan terbuka. Tandanya ada orang di dalam. Begitu diketuk, pintu langsung dibuka. Wajah Hasan kusut sekali dan air mukanya seperti uring-uringan. Mungkin juga dia tidak bisa tidur semalaman.

Hasan kelihatan kaget sekali melihat Nafisah. Tapi gadis itu tidak sempat menanyakan kenapa. Hasan mencekal tangannya dan menariknya ke dalam.

"Kau sendirian?" bisiknya setelah menutup pintu.

Nafisah mengangguk. Dia heran kenapa Hasan tampak begitu takut, tapi lagi-lagi dia tak punya waktu untuk bertanya. Urusannya lebih penting. Apa pun kesulitan Hasan, laki-laki itu pasti bisa membereskannya sendiri.

"Mau apa kau ke sini? Siapa yang suruh?"

"Tak ada yang suruh. Saya mau minta tolong Abang supaya menyampaikan surat pada keluarga Mantik di "

"Mau apa kau dengan me...re...ka?" Suara Hasan jadi gagap, tapi Nafisah tak peduli. Dia sudah cepatcepat mengeluarkan bolpen dan celingukan mencari sepotong kertas apa saja yang bisa ditulisi.

"Ada urusan apa kau dengan mereka?" ulang Hasan.

"Ada perlu penting, Bang Hasan. Punya kertas?"

"Enggak punya."

"Pinggiran kertas koran pun boleh."

"Enggak ada koran."

NaFisah mengeluh. Digerataknya tas gantung. Yang ada cuma sepotong sampul bekas. Dengan terpaksa dikeluarkannya juga. Bagian belakang yang kosong masih bisa ditulisinya.

"Kau mau menghubungi keluarga Mantik?" tanya Hasan sambil mengawasi tas pakaian Nafisah yang

diletakkannya di lantai dan tas gantungnya yang kelihatan berat.

"Ya. Kau tidak keberatan untuk mengantarkan surat ini, bukan? Aku beri ongkos..."

"Kenapa mesti menulis surat? Itu kan penuh risiko. Seandainya hilang di jalan atau jatuh ke tangan seseorang, itu bisa jadi barang bukti yang membahayakan dirimu!"

Eh, benar juga, pikir Nafisah seketika. Misalnya surat itu jatuh ke tangan tante galak itu, pasti dia dianggap sudah melanggar larangan dan Hermes akan... lho! Kok Hasan bisa tahu bahwa surat untuk Astari ini bisa membahayakannya?!

Sayang sekali dia merasa tak punya waktu buat bertanya. Coba dilakukannya, mungkin nyawanya masih terhindar dari bencana .

"Habis gimana, Bang?" dia malah menanyakan nasihat Hasan.

"Lebih baik kau telepon saja ke sana. Ayo, mari aku antarkan. Aku tahu telepon yang kosong."

'Saya tidak mau ke telepon umum! Terlalu banyak orang yang bisa melihat!"

"Sudah! Enggak usah banyak cerewet. Ini bukan telepon umum. Mau apa enggak?"

Nafisah terpaksa mengangguk. Lemah.

Hasan menghilang sebentar ke belakang, lalu muncul lagi dengan muka terbasuh. Sarungnya juga sudah diganti dengan celana dan kemeja. Dia berjalan ke sudut ruangan. Baru sekarang Nafisah melihat

sepeda motor yang masih kelihatan bagus, meskipun jelas sudah tangan kedua atau kesekian! Kali ini pun dia tetap tidak berhasrat menanyakan dari mana motor itu atau milik siapa. Tapi kalau Bapak Kusmanto tahu asalusul uang pembelinya, Hasan pasti langsung didepak ke luar dan Toha kena jewer! Sudah dilarang kasih tahu!

Mereka berboncengan. Tiba di daerah Pulogadung, Hasan membelok ke kanan. Mereka melewati sekian banyak rumah tinggal. Lalu sepi. Daerah pabrik. Lalu sepi lagi.

Tiba di depan sebuah bangunan yang kelihatan tak terawat, Hasan berhenti. Nafisah turun dengan hati ragu. Tempat apa ini? Kenapa rasanya seakan dia pernah kemari? Ada deru mesin mendengung, tidak keras, namun cukup jelas. Kapan pernah didengarnya bunyi serupa itu? Di mana?

"Bunyi apa itu?"

"Itu pabrik bihun yang bekerja siang-malam."

"Dan ini?" tunjuknya ke bangunan kotor itu.

"Oh, itu gudang majikanku."

"Pak Kusmanto? Mendadak Nafisah merasa bahwa mereka sudah datang ke tempat yang keliru.

"Bukan," sahut Hasan ketawa, rupanya terlihat olehnya kecemasan di wajahnya.

"Majikanku yang lain. Jangan kaget. Aku bekerja sebagai centeng di sini kalau malam. Lumayan. Buat tambah-tambahan."

Untuk pertama kali sejak dia mengenal Hasan, Nafisah merasa sedikit hormat padanya. Jadi lakilaki pemberang dan sok jago ini sebenarnya cukup dinamis

dan rajin! Kalau begitu, tidaklah kecewa bila Rukiah sampai mau jadi istrinya.

Motor diparkir di samping gudang. Mereka menghampiri pintu depan yang terbuat dari dua helai daun besi. Dengan kunci dari sakunya, Hasan membuka gerbang itu. Pintu terkuak dan Hasan mendorongnya masuk.
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di dalam cukup gelap. Tapi setelah beberapa detik berdiri dekat pintu, Nafisah mulai bisa melihat dengan lebih jelas. Memang itu rupanya gudang. Peti-peti raksasa berdiri tersusun di pinggiran ruangan. Ada juga lemari-lemari tua. Di tengah-tengah terdapat sebuah mobil Plymouth tua berwarna biru yang rupanya sudah tak pernah jalan lagi. Debu yang menyelimutinya mungkin ada sepuluh senti tebalnya.

Di belakang mobil, menempel ke dinding, terdapat alat _fizto copy dan sebuah meja panjang. Di atasnya ada mesin besar yang tidak diketahuinya gunanya. Di meja itu juga terlihat sebuah pesawat telepon.

Dengan spontan dia pun melangkah ke belakang mobil. Hasan mengikuti. Langkah-langkah mereka terdengar berdentam-dentam di atas lantai semen yang tidak beralas.

Nafisah membuka tas gantung untuk mengambil sapu tangan. Bau zat kimia yang keras mendadak menyerang hidungnya. Haaciih! Haaciih!

"Astaga! Bau apa ini?" tanyanya sambil membersit hidung.

Hasan ketawa.

"Masa bau amoniak saja tidak tahan? Itu, dari mesin blue-print." Ditunjuknya mesin panjang di atas meja.

Dalam gudang sekotor ini kok ditaruh mesin yang masih jalan? Siapa yang akan datang kemari untuk bikin blue-print bangunan? Tapi Nafisah merasa, itu bukan urusannya. Dia tak boleh membuang waktu dengan bertanya perihal tetek-bengek yang tidak bersangkutan dengannya. Siapa tahu Hermes sebenarnya masih belum dibebaskan?

Dalam ruangan yang terasa sumpek itu mendadak dia jadi berkeringat. Atau itu cuma keringat dingin?! Takutkah dia pada Hasan? Sendirian dengan lelaki garang dalam sebuah gudang yang jauh dari keramaian, bagaimana dia takkan ngeri?

Bau amoniak menyerang lagi. Setiap kali angin berhembus dari lubang kecil di tembok samping, bau itu menyergapnya. Di mana rasanya dia pernah mencium bau yang serupa itu? Dia coba mengingat. Ah, mungkin cuma perasaan saja, pernah mencium, padahal belum. Atau barangkali dalam mimpi? Bisakah orang mimpi mencium sesuatu?

Keringatnya masih mengucur. Rasanya gerah, bukan dingin. Dicarinya sapu tangan barusan. Tak ada dalam tas. Dirabanya BH. Terkadang dia kelupaan dan menyelipkannya di situ. Sebenarnya Dono sudah melarang. Jangan suka menyelipkan apa-apa di BH! Uang maupun sapu tangan. Seperti wanita kampungan!

Tidak ada di selipan BH. Dia memang tak pernah lagi menyelipkan sesuatu di sana. Taat pada kekasih.

Sudahlah. Disekanya dahinya dengan punggung tangan. Dia harus berlagak tenang. Supaya Hasan jangan jadi kurang ajar padanya.

Di samping meja dia berhenti. Suara langkah Hasan pun stop.

"Ini teleponnya, Bang?" Dia menoleh. Ketika dilihatnya gerakan itu, sudah terlambat. Dia tidak sempat lagi berkelit. Palu di tangan Hasan jatuh menimpa puncak kepalanya. Tanpa ampun lagi dia terjerembab ke bawah, lalu ambruk di atas semen. Kepalanya terasa berdenyut nyeri seakan ditusuki jarum di seribu titik. Dia sempat mengerang sejenak sebelum jatuh pingsan, lalu diam tak bergerak lagi.

Seringai puas memoles wajah Hasan. Dengan serakah tangannya segera meraih tas gantung Nafisah dan melepasnya dari bahu. Dirumpahkannya isinya ke atas meja. Kotak kayu gaharu itu segera diambil dan dibukanya. Dia bersiul dan menyumpah kegirangan. Diraupnya semua perhiasan emas intan itu dan diikatnya dalam sapu tangannya. Kotaknya dilempar ke kolong meja.

Kemudian giliran dompet diperiksa. Dia kembali berteriak senang melihat isinya yang begitu padat. Paling sedikit ada dua ratus ribu, pikirnya menatap gumpalan puluhan ribu. Ludahnya terpaksa ditelannya berkali-kali. Jakunnya pun sudah naik-turun kayak yoyo.

Dia heran dari mana Nafisah bisa punya uang sebanyak itu. Dan perhiasan juga. Pasti bukan dari jalan halal, pikirnya. Dan hatinya makin gembira. Harta yang didapat dengan tidak halal tentu saja pantas direbut oleh siapa pun. Kebetulan saja dia yang menemukan!

Dijejalkannya permata dan uang ke dalam saku dan sebagian di balik kemeja. Hm. Hm. Hm. Rupanya perempuan yang berlagak punya gengsi dan sok tahan derajat ini berapa kali dia ditolak mentah-mentah waktu gadis itu masih jadi anak buahnya! Sekarang gilirannya membalas dendam! sebenarnya penuh bergelimang maksiat! Huh!

Dilemparnya tas gantung itu ke belakang tumpukan peti-peti barang. Tas pakaian di lantai diperhatikannya sejenak. Namun akhirnya dia mengangkat bahu. Pasti sudah tak ada barang berharganya. Apa gunanya pakaian dalam wanita baginya? Rukiah kan sudah disuruhnya pulang kampung kemarin. Pasti Nafisah sudah menyimpan seluruh harta dalam tas gantung yang dikiranya takkan berpisah dari tubuhnya. Ha, dia keliru! Hasan tersenyum simpul seraya menepuknepuk buntalan sapu tangan dalam saku celana. Uang ada di balik kemeja.

Dia ragu sesaat apa yang akan dilakukannya dengan tas pakaian yang kelihatan gendut itu. Namun akhirnya diputuskannya untuk melemparnya ke dekat tas gantung saja. Sayang dia keliru sekali itu. Sebab dalam tumpukan baju-baju ada uang tunai sejuta lebih!

Setelah dirasanya semua beres, diangkatnya Nafisah dari lantai, lalu dipanggulnya ke luar. Dia bersyukur bahwa gadis itu tidak gemuk. Setelah kurang tidur tadi malam (meskipun jadi centeng, Hasan toh suka tidur malam di gudang), dia merasa takkan sanggup memikul sekarung beras.

Dilemparnya Nafisah ke tanah sementara dia mengunci kembali gudang. Lalu diseretnya motor dari samping dan diparkirnya. Nafisah yang kurus itu didudukkannya di depan, sedang dia mengambil tempat agak ke belakang. Kepala yang terkulai itu disandarkannya ke bahunya supaya dikira orang sedang pacaran.

Dengan tangan kiri memeluk Nafisah. distarternya motor, lalu melaju pergi.

****

Dono dibukakan pintu oleh bibinya sendiri.

"Hai!" serunya kelihatan kaget.

"Kok tumben kemari? Sepagi ini lagi! Biasanya kau susah benar dicari!"

Dono menggigit bibir mendengar mulut Bibi Tina yang berbisa itu. Sudah tentu yang dimaksudnya, Sabina tak pernah berhasil mencari dirinya.

Melihat keponakannya jadi kikuk, sang bibi segera membelok ke topik lain. Dia tak ingin membuat Dono keki.

"Ah, ada sesuatu dengan orang tuamu? Siapa yang sakit?"

Dono terpaksa ketawa getir melihat kepandaian bibinya main sandiwara. Seingatnya, belum pernah paman dan bibinya menaruh perhatian atas kesehatan ibu dan ayahnya. lebih masuk akal kalau mereka bersorak-sorai bila ayahnya kenapakenapa. Berarti bibinya bisa mulai lagi mencoba merebut harta abangnya yang dirasanya adalah bagiannya. Bibinya lupa, Ayah cuma mendapat warisan sebidang tanah tok. Sedang bagian bibinya dalam bentuk rumah dan perhiasan, bernilai sama.

Nah, dengan jerih payah sendiri, minta kredit sanasini, ayahnya berhasil membangun pabrik dan kantor di atas tanah itu. Lambat laun usaha itu berkembang, lalu bertambah dengan pabrik gelas dan lain-lain. Rupanya Bibi mengira, dia juga masih punya bagian dalam semua itu!

"Tak ada yang sakit, Tante. Saya kemari untuk urusan lain."

"Oh, begitu?! Ayo masuk, masuk. Duduk, duduk. Kau pasti belum sarapan. bukan? Sabarlah lima menit lagi. Cah, tambah piring satu lagi!" teriaknya. Dari dalam terdengar Icah menyahuti.

Dono geli melihat bibinya jadi sibuk tak keruan. Dari saku dasternya disulapnya sebungkus rokok. Ditawarkannya pada tamu.

"Ah ya, Tante lupa, kau tidak merokok! Memang itu bagus! Jangan seperti Tante yang jadi addikt begini. Lihat sebagian gigi Tante, sudah pada coklat kena nikotin! Racun itu jahat, tahu! Tapi, yah! Tante tidak

bisa tenang sebelum mengisap." Perempuan montok yang sepagi itu sudah berdandan perlente, terkekeh lalu menjepit sebatang rokok. Semenit lamanya dia asyik sendiri, menyalakan dan mengisapnya. Kelihatan nikmat betul dia memandangi asap membubung ke atas. Dono melengos.

Kemudian, sadar bahwa api korek mulai membakar jari, dikibaskannya batang hingga padam, lalu dilemparnya ke dalam asbak.

"Nah, Tante siap mendengarkan maksudmu kemari. O ya, pamanmu dan Sabina belum bangun. Kau kelihatan pucat sekali. Kurang tidur? Janganlah suka bergadang terlalu malam seperti yang dilakukan kebanyakan lelaki pengangguran. Sabina selalu memikirkan keadaan dirimu. Kenapa sih kau jarang sekali kemari? Sekalinya datang, kok begini pagi, waktu orangnya belum bangun?"

"Saya sibuk, Tante," sahutnya tanpa semangat. Berapa lama lagi mesti aku dengarkan ocehan musang betina ini, pikirnya kesal.


Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Beruang Salju Karya Sin Liong Juri Pilihan Runaway Jury Karya John

Cari Blog Ini